Ceritasilat Novel Online

Breaking Dawn 1

Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer Bagian 1


Breaking Dawn Stephenie Meyer Twilight Buku ke 4 Buku ini didedikasikan untuk ninja/agenku, Jodi Reamer. Terima kasih karena
telah menjagaku selama ini.
Dan terima kasihku juga untuk band favoritku, Muse, yang dinamai begitu
tepatnya, atas inspirasinya yang telah melahirkan saga.
Masa kanak-kanak bukan karena dilahirkan bagi usia tertentu dan pada usia
tertentu anak bertumbuh, dan meninggalkan hal-hal kekanakan. Masa kanak-kanak
serupa kerajaan di mana tak ada yang meninggal.
Edna St. Vincent Millay BUKU SATU Bella DAFTAR ISI PENDAHULUAN 1. BERTUNANGAN 2. MALAM PANJANG 3. HARI H 4. KEJUTAN 5. PULAU ESME 6. MENGALIHKAN PERHATIAN 7. TAK TERDUGA PENDAHULUAN Aku sudah cukup sering mengalami peristiwa ketika aku nyaris mati, tapi bukan
berarti dengan begitu aku jadi terbiasa.
Namun anehnya, lagi-lagi aku harus berhadapan dengan kematian, dan tak bisa
mengelak darinya. Meski begitu kali ini sangat berbeda dari yang sudah-sudah.
Kau bisa melarikan diri dari orang yang kautakuti, kau bisa melawan orang yang
kaubenci. Semua reaksiku siap menghadapi pembunuh-pembunuh semacam itu-para
monster, para musuh. Tapi bila kau mencintai orang yang membunuhmu, kau tak punya pilihan lain.
Bagaimana kau bisa melarikan diri, bagaimana kau bisa melawan, jika melakukannya
berarti mencelakakan orang yang kaucintai" Bila nyawamu satu-satunya yang harus
kauberikan untuk orang yang kaucintai, bagaimana mungkin kau tidak
memberikannya" Bila itu orang yang benar-benar kaucintai"
1. PERTUNANGAN Tak ada yang menatapmu, aku meyakinkan diriku sendiri. Tak ada yang menatapmu.
Tak ada yang menatapmu. Tapi karena aku tidak pintar berbohong, bahkan pada diriku sendiri, aku merasa
harus mengeceknya. Sambil duduk menunggu lampu berubah hijau di depan salah satu dari tiga lampu
merah kota ini, aku melirik ke kanan di dalam minivannya Mrs, Weber jelas-jelas
berputar menghadapku. Matanya menghunjam dalam-dalam ke mataku; dan aku
bergidik, bertanya-tanya dalam hati mengapa ia tidak cepat-cepat memalingkan
wajah atau terlihat malu. Bukankah tidak sopan menatap orang" Ataukah aturan itu
tidak berlaku terhadapku"
Lalu aku teringat bahwa jendela-jendela mobil ini hitam pekat sehingga Mrs.
Weber mungkin tidak menyadari bahwa akulah yang berada di balik kemudi, apalagi
mengetahui aku memergokinya menatapku. Aku berusaha menghibur diri dengan
kenyataan ia tidak benar-benar bermaksud menatapku, melainkan menatap mobil ini.
Mobilku. Ya ampun. Aku melirik ke kiri dan mengerang. Dua pejalan kaki tertegun di trotoar, tidak
jadi menyeberang gara-gara melongo. Di belakang mereka, Mr, Marshall memandang
ke luar etalase toko suvenir kecilnya dengan mulut ternganga. Yah, setidaknya ia
tidak menempelkan hidungnya di kaca etalase. Belum.
Lampu berubah hijau dan, saking terburu-buru ingin kabur dari situ, aku
menginjak pedal gas tanpa berpikir- seperti kalau aku menginjak pedal gas truk
Chevy tuaku untuk menjalankannya.
Mesin meraung bagaikan macan tutul sedang berburu, dan mobil melesat begitu
cepat hingga tubuhku membentur jok berlapis kulit hitam dan perutku tertekan ke
belakang, "Arrgh!" seruku kaget sementara kakiku meraba-raba mencari rem. Sambil
menenangkan diri kusentuh pelan pedal rem. Seketika mobil berhenti.
Aku tak berani melihat sekeliling untuk mengetahui reaksi orang-orang. Kalau
tadi mereka bertanya-tanya siapa yang mengendarai mobil ini, sekarang pertanyaan
mereka pasti sudah terjawab. Dengan ujung sepatu pelan-pelan kusentuh pedal gas
sedikit saja, dan mobil kembali melesat.
Aku berhasil sampai ke tujuan, yaitu pompa bensin. Kalau bukan karena tanki
bensinku sudah nyaris kosong, aku tidak bakal pergi ke kota sama sekali.
Belakangan aku sampai rela meninggalkan kesenangan dan kemudahan hidup, seperti
Pop-Tarts dan tali sepatu, hanya karena tak ingin tampil di depan umum.
Bergerak cepat seolah-olah sedang berlomba, aku membuka pintu tanki, melepas
penutupnya, memindai kartu, dan memasukkan slang ke tanki hanya dalam hitungan
detik. Tentu saja tak ada yang bisa kulakukan untuk membuat angka-angka meteran
pompa bergerak lebih cepat. Angka-angka itu bergerak lambat, seperti sengaja
ingin membuatku kesal. Walaupun matahari tidak terik-cuaca kelabu seperti yang biasa terjadi di Forks,
Washington-aku tetap merasa ada lampu sorot diarahkan padaku, menarik perhatian
orang ke cincin yang melingkari jari manis kiriku. Di saat-saat seperti ini,
ketika merasakan rarapan orang di punggungku, aku merasa seolah-olah cincin itu
berpendar-pendar seperti lampu neon papan iklan: Lihat aku, lihat aku.
Tolol memang minder begini, dan aku tahu itu. Selain ayah dan ibuku, apa
peduliku bagaimana omongan orang tentang pertunanganku" Tentang mobil baruku"
Tentang diterimanya aku secara misterius di salah satu kampus bergengsi" Tentang
kartu kredit hitam mengilat yang terasa panas di sakuku sekarang ini"
"Yeah, masa bodoh dengan pikiran mereka," gerutuku pelan.
"Eh, Miss?" seorang pria memanggilku.
Aku berbalik, kemudian berharap tidak melakukannya.
Dua pria berdiri di sebelah SUV mewah dengan dua kayak baru diikat di atapnya.
Tak satu pun dari mereka menatapku; keduanya melongo menatap mobilku.
Sejujurnya aku tidak mengerti. Tapi itu sebenarnya wajar, karena bisa membedakan
mana mobil yang bermerek Toyota, Ford, dan Chevy saja aku sudah bangga. Mobil
ini memang hitam mengilat, mulus, dan keren, tapi tetap saja bagiku ini hanya
mobil. "Maaf mengganggu, tapi boleh tahu mobil apa yang kau-kendarai itu?" yang
jangkung bertanya. "Eh, Mercedes, bukan?"
"Benar," jawab laki-laki itu sopan, sementara temannya yang lebih pendek memutar
bola mata mendengar jawabanku. "Aku tahu. Tapi aku penasaran, benarkah itu...
Mercedes Guardian?" Lelaki itu mengucapkan nama itu dengan sikap takzim. Firasatku mengatakan,
lelaki ini pasti bisa bergaul akrab dengan Edward Cullen... tunanganku
(sebenarnya tidak ada gunanya menyangkal istilah itu karena pernikahan toh akan
dilangsungkan beberapa hari lagi).
"Mobil itu seharusnya belum tersedia di Eropa," sambung lelaki itu. "Apalagi di
sini." Sementara matanya menyusuri lekuk-liku mobilku di mataku kelihatannya tak ada
bedanya dengan sedan-sedan Mercedes lainnya, tapi tahu apa sih aku" sejenak aku
memikirkan masalahku berkaitan dengan kata-kata seperti tunangan, pernikahan,
suami, dsb. Rasanya aku tidak mampu menyatukan ketiga kata itu dalam benakku.
Di satu sisi, aku dibesarkan untuk mengerutkan kening pada gaun putih mengembang
dan buket bunga. Tapi lebih dan itu, aku benar-benar tidak bisa menyatukan
konsep suami yang serius, terhormat, dan membosankan dengan konsepku tentang
Edward. Rasanya seperti menempatkan malaikat dalam posisi akuntan; aku tidak
sanggup membayangkan Edward dalam peran yang paling biasa mana pun.
Seperti biasa, begitu mulai memikirkan Edward, aku langsung terperangkap dalam
fantasi-fantasi yang memusingkan. Lelaki tadi sampai harus berdeham-deham untuk
menarik perhatianku, ia masih menunggu jawabanku tentang nama dan asal-usul
mobil ini. "Aku tidak tahu," jawabku sejujurnya.
"Kau keberatan kalau aku berfoto dengan mobil ini?"
Butuh sedetik bagiku untuk memprosesnya. "Serius nih" Kau ingin berfoto dengan
mobil ini?" "Tentu tidak ada yang bakal percaya kalau aku tidak punya buktinya "
"Eh. Oke. Baiklah."
Dengan sigap kukembalikan slang bensin ke tempatnya lalu beringsut masuk ke
kursi depan untuk bersembunyi, sementara si penggemar mobil mengeluarkan kamera
canggih dari tas ranselnya. Ia dan temannya bergantian bergaya di depan kap
mesin, kemudian mereka mengambil gambar bagian belakangnya juga.
"Aku rindu trukku," aku mengerang sendiri.
Sangat, sangat kebetulan terlalu kebetulan malah trukku mengembuskan napas
terakhirnya hanya beberapa minggu setelah Edward dan aku menyepakati perjanjian
kami yang berat sebelah itu, di mana salah satu detail kesepakatannya adalah
bahwa Edward diperbolehkan mengganti trukku kalau sudah rusak nanti. Edward
bersumpah ia tidak melakukan apa-apa, trukku sudah menjalani kehidupan yang
panjang dan penuh dan kedaluwarsa karena sebab-sebab alamiah. Menurut dia. Dan,
tentu saja, aku tidak tahu bagaimana memverifikasi cerita itu atau bagaimana
membangkitkan trukku dari kematian. Mekanik favoritku...
Aku langsung menghentikan pikiran itu, menolak menyimpulkannya. Aku mencoba
menyimak suara kedua lelaki di luar, yang teredam badan mobil.
"...menerjang penyemprot api di video online. Catnya bahkan tidak terkelupas."
"Jelas tidak. Dilindas tank saja tidak mempan kok. Tidak banyak pasar untuk
mobil semacam ini di sini. Mobil ini dirancang untuk para diplomat Timur Tengah,
pedagang senjata, dan gembong narkoba."
"Menurutmu cewek ini orang penting?" si pendek bertanya, suaranya pelan.
Aku merunduk, pipiku merah padam.
"Hah" sahut si jangkung. "Mungkin. Entah apa yang mungkin muncul di sekitar sini
sampai-sampai kau membutuhkan kaca tahan misil dan bodi baja yang sanggup
menanggung beban hingga dua ribu kilogram. Pasti dia sedang menuju tempat lain
yang lebih berbahaya."
Bodi baja. Bodi baja yang mampu menahan beban hingga dua ribu kilogram. Dan kaca
tahan misil" Keren. Apa yang terjadi dengan kaca anti peluru biasa"
Well, setidaknya ini masuk akal kalau selera humormu aneh.
Aku bukannya tidak mengira Edward akan memanfaatkan kesepakatan kami, sengaja
membuatnya berat sebelah agar ia bisa memberi jauh lebih banyak daripada yang ia
terima. Aku setuju ia boleh mengganti trukku kalau memang perlu diganti,
meskipun tidak menyangka momen itu akan datang begitu cepat, tentu saja. Ketika
aku terpaksa mengakui trukku sudah berubah jadi tugu peringatan bagi Chevy
klasik di pinggir jalan depan rumahku, aku tahu mobil pengganti pilihan Edward
kemungkinan besar akan membuatku malu. Menjadikanku fokus perhatian dan bisikbisik. Untuk urusan itu ternyata aku benar. Tapi bahkan dalam imajinasi
terliarku sekalipun, aku sama sekali tidak mengira ia akan memberiku dua mobil.
Mobil "sesudah" dan "sebelum", begitu alasan Edward waktu aku mengamuk.
Yang ini baru mobil "sebelum". Kata Edward, ini hanya mobil pinjaman dan
berjanji akan mengembalikannya setelah pernikahan nanti. Semua itu tidak masuk
akal bagiku. Sampai sekarang.
Ha ha. Karena aku manusia yang sangat rapuh, mudah celaka, sering menjadi korban
kesialanku sendiri, rupanya aku membutuhkan mobil yang tak mempan dilindas tank
agar tetap aman. Menggelikan. Aku yakin Edward dan saudara-saudara lelakinya
kenyang menertawakanku di belakang punggungku.
Atau mungkin, mungkin saja, suara kecil berbisik dalam benakku, itu bukan
lelucon, tolol. Mungkin Edward memang benar-benar mengkhawatirkanmu. Ini bukan
pertama kalinya ia agak berlebihan dalam usahanya melindungimu.
Aku mendesah. Aku belum melihat mobil "setelah". Mobil itu tersembunyi di balik selubung dan
diparkir di bagian paling ujung garasi keluarga Cullen. Aku tahu kebanyakan
orang pasti sudah mengintip sekarang, tapi aku benar-benar tidak ingin tahu.
Mungkin mobil itu tidak dilengkapi bodi baja-karena aku tidak akan
membutuhkannya setelah bulan madu nanti. Tidak bisa mati hanyalah satu dari
sekian banyak kelebihan yang kunanti-nantikan. Hal terbaik menjadi anggota
keluarga Cullen bukanlah memiliki mobil mahal dan kartu kredit mengesankan,
"Hei," seru si jangkung, menaungi matanya dengan tangan di kaca mobil dan
berusaha mengintip ke dalam. "Kami sudah selesai. Terima kasih banyak!"
"Sama-sama," sahutku, kemudian tegang saat menyalakan mesin dan menginjak pedal
dengan sangat pelan... Tak peduli berapa kali aku bermobil pulang menyusuri jalan yang familier ini,
aku masih saja belum sanggup mengabaikan selebaran-selebaran yang kusam oleh
hujan itu. Setiap selebaran, dipancangkan ke tiang-tiang telepon dan ditempelkan
di papan-papan penunjuk jalan, bagaikan tamparan keras di wajah. Ingatanku
tersedot kembali ke pikiran yang tadi kuinterupsi. Aku tak bisa menghindarinya
di jalan ini. Tidak dengan foto-foto mekanik favoritku berkelebat lewat dalam
interval tertentu. Sahabatku. Jacobku. Poster-poster bertuliskan APAKAH ANDA MELIHAT PEMUDA INI" bukanlah ide ayah
Jacob. Tapi ide ayahku, Charlie, yang mencetak selebaran-selebaran itu dan
menyebarkannya ke seluruh penjuru kota. Dan bukan hanya di Forks, melainkan juga
Port Angeles, Secjuim, Hoquiam, Aberdeen, dan kota-kota lain di sepanjang
Semenanjung Olympic, Ia memastikan semua kantor polisi di negara bagian
Washington dindingnya juga dipasangi poster yang sama. Di kantornya sendiri ada
papan yang khusus diperuntukkan untuk menemukan Jacob. Papan yang nyaris kosong,
membuatnya kecewa dan frustrasi.
Kekecewaan ayahku bukan hanya karena tidak adanya respons. Ia paling kecewa pada
Billy, ayah Jacob-teman terdekat Charlie.
Ia kecewa karena Billy enggan terlibat dalam pencarian anaknya yang berusia enam
belas tahun yang "kabur dari rumah". Kecewa karena Billy menolak memasang
poster-poster di La Push, reservasi yang terletak di tepi pantai, tempat
kediaman Jacob. Karena Billy sepertinya pasrah atas lenyapnya Jacob, seakan-akan
tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Karena ia berkata, "Jacob sekarang sudah
dewasa. Dia akan pulang kalau memang sudah ingin pulang."
Dan ia frustrasi padaku, karena aku memihak Billy. Aku juga tidak mau memasang
poster-poster itu. Karena baik Billy maupun aku tahu di mana Jacob berada, bisa
dibilang begitu, dan karena kami tahu takkan ada orang yang melihat pemuda ini.
Selebaran itu seperti biasa membuat kerongkonganku tercekat dan mataku memanas,
dan aku senang Edward pergi berburu Sabtu ini. Kalau ia melihat reaksiku, itu
hanya akan membuatnya merasa bersalah.
Tentu saja, ada ruginya juga ini hari Sabtu. Saat aku membelokkan mobil pelanpelan dan hati-hati memasuki jalan masuk rumahku, aku bisa melihat mobil polisi
ayahku bertengger di halaman. Ia absen mancing lagi hari ini. Masih merajuk soal
pernikahan rupanya. Itu artinya aku tidak bisa memakai telepon di dalam. Padahal aku harus
menelepon... Kuparkir mobilku di belakang "monumen" Chevy itu dan mengeluarkan ponsel yang
diberikan Edward untuk keadaan darurat dari laci mobil. Aku menghubungi sebuah
nomor, ibu jariku siap di atas tombol "end" saat nada tunggu berbunyi. Untuk
jaga-jaga saja. "Halo?" Seth Clearwater menjawab, dan aku mengembuskan napas lega. Aku terlalu
pengecut untuk bicara dengan kakaknya, Leah. Kalimat "kubikin mampus kau" bukan
sekadar omong kosong kalau diucapkan oleh Leah.
"Hai, Seth, ini Bella."
"Oh, halo, Bella! Apa kabar?"
Tercekat. Begitu ingin mendapat kepastian. "Baik."
"Ingin tahu kabar terbaru?"
"Ternyata kau paranormal."
"Sama sekali tidak. Aku bukan Alice - hanya saja kau gampang ditebak," canda
Seth. Di antara anggota kawanan Quileute di La Push sana, hanya Seth yang berani
menyebut anggota keluarga Cullen dengan nama mereka, bahkan membuat lelucon
tentang calon adik iparku yang nyaris maha tahu itu.
"Memang." Aku ragu sejenak. "Bagaimana keadaannya?"
Seth mendesah. "Seperti biasa. Dia tidak mau bicara, walaupun kami tahu dia bisa
mendengar kami. Dia berusaha untuk tidak berpikir secara manusia, kau tahu.
Hanya mengikuti instingnya."
"Kau tahu di mana dia sekarang?"
"Di sekitar Kanada utara. Di provinsi mana persisnya, aku tidak tahu. Dia tidak
terlalu memerhatikan garis batas antar-negara bagian."
"Ada tanda-tanda dia bakal... "
"Dia tidak mau pulang, Bella. Maaf''


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menelan ludah. "Baiklah, Seth. Aku toh sudah tahu jawabannya sebelum
bertanya tadi. Boleh saja kan, berharap."
"Yeah. Perasaan kita semua sama kok."
"Terima kasih telah sabar menghadapiku, Seth. Aku tahu yang lain pasti mengecam
sikapmu." "Mereka memang bukan penggemar beratmu," Seth membenarkan dengan nada riang.
"Agak menyebalkan, menurutku. Jacob membuat keputusannya sendiri, kau membuat
keputusanmu. Jake tidak menyukai sikap mereka mengenainya. Tentu saja, dia juga
tidak senang kau selalu menanyakan kabarnya."
Aku terkesiap. "Lho, kusangka dia tidak mau bicara dengan kalian?"
"Dia tidak bisa menyembunyikan semuanya dari kami, sekeras apa pun dia
berusaha." Jadi Jacob tahu aku khawatir. Aku tak yakin bagaimana perasaanku mengetahui hal
itu. Well, setidaknya ia tahu aku tidak kabur begitu saja menyongsong matahari
terbenam dan melupakannya sepenuhnya. Ia mungkin sempat mengira aku tega berbuat
begitu. "Kalau begitu sampai ketemu di... pernikahanku" kataku, memaksa mengucapkan
kata-kata itu, "Yeah, aku dan ibuku pasti datang. Baik sekali kau mengundang kami."
Aku tersenyum mendengar nada antusias dalam suaranya. Walaupun mengundang
keluarga Clearwater sebenarnya ide Edward, aku gembira itu terpikirkan olehnya.
Senang rasanya ada Seth di sana - ia merupakan penghubung, walaupun tipis,
dengan best man-ku yang lenyap entah ke mana. "Tidak menyenangkan kalau tidak
ada kau." "Sampaikan salamku untuk Edward, oke?"
"Tentu." Aku menggeleng. Persahabatan yang terjalin antara Edward dan Seth masih saja
membuatku terheran-heran. Namun itu bukti bahwa keadaan tidak harus menjadi
seperti sekarang ini. Bahwa vampir dan werewolf bisa hidup berdampingan, terima
kasih banyak, kalau mereka menghendakinya.
Tapi tidak semua orang menyukai ide ini.
"Ah," ujar Seth, suaranya naik saru oktaf. "Eh, Leah pulang."
"Oh! Sudah dulu, ya!"
Hubungan langsung terputus. Aku meletakkan ponselku di jok dan mempersiapkan
mental untuk masuk ke rumah, tempat Charlie pasti sudah menunggu.
Ayahku yang malang saat ini sedang banyak pikiran. Kaburnya Jacob dari rumah
hanya satu dari sekian banyak beban yang ditanggungnya. Ia juga sama khawatirnya
memikirkan aku, putrinya yang belum sepenuhnya dewasa, yang beberapa hari lagi
akan menikah. Aku berjalan lambat-lambat menembus gerimis, mengingat malam waktu kami
memberitahunya. *** Begitu mendengar suara mobil polisi Charlie mendekat, cincin itu tiba-tiba
terasa sangat berat di jari manisku. Ingin rasanya kusurukkan tangan kiriku ke
saku, atau mungkin mendudukinya, tapi genggaman tangan Edward yang dingin dan
erat membuatnya tetap di pangkuan.
"Berhenti bergerak-gerak, Bella. Ingatlah kau bukan hendak mengaku telah
membunuh orang." "Mudah bagimu untuk bicara begitu."
Aku mendengarkan suara mengerikan sepatu bot ayahku menapaki trotoar. Kuncikunci bergemerincing di pintu yang tidak dikunci. Suara itu mengingatkanku pada
film horor saat si korban sadar ia lupa menyelot pintunya.
"Tenanglah, Bella," bisik Edward, mendengarkan detak jantungku yang semakin
cepat. Pintu dibuka hingga membentur dinding, dan aku tersentak seperti ditampar.
"Hai, Charlie," seru Edward, sikapnya benar-benar rileks.
"Jangan!" protesku pelan.
"Apa?" Edward balas berbisik. "Tunggu sampai dia menggantung pistolnya dulu!"
Edward terkekeh dan menyusupkan tangannya yang bebas ke sela-sela rambut
perunggunya. Charlie muncul dari sudut ruangan, masih mengenakan seragam, masih bersenjata,
dan berusaha tidak mengernyit waktu melihat kami duduk di sofa dua dudukan.
Belakangan, ia berusaha keras untuk lebih menyukai Edward. Tentu saja, apa yang
akan kami sampaikan ini jelas akan langsung membuatnya berhenti mencoba.
"Hei. Ada apa?"
"Ada yang ingin kami bicarakan," kata Edward, sangat tenang. "Ada kabar baik"
Dalam sedetik ekspresi Charlie berubah dari keramahan yang dipaksakan menjadi
kecurigaan. "Kabar baik?" geram Charlie, memandangku lurus-lurus,
"Duduklah, Dad."
Alis Charlie terangkat sebelah, memandangiku selama lima detik, berjalan sambil
mengentakkan kaki ke kursi malas, lalu duduk di ujungnya dengan punggung tegak.
"Jangan tegang begitu, Dad," kataku setelah hening yang menjengahkan. "Semuanya
beres." Edward nyengir, dan aku tahu ia tidak menyukai istilah beres yang kugunakan, la
sendiri mungkin akan menggunakan istilah baik-baik saja atau sempurna atau
menyenangkan. "Tentu, Bella, tentu. Kalau benar semuanya beres, lantas mengapa keringatmu
besar-besar sebiji jagung begitu?"
"Aku tidak berkeringat," dustaku.
Aku mengkeret dipandangi begitu galak oleh ayahku, merapat pada Edward, dan
tanpa sadar mengusapkan punggung tangan kananku ke dahi untuk menghilangkan
barang bukti. "Kau hamil!" Charlie meledak. "Kau hamil, kan?"
Walaupun pertanyaan itu jelas-jelas ditujukan padaku, rapi tatapan garangnya
sekarang tertuju kepada Edward, dan berani sumpah aku sempat melihat tangannya
bergerak hendak meraih pistol.
"Tidak! Tentu saja aku tidak hamil!" Ingin rasanya aku menyikut rusuk Edward,
tapi tahu gerakan itu hanya akan membuat sikuku memar. Sudah kubilang kepada
Edward, orang-orang pasti bakal langsung menyimpulkan begitu! Apa lagi alasan
orang waras menikah di usia delapan belas tahun" (Jawaban Edward waktu itu
membuatku memutar bola mata. Cinta. Yang benar saja.)
Kemarahan Charlie sedikit mereda. Biasanya memang sangat jelas tergambar di
wajahku apakah aku berkata jujur, dan ia sekarang percaya padaku.
"Oh. Maaf" "Permintaan maaf diterima."
Lama tidak terdengar apa-apa. Sejurus kemudian baru aku sadar semua orang
menungguku mengatakan sesuatu. Aku mendongak memandang Edward, dicekam
kepanikan. Tidak mungkin aku mampu bicara.
Edward tersenyum padaku, menegakkan bahu, dan berpaling pada ayahku.
"Charlie, aku sadar telah melakukannya dengan cara tidak lazim. Secara
tradisional, seharusnya aku meminta izin dulu darimu. Aku tidak bermaksud kurang
ajar, tapi karena Bella sudah mengiyakan dan aku menghargai keputusannya, jadi
alih-alih meminta izin padamu untuk melamarnya, aku memintamu merestui kami.
Kami akan menikah, Charlie. Aku mencintai Bella lebih daripada apa pun di dunia
ini, lebih daripada hidupku sendiri, dan-ajaibnya-dia juga mencintaiku. Maukah
kau merestui kami?" Edward terdengar sangat yakin, sangat tenang, Dalam sekejap, mendengarkan
keyakinan luar biasa dalam suaranya, aku seperti mengalami momen pencerahan yang
sangat jarang terjadi. Aku bisa melihat, sekilas, bagaimana dunia terlihat di
mata Edward. Selama satu detak jantung, kabar ini terasa sangat masuk akal.
Kemudian mataku menangkap ekspresi Charlie, matanya kini tertuju ke cincinku.
Aku menahan napas sementara wajah Charlie berubah warna-putih ke merah, merah ke
ungu, ungu ke biru. Aku beranjak bangkit-tak yakin apa sebenarnya yang akan
kulakukan; mungkin melakukan manuver Heimlich untuk memastikan ia tidak tercekik
- tapi Edward meremas tanganku dan bergumam, "Beri dia waktu sebentar" begitu
pelan hingga hanya aku yang bisa mendengar.
Kali ini keheningan yang terjadi jauh lebih panjang. Kemudian, berangsur-angsur,
rona wajah Charlie kembali normal. Bibirnya mengerucut, alisnya berkerut; aku
mengenali ekspresi "berpikir keras"-nya. Ia mengamati kami lama sekali, dan aku
merasakan Edward merileks di sisiku.
"Kurasa aku tidak terlalu terkejut," gerutu Charlie. "Aku sudah tahu tak lama
lagi aku bakal harus menghadapi hal semacam ini."
Aku mengembuskan napas. "Kau yakin tentang hal ini?" desak Charlie, memandangku garang.
"Aku seratus persen yakin tentang Edward," aku menjawab pertanyaan ayahku dengan
mantap, "Tapi menikah" Mengapa harus terburu-buru?" Sekali lagi ia mengamatiku dengan
curiga. Terburu-buru karena semakin hari aku semakin mendekati sembilan belas tahun,
sementara Edward tetap dalam kesempurnaan usia tujuh belasnya, seperti yang
terjadi selama sembilan puluh tahun ini. Dalam pandanganku, kenyataan ini memang
tidak mengharuskan pernikahan, tapi itu harus dilakukan sebagai akibat dari
kompromi rumit dan berbelit yang dibuat Edward dan aku hingga akhirnya sampai ke
titik ini, menjelang transformasiku dari fana ke abadi.
Hal-hal ini tidak bisa kujelaskan kepada Charlie,
"Kami akan kuliah ke Dartmouth bersama musim gugur nanti, Charlie," Edward
mengingatkan. "Aku ingin melakukannya, well, secara benar. Begitulah caraku
dibesarkan." Edward mengangkat bahu.
Ia tidak melebih-lebihkan; masyarakat pada masa Perang Dunia I kan terbilang
kuno dalam hal moral. Mulut Charlie mengerucut miring. Mencari sesuatu yang bisa didebat, Tapi apa
lagi yang bisa ia katakan" Aku lebih suka kau hidup bergelimang dosa saja" Ia
kan seorang ayah; ia tidak punya pilihan lain.
"Sudah kuduga ini bakal terjadi," gerutunya pada diri sendiri, keningnya
berkerut. Kemudian, sekonyong-konyong, wajahnya mulus dan ekspresinya tak
terbaca, "Dad?" tanyaku waswas. Kulirik Edward, tapi aku juga tidak bisa membaca
wajahnya, sementara ia mengawasi Charlie.
"Ha!" Charlie meledak. Aku terlonjak di kursiku. "Ha, ha, ha!"
Kupandangi Charlie dengan sikap tak percaya waktu ia tertawa sampai terbungkukbungkuk; sekujur tubuhnya berguncang hebat.
Kupandangi Edward, meminta, penjelasan, tapi bibir Edward terkatup rapat,
seolah-olah ia sendiri juga menahan tawa.
"Oke, baiklah," sergah Charlie, suaranya tercekik. "Menikahlah." Lagi-lagi
tawanya meledak, mengguncangnya. "Tapi... "
"Tapi apa?" tuntutku.
"Tapi kau sendiri yang harus memberitahu ibumu! Aku tidak mau mengucapkan satu
patah kata pun kepada Renee! Itu tanggung jawabmu!" Ia tertawa terbahak-bahak.
Aku berhenti dengan tangan memegang gagang pintu, tersenyum. Tentu, waktu itu
kata-kata Charlie membuatku ngeri. Memberitahu Renee sama saja artinya dengan
kiamat. Pernikahan dini menduduki urutan lebih tinggi dalam daftar hitamnya
dibandingkan merebus anak anjing hidup-hidup.
Siapa yang bisa meramalkan reaksinya" Aku sih tidak. Jelas bukan Charlie.
Mungkin Alice, tapi ketika itu tak terpikir olehku untuk bertanya padanya.
"Well, Bella," kata Renee setelah dengan tersendat dan terbata-bata aku
mengucapkan kata-kata mustahil itu: Mom, aku akan menikah dengan Edward! "Aku
sedikit kesal karena baru sekarang kau mengatakannya padaku. Padahal tiket
pesawat yang dibeli mendadak itu kan mahal sekali. Oooh," omelnya. "Menurutmu
gips Phil sudah dibuka belum ya, saat itu" Bisa jelek foto-fotonya nanti kalau
dia tidak pakai tukse... "
"Tunggu sebentar, Mom." Aku menahan napas. "Apa maksud Mom, baru sekarang
mengatakannya" Aku kan baru ber... ber~."-aku tak sanggup memaksa diriku
mengucapkan kata bertunangan-"semuanya memang baru diputuskan hari ini."
"Hari ini" Benarkah" Itu baru mengejutkan. Asumsiku... "
"Mom berasumsi apa" Kapan Mom berasumsi?"
"Well, waktu kau datang mengunjungiku bulan April lalu, kelihatannya hubungan
kalian sudah sangat serius, kalau kau mengerti maksudku. Kau tidak sulit dibaca,
Sayang. Tapi aku tidak mengatakan apa-apa karena tahu itu tak ada gunanya. Kau
mirip sekali dengan Charlie." Renee mendesah, pasrah. "Begitu sudah memutuskan
sesuatu, tak ada gunanya lagi mencoba membujukmu. Tentu saja, persis seperti
Charlie, kau juga akan memegang teguh keputusanmu."
Kemudian ia mengatakan hal terakhir yang tak pernah kusangka akan keluar dari
mulut ibuku, "Kau tidak melakukan kesalahan seperti aku, Bella. Kedengarannya kau sangat
ketakutan, dan dugaanku, itu pasti karena kau takut padaku." Renee terkikik.
"Takut pada apa yang akan kupikirkan. Dan aku tahu aku memang banyak bicara
tentang pernikahan dan ketololan-dan aku tidak akan menarik kata-kataku -tapi
kau perlu menyadari, hal-hal itu secara khusus berlaku untukku. Kau sangat
berbeda dariku. Kau membuat kesalahanmu sendiri, dan aku yakin kau juga akan
menyesali beberapa hal dalam hidupmu. Tapi kau tak pernah punya masalah dengan
komitmen, Sayang. Peluangmu memiliki pernikahan yang langgeng lebih besar
daripada kebanyakan orang berusia empat puluh tahun yang kukenal." Lagi-lagi
Renee tertawa. "Anak remajaku yang separo baya. Untunglah, kau sepertinya
menemukan pasangan yang berjiwa sama tuanya denganmu."
"Jadi Mom... tidak marah" Menurut Mom, aku tidak membuat kesalahan besar?"
"Well, tentu, aku berharap kau mau menunggu beberapa tahun lagi. Maksudku,
memangnya aku sudah kelihatan cukup tua untuk jadi ibu mertua" Jangan dijawab.
Tapi ini bukan tentang aku. Ini tentang kau. Apakah kau bahagia?"
"Entahlah. Aku seperti melayang keluar dari tubuhku sekarang ini."
Renee terkekeh. "Dia membuatmu bahagia, Bella?"
"Ya, tapi..." "Apakah kau akan menginginkan orang lain?"
"Tidak, tapi... "
"Tapi apa?" "Tapi apakah Mom tidak akan mengatakan omonganku ini seperti remaja lain yang
mabuk kepayang sejak zaman kuno dulu?"
"Kau tidak pernah jadi remaja, Sayang. Kau tahu apa yang terbaik untukmu."
Selama beberapa minggu terakhir, tak disangka-sangka Renee tenggelam sepenuhnya
pada urusan persiapan pernikahan. Berjam-jam ia habiskan untuk berteleponteleponan dengan ibu Edward, Esme - tak perlu ada kekhawatiran para besan takkan
bisa berhubungan baik. Renee memuja Esme, tapi memang, aku ragu ada yang bakal
tidak memuja wanita baik hati calon ibu mertuaku itu.
Itu membuatku terbebas dari segala kerepotan mengurusi tetek-bengek pernikahan.
Keluarga Edward dan keluargaku mengurus segalanya tanpa aku harus ikut campur
atau terlalu repot memikirkannya.
Charlie marah sekali, tentu saja, tapi yang asyik, ia bukannya marah padaku.
Renee-lah yang jadi pengkhianat. Padahal ia berharap Renee bakal menolak
rencanaku mentah-mentah. Apa yang bisa ia lakukan sekarang, bila ancaman
utamanya- memberitahu Mom-ternyata hanya ancaman kosong" Ia tidak memiliki apaapa, dan ia tahu itu. Akibatnya, kerjanya sekarang hanya bermuram durja
sepanjang hari, menggerutu bahwa ia tidak bisa memercayai siapa pun di dunia
ini... "Dad?" panggilku sambil mendorong pintu depan. "Aku sudah pulang."
"Tunggu, Bells, tetaplah di sana."
"Hah?" tanyaku, otomatis menghentikan langkah.
"Tunggu sebentar. Aduh, mati aku, Alice,"
Alice" "Maaf, Charlie," sahut Alice,'suaranya melengking, "Bagaimana kalau begini?"
"Gawat." "Kau baik-baik saja. Tidak gawat kok-percayalah padaku."
"Apa yang terjadi?" tuntutku, ragu-ragu di ambang pintu.
"Tiga puluh detik, please, Bella," pinta Alice. "Kesabaranmu akan mendapat
imbalan setimpal." "Hahhh," sungut Charlie.
Aku mengetuk-ngetukkan kaki, menghitung setiap ketukan. Belum sampai hitungan
tiga puluh, Alice sudah berseru, "Oke, Bella, masuklah!"
Bergerak dengan hati-hati, aku memasuki ruang duduk.
"Oh," aku terperangah. "Aw. Dad. Dad kelihatan... "
"Tolol?" sela Charlie.
"Menurutku lebih tepat dibilang gagah"
Charlie merah padam. Alice meraih sikunya dan memutar tubuh Charlie pelan-pelan
untuk memamerkan tuksedo abu-abu muda itu.
"Sudahlah, Alice. Aku kelihatan seperti idiot."
"Tidak ada orang yang kudandani pernah kelihatan seperti idiot."
"Dia benar, Dad. Dad tampan sekali! Ada acara apa?"
Alice memutar bola mata. "Ini pengepasan terakhir. Untuk kalian berdua."
Untuk pertama kali aku mengalihkan pandanganku dari Charlie yang elegan ke
kantong gaun putih mengerikan yang diletakkan dengan hati-hati di sofa.
"Aaaah."

Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pergilah ke tempat bahagiamu, Bella. Tidak butuh waktu lama kok."
Aku menghirup napas dalam-dalam dan memejamkan mata. Dengan mata terpejam aku
rersaruk-saruk menaiki tangga menuju kamarku. Aku menanggalkan pakaianku hingga
tinggal pakaian dalam saja dan mengulurkan lenganku lurus-lurus ke depan.
"Kau bersikap seolah-olah aku hendak menyisipkan serpihan bambu ke bawah
kukumu!" gerutu Alice sambil mengikutiku masuk kamar.
Aku mengabaikannya. Aku sedang berada di tempat bahagiaku.
Di tempat bahagiaku, seluruh kerepotan mengurusi pernikahan sudah beres dan
berakhir. Sudah lewat. Sudah selesai dan dilupakan.
Kami sendirian, hanya Edward dan aku. Setting-nya kabur dan terus berubah-ubahmulai dari hutan berkabut ke kota yang dinaungi awan hingga malam di antartikakarena Edward merahasiakan lokasi bulan madu kami untuk memberiku kejutan. Tapi
aku tidak begitu pusing memikirkan di mana kami akan berbulan madu.
Edward dan aku akan bersama-sama, dan aku telah memenuhi kompromiku secara
sempurna. Aku menikah dengannya. Itu yang paling penting. Tapi aku juga sudah
menerima semua hadiahnya yang berlebihan dan telah terdaftar, meski percuma, di
Dartmouth College untuk musim gugur nanti. Sekarang giliran Edward.
Sebelum ia mengubahku menjadi vampir-kompromi besarnya-ia punya satu syarat lagi
yang harus dipenuhi. Edward memendam semacam kepedulian obsesif tentang pengalaman-pengalaman manusia
yang akan kukorbankan, pengalaman-pengalaman yang ia tidak ingin kulewatkan.
Sebagian besar di antaranya-seperti prom, misalnya-terasa konyol bagiku. Hanya
ada satu pengalaman manusia yang aku khawatir tak bisa kurasakan. Tentu saja itu
justru satu-satunya hal yang Edward harap akan kulupakan sepenuhnya.
Masalahnya begini. Aku tahu sedikit tentang bagaimana jadinya aku nanti kalau
sudah bukan manusia lagi. Aku sudah pernah melihat sendiri vampir-vampir yang
baru lahir, dan aku sudah mendengar cerita renrang hari-hari pertama yang liar
itu dari calon keluargaku. Selama beberapa tahun, ciri kepribadian terbesarku
adalah dahaga. Dibutuhkan waktu cukup lama sebelum aku bisa menjadi diriku lagi
Dan bahkan saat sudah bisa mengendalikan diri, aku tidak akan pernah bisa secara
persis merasakan apa yang kurasakan sekarang.
Manusia... dan mencintai dengan penuh gairah.
Aku menginginkan pengalaman yang utuh sebelum menukar tubuhku yang hangat,
rapuh, dan dipenuhi feromon ini dengan sesuatu yang indah, kuat... dan tak
dikenal. Aku menginginkan bulan madu yang sesungguhnya bersama Edward. Dan,
meski takut akan membahayakan diriku, ia setuju untuk mencoba.
Aku hanya samar-samar menyadari kehadiran Alice dan belaian bahan satin di
kulitku. Saat ini aku tak peduli kalaupun seantero kota membicarakanku. Aku
tidak ambil pusing memikirkan kehebohan yang bakal kutimbulkan sebentar lagi.
Aku tidak khawatir bakal tersandung cadarku yang panjang atau tertawa mengikik
pada momen yang salah atau menikah terlalu muda atau menjadi tontonan para tamu
atau bahkan mengkhawatirkan kursi kosong yang seharusnya diduduki sahabatku.
Aku berada bersama Edward di tempat bahagiaku.
2. MALAM PANJANG "BELUM-BELUM aku sudah rindu padamu."
"Aku tidak perlu pergi. Aku bisa tetap di sini... " "Mmm."
Hening yang cukup panjang, hanya detak jantungku bertalu-talu, desah napas kami
yang tersengal, dan bisikan bibir kami yang bergerak dengan sinkron.
Terkadang sangat mudah melupakan kenyataan aku sedang berciuman dengan vampir.
Bukan karena ia terkesan biasa-biasa saja atau mirip manusia-sedetik pun aku
takkan pernah melupakan bahwa aku mendekap seseorang yang lebih menyerupai
malaikat daripada manusia-tapi karena ia memberi kesan seakan-akan bukan masalah
menempelkan bibirnya di bibirku, wajahku, leherku. Ia mengaku sudah lama mampu
mengatasi godaan yang dulu pernah ditimbulkan darahku terhadap dirinya, bahwa
bayangan akan kehilangan diriku telah membuat gairahnya untuk mengisap darahku
lenyap sama sekali. Tapi aku tahu bau darahku masih membuatnya nyeri-masih
membakar kerongkongannya seakan-akan ia menghirup api.
Aku membuka mata dan melihat matanya juga terbuka, menatap wajahku. Rasanya
tidak masuk akal setiap kali ia memandangiku seperti itu. Seolah-olah aku ini
hadiah, bukan pemenang yang justru sangat beruntung.
Sesaat tatapan kami bertemu; matanya yang keemasan begitu dalam hingga aku
membayangkan bisa memandang jauh hingga ke dalam jiwanya. Konyol rasanya bahwa
kenyataan itu-eksistensi jiwanya-pernah dipertanyakan, walaupun ia vampir. Ia
memiliki jiwa yang paling indah, lebih indah daripada pikirannya yang brilian
atau wajahnya yang rupawan atau tubuhnya yang indah.
Ia membalas tatapanku seolah-olah ia bisa melihat jiwaku juga, dan seolah-olah
ia menyukai apa yang dilihatnya.
Tapi ia tidak bisa melihat ke dalam pikiranku, seperti ia bisa melihat pikiran
orang lain. Entah mengapa bisa begitu, tak ada yang tahu -mungkin ada yang aneh
dengan otakku yang membuatnya kebal terhadap hal-hal luar biasa dan menakutkan
yang bisa dilakukan sebagian makhluk imortal. (Hanya pikiranku yang kebal;
tubuhku masih bisa dipengaruhi para vampir dengan kemampuan yang berbeda dengan
Edward.) Tapi aku benar-benar bersyukur pada entah kelainan apa yang membuat
pikiranku tetap misterius. Memalukan sekali kalau yang terjadi justru
sebaliknya. Kutarik lagi wajah Edward ke wajahku.
"Kalau begitu, jelas aku akan tetap di sini," gumam Edward sejurus kemudian.
"Tidak, tidak. Ini kan pesta bujanganmu. Kau harus pergi."
Meski mulutku berkata begitu, jari-jari tangan kananku tetap meremas rambutnya,
dan tangan kiriku merengkuh punggungnya. Kedua tangannya yang dingin membelai
wajahku. "Pesta bujangan dirancang untuk orang-orang yang sedih karena akan meninggalkan
masa lajangnya. Sedang aku justru bersemangat melepasnya. Jadi sebenarnya tak
ada gunanya," "Benar." Aku mengembuskan napas di kulit lehernya yang dingin membeku.
Ini nyaris mirip dengan tempat bahagiaku. Charlie tidur nyenyak di kamarnya,
jadi praktis kami hanya berduaan saja. Kami bergelung di tempat tidurku yang
kecil, sebisa mungkin berpelukan erat, walaupun terhalang selimut afgban tebal
yang kulilitkan di tubuhku bagai kepompong. Sebenarnya aku tidak suka memakai
selimut, tapi bagaimana bisa bermesraan kalau gigi-gigiku bergemeletukan.
Charlie bakal curiga kalau aku menyalakan pemanas di bulan Agustus...
Setidaknya, walaupun tubuhku terbungkus rapat oleh selimut, kemeja Edward
tergeletak di lantai. Sampai sekarang aku masih saja takjub melihat betapa
sempurnanya tubuh Edward- putih, dingin, dan mulus seperti marmer. Kini tanganku
membelai dadanya yang sekeras batu, mengelus permukaan perutnya yang datar,
hanya mengagumi. Edward bergidik nyaris tak kentara, lalu kembali melumat
bibirku. Edward mendesah. Napasnya yang wangi membelai wajahku.
Edward bergerak hendak menarik diri-itu respons otomatisnya setiap kali ia
menganggap kami kelewat batas, reaksi refleksnya setiap kali ia sebenarnya ingin
melanjutkan. Hampir sepanjang hidupnya, Edward menolak setiap jenis kenikmatan
fisik. Aku tahu mengerikan baginya mencoba mengubah kebiasaan itu sekarang.
"Tunggu," cegahku, mencengkeram pundaknya dan merapatkan tubuhku. "Dengan
berlatih, semua akan sempurna,"
Edward terkekeh. "Well, seharusnya sekarang kita sudah sempurna, bukan" Apa kau
pernah tidur selama bulan lalu?"
"Tapi ini latihan terakhir," aku mengingatkan dia, "padahal kita baru melatih
beberapa adegan. Sekarang bukan saatnya untuk 'bermain aman."
Kusangka Edward bakal tertawa, tapi ia tidak menyahut, tubuhnya bergeming oleh
perasaan tertekan yang tiba-tiba menyergap. Warna emas di matanya seolah
mengeras, dari cair menjadi padat.
Aku memikirkan kata-kataku, menyadari apa yang mungkin ia dengar di dalamnya.
"Bella...," bisiknya,
"Jangan mulai lagi," tukasku. "Kesepakatan adalah kesepakatan."
"Entahlah. Terlalu sulit berkonsentrasi bila kau bersamaku seperti ini. Aku-aku
tidak bisa berpikir jernih. Aku takkan bisa menguasai diri. Kau bisa terluka."
"Aku akan baik-baik saja,"
"Bella... " "Ssstt!" Aku menempelkan bibirku ke bibirnya untuk menghentikan serangan paniknya. Aku
sudah pernah mendengar ini sebelumnya. Ia tidak boleh berkelit dari kesepakatan
kami. Tidak setelah ia bersikeras agar aku menikah dulu dengannya,
Edward menciumku sejenak, tapi aku tahu pikirannya tak sepenuhnya tertuju ke
sana lagi. Khawatir, selalu khawatir. Betapa akan sangat berbeda bila ia tidak
perlu mengkhawatirkanku lagi. Apa yang akan dilakukan Edward di waktu
senggangnya" Ia harus mencari hobi baru.
"Bagaimana kakimu?" tanyanya.
Tahu yang ia maksud sebenarnya adalah perasaanku, aku menjawab, "Panas membara."
"Sungguh" Tak ada keraguan" Sekarang belum terlambat untuk berubah pikiran."
"Kau berusaha mencampakkanku, ya?"
Edward terkekeh. "Hanya memastikan. Aku tidak mau kau melakukan hal-hal yang
tidak kauyakini." "Aku yakin tentang kau. Yang lain-lain bisa kulalui."
Edward ragu-ragu, dan aku bertanya-tanya dalam hati apakah aku salah omong
lagi. "Apakah kau bisa?" tanyanya pelan. "Maksudku bukan pernikahannya-itu sih aku
yakin pasti bisa kaulalui dengan baik walaupun kau gelisah memikirkannya-tapi
sesudahnya... bagaimana dengan Renee, bagaimana dengan Charlie?"
Aku menghela napas. "Aku akan merindukan mereka." Lebih parahnya lagi, mereka
pasti akan rindu padaku, tapi aku tak ingin semakin menyulut kekhawatiran
Edward. "Angela, Ben, Jessica, dan Mike juga."
"Aku juga akan merindukan teman-temanku." Aku tersenyum dalam gelap. "Terutama
Mike. Oh, Mike! Bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku?"
Edward menggeram. Aku tertawa tapi kemudian berubah serius. "Edward, kita sudah berkali-kali
membicarakan ini. Aku tahu pasti sulit, tapi inilah yang kuinginkan. Aku
menginginkanmu, dan aku menginginkanmu selamanya. Seumur hidup saja tidak cukup
bagiku." "Membeku selamanya di usia delapan belas," bisik Edward. "Itu impian setiap
wanita," godaku. "Tidak pernah berubah... tidak pernah bergerak maju." "Apa
artinya itu?" Edward menjawab lambat-lambat. "Ingatkah kau waktu kita memberitahu Charlie
bahwa kita akan menikah" Dan dia mengira kau... hamil?"
"Dan dia sempat berniat menembakmu," tebakku sambil tertawa, "Akuilah - walaupun
hanya sedetik, dia pasti sempat mempertimbangkannya."
Edward tidak menyahut. "Apa, Edward?" "Aku hanya berharap... well, aku berharap kalau saja dia benar." "Hah?" aku
terkesiap, "Bukan sekadar kalau saja, malah. Tapi bahwa kita bisa memiliki keturunan. Aku
tak suka merampas kemungkinan itu darimu."
Aku terdiam beberapa saat. "Aku tahu apa yang kulakukan."
"Bagaimana kau bisa mengetahuinya, Bella" Lihat ibuku, lihat adik-adik
perempuanku. Pengorbanan itu tak semudah yang kaubayangkan."
"Esme dan Rosalie toh baik-baik saja. Kalaupun kelak itu jadi masalah, kita bisa
melakukan seperti yang dilakukan Esme-mengadopsi."
Edward menghela napas, kemudian suaranya berapi-api. "Itu tidak benar! Aku tak
mau kau berkorban untukku. Aku ingin memberimu banyak hal, bukan malah
mengambilnya darimu. Aku tidak mau mencuri masa depanmu. Seandainya aku
manusia... " Kubekap bibirnya dengan tanganku. "Kaulah masa depanku. Sekarang hentikan.
Jangan muram lagi, atau kupanggil saudara-saudaramu untuk datang dan
menjemputmu. Mungkin kau memang membutuhkan pesta bujangan.''
"Maafkan aku. Aku memang bermuram durja, ya" Pasti karena gugup,"
"Kau gugup karena akan menikah?"
"Bukan gugup seperti itu. Aku sudah menunggu selama seabad untuk menikahimu,
Miss Swan. Aku sudah tak sabar lagi menunggu upacara pernikahan-" Edward
mendadak menghentikan kata-katanya. "Oh, demi semua yang kudus!"
"Ada apa?" Edward mengertakkan giginya. "Kau tidak perlu memanggil saudara-saudaraku.
Rupanya Emmett dan Jasper takkan membiarkanku mangkir malam ini."
Kupeluk tubuhnya lebih erat lagi selama satu detik, kemudian kulepaskan. Aku
tidak bakal bisa melawan keinginan Emmett. "Selamat bersenang-senang."
Terdengar deritan di jendela-ada orang yang sengaja menggoreskan kuku mereka
yang sekeras baja di kaca agar timbul suara berderit yang menegakkan bulu kuduk.
Aku bergidik. "Kalau kau tidak juga menyuruh Edward keluar," Emmett- masih tidak terlihat
dalam gelap-mendesis dengan nada mengancam, "kami akan masuk dan menjemputnya!"
"Pergilah," aku tertawa. "Sebelum mereka menghancurkan rumahku."
Edward memutar bola matanya, tapi bangkit berdiri dalam satu gerakan luwes, dan
dengan cekatan mengenakan kembali kemejanya. Ia membungkuk dan mengecup
keningku. "Tidurlah. Besok hari besar."
"Trims! Kata-katamu jelas membuat perasaanku semakin tenang,"
"Sampai ketemu di depan altar."
"Aku akan mengenakan gaun putih" Aku tersenyum karena kata-kataku terdengar
sangat klise. Edward terkekeh, menimpali, "Sangat meyakinkan"
Kemudian ia merunduk siap melompat, otot-ototnya meregang seperti per. Ia
lenyap-melompat keluar dari jendelaku dengan gerakan sangat cepat hingga mataku
tak sanggup mengikuti. Di luar terdengar suara berdebum pelan, dan aku mendengar Emmett memaki.
"Awas, jangan membuatnya terlambat," bisikku, tahu mereka bisa mendengar.
Kemudian wajah Jasper mengintip di jendelaku, rambutnya yang berwarna madu
tampak keperakan tertimpa cahaya lemah bulan yang terhalang awan.
"Jangan khawatir, Bella. Kami akan membawa Edward pulang jauh sebelum waktunya."
Tiba-tiba saja aku merasa tenang, dan semua kegelisahanku terasa tidak penting.
Jasper, dengan caranya sendiri, sama berbakatnya dengan Alice dengan prediksiprediksinya yang sangat akurat. Medium Jasper adalah suasana hati, bukan masa
depan, dan mustahil bisa menolak merasakan apa yang ia ingin agar kaurasakan.
Aku duduk dengan canggung, masih terbelit selimutku. "Jasper" Apa yang dilakukan
vampir dalam pesta bujangan" Kau kan tidak membawanya ke kelab tari telanjang,
kan?" "Jangan beritahu dia!" geram Emmett dari bawah. Terdengar suara berdebam lagi,
dan Edward tertawa pelan.
"Tenanglah," kata Jasper-dan aku langsung merasa tenang, "Kami keluarga Cullen
memiliki versi sendiri. Paling-paling hanya beberapa singa gunung, atau satu-dua
ekor beruang grizzly. Hampir seperti malam-malam biasanya."
Aku penasaran apakah aku akan bisa bersikap begitu sombong tentang diet vampir
"vegetarian" seperti itu. "Trims, Jasper."
Jasper mengedipkan mata dan lenyap dari pandangan. Sunyi senyap di luar. Dengkur
teredam Charlie menembus hnding.
Aku berbaring di bantal, sekarang mengantuk. Dari balik kelopak mataku yang
berat, kupandangi dinding-dinding kamarku yang kecil, putih pucat dalam cahaya
bulan. Malam terakhirku di kamarku. Malam terakhirku sebagai Isabella Swan. Besok
malam, aku akan menjadi Bella Cullen. Walaupun pernikahan ini bagaikan duri
dalam daging, namun harus kuakui aku senang mendengarnya.
Kubiarkan pikiranku berkelana sejenak, berharap kantuk kian menguasaiku. Tapi,
setelah beberapa menit, aku malah merasa semakin siaga, kegelisahan kembali
merayapi perutku, memilinnya dalam berbagai posisi tidak enak. Kasur terasa
terlalu lembek, terlalu hangat tanpa Edward di sampingku. Japer berada jauh
sekali, dan perasaan damai serta rileks telah ikut lenyap bersamanya.
Besok akan jadi hari yang sangat melelahkan.
Aku menyadari sebagian besar ketakutanku tolol-aku hanya perlu menguasai diri.
Perhatian adalah bagian yang tak lusa dihindari dalam hidup. Aku tidak selalu
bisa melebur dengan sekelilingku. Bagaimanapun, aku memiliki beberapa
kekhawatiran khusus yang sepenuhnya beralasan.
Pertama, soal ekor gaun pengantin. Alice jelas-jelas membiarkan selera seninya
mengalahkan segi kepraktisan dalam hal itu. Rasanya mustahil bisa menuruni
tangga rumah keluarga Cullen dengan sepatu hak tinggi dan gaun berekor panjang.
Seharusnya aku berlatih dulu.
Kemudian, masalah daftar tamu.
Keluarga Tanya, klan Denali, akan datang beberapa saat sebelum upacara.
Bukan perkara mudah menyatukan keluarga Tanya dalam satu ruangan dengan tamutamu kami dari reservasi Quileute, ayah Jacob, dan keluarga Clearwater. Klan
Denali tidak menyukai werewolf. Bahkan, saudara Tanya, Irina, tidak bakal datang
ke acara pernikahan. Ia masih menyimpan dendam terhadap werewolf karena membunuh
temannya, Laurent (yang waktu itu berniat membunuhku). Gara-gara dendam itu
pula, klan Denali lepas tangan dan tidak mau membantu keluarga Edward saat


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka sedang sangat membutuhkan bantuan. Namun sungguh tidak disangka-sangka,
persekutuan para vampir dengan serigala Quileute justru berhasil menyelamatkan
nyawa kami semua saat para vampir baru itu menyerang...
Edward berjanji padaku bahwa tidak berbahaya membiarkan klan Denali berdekatan
dengan para tamu dari Quileute. Tanya dan seluruh anggota keluarganya - selain
Irina-merasa sangat bersalah gara-gara persoalan waktu itu. Gencatan senjata
dengan para werewolf hanyalah harga kecil yang harus mereka bayar atas
pengkhianatan mereka waktu itu, dan mereka bersedia membayarnya.
Itu masalah besarnya, tapi ada juga masalah kecil: kepercayaan diriku yang
rapuh. Aku belum pernah bertemu Tanya sebelumnya, tapi aku yakin pertemuanku dengannya
nanti tidak akan menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi egoku. Dulu sekali,
mungkin sebelum aku lahir. Tanya pernah mencoba mendekati Edward-bukan berarti
aku menyalahkan dia atau orang lain karena menginginkan Edward. Meski begitu,
pilihannya adalah ia akan terlihat cantik, atau memesona. Walaupun Edward jelasjelas-meski itu tidak bisa dimengerti-lebih memilih aku, tanpa bisa dicegah aku
pasti akan membandingkan diriku dengannya.
Aku sempat menggerutu sedikit sampai akhirnya Edward, yang mengetahui
kelemahanku, membuatku merasa bersalah,
"Hanya kita yang bisa mereka anggap sebagai keluarga, Bella," Edward
mengingatkanku. "Mereka masih merasa seperti yatim-piatu, kau tahu, walaupun
sudah sekian lama." Maka aku pun setuju, menyembunyikan kegelisahanku.
Tanya sekarang memiliki keluarga besar, hampir sebesar keluarga Cullen. Mereka
berlima; Tanya, Kate, dan Irina, ditambah Carmen dan Eleazar yang bergabung
dengan mereka hampir seperti Alice dan Jasper bergabung dengan keluarga Cullen,
dipersatukan oleh keinginan mereka untuk hidup secara lebih beradab dibandingkan
dengan vampir lain pada umumnya.
Walaupun jumlah mereka banyak, di satu sisi Tanya dan adik-adiknya masih
sendirian. Mereka masih berduka. Karena dulu sekali, mereka juga pernah punya
ibu. Aku bisa membayangkan lubang yang ditinggalkan oleh kehilangan sebesar itu,
bahkan walaupun seribu tahun telah berlalu; aku berusaha membayangkan keluarga
Cullen tanpa pencipta, inti, dan penuntun mereka-ayah mereka, Carlisle, Aku
tidak bisa membayangkannya.
Carlisle pernah menceritakan tentang riwayat hidup Tanya dulu, saat aku bermalam
di rumah keluarga Cullen, belajar sebanyak mungkin, mempersiapkan diri sebisa
mungkin untuk masa depan yang telah kupilih. Kisah ibu Tanya hanyalah satu dari
sekian banyak kisah serupa, kisah yang menggambarkan satu dari sekian banyak
aturan yang harus kuwaspadai kalau nanti sudah bergabung dengan dunia imortal
ini. Hanya satu aturan sebenarnya-satu aturan yang dipecah menjadi ribuan segi
yang berbeda: Menjaga rahasia ini.
Menjaga rahasia berarti banyak hal -hidup tanpa menimbulkan kecurigaan seperti
keluarga Cullen, berpindah-pindah sebelum manusia di sekitar mereka curiga
mengapa mereka tak pernah menua. Atau sekalian saja hidup menjauh dari manusiakecuali saat tiba waktu makan-seperti yang dilakukan vampir nomaden seperti
James dan Victoria; seperti teman-teman Jasper, Peter dan Charlotte, yang sampai
sekarang masih hidup. Menjaga rahasia berarti mengendalikan vampir-vampir baru
yang kauciptakan, seperti yang pernah dilakukan Jasper saat ia masih tinggal
bersama Maria. Sesuatu yang gagal dilakukan Victoria terhadap vampir-vampir baru
ciptaannya. Dan itu juga berarti tidak menciptakan vampir baru sama sekali, karena sebagian
vampir baru tidak bisa dikendalikan.
"Aku tidak tahu siapa nama ibu Tanya," Carlisle mengakui waktu itu, matanya yang
keemasan, yang warnanya nyaris sama dengan warna rambutnya yang terang, terlihat
sedih mengingat kepedihan hati Tanya. "Kalau bisa, sebisa mungkin mereka
menghindari berbicara tentang ibu mereka, tidak pernah secara sengaja
memikirkannya." "Wanita yang menciptakan Tanya, Kate, dan Irina-yang mencintai mereka, aku
yakin-hidup bertahun-tahun sebelum aku lahir, pada masa terjadinya wabah di
dunia kita, wabah munculnya anak-anak imortal."
"Apa yang dipikirkan vampir-vampir kuno itu dulu, aku sama sekali tidak
mengerti. Mereka menciptakan vampir dari manusia yang bahkan masih bayi."
Aku sampai harus menelan kembali cairan lambungku yang naik ke tenggorokan saat
membayangkan cerita Carlisle.
"Mereka sangat menggemaskan" Carlisle buru-buru menjelaskan, melihat reaksiku.
"Begitu memikat, begitu memesona, pokoknya tak terbayangkan. Kau takkan tahan
untuk tidak mendekati dan menyayangi mereka; itu terjadi secara alamiah.
"Namun mereka tidak bisa dididik. Mereka membeku di tahap perkembangan yang
mereka capai sebelum digigit. Bocah-bocah dua tahun menggemaskan dengan lesung
pipi dan ocehan cadel yang sanggup menghancurkan setengah isi desa ketika mereka
mengamuk. Kalau lapar mereka makan, dan tak satu pun kata peringatan mampu
menghalangi mereka. Manusia melihat mereka, kabar beredar, ketakutan menyebar
seperti api menjilati semak kering...
"Nah, ibu Tanya menciptakan satu anak seperti itu. Sama seperti vampir-vampir
kuno lainnya, aku sama sekali tidak mengerti alasannya." Carlisle menarik napas
dalam-dalam untuk menenangkan diri. "Keluarga Volturi akhirnya turun tangan,
tentu saja." Seperti biasa aku bergidik mendengar nama itu, tapi tentu saja satu legiun
vampir Italia-bangsawan menurut anggapan mereka sendiri-adalah inti kisah ini.
Percuma saja ada hukum kalau tidak ada hukuman; dan tidak mungkin ada hukuman
kalau tidak ada pihak yang menjatuhkannya. Tiga vampir tua, Aro, Caius, dan
Marcus adalah pemimpin pasukan Volturi; aku pernah bertemu mereka, tapi dalam
pertemuan singkat itu, aku mendapat kesan bahwa Aro, dengan bakat luar biasanya
membaca pikiran - sekali menyentuh saja, ia akan langsung tahu setiap pikiran
yang pernah timbul dalam benak seseorang-adalah pemimpin utamanya.
"Keluarga Volturi mempelajari anak-anak imortal itu, baik di kampung halaman
mereka di Volterra maupun di seluruh penjuru dunia. Caius memutuskan anak-anak
itu tidak akan bisa menjaga rahasia kita. Oleh karena itu, mereka harus
dimusnahkan. "Seperti kataku tadi, mereka menggemaskan. Well, beberapa kelompok vampir
melawan dengan sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan -sampai mereka semua
dikalahkan-untuk melindungi anak-anak itu. Pembantaian itu tidak meluas seperti
perang selatan di benua ini, tapi jumlah korbannya jauh lebih banyak. Kelompokkelompok yang sudah lama terbentuk, tradisi lama, teman-teman,., banyak yang
musnah. Akhirnya praktik itu benar-benar musnah hingga ke akar-akarnya. Anakanak imortal tidak boleh lagi disebut-sebut, dan menjadi sesuatu yang tabu untuk
dibicarakan. "Waktu tinggal dengan keluarga Volturi, aku pernah bertemu dengan dua anak
imortal, jadi aku melihat sendiri betapa menggemaskannya mereka, Aro mempelajari
anak-anak itu selama beberapa tahun setelah malapetaka yang diakibatkan mereka
berakhir. Kau tahu sendiri watak Aro; dia berharap anak-anak itu bisa
dijinakkan. Namun akhirnya keputusan bulat diambil: anak-anak imortal tidak
diperbolehkan hidup."
Aku sudah lupa pada ibu Denali bersaudara ketika cerita kembali padanya.
"Tidak jelas apa tepatnya yang terjadi pada ibu Tanya," cerita Carlisle. "Tanya,
Kate, dan Irina tidak tahu apa-apa sampai suatu hari keluarga Volturi datang
menemui mereka, ibu mereka, bersama ciptaan ilegal si ibu yang sudah berada
dalam tawanan mereka, Ketidaktahuanlah yang menyelamatkan hidup Tanya dan
saudari-saudarinya. Aro menyentuh mereka dan melihat bahwa mereka benar-benar
tidak tahu apa-apa, jadi mereka tidak dihukum bersama ibu mereka,
"Tak seorang pun di antara mereka pernah melihat bocah lelaki itu sebelumnya,
atau pernah memimpikan keberadaannya, sampai hari itu, saat mereka melihatnya
dibakar dalam pelukan ibu mereka. Aku hanya bisa menduga ibu mereka sengaja
merahasiakannya untuk melindungi mereka dari kemungkinan ini. Tapi mengapa sang
ibu harus menciptakan bocah itu" Siapakah bocah itu, dan apa arti si bocah bagi
si ibu, sampai menyebabkan dia nekat melanggar batas yang paling tidak bisa
dilanggar" Tanya dan yang lain-lain tak pernah mengetahui jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi mereka tidak bisa meragukan kesalahan ibu
mereka, dan kurasa mereka tak pernah benar-benar memaafkannya.
"Bahkan walaupun Aro sudah memastikan bahwa Tanya, Kate, dan Irina tidak
bersalah, Caius tetap ingin mereka dibakar. Bersalah karena ada hubungan. Mereka
beruntung Aro sedang ingin bermurah hati hari itu. Tanya dan adik-adiknya
dimaafkan, tapi ditinggalkan dengan hati terluka dan sangat menghormati hukum...
" Aku tak tahu di mana persisnya ingatan itu berubah menjadi mimpi. Sesaat aku
merasa seperti mendengarkan cerita Carlisle dalam ingatanku, menatap wajahnya,
dan sejurus kemudian aku sudah memandang ke padang tandus kelabu dengan bau dupa
terbakar menyengat di udara. Aku tidak sendirian di sana.
Sosok-sosok tubuh yang berkerumun di tengah padang, semua mengenakan jubah
kelabu, seharusnya membuatku ngeri-mereka tidak lain dan tidak bukan adalah
keluarga Volturi, sementara aku, berlawanan dengan apa yang telah mereka
perintahkan di pertemuan terakhir kami, masih manusia. Tapi aku tahu, seperti
yang kadang-kadang kuketahui dalam mimpi, bahwa mereka tidak bisa melihatku.
Di sekelilingku tampak bertebaran gundukan yang mengepulkan asap. Aku mengenali
bau wangi yang membubung di udara dan tidak memerhatikan gundukan-gundukan itu
lebih dekat lagi. Aku tak ingin melihat wajah-wajah vampir yang mereka eksekusi,
setengah takut bakal mengenali seseorang di antaranya.
Prajurit-prajurit Volturi berdiri membentuk lingkaran mengitari sesuatu atau
seseorang, dan aku mendengar suara-suara bisikan mereka meninggi oleh
kegelisahan. Aku beringsut mendekati jubah-jubah itu, terdorong oleh mimpi untuk
melihat benda atau orang yang sedang mereka perhatikan dengan begitu cermat.
Menyusup hati-hati di antara dua sosok jangkung berjubah yang mendesis, akhirnya
aku berhasil melihat objek yang sedang mereka perdebatkan, duduk di puncak bukit
kecil di atas mereka. Bocah lelaki itu tampan, menggemaskan, persis seperti yang digambarkan Carlisle.
Ia masih balita, mungkin baru dua tahun. Rambut ikalnya yang cokelat muda
membingkai wajahnya yang mirip kerubim, dengan pipi bundar dan bibir penuh. Dan
tubuhnya gemetar, matanya terpejam seolah-olah ia terlalu takut melihat kematian
yang setiap detik semakin dekat
Aku dilanda keinginan sangat kuat untuk menyelamatkan bocah tampan yang
ketakutan itu sampai-sampai keluarga Volturi, dengan kekuasaannya yang sanggup
menghancurkan, tak lagi berarti apa-apa bagiku. Aku menerobos kerumunan, tak
peduli kalaupun mereka menyadari kehadiranku. Begitu lepas dari kerumunan, aku
berlari sekencang-kencangnya menghampiri bocah lelaki itu.
Namun aku terhuyung-huyung dan berhenti berlari begitu bisa melihat dengan jelas
bukit tempat bocah lelaki itu duduk. Ternyata bukit itu tidak terdiri atas tanah
dan bebatuan, melainkan tumpukan mayat manusia, kering dan tak bernyawa.
Terlambat untuk tidak melihat wajah-wajah mereka. Aku kenal mereka semua-Angela,
Ben, Jessica, Mike,.. Dan persis di bawah bocah menggemaskan itu tergeletak
mayat ayah dan ibuku. Bocah itu membuka matanya yang cemerlang dan semerah darah.
3. HARI H MATAKU mendadak terbuka. Selama beberapa menit aku berbaring dengan sekujur tubuh gemetar dan terengahengah di tempat tidurku yang hangat, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman
mimpi- Langit di luar jendelaku berubah kelabu, kemudian merah muda pucat
sementara aku menunggu detak jantungku melambat.
Setelah sepenuhnya kembali ke dunia nyata di kamarku yang berantakan dan
familier, aku sedikit kesal pada diriku sendiri. Bisa-bisanya aku bermimpi
seperti itu di malam menjelang pernikahan! Itulah akibatnya kalau terobsesi pada
cerita-cerita seram di tengah malam.
Ingin mengenyahkan mimpi buruk itu jauh-jauh, aku bangkit dan berpakaian, turun
ke dapur padahal hari masih sangat pagi. Pertama-tama aku membersihkan ruanganruangan yang sudah rapi, kemudian setelah Charlie bangun, membuatkannya panekuk.
Aku terlalu tegang sehingga tidak bernafsu sarapan - aku hanya duduk sambil
bergerak-gerak gelisah di kursiku sementara Charlie makan.
"Dad harus menjemput Mr. Weber jam tiga nanti!" aku mengingatkan ayahku.
"Aku tak punya kegiatan lain hari ini selain menjemput pendeta, Bells. Jadi
tidak mungkin aku melupakan satu-satunya tugasku." Charlie cuti satu hari khusus
untuk pernikahanku, dan ia gelisah seperti cacing kepanasan. Sesekali matanya
diam-diam melirik lemari di bawah tangga, tempat ia menyimpan peralatan
memancingnya, "Itu bukan satu-satunya tugas Dad. Dad juga harus berpakaian rapi dan tampil
tampan," Charlie mencemberuti mangkuk serealnya dan menggerutu, mengucapkan kata-kata
"baju monyet" dengan suara pelan.
Terdengar ketukan cepat di pintu depan,
"Baru begitu saja sudah Dad anggap berat," kataku, meringis sambil bangkit
berdiri. "Sementara aku akan digarap Alice seharian."
Charlie mengangguk dengan sikap serius, menyimpulkan bahwa "penderitaannya"
lebih ringan daripada aku. Aku membungkuk untuk mengecup puncak kepalanya sambil
berjalan lewat-wajah Charlie memerah dan ia menggeram-untuk membukakan pintu
bagi sahabat sekaligus calon adik iparku.
Rambut hitam pendek Alice tidak jabrik seperti biasa- rambutnya disisir mengikal
di sekeliling wajah mungilnya, tampak kontras dengan ekspresinya yang resmi. Ia
menyeretku keluar rumah dan hanya sempat menyapa Charlie sekilas dari balik
bahunya. Alice memandangiku dengan saksama waktu aku naik ke Porsche-nya.
"Oh, ya ampun, coba lihat matamu!" Ia berdecak-decak dengan sikap mencela. "Apa
yang kaulakukan" Begadang semalam suntuk?"
"Hampir." Alice melotot. "Aku tidak punya banyak waktu untuk membuatmu tampil memesona,
Bella-seharusnya kau menjaga 'bahan mentahnya' lebih baik lagi,"
"Tak ada yang mengharapkanku tampil memesona. Menurutku lebih gawat kalau aku
tertidur saat upacara dan tidak bisa mengatakan saya bersedia' pada saat yang
tepat, kemudian Edward bakal kabur."
Alice tertawa. "Aku akan melemparimu dengan buketku kalau kau sudah hampir
ketiduran." "Trims." "Setidaknya kau punya banyak waktu untuk tidur di pesawat besok."
Aku mengangkat sebelah alis. Besok, renungku. Kalau kami berangkat malam ini
seusai resepsi, dan masih berada di pesawat besok... well, berarti kami bukannya
akan pergi ke Boise, Idaho. Edward sama sekali menolak memberi petunjuk.
Bukannya aku penasaran memikirkan misteri itu, tapi aneh saja rasanya, tidak
tahu di mana aku akan tidur besok malam. Atau kuharap tidak tidur...
Alice sadar ia telah kelepasan bicara, dan keningnya berkerut.
"Barang-barang bawaanmu sudah siap semua," katanya untuk mengalihkan pikiranku.
Usahanya berhasil. "Alice, sebenarnya aku ingin diperbolehkan mengepak barangbarangku sendiri!" "Itu sama saja membocorkan rahasia."
"Dan melenyapkan kesempatanmu untuk shopping"
"Sepuluh jam lagi kau akan resmi jadi kakakku... jadi sudah waktunya kau
melupakan keenggananmu pada baju-baju baru."
Aku memandang garang dengan tatapan mengantuk ke luar kaca jendela sampai kami
hampir tiba di rumah. "Dia...sudah pulang belum?" tanyaku.
"Jangan khawatir, pokoknya dia akan berada di sana begitu musik mulai mengalun.
Tapi kau tidak boleh bertemu dengannya, tak peduli kapan pun dia pulang nanti.
Kita akan melakukan ini secara tradisional."
Aku mendengus. "Tradisional!"
"Oke, kecuali mempelai pria dan wanitanya."
"Kau tahu dia sudah mengintip."
"Oh tidak-itulah sebabnya hanya aku yang pernah melihatmu dalam gaun pengantin.
Aku sangat berhati-hati untuk tidak memikirkannya kalau sedang ada dia."
"Well" kataku saat mobil berbelok memasuki halaman. "Ternyata kau memakai semua
dekorasi wisudamu lagi." Jalan masuk sepanjang hampir lima kilometer sekali lagi
dihiasi ribuan lampu kecil berkelap-kelip. Kali ini Alice menambahkan pira satin
putih. "Tak ada salahnya berhemat. Nikmatilah, karena kau tidak boleh melihat dekorasi
di dalam sampai tiba waktunya nanti." Ia memasukkan mobil ke garasi yang besar
dan luas di bagian utara rumah induk; Jeep Emmett masih belum tampak.
"Sejak kapan mempelai wanita tidak dibolehkan melihat dekorasinya?" protesku.
"Sejak si mempelai wanita menugaskan aku mengurus semuanya. Aku ingin kau baru
melihat semuanya saat berjalan menuruni tangga."
Alice menutup mataku dengan tangannya sebelum mengajakku masuk ke dapur. Bau itu
langsung menyerbu indra penciumanku.
"Apa itu?" tanyaku penasaran saat Alice membimbingku memasuki rumah.
"Berlebihan, ya?" Suara Alice mendadak waswas. "Kau manusia pertama yang masuk
ke sini; mudah-mudahan saja aku tidak terlalu berlebihan,"


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baunya enak sekali!" aku meyakinkan Alice-nyaris memabukkan, tapi tidak
berlebihan, bauran berbagai aroma yang berbeda terasa halus dan mulus, "Orange
blossoms... lilac". dan bunga yang lain-betul, kan?"
"Bagus sekali, Bella. yang tidak kausebut hanya freesia dan mawar."
Ia tidak melepaskan tangannya dari mataku sampai kami berada di kamar mandinya
yang berukuran superbesar. Kupandangi konter kamar mandi yang panjang, seluruh
permukaannya dipenuhi berbagai pernak-pernik seperti di salon kecantikan, dan
mulai merasakan akibat kurang tidurku semalam.
"Apakah ini benar-benar perlu" Dipermak bagaimanapun, aku akan tetap terlihat
biasa di samping Edward."
Alice mendorongku hingga terduduk ke kursi pink yang rendah. "Tidak ada yang
berani menyebutmu biasa setelah aku selesai memermakmu."
"Hanya karena mereka takut kau bakal mengisap darah mereka," gerutuku.
Aku bersandar di kursi dan memejamkan mata, berharap bisa mencuri-curi tidur
selama dirias. Aku memang sempat terhanyut antara sadar dan tidak sementara
Alice sibuk memasker, mengampelas, dan mengilatkan setiap jengkal permukaan
tubuhku. Selepas waktu makan siang, Rosalie melenggang melewati kamar mandi dalam balutan
gaun perak berpendar-pendar, rambut emasnya ditumpuk menjadi mahkota lembut di
puncak kepala. Ia begitu cantik sampai-sampai rasanya aku kepingin menangis. Apa
gunanya berdandan kalau ada Rosalie"
"Mereka sudah pulang," kata Rosalie dan seketika itu juga perasaan meranaku yang
kekanak-kanakan lenyap. Edward sudah pulang.
"Jangan sampai dia masuk ke sini!"
"Dia tidak bakal membuatmu kesal hari ini," Rosalie menenangkan Alice. "Dia
terlalu menghargai hidupnya. Esme menyuruh mereka membereskan sesuatu di
belakang. Kau butuh bantuan" Aku bisa menata rambutnya."
Mulutku langsung menganga. Saking kagetnya aku sampai lupa menutup mulut.
Rosalie tak pernah menyukaiku. Dan, yang membuat hubungan kami semakin buruk, ia
secara pribadi sangat tidak menyetujui pilihan yang kuambil sekarang. Walaupun
memiliki kecantikan luar biasa, keluarga yang mencintainya, dan Emmett sebagai
belahan jiwanya, Rosalie rela menukar semua itu demi bisa menjadi manusia. Tapi
aku justru seenaknya mencampakkan semua yang ia inginkan dalam hidup ini seolaholah semua itu sampah. Itu membuatnya semakin tidak menyukaiku.
"Tentu," jawab Alice enteng. "Kau bisa mulai mengepang rambutnya. Aku ingin
tatanan yang rumit. Cadarnya nanti dipasang di sini, di bawah." Kedua tangannya
mulai menyisir rambutku, mengangkat, memilin, menggambarkan secara mendetail apa
yang ia inginkan. Setelah ia selesai, tangan Rosalie menggantikannya, membentuk
rambutku dengan sentuhan sehalus bulu. Alice kembali menekuni wajahku.
Setelah Rosalie selesai menata rambutku, ia disuruh mengambil gaunku kemudian
mencari Jasper, yang dikirim untuk menjemput ibuku dan suaminya, Phil, dari
hotel tempat mereka menginap. Di lantai bawah samar-samar aku bisa mendengar
suara pintu membuka dan menutup berulang kali. Suara-suara mulai terdengar oleh
kami, Alice menyuruhku berdiri supaya ia bisa mengenakan gaun itu tanpa merusak
tatanan rambut dan makeup-ku. Lututku gemetar sangat hebat saat ia mengancingkan
deretan panjang kancing mutiara di punggungku sampai-sampai gaun satinku
bergoyang-goyang seperti ombak di lantai.
"Tarik napas dalam-dalam, Bella," kata Alice. "Dan cobalah tenangkan debar
jantungmu. Bisa-bisa wajah barumu berkeringat nanti."
Aku menampilkan ekspresi sarkastis terbaikku. "Akan segera kulaksanakan "
"Aku harus berpakaian sekarang. Bisakah kau menahan diri selama dua menit?"
"Eh... mungkin?"
Alice memutar bola matanya dan melesat keluar pintu.
Aku berkonsentrasi menarik napas, menghitung setiap gerakan paru-paruku, dan
memandangi pola-pola lampu kamar mandi yang terpantul di gaunku yang berbahan
mengilat, Aku takut melihat ke cermin-takut kalau-kalau bayangan diriku dalam
balutan gaun pengantin membuatku panik.
Alice sudah kembali sebelum aku sempat menarik napas dua ratus kali, mengenakan
gaun yang menuruni tubuh langsingnya bagaikan air terjun keperakan.
"Alice-wow" "Ini bukan apa-apa. Tak ada yang bakal melirikku hari ini. Tidak bila aku berada
satu ruangan bersamamu."
"Ha ha," "Sekarang, kau bisa mengendalikan diri, atau aku perlu menyuruh Jasper naik ke
sini?" "Mereka sudah pulang" Ibuku sudah datang?"
"Dia baru saja melewati pintu. Dia sedang naik kemari."
Renee datang dua hari yang lalu, dan sebisa mungkin aku menghabiskan setiap
menit bersamanya-dengan kata lain setiap menit yang tidak ia habiskan bersama
Esme dan dekorasinya. Sepanjang pengamatanku ia gembira sekali, lebih daripada anakanak yang dikurung di Disneyland selama satu malam. Di satu sisi, aku hampirhampir merasa dikhianati, sama seperti yang dirasakan Charlie. Padahal aku sudah
sangat ketakutan membayangkan reaksinya...
"Oh, Bella!" pekiknya sebelum tuntas melewati pintu. "Oh, Sayang, kau cantik
sekali! Oh, aku jadi kepingin menangis! Alice, kau luar biasa! Kau dan Esme
seharusnya membuka usaha wedding planner. Dari mana kau mendapatkan gaun ini"
Antiknya! Sangat anggun, sangat elegan. Bella, kau seperti Ictftru keluar dari
film Austen." Suara ibuku rasanya datang duri tempat yang agak jauh dan segala
sesuatu dalam ruangan itu sedikit kabur. "Idenya sungguh kreatif, merancang tema
yang cocok dengan cincin Bella. Romantis benar! Apalagi mengingat cincin itu
sudah jadi milik keluarga Edward sejak tahunn seribu delapan ratusan!"
Alice dan aku bertukar pandang penuh konspirasi. Komentar ibuku tadi sebenarnya
melenceng jauh. Tema pernikahan 1111 sebenarnya bukan dipusatkan pada cincinnya,
melainkan pada Edward sendiri.
Terdengar suara deham parau dari ambang pintu.
"Renee, kata Esme sudah waktunya kau turun ke bawah," kata Charlie,
"Well, Charlie, tampan sekali kau!" seru Renee dengan nada yang terdengar nyaris
shock, Mungkin karena itulah respons Charlie jadi terdengar garing.
"Alice memermakku habis-habisan,"
"Benarkah sekarang sudah waktunya?" tanya Renee pada dirinya sendiri, terdengar
nyaris sama gugupnya dengan yang kurasakan. "Cepat sekali waktu berjalan. Aku
merasa pusing." Berarti ada dua orang yang pusing.
"Peluk aku dulu sebelum aku turun" desak Renee. "Hati-hati, jangan sampai ada
yang robek" Ibuku meremas pinggangku dengan lembut, lalu berputar ke arah pintu, tapi
setengah berputar lagi sehingga kembali menghadapku.
"Oh astaga, hampir saja aku lupa! Charlie, mana kotaknya?"
Ayahku merogoh-rogoh sakunya beberapa saat, kemudian mengeluarkan kotak kecil
berwarna putih, yang ia berikan kepada Renee, Renee membuka tutupnya dan
mengulurkan kotak itu padaku,
"Something blue," kata Renee.
"Sekaligus something old. Itu milik Grandma Swan," Charlie menambahkan. "Kami
meminta seorang pengrajin perhiasan untuk mengganti batunya dengan safir."
Di dalam kotak itu ada sepasang sirkam perak. Batu-batu safir biru dirangkai
membentuk desain bunga rumit di atasnya.
Kerongkonganku tercekat. "Mom, Dad... seharusnya tidak perlu."
"Alice melarang kami melakukan hal lain," kata Renee. "Setiap kali kami mencoba,
dia mengancam bakal mencabik-cabik leher kami."
Tawaku meledak. Alice maju dan cepat-cepat memasang kedua sirkam itu di rambutku, di bawah
pinggiran kepang tebal. "Berarti sudah ada something old dan something blue"
renung Alice, mundur beberapa langkah untuk menggagumiku. "Dan gaunmu baru jadi
tinggal ini-" Ia melemparkan sesuatu padaku. Aku mengulurkan tangan, dan garter putih tipis
mendarat di telapak tanganku.
"Itu punyaku dan harus dikembalikan," kata Alice.
Pipiku memerah. "Nah, sudah," kata Alice dengan nada puas. "Sedikit warna-hanya itu yang
kaubutuhkan. Kau sudah sempurna." Sambil menyunggingkan senyum puas melihat
hasil karyanya sendiri, ia berpaling kepada kedua orangtuaku. "Renee, kau harus
segera turun." "Baik, Ma'am." Renee melambaikan ciuman jauh untukku. Ia bergegas keluar pintu.
"Charlie, bisa tolong ambilkan buket bunganya, please?"
Begitu Charlie keluar dari ruangan, Alice mencomot garter itu dari tanganku,
lalu menyusup masuk ke balik gaunku. Aku terkesiap dan terhuyung saat tangannya
yang dingin menyambar tungkaiku; disentakkannya garter itu hingga terpasang di
tempatnya. la sudah berdiri lagi sebelum Charlie kembali dengan dua buket berwarna putih.
Aroma mawar, orange blossom, dan fnrsia menyergap lembut hidungku.
Rosalie-musisi terbaik dalam keluarga selain Edward- mulai memainkan piano di
bawah. Canon gubahan Pachelbel. Aku mulai sesak napas.
"Tenanglah, Bells," Charlie menenangkan. Ia berpaling gugup kepada Alice. "Dia
terlihat agak pucat. Menurutmu dia bisa menjalaninya atau tidak?"
Suara Charlie terdengar jauh sekali. Aku tidak bisa merasakan kakiku.
"Harus bisa." Alice berdiri tepat di depanku, berjinjit agar bisa menatap tepat ke mataku, dan
mencengkeram pergelangan tanganku dengan tangannya yang keras.
"Fokus, Bella. Edward menunggumu di bawah sana."
Aku menarik napas dalam-dalam, menguatkan diri agar tenang.
Alunan musik perlahan-lahan bermetamorfosa menjadi lagu baru. Charlie
menyenggolku. "Bells, kita harus segera mulai."
"Bella?" ujar Alice, masih terus menatapku.
"Ya," jawabku, suaraku mencicit. "Edward. Oke." Kubiarkan Alice menarikku dari
kamar, bersama Charlie yang memegangi sikuku.
Musik terdengar lebih keras di lorong. Melayang ke atas tangga bersama aroma
sejuta bunga. Aku berkonsentrasi membayangkan Edward berdiri menungguku di bawah
agar bisa menggerakkan kakiku maju.
Musiknya familier, wedding march tradisional gubahan Wagner, dengan improvisasi
di sana-sini, "Giliranku," seru Alice. "Hitung sampai lima baru ikuti aku." Ia mulai berjalan
menuruni tangga dengan langkah lambat dan anggun. Seharusnya aku sadar, sungguh
salah besar menjadikan Alice sebagai satu-satunya pendampingku. Aku bakal
terlihat sangat kikuk berjalan di belakangnya.
Musik tiba-tiba menggema lebih megah dan anggun. Aku mengenalinya sebagai
pertanda bagiku untuk turun.
"Jaga jangan sampai aku jatuh, Dad," bisikku. Charlie menarik tanganku yang
melingkari lengannya dan menggenggamnya erat-erat.
Melangkah satu-satu, kataku dalam hati saat kami mulai menuruni tangga, seirama
dengan tempo musik yang lambat.
Aku tidak mengangkat mataku sampai kedua kakiku aman menjejak lantai dasar,
walaupun aku bisa mendengar gumaman dan suara-suara bergemersik para tamu begitu
aku muncul. Darahku mengalir deras ke pipiku mendengar suara ini; pasti aku akan
dianggap sebagai pengantin yang wajahnya merah padam.
Begitu kedua kakiku meninggalkan tangga yang rawan, aku mencari Edward. Selama
sedetik perhatianku sempat beralih ke bunga-bunga putih yang menghiasi segala
sesuatu yang tidak hidup, dengan hiasan pita-pita putih lembut panjang, tapi aku
mengalihkan mata dari kanopi sarat bunga itu dan mengedarkan pandangan ke
deretan kursi berlapis kain satin-pipiku semakin memerah saat aku memandangi ke
kerumunan wajah yang semuanya terfokus padaku-sampai aku akhirnya menemukan dia,
berdiri di depan lengkungan yang berlimpah hiasan bunga dan pita.
Aku nyaris tidak menyadari kehadiran Carlisle yang berdiri di sampingnya, dan
ayah Angela di belakang mereka berdua. Aku tidak melihat ibuku, padahal ia pasti
duduk di deretan depan, atau keluarga baruku, atau para tamu -mereka semua harus
menunggu sampai nanti. Yang kulihat hanya wajah Edward; wajahnya memenuhi mataku dan menyarati
pikiranku. Matanya lembut dan berkilauan bagai emas membara; wajahnya yang
sempurna nyaris tenang oleh kedalaman emosinya. Kemudian, saat pandangan matanya
bertemu dengan tatapan mataku yang memandangnya takjub, ia tersenyum-senyum
bahagia yang membuat napasku tercekat.
Tiba-tiba, genggaman Charlie di tanganku sajalah yang membuatku tidak berlari
menghambur sepanjang lorong.
Alunan wedding march terasa terlalu lambat sementara aku berusaha menyamakan
langkahku dengan iramanya. Untunglah, lorongnya sangat pendek. Kemudian,
akhirnya, akhirnya, sampai juga aku di sana. Edward mengulurkan tangan. Charlie
meraih tanganku dan, dalam tradisi yang sudah berlangsung berabad-abad,
meletakkannya di tangan Edward. Aku menyentuh keajaiban kulitnya yang dingin,
dan sampailah aku di tempat seharusnya aku berada.
Janji setia kami sederhana, kata-kata tradisional yang sudah diucapkan jutaan
kali, meskipun belum pernah diucapkan oleh pasangan seperti kami. Sebelumnya
kami sudah meminta Mr, Weber untuk membuat perubahan kecil, Ia bersedia
mengganti kalimat "sampai maut memisahkan kami" dengan kalimat lain yang lebih
sesuai "selama kami berdua hidup".
Pada momen itu, saat pendeta mengucapkan bagiannya, duniaku, yang sudah sekian
lama jungkir-balik, kini seolah menjejak dalam posisi yang benar. Aku melihat
betapa tololnya aku karena selama ini takut pada pernikahan -seakan-akan itu
hadiah ulang tahun yang tidak diinginkan atau pameran yang memalukan, seperti
prom. Kutatap mata Edward yang memancarkan sorot kemenangan, dan tahu bahwa aku
juga menang. Karena tidak ada hal lain yang berarti kecuali bahwa aku bisa
bersama dengannya. Aku baru sadar diriku menangis setelah tiba waktunya bagiku untuk mengucapkan
janji setia. "Saya bersedia," berhasil juga akhirnya aku mengucapkan janjiku dengan suara
berbisik yang nyaris tidak terdengar, mengerjap-ngerjap untuk menyingkirkan air
mata agar aku bisa melihat wajah Edward.
Ketika tiba giliran Edward bicara, kata-katanya berdentang jernih dan bernada
menang. "Saya bersedia,''janjinya.
Mr. Weber menyatakan kami sah sebagai suami-istri, kemudian kedua tangan Edward
terangkat, merengkuh wajahku dengan hati-hati, seolah-olah wajahku serapuh
kelopak bunga putih di atas kepala kami. Aku berusaha mencerna, walaupun air mata mengaburkan pandanganku, fakta indah
bahwa sosok yang luar biasa ini adalah milikku. Mata emasnya menatapku seolaholah ia juga ingin menangis, seandainya hal itu tidak inustahil terjadi, la
menurunkan kepalanya ke kepalaku, dan aku berjinjit, mengulurkan kedua lengankusambil masih memegang buket bunga-memeluk lehernya.
Ia menciumku dengan lembut dan mesra; aku langsung melupakan para tamu, tempat
ini, waktu, alasan... yang kuingat hanyalah bahwa ia mencintaiku, menginginkan
aku, dan bahwa aku miliknya.
Edward yang memulai menciumku, dan ia pula yang harus mengakhirinya; aku
menggelayut mesra padanya, tak memedulikan decakan dan dehaman para tamu.
Akhirnya, kedua tangan Edward menahan wajahku dan ia menarik wajahnya- terlalu
cepat-dan menatapku. Di permukaan, senyumnya yang mendadak terlihat geli, nyaris
seperti mengejek. Tapi di balik semua itu, ada kebahagiaan mendalam yang sama
seperti yang kurasakan. Para tamu bersorak, dan Edward memutar tubuh kami sehingga menghadap ke arah
teman-teman dan kerabat. Aku tak mampu mengalihkan pandanganku darinya untuk
melihat mereka. Ibukulah yang pertama memelukku, wajahnya yang berlinang ait mata adalah hal
pertama yang kulihat waktu akhirnya aku berhasil juga mengalihkan pandangan dari
Edward, meski sebenarnya tidak ingin. Kemudian aku diserahkan ke kerumunan para
tamu, berpindah dari satu pelukan ke pelukan lain, hanya samar-samar mengenali
orang yang memelukku, karena perhatianku terpusat pada tangan Edward yang
menggenggam erat tanganku. Namun aku mengenali perbedaan antara pelukan hangat
dari teman-teman manusiaku, serta pelukan lembut dan dingin dari keluarga
baruku. Satu pelukan panas membara terasa berbeda dari yang lain-lain-Seth Clearwater
dengan gagah berani menerobos kerumunan para vampir untuk menggantikan posisi
teman werewolf-ku yang hilang.
4. KEJUTAN PERNIKAHAN beralih dengan mulus ke pesta resepsi-bukti perencanaan Alice yang
sempurna. Senja baru saja turun melingkupi sungai; upacara pernikahan berjalan
tepat waktu, memberi kesempatan pada matahari untuk terbenam di balik pepohonan.
Lampu-lampu di pepohonan berpendar-pendar saat Edward membimbingku melewati
pintu kaca belakang, membuat bunga-bunga putih betkilauan. Di luar sini ada lagi
kira-kira sepuluh ribu bunga, berfungsi sebagai tenda yang semerbak dan lapang
di atas lantai dansa yang didirikan di rumput, di antara dua pohon cedar tua.
Suasana sedikit mereda, rileks saat malam bulan Agustus yang hangat mengitari
kami. Kerumunan kecil menyebar di bawah temaram lampu yang berkelap-kelip, dan


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami disambut lagi oleh teman-teman yang tadi memeluk kami. Sekarang waktunya
mengobrol dan terrawa-tawa.
"Selamat, guys" Seth Clearwater menyelamati kami, merundukkan kepala di bawah
hiasan karangan bunga. Ibunya, Sue, menempel ketat di samping Seth, mengawasi
para tamu dengan sikap waswas. Wajahnya kurus dan garang, ekspresi yang semakin
dipertegas pocongan rambutnya yang pendek dan kaku; sependek rambut putrinya,
Leah-dalam hati aku penasaran apakah ia memotongnya seperti itu untuk
menunjukkan solidaritas. Billy Black, yang berdiri di samping Seth, tidak
setegang Sue. Setiap kali aku memandang ayah Jacob, aku selalu merasa seperti melihat dua
orang, bukan satu. Yang satu adalah lelaki tua di kursi roda berwajah keriput
dengan senyum putih cemerlang seperti yang dilihat semua orang. Dan satu lagi
sosok seorang keturunan kepala suku yang kuat dan magis, berselubungkan otoritas
yang diwarisinya sejak lahir. Walaupun kemagisan itu-karena tidak adanya pemicu
-melompati generasinya, Billy masih menjadi bagian dari kekuatan dan legenda.
Keajaiban itu melewatinya. Mengalir ke putranya, pewaris keajaiban, yang justru
menolaknya. Tinggallah Sam Uley yang bertindak sebagai kepala suku para legenda
dan magis... Billy terlihat santai, kalau mengingat para tamu dan acaranya-matanya yang hitam
berbinar-binar seakan-akan ia baru saja mendengar kabar baik. Aku kagum melihat
ketenangannya. Pernikahan ini pasti hal yang sangat buruk, yang terburuk yang
bisa terjadi pada putri sahabatnya, dalam pandangan Billy.
Aku tahu tak mudah bagi Billy untuk menahan perasaannya, mengingat pernikahan
ini akan melahirkan tantangan bagi kesepakatan kuno antara keluarga Cullen dan
suku Quileute-kesepakatan yang melarang keluarga Cullen menciptakan vampir baru.
Para serigala tahu kesepakatan itu akan dilanggar, tapi keluarga Cullen sama
sekali tidak tahu bagaimana reaksi mereka nanti. Sebelum mereka bersekutu, itu
berarti serangan langsung. Perang. Tapi sekarang setelah mereka saling mengenal
lebih baik, mungkinkah akan ada pengampunan"
Seolah menjawab pikiranku, Seth mencondongkan tubuh kepada Edward dengan kedua
tangan terulur. Edward balas merangkul Seth dengan sebelah tangannya yang bebas.
Kulihat Sue bergidik sedikit.
"Senang melihat semuanya berjalan lancar, man" kata Seth. "Aku ikut bahagia."
"Terima kasih, Seth. Itu sangat berarti bagiku." Edward melepaskan diri dari
pelukan Seth, lalu memandang Sue dan Billy. "Terima kasih juga pada kalian.
Karena telah mengizinkan Seth datang. Karena telah mendukung Bella hari ini."
"Sama-sama," balas Billy dengan suaranya yang berat dan serak, dan aku terkejut
mendengar nada optimis dalam suaranya. Mungkin akan ada gencatan senjata yang
lebih kuat lagi. Mulai terbentuk antrean, maka Seth pun berpamitan dan mendorong kursi roda Billy
ke meja hidangan. Kedua tangan Sue memegangi mereka.
Berikutnya giliran Angela dan Ben menyelamati kami, diikuti orangtua Angela,
kemudian Mike serta Jessica-dan yang mengejutkan, mereka bergandengan tangan.
Aku tidak mendengar kabar mereka berpacaran lagi. Baguslah kalau begitu.
Di belakang teman-teman manusiaku berdiri sepupu-sepupu baruku, keluarga Denali.
Sadarlah aku bahwa aku menahan napas saat vampir yang berdiri paling depanTanya, asumsiku, kalau menilik semburat merah stroberi di rambut pirangnya yang
ikal-mengulurkan tangan untuk memeluk Edward. Di sebelahnya, tiga vampir lain
dengan mata keemasan memandangiku dengan sikap ingin tahu yang terang-terangan.
Yang seorang berambut pirang pucat, lurus seperti rambut jagung. Wanita yang
lain dan laki-laki yang berdiri di sampingnya berambut hitam, kulit mereka yang
seputih kapur memiliki rona sewarna buah zaitun.
Dan mereka begitu rupawan hingga perutku mulas.
Tanya masih memeluk Edward.
"Ah, Edward," ujarnya. "Aku rindu padamu."
Edward tertawa kecil dan dengan luwes melepaskan diri dari pelukan Tanya,
meletakkan tangannya di bahu Tanya dan mundur selangkah, seperti hendak melihat
lebih jelas. "Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Tanya. Kau kelihatan segar."
"Kau juga." "Izinkan aku memperkenalkan kalian pada istriku." Itu untuk pertama kalinya
Edward menyebut kata itu sejak kami resmi menjadi suami-istri; ia kelihatan
seperti mau meledak saking puasnya bisa menyebutku istrinya. Keluarga Denali
tertawa renyah menanggapinya. "Tanya, kenalkan, ini Bellaku."
Seperti yang sudah bisa kubayangkan dalam mimpi terburukku, Tanya memang cantik
jelita. Ia mengamatiku dengan tatapan spekulatif kemudian mengulurkan tangan
untuk menjabat tanganku. "Selamat datang di keluarga kami. Bella." Ia tersenyum, senyumnya sedikit muram.
"Kami menganggap diri kami bagian dari keluarga besar Carlisle, dan aku sangat
menyesal tentang, eh, insiden baru-baru ini ketika kami bersikap tidak
semestinya. Seharusnya sudah sejak dulu kami bertemu denganmu. Kau bisa
memaafkan kami?" "Tentu saja," jawabku dengan napas tertahan. "Senang sekali berkenalan denganmu"
"Keluarga Cullen sekarang genap jumlahnya. Mungkin berikutnya giliran kami,
bagaimana, Kate?" Ia nyengir pada wanita yang berambut pirang.
"Mimpi saja terus," tukas Kate sambil memutar bola matanya yang keemasan, ia
meraih tanganku dari genggaman Tanya dan meremasnya pelan. "Selamat datang,
Bella." Wanita yang berambut hitam meletakkan tangannya di atas tangan Kate. "Aku
Carmen, ini Eleazar. Kami sangat senang akhirnya bisa bertemu denganmu."
"A-aku juga" sahutku terbata-bata.
Tanya melirik orang-orang yang menunggu di belakang- wakil Charlie, Mark, dan
istrinya. Mata mereka membelalak saat melihat klan Denali.
"Nanti saja kita semakin saling mengenal. Kita punya waktu berabad-abad" tawa
Tanya sementara ia dan keluarganya beranjak pergi
Semua tradisi standar dipertahankan. Mataku sampai silau oleh kilatan lampu
blitz saat kami bersiap memotong kue pengantin yang spektakuler-terlalu mewah,
pikirku, untuk pesta yang hanya dihadiri beberapa teman dekat dan anggota
keluarga. Kami bergantian saling menyuapkan kue; Edward dengan jantan menelan
kue jatahnya sementara aku memandanginya dengan tatapan tidak percaya. Kulempar
buket bungaku dengan keahlian tak terduga, mendarat persis di tangan Angela yang
terkejut. Emmett dan Jasper tertawa melolong-lolong melihat wajahku yang memerah
saat Edward melepas garter pinjamanku-yang sudah kuturunkan sampai hampir
mendekati pergelangan kaki-dengan sangat hati-hati menggunakan giginya. Lalu
setelah mengedip cepat padaku, ia langsung melempar garter itu ke wajah Mike
Newton. Dan ketika musik mulai mengalun, Edward menarikku ke dalam pelukannya untuk
tradisi dansa pertama setelah resmi sebagai suami-istri; aku menurut, walaupun
sebenarnya takut berdansa-apalagi di depan orang banyak-bahagia karena berada
dalam pelukannya. Ia yang melakukan semuanya, dan aku berputar mulus di bawah
sinar lampu-lampu kanopi dan kilatan lampu-lampu blitz.
"Menikmati pesta, Mrs. Cullen?" bisik Edward di telingaku.
Aku tertawa. "Butuh waktu membiasakan diri dengan panggilan itu."
"Kita punya banyak waktu," ia mengingatkanku, suaranya gembira, dan ia
membungkuk untuk menciumku sementara kami berdansa. Kamera-kamera berebut
mengabadikan momen itu. Musik berganti, dan Charlie menepuk bahu Edward.
Tak semudah itu berdansa dengan Charlie. Ia tidak lebih luwes daripadaku, jadi
untuk amannya kami hanya bergerak ke kiri dan ke kanan, membentuk formasi
bujursangkar kecil. Edward dan Esme berputar-putar mengitari kami bagaikan Fred
Astaire dan Ginger Rogers.
"Aku pasti akan merindukanmu di rumah, Bella. Belum-belum aku sudah merasa
kesepian." Aku berbicara dengan leher tercekat, berusaha mengubahnya menjadi canda. 'Aku
merasa sangat tidak enak membiarkan Dad memasak sendiri-bisa dibilang itu
tindakan kriminal. Dad bisa menangkapku karena itu."
Charlie nyengir. "Soal makanan masih bisa kuatasi. Tapi telepon aku kapan saja
kau bisa." "Aku berjanji" Rasanya aku sudah berdansa dengan semua orang. Senang rasanya bertemu dengan
semua teman lamaku, tapi aku benar-benar ingin bersama Edward, lebih dari hal
lain. Aku senang ia akhirnya menyela, hanya setengah menit setelah aku baru
mulai berdansa dengan seseorang.
"Kau masih saja tidak suka pada Mike, ya?" aku berkomentar saat Edward menarikku
menjauhinya. "Tidak kalau aku harus mendengarkan pikirannya. Masih untung aku tidak
menendangnya. Atau yang lebih parah lagi daripada itu."
"Yeah, yang benar saja."
"Apa kau tidak sempat melihat bayangan wajahmu sendiri?"
"Eh. Tidak, kurasa tidak. Mengapa?"
"Kalau begitu kurasa kau tidak sadar betapa luar biasa cantik dan memesonanya
kau malam ini. Aku tak heran Mike jadi berpikir yang tidak-tidak tentang wanita
yang sudah menikah. Aku benar-benar kecewa Alice tidak memaksamu melihat ke
cermin." "Kau sangat bias, tahu."
Edward mendesah kemudian terdiam, lalu membalikkan badan hingga menghadap ke
arah rumah. Dinding kaca memantulkan bayangan pesta seperti cermin panjang.
Edward menuding ke pasangan yang berada persis di depan kami.
"Aku bias, begitu ya?"
Sekilas aku melihat bayangan Edward-duplikat sempurna dari wajahnya yang
sempurna-dengan wanita cantik berambut gelap di sampingnya. Kulitnya putih
kemerahan, matanya membesar penuh kebahagiaan dan dibingkai bulu mata tebak.
Gaun putihnya yang gemerlapan mengembang lembut di bagian ekor, nyaris
menyerupai calla lily terbalik, dipotong dengan begitu ahlinya hingga tubuhnya
terlihat elegan dan anggun-saat sedang tidak bergerak, setidaknya.
Belum lagi aku sempat mengerjap dan membuat wanita cantik itu berubah kembali
menjadi aku, tubuh Edward tiba-tiba tegang dan otomatis ia berbalik ke arah
lain, seolah-olah ada yang memanggil namanya.
"Oh!" ucapnya. Alisnya berkerut sesaat dan sejurus kemudian lurus kembali,
Tiba-tiba senyum cemerlang merekah di wajahnya.
"Ada apa?" tanyaku.
"Ada hadiah pernikahan kejutan."
"Hah?" Edward tidak menjawab; ia mulai berdansa lagi, memutarku ke arah berlawanan,
menjauh dari lampu-lampu dan memasuki kegelapan yang mengeliling lantai dansa
yang bermandikan cahaya. Ia tidak berhenti hingga kami sampai ke sisi gelap salah satu pohon cedar
raksasa. Lalu Edward memandang lurus ke bayang-bayang yang paling gelap.
"Terima kasih," kata Edward ke arah kegelapan, "Kau sungguh... baik hati."
"Aku memang baik hati," sahut sebuah suara serak yang familier, menjawab dari
kegelapan malam, "Boleh kusela?"
Tanganku terangkat ke leher, dan kalau saja saat itu Edward tidak memegangiku,
aku pasti sudah jatuh pingsan.
"Jacob!" seruku dengan suara tercekat begitu bisa bernapas lagi. "Jacob!"
"Halo, Bella." Aku tersaruk-saruk menghampiri suaranya. Edward masih tetap memegangi sikuku
sampai sepasang tangan lain yang kuat memegangiku di kegelapan. Panasnya kulit
Jacob membakar menembus gaun satinku yang tipis saat ia menarik tubuhku
mendekat. Ia bergeming, tidak berusaha berdansa, hanya memelukku sementara aku
membenamkan wajah di dadanya. Ia membungkuk dan menempelkan pipinya di puncak
kepalaku. "Rosalie takkan memaafkanku kalau aku tidak mengajaknya berdansa," gumam Edward,
dan aku tahu ia sengaja meninggalkan kami. Itu hadiahnya untukku -momen bersama
Jacob ini. "Oh, Jacob." Aku menangis sekarang; kata-kataku tidak terdengar dengan jelas.
"Terima kasih."
"Berhentilah menangis, Bella. Nanti gaunmu kotor. Ini kan hanya aku."
"Hanya" Oh, Jake! Semuanya sempurna sekarang."
Jacob mendengus. "Yeah-pestanya bisa dimulai. Si beastman akhirnya datang
juga." "Sekarang semua orang yang kucintai datang."
Aku merasakan bibirnya menyapu rambutku. "Maaf aku terlambat, Sayang."
"Aku bahagia sekali kau datang!"
"Memang itulah tujuannya."
Aku melirik ke arah para tamu, tapi tidak bisa melihat tempat aku terakhir kali
melihat ayah Jacob di antara kerumunan para tamu yang asyik berdansa. Aku tidak
tahu apakah ia masih berada di sini. "Apakah Billy tahu kau datang?" Begitu
pertanyaan itu terlontar, seketika itu juga aku sadar Billy pasti tahu-hanya itu
satu-satunya alasan mengapa ekspresinya begitu gembira tadi.
"Aku yakin Sam sudah memberitahu dia. Aku akan pergi menemuinya... begitu pesta
selesai nanti." "Dia pasti senang sekali kau pulang."
Jacob mundur sedikit dan menegakkan tubuhnya. Sebelah tangannya masih memegang
punggungku, dan sebelah tangannya yang lain menyambar tangan kananku. Ia
meletakkan tangan kami ke dadanya; aku bisa merasakan jantungnya berdetak di
bawah telapak tanganku, dan aku merasa bahwa pasti bukan tanpa sebab ia
meletakkan tanganku di sana.
"Entah apakah aku bisa mendapatkan lebih daripada hanya satu dansa ini," kata
Jacob, dan ia mulai menarikku berputar-putar dengan gerak lambat yang tidak
seirama dengan musik di belakang kami. "Jadi aku harus memanfaatkannya sebaik
mungkin." Kami bergerak mengikuti irama detak jantungnya di bawah tanganku.
"Aku senang aku datang," kata Jacob pelan beberapa saat kemudian. "Tadinya
kupikir aku tidak akan datang. Tapi senang rasanya bisa bertemu denganmu sekali
lagi. Ternyata tidak sesedih yang kukira."
"Aku tidak mau kau merasa sedih."
"Aku tahu itu. Dan kedatanganku malam ini bukan untuk membuatmu merasa
bersalah." "Tidak-aku justru senang sekali kau datang. Ini hadiah terindah yang bisa
kauberikan padaku," Jacob tertawa. "Baguslah kalau begitu, karena aku tidak sempat mencari hadiah
sungguhan untukmu" Mataku mulai bisa menyesuaikan diri dengan kegelapan, jadi aku bisa melihat
wajahnya sekarang, yang ternyata lebih tinggi daripada perkiraanku semula.
Mungkinkah ia masih terus bertumbuh" Tinggi badannya sekarang pasti sudah dua
meter lebih. Lega rasanya melihat garis-garis wajahnya yang familier itu lagi
setelah sekian lama-sepasang mata yang menjorok ke dalam, dinaungi alis hitam
lebat, tulang pipi tinggi, bibir penuh yang nyengir memamerkan sebaris gigi
cemerlang, membentuk senyuman sarkastis yang sesuai dengan nada suaranya. Tampak
ketegangan melingkari matanya-hati-hati; kentara sekali ia sangat berhati-hati
malam ini. Sebisa mungkin ia berusaha membuatku bahagia, berhati-hati agar tidak
terpeleset dan menunjukkan betapa banyak pengorbanannya malam ini.
Aku tak pernah melakukan apa-apa hingga layak mendapatkan teman seperti
Jacob- "Kapan kau memutuskan untuk kembali?"
"Secara sadar atau tidak sadar?" Ia menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab
pertanyaannya sendiri. "Aku tidak begitu tahu. Kurasa sudah sejak beberapa waktu
lalu aku berkeliaran lagi menuju ke sini, dan mungkin itu karena aku memang
ingin mengarah ke sini. Tapi baru tadi pagi aku mulai berlari. Entah apakah aku
bisa sampai tepat pada waktunya." Ia tertawa. "Kau pasti tidak percaya betapa
aneh rasanya- berjalan dengan dua kaki lagi. Dan mengenakan pakaian! Yang lebih
mengherankan lagi, adalah karena itu terasa aneh. Aku sama sekali tidak
menduganya. Aku sudah lama tidak melakukan hal-hal yang berkaitan dengan
manusia." Kami berputar-putar teratur.
"Rasanya sayang melewatkan melihatmu seperti ini. Tidak sia-sia aku pulang. Kau
terlihat mengagumkan, Bella. Cantik sekali."
"Alice menginvestasikan banyak waktu untuk meriasku hari ini. Untung juga
sekarang gelap." "Bagiku kan tidak begitu gelap, kau tahu sendiri,"
"Benar juga." Indra werewolf. Mudah saja melupakan segala sesuatu yang bisa ia
lakukan, karena ia tampak sangat manusiawi. Apalagi sekarang.
"Kau memotong rambutmu," komentarku.
"Yeah. Lebih mudah begini. Kupikir sekalian saja, mumpung aku bisa menggunakan
kedua tanganku." "Bagus kok" dustaku,
Jacob mendengus, "Yang benar saja. Aku mengguntingnya sendiri, dengan gunting
dapur karatan." Sesaat ia nyengir lebar, kemudian senyumnya memudar. Ekspresinya
berubah serius. "Kau bahagia, Bella?"
"Ya." "Oke." Bisa kurasakan ia mengangkat bahu, "Itu yang paling penting, kurasa."


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana keadaanmu, Jacob" Sebenarnya?"
"Aku baik-baik saja, Bella, sungguh. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku lagi. Kau
bisa berhenti merongrong Seth,"
"Aku tidak merongrong Seth hanya karena kau. Aku suka kok pada Seth,"
"Dia anak baik. Teman yang lebih menyenangkan daripada sebagian orang. Asal tahu
saja, seandainya aku bisa mengenyahkan suara-suara dalam pikiranku, menjadi
serigala akan sangat sempurna."
Aku tertawa mendengarnya. "Yeah, aku juga tidak bisa menghentikan suara-suara
dalam pikiranku." "Dalam kasusmu, itu berarti kau sinting. Tapi aku sudah tahu kau memang
sinting," godanya. "Trims." "Menjadi sinting mungkin lebih mudah daripada mengetahui pikiran setiap anggota
kawanan. Suara-suara dalam pikiran orang sinting tidak mengirim pengasuh bayi
untuk mengawasi mereka."
"Hah?" "Sam ada di luar sana. Begitu juga sebagian yang lain. Hanya untuk berjaga-jaga,
kau tahu." "Untuk berjaga-jaga apa?"
"Siapa tahu aku tidak bisa menguasai diri, semacam itulah. Siapa tahu aku
memutuskan untuk mengamuk di pesta ini." Jacob menyunggingkan senyum sekilas,
mungkin menganggap pikiran itu menarik. "Tapi kedatanganku ke sini bukan untuk
mengacaukan pestamu, Bella. Aku datang untuk... " Suaranya menghilang.
"Menyempurnakannya."
"Itu terlalu berlebihan."
"Kau memang selalu berlebihan."
Jacob mengerang mendengar leluconku yang tidak lucu, kemudian menghela napas.
"Aku datang hanya sebagai teman. Sahabatmu, untuk terakhir kalinya"
"Sam seharusnya tidak berprasangka yang bukan-bukan tentangmu."
"Well, mungkin aku saja yang terlalu sensitif. Mungkin kalaupun tidak ada aku,
mereka akan tetap berada di sini, untuk mengawasi Seth. Kan banyak sekali vampir
di sini, Seth tidak terlalu menganggap serius hal itu, seperti seharusnya,"
"Seth tahu dia aman. Dia lebih memahami keluarga Cullen daripada Sam."
"Tentu, tentu," sergah Jacob, buru-buru berdamai sebelum telanjur pecah perang.
Aneh rasanya melihat Jacob bersikap diplomatis.
"Aku ikut prihatin mengenai suara-suara itu" kataku. "Kalau saja aku bisa
memperbaikinya." Hal yang sebenarnya sangat tidak mungkin.
"Tidak terlalu parah kok. Aku hanya mengeluh sedikit."
"Kau... bahagia?"
"Lumayan. Tapi cukup sudah membicarakan aku. Hari ini kaulah bintangnya," Jacob
terkekeh. "Aku berani bertaruh kau pasti senang sekali. Menjadi pusat
perhatian." "Yeah. Tidak puas-puas rasanya menjadi pusat perhatian."
Jacob tertawa, kemudian memandang dari atas kepalaku. Dengan bibir mengerucut ia
mengamati gemerlapnya lampu-lampu di pesta resepsi, para tamu yang berdansa
anggun berputar-putar, kelopak-kelopak bunga yang menggeletar dan berjatuhan
dari karangan-karangan bunga; aku ikut melihat bersamanya. Semua rasanya begitu
jauh dari tempat yang gelap dan tenang ini. Hampir seperti melihat salju putih
ber-pusar-pusar di dalam bola kaca.
"Harus kuakui," kata Jacob, "mereka tahu bagaimana caranya menyelenggarakan
pesta," "Alice itu ibarat kekuatan alam yang tak bisa dihentikan."
Jacob menghela napas, "Lagunya sudah berakhir. Apa menurutmu aku boleh berdansa
satu lagu lagi" Atau itu permintaan yang terlalu berlebihan?"
Aku mempererat pelukanku. "Kau boleh berdansa sebanyak yang kau mau."
Jacob tertawa. "Menarik juga. Tapi menurutku, dua lagu saja sudah cukup. Aku
tidak mau ada yang menggosipkan kita."
Kami memulai satu putaran lagi.
"Kau pasti mengira sekarang aku sudah terbiasa mengucapkan perpisahan padamu,"
gumam Jacob. Aku berusaha menelan gumpalan di kerongkonganku, tapi tidak bisa.
Jacob memandangiku dan mengerutkan kening. Ia mengusapkan jari-jarinya ke
pipiku, menangkap air mataku yang mengalir turun.
"Seharusnya bukan kau yang menangis, Bella,"
"Menangis di pernikahan kan biasa," sergahku, suaraku parau,
"Ini yang kauinginkan, bukan?"
"Benar." "Kalau begitu tersenyumlah."
Aku mencoba. Jacob tertawa melihat seringaianku. "Aku akan berusaha mengingatmu
seperti ini. Berpura-pura."
"Berpura-pura apa" Bahwa aku meninggal?"
Jacob mengenakkan gigi. la bergumul dengan dirinya sendiri-dengan keputusannya
untuk membuat kehadirannya di sini sebagai hadiah dan bukannya untuk menghakimi.
Aku hisa menebak apa yang ingin ia katakan.
"Tidak," jawab Jacob akhirnya. "Tapi aku akan mengenangmu seperti ini dalam
pikiranku. Pipi merah jambu. Detak jantung. Dua kaki kiri. Semuanya."
Aku sengaja menginjak kakinya keras-keras.
Jacob tersenyum, "Begitu baru gadisku."
Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian menutup mulutnya rapat-rapat.
Bergumul lagi, gigi mengertak, melawan kata-kata yang tidak ingin ia ucapkan.
Hubunganku dengan Jacob dulu sangat mudah. Semudah bernapas. Tapi sejak Edward
kembali ke kehidupanku, hubungan kami selalu tegang. Karena-di mata Jacob-dengan
memilih Edward, aku memilih takdir yang lebih buruk daripada kematian, atau
setidaknya setara dengan kematian.
"Ada apa, Jake" Katakan saja. Kau boleh mengatakan apa saja padaku."
"Aku-aku... tidak ada yang ingin kukatakan padamu."
"Oh please. Keluarkan saja unek-unekmu."
"Benar kok. Ini bukan... ini-ini pertanyaan. Pertanyaan yang aku ingin
kaujawab." "Tanyakan saja."
Sejenak Jacob bergumul dengan perasaannya, kemudian mengembuskan napas. "Tidak
usah sajalah. Bukan hal penting kok. Aku hanya ingin tahu saja."
Karena aku sangat mengenal dia, aku mengerti.
"Bukan malam ini, Jacob" bisikku.
Jacob bahkan lebih terobsesi dengan kemanusiaanku daripada Edward. Ia menghargai
setiap detak jantungku, tahu sebentar lagi detak jantung itu akan berhenti,
"Oh," ucapnya, berusaha menyembunyikan kelegaannya, "Oh."
Lagu berganti lagi, rapi kali ini ia tidak menyadarinya. "Kapan?" bisiknya.
"Aku tidak tahu persis. Satu atau dua minggu, mungkin."
Suara Jacob berubah, nadanya kini defensif sedikir mengejek. "Mengapa harus
ditunda?" "Aku hanya tidak ingin melewatkan masa bulan maduku dengan menggeliat-geliat
kesakitan." "Memangnya kau lebih suka melewatkannya dengan melakukan apa" Main checkers" Ha
ha." "Lucu sekali." "Bercanda, Bells, Tapi terus terang saja, aku tidak melihat itu ada gunanya. Kau
kan tidak bisa berbulan madu sungguhan dengan vampirmu, jadi mengapa harus
repot-repot" Katakan saja terus terang. Bukan hanya kali ini kau membatalkan
sesuatu. Walaupun itu bagus" tukas Jacob, metidadak bersungguh-sungguh. "Tidak
perlu malu mengakuinya."
"Aku tidak membatalkan apa pun" bentakku. "Dan ya aku bisa menikmati bulan madu
yang sesungguhnya! Aku bisa melakukan apa saja yang kuinginkan! Tidak usah ikut
campur!" Mendadak Jacob berhenti berputar. Sesaat aku sempat mengira ia akhirnya sadar
lagu sudah berganti, dan aku buru-buru mencari kata-kata yang tepat untuk
memperbaiki ketegangan kecil yang sempat terjadi tadi, sebelum ia berpamitan.
Tak seharusnya kami berpisah dalam suasana tidak enak.
Kemudian mata Jacob melotot, ekspresinya bingung bercampur ngeri, "Apa;" ia
terkesiap, "Apa katamu tadi?"
"Tentang apa... " Jake" Kau kenapa?"
"Apa maksudmu" Menikmati bulan madu yang sesungguhnya" Saat kau masih menjadi
manusia" Kau bercanda, ya" Itu lelucon sinting, Bella!"
Kupandangi dia dengan garang. "Sudah kubilang, jangan ikut campur, Jake. Ini
benar-benar bukan urusanmu. Seharusnya aku.. , seharusnya kita bahkan tidak
perlu membicarakan hal ini. Ini urusan pribadi... "
Kedua tangan Jacob yang besar mencengkeram pangkal lenganku, mengitari tubuhku,
jari-jarinya saling mengait,
"Aduh, Jake! Lepaskanr
Ia mengguncang tubuhku. "Bella! Apa kau sudah gila" Tidak mungkin kau setolol itu! Katakan padaku kau
N Atau M 3 Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru Memperebutkan Bunga Wijaya 2

Cari Blog Ini