Hardy Boys Sindikat Pencuri Mobil Bagian 1
HARDY BOYS SINDIKAT PENCURI MOBIL Franklin W. Dixon Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net ISI 1. Pencurian mobil 2. Pembajakan 3. Pendaratan darurat 4. Lolos dengan cerdik 5. Sarang komplotan 6. Tertangkap 7. Pengintaian 8. Terjebak 9. Ledakan 10. Tertawan 11. Jatuh ke laut 12. Kik balik 13. Tertolong ikan lumba-lumba
14. Menghilang secara misterius
15. Dijual: Sukucadang 16. Tertipu 17. Pak Tua 18. Penemuan mengejutkan 19. Big Boss 20. Matauang yang hilang 1. Pencurian mobil "Cepat! Habiskan sisa pizzamu!" desak Frank Hardy. "Itu Chet datang!"
Hari itu hari Sabtu siang; Frank dan adiknya Joe sedang duduk di rumah makan
"Bayport Dinner" bersama Callie Shaw dan Iola Morton. Chet, kakak Iola yang
gemuk pendek, yang terkenal pula sebagai anak yang rakus, sedang masuk bersama
seorang pemuda ramping berumur sekitar delapan-belas.
Ternyata peringatan Frank sudah terlambat! Chet sudah memergoki mereka dan
berjalan menghampiri, dengan pandangannya terarah ke kue pizza yang tinggal
setengah piring. Temannya mengikuti dekat di belakangnya. Sambil meraih sepotong pastei Chet berkata: "Wah! Peperoni dengan keju,
kegemaranku!" "Silakan," kata Joe ramah dengan menyindir.
Setelah menggigit kuenya, Chet berpaling kepada temannya. "Silakan kuenya,
Vern!" "Tidak, terimakasih!" tolak Vern sedikit tercengang.
"Chet," kata Iola memperingatkan kakaknya. "Setidak-tidaknya perkenalkanlah dulu
Vern, sebelum kau sikat makanan itu!"
"Oh maaf, tentu," sahut Chet. "Ini sepupu kami, Vern Nelson, dari Canada,"
katanya sambil menunjuk dengan kuenya. "Vern, ini Callie Shaw, Frank dan Joe
Hardy." "Vern menginap di peternakan kami," sambung Iola menjelaskan.
Setelah menelan kuenya, Chet mengambil sepotong lagi. "Matinee hari ini memutar
film horror," katanya. "Mengapa kita tidak menonton saja?"
Yang lain pun setuju. Beberapa menit kemudian keenamnya meninggalkan meja makan.
Ketika mereka sampai di tempat parkir, Vern Nelson tiba-tiba terhenyak. "Ada
orang mencuri mobilku!" teriaknya.
Sebuah sedan biru yang sangat baru sedang memutar keluar dari tempat parkir,
dikemudikan oleh seorang yang berambut merah. "Ayo, kita kejar dial" teriak Chet.
Pemuda-pemuda itu berlarian ke sedan sport milik Hardy, dan berlompatan masuk ke
dalamnya. Frank, Callie dan Vern duduk di depan, yang lain berdesakan di bangku
belakang. Beberapa detik kemudian Frank sudah membuntuti sedan biru.
Pencuri itu sudah mendahului satu blok jauhnya, tetapi tidak cepat melarikan
mobilnya. Dengan segera Frank dapat memperkecil jaraknya sejauh seperempat blok. Tetapi
lalu-lintas yang padat menghalangi mereka untuk lebih mendekat.
Rupa-rupanya si rambut merah belum sadar bahwa ia sedang dikejar. Ia tetap
menjalankan mobilnya di bawah batas kecepatan. Ia menuju ke arah bagian bawah
kota Bayport. Berangsur-angsur Frank berhasil memperkecil jarak sehingga akhirnya tinggal
tujuhbelas meter di belakangnya. Pada saat itu, rupa-rupanya si pencuri mulai
sadar bahwa ia dikejar. Tiba-tiba ia mulai menancap gas!
Di depan, lampu merah menyala. Tetapi si rambut merah menerobos dengan klakson
meraung-raung. Hampir saja ia menabrak mobil lain. Frank terpaksa menginjak rem
untuk berhenti. Meskipun tak lama kemudian lampu merah berganti hijau, tetapi mobil curian sudah
jauh lebih dari satu blok.
Frank sempat melihat pencuri membelok ke kiri, masuk ke dalam gang. Ia
mengejarnya. Tetapi ketika ia keluar lagi di perempatan jalan, sedan biru sudah tidak nampak
lagi. Sebuah truk besar beroda delapanbelas diparkir di sisi kanan, jalan. Sopirnya
sedang menutup pintu bak belakang. Joe berteriak kepadanya: "Lihat sedan biru
yang tadi ngebut?" Sopir itu memutar tubuhnya. Orangnya gemuk pendek, bertubuh kekar dan memakai
baju sport lengan pendek sehingga menampakkan gambar tatoo di kedua lengannya.
"Ngebut! Seperti kesetanan," katanya. Seraya menunjuk ke arah timur: "Ke sana."
"Terimakasih," kata Joe ketika Frank memutar haluan ke timur.
Tetapi pencuri itu tak nampak di mana pun. Mereka lalu menjelajahi beberapa
jalan simpangan untuk beberapa saat, kemudian menuju ke rumah Hardy di Jalan
Elm. Kini semua pikiran untuk menonton film sudah buyar.
Bibi Gertrude sedang berada di dapur ketika keenam pemuda itu menggerombol di
pintu belakang. Bibi Hardy, yaitu adik dari ayah anak-anak, adalah seorang yang
jangkung, kaku dan judas. Ia sedang mengeluarkan kue pastei dari oven.
"Waduh! Sedap baunya seperti buah ceri," kata Chet sambil beranjak menuju ke
tempat kue. "Bukan waktunya untuk memikirkan makanan," kata Joe. "Kita harus lapor kepada
polisi." "Polisi!" sahut bibi Gertrude mengulang. "Apakah kalian terlibat lagi dengan
segala penjahat?" "Lain kali kita ceriterakan, Bi," kata Frank berjanji, lalu beranjak menuju
ruang depan. Ia menggunakan pesawat telpon yang ada di ruang depan untuk melapor kepada
Kepala Polisi Ezra Collig. Sementara itu Fenton Hardy turun dari ruang atas.
Detektif setengah baya yang jangkung itu pernah jadi anggota polisi kota New
York. Tetapi kini ia menjadi detektif swasta yang terkenal di seluruh negeri.
"Apa yang terjadi?" Ia bertanya kepada Frank, ketika anaknya yang sulung itu
menutup kembali gagang telpon.
Frank memperkenalkan Vern Nelson kepada ayahnya, lalu menceriterakan peristiwa
pencurian mobil itu. "Sangat kebetulan," pak Hardy berkata. "Kebetulan sekali aku sedang menyelidiki
suatu jaringan pencuri mobil. Tetapi tidak di daerah ini."
"Di mana daerah operasi mereka?" tanya Joe.
"Umumnya di kota New York."
Chet berkata: "Yang aneh adalah caranya mobil itu menghilang. Benar, lampu merah
itu mengham-bat pengejaran. Tetapi kita hanya tertinggal satu blok lebih sedikit
ketika pencuri itu membelok masuk gang. Seharusnya kita masih dapat melihatnya
ketika keluar di ujung gang."
"Apa lagi setelah orang bertatoo itu memberi-tahu arah larinya," sambung Vern
Nelson. "Orang bertatoo?" tanya pak Hardy sambil mengangkat alis matanya.
"Seorang sopir truk," Frank menjelaskan. "Ia sedang menutup pintu bak belakang
truk ketika kita sampai di dekatnya."
"Seperti apa orang itu?"
"Ya, pendek gemuk. Tetapi kekar."
"Apa kamu sempat melihat gambar tatoo pada lengannya?"
Keempat pemuda dan Iola ternyata tidak memperhatikannya. Tetapi Callie berkata:
"Aku melihat lengan kanannya ketika kita melewatinya. Gambar belati dililit
ular." "Crafty Kraft!" seru detektif tua itu. "Jaringan alap-alap mobil itu pasti sudah
memencar. Sebab ia termasuk salah satu pimpinannya."
"Maksud bapak, pencuri itu bekerja sama dengan gerombolan yang bapak selidiki?"
Pak Hardy mengangguk. "Aku rasa, mobil Vern menghilang masuk dalam truk si
Kraft. Sangat mungkin sejenis truk yang pintu belakangnya dapat diturunkan menjadi
semacam titian." "Oh!" Seru Vern jengkel. "Kuharap saja dia dan si rambut merah, pencuri mobil
baruku dapat tertangkap."
"Pencuri mobil itu berambut merah?" tanya pak Hardy. "Betul!"
"Kini aku sudah pasti. Inilah gerombolan yang sedang kuselidiki," kata detektif
itu. "Red Sluice, salah seorang seniman alap-alap mobil paling cerdik di negeri ini,
bekerjasama dengan Crafty Kraft."
Pak Hardy memperhatikan penjelasan pemuda-pemuda itu tentang ciri-ciri truk,
segera menelpon Kepala Polisi Collig. Ketika ia meletakkan gagang telpon, Vern
bertanya, apa mungkin mobilnya ditemukan.
"Itu aku tidak pasti," jawab detektif dengan jujur. "Sebegitu jauh, belum pernah
satu mobil pun yang dicuri komplotan ini dapat ditemukan kembali. Barangkali
mobil-mobil curian itu dicat baru, lalu dijual di negara-negara bagian lain
dengan nomor registrasi palsu. Atau dipreteli dan dijual onderdil-onderdilnya."
"Lho, polisi kan sudah mengetahui ciri-ciri truk itu!"
Pak Hardy mengangguk. "Benar, tetapi tidak
diketahui nomor pelatnya, dan kendaraan jenis itu beratus-ratus di jalan raya."
Bibi Gertrude masuk dari dalam dapur, dan mempersilakan anak-anak muda beserta
tamunya untuk makan. Semua menerima ajakan bibi. Sesudah menelpon orangtua
masing-masing, mereka lalu menuju ke kamar makan.
Termasuk bu Hardy, sembilan orang duduk mengelilingi meja makan. Laura Hardy,
yaitu bu Hardy, adalah seorang wanita ramping menarik dan bermata biru cerah.
Segera ia dapat membuat Vern tidak malu-malu lagi; dengan ramah ia menanyakan
keluarganya dan rencananya selama tinggal di Bayport.
Vern mengemukakan bahwa ia adalah seorang piatu. Ia tinggal pada kakak perempuan
di Montreal. Seorang paman dari pihak ayahnya, -jadi tidak ada hubungannya
dengan keluarga Morton -, telah meninggal di California. Paman ini meninggalkan
untuknya berupa matauang yang sangat langka, yaitu kepingan uang lima senan seri
Kepala Liberty dari tahun 1913. Mata uang tersebut konon hanya ada lima keping
saja. Paman Gregg membelinya delapan tahun yang lalu seharga 100.000 dollar.
Tetapi matauang itu hilang secara misterius sebelum surat warisan dapat
disahkan. Kini Vern sedang dalam perjalanan menuju California untuk mengurusnya.
Sementara dalam perjalanan itu ia mampir untuk menemui keluarga Morton.
"Apakah matauang itu dicuri orang?" tanyak pak Hardy.
"Itulah yang misterius," jawab Vern. "Menurut surat wasiat, matauang itu
seharusnya tersimpan dalam sebuah safe-box pada sebuah bank di Los Angeles.
Tetapi ketika safe-box itu dibuka, ternyata matauang itu tidak ada. Padahal
hanya paman Gregg seorang yang mempunyai kuncinya. Dan menurut catatan yang
terdapat di ruang besi bank itu, sejak paman menyimpan safe-box di dalamnya
delapan tahun yang lalu, ia tidak pernah lagi masuk ke dalamnya."
"Ha," kata Chet, "nampaknya ini merupakan perkara bagus bagi anak-anak Hardy!
Tidakkah sebaiknya kita bertiga pergi ke California bersamamu?"
"Tetapi aku tak punya mobil," kata Vern.
"Kita dapat naik pesawat terbang," usul Frank.
"Apa kalian hendak melibatkan diri lagi dengan perkara kriminil?" tanya bibi
Gertrude cemas. "Haruskah itu kalian lakukan?"
"Jangan bibi cemas," kata Joe gembira. "Kita dapat menjaga diri."
"Ya, sampai sekarang! Tapi suatu saat nanti
kalian akan terlibat dalam kesulitan yang tak mudah diatasi."
"Kita akan berhati-hati," kata Frank hendak meyakinkan bibinya.
Bu Hardy bertanya: "Mengapa matauang itu hanya ada lima keping, Vern" Tahun 1913
belum begitu lama. Aku kira, aku masih menyimpan sekeping lima senan tahun 1910,
entah di laci meja yang mana."
"Matauang tahun 1913 dibuat secara khusus, dan tidak pernah digunakan untuk
peredaran," jawab Vern. "Kata orang, serombongan tamu VIP berkunjung ke percetakan uang. Dan
untuk menunjukkan kepada mereka cara membuat uang, maka dicetaklah matauang
Kepala Liberty 1913. Lalu ketika Pemerintah mengganti seri ini dengan seri
Kepala Indian, maka seri Kepala Liberty tidak dicetak lagi. Setelah pameran
tersebut matauang itu kemudian dilebur lagi, dan ternyata ada sebahagian mata
uang yang hilang ketika para tamu itu mengamat-amatinya."
"Maksudmu, dicuri?" kata bu Hardy. "Siapa saja tamu-tamu itu?"
"Semuanya orang-orang terhormat," kata Vern. "Seorang senator, seorang anggota
staf kabinet dan seorang jendral. Beberapa tahun kemudian, lima keping matauang
itu ditemukan di perkebunan
seorang jutawan terkenal. Kelima matauang itu kemudian dijual oleh perkebunan
tersebut, dan paman membeli satu keping dari padanya."
Tiba-tiba terdengar suara dentaman, yang tampaknya berasal dari ruang depan.
Frank bergegas bangkit untuk menyelidiki. Sampai dilihatnya tidak ada yang
mencurigakan, ia lalu membuka pintu depan.
Ujung sebilah belati besar tertancap di daun pintu yang tebal, memaku secarik
surat di pintu. Ditulis dengan huruf-huruf balok, surat itu berbunyi: HARDY!
BILA ANDA INGINKAN KELUARGA ANDA TETAP SELAMAT, HENTIKAN PENYELIDIKAN ANDA!
2. Pembajakan Ketika Frank berteriak karena terkejut, semua yang sedang duduk di meja makan
menghambur ke ruang depan untuk melihat apa yang terjadi.
"Aku berani bertaruh, surat ini tentu dari komplotan pencuri mobil," kata Joe
setelah membaca surat ancaman itu.
"Belum tentu," kata pak Hardy. "Itu bukan perkara satu-satunya yang sedang
kuusut. Mari kita lihat apakah penjahat itu meninggalkan beberapa sidik jari."
Dengan sehelai saputangan detektif tua itu menarik belati lepas dari
tancapannya, lalu ia bawa ke laboratoriumnya. Keempat pemuda itu mengikuti di
belakangnya, sedang kedua gadis tetap tinggal membantu bu Hardy dan bibi
Gertrude memberesi meja makan.
Sambil memegangi belati dengan sebuah sapit, pak Hardy menyapukan suatu serbuk
hitam menggunakan kwas berbulu halus. Sepasang sidik jari timbul pada gagang
belati. Pak Hardy menempelkan selapis tape yang transparan di atas sidik jari
pada gagang belati tersebut, lalu mengangkatnya dan meletakkannya pada kertas
putih yang tebal. Kemudian ia mengambil beberapa berkas map dari dalam almari arsip, lalu
mencocokkan kartu-kartu sidik jari dari dalam map itu dengan sidik jari yang
baru saja diambil dari gagang belati. Selesai mencocokkan kartu-kartu sidik jari
dari map pertama, pak Hardy menggelengkan kepala.
"Bukan dari komplotan pencuri mobil yang telah dikenal," ia berkata.
Ia meneruskan memeriksa dari beberapa map lagi tanpa hasil. Akhirnya dengan
setengah berteriak ia berkata: "Anton Jivaro! Aku tak mengira sama sekali, ia
masih berada di negeri ini. Orang mengira ia telah lari ke Canada."
"Siapa Anton Jivaro itu?" tanya Frank.
"Pasien rumah sakit jiwa yang melarikan diri. Orang yang cerdik, tetapi sinting.
Ia menganggap dirinya Maharaja dari Kashmir. Kebiasaannya yang buruk ialah
membajak pesawat untuk menerbangkannya ke India. Pernah aku menangkapnya satu
kali, karena itulah aku miliki sidik jarinya."
"Kukira ada baiknya bila lampu luar dinyalakan malam ini; demikian juga alat
tanda bahaya," kata Joe. "Yaitu untuk menjaga bila Jivaro datang lagi melempar
pisau." "Usul yang bagus," kata pak Hardy.
Ketika mereka kembali masuk dapur, bibi Gertrude tampak ketakutan setelah
mengetahui si pelempar pisau belati adalah orang gila.
"Kita semua akan dibunuhnya pada waktu tidur," katanya. "Mengapa kalian
melibatkan diri dalam perkara demikian, Fenton?"
"Akan kupasang tanda bahaya pencuri, dan lampu luar akan kunyatakan malam ini,"
jawab kakaknya dengan meyakinkan. "Jangan khawatir, tak akan terjadi sesuatu!"
Sementara pak Hardy dan anak-anak sibuk di laboratorium, bu Hardy telah
menemukan mata uang lima senan Kepala Liberty tahun 1910 miliknya. Ia kemudian
Hardy Boys Sindikat Pencuri Mobil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperlihatkannya kepada Vern.
Setelah mengamati dengan seksama Vern berkata: "Tidak begitu berharga, ibu.
Nilainya barangkali limapuluh sen atau satu dollar saja. Aku dapat memastikan
nilainya jika kubawa kitab suciku
sekarang ini." "Kitab suci?"
"Itu, Buku Petunjuk Tahunan Mata Uang Amerika. Para penggemar matauang
menyebutnya kitab suci."
"Ada di rumah," kata Chet. Bawa dan taruhlah dalam tas jinjinganmu, bila kita
jadi terbang ke Los Angeles. Kita dapat memeriksa uang saku kita di pesawat."
Setelah berunding beberapa lama ditetapkan bahwa Frank, Joe, Chet dan Vern akan
pergi ke Los Angeles esok paginya. Mereka masing-masing sudah begitu lelah oleh
serangkaian kejadian hari itu; sementara Frank dan Joe harus mengantar pulang
tamu-tamunya dengan mobilnya. Dengan kepala penuh pikiran dan harap-cemas, kedua
anak muda itu menjadi sukar untuk tidur.
Keesokan harinya, ketika mereka sedang antri di lapangan terbang Bayport, Chet
meminta teman-temannya agar memperhatikan seorang lelaki kecil berkulit kehitamhitaman dan nampak secara sembunyi sedang membeli tiket pesawat.
"Mudah-mudahan ia kena digeledah; barangkali membawa senjata," kata Chet seperti
meramal. "Menurutku tampangnya seperti seorang pembajak."
"Kau terlalu berprasangka," kata Frank mengejek. "Itulah akibatnya kalau banyak
nonton film." Pada waktu hendak masuk ke tuang pemeriksaan mereka berdiri tepat di belakang
orang bertubuh kecil tadi. Dan ketika ia melewati detektor tanpa menimbulkan
suara pada detektor, maka hati mereka menjadi lega.
"Bagaimana pun, kukira ia tidak membawa pistol," kata Chet.
Menyusul kemudian Chet yang melewati detektor. Sebuah lampu menyala, dan
terdengar suara berdering keras. Dengan sigap dua orang petugas airport
menangkap Chet. Dan sementara seorang petugas memegang tubuhnya erat dari
belakang, yang seorang meraba saku celananya. Kemudian merogoh saku yang kiri
dan mengeluarkan sebuah kotak logam.
"Buka!" perintah petugas itu.
Dengan malu Chet menuruti perintahnya itu. Di dalam kotak logam terdapat
sejumlah matauang. "Mengapa uangmu kau bawa dalam kotak Logam?" tanya petugas itu.
"Yah, inilah celenganku," jawab Chet agak tersinggung.
Sambil bergeleng-geleng kepala petugas mengembalikan kotak logam, lalu
menyilakan Chet masuk. Ketika keempat pemuda itu berjalan menuju tangga pesawat,
Vern bertanya kepada Chet, sepupunya itu, mengapa ia membawa matauang begitu
banyak. "Aku tidak sempat memeriksanya semalam; kupikir akan dapat kulakukannya di dalam
pesawat. Kau bawa kitab sucimu?"
"Tentu. Tetapi sebenarnya apa yang kau harapkan, sih?"
"Ah, barangkali saja sekeping Lima senan Kepala Liberty 1913."
Di dalam pesawat, Frank, Joe dan Vern duduk sebaris, sedangkan Chet mendapat
tempat duduk di seberang gang, berdampingan dengan seorang wanita berambut
pirang keperakan, kira-kira berumur tigapuluhan. Di samping wanita itu, pada
kursi di bawah jendela, duduklah orang bertubuh kecil kehitam-hitaman, yang
diduga pembajak tadi. Setelah pesawat itu mengudara, Chet mengeluarkan sejumlah matauang dari dalam
kotak logamnya, dan mulai memeriksa tahun-tahunnya. Beberapa lama kemudian,
wanita berambut pirang bertanya ingin tahu: "Boleh saya tahu, apa yang anda
sedang lakukan?" "Mencari matauang seri tertentu, nyonya."
"Oooo." Frank, yang duduk di kursi pinggir di seberang gang, sambil menyeringai
memiringkan badannya berkata: "Kawanku Chet ini memang orang aneh, eh... nyonya, tetapi tidak jahat.
Jangan risaukan dia."
Wanita itu tertawa dan bertanya: "Kalian berempat berombongan?" "Betul, nyonya."
"Bagus! Marilah kita berkenalan. Perjalanan kita jauh. Saya Cylvia Nash."
"Sangat senang berkenalan," kata Frank. "Saya Frank Hardy dan kawan saya di
samping itu Chet Norton. Di kiri saya adik saya Joe Hardy dan Vern Nelson."
"Senang sekali bertemu kalian," kata Cylvia. "Kalian sedang liburan?"
"Sebenarnya tidak," sahut Chet sambil memasukkan uangnya ke dalam kantong
sakunya, lalu mengeluarkan lagi segenggam dari kotak logamnya. "Belum kenal
dengan Frank dan Joe Hardy?"
Cylvia menggeleng keheranan, sedang orang bertubuh kecil di sampingnya tegastegas memandangi mereka. "Anak-anak Fenton Hardy," kata Chet menjelaskan.
"O, detektif swasta terkenal itu!" Ia memandangi Frank dan Joe dengan kagum.
"Kalian sering membantu ayahmu, bukan" Apa sekarang juga sedang menghadapi suatu
perkara?" "Betul," kata Chet. "Tahukah, bahwa mata uang yang berharga itu hilang..."
"Sebenarnya bukan suatu perkara," sela Frank sambil menatap Chet dengan tajam.
"Ada saudara yang kehilangan sesuatu, dan kami berusaha menemukannya kembali.
Karena sudah lama tidak ke California, kami merindukan pergi ke sana."
"Benar, kita ingin berwisata," tambah Joe.
"Kalian pasti menyenangi," sambung Cylvia. "Apakah kalian juga merencanakan
berkunjung ke bagian utara?"
"Kami belum tahu," jawab Frank. "Apa nona tinggal dekat-dekat sana?"
Si tubuh kecil di bawah jendela menyela: "Maaf nona, tahukah anda bagaimana
menggunakan ini?" Ia memegang earphone untuk mendengar musik rekaman.
Sementara nona Cylvia menunjukkan cara menyambungkan earphone, Chet melanjutkan
memeriksa matauangnya. "He!" serunya tiba-tiba. "Aku menemukan sebuah Kepala Liberty tahun 1901." Dan
sambil menjulurkan badannya ke seberang gang ia berkata: "Ada harganya, Vern?"
"Lihat," kata Vern meminta.
Chet memberikan matauang itu kepada Frank di seberang gang yang lalu
meneruskannya kepada Vern. Setelah mengamat-amati mata uang lima senan itu, Vern mengeluarkan sebuah
buku merah kecil dari dalam kantong sakunya, lalu membuka-bukanya.
"Matauang ini dicetak sebanyak duapuluh enam setengah juta buah," katanya. "Bila
tulen, nilainya seratus tigapuluh lima dollar. Itu jika kaudapat menemukan
pembeli; dan ini sulit, kecuali kalau engkau seorang pedagang. Seorang pedagang
biasanya mau membeli dengan harga setengahnya."
"Katakan saja enampuluh lima dollar," kata Chet bernafsu. "Matauang ini tulen?"
Vern menggeleng. "Mutu tingkat bawah tidak diedarkan. Nilainya tujuhpuluh dua
setengah; ingat, pedagang hanya mau membeli setengahnya."
"Jadi yang ini tidak diedarkan?"
"Tidak. Nah, bagi mutu tingkat lebih atas,
pedagang berani membeli enam dollar lebih tinggi."
"Lalu ini mutu yang bagaimana?" tanya Chet dengan nada menyerah.
Setelah memeriksa lebih teliti, Vern berkata: "Ada tempat-tempat yang aus pada
matauang ini, jadi tidak dapat dinilai mulus sekali, bahkan mulus saja tidak.
Untuk mutu tingkat terbawah adalah baik sekali. Tetapi kurasa tidak juga. Kukira
ini yang tergolong baik."
"Lalu" Berapa nilainya?"
"Paling engkau hanya dapat tigapuluh sen untuk lima senan ini."
Chet meringis. "Berlagak pedagang!" katanya. Ia meraih matauang itu, lalu
memasukkannya ke dalam kotak logamnya.
Cylvia Nash yang selama itu memperhatikan, berpaling kepada Vern. "Engkau
rupanya tahu banyak tentang matauang, anak muda."
"Paman saya seorang penggemar; ialah yang telah mengajarkannya kepada saya.
Apakah anda tertarik pada numismatik?"
Ia menggeleng. "Aku tidak mengerti sama sekali masalah itu."
Tepat pada saat itu si tubuh kecil di samping Cylvia melepaskan earphone.
"Sekali lagi, terimakasih atas petunjuk untuk menggunakan ini," katanya.
"Terimakasih kembali," sahut Cylvia. "Kita belum berkenalan. Saya Cylvia Nash."
"Sangat senang," katanya dengan sopan. "Saya Maharaja Kashmir."
Chet tertegun. Untuk menyembunyikan kekagetannya, ia memberi isyarat kepada
Frank untuk pergi ke bagian belakang pesawat.
Kedua anak muda itu berpura-pura hendak pergi ke ruang istirahat. Begitu tiba di
luar jarak pendengaran dari yang lain, Chet berbisik: "Orang bertubuh kecil itu
adalah Anton Jivaro, si pembajak. Aku mendengar sendiri, ia mengatakan dirinya
Maharaja Kashmir kepada nona Nash."
Frank menatapnya. "Engkau pasti?"
"Tentu saja." "Kalau begitu, kita harus beritahu kapten pilot bahwa ada seorang yang sakit
jiwa di pesawat ini," Frank memutuskan.
"Baik. Setidak-tidaknya ia tidak membawa pestol," kata Chet. "Ia tak mungkin
menyelundupkannya lewat detektor."
Jivaro bangkit dari tempat duduknya dan melangkah melewati Cylvia Nash menuju
gang. Dengan suara lantang ia berkata: "Minta perhatian, semuanya penumpang!"
Semua percakapan terhenti dan semua penumpang berpaling ke si kecil dengan penuh
pertanyaan. Jivaro menyingkapkan bajunya dan berputar lambat-lambat sehingga
semua orang melihat enam buah tabung warna coklat diikatkan pada pinggangnya.
"Ini tabung-tabung dinamit," katanya memberi tahu. Ia lalu memegang simpul ujung
tali pendek yang terikat pada sabuknya. "Jika kutarik tali ini, semua bahan
peledak ini akan meledak."
Kesunyian meliputi seluruh isi pesawat.
"Jika semua bersikap baik, saya tidak perlu menggunakannya," sambungnya. "Saya
tak ingin mencelakakan kalian semua. Saya hanya minta diterbangkan ke tanah
tumpah darah saya. Ketahuilah, saya adalah Maharaja dari Kashmir."
Kesunyian berlanjut. Tatapan pandangan si pembajak terarah kepada pramugari yang
baru keluar dari ruang di bagian belakang pesawat.
"He, pramugari!" perintahnya. "Hantarkan saya ke kapten pesawat!" Dan sambil
memutar pandang kepada para penumpang, ia angkat lambat-lambat tangannya yang
dilibat tali. "Ingat, jangan mencoba yang tidak-tidak. Saya dapat tarik tali ini dalam
sedetik! Segalanya akan kuledakkan, bila terpaksa!"
3. Pendaratan darurat Ketika pembajak menggiring pramugari menghilang ke dalam cockpit, Cylvia Nash
berkata dengan nada tinggi: "Kashmir" Di mana itu?"
"Perbatasan utara India," jawab Frank, sambil melihat sekeliling kepada para
penumpang yang diam terpaku.
Joe mencoba mengendorkan suasana tegang. "Kakak saya banyak membaca buku-buku
tentang Timur Jauh," katanya.
"O ya" Lalu siapa Maharaja Kashmir sebenarnya?" tanya Chet.
"Tidak ada! Dahulu Kashmir adalah negara merdeka yang diperintah seorang raja
berdaulat penuh; tetapi setelah perang dunia kedua, India dan Pakistan berebut
ingin menguasainya. Pada tahun 1956 secara resmi India memasukkannya ke dalam
wilayahnya, tetapi Pakistan tetap menuntut menjadi bagian wilayahnya. Suatu
sidang PBB tahun 1919 menghapuskan kerajaan itu. Aku tak tahu, apakah maharaja pada waktu itu sekarang
ini masih hidup. Jika masih hidup, tentunya ia jauh lebih tua daripada tuan
Jivaro." "Tuan siapa?" tanya nona Nash keras-keras. Ia bersuara keras untuk mengatasi
suara teriakan beberapa penumpang di sekitarnya.
"Nama pembajak yang sesungguhnya ialah Anton Jivaro," kata Frank menjelaskan.
"Ia seorang pasien rumahsakit jiwa yang melarikan diri, dan jejaknya diikuti
ayah saya." "Apa?" seru nona Nash. "Maksudmu, kita berada di tangan seorang gila?"
Pada saat itu pintu cockpit terbuka; si pembajak bersama pramugari nampak
keluar. Kegaduhan dan teriakan di antara seluruh isi pesawat yang ketakutan, seketika
menjadi reda. Suara yang agak gemetar terdengar melalui intercom. "Di sini kapten pesawat.
Sebagaimana anda semua tahu, pesawat ini telah dibajak. Diharap agar semuanya
tetap tenang. Pembajak berjanji tidak akan mencelakakan kita apabila kita semua
mematuhi apa perintahnya. Ia mengatakan kepada saya, bahwa ia Maharaja dari
Kashmir. Saya tidak menginginkan siapa pun menjadi pahlawan untuk menaklukkan dia, sebab
ia membawa dinamit. Perintah yang saya terima adalah untuk merubah haluan dari
Los Angeles ke Miami. Di sana pesawat akan mengisi bahan bakar, dan kemudian
melanjutkan penerbangan melalui Casablanca terus ke Kashmir. Sekarang kita
sedang menuju Miami."
Si Pembajak menyambung: "Anda sekalian harus taat kepada kapten dan tetap
tenang. Semua tetap bersikap seolah-olah segalanya normal." Ia menoleh kepada
pramugari. "Bukankah kini waktunya makan siang?"
"Makan siang?" kata pramugari kebingungan. "O, betul Tuan-tuan dan nyonyanyonya, kita akan segera makan siang."
Perasaan tegang karena dalam bahaya menyebabkan hanya sedikit di antara para
penumpang yang merasakan perutnya lapar. Sedang beberapa orang karena demikian
gugupnya tidak nafsu makan sama sekali. Anak-anak Hardy hanya menco-lek-colek
makanannya; bahkan Chet kehilangan selera untuk makan. Hanya si pembajak saja
yang makan dengan lahapnya sambil berdiri di bagian belakang dari pesawat.
Sesaat setelah selesai makan, suara kapten terdengar lagi melalui intercom. "Pengawas di lapangan Miami memberitahu bahwa
daerah sekitar lapangan tertutup kabut," katanya. "Apakah Maharaja sudi ke
cockpit merundingkan tempat pendaratan yang lain?"
Jivaro melangkah mendekati pramugari dan berkata: "Pergilah, beritahu kapten
untuk melakukan pendaratan buta."
Pramugari masuk ke dalam cockpit. Ketika sebentar kemudian keluar lagi, ia
memanggil si pembajak. "Kapten ingin bertemu dengan anda."
Jivaro melangkah ke depan, tetapi ketika pramugari membuka pintu cockpit ia
menggeleng. "Aku harus tetap melihat para penumpang," katanya. "Aku bicara melalui pintu
saja." "Sangat berbahaya mendarat di Miami, Maharaja," terdengar suara kapten. "Daerah
Atlantik Selatan sepanjang pantai Teluk tertutup kabut sampai Mobile. Pengawas
lapangan menasehatkan lebih baik mendarat di New Orleans."
"Kita mendarat di Miami!" perintah pembajak. "Kecuali jika menghendaki mendarat
sekarang juga dalam keadaan pesawat berkeping-keping!"
"Tidakkah dapat kita rundingkan?"
"Tidak! Kapten punya perlengkapan untuk pendaratan dalam kabut. Gunakan!"
Kapten mengambil napas dalam-dalam. "Tutu
semua pintu, Peg," katanya kepada pramugari.
Jivaro melangkah kembali ke tempat di bagian belakang pesawat. Sekali lagi
terdengar suara kapten melalui intercom. "Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, jika anda
sekalian tidak mendengar percakapan saya dengan Maharaja, saya beritahukan bahwa
kita akan mendarat di Miami meskipun di sana berkabut. Sejam lagi kita mendarat.
Jangan khawatir. Pesawat kita memiliki perlengkapan untuk melakukan pendaratan
buta. Meskipun tidak seaman pendaratan dengan pandangan bebas, kita pasti
berhasil. Namun bagaimana pun juga, kita perlu mengambil tindakan-tindakan rutin
agar anda sekalian tidak terkocok-kocok terlalu keras apabila pendaratan kurang
mulus. Pramugari akan mengajarkan apa yang anda sekalian harus lakukan."
Dengan suara setengah berteriak, Peg berkata: "Harap singkirkan semua bendabenda tajam dari dalam saku anda. Penumpang wanita agar membuka sepatu bertumit.
Bila isyarat lampu menyala kenakanlah sabuk pengaman dan ikatlah agak longgar
sehingga anda dapat membungkuk ke depan dengan kepala di antara kedua lutut
anda. Lindungilah kepala anda dengan kedua belah tangan!"
Dengan wajah-wajah ketakutan para penumpang
mematuhi perintah pramugari. Dengan sedikit gugup Vern berbisik kepada Joe: "Apa
aman pendaratan buta itu?"
"Tak terlalu aman," jawab Joe memberengut. "Kapten berusaha mencegah agar tidak
panik. Jika pesawat terlalu rendah pada landasan pendaratan akan terjadi pendaratan
dengan perut dan pesawat akan meluncur sekitar seperempat mil. Gesekan badan
pesawat dengan landasan dapat menimbulkan kebakaran. Sebaliknya jika terlalu
tinggi pesawat dapat menabrak menara pengawas."
Frank menambahkan untuk menghilangkan kekhawatiran: "Tetapi di lain pihak banyak
pendaratan buta dilakukan tanpa goncangan sedikit pun."
Sejam kemudian lampu "kenakan sabuk pengaman" menyala, dan suara kapten
terdengar melalui intercom. "Lima menit lagi kita akan mendarat. Patuhilah
instruksi yang telah diberikan!"
Para penumpang mengikatkan sabuk pengaman, membungkuk ke depan dan melindungi
kepala dengan kedua belah tangan. Si pembajak duduk di kursi kosong di bagian
belakang pesawat, dap menjulurkan badannya di gang agar dapat mengawasi setiap
Hardy Boys Sindikat Pencuri Mobil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penumpang. Irama suara mesin berobah selagi pesawat menurun. Tiba-tiba roda-roda
pesawat menyentuh landasan dengan keras. Pesawat
mental ke atas lalu menyentuh landasan lagi untuk kemudian meluncur mulus
sepanjang landasan. Teriakan lega memenuhi ruang penumpang. Beberapa isak tangis terdengar; Chet
nampak pucat mukanya sehingga Frank khawatir jangan-jangan akan jatuh pingsan.
Ketika pesawat berhenti semua penumpang menegakkan badannya serta melihat keluar
jendela pesawat. Di luar nampak tabir putih dari kabut, Kapten berkata melalui
intercom: "Nah, Maharaja. Kita selamat mendarat. Sekarang apa yang harus
kulakukan?" Si pembajak bangkit dan bergerak ke arah cockpit serta membuka pintu. Tanpa
memasuki cockpit ia bertanya: "Apakah polisi mengurung pesawat ini?"
"Kukira demikian," jawab kapten. "Anda akan bicara dengan mereka?"
"Tidak! Saya minta mereka tetap menjauhi pesawat dan perintahkan mengisi bahan
bakar." "Pesawat ini dirancang untuk tidak terbang melintasi lautan, Maharaja," kapten
menjelaskan. "Tetapi kita dapat terbang sampai ke Casablanca bila beban
dikurangi. Jika anda melepaskan para penumpang sehingga tinggal para awak tetap
dalam pesawat, keadaan kita akan lebih baik."
Setelah berpikir sejenak, Jivaro setuju. "Baiklah.
Akan saya lepaskan sebagian besar dari para penumpang; saya hanya menyandera
lima orang. Menjadi lebih ringan jika begasi diturunkan. Nah, kerjakan itu.
Tetapi jangan coba-coba berbuat yang tidak-tidak. Jika ada seorang polisi
diselundupkan masuk menyaru kuli muatan, saya akan ledakkan pesawat bersama
penumpang." "Mereka takkan berbuat begitu," kapten meyakinkan. "Di pesawat ini hanya ada
satu pintu luar ke ruang begasi; dan tidak ada pintu masuk kemari."
"Baik. Turunkan begasi dan isi bahan bakar. Setelah itu selesai, saya akan
lepaskan semua penumpang kecuali lima orang sandera."
Beberapa waktu telah berlalu sebelum kapten memberitahu bahwa semua begasi telah
diturunkan dan pesawat telah selesai diisi bahan bakar dan siap untuk tinggal
landas. Puas karena semua perintahnya telah dikerjakan, si pembajak berjalan ke tengahtengah pesawat dan menunjuk kedua anak Hardy, Chet, Vern dan Cylvia Nash.
"Kalian berlima tinggal. Yang lain turun semua."
Begitu penumpang-penumpang mulai turun meninggalkan pesawat, Jivaro berkata
kepada Frank dan Joe: "Telah kuberitahukan ayahmu untuk tidak membuntuti aku.
Karena tak diturutinya, kau berdua harus ikut sampai akhir, di Kashmir."
Setelah semua penumpang meninggalkan pesawat kecuali para sandera dan awak
pesawat, Joe bangkit dari tempat duduknya dan melangkah melewati Frank menuju
gang. "Kau mau apa?" desis pembajak itu.
"Aku yakin kau takkan meledakkan pesawat ini. Kau sendiri akan turut mampus."
Dengan menyibakkan bajunya Jivaro meraih simpul ujung tali. "Boleh coba," ia
menantang. Beberapa saat Joe memperhatikan penuh selidik keenam tabung dinamit yang
dililitkan pada tubuh pembajak itu, dan tiba-tiba ia menangkap Jivaro dan
membantingnya di gang. Pembajak itu cepat menarik tali disusul jeritan Cylvia karena ketakutan.
4. Lolos dengan cerdik Karena ketakutan akan ledakan, para sandera dan awak pesawat berlompatan dan
berlindung di balik kursi-kursi. Ternyata tidak terjadi apa-apa!
Ketika Joe menjatuhkan diri di atas punggung pembajak di lantai gang, si tubuh
kecil bagaikan belut melepaskan diri dari tangkapan, dan kemudian melancarkan
pukulan karate pada tengkuk Joe, membuat anak muda itu terhenyak sejenak.
Kesempatan baik bagi Jivaro untuk melompat berdiri dan dengan cepat lari ke
pintu darurat. Pada waktu anak-anak yang lain menjulurkan kepala di atas
punggung kursi karena ingin tahu, Maharaja gadungan itu berhasil membuka pintu
darurat. Ia melesat keluar, dengan kedua tangannya bergantungan pada pesawat
untuk kemudian dari ketinggian beberapa meter meloncat turun ke tanah.
Frank mengejarnya ke pintu, tetapi ia tidak melihatnya lagi karena pandangan
terhalang selimut kabut yang tebal.
Sementara itu pramugari berlari memasuki cockpit dan kembali bersama kapten
pilot, co pilot serta navigator. Kapten yang bertubuh besar dan kekar berwajah
kemerahan, ketika mengetahui apa yang terjadi segera bergegas masuk kembali ke
dalam cockpit, dan melalui radio dalam pesawat itu memberitahu polisi yang
sedang mengurung pesawat tersebut.
Setelah Joe sadar kembali dari pukulan karate si pembajak, Frank menanyakan
mengapa ia begitu berani ambil resiko menubruk si pembajak.
"Aku mengenali tabung yang dikatakannya dinamit itu ternyata lampu-lampu suar
jalan raya," jawab Joe menjelaskan. "Semua gertakan belaka!"
Polisi yang dipimpin oleh seorang letnan berse-ragam berlarian memasuki pesawat.
Setelah menanyai para saksimata tentang lolosnya pembajak, ia kemudian
memerintahkan anak buahnya agar daerah lapangan terbang itu dikepung serta
digeledah. Seketika itu juga para anak buah memencar ke seluruh penjuru daerah lapangan
terbang untuk melaksanakan perintah itu, dan letnan polisi itu berbalik bertanya
kepada pramugari: "Kukira pembajak memakai nama palsu; pada daftar penumpang
tercatat memakai nama apa?"
Pramugari pergi mengambil berkas daftar nama penumpang. "John Smith," katanya.
"Nama palsu," gumam letnan polisi.
"Anton Jivaro nama aslinya," kata Frank dengan sukarela.
Letnan itu berpaling kepada Frank dengan heran. "Siapa anda?"
"Frank Hardy," dan menunjuk kawan-kawannya, sambungnya: "ini adik saya Joe dan
kawan-kawan Chet Morton dan Vern Nelson."
Mengangguk tanda mengerti letnan bertanya: "Bagaimana anda tahu nama bangsat
itu?" "Ayah saya berusaha memburu dia," jawab Frank. "Ia seorang pelarian dari rumah
sakit jiwa." "Siapa ayah anda?"
"Fenton Hardy."
Letnan polisi nampak tertarik pada nama itu. "Telah banyak kudengar tentang nama
itu. Jadi anda berdua anak-anak dari Hardy yang termasyur itu?"
"Benar, kami anak-anak Hardy," kata Joe me-rendah. "Kami tak tahu
kemasyurannya." Letnan itu menyeringai. "Tolong beri saya ciri-ciri Anton Jivaro itu."
Sementra letnan polisi itu membuat catatan-catatan, anak-anak muda itu
menceritakan semua yang mereka ketahui tentang Maharaja gadungan. Saat itu
seorang sersan polisi datang melapor bahwa jejak pembajak tidak dapat ditemukan.
"Kabut begitu tebal; pembajak dengan mudah dapat lolos dari pagar betis," sersan
itu melapor. "Sekarang saya perintahkan menggeledah terminal dan hanggar."
"Sebarkan buletin lengkap," perintah letnan polisi. "Nama orang itu Anton
Jivaro." Dengan tegas ia bacakan ciri-cirinya dari dalam catatannya.
"Siap, Pak," sahut sersan dengan sikap tegak, berbalik kanan lalu pergi.
Letnan polisi berpaling kepada kapten pilot. "Anda boleh menyuruh naik para
penumpang dan meneruskan terbang ke Los Angeles."
Meskipun pesawat telah diisi bahan bakar, masih diperlukan waktu yang lama untuk
dapat berangkat. Para penumpang belum pulih dari rasa cemas, dan dengan segansegan menaiki tangga pesawat; sementara itu muatan bagasi harus dipunggah lagi.
Tidak lama setelah pesawat mengudara, Chet berkata: "Aku sedang memikirkan di
mana kiranya pembajak itu." "Kira-kira di mana?"
"Di dalam ruang bagasi!"
"Ya Allah!" seru Cylvia. "Kau pikir ia dapat membajak lagi?"
"Tidak mungkin. Selama terbang tak ada pintu masuk kabin dari ruang bagasi,"
kata Frank menghilangkan kekhawatiran. "Apa anda tak mendengar kapten berkata
demikian" Dan lagi benak fikiran Chet sering menyeleweng dari sasaran."
"Dugaanku masuk akal," kata Chet ngotot. "Di dalam kabut tebal pembajak dapat
sembunyi di bawah badan pesawat, atau juga dalam ruang tempat roda. Aku pernah
membaca seorang bocah yang menjadi penumpang gelap dalam ruang tempat roda.
Bukankah ketika barang-barang muatan dipunggah lagi Jivaro dapat menyelinap
lewat pintunya yang terbuka?"
"Dugaanku salah dalam dua hal," Joe menyela. "Pintu ruang bagasi terlalu tinggi
di atas tanah, dan petugas begasi akan memergoki dia."
"Kau salah," bantah Chet. "Pintu bagasi berupa lubang di bagian belakang pesawat
yang rendah di atas tanah, dan tidak setinggi pintu masuk untuk penumpang. Dan
lagi para petugas harus mondar-mandir memasukkan kopor-kopor itu. Mereka juga
tak menutup pintu sementara mengambil barang
muatan. Maka sangat mudah bagi Jivaro untuk menyelinap masuk."
"Apa ia dapat tahan di sana?" tanya Vern. "Maksudku apa ruang bagasi ada
pengatur tekanan udara?"
"Tentu ada," jawab Chet. "Kan muatan hewan pun ditempatkan di sana."
"Yah, tak ada jalan untuk melakukan penyelidikan ke sana sekarang," kata Frank.
"Kita tidak dapat memasuki ruang bagasi dari kabin, seperti juga Jivaro tidak
dapat masuk kabin dari ruang bagasi."
Penerbangan ke California berlangsung selamat tanpa suatu kejadian. Chet
memeriksa lagi mata uangnya, tetapi tak menemukan sesuatu yang berharga. Yang
lain berusaha bersantai untuk melakukan peristiwa tegang tadi, dan Cylvia
memejamkan mata dalam usahanya yang sia-sia untuk dapat tidur. Jam 10 malam
pesawat mendarat di lapangan terbang internasional Los Angeles.
Pada waktu anak-anak Hardy dan kawan-kawannya menuruni tangga pesawat, sebuah
gerobak merapat dekat pintu ruang begasi pesawat, dan dilayani oleh dua orang
petugas. Ketika para petugas bagasi menarik pintu agar terbuka, seorang bertubuh
kecil kehitaman meloncat keluar menimpa kedua petugas bagasi, lalu lari
melewatinya. Sebelum kedua petugas begasi sadar akan apa yang terjadi, pembajak telah
meloncat turun dari gerobak dan berlari melintas lapangan parkir pesawat menuju
pagar berantai di kejauhan.
Joe melihat lolosnya Jivaro keluar ruang bagasi itu, lalu secepatnya menuruni
tangga pesawat. "Chet benari" serunya. "Ayo kita kejar dia!"
Keempat anak muda berebut lari mengejar pembajak yang telah jauh mendahului
mereka. Ketika pembajak sampai di pagar lapangan jarak antaranya adalah 20 meter. Tetapi
Jivaro memanjat dan meloncati pagar seperti monyet saja layaknya. Ia melaju lari
menjauhi pagar, lalu meloncat naik bis yang kebetulan sedang berhenti.
Frank dan Joe tengah memanjat pagar untuk meloncat keluar lapangan ketika bis
itu bergerak berangkat. Dengan muka murung kembali menuju pesawat yang kini
dikerumuni petugas-petugas keamanan lapangan terbang. Mereka ini sedang menanyai
para penumpang. Cylvia Nash menunjuk ke empat detektif muda. "Itulah anak-anak muda gagah berani
yang mengejar pembajak ketika meloncat keluar ruang bagasi," katanya penuh
semangat. Kepala keamanan lapangan berpaling ke anak-anak Hardy. "Orang itukah pembajak
yang diberitahukan Miami?" tanyanya.
"Betul," jawab Frank. "Ia telah memanjat pagar dan lari naik bis di sudut
jalan." "Kita mencoba menghadang bis itu," kata Kepala keamanan, lalu mengumumkan
melalui walkie-talkie. Akhirnya para penumpang diizinkan meninggalkan tempat parkir pesawat, dan
keempat anak muda berjalan di belakang Cylvia ketika bersama-sama memasuki
terminal. Kemudian Cylvia mempercepat langkahnya dan disambut hangat oleh
seorang laki-laki semampai berambut merah yang rupa-rupanya telah lama menunggu.
Joe memandangi keduanya dengan rasa ingin tahu. "Aku rasa pernah melihat orang
itu sebelumnya, entah di mana," katanya dalam hati.
Ketiga kawannya yang lain pun tertarik mengamati orang tersebut.
"Tidak heran kalau ia seperti pernah kita kenal," seru Vern. "Kukira ia orangnya
yang mencuri mobilku!"
Orang semampai itu kini berjalan di belakang Cylvia sehingga punggungnya
menghadap mereka, namun keempat anak muda itu telah melihatnya dengan jelas.
"Kini jelas dialah pencuri mobil itu," kata Chet memastikan. Dan menurut ayahmu
bernama Red Sluice, bukan?"
"Betul," jawab Joe. "Ayo, kita tangkap."
"Tidak bisa," kata Frank berkeberatan. "Kita tidak mempunyai bukti-bukti. Lebih
baik kita ikuti dia. Kalian bereskan barang-barang kita, dan aku akan menyewa
mobil dan menunggu kalian di luar."
Frank bergegas melintas ruang depan menuju tempat sewa mobil, sementara yang
lain mengurus barang-barangnya. Mobil-mobil sewaan diparkir di seberang jalan.
Frank berhasil menyewa sebuah sedan empat pintu dan menunggu yang lain; ketika
mereka ini keluar dari terminal, masing-masing menjinjing kopor-kopornya.
"Barang-barang nona Nash belum keluar dari bangku berjalan," kata Joe, sementara
kawan-kawannya memuat barang-barang di mobil. "Kita masih punya waktu cukup."
Ia mengambil tempat di samping Frank sedangkan Vern dan Chet duduk di belakang.
Tidak lama kemudian nona Nash dan Red Sluice muncul; Red menjinjing sebuah kopor
besar. Mereka ini sedang menyeberang jalan menuju tempat parkir umum.
"Pintu keluar tempat parkir ada di sana," kata Joe sambil menunjuk ke depan.
"Kita ada pada posisi yang baik untuk dapat membuntuti mereka."
Tidak berapa lama kemudian, si semampai berambut merah bersama nona Nash lewat
mengendarai mobil sport dengan kap tertutup.
"Nah, itu dia! Mudah dibuntuti," kata Frank sambil memindah persneling mobilnya.
Red Sluice mengambil jalan raya lintas San Diego ke arah utara, menuju jalan
raya lintas Ventura, kemudian membelok ke timur ke arah jalan raya lintas
Hollywood. Dengan memutar ke bagian bawah kota Los Angeles, ia berhenti di muka
rumah apartemen di Parkview, tepat di seberang Taman Douglas Mac Arthur. Frank
memarkir mobilnya seperempat blok jauhnya dari rumah apartemen dan terus
mengamati Red Sluice yang mengikuti nona Nash masuk ke dalam rumah apartemen.
Ketika mereka telah tak nampak, maka Joe menyelinap keluar dari mobil. "Aku akan
melihat mereka," katanya kepada kawan-kawannya yang tetap tinggal dalam mobil,
lalu berjalan menuju gerbang di depan rumah apartemen. Ia masuk untuk segera
keluar lagi. Ketika masuk kembali ke dalam mobil Joe berkata: "Nama Cylvia tercantum di
Apartemen 2B. Nah, apa yang kita lakukan sekarang?"
"Tunggu saja sebentar!" jawab Frank.
Kira-kira lima menit kemudian Red Sluice meninggalkan rumah apartemen itu. Ia
memasuki mobil sportnya lalu berangkat meninggalkan rumah
apartemen tersebut. Frank mengikuti dengan mobilnya. Si semampai berambut merah
membawa mereka ke sebuah rumah kecil beberapa blok lagi jauhnya. Ia menghentikan
mobil sportnya di garasi terbuka yang bersambung pada rumah, lalu keluar
mengunci mobilnya dan masuk ke dalam rumah.
Frank memarkir mobilnya seperempat blok jauhnya, pada sisi seberang jalan di
tempat gelap yang tidak ada penerangan.
"Apa lagi sekarang?" tanya Joe.
"Tentu saja menunggu sebentar untuk melihat apa ia akan keluar lagi dan membawa
kita ke tempat lain," kata Frank.
"Ah sudah hampir jam sebelas sekarang," kata Chet tidak sabaran.
"Lalu?" tanya Frank.
"Berarti sudah jam 2 pagi di Bayport. Aku sudah mengantuk."
"Kalau dalam seperempat jam tak ada apa-apa, kita cari hotel," kata Frank
berjanji. Begitu Frank berucap demikian, seorang bertubuh kecil nampak berjalan sembunyisembunyi di seberang jalan. Joe dibuat tertegun dengan munculnya orang itu. "Itu
Jivaro!" katanya berbisik. Pembajak itu sedang menuju rumah yang baru saja dimasuki Red Sluice. Dengan
napas tertahan anak-anak muda memperhatikan si pembajak itu membunyikan lonceng
pintu rumah. 5. Sarang komplotan Pintu rumah dibuka dan Jivaro masuk.
"Joe dan aku akan menyelidiki sebentar," kata Frank menekan perasaan tegangnya
dan berpaling kepada Chet. "Kau dan Vern tinggal di mobil. Sebaiknya kau di
belakang setir dan selalu siap sehingga bila ada kesulitan kita dapat pergi
dengan cepat." "Oke!" Hardy dua bersaudara keluar dari mobil, menyeberang jalan lalu berjalan menuju
ke rumah itu. Mereka tidak dapat melihat ke dalam rumah karena gorden-gorden
jendela tertutup.
Hardy Boys Sindikat Pencuri Mobil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan berjalan berjingkat ke pintu mereka mencoba mencuri dengar, tetapi tak
mendengar sesuatu pun. "Kau periksa sebelah kiri, aku sebelah kanan," bisik Frank kepada adiknya.
Joe mengangguk dan keduanya lalu berpisah. Di kedua sisi rumah terdapat cahaya
lampu di balik gorden jendela, tetapi mereka tidak melihat atau mendengar
sesuatu. Mereka berdua bertemu lagi di bagian belakang rumah yang sangat gelap.
"Ada hasil?" tanya Frank berbisik.
"Nol besar!" bisik Joe.
Tiba-tiba lampu dapur menyala. Mereka melihat jendela yang bergorden itu
terbuka. Dengan berjinjit mereka mengintip ke dalam. Nampak duduk di belakang meja Anton
Jivaro, sedang Red Sluice tengah menyalakan api kompor untuk memasak air.
"Aku hanya ada kopi ekstrak," kata si semampai berambut merah.
"Itu pun boleh," jawab si bertubuh kecil.
Sluice berkacak pinggang dan memandang Jivaro dengan wajah keras. "Jika saja kau
bukan kawan lamaku, kau pasti kulaporkan. Benar kau telah lakukan sesuatu yang
besar sehingga namamu terpampang di halaman muka surat-surat kabar di seluruh
dunia, dengan usahamu membajak pesawat terbang. Justru karena ketenaranmu itu
kau mudah dilacak." "Aku hendak menagih harta pusaka nenek moyangku," kata Jivaro cemberut.
"Harta pusaka apa" Lepaskan angan-anganmu yang gila itu, Maharaja Kashmir!"
"Aku memang Maharaja. Ayahku adalah putera raja Kashmir yang terakhir, Maharaja
Hari Singh." "Ayahmu seorang pedagang mobil bekas di Brooklyn, bukan?"
"Betul ia pedagang mobil bekas, tetapi itu tidaklah berarti ia bukan putera
raja!" debat Jivaro. "Tidak sedikit bekas raja bekerja sebagai pelayan rumah makan di
New York. Nenekku dibuangdan meninggal duabelas tahun kemudian; jadi ayahkulah
yang menempati garis keturunan. Dan dengan meninggalnya ayah, akulah Maharaja."
"Telah kupelajari masalah Kashmir di perpustakaan," kata Red tidak sabaran.
"Putera satu-satunya Maharaja terakhir adalah Dr. Karan Singh, yang terpilih
menjadi presiden ketika ayahnya dipecat. Maka hentikan bualanmu, bahwa engkau
Maharaja." Air jerang sudah mendidih; Red sedu kopi ekstrak dua cangkir. Kemudian ia duduk
di meja berhadapan dengan kawannya.
"Apa rencanamu sekarang?" Ia bertanya.
"Kukira, kau mau mempekerjakan aku."
"Kau lebih sinting dari yang kusangka. Mana
aku mau ambil resiko menerima seorang sinting dalam komplotanku. Aku tak dapat
memahami alam pikiranmu; jika tetap berkhayal sebagai Maharaja, kau tak dapat
bekerja padakul" "Kau ingin aku memberitahu polisi siapa perampok bank di Boston itu?"
Red Sluice memicingkan matanya. "Kau mau memeras?"
"Katakanlah, kau pekerjakan aku sebab telah berkawan lama," kata Jivaro
mengusulkan. Sunyi beberapa saat dan tiba-tiba Red tertawa seram. "Yah, rupanya kita berdua
saling mengetahui rahasia masing-masing. Baiklah, kau boleh mulai bekerja esok
pagi. Tetapi kau harus berjanji melupakan segala ocehanmu tentang Maharaja itu."
"Aku takkan lagi mengatakan kepada siapa pun, siapa sebenarnya diriku," kata
Jivaro berjanji. "Oke! Kita berangkat esok pagi jam delapan; dan kita tidur setelah minum kopi."
Terdengar suara kucing mengeong di sebelah kanan Frank dan Joe; kedua anak muda
berpaling ke arah datangnya suara. Seekor kucing ada di belakang pintu.
Sementara itu Red Sluice bangkit dan membuka pintu. "Pus, pus, ayo masuk,"
panggilnya; maka terlihat olehnya kedua anak muda.
"Kalian siapa?" teriaknya sambil berlari hendak menangkap mereka.
Frank dan Joe merunduk mundur ke balik sudut rumah, kemudian lari dikejar Sluice
di belakangnya. Chet yang melihat mereka itu datang berlari segera menghidupkan
mesin mobilnya. Vern yang duduk di depan di samping Chet menjulurkan tubuhnya ke
belakang untuk membukakan pintu kanan belakang. Maka berlompatan masuklah Frank
dan Joe, sedang Chet menginjak pedal gas sedemikian sehingga pintu itu tertutup
sendiri. Anak-anak Hardy keduanya menengok ke belakang dan melihat Red Sluice di tengahtengah jalan mengacung-acungkan tinjunya.
"Apa yang terjadi?" tanya Chet sambil mengurangi kecepatan mobilnya ketika
membelok. "Sluice memergoki aku dan Joe waktu menguping dari balik jendela," kata Frank.
"Kalian dapat temukan sesuatu?" Vern bertanya.
"Begitulah," jawab Frank, lalu menceriterakan semua yang didengarnya. "Kita
kembali lagi besok pagi. Kita buntuti mereka ke -sarangnya, seperti dikatakan
Red sebagai pabrik," katanya menjelaskan.
Mereka lalu pergi ke sebuah hotel di bagian bawah kota, di mana mereka
mendapatkan kamar-kamar yang bersebelahan dan masing-masing kamar dilengkapi dua buah ranjang. Waktu
sudah larut malam dan keempat anak muda segera jatuh tidur lelap.
Keesokan harinya cepat-cepat mereka sarapan, lalu berangkat menuju rumah Red
Sluice. Jam tujuh tigapuluh tepat mereka parkir mobilnya di pinggir jalan di seberang
rumah Sluice. Jam delapan si semampai berambut merah dan si orang bertubuh kecil
kehitaman keluar rumah, lalu menaiki mobil sportnya berwarna merah. Ketika mobil
itu bergerak berangkat, sebuah sedan abu-abu mengikuti di belakangnya.
Frank yang memegang setir selalu menjaga jarak agar aman tidak diketahui,
sementara para pencuri menuntunnya menuju ke sebuah gudang di pinggiran daerah
Pecinan yang tua. Sluice menghentikan mobilnya di depan gudang dan Frank melewatinya untuk
berhenti beberapa puluh meter jauhnya. Melalui kaca belakang anak-anak muda itu
dapat melihat Red dan Jivaro memasuki gudang itu.
Kemudian Frank menjalankan lagi mobilnya mengitari blok dan kembali memasuki
lorong di belakang gedung tersebut. Ia meminta Chet memegang setir, sedang ia
dan Joe akan menyelidiki gudang tersebut.
Di bagian belakang gudang terdapat sebuah pintu sorong yang besar yang dikunci
dari dalam. Di sebelah pintu terdapat sebuah jendela, tingginya lebih kurang
satu seperempat meter dari tanah. Jendela itu sangat kotor untuk dpat mengintip
ke dalam gedung. Dengan secarik kertas koran Frank membersihkannya, lalu
mengintip ke dalam, yang ternyata sebuah ruang istirahat yang besar.
"Kita coba memasuki gedung melalui jendela ini," desak Joe.
Frank mengangguk setuju, lalu mendorong jendela naik ke atas. Mendapati ruang
tersebut kosong, maka kedua anak-anak Hardy itu memanjat ambang jendela dan
dengan hati-hati meloncat turun ke sebelah dalam. Dengan berjalan berjingkat
mereka melintas ke sebuah pintu, membukanya sedikit, dan mengintip ke dalam
sebuah ruangan besar seperti los gudang. Isinya lebih kurang duapuluh buah
mobil-mobil baru dan setengah baru. Sebanyak selusin pekerja berpakaian overall
sedang bekerja secara sistematik memreteli bagian-bagian dari mobil-mobil
tersebut. "Untuk apa mereka lakukan hal itu?" tanya Joe berbisik.
"Mengambil onderdil-onderdilnya," bisik Frank. "Ingat kata ayah, mereka mengecat
dengan warna baru atau memreteli onderdil-onderdilnya dan dijual di pasar
gelap." "Kau lihat Red dan kawannya si sinting?" tanya Joe.
Frank menggeleng. "Tak seorang pun menoleh ke sini untuk kukenali mukanya. Ayo
kita lihat sekeliling sebentar."
Lalu ia lebarkan sedikit celah pintu, cukup untuk menyelinap masuk. Dengan gesit
merek berlindung di balik sebuah mobil yang sebahagian telah dipreteli, dan
melihat di sekitarnya. Tampak di tengah-tengah dinding sebuah pintu di sebelah
kanan dan sebuah pintu lagi di sebelah kiri. Pintu sebelah kiri terbuka sedikit
dan ternyata berhubungan dengan sebuah kantor. Red Sluice dan Jivaro berada di
dalam kantor itu. Red rupanya sedang memperkenalkan Jivaro kepada seseorang
bertubuh besar dan tegap di balik meja.
"Orang tegap besar itu tentu pemimpin di sini," bisik Joe.
"Barangkali pemimpin gudang," jawab Frank. "Ingat kata ayah, orang bertatoo di
lengan bernama Crafty Kraft adalah salah satu tokoh pimpinan operasi, dan dialah
menjadi pimpinan pencurian mobil-mobil."
Seseorang terlihat berjalan ke pintu sebelah kanan, membukanya dan masuk. Sesaat
kemudian keluar lagi membawa sebuah kunci dan kembali ke pekerjaannya setelah
menutup pintu. "Kita lihat apa yang ada di kamar itu," usul Frank.
"Di depan mata para pekerja itu?" kata Joe menolak.
"Dengan orang sebanyak itu di sini, tak akan ada yang mengenali. Di mana
semangat petualanganmu?"
Joe mengangkat bahu. "Berani sih berani, kalau kau pun berani!"
Tak seorang pun mengenali mereka, ketika kedua anak Hardy itu melenggang ke
pintu yang tertutup. Frank membukanya sedikit dan mengintip ke dalam untuk
memastikan apa ada orang di dalamnya. Kemudian mereka memasuki kamar itu dan
menutup kembali pintunya.
Ternyata ruang itu adalah tempat mesin-mesin seperti mesin bubut, mesin serut,
mesin bor dan beberapa macam mesin lainnya. Di dinding berbagai alat perkakas
bergantungan seperti obeng, tang dan kunci-kunci lainnya.
"Mereka gunakan mesin-mesin di sini untuk membuat agar onderdil-onderdil tampak
baru lagi," kata Joe menduga-duga.
"Begitulah kira-kira," kata Frank setuju.
"Marilah kita keluar sebelum ada orang masuk mengambil perkakas."
Tetapi ajakan Joe itu sudah terlambat. Pada saat itu seorang pekerja masuk.
Orang bertubuh tinggi, kurus dan botak kepalanya. Ketika ia melihat kedua anak
muda tak diundang itu, ia mengambil sebuah kunci yang besar sebagai senjata.
"Apa kerjamu di sini?" katanya membentak. "Ini bukan tempatmu!"
6. Tertangkap Frank dan Joe menatap kunci yang diacungkan kepada mereka.
"Aku bilang, apa kerja kalian di sini?" kata orang itu sekali lagi.
"Kami, eh, kami cari pekerjaan," jawab Joe menggagap dibuat-buat, dengan harapan
dapat lepaskan diri dari kesulitan. "Pintu depan dikunci, dan tak seorang pun
menjawab ketika pintu kami ketuk; maka kami lewat pintu belakang. Kami kira
kantor menerima tukang, ternyata bukan."
Pekerja itu mengawasi mereka penuh curiga. "Kalian pikir di sini perlu tenaga
kalian?" "Kami ini montir mobil," kata Frank. "Bukankah di sini bengkel reparasi?"
Seorang pekerja lain masuk, lalu berhenti ketika melihat si kepala botak tengah
mengancam kedua anak muda dengan kuncinya.
"Ada apa?" tanyanya.
"Aku pergoki kedua orang ini berkeliling seperti mencari-cari. Mereka mengaku
mencari kerja, dan menyelonong masuk kemari. Dikira ini kantor menerima tukang."
"Menyelonong bagaimana" Pintu depan dan pintu belakang keduanya dikunci!"
"Pintu belakang terbuka," sahut Joe dengan jantungnya berdegup keras.
"Bagaimana sekarang?" tanya si kepala botak kepada temannya.
"Bawa saja mereka ke kantor, biar Big Harry saja mengurusnya."
"Oke! He kalian berdua," perintah si kepala botak sambil menunjuk pintu.
"Jalan!" Frank dan Joe tak punya pilihan lain kecuali menurut perintah. Mereka digiring
melintasi garasi besar menuju ke kantor di seberang. Di tengah jalan mereka
melihat Red Sluice dan Anton Jivaro berdiri menghadap bagian depan rumah
membelakangi mereka, sedang berbicara dengan salah seorang montir.
Di dalam kantor, orang tegap dan besar dari
balik mendongak heran ketika melihat dua orang tak diundang digelandang masuk
kantornya oleh dua orang pekerja.
"Apa-apaan ini, Slim?" tanyanya kepada si kepala botak.
"Aku pergoki kedua orang ini di kamar mesin. Mereka mengaku cari kerja, dan
mengira kamar mesin itu kantor menerima tukang."
Dengan mengernyitkan dahinya Big Harry bertanya kepada kedua anak muda itu:
"Bagaimana kalian dapat masuk kemari?"
"Lewat pintu belakang yang terbuka," kata Joe. "Siapa membiarkan pintu belakang
terbuka?" tanya Harry kepada pekerjanya setengah menuduh.
"Bukan aku," jawab Slim. "Memang aku masuk paling akhir. Kukira mereka
berdusta." "Bruce, pergi periksa pintu belakang," perintah Big Harry kepada seorang pekerja
yang lain. Frank berkata: "Pintu itu menutup dan terkunci sendiri setelah kami masuk."
Bruce berhenti di ambang pintu kantor, melihat atasannya dengan sorot mata
bertanya. "Sudah, biar!" Kata Harry tidak sabar. Dengan menatap tajam kedua anak muda:
"Siapa nama kalian?"
"Saya Joe Bayport," jawab Joe. "Ini kakak saya Frank."
Pada saat itu masuklah Red Sluice, lalu sejenak memandangi kedua anak muda dan
serunya: "Kalian mau apa di sini?"
"Kau kenal mereka?" tanya Harry.
"Tentu saja aku kenal!"
"Slim dan Bruce menemukan mereka menyelidik di kamar mesin. Siapa mereka?"
"Nama tak kutahu, tetapi mereka semalam berkeliaran di rumahku. Mereka mengintip
dari jendela belakang; kukira mau masuk rumahku," Red menjelaskan.
"Apa kau yakin kalau mereka yang semalam?" tanya Harry.
"Sudah pastil Anton dan aku sedang minum kopi di dapur, ketika kucingku mengeong
minta masuk, Kubuka pintu dan kulihat mereka karena cahaya lampu dapur menyinari
wajah mereka." "Agar lebih yakin, panggil temanmu itu!" kata Big Harry meminta.
Rasa putusasa menimpa Frank dan Joe, menyadari bahwa sekali Jivaro melihat
mereka pasti segera mengenali sebagai anak-anak Hardy. Selama komplotan itu
mengira mereka sebagai pencuri biasa, masih ada harapan akan dilepas setelah
dicaci-maki. Tetapi bila diketahui bahwa mereka adalah anak-anak seorang
detektif yang sedang berusaha membongkar komplotan pencuri mobil,
kawanan itu terancam bahaya.
Tetapi Red Sluice ragu-ragu sejenak. "Kawanku itu tidak melihatnya semalam,"
katanya mengaku. "Mereka ini telah lari sebelum kawanku mengikuti aku keluar.,
Kukejar mereka sampai mereka meloncat masuk mobil yang menunggunya dan tancap
gas lari." "Baiklah," kata Big Harry, dan berpaling kepada Frank dan Joe. "Tunjukkan surat
identitas kalian!" Kedua anak muda itu memejamkan mata. Pikir mereka, ini sama saja seperti
dikenali oleh Jivaro. Dengan nekad Joe mengelak: "Saya tidak bawa."
"Saya juga tidak bawa," sahut Frank.
"Geledah kantong pakaiannya!" perintah Harry.
Joe tetap waspada kepada pekerja yang membawa kunci di tangannya. Maka ketika
Slim mengen-dorkan tangannya turun ke pinggang dan menganggap kedua tawanan tak
akan dapat lari, tiba-tiba detektif muda itu menggaet tangannya dan merebut
kunci. Sambil melemparkannya ke dalam keranjang sampah di sudut kamar itu, ia
berteriak: "Ayo Frank, lari!" dan terus berlari hendak ke pintu.
Slim melangkah maju, lalu memukul dengan tangan kanannya. Joe menunduk mengelak,
lalu menghantam perut lawannya, dan sekali lagi ia melontarkan pukulan lurus
sehingga lawannya terhuyung ke belakang.
Sementara itu Red Sluice melontarkan pukulan panjang ke arah Frank yang ternyata
dapat dielak-kannya. Tetapi sesaat kemudian Bruce menjotos Frank tepat mengenai
rahang hingga terjatuh. Dan ketika Bruce mengejar untuk melontarkan pukulan
berikutnya, Joe melonjorkan kakinya; maka tanpa ampun lagi Bruce jatuh
terjerembab di lantai. Pada waktu Frank berdiri kembali, Red mengejarnya. Tetapi Frank mendorongnya
jatuh menimpa Big Harry yang baru saja keluar dari balik meja untuk ikut
berkelahi. Kedua pekerja bangun lagi untuk menyerang. Joe menghadang dan mendorong Slim,
dan Frank menghantam Bruce sehingga kedua pekerja bertabrakan jatuh ke lantai.
"Ayo, lari keluar!" seru Joe mengundang Frank, sambil berlari mendahului ke
pintu. Mereka sudah hampir sampai ruang istirahat ketika keempat bangsat itu bangkit
mengejar. Maka kedua anak muda segera menyelinap masuk ruang istirahat, kemudian pintu
dibanting menutup rapat dan dipalang. Mereka menuju jendela dekat pintu keluar,
memanjat jendela dan keluar, tepat ketika pintu digedor-gedor dari dalam.
Chet menghidupkan mesin mobilnya dan membukakan pintu bagi Joe dan Frank. Ketika
pintu belakang itu terbuka dan keempat bangsat itu memburu keluar, Chet sudah
menancap gas sehingga mobilnya lari meluncur.
"Kejar mereka!" teriak Big Harry.
Melalui kaca mobil di belakang, anak-anak muda itu melihat para bangsat
berlompatan masuk ke dalam mobil sedan hijau yang diparkir di halaman belakang
Hardy Boys Sindikat Pencuri Mobil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gedung. Terlihat memegang setir Big Harry, memutar mobilnya lalu tancap gas dan
mengejar. Chet mengebut dan dengan tangkas masuk ke dalam lorong, membelok ke kanan ke
perempatan jalan sebelum mobil sedan hijau nampak mengejar di belakang. Chet
membelokkan mobilnya lagi ke kiri memasuki sebuah lorong. Demikian dilakukan
berulang kali sehingga keempatnya yakin para pengejar telah kehilangan jejak.
"Sekarang bagaimana?" tanya Chet. "Kembali ke hotel?"
"Boleh!" jawab Frank lega.
Chet masih meluncurkan mobilnya dengan kecepatan tinggi beberapa menit lagi,
lalu menghentikan mobilnya di tepi jalan.
"Mana jalan ke hotel?"
"Kau tersesat?" Tanya Vern.
"Bukan aku, mobilnya yang tersesat," katanya melawak untuk mengendorkan
ketegangan. Keempatnya terbahak ketawa; kemudian melihat seputar dengan seksama. Jalan
berliku-liku yang telah diambil membuat mereka bingung.
"Kukira ke sana jalannya," kata Joe menunjuk.
Chet menjalankan lagi mobilnya, tetapi kemudian menyadari bahwa semakin dalam
tersesat di Kampung Cina. Lorong-lorong semakin sempit, sedang gedung-gedung di
kanan dan kiri lorong menjulang tinggi.
Sekilas Chet memandang ke kaca spion dan segera berseru: "Aduuuhh!"
Yang lainnya memutar badan untuk melihat ke belakang. Satu blok arah ke belakang
mereka lihat bangsat-bangsat itu membelokkan sedan hijaunya masuk ke lorong
mereka. Rupa-rupanya bangsat-bangsat itu telah menjelajahi semua lorong-lorong
di Kampung Cina, dan akhirnya bertemu juga.
Chet injak pedal gasnya, kemudian dengan kecepatan tinggi membelok kanan, lalu
ke kiri mengikuti liku-liku lorong melarikan mobilnya berzigzag seperti semula.
Tetapi sedan para pengejar semakin mendekat, dan terus mengikuti jalan yang
diambil oleh Chet. Ketika melaju sepanjang lorong sempit, Chet menghela napas: "Wah! Sebuah blok
penuh rumah makan Cina!" "Mau berhenti sebentar untuk makan?" tanya Vern bercanda. Chet diam tak
menyahut. Kemudian mereka melalui jalan dengan sebuah tanda bertuliskan: HATI-HATI!
PERBAIKAN JALAN! Dan tiba-tiba saja aspal jalan berubah menjadi kubangan lumpur, berasal
dari galian parit di sisi kiri jalan. Di sisi kanan terdapat pagar kayu yang
menjadi batas sebuah lereng enam meter lebarnya dan berujung parit yang berbatubatu. Mobil para pengejar melaju sangat cepat dan semakin mendekat, bahkan hampir
berada di samping mobil mereka.
"Mereka hendak menyerempet dan mendorong mobil kita masuk ke dalam parit, Chet,"
seru Frank memperingatkan. "Ayo, beri mereka pelajaran bagaimana seharusnya
mengemudikan mobil!"
Chet mengangguk dan tiba-tiba diinjaknya rem kuat-kuat sehingga berbunyi
berderit. Sedan hijau melesat lewat, dan dengan cepat Chet menginjak pedal gas dalam
usahanya melarikan mobilnya tepat di belakang mobil bekas pengejarnya. Dengan
bumpernya Chet mendorong mobil lawannya. Chet menambahkan kecepatan dan
menggiring mobil lawan ke depan dan ke samping. Sekarang keadaan berbalik sedan
hijau didorong masuk ke dalam parit.
Tak ayal lagi sedan hijau itu terjerumus ke dalam parit dengan radiator terbenam
dalam lumpur. Chet membanting setir ke kanan kembali untuk meluruskan mobilnya
di jalan kembali. Tetapi roda belakang merosot dalam lumpur, selip dan mobil
berubah arah ke pagar, batas sebuah lereng yang curam.
7. Pengintaian Mobil membelok tajam dengan sedikit selip tetapi menjadi lurus kembali dengan
bagian belakang menyerempet pagar. Dengan suatu kertakan gigi, Chet berjuang
untuk menguasai kemudi. Akhirnya ia berhasil menempatkan kendaraannya berjalan
di sisi kanan jalan, lalu berhenti.
"Wow, wow!" seru Vern. "Apa kalian takut seperti aku?"
"Aku sama sekali tak takut," jawab Chet dengan nada gemetar. "Aku bersyaraf
bajai" Tetapi kemudian, kehabisan tenaga, ia melorot di belakang setir dengan kepala
bersandar pada jendela. Frank memutar tubuhnya dan melihat apa yang terjadi
dengan sedan hijau. Tampak Big Harry dan Red Sluice dengan jengkel mendorongdorong mobil keluar dari lumpur. Tetapi semakin keras mereka mendorong, semakin
dalam mereka terbenam dalam lumpur.
Di kejauhan keempat anak-anak muda itu tertawa puas. Tetapi mereka tak hendak
uji kemujuran lagi, maka segera mereka menjalankan mobilnya menuju ke hotel.
Sesampai di hotel mereka berketetapan untuk menelpon pak Hardy di Bayport.
Frank memutar nomor rumahnya di Bayport, dan bibi Gertrude yang menyahut.
"Kau baik-baik?" tanyanya khawatir. "Kita lihat acara di TV tentang pembajakan
itu." "Kita semua baik, bibi. Apa ayah ada?"
"Tidak ada, ia pergi. Tugas rahasia. Pesannya agar kalian meninggalkan alamat
sekarang, agar dapat menghubungi kalian."
Frank menyebut nomor telpon hotel serta nomor kamar-kamar yang mereka sewa.
"Kalian telah temukan lima senan Vern?" tanya bibi Gertrude.
"Kami belum sempat untuk mencarinya," jawab Frank. "Mungkin akan kami mulai
mencarinya hari ini."
"Syukurlah. Bibi senang kalian hanya menghadapi suatu misteri, dan tidak
terlibat dengan kom plotan penjahat." "Terimakasih, bibi. Salam kami pada Ibu."
Ketika Frank meletakkan gagang telpon, Joe mengernyitkan alis matanya. "Ayah
tidak ada, Ayah sedang melakukan suatu tugas rahasia. Sebetulnya aku ingin
berbicara dengan ayah, agar dapat merundingkan langkah-langkah selanjutnya."
"Tak perlu," kata Chet. "Telpon saja polisi dan beritahukan alamat toko sarang
mereka." "Bukan waktunya yang tepat saat ini. Bila polisi menggerebeg toko itu, yang
tertangkap hanya teri-terinya saja. Kita inginkan kakapnya."
"Apa bukan Big Harry?" tanya Chet.
"Kuragukan hal itu!"
"Lalu" Bagaimana dapat ditemukan gembongnya?" tanya Vern.
"Kita awasi terus tempat komplotan bersarang. Kita ambil gambar siapa-siapa saja
yang keluar masuk dengan kamera saku kita," kata Joe memberi saran.
"Gagasan bagus," kata Frank setuju. "Gembong komplotan itu sekali waktu akan
muncul juga, dan bila muncul ada cukup alasan untuk kita melapor pada polisi."
Keempat anak muda itu bersepakat atas rencana yang baik tersebut. Mereka
menetapkan melakukan pengawasan terhadap toko yang menjadi sarang komplotan
secara bergiliran. Frank dan Chet mendapat giliran pertama, sedang Joe dan Vern
akan melakukan pencarian matauang lima senan Kepala Liberty.
Mereka lalu mengendarai mobilnya ke toko di Kampung Cina, dan memarkirnya sejauh
satu blok dari sana. Kemudian mereka keluar dan memeriksa daerah sekitar.
Tak seorang pun nampak ketika mereka mendekati bagian depan toko tersebut.
Sejumlah peti-peti kosong dan dos-dos bertumpukan di dekat gerbang masuk.
Sementara kawan-kawannya melakukan pengintaian, Frank mengambil sebuah dos besar
bekas pembungkus almari es. Dengan pisau sakunya ia membuat pintu di bagian
belakang dos itu, yaitu memotong bagian atas, dasar dan sisi kiri, lalu sisi
kanan dos ditekuk sedemikian sehingga pintu dapat dibuka dan ditutup. Ia
mengambil sebuah peti kosong untuk dapat dipakai sebagai tempat duduk di dalam
dos tersebut, dan membuat dua lubang setinggi mata.
"Nah, siap sudah rumah jaga untukku di depan gedung," Frank menjelaskan kepada
kawan-kawannya. "Sekarang kita cari tempat berlindung untuk Chet di belakang
gedung." Mereka jalan memutar sebuah lorong untuk mencari tempat berlindung yang aman,
ketika Frank yang berjalan di depan memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk
menghindar. Big Harry sedang memarkir sedan hijau di belakang gedung. Radiator mobil itu
penuh lumpur kering, tetapi tidak seorang pun dari penumpang-penum-pangnya
nampak cidera. Mereka keluar mobil dan memasuki gedung.
Frank terus mengawasi mereka, dan dengan hati-hati mengintai dari sudut gedung.
"Ada apa?" tanya Joe berbisik.
"Tak ada apa-apa sekarang," sahut Frank. Ia maju ke depan dan dengan lambaian
tangan ia mengajak kawan-kawannya ikuti dia. "Kawanan bangsat itu baru saja
kembali dan masuk ke dalam gedung. Tak seorang dari mereka yang cidera."
Ketika mereka dekat sedan hijau, Vern berkata: "Mereka gunakan mobil derek untuk
menarik sedan ini keluar dari lumpur. Tak mungkin mereka mampu mendorong
mobilnya. Lihat mobil dengan bagian hidung telah terbenam dalam lumpur."
Dari arah seberang terpancar seberkas cahaya, keluar dari pintu belakang sebuah
toko di seberang lorong. Ternyata pintu itu tidak terkunci, dan mereka lalu
masuk. Toko itu kosong. Sebuah jendela yang kotor tepat menghadap gedung yang
mereka hendak awasi. Chet membersihkan kaca jendela itu sebesar sebuah matauang,
dan ternyata memberikan pandangan yang jelas ke arah pintu belakang gedung.
Sambil mengulurkan kamera sakunya Joe berkata: "Ambil foto-foto semua orang yang
keluar masuk. Oke?" "Kapan kalian datang menggantikan kita?" tanya Chet.
"Secepatnya, setelah Vern dan aku selesai urusan matauang itu," jawab Joe. "Tak
akan lebih dari jam satu nanti."
"Kau maksudkan tunggu sampai sesudah makan siang?"
"Kalian tak akan mati kelaparan," kata Vern menggoda.
"He kau, si kurus ceking, bisa saja ngomong; penting sekali memelihara tubuh
berotot seperti aku ini, lho!" Chet mengejek.
"Tentu! Berotot baja, bukan main!" kata Vern berolok-olok lagi, dan kemudian
bersama kedua anak Hardy ia berjalan kembali ke depan gedung. Setelah Frank
duduk di pos penjagaannya di dalam dos almari es, maka Joe dan Vern pun kembali
menuju tempat mobilnya diparkir.
Duduk kembali di belakang setir, Joe bertanya: "Ke mana?"
"Pertama kita menemui pengacara yang dikuasakan mengurus perkebunan paman
Gregg," usul Vern. "Pengacara itu kerja di Gedung Nichols di pusat kota. Namanya
Charles Avery." Pengacara itu berkantor mewah pada tingkat tujuhbelas. Orangnya bertubuh gemuk,
setengah baya dan periang. Ia menyambut kedatangan kedua anak muda itu dengan
baik, dan mempersilakan duduk di kursi yang empuk.
"Seperti anda ketahui," pengacara itu memulai pembicaraannya, "paman anda
menghadapi kesulitan keuangan dekat sebelum meninggal. Bahkan koleksi matauang
yang besar jumlahnya itu harus dijualnya untuk melunasi tagihan-tagihan hutang
perkebunannya. Semua dijualnya, kecuali matauang lima senan Kepala Liberty tahun 1913 yang
telah diwariskan kepada anda. Sayang sekali, matauang itu telah lenyap."
"Bagaimana persisnya kejadian itu?"
"Presiden bank di mana paman anda mempunyai safe-box dapat menerangkan kepada
anda," sambung Charles Avery. "Izinkan saya menelpon Tuan Barton Laing dari Bank Bunker
agar dapat diatur pertemuan dengan anda."
Pengacara itu menelpon dan berhasil mengatur pertemuan segera antara tuan Laing
dengan kedua anak muda tersebut.
Bank Bunker hanya berjarak dua blok dengan Gedung Nichols, maka mereka
meninggalkan mobilnya di tempat parkir, lalu berjalan kaki. Barton Laing,
perawakannya jangkung, sedikit bungkuk dan berambut abu-abu, segera menjabat
tangan kedua anak muda itu, dan mempersilakan mereka masuk ke kantornya. Ketika
ketiganya telah duduk, ia bersandar ke belakang sambil menggerak-gerakkan jarijari tangannya. "Kejadian itu sangat memalukan bank kita, tuan Nelson," katanya gugup. "Tentu
saja secara hukum bank tidak harus bertanggungjawab penuh terha-. dap hilangnya
matauang itu. Bukti satu-satunya bahwa matauang itu pernah ada di safe-box dari paman anda ialah pernyataan paman anda di dalam
surat wasiatnya, bahwa pada tanggal tertentu ia menyimpan matauang itu di sini.
Tak seorang pun melihat ia menyimpannya, karena apa yang disimpan atau diambil
oleh nasabah dalam safe-box adalah urusan pribadi."
"Mengapa paman menyatakan bahwa ia menyimpannya di sana, jika ia tidak
melakukannya?" tanya Vern. "Saya tidak dapat menerangkan."
Joe menukas: "Mungkinkah ia mengambilnya tanpa mengubah surat wasiat?"
Direktur bank itu menggeleng. "Paman anda tidak pernah membuka safe-box itu
setelah menyimpan matauang tersebut."
"Bagaimana anda dapat memastikan?" tanya Vern.
"Catatan-catatan pada kita dari setiap kunjungan nasabah. Setiap kali seorang
nasabah menggunakan safe-box simpanannya, ia harus menandatangani sebuah kartu
yang tidak saja memuat hari dan tanggal, tetapi juga jamnya yang tepat. Pada
berkas catatan itu tidak terdapat kunjungan paman anda setelah tanggal yang
disebutkan dalam surat wasiat."
"Apa seorang petugas bank dapat keluar masuk ruang safe-box?" tanya Joe.
Barton Laing mengerutkan dahi. "Tidak mungkin demikian. Tidak seorang pun
kecuali nasabah bersangkutan mempunyai kunci safe-box. Tentu saja masih ada
kunci utama yang disimpan bank."
"Kunci utama?" Vern mengulang.
"Izinkan saya jelaskan prosedurnya. Untuk membuka safe-box diperlukan dua kunci,
kunci pada nasabah dan kunci utama. Kunci utama ini cocok untuk semua safe-box.
Tetapi dengan hanya kunci utama sesuatu safe-box tak dapat dibuka. Untuk membuka
sebuah safe-box kunci nasabah dan kunci utama harus digunakan bersama-sama."
Vern bertanya lagi: "Jadi, ketika paman Gregg menyimpan matauang itu adakah
seorang lain menyertainya?"
"Tidak perlu. Prosedur yang lazim ialah seorang nasabah membawa boxnya. ke dalam
ruang bertirai di dalam ruangan besi, di mana ia dapat melakukan urusannya
secara pribadi. Bila telah selesai, ia memanggil petugas ruangan besi, dan kedua kunci digunakan
bersama-sama untuk mengunci box kembali."
Kembali Joe menukas: "Bila tuan Gregg Nelson menentukan untuk tidak melakukan
urusan secara pribadi, tentunya ia dapat melakukan urusan itu di hadapan petugas
ruangan besi, bukan?"
"Memang demikian, tetapi tidak ada catatan ia berbuat demikian atau tidak."
"Apa ada catatan petugas ruangan besi yang bertugas pada hari itu?"
"Sudah tentu. Dialah yang menandatangani kartu-kartu."
"Apa petugas itu pernah ditanyakan melihat tuan Gregg Nelson menyimpan itu atau
tidak?" Barton Laing tersenyum sabar kepada Joe. "Hampir tidak mungkin seseorang petugas
ingat akan segala transaksi yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Seorang
petugas ruangan harus dapat melayani sebanyak limapuluh orang nasabah setiap
harinya." "Apa petugas ruangan besi tersebut masih bekerja pada bank ini?"
"Saya tidak tahu pasti," kata tuan Laing. "Itu dapat saya cari."
Ia mengambil pesawat telponnya, lalu minta dibawakan kartu-kartu safe-box ke
kantornya. Tidak sampai lima menit kemudian seorang petugas yang masih muda menyerahkan
kotak tempat berkas kartu-kartu yang terbuat dari logam.
"Apa saya harus tunggu?" bertanya petugas itu. Direktur bank menggeleng.
"Kauambil nanti saja."
Ketika petugas itu meninggalkan kantor direktur tersebut, tuan Laing mencaricari kartu. Akhirnya didapatinya kartu itu.
"Inilah dia," katanya puas. "Betul, ia masih bekerja di sini."
"Dapatkah ditanyakan kepadanya, apa ia masih ingat tuan Gregg Nelson menggunakan
boxnya hari itu?" kata Joe meminta.
Sambil mengangkat bahu direktur bank itu sekali lagi mengambil pesawat
telponnya. "Saya ragukan, apa ia masih ingat. Tetapi boleh dicoba." Melalui
pesawat ia berkata: "Panggilkan petugas ruangan besi ke kantorku!"
Menunggu beberapa menit, terdengar ketukan di pintu kantor direksi.
"Masuk!" panggil tuan Laing.
Pintu dibuka, menyusul kedua anak muda itu ternganga keheranan. Cylvia Nash
melangkah masuk ke dalam kantor direksi.
Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net 8. Terjebak "Hallo, anak-anak muda!" seru Cylvia memberi salam. "Apa kalian kerjakan di
sini?"
Hardy Boys Sindikat Pencuri Mobil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau kenal kedua tuan-tuan ini?" tanya Barton Laing.
"Mereka di pesawat bersama saya, "Cylvia menerangkan. "Mengagumkan, Joe hampir
dapat menaklukkan pembajak pesawat itu!"
"Kedua tuan-tuan ini ingin berbicara kepadamu tentang matauang tuan Gregg Nelson
yang hilang," kata direktur bank mengingatkan.
"Oo, apakah kau kemenakannya?" tanya Cylvia kepada Vern. "Tak kusangka
samasekali ketika berjumpa di pesawat."
Vern menyeringai. "Ya, itu biasa." "Nona Nash!" kata Barton Laing tidak sabar.
"Anda tercatat sebagai petugas yang menerima tuan Gregg Nelson di ruang besi
delapan tahu yang lalu. Menurut surat wasiatnya ia meletakkan matauang itu ke
dalam safe-box. Anda ingat kejadian itu?"
"Sudah sekian lamanya?" Ia menggeleng. "Saya bahkan tidak ingat lagi telah
menandatangani kartu tuan Nelson."
"Bukan salah anda," kata Vern dengan wajah masam. "Bagaimana pun, hanya bernilai
seratus ribu dollar."
Ketika kedua anak muda itu menuju kembali ke tempat parkir mobilnya, Joe
berkata: "Aku dapat mempercayai nona Nash, bila saja kita tak melihat orang yang
ditemuinya ketika baru turun dari pesawat di airport. Itu lho, orang yang
menjemputnya. Dan orang yang bersekutu dengan penjahat, biasanya sendiri juga
jahat. Sejauh yang kita dapat duga, dialah orangnya yang mencuri matauang
pamanmu." "Tak tahu bagaimana caranya aku memecahkan masalah ini," kata Vern putusasa.
"Jangan gampang putusasa," kata Joe menasihati. "Kita tahu di mana nona Nash
tinggal. Barangkali saja dapat ditemukan sesuatu bukti di
apartemennya." "Oke! Tetapi kita tak boleh mencuri masuk!"
"Tentu saja tidak. Aku punya rencana. Mari kita beli seperangkat pakaian
tukang." Joe lalu menjalankan mobilnya ke sebuah toko serba ada, di mana mereka masingmasing membeli seperangkat pakaian tukang. Kemudian mereka mampir ke sebuah toko
besi, dan membeli sabuk perkakas seperti biasa dipakai tukang telpon. Mereka
lalu kembali ke hotel, mengganti pakaian tukang, dan sesudah itu menuju ke rumah
Cylvia. Mereka parkir mobilnya di depan gedung apartemen, masuk ke halaman, lalu
membunyikan lonceng pintu penguasa apartemen.
Seorang nyonya tua membukakan pintu. Joe tersenyum ramah. "Perusahan telpon,
nyonya. Penghuni kamar 2B lapor telponnya rusak."
"Ia tidak di rumah," jawab nyonya tua. "Tetapi baiklah saya bukakan pintu untuk
kalian." Sambil menunjukkan jalan ke tingkat dua, nyonya tua itu membukakan pintu dengan
kunci loper. "Pasang kembali kunci jika kalian keluar," kata nyonya tua itu.
"Baiklah nyonya. Terimakasih.". Joe berjanji.
Sementara itu, di belakang toko di Kampung Cina, Chet jadi bosan mengintip
melalui lubang kecil pada jendela kotor. Ia juga sudah merasa lapar, dan
pikirannya melayang pada hot dog, hamburger dan kue pizza.
Tiba-tiba ia melihat seorang anak Cina kecil berumur sekitar empat tahun,
memegang uang kertas satu dollar. Tidak lama kemudian anak itu kembali dengan
memainkan mainan yoyo di tangan kanan, dan menjilati es krim yang dipegang di
tangan kiri. Chet tidak dapat menahan lagi dan lari keluar mengejar anak Cina
itu. "Ee, bocah!" panggilnya.
Anak itu berhenti dan memandang dengan mata terbelalak.
Chet mengeluarkan uang satu dollar. "Tolong, belikan aku es krim; nanti kuberi
kau uang setalen." "Ehh?" berucap anak itu heran.
Ketika Chet mengulangi permintaannya, anak itu menjawab dengan serentetan katakata bahasa Cina. "Tak mengerti bahasa Inggris, ya?" tanya Chet. Ia lalu menunjuk es krim yang
dipegang si anak, lalu menunjuk ke arah toko makanan yang pernah ia lihat
sebelumnya. Dengan tersenyum anak itu mengulurkan es krimnya ke mulut Chet.
"Bukan begitu. Aku tak mau minum esmu," kata Chet. "Belikan untukku satu."
Sekali lagi ia menunjuk ke arah toko makanan, dan memberikan uang satu dollar.
Anak itu tiba-tiba seperti mengerti maksudnya. Dengan tersenyum lebar ia
mengangguk-angguk dan menerima uangnya.
Ia membalik berjalan kembali ke arah toko, sementara Chet kembali menyelinap
masuk dan meneruskan pengintaiannya.
Ketika dilihatnya anak Cina itu berjalan kembali, segera ia bergegas keluar.
Dengan senyum lebar anak itu memberikan sebuah mainan yoyo dan uang kembalian
setalen, lalu menerobos dengan bahasa Cina yang ramah anak itu kemudian berjalan
pergi. Chet hanya mampu memandangi dengan perasaan pepat, sedang perutnya
keroncongan. Di depan gedung, Frank merasakan lelah duduk di atas peti di dalam dos almari
es. Perhatiannya terbangun ketika pintu toko dibuka orang, dan Red Sluice bersama
Anton Jivaro berjalan keluar menuju ke mobil sport merah yang diparkir beberapa
meter dari persembunyian Frank. Ia dapat mendengar jelas percakapan kedua
penjahat itu ketika berjalan menuju ke mobil.
"Seharusnya engkau katakan langsung padaku bahwa anak-anak Hardy bersamamu di
pesawat. Mengapa harus tunggu sampai sekarang?" kata
Red mengeluh. "Bagaimana kuketahui kalau Fenton Hardy sedang mengusut perkaramu?" tanya
Jivaro. "Lalu apa teman wanitamu tak mengatakan bahwa anak-anak Hardy itu ada di
sini, tidak ada hubungannya dengan operasi pencurian mobil?"
Keduanya memasuki mobil sport.
"Benar, ia telah mengatakan kepadaku," kata Red mengakui. "Ketika kutelpon dia
dan mendampratnya karena tidak menceriterakan bahwa anak-anak Hardy itu ada di
pesawat, maka ia mengatakan bahwa mereka ada di kota ini untuk menyelidiki
matauang yang hilang yang dimiliki seorang kawannya. Kita akan dapat keterangan
terperinci nanti bila bertemu di apartemennya."
"Apa dia dapat meninggalkan tugasnya di bank?"
"Ia katakan dapat tinggalkan kantornya pada jam makan siang. Kunci kamarnya ada
di bawah pot bunga; jadi kita dapat masuk sewaktu-waktu."
Red menjalankan mesin mobilnya, namun tidak segera berangkat karena Jivaro
menahannya. "Tunggu! Kaupikir aku perlu ikut kau?"
"Mengapa tidak?"
"Teman wanitamu ada di pesawat. Ia akan mengenali aku sebagai pembajak!"
"Ia tak akan menjerit ketakutan bertemu dengan kawan pacarnya," kata Red
menjamin. "Jangan khawatir!"
Mereka pun berangkat meninggalkan kepulan asap mobilnya.
Di apartemen, Joe dan Vern telah menggeledah di mana-mana, kecuali di kamar
tidur, tanpa dapat menemukan sesuatu. Kemudian sementara meng-geratak laci
almari pakaian, Joe melihat sebuah buku bank di bawah tumpukan kaos kaki.
Setelah dibuka, ia bersiul-siul.
"Menemukan apa?" tanya Vern.
"Buku tabungan atas nama Cylvia Nash, dibuka sepuluh tahun yang lalu. Kulihat
setoran tetap duapuluh dollar setiap bulan sampai bulan yang lalu, kecuali
satu." Vern mengangkat bahu. "Wanita yang hemat! Kau tak dapat salahkan dia karena
meleset satu setoran saja dalam sepuluh tahun."
"Tak kukatakan satu setoran yang meleset. Ia justru setor jauh lebih besar. Pada
tanggal 12 April delapan tahun yang lalu ia menyetor limapuluh ribu dollar!"
Vern meraih buku tabungan itu dari tangan Chet dan melihatnya. "Suatu kebetulan
yang aneh. Paman Gregg menyimpan matauang itu di safe-box pada tanggal 22 Maret,
jadi tepat dua minggu sebelum setoran Cylvia yang besar tersebut."
Tiba-tiba mereka mendengar kunci diputar di pintu depan. Cepat-cepat Joe
kembalikan buku tabungan di bawah kaos kaki, lalu menutup laci almari pakaian.
Kemudian ia dan Vern merapatkan badannya pada tembok kedua sisi kamar tidur.
Suara laki-laki yang dikenali Joe samar-samar terdengar berkata: "Kita santai
saja, pacarku takkan datang sebelum lewat limabelas menit."
Seseorang lain terdengar menggerutu tidak jelas. Anak-anak muda menjadi lega
hatinya, bahwa yang masuk bukan Cylvia. Di depan Cylvia mereka tak dapat
berpura-pura sebagai tukang telpon.
Joc memberi isyarat kepada Vern, lalu berjingkat menuju kamar mandi. Ketika
sudah di dalam, pintu kamar mandi cepat-cepat ditutup. Lalu mereka menuju
jendela kamar mandi. Daun jendela dengan hati-hati diangkat ke atas, lalu memandang ke luar. Mereka
berada di tingkat dua, dan tingginya dari lantai halaman yang terbuat dari beton
merupakan resiko yang terlalu besar untuk meloncat ke bawah.
"Kukira kita harus menyelinap lewat pintu depan," gumam detektif muda itu.
"Kuharap saja mereka di sana bukan orang-orang yang mengenal kita. Tetapi suara
yang satu itu kedengarannya sudah kukenal."
"Aku tak kenal," kata Vern. "Kaukira dapat lewati mereka meskipun mereka tak
kenal kita?" "Tetapi kita harus berjalan melewati mereka tanpa ragu-ragu," kata Joe pasti.
"Katakan saja telpon sudah diperbaiki. Bila mereka bertanya bagaimana bisa
masuk, kita katakan sebenarnya. Penguasa apartemen telah menyilakan kita masuk."
"Kukira lebih baik kita tunggu sampai mereka pergi," Vern mengusulkan.
Joe menggelengkan kepala. "Mereka sedang mengharapkan kedatangan seseorang dalam
waktu limabelas menit. Seorang wanita lagi. Dan barangkali Cylvia Nash. Jika
memang dia, akan habis riwayat kita!"
Vern mengangguk. "Kalau begitu Oke! Kita coba."
Joe membuka sedikit pintu kamarmandi. Dengan sengaja dibuatnya suara gemerincing
dengan perkakas dipinggangnya, lalu dengan suara keras berkata: "Telpon sudah
baik sekarang. Di mana lagi selanjutnya?"
Vern menggumam menyebutkan suatu alamat, sambil berjalan masuk ke ruang depan.
"Telpon anda....," Joe mulai berkata dan tiba-tiba terhenti suaranya ketika
dilihatnya Red Sluice dan Anton Jivaro sedang duduk di kursi.
Sluice segera melompat bangkit. "Pencuri! Pencuri itu lagi!" teriaknya.
Kedua anak muda itu berlari ke pintu, tetapi didahului Sluice yang merapatkan
punggungnya pada pintu, lalu mencabut pisau.
9. Ledakan Anton Jivaro menyusul bangkit. "Pencuri?" tanyanya. "Apa maksudmu mereka ini?"
Red menunjuk Joe dengan pisaunya. "Dia salah seorang yang hendak mencuri masuk
rumahku semalam. Kemudian dia pula yang dipergoki di kamar mesin di toko pagi
tadi. Aku tak tahu siapa yang satu itu."
"Kukatakan padamu, mereka samasekali bukan pencuri!" seru si pembajak. "Dia itu
Joe Hardy, dan yang satu lagi Vern Nelson."
Joe membisiki Vern: "Kau ambil si kecil, aku beresi Red."
"Kau mau beresi siapa?" tanya Red sambil
mengangkat pisaunya mengancam.
Tiba-tiba Jivaro menyerang Vern, mendaratkan tiga pukulan sebelum anak muda itu
bersiap. Vern terhuyung ke belakang, sedang Joe cepat melepaskan gesper sabuknya
yang berat penuh perkakas, lalu melemparkannya ke arah Red. Sebuah kunci yang
berat menimpa ujung jari kakinya.
"Aduh!" teriak Red, menari-nari pada sebelah kaki kesakitan.
Vern bangkit, menangkap Jivaro pada kedua lengannya, mengangkatnya ke atas dan
melemparkan tubuh kecil itu ke depan tepat menimpa Red sehingga keduanya jatuh
bergelimpangan. Joe membuka pintu depan dan keluar diikuti Vern di belakangnya. Dengan cepat
mereka berlari menuruni tangga, empat undakan sekaligus, sebelum Red dan Jivaro
bangkit dan mengejar. Nyonya tua penguasa apartemen sedang mengawasi tukang kebun mencabuti rumput,
ketika kedua anak muda itu melesat lari keluar halaman apartemen. Nyonya tua dan
tukang kebun memandangi mereka dengan keheranan, sehingga tidak melihat Red dan
Jivaro yang lari keluar pintu untuk mengejar. Kedua penjahat berhenti secara
tiba-tiba ketika disadari bahwa ada orang-orang yang dapat menjadi saksi mata.
Maka dengan cepat Red menyembunyikan pisaunya di belakang punggungnya sebelum
nyonya penguasa apartemen membalikkan tubuh dan melihatnya.
Kedua detektif muda lalu melompat masuk ke dalam mobil abu-abunya. Joe
menghidupkan mesin dan segera melarikan mobilnya secepat-cepatnya.
"Sluice dan Jivaro berjalan seenaknya ke mobil sportnya" kata Vern sambil
melihat melalui kaca belakang mobil. "Kukira mereka tidak berani mengambil
resiko terhadap penguasa apartemen dengan memanggil polisi."
Joe telah membelokkan mobilnya sebelum mobil sport merah mengejarnya. Ia hendak
menghilangkan jejak dengan memasuki lorong lalu secara zig-zag keluar masuk
lorong-lorong beberapa blok jauhnya. Ketika dirasanya pasti sudah berhasil lepas
dari pengejaran, mereka kembali ke hotel.
Ketika mereka sampai di kamar hotelnya, Joe meraba-raba kantong saku pakaian
kerjanya. "Aduh, celaka!"
"Ada apa?" "Kunci kamar ketinggalan di saku sabuk perkakas. Jika mereka temukan, akan
diketahui di mana kita menginap, sebab nomor pada kunci kamar menyebutkan nama
hotel." "Kunci kamarku masih ada," kata Vern. "Kau masuk saja kamarku, dan lewat pintu
penghubung masuk ke kamarmu. Tetapi kiranya kita perlu pindah hotel, segera
setelah menemui Frank dan Chet."
Setelah menanggalkan pakaian kerja, mereka berganti pakaian mereka sendiri,
kemudian mengendarai mobilnya ke gudang di Kampung Cina, menggantikan tugas
pengintaian. Dalam perjalanan mereka membeli sekantong hamburger dan minuman
ringan untuk makan siang.
Ketika lewat di depan toko, Joe memberi isyarat dengan klakson, untuk kemudian
memarkir mobilnya di tepi jalan. Kemudian mereka berjalan sepanjang blok,
disusul munculnya Frank dari dos almari es dan berjalan menemui mereka.
"Tiba giliran kalian," kata Frank mendekat. "Barangkali Chet sudah kelaparan
setengah mati." Joe menyeringai. "Kita akan obati dia," katanya melambaikan kantong hamburger.
"Kita dapat datang lebih cepat bila saja tak menemui beberapa kesulitan.
Sebaliknya ada sesuatu yang terjadi di sini?"
"Tak ada kejadian yang penting. Red Sluice dan Anton Jivaro pergi keluar dengan
mobil sportnya! Kudengar percakapan mereka sebelum berangkat. Mereka menuju ke
apartemen Cylvia Nash."
"Kalau saja itu kuketahui," kata Joe menyesali. "Kita sedang menggeledah
apartemen nona Nash ketika mereka masuk, dan kita harus berkelahi
untuk dapat lolos pergi."
"Menggeledah" Menggeledah bagaimana?"
"Ternyata Cylvia adalah petugas bank yang melayani paman Vern di ruang besi,
pada waktu ia menyimpan matauang lima senan Kepala Liberty tahun 1913 ke dalam
safe-box. Kita menemukan buku bank atas nama Cylvia Nash, yang menunjukkan
setoran uang simpanan sebesar limapuluh ribu dollar dua minggu kemudian."
"Apa barangkali dia yang mencuri matauang itu?" tanya Frank.
"Mungkin juga. Tetapi dengan sistem yang digunakan bank itu, aku tak mengerti
bagaimana ia dapat melakukannya; yang jelas waktu penyetoran itu saja sudah
mencurigakan." Bersama-sama ketiga anak muda itu berjalan dengan hati-hati memutar lewat sebuah
lorong. Chet ada di dalam gudang, mengintai lewat lubang pengintaian, sambil
bermain yoyo dan melamun. Ia membalikkan tubuhnya ketika ketiga kawan-kawannya
masuk. "Dari mana kaudapatkan mainan yoyo itu?" tanya Joe.
"Dari kesalahan komunikasi. Aku tak mau mengatakannya," katanya sambil melihat
kantong yang dibawa Joe, dari mana tercium bau yang sedap ia menjadi gembira.
'Sedap! Hamburger, ya?" "Ada lima," kata Joe. "Dua untukmu dan yang lain masing-masing satu. Minuman
soda, ada empat." Kantong lalu dibuka dan mereka mulai makan. Joe bertanya kepada Chet apa ada
sesuatu yang akan dilaporkan. Dikatakannya bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi,
kecuali sejumlah lebih kurang setengah lusin tukang keluar dari toko itu pada
tengah hari, berjalan ke arah toko makanan, dan setengah jam kemudian kembali
lagi. Chet mengira mereka itu pergi untuk makan siang.
Sesudah mereka berempat makan, mereka bertukar tugas. Sambil menerima kamera
Vern menggantikan tugas pengintaian di belakang gedung, sedangkan Joe akan
Hardy Boys Sindikat Pencuri Mobil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menempati pos penjagaan dalam dos almari es di depan gedung. Chet dan Frank
memutuskan untuk kembali saja ke hotel.
Maka ditinggalkanlah Vern di dalam gudang itu, dan kedua anak-anak Hardy bersama
Chet berjalan menuju ke mobil yang diparkir di tepi jalan. "Hati-hatilah," kata
Joe memperingatkan kawan-kawannya. "Kunci kamarku tertinggal di dalam sabuk
perkakas, sewaktu aku berusaha lepaskan diri dari bangsat-bangsat itu di
apartemen nona Nash. Bila mereka menemukannya, mereka akan tahu di mana kita menginap."
Kemudian Frank dan Chet berangkat mengendarai mobil abu-abu, sedang Joe masuk ke dalam dos almari es, duduk di atas peti
dan mulai pengintaiannya melalui lubang setinggi mata.
Satu jam berlalu tanpa ada orang masuk atau keluar toko. Joe mulai bosan, dan
kaget ketika dirasakan pintu dos di belakangnya dibuka orang.
Ia lompat bangun, membalikkan tubuhnya dengan kedua tangannya siap melontarkan
pukulan karate. Ia menjadi tenang setelah melihat Vern.
Dengan suara lirih Vern berkata: "Kau ingat sopir truk dengan tangannya bertatoo
yang menurut ayahmu bernama Crafty Kraft?"
Joe mengangguk. "Ia menempatkan truknya dengan bagian belakang dihadapkan ke pintu sorong. Aku
tak melihat jelas apa yang diturunkan dari atas truk itu, sebab bangsat itu
dengan punggungnya tepat menghalangi pandanganku. Tetapi aku berani bertaruh,
tentu mereka menurunkan mobil curian. Kukira mobilku pun ada di antaranya."
"Baiklah kita lihat bersama," usul Joe.
Berdua mereka berjalan memutar menuju lorong di belakang gedung. Truk Kraft
masih diparkir di sana, tetapi pintu sorong sudah ditutup kembali. Setelah
melihat di seputar, dan tak terlihat seorang pun. Joe mengangkat daun jendela
ruang istirahat, lalu mengintip ke dalam. Ruang itu tampak kosong,
kemudian ia memanjat masuk diikuti Vern.
Dengan hati-hati, Joe mengintip ke dalam grasi luas yang mirip gudang. Maka
ketika diketahuinya tidak ada seorang pun di sekitar itu, ia membuka pintu cukup
untuk ia dan Vern menyelinap masuk. Dengan membungkuk-bungkuk di balik mobil
yang tengah dipreteli bagian-bagiannya, mereka berlindung.
Pintu kantor terbuka, tetapi tak terlihat ada orang di dalamnya. Mereka
mengawasi ke sekeliling. Joe tidak melihat Big Harry maupun Crafty Kraft.
Tiga buah mobil yang tampak masih baru berada di sisi kanan pintu. Dengan
bergairah Vern menunjuk ke mobil biru. "Itu mobilku!" bisiknya.
Tiba-tiba mereka harus membungkuk lebih dalam, sebab seorang tukang tampak
berjalan ke arah persembunyian mereka. Untung tukang itu berlalu tanpa melihat
mereka, dan masuk ke ruang istirahat.
"Jika ia datang lagi, pasti ia akan melihat kita!" kata Joe yakin. "Kita harus
cari tempat berlindung yang lain."
"Di antara mobil-mobil itu?" usul Vern.
Joe berdiri sambil mengangguk, dan melihat ke arah tukang-tukang yang tengah
sibuk bekerja untuk memastikan bahwa tak seorang pun di
antara mereka yang melihatnya. Ia lalu mendahului berjalan berjingkat menuju ke
mobil-mobil yang baru datang, diikuti Vern di belakangnya. Pada saat yang sama
Big Harry dan Crafty Kraft bangkit berdiri tepat di hadapan mereka berdua.
Rupanya bangsat-bangsat tadi merangkak di antara mobil untuk memeriksa bagian
bawah mobil-mobil itu. Melihat kedatangan kedua anak muda itu Big Harry
berteriak mengancam: "Ah, kalian lagi-lagi!"
Dan mulailah ia menyerang anak-anak muda itu.
Joe dan Vern berlari ke pintu ruang istirahat, ternyata terkunci, dan sebelum
dapat berlari ke arah lain, Harry berhasil mencegat Joe dan Kraft menangkap
Vern. Terjadilah pergumulan, dan saling memukul. Sesaat kemudian dikejutkan oleh
kegaduhan, para pekerja berdatangan mengurung mereka. Kedua detektif muda itu
ditangkap beramai-ramai oleh para pekerja sehingga tak mampu berkutik.
"Seret keduanya ke kantorku!" perintah Big Harry.
Sementara itu Frank dan Chet membicarakan peringatan Joe, sambil menaiki
elevator hotel. Jika mereka berhasil menemukan kunci kamar Joe, jangan-jangan mereka menghadang
kita di kamar itu," kata Chet dengan was-was. "Mereka akan membawa kita ke suatu
tempat di mana orang takkan menemukan kita lagi!"
"Kau seperti bibi Gertrude saja," kata Frank. "Mereka takkan berani menculik
kita di hotel ini." "Mengapa tak berani?"
"Hotel adalah tempat yang terlalu ramai untuk suatu penculikan. Bagaimana mereka
dapat membawa kita melewati lobby" Paling-paling mereka akan memasang alat-alat
pendengar untuk dapat mengetahui rencana-rencana kita."
"Kalau begitu kita cari mikrofon yang mereka pasang tersembunyi dalam kamar
kita," kata Chet dengan lega.
Kedua anak muda itu memasuki kamarnya masing-masing dengan hati-hati dan
memeriksa setiap benda dengan teliti. Mereka pun memeriksa lubang alat pemanas,
dan membuka telpon pada mikrofon maupun pada alat pendengarnya, untuk meyakinkan
bahwa telponnya tidak disadap pada waktu pembicaraan.
"Semua bersih!" Frank menyatakan.
"Kapan kita menggantikan Joe dan Vern?"
"Tak perlu digantikan. Kita jemput saja mereka nanti jam lima. Waktu itulah
kira-kira komplotan itu menutup gudangnya. Jika sampai saat tutup gembongnya
belum muncul juga, mungkin ia takkan muncul sama sekali. Tak ada gunanya mengawasinya terus sepanjang malam. Esok pagi kita mulai lagi."
"Akur saja!" kata Chet sambil rebahan di ranjangnya.
"Aku akan mandi sebentar," kata Frank, lalu berjalan melewati kamar mandi yang
dekat pada pintu yang menghubungkan kamar itu dengan kamarnya sendiri.
Kopornya terletak di atas sebuah bangku kecil merapat dinding kamar. Frank
hendak mengambil pakaian bersih sebelum mandi. Ia baru saja membuka kopor itu,
waktu terjadi kepulan asap seketika dan pancaran sinar menyilaukan disusul
dengan ledakan dahsyat. 10. Tertawan Mendengar ledakan itu, Chet lari masuk kamar Frank. Dilihatnya ia duduk di
lantai dengan wajahnya pucat terpukau.
"Kau terluka, Frank?" tanyanya dengan nada cemas.
Frank bangkit dan berdiri. "Tidak! Aku baik!" Ia lalu berjalan menuju bangku
kecil di mana kopornya terletak. Kemudian dilihatnya isi kopor itu. "Kukira ini
hanya siasat menakut-nakuti. Ledakan itu dahsyat tetapi tidak menimbulkan
kerusakan." Ia mengambil secarik kertas yang terletak di antara sisa-sisa bom palsu. Setelah
membacanya diberikanlah kertas itu kepada Chet. Tertulis dalam huruf balok, berbunyi:
KEMBALI CEPAT KE BAYPORT! ATAU ANDA AKAN MENDAPAT LEBIH DARI INI.
"Mereka hendak bersungguh-sungguh," seru Chet gugup.
"Demikian pula kita, dong!" kata Frank dengan geram. "Kita takkan kembali ke
Bayport. Kita lakukan seolah-olah kembali ke Bayport."
"Bagaimana kita lakukan itu?" tanya Chet.
"Pertama-tama kita jemput Joe dan Vern, lalu kita bayar sewa kamar hotel. Lalu
pindah hotel." Pada jam lima kedua anak muda itu menendarai mobil abu-abunya ke toko di kampung
Cina. Frank membunyikan klakson sebagai isyarat.
Setelah itu memarkir mobilnya agak jauh ke pinggir jalan, dan mereka menunggu.
Ketika Joe dan Vern tidak juga muncul, Frank berjalan ke arah pos penjagaan yang
dibuatnya sendiri, dan memeriksa dos almari es itu, Kosong! Tetapi kameranya ada
di bawah peti kayu. Baia saja Frank hendak keluar dari dos itu, didengarnya suara deru mobil
mendatangi. Ia segera mengintai lewat lubang pengintaian. Segera dilihatnya
seorang yang nampak angker turun dari dalam mobil Lincoln Continental. Frank
mengambil kameranya dari bawah peti, dan cepat-cepat
memotret orang asing itu lewat lubang pengintaian, yaitu tept pada waktu orang
itu akan memasuki pintu toko. Kemudian ia masukkan kameranya ke dalam saku.
Ia kembali ke mobil sewaannya, bersandar pada jendela mobil itu dan berkata
kepada Chet: "Joe tidak di sana! Tetapi seseorang yang nampak angker baru saja
masuk ke dalam toko. Aku berani bertaruh ia itu gembong komplotan!"
"Lalu di mana kau kira Joe?" tanya Chet.
"Barangkali di belakang gedung bersama Vern."
Chet keluar dari dalam mobilnya, dan mengikuti Frank berjalan memutar lorong ke
belakang gedung. Sebuah truk beroda delapanbelas diparkir dengan bagian
belakangnya menghadap pintu sorong, tetapi tak ada seorang pun dari kawankawannya itu ada di tempat pengintaian.
"Barangkali lapar, dan mereka pergi cari makanan," kata Chet.
"Kita lihat ke mana perginya," kata Frank mengerutkan dahi. "Mengapa harus duaduanya yang pergi?" Mereka bergegas ke toko makanan, tetapi Joe dan Vern tidak ada di sana. Frank
menyebutkan ciri-ciri kawan-kawannya kepada pemilik toko makanan, seorang Cina,
tetapi ia tak ingat orang-orang yang menyerupai Joe dan Vern.
Kembali keluar toko itu Chet bertanya: "Bagaimana menurut pikiranmu?"
"Jangan-jangan mereka dalam kesulitan; barangkali mereka tertangkap!"
"Tak usah kita masuk sarang itu lagi."
"Mengapa tidak," kata Frank sambil berjalan memutar lorong kembali ke tempat
pengintaian di belakang gedung. "Joe dan aku telah masuk ke dalam sana tadi
pagi." "Kau akan mendapat kesulitan juga?" kata Chet. "Bukankah tempat itu penuh
penjahat-penjahat?" Sesampai di bawah jendela di belakang ruang istirahat toko itu, Frank berkata:
"Kau tinggal saja di dalam gudang itu dan teruskan pengintaian," sarannya. "Aku
akan masuk sendirian."
Jendela ternyata sudah terbuka. Frank mengamati sejenak sampai ia yakin bahwa
ruangan itu kosong, lalu memanjat masuk. Dengan hati-hati ia merayap ke pintu
yang membuka ke ruang garasi.
Mendengar suara menggerutu di belakangnya, Frank membalikkan tubuhnya dengan
cepat. Chet baru saja memanjat di ambang jendela.
"Kukira kau tak ingin ikut," bisik Frank.
"Aku memang tak ingin ikut. Tapi aku benci sendirian di gudang itu."
Dibuka sedikit pintu itu, lalu Frank mengintip ke
dalam garasi. Para pekerja sedang bebenah per-kakas-perkakasnya dan bersiap
pulang. Frank berbisik ke belakang: "Mereka akan selesai bekerja. Kita bergerak
secepatnya, sebelum mereka membasuh diri!"
Ia lalu membuka pintu cukup lebar dan menyelinap masuk, lalu berjalan di depan
Chet menuju ke tiga buah mobil baru yang diparkir di sisi kanan pintu. Mereka
membungkuk-bungkuk di antara mobil-mobil agar tidak terlihat lawan.
"Itu mobil Vern," desis Chet sambil menunjuk ke arah sedan biru di sebelah kiri.
'Tentu baru saja dibawa kemari dengan truk yang di luar tadi."
"Jadi, Kraft ada di sekitar sini entah di mana," jawab Frank dengan suara berat.
Kedua anak muda itu meninggalkan ruang istirahat tepat pada waktu para pekerja
mulai memasuki ruang itu hendak membasuh diri. Frank dan Chet bersembunyi sampai
orang terakhir selesai membasuh tubuhnya.
Dan bila ruang garasi yang luas itu sudah kosong ditinggalkan para pekerja,
Frank bangkit dari sikap membungkuk dan mengawasi sekeliling, lalu berjalan
berjingkat ke arah kantor. Melalui pintu kantor yang terbuka, ia dapat melihat
Big Harry duduk di balik meja kerjanya, bercakap-cakap dengan dua orang yang
duduk di seberang meja. Seorang di antaranya adalah sopir truk yang bertatoo di lengannya, dan yang oleh
Fenton Hardy dikatakan sebagai salah satu wakil pimpinan komplotan pencuri
mobil, bernama Crafty Kraft. Yang lain tampangnya angker, baru saja datang
dengan mobil Lincoln Continental.
Frank mengundurkan diri bersembunyi di antara ketiga mobil tadi, dan memberi
isyarat kepada Chet untuk mengikutinya. Dengan tak menimbulkan suara mereka
merambat sepanjang dinding belakang, lalu memutar ke arah pintu kantor. Mereka
berhenti di balik pintu sangat dekat sehingga mendengar semua percakapan di
dalam kantor itu, tanpa dapat dilihat dari dalam.
Suara yang diduga Frank berasal dari orang ber-tampang angker mengatakan: "Jika
aku boleh bertanya, siapa mereka-mereka itu?"
"Menurut identitasnya mereka itu Joe Hardy dan Vern Nelson," jawab Big Harry.
"Joe Hardy" Itu salah seorang dari anak-anak Fenton Hardy. Kukira mereka ada di
kota ini untuk urusan lain."
"Itu pun pendapat Red Sluice," kata Big Harry. "Dikatakannya kepadaku, anak-anak
muda itu sedang mencari matauang yang hilang. Tetapi sudah untuk kedua kalinya
kita tangkap mereka karena berkeliaran di sini. Pertama kali ia datang dengan
orang tain, dan mereka berhasil meloloskan diri."
"Seorang lain itu barangkali kakaknya," kata orang ketiga dengan suara parau.
Frank menduga itu suara Crafty Kraft. "Kudengar mereka selalu bersama-sama."
"Lalu, apa yang bapak inginkan terhadap kedua anak muda itu?"
Kata "bapak" ini telah membenarkan dugaan Frank tentang diri si pendatang baru,
yaitu gembong komplotan pencuri mobil.
"Sekap mereka sampai kita selesai mempreteli mobil-mobil ini," jawabnya.
"Setelah itu selesai, sudah tak ada persoalan lagi, sebab kita pindah ke lain
tempat. Jika sekarang mereka itu dilepaskan, pasti mereka langsung melapor
polisi," "Saya punya rumah terpencil di pulau Catalina," kata Big Harry menawarkan.
"Itu sangat bagus. Kau juga punya perahu, bukan?"
"Betul Pak." "Kalau begitu larikan kedua anak muda ke sana, dan sekap mereka sampai kuberi
kabar selanjutnya. O ya, sementara disekap di sana, usahakan untuk memperoleh
keterangan sejauh mana Fenton Hardy mengetahui gerak operasi kita."
"Baik, Pak!" kata Big Harry menurut.
Terdengar suara kursi digeser. Frank dan Chet bergegas mencari persembunyian
terdekat. Mereka bersembunyi di belakang mobil yang selesai dipreteli sebagian, dan tidak
lama kemudian si orang bertampang angker keluar dari kantor.
Ketika ia berjalan ke pintu depan, pintu itu terbuka dan Red Sluice masuk
bersama Anton Jivaro. Ketiga orang itu berpapasan di seberang dalam ruang garasi
itu, cukup dekat untuk dapat didengar percakapan mereka oleh Frank dan Chet.
"Dia siapa, Red?" gembong itu bertanya dengan sorot mata yang tajam.
"Anton Jivaro, kawan saya, Pak!" jawabnya. "Ia mulai bekerja di sini hari ini."
Sambil mengerutkan dahi dan mengamati si tubuh kecil, gembong berkata: "Kau tahu
peraturanku memilih yang teliti bagi seorang calon pekerja, Red?"
"Tetapi, Pak. Ia kawan saya yang sudah sangat lama," jawab Red setengah
memprotes. "Saya terani menjamin, Pak."
"Kuharap begitu, sebab kita sekarang sedang menghadapi masalah keamanan yang
pelik. Big Harry dan Crafty Kraft berhasil menangkap anak Fenton Hardy yang
kecil bersama kawannya di toko siang tadi."
"Lagi-lagi dial Kedua anak-anak Hardy kepergok di sini pagi tadi, tetapi dapat lolos. Siapakah kawan Joe itu, Pak?"
"Seorang bernama Vern Nelson."
Red dan Jivaro saling berpandangan. "Pasangan yang sama!" gumam Red.
"Pasangan yang sama" Apa maksudmu?" tanya gembong itu.
"Kita pun hampir saja dapat menangkap mereka tadi. Apa mereka dapat lolos lagi,
Pak?" Gembong itu menggeleng. "Sekali ini tidak. Mereka diikat di kamar mesin."
"Apa yang mereka cari, Pak?"
"Aku belum menanyakan. Aku lebih suka diketahui orang di luar organisasi kita
ini." "Kalau begitu anak Hardy yang tua masih terus berkeliaran bebas, entah di mana,"
kata Red. "Begitu pun kawannya yang satu lagi. Namanya Chet Morton."
Kembali gembong itu mengerutkan dahi. "Mereka dapat mengacau lagi di sekitar
ini. Periksalah daerah sekitar seluruhnya!"
"Saya kira mereka sudah ketakutan," kata Jivaro. "Kita telah beri mereka
peringatan di kamar hotel, agar segera pulang ke Bayport."
"Bagaimana pun juga, periksa daerah sekitar!" perintah gembong itu.
Ia berjalan ke pintu depan, dan Red serta Jivaro
masuk ke kantor. Frank memberi isyarat kepada Chet agar mengikutinya, maka
keduanya berjalan berjingkat ke kamar mesin. Mereka menyelinap masuk dan menutup
pintunya. Joe dan Vern menggeletak di lantai, terikat dan disumpal mulutnya.
"Aku lepaskan mereka," bisik Frank kepada Chet. "Kau buka pintu itu sedikit, dan
jagalah kalau ada orang datang."
Chet mengangguk. Sementara Frank membuka sumbat mulut kawan-kawannya yang
Hardy Boys Sindikat Pencuri Mobil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertawan, dan si gemuk dengan tak menimbulkan suara memutar tombol pintu untuk
mengintip ke luar. Kemudian .... napasnya tersengal-sengal.
Ia langsung beradu pandang dengan Red Sluice.
11. Jatuh ke laut Chet berusaha menutup pintu kembali, tetapi Red mendobraknya hingga terbuka.
Chet melompat mundur untuk menghindar dari dobrakan pintu maupun pukulan Red.
Terbang Harum Pedang Hujan 8 Wiro Sableng 133 Lorong Kematian Misteri Bunga Noda 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama