Ceritasilat Novel Online

Macan Tutul Di Salju 11

Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather Bagian 11


"Ayah mengerjakan pekerjaan Tuhan," kata Vittoria. "Pekerjaan Tuhan tidak
dikerjakan di dalam laboratorium.
Tetapi di dalam hati." "Hati ayahku murni! Dan penelitiannya membuktikan - "
"Penelitiannya membuktikan bahwa pikiran manusia berkembang lebih cepat daripada
jiwanya!" suara sang camerlegno menjadi lebih tajam daripada yang diharapkannya.
Lalu sang camerlegno merendahkan suaranya. "Kalau ada orang seberiman ayahmu
dapat menciptakan senjata seperti yang dilihat semua orang malam ini, bayangkan
apa yang akan dilakukan oleh orang biasa dengan teknologi seperti itu."
"Seseorang itu seperti dirimu?" Sang camerlegno menarik napas panjang. Apakah
putri Leonardo Vetra ini tidak memahaminya" Moralitas seseorang tidak dapat
meningkat secepat ilmu pengetahuan. Spiritualitas umat manusia tidak mampu
bergerak lebih cepat untuk menguasai kekuatan yang mereka miliki. Kita tidak
pernah menciptakan senjata untuk tidak digunakan! Tapi, dia tahu antimateri itu tidak
ada artinya. Dia sama dengan senjata lain yang sudah menumpuk di dalam berbagai
gudang senjata. Manusia bisa langsung menghancurkannya. Manusia belajar membunuh
sesamanya sejak zaman dahulu. Dan darah ibunya turun deras seperti air hujan.
Kejeniusan Leonardo Vetra berbahaya untuk alasan lain.
"Selama berabad-abad," kata sang camerlegno, "gereja hanya berdiam diri
sementara ilmu pengetahuan mengalahkan agama sedikit demi sedikit. Mereka
menghancurkan keajaibankeajaiban. Melatih pikiran untuk mendahului hati.
Mengutuk agama sebagai candu bagi massa. Mereka mencela Tuhan sebagai halusinasi
saja - khayalan yang hanya pantas bagi mereka yang lemah untuk menerima kehidupan
yang tanpa makna seperti ini. Aku tidak dapat berdiam diri sementara ilmu
pengetahuan berniat melecehkan kekuatan Tuhan! Bukti, katamu" Ya, bukti ilmu
pengetahuan adalah kebodohan! Apa salahnya menerima apa yang diluar pengertian
kita" Hari ketika ilmu pengetahuan menggantikan Tuhan di dalam laboratorium
adalah hari di mana orang berhenti membutuhkan keyakinan!"
"Maksudmu hari ketika manusia tidak lagi membutuhkan gereja?" tantang Vittoria
sambil bergerak mendekatinya. "Keraguan adalah kontrol terakhirmu. Keraguanlah
yang membawa jiwa-jiwa itu kepadamu. Kami hanya ingin tahu kalau hidup itu
memiliki makna. Rasa tidak aman yang dirasakan manusia dan kebutuhan untuk
mendapatkan pencerahan membuat ayahku tahu kalau semuanya adalah bagian dari
sesuatu yang agung. Tapi gereja bukanlah satu-satunya jiwa yang tercerahkan di
planet ini! Kita semua mencari Tuhan dengan berbagai cara yang berbeda-beda. Apa
yang kamu takutkan" Kalau Tuhan akan memperlihatkan diri-Nya di suatu tempat di
luar tembok ini" Kalau orang-orang akan menemukanNya dalam kehidupan mereka
sehari-hari dan meninggalkan ritual kunomu itu" Agama berevolusi! Pikiran
manusia selalu berusaha untuk menemukan jawaban sehingga hati mereka mampu
memahami kebenaran yang baru. Pencarian ayahku sama dengan pencarianmu! Keduaduanya berjalan bersisihan! Kenapa kamu tidak bisa memahaminya" Tuhan bukan
hanya kekuatan yang melihat dari atas sana dan mengancam umatnya untuk
dijebloskan ke dalam neraka kalau mereka melawannya. Tuhan adalah energi yang
mengalir melalui sinapsis yang terdapat dalam sistem syaraf dan hati seluruh
umat manusia! Tuhan berada di mana-mana!"
"Kecuali dalam ilmu pengetahuan," bantah sang camerlegno dengan keras, matanya
hanya memancarkan rasa kasihan. "Makna ilmu pengetahuan adalah tidak punya jiwa.
Terpisah dari hati. Keajaiban intelektual seperti antimateri tiba di dunia ini
tanpa mencantumkan petunjuk etis. Ini sangat berbahaya! Bagaimana mungkin ilmu
pengetahuan bisa mengatakan kalau pencarian bejatnya itu sebagai jalan
pencerahan" Menjanjikan jawaban untuk berbagai pertanyaan yang tidak mereka
ketahui jawabannya?" Sang camerlegno menggelengkan kepalanya. "Ini tidak benar."
Untuk sesaat, kesunyian menyelimuti Kapel Sistina. Tiba tiba sang camerlegno
merasa letih ketika dia balas menatap mata Vittoria yang masih berapi-api. Ini
tidak seharusnya terjadi. Apakah ini ujian terakhir dari Tuhan"
Mortati-lah yang memecahkan kesunyian itu. "Keempat preferiti," bisikannya
mengandung ketakutan. "Baggia dan yang lainnya. Tolong katakan padaku, kamu
tidak ...." Sang camerlegno berpaling kepadanya, heran karena mendengar suara Mortati yang
terluka. Tentu saja Mortati dapat mengerti. Berita utama di berbagai media
selalu memberitakan tentang keajaiban ilmu pengetahuan tiap hari. Tapi kapan
mereka memberitakan tentang agama" Beratus-ratus tahun yang lalu. Agama
membutuhkan keajaiban! Sesuatu untuk membangunkan dunia yang sedang tertidur
ini. Membawa mereka kembali ke jalan kebajikan. Memperbaiki iman mereka. Para
preferiti bukanlah pemimpin, mereka hanyalah pembaharu - sekelompok orang liberal
yang bersiap-siap untuk memeluk dunia baru dan mengabaikan cara-cara lama!
Inilah satu-satunya cara untuk menghentikan mereka. Pemimpin baru. Muda. Kuat.
Penuh semangat. Pembawa keajaiban. Lebih baik para preferiti itu melayani gereja
dengan membiarkan diri mereka mati daripada hidup untuk kemudian menodainya.
Ketakutan dan harapan. Korbankan empat nyawa untuk menyelamatkan jutaan lainnya.
Dunia akan mengenang mereka selamanya sebagai martir. Gereja akan mendapatkan
pujian mulia untuk mengharumkan namanya. Berapa ribu orang yang sudah mati untuk
kemuliaan Tuhan"Pengorbanan ini hanya membutuhkan empat nyawa. "Para preferiti?"
kata Mortati mengulangi pertanyaannya. "Aku juga berbagi rasa sakit yang sama,"
kata sang camerlegno membela diri sambil menunjuk dadanya yang terluka. "Dan aku
juga bersedia mati untuk Tuhan, tapi tugasku baru saja dimulai. Orang-orang kini
sedang bernyanyi di Lapangan Santo Petrus."
Sang camerlegno melihat ketakutan di mata Mortati dan sekali lagi dia merasa
bingung. Apakah ini karena morfin itu" Mortati menatap anak kesayangan mendiang
Paus di hadapannya ini seolah sang camerlegno-lah yang telah membunuh keempat
kardinal itu dengan tangannya sendiri. Aku akan melakukan itu demi Tuhan, pikir
sang camerlegno. Tetapi dia tidak melakukannya sendiri. Aksi itu dilakukan oleh si Hassassin - sebuah jiwa
panas yang telah diperdayanya sehingga dia merasa dirinya bekerja untuk
Illuminati. Aku Janus, sang camerlegno berkata kepadanya. Aku akan membuktikan
kekuasaanku. Dan dia sudah melakukannya. Kebencian si Hassassin membuatnya
menjadi bidak Tuhan. "Dengarkan nyanyian itu," kata sang camerlegno sambil tersenyum dan hatinya
terasa kembali gembira. "Tidak ada yang menyatukan hati selain munculnya
kejahatan. Bakarlah gereja, dan orang-orang akan bangkit sambil berpegangan
tangan, menyanyikan himne perlawanan ketika membangun gereja itu kembali. Lihat
bagaimana mereka berkerumun malam ini. Ketakutan telah membuat mereka berkumpul.
Buatlah iblis-iblis modern untuk manusia modern. Sikap apatis adalah kematian.
Tunjukkan pada mereka wajah kejahatan - pemuja setan menyelinap di sekitar kita,
menguasai pemerintah kita, bankbank kita, sekolah-sekolah kita, dan mengancam
ingin menghancurkan Rumah Tuhan dengan ilmu pengetahuan mereka yang salah arah.
Keburukan sudah merasuk begitu dalam. Manusia harus mewaspadainya. Carilah
kebaikan. Jadilah kebaikan!"
Dalam kesunyian, sang camerlegno berharap mereka kini memahami maksudnya.
Kelompok Illuminati tidak muncul kembali. Illuminati sudah lama mati. Hanya
mitosnya saja yang masih hidup. Sang camerlegno telah membangkitkan Illuminati
kembali sebagai pengingat. Mereka yang mengetahui sejarah Illuminati pasti
menyadari kejahatan mereka. Mereka yang tidak tahu akan memahami kejahatan
mereka dan menyadari betapa butanya mereka selama ini. Iblis dari masa lalu
telah dibangkitkan kembali untuk membangunkan dunia yang tidak pedulian.
"Tapi ... cap-cap itu?" Suara Mortati terdengar berusaha
menahan amarahnya yang nyaris meledak. Sang camerlegno tidak menjawab pertanyaan
itu. Mortati tidak tahu kalau cap-cap itu sudah disita oleh Vatican sejak satu
abad yang lalu. Cap-cap itu disimpan jauh-jauh, terlupakan dan diliputi debu di
Ruang Penyimpanan Kepausan - ruang pribadi milik Paus yang berfungsi untuk
menyimpan berbagai peninggalan kuno yang tersembunyi di apartemennya di Borgia.
Tempat penyimpanan ini berisi berbagai benda yang dianggap terlalu berbahaya
oleh gereja untuk dilihat oleh orang lain kecuali Paus sendiri.
Kenapa mereka menyembunyikan sesuatu yang bisa menimbulkan ketakutan" Ketakutan
malah membuat orang mendekati Tuhan!
Kunci tempat penyimpanan itu diwariskan dari satu paus ke paus berikutnya.
Camerlegno Carlo Ventresca mencuri kunci itu dan menggeledah ruangan tersebut
dan menemukan isinya yang sangat menakjubkan, seperti manuskrip asli yang
terdiri atas empat belas buku Alkitab, yang tidak dipublikasikan dan dikenal
dengan nama Apocrypha, dan ramalan ketiga dari Fatima, di mana dua ramalan
sebelumnya sudah menjadi kenyataan sementara yang ketiga membuat gereja sangat
ketakutan sehingga memutuskan untuk tidak mengungkapkannya. Tapi yang paling
hebat adalah sang camerlegno menemukan koleksi benda-benda Illuminati beserta
semua rahasia yang ditemukan gereja setelah mengusir kelompok itu dari Roma ...
Jalan Pencerahan yang kejam itu ... penipuan licik yang dilakukan seniman utama
Vatican bernama Bernini ... sekelompok ilmuwan ternama bersama-sama mengejek
agama ketika mereka bertemu secara diam-diam di dalam Kastil Santo Angelo yang
merupakan gedung milik Vatican sendiri. Koleksi barang-barang itu termasuk kotak
berbentuk segi lima yang berisi lima cap yang terbuat dari besi, salah satu di
antaranya adalah Berlian Illuminati yang legendaris itu. Ini adalah bagian dari
sejarah Vatican yang lebih baik dilupakan saja. Tapi sang camerlegno ternyata
tidak setuju dengan pendapat itu.
"Tetapi antimateri itu ..." tanya Vittoria. "Kamu berisiko menghancurkan
Vatican!" "Tidak ada risiko ketika Tuhan berada di sisimu," kata sang camerlegno. "Ini
adalah urusan Tuhan." "Kamu gila!" desis Vittoria. "Jutaan orang selamat."
"Banyak orang yang terbunuh!" "Banyak nyawa yang selamat." "Katakan itu kepada
ayahku dan Max Kohler!" "Kesombongan CERN harus diungkapkan ke seluruh dunia.
Setetes cairan yang bisa menghancurkan semuanya dalam radius setengah mil" Dan
kamu menyebutku gila?" Kemarahan sang camerlegno semakin membara di dalam
hatinya. Mereka pikir ini tugas sederhana yang harus dipikulnya sendiri" "Bagi
siapa saja yang memercayai ujian terbesar yang diberikan Tuhan di masa lalu
pasti ingat semua ini. Tuhan menyuruh Ibrahim untuk mengorbankan putranya! Tuhan
menyuruh Yesus untuk menahan rasa sakit ketika disalib! Sehingga kita sekarang
menggantung simbol salib di depan mata kita yang memperlihatkan Yesus yang
berdarah, menahan rasa sakit dan menderita, agar kita ingat akan kekuatan jahat!
Untuk membuat hati kita waspada! Luka-luka di tubuh Yesus terus mengingatkan
kita bahwa kekuatan jahat itu masih ada! Luka di dadaku adalah pengingat itu!
Kejahatan merajalela tetapi kekuasaan Tuhan akan menghadapinya!"
Teriakannya menggema dan menembus dinding Kapel Sistina sehingga membuat ruangan
itu menjadi sangat sunyi. Waktu tampak berhenti. Lukisan karya Michelangelo
berjudul Pengadilan Terakhir, menjulang menyeramkan di belakang sang
camerlegno ... Yesus memasukkan para pendosa ke neraka. Air mata mengambang di
mata Mortati. "Apa yang telah kamu lakukan, Carlo?" tanya Mortati sambil berbisik. Dia lalu
memejamkan matanya dan air matanya pun bergulir. "Bagaimana dengan Sri Paus?"
Suara desahan kesedihan terdengar bersamaan, seolah semua orang di ruangan itu
sudah lupa akan Paus dan baru teringat saat itu juga. Mendiang Paus meninggal
karena diracun. "Dia hanya seorang pembohong," kata sang camerlegno. Mortati
tampak hancur hatinya. "Apa maksudmu" Beliau
orang yang jujur! Beliau ... mencintaimu." "Dan aku juga mencintainya." Oh,
betapa aku mencintainya! Tetapi dia berbohongl Dia melanggar sumpahnya kepada
Tuhan! Sang camerlegno tahu saat ini mereka mungkin tidak mengerti, tetapi mereka nanti
akan mengerti. Ketika dia mengatakannya di hadapan mereka semua, mereka akan
memahaminya! Mendiang Paus adalah penipu paling keji yang pernah dikenal gereja.
Sang camerlegno masih ingat malam mengerikan itu. Dia baru saja kembali dari
perjalanannya mengunjungi CERN dan membawa berita tentang penciptaan alam
semesta karya Vetra dan kekuatan antimateri yang menakutkan itu. Sang camerlegno
yakin Paus bisa melihat kejahatan dalam penemuan ilmuwan itu, tapi Sri Paus
hanya melihat harapan dalam terobosan yang dibuat oleh Vetra. Dia bahkan
menyarankan agar Vatican mendanai penelitian Vetra sebagai isyarat niat baik
dari gereja agar dapat menciptakan spiritualitas yang berdasarkan pada
penelitian ilmiah. Ini gila! Gereja mendanai penelitian yang akan membuat gereja tampak ketinggalan
zaman" Karya yang menghasilkan senjata pemusnah massal" Bom yang telah membunuh
ibunya .... "Tetapi ... kamu tidak bisa!" seru sang camerlegno. "Aku berhutang
sangat besar kepada ilmu pengetahuan," jawab Paus. "Sesuatu yang sudah aku
sembunyikan sepanjang hidupku. Ilmu pengetahuan telah memberiku hadiah ketika
aku masih muda. Sebuah hadiah yang tidak pernah kulupakan."
"Aku tidak mengerti. Apa yang ditawarkan ilmu pengetahuan kepada hamba Tuhan?"
"Itu rumit," kata Paus. "Membutuhkan waktu yang lama untuk membuatmu mengerti.
Tetapi pertama-tama, ada fakta sederhana tentang diriku yang harus kamu ketahui.
Aku sudah menyimpan rahasia ini selama bertahun-tahun. Aku percaya inilah waktu
yang tepat untuk mengatakannya kepadamu."
Lalu Paus mengatakan kepadanya tentang kebenaran yang sangat mencengangkan itu.
132 SANG CAMERLEGNO BERBARING meringkuk di atas tanah di depan makam Santo Petrus.
Udara di Necropolis dingin, tetapi itu membuat darah yang mengalir dari luka
yang telah dibuatnya di tubuhnya sendiri, membeku. Sri Paus tidak akan
menemukannya di sini. Tidak seorang pun akan menemukannya di sini ....
"Itu rumit," suara Paus bergema di dalam benaknya. "Membutuhkan waktu yang lama
untuk membuatmu mengerti ...."
Tetapi sang camerlegno tahu tidak ada waktu tertentu yang dapat membuatnya
mengerti. Pembohong! Aku memercayaimu! TUHAN percaya padamu!
Dengan satu kalimat, Paus telah membuat dunia sang camerlegno hancur berantakan.
Semua yang pernah dipercaya sang camerlegno tentang mentornya itu telah hancur
berkepingkeping di depan matanya. Kebenaran itu menembus jantung sang camerlegno
dengan kekuatan yang membuatnya terhuyung-huyung ke belakang, kemudian
mendorongnya keluar dari Kantor Paus dan membuatnya muntah di koridor.
"Tunggu!" teriak Paus sambil mengejarnya. "Kumohon. Biarkan aku menjelaskannya!"
Tetapi sang camerlegno terus berlari. Bagaimana Sri Paus berharap dia bisa tahan
mendengarkan kebohongan ini" Oh, kebejatan yang luar biasa! Bagaimana kalau ada
orang lain yang mengetahuinya" Bayangkan bagaimana gereja akan ternoda
karenanya! Apakah sumpah suci Paus tidak berarti apa-apa"
Kegilaan itu datang dengan cepat, menderu-deru di telinganya sampai dia terjaga
di depan makam Santo Petrus. Saat itulah Tuhan datang kepadanya dengan ketegasan
yang mengagumkan. TUHANMU ADALAH TUHAN YANG PENUH DENDAM!
Bersama-sama, mereka membuat rencana. Bersama-sama, mereka akan melindungi
gereja. Bersama-sama, mereka akan memperbaiki iman di dunia yang dipenuhi dosa
ini. Kejahatan ada di mana-mana. Tapi dunia tidak menanggapinya! Bersamasama,
mereka akan menguak kegelapan agar dunia melihatnya ... dan Tuhan akan mengatasi
semuanya! Ketakutan dan harapan. Kemudian dunia akan percaya!
Ujian pertama dari Tuhan tidak terlalu menakutkan dibandingkan dengan apa yang
dibayangkan sang camerlegno. Dia menyelinap ke kamar tidur Paus ... mengisi
tabung suntiknya ... lalu menutup mulut pembohong itu ketika tubuhnya mengejang
sekarat. Di bawah sinar rembulan, sang camerlegno dapat melihat di mata Paus
yang sedang meregang nyawa kalau Yang Mulia ingin mengatakan sesuatu. Tetapi
terlambat. Paus sudah cukup berkata-kata.
133 "MENDIANG PAUS MEMILIKI seorang anak."
Di dalam Kapel Sistina sang camerlegno berdiri tidak bergerak ketika dia
berbicara. Lima kata itu terucap dan mengungkapkan kenyataan yang mencengangkan.
Kerumunan di hadapannya terlihat tersentak bersamaan. Para kardinal yang tadinya
menampakkan wajah yang menuduh kini berubah menjadi terguncang seolah mereka
semua berdoa agar kata-kata sang camerlegno tadi tidak benar. Mendiang Paus
memiliki seorang anak. Langdon juga tak kalah terkejut. Tangan Vittoria menjadi
kaku di dalam genggamannya, sementara Langdon masih tidak percaya akan apa yang
baru saja didengarnya tadi.
Kata-kata sang camerlegno tampak seperti menggantung di atas mereka. Bahkan di
mata sang camerlegno yang sekarang terlihat kalap, Langdon melihat kebenaran
yang sesungguhnya. Langdon ingin melarikan diri dan mengatakan pada dirinya
sendiri kalau dia sekarang sedang mengalami mimpi buruk yang aneh dan sebentar
lagi dia akan terjaga di dunia yang lebih masuk akal. "Itu pasti bohong!" salah
satu kardinal berteriak. "Aku tidak akan memercayainya!" yang lainnya protes.
"Mendiang Paus adalah orang yang sangat beriman sepanjang hidupnya!"
Mortatilah yang berbicara kemudian, suaranya terdengar tipis karena rasa sedih
yang dideritanya. "Teman-temanku, apa yang dikatakan sang camerlegno itu benar."
Semua kardinal di kapel itu berpaling seolah Mortati baru saja meneriakkan
sesuatu yang cabul. "Mendiang Paus memang memiliki seorang anak." Wajah para
kardinal menjadi pucat pasi. Sang camerlegno tampak terpaku. "Kamu tahu"
Tetapi ... bagaimana kamu bisa tahu tentang hal ini?" Mortati mendesah. "Ketika mendiang
Paus terpilih ... akulah yang menjadi Devil's Advocate." Semua orang menarik napas karena
terkejut. Langdon mengerti. Ini berarti informasi tersebut mungkin benar.
Skandal yang dimiliki seorang paus adalah hal yang berbahaya sehingga sebelum


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang kardinal terpilih, diadakan penyelidikan rahasia untuk mengetahui latar
belakang sang calon yang dilakukan oleh seorang kardinal yang bertindak sebagai
Devil's Advocate. Pejabat ini bertanggung jawab untuk menemukan alasan kenapa
seorang kardinal yang memenuhi syarat dianggap tidak bisa diangkat sebagai paus.
Pejabat ini dipilih oleh paus terdahulu sebelum beliau meninggal untuk
memastikan agar penggantinya nanti adalah orang yang bersih. Seorang Devil's
Advocate tidak boleh mengungkapkan identitasnya kepada siapa pun. Tidak pernah
boleh. "Aku adalah Devil's Advocate ketika itu," ulang Mortati. "Karena itulah aku
mengetahuinya." Semua mulut ternganga. Sepertinya malam ini adalah malam di mana semua peraturan
sudah tidak berlaku lagi.
Sang camerlegno merasa sangat marah. "Dan kamu ... tidak mengatakannya kepada
siapa-siapa?" "Aku menghujani mendiang Paus dengan berbagai pertanyaan," kata Mortati. "Dan
beliau mengakuinya. Beliau menceritakan semuanya dan hanya memintaku untuk
menggunakan hatiku untuk membimbingku dalam membuat keputusan apakah aku harus
mengungkapkannya atau tidak."
"Dan hatimu menyuruhmu untuk mengubur informasi tersebut?"
"Beliau adalah calon yang paling kami andalkan untuk menjadi paus. Masyarakat
mencintai beliau. Skandal itu akan sangat melukai gereja."
"Tetapi dia memiliki seorang anak! Dia melanggar sumpah sucinya untuk tetap
tidak menikah!" Sang camerlegno sekarang berteriak. Dia dapat mendengar suara
ibunya Janji kepada Tuhan adalah janji yang paling penting dari segalanya.
Jangan pernah melanggar janji kepada Tuhan. "Sri Paus melanggar sumpahnya!"
Mortati tampak resah. "Carlo, cinta beliau ... murni. Beliau tidak melanggar
sumpah apa pun. Memangnya beliau tidak menjelaskannya padamu?"
"Menjelaskan apa?" Sang camerlegno ingat ketika dia berlari keluar dari Kantor
Paus dan mentornya itu mengejarnya sambil berteriak. Biar aku jelaskan!
Dengan perlahan dan dipenuhi oleh kesedihan, Mortati membiarkan kisah itu
terbuka seluruhnya. Beberapa tahun silam, Paus, ketika masih sebagai pastor
biasa, jatuh cinta dengan seorang biarawati muda. Keduanya telah bersumpah untuk
tidak menikah dan sama sekali tidak pernah berniat untuk melanggar janji mereka
kepada Tuhan. Tapi, ketika cinta mereka semakin mendalam, walau mereka mampu
menahan godaan nafsu, mereka berdua sama-sama merindukan sesuatu yang belum
pernah mereka bayangkan sebelumnya: ikut berpartisipasi dalam keajaiban
penciptaan milik Tuhan - seorang anak. Anak mereka. Kerinduan itu, terutama di
dalam diri sang biarawati, semakin menjadi-jadi. Tapi, mereka tetap ingat janji
mereka kepada Tuhan. Satu tahun kemudian, ketika keputusasaan yang mereka
rasakan semakin memuncak, biarawati itu datang kepadanya dengan penuh rasa suka
cita. Dia baru saja membaca sebuah artikel tentang keajaiban baru di dunia ilmu
pengetahuan - proses di mana dua orang bisa memiliki anak tanpa harus berhubungan
seks. Biarawati itu merasa ini adalah pertanda dari Tuhan. Pastor itu juga dapat
melihat kebahagiaan di mata kekasihnya dan kemudian menyetujui gagasannya. Satu
tahun kemudian, biarawati itu memiliki anak melalui keajaiban inseminasi buatan.
"Itu tidak ... benar," kata sang camerlegno dengan rasa panik dan berharap itu
hanya reaksi yang dirasakannya dari suntikan morfin yang diterimanya tadi
sehingga membuatnya berhalusinasi. Tapi kata-kata yang didengarnya itu sangat
jelas. Air mata Mortati sekarang mengembang di matanya. "Carlo, karena itulah kenapa
mendiang Paus selalu mencintai ilmu pengetahuan. Dia merasa berhutang besar
kepadanya. Ilmu pengetahuan memberinya kesempatan untuk merasakan kegembiraan
menjadi seorang ayah tanpa melanggar sumpah sucinya. Mendiang Paus mengatakan
padaku beliau tidak menyesal, kecuali satu hal: kedudukannya yang tinggi di
gereja ini melarangnya untuk bersama-sama dengan perempuan yang dicintainya dan
melihat bayinya tumbuh besar."
Camerlegno Carlo Ventresca merasa kemarahannya mulai muncul lagi. Dia sangat
ingin mencakari tubuhnya sendiri. Bagaimana aku tidak mengetahuinya" "Sri Paus
tidak berdosa, Carlo. Beliau suci." "Tetapi ...." Sang camerlegno mencari alasan
yang masuk akal di dalam pikirannya yang sudah dipenuhi oleh kemarahan.
"Pikirkan risiko ... akibat perbuatannya itu." Suaranya menjadi lemah.
"Bagaimana kalau perempuan jalang itu muncul" Atau, oh jangan sampai terjadi,
anaknya muncul" Bayangkan rasa malu yang harus diderita oleh gereja."
Suara Mortati bergetar. "Anak itu sudah muncul ke hadapan umum." Semuanya
berhenti. Mortati berkata dengan hati hancur. "Carlo ..." Anak
mendiang Paus adalah ... kamu." Pada saat itu sang camerlegno dapat merasakan
api imannya meredup di dalam hatinya. Dia berdiri gemetar di atas altar,
dibingkai oleh lukisan Pengadilan Terakhir, karya Michelangelo yang menjulang
tinggi. Dia tahu dia sudah berada di bibir neraka sekarang. Dia membuka mulut
untuk berbicara, tapi bibirnya gemetar dan tidak mampu untuk mengucapkan apaapa. "Tidakkah kamu memahaminya?" suara Mortati tercekat. "Karena itulah mendiang
Paus datang menjengukmu di rumah sakit di Palermo ketika kamu masih anak-anak.
Karena itulah beliau mengambilmu dan membesarkanmu. Biarawati yang dicintainya
adalah Maria ... ibumu. Ibumu meninggalkan biara untuk membesarkanmu, tetapi
ibumu tidak pernah meninggalkan pengabdiannya kepada Tuhan. Ketika Paus
mendengar ibumu telah meninggal dunia dalam ledakan bom itu, dan kamu, putranya,
secara ajaib selamat dari peristiwa mengerikan itu ... beliau bersumpah kepada
Tuhan tidak akan meninggalkanmu sendirian lagi. Carlo, kedua orang tuamu masih
suci. Mereka tetap berpegang teguh pada sumpah mereka kepada Tuhan. Namun mereka
menemukan cara untuk melahirkanmu ke dunia. Kamu adalah anak ajaib mereka."
Sang camerlegno menutup telinganya, berusaha untuk menghalangi kata-kata itu
agar tidak masuk ke telinganya. Dia berdiri lemas di atas altar. Lalu, dengan
dunia yang terasa ambruk di bawah kakinya, dia jatuh berlutut dan mengeluarkan
teriakan yang sangat menyedihkan.
Detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam. Waktu seperti telah kehilangan
artinya di dalam ruangan Kapel Sistina. Vittoria merasa dirinya berhasil keluar
dari kebekuan yang seolah membelenggu semua orang di dalam ruangan ini. Dia
kemudian melepaskan tangannya dari genggaman Langdon dan mulai menyibak
kerumunan kardinal di sekitarnya. Pintu kapel serasa bermil-mil jauhnya, dan dia
merasa seperti bergerak di bawah air ... gerakannya menjadi berat dan lambat.
Ketika Vittoria berjalan di antara jubah-jubah para kardinal yang berdiri di
dalam Kapel Sistina, gerakannya itu seperti membangunkan mereka dari mimpi buruk
ini. Beberapa orang kardinal mulai berdoa. Yang lainnya menangis. Beberapa di antaranya menoleh dan hanya menatap kosong ke arah
Vittoria yang bergerak meninggalkan mereka. Tapi keterkejutan mereka akibat
kata-kata yang diucapkan Mortati tadi mulai menguap ketika mereka melihat
Vittoria mendekati pintu. Dia hampir sampai ke ujung kerumunan itu ketika sebuah
tangan menangkap lengannya. Sentuhannya lemah tapi tegas. Vittoria berpaling dan
berhadapan dengan seorang kardinal tua berwajah keriput. Wajahnya masih
dibayangi oleh ketakutan. "Jangan," bisik kardinal tua itu. "Kamu tidak boleh."
Vittoria menatapnya dengan pandangan ragu-ragu. Kardinal yang lainnya kini juga
berada di sampingnya. "Kita harus berpikir sebelum bertindak." Dan yang lainnya lagi. "Keadaan yang
menyakitkan ini akan mengakibatkan ...."
Vittoria seperti dikepung oleh sekumpulan kakek-kakek yang mengenakan jubah. Dia
menatap ke arah mereka semua dan terpaku. "Tetapi semua yang terjadi di sini,
hari ini, malam ini ... tentu saja, semua orang harus mengetahui yang
sebenarnya." "Hatiku setuju," kata kardinal berwajah keriput itu sambil tetap memegang tangan
Vittoria, "tapi ini adalah kejadian yang tidak bisa diperbaiki dan diulang dari
awal lagi. Kita harus mempertimbangkan harapan orang lain yang akan hancur
karenanya. Rasa sinis yang kemudian berkembang. Bagaimana orang bisa percaya
lagi?" Tiba-tiba, para kardinal berdatangan dan menghalangi jalannya. Kini terlihat
tembok dari jubah hitam di hadapannya. "Dengarkan orang-orang yang berada di
lapangan itu," salah seorang berkata. "Pikirkan akibatnya bagi hati mereka" Kita
harus belajar untuk bersikap bijaksana."
"Kami perlu waktu untuk berpikir dan berdoa," yang lainnya berkata. "Kita harus
bertindak dengan perhitungan. Akibat dari ini semua ...."
"Dia membunuh ayahku!" kata Vittoria. "Dia membunuh ayahnya sendiri!"
"Aku yakin dia akan menanggung dosanya," kata kardinal yang memegangi tangan
Vittoria dengan sedih. Vittoria juga yakin begitu, dan dia berniat untuk memastikan agar sang
camerlegno benar-benar menanggung semua dosa-dosanya. Lalu dia mencoba bergerak
ke arah pintu lagi, tetapi para kardinal berkerumun dengan lebih rapat. Wajah
mereka dilingkupi oleh ketakutan.
"Apa yang akan kalian lakukan?" teriak Vittoria "Membunuhku?"
Sekumpulan lelaki tua itu langsung pucat pasi mendengar teriakan Vittoria
sehingga membuatnya menyesal karena bertindak kasar kepada mereka. Dia dapat
melihat kalau para kardinal itu berjiwa lembut. Mereka telah melihat cukup
banyak kekerasan malam ini. Mereka tidak berniat mengancamnya. Mereka hanya
terperangkap. Ketakutan, dan berusaha mendapatkan kekuatan untuk menghadapi
kenyataan ini. "Aku ingin ..." kata kardinal berwajah keriput itu dengan tergagap, "...
melakukan sesuatu yang benar."
"Kalau begitu, biarkan dia keluar," suara berat dari seorang lelaki dengan aksen
Amerika terdengar berkata di belakang Vittoria. Kata-kata itu tenang tetapi
tegas. Robert Langdon kemudian tiba di samping Vittoria, dan putri Leonardo
Vetra itu merasa tangan lelaki itu menggenggam tangannya. "Nona Vetra dan aku
akan pergi dari kapel ini. Sekarang." Dengan ragu-ragu, para kardinal itu mulai
melangkah menepi. "Tunggu!" seru Mortati. Dia sekarang bergerak ke arah mereka, berjalan
dengan tenang di gang utama dan meninggalkan sang camerlegno yang sedang
terpuruk sendirian di altar. Tiba-tiba saja Mortati tampak letih dan lebih tua
dari usia sesungguhnya. Gerakannya terbebani oleh rasa malu yang dirasakannya.
Ketika dia tiba di samping Vittoria, dia meletakkan kedua tangannya di atas bahu
Langdon dan bahu Vittoria. Vittoria merasakan ketulusan dalam sentuhan itu. Mata
lelaki tua itu semakin basah oleh airmata.
"Tentu saja kalian bebas untuk pergi," kata Mortati. "Tentu saja." Lelaki itu
berhenti sejenak karena tidak mampu menyembunyikan dukanya. "Aku hanya meminta
ini ...." Dia lalu menatap ke lantai untuk beberapa saat, kemudian mendongak
kembali dan menatap Vittoria dan Langdon. "Biarkan aku yang melakukannya. Aku
akan pergi ke Lapangan Santo Petrus sekarang dan mencari jalan keluar. Aku akan
mengatakannya kepada mereka. Aku tidak tahu bagaimana caranya ... tetapi aku
akan menemukannya. Pengakuan gereja harus datang dari dalam. Seharusnya kami
yang mengungkapkan kegagalan kami sendiri."
Mortati berpaling dengan wajah sedih ke altar. "Carlo, kamu telah membuat gereja
berada dalam bahaya." Mortati berhenti kemudian melihat ke sekelilingnya. Altar
itu sudah kosong. Terdengar suara gemersik kain di gang yang terdapat di sisi dinding, kemudian
terdengar bunyi pintu yang terkunci. Sang camerlegno sudah pergi.
134 JUBAH PUTIH CAMERLEGNO Ventresca berkibar-kibar ketika dia berjalan di sepanjang
koridor saat meninggalkan Kapel Sistina. Garda Swiss yang menjaga tampak terpaku
ketika sang camerlegno keluar sendirian dari kapel, tapi lelaki itu mengatakan
kepada mereka kalau dirinya ingin sendirian saja. Mereka mematuhinya dan
membiarkannya pergi. Sekarang, ketika sang camerlegno membelok di sudut, dan menghilang dari
pandangan para Garda Swiss, dia merasakan berbagai emosi yang tidak mungkin
dialami oleh orang kebanyakan. Dia telah meracuni seseorang yang dia panggil
"bapa suci", orang yang memanggilnya "anakku". Sang camerlegno selalu percaya
kalau kata "bapa" dan "anak" adalah bagian dari tradisi yang religius, tapi kini
dia mengetahui kenyataan yang kejam - kata-kata itu juga bermakna harfiah baginya.
Seperti malam yang dipenuhi oleh peristiwa yang mengerikan beberapa minggu yang
lalu, sang camerlegno kini kembali merasakan kemarahan yang luar biasa ketika
menyusuri kegelapan. Saat itu adalah pagi yang dihiasi hujan ketika seorang
pegawai Vatican menggedor pintu sang camerlegno untuk membangunkannya dari
tidurnya yang dipenuhi dengan kegelisahan. Mereka berkata Sri Paus tidak
menjawab ketukan di pintu kamarnya maupun mengangkat telepon di ruang tidurnya.
Pastor itu ketakutan. Sang camerlegno adalah satusatunya orang yang boleh
memasuki kamar Paus tanpa izin khusus.
Sang camerlegno sendiri yang masuk ke kamar Paus dan menemukannya terbujur kaku
di atas tempat tidurnya seperti ketika dia meninggalkannya pada malam
sebelumnya. Wajah Sri Paus terlihat seperti setan. Lidahnya menghitam seperti
kematian itu sendiri. Sepertinya iblis sendiri yang tidur di pembaringan Paus.
Sang camerlegno tidak merasa menyesal. Tuhan telah berbicara.
Tidak seorang pun dapat melihat pengkhianatan itu ... belum. Itu akan muncul
nanti. Lalu dia mengumumkan berita menyedihkan itu: Sri Paus wafat karena stroke. Sang
camerlegno kemudian mempersiapkan rapat pemilihan paus.
Suara Bunda Maria berbisik di telinganya. "Jangan pernah
mengingkari janji kepada Tuhan." "Aku mendengarmu, Bunda," jawabnya. "Ini adalah
dunia tanpa iman. Mereka harus dibawa kembali ke jalan kebenaran. Ketakutan dan
harapan. Itu satu-satunya jalan."
"Ya," sahut Bunda Maria, "jika bukan kamu ... lalu siapa" Siapa yang akan
memimpin gereja keluar dari kegelapan?"
Jelas bukan salah satu dari preferiti itu. Mereka sudah tua ... sebentar lagi
meninggal ... orang-orang liberal yang akan mengikuti jejak mendiang Paus,
mendukung ilmu pengetahuan, mencari pengikut dari kelompok modern dengan
mengabaikan cara-cara kuno. Orang-orang tua yang ketinggalan zaman dan berpurapura kalau mereka tidak demikian. Mereka tentu saja akan gagal. Kekuatan gereja
adalah pada tradisi yang dimilikinya, bukan orang yang berada di dalamnya. Dunia
tidak kekal. Gereja tidak perlu berubah, gereja hanya harus mengingatkan kepada
dunia kalau institusi ini masih relevan! Kejahatan masih berkeliaran! Tuhan akan
menghadapinya! Gereja membutuhkan seorang pemimpin. Orang tua tidak memberikan inspirasi! Yesus
memberikan inspirasi! Muda, bersemangat, kuat ... AJAIB. "Nikmati teh Anda,"
kata sang camerlegno pada keempat preferiti itu ketika menjamu mereka di ruang
perpustakaan pribadi Paus sebelum acara rapat dimulai. "Pemandu Anda akan segera
datang." Para preferiti itu berterima kasih kepadanya untuk semua kesempatan yang
ditawarkan kepada mereka seperti kesempatan memasuki Passetto yang terkenal itu.
Sangat luar biasa! Sang camerlegno, sebelum meninggalkan mereka di ruang
perpustakaan, telah membuka pintu ke Passetto. Kemudian, tepat pada waktu yang
telah dijadwalkan, pintu itu terbuka. Seorang pastor berwajah asing dengan obor
di tangan kemudian mengantar preferiti yang gembira itu untuk memasuki Passetto.
Orang-orang itu tidak pernah keluar lagi dari situ. Mereka akan membawa
ketakutan. Sedangkan aku akan memberikan harapan.
Tidak ... akulah ketakutan itu.
Sang camerlegno sekarang berjalan terhuyung-huyung di dalam kegelapan Basilika
Santo Petrus. Bahkan ketika tenggelam dalam kegilaan dan perasaan bersalah,
dihantui oleh bayangan ayahnya sendiri, merasakan kesedihan dan menerima
pengungkapan yang begitu mengejutkan, dan dipengaruhi oleh morfin ... dia
menemukan kejelasan yang cemerlang. Perasaan kalau dia tahu takdirnya. Aku tahu
tujuanku, katanya dalam hati dan merasa terpesona dengan kejernihan yang
dirasakannya itu. Sejak awal, semua kejadian yang terjadi malam ini tidak ada yang berjalan sesuai
rencana. Halangan-halangan yang tidak terduga muncul tanpa diduga-duga, tapi
sang camerlegno berhasil menyesuaikan diri dan membuat penyesuaian yang berani.
Meskipun demikian, dia tidak pernah membayangkan malam ini akan berakhir seperti
ini, tapi kini dia melihat keagungan di balik itu. Ini harus diakhiri dengan
cemerlang juga. Oh, betapa dia merasa begitu ketakutan ketika berada di Kapel
Sistina tadi karena merasa seperti Tuhan telah mengabaikannya! Oh, tindakan yang
telah ditakdirkan-Nya! Sang camerlegno jatuh berlutut dan diselimuti kebimbangan
sementara telinganya menanti-nanti suara Tuhan. Tetapi dia hanya mendengar
kesunyian. Dia memohon untuk diberi sebuah tanda. Petunjuk. Pengarahan. Apakah
ini yang dikehendaki Tuhan" Gereja dihancurkan oleh skandal dan kebencian"
Tidak! Tuhan-lah satu-satunya yang menakdirkan sang camerlegno untuk bertindak!
Begitu, bukan" Kemudian dia melihatnya sedang duduk di altar. Sebuah tanda. Komunikasi suci.
Sesuatu yang biasa terlihat dalam sinar yang tidak biasa. Salib sederhana dari
kayu. Yesus yang sedang disalib. Pada saat itu, semuanya menjadi jelas ... sang
camerlegno tidak sendirian. Dia tidak pernah sendirian. Ini kehendak-Nya ...
Maksud-Nya. Tuhan selalu meminta pengorbanan besar dari mereka yang sangat
dicintai-Nya. Mengapa sang camerlegno begitu lambat untuk memahaminya" Apakah
dia terlalu ketakutan" Terlalu rendah diri" Semuanya itu tidak masalah. Tuhan
selalu menemukan cara untuk merengkuhnya. Sekarang sang camerlegno mengerti
kenapa Robert Langdon telah diselamatkan. Dia selamat untuk membawa kebenaran.
Untuk mempercepat akhir dari pengorbanan ini. Ini adalah satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan gereja! Sang camerlegno merasa seperti melayang ketika dia


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuruni tangga yang menuju ke Niche of the Palliums. Pengaruh morfin itu terasa
semakin menguat, tetapi dia tahu Tuhan sedang mengarahkannya.
Dari kejauhan, dia dapat mendengar para kardinal berteriak teriak kebingungan
ketika menghambur keluar dari kapel dan memberikan perintah kepada Garda Swiss.
Tetapi mereka tidak akan menemukannya. Tidak tepat pada waktunya.
Sang camerlegno merasa dirinya hanyut ... lebih cepat ... menuruni tangga menuju
ke lantai cekung yang diterangi oleh 99 lampu minyak yang bersinar terang. Tuhan
sedang mengembalikannya ke Tanah Suci. Sang camerlegno bergerak ke arah sarangan
penutup lubang yang menuju ke Necropolis. Di Necropolis itulah malam ini akan
berakhir. Dalam kegelapan yang suci di bawah tanah. Dia kemudian mengambil
sebuah lampu minyak dan bersiap untuk turun.
Tetapi ketika dia mulai bergerak menyeberangi ruangan itu, sang camerlegno
berhenti sejenak. Ada yang salah tentang hal ini. Bagaimana ini bisa menunjukkan
pengabdiannya kepada Tuhan" Akhir yang sunyi dan sendirian" Yesus menderita di
depan mata semua orang. Pasti ini bukan kehendak Tuhan! Sang camerlegno berusaha
mendengarkan suara Tuhan, tapi yang didengarnya hanya dengung samar dari
pengaruh obat yang diterimanya tadi.
"Carlo," Itu suara ibunya. "Tuhan mempunyai rencana
untukmu." Dengan bingung, sang camerlegno terus berjalan. Kemudian tiba-tiba,
Tuhan datang. Sang camerlegno tersentak berhenti, dan menatap dengan pandangan
terkejut. Cahaya dari 99 lampu minyak itu membuat bayangan sang camerlegno
terpantul di dinding pualam di sampingnya. Besar dan menakutkan. Sesosok buram
itu dikelilingi oleh cahaya keemasan di sekitarnya. Dengan nyala api yang
berpendar di sekelilingnya, sang camerlegno tampak seperti malaikat yang turun
dari surga. Dia berdiri sesaat, kemudian mengembangkan lengannya dan
memerhatikan bayangannya sendiri. Lalu dia berputar dan menatap kembali ke atas.
Maksud Tuhan sangat jelas. Tiga menit telah berlalu di koridor yang hiruk-pikuk
di luar Kapel Sistina, tapi tidak ada seorang pun yang bisa menemukan sang
camerlegno. Seolah lelaki itu hilang tertelan malam. Mortati baru saja hendak
memerintahkan pencarian di seluruh Vatican City ketika terdengar suara sorak
sorai dari Lapangan Santo Petrus. Suasana perayaan spontan yang muncul dalam
kerumunan itu begitu riuh. Para kardinal saling bertatapan. Mortati memejamkan
matanya. "Tuhan, tolong kami." Untuk kedua kalinya pada malam ini, Dewan
Kardinal membanjir ke Lapangan Santo Petrus. Langdon dan Vittoria terseret
bersama iring-iringan kardinal yang menghambur ke luar. Lampu kamera dari
seluruh media merekam ke bagian depan Basilika Santo Petrus. Dan di sana, baru
saja melangkah ke luar untuk menuju ke Balkon Kepausan yang terletak di tepat di
tengah-tengah bagian depan Basilika Santo Petrus yang menjulang itu, Camerlegno
Carlo Ventresca berdiri dengan kedua lengan terangkat ke langit. Dari kejauhan,
dia terlihat mirip dengan penjelmaan suci. Sesosok tubuh dengan baju berwarna
putih yang disirami oleh cahaya lampu.
Energi di lapangan itu tampak meningkat seperti ombak pasang sehingga membuat
barisan Garda Swiss yang memagari bagian depan gereja kewalahan. Massa mengalir
ke arah Basilika Santo Petrus dalam kegembiraan atas kemenangan umat manusia.
Orang-orang menangis, bernyanyi, kamera media berkilat-kilat. Semuanya kacau
balau. Ketika orang-orang membanjiri bagian depan Basilika Santo Petrus,
kehebohan ini terus menguat seperti tidak seorang pun yang mampu
menghentikannya. Dan kemudian, sesuatu menghentikannya. Tinggi di atas atap,
sang camerlegno membuat isyarat kecil. Dia melipat tangannya di dadanya. Lalu
dia menundukkan kepalanya dan berdoa lirih. Satu demi satu, orang-orang itu
menundukkan kepala bersamanya.
Lapangan itu menjadi sunyi ... seolah sebuah mantera telah diucapkan.
Di dalam kepalanya yang kini terasa semakin pusing, doa sang camerlegno adalah
gelombang harapan dan penderitaan ... maafkan aku, Bapa ... Bunda ... dengan
segala hormat ... kalian adalah gereja ... semoga kalian mengerti pengorbanan
dari anakmu satu-satunya.
Oh, Yesusku ... selamatkan kami dari api neraka ... bawa semua jiwa ini ke
surga, terutama mereka yang sangat membutuhkan belas kasihmu ....
Sang camerlegno tidak membuka matanya untuk melihat kerumunan massa di bawahnya
yang berkumpul bersama-sama dengan kamera televisi dan seluruh dunia yang
menyaksikannya. Dia dapat merasakannya di dalam jiwanya. Bahkan dalam
kesedihannya yang mendalam, kebersamaan yang terjadi pada saat itu begitu luar
biasa. Seolah hubungan kebersamaan antar umat manusia telah menyebar ke seluruh
penjuru dunia. Di depan televisi, di rumah, di mobil, seluruh dunia sama-sama
berdoa. Seperti aliran darah yang dipompa oleh sebuah jantung raksasa, semua
orang berusaha meraih Tuhan dengan mengucapkan doa dalam berbagai bahasa dan
tersebar di ratusan negara. Kata-kata yang mereka bisikkan adalah hal yang baru
tapi sudah tidak asing lagi ... kebenaran yang kuno ... terpatri di dalam hati.
Kebersamaan itu terasa abadi. Ketika keheningan terangkat, nada-nada kegembiraan
dari nyanyian mulai terdengar lagi dari mulut mereka. Sang camerlegno tahu saat itu
telah tiba. Tritunggal yang Tersuci, aku persembahkan tubuh, darah, dan jiwa
yang paling berharga ini ... sebagai perbaikan bagi kemurkaan, pelanggaran dan
pengabaian .... Sang camerlegno mulai merasakan rasa sakit di dalam tubuhnya. Rasa sakit itu
menyebar ke seluruh kulitnya seperti wabah pes sehingga membuatnya ingin
mencakari tubuhnya sendiri seperti yang dilakukan seminggu yang lalu ketika
Tuhan untuk pertama kalinya datang kepadanya. Jangan lupakan rasa sakit yang
diderita Yesus. Dia dapat merasakan aromanya sekarang di dalam tenggorokannya.
Bahkan morfin pun tidak dapat mematikan rasa sakit itu. Tugasku di sini sudah
selesai. Ketakutan adalah miliknya. Harapan adalah milik mereka. Di dalam Niche
of the Palliums, sang camerlegno mengikuti kehendak Tuhan dan melumuri tubuhnya,
rambutnya, wajahnya, dan jubah linennya dengan minyak suci. Sekarang dia basah
kuyup karena minyak dari lampu suci yang membuat Niche of the Palliums terang
benderang. Aromanya wangi seperti ibunya, tetapi mudah terbakar. Ini akan
menjadi kenaikan yang penuh kasih. Ajaib dan cepat. Dan dia tidak akan
meninggalkan skandal ... tetapi kekuatan baru dan kekaguman.
Dia memasukkan tangannya ke dalam saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah pemantik
emas yang dibawanya dari Pallium incendiario.
Dia membisikkan ayat Pengadilan. Dan ketika api menyala ke arah surga, malaikat
Tuhan akan naik bersama api itu. Ibu jarinya tinggal menekan pemantik itu.
Mereka masih bernyanyi di Lapangan Santo Petrus .... Malam itu, pemandangan yang
disaksikan dunia tidak akan
pernah mereka lupakan. Tinggi di atas balkon, seperti jiwa yang membebaskan diri
dari penjara tubuhnya, cahaya api muncul dari tubuh sang camerlegno. Api itu
meluncur ke atas dan dengan cepat membungkus tubuhnya. Dia tidak menjerit. Dia
mengangkat tangannya dan menatap ke arah surga. Kobaran api itu menyelimutinya
secara keseluruhan sehingga membentuk pilar cahaya. Api itu mengamuk seperti
tidak akan pernah padam. Seluruh dunia menyaksikannya. Sinar itu menyala lebih
terang lagi. Lalu sedikit demi sedikit, api itu padam. Sang camerlegno
menghilang. Apakah dia terjatuh di balik bingkai pintu atau menguap bersama
udara tipis di sekitarnya, sulit untuk diketahui. Yang tersisa hanyalah awan
asap yang berputar ke angkasa di atas Vatican City.
135 FAJAR MUNCUL TERLAMBAT di Roma.
Hujan lebat yang datang lebih awal seperti mengusir kerumunan di Lapangan Santo
Petrus. Tapi media masih bertahan di lapangan itu. Mereka berkerumun di bawah
payung dan di dalam van sambil mengomentari kejadian malam tadi. Di seluruh
dunia, gereja-gereja dipenuhi oleh jemaat. Ini adalah saat yang tepat untuk
merenung dan berdiskusi ... bagi semua agama. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan,
tapi jawabannya hanya memberikan pernyataan yang lebih mendalam lagi. Sejauh ini
Vatican tetap diam dan tidak mengeluarkan pernyataan apa pun.
Jauh di bawah Gua Vatican, Kardinal Mortati berlutut di depan sebuah sarkofagus
yang terbuka. Dia mengulurkan tangannya dan menutup mulut Sri Paus yang terbuka.
Bapa Suci kini terlihat tenang dalam istirahat abadinya.
Di dekat kaki Mortati tergeletak sebuah guci emas yang berat karena berisi abu.
Mortati telah mengumpulkan abu itu sendiri dan membawanya ke sini. "Kesempatan
untuk minta maaf," katanya kepada mendiang Paus sambil meletakkan guci itu di
samping tubuh Paus yang terbaring di dalam sarkofagus. "Tidak ada cinta yang
lebih besar daripada cinta ayah kepada anak lelakinya." Mortati menyembunyikan
guci itu di balik jubah kepausan yang dikenakan mendiang Paus agar tidak
terlihat orang lain. Dia tahu gua suci ini hanya diperuntukkan bagi peninggalanpeninggalan paus, tetapi Mortati merasa apa yang dilakukannya ini layak saja.
"Signore?" seseorang memanggilnya ketika memasuki gua itu. Suara itu adalah
milik Letnan Chartrand. Dia ditemani oleh tiga orang Garda Swiss. "Mereka siap
dan menunggu Anda untuk meneruskan rapat pemilihan paus."
Mortati mengangguk. "Sebentar lagi." Dia lalu menatap sekali lagi ke dalam
sarkofagus di depannya. Kemudian dia berdiri. Mortati berpaling ke arah para
penjaga yang menemuinya itu. "Sekarang sudah waktunya bagi Sri Paus untuk
mendapatkan kedamaian yang pantas untuk dimilikinya."
Para penjaga itu berjalan ke depan dan dengan mengerahkan seluruh tenaga, mereka
mendorong tutup sarkofagus Paus agar kembali ke tempatnya. Dengan suara
bergemuruh akhirnya sarkofagus itu tertutup.
Mortati berjalan sendirian ketika melintasi Borgia Courtyard menuju Kapel
Sistina. Angin lembab meniup jubahnya. Seorang kardinal muncul dari Istana
Apostolik dan berjalan bersamanya.
"Bolehkah saya mendapat kehormatan untuk menemani Anda menuju tempat rapat,
signore?" "Kehormatan itu ada padaku." "Signore," kata kardinal itu, wajahnya
menyiratkan kesusahan dalam hatinya. "Dewan Kardinal harus minta maaf kepada
Anda kemarin malam. Kami dibutakan oleh - "
"Kumohon," jawab Mortati. "Pikiran kita kadang-kadang melihat apa yang
diinginkan hati kita agar terwujud."
Kardinal itu terdiam untuk beberapa saat. Akhirnya dia berkata lagi. "Anda sudah
diberi tahu" Anda bukan Great Elector kami lagi."
Mortati tersenyum. "Ya. Aku berterima kasih untuk berkat
kecil itu." "Dewan Kardinal memutuskan Anda termasuk yang
memenuhi syarat." "Tampaknya kebaikan hati tidak pernah mati di gereja." "Anda
orang yang bijaksana. Anda akan memimpin kami
dengan baik." "Aku sudah tua. Aku akan memimpin dengan singkat." Mereka berdua
tertawa. Ketika mereka tiba di ujung Borgia Courtyard, kardinal itu ragu-ragu.
Dia berpaling ke arah Mortati dengan wajah yang masih digayuti oleh pikiran yang
mengganggunya. Sepertinya kejadian mengejutkan tadi malam muncul kembali ke
dalam pikirannya. "Tahukah Anda?" bisik kardinal itu. "Kami tidak menemukan apa-apa di balkon."
Mortati tersenyum. "Mungkin hujan telah membasuh lantai balkon hingga bersih."
Lelaki itu menatap langit yang berawan di atasnya. "Ya. Mungkin ...."
136 LANGIT PAGI MENJELANG siang itu masih digayuti awan tebal ketika cerobong asap
di Kapel Sistina mengeluarkan kepulan asap putih yang tipis. Gumpalan itu
bergulung ke atas, ke arah awan, lalu semakin menghilang ditelan angin.
Jauh di bawahnya, di Lapangan Santo Petrus, wartawan Gunther Glick
menyaksikannya dengan diam. Bab terakhir ....
Chinita Macri mendekatinya dari belakang dan mengangkat kameranya ke atas
bahunya. "Sudah waktunya," katanya.
Glick mengangguk dengan muram. Dia berpaling ke arah Macri sambil melicinkan
rambutnya, dan menarik napas panjang. Siaranku yang terakhir, pikirnya.
Kerumunan kecil telah terbentuk di sekitarnya untuk menontonnya.
"Siaran langsung dalam enam detik," kata Macri memberitahu.
Glick menengok sekilas ke arah atap Kapel Sistina di belakangnya. "Kamu dapat
asapnya?" Dengan sabar Macri mengangguk. "Aku tahu bagaimana membingkai sebuah obyek
bidikan, Gunther." Glick merasa bodoh. Tentu saja Macri tahu. Prestasi Macri di belakang kamera
kemarin malam mungkin akan memberinya hadiah Pulitzer. Sementara prestasinya
sendiri ... Glick tidak mau memikirkannya. Dia yakin BBC akan memecatnya. Tidak
diragukan lagi, mereka akan mendapatkan masalah hukum dari sejumlah orang
penting ... CERN dan George Bush, di antaranya.
"Kamu kelihatan bagus," kata Chinita memberikan dukungan bagi rekannya sambil
berhenti membidikkan kameranya dan menunjukkan wajah yang prihatin. "Aku
bertanya-tanya apakah aku boleh memberimu ...." Dia ragu-ragu untuk
menyelesaikan kalimatnya. "Beberapa nasihat?" Macri mendesah. "Aku hanya ingin
bilang kamu tidak usah mengakhiri liputan ini dengan kehebohan lagi." "Aku tahu," katanya. "Kamu mau
liputan yang singkat, ya 'kan?" "Yang paling singkat dalam sejarah penyiaran. Aku percaya
kepadamu." Glick tersenyum. Liputan yang singkat" Apa dia sudah gila" Berita
tentang kejadian seperti tadi malam membutuhkan lebih dari sekadar liputan akhir
yang singkat. Sebuah tambahan yang hebat dan mengejutkan. Informasi berharga
yang akan mengagetkan semua orang.
Untunglah, Glick mempunyai rencana tersendiri di dalam benaknya .... "Kamu mulai
dalam ... lima ... empat ... tiga ...." Ketika Chinita Macri membidik melalui
lensa kameranya, dia seperti melihat kilatan penuh arti di mata Glick. Aku pasti
sudah gila karena membiarkannya melakukan ini, pikir Macri. Apa yang kupikirkan"
Tetapi dia tidak mungkin mengulang jalannya waktu. Mereka sudah siaran.
"Langsung dari Vatican City," kata Glick melaporkan setelah diberi isyarat oleh
Macri, "saya Gunther Glick melaporkan." Dia menatap kamera dengan santun ketika
asap putih membubung di belakangnya dari cerobong asap Kapel Sistina. "Para
pemirsa yang terhormat, kami mendapatkan berita resmi. Kardinal Saviero Mortati,
seseorang yang berpandangan progresif berusia 79 tahun, baru saja terpilih
sebagai paus di Vatican City. Walau beliau adalah orang yang tidak dijagokan
sebelumnya, tapi Mortati terpilih dengan suara bulat oleh seluruh anggota Dewan
Kardinal. Sebuah kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya di Vatican."
Ketika Macri menatapnya dari balik lensa kameranya, dia mulai bernapas dengan
lega. Entah kenapa hari ini Glick terlihat profesional. Walau tampak tegang,
untuk pertama kalinya dalam kehidupan Glick, dia benar-benar terlihat dan
terdengar seperti seorang pembaca berita sungguhan.
"Dan seperti yang telah kami laporkan sebelumnya," tambah Glick dengan sempurna,
suaranya terdengar semakin bersungguh-sungguh. "Vatican belum juga memberikan
pernyataan apa pun tentang kejadian mencengangkan yang terjadi kemarin malam."
Bagus. Kepanikan Chinita semakin berkurang. Sejauh ini, baik-baik saja.
Air muka Glick menjadi muram sekarang. "Walaupun kemarin malam adalah malam
penuh dengan keajaiban, malam itu juga menjadi malam yang dipenuhi dengan
tragedi. Empat orang kardinal tewas dalam konflik yang terjadi kemarin malam,
bersama dengan Komandan Olivetti dan Kapten Rocher dari Garda Swiss. Keduanya
tewas ketika melaksanakan tugas. Korban lainnya adalah Leonardo Vetra, ahli
fisika ternama dan perintis teknologi antimateri dari CERN, dan Maximilian
Kohler, Direktur CERN, yang tampaknya datang ke Vatican City untuk memberikan
bantuan, tetapi dilaporkan meninggal dalam usahanya tersebut. Tidak ada laporan
resmi tentang kematian Pak Kohler, tetapi diperkirakan kematiannya itu
disebabkan karena komplikasi penyakit yang sudah lama dideritanya.."
Macri mengangguk. Laporan itu berjalan dengan sempurna. Tepat seperti yang
mereka diskusikan sebelumnya.
"Dan akibat dari peristiwa ledakan di angkasa Vatican City kemarin malam,
teknologi antimateri CERN menjadi topik panas di antara para ilmuwan. Teknologi
tersebut membangkitkan kegembiraan yang luar biasa sekaligus memicu kontroversi.
Pernyataan yang dibacakan oleh asisten Pak Kohler, Sylvie Baudeloque, di Jenewa
pagi ini mengatakan bahwa dewan direksi CERN, walau sangat bersemangat
menanggapi potensi antimateri tersebut, telah menghentikan semua penelitian dan
lisensi sampai penyelidikan lebih lanjut mengenai keamanan teknologi itu dapat
diuji." Bagus sekali, pikir Macri. Ringkas dan tepat. "Yang tidak muncul dalam
laporan kami tadi malam," Glick masih melaporkan, "adalah wajah Robert Langdon,
dosen dari Harvard yang datang ke Vatican City kemarin untuk menyumbangkan
keahliannya selama krisis Illuminati berlangsung. Walau pada awalnya dia diduga
tewas dalam ledakan antimateri, kini kami mendapatkan laporan bahwa Langdon
terlihat berada di Lapangan Santo Petrus beberapa saat setelah ledakan itu
terjadi. Bagaimana dia dapat berada di sana, masih menjadi spekulasi. Juru
bicara Rumah Sakit Tiberina menyatakan Pak Langdon jatuh dari langit ke Sungai
Tiber sesaat setelah tengah malam yang menakutkan itu. Mereka kemudian
merawatnya dan mengizinkannya pergi." Glick mengangkat alisnya ke arah kamera.
"Dan kalau itu memang benar ... tadi malam benar-benar menjadi malam yang penuh
dengan keajaiban." Akhir yang sempurna! Macri tersenyum lebar. Liputan
tanpa cela! Kini undurkan dirimu! Tetapi Glick tidak mengundurkan diri. Dia
malah berhenti sejenak dan kemudian melangkah ke arah kamera. Dia tersenyum
misterius. "Tetapi sebelum kami mengakhiri laporan kami ...." Jangan! "... saya
akan mengundang seorang tamu untuk bergabung
bersama saya." Tangan Chinita seperti membeku di kameranya. Seorang tamu" Apa
yang dilakukannya" Tamu apa" Sudahi liputan ini! Tetapi Macri tahu itu sudah
terlambat. Glick sudah berniat melakukan sesuatu.
"Orang yang saya akan perkenalkan ini," kata Glick, "adalah orang Amerika ...


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang ilmuwan ternama."
Chinita ragu-ragu. Dia menahan napasnya ketika Glick berpaling ke kerumunan
kecil di sekitar mereka dan memberi isyarat kepada tamunya itu untuk melangkah
maju. Macri berdoa dalam hati. Kumohon, katakan padaku, Glick kalau kamu
berhasil menemukan Robert Langdon ... dan bukan orang gila penggemar teori
konspirasi Illuminati. Tetapi ketika tamu Glick melangkah ke luar kerumunan, Macri merasa sangat
kecewa. Itu sama sekali bukan Robert Langdon. Lelaki itu botak, bercelana jeans
dan mengenakan kemeja flanel. Dia membawa tongkat dan berkacamata tebal. Macri
ketakutan. Orang gila itu!
"Izinkan saya memperkenalkan," kata Glick, "ahli Vatican ternama dari De Paul
University di Chicago, Dr. Joseph Vanek."
Macri sekarang merasa ragu-ragu ketika lelaki itu bergabung bersama Glick dalam
sorotan kameranya. Orang ini bukan penggemar teori konspirasi. Macri pernah
mendengar tentang dirinya.
"Dr. Vanek," kata Glick. "Saya dengar Anda memiliki informasi mengejutkan untuk
dibagikan kepada kami seputar rapat pemilihan paus tadi malam."
"Benar," kata Vanek. "Setelah melewati malam yang penuh dengan kejutan seperti
itu, sulit untuk membayangkan kalau ternyata masih ada satu kejutan lainnya ...
tapi ...." Dia berhenti sejenak. Glick tersenyum. "Tapi, ada sesuatu yang aneh
disini." Vanek mengangguk. "Ya. Ini sangat mencengangkan karena saya yakin Dewan
Kardinal tanpa sadar telah memilih dua paus malam ini." Macri hampir menjatuhkan
kameranya. Glick tersenyum penuh arti. "Dua orang paus, begitu?" Ilmuwan itu
mengangguk. "Ya! Pertama-tama saya ingin menyampaikan kalau saya sudah
menghabiskan seluruh hidup saya untuk mempelajari undang-undang yang mengatur
pemilihan paus. Pelaksanaan rapat pemilihan paus sangat rumit dan banyak
diantaranya kini sudah terlupakan atau diabaikan karena sudah dianggap kuno.
Bahkan pejabat Great Elector mungkin tidak menyadari apa yang akan saya katakan
ini. Walau demikian ... menurut sebuah undang-undang kuno yang sudah dilupakan
orang seperti yang tercantum dalam Romano Pontifici Eligendo, Numero 63 ...
pemungutan suara bukanlah satu-satunya cara untuk memilih seorang paus. Masih
ada cara lainnya yang lebih suci. Ini yang disebut 'Aklamasi yang Didasarkan
Oleh Kekaguman.'" Akademisi itu berhenti. "Dan itu terjadi tadi malam."
Glick menatap tamunya dengan lembut untuk memberikan dukungan. "Silakan,
lanjutkan." "Mungkin Anda ingat," ilmuwan itu melanjutkan, "tadi malam ketika Camerlegno
Carlo Ventresca sedang berdiri di atap gereja, semua kardinal di bawahnya mulai
menyerukan namanya bersama-sama." "Ya, saya ingat itu." "Dengan gambaran seperti
itu, izinkan saya membacakan kata demi kata undang-undang pemilihan yang sudah
kuno ini." Lelaki itu kemudian mengeluarkan beberapa lembar kertas dari sakunya.
Setelah berdehem, dia mulai membaca. "Pemilihan yang berdasarkan kepada
kekaguman terjadi ketika ... semua kardinal, seolah diilhami oleh Roh Kudus
sendiri, secara bebas dan spontan, dengan suara bulat dan keras, memanggil satu
nama." Glick tersenyum. "Jadi, Anda mengatakan bahwa kemarin malam, ketika para
kardinal menyerukan nama Carlo Ventresca secara bersama-sama, mereka sebenarnya
telah memilihnya sebagai paus?"
"Betul sekali. Terlebih lagi, hukum menyatakan bahwa hasil Pemilihan Berdasarkan
Kekaguman bisa mengalahkan para kardinal yang memenuhi syarat karena hukum ini
mengizinkan pastor dari tingkat apa pun, dari pastor biasa, uskup, atau
kardinal, untuk terpilih menjadi paus yang baru. Jadi, seperti yang Anda lihat,
sang camerlegno dianggap sah sebagai paus oleh undang-undang ini." Dr. Vanek
kemudian menatap lurus ke kamera. "Kenyataannya adalah ... Carlo Ventresca sudah
terpilih menjadi paus tadi malam. Sayangnya dia hanya memerintah selama tidak
lebih dari tujuh belas menit. Dan kalau dia tidak diangkat ke surga secara ajaib
dalam bentuk pilar api, dia kini pasti dikubur di Gua Vatican bersama-sama
dengan paus lainnya." "Terima kasih, doktor." Glick lalu berpaling pada Macri
dengan kedipan mata nakalnya. "Sangat mencerahkan ...."
137 TINGGI DI PUNCAK Koliseum Roma, Vittoria tertawa dan memanggil Robert yang masih
berada di bawah. "Robert, cepatlah! Aku tahu aku semestinya menikah dengan
lelaki yang lebih muda!" Senyuman perempuan itu begitu memesona.
Robert berjuang untuk mengimbanginya, tetapi kakinya terasa seperti terpaku.
"Tunggu," pintanya. "Kumohon ...." Kepalanya berdenyut-denyut. Robert Langdon
tersentak bangun. Kegelapan. Dia masih terus berbaring di atas pembaringan asing
yang lunak tanpa dapat membayangkan di mana dia berada saat itu. Bantalnya diisi
bulu angsa, berukuran sangat besar dan empuk. Di udara tercium aroma rangkaian
bunga kering yang harum. Di seberang ruangan, dua pintu kaca terbuka ke arah
balkon yang mewah di mana angin sepoi-sepoi bermain di antara sinar bulan yang
temaram. Langdon berusaha mengingat-ingat bagaimana dia dapat berada di sini ...
dan di mana dirinya sekarang.
Kenangan samar seperti mimpi menyelinap kembali ke dalam kesadarannya.
Gumpalan api mistis ... malaikat menjelma di antara kerumunan manusia ... tangan
perempuan itu menggandeng tangannya dan membawanya memasuki kegelapan malam ...
mengantar tubuhnya yang letih dan terluka melewati jalan-jalan kota Roma ...
membawanya ke sini ... ke kamar besar ini ... memandikannya dengan air
hangat ... kemudian membawanya ke tempat tidur ini ... dan menjaganya ketika
dirinya tertidur sangat pulas.
Sekarang dari keremangan yang menyelimuti ruangan itu, Langdon dapat melihat
tempat tidur kedua di sisi tempat tidurnya. Selimutnya berantakan dan tempat
tidur itu kosong. Dari salah satu ruangan tak jauh dari situ, samar-samar dia
dapat mendengar suara air pancuran.
Ketika dia melihat tempat tidur Vittoria, dia melihat sulaman besar di sarung
bantalnya. Bantal itu bertuliskan: HOTEL BERNINI. Langdon tertawa. Vittoria
memilih dengan baik. Kemewahan dunia masa lalu yang menghadap ke Air Mancur
Triton karya Bernini ... tidak ada hotel yang paling cocok di seluruh Roma
selain yang ini. Ketika Langdon berbaring di sana, dia mendengar suara ketukan pintu dan
menyadari apa yang telah membangunkannya tadi. Seseorang mengetuk pintunya. Dan
semakin keras sekarang. Dengan bingung, Langdon bangkit. Tidak ada yang tahu kami berada di sini,
pikirnya sambil merasa khawatir. Dia lalu mengenakan jubah mewah Hotel Bernini,
dan berjalan keluar dari ruang tidur untuk menuju ke serambi suite itu. Dia
berdiri terpaku di depan pintu yang terbuat dari kayu ek yang berat untuk
beberapa sesaat. Langdon kemudian menariknya hingga terbuka.
Seorang lelaki kuat yang mengenakan seragam Garda Swiss berwarna ungu dan kuning
keemasan memandangnya. "Saya Letnan Chartrand," kata lelaki itu. "Garda Swiss
Vatican." Langdon sangat tahu siapa lelaki ini. "Bagaimana ... bagaimana Anda tahu kalau
kami di sini?" "Saya melihat Anda meninggalkan lapangan tadi malam. Saya mengikuti Anda. Saya
merasa lega, Anda masih berada di sini."
Langdon tiba-tiba merasa cemas dan bertanya-tanya apakah para kardinal mengutus
Chartrand untuk mengawal Langdon dan Vittoria agar kembali ke Vatican City.
Lagipula, mereka berdua adalah pihak luar yang mengetahui apa yang sesungguhnya
terjadi selain Dewan Kardinal.
"Sri Paus meminta saya untuk memberikan ini kepada Anda," Chartrand berkata
sambil memberikan sebuah amplop yang tersegel dengan stempel Vatican. Langdon
membuka amplop itu dan membaca surat dengan tulisan tangan yang tertera di sana.
Pak Langdon dan Nona Vetra, Walau saya sangat memohon agar Anda berdua
merahasiakan apa yang terjadi selama 24 jam terakhir ini, saya tidak bisa
meminta lebih daripada yang sudah Anda berikan kepada kami. Oleh karena itulah
saya hanya bisa berharap agar Anda membiarkan hati Anda untuk membimbing Anda
mengenai masalah ini. Dunia terlihat menjadi tempat yang lebih baik hari ini ...
mungkin pertanyaan lebih kuat daripada jawaban. Pintuku selalu terbuka untuk
Anda. Yang Mulia Saverio Mortati.
Langdon membaca pesan itu dua kali. Dewan Kardinal jelas
telah memilih seorang pemimpin yang mulia dan berbudi luhur. Sebelum Langdon
dapat mengatakan apa-apa, Chartrand mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. "Tanda
ucapan terima kasih dari Sri Paus." Langdon menerima bungkusan itu. Bungkusan
itu berat dan terbungkus dengan kertas cokelat. "Menurut keputusan Sri Paus," Chartrand
berkata, "artifak ini dipinjamkan dalam waktu yang tidak terbatas kepada Anda
dari Ruang Penyimpanan Kepausan. Sri Paus hanya memohon agar dalam surat wasiat
Anda, Anda memastikan artifak ini dikembalikan ke tempatnya semula."
Langdon membuka bungkusan itu dan sangat terkejut sehingga kehilangan kata-kata.
Berlian Illuminati. Chartrand tersenyum. "Semoga kedamaian selalu bersama Anda." Dia kemudian
berniat untuk pergi. "Terima ... kasih," akhirnya Langdon dapat berkata. Tangannya gemetar ketika
memegang hadiah yang tak ternilai itu.
Penjaga itu terlihat ragu-ragu. "Pak Langdon, boleh saya bertanya sesuatu?"
"Tentu saja." "Teman-teman saya dan saya juga ingin tahu. Beberapa
menit terakhir ... apa yang telah terjadi di dalam helikopter itu?" Langdon
merasakan munculnya serbuan kecemasan. Dia tahu saat itu akan tiba juga - saat
untuk mengungkapkan kebenaran. Dia dan Vittoria telah membicarakan hal itu tadi
malam ketika mereka menyelinap pergi dari Lapangan Santo Petrus itu. Dan mereka
telah membuat keputusan. Bahkan sebelum Langdon membaca surat dari Paus.
Ayah Vittoria bermimpi penemuan antimaterinya itu akan membawa kebangkitan
spiritual. Berbagai kejadian yang berlangsung tadi malam, jelas bukan yang
dikehendaki oleh Leonardo Vetra, tetapi ada fakta yang tidak dapat disangkal ...
pada saat itu, di seluruh dunia, manusia mengingat Tuhan dengan cara yang belum
pernah mereka lakukan sebelumnya. Untuk berapa lama keajaiban itu akan bertahan,
Langdon dan Vittoria tidak tahu. Tetapi mereka tahu mereka tidak pernah dapat
menghancurkan kekaguman itu dengan mengungkapkan skandal dan keraguan. Tuhan
bertindak dengan cara yang aneh, kata Langdon pada dirinya sendiri sambil
bertanya-tanya dengan getir, mungkin ... peristiwa kemarin itu benar-benar
merupakan kehendak Tuhan.
"Pak Langdon?" Chartrand mengulangi. "Saya tadi menanyakan tentang helikopter
itu?" Langdon tersenyum sedih. "Ya, aku tahu ...." Dia merasa kata-katanya mengalir
dari hatinya, bukan dari pikirannya. "Mungkin ini disebabkan oleh benturan yang
aku derita ketika aku jatuh ... tetapi ingatanku ... sepertinya ... semuanya
menjadi begitu kabur ...." Chartrand kecewa. "Anda tidak ingat apa-apa?" Langdon
mendesah. "Sepertinya hal itu akan menjadi misteri selamanya." Ketika Robert
Langdon kembali ke ruang tidur, pemandangan yang menunggunya membuatnya
menghentikan langkahnya. Vittoria berdiri di balkon, punggungnya menempel di
pagar, matanya menatap tajam padanya. Vittoria terlihat seperti penampakan yang
cantik sekali ... sesosok yang dihiasi dengan sinar bulan di belakangnya. Dia
mungkin seorang dewi Romawi yang terbungkus jubah kamar berwarna putih dengan
tali pinggang yang terikat erat sehingga memperjelas bentuk tubuhnya yang
ramping. Di belakangnya, kabut pucat mengambang seperti lingkaran sinar di atas
Air Mancur Triton karya Bernini.
Langdon merasa sangat tertarik dengan perempuan ini ... lebih kuat dibandingkan
kepada perempuan lain sepanjang hidupnya. Dengan tenang, dia meletakkan Berlian
Illuminati dan surat Paus di atas meja yang terdapat di samping tempat tidurnya.
Ada waktunya untuk menjelaskan semuanya nanti. Dia mendatangi Vittoria di
balkon. Vittoria tampak gembira melihatnya. "Kamu sudah bangun," katanya dalam bisikan
malu-malu. "Akhirnya." Langdon tersenyum. "Hari yang melelahkan." Vittoria
membelai rambutnya yang panjang, kerah jubahnya sedikit terbuka. "Dan
sekarang ... mungkin kamu menginginkan hadiahmu." Langdon tidak siap mendengar
kalimat itu. "Maaf?" "Kita berdua sudah dewasa, Robert. Akui saja. Kamu
merasakan kerinduan yang begitu besar. Aku bisa melihatnya di dalam matamu.
Kerinduan yang mendalam dan penuh gairah." Dia tersenyum. "Aku juga
merasakannya. Dan kerinduan itu akan segera terpenuhi."
"Betulkah?" Dengan gagah Langdon melangkah maju untuk mendekatinya.
"Tentu saja." Vittoria memegang menu layanan kamar. "Aku sudah memesan semua
yang mereka punya." Pesta mereka sangat menyenangkan. Mereka menyantap makanan
itu bersama-sama di bawah sinar rembulan ... duduk di balkon ... menyantap
frisee, truffles dan risotto. Mereka menikmati anggur Dolcetto dan bercakapcakap hingga larut malam.
Langdon tidak perlu menjadi seorang ahli simbologi untuk membaca tanda-tanda
yang dikirimkan Vittoria kepadanya. Selama menyantap hidangan penutup yang
berupa krim boysenberry dengan savoiardi dan Romcaffe yang hangat, di bawah
meja, kaki telanjang Vittoria menekan kaki Langdon dan menatapnya dengan
pandangan bergairah. Tampaknya Vittoria ingin Langdon meletakkan garpunya dan
membawanya segera ke dalam pelukannya.
Tetapi Langdon tidak melakukan apa-apa. Dia terus menjadi lelaki yang sopan.
Permainan ini hanya bisa dimainkan oleh dua orang, pikir Langdon sambil
menyembunyikan senyuman nakalnya.
Ketika semua makanan sudah habis, Langdon pergi dan duduk sendirian di tepian
tempat tidurnya sambil mengamati Berlian Illuminati di tangannya, dan terus
berkomentar tentang kesimetrisan mengagumkan yang dimilikinya. Vittoria
menatapnya. Kebingungan yang dirasakannya mulai berubah menjadi keputusasaan.
"Kamu pikir ambigram itu sangat menarik, ya?" tanyanya. Langdon mengangguk.
"Sangat memesona." "Apakah itu benda paling menarik dalam ruangan ini?" Langdon
menggaruk kepalanya dan pura-pura berpikir.
"Sebetulnya ada satu hal yang lebih menarik bagiku." Vittoria tersenyum dan
berjalan mendekatinya. "Apa itu?" "Bagaimana kamu meruntuhkan teori Einstein
dengan menggunakan ikan tuna." Vittoria mengangkat tangannya. "Dio mio! Cukup tentang
ikan tuna itu! Jangan bermain-main denganku, aku peringatkan kamu!"
Langdon menyeringai. "Mungkin untuk percobaanmu yang berikutnya, kamu dapat
mempelajari ikan flounder yang gepeng itu untuk membuktikan kalau bumi itu
datar." Vittoria menjadi marah sekali sekarang, tetapi sekilas terlihat senyum kesal di
bibirnya. "Sebagai informasi, profesor, percobaanku yang selanjutnya akan
mengguncangkan sejarah ilmu pengetahuan. Aku berencana untuk membuktikan kalau
neutron memiliki massa."
"Neutron pergi ke misa?" Langdon sengaja memplesetkan kata-kata Vittoria untuk
membuatnya kesal. "Aku tidak tahu kalau mereka Katolik!"
Dengan gerakan yang luwes, Vittoria sudah berada di atas Langdon dan
menindihnya. "Kuharap kamu percaya pada kehidupan setelah mati, Robert Langdon."
Vittoria tertawa ketika dia menduduki Langdon. Tangannya menahan tangan lelaki
itu agar tidak bergerak, matanya berkilat-kilat nakal.
"Sesungguhnya," Langdon mulai tertawa sekarang, "aku selalu memiliki masalah
dalam membayangkan hal-hal yang supranatural seperti itu."
"Ah, benarkah" Jadi kamu belum pernah mengalami pengalaman religius seperti
momen yang agung?" Langdon menggelengkan kepalanya. "Tidak, dan aku ragu kalau aku termasuk jenis
orang yang bisa mengalami pengalaman religius seperti itu."
Vittoria menanggalkan jubahnya. "Kamu pasti belum pernah tidur dengan guru
yoga." UCAPAN TERIMA KASIH Aku berhutang terima kasih kepada: Editorku, Jason Kaufman - dia salah satu
sahabat yang paling kusayang - karena telah mengakui tanda-tanda dari simbolog
Robert Langdon sejak awal ... dan membayangkan ke mana penyelidikan ini akan
menuju. Heide Lange - kepadanya Angels and Demons telah memanduku - yang tiada bandingnya,
karena telah memberi novel ini kehidupan baru di rumahnya sendiri dan
memperkenalkannya ke seluruh dunia.
Emily Bestler di Atria dan Ben Kaplan serta setiap orang di Pocket Books atas
dukungan dan antuasisme mereka yang tanpa henti terhadap buku ini.
Sang legenderis George Wieser, atas usahanya meyakinkan saya agar menulis novel,
dan kepada agen pertama saya, Jake Elwell, atas pertolongannya di awal-awal dan
menjualkan novel ini ke Pocket Books. ,
Temanku tersayang Irv Sittler, yang telah memfasilitasi audiensiku dengan Paus,
menyusupkan aku ke bagian-bagian Vatican City yang hanya pernah dilihat oleh
sedikit orang, dan membuat waktuku di Roma menjadi tak terlupakan.
Salah satu seniman paling berbakat dan pandai, John Langdon, yang telah begitu
menyemangatiku menghadapi tantangan yang tidak mungkin dan menciptakan ambigram
untuk novel ini. Stan Planton, kepala perpustakaan, Ohio University Chilicothe, yang telah
menjadi salah satu sumber informasi nomor satuku atas topik-topik yang tak
terhitung jumlahnya. Sylivia Cacazzini, atas turnya yang ramah sepanjang Passeto yang penuh rahasia.
Dan orangtua terbaik yang selalu didambakan seorang anak, Dick dan Connie
Brown ... atas segalanya. Terima kasih juga untuk CERN, Henry Beckett, Brett
Trotter, Akademi of Sains Pontifical, Institut Brookhaven, Perpustakaan


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

FermiLab, Olga Wieser, Don Ulsch dari Institut Keamanan Nasional, Caroline H.
Thompson di Universitas Wales, Kathryn Gerhard dan Omar Al Kindi, John Pike dan
Federasi Ilmuwan Amerika, Heimlich Viserholder, Corinna dan Davis Hammond, Aizaz
Ali, Proyek Galilelo Universitas Rice, Julie Lynn dan Charlie Ryan di
Mockingbird Pictures, Gary Goldstein, Dave (Vilas) Arnold dan Andra Crawford,
Jaringan Persaudaraan Global, Perpustakaan Phillips Exeter Academy, Jim
Barrington, John Maier, mata yang sangat tajam dari Margie Watchel,
alt.masonic.members, Alan Wooley, Perpustakaan Kongres Vatican Codices Exhibit,
Lisa Callamaro dan Callamaro Agency, Jon A. Stowell, Musei Vaticani, Aldo
Baggia, Noah Alireza, Harriet Walker, Charles Terry, Micron Electronics, Mindy
Renselaer, Nancy dan Dick Curtin, Thomas D. Nadeau, NuvoMedia dan Rocket Ebooks, Frank dan Sylvia Kennedy, Dewan Turis Roma, Maestro Gregory Brown, Val
Brown, Werner Brandes, Paul Krupin di Direct Contact, Paul Stark, torn King di
Computalk Network, Sandy dan Jerry Nolan, Linda George, Akademi Seni Nasional di
Roma, fisikawan Steve Howe, Robert Weston, Toko Buku Water Street di Exeter, New
Hampshire, dan Observatorium Vatican. ***
CERN X 33 plane Where the journey begins... The X-33 space plane-http://www.danbrown.com/secrets/angels_demons/plane.html
CERN arrival The destination... CERN facility, Geneva, Switzerland
Overview of underground LHC tunnel reaching into France
Arriving at CERN by air Entering the main facility
http://www.danbrown.com/secrets/angels_demons/arrival.html
underground Beneath CERN... Cross-section of CERN
Huge underground detectors for analyzing particle collisions
http://www.danbrown.com/secrets/angels_demons/underground.html
VATICAN Guard The Swiss Guard The most loyal sentinels on earth Outside the Secret
Vatican Archives At entrance to the Papal Apartments
Watching over the smallest country in the world
http://www.danbrown.com/secrets/angels_demons/guards.html
Basilica St. Peter's Basilica The largest shrine on earth. St. Peter's Square,
basilica, and Vatican Gardens behind
Inside the basilica... space for 60,000 worshippers
Bernini's famed baldachin over the papal altar
Cardinals on the Grand Staircase
http://www.danbrown.com/secrets/angels_demons/basilica.html
Sistine Chapel The Sistine Chapel Where the cardinals are sealed during the
mysterious ritual of conclave The largest shrine on earth.
Sistine Chapel interior Michelangelo's Creation... from the ceiling of the Sistine Chapel
"Michelangelo's Last Judgement, looks like a canvas of a fair, painted for a
wrestling booth by an ignorant coal heaver." - Guy de Maupassant
http://www.danbrown.com/secrets/angels_demons/sistine_chapel.html
PATH OF ILLUMINATION Pantheon Ceiling at Santa Maria del Popolo Earth Path of Illumination - Earth The Chigi
Chapel "Habakkuk and the Angel" Angel pointing the way down the Path of
Illumination Chigi Chapel's pyramid tomb by Bernini
Skeleton cupermiento covering the "demon's hole" and
subterranean crypt http://www.danbrown.com/secrets/angels_demons/earth.html
Air Path of Illumination - Air St. Peter's Square - West Ponente West wind
medallion in St. Peter's Square
Obelisk in St. Peter's Square
http://www.danbrown.com/secrets/angels_demons/air.html
Fire Path of Illumination - FIRE The Ecstasy of St. Teresa "...his great golden
spear...filled with fire... plunged into me several times...penetrated to my entrails...
a sweetness so extreme that one could not possibly wish it to stop." - St.
Teresa Interior of Church of Santa Maria della Vittoria
http://www.danbrown.com/secrets/angels_demons/fire.html
Water Path of Illumination - Water Bernini's Fountain of the Four Rivers
Bernini's carvings...each figure representing a river
Piazza Navona with Bernini's Fountain
Obelisk with dove atop Note: This dove is taken down and cleaned every three
years and from time to time will point the opposite direction that it does in
the novel The Fountain of the Four Rivers
http://www.danbrown.com/secrets/angels_demons/water.html
Illuminati Lair Path of Illumination - Illuminati Lair Castle St. Angelo Castle
St. Angelo and a placid Tiber River
Balcony atop Castle St. Angelo
Bernini's angelic "Breezy Maniacs" on the Bridge of Angels
Angel on 'Castle St. Angelo'
http://www.danbrown.com/secrets/angels_demons/lair.html
Il Passetto Path of Illumination - Il Passetto The secret passageway between
Castle St. Angelo and the Vatican Inside the Passetto... beneath the aqueduct
The author outside the entrance to the Passetto
Inside the Passetto... near the Castle
The Passetto as it leaves the castle... disguised as an aqueduct
http://www.danbrown.com/secrets/angels_demons/passetto.html
Galileo "And there it was that I found and visited the famous Galileo, grown old, a
prisoner to the Inquisition, for thinking in astronomy otherwise than the
Franciscan and Dominican licensers thought."
-John Milton, from Areopagitica (1644)*
Galileo's handmade wooden compass (and the Masonic
Compass beside it) Index finger of Galileo's right hand. Detached from Galileo's hand in 1737 by
Anton Francesco Gori and the "Cult of Galileo." Now property of the Museo di
Storia della Scienza in Florence.
On the base the following verse by Thomas Perellius is inscribed: "This is the
finger with which the illustrious hand covered the heavens and indicated their
immense space. It pointed to new stars with the marvelous instrument, made of
glass, and revealed them to the senses. And thus it was able to reach what
Titania could never attain."
Famous painting of Galileo and Milton by Annibale Gatti
Galileo showing Milton his telescope...
The first edition of Galileo's most celebrated and controversial
work -- DIALOGO -- his defense of the Copernican system and challenge to
Aristotelian and classical orthodoxy, which resulted in Galileo's trial by the
Inquisition and his forced abjurement of the Copernican 'heresy'. Written in the
form of a discussion between three friends, the book is, as John Carter has
pointed out, "a masterly polemic for the new science. It revels in the
simplicity of Copernican thought and, above all, it teaches that the movement of
the earth makes sense in philosophy, that is, in physics."
http://www.danbrown.com/secrets/angels_demons/galileo.html
ASSORTED Symbols Symbols The Illuminati "all-seeing eye" from the Great Seal of the
United States The Masonic compass. Does the G stand for God... or the sacred
science of Geometry"
The CERN logo. Two circles, five arms...
The Great Seal of the United States with the "all-seeing eye."
http://www.danbrown.com/secrets/angels_demons/symbols.html
Misc Miscellaneous Author atop Vatican Cupola Balcony
Hotel Bernini... (location of the novel's final scene)
Indoor skydiving (yes, it really IS possible)
Langdon's aerial view of Tiberina Island
http://www.danbrown.com/secrets/angels_demons/misc.html
Rome Map Pedang Awan Merah 5 Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir Gairah Sang Pembantai 1

Cari Blog Ini