Ceritasilat Novel Online

Empress Orchid 7

Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min Bagian 7


melihat kesempatan untuk bicara.
"Yang Mulia?" kucoba untuk tak terdengar menantang.
"Tidakkah menurut Yang Mulia semangat bangsa akan merosot bila Kaisarnya ...
tidak ada di tempat?" aku menghindari kata 'lari.'
"Seekor naga memerlukan kepala. Ibu Kota yang kosong akan memancing penjarahan
dan penghancuran. Kaisar Chou Wen-wang dan Dinasti Han memilih pergi di tengah
krisis kerajaan, dan hasilnya adalah dia kehilangan penghargaan rakyat."
"Berani-beraninya kau membuat perbandingan itu!" Kaisar Hsien Feng meludahkan
daun teh ke lantai. "Aku sudah memutuskan pergi untuk keselamatan keluargaku,
itu termasuk kau." "Kupikir menunjukkan kekuatan istana pada rakyat penting untuk kelangsungan
Cina," kataku lembut.
"Aku tak ingin membicarakan ini sekarang." Yang Mulia memanggil putranya dan
mulai bermain dengannya. Tung Chih lari seraya tertawa, akhirnya bersembunyi di
bawah sebuah kursi. Aku mengabaikan Nuharoo yang memberi isyarat dengan tangannya agar aku berhenti.
Aku melanjutkan, "Kakek dan kakek buyut Tung Chih pasti akan tinggal bila mereka
menghadapi situasi seperti ini."
"Tapi mereka tidak diberi situasi seperti ini!" Hsien Feng meledak. "Aku jengkel
pada mereka. Merekalah yang meninggalkan carut-marut ini untukku. Ketika kita
kalah dalam Perang Candu pertama tahun 1842, aku hanya seorang bocah. Aku tak
mewarisi apapun kecuali kesulitan. Sekarang ini tak ada yang bisa kupikirkan
kecuali denda ganti rugi yang terpaksa harus kubayar. Delapan juta tael, pada
setiap negara! Bagaimana mungkin aku memenuhinya?"
Kami berdebat hingga dia menyuruhku kembali ke tempat tinggalku. Kata-kata
terakhirnya bertahan di kepalaku sepanjang malam. "Satu kata lagi darimu, kau
akan dihadiahi tambang untuk gantung diri!"
Nuharoo mengundangku berjalan-jalan di tamannya. Katanya tanaman semaknya, yang
layu karena semacam penyakit, telah menarik perhatian semacam kupu-kupu langka.
Kubilang aku sedang tak tertarik pada kupu-kupu.
"Mungkin mereka sebenarnya ngengat. Apa pun itu, mereka cantik sekali." Tak
mengindahkanku, Nuharoo meneruskan. "Ayo pergi menangkap kupu-kupu. Lupakan
orang-orang barbar itu."
Kami naik ke atas tandu terpisah. Aku berharap bisa membuat diriku menikmati
undangan Nuharoo, tetapi di tengah perjalanan pikiranku berubah. Kusuruh
penanduku membawaku ke Balairung Kebajikan yang Bercahaya, dan mengirimkan
seorang kurir pada Nuharoo, memohon maaf seraya mengatakan bahwa keputusan
Kaisar untuk meninggalkan Ibu Kota sangat membebani pikiranku.
Di koridor aku bertemu semua iparku: Pangeran Kung, Pangeran Ch'un dan Pangeran
Ts'eng. Pangeran Ch'un berkata bahwa mereka datang untuk membujuk Kaisar guna
tetap tinggal di Peking. Untuk itu aku bahagia dan menaruh harapan.
Aku menunggu di taman hingga teh disuguhkan sebelum masuk ke dalam. Aku masuk,
duduk di samping Kaisar Hsien Feng. Kusadari kehadiran tetamu lainnya. Di
samping para pangeran tadi, Su Shun dan saudara tirinya, Tuan Hua, juga ada di
sana. Selama dua hari belakangan Su Shun dan Tuan Hua telah mengatur berbagai
hal untuk kepergian Kaisar ke Jehol. Di luar dinding, selalu terdengar suara
kereta datang dan pergi. "Aku meninggalkan Peking karena aku tak mendengar berita apa pun dari jenderal
Sheng Pao!" debat Hsien Feng. "Desas-desus mengatakan bahwa dia tertangkap.
Kalau itu benar, maka orang-orang barbar itu akan segera mencapai pekaranganku."
"Yang Mulia!" Pangeran Kung menjatuhkan diri dari kursinya ke lantai. "Kumohon
jangan lari!" "Yang Mulia." Pangeran Ts'eng, adiknya yang kelima, juga berlutut, menjejerkan
dirinya di samping Pangeran Kung. "Bersediakah Yang Mulia tinggal untuk beberapa
hari lagi" Aku sendiri akan mempimpin semua Pasukan Militer untuk melawan orangorang barbar itu. Beri kami kesempatan untuk menghormati Yang Mulia. Tanpa Yang
Mulia ..." Ts'eng begitu terguncang hingga harus berhenti selama sesaat. "...
tak akan ada ruh semangat."
"Kaisar sudah memutuskan," kata Hsien Feng dingin.
Pangeran Ch'un berlutut di antara Pangeran Kung dan Pangeran Ts'eng. "Yang
Mulia, meninggalkan singgasana akan memperburuk kegilaan orang-orang barbar itu.
Akan membuat negosiasi di masa depan lebih sulit lagi."
"Siapa bilang aku akan meninggalkan takhta" Aku hanya pergi berburu."
Pangeran Kung tertawa getir. "Anak kecil mana saja di jalanan akan berkata
'Kaisar melarikan diri.'"
"Beraninya kau!" Kaisar Hsien Feng menendang seorang kasim yang datang
membawakan obat. "Demi kesehatan Yang Mulia, maafkanlah kami." Pangeran Ts'eng memeluk kaki
Kaisar. "Kalau begitu izinkan aku mengucapkan selamat tinggal. Aku akan
menempatkan diriku di depan peluru meriam."
"Berhenti bersikap tolol." Hsien Feng berdiri dan membantu Pangeran Ts'eng
bangkit. "Adikku, begitu aku jauh dari jangkauan, aku akan bisa melancarkan
kebijakan yang konsisten ke medan pertempuran." Dia berpaling kepada Su Shun.
"Ayo pergi, sebelum langit bertambah terang."
Kekerasan hati Kung, Ch'un dan Ts'eng membuatku bangga menjadi orang Manchu. Aku
tak kaget melihat kepengecutan Hsien Feng. Kehilangan benteng-benteng Taku telah
menghancurkannya, dan dia kini hanya ingin menyelinap kabur dan bersembunyi.
Di ruang berpakaian Hsien Feng, Su Shun maju ke depan. "Kita harus bergegas,
Yang Mulia. Perlu beberapa hari untuk mencapai Jehol."
Adik tiri Su Shun, Tuan Hua, masuk. Dia seorang pria kurus dengan leher panjang
dan bengkok yang membuat kepalanya selalu miring ke satu sisi. "Yang Mulia,"
katanya "ini daftar segala yang sudah kami persiapkan untuk Paduka."
"Di mana segel-segelku?" tanya Kaisar.
"Benda-benda itu sudah diambil dari Balairung Penyatuan Kekuatan Dayacipta dan
disimpan dengan baik."
"Anggrek," kata Hsien Feng, "pergi periksalah segel-segel itu."
"Tak perlu, Yang Mulia," kata Su Shun. Mengabaikan Su Shun, Kaisar Hsien Feng
berpaling kepada Pangeran Kung, yang telah memasuki ruangan. "Adik Kung, kau tak
mengenakan pakaian perjalanan. Kau akan ikut denganku, bukan?"
"Aku khawatir - tidak," sahut Pangeran Kung. Dia mengenakan jubah resmi biru
dengan tepian kuning di lengan serta kerah. "Harus ada yang tetap tinggal di Ibu
Kota dan menghadapi Sekutu."
"Bagaimana dengan Ts'eng dan Ch'un?"
"Mereka sudah memutuskan untuk tinggal di Peking bersamaku."
Kaisar duduk dan kasim-kasimnya berusaha memakaikan sepatu botnya. "Pangeran
Ch'un harus mengawalku dalam perjalanan ke Jehol."
"Yang Mulia, untuk terakhir kalinya kumohon Yang Mulia tinggal di Peking."
"Su Shun," panggil Kaisar tak sabaran "siapkan dekrit untuk mengangkat Pangeran
Kung menjadi juru bicaraku."
Apa yang harus dibawa ke Jehol adalah masalah untukku. Aku ingin membawa
semuanya, karena aku tak tahu kapan aku akan kembali. Tetapi barang yang paling
berharga sama sekali tak dapat dipindahkan. Aku harus meninggalkan lukisanlukisanku, sulaman-sulaman sebesar dinding, pahatan, jambangan, dan ukiran.
Setiap selir diberi satu kereta untuk barang-barang berharganya, dan keretaku
sudah penuh. Kusembunyikan sisa barang kesayanganku di mana pun aku bisa - di atas
palang, di belakang pintu, dikuburkan di taman. Kuharap tak seorang pun
menemukannya hingga aku kembali.
Nuharoo tak mau meninggalkan satu pun barang miliknya.
Sebagai Permaisuri Utama dia diberi tiga kereta, tetapi tiga itu tak cukup.
Dimasukkannya sisanya ke kereta-kereta Tung Chih. Tung Chih punya sepuluh, dan
Nuharoo mengambil tujuh di antaranya.
Ibuku terlalu sakit untuk mengadakan perjalanan, jadi kuatur agar dia pindah ke
sebuah dusun tenang di luar Peking. Kuei Hsian akan tinggal bersamanya. Rong
juga akan tinggal. Pukul sepuluh pagi kereta-kereta Kekaisaran mulai bergerak.
Kaisar Hsien Feng tak mau pergi tanpa upacara. Dia mengorbankan ternak dan
membungkuk pada Dewa-dewa Langit. Ketika tandunya melewati gerbang terakhir dan
Taman Agung Bundar, Yuan Ming Yuan, para pejabat dan orang-orang kasim berlutut,
bersujud mengucapkan selamat tinggal. Kaisar duduk di dalam bersama putranya.
Belakangan Tung Chih mengatakan kepadaku bahwa ayahnya menangis.
Isi Rumahtangga Kekaisaran memanjang hingga tiga mil, terlihat seperti parade
sebuah perayaan. Petasan ditembakkan ke angkasa untuk "mengusir pertanda buruk."
Pengawal upacara membawa bendera-bendera naga kuning, para penandu membawa
keluarga Kerajaan. Para bangsawan berjalan berbaris-baris. Di belakang kami ada
pedupaan, rahib, lama, kasim, dayang-dayang, pelayan, pengawal, dan hewan-hewan
Istana. Rombongan ini diikuti kelompok musik dengan gendang dan gong, serta
seluruh dapur berjalan. Dekat ekor rombongan ada ruang dandan berjalan, juga WC
berjalan. Para bujang menuntun kuda-kuda dan keledai yang memikul kayu bakar,
daging, beras, dan sayur-mayur dalam keranjang-keranjang, bersama dengan alatalat dapur, seperti panci dan wajan. Paling belakang ada tujuh ribu serdadu
berkuda, dipimpin oleh Yung Lu.
Ketika kami melalui gerbang terakhir, mataku diburamkan tangis. Toko-toko di
sepanjang jalan telah ditinggalkan. Ratusan keluarga berlarian seperti ayam
tanpa kepala, membawa harta benda mereka di atas keledai atau di punggung
mereka. Berita tentang kepergian Kaisar Hsien Feng telah menciptakan kekacauan
di Kota. Beberapa jam kemudian aku meminta agar anakku dibawa padaku. Kupangku dia dan
kudekap erat-erat. Untuknya, ini hanya sekadar sebuah perjalanan. Terbuai oleh
goyangan tandu, dia pun tertidur. Kubelai rambutnya yang lembut hitam dan
membetulkan kepangannya. Aku berharap bisa mengajari Tung Chih bagaimana menjadi
kuat dan berani. Aku ingin dia tahu bahwa orang tak bisa menyepelekan keadaan
damai. Tung Chih terbiasa dilayani pelayan, terbiasa melihat wanita-wanita
cantik di sisi tempat tidurnya. Amat menyakitkan mendengar dia mengatakan bahwa
dia ingin tumbuh persis seperti ayahnya - dengan wanita-wanita cantik sebagai
teman bermain. Beberapa hari sebelumnya ada laporan tentang sebuah kasus pencurian di Kota
Terlarang. Tak ada yang mengakui kejahatan itu, dan tak ada tersangka yang cukup
jelas. Aku ditugaskan untuk menyelidiki. Kurasakan bahwa kasim-kasim terlibat
dalam hal ini, karena harus ada seseorang yang memindahkan barang-barang
berharga itu. Para pelayan wanita tak bisa keluar gerbang tanpa izin.
Aku juga mencurigai anggota keluarga Kerajaan. Mereka tahu di mana benda-benda
berharga itu disimpan. Seiring berjalannya penyelidikan, kecurigaan itu terbukti benar.
Rupanya para selir bersekongkol dengan para kasim untuk membagi keuntungan.
Putri Mei, Hui, dan Li ketahuan terlibat. Hsien Feng sangat marah, dan
memerintahkan agar mereka dilempar keluar dari istana masing-masing. Nuharoo dan
aku membujuknya agar tenang.
"Ini waktu yang sangat sulit untuk mengharapkan sikap terhormat dan setiap
orang," ujar kami. "Apakah kita belum cukup mendapat malu?"
Duduk di dalam tandu sepanjang hari membuat sakit persendianku. Aku memikirkan
orang-orang yang berjalan, kaki mereka tentu lecet-lecet. Setelah keluar dari
Peking, jalanan menjadi lebih berdebu dan tak rata. Kami berhenti di sebuah desa
untuk bermalam, dan aku bertemu Nuharoo. Aku terkejut melihat cara
berpakaiannya, dia tampak seolah akan ke pesta, membawa sebuah kipas gading
serta pembakaran dupa. Jubahnya terbuat dari satin keemasan disulam simbolsimbol Buddha. Sepanjang perjalanan Nuharoo mengenakan jubah yang sama.
Baru setelah beberapa saat aku sadar bahwa dia amat sangat ketakutan. "Kalaukalau kita diserang dan aku terbunuh," katanya.
"Aku ingin memastikan diriku memasuki kehidupan berikutnya dalam gaun yang
pantas." Itu tak masuk akal bagiku. Kalau kami diserang, jubahnya adalah hal pertama yang
akan dirampok. Dia bisa berakhir telanjang bulat di kehidupan berikutnya. Dulu
di Wuhu aku mendengar bahwa perampok makam akan memenggal kepala jenazah untuk
mengambil yang melingkar di leher dan memotong tangan untuk mengambil apa yang
ada di jemari. Aku sengaja berdandan sesederhana mungkin. Nuharoo mengatakan kepadaku bahwa
gaunku yang kuambil dari seorang pelayan tua itu telah merendahkan kedudukanku.
Kata-katanya itu membuatku merasa lebih aman. Ketika aku berusaha mendandani
Tung Chih dengan cara yang sama, Nuharoo menjadi jengkel. "Demi Buddha, dia itu
anak lelaki Putra Surga! Beraninya kau mendandani dia seperti pengemis!" Dia
melepaskan jubah katun sederhana Tung Chih dan menggantinya dengan jubah berenda
emas, dengan simbol-simbol yang serupa dengan yang ada di gaunnya.
Penduduk desa tak tahu apa yang terjadi; berita buruk dari Peking belum mencapai
mereka. Dari cara Nuharoo dan Tung Chih berpakaian tentu saja mereka tak menduga
bahwa bahaya sedang mendekat. Mereka benar-benar merasa amat terhormat karena
kami memilih desa mereka untuk bermalam, dan menyuguhi kami bakpao gandum panas
dengan sup sayuran. Kurir-kurir kiriman Pangeran Kung datang dan pergi. Ada sejumput berita bagus di
antara yang buruk. Seorang perwira asing yang berpengaruh, Parkes, dan seorang
lagi, Loch, telah tertangkap.
Pangeran Kung menggunakan mereka untuk tawar menawar dalam negosiasi. Kurir
terakhir melaporkan bahwa Sekutu telah mengambil alih Kota Terlarang, Istana
Musim Panas, dan Yuan Ming Yuan.
"Komandan Sekutu tinggal di ruang tidur Yang Mulia bersama dengan seorang
pelacur Cina," kurir itu melaporkan.
Wajah pucat Yang Mulia dipenuhi tetesan keringat. Dia membuka mulut, tetapi tak
dapat mengeluarkan sepatah kata pun.
Beberapa jam kemudian dia batuk, dan segumpal darah turut keluar.
[] Delapan belas BICARALAH!" perintah Kaisar pada Kasim yang menjadi penjaga keamanan di Yuan Min
Yuan. Kasim itu diutus atasannya, yang telah bunuh diri karena gagal
melaksanakan tugasnya. "Dimulai pada tanggal 5 Oktober," si kasim berusaha keras untuk menenangkan
suaranya yang gemetaran. "Pagi itu berawan.
Istana tenang dan tak ada tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang luar biasa. Pada
tengah hari hujan mulai turun. Para pengawal bertanya kepada saya apakah mereka
boleh masuk ke dalam. Saya mengizinkan. Kami semua sangat letih ... Kemudian
saya mendengar suara meriam. Saya mengira saya sedang bermimpi, dan para
pengawal juga berpikir demikian. Seseorang bahkan mengaku telah mendengar
guntur. Namun beberapa saat kemudian kami mencium bau asap. Saat berikutnya
seorang penjaga lari memberitahu bahwa orang-orang barbar telah berada di
Gerbang Kebajikan dan Gerbang Perdamaian. Atasan saya menanyakan apa yang
terjadi dengan pasukan jenderal Seng-ko-lin-chin. Pengawal itu menjawab bahwa
mereka telah tertangkap ... kini kami tahu bahwa kami tak punya perlindungan
lagi. "Atasan saya memerintahkan saya menjaga Taman Kebahagiaan, Taman Air Jernih Beriak, Taman Rembulan yang Tenang, dan Taman
Sinar Matahari yang Cerah sementara dia sendiri menjaga Taman Hijau Lestari dan
Taman Juni. Saya sudah tahu bahwa saya takkan sanggup melaksanakannya. Bagaimana
mungkin orang sejumlah kurang dari seratus bisa melindungi taman-taman yang
membentang hingga dua puluh mil"
"Saat kami bergegas menyembunyikan semua perabot, orang-orang barbar itu muncul
di taman. Saya menginstruksikan pada anak buah saya untuk membiarkan benda yang
kurang berharga dan menguburkan yang penting. Akan tetapi kami tak bisa menggali
dengan cukup cepat. Saya menguburkan apa yang bisa saya kuburkan, termasuk jam
besar serta dunia yang bergerak itu, sementara yang lain-lain melemparkan
gulungan-gulungan naskah dan lukisan.
"Ketika kami menyeret karung-karung itu keluar, kami dicegat oleh orang-orang
barbar. Mereka menembaki kami. Para pengawal satu demi satu gugur. Mereka yang
tak tertembak, ditangkap, dan kemudian dilemparkan ke dalam danau. Orang-orang
barbar itu mengikat saya pada burung bangau perunggu di dekat air mancur.
Mereka mencabik karung-karung yang kami bawa, kegirangan melihat harta karun di
dalamnya. Kantong-kantong mereka terlalu kecil untuk memuat semuanya, maka
mereka menarik keluar jubah-jubah Yang Mulia dan membuatnya menjadi karung,
mengisinya, dan menggantungkannya di sekitar bahu dan pinggang mereka. Mereka
merampok apa yang bisa mereka ambil dan menghancurkan yang tak terbawa,
berkelahi di antara mereka sendiri tentang jarahan mereka.
"Orang barbar yang datang belakangan mencoba mengambil yang tersisa. Mereka
mempreteli semua hewan astrologi perunggu milik Yang Mulia, tetapi membiarkan
jambangan emas raksasa, yang terlalu berat untuk digeser. Kemudian mereka
mengerok semua emas hiasan dari tiang-tiang dan palang atap menggunakan pisau.
Penjarahan ini berlangsung selama dua hari. Orang-orang barbar masuk dengan


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghancurkan tembok dan menggali tanah."
"Apa yang mereka temukan?" tanyaku.
"Semuanya, Gusti Permaisuri. Saya melihat seorang barbar lewat mengenakan jubah
upacara resmi milik Anda."
Kucoba untuk tak membayangkan apa yang terjadi saat kasim itu terus
menggambarkan perampokan Yuan Ming Yuan. Tetapi mata batinku dengan jelas
melihat orang-orang barbar itu berbaris memasuki Desa Aprikot, Paviliun Peoni,
dan Rumah hiburan Daun Lotus. Bisa kulihat wajah mereka berseri saat menyerbu
masuk ke balairung-balairung gedung utama yang penuh ukiran keemasan. Bisa
kulihat mereka memasuki kamarku dan membongkar laci-laciku. Bisa kulihat mereka
menyerbu kamar penyimpananku tempat aku menyembunyikan semua batu kumala, perak,
dan enamel, lukisan, sulaman, serta perhiasanku.
"...Ada terlalu banyak barang, jadi orang-orang barbar itu merobek semua mutiara
sebesar kelereng dari jubah-jubah Permaisuri Nuharoo dan mengosongkan kotak
permata Gusti Permaisuri..."
"Pangeran Kung ada di mana?" Kaisar Hsien Feng melorot di kursinya dan berjuang
keras untuk mendorong dirinya sendiri bangkit kembali.
"Pangeran Kung bekerja di luar Peking. Dia berhasil mengadakan perjanjian dengan
orang-orang barbar itu dengan melepaskan perwira-perwira mereka yang ditangkap,
Parkes dan Loch. Tetapi sudah terlambat untuk menghentikan penjarahan. Untuk
menutupi kejahatan mereka, setan-setan asing itu ... Yang Mulia, saya tidak bisa
... mengatakannya ..." Si kasim mengempaskan diri ke lantai seolah tak memiliki
tulang punggung lagi. "Katakan!" "Baik, Yang Mulia. Setan-setan itu ... memantik api ..."
Kaisar Hsien Feng menutup matanya, berjuang menarik napas.
Lehernya berkejat seolah dicekik tangan sesosok hantu.
Tanggal 13 Oktober orang-orang barbar membakar lebih dari dua ratus paviliun,
balairung, kuil, dan lahan dari lima istana. Api memangsa semuanya. Asap dan abu
diterbangkan angin ke balik tembok. Awan tebal berbau sangit menggantung di atas
Kota, turun dan menetap di rambut dan mata orang, baju, tempat tidur, mangkuk.
Tak ada yang selamat di Yuan Ming Yuan kecuali pagoda pualam dan jembatan batu.
Dan antara ribuan acre taman, gedung satu-satunya yang masih berdiri hanyalah
Paviliun Awan Berharga, jauh tinggi di bukit di atas danau.
Belakangan aku akan mendapat cerita dari Pangeran Kung tentang suara "serupa
guntur" yang digambarkan orang. Itu bukan suara guntur, melainkan ledakan. Para
insinyur Kerajaan Inggris menempatkan dinamit-dinamit pada banyak paviliun kami.
Selama sisa hidupku, pikiranku akan selalu kembali pada kenangan tentang
keagungan yang tiba-tiba berubah menjadi seonggok puing ini. Bermil-mil nyala
api menelan enam ribu kediaman - istana tempat tinggal raga dan jiwaku, beserta
dengan segala harta karun dan karya seni yang dikumpulkan oleh generasi demi
generasi Kaisar. Hsien Feng harus hidup menanggungkan aib ini, yang akhirnya memangsanya. Dalam
usia tuaku, setiap kali aku letih bekerja atau berpikir untuk pensiun aku akan
pergi mengunjungi reruntuhan Yuan Ming Yuan. Saat aku menginjak batu-batu yang
hancur itu aku bisa mendengar
sorak-sorai orang-orang barbar. Gambaran itu mencekikku, seakan-akan asap tebal masih mengambang di udara.
---oOo--- Matahari berwarna tembaga mengintai ke bawah ke rombongan yang tengah bergerak.
Kami melanjutkan perjalanan ke Jehol. Aku merasa getir dan sedih ketika
mendengar alasan "berburu" suamiku. Para menteri dan pangeran berpakaian bagus
ditandu para penandu dalam tandu berhias mewah sementara para pengawal
berpatroli di atas kuda Mongolia.
Suara wirid para penandu telah digantikan kesunyian yang dalam dan menyiksa. Aku
tak lagi mendengar suara tamparan dan geseran kaki-kaki bersandal pada batu-batu
jalanan. Yang kulihat adalah rasa sakit yang ditimbulkan lepuh dan lecet,
tergambar di wajah-wajah letih yang bermandi keringat. Meskipun kami telah
sampai di daerah yang masih termasuk liar, semua orang tetap waspada akan
kemungkinan pengejaran oleh orang-orang barbar.
Semakin hari barisan semakin panjang, seperti ular berwarna mencolok yang
meliuk-liuk di sepanjang jalan sempit.
Di malam hari, tenda didirikan dan api unggun dinyalakan.
Semua orang tidur bagaikan orang mati. Kaisar Hsien Feng menghabiskan waktu
dengan berdiam diri. Kadang-kadang saat demamnya naik, dia akan mengatakan
sesuatu yang tidak biasa.
"Siapa yang bisa menjamin bahwa semua benih alam murni dan sehat, dan bahwa
bunga-bunga mereka akan menghasilkan citra keselarasan di dalam taman?"
tanyanya. Tak bisa menjawab, aku balas menatap ke arahnya.
"Aku bicara tentang benih yang buruk," lanjut Yang Mulia.
"Benih yang diam-diam telah direndam dalam racun. Mereka tertidur di dalam tanah
sampai hujan musim semi membangunkan mereka.
Lalu mereka tumbuh menjadi raksasa dengan kecepatan yang menakjubkan, menutupi
tanah dan menyedot air serta cahaya matahari dan tanaman lain. Aku bisa melihat
bunga-bunga mereka yang gemuk. Dahan-dahan mereka berkembang seperti penjahat
menyebar racun. Jangan biarkan Tung Chih lepas dari pengawasanmu, Anggrek."
Aku memeluk Tung Chih ketika dia tidur. Dalam mimpiku aku mendengar
kuda-kuda mengunyah kekang. Rasa takut membangunkanku bagaikan serangan yang aneh. Keringat akan berkumpul, membasahi
bajuku. Kulit kepalaku selalu basah. Indraku menajam untuk beberapa hal,
misalnya suara napas Tung Chih dan suara-suara di sekitar tenda, tetapi menumpul
bahkan hilang untuk yang lain, seperti lapar. Walaupun kami tinggal di tenda
yang terpisah, Kaisar Hsien Feng akan muncul di hadapanku seperti hantu pada
tengah malam. Dia berdiri di situ, matanya kering tetapi penuh derita.
Aku bertanya-tanya, apakah aku juga mulai kehilangan kewarasanku.
---oOo--- Hari sudah mendekati malam dan kami memutuskan berhenti, untuk makan. Siang itu
Yang Mulia mendapat serangan batuk yang mengerikan. Darah menetes dari sudutsudut mulutnya. Menurut dokter naik tandu tak baik untuknya. Tetapi kami tak
punya pilihan lain. Akhirnya kami berhenti berjalan untuk menenangkan batuknya.
Saat fajar aku melihat keluar tenda. Kami sudah dekat ke Jehol, dan pemandangan
sangat luar biasa. Tanah tertutup semanggi dan bunga-bunga liar, bukit-bukit
yang lembut dipenuhi semak. Panas musim gugur masih tertahankan dibandingkan
dengan di Peking. Harumnya bunga dandelion gunung tercium manis. Setelah sarapan kami berjalan
lagi. Kami melalui padang-padang yang rumputnya tumbuh setinggi pinggang.
Setiap kali Tung Chih bersamaku aku mencoba untuk kuat dan gembira. Namun itu
tidak mudah. Ketika istana tua Jehol muncul di cakrawala, kami semua keluar dari
tandu dan jatuh berlutut. Kami berterima kasih pada Langit karena kami berhasil
mencapai tempat pelarian sementara ini. Saat Tung Chih diangkat dari kursi dia
langsung mengejar kelinci liar dan tupai yang lari berhamburan darinya.
Kami bergegas-gegas mencapai gerbang. Rasanya seperti memasuki dunia mimpi,
sebuah sawang dan lukisan yang memudar.
Kakek Hsien Feng, Chien Lung, membangun Jehol di abad ke-l8. Hari ini istana itu
berdiri seperti wanita cantik yang sudah berumur, dan tata riasnya berlepotan.
Aku telah begitu banyak mendengar cerita tentang tempat ini sehingga
pemandangannya telah akrab di mataku.
Keadaan Jehol lebih alamiah daripada Kota Terlarang. Selama bertahun-tahun
pohon-pohon dan semak telah tumbuh saling menjalin. Tanaman ivy menyebar dari
tembok ke tembok dan ke pepohonan tinggi, tempat tanaman itu menjulai dengan
sulur-sulur hijau subur. Perabotan di istana terbuat dari kayu keras, diukir
indah dan dihiasi giok serta batu mulia. Naga-naga di langit-langit terbuat dari
emas murni, dinding-dindingnya gemilang dalam sutra yang gemerlap.
Aku menyukai keliaran tempat ini, dan takkan keberatan tinggal di Jehol. Kupikir
ini tempat yang bagus untuk membesarkan Tung Chih. Dia bisa mempelajari cara
hidup klan prajurit pengembara. Dia bisa belajar berburu. Aku sangat ingin dia
tumbuh di atas punggung kuda, seperti para nenek moyangnya. Aku berharap tak
harus selalu mengingatkan diri bahwa kami tengah dalam pelarian.
Jehol adalah tempat yang sangat luas dan sunyi. Sinar matahari yang keputihputihan terpantul lembut pada atapnya yang bergenting.
Pekarangan dilapisi batu tapak. Pintu-pintu dibingkai dengan dinding tebal.
Sejak kematian Chien Lung setengah abad silam, sebagian besar istana itu kosong
dan berbau lembap. Didera oleh puluhan tahun hujan dan angin, bagian luarnya
seolah melebur ke dalam sawang.
Warna aslinya semula kuning pasir; kini coklat dan hijau. Di bagian dalam, jamur
serbuk menutupi langit-langit dan menggelapkan sudut-sudut ruangannya yang luas.
Keluarga Kerajaan bergelombang masuk ke Jehol dan tempat itu pun mulai hidup
kembali. Balairung-balairung, pekarangan, dan gedung dibangunkan oleh gema suara
manusia dan langkah kaki.
Pintu-pintu terbuka diiringi bunyi derit kayu dan logam. Kunci jendela yang
berkarat patah saat kami mencoba membukanya. Para kasim mencoba sekuat tenaga
untuk menghilangkan kelembapan serta kemuraman yang tertumpuk bertahun-tahun.
Aku diberi ruang-ruang tinggal dekat dengan Nuharoo di satu sisi Istana utama.
Kaisar menempati kamar terbesar, tentu saja, tepat di tengah.
Kantornya, yang diberi nama Balairung Semangat Sastra, berada dekat dengan ruang
tinggal Su Shun serta para penasihat lainnya di sisi lain Istana. Nuharoo
menjaga Tung Chih selama aku melayani Hsien Feng. Semua jadwal dan tanggung
jawab kami kini dijalankan berdasarkan kebutuhan ayah dan anak itu.
Karena Yang Mulia sudah berhenti mengadakan audiensi, dia tak lagi diserahi
dokumen untuk dibaca dan ditandatangani. Urusan kenegaraan masih terus diurus
oleh Su Shun sendiri. Merebus tanaman obat untuk Hsien Feng telah menjadi
pekerjaanku. Baunya yang pahit begitu kuat hingga dia terus mengeluh. Aku harus
menyuruh para pelayan untuk membawa pancinya ke dapur, yang terletak jauh di
belakang istana. Aku bekerja dengan si ahli obat-obatan dan dokter Sun Pao-tien
untuk memastikan obat-obatan itu disiapkan dengan baik. Hal ini tidak mudah.
Salah satu resep mengharuskan campuran darah rusa segar, yang mudah sekali
busuk. Staf dapur harus menyembelih seekor rusa setiap dua hari sekali, menyiapkan obat
dengan segera, lalu berharap Yang Mulia takkan muntah setelah kami menuangkannya
ke dalam kerongkongannya.
---oOo--- Di akhir Oktober pohon-pohon mapel tampak seakan-akan dibakar oleh matahari.
Suatu pagi saat aku dan Nuharoo mengajak Tung Chih berjalan-jalan kami menemukan
bahwa sebuah sumber air di dekat situ ternyata hangat airnya. Seorang kasim yang
telah menjaga istana seumur hidupnya mengatakan bahwa ada beberapa sumber air
panas di daerah sini. Begitulah cara Jehol mendapatkan namanya: je-hol, sungai
yang panas. "Sumber-sumber itu lebih panas airnya saat salju turun," terang si kasim. "Anda
bisa merasakan air itu dengan tangan Anda." Tung Chih penasaran, dan memaksa
untuk mandi di dalam sumber air itu.
Nuharoo hampir saja menyerah, tetapi aku menentang gagasan itu.
Tung Chih tak bisa berenang dan baru saja sembuh dan pilek. Menolak disiplin
dariku, Tung Chih berpaling merengek-rengek pada Nuharoo.
Putraku tahu bahwa kedudukan Nuharoo lebih tinggi dan aku tak diperbolehkan
untuk membantah. Ini sudah menjadi pola hubungan antara Nuharoo, anakku, dan
aku. Sangat menyebalkan, dan membuatku merasa tak berdaya. Dapur adalah tempat
pelarianku. Kesehatan Hsien Feng tampaknya mulai agak stabil. Begitu dia sanggup untuk
duduk, Pangeran Kung mengirimnya draft beberapa traktat. Aku dipanggil untuk
membantu. "Adik Paduka mengharapkan agar Paduka menghargai butir-butir perjanjian
tersebut," ujarku, menyarikan isi surat Pangeran Kung untuk Yang Mulia Kaisar.
"Dia bilang ini adalah dokumen-dokumen yang terakhir. Perdamaian dan keteraturan
akan segera pulih begitu Paduka menandatangani ini."
"Orang-orang barbar itu memintaku memberi mereka hadiah karena sudah meludahi
mukaku," kata Hsien Feng. "Sekarang aku mengerti mengapa ayahku tak bisa menutup
matanya ketika wafat - dia tak sanggup menelan hinaan ini."
Kutunggu dia tenang kembali sebelum aku melanjutkan membaca. Beberapa dan
persyaratan di traktat begitu mengganggu perasaan Yang Mulia hingga dia megapmegap mencari udara. Suara menggelegak datang dari tenggorokannya, dan dia akan
meledak terbatuk-batuk. Tetes-tetes darah kecil menutupi lantai dan selimut-selimut. Aku tak ingin
melanjutkan membaca, tetapi dokumen-dokumen itu harus dikembalikan dalam sepuluh
hari. Bila tidak, kata Pangeran Kung, Sekutu akan menghancurkan Ibu Kota.
Tak ada gunanya bagi Kaisar Hsien Feng untuk memukuli dadanya dan berteriak
"Semua orang asing adalah binatang jalang!"
Juga tak ada gunanya mengeluarkan maklumat memaksa tentara untuk bertempur lebih
keras. Keadaan sudah tak tertolong lagi.
Tung Chih mengawasi ayahnya menyeret diri dari tempat tidur dan berlutut,
memohon pertolongan kepada Langit. Lagi dan lagi Hsien Feng berharap dia punya
keberanian untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
---oOo--- Di Balairung Semangat Sastralah traktat dengan Inggris dan Prancis disahkan.
Kedua traktat itu menguatkan Traktan Tientsin yang telah disetujui sebelumnya,
tetapi dengan tambahan butir. Itulah kali pertama sejak ribuan tahun Cina
mendapat aib serupa itu. Kaisar Hsien Feng dipaksa membuka kota Tientsin sebagai pelabuhan perdagangan.
Untuknya, ini bukan saja mengizinkan orang-orang barbar itu untuk berdagang di
halaman depannya, tetapi juga memberikan akses ke Ibu Kota kepada tentara mereka
melalui laut. Yang Mulia juga dipaksa untuk "menyewakan" Kowloon kepada Inggris sebagai ganti
rugi perang. Traktat itu menyebutkan bahwa para misionaris Barat akan diberikan
kebebasan total serta perlindungan untuk beroperasi di Cina, termasuk mendirikan
gereja. Hukum Cina takkan bisa diterapkan pada orang asing mana pun, dan
pelanggaran terhadap isi traktat yang dilakukan oleh orang Cina akan dihukum
segera. Cina harus membayar denda ganti rugi sebesar delapan juta tael kepada
Inggris dan Prancis. Seolah ini belum cukup, Rusia memasukkan draft baru Traktat Peking Sino-Rusia.
Wakil Rusia mencoba meyakinkan Pangeran Kung bahwa pembakaran istana Kekaisaran
menunjukkan kalau Cina membutuhkan perlindungan militer dari Rusia. Meskipun
sadar benar apa yang diinginkan oleh orang Rusia, Pangeran Kung tak bisa berkata
tidak. Cina tidak berada dalam posisi untuk bisa membela diri sendiri dan tak
akan sanggup menjadikan Rusia sebagai musuh.
"Ketika gerombolan serigala memburu seekor kijang sakit, apa yang bisa dilakukan
kijang itu selain memohon dikasihani?" Pangeran Kung menulis dalam sebuah
suratnya. Rusia menginginkan tanah Amur di Utara, yang telah direbut oleh
tentara Tsar. Orang-orang Rusia sudah bermukim di sepanjang Sungai Ussuri di
sebelah timur perbatasan dengan Korea. Mereka menuntut pelabuhan penting Cina,
Haishenwei, yang segera akan dikenal dengan nama Vladivostok.
Aku takkan pernah melupakan saat-saat Kaisar Hsien Feng menandatangani traktat
itu - laksana sebuah latihan kematian.
Kuas yang dipegangnya seakan seberat ribuan pon. Tangannya tak bisa berhenti
gemetar. Hsien Feng tak bisa menuliskan namanya.
Untuk menstabilkan sikunya kuletakkan dua buah bantal lagi di belakang
punggungnya. Kepala Kasim Shim mempersiapkan tinta dan meletakkan lembar-lembar
traktat di hadapan Kaisar di atas sebuah buku yang terbuat dari kertas beras.
Kesedihanku bagi Hsien Feng dan negaraku tak dapat dilukiskan.
Liur berkumpul di sudut-sudut bibir ungu Yang Mulia. Dia menangis, tetapi tanpa
air mata. Dia berteriak dan memekik selama berhari-hari.
Akhirnya suaranya menghilang begitu saja. Setiap tarikan napas kini adalah
sebuah perjuangan. Jari-jarinya bagaikan tongkat meranggas, tubuhnya hanya tinggal tulang
terbungkus kulit. Dia telah memulai perjalanan memudar menjadi hantu. Leluhurnya
tak menjawab doa-doanya. Langit tak menunjukkan belas kasihan kepada putranya. Dalam ketidakberdaayan
Hsien Feng, bagaimanapun, dia menunjukkan martabat sang Kaisar Cina.
Perjuangannya amat heroik - lelaki yang tengah sekarat itu mencengkeram kuasnya,
menolak menyerahkan Cina.
---oOo--- Kuminta Nuharoo untuk membawa Tung Chih. Aku ingin bocah itu menyaksikan
perjuangan ayahnya untuk melaksanakan tugasnya.


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nuharoo menolak permintaanku. Katanya Tung Chih harus dihadapkan hanya pada
kemenangan dan martabat, bukan aib.
Aku bisa saja bertengkar dengan Nuharoo - dan memang hampir saja kulakukan. Aku
ingin mengakan kepadanya bahwa sekarat itu bukan suatu aib, memiliki keberanian
untuk menghadapi kenyataan juga bukan aib. Pendidikan Tung Chih harus dimulai di
ranjang kematian ayahnya. Dia harus melihat penandatanganan traktat itu,
mengingat dan memahami mengapa ayahnya menangis!
Nuharoo mengingatkanku bahwa dia adalah Permaisuri Timur - kata-katanya adalah
hukum di rumahtangga ini. Aku harus menyerah.
Kepala Kasim Shim bertanya apakah Yang Mulia ingin mencoba dulu tintanya sebelum
menggoreskan tanda tangan. Hsien Feng mengangguk. Aku meluruskan kertas padi
itu. Pada saat ujung kuas menyentuh kertas, tangan Hsien Feng gemetar hebat, dimulai
dari jari-jarinya, lalu menyebar ke lengan, bahu, dan akhirnya seluruh tubuhnya.
Keringat membasahi jubahnya.
Matanya terputar ke atas sementara dia mencoba menarik napas dalam-dalam.
Dokter Sun Pao-tien dipanggil. Dia masuk, berlutut di samping Yang Mulia. Dia
merundukkan kepalanya ke atas dada Hsien Feng dan mendengarkan.
Aku terus mengawasi bibir Sun Pao-tien, yang separuh tersembunyi di balik
janggut putihnya yang panjang. Aku takut pada apa yang akan dikatakannya.
"Yang Mulia mungkin mengalami koma." Si dokter bangkit.
"Beliau akan sadar kembali, tetapi aku tak berani menjamin berapa lama lagi
waktu yang dimilikinya."
Sepanjang sisa hari itu kami menunggu Hsien Feng sadar. Saat akhirnya dia sadar,
kumohon agar dia menyelesaikan tanda tangannya, tetapi dia tak mengatakan apa
pun. Kami menghadapi jalan buntu - Kaisar Hsien Feng menolak mengangkat kuas penanya.
Aku terus menghancurkan tinta, berharap Pangeran Kung ada di sini.
Merasa tak berdaya, aku mulai menangis.
"Anggrek." Suara Yang Mulia nyaris tak terdengar. "Aku takkan mati dengan tenang
bila aku menandatanganinya."
Aku mengerti. Seandainya aku Hsien Feng, aku pun takkan mau menandatanganinya.
Tetapi Pangeran Kung memerlukan tanda tangan itu agar bisa terus bernegosiasi.
Kaisar akan meninggal, tetapi bangsa ini harus terus hidup. Cina harus kembali
bangkit, berdiri di atas kakinya.
Siang harinya Hsien Feng memutuskan untuk menyerah. Itu baru dilakukannya
sesudah kukatakan bahwa tanda tangannya tidak akan menjadi penguat untuk sebuah
invasi, melainkan taktik untuk mengulur waktu.
Dia mengangkat kuas tetapi tak bisa melihat dimana di atas kertas dia harus
membubuhkan tanda tangan.
"Tuntun tanganku, Anggrek," katanya, mencoba duduk tetapi langsung terkulai
lagi. Kami bertiga - Kepala Kasim Shim, An-te-hai, dan aku - membaringkan Yang Mulia pada
punggungnya. Kuletakkan kertas itu di dekat tangannya dan mengatakan bahwa dia
bisa menuliskan tanda tangannya sekarang.
Dengan mata terpaku ke langit-langit, Kaisar Hsien Feng menggerakkan kuas itu.
Hati-hati kutuntun goresannya untuk mencegah agar tanda tangannya tak terlihat
seperti coretan kanak-kanak. Pada saat kami melapiskan cap merah Kekaisaran di
atas namanya, Hsien Feng menjatuhkan kuas dan jatuh pingsan. Batu tinta
terjatuh, tinta hitam tumpah di seluruh gaun dan sepatuku.
---oOo--- Bulan Juli 1861 kami merayakan ulang tahun Hsien Feng yang ke-30.
Yang Mulia berbaring di ranjangnya, terhanyut antara sadar dan tidak.
Tak ada tamu yang diundang. Upacara ulang tahun itu termasuk sebuah parade
makanan. Semua makanan itu nyaris tak disentuh; semua orang menyadari ajal Hsien
Feng telah dekat. Sebulan setelah itu keadaan Hsien Feng memburuk. Dokter Sun Pao-tien
memperkirakan bahwa hari-hari akhir Yang Mulia barangkali hanya tinggal sepekan,
atau malah hanya beberapa hari lagi. Seisi istana tegang karena Kaisar belum
menunjuk penggantinya. Tung Chih tak diizinkan untuk bersama ayahnya karena pihak istana takut hal itu
akan terlalu mengganggu. Ini membuatku kesal.
Aku yakin bahwa bentuk kasih sayang sekecil apa pun yang diperlihatkan Yang
Mulia kepada Tung Chih akan menjadi penyangga kenangan putra kami seumur
hidupnya. Nuharoo menuduhku mengutuk Hsien Feng dengan mengatakan pada Tung Chih bahwa
ayahnya akan meninggal. Ahli nujumnya percaya bahwa hanya kalau kita menolak
menerima kematiannyalah sebuah keajaiban akan menyelamatkan Hsien Feng.
Sulit mendebat Nuharoo bila pikirannya telah bulat. Aku hanya bisa mengatur agar
An-te-hai menyelundupkan Tung Chih ke sisi ranjang ayahnya, biasanya saat
Nuharoo sedang pergi bersama para penganut Buddha lain untuk membaca wirid atau
tengah menonton opera selama waktu minum teh, yang disediakan oleh Su Shun dan
ditampilkan di ruang-ruang tinggal Nuharoo.
Aku kecewa sekali karena ternyata Tung Chih tak ingin menghabiskan waktu bersama
ayahnya. Dia mengeluh tentang betapa ayahnya tampak "menakutkan" dan "napasnya
bau." Bocah itu tampak sengsara saat kudorong dia ke ranjang ayahnya. Dia
menyebut ayahnya membosankan dan suatu kali malahan berteriak, "Manusia tak
berdaya!" Dia menarik sperai Hsien Feng dan melemparkan bantal-bantal ke
arahnya. Bocah itu ingin main Naik Kuda dengan sang ayah.
Tak ada satu potong pun tulang belas kasih di tubuh mungilnya itu.
Aku memukul pantat anakku. Minggu berikutnya, alih-alih menitipkan Tung Chih
pada Nuharoo, aku menghabiskan waktu mengamati bocah itu. Kutemukanlah sumber
kelakuan buruk Tung Chih.
Aku sudah menginstruksikan agar Tung Chih mendapat pelajaran berkuda dengan Yung
Lu, tetapi Nuharoo menciptakan segala macam alasan agar si bocah tak usah
datang. Bukannya berlatih dengan kuda asli, Tung Chih 'menaiki' para kasim.
Lebih dari tiga puluh orang kasim harus merangkak di seputar pekarangan untuk
membuatnya senang. 'Kuda' favoritnya adalah An-te-hai. Itu cara Tung Chih untuk
'balas dendam' karena An-te-hai sudah kuperintahkan agar mendisiplinkan anakku.
Tung Chih mencambuk bokong An-te-hai dan memaksanya untuk merangkak hingga
lututnya berdarah. Yang lebih buruk dari perlakuannya pada Ante-hai ini adalah Tung Chih menyuruh
seorang kasim berusia tujuh puluh tahun bernama Wei Tua untuk menelan
kotorannya. Waktu aku menanyai Tung Chih dia menjawab, "Ibu, aku hanya ingin
tahu apakah Wei Tua berkata jujur."
"Jujur tentang apa?"
"Bahwa aku bisa melakukan apa pun yang kuinginkan. Aku hanya memintanya untuk
membuktikan itu." Aku menatap wajah mungil putraku, bertanya-tanya bagaimana dia bisa jadi senakal
itu. Dia pintar, tahu siapa yang harus dihukum dan siapa yang harus diberi
hadiah. Kalau saja An-te-hai tidak setia kepadaku tentu kasim itu sudah akan
menyerah pada setiap keinginan Tung Chih. Satu kali Tung Chih pernah mengatakan
bahwa dia tahu makanan kesukaan Nuharoo. Aku waktu itu tak menduga bahwa ini
adalah cara anakku untuk menghadiahi Nuharoo. Aku bahkan memuji Tung Chih saat
dia mengirimi Nuharoo kue bulan yang sangat disukainya. Aku pikir ini perilaku
sopan yang sangat pantas dan aku senang anakku akur dengan Nuharoo. Lalu Tung
Chih memamerkan tentang bagaimana Nuharoo mendukungnya menelantarkan sekolah.
Dia berkata kepada Tung Chih, "Ada kaisar-kaisar dalam sejarah yang tak pernah
menghabiskan satu hari pun di kelas tetapi tak punya masalah dalam membawa
negara mereka menuju kemakmuran."
Aku menentang Nuharoo dan menjelaskan bahayanya tidak mendisiplinkan Tung Chih.
Dia bilang aku berlebihan. "Dia baru berusia lima tahun! Segera setelah kita
pulang ke Peking dan Tung Chih kembali mengikuti sekolahnya yang normal, semua
akan berlangsung baik. Bermain itu sudah merupakan sifat dasar anak-anak, dan
kita tak boleh campur tangan atas pengaturan Langit. Dia minta dibawakan burungburung nuri kemarin, tetapi An-te-hai tidak membawakan satu pun. Kasihan Tung
Chih -dia hanya minta seekor nuri!"
Kali ini aku memutuskan untuk tidak menyerah. Aku berkeras agar Tung Chih
mengikuti setiap pelajaran. Kukatakan kepada Nuharoo bahwa aku akan menanyakan
kepada para guru tentang pekerjaan rumah Tung Chih. Tetapi aku jadi kecewa - guru
kepala memohon agar aku membebaskannya dari Tung Chih.
"Junjungan Muda melemparkan bola-bola kertas dan menepis jatuh kaca mata saya,"
lapor guru bergigi kelinci itu. "Dia tak mau mendengarkan. Kemarin dia menyuruh
saya memakan kue yang rasanya aneh. Setelah itu dia memberi tahu saya bahwa kue
itu sudah dicelupkannya ke dalam kotorannya sendiri."
Aku kaget sekali mengetahui apa yang dilakukan Tung Chih di kelas. Tetapi yang
membuatku lebih khawatir adalah ketertarikannya pada buku-buku hantu Nuharoo.
Dia tak tidur hingga larut malam guna mendengarkan cerita Nuharoo tentang
akhirat, begitu ketakutan hingga mengompol, tetapi juga begitu tertariknya pada
semua cerita itu hingga ketagihan. Saat aku ikut campur dengan mengambil buku
bergambar itu, dia melawanku dengan keras.
Tung Chih bersedia melakukan apa saja untuk menghindariku.
Pertama, dia berpura-pura sakit untuk menghindari pelajaran-pelajarannya. Kalau
aku memergokinya, Nuharoo pasti akan membelanya. Diam-diam Nuharoo bahkan
menyuruh dokter Sun Pao-tien untuk berbohong tentang 'demam' yang membuat Tung
Chih tidak mengikuti pelajaran.
Kalau begini cara kami mempersiapkan Tung Chih untuk menjadi Kaisar berikutnya,
Dinasti ini pasti hancur. Aku memutuskan untuk menangani masalah ini sendiri.
Yang kutahu adalah waktuku sudah semakin sempit.
Setiap hari kudampingi anakku menemui guru-gurunya dan menunggu di luar hingga
pelajaran berakhir. Nuharoo jengkel karena aku tak percaya kepadanya, tetapi aku
terlalu marah untuk mengkhawatirkan perasaannya. Aku ingin mengubah Tung Chih
sebelum terlambat. Tung Chih tahu bagaimana cara mengadu domba aku dan Nuharoo. Dia tahu aku tak
bisa melarangnya mengunjungi Nuharoo, jadi dia pergi sesering mungkin untuk
membuatku cemburu. Sayangnya, aku jatuh ke dalam perangkap ini. Dan Tung Chih terus saja membuat
kacau di sekolah. Suatu hari dia mencabut dua helai alis terpanjang guru kepala
yang giginya seperti kelinci itu. Tung Chih tahu betul bahwa orang tua itu
menganggap rambut tadi sebagai tanda panjang umurnya. Si guru begitu sedih
hingga terkena stroke dan segera dikirim pulang selamanya. Nuharoo menganggap
kejadian ini lucu. Aku sama sekali tak setuju dan berniat menghukum putraku atas
kekejamannya itu. Istana mengganti guru itu dengan yang baru, tetapi dia langsung dipecat oleh
muridnya pada hari pertama. Alasan Tung Chih adalah orang itu kentut saat
memberi pelajaran, menuntut si guru telah "bertindak tak sopan pada Putra
Surga." Si guru dicambuk.
Mendengar ini Nuharoo memuji Tung Chih karena telah "bertindak layaknya
penguasa" - tetapi aku hancur lebur.
Makin aku menekan, makin keras Tung Chih memberontak.
Bukannya mendukungku, Istana malah meminta Nuharoo untuk
"mengawasi" perilakuku yang "tidak pantas." Aku ingin tahu apakah Su Shun ada di
balik semua itu. Sekarang Tung Chih berani membantahku di hadapan para kasim dan
pelayan. Lidahnya pandai sekali bersilat. Kadang-kadang dia terdengar terlalu
canggih untuk seorang bocah berumur lima tahun. Misalnya, dia akan berkata,
"Betapa rendahnya engkau menentang pribadiku!" atau "Aku adalah hewan yang
terberkati!" atau "Salah sekali tindakanmu mencoba menidurkanku, supaya kau bisa
berlagak seperti sang penguasa!"
Aku telah sering mendengar hal yang sama dari Nuharoo:
"Izinkan Tung Chih untuk menjelajah ke depan, Putri Yehonala" dan
"Dia adalah pengelana yang memahami jagat raya. Dia tak memikirkan dirinya
sendiri, melainkan memikirkan perjalanan, impian, dan spiritualitas Buddha"
serta "Lemparkan kunci-kunci itu ke angin lalu, dan biarkan kurungan Tung Chih
terbuka!" Aku mulai meragukan niat Nuharoo. Selalu ada sesuatu yang mencurigakan dalam
pendekatannya pada Tung Chih. Apa pun yang dilakukan bocah itu, Nuharoo selalu
menjadi sosok yang penuh kasih.
Aku sadar bahwa kalau aku tak menghentikan Nuharoo maka aku takkan bisa
menghentikan Tung Chih. Untukku, perjuangan ini sudah berubah menjadi peperangan
untuk menyelamatkan putraku.
Kuhabiskan berhari-hari memikirkan bagaimana caranya berbicara dengan Nuharoo.
Aku ingin tegas dengan semua maksudku tanpa melukai harga dirinya. Aku ingin dia
mengerti bahwa aku sangat menghargai kasih sayangnya kepada Tung Chih, tetapi
Nuharoo harus belajar mendisiplinkan si bocah.
Aku terkejut karena Nuharoo mengunjungiku sebelum aku sempat menemuinya. Dia
mengenakan gaun ringan berwarna gading, membawa bunga lotus segar sebagai buah
tangan, lalu mengeluh tentang batasanku untuk makanan Tung Chih. Dia bersikeras
bahwa Tung Chih terlalu kurus. Kujelaskan bahwa aku tak berkeberatan Tung Chih
makan lebih banyak, hanya saja menunya harus seimbang.
Kukatakan bahwa Tung Chih duduk berjam-jam di WC tanpa bisa mengeluarkan apa
pun. "Aku pikir itu bukan masalah," kata Nuharoo. "Anak-anak memang selalu lama kalau
urusan WC." "Anak-anak petani tak pernah memiliki masalah itu," bantahku.
"Mereka banyak makan makanan berserat."
"Tetapi Tung Chih bukan anak petani. Perbandingan itu amat menghina." Air muka
Nuharoo berubah dingin. "Sudah selayaknya pola makan Tung Chih mengikuti menu
Istana." Secara pribadi aku sudah mengupah seorang koki untuk mempersiapkan hidangan yang
sehat, tetapi Tung Chih mengeluh pada Nuharoo bahwa koki itu menghidangkan udang
busuk padanya, yang menyebabkan perutnya kejang. Tak ada seorang pun kecuali
Nuharoo yang memercayai kebohongan tersebut, tetapi untuk menyenangkan Tung
Chih, Nuharoo memecat koki itu.
Aku harus menahan diri agar tak bertengkar secara terbuka dengan Nuharoo.
Kuputuskan untuk beronsentrasi pada pendidikan Tung Chih dulu.
Setiap pagi aku mengambil cambuk dan menggiring Tung Chih pada gurunya.
Tung Chih tengah mempelajari bola langit. Kuminta selembar salinan tentang
pelajaran ini kepada si guru, dan berkata kepada Tung Chih bahwa aku akan
mengujinya setelah pelajaran selesai.
Seperti yang kuduga, Tung Chih tak bisa mengingat satu kata pun dari
pelajarannya. Dia baru saja pulang sekolah dan kami tengah bersiap makan malam.
Aku memerintahkan agar makanannya disingkirkan dan kutarik tangannya. Seraya
kami pergi, kuambil cambuk itu. Kubawa dia ke sebuah gubuk kecil di taman, jauh
dari balairung dan ruang tinggal utama. Kukatakan kepada Tung Chih bahwa aku
takkan melepaskannya sampai dia bisa mengulang seluruh pelajarannya.
Dia berteriak sekeras-kerasnya, berharap akan datang seseorang untuk menolong.
Tetapi aku sudah bersiaga. Kusuruh Ante-hai untuk menjauhkan para guru, dan
memerintahkan dengan jelas bahwa tak seorang pun boleh memberi tahu Nuharoo
tentang keberadaan Tung Chih.
"' Pada zaman dahulu'," kataku, untuk memancing putraku. "Ayo, mulai."
Tung Chih terisak dan pura-pura tak mendengar.
Kusambar cambuk dan mengangkat lenganku, supaya keseluruhan cemeti itu terlihat
oleh Tung Chih. Dia mulai menghapal. " ' Pada zaman dahulu, ada empat pola besar bintang di
langit. Di sepanjang Sungai Kuning ada beberapa sosok binatang... '
"Teruskan. ' Seekor naga ... ' "
" ' Seekor naga, seekor penyu dengan ular, harimau, dan burung, yang terbit dan
tenggelam...' " Tung Chih menggeleng, mengatakan dia tak ingat kalimat
berikutnya. "Ulangi dan hafalkan lagi!"
Dibukanya buku pelajarannya tetapi terbata-bata saat mencoba membaca.
Kubacakan untuknya." '...Satu demi satu, melengkung di Kutub Langit Utara,
mengalirlah gugusan bintang yang disebut Penyelam Utara.' "
"Ini terlalu susah," keluhnya, melempar buku pelajaran itu ke lantai.
Kusambar bahu Tung Chih dan mengguncangkannya. "Ini untuk anak manja yang hidup
seenaknya tanpa peraturan dan tanpa memikirkan akibatnya!" Aku mengangkat dia
dan lantai dan menarik jubahnya ke atas, mengangkat lenganku dan membiarkan
cemeti itu turun. Satu garis merah terpeta di bokong kecilnya.
Tung Chih memekik. Air mataku berlinang, tetapi aku kembali memukul. Harus kupaksa diriku untuk
terus. Aku telah terlalu lama membiarkan dia tak terkendali. Ini hukumanku, dan
kesempatan terakhirku. "Beraninya kau memukulku!" air mukanya tak percaya. Alisnya beradu di tengah
wajahnya yang ketakutan. "Tak ada yang boleh memukul putra Kaisar!"
Aku memukul lebih keras. "Ini supaya kau bisa mendengar suara meriam bangsa
asing. Ini supaya kau bisa membaca semua traktat itu!" Kurasakan runtuhnya
sebuah bendungan emosi. Sebuah anak panah tak tampak menembus benakku. Tercekikcekik aku melanjutkan, "Ini ... supaya ... kau menatap wajah ayahmu ... Aku
ingin kau tahu bagaimana dia berubah menjadi 'manusia tak berdaya'."
Seakan memiliki kemauan sendiri, cemeti itu berubah arah.


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukannya mendarat pada Tung Chih, cemeti itu menghantamku.
Suaranya keras dan tajam. Laksana ular yang panas kulit itu membungkus tubuhku,
meninggalkan jejak berdarah pada setiap tamparannya.
Terpana oleh apa yang dilihatnya, Tung Chih terdiam.
Rasa letih menguasaiku dan aku terkulai, memeluk lutut ke dada. Aku menangis
karena Hsien Feng takkan hidup untuk mendidik putranya; aku menangis karena aku
tak bisa membesarkan Tung Chih dengan baik, dengan Nuharoo berdiri menghalangi
di antara kami; aku menangis karena kudengar putraku berteriak bahwa dia
membenciku dan tak sabar menunggu Nuharoo menghukumku; dan aku menangis karena
jauh di dalam hati aku sangat kecewa pada diriku sendiri, dan, yang lebih
menakutkan, aku tak tahu lagi harus berbuat apa.
Aku meneruskan pelajaran sembari mengangkat cambuk tinggi-tinggi. "Jawab aku,
Tung Chih. Naga melambangkan apa?"
"Naga melambangkan perubahan," lelaki kecil yang ketakutan itu menyahut.
"Dari apa?" "Dari apa apanya?"
"Perubahan dari...?"
"Perubahan dari...seekor ikan. Ini tentang kemampuan si ikan untuk melompat
melewati sebuah bendungan."
"Betul. Itulah yang membuat ikan itu berubah menjadi naga."
Kuturunkan cemetiku. "Ini tentang usaha luar biasa yang dilakukan si ikan untuk
mengalahkan rintangan yang amat besar. Ini adalah tentang lompatan penuh
keberanian yang dilakukannya. Tulang-tulangnya patah dan sisiknya tergarut
lepas. Si ikan bisa mati karena usahanya ini, tetapi dia tidak menyerah. Itulah
yang membuatnya berbeda dari ikan biasa!"
"Aku tak mengerti. Terlalu sulit!"
Tung Chih tak bisa lagi mengikutiku, walaupun aku mengulang-ulang terus kalimat
yang sama. Tampaknya benaknya sudah berhenti berpikir. Dia tengah terguncang.
Aku telah membuatnya amat takut.
Tak pernah ada yang membentaknya selama ini. Dia selalu mendapatkan apa yang dia
mau, tak peduli betapapun hal itu merendahkan orang lain.
Aku telah bertekad untuk terus. "Dengarkan baik-baik dan kau akan mengerti.
'Harimau adalah jiwa para binatang, penyu adalah jiwa makhluk bertempurung, dan
phoenix adalah burung yang mampu bangkit dari abu pembakaran ...' "
Tung Chih mulai mengikutiku, perlahan dan susah payah.
Terdengar gedoran keras pada pintu gubuk. Aku tahu siapa itu.
Aku tahu dia punya mata-mata di istanaku.
Gedoran itu berlangsung terus, ditambah jeritan Nuharoo, "Aku akan laporkan
kekejamanmu kepada Yang Mulia! Kau tak punya hak untuk menghukum Tung Chih. Dia
bukan milikmu! Dia cuma datang melalui dirimu. Kau cuma sebuah rumah yang dahulu
pernah menampungnya. Kalau dia sampai terluka, kau akan digantung!"
Aku terus membaca, suaraku jernih menggema. "'Dalam filsafat kuno Cina, lima
warna berhubungan dengan lima arah. Kuning berhubungan dengan bagian tengah,
biru dengan Timur, putih dengan Barat, merah dengan Selatan, hitam dengan
Utara ..."'[] Sembilan belas RUMPUT LIAR DI SEKITAR JEHOL berubah kuning ketika istana menanti Kaisar wafat.
Hsien Feng sudah tak mampu lagi menelan. Sup herbal yang kusiapkan masih terus
dibawakan kepadanya oleh para kasim, tetapi dia tak lagi menyentuhnya. Jubah
naga untuk penguburan sudah dipesan, dan peti mati Yang Mulia sudah hampir
selesai. Namun demikian putraku belum juga ditunjuk sebagai pengganti, dan Yang Mulia tak
mengeluarkan sepatah kata pun tentang hal ini. Setiap kali aku ingin menemui
suamiku, Kepala Kasim Shim akan menghalangiku, mengatakan bahwa Yang Mulia kalau
tidak tidur tentu tengah rapat dengan para penasihatnya. Dibuatnya aku menunggu
selama-lamanya. Frustrasi, aku kembali ke ruang tinggalku. Aku yakin sekali Shim
bertindak atas perintah Su Shun.
Aku khawatir karena Hsien Feng bisa pergi setiap saat, meninggalkanku tanpa daya
untuk menolong Tung Chih. Ketika An-tehai melapor bahwa Su Shun mencoba
membujuknya untuk memata-mataiku, niatan si Penasihat Agung menjadi jelas.
Aku berterima kasih pada Langit untuk kesetiaan An-te-hai.
Akibatnya untuk An-te-hai adalah, namanya masuk ke dalam daftar musuh Su Shun.
"Su Shun mengincar budakmu itu," kata Nuharoo suatu kali saat bertandang. "Aku
ingin tahu apa yang membuatnya begitu benci kepada An-te-hai." Mengangkat mata
dari sulamannya, dia menatapku mencoba mencari jawaban.
Aku tak ingin berbagi pikiran dengannya, tak ingin mengatakan bahwa bukan An-tehai tetapi akulah yang diincar Su Shun. Kalau aku membukakan perasaanku, Nuharoo
akan ikut campur dan akan mencoba membuat Su Shun meminta maaf. Nuharoo mengira
dirinya adalah pejuang keadilan, tetapi kebaikannya bisa lebih menimbulkan
kekacauan daripada sebaliknya.
Nuharoo menikmati benar dikenal sebagai orang yang ramah tamah, sopan santun,
dan adil. Namun dia takkan bisa memecahkan persoalan ini. Dia cuma akan membuat
Su Shun lebih mudah menyingkirkanku. Dia akan menggunakan tangan Kaisar Hsien
Feng. Ini bukan pertama kalinya. Cerita Yung Lu tentang nasib mengerikan seorang
menteri yang tak setia pada si Penasihat Agung adalah salah satu contoh saja. Su
Shun juga bisa saja membuat Nuharoo menjadi sekutunya. Nuharoo akan dengan mudah
bisa dipengaruhi bila dia dipuji-puji. Si biang akal licik itu pasti bisa
membuat Nuharoo melakukan segala yang diinginkannya. Nuharoo hidup untuk
mengangungkan namanya sendiri, dan perhatian apa pun dari Su Shun akan sangat
menggoda. Bagaimanapun juga, keselamatanku pastilah bukan prioritas utama
Nuharoo. ---oOo--- An-te-hai tersandung pada ambang pintu. Dia melaporkan bahwa sudah diputuskan kalau aku akan "diberi kehormatan untuk menyertai Kaisar Hsien Feng saat
kembali pada penciptanya," artinya aku akan dikubur hidup-hidup saat Kaisar
meninggal. Aku tak memercayainya. Tak bisa. Dari 3000 orang selir hanya aku sendiri yang
bisa memberinya seorang anak lelaki. Hsien Feng tahu Tung Chih memerlukanku.
Berusaha agar tetap tenang, kutanya An-tehai dari mana dia mendengar soal itu.
Katanya dia mengetahuinya dari Chow Tee, pelayan pribadi Kaisar.
"Chow Tee datang menemui saya pagi ini," kata An-te-hai dengan suara gemetar.
"Dia menyuruh saya agar kabur segera. Saya bertanya apa yang terjadi. Dia bilang
'Hari-harimu sudah mendekati akhir.' Kubilang, 'Jangan bercanda, itu tidak
lucu.' Katanya dia serius.
Dia mencuri dengar pembicaraan Su Shun dengan Yang Mulia, dan Su Shun
menyarankan agar Yang Mulia 'membawa serta Putri Yehonala.'"
An-te-hai berhenti untuk mengambil napas, dan dia menyeka keringat di wajahnya
dengan lengan baju. "Kau yakin Chow Tee tak salah dengar?" tanyaku, terguncang.
"Chow Tee mendengar Su Shun mengatakan, 'Putri Yehonala bukan jenis yang akan
tetap setia dan mengurusi tamannya dengan tenang.' "
"Apa Yang Mulia memberi tanggapan?"
"Tidak. Itu sebabnya Su Shun menekan terus. Dia bilang dia takkan kaget bila
Anda punya hubungan dengan lelaki lain setelah Kaisar meninggal. Dia juga
meramalkan bahwa Anda akan mencari kekuasaan melalui Tung Chih. Su Shun
mengatakan bahwa Anda mencambuk Tung Chih karena dia menolak melakukan apa yang
Anda kehendaki. Akhirnya Yang Mulia setuju untuk membawa Anda serta."
Aku membayangkan gaun abadi serta peti matiku dipesan oleh Su Shun. Bisa
kubayangkan diriku dengan tambang sutra di sekitar leher dan Su Shun menendang
bangku dari bawah kakiku. Sebelum tubuhku dingin, dia akan menuangkan semangkuk
perak cair ke kerongkonganku, agar tubuhku bisa diaturnya sesuai dengan postur
yang dia inginkan. "Gusti Putri, lakukan sesuatu sebelum terlambat!" An-te-hai melemparkan diri ke
lantai dan menolak untuk bangkit.
Aku tak pernah bermimpi bahwa aku akan berakhir dengan dikorbankan begini.
Cerita-cerita Encik Fann tak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang kualami.
Tak ada waktu untuk menangis atau minta dihibur oleh keluargaku. Su Shun mungkin
saja telah mempersiapkan api guna melelehkan batangan perak menjadi minuman.
Kutanya An-te-hai mengapa aku harus percaya pada kata-kata Chow Tee.
"Kami, para kasim, adalah tanaman merambat," kata An-te-hai.
"Kami harus menemukan pohon besar untuk merambat setinggi mungkin. Chow Tee dan
saya tahu bahwa hanya dengan bekerja sama dan saling membantulah kami akan
sanggup bertahan dan maju. Kami sudah bersumpah saudara sejak berumur dua belas.
Kalau ada lalat di kamar tidur Kaisar, Chow Tee pasti akan memberi tahu saya.
Akhir-akhir ini Chow Tee mencemaskan masa depannya bila Kaisar meninggal. Kalau
dia cukup beruntung tak harus mengikuti Kaisar ke alam baka, maka dia harus
menemukan majikan baru untuk dilayani.
Dia tahu informasi ini berharga dan ingin menawarkannya kepada Anda. Atas saran
saya, tentu saja." Kukatakan pada An-te-hai bahwa aku perlu bicara dengan Chow Tee.
Keesokan harinya, dengan pengaturan An-tehai, Chow Tee datang menemuiku,
berpura-pura hendak meminjam lampu.
Dia berumur sekitar dua puluh tahun dan terkesan sederhana serta amat amat
merendah. Jubah katunnya diwarnai putih. Belum pernah kulihat wajah muda dengan
kerut-merut sebanyak itu. Latar belakangnya sama dengan An-te-hai, dan dia telah
tinggal di Kota Terlarang sejak berumur sembilan tahun. Chow Tee sangat hatihati dengan kata-katanya. Dia membenarkan semua yang telah diceritakan An-te-hai
kepadaku. Setelah Chow Tee pergi aku menerima putraku. Tung Chih naik ke pangkuanku dan
mengatakan bahwa dia siap menghapalkan pelajarannya. Dia bagus sekali kali ini.
Kupuji dia sebisaku, tetapi aku harus berusaha keras untuk menahan air mataku.
Aku tak bisa menghilangkan pikiran bahwa peti matiku tengah disiapkan. Aku
benar-benar bisa mendengar suara paku ditancapkan ke kayu.
Di luar kelakuannya, Tung Chih tumbuh menjadi anak yang tampan. Dia mewarisi
mataku yang cemerlang dan kulitku yang halus.
Lainnya dia warisi dan ayahnya. Kening yang penuh, hidung Manchu yang lurus dan
mulut yang bagus. Biasanya ekspresinya serius, tetapi ketika tersenyum dia
tampak amat manis. Aku tak tahan memikirkan bahwa Tung Chih akan kehilangan ayah
dan ibunya dalam waktu bersamaan.
Sejauh yang bisa kulihat, ada dua orang yang akan hancur bila Hsien Feng
membawaku ke alam baka. Satu anakku, lainnya adalah ibuku. Tung Chih takkan
didisiplinkan, sesuatu yang dilakukan Nuharoo dengan polos, tetapi dilakukan Su
Shun dengan sengaja. Hasilnya akan sama saja - saat Tung Chih dewasa, dia tak akan pantas untuk
memerintah. Sedangkan ibuku, beliau takkan bisa menahankan pukulan itu.
Kematianku akan menyebabkan kematiannya juga.
Su Shun akan berbohong dengan meyakinkan jika Tung Chih bertanya-tanya tentang
kematianku. Su Shun akan membuktikan bahwa aku adalah ibu yang buruk, dan anakku
akan diajari untuk membenciku. Tung Chih takkan pernah sadar bahwa dia adalah
korban Su Shun. Su Shun akan melakukan apa saja untuk memenangkan hati Tung
Chih, dan anakku akan menganggapnya sebagai sang juru selamat.
Apa lagi yang lebih jahat daripada merusak alam pikiran seorang anak" Tung Chih
akan dipreteli dari hak yang dia peroleh sedari lahir, dan akhirnya Su Shun akan
mendapatkan ambisinya melalui anakku.
Dia akan memerintah Kekaisaran atas nama Hsien Feng, untuk putranya. Akan
dibeberkannya kelemahan Tung Chih, lalu membuat alasan untuk menggulingkannya
dan menyatakan dirinya sendiri sebagai sang penguasa.
Makin jelas gambaran masa depan itu di mataku, makin dalam aku terbenam dalam
keputusasaan. Berita kematian Hsien Feng bisa tiba kapan saja, dan ini mungkin
saja adalah kesempatan terakhirku untuk bersama dengan Tung Chih.
Kudekap anakku kuat-kuat sampai dia mengeluh bahwa aku menyakitinya.
"Menangis hanya akan membuat Anda kehilangan lebih banyak waktu, Gusti Putri."
An-te-hai bangkit dari lantai tempatnya berlutut.
Matanya yang biasanya lembut telah berubah keras.
"Mengapa kau tidak lari saja, An-te-hai?" kataku, frustrasi. "Kau telah begitu
baik kepadaku selama ini, dan aku akan merestuimu pergi."
"Saya hidup untuk Anda, Gusti Putri." An-tehai membenturkan kepalanya dengan
keras ke lantai. "Jangan menyerah!"
"Siapa yang bisa menyelamatkanku, An-tehai" Kaisar sudah terlalu sakit, dan
mata-mata Su Shun ada di mana-mana."
"Ada dua orang yang mungkin bisa menyelamatkan Anda, Gusti Putri."
---oOo--- Rong dan suaminya, Pangeran Ch'un, adalah dua orang yang dipikirkan An-te-hai.
An-te-hai yakin Pangeran Ch'un bisa menemukan jalan untuk menemui Kaisar. Dia
akan membawa Rong bersamanya agar Rong bisa bicara untukku.
Saran itu masuk akal. Rong tengah mengandung, yang menaikkan statusnya di mata
keluarga Kerajaan. Pangeran Ch'un sudah punya empat orang putri tetapi belum
memiliki putra. Dia akan berbuat apa saja untuk menyenangkan hati istrinya. Ante-hai mengajukan diri untuk diam-diam menyelinap dari Jehol dan menghubungi
adikku. Sepekan setelah itu, pagi-pagi sekali, adikku sudah ada di sisiku.
Perutnya menggembung sebesar lampion. Wajahnya berseri sehat.
Kami saling peluk dan menangis. Rong berkata kepadaku bahwa dia sukses
menyelesaikan tugasnya. "Awalnya Su Shun tak mau membiarkan kami masuk,"
kenangnya. "Ch'un sudah mau pulang setelah menunggu beberapa jam. Aku memohon
kepadanya. Kubilang aku harus bicara dengan Yang Mulia secara langsung tentang
keputusan mengorbankan kakakku. Bila aku tak bisa membuatnya membatalkan maksud
itu, anak dalam kandunganku akan terpengaruh oleh kesedihanku. Aku mungkin akan
keguguran." Rong menggenggam tanganku dalam tangannya dan tersenyum.
"Suamiku tak tahan memikirkan kemungkinan kehilangan seorang anak lelaki. Jadi
dia memaksa untuk masuk, dan menemui Kaisar yang terbaring di ranjang.
"Aku mengikuti Ch'un masuk dan mendoakan kesehatan untuk Yang Mulia. Perutku
terlalu besar untukku melakukan kowtow, tetapi ternyata aku bisa juga - aku harus
menunjukkan kepada Kaisar betapa putus asanya aku. Aku tak perlu pura-pura - aku
memang sangat ketakutan. Yang Mulia menyuruhku bangkit. Aku menolak dan terus
berlutut hingga suamiku buka mulut. Dikatakannya pada abangnya bahwa aku terus
mengalami mimpi buruk, bahwa aku tak bisa mengatasi kesedihanku dan bahwa dia
bisa saja kehilangan anak lelakinya karena keguguran."
"Apa reaksi Hsien Feng?"
"Yang Mulia tampak menyedihkan, dia hampir tak bisa bicara.
Dia bertanya apa yang kucemaskan, dan suamiku menjawab, 'Istriku bermimpi engkau
mengeluarkan sebuah dekrit untuk membawa Anggrek bersamamu. Dia ingin tahu
apakah itu benar, dan ingin mendengar sendiri dari bibirmu yang suci."
"Lalu" Apa kata Hsien Feng?"
"Yang Mulia menunjuk kepada Su Shun dan mengatakan bahwa itu adalah idenya."
"Sudah kuduga!"
"Su Shun tampak murka, tetapi dia tak berkata apa pun. "Rong memasukkan
saputangannya kembali ke saku.
Saat itulah An-te-hai terburu-buru masuk. "Yang Mulia telah memerintahkan
pembatalan segera atas dekrit itu. Chow Tee bilang Yang Mulia melarang Su Shun
untuk mengungkit kembali urusan itu."
Ketika aku memperkenalkan Rong pada Pangeran Ch'un, aku tak pernah membayangkan
bahwa mereka akan menjadi dewa-dewi penolongku. Rong mengatakan kepadaku bahwa
bahaya belum lewat dan aku harus berhati-hati. Aku tahu Su Shun tak akan
meletakkan senjata lalu berubah menjadi Buddha. Perjuangan untuk menghancurkanku ini baru saja mulai.
Tiga hari berlalu dengan tenang. Pada pagi hari keempat Dokter Sun Pao-tien
memprediksi bahwa Hsien Feng takkan bisa melihat fajar esok. Su Shun
mengeluarkan sebuah panggilan darurat atas nama Kaisar: audiensi terakhir akan
dilaksanakan siang itu, istana akan mendengarkan keinginan terakhir Yang Mulia.
Aku tak tahu bahwa aku tidak turut dipanggil sampai aku mengunjungi Nuharoo di
tengah hari. Dia tidak ada. Kasimnya mengatakan bahwa dia dijemput dengan tandu
yang dikirim Su Shun. Aku berpaling kepada An-te-hai dan menyuruhnya mencari tahu apa yang tengah
terjadi. An-te-hai mendapat pesan dari Chow Tee.
Audiensi Kekaisaran terakhir telah dimulai, dan Su Shun baru saja mengumumkan
kalau aku tak bisa datang karena sakit.
Aku panik. Dalam beberapa jam lagi suamiku akan mengembuskan napas terakhirnya,
dan kesempatan bagiku untuk bertindak akan hilang selamanya.
Aku lari ke ruang belajar Tung Chih. Anakku tengah main catur dengan seorang
kasim dan dengan keras kepala menolak untuk ikut.
Kutarik papan caturnya, menyebabkan semua bidaknya berhamburan ke seluas


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruangan. Kuseret dia sepanjang jalan menuju Balairung Kabut yang Menakjubkan
seraya menjelaskan situasinya. Kukatakan kepadanya untuk meminta ayahnya agar
menunjuknya menjadi pewaris takhta.
Tung Chih ketakutan. Dia memohon agar dikembalikan ke permainan caturnya.
Kukatakan bahwa dia harus bicara dengan ayahnya, bahwa cuma itulah satu-satunya
yang bisa menyelamatkan masa depannya. Tung Chih tak mengerti. Dia memekik dan
melawan. Dalam usahaku menahan anakku, kalungku putus dan semua mutiara serta manikmaniknya bertebaran di sepanjang jalan.
Para pengawal menghalangi jalan masuk kami ke balairung, meskipun mereka tampak
agak takut pada Tung Chih.
"Aku harus menemui Yang Mulia!" kataku keras-keras.
Kepala Kasim Shim muncul." Yang Mulia tidak menghendaki memanggil selir-selirnya
sekarang," katanya. "Kalau beliau ingin, saya akan memberi tahu Anda."
"Aku yakin Yang Mulia pasti ingin bertemu putranya untuk yang terakhir kali."
Kepala Kasim Shim menggeleng. "Saya diperintahkan oleh Penasihat Agung Su Shun
untuk rnengurung Anda bila Anda terus memaksa masuk, Putri Yehonala."
"Tung Chih punya hak untuk mengucapkan selamat tinggal kepada ayahnya!" aku
berteriak, berharap Kaisar Hsien Feng akan mendengarku.
"Maaf. Bertemu Tung Chih hanya akan mengganggu Yang Mulia."
Putus asa, aku berusaha mendorong Shim ke samping.
Dia berdiri setegar tembok. "Anda harus membunuh saya untuk membuat saya
meninggalkan tugas."
Aku berlutut, mulai memohon. "Maukah kau, setidak-tidaknya, mengizinkan Tung
Chih untuk melihat ayahnya dari kejauhan?"
kudorong maju anakku. "Tidak, Putri Yehonala." Dia memberi isyarat kepada para pengawal, yang
menjepitku ke lantai. Sesuatu mustilah mendadak terbetik dalam kepala mungil Tung Chih. Mungkin dia
tidak suka melihat cara mereka memperlakukanku.
Ketika Shim melihat padanya seraya tersenyum palsu, memintanya untuk kembali ke
ruang main, putraku menyahut, untuk pertama kalinya menggunakan bahasa yang
hanya dipergunakan seorang Kaisar, " Zhen ingin dibiarkan melihat apa yang
sedang terjadi di sini."
Kata zhen itu memaku Kepala Kasim Shim di tempatnya.
Tung Chih memanfatkan kesempatan itu dan lari masuk ke dalam balairung.
---oOo--- Ranjang naga hitam Hsien Feng diletakkan di tengah-tengah panggung singgasana.
Dipimpin Su Shun dan anggota kabinetnya, para menteri kerajaan, dan pejabat
mengelilingi sosok pucat pasi di bawah lapisan-lapisan selimut itu. Suamiku
tampak seolah telah meninggal. Dia terbaring diam, segala tanda kehidupan telah
meninggalkannya. Nuharoo berlutut di samping tempat tidur, mengenakan jubah berwarna kekuningan.
Dia terisak-isak lirih. Semua orang juga berlutut. Waktu bagai membeku.
Tak ada yang agung dengan kepergian surgawi ini. Tampak jelas Kaisar mengerut.
Wajahnya melorot, mata dan mulutnya tertarik ke arah telinga. Aku hampir tak
percaya bahwa dia tengah sekarat.
Malam pertama dia memanggilku dulu masih sejelas kemarin. Aku ingat saat dia
dengan berani menggodaku di hadapan Ibu Suri. Aku ingat ekspresinya yang nakal
namun menawan. Aku ingat suara kepingan bambu yang jatuh ke baki, dan jemarinya
yang menyentuh jemariku saat memberikan ruyi. Semua kenangan itu membuatku
sedih, dan aku harus mengingatkan diriku sendiri mengapa aku ada di sini.
Dari bisik-bisik para menteri aku tahu bahwa Hsien Feng telah beberapa kali
berhenti bernapas hari ini, untuk kembali lagi dengan suara menggelegak dalam
jauh di lubuk dadanya. Dua buah bantal menopang Putra Surga. Matanya terbuka,
namun tak bergerak sama sekali. Seluruh istana menunggunya bicara, tetapi
agaknya dia tak mampu lagi.
Walaupun jelas Tung Chih sudah sewajarnya menjadi pewaris Hsien Feng, tetapi tak
ditentukan dalam hukum Wangsa Ch'ing bahwa takhta harus diwariskan menurut hak
anak sulung. Kata-kata terakhir Kaisarlah satu-satunya hal yang akan
diperhitungkan. Ada sebuah kotak resmi yang memuat surat wasiat Yang Mulia saat
dia masih hidup, tetapi kata-kata terakhirnya tetap akan menghapuskan apa pun
yang tertulis. Banyak orang percaya bahwa maut yang menjemput dapat mengubah
persepsi seseorang, jadi wasiatnya di dalam kotak mungkin saja bukan
keinginannya yang sesungguhnya. Yang membuatku cemas adalah apa yang mungkin
dilakukan Su Shun. Dengan sifat liciknya itu dia bisa membuat Kaisar Hsien Feng untuk mengatakan
apa yang tak ingin dikatakannya.
Beberapa jam lewat. Penantian berlanjut. Makanan ditata di pekarangan dalam.
Ratusan orang duduk bersimpuh, mengambil nasi dan mangkuk, menatap hampa. Tung
Chih bosan dan jengkel. Aku tahu dia sudah mencoba sekuat tenaga untuk menurut.
Akhirnya kesabarannya habis. Waktu kukatakan bahwa dia harus tetap tinggal, dia
mengamuk, menendangi mangkuk dari tangan orang-orang.
Aku menyambar Tung Chih. "Satu kali lagi kau merusak, aku akan mengurungmu di
rumah lebah." Tung Chih langsung terdiam.
Malam tiba. Kegelapan menyelubungi segalanya, kecuali Balairung Kabut yang
Menakjubkan, yang terang benderang seperti panggung pertunjukan.
Isi istana berkumpul lagi. Beberapa segel Kaisar dibawa keluar dari tempat
penyimpanannya dan dideretkan di sebuah meja panjang.
Semuanya diukir dan ditata dengan sangat indah. Ruangan itu begitu sunyi hingga
aku dapat mendengar suara desisan lilin.
Sekretaris Agung, sang ilmuwan Kuei Liang, mertua Pangeran Kung, mengenakan
jubah abu-abu. Dia tiba dari Peking pagi itu, dan akan kembali ke Peking
secepatnya setelah dia mencatat kata-kata terakhir Yang Mulia. Janggutnya yang
putih tergantung hingga ke dada. Dia berlutut memegang sebuah kuas raksasa.
Sesekali dia mencelupkan kuasnya ke tinta untuk menjaganya agar tetap basah. Di
hadapannya ada setumpuk kertas beras. Chow Tee yang berdiri di dekatnya memegang
tongkat tinta, yang ukurannya sama tebal dengan lengan kanak-kanak, dan
menggosokan tongkat itu ke batu tinta.
Mata Su Shun lengket pada segel-segel. Aku ingin tahu apa yang dipikirkannya. Di
Cina, semua dokumen Kekaisaran, mulai dari Kaisar dan terus ke bawah, hanya sah
bila dicap dengan segel resmi di atas tanda tangan pribadi. Sebuah segel berarti
kekuasaan yang sah secara hukum. Yang paling penting dapat membuat semua dokumen
lainnya tak berharga. Bahwa Tung Chih belum menerima janji ayahnya untuk menjadi
pemilik semua segel itu membuatku putus asa.
Apakah Hsien Feng sudah dalam perjalanan menuju Langit"
Apakah dia sudah melupakan putranya" Apakah Su Shun ada di sini untuk
menyaksikan akhir dari Tung Chih" Su Shun melangkah perlahan-lahan di samping
meja tempat semua segel itu dibariskan.
Dia tampak seolah sudah menjadi pemiliknya. Su Shun mengangkat masing-masing
segel dan menyapukan jari ke permukaan batunya.
"Ada banyak cara untuk mengubah takdir seseorang," kata Su Shun, menelengkan
dagu berlagak seperti orang bijak. "Yang Mulia mestinya tengah berjalan-jalan di
antara relung-relung gelap dalam jiwanya. Aku membayangkan beliau mengikuti
sebuah dinding merah, perlahan-lahan melangkah. Dia sebenarnya tidaklah sekarat dia tengah melalui sebuah proses kelahiran kembali. Bukan kerangka dengan
sejumlah tulang kering yang dicarinya, melainkan cahaya ungu kehidupan abadi."
Tiba-tiba tubuh Hsien Feng kejang-kejang. Gerakan ini berlangsung beberapa
detik, kemudian berhenti. Kudengar Nuharoo meratap, lalu kulihat dia merogoh
jubahnya mengeluarkan serenceng tasbih.
Menurut takhayul, ini adalah saat ketika ruh orang yang sekarat memasuki tahap
refleksi mental. Aku berdoa semoga Yang Mulia memanggil Tung Chih. Kalau putranya satu-satunya
tak memenuhi pikiran terakhirnya, apa lagi yang bisa"
Para menteri mulai menangis. Beberapa tetua pingsan di pekarangan dalam, dan
para kasim masuk sambil membawa kursi untuk membawa mereka keluar.
Aku bergerak ke arah pembaringan Hsien Feng, menarik Tung Chih bersamaku.
"Tak ada yang boleh mengganggu ruh!" Kepala Kasim Shim menghalangi jalanku. Dia
memberi tanda, dan pengawal menarik lengan Tung Chih, juga lenganku.
Aku memberontak untuk melepaskan diri.
Sambil menendang-nendang dan menggigit, Tung Chih melawan. Para pengawal
menelikung lengannya ke belakang dan mendorong wajahnya ke lantai.
"Tolonglah!" aku memohon pada Kepala Kasim Shim.
"Yang Mulia tengah berada di tengah-tengah refleksi jiwanya."
Shim menolak untuk menyerah. "Anda bisa menemuinya setelah ruhnya tenang."
"Papa! Papa!" jerit Tung Chih keras-keras.
Tangisan itu tentu akan merebut simpati semua orang, kalau saja tempatnya bukan
di sini. Tampaknya Istana tidak lagi tahu siapa yang harus mereka layani. Istana
telah menjadi milik Su Shun. Semua orang telah menempatkan kepentingan masingmasing di atas kepentingan Kaisar Hsien Feng dan putranya. Semua orang mendengar
pekikan Tung Chih, namun tak seorang pun menawarkan bantuan.
Bila Yang Mulia ingin mengatakan sesuatu kepada putranya, dia hanya bisa
mengharapkan belas kasihan Su Shun. Terlalu mudah bagi Su Shun untuk mengabaikan
Kaisar dan lolos begitu saja dari kejahatannya. Kalaupun Hsien Feng marah, tak
ada yang akan tahu. Dalam beberapa menit lagi, penyesalan apa pun yang mungkin dimiliki Hsien Feng
akan dia bawa bersamanya ke liang kubur.
Aku tak takut lagi. Aku memperkirakan jarak antara Kepala Kasim Shim dengan
diriku dan membidik perutnya. Mataku terfokus pada pola burung di jubahnya. Aku
tak peduli kalau aku akan terluka atau malah lebih buruk dari itu. Cerita ini
akan menyebar, Ini akan menjadi protesku terhadap penindasan Su Shun. Tung Chih
akan mendapat simpati seluruh bangsa.
Menggunakan kepalaku sebagai balok pendobrak, aku menyerbu.
Bukannya menghindar, Shim mendorong dan menyentakkanku menjauh.
Kehilangan keseimbangan, aku tak bisa berhenti dan terpelanting langsung menuju
ke sebuah tiang. Kupejamkan mata, berpikir tamatlah riwayatku.
Tetapi kepalaku tak berderak; ternyata bukan tiang yang terhantam kepalaku melainkan seorang lelaki yang mengenakan baju zirah.
Jatuh terkulai ke lantai, aku melihat anakku berlari ke arah ayahnya. Saat aku
mendongak untuk melihat siapa yang kutubruk, wajah yang menyambutku adalah milik
komandan Pengawal Kekaisaran, Yung Lu.
"Papa! Papa!" sang putra mengguncangkan ayahnya.
Kaisar Hsien Feng setengah terduduk, setengah terbaring di ranjangnya, membeliak
ke arah langit-langit. Nuharoo datang dan melingkarkan lengannya di sekeliling Tung Chih.
Aku bangkit, bergegas lari ke sisi Tung Chih. Murka, Su Shun mendorong Tung Chih
ke belakang sebelum dia bisa menyentuh ayahnya lagi.
Si bocah menyentakkan lengannya dan cengkeraman Su Shun dan berhasil membebaskan
diri. "Papa! Papa!"
Mata Kaisar Hsien Feng berkedip. Perlahan bibirnya bergerak.
"Tung Chih, anakku ..."
Seluruh istana terdiam menarik napas. Sekretaris Kekaisaran mengangkat kuas
penanya. "Kemari, Tung Chih!" Kedua lengan pria yang tengah menuju kematian itu merentang
keluar dari bawah selimut.
"Yang Mulia." Aku melangkah maju, mengambil risiko bahwa aku mungkin akan
dihukum. "Maukah Yang Mulia memberi tahu Istana siapa pewarismu?"
Sudah terlambat bagi Su Shun untuk menyuruh agar aku disingkirkan. Tampaknya
Hsien Feng sudah mendengarku. Dia mencoba bicara, tetapi tak ada suara yang
keluar. Setelah berjuang beberapa saat, lengannya terjatuh. Bola matanya
berputar masuk ke dalam tengkoraknya dan dia mulai megap-megap berusaha menarik
napas. "Junjungan!" aku jatuh berlutut di sampingnya. Kedua tanganku mencengkeram
seprai satin kuningnya. "Kasihani putramu, saya mohon!"
Mulut Kaisar terbuka. "Papa! Papa! Bangunlah!"
Kuhentikan Tung Chih dan mengguncangkan tubuh ayahnya.
Hsien Feng kembali membuka matanya. Tiba-tiba dia menarik dirinya dan duduk.
Namun detik berikutnya dia terbanting kembali ke bantalnya, matanya tertutup.
"Tinggalkan putramu tanpa kata, Hsien Feng!" Mengira bahwa inilah akhirnya, aku
merasa semua harapan telah hilang. Aku tak peduli lagi apa yang kukatakan.
"Inilah putra surgawimu yang terkutuk. Tinggalkan saja dia! Pergi ikuti jalanmu
sendiri dan lihat kami hancur lebur! Akan kuterima takdirku bila ini memang
keinginanmu. Tung Chih layak mendapatkanmu - kau ayah yang kejam."
Menangis, Tung Chih membenamkan wajah di dada ayahnya.
"Tung Chih." Hsien Feng membuka matanya lagi. Suaranya, meski lemah, terdengar
jelas. "Anakku ... biar aku ... memandangmu.
Apa kabar" Apa yang bisa kulakukan untukmu?"
"Yang Mulia," kataku, "apakah Tung Chih akan mewarisi takhtamu?"
Hsien Feng tersenyum dengan penuh kasih. "Ya, tentu saja.
Tung Chih akan mewarisi takhtaku."
"Apakah Yang Mulia mempunyai nama untuk pemerintahannya?"
"Ch'i Hsiang," ujar Yang Mulia, dengan helai terakhir napasnya.
"Kebahagiaan berpertanda baik," kata Sekretaris Kekaisaran saat dia menuliskan
nama itu. Banyak yang mengatakan bahwa inisiatifku pada momen menentukan itu mewujudkan
sebuah prinsip penting: untuk seorang perempuan di Istana Manchu, bertahan hidup
memerlukan keberanian. Mereka benar. Segera setelah Dokter Sun Pao-tien menyatakan kematian Yang Mulia, Nuharoo dan
aku mundur dari Balairung. Kami pergi ke ruang dandan lalu menghapus seluruh
tata rias kami. Aku begitu gemetarnya hingga tanganku tak bisa memegang kain
waslap. Aku menangis saat teringat kata-kata Hsien Feng. Usaha kerasnya ketika
berupaya mengatakan itu menunjukkan bahwa cinta tentulah ada dalam hatinya.
Sewaktu Nuharoo dan aku kembali kami mengenakan kain karung kasar putih dan
rambut kami dibungkus dalam carik-carik kain putih. Penampilan kami yang berubah
ini menunjukkan bahwa seluruh bangsa kami tengah memasuki tahap pertama masa
berkabung untuk Kaisarnya.
Su Shun segera meminta bertemu denganku dan Nuharoo. Tak ada gunanya mengatakan
bahwa kami ingin menanti dulu hingga segala keresahan kami mereda. Su Shun
bersikeras bahwa dia harus memenuhi janji yang telah diucapkannya kepada suami
kami. Di ruang berdandan aku sudah mendiskusikan dengan Nuharoo bagaimana kami harus
menghadapi Su Shun. Nuharoo kebingungan, berkata bahwa dia tak bisa berpikir
saat ini. Aku tahu Su Shun sudah siap. Dia akan mengambil keuntungan dari
kebingungan yang akan segera muncul untuk menyebar pengaruh di Istana. Kami
berada dalam bahaya akan disingkirkan.
Saat Su Shun datang menghampiri, aku bicara apa adanya dan menyarankan agar
sebelum mengurus yang lain kami harus membuka kotak wasiat Yang Mulia.
Terbiasa hanya mendapat persetujuan saja dari perempuan, Su Shun kehilangan
kata-kata. Para pejabat istana setuju denganku.
Hampir tengah malam saat kotak dibuka. Sekretaris Agung Kuei Liang membaca
wasiat itu. Sangat membingungkan, sama seperti hidup Yang Mulia sendiri. Selain
menyebut nama Tung Chih sebagai Kaisar yang baru, dia juga telah membentuk
sebuah Dewan Wali, dikepalai Su Shun, untuk menangani pemerintahan hingga Tung
Chih akil balig. Seolah tak begitu yakin dengan keputusannya sendiri, atau untuk
mengekang kekuasaan para wali itu, atau sekadar untuk menjadikan dewan itu
sebagai suatu dewan perwalian ortodoks, Kaisar Hsien Feng memercayakan kepadaku
dan Nuharoo sepasang segel penting: tungtiao, "kerja sama", dan yushang
"cerminan kehendak Kekaisaran." Kami diberi kekuasaan untuk mengesahkan putusanputusan yang dibuat Su Shun atas nama Tung Chih. Nuharoo yang bertugas
menyetempel tungtiao di bagian awal dan aku mengecap yushang di bagian akhir.
Rasa frustrasi Su Shun terlihat jelas. Dengan adanya segel-segel Hsien Feng di
tangan kami, sebuah rantai telah dikalungkan di lehernya. Kelak Su Shun akan
melakukan apa pun untuk mengabaikan pengekangan itu.
Yang tak kuduga adalah, Hsien Feng telah mengeluarkan semua adiknya, termasuk
Pangeran Kung, dan kekuasaan. Ini melanggar tradisi sejarah dan mengagetkan para
sarjana serta para pejabat bangsawan. Mereka duduk di sudut balairung, jelas
tampak kesal saat mendengarkan surat wasiat itu.
Aku curiga bahwa ini adalah hasil pekerjaan Su Shun. Menurut Chow Tee, Su Shun
mengatakan kepada Yang Mulia bahwa Pangeran Kung hanya membuang-buang waktu
mencoba berunding dengan orang-orang asing. Rupanya Su Shun juga berhasil
meyakinkan Yang Mulia bahwa Kung menjual jiwanya pada orang-orang barbar itu.
Bukti yang disodorkan adalah sang Pangeran telah merekrut orang asing untuk
melatih anak buahnya sendiri di semua sektor Pemerintahan Cina, termasuk militer
dan keuangan. Su Shun memperlihatkan kepada Yang Mulia rencana reformasi


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Kung, yang dimaksudkan untuk menggeser sistem politik Cina ke arah
model pemerintahan Barat.
---oOo--- Pada malam tanggal 22 Agustus 1861 Jehol terbungkus dalam kabut.
Ranting-ranting di luar Balairung Kabut yang Menakjubkan mendera panel-panel
jendela, menimbulkan bunyi ribut yang mengganggu.
Tung Chih tertidur dalam pelukanku. Dia tak terbangun saat Dokter Sun Pao-tien
memindahkannya supaya Nuharoo dan aku dapat menyeka wajah suami kami dengan
handuk sutra basah. Kami menyentuh Hsien Feng dengan lembut. Dalam kematiannya,
Hsien Feng tampak lega dan terbebaskan.
"Sudah waktunya mendandani Yang Mulia," kata Kepala Kasim Shim. "Lebih baik
dilakukan sekarang, sebelum tubuh Yang Mulia mengeras."
Para kasim datang dengan jubah abadi Kaisar. Kami membungkuk kepada suami kami,
lalu pergi. An-te-hai menggendong Tung Chih yang tertidur saat kami melangkah keluar dari
Balairung Kabut yang Menakjubkan.
Aku menangis, memikirkan betapa mengerikannya Hsien Feng meninggal dalam usia
yang begitu muda. Nuharoo memotong arus pikiranku. "Seharusnya kau tidak menyela tadi. Kau
membuatku nampak bodoh di hadapan Yang Mulia."
"Maaf. Aku tidak bermaksud demikian."
"Kau mempermalukanku dengan tidak percaya bahwa aku akan mengurus hal itu."
"Tung Chih perlu mendengar kata-kata ayahnya, dan sudah tak ada waktu lagi."
"Kalau ada yang bicara untuk Tung Chih, seharusnya orang itu adalah aku. Tingkah
lakumu betul-betul tidak dipikir, Putri Yehonala!"
Aku jengkel, tetapi memilih untuk tak berkata apa-apa. Aku tahu aku akan
membutuhkan Nuharoo untuk memenangkan perang melawan Su Shun.
Kupeluk anakku saat aku hendak tidur. Pasti berat sekali untuk Su Shun, hidup
dengan kenyataan bahwa bukan saja aku terhindar dari kemungkinan dikubur hiduphidup, tetapi juga dianugerahi kekuasaan untuk menghalanginya dari ambisinya.
Aku sangat letih tetapi tak bisa santai. Kepiluanku untuk Hsien Feng telah mulai
melandaku. Kecemasan akan keselamatan putraku memotong kesenduan ini. Aku
teringat pertolongan Yung Lu yang tak teduga. Apakah selama ini dia mengawasi
Tung Chih dan aku" Aku tak boleh lupa bahwa Su Shun adalah atasannya. Apakah
Yung Lu adalah bagian dari konspirasi Su Shun"
Berbaring di ranjang, aku menyusun daftar nama para Wali.
Wajah-wajah mereka sangat jelas terpeta dalam pikiranku. Selain Su Shun, mereka
semua adalah ilmuwan yang sudah mendapat gelar akademis tertinggi dan menterimenteri yang telah lama mengabdi di Istana, termasuk Tuan Hua, saudara tiri Su
Shun, dan Pangeran Yee, si tukang gertak sepupu Kaisar Hsien Feng, yang
sekaligus komisaris Kekaisaran. Kalaupun aku tak tahu mengenai prestasi mereka,
tetapi aku cukup punya pengetahuan untuk menyadari bahwa mereka semua sama haus
kuasa dan berbahayanya seperti Su Shun.
Terutama aku memeriksa catatan tentang Pangeran Yee. Dia adalah satu-satunya
saudara yang diberi kuasa oleh Hsien Feng. Pasti Su Shun yang sudah
membisikkannya di telinga Kaisar, tetapi mengapa" Darah bangsawan Pangeran Yee,
pikirku. Su Shun membutuhkan Yee untuk menutupi niat setannya.
Hari berikutnya, para Wali, yang disebut Nuharoo sebagai
"Gerombolan Delapan," mengunjungi kami berdua. Jelas sekali bahwa Su Shun
memegang kunci cara berpikir gerombolan itu. Pada saat penerimaan, masalah
pekerjaan dihindari. Agaknya urusan sekolah Tung Chih dan perawatannya adalah
tanggung jawab yang sudah cukup besar untuk kami. Gerombolan itu mengusulkan
untuk meringankan beban kami dengan tak melibatkan kami dalam urusan
pemerintahan. Usul yang ini dengan bodohnya disambut Nuharoo penuh penghargaan.
Su Shun tiba terakhir. Katanya dia sangat sibuk dengan peristiwa-peristiwa di
perbatasan. Aku bertanya apakah dia mendengar sesuatu dari Pangeran Kung.
Jawabannya tidak. Dia berbohong. An-te-hai melapor bahwa Pangeran Kung sudah
mengirim empat dokumen yang membutuhkan persetujuan segera, dan tak ada satu pun
mendapat perhatian. Aku mendesak Su Shun mengenai dokumen-dokumen itu.
Mulanya dia tak mengakui bahwa dia telah menerima dokumen-dokumen tersebut.
Menanggapi usulku untuk memanggil Pangeran Kung, dia mengaku bahwa dokumendokumen itu terselip entah di mana di kantornya. Da memintaku untuk tidak repotrepot memikirkan hal-hal yang tak ada kaitannya denganku. Ditekankannya bahwa
ketertarikanku pada urusan Istana adalah "sebuah tindakan tidak hormat pada
mendiang Kaisar." Aku mengingatkan Su Shun bahwa tak ada putusan yang sah tanpa kedua segel yang
dimiliki oleh aku dan Nuharoo. Apakah permintaan Pangeran Kung dikabulkan,
ditolak, atau ditahan, Nuharoo dan aku tetap harus diberi tahu. Aku bocorkan
sedikit pada Su Shun bahwa aku tahu apa yang sedang dilakukannya: mempromosikan
dan menurunkan gubernur-gubernur atas keinginannya sendiri.
Hari-hari berlalu, ketegangan antara aku dan Su Shun berkembang begitu hebat
hingga kami saling menghindar. Aku mengerti betul bahwa bukan begini caranya
memerintah sebuah negara. Su Shun sudah membuat dan menyebarkan segala macam
desas-desus untuk membuat gambaran buruk tentang diriku. Untuk mengucilkanku,
dia mencoba untuk merebut Nuharoo, dan bisa kulihat bahwa hal itu berhasil. Aku
frustrasi karena tak bisa meyakinkan Nuharoo tentang niatan jelek Su Shun.
Sekitar kurun waktu ini aku tersadar bahwa rambutku rontok.
Suatu hari An-te-hai memungut beberapa helai dari lantai setelah penata rambut
pergi, dan aku menjadi khawatir. Apa ini gejala semacam penyakit"
Aku belum pernah memotong rambutku sejak memasuki Kota Terlarang, dan sekarang
panjangnya sudah mencapai lutut. Setiap pagi penata rambut datang, dan tak
peduli betapa kerasnya dia menyikat, rambutku tak pernah rontok. Kini sikatnya
penuh dengan berkas-berkas rambutku, seakan-akan dia sedang menyikat wol. Aku
tak pernah menganggap diriku lemah, tetapi kalau ini berlangsung terus, kataku
pada diri sendiri, tak lama lagi aku akan botak.
An-te-hai menyarankan agar aku mengganti penata rambutku, dan dia
merekomendasikan seorang kasim muda berbakat yang dikenalnya, Li Lien-ying. Nama
asli Li adalah Empat belas - orangtuanya punya begitu banyak anak sehingga mereka
sudah tak mau lagi memberi nama yang lebih wajar. Nama Li Lien-ying, yang
berarti "sehelai daun lotus yang halus," diberikan kepadanya oleh seorang
penganut Buddha setelah dia dikastrasi. Umat Buddha percaya bahwa daun lotus
adalah singgasana Dewi Kuan Ying, sang Dewi Welas Asih, yang sesungguhnya
seorang pria tetapi mengambil bentuk seorang perempuan. Kuan Ying adalah dewi
favoritku, sehingga aku cenderung menyukai Li Lien-ying sejak awal.
Aku akhirnya mempekerjakan Li Lien-ying. Seperti An-te-hai, Li ceria dan
menyimpan deritanya untuk diri sendiri. Tidak seperti An-tehai, dia kurus kering
dan tidak tampan. Wajahnya berbentuk labu, kulitnya bergerinjul, matanya seperti
ikan mas, hidungnya pesek dan mulutnya lebar. Awalnya aku tak bisa membedakan
apakah dia sedang tersenyum atau mengerutkan dahi. Di luar penampilannya yang
tak menarik, perilakunya yang manis telah merebut hatiku.
An-te-hai senang menonton Li Lien-ying menata rambutku.
Jumlah gaya rambut yang dikuasai Li sungguh menakjubkan: gaya ekor angsa, burung
merebahkan diri, ular yang melingkar, sulur yang memanjat. Saat menyikat,
tangannya kuat sekaligus lembut. Cukup mencengangkan, aku tak pernah menemukan
rambut di lantai setelah dia selesai. Dia telah melakukan keajaiban. Kukatakan
kepada An-tehai bahwa aku akan mengambilnya menjadi pegawai magang. An-tehai
mengajarinya tata krama yang benar, dan Li Lien-ying terbukti sangat cepat
belajar. Bertahun-tahun kemudian, Li mengakui bahwa dia telah membodohiku. "Saya
sembunyikan rambut Gusti Putri yang gugur dalam lengan baju saya," katanya.
Tetapi dia tak merasa bersalah; untuk kepentingangkulah dia melakukan itu. Dia
pikir rambutku rontok karena stres yang datang dalam hidupku dan percaya bahwa
pada waktunya pasti aku akan sembuh. Dia benar. Waktu itu dia masih terlalu muda
untuk tahu risiko yang diambilnya ketika berbohong kepadaku. "Kau bisa saja
dipancung kalau aku memergokimu,"
kataku. Dia mengangguk dan tersenyum. Seperti yang kemudian terbukti, Li Lienying menjadi kesayanganku seumur hidup setelah Ante-hai, dan dia melayaniku
selama empat puluh tahun lebih.[]
Dua puluh SEBUAH PESAN datang dari Pangeran Kung, meminta izin berada di Jehol untuk
upacara berkabung. Menurut tradisi, Pangeran Kung harus meminta izin resmi dan
Takhta harus mengabulkannya. Walaupun Kung adalah paman Tung Chih, menurut
kedudukan dia adalah bawahan. Si bocah sudah menjadi Kaisar, dan Pangeran Kung
adalah menterinya. Aku kaget dan heran mengetahui bahwa permintaan Pangeran Kung
ditolak. Peraturan Rumahtangga Kekaisaran melarang para janda Hsien Feng untuk menemui
kerabat pria selama masa berkabung. Jelas Su Shun ada di balik semua ini. Dia
pasti takut kekuasaannya sendiri akan terancam.
Nuharoo dan aku boleh dibilang terpenjara di ruang-ruang tinggal kami. Aku
bahkan tak diperbolehkan mengajak Tung Chih ke mata air panas. Setiap kali aku
benar-benar keluar ruangan, Kepala Kasim Shim akan mengikutiku. Aku merasa bahwa
Pangeran Kung harus tahu bagaimana keadaan di sini sesungguhnya.
Namun Pangeran Kung menarik permohonannya begitu saja. Dia tak punya pilihan
selain berbuat itu. Jika dia bersikeras datang, Su Shun punya hak untuk
menghukumnya karena tak mematuhi kehendak Kaisar.
Betapapun, aku kecewa karena Pangeran Kung menyerah semudah itu. Aku tak tahu
sampai beberapa lama kemudian bahwa sebenarnya dia mencari jalan lain. Seperti
aku, dia melihat Su Shun sebagai bahaya. Perasaannya ini juga dimiliki oleh
banyak orang - para anggota klan, orang-orang yang setia pada Kekaisaran, para
reformis, ilmuwan dan mahasiswa - yang akan lebih senang melihat kekuasaan berada
di tangan Pangeran Kung yang berpikiran liberal daripada Su Shun.
---oOo--- Tung Chih terlihat tak terlalu berminat ketika kuceritakan dongeng-dongeng
tentang leluhurnya. Dia tak sabaran menunggu berakhirnya satu pelajaran supaya
bisa segera menemui Nuharoo, yang membuatku cemburu. Aku menjadi ibu yang jauh
lebih keras setelah ayahnya meninggal. Tung Chih tak bisa membaca peta Cina,
bahkan tak bisa mengingat sebagian besar nama provinsi. Dia sudah menjadi
penguasa, tetapi minatnya yang terbesar adalah makan buah beri salut gula dan
berbuat iseng. Dia tidak tahu bagaimana sebenarnya dunia nyata itu dan tak mau
berusaha untuk mempelajarinya.
Mengapa dia harus belajar kalau secara terus menerus dia diyakinkan bahwa
dirinya berada di puncak jagat raya"
Kepada rakyat, kutampilkan anakku sebagai seorang genius yang akan memimpin
bangsa keluar dari kesulitan. Aku harus berbuat begitu untuk bisa bertahan.
Semakin rakyat memercayai Kaisar, semakin stabillah masyarakat. Harapan adalah
mata uang kami. Betapapun, di balik pintu tertutup, aku dorong Tung Chih untuk hidup sesuai
peranannya. Dia harus segera memerintah sendiri secepatnya karena kekuasaan Su
Shun pasti akan terus berkembang.
Kucoba mengajari Tung Chih untuk memimpin sebuah audiensi, bagaimana caranya
mendengarkan, pertanyaan apa yang harus diajukan, dan yang terpenting, bagaimana
caranya membuat keputusan berdasarkan opini kolektif, kritik, dan saran.
"Kau harus belajar dari para penasihat dan menteri-menterimu,"
aku memperingatkan, "karena kau bukan-"
"Seperti yang aku pikirkan." Tung Chih memotong. "Di matamu aku sama saja dengan
kentut basah." Aku tak tahu harus tertawa atau menamparnya. Akhirnya aku tak melakukan
keduanya. "Mengapa kau tak pernah mengatakan 'Ya, Yang Mulia' seperti yang lain?" putraku
bertanya. Aku menyadari bahwa dia sudah berhenti menyebutku Ibu. Saat harus memanggilku,
dia memanggilku Huang-ah-pa, sebutan resmi yang berarti 'Bunda Kaisar.' Tetapi
dia memanggil Nuharoo ibu, dalam suara yang penuh kehangatan dan kasih sayang.
Kalau Tung Chih menerima peraturanku, aku akan menelan semua hinaan itu, karena
yang kuinginkan hanyalah membuatnya pantas menjadi seorang pemimpin. Dia boleh
menafsirkan niatku semaunya, perasaanku takkan terluka meskipun seandainya dia
membenciku sedari awal. Aku percaya bahwa di masa depan dia akan berterima kasih
kepadaku. Tetapi aku telah menyepelekan kekuatan pengaruh lingkungan.
Tung Chih seolah-olah merupakan sepotong tanah liat yang telah dibentuk dan
dibakar sebelum aku bisa menyentuhnya. Nilainya dalam ujian payah, dan dia sulit
untuk berkonsentrasi. Ketika gurunya menguncinya dalam Perpustakaan, dikirimnya
kasim-kasimnya kepada Nuharoo, yang segera datang untuk menyelamatkannya. Yang
dihukum malah si guru, bukan si murid. Ketika aku memprotes, Nuharoo
mengingatkanku pada statusku yang lebih rendah.
An-te-hailah yang menunjukkan bahwa apa yang tengah terjadi ini tak ada
hubungannya sama sekali dengan menjadi orangtua. "Anda tengah berurusan dengan
Kaisar Cina, bukan seorang anak, Gusti Putri," katanya. "Anda berhadapan dengan
seluruh budaya Kota Terlarang."
Aku benci gagasan menjebak anakku. Akan tetapi saat kejujuran gagal, pilihan apa
lagi yang kumiliki" Ketika Tung Chih membawa pekerjaan rumahnya yang belum selesai kepadaku, aku tak
lagi mengkritiknya. Dengan suara tenang kukatakan padanya bahwa selama dia
merasa telah melakukan yang terbaik, aku sudah cukup senang. Dia lega dan merasa
tak terlalu terpojok hingga harus berbohong. Perlahan-lahan Tung Chih mulai
bersedia menghabiskan waktu denganku. Aku memainkan "audiensi,"
"balairung pertemuan pejabat," dan "peperangan" dengannya. Dengan hati-hati,
dengan diam-diam, aku berusaha memengaruhinya. Begitu dia mencium niatku yang
sesungguhnya, Tung Chih langsung kabur.
"Ada orang-orang yang berusaha menjadikan Putra Surga seorang tolol," kata Tung
Chih suatu kali, di tengah-tengah sebuah permainan.
Nuharoo dan guru kepala, Chih Ming, ingin Tung Chih mempelajari "bahasa Kaisar"
yang eksklusif. Mereka juga merancang pelajaran-pelajaran agar Tung Chih
memusatkan perhatian pada retorika Cina dan puisi Tang kuno, juga peribahasa
Sung, "agar dia bisa berbicara dengan anggun." Waktu aku menentang ide itu dan
ingin menambahkan ilmu alam, matematika dan strategi dasar militer, mereka
sangat jengkel. "Memiliki sebuah bahasa tersendiri itu dipandang sangat bergengsi," guru Chih
Ming menjelaskan dengan penuh gairah. "Hanya Kaisar yang bisa melakukannya, dan
justru itulah tujuannya."
"Mengapa kau ingin membuat anak kita sengsara?" tanya Nuharoo kepadaku. "Apakah
Tung Chih, sang Putra Surga, belum cukup dibuat sengsara?"
"Buang-buang waktu saja mempelajari bahasa yang tak dapat digunakannya untuk
berkomunikasi," debatku. "Tung Chih harus segera dihadapkan pada kenyataan
tentang Cina! Aku tak peduli tentang betapa bagusnya pakaiannya, bagaimana
makannya atau apakah dia menggunakan kata Zhen sebagai ganti kata 'aku.'"
Kusarankan agar surat-surat Pangeran Kung dan draf berbagai traktat dijadikan
bahan pelajaran untuk Tung Chih. "Pasukan asing itu takkan meninggalkan Cina
dengan sukarela. Tung Chih harus mengusir mereka keluar."
"Sungguh gagasan yang mengerikan, melakukan itu pada seorang anak kecil."
Nuharoo menggeleng-geleng, membuat semua bel hiasan di rambutnya berdentingdenting. "Tung Chih akan sedemikian ketakutan hingga takkan mau memerintah."
"Itulah sebabnya mengapa kita ada di sini untuk mendukung dia," tukasku. "Kita
bekerja dengannya, supaya dia mempelajari seni perang dengan benar-benar
berperang." Nuharoo menatapku tajam. "Yehonala, kau tak memintaku untuk melanggar peraturan
dan mengabaikan ajaran leluhur kita, bukan?"
Aku patah hati melihat putraku diajari untuk salah membaca kenyataan. Dia tak
bisa membedakan fakta dan khayalan. Gagasan-gagasan keliru yang dijejalkan ke
dalam otak kecilnya membuatnya menjadi lemah. Dia percaya bahwa dia dapat
memerintahkan langit kapan boleh hujan, dan memerintahkan matahari kapan boleh
bersinar. Mengabaikan saran guru Chih Ming, campur tangan Nuharoo yang berkali-kali serta
kecenderungan Tung Chih sendiri, kupaksakan kemauanku pada putraku, yang
membuatnya bertambah jauh dariku.
Aku percaya bahwa inilah yang paling penting. Dalam permainan
"istana" kami, Tung Chih bermain menjadi Kaisar dan aku menterinya yang jahat.
Aku menirukan Su Shun tanpa menggunakan namanya, dan bahkan meniru aksen Utara
Su Shun. Aku ingin mengajari Tung Chih agar tak terintimidasi oleh musuh.
Ketika pelajaran berakhir, tak pernah ada kata terima kasih atau selamat
tinggal. Saat kukembangkan lengan dan berkata "Aku menyayangimu, nak," Tung Chih
menepiskanku. Upacara yang menandai kenaikan takhta Tung Chih secara resmi dimulai saat
jenazah Hsien Feng dimasukkan ke dalam peti. Sebuah dekrit dikeluarkan dalam
kalangan istana untuk menyatakan era baru ini, dan Tung Chih diharapkan
mengeluarkan sebuah dekrit untuk menghormati kedua ibunya. Seperti biasa, kami
menerima setumpuk hadiah dan persembahan yang tak berguna.
Aku sadar bahwa Su Shunlah yang membuat draf penghormatan ini. Akan tetapi aku
dilarang membaca apa yang dituliskan hingga dekrit itu diumumkan. Aku tegang dan


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelisah, tetapi tak ada yang bisa kulakukan.
Ketika dekrit itu diumumkan, Nuharoo diberi gelar kehormatan sebagai "Ibu Suri
Kebajikan Agung Tzu An" sedangkan aku "Ibu Suri Kebaikan Hati yang Suci Tzu
Hsi." Untuk siapa saja yang tahu seluk beluk bahasa Cina, perbedaannya sangat
jelas: "kebajikan agung"
Pendekar Negeri Tayli 8 Pendekar Rajawali Sakti 120 Prahara Mahkota Berdarah Pendekar Sakti Suling Pualam 16

Cari Blog Ini