Lima Sekawan 6 Rahasia Di Pulau Kirrin Bagian 1
RAHASIA DI PULAU KIRRIN 06. RAHASIA DI PULAU KIRRIN
Ebook by BBSC - OCR by Raynold
Bab 1 SURAT UNTUK GEORGE ANNE sedang sibuk membuat pekerjaan rumah. Ia duduk di sudut ruang belajar di
asrama tempatnya tinggal dan juga bersekolah
Tiba-tiba George datang bergegas-gegas George saudara sepupu Anne Meskipun
namanya George ia bukan anak laki-laki. Namun kepingin sekali jadi anak lakilaki. Ia selalu minta dipanggil dengan nama George Karena itu semua menyebutnya
dengan nama itu - dan bukan Georgina!
Rambutnya yang keriting berpotongan pendek seperti laki-laki Didekatinya Anne
yang sedang sibuk belajar. Mata George berkilat-kilat. karena marah.
"Anne!" sapanya ketus,"Ini! Aku baru saja menerima surat dari rumah. Bayangkan ayahku bermaksud akan tinggal di pulauku karena hendak melakukan pekerjaan
tertentu di situ. Katanya ia ingin membangun semacam menara di halaman puri di
sana!" Gadis-gadis lain teman seasrama menoleh padanya dengan geli Anne menyodorkan
tangan, meminta surat yang dilambai-lambaikan George di depan hidungnya. Temantemannya sudah tahu semua tenteng pulau yang dimaksudkannya. Pulau kecil itu
namanya Pulau Kirrin. Letaknya di ambang Teluk Kirrin Pulau itu memang kepunyaan
George. Di tengah-tengahnya ada sebuah puri tua yang sudah runtuh. Yang tinggal
di situ cuma kawanan kelinci burung-burung camar serta sejenis burung gagak.
Di pulau itu terdapat ruangan-ruangan bawah tanah yang dulunya dipakai sebagai
tempat mengurung tawanan. George beserta saudara-saudara sepupunya sudah dua
kali mengalami saat-saat tegang di situ. Pulau itu dulu kepunyaan ibu George
tapi kemudian diberikan pada George. Kalau mengenai Pulau Kirrin sikap George
keras sekali. Pulau itu miliknya! Orang lain tidak boleh tinggal di situ. Bahkan
mendarat saja pun tidak boleh jika sebelumnya tidak minta izin dulu padanya.
Dan kini tahu-tahu ayahnya berniat hendak pergi ke pulaunya itu. Dan bahkan akan
membangun semacam bengkel di situ! Air muka George merah padam. Kelihatannya
jengkel sekali. "Orang-orang dewasa memang selalu begitu," katanya mengomel. "Kita diberinya
sesuatu tapi kemudian bersikap seakan-akan barang itu masih tetap milik mereka.
Aku tak mau jika Ayah tinggal di pulauku membangun bengkel jelek yang berantakan
di situ dan macam-macam lagi."
"Ah, George," kata Anne sambil menerima surat yang disodorkan. "Kau kan tahu
sendiri ayahmu sarjana yang sangat termasyhur. Ia perlu bekerja dengan tenang.
Kau kan bisa meminjamkan pulaumu sebentar padanya?"
"Masih banyak tempat lain di mana ayahku bisa bekerja dengan tenang," jawab
George. "Aduh - padahal aku sudah berharap-harap pada liburan Paskah yang akan
datang kita bisa berkemah di sana! Berangkat naik perahu dengan berbekal makanan
dan lain-lainnya. Seperti dulu! Tapi jika Ayah sungguh-sungguh jadi ke sana,
rencanaku pasti batal!"
Anne membaca surat itu. Ternyata dari ibu George.
"George yang tersayang,
Rasanya perlu kuberitahukan padamu, ayahmu bermaksud hendak tinggal di Pulau
Kirrin untuk sementara waktu. Ia ingin menyelesaikan beberapa percobaan penting
yang sedang dilakukannya saat ini Ia bermaksud mendirikan semacam bangunan di
sana Kurasa semacam menara. Rupa rupanya ayahmu memerlukan tempat yang benarbenar tenang dan terpencil Dan karena salah satu alasan tempat itu harus
dikelilingi air. Ini penting sekali bagi percobaannya.
Ibu harapkan perasaanmu tidak tersinggung karenanya. Ibu tahu Pulau Kirrin
kauanggap kepunyaanmu seorang diri. Tapi kau juga harus memberi kesempatan pada
keluargamu untuk memanfaatkannya. Apalagi untuk urusan penting. seperti
pekerjaan ilmiah Ayah. Ayah merasa kau pasti akan senang sekali bisa meminjamkan
Pulau Kirrin padanya. Tapi Ibu mengenal sikapmu yang aneh tentang soal ini.
Karenanya kurasa lebih baik kutulis saja surat padamu sebelum kau sampai di
rumah dan tahu-tahu mendengar bahwa Ayah sudah tinggal di sana, lengkap dengan
menaranya..." Surat itu masih membicarakan soal-soal lain. Tapi Anne merasa tak perlu
membacanya ia memandang George.
"Aku tak mengerti George! Apa sebabnya ayahmu tidak bisa meminjam Pulau Kirrin
untuk sementara waktu" Kalau aku pasti takkan keberatan jika ayahku meminjam
pulau padaku. Itu kalau nasibku mujur, bisa memiliki pulau."
"Tapi ayahmu tentu akan berbicara dulu padamu, meminta izin dan menanyakan
apakah kau tidak berkeberatan," kata George merajuk. "Ayahku tak pernah begitu!
Ia selalu berbuat semaunya tanpa bertanya dulu pada orang lain. Sepantasnya. dia
kan menulis surat dulu padaku Aku jengkel sekali padanya!"
"Ah, kau memang lekas jengkel George," kata Anne sambil tertawa. "Nah, kau
jangan lantas merengut terhadapku. Yang meminjam pulaumu tanpa permisi kan bukan
aku! Tapi George tetap kesal. Diambilnya surat ibunya dari tangan Anne. Lalu
dipandangnya dengan suram "Buyar semua rencanaku yang bagus-bagus untuk liburan
nanti!" katanya. "Kau sendiri tahu betapa indahnya Pulau Kirrin pada hari-hari
Paskah. Bunga-bunga mawar kuning mekar, semak-semak yang rimbun serta anak-anak
kelinci bar lompat lompatan Dan kau ikut bersama Julian dan Dick. Sejak
berkelana dengan karavan musim panas yang lalu tak pernah lagi kita berkumpul!"
"Aku juga tahu. Memang nasib kita sedang sial," kata Anne. "Memang akan
mengasyikkan sekali. jika dalam liburan nanti kita bisa tinggal di pulau. Tapi
mungkin ayahmu tidak berkeberatan jika kita ke sana" Kita kan tak perlu
mengganggunya!" "Kau ini ada-ada saja," kata George ketus. "Seakan akan tinggal di Pulau Kirrin
bersama Ayah, sama seperti tinggal sendiri di sana . Kau sendiri tahu pasti
payah!" Yah, Anne sendiri memang tidak yakin bahwa tinggal di Pulau Kirrin akan
menyenangkan sekali bersama Paman Quentin juga ada di situ. Ayah George cepat
marah orangnya tidak sabaran. Apalagi jika sedang sibuk dengan salah satu
percobaan ilmiah! Benar-benar tidak enak Kalau ribut sedikit saja pasti kena
marah. "Wah! Pasti ayahmu akan berteriak-teriak nanti menyuruh kawanan gagak supaya
diam! Apalagi burung-burung camar yang berisik itu," kata Anne Ia cekikikan!
"Nanti pasti ia akan menyadari, Pulau Kirrin tidaklah setenang yang dikiranya!"
George tersenyum kecut. Dilipatnya kembali surat dari ibunya dan ia melangkah
hendak pergi. "Yah, memang benar-benar keterlaluan," katanya "Aku takkan begitu merasa sakit
hati jika Ayah bertanya dulu padaku."
"Tak mungkin!" kata Anne "Takkan terpikir hal itu olehnya. Sudahlah George!
Jangan merajuk terus sepanjang hari. Jemput saja Timmy dari kandang anjing. Kau
pasti akan cepat terlipur!"
Timmy adalah anjing piaraan George. Ia sangat sayang pada binatang itu. Timmy
anjing keturunan campuran. Tubuhnya besar berbulu coklat. Buntutnya panjang
sekali sedang moncongnya sangat lebar. Kelihatannya selalu seperti sedang
meringis. Keempat remaja bersaudara sepupu itu menyayanginya. Timmy ramah dan
penuh kasih sayang. Lincah dan jenaka dan selalu ikut dengan mereka dalam
mengalami berbagai kejadian seru.
George pergi menjemput Timmy Sekolah mengizinkan murid-murid memelihara binatang
kesayangan mereka di asrama. Kalau tidak boleh pasti George takkan mau
bersekolah di situ. Ia tidak bisa berpisah dari Timmy. Tidak berjumpa sehari
saja sudah rindu. Begitu George sampai di kandang tempat anjing-anjing piaraan dikurung. Timmy
mulai menggonggong-gonggong dengan ribut. Dengan seketika air muka George
menjadi cerah. Ia tersenyum senang Bagi George anjing itu merupakan teman setia.
Sedang Timmy merasa tak mungkin ada tuan yang lebih baik daripada George!
Beberapa saat kemudian mereka sudah berlari-lari di padang rumput luas. Seperti
biasa, George mengajak Timmy mengobrol walau anjing itu tak pernah memberi
jawaban barang sepatah kata pun. Diceritakannya kekesalan hatinya karena ayahnya
meminjam Pulau Kirrin tanpa minta izin dulu. Timmy setuju saja dengan setiap
perkataan George. Anjing itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Seolah-olah
mengerti semua yang dikatakan tuannya itu. Bahkan ketika ada kelinci melintas di
depannya anjing itu tetap berada di samping George. Timmy selalu tahu apabila
George sedang tidak enak perasaannya.
Ketika George kembali di kompleks sekolah, perasaannya sudah menjadi jauh lebih
lega. Diajaknya Timmy masuk, dengan jalan menyelundupkannya lewat pintu samping.
Anjing tidak diperbolehkan masuk ke rumah. Tapi George sering berbuat semaunya
sendiri. Persis seperti ayahnya!
Ia bergegas-gegas menuju asrama Begitu sampai cepat-cepat disuruhnya Timmy
bersembunyi di bawah tempat tidurnya. Anjing itu menurut. Ia bersembunyi di
bawah ranjang sambil memukul-mukulkan ekor dengan pelan ke lantai. Ia tahu,
George ingin ditemani malam itu Dan dengan sendirinya Timmy tidak berkeberatan!
"Kau diam-diam di situ," perintah George. Kemudian remaja itu meninggalkan
kamarnya, mendatangi gadis-gadis temannya seasrama yang ada di ruang duduk
bersama. Anna sedang sibuk menulis surat pada kedua abangnya. Julian dan Dick
tinggal di asrama sekolah mereka sendiri.
"Aku menceritakan tentang Pulau Kirrin pada mereka, tentang maksud ayahmu yang
hendak meminjamnya," kata Anne "Bagaimana jika liburan nanti kau ikut dengan
kami ke rumah dan bukan kami yang ke Kirrin" Dengan begitu kau takkan terusterusan merasa kesal. karena ayahmu ada di pulau kepunyaanmu."
"Tidak, terima kasih," kata George dengan segera "Aku mau pulang! Aku harus
mengawasi Ayah jangan sampai Pulau Kirrin meledak dan hancur sebagai akibat
salah satu percobaannya. Kau tahu, saat ini ia sedang sibuk melakukan percobaanpercobaan dengan bahan peledak!"
"Astaga! Bom atom dan sebangsanya?" tanya Anne dengan mata terbuka lebar.
"Entahlah aku tidak tahu," jawab George. "Pokoknya, kecuali mengawasi Ayah dan
pulauku kurasa kita perlu pergi ke Kirrin untuk menemani ibuku. Kalau Ayah jadi
tinggal di pulau ibu akan seorang diri di rumah Kurasa Ayah pasti akan membawa
bermacam-macam perbekalan termasuk makanan."
"Kalau ayahmu tidak ada di Pondok Kirrin, ada juga untungnya," kata Anne "Kita
tidak usah berjingkat-jingkat kalau berjalan. Tak perlu bisik-bisik. Kita boleh
ribut semau kita. Sudahlah George janganlah bersedih-sedih terus!"
Tapi saudara sepupunya tidak begitu cepat lenyap rasa sedihnya yang disebabkan
karena surat dan ibunya Apalagi ketika seorang guru marah-marah sawaktu
memergoki Timmy dalam kamar. Perasaan George menjadi semakin tidak enak!
Masa pelajaran itu cepat sekali berakhir. Hari berganti hari sampai tiba bulan
April. Musim semi dengan cahaya Matahari yang cerah dan mekarnya bunga-bungaan.
Liburan sudah semakin dekat! Anne sudah gembira saja membayangkan berada di
Kirrin. Dengan pantainya yang indah berpasir, lautnya yang biru serta perahuperahu nelayan. Dan jangan dilupakan keasyikan berjalan-jalan menyusur tebingtebing di atas pantai! Julian dan Dick juga sudah tidak sabar lagi ingin cepat-cepat pergi ke Kirrin.
Hali terakhir masa pelajaran mereka jatuh bersamaan harinya dengan awal liburan
George dan Anne. Mereka telah bersepakat akan bertemu di London dan sesudah itu
bersama-sama berangkat ke Kirrin Horee!
Akhirnya tiba juga hari yang ditunggu-tunggu. Di serambi asrama koper bertumpuktumpuk. Mobil-mobil berdatangan menjemput murid-murid yang tempat tinggal orang
tuanya tidak begitu jauh. Bis sekolah datang. untuk mengangkut murid-murid yang
lain ke stasiun kereta api. Luar biasa berisiknya keadaan saat itu. Semua ribut
berseru-seru, berteriak-teriak Guru-guru kewalahan. Kalau melihat mereka begini
tak heran jika ada yang menyangka mereka semua sudah gila, kata para guru sesama
mereka. "Aah, syukurlah! Mereka masuk ke bis. George! Mestikah kau lari-lari
seperti dikejar setan di gang" Mana Timmy ikut ribut menggonggong-gonggong!"
"Ya harus! Harus! jerit George. "Anne ke mana saja kamu" Ayo kita masuk ke bis.
Timmy sudah kujemput. Ia juga tahu kita sekarang libur sekolah Ayo Tim!"
Bis berangkat ke stasiun penuh dengan murid-murid sekolah yang bernyanyi-nyanyi
karena gembira. Sesampai di stasiun mereka berebut-rebut naik ke kereta api.
"Cup, aku duduk di sini! Siapa yang mengambil tasku tadi" Hetty! Keluar - kau
kan tahu sendiri anjingmu itu tidak bisa dikumpulkan seruangan dengan anjingku.
Pasti mereka nanti berkelahi. Nah kondektur sudah meniup peluit Horee! Kita
berangkat!" Dengan pelan kereta api berangkat meninggalkan stasiun menarik gerbong-gerbong
penumpang yang panjang sekali. Semuanya penuh dengan gadis-gadis remaja yang
pergi berlibur. Mereka melalui daerah-daerah pedusunan yang sunyi melewati kotakota kecil dan desa-desa. Akhirnya memasuki pinggiran kota London yang penuh
asap. "Kereta Julian dan Dick akan tiba dua menit lebih dulu dari kita," kata Anne
sambil menjulurkan kepala ke luar jendela Kereta api mereka memperlambat
jalannya, memasuki stasiun kota London
"Kalau kereta mereka tidak terlambat pasti keduanya sudah ada di peron untuk
menjemput kita. He George! Lihatlah - itu mereka!"
George ikut menjulurkan kepala ke luar. "Halo Julian!" pekiknya "Kami di sini!
Hai Dick, apa kabar Julian!"
Bab 2 DI PONDOK KIRRIN LAGI
DENGAN segera mereka berempat menuju ke restoran stasiun Tentu saja Timmy tidak
mau ke-nnggalan Senang rasanya berkumpul kembali. Timmy melonjak lonjak gembira
sekali melihat kedua anak laki-laki itu
"Aku suka sekali padamu," Tim kata Dick "Aku juga bergembira bisa bertemu lagi
denganmu Tapi sudah dua kali kau menumpahkan limun jaheku. Basah pakaianku
karenanya. Bagaimana dia selama ini, George" Mau menurut kata?"
"Lumayanlah," kata George sambil menimbang-nimbang, "Bukankah begitu Anne"
Maksudku - cuma sekali ia mengambil tulang dari tempat penyimpanan makanan - dan
bantal yang digigit-gigitnya tidak begitu rusak Dan kalau orang-orang kebiasaan
meninggalkan sepatu luar mereka di sembarang tempat, kan Timmy tidak bisa
dipersalahkan jika kemudian iseng bermain-main dengan sepatu itu! Ya kan"!"
"Pasti tamat riwayat sepatu luar itu," kata Julian sambil nyengir Rasanya
rapormu buruk sekali ini Timmy! Kurasa Paman Quentin takkan menghadiahkan dua
puluh lima penny padamu seperti yang biasa kami terima jika angka-angka rapor
bagus." Begitu mendengar ayahnya disebut-sebut George kontan cemberut.
"Ah ternyata George belum hilang keahliannya menarik muka cemberut," kata Dick
menggoda saudara sepupunya itu. "Dasar George! Kita pasti takkan bisa
mengenalinya jika ia tidak cemberut paling sedikit lima atau enam kali sehari!"
"Ah, dia tidak begitu lagi," kata Anne cepat-cepat membela George. Memang,
saudara sepupu mereka itu tidak lagi cepat tersinggung seperti dulu jika
diganggu. Tapi walau begitu Anne juga tahu bisa saja timbul kemarahan George
mengenai perbuatan ayahnya yang memakai Pulau Kirrin selama liburan itu. Dan
Anne tidak ingin George terlalu cepat marah sekali ini!
Julian melirik saudara sepupunya.
"He! Kau kan tak terlalu sakit hati karena persoalan Pulau Kirrin itu George?"
katanya. "Kau harus ingat Ayahmu sarjana yang pintar sekali Ia tergolong ilmuwan
yang paling top! Menurut perasaanku orang-orang seperti dia harus diberi
kebebasan kerja yang seluas-luasnya. Maksudku jika Paman Quentin karena salah
satu alasan yang hanya ia sendiri yang tahu, ingin bekerja di Pulau Kirrin
seharusnya kau dengan senang hati mengatakan. Silakan Yah!"
Mendengar pidato saudara sepupunya itu kelihatannya George sudah mau berontak
saja Tapi ia sangat mengagumi Julian. Apa kata Julian biasanya dituruti. Julian
paling tua di antara mereka. Anaknya jangkung dan tampan dengan tatapan mata
yang tegas serta garis dagu yang menunjukkan kekerasan tekad. Sambil menggarukgaruk kepala anjingnya George menjawab dengan suara pelan.
"Baiklah! Aku takkan mengamuk karenanya, Julian. Tapi aku kecewa sekali karena
sudah merencanakan akan ke Pulau Kirrin bersama kalian selama liburan ini!"
"Ah, kita semua kecewa," kata Julian lagi. "Ayo cepat habiskan makannya! Kita
masih harus ke stasiun di seberang London untuk naik kereta yang berangkat ke
Kirrin. Jika tidak cepat-cepat terlambat kita nanti."
Tak lama kemudian mereka sudah duduk dalam kereta yang akan berangkat ke Kirrin.
Julian paling ahli kalau disuruh mengurus pemanggilan tukang angkat koper dan
menyetop taksi. Ia juga berhasil mencarikan tempat duduk di pojok bagi mereka
semua Anne memandang abangnya dengan kagum. Hebat sekali cara Julian mengatur
segala-galanya! "Aku sudah tambah tinggi atau tidak, Julian?" tanya Anne pada abangnya itu.
"Mudah-mudahan akhir tahun pelajaran ini aku akan sudah setinggi George Tapi ia
juga bertambah tinggi!"
"Yah, kurasa kau sudah bertambah tinggi satu senti dibandingkan dengan semester
yang lalu," kata Julian. Kau takkan mungkin bisa menyusul kami Anne Kau akan
tetap yang paling kecil di antara kita berempat Tapi biar kecil aku suka
padamu." Bibi Fanny menjemput mereka di stasiun. Ibu George itu datang dengan kereta
kuda. Anak-anak berlari-lari mendatanginya Mereka senang sekali pada Bibi Fanny.
Ia baik budi dan lemah lembut sikapnya. Dan selalu berusaha agar suaminya yang
pintar tapi tidak sabaran itu tidak terlalu sering memarahi anak-anak.
"Apa kabar Paman Quantin"' tanya Julian dengan sopan ketika mereka sudah duduk
Lima Sekawan 6 Rahasia Di Pulau Kirrin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam kereta kuda "Baik-baik saja," jawab bibinya "Dan bersemangat sekali! Belum pernah kulihat ia
begitu bersemangat seperti belakangan ini. Pekerjaannya berhasil dengan baik
sekali." 'Tahukah Bibi mengenai apa percobaan Paman yang sekarang?" tanya Dick
"Tidak! Ia tak pernah mengatakannya padaku," kata Bibi Fanny "Ia tak pernah
bercerita pada siapa-siapa kalau sedang sibuk bekerja Tentu saja kecuali pada
rekan-rekannya. Tapi aku tahu pasti percobaan yang sekarang ini penting sekali
artinya Dan aku juga tahu bagian terakhir percobaan itu harus dilakukan di suatu
tempat yang dikelilingi perairan dalam, Tapi jangan tanya apa sebabnya! Aku
terus terang saja tidak tahu."
"He, lihatlah'' kata Anne sekonyong-konyong Pulau Kirrin'' Kereta kuda yang
mereka naiki melewati sebuah tikungan, dan di depan mereka terhampar pemandangan
Teluk Kirrin. Di ambangnya nampak pulau kecil yang ada puri kuno di tengahtengahnya. Matahari bersinar cerah di atas laut yang biru Pulau Kirrin nampak
bagus sekali saat itu. George memperhatikan pulaunya dengan saksama. Ia mencari-cari bangunan entah apa
yang menurut ayahnya diperlukan olehnya untuk bekerja. Semuanya memandang ke
arah yang sama mencari benda yang sama pula.
Dan benda itu mereka temukan dengan cepat! Sebuah menara tinggi langsung
menjulang di bagian tengah puri. Mungkin letaknya di ha!aman bangunan kuno itu.
Kelihatannya mirip mercu suar. Di sebelah atas ada ruangan berdinding kaca yang
berkilat-kilat memantulkan sinar matahari.
"Aduh, Bu," keluh George "Aku tak suka bangunan itu ada di sana karena merusak
keindahan Pulau Kirrin."
"Tapi itu kan bisa dirobohkan lagi jika ayahmu sudah selesai dengan
pekerjaannya," kata ibunya. "Bangunannya sama sekali tidak kokoh. karena hanya
diperlukan untuk sementara waktu saja. Jadi bisa dengan gampang dirobohkan
kembali. Ayah sudah berjanji akan membongkarnya kembali begitu pekerjaannya di
sana selesai. Katanya kau boleh datang ke sana untuk melihatnya jika kau mau.
Menarik juga!" "Aduuh - aku ingin sekali ke sana untuk melihatnya," kata Anne dengan segera.
"Kelihatannya aneh Bibi Fanny - seorang diri sajakah Paman Quentin di Pulau
Kirrin?" "Ya," jawab bibinya. "Aku tak suka bahwa ia sendirian di sana. Soalnya. aku tahu
pasti makannya takkan teratur. Lagipula aku khawatir kalau-kalau ia mengalami
kecelakaan sewaktu sedang melakukan percobaannya. Kalau ia sendiri di sana
bagaimana aku bisa mengetahui jika terjadi apa-apa dengan dirinya?"
"Tapi Bibi kan bisa meminta agar Paman memberi isyarat ke mari setiap pagi dan
malam," kata Julian yang selalu berakal sehat. "Untuk itu ia bisa memakai
menaranya. Pada waktu pagi ia bisa memberi isyarat dengan cermin. Sedang malammalam memakai lampu. Kan gampang!"
"Memang! Aku juga telah menyarankan hal yang serupa padanya," kata bibinya. "Aku
sudah mengatakan besok aku akan ikut kalian ke sana. Bagaimana jika kau yang
mengatur soal itu dengan pamanmu Julian" Nampaknya ia sekarang mau mendengarkan
kata katamu." "Astaga!" seru George kaget. "Maksud Ibu, Ayah mengundang kami untuk memasuki
tempat kerjanya yang dirahasiakan dan juga melihat menaranya yang aneh" Tapi aku
tak mau pergi ke sana! Pulau itu kan kepunyaanku. Aku tak suka melihat orang
lain memakainya!" "Jangan mulai lagi George!" kata Anne sambil menghembuskan napas panjang.
"Selalu ribut saja dengan pulaumu! Masa pada ayahmu sendiri tidak mau
meminjamkan. Wah, Bibi harus melihat bagaimana George mencak-mencak ketika
menerima surat Bibi. Tampangnya begitu galak sampai aku ketakutan melihatnya."
Semua tertawa mendengar kata-kata Anne itu. Tidak - sebetulnya bukan semua
karena George dan Bibi Fanny tidak ikut tertawa. Bibi kelihatan agak prihatin.
George selalu sulit anaknya! Selalu ada saja yang dipertengkarkannya dengan
ayahnya. Wataknya memang mirip ayahnya. Pencemberut cepat marah. Dan galak!
Kenapa George tidak sesabar dan tenang seperti ketiga saudara sepupunya.
Demikian pikiran Bibi Fanny saat itu.
George melihat wajah ibunya yang nampak prihatin. Ia merasa malu lalu meletakkan
tangannya ke lutut ibunya.
"Sudahlah Bu, jangan cemas! Aku takkan ribut-ribut. Aku berjanji akan mengekang
perasaanku. Aku tahu pekerjaan Ayah penting artinya. Aku akan ikut besok ke
pulau." Julian menepuk punggung George
"Nah begitu dong George!" katanya memuji. "Ternyata saudara sepupu kita ini
bukan saja sudah belajar mengalah tapi juga mengalah dengan sikap yang enak!
Kalau kau begitu, kelihatan lebih mirip anak laki-laki, George."
George berseri-seri mukanya. Ia merasa senang karena dikatakan oleh Julian
seperti laki-laki. Ia tidak ingin judes dan jahil seperti banyak anak perempuan.
Tapi Anne tersinggung mendengar perkataan abangnya.
"Bukan anak laki-laki saja yang bisa mengalah secara layak," katanya. "Banyak
juga anak perempuan yang begitu. Kuharap bahwa aku sendiri juga bersifat
begitu!" "Astaga! Ini ada lagi seorang anak yang galak!" kata Bibi Fanny sambil
tersenyum. "Sudahlah jangan bertengkar lagi. Kita sudah sampai di Pondok
Kirrin." Keempat remaja itu berlompatan dan kereta lalu lari bergegas-gegas masuk
melewati pintu pagar. Dengan sendirinya Timmy tidak mau kalah. Semua gembira
karena kembali di Pondok Kirrin. Mereka berebutan masuk ke rumah. Joanna, koki
keluarga Quentin yang sudah tua datang menyongsong. Ia sebetulnya sudah pensiun.
Tapi kembali untuk membantu selama masa liburan. Dipandangnya keempat remaja itu
satu per satu dengan wajah berseri-seri
"Aduh, aduh! Kalian semakin besar saja sekarang. Kau jangkung. Julian. Bahkan
sudah lebih tinggi dan aku. Dan Anne yang dulu kecil pun sekarang sudah besar."
Anne girang mendengarnya. Julian kembali ke pintu depan menolong bibinya
mengeluarkan tas-tas kecil yang ada dalam kereta kuda. Koper-koper besar akan
disusul kemudian. Bersama Dick dibawanya barang-barang mereka ke tingkat atas.
Anne ikut naik karena sudah kepingin sekali melihat kamar tidur tempatnya
menginap dulu. Aduh, senang sekati rasanya berada lagi di Pondok Kirrin! Anne
memandang lewat jendela ke luar ke arah padang belantara yang terletak di
belakang rumah Kamar itu ada dua jendelanya. Yang satu menghadap ke padang
sedang yang satu lagi membuka ke arah laut. Semuanya kelihatan indah! Sambil
bernyanyi-nyanyi kecil. Anne mulai mengeluarkan isi tasnya
"Hai Dick," katanya pada abangnya yang saat itu masuk sambil membawa tas
kepunyaan George. "Aku sesungguhnya senang sekali karena Paman Quentin pergi ke
Pulau Kirrin - biarpun kita lantas tidak bisa sering-sering ke sana! Di rumah
ini aku merasa jauh lebih bebas jika Paman tidak ada. Orangnya memang pintar
sekali dan juga bisa sengat baik - tapi aku toh selalu merasa agak ngeri
terhadapnya." Dick tertawa "Aku tidak takut padanya. Tapi dia memang agak mengurangi keasyikan di sini.
ketika kita dulu berlibur ke mari. Aneh rasanya membayangkan dia seorang diri di
Pulau Kirrin." Bibi Fanny memanggil dari bawah.
"Anak-anak teh sudah dihidangkan Ayolah, rotinya masih hangat."
"Ya, Bibi Fanny!" seru Dick menjawab "Cepat sedikit Anne. Sudah lapar sekali
perutku, Julian! Kau tidak mendengar Bibi Fanny memanggil?"
George naik ke atas menjemput Anne. Ia senang sekali karena berada di rumah
kembali Sedang Timmy berkeliaran sambil mencium-cium di segala sudut rumah.
"Dia selalu berbuat begitu" kata George "Seakan-akan menyangka mungkin saja ada
kursi atau meja yang baunya agak lain dari biasanya Ayolah. Tim! Hidangan teh
sudah menunggu. Bu, Ayah kan sedang tidak ada di rumah. Bolehkah Tim duduk di
lantai di sebelahku" Dia sekarang benar-benar sudah tahu aturan."
"Baiklah," jawab ibunya. Dan mereka mulai makan. Bukan main hidangan makanan
sore itu! Banyak sekali biar orang dua puluh yang memakannya pasti masih akan
kenyang. Joanna memang baik hati. Pasti seharian ia sibuk di dapur. Tapi
pokoknya ketika Lima Sekawan kita selesai makan, tinggal sedikit saja yang masih
tersisa. Bab 3 KE PULAU KIRRIN KEESOKAN harinya cuaca cerah Sama sekali tidak dingin!
"Kita bisa ke pulau pagi ini," kata Bibi Fanny, "Kita membawa makanan sendiri
karena pasti Paman Quentin sudah lupa lagi bahwa kita akan datang."
"Dia punya perahu di sana?" tanya George, "Bu - kan bukan perahuku yang
dipakainya?" "Bukan, Manis," kata ibunya. "Ia mempunyai perahu lain. Aku sudah khawatir saja
jangan-jangan ia tidak bisa keluar masuk dengannya melewati batu-batu karang
berbahaya yang ada di sekeliling pulau. Tapi ternyata ia minta tolong pada salah
seorang nelayan untuk membawanya ke sana. Perahunya sendiri ditarik dengan
muatan barang-barang yang diperlukannya "
"Siapa yang membangun menara itu?" tanya Julian.
"Kalau rencananya, Paman sendiri yang membuat. Sedang pembangunan menara
dilakukan oleh beberapa orang yang sengaja dikirim Kementerian Urusan Riset ke
mari untuk keperluan itu," kata Bibi Fanny. "Sebetulnya urusan ini semuanya
serba rahasia Orang-orang di sini semua ingin tahu Tapi mereka sama banyak
tahunya seperti aku! Tak ada orang sini yang ikut dalam pekerjaan pembangunan
menara itu Tapi satu atau dua orang nelayan disewa untuk mengangkut bahan-bahan
bangunan ke pulau. membawa para pekerja ke sana dan sebagainya."
"Semua serba misterius," kata Julian "Paman Quentin hidupnya menarik ya" Aku mau
saja menjadi sarjana. Aku jika sudah dewasa nanti ingin menjadi orang yang
sungguh-sungguh berguna Tak mau asal kerja saja Aku ingin berdiri sendiri!"
"Kalau aku ingin menjadi dokter," kata Dick
"Dan aku sekarang akan mengambil perahuku," kata George. Ia agak bosan mendengar
pembicaraan seperti itu. Ia tahu apa yang akan dilakukannya jika sudah dewasa.
Tinggal di Pulau Kirrin bersama Timmy!
Bibi Fanny menyiapkan makanan banyak-banyak untuk dibawa ke Pulau Kirrin. Ia
sudah tidak sabar lagi ingin cepat-cepat berangkat. Sudah beberapa hari ia tidak
bertemu dengan Paman Quentin. Bibi prihatin mengenai keadaan suaminya di pulau.
Mereka pergi ke pantai. Julian yang membawa tas barisi makanan. George sudah
menunggu dengan perahunya. James anak nelayan teman George ada pula di situ Ia
akan membantu mendorongkan perahu ke air.
James meringis ketika melihat Julian serta kedua adiknya. Ia kenal baik dengan
ketiga remaja itu. Dulu ketika Paman Quentin menyuruh George agar Timmy
diberikan pada orang lain, anjing itu diserahkannya pada James untuk
dipeliharakan. George tidak melupakan kebaikan James pada Timmy. Setiap libur ia
selalu mendatangi anak nelayan itu.
Kalian akan ke pulau?" tanya James. "Aneh ya bangunan yang di tengah-tengah itu!
Kelihatannya seperti mercu suar. Sini, kutolong naik ke perahu."
Anne berpegangan pada tangan James, lalu meloncat masuk ke perahu George sudah
ada di dalam bersama Timmy Dengan cepat semuanya masuk. Julian dan George yang
memegang dayung. James mendorongkan perahu ke air. Mereka berangkat. mengiris
air teluk yang tenang dan jernih. Anne bisa melihat batu-batu yang ada di dasar.
Julian dan George berdayung Gerakan mereka tangkas dan perahu meluncur dengan
cepat. George menyanyikan sebuah lagu berdayung, disambut oleh seisi perahu.
Senang rasanya, berperahu lagi di laut Mudah-mudahan hari-hari libur tidak cepat
berlalu! Pulau Kirrin semakin dekat.
"George," kata ibunya gelisah "Hati-hati ya terhadap batu-batu karang itu! Air
laut jernih sekali hari ini sehingga batu-batu kelihatan jelas semuanya Beberapa
di antaranya nyaris menyentuh lunas perahu."
"Ah, ibu kan tahu - aku sudah beratus kali berdayung ke Pulau Kirrin," jawab
George sambil tertawa. "Mustahil aku membentur karang. Sungguh aku tahu benar
letak batu-batu itu. Dengan mata tertutup pun aku rasanya mampu sampai di
pulau." Di pulau hanya ada satu tempat yang bisa didarati dengan aman. Sebuah teluk
kecil. yang merupakan pelabuhan alam yang sempit dan berpantai pasir. Tempat itu
dikelilingi batu karang yang tinggi-tinggi. George dan Julian mendayung perahu
ke sebelah timur pulau mengitari semacam tembok rendah berupa karang yang sangat
runcing - dan mereka tiba di depan teluk kecil yang dituju. Air di situ tenang
sampai ke pantai pasir! Sementara perahu meluncur Anne asyik memandang pulau. Puing Puri Kirrin yang
kuno nampaknya masih sama seperti dulu. Menara-menaranya yang sudah nyaris roboh
seperti biasa penuh dengan burung-burung sejenis gagak. Tembok-temboknya
dijalari tumbuh-tumbuhan merambat.
"Indah sekali tempat ini," desah Anne. Kemudian dipandangnya menara aneh yang
nampak menjulang di tengah halaman puri. Bangunan itu tidak terbuat dari batu
bata. Dindingnya dari suatu bahan yang licin mengkilat, kelihatannya
disambungkan berkeping-keping. Rupa-rupanya menara itu sengaja dibangun begitu
supaya bahan-bahannya mudah diangkut dari daratan dan dibangun dengan cepat di
pulau. "Aneh kelihatannya," kata Dick. "Coba lihat saja bilik kaca kecil yang ada di
puncak - nampaknya seperti kamar pengintai. Untuk apa ya?"
"Bisakah naik ke atas lewat sebelah dalam menara?" tanya Dick pada Bibi Fanny.
"O ya! Di sebelah dalam ada tangga putar yang sempit," kata bibinya. "Cuma
tangga itu saja yang ada dalam menaranya sendiri. Yang penting adalah kamar
kecil di sebelah atas itu Di sana direntangkan kawat-kawat. Kawat-kawat itu
perlu sekali bagi percobaan paman kalian. Kurasa Paman tidak berbuat apa-apa
dengan menara. Menara itu harus ada dan mempunyai tugas tersendiri yang ada
pengaruhnya terhadap percobaan-percobaan yang sedang dilakukan."
Anne tidak bisa memahami keterangan Bibi Fanny. Baginya terlalu rumit
"Aku kepingin naik ke atas menara," katanya
"Yah mungkin saja akan diizinkan Paman," kata bibinya.
"Kalau ia sedang ramah," sambung George
"Jangan begitu," kecam ibunya
Perahu mereka memasuki pelabuhan yang kecil itu. Lunasnya menggeser dengan pelan
ke pasir di pantai. Di tempat itu sudah ada satu perahu lagi. Perahu Paman
Quentin. George meloncat turun bersama Julian, lalu bersama-sama menarik perahu lebih
tinggi lagi ke atas pasir. Dengan begitu para penumpang bisa turun tanpa harus
masuk ke air. Dan semuanya turun ke darat Timmy berlari-lari kegirangan di
pantai. "Timmy!" seru George memperingatkan. Anjing itu menoleh pada tuannya seakan-akan
kesal. Tidak bolehkah ia memeriksa sebentar kalau-kalau ada kelinci di situ"
Cuma melihat saja! Kan tidak ada salahnya.
"Ah - itu ada seekor kelinci! Satu lagi dan - nah, itu seekor lagi! Kelincikelinci itu memandang rombongan yang baru saja mendarat. Semuanya duduk diamdiam hanya telinga dan lubang hidung mereka saja yang bergerak-gerak sedikit.
"Ah, mereka masih tatap jinak seperti dulu!" kata Anne senang. "Mereka manismanis, ya Bibi Fanny" Lihatlah anak kelinci yang di sebelah sana itu. Ia sedang
mencuci muka!" Bibi Fanny beserta keempat remaja itu berhenti sebentar. Mereka memperhatikan
tingkah laku kelinci ke-bnci itu. Memang semuanya jinak-jinak. Maklumlah sedikit
sekali orang yang datang ke Pulau Kirrin. Binatang-binatang itu berkembang biak
dengan aman sentosa. Bisa berlari-lari sesuka mereka tanpa perlu merasa takut.
"Wah, yang itu..." baru saja Dick hendak mengatakan sesuatu ketika dengan
sekonyong-konyong keadaan yang tenteram itu buyar. Ternyata Timmy tidak tahan
hanya melihat saja. Anjing itu tidak mampu lagi menahan diri, lalu lari mengejar
kelinci yang sedang bermain-main. Dalam sekejap mata semua menghilang ke dalam
liang masing-masing. "Timmy!" seru George jengkel. Kasihan si Timmy. Anjing itu memandang tuannya
dengan sedih sementara ekornya terkulai ke bawah. Masakan mengejar kelinci saja
tidak boleh! "Mana Paman Quentin"' tanya Anne sementara mereka melangkah menuju gerbang batu
besar yang sudah rusak. Di situlah jalan masuk ke puri tua. Di belakang gerbang
ada tangga batu yang menuju ke tengah puri. Batu sudah pecah-pecah dan tidak
rata lagi. Bibi Fanny melangkahkan kaki dengan hati-hati karena takut
tersandung. Tapi George dan saudara-saudara sepupunya semua memakai sepatu
bersol karet. Dengan lincah mereka lari di atas tangga.
Mereka melewati sebuah ambang pintu yang tua dan sudah rusak dan masuk ke suatu
bidang tanah yang luas. Kelihatannya seperti semacam halaman. Dulu tempat itu
berlantai batu. Tapi batu-batunya sekarang sebagian besar sudah tidak kelihatan
lagi, karena tertimbun pasir dan tertutup rumput atau tumbuhan liar yang rapat.
Puri itu ada dua menaranya. Yang satu boleh dikatakan tinggal puing-puingnya
saja. Sedang yang setu lagi masih agak utuh. Burung-burung yang sejenis dengan
gagak beterbangan di sekeliling menara itu, melayang-layang di atas kepala
rombongan yang baru datang. Berisik sekali suara burung-burung itu!
"Kurasa ayahmu tinggal di bilik kecil yang jendelanya ada dua dan seperti celah
bentuknya," kata Dick pada George. "Cuma di situ satu-satunya tempat yang
terlindung dalam puri ini. Kau masih ingat bahwa kita pernah tidur semalam di
situ?"
Lima Sekawan 6 Rahasia Di Pulau Kirrin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"O ya," kata George. "Asyik! Kurasa di situlah Ayah memilih tempat tinggal. Tak
ada tempat lain - kecuali jika ia berada dalam ruangan bawah tanah!"
"Ah! Takkan ada orang yang mau tinggal di sana kecuali jika terpaksa," kata
Julian membantah. "Tempat itu gelap dan dingin. Mana ayahmu, George" Kenapa
tidak kelihatan?" "Mana Ayah, Bu?" tanya George "Di manakah tempat kerjanya" Apakah di bilik yang
tua itu?" George menuding ke ruangan gelap yang berdinding dan berlangit-langit
batu. Dari sekian banyak ruangan yang di jaman dulu didiami orang memang hanya
kamar itu saja yang sekarang masih tersisa. Kamar itu letaknya agak menonjol ke
luar dan bagian yang dulunya merupakan tembok puri
"Yah terus terang saja aku juga tidak tahu," jawab Bibi Fanny. "Kurasa di sana
ia bekerja. Ia selalu menyongsong ku ke pantai. Kami duduk-duduk di pasir sambil
mengobrol dan piknik. Rasanya ayahmu tidak begitu suka jika aku terlalu banyak
melihat-lihat di sini. Mungkin khawatir pekerjaannya akan terganggu."
"Kita panggil saja," usul Dick. Dan mereka pun memanggil-manggil dengan suara
lantang "Paman Quentin! Paman Quentin! Paman di mana"
Burung-burung di menara terbang ketakutan mendengar suara ribut-ribut itu. Dan
kelinci-kelinci lenyap kembali ke dalam liang mereka.
Tapi Paman Quentin tetap tidak muncul. Karenanya mereka berseru sekali lagi.
"PAMAN QUENTIN! PAMAN ADA DI MANA?"
"Aduh, berisik sekali kalian ini," kata Btbi Fanny sambil menutup kupingnya.
"Kurasa, Joanna yang di rumah pun bisa mendengarnya Tapi - ke mana Paman"
Menjengkelkan sekali! Padahal sudah kukatakan padanya hari ini aku akan ke mari
bersama kalian." "Ah - pasti ia ada di sekitar sini," kata Julian dengan nada riang. "Kalau ia
tidak muncul berarti kita harus mencarinya. Kurasa saat ini ia sedang sibuk menekuni buku atau salah setu pekerjaan lainnya. Ayolah kita mencarinya!"
"Kita periksa dulu ke bilik kecil yang gelap itu," kata Anne. Mereka berbondong
bondong masuk ruangan sempit lewat ambang pintu yang terbuat dan batu. Di situ
hanya ada dua jendela yang lebih pantas disebut celah Di satu ujungnya terdapat
sebuah relung yang menjorok ke dalam dinding batu yang tebal. Di situlah dulu
tempat perapian. "Paman tidak ada di sini" kata Julian heran. "Di sini sama sekali tidak ada apaapa. Tidak ada bahan makanan, pakaian atau buku-buku. Ini bukan tempat kerjanya!
Gudangnya pun bukan!"
"Jika begitu mestinya ia di bawah tanah," kata Dick "Mungkin pekerjaannya perlu
dilakukan di bawah tanah dikelilingi air! Ayo, kita cari jalan masuk ke sana
Kita kan sudah tahu tempatnya - tidak jauh dari sumur tua di tengah halaman."
"Ya pasti Paman ada di ruang bawah tanah. Ya kan, Bibi Fanny?" tanya Anne "Bibi
tidak ikut ke bawah?"
"Ah tidak," jawab bibinya. "Aku tak suka pada ruang-ruangan di bawah tanah. Aku
menunggu di sini saja. Enak, ada sinar matahari. Di sini terlindung dan angin.
Akan kupersiapkan makan siang karena sudah hampir waktunya."
"Wah enak," seru keempat remaja itu serempak. Mereka menuju ke tempat masuk ke
ruangan bawah tanah. Mereka menyangka akan menemukan batu besar dan pipih yang
menutupi tempat masuk itu berada dalam keadaan tegak. Jadi akan bisa langsung
menuruni tangga yang ke bawah.
Tapi ternyata batu besar itu tergeletak di tanah. Julian sudah membungkuk hendak
menarik gelang besi untuk mengangkat batu ke atas Tapi tiba-tiba dilihatnya
sesuatu yang ganjil. "Lihatlah," katanya Di tepi-tepi batu tumbuh tanaman liar. "Batu ini sudah lama
tidak diangkat. Paman Quentin tidak berada dalam ruangan bawah tanah."
"Kalau begitu di mana dia sekarang?" tanya Dick bingung "Di manakah Paman
Quentin?" Bab 4 DI MANAKAH PAMAN QUENTIN"
MEREKA berempat terpaku di situ menatap batu besar yang menutupi lubang masuk ke
ruangan bawah tanah. Julian memang benar! Batu itu pasti sudah berbulan bulan
tak pernah lagi digeser orang. Tanaman liar tumbuh rapat ke tepinya. Di setiap
celah nampak akar-akar menjalar.
"Di bawah tidak ada orang," kata Julian. "Kita tidak perlu lagi memeriksa ke
sana. Kalau batu ini belum lama berselang diangkat orang pasti tanam-tanaman itu
ikut tercabut." "Lagipula kita juga tahu takkan ada orang yang bisa keluar jika lubangnya
ditutupi batu," kata Dick. "Batu ini terlampau berat. Paman Quentin takkan
begitu konyol mengurung dirinya sendiri di bawah Pasti tempat masuk ini akan
dibiarkannya terbuka "Tentu saja!" kata Anne "Yah - jadi ia tidak ada di bawah. Mestinya berada di
tempat lain. "Tapi di mana?" kata George. "Pulau ini kan tidak besar kita mengenal setiap
sudutnya. Eh - mungkinkah ayah ada di gua tempat kita bersembunyi dulu. Satusatu gua yang ada di pulau ini."
"0 ya! Mungkin juga," kata Julian "Tapi aku agak sangsi. Tidak bisa kubayangkan
Paman Quentin masuk lewat lubang di langit-langit gua. Padahal itu satu-satunya
jalan masuk ke situ. Kecuali jika mau bersusah-payah merangkak lewat batu-batu
di pantai. Kurasa itu pun mustahil mau dilakukannya."
Mereka pergi ke balik pulau di sebelah sana puri. Di tempat itu ada gua yang
pernah mereka tinggal. Gua itu bisa dicapai secara bersusah-payah lewat pantai.
Seperti dikatakan oleh Julian, harus melewati batu-batu yang licin. Tapi ada
jalan lain. Orang juga bisa masuk ke gua dengan tali lawat sebuah lubang di
langit-langit gua. Lubang itu mereka temukan agak tersembunyi di tengah semak. Julian meraba raba
dalam semak. Ternyata tali yang dulu masih ada.
"Akan kuturuni tali ini, dan melihat-lihat sebentar di bawah," katanya.
Julian menuruni tali yang disimpulkan di beberapa tempat dengan jarak-jarak
tertentu. Dengan demikian ada tempat berpijak baginya, sehingga ia tidak
meluncur terlalu cepat ke bawah dengan risiko telapak tangan lecet.
Dengan segera ia sudah berada dalam gua. Dari sisi laut masuk sinar samar-samar.
Julian memandang sekilas ke sekeliling gua. Tempat itu kosong. Yang ada di situ
cuma sebuah kotak yang nampaknya sudah tua. Rupanya mereka yang meninggalkannya
di situ ketika terakhir kalinya ke tempat itu
Julian naik lagi dengan jalan memanjat tangga tali. Tiba-tiba kepalanya
tersembul dari lubang. Dick menolongnya naik.
"Nah ada tanda-tanda Paman Quentin di situ?" tanya Dick
"Tidak," jawab Julian. "Ia tidak ada di situ. Dan menurut perasaanku ia juga tak
pernah ke situ. Benar-benar aneh! Di mana Paman" Dan kalau ia benar-benar
melakukan sesuatu pekerjaan penting, mana segala peralatannya" Maksudku, kita
kan tahu banyak barang-barang yang diangkut ke mari, menurut keterangan Bibi
Fanny." "Kaurasa mungkinkah ia ada di atas menara?" kata Anne sekonyong-konyong.
"Barangkali sedang di bilik kaca yang terdapat di puncaknya."
"Kalau ia di sana pasti kita akan langsung nampak olehnya," kata Julian
mencemoohkan. Dan pekik jerit kita juga pasti terdengar olehnya! Tapi tak ada
salahnya jika kita melihat ke sana."
Mereka kembali ke puri lalu berjalan menuju menara aneh itu. Bibi melihat mereka
muncul. lalu memanggil. "Makan siang sudah siap! Ayo kita makan dulu Paman kalian nanti kan datang
juga." "Tapi di mana dia Bibi Fanny?" tanya Anne bingung. "Kami sudah mencari ke manamana!" Bibi Fanny tidak begitu mengenal Pulau Kirrin seperti keempat remaja itu.
Menurut sangkaannya di situ banyak tempat yang bisa dipakai untuk berlindung
atau bekerja. "Sudahlah," katanya. Bibi sama sekali tak nampak gelisah. "Nanti kan muncul.
Kita makan saja sekarang!"
"Kami ingin ke atas menara sebentar," kata Julian "Siapa tahu Paman sedang sibuk
bekerja di sana." Keempat remaja itu pergi ke kaki menara di tengah halaman puri. Mereka mengelus
elus dinding menara itu yang terbuat dari semacam bahan yang licin dan
mengkilat. Bahan itu terdiri dari keping-keping melengkung disambung sambung
membentuk dinding. "Bahan apa ini?" tanya Dick
"Kurasa semacam bahan plastik yang baru," kata Julian. "Sangat enteng tapi kuat.
Dan mudah pemasangannya."
"Aku ngeri jangan-jangan roboh kalau ada angin ribut," kata George
"Ya betul," kata Dick "He - itu pintu masuk."
Pintu yang dimaksudkannya berukuran kecil dan bagian atasnya membentuk setengah
lingkaran. Anak kunci terselip di lubangnya. Julian membuka pintu itu. Ternyata
pintu bergerak ke luar bukan ke dalam. Julian menjengukkan kepala ke dalam.
Ruangan di sebelah dalam menara tidak luas. Dilihatnya tangga melingkar ke atas
terbuat dari bahan mengkilat seperti dinding menara. Di sisi tangga ada tempat
yang agak kosong Di situ menonjol batang-batang bengkok kelihatannya seperti
dari baja. Kabel-kabel kawat bersimpang siur
"Lebih baik jangan menyentuh kawat-kawat itu," kata Julian sambil mengamatamatinya dengan rasa ingin tahu "Wah. kelihatannya seperti menara dalam dongeng
Yuk - kita naik ke atas!"
Ia mulai mendaki tangga yang terjal dan melingkar-lingkar. Agak pusing kepalanya
berputar-putar terus sampai ke atas.
Saudara-saudaranya ikut di belakangnya. Di sana sini ada jendela-jendela kecil
seperti celah. Tapi celah-celah itu membujur bukan memanjang. Sinar matahari
masuk dan situ menerangi tangga remang-remang. Julian mengintip ke luar lewat
salah setu jendela. Indah sekali pemandangan laut dan daratan dan tampak yang
tinggi itu. Julian naik terus sampai ke puncak. Ia sampai di bilik kecil berbentuk
lingkaran. yang dindingnya terbuat dan kaca tebal dan mengkilat. Kawat-kawat
menembus kaca itu ujung-ujungnya melambai-lambai tertiup angin.
Bilik kecil itu sama sekali kosong! Tak ada apa-apa di situ. Paman Quentin juga
tidak! Menara itu rupanya tempat kawat-kawat yang tersangkut pada kait-kait yang
ada di bawah menjulur ke atas dan kemudian menembus kaca. Dan ujung-ujungnya
tergantung bebas di udara. Untuk apa" Mungkinkah kawat-kawat itu dimaksudkan
untuk menangkap gelombang-gelombang radio" Atau ada hubungannya dengan Radar"
Julian mengerutkan kening. Apa sebetulnya kegunaan menara ini. dengan kawat
kawatnya yang halus dan mengkilat"
Saudara-saudaranya ikut masuk, berdesak-desakan dalam bilik sempit itu.
Astaga! Aneh benar tempat ini!" kata George. "Aduh, lapangnya pemandangan di
sini. Kita bisa memandang jauh sekali ke laut - dan dari sini nampak teluk serta
bukit-bukit di daratan "
"Ya, indah sekali," kata Anne "Tapi - di manakah Paman Quentin" Kita masih belum
berhasil menemukannya Jangan-jangan ia sedang ke daratan."
"Tapi kita tadi melihat perahunya di pantai pulau ini," kata George
"Kalau begitu ia mesti ada di sekitar sini," kata Dick "Tapi tidak di puri,
dalam ruangan bawah tanah juga tidak ada. Kita cari ke gua tidak bertemu begitu
pula di sini. Benar-benar misterius."
"Paman hilang! Di mana dia?" tanya Julian "Lihatlah! Bibi Fanny menunggu kita di
bawah. Kasihan makanan sudah lama disiapkan olehnya. Sebaiknya kita turun saja
sekarang. Nah, ia melambai ke arah kita."
"Aku memang kepingin turun lagi," kata Anne "Di sini tidak enak - terlalu sempit
He! Kalian merasakan menara ini bergoyang kena angin" Yuk, kita turun saja
cepat-cepat sebelum roboh!"
Anne bergegas menuruni tangga melingkar sambil berpegangan ke sandaran tangan.
Tangga itu terjal sekali sehingga ia takut jatuh.
Tak lama kemudian semuanya sudah ada lagi di tanah Pintu dikunci lagi oleh
Julian. 'Tak banyak gunanya mengunci pintu jika anak kunci dibiarkan tergantung di
tempatnya," katanya 'Tapi lebih baik kukunci saja!"
Mereka pergi ke tempat Bibi Fanny duduk.
"Kusangka kalian sudah tidak mau turun lagi," kata Bibi. "Ada yang menarik di
atas?" "Cuma pemandangan indah," kata Anne. "Benar-benar mempesona. Tapi Paman Quentin
tidak berhasil kami temukan. Benar-benar aneh! Kami sudah mencari ke mana-mana tapi tatap tak berhasil!"
"Sedang perahunya ada di teluk." kata Dick. "Jadi tak mungkin pergi ke tempat
lain." "Ya, memang aneh " kata Bibi Fanny sambil membagi-bagikan roti. "Tapi aku lebih
mengenal paman kalian. Dia pasti muncul juga nanti. Melihat keadaannya sekarang
mungkin kita takkan berjumpa dengannya, yaitu apabila ia lupa kalian akan
datang. Tapi jika teringat pasti ia muncul."
"Tapi muncul dan mana?" tanya Dick sambil mengunyah-ngunyah roti yang diisi
tumis daging. "Jago benar Paman, pintar menghilang."
"Ah, kalau ia datang nanti kalian akan melihat dan mana ia muncul." kata Bibi
Fanny "Mau roti lagi George" Tidak bukan kamu yang kutawari, Tim! Kau sudah
makan tiga potong." Mereka makan sambil duduk-duduk menikmati kehangatan sinar matahari musim semi.
Enak sekali rasanya makan kalau perut sedang lapar. Untuk minum Bibi Fanny
menyediakan limun jeruk yang dingin dan sedap. Timmy pergi ke sebuah relung di
tengah batu-batu. Anjing itu tahu di situ terkumpul air hujan Anak-anak
mendengar dia minum dengan berisik
"Aneh!" kata Dick dengan tiba-tiba. "Bahkan Timmy pun tidak berhasil menemukan
Paman Quentin. Maksudku - ketika kita mencari tadi, dan tanpa mengetahui pada
suatu ketika berada tak jauh dari tempat Paman mestinya Timmy kan lantas
menggonggong, menggaruk-garuk. Pokoknya berbuat sesuatu! Tapi hal itu tidak
dilakukannya!" "Aku merasa aneh. apa sebabnya Ayah tak berhasil kami temukan di mana-mana,"
kata George "Sungguh! Aku tak mengerti apa sebabnya Ibu tetap tenang-tenang
saja." "Yah, kan sudah kukatakan tadi " jawab ibunya "Aku lebih mengenal ayahmu. Aku
teringat dulu waktu ia sedang sibuk dengan sesuatu dalam gua-gua batu kapur di
Cheddar, ia pernah menghilang di situ selama satu minggu lebih. Tapi kemudian
muncul kembali dalam keadaan selamat, ketika percobaan-percobaannya sudah
selesai " "Tapi toh aneh." kata Anne. Tiba-tiba anak itu tertegun. Mereka mendengar bunyi
yang ganjil. Gemuruh tak tentu arahnya. seperti ada anjing raksasa bersembunyi
sambil menggeram marah. Kemudian menyusul suara mendesis dari arah menara.
Ujung-ujung kawat yang melambai-lambai di puncaknya tiba-tiba menyala seperti
disambar kilat. "Nah! Aku tahu ayahmu ada di sekitar sini," kata ibu George "Waktu aku ke mari
sebelum ini, aku juga sudah mendengar bunyi yang begitu. Tapi aku tak bisa
memastikan dari mana datangnya."
"Dari mana arahnya ya?" kata Dick Kedengarannya seperti langsung dari bawah kaki
kita. Tapi mustahil! Benar-benar misterius!"
Bunyi itu menghilang lagi. Anak-anak melanjutkan makan siang. Tiba-tiba Anne
terpekik. mengagetkan yang lain-lainnya.
"He lihatlah! Itu Paman Quentin! Itu berdiri di sana dekat menara! Ia sedang
memperhatikan burung-burung gagak! Dari mana ia tiba-tiba datang?"
Bab 5 TABIR RAHASIA SEMUANYA memandang ke arah yang ditunjuk Anne. Benarlah! Paman Quentin berdiri
dekat menara. Ia sedang asyik memperhatikan burung-burung sejenis gagak yang
beterbangan di situ Tangannya terbenam dalam-dalam ke kantong celananya. Ia
belum melihat istrinya begitu pula keempat remaja yang sedang makan.
Tim meloncat lalu berlari lari ke tempat Paman. Anjing itu menggonggong dengan
ribut Paman Quentin kaget lalu berpaling. Dilihatnya Timmy yang berlari-lari
mendekat - dan kemudian baru nampak olehnya yang lain-lain. Mereka memandangnya
dengan tercengang. Paman Quentin kelihatannya tidak begitu gembira melihat mereka. Dengan kening
berkerut ia berjalan mendekat.
"Aku tak menyangka kalian akan ke mari hari ini," katanya
"Quentin!" kata istrinya agak mengomel. "Kan sudah kutuliskan untukmu dalam buku
harian. Kau kan tahu sendiri!"
"O ya" Buku harian itu tak pernah kuperhatikan lagi," kata Paman Quentin.
Kelihatannya agak jengkel. "Pantas aku lupa!"
Disalaminya mereka satu per satu.
"Dan mana Paman tadi?" tanya Dick, yang sudah tidak bisa lagi menahan rasa ingin
tahu. "Kami sudah mencari ke mana-mana."
"Di ruang kerjaku" kata Paman Quentin segan-segan
"Ya - tapi di mana?" tanya Dick lagi. "Kami benar-benar tidak bisa menebak di
mana Paman bersembunyi. Kami bahkan naik ke menara untuk melihat apakah Paman
mungkin sedang dalam bilik kaca yang aneh di puncaknya."
"Apa?" kemarahan Paman Quentin tiba-tiba meledak.
"Kalian berani-beraninya naik ke sana"! Kalian bisa saja dilanda mara bahaya
tadi Aku baru saja menyelesaikan suatu percobaan dan kawat-kawat yang ada di
Lima Sekawan 6 Rahasia Di Pulau Kirrin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sana itu ada hubungannya dengan percobaanku."
"Ya - kami juga melihatnya!" kata Julian
"Tak ada urusan kalian datang ke mari - mengganggu pekerjaanku saja," kata
pamannya yang masih kelihatan marah. "Bagaimana kalian sampai bisa masuk ke
menara" Padahal sudah kukunci."
"Ya, memang terkunci," jawab Julian. "Tapi anak kuncinya Paman tinggalkan di
situ - karenanya aku menyangka takkan ada salahnya apabila..."
"Ah! Di situ rupanya kutinggalkan," kata Paman. "Kukira hilang! Yah, pokoknya
jangan naik lagi ke menara Berbahaya!"
"Tapi Paman belum mengatakan di mana tempat kerja Paman," kata Dick. Ia nekat
ingin mengetahui hal itu. "Kami tidak bisa membayangkan tahu-tahu Paman sudah
muncul di sini." "Sudah kukatakan pada mereka kau pasti muncul," kata Bibi Fanny pada suaminya.
"Kau kelihatannya agak kurus sekarang. Pasti makanmu tidak teratur. Padahal dulu
banyak sup yang kubawakan. Tinggal memanaskan saja lagi!"
"O ya?" kata Paman. "Aku tak tahu lagi apakah kumakan atau tidak. Kalau sedang
bekerja aku tak peduli makan atau tidak! Tapi kini aku mau makan roti itu jika
semua sudah kenyang."
Paman Quentin mulai makan. Potongan-potongan roti lenyap beruntun-runtun ke
dalam mulutnya seakan akan ia sedang kelaparan. Bibi Fanny memperhatikan dengan
perasaan prihatin. "Kau kelaparan rupanya, Quentin! Sebaiknya aku ke mari saja untuk merawatmu!
Suaminya kaget. "Jangan! Siapa pun juga tidak boleh datang ke mari! Aku tak mau diganggu selama
bekerja Saat ini aku sedang menyelidiki suatu penemuan yang penting sekali."
"Penemuan yang tak diketahui orang lain?" tanya Anne Matanya terbuka lebar
karena kagum Paman Quentin sangat pintar!
"Yah, tentang itu aku tak begitu pasti," kata Paman Quentin sambil memasukkan
dua potong roti sekaligus ke dalam mulutnya. "Itulah satu alasan. apa sebabnya
aku ke mari - di samping memerlukan air di sekeliling serta di atasku. Firasatku
yang mengatakan ada orang lain yang lebih banyak mengetahui tentang soal ini melebihi kewajaran. Tapi mereka tak mungkin bisa ke mari, apabila tidak
ditunjukkan jalan yang aman melalui batu-batu karang yang mengelilingi pulau
ini. Para nelayan pun hanya beberapa orang saja yang tahu. Dan mereka telah
dilarang mengantarkan orang lain ke mari. Kurasa kau satu-satunya yang juga
mengenal jalannya George."
"Paman - katakanlah di mana tempat Paman bekerja," kata Dick meminta-minta. Ia
sudah tidak sabar lagi ingin menyingkapkan tabir rahasia tempat kerja Paman
Quentin "Jangan ganggu pamanmu lagi " kata bibinya Bibi Fanny kadang-kadang memang
menjengkelkan. Orang ingin tahu dilarang bertanya! "Biar ia makan dulu Pasti
sudah lama perutnya tak terisi."
"Betul tapi," Dick masih belum mau menyerah.
"Dengar kata bibimu, Dick. Aku tak mau direcoki oleh siapa pun di antara kalian!
Kan kalian tidak ada urusannya dengan di mana aku bekerja?"
Ya memang Paman," kata Dick tergesa-gesa "Aku cuma ingin tahu saja! Soalnya.
kami tadi sudah mencari ke mana-mana."
"Ah rupanya kalian tidak secerdik sangkaan kalian sendiri kalau begitu," kata
Paman Quentin sementara tangannya sudah meraih sepotong roti lagi. Bibi Fanny
hanya memandang saja. Sebagian besar dari roti yang sebenarnya disediakan untuk
hidangan minum teh nanti sore sudah habis dimakan Paman. Kasihan! Rupanya sudah
lama tidak makan "Di sini kan tidak ada bahaya mengancam, Quentin"' kata Bibi. "Maksudku, menurut
perasaanmu mungkinkah akan datang orang untuk mengintip seperti pernah terjadi
dulu?" "Tidak. Mana mungkin," kata suaminya "Pesawat terbang mustahil bisa mendarat di
sini. Naik perahu tak mungkin bisa menembus rintangan batu-batu karang - kecuali
jika sudah mengenal jalannya. Berenang terlalu berbahaya. karena ombak terlalu
ganas di dekat-dekat batu.
"Julian, cobalah kauusahakan agar Paman mau berjanji memberi isyarat padaku
setiap pagi dan malam," kata Bibi Fanny pada keponakannya itu. "Aku agak
mengkhawatirkan keselamatannya."
Julian mencoba untuk membujuk pamannya.
"Paman, apakah Paman tidak keberatan untuk memberi isyarat pada Bibi dua hari
sekali?" "Jika kau tak mau, aku akan ke mari setiap hari untuk menengok," kata Bibi
Fanny. "Dan mungkin kami juga akan ikut," sambung Anne untuk mengganggu pamannya. Paman
Quentin nampaknya kaget membayangkan kemungkinan itu.
"Yah, aku bisa saja memberi isyarat setiap pagi dan malam pada saat aku naik ke
atas menara," katanya. "Aku harus naik setiap dua belas jam sekali untuk
mengatur kembali letak kawat-kawat. Saat itu aku akan bisa memberi isyarat.
Pukul setengah sebelas pagi dan setengah sebelas malam."
"Bagaimana isyaratnya menurut niat Paman?" tanya Julian. "Apakah dengan cermin
pada waktu pagi" "Ya - baik idemu itu," kata pamannya "Hal itu bisa kulakukan dengan mudah.
Sedang pada malam hari aku akan mempergunakan senter. Aku akan menyenter ke arah
daratan setiap pukul setengah sebelas malam. Akan kunyalakan enam kali berturutturut. Dengan begitu kalian akan tahu bahwa aku berada dalam keadaan selamat,
dan karenanya tidak mengganggu lagi! Tapi malam ini belum. Aku akan mulai besok
pagi." "Kau kedengarannya jengkel Quentin," kata istrinya "Padahal aku cuma merasa
kurang enak, kau seorang diri di sini. Kelihatannya kau sekarang kurus dan
capek. Pasti kau tidak..."
Seketika itu juga Paman menunjukkan tampang cemberut. Persis seperti George jika
sedang marah. Ia memandang arlojinya.
"Yah, aku harus pergi lagi," katanya. "Pekerjaan menunggu. Kuantarkan kalian ke
perahu." "Kami bermaksud hendak di sini sampai sore, Yah," kata George
"Aku tidak setuju," kata ayahnya sambil bangkit "Ayolah! Kuantarkan kalian ke
perahu." "Tapi sudah lama sekali aku tak melihat pulauku ini," kata George tersinggung
"Aku ingin agak lama di sini. Apa sebabnya tidak boleh?"
"Pekerjaanku sudah cukup lama terganggu," kata ayahnya. "Aku harus meneruskannya
lagi." "Kami takkan mengganggu Paman," kata Dick Ia masih tetap ingin mengetahui di
mana sebenarnya Paman bekerja. Kenapa ia tak mau mengatakannya pada mereka"
Mungkinkah cuma karena tidak mau bilang - atau ada alasannya yang lain"
Paman Quentin bersikap tegar. Ia mendahului berjalan ke arah teluk yang kecil.
Nampak jelas ia sudah bertekad bulat menyuruh mereka pergi.
"Kapankah kami bisa datang menjengukmu lagi?" tanya istrinya.
"Sampai aku mengizinkan," kata Paman. "Tidak lama lagi aku pasti akan selesai
dengan percobaan ini."
Mereka sampai di perahu "Kudorongkan kalian ke air," kata Julian. "Ayo, masuk saja dulu. Selamat tinggal
Paman Quentin. Kudoakan semoga percobaan Paman berhasil baik."
Semua masuk ke perahu Timmy hendak meletakkan kepala ke pangkuan George, tapi
didorong dengan kasar. George merasa jengkel.
"Siap" seru Julian "Kau sudah memegang dayung George" Dick, pegang yang satu
lagi." Julian mendorong perahu ke air lalu meloncat ke dalamnya. Ia mendekatkan kedua
tangannya ke mulut membentuk corong.
"Jangan lupa memberi isyarat Paman!" serunya. "Kami akan menunggu setiap pagi
dan malam." "Jika kau sampai lupa, keesokan harinya kami akan langsung datang menjenguk ke
mari!" seru Bibi Fanny menyambung.
Perahu menyusur perairan teluk kecil itu . dan Paman Quentin lenyap dari
pandangan. Mereka mengitari batu-batu yang membentuk tembok rendah. Tak lama
kemudian sudah sampai di laut lepas.
"Ju, coba kauperhatikan apabila kita sudah melewati batu-batu ini," kata Dick.
"Lihat di mana Paman Quentin dan ke arah mana ia berjalan."
Julian berusaha mencari Paman. Tapi batu-batu itu merintangi sehingga sama
sekali tidak nampak olehnya.
"Apa sebabnya ia tidak menghendaki kita agak lama di sini?" kata Dick. "Pasti
karena takut kita akan mengetahui tempatnya bersembunyi! Dan apa sebabnya kita
tidak boleh tahu" Karena tempat itu tidak kita ketahui!"
"Tapi sebelum ini kusangka kita sudah mengenal setiap penjuru pulau," kata
George "Ayah jahat tidak mau mengatakan di mana tempat itu, jika ternyata memang
belum kuketahui. Tidak bisa kubayangkan, di mana sebenarnya tempat itu."
Timmy meletakkan kepalanya lagi ke pangkuan George. Anak itu sedang sibuk
berpikir-pikir menebak tempat ayahnya bekerja sambil bersembunyi. Karena itu
tanpa disadari dielus-elusnya kepala anjing itu. Timmy merasa lega. Rupanya
bukan ia yang dimarahi tadi.
"Benar-benar misterius ya, Dick?" kata George lagi. "Di mana kiranya tempat Ayah
itu?" "Entahlah, aku juga tidak bisa menebaknya.'' jawab Dick. Ia menoleh ke arah
pulau. Sekawanan burung hitam menggelepar terbang, sambil berteriak-teriak
dengan berisik. Dick memperhatikan burung-burung yang sejenis dengan gagak itu. Apakah yang
menyebabkan mereka tiba-tiba terbang" Mungkinkah Paman Quentin yang
menyebabkannya" Barangkali tempat persembunyiannya di dekat-dekat menara tua itu
yang dijadikan tempat bersarang burung-burung itu! Tapi di pihak lain, burungburung itu saring kali tiba-tiba terbang tanpa alasan tertentu!
"Berisik sekali burung-burung itu," katanya "Mungkin tempat Paman bersembunyi
tidak jauh dari tempat mereka hinggap dekat menara itu."
"Tak mungkin," kata Julian membantahnya. "Tempat di sekitar situ sudah kita
periksa tadi." "Benar-benar misterius," kata George dengan suara suram. "Bayangkan, ada rahasia
di pulauku sendiri - dan aku dilarang ke situ untuk menyingkapkannya Sama sekali
tidak menyenangkan!"
Bab 6 DI ATAS TEBING HUJAN turun keesokan harinya. Keempat remaja itu memakai mantel dan topi
pelindung hujan lalu berjalan-jalan ke luar bersama Timmy. Mereka tidak
mengacuhkan keadaan cuaca yang begitu. Julian bahkan mengatakan ia suka sekali
merasakan angin dan air hujan menampar-nampar muka.
"Kita kemarin lupa," kata Dick "Kalau matahari tidak bersinar mana mungkin Paman
Quentin bisa memberi isyarat pada kita dengan cermin! Atau mungkinkah ia akan
mencari jalan lain menurut perasaan kalian"'
"Tidak," kata George. "Dia takkan mau repot-repot! Aku yakin menurut anggapannya
kita ini terlalu cerewet. Jadi kita harus berjaga-jaga pukul setengah sebelas
malam nanti, untuk melihat apakah dia memberi isyarat."
''He! Kalau begitu aku boleh bangun sampai selarut itu?" kata Anne. Ia sudah
senang saja. "Kurasa tidak," jawab Dick. "Kalau aku dan Julian, kami akan menunggu sampai
saat itu! Tapi kalian masih kecil jadi harus cepat tidur!"
George menonjoknya. "Siapa yang kaukatakan kecil hah"! Aku sudah hampir sama tinggi denganmu!"
"Kurasa tak banyak gunanya masih menunggu sampai setengah sebelas untuk melihat
apakah Paman masih akan memberi isyarat dengan salah satu jalan," kata Anne.
"Lebih baik kita ke atas tebing saja sekarang. Di sana pasti banyak angin! Tim
pasti senang. Aku suka melihatnya berlari-lari memotong angin! Kupingnya lurus
ke belakang!" Timmy menggonggong sekali tanda membenarkan kata Anne.
"Katanya ia juga senang melihat telingamu lurus ke belakang ditiup angin," kata
Julian dengan serius. Anne tertawa keras.
"Kau benar-benar konyol. Ju! Yuk kita naik ke tebing!"
Mereka pun mendaki tebing. Di puncaknya angin bertiup sangat keras. Topi yang
dipakai Anne terdorong ke belakang padahal sudah diikat kuat-kuat. Siraman hujan
terasa pedas mengenai pipi menyebabkan mereka agak sukar menarik napas.
"Kurasa cuma kita saja yang mau ke luar pagi ini," kata George dengan suara
putus-putus. "Kau keliru," kata Julian "Lihatlah! Ada dua orang berjalan menuju ke mari."
Benarlah! Seorang pria dewasa dan seorang anak laki-laki. Keduanya memakai
mantel dan topi hujan. Mereka juga memakai sepatu lars tinggi dari karet seperti
George dan ketiga saudara sepupunya.
Keempat remaja itu memperhatikan keduanya ketika lewat. Lelaki yang dewasa
bertubuh jangkung dan tegap. Alisnya tebal, sedang bentuk mulutnya menunjukkan
watak keras. Sedang anak laki-laki yang berjalan bersama orang dewasa itu
umurnya sekitar enam belas tahun. Tubuhnya juga jangkung dan tegap. Sebetulnya
tampangnya lumayan, sayang air mukanya masam.
"Selamat pagi," sapa yang dewasa sambil menganggukkan kepala
"Selamat pagi," jawab George beserta saudara-saudaranya dengan sopan. Orang itu
memperhatikan mereka dengan seksama sejenak, lalu meneruskan perjalanan bersama
anak muda yang di sampingnya.
"Siapakah mereka"' George bertanya tanya pada diri sendiri. "Ibu tidak
mengatakan di sini ada orang baru pindah."
"Mungkin dan desa sebelah kebetulan jalan-jalan ke mari," kata Dick.
Keempat remaja itu meneruskan berjalan
"Kita ke pondok pengawas pantai dan sudah itu kembali," kata Julian "Awas Tim!
Jangan terlalu minggir ke tepi tebing."
Pengawas pantai tinggal di sebuah pondok kecil di tebing itu menghadap ke laut.
Pondok itu dilabur dengan kapur putih. Di sisi tempat kediaman itu masih ada dua
pondok lagi juga dilabur dengan kapur putih. Keempat remaja itu kenal baik
dengan penjaga di situ. Orangnya bertubuh seperti tong. Mukanya merah dan gemar
berkelakar. Ketika mereka sampai di pondoknya orang itu tidak kelihatan. Tapi kemudian
terdengar suaranya yang lantang menyanyikan sebuah lagu pelaut. Suaranya datang
dari arah bangunan gudang kecil yang terletak di belakang rumah. Mereka langsung
ke sana. "Apa kabar Pak!" sapa Anne
Orang itu menoleh memandang keempat remaja itu sambil tersenyum lucu. Ia sedang
sibuk membuat sesuatu. "Hai apa kabar!" serunya. "Kalian muncul lagi rupanya! Dasar anak-anak bandel!
Selalu muncul. kalau orang sedang repot!"
"Sedang bikin apa Pak?" tanya Anne
"Anu - kincir angin! Untuk cucuku," jawabnya sambil menunjukkan barang itu pada
Anne. Pak penjaga pantai memang pandai membuat barang-barang mainan.
"Aduh, bagusnya," kata Anne sambil menimang benda itu "Kincirnya berputar tidak
- ah, bisa - benar-benar hebat, Pak!"
"Sudah banyak kuterima uang hasil penjualan alat-alat permainan yang kubikin,"
kata pak tua itu dengan bangga. "Di pondok sebelah ini ada tetangga baru!
Seorang laki-laki beserta anaknya. Seorang pemuda! Semua alat-alat permainan
yang kubuat diborongnya Rupa-rupanya orang itu banyak keponakannya! Dan harga
pembayarannya juga lumayan."
"Ah - mungkinkah mereka yang kita jumpai tadi?" kata Dick. "Kedua-duanya tinggi
dan tegap Yang tua beralis tebal!"
"Betul," kata penjaga pantai sambil mengikis daun kincir sedikit. "Pak Curton
beserta putranya. Mereka pindah ke mari beberapa minggu yang lalu. Julian, kau
cocok jika berteman dengan putranya itu. Umur kalian kurasa sebaya. Ia pasti
kesepian di sini." "Dia tidak bersekolah?" tanya Julian
"Tidak! Kata ayahnya, ia baru saja sembuh dari sakitnya. Sekarang perlu sering
menghirup hawa laut. Pokoknya begitulah! Anaknya baik. Ia kadang-kadang ke mari
membantu aku membuat barang-barang mainan Dan ia senang bermain-main dengan
teropongku." "Aku juga," kata George "Aku paling senang memandang berkeliling dengan teropong
bapak. Bolehkah aku meminjam sebentar sekarang" Aku ingin tahu bisa atau tidak
melihat Pulau Kirrin."
"Tak banyak yang bisa kaulihat dalam keadaan cuaca seperti sekarang" kata
penjaga pantai. "Tunggulah beberapa menit lagi. Kau lihat lubang di tengah
lapisan awan itu" Nah. sebentar lagi cuaca akan agak cerah. Saat itu kau akan
bisa melihat pulaumu dengan mudah. Aneh kelihatannya bangunan yang dibuat ayahmu
di sana, George. Mestinya termasuk dalam rencana pekerjaannya "
"Memang," jawab George "Aduh, Timmy! Wah, Pak - kalang cat Anda ditumpahkannya
Kau bandel, Timmy!" "Bukan kepunyaanku," jawab pengawas pantai. "Kaleng itu milik pemuda yang
tinggal di sebelah. Kan sudah kukatakan tadi kadang-kadang ia ke mari untuk
membantuku. Kaleng cat itu dibawanya ke mari, untuk mengecatkan rumah boneka
yang kubikinkan untuk ayahnya."
"Aduh," kata George cemas. "Akan marahkah dia nanti, jika mengetahui bahwa Timmy
Lima Sekawan 6 Rahasia Di Pulau Kirrin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menumpahkan catnya?"
"Ah kurasa tidak," jawab pengawas pantai ''Tapi anak itu memang agek aneh.
Pendiam dan agak masam mukanya. Tapi tidak jahat walau dibilang ramah juga tidak
bisa." George berusaha membereskan cat yang tumpah. Kaki Timmy kena cat sedikit. Di
lantai gudang itu nampak bekas tapaknya berwarna hijau.
"Nanti jika berjumpa lagi kalau kita kembali, aku akan minta maaf padanya," kata
George. "Awas kau Tim - kalau berani dekat-dekat lagi ke kaleng-kaleng itu!"
"Langit sudah agak cerah sekarang," kata Dick "Boleh kah kami meminjam teropong
Anda sebentar Pak?" "Aku dulu," kata George dengen segera. "Aku ingin melihat pulauku." Diarahkannya
teropong ke Pulau Kirrin Ia memandang dengan seksama sambil tersenyum.
"Ya, bisa kuiihat dengan jelas. Itu menara yang dibangun Ayah. Bahkan bilik kaca
di puncaknya nampak pula dengan jelas. Tak ada siapa-siapa di situ Ayah tidak
kelihatan." Mereka silih berganti memandang lewat teropong. Asyik rasanya melihat pulau itu
begitu dekat dan jelas. Pada hari yang cerah semuanya pasti terlihat lebih jelas
lagi. "Aku bisa melihat seekor kelinci melompat lompat," kata Anne ketika ia mendapat
giliran meneropong. "Kalau begitu jangan perbolehkan anjing kalian ikut meneropong," kata pengawas
pantai dengan segera. "Jangan-jangan nanti ia masuk ke dalam teropong karena
ingin mengejar kelinci!"
"Begitu mendengar kata keiinci disebut-sebut dengan segera kuping Timmy menegak.
Anjing itu celingukan sambil mencium-cium. Ah, mana ada kelinci di situ"! Apa
sebabnya dikatakan ada kelinci"
"Sebaiknya kita pulang saja dulu sekarang," kata Julian. "Lain kali kita bisa
datang lagi untuk melihat barang barang mainan yang Anda buat. Terima kasih
karena sudah dipinjami teropong."
"Kembali," kata pengawas pantai yang sudah tua itu. "Teropongku takkan aus jika
dipakai untuk meneropong. Silakan datang kapan saja kalian mau!"
Setelah minta diri keempat remaja itu pergi. Mereka berjalan sementara Timmy
melonjak-lonjak mengitari.
"Pulau Kirrin tidak begitu nampak jelas tadi!" kata Anne. "Padahal aku ingin
mehhat di mana ayahmu sedang berada George! Siapa tahu kita melihatnya ketika
sedang muncul dari tempat persembunyiannya!"
Persoalan itu sering mereka percakapkan sejak meninggalkan Pulau Kirrin. Mereka
sungguh-sungguh bingung. Bagaimana mungkin ayah George tahu tempat persembunyian
yang tidak mereka ketahui" Padahal setiap jengkal tanah di pulau itu sudah
mereka periksa. Dan tampat persembunytan itu mestinya cukup luas karena di
tempat itu ada segala peralatan yang diperlukan Paman Quentin untuk melakukan
percobaan. Menurut ibu George cukup banyak peralatan itu! Belum lagi perbekalan
makanan. "Jika Ayah mengetahui suatu tempat yang belum kukenal dan ia tak mau
mengatakannya padaku kurasa sikapnya itu jahat," kata George berulang kali.
"Sungguh Ayah jahat! Kan pulau itu milikku!"
"Ah, mungkin nanti akan dikatakannya juga padamu jika percobaannya sudah
selesai," kata Julian. "Dan kalau kau sudah tahu, kita akan bisa memeriksanya ke
sana." Mereka berjalan pulang. menyusur tepi tebing. Kemudian mereka melihat pemuda
yang tadi. Ia berdiri di jalan pasir, menatap ke tengah laut. Pemuda itu sendiri
tidak bersama ayahnya. Ia berpaling ketika keempat remaja itu sudah dekat. lalu tarsenyum hambar.
"Halo! Sapanya. "Kalian tadi ke rumah pengawas pantai?"
"Ya," jawab Julian. "Pak tua itu ramah ya?"
"O ya," kata George. "Maafkan tadi anjingku menumpahkan cat berwarna hijau. Kata
pengawas pantai, kaleng itu kepunyaanmu. Kuganti harganya!"
"Aduh, jangan!" kata pemuda itu "Itu kan tidak apa-apa. Isinya juga tinggal
sedikit. Anjingmu bagus!"
"Memang,'' kata George senang. "Anjing terbagus di dunia. Sudah bertahun-tahun
kupelihara, semenjak masih kecil sekali. Kau senang pada anjing?"
"O ya," kata pemuda itu. Tapi ia tidak menepuk-nepuk kepala Timmy, atau
mengeius-elus bulunya - seperti yang biasa dilakukan orang. Sedang Timmy juga
tidak menghampiri pemuda itu untuk mencium-cium kaki celananya. Padahal
kebiasaannya begitu jika bertemu dengan seseorang yang baru dikenal. Timmy tetap
di sisi George. Ekornya tidak bergerak-gerak.
"Menarik sekali pulau kecil itu," kata pemuda itu sambil menunjuk ke Pulau
Kirrin. "Aku mgin bisa pergi ke sana."
"Pulau itu milikku," kata George dengan bangga "Kepunyaanku pribadi!"
"O ya?" kata pemuda itu dengan sopan. "Kalau begitu bolehkan aku sekali-sekali
ke sana?" "Yah - tapi saat ini tidak bisa," kata George. "Soalnya ayahku sekarang sedang
di sana - bekerja! Ayahku seorang sarjana!"
"O ya?" kata pemuda itu sekali lagi. "Ah - kalau begitu, ia sedang melakukan
salah satu percobaan yang baru di sana?"
"Memang," jawab George
"Oh - dan menara aneh itu tentu ada hubungannya dengan percobaan itu," kata
teman mereka yang baru. Nampak bahwa minatnya mulai timbul "Kapankah
percobaannya selesai?"
"Kenapa kau ingin tahu?" tanya Dick sekonyong-konyong. Saudara-saudaranya
menoleh ke arahnya dengan heran. Suara Dick kedengaran agak kasar. Bukan begitu
kebiasaannya! "Ah, bukan karena apa-apa," kata pemuda itu bergegas. "Aku cuma menyangka jika
pekerjaannya sudah hampir selesai mungkin adik laki-lakimu ini kemudian akan
mengajakku ke pulaunya!"
George merasa senang. Pemuda itu menyangka ia anak laki-laki. Dan George salalu
ramah pada orang-orang yang menyangka dia laki-laki.
"Tentu saja kau akan kuajak ke sana!" katanya "Kurasa sebentar lagi sudah bisa karena percobaan Ayah sudah hampir selesai."
Bab 7 PERTENGKARAN KECIL KETIKA itu mereka mendengar sesuatu lalu berpaling. Ternyata ayah pamuda itu
yang datang, naik ke atas tebing.
"Ah, kalian sudah berkenalan?" katanya ramah. "Syukurlah! Anakku kesepian sekali
di sini. Kapan-kapan datang berkunjung ke rumah kami ya! Sudah selesai kalian
mengobrol, Nak?" "Ya," jawab pamuda itu. "Kata anak laki-laki ini, pulau itu miliknya. Aku akan
diajaknya ke sana, jika ayahnya sudah menyelesaikan pekerjaannya di tempat itu.
Katanya tak lama lagi."
"Dan kau juga mengetahui jalan melewati batu-batu perintang yang tajam-tajam
itu?" kata lelaki yang baru datang. "Kalau aku mencobe-coba saja sudah tak
bereni! Aku pernah mengobrol dengan para nelayan tapi ternyata tak seorang pun
di antara mereka tahu jalan yang aman ke pulau!"
Aneh! Padahal bebarapa di antara nelayan itu sebetulnya mengetahUi jalan ke
sana. Kemudian anak-anak teringat lagi pada kata-kata Paman Quentin. Para
nelayan semuanya dilarang mengantarkan siapa saja ke pulau selama paman sibuk
bakerja di situ. Jadi sudan jelas. mereka hanya pura-pura saja tidak tahu jalan.
Mereka mematuhi larangan! "Jadi Anda juga ingin ke sana?" tanya Dick tiba-tiba
"Ah tidak! Tapi anakku ini ingin sekali," kata orang itu. "Aku sendiri tidak
kepingin mabuk laut terombang ambing ombak dekat pulau itu. Aku tidak punya
darah pelaut! Kalau masih bisa menghindarkannya lebih baik aku tidak berlayar!"
"Yah, kami harus pulang sakarang," kata Julian. "Masih harus belanja sebentar
untuk Bibi kami." "Kapan-kapan mampir ya," kata orang itu "Di rumah ada pesawat televisi. Datang
saja sore-sore "Wah terima kasih!" kata George. Ia jarang menonton televisi karena di rumahnya
tidak ada pesawat itu. "Kami pasti datang!"
Mereka pun berpisah dan keempat remaja berjalan menuruni tebing
"Kenapa tadi sikapmu sekasar itu Dick?" kata George setelah mereka agak jauh.
"Caramu mengatakan 'Kenapa kau ingin tahu' tadi kedengarannya seperti menghina."
"Soalnya aku agak curiga," kata Dick menjelaskan. "Anak tadi nampaknya tertarik
sekali pada pulaumu dan pada pekerjaan yang dilakukan ayahmu di sana ia
menanyakan kapan selesai!"
"Kenapa tidak boleh?" balas George. "Setiap orang di desa merasa tertarik.
Mereka semua tahu tentang menara yang ada di sana, pemuda tadi kan cuma ingin
mengetahui kapan ia bisa ke sana! Karena itu ditanyakannya kapan pekerjaan
ayahku selesai. Aku suka padanya."
"Ah, itu kan hanya karena dia begitu tolol mengira kau laki-laki," kata Dick.
"Anak laki-laki model begitu seperti perempuan!"
George langsung marah "Kau ini jahat!" tukasnya. "Tampangku tidak seperti perempuan. Bintik-bintikku
lebih benyak dibandingkan dengan yang ada di mukamu. Dan alisku lebih tebal!
Suaraku juga bisa kubikin lebih berat."
"Ah, kau ini konyol," kata Dick jengkel. "Cewek juga banyak bintik-bintik di
mukanya Kurasa pemuda tadi tidak sungguh-sungguh menyangka kau anak laki-laki.
Ia cuma pura-pura saja mencari muka! Pasti ia sudah mendengar juge kau suka
berlagak seperti laki-laki."
George menghampiri Dick dengan tampang yang begitu beringas sehingga Julian
cepat-cepat menengahi. "He he! Jangan berkelahi," katanya. "Kalian bukan anak kecil lagi. Kalian berdua
saat ini seperti bayi - bukan anak laki-laki atau perempuan!"
Anne memperhatikan mereka dengan ketakutan. Biasanya Georga tidak sampai semarah
saat itu. Dan memang aneh, apa sebabnya Dick bersikap begitu kasar pada pemuda
di atas tabing tadi. Tiba-tiba terdengar Tim yang mendengking pelan. Ekornya
terkulai ke bawah sedang tampangnya nampak kecut.
"George lihatlah!" kata Anna "Ia tidak sanang jika kau bertengkar dengan Dick.
Lihatlah tampangnya!"
"Ia tadi juga tidak senang pada pemuda itu," kata Dick. "Itu juga kurasakan
aneh. Dan kalau Timmy tidak suka pada seseorang, aku pun ikut tidak
menyukainya." "Timmy tidak selalu langsung menyukai seseorang," kata George. "Tapi dia tadi
tidak menggeram atau menunjukkan taring. Ya, baiklah - Julian. Aku bukan mau berkelahi Tapi Dick memang konyol! Soal
kecil saja dibesar-besarkan - hanya karena ada yang menaruh minat pada pekerjaan
ayahku dan Timmy tidak langsung melonjak-lonjak karena senang. Pemuda tadi
sikapnya serius! Jadi tidak aneh jika Timmy juga agak menahan diri. Mungkin
Timmy tahu pemuda itu tidak suka jika diloncati anjing. Timmy memang anjing yang
cerdik." "Ah sudahlah!" kata Dick. "Aku menyerah kalah! Mungkln aku memang terlalu
cerewet. Tapi aku juga tak bisa menyembunyikan perasaanku itu."
Anne mengnembuskan napas lega. Partengkaran salesai dengan damai. Ia barharap
semoga tidak terulang kembali. Sejak kembali ke rumah, George cepat sekali
tersinggung. Mudan-mudahan Paman Quentm cepat selesai dengan percobaannya.
Mereka akan bisa pergi ke pulau sesering keinginan mereka. Pasti suasana akan
cerah kembali! "Aku kepingin nonton televisi," kata George. "Kita ke sana yuk - sore-sore!"
"Ayo," kata Julian. "Tapi kurasa ada baiknya jika kita menghindari percakapan
tentang pekerjaan ayahmu. Bukannya kita banyak mengetahui tentangnya - tapi di
pihak lain kita juga sudah mendenger bahwa pernah ada orang hendak mencuri salah
satu teori yang disusun Paman. Sekarang ini rahasia para sarjana penting sekali
artinya George." Hari itu cepat berlalu. Cuaca menjadi cerah dan matehari bersinar terang. Udara
penuh dangen bau kembang tercampur hawa laut. Segar! Keempat remaja itu pergi
berbelanja untuk Bibi Fanny. Dalam perjalanan pulang mereka mampir sebentar
untuk mengobrol dengen James anak nelayan teman mereka.
"Rupanya pulaumu diambil alih ayahmu saat ini, George," kata James sambil
nyengir. "Sayang, jadi kalian tidak bisa terlalu saring ke sana. Dan kudangar
orang lain juga tak diperbolehkan datang."
"Memang betul," jawab George. "Untuk sementara waktu semua orang dilarang pergi
ke Pulau Kirrin. Kau dulu ikut membawakan barang-barang ayahku ke sena James?"
"Ya! Soalnya aku kan tahu jalan kerena pernah ikut denganmu," kata James. "Nah,
bagaimana pendapatmu tentang perahu milikmu" Kan kaulihat waktu ke sana kamarin"
Bagus kan caraku membenahinya"
"Bagus, James," kata George dengan senang "Kau memperbaikinya sehingga sekarang
nampak bagus sekali! Lain kali kalau kami ke pulau kau ikut ya!"
"Terima kasih," jawab James. Ia nyengir lagi. Anak itu memang murah sanyum
menunjukkan sederetan gigi putih bersih. "Kau ingin menitipkan Timmy di Sini
untuk seminggu atau dua" Lihatlah, ia kepingin tinggal di sini!"
George tertawa. Ia tahu James cuma berkelakar. Tapi anak itu memang senang pada
Timmy. Sedang Timmy juga menyukai anak nelayan itu. Ia belum melupakan bagaimana
baiknya James marawatnya dulu.
Petang itu cuaca cerah. Air teluk biru, di sana sini nampak ombak-ombak kecil
memutih. Georga dan katiga saudara sepupunya mamandang ka arah Pulau Kirrin.
Pulau itu selalu kalihatan indah pade saat sasore itu.
Kaca pelapis bilik di puncak menara berkilauan ditimpa sinar matahari sore.
Kalihatannya seperti ada orang yang mamberi isyarat dari sana. Tapi dalam bilik
kacil itu tidak ada siapa-siapa. Pada saat anak-anak menatap itu tardenger bunyi
gemuruh di kajauhan. Dan tiba-tiba puncak manara memancarkan sinar aneh.
"Lihatlah! Parsls seperti kemarin!" kata Julian bersemangat. "Rupanya ayahmu
memang sedang bekerja, George. Aku ingin tahu parcobaan apa yang sedang
dilakukan olehnya." Kemudian terdengar suara menderum mirip bunyi pesawat terbang. Kaca di puncak
menara kambali mamancarkan sinar berkilat-kilat saakan-akan ada semacam kekuatan
menyambur dan ujung-ujung kawat.
"Aneh," kata Dick. "Dan agak seram! Aku kepingin tahu di mana ayahmu saat ini
George!" "Tanggung dia sudah lupa makan lagi," kata Georga. "Kemarin begitu lahap ia
memakan roti - mestinya sudah lapar sekali. Sayang Ibu tak diijinkannya ke sana
untuk mengurusnya." Saat itu Bibi Fanny masuk.
"Kalian juga mendengar bunyi tadi?" katanya. "Kurasa pasti itu ayahmu yang
sedang sibuk dengan percobaannya, Gaorge. Aduh, mudah-mudahan jangan sampai
meledak!" "Bibi Fanny bolahkah aku malam ini bangun sampai pukul setengah sabelas?" tanya
Anne penuh harap. "Maksudku untuk melihat isyarat Paman Quantin."
"Astaga, jangan!" kata Bibi. "Tidak ada yang perlu bangun sampai selarut itu.
Aku sendiri bisa menunggu!
"Aku dan Dick kan bisa bengun sampai saat itu," kata Julian. "Di sekolah pun
baru pukul sapuluh malam kami tidur!"
"Ya - tapi ini pukul setengah sebelas," jawab Bibi Fanny. "Dan saat itu pun
kalian nanti belum berada di tempat tidur. Tapi kalian bisa saja menunggu
tibanya isyarat itu di tempat tidur. Itu kalau kalian mau - dan belum sampai
tertidur!" "Oya - bisa juga begitu," kata Julian. "Jandela kamarku menghadap ka Pulau
Kirrin Apa janji Paman" Ia akan menyorotkan sentarnya enam kali berturut-turut"
Baiklah! Akan kuhitung nanti dangan seksama.
Keempat remaja itu masuk ke tampat tidur masing-masing pada waktu saperti
biasanya. Jauh sebelum pukul setengah sebelas. Anne sudah tidur nyanyak. Sedang
Georga juga sudah sangat mangantuk sehingga tak kuat lagi bangun dan pergi ke
kamar kedua saudara sepupunya yang laki-laki. Tapi Dick dan Julian mata kedua
remaja itu masih terbuka lebar. Sambil berbaring di tempet tidur mereka menatap
ke luar jendala. Malam itu bulan tidak bersinar. Tapi langit cerah dan nampak
berjuta bintang berkalip-kelip. Laut gelap gulita. Pulau Kirrin sama sekali
tidak kalihatan. Hilang ditelan malam.
"Sudah hampir setengah sebelas," kata Julian sambil menengok ke arlojinya. "Nah,
mana isyaratnya Paman Quentin?"
Seakan-akan pamannya bisa mendengar kata katanya saat itu juga nampak sinar
memancar dari arah laut. Mestinya datang dari puncak menara. Sinar itu kecil
tapi terang saperti sinar senter.
Juhan mulai menghitung. "Sekali," Berhenti sebentar. "Dua kali." Berhenti lagi. "Tiga... empat.. lima..
enam!" Sorotan sinar berhenti memancar. Julian merebahkan diri ke tempat tidur.
"Nah sekarang kita tahu Paman Quentin selamat. Wah, ngeri juga membayangkan
Paman menaiki tangga melingkar dalam menara yang gelap - hanya untuk mengurus
kawat-kawat yang ada di puncaknya."
"Hmmm," jawab Dick dengan suara mengantuk. "Lebih baik dia daripada aku yang
harus mengerjakannya. Kalau kau ingin menjadi sarjana silakan Ju - kalau aku,
aku tak ingin naik ke menara di sebuah pulau kecil yang sunyi di tengah malam
lagi. Kalau aka paling sedikit minta ditemani Timmy!"
Saat itu terdengar pintu kamar diketuk dari luar. Pintu terbuka. Dengan segera
Julian duduk lagi. Ternyata Bibi Fanny yang datang.
Lima Sekawan 6 Rahasia Di Pulau Kirrin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau juga melihat sorotan sinar tadi Julian" Aku lupa menghitung berapa kali
jumlahnya. Benarkah enam kali?"
"Ya, Bibi Fanny! Kalau ada yang tidak beres. pasti aku tadi sudah cepat-cepat ke
bawah untuk memberitahu. Paman dalam keadaan selamat. Bibi tak perlu was-was."
"Sayang aku tak memintanya agar menyorotkan sentarnya sekali lagi untuk
membaritahukan bahwa ia sudah makan sup yang enak itu," kata Ibunya. "Ah,
sudahlah Selamat tidur Julian!"
Bab 8 DI TEMPAT PENGGALIAN BATU
MATAHARI bersinar cerah ketika mereka bangun pagi hari Mereka sarapan sambil
ribut merencanakan apa saja yang akan mereka lakukan hari itu.
"Bolehkah kami pergi berenang Bibi Fanny" Sekarang kan sudah cukup panas
bawanya! Boleh ya Bi?"
"Tentu saja tidak! Mana ada orang berenang di laut dalam bulan April!" jawab
Bibi Fanny "Airnya masih terlalu dingin. Kalian ingin berbaring selama liburan
ini karena terserang pilek?"
"Yah kalau begitu kita berjalan-jalan saja ke padang belantara di belakang
Pondok Kirrin," kata George "Tim pasti akan menyukainya. Ya kan Tim?"
Tim menggonggong tanda setuju sementara ekornya memukul-mukul lantai.
"Kalian bisa membawa bekal makan siang kalau mau," kata Bibi. "Akan kupersiapkan
dulu." "Rupanya Bibi senang jika kita menghilang dan sini untuk beberapa saat," kata
Dick sambil meringis jenaka. "Aku tahu apa yang bisa kita lakukan. Kita pergi ke
bekas tempat penggalian batu. Di sana kita mencari senjata-senjata prasejarah!
Di sekolah kami ada museum yang bagus. Aku ingin membawa pulang ujung panah dan
batu atau benda semacam itu untuk memperlengkap museum kami!"
Mereka semua gemar mencari-cari benda kuno. Dan mereka pun senang bisa pergi ke
tempat yang dulunya merupakan tambang batu. Dalam lubang itu pasti hangat!.
Mudah-mudahan kita tidak menjumpai biri-biri mati lagi seperti dulu," kata Anne
sambil bergidik. "Kasihan sekali binatang itu! Pasti ia terperosok ke dalam dan
mengembik-ngembik minta tolong."
"Pasti tidak ada lagi," kata Julian menenangkan adiknya "Tapi di tepi lubang,
jelas akan kita temui bunga-bungaan yang tumbuh di situ. Tempat itu terlindung
dan gangguan angin jadi bunga-bunga cepat mekar."
"Tolong bawakan mawar kuning," kata Bibi Fanny. "Carikan yang besar-besar ya!
Dan yang banyak supaya bisa kupakai menghias rumah!"
"Nanti sementara Julian dan Dick mencari ujung panah kami akan memetik mawar
untuk Bibi," kata Anne bergembira. "Aku senang memetik bunga-bungaan.
"Dan Tim tentu saja ia akan berburu kelinci! Mudah-mudahan cukup banyak untuk
mengisi tempat persediaan makanan Bibi dan atas sampai ke langit," kata Dick
dengan suara bersungguh-sungguh. Tim menggonggong seolah olah menyetujui tugas
yang diserahkan padanya itu.
Tapi mereka masih menunggu sampai datang isyarat dan Paman Quentin pukul
setengah sebelas. Dan isyarat itu ternyata datang enam kali kilatan cermin yang
memantulkan sinar matahari. Kilatannya menyilaukan!
"Paman pandai memberi isyarat!," puji Dick. "Selamat pagi dan sampai nanti
Paman! Kami akan menunggu isyarat Paman lagi nanti malam. Bagaimana semua siap
untuk berangkat?" "Yaaa! Ayo, Tim! Siapa yang membawa roti" Wah hangat sekali sinar matahari."
Bekas tambang batu itu letaknya tidak terlalu jauh dan rumah tak sampai lima
ratus meter. Karena itu anak-anak berjalan-jalan dulu sebelumnya supaya Timmy
bisa bergerak sedikit. Kemudian barulah mereka menuju tambang batu.
Tempat itu aneh. Di jaman dulu di situ dilakukan penggalian batu sampai dalam
sekali tapi kemudian ditinggalkan. Sekarang sisi lubang dipenuhi semak-semak
kecil ditumbuhi rumput serta berbagai jenis tumbuh-tumbuhan.
Sisi lubang itu sangat terjal. Tidak ada jalan menuju ke bawah karena tidak
sering orang ke situ. Tambang batu itu bentuknya seperti mangkok raksasa - tapi
dindingnya sama sekali tidak licin. Di mana-mana nampak bunga yang mekar, indah
sekali pemandangannya! "Aduh. indahnya!" seru Anne. Ia berdiri di tepi lubang memandang ke bawah "Hebat
sekali! Belum pernah kulihat bunga sebanyak di sini."
"Hati-hati sedikit Anne," kata Julian memperingatkan "Tepi lubang mi sangat
terjal. Jika kau salah pijak, kau akan langsung terguling sampai ke bawah. Bisa
patah tangan atau kakimu nanti!"
"Aku akan berhati-hati," jawab Anne "Kulemparkan keranjangku terlebih dulu ke
bawah. Dengan begitu aku akan bisa berpegangan dengan kedua belah tangan ke
semak, jika perlu akan kuisi keranjangku sampai penuh dengan bunga!"
Anne melemparkan keranjangnya ke dasar lubang, lalu menyusul turun ke bawah.
Bersama George ia memetik kembang. sedang Julian dan Dick mulai sibuk mencari
senjata jaman dulu yang terbuat dari batu.
"Halo! Tiba-tiba terdengar suara orang menyapa dari tempat yang lebih ke bawah
lagi dari mereka. Keempat remaja itu tertegun karena heran. Sedang Timmy mulai
menggeram-geram. "Ah, kau rupanya!" kata George. Dikenalinya pemuda yang berbicara dengan mereka
kemarin "Ya, betul. Kurasa kalian belum mengetahui namaku. Aku Martin Curton." kata
pemuda itu. Julian juga menyebut nama mereka setu per satu.
"Kami hendak berpiknik di sini," katanya "Kecuali itu juga hendak melihat.
mungkin di sini ada benda-benda peninggalan jaman dulu. Senjata dari batu! Kau
ke mari mencari apa?"
Anu - juga ingin mencari senjata dari batu," kata pemuda itu.
"Sudah ada yang kautemukan?" tanya George.
"Belum." "Yah kalau di situ pasti tak ada," kata Dick. "Masa mencari dalam semak Di sini
kau harus mencari. Tanah di sini berkerakal."
Dick sengaja bersikap ramah untuk mengimbangi kekasarannya kemarin. Martin
menghampiri mereka lalu mulai mengorek-ngorek tanah bersama Dick dan Julian.
Kedua remaja itu membawa sekop Sedang Martin mengorek-ngorek dengan tangannya.
"Panas ya di sini," seru Anne "Kubuka saja jasku."
Kepala Timmy terbenam sampai bahu dalam sebuah liang kelinci. Anjing itu sibuk
mengorek-ngorek sehingga tanah berhamburan ke belakang.
"Jangan dekat-dekat dengan Timmy jika tidak kepingin tertimbun tanah!" kata Dick
"He, Timmy! Mengejar kelinci seja begitu sibuk!"
Tapi Timmy terus menggali. Napasnya terengah-engah Tiba-tiba ada batu terpental
mengenai pipi Julian. Ia menggosok gosok bagian mukanya yang sakit. Kemudian
dipandangnya batu itu yang terletak di tanah di sampingnya. Julian berseru
girang. "Coba lihat ini - ujung panah dari batu. Bagus sekali buatannya! Terima kasih
Tim. Kau baik budi, mau menggalikannya untukku. Sekarang tolong carikan kepala
palu!" Anak-anak berkumpul untuk melihat ujung panah itu. Anne merasa takkan mungkin
tahu benda apa itu - tapi Julian dan Dick berseru-seru mengaguminya.
"Bagus sekali benda ini," kata Dick. "Kau lihat bentuknya George" Bayangkan,
benda ini dipergunakan beribu tahun yang lalu untuk membunuh lawan manusia gua!"
Martin tak banyak bicara. Ia hanya memperhatikan ujung panah itu yang memang
masih utuh dan bagus bentuknya. Kemudian ia berpaling. Menurut perasaan Dick,
Martin agak aneh. Agak membosankan! Ia berpikir-pikir perlukah Martin ikut
diajak berpiknik. Kalau tergantung dari Dick lebih baik tidak saja! Tapi George
lain pendapatnya. "Kau juga piknik di sini?" tanyanya.
Martin menggeleng "Tidak Aku tidak membawa bekal"
"Ah, bawaan kami cukup banyak. Kau makan saja bersama kami nanti," kata George
bermurah hati. 'Terima kasih," kata Martin. "Dan bagaimana jika kalian ke rumahku sore ini
menonton televisi" Aku akan senang jika kalian datang."
"Tentu saja kami mau," kata George. "Asyik! Aduh Anne - coba lihat kembangkembang itu. Besar-besar! Pasti ibu senang nanti."
Anak-anak yang laki-laki turun semakin ke bawah mengorek-ngorek dengan sekop di
tempat-tempat yang menurut perasaan mereka mungkin ada benda-benda kuno. Mereka
sampai ke sebuah batu besar yang agak menonjol. Bagian atasnya datar. Cocok
untuk dipakai berpiknik. Batunya hangat kena sinar matahari dan botol-botol
limun jahe serta cangkir-cangkir bisa diletakkan di atasnya dengan aman.
Pukul setengah satu mereka makan siang. Perut mereka sudah lapar sekali. Martin
ikut makan. Sikapnya tidak begitu pendiam lagi.
"Belum pernah kumakan roti seenak ini," katanya "Aku paling suka memakan yang
diisi sardencis. Ibu kalian yang membuatnya" Aku kepingin sekali punya Ibu,
ibuku sudah meninggal. Sudah lama."
George serta ketiga saudara sepupunya terdiam. Mereka merasa kasihan. Memang tak
enak rasanya kehilangan ibu yang dicintai. Dengan segera Martin disodori
potongan-potongan roti yang paling enak serta kue yang paling besar.
"Kemarin malam aku melihat ayahmu menyorotkan isyaratnya," kata Martin sambil
mengunyah. Seketika itu juga Dick menatapnya.
"Dari mana kau tahu ia yang memberi isyarat?" tanyanya Siapa yang mengatakan
padamu?" "Tidak ada yang bilang," jawab Martin. "Aku cuma melihat sinar senter enam kali
berturut-turut. Lalu kukira pasti ayah George memberi isyarat." Nampaknya ia
kaget mendengar nada suara Dick yang tajam. Julian menyikut adiknya. Ia
memperingatkan agar Dick jangan bersikap kasar lagi.
George menatap Dick sambil merengut. "Kurasa kau juga melihat ayahku memberi
isyarat pagi ini," katanya kemudian pada Martin. "Tanggung banyak orang yang
melihatnya Ayah memberi isyarat dengan cermin pukul setengah sebelas agar kami
tahu bahwa ia selamat. Pada malam hari ia memberi isyarat dengan senter. Juga
pukul setengah sebelas."
Sekarang giliran Dick memandang George dengan masam. Kenapa soal itu dibeberkan"
Kan tidak perlu! Dick merasa yakin. George melakukannya dengan sengaja untuk
membalas sikapnya yang tajam tadi. Dick mencoba untuk memindahkan pokok
pembicaraan. "Di mana kau bersekolah"'' tanyanya
"Aku tidak sekolah," jawab Martin " Selama ini aku sakit."
"Yah. kalau begitu di mana kau bersekolah sebelum sakit?" tanya Dick lagi
"Aku - ada guru khusus yang mengajarku," kata Martin. Aku tak bersekolah."
"Kasihan," kata Julian. Menurut perasaannya pasti tidak enak jika tidak
bersekolah. Tidak bisa menikmati kehidupan sebagai murid dengan segala
kesibukannya. Dipandangnya Martin dengan sedikit menyelidik. Mungkinkah pemuda
ini tergolong bodoh. sehingga perlu diajar secara khusus di rumah" Tapi Martin
tampangnya tidak kelihatan bodoh. Kalau cemberut dan membosankan - memang!
Timmy ikut duduk di atas batu. Sikapnya aneh terhadap Martin. Pemuda itu sedikit
pun tak diacuhkannya. Anjing itu bersikap seolah-olah Martin tidak ada di situ!
Tapi Martin juga sama saja sikapnya terhadap Timmy. Anne sampai merasa yakin
sebenarnya Martin tidak senang terhadap anjing. Padahal ia mengaku senang!
Timmy duduk membelakangi Martin sambil bersandar pada George. Kocak sekali
sikapnya. Tapi juga aneh! Bagaimanapun juga bukankah George bercakap-cakap
secara ramah dengan Martin. Semua makan bersama pemuda itu - tapi Timmy bersikap
seolah-olah pemuda itu tidak ada di situ.
Baru saja Anne hendak mengomentari kelakuan Timmy yang aneh ketika anjing itu
menguap lebar-lebar lalu meloncat turun.
"Pasti mengejar kelinci lagi," kata Julian. "He, Tim! Tolong carikan ujung panah
lagi, ya!" Timmy mengibas-ngibaskan ekornya lalu menghilang di bawah batu. Terdengar
kesibukannya mengorek-ngorek tanah. Batu dan tanah berhamburan ke udara.
Anak-anak merebahkan diri di atas batu. Mereka agak mengantuk. Mereka masih
mengobrol selama beberapa menit. Tanpa terasa mata Anne terpejam. Tapi tiba-tiba
ia dikagetkan oleh suara George.
"Mana Timmy" Timmy! Timmy! Ke mari! Ke mana lagi anjing itu?"
Tapi Timmy tetap tidak muncul. Bahkan gonggongannya pun tidak kedengaran.
"Sialan!" kata George "Pasti ia masuk ke liang kelinci yang sangat dalam. Aku
harus mengambilnya. Timmy Di manakah engkau?"
Bab 9 GEORGE MENEMUKAN SESUATU
GEORGE turun dan batu besar. Ia mengintip ke sebelah bawahnya Di tempat itu ada
lubang besar. Di mana-mana batu berserakan rupanya tergali tadi oleh Timmy.
"Rupa rupanya kau akhirnya berhasil juga menemukan liang kelinci yang cukup
lebar sehingga bisa kaumasuki," kata George "TIMMY! Di mana kamu?"
Tapi dari dalam lubang tidak terdengar suara anjing menggonggong. Mendengking
juga tidak George menyusup ke bawah batu besar lalu mengintip ke dalam liang.
Karena digali oleh Timmy lubang itu menjadi besar sekali. George berseru pada
Julian "Tolong lemparkan sekopmu ke mari Julian!"
Julian melemparkan sekop jatuh ke dekat kaki George. George mengambilnya, lalu
mempergunakannya untuk mengaduk lubang sehingga menjadi lebih besar lagi.
Sebelumnya memang sudah cukup besar bagi Timmy tapi masih terlalu sempit bagi
George! Anak itu sibuk menggali. Tak lama kemudian ia merasa kepanasan George merangkak
lagi ke luar lalu melihat ke atas batu. Maksudnya hendak minta tolong menggali.
Tapi ternyata mereka yang berada di atas sudah tidur nyenyak.
"Dasar pemalas!" pikir George. Dilupakannya bahwa ia pun pasti sudah tertidur
jika tadi tidak sekonyong-konyong teringat pada Timmy.
George menyusup kembali ke bawah batu lalu mulai menggali lagi. Tak lama
kemudian lubang itu sudah cukup lapang ia tercengang ketika ternyata di balik
lubang yang tadi ada lorong yang cukup lapang. Ia bisa merangkak rangkak di
dalamnya! "He! Betulkah ini liang binatang?" pikir George. "Atau mungkin lorong yang
menuju ke salah satu tempat?" Ia berseru seru lagi "TlMMY! TIMMY!
Terdengar dengkingan pelan jauh dalam tanah George merasa lega. Ternyata Timmy
memang ada di situ. Ia merangkak lebih dalam lagi. Tiba-tiba lorong itu
meninggi. Sisinya juga menjadi lebar. George menyadari mestinya saat itu ia
berada dalam sebuah gang di bawah tanah. Tempat itu gelap gulita. Ia hanya bisa
meraba-raba. karena sedikit pun tak bisa melihat.
Sekonyong-konyong terdengar olehnya langkah-langkah mendekat. Tahu-tahu Timmy
sudah menempelkan tubuh ke kaki George sambil melolong pelan.
"Aduh, Timmy! Kau ini menakutkan diriku saja!" kata George. "Ke mana saja kau
tadi" Apakah ini benar-benar suatu gang di bawah tanah atau cuma lorong tambang
yang dulu digali pekerja-pekerja di sini - dan sekarang menjadi liang binatang?"
Timmy menggonggong. Ditarik-tariknya kaki celana George diajaknya kembali ke
tempat terang. "Ayolah. kita keluar saja!" kata George. "Aku juga tidak mau keluyuran sendiri
di tempat gelap ini! Aku tadi cuma mencari kamu saja."
George kembali ke mulut lubang di bawah batu besar. Ternyata Dick sudah bangun.
Dilihatnya George tidak ada di situ. Dick menunggu beberapa menit sambil
mengejap-ngejapkan mata karena silau. Kemudian ia duduk.
"George!" panggilnya. Tapi tak ada jawaban. Sekarang Dick turun dari batu lalu
memandang berkeliling. Ia kaget sekali ketika tiba-tiba melihat Timmy muncul
dari lubang di bawah batu disusul oleh George yang ke luar sambil merangkakrangkak. Dick melongo. George cekikikan melihat tampang saudara sepupunya yang
saat itu tidak bisa di bilang nampak terlalu cerdas. Orang yang mulutnya melongo
memang nampak tolol! "Jangan kaget Aku tadi cuma berburu kelinci bersama Timmy!"
George berdiri di samping Dick sambil membersihkan baju dan celananya yang penuh
tanah "Di balik lubang ini ada gang," katanya. Mula-mula masih sempit seperti liang
binatang. Tapi kemudian melebar dan akhirnya merupakan lorong yang tinggi dan
lapang. Tentu saja aku tak bisa melihat apakah lorong itu buntu atau tidak
karena di situ gelap sekali Tapi Timmy masuk sampai dalam sekali."
"Astaga!" kata Dick. "Kedengarannya menarik."
"Bagaimana jika kita menyelidikinya sekarang?" kata George. "Kurasa Julian
membawa senter." "Jangan!" bantah Dick. "Jangan sekarang."
Sementara itu yang lain-lain juga sudah bangun. Mereka mengikuti pembicaraan
Dick dan George dengan penuh minat.
"Lorong rahasia?" kata Anne bergairah. "Yuk kita menyelidikinya."
"Jangan sekarang," kata Dick lagi sambil menatap Julian. Julian merasa mengerti
apa sebabnya Dick segan. Ia tidak ingin bahwa Martin juga mengetahui rahasia
itu. Memang untuk apa" Ia bukan sungguh-sungguh teman mereka. Bahkan baru saja
berkenalan. Julian mengangguk, tanda setuju.
"Ya lebih baik jangan hari ini. Lagipula mungkin itu cuma lorong tua yang dulu
digali para pekerja tambang batu ini."
Martin mengikuti pembicaraan mereka dengan penuh perhatian. Ia membungkuk
memandang ke dalam lubang.
"Aku kepingin menyelidikinya," katanya. "Bagaimana jika kita berkumpul lagi di
sini dengan membawa senter untuk memeriksa apakah di bawah batu ini benar-benar
Lima Sekawan 6 Rahasia Di Pulau Kirrin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada lorong atau tidak."
Julian memandang arlojinya
"Sudah hampir pukul dua, Martin. Kalau kita masih ingin melihat acara televisi
yang pukul setengah tiga itu, kita harus cepat-cepat berangkat sekarang juga."
Mereka pun naik ke atas. Udara terasa sejuk di atas karena dalam tambang memang
hangat. Mereka berjalan mendaki tebing lalu menyusur tepinya. Tak lama kemudian mereka
sudah lewat di depan pondok pengawas pantai Pak tua itu sedang di kebunnya. Ia
melambai ketika melihat anak-anak lewat.
Mereka memasuki pintu pagar pondok sebelah. Martin membuka pintu rumahnya.
Ayahnya sedang duduk sambil membaca dekat jendela. Ia bangkit ketika melihat
anak-anak masuk. "Wah, ada tamu!" katanya sambil tersenyum lebar. "Ayo silakan masuk Ya, ajak
saja anjingmu itu ke dalam. Aku tidak keberatan. Aku senang pada anjing."
Ruangan di situ sempit sehingga mereka agak berdesak-desakan. Mereka menyalami
Pak Curton dengan sopan. Martin cepat-cepat menjelaskan ia mengajak teman-teman
berunya itu ke rumah karena ingin menonton televisi.
"O ya, tentu saja!" kata Pak Curton dengan wajah berseri-seri. Anne memandang
alisnya yang tebal. Bukan hanya tebel, tapi juga panjang. Ia agak heran apa
sebabnya ayah Martin tidak memotongnya saja supaya pendek. Tapi mungkin Pak
Curton senang beralis gondrong! Tampangnya nampak galak, pikir Anne.
Anak-anak memandang ke sekeliling ruangan. Di ujung sebelah sana ada pesawat
televisi ditaruh di atas meja. Kecuali itu juga ada sebuah pesawat radio yang
bagus! Julian dan Dick memandangnya dengan penuh minat.
"Wah! Ini bukan cuma pesawat penerima saja tapi juga untuk menyiarkan," kata
Julian "Memang," kata Pak Curton "Itu kegemaranku. Hobby-ku membuat pesawat radio."
"Wah! Anda pintar sekali rupanya," puji Dick. "Kelihatannya alat pemancar ini
berkekuatan besar." Sementara itu Martin sudah sibuk memutar-mutar tombol pesawat televisi. Beberapa
saat kemudian muncullah acara yang ingin mereka lihat di tabir televisi.
Asyik rasanya menonton acara itu. Ketika selesai Pak Curton mengajak mereka
minum teh. "Jangan menolak," katenya. "Aku bisa menelepon bibi kalian, apabila kalian takut
ia khawatir di mana kalian sekarang."
"Yah, kalau Anda mau melakukannya," kata Julian "Mungkin Bibi sudah mulai
bertanya-tanya, ke mana saja kami sehingga sampai saat ini belum pulang juga."
Pak Curton lantas menelepon Bibi Fanny Ya, mereka boleh tinggal lebih lama
sedikit di situ Tapi jangan sampai pulang terlalu larut.
Mereka pun duduk lagi, menikmati hidangan teh yang disediakan Pak Curton. Martin
tidak banyak bicara. Tapi Pak Curton mengobrol terus Ia tertawa-tawa
menceritakan berbagai soal yang lucu-lucu. Senang rasanya bertamu di rumah
keluarga Curton! Kemudian pembicaraan menyinggung Pulau Kirrin. Pak Curton mengatakan pulau itu
indah sekali kelihatannya pada sore hari. Wajah George berseri-seri mendengar
pujian itu. "Ya, pendapatku juga begitu," katanya "Sayang, Ayah justru memilih saat ini
untuk bekerja di sana. Padahal aku sudah merencanakan akan pergi berkemah di
sana." "Kau tentunya mengenal setiap jengkal tanah di sana!" kata Pak Curton.
"O ya! jawab George "Kami semua mengenalnya dengan baik Di sana ada ruanganruangan di bawah tanah. Ruangan-ruangan itu dalam letaknya. Kami menemukan emas
batangan yang tidak sedikit di dalamnya."
"Ah ya! Aku ingat pernah membaca berita mengenainya,'' kata Pak Curton.
"Tentunya mengasyikkan waktu itu. Bayangkan, sekaligus menemukan ruangan-ruangan
bawah tanah. Kalau tidak salah, di bawah juga ada sebuah sumur yang sudah tua
bukan?" "Betul," kata Anne sambil mengingat-ingat. "Lalu ada pula sebuah gua Kami pernah
tinggal di situ. Jalan masuk ke situ lewat lubang di langit-langit. Tapi bisa
juga lewat laut." "Dan kurasa ayahmu melakukan percobaannya yang menarik itu dalam ruangan bawah
tanah bukan?" tanya Pak Curton pada George "Tempat aneh untuk melakukan
percobaan!" "Ah - kami tidak..." baru saja George hendak menjawab ketika mata kakinya
ditendang Dick. George mengernyit kesakitan. Cukup keras rupanya tendangan Dick.
"Apa yang hendak kaukatakan tadi?" tanya Pak Curton. Ia heran, tak tahu apa
sebabnya George tidak jadi menjawab.
"Anu - aku tadi hendak mengatakan - anu - eh - kami tidak tahu di mana tempat
Ayah melakukan percobaannya," kata George. Kakinya diangkat tinggi-tinggi karena
takut ditendang lagi oleh Dick.
Tiba-tiba Timmy mendengking keras, George memandangnya dengan heran. Anjing itu
mendongak. memandang Dick dengan sikap tersinggung.
"Ada apa, Tim?" tanya George cemas
"Kurasa ia kepanasan dalam ruangan ini," kata Dick. "Kauajak saja dia keluar
sebentar." Karena merasa cemas. George mengajak Timmy ke luar. Dick ikut dengan mereka.
Sesampai di luar George menatap saudara sepupunya itu dengan wajah masam.
"Kenapa aku kausepak tadi"!' katanya "Memar rasanya mata kakiku!"
"Kau sendiri tahu apa sebabnya," jawab Dick. "Seenaknya saja membuka rahasia!
Tidakkah kau sadari orang itu sangat tertarik pada hal-hal yang menyangkut
ayahmu di pulau" Memang mungkin karena hanya ingin tahu saja - tapi setidaktidaknya kau kan bisa jangan terlalu banyak bercerita. Dasar anak perempuan,
kalau tidak mencerocos mulutnya rasanya tidak enak! Jadi aku terpaksa mencari
akal membungkammu. Timmy tadi mendengking karena ekornya kupijak keras-keras.
Pokoknya ocehanmu harus kuhentikan dengan segera!"
"Kau ini benar-benar jahat!" tukas George "Sampai hati menyakiti Timmy."
"Terpaksa! Aku menyesal," kata Dick sambil mengelus-elus kuping Timmy. "Kasihan
si Timmy! Aku tak bermaksud menyakitimu."
"Aku pulang sekarang," kate George. Mukanya merah padam. "Kau jahat! Aku
kaukatakan tukang ngoceh, seperti anak perempuan! Dan seenaknya saja kaupijak
ekor Timmy. Bilang saja pada mereka yang di dalam aku pulang dengan Timmy!"
"Baik," kata Dick. "Syukurlah! Semakin sedikit kau bicara dengan Pak Curton
makin baik bagi kita. Aku sendiri akan masuk lagi! Akan kuselidiki, siapa dia
sebenarnya - dan apa pekerjaannya Aku merasa sangat curiga padanya. Lebih baik
kau cepat-cepat saja pergi dari sini, sebelum lebih banyak hal-hal lain yang
kaubeberkan pada orang itu!"
George nyaris tercekik karena marah. Sambil membanting kaki ia pergi bersama
Timmy. Sedang Dick masuk lagi ke dalam memintakan maaf untuk George. Julian dan
Anne merasa tidak enak karena yakin pasti ada sesuatu yang tidak beras. Mereka
bangkit hendak minta permisi pulang. Tapi alangkah herannya mereka ketika tahutahu Dick mulai banyak bicara Sekonyong-konyong besar sekali perhatiannya pada
Pak Curton, menanyakan apa pekerjaannya dan sebagainya.
Tapi akhirnya Julian dan kedua adiknya pamit juga.
"Lain kali datang lagi, ya!" kata Pak Curton dengan wajah berseri-seri "Dan
katakan pada anak laki-laki yang tadi - siapa namanya - ah ya George! - katakan
padanya kudoakan semoga anjingnya tidak apa-apa. Manis sekali anjing itu! Nah,
selamat jajan. Sampai lain kali!"
Bab 10 ISYARAT ANEH "KENAPA si George?" tanya Julian ketika mereka sudah agak jauh. "Aku tahu. kau
menendang kakinya waktu kita minum teh tadi karena ia terlalu banyak bercerita
tentang pulaunya. Memang konyol perbuatannya itu. Tapi kenapa ia pulang sambil
marah-marah?" Dick mengatakan bahwa ia tadi sengaja menginjak ekor Timmy supaya anjing itu
mendengking. Dengan begitu perhatian George akan berpindah pada Timmy dan ia
berhenti bercerita. Julian tertawa mendengar keterangan itu. Tapi Anne marah.
"Jahat perbuatanmu itu, Dick."
"Memang," jawab Dick. "Tapi aku tidak melihat jalan lain untuk mencegah George
mengoceh terus. Aku tadi sungguh-sungguh menyangka George akan membeberkan
segala hal yang ingin sekali diketahui Pak Curton. Tapi sekarang rasanya aku
tahu - ia ingin mengetahuinya karena alasan lain."
"Apa maksudmu?" kata Julian tercengang.
"Yah, mula-mula kusangka ia tentunya ingin mengetahui rahasia percobaan Paman
Quentin," kata Dick. "Dan karena itu ia ingin mengetahui seluk beluk segalagalanya. Tapi karena sekarang ia sudah menjelaskan bahwa ia wartawan kurasa
semua keterangan itu diperlukannya sebagai bahan tulisannya di koran. Pasti
beritanya akan menggemparkan apabila Paman selesai dengan percobaannya!"
"Ya, mungkin begitu persoalannya," kata Julian sambil berpikir-pikir. "Bahkan
kurasa pasti begitu! Cuma walau demikian kenapa kita harus terus-terusan
ditanyai seperti tadi. Kan sebetulnya Pak Curton bisa saja langsung mengatakan,
'Bagaimana jika kalian bercerita panjang lebar tentang Pulau Kirrin - aku
memerlukan bahan-bahan untuk menulis di koran'. Tapi hal itu tidak
dikatakannya." "Memang tidak! Karena itulah aku merasa curiga," kata Dick. "Tapi aku sekarang
rasanya tahu, apa sebabnya ia menaruh perhatian besar terhadap Pulau Kirrin. Ia
memerlukannya sebagai bahan untuk artikelnya dalam koran sialan! Sekarang harus
kujelaskan pada George bahwa aku tadi salah sangka. Dan George marah sekali
tadi!" "Kalau begitu lebih baik kita ke desa Kirrin saja dulu. Kita mampir di tukang
daging untuk membelikan tulang bagi Timmy," kata Julian. "Sebagai ganti minta
maaf padanya!" Gagasan itu baik. Di tukang daging mereka membeli dua potong tulang yang masih
banyak dagingnya Kemudian barulah pulang ke Pondok Kirrin
George sedang di kamar tidurnya, bersama Timmy. Julian beserta kedua adiknya
mendatangi ke situ. George sedang duduk di lantai sambil membaca. Ketika ketiga seudara sepupunya
masuk, ia memandang mereka dengan masam.
"George, maaf aku jahat tadi," kata Dick "Tapi sebetulnya maksudku baik. Namun
sekarang kusadari bahwa Pak Curton sama sekali bukan mata-mata yang ingin
mengorek rahasia ayahmu. Ternyata dia wartawan yang mencari berita untuk
korannya! Ini - aku membawa tulang untuk Timmy."
George masih marah. Tapi dicobanya juga membalas keramahan yang ditunjukkan oleh
Dick. George tersenyum sekilas.
"Baiklah! Terima kasih untuk tulang itu. Tapi malam ini lebih baik aku jangan
diajak bicara dulu. Aku masih jengkel. Tapi nanti kejengkelanku akan lenyap
lagi." Mereka meninggalkannya duduk di lantai. Memang lebih baik membiarkan George
seorang diri jika ia sedang merajuk Selama Timmy menemaninya, ia takkan berbuat
apa-apa. Sedang Timmy takkan meninggalkan tuannya selama George masih merasa
jengkal dan sedih. Malam itu George tidak makan. Dick menjelaskan persoalannya pada Bibi Fanny.
"Kami tadi bertengkar tapi kini sudah berbaikan kembali. Walau begitu George
masih merasa kurang enak! Bagaimana jika kubawakan saja makanan untuknya ke
atas?" "Tidak, biar aku saja," kata Anne. Ia naik ke tingkat atas, menenteng baki
berisi makanan. "Aku tidak lapar" kata George. Karena itu Anne mengambil baki itu hendak
membawanya kembali ke bawah. "Jangan. tinggalkan saja di situ," kata George
terburu-buru Timmy pasti mau memakannya."
Anne ke luar lagi. Dalam hati ia tersenyum. Dan ketika ia naik ke tingkat atas
untuk menjemput baki itu, ternyata makanan sudah habis tandas!
"Aduh lapar sekali rupanya Timmy tadi!" katanya pada George. Anak itu tersenyum
malu "Kau tidak mau turun sekarang" Kami akan main monopoli."
"Ah tidak! Biarkan aku sendiri malam ini," kata George. "Besok aku akan sudah
seperti biasa lagi. Sungguh!"
Mereka yang di bawah bermain monopoli tanpa George. Tapi Bibi Fanny ikut main.
Pada waktu yang biasa mereka naik ke atas untuk tidur. Ternyata George sudah
tidur nyenyak di tempat tidurnya.
"Malam ini akan kutunggu isyarat dari Paman Quentin," kata Julian pada dirinya
sendiri ketika masuk ke tempat tidur. "Wah gelap sekali di luar!"
Sambil berbaring ia memandang ke luar jendela ke arah Pulau Kirrin. Kemudian tepat pukul setengah sebelas - datang isyarat sinar senter. Enam kali berturutturut, jelas nampaknya dalam gelap. Julian meletakkan kepalanya ke bantal
Sekarang tidur! Beberapa saat kemudian. ia terbangun Didengarnya bunyi berdegup-degup. Julian
duduk, lalu memandang ke luar. Ia menyangka akan melihat puncak menara berkilaukilauan seperti yang kadang-kadang terjadi apabila pamannya sedang melakukan
suatu percobaan tertentu. Tapi peristiwa yang disangkanya itu tidak terjadi.
Tidak ada sinar terang memancar. Bunyi yang didengarnya lenyap kembali. Julian
berbaring lagi di tempat tidurnya.
Keesokan pagi dibicarakannya soal itu dengan Bibi Fanny.
"Kemarin malam kulihat isyarat Paman. Bibi juga melihatnya?"
"Ya," jawab Bibi. "Maukah kau menunggu isyaratnya lagi pagi ini" Aku harus pergi
sebentar karena ada urusan. Kurasa dari tempat yang harus kudatangi itu, menara
takkan bisa nampak."
"Tentu saja aku mau," jawab Julian. "Pukul berapa sekarang" Setengah sepuluh.
Hm! Kalau begitu sambil menunggu sebaiknya aku menulis surat di depan jendela."
Julian mulai menulis surat Tapi tiap kali ada saja yang datang mengganggu. Mulamula Dick, sudah itu yang lain-lain. Mereka mengajaknya ke pantai. George sudah
seperti biasa lagi. Ia bahkan sangat ramah untuk mengimbangi sikapnya yang tidak
enak kemarin malam. "Aku akan datang setelah setengah sebelas," kata Julian. "Aku masih harus
menunggu isyarat Paman dulu. Tinggal sepuluh menit lagi."
Tepat pukul setengah sebelas, Julian memandang ke arah puncak menara. Nah isyarat Paman datang tepat pada waktunya. Jelas sekali kilatan sinar matahari
yang dipantulkan Paman ke cermin yang dipegangnya di atas menara.
"Satu kali," kata Julian menghitung. "Dua - tiga - empat - lima - enam. Paman
dalam keadaan selamat."
Baru saja ia berpaling ketika nampak kilasan cahaya lagi di sudut matanya.
"Tujuh kali!" katanya tercengang Tapi tidak cukup sebanyak itu saja, melainkan
masih beruntun-runtun lagi. Delapan. Sembilan. Sepuluh. Sebelas. Dua belas kali.
"Aneh," kata Julian. "Dua belas kali! Eh masih ada lagi?"
Dan arah puncak menara datang lagi enam kilatan berturut-turut. Sudah itu habis!
Julian sangat menyesal karena saat itu tidak punya teropong supaya bisa melihat
menara dengan jelas. Ia terduduk sesaat. Ia agak bingung. Kemudian didengarnya
langkah kaki ribut di tangga. Saudara-saudaranya berebutan masuk ke kamar.
"Julian! Ayahku tadi memberi isyarat delapan belas kali, bukan enam!"
"Kau juga menghitungnya Ju?"
"Untuk apa ia memberi isyarat sebanyak itu" Mungkinkah dalam keadaan bahaya?"
"Mustahil! Kalau Paman menghadapi bahaya, pasti ia akan mengisyaratkan SOS,"
kata Julian "Ayahku tak mengenal isyarat Morse," kata George
"Yah, kalau begitu kurasa ia ingin memberi tahu bahwa ia memerlukan sesuatu,"
kata Julian "Kita harus ke sana hari ini juga, untuk mengetahui apa yang
diperlukannya. Mungkin juga perbekalan makanannya yang minta ditambah."
Ketika Bibi Fanny pulang anak-anak langsung mengusulkan agar mereka pergi ke
pulau bersama-sama. Bibi Fanny dengan sendirinya setuju.
"O ya. Tentu saja. Kurasa pamanmu pasti ingin mengirimkan pesan pada seseorang.
Kita berangkat saja pagi ini!"
George bergegas memberitahukan pada James, bahwa ia memerlukan perahunya. Bibi
Fanny menyiapkan bekal makanan banyak-banyak, dibantu oleh Joanna. Kemudian
mereka menyeberang ke Pulau Kirrin naik perahu George.
Ketika mereka sudah melewati batu-batu di air yang membentuk tembok rendah yang
melindungi teluk kecil di sana nampak Paman Quentin sudah berdiri menunggu di
pantai. Ia melambaikan tangan lalu menarik perahu sehingga agak naik ke atas
pasir. "Kami melihat isyaratmu yang tiga kali berturut-turut," kata Bibi Fanny. "Adakah
sesuatu yang kauperlukan?"
"Memang," jawab Paman Quentin. "Apa isi keranjangmu itu Fanny" Wah, roti yang
enak seperti waktu itu! Berilah aku sedikit!"
"Ah, Quentin! Rupanya makanmu tidak teratur lagi, ya?" kata Bibi. "Lalu
bagaimana dengan sup?"
"Sup yang mana?" tanya Paman Quentin. Ia tercengang "Coba aku tahu! Padahal
kemarin malam aku lapar sekali."
"Kau memang keterlaluan, Quentin! Kan sudah pernah kukatakan," kata Bibi Fanny
kesal. "Sekarang pasti sudah basi. Jadi harus dibuang. Jangan lupa lagi - sup
itu harus dibuang. Mana dia" Lebih baik kubuang saja sekarang."
"Tidak, biar aku yang membuangnya," kata Paman Quentin Sekarang kita makan saja
dulu." Sebetulnya saat itu masih terlalu pagi. Tapi Bibi Fanny langsung duduk, lalu
mengeluarkan makanan dan keranjang. Sedang anak-anak, kapan saja mereka selalu
Lima Sekawan 6 Rahasia Di Pulau Kirrin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mau kalau diajak makan! "Bagaimana dengan pekerjaanmu - ada kemajuan?" tanya Bibi Fanny sambil memandang
suaminya melahap roti beruntun-runtun. Bibi bertanya-tanya dalam hati janganjangan sejak mereka pergi dua hari yang lalu Paman tidak pernah makan lagi.
"Oh, baik sekali," jawab Paman. "Baik sekali! Kini sampai pada bagian yang
sangat rumit dan menarik. Bolehkah aku minta sepotong roti lagi?"
"Apa sebabnya Paman memberi isyarat sampai delapan belas kali," tanya Anne.
"Yah - sukar bagiku untuk menjelaskannya," jawab Paman Quentin "Soalnya - entah
kenapa tapi aku merasa di pulau ini aku tidak seorang diri."
"Quentin! Apa maksudmu?" seru Bibi Fanny. Ia terkejut dan agak ketakutan Bibi
menoleh ke belakang seakan-akan mengira akan nampak orang di situ. Sedang anakanak, semua menatap Paman Quentin dengan tercengang
Paman mengambil sepotong roti lagi.
"Ya, aku tahu kedengarannya memang mustahil," katanya kemudian. "Mana mungkin
ada orang bisa datang kemari. Tapi walau begitu aku tahu di sini pasti ada orang
lain!" "Aduh jangan begitu, Paman," kata Anne. Ia merinding karena ngeri. "Menyeramkan.
Dan kalau malam, Paman seorang diri di sini."
"Justru itu yang merupakan persoalan. Aku tidak peduli jika sendiri di sini
malam-malam," jawab Paman "Aku justru waswas, karena merasa bahwa ada orang lain
di pulau ini." "Kenapa Paman menyangka begitu?" tanya Julian.
"Ketika aku sudah selesai dengan percobaanku kemarin malam - waktunya sekitar
setengah empat pagi - aku keluar karena ingin menghirup udara segar. Malam masih
gelap. Tiba-tiba terdengar ada orang batuk. Ya, bahkan dua kali orang itu
batuk." "Astaga!" seru Bibi Fanny kaget. "Tapi - tapi mungkin pula kau keliru. Kau kan
kadang-kadang membayangkan yang tidak-tidak apabila sedang capek."
"Ya, memang," kata suaminya. "Tapi ini kan tak mungkin cuma kubayangkan saja!"
Paman merogoh kantong mengambil sesuatu. Ditunjukkannya benda itu. Puntung rokok
yang kelihatannya masih baru.
"Aku kan tidak merokok. Kalian juga tidak. Lalu siapa yang mengisap rokok ini"
Mustahil dibawa dengan perahu - dan hanya dengan perahu barang itu bisa datang
ke mari. Anak-anak terdiam Anne merasa takut. George menatap ayahnya dengan heran dan
bingung. Siapakah yang mungkin datang ke mari" Dan untuk apa" Begitu pula
bagaimana mereka bisa ke mari"
"Lalu - apa yang akan kaukerjakan sekarang Quentin?" tanya Bibi Fanny. "Tindakan
apa yang sebaiknya kau ambil?"
"Aku akan merasa aman, jika George mau mengizinkan permintaanku," kata Paman.
"Aku ingin agar Timmy ada di sini George! Bagaimana jika ia kautinggal di sini
untuk menemani aku?"
Bab 11 PILIHAN BERAT BAGI GEORGE
GEORGE menatap ayahnya dengan cemas. Saudara-saudaranya membisu menunggu
jawabannya. "Tapi - taoi aku dan Timmy kan belum pernah berpisah," kata George kemudian,
dengan suara yang menyedihkan. "Aku bukannya tak mengizinkannya menjaga Ayah!
Ayah boleh saja memintanya - tapi aku juga harus tinggal di sini!"
"Tak mungkin!" ujar Paman Quentin dengan segera. "Kau tak mungkin bisa tinggal
di sini George! Mustahil. Mengenai perpisahanmu dengan Timmy - masa untuk sekali
ini saja tidak bisa! Kan untuk menjamin keselamatanku!"
George bingung. Berat sekali baginya untuk mengambil keputusan sekali ini.
Meninggalkan Timmy di pulau ini -di mana bersembunyi musuh yang tak nampak!
Musuh itu pasti akan mencelakakan Timmy jika mendapat kesempatan untuk
melakukannya. Tapi di pihak lain ayahnya mungkin akan terancam bahaya jika tidak ada yang
melindunginya. "Mau tidak mau, aku harus tinggal di sini, Ayah," kata George kemudian. "Tak
mungkin aku meninggalkan Timmy. Tak mungkin! Kecuali jika aku diperbolehkan
tetap di sini." Paman Quentin kelihatan mulai marah. Wataknya persis seperti George - kemauannya
selalu harus dituruti! Jika tidak berhasil, langsung marah-marah.
"Kalau permintaan ini kuajukan pada Julian Dick atau pada Anne - dan mereka
kebetulan punya anjing pasti mereka akan mengizinkan dengan segera!" bentak
Paman. "Tapi kau George - kau selalu tidak puas jika tidak mempersulit keadaan!
Kau dan anjingmu itu - orang pasti akan mengira anjing itu harganya paling
sedikit seribu pound!"
"Bagiku Timmy nilainya lebih tinggi lagi," kata George. Suaranya gemetar Timmy
merapatkan diri ke tuannya. George memegang kalung leher Timmy erat-erat.
seperti tak mau melepaskannya lagi.
"Memang! Anjingmu itu bagimu lebih berharga daripada ibu atau ayahmu sendiri,"
jawab ayahnya jengkel. "Kau tak boleh bicara seperti itu. Quentin " kata Bibi
Fanny menyela dengan nada tegas. "Itu sama sekali tidak benar! Ayah dan ibu
tidak bisa dipersamakan dengan anjing. Lain wujud kasih sayang pada orang tua
dibandingkan dengan anjing. Tapi kau memang benar! Timmy harus tinggal di sini
untuk menemanimu - dan aku pasti takkan
mengizinkan George ikut dengannya di sini. Aku tak mau menanggung risiko kalian
berdua terancam bahaya. Memikirkan keselamatanmu saja aku sudah bingung."
George memandang ibunya dengan cemas.
"Ibu! Katakanlah pada Ayah, aku harus tinggal di sini bersama Timmy!"
"Tak mungkin!" kata ibunya "George, kau tak boleh tarlalu mementingkan dirimu
sendiri! Kalau Tim bisa memilih kau juga tahu bahwa ia akan tinggal di sini dan tanpa kautemani. Ia akan berkata pada diri sendiri. Aku di perlukan di sini
- ketajaman mataku diperlukan untuk melihat musuh-musuh yang menyelinap.
Kupingku yang tajam akan bisa mendengar langkah orang yang berjalan dengan hatihati. Dan dengan gigiku. aku bisa membela tuanku. Aku memang harus berpisah dan
George selama beberapa hari - tapi seperti diriku, George sudah cukup besar
sekarang! Ia pasti sanggup berpisah sebentar dari aku! Itulah yang akan
dikatakan oleh Timmy George - apabila keputusan ini diserahkan padanya."
Semua mendengarkan kata-kata Bibi Fanny dengan penuh perhatian. Mestinya dengan
pertimbangan itu George akan mau dibujuk untuk mengalah!
George memandang Timmy. Anjing itu membalas tatapannya, sambil mengibasngibaskan ekor. Kemudian anjing itu melakukan tindakan yang luar biasa. Timmy
mendekati Paman Quentin lalu berbaring di sisinya. Dipandangnya George seakanakan hendak berkata, "Nah! Sekarang kau tahu bagaimana pendapatku!"
"Sekarang kau sendiri juga sudah melihatnya," kata Bibi. "Timmy sependapat
dengan aku. Kau selalu mengatakan Timmy baik hati. Dan inilah buktinya! Ia
mengetahui kewajibannya. Kau patut merasa bangga memiliki anjing seperti Timmy!"
"Aku memang bangga," jawab George dengan suara seperti tercekik. Ia bangkit lalu
pergi menjauh. "Baiklah," katanya sambil menoleh ke arah mereka "Timmy akan
kutinggalkan di sini menemani Ayah Aku pergi sebentar sekarang."
Anne hendak mengejar, tapi dilarang oleh Julian "Biarkan dia sendiri! Dia takkan
apa-apa. Timmy memang tahu apa yang seharusnya dilakukan. Memang anjing manis!"
Tim mengibas-ngibaskan ekor, ia tidak pergi menyusul George! Tidak - ia sekarang
bertugas menjaga ayah tuan-nya walau sebenarnya ia lebih suka menemani George.
Ia pedih melihat George murung - tapi kadang-kadang lebih baik merasa sedih
dalam melakukan tugas yang perlu daripada bersenang hati tapi tidak
melakukannya! "Aku rasanya tak enak, Quentin!" kata Bibi Fanny. "Kau sendiri di sini padahal
ada orang mengintipmu. Masih berapa lama lagi percobaanmu baru selesai?"
"Tinggal beberapa hari lagi," kata Paman. Ia memandang Timmy dengan kagum
"Anjing itu tadi seakan-akan mengerti kata-katamu, Fanny. Luar biasa betapa ia
langsung datang mendekati aku."
"Timmy memang cerdik," kata Anne. "Bukankah begitu Tim" Paman pasti aman kalau
ditemani oleh Timmy! Kalau perlu ia bisa galak sekali!"
"Ya! Aku jelas tak kepingin dia menyambar leherku," kata Paman "Tubuhnya besar
dan kuat. He - masih ada kue lagi atau tidak?"
"Quentin kau tidak boleh melupakan makan secara teratur," kata Bibi Fanny
"Jangan mengatakan padaku bahwa hal itu kauperhatikan. Kalau kau makan secara
teratur tak mungkin kau kelaparan sekarang."
Paman tak mengacuhkan istrinya. Ia memandang ke atas menara.
"Pernahkah kalian melihat sinar memancar-mancar dari ujung kawat-kawat itu?"
katanya "Bagus sekali kelihatannya bukan?"
"Paman kan tidak menciptakan bom atom. atau senjata semacam itu?" tanya Anne.
Paman memandangnya dengan sikap mencemooh.
"Aku tak mau membuang-buang waktu menciptakan penemuan-penemuan yang akan
dipakai untuk membunuh atau melukai orang! Tidak - penemuanku ini akan besar
sekali manfaatnya bagi manusia. Lihat saja nanti!"
Sementara itu George datang kembali.
"Ayah, Timmy akan kutinggalkan di sini untuk menemani," katanya. "Tapi maukah
Ayah melakukan sesuatu untukku?"
"Apa?" tanya ayahnya. "Aku tak mau mendengar persyaratan konyol sekarang! Timmy
akan kuberi makan secara teratur. Ia akan kurawat baik-baik - jika itu yang kau
ingini. Aku sendiri mungkin saja bisa lupa makan, tapi mestinya kau cukup
mengenal diriku! Takkan kusia-siakan binatang yang tergantung pada perawatanku."
"Ya, aku juga tahu, Ayah," kata George. Tapi ia kelihatan masih agak sangsi.
"Yang ingin kuminta dari Ayah adalah - jika Ayah naik ke atas menara setiap pagi
untuk memberi isyarat, maukah Ayah mengajak Timmy naik" Aku akan menunggu di
pondok pengawas pantai Aku akan memandang ke mari dengan teropongnya. Jadi saat
itu aku akan bisa melihat Timmy. Asal saja aku bisa melihatnya setiap hari dan
tahu bahwa ia baik-baik saja, aku nanti takkan begitu gelisah."
"Baiklah," kata ayahnya. "Tapi kurasa Timmy takkan bisa menaiki tangga melingkar
itu." "Ah, ia bisa, Yah! - Ia sudah pernah naik ke sana," kata George.
"Astaga!" seru Paman Quentin. "Jadi anjing ini dulu ikut naik ke puncak menara"
Baiklah George - aku berjanji akan mengajaknya setiap kali aku naik ke puncak
menara untuk memberi isyarat. Akan kusuruh dia mengibas-ngibaskan ekor memberi
salam padamu Nah, bagaimana - puas?"
"Ya, Terima kasih," jawab George "Dan maukah Ayah sekali-sekali mengajaknya
berbicara dan menepuk-nepuk kepalanya... dan... ?"
"....Menyuapinya waktu makan, lalu membersihkan giginya sebelum tidur," sambung
ayahnya. Paman Quentin sudah mulai nampak marah lagi. "Aku akan memperlakukan
Timmy seperti anjing yang sudah dewasa, George. Sebagai binatang yang menjaga
diriku. Percayalah, ia ingin diperlakukan secara begitu olehku" Betul kan, Tim"
Yang lain-lain itu biar tuanmu sendiri yang melakukannya, ya Tim?"
Seakan-akan menjawab Paman Quentin. Timmy menggonggong satu kali sambil
memukulkan ekor ke tanah.
Anak-anak kagum memandangnya. Timmy memang anjing yang cerdik. Sikapnya nampak
lebih dewasa daripada George.
"Kalau ada sesuatu yang tidak beras atau Paman memerlukan bantuan atau semacam
itu, berilah isyarat delapan balas kali lagi pada kami," kata Julian. "Tapi
Paman pasti aman karena ditemani Timmy. Meski begitu - siapa tahu..."
"Betul! Jadi isyarat delapan betas kali jika aku ingin memanggil kalian untuk
salah satu keperluan," kata pamannya. "Aku akan mengingat-ingatnya. Sekarang
kalian harus pergi lagi karena aku hendak melanjutkan pekerjaan."
"Tapi supnya harus kaubuang, ya!" kata istrinya cemas. "Jangan kaumakan nanti
sakit perut. Pasti sekarang sudah bulukan. Kau ini memang begitu! Waktu masih
baik kaulupakan - tapi ketika sudah busuk baru teringat kembali!"
"Janganlah begitu," kata Paman Quentin sambil bangkit. "Seolah-olah aku ini baru
berumur lima tahun tak bisa berpikir sendiri."
"Kami semua tahu kau sangat pintar," kata Bibi. "Tapi kau kadang-kadang memang
Bunga Ceplok Ungu 1 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Algojo Algojo Bukit Larangan 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama