Pengecat Langit Malam Karya Mochammad Asrori Bagian 1
PENGECAT LANGIT MALAM Mochammad Asrori Semuanya pasti setuju jika putih adalah warna suci, putih mengandung ketulusan, putih merupakan lambang kejujuran. Sedang hitam" Hitam warna kelam, penuh kebusukan, tipu daya dan keculasan. Salju putih yang turun bisa meredakan hati yang sedang geram. Pikiran yang sedang dibelenggu penat dan bergulat dengan resah yang tersemat menjadi tawar, lalu menjadi segar. Sedangkan awan hitam" Hanya menambah sumpek dan dada ampek. Seperti ada segunung batu mengganjal dada. Hanya menambah hati semakin berkelojot tertiup angin puting beliung dan derum pikiran kusut terbanting badai.
Coba tanyakan sendiri pada Pak Rahman, apa tanggapannya" Pasti dia mengiyakan pendapatku ini. Tapi sayang dia belum muncul, belum datang ke sekolah hari ini. Mungkin ini masalah sepele bagimu. Sekedar warna putih dan hitam. Tapi bagiku tidak. Putih dan hitam sangat berbeda.
Apalagi di lingkungan seperti sekolah. Ini dunia pendidikan, jadi segala sesuatu harus meneladankan aspek-aspek positif bagi siswa. Hal ini tampaknya tak pernah dapat dicerna oleh para petugas administrasi sekolah, para petugas TU, seperti halnya Pak Edy yang duduk congkak sambil membaca koran di depanku saat ini. Program restrukturisasi sarana dan prasarana sekolah yang diusulkannya membuatku gerah.
Ingin sekali kugigit tengkuknya dalam-dalam. Kau boleh saja berdalih tentang tabula rasa yang mengatakan kita lahir seperti kertas putih yang kemudian perlahan tergores warna tinta waktu hitam. Tapi bukankah lebih baik jika kertas kita terlahir hitam, dan kita menggoresnya dengan tinta putih" Aku sangat menolak teori tersebut.
Menurutku ada pembalikan analogi di sana. Aku menggugat teori tersebut, dan seperti pernyataanku sebelumnya, seharusnya kita terlahir seperti kertas hitam. Hitam adalah kekosongan, jadi tinta putih yang akan mengisinya, bukan sebaliknya. Para petugas administrasi sekolah, para petugas TU, seperti Pak Edy tampaknya tak pernah dapat mencerna maknanya. Bagaimana mungkin mereka dengn seenaknya mengganti papan tulis seluruh kelas dengan papan white board. Program restrukturisasi sarana dan prasarana sekolah ini membuatku gila.
Aku suka melihat Pak Rahman di depan kelas. Lihatlah semangatnya yang membara. Lihatlah ujung lengan jasnya, bukan kotoran yang melekat di sana. Aku tahu apa arti senyumnya ketika ada yang menegur, "Pak, lengannya putih semua lho?" Senyuman itu adalah senyum penuh kebanggaan. Serbuk putih yang selalu menempel di lengan bajunya, atau di sekitar bagian bawah jasnya adalah wujud transfer dunia yang telah dibaginya kepada siswa-siswanya. Dunia ilmu yang suci tanpa tendensi, penuh ketulusan pun kejujuran. Bukan dunia ilmu yang penuh omong kosong, penuh kebusukan, tipu daya, dan keculasan.
Aku lebih bergairah melihat Pak Rahman dengan sebatang kapurnya. Goresan-goresan kapur dalam genggamannya sangat memesona. Keriut adhesi-kohesi kapur dan hitam papan tulis menyisakan tebaran salju-salju kapur di ujung lengan jasnya. Meski dia sudah melinting kain lengannya, tetap saja tiap selesai mengajar, tebaran serbuk kapur melekat manis di sana, juga di seputar celana, atau bahkan sepatunya.
Mengganti papan tulis hitam dengan papan tulis white board adalah kebodohan, aku berani memastikannya. Benar-benar wujud penghancuran nilai keteladanan, ketulusan, dan kejujuran. Bila wartawan disebut kuli tinta, maka guru adalah ksatria berkapur. Tanpa kapur, guru seperti tak punya wibawa. Seperti macan ompong. Teman hidup guru
adalah kapur, yang putih, yang menimbulkan keriut bila menari di papan tulis hitam, dan yang menimbulkan serbuk-serbuk putih. Itu adalah pendapatku, namun kurasa akan didukung penuh oleh Pak Rahman. Ahh, kebetulan! Lihatlah Pak Rahman memasuki ruangan ini, dia menghampiri meja Pak Edy. Dengarkanlah, mungkin dia akan berkomentar.
"Selamat pagi Pak Edy."
"Selamat pagi juga, Pak Rahman. Oh ya, jangan lupa spidol boardmarker-nya. Semua kelas sudah memakai papan whiteboard lho.
Tapi sehabis mengajar harap dikembalikan ke TU, di meja saya. Sekarang Pak Rahman bakal bebas dari masalah keputihan."
"Huss, Pak Edy ini, keputihan kan hanya dialami perempuan .?"
"Hahaha, Pak Rahman bisa saja."
"Sebenarnya saya agak bingung juga. Agak kurang sreg memakai
spidol boardmarker. Lebih enak pakai kapur seperti biasa."
"Lho, Pak Rahman ini bagaimana. Bukannya lebih efisien pakai
spidol?" "Yah, di lain pihak memang begitu. Tapi coba, kalau saya memakai
spidol, saya bingung apa yang akan saya lempar ke anak-anak yang
ngantuk?" "Hahaha, Pak Rahman bisa saja."
Kalian sudah dengar. Begitulah Pak Rahman, sederhana dengan
kata-kata candanya. Tapi tepat seperti dugaanku, dia lebih menyukai
sebatang kapur, bukan" Kapur adalah lambang keperkasaannya sebagai
guru. Ahh, tapi apalah arti pendapat dariku ini. Pendapat awam. Yah "
apalah arti pendapat seekor semut penghuni kelas yang biasa berbaris di
dinding. Seekor semut sepertiku hanya pengamat sambil lalu di kelas,
sambil mengangkut remah-remah ke sarangku. Sarang di belakang papan
tulis hitam tebal yang hangat. Tapi kini telah dibongkar untuk diganti
dengan papan tulis putih, papan whiteboard."
Balik ke Atas Istri Riak air kran berhenti, pintu kamar mandi terbuka. Wajah
perempuan dengan semu pucat muncul, berjalan ke muka cermin.
Sejenak mematut-matut diri di sana, dari depan, dari samping, lalu
duduk. Tangannya menopang dagu, menatap wajahnya di cermin.
"Apa aku terlihat gemuk?" katanya, "Aku pasti gemuk, bukan?"
RIa memutar posisi duduk menghadap ke ranjang, ke arahku.
Wajahnya murung lucu. Aku tidak menanggapi, hanya tersenyum. Tapi itu
malah membuatnya sewot. Ia berdiri dan mengambil tempat di bibir
ranjang, di sampingku. "Aku kegemukan, aku gemuk."
Aku masih diam, bangun dari tengah ranjang dan duduk di
sebelahnya. "Aku kegemukan, aku terlihat gemuk," rengeknya.
Aku belai rambutnya. "Aku mencintaimu," bisikku sambil mengecup
keningnya. Itulah yang bisa kukatakan. Sejak beberapa minggu, tiap pagi dia
muntah-muntah di kamar mandi dan mengeluh kegemukan. Mungkin ini
yang dinamakan keanehan-keanehan yang bakal dialami perempuan
hamil muda. Dan imbasnya pada laki-laki. Aku bakal punya anak. Jadi
ayah. * * * "Sebagai istri, saya paling tahu tentang Mas Bram. Tentang apa
kebutuhannya, tentang apa keinginannya. Apa yang mengganggu
pikirannya, saya tahu benar. Juga tentang kondisi kesehatannya yang dia
sendiri jarang perhatikan," kata seorang perempuan yang selalu tampak
awet muda dan bugar dalam sebuah diskusi.
"Saya sangat peduli terhadap gaya hidup sehat. Jadi segala sesuatu
secara rutin terjadwal dalam agenda. Sehingga tiap waktu dapat saya isi
dengan aktivitas yang menyehatkan badan," tambahnya.
"Lalu apa rahasianya Jeng dapat tetap bugar, tetap terlihat segar.
Bagi-bagi tipsnya dong, Jeng ..." rajuk seseorang.
"Sederhana kok, Ibu-ibu. Yang penting kita harus komitmen terhadap
apa yang kita sudah konsep untuk diri kita. Jangan kompromi. Lima kali
dalam seminggu saya rutin ke gym. Olahraga kardiovaskuler. Ibu-ibu bisa
treadmill agar jantung dan pembuluh darah tetap prima," jawabnya.
Perempuan itu menebar senyum dan sikap anggun. Tubuhnya yang segar
dengan tinggi 160 senti dan berat 50 kilogram tampak masih kencang dan
sintal di usia empat puluhan.
"Selalu ada waktu untuk sehat. Daripada terus di rumah atau pergi
tanpa sesuatu yang jelas manfaatnya, mending ibu-ibu menjadwalkan
waktu rutin untuk melakukan aktivitas yang sehat. Lagipula, aktivitas itu
dapat juga mengusir kebosanan lho!"
Ibu-ibu terkagum-kagum melihat sosok di depan mereka. Mereka
biasa menyapanya Jeng Bram. Jeng Bram yang enerjik, cantik, dan
menggairahkan, walaupun telah berusia baya. Dan mereka dengan tekun
mendengar perkataannya. Di wajah Jeng Bram belum ada kerutan-kerutan tanda kejenuhan
yang biasa dialami wanita seusianya. Kulitnya masih segar, sesegar
remaja yang baru mengenal matahari pagi.
"Untuk menjaga berat badan, jangan lupa mengonsumsi asupan
yang cukup. Saya tiap pagi minum jus murni tanpa gula. Menu harian
selain dari biasa saya tambahkan beras merah. Jangan sampai lupa lima
butir putih telur, dada ayam, sayur, dan buah. Itu kebutuhan dasar tubuh."
Begitulah, waktu luang seusai acara seminar itu jadi ajang
wawancara dadakan dengan Jeng Bram. Sudah puluhan kali seperti ini,
rasanya. Aku hanya bisa menengok jam tangan. Hari semakin sore. Akhir
pekan yang sama di tiap pekan.
Kadang jadi nyinyir juga mendengar puluhan kata yang merangkai
satu tema tetap cantik, tetap awet muda, dan tetap mesra dengan
keluarga. Kadang aku bisa menebak apa yang akan dikatakannya. "Jika
perlu minum suplemen dan satu sendok madu sehari supaya stamina
tetap terjaga," gumamku, menebak apa yang akan dikatakannya, namun
agaknya tidak. Atau belum, mungkin. Tapi pasti nanti juga keluar katakata
tersebut. "Hidup jangan dibebani dengan hal-hal yang kurang berarti, harus
ikhlas. Sebagai ibu rumah tangga, juga wanita karir, kita harus mampu
menikmati peran yang kita jalankan. Tidak mudah, tapi tetap suatu tugas
mulia." Begitulah, dan ramah tamah berakhir. Syukurlah. Tetap dengan
senyum, kami berdua pulang. Di dalam mobil senyumku kehabisan
energi. Napas panjang terlepas, suntuk mulai menjerang. Namun istriku
tetap saja tersenyum. Well, begitulah perempuan superku, seperti tak
kenal lelah, tak kenal menyerah.
Di tengah perjalanan pulang, istriku masih sempat mampir ke
swalayan depan perumahan, membeli ini-itu untuk menu nanti malam.
Semua tampak wajar, atau memang wajar. Setelah belanja, kami pulang.
Dia langsung membuka belanjaan dan memasukkannya ke pendingin
tanpa memanggil si Imah, pembantu kami.
"Papa ingin menu apa untuk malam nanti?"
"Apa aja deh, Ma," jawabku malas.
Aku langsung masuk kamar tidur, menggantung jas dan kemeja.
Gerah. Masuk ke kamar mandi. Kucuran air di kepala membuat segala hal
tampak dengan cerah muncul. Pria paruh baya dengan istri yang cantik,
segar, dan menggairahkan. Seluruh mitra kerja memuji-muji istriku. "Wah
beruntung sekali Mas Bram, punya istri yang tetap prima, seperti punya
istri yang tetap remaja terus. Pantas Mas Bram tetap panas!" itu selalu
kata mereka. Mereka lalu menghubung-hubungkan dengan ungkapan
yang populer, yang saat ini juga memerangkap lidahku: Hidup dimulai di
usia 40. Yah, menilik pencapaian kesuksesan, mungkin itu benar. Tapi
yang utama sebenarnya di usia 40 pemikiran seorang pria mencapai
puncaknya. Rasionalitas di titik tertinggi.
Kusambar handuk, mengelap wajah dan tubuh di depan cermin.
Sambil mengeringkan rambut, kusentuh wajahku, mulai tampak alur kerut
di sana. Aku segera tinggalkan cermin. Keluar dari kamar mandi, berganti
pakaian dan keluar kamar. Istriku masih sibuk membaca majalah. Aku
tidak heran, semuanya sudah terjadwal bagi istriku. Membaca adalah
sarananya agar otak terus stabil bekerja, tetap gaul. Sore seperti ini istriku
membaca majalah, malam sebelum tidur dia membaca novel. Aktivitas
membaca sore hanya akan absen tiap malam Minggu dan hari Minggu.
Dia menjadwalkan yoga, pilates dan spa di hari tersebut.
Aku mendekatinya. Dari belakang kupegang bahunya. Ketika
menoleh kucium pelipisnya.
"Papa mau ke mana?"
"Ada urusan sebentar, nanti sebelum makan malam Papa sudah
pulang," jawabku. "Besok sore jangan lupa antar Mama ke toko buku ya."
"Oke deh," kucium lagi istriku, "Papa pergi dulu."
Aku kemudian melaju di atas mobil menuju pusat kota. Ponselku
beberapa kali berdering. Aku tidak mengangkatnya. Sudah lama aku tidak
merasakan perasaan ini. Berdebar-debar. Aku punya dua anak yang
sudah besar. Keduanya duduk di bangku kuliah dan aku sudah jarang
ketemu. Ponselku kembali berdering, kali ini kuangkat, "Sebentar, Mas
masih dalam perjalanan." Kudengar rengekan kecil di sana. Aku
tersenyum mendengar ancamannya dari seberang telepon.
Kubayangkan riak air kran yang deras dan debur kecipak air dari
dalam kamar mandi. Dan agak lama setelah pintu kamar mandi terbuka.
Wajahnya yang manis dan menggairahkan dengan semu pucat muncul,
berjalan ke muka cermin. Bisa dipastikan untuk beberapa saat selalu saja mematut-matut diri
di sana, dari depan, dari samping, lalu duduk. Berdiri lagi seakan-akan
ingin meyakinkan lagi. Mematut-matut bayangannya. Tak sungkan
menggusur handuk yang menutupi tubuh ke lantai. Cemberut wajahnya
menatap cermin lagi, dan aku dapat menerka apa yang akan dia katakan
dalam bayanganku ini. Selalu saja, "Apa aku terlihat gemuk" Aku pasti
gemuk, bukan?" Aku memilih diam. Biasanya ini membuatnya tambah sewot, dan
mengulang-ulang, "Aku kegemukan, aku terlihat gemuk."
"Aku mencintaimu," bisikku sambil mengecup dahinya.
Dan bayangan itulah yang selalu hangat kurindukan. Sejak beberapa
minggu tiap pagi dia muntah-muntah di kamar mandi dan mengeluh
kegemukan. Sudah lama sekali aku tidak merasakan perasaan seperti ini,
dibutuhkan sebagai laki-laki, sebagai suami. Istriku cantik, tetap menarik
dan menggairahkan di usia seusiaku. Tapi bersamanya, perempuan lain
yang bakal memberiku posisi sebagai ayah lagi sungguh menjadi energi
tambahan yang kuat. Sekarang aku coba mengeja apa-apa persiapan
menjadi ayah: Mengantarnya ke dokter, senam kesehatan ibu hamil, atau
belanja keperluan bayi. Aku belokkan mobil ke arah deretan rumah sederhana yang apik.
Berhenti di rumah nomor 33. Saat aku turun dari mobil, pintu pagar sudah
terbuka dan perempuan itu, yang baru kubayangkan, dengan senyum
yang sedikit kesal menyambutku. Perempuan yang mengingatkanku
kembali sebagai laki-laki. Dan untuk malam ini, lagi, seperti beberapa
malam sebelumnya, aku tidak dapat pulang tepat sebelum makan
malam." [ Balik ke Atas ] Pengecat Langit Malam Dimuat di Harian Surya 10 Desember 2006
atu kaleng cat dan kuas berbagai ukuran untuk mengubah sesuatu
yang belum dicoba menjadi sangatlah pantas untuk dicoba.
Setidaknya daripada duduk terpekur tanpa melakukan aktivitas
apapun. Langsung saja kutandatangani buku gudang, dan mengangkat
kaleng cat serta kuas-kuas tersebut ke atas kendaraan kecil mirip mobil
golf yang mereka sebut land-shuttle. Kupacu kendaraan keluar daerah
Retriksi 24, daerah penyimpanan peralatan langit. Saatnya menjalankan
rencana A. S Sebenarnya sudah puluhan kali kukirimkan surat mosi tidak percaya
kepada Gubernur Langit tertuju kepada Bulan yang menggantung di
koordinat K-155. Mosi tidak percaya yang kutandatangani atas nama
pribadi dan alasan pribadi. Cukup sederhana: Karena ada seseorang
istimewa di hatiku yang merasa trauma atas kejadian yang melibatkan
Bulan dimana dia telah turut campur menjadi setting yang salah dalam
satu perjalanan kisah kasih seseorang tersebut. Sejak peristiwa itu dia
tidak mau menatap langit malam. Padahal aku sudah mencoba berbagai
sudut pandang untuk meyakinkannya bahwa kali ini bersamaku, Bulan
akan menjadi setting yang istimewa. Namun dia tetap ngotot takkan mau
menatap langit malam, terlebih jika masih ada bulan itu! Jadilah hal itu
alasan yang jelas bagiku. Bagimu mungkin terdengar dibuat-buat dan
mengada-ada. Tapi ini hidupku. Aku harus bertindak.
Selain surat mosi tidak percaya, juga kukirimkan surat pada bulan
untuk mengundurkan diri dari posisinya sekarang, dengan dalih
regenerasi. Saatnya ada bulan baru di koordinat K-155 yang punya gairah
temaram lebih baik. Namun sampai detik ini mosi tersebut belum
ditanggapi, apalagi direalisasi. Hingga terbetik suatu rencana.
Rencana ini muncul ketika ada satu pemberitaan di Harian Langit
edisi #1 tahun cahaya ke-21 dimana SkyWork and Piece, perusahaan
pemasang iklan baris, membuka lowongan kerja:
BTH pengecat langit shift malam, di Bintang 240680, Bulan K-155, Perlip
Area25 Horison01 hingga garis batas 83. Jam kerja & gaji memuaskan.
Dibayar stlh kontrak selesai.
Wah, segera saja kudatangi kantor jasa pengerah tenaga kerja yang
memasang iklan. Pengecat langit malam merupakan pekerjaan yang
jarang diingini. Jadi tak heran tidak ada satu pelamar pun yang menjadi
saingan. Sebenarnya ada satu pelamar yang kutemui ketika sama-sama
berjalan di trotoar. Tapi nampaknya pelamar satu ini agak mabuk. Dia
berjalan dengan satu kaki di atas trotoar dan satu kaki lainnya di atas
jalan aspal. Kusapa dia, "Mau kemana, Mas?"
"Eh, anu, anu, ehm, ma" mau ngelamar kerja di langit," jawabnya
kebingungan. Kulanjutkan pertanyaan, "Eh, Mas, kok jalannya satu di atas aspal
dan satu di atas trotoar. Apa nggak capek?"
Pelamar yang benar-benar mabuk ini pun menjawab kegirangan, "Ya
ampun, untung, untung! Selamet, selamet. Saya kira saya tadi pincang.
Pantes dari tadi melangkah susahnya minta ampun. Trima kasih, Mas,
sudah ngingetin." Ah, dasar gila! Saingan satu saja tidak beres.
Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan minimnya minat pada
pekerjaan ini. Pertama, alasan keselamatan. Pekerjaan ini memiliki
fasilitas penunjang hidup yang jauh dari memadai, apalagi jasa pengerah
tenaga kerja enggan menanggung resiko kecelakaan serta jaminan
keselamatan. Kedua, banyak detail bintang yang tidak boleh sampai
terkena cat atau sampai jatuh ke bumi. Bila ini terjadi, maka kerugian akan
dibebankan kepada pengecat langit malam, bukan kepada perusahaan.
Namun bagiku itu bukan masalah, semua dapat diatur di atas sana nanti.
Bukankah semua sudah direncanakan"
Dari atas land-shuttle kulihat langit malam di atasku memang sudah
pudar dan berwarna muram. Beberapa bagiannya terkelupas. Pantas saja
akhir-akhir ini banyak bintang yang jatuh. Kumasuki ruang tangga hidrolik
J-4U penghubung langit Perlip Area 25 Horison 01. Mandor langit dengan
jidat kinclong sudah bersiaga di samping tangga. "Pegawai baru, Mas?"
sapanya ramah sambil menyodorkan surat tugas untuk kutandatangani.
"Hati-hati, Mas, area ini sudah banyak menelan korban. Malah sejak dua
bulan ini selalu ada saja korbannya. Paling ringan, yah, permanent
Pengecat Langit Malam Karya Mochammad Asrori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dislocation and rebuild up. Itu lho, kelumpuhan total yang membuat
korbannya harus didaur ulang."
"Daur ulang" Wah, kok kayak pupuk kompos saja pakai didaur
ulang." Aku lantas masuk ke ruang tangga hidrolik, bukan lantaran takut
didaur ulang atau khawatir rencanaku bakal tercium, melainkan karena
silau dengan kinclong di dahinya.
"Eh, Mas, jangan lupa tabung oksigennya, kalau-kalau sesak napas
di atas," kata mandor langit sambil menyodorkan tabung kecil lalu
menutup pintu. Jadi begitulah, langsung saja aku tancap ke langit. Sambil menunggu
tiba ke plafon langit, kubuka kaleng cat dan kuaduk isinya supaya lebih
encer. Jangan bertanya mengapa hanya sekaleng cat untuk mengecat
langit seluas satu benua. Apa tak kurang" Ya jelas tidak lah, cat langit
jangan disamakan dengan cat tembok. Sekaleng cat untuk mengecat satu
area sudah terlalu banyak, bahkan sisa. Justru kuasnya yang banyak. Ada
ribuan jenis dan ukuran. Buku petunjuk penggunaannya saja setebal
halaman yellow pages. Namun aku samasekali tak membutuhkannya.
Langit malam ini akan sangat bersih. Sudah kuajukan surat sterilisasi
ke Kepolisian Langit. Langit yang akan kucat akan disterilkan dari awan
dan angin. Di tiap titik perlintasan akan terpasang simbol angin dan awan
yang dicoret, tanda tidak boleh lewat. Seperti tanda rambu lalu lintas
dilarang parkir. Sekarang hanya bintang yang menjadi penghalang.
Bintang sangat menyulitkan, sebab pengecat langit malam harus
mengikuti detail yang dimilikinya. Tapi aku sudah punya rencana.
Bintang-bintang yang kelelahan bergantungan di langit sangat peka
terhadap isu dan skandal. Apalagi menyangkut nasib mereka. Sebagai
tenaga kerja yang banyak dieksploitasi karena jumlahnya yang banyak,
mereka bisa jadi kekuatan yang tak terbayangkan. Sayang, belum ada
serikat yang mengurus mereka dengan intens. Hanya jasa pengerah
tenaga kerja nakal yang sering memanfaatkan. Intinya, mereka sangat
rawan provokasi. Dan itulah yang akan kulakukan: Provokasi. Lumayan,
keahlianku dulu sewaktu bergabung dengan BEM, Badan Eksekutif Masa,
tidaklah sia-sia. Kukeluarkan secarik kertas yang kuambil dari inventaris gudang dan
kepegawaian. Secara diam-diam"dengan menyamar sebagai petugas
pajak"kumanipulasi data-data kepegawaian yang merupakan rahasia
perusahaan. Bukankah kunci utama dari segala provokasi adalah
manipulasi data" Saatnya beraksi.
"Mas, ada titipan dari Pak Mandor di bawah," ucapku pada salah satu
bintang yang berkerjap-kerjap mengantuk.
"Apaan, Mas" Tumben. Eh, Mas pegawai baru kok sudah dapat
titipan ya?" ujarnya sambil menguap.
"Nggak tahu, Mas, mungkin justru karena saya orang baru, jadi
nggak bakalan macam-macam," jawabku sekenanya.
Kumulai mengecat langit sambil bersiul-siul hingga terdengar
umpatan dari bintang tadi, "Kurang ajar! Mas, bener ini kertas"! Wah,
mesti ada rapat dengan teman-teman. Kurang ajar tuh pengerah tenaga
kerja, seenaknya melakukan perampingan dan pereduksian gaji pada staf
bintang dan pegawai bintang pijar golongan kunang-kunang serta
golongan petromaks. Awas, nanti kita demo rame-rame baru tahu rasa!"
Wajah si bintang menjadi merah padam. Gila, jika dia marah, pijarnya
melebihi bintang golongan neon.
"Eh, anu, Mas. Pak Mandor pesan, jika membutuhkan tempat rapat,
ruang konferensi di auditorium masih buka," lanjutku. Namun bintangbintang
itu keburu ngacir, mengacung-acungkan kertas sambil berteriakteriak.
"Kumpul! Kumpul! Ada berita penting. Puenntiing!"
Aku tertawa ngakak dalam hati. Bintang-bintang itu berkumpul.
Bergerombol. Bagaimana ya rupanya bila dilihat dari bumi" Wah, merusak
formasi koordinat nih bintang.
Salah satu bintang tergopoh-gopoh mendekatiku, "Mas, apa Mas
mendukung gerakan kami?" tanyanya.
"Ya tentu saja," jawabku.
"Kalau Mas mendukung, kami minta dukungan berupa kuas dan
catnya sebagian untuk bikin poster dan spanduk."
"Ya silakan, Mas. Pilih sendiri." Sekejap saja bintang-bintang itu
plencing dengan suara gedebak-gedebuk dan yel-yel khas perlawanan.
Dan hasilnya, wuallaaahh, langit jadi bersih. Tak ada satupun bintang
yang tersisa. Nah, begini kan tidak buang-buang tenaga.
Langsung kugunakan kuas terbesar, saput sana-saput sini, beres.
Kulirik kanan-kiri. Yap, sedikit demi sedikit saputan kuasku mendekati
koordinat K-155. Bulan di sana bergelantungan dengan nyaman.
Seksama kuperhatikan. Dia lagi enak-enak bernyanyi! Baru kali ini ada
bulan pakai karaoke segala. Kudengar lamat-lamat lagu yang dinyanyikan
Bulan dari posisiku, kupercepat saputan kuasku mendekatinya. Tinggal
beberapa saputan. Bulan melirik, kuanggukkan kepala.
"Eh, Mas. Ngecatnya cepet banget. Biasanya dari pengalaman
tukang-tukang cat sebelumnya, mereka baru akan sampai koordinat ini
setelah saya nyanyi lagu ke-83. Ini baru lagu keenam Mas kok sudah di
sini. Hebat!" Lagu ke-83" Edan, ini bulan. Apa tak njedhir tuh bibir" "Ah, ini kan
karena ada acara mendadak. Itu, bintang-bintang kecil pada demonstrasi,"
kataku seraya terus melanjutkan pengecatan.
"Oh, yang berbondong-bondong pakai poster dan spanduk tadi"
Yang sempat mengganggu lagu keempatku tadi" Dasar! Nggak tahu
aturan, ada orang nyanyi nyelonong aja."
"Lho, Mas Bulan nggak ikut demo" Perbaikan gaji, fasilitas, dan lainlain
gitu?" "Nggak. Nanti ujung-ujungnya dipecat, malah. Sekarang cari kerja
sulit, Mas. Apalagi kerja yang sesuai dengan keinginan atau pendidikan
kita. Eh, ada cerita seputar profesi. Pengen denger nggak?"
Kuanggukkan kepala, hanya supaya terlihat lebih akrab dan untuk
mengalihkan perhatiannya agar rencanaku berhasil.
"Begini, di sebuah pasar burung seseorang menanyakan harga
seekor burung yang bisa bernyanyi tidak berhenti-berhenti, "Berapa harga
burungnya, Mas?" tanyanya. "Setengah juta, Pak," jawab si penjual.
"Waduh, mahalnya! Kalau yang di sampingnya yang tidak bisa nyanyi dan
diam saja ini berapa?" tanya si pembeli lagi. "Kalau yang ini satu juta," kata
si penjual. Tentu saja si pembeli heran, kok burung yang diam malah
mahal. Si penjual tampaknya tahu keheranan si pembeli, "Yang diam itu
lebih mahal ada alasannya, lihat saja kalau keduanya ditemukan," kata si
penjual sambil mendekatkan dua burung dagangannya saling
berhadapan. Burung yang ngoceh terus itu lalu ngomong spontan,
"Selamat siang, Bos! Selamat siang, Bos!" Nah, Mas ngerti kan?" Bulan
yang tidak beres itu tertawa terpingkal-pingkal sendiri. Padahal apanya
yang lucu" Tapi kesempatan! Mumpung dia lengah. "Maaf, Mas Bulan.
Bukannya dendam atau ada sentimen pribadi, tapi Mas sepertinya sudah
waktunya pensiun," batinku sambil segera menyaputkan kuasku yang
paling besar ke arah Bulan yang masih ngakak.
Sebentar kemudian dia meludah-ludahkan cat yang masuk ke
mulutnya. "Lho! Hei! Mas apa-apaan ini?" umpatnya. Namun aku tidak
peduli. Kusaput lagi Bulan hingga rata dan sewarna dengan langit. Bulan
meronta-ronta, bergoyang ke sana-kemari.
Dengan santai kukeluarkan gunting istimewa dari balik resluiting baju
seragam terusan tukang cat langit. "Selamat tinggal, astalavista, ciao!"
ujarku sambil memotong tali gravitasi pengaman pada gantungan Bulan,
Krik ". Kulambaikan tangan melihat kelebatan Bulan yang kelam tambun
jatuh. Ah, berjalan sesuai rencana! Biar badanmu sebesar apa, dengan
cat langit, tidak bakalan terlihat. Tapi dasar Bulan memang tidak beres,
masih kudengar lamat-lamat teriakannya, "Mas, saya baru lagu keenam,
lagu selanjutnya bagaimana" Kalau Mas mau request sekarang saja,
oke"!" Dasar edan. Terjun bebas masih sempat menawarkan lagu
selanjutnya. Kulihat Bulan terus meluncur. Ah, semoga dia tidak jatuh di
pemukiman penduduk bumi saja. Kuambil surat yang ada di balik baju
kerjaku. Surat berisi tuntutan penggantian bulan pada koordinat K-155
Perlip Area langit 25 Horison 01 itu kubaca ulang.
Kepada yang terhormat Gubernur Langit. Dengan datangnya surat ini
saya menyatakan penyesalan yang sangat atas kelancangan saya. Saya
baru saja melihat bulan pada koordinat K-155 melakukan aksi indisipliner.
Saya dapat bersaksi, dengan mata kepala saya sendiri menyaksikan
Bulan dengan enteng meninggalkan posnya di koordinat K-155. Bulan
dengan sadar menyatakan kepada saya, Pengecat Langit Malam pada
area tersebut, mengenai kebosanannya bertugas di distrik tersebut. Dia
menyatakan akan mangkir bertugas sementara waktu. Sebelum mangkir
dia juga telah menghasut ratusan ribu bintang kecil berbagai golongan
agar berdemo. Aksi hasut tersebut juga melalui serangkaian tindakan
manipulatif yang dia cetuskan sebagai alat provokasi. Saya harap surat
ini dapat dipertimbangkan dengan baik demi menjaga kestabilan wilayah
yang Bapak Gubernur nahkodai.
Terlampir bersama surat ini bukti-bukti berupa data yang dicuri dari bank
data inventaris dan kepegawaian dimana dia telah menyogok salah satu
staf di sana untuk mendapatkannya dan memanipulasinya. Demikian surat
ini dibuat dengan kesungguhan hati. Selamat malam.
Hm, bagus. Kulipat rapi kertas tersebut dan kumasukkan kembali ke
amplop bertulis Kotak Pos L053U yang artinya tertuju langsung ke Istana
Gubernur. Begitulah, sekarang aku tinggal menyelesaikan sisa tugas mengecat
langit malam. Dan besok langsung ke Bank Langit, mencairkan gaji dan
kembali ke Bumi sembari menunggu Bulan Baru pengganti. Semoga saja
setelah misi ini sukses, ada seseorang yang istimewa di hati ini mau
menatap langit malam, bulan, dan bintang lagi, tanpa ada keraguan.
Bersamaku." [ Balik ke Atas ] Penyu Kecil Ratih Peringkat III Menulis Cerpen Peksiminal Jatim 2004
angat itulah yang membuatku bergerak. Menggeliat dalam
kekakuan ruang yang sempit. Hingga secara tiba-tiba ruang yang
membatasiku pecah. Napasku menjadi sesak. Aku tidak
menemukan udara terbuka dan sumber kehangatan yang selama
beberapa waktu dalam ingatan telah memberiku kekuatan untuk bergerak.
Setelah ruang sempit yang membatasiku dapat pecah kukoyak, timbunan
pasir segera menyeruak. Aku gerakkan tubuhku lebih kuat, dengan cepat,
menerobos ke sela-sela lembut, menyeruak ke atas, ke permukaan.
H Seberkas sinar menyambut, silau. Angin besar menampar
kebingunganku. Aku tidak sendiri, ternyata. Pasir-pasir di sekitarku juga
tersembul tak beraturan. Ratusan sembulan lubang. Dari sana
berhamburan dengan cepat punggung-punggung gelap kecoklatan melata
dengan kepala yang lucu beringsut berlari di pasir. Jumlah yang tak
terbayangkan. Bahkan dari lubang yang sama denganku juga
berhamburan ratusan punggung keras yang segera memacu juntai kaki
mereka menuju arah yang sama. Tanpa berpaling lagi aku segera
mengikuti langkah-langkah cepat mereka. Karena aku bagian dari
mereka, dan mereka adalah saudara-saudaraku. Kupacu langkahku lurus
ke satu arah. Tanpa berbelok ke kiri atau ke kanan. Menuju terjangan
ombak di depan. * * * "Berhenti! Kurang ajar, jangan lari!"
Aku samasekali tak mengindahkan teriakan itu. Aku terus berlari.
Mereka tak boleh menangkapku. Mereka tak boleh menyentuh tubuhku.
Apa hak mereka" Bahkan lampu-lampu tengah kota tak pernah
menyentuh langsung tubuhku. Aku tak menginginkannya. Kupacu kakiku
lebih cepat, secepat yang aku mampu, berlari menjauhi benderangnya
jalan protokol kota yang memang sudah beranjak lengang. Napas yang
memburu dan lidah yang semakin kering mencekik mengiring derap
kakiku yang berkecipak menembus gang-gang gelap sempit yang telah
kuhapal seluk beluknya. Hak sepatu yang menghambat lajuku sudah patah beberapa ratus
meter lalu. Kutanggalkan pula sepatuku. Saat aku mulai merasa aman
dari kejaran dan teriakan orang-orang berseragam itu, tiba-tiba saja di
depanku menghadang salah satu dari mereka.
"Kena kau, bangsat!"
"Pak, saya mohon jangan dibawa, Pak. Saya mohon."
"Ah, sudah jangan banyak bacot. Seperti tak pernah kena razia saja!"
Di kejauhan teman-teman berseragamnya dari petugas pamong
praja yang bergerombol di sekitar truk menghampiri. Menggerundel dan
mengumpat-umpat. Kulihat perlahan lampu-lampu protokol tengah kota itu
juga datang menghampiri. Semakin terang menyentuh kulitku dengan
paksa. Begitu silau. * * * Mesin ketik mengetuk-ketuk kertas di depannya, membariskan
kalimat. Di sampingnya bertumpuk kertas-kertas delik perkara. Beberapa
reporter hilir mudik sambil mengambil gambar wajah-wajah yang segera
ditutupi dengan gerai rambut.
"Nama?" "Ra" Ratih," sedikit tergagap aku menjawabnya.
Ratih. Nama yang sudah cukup lama tak kusebut. Namaku. Mungkin
bukan. Aku tak pernah tahu siapa nama asliku, nama yang diberikan oleh
orangtuaku. Nama yang kusandang adalah nama pemberian petugas
panti. Aku bahkan tak mengenal orangtuaku. Aku ingat petugas panti itu
dengan ramah berkata, "Ratih. Kamu tahu, Nduk, apa maksud nama itu?"
Aku hanya menggeleng. Tentu saja aku tidak tahu. Aku hanya
gelandangan delapan tahun yang digaruk petugas di perempatan lampu
merah, dan kemudian masuk panti rehab untuk yang kedua kalinya.
"Ratih itu seorang dewi kahyangan yang cantik tiada dua. Istri dari
Betara Kamajaya, pangeran penguasa langit."
Mulut petugas panti itu terus berbicara, cerita seru petualangan
tokoh-tokoh antah berantah di kahyangan. Matahari sudah lumayan tinggi.
Waktu itu aku ijin tak ikut kegiatan pagi karena tak enak badan. Petugas
itu datang, lalu mengisahkan kisah kasih Betara Kamajaya dan Dewi Ratih
di istana Junggring Saloka. Cerita yang menghipnotisku, sehingga aku tak
bereaksi ketika tangannya mulai membelai rambutku dan menciumnya.
Tangan satunya mulai menyentuh lututku, naik ke paha, mengusap dan
meremas-remasnya. Tangan itu lalu cepat melucuti pakaianku. Meremas
lagi wilayah tubuhku yang terbuka, menciuminya hingga napas
kencangnya merambah kulit, selayaknya adegan ceritanya. Kama Dewi
Ratih dan Betara Kamajaya.
* * * Pantai pasir tampak kasar. Patahan-patahan karang yang bertebaran
di pantai menggores perutnya yang baru saja lepas dari kecipak ombak
laut. Dia merayap perlahan. Matanya tajam menyusuri gelap. Pesisir
pantai di malam hari. Tak ada cahaya sepantik pun, tak ada gerakan
sekelebat pun. Dia terus merayap tersendat, membekaskan goresan alur
pasir. Kasiur angin menerpa punggungnya yang keras. Dia berhenti di
pasir yang dirasanya tepat. Mengawasi sekeliling. Matanya sangat peka
terhadap cahaya. Jika ada setitik cahaya saja yang tertangkap, pasti
dengan cepat dia mengurungkan niatnya dan berbalik ke laut.
Tapi malam itu, di sebelah utara pulau kecil yang luasnya tak lebih
dari 6.000 meter persegi, begitu tenang. Dia menggali lubang perlahan.
Induk penyu yang waspada. Menggali lubang untuk ratusan telur-telur
dalam perutnya. Setelah selesai, dengan hati-hati ditimbunnya lagi lubang
tersebut dengan pasir. Perlahan induk penyu kembali ke pantai. Pergi.
Tugasnya selesai. * * * Ratih. Gadis yang telah berlari dari sengatan udara panas dan
goresan pasir pantai tak mengenal orangtua yang memberinya kekuatan
untuk berlari. Berlari dengan gerak irama yang sama, untuk bertahan
hidup. Berlari lurus ke terjangan ombak yang samasekali belum pernah
Pengecat Langit Malam Karya Mochammad Asrori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
disentuh atau dirasakannya. Ombak yang bahkan belum pernah terbetik
dalam pikirannya dapat membuatnya karam di dasar laut.
Laut" Dia tak tahu apa itu laut. Apa itu lautan" Ratih. Gadis yang
hanya ingin berlari. Lurus ke arah terjangan ombak. Dia bahkan tidak tahu
bahwa laut itu harus direnangi. Lucu. Ratih juga tidak tahu bagaimana
cara berenang. Apa itu berenang" Dia hanya tahu berlari. Berlari dari
tangan-tangan yang selalu ingin menjamahnya. Tangan-tangan petugas
panti yang menghipnotisnya dengan cerita-cerita percintaan antah
berantah. Tangan-tangan itu telah membuatnya berlari.
Ratih merasa beruntung ketika ada tangan terulur padanya. Sedikit
berbeda. Lebih halus dan lembut. Tangan-tangan orangtua asuh yang
tentunya lebih bermoral, tangan yang mendidik dan merawat. Tangan
yang mengisyaratkan masa depan. Namun itu kata mereka.
Memberikan perlindungan pada orang hanya ungkapan sok moral.
Hanya label. Tangan itu ternyata begitu belingsatan melihat pertumbuhan
fisiknya yang cepat ranum dan bermekaran. Tangan itu mulai bereaksi
sebagai tangan-tangan yang dulu dia kenal sebelumnya. Tangan yang
semula welas asih menjadi penuh nafsu. Tangan yang sekali lagi
membuatnya berlari. Tapi ada saja tangan-tangan lain yang serupa. Tangan-tangan orang
mabuk yang mencegatnya di perempatan. Tangan-tangan binatang yang
telah mati hati nuraninya. Tangan-tangan yang membuatnya terlempar di
keremangan. Berpindah-pindah ke tangan para mucikari yang kemudian
melemparkannya pada tangan-tangan yang berhasrat menjamahnya di
keremangan sudut-sudut malam. Sudut-sudut yang membuatnya berlari.
Berlari ke arah ombak lautan lepas yang tidak dikenalnya. Dan ketika
menyentuh ombak, dia kepakkan dengan sekuat tenaga kaki-kaki
pipihnya. Terjun ke laut, terombang-ambing. Tak pernah berpikir karam,
dia hanya terus berusaha sekuat tenaga menyelam ke kedalaman.
* * * "Hei, diam! Jangan ribut. Jangan bikin gaduh sel tahanan!" bentak
sipir. Dia menyalakan koridor sel tahanan. Berjalan ke arah sumber suara.
"Lilin, berikan saya lilin, cepat berikan saya lilin. Korek api juga bisa.
Cepat. Cepat, Pak!" "Bisa diam, tidak"! Sekarang sudah lewat tengah malam tahu!"
bentak sipir itu lagi. Tongkatnya memukul-mukul sel tahanan, berdentangdentang
memekakkan telinga. "Cepat, Pak. Mana lilinnya" Cepat berikan, dia sudah mau mendarat.
Jangan sampai dia menyentuh pantai, nantinya akan merepotkan Bapak
juga. Cahaya akan membuatnya takut. Cahaya akan membuatnya
kembali ke laut. Cepat, cepat, Pak, nyalakan lilinnya, nyalakan koreknya.
Nyalakan api unggun. Usir dia dari pantai. Jangan sampai ia
menyarangkan ratusan telurnya ke dalam pasir lalu pergi tanpa beban.
Jangan sampai terjadi. Kasihan telur-telur itu. Ayo cepat, Pak!"
"Diam, kataku, perempuan sundal!" sipir itu mulai habis kesabaran.
"Nyalakan apinya, nyalakan lampunya, lilin atau korek. Cepat, Pak!"
perempuan itu terus mengoceh tanpa henti, intonasinya semakin naik.
Sipir itu pun semakin pekak telinganya, "Diaaam!" teriaknya. Tapi
Ratih, perempuan itu terus saja berteriak-teriak meminta cahaya, meminta
lilin, meminta korek api. Sipir itu menyerah. Dia meninggalkan ruang
koridor sel-sel. Pergi keluar. Gelap. Telinganya berdenyut-denyut. Suara
lengkingan panjang perempuan itu meningkahi langkah sepatu larsnya."
[ Balik ke Atas ] Sofa Hangat Mama Dimuat di Harian Jawa Pos 18 September 2006
indya terhenyak dari duduknya dan bangkit lagi. Dia tak habis pikir.
Tak seorang pun di Ruang Tengah. Mama masih tidur pulas di
kamar. Bik Ijah" Bik Ijah bahkan sudah dua hari pulang kampung.
Dia pandangi lagi sofa yang baru saja didudukinya. Nindya berjongkok di
dekat permukaan kulit sofa. Dia menyentuh dan merabanya. Hangat!
Kenapa sofa ini bisa hangat" Hangat seperti baru saja diduduki oleh
seseorang. N "Siapa yang duduk di sofa ini?" bisik Nindya pada dirinya sendiri.
"Tak mungkin Mama, terlebih lagi Bik Ijah. Mama sudah pulas sebelum
aku berangkat tidur."
Nindya memutar pandangannya ke penjuru ruangan. Bingung.
Mengapa sofa ini hangat" Hangat sekali. Nindya menempelkan
tangannya ke permukaan sofa lagi, bahkan setelah beberapa menit masih
hangat. Tak ada cahaya masuk yang memungkinkan sofa tersiram panas
dan jadi hangat. Matahari belum lagi muncul, bahkan korden belum lagi
dia buka. "Apa yang membuat kursi ini hangat?" bisiknya lagi.
"Apa karena lampu ruangan?" tanyanya pada diri sendiri. Tapi
Lampu ruangan juga baru saja dia hidupkan. Lampu tak akan dapat
menghangatkan sofa ini. Setiap malam sebelum tidur lampu juga selalu
menyala, tapi sofa ini tak pernah sehangat ini.
Nindya tak menemukan jawaban. Dia terpekur di bibir sofa.
Mendekatkan wajahnya ke sana, tiba-tiba Nindya mencium sesuatu, bau
yang tidak asing. Harum yang dulu pernah dia kenali. Nindya mencium
permukaan sofa tersebut dan mencoba memastikan. Mengingat-ingat.
Entah mengapa dadanya jadi berdegub lebih cepat.
"Ada apa, Nin?" terdengar suara di belakangnya. Ternyata mamanya
telah bangun. "Kenapa kamu terpekur di sofa?"
"Tidak ada apa-apa, Ma," elak Nindya, mencoba menyembunyikan
kegugupannya. "Mama semalam terbangun dan duduk di sofa ya?"
Mama Nindya mengernyitkan dahi, "Semalam Mama memang
terbangun, tapi tidak ke luar kamar."
Nindya bergeser dari tempatnya dan kembali duduk di sofa.
Mamanya kemudian duduk di sebelahnya dan mengelus rambut Nindya.
"Sudah jangan ngelamun, kamu rindu sama Papa ya?"
Nindya tak menjawab pertanyaan Mama, tapi dia tahu persis,
Mamalah yang merindukan Papa. Papa sangat sibuk dengan aktivitas
kantor. Sering tidak pulang ke rumah. Seperti sekarang. Papa tidak
pulang lebih dari seminggu. Mama bilang Papa ada urusan ke luar kota.
Namun entahlah, Nindya melihat mata Mama berkaca-kaca ketika
mengucapkannya. "Cepat mandi sana, Mama buatkan sarapan," ucap Mama
tersenyum, menyadarkan Nindya dari lamunan.
Nindya menuruti ucapan Mamanya. Guyuran air membuat pikirannya
kembali segar. Dia teringat Mamanya yang begitu tenang bersikap.
Mamanya bukan wanita bodoh atau tidak perhatian. Nindya tahu
mamanya tahu segala hal. Sewaktu dia jatuh cinta pertama kali, mamanya
segera tahu sebelum Nindya cerita. Mama bersiul-siul sambil
menyanyikan lagu Titiek Puspa, "Jatuh cinta, berjuta rasanya. Dibelai,
dipeluk, dicium, amboi asyiknya. Jatuh cinta berjuta rasanya ?" Nindya
geli, apalagi ketika dilihatnya Mama mengerling ke arahnya. Mama
memang wanita yang sangat peka.
Tapi keanehan itu datang lagi, bahkan sudah tiga kali. Nindya
terbangun dari tidur menjelang subuh. Dia melangkah ke luar kamar, ke
ruang tengah. Temaram. Tentu saja, matahari belum lagi terbit, korden
masih tertutup rapi. Hanya ada lampu kecil di sudut ruang ketika dia
duduk di sofa. Namun " sekali lagi Nindya terhenyak dari duduknya dan
bangkit lagi. Dia melihat sekeliling, tak habis pikir. Mama masih tidur pulas
di kamar. Dia pandangi lagi sofa yang baru saja dia duduki.
Menyentuhnya. Hangat! Seperti baru saja diduduki seseorang. Nindya
mendekatkan wajahnya, mencium sesuatu yang tidak asing. Harum yang
dulu pernah dia kenali. Dadanya berdegub lebih cepat.
Nindya teringat ucapan Rio Tengil yang bilang api kompor bisa
membuat kursi jadi hangat, "Itu seperti di kantin Pak Teno, kursinya kan
hangat." Rio selalu asal kalau ngomong, tapi asyik dan lucu. Namun jelas
tidak ada kompor di sini.
Si Rindi, teman sebangkunya juga urun komentar. Katanya dia
pernah menduduki kursi yang hangat padahal tidak ada seorang pun yang
duduk di kursi itu sebelumnya. "Swear!" katanya. Nindya jadi tertarik.
Namun dasar Rindi, dia lalu menambahkan kalimatnya, "Kursinya
memang belum diduduki siapapun. Cuma baru dipakai tidur si Manis.
Kursi bekas tidur si manis selalu hangat begitu." Si Manis adalah kucing
kesayangan Rindi. Tapi di sini juga tidak ada kucing. Nindya mengamati
sekeliling, tidak mungkin juga ada kucing yang masuk, ruangan ini
senantiasa tertutup. Tiba-tiba dari kamar mama Nindya terdengar isakan kecil. Nindya
meyakinkan pendengarannya. Suara isakan Mama" Mama menangis!
Nindya tertegun beberapa menit, tak tahu harus berbuat apa. Dia baru
saja akan berdiri, tapi kemudian pintu kamar mamanya terbuka. Nindya
melihat air mata mamanya yang masih meleleh di pipi. Namun isakannya
telah lenyap. Senyum yang dipaksakan pun keluar dari bibir wanita itu.
Nindya segera tahu, bahkan menjadi begitu jelas ketika dia melihat ke
dalam mata mamanya. Ini karena Papa! Papa yang jarang pulang dan
beralasan semuanya karena urusan kantor.
Nindya ingat ketika dia pertama kali jatuh cinta, mamanya pernah
menunjukkan sesuatu padanya, "Nindya coba deh parfum ini, hadiah dari
Papa. Seminggu setelah pernikahan kami dulu, Papa membeli parfum ini
bersamaan dengan sofa yang ada di ruang tengah. Parfumnya tidak
pernah Mama pakai. Parfum ini adalah simbol cinta Mama dan Papa.
Kalau kamu menikah nanti, parfum ini Mama hadiahkan ke kamu." Nindya
tiba-tiba saja sadar tentang bau harum yang tidak asing tersebut.
Mama wanita yang sangat peka. Mama bukan wanita bodoh atau
tidak perhatian. Hanya saja, mamanya wanita yang sangat tenang dalam
bersikap. Ketika Papa tidak pulang lebih dari seminggu, Mama bilang
Papa ada urusan ke luar kota. Tapi Nindya tahu, Nindya melihat mata
Mama berkaca-kaca ketika mengucapkannya. Nindya tahu betul: Papa
berselingkuh. Papa tidak akan pernah pulang."
[ Balik ke Atas ] Penampar Angin Dimuat di Tabloid Gema volume 154/2004
amanya Penampar Angin," jawabku sedikit keras.
"Na me "Ya, beg ma yang aneh, apakah dia sungguh-sungguh
mperkenalkannya demikian?"
itulah." Gemericik air di dalam berhenti, dari sisi ranjang aku memandangnya
ketika keluar dari kamar mandi. Wajahnya menampakkan keheranan dan
ingin tahu. Aku tersenyum, memalingkan muka ke luar jendela. Cuaca
berangin di luar mulai menjanjikan aroma hujan lebat, mungkin beberapa
menit lagi. Aku memandangnya. Dia menyeringai, sengaja menunjukkan
barisan gigi-giginya yang bersih putih sehabis disikat.
"N "Dia pasti punya nama yang normal, nama yang sebenarnya, tidak
mungkin dia bernama Penampar Angin. Mengada-ada! Ini pasti hanya
akal-akalan. Awas kalau nanti ceritanya tidak berakhir menarik!"
Aku tertawa kecil. Wajah yang indah, pikirku, begitu bersih bersinar.
Wajah yang membuatku tenang dan nyaman berada di sampingnya.
Ditambah ujaran-ajarannya yang antusias dan banyak memprotes. Aku
senang dengan rasa ingin tahunya yang bercampur antara rajukan dan
cemberut. Kubuka selimut ranjangnya, menepuk-nepuk sprei sebagai
isyarat supaya dia lekas naik dan berbaring.
"Bukankah sudah Ayah ceritakan ini akan seru! Jangan terlalu
banyak bertanya, nanti Ayah malah lupa jalan ceritanya, oke?"
Dia pun melompat masuk ke dalam ranjang dengan ketidakpuasan.
Aku tarik selimut ke atas tubuhnya. Udara dingin di luar sudah merambah
ke dalam kamar. "Penampar Angin, nama apa itu!" ucapnya lagi, dia menyilangkan
tangan bersedekap, pipinya tembem cemberut.
"Sudah, kamu ingin cerita ini diteruskan atau tidak?"
Aku usap keningnya yang hangat karena demam. Kehujanan, karena
aku terlambat menjemputnya pulang sekolah. Ah, salah, bukan
kehujanan. Dia bilang sendiri, "Aku pernah kehujanan, menyenangkan.
Sayang aku belum pernah hujan-hujan, pasti lebih mengasyikkan." Jadi
kemarin ketika terlambat kujemput, dia memang sengaja hujan-hujan.
Lewat binar senyumnya, wajah itu kembali tertangkap di mataku. Aku
atur posisiku agar nyaman di sandingnya dan mulai bercerita. Cerita
pengantar tidur. Aku tidak pernah membayangkan akan melakukannya.
Dalam ingatanku, tak sekali pun aku pernah mendapatkan dongeng
sebelum tidur, baik oleh Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, atau siapapun. Delapan
tahun, usia yang menyenangkan sebenarnya.
* * * Seekor burung tampak berkepak-kepak tak karuan di udara. Begitu
kentara sayapnya yang begitu berat tersergap cuaca musim dingin.
Terbang begitu rendah dan meliuk-liuk sempoyongan. Semakin rendah
dan semakin rendah. Sayap-sayapnya terbeban. Salju memang belum
turun, hanya dalam butir-butir yang sangat jarang. Namun angin sudah
mengisyaratkan sangat dekat. Apa yang dilakukan seekor burung di
tempat ini, di cuaca seperti ini, di waktu ini.
Burung itu semakin dekat ke tanah. Tak tahukah dia seluruh
kawanannya telah terbang beratus-ratus mil ke selatan dalam satuan
kelompok yang begitu indah" Tak tahukah dia di sana sudah menunggu
pemandian sinar matahari dan udara hangat"
Apakah dia burung muda bodoh yang lupa terbang ke selatan di
tahun pertamanya" Tak tahukah dia terbang ke selatan adalah sebuah
rutinitas" Mungkin dia tertidur ketika kawanannya pergi bersama. Dasar
tukang tidur! Ataukah dia terlalu sombong. Terbang ke selatan
menurutnya sebuah tradisi konyol, menghabiskan waktu, menghamburkan
tenaga dalam perjalanan beratus-ratus kilometer. Tak terhitung jumlah
kepakan sayapnya di udara. Sedikit cuaca dingin sebetulnya tak ada
salahnya. Begitukah pikirnya" Bodoh! Burung gegabah, memang sekuat
apa dirinya" Apa yang dipikirkannya"
Sepuluh meter. Tinggal 10 meter burung itu terbang di atas tanah.
Semakin turun. Dia tidak lagi mengepakkan sayap. Untaian sayap itu
cuma mengembang dan berharap angin menangkapnya. Berharap angin
membawanya lagi ke ketinggian. Tapi mustahil. Burung itu pasrah.
Di tengah ambang ketidaksadarannya, dia mendengar lenguh sapi
dan ringkik kuda. Tampak olehnya sebuah peternakan. Terbayang
tumpukan jerami kering di matanya. Jerami hangat. Namun sayapnya
telah benar-benar beku. Dia tak kuasa mempertahankan kesadaran,
kelopak matanya berat. Perlahan matanya mengatup. Semuanya menjadi
gelap. * * * "Penampar Angin berasal dari negeri yang jauh di utara. Dia
terlambat ke selatan pada musim dingin."
"Terlambat ke selatan" Ayah pasti demam sepertiku" Jadi,
Penampar Angin itu seekor burung! Ya Tuhan, Ayahku bercakap-cakap
dengan seekor burung, dan burung itu menceritakan jalan hidupnya.
Apakah Ayah sudah pergi ke dokter akhir-akhir ini?"
Aku melotot. Anak ini mulai dapat mencandaiku.
Di luar jendela hujan mulai turun. Memperburuk dingin yang
berkecimpung dalam kamar. Gertapan-gertapan titik hujan mengetuk
jendela. Ada garis yang membelah kaca yang memburam. Tidak lama,
karena sekejap jendela itu sudah benar-benar basah.
"Penampar Angin adalah Penampar Angin. Dia seorang pemuda
yang gagah. Terlebih dia mempunyai jari-jari lentik yang menakjubkan
ketika bermain di atas tuts piano. Ayah sempat kagum mendengar untaian
nada dalam resital pertamanya."
"Ya Tuhan, Ayah kok semakin melantur. Apa hubungannya ini" Tadi
seekor burung, sekarang pemuda gagah, piano, resital. Pusing! Ayah
pasti sengaja membuatku justru tidak bisa tidur ya."
Aku geli sekali mendengar celotehnya. Ah, mata itu, wajah itu,
kembali hadir di dalam pelupuknya. Kupegang tangannya, menjalarkan
hangat untuk mengusir dingin.
Pengecat Langit Malam Karya Mochammad Asrori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah, dengarkan dan cobalah tidur!"
* * * Pemuda hadir dalam sebuah taman. Lusuh, lelah mencari sesuatu
dalam pandangan. Mencoba mengenali sosok yang dikenali namun tak
kunjung datang. Dia membaringkan tubuhnya di rerumputan. Angin begitu
sibuk membawa awan di atas lazuardi langit yang cerah dan tidak silau.
Awan yang membentuk gambar-gambar lucu di dalam kepalanya. Seperti
masa kecil, sudah begitu jauh terlampaui. Tarikan napasnya hadir begitu
rimbun. Angin semilir manja, membelai dan berbaring ringan di
sampingnya. Mata pemuda itu mulai memerah, menjadi berat, lalu
terkatup. Tidur. "Hei, bangun! Tertidur" Sudah jemu menunggu kiranya?"
Dalam gelap suara itu menyeruak. Mata pemuda yang lelap menjadi
terjaga. Sesosok tubuh menghalangi langit dan awan di atas
pandangannya. Senyum pemuda itu mengembang. Sosok yang coba dia
jala telah hadir di hadapannya. Pemuda itu berdiri ingin mengucapkan
sesuatu. Setidaknya menanyakan kabar.
"Puteri?" Gadis itu tersenyum melatakkan jari telunjuk di bibir sang pemuda,
sebagai isyarat agar dia tak melanjutkan kata-katanya. Namun jari-jari itu
begitu dingin. Bibir pemuda itu menjadi beku. Beku yang kemudian
menjalar merambat ke seluruh wajah, kepala, leher, dada, lengan, jari,
punggung, dan perutnya. Beku yang terus menjalar sampai ke tungkai
kakinya, terus merambat ke tanah pijakannya. Rerumputan menjadi kristal
beku, pohon menjadi patung beku. Semua mematung oleh beku. Tetap
dalam posisinya. Dalam kebekuan pemuda, sang puteri tersenyum,
melambai, pergi. * * * Hujan di luar belum reda. Gertap-gertapnya baur. Wajah itu hadir
lagi. Begitu anggun, begitu memesona. Bocah ini sudah terlelap di dalam
selimut. Kenapa wajahnya selalu mengingatkanku pada sosok wajah itu"
Kuusap keningnya, masih demam.
"Selamat malam, semoga mimpi indah," bisikku ringan di telinganya,
lalu kukecup keningnya. Ah, kenapa aku bercerita mengenai Penampar
Angin" Sebenarnya sangat pantas dia bertanya heran. Penampar angin.
Memang sangat aneh. Aku tersenyum sendiri memikirkannya. Pemuda
penampar angin. Aku menghela napas.
Perlahan aku keluar dari kamar tidur. Kumatikan lampu sebelum
menutup pintu. Aku melangkahkan kaki ke ruang tengah. Sebuah piano
besar menghias di sana. Kusentuhkan tanganku di badan piano dan
mengelusnya. Piano di resital pertamanya.
"Lagu yang indah, kau memainkannya dengan sempurna," katamu
waktu itu. Aku hanya diam saat itu. Pikiranku masih terjejali fakta bahwa kau
akan pergi ke kota lain, dan aku juga pergi kota yang lain juga, sehingga
kita takkan bertemu lagi. Aku tak pernah bisa mengungkapkan gejolak hati
yang selalu kuredam dengan piano.
Namun kau segera saja memecah keheningan di antara kita, "Aku
ingin kau memainkan lagu itu lagi untukku, untuk mengantar tidurku."
Setelah sekian tahun, aku tak pernah mendapat kabar darimu. Aku
bahkan berkelana dari kota ke kota dan dari panggung ke panggung. Aku
selalu memainkan lagu untukmu, lagu kita, berharap kau bisa
mendengarnya di suatu tempat.
Bagaimana aku bisa menghabiskan waktu menjadi ayah tunggal bagi
seorang bocah delapan tahun" Pertanyaan yang sudah lama aku
tinggalkan karena nyatanya aku bisa. Sekarang jauh lebih mudah. Tidak
terbayangkan rasa melalui masa-masa mengurus balita. Aku tak pernah
berpikir apapun ketika menerima anak ini dari panti asuhan. Aku juga tak
ingin memahami alasanmu memberikan namaku kepada panti asuhan
sebagai orang yang berhak mengasuhnya. Atau alasan mengapa kau
meninggalkan anak ini di panti asuhan.
Aku hanya pemuda kesepian dan penuh pertanyaan. Pemuda
penampar angin. Tatkala sang putri kembali entah dari mana, dia
tersenyum di hadapan pemuda dan berputar mengelilinginya. Dia
lingkarkan tangan ke pinggang pemuda. Mengangkatnya ringan seperti
mengangkat mainan dari busa. Tersenyum, berjalan memasuki gerbang,
memasuki altar yang luas, memasuki istana. Sang putri meletakkannya di
sudut ruang istana, bersama lukisan-lukisan, vas porselin besar, dan
terakota-terakota. Sang puteri kemudian berjalan menjauh ke arah singgasana di
tengah ruangan. Di sudut itu dengan jelas sang pemuda melihat di
singgasana duduk seorang pangeran dan sang putri yang tersenyum di
samping singgasana, di sanding sang pangeran.
Pemuda yang tersihir. * * * Burung itu membuka matanya. Sayapnya yang beku melunak. Dia
kembangkan begitu ringan. Dia teringat peternakan. Teringat lenguhan
sapi dan ringkik kuda yang diangankannya sebelum jatuh. Dicarinya di
sekeliling tumpukan jerami tersebut. Kosong. Dia bangkit,
mengembangkan sayap sambil berkicau, melantunkan tiga nada dalam
rangkaian yang indah. Kakinya begitu lengket, namun hangat. Burung itu
melihat ke bawah tempatnya jatuh. Burung itu jatuh tepat berada di atas
kotoran sapi dalam peternakan."
[ Balik ke Atas ] Brahma Ardhanari Dimuat di Majalah Widyawara volume 48/2004
ada saat matahari senja, rendah, terbang dalam bulat merah, satu
pertemuan datang, pada hati yang mengeja tetesan embun, pada
detak yang begitu rimbun. Pemuda itu duduk dengan anggun di
bangku panjang lusuh di atas bukit yang selalu menjadi teman dalam
pertemuan-pertemuan kecil menyambut purnama. Pemuda yang begitu
tenang dalam dekap petang, tak beranjak samasekali dalam pasungan
lindap yang merayap di antara lebatnya pepohonan.
P Pemuda itu tak terusik oleh kikisan angin yang bertiup langsung dari
lazuardi lembah di depannya. Angin meroma kulit dan membelai-belai ikal
rambutnya. Mata pemuda dengan wajah gading dan senyum kupu-kupu
itu cerlang menatap sosok yang tak pernah lekang dia telusuri. Sosok
yang mengundang dua lengkung tanyanya.
"Ardhanari1), berabad-abad berlalu, tapi tetes darah itu tak kunjung
beku. Bagaimana kabar sarang rindu itu" Mengapa masih terbungkus
rapi, haruskah aku menyibakkannya?"
* * * Redup. Ribuan desing kilat bergemuruh di antara mega gelap yang
menyentak kahyangan. Syiwa yang kroda2) mencabut pusaka, menebas
putus satu di antara lima kepala Brahma.
"Akuilah, Brahma. Ini peringatan bagimu. Satu kepalamu memang
pantas terpenggal. Bukan aku yang memenggalnya, kaulah yang
memenggal kepalamu sendiri, kerinduanmu sendiri!"
Brahma diam, empat kepalanya bungkam. Darah membuncah pecah
dari satu kepalanya yang terpancung. Darah pijar itu menggelegak merah
seperti lava letusan gunung yang mengalir deras menuju bumi. Wisnu
sama sekali tak punya wewenang campur tangan, dia tak bisa berkata
apapun. Perselisihan ini tak bisa dia tengahi. Wisnu hanya bisa dengan
sigap membendung aliran darah yang mengalir deras dari satu kepala
Brahma agar tidak membanjiri bumi. Dengan segala upaya dia
membendung aliran darah tersebut, tapi tak urung sebagian darah jatuh
membasahi bumi. Darah kerinduan.
* * * Hening, tak ada kata. Malam mulai menebar keping-keping pekat.
Detik demi detik raut muram menyisir penjuru. Pemuda itu menarik napas
panjang, mendongak. Bulan di angkasa kelam seperti memberikan isyarat
yang tak dipahaminya. Di kejauhan, tampak lembah yang telah gelap itu dihiasi titik-titik api
yang menjalar seperti ular, meliuk dalam satu barisan. Bergerak
mendekat, mendaki bukit. Barisan titik api tersebut menggemuruh lamatlamat
dengan segala bunyi-bunyian dan teriakan.
Pemuda itu merapatkan duduknya dan merengkuh bahu wanita di
sampingnya. Semerbak harum rambut wanita itu terhirup pelan di tarikan
napasnya. Matanya nanar melihat bawah bukit.
"Pernahkah adinda mendengar sebuah kisah kerinduan. Kerinduan
yang menghunjam kuat bak ribuan anak panah yang menancap di
punggung, hingga punggung terlihat seperti landak. Kerinduan pada satu
sosok keindahan. Kerinduan yang membuat satu kepala terpenggal.
Kerinduan pada satu masif penciptaan yang luput dari indera yang
dimilikinya." * * * Di pusat formasi astadikpala Brahma gelisah, dadanya bergejolak
bergetar-getar tak karuan hingga membuat singgasananya goyah. Gejolak
itu ikut dirasakan oleh dewa-dewa astabrata, penjaga delapan penjuru
mata angin. Mereka kebingungan, apa yang hendak mereka perbuat.
"Apakah gerangan yang membuat Brahma begitu gelisah, adakah yang
bisa kami bantu?" Indra memberanikan diri mengundang tanya.
Brahma memandangi mereka, hatinya berdetak-detak menjalarkan
kerinduan yang menggumpal, menoreh cadas-cadas hati dengan sesosok
cahaya, "Adakah di antara kalian yang mampu menembus istana Syiwa
dan membawakanku satu sosok yang mengakar di dadaku ini?"
Dewa-dewa astabrata menunduk, arah pembicaraan Brahma sudah
dapat mereka tangkap. Mereka sadar akan titah yang tak patut dari
Brahma. Lagipun mereka tidak akan sanggup menembus istana Syiwa.
"Kembalilah kalian, jangan ganggu aku, kembailah ke delapan
penjuru!" "Duh Ardhanari, mengapa telah dipersatukan, mengapa ada
pertemuan?" * * * "Pertemuan. Semuanya bermula dari pertemuan," pemuda itu
mengatur tarikan napasnya. Di angkasa, kelam bulan masih memberikan
isyarat yang tak ingin dipahaminya.
"Saat itu, irama orkestra kahyangan begitu meronta-ronta indah.
Seluruh undangan, para dewa, hadir dengan pakaian kebesaran mereka.
Istana Syiwa yang terkenal pekat dengan nuansa lindap tampak cerah
dan bersahabat. Dewa-dewa begitu terkejut. Pesta yang sangat marak;
penuh warna, penuh keharuman, penuh hidangan, semuanya sempurna.
Brahma sang pencipa yang hadir diiringi dewa-dewa penjaga penjuru
mata angin, serta Wisnu pemelihara semesta tak luput terkejut. Namun
ada yang lebih membuat Brahma terkejut."
"Terkejut" Apakah yang membuat seorang dewa terkejut?"
"Sangat sederhana. Dari semesta yang lunak, angin membawa
lembut keharuman permata Mahadewa, menyongsong puja saloka. Di
tataran tribun megah yang melayang di atas danau teratai muncul
seorang pesona yang menawan mata Brahma. Orkestra kahyangan
melembut, lampu-lampu permata menyergap penjuru. Brahma bertanyatanya
pada delapan dewa penjaga mata angin siapakah gerangan
purnama permata tersebut" Tapi samasekali dewa-dewa astabrata tak
mengenal sosok itu. Brahma hendak mendekat, menyapa. Namun gelegar
Syiwa segera menerjang niatnya mundur. Di hadapan seluruh dewa-dewa
kahyangan Syiwa dengan senyum mengembang mendaulat pesta di
istananya. Pesta Ardhanari, pesta penyatuan antara Syiwa dan Parwati,
dewi yang sepersekian detik menjarah hati Brahma."
"Brahma Sang Pencipta terjarah hatinya pada sosok keindahan
ciptaan?" wanita itu terheran-heran.
Sang pemuda tersenyum, "Bukan sekedar keindahan ciptaan.
Brahma benar-benar gelap, lindap, terang dalam pesona hingga berabadabad
setelah pertemuan itu."
* * * Kicau burung kahyangan membentak Brahma di pertapaannya.
Benturan-benturan gelap terang menderap penjuru pandangan.
Senyumnya pecah ketika dia harus berpikir untuk datang mengetuk pintu
istana Syiwa dan bertamu. Lucu, Brahma bertamu di istana Syiwa"
Brahma bertamu di kediaman Syiwa untuk melihat seberapa
memesonanya Parwati yang telah dipersatukan di hadapan seluruh dewa
kahyangan. Kristal-kristal dan manikam dari pelosok galaksi buncah dalam percik
hatinya yang gundah. Brahma segera mengumpulkan kekuatan semesta,
menasbih permohonan sederhana, menyanding pesona yang telah
menjalar di denyut-denyut nadinya selama berabad-abad. Brahma
akhirnya mendapat anugerah: Brahma dengan lima kepala.
Lima kepala Brahma dapat menembus istana Syiwa dan mengamati
tingkah gerak cahaya hatinya dari lima penjuru sorotan pandangan mata
secara diam-diam. Hasrat besar di dadanya untuk menembus istana
Syiwa akhirnya terwakili. Secara diam-diam pesona Parwati dari lima
penjuru pandangannya memuaskan kerinduan yang mengakar rimbun di
nadinya, di rekat jantungnya, Brahma memuaskan hasrat.
* * * Malam menjelang dalam ruang. Bulan menjala pandangan. Masih
dengan mimik yang mengisyaratkan sesuatu. Pemuda itu tahu benar
isyarat tesebut, tapi dia mencoba menampik perasaan yang tidak
menentu itu. Wanita di sandingnya semakin tenggelam dalam pelukan.
Desah napasnya menyatu dengan desah napas pemuda tersebut.
Di balik gerai malam, titik-titik api yang menjalar di sepanjang lembah
telah nyata dalam pandangan. Titik api yang timbul tenggelam dalam lebat
pepohonan. Suara riuh dan teriakan-teriakan menggema di seantero
lembah. Alam dan penghuninya terjaga, burung-burung segera mencicit
bergemeresak terbang, berhamburan beradu dengan kelelawar-kelelawar
yang mencium darah. Binatang-binatang melata menjalar menjauh. Lalu
tiba-tiba menjadi hening. Senyap. Titik api tersebut merupakan cahaya
ratusan obor yang meliuk berkibaran diterpa angin.
Ratusan cahaya obor tersebut mengepung penjuru. Bergerak
perlahan tanpa suara. Mereka adalah penduduk kampung lembah. Bunyibunyian
tersebut mereka gunakan untuk menakut-nakuti makhluk jadijadian
yang sering membawa kabur gadis desa dengan menyamar
sebagai pemuda tampan. Namun di antara penduduk tersebut, sesosok
kelam menatap nanar dalam kilau merah di matanya. Gemerisik
menderap perlahan, pemuda itu semakin erat mendekap wanita di
sampingnya. Bergeming dari tempat duduknya. Mendesah perlahan
dalam irama yang stabil. Dia telah tahu isyarat yang akan dihadapinya.
Bayangan kelam itu kian dekat. Dari balik jubah pekatnya tersembul
kilat logam yang begitu pedih. Pemuda itu menangkap kelebat sinar
pantulannya dari bisikan bulan dan ketika kepalanya menoleh, logam itu
telah melesat begitu dekat ke arah lehernya. "Tak akan kubiarkan ada
pertautan abadi di antara kalian!" seru bayangan kelam menggelegar.
Membuncahlah merah darah membasahi bangku panjang lusuh yang
selalu setia menemani pertemuan-pertemuan kecil di kala purnama.
Penduduk desa terkejut, mereka samasekali tak mengira pemuda yang
mereka kira siluman jadi-jadian mengeluarkan darah. Mereka telah
terhasut. Namun darah telah mengalir, percikannya menetes ke bawah,
jatuh di atas rumput, merembes ke dalam tanah, meresap bersama
senandung pedih wanita yang tetap memeluk erat tubuh pemuda yang
terpenggal kepalanya. Darah yang sama, darah kerinduan.
"Ardhanari, begitu begitu cepat penguasa malam menemukan
kita.?" Catatan 1) Ardhanari : Sebuah relief batu di museum Trowulan yang menggambarkan
Brahma dengan lima kepala dan Syiwa yang memenggal satu di
antaranya karena berebut dewi Parwati.
2) Kroda : Marah, murka. Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya
di EBOOK CENTER http://jowo.jw.lt
Pengecat Langit Malam Karya Mochammad Asrori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raja Penyihir Sinting 2 Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Api Di Bukit Menoreh 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama