Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather Bagian 3
mungkin. Banyak dari benda-benda seni tersebut adalah patung-patung yang
beratnya berton-ton. Belum lagi harta terbesar yang merupakan arsitektur
bangunan dengan sejarah yang panjang, seperti Kapel Sistina, Basilika Santo
Petrus, tangga spiral terkenal karya Michaelangelo menuju Museo Vaticano yang
merupakan pernyataan kejeniusan seorang anak manusia. Langdon bertanya berapa
lama lagi waktu yang mereka miliki sebelum tabung perangkap itu meledak.
"Terima kasih kamu mau ikut," kata Vittoria, suaranya terdengar tenang.
Langdon terjaga dari lamunannya. Dia lalu mendongak dan menatap Vittoria yang
duduk di depannya. Walau kabin itu terang benderang tapi Langdon seperti bisa
melihat aura ketenangan memancar dari perempuan itu. Napasnya tampak lebih
panjang sekarang, seolah cahaya penjagaan dirinya telah dinyalakan kembali di
dalam tubuhnya. Kini wajah itu memancarkan sebuah keinginan untuk mencari
keadilan dan membalas budi yang didorong oleh cinta seorang anak kepada ayahnya.
Vittoria tidak punya waktu untuk berganti pakaian dari celana pendek dan blus
tanpa lengannya itu. Dan sekarang kakinya yang berwarna kecokelatan tampak
merinding kedinginan karena udara di dalam pesawat. Secara naluriah Langdon
melepas jasnya dan menawarkannya pada Vittoria. "Kesopanan ala Amerika?" tanya
Vittoria ketika menerima jas tersebut. Matanya menyiratkan rasa terima kasih. Pesawat itu berguncang
ketika melewati beberapa turbulensi sehingga membuat Langdon merasa cemas. Kabin
tanpa jendela itu kembali terasa menekan, dan Langdon mencoba untuk membayangkan
dirinya sedang berada di lapangan terbuka. Tapi pemikiran tentang lapangan
terbuka itu ternyata terasa ironis baginya. Dia sedang berada di sebuah lapangan
terbuka ketika kecelakaan traumatis itu terjadi. Kegelapan yang pekat itu.
Langdon mengusir kenangan itu dari benaknya. Itu hanyalah kisah di masa lalu.
Vittoria sedang menatapnya. "Kamu percaya Tuhan, Pak Langdon?"
Pertanyaan itu mengejutkan Langdon. Kejujuran yang terpancar dari suara Vittoria
bahkan lebih memesona daripada pertanyaan itu sendiri. Apakah aku percaya pada
Tuhan" Dia berharap mereka berbincang dengan topik yang lebih ringan dalam
perjalanan ini. Orang yang suka pada teka-teki permainan kata spiritual, pikir Langdon.
Begitulah teman-temanku menyebutku. Walaupun dia mempelajari agama selama
bertahun-tahun, Langdon bukanlah orang yang religius. Dia memang menghormati
kekuatan yan& didapat dari keyakinan, kebajikan gereja, kekuatan yang diberikan
agama bagi banyak orang ... tapi ada yang menghalanginya; kesangsian
intelektualnya yang kuat saat dia mulai ingin benar-benar percaya. "Saya ingin
memercayai Tuhan," Langdon mendengar kata-katanya sendiri.
Tanggapan Vittoria tidak mengandung penilaian ataupun tantangan. "Jadi, mengapa
kamu tidak percaya?"
Langdon tertawa. "Yah, tidak semudah itu. Untuk percaya, kita membutuhkan
lompatan kepercayaan, penerimaan terhadap keajaiban - gambaran besar dan campur
tangan Tuhan. Lalu ada peraturan yang harus kita taati. Alkitab, Alquran, kitab
Buddha ... semuanya itu memiliki persyaratan dan hukuman yang sama. Menurut
mereka, kalau aku tidak menaati aturan tertentu, maka aku akan masuk neraka. Aku
tidak dapat membayangkan Tuhan yang berkuasa dengan cara seperti itu."
"Kuharap kamu tidak membiarkan mahasiswamu memberikan jawaban kosong untuk
mengelak dari pertanyaan seperti tadi." Komentar itu mengejutkan Langdon. "Apa?"
"Pak Langdon, aku tidak menanyakan apakah kamu percaya pada apa yang dikatakan
orang tentang Tuhan. Aku bertanya apakah kamu percaya pada Tuhan. Ada
perbedaannya. Kitabkitab suci itu adalah kumpulan cerita ... legenda dan sejarah
dari pencarian manusia untuk memahami kebutuhan diri mereka sendiri akan arti.
Aku tidak memintamu untuk menilai literatur. Aku hanya bertanya padamu apakah
kamu percaya pada Tuhan. Ketika kamu berbaring sambil memandang langit yang
ditaburi bintang, apakah kamu merasakan keagungan Tuhan" Apakah kamu merasa di
dalam hatimu kalau kamu sedang menatap karya Tuhan?" Untuk sesaat Langdon
memikirkan perkataan Vittoria tadi. "Maaf, kalau aku terlalu ingin tahu," kata
Vittoria menyesal. "Tidak, aku hanya ...." "Pasti kamu sering memperdebatkan isu mengenai
kepercayaan dengan mahasiswamu." "Selalu." "Kamu pasti sering berpura-pura
menjadi provokator yang selalu memanaskan perdebatan." Langdon tersenyum. "Kamu pasti seorang guru
juga." "Bukan, tetapi aku belajar dari ahlinya. Ayahku dapat
memperdebatkan dua sisi dari Mobius Strip." Langdon tertawa, sambil membayangkan
karya seni Mobius Strip yang berupa pelintiran dari secarik kertas berbentuk
pita vane sesungguhnya hanya memiliki satu sisi. Langdon pertama kali melihat
bentuk bersisi tunggal itu dalam sebuah karya M.C. Escher. "Boleh aku menanyakan
sesuatu padamu, Nona Vetra?"
"Panggil aku Vittoria. Sebutan Nona Vetra membuatku merasa tua.
Langdon mendesah diam-diam, tiba-tiba menyadari usianya sendiri. "Vittoria,
namaku Robert." "Apa pertanyaanmu?" "Sebagai seorang ilmuwan dan putri dari
seorang pastor Katolik, apa pendapatmu tentang agama?" Vittoria berhenti sejenak, lalu
menyingkirkan sekumpulan rambut dari matanya. "Agama seperti bahasa atau
pakaian. Kita terpengaruh oleh praktik keagamaan tertentu yang diajarkan kepada
krta sejak kecil. Tapi pada akhirnya, kita menyatakan hal yang sama; hidup
memiliki artinya tersendiri dan kita merasa berterima n kepada kekuatan yang
sudah menciptakan kita."
Langdon merasa tertarik. "Jadi kamu ingin mengatakan bahwa apa pun agamamu,
Kristen atau Islam, itu hanya ditentukan oleh tempat kelahiranmu?"
"Bukankah memang demikian" Lihat saja penyebaran agama di seluruh dunia ini."
"Jadi, iman itu tidak disengaja?" "Bukan begitu. Keimanan itu universal. Tapi
cara kita memahaminya tidak seragam. Ada yang berdoa kepada Yesus, ada yang
pergi ke Mekah, beberapa orang mempelajari partikel subatomik. Pada akhirnya
kita semua hanya mencari kebenaran sesuatu yang lebih besar dari kita sendiri."
Langdon berharap mahasiswanya dapat mengungkapkan pendapat mereka sejelas ini.
Bukan. Sesungguhnya dia yang berharap dirinya bisa mengungkapkan pendapatnya
sejelas ini. "Dan Tuhan?" tanyanya lagi. "Kamu percaya pada Tuhan?"
Vittoria lama terdiam. "Ilmu pengetahuan mengatakan padaku bahwa Tuhan itu pasti
ada. Pikiranku mengatakan kalau aku tidak akan pernah mengerti Tuhan. Dan hatiku
mengatakan kalau aku tidak ditakdirkan."
Jadi singkatnya apa" pikir Langdon. "Jadi, kamu percaya Tuhan itu ada, tetapi
kita tidak akan pernah memahami-Nya (Him)."
"Her," kata Vittoria sambil tersenyum. "Suku Indian Amerika itu benar." Langdon
tertawa. "Ibu Bumi." "Gaea. Planet ini adalah sebuah organisme. Kita semua
adalah sel-sel dengan tujuan yang berbeda. Tapi kita saling berkaitan. Saling
melayani. Melayani keseluruhan."
Langdon menatap Vittoria dan dia merasakan desiran yang belum pernah
dirasakannya sejak lama. Ada kejernihan yang memikat dalam sorot matanya ... ada
kemurnian dalam suaranya. Langdon semakin tertarik dengan putri Leonardo Vetra
ini. "Pak Langdon, saya ingin menanyakan sesuatu." "Robert," kata Langdon.
Sebutan Pak Langdon membuatku
merasa tua. Aku memang sudah tua! "Jika kamu tidak keberatan dengan
pertanyaanku, Robert. Bagaimana kamu bisa terlibat dengan Illuminati?" Langdon jadi ingat akan sesuatu
di masa lalu. "Sebenarnya
itu karena uang." Vittoria tampak kecewa. "Uang" Maksudmu karena kamu memberikan
konsultasi, begitu?"
Langdon tertawa ketika menyadari bagaimana kesan jawaban itu terlihat. "Bukan
begitu. Maksudnya adalah uang dalam desain yang tertera di uang." Dia lalu
merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Dia kemudian menemukan
lembaran satu dolar. "Aku menjadi kagum dengan kelompok itu ketika aku pertama
kali mengetahui bahwa mata uang Amerika Serikat memuat simbologi Illuminati."
Mata Vittoria menyipit, sepertinya dia tidak tahu apakah dia harus menganggap
Langdon serius atau tidak.
Langdon memberikan uang itu padanya. "Lihatlah bagian belakangnya. Kamu lihat
Great Seal di sebelah kiri?"
Vittoria membalik lembaran satu dolar itu. "Maksudmu, piramida itu?"
"Piramida itu. Kamu tahu apa hubungan piramida dengan sejarah Amerika Serikat?"
Vittoria mengangkat bahunya. "Tepat," kata Langdon. "Sama sekali tidak ada."
Vittoria mengerutkan keningnya. "Jadi, kenapa simbol itu
berada di tengah-tengah Great Seal uang dolar Amerika?" "Sejarahnya agak
menakutkan," jawab Langdon. "Piramida itu adalah simbol gaib yang menggambarkan
pemusatan pandangan ke atas, ke arah sumber utama pencerahan. Illumination.
Lihat benda apa yang ada di puncaknya?"
Vittoria mengamati uang kertas itu. "Sebuah mata di dalam sebuah segitiga."
"Itu disebut trinacria. Pernah melihat mata di dalam segitiga seperti itu di
tempat lain?" Vittoria terdiam sejenak. "Sebenarnya pernah juga, tetapi aku tidak yakin ...."
"Itu merupakan hiasan yang terdapat di pondok-pondok kelompok Mason di seluruh
dunia." "Jadi itu simbol kelompok Mason?" "Sebenarnya, bukan. Itu simbol milik
Illuminati. Mereka menyebutnya 'delta berkilau', sebutan bagi perubahan yanp
mendapat pencerahan. Mata itu melambangkan kemampuan Illuminati untuk menyusup
dan mengamati segala hal. Segitiga berkilauan itu menggambarkan pencerahan. Dan
segitiga juga merupakan huruf Yunani, delta, yang merupakan simbol matematika - "
"Perubahan. Perpindahan." Langdon tersenyum. "Aku lupa kalau aku sedang
berbicara dengan seorang ilmuwan." "Jadi, maksudmu Great Seal dolar Amerika Serikat adalah
seruan bagi perubahan yang mendapat pencerahan, perubahan yang melihat
semuanya?" "Beberapa orang menyebutnya Tata Dunia Baru." Vittoria tampak
terkejut. Dia menatap ke bagian bawah uang kertas itu sekali lagi. "Tulisan di
bawah piramida itu mengatakan Novous Ordo ..."
"Novous Ordo Seclorum" tambah Langdon. "Artinya Orde Sekuler Baru." "Sekuler itu
berarti tidak religius?" "Sangat tidak religius. Kalimat itu tidak saja
mengatakan tujuan Illuminati dengan jelas, tetapi juga secara langsung
bertentangan dengan kalimat di sampingnya. Kepada Tuhan, Kita Percaya."
Vittoria tampak bingung. "Tetapi bagaimana simbologi ini bisa tercetak di salah
satu mata uang kuat dunia?"
"Sebagian besar akademisi percaya hal itu terjadi karena campur tangan Wakil
Presiden Henry Wallace. Dia adalah anggota tingkat atas kelompok Mason dan pasti
mempunyai hubungan dengan Illuminati. Entah dia memang seorang anggota atau
secara tidak sengaja berada di bawah pengaruh mereka, tidak seorangpun yang
tahu. Tetapi Wallace-lah yang mengajukan rancangan Great Seal itu kepada
Presiden." "Tapi bagaimana bisa" Kenapa Presiden menyetujui untuk - "
"Presiden yang berkuasa ketika itu adalah Franklin D. Rosevelt. Wallace cuma
mengatakan kepadanya kalau Novous Ordo Riorum itu berarti New Deal."
Vittoria tampak ragu. "Dan Roosevelt tidak memperlihatkannya pada orang lain
sebelum memerintahkan bendahara negara untuk mencetaknya?" "Tidak perlu.
Roosevelt dan Wallace seperti bersaudara." "Saudara?" "Periksa lagi buku-buku
sejarahmu," kata Langdon sambil tersenyum. "Franklin D. Roosevelt adalah anggota
Mason yang ternama."
32 LANGDON MENAHAN NAPASNYA ketika pesawat X-33 terbang berputar-putar menuju ke
arah Bandara Internasional Leonardo da Vinci di Roma. Vittoria duduk di seberang
Langdon, matanya tertutup seolah mencoba mengendalikan keadaan. Pesawat itu
menyentuh daratan dan berjalan perlahan memasuki hanggar pribadi.
"Maaf, tadi kita terbang begitu lambat," kata si pilot ketika keluar dari
kokpit. "Aku harus merampingkan bagian belakangnya. Tahu sendirilah. Peraturan
kebisingan untuk daerah berpenduduk." Langdon melihat jam tangannya. Mereka
terbang selama 37 menit. Pilot itu membuka pintu. "Ada yang mau memberitahuku
apa yang sedang terjadi?" Baik Vittoria maupun Langdon tidak menjawabnya.
"Baiklah," kata pilot itu sambil menggeliat. "Aku akan menunggu kalian di kokpit
sambil menyalakan AC dan musik kesukaanku. Hanya aku dan Garth."
Matahari sore hari bersinar di luar hanggar. Langdon menyandang jas wolnya di
atas bahunya. Vittoria menengadahkan wajahnya ke langit dan menarik napas dalam,
seolah sinar matahari mampu mengirimkan energi mistis tambahan untuknya.
Dasar orang Mediterania, kata Langdon geli. Dia sendiri
sudah mulai berkeringat. "Agak terlalu tua untuk menyukai tokoh kartun, bukan?"
tanya Vittoria tanpa membuka matanya. "Maaf?" "Jam tanganmu. Aku melihatnya
ketika kita di pesawat." Langdon agak malu. Dia sudah terbiasa untuk membela jam
tangannya itu. Ini adalah jam tangan Mickey Mouse edisi kolektor yang
dihadiahkan orang tuanya ketika dia masih kecil. Walau gambar Mickey yang
merentangkan lengannya sebagai penunjuk waktu itu terlihat culun, tapi itu
adalah satu-satunya jam tangan yang dimilikinya. Jam tangan itu tahan air dan
menyala dalam gelap. Jadi, cocok untuk dibawa berenang atau ketika melintasi
jalanan kampus yang gelap. Ketika mahasiswa Langdon mempertanyakan selera
fesyennya, dia hanya mengatakan kepada mereka bahwa jam tangan Mickey Mousenya
itu mengingatkannya untuk tetap berjiwa muda. "Pukul enam," kata Langdon.
Vittoria mengangguk, matanya masih tertutup. "Kukira
jemputan kita sudah tiba." Langdon mendengar suara menderu dari kejauhan. Dia
lalu mendongak dan merasa kalau kesialan kembali menghampirinya. Dari sebelah
utara, sebuah helikopter mendekat dan berayun rendah di atas landasan. Langdon
sudah pernah naik helikopter satu kali ketika berada di Lembah Andean Palpa
untuk melihat gambar pasir di Nazca. Seingatnya, dia tidak menikmatinya sama
sekali. Baginya helikopter adalah kardus sepatu yang bisa terbang Setelah
sepagian terbang dengan pesawat, dia berharap kali im Vatican akan mengirim
mobil untuk mereka. Tapi tampaknya tidak. Helikopter itu melambatkan
kecepatannya, berputar-putar sesaat, lalu mendarat di atas landasan di depan
mereka. Pesawat itu berwarna putih dan bagian sisinya dihiasi lambing yang
terdiri atas dua kunci menyilang di depan sebuah tameng dan mahkota kepausan.
Langdon mengenali simbol itu dengan baik. Itu adalah stempel tradisional
Vatican, simbol keramat Holy See atau tahta suci. Tahta itu secara harfiah
menggambarkan tahta kuno milik Santo Petrus.
Helikopter Suci, erang Langdon sambil menatap pesawat tersebut mendarat. Dia
lupa kalau Vatican memiliki salah satu helikopter seperti ini yang digunakan
oleh Paus untuk pergi ke bandara, menghadiri rapat atau mengunjungi istana musim
panas di Gandolfo. Tapi, Langdon tentu saja lebih suka naik mobil.
Pilot itu melompat dari kokpit dan berjalan melintasi landasan.
Sekarang Vittoria yang tampak tidak tenang. "Itukah pilot kita"
Langdon merasakan kecemasannya. "Terbang atau tidak terbang. Itulah
pertanyaannya." Pilot itu tampak seperti mengenakan kostum untuk pementasan karya Shakespeare.
Tuniknya yang menggelembung bergarisgaris vertikal berwarna biru terang dan
emas. Dia mengenakan celana panjang dan kaus kaki yang khas. Kakinya beralaskan
sepatu tanpa tumit berwarna hitam yang terlihat seperti sandal kamar. Dia juga
mengenakan baret hitam. Seragam tradisional Garda Swiss," kata Langdon menjelaskan. "Dirancang sendiri
oleh Michaelangelo." Ketika pilot itu berjalan mendekati mereka, Langdon
mengedipkan matanya. "Kuakui, ini bukanlah karya terbaiknya."
Walaupun pakaian lelaki itu terlihat dramatis, Langdon tahu kalau pilot ini
serius. Dia berjalan mendekati mereka dengan langkah kaku dan gagah seperti
anggota Marinir. Langdon pernah beberapa kali membaca tentang persyaratan ketat
untuk menjadi anggota Garda Swiss yang elit itu. Direkrut dari salah satu dari
empat wilayah Katolik di Swiss, para pelamar harus memiliki persyaratan seperti:
lelaki Swiss berusia antara sembilan belas hingga tiga puluh tahun dengan tinggi
antara 150 sampai 180 sentimeter bersedia menjalani pelatihan oleh Angkatan
Bersenjata Swiss, dan tidak menikah. Dunia mengakui kalau pasukan kerajaan ini
adalah kesatuan pengamanan yang paling setia dan berbahaya di dunia.
"Kalian dari CERN?" tanya pengawal itu ketika dia tiba di depan Langdon dan
Vittoria. Suaranya kaku. "Ya, Pak," jawab Langdon. "Kalian tiba luar biasa
cepat," katanya lagi sambil menatap X-33 dengan tatapan takjub. Kemudian dia
berpaling pada Vittoria. "Bu, Anda punya baju yang lain?" "Maaf?" Dia lalu
menunjuk kaki Vittoria. "Celana pendek tidak
diperbolehkan di Vatican City." Langdon melihat kaki Vittoria sekilas dan
mengerutkan keningnya. Dia lupa. Vatican City melarang pengunjung yang
mengenakan pakaian yang memperlihatkan paha - baik lelaki maupun perempuan.
Peraturan itu merupakan cara untuk memperlihatkan rasa hormat pada kesucian Kota
Tuhan ini. "Hanya ini yang kupunya," jawab Vittoria. "Kami terburu buru."
Pengawal itu mengangguk, jelas dia tidak senang. Kemudian dia berpaling pada
Langdon. "Apakah kamu membawa senjata?"
Senjata" pikir Langdon. Aku bahkan tidak membawa baju
dalam untuk ganti. Dia menggelengkan kepalanya. Petugas itu lalu berjongkok di
depan kaki Langdon dan mulai memeriksanya. Petugas itu mulai dari kaus kaki
Langdon. Orang yang tak mudah percaya, pikirnya. Tangan pengawal yang kuat itu
bergerak ke atas, mendekati selangkangan dan membuat Langdon merasa tidak
nyaman. Akhirnya tangan itu bergerak ke atas, ke dada dan bahu Langdon. Petugas
itu tampak puas ketika mengetahui kalau Langdon bukan orang yang berbahaya. Dia
lalu berpaling pada Vittoria. Dia mengamati kaki Vittoria kemudian matanya
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergerak ke bagian dada Vittoria. Vittoria melotot. "Jangan coba-coba." Pengawal
itu menatapnya dengan tajam dan berusaha
mengintimidasi Vittoria. Namun perempuan itu tidak gentar. "Apa itu?" tanya si
pengawal sambil menunjuk ke arah tonjolan berbentuk kotak kecil di balik saku
celana pendek Vittoria. Vittoria mengeluarkan ponselnya yang sangat tipis. Pengawal itu mengambilnya,
lalu menyalakannya dan menunggu nada sambung. Kemudian dia tampak puas ketika
mengetahui kalau itu hanya ponsel biasa. Dia lalu mengembalikannya pada
Vittoria. Vittoria menerimanya dan memasukkannya kembali ke dalam sakunya.
"Tolong berputar," kata pengawal itu. Vittoria mematuhinya. Sambil mengangkat
tangannya Vittoria berputar 360 derajat. Kemudian pengawal itu mengamatinya dengan tajam.
Menurut Langdon celana pendek dan kemeja Vittoria tidak menonjol pada tempattempat yang tidak semestinya.
Tampaknya pengawal itu pun memiliki kesimpulan yang sama. "Terima kasih. Ayo
berjalan ke arah sini." Helikopter Garda Swiss itu terparkir dengan mesin
menyala ketika Langdon dan Vittoria mendekat. Vittoria naik ke dalamnya seperti
seorang profesional. Dia bahkan nyaris tidak menundukkan kepalanya ketika
berjalan di bawah baling-baling yang sedang berputar. Langdon tidak langsung
bergerak. "Apa tidak ada kemungkinan untuk naik mobil saja?" serunya setengah bergurau
kepada petugas Garda Swiss yang sedang memanjat ke tempat duduk pilot. Lelaki
itu tidak menjawab. Langdon tahu, dengan para pengendara mobil yang seperti
orang gila di Roma, terbang mungkin menjadi jalan yang lebih aman. Dia lalu
menarik napas panjang dan bergerak naik. Langdon menunduk dengan hati-hati
ketika berjalan di bawah baling-baling besar itu.
Ketika pengawal itu mulai bersiap untuk terbang, Vittoria berseru kepada pilot
itu. "Kalian sudah menemukan tabung itu?" Pengawal itu menoleh dan tampak bingung. "Tabung apa?" "Tabung itu. Tabung yang
membuat kalian menelepon CERN?" Lelaki itu mengangkat bahunya. "Aku tidak mengerti apa yang kamu
bicarakan. Kami sangat sibuk hari ini. Komandanku memerintahkan aku untuk
menjemput kalian. Itu saja yang kutahu."
Vittoria menatap Langdon dengan tatapan tidak tenang. "Harap pakai sabuk
pengaman," kata si pilot ketika mesin helikopter berputar.
Langdon meraih sabuk pengamannya dan mengikat dirinya. Pesawat kecil itu tampak
tenggelam di sekitarnya. Kemudian dengan suara mesin menderu, pesawat itu
melesat, dan mengarah dengan pasti ke utara, menuju Roma. Roma ... caput mundi,
tempat Caesar pernah berkuasa, tempat di mana Santo Petrus disalib. Tempat di
mana masyarakat modern berasal. Dan di pusatnya ... sebuah bom waktu sedang
berdetak. 33 ROMA DARI UDARA terlihat menyerupai labirin. Kota itu seperti sebuah jalinan
jalan-jalan kuno yang berliku-liku yang dihiasi oleh gedung-gedung, air mancur
dan juga reruntuhan bangunan kuno.
Helikopter Vatican itu tetap terbang rendah ketika memotong ke arah barat daya
melalui lapisan kabut asap tebal yang dihasilkan oleh kemacetan lalu lintas di
bawahnya. Langdon melihat ke bawah ke arah motor-motor vespa, bis-bis wisata,
dan sederetan sedan Fiat kecil yang menderu di sekitar bundaran dari segala
jurusan. Koyaanisqatsi, pikirnya ketika dia ingat istilah Hopi untuk "kehidupan
tanpa keseimbangan". Vittoria duduk tenang di sebelah Langdon. Helikopter itu
membelok tajam. Langdon merasa perutnya tertarik turun. Dia lalu menatap jauh.
Matanya bertemu dengan reruntuhan Koliseum Roma, don selalu berpendapat Koliseum
adalah salah satu ironi seiarah yang paling besar. Sekarang, Koliseum menjadi
simbol budaya dan peradaban manusia. Padahal stadium itu dibangun untuk menjadi
tempat berlangsungnya kejadian-kejadian barbar dan tidak beradab, seperti singa
lapar yang dilepas untuk mencabiki para tawanan, barisan budak berkelahi hingga
mati, tempat pemerkosaan perempuan-perempuan cantik yang ditangkap dari negeri
yang jauh, juga tempat di mana orang-orang dipenggal atau dikebiri. Ironis
sekali, pikir Langdon, atau mungkin juga tepat karena arsitektur Koliseum itu
ditiru oleh Harvard's Soldier Field - sebuah lapangan futbal di mana tradisi kuno
yang brutal terjadi tiap musim gugur. Di sana penonton menjadi gila dan
berteriak-teriak ketika Harvard bertanding melawan Yale dalam pertandingan
futbal yang kasar. Ketika helikopter mengarah ke utara, Langdon melihat Roman Forum - jantung kota
Roma sebelum Kristen masuk. Pilar-pilar yang rusak tampak seperti nisan-nisan
yang bertumpukan di taman pemakaman, seolah menolak untuk ditelan oleh keramaian
kota metropolitan di sekelilingnya.
Ke arah barat, sungai Tiber berkelok-kelok membelah kota. Walau melihat dari
udara, Langdon dapat mengetahui kalau sungai itu dalam. Arusnya berputar
berwarna cokelat penuh dengan lumpur akibat hujan deras.
"Lihat ke depan," kata pilot itu ketika membawa pesawatnya menanjak lebih
tinggi. Langdon dan Vittoria menatap ke luar dan melihatnya. Seperti gunung membelah
kabut pagi, sebuah kubah besar mencuat dari keburaman di depan mereka. Kubah
besar itu adalah Basilika Santo Petrus.
"Itu baru karya Michaelangelo yang berhasil," kata Langdon kepada Vittoria
dengan muka lucu. Langdon belum pernah melihat Basilika Santo Petrus dari udara. Bagian depannya
yang terbuat dari batu pualam memantulkan sinar matahari sore. Dihiasi oleh 140
patung yang menegambarkan para santo, martir, dan malaikat, bangunan besar itu
terbentang selebar dua buah lapangan sepak bola dengan panjang sebesar enam
kalinya. Bagian dalam gedung raksasa itu memiliki ruangan yang sanggup menampung
60.000 jemaat ... lebih dari seratus kali populasi Vatican City yang juga
merupakan negeri terkecil di dunia.
Yang lebih luar biasa lagi, benteng yang menjaga gedung besar itu tidak mampu
membuat piazza (lapangan terbuka) di depannya terlihat kecil. Piazza bernama
Lapangan Santo Petrus itu adalah lapangan granit luas yang terhampar dan menjadi
tempat terbuka di tengah-tengah kemacetan kota Roma seperti versi klasik dari
Central Park di New York. Di depan Basilika Santo Petrus, membatasi sebuah ruang
berbentuk oval, terdapat 284 pilar yang mencuat untuk menopang empat lengkungan
konsentris ... sebuah arsitektur tipuan mata untuk memperkuat kesan agung piazza
itu. Ketika Langdon menatap pada bangunan suci yang mengagumkan di depannya itu, dia
bertanya-tanya apa pendapat Santo Petrus jika dirinya berada di sini sekarang.
Orang suci itu mati dengan cara yang menyedihkan; disalib dalam posisi terbalik
di tempat ini. Sekarang dia beristirahat di makam suci, dikubur lima lantai di
bawah tanah, tepat di bawah kubah utama Basilika Santo Petrus. "Vatican City,"
ujar pilot itu ramah. Langdon melihat ke luar ke arah benteng batu yang
menjulang tinggi di depan mereka. Benteng itu seperti kubu pertahanan yang kuat
dan dibangun mengelilingi kompleks ... bentuk pertahanan yang sangat aneh untuk
melindungi dunia spiritual yang diwarnai oleh berbagai rahasia, kekuasaan dan
misteri. "Lihat!" tiba-tiba Vittoria berseru sambil meraih lengan Langdon Dengan panik
Vittoria menunjuk ke bawah ke arah Lapangan Santo Petrus yang berada tepat di
bawah mereka. Langdon merapatkan wajahnya ke jendela pesawat dan melihat ke arah yang ditunjuk
Vittoria. "Di sana itu," kata Vittoria sambil menunjuk. Di bagian belakang
piazza menjadi seperti lapangan parkir yang penuh dengan belasan truk trailer.
Piringan satelit raksasa diarahkan ke angkasa dari atap truk-truk yang berada di
sana. Satelit-satelit itu bertuliskan nama-nama yang akrab di telinga Langdon:
TELEVISOR EUROPEA VIDEO ITALIA BBC UNITED PRESS INTERNATIONAL Tiba-tiba Langdon
merasa bingung dan bertanya-tanya apakah berita tentang antimateri itu sudah
bocor ke pers. Vittoria tampaknya juga menjadi panik. "Kenapa para
wartawan berkumpul di sini" Apa yang terjadi?" Pilot itu menoleh ke belakang dan
menatap Vittoria dengan tatapan aneh. "Apa yang terjadi" Memangnya kamu tidak tahu?" "Tidak," sergahnya.
Aksennya terdengar serak dan kuat. "Il Conclavo," kata pilot itu menjelaskan.
"Tempat ini akan ditutup selama satu jam. Seluruh dunia menyaksikannya." lI Concalvo. Kata itu
terus berdering-dering di telinga Langdon sebelum menmju perutnya. Il Conclavo.
Pertemuan seluruh kardinal dari seluruh dunia untuk memilih paus baru. Bagaimana
dia bisa lupa. Hal itu sudah diberitakan oleh seluruh media massa barubaru ini.
Lima belas hari yang lalu, Paus, setelah memerintah dengan baik selama dua belas
tahun, meninggal dunia. Setiap koran di dunia memuat berita tentang serangan
stroke fatal yang dialami Paus ketika sedang tidur. Kematian yang tiba-tiba dan
tak terduga itu banyak diisukan sebagai kematian yang mencurigakan. Tetapi
sekarang, sesuai tradisi yang sudah berlangsung selama beratus-ratus tahun, lima
belas hari setelah kematian seorang paus, Vatican mengadakan Il Conclavo; sebuah
upacara suci yang dihadiri oleh 165 kardinal dari seluruh dunia yang merupakan
orang-orang yang paling berpengaruh di dunia Kristen, untuk berkumpul di Vatican
City dan mengangkat paus baru.
Semua kardinal dari seluruh dunia berkumpul di sini hari ini, pikir Langdon
ketika helikopter mereka terbang di atas Basilika Santo Petrus. Vatican City
kini membentang di bawah mereka. Seluruh struktur kekuatan Gereja Katolik Roma
sekarang sedang duduk di atas bom waktu.
34 KARDINAL MORTATI menatap ke arah langit-langit yang mewah di Kapel Sistina dan
mencoba untuk menemukan keheningan. Dinding kapel yang dihiasi oleh lukisan yang
indah itu memantulkan suara para kardinal dari berbagai bangsa di seluruh dunia.
Mereka berdesakan dalam kapel yang diterangi oleh temaram sinar lilin sambil
berbisik dengan gembira dan berbicara kepada satu sama lainnya dalam berbagai
bahasa. Bahasa universal dalam pertemuan itu adalah bahasa Inggris, Italia, dan
Spanyol. Biasanya penerangan di dalam kapel itu terang benderang yang berasal dari
sorotan sinar matahari yang beraneka warna dan mengusir kegelapan seperti sinar
dari surga. Tetapi tidak pada hari ini. Sesuai dengan tradisi, semua jendela
kapel ditutup kain beledu hitam demi menjaga kerahasiaan. Ini menjamin tidak
seorangpun di dalam ruangan itu dapat mengirimkan tanda-tanda atau berkomunikasi
dengan cara apa pun dengan dunia luar. Hasilnya adalah, ruangan itu benar-benar
gelap dan hanya diterangi oleh sinar lilin ... cahaya yang berkelap-kelip dari
lilin menyala di sana membuat semua orang yang tersentuh oleh cahaya itu menjadi
tampak pucat ... seperti wajah para santo.
Istimewa sekali, pikir Mortati, akulah yang harus memimpin peristiwa yang suci
ini. Para kardinal yang berusia lebih dari delapan puluh tahun terlalu tua untuk
terpilih dalam pemilihan ini sehingga mereka tidak hadir. Tetapi Mortati yang
berusia 79 tahun adalah kardinal yang paling senior di sini dan telah ditunjuk
untuk memimpin pertemuan tersebut.
Sesuai tradisi, para kardinal berkumpul di sini selama dua jam sebelum acara itu
dimulai agar mereka dapat saling bertukar kabar dengan rekan-rekannya dan
terlibat dalam diskusi. Pada pukul 7 malam,
Kepala Urusan Rumah Tangga Kepausan akan tiba untuk memberikan doa pembukaan
lalu meninggalkan ruangan. Kemudian Garda Swiss akan mengunci pintu dan
membiarkan para kardinal berada di dalam ruangan yang terkunci itu. Pada saat
itulah ritual politik tertua dan paling rahasia dimulai. Para kardinal tidak
akan dibebaskan dari ruangan tersebut sampai mereka memutuskan siapa di antara
mereka yang akan menjadi paus berikutnya.
Conclave. Bahkan sebutan itu pun mengandung makna rahasia. "Con clave" arti
harfiahnya adalah "terkunci." Para kardinal di sana tidak boleh menghubungi
siapa pun. Tidak boleh menelepon. Tidak ada pesan keluar dan masuk. Tidak boleh
membisikkan apa pun melalui pintu. Conclave adalah keadaan yang kosong, tidak
dipengaruhi oleh apa pun dari dunia luar. Ritual ini memastikan para kardinal
agar tetap Solum Dum prae oculis ... hanya Tuhan yang berada di depan mata
mereka. Tapi tentu saja di luar dinding kapel, media massa mengamati dan menunggu sambil
berspekulasi siapa di antara para cardinal itu yang akan menjadi pemimpin dari
satu milyar pemeluk agama Katolik di seluruh dunia. Rapat pemilihan paus memang
menciptakan atmosfer yang tegang dan dipenuhi oleh beban politik Selama lebih
dari berabad-abad, peristiwa ini pernah menjadi acara yang mematikan; diwarnai
oleh racun dan pekelahian, bahkan pembunuhan pernah terjadi di balik dinding
suci itu. Itu hanyalah kejadian di masa lalu, pikir Mortati.
Malam ini pertemuan akan berlangsung damai, penuh kebahagiaan dan yang terutama
adalah ... da/am waktu singkat. Paling tidak, itulah perkiraan Kardinal Mortati.
Sekarang, ada perkembangan yang tidak terduga. Secara aneh, empat orang kardinal
tidak hadir di kapel itu. Mortati tahu semua pintu keluar Vatican City dijaga
ketat dan para kardinal yang menghilang itu tidak mungkin pergi terlalu jauh.
Tapi sekarang, kurang dari satu jam sebelum doa pembukaan, dia mulai merasa
bingung. Keempat kardinal yang menghilang itu bukanlah kardinal biasa. Mereka
adalah kardinal penting. Empat kardinal yang terpilih.
Sebagai pemimpin acara pertemuan ini, Mortati mengirimkan pesan melalui saluran
yang semestinya ke Garda Swiss untuk memberi tahu mereka tentang menghilangnya
keempat kardinal tersebut. Tapi mereka belum memberikan kabar apa-apa kepadanya.
Para kardinal yang lain pun mulai merasakan ketidakhadiran keempat orang penting
yang terasa aneh bagi mereka. Di antara semua kardinal yang hadir, keempat
kardinal ini seharusnya tiba tepat waktu! Kardinal Mortati mulai takut kalau
acara ini akan berjalan sangat lama. Dia tidak tahu.
35 DEMI KEAMANAN dan menghindari kebisingan, landasan helikopter Vatican berada di
ujung barat laut Vatican City, sejauh mungkin dari Basilika Santo Petrus.
"Terra firma," kata pilot itu mengumumkan ketika mereka menyentuh landasan.
Pilot itu lalu keluar dan membuka pintu geser untuk Langdon dan Vittoria.
Langdon turun dari helikopter dan membalikkan tubuhnya untuk menolong Vittoria.
Tetapi ternyata Vittoria sudah meloncat turun dengan mudahnya. Setiap otot di
tubuh Vittoria tampaknya sudah memiliki satu tujuan - menemukan antimateri itu
sebelum meledak atau sesuatu yang mengerikan akan terjadi.
Setelah memasang penutup sinar matahari pada jendela helikopternya, pilot itu
mengantar mereka ke sebuah mobil golf bertenaga listrik dengan ukuran besar.
Mobil itu telah menunggu mereka di dekat landasan helikopter. Kendaraan itu
membawa mereka tanpa suara di sepanjang sisi barat negara mini itu di mana
terdapat pagar semen setinggi lima puluh kaki yang cukup tebal untuk menangkis
serangan, bahkan serangan tank sekalipun. Berbaris di sisi dalam tembok tebal
itu, pasukan Garda Swiss berdiri waspada tiap jarak lima puluh meter untuk
menjaga keamanan. Mobil bertenaga listrik itu membelok tajam ke kanan ke arah
Via della Osservatorio. Langdon melihat papan penunjuk arah:
PALAZZO GOVERNATORATO COLLEGIO ETHIOPIANA BASILICA SAN PIETRO CAPELLA SISTINA Mobil yang membawa
mereka melaju lebih cepat di jalan
yang terawat dengan baik. Mereka kemudian melewati sebuah gedung yang tidak
terlalu tinggi bertuliskan RADIO VATICANA. Langdon menyadari kalau gedung itu
menyiarkan siaran radio yang paling banyak didengarkan di seluruh dunia: Radio
Vaticana, radio yang menyebarkan firman Tuhan ke telinga jutaan pendengar di
seluruh dunia. "Attenzione," kata pilot itu sambil membelok tajam di sebuah putaran.
Ketika mobil itu berjalan memutar, Langdon hampir tidak bisa memercayai
penglihatannya ketika bayangan gedung di depannya muncul. Giardini Vaticani,
katanya dalam hati. Jantung Vatican City. Tepat di belakang Basilika Santo
Petrus, membentang pemandangan yang jarang dilihat oleh banyak orang. Di sebelah
kanannya terlihat Palace of Tribunal, tempat tinggal Paus yang megah yang hanya
sanggup disaingi oleh istana Versailles dalam hal hiasan-hiasan gaya baroknya.
Gedung Governatorato yang tampak seram itu sekarang telah mereka lalui. Gedung
itu adalah kantor bagi seluruh kegiatan administrasi Vatican City. Dan sekarang,
di sebelah kiri mereka, berdiri Museum Vatican yang besar. Langdon sadar kalau
dirinya tidak akan sempat untuk mengunjungi museum itu sekarang. "Kenapa sepi
sekali?" tanya Vittoria sambil mengamati
lapangan rumput dan jalan-jalan yang lengang. Pengawal itu memeriksa jam tangan
chronograph berwarna hitam bergaya militer yang dikenakannya - sebuah perpaduan
aneh di balik lengan bajunya yang menggelembung. "Para kardinal itu berkumpul di
Kapel Sistina. Rapat pemilihan paus biasanya dimulai kurang dari satu jam
setelah itu. Langdon mengangguk. Samar-samar dia ingat sebelum mengadakan rapat untuk memilih
paus yang baru, para kardinal menghabiskan waktu dua jam di dalam Kapel Sistina
untuk tafakur dan saling berbincang dengan rekan sesama kardinal dari seluruh
dunia. Waktu itu memang ditujukan untuk menyegarkan keakraban di antara para
kardinal sehingga proses pemilihan itu berjalan dengan suasana santai. "Dan
penghuni dan pegawai lainnya?"
"Dipindahkan dari kota ini dengan alasan kerahasiaan dan keamanan sampai rapat
pemilihan paus berakhir." "Dan kapan acara itu berakhir?" Pengawal itu
menggerakkan bahunya. "Hanya Tuhan yang tahu." Entah kenapa kata-kata itu
terdengar aneh sekali. Setelah memarkir mobil di lapangan rumput yang luas,
tepat di ujung Basilika Santo Petrus, pengawal itu mengantar Langdon dan
Vittoria menaiki lereng berlantai batu ke sebuah plaza pualam di belakang gereja
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
agung itu. Setelah melintasi plaza, mereka berjalan di tembok belakang gereja
dan terus menyusurinya sampai bertemu dengan lapangan berbentuk segi tiga di
seberang Via Belvedere. Mereka kemudian bertemu dengan sekumpulan bangunan yang
berdiri rapat. Pengetahuan Langdon akan sejarah seni membuatnya memahami tulisan
yang tertera di sana - Kantor Percetakan Vatican, Laboratorium Restorasi
Permadani, Kantor Pos dan Gereja Santa Anna. Mereka kemudian menyeberangi
lapangan kecil lagi dan sampai ke tujuan mereka.
Kantor Garda Swiss berdekatan dengan Il Corpo di Vigilanza, dan berdiri tepat di
sebelah timur laut Basilika Santo Petrus. Kantor itu terletak di sebuah gedung
yang tidak tinggi dan terbuat dari batu. Di kedua sisi pintu masuknya, berdiri
dua orang pengawal yang kaku seperti sepasang patung batu.
Langdon harus mengakui kalau kedua pengawal itu tidak tampak lucu. Walau mereka
juga mengenakan seragam berwarna biru dan emas seperti pilot yang mengantarnya
ini, keduanya memegang senjata tradisional "pedang panjang Vatican" yang
merupakan sebilah tombak sepanjang delapan kaki dengan sebuah sabit besar yang
tajam. Konon, pedang itu pernah memenggal kepala banyak orang Muslim dan
melindungi prajurit Kristen dalam Perang Salib pada abad kelima belas.
Ketika Langdon dan Vittoria mendekat, kedua penjaga itu melangkah ke depan
sambil menyilangkan pedang panjang mereka untuk menghalangi pintu masuk. Salah
satu dari mereka menatap sang pilot dengan bingung. "I pantaloni," katanya
sambil menunjuk celana pendek Vittoria.
Pilot ltu mengibaskan tangannya kepada mereka. " Il comandante vuole verdeli
subito." Penjaga itu mengerutkan keningnya. Lalu dengan enggan mereka menepi.
Di dalam, udara terasa dingin. Gedung itu sama sekali tidak tampak seperti
kantor administrasi sebuah pasukan keamanan yang selama ini dibayangkan oleh
Langdon. Ruangan ini dihiasi oleh perabotan mewah, koridornya berisi lukisanlukisan yang pasti sangat diinginkan oleh banyak museum di seluruh dunia untuk
menghiasi balairung utama mereka.
Pilot itu menunjuk ke arah anak tangga yang curam. "Silakan turun ke bawah."
Langdon dan Vittoria mengikuti anak tangga yang terbuat dari pualam putih itu.
Saat itu mereka berjalan turun dan melewati sederetan patung lelaki yang berdiri
telanjang. Setiap patung hanya mengenakan selembar daun fig yang berwarna lebih
terang daripada warna keseluruhan tubuh patung-patung itu. Pengebirian besarbesaran, pikir Langdon. Peristiwa itu adalah tragedi yang paling mengerikan di
era Renaisans. Pada tahun 1857, Paus Pius IX berpendapat patung lelaki yang
dibuat dengan sangat akurat itu dapat menimbulkan pikiran kotor bagi para
penghuni Vatican. Dia kemudian mengambil pahat dan palu, dan menghilangkan
bagian kemaluan dari setiap patung lelaki di dalam Vatican City. Dia merusak
karya Michaelangelo, Bramante dan Bernini. Plaster berbentuk daun fig dari semen
kemudian dipasang untuk menutupi kerusakan itu. Ratusan patung telah dikebiri.
Langdon sering bertanya-tanya apakah ada peti kayu besar yang berisi ratusan
penis batu yang disimpan di suatu tempat. "Di sini," kata pengawal itu. Mereka
tiba di dasar anak tangga dan menghadap ke sebuah pintu baja yang berat.
Pengawal itu mengetik kode masuk, lalu pintu itu bergeser tebuka. Langdon dan
Vittoria masuk. Setelah melewati ambang pintu baja itu, mereka memasuki ruangan yang sangat
aneh. 36 KANTOR GARDA SWISS. Langdon berdiri di pintu dan mengamati tabrakan antar abad di hadapannya.
Ruangan itu adalah perpustakaan bergaya Renaisans mewah, lengkap dengan rak-rak
buku berukir, karpet oriental, dan permadani dinding yang beraneka warna ...
tapi ruangan itu juga dilengkapi dengan perlengkapan berteknologi tinggi,
seperti komputer, mesin faks, peta elektronik yang memperlihatkan kompleks
Vatican, dan televisi yang menayangkan berita dari CNN. Beberapa lelaki dengan
celana panjang berwarna-warni sedang sibuk mengetik di komputer mereka sambil
mendengarkan headphone yang futuristik di telinga mereka dengan tekun. "Tunggu
di sini," kata pengawal itu. Langdon dan Vittoria menunggu ketika pengawal itu
melintasi ruangan untuk menuju ke seorang lelaki yang sangat jangkung, kurus,
dan berseragam militer berwarna biru tua. Lelaki itu sedang berbicara dengan
menggunakan ponselnya dan berdiri sangat tegak sehingga tampak hampir melengkung
ke belakang. Pengawal itu mengatakan sesuatu kepadanya, lalu lelaki itu menatap
tajam ke arah Langdon dan Vittoria. Dia mengangguk kemudian memunggungi mereka
lagi dan melanjutkan pembicaraannya melalui ponselnya itu.
Pengawal itu kembali. "Komandan Olivetti akan menemui Anda sebentar lagi."
"Terima kasih." Pengawal itu berlalu dan menuju ke ruang atas. Langdon mengamati
Komandan Olivetti yang sedang berdiri di seberang ruangan. Dia lalu menyadari
kalau lelaki itu adalah Panglima Tertinggi angkatan bersenjata negara mini ini.
Vittoria dan Langdon menunggu sambil mengamati kegiatan di depan mereka. Para
pengawal berseragam berwarna cerah berlalu-lalang dan menyerukan perintah dalam
bahasa Italia. "Continua cercandol" seseorang berseru di telepon. "Probasti il
museoi" yang lainnya bertanya. Langdon tidak harus bisa berbahasa Italia dengan
lancar untuk memahami maksud petugas tersebut. Dia tahu kalau saat itu para
petugas keamanan di ruang kendali sedang mencari-cari sesuatu dengan tegang. Ini
adalah berita baik. Kabar buruknya adalah kemungkinan mereka belum menemukan
antimateri itu. "Kamu baik-baik saja?" tanya Langdon pada Vittoria. Vittoria
mengangkat bahunya dan tersenyum letih. Ketika akhirnya komandan itu mematikan
teleponnya dan bergerak ke arah mereka, Langdon melihat lelaki itu menjadi
bertambah jangkung setiap kali melangkah mendekati mereka. Tubuh Langdon sudah
cukup jangkung, dan dia tidak biasa mendongak ketika berbicara kepada seseorang,
tetapi Komandan Olivetti berhasil memaksanya mendongak. Dilihat dari wajahnya
yang tampak keras, Langdon segera merasakan bahwa sang komandan adalah laki-laki
yang berpengalaman. Rambut sang komandan berwarna hitam dan dipotong sangat
pendek bergaya tentara. Matanya sangat tajam yang hanya dapat diperoleh dari
latihan keras selama bertahun-tahun. Dia bergerak dengan sangat tegap. Sebuah
alat komunikasi tersembunyi di telinganya sehingga membuatnya lebih terlihat
seperti Pengawal Rahasia Amerika Serikat daripada Komandan Garda Swiss.
Komandan itu berbicara dalam Bahasa Inggris dengan aksen yang kental. Suaranya
dapat dibilang lembut bagi seseorang yang begitu jangkung. Nada suaranya kaku
dan mencerminkan ketegasan anggota militer. "Selamat siang," sapanya. "Saya
Komandan Olivetti - Comandante Principale Garda Swiss. Akulah yang menelepon
direktur Anda." Vittoria mendongak. "Terima kasih atas kesediaan Anda untuk bertemu dengan
kami." Komandan itu tidak menjawab. Dia memberi isyarat kepada mereka untuk
mengikutinya dan membawa mereka melalui berbagai peralatan elektronik untuk
menuju sebuah pintu di sisi ruangan itu. "Masuklah," katanya sambil membukakan
pintu. Langdon dan Vittoria berjalan melewatinya dan masuk ke ruang kendali yang
gelap di mana terdapat begitu banyak monitor video menempel di dinding yang
menayangkan gambar hitam-putih dari kompleks itu dengan gerakan lambat. Seorang
penjaga muda mengamati gambar-gambar itu dengan serius. "Fuori" kata Olivetti.
Penjaga itu berkemas dan pergi. Olivetti berjalan menuju salah satu layar
monitor dan menunjuknya. Dia lalu berpaling pada tamunya. "Gambar ini berasal
dari sebuah kamera yang disembunyikan di suatu tempat di dalam Vatican City. Aku
menginginkan penjelasan."
Langdon dan Vittoria melihat layar itu dan sama-sama terkesiap. Gambar itu
sangat jelas. Tidak diragukan lagi. Itulah tabung antimateri CERN. Di dalamnya,
setetes cairan metalik mengambang di udara diterangi oleh sinar jam digital LED
yang berkedip-kedip. Yang membuatnya menjadi semakin menakutkan adalah ruangan
di sekeliling tabung itu sangat gelap, seolah antimateri itu berada di dalam
sebuah lemari atau ruangan gelap. Pada bagian paling atas monitor itu menyala
tulisan yang sangat mencolok: TAYANGAN LANGSUNG - KAMERA NOMOR 86.
Vittoria melihat waktu yang masih tersisa pada penunjuk waktu yang menyala di
tabung tersebut. "Kurang dari enam jam," Vittoria berbisik kepada Langdon,
wajahnya tegang. Langdon memeriksa jam tangannya. "Berarti waktu kita hingga ...." Dia berhenti,
perutnya terasa seperti terpilin. "Tengah malam," sahut Vittoria dengan wajah
pucat. Tengah malam, pikir Langdon. Pilihan tepat untuk mendapatan suasana yang
dramatis. Sepertinya, siapa pun yang telah mencuri tabung itu kemarin malam,
sudah mengukur waktunya dengan sempurna. Sebuah firasat buruk muncul ketika
Langdon menyadari dirinya sedang berada di atas sebuah bom waktu yang dahsyat.
Suara Olivetti lebih mirip dengan desisan. "Apakah benar itu milik institusi
Anda?" Vittoria mengangguk. "Ya, Pak. Tabung itu dicuri dari kami. Tabung itu berisi
zat yang mudah terbakar disebut antimateri."
Olivetti tampak tidak tergerak. "Aku cukup akrab dengan berbagai jenis bom, Nona
Vetra. Tetapi aku belum pernah mendengar tentang antimateri."
"Itu teknologi baru. Kita harus menemukannya segera atau mengevakuasi Vatican
City." Perlahan Olivetti memejamkan matanya dan membukanya kembali seolah dengan
memfokuskan kembali tatapannya ke wajah Vittoria dapat mengubah apa yang baru
saja didengarnya. "Mengevakuasi" Apakah kamu tahu apa yang sedang terjadi di
sini malam ini?" "Ya Pak. Dan nyawa para kardinal sedang dalam bahaya. Kita hanya punya waktu
kira-kira enam jam. Apakah pencarian tabung itu mengalami kemajuan?"
Olivetti menggelengkan kepalanya. "Kami bahkan belum mulai mencarinya."
Vittoria seperti tercekik. "Apa" Tetapi kami mendengar bahwa penjaga Anda
berbicara tentang pencarian - "
"Kami memang sedang mencari," kata Olivetti, "tetapi bukan mencari tabung
kalian. Orang-orangku sedang mencari sesuatu yang lain dan itu bukan urusan
kalian." Suara Vittoria serak. "Kalian bahkan belum mulai mencari tabung itu?"
Bola mata Olivetti seperti mengecil. Wajahnya terlihat waspada seperti seekor
serangga yang sedang menunggu mangsanya. "Namamu Vetra, 'kan" Biar aku jelaskan
sesuatu padamu. Direktur perusahaanmu menolak memberikan keterangan apa pun
tentang benda itu kepadaku melalui telepon. Dia hanya mengatakan bahwa aku harus
menemukannya segera. Kami sangat sibuk dan aku tidak punya waktu luang untuk
menyuruh anak buahku untuk mencarinya hingga aku mendapatkan informasi yang
jelas." "Hanya ada satu fakta yang relevan say ini, Pak," sahut Vittoria. "Dalam
hitungan jam alat itu akan menghancurkan seluruh kompleks ini
Olivetti tetap tak tergerak. "Nona Vetra, ada yang perlu kamu ketahui. Nada
bicaranya menunjukkan kalau dirinyalah bos di sana. "Walau Vatican City terlihat
kuno, tapi setiap jalan masuk, baik yang jalan khusus maupun jalan umum,
dilengkapi dengan peralatan pengindraan paling mutakhir yang pernah dikenal
orang. Ketika seseorang berusaha masuk ke sini dengan membawa benda yang mudah
terbakar itu, hal itu langsung bisa kami deteksi. Kami memiliki pemindai isotop
radioaktif, penyaring bau yang dirancang oleh DEA untuk mengendus kehadiran
unsur kimia beracun ataupun yang mudah terbakar, bahkan dalam jumlah terkecil
sekalipun. Kami juga memiliki detektor metal yang paling mutakhir dan pemindai
dengan teknologi sinar X."
"Sangat mengesankan," kata Vittoria dingin, sedingin nada suara Olivetti.
"Celakanya, antimateri bukan unsur radioaktif. Elemen kimia yang dimilikinya
adalah hidrogen murni dan tabung itu terbuat dari plastik. Tidak ada alat
pendeteksi yang dapat melacaknya."
"Tetapi tabung itu mempunyai sumber energi," kata Olivetti, sambil menunjuk pada
layar LED yang berkedip-kedip. "Bahkan jejak terkecil dari nikel-kadmium
sekalipun dapat terlacak sebagai - " "Baterenya juga terbuat dari plastik."
Kesabaran Olivetti mulai tampak menipis. "Batere plastik?" "Gel elektrolit dari
polimer dan teflon." Olivetti mencondongkan tubuhnya ke arah Vittoria seolah
ingin menegaskan ukuran tubuhnya yang besar. "Signorina, Vatican menjadi sasaran
ancaman bom setiap bulannya. Aku sendiri melatih setiap Garda Swiss untuk
memahami teknologi bom. Aku sangat mengetahui kalau tidak ada zat di dunia ini
yang cukup kuat untuk melakukan apa yang baru saja kamu jelaskan tadi, kecuali
kamu berbicara tentang bom nuklir dengan hulu ledak sebesar bola basket."
Vittoria menatapnya dengan tatapan yang sangat tajam. "Alam mempunyai banyak
misteri yang belum terungkap."
Olivetti lebih mendekatkan dirinya. "Boleh aku bertanya siapa kamu ini" Apa
kedudukanmu di CERN?" "Aku staf peneliti senior dan ditunjuk menjadi penghubung
ke Vatican dalam keadaan gawat ini." "Maafkan aku kalau aku tidak sopan. Kalau
ini memang keadaan gawat mengapa aku harus berurusan denganmu dan bukan dengan
direkturmu" Dan kenapa kamu dengan tidak sopannya datang ke Vatican dengan
mengenakan celana pendek?"
Langdon mengerang dalam hati. Bagaimana mungkin dalam situasi seperti ini, sang
komandan malah mempermasalahkan aturan berpakaian" Tapi kemudian dia baru sadar.
Kalau penis dari batu saja bisa menimbulkan pemikiran kotor di otak penghuni
Vatican, Vittoria Vetra yang datang dengan celana pendek pasti menjadi ancaman
bagi keamanan nasional negara mini ini.
"Komandan Olivetti," sela Langdon, berusaha untuk meredam bom kedua yang
nampaknya akan segera meledak. "Namaku Robert Langdon. Aku dosen kajian religius
dari Amerika Serikat dan tidak ada hubungannya dengan CERN. Aku sudah pernah
melihat percobaan antimateri dan berani menjamin kebenaran pernyataan Nona Vetra
tadi. Antimateri itu memang sangat berbahaya. Kami punya alasan untuk meyakini
benda itu diletakkan di kompleks Anda oleh sebuah kelompok antireligius yang
bertujuan untuk mengacaukan acara pemilihan paus."
Olivetti berpaling, menatap orang yang tingginya tidak lebih dari tubuhnya itu.
"Di depanku ada seorang perempuan mengenakan celana pendek mengatakan kepadaku
kalau setetes cairan bisa meledakkan Vatican City, lalu ada seorang dosen dari
Amerika berkata kalau kami sedang menjadi sasaran sebuah kelompok antireligius.
Apa yang kalian inginkan dariku?" "Temukan tabung itu," kata Vittoria. "Sekarang
juga." "Tidak mungkin. Benda itu bisa berada di mam saja.
Vatican City itu luas sekali." "Kamera Anda tidak dipasangi pelacak GPS?"
"Kamera itu tidak biasanya dicuri. Kami membutuhkan
waktu hari-hari untuk menemukan kamera yang hilang itu." "Kita tidak punya
beberapa hari," kata Vittoria tegas. "Kita
hanya punya waktu enam jam." "Enam jam sampai apa, Nona Vetra?" suara Olivetti
tibatiba menjadi lebih keras. Dia lalu menunjuk gambar di dalam layar monitor di
hadapan mereka. "Sampai layar itu selesai menghitung mundur" Sampai Vatican City
menghilang" Percayalah padaku, aku tidak suka ada orang yang mengganggu sistem
keamananku. Aku juga tidak suka ada peralatan aneh yang muncul secara misterius
di sini. Aku peduli. Itu pekerjaanku. Tetapi apa yang baru saja kalian katakan
padaku itu tidak dapat diterima."
Langdon berbicara tanpa berpikir lagi. "Anda pernah mendengar tentang
Illuminati?" Air muka sang komandan yang dingin itu berubah. Matanya menjadi putih seperti
seekor hiu yang siap menyerang. "Kuperingatkan. Aku tidak punya waktu untuk ini
semua." "Jadi, Anda pernah mendengar tentang Illuminati." Mata Olivetti
menghujam seperti bayonet. "Aku orang yang bersumpah untuk membela Gereja
Katolik. Tentu saja aku pernah mendengar tentang Illuminati. Mereka telah mati
beberapa dasawarsa yang lalu."
Langdon merogoh sakunya dan mengeluarkan kertas faks yang menunjukkan mayat
Leonardo Vetra yang dicap. Dia menyerahkannya kepada Olivetti.
"Aku peneliti Illumniati," kata Langdon ketika Olivetti mempelajari gambar itu.
"Sulit juga bagiku untuk menerima kenyataan bahwa Illuminati masih aktif, tapi
munculnya cap ini digabungkan dengan fakta bahwa Illuminati terkenal memiliki
sumpah untuk melawan Vatican City telah mengubah pendapatku."
"Ini hanyalah tipuan komputer." Olivetti lalu menyerahkan kertas itu kepada
Langdon. Langdon menatap ragu. "Tipuan" Lihatlah pada kesimetrisannya! Kalian harus
menyadari bahwa keaslian - "
"Keaslian itulah yang tidak kamu punyai. Mungkin Nona Vetra tidak memberimu
penjelasan. Para ilmuwan dari CERN sudah banyak mengkritik kebijakan Vatican
sejak berpuluhpuluh tahun yang lalu. Mereka secara teratur mengajukan permintaan
untuk menarik kembali teori penciptaan alam semesta, meminta maaf secara resmi
kepada Galileo dan Copernicus, dan mencabut kritik kami terhadap penelitian yang
berbahaya dan tidak bermoral. Skenario seperti apa yang rasanya cocok bagi
kalian" Hmm biar aku pikir dulu ... ada kelompok setan berusia empat ratus tahun
telah muncul kembali dengan senjata yang dapat memusnahkan massa atau orangorang
konyol dari CERN sedang berusaha untuk mengganggu peristiwa suci di Vatican
dengan omong kosong seperti ini?"
"Foto itu," kata Vittoria, suaranya terdengar seperti lava mendidih, "adalah
ayahku. Dia dibunuh. Kamu pikir ini akalakalan kami saja?"
"Aku tidak tahu, Nona Vetra. Tetapi sampai aku mendapatkan jawaban yang masuk
akal, aku tidak akan memberikan peringatan apa-apa kepada anak buahku.
Kewaspadaan dan kehati-hatian adalah tugasku ... seperti peristiwa suci ini yang
dapat berlangsung karena kejernihan pikiran. Hari ini sama seperti hari-hari
lainnya." "Paling tidak, tunda acara itu." "Tunda?" Mulut Olivetti mengaga.
"Sombong sekali! Rapat untuk memilih paus tidak seperti pertandingan baseball di
Amerika yang dapat kamu batalkan karena hujan. Ini adalah perisitiwa suci dengan
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
peraturan dan proses yang ketat. Tidak jadi masalan apakah satu milyar umat
Katolik di dunia ini menunggu seorang pemimpin. Tidak peduli apakah ada media
massa dari selurun dunia mefflmggu di luar. Protokol untuk peristiwa suci ini
bukan hal yang dapat dipermainkan. Sejak 1179, pertemuan untuk memilih seorang
paus tetap berlangsung walau ada gempa bumi, kelaparan, dan bahkan bencana pes
sekalipun. Percayalah, pertemuan ini tidak akan pernah ditunda hanya karena
ilmuwan dibunuh atau satu tetes zat yang hanya Tuhan yang tahu."
"Antarkan aku pada seorang yang bertanggung jawab," pinta Vittoria.
Olivetti melotot. "Aku adalah orang bertanggung jawab di sini." "Tidak," sergah
Vittoria. "Seseorang dari kepastoran." Olivetti mulai habis kesabarannya.
"Mereka sudah pergi. Kecuali Garda Swiss, satu-satunya yang masih ada di Vatican
City hanyalah Dewan Kardinal yang berkumpul untuk mengadakan rapat. Dan mereka
berada di dalam Kapel Sistina."
"Bagaimana dengan Kepala Urusan Rumah Tangga Kepausan?" desak Langdon datar.
"Siapa?" "Kepala Urusan Rumah Tangga Mendiang Paus." Langdon mengulangi kata itu
dengan nada yakin sambil berdoa mudahmudahan ingatannya tidak salah. Dia ingat
pernah membaca tentang pengaturan otoritas Vatican yang unik setelah kematian
seorang paus. Kalau Langdon benar, sebelum paus yang baru terpilih, kekuasan
beralih sementara ke asisten pribadi mendiang Paus; Kepala Urusan Rumah Tangga
Kepausan, sebuah badan sekretariat yang mengawasi jalannya rapat pemilihan Paus
sampai para kardinal memilih Bapa Suci yang baru. "Saya yakin Kepala Urusan
Rumah Tangga Kepausan adalah orang yang berwenang pada saat ini."
"Il camerlengno?" Olivetti mendengus. "Dia hanyalah seorang pastor di sini. Dia
adalah pelayan kepercayaan mendiang Paus."
Tetapi dia masih berada di sini. Dan Anda melapor kepadanya."
Olivetti melipat lengannya di dadanya. "Pak Langdon, memang benar kalau
peraturan Vatican memerintahkan sang camerlegno untuk berperan sebagai kepala
pemerintahan selama rapat pemilihan paus berlangsung. Karena dia masih belum
matario untuk diangkat sebagai paus, maka dia dapat memastikan pemilihan yang
berjalan dengan jujur dan adil. Ini seperti kalau presiden Anda meninggal dan
salah satu ajudannya memerintah untuk sementara waktu di Ruang Oval. Sang
camerlegno masih muda dan pemahamannya tentang keamanan, atau apa pun itu, masih
terbatas. Jadi sayalah yang bertanggung jawab di sini." "Bawa kami padanya,"
kata Vittoria. "Tidak mungkin. Rapat untuk memilih paus akan dimulai empat puluh
menit lagi. Sang camerlegno sedang berada di dalam kantornya untuk bersiap-siap.
Aku tidak akan mengganggunya karena ada masalah keamanan."
Vittoria membuka mulutnya untuk mendesaknya, tapi terpotong oleh suara ketukan
pintu. Olivetti membukanya.
Seorang penjaga mengenakan tanda-tanda kebesaran lengkap berdiri di luar dan
menunjuk jam tanganya. "E I'ora, comandante." Olivetti memeriksa jam tangannya
sendiri dan mengangguk. Dia berpaling pada Langdon dan Vittoria seperti seorang
hakim yang sedang mempertimbangkan nasib mereka. "Ikuti aku," katanya kemudian.
Lalu dia membawa mereka keluar dari ruang pemantau dan melewati ruang kendali
keamanan untuk menuju ke sebuah ruangan kecil yang terang di bagian belakang.
"Kantorku." Olivetti meminta mereka masuk. Ruangan itu tidak istimewa, hanya
terdiri atas sebuah meja yang berantakan, lemari arsip, kursi lipat dan
pendingin udara. "Aku akan kembali sepuluh menit lagi. Kusarankan agar kalian
menggunakan waktu itu untuk memutuskan bagaimana kalian akan melanjutkan
kunjungan kalian." Vittoria berputar. "Kamu tidak bisa pergi begitu saja! Tabung itu - "
"Aku tidak punya waktu untuk itu," Olivetti menjadi sangat marah. "Mungkin aku
akan menahan kalian hingga rapat pemilihan paus selesai, kalau aku masih punya
waktu." "Signore" desak penjaga itu, sambil menunjuk jam tangannya. "Spazzare di
cappella." Olivetti mengangguk dan beranjak akan pergi. "Spazzare di cappella?"
tanya Vittoria. "Kamu pergi untuk
menyisir kapel itu?" Olivetti berputar kembali, matanya menatap tajam ke
arahnya. "Kami menyisir untuk mencari alat penyadap elektronik, Nona Vetra. Ini
prosedur keamanan." Dia kemudian menunjuk kaki Vittoria seperti menyindir.
"Sesuatu yang tentu tidak akan kamu mengerti."
Setelah itu lelaki besar itu membanting pintu sehingga kaca tebalnya bergetar.
Dengan cepat Olivetti mengeluarkan sebuah kunci, memasukkannya ke lubangnya dan
memutarnya. Sebuah gerendel yang berat bergeser masuk ke penguncinya.
"Idiotal" teriak Vittoria. "Kamu tidak bisa mengurung
kami di sini!" Melalui kaca itu Langdon dapat melihat Olivetti mengatakan
sesuatu kepada seorang penjaga. Penjaga itu mengangguk. Ketika Olivetti berjalan
pergi ke luar ruangan, penjaga itu berpaling menghadap mereka dari balik kaca
pintu, lengannya disilangkan, sebuah pistol besar tampak terselip di
pinggangnya. Sempurna, pikir Langdon. Sangat sempurna.
37 VITTORIA MELOTOT KE ARAH seorang tentara Garda Swiss yang in di luar pintu ruang
kerja Olivetti. Pengawal itu balas melotot, seragam aneka warnanya sangat
kontras dengan airmukanya yang tegas.
"Che fiasco," pikir Vittoria. Ditahan oleh seorang lelaki bersenjata dan
mengenakan piyama. Langdon hanya terdiam sementara Vittoria berharap Langdon akan menggunakan otak
Harvard-nya untuk berpikir bagaiman mengeluarkan mereka dari sini. Namun
Vittoria bisa melihat dari wajah Langdon kalau lelaki itu lebih merasa terkejut
daripada sedang berpikir. Dia mulai menyesal karena sudah melibatkan dosen itu
hingga sejauh ini. Insting pertama Vittoria adalah mengeluarkan ponselnya dan menelepon Kohler,
tetapi dia tahu itu bodoh. Pertama, penjaga itu akan masuk dan merampas
ponselnya. Kedua, kalau Kohler sedang menjalani perawatan rutinnya, dia mungkin
masih dalam keadaan tidak berdaya. Bukannya tidak penting ... tetapi sepertinya
Olivetti tidak akan memercayai kata-kata orang lain pada saat ini.
Ingat! Kata Vittoria pada diri sendiri. Ingat jawaban dari ujian ini!
Ingatan adalah kiat para filsuf penganut Buddha. Vittoria tidak menuntut
pikirannya untuk mencari pemecahan untuk masalah ini, dia meminta pikirannya
agar mengingatnya. Pemikiran kalau seseorang pernah mengetahui jawaban dari
sebuah masalah, menciptakan pola berpikir yang memastikan bahwa jawaban itu
ada ... dan mengurangi ketidakberdayaan akibat rasa putus asa. Vittoria sering
menggunakan proses itu untuk mengatasi kebingungan ilmiah ... seperti ketika
berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurut orang kebanyakan, tidak ada
jawabannya. Pada saat itu, kiat ingatannya mengarah ke kekosongan yang besar. Jadi dia
mempertimbangkan berbagai pilihan yang ada di depannya, seperti berbagai hal
yang harus dilakukannya. Dia harus memperingatkan seseorang. Seseorang di
Vatican ini yang akan mendengarkannya dengan serius. Tetapi siapa" Sang
camerlegno. Bagaimana caranya" Vittoria sedang terkunci di dalam sebuah kotak
kaca yang hanya memiliki satu pintu.
Alat, katanya pada dirinya sendiri. Pasti ada peralatan yang bisa membantu.
Amati lagi sekelilingmu. Secara naluriah, dia melemaskan bahunya dan mengendurkan matanya, lalu menarik
napas panjang sebanyak tiga kali ke dalam paru-parunya. Dia merasakan jantungnya
berdetak lambat dan otot-ototnya melunak. Kekacauan karena panik dalam benaknya
menghilang. Baik, pikirnya, bebaskan pikiranmu. Apa yang dapat membuat situasi
ini menjadi keadaan yang positif" Apa saja yang kumiliki"
Pikiran analitis Vittoria Vetra, begitu sudah tenang, menjadi buah kekuatan yang
tidak bisa dianggap enteng. Dalam beberapa detik saja dia menyadari bahwa
pengurungan mereka ini sebenarnya adalah kunci bagi kebebasannya. "Aku akan
menelepon," katanya tiba-tiba. Langdon mendongak. "Aku baru saja ingin memintamu
untuk menelepon Kohler, tetapi - " "Bukan Kohler. Orang lain." "Siapa?" "Sang
camerlegno." Langdon betul-betul tampak bingung. "Kamu akan menelepon Kepala
Rumah Tangga Kepausan" Bagaimana caranya?"
"Olivetti tadi mengatakan bahwa sang camerlegno sedang berada di Kantor Paus."
"Memangnya kamu tahu nomor telepon pribadi Paus?" "Tidak. Aku tidak akan
meneleponnya dari ponselku." Dia menggerakkan kepalanya ke arah pesawat telepon
berteknologi tinggi di atas meja kerja Olivetti. Pesawat itu dilengkapi dengan
tombol panggilan cepat. "Kepala Keamanan pasti mempunyai nomor langsung ke
Kantor Paus." "Dia juga punya seorang atlet angkat berat yang memegang senjata dan berdiri
enam kaki dari sini." "Dan kita terkunci di dalam." "Aku sudah mengetahuinya
dengan baik, terima kasih." "Maksudku, penjaga itu terkunci di luar. Ini adalah
kantor pribadi Olivetti. Aku yakin tidak ada orang lain yang mempunyai
kuncinya." Langdon melihat ke arah penjaga yang berdiri di luar. "Kaca itu sangat tipis,
dan senjatanya besar sekali."
"Apa yang akan dilakukannya" Menembakku karena aku menggunakan telepon?"
"Siapa yang tahu! Ini adalah negeri yang sangat aneh, dan segala yang terjadi - "
"Apa pun yang terjadi," kata Vittoria, "entah dia menembak kita atau kita
menghabiskan 5 jam 48 menit berikutnya di Penjara Vatican, paling tidak kita
duduk di baris terdepan ketika antimateri itu meledak."
Langdon menjadi pucat. "Tetapi penjaga itu akan segera menghubungi Olivetti
begitu kamu mengangkat telepon. Lagi pula di situ ada dua puluh tombol. Dan aku
tidak melihat adanya petunjuk. Kamu akan mencobanya semua dan mengharapkan
keberuntungan?" "Tidak juga," sahut Vittoria sambil berjalan menuju pesawat telepon itu. "Hanya
satu." Vittoria lalu mengangkat gagang telepon itu dan menekan tombol paling
atas. "Nomor satu, aku bertaruh denganmu untuk satu dolar Illuminati dalam
sakumu itu kalau ini adalah nomor Kantor Paus. Apa yang terpenting bagi seorang
Komandan Garda Swiss?"
Langdon tidak punya waktu untuk menjawab. Penjaga di luar pintu itu mulai
menggedor pintu dengan bagian belakang pistolnya. Dia juga memberikan isyarat
kepada Vittoria untuk meletakkan telepon itu.
Vittoria mengedipkan matanya pada sang penjaga. Penjaga itu tampaknya semakin
marah. Langdon bergerak menjauh dari pintu dan berpaling pada Vittoria. "Kamu harus
benar karena lelaki itu tampak marah sekali!"
"Sialan!" seru Vittoria, ketika mendengarkan suara dari gagang telepon itu.
"Sebuah rekaman."
"Rekaman?" tanya Langdon. "Paus punya mesin penjawab?"
"Itu bukan Kantor Paus," kata Vittoria sambil meletakkan kembali gagang telepon
itu. "Itu hanya daftar menu mingguan dari toko kelontong Vatican."
Langdon tersenyum lemah pada penjaga di luar yang sekarang dengan marah dari
luar dinding kaca sambil memanggil Olivetti dengan walkie-talkienya.
38 OPERATOR TELEPON VATICAN berpusat di Ufficio di Comunicazione yang terletak di
belakang Kantor Pos Vatican. Ruangan itu bisa dikatakan kecil dan berisi sebuah
papan panel Corelco 141 dengan delapan jalur. Kantor itu menerima 2.000
panggilan setiap harinya dan biasanya dialihkan secara otomatis ke sistem
informasi yang sudah terekam.
Malam ini, satu-satunya operator yang bertugas sedang duduk dengan tenang sambil
menghirup secangkir besar teh berkafein. Dia merasa bangga menjadi salah satu
pegawai yang diperbolehkan berada di Vatican City malam ini. Tentu saja
kehormatan itu berkurang dengan kehadiran beberapa Garda Swiss yang berjaga di
luar pintunya. Ke toilet pun harus dikawal, pikir sang operator. Ah, sebuah
penghinaan yang harus diterima atas nama rapat pemilihan paus yang suci.
Untunglah, tidak banyak sambungan telepon malam ini. Atau mungkin itu bukanlah
hal yang menguntungkan, pikirnya. Minat dunia akan kejadian-kejadian di Vatican
tampaknya mulai berkurang sejak beberapa tahun silam. Panggilan telepon dari
pers sudah menipis dan orang-orang gila itu sudah tidak sering menelepon lagi
sekarang. Pers berharap peristiwa malam ini akan lebih bernuansa perayaan.
Sayangnya, Lapangan Santo Petrus walau penuh oleh mobil trailer pers, mobilmobil tersebut kebanyakan berasal dari pers Italia dan Eropa biasa. Hanya
beberapa jaringan pers global yang berada di sana ... pasti mereka hanya
mengirim giornalisti secundari, wartawan kelas dua mereka.
Operator itu menggenggam cangkir besarnya dan bertanya tanya berapa lama
peristiwa malam ini akan berakhir. Mungkin pada tengah malam, dia menerka.
Akhir-akhir ini, sebagian besar orang dalam sudah mengetahui siapa yang
dijagokan untuk menggantikan Paus sebelum rapat diadakan sehingga proses itu
hanya memakan waktu lebih singkat, sekitar tiga atau empat jam ritual daripada
waktu pemilihan yang sebelumnya. Tentu saja perselisihan tingkat tinggi pada
menit-menit terakhir dapat memperpanjang acara itu hingga subuh ... atau bahkan
lebih lama lagi. Rapat pemilihan paus pada tahun 1831 berlangsung selama 54
hari. Malam ini tidak akan seperti itu, katanya pada dirinya sendiri; kabar
angin yang terdengar mengatakan kalau rapat ini hanya akan menjadi sebuah
"tontonan santai."
Lamunan operator itu tergugah oleh suara dering dari saluran internal di papan
panel yang berada di hadapannya. Dia melihat lampu merah yang berkedip-kedip dan
menggaruk kepalanya. Ini aneh, pikirnya. Saluran nol. Siapa dari kalangan
internal yang menelepon operator informasi malam ini" Siapa yang masih berada di
dalam" "Citta del Vaticano, prego?" katanya ketika menjawab telepon itu.
Suara di dalam saluran itu berbicara dalam bahasa Italia dengan cepat. Samarsamar operator itu mengenali aksen yang biasa terdengar dari kalangan Garda
Swiss. Mereka berbicara bahasa Italia dengan lancar dan dipengaruhi oleh aksen
FrancoSwiss. Tapi, orang yang meneleponnya ini bukan seorang Garda Swiss.
Ketika mendengarkan suara perempuan di telepon, operator itu tiba-tiba berdiri
dan hampir menumpahkan tehnya. Dia menatap ke saluran itu lagi. Dia tidak salah.
Sambungan internal panggilan itu berasal dari dalam. Pasti sebuah kesalahan!
pikirnya. Seorang perempuan di dalam Vatican City" Malam ini"
Perempuan itu berbicara dengan cepat dan marah. Operator itu sudah cukup lama
bekerja menjadi operator sehingga dia tahu apa yang harus dilakukannya ketika
berurusan dengan seorang pazzo. Tapi perempuan ini tidak terdengar gila. Dia
memang mendesak tetapi kalimatnya tetap masuk akal. Tenang dan efisien. Lelaki
itu mendengarkan permintaan perempuan itu dengan bingung.
" Il camerlegno," operator itu bertanya sambil masih mencoba membayangkan dari
mana panggilan itu berasal. "Aku tidak dapat menghubungkan ... ya, aku tahu
beliau berada di Kantor Paus, siapa Anda, ulangi" ... dan Anda ingin
memperingatkan beliau akan ...." Dia mendengarkan dan merasa semakin ngeri.
Semua orang dalam bahaya" Bagaimana bisa begitu" Dan dari mana Anda menelepon"
"Mungkin aku harus menghubungi Garda Swiss..." Tiba-tiba operator itu berhenti.
"Anda bilang Anda di mana" Di mana?"
Lelaki itu mendengarkan dan terkejut sekali. Dia lalu membuat keputusan. "Harap
tunggu sebentar," dia berkata sambil menekan tombol lain sebelum perempuan itu
dapat menjawab. Kemudian dia menelepon ke nomor langsung Komandan Olivetti.
Tidak mungkin perempuan itu benarbenar - Saluran itu langsung diangkat.
"Per I'amore di Diol" suara seorang perempuan yang sudah dikenalnya itu
berteriak di telinganya. "Sambungkan aku segera!" Pintu pusat keamanan Garda
Swiss terbuka. Pengawal itu menepi ketika Komandan Olivetti memasuki ruangan
seperti sebuah roket. Sambil membelok ke arah kantornya, Olivetti menemukan
kejadian seperti yang tadi dikatakan pengawalnya melalui walkie-talkienya...
Vittoria Vetra sedang berdiri di sisi meja kerjanya dan berbicara dengan
menggunakan telepon pribadi sang komandan.
Che coglioni che ha questa! pikirnya. Yang satu ini berani sekali!
Dengan wajah pucat, dia berjalan ke arah pintu kantornya dan memasukkan kunci ke
dalam lubangnya. Dia kemudian menarik pintu itu hingga terbuka dan bertanya,
"Apa yang kamu lakukan?"
Vittoria mengabaikannya. "Ya," kata Vittoria dengan seseorang di telepon. "Dan
aku harus memperingatkan - "
Olivetti merampas gagang telepon itu dari tangan Vittoria dan menempelkannya ke
telinganya sendiri. "Siapa ini!?"
Saat itu juga, ketegapan tubuh Olivetti menyurut. "Ya, camerlegno ..." katanya.
"Betul, Pak ... tetapi masalah keamanan menuntut ... tentu saja ... saya menahan
mereka di sini tentunya, tetapi ...." Olivetti mendengarkan. "Ya, Pak," katanya
akhirnya. "Saya akan membawa mereka ke kantor Anda."
39 ISTANA APOSTOLIK ADALAH sekelompok gedung yang terletak di dekat Kapel Sistina
di sudut timur laut Vatican City. Dihiasi oleh Lapangan Santo Petrus yang tampak
menonjol di depannya, istana itu terdiri atas Rumah Dinas Kepausan dan Kantor
Paus. Vittoria dan Langdon mengikuti sang komandan tanpa bersuara ketika Olivetti
membawa mereka ke sebuah koridor panjang bergaya rococo Perancis. Olivetti masih
terlihat berang. Setelah menaiki tiga set anak tangga, mereka akhirnya memasuki
sebuah koridor yang remang-remang.
Langdon tidak dapat memercayai benda-benda seni yang terpampang di sekitarnya.
Dia dapat melihat patung dada, permadani dinding, dekorasi ukiran huruf, dan
semua karya seni itu berharga ratusan ribu dolar. Setelah melewati dua pertiga
dan perjalanan mereka, mereka melewati sebuah air mancur dari batu pualam.
Olivetti membelok ke kiri, menuju ke sebuah ruangan, lalu memasuki sebuah pintu
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbesar yang pernah dilihat Langdon.
"Ufficio di Papa," kata sang komandan sambil menatap Vittoria dengan kesal. Tapi
Vittoria tidak takut. Dia melewati Olivetti dan mengetuk pintunya dengan keras.
Kantor Paus, kata Langdon dalam hati sambil masih belum percaya kalau dirinya
sedang berdiri di depan sebuah ruangan yang paling suci di dunia Kristen.
Avanti!" seseorang berseru dari dalam.
Ketika pintu terbuka, Langdon harus melindungi matanya. Sinar matahari bersinar
menyilaukan di ruangan itu. Perlahan, sosok di depannya mulai menjadi semakin
jelas. Ruang Kantor Paus itu lebih mirip dengan ruang dansa daripada sebuah kantor.
Lantai dari pualam berwarna merah membentang ke dinding yang dihiasi lukisan
dinding yang mewah. Sebuah tempat lilin yang sangat besar tergantung di atas,
sementara itu sekumpulan jendela berbentuk melengkung menawarkan panorama yang
mengagumkan dari Lapangan Santo Petrus yang sedang bermandikan cahaya matahari.
Ya ampun, seru Langdon. Ini benar-benar sebuah ruangan dengan pemandangan indah.
Di ujung balairung itu, di atas sebuah meja berukir, seorang lelaki duduk sambil
menulis dengan tekun. "Avanti," serunya lagi. Dia lalu meletakkan penanya dan
mengayunkan tangannya kepada mereka.
Olivetti mendahului mereka dengan sikap militernya. "Signore," katanya bernada
minta maaf. "No ho potuto - "
Lelaki itu memotong kalimatnya. Dia lalu berdiri dan mengamati kedua tamunya
itu. Sang camerlegno sama sekali tidak seperti orang tua lemah dengan sinar kesucian
yang sedang berjalan-jalan di Vatican seperti yang selama ini dibayangkan oleh
Langdon. Lelaki itu tidak mengenakan rosario ataupun medali. Dia juga tidak
mengenakan jubah berat. Dia hanya mengenakan jubah ringan yang tampak
menonjolkan bentuk tubuhnya yang kekar. Tampaknya dia berusia tiga puluhan,
masih sangat muda bagi ukuran Vatican. Yang lebih mengejutkan lagi, wajahnya
tampan, rambutnya cokelat dengan mata berwarna hijau cerah yang bercahaya,
seolah kedua matanya itu diterangi oleh misteri dari alam semesta. Ketika lelaki
itu semakin dekat, Langdon melihat kalau lelaki itu sangat lelah seperti telah
melewati lima belas hari terberat dalam hidupnya.
"Aku Carlo Ventresca," katanya. Bahasa Inggrisnya sempurna "Camerlegno mendiang
Paus." Suaranya terdengar jujur dan ramah dengan sebersit aksen Italia.
"Vittoria Vetra," kata Vittoria sambil melangkah ke depan dan mengulurkan
tangannya. "Terima kasih sudah bersedia menemui kami."
Olivetti cemberut ketika sang camerlegno menjabat tangan Vittoria.
"Ini Robert Langdon," lanjut Vittoria. "Seorang ahli sejarah agama dari Harvard
University." "Padre" kata Langdon dengan aksen Italianya yang diusahakan sebaik mungkin. Dia
menundukkan kepalanya sambil mengulurkan tangannya.
"Jangan, jangan," desak sang camerlegno sambil meminta Langdon untuk mengangkat
kepalanya lagi. "Kantor Yang Mulia Paus tidak membuatku suci. Aku hanyalah
seorang pastor, seorang Kepala Rumah Tangga Kepausan yang melayani jika
diperlukan." Langdon kemudian menegakkan tubuhnya. "Silakan," kata sang
camerlegno, "mari duduk." Dia kemudian mengatur beberapa kursi di sekeliling
mejanya. Langdon dan Vittoria kemudian duduk. Tampaknya Olivetti lebih senang
berdiri. Sang camerlegno duduk di mejanya. Sambil menyilangkan tangannya, dia mendesah
dan menatap tamunya. "Signore," kata Olivetti. "Pakaian perempuan ini adalah kesalahanku. Aku - "
"Pakaiannya bukanlah hal yang aku khawatirkan," sahut sang camerlegno, suaranya
terdengar terlalu leti untuk diganggu. "Ketika operator Vatican meneleponku
setengah jam sebelum aku membuka rapat pemilihan paus, dia mengatakan padaku
bahwa seorang perempuan menelepon dari kantor pribadimu, Pak Olivetti, untuk
memperingatkanku akan adanya ancaman keamanan serius yang belum Anda kabarkan
kepada saya. Itulah yang aku khawatirkan.
Olivetti berdiri kaku, punggungnya melengkung seperti seorang serdadu sedang
diperiksa dengan teliti. Langdon merasa seperti dihipnotis oleh penampilan sang camerlengo. Lelaki itu
masih muda dan letih seperti juga dirinya, pastor itu memiliki aura ksatria
mistis yang memancarkan Icarisma dan kewenangan.
"Signore," kata Olivetti, nada suaranya penuh sesal tetapi masih keras hati.
"Anda seharusnya tidak perlu mengkhawatirkan urusan keamanan. Anda memiliki
tanggung jawab lainnya."
"Aku sangat tahu apa kewajibanku yang lainnya. Aku juga tahu sebagai direttore
intermediario, aku mempunyai kewajiban atas keamanan dan kesejahteraan semua
orang pada saat rapat pemilihan paus berlangsung Apa yang terjadi di sini?"
"Saya sudah mengatasinya." "Tampaknya belum." "Bapa," kata Langdon menyela
sambil mengeluarkan kertas faks yang sudah lusuh dan menyerahkannya kepada sang
camerlegno, "silakan."
Komandan Olivetti melangkah ke depan, mencoba ikut campur. "Bapa, kumohon,
jangan risaukan pikiran Anda dengan - "
Sang camerlegno mengambil kertas faks itu dan mengabaikan Olivetti. Dia menatap
gambar Leonardo Vetra yang terbunuh lalu menarik napas karena terkejut. "Apa
ini?" "Itu ayahku," kata Vittoria, suaranya bergetar. "Ayahku
seorang pastor dan ilmuwan. Ayah dibunuh tadi malam." Tiba-tiba wajah sang
camerlegno menjadi lembut. Dia menatap Vittoria. "Anakku sayang. Aku turut
berduka." Dia membuat tanda salib di depan dadanya sendiri dan melihat kertas
faks itu sekali lagi, matanya tampak dipenuhi oleh rasa jijik. "Siapa yang ...
dan luka bakar pada ..." sang camerlegno berhenti sejenak, matanya menyipit dan
mendekatkan gambar itu ke wajahnya.
"Tulisan itu berbunyi Illuminati," kata Langdon. "Saya yakin Anda mengenali nama
itu." Air muka sang camerlegno mendadak berubah. "Saya pernah mendengar nama itu,
tetapi ...." "Kelompok Illuminati membunuh Leonardo Vetra sehingga mereka dapat mencuri
sebuah teknologi baru yang ...."
"Signore," Olivetti berseru. "Ini aneh sekali. Kelompok Illuminati" Ini jelas
merupakan penipuan."
Sang camerlegno tampak memikirkan kata-kata Olivetti. Lalu dia berpaling dan
menatap Langdon dengan tajam sehingga Langdon merasa paru-parunya kehabisan
udara. "Pak Langdon saya sudah melewatkan hidupku di dalam Gereja Katolik. Saya
tahu banyak tentang Illuminati ... dan legenda cap tersebut. Walau demikian saya
hams memperingatkan Anda, saya seorang lelaki yang hidup di masa kini. Kristen
sudah mempunyai banyak musuh jadi tidak usah membangkitkan hantu-hantu itu
kembali." "Simbol itu asli," kata Langdon terdengar agak terlalu membela diri. Dia
mengulurkan tangannya dan memutar kertas faks itu di hadapan sang camerlegno.
Sang camerlegno terdiam ketika melihat kesimetrisan yang dimiliki cap itu.
"Bahkan komputer modern sekalipun," katanya menambahkan, "tidak dapat meniru
ambigram yang simetris dari kata itu."
Sang camerlegno melipat tangannya dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun selama
beberapa saat. "Kelompok Illuminati sudah mati," akhirnya dia berkata. "Sudah
lama sekali. Itu merupakan kenyataan sejarah."
Langdon mengangguk. "Kemarin, saya juga akan sepakat dengan Anda." "Kemarin?"
"Sebelum rangkaian peristiwa ini. Saya percaya Illuminati telah muncul kembali
untuk mewujudkan sumpah lama mereka."
"Maafkan saya. Pengetahuan sejarah saya sudah berkarat. Sumpah kuno apa itu?"
Langdon menarik napas panjang. "Untuk menghancurkan Vatican City."
"Menghancurkan Vatican City?" Sang camerlegno terlihat lebih bingung daripada
takut. "Tetapi itu tidak mungkin." Vittoria menggelengkan kepalanya. "Aku
khawatir kami masih mempunyai berita buruk yang lainnya."
40 "APAKAH INI BENAR?" tanya sang camerlegno yang tampak terheran-heran sambil
menatap Olivetti dan Vittoria.
"Signore," kata Olivetti meyakinkan, "saya mengakui ada semacam peralatan asing
di sini. Benda itu tampak pada layar monitor keamanan kami, tetapi ketika Nona
Vetra menceritakan kemampuan benda tersebut, aku tidak - "
"Tunggu sebentar," kata sang camerlegno. "Kamu dapat melihat benda itu?" "Ya,
signore. Pada kamera nirkabel nomor 86." "Dan kenapa kamu tidak menemukannya?"
Sekarang suara sang camerlegno menggema karena marah. "Sangat sulit, signore." Olivetti berdiri
tegak ketika dia menjelaskan keadaannya. Sang camerlegno mendengarkan dan Vittoria dapat
merasakan keprihatinan lelaki itu meningkat. "Kamu yakin benda itu berada di
dalam Vatican City?" sang camerlegno bertanya. "Mungkin seseorang telah membawa
keluar kamera itu dan menyiarkan gambar itu dari tempat lain."
"Itu tidak mungkin," kata Olivetti. "Dinding luar kami lindungi secara
elektronik untuk menjaga komunikasi internal. Tayangan ini hanya berasal dari
dalam, kami tidak akan dapat menangkap gambar tersebut dari luar."
"Jadi," kata sang camerlegno, "kamu punya tugas untuk mencari kamera yang hilang
itu dengan segala peralatan yang ada, begitu?"
Olivetti menggelengkan kepalanya. "Tidak, signore. Untuk menemukan kamera itu
kami membutuhkan ratusan orang. Kami mempunyai masalah keamanan lainnya yang
harus kami hadapi saat ini, dan dengan segala hormat kepada Nona Vetra, tetesan
yang dibicarakannya hanyalah benda yang kecil sekali. Itu tidak mungkin dapat
meledak sehebat yang dikatakannya."
Kesabaran Vittoria menguap habis. "Tetesan itu cukup untuk meratakan Vatican
City dengan tanah! Kamu tidak mendengarkan kata-kata yang kuucapkan padamu?"
"Bu," kata Olivetti, suaranya terdengar keras seperti baja, "pengalamanku pada
bahan-bahan peledak sangat luas."
"Pengalamanmu sudah kuno," sergah Vittoria tak kalah kerasnya. "Walau pakaianku
begini, cara berpakaian yang kutahu sangat mengganggumu, aku adalah seorang ahli
fisika senior di sebuah fasilitas penelitian atomik yang paling maju di dunia.
Aku sendiri yang merancang tabung antimateri itu sehingga spesimen tersebut
tidak meledak sekarang. Dan aku peringatkan, kalau kamu tidak menemukan tabung
itu dalam waktu enam jam, anak buahmu tidak akan bisa melindungi Vatican lagi
hingga abad berikutnya. Karena setelah ledakan itu Vatican hanyalah sebuah
lubang besar di tanah."
Olivetti berjalan mendekati sang camerlegno, matanya yang awas seperti serangga
menyala karena marah. "Signore, saya tidak dapat membiarkan hal ini terus
berlangsung. Waktu Anda terbuang sia-sia karena dua pelawak ini. Kelompok
Illuminati" Tetesan yang akan memusnahkan kita semua?"
"Basta," sergah sang camerlegno. Dia mengucapkan kata itu dengan perlahan namun
seperti menggema di seluruh ruangan. Kemudian sunyi. Dia kemudian berbisik
kepada Olivetti. ' Berbahaya atau tidak, Illuminati atau bukan, wnda apa pun
itu, yang pasti adalah benda yang tidak seharusnya ada di Vatican City ...
apalagi dalam acara akbar seperti ini. Aku ingin benda itu ditemukan dan
dipindahkan. Atur pencariannya sekarang juga.
Olivetti mendesak. "Signore, walaupun kita mengerahkan semua penjaga untuk
menyisir setiap sudut kompleks dan mencari kamera kami membutuhkan waktu
berhari-hari untuk menemukannya. Terlebih lagi, setelah berbicara dengan Nona
Vetra, aku telah memerintahkan anak buahku untuk mencari nama zat yang bernama
antimateri tersebut di buku panduan balistik kami yang paling mutakhir. Dan saya
tidak menemukan kata itu di mana pun. Tidak ada apa-apa."
Dasar bodoh! pikir Vittoria. Sebuah buku panduan balistik" Apakah mereka tidak
bisa mencarinya di kamus" Di bawah huruf A!
Olivetti masih terus berbicara. "Signore, kalau Anda menyuruh kami mencari benda
tersebut di seluruh kompleks ini tanpa dilengkapi peralatan apa pun, saya harus
menolak." "Komandan." Suara sang camerlegno itu bergetar karena marah. "Aku peringatkan
kepadamu. Ketika kamu berbicara padaku, kamu sedang berbicara kepada institusi
ini. Aku tahu kamu tidak menghormati posisiku di sini, tapi menurut hukum akulah
yang bertanggung jawab untuk saat ini. Kalau aku tidak salah, para kardinal
sekarang sedang berada di tempat yang aman, di dalam Kapel Sistina, dan regu
keamananmu tidak perlu terlalu bekerja keras hingga acara suci ini selesai. Aku
tidak mengerti kenapa kamu ragu-ragu untuk mencari benda tersebut. Sepertinya
kamu sengaja ingin membahayakan rapat pemilihan paus."
Olivetti terlihat kesal. "Berani-beraninya! Aku sudah melayani mendiang Paus
selama dua belas tahun! Dan paus sebelumnya selama empat belas tahun! Sejak
tahun 1438 Garda Swiss telah - "
Walkie-talkie yang tergantung di ikat pinggang Olivetti berbunyi keras, memotong
kalimatnya. "Commandante?"
Olivetti melepaskannya dan menekan tombol bicara. "Sto ocupato! Cosa voi!!"
"Scusi," kata seorang Garda Swiss melalui radio. "Di sini ada komunikasi. Saya
kira Anda ingin tahu kalau kita baru saja menerima ancaman bom."
Olivetti menjawab dengan tegas. "Atasi! Lakukan prosedur seperti biasanya, dan
tulis laporannya." "Sudah kami lakukan, Pak, tetapi penelepon itu ...." Pengawal itu berhenti
sejenak. "Saya tidak ingin mengganggu Anda, Pak tetapi orang itu mengatakan nama
zat yang baru saja Anda perintahkan untuk diselidiki. Antimateri."
Semua orang di dalam ruangan itu saling memandang dengan tatapan tegang. "Dia
mengatakan apa?" bentak Olivetti. "Antimateri, Pak. Ketika kami mencoba melacak,
saya juga melakukan beberapa penelitian tambahan atas permintaan si penelepon.
Informasi tentang antimateri adalah ... yah, terus terang saja, sangat
berbahaya." "Kukira kamu tadi mengatakan kalau di buku panduan balisitik tidak mengatakan
apa-apa tentang hal itu." "Saya menemukannya di internet, Pak." Haleluya, seru
Vittoria dalam hati. "Zat kimia itu tampaknya sangat mudah meledak," kata
pengawal itu lagi. "Sulit dibayangkan apakah informasi ini akurat tetapi
tertulis di sini bahwa setiap pon antimateri mengandung sekitar seratus kali
muatan hulu ledak senjata nuklir."
Olivetti menjadi lesu. Seperti sedang menonton gunung yang runtuh. Perasaan
kemenangan dalam diri Vittoria terhapus oleh kesan ketakutan pada wajah sang
camerlegno. "Kamu berhasil melacak telepon itu?" tanya Olivetti dengan membentak.
"Tidak, Pak. Pasti dia menelepon dengan menggunakan ponsel dan disandi dengan
sangat canggih. Jalur SAT terganggu sehingga triangulasinya terputus. Tanda IF
mengesankan bahwa penelepon itu berada di Roma, tetapi sulit untuk melacaknya."
"Apakah dia menuntut sesuatu?" tanya Olivetti, suaranya tenang.
"Tidak, Pak. Hanya memperingatkan kita bahwa ada antimateri tersembunyi di dalam
kompleks ini. Dia tampak terkejut, aku tidak tahu. Dia kemudian bertanya padaku
apakah sudah melihatnya. Anda menanyakan tentang antimateri, jadi saya
memutuskan untuk menghubungi Anda, Pak."
"Kamu bertindak benar," kata Olivetti. "Aku akan ke sana sebentar lagi. Beri
tahu aku kalau dia menelepon lagi."
Sunyi sejenak dari walkie-talkie itu. "Si penelepon masih terhubung, Pak."
Olivetti terlihat seperti baru saja disetrum listrik. "Dia masih di sana?"
"Ya, Pak. Kami sudah mencoba untuk melacaknya selama sepuluh menit ini, tapi
tidak berhasil. Dia pasti tahu kalau kita tidak dapat menemukannya karena dia
menolak untuk memutuskan sambungan sampai dia berbicara dengan sang camerlegno."
"Sambungkan dia," perintah sang camerlegno. "Sekarang!" Olivetti berpaling.
"Bapa, jangan. Negosiator Garda Swiss
yang terlatih lebih cocok untuk mengatasi ini." "Sekarang"
Olivetti memerintahkan pengawal itu. Sesaat kemudian, telepon di atas meja
Camerlegno Ventresca mulai berdering. Jemari sang camerlegno meraih tombol
speaker phone di pesawat teleponnya. "Demi Tuhan, kamu pikir kamu ini siapa?"
41 SUARA YANG DIPERKERAS dari speaker phone sang camerlegno terdengar seperti kaku
dan dingin dengan kesan angkuh. Semua orang di ruangan itu mendengarkan.
Langdon mencoba mengenali aksennya. Timur Tengah, mungkin"
"Aku pembawa pesan dari sebuah persaudaraan kuno," suara itu mengumumkan dirinya
dengan logat yang asing. "Sebuah persaudaraan yang telah kamu perlakukan dengan
tidak adil. Aku adalah pembawa pesan dari kelompok Illuminati."
Langdon merasa otot-ototnya menegang, keraguannya telah pupus sekarang. Saat itu
juga dia merasakan berbagai macam perasaan yang campur aduk antara rasa tegang,
bangga dan takut seperti yang dirasakannya ketika dia pertama kalinya melihat
ambigram itu tadi pagi. "Apa yang kamu kehendaki?" tanya sang camerlegno. "Aku
mewakili para ilmuwan yang seperti juga dirimu, sedang berusaha untuk mencari
jawaban. Jawaban bagi nasib manusia, tujuannya, penciptanya." "Siapa pun kamu,"
kata sang camerlegno, "aku - " "Silenzio. Kamu lebih baik mendengarkan. Selama dua
milenium gerejamu telah mendominasi pencarian akan kebenaran. Kalian telah
menghancurkan lawanmu dengan kebohongan dan ramalan tentang hari kiamat. Kalian
telah memanipulasi kebenaran demi kepentingan kalian, membunuh orang-orang yang
penemuannya tidak sesuai dengan pemikiran kalian. Kenapa kalian heran ketika
menjadi sasaran orang-orang yang diberi pencerahan dari seluruh dunia?"
"Orang-orang yang diberi pencerahan tidak akan memeras untuk mencapai
tujuannya." "Memeras?" Penelepon itu tertawa. "Ini bukan pemerasan. Kami tidak mempunyai
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tuntutan. Penghancuran Vatican tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kami sudah
menanti selama empat ratus tahun untuk hari ini. Pada tengah malam nanti, kotamu
akan dihancurkan. Tidak ada yang dapat kamu lakukan."
Olivetti bergerak cepat menuju speaker phone. "Jalan masuk ke kota ini tidak
mungkin ditembus! Kamu tidaK mungkin bisa menanam bom di sini!"
"Kamu berbicara dengan keteledoran seorang Garda Swiss. Mungkin keteledoran
seorang petugas" Pasti kamu tahu kalau selama berabad-abad Illuminati sudah
menyusup ke dalam berbagai organisasi kalangan atas di seluruh dunia. Kamu
betulbetul yakin Vatican itu bebas dari penyusupan kami?"
Yesus, kata Langdon dalam hati, jadi mereka mempunyai orang dalam. Bukan rahasia
lagi kalau penyusupan merupakan ciri khas kekuatan Illuminati. Mereka menyusup
ke dalam Kelompok Mason, jaringan perbankan besar, juga tubuh pemerintahan.
Kenyataannya, Churchill pernah mengatakan kepada para wartawan kalau mata-mata
Inggris bisa menyusup ke dalam Nazi seperti Illuminati menyusup ke dalam
Parlemen Inggris, Perang Dunia II dapat selesai dalam waktu satu bulan saja.
"Betul-betul omong kosong," bentak Olivetti. "Pengaruhmu tidak mungkin meluas
sejauh itu." "Mengapa tidak" Karena Garda Swiss kalian begitu tangkasnya" Karena mereka
menjaga setiap sudut dunia kecilmu itu" Bagaimana dengan Garda Swiss sendiri"
Apakah mereka bukan manusia" Apakah kamu benar-benar yakin kalau mereka mau
mempertaruhkan hidup mereka hanya untuk sebuah dongeng tentang seorang lelaki
yang dapat berjalan di atas air" Tanyakan pada diri kalian sendiri bagaimana
tabung itu bisa memasuki kota kalian. Atau bagaimana empat dari harta kalian
yang paling berharga dapat menghilang siang ini?" "Harta kami?" bentak Olivetti.
"Apa maksudmu?" "Satu, dua, tiga, empat. Kalian belum kehilangan mereka
sekarang?" "Apa maksud kalian - " Tiba-tiba Olivetti berhenti.
Matanya terbelalak seolah perutnya baru saja ditinju. "Pada saat matahari
menyingsing," kata penelepon itu.
"Bolehkah aku membacakan nama-nama mereka?" "Ada apa ini?" tanya sang camerlegno
yang tampak bingung. Penelepon itu tertawa. "Jadi satuan pengamananmu itu belum memberimu
penjelasan tentang hal ini" Memalukan sekali. Tidak mengherankan. Kesombongan
yang hebat. Aku membayangkan betapa malunya untuk mengatakan kebenaran ... dia
sudah bersumpah untuk menjaga keempat kardinal yang tampaknya telah
menghilang...." Olivetti meledak. "Darimana kamu mendapatkan informasi itu?"
"Sang camerlegno," penelepon itu berkata dengan riang, "coba tanyakan komandanmu
itu, apakah semua kardinal kalian sudah lengkap berkumpul di Kapel Sistina."
Sang camerlegno berpaling pada Olivetti, mata hijaunya meminta penjelasan.
"Signore," bisik Olivetti di telinga sang camerlegno. "Memang benar ada empat
kardinal kita yang belum melaporkan diri mereka di Kapel Sistina, tetapi tidak
perlu khawatir. Mereka semua sudah mendaftarkan diri mereka di tempat penginapan
pagi ini, jadi kami tahu kalau mereka semua berada di dalam Vatican City dengan
aman. Anda sendiri sudah minum teh bersama mereka beberapa jam yang lalu.
Keempat orang itu hanya terlambat menghadiri acara ramah-tamah sebelum rapat
pemilih paus dimulai. Kami sudah mencari mereka, tapi kami yakin mereka hanya
lupa waktu dan masih menikmati suasana kota ini."
"Menikmati suasana kota ini?" ketenangan sudah tidak terdengar lagi dalam suara
sang camerlegno. "Mereka harus berada di kapel itu satu jam yang lalu!"
Langdon menatap Vittoria dengan tatapan keheranan. Kardinal-kardinal yang
menghilang" Jadi para pengawal itu tadi sedang mencari mereka di bawah"
"Kalian akan memercayaiku kalau aku membacakan namanama mereka," kata penelepon
itu lagi. "Kardinal Lamasse dari Paris, Kardinal Guidera dari Barcelona,
Kardinal Ebner dari Frankfurt ...."
Olivetti tampak semakin menciut tiap kali nama-nama itu dibacakan.
Penelepon itu berhenti sebentar, seolah dia sedang menikmati kesenangan
tersendiri saat menyebutkan nama terakhir. "Dan dari Italia ... Kardinal
Baggia." Tubuh sang camerlegno langsung lesu seperti sebuah kapal besar yang mati angin.
Pakaiannya menggelembung ketika dia terduduk di atas kursinya. "I prefereti,"
bisiknya. "Keempat kardinal yang diunggulkan ... termasuk Baggia ... yang paling
tepat untuk diangkat sebagai Supreme Pontiff, Paus yang Agung ... bagaimana ini
bisa terjadi?" Langdon pernah membaca tentang pemilihan paus modern sehingga dia mengerti
ketika menatap wajah sang camerlegno yang putus asa. Walau secara teknis setiap
kardinal yang berusia di bawah delapan puluh tahun dapat menjadi paus, tapi
hanya sedikit saja di antara mereka yang bisa mendapat dukungan dua pertiga dari
mayoritas suara dalam pemilihan itu. Orang-orang yang dijagokan dikenal sebagai
para preferiti. Dan mereka semua kini telah menghilang.
Keringat menetes di dahi sang camerlegno. "Apa yang akan kamu lakukan pada
mereka?" "Menurutmu apa yang akan kulakukan" Aku adalah keturunan Hassassin."
Langdon merasa menggigil. Dia mengenal nama itu dengan baik. Gereja berhasil
menciptakan beberapa musuh berbahaya selama bertahun-tahun, seperti kelompok
Hassassin, Knight Templar, sekelompok serdadu yang diburu atau dikhianati oleh
gereja. "Biarkan kardinal-kardinal itu bebas," kata sang camerlegno. "Apakah mengancam
ingin menghancurkan Kota Tuhan saja tidak cukup?"
"Lupakan keempat kardinalmu itu. Kamu, toh masih punya banyak. Pastikan bahwa
kematian mereka akan diingat oleh jutaan orang. Itu adalah impian setiap martir,
bukan" Aku akan membuat mereka menjadi pencerah media. Satu per satu. Pada
tengah malam, Illuminati akan mendapatkan perhatian semua orang. Mengapa harus
mengubah dunia kalau dunia tidak memerhatikanmu. Pembunuhan di depan umum akan
membuat masyarakat sangat ketakutan, bukan" Kalian telah membuktikannya sejak
lama... pengadilan itu, penyiksaan yang dilakukan terhadap kelompok Knight Templar
dan tentara salib." Dia berhenti sejenak, lalu "Dan tentu saja la purga." Sang
camerlegno terdiam. "Jadi kalian tidak ingat la purga?" tanya penelepon itu.
"Tentu saja tidak, kalian masih anak-anak. Para pastor adalah ahli sejarah yang
payah. Mungkin karena sejarah itu mempermalukan mereka"'"
" La purga" Langdon mendengar dirinya berbicara. "Tahun 1668. Gereja mencap
empat orang ilmuwan Illuminati dengan simbol salib untuk membersihkan dosa
mereka." "Suara siapa itu?" tanya si penelepon. Dia lebih terdengar seperti tertarik
daripada prihatin. "Ada siapa lagi di sana?"
Langdon merasa gemetar. "Namaku tidak penting," katanya sambil mencoba untuk
menenangkan suaranya. Berbicara dengan anggota Illuminati yang masih hidup
seperti berbicara dengan George Washington. "Aku seorang akademisi yang
mempelajari sejarah persaudaraanmu."
"Bagus," sahut suara itu. "Aku senang masih ada orang yang ingat berbagai
peristiwa kejahatan yang dilakukan kepada kami." "Kami, para ilmuwan, mengira
kalian telah mati." "Sebuah pemikiran yang salah. Persaudaraan kami sudah
bekerja keras untuk bertahan hidup. Apa lagi yang kamu ketahui tentang la
purga?" Langdon ragu-ragu. Apa lagi yang kutahu" Semuanya ini adalah kegilaan, itu yang
kutahu! "Setelah dicap, para ilmuwan itu dibunuh, dan mayat mereka di lempar ke
tempat-tempat umum di sekitar Roma sebagai peringatan bagi para ilmuwan lainnya
agar tidak bergabung dengan Illuminati."
"Ya. Maka kami akan melakukan hal yang sama. Quid pro quo. Anggap saja sebagai
retribusi simbolis bagi saudarasaudara kami yang kalian penggal. Keempat
kardinal kalian akan mati, satu orang setiap jam, dan akan dimulai pada pukul
delapan. Pada tengah malam seluruh dunia akan terpesona." Langdon bergerak
mendekati telepon itu. "Kamu benar
benar bermaksud untuk mencap dan membunuh mereka?" "Sejarah berulang sendiri,
bukan" Tentu saja, cara kami lebih elegan dan lebih terus terang daripada
gereja. Mereka membunuh empat ilmuwan itu satu per satu dan membuang mayat
mereka ketika tidak ada orang yang melihat. Pengecut sekali."
"Apa maksudmu?" tanya Langdon. "Kamu akan mencap tubuh mereka dan membunuh
mereka di depan umum?"
"Tepat. Walau itu tergantung pada pengertianmu terhadap kata umum itu sendiri.
Aku tahu kalau sekarang sudah tidak banyak orang pergi ke gereja."
Langdon merasa heran. "Kamu akan membunuh mereka di dalam gereja?"
"Satu tindakan kebaikan. Memudahkan Tuhan untuk mengirim arwah mereka ke surga dengan lebih cepat. Sepertinya itu yang terbaik buat mereka. Tentu saja,
dapat kubayangkan kalau pers juga akan menyukainya."
"Kamu membual," kata Olivetti, suaranya kembali terdengar dingin. "Kamu tidak
bisa membunuh seseorang di gereja dan berharap bisa lolos begitu saja."
"Membual" Kami bergerak di antara Garda Swiss-mu seperti hantu, memindahkan
empat kardinalmu dari dalam dinding-dindingmu tanpa sepengetahuanmu, menanam
peledak mematikan di jantung tempat tersuci kalian, dan kamu sekarang mengatakan
kalau aku membual" Begitu pembunuhan itu terjadi dan para korban ditemukan,
media akan berkerumun. Pada tengah malam, dunia akan tahu alasan Illuminati
melakukan itu." "Dan kalau aku menempatkan penjaga pada setiap gereja?" tanya Olivetti.
Penelepon itu tertawa. "Kupikir agamamu yang sudah menyebar dengan luas itu akan
membuat usahamu menjadi sebuah tugas yang berat, Komandan. Apakah kamu tidak
bisa menghitung" Di Roma ada lebih dari empat ratus gereja Katolik. Katedral,
kapel, tabernakel, biara, asrama pendeta, sekolah paroki ...." Wajah Olivetti
tetap keras. "Akan dimulai sembilan puluh menit lagi," kata penelepon itu dengan
nada seperti akan mengakhiri pembicaraannya. "Satu orang kardinal dalam setiap
jamnya. Deret matematika tentang kematian. Sekarang aku harus pergi."
"Tunggu!" pinta Langdon. "Katakan padaku tentang cap yang akan kamu berikan
kepada orang-orang itu."
Pembunuh itu terdengar senang. "Kukira kamu sudah tahu cap yang mana. Atau kamu
ragu" Kamu akan segera melihatnya. Bukti bahwa legenda kuno itu benar."
Langdon merasa pusing. Dia tahu pasti apa yang dimaksud lelaki itu. Langdon
membayangkan cap di atas dada Leonardo Vetra. Dongeng rakyat tentang Illuminati
menyebutkan jumlah cap itu ada lima. Mereka masih mempunyai empat cap lagi,
pikir Langdon, dan empat orang kardinal yang hilang.
"Aku disumpah," kata sang camerlegno, "untuk mengangkat paus yang baru malam
ini. Disumpah oleh Tuhan."
"Sang camerlegno" kata penelepon itu, "dunia tidak memerlukan paus baru. Setelah
tengah malam nanti, dia tidak akan memiliki apa pun untuk dipimpin kecuali
reruntuhan. Gereja Katolik sudah berakhir. Kekuasaanmu di bumi ini sudah
selesai." Lalu dia terdiam. Sang camerlegno tampak benar-benar sedih. "Kalian
keliru. Gereja lebih dari sekadar adukan semen dan batu. Kalian tidak dapat
menghapuskan kepercayaan yang sudah berusia dua ribu tahun ... kepercayaan apa
pun itu. Kalian tidak bisa meremukkan kepercayaannya dengan menghancurkan rumah
peribadatan begitu saja. Gereja Katolik akan berlanjut dengan atau tanpa Vatican
City." "Sebuah kebohongan besar. Tetapi tetap saja sebuah kebohongan. Kita berdua tahu
yang sebenarnya. Katakan padaku, mengapa Vatican City dipagari seperti benteng?"
"Hamba Tuhan hidup dalam dunia yang berbahaya," jawab sang camerlegno.
"Berapa usiamu, camerlegno" Vatican seperti sebuah benteng Gereja Katolik
menyimpan separuh dari hartanya di balik dindingnya - lukisan-lukisan langka,
patung-patung, perhiasan tak ternilai, buku-buku berharga ... lalu masih ada
emas yang sangat banyak dan surat-surat tanah di dalam bank Vatican City. Orang
dalam memperkirakan nilai dari Vatican City adalah 48,5 milyar dolar. Kalian
benar-benar duduk di atas tambang emas. Besok semua itu akan menjadi debu.
Kalian akan bangkrut. Orang tidak akan mau bekerja tanpa mendapatkan upah."
Kebenaran dari pernyataan itu tercermin pada wajah Olivetti. Sementara itu sang
camerlegno tampak sangat terguncang. Langdon tidak yakin yang mana yang lebih
hebat, bahwa Gereja Katolik memiliki uang seperti itu atau pengetahuan si
Illuminati tentang hal itu.
Sang camerlegno mendesah berat. "Keyakinan, bukan uang, yang menjadi tulang
punggung gereja ini."
"Kebohongan lagi," kata penelepon itu. "Tahun lalu kalian mengeluarkan 183
milyar dolar untuk mendukung keuskupan yang sedang sekarat di seluruh dunia.
Jumlah jemaat yang menghadiri misa turun 46 persen dalam sepuluh tahun terakhir
ini. Donasi hanya didapatkan separuh dari yang kalian dapatkan tujuh tahun yang
lalu. Semakin sedikit orang yang memasuki seminari. Walau kamu tidak mau
mengakuinya, semua orang tahu kalau gerejamu itu sedang sekarat sekarang. Anggap
ini sebagai kesempatan untuk menghilang oleh satu ledakan saja."
Olivetti melangkah ke depan. Dia tampak sudah tidak terlalu angasan sekarang,
seolah sudah merasakan kenyataan di depannya. Dia tampak seperti seseorang yang
sedang mencari jalan keluar. Jalan keluar apa saja. "Bagaimana kalau sebagian
dari emas U ^mi berikan sebagai dana untuk mencapai tujuanmu?" "Jangan menghina
kita berdua." Kami punya uang." "Kami juga. Lebih dari yang dapat kalian
bayangkan." Langdon ingat pada kekayaan Illuminati, kekayaan yane didapat dari
ahli pemahat batu Bavaria, keluarga Rothschild, keluarga Bilderbergens, dan
Berlian Illuminati yang legendaris itu
"I perferiti" kata sang camerlegno, berusaha merubah topik Suaranya terdengar
memohon. "Bebaskan mereka. Mereka sudah tua. Mereka - "
"Mereka hanyalah korban yang masih perjaka." Penelepon lalu itu tertawa.
"Katakan padaku, apakah mereka benar-benar masih perjaka" Apakah domba-domba
kecil itu akan mengembik saat meregang nyawa" Sacrifici vergini nell' altare di
scienza." Sang camerlegno terdiam, lama. "Mereka orang-orang yang beriman," akhirnya dia
berkata. "Mereka tidak takut mati."
Penelepon itu mendengus. "Leonardo Vetra juga orang yang beriman, tapi aku
melihat ketakutan di dalam matanya tadi malam. Sebuah ketakutan yang sudah
berhasil aku hapuskan." Vittoria yang sejak tadi diam, kini tiba-tiba berbicara.
Tubuhnya tegang karena kebencian. "Asino! Dia ayahku!" Tawa terbahak menggema
dari speaker itu. "Ayahmu" Apa ini" Vetra punya anak perempuan" Kamu harus tahu
kalau ayahmu merengek seperti anak kecil saat akan mati. Kasihan sekali. Lelaki
malang." Vittoria limbung seolah baru saja dipukul ke belakang oleh kata-kata itu.
Langdon berusaha meraihnya, tapi Vittoria sudah dapat menguasai diri dan menatap
tajam ke arah telepon. "Aku bersumpah, sebelum malam ini berakhir, aku akan
menemukanmu." Suara Vittoria tajam seperti sinar laser. "Dan ketika aku
menemukanmu ...." Penelepon itu tertawa serak. "Seorang perempuan yang penuh semangat. Aku suka
itu. Mungkin sebelum malam ini berakhir, aku yang akan menemukanmu. Dan ketika
aku menemukanmu..." Kata-kata itu dibiarkan menggantung. Sang penelepon kemudian berlalu.
42 KARDINAL MORTATI SEKARANG berkeringat dalam jubah hitamnya. Tidak saja karena
Kapel Sistina mulai terasa seperti sauna, tapi karena rapat pemilihan paus akan
dimulai dua puluh menit lagi. Sementara itu, masih belum ada berita mengenai
keberadaan keempat kardinal yang hilang. Ketidakhadiran mereka membuat bisikbisik kebingungan yang pada awalnya terjadi, kini berubah menjadi kecemasan yang
terucapkan. Mortati tidak dapat membayangkan ke mana keempat orang itu berada. Bersama sang
camerlegno, mungkin" Dia tahu sang camerlegno telah mengadakan acara minum teh
pribadi untuk menyambut keempat preferiti itu sore ini, tetapi acara tersebut
sudah berlangsung beberapa jam yang lalu. Apakah mereka sakit" Karena makanan
yang mereka makan" Mortati meragukannya. Walau sedang sekarat sekalipun sang
preferiti akan tetap berusaha untuk datang ke sini. Ini adalah peristiwa sekali
seumur hidup, sehingga tidak pernah ada seorang cardinal yang memiliki
kesempatan untuk dipilih sebagai paus, mangkir dari rapat ini. Selain itu, Hukum
Vatican mengharuskan para kardinal untuk berada di dalam Kapel Sistina selama
pemilihan itu berlangsung. Kalau tidak, calon itu akan dianggap gugur.
Walau ada empat preferiti, beberapa kardinal lainnya menerka-nerka apakah ada
calon lain yang akan menjadi paus selanjutnya. Lima belas hari terakhir terjadi
aliran faks dan sambungan telepon yang luar biasa banyak yang mendiskusikan
beberapa calon berpotensi. Seperti biasanya, empat nama telah terpilih sebagai
preferiti, dan mereka masing-masing memenuhi persyaratan tidak resmi untuk
menjadi calon paus. Menguasai berbagai bahasa, Italia, Spanyol, dan Inggris. Tidak pernah punya
skandal. Berusia antara 65 hingga 80 tahun.
Seperti biasanya, salah satu dari empat preferiti itu ada yang lebih
difavoritkan dari ketiga calon lainnya untuk meraih suara terbanyak dari Dewan
Kardinal. Malam ini, orang itu adalah Kardinal Aldo Baggia dari Milan. Catatan
pelayanan Baggia yang tak ternoda, digabungkan dengan kemampuan berbahasa yang
tidak ada bandingannya, serta kemampuannya untuk mengomunikasikan inti dari
spiritualitas, telah membuatnya menjadi unggulan yang dijagokan.
Jadi, di mana Kardinal Baggia berada" Mortati bertanyatanya.
Karena tugas mengawasi jalannya rapat pemilihan paus jatuh pada dirinya, Mortati
betul-betul bingung dengan menghilangnya empat orang kardinal itu. Seminggu yang
lalu, Dewan Kardinal telah memilih Mortati untuk menjadi The Great Elector master of ceremony pertemuan ini dengan suara bulat. Walaupun sang camerlegno
adalah pegawai tinggi gereja, dia hanyalah seorang pastor dan memiliki
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kisah Sepasang Rajawali 16 Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk Badai Awan Angin 32
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama