Abarat Karya Clive Barker Bagian 6
"Kenapa tidak?"
Di sini, Wolfswinkel yang sudah kembali mengenakan topi-topinya, membuka mulut.
"Sebab aku ini penyihir hebat, dan seorang Doktor Filsafat, sedangkan dia cuma
seekor Tarrie penuh kutu yang kebetulan bisa berdiri dengan dua kaki. Dia tak
bisa berbuat apa pun terhadapku, kecuali mencegahku meninggalkan pulau terkutuk
ini. Tapi lihat saja nanti, kalau Otto Houlihan sudah tiba di sini."
"Houlihan!" kata Candy. Ia tadi begitu asyik mendengarkan Jimothi, sampai-sampai
ia lupa tentang Houlihan. "Kau punya urusan apa dengan orang jahat itu?" tanya Jimothi.
Wolfswinkel yang menjawab.
"Kami sudah mengatur untuk membawa gadis ini
kepada Penguasa Tengah Malam, berikut Kunci yang
dicurinya." "Pulanglah ke rumahmu, penyihir," kata Jimothi, mengibaskan tangannya mengusir
Wolfswinkel. "Aku tidak mau mendengar apa-apa lagi darimu. Saudara-saudaraku,
bawa dia." Kucing-kucing yang sedari tadi mengikuti Wolfswinkel mendaki bukit
kini mengelilinginya, mengeong nyaring sambil mendesaknya kembali ke
penjaranya. "Kucing-kucing terkutuk," kata Kaspar. Kemudian ia berseru pada Candy, "Kenapa
tidak kauracuni saja mereka sewaktu kuminta?"
Kucing-kucing itu mengeong nyaring bersamaan hingga ucapan Wolfswinkel
berikutnya tidak kedengaran lagi.
"Dia sinting," kata Candy.
"Mungkin," sahut Jimothi, namun ia kedengaran ragu-ragu. "Maafkan sampai mesti
berurusan dengannya. Tapi pada akhirnya dia hanya pemain yang sangat kecil
dalam sebuah permainan yang sangat besar."
"Siapa yang mengatur permainan itu?" Candy ingin tahu. "Christopher Carrion?"
"Aku Jebih suka tidak berbicara tentang dia, kalau kau tidak keberatan," kata
Jimothi. "Aku percaya bahwa semakin banyak kita bicara tentang kematian dan
kegelapan, semakin dekat mereka datang"
"Maaf," kata Candy "Semua ini kesalahanku."
"Kenapa begitu?"
"Sebab aku membiarkan dia mengambil Kunci itu.
Mestinya aku lebih keras mempertahankannya."
"Tidak, Lady," kata Malingo, berbicara untuk pertama kali sejak percakapan
dengan Jimothi Tarrie dimulai. (Dia menyebutku Lady, pikir Candy. Seperti John
Mischief. Manis sekali.) "Kau tidak bersalah," Malingo melanjutkan. "Dia
mengunakan Mantra Pembuka Rahasia terhadapmu. Tak
ada yang tahan dengan mantra itu. Setidaknya kalau bukan penyihir."
"Dia benar," kata Jimothi. "Jangan menyalahkan dirimu.
Cuma buang-buang energi saja."
Di puncak bukit sana, Wolfswinkel membanting pintu rumahnya. Ancaman-ancaman dan
sumpah serapahnya akhirnya tidak terdengar lagi, begitu pula lengkingan nyaring yang
diperdengarkan kucing-kucing-Tarrie untuk mengalahkan suaranya.
Yang terdengar sekarang hanyalah ratapan angin di
sela-sela rerumputan panjang. Desahannya membuat
Candy teringat rumahnya, dan bentangan padang rumput tinggi di sekitar
Chickentown. Sekonyong-konyong perasaan sunyi melandanya. Bukannya ia ingin
kembali ke dalam kungkungan Followell Street. Hanya saja ia merasa jarak antara
tempat berangin ini dengan rumah kecilnya yang sederhana begitu jauh tak
terukur. Bahkan bintang-bintang di sini pun berbeda. Ya, ia ingat itu. Ya Tuhan,
bahkan bintang-bintangnya pun berbeda.
Dunia apa pun ini - entah mimpi dalam keterjagaan,
sebuah dimensi lain, atau sekadar sebuah sudut ciptaan Tuhan yang terlupakan - ia
mesti menemukan tempatnya di dunia ini dan memahami kenapa ia berada di sini.
Kalau tidak, rasa sepi yang melandanya akan bertambah dan menggerogotinya.
"Jadi, apa yang bakal kualami sekarang?" tanyanya.
"Pertanyaan yang sangat bagus," sahut Jimothi.
30 "JADILAH MESIN TERBANG"
PRlORITAS pertama kita," kata Jimothi, "adalah mengeluarkan kalian berdua dari
pulau ini sebelum Otto Houlihan tiba di sini. Aku tak ingin melihat kalian
dibawa ke hadapan Christopher Carrion."
"Apa kau kebetulan punya perahu?" tanya Candy padanya.
"Ya, aku punya," kata Jimothi. "Kucing kan tidak suka berenang. Tapi sayangnya
perahu itu ada di sisi seberang pulau ini. Kalau kita mencoba menaikkan kalian
ke perahu itu, bisa-bisa Houlihan sudah berhasil menyusul kalian sebelum kalian
menempuh setengah perjalanan ke
pelabuhan." "Aku... aku punya usul" Malingo menyela dengan takut-takut.
"O ya?" kata Jimothi.
"Teruskan," kata Candy. "Coba katakan, apa usulmu."
Malingo menjilat-jilat bibirnya dengan gugup.
"Begini..." katanya, "kita bisa meninggalkan pulau ini dengan naik mesin
terbang." "Mesin terbang?" kata Jimothi. "Usulmu bagus sekali, sahabatku, tapi siapa di
antara kita yang tahu mantra untuk menciptakan mesin terbang?"
"Ehm..."kata Malingo dengan kepala tertunduk malu-malu, memandangi kedua kakinya
yang lebih besar dari ukuran normal. " Aku tahu."
Jimothi jelas tampak terheran-heran. "Astaga, dari mana seorang geshrat bisa
tahu cara menciptakan mesin terbang?"
Maka Malingo menjelaskan, "Kalau Wolfswinkel sedang mabuk minuman keras sampai
tak sadarkan diri, aku suka membaca buku-buku sihirnya. Dia punya koleksi
lengkap di rumahnya. Saturansky's Grimoire; The Strata Pilots Guide; The Wiles
of Gawk; Chicanery and Gowing. Tapi yang benar-benar kupelajari adalah Lumeric's
Six" "Apa itu Lumeric's Six?" tanya Candy.
" Lumeric's Six adalah tujuh buku mengenai Mantra-Mantra dan Jampi-Jampi Ampuh,"
kata Jimothi. "Kalau ada tujuh buku, kenapa disebut Lumeric's Six?"
"Begitulah cara Lumeric membantu seorang penyihir sejati untuk mencari tahu
dengan cepat, apakah mereka berhadapan dengan penyihir palsu."
Candy tersenyum. "Pintar sekali," katanya.
"Ada cara lainnya," kata Malingo.
"Apa itu?" Jimothi ingin tahu.
"Tanyakan saja apakah Lumeric itu laki-laki atau perempuan."
"Apa jawaban yang benar?" tanya Candy.
"Dua-duanya," Malingo dan Jimothi menjawab bersamaan.
Candy tampak bingung. "Lumeric adalah jenis Mutep," Malingo menjelaskan.
"Karena itu, dia berjenis kelamin laki-laki sekaligus perempuan."
"Nah...," kata Jimothi; jelas tampak bahwa ia masih agak ragu dengan pernyataan
Malingo bahwa Malingo tahu mantra-mantra untuk menciptakan mesin terbang.
"Kau telah membaca buku-buku itu. Tapi apa kau pernah benar-benar mempraktekkan
sihirnya?" Malingo angkat bahu. "Pernah, sihir yang kecil-kecil," katanya. "Aku pernah menyuruh sebuah kursi
duduk tegak dan memohon-mohon."
Candy tertawa geli membayangkannya. "Dan aku pernah membuat empat belas ekor
merpati putih menjadi satu...
eh... satu merpati putih yang sangat besar."
" Ha! " kata Jimothi, kelihatannya sekonyong-konyong ia jadi percaya. "Aku
pernah melihat merpatimu itu. Seukuran layang-layang raksasa. Itu hasil
karyamu?" "Ya." "Kau berani sumpah?"
"Jimothi, kalau dia bilang itu hasil karyanya, berarti memang benar begitu,"
kata Candy. "Aku percaya padanya."
"Maafkan aku. Aku salah," sahut Jimothi. "Harap kau mau menerima permintaan
maafku." Rupanya baru pertama kali ini ada yang meminta maaf pada Malingo. "Oh" kata
MaJingo sambil menatap Candy dengan mata terbelalak. "Lalu aku mesti bagaimana?"
"Terima saja permintaan maafnya, kalau kau merasa dia tulus mengucapkannya."
"Oh... ya, tentu, kuterima permintaan maafmu," Jimothi mengulurkan tangan dan
Malingo menyambutnya, jelas-jelas merasa senang sekali akan bukti baru ini,
bahwa kedudukannya di dunia ini sekarang sudah lebih tinggi.
"Wah, sobatku," kata Jimothi, "aku percaya kau sanggup menciptakan sebuah mesin
terbang. Cobalah." "Tadi aku sudah bilang, bukan, bahwa aku belum pernah mempraktekkannya?" Malingo
mengingatkan. "Coba sajalah," kata Candy. "Itu satu-satunya jalan keluar kita. Tapi tentunya
kami tidak memaksa."
Malingo tersenyum gugup pada Candy. "Kalau begitu, sebaiknya kalian berdua
mundur," katanya, lalu ia merentangkan kedua lengannya.
Jimothi mengulurkan sebuah teleskop kecil dari saku jaketnya, membukanya, dan
pergi menjauh untuk mengamati langit.
"Jangan gugup," kata Candy pada Malingo. "Aku yakin kau sanggup."
"Kau yakin?" "Tidak perlu kaget begitu."
"Aku hanya tak ingin mengecewakanmu."
"Kau tidak akan mengecewakanku. Kalau berhasil ya syukur. Kalau tidak..." Candy
mengenyahkan pikiran itu.
"Kita cari cara lain untuk meloloskan diri. Sudah banyak sekali yang kaulakukan
selama beberapa jam belakangan ini. Kau tak perlu membuktikan apa-apa lagi."
Malingo mengangguk, namun tidak kelihatan senang.
Dilihat dari ekspresinya, Candy menduga ia agak
menyesal telah membuka suara tadi.
Sesaat ia cuma menunduk menatap tanah, seperti
sedang mengingat-ingat mantra tersebut.
"Coba kau mundur," katanya pada Candy, tanpa mengangkat wajah. Kemudian ia
mengangkat kedua lengannya dan menepukkannya bersamaan di atas
kepalanya, tiga kali. "Ithni asme ata, ithni manamee, Drutha lotacata, Jadilah mesin terbang. Ithni, ithni, Asme ata: Jadilah mesin terbang"
Sambil mengucapkan kata-kata tersebut, ia berjalan membuat lingkaran yang
lebarnya sekitar enam atau tujuh kaki, membuat gerakan meraih ke udara, lalu
melemparkan apa yang diraihnya itu ke dalam lingkaran.
Kemudian ia mengulangi kata-kata tadi dari awal.
"Ithni asme ata, Ithni manamee. Drutha lotacata, Jadilah mesin terbang."
Tiga kali ia membuat lingkaran, melempar-lempar ke udara, dan mengulangi katakata aneh mantra itu. "... Ithni, ithni, Asme ata: Jadilah mesin terbang."
"Aku sebenarnya tidak ingin menyuruhmu cepat-cepat,"
Jimothi berkata sambil menoleh menatap Candy, sepasang matanya yang ekspresif
itu berpendar-pendar cemas,
"tapi aku melihat cahaya tiga mesin terbang sedang menuju kemari. Itu pasti si
Criss-Cross Man. Aku khawatir kau tidak punya banyak waktu lagi, sobatku."
Tapi Malingo tidak menghentikan aksinya. Ia masih
terus berjalan herputar dan berputar, meraih udara dan melemparkannya. Tapi
sepertinya tidak ada yang terjadi.
Dari sudut matanya, Candy melihat Jimothi menggelengkan kepala pelan-pelan,
dengan putus asa. Candy tidak menghiraukan sikap pesimis Jimothi. Ia malahan
beranjak ke samping Malingo.
"Apa masih ada tempat untuk satu juru masak lagi di dapur ini?" tanyanya.
Malingo masih terus berputar-putar, meraih udara,
berputar dan meraih udara.
"Pancinya masih kosong," kata Malingo. "Aku perlu bantuan."
"Aku akan membantu sebisaku," sahut Candy. Ia masuk ke dalam lingkaran dan
berdiri di samping Malingo, mengikuti setiap gerakan dan ucapannya.
"Ithni asme ata, Ithni manamee..." Ternyata mudah sekali, setelah satu kali melakukannya dengan lengkap. Malahan
amat sangat mudah, seperti gerakan dansa yang telah terlupakan, tapi langsung
kembali dalam ingatan begitu musik dimulai, meski ia tak bisa membayangkan di
mana ia pernah mendengar musik ajaib ini sebelumnya. Ia tak pernah berdansa
seperti ini di Chickentown.
"Kurasa kita berhasil," Malingo berkata ragu-ragu.
Ia benar. Candy bisa merasakan embusan udara hangat
menerpa dari bagian tengah lingkaran, dan dengan
takjub ia melihat beribu-ribu bunga api kecil menyala di sekeliling mereka:
biru, putih, merah, dan keemasan.
Malingo berseru penuh kemenangan, dan kegembiraannya seakan-akan semakin mengobarkan nyala api penciptaan itu. Kini bunga-bunga api itu mulai memberkaskan cahaya, membentuk
sebuah matriks benderang dalam
kegelapan. Mesin terbang yang sedang terbentuk itu ujudnya rumit, didominasi
oleh tiga sapuan lebar, di antaranya diisi oleh serat-serat garis yang lebih
halus. Beberapa garis melesat naik, membentuk semacam kabin.
Sisanya meluncur turun ke belakang ujud tersebut,
kemudian saling menautkan diri membentuk sesuatu mungkin bagian mesinnya. Perlahan-lahan ujud tersebut semakin nyata. Bahkan
sekarang kelihatannya begitu nyata, hingga sulit untuk membayangkan bahwa
beberapa saat sebelumnya tempat itu masih kosong
melompong. Candy menoleh ke arah Jimothi, yang sedang
memandangi hasil ciptaan Malingo dengan ekspresi takjub yang tidak
disembunyikan. "Kutarik kembali ucapanku tadi, sahabatku," katanya,
"Kau memang ahli sihir yang andal. Barangkali yang pertama dari jenismu yang
bisa menciptakan mesin terbang, ya?" Malingo sudah tidak membuat gerakan melingkar lagi.
Sekarang ia juga berdiri mengagumi kendaraan hasil aptaannya itu.
"Kita berdua sama-sama ahli sihir," katanya pada Candy. Tatapannya menyorotkan
rasa heran sekaligus sukacita.
Jimothi sekali lagi mengamati langit melalui teleskopnya. "Kurasa sudah saatnya
kalian pergi," katanya.
"Tapi mesin itu belum sempurna," kata Candy, memandangi mesin terbang yang belum
sempurna itu. "Dia akan menyempurnakan dirinya sendiri," kata Malingo padanya. "Begitulah yang
ditulis oleh Lumeric."
Lumeric si Mutep ternyata benar. Candy melihat mesin terbang itu semakin lama
semakin nyata, garis-garis cahayanya bergerak ke sana ke mari, merajut materi
kendaraan itu, menyempurnakan bentuknya. Namun
prosesnya lama sekali, dan itulah masalahnya.
"Apa tidak bisa dipercepat?" tanya Jimothi.
"Setahuku tidak bisa," kata Malingo.
Candy menoleh ke arah musuh yang makin mendekat.
Sekarang ia bisa melihat mesin-mesin terbang yang dimaksud Jimothi. Ada tiga
mesin yang bentuknya lebih kompleks daripada mesin hasil ciptaan Malingo dan
dirinya. Tapi mesin tetap mesin; asalkan kendaraan itu bisa membawa mereka,
tidak terlalu penting seperti apa bentuknya.
Sementara ia mengamati, trio Houlihan mendarat di
Abarat Karya Clive Barker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah punggung bukit, sekitar empat ratus meter dari mereka. Ketiganya duduk di
sana, seperti binatang-binatang pemangsa.
"Kenapa mereka mendarat di sana?" Candy bertanya pada Jimothi.
"Sebab Houlihan tentara terlatih. Dia membayangkan ada jebakan dan ranjau di
mana-mana. Mungkin dia mengira kita sudah menyiapkan sepuluh ribu kucing-Tarrie yang bersembunyi di
balik bukit. Kalau saja kita benar-benar punya pasukan sebesar itu. Akan
kurobek-robek dia dan boneka-boneka lumpurnya itu hingga berkeping-keping."
" Boneka lumpur" Kok boneka lumpur?"
"Makhluk-makhluk yang bersamanya itu. Mereka jenis makhluk tambal-sulam yang
sangat brutal." Candy baru saja hendak bertanya pada Jimothi,
apakah ia bisa meminjam teleskop untuk melihat makhluk-makhluk itu, tapi tibatiba saja sebuah suara berkumandang dari seberang pulau itu - suara yang mereka harap telah berhasil
dibungkam, setidaknya untuk
sementara. "Tidak usah takut, Houlihan! Mereka cuma bertiga. Dan beberapa ekor kucing."
Suara itu suara Wolfswinkel, tentu saja
Candy menoleh ke arah rumah Wolfswinkel. Tukang
sihir itu menampakkan diri di kubah yang berfungsi sebagai kaca pembesar
raksasa, sehingga wajah dan
tubuhnya tampak tidak karuan. Sosoknya seakan-akan dipantulkan melalui sebuah
cermin raksasa di rumah cermin. Kepalanya jadi tampak bengkak dan tubuhnya
kerdil, hingga ia menyerupai sebuah janin yang sedang marah, dalam setelan
kuning kulit pisang. "Tangkap mereka, Houlihan!" jeritnya sambil memukul-mukulkan tinjunya yang merah
di kaca kubah. "Mereka tidak bersenjata! Bunuh geshrat itu! Dia budak yang
memberontak! Dan hajar gadis itu! Beri dia pelajaran!"
"Aku benar-benar benci pada si cebol itu," kata Candy.
"Tapi banyak yang lebih jahat daripada dia," sahut Jimothi.
"Misalnya...?" "Misalnya si Criss-Cross Man," kata Jimothi. "Daftar kejahatannya begitu
panjang, kalau dibaca bisa-bisa kita masih di sini sampai matahari terbit di
atas Ninnyhammer." Candy menjilat bibirnya yang kering dan pecah-pecah, lalu kembali mengamati
mesin terbang itu. Ia kesal karena benda itu masih terus menyempurnakan diri.
Malingo juga mengamati lekat-lekat, seolah-olah dengan tatapannya itu ia mencoba
menyuruh mesin tersebut menyelesaikan
penciptaannya. "Bagaimana denganmu, Jimothi?" tanya Candy pada si manusia-Tarrie. "Kalau kami
pergi, apa yang akan terjadi denganmu?"
"Aku akan baik-baik saja," kata Jimothi. "Houlihan tidak akan menyentuhku. Dia
tahu di mana harus menarik batas."
"Kau yakin ?" "Aku yakin," kata Jimothi. "Jangan mencemaskan aku.
Oh, A'zo. Dia datang."
Candy menoleh kembali ke punggung bukit itu. Houlihan dan para anak buahnya
sudah keluar dari mesin-mesin terbang mereka, dan kini melangkah mendekat.
Mereka tampak begitu percaya diri - berkat celotehan
Wolfswinkel - dan yakin bahwa tak ada yang perlu
mereka takuti. Houlihan mengenakan mantel panjang
berwarna ungu, dengan tepian merah darah; wajahnya samar-samar tampak kuning
seperti orang sakit, dan kedua pipinya dihiasi tato berpola kotak-kotak seperti
papan dam. Ketujuh makhluk tambal-sulam yang
mengikutinya lebih besar daripada dirinya; yang paling besar ukuran tubuhnya
hampir dua kali besar Houlihan.
Seperti halnya semua spesies mereka yang jelek, ketujuh makhluk ini merupakan
perpaduan daging dan bahan-bahan sisa yang dijahit jadi satu begitu saja. Namun
kepaia mereka tidak seperti kepala manusia, melainkan seperti kerangka kepala
setan, dengan tanduk, moncong, dan gigi-gigi tajam. Semuanya membawa pisau
berpola indah; tiga di antara mereka membawa sebilah pisau di masing-masing
tangan. Secara keseluruhan, mereka memberi kesan menakutkan. "Berapa lama lagi?" Candy bertanya pada Malingo.
"Entahlah," sahut geshrat itu. Kemudian dengan agak angkuh ia menambahkan, "Aku
kan baru pertama kali ini mencoba." Ia memandangi gerombolan yang sedang
berjalan ke arah mereka. "Kurasa kita sudah bisa naik ke dalam mesin terbang
itu, tapi aku khawatir benda itu rusak dan kita jatuh."
Pada saat itu terdengar seruan Houlihan.
" Candy Quackenbush?" teriaknya. "Kau ditangkap, atas perintah Christopher
Carrion." Jimothi menaruh satu tangannya di bahu Candy. "Aku akan memerintahkan kucingkucing-Tarrie untuk menghambat dia sedapat mungkin," katanya. "Semoga
perjalananmu aman, Lady. Setulusnya aku berharap kita bisa bertemu lagi, dalam
keadaan tidak terlalu... terburu-buru.
Selamat jalan, Malingo. Senang sekali bisa berkenalan denganmu."
Setelah itu ia beranjak pergi, tapi kembali lagi dan berkata pada Candy,
"Seandainya kau tertangkap sekarang atau kapan pun - jangan putus asa. Aku rasa Carrion tidak ingin
membunuhmu. Dia punya tujuan lain terhadapmu."
Ia tidak menunggu Candy menjawab. Tak ada waktu
lagi. Jarak antara Houlihan dengan mereka tinggal sekitar tiga puluh langkah.
"Saudara-saudaraku," Jimothi memanggil. "Datanglah padaku. Datanglah."
Mendengar panggilannya, kucing-kucing-Tarrie itu
bermunculan dari dalam kegelapan, dan mengikuti
langkahnya. Mulanya jumlah mereka hanya sekitar dua belas ekor, tapi kemudian
yang lain-lainnya bermunculan juga dari antara rerumputan panjang. Ada sekitar
dua puluh empat atau tiga puluh enam ekor kucing.
Jimothi Tarrie menempatkan pasukan kucingnya tepat di hadapan Houlihan.
Si Criss-Cross Man mengangkat satu tangan, menyuruh pasukan tambal-sulamnya
berhenti. "Jimothi Tarrie," katanya. "Benar-benar kejutan. Tak kusangka aku akan bertemu
dengan bajingan High Sladder di sini. Kupikir kau dan kucing-kucing
gelandangan itu sudah dikumpulkan dan disuntik mati."
Jimothi tidak menghiraukan penghinaan itu.
Ia hanya berkata, "Kau tak bisa mengambil gadis itu, Houlihan. Titik. Dia tidak
akan pergi menghadap Carrion.
Takkan kubiarkan kau rnembawanya."
Mereka bicara seperti dua musuh bebuyutan, pikir
Candy. Ucapan-ucapan mereka mengandung kebencian
mendalam terhadap satu sama lain.
"Dia datang tanpa diundang, Tarrie," sahut Houlihan.
"Dan dia juga pencuri. Selain itu, Penguasa Tengah Malam menuntut agar gadis itu
diserahkan langsung kepadanya."
"Kau tidak mengerti, Houlihan. Gadis itu tidak akan ikut denganmu."
"Tidak, kau yang tidak mengerti, binatang. Aku bertindak atas nama hukum. Dia
ditangkap." "Atas perintah siapa?"
"Perintah Tengah Malam."
"Ninnyhammer tidak termasuk dalam wilayah kekuasaan Carrion, Criss-Cross Man. Kau tahu itu. Hukum-hukumnya tidak berlaku di
sini. Jadi, kembalilah padanya dan katakan... terserah apa yang mau kaukatakan.
Bilang saja gadis itu menyelinap pergi."
"Aku tak bisa berbuat begitu," kata Houlihan. "Carrion menginginkannya. Dan
keinginan Carrion harus dipenuhi.
Jadi, minggirlah, atau aku terpaksa mengambil gadis itu dengan kekerasan."
"Tarrie!" sekonyong-konyong Jimothi berseru. "Lumpuh-kan makhluk-makhluk itu!"
Tanpa menunggu instruksi lebih lanjut, kucing-kucing itu menerjang dari tengah
rerumputan, seperti empasan
ombak bergaris-garis, dan melompat menyerang ketujuh anak buah Houlihan,
memanjati tubuh makhluk-makhluk itu dengan menancapkan cakar di mantel mereka
dan menyerang kepala mereka yang berkerudung. Makhlukmakhluk tambal-sulam itu tidak mengeluarkan suara, namun pedang mereka
berkelebat sangat cepat. Beberapa ekor kucing-Tarrie yang paling berani jatuh ke rumput, terkena tebasan
pedang dalam sekian detik.
Sungguh pemandangan mengerikan. Hati Candy tersayat-sayat melihat pertarungan
ini. Semua ini terjadi gara-gara dirinya.
"Aku mesti menghentikan ini," katanya pada Malingo.
"Pertarungan ini tak boleh berlanjut. Biarlah Houlihan membawaku."
"Tidak perlu," sahut Malingo. "Lihat itu"
Ia menunjuk ke arah mesin terbang. Akhirnya mesin itu selesai dengan proses
pembentukannya. Ia tampak
beruap sedikit dalam udara senja yang sejuk, mungkin berkeringat karena begitu
seru membentuk diri. "Ayo," ajak Malingo. "Masuklah."
Sambil masuk ke dalam kendaraan tersebut, Candy
berseru pada Jimothi Tarrie. "Panggil kucing-kucingmu, Jimothi."
Seketika Jimothi menengadahkan kepala dan memperdengarkan lengkingan nyaring. Kucing-kucing itu pun mundur dari arena
pertempuran. Mereka telah menunjukkan keberanian, dan telah membayar akibatnya
dengan harga sangat mahal!
Houlihan menggiring pasukannya ke arah mesin terbang Candy. Ia menyeringai
memamerkan giginya, kedua
matanya menyala-nyala. Sambil mendekat ia menudingkan jarinya pada Candy.
" Jangan bergerak!" katanya dengan suara menggelegar.
"Cepat, Lady!" desak Malingo. "Ucapkan kata-katanya."
"Kata-kata apa?"
"Oh ya, Nie Kethica. Artinya: Turuti Kehendakku."
"Lalu apa?" "Dia akan menjawab. Mudah-mudahan."
"Kena kau, Nak!" si Criss-Cross Man berteriak. "Kena kau!"
Houlihan tinggal sepuluh langkah, tapi salah satu
makhluk tambal-sulam itu - yang kepalanya menyerupai burung raksasa - sudah bergerak
mendahuluinya, jelas-jelas bermaksud menghentikan Candy dan Malingo.
Untunglah makhluk itu telah kehilangan senjatanya dalam pertempuran singkat
dengan kucing-kucing-Tarrie, tapi kedua lengannya sangat besar, seperti cakar
malah, dengan kuku-kuku melengkung keperakan.
Tak ada respons dari mesin terbang itu.
"Nio Kethica," kata Candy. "Nio Kethica! NIO KETHICA!"
Makhluk tambal-sulam itu hampir mencapai mereka.
Mengulurkan tangan... Sekonyong-konyong mesin terbang itu bergetar.
Mesinnya mengeluarkan suara, seperti suara orang sakit asma berusaha menarik
napas dengan susah payah.
Candy melihat cakar-cakar makhluk itu tinggal
beberapa inci dari mata kakinya. Ia mengangkat kakinya untuk menghindari
cengkeraman cakar itu, dan pada saat itulah terjadi keajaiban... mesin terbang
itu mematuhi perintahnya. Mesin itu bergetar dan mulai naik perlahan-lahan ke
angkasa. Si makhluk tambal-sulam menyurukkan tubuhnya ke depan dan menangkap
mesin terbang yang sedang naik itu. Dalam beberapa detik saja mesin itu sudah
terangkat dua puluh, tiga puluh, empat puluh kaki dari tanah. Tapi si makhluk
tambal-sulam tak mau melepaskannya. Ia terus bergelantungan dengan gigih, sambil sengaja mengayunayunkan tubuhnya ke depan ke belakang, supaya mesin tersebut kehilangan
keseimbangan. "Dia berusaha membuat kita terbalik," kata Candy; ia berpegangan erat-erat pada
sandaran lengan mesin terbang itu. Malingo meraih lengannya. "Aku tidak akan membiarkanmu jatuh," katanya.
Janji yang manis, tapi tidak terlalu meyakinkan. Si makhluk tambal-sulam
mengayun-ayunkan tubuhnya berputar-putar, hingga mesin terbang itu terguncangguncang makin hebat ke depan ke belakang. Sebentar lagi
kendaraan itu pasti terbalik.
"Kita mesti menyingkirkan makhluk ini" kata Candy pada Malingo.
"Apa saranmu?" sahut Malingo.
"Pertama-tama, kita mesti melepaskan helm di
kepalanya itu. Dia ada di sisiku, jadi kau mesti memegangi aku."
Candy menjulurkan tubuh dari tepi mesin terbang itu dan mencengkeram bagian
paruh tajam di helm si makhluk Umbal-sulam. Makhluk itu tak berdaya mencegahnya.
la hanya bisa berpegangan pada mesin terbang yang mulai miring dan berguling
seperti wahana berbahaya di pasar malam.
" Tarik!" teriak Malingo.
"Aku sudah berusaha sebisanya!" Candy balas berteriak. "Aku perlu menjulurkan
badan lebih jauh lagi."
"Aku memegangimu," Malingo meyakinkan Candy dan memegangi Candy lebih erat lagi.
Candy menjulurkan tubuhnya sejauh yang dimungkinkan dari mesin terbang yang
miring dan bergoyang-goyang itu. Sekarang tubuhnya lebih banyak berada di luar
daripada di dalam. Sementara itu, mesin terbang tersebut masih terus membubung
naik tanpa dapat dicegah,
didorong embusan angin yang membawanya dengan
mantap menjauhi tempat benda tersebut mula-mula
diciptakan. Rumah Wolfswinkel mulai tampak di bawah sana.
Rupanya tukang sihir itu telah menyaksikan bagaimana mesin terbang tersebut
makin meninggi dengan mendebarkan. Tampak ia menempelkan kepalanya di kubah
kaca, hingga ukurannya jadi jauh lebih besar; ekspresinya begitu kalap.
Candy tidak menghiraukan tatapan liar Wolfswinkel. la berkonsentrasi untuk
menarik lepas helm di kepala si makhluk tambal-sulam. Selain paruhnya yang
runcing, permukaan helm itu juga dipenuhi duri-duri kecil yang tak terhitung
banyaknya, yang menusuk-nusuk dan menyengat telapak tangan Candy. Tapi Candy tak
mau menyerah. la sedang berjuang mempertahankan nyawa mereka.
Tampaknya si makhluk tambal-sulam juga mengerti hal ini, dan kelihatannya ia
sudah siap bunuh diri agar mesin terbang itu jatuh. Ia meronta-ronta dengan
dahsyat. Tapi Candy justru menunggu-nunggu saat-saat ini. Ketika makhluk itu
meliukkan tubuh ke kanan, Candy menyentakkan helmnya ke kiri, dan ketika makhluk
itu meliuk ke kiri, Candy menyentakkan helmnya ke kanan.
Akhirnya, ketika mesin terbang itu lewat tepat di atas rumah Wolfswinkel,
terdengar serangkaian suara aneh dari tengkorak makhluk tersebut. Mula-mula
terdengar suara derak, seperti suara segel berat yang dibuka, disusul suara
desis keras dan tajam. Ketika Candy menarik kepala berparuh itu ke arahnya, terdengar suara ketiga;
suara basah danlengket, seperti kaki yang ditarik dari lubang pengisap. Akhirnya
helm itu terlepas. Berat sekali, dan seketika Candy melepaskannya. Helm itu
jatuh dari tangannya, terguling-guling ke arah atap rumah Wolfswinkel, terus
berguling-guling hingga menghantam kubah kaca di bawah.
Sekarang Candy bisa melihat wajah mahluk tambal
sulam itu. Bentuk kepala makhluk itu sama dengan helmnya tadi; hidung dan
tanduk-tanduknya juga sama. Ia tak punya bagian-bagian wajah dan warna. Semuanya
kelabu, persis seperti helm yang dikenakannya, hanya saja wana kelabu wajahnya
berkilat-kilat, seperti luka yang masih baru.
"Lumpur," Candy bergumam sendiri. "Dia terbuat dari lumpur."
"Apa?" Malingo berteriak mengatasi suara gemuruh angin.
"Dia terbuat dari lumpur!" Candy menjawab dengan berteriak juga.
Sementara ia berbicara, kepala makhluk itu mulai
meleleh. Gumpalan-gumpalan lumpur mulai terlepas dan jatuh dari udara ke arah
kubah di bawah. Makhluk itu berhenti meronta-ronta, sementara tubuhnya - yang sepenuhnya terbuat
dari lumpur, menurut dugaan Candy, dibungkus jubah, setelan, sepatu bot, dan sarung tangan - mulai
kehilangan kepadatannya. Kepalanya roboh total, mengeluarkan bau busuk
memuakkan. Gumpalan-gumpalan lumpur bertebaran di kubah rumah Wolfswinkel, seakan-akan
segerombolan besar burung yang sedang terbang lewat telah buang hajat di kaca
kubah. Tanpa kepala, dengan tubuh gemetar dan berkedut
Abarat Karya Clive Barker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedut, si makhluk tambal-sulam tak punya tenaga lagi untuk melawan Candy. Candy
mulai melepaskan cakar-cakar makhluk itu dari tepian mesin terbang, satu demi
satu. Akhirnya cengkeraman makhluk itu pun lepas. Candy bersorak penuh
kemenangan ketika makhluk itu meluncur jatuh, meneteskan lumpur dari luka
terbuka di lehernya. Di kubah kaca mengilap di bawah sana, Kaspar
Wolfswinkel melihat tubuh si makhluk tambal-sulam
melayang jatuh ke arahnya. Ia pun mundur dari kubah kaca itu, wajahnya yang
pucat oleh amarah menampakkan ekspresi ngeri. Baru saja ia mulai mundur, tubuh
besar makhluk itu sudah menimpa kaca kubah. Tadi, dari balik kubah itu, sosok
Wolfswinkel tampak sangat besar dan menakutkan, wajahnya pun tampak jauh lebih
besar. Tapi ketika kaca kubah itu pecah berkeping-keping tertimpa tubuh si makhluk
tambal-sulam. Candy dan Malingo pun melihat penampilan si tukang sihir yang
sebenarnya: hanya seorang laki-laki kecil yang menggelikan, dalam setelan warna
kuning. Bahkan suaranya, yang tadi bergaung melintasi lereng-lereng seperti suara
seorang tiran, kini hanya berupa jeritan menyedihkan saat pecahan-pecahan kaca
itu menghujaninya. Candy memperhatikan tubuh makhluk itu menghantam
lantai ubin dan terbelah seperti buah semangka yang dijatuhkan dari gedung
tinggi. Isi perutnya yang berlumpur bertebaran ke segala arah. Tidak ada anatomi
apa pun di dalamnya. Tak ada darah, tulang, jantung, paru-paru, ataupun empedu.
Seperti telah diduga Candy, makhluk itu terbuat dari lumpur mulai dari kepala
sampai ke kaki. Dan meskipun Wolfswinkel sudah berusaha menghindar agar tidak
terkena isi tubuh makhluk itu, rupanya ia tidak cukup cepat mundur tadi. Jas
kuningnya berlepotan lumpur, begitu pula sepasang sepatu birunya yang panjang,
yang alasnya kini licin hingga membuatnya terpeleset-peleset.
Woliswinkel berusaha mempertahankan keseimbangannya sedapat mungkin, tapi gagal. Ia jatuh telentang dengan keras. Lengkaplah
sudah perasaan terhinanya.
Kaspar Wolfswinkel sudah tak bisa jatuh lebih rendah lagi.
Sebelum mesin terbang itu membawa mereka menjauhi
kubah yang pecah berkeping-keping itu, yang terakhir dilihat Candy adalah sosok
Kaspar Wolfswinkel yang berusaha bangkit dengan susah payah, tapi jatuh kembali,
wajahnya sekarang sama kotor dengan pakaian dan
sepatunya. Pemandangan itu membuat Candy tertawa, dan angin
membawa suara tawanya ke atas lereng-Iereng gelap
Ninnyhammer. Jimothi Tarrie, yang sedang berlutut di antara rerumputan panjang, memberikan
penghormatan terakhir kepada
saudara-saudaranya yang gugur, mendengar suara tawa Candy yang penuh kemenangan.
Mau tak mau ia tersenyum kecil mendengarnya, meski ia telah kehilangan lima
saudara tercintanya dalam pertarungan dengan
gerombolan ganas Houlihan.
Otto Houlihan juga mendengar suara tawa itu saat ia menyuruh anak-anak buahnya
yang tersisa untuk mengejar dengan mesin terbang. Tiga anak buahnya ia
tinggalkan di medan pertempuran, tutup kepala mereka lepas di-cakar oleh kucingkucing-Tarrie, dan cairan lumpur berbau busuk mengalir keluar dari balik pakaian
mereka. Houlihan tidak terlalu optimis bahwa sisa anak-anak buahnya akan berhasil
menyusul si gadis dan si budak yang melarikan diri dengan mesin terbang ciptaan
mereka. Makhluk-makhluk tambal-sulam itu tak kenal takut, tapi mereka tidak
cerdas. Mereka perlu diberi instruksi mendetail. Kalau tidak, dengan cepat
mereka lupa akan tujuan mereka. Kemungkinan besar awan-awan yang
menyelubungi langit Ninnyhammer akan menyembunyikan buruan mereka dari
penglihatan. Setelah beberapa
waktu, makhluk-makhluk itu akan lupa untuk apa mereka naik mesin terbang, dan
mereka akan berputar-putar saja di tempat. Kalau tidak diberi petunjuk-petunjuk
lagi, mereka akan terus saja berputar-putar, terus dan terus, sampai mesin
terbang mereka tak kuat lagi dan ambruk ke tanah.
Tapi Houlihan tak bisa mengejar langsung buruanburuannya itu, meski ia sangat ingin. Gadis itu penting bagi Carrion, namun
Kunci itu lebih penting lagi. Prioritas Houlihan adalah mendatangi rumah
Wolfswinkel dan meminta tukang sihir itu menyerahkan Kunci kepadanya.
Urusan dengan gadis itu bisa menunggu. Tidak akan sulit menemukan Candy
Quackenbush lagi. Gadis itu mudah
dikenali. Ada sesuatu pada sorot matanya... pada pembawaannya, yang sulit ia
sembunyikan. Houlihan mendaki bukit kecil tempat Wolfswinkel membangun rumahnya, dan
melangkah masuk ke tengah
reruntuhan yang kacau alau itu, sambil memanggil-manggil nama si tukang sihir.
Tidak segera terdengar jawaban, maka ia masuk ke ruang tamu, lalu naik tangga ke
kubah. Ia sudah melihat kaca kubah itu pecah tadi, jadi ia bisa menduga seperti apa
keadaan di atas sana. Tapi ia sama sekali tak mengira bakal melihat Kaspar
Wolfswinkel berdiri hanya mengenakan celana dalam, kaus kaki, dan sepatu biru
yang berlumuran lumpur, sambil memandangi langit yang penuh bintang melalui
celah-celah menganga di kubah kesayangannya.
Pakaian-pakaiannya yang kotor tergeletak tertumpuk di lantai.
Bukan pemandangan indah, melihatnya dalam keadaan
setengah telanjang seperti itu.
"Kunci," kata Houlihan.
"Ya, ya," sahut Wolfswinkel. Ia mencari-cari di saku-saku tumpukan pakaiannya
yang berlumpur. "Ada di sini."
"Kau akan mendapatkan imbalan," kata Houlihan padanya.
"Kuharap begitu," kata Wolfswinkel sambil menyerahkan Kunci tersebut pada
Houlihan. Ia gemetar, dan si Criss-Cross Man melihatnya.
"Apa yang meresahkanmu?" tanya Houlihan.
"Oh, selain semua ini?" kata Wolfswinkel sambil merentangkan kedua lengannya dan
berputar-putar di tempat. "Hmmm, akan kukatakan padamu apa yang meresahkanku.
Gadis itu." "Kenapa dengan gadis itu?"
"Kekadirannya di sini bukan suatu kebetulan, Otto. Kau tentunya menyadari itu,
bukan?" "Memang sudah terpikir juga olehku. Tapi bukti apa yang kaumiliki untuk dugaanmu
itu?" "Terlalu mudah untuk dia, Otto."
"Mudah?" "Berada di sini," kata Wolfswinkel. "Dulu, sebelum pelabuhan-peiabuhan itu
ditutup..." "Kau belum lahir waktu itu, Kaspar."
"Memang belum, tapi aku kan bisa membaca, Otto. Dan semua buku itu menyatakan
hal yang sama: orang-orang dari Hereafter perlu waktu berhari-hari, bermingguminggu, kadang-kadang bahkan berbulan-bulan, untuk bisa menyesuaikan diri berada
di Abarat ini. Kalau kau mencoba mempercepat prosesnya, mereka jadi sinting.
Imajinasi mereka yang rapuh tak sanggup menerima apa-apa yang mereka lihat."
"Yah, mereka memang lemah," kata Houlihan.
"Kau tidak menangkap maksudku, Otto, seperti biasanya. Aku bicara tentang gadis
ini. Si Candy Quackenbush ini. Bagi dia, berada di sini sama sekali bukan apaapa. Dia mempraktekkan sihir seolah-olah ia sudah terbiasa sejak lahir. Terbiasa
sejak lahir, Houlihan! Coba, apa artinya itu menurutmu?"
"Aku tidak tahu," kata Houlihan.
"Akan kukatakan padamu, apa artinya itu menurutmu."
"Apa?" "Gadis itu sudah pernah kemari"
"Hah. Biar Carrion saja yang memikirkan urusan itu,"
kata Houlihan. la jelas-jelas tidak tertarik memperdebatkan hal tersebut dengan
Wolfswinkel. "Lalu aku bagaimana?" tanya Kaspar.
"Kenapa denganmu?"
"Kan aku yang menemukan Kunci itu. Dan gadis itu."
"Lalu dia lolos. Kau membiarkan dia kabur"
"Itu bukan salahku. Semuanya gara-gara makhluk-makhluk sialanmu itu. Padahal
mestinya mereka berhasil menangkapnya. Pokoknya, dua menit yang lalu kaubilang
aku akan mendapat imbalan layak."
"Itu sebelum Kunci itu ada di tangan ku"
Wolfswinkel menyeringai marah. "Kau..."
"Nan, nah, Kaspar. Tak perlu bicara kasar. Terima saja kesalahanmu. Gadis itu
kan tanggung jawabmu."
"Aku bisa apa" Dia memanas-manasi budakku agar memberontak. Dan budak itu
mematahkan tongkatku."
"Kedengarannya kau yang agak ceroboh," sahut Otto.
"Kenapa tongkat itu bisa ada di tangan budakmu?"
"Aku kalah kuat dari mereka," protes Wolfswinkel.
"Kalah kuat dari seorang gadis dan geshrat!"
Wolfswinkel diam sejenak. Kemudian, dengan menyipitkan mata, ia menudingkan jari
telunjuknya yang gemuk pada si Criss-Cross Man. "Aku tahu apa niatmu, Otto,"
katanya. "Apa itu?" sahut Houlihan.
"Kau ingin mendapat nama hebat, sementara aku yang menanggung semua kesalahan."
"Oh, Kaspar, kau ini paranoid sekali"
"Itu yang akan kaulakukan, bukan?"
"Sangat mungkin," kata Houlihan, tersenyum kecil. "Tapi kau sendiri akan
melakukan hal yang sama, bukan,
seandainya kau jadi aku" Mengaku sajalah."
Wolfswinkel tak bisa berkutik. Ia menarik napas
panjang dengan kesal. "Setidaknya katakan pada Carrion bahwa aku merana di
sini," katanya dengan nada memelas. "Kita dulu berteman baik, Otto. Bantu aku,
apa sajalah. Tolong."
"Tapi aku khawatir Penguasa Tengah Malam orang yang praktis. Dia sudah
memperoleh apa yang dibutuh-kannya darimu. Jadi, sekarang" Kau sudah dilupakan.
Lanjutkan dengan urusan lainnya."
"Itu tidak adil."
"Hidup ini memang tidak adil, Kaspar. Kau sudah tahu itu. Kau sendiri pernah
punya budak... berapa lama?"
"Dua belas tahun."
"Apa kau memperlakukan budakmu dengan adil" Tidak tentu saja tidak. Kau
memukulinya kalau suasana hatimu sedang jelek, sebab dengan memukulinya
persaanmu jadi lebih enak. Dan setelah kau merasa lebih enak, kau memukulinya
lebih banyak lagi." "Kau mengira dirimu pintar, Houlihan?" kata Wolfswinkel, matanya berkaca-kaca
oleh air mata kemarahan dan frustasi. "Kau dengar ucapanku tadi; pada Jam-nya nanti, kau akan
dikalahkan. Kalau tidak kau biarkan aku melacak gadis ini dan membunuhnya, dia
akan menimbulkan kesulitan bagimu..." Wolfswinkel melayangkan pandang ada
reruntuhan kubah kesayangannya. "Ini baru permulaannya, percayalah."
Houlihan beranjak ke pintu.
"Kau senang jadi peramal bencana, ya" Sejak zaman kita masih sekolah, kita sudah
seperti itu." Wolfswinkel berusaha memanfaatkan harapan terakhir yang tipis ini. "Ah sekolah.
Otto, kauingat betapa akrabnya kita dulu?"
"O ya?" kata Houlihan. Kemudian, setelah mempertimbangkan sosok menyedihkan di
hadapannya itu, ia mau sedikit berbaik hati.
"Aku akan menolongmu sebisanya," katanya. "Tapi aku tidak menjanjikan apa-apa.
Masa-masa ini masa-masa yang tak bisa ditebak. Zaman edan."
"Justru lebih baik. Pada masa-masa seperti ini, orang yang cerdik akan meraih
untung." "Dan siapakah yang lebih cerdik di antara kita?" tanya Houlihan sambil
tersenyum. "Orang yang berdiri hanya mengenakan celana dalam berlepotan lumpur,
atau orang yang memiliki Kunci di sakunya untuk membuka Surga majikannya?"
"Sudahlah, Kaspar," kata Houlihan sambil beranjak pergi dari pintu, meninggalkan
Wolfswinkel dalam suasana kotor dan kacau halau itu, tak bisa keluar dari rumah kalau tak mau
dicabik-cabik oleh kucing-kucing-Tarrie. "Kau cuma bisa berharap mudah-mudahan
masih ada kesempatan lain bagimu untuk balas dendam, eh?"
"Setidaknya aku bisa menanti sampai saat itu tiba,"
kata Wolfswinkel. "Kalau begitu, silahkan coba kaupikirkan ini, Kaspar.
Seandainya aku benar-benar bisa membebaskanmu..."
Kapar menoleh, matanya kembali menyimpan sorot
penuh harap. "Ya?" katanya. "Apa?"
"Kau mesti bersumpah bahwa kau akan menjadi
pelayanku. Menjadi juru masakku, kalau itu yang ku-kehendaki. Menjadi tukang
cuci pakaianku, mengepel lantaiku."
"Apa saja! Apa saja! Yang penting, keluarkan aku dari sini!"
"Bagus. Kalau begitu, kita sudah sepakat," kata Houlihan sambil membalikkan
badan. "Selamat malam, Otto."
"Selamat malam, Kaspar," sahut si Criss-Cross Man.
"Mimpi indah." 31 JAM KEDUA PULUH LIMA KETIGA mesin terbang yang dinaiki anak-anak buah
Houlihan mengejar Candy dan Malingo dengan kecepatan tinggi, tapi dengan
melakukan sedikit manuver Candy berhasil meninggalkan mereka di belakang, dalam
segumpal awan ungu-kebiruan. Meski belum pernah mengendarai kendaraan apa pun
(kecuali sepedanya, dan itu tidak masuk hitungan), Candy mendapati dirinya
sanggup mengemudikan mesin terbang ini dengan sangat mudah.
Mesin ini bisa merespons kemauannya dengan cepat, dan bergerak dengan keluwesan
yang sangat memuaskan. Setelah yakin para pengejar mereka sudah tertinggal jauh di belakang, Candy
mengurangi kecepatan terbang mereka dan merendahkan mesin terbang itu perlahanlahan, hingga sekarang mereka terbang hanya sedikit di atas ombak-ombak laut
yang beriak naik-turun. Dengan demikian, seandainya terjadi sesuatu yang tak
disangka-sangka terhadap mesin itu - misalnya mesin terbang itu tiba-tiba saja
runtuh - mereka hanya jatuh beberapa kaki dari langit.
Sudah saatnya mereka saling mengucapkan selamat.
"Melihat caramu menciptakan benda ini," kata Candy,
"sangat menakjubkan. Sama sekali tak kusangka "
"Yah, sebenarnya aku tidak terlalu yakin bisa melakukannya" kata Malingo. Tapi
kurasa dalam keadaan terpaksa kita jadi bisa melakukan hal-hal yang kita pikir
tak bisa kita lakukan. Selain itu, aku tak mungkin bisa menciptakan benda ini
tanpa bantuanmu." Malingo menggenggam tangan Candy. "Terima kasih"
"Sama-sama," kata Candy. "Kita tim yang kompak, kau dan aku."
"Menurutmu begitu?"
"Aku tahu pasti itu. Aku pasti sudah dibawa ke Pulau Tengah Malam kalau bukan
karena pertolonganmu."
"Dan aku akan tetap jadi budak kalau bukan karena pertolonganmu."
"Nah, kan" Kita memang kompak. Menurutku kita sebaiknya tetap bersama-sama untuk
sementara. Kecuali kalau kau punya urusan lain tentunya?"
Malingo tertawa. "Urusan apa yang lebih penting selain menemanimu?"
"Yah... kupikir kau kan sekarang sudah bebas. Barangkali saja kau ingin pulang
menjenguk keluargamu."
"Aku tidak tahu di mana mereka berada. Kami semua tercerai berai ketika kami
dijual." "Siapa yang menjualmu?"
"Ayahku." "Ayahmu menjualmu pada Wolfswinkel?" kata Candy.
Ia nyaris tak percaya pada apa yang didengarnya.
"Tidak. Ayahku menjualku pada seorang pedagang budak bernama Kafaree Skeller.
Dialah yang kemudian menjualku pada Wolfswinkel"
"Berapa umurmu waktu itu?"
Abarat Karya Clive Barker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sembilan tiga perempat tahun," sahut Malingo dengan yakin, seperti anak kecil
yang sudah berulang kali mendapatkan pertanyaan yang sama. "Aku tidak
menyalahkan ayahku. Anak-anaknya terlalu banyak. Dia tak
sanggup menghidupi kami semua."
"Aku heran kau bisa begitu pemaaf," kata Candy sambil geleng-geleng kepala.
"Kalau ayahku menjualku seperti itu, aku tidak bakal bisa memaafkannya. Bahkan
sekarang pun ada beberapa perbuatannya yang tidak
bisa kumaafkan, padahal apa yang dilakukannya belum sejahat yang dilakukan
ayahmu." "Mungkin perasaanmu akan berubah kalau kau pulang nanti," kata Malingo.
"Kalau aku bisa pulang."
"Kau pasti bisa pulang, kalau kau menginginkannya,"
kata Malingo. "Dan aku akan membantumu. Tanggung jawabku yang utama adalah
terhadapmu." "Malingo, kau tidak punya tanggung jawab apa pun terhadapku."
"Tapi aku berutang budi padamu atas kebebasanku."
"Tepat sekali," kata Candy. "Kebebasan. Tidak ada lagi yang berhak menyuruhmu
ini-itu. Aku atau siapa pun."
Malingo mengangguk, seolah-olah pengertian tentang
"kebebasan"nya itu perlahan-lahan mulai terasa masuk akal baginya.
"Baiklah,''katanya. "Tapi bagaimana kalau aku ingin membantumu?"
"Kau baik sekali. Seperti kukatakan tadi, menurutku kita ini tim yang sangat
kompak. Tapi itu terserah kau. Dan kurasa aku juga mesti mengingatkanmu bahwa
tidak selalu aman berada di dekatku. Sejak aku tiba di Abarat ini, ada-ada saja
yang terjadi." "Takkan kubiarkan apa pun menimpamu, Lady," kata Malingo. "Kau orang yang sangat
penting." Candy tertawa. "Aku" Penting" Malingo, kau tidak mengerti. Beberapa hari yang
lalu aku cuma seorang anak sekolah yang kebingungan dari sebuah tempat bernama
Chickentown." "Apa pun keadaanmu di kota asalmu, Lady, di sini kau tetap orang penting. Kau
bisa melakukan sihir..."
"Ya. Aneh sekali," kata Candy, mengingat-ingat kembali dengan heran, betapa ia
dengan mudahnya mengucapkan mantra-mantra itu. Dalam perjalanan ini, berkali-kali aku merasa
seolah-olah... entahlah... hampir-hampir sepertinya aku pernah berada di sini
sebelumnya. Padahal aku tahu itu mustahil "
"Mungkin bakat itu diturunkan padamu," kata Malingo.
"Mungkin ada salah seorang kerabatmu yang datang kemari di masa lampau?"
"Mungkin juga," sahut Candy.
la membayangkan deretan foto yang telah kabur dimakan usia, yang tergantung di Almenak Press: dermaga tua Hark's Harbor dengan
deretan tokonya, serta kapal besar yang tertambat di samping dermaga. Mungkinkah
salah satu orang dalam kerumunan itu adalah kerabat-nya?"
"Kakek Wolfswinkel dulu berdagang dengan orang-orang dari duniamu Dia jadi kayaraya karena usahanya itu."
"Apa yang dijualnya?"
"Sihir Abarat. Buku-buku Lumeric's Six. Semacam itulah.
"Bukankah menjual benda-benda itu dilarang?"
"Oh jelas. Dia juga menjual beberapa rahasia berharga dari Abarat. Apa saja
dijualnya, asal mendapat keuntungan."
"Aku jadi teringat," kata Candy. "Apa keistimewaan topi-topinya itu" Sihir tidak
selalu tampil dalam bentuk topi, bukan?"
Malingo tertawa. "Tidak, tentu saja tidak. Sihir bisa tampiI dalam bentuk apa
saja: bisa berupa pikiran, kata, ikan, bahkan segelas air. Tapi menurut tradisi
Kelompok Penyihir Nonce, sebagian besar kekuatan sihir itu disimpan di dalam
topi. Aku tidak tahu awal mula tradisi itu, mungkin mulanya cuma sebagai
lelucon. Tapi setelah dimulai, tradisi itu bertahan. Ketika Wolfswinkel membunuh
para penyihir lain dan ingin memindahkan kekuatan
mereka ke sesuatu yang lebih pas, dia tak bisa. Semua penyihir itu telah
memasukkan kekuatan mereka ke dalam topi-topi ketika mereka masih satu kelompok,
dan ketika kelompok itu pecah..."
"Wolfswinkel terpaksa memakai topi-topi itu."
"Tepat sekali."
"Betapa konyol tentunya bagi si Kuning Pisang itu."
"Dia marah sekali ketika tahu. Dia mengamuk-amuk selama seminggu..."
"Omong-omong..."
"Ya?" "Kau tahu kita ada di mana?"
Mereka telah memasuki sejalur bayang-bayang pekat
yang ditebarkan oleh gumpalan-gumpalan awan raksasa yang berarak-arak di langit
sana. Di lautan bawah sana, segerombolan besar ikan yang memancarkan cahaya
lembut indah tampak berenang-renang. Cahaya yang
mereka pancarkan seakan-akan menjungkirbalikkan dunia: cahaya merebak dari
bawah, sementara kegelapan
menyelubungi dari atas. "Ke mana tujuan kita?" Malingo bertanya pada Candy.
"Kembali ke Yebba Dim Day. Ada kenalanku di sana.
Seorang laki-laki bernama Samuel Klepp. Dia bisa
memberi saran pada kita tentang cara..."
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, terjadi sesuatu yang sangat aneh pada mesin
terbang mereka yang selama ini meluncur lancar tanpa kesulitan. Sekonyong-konyong mesin terbang itu
membuat gerakan miring, seperti ada yang menariknya. Sesaat benda itu berzig-zag tak terkendali, dan
Candy mesti mengerahkan segenap kekuatannya untuk mencegah mesin terbang itu berbelok ke arah Iain.
Akhirnya ia berhasil mengembalikan mesin itu ke
jalurnya semula, tapi kejadian tadi membuatnya khawatir.
"Apa itu tadi?" tanyanya. "Apa mesin ini mulai terurai?"
Malingo menepukkan telapak tangannya ke bagian
samping kendaraan tersebut. "Rasanya sih tidak," katanya.
"Mesin ini masih cukup padat."
"Lalu apa... oh, tidak. Malingo, terjadi lagi." Mesin terbang itu miring untuk
kedua kali, jauh lebih dahsyat daripada tadi. Untuk sesaat mereka serasa akan
terjun ke laut. Malingo tergelincir dari tempat duduknya, dan pasti jatuh kalau
tidak ditangkap dan ditarik kembali oleh Candy pada saat-saat terakhir.
Sementara itu, mesin tersebut mulai menambah
kecepatan. Sepertinya benda itu telah menetapkan arah sendiri, dan sekarang
meluncur cepat ke sana, melupakan segala instruksi terdahulu. Candy dan Malingo
hanya bisa berpegangan erat-erat.
"Apa kau tidak bisa memelankan mesin ini?" Malingo berbisik pada Candy,
mengatasi deru angin. "Sudah kucoba!" Candy balas berteriak. "Tapi benda ini tidak mau mendengarkan.
Ada kekuatan lain yang menguasai kita, Malingo!"
Ia menoleh pada Malingo. Wajah Malingo
menampakkan ekspresi tertegun yang amat sangat.
"Ada apa?" tanya Candy,
" Lihat" Suara Malingo yang bernada takjub keluar begitu pelan, hingga Candy
tidak mendengarnya. Ia hanya melihat gerakan bibir Malingo ketika mengucapkan kata itu, serta kata-kata
yang menyusul kemudian. "Jam Kedua Puluh Lima" katanya.
Candy mengangkat wajah. Tepat di depan mesin terbang yang meluncur cepat itu tampak tiang awan raksasa
berbentuk spiral yang pernah ditunjukkan Samuel Klepp padanya. Itulah dia Jam
Kedua Puluh Lima, Waktu di Luar Waktu.
"Pasti ada suatu kekuatan dari sana yang menarik kita," teriak Candy.
"Tapi kekuatan apa?" balas Malingo. "Dan kenapa?"
Candy menggelengkan kepala. "Kurasa tak lama lagi kita akan tahu."
Tak diragukan lagi. Mesin terbang itu bergerak begitu cepat, hingga bentangan
laut dan langit hanya berkelebat samar-samar. Candy sudah tidak lagi berusaha
mengendalikan kendaraan itu. Sia-sia saja menghabiskan energi untuk melawan
kekuatan yang jauh melebihi kekuatannya sendiri.
Namun sementara mesin terbang itu melesat ke arah
awan tersebut, mau tak mau ia teringat kisah-kisah yang telah didengarnya
mengenai para pengelana yang
memasuki Waktu Di Luar Waktu itu. Sebagian besar dari mereka tak pernah kembali,
begitulah yang dikatakan Klepp padanya. Dan mereka yang berhasil keluar dari
awan itu menjadi gila. Bukan pemikiran yang menyenangkan.
" Mungkin sebaiknya kita lompat saja keluar" " Candy berteriak pada Malingo, di
tengah gemuruh siulan angin.
"Pada kecepatan ini?" Malingo balas berteriak. "Kita bisa mati!"
Barangkali Malingo benar. Tapi apa yang akan terjadi kalau nanti mereka
menghantam tembok awan yang
menyembunyikan keajaiban-keajaiban - atau kengeriankengerian - di Jam Kedua Puluh Lima" Bukankah itu sama saja dengan bunuh diri"
Tapi dalam sekejap sudah terlambat bagi mereka untuk melompat keluar.
Mesin terbang itu berputar tiga ratus enam puluh
derajat, berulang kali, dan berguling-guling begitu cepat hingga kedua penumpang
di dalamnya tetap terpaku di tempat duduk mereka. Candy mendengar Malingo yang
malang menjerit-jerit ketakutan di sampingnya, kemudian berbagai macam suara
yang memenuhi kepalanya jeritan Malingo, deru angin, bunyi derak mesin terbang yang berhenti dengan
keras - semua suara itu mendadak lenyap.
Ia serasa jatuh ke dalam keheningan absolut yang
begitu tiba-tiba, serta kegelapan absolut yang juga menyelimuti dengan tibatiba. Ia tak bisa merasakan mesin terbang itu di bawahnya, dan ketika menjulurkan
tangan ia tidak merasakan
kehadiran Malingo di sampingnya. la serasa terapung-apung di ruang kosong,
tubuhnya tidak merasakan kontak fisik sama sekali. Sekonyong-konyong terdengar
olehnya suara hujan. Jauh dan samar, namun begitu nyata.
Rupanya di sini turun hujan, di tempat tanpa cahaya ini apa pun tempat ini. Tak berapa lama kemudian, ia
menangkap sebuah suara lain. Tidak, bukan hanya satu suara, melainkan dua.
Dua detak jantung. Ada seseorang bersamanya dalam kegelapan ini.
Siapa pun orang itu, mereka sangat berdekatan.
Candy mencoba menyuarakan pertanyaan sederhana,
"Siapa di situ?" Tapi entah kenapa mulutnya tak mau mematuhi kehendaknya. Maka
ia hanya bisa menunggu dan mendengarkan, sementara kedua jantung itu terus berdetak, dan hujan lebat
terus mengguyur. Karena suatu sebab, ia tidak merasa takut. Ada sesuatu yang menyejukkan dalam
perpaduan kedua detak jantung itu dan suara hujan.
Akhirnya terdengar suara ketiga. Suara yang sungguh tak disangka-sangka. Candy
tak mengira ia bakal mendengar suara itu di tempat misterius ini: suara ibunya.
" Jangan pergi lama-lama, Bill" Melissa Quackenbush berkata. " Aku tak bisa
menunggu lama." Suaranya terdengar jauh dari Candy, bukan karena
terpisah oleh jarak, melainkan oleh sesuatu yang
membatasi di antara mereka. Seperti semacam tembok.
"Kaudengar aku, Sayang" Aku tidak mau sendirian di sini."
Di sini" pikir Candy. Apa maksud ibunya dengan "di sini?" Apakah Melissa
Quackenbush berada bersamanya di sini, di Jam Kedua Puluh lima ini" Rasanya tak
mungkin. Selain itu, ada sesuatu dalam suara ibunya yang membuat Candy merasa bahwa yang
berbicara itu adalah wanita yang lebih muda. Suara itu bukan suara letih dan
sedih wanita yang terakhir kali dilihatnya sedang membuat roti daging di dapur
di Followell Street. Sudah berapa lama, misalnya, ia tidak mendengar ibunya
memanggil ayahnya dengan kata Sayang" Sudah bertahun-tahun.
Dan ia lebih terkejut lagi ketika mendengar suara
ayahnya menyahut. Seperti halnya suara Melissa, suara Bill Quackenbush juga terdengar jauh dan
tidak jelas. Tapi lagi-lagi yang didengar Candy adalah suara bernada lebih
lembut dan lebih penuh sayang.
"Aku janji akan cepat-cepat kembali, Sayang. Kau tahan dulu, ya" Aku cuma pergi
beberapa menit" "Mungkin sebaiknya aku ikut denganmu..." kata Melissa.
"Dalam kondisimu itu, Manis?" Bill Quackenbush menjawab penuh sayang.
"Menurutku, itu bukan gagasan bagus. Udaranya dingin di luar sana. Kau di dalam
mobil saja. Selimuti dirimu rapat-rapat dengan selimut itu. Aku pasti sudah
kembali, sebelum kau sadar aku pergi. Aku cinta kau. Lambkins. "
"Aku juga cinta kau, Nachos."
Lambkins" Nachos" Candy belum pernah mendengar
kedua orangtuanya saling sebut dnegan panggilan
sayang, tidak juga ketika ia masih sangat kecil. Barangkali ia sudah lupa" Tapi
rasanya tidak. Ia pasti ingat kalau memang pernah mendengar panggilan Lambkins
dan Nachos itu. Ia jadi merasa agak tidak nyaman, seolah-olah ia sedang mengintip
suatu bagian rahasia dalam
kehidupan ayah-ibunya. Bagian yang terjadi pada Zaman Dahulu Kala, ketika mereka
masih sama-sama muda dan saling mencintai. Kemungkinan sebelum...
"Sebelum aku dilahirkan" Candy bergumam sendiri.
Karena suatu sebab, kali ini mulutnya mematuhi
perintahnya, dan kata-kata itu berhasil dilontarkannya.
Ia bahkan memperoleh jawaban.
"Benar sekali" kata seorang wanita dari dalam kegelapan di hadapannya. Suara itu
bukan suara ibunya. Kata-katanya samar-samar mengandung aksen Abarat,
nadanya hangat dan menyejukkan . "Waktu itu kau belum dilahirkan" katanya pada
Candy. "Aku tidak mengerti."
" Kami hanya ingin menunjukkan sedikit kilas-balik akan masa lalumu," kata
wanita kedua; suaranya lebih ringan daripada suara wanita pertama tadi. "Kau
perlu tahu siapa dirimu dulu, sebelum menjadi dirimu yang akan datang."
"Bagaimana kau tahu siapa aku dulu?" kata Candy.
"Atau siapa jadiku nanti" Siapa kalian sebenarnya?"
"Pertanyaan" "Pertanyaan." "Pertanyaan" Wanita ketiga tertawa bersama kedua wanita lainnya, dan bersamaan dengan itu
secercah cahaya lembut merekah di seputar Candy. Melalui cahaya itu ia bisa melihat ketiga wanita
tersebut. Wanita yang di tengah ia berdiri lebih dekat dengan Candy daripada kedua temannya - tampaknya sudah amat
sangat tua. Wajahnya penuh kerut-merut dalam, dan rambutnya - yang dijalin menjadi
kepang hingga ke pusar - warnanya putih bersih.
Namun pembawaannya masih begitu anggun, bahkan
dalam usia setua itu. Ia juga sama sekali tidak tampak lemah atau rapuh karena
usia. Ada pancaran energi
berwarna gelap yang berpendar-pendar dalam urat-urat halus di wajah dan kedua
tangannya. Kedua wanita yang berdiri di sebelah kiri dan
kanannya agak lebih muda, namun wajah ketiga wanita itu sukar "ditangkap" oleh
mata. Mereka menunjukkan ekspresi ramah pada Candy, namun wajah mereka
sepertinya senantiasa mengalami transformasi samar yang tak kentara.
Wanita yang paling muda - rambut hitamnya dipotong
sangat pendek - memiliki kesan buas dalam ekspresinya yang tampak tenang, seolaholah ada binatang yang bersembunyi di balik rautnya yang cantik. Wanita
satunya, yang berkulit hitam, memiliki sorot mata paling aneh dari antara mereka
bertiga. Rambutnya dipenuhi nuansa-nuansa warna cerah, dan ketika rambut itu
tersibak, memperlihatkan kedua matanya, Candy serasa melihat keindahan langit
malam di dalamnya. Demikianlah, tiga jiwa protean yang berubah-ubah jadi
berbagai rupa - satu membawa halilintar, satunya lagi membawa langit, dan satunya
lagi memiliki sentuhan belantara liar.
Abarat Karya Clive Barker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Candy tidak merasa takut berhadapan dengan
mereka; ia hanya merasa takjub. Saat ini ia sudah
terbiasa mengalami perasaan tersebut di Abarat. Dan ia sudah tahu apa yang harus
dilakukannya kalau menghadapi misteri. Ia akan menunggu dan mendengarkan. Setelah beberapa saat,
pertanyaan-pertanyaannya mungkin akan terjawab. Kalau tidak, berarti ia tidak
ditakdirkan untuk mengetahui jawaban-jawaban tersebut.
Ini pun sudah dipelajarinya. Ketiga wanita itu mulai memperkenalkan diri.
"Aku Diamanda?" kata yang paling tua.
"Aku Joephi," kata yang berkesan buas.
"Dan aku Mespa?" kata yang menyimpan langit malam di kedua matanya.
"Kami adalah Tiga Bersaudari Fantomaya," kata Diamanda.
"Fantomaya?" " Sst! Jangan keras-keras," kata Jopehi, padahal Candy merasa suaranya tidak
lebih keras daripada suara
mereka. "Menurut hukum di sini, sebenarnya kami tidak boleh membawamu ke Jam
Kedua Puluh lima. Tapi suatu hari nanti kau akan datang juga kemari untuk
melakukan tugasmu. Tugas besar....
"Jadi, kami merasa kau perlu tahu sedikit tentang tempat ini...," kata Mespa.
"Dengan begitu, kau sudah siap kalau kau kembali nanti"
kata Diamanda . "Kau sudah tahu seperti apa di sini."
"Sepertinya kalian yakin sekali aku akan kembali kemari," kata Candy. "Kami
yakin," sahut Diamanda.
"Banyak yang mesti kaulakukan di sini, di masa depan - "
"Itu kalau ramalan kami tentang masa depan memang benar," kata Mespa. "Kadangkadang sukar untuk yakin."
Setelah dipikir-pikir, Candy merasa tidak mustahil ia memang akan kembali
kemari. Kalau Jam Kedua Puluh
Lima telah membiarkannya masuk kali ini, kenapa nanti tidak, saat ia sudah lebih
memahami siapa dirinya, dan apa tujuannya berada di dunia yang aneh ini.
"Aku ingin melihat tempat ini lebih banyak," kata Candy, sambil memandang ke
dalam kegelapan yang menyelimuti mereka. " O ya?" kata Mespa.
"Ya." Ketiga wanita itu bertukar pandang dengan serius,
seolah-olah hendak mengatakan, "Siapkah kita melakukannya?"
Kelihatannya mereka sudah siap, sebab sekonyongkonyong udara di seputar Candy terasa berpusar oleh kehidupan, dan dari dalamnya
- seperti ikan-ikan kecil keperakan yang meluncur terbawa arus sungai deras - ia
melihat kilasan-kilasan berbagai pemandangan yang luar biasa. Mulanya citracitra itu bergerak lewat begitu cepat, hingga ia hanya bisa menangkap
sepersekilas kesan: ada sebuah menara putih, padang bunga kuning, kursi yang
bertengger di atap teras sebuah rumah, dan seorang pria berpakaian keemasan
duduk di sana. Namun setelah
matanya mulai terbiasa dengan kelebatan-kelebatan
cepat citra-citra itu, ia pun jadi lebih mampu
"menggenggam" citra-citra tersebut selama beberapa saat; seperti uang logam
panas yang berhasil ditangkap-nya di telapak tangan, ia sempat membolak-balik
uang tersebut dan mengamati kedua sisinya, sebelum rasa panas itu memaksanya
melepaskan uang tersebut.
Dan memang ada perasaan tidak nyaman saat melihat
citra-citra itu. Mereka begitu terang, bentuk dan warna mereka begitu aneh,
hingga kepala Candy sakit saat berusaha menangkap dan menahan mereka, walau
hanya sekejap. Bukan hanya intensitas masing-masing citra yang membuat kepalanya sakit,
melainkan juga jumlahnya yang begitu banyak. Untuk setiap citra yang berhasil
ditangkap dan diamat-amatinya, ada seribu - tidak, sepuluh ribu yang bergilir lewat, berkilauan, tak sempat diperiksa.
Apa yang dilihatnya"
Seorang wanita berjalan dengan kepala di bawah,
kaki di atas; ikan-ikan berenang-renang di langit di atasnya, burung-burung di
dekat kakinya. Seorang laki-laki berdiri di padang belantara yang disiram cahaya bulan,
kepalanya berbunga seperti oase berisi berbagai macam pikiran.
Sebuah kota yang dipenuhi menara-menara warna
merah, di bawah bentangan langit yang sarat oleh
bintang jatuh; sebuah kota lain berukuran kecil sempurna, didirikan di atas
tiang-tiang penyangga, dan seekor burung biru - yang tentunya sangat raksasa,
bahkan mengerikan, bagi para penghuni kota itu - terbang
berputar-putar di atasnya.
Sebuah topeng aneh yang menyanyi-nyanyi sambil
melayang-layang di udara; ada makhluk seukuran singa, berkepala manusia, sangat
besar dan berjanggut, duduk di bibir sebuah gunung berapi. Ada pantai sebuah
pulau tropis, dengan perahu merah mungil di teluknya, dan sebuah bintang tunggal
tergantung-gantung di cakrawala.
Demikian seterusnya. Seterusnya. Dan seterusnya. Citra-citra itu masih terus
beterbangan. Kadang-kadang ada suara yang menyertai sebuah citra, meski suara
itu tidak selalu cocok, seolah-olah - seperti halnya kilat mendahului halilintar citra-citra tersebut datang lebih cepat daripada suara-suaranya, sehingga suarasuara itu selalu ketinggalan. Kadang-kadang Candy melihat sekelebat pemandanganpemandangan yang dikenalnya, walau
hanya sekilas. Yebba Dim Day yang menjulang dari
perairan berkabut Selat-Selat Senja. Jembatan Gilholly yang sedang diseberangi
oleh serombongan orang dengan api putih cemerlang berkibar-kibar dari kepala mereka. Juga tampak
Ninnyhammer di tengah sapuan
badai yang begitu ganas, hingga pohon-pohon muda
tercabut lepas dari tanah dan terbawa angin.
Akhirnya - tepat ketika Candy nyaris tak sanggup lagi menerima aliran citra
tersebut - arus pemandangan itu mulai menipis, dan di antara kelebat-kelebat
citra-citra aneh yang muncul sesekali, sosok Diamanda, Joephi, dan Mespa yang
terasa menenangkan mulai tampak kembali.
Candy terengah. "Apa...?" suaranya tersangkut di tenggorokan.
"Apa itu tadi" " kata Mespa.
"Ya." Diamanda yang menjawab. "Potongan kecil tak terkira dari frogmen amat sangat kecil dari fraksi kasatmata
dari apa yang ada di Odom's Spire ini. Masa lalu dan masa kini - masa lalu dan
masa depan-kini. Semuanya ada di tempat ini. Segala detail peristiwa dalam
setiap saat keabadian."
"Dan kalian?" "Fantomaya?" "Ya. Apa yang kalian lakukan dengan citra-citra itu."
"Kami mempelajari mereka. Kami meleburkan diri di dalam mereka. Kami melindungi
mereka." "Dari siapa?" tanya Candy.
"Dari semua dan segala sesuatu. Hal-hal itu tak perlu diketahui oleh manusia
biasa." Candy tertawa. "Apa yang lucu?" tanya Joephi.
"Yah....bukankah aku manusia biasa" " kata Candy.
" Pertanyaan bagus," kata Diamanda. "Sebenarnya kau adalah gabungan dari banyak
hal, Nak. Banyak sekali. Dan salah satunya adalah Candy dari kota Murkitt..."
"Maksudmu Chickentown?"
"Oh. Ya, tentu saja. Maksudku Chickentown. Ketika aku masih tinggal di duniamu,
kota itu dinamakan menurut nama kakek suamiku."
"Tunggu," kata Candy, seulas senyum kecil mulai merekah di wajahnya. "Pantas aku
rasanya pernah mendengar nama Diamanda. Kau adalah Diamanda Murkitt.
Kau menikah dengan Henry Murkitt."
Wanita tua itu mengangguk perlahan-lahan, memandangi Candy dengan tajam. "Akulah wanita itu. Aku sudah banyak berubah, tapi
dalam banyak segi aku masih tetap sama?"
"Menakjubkan," kata Candy.
"O ya?" kata Diamanda. "Maksudku, benarkah aku menakjubkan" Apa sebabnya?"
"Segala sesuatunya sudah kembali ke titik awal."
"Tolong jelaskan" kata Diamanda.
"Ya, perjalananku dimulai dengan Henry Murkitt," kata Candy. "Begini", aku
menulis sesuatu tentang dia."
"Tentang Henry?" kata Diamanda; ia mengucapkan nama suaminya masih dengan nada
penuh sayang. "Kau menulis tentang Henry?"
"Cuma beberapa halaman," kata Candy. "Aku melihat kamar tempat dia... bunuh
diri." "Ah?" kata Diamanda perlahan. "Jadi, itulah yang terjadi padanya."
Candy mengangguk. "Aku menyesal terpaksa menyampaikan hal ini padamu."
"Tidak, tak perlu minta maaf. Lebih baik aku tahu daripada tidak. Cepat atau
lambat aku harus menghadapi kebenarannya. Aku meninggalkan Henry. Hidupnya
begitu kering dari impian"
"Ya, aku juga mendengar begitu," kata Candy. "Bukan tentang impian-impian itu,
tapi tentang kau meninggalkan Henry."
"Dia mengira aku pergi ke Philadelphia. Padahal buat apa aku pergi ke sana,
sementara aku tahu tentang Abarat"
Tidak... aku naik kapal pertama meninggalkan dunia yang membosankan itu... ?"
"Kau juga meiakukan hal yang sama, bukan?" kata Joephi.
"Ya. Aku melakukan hal yang sama. Tapi aku tidak naik kapal. Aku datang kemari
dengan menunggangi Sea-Skipper." Candy tersenyum mengenang peristiwa itu.
Rasanya kejadian terseb ut sudah begitu lama berlalu.
"Tapi... wah, kau sampai kemari lebih cepat daripada yang kami perkirakan?" kata
Mespa. "Jauh lebih cepat" "
"Nah, saudari-saudariku?" kata Diamanda; ia mengurai jalinan rambutnya sambil
berbicara, "sepertinya kita harus sangat berhati-hati dalam menyiapkan rencanarencana kita di masa depan. Sebuah elemen baru yang tak terduga telah memasuki
dunia kita. Dan dia telah mengubah segalanya.
Kita tak bisa lagi menerka-nerka masa depan dengan keyakinan diri seperti
biasanya" la kembali menatap Candy. "Kita hanya tahu bahwa banyak sekali urusan
yang harus kita selesaikan"
"Apa yang telah berubah?" tanya Candy. "Tolong jelaskan. Banyak sekali yang
ingin kuketahui. Karena suatu sebab, aku merasa seolah-olah di sinilah tempatku.
Di sinilah rumahku yang sesungguhnya"
Ketiga wanita itu sama sekali tidak berusaha
menyangkal pernyataan Candy.
Kelihatannya mereka juga percaya bahwa memang di sinilah tempatku yang
sesungguhnya, pikir Candy.
Kesadaran tersebut membuat matanya terasa pedih oleh air mata bahagia. Senyuman
dan sikap diam ketiga wanita tersebut telah menegaskan sesuatu yang
sebelumnya tidak berani ia percayai. Bahwa ia punya alasan untuk berada di sini.
Meski saat ini tak ada yang tahu untuk apa ia berada di sini, ia tetap merupakan
bagian dari dunia ini. "Seandainya memang ada alasan tertentu bagiku untuk berada di sini," kata Candy,
"maksudku, seandainya aku bukan sekadar pelancong yang tak bisa apa-apa,
bisakah kalian membantuku memahami apa tujuanku
sampai ke tempat ini?"
"Dengan senang hati kami akan membantumu," kata Joephi.
"Tapi kami sendiri tidak mengerti," Mespa melanjutkan.
Kilau bintang di matanya berkeredap. Dia bukan
ketakutan, pikir Candy; dia cuma menunjukkan sikap gembira yang aneh.
"Ada sesuatu yang bakal terjadi padaku, bukan?" kata Candy.
"Sayangku, sesuatu itu memang sudah terjadi," sahut Diamanda. "Kau bukan lagi
gadis yang telah menceburkan diri ke Laut Izabella, bukan?"
Candy perlu waktu sejenak untuk memikirkan hal ini.
Hanya sejenak. "Tidak. Tidak. Memang bukan." Kemudian katanya,
"Aku sudah menjadi orang lain. Tapi aku belum tahu, siapa orang lain itu."
"Nah, itulah gunanya mengadakan perjalanan jauh,"
Diamanda Murkitt berkata. "Ingat, aku sendiri pernah mengadakan perjalanan
semacam itu. Mencari sesuatu yang tidak kumiliki. Dan percayalah, Candy, ke mana
pun kau merasa akan pergi, tujuan yang sesungguhnya adalah... di sini." Ia
mengetuk dadanya, tepat di atas jantungnya.
"Mungkinkah aku akan melihat Hereafter lagi?" kata Candy.
Ketiga wanita itu saling pandang dengan cemas.
"Ada apa?" tanya Candy, yang melihat sorot tidak nyaman di mata mereka. "Apa
kalian tahu sesuatu tentang ini?"
" Kami sudah melihat sedikit-sedikit..." kata Diamanda.
" Hanya kilasan-kilasan singkat."
"Tidak banyak yang bisa diceritakan" kata Joephi.
"Berita burukkah?" tanya Candy.
"Untukmu tidak" sahut Mespa.
"Lalu untuk siapa?"
Joephi dan Mespa sama-sama memandang Diamanda,
seakan-akan hendak minta petunjuk dari wanita yang lebih tua itu.
"Aku tidak mau membuat ramalan-ramalan yang didasarkan atas penglihatan yang
cuma sekilas-sekilas" kata Diamanda. "Tapi kau harus tahu, anakku, bahwa mulai
saat ini akan ada masalah dalam setiap langkah. Bagimu. Bagi mereka-mereka yang
bepergian bersamamu. Bahkan bagi tempat-tempat yang akan kaudatangi. Ada
kemungkinan kota-kota akan runtuh karenamu, sebelum kau memecahkan segala
misteri yang terbentang di hadapanmu."
"Menurutku ucapanmu itu sama saja dengan ramalan"
kata Mespa. "Lalu menurutmu sebaiknya kita mengatakan apa pada anak ini?" wanita tua itu
bertanya agak kesal. "Kita bisa memulai dengan cerita-cerita yang selama ini kita dengar tentang
Finnegan." "Siapa Finnegan?" tanya Candy, sambil berpikir-pikir, barangkali ada yang pernah
menyebut-nyebut nama itu padanya dalam perjalananya ini, sebab rasa-rasanya ia
kenal nama itu. Atau barangkali ia kenal seseorang bernama Finnegan di
Chickentown" "Oh, kau pasti suka pada Finnegan," Diamanda berkata dengan senyum kecil
menggoda. "Itu sudah pasti," kata Mespa.
"Lalu ada juga cerita tentang Requiax" kata Joephi sebelum Candy sempat bertanya
tentang Finnegan. "Siapa itu Requiax?" tanya Candy. Ia bertekad kali ini harus mendapat jawaban.
Hening sejenak. Candy memandangi ketiga wanita itu bergantian. "Tolong jawab,"
katanya. "Aku perlu dibantu."
Mespa memulai. "Requiax adalah yang paling jahat dari yang paling jahat"
katanya. "Mereka adalah musuh-musuh cinta," Diamanda melanjutkan. "Musuh-musuh kehidupan.
Jahat tak terkira." "Dan di manakah mereka berada?"
Joephi yang menjawab. "Saat ini mereka berada jauh di dalam Laut Izabella. Kita
berharap saja mereka tetap di sana. "
"Tapi itu patut diragukan" Diamanda meneruskan. "Kami mendengar banyak sekali
desas-desus tentang para Requiax.
Konon mereka sedang bergerak. Ada yang mengatakan kalau mereka muncul di
permukaan, berarti itulah akhir dari dunia yang kita kenal ini" "
"Aku jadi takut," kata Candy.
"Kau tidak boleh takut" Diamanda menyahut lembut. "Dia tak pernah merasa takut,
jadi kau pun seharusnya tidak. "
"Dia?" kata Candy, "Apa maksudmu, dial"
Aneh sekali, ketiga wanita itu membuka mulut bersamaan untuk menjawab, namun sebelum mereka sempat mengucapkan apa-apa,
terdengar suara serangkaian
pintu ditutup - mungkin seluruhnya ada sepuluh pintu yang paling kecil kedengarannya seperti suara pintu rumah boneka, yang paling
besar pintu dari kayu ek yang berat, diempas menutup tak jauh dari mereka.
"Dia datang" seru Joephi.
"Kami harus pergi, Candy" kata Diamanda. "Abraham Hollow, Penjaga Jam Kedua
Abarat Karya Clive Barker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Puluh Lima, tak senang kalau ada orang dari luar dibawa ke Waktu di Luar Waktu.
Kalau dia tahu kau ada di sini, dia akan menyuruh Fugit Bersaudara merobekrobekmu tanpa ampun"
"Bagus sekali," kata Candy. "Bagaimana dengan pertanyaan-pertanyaanku yang masih
belum terjawab?" "Simpan saja untuk lain waktu," sahut Joephi.
"Tapi banyak sekali yang ingin kutanyakan," kata Candy.
Ketiga wanita itu jelas tampak ingin lekas-lekas pergi.
Mereka meringkas pakaian mereka, sambil memandang
sekeliling mereka dengan gugup. Jelas bahwa mereka tak ingin bertemu dengan
Abraham Hollow ini. "Nanti kita akan bertemu lagi" kata Diamanda. "Kau tak usah khawatir tentang
itu. Banyak sekali yang bisa saling kita ceritakan. Omong-omong, terima kasih
banyak atas berita tentang Henry. Aku malu sekali, dan ingin minta maaf."
"Tapi... dia sudah meninggal," kata Candy.
"Itu tidak ada artinya di tempat ini," kata Diamanda.
"Kenapa?" "Sebab di sini adalah Jam Kedua Puluh Lima. Segala sesuatu ada Di Sini. Segala
sesuatu adalah Saat Ini. Termasuk Kemarin." "Aku tidak..." "Bisa cepat sedikit, tidak, Diamanda Murkitt?" kata Mespa sambil meraih tangan
wanita tua itu. "Abraham sudah datang. Bisa kudengar suaranya"
"Ya,ya," kata Diamanda. "Aku pergi. Aku cuma ingin dia mengerti..."
"Kita tak punya waktu lagi" kata Mespa.
"Tidak punya waktu?" kata Joephi sambil tertawa. "Kita punya banyak sekali
waktu. Waktu dan lebih banyak waktu dan lebih banyak lagi"
"Jangan sok tahu" bentak Mespa. "Aku tak ingin Abraham menemukan kita. Siapa pun
di antara kita. AYO CEPAT PERGI" Sekarang ia bahkan menarik-narik lengan Diamanda.
"Maafkan aku" kata wanita tua itu pada Candy. "Masih banyak sekali yang ingin
kuperlihatkan padamu di sini, tapi rasa-rasanya kami tidak bakal mendapat kesempatan lagi untuk memasukkanmu ke sini dengan diam-diam. Bahkan untuk
memperlihatkan yang sedikit tadi itu padamu diperlukan banyak sekali strategi..."
"Bisa berhenti mengoceh, tidak?" kata Mespa.
"Ya,ya, aku pergi"
Cahaya yang mula-mula menampakkan sosok ketiga
wanita itu kini bersinar-sinar di sekeliling mereka.
Beberapa detik lagi mereka akan lenyap. Tapi sebelum ketiga bersaudara itu
ditelan lenyap oleh cahaya
tersebut, Diamanda mengulurkan tangan dan menyentuh lengan Candy.
"Aku iri padamu," katanya.
"O ya" " "Perjalanan panjang yang telah menantimu... akan sangat luar biasa. Berbagai hal
di luar sana yang menunggu untuk kautemukan..." Ia tersenyum dan menggelenggelengkan kepala... "Kau takkan bisa membayangkannya," katanya.
"Sungguh... kau takkan bisa membayangkannya"
Kemudian ia menarik jemarinya dari lengan Candy, dan ketiga wanita itu lenyap ke
dalam pendar-pendar cahaya. Setelah mereka lenyap, Candy sempat melihat sekilas sosok orang yang membanting
pintu tadi: Abraham Hollow, Penjaga Waktu di Luar Waktu. Ia tak lebih dari sepuluh meter jauhnya,
berdiri di ambang sebuah pintu yang baru saja ditutupnya, sambil memandang
sesuatu di kakinya. Ia mengenakan jubah merah berlapis-lapis, wajahnya yang
kurus tampak halus dan memiliki kesan bening, seperti kadang-kadang tampak pada
orang yang sudah sangat tua. Ia memakai kacamata hitam kecil bundar yang
menyembunyikan kedua matanya, rambutnya putih kusut.
"Di situ kau rupanya, Tattle" katanya pada seekor tikus belang Abarat berukuran
besar yang muncul dari antara kaki-kakinya. Dengan susah payah Hollow membungkuk
dan menyodorkan lengan jubahnya pda si tikus. Binatang itu segera memanjat naik
ke lengan jubah tersebut, lalu lari sepanjang bahu Hollow yang bungkuk, menuju
telinganya, seolah-olah hendak membisikkan sesuatu.
Mungkin juga tikus itu memang membisikkan sesuatu, sebab laki-laki tua itu
kemudian bergumam sendiri.
"Ada tamu tak diundang, eh" Mungkin sebaiknya ku-panggil dua bersaudara itu. Ia
membuka pintu di belakangnya dan memanggil.
"Tempus! Julius."
Sudah waktunya pergi dari sini, pikir Candy, sebelum aku ketahuan masuk tanpa
izin. Tapi ke arah mana ia harus lari" Di mana-mana gelap. Satu-satunya cahaya
ada di ambang pintu tempat Abraham Hollow berdiri bersama tikusnya yang pengadu.
Akhirnya Candy mengambil keputusan untuk lari ke arah berlawanan.
Dan itulah yang dilakukannya. Ia lari sekencangkencangnya ke dalam kegelapan, dalam hati memakimaki Diamanda, Joephi, dan Mespa yang pergi begitu saja tanpa mengajaknya.
"Di sana! " kata Abraham Hollow. "Aku mendengar langkah kaki buruan kita. Di
sebelah sana." Candy menoleh ke belakang. Pintu tempat Hollow dan Tattle berdiri telah dibuka
lebar-lebar, begitu pula pintu di belakangnya, dan di belakangnya lagi. Dan dari
pintu-pintu itu keluarlah Fugit Bersaudara.
Candy tentu saja sudah diperingatkan mengenai
bahaya-bahaya di Jam Kedua Puluh Lima. Ia sudah
diberitahu bahwa orang-orang yang pernah mencoba
datang kemari pada akhirnya menghilang begitu saja atau menjadi gila. Begitu
melihat Fugit Bersaudara, tahulah ia sebabnya. Wajah mereka berupa wajah badut:
kulit putih, mulut lebar, dan mata menonjol. Tapi itu belum seberapa. Yang
benar-benar menakutkan adalah:
bagian-bagian wajah mereka - mata, hidung, telinga,
bahkan ketiga jumput rambut merah di kepala mereka semuaya bergerak mengitari wajah, seperti jarum-jarum jam dinding yang sinting.
Meskipun mulut mereka terus bergerak, kedua bersaudara itu bisa bicara.
"Aku melihatnya, Saudara Julius!" kata salah satu dari mereka.
"Aku juga, Saudara Tempus. Aku juga!"
"Sebaiknya kita cabut saja jantungnya, Saudara Julius"
"Sebaiknya kita buat dia jadi gila dulu, Saudara Tempus!"
Jadi, begitu rupanya, pikir Candy. Yang satu ingin membuat ia jadi gila, satunya
lagi ingin membunuhnya. Yang jelas, kalau dua badut ini berhasil menangkapnya,
ia tidak akan bisa lagi belajar dari apa-apa yang telah dilihatnya di Waktu di
Luar Waktu. Ia tidak mendengarkan ocehan mereka lebih lanjut.
Secepat kilat ia kabur ke dalam kegelapan yang
menyelimutinya sepenuhnya. Tak ada tanda-tanda jalan keluar di mana pun. Tak ada
pintu. Tak ada jendela. Tak ada seberkas cahaya pun dari dunia di luar sana.
Tak ada salahnya berteriak minta pertolongan, pikir Candy. Toh badut-badut
berwajah jam ini sudah tahu di mana ia berada. Maka ia pun berseru memanggil
Malingo, berharap Malingo bisa mendengarnya.
"Malingo" Aku ada di sini!" (Entah di mana di sini itu).
"Kalau kau bisa mendengarku, balaslah berteriak."
Terdengar jawaban, tapi bukan yang ia harapkan.
Jawaban itu hanyalah gaung dari teriakannya tadi.
Tembok-tembok telah memantulkan teriakannya dan
mengubah susunan kata-katanya, hingga kedengaran
tidak masuk akal. "Kau bisa kalau aku. Balaslah berteriak di sini, dengar"
Aku ada Malingo." Bahkan gaung pun punya trik-trik sendiri di tempat ini.
Setelah gaung itu mulai mereda, ia mendengar dua
suara pelan, amat sangat dekat.
"Menurutku kita harus menangkapnya, Saudara Julius"
"Menurutku juga begitu, Saudara Tempus, menurutku juga begitu."
Kedengarannya jarak mereka cuma sekitar dua atau
tiga meter. Candy tidak menunggu sampai mereka datang lebih dekat. Ia kembali
melesat ke dalam kegelapan, tak peduli ke mana ia berlari, yang penting jangan
sampai Fugit Bersaudara berhasil menyusulnya,
Ia tahu tak mungkin ia lari terus-menerus. Lambat laun kedua badut yang
mengejarnya itu pasti berhasil
menyusulnya. Setelah itu apa" Mereka sudah menyebutkan apa-apa yang akan mereka
lakukan terhadapnya. Kalaupun ia berhasil lepas dari cengkeraman mereka, suara
gaung itu serta ingatan akan wajah kedua pemburunya yang terus berputar seperti
jarum jam aman membawa akibat pada dirinya. Segala keajaiban dan keanehan yang
disaksikannya di sini akan dihapuskan oleh kegilaan.
Tidak, ia tak boleh membiarkan itu terjadi. Maka ia pun terus lari membabi buta.
Ia tak boleh menjadi sala satu orang yang berhasil melarikan diri dari Jam Kedua
Puluh Lima dalam keadaan sinting, hingga tak sanggup menceritakan apa-apa.
32 ANGIN MUSIM ORANG-ORANG yang selamat dari Belbelo - yang kini sudah tenggelam - melewatkan hari
pertama mereka di pantai Pulau Nonce tempat mereka terdampar. Setiap kali gulungan ombak datang
membawa potongan-potongan
kapal itu ke pasir: kebanyakan berupa serpih-serpih kayu dan tambang. Mereka tak
perlu membuat api di pulau itu (cuaca pada Jam Tiga Siang selalu hangat, untuk
apa mereka membuat api), maka serpih-serpih kayu itu tak banyak gunanya. Tapi
sesekali ada juga peti persediaan yang terempas ke pantai, termasuk sepeti bahan
makanan untuk keadaan darurat.
Sialnya tak ada obat-obatan untuk Mischief dan
saudara-saudaranya yang masih dalam kondisi sangat parah. Luka-luka mereka sudah
tidak berdarah lagi, tapi tak ada tanda-tanda mereka akan siuman. Geneva, Tom,
sang kapten, dan Tria bersama-sama membangun sebuah pondok kecil dari rantingranting dan dedaunan, kemudian membaringkan Mischief Bersaudara di sana,
terlindung dari panas matahari tengah hari.
Untunglah Tom dan sang kapten masih memiliki Almenak Klepp dari dua edisi yang
berbeda, sehingga mereka bisa mencari-cari informasi tentang berbagai hal di
pamfletnya. "Informasinya tidak terlalu bisa dipercaya," Geneva mengingatkan ketika Tom
menawarkan untuk membuat setup buah berry. Ia menemukan buah-buah itu ketika ia menjelajahi pulau
tersebut agak jauh dalam. "Bisa-bisa kita keracunan."
"Kurasa tidak ada resep makanan beracun di dalam Almenak ini." kata Tom.
"Kau boleh saja bilang begitu," sahut Geneva, ia jelas-jelas tidak percaya.
"Tapi kalau kita semua sampai jatuh sakit... "
Sementara mereka berdebat mengenai masalah
tersebut, Tria mengambil buah-buah berry itu satu per satu dan mengendusendusnya. Beberapa buah berry dibuang-nya, terutama yang berukuran kecil dan
masih hijau. Sisanya dibiarkan di dalam kantong tempat Tom menaruh buah-buah itu. Kemudian,
dengan sikap percaya diri yang biasa, ia mengatakan, "Buah-buah di dalam kantong
itu boleh dimakan." Maka dimasaklah buah-buah itu menjadi setup, dan
ternyata rasanya lezat. "Tapi kita bisa saja sakit kalau makan buah-buah yang masih hijau itu," Geneva
mengingatkan Tom dan sang kapten, "seandainya Tria tidak melarang kita
memakannya." "Oh, sudahlah, Geneva," kata McBean, "lupakan saja.
Banyak urusan yang lebih penting untuk dipikirkan, daripada berdebat tentang
buah-buah itu." "Misalnya urusan apa?"
"Misalnya tentang dia." McBean memandang ke arah Mischief. "Maksudku tentang
mereka," ia mengoreksi ucapannya. "Aku khawatir mereka tak bisa ditolong lagi."
"Entah ke mana kita bisa minta pertolongan," kata Tom.
"Menurut Almenak ini tidak ada kota sama sekali di pulau ini. Jadi, kalaupun ada
dokter di sekitar sini, berarti mereka tinggal di dalam hutan belantara. Banyak
gereja di sini, tapi menurut Klepp sebagian besar gereja itu sudah
terbengkalai." "Ada Istana Tua Bowers di sini" kata Geneva. "Mungkin masih ada orang di
sana..." "Berapa jauh Istana itu dari sini?" Kapten McBean bertanya pada Tom.
"Lihat saja sendiri," kata Tom. Ia menyodorkan Almenak Klepp di tangannya,
supaya mereka semua bisa melihatnya. Ia menunjuk sebuah teluk di sebelah utarabarat laut pulau tersebut. "Kita ada di sini" katanya. "Dan Istana itu ada di
sebelah sini. Kemungkinan perlu dua hari berjalan kaki, atau bahkan lebih lama
lagi kalau medannya berbukit-bukit. "Itulah," kata Geneva. "Keseluruhan pulau ini medannya berbukit-bukit. Tapi kita
masih bisa menggotong Mischief bergantian"
"Apa tidak berbahaya kalau kita memindahkan
mereka?" tanya McBean.
"Entahlah " sahut Geneva, menggelengkan kepala. "Aku bukan dokter"
"Itulah masalahnya; kita semua bukan dokter," kata Tom. "Dugaanku, memindahkan
mereka bisa berakibat fatal, tapi barangkali menunggu di sini bisa lebih fatal
lagi akibatnya." Pada saat itulah mereka semua berhenti memandangi
peta, dan memandang ke atas. Angin mendadak
berembus kencang, hingga pohon besar yang penuh
kuncup-kuncup bunga - tempat mereka duduk bernaung di bawah bayang-bayangnya berderak-derak dan mendesah. Angin itu juga membawa ratusan suara, semuanya
menyanyikan lagu tanpa kata.
"Kita tidak sendirian," kata sang kapten.
Musik itu sungguh menakjubkan, dan menenangkan jiwa.
"Ular-ular itu," kata Tria.
"Ular?" kata sang kapten,
"Dia benar" kata Tom pada sang kapten. "Di pulau ini ada ular merah-kuning yang
disebut ular penyanyi. Mereka bisa menyanyi. Begitulah yang dituliskan di Almenak."
"Aku tidak ingat ada ular di pulau ini," kata Geneva.
"Kau pasti ingat," kata Tom. "Sang Putri minta dibawakan ular-ular itu. "
"Untuk acara perkawinannya."
"Tepat. Finnegan menyuruh ular-ular itu dibawa dari Scoriac, habitat asli
mereka. Rupanya ular-ular itu menyukai pulau ini. Menurut Klepp, mereka semua
terlepas dalam suasana kacau balau setelah... apa yang terjadi pada upacara
perkawinan itu. Mereka tidak punya musuh alami di Nonce ini, jadi mereka terus
berkembang biak. Sekarang mereka ada di mana-mana."
"Beracunkah mereka?" tanya Tria. Rasanya baru kali itulah mereka mendengar ia
menyatakan rasa takut terhadap alam sekitarnya.
"Tidak," kata Tom. "Seingatku mereka sangat jinak. Dan sangat musikal"
"Menakjubkan," kata sang kapten. "Lagu apa yang mereka nyanyikan" Apakah katakatanya tidak ada artinya?" "Tidak juga" kata Tom. la membaca dari Almenak.
"Lagu yang dinyanyikan Ular Penyanyi sebenarnya berupa satu kata yang amat
sangat panjang; kata paling panjang dalam bahasa kuno spesies mereka. Begitu
panjang lagu itu, sehingga bisa dinyanyikan seumur hidup tanpa pernah sampai
pada akhirnya." "Kedengarannya seperti reka-rekaan Klepp saja, kata Geneva. "Bagaimana cara
ular-uIar itu mempelajarinya?"
"Pertanyaan bagus," kata Tom. "Mungkin mereka sudah menguasai lagu itu sejak
lahir, seperti halnya insting bermigrasi."
"Lahir dengan membawa lagu?" kata Geneva.
Tom tersenyum. "Ya, tidakkah kau menyukai gagasan itu?"
"Menyukai dan mengetahui kebenarannya bukanlah hal yang sama, Tom."
"Huh, kadang-kadang kau perlu lebih menggunakan perasaanmu daripada kepalamu,
Geneva. "Apa maksud ucapanmu itu?" bentak Geneva.
"Sudahlah." "Tidak, katakan saja, Tom," sahut Geneva yang merasa tersinggung. "Jangan
melontarkan ucapan-ucapan sinis, lalu..."
Abarat Karya Clive Barker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ucapanku tidak sinis."
"Kalau tidak, kenapa kau..."
"Aku tidak senang disebut..."
"Dan aku tidak senang..."
"Sudah, sudah" kata Tria. "Kalian berdua." Sekonyong-konyong matanya basah oleh
air mata. "Coba lihat mereka."
Sementara perdebatan antara Tom dan Geneva
semakin sengit tadi, Mischief dan saudara-saudaranya sudah mulai menarik napas
dengan cara sangat meng-khawatirkan - napas terengah-engah dari tenggorokan
mereka, sama sekali bukan pertanda baik,
"Oh, oh..." Tom melemparkan Almenak di tangannya dan menghampiri tempat tidur
kecil yang disusun dari dedaunan serta kuncup-kuncup bunga, tempat mereka
membaringkan Mischief Bersaudara. "Kedengarannya sama sekali tidak bagus."
la berlutut di samping Mischief dan menyentuh dahinya.
Kedua mata Mischief bergerak-gerak liar ke depan ke belakang di balik kelopak
matanya, gerak napasnya semakin cepat dan dangkal dari menit ke menit.
Pada saat yang sama, seakan-akan mengikuti suatu
sinkronisitas yang aneh di udara (perdebatan tadi, nyanyian ular-ular, tiupan
angin, dan kini tarikan napas berat Mischief, semuanya terjadi saling susul
menyusul), sang kapten menengadah ke langit dan berkata, "Kurasa sebaiknya kita
mencari perlindungan untuk barang-barang kita."
Ia tak perlu menjelaskan sebabnya. Segumpal awan
raksasa bergerak menutupi matahari sementara sang
kapten berbicara, dan angin yang bertiup di celah-celah pepohonan mendadak
berembus lebih kencang, merontok-kan kuncup-kuncup bunga yang rapuh dari
kelopak- kelopaknya. Sekonyong-konyong semua orang menjadi sibuk,
menuruti saran sang kapten. Tapi, meski sudah bergerak cepat, mereka tak sanggup
memindahkan semua barang sebelum hujan mulai turun. Mula-mula hanya beberapa
titik air yang jatuh, dan kemudian - dalam beberapa detik
saja - titik-titik air itu berubah menjadi hujan lebat tak terkira, begitu deras
dan dahsyat, hingga mereka harus berbicara dengan berteriak, agar kedengaran.
"Kau dan aku, Tom!" sang kapten berteriak. "Kita gotong Mischief bersama-sama."
"Mau ke mana kita?" Tom balas berteriak.
"Ke atas sana!" McBean berkata sambil menunjuk ke sebuah lereng kecil di antara
pepohonan. Hujan turun begitu deras, sampai-sampai butir-butir air berwarna
cokelat pasir yang membawa sekumpulan daun-daun mati, ranting-ranting, pucukpucuk bunga, dan sesekali binatang pengerat yang sudah mati, mengalir menuruni
lereng. Daerah sekitar tempat tidur Mischief sudah terendam air setinggi satu inci.
Kini tampak petir berkeredap, diikuti suara guntur menggelegar; hujan terus
turun dengan dahsyat, seakan-akan ingin menghanyutkan dunia.
"Biar aku menggendongnya!" kata Tom; ia mesti berteriak hingga tenggorokannya
sakit untuk mengatasi riuh rendah suara cahang-cabang patah dan gelegar
halilintar. Sang kapten tak punya kesempatan untuk mendebat.
Tom mengangkat Mischief dalam gendongannya. Dengan kepala menunduk agar tidak
buta oleh terpaan hujan, ia mulai menapak ke tempat yang lebih tinggi. Yang
lain-lain mengikuti, masing-masing membawa apa-apa yang bisa diselamatkan dari
perkemahan kecil mereka. Hujan masih terus menggila, makin lama makin dahsyat, hingga dunia hanya berupa
gambaran kelabu-hijau samar yang diikuti suara memekakkan telinga.
Langkah demi langkah Tom mendaki lereng itu, hingga mencapai dua per tiga jalan
menuju puncak. Tiba-tiba saja sebuah gelondongan kayu yang besar bergulir
menuruni lereng, terbawa arus deras air. Tom mencoba menghindar agar tidak
dihantam gelondongan kayu itu, namun
gerakannya tidak terlalu gesit akibat berat badan
Mischief Bersaudara yang digendongnya. Kayu itu meng-hantamnya dengan keras, dan
ia pun terjatuh. Mischief terlepas dari gendongannya. Mereka sama-sama meluncur
ke bawah lagi, menabrak orang-orang lain hingga
terjatuh juga. Sampai di bawah, rasanya seperti dilemparkan ke
tengah-tengah sungai berarus deras. Geneva menyambar Tria agar anak itu tidak
tersapu ke pantai dan terbawa arus ke laut. McBean menyambar Geneva dengan
tangan kanannya dan memeluk sebatang pohon dengan tangan
kirinya, berpegangan erat-erat sampai angin badai itu mereda.
Tapi hujan itu belum juga berhenti, turun mengguyur mereka. Seolah-olah langit
telah membuka dan melepaskan kumpulan hujan seratus tahun.
Dan sekonyong-konyong hujan itu berhenti, seperti saat datangnya tadi. Seakanakan keran air di langit telah ditutup. Matahari memancar di antara awan-awan
yang telah habis diperas, menyinari dunia yang porak poranda.
Setiap pucuk bunga telah direnggutkan dari kelopak-kelopaknya oleh kekuatan
hujan. Daun-daun kecil telah dirontokkan dari ranting-ranting, dan daun-daun
yang lebih besar pun telah gugur berserakan. Semak-semak tercabut dari tanah,
terbawa ke pantai, terus hingga ke perairan yang tidak lagi putih, melainkan
cokelat kemerahan oleh lumpur yang ikut tersapu ke dalamnya.
Dalam keadaan lelah akibat deraan hujan yang tak
kenal ampun tadi, McBean, Geneva, Tria, dan Tom berdiri dalam genangan lumpur
dan kotoran yang mencapai
mata kaki. Tak sanggup berbicara, mereka memandang ke langit, mengamati guratgurat berwarna biru yang mulai tampak di antara awan-awan yang kian menipis.
Ketika kehangatan cahaya matahari menembus
dedaunan pohon yang porak poranda itu, serta menyentuh tumbuh-tumbuhan di
sekitar mereka, keempat orang itu menyaksikan suatu fenomena yang tidak
disebutkan Klepp di dalam Almenak-nya. Rupanya Klepp belum pernah berada di
Nonce ketika sedang ada hujan badai. Kalau ia pernah mengalaminya, keajaiban
yang terjadi sesudahnya pasti ia tuliskan juga di dalam lembar-lembar Almenaknya. Di sekitar mereka, segala macam tanaman yang tadi
diterjang badai kini mulai tumbuh kembali. Akar-akar tumbuhan - banyak di
antaranya telah terekspos oleh
kekuatan air - menjulur seperti jemari keriput ke dalam tanah berlumpur. Dari
ranting-ranting patah dan cabang-cabang yang sudah retak-retak muncul kehidupan
baru, segar hijau, kuncup-kuncup bunga menggemuk dan
merekah di depan mata orang-orang yang keheranan itu.
Sulur-sulur melengkung dan merambat naik dari sisa-sisa ranting-ranting pokok
yang diempas hujan, bagaikan anak-anak kecil yang gembira dalam pakaian hijau,
sementara pakis-pakis meretas memunculkan daun-daun muda yang halus dengan
kecepatan luar biasa, hingga dalam beberapa detik saja mereka sudah merambah ke
cabang-cabang pepohonan yang lebih rendah.
"Oh... oh," kata Tom.
"Pernahkah kau melihat yang seperti ini?" Geneva bertanya pada sang kapten.
Perlahan-lahan sang kapten menggelengkan kepala.
"Belum pernah," katanya.
Pemandangan itu saja sudah cukup luar biasa; tapi
masih ada lagi. Angin musim itu rupanya telah membangunkan unsur-unsur yang tertidur dalam tumbuhtumbuhan tersebut, yakni bagian-bagian anatominya yang mekar dan tidak
sepenuhnya menyerupai tanaman.
Apakah itu yang diam-diam membuka di kepala sekuntum bunga" Sebuah matakah" Dan
ada sesuatu yang sangat mirip mulut, menganga terbuka di umbi-umbi sebuah
tanaman yang gemuk oleh air, dalam posisi separuh di dalam tanah dan separuhnya
lagi di luar, seperti sebutir bawang hijau cerah.
Di segala sisi tampak tanda-tanda kehidupan yang
aneh ini: berderak-derak, bergumam-gumam, dan
meregang-regang, dan ya... bahkan ada suara seperti tawa, seolah-olah tanamantanaman itu merasa sangat geli melihat kehidupan protean mereka sendiri.
Tria-lah yang mula-mula membuka suara. "Di mana Mischief?"
Semua orang menoleh ke sana kemari. John Bersaudara tidak tampak. Sang kapten
memerintahkan mereka menyebar ke berbagai arah dan mencari dengan cepat, sebab ini masalah hidup dan
mati. "Kalau mereka tertelungkup di dalam air, bisa-bisa mereka sudah tenggelam
sekarang." Ucapannya itu membuat yang lainnya semakin saksama mencari. Ada genangangenangan air hujan berlumpur yang besar dan dangkal di dasar lereng; mereka
merangkak-rangkak memeriksa genangan itu dari ujung ke ujung, berharap amat
sangat bisa segera menemukan
Mischief. Sementara itu, tanaman-tanaman di sekitar mereka jadi semakin aktif dan rimbun,
kuncup-kuncup bunga meletup membuka seperti popcorn, melepaskan keharuman manis
bunga-bunga yang baru mekar. Beberapa tanaman
bahkan begitu tak sabar untuk berbuah, dan belum apa-apa mereka sudah melepaskan
serbuk-serbuk sari yang memenuhi udara seperti gumpalan asap tipis kemerahan.
Namun tentu saja Geneva dan kawan-kawan tidak
memperhatikan apa yang terjadi, karena mereka masih kebingungan mencari-cari
Mischief. Tak seorang pun berbicara, tapi mereka sudah mulai membayangkan yang terburuk.
Barangkali empasan air bah tadi telah menghanyutkan Mischief, menyapunya ke
pantai, dan terus ke laut. Kalau tidak, di mana ia berada"
Tria - yang senantiasa awas - menunjukkan aa yang
terjadi pada sisa-sisa perlengkapan mereka. Barang-barang yang telah berusaha
mereka selamatkan dari badai tadi, dan berhasil mereka bawa naik ke lereng, tapi kemudian hilang
kembali ketika mereka semua
terempas ke bawah oleh terjangan air, ternyata berada di tempat yang sama;
sepertinya terkumpul oleh cabang-cabang besar meliuk dari sebuah tanaman raksasa
yang tumbuh sendirian dengan megahnya di dasar lereng.
Mereka pun beranjak ke sana untuk memeriksa.
Tanaman itu masih terus tumbuh dan berkembang.
Kantong-kantong bijinya tampak sehat dan berwarna hijau mengilap. Saat membesar,
kantong-kantong itu menimbulkan suara gemeretak serta menguarkan bau tajam khas
tanaman yang sedang tumbuh. Tanaman itu seperti membentuk sebuah gerumbulan
kecil, lapisan luarnya berupa jalinan lebat ranting-ranting dan dedaunan yang
baru meretas. Di sanalah barang-barang mereka terkumpul, menjadi bagian dari
sulur-sulur dan cabang-cabang yang bertaut rumit, seolah-olah suatu kecerdasan
ambisius dalam tanaman tersebut hendak mengubah barang-barang itu menjadi bungabunganya. Di balik gerumbulan tanaman itu - di jantung hutan mini tersebut - daun-daunnya
tumbuh jauh lebih lebat. Begitu lebat hingga nyaris menyembunyikan sebuah
kantong biji yang luar biasa besar dan masih meneteskan sari-sarinya.
"Kalian lihat itu?" kata Tom sambil menyibak jalinan sulur tersebut.
"Di dalam sana," kata Tria. "Dia ada di dalam sana."
"Mischief?" tanya Geneva padanya.
Tria mengangguk. Ketiga orang lainnya saling pandang dengan tercengang. "Kapten," kata Tom. "Tolong bantu aku."
Mereka mulai menarik lapisan luar tanaman tersebut.
Ranting-ranting dan sulur-sulur itu membuka dan melilit tangan serta lengan
mereka, bahkan kaki mereka juga.
Sulur-sulur itu tipis dan tidak membahayakan, tapi toh jadi menghambat usaha
mereka. "Coba aku punya pisau," kata sang kapten.
"Oh, biar aku saja!" kata Geneva. "Bisa-bisa kalian perlu waktu penuh untuk
mengatasi sulur-sulur itu."
Ia melangkah ke tengah-tengah kedua orang itu dan
mulai menarik-narik cabang-cabang pohon tersebut. Kini mereka bertiga sama-sama
berada di tengah-tengah cabang dan ranting yang saling bertaut; helai-helai daun terbang ke segala arah.
Tapi Geneva lebih cerdik daripada kedua rekannya. Ia merunduk masuk ke bawah
semak-semak raksasa itu, dan setelah berada di baliknya, ia mendorong jalinan
cabang dan ranting tersebut, seperti mendorong dua pintu yang sangat besar. Tom
dan sang kapten memegangi bagian yang telah didorong Geneva, hingga terbukalah
semacam lorong ke dalam jantung semak-semak tersebut.
Mereka semua terengah-engah, serpih-serpih dedaunan menempel di wajah mereka
yang penuh keringat, juga tersangkut di bulu mata serta rambut mereka.
Ketiganya menepi saat Tria melangkah memasuki
bukaan yang telah mereka buat, mendekati tangkai yang selama ini terkandung
dedaunan rimbun. "Hati-hati," Tom memperingatkan Geneva.
Baru saja ia berkata demikian, kantong biji yang
tergantung-gantung dari serangkaian sulur raksasa itu mulai bergerak. Tampak
getaran-getaran halus mengaliri-nya, seolah-olah ada yang mengguncang-guncang
dari dalam. Kelopak-kelopaknya mulai pecah membuka
dengan suara seperti kanvas robek, memuntahkan
gumpalan-gumpalan sari buah yang manis.
Tria menoleh pada ketiga orang itu.
"Kalian lihat?" katanya, wajahnya memperlihatkan ekspresi gembira yang jarang
kelihatan. Bagian atas kantong itu kini membuka seperti tutup peti.
Dan di sana, terbaring dalam genangan lumpur dan air, berbantalkan dedaunan
serta jalinan sulur yang melapisi kantong itu, adalah John Mischief dan saudarasaudaranya. Mata mereka masih terpejam, namun kemudian mereka
tersadar - barangkali akibat cahaya yang sekonyongkonyong mengenai wajah mereka ketika bagian atas
kantong itu membuka. John Moot yang paling dulu membuka mata. Ia
mengerjap-ngerjap cepat, kemudian mengerutkan kening dan tertawa kecil
"Apa yang terjadi?" katanya.
"Kau sudah sadar...," kata Tom.
John Drowze yang sadar berikutnya. "Aku juga sudah!"
Memandangi mereka rasanya seperti memandangi
bintang-bintang yang muncul di langit malam. Satu per satu John Bersaudara
membuka mata, dan wajah-wajah mereka yang kebingungan kini sudah menampakkan
kesadaran penuh. Namun Mischief sendiri masih tetap belum sadar, meski dalam waktu sangat singkat
semua saudaranya sudah siuman. "Kami mesti mengeluarkan kalian dari sana," kata Tom pada mereka, "sebelum
tanaman ini berniat menelan kalian kembali."
"Tidak usah," sahut Serpent. "Biar kami bangunkan dia.
Setelah itu dia bisa berjalan sendiri keluar."
"Kurasa akan sulit membangunkannya," kata Geneva sambil memandangi Mischief dari
dekat. "Dia tidak menunjukkan tanda-tanda siuman sedikit pun."
"Tenang saja...," kata John Sallow.
"... kami sudah tahu cara membangunkannya kalau dia sedang tidur," John Slop
berkata. Kemudian ia menatap saudara-saudaranya. "Semuanya sudah siap?"
Terdengar gumam mengiyakan dari kedua tanduk di
kepala Mischief. John Serpent mulai menghitung mundur.
"Tiga. Dua. Satu."
Kemudian semua John Bersaudara berseru bersamasama. "MISCHIEF?" Mula-mula tak ada respons. Sama sekali tidak ada.
Mereka semua menahan napas, termasuk Fillet, Sallow, Slop, Moot, Drowze,
Pluckitt, dan Serpent. Kemudian kelopak mata kiri Mischief tampak berkedut-kedut
samar, dan tak lama kemudian matanya membuka. Diikuti oleh mata kanannya sekejap
kemudian. "Kenapa aku tergeletak di tengah-tengah tanaman ini?"
Itulah ucapan pertamanya setelah tersadar. Ia berguling keluar ke tanah yang
basah kuyup oleh hujan dan dipenuhi jalinan akar. Ia mengerang ketika terjatuh.
"Mischief bodoh!" kata John Serpent. "Bisa lebih hati-hati, tidak, sih" Tubuh
kita ini terluka, ingat?"
"Naga itu..."kata John Mischief.
"Kau ingat?" tanya Geneva. Mischief mengangguk.
Abarat Karya Clive Barker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baguslah kalau begitu,"
"Tentu saja kami ingat," John Serpent berkata.
"Peristiwa semacam itu tidak bakal terlupakan."
"Tapi aku heran bagaimana caranya aku bisa sampai ke sini dari sana" kata
Mischief. "Itu bisa kami ceritakan. Kau cukup mendengarkan,"
Geneva menjawab dengan tersenyum.
"Coba tolong aku berdiri" kata Mischief sambil mengulurkan tangannya pada Tom.
"Ayo," kata Tom. Ia menarik John Bersaudara bangkit berdiri.
Tanaman itu masih juga mengembang dari segala sisi, jadi mereka semua terhuyunghuyung keluar dari dalamnya bersama-sama, sambil melepaskan sulur dan helaihelai daun yang menempel di rambut dan masuk ke balik pakaian.
Matahari bersinar cerah dan hangat; tak ada sepotong awan pun di langit. Bahkan
genangan-genangan air yang paling dalam pun dengan cepat meresap ke dalam tanah.
"Selamat datang di Nonce" kata Tom pada John Bersaudara. "Kalian hampir saja
'lewat' dijemput maut, tapi ternyata masih bisa kembali."
"Kami tidak akan ke mana-mana," John Mischief berkata; dengan hati-hati ia
meregangkan tubuhnya dalam kehangatan itu. "Banyak petualangan yang mesti
dijalani. Naga-naga yang mesti diperangi. Dan Finnegan yang
masih harus dicari."
" Musik apa itu?" kata John Sallow.
"Itu ular-ular Nonce sedang menyanyi," sahut Tom.
Seulas senyum lebar menghiasi wajah Mischief. "Nah, kan?" katanya sambil gelenggeleng kepala sedikit. "Itu juga satu tugas lagi untuk kita. Kita mesti
mendengarkan ular-ular itu menyanyi."
33 SEGALA SESUATU PADA WAKTUNYA
CHANDY berlari dan terus berlari, tidak berani menoleh ke belakang untuk melihat
Fugit Bersaudara. Tapi ia tak perlu menoleh. Kedua bersaudara itu terus
berbicara nyaris tanpa henti, sambil mengejarnya.
"Gadis itu tidak tahu mesti ke mana, Saudara Tempus."
"Benar sekali, Saudara Julius, benar sekali."
"Dia bisa tersandung setiap saat, Saudara Tempus."
"Jatuh telungkup, Saudara Julius, jatuh telungkup."
Mereka seperti sepasang pelawak yang tidak lucu terus mengoceh tanpa ujung-pangkal. Malah celotehan mereka begitu menjengkelkan,
sampai-sampai Candy nyaris tidak tahan. Ingin rasanya ia membalikkan badan dan menyuruh mereka diam.
Tapi kemudian ia teringat bagian-bagian wajah mereka yang terus berputar dan
berputar tanpa henti - ini sudah cukup untuk meredakan keinginannya
mengkonfrontasi mereka. Lebih baik ia terus lari. Pasti ada jalan keluar dari
sini. Sebelumnya ia telah berhasil masuk kemari, bukan"
Tapi ke mana pun ia menoleh, tidak ada tanda-tanda jalan keluar. Yang ada
hanyalah kegelapan pekat di segala arah. Dan ia mulai lelah. Dadanya sesak dan
tenggorokannya perih. Ia tahu, cepat atau lambat ia akan tersungkur jatuh. Dan
pada saat itulah kedua pengejarnya yang cerewet itu akan menyerbunya dalam
sekejap. "Dia mulai mengurangi kecepatan, Saudara Julius"
"Itu bisa kulihat, Saudara Tempus. Itu bisa kulihat."
Untuk membuktikan bahwa mereka keliru, Candy
menambah kecepatan larinya. Sementara itu, ia teringat saat-saat penuh
Pendekar Penyebar Maut 5 Ario Bledek Petir Di Mahameru 03 Pendekar Bayangan Malaikat 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama