Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse Bagian 1
Eric Morse Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13
Penerbit: Dian Rakyat "Jason pergi memancing! Umpannya: umpan hidup."
Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
PROLOG MEMANCING Jam enam pagi kurang sedikit. Pagi di bulan Mei ini terasa hangat. Di atas
pucuk-pucuk pohon cemara yang rimbun, matahari yang tampak bulat besar berwarna
oranye baru saja terbit di seberang danau Kristal.
Di saat-saat seperti itu, permukaan air yang bening terbalut kabut yang tebal.
Ke mana pun arah mata memandang, kabut-kabut itu melayang pelan, naik turun
seperti roh yang sedang penasaran.
Di tengah danau, terapung-apung sebuah perahu tua berwarna putih, setengah
tertutup kabut. Di atas perahu itu tampak seorang bertubuh besar duduk diam tak
bergerak. Begitu diamnya sampai-sampai menyerupai sebongkah batu atau bagian
dari pemandangan alam sekitar tempat itu.
Laki-laki itu memegang kail pancing dengan kedua tangannya. Dia menatap lurus ke
depan. Laki-laki itu menggigil. Ma benar, pikirnya. Pergi mancing bertelanjang kaki,
memakai overall dan topi mancing bukanlah gagasan yang baik.
Sambil menghela napas berat lewat mulutnya, laki-laki besar itu menggulung tali
pancingnya. Tak ada beban di tali itu, dan Big Red kembali bertanya pada dirinya
sendiri seperti yang dia lakukan setiap pagi: Kenapa dia tidak pernah berhasil
mendapat ikan" Barangkali karena dia selalu lupa membawa umpan.
Big Red punya kebiasaan rutin. Setelah bangun sekitar pukul lima, dia segera
mengenakan kaki palsunya. Lalu dia memasang mata palsunya dan kemudian keluar
rumah untuk melakukan tugasnya. Dia harus memberi makan berupa sisa makanan
untuk babi-babinya: Sally, Mae dan Delilah.
Itulah kegiatan pagi Big Red. Tak ada satu pun yang pernah dilewatkannya.
Yah, tugas itu memang mudah diingat. Karena babi-babi selalu menguik minta makan
saat mereka melihatnya muncul dari pondok.
Ah, dia memang sayang sekali pada mereka.
Setelah itu dia mencari secarik kertas koran guntingan dan sebuah pensil, dan
menulis pesan untuk Ma dan Pa.
Pergi. Mancing. Setiap pagi dia selalu meninggalkan pesan yang sama untuk kedua orangtuanya itu.
Jadi mereka dapat memantau ke mana dia pergi.
Rasanya, dia selalu teringat pada cacing, tapi baru sesudah ia tiba di tengah
danau. Padahal ayahnya tak pernah lupa berpesan padanya untuk membawa cacing
agar mendapat ikan. Yah, meskipun begitu ada bagian yang paling disukainya saat dia memancing. Yaitu
di saat dia menggulung tali perlahan-lahan dan terdengar bunyi tik-tik-tik
berulang-ulang, saat tali plastik tergulung di tempatnya.
Big Red terus memutar pancingnya perlahan-lahan sampai akhirnya - Mata kail
perak meluncur keluar dari air yang kelam, dan berkilau terkena sinar matahari.
Mata kailnya kosong. Tak ada ikan.
Big Red kecewa, tapi juga senang.
Dia tidak suka jika mata kailnya yang berujung tiga menembus mulut lembut
binatang yang tak berdaya. Big Red tak pernah sanggup menyakiti siapa pun.
Bahkan kutu sekalipun. Meski dirinya penuh kutu.
Diangkatnya tangkai pancingnya yang panjang lalu dilemparkannya sejauh-jauhnya.
Terlihat percikan kecil saat kailnya menyentuh air, kira-kira dua puluh meter
darinya. Lalu dia duduk diam-diam, membiarkan mata kailnya tenggelam ke dasar
danau. Setelah beberapa lama, tibalah bagian yang paling disukai oleh Big Red.
Dia menggulung tali. Namun kali ini.....
Dia merasakan sesuatu. Ada sesuatu tersangkut di kail pancingnya. Tarikannya terasa lembut, tapi
sekaligus sangat kuat. Benda yang tersangkut itu menarik kailnya.
Reaksi pertama yang muncul di mata Big Red adalah pancaran rasa takut, sama
seperti saat dia berbuat salah. Mulutnya terbuka. Dan jantungnya berdegup keras.
Ya, Tuhan! Akhirnya dia bisa juga mendapatkan ikan!
Sambil mengerutkan dahi berkonsentrasi, Big Red menggulung tali kail secepat
mungkin - tidak seperti biasanya. Ikan yang terkait di ujung pancing semakin
kuat menahan tarikan. Kayu pancingnya sampai melengkung, meliuk tajam ke arah
air. Ikannya pasti besar!
Wow, Ma dan Pa pasti kaget! Dia seakan-akan sudah bisa melihat wajah terkejut
orangtuanya saat dia menunjukkan ikan ini.
Akhirnya, datang juga saat bagi Big Red berpose di depan kamera sambil membawa
ikan dan pancingnya sambil memeluk hadiah.
Semua orang akan menyalaminya. Semua orang akan bangga padanya. Semua orang!
Big Red sampai harus berdiri saat menggulung tali pancing dengan cepat. Dia
menjejakkan kakinya yang normal, menghentak-hentakkannya ke genangan air di
dasar perahu. Dia tertawa-tawa saat....
Ikannya terlontar keluar dari air. Ikan itu sangat besar, warnanya putih,
membuat Big Red terkesiap.
Tapi sayangnya yang terkait itu bukan ikan.
Dia membelalakkan matanya melihat hasil tangkapannya sebelum menarik ujung tali
pancingnya perlahan-lahan. Wajahnya mendadak muram. Dia melepaskan benda putih
yang tersangkut di situ dengan hati-hati lalu menatapnya.
Ternyata hasil tangkapannya adalah plastik putih tipis.
Beberapa lubang hitam kecil menghiasi benda itu. Di bagian atas ada dua lubang
hitam besar seperti mata, di bagian bawah ada satu lubang hitam seperti sebuah
mulut. Benda putih berbentuk bulat itu mengingatkan Big Red pada sesuatu. Tiba-tiba dia
ingat benda apa itu. Dia menengadahkan kepalanya ke langit, mencari bulan.
Sinar matahari yang mencorong membuat ia memicingkan mata. Tak ada bulan. Dia
lupa jam berapa sekarang ini.
Namun dugaan Big Red memang tepat. Barang yang ada di tangannya memang agak
mirip dengan wajah yang terlihat di bulan.
Suatu hari Big Red pernah bertanya kepada Ma - ibunya - kenapa wajah yang ada di
bulan itu selalu kelihatan sedih. Ma menjawab, karena orang yang ada di bulan
itu merasa kasihan pada Big Red. Merasa kasihan, karena Big Red tidak mempunyai
pekerjaan ataupun istri seperti orang lain. Sejak saat itu, Big Red sangat
menyukai wajah yang ada di bulan itu.
Dengan tangannya yang besar dan basah Red mendekapkan plastik putih pipih eraterat ke overall-nya. Lalu dibaliknya benda itu.
Di bagian belakangnya ada tali plastik hitam. Agaknya, ini topeng. Big Red
mendapat ide. Ditempelkan topeng itu di wajahnya.
Rasanya dingin dan basah. Tercium bau lumpur seperti bau air danau yang kadangkadang diminumnya. Perlahan-lahan dia memasang tali plastiknya di belakang
kepalanya yang botak. Lalu dia membetulkan letak topeng itu di wajahnya sehingga
mata birunya yang indah bisa melihat ke luar lewat lubang mata topeng itu.
Saat itulah terdengar suara mendesis. Big Red terkejut. Topeng itu seakan
menempel kuat di wajahnya seperti lintah besar.
Tangan Big Red mencengkeram pinggiran topeng itu, mencoba melepaskannya. Tapi
sudah terlambat. Dia tak dapat melepaskannya lagi.
Mendadak muncul rasa sakit yang menghujam. Big Red menjerit. Dia menggoyanggoyangkan kepalanya. Rasanya seperti ada orang sedang memasuki tubuhnya dan
mencabik-cabik bagian dalam tubuhnya. Rasanya seperti ada tiga mata kail yang
tajam menarik hidungnya sambil membawa seluruh isi otaknya.
Sekilas terpikir olehnya bahwa rasa sakit itu mungkin tak akan pernah hilang.
Namun akhirnya rasa sakit itu pun berlalu, dan Big Red duduk termangu. Mata
kanannya berputar dan bergetar.
Ini sangat aneh. Sebab mata kanannya itu adalah mata palsu yang terbuat dari
beling. Dia kehilangan mata kanannya ketika berumur dua belas tahun.
Kemudian getaran itu muncul di kaki kirinya.
Ini juga aneh. Karena dia kehilangan kaki kirinya saat berusia empat belas
tahun. Dengan cepat, getaran itu menjalar hingga ke kepala botaknya yang berbentuk
huruf V, yang dia miliki sejak dia kanak-kanak.
Kemudian seluruh bagian tubuhnya seakan bergetar hebat. Rasanya semua sel
tubuhnya terlepas, seperti pintu yang hilang engsel-engselnya.
Wajah Big Red yang ada di balik topeng itu berubah menjadi merah seperti namanya
- Red. Tiba-tiba perasaannya bergejolak seperti api yang membara. Baru kali ini
perasaan itu muncul. Namun dia tahu apa sebutan perasaan seperti ini. Namanya:
marah! Perasaan beringas! Perasaan benci!
Big Red mengepalkan tangannya yang besar. Dia tahu apa yang harus dilakukannya.
Di balik topengnya, mata palsunya yang ada di lubang matanya bergerak perlahan
dan berbunyi menderit. Mata palsunya menatap ke arah tepi danau.
Chapter 1 KELLY Di saat Big Red memasang topeng di wajahnya di tengah danau Kristal . . .
Kelly Boone sedang berdiri di dapur asrama kampusnya di Newkirk, Massachusetts,
bergelut dengan rasa sakit di kepalanya. Rasanya seperti ada mata kail yang
menancap di otaknya. Rasa sakit yang bercampur dengan rasa gelisah dan khawatir
itu membuatnya terjaga semalaman.
"Ya, Tuhan," bisiknya.
Dia bersandar ke meja dapur yang penuh dengan piring kotor, kardus bekas makanan
dan sampah-sampah lain sambil memegang kening dengan kedua tangannya. Sepanjang
tahun ini dia terserang migren. Tepatnya sejak bulan Mei yang lalu. Sejak.......
Kelly menarik laci keras-keras, seakan dia sedang mencoba menyingkirkan rasa
sakit di kepalanya. Dia menemukan botol obat parasetamol.
Kapan terakhir kali dia menelan ketiga pil itu" Jam empat pagi" Jam lima"
Terlalu cepat untuk meminumnya lagi.
Dia meletakkan kembali botol obat itu. Toh, rasa sakitnya mulai berkurang.
Kelly adalah gadis jangkung cantik yang baru saja memasuki usia delapan belas.
Rambutnya merah kecoklatan, wajahnya menawan, ramah dan ceria sementara matanya
berwarna biru ke abu-abuan.
Tapi itu bukan alasan kenapa orang melirikinya. Dengan pandangan sekilas orang
bisa tahu bahwa dia habis terkena bencana buruk. Ada tanda khas pada dirinya.
Tanda yang membuat orang yang berpapasan dengannya tergoda untuk menengok sekali
lagi padanya. Mereka merasa bahwa mereka mengenalnya.
Saat ini raut cantiknya nyaris hilang. Dia mengusap keringat di wajahnya yang
kusut dengan kain lengan jaket tentaranya.
Sakit itu.....datang seperti musuh yang licik. Dan bila sakit itu menghilang,
Kelly selalu berpikir bahwa itu hanya tipuan saja. Pada saat sakit kepalanya
baru saja mereda, sakit itu bisa saja tiba-tiba kembali menyerangnya.
Dia menundukkan kepalanya dan menatap buah plum yang tinggal separuh di atas
meja, dikerumuni lalat. Dia membuang makanan busuk itu ke tempat sampah.
Dari sembilan orang baik yang siswa ataupun yang sudah bukan siswa lagi yang
tinggal di rumah ini, hanya lima orang yang benar-benar membayar sewanya.
Dan hanya dua, pacar Kelly yang bernama Doug, dan bekas pacar Doug yang bernama
Lisa, yang benar-benar terdaftar sebagai penyewa.
Dan, dari sembilan orang itu, hanya Kelly yang suka bersih-bersih.
Dia tak peduli. Biasanya dia membereskan urusan ini malam hari, ketika dia tak
dapat tidur, saat malam gelap gulita, saat setan datang mengganggunya. Namun
kadang-kadang kegiatan membersihkan rumah justru merupakan satu-satunya cara
untuk membuatnya tetap waras.
Bulan Mei betul-betul bulan naas buat Kelly. Dia merasa keadaannya akan terus
begitu sepanjang hidupnya.
Mei tahun lalu, dia masih duduk di bangku SMA dan masih merasakan hidup seperti
mimpi indah. Mei tahun lalu, kakak laki-lakinya, Boone, masih tinggal di rumah,
di garasi. Mei tahun lalu....
Mesin penyeduh kopi tiba-tiba berbunyi melengking saat tetesan air terakhir
melewati filter menetes ke tekonya.
Sambil menggeretakkan gigi, Kelly mengambil gelas dari tempat cucian, lalu
mencucinya asal-asalan. Kemudian dia menuangkan kopi ke dalam gelas itu sampai
penuh sehingga dia harus menyeruputnya dulu beberapa kali, sebelum bisa
membawanya ke meja dapur.
Meja itu telah dibersihkannya tadi malam, bahkan dia sampai harus menggunakan
pisau berburunya untuk mencongkel kotoran yang menyangkut di sambungan papan
meja. Yang tampak di meja sekarang hanya buku catatan hitamnya.
Dengan berhati-hati dia meletakkan kopinya, lalu mencari asbak dari kerang di
antara tumpukan barang di meja dapur. Sambil duduk di depan buku catatan, dia
menyalakan rokok Camel-nya yang tidak berfilter.
Bulan Juni lalu dia menonton acara televisi tengah malam tentang perdebatan
iklan Joe Camel. Iklan itu dikritik karena langsung ditujukan untuk anak-anak.
Mereka mengatakan bahwa Joe Camel saat ini sudah sepopuler tokoh kartun anakanak, Mickey Mouse. Mereka juga mengatakan bahwa rokok Camel tanpa filter itu
termasuk rokok yang bisa menyebabkan kematian.
Ah, Kelly sudah merokok Camel ini sejak lama. Dia menghisapnya dalam-dalam satu
kali, dua kali, lantas membuka buku catatannya.
Setiap kali ditelepon, ayah Kelly selalu mengungkit-ungkit soal kenapa Kelly
tidak melanjutkan kuliah. "Kamu sibuk apa, sih?" tegur beliau dengan suara agak
keras. Kelly tak pernah menjawab pertanyaan itu. Bagaimana dia dapat menerangkan
kegiatannya" Ah, Papa, aku ini sering melek semalaman dan tidur seharian. Aku
juga sering berjalan seperti mayat hidup alias zombie, sambil mencoba mengingat
siapa diriku ini. Sejak masih sekolah, Kelly mempunyai beberapa pekerjaan sampingan yang lumayan
bagus, misalnya jadi kasir di salah satu toko di Owings Mills Mall.
Orang selalu beranggapan bahwa Boone, kakaknya, adalah orang yang tidak
bertanggung jawab. Tetapi sesungguhnya Boone adalah orang yang tepat janji. Bila
berjanji ke tempat A pada jam X, dia pasti muncul di sana tepat jam X. Dia juga
mengajari Kelly untuk berbuat hal yang sama. Dan Kelly selalu melakukannya hal
itu. Namun sejak setahun lalu, sejak keadaan menjadi kacau, dia tidak melakukan hal
itu lagi. Dia terpaksa harus pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain karena
selalu datang terlambat, atau tertidur pada saat jam kerja, atau tiga hari
mangkir kerja karena pergi berkemah di hutan!
Selain catatan tentang pemecatannya, buku ini juga berisi tentang catatan apa
saja yang telah dilakukannya. Dia menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan
umum. Kadang dia meminjam mobil Volvo Doug untuk pergi ke perpustakaan Harvard di
Cambridge. Dia bisa masuk karena memakai kartu anggota temannya.
Selama setahun ini, dia mengumpulkan berita-berita yang berhubungan dengan
kejadian yang muncul di sekitar danau Kristal.
Dia menyimak halaman pertama, foto kopi artikel di Majalah Kristal Gazette:
SEORANG BOCAH LAKI-LAKI TENGGELAM DI AREA PERKEMAHAN.
Itulah awal terjadinya bencana itu. Pengawas danau malah asyik pacaran, sampai
lupa akan tugasnya. Dan terjadilah kecelakaan itu.
Seorang remaja pria bernama Jason tenggelam di danau.
Sejak itu, di tempat tersebut, terjadilah pembunuhan berantai yang berlangsung
selama bertahun-tahun, sehingga tempat perkemahan itu terpaksa ditutup untuk
umum. Pembunuhan yang cukup banyak meminta korban itu menyebabkan munculnya berbagai
"cerita-cerita" tentang tempat itu.
Penduduk setempat percaya bahwa remaja yang mati itu selalu bangkit dari kubur
untuk menuntut balas. Karena dia menghabiskan masa mudanya di dalam air,
kabarnya si Jason ini selalu memakai topeng hoki untuk menyembunyikan wajahnya
yang bengkak dan membusuk.
Itu adalah dongeng atau kisah tentang monster, yang sangat sederhana dan tanpa
bumbu tambahan. Seperti cerita tentang monster Loch Ness. Pada awalnya, Kelly
sama sekali tak percaya cerita itu.
Dia terus membalik halaman demi halaman, berhenti hanya untuk meneguk kopi atau
menghisap rokoknya dalam-dalam. Selang sejenak, dia berhenti sama sekali, tak
mau membalik halaman berikutnya.
Akhirnya dia membalik halaman itu juga. Judul artikel yang tertulis seakan
menusuk perasaannya dan membakar matanya: KEMATIAN SEORANG PEMBURU YANG MEMAKAN
KORBAN TUJUH ORANG. Di foto tampak mayat-mayat bergelimpangan di hutan. Satu dari foto yang sangat
Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuatnya terpukul adalah foto seorang anak muda yang terbaring di tanah becek,
dengan kepala hancur. Sebelum dia menutup buku catatannya sekelebat terlihat
tulisan dengan huruf tebal.... tubuh ini dikenali bernama William Boone, 21 tahun.
Kelly mencabut rokoknya dengan gugup, Dia menggoyangkan tubuhnya ke depan dan ke
belakang. Dengan ujung jarinya dia tekan matanya, seakan-akan sedang mencoba
menghapus bayangan yang ada.
Boone mengajak enam temannya berkemah di tempat itu. Dua minggu sebelum mereka
berkemah, Boone mengajak Kelly mensurvai tempat perkemahan itu. Pada kejadian
mengerikan itu, hanya Carly McDonnell, teman sekolah Kelly, yang selamat.
Ada satu hal yang selalu mengganggu pikirannya. Seharusnya dia juga ikut
berkemah saat itu. Karena sakit radang tenggorokan, maka dia tidak bisa ikut
berkemah dengan kakak tersayang yang urakan itu.
Sesudah itu perasaan-perasaan yang aneh muncul. Setiap dia ingat kata-kata itu,
rasanya seperti ada seseorang yang menggelitik nyalinya dan membuatnya menggigil
ngeri. Coba kalau aku ada di sana......
Barangkali aku bisa menyelamatkannya.
Kelly membuka buku catatannya lagi dan membaliknya dengan cepat, melewati
artikel tentang pembunuhan itu. Dia terus membalik sampai ke bagian surat dari
Carly. Hampir setiap orang menganggap Carly cewek kuper alias kurang pergaulan. Soalnya
dia tidak suka pesta dan tampaknya hanya mau memikirkan bagaimana mendapat nilai
bagus, begitu Boone sering mengatakannya.
Kelly tak pernah berpendapat seperti itu tentang dia. Kelly tahu bahwa Carly
adalah pribadi yang cukup tegar. Itulah yang membuat Kelly tidak heran kenapa
Carly bisa selamat. Musim gugur yang lalu Carly meneruskan kuliah ke Harvard - ini pun tidak
mengejutkan Kelly. Carly ini pernah menjadi pembimbingnya dalam pelajaran
Matematika, jadi Kelly tahu pasti bagaimana pintarnya dia.
Saat Kelly pertama kali melakukan penelitian tak resmi di danau Kristal, dia
terus-terusan menelepon Carly, memohonnya untuk mengatakan apa yang sebenarnya
terjadi di hutan itu. Carly tak pernah mau menyinggung soal ini. Dia selalu
bilang hal itu sudah berlalu. Dia bilang dia ingin melupakannya.
Akhirnya, Carly mengirimkan surat karena tak tega melihat Kelly memohon terusmenerus. Inilah untuk pertama kalinya Carly mengatakan padanya kejadian yang
sesungguhnya. Dia menceritakan horor yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri.
Di suratnya, Carly mengatakan dia belum pernah mengatakan semua ini pada orang
lain. Sekali waktu dia pernah mencoba mengatakannya pada seorang psikiater.
Namun hasilnya, dia malah disuruh minum obat penenang.
Menurut Carly, pemburu yang menyerang mereka memakai topeng hoki Jason. Topeng
itu telah merasuk ke dalam jiwa dan membuatnya jadi jahat. Topeng itu telah
memberinya kekuatan. "Saat ini topeng itu terkubur di dasar danau Kristal," tulis Carly di akhir
suratnya. "Ini semua telah berlalu. Kelly, sebagai teman aku mohon kamu jangan
mengungkit-ungkit hal ini lagi. Kamu sebaiknya segera membakar surat ini, sebab
kalau ditemukan oleh orang yang salah, aku mungkin harus mempertanggungjawabkan
atau semacamnya. Kelly, aku tahu ini menyakitkan. Aku juga merasakan hal yang
sama, Tapi kamu harus ingat ..."
Kelly tidak membaca baris terakhir. Dia tak perlu melakukannya. Dia sudah hapal
sekali. Kamu boleh menyesali semua ini sepanjang hidupmu, tapi Boone tak akan
bisa hidup kembali. Dia menutup halaman itu, bibirnya yang tipis tertutup rapat. Dia tahu dia tak
bisa menghidupkan kembali Boone.
Ya, Tuhan, Carly! Masalahnya bukan itu.
Dia belum pergi ke sana untuk membalas budi. Dia belum ke sana untuk kakaknya
yang selalu bersedia ke sana bersamanya.
Seperti saat masih SMP dia bersama Marci Nottonson sedang main petak umpet di
dekat tempat penampungan air. Mereka bertemu dengan beberapa preman bertubuh
kekar dari daerah Dunhill yang miskin. Sekelompok anak liar itu terus menakutnakuti mereka dengan tongkat dan memaksa mereka membuka baju.
Tiba-tiba tak tahu dari mana, ada suara raungan keras. Boone muncul dari hutan
dengan sepeda motor. Padahal SIM pun dia belum punya. Dia menghalau anak-anak
itu seperti mengusir gerombolan angsa.
Setelah besar, orangtua Kelly tak pernah benar-benar peduli pada anak-anak
mereka. Mereka bergelut dengan masalah mereka sendiri.
Boone jadi lebih seperti ayah Kelly dari pada ayahnya sendiri. Dia selalu
mengajarkan hal-hal yang menyenangkan. Misalnya, bagaimana naik motor,
memanaskan mesin mobil, membongkar kunci, bagaimana bertahan hidup di hutan
hanya dengan sebilah pisau....
Bicara tentang keahlian yang terakhir ini membuat hati Kelly tersayat, karena
dia jadi teringat dengan apa yang telah terjadi.
Boone.... Ketika dia menyalakan rokok lagi, Kelly menyadari tangannya gemetar....getarannya
mirip suara burung. Dan bicara soal burung....saat ini terdengar suara cicit
burung di luar jendela dapur.
Langit yang kelam dengan cepat berubah menjadi abu-abu terang.
Matahari mulai terbit. Kelly mengusap wajahnya. Seperti biasa bila dia tak bisa tidur semalaman,
badannya tidak loyo tapi pikirannya jadi linglung. Wajahnya terasa berat dan
pandangnya mulai kabur, sepertinya wajahnya tertarik ke atas dan pandangannya
terhalang. Lalu, tiba-tiba dia menyadari air matanya menetes. Tak ada suara tangisnya.
Wajahnya nyaris bergeming, tapi air mata meluncur deras membasahi pipinya yang
pucat. Beberapa tetes meluncur ke pinggir bibirnya. Asin.
"Tidak," katanya perlahan. Tapi air mata itu tidak berhenti.
Sejak kematian kakaknya, dia punya kebiasaan seakan-akan berbicara dengan
kakaknya. Pada awalnya dia hanya berbicara di dalam hati. Tapi beberapa minggu
terakhir ini dia merasa lebih enak berbicara keras, meskipun seperti orang gila.
Soalnya terkadang dia berbicara cukup keras, sendirian.
"Aku punya rencana," katanya. "Boone....aku bilang, aku punya rencana."
Tiba-tiba, wajah Kelly mengerut saat dia tersedu. Dia melipat ke dua tangannya
erat-erat rapat ke tubuhnya. Tubuhnya terasa sangat dingin. Tapi yang melegakan
adalah saat air matanya berhenti, sakit kepalanya pun hilang.
Dia melihat ke bawah. Karena matanya basah, pandangannya menjadi kabur. Tetapi
dia terus membuka buku catatannya. Ini adalah bagian penutup buku catatannya
yang paling dia sukai. SEORANG LAKI-LAKI MENEMBAK ISTRINYA, LALU DIRINYA SENDIRI.........
PENYAKIT RABIES MEWABAH DAN MEMAKAN DUA KORBAN LAGI........
ANAK LAKI-LAKI, 9 TAHUN, MENGGANTUNG ANJING.....
WANITA TUA MERACUNI TETANGGANYA...
Semua artikel seram itu terjadi di sekitar danau Kristal, Massachusetts. Semua
itu terjadi akhir tahun lalu.
Sepertinya tidak wajar kan, di zaman sekarang ini ada begitu banyak musibah
hanya di satu kota" Kelly menggenggam cangkir kopi dengan kedua belah tangannya, mengangkatnya ke
arah pipi. "Dia muncul lagi," katanya perlahan.
Dia sangat yakin akan hal ini. Apa pun makhluk itu, dia telah membawa serta roh
jahat ke kota itu. Dia muncul kembali.
Dan Kelly akan menjebaknya, membunuhnya, dan menghancurkannya.
Dia akan menuntut balas. Balas dendam. Demi Boone. Dan demi dia sendiri.
"Aku akan datang, Boone," katanya.
Boone tidak menjawab. Chapter 2 MA DAN PA "Pa!" seru Ma dengan suara keras.
Pa berhenti mendengkur, tetapi tidak terbangun.
Ma menyodok bagian samping perut suaminya dengan gagang sapu yang sedang
dipakainya. "Bangun!"
"Emm," Pa menguap sambil menghadap ke bantal. "Jam berapa ya, sekarang?"
"Hampir jam tujuh, tahu."
"Tujuh," ulang Pa dengan suara agak kesal. Dia berbaring lagi.
"Hari apa ya, sekarang?" tanyanya.
Suara Ma sekarang terdengar lebih ketus. "Ini Kamis, Pandir!"
Setelah secara dramatis menggeliat dan menguap keras Pa akhirnya bangun juga.
Pagi yang buruk. Soalnya, saat itu juga kepalanya mulai terasa berdenyut-denyut.
Pa membuka sebelah matanya. Dia menatap istrinya yang sudah tua. Dia sebal
karena Ma berani membangunkan dirinya, tapi tampang Ma yang dingin cukup
menakutkan, membuat ia membuang muka tanpa berkomentar apa-apa. Dia menarik
kakinya yang telanjang keluar dari tempat tidur dan bersikap seakan-akan sedang
memperhatikan jari-jari kaki.
Pa berusia tujuh puluh tahun, berkumis dan berambut penuh uban serta berjenggot
putih dan bergigi hitam. Tetapi meskipun usianya sudah tua, dia masih kuat dan
tegap. Ketika masih muda, dia mampu mengusir para berandalan yang mengganggu
istri dan anaknya. Saat itu dia masih jaya.
Sejak kapan keadaan berubah" Pa tidak bisa mengingatnya dengan pasti.
"Kenapa sih, kamu nggak pernah membiarkan aku tidur?" dia menggerutu.
"Pulanglah kalau sudah magrib," jawab Ma, tanpa melihat padanya. "Baru kamu
boleh tidur." Pondok yang sedang disapu Ma adalah gubuk kecil yang berada sekitar dua
kilometer dari danau Kristal. Ma berusaha keras untuk menjaga kebersihannya,
tapi nyatanya tempat itu selalu tampak berantakan.
Di pondok itu ada tiga tempat tidur besi, satu untuk Pa, satu untuk Ma dan satu
lagi untuk Big Red, anak mereka satu-satunya. Kasurnya dilengkapi selimut, tapi
tanpa seprei. Pa menatap istrinya dengan penuh rasa ingin tahu. "Buat apa lebah yang ada dalam
panci itu?" Wanita bertubuh besar dan berambut penuh uban itu sedang berdiri di dekat kompor
gas kecil yang sedang menyala. Di atasnya ada teko yang mengeluarkan bunyi
nyaring tanda airnya sudah mendidih.
"Sudah, bangun sana," perintah Ma.
Pa mengusap wajah dengan kedua belah tangannya. "Mana Big Red?"
"Dia meninggalkan pesan, tuh."
"Mancing?" "Ya." Pa tertawa kecut. "Anak itu tidak bakalan tahu bagaimana cara menangkap ikan
meskipun si ikan melompat sendiri ke perahu dan mencoba menciumnya."
Komentar seperti itu atau yang mirip dengan itu adalah bagian dari kegiatan
rutin Pa dan Ma di pagi hari. Tapi kali ini Ma menyimpang dari skenario. Dia
segera berbalik dengan pandangan marah. "Jaga mulutmu."
Pa tetap terkekeh-kekeh, tapi dia menurut. Tak ada lagi komentar keluar dari
mulutnya. Dia bangkit dari tempat tidur dan dengan bertelanjang kaki melangkah
di atas lantai papan yang terasa dingin. Lalu dia mengambil celana panjang
tuanya dan mengenakannya. Kemudian dipasangnya tali penahan celananya melalui
bahunya yang besar. "Dia kan, masih anak-anak," kata Ma sambil memasukkan sesendok besar kopi ke
dalam cangkir. "Anak-anak?" Pa mendesis. "Umurnya sudah empat puluh lima tahun."
"Menurutku," tegas Ma, "dia masih anak-anak."
"Yah," jawab lelaki tua itu, "aku rasa kau benar." Dia berdecak perlahan. "Dia
memang anak laki-laki yang baik."
Dia tahu hal itu akan menyenangkan hati istrinya. Ma berjalan ke meja. Dia tidak
memandang ke arah suaminya. Tapi lelaki itu tahu pasti bahwa komentarnya
berhasil baik, soalnya bahu istrinya tampak tidak tegang. Dia memang hapal
persis adat istrinya. "Aku bikin makanan kecil, nih," kata Ma dengan ketus.
Pa mengangguk puas. Sepanjang yang dia tahu, keripik dari nasi adalah satusatunya makanan untuk sarapan yang dikenal para lelaki di daerahnya.
"Jam berapa kamu bangun tadi malam?" tanya Ma saat dia duduk di depan meja kayu
yang reot. "Oh." Pa terdiam sejenak memikirkan sejauh mana kebohongan akan berakibat buruk
baginya. "Aku mencium bau napasmu ketika kau pulang," kata Ma.
Dalam keadaan seperti itu Pa memutuskan lebih baik dia tak usah berbohong.
"Minum-minum, ya?" desak Ma. "Dengan si Tuck dan Bud?"
Supaya tak perlu menjawab, Pa memasukan sesendok penuh keripik ke dalam
mulutnya. Kepalanya berdenyut. Dan setiap kali Ma berkata sinis dan keras, sakit
di keningnya menghujam semakin dalam.
Ma menarik napas dalam. "Kamu memang tak pernah mau berubah, kan?"
"Ah, soal itu sih, aku tak tahu, Ma."
"Yah, kamu memang tak pernah mau berubah. Tak pernah dan tak akan pernah." Ma
sekarang tersenyum, tapi bukan senyum yang menyenangkan. Senyumnya sinis
sehingga membuat Pa merasa tak nyaman.
"Maksudku," kata Ma, "setelah kejadian..." Dia menegang dan suaranya bergetar.
"Sudahlah, Ma...." Dia berusaha menekan nada suaranya. Ya, Tuhan, dia benci
sekali pada perempuan yang satu ini.
Ma sedang menenangkan dirinya agar suaranya tak bergetar.
"Setelah kejadian waktu itu, kamu masih bisa mabuk-mabukan"!" katanya dengan
ketus. "Kamu buat babi saja tidak pantas!"
Kata-kata ini adalah penghinaan yang disukai Ma. Langsung membuat Pa terpukul.
"Jangan ngomong seperti itu," ancam Pa.
"Jangan ngomong?" Ma tampak senang. Aku akan mengatakannya. Aku akan selalu
mengatakannya, sebab itu memang benar."
"Jangan coba-coba," tegas Pa.
Ma memandang lekat ke arah wajahnya. Napasnya tampak tersengal-sengal. Kali ini
dia mengatakan penghinaannya perlahan-lahan dan dieja. "Kamu, bu-at ba-bi sa-ja
ti-dak pan-tas." Pa sudah tak bisa tahan lagi. Kesabarannya habis. Kini kemarahan merasuki
dirinya. Dia bangun dari kursinya. Mulutnya tampak agak terbuka. Ada sisa-sisa
keripik menyangkut di bibirnya.
"Kamu memang tidak pernah mau nurut padaku, bukan?"
"Betul!" Ma menjawab geram.
"Seumur hidupku kamu selalu meracuni pikiranku!" kata Pa. "Itu kan, kecelakaan,
tahu" Kecelakaan!"
Tiba-tiba Ma menamparnya. Cukup keras saat mengenai wajah Pa. Ini bukan kejadian
baru. Tapi karena mengenai bagian atas dan kepalanya terasa berdenyut, tamparan
itu jadi terasa seperti pentungan palu. Pa mengangkat tinjunya. Tetapi sorotan
mata Ma membuatnya takut. Bukannya memukul Ma, tapi dia akhirnya cuma menggebrak
meja. Pa menghantam mangkuk berisi keripik, hingga jatuh ke lantai dengan keras.
Tubuhnya menggigil. Begitu juga tubuh Ma. Lalu Ma menjerit,
"Kamu membuat pondokku berantakan! Kamu jorok, kamu ...."
Tampaknya Ma tak bisa menemukan kata-kata yang lebih buruk. Dia lalu berubah
pikiran. Sekarang dia renggut tali penyangga celana dan kemeja suaminya lalu
mendorongnya sekuat tenaga. Pa terlempar ke belakang begitu cepat hingga
kepalanya terbentur pinggiran rak buku.
Di rak itu tidak ada buku. Ma memanfaatkannya untuk menaruh tanaman kaktusnya.
Dua di antaranya sekarang jatuh di atas kepala Pa secara beruntunan. Ma sekarang
terbahak-bahak, sambil berteriak keras. "Itu ganjarannya!" katanya berulangulang. "Itu ganjarannya!"
Pa mengelus kepalanya yang benjol dan tiba-tiba tatapannya menjadi beringas.
Beberapa saat kemudian, terjadilah. Dia merasa sesuatu menghantamnya. Merasa ada
sesuatu yang merasuki dirinya....sesuatu yang membangkitkan perasaan marah yang
biasanya cuma muncul kalau dia benar-benar jengkel.
Dia menyergap Ma. Dia menggapai ke arah leher Ma. Dari sorot mata Pa, Ma pasti
tahu persis apa yang akan dilakukan Pa pada lehernya kalau sempat teraih. Sebab
itu Ma tampaknya tak membiarkan tangan Pa menyentuhnya. Dia segera menekuk
lututnya, dan menahan Pa dengan kedua kakinya.
Luar biasa rasa sakit yang dirasakannya.
Pa lalu terjatuh ke lantai. Untuk sesaat, rasanya bagian dalam tubuh
meninggalkan dirinya dan melayang ke arah atap pondok. Lalu rasa sakit
menyerang. Begitu sakit sehingga dia tak mampu merintih.
Ma mundur. Dia hendak membunuhku, pikir Ma, sambil gemetaran.
Dia pasti masih mabuk, pikirnya kemudian. Barangkali sebaiknya dia mengambil
kompresan untuk mengompres kepala suaminya. Tapi dia takut. Bagaimana kalau Pa
kembali bangun sebelum dia berhasil mengisi air es kompresan itu" Setelah
tendangan tadi, dia pasti benar-benar marah.
Alhasil, Ma berubah pikiran. Dia justru sekarang melangkah ke arah rak di atas
tempat tidur mereka. Rak pasangan dari rak yang tadi tertabrak Pa. Tanpa
melepaskan pandangannya ke arah suaminya yang terjatuh, dengan tangan kanannya
Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia mencari-cari senapan.
Tak ada di tempatnya. Dan saat dia meraba-raba dengan panik, tangannya menyentuh sesuatu yang lembut
dan hangat. Dia tersentak ketakutan. Lalu dia berdiri tegang. Walaupun ia dan Pa termasuk manusia berpostur besar, mereka masih juga heran
karena mereka telah menghasilkan keturunan yang begitu besar.
Big Red harus menunduk saat dia masuk ke dalam pondok. Saat ini tubuhnya yang
besar dan tambun menutup hampir semua cahaya yang masuk melalui jendela yang ada
di belakangnya. Sinar matahari yang kuning terang menyoroti bentuk tubuh raksasanya.
Tangan Ma rupanya meraba lengan kanan Big Red. Dia menariknya lengannya seakan
baru saja menyentuh kobaran api.
"Big Red"!" kata Ma. Suaranya nyaris seperti orang bertanya.
Soalnya Big Red tampak janggal.
Pertama, dia menutupi wajahnya dengan topeng yang aneh.
Kedua, dia membawa senapan. Dan Senapan itu diarahkan pada Ma.
"Ada apa, Nak?" Pa bertanya lemah dari lantai. "Kamu menemukan sesuatu?"
Big Red tidak menjawab. Tidak berkata satu patah kata pun. Pa dan Ma tidak
pernah tahu apa yang ada di kepalanya. Tidak pernah tahu apa yang saat ini
terbayang di depan mata palsunya yang terbuat dari beling.
Di kepalanya, dia sedang melihat rekaman kejadian yang pernah ada di pondok ini.
Pa dan teman-teman dekatnya sedang duduk di meja kayu. Paman Tuck dan Paman Bud
mengedarkan sebuah botol minuman keras. Terus dan terus.
Di pojok ada keranjang balita dari kayu. Di dalamnya terbaring seorang anak
balita lucu berambut pirang.
Balita itu sedang menangis.
Dan setiap kali balita itu menangis, Pa berteriak supaya balita itu diam.
Teriakan yang tak membawa hasil. Balita itu justru menangis lebih keras. Sampai
akhirnya Pa marah dan memukul balita itu dengan setrikaan.
Setrikaan itu meninggalkan tanda V di kepala si balita.
Bayangan itu menghilang sirna dari kepala Big Red, tetapi kebenciannya tetap
tinggal. Dia mengalihkan kepalanya dari Ma dan mengawasi Pa yang sedang berusaha
berdiri. Pa menjulurkan tangannya ke arah Big Red.
"Sini senapannya," perintah Pa.
Big Red tidak bergerak. Dia malah berjalan perlahan ke arah Pa.
"Anak kecil tidak boleh main-main dengan senapan," kata Pa. "Ayo, sudah berapa
kali Pa beri tahu?" Pa melangkah lebih dekat. Tetapi dari cara Big Red menatapnya, Pa akhirnya
menghentikan langkahnya. Barangkali hal itu karena kedua mata Big Red terlihat
memancarkan binar yang keluar dari arah lubang hitam yang ada di topeng.
"Big Red," tutur Ma sambil menangis tersedu. "Berikan senapan itu anak manis."
"Ayo, ah, Big Red," timpal Pa.
Dan kemudian Pa merenggut laras senapan itu. Big Red menggerakkan jarinya. Dan
Senapan itu meletus. Pa hanya berada kurang dari semeter di depannya. Kedua laras senapan meledak dan
meninggalkan dua lubang tepat di bagian perut Pa dan membuat Pa terlempar ke
dinding pondok di belakangnya.
Lalu Pa jatuh ke lantai seperti sekarung beras.
Ma ikut terkulai, jatuh di atas ke dua lututnya. Tangannya terangkat di atas.
Dia berteriak histeris. Berteriak persis seperti yang dilakukannya dulu sekali,
ketika Big Red masih balita. Big Red dapat melihat kejadian ini di kepalanya,
melihatnya jelas di balik mata belingnya.....seakan mata belingnya itu sebuah
televisi di kepalanya. Pada malam beberapa tahun yang lalu itu, Ma masuk dari pintu dan menemukan
beberapa lelaki sedang mabuk dan balitanya yang lemas.
Ma mengangkat anaknya itu. Si balita berambut merah itu sudah tak menangis lagi.
Tampaknya balita itu juga sudah tidak lagi bernapas. Ma menengok ke arah Pa dan
berteriak histeris. Pemandangan menjadi gelap. Big Red kembali menatap pada Ma-nya. Wanita tua itu
masih dalam posisi berlutut dan menangis.
Aih, pasti Ma waktu itu marah sekali pada Pa. Tapi hanya itu yang dilakukannya.
Cuma marah. Tak ada yang lain.
Big Red mengisi kembali senapannya. Dia melangkah ke arah Ma-nya, berjalan tidak
terpincang-pincang seperti biasanya.
Chapter 3 PARA JAGOAN Pukul sebelas siang, Miguel Hernandez baru saja kembali dari lari pagi. Dia
duduk di kursi dapur sambil melipat tangannya yang kekar. "Oke, pelayan,"
katanya pada pacarnya, Tina, "siapkan sarapanku."
"Baik, tuan," sahut Tina cemberut.
Miguel berumur delapan belas tahun, keturunan Spanyol, dengan mata hitamnya yang
menawan dan kumis tipisnya yang suka dia tarik-tarik tetapi tak bisa bertambah
panjang. Posturnya pendek tapi kekar. Wajahnya agak mirip anjing bulldog. Ketika
lulus SMA tahun lalu, dia digelari: Pria paling mirip tampang pembunuh.
Saat ini dia sedang mengenakan kaos seragam SMA-nya dulu dengan lengan baju
terpotong sebatas bahu. Ketika duduk di kursi dapur, ia mengawasi Tina menyiapkan makanan. Gadis itu
menuangkan cereal ke dalam mangkuk dan dengan hati-hati mengiris pisang di
atasnya. Dia tahu, Tina pasti tak akan menawarkan makanan padanya. Tina bukan
tipe manusia murah hati. Tapi Miguel tidak peduli. Yang penting gadis ini sekarang jadi pacarnya dan
tetap mau pergi dengannya. Bahkan hanya dengan dia.
"Sarapan gaya sang juara, ya?" tanyanya pada Tina.
Tina tak acuh. Miguel melompat dari kursi dapur kemudian melakukan gerakan peregangan otot. Dia
bersandar ke dinding dan menahan dirinya tetap bergulung sampai kakinya terasa
kesemutan. Selama itu matanya tetap ke arah Tina. Kecantikannya mengagumkan.
Tina Chen baru berumur tujuh belas. Gadis jangkung berdarah Cina-Amerika ini
berambut hitam sepanjang pantat. Wajahnya bulat telur dan sangat menawan. Miguel
berdecak sendiri. "Diam, ah," katanya tenang, tanpa menengok ke arah Miguel. Sebaliknya, dia
mengamati bagian belakang kotak cereal-nya. "Aku rasa Kelly begadang lagi tadi
malam," katanya dengan mulut penuh cereal.
"Kenapa?" "Kamu lihat rumah ini" Bersih sekali. Dan buku catatannya ada di sini, di atas
meja. Itulah tanda-tandanya."
"Ooh." Kakinya sekarang terasa nyeri, tapi dia tetap mempertahankan posisinya.
Kamu tak boleh menyerah cuma karena rasa sakit. Jangan pernah.
"Kemarin-kemarin aku melihat tempat duduk di bawah jendela terbuka. Kulongok,
ternyata dia tidur di situ. Waktu kujenguk, dia nyaris membuatku jantungan. Dia
bilang dia senang tidur di sana, soalnya seperti sedang tidur di dalam peti
mati!" "Asyiiik, he-he," Miguel berkata sambil terkekeh. Karena sedang melakukan
gerakan penguatan otot, maka suaranya terdengar tertahan.
Tina menengok ke arahnya. Ketika melihat Miguel sedang latihan, dia menjulingkan
bola matanya ke atas. "Aku mengkhawatirkan dia," kata Tina sambil menengok kembali ke arah sarapannya.
"Kenapa?" Miguel tersengal-sengal menahan rasa sakitnya.
"Kenapa" Miguel, tidakkah kau perhatikan, dia terobsesi pada Jason. Rasanya itu
sama sekali tidak sehat."
"Lantas, kenapa?" ulang Miguel.
"Berhenti, ah. Aku serius, nih. Omongannya tak lebih dari soal pergi ke hutan
dan membunuh Jason. Tampaknya setiap orang percaya bahwa yang namanya Jason itu
benar-benar ada. Maksudku, aku tahu semua orang di sini menyukai Kelly dan tak
ada yang menyinggung keburukannya. Tapi kurasa dia bisa jadi gila. Harus ada
orang yang menyadarkannya dan membaca situasi yang ada."
Butir-butir keringat keluar dari seluruh wajah Miguel. "Sepuluh detik lagi!"
teriaknya pada diri sendiri. Dia menghitung dengan suara perlahan, lalu
mengerang dan akhirnya berdiri. Kakinya terasa semutan. Tapi dia tersenyum dan
mengamati ototnya. "Secara pribadi, aku tak sabar untuk segera melakukannya," kata Miguel.
"Melakukan apa?"
"Kamu tahulah, rencana Kelly. Berburu Monster."
"Oh, jangan bilang," keluh Tina.
"Serius. Bakal seru, deh!"
Seperti Kelly, Miguel juga belum berniat meneruskan sekolahnya. Dia bekerja di
sebuah sanggar bela diri, sekolah karate.
Karate cuma salah satu seni bela diri yang dipelajarinya. Beberapa minggu
terakhir ini, sekolahnya sedang dicat, jadi Miguel nyaris tak punya kegiatan.
Tampaknya waktu yang sangat tepat untuk bepergian ke danau Kristal.
"Sini, aku beri nasihat sedikit," kata Tina. "Kita tidak akan pernah berburu
monster, tahu! Itu cuma gurauan Doug agar Kelly bisa tenang."
"Kamu salah, Non," sanggah Miguel. "Kelly tidak gila. Justru dia sudah bisa
membayangkannya." Mata hitam Miguel berbinar. Kelly punya pandangan, tujuan dan titik keberhasilan
- persis seperti Miguel. Tujuan keberhasilan Miguel adalah suatu hari ingin menjadi pahlawan perang yang
hebat, seperti ayahnya. Tujuan akhir Kelly adalah membunuh monster. Nyaris sama
kalau kedua tujuan itu dibandingkan
"Sebenarnya secara pribadi, dia membuatku ngeri," gumam Tina. "Dia ... berbaubau kematian." "Yah," kata Miguel, "dia sudah begitu menderita."
"Betul, dan itu masalah yang lain lagi. Aku bosan memprihatinkan dirinya garagara musibah yang menimpa kakaknya, tahu tidak" Dia kan, bukan satu-satunya
orang yang pernah kena musibah."
Miguel mendengus. Dia sebal kalau Tina menjelek-jelekkan Kelly. Sejauh ini
Miguel merasa Kelly lebih baik daripada kakaknya. Bahkan jauh lebih baik.
Misalnya saja, saat dia betul-betul tongpes alias kantong kempes - yang sering
benar ia alami - Kelly tak keberatan meminjamkan uangnya, biarpun Kelly sendiri
sedang pas-pasan. Kelly tak pernah menyinggung soal uang itu, apalagi
menagihnya. Juga, bila dia masuk ke dapur tepat ketika Kelly sedang makan (yang jarang
terjadi), Kelly selalu menawarkan makanannya.
"Dia punya pandangan," tegasnya.
Tina tertawa keras. "Dia punya pandangan" Dia banyak memandang hal-hal aneh.
Pengkhayal." Tina sangat cerdas sehingga bisa menyelesaikan SMA-nya lebih cepat setengah
tahun. Dia juga sudah diterima di Universitas New York untuk tahun ajaran
berikutnya. Dia merencanakan mengambil jurusan psikologi.Dia selalu
menyangkutkan segala hal menurut teori psikologi.
Hal ini membuat Miguel sebal, terutama kalau Tina mengaitkan ulasannya dengan
diri Miguel sendiri. "Biar deh," Miguel berharap dapat mengakhiri percakapan mereka. Dia mengangkat
botol minuman dari meja dapur lantas menuangkan jus langsung ke mulutnya.
"Eh," kata Tina, "hati-hati minuman itu sudah kadaluarsa."
"Memang kenapa" Aku tidak menelan cacing." Miguel mengelap bibirnya dengan
punggung tangan dan dengan suara keras mendesiskan, "Ah!" karena puas.
Tetapi dia tidak melanjutkan minumannya.
"Aih, aku pasti puas bisa ketemu Jason," katanya.
Tina mencibir sinis. "Enyah sana."
"Memangnya mau!"
"Percayalah, Miguel, kalau di sana memang ada monster, kamu bakal terkencingkencing di celana." "Gila, apa" Tak akan!"
"Ehem, ehem." "Aku pastikan. Aku bakal melumpuhkannya ...buk! buk!"
Miguel memamerkan gerakan tinjunya. Dia meluncur luwes memperagakan gerakan
kickboxing, lalu diteruskan dengan gerakan Tai Chi dan mengakhirinya dengan
tendangan karate yang nyaris saja mengenai pembakaran roti.
"Hati-hati, dong!" Tina mengingatkan.
"Aku si Karate-Kid," kata Miguel tersipu-sipu.
"Kamu....si dungu," ujar Tina.
Ucapan yang menyakitkan. Kenapa sih, Tina bersikap kasar padanya akhir-akhir
ini" Miguel menghampiri Tina dari belakang dan merangkul pundaknya, mengecup
tengkuknya, sambil meremasnya agak keras. "Tapi, kamu cinta aku, kan?"
"Tidak, aku tidak cinta," Tina menggeliat berusaha melepaskan diri.
"Pagi, kawan," sapa suara riang dari pintu belakang.
Miguel meluruskan badan saat Doug Sanderson masuk.
Doug adalah pemuda keren yang selalu bisa bersikap tenang dan rileks. Dia juga
bukan tukang berkelahi. Itulah hal yang paling mengagumkan dari dirinya.
Miguel memperhatikan bagaimana teman sekamarnya ini bisa bersikap seperti itu
tenang dan rileks nyaris sepanjang waktu.
Saat ini Doug memakai celana balap sepeda berwarna hitam bergaris oranye. Tshirt warna hitam gelap yang berkantung, dan helm warna perak bermotif setripsetrip. Dia melepas helmnya lantas mengusap rambut hitamnya. "Kalau kalian mau
berbuat tidak senonoh, di tempat tertutup, dong. Supaya tidak mengganggu orang
lain." Miguel tertawa sebelum melepaskan leher Tina.
"Ngomong sembarangan," kata Tina sambil mengedipkan mata indahnya ke arah Doug.
"Kamu tuh, kata orang-orang, yang suka gila-gilaan di atas piano itu."
Piano yang ada di situ adalah piano tua lumayan besar yang sempat "diselamatkan"
Boone ketika tinggal di rumah ini. Benda hitam kaku itu kini mematung di kamar
duduk seperti makhluk besar. Tutsnya sebagian sudah hilang dan bunyinya juga
sudah tak karuan. Tapi masih bisa dimanfaatkan untuk dijadikan meja, terutama
kalau pas ada acara pesta. Dan, kalau gosipnya memang benar, piano itu juga
sering dipakai untuk bercumbu.
Doug meneguk minuman mineral langsung dari botol. Dia langsung menelannya, lalu
menyeringai. "Kata siapa?" tanyanya pada Tina.
Tina memainkan rambut hitamnya yang panjang.
"Tuh, kan, dia tidak menyangkal," tutur Tina pada Miguel.
Tapi Miguel justru memperhatikan hal yang lain, yang akhir-akhir ini mulai ia
sadari. Tampaknya, Tina menyukai Doug.
"Kamu tahu kan aku pingin banget belajar piano," kata Tina pada Doug dengan
suara manja dan genit. "Lucu banget," sela Miguel agak kasar. Dia menatap tak suka pada Tina. Matanya
bersinar marah. Tina tak peduli. "Sudah ketemu cewekmu pagi ini, Douggie?" tanya Tina.
"Siapa" Kelly?"
Tina terkekeh suaranya nyaris melengking. "Memangnya kenapa" Kamu tidak tahu
siapa pacarmu, ya?" Doug meyeringai lantas mengangguk-angguk seakan mendukung kata-kata Tina. Dia
meneguk minumannya lagi. "Kurasa dia begadang lagi semalam."
"Apa kubilang," kata Tina pada Miguel.
Doug mengangkat sepatunya ke atas meja dapur untuk memulai gerakan peregangan
otot, tepat saat Tina menyantap sarapannya.
Kalau Miguel melakukan hal seperti itu, Tina pasti sudah berteriak histeris.
Tapi kali ini Tina sama sekali tak berkomentar.
Umur Doug dua puluh tiga. Rasanya dia sudah cukup lama kuliah, tetapi tidak
jelas semester berapa sekarang. Soalnya, dia kurang serius. Waktunya habis buat
urusan perempuan. Dan sejauh Miguel mengenalnya, Doug memang juara untuk soal
yang satu ini. Menurut pengakuan Doug sendiri, gosip tentang piano itu sebenarnya bukan gosip.
Bahkan ke mana pun Miguel bepergian bersama Doug, Doug selalu memperlihatkan
sikap gila cewek itu. Lihat bangku itu, Miguel" Di situlah aku mencumbui Suzie Rogers. Lihat tempat
tidur gantung yang itu, Miguel" Di sini....
Doug berhenti meregang kemudian berjalan ke arah jadwal pelajaran yang
ditempelkannya di dinding dapur. "Sial," katanya. "Aku kelewatan kuliah bahasa
Perancis lagi, deh."
"Bagus sekali," kata Tina sambil tersenyum simpul.
Miguel merasa dadanya berdegup keras.
Pada saat yang nyaris bersamaan pintu belakang terbuka dan Kelly masuk. Dia
membawa tape recorder kecil. Dia berhenti sejenak saat melihat mereka; bergumam
menyapa; kemudian membongkar-bongkar laci di dapur dengan suara berisik.
Tina menatap mata Miguel dan memberi tanda dengan tangannya, menunjukkan
bagaimana parahnya keadaan Kelly menurutnya.
Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Miguel memelototinya, marah.
Doug tertawa. Jadi Miguel juga menatap marah pada Doug.
"Apa kalian punya simpanan baterai?" tanya Kelly, seperti orang agak linglung.
"Baterai?" Tina bertanya balik dengan nada seakan yang ditanyakan Kelly, itu
barang aneh. "Aku punya di walkman-ku. Boleh kamu pakai," ujar Miguel. "Walkmannya sih, sudah
rusak, tapi kurasa baterainya masih bisa dipakai."
"Bagus. Trims, ya."
Kelly membuka kancing kantong yang ada di bagian dadanya dan mengeluarkan
secarik kertas. Dia membaca tulisan di kertas itu.
"Tape recorder, baterai ...," dia membuat tanda silang. "sekop, palu, buku
notes, pisau, selimut ...."
"Sadar Kell," kata Tina. "Sadar dong, Kelly."
Kelly mendongakkan kepalanya.
"Mau apa sih, kamu?" Doug bertanya dengan nada tak suka.
Kelly menarik napas dalam. "Aku mau bepergian beberapa hari."
Hening. Mereka menunggu Kelly menjelaskan lebih lanjut.Tapi Kelly tidak
melakukannya. Dan ini bukan hal yang tak biasa.
Sepanjang tahun Kelly sering menghilang untuk berburu atau bertualang di hutan.
Tapi sekarang Tina berkata. "Ya, Tuhan. Kamu mau melakukannya lagi, kan?"
Tina mengarahkan kata-katanya pada Kelly, tetapi setelah itu ia berbalik menatap
ke arah Doug dan menambahkan, "Dia mau ke sana."
Miguel menarik bahu Tina dengan kasar, mencoba membuat gadis itu menghadap ke
arah dirinya. "Pergi ke mana" Mau pergi ke sana ke mana?"
Tina meronta melepaskan bahunya dari cengkeraman Miguel. Dia kembali
menghadapkan tubuhnya ke arah Doug yang sedang menatap lekat ke arah Kelly.
"Ya, Tuhan," kata Doug. "Tidak benar kan, Kell" Ayo, ah, bilang kalau itu tidak
benar." "Itu benar." "Aku minta kamu jangan bilang begitu."
Miguel tertawa keras. Tapi karena yang lain tak ada yang ikut tertawa, Miguel
akhirnya berhenti tertawa dengan tampang konyol.
Dia melangkah ke arah Kelly. "Tunggu sebentar. Apa kamu sedang membicarakan
sesuatu seperti yang ada di pikiranku" Mau berburu monster?"
Kelly mengangguk. "Nah benar kan, Tina. Kamu tadi bilang cuma khayalan."
Doug melangkah ke lemari es lalu mengambil sejerigen kecil minuman dingin.
"Kelly, kamu tahu, kamu ini benar-benar ...." Dia membuka tutup jerigen dan
meneguk minumannya "menakutkan dengan obsesimu itu."
Tina tertawa sambil menutup mulut. "He-eh, kamu betul-betul membuat kita-kita
khawatir." Doug menatap Kelly dengan pandangan marah, tapi mulutnya yang cemberut berubah
menjadi senyuman dan berubah lagi menjadi tawa yang membuat minuman dalam
mulutnya muncrat ke mana-mana.
Miguel melompat ke belakang sambil berteriak, "Jorok!"
Doug menyeringai. "Soriii. Eh, Kell, kamu tahu apa yang kamu butuhkan" Kamu
butuh tidur. Bagaimana kalau mandi air hangat sambil kugosok punggungmu ...."
"Tidak usah," Kelly menjawab dengan suara perlahan tapi tegas, yang bisa
diartikan bahwa tak ada jalan untuk mengubah pikirannya. "Saat ini adalah
waktunya yang tepat. Maksudku, sekarang ini aku duduk di sini, dan aku berpikir.
Kalian tahu maksudku, kan" Aku telah membicarakan rencanaku ini cukup lama,
bukan" Jadi apa yang salah padaku" Apa aku menakutkan, atau apa" Aku kan, cuma
memutuskan. Harinya adalah hari ini."
"Besok saja," usul Doug.
Kelly tak mempedulikannya. Saat dia berkata tangannya membelah udara. "Kalian
ingin tahu, mengapa menurutku saat ini yang paling baik. Soalnya, pada saat aku
memutuskan untuk pergi, aku merasa lebih lega. Sebab, itu berarti paling tidak
aku jadi tahu bahwa semua ini akan segera berakhir. Bagaimanapun cara
mengakhirinya. Bahkan ibaratnya harus dibayar dengan kematianku."
Keheningan mencekam ruangan itu. Bahkan Miguel harus mengakui bahwa gadis yang
satu ini memang terlihat begitu kacau.
Dia bertepuk tangan. "Jadilah," katanya. "Aku juga mau ikut."
"Miguel," kata Tina dengan suara memperingatkan.
"Ayolah, Non," Miguel menengok ke arah Tina dan Doug. "Apa yang kau katakan
tadi" Kita bakal pergi ke sana. Pasti seru."
Dia menengok kembali ke arah Kelly. "Jauh tidak, tempatnya?"
"Perjalanan sekitar tiga jam. Aku punya petanya. Tapi ...."
"Bagaimana menurutmu, Tina?" Miguel menatap langsung ke arahnya.
"Emm... emm...," Tina membuang muka.
"Ayolah hitung-hitung bertualang. Apa sih, ruginya?"
"Rugi waktu," jawab Tina tegas.
Doug menggaruk-garuk kepalanya. "Kira-kira perlu waktu berapa hari?"
Kelly mengangkat kedua tangannya. "Sobat, kalian benar-benar baik."
Dia tersenyum manis pada Miguel. Kehangatan serta gairah hidup tampak muncul
kembali dari sinar mata biru gadis yang semula kosong. "Tapi dengar baik-baik,
ya. Perjalanan ini adalah sesuatu yang harus kulakukan sendiri."
"Sendiri?" Suara Miguel meningkat satu oktaf. "Kamu mau menghadapi si pembunuh
itu sendirian" Kamu gila, ya?"
"Begitulah adanya," jawab Kelly. "Tina, aku tahu kamu pikir ini semua konyol,
tapi sebetulnya tidak begitu. Ini semua benar-benar riil dan ini semua juga
berbahaya. Dan dan aku tidak mau mencelakakan kalian. Aku tidak mau."
"Kelly," ujar Tina, "kamu tahu apa yang ada di sana" Bukan apa-apa. Hanya ada
hutan dan beberapa pondok perkemahan tua yang terlantar. Kukatakan ini, agar
kamu tidak kecewa. Di sana tidak ada yang berbahaya. Kecuali bahaya yang kamu
bikin sendiri." "Bagus," kata Miguel. "Jadi kamu tidak takut ikut, kan?"
"Tidak. Percayalah," jawab Tina. "Barangkali justru kamu yang merasa begitu?"
Tawa Miguel meledak. "Aku" Aku kan satu-satunya orang yang sudah menawarkan diri
untuk ikut sejak awal. Sempat kamu perhatikan, tidak?"
"Sobat," tutur Kelly, "yang aku bicarakan ini bukan hanya masalah perjalanan
satu hari. Aku pergi sampai.......pokoknya, sampai urusanku selesai."
"Kell." Doug merangkul bahunya. Dia mencoba menarik tubuh Kelly untuk bersandar
pada dirinya, tapi Kelly menolak. "Kamu lelah, Kell," katanya. "Jadi kamu tidak
sadar sedang ngomong apa. Kamu seperti aku kalau habis begadang semalam suntuk
gara-gara mau ujian Sejarah. Kupikir kalau aku tidak melek semalaman, aku bakal
gagal." "Kamu memang gagal," sela Miguel.
"Benar," jawab Doug, "jadi intinya memang konyol kalau mengorbankan tidur
malammu hanya untuk sebuah masalah."
Dengan agak kasar dia mengguncang-guncangkan tubuh Kelly dan memutar ke arahnya.
Kelly sendiri cuma tersenyum kecil.
"Dengar, Kell," sambung Doug. "Kalau kamu pergi, aku juga harus pergi, paham"
Dan sialnya, aku besok harus kuliah."
Komentar Doug membuat Miguel sebal. "Ah, seperti peduli saja!"
"Dan," sambung Doug sambil tersenyum, "aku tidak tahu bagaimana dengan kalian
semua, tapi mendatangi tempat peristiwa pembunuhan terjadi, bukan ide liburan
yang mengasyikkan bagiku. Jadi...."
Kelly melepaskan diri dari pelukan Doug. "Aku yang pergi," katanya. "Kamu sih,
tidak perlu." Doug mengamati wajah Kelly yang dingin dan sangat serius. Lalu dia mendengus.
"Oke, deh," kata Doug akhirnya sambil mengangkat tangan dengan telapak tangan
terbuka ke atas. "Kayaknya aku harus muter-muter di hutan."
"Kamu ikut?" tanya Miguel.
Doug mengangkat bahunya. "Yap."
Miguel menepuk punggungnya. "Bagus!" Dia berbalik ke arah Tina. "Jadi
bagaimana?" tanyanya. "Tinggal kita berdua, Sayang."
"Mau tinggal di mana kamu?" tanya Tina pada Kelly dengan dahi mengerenyit.
"Di bekas tempat Boone," jawab Kelly tegas. "Di perkemahan dekat danau Kristal.
Kamu tahu, di sana banyak pondok."
"Kelihatannya lumayan mewah," tutur Tina.
Miguel tertawa gugup. "Lihat dia. Lihat dia begitu ketakutan. Apa sih yang kau
takutkan" Takut tidur di tempat bekas orang dibunuh?"
Tina mendorong kursinya dan berdiri. Dia tak menerima guyonan Miguel. "Kurasa
semua orang bakal ikut," katanya. Lalu dia melempar senyum kecil yang manis dan
kedipan matanya ke arah Doug.
Miguel merasa hatinya ditusuk duri.
Kelly menatap wajah teman-temannya satu per satu. Dia merasa lebih tenang.
"Baiklah," katanya perlahan. "Kalau kalian memang mau melakukannya ...." Dia
menelan ludah. "Bagus sekali."
Doug masih meletakkan tangannya di bahu Kelly, dia menarik ke arahnya. "Hei,
gembira dong, kita kan, mau berkemah."
Kelly mengusap matanya dengan punggung tangan. Dia tertawa. "Kurasa aku memang
bakal gila," katanya.
Semua tertawa. Kelly berkata lagi, "Oke, dengar semua, kalau kalian memang mau ikut pergi,
kalian harus menyiapkan perlengkapannya." Dia melirik ke arloji yang melingkar
di pergelangannya yang kurus.
"Perjalanannya bakal lama, banyak yang harus kita kerjakan begitu tiba di sana."
"Bagus sekali," kata Tina cemberut.
Tetapi Miguel melempar kepalanya ke belakang dan melompat girang. Seperti orang
mendapat durian runtuh. Akhirnya benar-benar terjadi. Rasanya seperti mau ke
medan perang. Dan ini akan menjadi pengalaman pertamanya. Dia meninju udara
dengan kepalan tangannya. "Hei, jason!" teriaknya nyaring. "Kami bakal datang!"
Chapter 4 HIDANGAN ISTIMEWA UNTUK BABI PELIHARAAN
Big Red duduk di meja kayu reyot, menatap ke bawah ke arah kakinya yang besar
dan telanjang lewat topengnya. Salah satu kakinya adalah kaki palsu. Dia sudah
berjam-jam duduk di situ. Perasaan marahnya sudah reda. Bahkan, dia merasa sedih
karena telah menembak Ma dan Pa-nya.
Sekarang siapa yang akan mengurusi Big Red"
Topeng di wajahnya terasa panas, rasanya nyaris membakar wajahnya. Di balik
topeng putih itu wajahnya bersimbah keringat.
Keringat mengucur di wajahnya, mengalir lantas bergabung dengan timbunan lemak
yang melingkari lehernya. Lalu ada air mata. Dia sudah berusaha melepaskan
topeng dari wajahnya sepanjang pagi.
Tetapi sekalipun sudah diberi minyak supaya licin, dia tetap tak dapat
melepaskan topeng itu. Dia akhirnya berhenti mencoba.
Dia menatap ke lantai ke arah tubuh Ma dan Pa. Mata mereka terbuka. Seakan
mereka sedang melihat padanya. Melihat dengan tatapan tak percaya.
Ya, ampun. Dia benar-benar dalam kesulitan sekarang. Cepat atau lambat pasti
akan ada orang yang datang dan mengetahui apa yang telah dilakukan Big Red.
Paman Bud atau paman Tuck pasti akan datang. Wah, mereka pasti marah.
Kecuali..... Ada atau tidak, tempat untuk menyembunyikan tubuh-tubuh beku ini"
Big Red sedang berpikir keras untuk mengatasi masalah ini ketika, di luar, babibabinya menguik. Lelaki itu mengangkat kepalanya yang besar, menatap ke arah
datangnya suara. Itu adalah bunyi untuk kegiatan sorenya. Kegiatan yang tak pernah dilupakannya.
Lalu dia melihat ke bawah kembali, ke arah Ma dan Pa.
Kamu untuk babi saja tidak pantes. Itulah yang selalu dikatakan Ma kepada Pa
kalau Ma benar-benar marah pada Pa. Tapi Ma tidak bersungguh-sungguh. Itu cuma
bercanda. Ma telah menerangkan hal itu berulangkali pada Big Red.
Itu berarti, Pa pantas untuk babi-babi itu. Big Red berdiri perlahan,
menderitkan besi besi di kaki palsunya. Dia membungkuk mengangkat salah satu
kaki ayahnya yang besar, lalu menariknya ke arah pintu keluar.
Tepat sebelum dia membidikkan senapannya ke arah jantung Ma, Ma telah melangkah
mundur ke seberang ruangan sampai rapat ke dinding. Dia mengangkat kedua
tangannya ke udara memohon-mohon padanya.
Setelah Big Red menembaknya, jazadnya masih dalam posisi menyandar ke dinding.
Salah satu tangannya yang masih terangkat, tertahan tempat tidur besi Big Red.
Sekarang Big Red menarik tangannya itu untuk didekatkan pada tubuh Pa. Tangan Ma
dingin, tapi masih terasa nyaman memegangnya.
Ma selalu membiarkan Big Red menggandeng tangannya kalau mereka melewati hutan
saat mencari buah bluberries atau saat mereka pergi ke kota untuk membeli
sesuatu. Big Red mendapat sedikit masalah di pintu. Ketika dia mencoba menarik kedua
orang tuanya sekaligus ke arah luar, tubuh mereka tersangkut di pintu. Wajah Pa
yang berjanggut menghantam daun pintu membuat giginya menancap di kayu.
Babi-babi piaraannya kian ribut ketika Big Red membuka pintu pondok. Binatangbinatang itu cerdas. Pa sering berkata bahwa babi-babi itu lebih pintar daripada
Big Red. Big Red dapat melihat ketiga babinya mendorong moncong mereka yang lucu dan
berwarna pink di antara batang abu-abu pagar kandang babi.
Yah, akhirnya ada juga yang bagus akibat kejadian ini, begitu pikir Big Red.
Sekarang babi-babinya akan mendapat hidangan istimewa.
Dia menarik Pa dulu keluar dari pondok, lalu Ma-nya. Kemudian ia menarik rambut
kedua orangtuanya - ke arah kandang babi.
Chapter 5 KEMBALI KE RUMAH Kelly menyetir sepanjang perjalanan. Dia memaksanya sekalipun Doug sudah
memperingatkannya, sebab tadi malam ia begadang semalaman.
Doug duduk di sebelahnya di kursi depan. Dia harus menjadi penunjuk jalan. Tapi
begitu berangkat, sekalipun dia semalam sudah tidur nyenyak, dia tetap tertidur
dan akibatnya mereka tersesat sampai tiga kali.
Miguel dan Tina duduk di belakang. Tina duduk menempel ke pojok seakan ingin
menjauh dari Miguel. Sekalipun Kelly lebih menyukai Miguel daripada Tina, dia tetap menaruh simpati
pada sikap penurut gadis itu. Miguel sangat mengaturnya, seperti biasa. Dia tak
bisa melepaskan cengkeramannya sedetik pun.
Pernah juga Kelly menasihati Miguel agar lebih lunak pada Tina dan jangan
terlalu melindungi, tapi Miguel marah dan tersinggung. Jadi dia tak berani lagi
mengangkat masalah itu. Cara Doug membaca peta bukan satu-satunya penyebab mengapa perjalanan mereka
menjadi lambat. Pertama, teman-temannya perlu waktu untuk mandi, berpakaian dan berkemas.
Lalu Tina telah memaksa mereka untuk berhenti di WC umum sebanyak dua kali. Dan
kemudian Tina juga membuat mereka mampir ke sebuah supermarket karena ia ingin
membeli segala macam makanan dan barang-barang lainnya.
Pergi ke hutan dengan begitu banyak makanan dan minuman bagi Kelly seperti orang
mau piknik, bukan bertualang, dan dia tak bisa menahan mulutnya. Dia langsung
bercerita pada Tina bagaimana dia dan Boone biasa pergi bertualang ke hutan
berminggu-minggu. Persediaan makanan bisa berkurang kapan saja. Tetapi kata Boone, kalau kamu
punya selimut dan pisau, kamu bisa bertahan di mana saja di dunia ini.
"Oh, jangan khawatir," jawab Tina sambil tersenyum lebar. "Makanan itu khusus
untukku, kok!" Lalu dia mengeluarkan pulpen ungunya lantas menulis inisial TC - singkatan dari
Tina Chen - di setiap bungkusan makanan dan minumannya.
Waktu mereka masih di Supermarket, Kelly merasa saraf gelinya tergelitik. Dan
sekali dia tertawa, dia tak bisa menahannya lagi untuk tertawa puas. Mungkin
karena dia kurang tidur, sehingga dia tak bisa mengontrol diri.
Tina merasa tersinggung, tapi Kelly tak bisa menghentikan tawanya Dia terusmenerus terpikir soal setan yang bakal mereka lawan. Seakan Jason akan berhenti
dulu untuk membaca inisial Tina sebelum dia mencabut nyawa korbannya.
Sekarang sudah jam setengah enam sore. Matahari sudah pcondong ke barat.
Perjalanan mereka seakan-akan tepat ke arah matahari. Dua jam lagi matahari
benar-benar terbenam. Malam hari telah membuat Kelly takut sepanjang tahun ini. Kegelapan di danau
Kristal bisa dipastikan akan lebih memperburuk perasaannya.
"Kelly, kita gantian?" tanya Miguel dari tempat duduk belakang.
"Tak perlu. Trims."
Kelly sedang meluncur di Rute 107, masih di atas jalan beraspal, tapi sudah
memasuki daerah berpohon lebat. Tangannya berada di luar jendela agar asap
rokoknya tidak mengganggu Tina yang terus-terusan mengomel. Lewat jendela yang
terbuka dia dapat mencium bau cemara yang biasa ditiru obat-obatan pewangi kamar
mandi. Bagi Kelly, bau cemara alami ini adalah bau yang paling menyegarkan.
Tapi kali ini Kelly tidak merasa begitu lega seperti biasanya jika dia
bertualang ke hutan. Di semua acara petualangan dan pendakian yang dilakukannya
tahun ini, dia tak pernah sekalipun pergi ke wilayah danau Kristal. Sekarang,
Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semua penginapan dan pondok yang terlewati terasa asing. Seperti sedang pulang
kampung setelah bertahun-tahun mengembara. Bukannya karena dia masih bisa
mengingat tempat ini. Tapi karena dia tahu dia sedang melacak jejak Boone.
Kembali ke tempat di mana Boone pernah datang. Dan terbunuh.
Kelly gemetar. Ia melirik Doug.
Doug menatap balik dengan tatapan dingin dan tak suka.
Kelly tersenyum. "Ayo, cerita lagi dong soal si Jason ini," kata Miguel.
"Bagaimana ceritamu dulu" Cerita tentang petani yang memergokinya sedang
memenggal beberapa kepala anak kecil?"
"Miguel," cetus Tina ketus, "kurasa kamu harus mempertimbangkan kembali, kenapa
kamu ikut perjalanan ini. Kamu punya naluri sadis, ya?"
"Itu betul, Non. Aku memang orang paling sadis. Itu sebabnya aku akan memotongmotong dirimu." "Miguel, untuk terakhir kalinya....berhenti!"
Mereka membuat begitu banyak keributan yang nyaris terlewatkan oleh Kelly ....
Sebuah tanda hijau dan putih bersinar di sisi jalan. Tulisan putih yang terbaca
membuat jantungnya berdebar:
DANAU KRISTAL 10 KM Miguel dan Tina dengan semangat membangunkan Doug. Membuat Doug menegakkan
badannya, menggeleng-gelengkan kepala, dan akhirnya mengusap wajahnya dengan
kedua belah tangan. "Wow," katanya. "Kuharap kita sudah mau sampai."
"Sampai ke daerahnya saja belum," Tina merajuk.
"Kelly, sini kuberi tahu," kata Doug sambil menurunkan pelindung matahari,
"engkau berhutang banyak karena kita semua mau ikut perjalanan ini."
Kelly sudah meminta mereka tidak itu serta. Tapi gadis itu merasa tak ingin
mengingatkan hal itu pada mereka. Sebab, dalam hati kecilnya, sebenarnya ia
merasa sangat bersyukur karena mereka semua ikut. Terutama, Doug.
Ketika mereka nyaris tiba di ujung Rute 107, Doug menjulurkan tangannya untuk
memijat leher Kelly. "Tegang benar ototmu," katanya.
"Memangnya jelek?" tanya Kelly sambil tersenyum simpul.
Doug. Kelly benar-benar tidak terkesan padanya sekalipun sudah beberapa kali
ketemu. Dan Kelly harus mengakui hubungan mereka tidak betul-betul serius. Kelly
juga tahu reputasi jelek Doug, termasuk soal mata keranjangnya. Tapi Doug telah
mendampinginya selama ini. Tanpa melebih-lebihkan, dia merasa kehadirannya telah
menyelamatkan hidupnya. Kamu menyukainya kan, Boone" tanyanya dalam kepala.
Tiba-tiba, dia menarik rem tangan dan menginjak rem kuat-kuat, membanting setir,
membuat mobil terlempar ke tepi sampai tergelincir ke sisi jalan dengan tajam menyebabkan mereka yang ada di dalam mobil terguncang keras. Dia menekan klakson
sekuat-kuatnya. Lengkingan bunyi klakson berbaur dengan teriakannya.
Chapter 6 SANG PEJALAN KAKI Kelly mengerem mobilnya sampai berhenti di bahu jalan. Dia duduk kaku dengan
bahu mengkerut. Mobil itu tersentak beberapa kali sebelum mesinnya mati. Sesaat
keheningan mencekam. "Aduh, ada apa sih?" akhirnya Tina berseru.
Doug bersiul. "Ya, Tuhan. Kurasa kamu betul-betul harus ke WC, iya kan, Kell?"
"Apa?" tanya Kelly. "Tidak maaf aku...." Dia membuka pintu dengan dorongan
bahunya. "Mau ke mana?" tanya Tina.
"Hei!" Miguel berteriak ikut menegurnya.
Tetapi Kelly sudah keluar dari mobil, menyongsong udara pedesaan yang hangat
sambil menatap nanar ke arah jalan yang baru saja mereka lalui.
Jalan tampak kosong. Tak ada mobil. Juga tak ada pejalan kaki.
Namun dia berani bersumpah demi Tuhan bahwa ia telah melihatnya.
Melihat Bonne. Berdiri di pinggir jalan dengan jari jempol diacungkan, seperti
biasa, dan dengan seringaian khasnya. Rambut coklatnya yang panjang terjurai
seperti buntut yang ada di topi kulit kelinci.
Kelly tadi lewat persis di dekatnya. Dia terlihat melompat ke arah mobil seakan
menabrak kaca mobil dan kemudian hilang dari pandangan. Tapi biarpun hanya
sekilas, dia dapat melihat jelas wajahnya. Dia adalah benar-benar Boone. Kelly
dapat mengenalinya sekalipun sebagian dari wajahnya yang lonjong itu telah
membusuk. "Kell?" Itu suara Doug yang berjalan ke arah depan mobil dengan kedua tangan di
kantong celana pendeknya. "Kamu baik-baik saja?"
"Ada apa, sih?" timbrung Miguel yang tampak bergegas menghampiri mereka.
Tangannya terlihat mengepal-ngepal. Dia melangkah dengan penuh semangat seakan
siap menghadapi bahaya yang menghadang.
"A....aku kira aku melihat sesuatu," sahut Kelly.
"Apa?" tanya Miguel. "Melihat apa?"
"Aku tidak tahu." Kelly tersenyum kecut. "Tapi ternyata, aku salah."
Dia hendak melangkah kembali ke mobil, tetapi Doug menghalangi langkahnya. Dia
melihat Doug dan Miguel saling melempar pandang.
Mereka pikir aku gila, Kelly menyadarinya.
Bagus, Boone, katanya tanpa suara. Mereka sudah mulai khawatir pada diriku,
sekarang mereka akan segera membeli jaket pengaman khusus untuk orang gila.
"Ada apa?" tanya Doug pada Kelly.
"Tidak. Ayo kita berangkat lagi."
"Oke." Doug menyeringai. "Nah, bagaimana kalau mulai dari sini aku yang nyupir?"
*** Lewat sedikit dari jam enam, seorang lelaki tua, pendek, keluar dari dari hutan
di dekat gubuk Ma dan Pa, orangtua Big Red.
Ada yang aneh dari pondok itu - membuat lelaki tua itu berhenti. Dia berdiri di
tempat yang agak terbuka, sambil menggigiti duri cemara yang diambilnya di
jalan. Terasa aneh. Karena gubuk itu terlihat begitu tenang dan sepi.
"Gabe?" panggilnya.
Tak ada sahutan. "Ruth" Big Red?" Sambil menggerutu lelaki tua itu melangkah
lebih mendekat. Hari terasa sangat panas, seperti biasa, biarpun sudah senja. Keringat Tuck
membasahi bagian ketiak kemejanya yang terbuat dari kain flanel. Tapi dia tak
menyesal memakai kemeja itu. Dia senang mengenakan pakaian berwarna cerah bila
berjalan di hutan. Dia sering melihat kecelakaan saat berburu di sekitar danau
Kristal. Para pendaki, wisatawan, orang yang mau berkemah.....door! Tertembak
mati, begitu saja. Yah, beberapa tahun terakhir ini, nampaknya para pemburu tidak mengincar kijang
lagi. Gabe adalah teman lama Tuck. Tuck, Gabe dan Bud Gleason telah berburu dan
memancing serta mabuk-mabukan bersama sejak mereka remaja. Biasanya, kalau
mereka sudah begadang semalaman (seperti yang telah mereka lakukan bertiga tadi
malam) Gabe mampir ke pondok Tuck keesokan harinya, untuk membangunkannya.
Tuck sangat tergantung pada Gabe untuk urusan bangun pagi - apalagi setelah
begadang. Tuck berjualan keperluan memancing di dekat tempat penggergajian.
Kalau dia terlambat membuka tokonya, dia akan kehilangan rejeki dari wisatawan
yang membutuhkan cacing, peralatan memancing atau sejenisnya.
Akhir-akhir ini usahanya memang kurang lancar. Mungkin ada hubungannya dengan
gosip yang beredar. Penduduk mengatakan, danau Kristal adalah pintu gerbang ke
neraka. Dan kebetulan Tuck percaya akan hal ini.
Dia mengetuk pintu kayu rapuh yang ada di depan pondok itu.
Tapi tetap tak ada sahutan. Pintu terbuka lebar.
Pondok itu kosong. Selimut di atas tiga tempat tidur yang ada di ruang dalam
nampak terlipat rapi di salah satu sisi tempat tidur tanpa seprei itu. Semuanya
kelihatan seperti biasa. Kecuali barangkali lantainya.
Lantainya lebih bersih dari biasanya. Sepertinya Ruth telah menggosok seluruh
lantai dan beberapa bagian dinding dengan air. Kayunya masih agak basah.
Tuck duduk di meja. Dia mengangkat kaki tuanya sambil mengerang dan meletakkan
kakinya yang ada dalam sepatu but hitam itu perlahan-lahan ke salah satu kursi.
Dia menarik nafas. Barangkali dia harus menunggu sebentar. Sebentar lagi.
Barangkali Ruth akan memberinya makanan. Dia belum makan apa-apa kecuali duri
pohon cemara tadi, lagipula dia juga tak punya uang untuk membeli makanan yang
benar. Ruth tidak begitu suka padanya, tapi apa pedulinya.
Tuck berbadan gempal. Umurnya lebih dari tujuh puluh tahun. Dia memakai topi
ladangnya yang berwarna kuning putih. Tapi masih juga memberi kesan kalau dia
ini mempunyai banyak rambut, jenggot putih dan bulu-bulu yang tumbuh sampai ke
pundak dan telinganya. Dari saku di kemeja flanelnya yang berwarna kuning,
mencuat sebotol kecil minuman. Posisi duduknya membuat kepalanya menengok ke
arah samping, dan matanya kebetulan terarah ke.....
Rak buku. Tepat di atas kepalanya. Dia melotot ke arah itu. Lalu dia bangun dan
menatap lebih lekat. Ada yang salah dengan rak buku ini, tapi Tuck tak bisa mengira-ngira apa.
Yah, tunggu dulu. Pertama, rak itu patah. Tuck segera meraih bagian rak itu dan
membetulkannya. Tetapi selain itu ada lagi.
Bukankah ada beberapa pohon kaktus yang selalu diletakkan Ruth di sana" Nah itu,
....pohon itu sekarang tidak ada.
Sambil menggaruk kepala karena kebingungan menghadapi teka-teki yang ada....lantai
yang digosok, rak yang kosong....Tuck melangkah keluar pondok. Dia bergegas ke
arah kandang babi untuk menyapa para babi sebelum dia pergi. Dia menyukai babibabi ini sebesar rasa suka si bodoh Big Red.
Delilah, babi betina yang besar berwarna hitam dan putih, sedang menunggunya
saat dia datang. Ia sedang mengunyah sesuatu.
Tuck tak bisa melihat apa yang dikunyah babi itu sebab semuanya tercampur dengan
jerami. Delilah berhenti mengunyah saat melihat Tuck tiba di pagar. Tuck menggaruk bulu
pendek kaku yang ada di punggung babi betina itu. Si Babi diam, lalu menguik
perlahan. Dia memandang Tuck dengan matanya yang kecil dan sipit.
Kalau kamu menggaruk Delilah, dia selalu menghentikan makannya, tak peduli
separah apa laparnya. Delilah sangat suka digaruk, melebihi kesukaannya pada
makanan. Tuck meneruskan garukannya sambil tersenyum pada Delilah. "Babi yang manis,"
katanya. "Ya, kamu memang manis ...."
Karena menunduk, Tuck tidak memperhatikan Mae, babi besar yang berwarna pink,
ketika keluar dari kubangan. Sepotong tangan perempuan menggantung karena salah
satu jarinya tersangkut di mulut lebar babi itu.
Chapter 7 NASIHAT DARI ORANG ASING Tanda 10 Km ke Danau Kristal yang dilihat Kelly, sudah terlewat setengah jam
yang lalu. Sejak itu, tampaknya mereka telah dua kali berputar-putar di kota
kecil di utara Massachusetts ini.
Akhirnya, sekitar jam enam tiga puluh, Doug berbelok ke jalan tanah menanjak
yang mengarah ke sebuah kantor pos dan beberapa toko tua. Dia memarkirkan
mobilnya. "Sudah sampai?" tanya Miguel bersemangat sambil mengintip lewat jendela.
"Belum," kata Doug sambil tersenyum ramah. "Kita tersesat."
"Kesasar lagi?" Tina mengeluh.
Kelly sekali lagi ingin tertawa. Dari cara mereka bertingkah, seakan-akan
perjalanan ini adalah reli mobil antik.
Kelly sendiri agak khawatir, jangan-jangan teman-temannya ini tidak merasa
gembira. Mereka sedang mengarah ke jebakan kematian, ya, ampun. Berapa saat lagi
tersisa buat mereka untuk bergembira"
"Dengar," kata Kelly sambil melihat ke arah mereka satu per satu. "Aku tahu,
kalian tak percaya padaku, tapi aku bisa menjamin keadaan akan semakin gawat. Jadi kalau ada yang mau pulang ...."
Tina sepertinya yang mau angkat tangan, tapi Miguel buru-buru memotong, "Masa
bodoh, Kita tetap mau ikut."
Hening sejenak di dalam mobil. Bagi Kelly keheningan ini adalah ketakutan dan
suatu pertanda, sedangkan bagi yang lain, adalah kebosanan dan kemurungan.
"Jadi apa yang akan kita lakukan?" tanya Tina. "Cuma duduk di sini sepanjang
malam?" "Tuh, ada orang yang bisa kita tanya," kata Kelly sambil menurunkan kaca
jendelanya. Dari sisi kiri, tampak berjalan di antara dua mobil yang parkir di jalan,
seorang lelaki tua yang kelihatannya masih gagah. Dia memakai kemeja flanel
warna kuning. Dia juga memakai sepatu but tinggi khusus buat mancing. Dia
berhenti sebelum tiba di mobil mereka, mengeluarkan botol kecil berisi minuman
keras dari kantong kemejanya lantas meneguknya.
"Tampaknya orang itu tidak bisa diandalkan," komentar Tina.
"Maaf, Pak," kata Kelly saat lelaki itu melintasi mobilnya. "Maaf, Pak. Kami
sedang mencari danau Kristal."
Lelaki itu berhenti lalu menatap Kelly dengan pandangan dingin. Perlahan ia
mendekai. Nafas orang itu bau, jelas sekali dia peminum berat. "Kamu bilang apa
tadi?" "Aku bilang, kami mencari danau Kristal."
Wajah lelaki tua yang penuh janggut itu menyeringai lebar sampai gigi hitamnya
tampak semua. "Kamu sudah tiba di tempat yang kamu tuju itu, Sayang."
Bulu kuduk Kelly merinding.
"Ini danau Kristal?" tanya Tina dari kursi belakang.
"Inilah tempatnya." Lelaki itu berkata sambil merentangkan ke dua tangannya.
"Bagus, kan" Populasi di danau Kristal 287 dan tiap hari.....berkurang."
Lelaki itu tertawa tersengal-sengal, dan kemudian menjulurkan tangannya ke arah
Kelly untuk berjabat tangan. Tangan lelaki itu terasa tidak enak, licin bersisik
seperti kulit ular. "Namaku Tuck," kata lelaki itu.
"Kelly," kata Kelly.
Lelaki itu mengangguk tanpa melepaskan tangan Kelly. Kedua matanya kuning
kemerah-merahan. Dengan lembut tapi mantap, Kelly menarik tangannya sampai lepas, dan berkata,
"Hei, teman-teman, kita sudah sampai."
Kepada lelaki tua itu ia berkata, "Kami pikir kami tersesat. Hmm, Bapak pasti
tahu tempat makan di sekitar sini. Kami berniat ke perkemahan lama di tepi
danau. Tapi, sebelumnya kami ingin makan enak dulu."
Lelaki itu mundur beberapa langkah dengan wajah seakan tidak mendengar jelas
perkataan Kelly. "Kalian mau ke mana?"
"Ke perkemahan lama," kata Kelly.
Lelaki itu tertawa. Dia mengeleng-gelengkan kepalanya. "Kalian anak-anak
sinting. Mau mati nanti malam, begitu idenya, ya?"
"Oke, Kelly," kata Tina, "kurasa kita sudah mendapatkan informasi yang kita
perlukan, jadi ...."
"Soalnya, memang seperti itulah tempatnya. Perkemahan itu membawa kematian."
Lelaki itu melirik ke arah Kelly dengan tatapan culas. "Kamu tahu berapa banyak
orang yang terbunuh di sekitar tempat itu, Non" Punya pikiran" Kalau aku jadi
kamu, aku akan memutar mobil kecilmu ini dan pulang ke tempat asal kamu.
Secepatnya." Miguel menjulurkan tubuhnya dari kursi belakang.
"Sebenarnya, Pak, kami mau tetap di sini dan melihat-lihat dan juga membunuh si
Jason untuk Bapak. Soalnya sepertinya di sekitar sini tak ada yang bisa
melakukannya." Lelaki tua itu mengedipkan matanya dengan serius. Lalu dia melempar kepalanya ke
belakang dan meraung geli. Dia tertawa begitu keras sampai harus memegangi
perutnya. Setelah selesai dia terbatuk-batuk. Tapi tampaknya dia punya obat
untuk batuknya itu. Dikeluarkannya botol minuman kerasnya dan diteguknya
kembali. "Kalian anak muda," kata lelaki itu dengan sinis. "Kalian pikir tak akan terjadi
apa-apa pada kalian. Kalian pikir kalian tak akan berakhir seperti diriku,
bukan" Tak akan melihat kematian yang menjijikkan dengan mata kepala sendiri
setiap pagi, siang dan ...."
Dia berdahak lalu meludah ke tanah. Dia terlihat begitu menderita, dalam
seketika, pikir Kelly. Ada sinar di matanya yang pucat beberapa saat sebelumnya.
Dia melihat ke kiri dan ke kanan, waspada, seperti ketakutan percakapan mereka
dicuri orang. "Biar kukatakan satu hal," si tua itu mengeram dengan suara dalam dan tajam.
"Aku tak tahu apa yang salah dengan tempat ini, tapi ini buruk, apa pun
tampaknya salah. Jangan mencarinya, kamu dengar" Sebab begitu kamu mencarinya,
percayalah, justru dialah yang akan menemukan dirimu."
Ia mengeluarkan kembali botol minuman kerasnya, tapi kali ini wajahnya kecewa
karena botolnya kosong. Dia memasukkan kembali botol itu ke kantongnya lalu
meludah lagi.
Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah," katanya, "menyenangkan ngobrol denganmu."
Dia berbalik dan berjalan, tetapi dia berhenti ketika tiba di tepi jalan. Dia
menengok kembali dengan tajam. Tampak jelas dia mendapat suatu ilham. Dia
tersenyum lebar saat kembali ke arah jendela Kelly yang terbuka.
"Heh," katanya, "dengar, karena aku sudah memberimu nasihat yang baik, bagaimana
kalau kamu menolong lelaki tua ini dengan sejumlah uang" Mereka tak akan
memberiku apa-apa untuk makan malam, sebab aku sudah berhutang pada mereka
sejak.....bagaimana menurutmu" Beberapa ribulah" Seribu" Atau terserah deh, berapa
saja?" "Maaf," kata Doug dari belakang kemudi. "Kami juga tak punya uang. Bagaimana
kalau Bapak yang meminjamkan uang pada kami" He-he."
Tiba-tiba sesuatu terjadi. Begitu cepat.
Hanya dalam sekejap, lelaki itu menjulurkan tangannya melalui jendela yang
terbuka dan mencekik leher Kelly sekuat-kuatnya.
Chapter 8 MEMASANG JEBAKAN "Ayo, beri aku!" paksanya. "Kamu anak kecil nakal yang menjijikan!"
Kelly tercekat. Tangannya menarik pergelangan tangan lelaki itu, mencoba
melepaskan cekikannya. Tetapi lelaki itu luar biasa kuatnya. Lagi pula, ia menangkap leher Kelly saat
gadis itu lengah. Dengan cepat Miguel bergerak ke depan dari kursi belakang dan menghantam
pergelangan tangan lelaki itu dengan pukulan karatenya. Lelaki itu berteriak dan
spontan menarik tangannya. Dia mendekap tangannya ke dada.
"Nah, sekarang mundurlah engkau, Pak Tua," Miguel mengancamnya.
Kelly mengusap-usap tenggorokannya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Tina.
Kelly mengangguk. "Heheh." Suaranya terdengar parau.
Lelaki tua itu masih mengurusi tangannya, mencoba menghilangkan rasa sakitnya.
"Lihat saja, bagaimana tempat ini membawa sial bagi kalian," kata lelaki itu,
kasar. "Aku tidak sendirian. Ingat itu."
Kemudian ia pergi, menghilang cepat di sekitar trotoar.
"Aduh, cukup deh, rasanya," kata Doug lemah. "Bagaimana kalau kita berputar dan
pulang saja?" "Ide yang bagus," jawab Kelly. "Kalian pulang, deh. Aku akan baik-baik saja. Aku
janji." Dia membuka laci mobil lalu mengambil handuk biru yang dilipatnya dengan
hati-hati ke telapak tangannya. Di dalamnya tampak sepucuk pistol berwarna
hitam. Doug, Miguel, dan Tina langsung saja "berkicau".
Tina mempersoalkan izin Kelly atas pistol itu dan meminta Doug menyingkirkan
pistol itu. Doug berteriak pada Kelly untuk menyingkirkan pistol itu, sementara
Miguel memohon untuk dapat melihat pistol itu lebih dekat.
Kelly sendiri justru menyelipkan pistol itu ke salah satu saku jaketnya. "Eh,
sobat, mungkin aku memang gila, tapi aku tidak bodoh. Kalian pikir aku berani
mengajak kalian ke sini tanpa senjata?"
Kelly beranjak keluar dari mobil, tetapi Tina melalui celah kursi menangkap
tangannya. Wajahnya yang cantik kini tampak penuh rasa cemas. "Kenapa kau
katakan pada orang tadi tempat kita menginap" Itu kan, sinting. Buat apa bilangbilang pada orang seperti itu" Siapa tahu dia bisa mencelakakan kita?"
"Tak mungkin," sergah Miguel. "Lihat tadi, kan, bagaimana aku menanganinya?"
"Ya," sahut Tina sebal. "Mengesankan sekali, engkau tadi mengalahkan seorang
lelaki tua. Aku serius, Kelly. Ada apa sih, sama kamu ini" Dan kamu juga,
Miguel. Kenapa sih, kamu banyak omong soal si Jason itu?"
"Kupikir kamu sudah bilang tak ada masalah lagi dengan soal itu, kan?" jawab
Miguel, matanya berbinar.
"Tentu saja," jawab Tina. "Aku tahu itu, kamu tahu itu, tapi orang-orang di kota
ini, aku yakin, tak tahu apa-apa soal itu. Mereka mungkin keturunan orang gila.
Coba saja ngomong soal Jason pada mereka, siapa yang tahu apa yang bakal terjadi
di sini?" "Tak akan ada apa-apa," kata Kelly, "itu justru yang hendak kulakukan." Dia
memutar lehernya ke kiri dan ke kanan, dia masih merasakan tulang tangan lelaki
tua tadi menekan tenggorokannya.
"Apa sih maumu, sebenarnya?" tanya Doug dengan pandangan bingung.
"Aku mau menyebarluaskan soal si Jason ini," sahut Kelly.
Tina melihatnya dengan tatapan was-was. "Kenapa?"
Kelly mendorong pintu mobil sampai terbuka lebar dan mengeluarkan kakinya ke
jalan. "Kita akan memasang perangkap, Tina. Kita akan memasang perangkap!"
*** Big Red merasa terperangkap di kursi kecil yang didudukinya. Dia terjepit di
balik bangku di toko alat pancing paman Tuck. Tangannya yang besar tergeletak di
pegangan kursi. Kalau bukan ukuran tubuhnya yang luar biasa besar dan topeng hoki putih di
wajahnya, dia sebetulnya lebih mirip seorang anak kecil yang sedang menunggu
hukuman dari kepala sekolah.
Ternyata memang seperti itulah perasaan Big Red kini.
Sudah lebih dari satu jam ia menunggu paman Tuck. Dia ingin menceritakan pada
paman Tuck apa yang telah dilakukannya pada Ma dan Pa, sekaligus mengharap
dimarahi paman Tuck agar perasaannya jadi lebih enak.
Dia merasa tak sanggup lagi menunggu lebih lama. Dia menarik napas dalam-dalam
melalui lubang mulut di topeng. Dia menatap tangkai pancing yang indah yang
berjajar di dinding. Paman Tuck memperbolehkan Big Red memakai salah satu dari pancingan itu setiap
pagi. Paman Tuck memang baik pada Big....
Tubuhnya kaku. Dia baru saja teringat kembali pada apa yang diingatnya tadi
pagi. Pemandangan di pondoknya. Paman Bud dan paman Tuck. Mereka tidak berupaya
melindunginya dari Pa ketika Pa sangat marah dan menghajarnya dengan setrikaan.
Tanda V di kepala Big Red yang botak terasa sakit.
Red mencoba memaksa dirinya untuk mengenang bagaimana baiknya paman Tuck selama
ini. Paman Tuck juga sering memberinya tali kenur yang sangat kuat. Kuat sekali
untuk menangkap ikan paling besar di danau Kristal.
Tapi cara paman Tuck tertawa saat dia mengatakan soal ikan besar itu.....
Barangkali paman Tuck memang yakin bahwa Big Red tidak akan bisa menangkap apa
pun. Barangkali itu memang cara paman Tuck mengganggu dan menertawakannya.....
Luka di kepala Big Red terasa sakit seperti terbakar. Dia menggelengkan
kepalanya mencoba menghapuskan pikiran buruk itu.
Dia tak mau merasakan rasa sakit hati lagi. Hal itu hanya membuat dirinya
terperangkap masalah besar. Dia yakin dia tak mau mengingat apa yang telah
terjadi ketika.... Big Red berdiri, sambil meraung. Dia mengangkat tangannya ke arah topeng. Dia
tak ingin melihat rekaman kejadian itu.
Tetapi bayangan di mata belingnya muncul dari dalam, sehingga dia tak bisa
menutupinya. Saat itu dia baru berusia duabelas, tapi sudah setinggi Pa. Dia memiliki rambut
merah yang lebat. Dan dia begitu gembira sebab Pa bilang dia boleh ikut berburu
dengan paman Bud dan paman Tuck.
Awalnya perjalanan itu menyenangkan. Masing-masing merasa gembira. Tetapi
kemudian kedua pamannya itu minum-minum sampai mabuk. Akhirnya semakin siang
mereka semakin kasar. Mereka tidak berhasil menangkap satu kijang pun, dan itu
membuat mereka marah. Mereka katakan, kegagalan itu kesalahan Big Red, soalnya Big Red berisik kalau
jalan. Big Red mencoba untuk berjalan lebih berhati-hati. Tapi dia sering kelupaan dan
mulai bertepuk tangan sambil bernyanyi. Maka kemudian paman Tuck.....
Big Red membentur-benturkan kepalanya ke dinding pondok berusaha menghapuskan
kenangan itu. Tapi kenangan itu terus saja muncul.
Hari sudah hampir senja. Paman Tuck sedang menarik anak panahnya yang menancap
di dahan pohon setelah gagal mengenai seekor kijang bertanduk besar.
"Itu kijang terakhir yang kamu buat tak bisa kutangkap, Nak," kata paman Tuck
pada Big Red. "Sekali lagi kamu lakukan itu, sekali lagi kamu bikin ribut, maka
paman Tuck akan berbalik memburu kamu."
Big Red ingat bagaimana bingungnya dia. Sebab paman Tuck mengatakan itu sambil
tersenyum. Sepertinya cuma bercanda. Jadi Big Red tersenyum juga. Begitu juga
paman Bud dan Pa. Tapi pandangan mereka kok, seperti marah.
"Kamu pikir aku bercanda, ya?" tanya paman Tuck. "Ayo aku tunjukkan bagaimana
kalau aku bercanda," katanya kepada Paman Bud dan Pa. "Coba kita lihat, bisa
tidak kita menangkap seekor Big Red."
Paman Bud tertawa keras. Begitu juga Pa.
"Toloooong, jangan," Big Red berkata perlahan. Dia menggigit bibir bawahnya yang
tebal. "Jangan menggodaku," katanya memohon.
Dia merasa air matanya mengalir deras di pipinya. Lalu paman Tuck berkata, "Aku
hitung sampai sepuluh. Setelah itu aku akan memburumu."
Paman Tuck mulai menghitung. Pada saat yang sama, ia menarik sebatang anak panah
dari kantungnya. Big Red pun berlari. Dia memiliki kaki yang panjang, keduanya masih kaki yang
asli. Tapi badannya terlalu berat. Dia bolak-balik terjatuh, menyebabkan ia tak
bisa berlari terlalu jauh dari paman Tuck saat hitungan ke sepuluh terdengar.
Big Red berbalik dan menatap ketiga lelaki itu. Paman Tuck tampak siap menarik
anak panah dari busurnya. Dia mengarahkan anak panah itu tepat kepadanya. Big
Red sangat ketakutan tapi tak mampu bergerak. Dan kemudian.....
Wuuus.... Cap! Anak panah itu tepat mengenai mata kanannya.
Sekarang Big Red berteriak, berjalan terhuyung-huyung mengitari toko alat
pancing paman Tuck. Mata belingnya juga berteriak, berteriak dengan perasaan
ngilu. Perasaan ngilu yang sama yang dirasakan matanya pada sore yang kelabu
beberapa tahun yang lalu, di dalam hutan.
Bid Red marah. Sangat marah. Tapi dia juga terlihat mendengarkan sesuatu dengan
seksama. Sesuatu itu ternyata suara yang ada di kepalanya. Suara yang
menyuruhnya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Sepertinya rencana yang
bagus. Aah, akhirnya dia bakal berhasil menangkap seekor ikan.
Chapter 9 BUKAN JIWA YANG HIDUP "Kota ini benar-benar indah," kata Doug pada Kelly. "Kini aku mengerti kenapa
kamu 'ngebet' sekali kembali ke sini."
"Sialan, kamu," kata Kelly.
Sekarang hampir jam tujuh malam dan tak ada satu pun toko di desa danau Kristal
yang menegangkan ini yang terlihat buka. Kecuali lelaki tua yang mabuk tadi,
mereka belum lagi bertemu dengan orang lain.
Miguel dan Tina sedang menjelajahi kaki bukit. Kelly dapat melihat mereka dari
tempatnya berdiri bersama Doug. Miguel tampak sedang mengganggu Tina di dekat
tiang bendera. Tina tampak berteriak-teriak minta jangan diganggu.
Kelly bersedekap, mencoba memikirkan apa yang harus dilakukannya.
"Kell." Doug menyeringai ke arahnya. "Kamu mau cerita apa yang tadi kamu lihat
di jalan raya?" Kelly menggelengkan kepala menyatakan tidak. Bukan saja karena dia memang tidak
mau bercerita, tapi dia juga tak mau dianggap gila karena melihat hantu.
Lagipula, dia ingin tetap dalam keadaan gila seperti itu, kalau hal itu berarti
dia bisa sering-sering bersama dengan kakaknya.
"Halo?" kata Doug. "Ada orang di rumah?"
"Sori," kata Kelly. "Aku melamun."
"Cerita, dong." Doug mengangkat bahu, lalu dengan lembut meninju bahu Kelly.
"Ya, sudah. Jangan risaukan hal itu lagi," katanya.
Itulah salah satu alasan yang membuat Kelly betah bersama Doug. Dia sangat penuh
pengertian. Kalau dia ingin sendiri dan tak mau diganggu, Doug selalu bisa
menerimanya. Doug melompat ke trotoar, lalu berhenti, sambil memperhatikan sisi kanannya.
"Aman," katanya. Dia menunggu sampai Kelly berada di sisinya. Dia tersenyum,
lalu menggandeng tangan Kelly. "Ke sini, yuk."
Doug membimbing Kelly ke gang di antara dua bangunan. Tak ada apa-apa di sana
kecuali hamparan rumput dan beberapa botol pecah.
"Ada apa?" tanya Kelly.
Doug menatapnya dengan lembut, tatapan yang selalu membuat Kelly ingin menyusup
di dadanya seperti anak anjing. Dia mendorong Kelly sampai menyandar di tembok.
"Ada apa?" tanya Kelly lagi, tapi suaranya kini semakin perlahan. Dia tahu ada
apa sebenarnya. "Kamu akan menikmatinya," kata Doug.
Kelly tersenyum saat Doug merapatkan tubuhnya. Dia melekatkan tangannya ke
dinding di atas kepala Kelly, sampai tubuhnya menutupi tubuh Kelly.
Kelly mengangkat wajahnya hingga berada dekat wajah Doug. Dia merekahkan
bibirnya saat bibir Doug menyentuh bibirnya. Lalu tangannya otomatis, merangkul
leher Doug dan jari-jarinya menyusup ke kulit kepala Doug yang tertutupi rambut
hitam dan ikal yang lembut.
Ciuman itu terasa hangat dan nikmat, seperti minyak angin yang dituangkan ke
dalam tubuh melalui bibirnya. Ciuman itu juga membuatnya rileks, dan begitu dia
merasa rileks, dia dapat merasakannya.....merasakan kelelahan yang amat sangat
yang tersembunyi, yang sepertinya siap menelannya. Dia merasa seakan tubuhnya
sendiri mengatakan hal ini. Apakah tidak membahagiakannya jika ia dia dapat
menyerahkan dirinya pada Doug"
Setelah itu dia dapat beristirahat.....benar-benar beristirahat, untuk pertama
kalinya dalam beberapa bulan ini. Bukannya tidur sambil berguling-guling dan
bolak-balik karena gelisah. Tapi tidur yang nyenyak dan nyenyak dan nyenyak.....
Doug bergumam senang ketika tangannya mulai membuka kancing jaket Kelly. Dan
kemudian.....tiba-tiba.....kesadaran Kelly kembali, kesadaran atas apa yang
membuatnya selama ini tak bisa beristirahat.
Dia meletakkan tangannya ke dada Doug dan mendorong Doug ke belakang. Dia
menggelengkan kepalanya. "Jangan sekarang," katanya.
Doug mengamati mata Kelly yang berwarna biru keabu-abuan.
"Kenapa tidak" Tempat ini cukup romantis, kan?"
Kelly tertawa, lalu menutup matanya.
"Doug," katanya. "Maafkan aku....seperti orang.....sakit ingatan."
Sakit ingatan" Kalau dia mengatakan siapa pejalan kaki yang ditemuinya di rute
107, Doug akan berpikir bahwa ia lebih buruk dari itu.
"Tak apa," kata Doug sambil mengedipkan mata coklatnya. "Aku cukup tahu caramu
merajuk." Lalu Doug menekan ke depan, menyandarkan tubuhnya dan berusaha menciumnya
kembali. Tetapi Kelly mendorong Doug dan menggeser kepalanya sehingga Doug
nyaris saja mencium dinding bata yang berlumut.
"Hentikan!" katanya.
Doug berhenti. Dia mundur dan memasukkan tangannya ke dalam kantung celananya.
Dia mencoba tersenyum, tapi Kelly tahu dia sakit hati. Ini salah satu keunikan
hubungan mereka. Doug tampaknya cenderung mudah mengerti dan memaafkan.
"Maaf," kata Kelly, "tapi danau Kristal sepertinya tempat terakhir di dunia ini
yang dapat membuatku bergairah. Kamu dapat mengerti hal itu, bukan?"
"Tentu saja." Keduanya terdiam sejenak. Keadaan jelas sekali memanas, dan Kelly merasa sangat
menyesal. Dia mengamati wajah Doug. "Kamu pikir aku gila, kan?"
"Tidak. Masa cuma pingin menangkap monster saja dianggap gila?"
Jawaban menyakitkan. Kelly tahu bahwa Doug tidak betul-betul percaya soal Jason
itu - hal ini membuatnya merasa benar-benar merasa sendirian.
"Kamu tahu," katanya, "kalau semua ini sudah berakhir ..."
"Ehem-ehem." "Aku serius. Kalau aku sedang bahagia, aku juga penuh gairah."
"Betul." "Aku tegaskan, Doug. Sebelum Boone ..." Dia berhenti, lalu menunduk. Dia tak
dapat meneruskannya. "Aku tahu," kata Doug, jengkel. "Sebelum kecelakaan yang dialami kakakmu, kamu
adalah cewek yang penuh gairah. Tapi tampaknya keberuntungan belum ada di
pihakku, sebab kalau kamu dekat aku, kamu jadi dingin seperti ikan beku."
Sangat menghina. Nyaris menyadarkan dirinya. Kata-kata itu terasa seperti
tamparan yang membuat orang terbangun dari kekagetannya. Membicarakan soal Boone
biasanya selalu membuatnya ingin menangis. Tapi sekarang kepalanya menjadi
jernih dan dia melihat ke arah Doug dengan lebih bijak.
"Aku tidak minta kamu ikut. Kamu boleh pulang kapan saja kamu mau."
"Bagus," kata Doug. "Itu sangat membantu."
Dia menghentakkan kakinya keluar dari gang.
Kelly mendengus. Di jalan, dia melihat Doug menendangi kaleng bekas minuman.
Kelly memanggil Miguel dan Tina, yang tampaknya sedang berdebat.
Ketika mendengar teriakan Kelly, mereka berdua melihat ke atas bukit seperti
orang bingung, seperti lupa bahwa mereka bukan hanya berdua.
Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nggak sukses?" tanya Miguel ketika dia tiba di atas bukit.
"Sama sekali," kata Doug sambil melirik marah pada Kelly.
"Bagus," kata Tina. Dan kemudian pada Kelly dia berkata. "Asyik, nggak?"
Dia melihat kembali ke Miguel dan menambahkan, "Aku sih, asyik banget."
Bagus, pikir Kelly. Semua orang merasa baik-baik. "Pasti ada yang buka,"
katanya. Dia berbalik dan berjalan lebih mendaki ke atas bukit. "Rasanya aku
ingat kalau di sini ada ...."
Dia berhenti seketika. Beberapa bangunan tampak jauh di depan, salah satu
pintunya baru saja terbuka. Seorang polisi keluar. Orang itu tinggi besar
seperti pemain sepak bola dengan kumis hitam yang kasar. Tanpa melihat ke arah
Kelly, lelaki besar itu melangkah ke arah mobil patrolinya. Kelly tak mau polisi
itu melihatnya, jadi dia diam tak bergerak, seakan takut menarik perhatian.
Berhasil. Polisi itu masuk ke mobilnya tanpa melihat ke belakang.
Tapi yang dipikirkan Kelly adalah pintu yang terbuka, tempat polisi tadi keluar.
"Ke sini," katanya bergairah.
Ketika dia melirik ke belakang ke arah teman-temannya, tampaknya tak ada satu
pun yang merasa tertarik. Tapi akhirnya mereka mengikutinya juga.
*** Tuck mengomel sendiri saat kembali ke tokonya. Darlene, si pelayan montok di
Rumah Makan Denny, perlu diberi pelajaran. Dia pikir dirinya itu siapa, beraniberaninya tidak memberi hutang makanan"
Dan anak-anak kaya menjijikkan yang naik Volvo itu" Juga sangat sombong. Tak mau
memberinya uang sesen pun. Perutnya keroncongan. Serasa ada yang menggigit-gigit
perutnya karena dia telah menelan binatang yang sekarang perlu diberi makan.
Yah, dia tahu bagaimana memberi mereka makan. Itulah untungnya. Itulah yang
membuatnya dapat melalui tahun demi tahun dengan tambal sulam.
Tak pernah ada dan tak akan pernah ada nelayan yang seahli Tuck, katanya memuji
dirinya sendiri. Dia mengambil kailnya yang paling bagus. Dia berhenti sejenak sebelum
melemparkan besi pemberatnya.
Tak perlu. Dia begitu lapar untuk menyempatkan diri mencoba keahlian
memancingnya. Dia biasa memakai umpan hidup, bukan umpan bohong-bohongan dari
kawat atau plastik. Tergugah atas semangatnya, Tuck bersenandung kecil saat ia melewati hutan menuju
ke tepian danau. Nyamuk beterbangan dan menyengatnya.
Tapi Tuck tak peduli. Setelah tinggal di dekat danau, kulitnya seakan menjadi
sekeras kulit bola kaki. Dia hanya berdoa agar Big Red meninggalkan perahu tuanya di tempat yang
semestinya. Tampak jelas perahu itu memang ada. Perahu itu ditarik Big Red ke
atas buluh-buluh yang tumbuh di tepi danau, sebagaimana yang telah diajarkannya.
Big Red ternyata bisa juga.
Tetapi bukannya mendorong perahu putihnya ke air, Tuck malah duduk di kotak
pasir dan melepaskan salah satu sepatu butnya. Lantas ia melepas kaos kakinya
dan melemparkannya ke tanah. Ia menggulung celana panjangnya setinggi mungkin,
sampai gulungan celananya terasa menekan pahanya agak keras. Kakinya yang
telanjang tampak tua, berbulu dan lemah. Tetapi lucunya lintah di sini masih
tertarik pada kaki tua milik Tuck ini.
"Ayo, silakan, Sayang," gumam Tuck ketika dia merendamkan kakinya ke danau.
Tampaknya, dalam beberapa tahun terakhir ini lintah di danau Kristal ini semakin
banyak saja. Dan juga semakin besar!
Beberapa di antaranya sepanjang lima sampai enam sentimeter. Penduduk di sini
berkata, danau ini penuh kutukan. Tuck lebih tahu. Semakin banyak lintah,
semakin baik. Dia berdiri di tempat yang cukup dalam. Berdiri dengan kaku. Sangat membantu
jika engkau bisa mematung kala memancing. Dia pun menunggu.
Tuck mematung, menunggu. Dia tak merasakan apa-apa kecuali air yang dingin saat
air berpusar dan menghantam kulitnya yang telanjang. Saat lintah mulai menempel
di kulit, engkau tak akan merasa lebih daripada gelitikan-gelitikan kecil. Sebab
lintah-lintah ini punya semacam bius di mulutnya, sehingga saat ia menggigitmu,
kamu sama sekali tak akan mengetahuinya.
Tuck akhirnya naik ke darat. Kakinya tampak jelas dipenuhi garis-garis hitam
kecil memanjang: punggung lintah-lintah yang tampak berkilauan tertimpa sinar
senja. Setenang mungkin, Tuck menyalakan rokok. Lalu dia menyentuhkan bagian yang
berapi ke arah lintah-lintah itu sambil menikmati bunyi "cesss" saat lintah itu
terbakar. Itu keanehan lain tentang lintah sekarang ini. Mereka tidak mudah dilepaskan.
Dia harus menyentuhkan rokoknya ke kulit lintah itu cukup lama, sebelum dia
mendengar bunyi "plop" tanda si lintah melepaskan hisapannya.
Dia membawa kaleng bekas kopi yang sudah berkarat untuk dijadikan tempat umpan.
Dia telah mengumpulkan separuh dari lintah yang ada di kakinya ketika dia
melihat uang sepuluh ribuan.
Uang itu tergeletak begitu saja di rumput, dekat ke tepi danau, tepat di tepi
hutan. Uang itu melambai perlahan tertiup angin.
Tuck berkedip. Dia yakin matanya salah lihat. Tak mungkin ada selembar sepuluh
ribuan tergeletak begitu saja, seakan memang menunggu untuk diambil olehnya.
Seakan menanti Tuck. Tapi memang begitu kenyataannya. Dan sekarang dia bergegas naik ke tepi danau,
dengan tampang lucu karena salah satu celananya tergulung ke atas.
Uang itu bergerak menjauh saat dia mendekatinya, seperti tertarik sedikit. Dia
membungkuk dan meraihnya. Serta merta ia mengatupkan kepalannya, mengenggam uang
itu kuat-kuat. Ketika dia membukanya kembali, tiga mata kail runcing yang
tertancap di uang itu, terhujam dalam....begitu dalam.....sampai menembus kulit
telapak tangannya. Sesaat ia terpaku, tak menyadari apa yang terjadi. Dengan tatapan bingung ia
hanya melotot ke arah kepalan tangannya yang tertutup uang. Dia dapat melihat
uang itu mencuat di antara jari-jarinya. Diikuti darah merah menyembur.
Dan kemudian..... Uang....dan tangannya.....tertarik ke depan. Dia terhentak begitu keras sehingga
kehilangan keseimbangannya. Saat dia jatuh, kepalanya menghantam batu. Dia tak
punya waktu untuk berpikir apa yang terjadi. Sebab sekarang tangannya tertarik
ke depan lagi. Dia ditarik ke hutan yang gelap. Dan saat ia meluncur di tanah,
ia menangkap bayangan apa yang sedang menariknya.
Seorang lelaki besar dengan baju overall bertopeng hoki. Orang itu membawa
pancingan.....apakah dia Big Red"
Tuck ditarik ke depan lagi. Wajahnya tertoreh ujung dahan pohon yang tajam
dengan keras. Siapa pun dia, orang bertubuh besar ini sedang menggulung tali pancingnya seakan Tuck adalah ikan yang tertangkap.
Chapter 10 RUMAH MAKAN DENNY Tanda plastik yang tergantung di pintu rumah makan Denny terbaca: SELAMAT
DATANG. Kelly mendorong pintu sampai terbuka, dan bel pun berdenting. Tak ada orang di
dalam. Rumah makannya kecil, hanya ada beberapa meja persegi empat berlapis formika
putih menempel di salah satu dinding. Di dinding lainnya ada meja panjang. Di
sana ada lima kursi tinggi dari metal berlapis kulit warna merah yang sudah
usang. Di atas, kipas angin berputar berisik. Selain itu tampaknya tak ada yang
bergerak di dalam ruangan itu. Bahkan udara pun tampaknya bergeming. Semua ada
di tempatnya, dari tulisan di dinding sampai kertas untuk taplak piring yang
terlihat tua dan kotor. Barang-barang itu seakan berasal dari tahun lima
puluhan, bukan dari zaman sekarang.
"Halo?"teriak Kelly. Dia merasa khawatir, jangan-jangan semua orang sudah pindah
dari danau Kristal tepat ketika mereka datang....
Mereka berbondong-bondong kabur, seperti binatang yang mendapat pertanda
serangan badai. "Bagus, di sini kosong," kata Tina.
"He-eh," kata Doug sambil menggaruk kepalanya. "Ya, sepi sekali. Tapi lihat
sini, sepertinya ini persediaan makanan."
Dibarengi tawa Tina seakan Doug orang paling lucu yang pernah dilihatnya, Doug
berjalan dengan gaya kaki bengkok yang konyol ke arah meja panjang. Nampan
plastik tergeletak di dekat susunan donat berlapis coklat yang membentuk
piramida. Dia mengangkat tutup nampan itu dan mengulurkan tangan untuk mengambil
donat itu ketika "Ayo, ketahuan," tegur satu suara dari arah pintu dapur.
Pelayan yang muncul berusia tiga puluh tahunan, berambut merah, dan berlipstik.
Dia mengenakan pakaian seragam super ketat berwarna pink. Kancing atas di bagian
dadanya yang montok seperti mau terlepas. Begitu juga biji mata Doug ketika
melihatnya. Pelayan itu mengunyah permen karet besar yang terlihat di antara bibir merahnya
saat dia memindah-mindahkan permen itu di mulutnya. "Ada yang bisa kubantu,
ganteng?" "Wow," kata Doug penuh minat, "sebelum melihatmu, kupikir aku ingin donat, tapi
sekarang ..." Dia membiarkan khayalannya berkembang.
"O ya" Jadi kamu sekarang ingin ...!" Pelayan itu terkekeh sambil menutup
mulutnya dengan tangan yang penuh cincin dan kuku yang bercat merah.
Doug bertanya, "Kamu masih...melayani?"
Melihat Doug bermain mata....Kelly menjadi merasa tak nyaman. Dia hanya ingin
membalas sikap dinginku di gang tadi, katanya pada dirinya sendiri. Percuma.
"Ehm, sekarang ini," kata pelayan itu, "tukang masak sudah pulang dan aku juga
sudah mau tutup. Tapi kalau kalian lapar, aku akan terus membuka rumah makan
ini." Dia tertawa lebih keras. "Aku bisa masak kok, untuk kalian."
Doug menatap lekat pelayan itu sejenak kemudian bersiul.
"Sobat," katanya pada teman-temannya. "Kurasa perjalanan kita mulai lumayan."
"Hebat," gumam Miguel sambil mengeleng sebal. Dia menjelajahi rumah makan itu,
lantas melakukan beberapa gerakan pelenturan tubuh dan membunyikan
persendiannya. "Sekarang kita akan di sini semalaman," gerutunya.
Kelly duduk terkulai di salah satu kursi di meja yang menempel di dinding.
Jantungnya berdegup keras. Yang ada di pikirannya adalah, Doug berniat serong
tepat di depan matanya. Sudah kerap ia diingatkan betapa mata keranjangnya Doug.
Tapi Doug sudah berjanji tidak akan mengkhianatinya, dan dia percaya. Lagipula
dia belum pernah menangkap basah Doug bermain mata, main mata yang sungguhan.
Sekarang, untuk pertama kalinya sejak dia dan Doug berkencan, dia menyadari
betapa hebatnya selama ini karena Doug tak pernah mengkhianati dirinya.
Doug melirik ke Kelly, seakan ingin meyakinkan dirinya bahwa Kelly sedang
memperhatikan. Katanya pada pelayan itu, "Di mana kami duduk kalau kami ingin
memastikan bahwa engkau tetap menunggu kami?"
Dengan kekeh tawa yang semakin keras, pelayan montok itu menjawab, "Lihat saja,
tempat ini kosong. Duduk saja di mana kalian suka."
Tina menarik tangan Doug, menariknya ke meja Kelly. "Ayo, ah," ajaknya dengan
suara perlahan. Tampaknya justru Tina yang lebih tak suka melihat Doug bermain mata lebih lama,
ketimbang Kelly sendiri. Mata Kelly memperhatikan tangan mungil Tina yang menggandeng Doug. Seperti orang
memegang senapan yang hendak diletuskan.
Kini, mereka berempat merubungi meja, dan pelayan itu menyodorkan daftar menu
berlapis kain beludru yang kusam.
Doug berkata, "Trims...emm ...." Dia menengadah, membaca kartu nama plastik yang
di blus pelayan itu. "Trims, Betsey."
Pelayan itu tersenyum lebar padanya. Dia mengeluarkan kertas pencatat pesanan
dari kantong dan mengambil pinsil dari belakang telinga lalu berdiri menunggu
pesanan mereka. "Ngomong-ngomong," katanya pada Doug, "namaku bukan Betsey. Aku hanya mengambil
alih tugasnya. Aku bukan asli orang sini. Aku dari Holloway, sekitar sepuluh
kilometer dari sini. Namaku Darlene."
Doug mengulurkan tangannya. Kelly berupaya tidak menatapnya, tapi tak berhasil.
Matanya tetap melotot tajam saat Doug menggoyangkan tangannya sambil menggenggam
tangan Darlene. Dia bukan cuma menjabat tangannya.
"Senang bertemu denganmu," kata Doug.
"Memangnya kenapa dengan Betsey?" tanya Tina agak sengit.
Darlene sontak merah padam lalu cepat-cepat melihat ke arah catatan pemesanan.
"Kalian juga bukan dari daerah sini?"
"Bukan," kata Kelly. Samar-samar ingatannya berputar di kepala. Sebuah kliping
di buku catatannya. Bukankah di situ ada tulisan Betsey" Dia duduk tegak.
"Tunggu sebentar, apakah Betsey itu Betsey Doyle?"
Pelayan itu menatapnya kaget. Lalu ia bertanya penasaran,
"Kok tahu" Jangan permainkan aku dengan mengatakan kalian bukan asli orang
sini." "Tentu tidak," jawab Kelly. "Aku membaca tentang dia."
Kepada teman-temannya Kelly berkata, "Betsey Doyle ingin menabung dengan bekerja
di sini dan tinggal di pondok di dalam hutan. Tepat di perkemahan tua. Dan Jason
mencincangnya." "Eh-eh," kata si pelayan, "jangan ceritakan desas-desus itu lagi dan membuat
teman-temanmu ketakutan. Orang sini pun tidak tahu, siapa yang melakukannya."
"Mm, berita bagus," kata Doug.
"Yah," dukung si pelayan sambil menarik napas dalam. Dia meletupkan balon dari
permen karetnya. "Kota ini, menurutku, punya masalah."
"Perjalanan yang menyenangkan," gerutu Tina sambil meletakkan kepalanya di kedua
tangannya. "Awas, ah," tambahnya, saat Miguel mendekatinya dari belakang untuk
mengepang rambut hitamnya yang panjang.
"Sori." Miguel dengan gugup mencabuti kumisnya yang tipis. "Eh, Kelly, kenapa
tidak bilang pada Darlene, mau apa kita ke tempat ini?"
Satu kekurangan Miguel adalah tak bisa memahami situasi.
Kelly semula hendak mengangkat masalah ini melalui pembicaraan biasa. Tapi sudah
terlambat. Dia terpaksa mengatakan langsung pada Darlene ke mana tujuan mereka
dan mengapa. Darlene melirik sepintas ke arah Doug, tapi kemudian wajahnya tampak ngeri dan
tak suka. "Bagus," katanya.
Bagus", pikir Kelly. Setelah pembicaraan mereka barusan"
Gadis Pelayan ini linglung atau apa"
Kelly memesan kopi pahit dan seporsi panekuk. Dia sedang malas makan, tapi dia
tahu lebih baik dia memaksakan dirinya.
Teman-temannya semula pun kelihatan kelaparan. Mereka memesan semua yang ada di
daftar menu dari susu, burger sampai gorengan. Tetapi ketika Darlene membawakan
semua pesanan itu, selera mereka seakan-akan sudah sirna.
Tina terus-menerus menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Kelly, untuk
mengusir asap rokoknya. Miguel tetap mengetok-ngetok meja dengan kedua
tangannya. "Bisa diam tidak, sih?" tegur Tina pada Miguel. "Kamu membuat aku gugup."
Miguel berusaha tertawa, tetapi kelihatan kecut. "Gugup, ya" Teman-teman, aku
kan sudah bilang, dia ketakutan."
Tina tak berusaha menjawab. Kepada Doug dia berkata, "Dia membuatku gila."
"Miguel," kata Doug santai, "sebaiknya kamu jangan mengganggu dia terus. Kita
tidak mungkin bepergian dengan dua orang gila, kan?"
"Terima kasih banyak," kata Kelly. Dia berusaha tersenyum, tapi mulutnya terasa
kaku. "Kembali," jawab Doug - seperti biasa, gampang tersenyum. Dia melihat ke bawah
ke arah tangan Tina, tangan yang tidak dipakai makan, yang terjulur santai di
atas meja. "Hei," serunya, "cincinmu bagus."
Memang. Cincin itu terbuat dari perak, berbentuk ular yang sedang menggigit
buntutnya sendiri. Tetapi Kelly paham, Doug sama sekali tak peduli pada perhiasan itu. Pujiannya
hanya alasan untuk meraba-raba jemari Tina. Tina merah padam, karena ia pun
mengerti apa maksud Doug - dan ia suka akan 'kejailan' itu.
"Hei!" tegur Miguel.
Doug melepaskan tangan Tina, lalu mengambil garpu dan mengangkat setumpuk
kentang, saus dan kacang ke mulutnya.
"Aku juga punya bandul perak yang mungkin kamu suka," kata Tina sambil membuka
kancing atas blus putihnya. Garpu Doug berhenti di udara.
"Hei!!" tegur Miguel lagi, kali ini lebih keras.
"Aku cuma mau ngasih lihat bandul," kata Tina perlahan. Dia mengangkat bandulnya
dan Doug menjulurkan tubuhnya menyeberangi meja untuk memperhatikan - yang
berarti wajahnya menjadi dekat sekali dengan wajah Tina.
Kelly merasa gelombang panas bergulir di tubuhnya dari ujung kepala ke ujung
kaki. Ini adalah hal terakhir yang dibutuhkannya saat ini.
"Doug," katanya perlahan. Dia menambahkan "please" dengan pandangan matanya.
Doug menatapnya bodoh, tapi dia duduk kembali.
Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada apa dengan kamu ini?" tegur Miguel pada Tina, marah. "Ada apa dengan kamu?"
"Oh, bagus sekali."
Kelly mengeluh. Tangannya memegangi kepala. Tiba-tiba saja rasa sakit
menghujamnya ...langganan lamanya, migren menyerang lagi dan lebih menyakitkan.
"Sakit kepala?" tanya Doug. Dia terlihat lebih terganggu daripada merasa
kasihan. Kelly mengangguk tanpa suara saat dia merogoh botol obat Tylenol dari
saku jaket tentaranya. Doug tersenyum pada Tina dan Miguel. "Kebanyakan cewek cuma nunggu sampai ada
yang bertindak, sebelum mereka mengaku sakit kepala. Kelly tak mau ambil risiko.
Dia selalu saja sakit kepala."
"Jangan begitu, ah," kata Miguel, sambil berdiri. "Ayo kita gerakkan persendian.
Rasanya aku sudah gatal berkelahi yang serius."
Miguel melepas beberapa tonjokan lalu menggenggam senapan mesin khayalan dengan
tangannya untuk memberondong rumah makan yang kosong itu.
Tina terkekeh. Menurut Kelly suasana hati Tina terlihat membaik sejak Doug
mengagumi perhiasannya. "Oh, Rambo-ku," kata Tina.
"Ya, betul," kata Miguel tanpa senyum. "Ayo, sobat. Acara kita pasti bakal
menyenangkan." Kelly mengeleng-gelengkan kepalanya. Berpikir. Mereka masih belum mengerti juga,
Boone. Menyenangkan, katanya" Uh, mereka ikut untuk bersenang-senang. Tapi apa
yang sedang mereka percakapkan sebenarnya sangat jauh dari menyenangkan.
Betul tidak, Boone" tanyanya dalam hati. Aku betul, kan"
Akhirnya Boone menjawab setelah mereka kembali ke mobil dan menuju ke arah area
perkemahan tua yang terlantar.
Chapter 11 MENYONGSONG KEMATIAN "Kamu betul, Kell," ujar Boone sedih. "Mereka tidak tahu sedang menghadapi apa."
Kata-kata Boone cukup keras.
Kelly sedang duduk di kursi depan, menatap lurus ke depan.
Dia menengok ke arah suara Boone yang berat.......suara yang begitu
dikenalnya!........secepat kilat. Itu menyebabkan wajahnya bertabrakan dengan
wajah Tina, karena Tina yang sedang duduk tepat di belakangnya menyenderkan
dahinya pada senderan kursi Kelly.
Tina tergagap. "Kenapa" Ada apa?"
"Takuut! Takuut! Tina Takuuut!" seru Miguel, disusul dengan tawanya yang keras.
"Tenang, he-he-he! Tenang, he-he-he!"
"Bisa diam tidak sih, kamu?" bentak Tina padanya. "Aku sebal!"
Kelly tak mendengarkan. Dia sedang menatap lekat ke sosok yang menyelip di kursi
belakang, yang duduk di antara Miguel dan Tina. Sosok anak muda berusia 21 yang
dikenalnya. Boone! Boone yang sedang tersenyum dengan wajah yang separuh membusuk.
"Betul, Kell," katanya, "mereka tidak bisa melihatku. Mereka tidak bisa
mendengar aku. Tapi kamu bisa, kan, Kell?"
Kelly mengangguk perlahan. Bulir air mata menggenang di matanya yang biru keabuabuan. Dia tak merasa gila; dia justru merasa senang melihatnya, sekaligus
sedih. Dia tersenyum dan menyebut nama Boone tanpa suara.
"Nah," kata Boone sambil meyeringai congkak, "kamu nggak pingin ngomong apa-apa"
Cukup lama, kan, kita tidak bertemu?"
"Ya," kata Kelly. "Cukup lama."
Tina berhenti berdebat dengan Miguel dan menatap Kelly.
"Cukup lama apanya?" Tma menatap lekat wajah Kelly. "Kamu lihat apa sih?"
Tina menepuk tangannya di depan wajah Kelly, membuyarkan konsentrasinya. Kelly
menggoyangkan kepalanya, dan menengok ke arah gadis manis blasteran Cina-Amerika
itu. Lalu dia menatap kembali ke arah Boone. Tapi Boone sudah pergi.
"Kukira Kelly sudah kehilangan ingatan," kata Tina.
"Hilang ingatan?" jawab Doug dari belakang kemudi. "Tina, aku nggak suka ah,
kalau kamu sok jadi ahli jiwa."
"Serius," kata Tina. "Kelly, kurasa kamu betul-betul butuh pertolongan."
"Oh, iya aku tahu," kata Kelly sambil tersenyum kecut. Dia tetap melirik ke arah
tempat kosong bekas tempat duduk Boone tadi.
Sekarang di tempat itu hanya ada seonggok sabuk pengaman dan kotak tisue yang
diduduki Miguel. Kakaknya telah meninggalkannya lagi.
"Aku tidak bercanda," kata Tina. "Kuingatkan, kalau kalian tidak pedulikan hal
ini, kalian bisa menyesal."
"Kurasa kamu benar," tutur Kelly setuju. Dia berbalik dan duduk dengan benar
sambil menatap ke depan, ke arah jalan tanah di hutan.
Doug mengendarai mobilnya melalui jalan tanah yang kini tak rata lagi. Jalannya
sempit. Pohon-pohonnya yang lebat semakin lama semakin saling menyatu. Dahan
bagian bawah bolak-balik menerpa jendela depan atau menggores atap mobil seperti
jemari monster yang mencoba masuk ke dalam mobil.
"Kamu ini kenapa, sih?" tanya Miguel pada Tina. "Kenapa kamu selalu mengganggu
Kelly?" "Aku tidak mengganggunya, aku mengatakan hal yang sebenarnya padanya. Aku
khawatir, tahu." "Oh, ya?" timpal Miguel.
"Bayangkan, dia begadang semalaman, tidak makan, cuma merokok terus, dan dia
ingin masuk Ke hutan angker ini ...."
"Kita semua juga mau masuk ke sana," sela Doug, mencoba menengahi.
"Itu sebuah gejala," Tina bersikeras.
Kelly menghadap ke jendela, mencoba menyembunyikan wajahnya. Dia sebenarnya
sedang menangis. Boone tadi ada di mobil. Bicara padanya! Kalau saja tadi dia
bisa ngobrol lebih banyak, barangkali Boone akan tetap berada di mobil,
bersamanya. "Belok kiri," dia mengarahkan Doug, sambil mencoba menahan tangisnya agar tak
terdengar. "Terus ke kanan."
Dia tidak tahu bagaimana dia bisa mengingat jalan ini, tapi kenyataannya tibatiba dia bisa mengingatnya.
Dan dua menit kemudian, mereka menuju ka arah pondok tua perkemahan danau
Kristal yang tampak terbengkalai.
*** "Apa lagi, ya?"
Jessie Gleason dengan gugup menjentik dagunya dengan jari telunjuk. "Billy kecil
punya dua botol susu ekstra di lemari es. Kalau dia bangun dan menangis, godog
satu sampai terasa hangat....Tahu caranya, kan"....Teteskan di pergelangan
tangan....Papa ingat pesanku" Papa pasti tahu apa yang harus dilakukan, bukan?"
"Tentu saja," jawab Bud. Lelaki tua itu sedang duduk di meja dapur di rumah kayu
milik anaknya di hutan, mencoba terlihat memperhatikan menantunya saat dia
memberi pesan. Anaknya, Bud Junior, tinggal di tengah hutan di pinggiran kota Cranville sekitar satu jam perjalanan dari danau Kristal.
Bud sudah seharian penuh tidur-tiduran di pondoknya, menunggu kemunculan teman
minum araknya, Gabe dan Tuck. Waktu malam mereka belum muncul-muncul juga, Bud
tak mau menunggu lebih lama lagi. Dia meninggalkan pesan untuk mereka,
memberitahukan ke mana dia pergi. Lalu dia berangkat menemui Bud Junior,
berharap bisa mendapatkan sesuatu, paling tidak makanan.
Dia sudah mendapat makanan, tapi kalau dia juga mau uang, anaknya mengatakan dia
harus bekerja untuk mendapatkannya. Berani sekali anak itu! Kurang ajar!
Mengapa" Apalagi rumah ini pun dibangun dengan bantuannya; bahkan bantuan Gabe
dan Tuck. Tetapi sekarang Bud Junior menyuruhnya menjaga anak-anak. Menjaga
anak-anak. Keterlaluan sekali!
Jessie masih terus berceloteh. "Cassie dan James boleh nonton teve sampai jam
sembilan," katanya, "tapi jangan nonton film yang sadis. Bisa merusak pikiran
mereka. Jam sembilan tepat mereka harus tidur. Mereka pasti nurut, begitu Papa
suruh. Tapi nyuruhnya yang lembut, ya."
"Pasti," jawab Bud. Dia memperhatikan tangannya, bergetar. Jadi dia angkat salah
satu tangannya untuk menindih tangan yang gemetar itu. Jessie menatapnya lekatlekat. Bud mencoba menatap balik matanya.
Bud sadar dia terlihat tidak sehat. Dia memang merasa tidak sehat. Dia belum
minum setetes pun minuman keras sejak kemarin malam. Ketika dia melihat wajahnya
di potongan kaca yang dijadikan cermin di pondoknya, wajah keriputnya terlihat
sangat menakutkan. "Papa bisa mengatasinya, kan?" tanya Jessie.
"Tentu saja," sahut Bud. Jawaban apa lagi yang ingin didengar Jessie selain
jawaban semacam itu. Jessie tersenyum, jelas sekali dia merasa lega. "Aku dan Buddy merasa lebih
tenang," katanya. "Sudah lama sekali kami tidak nonton bioskop."
Bud memaksa dirinya untuk balik tersenyum, dan kerutan khawatir yang ada di
kening Jessie pun akhirnya hilang.
Jessie telah mengkhawatirkan hal yang keliru. Jauh di luar, di hutan........
*** Big Red berdiri mengamati suasana sambil bernapas tersengal-sengal melalui
lubang topeng di dekat mulutnya.
Rumah Bud Junior terdiri dari dua tingkat dengan teras yang menjulur ke arah
Gerhana Di Gajahmungkur 1 Pendekar Slebor 68 Rantai Naga Siluman Kaki Tiga Menjangan 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama