Ceritasilat Novel Online

Demon Glass 2

Demon Glass Karya Rachel Hawkins Bagian 2


Wow. Kesurupan bahkan bukan kata yang tepat untuk menyebut kejadian itu, kata Dad. Lebih mirip mencampurkan. Demon menyimpangkan semua tentang orang tersebut, bahkan darah mereka, DNA mereka. Itulah sebabnya demon bisa diturunkan melalui garis keluarga. Itulah alasannya kalau kita terluka serius pun kita tidak akan mati. Kekuatan kita menyembuhkan kita. Dia mengangguk ke arah tanganku yang ada bekas lukanya. Kecuali, tentu saja, seseorang menggunakan demonglass terhadap kita. Akan tetapi, tentu saja, demon yang telah diubah selama ritual pada dasarnya masih manusia seperti sedia kala. Hanya saja mereka sekarang punya sihir paling hitam dan paling kuat di dunia yang secara harfiah mengalir di dalam pembuluh darah mereka, aku menambahkan.
Tepat sekali. Dad tersenyum dengan bangga, dan aku mendadak teringat Alice yang berdiri di lapangan sambil berseru, Kau berhasil! Tepat sebelum aku memenggal kepalanya.
Tenggorokanku tercekat saat aku berkata, Jadi, kalau Alice masih Alice, mengapa dia punya cakar dan mulai minum darah" Dad menggerakkan pundak dan mengacungkan tangan kanannya. Cakar-cakar panjang perak muncul di tempat yang seharusnya kukunya yang terawat, dan kemudian lenyap lagi secepat kilat. Penyihir atau warlock mana saja bisa melakukan itu kalau mau. Coba saja sendiri.
Aku menunduk memandang kukuku yang berantakan, masih ternoda oleh cat kuku berwarna Iced Stawberry dari terakhir kali Jenna mencoba memanikur kukuku. Tidak, terima kasih.
Sementara... bagian lain, sihir darah itu praktik yang sangat kuat, sangat kuno. Lagi-lagi, banyak penyihir dan warlock yang terlah menggunakan di masa lalu. Temanmu Jenna tentu saja mendapat manfaat dari itu. Bahkan, begitulah caranya menciptakan vampir. Hampir seribu tahun yang lalu, sekelompok penyihir melakukan ritual darah yang sangat rumit, dan
Alice membunuh orang, kataku, suaraku bergetar saat mengucap kata terakhir.
Ya, benar, kata Dad dengan kalem. Sihir hitam sebanyak itu bisa membuat seseorang jadi gila. Itulah yang terjadi pada Alice. Tidak berarti akan terjadi padamu juga.
Dia menatapku, ekspresi wajahnya sangat serius. Sophie, aku paham atas keraguanmu untuk menerima peninggalanmu, tapi sangatlah penting kau harus berhenti berpikir bahwa demon itu monster. Dia mengulurkan tangannya dan meletakkan tangannya di atas tanganku. Berhentilah menganggap dirimu monster.
Sambil bersusah-payah menjaga agar suaraku tetap datar, aku berkata, Begini, aku mengerti Dad paham betul urusan hidup dengan demon , tapi aku menyaksikan demon membunuh seorang teman. Dan kata Mrs. Casnoff, ibu Dad bersikap seperti demon sejati dan membunuh ayah Dad. Jadi, jangan berdiri di sana dan mengharapkan aku percaya bahwa jadi demon itu bagaikan bermandikan sinar matahari dan bermain dengan anak kucing.
Memang bukan, kata Dad. Tapi, kalau kau bersedia mendengarkan aku dan mempelajari seperti apakah jadi demon itu, kau akan mengerti bahwa Pemunahan bukanlah pilihan satu-satunya bagimu. Ada cara-cara untuk... yah, menyetel kekuatanmu. Mengurangi peluang menyakiti seseorang.
Mengurangi " aku mengulanginya, Tapi, bukan memunahkannya, bukan"
Dad menggeleng. Aku membicarakan ini dengan cara yang keliru, katanya, terdengar frustrasi. Aku hanya ingin kau mengerti itu... Sophie, apakah kau pernah memikirkan seperti apakah dirimu begitu kau menjalani Pemunahan" Dengan asumsi kau selamat, tentu saja. Aku sudah memikirkannya. Kedengarannya memang bodoh, tapi salah satu hal pertama yang kupikirkan adalah aku akan mirip si Vandy: dipenuhi dengan lambang-lambang ungu, bahkan di wajahku. Tidak akan mudah menjelaskannya di dalam dunia manusia, tapi aku berharap liburan musim semi gila-gilaan mungkin bisa dipercaya. Sewaktu aku tidak langsung menjawab, Dad berkata, Aku tak yakin kau paham apa yang sebenarnya terjadi di dalam ritual. Bukan hanya kau tak akan melakukan sihir lagi. Kau akan menghancurkan bagian vital dari dirimu. Pemunahan sampai ke dalam darahmu. Perlakuan tersebut merenggut sesuatu yang merupakan bagian dari dirimu seperti warna matamu, misalnya. Kau ditakdirkan untuk menjadi demon, Sophie, dan jiwa serta ragamu akan melawan untuk mejagamu agar tetap seperti itu. Mungkin hingga titik darah penghabisan. Tidak ada yang bisa kukatakan untuk menjawab kalimat seperti itu. Jadi, aku hanya menatap Dad sampai akhirnya dia mendesah dan berkata, Kau lelah, memang sulit untuk menceritakanya pada malam pertamamu. Aku bisa memahami kalau semua ini membuatmu kewalahan.
Bukan itu, kataku, tapi dia terus saja bicara, sesuatu yang mulai kusadari sebagai kebiasaannya yang menjengkelkan. Mudah-mudahan,setelah tidur nyenyak semalaman, kau akan bisa lebih menerima apa yang kukatakan kepadamu. Dia melirik arlojinya. Nah, kalau kau tidak keberatan, aku seharusnya bertemu dengan Lara lima belas menit yang lalu. Aku percaya kau bisa pulang sendiri ke rumah.
Rumahnya ada tepat dihadapanku, jadi, ya. Gumamku, tapi Dad sudah berjalan menuruni bukit.
Lama sekali aku duduk di kegelapan yang sedang, menghimpun, mengamati Thorne Abbey, mencoba untuk menyerap semua yang baru saja Dad ceritakan kepadaku. Aku duduk di sana selama sepuluh menit, sebelum terpikir olehku bahwa aku belum menanyakan tentang anak-anak demon dan apa yang mereka lakukan di sini. Atau bagaimanakah mereka sampai ada" Akhirnya, aku berdiri, membersihkan debu dari celana jinsku, dan kembali berjalan menuju rumah.
Sambil berjalan, aku memikirkan apa kata Dad. Aku baru saja mendapatkan kekuatanku selama beberapa tahun, tapi kekuatan itu merupakan bagian dari diriku. Untuk pertama kalinya, aku mengakui pada diriku sendiri bahwa mengiris sihir dari diriku dan mungkin meregang nyawa selama prosesnya membuatku ketakutan setengah mati.
Tapi, aku juga tak bisa menjalani kehidupan sebagai bom waktu, dan tak peduli apa yang Dad katakan tentang menyetel sihirku, selama aku memiliki kekuatanku, meledak akan selalu merupakan kemungkinan yang nyata. Entah bagaimana, seluruh keberadaanku menjadi masalah yang rumit.
Aku selalu payah dalam hal itu.
Tidak ada tanda-tanda Dad saat aku kembali ke Thorne, dan aku tersaruk-saruk ke kamarku. Tadi, aku kelaparan, tapi percakapan dengan Dad telah membunuh selera makanku. Walaupun sudah tidur panjang, yang kuinginkan hanyalah mandi berendam air panas dan merangkak ke tempat tidur.
Tapi, ketika masuk ke kamar, kulihat tempat tidurku sudah dibereskan. Apakah itu pembantu, atau apakah mereka sekarang punya mantra untuk merapikan"
Kemudian, aku melihat foto yang diletakkan di atas bantal. Sekilas aku bertanya-tanya, apakah Dad sendiri yang menaruh foto itu di sana sementara aku mengulurkan tangan dan memungutnya. Tanganku sedikit gemetar. Foto hitam putih itu menampakkan sekitar lima puluh gadis di halaman depan Thorne. Separuh berdiri, sementara separuhnya lagi duduk di rumput, rok mereka ditarik dengan sopan agar menutupi tungkai. Alice ada di antara gadis-gadis yang duduk.
Aku mengamati wajahnya berlama-lama. Entah bagaimana, lebih mudah menganggap Alice benar-benar kesurupan, ada makhluk tak berjiwa yang menggunakan tubuh nenek buyutku itu sebagai alat. Lebih sulit bagiku membayangkan jiwa Alice masih ada di dalam tubuhnya saat aku memutuskan lehernya dengan serpihan demonglass. Aku meraba sosoknya. Apa yang sedang dia pikirkan pada saat foto ini diambil" Apakah dia berpikir Thorne Abbey juga luar biasa" Setahuku, dia berdiri tepat di ruangan ini lebih dari enam puluh tahun yang lalu. Bayangan itu membuat gelenyar merambati tulang punggungku. Aku ingin bertanya padanya apakah dia merasakan peristiwa buruk akan menimpanya, apakah dia berkeliaran di loronglorong Thorne sambil merasakan perasaan ketakutan yang sama dengan yang menggulung di dalam diriku.
Tapi Alice, yang membeku pada 1939, tersenyum dan masih manusia, tidak punya jawaban, dan tidak ada apa-apa di wajahnya yang mengisyaratkan bahwa dia punya firasat tentang apa yang akan diberikan oleh masa depan kepadanya.
Kepadaku. "RatuBuku Bab 9 Dad tidak ada keesokan paginya. Aku bangun pagi-pagi dan mandi secara maraton. Percayalah, kalau kau menghabiskan sembilan bulan terakhir berbagi kamar mandi dengan berbagai jenis makhluk supranatural, kau juga akan sangat gembira karena mendapat kamar mandi pribadi. Suatu saat pada malam sebelumnya, semua tasku sudah dibongkar, dan pakaianku dilipat dengan rapi di dalam lemari berlukisan. Mengingat betapa semua orang di Thorne berpakaian dengan bergaya kemarin, sejenak terpikir olehku untuk menggali satu-satunya gaun yang kubawa. Akhirnya, aku memilih celana jins dan T-shirt berwarna cranberry, walaupun aku memang memakai sandal bagus sebagai pengganti sepatu tenis bututku.
Aku mampir di kamar Jenna sebelum turun, tapi dia tidak ada di sana. Pintu kamar Cal tertutup, dan tadinya aku hendak mengetuk sebelum mengingatkan diri bahwa saat itu masih pagi, dan dia mungkin masih tidur. Hanya selama sedetik, bayangan Cal yang terkantuk-kantuk dan tak mengenakan kemeja membuka pintu kamarnya muncul di kepalaku, dan wajahku merona semerah kausku.
Aku masih sedikit tersipu saat bertumburan dengan Lara Casnoff di lorong utama. Dia memakai jas berwarna gelap dan entah bagaimana sedang memegang setumpuk kertas, telepon genggam, dan secangkir kopi panas yang begitu harum sampai-sampai air liurku terbit. Oh, Sophie, kau sudah bangun, katanya dengan senyuman ceria. Ini dia menyodorkan kopi kepadaku aku baru akan membawakan ini untukmu.
Oh, wow, Anda baik sekali, jawabku, sambil dalam hati menambahkan Lara ke dalam daftar orang-orang asyik milikku. Di Hex Hall, praktis kami diusir dari tempat tidur di pagi hari oleh alarm yang terdengar mirip campuran antara terompet kabut dan salakan anjing-anjing neraka. Orang yang membawakan kopi di pagi hari untukmu ke tempat tidurmu merupakan cara untuk bangun yang lebih menyenangkan.
Selain itu, ayahmu ingin aku memberitahumu bahwa dia dipanggil untuk urusan pekerjaan hari ini, tapi dia akan pulang lagi malam ini. Oh. Eh... baiklah, terima kasih.
Dia tidak senang melewatkan hari pertamamu, katanya, sambil agak mengerutkan dahi.
Aku tak bisa menahan tawa sinis. Yah, Dad melewatkan banyak sekali hari pertamaku, jadi aku sangat terbiasa dengan itu.
Kupikir Lara akan langsung membela Dad, tapi sebelum dia bisa, aku bertanya, Jadi, di mana di antara sembilan ribu dapur aku bisa menemukan sereal" Aku melewatkan makan malam.
Sikap Lara langsung kembali gesit. Oh, tentu saja. Sarapan disajikan di ruang makan timur.
Dia memberikan ancar-ancar yang terdiri dari tiga belokan ke kanan, naik satu tangan lagi, dan rumah kaca , entah apa pula itu. Sewaktu aku menatapnya dengan kebingungan, dia melambaikan tangan dan berkata, Sebaiknya aku tunjukkan saja kepadamu. Terima kasih, kataku, sambil mengekor di belakangnya. Mungkin setelah musim panas ini berakhir, aku ingat tata letak tempat ini. Lara tertawa. Aku datang ke Thorne Abbey selama berpuluh-puluh tahun, dan aku masih saja berputar-putar.
Wow, kataku sambil menyusuri lorong panjang yang didereti gambar. Aku mundur lagi saat melewati gambar-gambar itu. Ada potret-potret werewolf yang memakai kostum abad kedelapan belas, bulu keperakan mereka menyembul dari bawah celana selutut, dan satu gambar menampilkan sekeluarga penyihir dari sekitar 1600-an ditilik dari banyaknya renda yang berkerut di sekeliling leher mereka semuanya melayang di bawah sebatang pohon, percikan keperakan menari-nari di sekeliling mereka.
Kemudian, kata-kata Lara barulah meresap. Berpuluh-puluh tahun" Jadi, Anda mengenal ayahku sejak masih kanak-kanak" Wanita itu mengangguk. Benar. Nenekmu menghadiahkan Thorne Abbey kepada Dewa sebelum... sebelum dia meninggal. Anastasia dan aku menghabiskan banyak musim panas di sini dengan ayah kami. Dia berhenti sejenak dan memberikan senyuman sekilas kepadaku. Kita punya kesamaan, Sophie. Ayahku juga ketua Dewan dulunya. Tunggu, apa"
Alexei Casnoff. Tidakkah kau pernah mendengarnya" Yang bisa kulakukan hanyalah menggeleng, jadi Lara melanjutkan. Keluarga Casnoff memimpin dewan selama hampir dua ratus tahun. Akan tetapi, ayahku membuat keputusan sejak awal untuk mewariskan jabatannya kepada ayahmu, karena kekuatannya.
Aku meresapinya. Tapi, jabatan itu turun menurun. Jadi, kalau ayah Anda tidak melakukan itu, Anda-lah yang menjadi ketuanya" Dia menggerakkan pundaknya dengan anggun, seakan-akan topik itu bahkan tidak cukup penting untuk dibahas. Anastasia, sebenarnya. Dia sulung. Tapi, kami sepakat dengan keputusan ayah, dan Anastasia merasa dia toh bisa lebih bisa bermanfaat di Hecate. Dia tersenyum kepadaku dan meremas lenganku dengan pelan. Tak seorang pun dari kami yang pernah menyesalinya. James melakukan tugasnya dengan sangat baik sebagai ketua, dan aku yakin aku juga akan begitu. Aku mencoba untuk membalas senyumannya, tapi kurasa hasilnya lebih mirip seringaian.
Jadi... kalau Anda dan Mrs. Casnoff bersaudara, dan ayah Anda bernama Casnoff, mengapa dia seorang Mrs." tanyaku. Seakan-akan dia sudah menikah.
Anastasia memang menikah, kata Lara, sambil mengisyaratkan kepadaku untuk melalui koridor lain. Tapi, kami selalu memakai nama Casnoff. Bahkan, suaminya pun memakainya.
Aku ingin tahu lebih banyak tentang itu, tapi pada saat itu kami sudah sampai di ruang makan. Aku mengikuti Lara ke dalam.
Aku ingin tahu apakah ada kamar-kamar di seluruh Thorne Abbey yang tidak akan membuatku terlongong-longong di ambang pintu. Ruang makan timur mungkin ukurannya tiga kali lebih besar daripada ruang makan di Hecate. Seperti setiap kamar yang pernah kulihat di Thorne, tampaknya tidak ada satu senti persegi yang tidak ditutupi lukisan atau sepuhan. Bahkan, kursi-kursinya pun dilapisi brokat emas. Sebuah meja panjang yang bisa menampung seluruh tentara mendominasi ruangan, jadi kurasa di sinilah sebagian besar makanan di Thorne di sajikan. Tapi, hanya Cal satu-satunya orang yang ada di sana sekarang. Dia mendongak saat kami masuk dan mengangguk kecil. Pagi.
Lara benar-benar berseri-seri menatapnya. Mr. Callahan! Senang sekali melihatmu pagi ini. Apakah kau menikmati Thorne Abbey" Cal menyesap jus jeruk banyak-banyak sebelum menjawab. Rumahnya bagus.
Kurasa tak mungkin Cal terdengar begitu kurang antusias lagi, tapi entah Lara tidak menyangkanya, atau dia tak peduli, karena wanita itu terdengar begitu bersemangat saat mengatakan, Nah, aku yakin kalian berdua sudah menantikan kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama.
Cal dan aku menatapnya. Aku mencoba untuk menyuruhnya berhenti bicara dengan pikiranku, tapi rupanya kekuatan itu tidak termasuk ke dalam daftarku. Lara mengembangkan cengiran bersengkongkol. Tidak ada yang membuatku lebih gembira lagi daripada melihat perjodohan yang merupakan cinta sejati.
Semua kejengahan yang telah menghilang di antara aku dan Cal kemarin tampaknya kembali meluncur dalam ruangan dengan suara wuss nyaring.
Aku memberanikan diri melirik ke arah pemuda itu, tapi Cal, seperti biasanya, sedang melakukan gaya manusia batu -nya. Air mukanya bahkan sama sekali tidak berubah. Tapi kemudian, aku melihat tangan yang memegang gelasnya mengencang.
Cal dan aku bukan... kami tidak... tidak ada, eh, cinta, akhirnya aku berkata. Kami teman.
Lara berkerut kening, kebingungan. Oh. Maafkan aku. Dia berpaling ke Cal, alisnya terangkat. Aku hanya berasumsi itulah alasanmu menolak posisi di Dewan.
Cal menggeleng, dan kurasa dia hendak mengatakan sesuatu, tapi aku mengalahkannya. Posisi apa di Dewan"
Bukan apa-apa, katanya. Lara mendengus pelan sebelum memberitahuku, Setelah pendidikannya di Hecate berakhir, Mr. Callahan ditawari posisi kepala pengawal Dewan. Kalau tidak salah, bukankah kau menerima tugas itu pada awalnya" tanyanya kepada Cal.
Itulah ekspresi Cal yang paling mendekati marah. Tentu saja, pada dirinya, itu artinya alisnya sedikit berkerut. Memang, tapi dia mulai berkata.
Tapi, kau dengar Sophie akan datang ke Hecate, dan kau memutuskan untuk tinggal, Lara menyelesaikan kalimatnya, dan bibirnya miring oleh senyuman kemenangan yang pernah kulihat di wajah Mrs. Casnoff lusinan kali. Aku berdiri di sana, terpukau di tempat, sementara wanita itu kembali berpaling kepadaku dan berkata, Mr. Callahan melepaskan kesempatan untuk bepergian keliling dunia dengan Dewan dan bekerja hanya sedikit lebih tinggi daripada tukang bersih-bersih di Pulau Graymalkin. Untukmu. "RatuBuku
Bab 10 Setelah itu, aku tidak begitu mendengarkan kata-kata Lara. Aku tahu dia menyebutkan sesuatu tentang terlambat menghadiri pertemuan. Dan setelah itu, mendadak dia sudah pergi, meninggalkan aku berdua saja dengan Cal.
Cal mengalihkan perhatiannya kembali ke piringnya, jadi aku melintasi ruangan ke arah bufet. Ada lusinan baki perak yang berisi telur, kentang goreng, daging asin, dan makanan-makanan mengepul lainnya yang aku tak yakin apa namanya. Jantungku melompat-lompat ke sana kemari, tapi aku mencoba untuk tidak membiarkannya terlihat sementara aku mengisi piringku.
Setelah itu, barulah aku sadar tak tahu harus duduk di mana. Mejanya bisa menampung lebih dari seratus orang, jadi aku tidak mau duduk di sebelahnya, tentu saja. Tapi, akan terlihat aneh kalau aku memilih salah satu kursi yang di ujung meja. Akhirnya, aku duduk di seberangnya dan untuk sementara waktu, Cal dan aku duduk tanpa bicara, mengunyah sarapan kami masing-masing. Suara garpu menggurat piring menggema di ruangan yang besar itu. Cal bergeser di tempat duduknya, dan kupikir dia hendak pergi tanpa mengatakan apa-apa. Kemudian dengan pelan, dia berkata, Aku tidak tinggal demi kau saja.
Aku menjaga mataku agar tetap menunduk. Begitu. Tentu saja tidak. Yang benar saja.
Kakinya menyenggol kakiku di bawah meja, dan akhirnya aku mendongak menatapnya. Dia sedang mencondongkan tubuhnya ke depan, wajahnya serius. Sungguh. Aku suka Graymalkin. Aku senang berdekatan dengan laut dan bekerja di luar. Bekerja dengan Dewan artinya.... Dia menghela napas, mengangkat matanya ke langit-langit. Kantor dan pesawat. Dan memakai dasi. Sama sekali bukan untukku. Cal, tidak apa-apa, aku bersikeras, bahkan sewaktu pipiku merona. Aku tidak benar-benar mengira kau tinggal di Hex Hall karena cintamu yang membara untukku. Tapi, itulah yang akan kukatakan kepada gadis-gadis di sekolah, kataku sambil menyuap telur satu garpu penuh. Kupikir julukan tukang bikin patah hati barangkali bisa jadi tambahan yang keren terhadap reputasi penyihir tukang balas dendam .
Kelihatannya Cal sudah hendak bicara lagi, jadi aku bergegas menambahkan, bahkan kalau itu artinya bicara dengan mulut penuh. Jadi, bagaimana pendapatmu tentang Thorne Abbey" Cal berkedip mendengar perubahan topik pembicaraan itu, tapi lalu berkata, Tempat ini membuatku takut.
Aku juga, kataku. Padahal aneh juga, karena Hex Hall itu secara teknis sejuta kali lebih menyeramkan.
Cal menggerakkan bahu. Ya, tapi rasanya itu seperti rumah sendiri. Untukmu, barangkali. Benarkah kau belum pernah meninggalkannya sejak umur tiga belas"
Tidak pernah. Bahkan, untuk pergi ke daratan pun tidak. Aku menggeleng dan mematahkan sekeping roti panggangku, mengolesinya tebal-tebal dengan selai jeruk. Itu gila. Mengapa" Dia meletakkan garpunya,dan matanya tertancap ke satu titik di atas pundakku. Entahlah. Begitu aku menginjakkan kaki di pulau itu, aku tak pernah ingin meninggalkannya. Seperti kataku tadi, rasanya seperti rumah. Tidakkah kau pernah merasa seperti itu terhadap suatu tempat"
Aku mengenang semua rumah yang pernah Mom dan aku tinggali selama bertahun-tahun. Beberapa di antaranya menyenangkan, tapi tak satu pun yang rasanya permanen. Aku selalu tahu diri agar tidak merasa terlalu terikat pada suatu tempat. Yang dimunculkan oleh kata rumah untukku hanyalah Mom dan bayangan samar-samar tentang koper-koper. Tidak. Salah satu keuntungan dari kaum nomad. Kau tak pernah rindu kampung halaman.
Cal mengamatiku dengan caranya yang tanpa suara dan serius sebelum mengatakan, Bagaimana pembicaraan dengan ayahmu semalam" Aku menghela napas. Tidak bagus. Rupanya aku seharusnya jauh lebih bersemagat jadi demon. Dan, tentu saja dia menentang keras tentang aku yang ingin menjalani Pemunahan.
Hanya huh saja jawabannya, tapi Cal bisa menuangkan arti mendalam ke balik satu suku kata.
Biar kutebak. Kau bergabung dengan orang-orang yang berpendapat kalau aku menjalani Pemunahan itu gagasan buruk.
Herannya, aku melihat air muka marah lagi di wajah Cal. Kau mengatakan seakan-akan semua orang menentang gagasan itu hanya untuk bersikap menyebalkan saja. Tapi Mrs. Casnoff, orangtuamu, aku... bisakah kau menyalahkan salah satu dari kami karena tidak menginginkanmu mati"
Sesuatu bergeser di udara, dan mendadak aku merasa berdiri di tempat yang sangat lemah. Bisakah kau menyalahkan aku karena tidak ingin menjadi demon" Alice membunuhi orang-orang, Cal. Begitu juga putrinya, Lucy. Dia membunuh suaminya sendiri.
Cal tidak bereaksi mendengarnya, jadi aku menambahkan dengan terlalu banyak racun bahkan untukku Aku berani bertaruh kau tak tahu itu saat kau sepakat untuk bertunangan denganku, kan" Penggorok suami tampaknya menurun di keluargaku. Masih tidak ada reaksi dan aku merasakan malu menggulung di perutku. Tentu saja, kau juga tidak tahu bahwa kau akan mendapatkan calon pengantin demon, tambahku dengan nada yang lebih lembut. Hanya sedikit orang yang tahu apa sebenarnya ayahku itu. Aku selalu berasumsi Cal mengetahuinya pada malam yang sama dengan aku mengetahuinya.
Itulah sebabnya aku benar-benar terperanjat saat dia mendongak dan berkata, Aku tahu.
Apa" Aku sudah tahu siapa dirimu sebenarnya, Sophie. Ayahmu memberitahuku sebelum pertunangan. Dan, dia mengatakan tentang nenekmu juga apa yang menimpa kakekmu.
Aku menggelengkan kepala. Kalau begitu, kenapa"
Cal berlama-lama sebelum menjawab, Salah satunya, aku menyukai ayahmu. Dia melakukan kebaikan bagi Prodigium. Dan Dia berhenti mendadak sambil mengembuskan napas panjang. Rasanya seperti mendapat kehormatan, tahukah kau" Diminta untuk menjadi menantu ketua Dewan. Ditambah lagi, ayahmu, dia, eh, sering menceritakan kau kepadaku.
Suaraku nyaris tak lebih dari bisikan. Apa yang dia katakan" Katanya kau cerdas, dan kuat. Lucu. Bahwa kau kesulitan menggunakan kekuatanmu, tapi kau selalu mencoba untuk menggunakannya untuk membantu orang lain. Dia mengendikkan bahu. Kupikir kita cocok.
Ruang makan yang luas itu mendadak terasa sangat sempit, seolaholah hanya terdiri dari meja ini serta aku dan Cal. Begini, Sophie, dia mulai berkata.
Tetapi, sebelum dia bisa menyelesaikanya, Jenna berjalan masuk. Aku senang masih bisa makan makanan manusia, karena daging asin itu harumnya luar biasa.... katanya, kemudian terdiam. Oh! serunya, keriangannya langsung surut dari dirinya. Maaf! Aku tidak bermaksud menyela... entah apa. A-a-aku bisa... pergi" Jenna mengisyaratkan dengan ibu jarinya ke atas pundaknya. Dan setelah itu, kembali lagi, eh, nanti"
Tapi, momen itu sudah rusak. Cal bersandar, dan aku menyibakkan rambut ke balik telingaku. Tidak, tidak apa-apa, kataku cepat, lebih mencurahkan perhatianku kepada telurku dan bukannya terhadap perasaanku yang campur aduk. Sepertinya baru kita yang sudah bangun.
Semuanya sudah bangun. Tapi, mereka pendiam, kata sebuah suara dari ambang pintu.
Aku mendongak dan berusaha keras untuk tidak tersedak makananku. Ternyata si gadis demon. Rambut hitamnya yang berpotongan bob berantakan dan dia masih memakai piyama piyama yang lucu, terbuat dari sutra biru dan dihiasi bulan serta bintang perak kecil-kecil. Dia sedang memperhatikan aku dengan air muka yang tak bisa kutebak.
Dia masuk ke ruangan dengan keanggunan yang santai, tetapi pundaknya naik, dan kepalanya miring sehingga wajahnya tersembunyi oleh rambutnya. Dia mengambil sekeping roti panggang dan jeruk sebelum duduk di sampingku. Kekuatannya membuatku hampir menggertakkan geraham, tapi aku memaksakan diri untuk tersenyum. Hai. Aku Sophie.
Dia mengupas jeruk. Ya, aku tahu, katanya, aksennya sama kentalnya dengan aksen Dad. Dan kau Cal, dan kau Jenna. Aku Daisy. Mereka menggumamkan sapaan, kemudian Jenna melirikku dan mengucapkan tanpa suara, Daisy" aku tahu apa maksudnya. Dengan rambut hitam legam dan kulit transparannya, gadis itu lebih pantas bernama Lilith si gadis iblis atau Lenore si hantu kecil daripada Daisy.
Kami semua duduk tanpa bicara sementara Kristopher, Roderick, dan Elizabeth masuk. Aku agak terkejut melihat anggota dewan yang lain. Kukira mereka sudah bekerja, seperti Lara.
Begitu semua orang sudah duduk, Kristopher memandang meja. Aku senang melihat kau dan Daisy saling mengenal, Sophia. Matanya yang biru muda berbinar-binar.Seperti Lara, tampaknya dia terlalu antusias untuk sepagi itu.
Ya, mungkin nanti kita semua bisa bernyanyi Kumbaya versi demon, kataku. Leluconku padahal tidak terlalu lucu, tapi ketiga anggota Dewan itu tertawa seakan-akan itu kata-kata paling lucu yang pernah mereka dengar.
Daisy, bukankah sudah kami katakan bahwa Sophie punya selera humor yang tinggi" kata Roderick, si peri yang jangkung, sayapnya berkepak-kepak.
Tapi, sebelum bisa menjawab, pemuda demon itu masuk ke ruang makan. Jenna benar, dia memang sedikit mirip Archer. Dia tidak terlalu tampan, dan saat melirik ke arahku, kulihat matanya biru dan bukannya cokelat, tapi yang jelas ada kemiripan.
Selamat pagi, Nick, kata Kristopher, sambil menepuk-nepuk bibirnya dengan serbet. Kuharap kau suka kamar barumu" Nick menghampiri bufet, mengedipkan sebelah mata kepada Daisy, yang bibirnya melengkung sebagai balasannya. Sangat suka, Kris. Terima kasih, katanya sebelum mengambil makanan. Tidak seperti Daisy, Nick orang Amerika. Dia duduk di samping Daisy dan memiringkan tubuhnya untuk menyapaku, Sudah bosan dengan pemandangan di kamar lamaku. Maksudku, berapa sering kau sanggup memandang kolam, bukan begitu" Kris ini cukup baik untuk mengatur kamar menghadap ke taman-taman. Dia menyengir sambil membelah muffin. Kurasa kamar itu cukup untuk saat ini.
Kristopher tersenyum lagi, tapi senyumannya terpaksa. Kami berusaha untuk membuat tamu-tamu kami senang, katanya.
Bagaimana denganmu, Daisy" Elizabeth, werewolf bertampang nenek-nenek, bertanya, sambil mengulurkan tangan untuk menepuknepuk tangan Daisy. Apakah kamar-kamarmu masih baik-baik saja, sayang"
Baik-baik saja, terima kasih, katanya pelan, dan aku berani sumpah Elizabeth mendesah lega.
Jadi, Sophie, kata Nick. Pasti kau sudah menduga bahwa Daisy dan aku adalah kerabatmu dalam ke-demon-an"
Benar, kataku, sambil berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja. Aku mendeham dan bertanya, Jadi, apakah kalian terlahir sebagai demon, seperti aku, atau dibuat"
Elizabeth yang menjawab mewakili mereka, suaranya hangat dan bersimpati. Mereka tidak ingat, anak-anak malang. Saat kami menemukan mereka berdua, mereka berada di rumah sakit jiwa. Mereka bahkan tak punya nama.
Ya, dan kami sangat berterima kasih untuk selamanya karena penyelamatan itu, Liz, kata Nick, sambil membuat suaranya agak diulur-ulur. Aku menatapnya dengan lebih saksama. Mata pemuda itu agak merah, tapi bukan karena demon, melainkan karena mabuk. Ya ampun, siapa yang sudah minum-minum di pagi hari" Dan mengapa" Jadi, kata Nick kepadaku, apa kau suka Thorne" Sangat, jawabku, tapi aku kedengaran tidak meyakinkan, bahkan untuk diriku sendiri.
Yah, nanti akan jadi lebih baik daripada tempat sampah yang kalian sebut sekolah itu, kata Nick sambil mendengus.
Air muka Cal benar-benar berubah seakan diselimuti badai mendengarnya, jadi aku buru-buru berkata, Hecate tidak terlalu buruk. Tempat itu hanya punya, eh, kepribadian saja. Bukankah L Occio di Dio menggerebek Hecate tahun lalu" tanya Daisy, sambil mengulurkan tangan di depanku untuk mengambil selai. Saat itulah aku melihat bekas luka keunguan yang membentang di sepanjang lengan bagian dalamnya. Bekas luka itu sangat mirip dengan yang ada di tanganku. Aku ingat kata Dad tentang Daisy dan Nick yang nyaris tewas, dan mencoba untuk tidak menatapnya. Tidak, itu bukan penggerebekan. Ada seorang warlock di sana. Archer Cross. Itulah pertama kalinya aku menyebutkan nama pemuda itu dengan nyaring sejak sekian lama. Dia bekerja untuk Mata. Tapi, dia tidak menyakiti orang lain.
Semua orang terdiam, dan aku benar-benar berharap itulah akhir dari percakapan ini. Kemudian Nick berkata, Kudengar dia mencoba untuk memotong jantungmu di ruang bawah tanah.
Kalau semua orang belum menyimak setiap kataku, sekarang jelasjelas sudah. Itu tidak benar, kataku dengan datar. Aku bisa merasakan tatapan Cal yang tertuju padaku, tapi aku tetap memandang Nick. Kami bertarung, tapi dia tak pernah menghunuskan pisau kepadaku."
Kalian bertarung" tanya Roderick. Dengan tanganmu" Eh, ya, jawabku, kebingungan. Kurasa mungkin aku juga menendangnya di sana, tapi
Yang Roderick maksud adalah mengapa kau tidak menggunakan kekuatanmu" kata Kristopher, sambil melipat lengannya di atas meja. Kau demon. Kau bisa saja melenyapkannya kalau kau mau. Mulutku jadi kering dan aku sedikit terbata-bata saat berkata, Aaku tidak tahu bagaimana cara melakukan sesuatu seperti itu. Yah, kalau kau pernah mempelajarinya, kurasa aku tak mau menjadi teman sekamarmu lagi, celetuk Jenna. Tapi, kalau dia pikir leluconnya akan mengubah topik pembicaraan, dia keliru. Nick mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya menyala-nyala. Atau, mungkin desas-desus itu benar. Barangkali kau tidak membunuhnya karena kau jatuh cinta kepadanya. "RatuBuku
Bab 11 Detak jantungku bertalu-talu di telingaku. Dengan cepat, aku meletakkan garpu agar tak seorang pun yang melihat kalau tanganku gemetar. Tapi, aku membalas tatapan Nick di seberang meja dan berkata, Tidak. Aku tidak jatuh cinta. Tapi, kami berteman. Dia punya pacar, Elodie Parris. Dia salah satu gadis yang dibunuh oleh demon di Hecate.
Kata-kataku menggantung di udara selama semenit, sementara Nick dan aku saling menatap. Dia mengalihkan pandangannya terlebih dulu. Baiklah, baguslah kalau begitu, katanya, suaranya riang. Senang rasanya kita tidak salah paham tentang hal itu. Cuma ingin memastikan bahwa pacarmu tidak mampir dengan kawan-kawannya. Dia tersenyum kepadaku, dan senyuman itu salah satu dari hal-hal mengerikan yang pernah kulihat.
Roderick mendeham. Nick, tolong ingat sopan santunmu, katanya. Sophie tamu kita.
Aku hanya membuat bahan percakapan, Rod, kata Nick. Lagi pula, keterlibatan dengan Mata merupakan satu kesamaan antara Sophie dan aku."
Apa maksudmu" tanyaku.
Oh, mereka hanya mencoba membunuhku juga. Dia bersandar di kursinya dan menarik kemejanya ke atas, memperlihatkan bekas luka ungu menakutkan yang meliuk dari pinggang hingga ke tulang dada. Semua orang yang duduk di kursi itu terdiam, dan di sampingku, Daisy bergidik.
Aku berumur lima belas saat mereka menemukanku. Hidup di rumah orangtua angkat di Georgia, tanpa tahu mengapa aku bisa membuat segala sesuatu terwujud dengan pikiranku. Tanpa tahu apa-apa lagi, sebenarnya.
Nick tidak ingat apa-apa sejak dia berumur tiga belas, Daisy menyela, suaranya begitu pelan sampai-sampai aku nyaris tak mendengarnya.
Nick mengangguk. Aku tak punya rumah selama beberapa waktu, tapi kemudian negara bagian Georgia memungutku. Menjejalkanku ke rumah keluarga Hendrickson. Dia mendengus. Yang berakhir dengan benar-benar menyebalkan bagi keluarga itu. Mata membunuh mereka berempat saat mereka mencoba membunuhku.
Bagaimana caramu melarikan diri" tanya Jenna. Pundaknya tegang, dan aku tahu dia sedang terkenang pelariannya sendiri dari sergapan Mata.
Nick melemparkan lirikan tajam lagi kepadaku. Dengan menggunakan kekuatanku. Kupikir itu lebih masuk akal daripada berusaha melawannya dengan tangan kosong, kau tahu, kan" Sesuatu menyengat kulitku bagaikan setrum, dan rambut Daisy beriak. Air muka Nick tampak menerawang saat dia melanjutkan. Salah satu dari mereka menangkapku saat aku sedang mencoba untuk keluar lewat jendela. Dia memegang pisau hitam. Porselen di atas meja mulai bergetar, dan aku melihat Kristopher dan Elizabeth saling melemparkan pandangan cemas. Saat itu, aku tak tahu apa itu demonglass, kata Nick, tapi aku tahu benda celaka itu menyakitkan seperti
Mendadak, Lara muncul di ambang pintu. Nick, katanya, nada suaranya hanya sedikit terlalu tajam. Mungkin kisah itu bisa menunggu waktu yang lebih tepat. Kalau kau sudah selesai sarapan, bagaimana kalau kau dan Daisy melakukan latihan yang diajarkan oleh Mr. Atherton kepada kalian"
Mendadak, arus deras kekuatan itu lenyap, dan aku mengembuskan napas. Baru saja kusadari aku menahannya dari tadi. Tentu, Lara, kata Nick, sambil menyunggingkan senyuman mengerikan itu lagi. Dia bangkit dari kursinya, dan Daisy mengikuti langkahnya. Oh, ya, tambahnya. Aku ingin bertanya apakah Daisy dan aku bisa mengajak Sophie dan teman-temannya keluar malam ini. Aku menatap mereka mendengarnya. Setelah apa yang baru saja kusaksikan, hal terakhir yang kuinginkan adalah pergi ke mana saja dengan kedua makhluk ini.
Ke luar ke mana" tanya Lara.
Cuma ke desa. Bukankah dia berada di sini selama musim panas untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan kaumnya sendiri" Lara bimbang, dan Nick melanjutkan untuk meyakinkannya. James secara khusus memintaku untuk membimbing Sophie, Lara, katanya, sambil meletakkan satu tangan di pundakku. Dengan susah payah aku berusaha untuk menepisnya.
Sambil masih tidak benar-benar yakin, Lara berkata, Aku akan bicara dengan James sore ini dan kita lihat saja nanti apa katanya. Sekarang pergilah.
Nick meremas pundakku sebelum dia dan Daisy berjalan keluar ruangan. Cal, Jenna, dan aku duduk tanpa bicara, sambil saling pandang. Setidaknya aku tahu bagaimana cara Elodie, Chaston, dan Anna melakukan pandangan tiga arah. Akhirnya, anggota Dewan yang lain dan berbagai bawahan mereka sedikit demi sedikit keluar dari ruangan sampai hanya ada kami bertiga.
Jenna yang pertama bicara. Tadi itu cara mengusir yang mengerikan.
Aku bergidik. Tidak salah lagi. Kapten Angot-angotan benar-benar membuat demon mendapatkan reputasi buruk, yang pada dasarnya pencapaian yang luar biasa.
Tapi, Jenna menggelengkan kepalanya. Bukan dia. Yah, maksudku, memang dia, tapi bukan hanya dia. Melainkan semua anggota Dewan. Apa kau tadi lihat betapa anehnya sikap mereka terhadap Nick dan Daisy" Nick kelihatannya hanya tinggal beberapa detik saja dari meledakkan kita semua, dan tak seorang pun yang mengatakan apaapa. Dan, urusan pindah kamar itu"
Wajar saja kalau mereka merasa takut kepadanya, kataku. Aku sendiri demon dan aku takut padanya.
Bagaimana kedua anak itu bisa jadi demon" tanya Cal, sambil menyandarkan diri ke sandaran kursinya. Kupikir ritual itu sudah dihancurkan setelah Alice.
Rupanya belum, kataku. Tapi, bagaimananya tidak terlalu menggangguku kalau dibanding mengapanya. Maksudku, mereka tidak berhasil membangkitkan demon saat terakhir kali ada orang yang mencobanya melakukannya.
Aku bangkit dari kursiku, sambil membawa piringku ke bufet. Yang lainnya menggunakan sihir untuk menyingkirkan piring mereka. Kalau ayahmu bilang tidak apa-apa, apa kau mau pergi bersama mereka nanti malam" tanya Jenna, sambil bangkit untuk berdiri di sampingku.
Tidak juga. Tapi, menurutku tetap saja kita harus ikut. Siapa tahu kita jadi punya peluang untuk tahu lebih banyak lagi tentang apa yang terjadi di sini.
Jenna menyenggolkan pinggulnya ke pinggulku. Atau, setidaknya dia mencoba melakukannya. Dia begitu pendek sampai-sampai hasilnya pinggulnya menyenggol pahaku. Aku senang kau berpikir culas, Soph. Cal tersenyum kepada kami, dan wajahku merona. Ya ampun, ada apa sih denganku"
Jenna menatap kami secara bergantian. Oh! Aku baru saja ingat, aku perlu, eh, mengeluarkan beberapa barang, jadi aku... akan pergi melakukannya. Cari aku sebentar lagi, ya, setelah itu kita bisa menjelajah. Tentu saja itu artinya, cari aku sesudah kau selesai bicara dan bermesraan dengan Cal, setelah itu ceritakan semuanya kepadaku. Jenna mungkin saja vampir, tapi dia masih perempuan. Tapi, begitu dia meninggalkan ruangan, Cal berdiri. Aku sudah janji kepada ayahmu untuk memeriksa salah satu taman pagi ini. Dia menggoyang-goyangkan jari-jarinya, dan percikan-percikan perak kecil melompat-lompat di antara jemarinya.
Baiklah, kataku, lega. Sebaiknya kau melakukan sulap tanamanmu, dan kita bisa, eh, bicara atau terserah nanti.
Kedengarannya seperti rencana. Suaranya pelan, dan aku merasakan gelenyar merambati tulang punggungku. Kurasa dia bisa merasakannya juga, karena Cal kedengaranya tertawa sebelum berkata. Sampai nanti, Sophie.
Begitu dia pergi, ruangan itu terasa lebih besar lagi, dan aku menyandarkan diri ke bufet.
Lara melongokkan kepalanya di pintu. Sophie" Semuanya baik-baik saja"
Ya, aku tidak apa-apa. Cuma, Anda tahu, kan.... aku melambaikan tangan. Menyesuaikan diri.
Memag banyak yang harus dicerna, aku tahu, jawab Lara, suaranya bersimpati. Sewaktu ayahmu
Aku sama sekali tidak mau mendengar tentang Dad, jadi aku memotongnya, walaupun aku merasa tidak enak melakukannya. Tidak apa=apa. Aku punya banyak pengalaman dalam menghadapi tempat baru.
Dan, pikirku, aku sudah lebih baik melakukannya dibanding dengan hari pertamaku di Hex Hall. Tak seorang pun yang meneteskan liurnya padaku, aku tidak naksir seseorang yang tidak pantas, dan aku belum punya musuh. Yah, ada Nick, tapi dia bukan apa-apa dibandingkan dengan Elodie
Tiba-tiba, aku teringat janjiku kepada Jenna untuk menceritakan tentang Elodie kepada Mrs. Casnoff. Aku benar-benar tidak mau kalau harus mencari kuda poni vampir. Aku bisa menggunakan telepon genggam yang diberikan Lara untuk menelepon Hecate, tapi tak seorang pun yang bisa membuatmu jadi pusat perhatian seperti Mrs. Casnoff, dan aku tahu dia akan membanjiri dengan berjuta pertanyaan. Bagiku, pasti ada urutan terbata-bata dan banyak hmm, dan aku tak tahu, dan aku sedang tidak ingin menghadapinya. Kemudian, aku teringat laptop manis yang mengilap di kamarku. Lara, apakah Anda tahu alamat surat elektronik Mrs. Casnoff" Tentu saja. Acasnoff at Hecate dot edu.
Bagus. Aku memang tidak perlu memberikan kuda poni vampir kepada Jenna, tapi sekarang aku harus memberi sepuluh dolar kepadanya. Lima belas menit kemudian, aku duduk di depan komputerku, sambil mengetik surat elekronik kepada Mrs. Casnoff. Aku mencoba membuatnya sesantai mungkin, dan aku menggunakan kalimat bukan perkara besar dua kali. Tetap saja, aku bimbang sebelum mengirimkannya.Bagaimana kalau Elodie yang mengenaliku benarbenar perkara besar" Aku tak yakin apakah bisa menangani lebih banyak lagi keanehan. Lagi pula, perasaan itu kembali muncul, dan ketika mencoba menyingkirkannya, samar-samar aku mencium bau asap.
Tapi, aku sudah berjanji kepada Jenna. Jadi, aku mengirimnya. "RatuBuku
Bab 12 Aku menghabiskan sisa hari itu dengan menjelajahi Thorne Abbey bersama Jenna. Dan, walaupun kami berkeliaran melewati kamarkamarnya selama berjam-jam, kami sama sekali belum melihat semuanya. Setiap ruangan diisi dengan harta karun berdebu ajaib, termasuk satu kamar tidur yang berisi lima baju zirah lengkap, dan kamar lain yang tidak berisi apa-apa kecuali binatang-binatang yang diawetkan. Aku mengatakan kepada Jenna tentang mengirimkan surat elektronik kepada Mrs. Casnoff dan membayar sepuluh dolarku dan itu kelihatannya membuatnya senang.
Saat makan siang, Lara memberikan roti lapis untuk kami di rumah kaca yang ternyata adalah ruangan besar bermandikan cahaya matahari yang berisi piano terbesar yang pernah kulihat, di samping seribu pakis dan mengatakan kepada kami bahwa dia sudah bicara dengan Dad, Dad akan pulang nanti malam, dan kami mendapat izinnya untuk pergi ke desa bersama Nick dan Daisy.
Tapi, Lara menambahkan, kalian harus pulang tengah malam, dan hanya boleh pergi ke desa. Lebih jauh dari itu sama sekali terlarang. Ya, itu memang kedengaran seperti kata-kata yang akan diucapkan Dad. Memangnya seberapa lebih jauh lagi kita boleh pergi" tanyaku kepada Jenna begitu Lara sudah pergi. Kita kan jauh dari manamana.
Aku mengetahuinya malam itu. Kami akan menemui Nick dan Daisy di jalan belakang (entah di mana itu) pukul delapan. Pukul 19.45, aku sedang berada di kamar mandi sambil memakai maskara ketika Jenna menyelinap masuk sambil memakai baju yang hanya bisa kugambarkan sebagai Hello Kitty jadi gotik.
Bukankah itu terlalu berlebihan untuk berjalan-jalan di desa" tanyaku, sambil memandang sepatu bot pink yang dipakainya. Jenna menutup pintu dan mengangkat dirinya ke atas konter. Kita tidak akan pergi ke desa, jawabnya. Aku sudah menanyakannya ke Daisy. Mereka akan membawa kita ke London.
Aku nyaris menusuk mataku dengan tongkat maskara. London itu jauhnya sekitar tiga jam. Apakah kita akan mencuri mobil atau apalah"
Jenna menggelengkan kepala. Sophie, kapan kau akan mulai ingat bahwa kita punya kekuatan sihir" Kau tidak akan naik mobil, kita akan... yah, aku tak tahu bagaimana kita akan ke sana, tepatnya, tapi yang jelas akan memakai, kau tahulah. Dia melambaikan kedua tangannya di udara. Siiiiiiiihir.
Bagus, gerutuku, sambil merogoh-rogoh tas alat rias wajahku untuk mencari pengilat bibir. Aku merasa perutku bergolak dengan gugup.
Kalau Daisy mengharapkan aku melakukan semacam mantra berpergian ala demon yang menegangkan... yah, itu tidak akan terjadi. Memangnya kenapa kita pergi ke London"
Jenna nyengir. Ada klub khusus Prodigium. Kata Daisy tempatnya keren.
Ih. Klub untuk Prodigium. Membuat aku membayangkan lebih banyak beledu dan kepulan bunga es dan kegalauan daripada yang bisa kujalani.
Entahlah, kataku. Bagiku kedengarannya itu sangat jauh . Ya, tapi kalau kita ingin lebih mengenal Daisy dan Nick... Aku tahu. Menyebalkan rasanya kalau kau benar tentang sesuatu. Tetap saja, tak mungkin Cal akan diam saja mendengarnya, kataku berharap itu akan mengakhiri rencana tersebut.
Jenna tampak kebingungan, Cal tidak ikut. Apa" Mengapa tidak"
Jenna menggerakkan bahu. Dia sibuk mengurusi semacam gawat darurat botani. Tampaknya lebih banyak tumbuhan sakit di sini daripada yang disangkanya.
Huh, kataku, sambil kembali berputar menghadap cermin. Wah-wah, Sophia Mercer! Apakah kekecewaan yang terperangkap oleh kekuasaan super spesialku ini"
Tidak, aku cuma... seandainya saja dia datang sendiri untuk memberitahukannya kepadaku.
Uh-huh, kata Jenna dengan terlalu banyak kecongkakan. Dan, kau memakai atasan berbelahan dada rendah dan sepatu bot hanya untukku, bukan begitu"
Aku melemparkan bedak padat kepadanya. Tidak ada yang menyukai vampir tukang campur urusan orang, Jenna.
Nick dan Daisy sudah menanti kami di pintu belakang begitu kami akhirnya turun. Nick melemparkan lirikan masam kepadaku, tapi tak mengatakan apa-apa.
Kurasa Jenna sudah memberitahukan rencana kita untuk malam ini" tanya Daisy dengan suara rendah. Mata kelabunya dihiasi pemulas mata kohl dan benar-benar berkelip-kelip.
Ya, kataku, mencoba untuk berpura-pura bersemangat. Sudah tak sabar lagi! Tak ada yang lebih tidak kuinginkan daripada bergaul dengan segerombolan Prodigium dan dua demon, yang salah satunya jelas-jelas labil.
Kau tahu kalau kau mengadukan kami kepada ayahmu, dia mungkin akan mengusir kita, kata Nick sambil membuka pintu. Wow, aku pasti tidak akan menyukainya setelah kau bersikap begitu ramah dan menerimaku dengan tangan terbuka, jawabku dengan ceria.
Dia benar, Daisy ikut campur, sambil menarik lengan baju Nick. Bersikap yang baik, dong.
Nick mengamatiku dengan mata biru yang menciutkan nyali itu. Aku akan mencobanya, katanya akhirnya.
Kami melangkah keluar ke malam yang lembap. Tepat di luar pintu, ada jalan setapak kerikil menuju ke deretan panjang pagar tanaman setinggi pundak. Jalan setapak itu menghilang ke dalam kegelapan di dekat tepi hutan yang mengelilingi bagian belakang Thorne Abbey. Kami mengikuti jalan setapak yang meliuk-liuk menuju pepohonan. Jenna mencengkeram lenganku, bayangan kami memanjang di depan tertimpa sinar rembulan.
Jauh di depan kami, Daisy menyalakan rokok, dan aku bisa melihat ujung baranya menyala merah terang. Nick berjalan di sampingnya, tangan di saku, dan aku bisa mendengar mereka berdua bicara, suara Nick pelan dan tajam. Aku yakin mendengar namaku disebut-sebut. Mereka lumayan, bisik Jenna. Dan, sepertinya mereka juga tak peduli kalau aku vampir. Tampaknya mereka sudah bertemu banyak vampir di tempat yang akan kita tuju malam ini, Shelley s. Shelley s"
Ya, kau tahu, kan. Mary Shelley. Frankenstein, monster.... Manis sekali.
Kami tiba di tepi hutan, dan kulihat jalan setapak itu terus menembus pepohonan, walaupun jauh lebih sempit. Hak sepatuku melesak ke dalam tanah lembap. Dan, tak lama kemudian, Daisy, Nick, dan Jenna sangat jauh di depanku. Aku membenamkan tanganku dalam-dalam ke sakuku, sambil bertanya-tanya apakah aku bisa berjalan menembus hutan pada malam hari tanpa teringat Alice, serta waktu yang Elodie dan aku habiskan untuk mempelajari mantra-mantra.
Jalan setapak itu berakhir tepat di depan sebuah bangunan batu. Nick tak kelihatan, tapi Daisy berdiri di ambang pintu. Ayo, katanya, sambil melambaikan tangan agar mengikuti sebelum menghilang ke dalam.
Kami mengikutinya. Walaupun malam itu hangat, bangunan baru itu lembap dan suram. Bau berjamur akibat usia tua dan terbengkalai menggantung di udara. Aku mendengar kepakan sayap dan mendongak, ada burung hitam besar terbang keluar dari lubang raksasa di atap. Tempat apa ini" tanyaku.
Dulunya penggilingan jagung untuk lahan ini, jawab Daisy. Dia menunjuk ke arah atap yang hancur. Ada pohon yang menjatuhinya saat badai sekitar enam puluh tahun yang lalu.
Jadi, mengapa tidak meruntuhkannya saja" tanya Jenna. Bahkan, di dalam keremangan cahaya, aku bisa melihat air muka Daisy yang keheranan. Karena, katanya, di tempat ini ada Itineris. Itu bukan sejenis monster Latin yang mengerikan, bukan" tanyaku, sambil mencoba mengangkat sebelah alis.
Daisy tertawa sambil berjalan melangkahi rusuk atap yang tergeletak mendahului kami semakin memasuki penggilingan. Itu memang bahasa Latin, tapi artinya perjalanan, atau jalan.
Aku tersandung segundukan batu yang hancur. Yah, kedengarannya asyik sekaligus mengerikan, gerutuku, tapi Daisy sudah terlalu jauh di depan jadi tidak mendengarku.
Nick berdiri di tembok belakang. Ada bukaan tinggi, mungkin sekitar dua setengah meter. Kelihatannya seperti ambang pintu. Di dalamnya, aku hanya bisa melihat kegelapan.
Ya ampun, aku benar-benar berharap kita tidak akan merangkak sampai ke London, kataku, tapi sementara aku semakin dekat, aku bisa melihat bahwa bukaan itu bukan mulut gua seperti sangkaanku semula. Ambang pintunya menuju ke ceruk dangkal, tak lebih dari semeter dalamnya.
Daisy tersenyum malu kepada kami. Kurasa kau belum pernah berpergian dengan Itineris.
Aku bahkan tak yakin bisa mengucapkannya dengan benar. Yang membuatku terkejut, Nick menganugerahiku dengan senyuman kecil, senyuman yang kelihatan benar-benar tulus dan tidak tertekuk. Kemudian, dia melangkah ke dalam bukaan. Tidak ada pendaran cahaya atau deru sihir. Satu menit dia ada di sana, menit berikutnya sudah tidak ada. Entah bagaimana, itu jauh mengerikan daripada kalau ada pertunjukan cahaya heboh, atau mungkin kepulan asap. Berikutnya, Daisy melangkah. Dia juga sama, seakan-akan lenyap begitu saja dari keberadaan.
Jenna dan aku berdiri di sana, sambil menatap jalan masuk. Kita bisa pulang lagi, kataku dengan lemah. Katakan saja jalan sihir mereka tidak bekerja untuk kita.
Tapi, Jenna menggeleng. Tidak mungkin seburuk itu, gumamnya. Kita bisa mencobanya bersama-sama, kataku. Kurasa kita berdua muat, dan dengan begitu, kalau kita ternyata dipindahkan ke dimensi lain atau berubah bentuk menjadi tembok, setidaknya kita ada teman.
Jenna tertawa. Baiklah kalau begitu. Ayo kita lakukan. Sambil bergandengan, kami melangkah ke arah bukaan. "RatuBuku
Bab 13 Begitu kami melangkah ke dalam ceruk, aku merasakan tangan Jenna terlepas dari genggamanku. Kemudian, semuanya jadi gelap. Aku menjerit saat pelipisku mulai berdenyut-denyut dengan hebatnya. Rasanya seperti migren, hanya saja seratus kali lebih kuat. Samarsamar, sebagian dari otakku menyadari bahwa aku harus berhenti terkejut saat kekuatan sihir menyedot jauh lebih keras daripada yang kusangka. Hanya Tuhan yang tahu seharusnya aku sudah lebih terbiasa sekarang ini.
Tapi, aku tidak siap merasakan pelintiran luar biasa di tengkorakku, atau kegelapan yang menelanku. Bahkan, tak ada sensasi terbang, satu hal lagi yang kusangka ada dalam perjalanan sihir. Sebaliknya, semuanya diam sementara kegelapan menghimpitku. Setelah itu, aku berada di luar. Yah, berlutut di luar, tepatnya, sambil menarik napas tersengal-sengal sementara seseorang menepuk-nepuk punggungku.
Rupanya Daisy. Pertama kali selalu yang paling buruk, katanya menenangkan.
Ya, Daisy muntah ke sepatuku setelah perjalanan pertamanya. Nick tertawa, yang akibatnya ditampar dengan keras oleh Daisy.
Itu karena kau membawaku terlalu jauh, dasar tolol! Spanyol. Idiot. Tempat mana saja yang lebih dari seratus kilometer itu gila untuk perjalanan pertama.
Jenna terhuyung-huyung menghampiriku. Dia tampak lebih pucat daripada biasanya, yang berarti buruk. Aku tak menyangka siiiiiiihir akan begini berat, katanya sambil mencoba untuk bercanda, tapi suaranya melengking dan agak terengah-engah.
Kucoba untuk bertanya apakah dia baik-baik saja, tapi aku masih belum sanggup bicara, jadi kucoba untuk tersenyum saja. Itu juga menyakitkan, jadi akhirnya, aku hanya bersandar lemas di dinding terdekat sampai rasa sakitnya sedikit berkurang.
Saat sakit kepalanya agak mereda, aku mengamati sekitarku. Kami ada di gang, dikelilingi oleh bangunan bata yang tidak menarik perhatian. Di atas, awan yang menggantung rendah memantulkan pendaran oranye dari lampu jalan. Di sana juga tercium bau aneh di udara, campuran antara udara dari kipas pembuangan, batu yang sudah tua, dan kupikir, air di suatu tempat yang tak jauh dari situ. Setelah rasanya sudah bisa bicara lagi, aku bertanya kepada Daisy, Jadi, apa sebenarnya itu" Semacam portal atau sesuatu" Gadis itu merogoh-rogoh tasnya dan mengeluarkan sebatang rokok lagi. Pada dasarnya. Tapi, portal hanya bisa pergi dari satu tempat tertentu ke tempat tertentu lain. Sementara, Itineris bisa pergi...
yah, ke mana saja. Kau tinggal membuat jalan masuknya dan bilang ke mana kau ingin pergi. Itulah sebabnya Nick masuk duluan, agar dia bisa mengatakan kepada Itineris bahwa kita akan pergi ke Shelley s. Kalau itu hanya berlaku satu arah, bagaimana cara kita agar bisa kembali" tanyaku.
Ada satu bukaan jalan lagi sekitar satu blok dari sini, kata Daisy, sambil menunjuk ke arah kirinya.
Jadi, tunggu, kita bisa masuk ke dalam bukaan itu dan mengatakan kepadanya ke mana kita mau pergi" tanya Jenna.
Ke mana saja, jawab Nick sambil mengedikkan bahunya. Tapi, seperti kata Daisy, semakin kau pergi, semakin berat rasanya. Jadi, walaupun aku bisa masuk ke sana dan mengatakan ke mana aku ingin pergi, seperti, Madagaskar, misalnya, perjalanan itu mungkin bisa membunuhku.
Di sampingku, Jenna bergidik. Aku tak bisa membayangkan berada di dalam benda itu untuk waktu yang lebih lama dari tadi. Perjalanan Itineris bisa sangat tidak nyaman, khususnya untuk vampir. Jawab Nick.
Kalau begitu, mungkin seharusnya kau memberitahukan kepadanya sebelum kau menyeret kami jalan-jalan seperti ini, dasar bodoh, pikirku dengan jengkel.
Mendadak, aku menyesalkan Cal tidak ada di sana. Bukan hanya karena dia bisa menyembuhkan sakit kepalaku dalam sekitar dua detik.
Itineris hanya bisa diciptakan oleh penyihir yang sangat sakti, Daisy melanjutkan, sementara aku mencoba untuk menjaga agar tengkorakku tidak meledak. Gadis itu menyalakan korek apinya lagi, sekejap wajahnya diterangi cahaya api. Atau demon, tentu saja. Jadi, siapa yang membuat Itineris di Thorne" tanya Jenna. Nick menjawabnya. Entahlah. Dia nyengir. Tapi karena benda itu sangat keren, menurutku demon-lah yang membuatnya. Aku bertanya-tanya apakah Alice yang membuatnya. Tapi, sebelum aku bisa bertanya lagi, Daisy menyela. Baiklah, walaupun pembicaraan ini mengasyikkan, kita hanya punya beberapa jam, dan aku ingin menghabiskannya di Shelley s, bukan di gang. Bisakah kita masuk sekarang, please"
Aku berusaha sebaik-baiknya agar tidak melongo kepadanya, tapi yang benar saja. Apa yang terjadi pada gadis lembut pendiam seperti pagi tadi"
Kami mengekor keluar dari gang dan berbelok ke bagian depan bangunan. Dari luar, bangunan itu kelihatan seperti kelab malam biasa walaupun kumal. Ada kanopi kecil di atas pintu masuk yang bertuliskan Shelley s dengan huruf miring putih, dan orang-orang mengguratkan inisial dan makian di pintu hitamnya.
Aku memandang berkeliling untuk mencari-cari tukang pukul monster, tapi tidak ada siapa-siapa. Di sana bahkan tidak ada tingkap keren yang bergeser terbuka atau semacamnya, tempat kau bisa membisikkan kata kunci. Kemudian, aku menyadari pintunya sedikit bergetar.
Daisy melihatku mengamatinya, dan tersenyum. Pintunya diberi glamour, katanya. Hanya Prodigium yang bisa menemukannya. Bagi manusia, itu hanyalah seseorang gelandangan mabuk dan semerbak mewangi yang sedang bersandar di dinding.
Nah, itu mengagumkan. Tapi, dia benar. Kalau aku memincingkan mata dengan benar, aku bisa melihat sosok bagai hantu yang teronggok di tempat yang seharusnya pintu.
Daisy kemudian melangkah ke depanku, dan pintunya hanyalah pintu lagi. Daisy mengetuknya dan pintu terbuka hampir seketika. Aku dihantam oleh bau asap rokok dan gelombang musik techno yang nyaris memekakkan telinga. Cahaya yang menghambur dari jalan masuk berwarna biru dan agak berdenyut.
Hanya sekali aku pernah masuk ke sebuah klub, sewaktu kelas sembilan. Saat itu, Mom dan aku masih tinggal di Chicago, dan aku untuk sesaat bermain mata dengan pemberontakan. Aku masuk ke dalam semacam lubang hitam menjijikkan dengan seorang gadis bernama Cindy Lewis, yang memakai terlalu banyak eyeliner dan mengisap rokok keretek. Kenangan yang paling kuingat tentang malam itu terdiri dari musik yang sangat kencang, sehingga aku yakin telingaku rusak secara permanen karenanya, dan seorang pemuda yang baunya seperti tempat pembuatan bir menyambar tungkaiku dan mencoba melumurkan air liurnya ke seluruh wajahku. Jadi, yah, klub bukanlah tempat yang terlalu kusukai.
Akan tetapi, Shelley s sama sekali tidak kelihatan seperti lubang berasap yang di Chicago itu.
Baiklah, memang ada asapnya. Dan, musik yang amat, sangat kencang. Tapi, selain itu, kedua tempat tersebut tak mungkin bisa lebih berbeda lagi. Salah satunya bagian dalam Shelley s besar, jauh lebih besar daripada kelihatannya dari luar. Ada dua lantai, lantai dasar hampir seluruhnya berupa lantai dansa berpermukaan hitam mengilap. Lantai itu penuh sesak orang, dan sihir yang keluar dari kerumunan itu begitu kuat sehingga kulitku merinding. Kulihat banyak Prodigium yang sebaya dengan kami, tapi orang yang lebih tua juga banyak di sni. Bahkan, ada lelaki berjenggot yang sudah sangat kuno di sudut yang kelihatannya barangkali dia teman sepermainan Mary Shelley. Aku melihat ada werewolf yang berdansa dengan seseorang yang kuduga penyihir, cakar si werewolf membuat robekan-robekan kecil di pinggang penyihir itu. Di atas kerumunan itu, beberapa peri melayang di udara. Sayap-sayap mereka mengepak seirama dengan dentaman musik. Rambut pucat mengilap mereka memantulkan cahaya berwarna-warni.
Persis di tengah lantai dansa, seorang lelaki yang memakai jaket santai berwarna ungu sedang berdasa, dikelilingi oleh beberapa penyihir. Dia tampak tak asing lagi, dan ketika menoleh, aku menyadari bahwa itu Lord Byron.
Ya, Lord Byron yang itu. Dia dulu guru bahasa Inggris kami di Hecate sebelum serangan-serangan itu dimulai. Karena dia vampir, orang mencurigainya. Bahkan, setelah dibersihkan namanya, dia masih tidak sudi kembali ke Hex Hall. Bukannya aku bisa menyalahkannya. Terpikir olehku untuk menghampirinya dan menyapanya, tapi kemudian dia melihat kami. Aku tak yakin, tapi kupikir dia memunggungi kami sebelum pergi sambil terpincang-pincang. Baik Jenna maupun aku bukanlah murid yang pintar. Nick menyentakkan kepalanya ke arah belakang. Ayo kita duduk. Kami bergerak menjauhi lantai dansa, ke tempat yang lebih remang dan tidak terlalu ramai. Musiknya juga terasa jauh lebih pelan, sehingga kepalaku tak lagi terasa seakan-akan hendak membiarkan otakku meleleh keluar dari telinga. Daisy mendahului kami ke sebuah bilik di bagian belakang dan menghempaskan diri ke atas kursi beledu.
Nick duduk di sampingnya, meninggalkan Jenna dan aku untuk beringsut ke tempat duduk di seberang mereka.
Lagi-lagi Daisy mengeluarkan rokok, kali ini mengedarkan kotaknya. Nick mengambil satu, tapi aku menggeleng ketika dia mengacungkan kotak itu kepadaku. Tidak, terima kasih. Tidak merokok. Cukup adil, jawab Nick.
Seorang wanita jangkung dengan rambut pirang menghampiri meja. Dia memakai gaun ungu cerah yang sangat pendek, sampai-sampai kupikir baju itu mungkin memulai kehidupannya sebagai kemeja. Dia bisa jadi cantik kalau saja wajahnya tidak kelihatan seakan-akan baru saja minum susu basi. Kalian berdua lagi, katanya.
Daisy memutarkan kepalanya, tapi Nick kelihatannya sama sekali tidak terpengaruh. Ah, Linda, Manisku. Aku berharap kaulah pramusaji kami malam ini. Aku merindukan senyumanmu yang bagaikan sinar matahari itu.
Linda melipat tangannya di dada. Gigit saja, aku, dasar orang aneh. Nick nyengir, dan untuk sedetik, dia kelihatan sangat mirip Archer sehingga aku mendeham.
Siapa bilang aku tidak akan melakukannya, Linda" tanya Nick, sambil menaikkan alisnya. Daisy menyikut pinggangnya. Linda hanya melotot sampai Nick melambaikan tangannya. Gencatan senjata, gencatan senjata, katanya. Baiklah kalau begitu, Daisy dan aku pesan minuman biasa kami.
Aku ingin tahu apa itu. Jus Iblis" Semacam minuman berenergi bagi demon"
Pandangan masam Linda beralih ke Jenna, yang tak seperti biasanya merona.
Mereka punya segala jenis darah yang kau inginkan, siap dituangkan, Daisy menawarkan.
Aku benar-benar tidak mau memikirkan tentang apa artinya itu. Jenna tersenyum gugup. Kalau begitu, eh, segelas atau apalah darah O negatif.
Baiklah, kata Linda. Dan kau" Eh, air putih saja, kataku.
Oh, ayolah, kata Nick, sambil meletakkan lengannya di sandaran kursi. Setidaknya biarkan aku membelikanmu minuman. Dia menyunggingkan cengiran yang menggelisahkan itu lagi. Aku beringsut sedikit ke arah Jenna.
Aku tidak minum alkohol. Sementara Linda berjalan menjauh, Nick tertawa. Oh, Tuhanku, demon yang lurus! Aku suka sekali!
Ya, kupikir sesekali menghamburkan organ seseorang sudah cukup untukku, balasku.
Itu kata-kata yang keliru untuk diucapkan.
Tawa Nick mendadak berhenti, dan bahkan Daisy pun kelihatan tersinggung.
Maaf, kataku dengan cepat. Aku tidak bermaksud Aku mengembuskan napas. Memaki diri sendiri itu sudah jadi bahasa keduaku. Ucapanku tidak bermaksud membuat kalian tersinggung. Daisy tampak tenang mendengarnya, tapi Nick masih menatapku dengan tatapan yang sulit untuk dibaca.
Kami tak pernah menyakiti siapa pun, Sophie, katanya. Tidak juga James, tidak juga kau.
Ya, tapi kita bisa, jawabku. Kata Mrs. Casnoff, demon bisa baikbaik saja selama beberapa tahun, dan kemudian mendadak jadi monster.
Tatapan Nick beralih dari mataku. Bukankah itu yang mereka harap akan kita lakukan" gerutunya dengan muram.
"Apa maksudnya" tanya Jenna, tapi Daisy mencondongkan tubuhnya ke depan, sambil menangkupkan tangannya di lutut Nick. Jangan bahas semua itu malam ini, katanya. Kita punya sepanjang musim panas untuk mengajarkan tentang ke-demon-an kepada Sophie.
Nick menggerutu, tapi Daisy meraih dagu pemuda itu dan dengan lembut menarik wajah Nick ke wajahnya. Nick mencium Daisy dengan kelembutan yang mengherankan, dan aku merasa wajahku jadi panas. Aku tidak menyadari mereka berpacaran, setidaknya tidak seperti itu.
Daisy dan Nick akhirnya berhenti. Baiklah. Nick bersandar dengan malas ke dinding, jari-jarinya memainkan ujung rok Daisy. Kalau kita tidak akan membicarakan urusan demon, apa yang akan kita bicarakan" Walaupun nada suaranya ramah, matanya mengeras saat mengatakannya, Lagi pula, bukankah itu alasanmu berada di sini, Sophie" Untuk kursus singkat dalam segala hal tentang demon" Seandainya saja aku memesan minuman itu, pikirku tiba-tiba. Mengapa semua orang di sini ingin langsung membuatku bekerja keras" Kurasa begitu.
Linda muncul kembali, sambil meletakkan gelas darah Jenna dengan kasar sehingga sebagian isinya tumpah. Kurasa dia akan mengentakkan minuman Nick dan Daisy dengan sama kasarnya, tapi Nick mengambil dari tangan wanita itu sebelum dia bisa melakukannya. Tatapan jijik melintas di wajahnya ketika tangan mereka bersentuhan. Kurasa aku seharusnya merasa tersinggung melihat karena sikapnya yang menghina kerabat demon-ku dan segalanya. Tapi, aku tak bisa benar-benar menyalahkannya. Ada sesuatu pada diri Nick dan Daisy yang membuat kulitku merinding.
Aku hanya bisa membayangkan betapa menakutkannya mereka bagi Prodigium biasa.
Khususnya, ketika aku melihat bahwa cairan di dalam gelas Nick dan Daisy kelihatannya hitam legam dan mirip minyak.
Eh, apa itu" tanyaku setelah Linda melemparkan botol air bersuhu ruangan dan melengos pergi.
Nick mengerutkan alisnya kepadaku dan mengangkat gelasnya dengan gaya semacam bersulang. Maka dimulailah pendidikan itu! Ini, Sophia, adalah Obat Kekal Cassandra. Ini ramuan yang mereka racik di sini di Shelley s.
Aku memutar tutup botol airku. Ramuan" Seperti mengandung mata newt dan semua itu"
Sambil tertawa, Nick mencelupkan satu jari ke minumannya dan menjilatnya. Ih. Bukan, tidak ada mata newt. Hanya air dari Laut Aegea, beberapa sloki brendi berumur seratus tahun, dan banyak sekali sihir. Oh, dan sepercik darah peri.
Aku menyesap air untuk menjaga agar bibirku tidak mengerucut jijik. Apa efeknya" tanya Jenna, sambil memutar-mutarkan segelas darah di tangannya.
Konon minuman ini membuatmu berada tepat di kerangka pikiran untuk menerima visi masa depan, kata Daisy. Dia kemudian mengambil minumannya dari tangan Nick dan menenggaknya, seakanakan minuman itu air putih biasa. Kerongkonganku terasa membawa karena simpati, sementara Nick melakukan hal yang sama. Daisy meletakkan gelas kosongnya, matanya lebih cerah dan pipinya merona. Tapi, sebenarnya minuman ini hanyalah membuat semua yang ada di dalam sini dia menunjuk pelipisnya jadi... berkabut. Enak. Seharusnya kau pesan satu.
Ya, kurasa aku tak mau berkabut malam ini.


Demon Glass Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nick menggerakkan bahu. Kau yang rugi. Dia kembali bersandar di bilik, sambil merangkul Daisy lebih erat lagi. Gadis itu merapat kepadanya sambil berkata, jadi, apakah kita sudah sampai pada tahap saling mengenal sekarang" Nick menyenggol kaki Jenna dengan kakinya. Mengapa kau tidak menceritakan kepada kami bagaimana kau bisa sampai jadi vampir" Itu barangkali cerita menarik. Sebenarnya tidak. Kisah itu memilukan, dan tidak Jenna ceritakan sampai kami jadi teman sekamar selama berbulan-bulan.Aku menunggu Jenna memberi tahu bahwa dia tak mau membicarakannya. Akan tetapi, dia menarik napas dalam-dalam dan mengatakan, Aku jatuh cinta kepada vampir. Aku membiarkan gadis itu mengubahku karena aku menelan bulat-bulat omong kosong cinta sejati. Kemudian, Mata menancapkan pasak kedadanya dan aku... aku membunuh seseorang karena aku kelaparan. Akhirnya, Dewan mengambilku dan mengirimkan aku ke Hecate.
Suaranya datar dan tanpa emosi, tapi aku bisa melihat betapa dia menceritakan kisah itu dengan berat hati, walaupun ceritanya dibuat sesingkat itu.
Oh, wow, desah Daisy. Aku turut menyesal. Selama sedetik, kupikir dia sedang mengolok-olok Jenna, dan tanganku sudah mengepal di pangkuanku. Tapi, aku lalu menatapnya dengan lebih saksama, dan melihat bahwa simpatinya benar-benar tulus. Bahkan, mungkin ada genangan di matanya.
Ya, kata Nick, kedengarannya benar-benar tulus. Itu berat sekali. Tak seorang pun di Hex Hall yang tahu tentang masa lalu Jenna kecuali aku dan, kurasa, Mrs. Casnoff. Tetap saja, hampir semua orang di sana memperlakukan Jenna seolah-olah dia orang aneh dan pembunuh. Tapi, kedua demon di hadapan kami sedang memandang Jenna dengan tatapan prihatin.
Musiknya sudah berubah, dari musik techno yang mengentak-entak menjadi sesuatu yang lebih lembut dan lambat. Rasanya melegakan. Jadi, kalian berdua sama sekali tidak tahu bagaimana kalian sampai menjadi demon" tanyaku. Hei, kalau mereka mengorek-ngorek urusan monster pribadi Jenna, aku juga boleh mengorek-ngorek mereka. Ternyata mereka tidak tersinggung. Daisy meletakkan kepalanya di tulang leher Nick. Kami benar-benar tidak ingat. Wajahnya semakin menerawang saat mengatakan, Bahkan, di dalam mimpi pun tidak.
Seakan-akan sebelumnya hanyalah lubang hitam. Dia melambaikan jari-jari di wajahnya seperti sedang bermimpi, dan aku melihat jarijari Nick di pundak Daisy mengencang.
Yang kami tahu hanyalah seseorang melakukan ini terhadap kami, katanya suaranya tegang.
Jenna melirik tajam kepadaku sebelum berkata, Bagaimana kau mengetahuinya"
Kami merasakannya, kata Daisy, sambil memejamkan matanya. Saat dia membukanya, bola mata itu nyaris berkilauan karena air mata yang tak tumpah. Rasanya seperti....
Dilecehkan, Nick menyelesaikannya, dan Daisy mengangguk pelan. Ya, tepat sekali, katanya. Seolah-olah semua yang ada di dalam diri kami berbeda. Otak, jiwa, darah kami....
Aku mendapati diriku mengangguk. Bukankah Dad sudah mengatakan bahwa sifat demon secara harfiah ada di dalam DNA kami" Dan, aku terlahir seperti ini. Bagaimana anehnya rasanya tiba-tiba terbangun suatu hari sudah menjadi demon"
Rasanya mengerikan, Daisy melanjutkan, kata-katanya terdengar seperti terulur-ulur. Semua sihir ini terus-menerus berdentumdentum di dalam tengkorakmu setiap harinya.
Kata-katanya terdengar seakan tertahan, seolah-olah dia sedang berusaha keras agar tidak menangis. Aku sama sekali tak tahu harus bicara apa. Maksudku, aku juga tidak begitu bersemangat sebagai demon, tapi aku sama sekali tidak merasakan itu. Kalau begitulah menjadi demon itu bagi Nick dan Daisy, pantas saja mereka minumminum setiap waktu.
Aku mendeham. Jadi, kalian benar-benar menggunakan kekuatan kalian"
Tapi, sebelum mereka sempat menjawab, suara pecah berantakan nyaring menggema melintasi ruangan.
Apa itu" tanya Jenna, nyaris menjatuhkan gelas darahnya. Halilintar" tebakku, walaupun suara itu lebih mirip lecutan cambuk, atau kayu patah. Musiknya berhenti mendadak, sementara paduan suara lolongan mulai terdengar dari suatu tempat di lantai dansa. Jangan khawatir, kata Nick sambil melambaikan tangannya. Barangkali hanya perkelahian antar shapeshifter. Terjadi hampir setiap malam.
Tapi kemudian, seseorang atau sesuatu menjerit, dan tiba-tiba ruangan itu dipenuhi suara raungan dan jeritan parau serta kaki-kaki mengentak.
Bagiku kedengarannya lebih dari perkelahian shapeshifter. Aku berdiri, mencoba untuk melihat lantai dansa. Sulit untuk melihat sesuatu di balik asap. Yang bisa kulihat hanyalah sosok-sosok samar yang tampaknya sedang berlarian menuju pintu. Kemudian, ada peri bersayap ungu yang melesat ke atas dari kerumunan. Sayap peri perempuan itu mengepak-ngepak dengan kencang. Ada sekelebat perak sementara sesuatu menjerat pergelangan kakinya. Dia menjerit kesakitan dan kembali terjatuh ke tengah orang banyak. Pada saat itulah aku melihat mereka. Ada selusin sosok gelap yang bergerak keluar-masuk kepulan asap, seakan-akan mereka terbuat dari asap. Satu sosok bergerak cukup dekat sehingga aku bisa melihat cahaya biru memantul dari belati yang dia pegang. Mulutku jadi kering, dan jantungku terjun bebas ke suatu tempat di sebelah selatan jari kakiku.
Apa itu" tanya Daisy, kelihatan lebih penasaran dan bukannya khawatir.
Aku nyaris tak bisa mengucapkannya. Mata. "RatuBuku
Bab 14 Apa" jerit Jenna, sambil melompat berdiri. Nick juga berdiri, tapi lebih lambat, sambil menggelengkan kepala. Tidak mungkin. Kilatan cahaya biru menerangi ruangan, seperti sambaran petir, sementara penyihir yang tadi kulihat berdansa dengan werewolf bertarung dengan tiga sosok gelap. Mata Nick melebar. Oh, Tuhanku.
Mata tidak bisa masuk kemari, kata Daisy, sambil menggeleng. Dan, mereka tak pernah menggerebek Shelley s sebelumnya. Tak pernah. Nick mengerjap seakan-akan masih tak bisa percaya apa yang dilihatnya. Lantai dansa kacau balau sekarang. Bagitu banyak sihir yang berterbangan sampai-sampai kulitku nyeri dibuatnya, tapi tak satu pun mantra itu tampaknya yang berguna. Mata terus berdatangan, semakin banyak dan semakin banyak saja, tumpah ruah ke dalam kelab yang sempit itu. Mereka kalah jumlah, tapi mereka punya elemen kejutan di pihaknya, belum lagi sebagian besar Prodigium di Shelley s minum-minum dari tadi. Perasaan berkabut yang Daisy bicarakan tidak bisa menghasilkan sihir bagus. Bagaimana cara keluar dari sini" tanya Jenna. Dia tersengal-sengal, dan taringnya muncul dari bawah bibir atasnya. Apa ada pintu belakang atau semacamnya"
Akhirnya Nick mengangkat tatapan dari bagian depan kelab. Tidak, katanya. Tapi, kita bisa membuatnya. Dia mengulurkan tanganya ke bawah dan meraih tangan Daisy, menariknya sampai berdiri. Tunggu! teriakku. Mereka bertiga berhenti mendadak, sambil menatapku. Masalahnya... kita bisa melakukan sesuatu. Di sebelah kananku, aku melihat ada peri lain yang mencoba untuk terbang melarikan diri ke atas pertempuran. Akan tetapi, dia kesulitan garagara robekan besar di sayapnya yang berwarna-warni. Seharusnya kita bisa membantu mereka.
Nick memandang peri itu, mulutnya terkatup membentuk garis masam. Mereka tidak akan melakukan itu untuk kita. Dan, kita harus mengeluarkanmu dari sini. Sekarang, ayolah.
Nick, kataku, tapi Jenna menyambar tanganku. Sophie, dia benar. Ayo kita pergi. Please.
Aku bimbang sedetik sebelum balas meremas tangannya dan mengikuti Nick saat pemuda itu berpaling ke arah bagian belakang kelab, sambil menyeret Daisy di belakangnya.
Dinding belakang terbuat dari batu bata padat, tapi Nick hanya mengangkat tangannya dan menjentikkan jari-jarinya. Sebongkah tembok hancur, dan kurasa aku belum pernah melihat sesuatu yang lebih indah daripada bukaan itu.
Tapi, bukan kami satu-satunya yang berlari ke arah belakang. Dan, begitu ada lubang menganga, segerombolan Prodigium berdesakdesakan di sekitarnya, mencoba menjejalkan diri untuk keluar. Jeritan-jeritan semakin kencang di belakang kami, dan aku tahu tanpa menoleh bahwa Mata sedang menuju ke arah kami. Dorongmendorong di lubang semakin tak terkendali. Aku memperhatikan saat sesosok werewolf menyeringai dan menggigit seorang warlock yang sedang mencoba mendesak ke depan.
Oh, Tuhanku, ratap Jenna. Matanya semerah darah dan gigi taringnya keluar.
Tidak apa-apa, kataku kepadanya, walaupun aku sangat yakin kami semua bisa ditusuk oleh belati perak L Occhio sewaktu-waktu. Selama sedetik aku bertanya-tanya apakah Archer ada di luar sana, sedang berjalan pantang mundur di antara Prodigium. Pemikiran itu membuatku mual, jadi aku mengguncangkannya dan memegang Jenna dengan lebih erat lagi.
Lebih banyak lagi tubuh-tubuh yang mendesak dari semua sisi kami, begitu dekatnya sehingga aku khawatir akan terangkat hingga kakiku tidak menapak. Aku memejamkan mata, tubuhku gemetar. Bergerak, pikirku, sementara dadaku mengencang karena paniknya. Kemudian, aku merasakannya. Sihir naik dari tanah di bawahku. Aku bahkan tidak perlu mengangkat tangan.
Aku mencurahkan konsentrasiku pada Prodigium di depanku, bahkan sambil membayangkan semacam perisai di sekeliling Daisy, Nick, dan Jenna. Bergerak, pikirku lagi, kali ini lebih kuat.
Aku hanya bermaksud membuat mereka tersingkir, seakan mantraku itu bola boling dan mereka adalah pin-nya. Tetapi, seperti biasa, kekuatanku terlalu besar. Berbarengan, para Prodigium terlempar ke dinding sebelum meluncur turun ke lantai. Hanya Daisy, Nick, dan Jenna yang masih berdiri.
Bagus, Sophie, kata Nick, sambil menepuk pundakku sementara dia dan Daisy melangkahi para Prodigium yang tak sadarkan diri dan keluar dari pintu. Bahkan, Jenna pun tersenyum padaku sambil bergerak.
Jalan keluar mengarah ke gang tempat kami berada sebelumnya. Aku terkejut betapa sejuknya udara malam rasanya dibandingkan dengan kelembapan di kelab, dan menggigil saat keringat mulai mengering di kulitku. Daisy dan Nick sudah berlari menyusuri jalan ke arah Itineris, tapi aku menoleh ke belakang ke dalam Shelley s. Jenna menunggu di sampingku.
Beberapa Prodigium berdiri dengan terhuyung-huyung, tapi sisanya masih berbaring tak bergerak di lantai. Ada seseorang, penyihir yang berumur sebayaku, mengedip menatapku kebingungan. Dan, di belakang gadis itu, aku bisa melihat sekelompok Mata bergegas berjalan ke arah jalan keluar, belati mereka terhunus.
Jenna, pergilah susul Daisy dan Nick, kataku, tanpa mengalihkan pandangan dari lubang.
Sophie Pergilah! kataku, lebih tajam daripada yang kumaksud. Aku akan menyusulmu.
Dia bimbang sedetik sebelum berputar dan mengikuti Daisy dan Nick. Aku tahu seberapa banyak sihir yang masih tersisa di tubuhku, tapi aku menghimpun seluruh kekuatan dan mengangkat tanganku ke arah lelaki berpakaian serba hitam itu. Tidak ada percikan atau denyaran cahaya, tapi aku bisa merasakan mantra serangan itu salah satu mantra Alice tersentak dari ujung jari-jariku. Para Mata ambruk bagaikan batu, dan lututku menghantam batu lantai. Tidak melakukan sihir selama enam bulan, lalu dua mantra berat dalam hitungan detik di antaranya. Bagaimana aku bisa sebodoh itu"
Meskipun kepalaku pening karena sihir dan kelelahan, aku memaksakan diri untuk berdiri. Aku harus menyusul yang lainnya, harus berhasil mencapai jalan. Aku bisa melihat mereka bertiga di depan saat mereka lewat di bawah lampu jalan. Jenna menoleh ke belakang dan berhenti mendadak ketika melihat betapa jauhnya aku tertinggal. Aku berhasil mengangkat tangan dan melambaikannya untuk menyuruh meneruskan langkah. Dia berdiri diam, tapi Nick mengangguk ke arahku dan menyambar tangan Jenna, menariknya keluar dari gang. Aku melihat mereka belok ke kiri, dan berusaha untuk mengejar. Berlari sama sekali tidak bisa, tapi aku berjalan secepat yang kubisa, hak sepatuku terpeleset-peleset di atas jalan yang lembap.
Tetap saja, aku terlalu lambat.
Aku hampir mencapai ujung gang ketika sebuah tangan melingkari pinggangku dan menyentakkan aku ke belakang, menjauh dari cahaya. Aku tak yakin apakah itu Mata atau Prodigium, atau hanya sejenis begundal biasa, tapi dia jelas-jelas lelaki. Orang itu beberapa senti lebih tinggi dariku, dan aku bisa mendengar napas seraknya di telingaku saat dia berusaha untuk meringkusku. Tidak mungkin aku bisa merapal mantra kepadanya. Aku terlalu lelah dan terlalu letih. Tapi, walaupun tak punya sihir, aku punya jurus-jurus mantra pelajaran Pertahanan si Vandi di sisiku.
Keterampilan Sembilan, rasakan ini, pikirku sambil menghantamkan sikuku ke belakang, dan pada saat yang sama berusaha menjejakkan hak sepatu botku sekuat tenaga ke kakinya.
Dia menangkis kedua jurus itu dengan mudah, sambil menarik tubuhnya ke menjauh dari sikuku bahkan sambil mengencangkan cengkramannya ke pinggangku, agak mengangkatku dari tanah sehingga hak sepatuku menendang udara kosong tak berbahaya.
Untuk sedetik aku merasakan kepanikan yang sesungguhnya. Siapa pun yang bisa menangkis jurus Pertahanan Prodigium pasti jauh lebih berbahaya daripada sekadar orang mesum sembarangan. Aku sudah hendak mencoba Keterampilan Lima Belas, yang bisa menghancurkan hidungnya dan berpotensi mengakhiri peluangnya untuk mendapatkan keturunan, ketika orang yang menangkapku, membungkuk dan berbisik di telingaku, Jangan pernah sekali-sekali memikirkannya, Mercer. "RatuBuku
Bab 15 Ini tidak sedang terjadi.
Itulah satu-satunya yang terpikirkan olehku saat Archer meletakkanku, dia melepaskan pinggangku.
Ini semacam kekeliruan. Ada orang yang berlari mengelilingi Inggris yang kebetulan mengetahui Pertahanan dan memanggilku Mercer. Karena tak mungkin malam ini, di antara semua malam, ternyata juga menjadi malam aku berhadapan dengan
Aku berputar. Cahayanya redup di bagian gang sebelah sini, tapi jelas-jelas Archer Cross yang berdiri di sana. Dia tampak jauh lebih kumal daripada terakhir kali aku melihatnya. Ada bayangan jenggot gelap menutupi sebagian wajahnya sebelah bawah, dan rambutnya lebih panjang. Akan tetapi, lebih dari itu, dia kelihatan lebih tua. Lelah. Walau begitu, melihatnya lagi rasanya sama dengan dijotos di dada. Begitu banyak emosi melandaku sehingga aku perlu beberapa saat untuk mengenalinya: ketakutan, tentu saja. Terkejut. Tapi, selain itu, ada sesuatu yang lain, perasaan yang aku sendiri tak yakin apakah aku ingin memberinya nama.
Rasanya mirip gembira. Tapi, aku langsung menginjak-injak perasaan itu. Keterkejutan meluntur, dan aku ingat bahwa saat terakhir kali aku berdua saja dengan Archer, dia menghunuskan belati kepadaku. Aku tidak akan berhenti untuk melihat apa yang dia miliki kali ini.
Aku menghimpun sisa-sisa kekuatanku untuk melakukan semacam sihir. Aku barangkali tidak bisa merapalkan mantra berpindah, tapi sambaran petir cepat mungkin akan sangat efektif. Aku bisa merasakan sihir mulai merambat naik dari telapak kakiku, tapi rasanya lemah. Aku akan beruntung kalau bisa melemparkan beberapa percikan kepadanya.
Tapi bahkan, sebelum aku berhasil melakukannya, dia menyambar lenganku dan menarikku lebih dalam lagi ke bawah bayang-bayang, memutarku sehingga punggungku merapat ke tembok. Aku menaikkan lututku. Itu bukan karena keterampilan bela diri dan lebih kepada naluri wanita, tapi tidak masalah. Dia juga berhasil menghindari itu.
Kemudian, dia berdiri di hadapanku, tangannya memiting pergelangan tanganku sementara aku meronta-ronta.
Aku takkan menyakitimu, gumamnya melalui gigi yang terkatup rapat. Tapi, aku tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk yang lainnya.
Aku berhenti meronta saat aku ingat berapa orang L Occhio yang ada di Shelley s. Tepat pada saat itu aku mendengar suara mirip pemuda berteriak, Cross!
Archer menoleh ke belakang dan memiringkan tubuhnya sehingga aku tersembunyi dari penglihatan. Bukan dia, balasnya. Cuma gadis manusia, salah tempat, salah waktu.
Orang itu mengucapkan serentetan kata dalam bahasa yang kuduga bahasa Italia. Setidaknya kedengarannya seperti itu. Aku tak mengerti apa yang dikatakannya, tentu saja, tapi apa pun itu, katakata tersebut membuat Archer mengucapkan kata yang sangat jelas dengan pelan sebelum menjawab dalam bahasa yang sama, kata-kata itu kedengarannya janggal dengan suara yang sudah tidak asing lagi itu. Aku mendengar suara langkah kaki yang berlari menjauh di kejauhan.
Archer melepaskan pergelangan tanganku dan meletakkan lengannya di atas tembok batu bata lembap di belakangku. Tapi, aku menjaga tubuhku agar tetap kaku, takut kalau aku mengendur bahkan sesenti pun, secara tak sengaja kami bersentuhan.
Pemuda itu menghela napas. Itu artinya, apa" Dua kali aku menyelamatkan nyawamu" Tiga kali, kalau kau menghitung yang di pelajaran Pertahanan dengan si Vandy. Omong-omong, kau masih mendorong sikumu terlalu tinggi pada Keterampilan Sembilan. Aku menelan ludah dua kali sebelum bisa menjawab. Aku akan melatihnya.
Aku menunggu dia bergerak pergi. Aku butuh dia pergi, karena aku mulai bergetar. Tapi, dia tetap diam di tempat, begitu dekat sehingga aku bisa melihat bayangan keunguan di bawah matanya, dan betapa cekung pipinya. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menjaga tatapanku menancap ke suatu titik di atas pundak kanannya. Aku sering membayangkan bertemu dengan Archer lagi, dan ada sejuta hal yang ingin kutanyakan kepadanya, seperti mengapa dia menyelamatkan nyawaku malam ini, berapa lama dia bekerja untuk Mata. Apakah dia hanya berpura-pura menyukaiku.
Sebaliknya, aku hanya berkata, Jadi, apakah Mata datang kemari malam ini untuk mencariku"
Sebenarnya, kami datang karena kami mendengar ini adalah malam corn dog gratis. Bayangkan saja kekecewaanmu.
Aku menyentakkan kepala untuk menatapnya. Salah besar. Kami sudah terlalu dekat sehingga memalingkan wajah kepadanya artinya hidung kami hanya beberapa senti saja jauhnya. Jadi, aku menjulurkan leher agar menjauh dan mengarahkan kata-kataku ke jalan. Terakhir kali kita bertemu, kau menghunuskan pisau kepadaku. Jadi, kalau kau bisa tidak usah bersilat lidah denganku, aku akan berterima kasih. Tentu saja, saat terakhir kali kami bertemu, kami juga berbagi ciuman yang begitu panasnya sampai-sampai rambutku serasa terbakar. Tapi, aku tidak hendak menyinggung-nyinggung hal itu.
Walau begitu, aku bertanya-tanya apakah dia juga memikirkan itu, karena aku sangat yakin merasakan tatapannya mendarat di bibirku selama sedetik sebelum berkata, Baiklah. Ya, kami kemari untuk mencarimu. Memangnya sedang apa kau di sini"
Aku berkedip menatapnya. Aku" Dewan ingin membunuhmu di tempat, aku mendesis. Dan, di mana kau bersembunyi selama ini" Di halaman belakang celaka rumah mereka.
Kali ini, aku mendapatkan cara untuk memiringkan kepalaku ke belakang secukupnya agar bisa terhindar dari bersentuhan wajah saat aku menatapnya. Tetap saja artinya kami cukup dekat sehingga aku bisa melihat bayanganku di matanya. Aku tak menggubris tusukan tajam di perutku dan berkata, Aku di sini dengan ayahku. Dia mengerutkan satu alis, dan hanya untuk sesaat tampak lebih mirip dengan Archer yang kuingat. Reuni keluarga demon" Urusan Pemunahan sudah ada di ujung lidah, tapi sebelum aku bisa mengatakan sesuatu, lelaki tadi meneriakkan lebih banyak lagi katakata bahasa Italia dari suatu tempat di kejauhan. Archer memejamkan matanya sejenak dan menarik napas dalam sebelum berseru menjawabnya. Dia kemudian merogoh sakunya. Walaupun kupikir tak mungkin, tapi aku semakin tegang lagi.
Tenanglah, gumamnya sambil mengeluarkan kepingan uang emas buram. Itu Raphael. Sebagai tambahan salah satu anggota Mata termuda, dia juga salah satu yang paling bodoh. Dia bertanya mengapa aku begitu lama, dan aku bilang sedang menghapus ingatan sebelum aku melepasmu.
Kau bisa melakukan itu"
Dia menyunggingkan cengiran kilat. Tidak, tapi dia tidak tahu itu. Itulah sebabnya mengapa dia berdiri begitu jauh. Takut tertular kuman Prodigium. Dia mengatakannya dengan enteng, tapi ada kepahitan di dalam kata-katanya. Untuk sekitar keseribu kalinya, aku bertanya-tanya bagaimana seorang warlock bisa menjadi anggota L Occhio di Dio, dan seandainya saja aku punya waktu untuk bertanya kepadanya.
Dia menjejalkan kepingan uang itu ke tanganku. Apa kau tinggal di London"
Tidak, Thorne Abbey. Itu Aku akan menemukanmu, katanya, sambil menutupkan jari-jariku ke kepingan uang itu. Bawa saja ini kemana pun kau pergi. Tidak, kataku, sambil menyambar lengan jaketnya. Archer, Dewan ada di Thorne. Belum lagi ayahku, yang memberikan perintah hukuman mati kepadamu.
Banyak yang perlu kita bicarakan, Mercer, katanya, sambil menoleh ke belakang ke arah ujung gang yang satunya. Aku akan mengambil risiko itu.
Aku menggeleng lagi, tapi dia sudah bergerak menjauhiku. Menjauhlah dari cahaya dan pergi dari sini, gumamnya. Dan Mercer, mulai sekarang, jauh-jauh dari kelab Prodigium, kau dengar" Orang-orang ini bukan temanmu.
Apa maksudmu" aku kembali berusaha menyambar lengan jaketnya, tapi dia sudah berlari kembali ke arah Shelley s. Aku bisa melihat Raphael sekarang, dan Archer benar: dia masih muda. Sangat muda, tepatnya. Kurasa sekitar empat belas. Aku merapatkan diri ke dinding sementara Archer merangkul pundak Raphael, sambil mengucapkan sesuatu dengan nada suara enteng dan santai. Raphael menggeleng dan terus memandang ke arahku. Kemudian, semburan cahaya biru meletus dari jalan belakang. Dan, baik dia maupun Archer berbalik ke arahnya memberiku kesempatan untuk berlari keluar gang.
Kepalaku masih tetap berputar dan lututku gemetar pada saat aku berbelok ke kiri dan meninggalkan jalan itu. Aku bertelekan ke tembok bata berlendir dan berusaha keras agar tidak muntah. Aku tak tahu dimana jalan itu. Aku hanya berharap Daisy atau Nick meninggalkan semacam jejak demon yang bisa kuikuti.
Tapi, ketika aku tiba di ujung jalan, kulihat mereka bertiga masih menungguku di depan bangunan rendah dari semen. Daisy dan Nick sudah merokok lagi, dan Jenna sedang mondar-mandir, taringnya masih kelihatan, matanya masih merah.
Saat melihatku, wajahnya menjadi cerah, membuatnya tampak tak terlalu mirip vampir dan lebih mirip seorang anak di pagi hari Natal. Aku terhuyung-huyung menghampiri mereka bertiga, dan Jenna merangkulku. Aku begitu yakin mereka menangkapmu, katanya, suaranya kental.
Aku balas merangkul, ada gumpalan di tenggorokanku. Aku sudah bersumpah tak akan ada rahasia lagi sepanjang hidupku, tapi tak mungkin aku bisa menceritakan kepada Jenna tentang pertemuanku dengan Archer.
Jenna sahabatku, tapi ada beberapa hal yang bahkan dia pun tak bisa memahaminya.
Gara-gara sepatu bot tolol ini, kataku kepadanya sambil tertawa gemetar. Sepatu ini sama sekali bukan untuk berlari. Jenna melepaskan diri dan memegang pipiku. Matanya sudah tidak merah lagi, tapi masih lebar dan bergelimang air mata. Aku minta maaf sekali, Sophie, katanya Kalau aku tahu tempat ini akan begitu berbahaya untukku....
Ya, kata Daisy, sambil mendekat untuk berdiri di samping Jenna. Serius, Sophie, tak pernah ada peristiwa seperti itu yang pernah menimpa kami di Shelley s, sumpah. Kami takkan pernah membawamu ke sana kalau kami tahu.
Bahkan, Nick pun melangkah maju, berkerut kening karena khawatir. James akan membunuh kita kalau sampai tahu. Seharusnya kami membantumu menyesuaikan diri sebagai demon" tetapi kami nyaris menyerahkanmu ke L Occhio di Dio.
Penyesalan mereka bertiga kelihatannya begitu tulus, begitu merasa bersalah, dan aku kembali merasa mual.
Tidak apa-apa, kataku, sambil melambaikan tangan seakan-akan para pemburu demon yang menggerebek kelab-kelab untuk membunuhku itu kejadian yang sering terjadi. Aku tidak apa-apa. Sekarang, ayo kita pergi dari sini.
Daisy mengatakan bahwa perjalanan kedua tidak akan separah yang pertama, tapi kalau bukan keliru, dia pasti berdusta. Yang kedua rasanya jauh lebih parah, mungkin karena aku begitu terkuras. Walau begitu, kami berhasil kembali ke penggilingan jagung. Dan, walaupun rasanya bagaikan ada orang kerdil yang memahat bersarang di dalam frontal lobe-ku, aku berhasil berjalan pulang ke rumah dengan sempoyongan. Untungnya, semua orang tampaknya sudah tidur, karena aula depan sudah gelap dan hening sementara kami masuk. Setelah membisikkan permintaan maaf sekali lagi, Daisy dan Nick pergi ke kamar mereka di lantai dua, sementara Jenna dan aku pergi ke lorong kami.
Di pintu, Jenna berhenti. Soph, aku benar-benar Jenna, kalau kau minta maaf sekali lagi, aku akan meninju kepala pink-mu yang kecil itu.
Dia tersenyum sedikit. Baiklah, baik. Walau begitu, lain kali kalau aku mengusulkan kelab malam Prodigium, tolong hajar aku. Pasti, kataku.
Aku benar-benar harus menyeret diriku ke kamar. Aku memakai baju tidur dan menggosok gigi sambil melamun, otakku memutar kembali menit-menit di gang bersama Archer secara berulang-ulang. Enam bulan yang lalu, dia menarik pisau kepadaku di ruang bawah tanah di Hecate. Malam ini, dia melindungi aku dari anggota lain L Occhio di Dio. Kenapa"
Celana jinsku menggunduk di lantai, dan sebelum aku naik ke tempat tidur, aku merogoh saku depannya. Kepingan uang emas yang diberikannya masih hangat. Benda itu sudah kuno, gambar yang tertera di logamnya sudah begitu pudar sehingga aku tidak bisa membedakan itu gambar laki-laki atau perempuan.
Bawalah ke mana pun kau pergi, katanya. Aku akan menemukanmu. Seharusnya aku membuangnya. Seharusnya aku menemukan yang mana di antara ketiga ratus kamar tidur ini kamar ayahku dan menceritakan kepadanya apa yang terjadi. Seharusnya aku melakukan apa saja kecuali yang kulakukan, yaitu menggenggam kepingan itu di tanganku dan menyelipkannya ke bawah bantal.
"RatuBuku Bab 16 Untungnya, tidak ada mimpi buruk semalam, dan aku tidur hampir sampai tengah hari. Aku pasti akan tidur terus kalau pintu kamarku tidak terbuka.
Pergilah, Jenna, gumamku ke dalam bantal.
Aku akan pergi kalau aku Jenna, suara yang dalam suara yang jelas-jelas bukan milik Jenna menjawab.
Semua kejadian semalam membanjiriku kembali, dan di dalam otakku yang berkabutkan kantuk aku ingat Archer yang memintaku untuk selalu membawa kepingan uang, bahwa dia akan menemukan aku, dan betapa aku meletakkan kepingan itu di bawah bantalku. Aku duduk tegak dengan begitu cepatnya sehingga aku memecahkan rintangan suara, tetapi ternyata yang berdiri di ambang pintu Cal, bukan Archer. Aku mengembuskan napas panjang, napas lega, dan bahkan sama sekali bukan kekecewaan.
Tentu saja, begitu aku bisa memikirkan fakta bahwa Cal dan bukannya Archer yang berdiri di kamar tidurku, barulah kusadari bahwa Cal sedang berdiri di kamar tidurku.
Hei, desahku, sambil berharap rambutku tidak berupa gumpalan besar kesemrawutan, walaupun aku sembilan puluh sembilan persen yakin begitulah adanya. Maksudku, aku bisa melihatnya di pinggiran sudut pandangku.
Hei. Kau, eh, ada di dalam kamarku. Memang.
Apa boleh" Nah, kita kan sudah bertunangan. Kata Cal dengan telak. Aku menatapnya dengan mata terpincing, sambil menyibakkan segumpal rambut dari wajahku. Aku tak tahu apakah itu sebenarnya lelucon atau bukan. Kau tak pernah bisa tahu dengan Cal. Apa kau ingin menontonku tidur atau apa" Karena kalau begitu, pertunangan ini sangat putus.
Bibir Cal melengkung membentuk semacam senyuman. Apa kau punya jawaban pintar untuk semuanya"
Selama masih bisa, ya. Jadi, mengapa kau kemari, kalau begitu" Ingin tahu bagaimana semalam.
Jantungku terhempas dengan menyakitkan ke tulang rusukku, dan mendadak yang terpikir olehku hanyalah kepingan uang emas bodoh yang saat ini sedang membakar lubang di bawah bantalku. Baik-baik saja, kataku, sambil bergeser untuk bersandar di kepala tempat tidur. Kau tahulah. Suasananya pedesaan. Sayang sekali kau tidak ikut.
Ya. Dia mengusapkan tangan ke dagunya. Aneh juga. Kata ayahmu, hanya ada beberapa tumbuhan yang perlu kuperiksa. Tapi, begitu aku selesai menyembuhkan satu tanaman, rasanya tanaman lain mulai layu dan kelihatan sakit. Aku pasti menyembuhkan setiap semak di taman itu. Aku bekerja hampir sampai pukul sepuluh malam. Memang aneh, kataku, bahkan saat kecurigaan mulai terbentuk di bagian belakang benakku. Tak mungkin hanya aku satu-satunya yang menyadari bahwa Cal tak mungkin mendukung gagasan pergi ke Shelley s.
Apakah kau berhasil mengorek sesuatu tentang Nick dan Daisy" Oh, iya juga. Misiku yang itu benar-benar kacau. Tidak ,tidak juga. Sebenarnya semalam sangat membosankan.
Walaupun sudah berlatih selama beberapa bulan belakangan, aku pembohong yang payah, dan Cal bukan idiot. Dia mengamatiku lekatlekat sesaat sebelum mengatakan, Ayahmu tadi tiba pagi-pagi sekali. Rupanya L Occhio di Dio menggerebek kelab Prodigium di London semalam.
Wow, kataku dengan lemah. Pasti menyebalkan. Ya, kata Cal, tak pernah mengalihkan tatapannya dari mataku. Rupanya mereka mendengar putri ketua Dewan ada di sana dengan dua demon lain dan seorang vampir.
Aku merasakan darah mengering dari wajahku, Sialan. Apa dia marah"
Cal menggerakkan bahu. Bisa dibilang begitu. Aku juga tidak akan senang mendengarnya.
Aku menyibakkan penutup tempat tidur dan turun dari tempat tidur, sambil memastikan bahwa baju tidurku tidak tersibak. Cal, aku sudah harus berurusan dengan seorang ayah yang marah hari ini. Tolong jangan menambahnya dengan berlagak tunangan macho, ya" Dia menyambar pergelangan tanganku. Tidak. Dan, aku tidak jengkel kepadamu. Melainkan kepada mereka. Seharusnya, mereka tidak mengajakmu ke sana.
Tangannya terasa hangat di kulitku. Kurasa mereka mencoba untuk bersikap ramah, kataku kepadanya. Dan kata mereka, Mata tak pernah datang ke sana sebelumnya.
Jari-jarinya mengencang, nyaris sampai pada titik menyakitkan. Jadi, mereka mencarimu.
Misteri Mayat Darah 2 Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat Sayap Sayap Terkembang 36

Cari Blog Ini