Sepasang Kaos Kaki Hitam Karya Pujanggalama Bagian 7
gw. Selang inilah yg rupanya sejak tadi meniup lubang hidung gw. Selang oksigen. "Gw
kenapa Va?" tanya gw memelas, berharap segera menemukan jawaban yg pasti. "Lo
kemaren nggak sadarkan diri selama dua hari Ri," jawab Meva diikuti airmata yg
mengalir dari pelupuk matanya. "Gw nggak inget apa-apa," ujar gw pelan. "Tapi
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
sekarang lo udah sadar. Nggak usah khawatir lagi," katanya penuh haru. "Separah itu
ya gw?" kata gw setengah frustasi dan sedih. Gw alihkan pandangan ke dokter yg sibuk
menulis di hand table nya. "Sebenernya saya kenapa, Dok?" tanya gw penuh harap.
Dokter lagi-lagi diam sebelum akhirnya menjawab. "Mas Ari nggak apa-apa kok. Cuma
memang kondisinya lagi lemah banget." jawabnya. "Kalo emang nggak apa-apa, kenapa
saya bisa nggak sadarkan diri Dok" Apa ini ada hubungannya sama ginjal saya?" cecar
gw. Sebenernya gw nggak mau nanya ini, gw takut dapet jawaban yg nggak gw
harapkan. "Emh...sebagian besar memang akibat komplikasi di ginjal Mas Ari. Ditambah
lagi kurangnya asupan makanan yg baik buat tubuh, jadilah hasilnya seperti ini. Ada
sedikit gangguan pada fungsi ginjal Mas Ari," jawab Dokter dengan hati-hati. Gw
terperangah. Gw tatap Meva, berharap menemukan keteduhan yg bisa mengusir
kegalauan dalam hati gw saat ini. Tapi sepertinya sia-sia. Kali ini wajah manisnya nggak
cukup menenangkan gw. "Apa itu parah Dok?" tanya gw lagi. "Ri, Ri, udah lo jangan
pikirin itu dulu," Meva menyela. Dia menepuk pelan punggung tangan gw yg sejak tadi
digenggamnya. "Yg penting sekarang adalah, lo udah sadar. Itu udah lebih dari cukup!"
"Tolong jawab Dok," gw acuhkan Meva. "Apa sakit saya ini parah?" "Ari..." Mendadak
ketakutan yg amat sangat datang menyelimuti gw. Bulu kuduk gw merinding. Sekujur
badan gw yg sejak tadi lemas, semakin melemas. Keringat dingin masih saja mengucur.
"Please, jangan bilang kalo itu benar..." gw berdoa dalam hati. Dokter masih diam. "Apa
saya.....Apa saya akan mati Dok?"" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut gw.
"Ari!!" Meva setengah berteriak mengingatkan. Dia menangis sesenggukan. "Lo akan
baik-baik aja Ri..." katanya. Kami diam lagi. "Tenang aja Mas Ari, semua akan membaik
dalam waktu dekat..." akhirnya Dokter menjawab. Gw pejamkan mata gw. Mendadak
bayangan-bayangan aneh berkelebatan di benak gw. Wajah-wajah
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
itu, mereka menatap iba gw. Jawaban tadi belum mampu menenangkan gw. Gw punya
firasat buruk tentang ini. Gw takut setakut-takutnya. Rasa yg dulu nggak pernah ada.
Apa yg harus gw lakukan" Oh God, help me please......!!! Part 112 "Oke itu hak lo Va,"
kata gw dengan beratnya. "Kalo memang itu bisa nenangin diri lo." Meva
mengembuskan nafasnya di leher gw. Sensasi merinding langsung merambati tubuh
gw. Bukan, bukan hanya karena embusan nafasnya yg lembut. Tapi lebih karena
ketakutan gw kehilangan Meva. Gw bisa merasakan jantungnya berdegup pelan di dada
gw. Pelukannya nggak begitu erat, cukup menjelaskan keraguan dalam dirinya sendiri.
Airmata sempat menggenangi pelupuk mata gw tapi gw menahan diri buat menangis.
"Tapi gw akan sangat berterimakasih kalo lo mau balik lagi ke sini," lanjut gw. Shit!
Airmatanya nggak mau menghilang dari mata gw. Mungkin setelah ini gw harus mencari
cara buat menghadapi momen kayak gini. "Apa lo akan kesepian kalo gw pergi?" tanya
Meva. "Bodoh...." kata gw spontan. "Lo pikir enak maen catur sendirian?" Meva tertawa
pelan. "Apa lo bakal kangen sama gw?" tanya nya lagi. "Bodoh banget," gw lalu senyum.
Kami terdiam sejenak. "Kalo lo kangen sama gw, lo dengerin aja Endless Love."
"Kenapa Endless Love?" Meva diam sebentar. "Itu lagu favorit gw." "......." "......." "Apa
ini...apa ini artinya...lo nggak akan balik lagi?" gw sedikit terbata. Meva diam. Dia
embuskan lagi nafasnya tepat di tengkuk gw. "Jangan bodoh," bisiknya pelan. "Lo pikir
kenapa Endless Love jadi lagu favorit gw?" "Mana gw tau?" Meva tertawa lagi. "Endless
Love," dia menepuk pundak gw pelan. Melepas peluknya, tersenyum dan berlalu ke
kamarnya..... ** Gw terjaga lagi. Pagi-pagi. Di tengah ruangan yg senyap. Cuma
detakan jam yg menempel di dinding yg terdengar memenuhi ruangan. Sedikit bergetar
gw menyapu pandangan ke penjuru kamar. Masih ruangan yg sama dengan saat
pertama kali gw terjaga. Tabung oksigen, selang infus, gorden biru... Dan Meva. Meva
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
duduk di kursi, tertidur bersandar di dinding. Dia nampak sangat kelelahan. Pundaknya
bergerak naik turun perlahan seirama dengan hela nafasnya. Ah, wajahnya damai
sekali... Dalam keheningan pagi seperti ini, kadang sisi sentimentil dalam diri kita
cenderung lebih menguasai hati. Dan gw, entah kenapa mendadak gw kembali
diselimuti rasa takut. Sejujurnya, gw nggak begitu takut mati. Gw selalu yakin kematian
hanyalah sebuah tidur panjang. Tempat dimana mimpi-mimpi yg kita bangun selama
hidup akan terwujud di kehidupan abadi kelak. Satu-satunya yg gw takutkan dari
kematian adalah perpisahan dengan orang-orang sudah begitu dekat dengan gw. Akan
sangat aneh mendengar tangis mereka, melihat mereka mengguncang tubuh gw yg
terbaring nggak berdaya dan lafaz ayat suci dari mulut mereka, sementara gw cuma
bisa terpaku menatap mereka dalam dimensi berbeda. Tangisan gw, teriakan gw, nggak
akan pernah sampai di telinga mereka. Sentuhan tangan gw pun nggak akan mungkin
mereka rasakan. Lalu melihat tubuh gw terbenam tanah. Hanya sebuah batu yg
tertancap di atasnya sebagai tanda bahwa pernah ada gw dalam hidup mereka. Dan
perlahan gw melayang. Jauh. Semakin menjauh. Sangat jauh..........
"Astaghfirullahaladzim," gw beristighfar mengusir bayangan-bayangan buruk yg tadi
menghinggapi gw. Meva. Dia masih di sana, terlelap di kursinya. Masih dengan wajah
teduhnya. "Enggak," batin gw dalam hati. Gw nggak boleh serapuh ini. Belum tentu juga
kan sakit yg gw rasakan sekarang akan membuat gw mati" Gw percaya Tuhan sudah
menentukan waktunya buat semua orang. Dan gw belum mau berpisah sama lo
sekarang Va. Gw akan berusaha semampunya lepas dari kesakitan ini. Gw akan
berjuang melawan keadaan ini. Gw yakin gw akan sembuh secepatnya. Pagi ini
mendadak gw kangen maen catur lagi. Gw kangen duduk di beranda sambil main gitar
dan becanda bareng lo Va. Gw kangen alun-alun Karang Pawitan. Ah, gw kangen
segalanya tentang elo. Dan dalam keheningan ini sebuah lirik melantun dengan
merdunya di kepala gw.. My Love, There's only you in my life The only thing thats right..
My First Love, You're every breath that I take You're every step I make... And I want to
share all my love with you No one else will do Your eyes, They tell me how much you
care Oh yes, You will always be, My Endless Love..... Ya, lebih dari segalanya yg
pernah gw ungkapkan, lo adalah segalanya buat gw............... Part 113 Dan waktu pun
terus berputar. Setelah dua minggu menginap di Rumah Sakit, gw dinyatakan sembuh
tapi masih harus rutin melakukan pemeriksaan ginjal setiap seminggu sekali. Selama
opname di Rumah Sakit, gw sengaja nggak mengabari keluarga di rumah karena nggak
mau membuat mereka cemas. Lambat laun kehidupan gw kembali normal. Gw mulai
bekerja kembali di minggu keempat sejak gw opname. Meva pun sudah mulai sangat
disibukkan skripsi dan tugas akhir menjelang wisuda. Kami jadi semakin jarang bertemu
dengan kesibukan yg kami jalani. Meva sering pulang malam. Sementara gw karena
memang masih dalam masa penyembuhan, gw butuh lebih banyak waktu istirahat. Gw
jadi sering tidur di bawah jam sembilan, suatu hal yg dulunya sangat jarang gw lakukan.
Tapi meskipun sibuk, Meva masih menunjukkan perhatiannya ke gw. Hampir tiap pagi
dia bangunin gw begitu masuk waktu Subuh, dan selesai sholat biasanya selalu ada
secangkir teh hangat dan nasi bungkus yg dibeli Meva buat gw. Meva menyempatkan
menemani gw sarapan dan ngobrol-ngobrol ringan sebelum berangkat kerja. Setelah itu
biasanya dia tidur lagi dan menjelang siang berangkat kuliah. Praktis waktu buat gw
ketemu Meva cuma di pagi hari. Tapi gw maklum dan kadang-kadang gw bantu dia
sebisanya. Dari situlah gw semakin bisa menempatkan Meva sebagai sosok wanita
hebat yg tentu saja, punya tempat tersendiri di hati gw. Dan Lisa, dia pun semakin
disibukkan kegiatannya menjelang keberangkatan ke Jepang. Gw dan Lisa sudah
hampir lost contact setelah gw keluar dari Rumah Sakit. Tapi gw masih bisa ngerasain
kok, perhatian Lisa nggak pernah berubah sedikitpun meski kami jarang berhubungan
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
langsung. ..... Awal Juni 2004. Beberapa hari sebelum keberangkatan Lisa ke negeri
matahari terbit. 2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
Sudah sejak lama Lisa minta gw nganter dia ke bandara. Setelah mendapat ijin dari
sachou, gw rencananya ikut dalam rombongan yg berangkat ke Jakarta pertengahan
bulan nanti. Gw lagi nyari baju mana yg seharusnya gw pake pas hari H, ketika gw
menemukan sesuatu di sudut lemari baju gw. Sebuah papan catur kecil dari bahan
plastik bermagnet. Sejenak gw terdiam mengamati papan catur di tangan. Ingatan gw
menari-nari dalam kepala. Dan momen-momen itu pun seperti terulang lagi, diputar
dalam sebuah tape usang. Momen bersejarah yg penuh kenangan, ketika gw baru kenal
yg namanya Mevally, si cewek aneh yg punya kebiasaan aneh. Gw senyum-senyum
sendiri. Lama gw pandangi deret kotak hitam putih itu. Entah apa yg merasuki otak,
perhatian gw sudah teralih sepenuhnya ke papan catur ini. Gw duduk dan gw letakkan di
lantai lalu gw susun pion-pion sesuai pos nya. Diam-diam gw tersenyum dan berharap
Meva ada di hadapan gw, mendorong maju bidak di depan raja dan di depan kuda,
langkah awal favoritnya tiap maen catur bareng gw. Tapi begitu nengok keluar dan
mendapati lampu kamarnya mati, tanda bahwa yg punya kamar belum balik, khayalan
itu menguap. Gw lalu teringat sebuah 'filosofi catur' yg pernah membuat Meva sangat
termotivasi. Sebuah filosofi dadakan yg sebenernya cuma ocehan gw aja saking stres
nya gw karena kalah terus. Hahaha. Tapi harus gw akui, filosofi itu secara nggak
langsung juga memotivasi gw sendiri. Biar bagaimanapun gw yakin semua orang ingin
mendapatkan yg terbaik dalam hidupnya. Dan Meva, gw yakin sepenuh hati, suatu hari
nanti dia akan jadi orang yg hebat dan disegani. Gw yakin akan ada saatnya nanti dia
dipandang utuh sebagai dirinya dan bukan hanya dari masa lalunya yg kelam.
Sepenuhnya gw percaya, Meva mampu melewati kotak demi kotak nya untuk sampai di
kotak terakhir dan ber metamorfosa menjadi 'menteri'. Gw masih duduk melamun
dengan papan catur di hadapan gw. Gw tarik nafas panjang dan mengembuskannya
perlahan. Hmm kalau saja nggak ada papan catur ini, mungkin gw nggak akan pernah
sedekat ini dengan Meva. Dan soal filosofi itu, biarlah tiap orang menerimanya sesuai
dengan pemahamannya masing-masing. Karena hari ini, besok, atau lusa, akan ada
bidak yg berubah jadi menteri. Tinggal bagaimana dan sekuat apa bidak itu melewati
kotak-kotaknya. Part 114 tiba saat mengerti jerit suara hati yg letih meski mencoba
melabuhkan rasa yg ada mohon tinggal sejenak, lupakanlah waktu.. temani airmataku..
teteskan lara.. merajut asa.. menjalin mimpi.. endapkan sepi-sepi..... Gw pulang sangat
larut dari mengantar Lisa ke Jakarta ketika sayup-sayup terdengar lagu dari kamar Raja
di lantai dua. Sejenak terpikir buat mampir ke kamarnya, tapi gw urungkan niat gw. Raja
pasti baru balik kerja dan gw terlalu lelah buat ngobrol-ngobrol. Gw pengen buru-buru
tidur. Besok hari Sabtu, jadi gw bisa 'balas dendam' sepuasnya. Gw naiki tangga tanpa
suara sedikitpun. Semua penghuni kosan pasti sudah terlelap jam segini. Maka gw
cukup terkejut saat menemukan Meva sedang duduk memeluk lutut di atas tembok
beranda, asyik menatap langit sambil mendengarkan lagu dari headphone di discman
nya. Gw hampiri dia yg rupanya nggak menyadari kedatangan gw. "Hay Va," gw
menyapanya. "Kok belum tidur?" "......." Meva terlalu asyik dengan lagu di telinganya.
Mulutnya bergerak pelan tanpa suara mengikuti lagu yg didengarnya. "Woyy," gw tarik
lepas headphone dari telinganya. "Eh gw kirain siapa!" Meva terkejut melihat gw. Dia
turun dan berdiri di sebelah gw. Tersenyum dengan manisnya sambil melipat tangan di
depan dada. Gw liat arloji gw menunjukkan pukul setengah satu pagi. "Lo belum tidur
jam segini?" tanya gw. "Menurut lo, gw tidur belum?" dia menaikkan kedua alisnya.
"Maksud gw, kenapa jam segini lo belum tidur?" pandangan gw menyapu seluruh kamar
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
di hadapan gw. Semua penghuni benar-benar sudah tidur, yg terdengar cuma suara
jangkrik dan sayup-sayup musik dari kamar Raja. "Gw belum ngantuk," jawab Meva
sambil menggeliatkan badan dan menguap lebar. "......." "Lagian gw juga mau sedikit
bernostalgia di sini," dia balikkan badan memandang sawah di belakangnya. "Udah
lamaaa banget kayaknya gw nggak nongkrong di sini lagi. Gw kangen sama bau embun
pagi yg menyegarkan kayak gini. Gw kangen liat padi-padi melambai ditiup angin. Ah,
gw kangen masa-masa gw belum sesibuk ini!" "Oh..." gw tarik kursi dari depan kamar
dan duduk di samping menghadap Meva. "Tadi lo balik kuliah jam berapa?" "Baru dua
jam yg lalu," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan. "Wah sibuk banget ya dirimu,
lebih sibuk dari wanita karir malah," canda gw. Meva tertawa pelan. "Capek tau. Kalo
bisa nggak sibuk mah gw juga nggak mau sibuk kayak gini," lanjutnya. "Yah ini kan demi
masa depan lo sendiri.." Meva tersenyum. Kali ini dia menatap gw dengan manis.
"Semoga yg gw lakukan sekarang ini ada artinya yaa..." ujar Meva. "Pasti dong," gw
mengamini. "Huuh nggak kerasa tinggal dua bulan lagi gw di sini. Kayaknya baru
kemaren deh gw dateng ke kosan ini, minta kamer yg di bawah, malah dikasih yg di atas
sini," sejenak Meva menatap pintu kamarnya lalu kembali menatap langit. "Makanya
dulu gw sampe ngekos di dua tempat. Awalnya gw nggak begitu suka tempat ini.
Sebelum ketemu loe..." dia melirik gw dan mengedipkan mata kirinya. Gw tertawa pelan
menutupi grogi nya gw. Kalau saat itu ada kaca gw yakin gw bisa liat wajah gw merah
banget. "Hadeh...gw inget banget, dulu awal kenal elo, gw ngerasa lo itu nyusahin
banget! Banyak maunya!" gw tertawa lagi sementara Meva cemberut malu. "Lo juga ah,"
sergahnya. "Suka nggak mau nepatin janji. Kudu dipaksa dulu biar mau." "Eh siapa juga
yg janji" Ada juga kan elo yg bikin deal sepihak!" "Tapi kan elo nya nggak nolak?" Jadi
yaudah gw anggep lo setuju!" "Tuh kan masih aja kayak gitu..." "Hahaha! Tapi gw
ngangenin kan" Hayo ngaku aja...waktu gw nggak ke sini setengah tahun, lo kangen gw
kan! Waktu nungguin lo di rumah sakit si Gundul cerita ke gw tuh! Katanya lo sampe
mau mewek gitu! Hayo ngaku.....?"" Meva menjulurkan lidahnya. "Waduh kebangetan
tuh si Gundul buka kartu gw!" Meva tertawa puas. Ah, shit! Gw nggak bisa berkilah lagi
kalo udah terpojok kayak gini. Pengen rasanya bilang kalo semua itu bohong, tapi
sebagian dari diri gw justru bahagia Meva tahu hal ini. "Ya ya ya gw emang kangen
kok," gw mencoba beralibi. "Tapi cuma sedikit. Sedikiiiiiit banget!" "Bodo amat! Tetep aja
namanya kangen!" Meva melet lagi. [Duh, ngegemesin^^] Gw senyum-senyum sendiri.
Lelah gw mendadak hilang berkat obrolan pagi ini. "Eh kira-kira setelah gw wisuda nanti,
kita masih bisa kayak gini enggak yaa?" tanya Meva tiba-tiba. Mendadak hati gw
mencelos. Gw seperti baru sadar, tinggal kurang dari dua bulan lagi Meva wisuda.
Setelah itu, yah gw belum bisa membayangkannya. "Gw masih pengen nikmatin
masa-masa bebas kayak gini," Meva merentangkan kedua tangannya. Dihirupnya nafas
dalam-dalam. "Ah, seandainya gw bisa menghentikan waktu!" "......." Kami lalu terdiam.
Meva menurunkan tangannya. "Eh Ri gw mau mastiin, wisuda gw nanti lo bisa hadir
kan?" katanya. "Pasti," gw sedikit terenyuh menjawabnya.
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
"Makasih banyak yak!" Meva menepuk pipi gw pelan dan berlalu ke kamarnya. Tinggal
gw, dan sayup-sayup alunan lagu dari kamar Raja di keheningan malam. cinta kan
membawamu kembali..... Part 115 Gw buka kedua mata gw. Dengan nafas sedikit
terengah gw gapai gelas di kiri gw dan menuang air ke dalamnya. Tenggorokan gw
langsung terasa dingin begitu air mengalir masuk ke dalam tubuh. Selama beberapa
saat gw duduk terdiam dalam kamar yg gelap. Gw bangun lalu membuka pintu kamar,
dan hembusan angin malam yg sejuk langsung menerpa wajah dan tubuh gw. Gw
berjalan menuju beranda. Jantung gw berdetak cukup kencang. Gw butuh sesuatu untuk
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
menenangkan hati gw. Gw kembali ke kamar, menyulut sebatang rokok, kemudian
kembali lagi ke beranda. Ah, selalu menyenangkan rasanya berdiri dari sudut ini dan
memandang bulan sabit di atas sana. Ditemani angin malam yg mengembus sejuk, gw
berdiri diam beberapa menit. Kenapa" Lagi-lagi mimpi itu... Kenapa setiap gw tidur
selalu memimpikan mimpi yg sama" Sudah hampir seminggu ini, kejadiannya selalu
sama. Ini bukan yg pertama kalinya gw terjaga di tengah malam dan kemudian berdiri
sambil merokok di beranda. Sejak empat malam sebelum ini, malam ini adalah malam
ke lima, gw selalu melakukan beberapa hal yg sama meski waktunya relatif berbeda.
Kalau sudah terjaga seperti ini, sulit buat gw kembali tidur. Biasanya gw akan
menghabiskan pagi di beranda dan masuk ke kamar begitu adzan subuh terdengar.
Begitulah yg terjadi selama seminggu ini. "......." gw usapi airmata yg hampir mengering
di pipi gw. Gw nggak sadar gw terjaga dengan airmata yg terasa basah di ujung mata.
Kali ini gw menangis dalam mimpi gw... Jam setengah dua pagi, setengah jam lebih
cepat dari waktu kemarin gw terjaga. Rokok di tangan gw semakin pendek, tapi gw
belum mau membuangnya. Gw masih ingin menikmati racun yg entah kenapa hampir
selalu bisa menenangkan gw. Praktis selama seminggu ini gw seperti jadi seorang
pecandu rokok lagi. Padahal kebiasaan ini sudah benar-benar gw tinggalkan sejak
keluar dari Rumah Sakit. Apinya semakin mendekati ujung. Gw menyerah dan akhirnya
gw lempar puntung rokoknya sejauh gw bisa melempar. Gw lalu terdiam lagi. Kenapa"
Kenapa mimpi itu selalu hadir di tidur gw" "......." Gw terduduk lemas di kursi di bawah
jendela kamar. Mata gw menghadap lurus pintu kamar Meva. "Apa arti mimpi itu?" gw
bertanya dalam hati. Gw gelengkan kepala, menolak argumen yg sempat melintas di
benak gw. Nggak. Mimpi hanya bunganya tidur. "......." Gw sudah jauh lebih tenang
sekarang dan bisa berfikir jernih. Tanpa sadar gw berjalan menuju pintu kamar Meva,
memutar handle nya, dan tersenyum kecil begitu mendapati pintunya nggak dikunci.
Meva ada di dalam sana. Sedang menikmati mimpinya. Terpejam sambil memeluk
sebuah guling hijau. Wajahnya tampak damai sekali. Gw berjalan masuk dan duduk di
sampingnya. Ah, wajahnya terlihat polos dan meneduhkan. Lagi-lagi bayangan mimpi itu
berkelebat di kepala gw. Buru-buru gw buang jauh-jauh. Setelah beberapa kali
menghela nafas gw tersenyum. Nggak mungkin. Mimpi itu nggak mungkin terjadi. Itu
mimpi yg aneh, dan nggak akan pernah terjadi di kehidupan nyata. Gw menggeleng
sendiri. Tanpa sengaja gw melihat kalender di atas rak buku. Kalender ini sudah hampir
penuh coretan di tiap angkanya dan hanya menyisakan beberapa lagi. Juli hampir habis.
Itu artinya tinggal tersisa sekitar tiga minggu lagi sebelum hari wisuda Meva. Hati gw
mencelos menyadari hal ini. Gw cuma terdiam. Dalam hati gw memaki ketidakberanian
gw selama ini. Gw cuma seorang pecundang. Gw nggak pernah mampu
mengungkapkan isi hati gw ke Meva. Bahkan di hari-hari terakhirnya di sini, gw belum
punya cukup keberanian menyatakannya. Bodoh sekali gw..... Tapi gw bukan
pecundang! Gw cuma takut... Gw terlalu takut kehilangan Meva. Gw nggak mau
pengakuan gw nantinya malah merusak apa yg sudah ada selama ini. "Lalu apa
bedanya dengan pecundang?"" sebagian dari diri gw kembali memaki diri gw sendiri.
"......." Gw sayang elo Va. Karena itu gw nggak mengungkapkan perasaan gw ke lo,
karna gw yakin lo pun bisa merasakan itu. Lo selalu bisa lebih tau bahkan dari diri gw
Sepasang Kaos Kaki Hitam Karya Pujanggalama di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri. "......." Gw inget beberapa hari yg lalu Meva pulang dengan sangat gembira.
Bahkan dia sempat berteriak saking bahagianya. Dia menceritakan tentang sidang nya
yg berjalan mulus, dan dia juga cerita banyak tentang bahagianya dia setelah berhasil
menamatkan study yg sempat terkatung-katung. Oh God, sampai sekarang gw nggak
pernah melupakan hari itu. Hari dimana Meva dengan bahagianya tertawa lepas.
Momen itu terekam dengan baik di kepala gw. Huuffft......Sekali lagi gw pandangi Meva.
Gw singkirkan rambut yg menutupi wajahnya. Ahh, tak pernah bisa dijelaskan dengan
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
kata-kata, bahagianya gw menatap wajahnya. Gw usapi rambutnya pelan, lalu gw kecup
keningnya. Sebagian diri gw berontak dan menyalahkan ini, tapi sebagian lainnya
menangis. Dan sebelum perasaan gw semakin nggak karuan, gw kembali ke kamar gw.
Bersembunyi di balik selimut, ketika sebuah pesan singkat masuk ke handphone gw.
-dasar kebo...gw belum tidur tau^^Gw tersenyum kemudian mencoba pejamkan mata
sambil berharap mimpi kali ini akan indah............... Untold Story 1 Malam itu gw ke
beranda dengan secangkir kopi dan sedikit cemilan di piring. Gw duduk di kursi favorit
gw, lalu mengirim sms ke Meva. -gw di beranda nih. keluar donk temenin gw
ngobrol...Dan kurang semenit kemudian Meva sudah duduk di tempat favoritnya di
tembok beranda. Dia mengenakan setelan kaos dan celana jeans panjang hitam.
Rambutnya disanggul ke atas, kali ini menggunakan konde berbentuk sumpit warna
cokelat. Tapi yg membedakan malam ini adalah Meva memakai soft lens hijau. Dengan
make up tipis dan seadanya dia tampak sederhana tapi manis. "Nggak lembur?"
tanyanya sambil mencicipi cemilan. Gw jawab dengan gelengan kepala. "Kok gw nggak
denger suara loe dateng yah tadi sore?" tanyanya lagi, heran. "Gw pake 'silent mode'
soalnya," jawab gw lalu tertawa. "Eh, kok tumben lo ngopi Ri?" Meva mengangkat
cangkir kopi gw. "Bukannya lo nggak suka kopi ya?" dia menaruh lagi cangkirnya. "Gw
suka kok. Cuma jarang aja ngopinya." "Oooh...baru tau gw. Duh kemana aja yak gw!"
Meva menepuk jidatnya seolah baru tau kalo gw suka kopi adalah sebuah dosa besar
buatnya. Sejenak kami terdiam. "Eh nanti lusa jangan sampe lupa yak!" Meva
mengingatkan soal wisudanya. Gw tersenyum lalu menjawab, "Beres itu mah. Gw udah
ambil cuti dua hari, besok sama lusa. Jadi gw bisa nemenin lo pas wisuda." Meva
tertawa kecil dan mendadak seperti mengusap airmata di matanya dengan jari
telunjuknya. "......." "Nggak papa kok, nggak papa," Meva buru-buru menjawab
pertanyaan dalam hati gw. "Saking senengnya nih gw sampe mendadak nangis."
"......." "...Ri, sebenernya dari dulu gw berharap banget, nyokap gw bisa hadir di wisuda
gw. Gw pengen nyokap liat anaknya berhasil menamatkan kuliahnya. Buat gw itu berarti
banget, sebagai langkah awal gw nanti ngebangun kehidupan gw sendiri," kali ini Meva
menggunakan lengan kaosnya usapi airmatanya yg perlahan jatuh di pipinya yg halus.
Gw terenyuh, dan memori di kepala gw memutar adegan wisuda beberapa tahun yg
lalu, dan dalam hati gw bersyukur di hari itu gw bisa bersama kedua orangtua gw
lengkap. Sebuah momen yg sangat berharga dan nggak akan gw lupakan.
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
"......." "Tapi gw yakin Mamah di sana juga pasti bangga ya liat gw wisuda," Meva
menghibur dirinya sendiri. "Dan akan lebih bangga lagi kalo setelah wisuda ini, lo bisa
menentukan masa depan lo dengan baik," sahut gw. Meva mengangguk semangat
mengamini pernyataan gw. "Gw pasti buktiin itu," ucapnya lebih ke dirinya sendiri. "Gw
anggap wisuda ini adalah kotak pertama gw, dan masih banyak kotak lagi menuju kotak
terakhir buat jadi menteri." Kami berdua saling pandang. "Lo masih inget kan soal
'menteri' yg lo bilang dulu?" Meva mengingatkan. "Masih," jawab gw pendek. Meva
tersenyum lagi. Dia turun, berjalan mengelilingi kamar-kamar yg ada di lantai atas sini,
dan kembali ke tempatnya. Berdiri lalu tersenyum lebar. "Hmmm....Suatu hari nanti, kalo
gw udah nggak di sini lagi, gw akan merindukan momen-momen seperti ini..." ucapnya
menatap lurus ke depan. "......." "......." "Apa ini artinya lo bakal pergi, Va?" Meva
menoleh ke gw. "Kecuali ada yg 'menahan' gw buat tetap di sini," dia mengedipkan
sebelah matanya lalu tertawa. "Ohya" Kalo gitu apa yg bisa menahan lo tetap di sini?"
"......." Meva diam berpikir, dengan gaya tolol khas nya. "Masa lo nggak tau sih?"
tanyanya kemudian. Gw menggeleng. Nggak mengerti. "Yaudah kalo gitu cari tau dulu
deh. Hehehe..." dia menjulurkan lidahnya. Gw mendengus pelan. "Wah ada yg lagi
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
pacaran nih kayaknya," tiba-tiba si Gundul Indra muncul di ujung tangga, dengan
kantong hitam di tangannya. Indra, yg sejak married nggak pernah membiarkan
rambutnya gundul lagi, berjalan menghampiri kami. Gw menjabat tangan Indra
semangat. "Boleh gabung" Nih gw bawa softdrink sama cemilan biar nggak asem tuh
mulut," Indra meletakkan kantongnya di lantai. Dia duduk di ujung tembok dan
bersandar ke dinding kamar. Menyulut sebatang rokok lalu nyengir lebar.
"Denger-denger ada yg mau wisuda ya," katanya melirik Meva. Meva mengangguk
semangat, dan mulai ngoceh menceritakan gimana deg-deg an nya dia waktu sidang
dulu. Indra dan gw sesekali tertawa tiap mendengar konyolnya Meva ngejawab
pertanyaan dosennya. Topik pembicaraan selain itu tentu saja, nostalgia masa dulu
kami bareng di kosan ini. "By the way tumben lo ke sini Dra, Kak Dea nggak nyariin ya
emangnya?" tanya Meva setelah panjang lebar cerita. "Gw udah ijin kok, sengaja mau
reunian sama kalian. Nggak tau kenapa seharian ini gw kangen banget sama kosan ini!
Apalagi sama kamer gw," Indra menunjuk kamar yg dulu ditempatinya. Dia melamun
sebentar lalu tersenyum. "Seribu hari yg indah rasanya nggak akan sanggup mengganti
masa-masa itu ya. Dua tahun yg akan datang belum tentu kita bisa kayak gini lagi." Ah,
gw jadi mellow. Dan akhirnya malam itu kami bernostalgia di beranda sempit ini. Satu
hal yg gw sadari malam itu adalah, entah kapan waktunya, semua ini akan berlalu. Dan
gw selalu yakin, ini semua akan berakhir indah nantinya....... Untold Story 2 Dan
akhirnya hari itu pun tiba... Gw duduk dengan tenang di dalam aula besar yg sudah riuh
rendah oleh orang banyak. Gw duduk di lima deretan paling belakang dekat pintu keluar
di deret selatan kursi yg menghadap sebuah panggung cukup besar setinggi setengah
meter. Deretan depan diisi para wisudawan yg sudah siap dengan kostum toga
hitam-hijau nya. Sementara para undangan seperti gw ditempatkan di deret
belakangnya. Setelah berjam-jam mendengarkan 'sepatah-dua patah kata' super
membosankan dari jajaran rektorat dan para profesor, di atas panggung sana sedang
dimulai acara inti pengukuhan wisuda. Gw senyumsenyum sendiri inget momen gw
wisuda dulu. Gw bisa merasakan aura kebahagiaan mereka di dalam aula ini. Meva,
duduk di deret ke dua dari depan. Beberapa kali dia menoleh dan melempar senyum ke
gw. Benar-benar pemandangan yg menakjubkan, melihatnya duduk di sana berbalut
jubah toga hitam-hijau. Senyum kebahagiaan selalu hadir di wajahnya yg manis,
pertanda bahwa hari ini memang hari yg membahagiakan. Bukan cuma buat dia sendiri,
tapi buat gw pun hari ini adalah hari yg sakral. Memang, dengan wisuda kita belum
punya jaminan apapun tentang masa depan kita. Wisuda juga belum bisa jadi ukuran
kesuksesan seseorang. Tapi gw rasa semua pasti setuju bahwa wisuda adalah langkah
pertama untuk menjalani hidup yg sebenarnya. Di sinilah titik awal yg menentukan
seperti apa masa depan kita kelak. Dan tentu saja, langkah awal yg baik akan selalu
menghasilkan perjalanan yg baik. Biar bagaimanapun sejauh-jauhnya perjalanan, selalu
dimulai dari langkah pertama... Gw tetap duduk tenang meski kaki gw terasa panas
karena duduk berjam-jam dalam ruangan panas ini. Tapi melihat betapa bahagianya
Meva di depan sana, lelah dan bosan karena menunggu lama, seperti lenyap tak
berbekas. Gw benar-benar merasakan kebahagiaan yg dirasakannya hari ini.
Perjuangannya selama ini melewati masa-masa sulit dalam hidupnya, mulai
menghadirkan titik cerah. Dengan sedikit lagi perjuangan, gw yakin Meva akan
mendapatkan apa yg dia impikan selama ini. Lihat ke langit luas Bersama musim terus
berganti Tetap bermain awan Merangkai mimpi dengan khayalku Selalu bermimpi
dengan hadirku... Entah kenapa tiba-tiba lagu ini terngiang di benak gw...... Di atas
panggung MC sudah memanggil nama Meva. Meva berdiri, menoleh ke gw, gw balas
dengan anggukkan kepala, lalu dia mulai berjalan menuju panggung. Pernah kau lihat
bintang Bersinar putih penuh harapan Tangan halusnya terbuka Coba temani dekati aku
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
Selalu terangi gelap malamku.. Meva sudah di atas panggung sekarang. Dan di sinilah
momen seremonial yg nggak terlupakan itu terjadi. Pemindahan tali toga sebagai simbol
bahwa setiap wisudawan kini harus lebih memperkaya ilmu dalam otak kanan mereka,
pengalungan selendang gelar, kemudian dilanjutkan penyerahan gulungan sertifikat yg
diikat dengan seutas pita hijau. Urutan kejadian ini terekam dengan baik dalam ingatan
gw. Hmmm sulit dijelaskan rasanya melihat bahagianya Meva di depan sana. Dia
mengangkat gulungan kertas di tangannya di tangannya dengan senyum penuh
kemenangan. Gw berdiri dari duduk untuk kemudian bertepuk tangan dan spontan
diikuti semua orang dalam ruangan ini. Meva bergegas turun dari panggung, sedikit
mengangkat jubah bawahnya, dan berjalan cepat ke arah gw. Kami bertemu di sisi luar
kursi, dan saat itulah Meva memeluk gw. Dia menangis di pundak gw sampai nggak
menyadari topinya terjatuh. Mau nggak mau gw jadi terharu juga. Mata gw berkaca-kaca
menikmati momen bahagia ini. "......." "......." Selama beberapa saat Meva larut dalam
tangis bahagianya. "Hari ini gw bangga sama lo Va," bisik gw di telinganya. "......." Meva
cuma memukul-mukul pundak gw pelan. "Thanks Ri..." sahut Meva di sela isaknya. "Hari
ini gw bahagia banget! Ini hari terindah di hidup gw! Thanks yah buat semuanya!!!" Gw
tersenyum, tanpa berusaha menyembunyikan rasa haru yg membubung dalam dada
gw. "Gw selalu bahagia kalo lo bahagia Va..." gw sampe speechless. "Thanks Ri......."
Meva mempererat pelukannya. Dan hari itu pun memang benar-benar jadi hari yg paling
membahagiakan. Semua kerja kerasnya selama lebih dari lima tahun ini terbayar
dengan kebahagiaan dan nilai kepuasan yg nggak akan pernah sepadan dengan
apapun. Gw benar-benar bisa merasakannya, ketika detak jantungnya berdetak di dada
gw. Ketika nafasnya berembus di leher gw. Dan ketika jari-jari tangannya dengan hangat
menggenggam 2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
tangan gw erat. Saat itulah gw sadar, Meva adalah ciptaan terindah yg pernah Tuhan
ciptakan di hidup gw... Dan rasakan semua bintang Memanggil tawamu terbang ke atas
Tinggalkan semua Hanya kita dan bintang... Untold Story 3 Suatu malam di awal
Januari tahun 2005. Waktu itu hampir lima bulan setelah wisuda Meva... Bulan malam
ini bulat utuh dan terang. Sinarnya memantul pada bagian luar benda kecil yg tengah gw
pegang. Dia berputar lemah seiring gerakan tangan gw. Sesekali asap putih dari mulut
gw menghalangi pandangan benda ini dari mata gw. "Bintang keberuntungan," gw
bergumam pelan menatap putarannya yg semakin melemah. Setelah beberapa saat
berputar-putar dia berhenti bergerak. Gw taruh di telapak tangan kiri gw. Sebuah
gantungan kunci kecil dan manis, dengan bandul berbentuk bintang. Di bagian
tengahnya ada ukiran huruf 'M'. Agak samar dan nyaris hilang. Gantungan kunci ini jelas
sudah lama dipakai. Ada bagian-bagian di sisinya yg mengelupas. Beberapa detik
lamanya gw pandangi lekat-lekat bintang kecil ini. Dan sekali lagi gw putar. Lalu ingatan
gw melayang mundur beberapa langkah ke belakang, dan gw mendapati diri gw ada di
dalam kamar gw, sedang menatap benda yg sama dg yg gw pegang sekarang. Waktu
itu beberapa hari setelah wisuda Meva... "Itu bintang keberuntungan," suara Meva
terdengar halus di telinga gw seolah gw benar-benar melewati lubang waktu dan
kembali ke masa lalu. Gw alihkan pandangan gw ke sosok wanita yg sudah mengisi
hari-hari gw beberapa tahun terakhir ini. Meva duduk bersimpuh di hadapan gw,
menatap gw dengan gaya tengilnya yg khas. "Gw dapet dari Oma gw," lanjutnya. "Wah
Oma lo baik juga yah. Banyak mewariskan barang antik buat cucunya," gw berkomentar.
Meva mengangguk semangat. "Oma gw memang Oma terbaik yg pernah ada di dunia
ini," Meva nyengir lebar. "......." "Gw dikasih itu waktu pertama gw balik ke Indonesia.
Tadinya gw pikir Oma gw bohong soal bintang keberuntungan, tapi beberapa kali
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
bintang ini menyelamatkan gw." "Ohya" Kok bisa?" gw mulai tertarik untuk mendengar
lebih lanjut. Sekali lagi Meva mengangguk dengan semangat. "Tiap Natal yg gw lalui,
cuma gw lewatkan di kamar seorang diri sambil curhat sama bintang ini. Terakhir, waktu
gw berniat balik ke Jakarta pas malem natal beberapa tahun yg lalu...bintang ini seperti
bicara ke gw dan menahan gw buat tetap di sini. Dan ternyata emang bener, lo nggak
jadi terbang kan waktu itu" Coba kalo gw balik, mau tidur di mana loe malem itu?" Meva
lalu tertawa renyah. Gw senyum sendiri. Walau nggak sepenuhnya percaya soal
'keberuntungan', tapi gw percaya bintang ini punya makna sendiri buat Meva.
"Sekarang," kata Meva lagi. "Gw pengen lo jaga bintang ini baik-baik yah.." Gw
kernyitkan dahi. "Ini, buat gw gitu maksudnya?" gw memastikan. Meva mengangguk
lagi. "Anggep aja bintang ini adalah gw," ujarnya. "Lo taroh di dompet lo atau dimana
kek. Jadi tiap lo kangen sama gw lo tinggal liat aja bintangnya..." "Terus lo akan dateng
gitu?" gw tau ini adalah pertanyaan bodoh dan klise yg cuma ada dalam novelnovel
bertema cinta. Tapi entah kenapa gw pun mulai merasa kisah yg terjadi antara kami
berdua layaknya sebuah roman yg ditulis seorang pujangga. Maka gw biarkan
pembicaraan kami seperti itu. "Enggak juga laah," Meva membuyarkan lamunan gw.
"Gila aja kalo gw bisa ngilang dan dateng tiap lo liat bintangnya." "Yaudah kalo gitu gw
liat bintangnya semenit sekali deh, biar lo nya capek bolak-balik!" Dan kami pun tertawa
lepas... Malam itu, persis seperti malam saat gw sekarang duduk di beranda ditemani
bulan purnama yg cerah. Hanya ditemani bulan purnama yg cerah..... Tanpa Meva......
Tanpa suaranya yg memekakan telinga..... Dan tanpa sosoknya yg dulu dengan
mudah gw temui di samping gw...... Gw tatap pintu kamar di hadapan gw. Di balik pintu
ini, betapa gw punya banyak kenangan. Di balik pintu ini, pernah ada seorang wanita
'aneh' yg berhasil membuat gw memahami arti cinta sesungguhnya. Di balik pintu ini,
pernah gw simpan sebuah harapan tentang indahnya hidup. Dan di balik pintu ini juga,
pernah ada sebuah kisah tentang sepasang kaos kaki hitam..... Empat bulan berlalu
setelah kepergian Meva. Dia memutuskan pulang ke Jakarta untuk kemudian
bersama-sama Oma kembali ke Padang dan memperbaiki hubungan dengan keluarga
besarnya yg selama ini renggang. Soal karir, dia juga memilih untuk mencoba
peruntungan di tanah kelahiran ibunya. Nggak banyak yg bisa gw lakukan buat
menahan Meva untuk tetap di sini. Sudah waktunya dia menemukan hidupnya sendiri.
Perbedaan yg ada antara kami, ternyata sangat mempengaruhi pilihan gw. Gw belum
siap sepenuhnya menghadapi perbedaan itu. Dan kini, setelah kepergiannya, gw cuma
bisa terdiam mengenang waktu yg pernah terlewatkan antara kami. Gw nikmati lagi
menit-menit itu, yg gw sadar sepenuhnya, nggak akan pernah kembali lagi. "......." Gw
berdiri, menggenggam erat bintang di tangan gw. Tanpa gw sadar airmata mengalir
mulus di kedua pipi gw. Terlambat buat gw mengusapnya. Airmata ini mengalir begitu
saja tanpa sempat gw tahan. Airmata penyesalan yg gw sadari sepenuhnya, takkan
pernah berarti apa-apa. Entah berapa lama gw berdiri dalam diam. Gw tatap langit hitam
yg menutupi bintang-bintang dari peraduannya. Hemmmppph.... Dan belum pernah gw
lihat langit segelap ini.................... Untold Story 4 Seandainya pernah kenal dan hidup
bersama Meva adalah sebuah mimpi, maka gw yakin itu adalah mimpi paling indah yg
pernah gw temui di hidup gw. Kadang gw berharap nggak akan pernah terjaga dari
mimpi indah ini. Tapi gw tau, semua hal di dunia ini ada masanya. Bukankah ketika kita
memulai sesuatu, justru sebenarnya kita sedang maju satu langkah untuk
mengakhirinya" Waktu hanya sebuah pilihan dari Tuhan untuk manusia. Ada yg bisa
menggunakannya dengan bijak, tapi banyak juga yg nggak demikian. Satu yg pasti,
waktu nggak pernah berputar mundur, meski hanya sedetik. Dan gw seharusnya lebih
bisa menerima apa yg sudah jadi pilihan gw. Tapi kadang hati kecil ini seperti nggak
mau berhenti merongrong untuk terus menyesalinya. Airmata yg pernah gw teteskan
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
untuk seorang Meva, adalah bukti betapa sebenarnya gw belum sanggup
mengosongkan sebelah hati gw yg selama empat tahun ini terisi oleh sosoknya. Gw
sudah sangat terbiasa mendengarkan celotehannya. Lengan gw mungkin sudah ratusan
kali dicubit setiap gw menggodanya. Maka sangat aneh rasanya ketika pagi-pagi gw
terjaga dan mendapati kamar gw begitu sepi. Bukan hanya kamar gw, tapi jauh dalam
hati gw hari-hari ini gw merasakan kekosongan yg menyakitkan. Kekosongan yg hanya
akan terobati dengan kehadirannya di samping gw. Gw kangen ucapan selamat pagi yg
khas dari Meva. Gw kangen tingkah usilnya kalo lagi nggak ada kerjaan. Gw kangen
tatapan matanya. Gw kangen semua hal yg ada pada dirinya... Gitar tua warisan Indra,
yg biasanya kami mainkan setiap mengisi waktu malam, sekarang hanya tersudut diam
di pojok kamar. Beberapa kali pernah gw mainkan lagu yg sering kami nyanyikan
bersama, tapi semenjak kepergian Meva gitar ini seperti kehilangan nadanya.
Senar-senar yg gw petik nggak mampu lagi menghadirkan nada indah. Lirik yg gw
nyanyikan pun menguap begitu saja tanpa makna yg jelas. Kemudian gw melangkah ke
beranda. Berdiri menatap langit malam dengan ribuan bintangnya. Tapi nggak pernah
lagi gw temui indahnya malam seperti dulu. Bintang-bintang itu seperti redup dan
tenggelam dalam gelapnya langit malam. Mereka seperti enggan memancarkan lagi
sinar terindahnya. Tapi gw masih bisa melihatnya. Gw bisa melihat mereka. Dua orang
yg sedang asyik melewatkan malam dengan bermain catur di beranda. Seorang
laki-laki, seperti yg selalu gw lihat setiap gw bercermin. Seorang lagi wanita, dengan
stoking hitamnya yg khas. Mereka nampak sangat menikmati momen itu. Berbincang
dan tertawa lepas setiap satu dari mereka mengeluarkan banyolannya.
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
Tanpa sadar gw tersenyum kelu menatap mereka. Lalu sosok keduanya
berangsur-angsur menjadi tipis dan transparan, sebelum akhirnya benar-benar
menghilang dari benak gw...... "Kejadiannya selalu sama," suara Indra membuyarkan
lamunan gw. "Ada yg pergi untuk kembali, tapi ada juga yg pergi dan nggak mungkin
kembali." Gw termenung sesaat. "Tapi sebelum pergi Meva bilang dia akan balik lagi,"
gw mencari pembenaran dari harapan dalam hati gw. Meskipun gw sendiri nggak yakin
dengan hal itu. Indra mendesah pelan. Dia hembuskan asap rokok dari mulutnya dan
membiarkannya berbaur dengan asap putih dari rokok gw. "Setelah dia pergi, kalian
masih sering berhubungan?" tanyanya ingin tau. Gw mengangguk. Sangat pelan dan
lemah. "Beberapa bulan pertama, kita masih sering telpon-telponan. Tapi kayaknya dia
makin sibuk setelah mulai keterima kerja, jadi yah praktis waktu buat kita contact
semakin berkurang..." sedikit terenyuh gw ceritakan keadaan gw dan Meva sekarang.
"Dan lo, sampe sekarang masih belum berani ungkapin perasaan lo ke dia?" Gw
menggeleng. Kali ini lebih lemah dari anggukan gw sebelumnya. "Gw selalu pengen
Meva dapet yg terbaik buat hidupnya. Gw nggak mau kalo nantinya pengakuan gw
cuma akan mengganggu apa yg dia dapat sekarang..." "Kalo itu memang pilihan lo
berarti mulai sekarang lo harus siap kehilangan dia," tandas Indra. Gw tersentak.
Sepasang Kaos Kaki Hitam Karya Pujanggalama di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendadak tubuh gw terasa panas. Gw seperti baru dibangunkan dari mimpi indah yg
melenakan. "Lo harus menata ulang hati lo lagi," lanjut Indra. "Gw nggak minta lo lupain
Meva, tapi mulai sekarang lo harus bisa membedakan antara masa lalu dan realita.
Jangan sampe lo jatuh terlalu lama dalam kehilangan. Bukan cuma Meva, tapi lo juga
berhak dapet yg terbaik buat hidup lo." Gw tertunduk lesu. Tiap hari nafas gw jadi
semakin berat. Nggak pernah bisa dipungkiri, gw mencintai Meva lebih dari yg pernah
gw bayangkan sebelumnya. Dan sekarang, rasa ini perlahan mulai terasa menyakitkan.
"Gw tau sayang lo tulus ke Meva," kata Indra lagi. "Tapi sekarang pilihannya cuma dua,
lo kejar Meva sampe dapet atau lo bener-bener tinggalin semuanya dan mulai menata
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
hidup lo." "......." "Kalo gw sih, bakal gw kejar tuh Meva," Indra menyenggol lengan gw
lalu tersenyum penuh makna. "Kapan lagi coba dapet cewek kayak dia"! Bego aja kalo
sampe lo tinggalin." Gw nyengir lebar. Entahlah, yg gw lakukan selama ini adalah
sebuah kebodohan tau bukan, gw nggak mengerti. Yg gw tahu cuma satu hal, sekarang
lah saat nya gw untuk membuat satu pilihan terakhir. Pilihan yg akan sangat
membuktikan seberapa dalam sebenarnya sayang gw ke Meva..... Untold Story 5 "Jadi
ini pilihan yg lo ambil?" tanya Indra dari belakang gw. Gw terdiam. Tangan gw tertahan
di reseleting tas yg baru saja gw tutup. Gw berdiri dan balikkan badan menghadap Indra.
"Lo udah yakin sama pilihan lo?" lanjutnya memastikan. Gw mengangguk pelan. "Nah,
itu baru namanya temen gw! Yakinlah sama pilihan lo. Dan kejar apa yg harus lo kejar!
Oke?" dia menghampiri dan menjabat tangan gw penuh semangat. Indra memandang
berkeliling kamar gw yg sekarang sudah sangat rapi. Tanpa perabot yg berserakan, dan
tanpa kasur dan bantal yg terhampar tak berdaya di tengah ruangan. "Gw bakal kangen
banget sama kamer ini," katanya kemudian. "Apalagi gw Dul." "Gw inget banget
saat-saat pertama dateng di kosan ini. Gw kangen sama masa-masa itu. Pengen deh
gila-gilaan lagi bareng anak-anak.." "Hahaha...mengenang masa muda ya Pak"!" "Errr
gw belum tua banget kali. Belum juga kepala tiga. Masih belum pantes dipanggil
'Bapak'." "Terus anak lo mau dikemanain kalo lo masih belum cocok dipanggil Bapak?"
ejek gw. Dan kami pun tertawa lebar. "Hemmm.....ini salahsatu tempat bersejarah ya
buat kita. Ini tempat kita merangkai mimpi kita. Tapi ketika semua impian itu sudah kita
capai, pada akhirnya kita harus meninggalkan tempat ini." Gw bersandar pada dinding
kamar yg terasa dingin di punggung gw. Gw menyulut sebatang rokok dan dengan
cepatnya ruangan kecil ini sudah dipenuhi kepulan asap putih tipis dari mulut gw. "Buat
gw ini bukan sekedar tempat merangkai mimpi," sahut gw. "Ini juga tempat ketika gw
pernah bermimpi indah..." dan gw mulai mengenang kembali hari-hari gw di sini
bersama Meva. "Yaah satu per satu kita akhirnya ninggalin tempat ini. Setelah gw,
Meva, dan sekarang elo Ri. Dan akhirnya tempat ini jadi saksi 'kejayaan' kita." Dia
tersenyum kosong. Gw mendesah pelan. Bukankah dari dulu juga seperti itu", gw
bertanya dalam hati. Pada akhirnya semua akan berujung ke satu titik bernama
perpisahan, meskipun nggak semuanya adalah perpisahan yg hakiki. Echi dan nyokap
gw....adalah bukti tak terbantahkan. Lalu Indra, Lisa, dan kemudian Meva.... "Semoga
gw nggak pernah menyesali pilihan gw ya Dul," gw sedikit ragu. "Gw selalu di belakang
lo, pokoknya gw dukung apapun pilihan lo." "Thanks sob," gw embuskan lagi asap putih
dari mulut gw. "Sejak awal, gw yakin Meva pantas mendapatkan yg terbaik buat
hidupnya. Dia layak sampe di kotak terakhirnya untuk bertransformasi jadi menteri..." gw
berjalan ke jendela, menyibak gordennya dan mendapati pintu kamar di seberang
tertutup rapat. "............" "...Dan gw, gw nggak mau kalo kehadiran gw hanya jadi pion
kecil yg manghalangi langkahnya menuju kotak terakhir..." "............" "Yakinlah Tuhan
selalu tau yg terbaik buat kita," Indra menyemangati gw. "Selamat berjuang di tempat
baru ya!!" Gw mengangguk mantap. "Kapan-kapan kalo senggang mampirlah ke rumah
gw," ujar Indra. "Pintu rumah gw selalu terbuka lebar buat sahabat terbaik gw. Lagian
Jakarta - Karawang nggak jauh-jauh amat kok. Ntar kita undang juga temen-temen yg
laen buat reunian di kosan ini." "Oke. Kabari gw yah kalo ada acara sama anak-anak."
Gw tersenyum lebar, dan sebelum gw semakin mendramatisir perpisahan kecil ini gw
angkat tas gw keluar kamar sementara Indra bantu mengangkat tas yg lain. Tiba di
depan kamar kami sama-sama terdiam. Indra menghampiri pintu kamarnya dulu, yg
saat itu tertutup ditinggalkan penghuninya kerja. Nampaknya dia ingin sedikit
bernostalgia dengan kamarnya. Sementara gw melangkah pelan menuju pintu kamar di
seberang kamar gw. Pintu yg selalu tertutup selama hampir setahun ini. Setelah
kepergian Meva memang nggak ada lagi yg menghuni kamar ini. Gw sengaja membayar
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
uang sewa kamar ini supaya nggak ada yg menghuninya. Gw nggak mau kenangan gw
tentang Meva 'rusak' dengan kehadiran penghuni baru. Gw mau apa yg sudah ada
biarkan apa adanya, sampai akhirnya gw meninggalkan tempat ini. Gw berdiri terpaku di
depan pintu. Rasanya nafas gw sedikit sesak kalau mengingat hari-hari itu.. Perlahan
gw putar handle dan nampaklah sebuah ruangan gelap dengan aroma debu yg cukup
menyengat. Setelah mata gw terbiasa dengan kegelapan ruangan ini gw melangkah
masuk. Ini masih kamar yg sama dengan yg terakhir kali gw masuki ketika terakhir
bertemu Meva. Tata letak perabotnya, nggak ada yg bergeser seinchi pun. Hanya saja
ruangan ini sudah nyaris tenggelam oleh debu tebal yg nggak pernah dibersihkan. Gw
tertegun. "Aaaaaaaaaaarrrrrrrrriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...! !!" Sebuah suara yg sudah sangat akrab
di telinga gw, seperti berdengung di dalam kepala gw. Perlahan sosoknya hadir di
hadapan gw. Berdiri sambil tersenyum mengejek seperti yg biasa dilakukannya. Dada
gw terasa sesak. Gw alihkan pandangan ke sudut lain kamar, dan saat itulah gw
melihatnya lagi. Entah kenapa kemanapun gw melihat, selalu ada Meva di sana.... ***
"Lo bakal kangen nggak sama gw kalo gw pergi?" suaranya lembut menggelitik telinga
gw. "Kangen" Mmmh......kangen enggak yaaaa?" jawab gw sambil becanda sementara
Meva menunggu 2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
jawaban gw dengan raut wajah yg sulit dijelaskan. "Kangen nggak?"" ulangnya.
"Kangen aja deh!" gw tertawa kecil. "Kok pake 'deh' sih?" Nggak ikhlas banget
kangennya!!" protesnya. Gw nyengir bego. "Tapi lo bakal balik lagi ke sini kan?" gantian
gw yg tanya. "Mmmh...balik enggak yaa?" melirik gw nakal. "Balik aja deh!" dan
menirukan gaya bicara gw barusan. Gw jitak kepalanya. "Sakiiiit!" Meva balas mencubit
gw. "Jawab yg serius napa?"" "Kan elo juga jawabnya gitu!! Eh, ngomongnya biasa aja
yak nggak usah pake nyolot gitu!!! Jelek tau nggak?"?" "Yg nyolot siapa yaaaa?"?"?""
Meva memasang raut wajah marah. Tapi entah kenapa justru gw malah pengen ketawa
liatnya. "Udah ah buruan berangkat, entar keabisan bus lho," kata gw dengan nada
normal. "............" "Kok diem?" Meva menatap gw curiga. "Kok kayaknya lo seneng
banget nih gw pergi?"" tanyanya menyelidik. "Iya lah seneng. Kalo lo pergi kan itu
artinya eggak bakal ada yg gangguin gw lagi tengah malem buat curhat. Enggak ada
lagi yg teriak pagi-pagi di kuping gw. Enggak ada lagi yang......" "............" "...heh, kok
nangis?" gw perhatikan Meva yg menunduk sambil usapi pipinya. Meva masih
menunduk. Gw jadi serba salah sendiri. Gw tarik tangannya untuk memastikan dia
nangis beneran atau enggak. "Va.." Lo enggak kenapa-kenap...." "Dasar
K-E-B-O-O-O-O-O-O-O-O!!!!" Meva teriak di telinga gw. "Jadi cowok enggak sensitif
bangeeet!!" Gw jitak lagi kepalanya saking kagetnya. Kali ini Meva balas menjambak
rambut gw. "S-A-K-I-T!!" teriaknya. "Ih, apa-apaan sih lo?" gw usapi kuping gw yg
berdengung gara-gara teriakannya. "Mentang-mentang mau pergi jadi bales dendam
gitu?"" "Hehehehe... Peace!" Meva nyengir bloon sambil mengacungkan dua jari
tangannya. "Udah yuk berangkat, anter gw ke terminal." "Ogah! Berangkat aja sendiri!"
"Yaaah kok marah gitu siiih........." "Bodo ah." "Hehehehe. Udah ah gitu aja ngambek.
Kapan lagi coba nganter gw balik?" Meva mengangkat tas besarnya dan dengan
sembarangan menyerahkannya ke gw. "Buru lah jalan." Errrr ni cewek seenak jidatnya
aja! Meva mengunci pintu kamarnya, lalu kami bersama-sama berjalan menuruni
tangga. Dan itulah terakhir kalinya gw melihatnya di kosan ini.. *** Hari ini hampir
setahun setelah kepergian Meva. Pada awalnya kami memang masih berhubungan
lewat telepon. Tapi semakin ke sini semakin jarang kami lakukan. Entahlah, yg gw tahu
Meva sedang mulai disibukkan aktifitas kerjanya. Meski miris, tapi gw coba menerima ini
sebagai proses perjalanan hidup yg harus dilalui. Toh seperti yg sudah gw pilih hari ini,
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
melihat Meva menjadi seorang 'menteri' adalah jauh lebih membahagiakan dari hal
membahagiakan apapun di dunia ini. Gw harus mulai bisa menerima jarak yg ada
diantara kami. Benar seperti yg dibilang Indra, gw pun harus mulai membangun hidup
gw. Gw punya kehidupan sendiri yg harus gw tata. Sudah saatnya gw menjalankan
langkah pertama gw. Gw yakin akan ada yg lebih membahagiakan dari ini di kotak
terakhir gw nanti. Meski tanpa Meva, mungkin..." "Ayo Ri...." Suara Indra membuyarkan
lamunan gw. "Kita berangkat sebelum tambah malem." Gw menoleh ke sudut kamar, ke
tempat tadi gw melihat Meva. Nggak ada siapapun di situ... "Eh, ayo..." gw melangkah
keluar. Di luar sini gw bisa merasakan udara segar masuk ke hidung gw. Indra berdiri
tersenyum dan menepuk pundak gw. "Meva pasti akan dapet yg terbaik di sana,"
katanya. "Dan sekarang giliran lo yg mendapatkan hal itu. Gw selalu ada buat lo,
kapanpun lo butuh gw lo bisa hubungi gw. Jarak antara Jakarta dan Karawang bukan
suatu penghalang. Saat apapun lo butuh gw, gw akan selalu bantu lo sebisanya."
"Makasih banyak buat semuanya Ndra," gw menjabat tangannya kemudian memeluknya
sesaat. Kami sama-sama tersenyum. "Sebentar," gw menoleh ke pintu kamar Meva.
Pintunya masih terbuka. Gw raih handle nya dan menariknya hingga menutup. Entah
kenapa kali ini gw seperti menarik sebuah pintu dari baja yg enggan bergeser. Bukan,
bukan karena tebalnya debu yg sedikit menahan laju pintu ini, tapi karena banyaknya
kenangan yg ada di sini, yg membuat tangan gw seperti kaku dan tertahan untuk
menutupnya. "Ri," panggil Indra. "Lo tau kenapa kenangan itu terasa indah?" "............"
"Karena dia nggak akan terulang lagi. Itu yg membuatnya jadi berarti..." "............" Gw
tarik nafas berat. Dan perlahan akhirnya gw tutup pintu itu. "Selamat tinggal," ucap gw
lirih seiring gerakan pintu yg akhirnya benar-benar menutup. Dan malam ini, gw biarkan
semua kenangan tentang Meva tertinggal di balik pintu kamarnya. Suatu hari nanti,
ketika gw buka lagi pintu itu, gw berharap gw sudah benar-benar siap dan mengerti
bahwa perbedaan nggak seharusnya jadi suatu penghalang dan titik mati buat
seseorang menyatakan cintanya. Suatu hari nanti ketika gw buka lagi pintu itu, gw
berharap ada Meva yg hadir untuk menyambut kedatangan gw. Suatu hari
nanti.................. Epilog # 1 Suatu sore yg cerah di pertengahan November 2008..
Gw dan dua rekan kerja gw baru saja selesai meeting di sebuah gedung stasiun televisi
swasta di kawasan Kapten Tendean Jakarta, dalam sebuah merger sponsor untuk event
ulangtahun stasiun televisi itu pertengahan bulan depan. Stasiun televisi berlogo mirip
belah ketupat itu memilih perusahaan kami sebagai salahsatu sponsor untuk event
ulangtahun mereka yg ke tujuh sudah sejak enam bulan yg lalu, dan pertemuan hari ini
hanya membahas beberapa kesepakatan akhir saja. Arloji di tangan gw menunjukkan
pukul setengah lima sore ketika kami bertiga sampai di area parkir menuju sebuah
avanza hitam yg akan membawa kami kembali ke tempat kerja. "Enaknya kita makan di
mana ya?" kata Rinto, ketika kami sampai di mobil kami. "Di FX aja gimana?" sahut Nila,
dia satu-satunya cewek dalam rombongan sore itu. Dia juga yg kelihatan paling lapar.
"Ya gw sih oke aja, gimana Pak?" tanya Rinto ke gw. "Eh....ng......makan ya" Kenapa
nggak di warteg aja?" kata gw becanda. "Kan banyak menunya tuh. Murah lagi..." Nila
dan Rinto tertawa mendengar jawaban gw. Nila membuka pintu samping dan menaruh
tas berisi dokumen dan laptop di sebelah ujung kiri kursi. Sementara Rinto mengambil
posisi di belakang kemudi dan gw sendiri di sebelahnya. Dalam sekejap gw merasakan
sejuknya AC di dalam sini. Sore itu sebenarnya cukup sejuk dan juga tadi gw terus
berada di ruang ber AC, tapi nggak tau kenapa gw tetap kepanasan. Deru mesin
terdengar halus dan teredam. Rinto sedang warming up mesin. "Kangen sama jengkol
dan kawan-kawan ya boss" Hehehehee..." goda Nila. "Yah sekalian bernostalgia ke
masa kuliah dulu kali," timpal Rinto. "Saya aja dulu waktu kuliah favorit banget sama
masakan rawon depan kosan." "Kalo saya nggak sempet tuh ngerasain ngekos. Waktu
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
kuliah gw tinggal sama bokap nyokap gw soalnya," kata gw. "Baru pas mulai kerja saya
ngekos deh." Nila menyodorkan tangannya dari belakang, mengajak gw bersalaman.
"Kita sama Pak," katanya.
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
"Hahaha..." gw tertawa kecil sambil menjabat tangannya. "Eh eh, tadi kalian liat nggak
ada Pasha Ungu sama Onci nya juga lho. Sayang nggak sempet foto bareng sama
mereka," Nila bercerita dengan sangat antusias. "Waah kayaknya kalo kerja di tempat
kayak gini enak yahh bisa sering-sering ketemu artis yah" Pasti menyenangkan
sekali.....!" Gw dan Rinto cuma senyum geli. "Tiap hari juga kita kan ketemua artis?" kata
Rinto. "Artis" Di mana?" Nila berusaha memahami ucapan Rinto tadi. "Di kantor lah."
"Kantor" Emang ada yah artis di tempat kita?"" dia masih berusaha mencerna kalimat
tadi. "Ada lah! Si Encek, dia kan mirip sama Cristian Sugiono!" ujar Rinto, dan
meledaklah tawa kami di dalam ruang kecil itu. "Dia bukan mirip sama Tian, Pak." Kata
Nila. "Tapi Tian nya yg mirip sama dia!" Kami tertawa lagi. Di tempat kerja kami memang
ada seorang office boy, yg menurut gw mirip sama salahsatu pelawak srimulat. Kami
biasa memanggil dia 'encek'. Kami memang sering becanda dengan mencari-cari
kemiripan teman kerja kami dengan artis, dan hasilnya ya ngaco lah. Kadang beberapa
orang disepakati mirip dengan beberapa artis meskipun pada kenyataannya
jaaaaauuuuuh banget! Yah itu salahsatu cara kami melepaskan kepenatan di tempat
kerja. Menyegarkan pikiran dengan humor selalu menyenangkan. "Jadi, kita makan di
mana nih?"" tanya Rinto lagi memastikan. "Jangan sampe kita balik ke kantor kayak
orang yg abis diet tiga bulan." Rinto dan Nila menatap gw. "Ya udah terserah kalian aja
di mana. Mau di Senayan atau di warteg juga boleh." "Gimana kalo di Citos aja?"" Nila
mengajukan usul. "Kejauhaaan ituuuu........" timpal Rinto. "Ya udahlah dimana aja, asal
makan." Akhirnya Nila menyerah. Gw usap wajah gw beberapa kali. Hari ini cukup
melelahkan. Perjalanan balik ke kantor jam segini pasti akan memakan waktu lama
mengingat jam segini adalah jam sibuk. Rinto baru saja memasukkan perseneling waktu
pandangan mata gw menemukan seseorang di luar sana. Agak jauh dari mobil kami,
seorang wanita dengan seragam serba hitam khas stasiun televisi ini, membawa tas
jinjing, berjalan menuju sebuah inova silver di sudut parkiran. "Tunggu," kata gw tanpa
menoleh ke Rinto ataupun Nila di belakang. "Kenapa Pak?" tanya Rinto. "Kalian tunggu
dulu di sini. Saya mau ke sana sebentar," gw menunjuk mobil yg dituju wanita itu. "Ada
apa emangnya" Ada yg ketinggalan?" giliran Nila yg mencari tahu. "Enggak, saya mau
ketemu teman lama dulu. Tunggu bentar aja yah..oke?" Walaupun dengan seribu
pertanyaan di otaknya, Rinto mengangguk setuju. Maka bergegas gw lepaskan safety
belt yg sempat melingkar di badan gw, membuka pintu, dan segera berjalan cepat
menuju wanita di luar itu. Walau dengan degupan jantung yg mungkin mencapai seribu
detak per detik nya, gw terus berjalan. Gw bahkan hampir terjatuh karena kaki gw terasa
bergetar dan kehilangan keseimbangannya saat berjalan. Wanita itu baru saja sampai di
mobilnya dan hendak menaruh tas nya di bagasi, ketika gw sampai di tempatnya
berdiri... Epilog # 2 Gw mendehem pelan. Dia secara refleks menoleh ke arah gw. Dan
saat itulah kedua mata kami bertemu pandang. Dia, menatap gw terkejut. Sama dengan
cara gw menatapnya. Selama beberapa detik kami sama-sama terdiam dan bergulat
dengan ingatan di otak kami. ".........." "Meva.........?" ucap gw pelan, setengah percaya
dan setengah masih nggak percaya dengan yg gw lihat di hadapan gw. ID card di dada
kirinya menunjukkan jabatan yg dipegangnya sekarang. "Kamu......................" dia
menutup mulutnya dengan jemari tangannya yg lentik dan manis. Dia nampak sangat
shock melihat kehadiran gw. Sama, gw juga shock berat!!!! "Yeah, ini gw.............." kata
gw. Meva tertawa heran. "Ini Ari, si kebo itu?"?"?"" ucapnya menunjuk gw. Dia
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
menatap gw seperti gw ini adalah objek aneh dari luar angkasa yg baru pertama
dilihatnya. "Ya Tuhan, mimpi nggak nih!!" Gw mengangguk. "Iya va, ini
gw..............................." butir airmata menggumpal di pelupuk mata gw, tapi sebisa
mungkin gw tahan untuk nggak menetes. Dada gw seperti diaduk-aduk. "Ini gw Ari.
Orang yg biasa lo ajak main catur di depan kamer, tujuh tahun yg lalu................" Gw
sudah nggak peduli dengan kusutnya wajah gw saat itu. Gw tau kemeja yg gw pakai
juga nampak lecek karena terlalu lama membungkus badan gw seharian ini. Yg gw
pedulikan hanya sosok wanita di hadapan gw sekarang. Sosok yg selama bertahun ini
hilang dari mata gw, dan hanya tersimpan di kepala bersama ratusan kenangan lainnya.
Dia sosok yg sama dengan wanita yg gw lihat pertama di kosan dulu, meski tentu saja,
sama seperti gw, dia nampak lebih berumur. Tapi tatapan matanya masih sama.
Senyumnya, caranya tertawa, bahkan gesture tubuhnya, gw nggak pernah lupa. Dia
adalah Mevally yg gw kenal...... Saat ini, kami berdiri di tempat dan keadaan yg berbeda
dari tujuh tahun yg lalu. Dia ada di depan gw, tapi bahkan untuk menyentuh tangannya
sekalipun gw nggak memiliki keberanian untuk itu. Yg bisa gw lakukan hanyalah
membiarkan otak gw bermain bersama kenangankenangan yg selama ini tersimpan rapi
dalam ingatan gw. Ini benar-benar terasa sangat aneh. Sangat aneh dan sulit untuk gw
jelaskan. "Lo kemana aja Va?" suara gw tercekat di tenggorokan. "Emang kamu nyariin
aku yah?" katanya. Suaranya bahkan masih sama seperti teriakannya yg dulu sering
memecahkan gendang telinga gw. Hanya saja, bahasanya.......yah bahasanya sedikit
berubah. "Aku selalu nyari kamu Va......." gw berusaha tampak tenang. Kedua bahu gw
bergetar hebat. Meva tersenyum manis. Sangat manis... "Jujur, aku kaget banget liat
kamu ada di sini sekarang. Di depan aku...." kata Meva. Matanya juga mulai
berkaca-kaca. "Gimana kabar kamu?" Ah, bahkan gw lupa dengan pertanyaan yg biasa
diajukan kepada orang yg sudah lama nggak gw temui. "Aku baik," kata gw. "Dan kamu
sendiri gimana?" "Aku juga baik kok," jawabnya. Gw nggak bisa mengelak dari situasi
serba kikuk seperti ini. Gimana nggak, dia menghilang dari hidup gw lebih dari empat
tahun yg lalu. Dan sekarang...................dia muncul lagi, di hadapan gw. Dia nyata.
Berdiri di depan tempat gw berdiri sekarang. Dia bukan sekedar bayangan yg selalu
muncul di tiap malam sebelum tidur gw. Dia juga bukan seserpih debu yg mengotori
memori di kepala gw. Lebih dari itu, dia Meva! Wanita berkaoskaki hitam yg gw kenal
delapan tahun yg lalu... "Kayaknya lama banget yah kita nggak ketemu," kata Meva.
".........." "Kamu...masih di tempat kerja kamu yg dulu itu?" dia berusaha mencari bahan
pembicaraan yg bisa mencairkan kekakuan ini. "Enggak kok. Aku pindah, setahun
setelah kamu wisuda.." Kami lalu terdiam. "Dan sekarang, kamu di Jakarta?" tanyanya
lagi tetap dengan logat dan intonasinya yg khas. "Iya. Udah dapet tiga tahun aku di sini.
Kamu kerja di sini?" Meva tersenyum lagi. Lalu anggukkan kepala. "Kamu sekarang
udah sukses ya?" kata gw. "Bukan lagi mahasiswa yg sering ketinggalan tugas." Meva
Sepasang Kaos Kaki Hitam Karya Pujanggalama di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menatap ID card nya sesaat lalu tertawa pelan. "Kalo kesuksesan itu diukur dari materi,
mungkin sekarang jawabannya adalah iya," katanya. "Tapi toh seperti yg dulu kamu
selalu bilang ke aku, selalu ada yg lebih baik dari sekedar kesuksesan materi." Dia
tersenyum. "Eh kita cari tempat duduk aja yukk. Nggak enak ngobrol berdiri kayak gini."
Dia menutup bagasi mobilnya, menekan tombol pengaktif alarm dari kunci di tangannya,
lalu berjalan di samping gw. Gw mengikuti dia. Saat itu gw memang sudah melupakan
keberadaan 2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
dua orang rekan kerja gw di mobil. Tak apalah, kapan lagi gw akan menemui momen
seperti ini.... Epilog # 3 "Kamu keliatan tua Ri," kata Meva tertawa kecil. "Plus gemuk
lagi. Haha.." "Oiya?" gw juga tertawa. "Tapi kamu kayaknya awet muda yah?" Meva
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
tersenyum. Kami duduk di tepi kolam depan pintu utama masuk gedung. Ada sebuah air
mancur kecil di tengah kolam, bergemericik pelan mengiringi suasana sore yg teduh.
Selama beberapa detik kami terdiam. Gw sedang mencoba mencari bahan
pembicaraan. "Oh iya Lisa, sekarang gimana kabarnya?" tanya Meva. "Dia kan fans
berat kamu tuh. Hehehe.." "Ah, iya Lisa. Gw nggak tau kabarnya sekarang. Kami lost
contact sejak dia di Jepang. Dan gw juga pindah sebelum dia balik ke Indonesia...jadi
belum sempat ketemu." Meva mengangguk paham. "Gimana sama Indra?" tanyanya
lagi. "Kayaknya tuh anak dilahirkan memang buat jadi orang sukses. Terakhir kami
contact pas lebaran kemaren. Katanya dia hampir menyelesaikan study pasca
sarjananya dan lagi berjuang buat promosi jabatan di tempat kerjanya. Hebat yaaa dia.."
"Dan kamu sendiri?" Meva menatap gw penuh minat. "Kayaknya sekarang juga kamu
nggak beda jauh sama si Gundul.." "Haha," gw tertawa pelan. "Entahlah. Gw selalu
termotivasi kalo liat keberhasilan yg dicapai si Gundul. Tapi kayaknya gw harus
berusaha lebih keras buat bisa mengejarnya." Meva tersenyum. "Eh, terus gimana tuh
kosan kita, masih ada apa udah ganti fungsi jadi museum tuh" Lama banget nggak
kesana! Yah kali aja sekarang dibangun monumen bersejarah untuk memperingati kita
berdua. Hehehe.." "Setau aku sih masih sama, cuma ada beberapa perbaikan tentunya.
Indra sering nelpon gw kalo kebetulan dia lewat kosan kita. Kangen katanya, mau
reunian. Tapi yah tau sendiri lah sekarang mah susah banget mau ketemu juga.
Sama-sama sibuk," gw merasakan kerinduan yg menggelitik dalam hati. "Emmh..kamu
masih sering maen ke Karang Pawitan?" "Enggak. Terakhir kali ke sana ya pas sama
kamu itu. Abis itu, nggak pernah sekalipun. Apalagi setelah kerja di sini." Gw
mengangguk pelan. Angin sore yg panas mendadak terasa sejuk. "Thanks ya Ri..." kata
Meva tiba-tiba. "Untuk apa?" tanya gw. "Selama kita barengan di kosan dulu, aku
banyak belajar dari kamu," ceritanya. "Hidup aku juga banyak berubah setelah kenal
sama kamu." Gw tersenyum. Otak gw langsung merewind kejadian-kejadian yg sudah
berlalu sekian lama. Hati gw mencelos..... "Kamu masih inget tentang pion catur yg
berubah jadi menteri?" katanya lagi. Gw jawab dengan anggukan kepala. "Menurut
kamu, sekarang aku adah bisa dibilang jadi menteri belum?" "Seperti yg kamu bilang
tadi. Kalo ukurannya materi, jelas kamu udah bertransformasi jadi menteri. Bukan hanya
menteri, kamu malah jadi ratu, mungkin?" Meva tertawa kecil. "Aku selalu pegang
kata-kata kamu soal pion catur itu," ucapnya. Pandangan matanya menerawang jauh
melampaui batas ingatannya. "Aku jadiin sebagai salahsatu pedoman hidup aku. Dan
hasilnya sekarang...seenggaknya buat diri aku sendiri, aku merasa lebih baik dari dulu.
Jauh lebih baik, kalo aku boleh bilang." "Aku turut bahagia Va.." "Thanks Ri. Kamu
emang selalu ada saat aku sedih ataupun bahagia." "Ya, begitulah aku..." ucap gw lirih.
"Oiya, aku mau tau gimana cerita kamu sampe kamu bisa dapet posisi yg sangat baik di
sini.?" Meva tertunduk malu, tertawa kecil dan mengibaskan rambutnya pelan sebelum
menjawab. "Emh...enggak begitu istimewa siih. Waktu itu kebetulan ajah ada temennya
Tante Ezza yg punya info lowongan kerja di sini. Aku kirim deh lamaran aku, dan yah
syukurlah aku lulus." Gw tarik napas panjang. "Tapi aku sempet frustasi juga lho, tiap
inget target aku di diary. Inget kan?" kata Meva. Gw mengangguk. "Tapi lo tetep bisa
sampe di titik ini, dan itu hebat!" kata gw jujur. "Haha... aku cuma belajar dari
pengalaman." "Kamu sekarang udah pinter yah?" komentar gw. "Haha.. itu juga
gara-gara sering gaul sama kamu." Sejenak kami terdiam. "By the way kamu masih
inget sama kalung ini?" Meva menarik keluar sebuah kalung tua yg sedikit usang dari
balik kerah seragamnya. Sebuah kalung salib dengan selotip hitam di salahsatu sisinya,
sama persis dengan yg gw lihat di kamar gw waktu itu. Itu memang kalung yg selalu dia
pakai. Kalung warisan dari neneknya. "Kamu masih pake kalung itu?" "Selalu," jawabnya
mantap. "Ini salahsatu saksi sejarah hidup aku. Aku akan selalu pake kemanapun dan
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
apapun yg aku lakukan." Gw diam. Airmata gw mendadak sulit ditahan. "Kamu tau Ri?"
lanjut Meva lagi. Suaranya terdengar bergetar kali ini. "Kalung ini udah ratusan kali
mengalami bongkar pasang selotip, tapi nggak pernah sedikitpun mengurangi makna di
baliknya. Sekarang kamu liat deh....." Gw angkat kepala, menengok ke arahnya. Dia
sedikit membuka gulungan selotip di kalungnya. "Kamu inget nggak pertama aku
pasang selotip ini?" di balik gulungan selotipnya ada gulungan lain yg sangat lusuh. "Ini
selotip yg aku pake waktu pertama nyambung kalung ini, selotip yg aku minta dari kamu.
Aku nggak pernah ngelepasnya. Cuma aku dobel aja di luarnya, dan itu yg sering aku
ganti......" "Kenapa Va......?" gw sedikit terisak. "Kenapa kamu masih inget dengan jelas
semua itu?" "Emang kamu udah lupa?" dia balik tanya. "Aku selalu inget kok.
Samasekali nggak bisa dilupain. Lagian, setiap kali kita pengen ngelupai sesuatu, justru
saat itu kita mengingatnya. Iya kan?" Gw usapi airmata yg makin banyak jatuh. "Kamu
kok sekarang jadi mellow?" Meva berkomentar. "Ini pertama kalinya aku liat kamu
nangis." Gw gelengkan kepala. "Aku nangis bukan karena sedih," gw berusaha
menjawab dengan jelas. "Tapi karena bahagia Va. Aku bener-bener bahagia hari ini."
Meva diam, memberi kesempatan gw berbicara. "Aku bahagia bisa ketemu kamu. Aku
bahagia liat keadaan kamu sekarang, kamu udah nunjukin dan buktiin ke aku apa yg
selalu kamu bilang soal 'pengen jadi menteri'... aku bahagia banget. Dan aku bahagia,
karena kamu nggak pernah lupa cerita tentang kita....." Dan Meva memeluk gw. Wangi
parfumnya semerbak masuk ke rongga paru-paru gw. Parfumnya masih sama dengan
yg dulu. Ternyata dia cuma sedikit nampak lain di luar, di dalamnya dia tetap Meva yg
sama yg selalu gw kenang selama ini. Gw raih punggungnya dan balas memeluk.
Hangat...... Gw tau Meva juga menangis. Kedua bahunya bergetar... ".................."
Hheeeemmmmppppphhhh...........gw nggak mau cepat-cepat ini berakhir. Gw masih
belum mau melepaskan pelukan ini. Sebagian hati gw mulai menyesali kebodohan diri
gw di waktu yg lalu. "Mafin aku Va," kata gw. "Maaf buat apa".." Gw terdiam. Masih
sama seperti dulu, gw speechless. "Ada yg nggak bisa aku ungkapin ke kamu waktu
itu..." gw mencoba ungkapkan. Gw tahu ini satusatunya waktu yg tepat buat
mengatakan ini. "Apa itu"....." Lama kami terdiam. Waktu seperti berhenti berputar.
Diam-diam gw berharap waktu memang benarbenar berhenti. "Aku sayang kamu
Vaa......" akhirnya, gw mampu mengatakan itu. Sebuah kalimat yg selama bertahun ini
selalu takut untuk gw ungkapkan. Setelah kepergiannya, gw selalu ingin mengatakan ini.
Dan sekarang, akhirnya gw bisa melakukannya.! Meski mungkin sudah
terlambat............. 2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
"Itulah alasan kenapa aku ada di sini.." Gw tertawa pelan. "Kamu masih suka pake
kalimat itu?" gw ingat momen waktu kami 'lomba ngerayu' di kamer gw. "Cuma itu stok
aku soalnya..." Kami tertawa. Melepaskan pelukan, lalu sama-sama usapi airmata di
pipi kami. "Kamu masih inget bintang keberuntungan yg pernah kamu kasih ke aku?"
Tanya gw. Meva sedikit terkejut, lalu tertawa kecil. "Ohh, kamu masih nyimpen ya?"
tanyanya senang. "Iya donk. Kan dulu kamu minta aku jaga baik-baik bintang itu."
"............." "Ini," gw mengeluarkan sebuah gantungan kunci dari dompet gw. "Seperti yg
pernah kamu bilang dulu, tiap aku kangen sama kamu, aku selalu liat bintang ini. Tapi
kamu kok nggak pernah muncul yaaa..?" gw sedikit becanda. Dan kami pun tertawa.
"Aku pikir kamu udah buang bintang itu." "Enggak lah. Buat aku, ini juga salahsatu saksi
sejarah. Semua yg pernah kita lalui, terangkum dalam satu bintang ini......" Gw
menunduk lemas. Saat ini rasanya gw benar-benar ingin melompat ke masa lalu. Tapi
sebuah suara menyadarkan gw. Seperti bunyi dering handphone. Dari kantong celana
Meva. Dia mengeluarkan handphone nya, yg bahkan jauh lebih mahal dan bermerek
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
dari handphone gw. Di layar nya yg lebar itu tampak foto seorang laki-laki sedang
memeluknya. "Sebentar ya aku jawab dulu," katanya pelan. "Halo sayaang," Meva
menjawab telepon. Suaranya sedikit serak."Iya ini mau balik. Enggak kok, paling jam
tujuh an nyampe rumah. Iya iya biar bibi aja dulu yg ngurusin." Dan dia mengobrol
sekitar dua menit dengan si penelepon sebelum menutup telepon dan memasukkan
handphone nya ke saku baju. "Maaf yah, tadi suami aku...." kata Meva sedikit malu. Gw
mengangguk paham. "Udah berapa lama?" tanya gw. "Belum begitu lama. Baru dua
tahun kok. Dan udah punya si kecil yg cakep, mirip ayahnya lho.." dia tersenyum senang
saat mengatakan ini. "Kalo kamu gimana?" "Aku udah punya dua, cewek semua." kata
gw. "Malah udah mau tiga aja. Baru empat bulan siih. Doain aja yaah moga
lancar-lancar aja." "Oiya" Wah aku kalah produktif donk sama istri kamu! Hahaha,,,"
Epilog # 4 Gw juga tertawa. Betapa hari ini adalah hari yg menakjubkan! Gw bisa
tertawa lepas, setelah tadi berkubang dalam tangisan bersama masa lalu. Gw dan Meva
ngobrol cukup banyak sore ini. Kami samasama mengungkapkan yg selama ini hanya
bisa terpendam dalam hati. Dan sekarang, kami dengan lantangnya bertukar cerita
tentang keluarga kami masing-masing. Meva menikah dengan seorang lelaki keturunan
Belanda yg dikenalnya di gereja. Mereka sama-sama aktif dalam acara yg diadakan
organisasi kerohanian di sana. Dari sanalah kemudian mereka memutuskan mengikat
hubungan dalam status yg resmi pada Februari 2006 yg lalu. Sementara gw, gw
menceritakan wanita yg kini selalu menemani harihari gw. Tentang rumah kecil kami di
pinggiran Jakarta yg kumuh. Tentang dua buah hati gw yg lucu dan imut, yg kelak akan
jadi kebanggaan ayah dan ibunya. Juga tentang impian-impian yg belum sempat
tercapai, dan sedang kami tapaki hari-hari ini.. "Coba liat deh," Meva menunjukkan foto
anaknya di handphone nya. "Cakep banget yaaaaa.............. Aku kasih nama Prince
Mevally. Bagus nggak namanya?" "Keren banget tuh," komentar gw. "Kalo kamu, nama
anak kamu siapa" Eh, kamu beneran keliatan tua banget deh, anak aja udah dua coba!!
Hahaha..." Meva ngejek gw. "Baru juga dua ah! Masih pantes disebut bujangan.
Hehehe.." timpal gw. "Anak pertama aku kasih nama Aisyah, dan yg bungsu udah di
booking sama ibunya bahkan sebelum dia sendiri hamil, dengan nama Ratu Lanny
Fauzaty." "Waah...sesuai sama muka mereka yg cantik-cantik yah?" kata Meva sambil
melihat foto dua buah hati gw yg gw perlihatkan di handphone. Ah, dunia ini memang
unik. Dulu rasanya tabu untuk membicarakan yg namanya pernikahan dan sekarang,
kami malah sudah membicarakan soal anak-anak kami. Benar-benar aneh rasanya!
Meskipun sedikit berat, gw sadar semua memang harus berubah seiring waktu yg selalu
berlalu... Kami asyik berbincang dan tanpa sadar matahari sudah terbenam begitu
handphone gw bergetar berkali-kali menerima panggilan dari dua rekan kerja gw yg
pasti sudah sangat kesal karena ditinggal di parkiran. Meva berdiri, gw juga berdiri.
Rasanya ini sudah terlalu malam buat kami terus duduk mengobrol di sini. "Nomer HP
kamu berapa?" tanya Meva sambil menyiapkan handphone nya. "Biar nanti kita bisa
ngobrol panjang lebar lagi. Dan siapa tau kita bisa saling berkunjung ke rumah" Iya
kan?" dia tersenyum lebar. Gw menggeleng. "Kenapa" Kamu nggak mau ngasih nomer
kamu ke aku?" tanya Meva. Sejenak gw diam. "Aku cuma takut," kata gw menjelaskan.
"Aku takut aku akan meminta lebih dari ini, kalo kita tetap berhubungan dengan leluasa.
Aku nggak mau ada yg tersakiti. Aku sangat menghormati kamu dan suami kamu. Aku
juga nggak mau ngecewain istri aku. Mungkin akan lebih baik kalo kita biarkan semua
berjalan apa adanya..." Meva tampak kecewa. Dia menutup handphone nya lalu
memasukkannya lagi ke kantong celananya. "Oke, kalo menurut kamu itu lebih baik,"
katanya penuh pengertian. "Padahal aku cuma pengen bernostalgia aja sama kamu."
Dia tersenyum lebar. "Maaf, aku cuma takut..." Meva mengangguk. "Enggak papa, aku
ngerti kok." Katanya jujur. "Kamu tau kenapa tiap kenangan itu terasa indah dan manis?"
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
Meva kernyitkan dahi lalu menggelengkan kepala. "Karena dia nggak akan terulang
lagi," jawab gw. "Itu yg bikin kenangan jadi berarti..." Meva tersenyum dan dia memeluk
gw lagi. Saat itulah jauh dalam hati gw sadar, mungkin ini adalah kali terakhir gw
memeluk Meva. Maka gw biarkan diri gw menikmati tiap detik yg berlalu, sangat
perlahan. Bahkan gw bisa merasakan getaran jantungnya di dada gw. Sampai saatnya
kami lepaskan pelukan kami, saat itulah gw sadar bahwa hidup kami sekarang sudah
sempurna. Dan kesempurnaan itu jauh lebih sempurna dari sekedar cerita masa lalu.
Kami sama-sama sadar bahwa sekarang kami punya tanggungjawab kepada keluarga
kami masing-masing. Dan kami harus bisa menjaga kepercayaan yg sudah diemban
kepada kami. Semuanya telah berbeda sekarang. Gw bukan lagi teman kosannya yg
dengan leluasa keluar masuk kamarnya. Dan Meva bukan lagi bidak catur yg kecil dan
nggak berdaya. Meva sekarang adalah menteri, bagi dirinya, dan seorang istri yg baik
bagi suaminya. Tentu saja dia juga ibu yg penuh cinta untuk anaknya. Kalau dilempar
lagi ke masa lalu, rasanya nggak pernah terpikirkan akan menemukan cerita semanis
ini. Manis dan pahit, yeah tentu saja.... ".........." "Oiya, sebelum kamu pergi, ada satu
hal yg harus kamu tau,," lanjut Meva. "Apa itu?" Meva diam sejenak, mengatur nafas,
lalu bicara. "Berat buat ngomong ini, tapi aku yakin kamu harus tau. Waktu kamu
ungkapin perasaan kamu ke aku dulu," ucapnya. "Sebenernya aku lagi nggak dengerin
musik. Lagu di headset aku udah mati waktu kamu ngomong. Jadi....jadi sebenernya
aku denger dengan jelas semua yg kamu ungkapkan waktu itu........" Gw tertegun. Ingin
rasanya melompat kembali ke masa lalu dan mengulang hari itu. Tapi gw sebisa
mungkin segera menguasai diri gw. "Kenapa Va....?" "Maafin gw Ri........." "........."
"Bodoh banget yah"! Waktu itu aku bermaksud ngetes kamu," ucapnya dengan nada
menyesal. "Waktu itu aku yakin kalo kamu bener-bener sayang sama aku, kamu pasti
bakal nembak aku untuk yg ke dua
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
kalinya. Tapi......." "Tapi aku nggak pernah bisa ngungkapin itu..." sambung gw. Sangat
sakit mendengar ini. Bukan, bukan karena pengakuan Meva, tapi gw sakit karena
ternyata gw samasekali nggak pernah menyadari hal ini. Gw nggak pernah
menduganya. "Tapi," kata Meva lagi. "Sekarang aku sadar...yg namanya cinta itu nggak
melulu harus diungkapkan lewat kata-kata. Ada yg jauh lebih memahami itu........"
".........." "Di sini.............." Meva menyentuh dada gw. Hangat gw rasakan dari telapak
tangannya yg lembut merambat di dada gw. Gw terdiam tanpa bisa menahan airmata di
pipi gw. "Kamu mungkin nggak pernah mengungkapkannya Ri, tapi hati kecil aku tau.
Semua yg pernah kamu lakukan, semua yg pernah kamu berikan, dan semua yg pernah
kamu korbankan buat aku, itu jauh lebih berharga dari sekedar ungkapan cinta......" Gw
raih tangannya dan memeluknya lagi. Kali ini sangat erat. Gw sudah nggak bisa
menahan laju airmata yg terus jatuh. Wajah gw sudah sangat basah sekarang. Tapi gw
nggak peduli. Karena gw tahu, hari ini, gw mengerti sesuatu. Apapun keadaannya
sekarang, kami sama-sama punya satu tempat spesial dalam hati kami. Samasekali
nggak bermaksud mengkhianati pasangan kami saat ini, tapi apa yg sudah terjadi di
masa yg lalu tentunya nggak bisa begitu saja terabaikan. Dan gw tentunya tau batasan
yg ada. ".........." ".........." "Ri..." "Ya?" "Sejak aku pergi, berapa kali kamu dengerin
lagu Endless Love?" tanya Meva di sela isaknya, masih dalam pelukan gw. Gw
tersenyum sejenak lalu menjawab. "Selalu," jawab gw. "Setiap malam menjelang tidur,
aku selalu dengerin Endless Love." Meva tersenyum. Sedih... "Kamu tau, kenapa aku
suka banget sama Endless Love?" Gw menggelengkan kepala. "Pertama kalinya aku
denger lagu itu........waktu aku meluk kamu di halaman rumah aku. Sejak saat itu aku
suka banget lagu ini..." ".........." "So..." lanjutnya sambil melepas pelukannya. Kami
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
saling pandang. "Lagu apa yg harus aku dengerin, kalo aku kangen kamu?" Gw balas
tersenyum. Menatap awan di langit selama beberapa detik, lalu menjawab. "Over The
Rainbow," kata gw pelan. "Aku selalu suka sama lagu itu." Meva tersenyum lagi lalu
usapi airmatanya yg kembali jatuh... Dan sore itu jadi sore yg nggak pernah terlupakan
di hidup gw. Saat semua kerinduan terobati. Saat semua pertanyaan akhirnya terjawab.
Saat semua pengakuan akhirnya terungkapkan. Dan saat semua mengerti bahwa ada
batasan antara masa lalu dan masa kini. Gw nggak pernah sedikitpun menyesali apa yg
sudah terjadi di masa lalu. Tanpa masa lalu, gw nggak akan pernah ada di sini. Dan
tanpa Meva, mungkin gw nggak akan pernah jadi gw yg sekarang. Dan sore itu, dalam
kepala gw, seperti mengalun sebuah lagu....... My love.. There's only you in my life The
only thing that's right My first love.. You're every breath that I take You're every step I
make And I I want to share All my love with you No one else will do... And your eyes
They tell me how much you care Ooh yes, you will always be My endless love... Two
hearts, Two hearts that beat as one Our lives have just begun Forever, I'll hold you close
in my arms I can't resist your charms Oh, love I'll be a fool for you I'm sure You know I
don't mind Oh, you know I don't mind 'Cause you, You mean the world to me Oh.. I know
I've found in you My endless love And yes.. You'll be the only one 'Cause no one can
deny This love I have inside And I'll give it all to you My love, My Endless Love.............
~Selesai~ 16 Juli 2011 pujangga.lama a.k.a Ari Unltold Story by Pujangga. Lama After
Part 33 /B "Eh eh Ri, sini dulu," gw yg baru balik dari beli mie ayam dicegat Meva di
ujung tangga. "Ada apaaan?" gw menghampiri dengan malas. Dan kemudian terjadilah
percakapan di ujung tangga. "Lo abis dari mana?" dia melirik bungkusan berisi mie
ayam dan es teh manis di tangan kiri gw. "Dari rumah Pak RT." gw jawab ngasal. "Loh,
tapi kok bawa gituan" Itu apa?" "Mie ayam sama es teh manis." "Sejak kapan Pak RT
jualan mie ayam" Ngarang aja lo." "Sejak kapan juga gw bilang Pak RT jualan mie
ayam?" "Nah itu apa?" "Ini gw beli dari tukang mie ayam, yg kebetulan lagi mangkal di
depan rumahnya Pak RT. Yg di depan lagi nggak jualan soalnya jadi gw cari yg lain."
"Oooh..." dia ngangguk bego. "Eh tunggu dulu, gw masih penasaran sama yg kemarin."
"Soal apa?" gw juga penasaran. "Itu, soal sesuatu yg mau lo kasih ke gw tapi nggak jadi.
Apaan sih emangnya" Lo mau kasih gw apa?" dengan pandangan menyelidik. "Oh
itu...kemarin gw beliin lo stoking Va, warnanya item putih belang gitu." "Wah lo beliin gw
stoking" Item putih?" serunya. "Macan dong gw." "Zebra dodol, kalo macan itu item
kuning." Ni anak begonya masuk stadium akhir, batin gw. "Oiya zebra! Nah terus mana
stokingnya?"" dia menyodorkan tangan. "Justru itu Va...stokingnya ilang nggak tau di
mana. Kayaknya jatoh di jalan atau gimana gw nggak tau..."
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
Sepasang Kaos Kaki Hitam Karya Pujanggalama di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yaaaah...elo sih nggak atai-ati Ri," wajahnya berubah kecewa. "Nanti gw beliin lagi
deh ya." "Eh nggak usah deh kasian elo nya." Meva gelengkan kepala. "Iya sih gw juga
tekor duit." "Dih perhitungan sekali!" dia cemberut. "Ya udah lo nggak usah beli lagi,
diganti aja sama yg lain." "Ganti" Ganti sama apa?" "Hmmm...itu tuh," dia menunjuk
bungkusan di tangan gw. "Ganti mie ayam aja ya, gw lagi laper tapi males turunnya."
"Masa diganti mie ayam" Enggak mau, gw udah capek jalan ke gang sebelah juga ah.
Gw juga laper," gw protes. "Udah nggak papa Ari...gw kan baik hati, lo nggak usah beliin
stoking baru. Tuh ganti pake mie ayam aja. Sini," sambil ngambil paksa mie ayam gw.
"Gw laper banget Ri. Makasih ya. Utang lo gw anggap lunas." Dengan senyum malaikat
dia berlalu ke kamarnya. Gw cuma bengong selama beberapa detik sebelum menyadari
lobang di dalam perut gw rasanya semakin dalam dan mulai terjadi gesekan pada
lempengan usus yg kemudian akhirnya menimbulkan bunyi keroncongan. "Va, tapi gw
juga laper..." gw setengah berteriak. "Beli lagi apa susahnya sih?"" balasnya dari dalam.
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
Sesaat kemudian pintu terbuka dan kepalanya yg tirus dihiasi rambut hitam panjang
muncul dari balik pintu. "Lagian lo tuh harusnya seneng gw cuma minta ganti mie ayam.
Udah sana ke rumah Pak RT lagi. Siapa tau sekarang dia udah jualan soto juga." Dia
nyengir tengil kemudian menghilang di balik pintu yg tertutup. Gw menghela napas
panjang sambil geleng kepala. Kelakuan elo Va. Ini serius, kayaknya biarpun gw mati
terus gw bisa reinkarnasi, gw nggak akan pernah nemuin cewek kayak lo lagi. Gw yakin
yg kayak lo tuh cuma ada satu di dunia ini. Entah dari tulang rusuk siapa lo diciptakan,
entah apa yg sedang Tuhan gariskan buat kita, gw cuma pengen suatu hari ketika lo tua
nanti, lo akan ingat ini. Pernah ada secangkir teh, hangat dan manis, diantara dua kursi
kita. Gw nggak bisa berharap lebih dari itu. Unltold Story by Pujangga. Lama After Part
41 Entah itu Februari atau awal Maret gw sedikit lupa, gw masih dalam keadaan labil.
Fisik gw sering drop. Gw terbangun dalam keadaan yg serba membingungkan. Dinding
kamar seperti berputar menghimpit tubuh. Kepala pun berdenyut-denyut menyakitkan.
Gw coba bangun, nyaris terjatuh, sebelum kemudian berjalan keluar ke kamar Gundul.
Gw ketuk beberapa kali, belum ada jawaban dari penghuninya. "Dul...Dul..." panggil gw
sedikit mengencangkan volume suara. Masih belum ada jawaban. Dan dalam keadaan
gw yg seperti itu, satu-satunya harapan tentu saja kamar seberang gw. "Apaan sih lo
ketuk pintu orang pagi buta gini?" Meva sedikit sewot membukakan pintu sambil
tangannya masih mengucek mata. "Sory Va, gw butuh bantuan lo," jawab gw memelas.
Meva memicingkan matanya berusaha melihat wajah gw lebih jelas kemudian bertanya.
"Bantuan apa?" "Gw lagi nggak enak badan Va. Bisa minta tolong beliin obat di warung"
Gw nggak sanggup jalan keluar Va..." antara yakin dan enggak dia bakal mau, soalnya
sudah hampir subuh waktu itu. Gw nggak yakin masih ada warung yg buka. "Duh lo itu
nyusahin deh," gerutunya. "Dari kemaren sakit mulu." "Iya Va gw juga nggak ngerti." gw
jadi nggak enak dan langsung berniat mengurungkan permintaan gw sebelum Meva
menjawab. "Yaudah bentar gw cuci muka dulu," dia berlalu ke dalam kamar tanpa
menutup pintu. "Eh Va, tapi kalo lu nggak bisa juga nggak apa-apa deh biar besok aja
gw beli sendiri," satu menit kemudian Meva keluar dengan setelan celana training
panjang dan jaket bertudung warna biru. "Tuh kan lo beneran nyusahin," dia ngambek.
"Kalo mau bilang enggak jadi ya daritadi kek, gw udah cuci muka gini juga! Udah ilang
ngantuknya!" Gw semakin nggak enak. "Udah lo tunggu di kamar aja sana, gw keluar
dulu." Langsung ngeloyor ke bawah tangga. "Makasih Va," kata gw. Meva nggak
menjawab. Suara langkah kakinya terdengar nyaring di tengah pagi yg belum membuka
matanya. Karena dingin gw putuskan kembali ke kamar, rebahan di balik selimut sambil
nunggu Meva. Jam dinding menunjukkan pukul setengah empat pagi. Karena masih
ngantuk tanpa sadar gw pun tertidur. Entah berapa lama gw tidur. Suara pintu kamar yg
dibuka Meva membuat gw terjaga. Samar-samar dari kejauhan terdengar suara azan
subuh dari salahsatu musholla. "Maaf Va ngerepotin banget," ujar gw malu. "Iya nggak
apa-apa," kata Meva tanpa nada ketus. "Maaf ya lama, di sekitar sini nggak ada yg buka
jadi gw cari sampe ke Guro deh." "Hah" Sejauh itu?" Lo jalan kaki?" gw terkejut.
"Enggak lah bodoh, gw pake ojek. Mana sanggup jalan kaki sampe ke sana?" "Wah
harusnya kalo nggak ada yg buka ya udah Va nggak usah paksain," gw semakin nggak
enak ke Meva! "Udahlah kayak sama orang lain aja," dia membuka bungkusan plastik di
tangannya. "Kok banyak banget obatnya Va?" tanya gw melihat tumpukan obat yg
keluar dari kantong plastik. "Salah elo nih, nyuruh beli obat tapi nggak bilang obat apa!
Gw kan nggak tau lo lagi sakit apa. Ya udah gw borong aja banyak, ada obat batuk, flu,
sakit kepala, demam, mencret, pokoknya lo cari sendiri deh pengen obat apa." Gw
nyengir pait. Iya gw lupa bilang minta dibeliin obat apa. "Udah tuh diminum semua aja ya
obatnya." Lanjut Meva. "Gw masih ngantuk banget. Gw tidur ya." "Makasih banget ya
Va..." "Iya. Makanya jangan jahat-jahat ke gw. Mau jadi apa coba lo tanpa gw?"
2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
cetusnya becanda. Dia tertawa kecil. Gw senyum. "Lo juga, mau jadi apa coba lo tanpa
gw?" balas gw. Kami berdua pun tertawa. "Ya udah ah gw balik ke kamar," sambil
berlalu menutup pintu. "Makasih ya Vaa.." Klik! Suara pintu kamar tertutup. Tuhan itu
baik ya Va. Dia selalu menjawab pertanyaan umatnya, bahkan untuk pertanyaan
sederhana dan gurauan sekalipun. Ribuan malam berlalu, dan akhirnya gw mengerti
jawaban pertanyaan kita. Mungkin sekarang kita tidak sedang mencoba menyesali dan
berandai-andai menciptakan dunia kita sendiri. Karena dunia yg Tuhan ciptakan buat
kita sudah mencukupi segalanya. Apa yg sudah Ia gariskan, yakini itu indah. Dia tidak
kusut dan lusuh, dia hanya sedang dalam proses menuju sebuah gambar yg cantik.
Kenangan adalah cara Tuhan menyampaikan kepada kita bahwa ada senja yg tidak
habis ditelan malam. Jika kita mau menyimpannya jauh sampai ke akar terdalam hati,
dia akan tetap ada di sana. Itulah dia, yg tidak akan habis dalam hitungan hari, bulan,
bahkan tahun. Jika kita mau menyimpannya... Surat Dari Tante Meva ke Om Ari " aku
tau kamu sayang aku, kamu pun tau aku sayang kamu. kita nggak pernah berhenti buat
saling menyayangi. selamanya. kita cuma berhenti nunjukkin sayang itu dalam bentuk
nyata. kita ganti dengan bait-bait doa, dan mungkin dalam sujud panjangmu, ada nama
aku terselip di dalamnya. terimakasih buat tahun-tahun tak terlupakan kita. terimakasih
buat filosofi pion catur. semoga kamu selalu bahagia bersama keluarga kecil kamu di
sana Ri. salam." Gw tersenyum, melipat kertasnya, dan menyelipkan itu ke dalam
sebuah 2Sepasang Kaos Kaki Hitam - pujanggalama
buku di samping cangkir teh hangat gw malam ini " and
Pembunuhan Abc 2 Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan Tirai 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama