Abarat Karya Clive Barker Bagian 7
kebingungan yang dialaminya sebelum ia masuk ke tempat gelap ini. Bagaimana
mesin terbang itu jungkir balik dan membuatnya terlempar keluar.
Ah, pikirnya, mungkin itulah jawaban untuk masalahku.
Ia sibuk mencari-cari pintu di tempat ini, sebab ia beranggapan tak mungkin bisa
keluar kalau tidak melalui pintu. Tapi ia masuk ke tempat ini bukan melalui
pintu, bukan" Mungkin cara terbaik untuk melepaskan diri dari sini adalah dengan
melemparkan dirinya ke dalam
kegelapan, dan berpasrah pada nasib.
Ia menoleh ke belakang. Kedua bersaudara itu tinggal beberapa langkah di
belakangnya. Kalau ia ingin mencoba meloloskan diri dari mereka, sekaranglah
saatnya. Candy menghitung sampai tiga.
"Satu..." "Dia mengatakan apa, Saudara Julius?"
"Dua..." "Aku tidak mendengarnya, Saudara Tempus."
"Tiga..." Bersamaan dengan hitungan ketiga itu Candy melompat ke depan, hampir-hampir
seperti hendak menyelam ke dalam kolam renang. Usahanya ternyata berhasil.
Begitu tubuhnya tidak menyentuh tanah lagi, kegelapan di sekelilingnya seakanakan berdenyut-denyut. Dengan
segera ia terlepas dari cengkeraman kegelapan itu, dan ia merasa dirinya
meluncur terguling-guling. Sesaat kemudian tampak seberkas cahaya. Dan ia pun
jatuh berdebum di antara batu-batu karang di pantai Jam
Kedua Puluh Lima. la mendarat begitu keras, sampai-sampai napasnya
serasa terdorong keluar dari tubuhnya. Selama beberapa saat ia tergeletak
terengah-engah, dengan tubuh biru lebam, sambil mendengarkan debur ombak serta
celoteh riuh burung-burung laut yang sedang memperebutkan sepotong ikan yang
terdampar di pantai. Kemudian, tidak jauh dari tempat ia tergeletak, terdengar suara yang
menyejukkan. "Lady?" Tak lama kemudian tampak olehnya wajah Malingo,
dengan kepala di bawah. "Kau ada di sini! Kau masih hidup!"
Candy masih agak shock. la membuka mulutnya untuk
menanggapi ucapan Malingo, tapi yang mula-mula keluar dari mulutnya hanyalah
serangkaian kata yang kacau dan tidak saling terkait. "Lari. Jam dinding Wajahwajah. Tempus Fugit. Dan Julius. Mengerikan. Dua. Mengerikan"
"Oh, Lady yang malang," kata Malingo. "Apa mereka membuatmu jadi sinting di
sana?" "Aku tidak sinting!" kata Candy, kini mengambil posisi duduk. Ia menarik napas
dalam-dalam dan mencoba menyusun kalimat yang lebih masuk akal. "Aku agak memar di sana-sini," katanya.
"Tapi aku masih waras.
Berani sumpah. Dan aku juga masih hidup."
"Kau memang masih hidup," kata Malingo sambil tersenyum cerah.
Candy tertawa. la berhasil! Ia benar-benar telah berhasil meloloskan diri dari
jam Kedua Puluh Lima! la bangkit berdiri dan memeluk Malingo. "Hal-hal yang kulihat di dalam sana,"
katanya. "Kau pasti tidak bakal bisa mempercayai beberapa di antaranya..."
"Misalnya apa?" tanya Malingo, kedua matanya berbinar-binar penuh rasa ingin
tahu. Candy membuka mulutnya, berniat menggambarkan
petualangan-petualangannya di dalam Jam Kedua Puluh Lima. Tapi kemudian ia
mengurungkannya. "Tahu, tidak?" katanya. "Barangkali sebaiknya tidak kuceritakan di sini."
la memandangi selimut kabut yang memisahkan pantai itu dari dunia rahasia yang
ada di baliknya. Siapa tahu ada orang di belakang dia, pikirnya. Menguping
pembicaraan mereka; atau lebih gawat lagi ada orang yang siap-siap menerkamnya
dan menyeretnya kembali ke
dalam sana. "Kita harus meninggalkan tempat ini" katanya pada Malingo.
"Sebelum Fugit Bersaudara berhasil menyusul kita."
"Siapa Fugit Bersaudara itu?" tanya Malingo. Sebelum sempat menjawab, dari sudut
matanya Candy menangkap ada sesuatu yang muncul dari celah di antara batu-batu.
Ia menoleh dan memusatkan pandangan pada "sesuatu"
itu. Makhluk itu bergerak ke samping seperti kepiting. Tapi ia bukan binatang.
Melainkan sebentuk mulut. Mulut berkaki.
"Aduh, tidak..." kata Candy perlahan.
"Ada apa?" tanya Malingo.
"Mana mesin terbang kita?" tanya Candy.
"Mesin terbang?"
" Ya, mesin terbang!" sahut Candy. Sementara itu, sebentuk mata berkaki muncul
dari bawah bebatuan dan mengedip-ngedip pada Candy.
Kali ini Malingo mengikuti arah tatapan Candy.
"Makhluk apa itu?"
"Itu mulut dan mata Fugit Bersaudara," kata Candy; dipegangnya lengan Malingo
dan ditariknya menjauhi tempat itu. Kalau mulut dan mata itu ada di sini, mungkin-kah kedua bersaudara
pemiliknya berada jauh dari sini"
"Mereka tinggal di Jam Kedua Puluh Lima," Candy menjawab tergesa-gesa. "Dan
seandainya mereka berhasil menangkap kita..."
Tapi Candy tak sempat menyelesaikan kalimatnya.
Batu-batu karang di dekat mereka sudah mulai bergoyang-goyang, mulanya pelan, tapi dengan cepat
goyangan tersebut semakin kuat. Tidak sulit menebak apa yang sedang terjadi.
Entah bagaimana, Tempus dan Julius rupanya telah menggali masuk ke dalam tanah,
di bawah bebatuan, dan berencana mengadakan serangan
mendadak dari bawah. Dan mereka pasti berhasil, kalau saja tidak keburu ketahuan
akibat mulut dan mata mereka yang berjalan ke mana-mana.
"Kita mesti pergi dari sini," Candy berkata.
Tapi Malingo masih juga tertegun memandangi batubatu yang bergoyang-goyang itu.
"Di mana mesin terbang itu, Malingo?"
"Mata itu ada kakinya."
"Ya, aku tahu, Malingo. Di mana mesin terbang itu?"
Malingo menunjuk ke arah pantai, tanpa memandang
arah yang ditunjuknya. Candy menoleh ke arah jari
Malingo menunjuk. Ya, mesin terbang itu ada di sana, tergeletak di antara batubatu. Mesin terbang itu terbalik, tapi kelihatannya tidak rusak, tidak hancur
berkeping-keping meskipun telah menabrak tembok Jam Kedua Puluh Lima.
"Ayo," Candy berkata pada Malingo, dan menarik lengannya lagi. Tapi Malingo
masih juga tak mau beranjak. Mata dan mulut berkaki yang aneh itu membuatnya terpesona.
"Kita tidak bisa berlama-lama di sini," kata Candy.
"Kita bisa mati."
Sekarang batu-batu karang sudah mulai digulirkan batu-batu yang lebih kecil bahkan sudah dilemparlemparkan - sementara Fugit Bersaudara bersiap-siap
menyeruak ke luar. "Aku belum pernah melihat yang seperti itu," kata Malingo terheran-heran.
"Bisa tidak kita pergi sekarang?"
Namun, sebelum mereka sempat melangkah, sebuah
suara jahat terdengar dari celah-celah di antara
bebatuan karang. "Kau tidak bakal bisa meloloskan diri dari kami, Candy Quackenbush" kata salah
satu Fugit Bersaudara. "Begitu pula temanmu yang bertelinga panjang itu," Fugit satunya
Suara Fugit Bersaudara itu membuat Malingo tersadar, mengalahkan rasa ingin
tahunya. Sekarang ia sendiri yang mundur dari titik tempat batu-batu karang itu
berguncang-guncang. "Kau benar," katanya pada Candy. "Kita harus pergi."
"Akhirnya." Tak ada keraguan lagi. Mereka berdua berlari
kencang melintasi batu-batu licin itu, menuju mesin terbang yang terdampar di
pantai. "Mudah-mudahan saja mesin itu masih berfungsi," kata Candy pada Malingo sambil
berlari. "Kalau sudah tidak berfungsi lagi bagaimana?"
"Entahlah," sahut Candy dengan muram. "Nanti saja dipikirkan, kalau sudah benarbenar terjadi." Sekarang mereka sudah berada di dekat mesin
terbang itu. Lekas-lekas mereka mendorong benda itu ke posisi tegak. Terdengar
bunyi gemeretak ketika kendaraan itu bergoyang-goyang dan kembali pada posisi
seharusnya. Kedengarannya tidak terlalu menjanjikan.
"Cepat naik," kata Candy.
Saat Malingo masuk ke tempat duduknya, Candy memberanikan diri melayangkan pandang sejenak sepanjang pantai tersebut. Salah satu
Fugit Bersaudara - entah Julius atau Tempus ia tidak tahu sudah berhasil menggali
jalan keluar dari antara bebatuan. Fugit satunya tidak
kelihatan. Tapi satu saja pun sudah cukup berbahaya, pikir Candy.
Fugit itu mulai melangkah ke arah Candy dan Malingo, sambil menudingkan jarinya
pada mereka. "Kalian tidak bakal bisa meninggalkan pulau ini!"
teriaknya sambil terus berjalan. "Kalian dengar aku" Kalian tidak bakal bisa
pergi! " Sambil berbicara, langkahnya semakin cepat, kemudian ia bukan melangkah lagi,
melainkan berlari. Sekarang Malingo-lah yang menyuruh Candy cepatcepat naik ke dalam mesin terbang. "Ayo lekas!" katanya.
Candy menjejakkan satu kakinya ke dalam mesin
terbang itu. Ketika ia mengangkat kaki satunya lagi, sebuah lengan melesat keluar dari
bebatuan di samping mesin terbang itu, dan mencengkeram pergelangan kakinya.
Candy menjerit kaget. Batu-batu bergulir tersingkir ketika Fugit satunya
mengangkat tubuhnya keluar dari dalam tanah, dengan menggunakan Candy sebagai
tumpuan. "Pegangi dia, Saudara Julius!" Tempus berseru-seru sambil berlari sepanjang tepi
pantai. "Tolong aku!" Candy berteriak pada Malingo.
Ia membungkuk dan mencoba melepaskan jemari Julius dari pergelangan kakinya,
tapi cengkeraman Julius sangat kuat.
Malingo memegangi Candy dengan kedua lengannya
dan menariknya keras-keras. Ia jadi sangat kuat, terdorong oleh keadaan. Pakaian
Candy robek, meninggalkan dua potong sobekan kain di tangan Fugit.
Lepas dari cengkeraman monster itu, Candy dihadapkan pada wajah Julius. Mata dan mulutnya yang tadi merangkak sendiri-sendiri
kini sudah menyatu di wajahnya.
Kedua matanya tampak lebar dan lapar. Mulutnya membentuk senyuman puas seorang
pemburu yang merasa yakin telah berhasil memerangkap mangsanya.
"Kau tidak bisa ke mana-mana," katanya; ia mengulurkan tangan untuk menangkap
Candy lagi. Tanpa ragu Candy menginjakkan kakinya ke tengah-tengah wajah
Julius, sekuat tenaga. Julius menjerit marah dan frustrasi, lalu menyelinap
masuk kembali ke dalam kegelapan.
Sementara itu Tempus tinggal dua puluh langkah lagi dari mereka; ia berjalan
cepat melintasi bebatuan.
"Berhenti!" teriaknya. "Kalian berdua. Berhenti!"
Tapi Candy tidak mengacuhkannya. Ia naik kembali ke dalam mesin terbang, seluruh
pikirannya dipusatkan pada tantangan berikutnya: membuat mesin terbang itu
berangkat naik. "Apa mantranya?" tanyanya pada Malingo.
"Nio Kethica" "Oh ya. Itu dia"
Candy menarik napas dalam-dalam dan memejamkan
mata, membayangkan mesin terbang itu terangkat ke
udara. Kemudian ia mengucapkan mantra tersebut, "Nio Kethica."
Seketika mesin terbang itu bereaksi. Mesinnya memperdengarkan suara derum tersendat-sendat. Sesaat
sepertinya kendaraan itu bakal naik. Kemudian ia bergoyang-goyang dan bergetar,
tapi sayangnya sama sekali tidak ada tanda-tanda bakal terangkat dari tanah.
Candy mengangkat wajah. Tempus sudah semakin dekat.
"Nio Kethica." Candy mengulangi. "Ayolah, mesin terbang. "Nio Kethica."
Mesin kendaraan itu kembali memperdengarkan suara
lebih keras, tapi kelihatannya tidak menjanjikan harapan.
"Percuma," kata Malingo, matanya terarah pada Tempus yang semakin mendekat.
"Kita harus pergi..."
Sebelum kalimatnya selesai, Julius Fugit melesat muncul kembali dari lubang di
samping mesin terbang itu. Ia tidak berhasil mencengkeram Candy, tapi kedua
tangannya sempat meraih mesin terbang mereka. Kendaraan itu mulai miring. Candy menjerit
ketika ia tergelincir dari tempat duduknya dan meluncur ke arah wajah Julius
yang menyeringai. Malingo meraih lengan Candy dan menariknya kembali, susah payah berusaha agar
mereka sama-sama keluar dari mesin terbang itu. Ketika Malingo menariknya, Candy masih mencoba
menyerukan mantra untuk terakhir kali,
"Nio Kethica," dengan harapan bisa menghidupkan lagi mesin kendaraan mereka.
Tapi usahanya sia-sia. "Ayo," teriak Malingo. Ia menyeret Candy keluar dari mesin yang sudah miring
itu. Tindakannya tepat pada waktunya. Saat Candy meluncur jatuh ke dalam pelukan
Malingo, mesin terbang itu terbalik, memerangkap Julius Fugit di bawahnya.
"Tolong aku, saudaraku!" Julius berteriak.
Tempus tinggal dua-tiga langkah lagi. "Aku datang, saudaraku!" ia berteriak dan
melemparkan diri pada mesin terbang itu, merobek robek strukturnya yang mulai
memudar, untuk membebaskan saudaranya.
"Jangan biarkan aku menunggu, Saudara Tempus!"
"Aku sedang berusaha sebisaku."
" Aku percaya, saudaraku. Aku percaya."
"Kita dapat masalah...,"gumam Malingo pada Candy.
Malingo benar. Tempus hanya perlu satu dua menit
untuk membebaskan saudaranya. Setelah itu mereka
berdua akan melanjutkan pengejaran dengan semangat baru. Ke mana Candy dan
Malingo bisa pergi" Pantai itu tidak menyediakan satu pun tempat persembunyian,
dan mereka tak mungkin bisa lari lebih cepat daripada Fugit Bersaudara untuk
waktu lama. Candy menggeleng-gelengkan kepala dengan putus
asa. "Tak mungkin berakhir seperti ini," katanya pada diri sendiri. Meski
kemungkinannya kecil sekali mereka bisa meloloskan diri, Candy tak percaya
semuanya akan berakhir sampai di sini. Setelah melalui perjalanan-perjalanan
panjang ini, setelah melihat visi-visi yang dibukakan kepadanya, tak mungkin ia
akan mati di pantai tak berpenghuni ini, di tangan dua bersaudara yang sinting.
Ini tidak benar! Di hatinya ia tahu bahwa perjalanannya masih akan berlanjut,
dan masih ada visi-visi yang akan dilihatnya. Itu sebabnya ketiga wanita itu
mengizinkan ia melihat sekilas misteri-misteri kehidupannya, bahkan sebelum ia
dilahirkan. Bukan begitu" Mereka sedang mempersiapkan dirinya untuk suatu hal,
menyuruhnya bersiap-siap memecahkan sejumlah rahasia besar.
Jangan sampai semua itu digagalkan oleh Fugit
Bersaudara. Candy bertekad tidak akan membiarkan itu terjadi.
"Tidak boleh berakhir di sini;" Candy berkata keras-keras.
"Apa yang tidak boleh berakhir di sini?" sahut Malingo.
Abarat Karya Clive Barker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hidup kita. Diri kita." Malingo tampak terperanjat mendengar nada sengit dalam
suara Candy, dan yang terpancar dari matanya . "Takkan kubiarkan itu terjadi"
Baru saja Candy berkata demikian, sebersit angin
berembus dari laut, seolah-olah sebagai jawaban atas harapan di hatinya. Embusan
angin itu terasa menyejukkan di wajah Candy yang basah oleh keringat.
Meski dalam keadaan demikian, Candy masih bisa
memaksakan senyum. "Sebaiknya kita mulai lari," kata Malingo. Ia menunjuk ke arah mesin terbang
mereka. Fugit Bersaudara sekarang sudah meninggalkan sisasisa mesin terbang itu dan berjalan menghampiri Candy dan Malingo. Bagian-bagian
wajah mereka sudah bergerak-gerak lagi, mulut mereka yang menyeringai lebar
bergerak-gerak mengitari wajah mereka, seperti pelari mengelilingi lintasan.
"Kedua teman kita itu sepertinya tidak bisa lari ke mana-mana lagi, Saudara
Tempus" "Sepertinya begitulah, Saudara Julius. Sepertinya begitulah."
Kembali terasa embusan angin dari laut. Kesejukannya membuat Candy mengalihkan
tatapan dari kedua pembunuh yang sedang mendekati mereka. Ia memberanikan diri
memandang ke laut. Tiupan angin telah mengurangi ketebalan kabut tak berwarna
yang melayang di atas perairan. Dan di sela-selanya tampak secercah warna merah
terang. Merah. "Ada perahu!" Candy berseru.
"Apa?" "Lihat! Ada perahu!"
Kabut tersibak, dan tampaklah sebuah perahu kecil
sederhana, bertiang satu, dengan layar yang sudah lusuh.
Tak ada kapten atau penumpang di dalam perahu itu.
"Ha!" kata Malingo. "Kaulihat itu?"
Mereka berlari ke air dan melangkah ke tengah ombak yang tidak begitu tinggi.
Tiupan angin terasa makin kuat dan makin kuat. Embusannya mengisi layar yang
compang-camping itu, hingga tali-talinya berkeriut menahan berat.
"Ayo naik!" Candy berkata pada Malingo. "Cepat!
Naiklah!" "Tapi tiupan angin ini membawa perahu itu ke pantai lagi!" kata Malingo.
"Kembali pada mereka!"
Fugit Bersaudara telah mengikuti mereka ke tepi air.
Mereka juga sudah membaca ke arah mana angin bertiup.
Dan kelihatannya mereka sudah memutuskan bahwa
mereka tak perlu masuk ke air. Mereka cukup menunggu saja. Perahu itu toh akan
datang dengan sendirinya mendekati mereka.
Candy menoleh pada dua bersaudara itu, dan tepat
pada saat itu ombak besar datang, membasahinya hingga ke leher. Ia menjerit
terkejut. Fugit Bersaudara merasa geli melihatnya.
"Ayolah," Candy berkata pada Malingo. "Naik sajalah.
Percayalah sedikit."
"Percaya pada apa?"
"Padaku." Malingo memandangi Candy sejenak, kemudian angkat
bahu dan masuk ke dalam perahu itu dengan agak
canggung. Candy mencuri sedikit kesempatan untuk memanjatkan doa pada tiga wanita dari
Fantomaya. Pasti mereka yang mengirimkan perahu itu. Tapi apa gunanya perahu
kalau angin tidak bertiup ke arah yang tepat"
"Tolong aku," gumamnya.
Ketika ia mengucapkan itu, layar perahu tersebut
tersentak seperti bendera tertiup angin. Candy mengangkat wajah dan melihat
wanita-wanita itu - ketigatiganya - berdiri di dalam perahu. Sepertinya sosok
mereka hanya bisa terlihat olehnya. Fugit Bersaudara maupun Malingo tidak
bereaksi apa-apa. Malingo mengulurkan tangan pada Candy. Candy
menggenggamnya, dan Malingo menariknya ke dalam
perahu. Begitu Candy menginjakkan kaki pada lantai kayu
perahu kecil itu, Diamanda mengangkat kedua tangannya ke udara. Candy melihat
kedua tangan wanita itu terkepal rapat, buku-buku jemarinya tampak putih.
"Pergilah dengan selamat" wanita tua itu berkata.
Candy mengangguk. "Baik."
"Dan jangan ceritakan hal ini pada siapa pun" kata Joephi.
"Tidak akan." "Apa maksudmu mengatakan Baik, Tidak akan?" kata Malingo. "Apa kau bicara
padaku?" Untunglah Candy tidak perlu berdusta, sebab pada
saat itu Diamanda membuka kepalan tangannya.
Sekonyong-konyong angin berubah arah, berbalik begitu cepat, sampai-sampai Candy
bisa merasakan gerakan angin itu menyapu wajahnya, meniup pipi kirinya, dan dua detik kemudian berubah
menyapu pipi kanannya dengan keras.
Perahu itu bergetar mulai dari haluan hingga ke
buritan. Tali-temalinya berkeriut-keriut. Layar tua yang compang-camping itu
diembus keras oleh angin yang kini bertiup dari daratan. Begitu kuat embusan
angin itu, sampai-sampai layar kanvas tersebut hampir robek oleh terpaannya.
Candy menoleh ke belakang, pada Fugit Bersaudara
yang sekarang melangkah ke dalam air untuk mengejar mereka. Tapi mereka tertahan
oleh hantaman ombak. Tempus menjulurkan badan ke depan, berusaha meraih perahu itu sebelum bergerak
ke luar jangkauannya. Tapi ia terlambat; Angin mendorong perahu kecil itu dengan
sangat cepat, hingga pegangan Tempus lepas dan ia jatuh tertelungkup ke air.
Candy tersenyum pada ketiga wanita itu. Mereka tidak mau berlama-lama. Setelah
membalas senyuman Candy, ketiganya lenyap, sosok samar mereka terburai diembus
angin yang telah dipanggil Diamanda.
"Hampir saja," kata Malingo. Ia memandangi sosok Fugit Bersaudara yang tertutup
air hingga ke leher. Makin lama sosok mereka makin kecil. Kemungkinan kedua
bersaudara itu berharap angin berubah arah lagi dan membawa buruan mereka
kembali ke pantai. Tapi harapan mereka sia-sia. Tiupan angin dengan
cepat membawa perahu kecil itu menjauhi pulau tersebut.
Tak lama kemudian, kabut yang senantiasa menyelimuti Jam Kedua Puluh Lima sudah
menutupi pantai yang berbatu-batu karang. Dengan perasaan lelah namun bahagia Candy memutar
tubuh membelakangi pulau itu, menghadap ke laut lepas.
Nanti ia akan memikirkan dengan sangat saksama segala sesuatu yang telah
dialaminya di dalam labirin-labirin Jam Kedua Puluh lima. Juga apa-apa yang
diucapkan dan diperlihatkan ketiga wanita itu padanya: visi-visi untuk masa depan, misterimisteri masa lalu. Tapi sekarang ia terlalu lelah untuk memikirkan yang beratberat. "Apa kira-kira kau tahu arah yang kita tuju?" tanyanya pada Malingo.
"Aku baru saja menemukan Almenak Klepp ini di dasar perahu," kata Malingo. Ia
menyodorkan pamflet yang basah kuyup itu pada Candy, kalau-kalau Candy ingin
melihatnya. Tapi Candy menggelengkan kepala. "Kurasa di dalam Almenak ini pasti
ada peta laut" Malingo melanjutkan. "Masalahnya, sebagian lembar-lembar ini
sudah menempel lengket." Dengan hati-hati ia berusaha melepaskan lembar-lembar
yang menempel itu, tapi rasanya mustahil bisa berhasil.
"Kurasa kita terpaksa mempercayakan nasib pada Laut Izabella" Candy berkata.
"Kau bicara seolah-olah laut ini sahabatmu."
Candy mencelupkan tangannya ke dalam air yang
dingin, lalu mencipratkan sedikit air ke wajahnya. Kedua matanya berat oleh
keletihan. "Kenapa tidak?" katanya. "Mungkin laut itu memang sahabatku."
"Asalkan dia memperlakukan kita dengan baik saja,"
kata Malingo. "Jangan menghantam kita dengan ombak-ombak setinggi dua puluh
kaki" "Kita akan baik-baik saja," Candy menyahut. "Laut ini tahu kita lelah mengalami
saat-saat sulit." "Dia tahu?" "Ya, tentu. Dia akan membawa kita ke tempat nyaman."
Candy membaringkan kepala di lengannya, dan membiarkan tangannya tetap di dalam
air. "Seperti kukatakan tadi: percayalah, laut ini akan membawa kita ke tempat
yang tepat." 34 JALAN NASIB YANG BERBEDA-BEDA
PADA awal-awal petualangannya di Abarat, Candy
pernah disarankan untuk mempercayakan dirinya pada Mama Izabella. Waktu ia
memang sedang membutuhkan
pertolongan ekstra untuk bisa selamat dalam perjalanannya. Namun kali ini, meski sudah aman di dalam perahu tak bernama yang
mendatanginya begitu saja di pantai Jam Kedua Puluh Lima, ia toh membiarkan Laut
Izabella membawanya entah ke mana. Dan ia baik-baik saja. Di dalam perahu itu
ada sedikit persediaan makanan: sederhana namun menyehatkan. Sementara ia dan Malingo makan, angin
mendorong perahu mereka menjauhi Waktu di Luar Waktu, melaju di antara pulau-pulau.
Sementara Candy dan Malingo meneruskan perjalanan tanpa mengetahui ke mana arus akan membawa mereka, dan tanpa rasa takut akan
celaka - ada orang-orang di seberang kepulauan tersebut yang sedang sibuk dengan
urusan masing-masing. Orang-orang ini kelak akan
memainkan peran penting dalam perjalanan nasib Candy.
Di Tengah Malam, misalnya, Christopher Carrion sedang berjalan-jalan seorang
diri di Pulau Gorgossium yang berselimut kabut. Ia asyik menyusun strategi;
selalu dan selalu menyusun strategi.
Ia seperti hantu yang bergentayangan di rumahnya
sendiri. Orang-orang merasa takut bertemu dengannya, sebab akhir-akhir ini
mimpi-mimpi buruk yang bergerak-gerak di dalam cairan itu jauh lebih aktif
daripada biasanya, hingga menambah kengerian penampilannya.
Selain itu, tak bisa diperkirakan di mana Carrion
akanmuncul. Kadang-kadang ia terlihat di Hutan Tiang-Tiang Gantungan, memberi
makan kelompok burung pemakan bangkai yang bau dengan serpih-serpih daging busuk. Kadang-kadang ia
terlihat di dalam tambang, duduk di salah satu lubang galian yang sudah tidak
terpakai. Kadang-kadang orang-orang melihatnya di
salah satu menara yang lebih kecil, tempat tukang-tukang jahit Mater Motley
bekerja membuat pasukan tambal-sulam.
Orang-orang yang sedang sial dan kebetulan bertemu Carrion entah di mana selalu
ditanyai dengan saksama oleh mereka-mereka yang beruntung tidak melihat
Carrion. Semua orang ingin tahu, kira-kira bagaimanakah suasana hati pangeran
mereka itu. Apakah dia kelihatan marah, barangkali" Tidak juga, demikian dijawab
oleh yang ditanyai. Apakah dia kelihatan termenung-menung, seolah-olah
pikirannya ada di tempat lain" Tidak, termenung-menung juga tidak.
Akhirnya ada juga yang berani mengajukan pertanyaan yang sangat ingin diketahui jawabannya oleh orang-orang itu, namun tidak
berani mereka utarakan. Apakah dia kelihatan tidak waras"
Ah ya, jawab yang ditanya, ya barangkali itulah
yang tepat; barangkali tindak-tanduk Carrion memang agak sinting. la suka bicara
sendiri sambil berjalan-jalan di antara tiang-tiang gantungan, atau sambil duduk
di terowongan-terowongan, berbicara dengan nada lambat, seolah-olah membayangkan
dirinya bercakap-cakap dengan orang yang sangat disayanginya. Seorang teman, barangkali" Ya, itu dia.
la bicara seperti sedang berbagi rahasia dengan temannya, Dan kadang-kadang,
sambil berbicara, ia meraih ke dalam cairan berbuih yang
dihirupnya itu, untuk mengambil sepotong mimpi buruk, yang kemudian ia sodorkan
pada lawan bicaranya yang tidak tampak, sebagai hadiah. Hadiah mimpi buruk.
Apakah semua itu merupakan bukti bahwa ia sudah
tidak waras lagi" Kalau orang yang berperilaku demikian itu bukan Carrion, sudah
pasti jawabannya: ya. Tapi Carrion mempunyai aturan sendiri. Siapa bisa menebak
seberapa dalam pikiran-pikirannya, atau penderitaan-nya"
Ia tak punya dewan penasihat; tidak mendengarkan
saran-saran siapa pun. Seandainya ia sedang merencanakan perang, jenderaljenderalnya sama sekali tidak di-libatkan. Seandainya ia merencanakan
pembunuhan, ia juga tidak mencari nasihat dari para pembunuh.
Satu-satunya petunjuk mengenai subjek yang memenuhi pikirannya saat itu adalah
sebuah nama yang beberapa kali terdengar diucapkannya, nama yang saat ini belum
banyak berarti bagi mereka yang mendengarnya, namun tak lama lagi mereka akan
mengerti. Nama yang diucapkan Carrion adalah Candy. Bukan hanya satu kali ia mengucapkan
nama itu, melainkan berkali-kaii. Seolah-olah dengan cara itu ia bisa menghadirkan si pemilik nama tersebut ke hadapannya.
Tapi gadis itu tidak datang juga. Dengan segala
kekuatannya, Christopher Carrion tetap seorang diri di Tengah Malam, hanya
ditemani kawanan burung pemakan bangkai di kakinya, mimpi-mimpi buruk di
bibirnya, serta gema nama yang diucapkannya berulang kali.
"Candy." "Candy." "Candy." Tingkah laku Carrion tidak luput begitu saja dari
perhatian, tanpa ada yang melaporkan. Di seantero pulau itu ada makhluk-makhluk
yang bersembunyi dalam bayang-bayang, mengamati tindak-tanduk Carrion, dan melaporkannya ke puncak
Menara Ketiga Belas. Di menara itu duduklah Mater Motley, nenek sang Penguasa Tengah Malam, menjahit
makhluk-makhluk tambal-sulam di kursi goyangnya yang bersandaran tinggi.
Seperti itulah kegiatannya; ia tak pernah berhenti menjahit. la bahkan tidak
tidur. Ia sudah terlalu tua untuk tidur, begitulah pernah dikatakannya. Tak ada
lagi yang bisa ia mimpikan. Maka ia menjahit menggoyang-goyang kursinya, sambil
mendengarkan cerita-cerita tentang acara jalan-jalan sunyi cucunya.
Kadang-kadang, kalau kulit-kulit untuk membuat
makhluk-makhluk tambal-sulam itu sudah bertumpuk di sekelilingnya, dan ia
dipenuhi oleh kegilaannya sendiri yang aneh, Mater Motley juga suka berbicara
sendiri. Tidak seperti cucunya, ia tidak minta ditemani. Ia berbicara dalam bahasa kuno
yang di kenal sebagai bahasa Abarat Klasik. Orang-orang yang mendengar
wanita tua itu berbicara tidak memahami bahasanya.
Namun tanpa perlu memahami kata katanya pun orangorang bisa mengerti topik yang diperdebatkan Mater Motley dengan dirinya
sendiri. Sekali melihat pasukan tambal-sulam yang dikumpulkannya, pertanyaan
orang terjawab sudah. Perang, itulah topiknya; perang merupakan obsesinya.
Ia menjahit kulit-kulit untuk dijadikan pasukannya, dan sambil menjahit ia
merencanakan bagaimana mengerahkan mereka kelak. Selama bertahun-tahun wanita
tua itu dan tukang-tukang jahitnya telah menciptakan puluhan ribu prajurit.
Sebagian besar dari mereka tidak perlu makan atau bernapas, sebab otot-otot
mereka hanya terbuat dari Lumpur. Mater Motley mengumpulkan pasukannya itu di
dalam labirin-labirin raksasa di bawah pulau.
Dalam kegelapan mereka menunggu panggilan maju
perang. Dan sementara mereka menunggu di perut Pulau
Gorgoashm, Mater Motley juga menunggu. Menunggu,
menjahit, dan berbicara sendiri dalam bahasa Kuno
mengenai saat-saat yang bakal tiba, kalau nanti
Christopher Carrion mengumumkan perang terhadap
pulau-pulau siang. Pada saat itulah pasukan Mater
Motley - yang jumlahnya sangat besar, terbuat dari
lumpur, benang, dan kain tambal-sulam, serta tidak berjiwa - akan maju berperang
atas nama Tengah Malam. Rojo Pixler, arsitek Commexo City, juga sedang sibuk dengan kegiatan-kegiatannya
Abarat Karya Clive Barker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri, pikiran-pikirannya sendiri, dan ambisi-ambisinya sendiri.
Di jantung kotanya yang benderang, tersembunyi dari para penduduk kota yang
sibuk dan memenuhi jalan-jalan metropolis tersebut, ada sebuah koridor raksasa
berbentuk bundar. Tingginya seratus kaki, dan kedua sisi tembok-temboknya
dipenuhi layar, mulai dari lantai hingga langit-langit. Ke tempat inilah puluhan
ribu mata-mata Pixler - para tukang intip yang menggunakan Mata Universal
cipta Voorzangler - mengirimkan laporan-laporan mereka.
Semakin lama Rojo Pixler semakin sering mendatangi tempat itu. la mengelilingi
koridor itu hingga berjam-jam, mengamati layar-layar yang tak terhitung
banyaknya. Sebenarnya ia tidak begitu tertarik dengan informasi dari Tazmagor, Babilonium,
atau Yebba Dim Day. Yang menarik perhatiannya akhir-akhir ini adalah laporan-laporan yang berasal dari
kedalaman Laut Izabella. Jam demi Jam Pixler akan berkeliling di koridor bundar itu dengan naik piringan
terbang - kedua tangannya
bertaut di belakang punggung, kedua kakinya terpentang lebar - mengamati layarlayar yang memenuhi tempat
tersebut, kalau-kalau ada berita dari relung-relung Laut Izabella yang paling
dalam. Apa sebabnya" Sebab di bawah sana ada kehidupan. Para mata-matanya yang
licin telah menjelajah lebih dalam daripada biasanya, dan mereka telah melihat
bekas-bekas cakar raksasa pada dinding-dinding relung-relung bawah laut. Bekasbekas tersebut merupakan bukti tak terbantah bahwa ada
makhluk yang hidup di Laut Izabella, dan makhluk ini perlu dipelajari.
Maka Pixler pun membolak-balik buku-buku hasil
curiannya, untuk mencari informasi mengenai sifat makhluk-makhluk tersebut di
lembar-Iembar buku yang tebal. Apa yang ditemukannya ternyata sungguh di luar
dugaan. Dalam jilid ketujuh Lumeric's Six ia menemukan keterangan mengerikan yang
menjelaskan secara ter-perinci mengenai makhluk-makhluk penghuni kedalaman Laut
Izabella. Makhluk-makhluk ini disebut Repilax binatang-binatang yang jahat tak terkira, dan menurut Dado Lumeric mereka hidup
"di dalam rongga perut Ibu Laut yang paling dalam."
Lumeric meramalkan bahwa makhluk-makhluk ini tidak bakal selamanya bersembunyi
di kedalaman. Suatu saat nanti mereka akan naik ke permukaan. Lumeric menulis
sebagai berikut, "... sudah lama mereka menanti-nanti saat kegelapan
menyelubungi pulau-pulau kita ini, menghapuskan cahaya matahari, bulan, dan
bintang-bintang. Dan saat kegelapan yang gulita itu datang, saat semua cahaya
hilang terhalang, mereka akan muncul seperti sampar; dahsyat sungguh serangan
mereka terhadap kehidupan, hingga segala sesuatunya akan berubah untuk selamalamanya. "Aku, Dado Lumeric, dengan ini menyatakan bahwa ramalanku benar adanya.
Beruntunglah aku, sebab umurku tak kan cukup panjang untuk menyaksikan semua
itu, sebab apa yang akan terjadi itu sungguh melebihi kesanggupan manusia untuk
menanggungnya. Kota-kota besar akan runtuh menjadi abu, begitu pula laki-laki
dan wanita yang gagah perkasa, dan semuanya akan lenyap terbawa angin..."
Pixler meresapi kata-kata Lumeric, terutama bagian yang menyebutkan tentang
kota-kota besar yang akan runtuh. Commexo City akan tersapu bersih" Dihapuskan
begitu saja seolah-olah tak pernah ada" Sungguh tak terbayangkan.
la mesti mempersiapkan diri untuk menghadapi
"kegelapan yang gulita" itu, saat para Requiax muncul ke permukaan. Ia mesti
membuat rencana; memperkuat
pertahanan. Kalau para Requiax itu datang; seperti diramalkan Lumeric, maka ia
dan kota impiannya harus sudah siap menggagalkan terwujudnya ramalan tersebut,
dan siap melawan kegelapan.
Sementara ini sang arsitek Commexo City terus dan
terus mengelilingi koridor bundar itu, mengamati layar-layar, memperhatikan
kalau-kalau ada tanda-tanda
gerakan di kedalaman Mama Izabella yang tak terbayangkan... Sedang turun hujan salju di Chickentown. Atau demikianlah tampaknya.
Candy berdiri di pekarangan belakang Followell Street 34, sementara butir-butir
salju putih berpusing-pusing di sekitarnya, lalu turun menyelimuti tanah yang
cokelat dan rumput yang kelabu.
Tapi ada yang aneh pada badai salju ini. Sepertinya badai salju ini terjadi di
tengah-tengah suatu gelombang panas. Rambut Candy melekat lengket di keningnya
oleh keringat. T-shirt-nya juga menempel basah di tubuhnya.
Selain itu, salju ini turun dari langit yang sepenuhnya biru.
Aneh, pikir Candy. Candy mengangkat tangannya dan menangkap salah
satu butiran salju. Terasa lembut di telapak tangannya. Ia membuka tangannya.
Ada setetes darah di butiran salju itu. Merasa curiga, ia memeriksa salju
tersebut dengan lebih saksama. Salju itu tidak meleleh di tangannya yang hangat.
Namun sebelum ia sempat memeriksa lebih jauh, butiran salju itu lenyap terbawa
embusan angin, hanya meninggalkan bekas-bekas berwarna merah samar di
tengah-tengah telapak tangannya.
Candy mengulurkan tangan dan menangkap butiran
salju lainnya. Lalu lainnya dan lainnya lagi. Kemudian ia menyadari bahwa yang
turun dari langit itu bukanlah salju, melainkan bulu-bulu. Bulu-bulu ayam. Udara
dipenuhi hujan bulu ayam.
Bulu-bulu itu menyapu wajahnya, beberapa di antaranya meninggalkan bekas-bekas
darah samar. Memuakkan. Dicobanya menyapu bulu-bulu itu dengan punggung
tangannya, tapi badai bulu itu justru makin deras.
"Candy?" Ayahnya keluar dari rumah. Di tangannya ia memegang sebotol bir. "Sedang apa kau di luar sini?" tanyanya galak.
Candy berpikir sejenak, kemudian menggelengkan
kepala. la memang tidak tahu sedang apa ia di luar sini.
Apakah untuk melihat saiju" Kalau ya, kenapa ia tidak ingat"
"Cepat masuk ke rumah," kata ayahnya.
Leher ayahnya tampak merah, kedua matanya juga.
Ada sorot jahat dalam tatapannya, dan Candy tahu ia mesti berhati-hati. Ayahnya
sudah nyaris marah. "Kau dengar, kan?" katanya. "Cepat masuk ke rumah."
Candy ragu-ragu. Ia tak ingin menentang ayahnya
kalau si ayah sedang mabuk. Tapi ia juga tidak ingin masuk ke rumah. Apalagi
kalau suasana hati ayahnya seperti ini.
"Aku ingin jalan-jalan sebentar" sahut Candy perlahan.
"Apa kaubilang" Tidak usah jalan-jalan segala.
Sekarang cepat masuk!"
Ayah Candy mengulurkan tangan dan menangkap
Candy, mencengkeram lehernya begitu erat, hingga
Candy berteriak. Seolah-olah menjawab teriakannya, mendadak terdengar suara riuh di pekarangan sekitarnya: suara kotek ayam yang tak terhitung
banyaknya. Ayam-ayam itu ada di mana-mana, memenuhi pekarangan dan tersebar di
segala arah. Candy merasa jijik melihat begitu banyak ayam. Begitu banyak paruh
dan mata yang kecil dan cerah; begitu banyak kepala dimiringkan ke arahnya agar dapat melihat sosoknya.
"Bagaimana ayam-ayam ini bisa ada di sini?" tanya Candy; dengan lambat ia
mengulurkan tangan ke atas untuk melepaskan diri dari cengkeraman ayahnya.
"Mereka tinggal di sini," sahut ayahnya.
"Apa?" "Kaudengar kan apa kataku!" sahut ayahnya sambil mengguncang-guncang Candy. "Ya
Tuhan, kenapa kau bodoh sekali sih" Kubilang: mereka tinggal di sini. Lihat."
Dengan muak Candy menoleh ke arah rumah. Benar
kata ayahnya. Ada ayam-ayam di atap, menyebar
seperti hamparan salju bermata kecil; di jendela-jendela juga ada, berderet di
tepi-tepinya; di dapur juga ada ayam-ayam mendekam. Di meja; di wastafel. Candy
melihat ibunya berdiri di tengah-tengah dapur dengan kepala tertunduk, menangis.
"Ini sinting," gumam Candy.
"Apa kaubilang?"
Ayahnya kembali mengguncang-guncang tubuhnya, kali ini lebih Keras. Candy
menyentakkan diri hingga lepas, dan terjungkal ke belakang. Ia terhuyung-huyung
dan jatuh di tanah yang keras, bau kotoran ayam yang pahit menyengat memenuhi
hidungnya. Ayahnya mulai tertawa; tawa jahat dan hambar.
"Candy!" seseorang memanggil namanya. Candy menutupi wajahnya dengan dua tangan,
agar tidak kena cakaran ayam-ayam itu, jadi ia tidak melihat siapa yang
memanggilnya. Pokoknya ada seseorang yang memanggil-manggil. Apakah orang itu
ada di dalam rumahnya" Ia mengintip dari sela-sela jemarinya.
"Anak bodoh," ayahnya berkata sambil mengulurkan tangan untuk mencengkeramnya
lagi. Pada saat itu, suara yang memanggil-manggil tadi
terdengar kembali. "Candy?" Suara siapakah itu" Jelas bukan suara ayahnya.
Dengan hati-hati Candy menurunkan kedua tangannya
dan memandang sekelilingnya. Apakah ada orang lain di sekitar situ" Tidak ada.
Hanya ayahnya yang masih tertawa. Dan ibunya yang menangis di dapur. Serta
ayam-ayam itu. ayam-ayam konyol yang tak terhitung banyaknya.
Semua itu tidak masuk akal. Rasanya seperti suatu
kengerian. Tunggu, pikirnya. Tunggu! Ini hanya mimpi. Saat pikiran tersebut terbentuk dalam benaknya, suara yang tadi memanggilmanggilnya terdengar lagi.
"Ayolah, Candy," kata suara itu. "Buka matamu."
Benar juga, pikir Candy. Aku cuma perlu membuka mata.
Begitu sederhana solusi itu, sampai-sampai ia jadi menangis saat menyadarinya.
Bisa dirasakannya butir-butir air mata memberati bulu-bulu matanya yang terasa
lengket, lalu menetes turun ke pipinya.
Buka matamu, ia memerintahkan dirinya.
"Kau sangat mengecewakan aku," dalam mimpinya ayahnya berkata demikian. "Kau
tahu itu" Aku ingin punya anak perempuan yang sayang padaku. Tapi yang kudapatkan malah kau. Kau tidak sayang padaku. Iya,
kan?" Candy tidak menjawab. "JAWAB!" teriak ayahnya.
Candy tak bisa menjawab - tak punya jawaban yang
ingin didengar ayahnya - jadi ia hanya menatap ayahnya dan berkata,
"Selamat tinggal, Dad. Aku harus pergi."
"Pergi?" sahut ayahnya. "Mau pergi ke mana kau" Kau tidak bakal ke mana-mana.
Tidak ke mana-mana. "
Candy tersenyum sendiri. Dan sambil tersenyum, ia membuka mata.
la mendapati dirinya kembali berada di perahu berlayar tunggal yang telah membawa mereka dari pantai Pulau Jam Kedua Puluh Lima.
Perahu itu bergoyang-goyang lembut seperti buaian. Pantas saja ia jadi tertidur.
Malingo tampak berlutut di sampingnya, satu tangannya menyentuh bahu Candy
dengan lembut. "Akhirnya," katanya setelah Candy bisa memfokuskan tatapan kepadanya. "Sesaat
tadi aku bingung, mau mem-bangunkanmu atau tidak. Lalu kuputuskan
membangunkanmu, sebab kelihatannya mimpimu tidak enak."
"Memang tidak enak," Candy duduk; air matanya yang keluar dalam tidurnya tadi
sekarang menetes di kedua pipinya. Ia membiarkannya. Aneh, air mata itu seolaholah membersihkan matanya hingga kelihatannya menjadi
jernih. Dunia sekitarnya - Laut Izabella, langit yang dihiasi awan-awan keemasan,
bahkan layar perahu yang gembung - tampak lebih indah daripada yang bisa ia
gambarkan dengan kata-kata.
Ia merasa mendengar suara tawa dari samping perahu.
Ketika ia melongok untuk melihat, tampak serombongan ikan seukuran lumba-lumba
kecil, dengan sisik-sisik gemerlap keemasan, berenang-renang di samping perahu.
Suara yang mereka perdengarkan mirip suara tawa.
Tidak, pikir Candv, bukan mirip suara tawa, melainkan memang tawa. Suara itu
cocok sekali dengan keseluruhan dunia sekitar yang cerah: dengan laut, langit,
dan layar perahu. Ketiganya seakan-akan memperdengarkan tawa juga pada saat itu.
Candy bangkit berdiri, memunggungi tiupan angin.
Embusan angin itu mengingatkannya akan saat-saat ia berada di dalam mercu suar rasanya sudah lama sekali peristiwa itu berlalu - merasakan cahaya yang menyoroti
punggungnya dan memanggil kedatangan Laut Izabella.
"Aku ada di sini, bukan?" tanyanya pada Malingo, sambil berpegangan pada tiang
layar, agar tidak limbung. Malingo ikut tertawa bersama ikan-ikan. "Tentu saja kau ada di sini," katanya.
"Mau di mana lagi?"
Candy angkat bahu. "Di... suatu tempat yang muncul dalam mimpiku."
"Chickentown ?"
"Kok kau tahu?"
"Air matamu itu."
Candy menghapus sisa-sisa air mata di pipinya dengan tangannya yang bebas.
"Tadi kupikir...," ia memulai.
"Kaupikir kau kembali berada di sana."
la mengangguk. "Dan sewaktu terbangun, sesaat aku tidak yakin, yang mana yang benar-benar
nyata." "Kurasa kedua-duanya benar-benar nyata," kata Malingo. "Dan mungkin suatu hari
nanti kita berdua akan kembali ke sana, lewat laut. Kau dan aku."
"Tak bisa kubayangkan buat apa kita kembali ke sana."
"Aku juga tidak," sahut Malingo. "Tapi siapa tahu. Aku yakin dulu pun kau tak
pernah membayangkan akan berada di sini." Candy mengangguk. "Benar," katanya.
Tatapannya sudah kembali tertuju pada ikan-ikan yang tertawa itu. Mereka
sepertinya berlomba-lomba melompat paling tinggi, untuk menarik perhatiannya.
"Menurutmu apakah barangkali sebagian diriku sudah pernah berada di Abarat ini?"
tanya Candy pada Malingo.
"Kenapa kau berkata begitu?"
"Sebab... tempat ini rasanya seperti rumah. Tempat di dunia satunya itu tidak.
Tempat inilah rumah." Ia menengadah. "Juga langit ini." Lalu ia memandang ke
laut. "Laut ini" Akhirnya ia memandangi tanganinya. "Kulit ini"
"Kulitmu di sini sama saja dengan kulitmu di sana"
"Benarkah?" kata Candy. "Tapi rasanya tidak sama."
Malingo nyengir lebar. "Kau menertawakan apa?"
"Aku cuma berpikir, kau ini aneh sekali. Pahlawanku." Ia mengecup pipi Candy,
masih dengan tersenyum lebar.
"Gadis paling aneh yang pernah kukenal."
"Memangnya berapa banyak gadis yang pernah kau kenal?"
Malingo menghitung-hitung sejenak. Kemudian ia berkata, "Yah... cuma kau,
sebenarnya... kalau ibuku tidak dihitung juga."
Sekarang Candy yang mulai tertawa. Dan ikan-ikan
yang berlompatan itu ikut tertawa juga, melompat makin tinggi dan makin tinggi
saking senangnya. "Apa mereka memahami lelucon kita?" kata Malingo, Candy menatap ke langit.
"Kurasa hari ini seisi dunia memahami lelucon kita," katanya.
"Jawaban bagus," sahut Malingo.
Coba lihat itu," Candy menunjuk ke angkasa. "Kita pasti bergerak ke arah Jam
Malam. Aku melihat bintang-bintang."
Angin telah menggeser awan-awan ke arah barat
daya. Sekarang langit tampak biru jernih, menggelap menjadi warna ungu di atas
kepala mereka. "Indah sekali," kata Candy.
Saat memandangi cahaya bintang yang berkelap-kelip itu, Candy teringat bahwa
waktu itu ia melihat betapa berbedanya konstelasi di sini dengan di dunianya
sendiri. Bintang-bintangnya berbeda; takdir-takdirnya pun
Abarat Karya Clive Barker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbeda. "Apakah ada yang namanya astrologi Abarat?" Tanyanya pada Malingo.
"Tentu saja ada."
"Jadi, kalau aku belajar membaca nasib berdasarkan bintang-bintang, mungkin aku
bisa menemukan masa depanku di atas sana. Dengan begitu, bisa membantu memecahkan banyak masalah "
"Dan mengungkap banyak misteri, sehingga jadi tidak seru lagi." kata Malingo.
"Jadi, lebih baik tidak tahu?"
"Lebih baik mencari tahu kalau waktunya memang sudah tiba. Segala sesuatu ada
Jam-nya." "Kau benar sekali," kata Candy.
Barangkali mata yang lebh bijak daripada dirinya
akan bisa membaca hari esok dengan melihat susunan bintang-bintang di atas sana
malam ini; tapi apa asyiknya seperti itu" Lebih baik tidak tahu. Lebih baik menjalani hidup pada Saat ini, Di Sini - disaat
menggembirakan penuh tawa ini. biarlah Jam-jam yang akan datang membawa
peristiwanya sendiri nanti.
Perjalanan ke penghujung hari,
Marilah kunang-kunang, Marilah rembulan; Panjatkan doa atas karunia Tuhan
Dan tidurlah dengan cinta di dalam angan.
C.B. Maka Berakhirlah Buku Pertama Abarat APENDIKS Beberapa Cuplikan dari Almenak Klepp
ALMENAK KLEPP merupakan buku pegangan yang sangat berguna bagi Penjelajah di
Abarat. Jarang ada dokumen yang isinya selengkap itu.
Almenak Klepp diterbitkan sekitar dua ratus tahun yang lalu.
Buku ini merupakan perpaduan fiksi dan kenyataan. Penulisnya, Samuel Hastrim
Klepp, kadang-kadang menulis dari sudut pandang praktis seorang penjelajah, dan
kadang-kadang juga dari sudut pandang seorang ahli mitologi. Di setiap lembarnya
ada kesalahan-kesalahan yang sangat mencolok, tapi rasanya ada kemungkinan Klepp
tahu persis bahwa ia bermain-main dengan fakta sebenarnya dan mengolahnya
sebebas-bebasnya. Pada satu titik ia mengatakan bahwa ia "membumbui apa-apa yang
telah kita ketahui dengan menambahkan apa-apa yang kita impikan bakal terjadi."
Walaupun kebenaran isi buku ini perlu dipertanyakan, tak diragukan lagi bahwa
Almenak Klepp memiliki tempat tersendiri di hati para penduduk Abarat. Almenak
ini diperbaharui setiap tahunnya oleh keturunan Klepp yang sekarang, yakni
Samuel Hastrim Kelima. Sebagain besar isi pamflet tersebut ia pertahankan
seperti aslinya sejak dulu. Almenak ini berisi hari-hari suci di kepulauan
tersebut; tabel-tabel pasang-surut dan bintang-bintang, segala macam peristiwa
yang hanya mitos maupun yang aktual. Almenak ini juga memuat aturan-aturan
permainan dalam dua cabang olahraga favorit di Abarat: Gulat Kutu Mycassius dan
Tembak-Bintang. Selain itu juga ada daftar Peristiwa-Peristiwa langit, yang
biasa dan yang luar biasa; ada berita-berita tentang kemunculan pulau-pulau
baru, dan bagi mereka yang menyukai berita buruk yang mau tak mau bakal terjadi,
ada catatan tentang urutan pulau-pulau yang makin lama makin tenggelam - meski
sedikit demi sedikit. Selain itu, di dalam lembar-lembar Almenak ini juga ada berita-berita tentang
Kepunahan-Kepunahan, Migrasi-Migrasi, Emansipasi-Emansipasi, dan PendefinisianPendefinisian Ulang mengenai Yang Tak Terkira, dan bagi orang-orang yang mencari
informasi lebih praktis, Almenak ini juga menyediakan peta-peta setiap pulau,
serta setiap kota penting, termasuk di antaranya yang telah hancur dimakan waktu
atau bencana. Singkatnya, Almenak ini merupakan panduan penting mengenai Kepulauan Abarat.
Meski (seperti pernah dihitung-hitung oleh seseorang bernama Jengo Johnson)
tidak kurang dari lima puluh tujuh persen informasi di dalamnya patut
dipertanyakan, karena suatu sebab, setiap pelaut dan pedagang keliling yang
melintasi Abarat, setiap pengelana yang hendak berziarah atau peternak babi yang
hendak mengebiri ternak, pasti memiliki satu eksemplar Almenak ini, dan mereka
pasti menemukan informasi berharga di dalam lembar-lembarnya yang berisi
informasi saling bertentangan.
Kalau bisa, ingin saya menampilkan keseluruhan isi Almenak itu di sini. Tapi
tentu saja itu mustahil dilakukan. Karenanya saya membatasi dengan menampilkan
penggambaran-penggambaran Klepp yang mengesankan mengenai Jam-Jam utama,
termasuk Jam Kedua Puluh Lima, dengan menyinggung sedikit mengenai beberapa
pulau yang oleh penulisnya dinamakan
"Batu-Batu Karang yang Cukup Penting" (meski daftar ini tidaklah lengkap; pulaupulau kecil masih terus hilang-timbul di Laut Izabella; daftar yang semula
lengkap sudah keburu kedaluwarsa begitu daftar tersebut dicetak).
Saya akan menjelaskan urutan Jam-Jam tersebut seperti dilakukan Klepp, dimulai
dari saat Tengah Hari. Tapi saya sarankan agar siapa pun yang berniat menggunakan informasi-informasi
di bawah ini sebagai panduan sesungguhnya mengenai pulau-pulau tersebut agar
berhati-hati sekali. Patut diingat bahwa Samuel Klepp Pertama meninggal setelah
tersesat di salah satu Kepulauan Lingkar Luar. Ia ditemukan tewas kedinginan,
dengan sebuah Almenak hasil karyanya sendiri di tangan-nya. Menurut peta yang
sangat mendetail di dalam Almenak tersebut - yang digambarnya sendiri - mestinya ada
sebuah kota kecil yang namanya sama dengan nama Klepp sendiri, persis di tempat
ia meninggal; jelas bahwa ia sedang mencari-cari kota itu ketika maut
menjemputnya. Ternyata kota itu tidak ada.
Tapi sejak kematiannya, sebuah kota memang didirikan di tempat itu, untuk
mengakomodasi para pelancong yang datang untuk melihat tempat si pembuat Almenak
yang terkenal itu meninggal. Dan ya, kota itu dinamai Klepp.
Berarti peta yang dibuat Klepp benar. Hanya saja terlalu prematur.
Hal-hal semacam itu sering terjadi di Abarat, terutama di pulau-pulau yang
paling dekat dengan Jam Kedua Puluh Lima.
Jadi, hati-hatilah. Berikut ini beberapa cuplikan singkat dari penggambaran Klepp mengenai Kedua
Puluh Lima Pulau di Abarat.
"Mengenai Pulau Yzil, atau Pulau Tengah Hari, beginilah kesan-kesan saya: pulau
ini sangat indah dan subur. Selain itu, senang sekali rasanya (sesekali) bisa
berdiri di bawah matahari yang bersinar tepat di atas kepala. Di Pulau Yzil,
orang yang mengejar ketenaran. akan diingatkan untuk menikmati saat ini, dan
untuk tidak terlalu memikirkan di mana bayangannya akan jatuh esok, melainkan
lebih mementingkan keberadaannya pada hari ini.
Pulau ini hangat dan hijau. Angin sepoi-sepoi bertiup tanpa henti antara
dedaunan lebat, dan ada makhluk-makhluk dari berbagai bentuk dan ukuran di selasela kehijauannya. Konon asal-muasal mereka adalah suatu Creatrix dari zaman
purba, yang disebut Putri Napas. Putri ini menjadikan Yzil sebagai tempat
kediamannya, dan dari inti keberadaannya ia menciptakan berbagai bentuk
kehidupan, yang kemudian diembuskan oleh angin sepoi-sepoi di antara pepohonan
dan melintasi perairan Laut Izabella. Arus pasang kemudian menyebarkan mereka ke
pulau-pulau lain, dan mereka pun mengisi pulau-pulau tersebut dengan jenis-jenis
kehidupan baru. "Pada Jam Satu Siang, di sebelah selatan-tenggara Yzil, adalah Pulau Hobarookus.
Sejak dulu pulau ini menjadi sarang para bandit dan bajak laut. Berhubung Jam
Satu adalah saat makan siang saya, maka sudah berkali-kali saya mencari makan
siang yang menyehatkan di pulau ini. Dan dengan gembira bisa saya katakan bahwa
apa pun jenis bajak laut jahat yang menjadikan pulau ini sarang mereka,
kehadiran mereka sama sekali tidak berpengaruh bagi jurumasak-jurumasak di
Hobarookus untuk menjadi yang paling hebat dalam bidang mereka. Singkatnya,
tidak ada Jam lain yang bisa menandingi kelezatan makanan di Hobarookus.
Topografi Pulau Hobarookus ini tidak menarik. Sebagian besar pulau ini
berkarang-karang, namun ada daerah-daerah tertentu di pedalamannya yang tanpa
terduga ternyata berawa-rawa. Daerah-daerah ini, yang oleh para penghuni Pulau
Hobarookus disebut Sinks, merupakan habitat burung-burung kalukwa. Konon spesies
burung ini menetaskan bayi manusia berbulu halus dari telur-telur mereka setiap
sembilan tahun sekali. Anak-anak ini - seandainya mereka tidak dipatuki sampai
mati oleh anak-anak yang ditetaskan pada periode sebelumnya - sering kali
diselamatkan oleh para bajak laut dan diangkat anak oleh mereka. Ini berarti
pulau ini jauh sekali kesannya dari sarang para pencuri dan pembunuh jahat,
melainkan lebih menyerupai pulau tempat anak-anak liar.
"Pada Jam Dua Siang adalah Pulau Orlando's Cap, atau Topi Orlando. Saya tidak
begitu mengenal pulau ini. Ada sebuah rumah sakit jiwa di pulau ini - sebab
pendirinya, Izzard Coyne, berkeyakinan bahwa Jam Dua Siang adalah Jam yang bisa
membawa kesembuhan bagi jiwa.
"Tapi begitu jelek reputasi pulau ini, hingga sulit membayangkan bahwa merekamereka yang punya kecenderungan tidak waras bisa merasa terhibur di tempat ini.
Omong-omong, asal-usul nama pulau ini adalah dari bentuknya yang seperti topi.
Tidak ada bukti-bukti mengenai siapa sebenarnya si Orlando ini, dan saya rasa
orang-orang malang yang menghuni pulau ini juga tidak terlalu peduli tentang hal
tersebut. "Perlu dicatat bahwa bagi Anda-Anda yang tertarik pada produk-produk hasil karya
pikiran yang tidak waras, atau pada karya seni (sering kali kedua hal ini satu
adanya), cara-cara penyembuhan yang diterapkan Coyne antara lain dengan
menyediakan sarana bagi pasien-pasiennya untuk berkarya.
Dengan demikian, di seluruh Pulau Orlando's Cap ini tersebar artitak-artifak
buatan pasien-pasiennya. Ada yang hanya berupa karya-karya sederhana, tapi ada
juga yang berupa dunia-dunia fantastis yang diukir dari batu atau kayu, dan
sering kali dicat dengan warna-warni delusif.
"Kalau melihat susunan pulau-pulau ini di Laut Izabella, sepertinya ada tangan
yang telah merancang semua itu, bekerja sama dengan alam, membentuk sesuatu yang
di luar dugaan kita. Dekat sekali dengan Pulau Orlando's Cap, yang pemanangannya muram (namun jadi tampak lebih hidup berkat berbagai karya pasienpasien Coyne) terletak Pulau Nonce yang merupakan pulau paling indah di mata
saya, di antara pulau-pulau lainnya. Bagaimana mungkin kedua pulau ini bisa
begitu berbeda, padahal keduanya hanya dipisahkan oleh bentangan air yang sangat
sempit dan hanya selemparan batu jaraknya"
" Jam Tiga Siang - tempat Pulau Nonce berada - adalah saat yang santai. Tugas-tugas
pagi boleh dikatakan sudah hampir selesai, dan pikiran kita melayang pada
kesenangan-kesenangan yang telah menanti pada Jam-Jam Senja nanti.
Saya sendiri senang tidur siang sekitar jam ini, dan saya berani bersaksi bahwa
orang-orang yang tertidur di Nonce tidak bakal bermimpi biasa-biasa saja. Mereka
akan bermimpi tentang Awal Mula Dunia. Saya sendiri sudah beberapa kali
mengalaminya: tertidur di sana dan bermimpi tentang suatu Taman Firdaus di mana
tak ada permusuhan atau pun pemisahan antara tanaman dan binatang, malaikat dan
manusia. Dengan demikian, saya berkesimpulan bahwa ada benarnya juga jika
dikatakan (dalam lingkungan-Iingkungan metafisik tertinggi) bahwa di Pulau Nonce
inilah kehidupan di seluruh kepulauan ini bermula.
"Kita teruskan dengan Gnomon, yang terletak pada Jam Empat Sore.
"SebeIumnya, saya ingin menyisipkan sedikit autobiografi di sini. Beberapa tahun
yang lalu, saya kehilangan istri saya.
Maksud saya, dia benar-benar hiking di sebuah lorong berliku-liku di Soma Plume,
peristiwa ini tentu saja membuat saya sangat terpukul (sebab saya suka sekali
pada istri saya itu). Mengikuti saran ipar saya, saya pun pergi ke Gnomon untuk mencari seorang
peramal yang bisa memberi tahukan
keberadaan istri saya. "Meski Jam ini memiliki reputasi biasa-biasa saja (tidak ada kesan sangat mistis
pada Jam Empat Sore), pulau ini penuh dengan reruntuhan kuil-kuil serta tempattempat meramal lainnya. Udara di beberapa bagian pulau ini penuh oleh suarasuara bisikan, seperti potongan-potongan seribu ramalan yang pernah menjadi
kenyataan. Saya sendiri merasa pulau ini agak menggelisahkan. Titik yang paling
tidak menguntungkan adalah bagian Pantai Utara-nya, sebab dari tebing-tebing
karang di pantai itu, orang bisa memandang melintasi Selat-Selat Limbo, ke arah
Pulau Tengah Malam. Dari jarak sedemikian jauh tentu saja tak ada yang bisa
dilihat di Jam yang paling menakutkan itu, selain karang-karang dan tabir kabut
merah yang bergulung-gulung. Tapi itu pun sudah cukup merindingkan bulu roma
orang yang imajinasinya paling kering sekalipun. Kembali pada cerita saya...
"Peramal yang saya datangi di Gnomon ternyata memberikan informasi yang bisa
membantu saya menemukan kembali Mrs. Klepp yang hilang. Sebelumnya, ketika
sedang mencari-cari peramal itu, saya menemukan suatu fenomena yang luar biasa
aneh: Di Gnomon ada beberapa jalur jalan yang sepertinya tidak mengarah ke manamana. Saya punya satu teori untuk menjelaskan fenomena ini, yaitu: Gnomon dulu
merupakan bagian dari Soma Plume, pulau yang bersebelahan dengannya dan
ukurannya dua kali lebih besar. Entah bencana alam apa yang menyebabkan
longsornya tanah di antara kedua pulau tersebut, tapi yang jelas bencana alam
itu bisa menjelaskan misteri jalanan-jalanan tersebut, sebab mereka pasti
mengarah ke Ziggurat Raksasa yang bentuknya seperti bahtera Nabi Nuh di Soma
Plume. "Sejak dahulu kala Ziggurat itu merupakan tempat penguburan. Itu sebabnya banyak
orang yang mengaku-aku penjelajah dan wartawan tidak berani dekat-dekat ke sana!
Atas kepengecutan mereka, saya bilang Fuih! Dalam
perjalanan-perjalanan saya, saya selalu mendapatkan pengalaman menyenangkan
dengan orang-orang yang sudah meninggal. (Terutama dengan mereka-mereka yang
sudah lama sekali meninggal; kalau yang belum lama meninggal kadang-kadang bisa
menjengkelkan.) Pokoknya, saya sarankan Anda tidak perlu terpengaruh oleh Segala
kasak-kusuk mengenai Ziggurat yang seperti bahtera Nabi Nuh itu. Ziggurat itu
benar-benar menakjubkan. "Para penjelajah yang bepergian dengan menumpang kapal laut - terutama bagi yang
mengemudikan sendiri kapal-kapal mereka - perlu waspada, sebab tahap perjalanan
berikutnya, rute dari Soma Plume ke Babilonium yang terletak hanya satu Jam
jauhnya, di Jam Enam Sore, bisa berbahaya. Bukan karena perairan Laut Izabella
di sekitar pulau tersebut lebih besar ombaknya, melainkan karena di sekitar Jam
Enam Sore ini lalu lintasnya selalu ramai oleh orang-orang yang gembira, hingga
sulit sekali menavigasikan perahu di antara ratusan perahu lainnya yang memadati
selat-selat di sana. Entah sudah berapa kali saya menyaksikan perahu-perahu
terbalik atau bertabrakan di perairan sempit itu, bahkan kadang membawa akibat
fatal, hingga merusak ekspedisi yang seharusnya menyenangkan.
"Apa yang bisa saya ceritakan tentang Babilonium" Kalau Anda tahu sedikit saja
tentang pulau-pulau kami ini, maka Anda tentunya tahu pula reputasi pulau yang
terletak pada Jam yang mengasyikkan ini. Konon kata orang, kalau Anda merasa
bosan pada Babilonium, berarti Anda juga sudah bosan hidup. Sebab di antara
tenda-tenda, panggung-panggung, hipodrom-hipodrom, dan arena-arenanya ada
berbagai jenis pertunjukan menarik yang ditampilkan oleh para pemain pertunjukan
topeng, pelatih binatang, musisi, tukang obat, atau pesulap.
Setiap meninggalkan pulau itu, saya selalu merasa seolah-olah baru mereguk
setetes saja kenikmatan-kenikmatannya, dan selalu saja saya berjanji pada diri
sendiri untuk kembali ke sana segera.
"Barangkali kemuraman hati saya disebabkan oleh pemandangan yang tampak di depan
sana: Pulau Bayang-Bayang Memanjang, alias Scoriae. Maafkan saya kalau saya
tidak berminat panjang-panjang menguraikan detail-detail mengenai pulau yang
kelabu ini. Scoriae membuat jiwa tertekan.
"Tentu saja Scoriae bukanlah satu-satunya pulau di Abarat yang dapat seketika
memadamkan rasa sukacita alami di hati manusia. Pulau Tengah Malam juga
memberikan efek yang sama, seperti telah sering saya katakan. Begitu pula Pulau
Telur Hitam yang berada pada Jam Empat Pagi, untuk alasan-basan berbeda (yang
akan saya sampaikan belakangan); bahkan juga Pulau Speckle Frew yang berada pada
Jam Lima Pagi. Tapi banyak hal mengenai Scoriae yang membangkitkan perasaan sedih tertentu.
Pulau ini gersang: hanya berupa bentangan batu lava dan debu hitam, dengan luka
terbuka gunung berapi - yakni Gunung Galigali, di tengah-tengahnya.
Selama berabad-abad semburan dan amukan Gunung Galigali telah memakan tiga kota
besar: Gosh, Divinium, dan Mycassius.
Berkelana di antara reruntuhan ketiga kota ini akan terasa sangat menyedihkan.
Ketiganya merupakan kota yang hebat, para penduduknya ramah tamah dan penuh
kasih. Setahu saya tak satu pun di antara mereka selamat dari amukan Gunung
Galigali ini. Yang tersisa bagi kita hanyalah bekas-bekas kehidupan mereka yang
terselubung debu volkanik: kuil-kuil mereka, gelanggang-gelanggang pacuan
mereka, kebun-kebun pembibitan mereka.
"Telah saya katakan sebelumnya bahwa pertemuan saya dengan orang yang telah
meninggal selalu menyenangkan.
Sebagai perkecualian adalah beberapa hantu di Gosh, yang pada peristiwa beberapa tahun yang lalu - bersikap kasar dengan mengusir saya
keluar dari kota mereka, dengan lolongan serta suara-suara berisik yang mereka
perdengarkan. Tapi perlu saya tambahkan: ketika saya sudah aman berada di dalam perahu, Gunung
Galigali mendadak menggeram-geram dan memuntahkan hujan batu cair yang jatuh di
Abarat Karya Clive Barker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat saya berada beberapa menit sebelumnya. Singkatnya, hantu-hantu itu
ternyata bermaksud baik dengan menakut-nakuti saya.
Mereka tak ingin saya menjadi korban Galigali yang berikutnya.
"Sekarang kita beralih dari satu sisi Abarat ke sisi lainnya, bergerak ke arah
selatan-barat daya. Perjalanan ini tentu saja masih memakan waktu satu jam,
sebab kita akan menuju Jam Delapan Malam, Pulau Yebba Dim Day.
"Pulau Yebba - atau lebih populer dengan sebutan Kepala Raksasa - diukir menurut
rupa pemiliknya dahulu kala, Gorki Doodat. Pulau ini terdiri atas terowonganterowongan serta hunian-hunian kecil-kecil dan kumuh. Di puncak kepala Doodat
yang terbuat dari batu (dibuat setelah ia almarhum) bertengger enam buah menara
yang dihuni oleh orang-orang yang cukup kaya untuk memiliki apartemen-aparteraen
di tempat tinggi itu. Kabarnya beberapa menara tersebut dihuni oleh orang-orang yang sudah sangat tua:
mereka-mereka dari Bangsa Aeph yang merupakan arsitek-arsitek pertama di
kepulauan ini. Saya tak bisa mengkonfirmasi ataupun membantah kabar-kabar burung
ini. "Selama bertahun-tahun Yebba Dim Day dianggap sebagai ibu kota tidak resmi
Kepulauan Lingkar Dalam, dan banyak urusan birokrasi diproses di dalam labirinlabirin di kepala Gorki Doodat. Di sini seorang warga Abarat bisa membuat akta
kelahiran, akta kematian, peta-peta laut, peta-peta darat, dan semacamnya.
Daftar tarif pembuatan dokumen-dokumen tersebut dipasang di tembok, dekat jalan
masuk ke Kepala Raksasa. Selama tahun-tahun penjelajahan saya di kepulauan ini,
besarnya tarif pembuatan peta laut dan darat berkisar sekitar satu-dua zem.
Kantor percetakan saya yang sederhana juga ada di Pulau Jam Delapan Malam ini.
Kantornya kecil saja, terletak di dasar menara-menara.
"Yebba Dim Day menandai berakhirnya terang hari. Saat kita mencapai Huffaker,
yang berada pada Jam Sembilan Malam, jejak-jejak terakhir matahari telah
meninggalkan langit. Huffaker pulau yang mengesankan, dari sudut topografi.
Pembentukan karang-karangnya - terutama yang ada di
bawah tanah - sangat besar dan luar biasa indah, menyerupai katedral-katedral
serta kuil-kuil bentukan alam. Yang paling besar adalah Haps Vault, alias Gua
Hap, yang ditemukan oleh Lydia Hap. Seandainya pun hanya berupa gua,
kesimetrisan-kesimetrisannya yang begitu menonjol sangat mengagumkan.
Tapi bukan hanya itu. Miss Hap-lah yang pertama-tama memperkenalkan Chamber of
Skein, atau Ruang Kumparan.
"The Skein" Bagaimana saya harus memulai menggambar-kannya"
"Kata itu asal-usulnya sederhana saja. Skein berarti segulung tali atau benang
yang dililitkan pada sebuah kumparan. Tapi Kumparan Abarat ini, seperti
digambarkan Lydia Hap, jauh lebih istimewa. Benangnya adalah benang yang
menghubungkan segala sesuatu - yang hidup dan yang mati, yang bisa berpikir dan
yang melompong - dengan segala sesuatu lainnya. Menurut Miss Hap yang persuasif
ini, benang itu berasal dari Gua Hap di Huffaker, yang muncul sesaat berupa
semacam cahaya yang berkedap-kedip, kemudian mencari jalan tanpa terlihat di
Abarat, untuk memulai tugasnya menghubungkan kita semua, satu sama lain. Saya
sudah dua kali mengunjungi Gua Hap, dan dua kali pula saya melihat fenomena yang
sangat tepat dengan teori yang dipaparkan Lydia Hap: garis-garis cahaya halus
bersilang-silang di dalam gua. Barangkali apa yang saya lihat itu hanya sebuah
ilusi optis, dan barangkali juga gagasan mengenai Keterkaitan Tanpa Batas itu
sekadar reka-rekaan yang sepenuhnya sentimental. Tapi, menurut saya, ada
keterkaitan yang jauh lebih erat antara apa yang ingin kita percayai dan apa
yang memang benar adanya, melebihi yang ingin ditanamkan oleh orang-orang yang
rasional. Saya sendiri tidak ragu sedikit pun bahwa ada suatu kekuatan yang
menghubungkan kita dengan segala sesuatu yang ada di kepulauan kita ini. Walau
seandainya kita tidak menghendakinya - sebab kita bukan hanya terhubung dengan hal-hal yang menyenangkan
bagi mata dan moral kita, tapi juga pada hal-hal yang memalukan dan jelek - tak
dapat dibantah lagi bahwa kita merupakan bagian dari suatu sistem yang lebih
besar daripada kita sendiri. Sebelum ada orang yang menawarkan gagasan lebih
bagus, teori Lydia Hap tentang Kumparan Abarat ini cukuplah.
"Dari Hufraker yang luas, kita lanjutkan ke Jam Sepuluh Malam, ke Pulau
Ninnyhammer yang lebih kecil. Sedikit sekali yang bisa dibanggakan pulau ini,
kecuali barangkali kota kecil High Sladder, yang dihuni oleh sekumpulan kucingTarrie liar. Di sebuah bukit di timur laut pulau ini ada sebuah rumah berbentuk
aneh, dengan kubah di atasnya. Kalau kita mendekati pulau ini dengan perahu,
kubah itu mirip dengan mata kalau dilihat dalam cahaya tertentu. Menurut
pendapat saya, rumah itu sudah bertahun-tahun merupakan tempat tinggai para
penyihir. Tidak banyak yang bisa saya sampaikan mengenai pulau ini, sebab saya sudah
disumpah untuk menyimpan rahasia
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penyihir.
Tapi tak jauh dari sana ada sebuah Karang yang Cukup Penting, namanya Alice
Point. Karang ini kecil saja, tapi selama beberapa tahun merupakan titik paling
bagus untuk melihat Odom's Spire, alias Puncak Menara Odom, yang berada di Jam
Kedua Puluh Lima. Ada platform untuk melihat di Point tersebut, serta teleskopteleskop besar yang dibawa ke pulau itu. Namun setelah beberapa waktu platform
itu runtuh tersapu angin badai yang bertiup ganas, dan ada sejumlah orang yang
berpendapat bahwa, angin badai ini berasal dari Puncak Menara Odom itu, sebab
para penghuni Jam Kedua Puluh Lima tak senang dimata-matai. Saya pernah
mendengar para 'penghuni' ini disebut sebagai Fantomaya, tapi siapa atau makhluk-makhluk apakah
mereka, tak bisa saya bayangkan.
Omong-omong, reruntuhan platform itu masih bisa dilihat kalau Anda berlayar
dekat dengan Alice Point. Tapi Karang itu sendiri sudah tidak lagi dihuni
manusia. "Kita lanjutkan ke Jam Sebelas Malam, yakni Pulau Jibarish.
Pulau ini sungguh merupakan tempat serbaparadoks. Sebagian besar pulau ini
terdiri atas karang telanjang, namun ada kesan mutatif yang aneh di sini. Kalau
Anda mengalihkan pandang sebentar, karang yang kelihatan begitu solid sesaat
tadi tiba-tiba sudah mengalir menjadi bentuk lain. Gampang sekali tersesat di
sini, walaupun pulau ini tidak luas; jalan-jalan setapaknya tidak pernah berada
di tempat sama untuk waktu lama.
"Pulau Jibarish ini dihuni sekumpulan wanita yang sudah menetap turun-temurun di
sini. Mereka sengaja membuat para pendatang tidak kerasan di pulau ini - terutama
pendatang pria - itu sebabnya lanskap di sini selalu berubah-ubah. Selama berabadabad para wanita yang luar biasa ini telah membuat elemen-elemen di Jibarish
menentang hukum-hukum alam yang semestinya. Di sini batu karang terasa cair; api
terasa dingin; air terasa padat seperti besi; dan udara - yang seharusnya memenuhi
kebutuhan kita sebagai unsur tak terlihat - malah merupakan kekuatan hebat di
pulau ini. Nama pulau ini pun asal-usulnya diambil dari cara udara mengubah
kata-kata yang diucapkan orang, kata yang semula masuk akal jadi tidak masuk
akal, atau istilahnya 'jibberish'
"Berikutnya, tentu saja, adalah Pulau Tengah Malam, yang juga disebut
Gorgossium. Sedikit observasi yang saya tampilkan di sini mesti saya awali
dengan pengakuan bahwa saya belum pernah menginjakkan kaki di Jam itu, juga
tidak berminat untuk ke sana.
"Gorgossium dikelilingi kabut-kabut merah, yang tampaknya punya kehidupan
sendiri. Benteng tua Iniquisit, dengan ketiga belas menaranya, mendominasi
ketinggian Tengah Malam, dan menatap penuh keangkuhan pada pemandangan muram di
bawah sana. Keluarga Carrion tentu saja telah menghuni Gorgossium sejak awal
sejarah dituliskan, dan apa-apa yang dimiiiki atau tidak dimiliki pulau itu
merupakan hasil kerja mereka (semua informasi ini diperoleh dari tangan ketiga
atau keempat). Sebuah hutan tiang-tiang gantungan; sebuah taman mengerikan yang
ditumbuhi segala macam tanaman berbahaya yang pernah diciptakan; sekumpulan
mesin yang dirancang untuk menyiksa dan membunuh: kabarnya semua itu ada di
pulau ini. "Tapi itu belum apa-apa, Masih banyak hal lain yang tidak akan saya paparkan
dalam lembar-lembar Almenak ini. Saya akan terus berjalan, seperti orang
melewati mayat yang sudah busuk, dan berharap menemukan pemandangan lain yang
lebih manis. "Sekarang, tentu saja, kita berada di jantungnya malam.
Langit di atas sana dipenuhi bintang-bintang. Keheningan besar menyelimuti. Tak
ada tempat yang lebih hening di Abarat daripada di Jam Satu Pagi, tempat
Piramida-Piramida Xuxux berada, menjulang dari perairan gelap dan tenang Laut
Izabella. Tidak jauh dari sini, dapat terlihat dari seberang Selat-Selat Segunda, adalah
Ziggurat di Soma Plume yang bentuknya seperti bahtera Nabi Nuh, seperti telah
saya gambarkan sebelumnya. Siluet Ziggurat ini tentu saja amat sangat dekat
dengan siluet Piramida-Piramida Xuxux, dan ada orang-orang yang mengatakan bahwa
ketujuh struktur tersebut dirancang oleh tangan yang sama dan dibangun oleh
tukang-tukang batu yang sama pula. Tapi saya tidak sependapat. Seperti telah
saya katakan sebelumnya, makam-makam di Soma Plume adalah tempat-tempat yang
tenang dan menyejukkan. Sementara keenam Piramida Xuxux ini (barangkali karena mereka begitu dekat
dengan Tengah Malam) justru berkesan penuh misteri dan tragedi. Empat dari
keenam Piramida tersebut sudah dibobol dan dijarah pencuri, tapi kedua Piramida
yang paling besar tetap tidak terjamah, sebab kunci-kuncinya tak bisa
ditaklukkan oleh bandit kawakan paling ambisius sekalipun. Cukup jelas bahwa
kedua Piramida itu ada penghuninya. Ada sesuatu yang tinggal dan berkembang biak
di kedua Piramida besar itu; saya tidak tahu makhluk apa.
"Meneruskan ke arah barat laut, kita sampai ke ldjit, yang merupakan pulau yang
sangat memesona (menurut pendapat saya, si penjelajah). Saya akui, belum pernah
saya mengunjungi pulau ini dalam keadaan tidak mabuk, jadi mungkin pendapat saya
agak dipengaruhi oleh fakta ini. Tapi ldjit memang pulau yang mendorong orang
untuk berbuat di luar batas, semacam kekonyolan yang membahagiakan.
"Kalau baru sekilas melihat, pulau ini tampaknya tidak cocok untuk bersenangsenang. Seperti tetangganya, Gorgossium, topografi pulau ini juga gersang dan
bergunung-gunung, serta tak henti-henti diamuk badai. Telah diperkirakan bahwa
orang yang berkunjung ke ldjit punya kemungkinan lebih besar disambar halilintar
daripada orang yang berkunjung ke Reruntuhan-Reruntuhan Efreet tertimpa kotoran
burung. Saya bisa memberikan kesaksian pribadi untuk hal ini. Saya sudah tiga
kali kena sambar halilintar sewaktu memanjat gunung-gunung di pulau ini.
Pengalaman yang cukup menyegarkan, seperti melompat ke dalam air sedingin es.
Ya, jelas sangat mendebarkan. Tapi sesudahnya hanya ada dua kemungkinan: mati
atau malah semakin segar. Memang pilihan ekstrem, tapi tentunya hidup ini akan
sangat membosankan tanpa hal-hal ekstrem semacam itu.
"Sekarang kita meninggalkan Idjit dan melanjutkan ke arah timur laut, mendekati
Pyon dengan bentuk lengkungnya yang mudah dikenali itu. Dulu Pyon pulau yang
tenang, tapi sekarang tidak lagi. Sentuhan tangan seorang wiraswasta bernama
Rojo Pixler telah mengubah keseluruhan pulau ini sepenuhnya. Pixler memimpikan
(ada juga yang menyebut ini sebagai kebodohan-nya) membangun kota paling besar
di Kepulauan Abarat ini di Pyon.
Kota yang lampu-lampunya begitu benderang, hingga mengalahkan kegelapan pada Jam
tersebut. Dengan dana yang terkumpul dari hasil penjualan produk-produk rumah
tangga yang laku keras, Pixler menciptakan kota impiannya ini.
Dengan menggabungkan kehebatan para penyihir serta kecakapan arsitek-arsitek
yang lebih konvensional (yang semuanya agak 'miring' karena terlalu jenius).
Pixler bukan hanya mentransformasi Pyon, tapi lambat laun (dan menurut pendapat
saya, si penulis, ini patut disesali) dia mungkin akan mentransformasi
keseluruhan kepulauan ini. Tak ada yang bisa menghindari Panacea-nya, atau
maskotnya yang periang, si Commexo Kid.
"Mesin-mesin terbang Pixler sekarang sudah mengangkasa jauh dari Pyon, dan
penjelajahan-penjelajahannya di bawah laut-di mana dia berniat membangun kota
kedua yang tiga kali lebih besar daripada Commexo City - telah berhasil menggali
lapisan-Iapisan karang yang penuh dengan bukti-bukti peradaban kita yang paling
awal, yang tak mungkin bisa ditiru (begitulah cerita teman-teman saya yang ahli
di bidang mereka). "Tapi barangkali tidak salah kalau saya katakan bahwa orang seperti Rojo Pixler
sama sekali tidak menaruh minat pada masa lampau. Pandangannya hanya terarah ke
masa depan. Hidup yang dijalani dalam pengharapan tanpa henti mungkin ada bagusnya juga,
untuk sementara. Tapi ini hanya cocok untuk orang muda. Kelihatannya Mr. Pixler
belum menyadari kefanaannya. Kalau dia sudah menyadarinya, saya rasa dia akan
bisa lebih menghormati segala sesuatu yang terkubur tenang di dalam tanah, sebab
suatu hari nanti dia pun akan menjadi bagian dari mereka.
"Saya mohon maaf atas renungan-renungan yang begitu kelam ini, tapi semua itu
terlontar dengan sendirinya dari pikiran saya saat saya merenung-renungkan
kebenderangan Commexo City yang mencolok. Di wilayah yang disebut Kepulauan
Lingkar Luar - di mana dulu Pyon merupakan salah satunya - banyak dijumpai hal-hal
menarik. Hanya ada empat pulau dalam kelompok itu. Pulau Telur Hitam, Speckle
Frew, Efreet, dan Autland. Tak diragukan lagi, empat pulau ini adalah yang
paling jelek, paling tidak memikat, paling tidak menarik dari kepulauan
seluruhnya. Tapi bukan berarti pulau-pulau itu tidak memiliki keistimewaan yang
cukup menonjol. "Pada Jam Empat Sore, Pulau Telur Hitam, misalnya, terdapat Pegunungan Pius,
sederetan tonjolan setajam jarum yang merupakan pegunungan alami tertinggi di
seluruh kepulauan. (Sebenarnya puncak Odom's Spire di Jam Kedua Puluh Lima lebih tinggi, tapi tidak
alami, hanya hasil karya seorang arsitek biasa.) Pegunungan Pius ini, meski
sulit sekali dicapai, bukannya tidak berpenghuni. Pada masa-masa awal Abarat,
saat terjadinya Peperangan-Peperangan Besar, banyak gerilyawan bersembunyi di
sini dan menggunakan ketinggian pegunungan ini sebagai basis untuk melakukan
serangan-serangan me-matikan terhadap armada-armada Ratu Deviavex. Keturunan
para pemberontak ini masih mempunyai komunitas di Pius Heights (sebutan mereka
untuk pegunungan itu) yang menjalani kehidupan suci tak bercela yang agak tidak
biasa. "Mengenai Pulau Telur Hitam, hanya ini yang bisa saya katakan; Sampai saat ini
saya telah menemukan dua ratus tujuh belas penjelasan mengenai nama pulau
tersebut, yang semuanya saling bertentangan. Berhubung saya tidak bisa
membedakan penjelasan mana yang lebih bernilai, dan rasanya tidak pada tempatnya
kalau saya asal memilih salah satunya untuk dipaparkan di sini, maka saya
katakan saja bahwa tak seorang pun tahu kenapa pulau ini diberi nama demikian.
Titik. "Sekarang kita bergerak ke barat, sepanjang garis Kepulauan Lingkar Luar.
Sampailah kita pada Jam Lima Sore, Pulau Speckle Frew. Secara geografis, pulau
ini tidak memiliki keistimewaan; tanahnya berpasir dan ditumbuhi rumput-rumput
halus bertepi tajam; desau angin selalu terdengar melolong di sini. Meski
medannya boleh dikatakan tidak bervariasi, pulau ini dihuni oleh beragam spesies
yang sebagian besar berbahaya - semuanya membangun habitat di bentangan tanah
berumput yang berombak-ombak di Speckle Frew. Di pulau ini - di mana suka terjadi
perebutan tanah, telur-telur diinjak-injak atau dicuri - sering terjadi
pertarungan sengit yang brutal dan berdarah. Singkatnya, Speckle Frew lebih
mirip kebun binatang liar, bukan pulau, jadi jangan sembarangan masuk ke sini.
"Urutan berikutnya dari Kepulauan Lingkar Luar adalah Efreet. Tidak seperti
tetangganya, Speckle Frew, yang sejak dulu merupakan pulau yang liar, Efreet
dulunya pulau yang sangat bergengsi. Kota Koy, yang pernah dianggap kota paling
berbudaya di Abarat, dibangun di bagian daratan pulau yang lebih rendah, yang
terletak di sebelah timur laut.
Banyak pendapat berbeda mengenai berapa lama Koy
berdiri, dan mengapa kota ini akhirnya runtuh, tapi apa yang tersisa dari kota
ini - deretan-deretan pilar, gapura-gapura lengkung,
fresco - merupakan saksi keanggunan serta
peradaban Kota ini. Akhir-akhir ini reruntuhan tersebut sering kali didatangi
oleh orang-orang yang tidak bahagia, dan kalau kita mengunjungi pantai-pantainya
yang muram, sulit rasanya membayangkan bahwa dulu pernah ada kehidupan yang
terang membahagiakan di sini. Omong-omong, Jam di Efreet adalah Jam Enam Pagi.
"Berada pada Jam Tujuh Pagi adalah Autland, yang dihubungkan dengan Efreet oleh
Jembatan Gilholly. Ada sebuah istana di Autland ini, dibangun untuk Ratu Muzzel
MeCray, menurut rancangan yang muncul dalam mimpinya, begitulah menurut legenda
setempat. Suami sang Ratu adalah makhluk bernama Nimbus, Penguasa kucing-kucingTarrie. Ia masih tinggal di Istana MeCray, di dalam mimpi wanita yang
dicintainya - bisa dikatakan begitu.
"Tinggal beberapa pulau lagi yang belum saya gambarkan di sini. Pada Jam Delapan
Pagi, ketika hari mulai terang, terletak Obadiah, pulau yang memiliki beragam
flora yang sungguh luar biasa. Di sini orang akan menemukan tanaman-tanaman aneh
dan kadang-kadang agresif, yang tumbuh berlimpah-limpah. Ada orang-orang yang
menyebut Obadiah sebagai Taman Penyair, dan mengatakan barangkali dulunya pulau
ini semacam laboratorium tempat A'zo dan Cha-Pencipta-Pencipta Abarat - mengadakan eksperimen dengan berbagai bentuk kehidupan.
Bahkan ada yang mengaku pernah melihat A'zo yang bermata satu berjalan-jalan di
Abarat Karya Clive Barker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lereng-lereng Obadiah yang penuh ditumbuhi tanaman; kehadirannya membuat bungabunga membuka mata yang selama ini terpejam dalam tidur semu dan menjulurkan
diri ke arahnya, seakan-akan untuk menarik perhatiannya serta berbagi rahasia
tanah. "Pada Jam Sembilan Pagi tibalah kita di Pulau Qualm Hah.
Pulau ini tempat yang membingungkan untuk dijelajahi, sebab memiliki dua wajah
yang sama-sama menonjol. Di sisi sebelah barat pulau berdiri Tazmagor, kota
pelabuhan yang sibuk. Di sini makanannya lezat, orang-orangnya bahagia, dan
udara dipenuhi riuh-rendah lagu-lagu hasil improvisasi instan.
(Penduduk Tazmagor mengadakan macam-macam festival secara rutin. Orang-orang
berlomba-lomba menciptakan lagu-lagu epik di tempat, dengan tema-tema yang
dipilih oleh orang banyak. Juara bertahan saat ini adalah Sally Sullywart. Pada
festival yang lalu, ia memukau penonton dengan lagu sepanjang sembilan menit,
mengenai membersihkan ikan.)
"Di luar batas-batas Tazmagor, mengarah ke ujung timur pulau, tanahnya kosong.
Tak ada yang mendirikan bangunan apa pun di sana; bahkan gubuk pun tidak. Ini
aneh sekali, mengingat Tazmagor sudah begitu padat penghuninya akhir-akhir ini.
Tapi tak seorang pun yang saya ajak bicara mau memberitahukan sebabnya.
"Kita lanjutkan saja ke Spake, pulau favorit saya. Pulau ini indah dan hijau,
banyak pohon cypress tumbuh di lereng-lerengnya yang lebih rendah. Di
ketinggiannya, di atas pepohonan itu, berdiri sebuah panggung sederhana yang
telah digunakan untuk pentas segala macam pertunjukan - sirkus, slapstick, dan
tragedi - sejak dahulu kala.
Orang yang berkunjung ke pulau ini mungkin merasa heran bahwa pertunjukan drama
dipentaskan di alam terbuka, pada Jam Sepuluh Pagi. Tapi sebenarnya aktor-aktor
yang pertama kali berpentas di sini - Norta Geese dan Arlo Godkin - telah memilih
tempat yang tepat. Oleh suatu keajaiban aneh yang bersumber dari lokasi pulau
ini, Teater Geese dan Godkin setiap tiga hari sekali terselubung kabut yang
bertiup dari arah tenggara, menyelimuti bukit dalam selubung kegelapan. Bungabunga api kecil - seperti kerlap-kerlip cahaya bintang menyebar di antara kabut gelap ini, memercikkan cahaya yang berkesan magis pada
drama-drama yang dipentaskan di ketinggian bukit.
"Maju lagi ke Nully, di Jam Sebelas Pagi. Secara topografis pulau ini tidak
terlalu menarik, tapi di sini berdiri salah satu bangunan yang paling luar biasa
di Abarat: Ruang Benda-Benda Kenangan. Dari luar, bangunan ini kelihatan seperti
bangunan besar yang biasa-biasa saja. Tapi isi di dalamnya sama sekali tidak
biasa-biasa saja. Ruangan-ruangannya (yang jumlahnya lebih dari seratus)
dipenuhi benda-benda yang pernah menjadi kesayangan orang-orang penting dan
berkuasa. Mainan-mainan milik raja-raja, boneka-boneka kain milik para ratu;
buaya yang diawetkan, kesayangan si pejuang besar Duke Lutherid dari Skant, di
masa tuanya; tujuh belas ribu mainan tikus porselen milik Pangeran Drudru semasa
kecil. Ruang demi ruang, lemari-demi lemari, rak demi rak: Ruang Benda-Benda Kenangan
ini penuh dengan pernak-pernik kesayangan orang-orang yang kadang keterlaluan
menyayanginya, hingga seperti setengah sinting.
"Saya telah menggambarkan sekitar dua puluh empat Jam dan dua puluh empat pulau,
plus Karang itu tentunya. Tinggal Pulau Kedua Puluh Lima yang belum digambarkan,
meski saya sudah tahu bahwa pena saya tak mungkin sanggup menuliskan misterimisteri pulau ini. Karenanya saya akan memberikan penggambaran sederhana saja.
" Jam Kedua Puluh Lima terletak di tengah-tengah kepulauan.
Nama pulau ini antara lain Whence, Lud, dan Rumah
Fantomaya. Tapi paling sering disebut Odom's Spire. Mengenai sejarah dan tujuan
dibangunnya menara di pulau itu - atau mengenai kemunculan kabut-kabutnya yang
seperti hidup, atau musik aneh yang diperdengarkan Laut Izabella ketika memecah
di pantai-pantainya, sama sekali berbeda dari suara airnya kalau memecah di
pasir atau batu - saya tidak tahu-menahu.
Jelas bahwa perkataan Righteous Bandy (penjahat yang kebetulan terdampar di
pantai Pulau Kedua Puluh Lima dan menjadi penyair setelah berhasil lolos dari
sana) benar adanya. 'Setiap misteri di Abarat ada solusinya di sini,' katanya. 'Setiap pesona
sumbernya dari sini, setiap doa ditujukan ke tempat ini.'
"Lebih dari itu, dia maupun saya tak bisa berkata-kata lebih banyak. Tak ada
buku mengenai Odom's Spire ini, sebab setahu saya tak ada penulis - kecuali Bandy yang pernah pergi ke sana dan berhasil kembali. Tapi banyak sekali lukisan yang
menggambarkan Odom's Spire ini, meski semuanya tidak ada yang mirip. Sepertinya
Odom's Spire memiliki pesona aneh tersendiri. Dua saksi yang berlayar
melewatinya tidak akan melihat pemandangan yang sama. Silakan membayangkan
sendiri, kesan apa yang bisa diambil dari hal tersebut, mengenai sifat dan
interior pulau ini. Demikian sedikit cuplikan dari Almenak Klepp. Seperti telah disebutkan pada awal
Apendiks ini, segala informasi yang disampaikan di sini janganlah ditelan bulatbulat, tapi bolehlah dilihat-lihat oleh Anda-Anda yang ingin menjelajahi Abarat
dengan berjalan kaki, serta para petualang yang lebih pemberani, yang ingin
memejamkan mata dan bermimpi tentang perjalanan-perjalanan mereka.
Created by Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit teks (Fujidenkikagawa)
Serba-serbi Clive Barker Tempat/tanggal lahir: 5 Oktober 1952 di dekat Penny Lane, Liverpool.
Penulis favorit: antara lain Edgar Allan Poe, Ray Bradbury, Herman Melville,
William Blake, William Burroughs, Arthur Machen, Oscar Wilde, Shakespeare, Jean
Genet, Poppy Z. Brite. Pelukis favorit: Francis Goya dan William Blake Buku favorit: Peter Pan (semasa
kecil ingin menjadi Peter Pan, supaya bisa terbang ke Never Neverland)
Film: menjadi sutradara dan penulis skenario dalam film Hellraiser 1 (1987) dan
Lord of Illusions (1995), dan menjadi produser eksekutif dalam film Hellraiser
II (1988), Hellraiser III (1992), Hellraiser IV (1996), dan Candyman.
Lain-lain: " Tidak punya komputer, dan lebih suka menulis buku-bukunya dengan tulisan
tangan. " Semasa kecil tidak suka mainan. Hanya tertarik pada segala hal yang ada
hubungannya dengan lukisan.
" Tidak suka matematika, biologi, dan fisika. Umur 11 tahun sudah memutuskan
bahwa seni adalah bidangnya.
" Suka komik. Tidak bisa hidup tanpa komik.
" Pertama kali menyadari bakatnya menakut-nakuti orang dengan cerita-ceritanya
adalah ketika berumur 10 tahun, saat sedang berkemah dengan teman-teman Pramuka.
" Punya nenek yang suka sekali bercerita tentang detail-detail penguburan. Rumah
neneknya gelap dan sunyi banyak jam dinding berdetik-detik. Clive masih ingat
neneknya duduk dekat perapian sambil bercerita yang seram-seram.
Saran Clive Barker untuk para calon penulis:
"Sebagai pemula, tidak penting kamu penulis yang bagus atau bukan. Yang penting,
kamu menulis. Kalau bangun pagi katakan begini, 'Menulis adalah pekerjaanku. Aku
tidak akan melakukannya cuma kalau sedang mood. Aku akan menulis sebaik mungkin,
dan berusaha keras membuahkan hasil.' Jangan cuma duduk-duduk menunggu
inspirasi, bisa-bisa kamu mesti menunggu lama. Mungkin sesekali ada juga
inspirasi yang datang, tapi kebanyakan kamu cuma menunggu, tidak berbuat apaapa. Pokoknya menulislah, tuangkan apa saja yang ada dalam benakmu, jangan
terlalu memusingkan apakah tanda bacanya benar, atau ejaannya tepat, atau
susunan katanya sudah benar. Yang penting tulis terus..." Confessions: Lost
Souls, Issue 2, [September] 1995
Wanita Iblis 15 Pusaka Golok Iblis Dari Tanah Seberang Seri Pengelana Tangan Sakti Seri Ke 2 Karya Lovelydear Bentrok Rimba Persilatan 23
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama