Ceritasilat Novel Online

Saputangan Gambar Naga 2

Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata Bagian 2


penting untuk dimilikinya! Karena saputangan itu memang milik keluarga, dan isyarat bahwa siapa
pun dari keluarga kami yang memegang saputangan itu akan memiliki
12 69 warisan bangsawan Fukien, baik adat istiadat, kekuatan batin, kepercayaan, kekayaan harta benda,
pendeknya segalanya! Berbekal dengan temuan saputangan itulah puteriku nekad menyusul aku
kemari, dengan tujuan menyelamatkan ayahnya.'" seru Mengki'i. Duta Mengki'i berteriak dari
kejauhan, sebab ia tahu bahwa bicara penerjemah yang terlalu sedikit menguasai bahasa Tartar itu
tidak mungkin dimengerti oleh Fang Fang. Apalagi Fang Fang masih dalam keadaan kekalahan dan
kebingungan. Oleh karena ini Mengki'i segera berusaha memberikan penjelasan!
Penerjemah itu segera mengatakan apa yang diucapkan Mengki'i'
Mendapat penjelasan demikian, Pamoraga manggut-manggut. Entah apa sebabnya ia menghargai
sekali pendirian perempuan muda ku. Jelas bahwa dengan mengibarkan saputangan demikian,
kalau tidak terjadi keajaiban, tingkah laku perempuan Tartar itu tidak berbahaya bagi keselamatan
Pamoraga maupun pasukan Singasari. Tapi kalau pelaku tidak punya keyakinan yang kuat, tidak
mungkin berani berbuat demikian dalam situasi tegang dan pertentangan demikian. Karena puteri
ayu itu tidak berbahaya maka Pamoraga tidak berbuat apa-apa untuk melumpuhkan musuhnya.
Bahkan sebagai penghormatan atas keberaniannya mengandalkan kekuatan khasiat saputangan,
Pamoraga memutar pedangnya, gagang yang dipegang dilempar jungkir balik dan ditangkap
ujungnya, dengan demikian gagang pedang menjadi ujung, dan pedang itu disodorkan kepada
Fang Fang' Pamoraga menyerahkan pedang tadi kepada Fang Fang.
Bagi Fang Fang ini suatu keajaiban! Meskipun laki-laki itu sudah menang, tetapi kini ia
menyerahkan pedang 70 yang berhasil direbutnya kepada Fang Fang! Ini juga hasil khasiat saputangan hijau itu! Maka
dengan wajah tetap cemberut, gagang pedang itu disambutnya. Tanpa berkata
apa-apa terus disarungkan ke tempatnya. Sesudah ku, Fang Fang pergi menuju ke tempat
ayahnya! Bunyi tepuk tangan dan sorak-sorai gembira terdengar pada warga pasukan Singasari. Mereka
memuji sikap pemimpinnya yang mengakhiri perselisihan itu dengan jalan damai. Dan ajakan damai
itu telah diterima oleh pihak Tartar. Juga Duta Mengki'i ikut bertepuk tangan dan tertawa! Orang tua
ini sama sekali tidak punya rasa jengkel karena wajahnya telah dicoreng-moreng dengan pucuk
keris dan telinganya sudah diperung sebelah! Sama sekali ia tidak punya rasa sakit hati dan
bermusuhan terhadap orang Singasari!
"Bagaimana Papa bisa ikut tertawa"! Kita kan malu kalau kalah! Sudah dipermalu dengan
perlakuan mereka terhadap Ayah, kini pembelaanku terhadap Ayah tidak dihargai sama sekali!
Ayah ini orang mana, sih"]" ujar Fang Fang bersungut.
"Tentu saja aku ikut gembira: Fang Fang. Sebab perselisihan kita berakhir tanpa korban jiwa. Dan
kini kita bisa melanjutkan perjalanan pulang ke Tuban!"
"Jadi Ayah tidak ada minat untuk balas dendam kepada mereka itu?"
13 "Untuk apa" Mereka itu hanya menjalankan tugasnya, atas perintah rajanya! Sedang Raja
Kertanegara sendiri sudah sepantasnya marah kepada Kaisar Kubilai Khan! Aku ini sudah orang
ketiga yang datang ke sini untuk memaksakan kehendak Kubilai Khan agar Singasari takluk
terhadap Kubilai Khan. Bukankah itu suatu penghinaan. Singasari
71 ku kerajaan besar, berwibawa, adat istiadatnya meniti pada dasar falsafah yang tinggi, yakni
mahzab agama Buddha Mahayana aliran Kalacakra, suatu campuran dari unsur agama Buddha,
Ciwa, dan kepercayaan lainnya. Bangsa yang punya daerah begitu luas, paham agama begitu
tinggi, adat istiadat begitu bersahabat, pemerintahan begitu berwibawa, harus tunduk kepada Kaisar
Kubilai Khan yang menganut aliran Hewajra" Penghinaan! Aku bisa merasakan betapa sakit hati
Raja Kertanegara dipaksa seperti itu. Maka beliau marah! Marah kepada Kaisar Kubilai Khan! Tapi
bagaimana caranya agar kemurkaan Sang Prabu ini bisa diketahui Kaisar" Bagaimana sakit hati
karena hinaan ini dapat dilampiaskan kepada orang yang membuat sakit hati" Para panglima
pembantunya tadi dimintai pendapatnya. Dan diambil kata sepakat karena ucapan yang
menyakitkan hati itu dilontarkan lewat utusannya, maka sebaiknya cara membalas sakit hati itu juga
lewat utusan tersebut! Aku berada di hadapan Raja Kertanegara ketika semuanya itu dirundingkan
dan diputuskan! Dan perwira muda yang telah berkelahi dengan kamu itu mendapat tugas untuk
melaksanakan keputusan Raja Singasari itu! Ia bertugas untuk memotong daun telingaku dan
mencoreng moreng wajahku dengan benda tajam! Serta mengantarkan daku sampai di seberang
Bengawan Brantas! Aku disuruh pulang hidup dan selamat bersama rombonganku, tidak kurang
suatu apa pun kecuali kupingku harus diperung dan wajahku dicoreng moreng! Aku dijamin selamat
sampai ke seberang Bengawan Brantas!""Itu kisah Papa! Tapi kenyataan yang kulihat adalah Papa dapat kuselamatkan karena
kedatanganku membawa saputangan hijau ini! Aku lari berkuda mendekati Ayah
72 yang sedang disiksa sambil mengibarkan saputangan ini! Dan aku berhasil. Ayah ditinggalkan
begitu saja oleh para penganiaya itu ke dalam hutan!" ujar Fang Fang dengan wajah masam.
"Kamu perempuan kecil yang berkepala batu! Tidak mau tahu kepentingan orang lain! Semuanya
kamu pandang dari sudutmu sendiri! Pikiran perempuan picik! Peristiwaku ini tidak ada
hubungannya dengan saputanganmu itu!"
"Ayah bisa saja anggap tidak ada hubungannya! Tapi coba terangkan, kenapa aku tadi tidak
dibunuh atau dilukai oleh kepala pasukan Singasari itu ketika ia telah menjulurkan pedangku
dengan ujungnya hampir menyentuh dadaku" Mengapa dia kemudian justru membalikkan
pedangnya dan memberikan gagangnya kepadaku" Bukankah itu karena aku mengibarkan
saputangan gambar naga penyelamat keluarga kita itu" Bukankah itu bukti lagi bahwa saputangan
ini bertuah?"- : "Ha-ha-ha! Picikmu itu tetap mengungkung pikiranmu! Apa tidak kamu dengar aku berteriak-teriak
menerangkan sikapmu itu ketika kamu berhadapan dengan perwira Singasari tadi" Masa orang
berkelahi kok cuma diam sambil menentengkan saputangan! Berkelahi cara apa itu" Mana bisa
berbahaya serangan terhadap lawan" Sedangkan di pihak sana jelas senjata tajam di tangan, bisa
disabetkan, bisa ditusukkan! Kamu tidak mau berkelahi apa mau berpeluk-pelukan saja sama
perwira ngganteng itu"! Semua penonton jadi tertawa terbahak-bahak melihat tingkah lakumu yang
membabi buta tadi!" ucap Mengki'i, dari nada marah berangsur menjadi kendor dan tersenyum
14 mengenangkan perkelahian "seru" antara puterinya dan perwira muda Singasari itu! Kejadian yang
menggelikan! "Biar! Biar! Diam! Ayah jangan bicara lagi soal itu! Ayah jangan meledek!" bentak Puteri Fang Fang
sambil mencoba kembali mengatur rambutnya yang acak-acakan. Karena rambut itulah orang jadi
tahu bahwa dirinya perempuan!
"Kami kira sudah cukup lama kita beristirahat dan berbeka-beka! Marilah kita meneruskan
perjalanan!" ajak Pamoraga melalui penerjemah saudagar Tuban.
Duta Mengki'i dan Fang Fang baru sadar bahwa di sekelilingnya kini telah mengepung sepasukan
prajurit Singasari yang naik kuda lengkap dengan senjata perang. Namun, mereka tidak dalam
keadaan siap tempur. Mereka lebih bersikap sebagai kawan seperjalanan daripada bermusuhan.
Selain para prajurit Singasari, hadir pula empat orang prajurit Tartar lain, juga lengkap bersenjata.
Selama terjadi peristiwa pemotongan daun telinga dan pergumulan Pamoraga-Fang Fang, mereka
diasingkan ke tempat lain. Sekarang selesai menjalankan tugas, pasukan Singasari membawa
mereka kembali bergabung dengan Duta Mengki'i. Mereka pun saling bertegur sapa dengan Fusen
dan Yong Pin. Setelah sekaliannya siap maka berangkatlah mereka ke utara. Delapan orang Tartar berada di
depan. Diikuti sepasukan prajurit Singasari. Kedua belah pihak membawa perlengkapan senjata.
Karena menurut Sri Baginda Raja Singasari, orang-orang Tartar itu datang kemari sebagai orang
merdeka dan tidak akan membuat kacau selain mau bertemu dengan Sang Raja, maka mereka pun
kembali sebagai orang merdeka. Ada pun iring-iringan pasukan Singasari itu mengantar sebagai
penjaga keamanan selama mereka berjalan di daerah dekat istana. Perjalanan orang asing tentulah
menarik perhatian penduduk yang mereka
74 lewati. Dikuatirkan mereka akan mengganggu, oleh karena itu perlu diberi kawalan sepasukan
prajurit yang dipimpin oleh perwira muda Pamoraga.
Yang paling depan berjalan adalah prajurit Tartar yang enam orang itu. Kemudian Duta Mengki'i,
Fang Fang berjalan berdekatan dengan kepala pasukan Singasari Pamoraga dan saudagar Tuban.
Prajurit Singasari yang bersenjata lengkap berada pada iring-iringan paling belakang. Dengan
urutan demikian maka dengan mudah para tamu asing itu diawasi oleh prajurit Singasari di
belakangnya. Dan sementara berjalan, Duta Mengki'i, Fang Fang, maupun Pamoraga dapat
berbicara melalui penerjemah saudagar Tuban.
"Kami nanti mengawal tuan-tuan sampai penyeberangan Dukuh Rabut Carat," jelas Pamoraga.
"Setelah itu tuan-tuan bebas, memacu kuda atau berjalan santai terserah! Tapi hendaknya
keselamatan diutamakan!"
Rabut Carat! Fang Fang kemudian tidak pernah lupa nama dukuh penyeberangan itu!
" "Ayah! Lihatlah saputangan ini! Saputangan sutera hijau gambar naga! Lambang kedamaian dan
15 keperkasaan bangsa kita! Saputangan pengayom keluargal" seru Fang Fang sambil mengacungkan
saputangan di ujung jari tangannya! Kemudian terjadi peristiwa ulangan ketika Duta Mengki'i sedang menjalani pemotongan daun
telinga pada suatu lapangan di luar hutan yang lebat. Mengki'i dipegangi
75 kedua tangannya oleh dua orang Singasari, dan orang ketiga siap melakukan pemotongan. Tapi
orang ketiga itu tidak memegang cemeti, melainkan penggadai
"Dokter! Nasib celaka apakah yang Tuan derita?" seru Fusen.
"Rampok! Rampok.' Pembunuh! Panggillah polisi!" Yong Pin melangkah ragu memasuki bilik
periksa. Mendengar ingar-bingar itu, penganiayaan terhadap dokter ku terhenti. Empat orang pelaku, baik
penganiaya maupun yang dianiaya berdiri tegak, dan menoleh ke arah pintu. Mereka tidak dalam
sikap bermusuhan. Juga yang istimewa bahwa dokter itu tidak berwajah biasa, melainkan
mengenakan topeng paras perempuan pribumi.
"Ada apa kalian ini"!" seru Dokter Mengki sambil melepas topengnya. Dan tampaklah wajahnya
yang tertegun seperti wajah para pasien pribumi itu.
"Kamilah yang wajib tanya, terjadi apakah di bilik sini"!" semprot Fusen tak kalah seninya. Namun ia
cepat menyadari bahwa hiruk-pikuk di bilik itu terjadi dalam keadaan terkendali.
"Kami dengar orang sesambat di bilik ini! Perlu pertolongan! Kami buka pintu ternyata tidak terkunci.
Dan kami lihat Tuan dalam keadaan tersiksa demikian!" jelas Yong Pin.
Mendengar penjelasan Yong Pin, sadarlah Dokter Mengki akan situasinya. Wajahnya yang semula
tegang langsung kendor. Bahkan bisa tersenyum. Ia sangat penyabar.
"Ah! Salahku! Aku telah teledor! Tidak apa! Sandiwara sudah selesai! Silakan kalian masuk! Tidak
ada pasien lain lagi, bukan?"
"Sandiwara" Kejadian tadi sandiwara?" tanya Yong Pin. Keheranan itu mewakili ketiga pasien
terakhir tadi. 76 "Sandiwara dalam kata sebenarnya sih bukan! Ini suatu
cara pengobatan!" "Pengobatan" Pakai penggada begitu" Penggada yang
dipukulkan kepala orang?"
16 Dokter Mengki tertawa, giginya tampak besar dan rapi, matanya yang sipit bertambah sipit.
"Penggada, ya?" Sambil bicara begitu, ia minta alat penggada dari tangan laki-laki yang tadi
memukul Mengki, lalu dipukulkan kepada Fusen yang berdiri dekat dokter.
Secara refleks Fusen menangkis dan berusaha menghindar. Tetapi tidak mungkin menghindar
karena dokter Mengki begitu sigap memukulnya. Penggada mengenai lengan yang digunakannya
untuk menangkis. "Aduh!" teriak Fusen.
"Sakit?" tanya dokter Mengki sambil tertawa.
"Busa! Pemukul itu dibuat dari busa!"
"Nah! Itulah, Tuan-tuan! Saya cuma memperlihatkan salah satu praktek pengobatan! Di sini tidak
terjadi peristiwa kriminal! Apakah tuan-tuan sudah puas" Saya persilakan keluar sebentar, karena
giliran tuan-tuan belum waktunya. Saya akan menyelesaikan pengobatan saya dengan
bapak-bapak ini!" ujar Dokter Mengki dengan ramah, tetapi keras. Dan tampaknya tidak mungkin
untuk menolak permintaannya.
Fang Fang, Fusen, dan Yong Pin keluar dari bilik periksa, sikapnya ingah-ingih. Maki, tapi ya,
bagaimana ya, sekaliannya sudah berlangsung! Mereka memang tidak tahu persoalannya! Kini
setelah tahu persoalannya, diusir keluar, ya bagaimana mau menolak"
"Kuncilah dari dalam!" usul Fusen asal bunyi guna menghapus rasa malunya. Ia mencoba
berseloroh, tapi pengaruh malu itu masih kuat mencekam perasaan.
77 Sambil menunggu sejenak, pintu pun terbuka kembali. Para pasien tiga laki-laki gagah pribumi
melangkah dengan tegap meninggalkan bilik periksa. Yang tadi membawa penggada, kini
membawa juga penggadanya, jalannya seperti seorang prajurit wayang orang maju perang. Kedua
pengantar yang lain berjalan di belakangnya. Seorang bertingkah seperti pendamping pengantin
laki-laki yang mau ditemukan, siap membisikkan aba-aba lempar daun sirih. Sedang yang lain
berjalan dengan langkah kecil-kecil, tangannya melambai seperti jalannya perempuan ludruk jika
sedang tidak main di panggung. Tangannya memegangi topeng wajah perempuan genit'
Sementara rombongan itu berlalu, ketiga orang pasien teralchir sama-sama berdiri tegak, seperti
ketika pada peristiwa pesta perkawinan pengantinnya sedang lewat. Tanpa aba-aba mereka sudah
siap dan waspada, kalau-kalau peristiwa yang dilihat di bilik periksa tadi berulang dan bukan
"sandiwara". Mereka siap menangkis segala kemungkinan! Dokter Mengki muncul terakhir di
ambang pintu dengan wajah cerah, tersenyum lebar, amat lebar hingga giginya yang rapi tampak
nyata. Karena wajah Dokter Mengki yang penyabar itu, Fusen segera berani bertanya, "Mana dari ketiga
orang gagah itu yang menjadi pasiennya, Dokter?" Itu teka-teki yang sejak tadi membebani
pikirannya. "Yang belakang itu latihan jadi perempuan penderita!" dokter berucap menerangkan meskipun tidak
ditanya. Ia tidak menjawab pertanyaan Fusen.
Setelah ketiga laki-laki itu hilang ditelan gelap malam, dokter baru mempersilakan rombongan
17 pasien terakhir masuk ke bilik periksa.
78 "Itu tadi bagaimana, Dokter, kok sampai terjadi pemukulan?" Fusen minta keterangan.
"Ya, namanya kelainan jiwa. Caraku mengobati ya demikian, aku coba menyelami jiwanya yang
terluka oleh suatu peristiwa yang menggoncangkan. Untuk sementara yang waras berbuat seperti
yang dialami oleh yang sakit Setelah keadaannya sesuai maka si waras menuntunnya ke dunia
sehat, dunia yang bagaimana pun harus dipandang wajar! Itu tadi si sakit punya dendam pada
seorang perempuan bekas kekasihnya. Hasratnya untuk memukul kepala perempuan luar biasa.
Begitu luar biasanya, hingga perasaannya lain dengan perasaan kita yang waras ini. Nah, untuk
melampiaskan hasrat itu aku siapkan alat pemukul dan wajah perempuan penderitanya. Biarlah
hasratnya dipuaskan dengan sarana itu! Mari, duduk! Apa yang bisa kulakukan untuk kalian"
Mudah-mudahan tidak perlu kupesankan lagi alat pemukul seperti tadi!"
Fusen tertawa menyeringai. Dokter itu seleranya lucu, mengajak bergaul orang seputarnya dengan
gelak tertawa. Tidak ada yang hams dipandang berat di dunia ini. Dengan cerita santai tentang
pasien dokter tadi, Fusen tidak usah bertanya lagi sudah tahu siapa dari ketiga orang tadi yang sakit
dan yang waras! Kemudian Fusen menerangkan tentang ucapan dan kejadian aneh yang dialami Fang Fang
belakangan. Bicara gadis itu meloncat-loncat, sulit diikuti oleh pikiran orang awam, orang waras.
Pokok bicaranya juga aneh-aneh. Dari yang telah diucapkan Fang Fang, Fusen tidak habis
mengerti mengapa dia bercerita tentang Singasari, tentang saputangan sutera hijau dengan
sulaman gambar naga yang dibuat oleh ibunya, tentang ibunya yang disekap di bilik kapal! Aneh!
79 Tentang ibunya disekap di bilik kapal itu dulu, sewaktu Fang Fang masih kecil diajak Fusen ke
pantai, pernah menangis dan mengatakan hal itu sambil menunjuk-nunjuk perahu nelayan!" Fusen
selanjutnya menerangkan. Tapi Fusen tahu bahwa mama Fang Fang yang di Tuban, tetangganya,
hidup biasa, tidak pernah disekap, dan tidak pernah naik kapal.
Mendengar kisah itu, Dokter Mengki tertawa ramah seperti tingkah kebiasaannya. Ia melihat Fang
Fang dengan sorot mata penuh kasih sayang.
"Naa. mari, mari, berbaringlah di dipan ini! Tenangkan pikiran. Mari berbincang-bincang sama Papa.
Relaks saja, relaks! Santai, kata orang sekarang!"
Fang Fang duduk di tempat yang ditunjuk. "Berbaring saja! Berbaring! Sekarang bicaralah. Apa
yang sedang berada di pikiranmu" Muntahkan saja dengan kata-kata! Apakah kamu punya
masalah" Atau kamu masih ingat barangkali di mana saputangan sutera hijau gambar naga ku
kausimpan?" ujar Dokter Mengki seraya duduk pada sebuah bangku busa di hadapan Fang Fang
berbaring. : Tiri! Saya bawa!" sahut Fang Fang sambil mengeluarkan saputangan hijau dari dadanya.
Saputangan itu terselit di antara kutangnya.
"Boleh aku lihat" Mari kita perbincangkan! Waduh, harumnya! Seperti harum asap setanggi
18 sembahyangan Cina! Kelihatannya kok sulaman sutera seni daratan Cina" Betul?" tanya dokter
sambil membentangkan saputangan ku.
"Saputangan ini bertuah! Saputangan ini telah menyelamatkan keluargaku, termasuk Papa waktu
mau dipukul orang-orang tadi!" ujar Fang Fang ngotot.
80 "Ah, masa" Aku tadi tidak ada hubungannya dengan saputangan ini, kok* Aku tadi tidak dalam
bahaya, mengapa kamu sebutkan menyelamatkan daku"!"
"Ayah ini mulai dulu pendiriannya ngotot begitu saja! Tidak mau mengakui bahwa saputangan ini
pusaka keluarga bangsawan Fukien, saputangan sakral! Karena hanya aku yang percaya akan
khasiat saputangan ini maka aku tidak peduli lagi, saputangan ini hanyalah milikku! Milikku! Tidak
ada orang lain pun yang berhak memilikinya. Dan selama aku memilikinya, selama berada di
tanganku, aku akan selamat, sejahtera, dan kalau sudah sampai umurku aku akan bisa tenang
berada di liang kubur apabila membawa saputangan gambar naga ini!"


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, kamu ini keras kepala, Fang Fang! Egois! Saputangan ini hanya selembar kain, terlalu mudah
terpisah daripadamu! Dicuci orang saja sudah bisa pisah dari kamu! Kalau kamu punya ucapan
seperti tadi, akan bagaimana jadinya kamu kalau saputangan itu terpisah dari kamu?"
"Papa! Papa selalu berkata yang jelek perihal saputangan ini! Anggap remeh saputangan ini! Sudah
kukatakan, ini saputangan pusaka, tidak akan lekang kena panas, tidak akan luntur kena hujan!
Baunya pun abadi! Kalau ia terpisah daripadaku, aku akan terus mengikuti siapa pemegang
saputangan itu!" "Kalau kamu masih hidup! Kamu bisa berbuat begitu! Kalau kamu sudah tiada?"
"Kalau saputangan ini tidak bersama mayatku, rohku akan gentayangan mencarinya! Aku akan
berhenti gentayangan kalau saputangan ini telah berada pada mayatku!"
"Kamu sudah keterlaluan. Fang Fang! Kamu bisa membuat sengsara orang yang tidak sengaja
memisahkan saputangan ini daripadamu!"
81 "Aku tidak peduli! Aku tidak peduliii!!!" jerit Fang sekuat tenaganya. Dengan cepat ia meraih
saputangan yang terbentang itu, digenggam erat-erat di dadanya, matanya menjalang kepada
Dokter Mengkff "Ini punyaku, milik-; ku, pusakaku, sebagian dari jiwaku! Papa mengakui atau tidak,
menghargai atau tidak, aku tidak peduli lagi! Jangan sentuh lagi saputangan ini! Jangan bicarakan
lagi tentang pemilikan maupun kesakralan saputangan ini! Jangan lagiii!"
Dokter Mengki kehabisan akal untuk meneruskan pembicaraan atau bertindak. Ia tercengang
melihat sikap Fang Fang yang menantang, mendendam, dan memusuhi! Mengki tidak tahu benar
apa kekeliruannya, perbuatan atau perkataan apa yang memancing kemarahan gadis ayu itu
hingga bisa menyorotkan sikap seperti setan! Seketika itu juga ruangan periksa itu jadi sepi
menekan, tegang! Napas-napas yang berembus juga tertekan untuk tidak mendengus!
19 Fusen dan Yong Pin, dua orang pengawal, tenaga laki-laki muda yang kuat dan sehat, hanya bisa
terbengong melihat pertengkaran yang disertai jerit perempuan muda yang harus dibela! Mereka
tidak tahu harus berbuat bagaimana. Mau menghibur, melerai, atau membela dengan
memenangkan salah satu pihak" Tidak mungkin! Karena mereka memang tidak tahu
pertentangannya! Jadinya dua tenaga pengawal itu muspra, tidak berguna! Mereka kini hanya
sebagai saksi dan penonton yang tercengang!
Fang Fang masih mendelik, dengan napasnya yang berangsur menyebabkan dadanya yang
busung bergerak naik turun! Ia sudah bangkit duduk dari berbaring! Genggaman tangannya begitu
erat memegangi saputangan.
82 Namun, Dokter Mengki yang bijak lebih dulu menemukan dirinya, kembali ke kepribadiannya yang
ramah dan murah senyum. Tidak begitu lama ia membiarkan suasana tegang merentang sepanjang
waktu! Dari pandangan tercengang, wajahnya segera berubah menjadi senyum me-lengeh. Sinar
wajahnya yang bijak mengisyaratkan langsung wajah khusus leluhurnya, darah biru bangsawan
Fukien! Jelas sekali! Wajah yang selalu dihormati oleh orang awam sukunya seperti Fusen dan
Yong Pin! "Ah, Puteriku Fang Fang! Mengapa kita harus bertentangan! Aku sudah berucap membebaskan
kamu dari kungkunganku! Kamu akan berbuat apa, aku tidak akan menghalangi.. Sudah aku
ikhlaskan! Ikhlas karena kamu punya keyakinan yang teguh, yaitu akan selalu selamat dan
sejahtera asal saputangan itu berada di dekatmu, tergenggam di tanganmu! Baiklah! Aku tidak akan
bicarakan lagi soal itu! Tapi aku perlu bicara kepadamu! Betapa pun juga kamu adalah anakku!
Tidak bisa ini diputus begitu saja, dibuang begitu saja! Dan sebagai dua manusia sedarah,
sepatutnya kita berhubungan, berbicara apabila bertemu dan berdekatan seperti sekarang ini.
Setidaknya kita saling bersapa, menanyakan kesehatan masing-masing. Apa kamu tidak sekata
dengan tawaran damaiku?" kilah Mengki.
Melihat lawan bicaranya mengendor, bahkan tersenyum, Fang Fang pun kehilangan sasaran
kemarahan. Hatinya melunak. Ia memang masih keturunan Duta Mengki'i yang penyabar, jadi
bakat-bakat akrab dan suka damai ku juga mengalir bersama peredaran darah seluruh tubuhnya
yang dimotori oleh jantungnya. Belalak matanya meredup, mengendor, dan angsuran napasnya
melandai. Meskipun masih sewot, Fang Fang bisa bergerak anggun, melipat
83 saputangan hijaunya baik-baik, lalu diselitkan pada kutang di antara dua buah dadanya. Aman di
situ! "Aku memang lebih dekat dengan Mama! Aku bergaul sepanjang umurku sejak ingat kehadiranku di
dunia hingga masa remajaku, dipeluk, dibelai, diajak bercanda, dan bertukar pendapat sama Mama,
di dalam rumah besar peninggalan leluhur kita! Kurang sekali aku bergaul dengan Papa. Tidak
mustahil kecuali hubungan darah kita, aku tidak banyak memahami tingkah laku, perbuatan, dan
cara berpikir Papa. Hampir sehari-harian Ayah bekerja di istana kaisar. IPulang sudah lelah Yang
aku tahu bahwa Ayah seorang pekerja yang tekun, dan aku merasa hangat di dekat Ayah karena
Ayah murah senyum dan suka menegur orang-orang di rumah dengan akrab. Tapi, itu tadi,
sebenarnya aku kurang sekali mengenal Papa sebagai kepala keluarga, sebagai pemimpin rumah
20 tangga, sebagai ayahku! Itu pula yang terjadi ketika Mama dan aku diperbolehkan Ayah ikut
berlayar di kapal besar sampai ke negeri asing, Tuban. Tetapi ketika Papa mau mendarat, tiba-tiba
Ayah bertindak aneh, menyekap Mama dan aku di bilik kapal, dan melarang anak buah kapal
memerdekakan kami! Pikiran apa yang ada pada Papa sewaktu mengizinkan kami ikut berlayar,
dan bagaimana pula Papa berubah pendapat melarang kami ikut mendarat di negeri asing"
Mengapa tiba-tiba Ayah punya alasan bahwa tidak layak prajurit Tartar, Duta Kaisar, menunaikan
tugas di negeri orang sambil diikuti oleh kaum perempuannya"! Sungguh aku tak mengerti jalan
pikiran Papa tentang hal ini!" bicara gadis Fang Fang merentet seperti letupan mesin sepeda motor
yang knalpotnya keropos berati Fang Fang bicara tertuju kepada Mengki, tetapi matanya
memandang langit-langit ruang periksa, sedang
kepalanya kembali diletakkan pada bantal dipan pembaringan. Ia seperti bicara sambil
mengenangkan masa silam, peristiwa yang dialami amat jauh dari saat sekarang. Bicaranya seperti
anak sekolah yang menghafalkan sejarah. Tapi ia tahu benar bahwa begitulah yang diinginkan
Dokter Mengki dalam menggarap pasiennya. Fang Fang ternyata pasien yang patuh. Seperti pasien
yang bernama Mei Lan tadi. Atau memang semua pasien Dokter Mengki bisa dijinakkan seperti itu,
ini karena kehebatan dokter jiwa itu! Pasiennya dapat dipukau dengan pendekatan yang ramah
tamah! Terdengar tertawa riang gembira. Suara Dokter Mengki! Fusen dan Yong Pin kebingungan
menangkap bicara Fang Fang yang begitu melantur, tak karuan ujung pangkalnya, tetapi Dokter
Mengki sudah tahu apa yang mesti dijawabkan! Ajaib! Inikah kelebihan Mengki daripada Fusen dan
Yong Pin" Inikah kelebihan seorang pakar daripada awam" Dan ini pula perlunya Fusen membawa
Fang Fang ke Surabaya, menghadapkan gadis remaja elok juwitaritu kepada seorang psikiater!
"Fang Fang! Aku cinta kepada mamamu! Aku mencintai keluargaku, yang jumlahnya tidak lebih dari
Aisun dan kamu! Ibumu seorang perempuan yang setia. Setia terhadap suami, terhadap bangsa,
warisan budaya leluhur serta perjuangan bangsawan Fukien sepanjang hidupnya! Kesetiaannya
tidak hanya dibekali oleh rasa cinta dan patuh kepada suaminya saja, tetapi juga disertai sarana
berjuang mencari keselamatan dan kesatuan keluarga kecil itu! Ia begitu gigih ingin
mempertahankan kesatuan keluarga, antara dia dan suaminya, dan anak perempuannya. Itu aku
paham benar! Dan ketika aku mendapat tugas dari Kaisar Kubilai Khan
85 untuk menyampaikan amanat kepada raja di Jawa Sri Kertanegara agar tunduk kepada perintah
Kaisar, ibumu begitu mohon kepadaku agar diizinkan ikut serta berlayar denganmu, dengan alasan bahwa apabila
kita berpisah saat itu, kita akan berpisah untuk selamanya! Sebab Aisun punya firasat, kepergianku
sendiri ke tanah seberang yang sebenarnya tidak disepakati itu, adalah kepergian untuk selamanya!
Berarti aku akan pergi dan tidak akan kembali! Ia sungguh-sungguh mengkhawatirkan bahwa
pergiku ke Jawa itu sengaja dibuang oleh Kaisar Kubilai Khan. Sebab menurut cerita orang Negeri
Seberang, Tanah Jawa atau Singasari adalah kerajaan orang-orang biadab. Negeri yang orang
asing tidak akan dapat pulang hidup kalau sudah memasukinya! Karena itu Aisun yang setia minta
dengan sangat agar dia dan kamu diperkenankan ikut. Dia yang setia dalam hidup lara lapa
bersamaku sebelum lahirmu di dunia, masih akan menunjukkan kesetiaannya pada masa akhir
hidupku, masa aku masih harus berjuang menjalankan tugas yang penuh rintangan dan
kesengsaraan, kesakitan dan mungkin menyongsong kematian! Apakah aku bisa menolak
permintaannya yang diajukan dengan hangat dan sangat itu" Tidak! Tidak, Fang Fang, tidak! Aku
21 bukan laki-laki berhati batu! Bukan manusia yang tidak tahu diuntung, memiliki istri begitu setia! Jadi
tentu saja aku kabulkan permintaanya itu. Permintaan terakhir mungkin, katanya! Karena dalam
bayangan, mungkin sekali kita tidak akan kembali ke tanah air lagi! Kita berlayar untuk berangkat ke
alam baka." "Mengapa kemudian Ayah berubah pendirian?" potong Fang Fang.
"Nanti dulu, Fang Fang! Aku ceritakan apa bekal ibumu dalam pelayaran! Karena berfirasat pergi ke
negeri biadab, pergi untuk mati, maka ibumu membawa segala macam
doa-doa tulak bala, segala macam puji-pujian dan doa-doa minta keselamatan dihafal sebelum
berangkat. Di antara pusaka atau gegaman penolak bala yang dibawa, bukanlah senjata perang
melawan manusia biasa, melawan prajurit musuh, tetapi saputangan gambar naga itulah!
Saputangan kuno yang sudah lama tersimpan rapat-rapat di tempat keramat di jantung rumah kita,
dibongkar dan dibawa serta! Itulah benda pelindung keluarga, itulah pusaka inti bangsawan Fukien!
Begitu ceritanya kepada adiknya, Hwee, ketika adik laki-laki itu tanya mengapa saputangan kuno
yang telah tersimpan aman itu dibongkar dan dibawa serta!"
"Ya. Aku menyaksikan peristiwa itu! Dan aku yakin Mama bicara dengan setulus hatinya dan penuh
keyakinan sehingga siapa pun yang mendengarnya akan tersentuh dan terhunjam hatinya takut
kena keyakinannya!" "Antara lain kamu! Kamu begitu yakin akan kebenaran ucapan ibumu!"
'Tapa! Jangan bicara lagi soal itu! Aku yakin bukan hanya aku dan ibu yang punya keyakinan
seperti itu! Dan aku bahkan kemudian membuktikan betapa hebat khasiat saputangan itu!"
"Selama dalam pelayaran itu, itulah saat yang paling bahagia bagi kami berdua, sebab dalam
perasaan saat itulah kesempatan kami berkumpul yang terakhir! Ibumu yang setia sejak awal
perjodohan kami, kembali menunjukkan rasa cintanya seperti selagi kami pengantin bani!"
"Memang saat itulah aku merasa mengenal Ayah lebih dekat, Ayah sebagai papaku, temanku
bergurau dan memperdebatkan falsafah hidup yang mulai menggerayangi usia remajaku! Dalam
kapal itulah aku merasa punya
87 keluarga lengkap, ayah dan ibu yang rukun damai. Dan di akhir perjalanan itu pula aku jadi kecewa,
dan merasa kurang sekali mengenal Ayah! Aku sama sekali tidak mengerti pikiran Ayah, sama
sekali tidak kenal sama Ayah! Mengapa kebahagiaan karena persatuan keluarga itu tiba-tiba
diputus dengan penyekapan Mama dan aku setelah kapal berlabuh di Tuban" Mengapa permintaan
Mama agar kami berdua diperkenankan ikut melawat ke Singasari tidak Ayah kabulkan' Bahkan
Ayah menentang dengan bengis, memperlakukan kami. dua perempuan dalam kapal, sebagai
tawanan budak belian! Padahal ibu yakin, persatuan kita itu adalah keselamatan kita. Asal bertiga
kami menempuh daerah musuh bahaya tidak akan menyentuh, dan selamatlah kita menunaikan
tugas yang berat itu. Sebab ibu membawa pusaka pengayom bangsa, saputangan gambar naga!
Tetapi Ayah tetap bertindak kasar terhadap kami! Kami disekap dalam bilik selama perjalanan Ayah
ke istana Singasari, dan melarang anak buah kapal memerdekakan kami. Makanan dikirim dari
22 kisi-kisi berterali besi! Karena putus asa, ibu menyuruh Ayah membawa saputangan itu sebagai
bekal keramat di perjalanan. Selama Ayah bersama saputangan itu, maka Ayah akan selamat!
Tetapi saputangan itu Ayah terima dengan muka masam, wajah bengis masih membayangi
pandang Ayah! Kata ibu sepeninggal Ayah itulah wajah pengaruh pemuja Hewajra! Kubilai Khan
penganut aliran Hewajra, yang mencari kekuatan magis bertenaga gaib untuk mencapai tujuan
hidupnya. Suatu aliran yang sangat ditakuti ibu kalau-kalau akan mempengaruhi sikap hidup Ayah
selama mengabdi kepada Kaisar Kubilai Khan1" Tertawa berderai-derai terdengar di angkasa ruang
periksa. Suara Dokter Mengki! Tidak tahan ia mendengarkan
88 rerasan kesan-kesan tentang diri Duta Mengki'i ketika meninggalkan anak istrinya di kapal yang
berlabuh di pelabuhan Tuban. "Ya! Saya tahu, Ayah selalu akan menertawakan kami!
Ayah tidak akan pernah mengerti kami!" ujar Fang Fang sambil tetap menatap langit-langit bilik
periksa, matanya tidak mengerdip. Ia sudah kebal dengan segala macam ejekan
yang dilontarkan ayahnya!
Tidak begitu, Fang Fang, Anak Manis!"
Tidak usah merayuku, aku bukan anak manis bagi
Ayah!" "Dalam benakku waktu itu, bukan soal tugas kaisar yang menghantui diriku! Tetapi justru rasa cinta
kepada kalian, dan ingin aku menyambung hidup bersatu sepulangku dari menghadap Raja
Singasari! Hidup rukun dan bersatu dalam sebuah kapal itu sungguh amat berkesan kepadaku!
Sayang kalau kemudian tidak bisa diulang! Dan aku yakin bisa diulang!"
"Dan nyatanya tidak bisa! Kita tidak bisa bersatu kembali!"
"Bu karena perbuatanmu yang mursal! Yang murang tata! Andaikata kamu menuruti apa larangan
Ayah, tentu aku temui kalian dalam keadaan selamat tersekap dalam bilik kapal, dan kita bisa
berlayar balik ke tanah air! Kamu telah mengacau! Kamu telah memutuskan nasibmu sendiri, dan
sudah kuucapkan, Bu bukan tanggung jawabku!"
"Enak saja Papa ngomong begitu! Siapa ikhlas hatinya ditinggal tersekap dalam bilik kapal,
diperlakukan dengan wajah bengis seperti Bu! Siapa rela diperlakukan demikian, meskipun ibu
sudah merayu dengan senyum dan air mata! Dan berkorban melepaskan saputangan pusaka
begitu 89 rupa, tapi Papa terima dengan sepele saja! Istri mana yang merasa dicintai suami dengan
perlakuan begitu" Anak perempuan mana yang menjadi buah hati ayahnya kalau dihadapkan
23 dengan belalak mata pemuja Hewajra milik Kaisar Kubilai Khan macam begitu"!"
"Tapi sikap itu kuputuskan karena rengekan ibumu sudah tidak dapat lagi kuredakan dengan sikap
kasih sayang! Aku harus bertindak tegas demi kecintaanku dan hidup bersatu kita di masa
mendatang! Aku akan pergi ke istana Singasari dalam waktu singkat, tiga empat hari selesai! Aku
bisa bergerak cepat, bertugas lugas, dan kembali ke kapal, selesai! Dan bertemu kembali dengan
ibumu dan kamu, keluarga tercinta! Tapi kalau aku menuruti rengek ibumu, kita datang
berduyun-duyun ke istana raja asing, layakkah itu tugas yang ditunai oleh duta kerajaan Mongol
yang jaya raya?" "Layak atau tidak layak bukan persoalan bagi Ibu! Yang penting kita tetap bersatu, dan Ibu punya
keyakinan akan selamat sampai kembali ke tanah air, ke rumah warisan nenek moyang karena kita
membawa saputangan pusaka!" tukas Fang Fang dengan tegas.
"Aha! Keyakinan yang menggantungkan pada benda itu lagi! Aku tidak punya keyakinan itu! Aku
tidak berani mengambil, risiko andaikata kita melawat di daratan Kerajaan Singasari,
berduyun-duyun demikian! Perjalanan kita akan menarik perhatian orang pribumi. Karena
kedatangan kita ke Singasari ini membawa amanat menaklukkan kekuasaan Kertanegara, tidak
mustahil anggapan orang Singasari terhadap kita adalah musuh. Bayangkankalau sekelompok
orang asing menempuh perjalanan darat dan ketahuan bahwa maksudnya untuk menaklukkan
negerinya! Mereka tentu saja memusuhi kita! Betapa risikonya kalau hal ini terjadi! Misalnya mereka menyerang kita!
Aku akan repot sekali menanggulangi serangan mereka, dan kehancuran keluarga kita terbayang
nyata dalam pikiranku! Karena risiko inilah aku lebih suka menyelamatkan keluargaku, ibumu dan
kamu, dengan menyekapnya di bilik kapal!" Mengki mempertahankan pendiriannya dengan
memberikan alasan seutuhnya.
"Tapi bukankah Ayah langsung tahu setiba kita di Tuban bahwa penduduk pribumi Kerajaan
Singasari orangnya ramah-ramah" Kita disambut dengan akrab!"
"Itu karena mereka belum tahu apa maksud kedatanganku. Dan aku memang belum menyelami
lebih lanjut apa di balik sambutan yang ramah tamah itu! Siapa tahu ada tipu muslihat yang hebat di
balik senyum dan tawa mereka! Aku tidak berani ambil risiko! Karena itu aku putuskan jalan yang
aman! Meninggalkan kalian di kapal dalam tiga empat hari, sementara aku berangkat sendiri ke
istana Singasari^ "Mengapa kami hams disekap?"
"Ibumu sudah keterlaluan dalam rengekannya untuk ikut menghadap ke Raja Singasari! Tidak mau
tinggal! Oleh karena itu harus kutinggal paksa, kusekap! Sudah kusekap saja kamu masih juga
menyusul aku! Apalagi kumerdekakan! Bagaimana kamu dapat keluar dari bilik kapal itu"! Ditolong
oleh anak kapal?" "Tidak! Semua atas usahaku sendiri. Dan kemauanku sendiri. Jendela kisi-kisi itu ternyata bisa
kuberobosi. Tetapi ibu tidak bisa. Jadi aku sengaja cari jalan keluar untuk segera menyusul Ayah.
Karena Ayah begitu anggap ringan pesan Ibu tentang saputangan itu! Aku yakin Ayah mengabaikan
91 pesan Ibu-itu. Dan ternyata benar! Aku menemukan saputangan gambar naga itu ters
24 (http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
angkut pada pasak dangau di tengah perjalanan ke istana Singasari!"
"Kamu telah berbuat menentang laranganku! Kamu mursal! Tapi sekarang semua sudah berlalu.
Sudah berlangsung. Semua berjalan seperti kehendak kita masing-masing dan berakibat begitu itu!
Kalau dirunut betul, kesalahan kita adalah karena kita tidak bertindak dalam kesatuan pendapat.
Tidak ada yang mau mengalah. Aku bertindak menurut pendirianku, yaitu logika seorang laki-laki,
sedang kamu dipengaruhi ibumu, bertindak menurut pendirian kodratmu, logika perempuan! Sampai
kapan pun, kalau terjadi akibat yang jelek, maka kita akan menuduh bahwa nasib jelek itu adalah
karena yang satu tidak mau menuruti kemauan pihak yang lain! Dan kalau hasilnya baik,
masing-masing akan membanggakan diri bahwa itu karena kita menganut pendiriannya! Tetapi
jarang sekali bertindak karena dua pendirian yang berbeda bisa berakibat baik! Oleh karena itu, ini
pelajaran bagi kita, bagi orang yang berjodohan atau berkelompok. Kalau kita mau mengerjakan
sesuatu, haruslah bertindak berdasarkan satu pendirian yang sama dimufakati! Bertindak dalam
satu bahasa. Apabila kita bertindak dalam satu bahasa, kalau berakibat baik, memang itu yang kita
inginkan. Kalau berakibat jelek, kita tidak saling menuduh, menerima keadaannya, dan tetap
bersatu!" Dokter Mengki berhenti berbicara. Gadis Fang Fang juga tidak menyahut. Ucapan Dokter Mengki itu
merupakan kesimpulan, tidak perlu jawaban lagi. Jadi Fang Fang terus saja menatap langit-langit
dengan mulut terkatup. "Fang Fang!" Nada suara teguran ini lebih kalem. Tidak ngotot.
92

Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya?" "Setelah kamu temukan, saputangan itu berada di tanganmu. Kamu bawa ke istana Singasari,
menyusul ayahmu. Tapi lepas pula dari tanganmu, bukan" Lepas sebelum kamu bawa kembali ke
kapal di Tuban bersama ayahmu."
'Ya. Tercebur ke dalam air di Kali Brantas ketika menyeberang di Dukuh Rabut Carat," sahut Fang
Fang dengan suara kering. Tidak ada minat untuk berkisah soal itu. Ia sudah terlalu lelah dalam
wawancara dengan dokter tadi.
"Tapi tadi saputangan hijau gambar naga itu telah berada di tanganmu lagi. Di mana kamu
dapatkan saputangan itu" Kapan?"
'Ya. Ini, aman di dalam kutangku!" ucap Fang Fang kian lemah, namun masih sempat mengontrol di
mana saputangan itu terletak. Tangannya meraba-raba kutangnya. "Di mana, bagaimana, kapan
kudapatkan kembali, aku lupa. Lelah sekali. Aku boleh istirahat, Dokter?"
Kabut halusinasi yang meliputi kamar periksa kian menipis, khayalan yang diciptakan baik oleh
Dokter Mengki maupun pasiennya mulai menguap, dan mereka kembali ke alam nyata. Pelan-pelan
seperti datangnya, begitulah perginya.
Mengetahui pertanyaan dokter terakhir tidak terjawab, Yong Pin yang selama wawancara mengikuti
dengan cermat, langsung menjawab, "Di Pasar Atom!" Ia mengira Fang Fang yang bukan orang
1 Surabaya, tidak hafal dengan nama tempat di mana tadi pagi membeli saputangan gambar naga itu.
Kesadaran mereka kembali ke dasawarsa akhir abad XX Masehi. Fusen dan Yong Pin telah kuasa
bergerak, tidak hanya duduk terbengong mendengarkan wawancara antara
dokter dan pasiennya. Mereka telah sadar bisa ikut bicara atau leluasa bergerak. Sedangkan Fang
Fang tampak terlena tidur, matanya terpejam, napasnya terhembus teratur, tangan yang berada di
dadanya tampak bergerak naik turun mengikuti napas dadanya.
Dokter Mengki masih ingin menggali keterangan lebih lanjut. Ia masih penasaran. Fang Fang tadi
menjawab hilangnya saputangan dari tangannya di Dukuh Rabut Carat. Tapi mengapa ditemukan
kembali di Pasar Atom! Itu pun bukan keluar dari mulut Fang Fang! Dokter Mengki ingin
mengembalikan suasana khayal yang mengganggu pikiran Fang Fang untuk menggali lebih lanjut
beban pasiennya itu. Tetapi tampaknya Fang Fang sudah terlalu kelelahan, dan jatuh tertidur.
Dokter Mengki tidak berhasil membangunkan kembali dunia khayalan itu, dan merasa kasihan
terhadap gadis remaja yang cantik jelita itu tertidur pasrah di dipan pembaringan kamar periksanya.
Sudah banyak sekali gadis atau perempuan cantik yang menjadi pasiennya terbius oleh dunia
khayalan yang bisa diajak bergaul akrab dengan dia. Bahkan sampai pada dunia nyatanya,
perempuan cantik itu masih saja kesisipan dunia khayal dan menganggap Dokter Mengki
kekasihnya. Namun, rasa kasih sayang sang pasien itu tidak begitu menggugat seperti ketika ia
melihat Fang Fang tertidur pasrah begitu.
Sadar bahwa dunia khayal pasiennya tidak bisa dibangunkan lagi, Dokter Mengki mencari tisu dan
mengusap dahi dan pelipisnya yang berkeringat. Ia juga merasa lelah. Sayang sekali, wawancara
itu tidak bisa berlanjut. Masih ada yang sangat menarik, yaitu hilangnya lagi saputangan itu dari
tangan Fang Fang. Fang Fang yang telah menyesali sikap ayahnya yang sembrono dan
mencecerkan saputangan 94 itu di tengah perjalanan di pasak sebuah dangau, kini kehilangan saputangan itu di Dukuh Rabut
Carat! Tentu hilangnya saputangan itu menjadi pikiran Fang Fang! Tentu melindih jadi beban
perasaan! Ia sudah melawan dan meradang terhadap ayahnya karena kehilangan saputangan, kini
saputangan yang sudah berada di genggaman bisa juga terlepas dan hilang! Ini beban bagi Fang
Fang! Mengki harus bisa menemukan kisah selanjutnya setelah saputangan itu tercebur di Kali
Brantas! Di Dukuh Rabut Carat! Tapi bagaimana" Ditunda sampai pemeriksaan berikutnya"
Kapan" Empat tiga hari kemudian" Karena Dokter Mengki tidak buka praktek selama tiga hari ini,
mau ke luar kota! Oh, rasanya tidak bisa ditunda lagi untuk menemukan dunia khayal Fang Fang
tentang hilangnya lagi saputangan itu. Kisah itu amat menarik perhatian Dokter Mengki! Atau
ditunggu beberapa jam lagi" Ditanyakan lagi apabila Fang Fang sudah pulih kekuatannya" Ah,
tidak mungkin! Tidak mungkin malam ini! Kasihan! Lihatlah, betapa pasrahnya gadis ayu itu! Lelah
sekali! Apa akal" "Rabut Carat! Di mana itu" Di daerah mana?" tanya Dokter Mengki. Pertanyaan itu mestinya
ditujukan kepada Fang Fang. Gadis itulah yang bisa menjawab dengan tepat. Tapi karena dia
terlelap tidur, pertanyaan tadi bisa juga tertuju kepada yang lain, Fusen dan Yong Pin.
"Rabut Carat" Aku seperti pernah dengar nama itu!" Fusen menjawab. "Kalau tidak salah suatu
dukuh dekat alir sebuah bengawan."
2 "Betul! Bengawan Brantas!" ucap Dokter Mengki. Ia ingat betul, Fang Fang tadi bercerita bahwa
saputangan itu tercebur di Kali Brantas! "Kalian tahu di mana tempat itu?"
95 "Aku jadi seperti pernah dengar! Begitu lekat nama itu padaku. Mengapa, Dokter" Apa Dokter
punya kepentingan dengan nama pedukuhan itu?" ujar Yong Pin.
"Rabut Carat! Kita harus pergi ke sana! Untuk penyembuhan gadis ini!"
"Bagaimana, Dokter" Kita" Demi penyembuhan Fang Fang" Harus ke sana"!"
j Fusen dan Yong Pin terkejut. Mengapa harus ke sana" Belum tahu lagi di mana Rabut Carat itu!
"Ini pengobatan. Bukan berdarmawisata!" kata Dokter Mengki mantap.
Tapi kami belum minta izin sama mamanya," bantah piseriv
"Mama sudah mengizinkan! Mama mengizinkan aku mencari Papa' Bahkan Mama yang mendorong
agar aku bertetapan hati mencari papa ke Singasari!"
Ketiga laki-laki sadar itu menoleh ke arah Fang Fang, asal suara itu. Fang Fang masih dalam
kadaan tertidur* Tetapi tadi bisa bicara menjawab ucapan Fusen.
"Ya, Fang Fang".' Bagaimana setelah saputanganmu tercebur di Kali Brantas di tempat
penyeberangan Dukuh Rabut Carat"!" Dokter Mengki segera bertanya.
Tapi Fang Fang tetap tidak sadar, tidurnya tampak pulas.
Tidak berhasil! Mengki segera merasa gagal menggali keterangan yang diperlukan malam itu juga.
Fang Fang tidak bisa diharapkan memberi keterangan atau berkisah lanjutannya setelah
saputangannya hilang di Kali Brantas.
"Nah! Terpaksa! Kita harus pergi ke Rabut Carat secepatnya! Kalian dengar sendiri, Fang Fang
tidak berkeberatan. Mamanya sudah mengizinkan. Kita berangkat
besok pagi, pagi-pagi benar!" kata Dokter Mengki dengan
kepastian. "Kita" Dokter juga?"
"Ya, kita. Kamu, kamu, Fang Fang dan aku!"
"Tapi, bukankah Dokter ambil cuti untuk ke luar kota?"
"Ambil cuti seminggu mulai esok hari. Bukan begitu aku tadi bilang di pesawat telepon" Nah, besok
pagi aku ke Rabut Carat! Bersama kalian! Bagaimana" Bisa?"
"Aku tak keberatan. Mobilku bisa dipakai. Aku bisa mengemudikan," kata Yong Pin.
3 "Kalau begitu aku bisa juga. Karena yang terpenting kan Fang Fang! Kepergian kita ke Rabut Carat
ini bukankah demi penyembuhan Fang Fang" Kalau begitu aku dan Fang Fang harus ikut pergi ke
sana! Jam berapa kita berangkat?" ujar Fusen. Ia merasa semua itu hams dilaksanakan, karena
demi kesembuhan Fang Fang! Ia mau berkorban apa saja untuk itu. Apalagi agaknya ini hanya
memerlukan korban waktu yang diminta darinya. Tentu bisa. Yong Pin saja, yang terlibat masalah
Fang Fang karena permintaan-bantuannya, sanggup menyediakan mobil dan tenaga
pengemudinya! Masa Fusen mau undur" Kadung basah, ia mau kelebus sekalian!
"Berangkat dari sini, pagi-pagi. Terserah kalian jam berapa, aku menunggu. Kita pergi berempat.
Pakai mobilku juga bisa," ujar dokter itu enak saja. Tidak ada kesulitan: atau halangan dalam
rencana kepergian mereka esok. Baik suaranya maupun pengertian kalimat yang terkandung pada
ucapan dokter itu ikhlas dan lepas.
Sekarang mereka menunggu hingga bangunnya Fang Fang dengan sendirinya. Dokter Mengki
melarang Fusen membangunkan Fang Fang. Hari masih belum terlalu
97 malam, mereka bisa minum kopi sebentar sambil menunggu bangunnya Fang Fang dari tidurnya
yang kepulasan: n "Mari kita ke bilik sebelah!" ujar Mengki sambil membukakan pintu tembusan yang menuju ke bilik
samping rumah. Tetapi belum lagi Fusen dan Yong Pin mengikuti ajakan Mengki, baru beranjak, tiba-tiba terdengar
jeritan Fang Fang! Fang Fang menjerit sambil bangkit dari berbaring, laki duduk di atas dipan.
Tangan kanannya menuding-nuding ke lantai, tangan kirinya bertelekan dipan. Kedua lututnya juga
diangkat ke atas dipan. "Saputanganku! Saputanganku! Tercebur! Hanyut' Hanyuti Oh, tenggelam
di situ! Sapu* tangan gambar naga!"
Ketiga laki-laki itu berlari serentak mendekati Fang Fang. Dokter Mengki paling berani menangkap
Fang Fang, sambil menenangkan dengan kata-kata!
"Ssttt Fang Fang! Fang Fang, Nak! Sadarlah! Sadarlah, kamu rasa ini di mana?"
Setelah beberapa kali Dokter Mengki dibantu Fusen dan Yong Pin menenangkan Fang Fang dari
perbuatan yang membahayakan dirinya jatuh dari dipan, akhirnya gadis itu sadar juga. Ia
memandangi Dokter Mengki, Fusen dan Yong Pin, bergantian. Matanya tidak mendelik lagi seperti
tadi, tetapi sayu bertanya, dia itu di mana dan bagaimana.
"Kamu mimpi apa" Kamu tadi tidur di dipan periksaku, Nak!"
! ."Oh, Dokter Mengki! Anu, Dokter! Saputanganku! Saputanganku jatuh ke sungai! Hanyut ikut
arus, lalu tenggelam! Aku minta tolong, tapi tidak ada yang mau membantuku untuk terjun ke
sungai! Oh, saputanganku hilang lagi!"
98 "Ya, Fang Fang! Saputanganmu hilang lagi di Kali Brantas di Dukuh Rabut Carat! Kami sudah akan
4 mei> carinya besok pagi!" ujar Dokter Mengki penuh kasih sayang. Dibelainya lengan Fang Fang dan
dirabanya punggung gadis itu. "Tapi saputanganku hilang sungguhan, Dokter! Saputangan yang kuperoleh dari Pasar Atom tadi!"
suara Fang Fang kebingungan sambil meraba-raba ke lipatan
kutangnya! "Ah, tidak ada yang merabamu! Bagaimana bisa hilang" Bukankah kamu simpan aman di dalam
kutangmu?" ucap Dokter Mengki. Ia ikut merasa heran, sebab dia tadi jadi saksi terdekat bahwa
saputangan gambar naga itu dilipat dan dimasukkan dalam kutangnya.
'Tidak ada, Dokter! Hilang!"
Karena berkata begitu, semangat Fang Fang untuk mencari saputangannya tiba-tiba bangkit.
Dicarinya lebih teliti lipatan kutangnya, namun tetap saja saputangan itu tidak ditemukan. Fang
Fang meraba-raba bagian bajunya yang lain, tidak juga ditemukan. Ia turun dari dipan, baju
dikebut-kebutkan, bawah dipan diperiksanya, tapi saputangan itu tetap tidak terlihat. Ketiga laki-laki
itu juga membantu meneliti tempat-tempat daerah sekitar dipan pembaringan. Tak seorang pun
menemukan secarik kain sutera warna hijau itu. Saking penasarannya, Fang Fang membuka
kancing bajunya, dan melepas gaunnya.
"Periksalah gaun ini, Dokter!" ujarnya sambil memberikan gaun yang sudah terlepas dari tubuh
pemakainya. Dokter itu menerima gaun Fang Fang, dan diperiksanya lipatan jahitan gaun itu seluruhnya,
barangkali saputangan Itu tersangkut di situ. Tetapi tidak. Tidak ada!
99 Gadis Fang Fang yang kini tinggal mengenakan pakaian dalamnya, sibuk meneliti sekitar
kutangnya. Ia tidak percaya bahwa saputangan yang tadi diselipkan di antara kutang dan
payudaranya bisa lenyap. Dicari dan dicarinya lagi di situ. Tidak puas, maka kutangnya dilepas,
dikentrok-kentrok di udara, diintai, tapi saputangan itu tetap menghilang. Jengkel, kutang itu
dibuang ke arah Fusen, teriaknya, "Cari di situ! Cari!"
Fusen dan Yong Pin yang sudah blingsatan malu tapi ingin tahu ketika Fang Fang melepasi
gaunnya, kini jadi senewen menyaksikan ketelanjangan gadis remaja itu! Jantungnya berdegup
keras sekali karena melihat keindahan buah dada Fang Fang yang jelita itu! Andaikata saputangan
itu terselip pada cukungan kutang yang terlempar kepadanya, Fusen tidak menemukan juga! Akibat
lain yang dipandang dan lain yang dicari!
Secepat Fang Fang membuka kutangnya, Dokter Mengki segera melangkah mendekat sambil
memberikan gaunnya. Dibeber begitu rupa sehingga gaun itu menghalangi pandangan kedua
pemuda itu ke arah payudara sang gadis.
5 "Fang Fang, Nak! Saputanganmu memang hilang! Di gaunmu ini juga tidak ada. Mungkin memang
sudah lenyap diceburkan lagi ke Kali Brantas Dukuh Rabut Carat! Jadi marilah kita besok pagi pergi
ke sana, mencari saputangan itu. Kini, kenakanlah gaunmu! Kamu nanti masuk angin kalau begini!"
Mendengar ucapan Mengki itu, Fang Fang juga lantas sadar bahwa sudah takdirnya saputangan itu
lenyap dari penyimpanannya! Lenyap bukan karena keteledorannya. Itulah yang membuatnya
kecewa! Kecewa sekail; 100 Tenggorokannya jadi tersumbat guguk tangis, matanya berkaca-kaca. Ia menjejak-jejakkan kakinya
di atas lantai karena jengkelnya! Kok hilang saputangan pusaka itu! Ia
menerima gaunnya dengan perasaan amat berduka.
Begitu gaun diterima oleh Fang Fang, Dokter Mengki menggiring Fusen dan Yong Pin lewat pintu
tembusan yang telah terbuka menuju ke bilik samping kamar periksa. Ajakan ini dilakukan secepat
bisa. Dan kedua pemuda itu, sekalipun eman, menurut juga saat digiring laki-laki yang lebih tua dan
dewasa. Mereka tidak melewatkan sekilas pandang terakhir ke arah dipan, dan melihat Fang Fang
me+ ngenakan gaunnya. Kedua tangannya terangkat ke atas sambil memasukkan kepala pada
lubang gaun yang masih menyangkut pundak ke atas. Ke bawah masih bebas pandang.
Di bilik sebelah, sambil dilayani oleh Dokter Mengki yang membuatkan kopi hangat, kedua pemuda
itu masih tidak sanggup berkata apa-apa. Pengalaman mendenyutkan jantungnya yang hampir
lepas dari gantungannya itu masih mengelukan lidahnya. Napas rasanya sesak. Sesak sekali.
Tenggorokan sudah digelontori kopi satu cangkir, masih saja kata-katanya tersumbat. Lebih-lebih
Fusen. Sebab sementara memegangi cangkir kopi, di bawah lepek tangan kirinya masih
tergenggam kutang gadis yang dikawalnya sejak dari Tuban.
Entah Dokter Mengki sudah bicara apa, kedua pemuda itu tidak tanggap. Dan sebelum
pembicaraan bisa hidup, pintu kamar periksa dibuka Fang Fang, dan gadis itu masuk sudah dengan
mengenakan gaunnya baik-baik. Anggun kembali.
"Ah, Fang Fang, Nak! Mari minum kopi, biar badanmu
sedikit hangat!" 101 "Betul rencana Dokter tadi, esok pagi kita pergi ke Rabut Carat?" tanya Fang Fang bergairah.
Seperti tidak terjadi apa-apa di antara mereka.
"Ya! Ya, tentu! Berangkat dari sini pagi-pagi. Kalian aku tunggu.'"
Setelah minum kopi, Fang Fang kelihatan lebih cemerlang. Pandangan matanya bersinar,
senyumnya hidup, mengajak teman bicaranya melepas duka. Fusen juga masih terganggu
kegelisahan, sebab meskipun gaun Fang Fang dikenakan dengan anggun, ia tidak melupakan
bahwa tubuh gadis yang terbungkus rapi itu ada kekurangannya, dan benda yang kurang itu masih
digenggam Fusen! Itu yang menggelisahkan. Tapi ia tidak berani memberikan itu terang-terangan
kepada yang punya. Tidak sekarang!
6 Yong Pin sempat berbisik kepada Dokter Mengki, "Dokter! Bagaimana kalau di rumah nanti Fang
Fang kambuh dan berteriak-teriak seperti tadi?"
"Jangan kuatir. Sudah kusiapkan pil penenang untuk
itu. Ingatkan, nanti setelah makan suruh ia meminumnya.
Ia akan tidur pulas sampai esok pagi!"
Kesepakatan sudah bulat, mereka esok hari akan ke Rabut
Carat. Dokter Mengki minta dijemput, ia akan menunggu
di rumahnya. Oleh karena itu, tamu pasien itu pun pulang
mengendarai Honda Civic warna merah. r "Yong Pin, aku duduk di belakang dengan Fang Fang!"
ujar Fusen. Yong Pin tidak berkeberatan. Ia bahkan setuju, sebab mungkin Fusen juga berperasaan sama
dengan dia, kuatir kalau tiba-tiba Fang Fang kumat seperti tadi. Kalau Fusen di dekat Fang Fang, ia
bisa berbuat banyak. Tapi ucapan Dokter Mengki tadi mungkin benar, bahwa Fang Fang tidak
102 ada alasan lagi untuk kumat atau berteriak-teriak lagi! Sebab perlakuan yang mengagetkan tadi
memang ada sendalan keajaiban. Saputangan Fang Fang, saputangan yang sejak kemarin dipercakapkan dan didapatkan
dengan cara ajaib di Pasar Atom, lenyap dari penyimpanan Fang Fang! Patut kalau tabiat Fang
Fang lepas kontrol! Fusen duduk bersanding dengan Fang Fang karena ada maksudnya. Ia ingin mengembalikan
kutang. Jantungnya tetap berdegup keras ketika kesempatan itu ada dan digunakan, tanpa terlihat
oleh orang lain. "Fang Fang. Ini kutangmu!" bisiknya.
Fang Fang menerimanya dengan anggukan terima kasih. Tanpa rasa sungkan.
"Herannya, kok bau harumnya yang semerbak juga lenyap!" sambung Fusen.
"Apa" Kutangku" Kamu cium juga?" tanya Fang Fang sambil tertawa. Jelas tertawa, dirasa dari
nada suaranya, meskipun dalam kegelapan perjalanan malam.
"Huss! Bukan! Maksudku saputanganmu yang hilang itu! Bukankah punya bau khusus seperu asap
setanggi Cina?" Waduh, Fusen amat malu mendengar ucapan Fang Fang itu! Ia sudah berpikir soal
7 saputangan, jfeofeFang Fang masih bicara soal kutang! Bicaranya keras lagi! Fang Fang tidak tabu
bicara soal kutang! Wajar saja. Apa Yong Pin mendengar juga pertanyaan Fang Fang yang
umbar-umbaran itu" Waduh, malu sekali!
Seperti telah disepakati, keesokan harinya pagi-pagi, Honda Civic yang dikemudikan Yong Pin telah
meluncur 103 ke Jalan Suara Asia dan membelok ke nomor rumah 19. Dokter Mengki sudah menunggu di teras
sambil minum teh hangat. "Sudah sarapan" Kalau belum, mari temani aku!" ajaknya dengan suara segar, seperti udara pagi
itu. Matahari belum sepenuhnya menjenguk wajah Kota Surabaya, belum banyak mobil dan
kendaraan bermotor lainnya lalu-lalang. Polusi suara juga belum berjangkit.
Fusen dan Yong Pin adalah dua orang pemuda yang memiliki sopan santun kuat. Meskipun tuan
rumah telah menunjukkan keakraban demikian rupa, keduanya tetap menjaga jarak pergaulan dan
menaruh hormat kepada Dokter Mengki, baik sebagai orang yang lebih tua, sebagai seorang
berprofesi yang kini sedang dibutuhkan, maupun sebagai galibnya orang yang baru berkenalan.
Mereka turun dari mobil dan bergerak lamban menuju ke teras rumah sambil mengambil sikap


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

santun. Sikap Fang Fang lain. Rasa kesal kehilangan saputangan di bilik periksa kemarin tidak tampak lagi
di wajahnya. Seperti hari hujan semalam kini terang cuaca, begitulah wajah Fang Fang saat itu.
Begitu turun dari mobil, terus saja dia naik ke teras tempat Dokter Mengki menunggu. Gerakannya
lincah, tidak ada sikapnya yang ragu-ragu, semua dilaksanakan dengan cekatan. Ajakan Dokter
Mengki ditanggapinya dengan tertawa lebar, seakan-akan pertemuan pagi itu merupakan hari
keakraban penuh seloroh. Sekalian yang terjadi dipandang dari sudut sarwa lucu. Fang Fang
melangkah ke dekat Dokter Mengki. Ia langsung menggapai lengan tuan rumah yang telah siap
diajak bertemu dalam irama dan nada apa saja! Karena Fang Fang membawa gaya pergaulannya
dengan penuh gelak tawa yang serasi
104 dengan pagi berseri itu maka Dokter Mengki juga tidak kikuk menanggapi tamunya. O, dokter itu
selalu menganggap semua orang jadi pasiennya, karena itu perlu kesembuhan, dan terhadap
semua orang ia menyiapkan sikap yang sifatnya mengobati. Gapaian tangan Fang Fang
ditanggapinya dengan raihan mesra.
"Kami sudah sarapan, Pa! Apakah penghuni rumah ini hanya Papa sendiri" Di mana keluarga
Papa?" "Kalau penghuninya tentu saja tidak hanya aku seorang. Pembantu rumah tanggaku ada. Kalau
keluarga, Papa memang sendiri. Adik, kakak, paman, semua sudah jadi orang dan sekarang tidak
mau mengganggu kehidupan rumah tangga saudaranya. Jadi benar ini, tidak ada yang menemani
aku sarapan mumpung kumpul?"
Fusen dan Yong Pin heran melihat keakraban pergaulan Fang Fang dan Mengki. Mereka berdua
tidak ikut naik ke teras, melainkan ke ruangan terbuka tempat tunggu pasien.
8 "Kita belum tahu ke mana tujuan kita hari ini," ujar Yong Pin. "Ke mana kemarin" Rabut Carat"
Daerah mana itu" Berapa jauh dari sini" Aku belum pernah dengar tempat wisata dengan nama
itu!" "Kita juga tidak tahu untuk berapa lama. Sehari" Seminggu" Dokter ambil cuti seminggu,
waktut.yang demikian longgari Kalau tidak karena untuk penyembuhan Fang Fang, aku sulit
menyediakan waktu begitu panjang."
'Tapi melihat kesiapan dokter itu, tidak membawa bekal berkopor-kopor, kiraku kita akan stjharijsaja
bepergian. Kamu juga tahu, kita sendiri tk^r^
kukira kita cukup menyediakan waktu satu hari bepergian!" ujar pemilik Honda Civic. Ia biasa
mengukur jauh dekat tempat dengan kendaraannya.
"Kamu dengar semalam, Dokter Mengki mengharapkan Fang Fang akan menemukan dirinya sendiri
di tempat tujuan kita hari ini!"
"Sungguh pengobatan yang aneh! Tetapi harus kita akui juga bahwa kita sendiri juga aneh. Aku,
misalnya: Kemarin dulu bekerja biasa. Setelah terima surat kilat khusus darimu. seperti teraliri suatu
tenaga gaib, aku sanggup saja menerima kalian di rumahku. Tiba-tiba kendaraanku juga siap tidak
ngadat. Pagi harinya aku menghubungi dokter jiwa untuk Fang Fang, dan seperti dituntun oleh
Sang Pengatur, aku hubungi Dokter Mengki! Mengapa tiba-tiba aku punya waktu untuk kalian"
Mengapa kepergian ini tidak pernah terbayangkan di anganku sebelumnya?"
Fusen tersenyum membenarkan. Ia sendiri tidak tahu jawaban untuk pertanyaan temannya. Sejak
bertemu dengan Fang Fang kemarin dulu di Tuban, rasanya ia sendiri enggan menolak terjadinya
lelakon yang berlangsung bersama Fang Fang. Yang bam saja dijalani maupun yang akan datang,
ia lakukan dengan senang hati dan ikhlas. Demi Fang Fang! "Apakah kamu akan berhenti
mengantar kami hanya sampai hari ini?"
"O, tidak! Tidak kalau masih diperlukan! Aku sekarang justru ingin tahu akhir kisah ini! Akhir dan
cara penyembuhan Fang Fang! Kisah tentang saputangan sutera hijau yang disulam gambar naga!
Dan di mana Dukuh Rabut CararJ Semuanya sungguh menarik untuk diikuti! Bukan karena aku
belum tahu, ingin tahuku justru karena rasanya aku ikut terlibat dalam kisah itu! Aku seperti pernah
106 terlibat bersama kamu mengenai peristiwa hilangnya saputangan gambar naga itu di Kali Brantas!
Aku seperti pernah melihat Duta Mengki'i! Pernah melihat Fang Fang sebagai Puteri yang bergaul
rapat dengan panglima pasukan Tartar yang menyerbu ke pedalaman Pulau Jawa, sedang aku dan
kamu termasuk menjadi pasukan Tartar itu! Aneh! Semua itu kini kalut dalam pikiranku, campur
baur dengan cerita yang pernah kubaca dan khayalanku sendiri, yang justru muncul karena
kedatanganmu bersama Fang Fang yang menghubungi aku kemarin!"
"Rasanya kita senasib dan seperasaan! Aku juga diliputi khayalan seperti itu! Fang Fang menjadi
tali pancing yang menghela kisah kita ini^ terbongkar setelah ratusan tahun tertimbun waktu!" keluh
Fusen sambil menghempaskan napas.
Yong Pin lebih berani mengumbar perasaannya. "Rasanya aku hidup dalam aliran usaha
penyembuhan Fang Fang dengan membongkar-bongkar kisah lama. Kita kini dalam peralihan
9 gelombang waktu, hidup dalam dimensi keempat, di mana kehidupan dari waktu ke waktu, dari
zaman ke zaman, dapat sengaja kita hidupkan kembali seperti halnya kita kembali menengok
tempat. Kita pernah melihat Tuban, dan kita bisa kembali melihat Tuban, itu kehidupan kita
sekarang. Dalam kehidupan dimensi keempat, kita bahkan bisa kembali menghidupkan bagaimana
kita di Tuban waktu masih kecil. Atau Tuban pada zaman Tuanku Mengki'i mendarat di sana
sebagai utusan dari Kaisar Kubilai Khan! Sekali lagi kukatakan, pada proses penyembuhan Fang
Fang ini, aku seperti ikut berperan sebagai seorang prajurit Tartar. Aku merasa pernah mengulangi
lelakon ini, mengawal Tuan Putri Fang Fang! Untuk
107 menyembuhkan kelainan jiwa Fang Fang, kita semua jadi ikut berjiwa lain dari keadaan yang
waras!" "Kita semua ikut kesurupan!" tegas Fusen setuju! Sementara itu, Dokter Mengki dan gadis Fang
Fang yang duduk bersanding di meja makan bicara akrab sendiri seperti ayah dan anak gadisnya.
Meski tidak berkeberatan dan tidak menganjurkan, ia mau saja dipanggil Papa oleh Fang Fang.
Kelakuan Fang Fang yang manja terhadap papanya seperti wajar saja sebagaimana kehidupan
seorang gadis yang papanya seorang dokter. Dokter Mengki memang papa semua gadis
pasiennya. Tapi Fang Fang ini punya kedudukan yang istimewa.
"Papa yakin bahwa pencarian saputangan di Dukuh Rabut Carat ini pasti berhasil?" tanya Fang
Fang. Tergantung dirimu! Kamu pernah mengatakan bahwa saputangan ku terlepas dari tanganmu
sewaktu kamu di sana. Kamu tidak diam saja. Kamu mencari. Adakah kamu temukan kembali
saputangan ku di situ?"
"Di anganku ya! Tetapi tidak bisa kumiliki kembali. Saputangan ku ditemukan oleh seseorang dan
kemudian aku terus mengikuti orang itu ke mana dia pergi!"
"Dan tidak pernah kamu jamah lagi saputangan itu?" "Pernah. Pernah kumiliki hanya sebentar.
Tetapi segera kuberikan kepada orang yang menjanjikan kehidupan bahagia kekal abadi."
"Nah, mengapa masih harus kamu cari?"
"Di mana kautemukan?"
"Di Pasar Atom! Di sebelah Kali Pegirikan!"
"Dan hilang lagi secara ajaib di bilik periksa situ!"
"Apakah Fusen dan Yong Pin bisa terlibat dalam hilangnya saputangan ini?"
Tidak! Kedua orang itu orang terpercaya bangsa kita. Mereka sangat setia dan hormat kepada
bangsawan nenek moyang orang Fukien, orang-orang seperti kita ini! Fusen mungkin pernah
memegang saputangan itu di tangannya, tetapi ia tidak mengerti hams dibawa ke mana, harus
diserahkan kepada siapa?"
"Kurang ajar! Mengapa tidak diserahkan kepadaku?"
10 "Ia tidak sengaja memegangnya. Dan mendapat celaka karenanya!"
Tapi dia pernah memegang saputangan itu" Tolol sekali! Ia kan tahu bahwa aku membutuhkan
saputangan itu, aku memburu-buru saputangan itu?"
"Tapi akhirnya saputangan yang tersisa padanya diberikan juga kepadamu, bukan?" tanya Dokter
Mengki. Tidak! Mana" Kapan?" nada suaranya meninggi.
"Ketika dia pulang cuti ke Tuban. Kemarin dulu mungkin. Kamu mendapat oleh-oleh apa dari
Fusen?" "Oh, itu! Ya. Saputangan sisa! Tanpa jiwa, tanpa sulaman gambar naga di dalamnya!" suara Fang
Fang mengendor. "Memang tinggal itu yang sempat dipertahankan, yang masih dimilikinya. Dan kemarin, ketika
saputanganmu hilang lagi di bilik situ, ia juga menemukan sesuatu. Fusen ini memang orang yang
tidak bisa terpisahkan dari kisah saputangan gambar naga itu!" ujar Mengki dengan senyum
melucu. "Oh, jadi dia yang menemukan saputanganku kemarin" Kurang ajar! Ia tidak melapor kepadaku!
Mengapa tidak 109 dikembalikan kepadaku, tahu aku setengah mampus membutuhkannya"! Mana dia sekarang?"
nada suaranya meninggi kembali.
"Fang Fang, sabar! Mungkin dia belum sempat mengembalikan!"
"Ah, gila! Kesempatan bergaul begitu banyak dan leluasa, kok tidak sempat mengembalikan!"
"Ia membawanya tidak dengan sengaja, tidak tahu bagaimana harus mengatakan kepadamu. Masa
dia belum mengembalikan yang ditemukan dia kemarin kepadamu" Ia menemukan sesuatu milikmu
kemarin ketika kamu kehilangan. Aku melihatnya, tangannya begitu kencang menggenggamnya!
Tentulah akan diberikan kepadamu pada kesempatan bisa berdekatan dengan seorang diri!"
"Mana"! Dia tidak memberikan apa-apa kepadaku! Papa tahu, itu saputanganku?"
"Aku tahu itu milikmu. Kalau belum dikembalikan kepadamu; mungkin saja sekarang kamu juga
tidak memakainya!" "Jelas aku tidak memakainya! Mana dia, milikku harus kembali kepadaku!" ujar Fang Fang sambil
berdiri. Berteriak sengit, "Fusen!"
"Fang Fang! Yang kumaksud milikmu yang ditemu Fusen adalah kutang! Apa kamu pagi ini tidak
memakainya" Belum dikembalikan oleh Fusen?"
Sadar akan seloroh Dokter Mengki, Fang Fang segera memukul-mukul "papa"-nya! Ia gemes
11 terhadap Mengki dan selorohnya!
Fusen yang bagaikan disengat lebah mendengar teriakan Fang Fang meloncat ke mang tempat
Fang Fang berada. Yang dilihatnya adalah Fang Fang sedang memukul-mukul
Dokter Mengki dengan sekuat tenaganya. Fusen bingung. Yong Pin yang menyusul kehadiran
Fusen juga bingung. Mau berbuat apa mereka" Sikap mereka persis seperti ketika Fang Fang
memerintahkan menyerang perwira Singasari, sedang Tuanku Mengki'i melarangnya! Dua orang
beranak, sama-sama majikannya, sedang bertengkar! Kepada siapa abdi bangsa Fukien itu harus
berpihak" "Fang Fang kumat!" bisik Yong Pin ke telinga Fusen.
"Pengobatan macam apa lagi ini?" Fusen tetap terbengong menyaksikan pertengkaran itu.
"Aku sebel sama Papa! Ayo kita berangkat! Yong Pin, siapkan mobil!" seru Fang Fang dengan nada
yang tetap sama tinggi. "Kamu memanggilku, Fang Fang"!" tanya Fusen bersungguh hati.
"Oh, tidak! Tidak! Papa ini yang keterlaluan! Katanya barangku ada yang belum kamu kembalikan!"
"Barangmu"! Belum aku kembalikan" Barang apa?"
"Ah, sudah! Sudah kau kembalikan semalam! Tapi yang kamu kembalikan semalam bukankah yang
bau harumnya sudah hilang" Ganti bau kecut?" ujar Fang Fang dengan tertawa lebar. Minat
selorohnya mendadak muncul.
Mengerti apa yang dibicarakan Fang Fang, muka Fusen, pemuda jantan yang bertubuh kekar dan
berbadan bidang, menjadi merah padam karena malu. Ia membalikkan diri dan berjalan mengikuti
langkah Yong Pin yang duluan menyiapkan mobil.
Melihat merah padamnya wajah Fusen, secepatnya Fang Fang mengejar dan menggandeng
tangan Fusen. "Maaf, Fusen. Aku berseloroh!"
Mereka berangkat menuju Rabut Carat dengan menggunakan Honda Civic merah milik Yong Pin.
Fang Fang dan Mengki di belakang, laki-laki muda yang gagah, Fusen dan Yong Pin di depan,
sekaligus sebagai pengawal, seperti tugas yang pernah disandangnya pada zaman dahulu kala!
Fusen yang bertubuh kekar dan berdada bidang, waspada mengawasi jalan di depan arah yang
dituju, sedang Yong Pin yang terbiasa mengemudikan kendaraannya, terampil dan cekatan duduk
di belakang kemudi. Keempat penumpang mobil telah mengetahui tujuan mereka ke Dukuh Rabut
Carat, namun tidak seorang pun di antara mereka tahu di mana letak dukuh itu. Jelas tujuan mereka
ke luar kota Surabaya. Tanpa banyak membuang waktu, Yong Pin menginjak pedal gas mobilnya
melejit ke luar kota. Ya, ia tidak mau kehilangan waktu. Bukan, bukan aliran Kali Brantas yang ke
barat, tapi ke selatan! Angan Yong Pin, dan sesuai dengan angan yang lain, Kali Brantas yang
harus mereka datangi adalah Surabaya ke selatan, seperti arah Singasari! Mereka terbayang
pernah melintasi daerah itu, melakukan perjalanan senipa. Tapi hanya bertiga, tanpa Mengki!
Mengki sudah pergi terlebih dahulu, dan perjalanan mereka menyusul Mengki! Dalam peristiwa
yang terjadi entah kapan ku, Yong Pin juga yang ambil pimpinan, berjalan terdepan sebagai perintis
jalan. Ia tidak mengendarai mobil, melainkan berkuda! Mereka bertiga menunggang kuda yang
12 terlatih untuk berperang, dipacu dengan cepat untuk menghindari orang pribumi yang bermaksud
menyamun. Kini dalam daur ulang, Yong Pin seperti melihat bayangan masa lalu ku. Ia tidak ragu-ragu
melarikan Honda Civic-nya ke sana. Melacak jalan yang pernah dirintisnya. Langit
112 sama birunya, cuaca sama terangnya, di depan sana terlihat puncak-puncak gunung
Penanggungan dan Arjuna yang dulu juga, dan sekarang pun dijadikan pedoman arah tujuan
mereka! Setelah melewati Wonocolo, Siwalankerto, melingkar masuk jalan tol, lebih leluasa,
kecepatan ditambah, perasaan jadi gembira seperti gembiranya dulii saat menunggang tiga ekor
kuda yang dipacu lepas seperti anak panah yang lepas dari busurnya.
"Kita mengikuti jalannya bus Kudaku Lari itu!" usul Fusen. Ia melihat bahwa tujuan bus tadi Malang.
'Kudaku Lari' keluar dari jalan tol di Porong. Honda Civic merah membuntuti di belakangnya.
Mereka tetap belum mengerti jelas di mana Dukuh Rabut Carat itu berada. Tetapi tidak seorang pun
mengemukakan ketidaktahuan mereka, dan semua menganggap jalan yang mereka tempuh benar!
Ketika mereka melewati Jembatan Porong, Fang Fang berteriak, "Ini bengawan itu! Di Bengawan ini
saputanganku runtuh tercebur ke dalamnya ketika aku sedang menyeberang! Waktu itu kita
sama-sama naik perahu! Papa juga! Dan tukang perahu yang baik hati itu, yang menolong aku
membawa kudaku naik ke perahunya, oh, aku ingat, Swandanu!"
"Kita harus menuju ke situ!" perintah Mengki.
"Ya, Tuan! Di depan ada pertigaan. Pertigaan yang kedua, kita belok ke kanan!" jawab Yong Pin
pasti. Nalurinya tidak bisa dibujuk lagi, menuntun ke sana.
Mobil masih harus mengikuti bus 'Kudaku Lari' ke selatan sampai di Japanan, barulah berbelok ke
kanan. Sampailah di Watukosek. Terus saja. Setelah melewati tugu batas desa, sampailah mereka
pada sebuah kampung. "Kita titipkan mobil pada rumah itu, yang halamannya tanpa pagar!" kata Fusen yang selalu
waspada mengawasi dan mengingat-ingat jalanan.
Semua seperti setuju saja dengan ucapan pengawal perjalanan yang cermat itu. Mobil membelok
ke kanan jalan, diparkir di samping sebuah rumah kampung. Penumpangnya turun, dan Dokter
Mengki sebagai orang yang paling tua, menemui penghuni rumah itu serta menitipkan mobil untuk
sementara. Penghuni rumah, seorang laki-laki seusia Dokter Mengki, menyambut dengan hormat
yang berlebihan, dan dengan suka hati menerima penitipan mobil.
Bagaikan telah dibicarakan dan dimufakati bersama, keempat penumpang mobil itu tanpa
dikomando lagi langsung saja melewati sebuah gang di samping rumah menuju ke utara. Beberapa
rumah kampung terlewati, sehingga sampailah mereka pada lahan tegalan. Ladang yang kias
terhampar di depan mereka, dengan latar belakang sebuah kampung yang rimbun dengan rumpun
bambu^ serta tanggul yang memanjangi cakrawala. Gang yang tadi mereka lalui kini menyempk
menjadi pematang. Dokter Mengki berjalan paling depan diikuti Fang Fang. Yong Pin berjalan
paling buncit. 13 'Kita pernah melalui jalan ini! Dulu lebar, cukup untuk sepasukan prajurit berkuda," celetuk Yong Pin
mengumbar suara. Tanpa dibongkar suara Yong Pin, ketiga orang di depannya pun terbayang peristiwa yang mereka
alami bersama. Mereka tidak berjalan beriringan begitu, melainkan menunggang kuda, bersamaan!
Mungkin tepat di tempat itu, keadaan mereka sudah kacau. Prajurit Tartar menunggang kuda
berdelapan, memacu kudanya tergesa untuk sampai
114 pada tempat penambangan Dukuh Rabut Carat! Di tempat itu mereka telah diburu oleh bahaya!
Sekelompok orang jahat mengancam mau membunuh mereka. Merampas barang dan membunuh!
Di tempat ini mereka sudah terpisah dari Pamoraga serta anak buahnya. Perwira muda Singasari itu
telah memerintahkan anak buahnya untuk mengamankan jalan yang bakal dilewati orang Tartarfitu.
Mereka sendiri mengiringi dan mengawal kedelapan orang Tartar yang dikepalai oleh Duta Mengki'i.
Tetapi di Pamulungan, beberapa pai sebelum tempat itu, mereka dihadang oleh sekelompok orang
jahat yang menginginkan barang-barang harta benda kafilah yang lewat. Dengan tangkas
Pamoraga mengerahkan pasukannya untuk mengusir penjarah yang jumlahnya lebih besar dari
pasukan Singasari itu. Namun, karena pasukan Singasari dilengkapi senjata beraneka dan
keterampilan perang yang andal, para penyamun berkelompok itu lari tunggang langgang masuk ke
hutan, menyelamatkan diri masing-masing.
Sebelum pengejaran terhadap para penyamun itu dilanjutkan, Pamoraga, lewat juru bahasa,
memerintahkan delapan orang Tartar itu segera memacu kudanya ke Dukuh Rabut Carat. Di sana
ada beberapa buah perahu tambang. Silakan mereka secepatnya memilih perahu dan
menyeberang! Biaya ditanggung oleh Pamoraga sebagai perwira ke" percayaan Raja Singasari.
Begitu ceritanya mengapa belum lagi menyeberangi Kali Brantas,: pasukan Singasari berpisah
dengan orang Tartar kelompok Duta Mengki'i. Tetapi Duta Mengki'i dan anak buahnya dapat
menerima keadaan itu! Mereka berpisah sambil saling menghormati, dan sama-sama maklum
karena tugas harus terlaksana demikian. Untuk Mengki'i
115 dan anak buahnya, berpisah dengan pasukan Singasari pimpinan Pamoraga itu sama sekali bukan
masalah! Mereka berdelapan mempunyai perlengkapan perang seutuhnya, lebih lengkap dan
beraneka daripada milik pasukan Singasari. Karena ku mereka yakin bisa membela diri apabila ada
penyamun atau perampok! Mengki'i juga lebih leluasa memerintah anak buahnya, leluasa berbuat
apa kehendaknya, tidak lagi terikat dengan pasukan Singasari. Tapi kalau seharusnya Pamoraga
mengantar kelompok Tartar itu menyeberangi Kali Brantas, dan kini ternyata harus mengejar para
penyamun, itu Mengki'i juga maklum.
Pasukan Singasari telah mengejar gerombolan penyamun bersenjata yang masuk ke dalam hutan,
tetapi Pamoraga masih menyampaikan kata berpisah kepada kelompok orang Tartar itu. Uraian
maaf kepada Duta Mengki'i telah selesai. Kini mata Pamoraga tertuju kepada Fang Fang. Perwira


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Singasari itu punya kenangan manis yang menggugah ingatannya mengenai Puteri' Fang Fang int.
Darahnya tersirap ketika beradu pandang dengan gadis Puteri Duta itu! Ternyata anak perawan itu
juga mengharap suatu kata perpisahan daripadanya. Hmm! Peristiwa yang menoreh jantung
mudanya itu! Muka Pamoraga bergeser dari perut ke atas, tidak melewati dada berotot milik
14 pemuda tanggung, tapi lunak milik seorang anak perawan! Ah, waktu itu Fang Fang menyerang
Pamoraga dengan mencurahkan segala kekuatannya berkuda! Kini anak dara itu menyerang
dengan pandang menanti! Geragapan Pamoraga sadar akan sergapan ini! Apa yang mesti
diucapkan" "Saudagar Tuban! Katakan kepada Puteri Fang Fang itu ...!" terhenti ia cari kalimat yang tepat.
"Ya, Tuanku" Apa yang harus hamba sampaikan?" "Katakan ..., katakan ..., bahwa saputangannya
harum sekali! Aku berhasrat memilikinya kalau dia suka meraiper> tukarkan dengan sesuatu milikku!"
"Saputangan sebagai tanda mata" Apakah Tuanku jatuh hati kepadanya?"
"Jangan tanya yang lain! Sebutkan hal itu, cepat!" ujar Pamoraga tersentak. Wajahnya merah
padam disulut malu! Padahal mestinya ia pasang senyum untuk perpisahan dengan Puteri Asing
yang ayu itu! I Saudagar Tuban menyampaikan apa yang diucapkan Pamoraga dengan bahasa yang serba
kurang. Terjemahan seadanya.
Di luar dugaan, Fang Fang menjadi sewot! Ia membuang mata, dan menggertak kudanya untuk
segera bergabung dengan rombongan orang Tartar yang berjalan terdahulu! Tanpa bicara apa-apa!
Wajah Pamoraga yang telah terbakar merah padam, jadi menyala hangus! Ia telah berbuat sesuatu
yang keliru! Apakah pertukaran tanda mata seperti itu tabu bagi bangsa Tartar sehingga tidak layak
disampaikan pada kejadian semacam itu"! Tangannya menggenggam tali kendali dengan erat-erat,
melampiaskan kekecewaan hatinya! Sangat menyesal! Mengapa tadi mesti berucap demikian"
"Kamu telah mengucapkan apa?" tanya Pamoraga kepada saudagar Tuban.
"Apa yang Tuanku maksudkan! Yaitu bahwa Tuanku ingin tukar-menukar saputangannya dengan
barang milik Tuanku sebagai kenang-kenangan manis!"
"Goblok! Siapa yang bermaksud memiliki kenangan manis segala?"
117 116 Tapi Puteri itu marah bukan karena itu, Tuanku! Beliau marah mungkin karena saputangan seperti
itu tidak boleh digunakan sebagai tanda kenang-kenangan! Karena akan
mengakibatkan perpisahan atau perputusan!" kelit saudagar Tuban mengarang cerita. "Jadi
sebaiknya ucapkan kata perpisahan yang lain' Cepat, sebelum mereka jauh!" "
"Begitu, ya?" yang sedang dilanda birahi jadi berbuat serba dungu. "Kalau begitu katakan, bahwa
kalau sampai di tempat penambangan perahu, carilah tukang perahu yang bernama Swandanu! Dia
sahabatku! Katakanlah bahwa penyeberangan ku atas suruhanku! Swandanu tentu dengan senang
hati mau menolongnya! Cepat bicaralah begitu!*! "Siapa tukang perahu itu, Tuanku" Swandanu?"
15 "Swandanu, Goblok!"
Saudagar Tuban berteriak untuk menerjemahkan apa yang diucapkan Pamoraga. Tapi suaranya
hilang ditelan udara panas lepas tengah hari. Rombongan orang Tartar itu sudah terlalu jauh
meninggalkan mereka. Suara saudagar Tuban tidak mungkin terdengar. Oleh karena itu, laki-laki
kurus itu berusaha mendekati jarak antara rombongan Tartar dengan lari dan berteriak-teriak.
Tanah dasar tempat berpijak tidak rata, menyebabkan dia tersandung dan jatuh tertelungkup.
Pamoraga kian marah! Ia menganggap saudagar Tuban i bodoh sekali! Padahal pesan Pamoraga
yang terpenting in mesra belum tersampaikan! Maka dia gertak kudanya, mendekati laki-laki yang
sedang kerengkangan bangkit, "paknya menggandol pada kudanya, dan dibawa lari ndekati
rombongan orang Tartar. Sebelum Duta Mengki'i memacu kudanya, ia men-ngar bunyi kuda
Singasari yang bergerak di belakangnya.
118 Kuda Singasari tubuhnya lebih kecil, bunyi telapak kakinya jika lari juga lebih kerap. Mengki'i
dengan telinganya yang tanpa daun sebelah itu sempat mencatat bahwa kuda yang
datang membuntuti itu bunyinya agak menyaruk, tentulah muatannya terlalu berat! Tanpa berkata
apa-apa, Mengki'i menghunus pedangnya, dan memperlambat jalan kudanya. Fang Fang yang
berada di belakangnya melihat juga bahwa
papanya mengambil sikap waspada.
"Ada apa, Pa?" "Ada seorang Singasari membuntuti kita!" Fang Fang segera menarik saputangan gambar naga dari
lekuk payudaranya, dan dikibarkan ke arah belakang. "Kamu berbuat apa, Fang Fang?" "Kita akan
selamat dengan lambaian saputangan ini!" "Huh! Tolol sekali!"
Bunyi telapak kuda kian dekat, dan tampaklah Pamoraga yang menggondolkan saudagar Tuban.
Setelah dekat dengan kedua orang Tartar dua beranak itu, Pamoraga menyuruh saudagar Tuban
turun dari kudanya. Bebannya memang terlalu berat. Kurang biasa naik kuda, turunnya begitu kikuk
sehingga tulang belulang laki-laki kecil itu jatuh berderak.
Tahu bahwa yang datang Pamoraga, Mengki'i segera menyarungkan pedangnya. Orang Singasari
ini tidak akan mengganggunya, bahkan sebaliknya.
Fang Fang juga segera menyembunyikan saputangan yang sedang dikibarkan, cepat dimasukkan
ke celah dadanya. Alasannya lain dengan Mengki'i. Fang Fang tidak menginginkan orang Singasari
itu melihat lagi saputangan nya. Ia bahkan curiga kalau-kalau kedatangan Pamoraga menyusul
perjalanannya itu untuk meminta paksa saputangan
119 itu! Itu tidak mungkin! Tidak mungkin Fang Fang memberikannya! Karena saputangan itu adalah
jiwanya! Jiwa Fang Fang! "Ada apa lagi, Tuanku?" tanya Mengki'i dalam bahasanya, dengan harapan segera diterjemahkan
16 oleh laki-laki kecil yang sedang kesakitan itu.
"Ampun, Tuan Puteri! Perwira ini masih akan menyampaikan pesan lagi! Bahwa nanti apabila
sampai di tempat penyeberangan, carilah tukang perahu yang bernama Swan .... Swan-siapa tadi"
Anu, Swandanu! Swandanu! Katakan, bahwa penyeberangan itu atas perintah Tuanku Pamoraga!
Pamoraga, perwira Singasari
uu Apa yang dikatakan saudagar Tuban itu mestinya bisa disampaikan kepada Mengki'i, karena
kecuali dia, kepala rombongan juga berhak bertanya apa keperluan Pamoraga datang menyusul.
Tetapi karena saudagar Tuban tadi menyampaikan pesan kepada Puteri Fang Fang maka masih
dalam merangkak kesakitan ia sudah bicara gagap-gagap kepada Fang Fang. Ucapan itu seakan
masih dalam kelanjutan yang terputus karena Puteri Fang Fang tadi sewot!
Dan karena tidak mengerti apa yang diucapkan penerjemah-itu selain bahwa laki-laki kecil tadi
bicara menghadap Puteri Fang Fang maka Pamoraga menanti reaksi gadis itu dengan memandang
terpukau. Ia tidak lagi mengindahkan Mengki'i yang lebih tua. Tingkah dungunya berlanjut.
"Fang Fang! Perwira Singasari itu memperhatikan kamu!" tegur Mengki'i.
"Biar! Bukan aku yang diperhatikan, tetapi saputanganku!"
120 "Tapi yang diucapkan penerjemah itu tidak mengenai
saputangan! Ingat-ingatlah nama orang perahu dan nama perwira itu! Swandanu dan Pamoraga! Itu
akan berguna di penyeberangan nanti, kalau pun kita terpaksa bicara dengan bahasa isyarat! Dua
nama yang harus kamu ingat,
Swandanu dan Pamoraga!"
"Ayah sajalah yang mengingat!"
"Berkatalah sesuatu, karena perwira Singasari yang ramah tamah itu mengharap jawaban keluar
dari mulutmu!" tegur Mengki'i.
Fang Fang mengerti juga hal itu. Tetapi hatinya yang sewot tadi belum tersembuhkan. Dan
sepanjang perkenalannya dengan perwira Singasari itu, Fang Fang belum pernah tersenyum
untuknya. Awal perkenalannya adalah kecurigaan dan perkelahian, dan sampai kini pun Fang Fang
belum memaafkan, meskipun perwira muda itu telah membuktikan sikapnya yang tulus dan
bersahabat dengan ayahnya. Selama perjalanan bersamanya, Fang Fang tidak mengucapkan
apa-apa, dan juga tidak ingin mengubah sikapnya. ,
"Apa peduliku dengannya" Perjalanan bersama ini tidak ada sangkut pautnya antara perkenalanku
dengan dia. Bagaimana pun sikapku dan sikapnya kepadaku tidak ada untung ruginya bagi masa
depan kita. Sebentar lagi kita akan berpisah, dan akan selamanya kita tidak berhubungan lagi!"
"Bohong kalau kamu tidak memperhatikan dia! Aku lihat kamu selalu melirik dia, dan berusaha
17 menangkap percakapan kami! Dan waktu berpisah tadi, aku tidak salah berkesan, kamu
memandangnya seperti dia memandangmu sekarang ini. Kamu menunggu suatu ucapan yang
keluar dari mulutnya untukmu!"
"Bohong! Papa ngaivwi" teriak Fang Fang terbuka rahasianya.
"Dan lagi, Fang Fang! Lebih baik kamu tersenyum kepadanya daripada berseteru, sekalipun setelah
ini terjadi kamu tidak akan bertemu lagi selama hidupmu dengan dia! Dan tersenyum atau berseteru
ku kemudian tidak berguna juga karena toh kalian tidak berjumpa lagi! Tetapi tentu berkesan di
dalam hatimu akan rasa hangat bersahabat dengan sesama manusia apabila kamu tersenyum
kepadanya. Dan akan terasa sakit yang membara dihatimu kalau dalam pergaulan ini, biar pun
cuma singkat, kamu berseteru dengan sesama manusia!" nasihat Mengki'i kepada anaknya.
"Apa yang dibicarakan7 Apa yang dipertengkarkan'" tanya Pamoraga kepada saudagar Tuban.
"Ampun, Tuanku. Hamba kurang paham! Mereka menggunakan bahasa dialek mereka dan
diucapkan terlalu cepat!" "Oooh! Goblok!"
Fang Fang sebenarnya mengakui kebenaran nasihat ayahnya. Tetapi dia telanjur malu. Malu juga
karena rahasianya terbongkar oleh ayahnya. Apakah dia tidak mengindahkan kehadiran Pamoraga
di antara mereka" Fang Fang tidak bisa bohong terhadap ayahnya! Kini ia memaksa diri
memandang Pamoraga dengan mata meredup, setengah terpejam karena menutup rasa malu, lalu
mengangguk. "Ia mengangguk, Mang Tuban' Ia mengangguk! Ia tahu apa yang kamu katakan! Ulangi lagi, biar dia
hafal nama Swandanu!"
"Tuanku. Lebih baik hamba ikut orang Tartar itu kembali ke Tuban! Biar hamba digandolkan seperti
waktu 122 berangkatnya! Nanti hamba bisa berkata kepada tukang perahu di Rabut Carat!"
"O, begitu maksudmu! Baik! Mintalah sendiri kepada mereka. Tadi kamu minta ditinggal di istana
juga atas kemauanmu sendiri! Aku tidak berkeberatan!"
Begitulah perpisahan dengan Pamoraga! Penerjemah itu akhirnya kembali ikut menggandol pada
salah seorang prajurit Tartar seperti pada waktu berangkatnya.
Pamoraga membalikkan kudanya dan memacu ke arah selatan, bergabung dengan induk pasukan
yang sedang melakukan pengejaran terhadap gerombolan bersenjata.
Rombongan Mengki'i juga melarikan kudanya ke arah berlawanan. Mereka ingin berada di
seberang sebelum matahari terlalu jauh condong ke arah barat. Perjalanan selanjutnya akan
melalui tanah datar yang banyak rawa-rawa, hutan dengan pepohonan besar amat berkurang,
sehingga mereka akan bisa memacu kudanya dengan laju.
Tetapi apa lacur! Belum lagi beberapa tindak mereka berpacu, di tengah jalan mereka dihadang
segerombolan orang bersenjata arit dan kelewang. Dari sikapnya orang sudah tahu, mereka hendak
18 berbuat jahat. Mereka hendak menyamun kelompok orang asing itu! Mereka mengacung-acungkan
senjata tajamnya dan agaknya tanpa bersapa kawan atau musuh, terus saja menyerbu.
Mengki'i memberi aba-aba anak buahnya untuk mempersiapkan senjata jarak jauh! Siapkan panah.
Mereka tidak akan mundur atau mencari jalan lain. Jarak sudah terlalu mepet untuk berputar atau
menghindar. Gerombolan ini sama saja dengan yang dibabat oleh anak buah Pamoraga tadi. Yang
menghadang tidak banyak. Yang tersembunyi
123 lebih banyak. Maka Mengki'i memerintahkan anak buahnya untuk mengatur penyerangan.
Mengki'i sendiri bukanlah ahli perang. Tetapi para pengiringnya adalah prajurit Tartar yang telah
terlatih dan berpengalaman dalam berbagai medan pertempuran. Di antara mereka ada yang telah
ikut menyerbu ke negeri-negeri Asia barat hingga ke daerah Negeri Balkan. Mereka sengaja
disertakan dalam perlawatan Duta Mengki'i untuk persiapan kalau-kalau terjadi gangguan
keamanan pada utusan Sang Kaisar. Meski jumlahnya kecil, pengalaman dan keahliannya
berperang dalam mempergunakan senjata maupun berkuda sangat tinggi. Dalam menghadapi
hadangan orang-orang bersabit, prajurit Tartar mengandalkan kebersamaan dengan jumlah yang
besar itu saja. Prajurit Tartar pengiring Mengki'i sama sekali tidak membayangkan kesulitan
apa-apa! Terlalu ringan! Mereka tidak perlu mengeluarkan siasat bertempur yang berbelit-belit.
Kalau hanya penghadang seperti yang terlihat itu, enam orang prajurit Tartar berkuda dan
bersenjata lengkap itu akan dapat mengatasi sambil lalu saja, dan akan menerobos hadangan
musuh dalam waktu yang singkat tanpa berkorban apa-apa! Tinggal apa perintah Mengki'i. Apa
kemauan kepala rombongan itu. Kini Duta Mengki'i sudah menguraikan kemauannya maka prajurit
Tartar itu pun bersiap dengan sigap. Panah disiapkan, penyerbuan untuk menerobos jalan
dilaksanakan dengan memacu kuda menerjang benteng manusia berarit! Teriakan perang
terdengar gegap gempita mengejutkan penyamun pribumi itu! Mereka tidak menduga bakal dapat
serbuan begitu ganas! Prajurit Tartar yang berjumlah kecil dan berpakaian serba apik, termasuk
persenjataannya yang serba
mengilap, diduga semula hanya suatu perhiasan, pameran ornamen yang tidak bisa digunakan
untuk mempertahankan diri. Dan justru benda-benda gemerlapan keemasan itulah yang menarik
perhatian orang pribumi untuk merampoknya. Tidak tahunya, persenjataan itu betul-betul bisa
digunakan. Dan orang-orang Tartar yang semula ramah dan halus, tiba-tiba jadi beringas dengan
teriakan bengis menyerang mereka! Sungguh tidak terduga! Jelas bukan sasaran penyamunan
yang empuk seperti tampak semula! Belum lagi lepas dari kejutan oleh teriakan perang yang bengis
itu, penyamun yang baru tahap belajar itu telah menyambung kekagetannya dengan jeritan ngeri
kesakitan! Panah yang dilepaskan prajurit Tartar itu telah lebih dulu sampai dan mengenai sasaran
yang mematikan! Ada yang kena tepat matanya, lehernya, dadanya! Sasaran yang tepat demikian
tidak sempat lagi menjerit, tapi langsung ditinggalkan jiwanya, jatuh tersungkur tak bernapas lagi.
Selain tusukan anak panah yang mengenai bagian yang fatal, ujungnya telah dipolesi racun ganas
yang cepat merangsang kematian. Mereka yang menjerit-jerit kengerian itu adalah yang melihat
temannya disambar maut, atau diserempet laju anak panah hingga kulitnya tergores. Biar pun
hanya goresan di kulit, tapi sakitnya bagaikan terbakar api setungku! Karena itu mereka menjerit
ngeri tak terkendalikan lagi!
Serangan panah kedua telah datang, dan kian banyak korban berjatuhan. Penghadangan yang
memenuhi jalan jadi tersibak cerai-berai. Yang sanggup lari segera menyisih dan tingkahnya
kesetanan, dan ada pula yang lari beringas tapi tak bernyawa lagi kemudian jatuh terjungkal tanpa
19 mampu sesambat, langsung diam! Ketika orang Tartar terus
124 125 melaju mendekat dan menyiapkan serangan ketiga dengan mencabut pedang, jalanan yang
terbuntu pagar betis orang bersenjatakan sabit itu telah lapang tanpa halangan lagi; Kuda orang
Tartar berdelapan lewat bagaikan hembusan angin, tanpa halangan suatu apa pun. Paling-paling
kaki kuda mereka menginjak tubuh bergelimpangan yang tak sanggup menghindar. Tapi mereka
sudah tidak merasakan sakit kena pijakan kaki kuda, karena nyawanya sudah melayang!
Rombongan Duta Mengki'i berhasil menerobos hadangan penyamun itu tanpa mengurangi
kecepatan mereka untuk bergerak menuju penyeberangan Rabut Carat! Mereka tak perlu melihat
ke belakang. Berdelapan terus melaju. Hadangan sudah berlalu dan mereka menyarungkan
pedangnya. "Mereka tolol sekali! Menghadang kita tanpa persiapan melawan maupun bertahan!" seru Yong Pin
setelah mengurangi laju kecepatan lari kudanya.
Ya, mereka sekarang sampai di tempat yang kini sedang dilalui oleh para penumpang Honda Civic.
Saat Yong Pin tidak bicara apa-apa, mereka yang lain pun punya bayangan kenangan masa lalu
yang sama, yaitu ketika mereka berkuda sambil mengurangi kecepatan laju setelah mengadakan
serangan terobosan terhadap para penyamun pribumi.
"Aku heran. Di Negeri Singasari yang punya raja begitu bijaksana dan pemerintahan begitu kuat
hingga berani mencemooh utusan Kaisar Kubilai Khan, kok di sepanjang jalan terdapat gerombolan
bersenjata yang tak terurus oleh para penjaga keamanan negara!" ujar Fusen.
"Menurut keterangan perwira Pamoraga, orang-orang itu bukan penduduk setempat, bukan
orang-orang Singasaril"
126 suara laki-laki kecil yang menggandol pada salah seorang
prajurit Tartar. Si Juru Terjemah. Ia mulai bisa berbicara! Waktu terjadi penyerangan tadi, dia
ngetbapel di punggung pembawanya sambil menahan napas. Matanya terpejam
rapat-rapat. "Kalau tidak segera diberantas^ orang-orang ini bisa berbahaya! Mereka akan melemahkan
ketahanan Kerajaan Singasari!" komentar Duta Mengki'i. "Ayo, kita jangan lalai! Terus saja
secepatnya mencari perahu untuk menyeberang!;"
"Nanti! Hamba yang mencari tukang perahu bernama Swan ... ya, Swandanu!" ujar saudagar
Tuban. Sambil berjalan mengenang masa lampau, sampailah para penumpang mobil itu pada suatu tempat
yang ditanami kedelai. Tumbuhnya hijau subur dan terpelihara. Dukuh Rabut Carat yang mereka
20 sebut-sebut dalam percakapan jaraknya masih beberapa ratus meter di depan sana, ditandai
dengan tumbuhan rumpun bambu yang lebat. Rumah penduduk satu dua sudah mulai campak di
celah pepohonan desa yang rindang. Tapi siang itu tidak terlihat penghuni dukuh yang tampak.
Jalan umum untuk mencapai dukuh itu dari jalan raya berada di tempat lain, bukan pematang di
tengah ladang kedelai itu, sehingga orang yang berlalu-lalang masuk keluar dukuh juga tidak
berpapasan dengan empat orang penumpang Civic merah itu. Sepi manusia. Tapi dalam kenangan
mereka, tempat yang mereka lalui sekarang, dulunya merupakan jalan besar dari pusat kerajaan
menuju ke pangkalan perahu di Bengawan Brantas, dan bisa berlanjut ke Pelabuhan Tuban dengan
menyeberangi bengawan. Mereka masih ingat betul bagaimana mereka bersama-sama memacu
kudanya melewati jalan raya itu. Pada waktu itu, pepohonan besar
127 masih menghutan di sekitar mereka dan belum menjadi ladang hijau seperti sekarang ini. Apa yang
membuat mereka ingat' "Arca dwarapala!" tercetus ucapan Yong Pin sementara mengenang.
"Betul katamu! Ada dua arca dwarapala yang berada di kiri dan kanan jalan menuju ke pangkalan
perahu waktu kita beramai-ramai mencari perahu mau menyeberang! Aku ingat betul, sebab arca itu
mengingatkan aku pada bentuk yang jauh lebih besar yang terletak di jalan masuk ke Istana
Singasari," sahut Mengki. "Arca dwarapala yang di Rabut Carat ukuran kecil, menghadap ke
pangkalan perahu, seolah-olah menjaga keamanan pangkalan, menakuti orang jahat yang turun


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari perahu, menyampaikan selamat jalan kepada mereka yang hendak menyeberang seperti
halnya kita, seolah-olah mengisyaratkan bahwa hanya sampai di sinilah keamanan orang-orang
yang bertamu di Singasari mendapat penjagaannya, dan perjalanan selanjutnya bukan lagi
tanggung jawab kedua arca dwarapala itu! Begitulah kuartikan kehadiran arca tadi di depan
pangkalan perahu itu!"
"Tapi tentang kita sudah jelas, Tuanku, bahwa gangguan keamanan sudah ada sebelum kita
meninggalkan bumi Singasari, sebelum kita melewati arca dwarapala itu! Aku ingat betul, arca
dwarapala itu tidak berbuat apa-apa dan tetap duduk termangu seperti takdirnya, memati dan
membisu di tempatnya, meskipun kita mengalami keributan dan bergegas-gegas secepatnya naik
perahu untuk diseberangkan! Arca itu diam saja! Meskipun tubuhnya keras karena dibuat dari batu,
karena diam saja maka bagiku arca itu tidak berguna dan tidak bisa dimintai bantuan untuk
128 meringankan ketergesaan kita!" kisah Yong Pin dengan
semangat. "Kamu yang keliru! Arca itu memang arca, dibuat dari batu mati, tidak bisa bergerak! Untuk apa cari
pertolongan kepada arca?" kata Mengki'i tajam.
"Memang! Memang begitu, Tuanku! Tapi seperti hamba ceritakan tadi, begitulah gagasan hamba
dikalutkan oleh suasana ketergesaan!"
"Waktu itu bukankah kita menoleh ke belakang dan melihat bahwa perampok-perampok pribumi
yang telah kita terobos pertahanannya dan jatuh beberapa orang korban, tetapi sebagian besar
orang lainnya masih sanggup mengejar-ngejar kita! Mereka terang-terangan, berteriak-teriak sambil
21 mengacung-acungkan sabitnya yang panjang dan besar. Biarpun korban di pihaknya cukup besar,
tetapi gerombolan itu tidak peduli, teman yang menginginkan barang kita masih banyak! Mereka
tidak peduli dengan korban yang jatuh! Mereka terus saja mengejar kita sampai di pangkalan.
Sungguh, mereka tak punya perhitungan laba-rugi dengan menjalankan perampokan terhadap kita!
Jumlah kita sedikit, hanya delapan orang, sedangkan yang menginginkan barang kita lebih dari lima
puluh orang! Aku tidak tahu di mana mereka menaruh otaknya. Pada dengkul atau telapak kakinya!"
ujar Mengki'i. "Tampaknya mereka tidak hanya ingin merampok barang-barang kita! Mereka ingin membunuh!
Mereka juga menyerang prajurit Singasari! Jadi merampok dan ingin memiliki barang kita bukanlah
maksud mereka yang utama!" sahut Fusen.
"Cepatlah! Cepatlah naik perahu!" ujar saudagar Tuban. Ia ikut lari-lari ke sana kemari di pangkalan
perahu untuk mencari tukang perahu yang bernama Swandanu! Hatinya ikut tergesa, karena dari
kejauhan telah terdengar teriakan mengancam para perampok yang tadi telah dipukul oleh
rombongan Tartar yang diikuti.
Swandanu telah ditemukan. Seorang pemuda yang bertubuh sedang, semampai, rambutnya lurus
digelung di belakang. Kelihatannya pendiam. Ketika diketahui bahwa kedatangan orang asing
berkuda akan menyeberang atas suruhan perwira Singasari Pamoraga, ia segera menjawab
teguran saudagar Tuban. "Aku dan orang-orang Tartar itu harus cepat diseberangkan! Mereka tamu Baginda Kertanegara,
harus kembali pulang ke Tuban dengan selamat. Mereka tadi dikawal oleh sepasukan prajurit
Singasari di bawah pimpinan Perwira Pamoraga! Tapi di tengah jalan, beberapa desa sebelah sana
bukit itu, Tuanku Pamoraga dengan pasukannya harus mengamankan jalan. Mereka mengejar
gerombolan bersenjata masuk ke hutan. Sebelum meninggalkan kami, Tuanku Pamoraga berpesan
bahwa kami harus secepatnya meneruskan perjalanan. Di penyeberangan sini aku disuruh mencari
kamu! Kata Tuanku, kamu sahabat beliau!"
"Ya!" angguk Swandanu. Singkat, meyakinkan. "Perahuku yang ini! Bisa tiga orang berkuda. Perahu
yang sana dan sebelahnya lagi, juga bisa dipakai. Tiap perahu tiga orang berkuda!"
"Kurang ajari Penyamun itu sudah muncul di ujung lebuh! Cepat, Tuan-Tuan! Kita harus secepatnya
menyeberang kalau tidak mau terjadi pertempuran lagi di sini!" seru saudagar Tuban.
"Mereka datang dari Kediri! Menghilir lewat sungai," keterangan Swandanu tanpa diminta.
130 "Apa maunya merampok di sini?"
"Tidak tahu. Mereka tidak merampok barang-barang kami. Mereka datang berbondong-bondong
dan lalu masuk hutan. Kebanyakan pergi ke arah selatan, mungkin ke Istana Singasari!"
Tiap perahu tiga orang, Tuanku!" seru orang kecil itu. Suaranya tegas. Tidak seperti ketika
menggandol kuda tadi. "Aku bersama Fang Fang! Fusen, kamu mengikuti aku! Yang lain mengatur sendiri. Tiap perahu tiga
orang berkuda. Karena kudanya hanya delapan, saudagar Tuban ikut yang memuat dua ekor kuda!"
22 perintah Mengki'i. Karena sudah ada perintah, Fang Fang secepatnya mengendarai kudanya mendekati perahu
Swandanu. Karena tebingnya landai, agak susah juga meloncatkan kuda ke dalam perahu. Fang
Fang menggertak sanggurdinya dan kendali ditarik. Kuda yang kurang paham dengan kemauan
tuannya, terkejut dan mengangkat kedua kaki depannya. Tindakan mendadak ini mengejutkan Fang
Fang yang tidak siap. Duduknya terpelorot ke arah kiri, dan hampir saja terjatuh. Untung Swandanu,
pemilik perahu, berada di dekatnya. Dengan terampil pemuda bagus itu menangkap tubuh Fang
Fang yang sudah kehilangan jiwa untuk sementara. Kesadarannya cepat kembali ketika badannya
tersangga oleh penolongnya, Swandanu. Fang Fang bertatapan muka, Swandanu mengajak
tersenyum. Meskipun telah mengeluarkan tenaga untuk menopang tubuh Fang Fang, tapi ketika
berpandangan dengan Fang Fang, tukang perahu itu tenang saja. Fang Fang tidak menunggu
lama, terus saja turun ke bumi. Kini dia dan tukang perahu itu berusaha membujuk kudanya supaya
cepat masuk ke perahu. Swandanu ikut menyorong-nyorong pantat si kuda.
Setelah berbagai kesulitan teratasi, kuda Fang Fang berhasil naik dan digiring ke haluan. Fang
Fang kembali menengok tukang perahu. Ia melihat wajah yang teduh di situ. Fang Fang
menyenangi. Ternyata ia tidak bertepuk sebelah tangan. Swandanu juga menoleh kepadanya. Ia
mengharap tatapan pandang gadis Tartar itu. Bertemu, keduanya tetap berpandangan, bertegur
sapa dengan pandang tadi, lalu Swandanu tersenyum, mengangguk, dan pergi untuk menolong
penunggang kuda yang lain.
Mengki'i memilih Fusen berada seperahu dengannya; karena tubuh pemuda Fukien itu tampak
berotot. Ia dan Fang Fang memerlukan pengawal yang tangkas dan berotot, rasanya lebih aman
dikawal oleh orang demikian. Saudagar Tuban yang semula protes mau ikut bersama Tuanku
Mengki'i dengan harapan kepandaiannya berbahasa bisa digunakan untuk perhubungan dengan
tukang perahu, tetapi setelah tahu maksud Mengki'i, laki-laki bertubuh kecil itu pun mau bergabung
dengan prajurit Tartar yang lain. Lagi pula menumpang perahu itu tidak akan lama, hanya selama
penyeberangan Kali Brantas.
Semua pekerjaan dilaksanakan dengan cepat dan tergesa-gesa. Secepatnya kedelapan kuda naik
perahu, tukang perahu masing-masing pun menggerakkan perahunya dengan tongkat panjang.
Tongkat buluh yang hampir penuh itu ditancapkan ke dalam pasir sungai, lalu didorong dengan
pundak. Maka perahu pun berjalan. Semua orang Tartar sudah berada di dalam perahu, di tengah
sungai ketika mereka melihat para pengacau bersenjata sampai di depan arca dwarapala, langsung
menuju ke tepian, tetapi terlambat, perahu orang Tartar dan kudanya sudah jauh di tengah.
Sebanyak dua puluh orang jahat telah sampai
132 di tepi bengawan, tetapi tidak bisa lagi mengejar perahu orang Tartar. Mereka cuma
mengacung-acungkan sabitnya sambil berteriak mengumpat-umpat!
Beberapa orang punya gagasan untuk mengejar. Maka mereka pun berlari pergi ke arah mudik dari
pangkalan itu. Sebelum perahu Tartar sampai di seberang, berhanyut anlah delapan buah perahu
sarat manusia mudik. Selain dorongan alir sungai, perahu itu dibantu dengan dayungan beberapa
orang yang berada dalam perahu. Perahu-perahu M-bisa bergerak lebih cepat daripada perahu
yang lebih besar seperti yang dimuati kuda-kuda prajurit Tartar. Seperti halnya waktu berlari-lari di
darat, penumpang perahu yang menghanyutkan diri itu juga berteriak-teriak serta
mengacung-acungkan senjata tajamnya! Kalau tidak terbatasi oleh waktu maka kecepatan perahu
23 orang Tartar itu akan segera tersusul oleh perahu orang-orang Kediri! Bahkan sekalipun
orang-orang Tartar itu berhasil menyeberang lebih dulu, orang-orang Kediri itu pun tentu tidak
menghentikan pengejarannya selama prajurit Tartar belum sempat menunggang kudanya.
"Tengok! Arca dwarapala itu masih ada!" teriak Yong Pin. Meskipun ia berjalan pada urutan paling
belakang, tetapi matanya selalu asyik mencari ke depan. Ia mencari tanda-tanda yang bisa
digunakan sebagai pegangan bahwa perjalanan mereka melacak atau napak tilas kehadiran
mereka di Rabut Carat tidak salah tempat. Keadaannya memang sudah berubah sama sekali.
Dahulu daerah itu masih diliputi hutan belantara, tapi kini sudah menjadi padang tegalan yang
ditumbuhi kedelai garapan manusia!
Yong Pin menunjuki ke sebelah kiri
bekas kolam kuno. Empat persegi panjang bentuknya. Pada dua sudut yang jauh dari tanggul
sungai terdapat arca dwarapala itu. Letaknya masih tetap menghadap ke Bengawan Bran tas. Tapi
dulu, dari arca dwarapala itu ke tepi sungai tebingnya landai. Sekarang terbentang tanggul yang
letaknya lebih tinggi dari kolam itu.
Kini keempat orang penumpang mobil merah itu berbelok ke kiri, menuju tempat kolam kuno.
Mereka tidak terus menuju masuk dukuh yang rimbun oleh rumpun bambu. Kolam itu terletak di luar
dusun, dikelilingi oleh ladang yang ditanami ketela pohon.
"Ada orang yang menengok ke sana! Seperti kita! Mereka jelas bukan orang dusun yang berada di
sana karena menggarap ladangnya! Atau yang sedang mencari makanan! Mereka orang kota yang
perlu datang ke situ seperti kita!" ujar Fusen.
Sebenarnya semua pendatang itu melihat juga adanya empat orang kota yang sedang asyik
melihat-lihat daerah sekitar kolam kuno. Dua orang perempuan berada di dekat arca dwarapala.
Sedang di atas tanggul sana ada pula dua orang laki-laki, asyik memandangi air sungai di balik
tanggul sehingga kedatangan keempat penumpang Honda itu tidak ketahuan oleh mereka.
"Mereka mungkin wisatawan!" ujar Yong Pin. Dokter Mengki tertawa. "Ah, wisatawan tersesat! Apa
yang menarik di sini, kok dikunjungi wisatawan!"
"Ketika nama Rabut Carat kita sebut kemarin, aku membayangkan tempat ini sebagai tempat
wisata!" Yong Pin mencoba cari alasan.
"Lalu apa kalau bukan wisatawan, Dokter?" Fusen ikut nimbrung.
134 "Ilmuwan! Mereka peneliti sejarah. Mereka sedang
melakukan studi."' v.i
Seorang perempuan separuh baya bergaun serba putih sedang asyik mengamati arca dwarapala.
Tubuhnya kecil, kulitnya kuning, rambutnya sudah banyak beruban; Ia membawa catatan dan alat
potret. Menilik sikap dan pembawaannya, Yong Pin mengira bahwa perempuan ini seorang
penggemar benda purba. Melihat bentuk matanya yang sipit, jelas bukan pribumi Indonesia. Hanya
perempuan inilah yang tampak menaruh minat pada arca dwarapala daripada keempat pengunjung
lain. Yang lain cuek saja.
24 Memang ada seorang perempuan lain yang ikut-ikutan berdiri di dekat perempuan berpakaian serba
putih tadi. Usianya jauh lebih muda. Tentu masih gadis. Kulitnya sawo matang, matanya
membelalak lebar, jelas tidak seketurunan dengan perempuan di dekatnya. Rambutnya hitam tebal,
dan wajahnya sedap dipandang karena memiliki bibir yang sering tersenyum. Juga tubuhnya yang
dibungkus gaun warna biru berkembang putih, tampak aduhai! Sekalipun ia berdiri berdekatan
dengan perempuan bergaun putih itu, tetapi ia sekedar menemani saja. Ia kurang terlibat pada
pengamatan benda purbakala.
Dua orang pemuda berdiri di tanggul Bengawan Brantas. Karena letaknya yang lebih tinggi maka
kedua orang tadi berlatar belakang langit biru kabur sehingga yang tampak lebih merupakan siluet.
Tidak bisa diamati secara rinci. Dengan bumi yang dipijak merupakan tanggul Sungai Brantas
memanjang cakrawala maka kedua pemuda itu kelihatan amat cacil dibandingkan dengan alam
sekitarnya. Melihat gelagatnya, kedua pemuda yang hadir di situ hanyalah
sebagai pengantar atau pemandu saja. Datang di situ bukan karena minatnya atau memburu
kepentingannya. Karena itu sementara perempuan separuh baya tadi asyik mengamat-amati arca
dwarapala, kedua pemuda itu melancong ke atas tanggul sana, lebih senang melihat pemandangan
yang lepas bebas, melihat alir sungai yang berada di bawahnya.
Kedatangan Dokter Mengki berempat menarik perhatian mereka. Apalagi keempat pendatang baru
itu tampaknya penuh minat hendak melihat petilasan zaman Kertanegara. Heran, mengapa banyak
juga orang yang berminat mengunjungi kolam kuno di tengah ladang itu" Nyonya berbaju putih itu
Tongkat Rantai Kumala 3 Strangers Karya Barbara Elsborg Bendera Darah 1

Cari Blog Ini