Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar Bagian 1
Master of the Jinn Sebuah Novel Spiritual e-book by ratu-buku.blogspot.com Diterjemahkan dari Master of the Jinn: A Sufi Novel
Karangan Irving Karchmar Terbitan Bay Street Press, Sag Harbor, NY, 2004
Copyright ? 2004 by Irving Karchmar This edition published by arrangement with
Irving Karchmar Hak terjemahan Indonesia pada
Kayla Pustaka All rights reserved Penerjemah: Tri Wibowo BS
Penyunting: Salahuddien Gz
Pemindai Aksara: Ahmad Syarifuddin
Penggambar Sampul: Reza Alfarabi
Ilustrator: Nadya Orlova Penata Letak: MT Nugroho Editor PDF: AnesUlarNaga.blogspot.com
Buku ini pernah diterbitkan oleh penerbit yang sama dengan
judul Sang Raja Jin: Novel tentang Cinta, Doa, dan Impian.
Cetakan I: Mei 2010 ISBN: 978-979-17997-6-8 KAYLA PUSTAKA Jln. Ampera Raya Gg. Kancil No.15
Jakarta Selatan 12550 Indonesia
Telp/Faks: (021) 788 47301
E-mail: info@kaylapustaka.com
Website: www.kaylapustaka.com
Kupersembahkan novel ini kepada
Dr. Javad Nurbakhs, Mursyid Tarekat Sufi Nimatullahi.
Rajutan Kisah Rajutan Kisah .......................................................... 4
Prolog ....................................................................... 5
Sang Syekh ............................................................. 12
Negeri Jin .............................................................. 139
Epilog ..................................................................... 208
Glosarium............................................................... 221
Ucapan Terimakasih .............................................227
Tentang Pengarang................................................ 228
Tentang Penerjemah .............................................. 229
Prolog Manusia menjadi (Al-Qiyamah: 14) saksi atas dirinya sendiri Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang. Aku, Ishaq, penulis buku ini, diperintah Guruku untuk menceritakan kisah sebuah perjalanan. Berkat rahmat
Allah, hanya aku saja dari kelompok pengembara ini yang
berhasil kembali. Ali dan Rami telah tiada. Aku melihat mereka masuk
ke dalam api. Dan Jasus, yang berhati suci, pun melompat
ke dalam api. Sementara yang terjadi pada orang bijak
Yahudi dan putrinya, atau Si Kapten, sama sekali aku tak
tahu. Mereka tak mau pergi saat kuminta pergi.
ada. Tetapi aku yakin pada satu hal: Jin jahat itu masih
Baalzeboul"Si Raja Jin.
Akan Kami perlihatkan pada mereka tanda-tanda
Kami pada segenap lengkung langit dan diri mereka
sendiri (Fushshilat: 53) Ketika fajar merekah di hamparan pasir, kumbang-kumbang menyeruak dari dalam gurun,
bergegas merayap ke permukaan untuk mendoa.
Binatang-binatang itu berjalan berbaris di sepanjang
punggung bukit pasir, menghadapkan wajah ke matahari,
lalu menundukkan muka, seakan bersujud penuh
khusyuknya. Mereka mengangkat kaki belakangnya dan
menyambut urapan hangat cahaya matahari. Lalu
dikumpulkannya embun pagi yang menempel di tubuh
mereka yang pejal, yang entah bagaimana muncul dari
dinginnya malam di gurun. Tetes-tetes air bening pun
menggelincir turun ke mulut-mulut yang telah menanti.
Air mataku menetes tatkala menyaksikan pemandangan itu. Air mata yang terakhir.
Aku berpikir, inilah pantulan dari Yang Maha
Pengasih. Inilah jawaban dari doa setiap pagi. Ia mencurahkan rezeki bagi kehidupan. Andai saja hatiku memantulkan ketaatan para kumbang.... Andai saja keyakinan
yang tak terbatas itulah yang melimpahi hatiku, bukan
degup kecemasan yang melekat pada manusia, keraguan
dan hasratku.... Bahkan kebingungan yang tertanggungkan akan merasuki nalar ketika pikiran berusaha matimatian memahami dirinya sendiri.
Demikianlah, bukannya tanpa alasan jika Guruku
memerintahku untuk menceritakan kisah ini. Ia
mengetahui hasrat dan keraguanku. Bahkan sejak awal,
mata hatinya yang sudah tak terhijab tahu dengan jelas
keraguan dan hasratku ini.
Aku berjalan lagi semalaman tanpa air, membelok ke
barat, lalu ke utara melintasi erg1 di Tenere. Aku berharap
bisa memotong jalan menuju Agadez. Kekuatanku hampir
punah. Tiga jam sebelum cahaya pertama fajar merekah,
tubuhku telah ambruk di sebelah bukit pasir kecil
berbentuk bulan sabit. Kugali pasir untuk menutupi badanku agar memperoleh sedikit kehangatan untuk menahan gamparan angin dingin.
Angin telah mereda. Bintang-gemintang di angkasa
tak bersanding dengan rembulan. Anehnya, aku tak
merasa takut, walau mungkin besok aku sudah tak
mampu bertahan hidup lagi. Pikiranku begitu tenang dan
jernih, melayang jauh menggapai bintang. Putus asa dan
kesedihan yang selama ini meluapiku kini hampir lenyap,
menghilang bersama surutnya cairan tubuh yang terus
1 Gurun yang sesungguhnya; kawasan luas berupa padang pasir dan
bukitbukit pasir. berkurang selama pengembaraan. Aku tak bisa
menjelaskannya. Barangkali aku dikaruniai sedikit
sakinah, kedamaian hati yang hanya bisa datang melalui
kepasrahan kepada Allah. Atau mungkin aku sudah gila
karena terpapar panas matahari dan kehausan. Saat
menutup mata, aku tak merasa takut pada kalajengking,
ular, atau hewan buas macam apa pun. Bahkan aku tak
merasa jeri sedikit pun pada kematian. Pikiranku kosong
dan muram, mengalir tak tentu arah hingga fajar
mengembang. Saat semburat cahaya matahari membangunkanku,
aku sempat berpikir bahwa diriku masih bermimpi. Aku,
yang baru setengah tersadar, tak mengetahui ketika tibatiba muncul kumbang-kumbang gurun di sekitarku, bergerombol seperti noktah hitam raksasa di depan mataku
yang terheran-heran. Tak pernah kulihat pemandangan
seperti itu. Seketika aku berpikir, mereka akan menyantap
tubuhku. Cepat-cepat aku keluar dari timbunan pasir dan
merangkak menjauh. Tapi aku terkejut ketika sadar
bahwa kawanan kumbang itu tak peduli sama sekali pada
keberadaanku. Mereka bergegas naik ke bukit pa-sir
membentuk barisan panjang mengejar matahari, seolah-olah dipanggil oleh muazin gaib untuk segera bersembahyang.
Air mataku jatuh saat menyaksikan tetes-tetes air
berguliran dari punggung mereka, seperti menjawab doadoanya sendiri. Lalu aku berusaha menahan nyeri di
lututku untuk bersujud menyentuhkan dahi di atas pasir.
Tak lama kemudian, sekelompok orang dari suku
Tuareg mendatangiku saat aku masih bersembahyang.
Mereka bergerak cepat menuju ke arahku. Mereka datang
seperti hantu, mengendarai kudanya dengan pelan. Mereka memicingkan mata, menatapku penuh curiga. Mereka
bertanya-tanya apakah mereka sedang bertemu dengan
orang gila atau sesosok setan.
Orang-orang itu mengikuti jejak di pasir ke arah barat, dengan dipandu oleh sebuah bintang yang mereka
sebut Hajuj. Sepertinya mereka merasa menemukan sosok
yang sangat aneh pada pagi ini. Aku menggeleng saat
mereka memberikan isyarat padaku. Tapi aku tetap diam
ketika mereka berbicara satu sama lain. Aku hanya sedikit
paham kata-kata Tamashek, bahasa yang mereka pakai.
Tetapi, aku tak tahu kenapa mereka membawaku ke
kemah mereka meski aku memakai gandura.2
Kemudian aku diberi air dalam kantong kulit saat
kami menunggu kedatangan modougou3 mereka. Kuucapkan puji syukur kepada Yang Mahakuasa dalam setiap
tegukan. Dan di setiap tarikan napas aku bersyukur atas
pertolongan-Nya. Pelan-pelan aku merasa kondisiku
membaik. Selang beberapa saat, sang modougou datang
dengan mengendarai kuda. Ia membawa pedang panjang
bersarung merah. Ia mengenakan turban hitam yang menutupi seluruh wajah kecuali mata. Melalui mata itu aku
tahu, ia adalah Afarnou. Aku dan Afarnou pernah bertemu sebelumnya.
"Wah!" serunya, tanpa turun dari kuda. "Kita ketemu
lagi. Mana yang lainnya?"
Ia berbicara menggunakan bahasa Prancis dan Arab
dengan buruk. Namun, saat aku tak menjawab pertanyaannya, ia turun dari kudanya dan menatapku lekat-lekat.
Aku hanya bisa menduga-duga apa yang sedang ditatapnya. Kemudian ia menjelaskan dengan pelan, seolah-olah
berbicara kepada orang tolol, bahwa unta-untanya penuh
dengan muatan garam dari tambang di Tisemt dan ia sedang menuju Damergu di Nigeria untuk menukarkan garam dengan rempah-rempah. Tapi, dengan sedikit menggerutu ia mau menyediakan satu anak buahnya dan dua
untanya untuk mengantarku menemui ayahnya,
Amenukal4 dari para bangsawan.
Seekor unta disiapkan. Tanpa mengucapkan selamat
2 3 4 Jubah biru yang dipakai oleh suku Tuareg
Pemimpin sebuah kafilah. Julukan bagi ketua suku Tuareg.
tinggal, aku dan pemanduku berjalan melintasi Tenere.
Dalam dua hari kami sampai di Agadez. Di sini aku dijamu
oleh istri Amenukal dan seorang perempuan tua di ruangan kecil di rumahnya yang sederhana.
Yang kutahu, Amenukal ini punya kekuasaan atas tiga suku Kel Ahaggar dalam federasi suku yang longgar. Ia
juga seorang Amrar atau "Ketua Genderang" sukunya
sendiri. Itu adalah simbol terbaik dari otoritas ketua di
kalangan suku yang menyukai perang seperti suku Tuareg
ini. Tapi itu dulu. Masa penjajahan Prancis sudah mengubah hampir segalanya.
Dengan hati-hati dan cermat, Amenukal menjaga kerajaan kecilnya seolah-olah kerajaan itu jubah kehormatannya. Ia lelaki tua yang amat ramah dan sopan. Dan ia
selalu bersikap tenang dan berwibawa sebagai kepala
rumah tangga. Kini ia berdiri di sisiku dan menatapku sedih. Tapi ia
tak bertanya tentang keadaanku. Ia mengambil catatan
yang kubawa tanpa berucap sepatah kata pun. Mungkin,
baginya, aku bukan orang bodoh pertama yang ditemukan
tersesat di tengah gurun. Atau mungkin ia mengharapkan
imbalan. Tapi yang jelas, ia orang baik dan tuan rumah
yang murah hati. Sepertinya ia menganut pepatah Arab
"Lakukan kebaikan, dan jangan mengungkit-ungkitnya,
dan yakinlah bahwa kebaikanmu akan mendapatkan
balasan." Akan tetapi, dua perempuan itu duduk setiap hari di
depan pintu kamarku. Mereka berbisik penuh gelisah.
Mereka bertanya-tanya apakah aku menjadi bodoh karena
tergampar matahari gurun, atau karena terkena sihir; apakah aku sedang kebingungan atau terkena kutukan.
Yah, mungkin itulah yang mereka pikirkan.
Kini, pena, tinta, dan kertas putih ada di hadapanku.
Tubuhku telah pulih, tapi mulutku tetap membisu. Aku
tak pernah bicara sejak berlari ke gurun pasir. Aku tak
pernah bicara kepada siapa pun kecuali pada diriku
sendiri, penulis kisah ini. Kata-kata tak berguna, kecuali
untuk menceritakan semua kisah secara lengkap.
Syukurlah, Allah memberiku ingatan yang jernih.
Sang Syekh Hatiku telah mampu menerima
segala macam bentuk. Hatiku adalah
padang bagi rusa, biara bagi para
rahib, kuil bagi penyembah berhala,
Kakbah bagi para peziarah, dan altar
bagi Taurat dan Al-Quran Kuikuti
agama Cinta: ke mana saja unta
Cinta membawaku, itulah agama
dan imanku Tarjumanul Ashwaq (Penerjemah Kerinduan),
Ibnu Arabi Melalui penglihatan batin, kami menyaksikan
penglihatan Allah di hamparan kalbu
Tarjiband, Nur Ali Shah Di rumah Syekh kami bangun pagi-pagi ketika udara
masih begitu dingin dan bintang-gemintang mulai pudar.
Malam yang lembut pun hendak berganti pagi. Tahukah
engkau" Hening adalah rumah hati. Altar jiwa terbasuh
bersih. Saat itu aku duduk di dekat jendela. Dari situ aku
bisa menyaksikan indahnya taman. Jauh di bawah bukit
terhampar ladang dan kota. Ah, Yerusalem! Saat ini
musim panas, dan kesiut angin menghantarkan aroma
melati dan laut. Kudengar kokok ayam menyambut pagi. Namun pagi
itu sangat berbeda dengan pagi yang selama ini kurasakan. Mendadak semua burung di alam semesta bergabung
menyanyikan tembang. Pohon-pohon di taman, bersama
burung tekukur, ketilang, kenari, merpati, dan ratusan
burung lain yang tak kutahu namanya, mengungkapkan
nyanyian masing-masing yang khas. Mereka bercericit,
mendekut, berkuak, dan bersiul.
Belum pernah kusaksikan mereka berkumpul
sedemikian rupa, atau menyanyi bersama-sama seperti
itu. Bahkan burung-burung hantu, yang biasanya hanya
bernyanyi di bawah kerlip cahaya bintang, pun ikut
bersama mereka. Entah naluri apa yang menyatukan
mereka. Yang jelas, sepiku pecah sudah. Aku berjalan
Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuruni tangga rumah guna memasak air untuk
menghidangkan teh pagi ini.
Setelah menjerang air di cerek, kubuka pintu yang
menghadap taman. Ingin kuakhiri serenade burung pagi
ini dengan memberi mereka remah-remah roti. Tapi aku
terkejut ketika kulihat Syekh Guru kami duduk di bangku
kayu di antara pepohonan.
Aku heran mengapa ia duduk di tengah keriuhan suara burung. Saat aku hendak menawarinya segelas teh, ia
menatapku sekilas, lalu menutup matanya. Sekejap
kemudian burung-burung terdiam serentak, seolah-olah
mereka tadi bernyanyi untuk Syekh belaka.
Aku terpaku menahan napas. Menurut orang-orang,
ini adalah salah satu misteri kecil yang sering terjadi saat
kita berada bersama Syekh. Aku belum pernah menyaksikan pemandangan ganjil seperti ini, sehingga aku hanya
bisa terpana. Betapa sedikit yang kuketahui tentang Syekh dan
halhal aneh seperti ini. Pikiranku dijejali ratusan
bayangan, tapi aku tak bisa memahami mengapa
burung-burung itu bertindak aneh. Aku tak tahu nyanyian
mereka, dan juga tak paham kenapa mereka diam
serentak. Tapi tak ada waktu lagi untuk merenungkan semua
ini. Hari mulai terang dan penghuni rumah akan segera
keluar. Aku tak menyebut-nyebut soal burung ini, dan
tidak bertanya kepada orang tentang apa-apa yang mereka
lihat dan dengar pagi ini. Yang dilakukan Syekh Guru tidak untuk didiskusikan. Orang-orang yang bertugas di
dapur mulai menghamparkan sufreh5 di atas permadani
yang menutupi lantai ruang tamu. Kemudian mereka meletakkan garam, roti, mentega, keju, dan selai untuk
sarapan. Sayangnya, aku tidak begitu berselera dengan
roti. Syekh tidak ikut makan bersama kami. Beberapa
waktu kemudian, saat aku melihat ke taman, Syekh tidak
ada di sana. Burung-burung telah pergi.
Menjelang sore Syekh muncul kembali. Tiada yang
bertanya dari mana ia pergi. Dan tiada yang berkomentar
saat ia memutuskan untuk pergi ke pasar"sebuah
kegiatan yang selama ini tak pernah dilakukannya. Ia
mencari sejenis kopi tertentu, yang belum pernah
5 Kain putih yang dibentangkan di atas lantai atau tanah pada saat
makan. diminumnya. Semuanya heran dengan tindakan itu, tapi
tak satu pun yang mempertanyakan kemauan Syekh. Aku
dipilih untuk menemaninya, membawa barang-barang
yang dibelinya. Ah! Aku ingat betapa eksotiknya pemandangan dan
bau di pasar pagi itu. Misteri burung-burung telah terlupakan saat kami berjalan melintasi beragam toko dan kedai kecil. Banyak pedagang yang mengenal Syekh menawarinya buah dan roti agar ia mau mendoakan mereka.
Syekh menyuruhku mencatat nama-nama mereka di buku
catatan yang selalu kubawa. Ia kemudian menyuruh para
pedagang untuk memberikan barang-barang yang mereka
tawarkan itu kepada orang-orang miskin.
"Agar doaku didengar Yang Maha Memberi," demikian
ia berkata. Setelah membeli beberapa barang, Syekh memutuskan untuk berkunjung ke Kota Lama. Kami berjalan tanpa
mengucapkan sepatah kata pun selama beberapa waktu,
sampai tiba di gerbang Masjid Haramus Syarif. Masjid ini
konon dibangun di atas puing-puing Kuil Sulaiman.
Di bawah bayang-bayang kubah masjid yang besar,
untuk pertama kalinya aku melihat seorang pengemis
yang tampak tua sekali. Kulitnya sehitam kopi karena
terpanggang matahari. Ia hanya mengenakan sehelai kain
putih, sandal dan pecinya pun putih. Ia sedang duduk di
tangga batu dan menawarkan ramalan kepada siapa saja
yang mau memberinya sedekah. Pengemis itu tinggi dan
kurus, semua tulang iga dan ototnya kelihatan. Barangkali
ia baru saja keluar dari gurun pasir. Namun rambut dan
jenggotnya yang putih tampak bersih dan tersisir rapi,
mungkin untuk menghormati orang-orang yang hendak
shalat. Syekh berhenti dan menatapnya sebentar. Aku belum
pernah melihat lelaki tua itu, tapi aku merasakan
semacam keakraban yang aneh dengannya. Tiba-tiba aku
merasa bersimpati kepadanya. Aku merasa kasihan
melihat tulangtulangnya yang menggambarkan kehidupan
yang sulit. "Apakah doa-doanya dijawab?" tanyaku kepada diriku
sendiri dengan suara sedikit keras.
"Ya, doanya dijawab," ujar Syekh sembari menatapku.
Bola matanya yang hitam bersinar di bawah alisnya yang
putih. "Tapi tentu saja ia tak pernah meminta untuk
dirinya sendiri. Karena itu, doanya sangat ringan hingga
cepat melesat ke langit seperti uap yang naik dari samudra
kehidupan ini. Ia seorang faqir, orang yang telah mencapai
sakinah. Jadi, dialah sesungguhnya yang merasa kasihan
kepadamu, wahai Ishaq. Kalau kau telah belajar melihat
dengan hati, mata tidak akan menipumu. Nah, beri dia
sedekah! Semakin sedikit engkau dibebani oleh rasa
memiliki, semakin ringan beban nafsumu yang selalu
minta dipuaskan." Aku mengangguk, dan kusadari betapa sedikitnya
pemahamanku. Aku lalu mendekati pengemis itu untuk
menaruh beberapa keping uang ke dalam kashkul-nya.6
Saat ia menatapku, aku terkejut sehingga uang yang
ada dalam genggamanku terjatuh. Rambut dan jenggot
putih lelaki tua itu seperti membingkai seulas wajah tua
penuh kerut mendalam yang dipahat oleh waktu dan
angin gurun. Aku merasa tak enak dan aneh sehingga aku
ingin memalingkan tatapanku ke arah lain. Tapi sorot
matanya seperti menjeratku, sehingga aku tak bisa
berpaling. Sorot mata di wajah tuanya membara seperti
batu bara yang terbakar. Tapi ada aura kedamaian
terpancar dari sana. Tiba-tiba aku merasa malu pada
kedunguanku. Mendadak ia berkata, "Kau akan melakukan perjalanan panjang!"
Ia menundukkan wajahnya dan tak bicara lagi. Aku
juga tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa mundur ke
6 Mangkok yang terbuat dari buah labu.
belakang Syekh, seperti anak kecil yang berlindung di
balik punggung ibunya. Aku kaget mendengar kata-katanya. Aku merasa, faqir itu, yang tak punya apa
pun kecuali Allah, adalah orang yang paling kaya.
Sedangkan aku, yang berpakaian baik dan punya uang,
adalah pengemis. Sepanjang hari pikiranku selalu tertuju pada
pengemis tua itu. Angin gurun apa yang telah menerpa
wajahnya" Kesulitan apa yang telah melahirkan
kebijaksanaan purba yang seperti menyaput tubuhnya"
Dan di balik mata yang hitam pekat itu, pemandangan
kasyaf7 apa yang telah disaksikannya" Aku yakin diriku
belum pernah melihat orang itu, namun aku merasa akrab
dengannya. Ini membuatku resah. Kuputuskan untuk
bertanya kepada Syekh tentang keadaan ini setelah santap
malam. "Ingatan yang ditimbulkan oleh faqir itu," katanya
sambil berjalan di sebelahku di taman, "adalah kenangan
jiwamu tentang keadaan murni sebelum kau tercipta.
Kesempurnaan hatinya menarik perhatian para salik8 di
jalan Tuhan. "Dan kegelisahanmu," lanjutnya, seperti bisa
membaca keraguan dalam pikiranku, "adalah rasa
takutmu terhadapnya. Engkau tak mendengar dengan
telinga kepasrahan, tapi engkau telah dibelokkan ke jalan
hati, jalan di mana emas seluruh dunia tak akan bisa
menggantikannya, walau hanya setitik debunya sekalipun. Nafsumu terhadap dunia takut kalau-kalau
jalan Tuhan ini akan membuatmu melarat.
"Wahai Ishaq, hati yang dermawan senantiasa punya
sesuatu untuk diberikan. Orang yang merasa tidak punya
sesuatu yang bisa diberikan adalah orang yang ruhnya
menderita. Bukan kekurangan materi yang menyebabkan
kemiskinan spiritual, juga bukan doa dan puasa saja.
7 8 Pandangan yang sudah tak terhijab lagi
Pejalan atau pencari kebenaran.
Yang membuatmu fakir adalah keterlenaanmu pada
pemuasan diri sendiri. Dengan senantiasa berzikir dan
bertafakur, hati akan terlepas dari belenggu duniawi. Lalu
tanganmu akan melepaskan keserakahanmu pada dunia,
dan engkau akan menggantungkan diri hanya pada-Nya
semata." Aku tak bisa bilang apa-apa sebab terkesima oleh kata-katanya. Ia menatapku dan menarik napas panjang.
"Sayang, seperti Musa, engkau tak tahu pada sedekah
yang hakiki. Pikiranmu masih sibuk dengan dirimu
sendiri, hingga tak ada ruang untuk dimasuki sesuatu
yang lain." Syekh lalu memerintahku untuk tidur di luar malam
itu, untuk menghirup udara dan merasakan tanah seperti
yang dirasakan oleh si faqir. Cara ini bisa membantu menguatkan ingatan hati.
Malam itu aku menyiapkan tikar, selimut, dan bantal,
lalu pergi ke taman dan merebahkan diri di atas karpet
Persia yang membentang di dekat mata air. Syekh sering
mengadakan pertemuan di sini pada musim panas, dan
energi di tempat ini sangatlah kuat. Aku rebah di dalam
selimut dengan berbantal lengan, menghirup udara
malam, dan membiarkan suara aliran air menenangkanku. Bulan purnama memancarkan sinar perak di sebelah
timur padang pasir. Lama-lama bulan terus menaik tinggi
dan sinar peraknya memancar terang di tengah-tengah
bintang di atas Yerusalem. Bulan itu mengisi hatiku
dengan kerinduan yang tak terperikan. Aku merasa
seolah-olah semua cahaya surga menyala. Cahaya itu
sangat kuat dan indah sehingga membekukan pikiranku.
Mataku tertutup, dan di antara tidur dan mimpi aku
teringat sebuah kisah lama. Atau, tepatnya, kisah itulah
yang mengingatkanku. Musa berjalan sendiri di tengah gurun dan berdoa
kepada Allah, "Ya Allah, selama bertahun-tahun aku telah
menjadi hamba-Mu yang taat, namun Engkau tak pernah
masuk ke dalam hatiku, juga tak pernah makan roti
bersamaku. Sudikah Engkau untuk datang dan makan di
rumahku?" Dan Tuhan senang dengan permintaan ini. Ia menjawab, "Ya, tentu saja! Sesungguhnya engkau telah menjadi
hamba-Ku yang taat, jadi Aku akan datang malam ini
untuk tinggal dan makan malam bersamamu."
Musa sangat girang karena permintaan khususnya
dipenuhi. Dengan riang ia pulang ke rumah, menyuruh keluarganya menyiapkan hidangan khusus. Dan ia
memasak sendiri makanan khusus untuk Tuhannya.
Setelah semuanya siap dan jam makan malam sudah
tiba, Musa mengenakan jubahnya yang terindah dan menunggu di luar rumah. Ia tak sabar menanti Tuhannya.
Banyak orang lalu lalang pada saat itu. Mereka baru pulang dari kerja. Mereka memberi salam kepada Musa saat
melintas di depannya. Musa membalas salam mereka dengan tergesa-gesa.
Hingga kemudian, datanglah seorang lelaki tua
berpenampilan pengemis. Ia datang dan menunduk di
hadapan Musa. Ia berpakaian kumuh, berjalan dengan
tongkat, dan hanya mengenakan sandal butut. "Salam,
Tuan," kata orang tua itu. "Sudikah Tuan berbagi sedikit
makanan dari hidangan Tuan yang istimewa itu untuk diri
hamba yang kurang beruntung ini" Sesuai adab
kedermawanan, hamba minta sedikit sedekah dari
hidangan Tuan." "Ya, ya..." jawab Musa dengan ramah namun tak
sabar. "Kau akan mendapatkan bagianmu, dan juga uang.
Tapi kau datang saja nanti. Sekarang aku sedang menunggu tamu penting. Aku tak punya waktu untukmu."
Lalu pergilah pengemis itu, sedang Musa terus menunggu. Jam demi jam berlalu hingga larut malam, tetapi
Tuhan tak kunjung datang. Musa menjadi resah. Ia
menangis dan tak tidur semalaman. Terlintas pikiran
bahwa Tuhan telah melupakannya dan ini membuatnya
bersedih. Pada subuh ia bergegas ke gurun pasir. Sambil
menangis, ia merobek jubah indahnya dan bersujud di
atas tanah. "Wahai Tuhan," jeritnya, "apakah aku telah menyinggung-Mu, sehingga Engkau tidak datang ke rumahku sebagaimana janji-Mu?"
"Oh, Musa," jawab Tuhan, "Aku adalah pengemis yang
berjalan dengan tongkat, yang kau abaikan. Ketahuilah,
sesungguhnya AKU ada di semua ciptaan-Ku, dan apa pun
yang kau berikan kepada hamba-Ku yang paling lemah
berarti engkau berikan kepada AKU."
Ketika aku bangun pada pagi hari, air mata mengaliri
pipiku. Aku menangisi kebodohanku dan perjalanan panjang yang harus dilalui hatiku. Abul Qasim Al-Junayd,
yang disebut-sebut sebagai Wali Qutb 9 pada zamannya,
pernah berkata: "Aku akan berjalan ribuan kilometer
bersama kepalsuan, sampai aku bisa menemukan satu
langkah yang benar dan sejati." Jelas, faqir itu telah
membaca keadaan diriku. Aku bersyukur kepada Tuhan
yang telah membimbingku bertemu dengan Syekh
Tarekat, dan bersyukur pula karena anugerah-Nya yang
tak terhingga. Aku harus menghadapi rasa takut dan nafsu yang
selalu menuntut. Telah kujadikan Engkau Sahabat hatiku Namun
tubuhku hadir di sini untuk mereka yang ingin
bermain bersamanya Dan tubuh ini ramah pada
tamu-tamuku Tetapi Kekasih hatiku adalah tamu
jiwaku Rabiah Adawiyah
Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
9 Pemimpin ruhani tertinggi dalam spiritualitas Islam.
Kami bergembira. Kami tak banyak memikirkan
urusan dunia saat kami duduk membentuk setengah
lingkaran mengelilingi Syekh. Ia telah memerintah untuk
menggelar jamuan makan malam. Semua darwis 10
diundang ke khaniqah.11 Syekh kami begitu tajam sorot matanya. Perilakunya
sering kali sulit dijelaskan. Tapi ia sudah seperti seorang
ayah yang kami sayangi. Sementara ayah kandung kami
mengasuh kami dari kanak-kanak hingga dewasa, Syekh
membimbing kami pada jalan tariqat, jalan hati, jalan lurus para Sufi.
Syekh kami, Amir Al-Haadi, adalah Syekh sebuah
Tarekat Sufi. Di antara kami tak ada yang mampu
menandingi kearifan dan pencapaian spiritualnya. Ia
dikenal sebagai Qutb pada zamannya.
Karismanya yang besar itulah yang menjadi penyebab
terjadinya sebuah peristiwa pada malam itu.
Kesempatan tak datang dua kali, demikian kata
pepatah. Karena itu, kami sungguh bahagia bisa hadir
pada perjamuan, sebab Syekh sangat jarang mengadakan
acara seperti itu. Aku tidak diizinkan menyebut nama-nama kecuali
nama yang penting dalam kisah perjalanan ini. Jadi, cukup kukatakan bahwa yang hadir ada dua belas pria dan
empat belas wanita. Semuanya hadir atas undangan.
Syekh Guru kami tidak mengizinkan anak-anak hadir,
meskipun pada kesempatan lain biasanya anak-anak
diperbolehkan ikut. Tampaknya ada tiga lelaki yang masih
bujangan. Sepertinya ini sudah diperkirakan oleh Syekh.
Selama aku bersama dirinya, aku sering melihatnya bisa
"meramal" dengan tepat.
Seusai shalat Isya, saat makan malam masih disiapkan, kami berkumpul di taman yang indah sambil duduk
10 11 Murid dari seorang Syekh Sufi.
Rumah sebuah tarekat Sufi.
bersila di atas rumputan, menunggu Syekh berbicara.
Pohon-pohon jeruk sedang berbunga dan keharumannya menyegarkan hati kami. Ada banyak mawar dan
anggrek di antara berbagai bunga dan tanaman yang
ditata di antara pepohonan dan tanaman hias lainnya.
Tempat ini laksana oasis, yang didesain untuk
memantulkan tatanan kosmis. Pancuran air di pusat
taman seperti mengalirkan air yang tak habis-habis dari
Sumber Yang Tak Terhingga.
Seperti biasa, kami duduk dengan tangan kanan di
atas paha kiri, dan tangan kiri memegang pergelangan
kanan, membentuk huruf Arab laa, yang berarti "tiada".
Maknanya adalah penyangkalan, yang dengannya para
darwis berusaha meniadakan keterikatan pada urusan
duniawi dan membersihkan hati"langkah pertama di
jalan suci. Mereka yang ditugasi melayani jamuan pada malam
itu masuk membawa nampan perak dengan gelas-gelas
kecil berisi teh hitam dan semangkok gula batu. Beberapa
orang biasanya mengulum gula batu itu sembari
menyesap teh. Kami menunggu Syekh untuk memulai
minum, namun tampaknya ia tidak sedang buru-buru. Ia
duduk bersandar pada batang pohon almond tua, yang
ditanamnya sendiri bertahun-tahun yang lampau. Ia
duduk sembari mengelus-elus jenggotnya dan mengisap
cangklong yang terbuat dari gading tua. Tak seorang
darwis pun berani memecah keheningan lebih dulu. Di
atas pintu masuk taman terpampang ungkapan yang
ditulis dengan kaligrafi yang indah: Diamlah, sebab setiap
tarikan napas adalah anugerah Allah.
Akhirnya, setelah beberapa kali mengembuskan asap
tembakau, ia memberikan isyarat kepada Ali agar
mengambil alat-alat musik. Ali segera mengambil ney 12
12 Alat musik tiup Persia dari buluh
dan Rami mengambil tar, 13 lalu menala dawai-dawainya
14 dengan saksama. Yang lainnya mengambil dafs dalam
berbagai ukuran. Tetapi, Syekh Guru memberi perintah
agar semua instrumen lainnya tidak dimainkan. Sejenak
aku heran, sebab pesta semacam ini biasanya diiringi
musik yang ramai, ditingkahi tepuk tangan dan nyanyian.
Tapi keherananku sirna saat Ali mulai memainkan sebuah
refrain dari nada yang sendu dengan tiupan ney-nya.
Suaranya begitu syahdu dan indah, bagai panggilan azan.
Alunan ney mengalir bersama desir angin di antara
pepohonan, seperti menyuarakan perasaan malam dan
kelembutan sinar temaram lentera. Nada itu membuat hati
kami merekah seperti bunga mawar dan melati di
sekeliling kami. Kami pun mulai masuk ke dalam sama".15
Kerinduan hati pelan-pelan melancar memenuhi taman, ratapannya memantul di tembok dan melayang ke
angkasa. Seruling itu seperti menyenandungkan kepedihannya karena terpisah dari pohon tempatnya berasal,
sebagaimana jiwa meratapi keterpisahannya dari Surga.
Setelah nada terakhir meredup dan menghilang di
gelap malam, pelan-pelan kami tersadar. Air mata
mengaliri pipi kami, lalu jatuh menetes membasahi
rerumputan. Bahkan kembang-kembang yang mekar
seperti bergoyang menghapus embun air matanya.
Pelan-pelan, kerinduan kami yang menyatu mulai
merenggang dan kami menjadi diri yang terpisah kembali.
Kami menatap Syekh yang duduk dengan kepala
menunduk di bawah sebatang pohon tua.
Matanya begitu terang dan bening saat ia mengangkat
kepala dan menatap hadirin yang duduk melingkar. Tatapannya seperti menyerap kami semua.
13 14 15 Alat musik petik yang dibentuk dari dua mangkok, bentuknya seperti
angka delapan. Kendang dari kulit kambing.
Kondisi trans yang melampaui waktu, tercipta oleh musik dan
nyanyian. "Semoga hati ingat pada apa-apa yang telah dilupakan
pikiran," ujarnya. "Dan sekarang dengarkan, wahai kalian
yang memiliki telinga, kisah tentang Raja Sulaiman. Ya,
Sulaiman, penguasa terkuat dan terbijak yang pernah ada
di muka bumi. Kekayaannya tak bisa diukur, kedalaman
kearifannya hanya Allah yang tahu."
"Ia menguasai angin, manusia, jin, burung, dan
he-wan. Semuanya mengabdi kepadanya. Tetapi ia tidak
diberkati Allah, sebab kekayaan dan kebijaksanaannya tidak membuatnya tercerahkan."
"Suatu hari, saat Raja Sulaiman sedang berjalan-jalan
sendiri di taman istana, ia bertemu Izrail, Sang Malaikat
Pencabut Nyawa, yang sedang mondar-mandir dengan
wajah gelisah. Sulaiman kenal betul wajah malaikat itu,
sebab ia diberi karunia bisa menyaksikannya saat ia
melayang, mengintai di atas peperangan, atau di tendatenda mereka yang sedang terluka dan sekarat. Ketika
Sulaiman bertanya kepadanya tentang apa yang membuatnya gelisah, malaikat itu mengeluh dan berkata bahwa
dalam daftar orang yang harus dicabut nyawanya, ada dua
juru tulisnya: Elihoreph dan Aljah.
"Kini Sulaiman sedih ketika menyadari bahwa ia akan
kehilangan dua juru tulis kesayangannya, yang sudah
akrab dengannya sejak kecil. Ia menyayangi keduanya
seperti saudaranya sendiri. Karena itu, ia lantas memerintah para jin-nya untuk membawa Elihoreph dan
Aljah ke kota Luz, satu-satunya tempat di mana Malaikat
Maut akan kehilangan kekuasaannya. Dalam sekejap mata, sang jin membawa keduanya, tetapi kedua orang itu
meninggal tepat pada saat keduanya sampai di pintu gerbang kota itu.
"Sehari kemudian, Izrail muncul di depan Sulaiman.
Malaikat Maut itu tampak senang dan berkata, "Terima
kasih, wahai Raja... Engkau telah mengirimkan dua juru
tulismu ke tempat yang telah ditentukan. Keduanya telah
ditakdirkan untuk mati di depan gerbang kota itu, tapi saat
itu aku tak tahu bagaimana cara membawa mereka sampai
ke sana karena jaraknya sangat jauh dari sini."
"Sulaiman pun menangis tersedu-sedu. Hatinya
terbelah antara kesedihan dan kemarahan, karena
kematian dua sahabatnya dan juga sedih mengingat
bahwa ajal adalah sesuatu yang tak terelakkan. Melihat
ini, Izrail terheran-heran.
?"Kenapa engkau menangis, wahai Raja Dunia?"
?"Sebab sahabat lamaku kini tak lagi bersamaku," kata
Sulaiman. "Apakah engkau tidak kasihan pada
orang-orang yang kau cabut nyawanya?"
?"Kasihan?" seru Izrail. "Engkau menangis karena
kehilangan persahabatan dengan mereka. Sesungguhnya
kau bersedih pada dirimu sendiri. Dan kemarahanmu
sesungguhnya adalah rasa kasihan pada dirimu sendiri.
Kematian adalah salah satu anugerah terlembut dari
Tuhan. Kematian memisahkan orang dari kegembiraan dan
kesedihan sementara, yang hanyalah setetes belaka bagi
jiwa. Wahai, Raja, di balik kematian ini terbentang
Samudra Cahaya. Segala puji bagi Allah, karena aku, yang
menurutmu adalah Malaikat Maut, sesungguhnya adalah
Malaikat Rahmat.?" Syekh Guru lalu menatap kami satu per satu, kemudian mengangguk dan tersenyum. Beberapa di antara
kami pun tersenyum, tetapi aku tidak, juga para darwis
yang sudah tua. Raja Sulaiman" Syekh kami belum
pernah menceritakan kisah kuno ini, setidaknya dalam
kelompok yang kuhadiri, meskipun ia selalu mengajari
kami dengan banyak cara, yang disesuaikan dengan
perkembangan jiwa kami. Dan kisah ini sekilas tampak
menarik dan jelas. Aku tak tahu apa hikmah dari kisah ini,
meskipun semua kisah semacam itu sering dikatakan
punya tujuh lapis makna. Kami menunggu hingga Syekh berbicara lagi. Kami
kira ia mungkin akan menjelaskan makna kisah itu, tetapi
ia berkata, "Ketika Allah pertama kali memerintah ruh
untuk masuk ke tubuh Adam, ruh itu takut dan tidak
mau. "Aku takut wujud asing ini terpisah dari-Mu, wahai
Tuhan," kata ruh. Dan Tuhan menjawab, "Engkau masuk
dengan enggan, maka engkau pun akan keluar dengan
enggan." Dan, demikianlah... kematian adalah sesuatu
yang tak terelakkan, tetapi kalian takut padanya. Jiwa
kalian takut ketika memikirkan kematian. Tetapi seorang
Sufi tak meminta apa pun, dan tak takut pada apa pun,
sebab ia telah memasrahkan hidupnya dan menyerahkan
segala yang dimilikinya kepada Tuhan.
"Jadi, para murid darwisku yang pemberani dan rendah hati, seandainya Sulaiman mengetuk pintu malam ini
dan menawari kalian untuk pergi bersama menuju sebuah
negeri yang jauh, siapakah di antara kalian yang bersedia
mengikutinya walau harus menempuh bahaya dan kematian?"
Selama beberapa saat kami saling pandang dengan
diam dan bingung. "Tak ada yang mau menjawab?" Syekh bertanya, menatap kepada hadirin di depannya. "Apa di antara kalian
tak ada yang punya telinga untuk mendengar?"
Ada apa gerangan" Aku bertanya-tanya. Apakah ini
teka-teki atau ujian terhadap kami"
"Aku akan pergi," seru Ali sembari tertawa. Tampaknya ia menganggap ini semacam teka-teki.
"Dan aku juga," kata Rami, sepupunya. Wajahnya
yang tenang menunjukkan bahwa ia menganggap pertanyaan ini sebagai semacam ujian.
Setelah itu, suara-suara bermunculan, menyatakan
kesediaan mereka untuk melakukan perjalanan bersama
Sulaiman. Tapi aku tetap diam. Ketenangan Syekh membuatku tak bisa bicara. Jarang Syekh mengajukan pertanyaan sederhana, dan tampaknya hanya sedikit yang memikirkan kisah itu dengan serius. Aku memutuskan
untuk menunggu, tapi aku terkejut ketika entah
bagaimana aku mengajukan pertanyaan, "Siapakah orang
di jalan Tuhan ini, yang tidak siap melakukan perjalanan
seperti itu?" Sesungguhnya aku tak pernah berpikir untuk
mengucapkan kata-kata itu, apalagi dalam situasi seperti
ini. Ruangan tiba-tiba disaput sunyi.
Semua mata menatap padaku. Aku merasa seakanakan orang-orang yang duduk di kiri dan kananku menghilang. Syekh berpaling menatapku. Sorot matanya beradu dengan tatapanku. Kemudian ia mengangkat kepala
dan tertawa. Aku takut bernapas ketika Syekh menatapku
seperti itu. Setelah ia tak lagi menatapku, barulah aku
bisa mengembuskan napas lega, "Fiuh!"
Semua orang pun tertawa. Aku merasa sangat malu
dengan keadaan ini. lagi. Syekh mengangkat tangannya, lalu menatapku sekali
"Memangnya siapa yang tak mau" Tapi, jangan bingung jika mereka tertawa padamu, Ishaq. Tawa adalah
anugerah, dan engkau telah membantu mereka untuk
tertawa.... Dan," katanya, sembari tersenyum lembut, "aku
merasa bahwa ruh dalam dirimulah yang berbicara. Ruh
yang menggerakkan pikiranmu. Dan engkau benar!
Semua yang hadir di sini berada dalam perjalanan menuju
Tuhan, walaupun kalian harus mencari sendiri jalan
kalian masing-masing. "Jadi, jangan takut. Jika kalian sejak awal telah ditentukan untuk menjalani ketetapan yang mulia ini, maka
kalian akan mendapatkannya dengan keberanian dan
berkah. Apa yang harus terjadi, pasti akan terjadi...." Ia
berhenti sejenak, menatap Ali, kemudian beralih ke Rami.
"Ali, Rami, dan Ishaq harus pergi.... Banyak benang
yang ditenun untuk membuat karpet ini." Ia menghela
napas, kemudian menundukkan kepala.
Segera setelah itu terdengar ketukan keras di daun
pintu. Ali dan Rami tampak kaget. Bulu kudukku merinding.
Kami tak mendengar suara bel di pintu gerbang de-pan
sebelumnya. Seseorang pasti membiarkannya terbuka.
Salah seorang perempuan, Mojdeh, bangkit untuk membuka pintu. Aku berusaha mendengar percakapan di balik
pintu itu, tetapi tak bisa. Syekh kami tampaknya tidak
mendengar ketukan pintu, atau tidak begitu memperhatikannya, tapi ia mengangkat kepalanya setelah Mojdeh
kembali ke taman dengan ekspresi aneh di wajahnya.
Setelah membungkuk memberi hormat, ia berkata, "Guru,
Solomon kemari." Melalui pengujian, akan tampak mana yang emas
dan mana yang bukan Gulistan, Sa"di Lalu masuklah beberapa orang, yang kelak akan
menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku.
Setelah melepas sepatu, mereka masuk dan Syekh
berdiri untuk menyambut mereka sambil memberi isyarat
kepada kami agar tetap duduk. Jelas Syekh sudah
menunggu-nunggu para tamu itu, tetapi aku tetap kaget
dengan keadaan yang sepertinya kebetulan ini. Sekali lagi
Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bulu kudukku merinding. Ia menyambut tamu lelaki yang lebih tua layaknya
sahabat lama, kemudian memeluk dan mencium pipinya.
"Mehman Habibeh Khodast," ujarnya. "Tamu adalah sahabat Allah." Itu pepatah Persia lama. Ia kemudian menatap tamu wanita dan membungkuk, dengan tangan
diletakkan di dada, dan terakhir menjabat tangan tamu
lelaki muda, seraya menatapnya dengan penuh perhatian.
Para wanita yang duduk di dekatku menatap dengan
mata membelalak dan mulut ternganga. Bahkan putri
Syekh juga menatap dalam-dalam pada paras tamu
pemuda tampan itu. Rambut merahnya hampir berubah
menjadi kelabu, mungkin karena sering terpapar sinar
mentari. Matanya yang cokelat menyorot tajam di antara
pipinya yang halus. Barangkali ia adalah Yusuf-nya
Zulaikha di zaman sekarang. Mungkin semua yang hadir
setuju dengan pendapat ini. Seorang wanita berbisik, "Dia
itu pencuri hati..."
Tapi Syekh Guru tampaknya tak peduli pada reaksi
para wanita. Ia lalu memperkenalkan tamu tersebut. Para
darwis segera berdiri, mungkin penuh rasa ingin tahu dengan peristiwa ini, tapi mereka tetap berlaku sopan sesuai
adab yang ditentukan oleh Tarekat. Adab adalah permulaan kebajikan Sufi, demikian sering dikatakan.
Kursi-kursi disiapkan, namun para tamu memilih
duduk di atas rumput bersama kami. Mas"ud, penyedia
teh, membawa tiga gelas teh kental. Kedua tamu lelaki itu
mengambil masing-masing satu gelas, tapi tamu perempuan itu menolaknya. Syekh memberi perintah agar wanita itu dijamu dengan kopi. Kemudian datanglah lebih
banyak lagi gelas teh untuk semua hadirin.
Lelaki yang lebih tua bernama Profesor Solomon
Freeman, Direktur Departemen Peninggalan Purbakala di
Universitas Yerusalem. Rupanya ia murid Syekh kami saat
di Oxford bertahun-tahun lalu. Lelaki itu bertubuh besar.
Tingginya sekitar enam kaki. Wajah dan rambutnya
tampak rapi. Ia terlihat seperti orang yang menjalani kehidupan akademik yang ketat.
Wanita muda itu bernama Rebecca, putri Profesor
Freeman. Usianya mungkin sekitar 25 tahun. Tubuhnya
tinggi dan langsing layaknya penari. Ia duduk dengan
punggung tegak dan terlihat anggun. Rambut hitamnya
yang berombak adalah warisan ibunya. Wajahnya yang
menarik dan alisnya yang lentik membuatnya pantas disebut cantik. Tapi, garis tegas di bibirnya menunjukkan
sifat yang teguh. Ah, dan pemuda tampan itu, yang memperkenalkan
dirinya sebagai Aaron Simach, adalah sahabat dan murid
Profesor. Dilihat dari penampilannya, bagi mata orang
awam sekalipun, ia jelas tampak berpostur tentara.
Layla, salah seorang darwis tua, masuk membawa
sebuah kendi dan baskom, dengan handuk tersampir di
pundaknya. Aku ingat matanya yang hitam dan hangat
saat ia menunduk di hadapan Syekh dan kemudian
menuangkan air ke baskom yang akan dipakai untuk
membasuh tangan Syekh. Layla menunduk hormat
kembali, lalu membantu ketiga tamu kami membasuh
tangan mereka. Profesor itu menunduk hormat, dengan
dada di tangan. Demikian pula dengan tamu wanita dan
pria satunya lagi. Kini mereka tak lagi kaku dan diam, tapi
sudah tenang dan tersenyum hangat.
Makanan ringan diedarkan, dan kami semua duduk
diam sembari tercengang saat mendengar Profesor Solomon Freeman dan Syekh Amir Al-Haadi bertukar cerita
tentang hari-hari mereka saat berada di universitas, bertahun-tahun yang lampau.
Tidak, aku tak bisa menceritakan kisah mereka. Untuk
soal ini, aku tidak banyak mengingatnya kecuali kesan
samar tentang tawa mereka dan tatapan heran dari kami
semua yang tak mengetahui masa muda Syekh kami.
Bahkan, saat aku menulis cerita ini, sekeping ingatan itu
melayang seperti daun yang gugur jatuh ke sungai, hanyut
bersama riak kecil arusnya.
Konon rahasia Syekh akan menyembunyikan dirinya
sendiri. Aku tak meragukannya.
Setelah teh diminum dan gelas dikumpulkan, muncul
putri Syekh yang lain. Ia berkata, "Makan malam sudah
siap." "Bismillah," jawab Syekh, "Dengan menyebut Nama
Allah." Dan semua darwis berdiri menunggu Syekh berjalan lebih dulu. Tamu-tamu kami juga berdiri memberi
hormat. Kemudian Syekh berdiri dan berjalan ke ruang
khaniqah. Kami semua lantas mengikutinya.
Di atas karpet Persia yang menutupi lantai, terhampar
sufreh putih panjang. Di atasnya sudah disediakan piring,
sendok, dan gelas yang telah berisi air. Pelayan malam itu
pun telah menyiapkan hidangan. Kebanyakan hidangan
berasal dari hasil tanaman kebun kami: jeruk, anggur,
alpukat, lemon, almond, buah pir, dan juga roti yang baru
saja masak. Juga tersedia sup dan yogurt, kebab dingin,
daging kambing panggang, dan ayam bakar dengan saus.
Di dapur tersedia makanan ringan pencuci mulut. Kami
membagi makanan menjadi dua jenis yakni sardi (dingin)
dan garmi (panas), bergantung dari efek dingin atau panas
dalam tubuh yang ditimbulkan oleh makanan itu.
Perbedaan ini adalah ekspresi dari sifat-sifat bawaan
makanan itu, bukan temperaturnya. Karena saat itu
musim panas dan agak gerah, maka disajikanlah
hidangan sardi. Syekh kami, seperti biasa, adalah orang pertama yang
duduk. Dalam setiap acara resmi ia selalu duduk di atas
alas dari kulit domba yang tebal. Di belakangnya berdiri
bantal besar berhias salah satu Asmaul Husna
(nama-nama indah Allah) yang dibuat oleh almarhum
istrinya. Di atas Syekh terdapat sebuah kashkul dan
kapak yang bersilangan, lambang tarekat kami, yang
maknanya adalah untuk memotong hawa nafsu duniawi
dan memotong harapan akan akhirat sehingga yang
tersisa hanyalah harapan kepada Allah semata. Itulah inti
dari tarekat kami. Syekh kami meminta Profesor Freeman duduk di sebelah kanannya dan Tuan Simach di sebelah kirinya. Ia
meminta Rebecca duduk di depannya. "Makanan untuk
tubuh, keindahan untuk jiwa," tuturnya. Rebecca, yang
terkesan oleh pujian ramah ini, tersenyum dan merasa
malu. Putri Syekh tertawa geli.
Setelah mereka duduk, Syekh kemudian memandang
kami semua yang masih berdiri menunggu. Kemudian ia
menyuruh beberapa orang untuk berdiri di suatu tempat,
dan sebagian besar tetap di tempatnya. Lantas Syekh menyuruh kami semua duduk. Aku disuruh duduk di sebelah
kanan Rebecca, Ali di sebelah kiri Rebecca, dan Rami di
sebelah Ali. Syekh tidak mengucapkan kata tanpa maksud. Berulang kali ia menempatkan kami dalam posisi tertentu
untuk menyeimbangkan energi tertentu; tua dan muda,
lelaki dan perempuan, atau memposisikan duduk kami
berdasarkan tingkat kemajuan ruhani kami. Tapi aku tak
tahu apa maksud dari pengaturan tempat duduk sekarang
ini, walau aku percaya dua lelaki itu ditempatkan di sebelah Rebecca. Mungkin hanya kami bertigalah lelaki yang
belum menikah, tetapi dari dalam ketenangan penampilan
dan adabnya, Rebecca seperti memancarkan sensualitas
yang terjaga. Aku merasakan hal itu walau ia lebih banyak
diam pada malam ini. Berbagai macam hidangan lebih dahulu disajikan kepada Syekh. Kemudian Syekh mengisi piring tamu-tamunya lebih dulu sebelum ia mengisi piringnya sendiri. Ia
mengisi semua piring kami di sufreh itu, lalu mengedarkannya. Tak ada yang mengawali makan. Para tamu itu
pun mengikuti adab, sebab mereka hanya duduk bersila
dan menundukkan kepala. Setelah semuanya siap, Syekh menuangkan sedikit
garam ke tangannya dan berkata, "Bismillah," kemudian
mencelupkan sepotong roti ke dalam semangkok yogurt
untuk mengawali santap malam. Kami percaya bahwa
makanan yang dimakan tanpa menyebut nama Tuhan
akan ikut dimakan setan. Juga sudah menjadi kebiasaan kami bahwa Syekhlah
yang memulai dan mengakhiri makan, tapi ia makan sedikit dan karenanya ia makan pelan-pelan agar semua
orang bisa memuaskan diri. Kulihat Rebecca menatap
Syekh. Rebecca makan sedikit. Dengan melirik kulihat tangan Rebecca memegang sendok dan roti.
Tak lama kemudian, semuanya sudah selesai, kecuali
Profesor Freeman. Kami biasanya makan dengan diam,
tapi Syekh mengajukan pertanyaan kepada Profesor pada
awal makan, memelankan suaranya hingga tak ada orang
lain yang bisa mendengar percakapan mereka. Syekh
kemudian memakan roti sedikit demi sedikit sambil
menunggu sampai Profesor selesai dan meletakkan sendoknya.
Syekh kemudian melihat ke sekelilingnya untuk memastikan semuanya sudah selesai makan. Ia lalu
meletakkan telunjuk tangan kanannya ke sufreh, lalu
berlanjut ke bibirnya. "Alhamdulillah," ucapnya. "Segala puji bagi Allah
semata." Makan malam selesai sudah. Kami segera berdiri,
kemudian Syekh memimpin darwis dan para tamu keluar
ruangan dan kembali ke taman. Profesor Freeman dan
Tuan Simach berjalan sambil saling berbisik. Rebecca hanya berdiri di pintu sejenak, melihat orang-orang yang ditugasi membersihkan ruang makan dengan cepat.
Pertama, sufreh dibersihkan, lalu dilipat sedikit demi
sedikit sampai membentuk bujur sangkar yang rapi. Salah
seorang pelayan menundukkan kepala di depan alas babut
putih Syekh. Ia lalu mencium sufreh sebagai tanda tunduk
dan pasrah, kemudian berdiri dan berjalan mundur
masuk ke dalam. Juga, sebagai tanda hormat, kami tak
pernah membelakangi Syekh atau tempat duduknya.
Rebecca tak mengucapkan sepatah kata pun. Tampaknya ia terpesona oleh ritual ini. Dahulu aku juga merasakan hal yang sama. Karena tidak sopan jika membiarkan Syekh dan tamunya menunggu terlalu lama, aku
pun menyentuh lengan Rebecca dan mengajaknya ke taman.
Setelah semua duduk, teh dihidangkan. Disajikan
pula kue cokelat manis yang penuh buah almond.
Rembulan di langit mulai bergeser ke bawah, tapi masih
bisa dilihat dari taman ini.
"Kami tengah berbincang tentang Raja Sulaiman sebelum kau datang," kata Syekh kepada Profesor Freeman.
"Mungkin kau bisa menambahkan sesuatu pada kisah
itu?" Profesor melirik sekilas pada putrinya dan Tuan Simach. "Ya, baiklah, saya akan memberi sedikit perkuliahan," katanya sambil tertawa, lalu mendehem.
"Namanya yang sebenarnya," ujarnya mengawali,
sambil menatap bulan di atas langit taman, "adalah Jedidiah, "Sahabat Tuhan," namun kemudian diubah menjadi
Shelomo, Solomon, Sulaiman, "Raja Kedamaian. Sebab,
selama ia berkuasa, perdamaian menyelimuti seluruh
daerah kekuasaannya. Dan nama lain yang diberikan
kepadanya adalah Ben, karena ia adalah pembangun Kuil;
Jekeh, karena ia adalah penguasa alam yang tampak; dan
juga Ithiel, karena Tuhan bersamanya."
Ia berhenti, lalu menatap Syekh, yang mengangguk
sedikit. "Yang kita ketahui sesungguhnya," katanya melanjutkan, kini sambil menatap kami semua, "hanya sedikit
sekali. Ada banyak legenda, di Injil, Talmud, Sejarah
Josephus, dan Al-Quran. Fakta yang sampai ke kita
sangat sedikit, dan bahkan fakta itu pun menjadi sasaran
banyak spekulasi. Akan tetapi, seperti sering kali
disebutkan Syekh Haadi saat saya masih mahasiswa,
fakta dapat dibedakan berdasarkan kekakuannya,
kebenaran berdasarkan kehangatannya. Ada banyak
kisah tentang Sulaiman, dan kebanyakan digunakan
untuk menggambarkan pesan moral. Salah satu ceritanya
mungkin akan membuat Anda semua heran?"
Ia berhenti lagi, tersenyum menatap wajah kami untuk melihat dampak dari kata-katanya pada diri kami semua.
"Misalkan, kisah yang dikenal dengan Cincin atau
Segel Sulaiman," katanya. "Bintang berujung enam."
Ia meminta sesuatu yang bisa ditulisi. Kemudian seseorang mengambil papan tulis berukuran sedang. Lalu ia
menggambar sebuah bintang.
"Ini sebuah simbol kuno yang penuh makna. Bintang
ini memuat enam kekuatan gerakan: naik, turun, maju,
mundur, ke kiri, ke kanan. Bintang ini juga memuat enam
arah: atas, bawah, depan, belakang, kiri, dan kanan. Dikatakan ini adalah angka sempurna sebab penciptaan
dunia selesai dalam enam hari. Bintang ini memuat angka
genap pertama, yakni angka 2, dan angka ganjil pertama,
yakni angka 3. Dan segitiga yang saling bertaut itu bukan
hanya melambangkan dualitas maskulin dan feminin dari
alam, tetapi juga akal aktif dan jiwa pasif yang berasal dari
Tuhan. Hasil dari kesatuan keduanya adalah ciptaan, dan
harmoni semesta. "Dan heksagon dan berbagai aspek pelengkapnya ini
juga memuat empat unsur alam utama," tuturnya. Lalu ia
menggambar empat buah segitiga.
"Segitiga yang mengarah ke atas adalah api, yang ke
bawah adalah air. Segitiga yang mengarah ke atas dengan
garis segitiga lain di dalamnya melambangkan udara, sedangkan segitiga yang mengarah ke bawah dengan garis
segitiga lain di dalamnya adalah tanah. Bersama-sama
mereka membentuk Cincin Sulaiman. Sintesis semua unsur ini merupakan kecenderungan semua bentuk, di mana
segala hal yang bertentangan menyatu."
Ia berhenti sejenak untuk menarik napas, lalu menatap Syekh. Keduanya lalu tertawa berderai.
Syekh masih tertawa terkekeh-kekeh saat Profesor
Freeman menatap putrinya. "Ini adalah kuliah Syekh
Haadi pertama dalam mata kuliah Simbolisme Religius.
Sebuah kelas yang hebat," katanya.
"Pujian yang hebat," kata Syekh sambil sedikit menundukkan kepala, "yang datang dari muridku yang paling buruk."
Mereka tertawa lagi. Dan kami pun turut tertawa.
Setelah tenang, Profesor melanjutkan ceramahnya:
"Nah, beberapa kalangan berpendapat bahwa Cincin
Sulaiman ini, dalam kenyataannya, bukanlah miliknya."
Ia berhenti sejenak untuk menatap putrinya. Syekh
menatapnya lekat-lekat, dan aku bertanya-tanya apakah
ada orang yang pernah mendengar apa yang
dikatakannya, dalam kenyataannya, bukan dalam
kebenarannya. "Mereka bilang, bintang berujung enam ini adalah
Megen Daud (Perisai Daud), sedangkan Segel atau Cincin
Sulaiman adalah bintang yang lain, yaitu pentakel, atau
pentagram." Ia berhenti sejenak dan menatap wajah kami
untuk mencari tanda-tanda yang tampaknya tak ditemukannya.
"Lanjutkan, Shlomeh," ujar Syekh. "Biar kami dengar
kisah lengkapnya." Inilah pertama kalinya Syekh menyebut kawannya
dengan nama itu, dan kelihatannya nama itu menimbulkan efek pada lelaki itu. Ia menegakkan punggungnya,
meregangkan bahu dan otot-otot punggungnya.
"Ya," katanya. "Cincin itu.... Konon pada saat Sulaiman mulai membangun Kuilnya, Assaf Sang Wazir
mengadu bahwa ada orang yang mencuri permata-permata berharga dari kamarnya, dan juga
permata di kamar anggota kerajaan lainnya. Bahkan,
perbendaharaan istana juga dicuri. Assaf terkenal karena
ilmu hikmahnya. Ia tahu bahwa yang bisa melakukan
pencurian ini pasti bukan pencuri biasa. "Sepertinya ada
Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makhluk halus jahat yang melakukannya," katanya
kepada Sang Raja. "Sulaiman kemudian berdoa dengan khusyuk kepada
Tuhan agar bisa menangkap makhluk jahat itu dan
menghukumnya. Doanya dikabulkan. Malaikat Mikail
muncul di hadapan Sang Raja, dan memberi kekuatan
dahsyat yang belum pernah ada sebelumnya di dunia ini:
sebuah cincin emas kecil, yang ditempeli batu berukir.
"Dan Mikail berkata, "Wahai Raja Sulaiman putra
Daud, ambillah cincin ini. Inilah hadiah dari Tuhan yang
dianugerahkan kepadamu. Pakailah cincin ini, niscaya
semua setan di muka bumi, pria maupun wanita, akan
mematuhimu." "Nah, banyak sumber dari Abad Pertengahan mengatakan bahwa pentalpha, atau pentakel, lambang ilmu
sihir kuno, adalah lambang yang diukir di cincin tersebut,
sebab Sulaiman dianggap menguasai ilmu sihir. Namun,
menurut saya anggapan itu keliru. Pentakel itu sudah ada
sebelum masa Sulaiman, dan pertama kali terlihat di
sebuah peninggalan tembikar dari kota Ur di Babilonia
kuno. "Sumber lain mengatakan, cincin itu tercipta dari
emas murni, yang dilengkapi dengan sebuah batu shamir,
mungkin semacam berlian, atau mungkin batu shamir
suci yang dikatakan menjadi bagian dari Kuil Sulaiman.
Batu itu dibentuk menjadi bintang dengan delapan sinar.
Pada permukaan batu itu diukir sebuah cap heksagon,
dan di dalamnya ada empat huruf nama Tuhan: YHWH."
Ia berhenti sejenak sembari mengusap rambutnya.
"Tak ada batu cincin yang seterkenal batu Cincin Sulaiman," katanya sambil menatap Tuan Simach. "Dengan
cincin itulah seluruh dunia berada dalam genggamannya.
Hanya kematian yang tak bisa dikuasainya...."
Profesor itu menatap putrinya, kemudian beralih ke
Syekh, seolah-olah menanti semacam isyarat. Ia tampak
senang. "Ya, murid-muridku," kata Syekh, "kematian tidak
dikuasai oleh siapa pun, kecuali Allah. Tiada obat bagi
kematian, dan kita harus berteman dengannya
terus-menerus. Kita yang dilahirkan pasti akan mati. Kita
mesti menerimanya. Bahkan, orang yang menguasai dunia
dengan cincinnya pun sudah menjadi tanah... Tapi,
silakan lanjutkan ceritanya..."
Profesor Freeman menunduk sedikit. "Berbekal cincin
itu, Sulaiman memerintah makhluk halus jahat itu agar
muncul di depannya. Ia mengenakan cincin itu di jari
tengahnya, dan sambil menunjuk ke bawah singgasananya, ia berkata, "Demi kekuasaan cincin Allah
Yang Maha Esa ini, kuperintahkan engkau, wahai
makhluk jahat, untuk datang kemari."
"Lalu, muncullah tiang api besar setinggi hampir atap
istana, lalu menghilang dengan cepat. Entah nyala api itu
mengubah bentuknya, atau mendahului suatu sosok, tak
ada yang tahu. Tapi yang jelas, dari bekas api itu berdiri
sesosok makhluk dengan tangan yang menggenggam
batu-batu permata yang dicurinya dari istana. Makhluk
itu sangat kaget, sehingga permata-permata itu
berjatuhan dari tangannya, menggelinding di lantai istana
bak kelereng. Matanya yang merah menyala-nyala;
keduanya seperti dua bara di mukanya yang hitam dan
lebar. Dari sorot matanya tampak ia kaget karena di
antara manusia yang fana ada yang memiliki kekuatan
lebih besar dari dirinya.
"Sosok itu dua kali lebih tinggi ketimbang Sang Raja,
dan bahkan lebih besar daripada Goliath yang dibunuh
oleh Raja Daud. Raut mukanya begitu gelap dan bengis,
sampai-sampai Assaf mundur ketakutan. Hanya Sulaiman
yang tetap berdiri tegap, dan sebuah cahaya bersinar di
hadapannya. "Lalu setan itu menatap wajah Sang Raja yang
tangannya menuding ke dirinya. Ia menatap cincin yang
dikenakan Sang Raja. Mata bengis setan itu terbelalak. Ia
lalu mengeluarkan lolongan yang amat keras lagi mengerikan, sampai-sampai semua dinding istana bergetar
hingga ke fondasinya. Suara itu sungguh mengerikan sampai semua warga kerajaan yang mendengarnya
cepat-cepat menutup telinga dan menjatuhkan diri ke
tanah saking takutnya. Sapi-sapi di ladang tewas dan
burung-burung berjatuhan dari udara, sebab suara
lolongan itu bagaikan jerit kesakitan jiwa-jiwa yang baru
saja dijebloskan ke dalam neraka.
"Namun, kekuatan Tuhan berada di dalam cincin itu,
sehingga bahkan setan yang perkasa itu menjadi tak
berdaya. Ia jatuh berlutut dan bersujud di hadapan Sang
Raja. ?"Ampuni hamba, Tuan," jerit jin itu.
?"Sebutkan namamu, wahai iblis!" perintah Raja Sulaiman.
?"Aku dijuluki Ornias, wahai Raja Yang Agung!"
?"Mengapa kau mencuri di istanaku" Jawab dengan
jujur!" ?"Lapar, wahai Penguasa Dunia. Aku kelaparan
he-bat!" Dan ia mengubah bentuknya menjadi sesosok
makhluk jelek dengan taring yang lebih pejal ketimbang
permata terhebat di muka bumi. Ia mengisap cahaya
permata. ?"Mengapa kau minum cahaya permata di bumi ini?"
tanya Assaf Sang Wazir. "Belum pernah ada ahli hikmah
yang mendengar hal seperti ini."
"Tapi jin itu tetap diam.
?"Kuperintahkan kau menjawab pertanyaan itu," kata
Raja Sulaiman. ?"Engkau lebih tahu jawabannya, wahai Raja Bijaksana," kata makhluk jahat itu.
"Kemudian Sulaiman menatap ke dalam hati makhluk
itu, sebab 49 gerbang hikmah telah terbuka baginya,
sebagaimana juga dibukakan untuk Nabi Musa. Pendapat
ini berasal dari keyakinan bahwa setiap kata dalam Taurat
mengandung 49 makna. Dengan hikmah inilah Sulaiman
tahu jawabannya, dan itu membuatnya heran. Ia lalu me natap makhluk di hadapannya dengan pemahaman baru
dan dengan rasa kasihan."
Profesor berhenti sejenak dan menarik napas dalamdalam. "Tapi mungkin Syekh kalianlah yang sebaiknya
memberi jawaban," ujarnya sambil menatap wajah kami
yang penasaran. "Beliau pernah menceritakannya padaku
bertahun-tahun yang lalu."
Kami semua menatap ke arah Syekh. Ada secercah
cahaya di matanya. Ia pun mengangguk pelan.
"Aku beri tahu kalian, kesedihan apa yang hinggap
dalam diri makhluk itu," tuturnya. "Permata di bumi
muncul pada saat fajar pertama dunia, tercipta dari hutan
purba yang telah mati dan terkubur di bawah gunung.
Saat itu adalah saat huru-hara, ketika jin dan malaikat
dikeluarkan dan dunia dibelah. Cahaya matahari yang
baru masih berada dalam kehidupan hutan hijau yang
terkubur itu, dan cahaya itu pelan-pelan, selama jutaan
tahun, mengkristal menjadi permata yang memancarkan
cahaya. Dan Ornias, jin jahat itu, yang tidak
diperbolehkan memperoleh cahaya Surga, mereguk
cahaya fajar pertama itu, untuk menghibur kesedihan dan
rasa kehilangannya."
Syekh berhenti sejenak. Dahsyat! Semua darwis benar-benar tersentuh oleh
kisah ini, atau boleh dikatakan merasa bersemangat.
Bahkan, Tuan Simach tampak terharu, mata Rebecca
terbuka lebar-lebar. Ketika Syekh bicara, para malaikat
mendengar, demikian pepatah tarekat kami, sebab Syekh
bicara dengan lidah kebenaran.
"Kemudian," lanjut Profesor Freeman, "Sulaiman
mencap leher Ornias dengan cincinnya sebagai tanda kekuasaannya. Sejak itu ia tunduk kepada Sulaiman, dan
diberi tugas memotong batu untuk membangun Kuil Sulaiman.
"Dan jin-jin lain yang berbuat salah di dunia ini juga
dipanggil untuk datang: Onoskelis, yang berbentuk dan
berkulit perempuan yang cantik; Asmodeus, yang patuh
pada keyakinan Yahudi dan konon tunduk pada
hukum-hukum Taurat; Tephros, setan Debu, bersama
tujuh roh perempuan yang menyatakan diri sebagai 36
unsur kegelapan; dan Rabdos, roh rakus yang berwujud
mirip anjing pemburu. Semuanya dicap dengan Cincin
Sulaiman. "Tapi ada juga cerita lain: Setan yang memiliki semua
anggota tubuh, tetapi tidak punya kepala. Setan itu
berkata, "Aku dinamai Dengki, dan aku suka makan
kepala. Tapi aku selalu lapar, dan menginginkan KEPALA
KALIAN SEKARANG.?" Profesor meneriakkan kalimat terakhir itu seraya memasang ekspresi wajah yang aneh, sehingga kami semua
tertawa terbahak-bahak. Syekh tersenyum dan berkata, "Ya, dengki adalah
penjara bagi ruh." Dan Rebecca, yang menatap ayahnya dengan tatapan
aneh selama cerita itu berlangsung, kini berbicara dengan
tatapan mata yang heran. "Aku ingat sekarang. Ayah
menggunakan cerita ini sebagai dongeng pengantar tidur,
dan kupikir semua itu benar-benar terjadi."
Meskipun tidak sopan bagi darwis untuk bicara
tan-pa izin, namun aturan itu tidak berlaku bagi tamu,
dan karenanya kami semua tertawa.
Setelah gelas diisi kembali dengan teh, dan gelas Rebecca diisi dengan kopi, semuanya kembali diam. Sebagian berdehem sembari mencari posisi duduk senyaman
mungkin. Syekh kemudian mengangkat tangan meminta
perhatian. Malam hampir berlalu dan fajar akan tiba.
"Sudah saatnya bagi yang harus pergi untuk pergi,"
katanya. "Dan bagi yang tinggal sudah saatnya masuk ke
khaniqah." Sebagian besar hadirin berdiri dan berucap selamat
tinggal kepada Syekh dan tamu-tamunya. Sebagian dari
kami kembali ke ruang tengah dan duduk di atas karpet
Persia. Kami duduk menghadap Syekh yang duduk di atas
alas bulu dombanya yang tebal.
Ia kemudian meminta murid-muridnya untuk kembali ke kamar, kecuali Ali, Rami, dan aku sendiri. Tidak
ada yang bertanya mengapa kami bertiga diminta tetap
tinggal. Aku, yang belum lama bergabung dalam tarekat
ini, mulai menyadari bahwa tamu-tamu kami datang
dengan maksud tersembunyi.
"Sekarang, aku minta kalian bersumpah untuk tidak
membocorkan apa saja yang akan kalian dengar dan
lihat," kata Syekh kepada kami dengan suara yang berwibawa. "Nah, Shlomeh, ceritakan pada kami maksud apa
yang membuat kalian datang ke sini."
Kami berpaling ke Profesor, yang saat itu sedang
mendengarkan bisikan dari teman mudanya. Sembari
menggelengkan kepala, ia lalu menatap putrinya, yang
mengangguk tetapi dengan tidak mengubah ekspresi
wajahnya yang susah dibaca.
Dari koper besar yang dibawanya, Rebecca mengeluarkan sebuah benda yang terbungkus handuk putih,
lalu meletakkannya di depan Syekh. Aku menatap wajah
penuh harap dari ketiga tamu itu. Tak kuasa kutahan
gemetarku saat Syekh membuka handuk itu dengan
hati-hati. Yang terlihat kemudian membuat kami
terlongong-longong. Sebuah silinder emas, berhias permata, memantulkan
cahaya fajar yang merasuk melalui jendela. Pantulannya
gemerlap seperti bintang.
"Ya Allah!" seru Ali dan Rami bebarengan. Kutahan
napasku. Tak ada yang bicara sampai kemudian sepotong
awan menutup cahaya fajar itu.
Syekh tak bicara apa pun. Sembari memutar silinder
itu, ia menunjukkan Bintang Daud, Cincin Sulaiman, yang
semuanya tercipta dari berlian, yang diletakkan rapi di
dalam silinder gading tersebut. Semuanya tetap membisu.
"Dari mana kau mendapatkan benda ini, Kapten?"
tanyanya, sambil menatap langsung ke mata lelaki muda
itu. Kapten" Aku menatap Ali, Rami menatapku.
"Kutemukan benda ini di sebuah gua yang tertutup
badai pasir. Benda ini berada di tangan sesosok kerangka
manusia," katanya tanpa ragu. Suaranya terdengar tanpa
emosi. Syekh tak mengubah ekspresinya saat menatap Profesor Freeman. "Shlomeh, kita ingin mendengar kisah
lengkapnya." Profesor menatap Kapten Simach, yang menunduk
dalam-dalam. Kemudian Profesor menatap putrinya, yang
hanya berkata datar, "Lanjutkan."
Demikianlah yang terjadi. Aku di sini akan
menceritakan kisah itu. Dan semoga Allah membimbingku
saat menceritakannya, sebab pena-Nya diambil dari buluh
hati, dan di dalamnya terdapat Kebenaran.
Dari ujung bumi aku berseru kepada-Mu, ketika
hatiku meluap-luap: Tuntunlah aku ke gunung batu
yang lebih tinggi daripadaku
Mazmur 61: 2 Profesor Solomon Freeman pertama kali bertemu
Kapten Mossad, Aaron Simach, dua tahun yang lalu, saat
lelaki muda itu masih menjadi detektif polisi. Sebagai
pakar, Profesor Freeman dipanggil untuk membantu
membuat tuntutan atas sekelompok pemalsu yang cerdas.
Mereka menipu para turis dengan replika biblikal:
Kertas-kertas perkamen diawetkan dan diperlakukan
dengan cara kuno dan diklaim memuat naskah kuno,
mulai dari lembaran Laut Mati hingga kitab Perjanjian
Lama yang telah hilang. Turis yang serakah pantas saja
jika tertipu. Dan profesor itu diam-diam mengagumi
kelihaian para pemalsu itu. Ia heran ketika mengetahui
ada orang yang cukup tolol untuk membeli sebuah Kitab
Musa yang "baru saja ditemukan."
Para pemalsu itu adalah seniman hebat, namun mereka sarjana yang payah. Pengetahuan mereka tentang
bahasa Aramaik terbatas. Pengetahuan mereka tentang
bahasa kuno lainnya, yang menjadi akar bahasa itu, juga
sedikit sekali. Hasil pemalsuan mereka menggelikan dan
mudah dideteksi, setidaknya di mata Profesor.
Kapten Simach saat itu bertugas melakukan investigasi. Bersama-sama mereka berdua menunjukkan
kesalahan pemalsuan itu kepada para tersangka pemalsu.
Selama beberapa minggu proses pengadilan, Solomon
mulai menyukai detektif muda yang cerdas dan jujur itu.
Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan ia ingin memperkenalkannya pada putrinya,
Rebecca. Tapi, putrinya tak mau kehidupan pribadinya
dicampuri. Karena itu, Profesor tak berani memperkenalkan lelaki itu kepadanya.
Suatu hari, Kapten Simach menemuinya pada senjakala. Solomon tengah sendirian di kantornya. Ia baru saja
menulis soal terakhir untuk ujian kelulusan mahasiswanya. Rebecca baru saja menelepon saat ia sedang sibuk
menyusun soal. Rebecca ingin memastikan apakah ayahnya akan pulang tepat waktu untuk makan malam. Dan
setelah itu, pintu ruangannya terbuka.
Kapten berdiri di depan pintu, berdiri tegak ala militer,
memakai kaus putih dan pantalon. Solomon terkejut, namun senang melihat kedatangannya. Ia menjabat tangannya dengan hangat, lalu mempersilakannya duduk.
Sejurus kemudian, ditawarkannya minuman rahasianya,
vodka Rusia, yang diimpor langsung dari negeri asalnya.
Tapi Kapten Simach menolak tawarannya. Profesor
merasakan ada sesuatu yang ganjil. Segera saja
kehangatan Profesor menguap. Ia menatap dengan
pandangan jauh, kepalanya condong ke depan,
seolah-olah sedang mendengarkan sesuatu. Dan ia
tampak jauh lebih tua. Solomon mengira kunjungan tak terduga ini berkaitan
dengan kasus pemalsuan yang ditanganinya. Tapi kemudian, Kapten Simach berkata dengan suara yang tegang
dan letih, "Aku juga senang bertemu denganmu, Profesor.
Tapi ini tidak ada kaitannya dengan kasus pemalsuan itu."
Dari sebuah tas kecil ia mengeluarkan sebuah benda
berbentuk silinder berwarna emas dan meletakkannya di
meja Profesor. "Ahhh!" Solomon menarik napasnya. Pelan-pelan,
dengan tatapan terpaku pada benda itu, ia mengambil
sarung tangan. Lalu dengan menggunakan sebuah alat
kecil ia membalik artefak itu. Bintang Daud, semuanya
terbuat dari berlian, membuatnya terpana. Dengan kaca
pembesar ia memindainya secara teliti. Hampir-hampir ia
tak percaya pada benda yang disaksikannya. Mula-mula ia
bingung, kemudian pikiran profesionalnya mulai
mengevaluasi artefak di depannya itu. Usia benda itu bisa
diketahui dari selubung gadingnya, yang bisa menjaga
kemurnian emas dan kualitas batu di dalamnya. Tempat
penyimpanan semacam ini biasanya dimiliki oleh raja-raja
zaman kuno, dan lazimnya dipakai untuk menyimpan
kertas papirus atau perkamen, atau mungkin lembaran
dari tembaga dan perak. Solomon memperhatikan
pembungkusnya tidak rusak, walau sudah sangat usang.
Dan ia memeriksa bulla, objek datar yang dicap dengan
sebuah segel. Tampaknya Kapten bertindak hati-hati.
Semua yang ada di dalam benda itu tetap utuh dan
terbaca. Kemudian ia mengambil asam untuk mengetes
emas, juga mengambil sebuah gelas yang biasa dipakai
oleh ahli permata. Kapten Simach berkata, "Tolong jangan beri tahu siapa pun soal ini."
Solomon menatapnya dan hampir tertawa. "Apa" Apa
kau sudah menjadi penjarah?"
Lelaki muda itu mengangkat bahunya.
Apa yang terjadi di sini" Solomon bertanya-tanya.
Tapi ia belum pernah melihat benda pusaka seperti yang
ada di depannya kini. Kotak dokumen seperti ini biasanya
memuat catatan kelahiran keluarga, laporan sensus, inventori perdagangan, dan sejenisnya.
"Apa yang kau bawa mungkin tak ternilai harganya,
kawan. Tapi aku menyangsikan apakah isinya adalah
Sepuluh Perintah Tuhan. Benda ini tampaknya milik
keluarga raja, atau juru tulis istana. Kalaupun ada isinya,
mungkin daftar bahan pangan."
Kapten Simach diam seribu bahasa.
"Mengapa Mossad membawanya kepadaku" Apa
mereka menganggap ini peninggalan palsu juga?"
Lelaki muda itu tampak gelisah. "Itu bukan benda
palsu, Profesor. Dan Mossad tidak menyuruhku membawanya padamu. Aku sendiri yang membawanya kepadamu."
"Oh, begitu". Dan, kalau boleh tanya, bagaimana kau
bisa menemukannya?" Kapten Simach menatapnya tajam-tajam.
"Bagaimana?" "Aku tak bisa memberitahumu."
"Kenapa tidak?" tanya Profesor.
Kapten itu gugup sejenak, lalu mengangkat bahunya.
"Tempat aku menemukannya adalah tempat di mana aku
pernah berada. Dan itu rahasia."
Ah! Ia menemukannya di gurun pasir! Solomon merasa
jantungnya berdegup lebih kencang. "Ini sulit dimengerti,
Aaron. Aku berterima kasih karena kau telah membawanya ke sini. Namun, kau pasti tahu, tindakanmu ini
ilegal." Kapten itu tersenyum tipis. Setelah lama diam, ia
menggelengkan kepala dan menatap langsung ke
Solomon. Tampaknya ia telah mengambil suatu
keputusan. Ia lalu mendekati artefak itu.
"Aku menemukannya di tangan sesosok kerangka
manusia setelah terjadi badai pasir, di sebuah gua."
"Badai pasir" Di Negev?"
"Bukan di Negev."
"Lalu di mana?"
Tapi Kapten Simach merasa terlalu banyak bicara.
Suaranya melemah. "Tolonglah, Solomon..." Ia tampak ragu, dan mendadak bingung, lalu terlihat serius dan sedih. "Aku berusaha keras untuk datang kepadamu begitu ada waktu.
Aku tak bisa menjelaskannya. Ini seperti sesuatu....
Kukira ini adalah... ah, entahlah...."
Ia mendekati meja, matanya bersinar-sinar, kemudian
menjatuhkan diri ke kursi, tanpa berucap sepatah kata
pun. Solomon menuangkan vodka ke dalam dua gelas dan
ditambahnya dengan es dari kulkas kecil di pojok. Ia diam
saja, merasa tersentuh oleh keadaan teman mudanya yang
menyedihkan itu. Apa yang telah dialaminya" Mungkin ia
sedikit terguncang saat badai itu membuatnya bertemu
dengan kerangka manusia. Solomon memberikan satu
gelas kepadanya, lalu ia meminum dari gelasnya sendiri.
"Baiklah, Aaron," katanya lembut. "Akan kubuka
benda ini. Aku akan melihat isinya. Aku punya peralatan
di laboratorium di ruang sebelah. Kau mau membantuku"
Mungkin kita bisa memecahkan misteri ini dan membuat
pikiranmu jadi tenang."
Kapten Simach tersenyum, tapi ia menggeleng. "Aku
harus segera kembali." Ia menyerahkan kartu namanya.
"Ini nomor teleponku. Kalau kau membutuhkan sesuatu...."
Lalu ia berdiri. Solomon menjabat tangannya eraterat.
"Nanti malam aku akan meneleponmu. Mungkin ada
sesuatu yang harus kuberitahukan. Siapa tahu."
Saat Kapten sudah berada di ambang pintu, Solomon
menambahi ucapannya, "Dan soal kerangka itu" Mungkin
kita bisa mengetahui lebih banyak dari kerangka itu."
Sambil tetap berjalan ke luar, Kapten berkata pelan,
"Ya, aku tahu tempatnya."
Camkanlah! Akan kucurahkan rohku kepadamu,
dan akan kuberitahukan kata-kataku kepadamu
Amsal 1: 23 Ia membuka silinder itu tanpa kesulitan, dan
pelan-pelan membuka gulungan kecil kertas papirus yang
ada di dalamnya. Silinder itu sendiri terbuat dari emas
murni, berlian tanpa cacat, dan gading yang menguning
karena mulai usang. Tapi, yang mengherankan, tidak ada
tanda-tanda kerusakan atau pembusukan. Gua gurun
pasir lagi! Sayangnya, capnya tidak mengungkapkan
apa-apa. Permukaan bulla-nya kosong, hanya menunjukkan sebentuk objek datar yang mungkin
diperhalus dengan batu. Akan tetapi, yang mengejutkan dirinya adalah tulisan
di papirus itu menggunakan bahasa Canaanitish, bukan
Aramaik. Canaanitish! Walaupun bahasa dan tulisannya
mirip bahasa Phoenician dan Moabitic, namun tulisan
Canaanitish adalah bentuk alfabet Yahudi paling kuno
yang pernah dikenal. Ia mulai berdebar-debar karena mengetahui ada jarak berabad-abad antara penggunaan huruf Aramaic dengan huruf Canaanitish yang lebih kuno.
Pernah ditemukan tulisan Aramaic di kertas papirus yang
berasal dari abad ke-4 SM, yang ditemukan di bagian hulu
sungai Nil di Mesir. Tulisan itu berisi surat kepada Kepala
Pendeta Kuil Sulaiman di Yerusalem. Dan tulisan
Canaanitish dipakai oleh kaum Yahudi sampai sekitar
abad ke-1 SM. Kaum Samaritan pernah menggunakan
satu versi bahasa itu dalam kitab suci mereka.
Namun, Solomon tahu bahwa tulisan itu sudah ada
jauh lebih lama. Bahkan, inskripsi berbahasa Yahudi abad
ke-8 SM menunjukkan banyak ciri spesifik dan eksklusif.
Tapi tulisan ini menyerupai tulisan Phoenician abad ke10
SM dari Byblos. Ia segera membukanya dalam gelas kedap
udara, sebab jika terkena udara sedikit saja, tulisan itu
mungkin akan rusak. Lalu, dengan bantuan kaca pembesar, matanya yang sudah terlatih melihat tulisan kuno
yang ditulis melingkar. Sepertinya... ya Tuhan! Ini sama
dengan tulisan di Kalender Gezer.
Kalender Gezer, yang dianggap sebagai inskripsi berbahasa Yahudi paling awal, secara paleografis berasal dari
abad ke-10 SM, ketika Gezer masih menjadi kota bangsa
Israel. Ia tahu referensinya dari Bibel: Kitab Raja-Raja
9:16. Ini adalah kajian kesukaannya, yakni masa Raja
Sulaiman. Kotak yang tersegel rapat dan tertutup oleh
pasir kering gurun menyebabkan isinya berada dalam
kondisi yang nyaris sempurna, seolah-olah sedang
menunggu Kapten Simach mengambilnya. Ia menggelengkan kepala karena hampir-hampir tak
mempercayai kenyataan ini.
Seolah-olah tulisan itu baru ditulis kemarin! Ia harus
mencari tahu lebih banyak tentang penemuan ini. Walaupun ia berusaha tenang, namun ia tak bisa menyembunyikan perasaannya yang amat senang.
Tetapi, apa alat aneh yang ada di sisi sebaliknya" Dua
lingkaran konsentris dan Bintang Daud di dalamnya
menyerupai sebuah segel, tapi tulisan kriptik di dalam dan
di bawah bintang itu membuatnya bingung. Sepanjang
pengetahuannya, belum ada papirus yang ditulisi di kedua
sisinya sekaligus. Ia mengangkat bahu. Ia tak meragukan
kemampuannya. Ia yakin bahwa dirinya akan mengetahui
misteri ini. Kapten Simach sudah pergi dua jam lalu. Saat itu
pukul tujuh malam. Ia sendirian, terjerat oleh
kebingungan. Ia hanya tahu ini adalah barang yang sangat
kuno, dan ditemukan di suatu tempat di gurun pasir. Ia
menelepon badan meteorologi, tetapi tidak ada informasi
adanya badai pasir belakangan ini.
Benda ini adalah kertas papirus, dan ia tahu iklim di
Israel akan merusak kertas ini, walau disimpan di Negev
sekalipun. Di sana terlalu banyak kabut dan udaranya
lembap. Jadi, ini pasti berasal dari gurun terpencil di
pedalaman. Dan Aaron mengatakan benda ini bukan dari
Negev. Kini ia memahami setidaknya sebagian dari cerita
Simach. Ada beberapa bukti bahwa kaum Yahudi mungkin
menggunakan papirus bahkan di masa paling kuno
sekalipun. Tumbuhan papirus itu sendiri, yakni gomeh,
disebut-sebut dalam kitab Eksodus dan Isaiah, meskipun
produk kertas papirusnya tidak. Solomon mulai berpikir,
dengan sedikit rasa geli, bahwa dirinya mungkin
memegang tulisan di kertas papirus yang paling kuno yang
pernah ditemukan. Sebab, perkamen yang dianggap tertua
yang ditemukan di gua kering di Wadi Murabba"at di dekat
Laut Mati diperkirakan berasal dari pertengahan abad
ke-7 SM. Solomon mengambil sedikit sampel untuk memeriksa
tinta yang dipakai untuk menulisi papirus itu. Hasilnya
membuatnya sangat gembira. Tinta itu terbuat dari semacam balsam yang dicampur dengan jelaga dan air: tinta
yang dipakai pada zaman kuno. Jelas ia ditulis dengan
menggunakan pena dari buluh keras yang dinamakan
golmos, yang dipakai pada era Talmud. Berdasarkan
bentuk huruf yang diamati dari balik kaca pembesar,
Solomon melihat bahwa buluh itu dipotong sedemikian
rupa sehingga hasil tulisannya agak lebar, tidak
menyempit. Kemudian ia mencoba menerjemahkan manuskrip
itu. Baris pertama cukup mudah, sebab merupakan pembukaan yang lazim dipakai, tetapi dua kata berikutnya
membuatnya terperangah. Aku, Zadok. Ia menatap kata-kata itu, antara percaya dan tidak.
Zadok adalah Kepala Pendeta Kuil di masa permulaan
kekuasaan Raja Sulaiman, saat kuil itu sedang dibangun.
Zadok dianggap setara dengan Harun, saudara Musa yang
menjadi Kepala Pendeta pertama, lelaki yang pantas
berdiri di hadapan Tabut Perjanjian.
Ia memutuskan berhenti sejenak untuk menjernihkan
pikirannya sebelum mulai menerjemahkan baris-baris selanjutnya. Setelah memakan sebutir apel, ia menyalakan
tembakau dan berdiri di depan jendela yang terbuka,
sembari menatap bulan yang meninggi. Seperti biasanya,
keindahan malam yang cerah selalu menenangkan
pikirannya. Malam ini keindahan itu terasa menghipnotis.
Ia memejamkan mata dan pikirannya melayang entah ke
mana. Solomon tak tahu berapa lama ia berdiri di depan
jendela itu. Jam dinding menunjukkan bahwa satu jam
telah berlalu. Ia kaget. Pikirannya tak pernah melamun
seperti sekarang ini, dan ia tak ingat apa yang tengah dipikirkannya, walaupun ia merasa berada di batas ambang
kesadarannya. Atau, apakah ini mimpi" Apa yang terjadi
pada diriku" Apakah aku tertidur sambil berdiri"
Ia tak merasa letih. Bahkan ia tak pernah merasa sebugar ini sepanjang hidupnya. Ia duduk di meja dan mulai
menerjemahkan. Lalu ia ingat dirinya belum menelepon
balik putrinya untuk mengabarkan bahwa dirinya akan
pulang telat. Ia harus menelepon dan memberi tahu bahwa
ia akan sangat terlambat. Kini ia dalam kesulitan.
Air berlimpah tak kuasa memenuhi dahaga Cinta
Bahkan banjir pun tak kuasa menenggelamkannya
Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lagu Sulaiman 8: 7 Rebecca diam saja saat ayahnya pulang. Saat itu jam
sebelas malam. Ia kemudian menyiapkan makanan hangat
untuk ayahnya. Ia menduga ayahnya sedang meneliti
benda kuno atau serpihan manuskrip kuno.
Ayahnya tahu betul kelakuan anaknya. Kalau sedang
marah, ia akan sedingin salju. Tapi kemarahannya cepat
mencair. Ia tak memberi tahu apa pun kepada putrinya
tentang apa yang telah terjadi. Lebih baik Rebecca tidak
mengetahui soal ini. Rebecca masih bertugas di pasukan
cadangan Angkatan Darat, dan baru saja pulang dari
tugas di luar daerah. Karena itu, ayahnya tak begitu heran
ketika Rebecca pulang dengan menyandang pangkat
sersan. Rebecca duduk menemani ayahnya, berbicara dengan
suara yang kelihatan sedang menekan amarah, seperti
orangtua yang sedang menghadapi anaknya yang selalu
bandel. Rebecca kembali menjelaskan sopan-santun
bertelepon, tentang pentingnya seorang ayah memberi
tahu putrinya kalau akan pulang terlambat. Ia pun berceramah soal sakit jika ayahnya lupa makan dan terlalu
banyak bekerja. Ayahnya mengangguk tapi tetap membisu
sampai putrinya itu kehabisan kata-kata. Baru sesudah
itu ia bisa berkata-kata, menghibur putrinya dan memuji
perhatiannya kepada orangtuanya.
Tapi kata-kata itu tidak membuat Rebecca senang,
kendati sang ayah mengucapkannya dengan tulus.
Rebecca kini hanya punya satu orangtua. Karena itu ia
takut kalau-kalau akan kehilangan ayahnya. Ia mengingat
ibunya yang penuh kasih. Namun kini, saat berusia 20
tahun, ia tak menyadari bahwa dirinya bertindak persis
seperti ibunya, Rachel. Dari Rachel ia mewarisi tubuh yang langsing bak
penari, rambut ikal, mata besar, dan ketegasan. Solomon
menganggapnya cantik, meskipun Rebecca menganggap
dirinya biasa saja. Mungkin karena kekerasannya itulah maka setiap lelaki yang mendekatinya menjadi ragu dan takut. Solomon
yakin bahwa putrinya itu masih perawan, padahal dirinya
sudah sangat ingin menjadi kakek. Solomon berkata bahwa ia menentang keinginan putrinya untuk tetap menjadi
tentara seusai ia menjalani wajib militer selama dua
tahun. Putrinya tampaknya sudah akrab dengan
kehidupan mi-liter, dan disiplin yang ketat menjadi
penyeimbang bagi sifatnya yang misterius. Rebecca bilang,
alasannya untuk tetap menjadi tentara adalah, ia bakal
mudah mendapatkan pria jika ia dikelilingi banyak lelaki.
Sang ayah tidak merasakan nada humor dalam kata-kata
itu. Solomon kemudian bercerita bahwa kakeknya, dan
juga bibi, paman, dan sepupunya, telah tewas dalam peristiwa Holocaust. Sedangkan ayahnya tewas dalam perang tahun 1957, dan dirinya sendiri terluka pada saat
Perang Enam Hari. Namun Rebecca tertawa terbahakbahak ketika mendengar cerita ini, sebab Rachel pernah
memberitahunya saat masih kecil bahwa ayahnya patah
kakinya karena melompat dari truk, dan karenanya tidak
ikut perang karena harus istirahat selama enam minggu.
Rebecca memberi tahu ayahnya bahwa keputusannya sudah bulat. Ia lalu berjalan ke luar ruangan.
Solomon selalu mencemaskan putrinya, tapi ia tahu
putrinya tidak mau mendengar alasannya. Setelah masa
wajib militernya usai, dan ia memilih untuk tetap bertugas
aktif, sang ayah tidak mau mempertanyakan keputusan
itu. Putrinya itu kini tampak menjadi sedikit pemarah dan
penyendiri sejak selesai bertugas dan pulang kembali ke
rumah. Namun, apa pun yang mengubah pikiran putrinya,
Solomon lega karena ia pulang dengan selamat.
Ia menyalahkan dirinya sendiri karena tidak
meluangkan banyak waktu bersama putrinya saat ia
masih kanakkanak. Ia berpikir, dirinya dulu mungkin
seharusnya menikah lagi, dan kehadiran seorang wanita
akan melunakkan perangai putrinya. Tapi kini sudah
terlambat. Rebecca adalah putrinya, dan dialah satu-satunya
orang yang dicintainya dalam hidup ini. Jadi, Solomon
memaafkan segala sesuatu yang telah terjadi, bahkan ia
mau menerima kemarahan putri satu-satunya itu dengan
lapang dada. Ia tahu, sejak kecil putrinya bersikap mandiri, suka
membantah, dan keras kepala. Sejak usia delapan ia
sudah terlihat tomboi, suka mengganggu anak lelaki,
sering berkelahi dengan mereka, dan kerap menuntut
diperlakukan setara. Perilakunya itu dimulai sejak ibunya
meninggal dunia. Ia pulang dari pemakaman dengan mata
menangis dan marah. Ia merobek-robek gaun hitamnya.
Sejak itu sang ayah tak pernah melihatnya menangis.
Ia tak pernah lagi mau memakai pakaian wanita,
bahkan saat ke sekolah sekalipun. Ayahnya pernah
membelikannya pakaian yang manis dengan harapan ia
berubah pikiran. Tapi ia malah mencemoohnya, lalu
berlari memanjat pohon. Ia lebih suka bersepeda dan
menunggang kuda, dan tak pernah menangis. Tapi
Solomon tak bisa mengabaikannya, sebagaimana ibunya
sendiri tak bisa mengabaikannya sejak ia lahir.
Sokrates: Dalam pikiran orang yang tidak tahu,
adakah sesuatu yang tidak diketahuinya" Meno:
Tentu saja! Sokrates: Begitulah, pikiran-pikiran
muncul dalam dirinya seperti sekilas mimpi
Dialog Meno, Plato Kelahiran Solomon dirayakan gegap gempita.
Orangtuanya bisa bertahan pada masa perang dengan
cara yang sulit dijelaskan. Keduanya tiba di kamp
pengungsian pada musim panas tahun terakhir masa perang. Mereka turun dari truk Palang Merah yang penuh
sesak dengan pengungsi lain. Begitu turun, mereka
lang-sung dikerubungi banyak orang dengan wajah yang
mu-ram dan mata yang sayu. Mereka mencari-cari
keluarganya di antara pendatang baru itu. Mereka
mencari ibunya, ayahnya, kakeknya, bibinya, pamannya,
kakaknya, dan adiknya. Tapi para pengungsi itu tidak
mencari-cari anak. Di kamp itu tidak ada anak-anak, dan
belum ada anakanak yang pernah datang ke sana.
Kemudian kerumunan orang itu melihat dia sedang
hamil, mengenakan baju yang agak sempit, dengan wajah
yang memohon agar diberi jalan untuk lewat. Orang-orang
mengamatinya dengan rasa tak percaya. Seluruh kamp
pengungsian menahan napasnya. Semuanya diam,
seolaholah mereka takut ucapan mereka akan
mendatangkan bencana bagi anak pertama yang akan
lahir di antara mereka. Tak lama kemudian, muncullah seorang Rabbi yang
mengajak mereka ke sebuah ruangan. Setelah masuk ke
dalam, Sonja dan Jakov (ibu dan ayah Solomon) mendengar banyak suara gumaman di belakang mereka.
Mereka berdua berhasil lolos dari gejolak di Rusia
dengan mencuri dan menyuap"ini adalah cerita favorit
ayahnya, salah satu dari sedikit cerita yang didengarnya"
dan berhasil sampai ke zona yang ditempati orang-orang
Amerika. Mereka sampai di tempat ini beberapa minggu
setelah menempuh perjalanan sekitar 20 kilometer dari
kota Munich. Rumah-rumah yang elok di daerah Jerman
ini"lengkap dengan perabot yang penuh sesak"kini
berubah menjadi kamp pengungsian. Penghuni sebelumnya yang marah telah diusir tanpa peringatan.
Apakah ia baik-baik saja" Apakah ia tak apa-apa"
Mereka berteriak-teriak, dan saling bertanya satu sama
lain, ketika terdengar suara tangis bayi dari jendela lantai
dua di sebuah ruangan di rumah sakit.
Tiga ribu orang yang menunggu di bawah menatap ke
atas saat Rabbi muncul di jendela dan berkata, "Lelaki.
Bayi lelaki yang sehat! Selamat! Gott zu dank!"
Suara sorak terdengar keras memekakkan telinga.
Teriakan kebahagiaan dan keheranan meriap ke udara.
Pria dan wanita menangis sesenggukan, tapi ada pula yang
tertawa berangkulan, saling memberi selamat.
Pada hari-hari selanjutnya, setiap pria dan wanita di
kamp itu akan menyentuh bayi tersebut untuk mengharapkan mazel, berkah keberuntungan. Mereka membawa
hadiah apa saja yang bisa mereka bawa.
Rabbi memberikan doa syukur sebagai imbalan pemberian mereka, dan juga doa untuk bayi laki-laki yang
baru lahir tersebut. "Aku sudah tahu saat-saat seperti ini," kata Rabbi
kepada Sonja, sembari menutup jendela. Ia lalu mendekati
si bayi dan menggendongnya. Kemudian lelaki tua itu
berbisik pelan kepada si bayi, "Shlomeh, anak pertama....
Badai telah berlalu, dan badai yang lain akan datang....
Dan yang tersembunyi akan tersingkap. Tak usah takut."
Kata-kata aneh ini terdengar mirip seperti doa ketimbang
nasihat. Ia lalu menyentuh dahi bayi itu dengan jempol
tangan kanannya. Jakov menatap Rabbi, lelaki tua yang kurus dan
berjenggot, dan lebih mirip orang gila. Tapi lelaki tua itu
memiliki tatapan yang tulus dan dalam, yang entah bagaimana menyentuh hati Sonja.
"Kau dari kaum Hasidik," kata Sonja. Itu sudah jelas.
"Sssst," Rabbi itu berbisik, tapi melalui jendela ia
sedang menatap awan di angkasa yang seperti sedang
menyiapkan badai. Anak lelaki itu duduk tenang di ruang belajar yang
berjejal buku. Umurnya empat tahun. Ia tak tahu kenapa
orangtuanya membawanya ke sini. Kenapa mereka meninggalkannya sendirian dengan seorang lelaki tua yang
jenggotnya amat panjang, yang dipanggil Rabbi oleh setiap
orang" Ini bukanlah sinagog. Ia hampir tak bisa mendengar suara orangtuanya yang berbicara di balik pintu.
Mereka sedang menunggu di aula. Ia ingin berlari dan
duduk di pangkuan ibunya, tapi sang ibu menyuruhnya
untuk diam menunggu, sekaligus memberi tahu bahwa
mereka harus tetap di luar. Selama ia masih mendengar
suara orangtuanya, ia tak merasa takut.
Anak lelaki itu mulai gelisah di kursi yang besar saat
ia melihat rabbi tua itu berdiri. Ia sedang menatap sesuatu
di sebuah buku tua dan sepertinya ia akan datang untuk
menangkapku! Dengan jenggot dan jubah panjang dan topi
hitam lebar, lelaki tua itu tampak mirip seekor beruang.
Ia berjalan mendekati anak itu. Sambil tersenyum ia
mengatakan sesuatu dengan suara yang berat dan sedikit
mengerikan. "Nah, Shlomeh, aku akan menceritakan sebuah kisah," katanya. "Kisah yang akan selalu kau ingat."
Anak lelaki itu duduk di sebelah meja dapur di dalam
apartemen kecil. Hanya ibunya yang bersamanya. Sang
ibu tersenyum padanya saat ia menghidangkan sup dan
roti bakar. Ia memanggil anaknya dengan sebutan tattala,
lalu mencium pipinya. "Makanlah, tattala," katanya.
Betapa cantik ibunya, dan betapa mudanya! Anak itu
membuka mulutnya untuk mengatakan betapa ia mencintai ibunya, namun sang ibu menyuruhnya diam. "Makanlah Shlomeh. Habiskan supmu!"
Anak itu makan sembari menatap ibunya.
"Shlomeh, apa yang dikatakan Rabbi padamu?"
Anak itu membisu. "Apa, Shlomeh?"
"Cerita. Tapi aku tak ingat."
"Makanlah," kata ibunya sambil menatap sang anak.
"Aku juga akan menceritakan sebuah kisah lain kepadamu."
Anak itu menatap ibunya saat sang ibu menceritakan
kisah kelahirannya, perayaan di kamp, dan tentang Rabbi.
"Dia bersama kita. Dialah yang pertama kali memberkatimu setelah engkau lahir. Dan belakangan, saat ia
tahu dirinya akan mati, ia meminta ingin bertemu denganmu, jadi aku mengajakmu ke sana.
"Habiskan supmu, Shlomeh. Aku membuatnya khusus buatmu. Jadi jangan takut." Sang ibu menghela
napas. "Aku tidak memahami kemauan Rabbi saat itu, dan
ia tak mau menjelaskannya. Ayahmu menganggap Rabbi
itu sedikit gila akibat perang."
Ia mendekati anaknya, dan memegang kedua tangannya. Ia mencium pipinya dan berbisik ke
telinganya, "Tapi Rabbi itu benar, Shlomeh. Cari
perlindungan! Badai akan mendatangimu!"
Mimpi itu membangunkannya. Lelaki itu duduk tegak
di atas ranjang, napasnya terengah-engah. Air mata
mengaliri pipinya, bercampur dengan keringat yang
membasahi baju tidurnya. Ia merasa sedih setiap kali
ingat tentang ibunya. Ia mengenang ibunya dengan jelas
dalam benaknya. Matanya yang lembut dan kulitnya yang
halus tampaknya tetap tak berkeriput meski usianya
bertambah. Juga rambut merahnya yang mulai menjadi
abu-abu pada saat ia meninggal pada usia 70 tahun.
Lelaki itu lalu membasuh mukanya dan duduk
selama berjam-jam di depan jendela. Ia terjaga
sepenuhnya, menatap bulan dengan mata yang
menerawang jauh. Berkalikali ia mengusap rambutnya
yang dipotong pendek rapi. Ia merasa letih dan seperti
melihat sesuatu yang bakal terjadi, seolah-olah
fragmen-fragmen dari memori genetisnya telah bebas,
meluap keluar, lalu merasuk ke dalam mimpimimpinya.
Gema mimpinya yang masih diingatnya seperti berkaitan dengan sesuatu yang diterjemahkannya dari naskah papirus kuno yang ditemukan Kapten Simach. Hal ini
membuat pikirannya terbuka, seperti kelopak mawar yang
merekah. Ia merinding karena merasa ada tempat yang
asing dan energi besar yang tengah menunggunya.
Ia harus meyakinkan putrinya, entah bagaimana caranya. Ia tak bisa lagi menyembunyikan hal ini dari putrinya. Dan ia tahu putrinya tak mungkin ditinggalkan
dalam urusan ini. Mereka harus menemui Syekh Haadi
untuk memecahkan teka-teki heksagon ini. Kapten Simach akan datang besok pagi dan ia pun harus diberi tahu
tentang apa yang baru saja ditemukannya. Ia harus tahu.
Tak bisa dihindari. Kami harus pergi ke gurun!
Seperti jasad kita nanti, tiada satu pun tanda bahwa
kita pernah ada di sana Dunia tertutup di belakang
kita Dan pasir menebarkan dirinya sendiri
Yehuda Amichai Aaron Simach, kapten dari kesatuan Mossad, mulai
bertanya-tanya apakah dirinya masih orang yang sama
yang berjalan ke gurun. Tapi ia masih orang yang sama,
namun dengan perasaan yang jauh lebih gelisah. Pantulan
wajahnya di permukaan cermin tampak semakin tua jam
demi jam, dan matanya kini tampak lebih cekung, seolah-olah mata itu menyimpan pengetahuan yang tidak
Sang Raja Jin Master Of The Jinn Karya Irving Karchmar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dating With Dark 2 Sherlock Holmes - Empat Pemburu Harta Mustika Bernoda Darah 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama