Ceritasilat Novel Online

Pendekar Negeri Tayli 8

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong Bagian 8


Kembali mengenai Po-ting-te. Sesudah tinggalkan Tjiong Ling, ia tjoba mentjari
pula tempat terkurungnja Toan Ki. Tiba-tiba terdengar dari belakang ada suara
tindakan orang, tjepat ia menoleh, ternjata adalah Tjiong Ling jang sedang
menjusulnja. Segera iapun berhenti menantikan gadis tjilik itu.
Sambil mendekati, terdengar Tjiong Ling berkata: Aku tak menemukan obat
penawarnja, marilah aku membawa engkau kesana. Tapi entah batu itu dapat engkau
geser atau tidak" Sudah tentu Po-ting-te bingung tentang obat penawar segala, tanjanja: Obat
penawar apa" Dan batu apa lagi"
Marilah ikut padaku, sebentar kau akan tahu sendiri, sahut Tjiong Ling terus
mendahului djalan kedepan.
Meskipun djalanan di Ban-djiat-kok itu sangat berliku-liku penuh rahasia, namun
dibawah petundjuk Tjiong Ling, sebentar sadja ia sudah membawa Po-ting-te sampai
didepan pagar pohon jang mengelilingi rumah batu itu.
Dengan enteng Po-ting-te angkat bahu Tjiong Ling, sama sekali tidak tampak radja
itu endjot kakinja, tahu-tahu ia sudah melintasi pagar pohon itu dengan enteng
dan anteng sambil membawa Tjiong Ling. Karuan gadis itu kagum dan kegirangan, ia
bertepuk tangan memudji: Bagus, bagus! Kau seperti bisa terbang sadja, sungguh
hebat! Wah, tjelaka! Tiba-tiba seruannja ditutup oleh djeritan kuatir itu.
Kiranja tiba-tiba dilihatnja didepan rumah batu itu berduduk seorang, itulah dia
Djing-bau-khek atau sibadju hidjau jang aneh itu.
Rupanja Tjiong Ling sangat takut terhadap manusia jang setengah-mati-setengahhidup itu, ia membisiki Po-ting-te: Marilah kita pergi dulu, nanti kalau orang
itu sudah enjah, barulah kita kembali lagi.
Po-ting-te sendiri rada heran djuga melihat Djing-bau-khek jang luar biasa itu.
Ia tjoba menghibur sigadis: Djangan kuatir, masih ada aku disini. Apakah Toan Ki
terkurung didalam rumah batu ini"
Tjiong Ling mengangguk, lalu mengumpet dibelakang Po-ting-te.
Pelahan-pelahan Po-ting-te mendekati Djing-bau-khek, tegurnja dengan ramah:
Dapatkah silahkan saudara menjingkir sedikit"
Namun Djing-bau-khek itu anggap tidak melihat dan tidak mendengar, ia tetap
duduk bersila dengan tenang ditempatnja.
Djika saudara tidak suka menjingkir, maafkanlah kalau Tjayhe mesti berlaku
kasar, kata Po-ting-te pula. Sekali miringkan tubuh, segera ia melajang lewat
disamping Djing-bau-khek terus hendak mendorong batu penutup pintu rumah.
Tapi sebelum Po-ting-te mengeluarkan tenaga, sekonjong-konjong Djing-bau-khek
melorot keluar sebatang tongkat bambu terus menutuk ke Koat-bun-hiat dibawah
ketiaknja. Tjuma anehnja tongkat bambu itu berkeder terus dan tidak lantas
ditutukkan, pabila Po-ting-te kerahkan tenaga untuk mendorong batu, sekali
tongkat itu ditutukkan, tentu Po-ting-te susah menghindarkan diri.
Karuan Po-ting-te terkesiap, pikirnja: Ilmu Tiam-hiat orang ini sungguh sangat
pandai. Didjaman ini, siapakah gerangan tokoh kosen selihay ini"
Tjepat ia ajun tangan jang lain untuk membelah tongkat bambu orang, sedang
tangan satunja tetap menahan diatas batu untuk sewaktu-waktu mendorongnja. Namun
reaksi Djing-bau-khek itu benar-benar sangat tjekatan, sekali tongkatnja
memutar, kembali ia antjam Thian-ti-hiat didada lawan.
Setjepat kilat Po-ting-te berganti serangan sampai beberapa kali, tapi selalu
kena diatasi lebih dulu oleh tongkat bambu sibadju hidjau jang tetap mengantjam
sesuatu tempat Hiat-to jang berbahaja ditubuhnja.
Pertarungan diantara kaum ahli memangnja tidak perlu setiap serangan mesti
mengenai sasarannja dengan telak. Maka sesudah belasan kali berganti tipu
serangan, selalu Djing-bau-khek berhasil membuat Po-ting-te tidak sempat
kerahkan tenaganja untuk mendorong batu besar itu. Betapa djitu tjaranja
mengintjar Hiat-to, Po-ting-te harus mengakui lawan tidak kalah daripada
dirinja, bahkan masih diatas adiknja, jaitu Toan Tjing-sun.
Sekonjong-konjong Po-ting-te memotong miring kebawah dengan tangan kiri,
menjusul mata, tahu-tahu telapak tangan itu mendadak berubah dengan tutukan
djari, Tjus, ia keluarkan Lwekang dari It-yang-tji untuk menutuk tongkat lawan.
Kalau tutukan ini kena, djangankan hanja tongkat bambu, biarpun tongkat badja
djuga akan dibuatnja bengkok.
Tak tersangka, tiba-tiba tongkat bambu orang itupun bergerak, tjus, tongkat
itupun menutuk kearahnja hingga kedua tenaga tutukan itu saling bentur diudara.
Kontak Po-ting-te tergetar mundur setindak, sebaliknja badan Djing-bau-khek
djuga rada tergeliat sedikit. Muka Po-ting-te sekilas memerah, sebaliknja wadjah
Djing-bau-khek itupun sekilas bersemu hidjau, namun sama-sama lantas lenjap
dalam sekedjap sadja. Sungguh heran Po-ting-te tak terkatakan. Pikirnja: Ilmu silat orang ini bukan
sadja sangat tinggi, bahkan sudah terang adalah satu sumber dengan diriku.
Djelas kelihatan ilmu permainan tongkatnja ini ada hubungannja dengan It-yangtji . Karena itu, segera ia memberi hormat dan menanja: Siapakah nama Tjianpwe jang
terhormat, sudilah kiranja memberitahu"
Kau ini Toan Tjing-beng atau Toan Tjing-sun" terdengar sesuatu suara mendenging
berbalik menanja padanja.
Melihat mulut orang tanpa bergerak, tapi dapat bitjara, Po-ting-te mendjadi
lebih heran, sahutnja: Aku adalah Toan Tjing-beng!
Hm, djadi engkau inilah radja Po-ting-te dari negeri Tayli sekarang"
djengek orang aneh itu. Benar, sahut Po-ting-te. Sesudah pertandingan barusan, ilmu silat kita siapa lebih tinggi" tiba-tiba
Djing-bau-khek itu menanja.
Untuk sedjenak Po-ting-te memikir, lalu mendjawab: Bitjara tentang ilmu silat,
memang engkau lebih menang sedikit. Tetapi kalau bergebrak sungguh-sungguh, aku
bisa menangkan engkau. Benar, Djing-bau-khek itu mengakui, betapapun karena badanku sudah tjatjat. Ai,
sungguh tidak njata bahwa setelah mendjadi radja, sedikitpun engkau tidak
terlantarkan ilmu silatmu. ~ Walaupun suaranja keluar dari perutnja dengan suara
jang aneh, tapi tetap dapat terdengar utjapannja jang terachir penuh mengandung
rasa bimbang, sesal dan ketjewa.
Karena takbisa menerka asal-usul orang, dalam sekedjap didalam benak Po-ting-te
sudah berputar matjam-matjam tanda tanja.
Saat itulah, tiba-tiba dari dalam rumah batu berkumandang keluar suara djeritan
seorang jang keras dan serak. Itulah dia suara Toan Ki.
Tjepat Po-ting-te berseru: Ki-djie, kenapakah kau" Djangan kuatir, segera aku
datang menolong kau! Kiranja sehabis memakan kedua ekor Bong-koh-tju-hap mestika itu, semula Toan Ki
memang merasa agak segar. Tak tersangka olehnja bahwa sepasang katak merah itu
adalah machluk adjaib jang djarang terdapat dialam semesta ini, hidupnja berkat
hawa Yang atau positip jang murni. Pabila jang memakannja itu adalah Bok Wandjing, maka dengan pembauran hawa Im dan Yang, seketika ratjun jang berkobarkobar didalam tubuh sigadis akan dapat dihapusnja.
Tapi sekarang jang memakannja adalah Toan Ki jang bertenaga Yang atau positip,
tenaga kaum lelaki. Memangnja hawa Yang itu sedang bergolak didalam tubuh Toan
Ki, sekarang ditambah hawa Yang murni dari Tju-hap, karuan sebentar sadja
setelah hawa Yang katak-katak itu mulai bekerdja, keadaan Toan Ki mendjadi mirip
api disiram minjak, saking panas oleh bergolaknja hawa Yang itu, sampai achirnja
Toan Ki hanja megap-megap sambil berteriak mengangakan mulutnja, dengan demikian
dapatlah hawa jang merongkol didalam tubuh itu sekadar dikeluarkan. Tentang
pertjakapan antara Po-ting-te dan Djing-bau-khek itu diluar rumah batu serta Poting-te menjuruhnja djangan kuatir segala, Toan Ki hanja dapat mendengarnja,
tapi tidak sadar lagi akan maksudnja.
Hm, Siautju ini boleh djuga dasar imannja, setelah minum aku punja Im-yang-hohap-san ternjata masih mampu bertahan sampai sekarang, demikian tiba-tiba Djingbau-khek berkata. Karuan Po-ting-te kaget, tanjanja ragu-ragu: Kau ... kau memberinja ratjun
sedjahat dan setjabul itu, apa maksud tudjuanmu sebenarnja"
Didalam rumah ini terdapat pula adik perempuannja, sahut Djing-bau-khek.
Maka mengartilah Po-ting-te akan muslihat kedji orang. Sekalipun biasanja ia
sangat sabar, kini iapun tak tahan lagi, dengan ilmu It-yang-tji jang maha lihay
itu terus menutuk. Segera Djing-bau-khek membalasnja dengan tongkat bambunja.
Menjusul tutukan kedua Po-ting-te dilontarkan pula, kali ini mengarah Tan-tjonghiat didada lawan. Hiat-to ini adalah tempat jang mematikan, ia menduga musuh
tentu akan menangis sekuat tenaga.
Tak tersangka Djing-bau-khek itu hanja mendengus dua kali, tidak menangkis djuga
tidak berkelit, ia membiarkan dadanja ditutuk orang.
Dalam pada itu djari Po-ting-te sudah menjentuh badju orang, ia mendjadi tjuriga
melihat lawannja mandah sadja diserang, segera ia tahan tutukannja itu ditengah
djalan sambil menanja: Kenapa kau rela mati"
Kalau aku mati dibawah tanganmu, itulah paling baik, biarlah dosa keluarga Toan
dari Tayli akan bertambah lebih dalam lagi setingkat, sahut Djing-bau-khek.
Siapakah engkau sebenarnja" tanja Po-ting-te pula.
Maka dengan pelahan Djing-bau-khek itu mengutjapkan satu kalimat.
Mendengar itu, seketika wadjah Po-ting-te berubah hebat, katanja dengan
terputus-putus: Ak ... aku tidak pertjaja!
Tiba-tiba Djing-bau-khek itu oper tongkat bambunja ketangan kiri, lalu djari
telundjuk tangan kanan mendadak menutuk kearah Po-ting-te. Namun tjepat Po-tingte sempat mengegos kesamping, berbareng balas menutuk sekali.
Tjus, lagi-lagi tutukan kedua Djing-bau-khek itu dilontarkan dengan djari
tengah. Dengan sikap prihatin Po-ting-te membalas pula dengan djari tengah pula.
Menjusul Djing-bau-khek menutuk pula dengan djari manis jang menjamber dari
samping, kemudian tutukan keempat dilantjarkan dengan djari ketjil dengan gaja
mentjukit. Dengan wadjah sungguh2 Po-ting-te membalas semua tutukan itu dengan djari2 jang
sama. Ketika tutukan kelima kalinja terdjadi, kini Djing-bau-khek menggunakan
djari djempol dengan gaja menekan kedepan.
Diantara kelima djari tangan, djempol adalah djari jang paling kaku, tidak
segesit djari2 lain. Tapi Djing-bau-khek dapat menggunakan djari djempol untuk
menutuk dengan It-yang-tji, tentu sadja Po-ting-te tak berani ajal, segera iapun
angkat djari djempolnja dan ditekan kedepan.
Tjiong Ling jang menonton disamping mendjadi ter-heran2, sifat kanak2nja
mendjadi timbul lagi hingga lupa rasa takutnja pada Djing-bau-khek itu. Dengan
tertawa ia berseru: He, apakah kalian sedang main sut (suten)" Siapakah jang
telah menang" Sembari berkata, Tjiong Ling berdjalan mendekati. Tapi se-konjong2
serangkum angin keras menjamber kearahnja, seketika dadanja mendjadi sesak seakan2 kena ditikam sendjata tadjam. Untung Po-ting-te sempat ajun sebelah
tangannja hingga tubuh Tjiong Ling dapat didorong mundur, menjusul mana Po-tingte sendiripun melesat mundur untuk memajang badan sigadis dengan wadjah guram,
katanja: Apakah kau sudah tidak sajang pada djiwamu lagi"
Huak, terus sadja Tjiong Ling muntahkan darah segar, dengan tertjengang ia
mendjawab: Ap...... apakah ia hendak membunuh aku"
Bukan, sahut Po-ting-te. Aku sedang mengadu kepandaian dengan dia, orang luar
tidak boleh sembarangan mendekat.
Habis itu, Po-ting-te urut2 pelahan beberapa kali dipunggung Tjiong Ling hingga
pernapasan gadis itu lantjar kembali.
Sekarang kau pertjaja tidak" demikian terdengar Djing-bau-khek itu bertanja pada
Po-ting-te. Segera Po-ting-te melangkah madju, ia membungkuk memberi hormat pada orang
sambil berkata: Toan Tjing-beng memberi hormat pada Tjianpwe.
Kau tjuma panggil aku Tjianpwe, djadi tidak sudi mengakui siapa diriku atau
memang masih belum mau pertjaja" tanja Djing-bau-khek itu.
Tjing-beng adalah pemimpin dari suatu negeri, mempunjai pertanggungan djawab
berat, setiap tindak-tanduk dengan sendirinja tidak boleh semberono. demikian
djawab Po-ting-te. Tjing-beng sendiri tidak punja anak, Toan Ki itu adalah
satu2nja anak laki2 keluarga Toan kami, maka mohon Tjianpwe suka memberi ampun
melepaskan dia. Tidak, aku djusteru ingin keluarga Toan rusak moralnja dari berdurhaka, hilang
anak putus turunan. Dengan susah pajah aku mentjari kesempatan dan baru hari ini
berhasil, mana boleh aku sembarangan membebaskannja"
Toan Tjing-beng tidak bisa terima perbuatanmu ini! seru Po-ting-te dengan suara
keras. Hehe! Kau mengaku sebagai radja Tayli, tapi bagiku kau tidak lebih daripada
pemberontak jang merebut kekuasaan. Djika kau berani, boleh kau kerahkan
pasukanmu dan kawanan pengawalmu kesini. Tapi ingin kukatakan padamu, memang
kekuasaanku tidak bisa melawan kau, namun bila aku mau bunuh sibangsat tjilik
Toan Ki ini, rasanja masih terlalu mudah.
Wadjah Po-ting-te mendjadi putjat pasi. Ia tahu apa jang dikatakan orang memang
benar, asal dirinja bertambah lagi seorang pembantu, tentu Djing-bau-khek ini
takkan mampu melawannja, tapi Toan Ki jang segera mendjadi korban, apalagi orang
terhitung kaum Tjianpwe, mana boleh dirinja melawan pada orang tua. Maka
terpaksa ia menanja: Habis, tjara bagaimana baru engkau bersedia membebaskan Kidji" Tidak susah, mudah sekali! sahut Djing-bau-khek. Kau lekas mendjadi Hwesio dan
serahkan tachtamu padaku, segera aku akan membebaskan Toan Ki.
Warisan dari leluhur, mana boleh sembarangan diberikan orang lain"
sahut Po-ting-te. Djika begitu, boleh kau sabar menanti sadja, bila Toan Ki dan adik perempuannja
sudah melahirkan anak, segera aku lepaskan dia. kata Djing-bau-khek.
Lebih baik lekas kau membunuhnja sadja. sahut Po-ting-te.
Tidak, kata Djing-bau-khek. Selain itu, masih ada lagi dua djalan.
Djalan apa" tanja Po-ting-te.
Pertama, mendadak menjerang aku, karena tak sempat mendjaga diri, kau bisa
membunuh aku dengan mudah dan tentu kau dapat menolong keponakanmu itu.
Aku tidak pernah membokong orang, djuga tidak padamu! udjar Po-ting-te.
Walaupun kau hendak membokong aku djuga belum tentu mampu, sahut Djing-bau-khek.
Dan djalan kedua, boleh kau suruh Toan Ki menempur aku dengan It-yang-tji, asal
dia bisa menangkan aku, bukankah dia sendiri bisa lolos" Hehe-hehe!
Sungguh gusar Po-ting-te tak terkatakan, namun dia masih dapat mengendalikan
diri, katanja pula: Ki-dji takbisa ilmu silat, ia tidak pernah beladjar ilmu Ityang-tji. Putera keluarga Toan takbisa It-yang-tji" Ha, siapa jang mau pertjaja!
djengek Djing-bau-khek. Sedjak ketjil Ki-dji hanja suka batja kitab dan tekun beribadat, hatinja welasasih, ia bertekad tidak mau beladjar silat, demikian Poting-te mendjelaskan.
Huh, kembali seorang laki2 berhati palsu lagi. Orang demikian kalau mendjadi
radja Tayli, rasanja djuga takkan menguntungkan rakjat, ada lebih baik lekas
dibunuhnja sadja. Tjianpwe, tiba2 Po-ting-te berseru dengan bengis, ketjuali itu tadi, apakah
masih ada djalan lain pula"
Dahulu kalau akupun diberi djalan lain, tentu tak djadi seperti hariini, sahut
Djing-bau-khek dingin. Kalau orang lain tidak memberi djalan padaku, kenapa aku
harus memberi djalan padamu"
Po-ting-te menunduk memikir sedjenak, mendadak ia angkat kepalanja dengan sikap
jang penuh kepertjajaan, serunja: Ki-dji, selekasnja aku akan berdaja untuk
menolong kau. Djanganlah kau lupa bahwa kau adalah keturunan keluarga Toan!
Maka terdengar Toan Ki berseru mendjawabnja: Pekhu, lebih baik kau masuk
kesini........ dan menutuk mati aku sadja!
Apa" Djadi kau sudah melakukan perbuatan jang merusak kehormatan keluarga Toan
kita" bentak Po-ting-te.
Tidak! Tapi Tjitdji (keponakan) merasa panas bagai dibakar, takbisa......
takbisa hidup lagi! Mati atau hidup adalah takdir ilahi, biarkan apa semestinja! seru Poting-te.
Habis itu ia ganddeng tangannja Tjiong Ling terus melompat lewat pagar pohon.
Nona tjilik, terima kasih engkau telah tundjukan djalannja, kelak tentu kau akan
dapat gandjaran jang setimpal. kata Po-ting-te pada Tjiong Ling, lalu tinggal
pergi kembali kedepan rumah utama tadi.
Dalam pada itu pertarungan masing2 partai dikalangan itu sudah mulai kentara
kekuatan masing2, Bu-sian-tio-toh Leng Djian-li dan Tiam-djong-san-long Tang Sukui berdua menempur Lam-hay-gok-sin sudah terang diatas angin. Sebaliknja Djaysin-khek Siau Tiok-sing dan Pit-bak-seng Tju Tan-sin jang mengerubut Yap Dji-nio
malah terdesak oleh golok tipis tokoh kedua dari Su-ok itu.
Si Pek-hong tampak putar kebutnja dengan rapat hingga sepasang Siu-lo-to
lawannja susah menembus pertahanannja.
Disebelah sana In Tiong-ho tampak masih main udak2an dengan Thian-sik.
Napas In Tiong-ho tampak megap2 bagai kerbau sekarat, sebaliknja Thian-sik masih
melompat dan meletjit dengan enteng dan tjekatan. Sedang Sian-tan-hou Ko Singthay tetap atjuh-tak-atjuh menggendong tangan mondar-mandir disamping, njata ia
sudah jakin akan kemenangan dipihaknja, maka terhadap pertarungan sengit
didepannja itu dianggapnja sepi sadja.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal ia djusteru pasang telinga dan mata memusatkan antero perhatiannja
mengikuti situasi medan pertempuran, asal tiada seorang kawannja menghadapi
bahaja, iapun tidak perlu turun tangan membantu.
Dan karena tidak melihat adik pangerannja berada disitu, segera Poting-te
menanja: Kemana Sun-te pergi"
Tin-lam-ong mengedjar Tjiong-koktju dan sedang mentjari Toan-kongtju.
sahut Sing-thay. Segera Po-ting-te berseru: Kita sudah ada rentjana lain, harap semua orang
mundur dulu. Mendadak Pah Thiabn-sik lantas berhenti. Tapi In Tiong-ho masih terus menubruk
kearahnja. Plak, tjapat Thian-sik melontarkan pukulan kebelakang. Ketika In
Tiong-ho menangkis, kontan dadanja serasa sesak, darah hampir2 menjembur keluar
dari mulutnja. Sekuatnja ia tjoba bertahan, namun pandangannja mendjadi remang2,
susah lagi melihat datangnja serangan lawan.
Untung Thian-sik tidak menghantam lebih djauh, sebaliknja tjuma mendjengek
beberapa kali dan berkata: Terima kasih!
Dalam pada itu, tampak Toan Tjing-sun telah muntjul djuga dari semak2
pohon sana, segera ia menanja: Hong-heng, apakah Ki-dji sudah terto......
sudah diketemukan" ~ sebenarnja ia hendak tanja apakah sudah tertolong, tapi
karena tidak melihat Toan Ki, ia berganti menanja apakah sudah diketemukan atau
belum" Sudah ketemu, sahut Po-ting-te mengangguk. Marilah kita pulang sadja dahulu.
Mendengar perintah gentjetan sendjata radja mereka, sebenarnja Leng Djian-li dan
kawan2nja lantas hendak berhenti. Namun Yap Dji-nio, Lam-hay-gok-sin dan Tjin
Ang-bian sedang bernapsu melabrak lawan2nja, seketika mereka belum rela berhenti
begitu sadja, mereka masih tetap tjetjar lawan2nja.
Po-ting-te mengkerut kening melihat itu, katanja pula: Marilah kita pergi sadja!
Ko Sing-thay mengia, sekali berbareng ia keluarkan sendjatanja giok-tik atau
seruling kemala, sekali bergerak, segera punggung Tjin Ang-bian ditutuknja.
Huh, tidak malu, main kerojokan! damperat Ang-bian dengan gusar sambil
menangkis. Maka terdengarlah suara tjrang-tjring dua kali, sepasang Siu-lo-to kena ditekan
kebawah, kesempatan mana segera digunakan Si Pek-hong untuk melompat mundur.
Sekali Ko Sing-thay kebas lengan badjunja jang longgar itu hingga berdjangkit
serangkum angin keras, ia tahan agar Tjin Ang-bian tidak merangsak lebih djauh
lawannja, lalu serulingnja menutuk pula kearah Lam-hay-gok-sin, menjusul
serulingnja membalik, kini Yap Dji-nio jang diintjar.
Kedua gerak serangan itu semuanja menjerang ketitik kelemahan musuh jang
terpaksa mesti dihindar. Maka Lam-hay-gok-sin dan Yap Dji-nio mendjadi kaget
semua, tjepat mereka melompat mundur beberapa tindak.
Sebenarnja ilmu silat Ko Sing-thay toh tidak lebih tinggi daripada ketiga
lawannja itu, soalnja sudah lama ia sudah merentjanakan tipu2
serangan hebat untuk melajani ketiga orang itu. Asal tipu serangan jang sudah
disiapkan lebih dulu itu dilontarkan, seketika ketiga orang itu pasti kelabakan
dan terpaksa melompat mundur.
Dengan mendelikan matanja jang bundar ketjil sebesar katjang itu, Lam-hay-goksin terkedjut tertjampur kagum, serunja: Setan, hebat benar, sungguh tidak
njana....... ~ Ia tidak melandjutkan kata2nja jang bermaksud tidak njana begini
lihay kepandaianmu, agaknja Lotju masih bukan tandinganmu.
Dalam pada itu Si Pek-hong lantas bertanja pada Po-ting-te: Hong-heng, bagaimana
dengan Ki-dji" Meski dalam batinnja Po-ting-te sangat kuatir, namun lahirnja ia tetap tenang
sadja, sahutnja: Tidak apa2, saat ini djusteru adalah kesempatan jang paling
bagus untuk menggemblengnja, lewat beberapa hari lagi tentu dia akan bisa bebas.
~ Habis berkata, segera ia putar tubuh dan mendahului berangkat.
Tjepat Sukong Pah Thian-sik berlari kedepan sebagai pembuka djalan.
Sedang suami isteri Toan Tjing-sun menjusul dibelakang Po-ting-te, lalu para
pengiring dan tokoh2 Hi-djiau-keng-dok, paling achir adalah Ko Sing-thay jang
mengawal dengan berlenggang seenaknja.
Njata, dengan serangan2 jang lihay tadi, Ko Sing-thay telah bikin lawan2nja rada
djeri. Biarpun Lam-hay-gok-sin biasanja sangat garang dan buas, kini djuga tidak
berani sembarangan menantang pula.
Setelah belasan tindak berdjalan, tiba2 Toan Tjing-sun menoleh memandang Tjin
Ang-bian. Saat itu, dengan termangu2 Ang-bian djuga sedang memandang bekas
kekasihnja itu. Dua pasang mata ketemu, seketika mereka terkesima semua.
Keparat! mendadak Lam-hay-gok-sin membentak, Apakah kau masih tidak mau pergi
dan ingin berkelahi pula dengan Lotju"
Toan Tjing-sun mendjadi kaget, tjepat ia berpaling kembali, ia lihat sang isteri
sedang memandangnja dengan sikap dingin, dengan kikuk lekas2
ia pertjepat langkahnja keluar dari Ban-djiat-kok.
Setelah rombongan sampai di Tayli, Po-ting-te lantas berkata: Mari kita
berkumpul semua dikeraton untuk berunding!
Sampai dipendopo keraton, Po-ting-te duduk ditengah, Toan Tjing-sun suami-isteri
disisinja, sedang Ko Sing-thay dan lain2 hanja berdiri.
Segera Po-ting-te suruh dajang membawakan kursi dan minta semua orang ikut
berduduk. Habis itu, ia perintahnja semua dajang keluar ruangan, lalu
mentjeritakan keadaan Toan Ki jang dikeram oleh musuh itu.
Mendengar itu, semua orang tahu bahwa kuntji daripada mati-hidupnja Toan Ki
adalah terletak pada diri Djing-bau-khek itu. Tapi demi mendengar Po-ting-te
mengatakan orang aneh itupun paham It-yang-tji, bahkan masih lebih lihay
daripada sang radja, karuan tiada seorangpun jang berani sembarangan buka suara.
Sebab harus diketahui bahwa It-yang-tji itu adalah ilmu tunggal warisan keluarga
Toan turun-temurun, hanja diadjarkan pada anak laki2 dan tidak kepada anak
perempuan. Dan kalau Djing-bau-khek mahir ilmu sakti itu, dengan sendirinja
pasti djuga berasal dari keturunan keluarga Toan.
Sedang semua orang menunduk berpikir, Po-ting-te berkata pada Toan Tjing-sun:
Sun-te, tjoba kau terka siapakah gerangan orang itu"
Tjing-sun geleng2 kepala, sahutnja: Aku takbisa menebaknja, apa barangkali ada
orang dari geredja Tjing-peng-si jang kembali mendjadi preman dan menjamar"
Bukan, sahut Po-ting-te.Tapi dia adalah Yan-king Thaytju!
Mendengar nama Yan-king Thaytju atau putera mahkota Yan-king itu, seketika semua
orang terkedjut. Yan-king Thay-tju" Tjing-sun menegas. Bukankah sudah lama dia meninggal" Besar
kemungkinan orang itu memalsukan beliau untuk menipu belaka.
Nama orang bisa dipalsu, apakah It-yang-tji djuga dapat dipalsu" sahut Po-tingte menghela napas. Memang banjak djuga orang Bu-lim mentjuri beladjar ilmu silat
aliran lain, akan tetapi rahasia Lwekang dari It-yang-tji kita tjara bagaimana
bisa ditjurinja" Maka menurut aku, orang ini pastilah Yan-king Thaytju adanja,
hal ini tidak perlu disangsikan lagi.
Tjing-sun memikir sedjenak, lalu berkata: Djika Toako sudah djelas mengenali
orang, ini berarti dia adalah tokoh pilihan dari Toan-keh (keluarga Toan) kita,
tapi sebab apa dia malah hendak merusak nama baik keluarga kita"
Orang ini badaniah tjatjat semua, dengan sendirinja sifat2nja sangat menjendiri
dan aneh, segala tindak-tanduk dengan sendirinja djuga abnormal, demikian Poting-te mendjelaskan. Apalagi tachta keradjaan Tayli sudah kududuki, dengan
sendirinja ia tidak senang, maka kita berdua hendak dihantjurkannja habis2an.
Hlm. 17: Gambar Dengan sjarat apa barulah Tjianpwe suka membebaskan Ki-dji" tanja Poting-te.
Mudah sekali, sahut Djing-bau-khek, Kau mendjadi Hwesio dan serahkan tachtamu
padaku, dan botjah itu segera kulepaskan. Kalau tidak, haha, biarlah lain tahun
kita saksikan kelahiran bajinja dari perkawinannja dengan adik perempuannja
sendiri! Toako sudah lama naik tachta dan didukung penuh oleh seluruh rakjat, negarapun
aman dan tenteram, rakjat hidup sedjahtera, djangankan Yan-king Thaytju datang
kembali, sekalipun Siang-tek-te hidup kembali djuga susah menggantikan tachta
Toako, demikian udjar Tjing-sun.
Segera Ko Sing-thay djuga berbangkit, dan berdatang sembah: Apa jang dikatakan
Tin-lam-ong memang tepat. Urusan akan mendjadi beres apabila Yan-king Thaytju
mau bebaskan Toan-kongtju dengan baik2, kalau tidak, kitapun tidak kenal lagi
apakah dia itu Thaytju apa segala, kita anja anggap dia sebagai kepala dari Suok jang maha djahat serta pantas dibasmi. Biarpun ilmu silatnja tinggi, achirnja
djuga takkan mampu lawan kita jang berdjumlah lebih banjak.
Kiranja pada masa 14 tahun jang lalu, tatkala itu radja Tayli Toan Lian-tju
dengan gelar Siang-tek-te, telah dibunuh oleh menteri dorna Njo Tjit-tjeng.
Kemudian keponakan dari Siang-tek-te jang bernama Toan Siu-hui dapat bantuan
dari pembesar setia Ko Ti-sing, telah membasmi pemberontakan Njo Tjhit-tjeng,
lalu naik tachta sendiri dengan gelar Siang-beng-te.
Tapi Siang-beng-te tidak senang mendjadi radja, hanja bertachta satu tahun, ia
lantas mengundurkan diri untuk mendjadi Hwesio, ia serahkan tachtanja kepada
adik sepupunja Toan Tjing-beng, jaitu Po-ting-te jang sekarang.
Siang-tek-te sebenarnja mempunjai seorang putera kandng jang disebut oleh para
menteri dengan gelar Yan-king Thaytju. Tapi sewaktu terdjadi kudeta oleh Njo
Tjhit-tjeng, Yan-king Thaytju telah menghilang hingga semua orang menjangka
djuga sudah dibunuh oleh pemberontak. Siapa duga sesudah belasan tahun lamanja,
kini mendadak telah muntjul kembali.
Maka sesudah mendengar pendapat Ko Sing-thay tadi, Po-ting-te lantas berkata
sambil geleng kepala: Tidak, aku tidak setudju. Tachtaku ini memangnja adalah
haknja Yan-king Thaytju. Tatkala itu disebabkan dia menghilang, makanja Siangbeng-te mau terima tachta ini, kemudian diberikan pula padaku. Tapi kini kalau
Yan-king Thaytju sudah kembali, tachta keradjaan ini sepantasnja harus
dikembalikan padanja. ~ Lalu ia menatap Ko Sing-thay dan menjambung: Andaikan
mendiang ajahmu masih hidup, tentu iapun sependapat dengan aku.
Kiranja Ko Sing-thay ini tak-lain-tak-bukan adalah puteranja Ko Tising, itu
menteri setia jang membantu Siang-tek-te membasmi pemberontakan.
Segera Ko Sing-thay melangkah madju, ia menjembah dan menutur pula: Mendiang
ajahku membaktikan dirinja kepada negara dan tjinta pada rakjat.
Padahal Djing-bau-khek ini mengaku sebagai kepala dari Su-ok jang maha djahat,
kalau dia jang meradjai negeri Tayli ini, maka susah dibajangkan betapa
tjelakanja rakjat djelata akan menderita akibat angkara-murkanja itu. Maka
pendapat Hongsiang tentang akan menjerahkan tachta padanja, hamba Sing-thay
sekalipun mati takbisa terima.
Tjepat Leng Djian-li pun menjembah kelantai, katanja: Tadi Djian-li djuga
mendengar gembar-gembor Lam-hay-gok-sin itu, katanja kepala dari Su-ok mereka
berdjuluk kedjahatan sudah melebihi takaran. Tjoba pikiran, andaikan benar orang
itu adalah Yan-king Thaytju, lalu menjerahkan tachta ini kepada seorang jang
kedjam dan durhaka seperti dia untuk memerintah rakjat Tayli ini, maka pastilah
negara akan hantjur dan rakjat akan tjelaka!
Harap kalian bangun, apa jang kalian katakan memang ada benarnja djuga, sahut
Po-ting-te. Tjuma Ki-dji berada ditjengkeramannja, ketjuali menjerahkan tachta
padanja, djalan lain rasanja tiada lagi.
Toako, kata Tjing-sun, selamanja jang kita kenal adalah: orang tua ada
kesulitan, jang muda harus berusaha sebisanja untuk menolong. Ki-dji meski benar
sangat disajang oleh Toako, mana boleh Toako rela melepaskan tachtamu hanja
untuk keselamatannja seorang" Andaikan untuk mana Ki-dji dapat diselamatkan,
rasanja diapun akan merasa berdosa pada rakjat negeri Tayli ini.
Po-ting-te tidak berkata pula, ia berbangkit sambil berdjalan mondar-mandir
diruangan pendopo itu, tangan kiri mengelus-elus djenggot, tangan lain ketokketok perlahan didjidat sendiri.
Semua orang tahu bila sang radja sedang menghadapi sesuatu kesulitan, selalu dia
memeras otak seperti demikian, maka tiada seorangpun jang berani bersuara
mengganggu. Setelah mondar-mandir agak lama, kemudian berkatalah Po-ting-te: Perbuatan Yanking Thaytju ini benar-benar kedji sekali, ratjun Im-yang-ho-hap-san jang dia
minumkan pada Ki-dji itu sangat lihay, orang biasa sangat susah bertahan. Maka
kukuatir saat ini Ki-dji sudah ... sudah hilap oleh pengaruh ratjun serta sudah
berbuat .... Ai, tapi kedjadian ini adalah muslihat jang sengadja diatur musuh,
takbisa djuga menjalahkan Ki-dji.
Toan Tjing-sun menunduk dengan rasa malu, sebab, kalau soal ini diungkat sampai
keakar-akarnja, semuanja adalah gara-gara perbuatannja sendiri jang sok romantis
itu. Tiba-tiba Po-ting-te berpaling kepada Ko Sing-thay dan menanja: Sing-thay, tahun
ini puterimu itu berusia berapa"
Siauli (puteriku) tahun ini berumur delapanbelas, sahut Sing-thay.
Bagus! udjar Po-ting-te. Lalu ia berkata lagi kepada Tjing-sun: Sun-te, kita
tetapkan untuk melamar puteri Sian-tan-hou sebagai menantu. Pah-sukong, harap
kau lantas pergi kebagian protokol untuk mengatur peresmian lamaran ini serta
menjediakan emas kawin jang diperlukan. Persitiwa ini harus dirajakan semeriahmeriahnja hingga setiap pelosok negeri Tayli ini mengetahui semua.
Suami-isteri Toan Tjing-sun, Ko Sing-thay dan Pah Thian-sik merasa keputusan itu
terlalu mendadak datangnja. Namun segera merekapun paham bahwa tindakan Po-tingte itu adalah demi nama baik keluarga serta kehormatan Toan Ki jang masih sutji
bersih itu. Asal setiap orang diseluruh negeri sudah tahu bahwa isterinja Toan
Ki adalah puteri Sian-tan-hou Ko Sing-thay, sekali pun kemudian Yan-king Thaytju
menjebarkan desas-desus bahwa Toan Ki mengadakan hubungan tak susila dengan adik
perempuannja sendiri, tentu orang luar akan menganggapnja sebagai dusta dan
pitenahan belaka, paling-paling djuga tjuma setengah pertjaja setengah tidak.
Maka Toan Tjing-sun lantas mendjawab: Siasat Hong-heng ini memang sangat bagus.
Sudah lama menengar djuga bahwa puteri Sian-tan-hou tjantik aju, pintar lagi
berbakti, sungguh seorang isteri jang susah ditjari.
Tetapi tabiat Ki-dji agak aneh djuga, maka lebih baik kita tunggu kalau dia
sudah lolos dari bahaja, kemudian beritahukan padanja, lalu mengatur emas kawin
untuk memastikan perdjodohan ini.
Sudah tentu akupun tahu watak Ki-dji memang terlalu bandel, udjar Poting-te.
Misalnja waktu kita hendak adjarkan It-yang-tji padanja, tapi betapapun djuga ia
tidak mau beladjar, benar-benar seorang jang tidak tahu adat. Tapi mengenai
perdjodohan, selamanja harus tunduk pada pilihan orang tua, masakah dalam hal
ini ia berani membangkang perintah kalian suami-isteri" Apalagi hal ini demi
menjelamatkan nama baik keluarga Toan, demi kehoramatan selama hidupnja, biar
bagaimanapun ia tidak boleh membangkang.
Kabarnja puteri Ko-hiante itu badannja rada lemah, maka urusan ini paling baik
dirundingkan lebih masak dulu, udjar Tjing-sun.
Po-ting-te merasa alasan adik pangeran itu terlalu ditjari-tjari, maka katanja
pula: Soal badan lemah bukanlah soal penting. Ilmu silat Ko-hiante begitu
tinggi, asal dia adjarkan sedikit kepandaian Lwekang, dalam waktu singkat tentu
badannja akan mendjadi kuat.
Namun .... namun ..... Sun-te, demikian Po-ting-te memotong sebelum adik pangeran itu bitjara lebih
landjut. Sedjak tadi kau selalu menolak sadja, sebenarnja apa maksudmu" Apakah
dalam hatimu ada sesuatu jang kau kurang senang terhadap Ko-hiante"
Tidak, tidak! tjepat Tjing-sun mendjawab. Hubungan Ko-hiante dengan aku laksana
saudara sekandung. Kalau kami berdua dapat mendjadi besanan lagi, tentulah djauh
lebih bagus. Ehm, ka ..... kabarnja Pah-sukong djuga mempunjai seorang puteri
dan Hoan-suma djuga ada dua anak perempuan.
Marilah kitapun adjukan mereka itu sebagai tjalon untuk dirundingkan.
Thian-sik tertawa, katanja: Tapi anak Thian-sik itu baru lahir tahun jang lalu,
sampai sekarangpun usianja belum genap setahun. Sedang kedua puterinja Hoansuma, jang satu adalah menantuku jang tertua, sedang jang lain konon sudah
bertunangan, jaitu mendapat putera sulung Hoa-suto.
Po-ting-te mendjadi kurang senang djuga oleh sikap adindanja itu, segera katanja
pula: Sun-te, pertjumalah engkau sama2 bertugas dengan Thian-sik bertiga,
masakah urusan2 mereka itu sedikitpun tak diketahui olehmu"
Melihat kaka bagindanja rada gusar, Tjing-sun tidak berani buka mulut lagi.
Tin-lam-ongya, tiba2 Sing-thay berkata, sedjak ketjil Sing-thay sudah bergaul
dengan engkau, hubungan kita boleh dikata melebihi saudara sekandung, diantara
kita biasanja tidak pernah kenal istilah rahasia.
Maka sudilah kau mengatakan terus terang, apakah barangkali kau ada dengar
sesuatu jang mendjelekkan nama baik puteriku hingga merasa tidak sesuai untuk
mendjadi menantumu" Djika benar begitu, hendaklah kau berkata terus terang,
Sing-thay tak nanti merasa tersinggung.
Tjing-sun agak ragu2, tapi kemudian lantas berkata: Djika demikian, biarlah
Tjing-sun mengatakan terus terang, tapi harap Ko-hiante djangan marah.
Silahkan Ongya bitjara terus terang sadja, sahut Sing-thay.
Begini, kata Tjing-sun merandek sedjenak. Sedjak ketjil puterimu sudah
kehilangan ibu, betapapun Hiante tentu rada mandjakan dia. Konon watak puterimu
sangat keras, suka turuti kemauan sendiri. Kabarnja dia djuga sudah mendapat
seluruh ilmu silat Hiante, bahkan katanja lebih hebat dari jang tua. Djika
begitu, kelak bila sudah mendjadi menantuku, mungkin.....
mungkin, hehe, aku mendjadi kuatir kalau Ki-dji akan menderita selama hidupnja.
Ki-dji sedikitpun tidak bisa ilmu silat, melulu mahir beberapa langkah Leng-powi-poh jang tak berarti itu, kalau setiap hari selalu gunakan Leng-po-wi-poh itu


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk berlari kian-kemari didalam kamar guna menghindarkan hadjaran2 puterimu,
hidup demikian bukankah tiada artinja lagi.
Po-ting-te ter-bahak2 oleh keterangan itu, katanja: Sun-te, sebabnja kau ragu2
tadi kiranja melulu soal demikian sadja.
Tjing-sun melirik sekedjap kearah Si Pek-hong, lalu menjahut dengan tertawa:
Toako, adik iparmu itu selalu selisih paham dengan Siaute, dikala tjektjok,
untung kepandaian kami berdua sama kuatnja hingga Siaute tidak sampai dihadjar
olehnja, kalau sebaliknja, wah, bisa runjam.
Mendengar itu, mau-tak-mau semua orang tersenjum geli djuga.
Dengan dingin Si Pek-hong lantas berkata: Asal Ki-dji dapat mempeladjari Ityang-tji keluarga Toan, tentu tiada tandingannja didunia ini, biarpun dia
menikah dengan lima atau sepuluh perempuan bawel djuga tidak perlu takut. ~
Dibalik kata2nja itu terang sengadja ia meng-olok2
It-yang-tji. Namun Tjing-sun hanja tersenjum sadja tak mendjawabnja.
Segera Ko Sing-thay bitjara pula: Siauli meski benar kurang mendapat didikan,
tapi rasanja djuga takkan berbuat sembarangan. Namun Sing-thay sudah banjak
menerima budi, tidak berani menerima budi lebih besar lagi dari Hongsiang dan
Tin-lam-ong. Po-ting-te tertawa, katanja: Djika puterimu bisa bantu menghadjar sedikit anak
kami jang suka bikin gara2 itu, kami bersaudara djusteru merasa sangat berterima
kasih, itu berarti puterimu telah berdjasa mendidik anak kami itu. Sing-thay,
siapakah nama anak perawanmu itu"
Apakah benar rada ..... rada keras wataknja"
Puteri hamba bernama Bi, hanja satu huruf sadja, sahut Sing-thay.
Sedjak ketjil ia tidak pernah keluar rumah, tabiatnja sangat ramah.
Mungkin ada orang jang dendam pada Sing-thay, maka sengadja menjebarkan kabar
tidak benar itu sehingga dapat didengar Ongya. ~ Njata dia mendjadi kurang
senang ketika mendengar Tin-lam-ong menjatakan watak puterinja kurang baik.
Maka tjepat Tjing-sun mendekati Ko Sing-thay, ia gandeng tangan kawan karib itu
dan berkata dengan tertawa: Ko-hiante, aku tadi telah salah omong, hendaklah
engkau djangan pikirkan lebih djauh.
Nah, urusan lantas diputuskan demikian, kata Po-ting-te kemudian dengan
tersenjum. Thian-sik, aku menugaskan kau sebagai Lap-djay-su, supaja kau bisa
menarik rekening sebagai tjomblang se-besar2nja dari kedua belah pihak.
Lap-djay-su atau duta penghantar emas kawin dikalangan keradjaan adalah sama
dengan tjomblang dikalangan rakjat djelata. Kalau urusan selesai, umumnja dari
pihak penganten laki2 dan perempuan akan memberi hadiah tjukup besar.
Maka dengan tertawa Pah Thian-sik menerima tugas itu sambil mengutjapkan terima
kasih. Segera kau teruskan perintahku pula agar Han-lim-ih (bagian perpustakaan)
mentjatat dalam buku silsilah, aku mengangkat adikku Tjing-sun sebagai Hongthay-te (adik pangeran mahkota), demikian perintah Poting-te lebih landjut.
Tjing-sun terperandjat, tjepat ia berlutut menjembah: Usia Toako masih muda,
kesehatan kuat, luhur budi dan bidjaksana, tentu akan diberkahi Thian jang maha
kuasa dengan keturunan banjak, maka keputusan tentang Hong-thay-te ini hendaklah
ditunda dahulu. Po-ting-te bangunkan adik pangerannja itu, katanja: Kita bersaudara adalah dwitunggal, dua badan satu djiwa. Nasib negeri Tayli ini memangnja terletak
ditangan kita berdua, djangankan aku memang tidak punja anak, sekalipun punja
keturunan djuga tachtaku kelak akan kuturunkan padamu. Sun-te, keputusanku
memgangkat kau sebagai penggantiku sudah lama tersirat dalam hatiku, pula rakjat
diseluruh negeripun telah lama tahu, hari ini hanja menetapkannja setjara resmi
sadja, biar Yan-king Thaytju jang bertudjuan djahat itu putus harapannja!
Karena ber-ulang2 menolak tetap tak diidjinkan, achirnja terpaksa Tjing-sun
menerima dengan baik serta menghaturkan terima kasih pada Hongsiang. Segera Ko
Sing-thay dan lain2pun lantas saling memberi selamat kepada Toan Tjing-sun.
Perlu diketahui bahwa Po-ting-te sendiri memang tidak punja keturunan, maka
sudah bukan rahasia lagi bahwa kelak jang akan menggantikannja pasti Tin-lamong, hal ini sama sekali tidak mengherankan mereka.
Dengan tertawa Pah Thian-sik memberi tangan djuga kepada Ko Sing-thay, maksudnja
memberi selamat bahwa bila kelak Toan Ki menggantikan tachta ajahnja, dengan
sendirinja puterimu adalah permaisuri, maka uang djasaku sebagai tjomblang ini
harus sepesial. Achirnja Po-ting-te berkata: Sekarang silahkan semua pergi mengaso.
Tentang Yan-king Thaytju itu, harap djangan sampai botjor.
Semua orang mengia serta memberi hormat dan mengundurkan diri.
Setelah dahar, Po-ting-te tidur siang sebentar. Ketika bangun, ia dengar diluar
ramai dengan suara musik jang meriah, suara letusan mertjon bergemuruh di-mana2.
Dajang jang melajaninja itu memberi laporan: Oleh karena putera Tin-lam-ong
mengirim Lap-djay kepada puteri Sian-tan-hou, maka diluar keraton rakjat bersuka
ria sedang merajakannja dengan sangat meriah.
Perlu diketahui bahwa tatkala itu seluruh negeri Tayli dalam keadaan aman
tenteram dengan pemerintahnja jang bidjaksana, rakjat hidup sedjahtera, maka
dukungan rakjat kepada radja, Tin-lam-ong, Sian-tan-hou dan para pembesar lain,
luar biasa besarnja. Ketika mendengar keluarga Toan dan Ko berbesanan, segenap
penduduk kota Tayli ikut riang gembira.
Segera Po-ting-te memberi perintah: Sampaikan titahku agar besok dimeriahkan
dengan membakar kembang api, segala larangan dikota Tayli ditjabut untuk
sementara, semua angkatan bersendjata diberi tjuti agar bisa ikut merajakan,
orang tua dan anak piatu diberi hadiah tersendiri.
Ketika titah radja itu disampaikan kepada umum, segenap rakjat Tayli seketika
makin bersorak-sorai gembira.
Mendjelang petang, Po-ting-te menjamar dengan pakaian orang biasa dan keluar
keraton sendirian. Ia tarik topinja jang lebar itu kebawah hingga hampir2
menutupi matanja, dengan demikian supaja orang lain susah mengenalinja.
Sepandjang djalan ia lihat rakjat menjanji dan menari dengan riangnja, lakiperempuan, tua-muda hilir-mudik dengan ramai.
Betapa bersjukurnja Po-ting-te menjaksikan negerinja jang sentosa itu.
Diam2 ia berdoa: Semoga rakjat negeri Tayli kami turun-temurun senantiasa
diberkahi kegembiraan seperti ini, maka aku Toan Tjing-beng sekalipun tidak
punja keturunan djuga takkan menjesal.
Sesudah keluar kota, langkah Po-ting-te lantas dipertjepat, makin lama makin
sunji tempat jang ditudju itu, kira2 belasan li djauhnja, setelah melintasi
beberapa lereng bukit, sampailah disuatu kelenteng kuno dan ketjil, diatas papan
kelenteng itu tertulis tiga huruf Liam-hoa-si atau kelenteng petik bunga.
Po-ting-te berhenti didepan kelenteng itu sambil berdoa sedjenak, lalu mengetok
pintu dengan pelahan2. Tidak lama, pintu tampak dibuka dan muntjul seorang Hwesio ketjil, tanjanja
sambil memberi hormat: Ada keperluan apakah kundjungan tuan tamu ini"
Harap suka sampaikan pada Ui-bi Taysu, katakan bahwa sobat lama Toan Tjing-beng
mohon bertemu, sahut Po-ting-te.
Silahkan masuk, kata paderi tjilik itu.
Po-ting-te dibawa keruangan tengah sesudah melalui suatu pekarangan jang sunji,
kata paderi ketjil itu: Harap tuan tamu suka menunggu sebentar, biar kusampaikan
kepada Suhu. Po-ting-te mengia, ia mondar-mandir diruangan itu sambil menggendong tangan.
Selama hidup Po-ting-te tidak pernah berdiri diluar rumah untuk menunggu orang,
jang selalu terdjadi adalah orang lain menanti diluar keraton hendak menghadap
padanja. Namun begitu, ternjata sedikitpun ia tidak mengundjuk gopoh, ia tetap
menanti dengan sabar didalam kelenteng jang se-akan2 memberi rahmat padanja itu,
sama sekali ia sudah lupa bahwa dirinja adalah seorang radja.
Agak lama kemudian, tiba2 terdengarlah suara seorang tua berkata dengan tertawa:
Toan-hiante, rupanja kau sedang dirundung sesuatu kesulitan"
Waktu Po-ting-te menoleh, terlihatlah seorang paderi tua jang mukanja sudah
penuh berkeriput, berperawakan tinggi besar, sedang melangkah masuk dari pintu
serambi samping. Kedua alis paderi tua ini sangat pandjang hingga melambai kebawah, bulu alisnja
bersemu kuning hangus. Ia bukan lain adalah Ui-bi Hwesio jang hendak ditemuinja
itu. Po-ting-te memberi kiongtjhiu, lalu katanja: Maafkan kalau aku mengganggu
ketentraman Taysu. Ui-bi Hwesio hanja tersenjum, sahutnja: Marilah masuk.
Segera Po-ting-te ikut masuk kesuatu pondok ketjil, disitu tampak enam Hwesio
setengah umur berdjubah abu2 serentak membungkuk memberi hormat pada mereka.
Po-ting-te tahu keenam Hwesio itu adalah anak murid Ui-bi Taysu, segera ia
membalas hormat mereka, lalu duduk bersila diatas tikar disisi kiri sana.
Setelah Ui-bi Hwesio djuga sudah berduduk ditikar sebelah kanan, Po-ting-te
lantas berkata: Aku mempunjai seorang keponakan bernama Toan Ki, waktu ia
berusia tudjuh tahun, aku pernah membawanja kesini untuk mendengarkan chotbah
Suheng. Ja, anak itu rada pintar, sungguh anak bagus, anak bagus! udjar Ui-bi.
Setelah mendapat rahmat Budha, wataknja djuga welas-asih, ia tidak mau beladjar
silat, katanja agar tidak membunuh sesamanja, tutur Po-ting-te.
Tidak bisa ilmu silat djuga bisa membunuh orang. Sebaliknja mahir ilmu silat,
belum tentu kalau mesti membunuh orang, udjar Ui-bi.
Po-ting-te mengia membenarkan. Lalu iapun mentjeritakan tentang Toan Ki jang
bandel tidak mau beladjar silat, minggat dari rumah, lalu berkenalan dengan Bok
Wan-djing dan kemudian tertawan oleh Yan-king Thaytju jang bergelar orang djahat
nomor satu didjagat itu. Dengan tersenjum Ui-bi mendengarkan tjerita itu tanpa menjela seketjappun. Enam
muridnja jang berdiri dibelakangnja dengan tangan lurus kebawah pun diam sadja,
bahkan bergerak sedikitpun tidak.
Habis Po-ting-te bitjara, kemudian Ui-bi berkata dengan pelahan2: Djikalau Yanking Thaytju itu adalah saudara sepupumu, kau sendiri memang tidak enak untuk
bergebrak dengan dia, seumpama mengirim bawahanmu untuk menghadapi dia dengan
kekerasan, rasanja djuga tidak pantas, maksudmu demikian bukan"
Po-ting-te menggangguk, sahutnja: Suheng memang bidjaksana!
Ui-bi tersenjum, ia tidak berkata pula, tapi mendadak mengulur djari tengah
terus ditutukkan pelahan kedepan mengarah dada Po-ting-te.
Po-ting-te tersenjum djuga, iapun ulur djari telundjuknja tepat menutuk udjung
djari orang. Seketika tubuh kedua orang sama2 tergeliat sedikit, lalu menarik
kembali tangan masing2. Dengan mengkerut kening berkatalah Ui-bi: Toan-hiante, aku punja Kim-kong-tjilik toh tak bisa menangkan It-yang-tjimu jang hebat itu"
Tapi dengan kebidjaksanaan dan ketjerdikan Suheng, tidak perlu menang
menggunakan Tji-lik (tenaga djari), udjar Po-ting-te.
Ui-bi tidak berkata pula, ia menunduk memikir.
Tiba2 Po-ting-te berbangkit dan berkata: Sepuluh tahun jang lalu Suheng pernah
minta aku membebaskan tjukai garam bagi segenap rakjat negeri Tayli. Tapi
tatkala itu, pertama, karena perbendaharaan negara belum mengidjinkan; kedua,
Siaute bermaksud menunggu bila adikku Tjing-sun menggantikan tachtaku, barulah
aku melaksanakan politik dalam negeri itu agar setiap rakjat djelata berterima
kasih pada adikku. Tetapi kini aku berpikir lain, besok djuga Siaute akan
memberi perintah pembebasan tjukai garam demi kebahagiaan rakjat.
Ui-bi berbangkit djuga dan memberi hormat, katanja: Hiante sudi beramal bagi
rakjat seluruh negeri, Lotjeng merasa terima kasih tak terhingga.
Lekas2 Po-ting-te membalas hormat orang, lalu tanpa bitjara lagi ia tinggal
keluar dari kelenteng itu.
Pulang sampai dikeraton, segera Po-ting-te memerintahkan dajang mengundang Pah
thian-sik dan Hoa-suto serta memberitahukan pada mereka tentang keputusan
menghapuskan tjukai garam itu. Mengetahui itu, kedua Sukong dan Suto ikut
berterima kasih dan memberi pudjian atas kebidjaksanaan sang radja.
Dan untuk selandjutnja, segala pembiajaan didalam keraton harus diperketjil dan
dihemat mungkin, demikian pesan Po-ting-te lebih landjut.
Sekarang pergilah kalian, tjoba rundingkan dan periksa setjara teliti, apakah
ada pengeluaran2 lain jang perlu dihemat pula.
Segera kedua pedjabat tinggi itu mengia dan mengundurkan diri.
Meski urusan ditjuliknja Toan Ki diperintahkan oleh Po-ting-te agar
dirahasiakan, namun Hoa-suto dan Hoan-suma adalah orang2 kepertjajaan Poting-te
semua, dengan sendirinja tidak perlu dirahasiakan, maka sedjak tadi2 Pah Thiansik sudah beritahukan kepada kedua rekan itu.
Waktu itu Hoan-suma sedang menantikan kabar apa jang bakal dibawa kembali oleh
kedua kawannja jang dipanggil menghadap kekeraton itu. Maka setelah Pah Thiansik dan Hoa-suto memberitahukan tentang keputusan radja akan membebaskan tjukai
garam serta menghemat anggaran belandja negara, Hoan-suma mendjadi ikut
bergirang. Katanja: Hoa-toako dan Pah-hiante, sebabnja Hongsiang memutuskan
untuk menghapuskan padjak garam, tentunja disebabkan putera Tin-lam-ong masih
berada ditjengkeraman musuh, maka ingin mohon belas kasihan Tuhan agar tjalon
mahkota itu diberi berkah untuk pulang dengan selamat. Kita bertiga sama sekali
tak bisa ikut menanggung beban kesukaran djundjungan kita, masakah kita masih
ada muka mendjabat kedudukan setinggi ini di pemerintahan keradjaan"
Utjapan Hoan-djiko memang tidak salah, apa barangkali engkau mempunjai tipu daja
jang bisa menolong Toan-kongtju" tanja Thian-sik.
Hoan-suma ini melulu bernama satu huruf Hua sadja, tabiatnja djenaka, tapi
banjak tipu akalnja, maka djawabnja kemudian:
Djikalau musuh benar2 adalah Yan-king Thaytju, terang Hongsiang tak ingin
bermusuhan dengan dia setjara terang2an. Siaute sih mempunjai suatu akal, tjuma
diperlukan pengorbanan tenaga Hoa-toako.
Kalau tenagaku bisa dipakai, masakah aku berani menolak" Lekaslah Djite
terangkan tipu akalmu" sahut Hoa-suto tjepat.
Menurut keterangan Hongsiang, demikian Hoan Hua, katanja ilmu silat Yan-king
Thaytju itu masih lebih tinggi dari Hongsiang sendiri. Maka bila kita memakai
kekerasan, terang takkan dapat menolong Toan-kongtju. Tapi kalau Hoa-toako sudi,
dapat djuga pekerdjaan Hoa-toako jang dulu tjoba2
dilakukan lagi sekarang. Wadjah Hoa-suto jang lebar dan rada ke-kuning2an itu mendjadi merah, sahutnja
dengan tertawa: Ah, kembali Djite hendak menggoda aku sadja.
Kiranja Hoa-suto ini asalnja bernama A Kin, meski sekarang mempunjai kedudukan
tinggi dinegeri Tayli, tapi dahulunja berasal dari kaum miskin, sebelum dia
mendapat pangkat, kerdjanja jalah membongkar kuburan.
Kepandaiannja jang paling mahir jalah mentjuri isi kuburan dari keluarga
bangsawan dan hartawan. Sebab dalam kuburan2 orang2 demikian tentu banjak
disertai pendaman harta2 pusaka. Dan Hoa A Kin lantas menggangsir dari tempat
djauh, ia menggali suatu djalanan dibawah tanah sampai menembus kedalam kuburan
jang mendjadi sasarannja, disitulah dia mentjuri isi kuburan jang berharga itu.
Tjaranja membongkar kuburan itu dengan sendirinja sangat memakan tenaga dan
waktu, untuk menggangsir satu kuburan terkadang diperlukan sampai sebulan dua
bulan lamanja, tetapi dengan tjaranja menggangsir itu djusteru sangat ketjil
sekali risikonja akan diketahui orang.
Suatu kali, ia berhasil menggangsir kedalam suatu kuburan kuno, disitu ia
mendapatkan sedjilid kitab pusaka melatih silat. Ia lantas melatihnja menurut
petundjuk kitab itu hingga memperoleh ilmu Gwakang jang sangat tinggi, achirnja
iapun lepaskan pekerdjaannja jang tak bermoral itu serta mengabdikan diri kepada
keradjaan, karena djasa2nja selama bertugas, achirnja pangkatnja mentjapai Suto
seperti sekarang ini, jaitu setingkat dengan pembantu menteri.
Setelah mendjadi pembesar, ia anggap namanja jang dulu terlalu ke-kampung2an,
maka namanja lantas diganti mendjadi Hek-kin. Diantara kawan2
karibnja, ketjuali Hoan Hua dan Pah Thian-sik berdua, orang lain djarang jang
tahu asal-usulnja. Maka dengan tertawa Hoan Hua mendjawab: Mana Siaute berani menggoda Toako" Tapi
maksudku jalah, bila kita dapat menjelundup kedalam Ban-djiat-kok, disitu kita
menggangsir satu djalan dibawah tanah jang menembus ketempat kurungan Toankongtju, maka dengan bebas tanpa diketahui oleh musuh, kita tentu dapat
menolongnja keluar. Bagus, bagus! teriak Hek-kin sambil tepuk paha sendiri.
Menggangsir kuburan sebenarnja adalah hal jang paling digemari Hoa Hek-kin.
Meski sudah belasan tahun lamanja pekerdjaan itu tak pernah lagi dilakukan,
namun terkadang bila teringat kembali, tangannja mendjadi gatal lagi. Soalnja
tjuma pangkatnja sekarang sudah tinggi, hidupnja tidak kekurangan, kalau mesti
mendjalankan pekerdjaan menggangsir, bagaimana djadinja kalau diketahui orang"
Maka kini demi ada jang mengusulkan agar dirinja melakukan pekerdjaan lama lagi,
ia mendjadi girang sekali.
Nanti dulu, Hoa-toako djangan buru2 senang dulu, demikian kata Hoan Hua pula.
Dalam urusan kita ini masih banjak kesulitan2nja. Terutama hendaklah diketahui
bahwa Su-tay-ok-djin (empat maha durdjana) telah berada di Ban-djiat-kok semua.
Suami-isteri Tjiong Ban-siu dan Siu-lo-to Tjin Ang-bian tergolong tokoh2 lihay
pula, kalau kita hendak menjelundup kesana, sesungguhnja tidaklah gampang.
Lagipula, Yan-king Thaytju itu senantiasa berduduk djaga didepan rumah batu
tempat Toan-kongtju dikeram, kalau kita harus menggali melalui bawahnja, apakah


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mungkin akan diketahui olehnja"
Hoa Hek-kin memikir sedjenak, sahutnja kemudian: Djalan jang akan kita gangsir
itu harus menembus kedalam rumah itu melalui belakang untuk menghindari tempat
jang didjaga Yan-king Thaytju itu.
Tapi Toan-kongtju setiap saat terantjam bahaja, kalau kita menggangsir pelahan2,
apakah masih keburu" udjar Hoan Hua, Hoan-suma.
Kalau perlu, marilah kita bertiga kerdja keras serentak, usul Hoa-suto.
Tjuma untuk mana kalian harus mendjadi muridku sebagai tukang gangsir kuburan.
Kita adalah Sam-kong (tiga menteri) dari Tayli, biarpun mesti bekerdja
menggangsir, tugas ini betapapun tak bisa ditolak, sahut Pah Thian-sik dengan
tertawa. Maka tertawalah ketiga orang itu.
Kalau sudah mau bekerdja, marilah sekarang djuga kita memulai, adjak Hoa-suto.
Segera Pah Thian-sik melukiskan situasi lembah Ban-djiat-kok itu, dengan riang
gembira Hoa Hek-kin lantas merentjanakan dimana akan dimulai dan dimana akan
berachir dari lorong jang akan digangsirnja nanti. Sedang mengenai tjara
bagaimana harus menghindari pengintaian musuh dan tjara bagaimana mengitari
rintangan batu padas dibawah tanah, hal ini memang merupakan kepandaian tunggal
Hoa-suto jang tiada bandingannja, maka tidak perlu dipersoalkan.
* * * Kembali lagi mengenai Toan Ki.
Sesudah dia memakan sepasang Bong-koh-tju-hap itu, hawa Yang dalam tubuhnja
semakin bergolak dan ber-kobar2, saking luar biasa panasnja, achirnja ia djatuh
pingsan. Dan karena pingsannja itu malah telah menolongnja terhindar dari penderitaan
selama semalam. Sudah tentu ia tidak sadar bahwa selama sehari semalam itu
diluar sudah terdjadi banjak perubahan2: Ajahnja telah diangkat mendjadi tjalon
pengganti paman dan dia sendiri sudah dilamarkan puterinja Ko Sing-thay ~ Ko Bi
~ sebagai isteri. Diseluruh kota Tayli saat itu sedang diadakan perajaan
besar2an untuk meriahkan kedua peristiwa menggembirakan itu, sekaligus untuk
merajakan dihapusnja padjak garam rakjat oleh pemerintah. Sedangkan dia sendiri
masih bersandar didinding batu itu dalam keadaan tidak sadar.
Sampai besok lohor, barulah Toan Ki agak sadar ketika bekerdjanja ratjun Imyang-ho-hap-san dan Bong-koh-tju-hap jang sangat hebat itu kebetulan berhenti
bersama untuk sementara. Tapi setelah lewat waktu berhenti ini dan bila kumat
lagi, maka serangan2 hawa ratjun itu akan bertambah hebat. Toan Ki tidak insaf
bahaja apa jang masih mengeram didalam tubuhnja, dengan sadarnja pikiran,
walaupun badan masih sangat lemas, ia menjangka kalau ratjunnja sudah mulai
hilang. Dan selagi dia hendak bitjara dengan Bok Wan-djing, tiba2 terdengar diluar rumah
batu itu ada suara seorang tua lagi berkata: Sembilan garis malang-melintang,
entah betapa banjak digemari orang. Apakah Kisu djuga ada minat untuk tjoba2
satu babak dengan Lotjeng"
Toan Ki mendjadi heran, ia tjoba mengintip keluar melalui tjelah2 batu.
Maka tertampaklah seorang Hwesio tua jang bermuka keriput dan beralis kuning
pandjang, sedang berdjongkok sambil menggunakan djari tangannja lagi meng-gores2
garis lurus diatas sebuah batu besar jang rata. Begitu hebat tenaga djarinja itu
hingga terdengar suara srak-srek disertai menghamburnja bubuk2 batu, lalu
djadilah satu garis lurus jang pandjang diatas batu itu.
Toan Ki terkedjut. Meski dia tak bisa ilmu silat, tapi sebagai keturunan tokoh
silat terkemuka, sering djuga ia menjaksikan sang paman dan ajahnja diwaktu
melatih It-yang-tji. Ia pikir wadjah paderi tua ini lapat2 seperti sudah pernah
kenal, tenaga djarinja ternjata demikian lihaynja, mampu menggores batu mendjadi
satu garis jang dalam. Tji-lik atau tenaga djari demikian adalah sematjam ilmu
Gwakang jang mengutamakan kekerasan tenaga melulu, agaknja berbeda dengan Ityang-tji jang dilatih paman dan ajahnja itu.
Maka terdengar pula suara seorang jang tak lampias berkata: Bagus, sungguh Kimkong-tji-lik jang hebat! ~ Terang itu adalah suaranja sibadju hidjau alias Okkoan-boan-eng. Segera tampak sebatang tongkat bambunja mendjulur keatas batu, dengan radjin
iapun menggores satu garisan diatas batu itu, tjuma kalau Ui-bi-tjeng atau
paderi alis kuning itu menggores garisan lurus, adalah garisannja sekarang
malang, hingga berwudjud satu garis palang dengan goresan paderi tadi.
Dari dalam rumah batu itu Toan Ki tidak bisa melihat bagaimana tjara bergeraknja
Djing-bau-khek itu, ia pikir tongkat itu dengan sendirinja lebih keras daripada
djari manusia, sudah tentu lebih menguntungkan bagi jang memakainja. Namun djari
lebih pendek dan tongkat lebih pandjang, untuk menggores garisan diatas batu
dengan memakai tongkat sepandjang itu, terang tenaga jang dikeluarkan akan djauh
lebih besar daripada memakai djari.
Lalu terdengar Ui-bi-tjeng berkata pula dengan tertawa: Djika Toan-sitju sudi
memberi petundjuk, itulah sangat baik. ~ Habis itu, kembali ia menggaris lagi
diatas batu dengan djarinja.
Hlm. 31: Gambar Jang satu menggores dengan djari dan jang lain menggaris dengan tongkat, maka
hanja sekedjap sadja sebuah peta tjatur bergaris malang-melintang telah djadi
digambar diatas batu. Segera Djing-bau-khek menambahi garisan malang lagi seperti tadi.
Dengan demikian, jang satu menggaris lurus dan jang lain menggaris malang, makin
lama makin lambat goresan masing2, kedua orang sama2
memusatkan tenaga masing2 untuk menggores garisan sendiri2 agar setiap garisan
bisa dilakukan dengan tjukup dalam dan sama radjinnja seperti semula.
Harus diketahui bahwa pertandingan diantara tokoh2 terkemuka, soal menang atau
kalah melulu tergantung sedikit selisih sadja, asal satu garisan diantaranja
menundjukan kurang dalam atau mentjeng, maka itu berarti sudah kalah.
Maka kira2 setanakan nasi lamanja, sebuah peta tjatur jang berdjumlah 19 garis
malang melintang itu sudah selesai digaris dengan radjin.
Diam2 Ui-bi-tjeng membatin: Apa jang dikatakan Po-ting-te memang tidak salah.
Tenaga dalam Yan-king Thaytju ini benar2 luar biasa dan sedikitpun tidak
dibawahnja Po-ting-te sendiri.
Sebaliknja Yan-king Thaytju alias Djing-bau-khek itu terlebih kedjut lagi, kalau
datangnja Ui-bi-tjeng memang sudah disengadja dan bersiap-sedia sebelumnja,
adalah Yan-king Thaytju sendiri sama sekali tidak menjangka apa2, maka pikirnja:
Aneh, darimanakah mendadak bisa muntjul seorang Hwesio tua selihay ini" Terang
datangnja ini adalah atas undangan Toan Tjing-beng, dalam saat demikian, kalau
Toan Tjing-beng lantas ikut menjerbu kedalam untuk menolong Toan Ki, terang aku
tak berdaja untuk merintanginja.
Dalam pada itu Ui-bi-tjeng sedang berkata: Betapa tinggi kepandaian Toan-sitju,
sungguh aku sangat kagum, maka dalam hal kekuatan tjatur rasanja djuga akan
berpuluh kali lebih pandai dari Lotjeng, terpaksa Lotjeng minta Toan-sitju suka
mengalah empat bidji dahulu.
Djing-bau-khek tertjengang, pikirnja: Meski aku tak kenal asal-usulmu, tapi
tenaga djarimu begini lihay, dengan sendirinja adalah orang kosen jang tidak
sembarangan. Baru mulai menantang pertempuran padaku, kenapa begitu buka mulut
lantas minta aku mengalah"
Segera katanja: Kenapa Taysu mesti merendah diri, djika toh harus menentukan
kalah menang, dengan sendirinja kita harus madju sama tingkat dan sama deradjat.
Tidak, tetap Toan-sitju harus mengalah empat bidji, sahut Ui-bi-tjeng.
Aneh djuga usul Taysu ini, udjar Djing-bau-khek dengan tawar. Djikalau Taysu toh
mengaku kepandaian tjaturmu tidak lebih tinggi dari Tjayhe, maka boleh tak usah
kita bertanding sadja. Djika begitu, sudilah mengalah tiga bidji sadja, bagaimana" kata Ui-bi-tjeng
pula. Biarpun mengalah satu bidji, namanja djuga mengalah, sahut Djing-bau-khek alias
Yan-king Thaytju. Hahaha! tiba2 Ui-bi-tjeng tertawa. Kiranja dalam ilmu main tjatur, kepandaianmu
sangat terbatas, djika demikian biarlah aku jang mengalah padamu tiga bidji.
Itupun tidak perlu, sahut Djing-bau-khek. Mari kita mulai dengan kedudukan sama.
Diam2 Ui-bi-tjeng bertambah waspada dan prihatin, pikirnja: Orang ini tidak
sombong djuga tidak gopoh, sebaliknja tenang dan susah diduga, sungguh merupakan
satu lawan jang tangguh. Meski aku sudah memantjingnja dengan berbagai djalan,
toh ia tetap tidak berubah sikapnja.
Kiranja Ui-bi-tjeng insaf dirinja tiada harapan buat menangkan It-yang-tji dari
Djing-bau-khek itu. Ia tahu orang jang gemar tjatur, umumnja suka menang
sendiri, bila diminta agar mengalah dua, tiga bidji tjatur, biasanja tentu
diluluskan. Sebagai seorang pertapaan, Ui-bi-tjeng memandang soal nama sebagai
sesuatu jang tak berarti. Asal Yan-king Thaytju bersedia mengalah sedikit dalam
permainan tjatur itu, maka dalam pertarungan sengit itupun dia akan ada harapan
buat menang. Siapa duga sifat Yan-king Thaytju itu ternjata lain dari jang lain, ia tidak mau
ambil keuntungan atas orang lain, tapi djuga tidak mau dirugikan orang, setiap
tindak-tanduknja sangat prihatin dan tegas.
Karena tiada djalan lain lagi, terpaksa Ui-bi-tjeng berkata: Baiklah, engkau
adalah tuan rumah, aku adalah tamu, aku jang main dulu.
Tidak, sahut Djing-bau-khek. Tamu mana boleh merebut hak tuan rumah"
Aku jang main dulu! Wah, djika demikian, rupanja kita harus sut dulu, kata Ui-bi-tjeng.
Baik begini sadja, tjoba kau terka umurku tahun ini gandjil atau genap "
Djika betul engkau terka, kau main dulu, kalau salah terka, aku main dulu.
Umpama tepat aku menerkanja, tentu engkau djuga akan menjangkal , udjar Djingbau-khek. Baiklah, boleh engkau menerka sesuatu jang tidak mungkin aku bisa menjangkal,
kata Ui-bi-tjeng pula. Tjoba kau terka, bila Lotjeng sudah berumur 70 tahun,
djari kedua kakiku akan gandjil atau genap "
Teka-teki ini benar2 sangat aneh. Mau-tak-mau Djing-bau-khek harus memikir:
Umumnja djari kaki orang berdjumlah sepuluh, djadi genap. Tapi dia menegaskan
bila sudah berumur 70, terang maksudnja agar aku menjangka kelak djari kakinja
akan berkurang satu, djika demikian halnja, tentu aku akan menerka djarinja
berdjumlah gandjil. Namun seperti dikatakan ilmu siasat bahwa kalau berisi,
katakanlah kosong; kalau kosong katakanlah berisi. Djangan2 djari kakinja tetap
sepuluh, tapi sengadja main gertak.
Mana bisa aku ditipu olehnja"
Karena itu, segera ia mendjawab: Berdjumlah genap!
Salah, tapi berdjumlah gandjil, kata Ui-bi-tjeng.
Tjoba buka sepatu, periksa buktinja, sahut Djing-bau-khek.
Terus sadja Ui-bi-tjeng membuka sepatu dan kaos kaki kiri, ternjata djari
kakinja masih tetap utuh berdjumlah lima. Ketika Djing-bau-khek memperhatikan
wadjah paderi itu, ia lihat orang mengundjuk senjum, sikapnja tenang2 sadja,
mau-tak-mau ia membatin: Wah, kiranja djari kaki kanannja memang tjuma tinggal
empat. Dalam pada itu Ui-bi-tjeng sedang membuka sepatu lagi dengan pelahan2, ketika
mulai menanggalkan kaos kakinja, hampir2 Djing-bau-khek berseru suruh djangan
membuka lagi dan menjerahkan orang main dulu. Namun sekilas timbul pula
pikirannja: Ah, tidak bisa, djangan aku tertipu olehnja.
Dan benar djuga, ia lihat kaos kaki kanan paderi itu sudah dilepas dan djari
kaki kanan itupun tampak masih utuh berdjumlah lima tanpa tjatjat apa2.
Meski badan Djing-bau-khek itu sudah tjatjat dan mukanja kaku tanpa emosi hingga
tidak kentara apa jang dirasakannja waktu itu, sebenarnja dalam sekedjapan itu
hatinja sudah ber-ganti2 berbagai perasaan untuk men-duga2 sebenarnja apakah
maksud tudjuan perbuatan Ui-bi-tjeng itu. Dan ia mendjadi bersjukur ketika
achirnja melihat tebakannja djitu, jaitu djari kedua kaki paderi itu toh tetap
berdjumlah genap sepuluh.
Diluar dugaan, se-konjong2 Ui-bi-tjeng terus angkat telapak tangan kanan dan
memotong kebawah sebagai pisau, krek, tahu2 djari ketjil kaki kanan itu telah
dipotongnja putus. Sekalipun keenam anak muridnja jang berdiri dibelakang sang guru itu sudah dalam
djuga beladjar ilmu Budha, setiap orangnja bisa berlaku tenang meski menghadapi
keadaan bagaimanapun djuga. Tapi mendadak nampak sang guru membikin tjatjat
anggota badan sendiri, darah lantas mengutjur djuga, karuan sadja mereka
terperandjat, bahkan murid jang termuda jang bernama Boh-ban Hwesio, sampai
berseru kaget pelahan. Tjepat murid keempat, Boh-gi Hwesio, mengeluarkan obat luka untuk dibubuhkan
diatas kaki Suhunja itu. Menjusul berkatalah Ui-bi-tjeng dengan tertawa: Tahun ini Lotjeng berumur 69,
bila berumur 70 tahun nanti, persis djariku adalah berdjumlah gandjil.
Tanpa pikir lagi Djing-bau-khek mendjawab: Benar. Silahkan Taysu main dulu.
Njata sebagai tokoh dari Su-ok jang berdjuluk orang djahat nomor satu didunia,
perbuatan kedjam dan ganas apa didunia ini jang tidak pernah dilakukannja atau
dilihatnja, maka terhadap kedjadian memotong satu djari kaki jang sepele itu,
tentu sadja tidak terpikir olehnja. Tjuma bila mengingat bahwa melulu untuk
merebut hak main dulu dalam tjatur, Hwesio tua ini rela memotong djari kakinja
sendiri, maka dapat dipastikan bahwa tudjuan paderi itu harus menangkan
pertjaturan itu, dan bila dirinja kalah, bukan mustahil sjarat2 jang akan
dikemukakan paderi itu tentu pelit luar biasa.
Maka berkatalah Ui-bi-tjeng: Terima kasih atas kesudianmu mengalah. ~
Segera ia ulur djarinja terus menekan kedua udjung peta tjatur dengan masing2
satu kali. Karena tekanan djari itu, diatas batu lantas mendekuk dua lubang
hingga mirip dua bidji tjatur hitam.
Segera Djing-bau-khek angkat tongkatnja djuga dan menggores dua lingkaran ketjil
dikedua udjung lain dari peta tjatur itu. Lingkaran ketjil jang mendekuk itupun
mirip dua bidji tjatur putih.
Tjara pembukaan main tjatur dengan menaruh dua bidji tjatur dikedua udjung itu
adalah lazim dilakukan dalam permainan tjatur kuno jang mirip permainan damdaman djaman sekarang. Begitulah, maka setjara bergiliran kedua orang itu saling menaruhkan bidji
tjaturnja masing2 dengan tekanan tenaga djari dan goresan tongkat.
Mula2 tjara menaruh mereka sangat tjepat, tapi lambat-laun mendjadi pelahan.
Sedikitpun Ui-bi-tjeng tidak berani ajal, ia tetap menguasai permainan berkat
hak bermain dahulu tadi jang ditukarnja dengan memotong djari kaki itu.
Sampai belasan bidji tjatur sudah didjalankan, pertarungan ternjata bertambah
sengit dan pertahanan masing2pun semakin kuat, tapi tenaga jang dikeluarkan
kedua orangpun semakin besar. Disamping memusatkan pikiran untuk menangkan
permainan tjatur itu, dilain pihak harus kerahkan tenaga untuk menekan atau
menggores batu sekuatnja. Maka makin lama makin lambatlah permainan mereka itu.
Diantara keenam murid jang ikut datang bersama Ui-bi-tjeng itu, murid ketiga,
Boh-tin Hwesio djuga seorang penggemar tjatur. Ia mendjadi sangat kagum dan
gegetun demi nampak ilmu permainan tjatur gurunja dengan Djing-bau-khek jang
hebat itu. Ketika tiba langkah ke-24, mendadak Djing-bau-khek melakukan serangan
aneh hingga kedudukan masing2 segera berubah banjak, kalau Ui-bi-tjeng tidak
segera balas dengan langkah jang tepat, pasti pertahanannja akan bobol.
Tampak Ui-bi-tjeng memikir agak lama, agaknja seketika masih belum mendapat
tjara jang baik untuk balas serangan lawan itu. Tiba2 terdengar dari dalam rumah
batu itu ada orang berkata: Balas gempur sajap kanan, tetap menguasai permainan!
Kiranja sedjak ketjil Toan Ki djuga sudah mahir main tjatur. Kini melihat
permainan kedua orang itu, ia mendjadi getol dan ikut2 bitjara.
Penonton memang lebih djelas dari jang main. Demikian orang mengatakan.
Apalagi kepandaian tjatur Toan Ki memang lebih tinggi daripada Ui-bi-tjeng,
ditambah sudah mengikuti dari samping sedjak tadi, ia mendjadi lebih terang
dimana letak kuntji permainannja.
Maka terdengar Ui-bi-tjeng telah berkata dengan tertawa: Memangnja Lotjeng sudah
pikir begitu, tjuma masih ragu2, tapi dengan utjapan Sitju, Lotjeng mendjadi
mantap sekarang. ~ Terus sadja ia taruh bidjinja disajap kanan jang dimaksud
itu. Penonton jang tidak bitjara adalah Tjin-kun-tju (djantan tulen), orang jang
ambil keputusan sendiri adalah Tay-tiang-hu (laki2 sedjati), demikian Djing-baukhek menjindir. Kau telah kurung aku disini, sedjak kapan engkau adalah Tjin-kun-tju", segera
Toan Ki berteriak. Dan aku adalah Tay-hwesio dan bukan Tay-tiang-hu, sahut Ui-bi-tjeng tertawa.
Huh, tidak malu! djengek Djing-bau-khek. Segera iapun taruh bidjinja dengan
menggores satu lingkaran ketjil lagi.
Tapi lewat beberapa langkah lagi, kembali Ui-bi-tjeng menghadapi serangan
bahaja. Boh-tin Hwesio mendjadi kuatir karena melihat gurunja tak berdaja
memetjahkannja, sedangkan Toan Ki djuga diam sadja. Segera ia mendekati pintu
batu itu dan menanja dengan pelahan: Toan-kongtju, langkah ini bagaimana harus
mendjalankannja" Djalan jang baik sih sudah kupikirkan, demikian sahut Toan Ki. Tjuma djalan ini
seluruhnja meliputi tudjuh langkah, kalau kukatakan begini hingga didengar
musuh, tentu akan gagal djuga rentjanaku, makanja aku diam sadja tidak buka
suara. Terus sadja Boh-tin ulur telapak tangan kanan kedalam rumah itu melalui tjelah2


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu, bisiknja: Silahkan tulis disini.
Toan Ki pikir bagus djuga akal ini, segera ia gunakan djarinja menuliskan
ketudjuh langkah tjatur jang ditjiptakan itu ditelapak tangan Boh-tin.
Boh-tin memikir sedjenak, ia pikir langkah2 tjatur jang ditulis pemuda itu
memang sangat tinggi, tjepat ia kembali kebelakang sang guru dan menulis djuga
dipunggung Suhu dengan djari. Karena djubahnja sangat longgar hingga tangannja
tertutup semua, maka Djing-bau khek tidak tahu apa jang sedang dilakukan orang.
Setelah mendapat petundjuk itu, Ui-bi-tjeng memikir sekedjap, lalu menurutkan
petundjuk itu dan mendjalankannja satu langkah.
Hm, langkah ini adalah adjaran orang lain, agaknja kepandaian tjatur Taysu masih
belum mentjapai setingkatan ini, djengek Djing-bau-khek.
Tapi dengan tertawa Ui-bi-tjeng mendjawab lagi: Permainan tjatur memangnja harus
mengadu ketjerdasan. Jang pintar pura2 bodoh, mahir djuga berlagak tak bisa.
Kalau tingkatan permainan tjatur Lotjeng diketahui Sitju, lalu buat apa
pertandingan ini diadakan"
Huh, main litjik, main sulap dibawah lengan badju, sindir Djing-bau-khek pula.
Rupanja iapun menduga Boh-tin jang mondar mandir dan me-megang2 punggung gurunja
itu pasti sedang main gila. Tjuma dia sedang mentjurahkan perhatiannja diatas
papan tjatur, terpaksa ia tak bisa mengurus apa jang terdjadi disamping situ.
Untuk selandjutnja Ui-bi-tjeng lantas mendjalankan enam langkah menurut saran
Toan Ki itu tanpa banjak pikir, ia hanja kerahkan sepenuh tenaga djarinja untuk
menekan enam bidji tjatur itu diatas batu hingga dekuknja lebih dalam serta
lebih bulat. Melihat enam langkah itu makin lama makin kuat, Djing-bau-khek rada terdesak,
terpaksa ia harus peras otak memikirkan langkah2 perlawanan, kini ia terpaksa
mesti bertahan sadja sekuatnja, lingkaran jang digores diatas batu dengan
tongkat bambu itu tidak sedalam seperti tadi lagi.
Diluar dugaan, ketika mesti mendjalankan langkah keenam sesudah gilirannja Uibi-tjeng, mendadak ia memikir lebih lama, habis itu, tiba2
ia djalankan bidjinja pada suatu tempat jang tak ter-sangka2 dan sama sekali
diluar taksiran Toan Ki. Karuan Ui-bi-tjeng melongo, pikirnja: Pemikiran ketudjuh langkah Toan-kongtju
ini sangat teliti dan bagus, tampaknja setiap langkah aku sudah mulai
mendesaknja, tapi dengan perubahannja jang mendadak dan hebat ini, rasanja
langkahku jang ketudjuh ini tak bisa didjalankan lagi dan bukankah akan sia2
sadja serangan2 tadi"
Harus diketahui bahwa dalam hal kepandaian main tjatur memang Djing-bau-khek
lebih mahir daripada Ui-bi-tjeng atau sipaderi beralis kuning, maka begitu ia
melihat gelagat djelek, segera ia mengadakan perubahan2
siasat, ternjata tidak mau dia masuk perangkap jang diatur Toan Ki itu.
Karuan jang kelabakan adalah Ui-bi-tjeng.
Melihat perubahan diluar dugaan itu, pula nampak gurunja memikir sampai lama
masih belum mendapatkan akal jang sempurna, segera Boh-tin mendekati rumah batu
pula, dengan pelahan ia uraikan keadaan pertjaturan itu kepada Toan Ki serta
meminta petundjuknja. Toan Ki memikir sedjenak, segera iapun mendapat akal lain, ia minta Boh-tin ulur
tangannja agar bisa ditulis lagi petundjuknja diatas telapak tangan.
Boh-tin menurut dan ulurkan tangannja kedalam rumah batu itu. Tapi baru sadja
Toan Ki mentjorat-tjoret beberapa kali ditelapak tangan orang, sekonjong2 antero
badannja terasa berguntjang, dari perutnja mendadak terasa ada hawa panas
menerdjang keatas hingga seketika mulutnja serasa kering, matanja ber-kunang2.
Tanpa pikir lagi tangannja mentjengkeram sekenanja hingga tangan Boh-tin tadi
dipegangnja erat2. Tentu sadja Boh-tin kaget ketika mendadak tangannja digenggam Toan Ki dengan
kentjang, ia mendjadi lebih kaget lagi ketika merasa hawa murni dalam badan
sendiri terus-menerus mengalir keluar karena disedot melalui telapak tangan jang
digenggam orang itu. Saking kedjutnja terus sadja ia berteriak: Hei, Toankongtju, apa jang kau lakukan ini"
Perlu diketahui bahwa hawa murni setiap orang jang melatih ilmu silat jang
mengutamakan Lwekang, maka hawa murni dalam tubuh adalah besar sangkut-pautnja
dengan djiwanja, semakin kuat hawa murninja, semakin tinggi pula ilmu
Lwekangnja. Dan bila hawa murni itu hilang, sekalipun orangnja tidak mati, tentu
djuga seluruh ilmu silatnja akan kandas dan mirip orang tjatjat selama hidup.
Boh-tin Hwesio sendiri sudah berumur lebih 40 tahun, tapi ia tidak pernah kawin,
dus berbadan djaka ting-ting, selama berpuluh tahun giat melatih Lwekang, maka
hawa murni dalam tubuhnja boleh dikata kuat luar biasa. Akan tetapi begitu
telapak tangannja menempel tangan Toan Ki, seketika hawa murni dalam tubuhnja
se-akan2 air bah jang bobol tanggulnja terus mengalir keluar tanpa bisa ditjegah
sama sekali. Ia membentak ber-ulang2 untuk menanja, namun saat itu keadaan Toan Ki sudah tak
sadarkan diri. Maksud Boh-tin hendak melepaskan tangannja, tapi aneh bin adjaib,
kedua tangan itu seperti sudah lengket mendjadi satu, betapapun susah dipisahkan
lagi, dan hawa murni dalam tubuh Boh-tin tetap mengalir keluar tak pernah
berhenti. Kiranja Bong-koh-tju-hap atau katak merah bersuara kerbau jang dimakan oleh Toan
Ki itu mempunjai sematjam kasiat aneh pembawaan jang bisa mengisap ular beratjun
dan serangga berbisa lain. Binatang aneh itu berasal dari perkawinan tjampuran
dari ber-matjam2 ular berbisa hingga beberapa keturunan. Tjiong Ban-siu suamiisteri dan Tjiong Ling tjuma tahu bahwa sepasang katak itu bisa memanggil ular,
tapi tidak tahu bila orang memakannja, maka akan timbul reaksi aneh pada orang
jang memakannja itu. Namun hendaklah maklum djuga bahwa setjara kebetulan Toan
Ki bermaksud membunuh diri hingga setjara ngawur telah makan katak2 aneh itu.
Kalau tidak, tjoba siapakah orangnja jang berani makan binatang jang dapat
mengalahkan ular2 berbisa itu"
Sesudah Toan Ki makan sepasang katak merah itu, segera timbul pertentangan
dengan ratjun Im-yang-ho-hap-san jang bekerdja didalam perut itu. Hawa positip
atau kelakiannja mendjadi luar biasa kerasnja hingga susah ditahan, bahkan
timbul pula sematjam sifat istimewa jang bisa menjedot hawa murni orang lain.
Waktu itu hawa murni Boh-tin masih terus-menerus mengalir ketubuh Toan Ki,
seumpamakan Toan Ki dalam keadaan sadar, pemuda itupun tidak bisa menggunakan
tenaga dalam untuk melepaskan tangan Boh-tin, apalagi ia dalam keadaan tak
sadar, hakikatnja ia tidak tahu apa jang sedang terdjadi.
Boh-tin mendjadi kelabakan ketika merasa hawa murninja terus mengalir keluar,
terpaksa ia ber-teriak2: Tolong, Suhu, tolong!
Mendengar itu, kelima murid Ui-bi-tjeng jang lain tjepat berlari mendekati Bohtin, tapi karena tidak kelihatan apa jang terdjadi didalam rumah batu itu,
mereka hanja ribut menanja: Ada apa, Sute" ~ Dan ada pula jang memanggil:
Suheng! Ada apakah" Tang ..... tanganku! seru Boh-tin sambil berusaha hendak menarik kembali
tangannja sekuat mungkin. Namun waktu itu hawa murninja sudah hilang 8-9 bagian,
untuk bersuara sadja sudah hampir tak kuat, apalagi hendak menarik tangan"
Boh-ban Hwesio, itu murid keenam, tanpa pikir terus ikut pegang tangan sang
Suheng dengan maksud membantu menarik. Tak tersangka, begitu tangan menempel,
kontan seluruh badannja ikut tergetar seperti kena aliran listrik, hawa murni
dalam tubuhnja djuga ber-golak2 mengalir keluar, karuan ia kaget dan berteriak2: Aduh, tjelaka! Kiranja setjara tidak sengadja Toan Ki telah makan sepasang katak adjaib itu
hingga timbul sematjam Tju-hap-sin-kang atau tenaga sakti katak merah dalam
badannja jang mempunjai daja sedot jang tak terbatas kuatnja. Siapa jang ketemu
padanja, siapa lantas diisapnja, ketemu A, lantas A diisap, ketemu B, segera B
disedot. Bahkan orang ketiga kalau menempel badan orang jang tersedot itu,
setjara kontan hawa murninja djuga akan ikut disedot seperti kena arus
listrik......... * * * Kembali bertjerita tentang tiga tokoh dari Tayli, jaitu Suto Hoa Hek-kin, Suma
Hoan Hua dan Sukong Pah Thian-sik.
Sesudah mereka menjelundup kedalam Ban-djiat-kok, mereka lantas pilih tempat
jang telah direntjanakan dan terus menggangsir liang dibawah tanah.
Sebenarnja Ban-djiat-kok itu ada jang djaga, tapi sedjak kuburan jang merupakan
pintu masuk itu dibabat rata oleh orang2 jang dibawa Po-ting-te, tempat itu
mendjadi bebas untuk keluar-masuk tanpa rintangan.
Setelah ketiga orang itu menggali semalaman, sudah berpuluh meter djauhnja
lorong jang mereka gali. Hoa Hek-kin adalah ahli menggangsir, dibantu lagi
djago2 seperti Pah Thian-sik dan Hoan Hua, tentu sadja kemadjuan2 mereka sangat
pesat, mereka bertiga mengaso bergiliran, apalagi rangsum dan air minum sudah
tersedia hingga mereka tidak kekurangan perbekalan.
Hari kedua mereka menggali pula sepandjang hari, sampai petangnja, mereka taksir
sudah tidak djauh lagi djaraknja dengan rumah batu jang mereka tudju. Mereka
tahu ilmu silat Yan-king Thaytju sangat tinggi, alat2 gali mereka harus pelahan2
supaja tidak mengeluarkan suara. Sebab bagi orang jang Lwekangnja sudah tinggi,
biarpun dalam keadaan tidur pulas djuga akan terdjaga bangun bila mendengar
sedikit suara berisik. Karena kekuatiran itu, kemadjuan mereka lantas banjak dilambatkan.
Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa saat itu Yan-king Thaytju djusteru lagi
pusatkan perhatiannja sedang mengukur kepandaian tjatur dengan Ui-bi-tjeng
disertai adu tenaga dalam, maka takkan dapat merasakan suara jang timbul dari
bawah tanah itu. Kiranja waktu Ui-bi-tjeng melihat keenam muridnja berkerumun diluar rumah batu
dengan ribut2, tampaknja terdjadi sesuatu jang aneh, ia menjangka Yan-king
Thaytju telah pasang perangkap apa2 didepan rumah batu itu hingga murid2nja itu
telah terdjebak. Maka katanja segera: Sitju terlalu banjak bertingkah jang
aneh2, Lotjeng harus pergi kesana melihatnja dulu. ~ Sembari berkata, ia terus
berbangkit. Tak terduga Djing-bau-khek djusteru tidak mau melepaskannja, tiba2
tongkat kiri diangkat terus menutuk keiga kiri Ui-bi-tjeng sambil berkata: Babak
tjatur ini belum selesai, djikalau Taysu mau mengaku kalah, boleh silahkan
pergi. Tjepat Ui-bi-tjeng angkat tangan kiri terus hendak pegang udjung tongkat orang.
Namun tongkat Djing-bau-khek lantas ditarik kembali, menjusul udjung tongkat itu
berkeder sambil menutuk pula kebawah dada sipaderi. Mendadak Ui-bi-tjeng
memotong kebawah dengan telapak tangan, tapi tongkat itu sudah ditarik kembali
lagi serta berobah pula dengan gerak serangan lain. Hanja sekedjap sadja kedua
orang itu sudah saling gebrak beberapa djurus.
Hlm. 41: Gambar Sungguh tjelaka bagi keenam murid Ui-bi-tjeng itu, seperti terkena aliran
listrik sadja, satu-sama-lain telah melengket tersedot oleh Tju-hap-sin-kang
jang tiba2 timbul dalam tubuh Toan Ki. Sebaliknja Ui-bi-tjeng jang sedang
mentjapai titik menentukan mati-hidup dalam pertandingannja melawan tjatur dan
Lwekang tokoh utama dari Su-ok itu terbaksa takbisa djuga menolong murid2nja
itu. Ui-bi-tjeng pikir tongkat orang menang pandjang, terang lebih leluasa dibuat
menjerang. Sementara itu tongkat itu tampak sedang menutuk lagi kearahnja, tanpa
pikir lagi iapun ulur djari tengah, ia intjar udjung tongkat orang dan menutuk
djuga. Djing-bau-khek tidak menghindar, ia benturkan udjung tongkatnja pada udjung
djari lawan. Keduanja saling mengadu tenaga dalam masing2. Dan baru sekarang Uibi-tjeng mengerti bahwasanja ditengah tongkat orang itu dipasang pula dengan
londjoran besi, pantas sadja begitu keras. Dan meski tongkat itu digentjet oleh
dua tenaga raksasa dari dua ahli Lwekang jang tinggi toh tidak nampak bengkok
sedikitpun. Wah, rupanja ini adalah langkah simpanan Taysu jang tidak sembarangan
dikeluarkan, lalu, apakah pertjaturan kita ini Taysu akan mengaku kalah
sekarang" kata Djing-bau-khek.
Haha, belum tentu aku akan kalah, sahut ui-bi-tjeng ter-bahak2, berbareng djari
kanan lantas menutul lagi sekali diatas batu hingga menambah lagi satu dekukan.
Tapi Djing-bau-khek tanpa pikir djuga balas menggores lagi satu kali.
Dengan demikian, disamping mengadu Lwekang, kedua orang sambil bertanding tjatur
pula. Ui-bi-tjeng insaf dalam keadaaan demikian bila mesti memikirkan pula
keselamatan murid2nja, mungkin djiwa sendiri akan melajang lebih dulu. Padahal
muntjulnja sekali ini adalah untuk memenuhi undangan Po-ting-te.
Sepuluh tahun jang lalu Ui-bi-tjeng pernah memohon kemurahan hati Poting-te agar
suka menghapuskan pungutan padjak garam rakjat, dan harapan itu baru sekarang
diluluskan, meski kedua orang tidak bitjara setjara terang2an, namun sebagai
timbal-baliknja sudah pasti Ui-bi-tjeng harus dapat menolong Toan Ki.
Sebab itulah Ui-bi-tjeng tidak berani pentjarkan perhatiannja untuk mengurus
keadaan murid2nja itu. Ia sudah bertekad, sekalipun djiwa sendiri harus
melajang, Toan Ki harus diselamatkan demi memenuhi djandji kepada Toan Tjingbeng. Maka ia tjuma kerahkan tenaga dalamnja untuk menandingi musuh disamping
asjik memikirkan pertjaturan jang sangat tegang itu, sekuat tenaga ia bertahan
mati2an. Dalam pada itu Tju-hap-sin-kang dari Toan Ki jang mempunjai daja sedot luar
biasa itu, setelah hampir kering mengisap hawa murni Boh-tin Hweshio, kemudian
ditambah lagi menempelnja Boh-ban Hweshio, sekaligus korban kedua lantas disedot
pula hawa murninja. Karuan terdjadilah sesuatu jang hebat, sebagai seorang jang
sama sekali tidak pernah beladjar silat, seketika Toan Ki telah berubah mendjadi
seorang jang memiliki keuletan tenaga berpuluh tahun lamanja.
Murid Ui-bi Hwesio jang pertama bernama Boh-tam dan kedua Boh-ay, kedua orang
itu mendjadi sibuk demi melihat gelagat kedua Sutenja tidak benar, tjepat
merekapun mendekati, jang satu hendak menarik Boh-tin dan jang lain menarik Bohban. Akan tetapi, dengan sendirinja merekapun ikut tersedot pula oleh Tju-hap-sinkang jang lihay. Boh-tam dan Boh-ay terhitung paling tinggi Lwekangnja diantara murid2
Ui-bi-tjeng itu. Ketika merasa hawa murni dalam tubuh bergolak mengalir keluar,
tjepat mereka pusatkan tenaga untuk menahan, meski sesaat itu mereka masih bisa
bertahan hingga hawa murni tidak membandjir keluar disedot Toan Ki, namun
djangan sekali2 mereka lengah, asal sedikit ajal, segera hawa murni merembes
keluar lagi. Tatkala itu Toan Ki masih tetap tak sadar, badannja panas bagai dibakar penuh
hawa murni jang bergolak. Semakin banjak hawa murni dari keempat Hwesio itu
mengalir masuk ketubuhnja, semakin kuat pula daja isap Tju-hap-sin-kang jang
hebat itu. Sjukurlah dasarnja dia tiada punja maksud menjedot hawa murni
korban2nja itu, maka Boh-tam dan Boh-ay masih dapat bertahan, tapi karena
sedikit2 toh terus merembes, sedikit2 achirnja mendjadi banjak djuga, itu
berarti daja tahan sendiri semakin berkurang, sebaliknja daja sedot lawan
bertambah kuat, maka sampai achirnja perembesan hawa murni merekapun semakin
santer keluarnja. Murid keempat dan murid kelima masing2 bernama Boh-ti dan Boh-ek mendjadi
tertegun menjaksikan Suheng2 dan Sute2 mereka jang tjelaka itu.
Maksudnja ingin minta pertolongan sang guru, tapi tampak gurunja djuga sedang
bertanding tenaga dalam dengan musuh, saat itupun sudah mentjapai titik2
menentukan hidup atau mati. Karuan mereka kelabakan berlari kesana kesini tanpa
berdaja. Sampai achirnja, karena dorongan sesama saudara seperguruan, merekapun
tidak pikir pandjang lagi dan segera ikut2 menarik Boh-tam dan Boh-ay sekuatnja.
Waktu itu Tju-hap-sin-kang sudah bertambah dengan hawa murni dari Boh-tam, Bohay, Boh-tin dan Boh-ban berempat, betapa hebat daja sedotnja, sudah tentu tak
mungkin dapat mereka tarik begitu sadja. Bahkan kontan mereka berduapun ikut
disedot dan melengket. Sungguh sial bagi keenam paderi itu, tanpa sengadja mereka ketemukan Tju-hapsin-kang, tenaga latihan selama berpuluh tahun mereka akan hilang dalam sekedjap
sadja. Sambil masih melengket satu-sama-lain, mereka hanja bisa saling pandang
sadja dengan tjemas. Bahkan saking pedihnja, Boh-ti dan Boh-ek sampai
mengutjurkan air mata...........
Kembali bertjerita tentang ketiga tokoh Suma, Suto dan Sukong.
Mendjelang magrib, menurut perhitungan Hoa Hek-kin galian mereka tentu sudah
sampai dibawah kamar batu dimana Toan Ki dikeram.
Tempat itu sangat dekat dengan tempat duduk Djing-bau-khek, maka kerdja mereka
harus lebih hati2 lagi, sedikitpun tidak boleh menerbitkan suara.
Karena itu Hoa Hek-kin lantas taruh sekopnja, ia gunakan djari2 tangan untuk
mentjakar tanah. Hou-djiau-kang atau ilmu tjakar harimau jang dilatih Hoa Hek-kin sangat lihay,
kini dipakai mentjakar tanah, mirip benar dengan patjul garuk besi, sekali
tjakar lantas segumpal tanah kena dikeduknja. Hoan Hua dan Pah Thian-sik
mengikuti dibelakangnja untuk mengusung keluar galian tanah itu.
Kini arah jang digali Hoa Hek-kin tidak lagi mendjurus madju, tapi dari bawah
keatas. Maka tahulah Thian-sik dan Hoan Hua bahwa pekerdjaan mereka sudah dekat
rampung. Dapat tidak menjelamatkan Toan Ki, tidak lama lagi akan ketahuan dengan
pasti. Karena itu, hati mereka mendjadi ber-debar2.
Menggali tanah dari bawah keatas dengan sendirinja djauh lebih mudah.
Sedikit tanahnja longgar, segera longsor sendiri. Ketika Hoa Hek-kin sudah dapat


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri tegak, tjara galinja mendjadi lebih tjepat lagi. Tapi setiap kali
mengeruk sepotong tanah, ia lantas berhenti untuk mendengarkan apakah ada
sesuatu suara diatas sana.
Tidak lama pula, Hek-kin menaksir tinggal belasan senti sadja dengan permukaan
tanah, kerdjanja lantas dilambatkan lagi dengan hati2, pelahan2
ia korek lapisan tanah dan achirnja dapat menjentuh sepotong papan kaju jang
rata. Ia mendjadi heran bahwa lantai rumah bukan dari papan batu, tapi adalah papan
kaju. Namun dengan begitu mendjadi lebih leluasa lagi bagi kerdjanja.
Segera Hek-kin kerahkan tenaga pada udjung djarinja, pelahan2 ia mengiris satu
lubang persegi pada papan kaju itu hingga tjukup untuk dibuat masuk keluar tubuh
orang. Ia memberi tanda siap kepada kedua kawannja, lalu mengendorkan tangannja
jang menjanggah papan lubang jang sudah dipotong itu, dengan sendirinja potongan
papan itu lantas djatuh sendiri kebawah, segera Hek-kin ulurkan sekopnja keatas
melalui lubang itu sambil diabat-abitkan untuk mendjaga kalau diserang musuh
dari atas. Diluar dugaan, bukannja diserang dari atas, tapi lantas terdengar djeritan kaget
seorang wanita diatas situ.
Djangan bersuara, Boh-kohnio, kawan sendiri jang datang untuk menolong engkau!
demikian bisik Hek-kin pelahan terus melompat keatas melalui lubang papan itu.
Tapi kedjutnja sungguh tak terkira ketika mengetahui bahwa kamar itu ternjata
bukan rumah batu jang ditudju itu.
Kamar itu tampak banjak almari dan medja jang penuh botol2 obat.
Dipodjok sana tampak seorang gadis tjilik meringkuk dengan ketakutan.
Maka tahulah Hoa Hek-kin bahwa telah salah gali. Rumah batu jang dikatakan Pah
Thian-sik itu hanja didengarnja dari tjerita Po-ting-te, maka rentjana mereka
itu hanja didasarkan pada taksiran belaka, dan kini ternjata sudah kesasar.
Kiranja kamar jang mereka masuki itu adalah kamar kerdjanja Tjiong Ban-siu dan
gadis tjilik itu bukan lain adalah Tjiong Ling.
Gadis itu senantiasa hendak mentjari obat penawar dikamar kerdja ajahnja guna
menolong Toan Ki. Tak tersangka bahwa Im-yang-ho-hap-san itu tidak bisa
sembarangan disembuhkan dengan obat penawar, tapi ada tjara penjembuhan jang
istimewa. Dengan sendirinja biarpun Tjiong Ling sudah mengobrak-abrik kamar obat
ajahnja toh tetap tak bisa mendapatkan sesuatu obat penawar jang diharapkan.
Waktu itu ajah-bundanja sedang mendjamu tamu diruangan depan, maka diam2 Tjiong
Ling masuk kekamar ajahnja untuk mentjari lagi. Siapa duga mendadak lantai kamar
itu berlubang, menjusul sebatang sekop menjelonong keluar, bahkan terus melompat
keluar pula seorang laki2 tak dikenal, karuan kaget Tjiong Ling setengah mati.
Hoa Hek-kin bisa berpikir tjepat, sekali sudah salah gali, terpaksa harus gali
pula kedjurusan lain. Djedjaknja sudah diketahui, kalau nona tjilik ini dibunuh,
tentu majatnja akan diketemukan orang disini dan segera pasti akan diadakan
penggeledahan setjara besar2an, djika hal itu terdjadi, mungkin dirinja sudah
akan diketemukan sebelum berhasil menggali sampai dirumah batu itu. Rasanja
djalan paling baik harus gondol gadis tjilik ini kedalam lorong dibawah tanah,
dan orang lain kalau mentjari sigadis ini, tentu malah akan mentjarinja diluar
sana. Dan pada saat itulah, tiba2 diluar kamar ada suara tindakan orang mendatangi.
Tjepat Hek-kin gojang2 tangannja kepada Tjiong Ling dengan maksud agar gadis itu
djangan bersuara, lalu ia putar tubuh dengan lagak seperti hendak menerobos
kedalam lubang. Tapi mendadak ia terus melompat kebelakang, segera mulut Tjiong
Ling ditekap dengan tangannja, menjusul badan gadis itu lantas diangkat ketepi
lubang itu terus dimasukkan kebawah. Disitu Hoan Hua sudah lantas menjambutnja.
Setelah ikut melompat kebawah lubang lagi, tjepat Hek-kin djedjalkan mulut
Tjiong Ling dengan setjomot tanah, karuan gadis itu kerupukan.
Namun Hek-kin tak urus lagi, ia tutup kembali lubang papan tadi, lalu
mendengarkan apa jang terdjadi diatas.
Kedjadian2 itu berlangsung dengan tjepat luar biasa, dalam keadaan kaget dan
takut, Tjiong Ling mendjadi bingung hingga tidak tahu apa maksud tudjuan orang
mentjulik dirinja. Apalagi mulutnja telah didjedjal dengan tanah, ia mendjadi
gelagapan tak bisa bersuara lagi.
Sementara itu terdengar ada dua orang telah masuk kedalam kamar, jang seorang
tindakannja berat, jang lain sangat enteng. Lalu suara seorang laki2 lagi
berkata: Terang tjintamu padanja masih belum lenjap seluruhnja, kalau tidak, aku
hendak merusak nama baik keluarga Toan, mengapa kau selalu merintangi"
Belum lenjap apa segala, hakikatnja aku tidak pernah tjinta padanja, sahut
seorang wanita. Djika demikian, itulah jang kuharapkan, kata laki2 tadi dengan nada penuh rasa
sjukur dan girang. Maka terdengar wanita itu berkata pula: Tapi nona Bok itu adalah puteri kandung
Sutjiku, meski tabiatnja agak kasar dan bertindak kurang sopan pada kita, namun
betapapun djuga adalah orang sendiri. Kau hendak bikin susah Toan-kongtju aku
masa bodoh, tapi nona Bok djuga ikut kau korbankan nama baiknja hingga selama
hidupnja bakal merana, itulah aku tak bisa tinggal diam.
Mendengar sampai disini, tahulah Hek-kin bahwa kedua orang jang bitjara itu
terang adalah suami-isteri Tjiong Ban-siu. Mendengar pembitjaraan mereka
menjangkut dirinja Toan Ki, segera ia pasang kuping lebih tadjam.
Maka terdengar Tjiong Ban-siu lagi berkata: Sutjimu telah berusaha hendak
melepaskan pemuda itu, beruntung dipergoki Yap Dji-nio dan sekarang dia sudah
bermusuhan dengan kita, mengapa kau malah ingin mengurus puterinja itu" A Po,
para tamu didepan itu adalah tokoh2 Bu-lim kenamaan semua, tanpa pamit apa2 kau
tinggal masuk kemari, bukankah kelakuanmu ini agak kurang sopan"
Hm, untuk apa kau mengundang orang2 matjam begitu" dengan kurang senang Tjionghudjin menanja. Huh, Lo-kang-ong Tjin Goan-tjun, It-hui-tjiong-thian Kim Taypang, murid utama dari Tiam-djong-pay Liu Tji-hi, Tjo Tju-bok dan Siang-djing
tokoh dari Bu-liang-kiam dan ada lagi djago silat Be Ngo-tek apa segala,
emangnja apa kau sangka orang2 matjam demikian berani main gila pada Paduka Jang
Mulia radja Tayli sekarang"
Aku toh tidak bermaksud mengundang mereka untuk ikut memberontak pada Toan
Tjing-beng, demikian Tjiong Ban-siu mendjawab. Hanja setjara kebetulan aku
melihat mereka berada disekitar sini, lantas aku mengundang mereka kemari untuk
meramaikan suasana sadja gar bisa ikut mendjadi saksi bahwa putera puteri Toan
Tjing-sun telah tidur dalam sekamar. Malahan diantara hadirin itu terdapat pula
Hui-sian dari Siau-lim-si, Kah-yap Siansu dari Tay-kak-si, Oh-pek-kiam Su An.
Orang2 ini adalah djagoan2
didaerah Tionggoan. Besok pagi be-ramai2 kita lantas pergi membuka rumah batu
itu, biar semua orang menjaksikan betapa bagus perbuatan keturunan keluarga Toan
jang terpudji itu, bukankah hal ini sangat menarik dan segera akan tersiar luas
diseluruh Kangouw dengan tjepat" Hahahaha!
Huh, rendah memalukan! djengek Tjiong-hudjin.
Kau maki siapa jang rendah memalukan" tanja Ban-siu.
Siapa jang berbuat rendah dan tidak kenal malu, dia adalah manusia jang rendah
memalukan, sahut Tjiong-hudjin mendongkol.
Benar, keparat Toan Tjing-sun itu selama hidupnja sok romantis dan banjak
berbuat dosa, tapi achirnja puter-puteri sendiri berbuat hal2 jang tidak
senonoh, haha, benar2 rendah memalukan!
Kau sendiri tidak mampu menangkan orang she Toan, selama hidup mengumpet didalam
lembah ini pura2 sudah mati, namun hal inipun maklum, karena kau masih tahu diri
dan terhitung seorang laki2 jang kenal malu.
Tapi sekarang kau sengadja mempermainkan putera-puteri orang jang bukan
tandinganmu, kalau diketahui kesatria2 seluruh djagat, mungkin orang jang akan
ditertawai bukan dia, sebaliknja adalah engkau sendiri!
Karuan Tjiong Ban-siu berdjingkrak, teriaknja gusar: Djadi ..... djadi engkau
maksudkan aku jang rendah dan memalukan"
Tiba2 Tjiong-hudjin mengutjurkan air mata, sahutnja ter-guguk2: Sungguh tidak
njana bahwa suamiku adalah seorang demikian gagah perwiranja!
Sebenarnja Tjiong Ban-siu memang sangat tjinta pada isterinja ini, sebabnja dia
bentji dan dendam pada Toan Tjing-sun adalah disebabkan rasa tjemburunja, kini
melihat sang isteri menangis, karuan ia mendjadi sibuk, tjepat sahutnja:
Baiklah, baiklah! Kau suka maki aku, makilah sepuasmu.
Habis berkata, ia berdjalan mondar-mandir didalam kamar itu, pikirnja hendak
mengutjapkan sesuatu untuk minta maaf pada sang isteri, tapi seketika tidak tahu
apa jang harus dikatakan. Tiba2 ia melihat botol obat dialmarinja disudut kamar
sana berserakan tak teratur, segera ia mengomel: Hm, Ling-dji ini benar2 kurang
adjar, masih ketjil sudah tanja tentang Im-yang-ho-hap-san apa segala, sekarang
datang mengobrak-abrik lagi kekamarku sini.
Sembari berkata, ia terus mendekati almari obat itu untuk membetulkan botol2
obat jang tak keruan itu dan tanpa sengadja sebelah kakinja mendadak mengindjak
diatas papan jang sudah dilubangi Hoa Hek-kin itu.
Karuan Hek-kin kaget, tjepat ia menjanggah dari bawah sekuatnja agar tidak
diketahui orang. Dimanakah Ling-dji" tiba2 Tjiong-hudjin menanja. Selama beberapa hari ini
didalam lembah banjak orang djahat, Ling-dji harus diperingatkan djangan
sembarangan keluar. Aku lihat sepasang mata maling In Tiong-ho itu selalu
mengintjar Ling-dji sadja, kukira kau harus hati2 djuga.
Aku hanja hati2 mendjaga engkau seorang, wanita tjantik molek seperti engkau,
siapa orangnja jang tidak sir padamu" demikian sahut Ban-siu dengan tertawa.
Tjis! semprot njonja Tjiong. Lalu ia berseru memanggil: Ling-dji!
Segera seorang pelajan mendekati dan memberitahu bahwa barusan sadja sang
Siotjia berada disitu. Tjoba tjari dan undang kemari, perintah Tjiong-hudjin.
Sudah tentu Tjiong Ling mendengar semua pertjakapan ajah-bundanja itu.
Tapi apa daja, mulut tersumbat tanah, sama sekali tak bisa bersuara, hanja dalam
hati kelabakan setengah mati.
Dalam pada itu terdengar Tjiong Ban-siu lagi berkata pada sang isteri: Engkau
mengaso sadja disini, aku akan keluar mengawani tamu.
Hm, kau berdjuluk Kian-djin-tjiu-sat (melihat orang lantas membunuh), kenapa
sesudah tua lantas Kian-djin-tjiu-bah (melihat orang lantas takut)" sindir
Tjiong-hudjin. Ban-siu tidak berani marah, sambil menjengir kuda, ia tinggal keluar keruangan
depan. Dalam pada itu, dikota Tayli dengan gembira rakjat sedang merajakan
dihapuskannja tjukai garam.
Hendaklah maklum bahwa produksi garam diwilajah Hunlam sangat terbatas, seluruh
negeri hanja ada sembilan sumur garam, jaitu sumber penghasil garam jang
terdapat didaratan Tiongkok bagian barat-daja. Maka setiap tahunnja Tayli mesti
mengimpor sebagian besar garam dari daerah Sutjwan dengan tjukai garam jang
berat, bahkan sebagian besar dari penduduk dipinggiran negeri itu dalam setahun
hampir setengah tahun mesti makan setjara tawar tanpa garam.
Po-ting-te tahu bila tjukai garam sudah dihapuskan, tentu Ui-bi-tjeng akan
berusaha menjelamatkan Toan Ki untuk membalas kebidjaksanaannja itu.
Biasanja Po-ting-te sangat kagum terhadap ilmu silat serta ketjerdikan Ui-bitjeng itu, apalagi keenam anak muridnja itupun memiliki ilmu silat jang tinggi,
djika guru dan murid itu bertudjuh orang keluar sekaligus, pasti akan gol usaha
mereka. Tak terduga, sudah ditunggu sehari-semalam, ternjata tiada sedikitpun kabar jang
diperoleh, hendak memerintahkan Pah Thian-sik pergi mentjari tahu, siapa sangka
Pah-sukong itu beserta Hoa-suto dan Hoan-suma djuga ikut menghilang tanpa pamit.
Karuan Po-ting-te mendjadi kuatir, pikirnja: Djangan2 Yan-king Thaytju memang
terlalu lihay hingga Ui-bi Suheng bersama murid2nja itu dan ketiga pembantuku
jang lihay itu telah terdjungkal semua didalam Ban-djiat-kok"
Karena itu, segera ia undang berkumpul adik pangeran Toan Tjing-sun dan
permaisuri, Sian-tan-hou Ko Sing-thay serta tokoh2 Hi-djiau-keng-dok, lalu
diadjak berangkat ke Ban-djiat-kok pula.
Karena kuatirkan keselamatan sang putera, Si Pek-hong minta Po-ting-te suka
kerahkan pasukan untuk menjapu bersih Ban-djiat-kok, namun sang radja jang
bidjaksana itu tidak setudju, ia ingin pertahankan kehormatan dan nama baik
keluarga Toan sebagai tokoh utama didunia persilatan, kalau tidak terpaksa, ia
tetap bertindak menurut peraturan Kangouw.
Dan baru sadja rombongan mereka sampai dimulut lembah jang ditudju, tertampaklah
In Tiong-ho sudah memapak mereka dengan ketawa2, ia memberi hormat lebih dulu,
lalu berkata: Selamat datang! Tjiong-koktju menduga Paduka Jang Mulia hari ini
pasti akan berkundjung kemari lagi, maka Tjayhe disuruh menantikan disini.
Pabila kalian datang bersama pasukan setjara besar2an, kami lantas angkat kaki
melangkah seribu. Tapi bila datang menurut peraturan Kangouw, maka disilahkan
masuklah untuk minum2 dulu! Melihat pihak lawan demikian tenang, terang sudah siap sedia sebelumnja, tidak
seperti tempo hari, begitu datang lantas saling labrak, maka diam2 Po-ting-te
lebih kuatir djuga dan lebih prihatin. Segera ia membalas hormat dan berkata:
Terima kasih atas penjambutanmu!
Segera In Tiong-ho mendahului dan membawa rombongan Po-ting-te keruangan tamu.
Begitu melangkah masuk ruangan pendopo itu, Po-ting-te lantas melihat ruangan
itu sudah banjak berkumpul tokoh2 Kangouw, kembali ia bertambah was2.
Terus sadja In Tiong-ho berteriak: Thian-lam Toan-keh Tjiangbundjin Toan-losu
tiba! ~ Ia tidak bilang P.J.M. radja Tayli, tapi menjebutkan gelaran keluarga
Toan dalam kalangan Bu-lim, suatu tanda ia sengadja menjatakan segala tindaktanduk selandjutnja harus dilakukan menurut peraturan Bu-lim.
Nama Toan Tjing-beng sendiri didalam Bu-lim memangnja terhitung djuga seorang
tokoh terkemuka jang disegani. Maka begitu mendengar namanja, seketika para
hadirin berbangkit sebagai tanda menjambut. Hanja Lam-hay-gok-sin jang masih
tetap duduk seenaknja ditempatnja sambil berseru: Kukira siapa, tak tahunja
adalah Hongte-lodji jang datang! Baik2kah kau"
Sebaliknja Tjiong Ban-siu lantas melangkah madju dan menjapa: Tjiong Ban-siu
tidak keluar menjambut, harap Toan-losu suka memaafkan!
Ah, djangan sungkan2! sahut Po-ting-te.
Oleh karena pertemuan ini dilakukan setjara orang Bu-lim, maka ketika disilahkan
duduk, Toan tjing-sun dan Ko Sing-thay lantas berduduk disisi Po-ting-te, sedang
Leng Djian-li berempat berdiri dibelakang Po-ting-te, segera pula pelajan
menjuguhkan minuman seperlunja.
Melihat Ui-bi-tjeng dan murid2nja serta Pah Thian-sik bertiga tidak nampak
disitu, diam2 Po-ting-te memikirkan tjara bagaimana harus buka mulut untuk
menanjakannja. Sementara itu Tjiong Ban-siu lantas buka suara: Atas kundjungan kedua kalinja
dari Toan-tjiangbun ini, sungguh Tjayhe merasa mendapat kehormatan besar.
Mumpung ada sekian banjak kawan2 Bu-lim berkumpul disini, biarlah Tjayhe
memperkenalkannja satu per satu kepada Toan-tjiangbun.
Habis berkata, segera Ban-siu memperkenalkan Tjo Tju-bok, Be Ngo-tek, Hui-sian
Hwesio dan lain2 kepada radja Tayli itu. Sebagian besar Po-ting-te tidak kenal,
tapi ada djuga jang pernah mendengar namanja.
Setiap orang jang diperkenalkan itu lantas saling memberi hormat pula dengan Poting-te. Be Ngo-tek, Tjo Tju-bok dan kawan2nja sangat menghormat dan merendah
diri terhadap Po-ting-te, sebaliknja Liu Tju-hi, Tjin Goan-tjun dan begundalnja
bersikap sangat angkuh. Sedangkan Kah-yap Siansu, Kim Tay-peng, Su An dan lain2
memandang Po-ting-te sebagai kaum Tjianpwe, mereka tidak terlalu merendahkan
deradjat sendiri djuga tidak mendjilat orang.
Lalu Tjiong Ban-siu berkata lagi: Mumpung Toan-tjiangbun sempat berkundjung
kemari, sudilah kiranja tinggal lebih lama barang beberapa hari disini, agar
para saudara bisa banjak meminta petundjuk.
Keponakanku Toan Ki telah berbuat salah pada Tjiong-koktju dan ditahan disini,
kedatanganku hari ini pertama jalah ingin mintakan ampun bagi botjah itu,
keduanja ingin minta maaf djuga. Harap Tjiong-koktju suka memandang diriku,
sukalah mengampuni anak jang masih hidjau itu, untuk mana Tjayhe merasa terima
kasih sekali, demikian djawaban Po-ting-te.
Mendengar itu, diam2 para kesatria sangat kagum, pikir mereka: Sudah lama
kabarnja Toan-hongya dari Tayli suka menghadapi kaum sesama Bu-lim dengan
peraturan Bu-lim pula, dan njatanja memang tidak omong kosong.
Padahal wilajah ini masih dibawah kekuasaan Tayli, asal dia mengirim beberapa
ratus peradjuritnja sudah tjukup untuk membebaskan keponakannja itu, tapi dia
djustru datang sendiri untuk memohon setjara baik2.
Hlm. 51 Gambar Toan-kongtju adalah gurumu, engkau sudah menjembah dan mengangkat guru padanja,
apakah kau berani menjangkal" kata Ko Sing-thay.
Keparat, lotju tidak menjangkal, maki Lam-hay-gok-sin dengan gusar.
Harini djuga biar Lotju bunuh guru jang tjuma namanja sadja tanpa ada
kenjataannja itu. Gak-lodji punja guru sematjam itu, huh, hanja bikin malu
sadja! Plak, dengan gusar Tjiong Ban-siu tempiling puterinja sendiri, Tjiong Ling, jang
disangkanja telah berbuat tidak senonoh dengan Toan Ki didalam rumah batu itu.
Tjiong-koktju, urusan sudah ketelandjur, kini puterimu sudah mendjadi anggota
keluarga Toan kami, terpaksa aku harus ikut tjampur djika kau menghadjar


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puterimu ini, tiba2 Toan Tjing-sun menjela dengan ter-senjum2.
Hlm 52 Dalam pada itu Tjiong Ban-siu sedang ter-bahak2, belum lagi mendjawab, tiba2 Su
An telah menjela: He, kiranja Toan-kongtju berbuat salah sesuatu kepada Tjiongkoktju, djika demikian, untuk mana Tjayhe djuga ikut memohon ampun baginja,
sebab Tjayhe pernah mendapat pertolongan dari Toan-kongtju.
Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar mendadak, bentaknja: Urusan muridku, baut apa kau
ikut tjerewet" Toan-kongtju adalah gurumu dan bukan muridmu, tjepat Ko Sing-thay mendjawabnja
dengan mengedjek. Kau sendiri sudah menjembah dan mengangkat guru padanja, apa
sekarang kau hendak menjangkal"
Muka Lam-hay-gok-sin mendjadi merah, ia memaki: Keparat, Lotju takkan
menjangkal. Harini biar Lotju membunuh djuga Suhu jang tjuma namanja sadja, tapi
kenjataannja tidak. Hm, masakan Lotju mempunjai seorang guru matjam begitu, bisa
mati kaku aku! Karena tidak tahu seluk-beluknja, keruan semua orang merasa bingung oleh tanja
djawab itu. Kemudian Si Pek-hong ikut bitjara: Tjiong-koktju, lepaskan puteraku atau tidak,
hanja tergantung satu ketjap utjapanmu sadja.
O, ja, tentu sadja kulepaskan dia, tentu kulepaskan! sahut Tjiong Ban-siu dengan
tertawa. Emangnja, buat apa aku menahan puteramu itu"
Benar, tiba2 In Tiong-ho menimbrung. Dasar Toan-kongtju tampan dan ganteng,
sedangkan njonja Tiong-koktju sangat tjantik aju, kalau Toan-kongtju tinggal
terus dilembah ini, apakah itu bukannja memiara srigala dikandang kambing, tjari
penjakit sendiri" Maka sudah tentu Tjiong-koktju akan melepaskan botjah itu!
Semua orang mendjadi tertjengang oleh kata2 In Tiong-ho jang tidak kenal aturan
dan tanpa tedeng aling2 itu, njata suami-isteri Tjiong Ban-siu sama sekali tak
terpandang sebelah mata olehnja, sungguh djulukan Kiong-hiong-kek-ok atau djahat
dan buas luar biasa, memang tidak bernama kosong.
Tentu sadja Tjiong Ban-siu mendjadi murka, sjukur ia masih bisa menahan diri,
Pendekar Sakti 19 Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan Tujuh Pedang Tiga Ruyung 4

Cari Blog Ini