Ceritasilat Novel Online

Saputangan Gambar Naga 6

Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata Bagian 6


oleh prajurit Tartar yang tadi menguping percakapan kami!"
"Kamu tidak bohong"!"
"Tanyakan saja Swandanu dan Puteri Fang Fang! Kami bergaul akrab dan bersahabat sampai
perpisahan itu. bahkan sampai akhir perjalanan di sini!"
"Sampai di akhir perjalanan, kamu tetap tidak tahu siapa yang menbuntuti Fang Fang itu?"
"Ia pembunuh Panglima Pamoraga! Tampaknya orang Mi iri hati sama kebahagiaan pasangan
Panglima Pamoraga dan Puteri Fang Fang! Kedua orang inilah yang akan dibunuh!" suara Fusen
dikeras-keraskan, agar sahabatnya mendengar.
"Ah! Begitukah kesimpulanmu?"
"Ya!" P "Siapa prajurit Tartar itu?":
"Kukira tidak lain. sahabatku Yong Pin!"
"Apa"! Kamu masih mencurigai aku saja?"
"Kamu menghilang dari pergaulan sekitarku. Tapi terus
membayang-bayangi kesetiaanku terhadap Puteri Fang
Fang!" "Wah, jangan bertengkar dulu! Marilah kita menyeberang jalan! Sudah jam tiga kurang seperempat!
10 Zo, di mana Fang Fang dan Swandanu," penggal Dokter Mengki.
"Mereka naik tanggul, lalu berpelukan pinggul turun ke balik tanggul!" kata Wariwari, sambil
menengok arlojinya. Tiga kurang seperempat!
Menunggu sepinya lalu lintas dulu, barulah kelompok itu menyeberangi jalan raya Kediri
Swandanu dan Fang Fang berhasil masuk ke biduk, n menyambut teriakan Pamoraga dengan
melambai-lambaikan tangannya!
"Aduh! Begitulah mereka dulu!"
"Bagaimana Fusen?"
"Keadaannya masih seperti dulu! Kuteriaki, mereka melambaikan tangan dengan gembira. Lalu
biduk itu! Mengapa bentuknya masih sama dengan yang dulu juga" Biduk kecil hanya cukup untuk dua
orang! Dulu Swandanu memperolehnya dari penduduk tepi sungai di Kota Kediri.
Mengapa sekarang ada di sini?" gerutu Fusen. Jelas sekali pandangannya kembali ke alam dahulu
kala. "Kamu ingat juga apa yang terjadi di sini?" tanya Doktor
Aisun. "Ya! Aku datang agak terlambat! Meskipun aku naik kuda, sulit juga untuk mengikuti orang yang
berbiduk mudik. Sebab tepi sungai ini tidak bertanggul begini. Antara daratan dan sungai ditumbuhi
pohon rangkang yang tumbuh menghutan. Sulit ditembus. Sedang daratan yang keras, ditumbuhi
pula oleh pohon berkayu seperti mahoni, pohon penghujan, dan semacamnya yang juga tumbuh
rapat sehingga sulit ditempuh. Memang jalan raya yang paling lancar ditempuh adalah sungai. Bagi
yang pandai berdayung seperti Swandanu, enak saja. Tetapi aku yang tidak pernah mendayung
dan tidak bisa berenang, jalan di air lebih banyak menanggung risiko!"
"Niatmu menyampaikan peringatan tak terlaksana?"
"Baru di bawah pohon asam inilah batas tanah kering dan sungai bertemu jelas. Aku bisa
mengendarai kudaku mendekati tepi sungai. Tetapi terlambati"
"Terlambat bagaimana?"
"Musibah itu telah terjadi! Biduk terbalik, Swandanu bersama Puteri Fang Fang tercebur dalam
sungai. Aku berteriak agar Puteri Fang Fang mengeluarkan saputangannya! Melambaikan di udara!
Beberapa kali kusaksikan perbuatan
Puteri Fang Fang demikian bisa menyelamatkan diri dari bahaya yang mengancam! Sementara itu
aku tidak berpikir panjang lagi. Aku memaksa kudaku mencebur di sungai biar berenang mendekati
tempat kecelakaan. Aku mau menolong Puteri Fang Fang. Tetapi karena aku tidak bisa berenang,
jadi kudaku langsung saja kukendalikan masuk air. Untunglah ternyata air sungai di sini tidak dalam,
dan aku dan kudaku bisa sampai ke tempat musibah. Tapi itu tadi, terlambat! Kurang beberapa
11 depa dari tempatnya, Puteri Fang Fang ikut tenggelam bersama Swandanu yang sudah lebih dulu.
Mungkin karena teriakanku, Puteri Fang Fang menarik saputangannya, sayang tidak sempat
mengibarkan di udara, dan melemparkannya ke arahku. Aku juga tidak sempat menggapai tangan
Puteri Fang Fang yang mencakar-cakar air terus tenggelam. Kemudian ia tidak muncul lagi. Aku
gugup mencarinya, tetapi tidak ketemu. Dua kali aku menyaksikan dengan mata kepala telanjang
dari dekat, Puteri Fang Fang tenggelam di Bengawan Brantas! Dua kali!"
"Swandanu" Apakah tidak berbuat apa-apa"!" tanya Pamoraga.
"Saputangan itu, apakah tidak kamu ambil?" tanya Doktor Aisun.
"Swandanu kayaknya telah tewas sebelum tenggelam. Aku tidak tahu jatuhnya biduk terbalik secara
utuh! Sedang dalam kesibukanku ingin menyelamatkan Puteri Fang Fang, saputangan itu aku ambil
juga! Aku panik! Pertolonganku sia-sia! Puteri Fang Fang tidak muncul lagi. Sedang aku dan kudaku
yang telah tenggelam sampai di batas leher, berada di tengah sungai yang cukup deras airnya!
Bingung sekaliHSkiteruskan mencari dan berusaha menyelamatkan
Puteri Fang Fang, atau menyelamatkan diri saja" Sungguh bingung waktu itu ...!"
"Hee! Lihadah! Lihadah! Orang dua di biduk itu berbuat apa"!" seru Wariwari.
Tersentak dari pukauan kisah Fusen, mereka yang di bawah pohon asam mencurahkan pandang
ke arah biduk. Swandanu tampak berlutut di hadapan Fang Fang, memeluk gadis itu, badannya
tetap kaku, biduk oleng, Fang Fang menangkap dan menyangga kejatuhan badan Swandanu yang
kaku, hilang keimbangan, Fang Fang jatuh membelakang, tangan masih erat memeluk Swandanu,
tercebur ke dalam sungai! Biduk terbalik dan hanyut. Lalu berangsur tenggelam juga. Hilang!
"Puteri! Di sinilah akhir perjalanan kita!"
Itu perkataan Swandanu ketika bergandengan tangan turun dari tanggul pohon asam. Mereka
melihat biduk di tepi sungai, terus saja didekati.
"Seperti biduk kita dulu!" sambung Swandanu.
Mereka naik biduk. Melambaikan tangan dengan gembira kepada teman-teman di atas tanggul.
Lalu ber-kayuh ke tengah sungai.
"Di sini tiba-tiba kudengar teriakan perang biadab! Bahasa Fukien! Sebelum aku sempat menoleh,
kulihat Kakanda tertegak berlutut di tengah biduk! Matanya mengabur tapi terbuka, mulut pun
terbuka hendak mengatakan sesuatu! Tetapi Kakanda sudah melayang jiwanya! Tewas mendadak.
Aku menjerit sambil memeluk menopangmu. Terlalu berat. Tangan yang memelukmu, meraba
benda keras di punggungmu! Tombak dengan mata trisula menghunjam pada punggungmu!
Tombak prajurit Tartar! Seorang prajurit Tartar telah melemparkan tombak trisula
ke arahmu, tepat mengenai punggungmu. Aku cuma bisa menjerit-jerit' Lalu jatuh kegeblak. Biduk
terbalik, dan kita masuk ke dalam sungai! Aku masih sempat mendengar teriakan bahasa Fukien,
minta agar aku mengibarkan saputangan gambar naga ke udara! Itu suara Fusen! Aku kehabisan
akal. Aku terlambat mengibarkan saputangan pengayom. Saputangan yang terambil dari kutang
langsung kulemparkan pada Fusen, pengawalku yang setia, yang tatkala itu sedang maju dengan
kudanya mendekati tempat kita!"
12 "Sampai di sini perjalanan kita! Mari kita ulang adegan itu! Jangan kamu ambil saputanganmu!" ujar
Swandanu. Dan terceburlah mereka berdua ke dalam sungai. Tenggelam!
Saksi penonton terpekik! Jeritan Doktor Aisun terdengar paling melengking. Geger! Ada yang mau
terjun. Ada yang cuma mengawasi.
"Persis di tempat yang dulu!" seru Fusen.
"Aduh! Aldiirnya tenggelam di dasar Bengawan Brantas juga!" tangis Doktor Aisun. "Apa yang
tertulis di sejarah Kota Fukien itu benar?"
"Laporkan cepat ke pos polisi terdekat! Atau kepada orang kampung di dekat sini yang pandai
berenang! Jam tiga siang begini, biasanya di tempatnya!"
"Mereka tidak kena musibah! Bunuh diri! Tidak ada usaha berenang menyelamatkan diri! Padahal
semua tahu, Swandanu tukang perahu, pandai berenang. Di dalam air dan di daratan, baginya
sama saja!" komentar Yong Pin.
"Kentut Swandanu ini! Bikin repot orang!" sahabatnya yang bicara begitu, lalu melepasi pakaiannya,
tinggal celana dalam, lalu mau terjun ke sungai.
"Mas! Awas, alir sungainya kuat!" seru "Wariwari memperingatkan!
Tapi taruna AKABRI itu sudah terjun masuk air. Berenang dengan sigap ke arah biduk terbalik. Ia
cepat menyelam, menggerayangi dasar sungai. Muncul ke permukaan. Menyelam lagi, dasar
sungai kosong. Tersembul lagi. Tidak menyinggung tubuh Fang Fang maupun Swandanu.
Keduanya tetap tenggelam!
Yong Pin masuk ke mobil merahnya. Putar haluan, lalu melejit ke Kediri.
Heboh. Geger. Biduk tenggelam bersama penumpangnya, sepasang muda-mudi itu cepat tersiar di
daerah sekitar kejadian. Pamoraga tidak berhasil menemukan apa-apa, meskipun sudah
muncul-tenggelam beberapa puluh kali. Latihan di AKABRI dipraktikkan, teori-teori dicakkan.
Hasilnya nol. Meski dibantu orang kampung yang pandai renang, juga tidak menghasilkan apa-apa.
Baik biduk, maupun penumpangnya seperti lenyap diserap dasar sungai.
Baru setelah datang Tim SAR Polisi dari Kediri yang pakar dalam mencari orang hilang, sekitar jam
empat sore, terangkat dari dalam sungai dua sosok mayat laki-laki dan perempuan. Para saksi
teman korban mengakui bahwa itulah mayat Fang Fang dan Swandanu. Maka pencarian
dihentikan. Kedua sosok mayat dibaringkan di tanggul sungai, penontonnya meluber sampai di jalan
raya. Polisi terpaksa mengamankan.
Polisi petugas kurang puas dengan jawaban para teman korban. Kemudian diajukan pertanyaan
tambahan. "Apakah perempuan itu mengenakan kain tenun dan rambutnya digelung malang?"
13 "Ya, Pak, begitu! Namanya Fang Fang, tapi pakai kain!" Petugas masih saja tidak percaya. Ia
memandangi saksi satu per satu. "Pakaian kalian tidak ada yang sezaman dengan dia! Ini mungkin
zaman Majapahit!" Ganti sekali lagi memeriksa mayat lelaki. "Laki-laki ini korban pembunuhan! Bukan tenggelam!" kata
petugas. "Pembunuhan" Oleh siapa, Pak" Kami semua bersahabat!"
"Punggungnya ditembus tombak dengan tiga mata. Tombak kuno, tidak mungkin buatan abad ini.
Perutnya tidak kemasukan air yang berlebih yang bisa menjadi penyebab kematian. Apa dari kalian
ada yang datang dari suatu klenteng atau museum?" "Tidak ada. Mengapa, Pak?" Tombak trisula
seperti itu bisa diperoleh di sana!" "Mungkin di dasar kali itulah terpendam tombak orang Tartar
ketika menyerbu Kediri. Lalu ketika Swandanu tadi jatuh tergebabang, punggungnya langsung
menghunjam tombak trisula yang tertanam mencuat di dasar sungai itu!" Dokter Mengki
mengajukan kemungkinan. Tampaknya masuk akal. Tetapi nyatanya Tim SAR tidak menemukan tombak itu! Nanti kita teruskan
di kantor. Hanya dua orang ini yang kalian laporkan tenggelam" Tidak lag*"
Tidak ada, Pak. Memang hanya itu!" "Mari wawancara kita lanjutkan di kantor polisi, menit keadaan
yang berlarut-larut. Sambil mencocokkan ran Tuan dengan penemuan kami!" "Maaf, Pak. Boleh
saya menggeledah mayat perempuan " tanya Doktor Aisun. "Digeledah bagaimana?"
"Mau meraba buah dadanya!"
"Io! Apa kurang percaya kalau itu mayat perempuan?"
"Bukan begitu, Pak. Tadi dia membawa saputangan gambar naga. Saputangan itulah yang
diuber-uber sejak abad tiga belas Masehi yang lalu. Apakah sekarang dia telah menggenggam
miliknya itu"^ jj "Kalau cuma itu, silakan! Siapa lagi yang punya usul, sebelum mayatnya diangkut ke rumah sakit?"
Doktor Aisun segera memasukkan tangannya ke dada mayat perempuan. Dari celah payudaranya
dapat ditarik sehelai saputangan berwarna hijau tua, terbuat dari sutera. Doktor Aisun membeber
saputangan itu, dan tampaklah gambar naga yang elok seni gambarnya, disulam dengan benang
kurung sutera pula. Ia tunjukkan saputangan itu ke hadapan kawan-kawannya. Harum semerbak
bau asap setanggi menghambur ke sudut-sudut lubang hidung. Tiap wajah mengangguk,
membenarkan bahwa itulah saputangan yang pernah mereka saksikan kira-kira tujuh abad yang
lalu. "Kalau semua mengakui, biarlah saputangan ini kami kembalikan kepada pemiliknya yang sah!
Saksikan, saya kembalikan pada tempatnya!" ujar Doktor Aisun dengan bahasa Indonesia yang
patah-patah. "Tidak usah dikembalikan, Nyonya! Untuk apa" Boleh Nyonya ambil. Toh nanti di rumah sakit
diotopsi. Karena badannya sudah kaku, kain dan bajunya digunting saja," ujar polisi petugas.
"Itu urusan Tuan. Urusan kami menempatkan saputangan hak milik gadis ini pada dirinya. Harus
14 padanya sampai dia meninggal dunia. Kalau tidak, rohnya akan gentayangan dan mengganggu
siapa saja yang membawa atau
347 menyimpan saputangan ini!" Ia berkata demikian sambil mengembalikan saputangan ku di
tempatnya semula. Mereka sepakat untuk memberikan keterangan di kantor polisi. Sementara itu jenazah diangkut ke
rumah sakit. Karena belum makan, maka mereka minta izin kepada polisi petugas untuk istirahat
makan di restoran. Polisi mengabulkan dengan syarat masing-masing orang meninggalkan KTP
atau kartu jatidiri lainnya pada polisi. Mereka mencari restoran di tengah kota. Fusen usul di dekat
Gelora Basket yang sedang dibangun. Disetujui, dan Fusen menjadi petunjuk jalan.
Restoran itu letaknya dekat di depan bakal Gelora Basket Karena itu, sementara pesan makanan
belum terhidang, Fusen dan Yong Pin pergi ke tempat pembangunan gedung yang dipagari seng
itu. Tindakan itu diikuti seluruh penumpang sisa Suzuki Carry. Tukang-tukang sudah pulang sedang
penunggunya mengizinkan tamu masuk proyek. Begitu masuk, mereka melihat etalase berbentuk
kubus sebesar sangkar burung. Di dalamnya terdapat kepala orang bertata rambut dengan hiasan
seperti prajurit Tartar, lehernya tertusuk anak panah dari sebelah kanan ke kiri. Mungkin dahulu
begitu wajah dan kisahnya hingga terjadi demikian mengerikan. Tapi kini penggalan kepala prajurit
Tartar itu seperti hasil seni rupa yang patut diamati. Tamu-tamu segera mengerumuni benda di
etalase itu. "Wah, betul, Sen! Wajah ini memang persis kamu!" "Kalau semua bilang begitu, aku juga
harus mengakui bahwa ini memang kepala Fusen, pengawal Puteri Fang Fang. Hidupnya terhenti
sampai di sini, karena ketika kuda dari selatan kota, sebuah anak panah beracun menancap
leherku, eh, lehernya! Perhatikanlah betapa
fatalnya luka yang dibuat oleh anak panah itu. Dari kanan tembus kiri di bawah lubang telinga!"
"Kamu datang dari mana, hendak ke mana" Kamu belum cerita tentang itu!" &
"Begini, mulailah dari cerita yang terputus tadi! Kamu mengendarai kudamu di tengah sungai,
sia-sia mencari Fang Fang yang tenggelam," tukas Doktor Aisun. .
Mereka puas mengamati kepala prajurit Tartar. Mereka kembali menuju restoran. Fusen pun
menjadi pusat perhatian karena kisahnya.
"Aku merasa bahwa diriku terancam maut. Bukan karena derasnya alir sungai, melainkan karena
prajurit Tartar yang mengikuti dan telah berhasil membunuh Swandanu itu masih bersembunyi di
sekitar tenggelamnya Tuanku Puteri Fang Fang!"
"Menurut polisi tadi, tewasnya Swandanu karena punggungnya dilempar tombak trisula!" sela
Dokter Mengki. "Nah, bayangkan! Prajurit pemburu nyawa Puteri Fang Fang dan Swandanu itu tentulah pelempar
lembing yang jauh dan jitu! Tidak sembarang orang dapat melakukan itu. dan ia masih berkeliaran
mengintai mangsa berikutnya di situ! Aku! Aku jadi sasaran! Karena itu betapa kecewanya aku tidak
bisa menolong Puteri Fang Fang dan terpaksa kutinggalkan tenggelam di dasar Kali Brantas seperti
dulu! Aku terpaksa geragapan menyelamatkan diri! Lari! Lari! Tapi bagaimana bisa secepat seperti
kehendakku mengendarai kuda, wong rasanya: terapung-apung di batang sungai!"
15 Mereka mencari tempat duduk masing-masing, mengelilingi sebuah meja besar.
"Aku berhasil meloloskan diri dari tengah sungai, tetapi tetap merasa diintai musuh yang
bersembunyi, memburu, BS0 dan membuntuti aku! Kemudian aku kembali masuk kota Kediri. Suasananya sepi. Pasukan
pendudukan Tartar sudah pergi semua. Penduduk asli yang awam tetap tidak berani keluar rumah
karena takut sisa-sisa prajurit Tartar seperti saya ini masih ada yang kemlhver dalam kota. Atau ada
prajurit Majapahit yang ikut mengalahkan Kerajaan Kediri! Mereka juga pemenang perang, jadi
berhak berbuat sekehendaknya, menjarah harta benda, membunuh laki-laki yang dirasa berbahaya,
atau memperkosa perempuan. Pendek kata, penduduk asli yang awam, yang mestinya tidak ikut
campur berperang, juga merasa menjadi orang kalah, dan lebih baik menyelamatkan diri dengan
tidak keluar rumah! Dengan kota yang sutvung, ada rumah terbuka tanpa nyawa, ada kedai porak
poranda yang kehilangan guci-guci araknya, begitulah aku dengan hati tergesa melintasinya.
Penyesalan timbul, mengapa tadi tidak membiarkan saja Puteri Fang Fang diserang, dan aku pergi
bersama prajurit lain dalam pasukanku" Toh hasilnya sama saja, tak tertolong olehku! Kini bahkan
berkait, aku tentu masih diincar untuk dibunuh! Apa dosaku" Karena men-ba menolong Puteri Fang
Fang" Oh, sebenarnya setelah tak berhasil menolong Puteri Fang Fang, dan bisa slepaskan diri
dari dalam air tanpa banyak mengubah 4" orang lain, diriku yang tidak berdosa ini bebas! Aku ba
menghibur diri, aku tidak punya musuh dan tidak "nghalangj kerja pembunuh! Mestinya aku bebas,
tak ncam maut! Yong Pin ini, ah, bukan, maaf! Bayanganku, "ngintai itu tetap Yong Pin, meskipun
dalam pikiran Yong bukanlah orangnya! Dalam pikiran mestinya aku tidak nya seteru. Tapi
perasaanku giris. Bulu kudukku berdiri, gin yang bertiup menerobos kota kosong itu kukira
gerak tangan musuh pembunuh yang bagaikan gerakan tangan setan! Debu berhamburan! Aku
segera menutup mukaku dengan saputangan. Kujadikan topeng. Karena saputangan itu cukup
lebar, maka dari satu sisi saja sudah cukup untuk diikatkan di tengkukku. Wajahku tertutup
saputangan segi empat. Aku merasa lebih aman, karena wajahku tertutup, tidak kelihatan siapa
aku!" ,ir~r"Dari mana kamu mendapat saputangan lebar itu?" usut Doktor Aisun.
"Saputangan yang kugenggam sejak aku basah kuyup tadi!"
"Saputangan gambar naga! Yang kamu temukan waktu menolong Fang Fang! Mungkin kamu
menganggap lebih aman berjalan dengan wajah tertutup sehingga orang yang punya dendam tidak
kenal kamu! Tapi justru topeng saputangan gambar naga itu yang membuat prajurit Tartar
pembunuh itu kembali menguber nyawamu!"
"Zo, kok begitu" Aku kan tidak menghalangi maksudnya membunuh Puteri Fang Fang dan
Swandanu"!" "Bukan Fang Fang dan Swandanu yang diuber. Bukan Yong Pin dan bukan pula Panglima
Pamoraga. Tetapi saputangan gambar naga itulah yang diuber-uber si pembunuh itu!" jelas Doktor
Aisun. "Jelas dengan terpampangnya gambar naga pada topengmu itu, nyawamu kian mendekati
ajal!" "Nah! Siapa bilang saputangan gambar naga itu pengayom! Justru si pembawanya menjadi sasaran
pembunuh!" ujar Dokter Mengki sambil menyantap hidangannya.
16 "Aku bilang, pengayom bagi keluarga kita, ahli waris atau keturunan bangsawan Fukien!" tolak
Doktor Aisun.

Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

I "Fang Fang terkena musibah karena membawa saputangan itu! Padahal dia betul-betul anakmu,
ahli waris terdekat bangsawan Fukien!"
"Itu karena Fang Fang terlambat mengibarkan saputangan itu!"
"Bagaimana seterusnya" Apakah betul kamu mendekati kematian?" desak Yong Pin.
"Belum sampai setengah kota kulewati, kudengar orang berkuda dari belakang. Kuda orang Tartar!
Langkahnya besar dan mantap menjejak bumi! Masih ada teman prajurit Tartar yang ketinggalan di
kota seperti aku" Hatiku jadi lega sedikit. Punya teman! Lari kuda itu memang cepat, bisa lebih
cepat daripada kudaku kalau kupacu setinggi-tingginya' Kuda yang baik. Karena didorong keinginan
lekas tahu, aku menoleh, mencan lihat siapa yang datang. Kudanya memang hebat, larinya cepat.
Apalagi rasanya orang itu tergesa-gesa, sehingga memacu dengan kecepatan tinggi. Aku tak punya
harapan bisa berteman seperjalanan dengan dia, mengingat tergesanya perjalanannya. Aku
menoleh sejak dia masih jauh, dan sampai cukup dekat untuk berpandangan. Aku mengangguk. Ia
juga mengenakan topeng saputangan yang dilipat dua untuk menyaring debu jalanan masuk
hidung. Dari pancaran matanya kulihat ia mau menerima aku berteman. Tapi sebentar kemudian,
pancaran mata itu berubah jadi berapi-api. Secepat kilat dari berpacu, ia memperlambat laju lari
kudanya mendadak, sikapnya dari bersahabat menjadi membuas menarik anak panah dan
busurnya, dan dengan sigap melepaskan tembakan ke arahku! Srreett! Leherku bagaikan terjerat!
Pandangan jadi gelap! Tak ingat apa-apa! Di sini, di tengah kota!" -om-Para pendengar terdiam!
Terpesona! Mereka menyadari
kalau kini berada di dekat tempat kejadian. Bayangannya sama. Fusen berlari-lari mengejar
ketinggalannya dengan induk pasukannya. Lalu, snett! Lehernya telak kena panah,
jatuh terjungkal, dan masih sekarat beberapa saat!
"Kamu tidak ingat lagi setelah itu?" Doktor Aisun bertanya tanpa emosi.
"Aku masih ingat saat terjatuh dari kuda. Ingat remang-remang, pemanah tadi datang kepadaku,
menjambak rambutku dengan kasar agar kepalaku tegak. Melihat bahwa anak panahnya terkena
sasaran jitu, mukaku yang bertopeng ditampar! Remang-remang, wajahku merasa panas!
Remang-remang aku dicampakkan bersama debu jalanan! Remang-remang, aku masih
mengenakan topeng, tetapi gambar naga itu tinggal cengkorongannya, karena gambar sepenuhnya
diambil paksa oleh pematianku!"
"Minumlah dulu, Fusen! Jangan megap-megap! Kamu hanya bercerita, tidak mengulangi
penyiksaan itu!" ujar Yong Pin.
"Apakah bukan kamu pemanahku?" Fusen bertanya
memelas. "Bukan! Aku bukan pemanah urung! Ya! Melihat bukti, kepala prajurit Tartar di etalase Gelora
Basket tadi, kamu memang dibunuh oleh seorang prajurit Tartar! Panah itu buatan dan senjata
17 prajurit Tartar!" kata Yong Pin jujur.
"Sekarang dugaanku benar! Kalian ikut berperang menghancurkan Kerajaan Kediri, setidaknya
sudah melakukan perjalanan menuju Kediri, tetapi tidak seorang pun di antara kalian ikut kembali ke
Ujunggakih. Kalian tewas di Kediri. Tetapi tidak karena kekezaman perang, melainkan karena
kebiadaban manusia Tartar yang dengki!"
353 Dokter Mengki sekali lagi menjadi penraktir.
"Mari cepat sedikit!' Tentulah kita sudah ditunggu-tunggu!" kata Dokter Mengki setelah memberesi
harga makanan. "Apa yang nanti kita laporkan kepada keluarga Mas Danu?" tanya Wariwari kepada Pamoraga.
, "Aku sendiri kebingungan. Mudah-mudahan proses verbal potisi nanti memberikan petunjuk bagi
kita," jawab Pamoraga tidak menentu. Sekalipun ia Taruna AKABRI, gentar juga ia menghadapi
persoalan tenggelamnya sahabatnya itu. Sebab ia terlibat langsung!
"Badanku panas dingin!" keluh Wariwari, minta dipeluk Pamoraga, agar tidak terasa rapuh batinnya.
Tidak salah dugaan Dokter Mengki. Para polisi, dokter, serta pejabat yang terkait sudah hadir di
kantor polisi. Setelah mereka duduk di tempat yang tersedia, polisi yang memimpin kasus ini
berbicara dengan hati-hati.
"Maaf, Tuan-tuan dan Nyonya serta Nona. Kami hari ini terpaksa tidak dapat berbuat banyak. Nanti
Tuan berenam kami bawa ke rumah sakit untuk melihat teman-teman yang tenggelam itu-Kami
minta kejujuran Tuan-tuan. Apakah betul Tuan-tuan tadi .melihat teman Tuan tenggelam di Kali
Brantas" Ataukah berdasarkan sepakatan ilmiah, setelah baca buku sana sini, lalu melaporkan
seperti tadi. Bahwa sebenarnya hari ini tidak ada orang tenggelam di
sana. Dan yang kami temukan itu adalah mayat orang-orang yang ajalnya berabad-abad yang lalu!
Tuan-tuan bisa berbuat begitu, karena Tuan-tuan telah mempelajari sejarah
dengan baik!" ' Pidato pembukaan yang singkat dan dilakukan tergesa itu membuat kelompok enam orang itu
tercengang! Apakah mereka melihat teman mereka tenggelam, atau berdasarkan sepakatan ilmiah
tahu bahwa di situ pernah terjadi penenggelaman orang seperti itu" Bagaimana ini"
"Bagaimana maksud Pak Polisi?"
"Sebab menurut penelitian sementara di rumah sakit, mayat-mayat tadi bukanlah baru saja
tenggelam. Melainkan mayat kuno, ajalnya sudah sekitar tujuh ratus tahun yang lalu!" Suara juru
bicara polisi itu ditekan sedemikian rupa untuk memperoleh puncak keheranan pendengarnya.
"O, begitu!" Cuma itu kata keheranan yang terungkap. Dari orang kelompok enam, tampaknya tidak
ada yang terkejut. 18 "Dari Tuan-tuan ada yang dosen Jurusan Arkeologi! Dan yang tenggelam adalah mahasiswa
fakultas yang sama. Tentunya itu juga menyangkut studi benda-benda kuno. Termasuk mayat itu.
Apakah kira-kira tidak ada sangkut pautnya dengan pelaporan adanya mayat kuno kip tanya polisi.
Setelah beberapa saat terdiam, Dokter Mengki berdiri. Ia merasa patut menjadi juru bicara
kelompoknya. Maka sambutnya dengan nada tenang dan bijak, "Memang! Kedatangan kami
berkelompok ini mungkin bisa juga disangkutpautkan dengan benda-benda kuno dan peristiwa
sejarah. Tapi mungkin juga tidak! Semula, kepentingan kami yang utama adalah proses pengobatan
pasien saya, Fang Fang. Ia menderita bayangan atau rangkapan jiwa. Ia membayangkan dirinya seperti pernah
berperan sebagai manusia zaman dulu kala. Nah, dalam proses penyembuhannya itulah kami
menuruti apa saja kata hatinya. Maka terjadilah pengembaraan dari Surabaya ke Rabut Carat, dan
dari Rabut Carat pagi tadi kami menuju kemari. Ternyata pasien kami itu, Nona Fang Fang,
berbiduk-biduk di sungai tadi bersama Swandanu, mahasiswa arkeologi, lalu tenggelam.' Tentu saja
kami bingung! Dan terjadilah pelaporan kami tadi'"
"Lalu bagaimana" Apakah nanti kami bisa membawa jenazah Mas Danu ke keluarganya" La
tunanganku, dan aku merasa bertanggung jawab kepada keluarganya. Ketika berangkat dari
Surabaya kemarin, kami baik-baik berpamitan pada ibu dan ayahnya!" timpal Wariwari tanpa
menunggu selesainya bicara Dokter Mengki. Suaranya bergetar gagap karena emosinya tak
terbendung. "Nah, itulah yang mau kami tandaskan dalam kasus ini Mayat-mayat tadi akan beralih penanganan,
tidak lagi oleh rumah sakit dan polisi, melainkan oleh Kantor Seksi Benda Kuna Dikbud. Jadi
Tuan-Tuan nanti kami tunjukkan keadaan mayat itu, lalu Tuan-Tuan bebas boleh pulang. Dalam hal
ini, Tuan-tuan sebagai penemu benda kuno, yang bendanya harus diserahkan kepada Kantor Seksi
Benda Kuna. Perihal hilangnya teman Tuan-Tuan, langsung saja beritahukan kepada keluarganya.
Sementara esok pagi kami akan meneruskan pencarian mayatnya. Tadi pencarian kami hentikan
karena Tuan-Tuan telah mengakui bahwa itulah mayat teman-teman. Untuk dilaporkan kepada
keluarga, polisi nanti membekali surat keterangan seperlunya," ujar polisi jelas dan tegas.
Kelompok enam terdiam. "Bagaimana?" "Lebih baik segera saja kita ke rumah sakit melihat mayat,"
putus Dokter Mengki. "Lebih cepat, lebih baik, dan kami segera lapor ke keluarganya!"
"Baik. Tapi tolong catat nama dan alamat Tuan-Tuan di buku proses verbal kami ini. Kami masih
punya hubungan tugas dan urusan, jadi sepatutnya jatidiri Tuan-Tuan kami catat di sini. KTP serta
kartu jatidiri lainnya kami kembalikan,"ujar polisi sambil menyodorkan buku besar.
Proses pencatatan identitas berjalan lancar. Masing-masing menulis nama, alamat, dan
pekerjaannya. Tercatat sebagai nomor 336 Dokter Mengki, dan terakhir nomor 341 Wariwari.
"Tanggal berapa sekarang?" tanya Wariwari waktu menulis jatidirinya.
"Tanggal 22 Mei 1993," jawab Pak Polisi. "Wah, sembilan hari lagi Kota Surabaya memperingati hari
jadinya ke-700," ujar warga Surabaya itu sambil menuliskan tanggal itu pada buku laporan polisi.
"Memang. Hari ini, 700 tahun yang lalu, pasukan Tartar bersama-sama meninggalkan Kota Kediri
menuju Ujunggaluh. Panglima Shih-pi dan Ike Mese melalui pinggir Kali Brantas seperti waktu
19 berangkatnya. Sedang Panglima Kau Hsing yang marah-marah karena Raden Wijaya berangkat
lebih dulu, berusaha melalui jalan terobosan ke arah Ujunggaluh. Ia ingin mengejar pasukan Raden
Wijaya. Dugaan Kau Hsing benar. Raden Wijaya tidak sekadar kir memberikan sambutan kepada
pasukan Tartar deng mengelu-elukan mereka, melainkan sebaliknya mem! pukulan dan perlawanan
terhadap pasukan Tartar ya semula dipandunya; Pasukan Kau Hsing terpaksa
tempur sepanjang 300 li melawan pasukan gerilya Raden Wijaya untuk sampai di Ujunggaluh.
Meskipun ambil jalan terobosan, karena paling berat mendapat perlawanan, mereka sampai di
Ujunggaluh paling akhir dari pasukan tiga panglima Tartar itu. Tentu saja banyak anak buahnya
yang tercecer dan jatuh korban dalam pertempuran melawan pasukan Raden Wijaya itu. Ada pula
yang sudah sampai di Ujunggaluh, tapi terpaksa tidak bisa naik kapal, dan diburu-buru pasukan
Raden Wijaya. Mereka lari ke rawa-rawa sekitar tempat kapal berlabuh. Dan mati dianiaya oleh
pasukan Raden Wijaya karena kapal-kapal mereka sudah berangkat berlayar dengan
tergesa-gesa," kuliah Doktor Aisun tanpa diminta. Ia seorang dosen yang punya gaya menarik untuk
menginformasikan ilmu bidang studinya, terutama karena dibumbui dengan cerita-cerita demikian.
"Salah seorang yang teraniaya itu tentulah prajurit Tartar yang memanahku! Sebab ia, seperti
halnya aku, termasuk prajurit Kau Hsing yang tertinggal dan harus mengejar ketinggalan. Padahal
yang berpasukan saja mengalami serangan berat seperti itu. Apalagi prajurit yang ketinggalan
pasukan, tentu jadi bulan-bulanan pasukan Raden Wijaya!" kisah Fusen setengah berdoa semoga
terjadi demikian. "Mudah-mudahan doamu terkabul! Sebab aku tidak enak selalu kamu sangka menjadi pemanah itu!
Kukira memang ada prajurit Tartar ketiga yang melakukan kejahatan itu di luar kita berdua!" bisik
Yong Pin. Setelah polisi sekali lagi memeriksa catatan nama, alamat, dan pekerjaan yang tercantum pada
nomor 336 Di rumah sakit, mereka langsung menuju mang rapat
atau kantor para dokter. Ruang itu dijaga oleh polisi. Mayat yang ditemukan tadi dibaringkan pada
sebuah meja. Sudah kering, tidak basah lagi. Setelah kering, warnanya memang sedikit lain dengan
kulit manusia. Agak kehitam-hitaman. Masing-masing anggota kelompok enam, dengan mata
telanjang dan pengetahuan semampunya, harus mengakui bahwa mayat-mayat itu bukan baru.
Aneh, tidak tercium bau barang busuk, tapi bau asap setanggi.
"Bagaimana, Tuan-Tuan" Tentu Tuan-Tuan setuju dengan pendapat kami," tanya polisi.
Semua mengangguk. Polisi meneruskan bicara, "Malam ini, Tuan-Tuan memang tidak bisa berbuat apa-apa. Kita tahan
pun tidak mungkin. Karena itu Tuan-Tuan bebas. Pulang ke Surabaya silakan. Namun besok pagi
kami akan kembali melakukan pencarian mayat kawan Tuan-Tuan yang dilaporkan. Kalau ada dari
Tuan-Tuan yang tidak percaya atau pihak keluarga korban ingin tahu, silakan datang menghubungi
kami. Sekarang terserah kepada Tuan-Tuan. Barangkali ada usul"* Dokter Mengki sekali lagi
menjadi juru bicara. "Kami terima usul Pak Polisi dengan ucapan terima kasih, terutama karena
kami dibebaskan. Kami minta maaf telah merepotkan. Rencana kami, kami akan langsung pulang
ke Surabaya dan akan tetap berenam datang melapor kepada keluarga yang kehilangan, terutama
Swandanu yang tinggal di Surabaya. Terserah nanti tanggapan keluarga, apakah mereka minta
malam ini menjenguk mayat kemari atau bagaimana. Langkah itulah yang bisa kami utarakan untuk
20 segera kami ambil." "Baik. Kami semua sudah punya alamat Tuan, bisa tiap kali kami perlukan kami hubungi. Sekarang
marilah kira bubar dulu."
"Sebentar, Pak. Bolehkah saya usul?" ucap seseorang yang bahasa Indonesianya patah-patah.
"Ya, Nyonya?" "Saya usul agar mayat kuno yang dibaringkan itu jangan dipisahkan begitu. letakkanlah seperti
mereka sedang bermesraan. Swandanu dan Fang Fang adalah pasangan asmarakah abadi. Kalau
mereka dipisahkan, kita berdosa, arwah mereka gelisah dan akan gentayangan mengganggu kita."
Para hadirin mendengar permintaan Doktor Aisun dengan senyum atau tawa terbuka. Daya khayal
perempuan tua ini romantis.
Nyonya ini begitu tinggi ilmunya sehingga rasanya ia menembus arwah benda kuna segala. Ya,
saya kira pihak Depdikbud tidak berkeberatan. Malah ini usul yang baik, menata benda kuno seperti
yang diperkirakan terjadi iu kala masih berfungsi," ujar polisi. 'Asal kalau diperlihatkan pada pelajar
SMP ke bawah, jangan dikira mereka sedang kumpul kebo!" sela pejabat Depdikbud yang
ditanggapi dengan gelak tertawa.
Dokter Mengki berbisik, "Apakah saputangan gambar naganya masih di dada Fang Fang" Jangan
lupa, /o!" "Jelas tidak! Masih ada di sana. Karena itu kita mencium harum dupa setanggi!" sahut
Doktor Aisun ketus. Menjelang naik kendaraan, ketika telah berpisah dengan bat-pejabat di Kediri,
kelompok enam berunding. Mayatnya kok mengecil, ya" Tidak sebesar waktu ukan tadi," ujar
Wariwari. Ia memperhatikan benar, Swandanu adalah tunangannya yang telah resmi.
Sambil memperhatikan dengan baik-baik mayat Swandanu, Wariwari mereka-reka bagaimana nanti
bicaranya kepada orang tua Swandanu.
"Ya! Ya, aku juga merasa begitu!"
"Kalau dalam waktu sedikit ini sudah menyusut demikian, kan lama-lama bisa hilang!" ,.
"Ah, tentunya pada batas penyusutan akan berhenti," hibur Pamoraga.
"Tapi kentara betul /o menyusurnya! Tadi baik polisi maupun dokter, tidak ada yang bicara soal
penyusutan itu!" Yong Pin menyela.
"Lebih baik kita pergi ke rumah Swandanu dulu," Dokter Mengki berprakarsa, terutama untuk Yong
Pin dan Fusen. "Ya, bantulah kami dengan moral. Kepergian kami semalam direstui oleh keluarganya," Pamoraga
memperkuat prakarsa Dokter Mengki.
Semua setuju sehingga Dokter Mengki masih bisa tetap ikut Suzuki Carry, duduk berdampingan
dengan Doktor Aisun. Kedua cendekiawan ini seperti berpasangan saja. Keduanya kini duduk di jok
tengah tempat Fang Fang dan Swandanu. .
Maka terlihadah Suzuki Carry putih diuber Honda Civic merah di jalanan Kediri
21 "Jadi, kisah kita belum selesai, ya!" ujar Pamoraga, keras, lebih tertuju kepada penumpang di
belakangnya. "Jantungku kian kuat berdebar. Bagaimana nanti laporan kita terhadap ibunya Mas Danu?" tanya
Wariwari. "Bukan soal itu. Tetapi kisah yang kita telusuri dalam perjalanan kita sehari ini," tukas Pamoraga.
"Mana yang belum selesai" Semua yang kalian perankan sudah berakhir di Kediri dengan ajal!"
sahut Doktor Aisun. Ia yang serba tahu dalam penelusuran kisah ini, merasa perlu menanggapi kurang puasnya
Pamoraga. "Kita belum tahu siapa prajurit Tartar yang kejam itu. Prajurit Tartar yang mengapak kepala Yong
Pin, yang menohok dadaku dengan pedang, yang menombak punggung Swandanu dengan trisula
dan memanah lugas leher Fusen! Tentunya pelakunya seseorang. Seseorang yang amat kejam!"
tuntat sopir Suzuki. "Apakah kamu perlu tahu?" tanya Aisun. "Tentu saja! Apakah dia datang ke sini cuma ingin
membunuh" Tanpa ada benang merah kisah lakonnya" Memang bisa saja ia sebagai prajurit Tartar
membunuh secara kejam karena alasan perang. Tapi melihat pembunuhan itu dilakukan tidak di
medan perang, tentunya ada Irisan di balik rentetan pembunuhan itu. Atau, pembunuhan terhadap
sahabat kita seperjalanan ini juga bersifat kebetulan! Pembunuh itu memang maniak, gemar, atau
mendapat kepuasan dengan membunuh. Dan yang dibunuh bukan teman-teman kita saja, tetapi
jauh lebih banyak lagi. Aku dan teman-teman ini hanya sebagian dari lampiasan nafsunya saja! Itu
semua belum ada kejelasan! Jadi kisah perjalanan kita ini belum selesai!"
"Tapi mi kisah kehidupan, bukan dongeng! Bahkan bukan kisah detektif. Tokoh yang kita antar
semua sudah jelas tugas kewajibannya, darma baktinya, dan akhir hidupnya. Begitulah kisah
kehidupan. Tidak mesti ada tiding dongeng atau moral of the story. Tidak semua problem kehidupan
di dunia ini ada penyelesaiannya. Dan sebalik-terjadi penyelesaian yang tidak dapat dirunut dari mg
merahnya lelakon. Tiba-tiba saja perang Iran dan selesai tanpa harus ada hubungannya dengan
sebab musababnya perang yang sudah berjalan sembilan tahun! Hidup kalian selesai sampai di Kediri
yang tadi sudah kita ketahui bersama, ya selesailah perjalanan kita harifoi'tal
"Tapi aku masih penasaran sama prajurit Tartar yang kita perkirakan menjadi penyebab
berhentinya, hidup kami!" tukas Pamoraga.
"Boleh saja penasaran! Tapi jangan dibilang belum selesai. Kisah kita sudah selesai. Andaikata
sampai akhir cerita tidak diketahui siapa yang menghentikan umur kalian, ya kita harus puas.
Karena mungkin, ya memang tidak ada penyelesaiannya, tidak ada benang merah lelakonnya yang
bersangkut paut dengan pembunuhan berangkai tadi," ujar Doktor Aisun dengan semangat tinggi
mengupas soal kehidupan. "Wah, rasanya tidak puaslah kalau pembunuh itu tidak ketemu!" Pamoraga mengungkapkan
ketidakpuasannya. 22 "Zo, ini bukan cerita detektif. Yang penjahatnya harus ketemu pada akhir cerita. Kamu hams
anggap saja kemati-anmu itu kodrat! Begitu juga kematian Fusen, Yong Pin, Swandanu, Fang
Fang! Setekkan pikiranmu. Relakan, ikhlaskan hatimu. Agar jiwamu bisa tenang. Tanda bahwa
kehidupanmu itu bukan milik pribadimu, tetapi milik Tuhan. Kamu hanya ditittpin. Kembalikan kalau
diminta Yang Punya, dengan ikhlas, meskipun tampaknya tugasmu belum selesai, kamu menikmati
kehidupan dunia ini belum selesai! Kita hidup harus siap sewaktu-waktu, kapan saja jalan hidup kita
ini diputus. Jangan bilang kisah kita belum selesai!"
"Maksud Pamoraga bukan kisah hidup yang itu belum selesai! Tapi benang merah cerita kita ke
Kediri ini to yang terputus," tegur Dokter Mengki.
363 mengerti. Aku beri contoh semua itu agar dia tidak perlu mengharap bahwa kisah kita berjalan
bersama ini akan berakhir dengan tertangkapnya pembunuh! Jangan dia mengharapkan itu! Karena
melihat kesibukan kita sekarang ini. mengurus kematian Swandanu dan Fang Fang,
mempersiapkan laporan kepada keluarga korban musibah, dan hari kian meremang, sebentar lagi
habis, janganlah mengharap penyelesaian yang memuaskan, tapi harus puas dan rela dengan
keadaan yang sekarang ini," nada suara Doktor Aisun tetap ngotot, ketus.
Dokter Mengki terdiam. Perempuan cerewet seperti memang sulit diberi pengertian. Jadi lebih baik
diam. salah satu mengapa Dokter Mengki takut mengikat iwinan dengan perempuan! Tidak berani
dan tidak menjamin hatinya tetap sabar mendapat tanggapan ngotot seperti itu dari istrinya.
Akhirnya mereka masuk Kota Surabaya senja hari. Mereka sudah memutuskan langsung menuju


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah Swandanu. Tidak bisa ditunda lagi, harus segera mengabarkan musibah yang dialami
mahasiswa UGM itu kepada ng tuanya.
"Jantungku kian berdebar-debar!"1 desah Wariwari. Meskipun bukan dia yang berprakarsa
mengadakan per-nan itu, melainkan Swandanu sendiri, dari seluruh bongan yang paling dikenal
keluarga adalah Wariwari. riwari sudah dilamar oleh orang tua Swandanu. "Aku tidak tahu harus
bersikap bagaimana! Apakah nis menangis" Perlu berteriak histeris" Tapi harus ku-_JB Harus
kuhadapi!" "Ah, lepaskan saja emosimu! Tidak perlu diatur sejak karang!
'Tapi aku yang melaporkan malapetaka ini! Aku sudah tahu lebih dulu daripada mereka! Aku tak
akan tahan melihat wajah mereka!"
"Kalau kamu takut, nanti aku yang lapor. Kita semua bertanggung jawab! Oleh karena itu, Dokter
Mengki dan kawan-kawannya juga saya minta ikut bersama kita. Semuanya telah terjadi, semua itu
terjadi karena kehendak Allah! Tidak ada yang bisa dipersalahkan! Aku, dosennya, kamu, semua
sama besar tanggung jawabnya!" hibur sopir di sampingnya.
Mereka sampai di rumah Swandanu di Jalan Bathilonadrirn, yaitu daerah perumahan baru yang
nama jalannya mempergunakan kelompok nama tokoh legenda atau cerita rakyat. Ada
Damarwulan, Jaka Sambang, Sangkuriang, Sekartaji. Dulu nomor rumahnya menggunakan sistem
blok, tetapi dengan diterbitkannya peraturan daerah tentang penamaan nama jalan dan nomor
23 rumah di Surabaya, daerah itu terkena penertiban. Semua jalan dalam Kota Surabaya harus
disesuaikan dengan tradisi kota besar di Indonesia, yaitu mempunyai nama jalan atau gang, dan
nomor rumahnya mulai dari nomor 1, berurutan, yang gasal berhadapan dengan yang genap.
Sistem blok tidak diperkenankan, karena kecuali menyalahi tradisi, juga tidak cocok untuk
kehidupan bertetangga kepribadian Indonesia. Dengan sistem nama jalan maka tiap jalan dapat
dikelola bersama oleh tetangga yang berhadapan. Karena menggunakan sistem blok, jalan itu
kapiran, tidak bernama, dan seolah-olah tidak ada pemilik dan pengelolanya. Di daerah tempat
tinggal Swandanu, rurrah-rumahnya sudah selesai dibangun oleh developernya serta sudah ada
pemiliknya. Tetapi yang langsung dihuni belum banyak,
365 itu pun letaknya tersebar di sana sini. Karena yang menghuni belum banyak maka pada malam hari
seperti senja itu hanya beberapa rumah saja yang menyalakan lampu. Yang lain gelap gulita.
Ketika dua mobil berhenti di depan rumah Swandanu, penumpang mobil heran tercengang. Di
antara yang sedikit menyalakan lampu, rumah Swandanu tampaknya terlalu mubazir memasang
lampu. Terang benderang di antara tetangga yang gelap. Dan terdapat keramaian seperti orang
punya gawe. Ada apa7 "Kemarin Swandanu tidak bicara apa-apa bahwa akan ada keramaian di rumahnya," ujar Wariwari.
Ragu ia mau melangkah. Tetapi Pamoraga dan Dokter Mengki tidak menghentikan langkahnya,
tenis mendorong Wariwari maju menuju halaman rumah yang benderang itu.
Pada saat itu keramaian di rumah Swandanu berakhir. Orang yang duduk di bawah lampu keluar.
Mereka para santri yang membawa berkat.
Melihat rombongan Wariwari datang, ayah Swandanu setelah menyalami para santri segera
memberi tahu istrinya bahwa Wariwari dan dosen Swandanu datang.
"Kok ada ramai-ramai* Pak?" tanya Wariwari merasa bodoh.
Belum lagi pertanyaan yang tersekat itu terjawab, ibu Swandanu telah sampai di tempat Wariwari,
lalu memeluk gadis itu dengan tangis yang membludak.
"Oh, Wariwari! Wariwari! Kangmasmu! Tidak tertolong! Jam tiga tadi! Oh, oh! Terus dimakamkan!"
Tentu saja penjelasan itu mengherankan mereka yang baru datang! Mereka belum mengutarakan
bahwa tadi sekitar jam tiga Swandanu tenggelam di Kali Brantas di Kediri,
kini keluarganya di Surabaya sudah tahu, bahkan jenazahnya sudah dimakamkan!
"Oh, Bu! Bagaimana"! Bagaimana to, Bu"! Bagaimana
bisa terjadi"! Waktu kami berangkat ke Watukosek kemarin ...!" jerit Wariwari dengan pikiran
kosong! Hanya bayangan-bayangan sekilas yang masuk ke otaknya, hilang silih berganti dengan
gambar baru yang cuma sebentar pula! Tidak utuh! Tidak bisa ditangkap dan diutarakan dengan
ucapan! Pusing! Mulutnya terkunci!
"Oh, Nak! Ya nasibmu! Ld Zo! Bagaimana kamu ini, Wariwari!" jerit ibu Swandanu. "Tolong, Nak!
24 Tolong! Ini kok pingsan!"
Dokter Mengki dan Pamoraga cepat menangkap tubuh Wariwari yang melayang. Akhirnya ia
digendong oleh Pamoraga. "Dibawa ke kamar sana, Nak! Ke tempat tidur!" '<
Wariwari jadi layatan, dikerubungi perempuan keluarga Swandanu. Untung ia segera sium
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
an. "Sabar, Nak! Berbaringlah dulu! Kamu terlalu lelah! Terkejut pula!"
Tetapi kata hiburan dari calon mertua urung ini tidak terlalu digubris. Wariwari begitu cepat hilang
ingatan, begitu cepat kembali segar. Kelelahan tubuh memang ada, tetapi semangat untuk segera
bergabung dengan teman-temannya bisa melindas kelelahan itu. Karena merasa segar bugar,
Wariwari merasa malu dikembungi keluarga Swandanu di tempat tidur asing itu. Ia bangkit dan
minta diantar bergabung dengan kawan-kawannya!
Calon mertua urung menuntunnya dengan kasih sayang. Ia diantar sampai di mang tengah tempat
tadi di 367 berkelompok, mendengarkan cerita ayah Swandanu yang belum banyak dikisahkan. Baru
pucuknya. "Bagaimana to, Bu, terjadinya tadi" Waktu kami berangkat ke Watukosek ..:!"
"Sebetulnya, waktu pulang dari rumahmu kemarin badannya sudah sumer. Ia pulang dari Jogja
memang karena anjuran dokter agar istirahat penuh di rumah. Tapi niatnya mengantarkan
dosennya ke Watukosek tidak bisa ditahan. Kemauannya memang keras, meskipun tidak suka
berbantah atau berontak-Tetap saja ia mau mengantarkan dosennya ke rumahmu. Cari kendaraan,
cari pengantar yang bisa menemani dosennya ke Watukosek. Siang hari, setelah kalian berangkat
ke Watukosek, Swandanu sudah ridak kuat lagi. Sesambat bahwa badannya amat panas, amat
lemah! Ambruk di tempat tidur. Tidak ngomong apa-apa! Lemah lunglai tak berdaya! Kami jadi
gempar. Panggil dokter, dokter siapa, wong daerah ini belum banyak tetangga, tidak tahu dokter
yang dekat dan bagaimana caranya! Lalu kami putuskan saja, dibawa ke kamar terima! Setelah
diperiksa, dokter langsung menahannya. Ngamar. Untung ada kamar yang kosong. Dokter yang
memeriksa sudah geleng kepala Saja. Kasep, katanya! Kami bahkan dimarahi, kok baru dibawa ke
situ" Disuntik, dibelikan obat, diminumkan. Swandanu sudah tidak mau ngomong apa-apa. Jiwanya
seperti tidak berada di pembaringan sana! Seperti pingsan, tapi sinar matanya bisa memancar.
Entah, sakit apa begitu itu! Aku dan ayahnya sudah tidak mau beranjak dari tempat pembaringan
rumah sakit sana! Dan tadi siang, jam tiga kurang seperempat, ya, menjelang jam tiga, ia
menghembuskan nafasnya yang penghabisan!" Bicara ibu Swandanu megap-megap seperti
kehabisan nafas! Semangatnya mau
368 berbicara bersamaan dengan naiknya kekecewaan karena kehilangan anak! Belum bisa ia
menghilangkan rasa dukanya, meskipun sudah seharian tadi desakan untuk menyadarkan diri
menerima keadaan, terus-menerus ditekankan. Tadi sudah berhasil menguasai diri. Tetapi di
hadapan Wariwari, calon menantunya yang manis dan peramah, rasa kecewa itu mengembang lagi!
Ia kehilangan lagi! Wariwari yang jelita Jawa, memiliki keagungan hati tersendiri, urung jadi
menantunya! Oh! Kepadanya, kepada Wariwari, ia ingin mengungkapkan duka citanya, ingin
membagi kesedihan. Karena itu semangat bicaranya memuncak! Bicara tentang akhir hayat
Swandanu tercinta! 1 Sambil menangis, keluar air mata sisa setelah seharian diperas. Ibu Swandanu memeluk dan
menciumi mantan calon menantunya! Yang ditanggapi oleh Wariwari dengan sikap keibuan yang
penuh pengerfiam - i "Wariwari! Kamu jangan lupa keluarga sini, ya! Kamu jangan merenggangkan kekeluargaan dengan
kami, meskipun Swandanu sudah tiada dan urung menjadi suamimu! Kamu tetap anakku, sulih
Swandanu!" "Ya, Bu! Ya, Bu, saya bukan orang lain lagi, saya keluarga sini. Sejak dulu kala, saya ini sudah
menjadi jodoh Kangmas Swandanu!" kata penghibur Wariwari dengan bahasa Jawa kromo yang
halus. Sikap Jawa yang demikianlah yang dirindukan ibu Swandanu untuk dimiliki sebagai
keluarganya. Setelah rasa tawakal kembali menguasai ibu Swandanu, ia mempersilakan tamu rombongan
Wariwari minum dan makan suguhan yang telah disiapkan.
369 "Lo, kamu juga setia ikut mengantar Wariwari tadi, Pamor?" tegurnya kepada Pamoraga.
Pamoraga menyambut tangan ibu Swandanu dan diaumnya, "Saya sekeluarga ikut berduka cita
dengan wafatnya sahabatku Swandanu, Bu!"
fc "Ah, ya! Takdir memang tidak bisa ditolak dan begitulah kehendak Allah! Kamu sekarang
kelihatan gagah sekali! Patut menjadi pengawal Wariwari! Tetaplah begitu, ya-J Pamor! Jangan
biarkan adikmu Wariwari dimiliki orang lain!"
"Apa pesan Ibu, kami junjung di atas kepala, kami utamakan!" jawab Pamoraga.
"Jadi Kangmas Swandanu tidak berucap apa-apa setelah pingsan di pembaringan rumah sakit itu,
Bu?" Wariwari memberanikan diri bertanya. "Tidak ada pesan apa-apa, misalnya untuk saya?"
Ibu Swandanu menggeleng. Menarik napas panjang untuk menambah tawakalnya.
"Pada akhir hayatnya, ya, jam tiga kurang seperempat, tiba-tiba Swandanu sadarkan diri. Ia
memandangku dan ayahmu dengan pandang sayu. Aku sangat mengharap dia berkata, yang akan
memberi harapan bahwa dia akan sembuh. Tetapi kutegur, kusapa, ia hanya memandangi aku
dengan pancaran sedih. Ia belum sadar benar. Bahkan ketika mengucapkan kata, kami sama sekali
tidak mengerti artinya," kisah abu Swandanu; "Kata atau kalimat apa, Bu, yang diucapkan?" tanya Wariwari.
"Seperti bicara kepada seseorang dengan nama Cina
"Fang Fang?" "Ya! Kamu kenal dia" Apakah Swandanu punya kekasih
2 gelap?" . "Tidak, Bu. Fang Fang adalah sahabat kami. Kangmas
Swandanu memang mencintai Fang Fang sejak zaman awal Majapahit!" kata Wariwari. setengah
bergurau, tapi juga dengan maksud jujur dan ikhlas hendak meyakinkan ibu Swandanu, bahwa
percintaan Swandanu dengan Fang Fang tidak menggoyahkan pekerti Wariwari. "Bagaimana ucap
Kangmas Swandanu, Bu?"
Ibu Swandanu mencoba mengingat, lalu, "Fang Fang! Di sinilah akhir perjalanan kita! Seperti biduk
kita dulu! Mari kita ulang adegan itu! Jangan kamu ambil saputanganmu, tetaplah simpan di
dadamu!" "Begitu ucapannya"! Jam berapa itu terjadi?" tanya Doktor Aisun bergairah.
"Jam tiga siang tadi. Lalu dia tenggelam-tt^j
"Tenggelam"!"
"Maksudku menjatuhkan diri ke bantal yang empuk, tenggelam di sitai. Ajalnya sampai!"
"Oh! Tepat waktunya di Kediri tadi! Waktu aku perintahkan lapor polisi!" ujar Dokter Mengki,"Lalu, di Kediri tadi siapa" Swandanu disaksikan ayah dan ibunya berbaring di rumah sakit
Surabaya," Fusen meragukan kisah ibu Swandanu dan kesaksiannya di bawah pohon asam di
tanggul Kali Brantas di Kediri.
"Kedua-duanya Swandanu!" jawab Doktor Aisun. 'Yang di pembaringan tinggal raganya. Kan
berbaring tidak berbuat apa-apa?"
"Dan yang mengikuti perjalanan kita tadi?" tanya Wariwari.
"Semangatnya. Jiwanya. Suara hatinya."
371 "Kalian ini membicarakan apa?" tanya ibu Swandanu jadi tidak mengerti perbincangan tamunya.
"Oh, waktu jam tiga siang tadi, Bu, kami rasanya terkontak dengan kejadian di sini. Kangmas
Swandanu rasanya juga berada di tengah kami," keterangan Wariwari. "Itu saking cinta kalian
kepada Swandanu!" "Dan cinta Swandanu kepada kami, kepada sahabatnya, Mas Pamor, kepada
dosennya, Ibu Doktor Aisun, dan tentu saja kepadaku!"
slbu Swandanu kelihatan puas sekali dengan jawaban Wariwari. Ternyata Swandanu juga dicintai,
dimiliki oleh teman-temannya. Mereka juga merasa kehilangan, seperti dirinya. Lafal ia pamit
meninggalkan tempat karena tugas belakang memanggil. Tamunya dipersilakan melanjutkan
rbincang-bincang. Sekarang di ruang tengah yang digelar karpet tinggal pok enam. Ayah Swandanu
berada di depan rumah, lemui para tetangga yang mulai berdatangan untuk & Mereka jadi tamu
istimewa, karena empat orang di tanya bermata sipit, keturunan Cina. Biar menyendiri,
3 " "Saya bilang cocok!" i
Dan yang lain juga tersenyum. Cuma Doktor Aisun
yang tampak cemberut. > "Kita memang iiarus rukun kembali seperti zaman generasi Fukien!" kata Dokter Mengki, khusus
untuk Doktor Aisun. "Sebenarnya sudah sejak di kantor polisi Kediri tadi aku mau membisiki Wariwari, agar malam ini
aku boleh menginap di rumahnya. Aku sudah kenal dengan ibunya. Tetapi kupikir lagi, malam ini
kita tentunya dihadapkan pada kesibukan mengurus jenazah Swandanu dan Fang Fang, Ibu di sini
repot maka aku bisa membantu kerepotan itu Tidur bisa di mana saja, tetapi keluarga di sini
membutuhkan bantuan dan pikiran. Aku bisa menyumbang. Jadi tak usah aku merepoti dengan
pindah tidur segala! Jadi aku urung berbisik kepada Wariwari. Nyatanya sampai di sini begini!
Keduluan usulan Dokter Mengki! Apa harus aku tolak?"
"Tidak usah ditolak, wong bukan lamaran kok" ujar Pamoraga.
Senyum pecah jadi tawa. Begitu juga yang terkena sasaran goda. Juga yang cemberut tak tertahan
bersikap begitu. Kelompok enam dilanda seloroh, lupa sejenak pada suasana duka cita. m
Rombongan Wariwari sepakat untuk tidak menceritakan pengalaman mereka melihat tenggelamnya
Swandanu kepada keluarga situ. Cerita itu akan menambah heboh dan mungkin tidak akan
dipercayai karena kesaksian mereka akan penderitaan Swandanu diikuti secara fisik terus-menerus,
dan wujudnya nyata. Badan dan kemudian jenazah Swandanu ada, terlihat dan teraba sampai akhir
hayatnya. Ayah dan Ibu Swandanu tidak berangan-angan.
373 Pada kesempatan lain. Fusen masih gelisah untuk menghadapi hari esok. Selain harus
menyampaikan kepada 3xi Fang Fang di Tuban, mereka masih terikat polisi Kediri. Sekalipun
mereka tidak bercerita sekarang kepada keluarga Swandanu. tapi pada akhirnya toh mereka juga
tahu kalau mendapat berita dari Kepolisian Kediri.
"Tidak apa. Berita heboh datangnya bukan dari kita. Dan jika diberitahukan tidak malam ini, ketika
suasana duka cita masih mencekam seperti ini, nilainya tidak lagi hebat meletusnya Gunung Kelud,"
ujar Dokter Mengki. Bagaimana kalau kita cegah agar tidak terjadi pem nan dari polisi Kediri?" 'Caranya?"
Kita batalkan laporan kita kepada polisi Kediri, seperti g mereka harapkan. Dengan begitu polisi
tidak usah Tapi nyatanya jenazah Swandanu di sini, dan tidak terdapat di sana!" Fusen masih goyah saja
pendiriannya. 4 "Mengapa, Fusen, kamu kok risau sekali?" Yong Pin ikut mendesak fusen.
"Kalau hal seperti ini terjadi juga di Tuban sana, terhadap Fang Fang, bagaimana" Sebab
kepergianku bersama Fang Fang kemarin itu prosesnya begitu cepat dan semu! Tidak ada hambatan apa-apa! Apa ini
bukan kejadian dalam pikiran kita saja, tetapi tidak peristiwa nyata" Aneh, mengapa aku yang
sudah lama tidak pulang ke Tuban tiba-tiba dipercaya membawa Fang Fang berobat ke Surabaya!"
* "Ah, mengapa baru sekarang kamu herani, kamu takjubi! Bukankah selama perjalanan sejak
kemarin kita menjadi orang-orang kesurupan! Mengapa sekarang kamu gelisahkan" Terimalah apa
adanya! Asal kita tetap kompak saja. Biarlah kita berjalan seperti kesatuan orang melamun, dan
marilah kita nikmati pengalaman yang menyemak ke peristiwa penting berabad-abad yang lalu di
bumi sekitar Surabaya, Kali Brantas dan Kediri. Kita sudah telanjur melepas lamunan yang begitu
banyak menyerap tenaga, dan kini sudah di ambang akhir cerita, mengapa hams kamu gugat?"
bicara Yong Pin. Fusen menarik napas panjang, dihempaskan kuat-kuat seperti hendak menghempaskan beban
berat pikirannya. "Aku takut melihat kenyataan di Tuban! Aku takut melihat Fang Fang yang cantik
jelita berkepribadian bangsawan Fukien itu diam terbujur kaku dalam peti mati! Jenazah Fang Fang
tentu tidak bisa diperlakukan seperti jenazah Swandanu seperti sekarang di sini sehingga kita tidak
usah menyaksikan. Tetapi Fang Fang!" Fang Fang!" '
"Aduh, kamu tiba-tiba brengsek! Cengeng! Berpikirlah dewasa, Fusen! Kita sekarang ini memang
sedang dalam perjalanan menembus waktu masa lampau! Jangan dirisaukan dengan gagasan
yang merintangi kekompakan kita! Sedapat mungkin kita harus kompak. Kalau timbul problem, kita
hadapi bersama, agar lebih kuat kita bertindak," desak Yong Pin menyesali keluhan Fusen.
8HS polisi Kediri ambil jalan interogasi pada kita saru persatu, bagaimana kita harus menjawab dalam
satu bahasa"* tanya Wariwari.
Tidak usah berpikir ruweti Kita jawab jujur saja, apa yang kita alami dan apa yang kita ketahui. Kita
paparkan sejelasnya kalau ditanyakan. Kita jangan dibebani pikiran yang berat seperti tanggung
jawab bersama, bersatu dalam tindakan. Jangan mengada-ada. Kita malah bisa celaka karena tidak
jujur dan mementingkan kekompakan dan lam-lain,* ujar dokter ahli jiwa Mengki.
"Perjalanan kita ini memang aneh! Aneh untuk orang lain. tapi mungkin wajar bagi kita. Bagaimana
kita paparkan kepada polisi" Apa mereka bisa terima laporan yang aneh itu" Bagaimana misalnya
kalau pencarian jenazah Fang Fang dan Swandanu itu tidak tertemukan" Apa kita tidak dianggap
pembohong" Apa polisi tidak menaruh curiga bahwa kita ini kelompok orang yang akan mengacau,
mengganggu ketertiban masyarakat?" ujar Fusen masih pada pola pikiran yang sama.
"Kamu terlalu memikirkan pikiran orang. Andaikata perang, kamu selalu kuatirkan terobosan
serangan lawan. Kamu besar-besarkan sehingga merasa dirimu rapuh. Kamu tidak melihat
kenyataan. Misalnya tentang besok pagi. Belum ada kejadian apakah jenazah itu ditemukan atau
tidak, kamu sudah kuatir saja kalau polisi menuduh begini begitu?" tindas Yong Pin.
5 "Habis, memang pengalaman kita aneh! Tidak wajar!" "Ya, harus kita hadapi dengan keanehan dan
ketidakwajaran! Kamu sangat kuatir kalau jenazah itu tidak ketemu. Kuatir kita dituduh pengacau.
Kamu berpikir begitu tegang sih. Bagiku lebih baik mereka tidak menemukan jenazah
i

Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Swandanu dan Fang Fang! Problemnya jadi selesai. Kita sudah mengakui bahwa jenazah yang
kemarin itu jenazah teman kita. Polisi sendiri yang tidak percayai Itu urusannya polisi! Bagiku lebih
menjadi problem kalau mereka menemukan jenazah Swandanu dan Fang Fang! Lalu apa kata
keluarga di sini begitu menerima kiriman jenazah dari kepolisian Kediri?"
"Ya! Serba ruwet! Aneh, dan tidak termakan oleh pikiran waras! Aku jadi heran sama pikiran dan
perbuatanku dua hari akhir ini! Serba aneh, tapi tidak aneh!" ujar Fusen sambil memukul-mukul
kepalanya, seolah-olah untuk menyadarkan tata pikirnya yang kacau.
"Misalnya" Apa yang aneh dan tidak aneh itu?" tanya dokter Mengki.
"Misalnya tentang saputangan yang kuperoleh dari Panitia Pertandingan Bola Basket di Kediri yang
kuberikan kepada Fang Fang. Sejak menerima saputangan itu, Fang Fang ingin pergi ke Pasar
Atom! Di Pasar Atom, ia seperti telah biasa berjalan di sana. Padahal aku yakin baru pertama kali
itulah ia pergi ke Pasar Atom. Ini aneh sekali bagi orang lain! Tapi tanya sama Yong Pin ini, apa
bisa mendebat atau menganalisis kelancaran Fang Fang berbelanja di Pasar Atom ini?"
; "Ya, itu tadi, mengapa harus kita pecahkan' Baiknya kita terima saja bahwa hal itu terjadi. Karena
kejadian itu seperti perjalanan ulang peristiwa yang pernah kita alami. Peristiwa terdahulu, yang
orisinil,kita tidak berdebat dan tidak menolak. Apa peristiwa ulangnya harus kita debat?" ucap Yong
Pin. "La, itu ada analisis Yong Pin! Mendasar, bukan?" tingkah Dokter Mengki.
"Ya. Selama perjalanan sehari ini kita seperti telah mengulang atau melacak kembali pengalaman
yang pernah terjadi. Memang sulit diterima oleh orang di luar kota!" Pamoraga ikut bicara.
"Termasuk polisi Kediri. Mereka tentu tidak bisa menerima penjelasan kita!"
"Aku sudah paham apa yang dianjurkan Dokter Mengki! Jawab jujur. Apa yang kita alami, lihat, dan
ketahui! Tidak usah repot-repot mikW kata Wariwari sambil mengelus paha Pamoraga. "Marilah kita
tunggu dan hadapi perlakuan polisi Kediri terhadap kita!"
"Setuju!" ujar kelompok itu hampir serentak. "Anu, Fusen! Ada ceritamu yang menarik tadi yang baru
kudengar. Kamu ceritakan kalau Fang Fang ke Pasar Atom seperti telah biasa berbelanja di sana.
Padahal sebenarnya dia belum pernah ke Pasar Atom! Lalu, apa yang dikerjakan di sana?" tanya
Doktor Aisun. Perempuan ini masih saja ingin menelusuri kisah perbuatan Fang Fang!
"Ya! Soal itu! sungguh tidak memadai dengan tekadnya semula! Begitu sampai di Surabaya, turun
bus, Fang Fang sudah minta untuk diantar ke Pasar Atom! Rencana pergi ke dokter, atau istirahat
makan, dikalahkan dengan keinginannya pergi ke Pasar Atom! Tidak mau ditunda! Sampai aku dan
Yong Pin kelabakan! Payah-payah kami kawal ke Pasar Atom, pada siang hari bolong, sampai di
sana njlekethek, cuma mau beli aplikasi! Aplikasi gambar naga untuk ditempel pada saputangan
yang kuberi dari Kediri!"
6 "Aplikasi gambar naga"! Bisa dia menemukan aplikasi sulaman gambar naga itu?"
"Itulah yang aku tidak mengerti! Rasanya Fang Fang sangat keranjingan untuk memperolehnya. Ia
masuk Pasar Atom bagaikan bijih besi ditarik oleh magnit, berjalan cepat
menyeruak keramaian orang berbelanja, dari tingkat dasar ke tingkat di atasnya, tanpa menoleh ke
sana kemari, langsung menuju ke kutub magnet, ke kios penjualan macam-macam aplikasi! Kepada
penjaga kios langsung dimintanya aplikasi sisa yang kardusnya telah tertimbuni kardus tempat
aplikasi yang modelnya lebih baru!"
"Tapi ia menemukan aplikasi yang diinginkan" Aplikasi sulaman sutera gambar naga?"
"Ya. Model kuno, tinggal satu yang tertimbun oleh barang dagangan yang lebih baru! Heran aku,
bagaimana Fang Fang tahu hal itu?"
"Apakah Fang Fang membawa saputangan yang kamu beri itu, saputangan hijau dari Kediri?" tanya
Doktor Aisun memburu terus.
"Betul. Dibawa, diselitkan pada kutangnya!" "Saputangan itulah yang menuntun! Saputangan hijau
sutera dari Kediri!"
"Ada cengkorongan gambar naga di tengahnya," sambung Fusen.
'Tidak salah lagi! Aplikasi sulaman gambar naga itu asal muasalnya direnggut dari saputangan
sutera hijau itu! Waktu kamu berikan Fang Fang, tinggal cengkorongan gambar naga! Di tangan
Fang Fang, saputangan cengkorongan gambar naga itu menimbulkan kekuatan luar biasa sehingga
menggerakkan Fang Fang seperti yang kamu ceritakan tadi! Melejit mencari pasangannya! Aplikasi
sulaman sutera kuning gambar naga! Bagaikan bijih besi dengan kutub magnit, perumpamaanmu
tadi! Dalam hal itu, Fang Fang bagaikan badan rongsokan robot, saputangan hijau itulah inti
mesinnya! Tentu saja tidak bisa ditunda lagi keinginan Fang Fang untuk ke Pasar Atom!" kuliah
Doktor 379 Aisun. Orang yang duduk di sekitarnya menjadi pendengar kekaguman. Mereka terpukau oleh kisah
penjelasan Doktor "Mengapa timbul kekuatan demikian" Kalau Fang Fang hanya selaku robot, kekuatan itu luar biasa
hebatnya! Ajaib sekali cara mempengaruhi daya di sekitarnya untuk dijadikan sarana pemuat!
Maksudku aku, Fusen, mobilku, semua dijadikan sarana yang menggerakkan saputangan itu
bergerak menuju ke sasaran! Bertemu aplikasi gambar naga pasangannya semula!" tanya dan
keterangan Yong Pin. "Kukatakan tadi kalau asal muasal aplikasi sulaman gambar naga itu menempel tersulam pada
saputangan hijau. Aku tahu karena akulah yang membuat! Dipisahkan secara paksa! Mau diambil
aplikasinya saja, inti lambang ahli waris istana dan bumi bangsawan Fukien! Karena terpaksa,
benda yang telah berpasangan tadi menimbulkan semacam kerinduan untuk bergabung lagi. Rindu,
rindu, rindu, maka daya tarik-menariknya menjadi suatu kekuatan. Mulanya ecil saja, tetapi setelah
berabad-abad lamanya, kekuatan u sanggup menggerakkan manusia seperti Fang Fang! idak tiap
orang bisa kejangkitan kekuatan begitu, tetapi WB juga berdarah daging tertentu agar dapat
7 menjadi ngantar lekat jodohnya barang yang saling merindukan . Dalam kasus ini, memang hanya
Fang Fang seorang yang sanggup menjadi pengantar kembalinya saputangan hijau rpasangan
dengan aplikasi gambar naga! Sebab Fang glah ahli waris pemilikan saputangan gambar naga
se-sa utuhnya. Penggabungan kembali saputangan itu ter-i setelah rindu, rindu, rindu, tujuh ratus
tahun lamanya!" "Setelah penggabungan kembali, terjadilah lelakon ng kita alami seharian ini!" kata
Wariwari. B "Akibat penggabungan itu, terbangkitlah kembali tokoh yang dulu ikut terlibat dalam peristiwa
jayanya keramatnya saputangan gambar naga itu!" Doktor Aisun melengkapi
ceritanya. "Kita semua jadi kesurupan!" kata Yong Pin dengan nada pasrah, menerima apa yang telah
merasuki dirinya. "Yang aku tidak mengerti, mengapa kebangkitan kembali saputangan gambar naga itu harus
menyeret jiwa Fang Fang dan Swandanu," ucap lirih Dokter Mengki dengan nada menyesal.
"Kamu harus memahami karakter saputangan ito, Dokter Mengki! Kekeramatannya telah mengukir
jiwa Fang Fang, sehingga tidak bakal terpisahkan lagi dengan pemiliknya itu! Jadi kalau kemudian
Fang Fang terpaksa ajal tanpa menggenggam saputangan keramat tadi, jiwanya tidak bisa tenang.
Rohnya gentayangan, mencari kesempurnaan, dan kesempurnaan itu tak akan tercapai sebelum ia
menemukan kembali saputangan itu!",;:
"Dan kematian Swandanu?"
"Fang Fang dan Swandanu pasangan yang serasi. Fang Fang keturunan bangsawan Fukien yang
jatuh cinta dengan Swandanu orang Jawa awam! Dengan kembalinya saputangan gambar naga ke
genggaman Fang Fang, kedua sejoli itu dengan tenteram dan ikhlas menemui ajalnya, sempurna
kembali ke Penciptanya."
"Nah, ini suatu pelajaran bagus! Kawan-kawan ini jangan meniru kelakuan Fang Fang! Selama
hidup di dunia ini, janganlah kamu bercinta atau mencintai benda duniawi begitu rupa sehingga
waktu dipanggil deh Penciptamu, kamu masih emoh melepaskan kecintaanmu itu^ seperti Fang
Fang yang tidak mau melepaskan saputangan gambar
381 naganya! Rohmu bakal gentayangan seperti Fang Fang! Benda duniawi itu bukan saja berupa yang
keramat seperti saputangan gambar naga itu, tetapi juga berupa anak keturunanmu, harta
kekayaanmu, istrimu yang cantik jelita, martabatmu sebagai pemimpin bangsa, kepandaianmu
sebagai ahli komputer. Ingatlah, dalam hidupmu di dunia oli, semua benda duniawi itu hanyalah
titipan Allah untuk kalian nikmati, tapi tidak untuk kamu bawa mati! Menghadapi panggilan Allah,
kamu harus sumeleh, relakan semua benda duniawi, dan tinggal hubungan batinmu dengan Sang
Pencipta! Betapa pun juga, roh gentayangan itu bukan mati yang sempurnai" ujar Dokter Mengki
dengan suara lantang. Pamoraga tercengang mendengarkan kotbah Dokter Mengki! Ia seperti disadarkan dari
berbangga-bangga. Selama ini ia memang jumawa dengan martabat Taruna AKABRI-nya. Kini ia
merasa ditegur oleh Dokter Mengki, bahwa semua itu hanya titipan Allah yang harus disyukuri! Ia
8 langsung menunduk. Tentang cinta benda duniawi ini sangat sering kutemui pada pasienku.-Mereka datang kepadaku
bukan karena apa, hanyalah karena tidak bisa melepaskan diri dari kecintaannya terhadap benda
duniawi. Mereka tidak bisa menerima dunia dan hidupnya ini sebagaimana adanya! Tidak bisa
berwatak sabar, berusaha bersungguh-sungguh, berjiwa ikhlas atau rela, serta akan menerima
nasib dan keberuntungannya. Kalau keempat prinsip hidup ini telah lenyatu dalam sikap, wawasan,
dan perbuatan seseorang, ia tidak perlu dia pergi konsultasi ke tempat kamar riksaku," sambung
Dokter Mengki. "Fusen! Atau Yong Pin! Di Pasar Atom, selain ke kios jualan aplikasi, Fang Fang
pergi ke mana lagi" Atau
berbuat apa?" tanya Doktor Aisun. Masih soal Fang Fang.
"Selesai memperoleh saputangan itu, langsung pulang! Yah, waktu itu rasanya waktu amat mubazir
dipergunakan hanya untuk membeli aplikasi itu!" jawab Fusen.
"Tidak menemui kesulitan waktu tawar-menawar dengan penunggu kios?"
"Tidak. Waktu Fang Fang minta untuk membongkar
kardus yang terbawah, pelayan kios ya mau saja. Tidak
mengeluh." "Fang Fang tidak bicara apa-apa" Atau berdebat tawar-menawar?"
"Ada peristiwa yang aneh!" sahut Yong Pin. "Anu, Fang Fang rasanya kenal dengan pemilik kios!
Kenal dengan pemilik kios di Pasar Atom! Kuanggap luar biasa, karena sepanjang tahuku, Fang
Fang belum pernah ke Pasar Atom!"
"O, ya"! Siapa dia" Fang Fang tidak cerita?"
"Tidak! Tidak bercerita kepada kami! Cuma Fang Fang
panggil namanya!" "Siapa" Bagaimana?"
"Paman Hwee! Mengapa Paman di sini?" Yong Pin menirukan ucapan Fang Fang.
"Paman Hwee"! Itu adikku! Heh, bagaimana dia sampai di Pasar Atom" Oh, tidak! Dulu dia juga
mendaftarkan diri ikut berlayar ke Singasari! Bersama tiga puluh ribu prajurit lainnya. Dan ia tidak
ikut kembali ke tanah air."
"Kalau dia muncul di Pasar Atom, tentunya di daerah itulah dia dulu terkubur!" ujar Dokter Mengki.
"Mungkin! Ia terlambat naik perahu di Pacekan, lalu diburu pasukan Raden Wijaya sampai terbunuh
di Kali Pegirikan, dekat Pasar Atom," Doktor Aisun tidak memberikan jawaban tegas. "Dulu adik
Hwee ini yang mendorong agar
9 383 aku dan Fang Fang ikut berlayar Tuanku Mengki'i untuk melaksanakan tugas kedutaannya ke
Singasari. Ia kecewa setengah mati karena Fang Fang tidak ikut pulang karena mencari
saputangan gambar naga lambang pewaris bangsawan Fukien yang hilang di Bengawan Brantas!
Ia tiap kali bilang bahwa gambar liong itulah intinya! Lambang ku mestinya tidak boleh keluar dari
pusat istana keluarga!"
"Sekarang di mana dia, pada abad ini?" tanya Dokter Mengki.
"Masih di Fukien, di Amoy, ibukotanya. Ketika aku lari dari rumah, Hwee jadi ketua partai. Tinggal
dia dari keluarga kita yang tinggal di sana!"
"Kalau begitu, tercapailah cita-citanya! Cita-cita yang diburu-burunya sebagai ahli waris rumah dan
kebun halaman bangsawan Fukien!" ujar Dokter Mengki.
"Meskipun penguasaan itu terjadi sekian generasi lagi kemudian!" komentar Fusen. Ada nada
melecehkan pada ucapannya.
"Pokoknya ia punya cita-cita, dan telah berusaha keras untuk meraihnya, maka pada suatu waktu
akan tercapai juga! Tuhan begitu maha besar kasihNya kepada umatNya, sehingga segala cita-cita
atau keinginan si umat terkabul bila telah dibuktikan dalam kesungguhan usaha
mencapainya!"tindas Dokter Mengki.
"Betul sekali! Seperti halnya aku ini. Sejak dulu ingin memperistri Wariwari! Sudah usaha jatuh
bangun untuk mendekatinya. Kerja keras waktu itu sia-sia, karena perempuan cantik yang satu ini
sudah kedahuluan diperistri seorang sahabat, Swandanu! Tapi aku tidak putus asa. Tidak kena
perawannya, jandanya juga mau! Aduh, kok mencubit to, Kamu! mi cerita sungguh-sungguh! Baru
pada generasi sekarang tampaknya hasil kerja keras mblubutku itu tampak mau terkabulkan! Aduh! Ini
mencubitnya kok kian keras! Ayo, kucium kamu di depan orang banyak, kalau terus mau menyakiti
aku!" ujar Pamoraga dengan pongah,
"Ini kok sungguhan! Aduh, aduh, aduh! Kapok! Sstt! Klltdi rumah duka kok begitu!" Wariwari kenes
menerima reaksi lawan jenisnya. "O, kejam!"
"Usahamu itu bukan kerja keras! Tapi memburu nafsu membabi buta! Tidak tahu malu!" timpal
Dokter Mengki. "Lo\ Namanya kan usaha keras mencapai cita-cita! Tak peduli bagaimana caranya! Apa siapa tadi,
adik Bu Doktor itu, cara mencapai cita-citanya tidak memburu nafsu membabi buta" Bukan tidak
tahu malu, tapi mungkin sadis, berani membunuh orang! Kalau ia belum membabi buta, ya beium
bekerja keras untuk mencapai cita-dtanya! Tentunya tidak mungkin tercapai! Biar pun telah beralih
dari generasi ke generasi!" ujar Pamoraga, tidak mau kalah berdebat.
"Ya. Memang begitu! Pokoknya keinginan atau cita-cita harus ada. Cita-cita ini datangnya dari diri
kita! Kalau kita tidak punya cita-cita, tidak punya keinginan, ya untuk apa Tuhan memberikan" Kan
kita tidak membutuhkan" Orang yang tidak punya keinginan, tidak punya cita-cita, sama dengan
orang yang jiwanya mati meskipun jasmaninya hidup. Orang demikian hanya memenuhi jagat saja,
dan mbuang, seperti sampah, tidak berguna! Karena itu sebagai orang hidup, seperti kamu yang
10 muda-muda ini, harus bercita-cita tinggi! Pancangkan cita-cita setinggi bintang, dan berusahalah
mencapainya dengan kerja keras! Tuhan tentu mengabulkan! Tidak dengan secara mendadak
Seperti memperoleh lotre, tapi mungkin tercapai setelah
385 u usaha keras, tercapai pada hari tua. Kalau pun tidak, mungkin baru diberikan Tuhan setelah
beralih generasi," Dokter Mengki memberikan wejangan sesuai dengan umur dan pengalamannya.
"Betul! Seperti halnya Fang Fang! Fang Fang memperebutkan saputangannya untuk dimiliki dengan
usaha mati-matian, bahkan mau' sungguhan. Itu terjadi di zaman runtuhnya Kerajaan Singasari dan
berdirinya Kerajaan Majapahit dulu. Tapi baru pada zaman teknologi canggih ini saputangan
gambar naga itu diperoleh. Dengan jalan ajaib?" Doktor Aisun ikut terhanyut dalam percakapan. Ia
masih berorientasi tentang Fang Fang!
"Semua bisa dicontohkan! Fang Fang, Pamoraga, Swandanu, Adik Hwee! Mereka punya cita-cita
dan telah bekerja keras untuk mencapainya. Dan baru sekarang setelah lima belas generasi berlalu,
cita-cita itu tercapai!"
Tetapi Hwee, mungkin belum tercapai secara me-muaskanP ucap Doktor Aisun.
"Katamu sekarang ia di tanah air sana, tinggal satu-satunya ahli waris keluarga bangsawan Fukien.
Tentunya ia menguasai semua tanah warisan dan istana milik keluarga seperti yang dicita-citakan
sejak dahulu kala. Ia sudah berusaha mengusir kita dari negeri, tapi sayang kita bisa kembali lagi!
Baru sekaranglah cita-citanya tercapai! Kita tidak lagi berada di sana, dan tinggal dia sendiri di
bekas tanah warisan", ujar Dokter Mengki.
"Ya! Ia bahkan jadi ketua partai di Kota Amoy. Tetapi sistem pemilikan tanah di sana sudah tidak
lagi pribadi atau perorangan, bukan milik orang kaya atau bangsawan. JUtfk milik komune atau
rakyat, ya milik bersama!" kata oktor Aisun. Tanah dan istana bangsawan Fukien tidak
pernah menjadi milik Adik Hwee! Karena memang bukan
haknya. Darah yang mengalir kuat dari keturunan bangsawan Fukien adalah pada Tuanku Mengki'i.
Lagi pub kerja kerasnya untuk mencapai cita-citanya memiliki tanah warisan itu dengan jalan yang
tidak halal! Dengan tipu muslihat dan kekerasan yang melanggar peradaban manusiaTapi yang
paling utama, ia tidak bisa menguasai lambang gambar naga. Selama hidupnya ia tidak pernah
berhasil memiliki dan membawa pulang ke negerinya saputangan gambar naga! Bahkan
lambangnya gambar naga pun tidak bisa!"
"Hmm! Jadi ada syarat lagi agar cita-cita tercapai diraih. Yaitu bekerja keras dengan jalan bersih.
Hati bersih. Jangan melanggar kaidah peradaban manusia!" Dokter Mengki menambahkan.
"Eh, sudah malam! Kita kok ngobrol sendiri terus. Ayo, minta pamit! Itu, tamu kemit lain tertahan di
sana karena kita dianggap sebagai tamu istimewa yang tidak boleh diusik! Ayo, ah, pulang. Aku
merasa lelah sekali!" ujar Wariwari.
Barulah mereka sadar kalau masih berkumpul melayat. Lupa kalau melayat! Mereka asyik sendiri
dengan berkisah-kisah. Begitu sadar, mereka segera saja pamit bersama. Wariwari menjadi juru
bicaranya. Mereka sepakat bahwa barang-barang Doktor Aisun diambilnya ketika itu juga, sehingga
11 tidak perlu pamitan lagi ke rumah Swandanu.
Ketika naik kendaraan, Wariwari berduaan saja sama Pamoraga. Dokter Mengki dan Doktor Aisun
berpindah menumpang pada Honda Civic.
"Soal Fang Fang, kita urus esok pagi. Aku tidak akan membiarkan hal ini terputus di sini," ujar
Doktor Aisunv 387 Tentu.' Aku yang paling berkepentingan!" "Nah, begitu aku sedikit lega. Rasanya tidak punya muka
untuk lapor menghadapi ibu Fang Fang di Tuban!" tanggap Fusen.
"Maaf, esok pagi aku tidak bisa menemani kamu. Kenaku di sini sudah menanti," ujar Yong Pin.
"Begitu juga aku. Mungkin aku masih harus hubungan ke Kediri", ujar Dokter Mengki menjelaskan.
Tidak apa. Masih ada bus umum. 'Kudaku Lari' siap mengantar kami," Fusen menanggapi.
Ketika dua sarjana tua itu turun dari mobil, Fusen menyambung bicaranya, "Besok pagi saya jemput
di rumah ini, jam delapan pagi'"
Doktor Aisun mengangguk seraya tersenyum. Fusen kian hormat kepadanya, ingat wajah keturunan
bangsawan Fukien yang agung! Fusen ini hanya orang awam, orang kebanyakan.
Pagi pim delapan, suasana di kantor para dokter rumah sakit di Kediri gempar. Kegemparan sudah
terjadi mulai subuh, ketika polisi yang menjaga jenazah purbakala sadar bahwa batang yang harus
dijaga itu kian siang kian menyusut. Pada subuh itu, keduanya sudah seperti mayat bayi. Polisi jaga
memberitahu jururawat dinas pagi yang baru aplos. Jururawat tidak dapat berbuat banyak,
setengahnya menyalahkan polisi jaga, kok tadi tidak dilaporkan pada jururawat yang dinas malam.
Mereka tahu berapa panjang jenazah itu senja kemarin, dan tinggal berapa
waktu aplosan jaga. Jururawat yang sekarang menangani kasus penyusutan jenazah setengah
tidak percaya bahwa jenazah itu dulunya sebesar mayat orang dewasa.


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masa, ini bukan mayat bayi" Cuma begini pendeknya!" ujar jururawat itu seraya garuk-garuk
kepala. "Kita lapor saja kepada atasan kita!" kata polisi jaga yang seorang.
"Kami lapor kepada atasan kami, dan kamu lapor kepada dokter jaga," polisi yang lain minta kepada
jururawat. Dokter jaga datang lebih dulu. Dokter ini pun gugup melihat kenyataan yang mencolok itu! Mayat
menyusut begitu cepat! Dalam satu malam, mayat dewasa menjadi mayat bayi! Tidak ayal lagi ia
memanggil teman dokter lainnya. Setelah melihat perubahan pada jenazah di ruang rapat dokter itu,
segera pula diputuskan untuk menghubungi dokter kepala, kalau bisa pagi buta itu diharap
menjenguk mayat korban yang tenggelam di Kali Brantas kemarin.
12 Pagi buta itu, para pejabat dari tiga departemen, kepolisian, dokter dan seksi benda kuno Dikbud,
sudah berada di rumah sakit. Yang lain menyaksikan, sedang para dokter pakar berusaha meneliti
dan memeriksa kedua jenazah yang dalam proses ajaib itu! Menyusut! Terus menyusut! Dokter
pakar yang sudah katam belajar tentang pemeriksaan mayat, peluh dingin pun keluar karena tidak
dapat mengatasi permasalahan. Rasanya pejabat dari lain departemen itu mengatakan diri mereka
bodoh! Ya, bagaimana" Namanya mayat, kok hidup, zat reniknya terus menyusut! Rasanya hanya
para dokter itulah yang panik, sedangkan yang lainnya melihat penyusutan tadi sebagai proses
ajaib yang luar, 'biasa. Kesaksian mereka mahal
389 harganya, karena tidak tiap orang bisa tahui Jadi bukan panik, tetapi kenikmatan tersendiri!
Akhirnya/tangan para dokter pakar berhenti bekerja pada jam enam. Jenazah diletakkan kembali di
meja pembaringan yang kini sudah terlalu besar untuk ukuran mini ku. Para dokter menyerah, dan
kini ikut menikmati pertunjukan proses penyusutan mayat. Tapi kalau dilihat begitu juga tidak
menarik, karena susutnya amat pelahan. Sambil menonton, mereka saling bicara memberi
komentar dan mengemukakan pendapat. Begitu terpesona dan asyik, mereka lupa apa yang bisa
dikerjakan lainnya. Misalnya panggil foto atau lapor kepada pejabat yang lebih atas. Betapa
perlahannya proses penyusutan itu. Pada jam siapan tepat, para dokter heboh! Mereka baru sadar,
iwa dalam dua jam terakhir itu mestinya mereka tidak inton dengan pesona saja, tapi bisa melapor
ke atasan gmasing sehingga kejadian di kantor dokter itu bisa lipantau oleh pejabat tertinggi
departemen yang terkait B Kediri. Jadi keanehan proses penyusutan itu langsung
dipertanggungjawabkan. Tapi ternyata baru jam delapan tepat, mereka sadar ketika mereka melihat
proses terakhir! Jenazah laki-laki dan perempuan yang sezaman dengan Raja Jayakatwang itu
musnah hilang! Hilang lenyap tanpa membekas. Bau harum, atau seperti rokok tinggal abunya,
sama sekali tidak ada lagi. Kosong!
"Kok, tidak ada si, yang mengingatkan bahwa pejabat atasan kita harus kita beritahu! Terutama
Depdikbud! Karena mayat kemarin ku jelas seperti mumi, mayat di-balsem, milik Dinas Purbakala
atau Seksi Benda Kuna Dikbud! Sekarang sudah hilang! Departemen. saya yang paling sial! Kami
kehilangan benda kuno yang sangat
bermanfaat untuk dipelajari, untuk mengungkap sejarah zaman lampau!" ucap pejabat Dikbud.
Setengahnya ia menyalahkan para dokter dan polisi, yang asyik sendiri dengan
pemeriksaan rutini > "Kita tidak bisa dipersalahkan, Pak. Ini benar-benar ajaib! Di luar kemampuan kita!" salah seorang
dokter pakar menolak penyesalan pejabat Dikbud. "Yang patut kita pikirkan, apa yang harus kita
perbuat sekarang' ToJb kita tidak bisa diam saja!"
"Ini gara-gara orang-orang aneh kelompok enam kemarin! Kalau mereka tidak lapor, sebenarnya
kita tidak mendapat beban pekerjaan ekstra begini!" kata dokter yang kemarin langsung menangani
jenazah itu. "Kok disebut orang aneh?" dokter lain bertanya. "Yang empat orang keturunan Cina, di antaranya
katanya warga Singapura. Yang laki-laki. muda itu badannya kekar, kumisnya melengkung ke
bawah, persis pakar silat dalam film Hongkong! Sedang dua muda-mudi Jawa itu, wajahnya dan
tingkah lakunya, nggak mbuang bias wajah orang Majapahit!"
13 "Ah, kamu kok tahu wajah Majapahit! Apa betul seperti dfioirn'j
"Ya sering kulihat di dalam ketoprak!"
"Barangkali memang pemain ketoprak!"
"Bukan! Taruna AKABRI kok Masa bisa nyambi main
ketoprak!" "Kalau mereka yang bikin gara-gara, ya panggil saja mereka ke sini! Kita interogasi bersama
mengapa mereka berani main sulap seperti ini! Mereka tentu punya niat mempermainkan kita, para
pejabat berbagai departemen
di daerah!" ujar pejabat Dikbud.
391 Pemanggilan disepakati. Lebih dulu polisi tugas jaga disuruh atasannya mengambil buku proses
verbal yang kemarin digunakan, untuk mencatat alamat kelompok
enam. Buku segera sampai. Polisi yang kemarin bertugas jadi juru r bicara segera membuka-buka
tempat kelompok enam mencatatkan diri. Pejabat yang lain, karena kepengin segera tahu, ikut
mengawasi pencarian alamat tadi. Buku sudah dibalik-balik, sampai pada halaman yang belum diisi
catatan, lalu diulang dengan membalikkan halaman ke arah berlawanan. Tidak ketemu! Dibalik lagi,
sekarang lebih pelan dan mata lebih awas menyelidik, mencari nama mereka. Tidak ketemu!
Kembali dibuka dari halaman pertama! Terang tidak bisa ketemu. Karena kemarin nomornya sudah
ratusan, tidak pada halaman mula-mula! Ah, edan! Di mana"
"Mungkin pada buku proses verbal yang lain," pejabat dari Dikbud tidak sabar melihat polisi kok sulit
mencari catatan itu. "Buku proses verbalnya juga cuma satu ini!" ujar polisi itu ikut jengkel! Jengkel kepada siapa"
"Kemarin mereka mencatatkan alamatnya di sini! Ya buku itu, aku menyaksikan, koki" ujar dokter
yang kemarin setia mengikuti proses verbal.
"Di halaman ini! Kemarin mereka mencatatkan alamatnya di sini! Tanggal 22 Mei 1993, sembilan
hari sebelum peringatan ketujuh ratus tahun hari jadi kota Surabaya!" polisi itu mencoba mengingat
apa yang diucapkan oleh Wariwati. "Kapan hari jadi Kota Surabaya?"
"Tanggal 31 Mei," jawab dokter lulusan Airlangga.
"Wah, betul! Sembilan hari sebelumnya kan tanggal 22 Mei! Itu yang ditulis di sini! Perempuan gadis
Jawa itu 92 yang bilang begitu. Peringatan ketujuh ratus tahuni Tahu berapa hari jadi Kota Surabaya?"
14 "Tahun 1293-genap tujuh ratus tahunnya ya tahun 1993!" seru pejabat Depdikbud.
"Nah, semua catatan itu kemarin di sini! Cocok! Kok bisa lenyap?" kata polisi yang mencari catatan
sambil sekali lagi mengawasi buku itu. Terutama tanggal dan tahunnya. Tercatat 22 Mei 1989.
Mengawasi, tapi kurang awas. "Lo\ Sekarang tahun berapa, Pak?" "Tahun berapa?" "Tahun 1989!"
"La iya, betul!" "Kok betul! Sekarang tahun 1989! Sedang peringatan 700 tahun hari jadi Kota
Surabaya tahun 1993-Belum terjadi sekarang! Empat tahun yang akan datang!" ujar pejabat
Depdikbud sambil tersenyum. "Jadi peristiwa kemarin itu belum terjadi! Terjadi empat tahun yang
akan datang!" "Zo, wong saya ingat, yang tua itu bilang, 'Hari ini tujuh ratus tahun yang lalu, pasukan Tartar
bersama-sama meninggalkan Kota Kediri menuju Ujunggaluh!' Dia bilang jelas-, 'hari ini'!"
"Ya. Tapi tujuh ratus tahun pasukan Tartar meninggalkan Kediri atau Surabaya, ya tahun 1993!
Belum terjadi!" Semua orang jadi termangu! Heran! Sadar! Ternganga! Kejadian kemarin itu seluruhnya harus
terjadi tahun 1993! Tapi belum terjadi! Oleh karena itu catatan itu tidak ada di buku proses verbal!
Dilihat, dan dilihat lagi, tetap berhenti tahun 1989! Bulan Mei. Tahun 1990, 1991, 1992, apalagi
1993, belum ada catatannya!
"Apa betul peristiwa kemarin itu sebenarnya belum terjadi" Nyatanya kita tidak punya bukti! Catatan
di sini 393 tidak adai Artinya kita tidak bisa memanggil atau menghubungi orang-orang aneh seperti istilah Pak
Dokter tadi! Dan bukti jenazah itu pun kita tidak punya lagi! Bekasnya selembut abu pun tidak ada!"
polisi juru bicara yang kemarin itu berbicara.
I "Kalau begitu, kita ya tidak perlu heboh! Apa yang kita hebohkan" Apa yang mesti kita kuatirkan"
Apa yang harus kita laporkan" Tidak ada! Tidak ada bukti! Dikira kita mengada-ada! Wong
peristiwanya terjadi tahun 1993 yang akan datang! Mengapa harus kita hebohkan sekarang?" kata
dokter pakar. r.: "la, iya! Mengapa kita ramai-ramai" Sebaiknya kita tahan sampai di sini saja! Tidak perlu
dilaporkan ke atasan. Kita anggap kasus ini tidak ada dan selesai sampai di sini. Sebab nyatanya
hari ini kita ini seperti mimpi saja! Mengapa mimpi harus dilaporkan ke atasan?" kata pejabat
Depdikbud. "Setuju.1 Setuju! Sebab alamat para pelapor pun tidak ada!" ujar polisi. "Untung tadi kita tidak
panggil wartawan. Coba ditulis wartawan, bisa jatuh runyam karier kita! Wong mimpi, dibikin ramail
Tapi nanti dulu, kalau begitu aku harus mencegah pencarian Tim SAR di Kali Brantas hari ini!"
Polisi segera menghubungi kantornya. Jawaban dari kantornya juga mengherankani Tim SAR yang
kapan" Hari ini belum ada perintah untuk menurunkan Tim Sar. Kemarin Tim SAR baru turun dari
Gunung Kelud setelah mengadakan latihan selama dua hari. Tidak! Tidak! Kemarin tidak
menurunkan Tim SAR menyelami Kali Brantas. Dan hari ini belum ada perintah demikian. Begitu
keterangan dari kantor polisi"
15 "Zo, ya!" polisi tadi menutup pembicaraan di telepon. "Apa" Bagaimana?" tanya pejabat yang lain.;
"Kemarin itu tidak ada apa-apa! Tidak ada pencarian
jenazah orang tenggelam di Kali Brantas! Aneh ta\ Untung peristiwa ini tidak tercium oleh wartawan!
Kita ini mimpi, kok dikorankan! Wah!" ujar pejabat polisi itu.1;
"Kalau soal wartawan, sebenarnya yang saya inginkan fotonya. Andaikata jenazah difoto, maka
tentu merupakan dokumentasi yang penting bagi kita!" ujar seorang dokter.
"Betul itu! Tapi, ya memang semacam mimpi bersama, semuanya ya goblok, tidak seorang pun
mencoba mendokumentasikan jenazah ajaib itu!"
"Tidak perlu kita sesalkan. Kukira percuma. Andaikata difoto, fotonya tidak akan jadi, alias lenyap!
Tidak bisa kita pelajari!"
"Jadi kita sepakat menganggap kasus ini selesai" Tidak ada laporan ke atasan, dan tidak ada
apa-apa! Cerita maupun bukti juga tidak!" tanya pejabat Depdikbud.
Semua sepakat menghapuskan peristiwa itu dari pikiran. Dan setelah berjabatan tangan,
masing-masing berpisah. Yang dokter menunaikan dinasnya, tetap di rumah sakit. Sedang pejabat
Depdikbud dan kepolisian pulang ke kantor masing-masing.
" Pejabat polisi itu sebenarnya sudah senang dengan hasil keputusan itu. Ia mengendarai mobilnya
dengan ringan lincah. Pikirannya jauh lebih sehat daripada tadi pagi ketika diberitahu oleh anak
buahnya bahwa mayat di rumah sakit itu menyusut. Pikiran jadi kusut juga! Sekarang sudah jernih.
Masih ada selaput keraguan di
benaknya, tapi itu pun bisa dilenyapkan. Selaput keraguan itu tentang tindakannya yang bersusah
payah kemarin, mengangkat jenazah, dan berpidato di depan para pelapor, bekerja hingga sore
hari.' Suatu pengabdian yang menyenangkan karena dia mampu. Lelahnya pikiran dan jasmani
sudah terbayar, kini meliliti perasaan, karena semua itu muspra! Hanya sebagai impian!
Sampai di kantor polisi, bawahannya lapor bahwa ia telah ditunggu beberapa orang keturunan Cina.
Kelompok orang aneh kemarin!" Bukan impian"! Jalan masalah baru timbul di benaknya. Bergegas
ia masuk ke biliknya. ".:*tk "Ada apa, Tuan-Tuan?" tegurnya langsung.
Seorang di antara mereka berdiri. Ia melapor seperti seorang anak sekolah yang melapor kepada
gurunya di kelas. "Kami kehilangan, Pak. Kehilangan yang aneh. Kepala prajurit Tartar yang penemuannya telah kami
laporkan ke sini dan kepada Depdikbud, pagi ini tadi hilang!"
"O, yang dimasukkan dalam etalase kubus" Hilang dengan etalasenya?"
"Tidak, Pak. Kami semua ini menyaksikan. Tadi pagi kami datang ke proyek seperti biasa. Lalu saya
melihat kok kepala di etalase itu mengecil. Saya panggil teman-teman
16 396 gemes ingin tahu juga agar prosesnya berhenti. Namun tetap saja. Ketika saya lihat pertama, sudah
tinggal sebesar kelapa, sudah jauh mengecil dibandingkan pada penemuannya kemarin dulu.
Waktu dipegang adik saya sudah tinggal sekepala kucing, sekepalan tangan ini. Terus menyusut
sampai sebesar kemiri. Akhirnya lenyap. Hilang dari penglihatan kami semua! Setelah hilang lenyap
itulah kami baru sadar bahwa benda sejarah itu hilang, karena itu kami harus melapor polisi dan
Depdikbud. Kami saling tuduh-menuduh dan menyalahkan keteledoran kami. Akhirnya kami
putuskan datang ke sini bersama-sama untuk melaporkan hilangnya benda itu secara gaib, ajaib!"
Kisah laporan itu mula-mula diomongkan dengan takut-takut. Kian lama kian lancar dan emosi,
seperti halnya anak kecil yang menceritakan keajaiban permainan sulap yang baru saja dilihatnya
kepada temannya. Kepala polisi itu jadi pusing mendengarkan cerita mereka. Ia sudah mengisyaratkan agar laporan itu
berhenti, tetapi pelapor bahkan membuih-buih ludahnya untuk mengisahkan kesaksiannya. Pada
akhir laporan, polisi itu menggebrak meja.
"Saudara-saudara ini maunya apa" Maunya apa"!" Pelapor jadi gelagapan. Segumpal air liur
menyumbat kerongkongannya, ditelan dengan susah payah.
"Anu, Pak! Kami lapor, Pak! Sungguh. Hilangnya tidak dibawa maling. Tidak dicuri orang, meskipun
pihak Depdikbud menyatakan bahwa itu benda purbakala yang amat berharga. Benda itu tidak kami
sembunyikan. Karena itu kami semua yang menyaksikan proses penyusutan hingga hilangnya
benda tadi datang ke sini Kami semua berani bersumpah, Pak. Ini bukan soal kriminal, tetapi
397 keajaiban alam. Namun kami kuatir dituduh kamilah yang alpa! Atau yang berbuat!"
"Saudara jangan menyindir, ya!" bentak polisi itu.
"Aapa, Pak"! Men-menyindir" Menyindir bagaimana" irai kejadian sungguh. Di depan mata kelapa,
eh, mata pala kami sendiri, Pak! Bukan orang lain!"
"Sungguh, kamu tidak menyindir kami" Tidak memper-inkan kami!?"
"Zo, mempermainkan bagaimana, Pak" Masa main-main sama polisi?"
"Sebab, sebab, kami juga menonton, menyaksikan keajaiban semacam. Melihat proses penyusutan
mayat dari ada sampai tidak ada! Sampai lenyap! Hilang! Saudara-saudara ada yang melihat kami
tadi" Lalu bikin huru-hara seperti ini" Mau bikin kacau, ya?"
"Lot Tidak, Pak! Kami tidak tahu Bapak di mana. Kami menyaksikan penyusutan sampai lenyap di
proyek pembangunan gedung kami. Bapak melihatnya di mana?" "Betul, kamu tidak berbohong?"
"Sumpah! La Bapak &b&juga menyaksikan penyusutan mayat, di mana?"
"O, tidak! Aku hanya mancing kalian! Kamu ini bohong atau sungguhan!"
"Sungguh mati, Pak. Untuk apa kami bohong macam itu!" "Kalau begitu laporan Saudara akan kami
17 rekam, diketik pegawai saya, Saudara-saudara menandatangani bersama, bagaimana?"
Efakik; Pak!" "Ayo ke ruang sana, biar diproses juru tik saya." "Apa kami nanti tidak perlu lapor
kepada Depdikbud, Pak?"
398 "Perlu! Yang kehilangan benda sejarah itu Depdikbud! Kamu kan hanya dititipi, lalu hilang!
Tanggung jawabmu besar! Harus lapor!"
Sementara proses verbal digarap di luar bilik, polisi yang keringat dinginnya keluar itu menelepon
Seksi Benda Kuna Depdikbud. Ia melaporkan adanya penyusutan hingga lenyap kepala prajurit
Tartar di etalase. Kedua pejabat di kedua ujung tali telepon berkeringatan. Setelah berunding
diputuskan bahwa kejadian penyusutan itu berlangsung empat tahun yang akan datang. Bukan hari
ini. Jadi harap sama-sama digelapkan saja! Begitulah keputusan perundingan lewat telepon itu.
Pengetikan proses verbal selesai. Kertas laporan dibawa ke hadapannya. Kemudian dibaca dan
ditandatangani para pelapor. Begitu selesai, para pelapor dan pejabat yang dilapori bersalaman.
Para pelapor pergi. Juru tik juga keluar. Tinggallah polisi tadi membaca lagi ketikan proses verbal.
Pada akhir bacaannya, polisi itu mengucek matanya, mengerdipkan beberapa kali, dan
meraba-raba ketikan terakhir. Tidak! Tidak berubah! Betul begitu. Proses verbal itu diakhiri dengan
pernyataan: Kediri, 23 Mei 1993, empat tahun yang akan datang. Dengan tersenyum lega, polisi
tadi merobek-robek proses verbal itu. Tindakannya itu sesuai benar dengan keputusan rundingan
lewat telepon! " BUS 'Kudaku Lari' berhenti di Halte Dupak. Kernet ceking turun. Seorang gadis keturunan Cina
menuntun ibunya masuk lewat pintu depan.
"Pulang ke Tuban, ya; Non?" tegur kernet. Akrab, seperti kepada kenalan lama.
"Oh; kamu! Penuh, ya, busnya?" Yang ditegur menanggapi akrab.
Kernet Si Wajah Ceking yang giginya saja tetap gemuk, ikut naik. Pintu ditutup.
"Klaaar! Ada tempat. Di tengah itu! Ya, mungkin terpaksa berpisah sama mamanya! Ini mamanya
yang disekap dalam sebuah bilik itu, ya?" "Ya! Kok masih ingat?"
"Jadi ke Surabaya kemarin dulu itu menjemput mama
ini?" Tidak. Mama yang menjemput aku. Kemarin uber-uberan sampai di Watukosek dan Kediri. Mana
tempat duduknya?" 18 Si Kernet mengatur penumpang. "Sebelah kanan tiga-tiga, Mas. Barangnya itu dipangku saja! Nah,
sini, Non! Berdesakan sama tacik cantik, kok, Mas! Baunya harum lagi! Mama duduk seberang sini,
Ma! Pengawalnya yang emarin kok nggak ikut, Non?" Terbunuh di Kediri!"
"Lot Apa"! Ah, Non ini mesti bikin kejutan!" "Namaku Fang Fang. Bukan Non." Bus berjalan cepat
memasuki jalan bebas hambatan. Kernet tidak sempat mendengarkan penjelasan penumpang
keturunan Cina yang cantik dan akrab itu. Ia akrab kepada siapa saja, tidak pandang martabat atau
asal usul. Biar mreuma kernet, si Kernet merasa martabatnya dihargai, bertugas dengan dada yang
lebih busung, berdiri di pan mendampingi sopir.
"Itu tadi gadis Fang Fang keturunan bangsawan Fukien kemarin, ya, Net?" tanya sopir. "Gadis yang
omongnya clemang-clemong dan mengandung teka-teki itu?"
"Clemang-clemong" Ya! Tinggal di Tuban tujuh ratus tahun katanya. Pergi dari Tuban ke Singasari
menyusul ayahnya! Tadi dia juga clemongan lagi. Katanya kemarin uber-uberan sama mamanya
sampai di Watukosek dan Kediri! Lalu kutanyakan mana pengawalnya yang bertubuh dempal itu"
Jawabnya terbunuh di Kediri! Pakra-tah, ngono ikuF!"
"Kamu tidak perhatikan, apakah kakinya mulus atau kaki kambing atau tidak ngambah-lemaW tanya
sopir bergurau sambil mengingatkan keanehan perempuan muda tadi di balik wajahnya yang
rupawan dan sikapnya yang ramah tamah dan tak membeda-bedakan martabat orang.
Sampai di Tuban jam empat petang. Awak bus, termasuk kernet, selama perjalanan tidak memberi
perhatian secara khusus pada gadis Fang Fang dan mamanya. Ketika masuk Kota Tuban, barulah


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Kernet ingat penumpang yang aneh itu. Sambil menurunkan beberapa penumpang, ia mencegat
juga akan di mana perempuan muda itu turun. Ada keharuan menyesak di dada. Ia nanti bakal
memperoleh teguran ramah dari Si Cantik itu. Laki-laki normal seperti kernet ceking itu, tentulah
merasa senang ditegur atau berdekatan dengan perempuan muda dan cantik seperti Fang Fang.
Walaupun itu hanya sepanjang perjalanan dan tidak ada hubungan lebih lanjut. Halte demi halte di
kota bus 'Kudaku Lari' berhenti, tapi Fang Fang dan mamanya belum juga turun. Akhirnya sampai di
terminal, penghentian bus terakhir. Fang Fang dan mamanya dicegat di depan pintu. Tapi mereka
tidak turun. Kernet pun naik,
menengok ke dalam bus. Kosong! Semua penumpang sudah turun
"Tidak! Tidak ada perempuan keturunan Cina cantik bersama mamanya turun lewat pintu belakang,"
jawab kondektur yang menjaga pintu belakang.
"Zo, tapi kamu tahu kan gadis yang mengenakan kain serba hijau, yang di dadanya ada gambar
leang-leong sulaman benang kuning?" usut Kernet.
"Yang mana, ya" Tidak ingat aku!" jawab kondektur. "Aku tidak menarik karcis pasangan anak ibu
seperti itu!" "Wah, cialat! Tanyalah sama sopir! Dia tadi juga tahu ada dua orang keturunan Cina masuk di Halte
Demak," ucap kernet menuduh kondektur kurang teliti atau pelupa. "Ada apa, Net, kok ribut'" tegur
sopir. "Perempuan cantik Fang Fang tadi hilang. Tidak karuan di mana turunnya."
Si Sopir tertawa gelak-gelak sambil menjawab, "Aku tadi kan bilang! Tengoklah kakinya! Kalau kaki
19 kambing atau tidak ngambah lemah, maka jelas orang tadi jadi-jadian! Bukan manusia sungguhan.
Bisa menghilang, bisa terbang, menggoda kamu agar katut ke liang kubur!"
"Tapi ini tadi kan kejadian nyata. Kamu sendiri tahu. Masa siang hari bolong begini ada memedi?"
"Mungkin saja. Ia hidup tujuh ratus tahun yang lalu, dan naik bus kita untuk menyebarkan berita
kehadirannya kembali ke dunia! Lewat kamu! Kamu yang diburu-buru! Untuk kemudian dibawa ikut
ajal!" "Zo, kok aku?" . ta
"Karena cintanya dulu adalah seseorang yang ceking seperti kamu!"
402 "Pir! Kamu jangan begitu! Aku takut!" karena ngomone
begitu Sr Kernet ,atuh terkulai di tangga bus. Tak S
TAMAT Surabaya, Februari 403 I Suparto Brata dilahirkan pada Sabtu Legi, [ 27 Februari 1932 atau pada 19 Syawal 1862 I (tahun
Je) di Rumah Sakit Simpang j Surabaya (kini Gedung Surabaya Plaza). Pensiunan pegawai Pemda
Kota Madya Surabaya ini mulai menulis sejak 1951, secara otodidak. Memang, selepas dari SMAK
St Louis (1956) ia pernah menggeluti berbagai pekerjaan. Namun, akhirnya ia memilih dunia
mengarang sebagai jalan hidupnya.
Hingga kini sedikitnya ia telah menghasilkan 117 karya, baik dalam bahasa Indonesia maupun
bahasa Jawa. Perhatiannya yang besar terhadap sastra Jawa ini akhirnya membuahkan Hadiah
Sastra Rancage (2000 dan 2001) dari Yayasan Rancage pimpinan sastrawan Ajip Rosidi.
Karya-karyanya dalam bahasa Indonesia juga tersebar di berbagai media massa di Tanah Air,
termasuk yang ditulisnya dalam bahasa Jawa dengan nama samaran Peni dan Eling Jatmika.
Sementara, karya-karyanya yang telah dibukukan antara lain Mata-Mata, Trem, Kremil, Saksi Mata,
Aurora Sang Pengantin, dan kumpulan cerpen Interogasi.
404 Ayah empat putra ini juga terlibat dalam penyusunan buku Hari Jadi Kota Surabaya, Pertempuran
10 Nopember 1945, Sejarah Pers Jawa Timur, dan Sejarah Panglima-panglima Brawijaya (1945-1990). Namanya
juga tercatat dalam Five Thousand Personalities of the World, 6th edition
1998 (The American Biographical Institute, Inc.)
405 20 (http://cerita-silat.mywapblog.com)
21 Gadis Cilik Di Jendela 3 Suro Bodong 10 Jerit Di Pucuk Rembulan Duel 2 Jago Pedang 2

Cari Blog Ini