Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton Bagian 1
MATAHARI TERBIT Michael Crichton Ebook oleh : Hendri K & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info/
MATAHARI TERBIT Michael Crichton Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 1994 Di lantai 45 Nakamoto Tower di pusat kota L.A. - markas
besar perusahaan konglomerat Jepang di Amerika - sebuah
upacara pembukaan sedang berlangsung dengan meriah.
Di lantai 46, di sebuah ruang rapat yang kosong,
ditemukan sesosok mayat perempuan muda yang cantik.
Penyelidikan pun dimulai, dan berkembang menjadi
konflik besar yang melipatkan pihak Jepang dan Amerika konflik yang berakar dari persidangan teknologi dan
keinginan untuk saling menguasai. Bisnis adalah perang,
pepatah Jepang yang menjadi kenyataan menakutkan
dalam kasus pembunuhan di Nakamoto Tower.
RISING SUN ? Copyright (1994) (1992) by Michael Crichton
All rights rerved induding the rights of
reproduction in whole or in part in any form.
MATAHARI TERBIT Alihbahasa: Hendarto Setiadi
GM 402 94.942 Hak cipta terjemahan Indonesia:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
JI. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Foto cover ?1993 Twentieth Century Fox
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Januari 1994
Cetakan kedua: Maret 1994
Terima kasih kepada Twentieth Century Fox
atas izin penggunaan foto cover.
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
CRICHTON, Michael Matahari terbit / Michael. Crichton ; alih bahasa,
Hendarto Setiadi. - Cet. I. - Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 1993. 616 hlm. ilus. ; 18 cm. Judul asli Rising sun ISBN 979-511-942-7 1. Judul. II. Setiadi, Hendarto
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia
Untuk ibuku, Zula Miller Crichton Kita masuk ke dunia baru di mana aturan main lama
tidak berlaku lagi. - Phillip Sanders Bisnis adalah perang. - Semboyan Jepang LOS ANGELES POLICE DEPARTMENT
Transkrip Rahasia Catatan Intern Isi: Transkrip Interogasi Video
Detektif Peter J. Smith 13-15 Maret Perihal: Pembunuhan Nakamoto (A8895-404)
Transkrip ini milik Los Angeles Police Department, dan
hanya untuk penggunaan intern. Izin untuk menyalin,
mengutip, mereproduksi, atau mengungkapkan isi dokumen ini dibatasi oleh undang-undang. Penggunaan
tanpa izin diancam hukuman berat.
Semua permohonan ditujukan kepada:
Pimpinan Divisi Internal Affairs
Los Angeles Police Department
PO Box 2029 Los Angeles, CA 92038-2029
Telepon: (213) 555-7600 Telefax: (213) 555-7812 Interogasi Video: Det. P.J. Smith 13/3-15/3
Kasus: Pembunuhan Nakamoto
Deskripsi interogasi: Yang bersangkutan (Lt. Smith)
diinterogasi selama 22 jam sepanjang tiga hari, mulai Senin,
13 Maret, sampai dengan Rabu, 15 Maret. Wawancara
direkam dengan pita S-VHS/SD.
Deskripsi gambar- Yang bersangkutan (Smith) duduk di
belakang meja di Ruang Video #4, Markas Besar LAPD.
Pada dinding di belakang yang bersangkutan ada jam.
Gambar memperlihatkan permukaan meja, cangkir kopi,
dan yang bersangkutan dari pinggang ke atas. Yang
bersangkutan mengenakan jas dan dasi (hari ke-1); kemeja
dan dasi (hari ke-2); dan keme (hari ke-3). Timecode video
tampak di pojok kanan bawah.
Tujuan interogasi: Klarifikasi peranan yang bersangkutan dalam Pembunuhan Nakamoto (A8895404).
Petugas pelaksana interogasi adalah Det. T. Conway dan
Det. P. Hammond. Yang bersangkutan melepaskan haknya
untuk didampingi pengacara.
Disposisi kasus: Dimasukkan ke dalam arsip sebagai
"kasus belum dipecahkan".
Transkrip: 13 Maret (1) INT : Oke. Rekaman sudah dimulai. Harap sebutkan nama Saudara sebagai catatan.
PJS : Peter James Smith. INT : Sebutkan umur dan pangkat Saudara.
PJS : Umur saya 34 tahun. Letnan, Divisi Special
Services, Los Angeles Police Department.
INT : Letnan Smith, seperti yang Saudara ketahui,
Saudara tidak didakwa sebagai pelaku tindak kejahatan
pada saat ini. PJS : Saya tahu. INT : Meski demikian, Saudara berhak didampingi
pengacara. PJS : Saya tidak ingin menggunakan hak tersebut.
INT : Oke. Apakah Saudara berada di bawah
tekanan, dalam bentuk apa pun, untuk hadir dalam
pertemuan ini" PJS : (terdiam lama) Tidak, saya tidak berada di
bawah tekanan. INT : Oke. Sekarang kami ingin membicarakan
Pembunuhan Nakamoto dengan Saudara. Kapan Saudara
mulai terlibat dengan kasus tersebut"
PJS : Pada Kamis malam, 9 Februari, sekitar pukul
sembilan. INT : Apa yang terjadi saat itu"
PJS : Saya berada di rumah. Kemudian saya terima
telepon. INT : Dan apa yang sedang Saudara lakukan pada
saat Saudara menerima telepon tersebut"
MALAM PERTAMA Bab 1 SEBENARNYA ketika itu aku duduk di tempat tidur, di
apartemenku di Culver City. Aku sedang menonton
pertandingan Lakers di TV, dengan suara dimatikan, sambil
mencoba menghafalkan kosakata untuk kursus bahasa
Jepang tingkat pemula yang kuikuti.
Suasananya tenang. Anak perempuanku sudah tidur
sejak jam delapan. Kini aku duduk dengan tape recorder di
sampingku, dan sebuah suara wanita yang ceria
mengucapkan kalimat-kalimat sederhana seperti,"'Halo,
saya petugas polisi. Dapatkah saya membantu Anda?" dan
"Bolehkah saya melihat daftar menu?" Setelah setiap
kalimat, ia berhenti sejenak agar aku dapat mengulangi
kalimatnya dalam bahasa Jepang. Aku berusaha dengan
susah payah. Kemudian ia berkata, "Toko sayur-mayur
sedang tutup. Di mana kantor pos?" Kalimat-kalimat seperti
itulah. Kadang-kadang aku sukar berkonsentrasi, namun
aku tetap mencoba. "Tuan Hayashi mempunyai dua anak."
Aku berusaha menjawab, "Hayashi-san wu koD?mo ga
fur... futur..." Aku mengumpat. Tapi wanita itu sudah mulai
bicara lagi. "Minuman ini sama sekali tidak enak."
Buku pelajaran bahasa Jepang milikku tergeletak di
tempat tidur dalam keadaan terbuka, di sebelah Mr. Potato
Head yang kurakit kembali untuk anakku. Di samping itu
ada album foto, serta foto-foto dari pesta ulang tahunnya
yang kedua. Pesta Michelle berlangsung empat bulan yang
lalu, tapi aku masih belum selesai menempelkan foto-foto.
Kita harus memaksakan diri agar urusan seperti itu tidak
terbengkalai. "Jam dua akan ada rapat."
Foto-foto di tempat tidurku sudah tidak sesuai dengan
kenyataan. Dalam waktu empat bulan, penampilan Michelle
sudah berubah sama sekali. Ia lebih tinggi; gaun pesta
mahal yang dibelikan bekas istriku sudah kekecilan
untuknya - beludru hitam dengan kerah renda berwarna
putih. Dalam foto-foto itu, bekas istriku memainkan peranan
penting: memegang kue ulang tahun saat Michelle meniup
lilin, dan membantunya membuka kado-kado. Ia kelihatan
seperti ibu yang penuh dedikasi. Sebenarnya. Michelle
tinggal bersamaku, dan bekas istriku tidak terlalu sering
bertemu dengannya. Setengah dari kesempatan berkunjung
pada akhir pekan tidak dimanfaatkannya, dan sesekali ia
pun lalai membayar uang tunjangan anak.
Tapi kita takkan mengetahui semuanya itu hanya dengan
mengamati foto-foto pesta ulang tahun.
"Di mana kamar kecil?"
"Saya punya mobil. Kita bisa pergi bersama-sama."
Aku kembali menghafal. Sebenarnya, secara resmi aku
sedang bertugas malam itu. Aku petugas Special Services
yang mendapat giliran standby. Artinya, aku harus siap
dipanggil dari markas divisi di pusat kota. Tetapi tanggal 9
Februari merupakan Kamis yang tenang, dan menurut
perkiraanku aku takkan seberapa sibuk. Sampai jam
sembilan, Aku hanya ditelepon tiga kali.
Divisi Special Services meliputi seksi diplomatik dari
Departemen Kepolisian. Kami menangani masalah-masalah
yang menyangkut para diplomat dan orang-orang terkenal,
serta menyediakan tenaga penerjemah dan petugas
penghubung bagi warga negara asing yang karena satu dan
lain hal berurusan dengan polisi. Pekerjaanku cukup
bervariasi, tetapi tidak menimbulkan stres. Saat bertugas,
aku biasa menerima setengah lusin permohonan bantuan,
dan tak satu pun di antaranya merupakan keadaan darurat.
Jarang sekali aku sampai harus turun ke lapangan.
Pekerjaanku jauh lebih ringan dibandingkan dengati
pekerjaan petugas penghubung pers yang kutangani
sebelum masuk Special Services.
Pokoknya, pada malam tanggal 9 Februari, telepon
pertama yang kuterima menyangkut Fernando Conseca,
wakil konsul Chili. Ia distop oleh sebuah mobil patroli.
Ferny ternyata terlalu mabuk untuk mengemudi, tetapi ia
menuntut hak kekebalan sebagai diplomat. Aku menyuruh
para petugas patroli mengantarnya pulang, lalu membuat
catatan untuk mengajukan keluhan kepada konsulat pada
pagi hari - untuk kesekian kali.
Lalu, satu jam kemudian, aku menerima telepon dari
beberapa detektif di Gardena. Mereka menangkap seorang
tersangka dalam suatu baku tembak di sebuah restoran,
yang mengaku hanya berbahasa Samoa, dan mereka minta
seorang penerjemah. Aku mengatakan pada mereka bahwa
aku bisa mengirim seseorang, tetapi kemudian menambahkan bahwa semua orang Samoa dapat berbahasa
Inggris; negara tersebut sempat menjadi wilayah perwalian
Amerika Serikat selama bertahun-tahun. Para detektif lalu
memutuskan bahwa mereka dapat menanganinya tanpa
bantuan orang lain. Setelah itu, aku menerima telepon
bahwa mobil-mobil pemancar TV menghalangi jalur
pemadam kebakaran di tempat penyelenggaraan konser
Aerosmith. Aku memberitahu para petugas agar keluhan
tersebut diteruskan kepada Departemen Pemadam
Kebakaran. Dan selama satu jam berikut suasana kembali
tenang. Aku kembali menghadapi buku pelajaran dan
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengarkan kalimat-kalimat seperti "Kemarin turun
hujan." Kemudian Tom Graham menelepon.
"Dasar Jepang-Jepang keparat." Graham langsung
marah-marah. "Aku tak percaya mereka berani berbuat
begitu. Sebaiknya kau ke sini, Peteysan. Figueroa seribu
seratus, pojok Seventh Street. Gedung Nakamoto yang
baru." "Ada apa?" Aku tak sanggup menahan diri. Graham
detektif yang baik, tetapi ia cepat naik darah dan cenderung
membesar-besarkan masalah.
"Masalahnya," ujar Graham, "Jepang-Jepang keparat itu
menuntut untuk bertemu dengan petugas penghubung
Special Services. Yaitu kau, Kawan. Mereka bilang pihak
polisi tidak bisa melanjutkan penyidikan sebelum petugas
penghubung tiba." . "Tidak bisa melanjutkan penyidikan" Kenapa" Apa yang
terjadi di sana?" "Pembunuhan," jawab Graham. "Wanita, kaukasoid,
umur sekitar 25, tampaknya enam-nol-satu. Tergeletak
telentang di tengah-tengah ruang rapat direksi mereka.
Cukup menarik. Sebaiknya kau secepat mungkin ke sini."
Aku bertanya, "Apakah ada musik di latar belakang?"
"Hell, ya," kata Graham. "Di sini sedang ada pesta besar.
Malam ini malam peresmian Nakamoto Tower dan mereka
mengadakan resepsi. Pokoknya, kau ke sinilah, oke?"
Aku menjawab bahwa aku akan datang. Kemudian aku
menelepon Mrs. Ascenio di sebelah dan bertanya apakah ia
bisa menunggui anakku sementara aku pergi; ia selalu
memerlukan tambahan uang. Sambil menunggunya, aku
berganti kemeja dan mengenakan setelan jas yang rapi.
Kemudian Fred Hoffmann menelepon. Ia komandan dinas
jaga di DHD di pusat; seorang pria pendek, kekar, dengan
rambut beruban. "Begini, Pete. Rasanya kau butuh bantuan
untuk urusan ini." Aku bertanya, "Kenapa?"
"Sepertinya kita menghadapi pembunuhan yang
menyangkut warga negara Jepang. Mungkin agak repot.
Sudah berapa lama kau jadi petugas penghubung?"
"Sekitar enam bulan," kataku.
"Kalau aku jadi kau, aku akan minta bantuan dari orang
yang berpengalaman. Jemput Connor dan ajak dia ke sana."
"Siapa?" "John Connor. Pernah dengar namanya?"
"Tentu," kataku. Semua anggota divisi pernah
mendengar nama John Connor. Ia semacam legenda,
petugas paling berpengalaman di antara semua petugas
Special. Services. "Tapi, bukankah dia sudah pensiun?"
"Dia mengambil cuti tak terbatas, tapi dia masih
menangani kasus-kasus yang menyangkut orang-orang
Jepang. Begini saja, biar aku yang telepon dia. Kau tinggal
ke sana untuk menjemputnya." Hoffmann menyebutkan
alamatnya. "Oke. Thanks." "Dan satu hal lagi. Pakai saluran darat untuk urusan ini,
oke, Petey?" "Oke," jawabku. "Permintaan siapa ini?"
"Pokoknya ikuti saja."
"Terserah kau saja, Fred."
Saluran darat berarti bahwa kami tidak boleh
menggunakan radio komunikasi, agar pembicaraan kami
tidak disadap oleh pihak media yang memantau
frekuensi-frekuensi polisi. Itu merupakan prosedur standar
dalam situasi-situasi tertentu Setiap kaki Elizabeth Taylor
pergi ke rumah sakit, kami menggunakan saluran darat.
Atau jika putra remaja orang terkenal tewas dalam
kecelakaan mobil, kami menggunakan saluran darat untuk
memastikan bahwa orangtuanya menerima berita itu
sebelum kru-kru TV mulai menggedor-gedor pintu mereka.
Untuk hal-hal seperti itulah kami memakai saluran darat.
Setahuku saluran darat belum pernah digunakan dalam
kasus pembunuhan. Tetapi dalam perjalanan ke pusat kota, aku tidak
menggunakan telepon mobil, dan hanya mendengarkan
radio. Ada laporan mengenai tertembaknya bocah laki-laki
berumur tiga tahun, yang kii lumpuh dari pinggang ke
bawah. Anak itu merupakan saksi perampokan toko
7-Eleven. Tulang punggungnya terkena peluru nyasar, dan
ia... Aku pindah ke gelombang lain, dan menemukan sebuah
acara talk show. Di depan, aku melihat lampu-lampu
gedung-gedung pencakar langit di pusat kota, menjulang
tinggi sampai tertelan kabut. Aku keluar dari freeway di San
Pedro, pintu keluar untuk menuju rumah Connor.
Yang kuketahui mengenai John Connor adalah bahwa ia
pernah tinggal di Jepang selama beberapa waktu, tempat ia
memperoleh pengetahuannya tentang bahasa dan kebudayaan Jepang. Dulu, di tahun 1960-an, ia merupakan
satu-satunya petugas polisi yang lancar berbahasa Jepang,
meskipun pada waktu itu Los Angeles memiliki populasi
orang Jepang terbesar di luar negara itu.
Sekarang, tentu saja, Departemen Kepolisian mempunyai
lebih dari delapan puluh petugas yang menguasai babasa
Jepang - dan lebih banyak lagi yang sedang belajar, seperti
aku. Beberapa tahun lalu Connor telah memasuki masa
pensiun. Tetapi para petugas penghubung yang sempat
bekerja sama dengannya sepakat bahwa Connor-lah yang
terbaik. Konon ia bekerja sangat cepat; kadang-kadang ia
hanya memerlukan beberapa jam untuk memecahkan
suatu kasus. Ia memiliki reputasi sebagai detektif yang
terampil dan pewawancara yang luar biasa, tanpa saingan
dalam mengorek keterangan dari saksi-saksi. Tetapi yang
paling dipuji oleh para petugas penghubung yang lain
adalah pendekatannya yang tidak berat sebelah. Salah satu
dari mereka pernah berkata padaku, " Bekerja dengan
orang-orang Jepang itu sama seperti berjalan di atas tali.
Cepat atau lambat kita semua akan jatuh ke kiri atau kanan.
Ada yang menganggap orang-orang Jepang hebat sekali dan
tak mungkin melakukan kesalahan. Ada pula yang menganggap mereka benar-benar brengsek. Tapi Connor selalu
dapat menjaga keseimbangan. Dia tetap di tengah-tengah.
Dia selalu tahu apa yang dilakukannya."
John Connor tinggal di daerah industri di dekat Seventh
Street, di sebuah bangunan gudang yang berdampingan
dengan depot truk. Lift barang di gudang itu tidak
berfungsi. Aku menaiki tangga ke lantai tiga dan mengetuk
pintunya. "Tidak dikunci," sebuah suara menyahut.
Aku memasuki sebuah apartemen kecil. Ruang
duduknya kosong, bergaya Jepang, ada tikar-tikar tatami,
penyekat-penyekat shoji, dan dinding-dinding dilapisi panil
kayu. Juga ada sebuah lukisan kaligrafi, sebuah meja
dengan upaman berwarna hitam, serta sebuah vas dengan
satu kuntum bunga anggrek berwarna putih.
Aku melihat dua pasang sepatu di depan pintu. Yang satu
sepatu pria, yang satu lagi sepatu wanita dengan hak tinggi.
Aku memanggil, "Kapten Connor?"
"Sebentar." Sebuah dinding penyekat bergeser dan Connor muncul.
Ia lebih tinggi dari yang kuduga, mungkin satu sembilan
puluh, lebih dari enam kaki. Ia mengenakan yakuta, jubah
tipis ala Jepang yang dibuat dari kain katun berwarna biru.
Aku menaksir usia Connor sekitar 55. Berbahu lebar,
dengan rambut menipis, kumis rapi, dan sorot mata tajam.
Suara berat. Tenang. "Selamat malam, Letnan."
Kami bersalaman. Connor mengamatiku dari atas ke
bawah, lalu mengangguk-angguk dengan puas. "Bagus.
Sangat rapi." Aku berkata, "Sebelum ini, saya biasa berurusan dengan
pers. Kita tidak pernah tahu kapan kita harus tampil di
depan kamera." Ia mengangguk. "Dan sekarang Anda mendapat giliran
bertugas standby?" "Betul." "Sudah berapa lama Anda menjadi petugas penghubung?" "Enam bulan." "Bisa berbahasa Jepang?"
"Sedikit. Saya sedang belajar."
"Saya perlu ganti baju dulu." Ia berputar dan menghilang
di balik penyekat shoji. "Apakah kasus ini menyangkut
pembunuhan?" "Ya." "Siapa yang menghubungi Anda?"
"Tom Graham. Dia yang memimpin penyidikan di tempat
kejadian. Dia mengatakan bahwa orang-orang Jepang itu
menuntut kehadiran petugas penghubung di sana "
"Hmm, begitu." Hening sejenak. Aku mendengar suara
air mengalir. "Apakah itu permintaan yang biasa?"
"Tidak. Setahu saya, ini belum pernah terjadi. Biasanya
petugas lapangan minta bantuan penghubung jika ada
masalah bahasa. Saya belum pernah mendengar bahwa
orang-orang Jepang menuntut kehadiran petugas penghubung." "Sama dengan saya," kata Connor. "Apakah Graham yang
menyarankan agar saya diajak ke sana" Soalnya dia dan
saya tidak selalu akur."
"Bukan," balasku. "Ini usul Fred Hoffmann. Menurut dia,
saya kurang berpengalaman. Dia mengatakan bahwa dia
akan menghubungi Anda untuk saya."
"Kalau begitu, Anda ditelepon dua kali di rumah?" tanya
Connor. "Ya." "Begitu." Ia muncul kembali dengan setelan jas berwarna
biru tua. Ia sedang mengikat dasi. "Kelihatannya masalah
waktu sangat penting. Jam berapa Graham menelepon
Anda?" "Sekitar jam sembilan."
"Hmm, empat puluh menit yang lalu. Mari kita
berangkat, Letnan. Di mana mobil Anda?"
Kami bergegas menuruni tangga.
Aku menyusuri San Pedro dan membelok ke kiri, ke
Second Street, menuju arah gedung Nakamoto. Permukaan
jalan diselubungi kabut tipis. Connor menatap ke luar
jendela. Ia berkata, "Seberapa baik daya ingat Anda?"
"Lumayan." "Apakah Anda bisa mengulangi pembicaraan telepon
yang Anda lakukan tadi?" ia bertanya. "Sedetail mungkin.
Kalau bisa, kata demi kata."
"Akan saya coba."
Aku mengulangi semuanya. Connor mendengarkan
tanpa memotong maupun berkomentar. Aku tidak tahu
mengapa ia begitu berminat, dan ia pun tidak
menjelaskannya. Setelah aku selesai, ia berkata, "Hoffmann
tidak memberitahu Anda siapa yang meminta saluran
darat?" "Tidak." "Hmm, memang ada baiknya. Saya tidak pernah
memakai telepon mobil, kecuali kalau terpaksa Sekarang
ini terlalu banyak orang yang menguping."
Aku membelok ke Figueroa. Di depan aku melihat
lampu-lampu sorot bersinar di muka Nakamoto Tower
yang baru. Bangunannya terbuat dari granit abu-abu,
menjulang tinggi ke kegelapan malam. Aku pindah ke jalur
kanan dan membuka laci untuk mengambil beberapa kartu
nama. Kartu-kartu itu bertulisan Detektif Letnan Peter J. Smith,
Petugas Penghubung Special Services, Los Angeles Police
Department. Dicetak dalam bahasa Inggris di sisi depan,
dan dalam bahasa Jepang di sisi belakang.
Connor mengamati kartu-kartu nama itu. "Bagaimana
Anda ingin menangani situasi ini, Letnan" Anda sudah
pernah bernegosiasi dengan orang Jepang sebelum ini?"
Aku menjawab, "Sebenarnya belum. Saya pernah
mengurus beberapa kasus mengemudi dalam keadaan
mabuk." Connor berkata dengan sopan, "Kalau begitu, saya
mungkin bisa mengusulkan suatu strategi untuk kita."
"Silakan, saya tidak keberatan," kataku. "Saya justru
berterima kasih atas segala bantuan Anda."
"Baiklah. Karena Anda petugas penghubung, sebaiknya
Anda yang mengambil alih penyidikan setelah kita sampai."
"Oke." "Anda tak perlu memperkenalkan saya, atau menyatakan
kehadiran saya dengan cara apa pun. Bahkan jangan
menoleh ke arah saya."
"Oke." "Anggap saja saya tidak ada. Andalah yang memegang
kendali." "Oke, baiklah."
"Ada baiknya kalau Anda bersikap formal. Berdirilah
dengan tegak, dan biarkan jas Anda selalu dalam keadaan
terkancing. Jika mereka membungkuk, Anda jangan
membalas - Anda cukup menganggukkan kepala. Orang
asing takkan menguasai tata cara membungkuk. Jadi jangan
coba-coba."
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oke," kataku. "Kalau Anda mulai membahas situasinya, Anda perlu
mengingat bahwa orang Jepang tidak suka bernegosiasi.
Menurut mereka, itu terlalu konfrontatif. Di kalangan
mereka sendiri, mereka selalu berusaha menghindarinya."
"Oke." "Perhatikan gerak-gerik Anda. Biarkan tangan Anda
tetap di samping. Orang Jepang merasa diancam jika Anda
melambai-lambaikan tangan di hadapan mereka. Berbicaralah pelan-pelan. Usahakan agar suara Anda tetap
tenang dan datar." "Oke." "Kalau bisa." "Oke." "Ini mungkin lebih sukar dari yang Anda duga. Orang
Jepang kadang-kadang menjengkelkan. Kemungkinan
besar, malam ini Anda akan menganggap sikap mereka
sangat menjengkelkan. Tapi apa pun yang terjadi, Anda
jangan sampai naik pitam."
"Baiklah." "Bagi mereka, itu sangat tidak sopan."
"Baiklah," kataku.
Connor tersenyum. "Saya yakin Anda dapat menanganinya dengan baik," katanya. "Kemungkinan Anda
bahkan takkan memerlukan bantuan saya. Tapi jika Anda
menemui jalan buntu, Anda akan mendengar saya berkata,
'Barangkali saya bisa membantu.' Itu merupakan tanda
bahwa saya mengambil alih. Mulai saat itu, biarkan saya
yang berbicara. Saya lebih suka kalau Anda tidak angkat
bicara lagi, walaupun Anda ditanya langsung oleh mereka.
Oke?" "Oke." "Anda mungkin ingin mengatakan sesuatu, tapi jangan
sampai terpancing." "Saya mengerti."
"Selain itu, apa pun yang saya lakukan, Anda jangan
kelihatan heran. Apa pun yang saya lakukan."
"Oke." "Begitu saya ambil alih, Anda harus ambil posisi sedikit
di belakang saya, di sebelah kanan. Jangan duduk. Jangan
menoleh. Jangan alihkan perhatian Anda. Ingat, Anda
mungkin berasal dari kebudayaan video MTV, tapi mereka
tidak. Mereka orang Jepang. Segala tindakan Anda memiliki
arti bagi mereka. Setiap aspek dari penampilan dan sikap
Anda akan mencerminkan diri Anda, Departemen
Kepolisian, dan saya sebagai atasan dan sempai Anda."
"Oke, Kapten." "Ada pertanyaan?"
"Apa itu sempai?"
Connor tersenyum. Kami melewati lampu-lampu sorot, lalu menuruni jalan
yang melandai, menuju tempat parkir di basement.
"Di Jepang," ia menjelaskan, "sempai adalah seseorang berkedudukan senior yang
membimbing seorang junior,
atau kohai. Hubungan sempai-kohai ini cukup sering
ditemui, dan lazim dianggap ada jika seseorang yang masih
muda bekerja sama dengan orang yang lebih tua. Saya rasa
mereka akan memandang kita seperti itu."
Aku berkata, "Semacam mentor dan murid?"
"Tidak juga," jawab Connor. "Di Jepang, sempai-kohai
mengandung nilai yang berbeda. Lebih seperti orangtua
dan anak. Sampai batas tertentu, sang sempai selalu
menuruti kehendak kohai-nya, dan menerima dengan sabar
segala kesalahan yang terjadi." Ia tersenyum. "Tapi saya
yakin Anda takkan bersikap seperti itu terhadap saya."
Kami sampai di kaki landaian, dan melihat tempat parkir
yang luas terbentang di hadapan kami. Connor menatap ke
luar jendela dan mengerutkan kening. "Di mana mereka
semua?" Tempat parkir Nakamoto Tower dipenuhi limousine.
Para sopir bersandar pada kendaraan masing-masing, dan
mengobrol sambil merokok. Tetapi aku tidak melihat mobil
polisi. Biasanya, jika ada pembunuhan, tempat kejadian
terang benderang seperti pohon Natal, dengan lampu
berkedap-kedip dari setengah lusin mobil patroli, mobil
petugas pemeriksa mayat, kendaraan tenaga paramedis,
dan sebagainya. Tetapi malam ini tidak ada apa-apa. Tempat parkirnya
tampak seperti tempat parkir di tempat suatu pesta mewah
sedang berlangsung. Orang-orang berpakaian anggun
berdiri berkelompok, menunggu mobil masing-masing.
"Menarik," aku berkomentar.
Kami berhenti. Para petugas parkir membukakan pintu.
Aku keluar dari mobil dan kakiku menginjak karpet tebal.
Sayup-sayup terdengar alunan musik lembut. Bersama
Connor aku berjalan menuju lift. Orang-orang berbaju rapi
datang dari arah berlawanan: para pria dengan tuksedo,
para wanita dengan gaun malam yang mahal. Dan di depan
lift aku melihat Tom Graham, dengan mantel korduroi yang
lusuh dan dikelilingi asap rokok.
Bab 2 KETIKA Graham bermain sebagai halfback di USE, ia tak
pernah berhasil masuk tim utama. Pengalaman ini
seakan-akan merangkum seluruh perjalanan hidupnya. Ia
selalu gagal meraih promosi penting, langkah berikut
dalam karier sebagai detektif. Ia telah berpindah-pindah
dari divisi ke divisi, tanpa menemukan seksi yang cocok,
atau partner yang dapat bekerja sama dengannya. Karena
selalu bersikap terlalu terbuka, Graham jadi mempunyai
musuh-musuh di kantor Kepala Polisi, dan pada umur 39,
kelihatannya ia takkan maju lagi. Kini ia getir, kasar, dan
bertambah gemuk - seorang pria bertubuh besar yang telah
menjadi berat dan lambat, dan menjengkelkan - ia selalu
menghadapi orang lain dengan cara yang salah. Menurut
Graham, orang yang gagal adalah orang yang memiliki
integritas, dan ia bersikap sarkastik terhadap siapa saja
yang tidak setuju dengan pandangannya itu.
"Bagus juga jasmu," ia berkata padaku ketika aku
menghampirinya. "Kau tampak gagah, Peter." Ia berlagak
menepiskan debu dari kelepakku.
Aku tidak menanggapi. "Bagaimana keadaannya, Tom?"
"Mestinya kalian datang sebagai tamu, bukan untuk
bekerja." Ia berpaling pada Connor dan menggelengkan
kepala. "Halo, John. Siapa yang menyuruh kau ditarik dari
tempat tidur?" "Aku hanya pengamat," Connor menjawab sambil
tersenyum. "Fred Hoffmann minta agar aku mengajaknya ke sini,"
kataku. "Persetan," ujar Graham. "Aku tidak keberatan kau ada
di sini. Aku memang butuh bantuan. Di atas sana
suasananya cukup tegang."
Kami mengikutinya ke lift. Aku tetap belum melihat
petugas polisi yang lain. Aku bertanya, "Di mana yang
lainnya?" "Pertanyaan bagus," kata Graham. "Mereka berhasil
menahan semua orang kita di belakang, di pintu masuk
barang. Menurut mereka, lift barang yang memberi akses
paling cepat. Dan mereka terus mengoceh mengenai
pentingnya malam pembukaan ini, dan bahwa tak ada yang
boleh mengganggu kelancarannya."
Di depan lift, seorang petugas keamanan Jepang
berseragam mengamati kami dengan saksama. "Mereka
berdua membantu saya," kata Graham. Petugas keamanan
itu mengangguk, namun tetap menatap kami dengan curiga.
Kami masuk ke dalam lift.
"Jepang-Jepang keparat," Graham mengumpat ketika
pintu menutup. "Ini masih negara kita. Kita masih polisi di
negara kita sendiri."
Lift itu berdinding kaca, dan kami bisa melihat pusat
kota Los Angeles ketika kami bergerak naik ke kabut tipis.
Gedung Arco berada tepat di seberang. Terang benderang
pada malam hari. "Kalian tahu tidak, lift seperti ini sebenarnya ilegal," kata
Graham. "Berdasarkan peraturan bangunan, lift kaca tidak
boleh dipakai pada gedung yang tingginya melebihi
sembilan puluh lantai, dan gedung ini punya 97 lantai,
gedung tertinggi di L.A. Tapi seluruh bangunan ini memang
kasus istimewa. Mereka hanya perlu waktu enam bulan
untuk membangunnya. Kalian tahu bagaimana caranya"
Mereka membawa unit-unit prefab dari Nagasaki, dan
merakit semuanya di sini. Tanpa melibatkan pekerja
konstruksi Amarika. Mereka dapat dispensasi khusus untuk
melangkahi serikat pekerja kita, karena 'masalah-masalah
teknis' yang hanya bisa ditangani oleh tenaga-tenaga
Jepang. Brengsek! " Aku mengangkat bahu. "Nyatanya mereka berhasil lolos
dari hadangan serikat pekerja."
"Bedebah, mereka berhasil lolos dari hadangan dewan
kota," kata Graham. "Tapi itu cuma soal uang. Dan
mengenai ini, kita tidak perlu ragu. Orang Jepang memang
punya uang, jadi mereka dapat keringanan dalam
ketentuan zoning dan ordinansi gempa. Mereka dapat apa
saja yang mereka inginkan."
Aku mengangkat bahu. "Permainan politik."
"Omong kosong. Kau tahu, mereka bahkan tidak bayar
pajak" Ya, mereka dapat penangguhan delapan tahun untuk
pajak bumi dan bangunan dari dewan kota. Sial. Kita
menghadiahkan negeri ini kepada mereka."
Sejenak semuanya terdiam. Graham memandang ke luar
jendela. Kami berada dalam lift kecepatan tinggi buatan
Hitachi, yang menggunakan teknologi mutakhir. Lift
tercepat dan paling halus di dunia. Kami semakin tinggi
memasuki kabut. Aku berkata kepada Graham, "Kau akan memberi
penjelasan mengenai pembunuhan ini, atau mau main
rahasia-rahasiaan?" "Sialan," kata Graham. Ia membuka buku catatannya.
"Oke. Laporan pertamanya masuk pukul 20.32. Seseorang
bilang ada 'masalah disposisi mayat'. Pria, dengan aksen
Asia yang kental, bahasa Inggris-nya tidak bagus. Operator
tidak berhasil mengorek keterangan. selain sebuah alamat.
Nakamoto Tower. Mobil patroli datang ke sini, tiba pukul
20.39, menemukan kasus pembunuhan. Lantai 46, salah
satu lantai kantor di gedung ini. Korbannya wanita
kaukasoid, usia sekitar 25. Cewek cantik. Kalian lihat
sendiri nanti. "Petugas patroli memasang tali pembatas dan
menghubungi divisi. Aku datang bersama Merino, tiba
sekitar pukul 20.53. IU dan SID datang pada waktu yang
sama untuk PE, sidik jari, dan foto. Oke?"
"Ya," ujar Connor sambil mengantuk.
Graham melanjutkan, "Kami baru mulai bekerja ketika
orang Jepang dari Nakamoto Corporation muncul dengan
setelan jas warna biru seharga seribu. dolar. Dia
mengumumkan bahwa dia berhak mengadakan pembicaraan dengan petugas penghubung dari L.A.P.D.
sebelum diadakan tindakan apa pun di dalam gedung
keparat ini. Dan dia berkeras bahwa kami tidak punya
alasan untuk melakukan penyidikan.
"Persetan, apa-apaan ini, kataku. Jelas-jelas ada
pembunuhan. Sebaiknya orang itu mundur saja. Tapi
ternyata si Jepang jago bahasa Inggris, dan rupanya dia
tahu banyak tentang hukum. Dan semua orang yang hadir
tiba-tiba, ya, berpikir dua kali. Maksudku, apa gunanya
mendesak agar penyidikan dimulai, kalau itu ternyata
melanggar prosedur yang benar" Dan si Jepang keparat itu
tetap ngotot bahwa harus ada petugas penghubung
sebelum kami melakukan apa pun. Berhubung bahasa
Inggris-nya lancar sekali, aku tidak melihat di mana letak
masalahnya. Kupikir petugas penghubung hanya membantu orang-orang yang tidak bisa berbahasa Inggris,
sedangkan bajingan itu pasti lulusan Sekolah Hukum
Stanford. Tapi apa boleh buat." Ia mendesah.
"Kau menelepon aku," kataku.
"Yeah." Aku bertanya, "Siapa orang dari Nakamoto itu?"
"Brengsek." Graham memelototi catatannya. "Ishihara.
Ishiguri. Seperti itulah."
"Kau punya kartu namanya" Dia pasti menyerahkan
kartu namanya kepadamu."
"Yeah, memang. Kuberikan pada Merino."
Aku berkata, "Selain dia, masih ada orang Jepang lagi di
sana?" "Kau bercanda?" Graham tertawa. "Seluruh tempat ini
penuh sesak dengan mereka. Persis seperti Disneyland."
"Maksudku di tempat kejadian."
"Aku tahu," jawab Graham. "Kami tidak bisa menghalau
mereka. Mereka bilang ini gedung mereka, jadi mereka
berhak hadir. Malam ini malam peresmian Nakamoto
Tower. Mereka berhak hadir. Terus saja begitu."
Aku bertanya, "Di mana resepsinya diadakan?"
"Satu lantai di bawah tempat kejadian, di lantai 45.
Pokoknya ramai sekali. Pasti ada sekitar delapan ratus
orang di sana. Bintang film, senator, anggota Kongres, dan
sebagainya. Katanya Madonna juga datang, dan Tom Cruise.
Senator Hammond. Senator Kennedy. Wali Kota Thomas
ada. Wyland, dari kejaksaan. Hei, mungkin bekas istrimu
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga datang, Pete. Dia masih bekerja untuk Wyland, bukan?"
"Setahuku sih, masih."
Graham mendesah. "Enak juga. Sekarang giliran dia
mengerjai para pengacara."
Aku tidak berminat membicarakan bekas istriku.
"Kami sudah jarang bertemu."
Sebuah bel kecil berdenting, dan liftnya berkata,
"Yonjusan-kai."
Graham menatap angka-angka di atas pintu. "Apa-apaan
ini?" "Yonjuyon-kai," liftnya mengumumkan. "Mosugu de
gozaimasu." "Apa katanya?" "Kita sudah hampir sampai."
"Sial," Graham mengumpat. "Kalau ada lift yang bisa
bicara, dia seharusnya bicara dalam bahasa Inggris. Kita
masih di Amerika." "Hanya namanya saja," Connor berkomentar sambil
mengamati pemandangan. " Yonjugo-kai, " e levatornya berkata.
Pintu membuka. Graham benar, pestanya ramai sekali. Seluruh lantai
disulap menjadi replika sebuah ballroom di tahun empat
puluhan. Para pria dengan jas. Para wanita dengan gaun
koktail. Band-nya m emainkan lagu-lagu Glenn Miller
berirama swing. Di samping pintu lift ada seorang pria
berambut kelabu, dengan kulit kecoklatan karena sinar
matahari. Rasanya aku pernah melihatnya. Tubuhnya
atletis, dengan bahu lebar. Ia melangkah ke dalam lift dan
berpaling padaku. "Tolong ke lantai dasar." Aku mencium
bau wiski. Seketika seorang pria lain, yang lebih muda, muncul di
sampingnya. "Lift ini mau ke atas, Senator."
"Apa?" tanya pria berambut kelabu. Ia menoleh kepada
pembantunya. "Lift ini mau ke atas, Sir."
"Hmm. Saya mau ke bawah." Ia bicara dengan mengeja setiap kata, ciri khas orang
mabuk. "Ya, Sir. Saya tahu, Sir," pembantunya menjawab dengan
riang. "Kita tunggu lift berikutnya saja, Senator." Ia
menggenggam sikut laki-laki berambut kelabu dan
menggiringnya keluar dari lift.
Pintu menutup. Lift kembali bergerak naik.
"Uang pajak kita sedang bekerja," kata Graham.
"Kaukenal orang itu" Senator Stephen Rowe. Hebat juga
dia mau datang ke sini, mengingat dia anggota Komite
Keuangan Senat yang menetapkan semua peraturan
mengenai impor dari Jepang. Tapi sama seperti kawan
akrabnya, Senator Kennedy, Rowe penggemar daun muda."
"O, yeah?" "Kata orang, dia juga kuat minum."
"Itu memang kelihatan."
"Karena itulah dia disertai anak muda tadi. Supaya dia
tidak membuat masalah."
Lift berhenti di lantai 46. Kami mendengar bunyi "ping"
yang lembut. "Yonjurkou-kai. Goriyou arigato gozaimashita." "Akhirnya," kata Graham. "Barangkali kita bisa mulai
bekerja sekarang." Bab 3 PINTU membuka. Kami menghadapi tembok jas biru.
Semuanya membelakangi kami. Kelihatannya ada sekitar
dua puluh orang yang berdesak-desakan di daerah
resepsionis di depan lift. Udara dipenuhi asap rokok.
"Permisi, permisi," ujar Graham. Dengan kasar ia
menerobos kerumunan orang itu. Aku mengikutinya,
Connor di belakangku, diam dan tidak menarik perhatian.
Lantai 46 dirancang untuk menampung ruang-ruang
kerja para eksekutif puncak Nakamoto Industries, dan
hasilnya memang mengesankan. Dari daerah berkarpet di
depan lift, aku bisa mengamati seluruh lantai-ruangannya
terbuka dan berukuran raksasa. Luasnya sekitar enam
puluh kali empat puluh meter, setengah ukuran lapangan
footbalL Segala sesuatu memperkuat kesan lapang dan anggun. Semua perlengkapan terbuat dari kayu dan bahan
berwarna hitam dan abu-abu, dan karpetnya tebal.
Bunyi-bunyi yang teredam dan cahaya remang-remang
menimbulkan suasana lembut dan mewah. Ruangan itu
lebih menyerupai bank daripada ruang kantor.
Bank paling kaya, yang pernah kutemui.
Kita seakan-akan dipaksa, berhenti dan melihat. Aku
berdiri di depan pita kuning yang membatasi tempat
kejadian dan menghalangi akses ke lantai itu, lalu
memandang berkeliling. Tepat di depan ada atrium luas,
semacam tempat penampungan bagi para sekretaris dan
pegawai bawahan. Ada meja-meja yang diatur berkelompok, dan pohonpohon yang berfungsi sebagai
pembagi ruang. Di tengah-tengah atrium terdapat maket
berukuran besar dari Nakamoto Tower, dan kompleks
gedung-gedung sekitarnya, yang masih dalam tahap pembangunan. Sebuah lampu sorot menerangi maket itu, tetapi
sisa atrium relatif gelap, dengan lampu malam di sana-sini.
Ruang kerja para eksekutif tampak mengelilingi atrium.
Semua ruang kerja dibatasi dinding kaca, ke arah atrium
dan juga ke arah luar, sehingga, dari tempatku. berdiri,
gedung-gedung pencakar langit di Los Angeles kelihatan
jelas. Seluruh lantai seakan-akan melayang di udara.
Aku melihat dua ruang rapat berdinding kaca,
masing-masing satu di sisi kiri dan sisi kanan. Ruang di
sebelah kanan lebih kecil, dan di sanalah aku melihat tubuh
wanita muda itu, tergeletak di meja panjang berwarna
hitam. Ia memakai gaun berwarna hitam. Sebelah kakinya
menggantung. Aku tidak melihat darah. Tapi jaraknya
cukup jauh, sekitar enam puluh meter, sehingga, hal-hal
kecil tidak kelihatan. Aku mendengar gemeresak radio polisi, dan mendengar
Graham berkata, "Ini petugas penghubung yang Anda
minta, Tuan-tuan. Barangkali penyidikan bisa dimulai
sekarang. Peter?" Aku berpaling kepada orang-orang Jepang yang berdiri
di dekat lift. Aku tidak tahu yang mana yang harus kusapa;
sejenak suasananya serba kikuk, sampai salah satu dari
mereka melangkah maju. Umurnya sekitar 35 tahun, dan ia
mengenakan setelan jas mahal. Orang itu membungkuk
sedikit, dari leher, sekadar sebagai isyarat. Aku membalas
dengan cara yang sama. Kemudian ia angkat bicara.
"Konbanwa. Hajimemashite, Sumisu-san. Ishiguro desu.
Dozo yoroshiku." Sapaan formal, meskipun diucapkan asal
saja. Tanpa membuang-buang waktu. Namanya Ishiguro. Ia
sudah mengetabui namaku. Aku berkata, "Hajimemashite. Watashi wa Sumisu desu.
Dozo yoroshiku." Apa kabar. Senang berkenalan dengan
Anda. Basa-basi biasa. "Watashi no meishi desu - Dozo." Ia menyerahkan kartu
namanya padaku. Gerak-geriknya serba cepat, kasar.
"D?mo arigato gozaimasu." Aku menerima kartu
namanya dengan kedua belah tangan, yang sebenarnya
tidak perlu. Tetapi atas saran Connor, aku ingin bersikap
seformal mungkin. Kemudian aku memberikan kartu
namaku. Upacara kecil itu menuntut kami berdua
sama-sama mengamati kartu nama yang lainnya, dan
memberikan komentarkomentar singkat, atau mengajukan
pertanyaan seperti, "Apakah ini nomor telepon kantor
Anda?" Ishiguro menerima kartu namaku dengan sebelah
tangan. "Apakah ini nomor telepon rumah Anda, Detektif."
Aku terkejut. Lafal bahasa Inggris-nya tanpa aksen, dan ini
hanya bisa dipelajari jika seseorang cukup lama tinggal di
sini, sejak usia muda. Salah satu dari ribuan orang Jepang
yang belajar di Amerika pada tahun tujuh puluhan. Waktu
mereka mengirim 150.000 mahasiswa ke Amerika setiap
tahunnya, untuk mempelajari negeri kami. Dan kami
mengirim 200 mahasiswa per tahun ke Jepang.
"Nomor saya paling bawah, ya," kataku.
Ishiguro menyelipkan kartu namaku ke kantong
kemejanya. Aku baru hendak berkomentar sedikit
mengenai kartu namanya, tetapi ia sudah memotong,
"Begini, Detektif. Saya kira kita bisa menyingkirkan segala
formalitas. Hanya ada satu sebab kenapa ada masalah
malam ini, yaitu karena rekan Anda tidak bersedia bekerja
sama." "Rekan saya?" Ishiguro memberi isyarat dengan gerakan kepala. "Si
gendut di sebelah sana. Graham. Tuntutannya tidak masuk
akal, dan kami mengajukan protes keras terhadap niatnya
untuk melakukan penyidikan malam ini."
Aku berkata, "Kenapa begitu, Mr. Ishiguro?"
"Anda tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk
mengadakan penyidikan."
"Kenapa Anda berpendapat begitu?"
Ishiguro mendengus. "Saya kira alasannya sudah jelas,
bahkan bagi Anda." Aku tetap tenang. Lima tahun sebagai detektif, lalu
setahun di seksi pers telah mengajarku agar selalu tenang.
Aku berkata, "Tidak, Sir, saya kira alasannya belum
jelas." Ia menatapku dengan pandangan meremehkan.
"Kenyataannya, Letnan, Anda tidak mempunyai alasan
untuk mengaitkan kematian wanita muda ini dengan pesta
yang sedang kami selenggarakan di bawah."
"Kelihatannya dia memakai gaun pesta..."
Ishiguro memotong dengan kasar, "Dugaan saya, Anda
akan menernukan bahwa dia mati karena kelebihan dosis
obat bius yang tidak disengaja. Dan karena itu kematiannya
tidak ada sangkut pautnya dengan pesta kami. Anda tentu
sependapat, bukan?" Aku menarik napas panjang. "Tidak, Sir, saya tidak
sependapat. Apalagi tanpa penyidikan." Aku kembali
menghela napas. "Mr. Ishiguro, saya menghargai
keprihatinan Anda, tetapi..."
"Betulkah?" ujar Ishiguro, sekali lagi memotong
ucapanku. "Saya minta agar Anda mempertimbangkan
posisi perusahaan Nakamoto malam ini. Ini merupakan
malam yang sangat penting bagi kami, malam yang sangat
diperhatikan oleh umum. Tentu saja kami prihatin
mengenai kemungkinan bahwa acara kami akan dinodai
oleh pernyataan tanpa dasar tentang kematian seorang
wanita, apalagi ini, seorang wanita yang tak berarti..."
"Seorang wanita yang tak berarti?"
Ishiguro melambaikan tangan dengan kesal. Rupanya ia
telah lelah berbicara denganku. "Semuanya sudah jelas.
Coba Anda perhatikan dia. Dia tak lebih dari WTS biasa.
Saya bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana dia
berhasil menyusup ke gedung ini. Dan karena alasan ini,
saya mengajukan protes keras atas niat Detektif Graham
yang hendak menginterogasi para tamu resepsi di bawah.
Itu sama sekali tidak masuk akal. Di antara para tamu
terdapat sejumlah senator, anggota Kongres, dan
pejabat-pejabat Los Angeles. Tentunya Anda sependapat
bahwa orang-orang sepenting itu akan merasa heran jika..."
Aku menyela, "Tunggu dulu. Detektif Graham memberitahu Anda bahwa dia akan menginterogasi semua
orang yang menghadiri resepsi?"
"Itu yang dikatakannya kepada saya. Ya."
Kini aku mulai mengerti mengapa aku dipanggil. Graham
tidak menyukai orang Jepang, dan ia mengancam akan
merusak acara mereka. Tentu saja itu takkan pernah
terjadi. Graham tak mungkin menginterogasi senator-senator Amerika Serikat, apalagi Jaksa atau Wali
Kota. Itu jika ia masih ingin bekerja pada keesokan harinya.
Tetapi orang-orang Jepang membuat Graham jengkel, dan
ia telah bertekad membalas dengan cara serupa.
Aku berkata kepada Ishiguro, "Kita bisa menyiapkan
meja registrasi di bawah, sehingga tamu-tamu Anda bisa
mengisi daftar hadir pada waktu mereka pulang."
"Saya kira itu sulit," Ishiguro mulai berkelit, "sebab Anda
tentu sependapat bahwa..."
"Mr. Ishiguro, itulah yang akan kita lakukan."
"Tetapi permintaan Anda sangat sukar..."
"Mr. Ishiguro."
"Masalahnya, bagi kami hal ini akan menyebabkan ..."
"Maaf, Mr. Ishiguro, Anda telah mendengar penjelasan
mengenai tindakan yang akan diambil oleh kepolisian."
Ia menegakkan badan. Sejenak tak ada yang angkat
bicara. Ia menghapus keringat dari bibir atasnya dan
berkata, "Saya kecewa, Letnan, karena Anda tidak bersedia
menjalin kerja sama yang lebih erat."
"Kerja sama?" Saat itulah aku mulai naik pitam. "Mr.
Ishiguro, di sebelah sana ada mayat wanita, dan tugas kami
adalah menyelidiki apa yang terjadi dengan..."
"Tetapi Anda tentu menyadari bahwa ini bukan situasi
biasa..."
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian aku mendengar Graham menggerutu, "Oh,
Tuhan, apa-apaan ini?"
Ketika menoleh ke belakang aku melihat pria Jepang
berbadan pendek berdiri sekitar dua puluh meter di balik
pita kuning. Ia sedang memotretmotret tempat kejadian.
Kamera yang digenggamnya sedemikian kecil, sehingga
nyaris tertutup oleh telapak tangannya. Tetapi ia tidak
menutup-nutupi kenyataan bahwa ia telah melewati pita
pembatas untuk mengambil foto. Ketika aku memperhatikannya, ia bergerak mundur ke arah kami,
sesekali mengangkat tangan untuk memotret, lalu mengedip-ngedipkan mata di balik kacamata berbingkai tipis
sambil memilih sudut berikutnya. Gerak-geriknya sangat
hati-hati. Graham menghampiri pita pembatas dan berkata, "Demi
Tuhan, keluar dari sana. Ini tempat kejadian perkara.
Saudara tidak boleh memotret di sana." Pria Jepang itu
tidak menanggapinya. Ia tetap berjalan mundur. Graham
berbalik. "Siapa orang itu?"
Ishiguro berkata, "Dia pegawai kami-Mr. Tanaka. Dia
bekerja untuk Nakamoto Security."
Aku hampir tak percaya pada penglihatanku.
Orang-orang Jepang mempunyai pegawai yang berjalan-jalan di daerah yang dibatasi oleh pita kuning,
mengacaukan tempat kejadian. Keterlaluan. "Suruh dia
keluar dari sana," kataku.
"Dia sedang memotret."
"Dia tidak berwenang."
Ishiguro berdalih," Tetapi demi kepentingan perusahaan
kami." Aku berkata, "Saya tidak peduli. Dia tidak boleh berada
di balik pita kuning, dan dia tidak boleh memotret. Suruh
dia keluar dari sana. Dan saya terpaksa menyita filmnya."
"Baiklah." Ishiguro cepat-cepat mengatakan sesuatu
dalam bahasa Jepang. Aku segera berbalik dan masih
sempat melihat Tanaka menyelinap di bawah pita kuning,
dan menghilang di antara orang-orang berjas biru yang
berkerumun di dekat lift. Di belakang kepala mereka, aku
melihat pintu lift membuka dan menutup.
Sialan. Aku mulai marah. "Mr. Ishiguro, Anda kini
menghalangi penyidikan resmi dari pihak kepolisian.".
Ishiguro berkata dengan tenang, "Anda harus mencoba
memahami posisi kami, Detektif Smith. Kami tentu saja
percaya penuh pada kemampuan Los Angeles Police
Department, tapi kami harus diberi kesempatan untuk
melakukan penyidikan sendiri, dan untuk itu kami perlu..."
Melakukan penyidikan sendiri" Kurang ajar. Tiba-tiba aku
tak sanggup berkata apa-apa. Aku mengertakkan gigi.
Darahku mulai naik ke kepala. Aku benar-benar marah. Aku
ingin menangkap Ishiguro. Aku ingin membaliknya,
mendorongnya ke dinding, dan memasang borgol di
pergelangan tangannya, dan...
"Barangkali saya dapat membantu, Letnan," sebuah
suara di belakangku berkata.
Aku membalik. John Connor berdiri di hadapanku. Ia
tersenyum dengan ramah. Aku melangkah ke samping.
Connor menghadap ke Ishiguro, membungkuk sedikit,
dan menyerahkan kartu namanya. Ia berbicara dengan
cepat. "Totsuzen shitsurei desuga, jikoshokai shitemo
yoroshii desuka. Watashi wa John Connor to mashimasu.
Meishi o ddzo. Dozo yoroshiku."
"John Connor?" Ishiguro mengulangi. "John Connor yang
terkenal itu" Omeni kakarete koei desu. Watashi wa Ishiguro
desu. Dozo yoroshiku." Ia berkata bahwa ia mendapat
kehormatan karena bisa bertemu dengan Connor.
"Watashi no meishi desu. Dozo." Ucapan terima kasih
yang sopan. Tetapi begitu basa-basinya selesai, percakapan berlangsung sedemikian cepat, sehingga aku hanya
menangkap satu atau dua kata. Aku dituntut untuk tampak
tertarik, memperhatikan mereka dan mengangguk-angguk,
padahal sesungguhnya aku sama sekali tidak tahu apa yang
mereka bicarakan. Suatu kali aku mendengar Connor
menyebutku sebagai wakaimono, yang berarti anak didik
atau murid. Beberapa kali ia menatapku dengan tajam, dan
menggelengkan kepala seperti seorang ayah yang
menyesal. Rupanya ia sedang minta maaf untukku. Aku juga
mendengar bahwa ia menyebut Graham sebagai bushitsuki,
pria yang tidak menyenangkan.
Tetapi segala permintaan maaf ini ternyata cukup
ampuh. Ishiguro tampak lebih tenang, ia menurunkan
bahunya. Ia mulai bersikap lebih santai. Ia bahkan
tersenyum. Akhirnya ia berkata, "Jadi Anda tidak akan
memeriksa identitas para tamu kami?"
"Sama sekali tidak"' kata Connor. "Tamu-tamu terhormat
Anda bebas keluar-masuk sekehendak hati mereka."
Aku hendak memprotes. Connor langsung memelototiku.
"Identifikasi tidak diperlukan," Connor melanjutkan
dengan nada formal. "Sebab saya yakin tamu-tamu
Nakamoto Corporation tidak mungkin terlibat dalam
kejadian yang patut disayangkan ini."
"Sial," Graham mengumpat dengan suara tertahan.
Ishiguro berseri-seri. Tetapi aku marah sekali.
Connor mengabaikan keputusanku tadi. Ia membuatku
kelihatan seperti orang tolol. Dan selain itu, ia tidak
mengikuti prosedur kepolisian - di kemudian hari kami
semua mungkin mendapat kesulitan karena itu. Dengan
kesal aku memasukkan tangan ke kantong dan memandang
ke arah lain. "Saya berterima kasih atas sikap Anda yang penuh
pengertian terhadap situasi ini, Kapten Connor," Ishiguro
berkata. "Saya tidak berbuat apa-apa," balas Connor, sambil
sekali lagi membungkuk dengan sikap formal. "Tapi saya
berharap Anda kini setuju untuk mengosongkan lantai ini,
agar penyidikan polisi dapat dimulai."
Ishiguro berkedip-kedip. "Mengosongkan lantai?"
"Ya," ujar Connor sambil mengeluarkan buku catatan.
"Dan tolong sebutkan nama Tuan-tuan yang berdiri di
belakang Anda, pada waktu Anda mempersilakan mereka
pergi." "Maaf'?" "Nama Tuan-tuan di belakang Anda."
"Bolehkah saya bertanya untuk apa?"
Wajah Connor mulai memerah, dan ia menghardik
Ishiguro dalam bahasa Jepang. Aku tidak menangkap
artinya, tetapi muka Ishiguro langsung merah padam.
"Maaf, Kapten, tapi saya tidak melihat alasan mengapa
Anda berbicara begitu..."
Dan kemudian Connor kehilangan kendali diri.
Secara spektakuler dan eksplosif. Ia mendekati Ishiguro,
menuding-nudingkan telunjuk sambil berseru, "Iikagen ni
shiro! Soko o doke! Kiiterunoka!" Ishiguro merunduk dan
berbalik, terkejut oleh serangan verbal ini.
Connor belum selesai. Nada suaranya tajam dan
sarkastik, "Doke! Doke! Wakaranainoka?" Ia membalikkan
badan dan menunjuk orang-orang Jepang yang berdiri di
dekat lift. Dihadapkan dengan kemarahan Connor,
orang-orang Jepang itu mengalihkan pandangan dan
mengisap rokok masing-masing dengan gelisah.
"Hei, Richie," Connor memanggil juru foto unit
kejahatan, Richie Walters. "Tolong ambil foto mereka, oke?"
"Tentu, Kapten," ujar Richie. Ia mengangkat kameranya
dan mulai menyusuri barisan orang itu. Lampu blitznya
menyala beberapa kali berturut-turut.
Ishiguro mendadak sibuk. Ia melangkah ke depan
kamera dan menutup lensa dengan kedua tangannya.
"Tunggu dulu, tunggu dulu, apa ini?"
Tetapi orang-orang Jepang yang lain sudah mulai
menyingkir. Serempak mereka menjauhi blitz, bagaikan
sekawanan ikan. Dalam beberapa detik saja mereka sudah
pergi. Ditinggal seorang diri, Ishiguro tampak serba salah.
la mengatakan sesuatu dalam bahasa Jepang. Rupanya ia
memilih kata-kata yang keliru.
"Oh?" ujar Connor. "Anda yang harus disalahkan," ia berkata pada Ishiguro. "Anda
penyebab semua kesulitan ini.
Dan Anda akan memastikan bahwa detektif-detektif saya
memperoleh semua bantuan yang mereka perlukan. Saya
ingin bicara dengan orang yang menemukan mayat itu, dan
dengan orang yang menghubungi polisi. Saya menginginkan nama semua orang yang datang ke lantai ini
sejak mayat itu ditemukan. Dan saya minta film dari
kamera Tanaka. Ore wa honkida. Saya akan menahan Anda
jika Anda masih menghalang-halangi penyidikan."
"Tapi saya harus berbicara dulu dengan atasan saya ......"
"Namerunayo." Connor mendekatkan wajahnya ke wajah
Ishiguro. "Jangan cari perkara dengan saya, Ishiguro-san.
Sekarang pergi, dan biarkan kami bekerja."
"Tentu, Kapten," kata Ishiguro. Ia segera pergi setelah
membungkuk dengan kaku. Wajahnya kuyu dan sedih.
Graham terkekeh-kekeh. "Biar tahu rasa dia."
Connor langsung berbalik. "Apa tujuanmu memberitahu
dia bahwa kau akan menginterogasi semua tamu yang
menghadiri pesta mereka?"
"Ah, sudahlah, aku hanya ingin membuat dia jengkel,"
kata Graham. "Mana mungkin aku menginterogasi Wali
Kota" Bukan salahku kalau Jepang-Jepang keparat itu tidak
punya rasa humor." "Mereka punya rasa humor," kata Connor. "Dan justru
kau yang menjadi korban lelucon mereka. Soalnya Ishiguro
menghadapi suatu masalah, dan dia berhasil menyelesaikannya berkat bantuanmu."
"Berkat bantuanku?" Graham mengerutkan kening. "Apa
maksudmu?" "Kelihatan jelas bahwa mereka ingin menunda
penyidikan," ujar Connor. "Taktikmu yang agresif
memberikan alasan yang sempurna pada mereka memanggil petugas penghubung Special Services."
"Ah, jangan mengada-ada," kata Graham. "Mereka mana
tahu seberapa lama si petugas penghubung dalam
perjalanan. Bisa saja dia sudah muncul dalam lima menit."
Connor menggelengkan kepala. "Jangan menipu diri
sendiri. Mereka tahu persis siapa yang mendapat gillran
tugas standby malam ini. Mereka tahu persis seberapa jauh
Smith dari sini, dan seberapa lama dia menempuh
perjalanan ke Nakamoto Tower. Dan mereka berhasil
menunda penyidikan selama satu setengah jam. Bagus,
Detektif, bagus sekali."
Graham menatap Connor untuk waktu yang terasa lama.
Kemudian ia berpaling. "Sialan," katanya. "Kau pun tahu
bahwa semua itu cuma omong kosong. Oke, aku mau mulai
kerja. Richie" Cepat sedikit. Kau punya waktu tiga puluh
detik sebelum anak buahku mulai beraksi. Ayo, semuanya.
Aku ingin pekerjaan ini selesai sebelum bau busuk mulai
menyebar." Dan setelah itu ia melangkah ke tempat kejadian.
Dengan koper-koper dan kereta barang bukti, tim SID
mengikuti Graham. Richie Walters berada paling depan,
memotret kiri-kanan sambil menuju ruang rapat.
Dinding-dinding ruangan itu terbuat dari kaca gelap yang
meredupkan cahaya blitznya. Tapi aku bisa melihatnya di
dalam, mengelilingi mayat. Ia memotret cukup banyak. Ia
sadar bahwa ini suatu kasus besar.
Aku menunggu bersama Connor. Aku berkata,, "Seingat
saya, Anda tadi berpesan bahwa tidak sopan untuk naik
pitam di hadapan orang Jepang."
"Memang,," kata Connor.
"Kalau begitu, kenapa Anda marah-marah tadi?"
"Sayangnya," ia berkata, "itu satu-satunya cara untuk
membantu Ishiguro." "Membantu?" "Ya. Saya melakukan semuanya itu demi Ishiguro karena dia harus menyelamatkan muka di hadapan bosnya.
Bukan Ishiguro yang paling pentlng tadi. Salah satu orang
Jepang di dekat lift merupakan juyaku, bos sesungguhnya."
"Saya tidak memperhatikannya."
"Mereka biasa menempatkan orang yang kurang penting
di depan, sementara tokoh utama tetap berdiri di latar
belakang, di tempat dia bebas mengamati perkembangan.
Sama seperti yang saya lakukan dengan Anda, Kohai."
"Atasan Ishiguro mengamati kita tadi?"
"Ya. Dan Ishiguro, telah mendapat perintah untuk tidak
membiarkan penyidikan dimulai. Saya harus memulai
penyidikan. Tetapi saya terpaksa melakukannya dengan
suatu cara yang tidak membuat Ishiguro kelihatan tidak
kompeten. Jadi saya bersandiwara sebagai gaijin yang lepas
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kendali. Sekarang dia berutang budi pada saya. Ini menguntungkan, sebab nanti saya mungkin memerlukan
bantuannya." "Dia berutang budi pada Anda?" kataku. Pernyataan ini
rasanya tidak masuk akal. Connor baru saja membentak-bentak Ishiguro. Menurutku, ia benar-benar
mempermalukannya. Connor mendesah. "Biarpun Anda tidak mengerti apa
yang terjadi, percayalah, Ishiguro
sangat memahaminya. Dia punya masalah, dan saya
membantunya." Aku benar-benar tak mengerti dan hendak bertanya lagi,
tetapi Connor memberi isyarat dengan tangan agar aku
diam saja. "Sebaiknya kita segera memeriksa tempat
kejadian, sebelum Graham dan anak buahnya mengacaukan
semuanya." Bab 4 HAMPIR dua tahun telah berlalu sejak aku bekerja di
divisi detektif, dan aku merasa senang karena mendapat
kesempatan menangani suatu kasus pembunuhan. Berbagai kenangan bangkit kembali - ketegangan pada
malam hari, aliran adrenalin yang disebabkan oleh kopi
yang tidak enak di dalam cangkir kertas, dan semua tim
yang bekerja di sekitar kita - semua itu merupakan
semacam energi aneh yang mengelilingi titik pusat tempat
seseorang tergeletak, mati. Setiap tempat kejadian
pembunuhan mempunyai energi yang sama, serta
menimbulkan perasaan bahwa sesuatu telah berikhir di
sana. Kalau kita mengamati mayat seseorang, kita
menghadapi sesuatu yang amat jelas, tetapi sekaligus
menyimpan misteri yang tak mungkin dipecahkan. Bahkan
dalam kemelut rumah tangga yang paling sederhana pun,
ketika sang wanita akhirnya memutuskan untuk menembak sang pria, kita menatapnya, dengan luka memar dan
luka bakar bekas rokok di sekujur tubuh, dan kita bertanya,
kenapa malam ini" Apa kekhususan malam ini" Segala
sesuatu yang kita lihat selalu begitu jelas, tetapi selalu. ada
sesuatu yang terasa mengganjal.
Dan dalam kasus pembunuhan, kita merasa telah sampai
pada hal-hal hakiki mengenai keberadaan kita, dengan
segala bau, tinja yang berserakan, dan mayat yang mulai
menggembung. Biasanya ada yang menangis, jadi itu yang
kita dengar. Dan segala tetek bengek lainnya terhenti,
seseorang telah mati, dan kenyataan itu tak dapat
disangkal, seperti sebongkah batu di tengah jalan yang
memaksa semua kendaraan bergerak menghindar. Dan
dalam suasana suram dan nyata itu, timbul perasaan
senasib, karena kita bekerja lembur dengan orang-orang
yang kita kenal, bahkan kenal sangat baik, karena kita
selalu melihat mereka. Setiap hari terjadi empat
pembunuhan di L.A.; satu. pembunuhan setiap enam jam.
Dan setiap detektif yang hadir di tempat kejadian masih
harus menangani sepuluh kasus pembunuhan lain yang
belum terpecahkan, yang menyebabkan kasus terakhir ini
terasa seperti beban yang tak tertahankan, sehingga ia dan
semua orang lain berharap bahwa mereka dapat
menyelesaikannya di tempat, bahwa mereka dapat
menyingkirkan rintangan itu. Perasaan bahwa sesuatu
telah berakhir, ketegangan, energi, semuanya itu
bercampur baur. Dan setelah beberapa tahun, kita akhirnya begitu
terbiasa, sehingga kita menyukainya. Dan di luar dugaanku,
ketika aku memasuki ruang rapat, aku menyadari bahwa
aku. menyukainya. Ruang rapat itu ditata dengan anggun: meja hitam, kursi
kulit dengan sandaran tinggi, cahaya lampu di
gedung-gedung pencakar langit di luar. Di dalam ruangan,
para teknisi berbicara pelan-pelan, sambil bergerak
mengelilingi mayat wanita muda itu.
Rambutnya pirang, dipotong pendek. Mata biru, bibir
agak tebal. Usianya sekitar 25. Tinggi, dengan kaki panjang,
berpenampilan atletis. Graham sudah mulai dengan penyidikannya. Ia berdiri di
ujung meja, mengamati sepatu tinggi berwarna hitam di
kaki wanita muda itu, dengan senter kecil di tangan. yang
satu, dan buku catatan di tangan yang satu lagi.
Kelly, asisten petugas pemeriksa mayat, sedang
membungkus tangan mayat itu dengan. kantong plastik
untuk melindungi keduanya. Connor menyuruhnya
berhenti. "Tunggu. sebentar." Connor mengamati sebelah
tangan, memeriksa pergelangan, dan meneliti bagian
bawah kuku. Ia mencium-cium salah satu kuku. Kemudian
ia menyentil-nyentil semua jari, satu per satu.
"Jangan repot-repot," Graham berkata singkat. "Belum
ada rigor mortis, dan tidak ada detritus di bawah kuku, baik
kulit maupun serat kain. Menurutku malah tidak banyak
tanda bahwa dia melakukan perlawanan."
Kelly membungkus tangan itu dengan kantong plastik.
Connor berkata padanya, "Sudah bisa ditentukan jam
berapa dia meninggal?"
"Sedang dikerjakan." Kelly mengangkat pantat wanita
muda itu, untuk memasang alat pengukur suhu di dubur.
"Alat pengukur suhu di ketiak sudah dipasang. Sebentar
lagi kita sudah tahu jawabannya."
Connor menyentuh bahan gaun yang berwarna hitam,
lalu memeriksa labelnya. Helen, salah satu anggota tim SID,
berkata, "Karya Yamamoto."
"Betul." Connor mengangguk.
"Apa itu?" tanyaku.
Helen menjawab, "Desainer dari Jepang, mahal sekali.
Harga gaun hitam ini paling tidak lima ribu dolar. Itu pun
kalau dibeli second hand. Kalau baru, harganya mungkin
15.000." "Apakah asal usulnya bisa dilacak?" tanya Connor.
"Mungkin. Tergantung apakah dia membelinya di sini,
atau di Eropa, atau di Tokyo. Perlu waktu beberapa hari
untuk memeriksanya."
Connor langsung tidak tertarik lagi. "Lupakan saja.
Terlalu lama." Ia mengeluarkan senter fiber optic berbentuk pena, yang
digunakannya untuk meneliti rambut dan kulit kepala
wanita muda itu. Kemudian ia memeriksa kedua telinga,
bergumam dengan terkejut ketika mengamati telinga
kanan. Aku mengintip lewat bahunya dan melihat setitik
darah kering di lubang anting. Rupanya aku menghalangi
gerak-gerik Connor, sebab ia menoleh ke arahku. "Permisi,
Kohai." Aku segera melangkah mundur. "Sori."
Kemudian Connor mengendus-endus bibir mayat itu,
membuka dan mengatupkan rahangnya secara cepat, dan
merogoh-rogoh di dalam mulut dengan senter penanya.
Lalu ia memutar-mutar kepalanya dari satu sisi ke sisi yang
lain, sehingga wanita muda itu seakan-akan menoleh ke
kiri-kanan. Ia menghabiskan beberapa saat dengan
meraba-raba di sepanjang leher, hampir mengelus-elusnya
dengan lembut. Dan setelah itu, secara tiba-tiba ia menjauhi mayat itu
dan berkata, "Oke, cukup sekian."
Dan ia keluar dari ruang rapat.
Graham menoleh. "Dari dulu dia memang tak hanyak
gunanya di tempat kejadian."
Aku langsung bertanya, "Kenapa kau berpendapat
begitu" Kata orang-orang, dia detektif yang hebat."
"Oh, persetan," ujar Graham. "Kau bisa lihat sendiri. Dia
tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia tidak tahu
prosedur. Connor bukan detekof Connor punya koneksi.
Dengan cara itulah dia menyelesaikan semua kasus yang
membuatnya terkenal. Kau masih ingat kasus Arakawa"
Pasangan muda yang dibunuh waktu mereka berbulan
madu" Tidak" Kurasa kejadiannya sebelum zamanmu,
Petey-san. Tahun berapa kasus Arakawa, Kelly?"
"Tujuh puluh enam," kata Kelly.
"Benar, 76. Kasus besar tahun itu. Mr. dan Mrs. Arakawa,
pasangan muda yang berkunjung ke Los Angeles untuk
berbulan madu. Mereka sedang berdiri di tepi jalan di East
L.A., dan tiba-tiba keduanya ditembak dari sebuah mobil
yang melaju melewati mereka. Persis seperti dalam perang
antargeng. Yang lebih parah lagi, pada saat autopsi
ditemukan bahwa Mrs. Arakawa sedang hamil. Pihak pers
berpesta pora. L.A.P.D. tidak sanggup menangani kekerasan
geng, begitu laporan mereka. Surat-surat dan sumbangan
uang berdatangan dari segala penjuru kota. Semua orang
menyesalkan nasib yang menimpa pasangan muda itu. Dan,
tentu saja, para detektif yang ditugaskan untuk menangani
kasus itu tidak berhasil menemukan apa pun. Maksudku,
kasus pembunuhan yang menyangkut warga negara Jepang.
Mereka tidak memperoleh kemajuan apa pun.
"Nah, setelah satu minggu, Connor dipanggil. Dan dia
memecahkan kasus itu dalam satu hari. Bayangkan, satu
hari! Padahal peristiwanya terjadi satu minggu lalu.
Bukti-bukti fisik sudah lama lenyap, kedua jenazah sudah
berada di Osaka, dan karangan-karangan bunga yang sudah
layu menumpuk di pojok jalan tempat penembakan berlangsung. Tetapi Connor berhasil membuktikan bahwa Mr.
Arakawa sebenarnya termasuk tokoh dunia hitam di Osaka.
Dia membuktikan bahwa penembakan di pojok jalan itu
sebenarnya sebuah eksekusi yakuza, yang diperintahkan di
Jepang untuk dilaksanakan di Amerika. Dan dia juga mengungkapkan bahwa sang suami yang jahat sebenarnya bukan
sasaran utama; yang diincar adalah sang istri yang sedang
hamil, sebab ayah Mrs. Arakawa-lah yang hendak diberi
pelajaran. Jadi, Connor membalikkan semuanya. Luar biasa,
hah?" "Dan kaukira dia bisa melakukan semuanya itu berkat
koneksinya di kalangan orang Jepang?"
"Silakan jawab sendiri," kata Graham. "Aku cuma tahu
bahwa tidak lama kemudian dia pergi ke Jepang selama
setahun." "Dalam rangka apa?"
"Kabarnya dia bekerja sebagai petugas keamanan untuk
sebuah perusahaan Jepang yang merasa berutang budi.
Pokoknya, mereka mengurus segala kebutuhannya. Dia
mengerjakan sebuah tugas untuk mereka, dan mereka
membayarnya. Begitulah kesimpulanku. Tak ada yang tahu
persis apa yang terjadi. Tapi yang jelas, dia bukan detektif.
Coba lihat dia sekarang."
Di luar, di atrium, Connor menatap langit-langit,
seolah-olah sedang melamun. Pertama-tama ia menoleh ke
satu arah, lalu ke arah lain. Sepertinya ia sedang berusaha
mengambil keputusan. Tiba-tiba ia bergegas ke arah lift,
seakan-akan hendak pergi. Kemudian, tanpa-peringatan, ia
berbalik dan berjalan ke tengah-tengah ruangan, lalu
berhenti. Setelah itu, ia mulai mengamati daun-daun pohon
palem dalam pot yang ditempatkan di sana-sini.
Graham geleng-geleng. "Apa lagi ini, berkebun" Terus
terang, dia memang aneh. Asal tahu saja, dia sudah lebih
dari sekali pergi ke Jepang. Dia selalu kembali. Rupanya dia
tak pernah bisa cocok di sana. Bagi Connor, Jepang seperti
perempuan. Connor tidak bisa hidup dengan dia, dan juga
tidak bisa hidup tanpa dia. Aku sendiri tak habis pikir. Aku
suka Amerika, maksudku, apa yang tersisa dari Amerika."
Ia berpaling kepada tim SID yang mulai bergerak
menjauhi mayat. "Kalian sudah menemukan celana
dalamnya?" "Belum, Tom." Aku berkata, "Celana dalam yang mana?"
Graham menyingkap rok wanita muda itu. "Kelihatannya
John tidak berminat menyelesaikan pemeriksaannya, tapi
menurutku di sini ada petunjuk penting. Cairan yang
mengalir dari vagina, kurasa itu sperma. Dia tidak memakai
celana dalam, dan di pangkal paha ada garis merah, tempat
celana dalamnya direnggut. Kemaluan bagian luar tampak
merah dan lecet. Rasanya cukup jelas bahwa dia mengalami
hubungan seks secara paksa sebelum dibunuh. Jadi
kuminta pada anak-anak untuk menemukan celana
dalamnya." Salah satu anggota tim SID berkata, "Barangkali dia
memang tidak memakai celana dalam."
Graham menyangkal dengan tegas, "Dia pakai."
Aku berpaling kembali pada Kelly. "Bagaimana dengan
obat bius?" Ia mengangkat bahu. "Kita masih menunggu hasil
analisis lab terhadap semua cairan tubuh. Tapi sepintas lalu
dia kelihatan bersih. Sangat bersih." Aku menyadari bahwa
Kelly tampak sangat gelisah.
Graham pun memperhatikannya. "Ah, kenapa tampangmu kusut begitu, Kelly" Kau terpaksa membatalkan kencan larut malam?"
"Bukan," kata Kelly, "tapi terus terang, di sini bukan saja
tidak ada tanda-tanda pergulatan atau obat bius-aku
bahkan tidak menemukan petunjuk bahwa dia dibunuh."
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Graham mengulangi, "Tidak ada petunjuk bahwa dia
dibunuh" Kau bercanda?"
Kelly berkata, "Wanita ini memiliki luka di leher yang
mengisyaratkan bahwa dia mengalami sindrom perbudakan seksual. Di bawah rias wajahnya terdapat
tanda-tanda bahwa dia pernah diikat sebelumnya,
berkali-kali." "Jadi?" "Jadi, secara teknis, mungkin saja dia tidak dibunuh.
Barangkali dia meninggal mendadak secara wajar."
"Oh, Tuhan, yang benar saja."
"Ada, kemungkinan ini suatu contoh dari yang blasa
kami sebut kematian karena kegagalan pada jaringan saraf.
Kematian fisiologis secara seketika."
"Artinya?" Kelly mengangkat bahu. "Orang yang bersangkutan mati
begitu saja." "Tanpa alasan sama sekali?"
"Hmm, tidak juga. Pada umumnya terdapat kerusakan
pada jantung atau jaringan saraf Tapi kerusakannya tidak
cukup parah untuk menyebabkan kematian. Aku pernah
menangani kasus anak berumur sepuluh tahun yang
terkena lemparan baseball di dada - tidak seberapa keras dan langsung mati di halaman sekolah. Tidak ada siapa
siapa dalam jarak dua puluh meter di sekitarnya. Dalam
kasus lain, seorang wanita mengalami kecelakaan mobil
yang ringan. Dadanya membentur kemudi, juga tidak
terlalu keras, dan ketika dia membuka pintu mobil untuk
keluar, dia tiba-tiba mati. Sepertinya kejadian ini berkaitan
dengan luka di leher atau dada, yang mungkin mengganggu
jaringan saraf yang berhubungan dengan jantung. Jadi,
begitulah, Tom. Secara teknis, kematian mendadak
merupakan kemungkinan yang harus diperhitungkan. Dan
karena berhubungan seks tidak digolongkan sebagai tindak
pidana, berarti itu bukan pembunuhan."
Graham mengedipkan mata. "Maksudmu, mungkin tak
ada yang membunuhnya?"
Kelly mengangkat bahu. Ia meraih dipboardnya. "Aku
tidak akan mencatat semuanya itu. Aku akan mencantumkan kekurangan zat asam sekunder akibat
cekikan manual sebagai penyebab kematian. Sebab
kemungkinan besar dia memang dicekik. Tapi sebaiknya
kauingat-ingat bahwa tetap ada kemungkinan dia tidak
dicekik. Barangkali dia mati begitu saja."
"Oke," Graham berkata. "Akan kuingat-ingat. Sebagai
khayalan pemeriksa mayat. Ngomong-ngomong, kalian
sudah tahu identitasnya?"
Tim SID, yang masih sibuk memeriksa ruangan,
bergumam belum. Kelly berkata, "Rasanya aku sudah bisa memastikan jam
berapa dia meninggal." Ia mengamati alat pengukur suhu
dan membandingkan hasilnya dengan sebuah daftar.
"Bagian dalam tubuhnya bersuhu 96,9. Dengan suhu ruang
di sini, itu berarti sampai dengan tiga jam sudah berlalu."
"Sampai dengan tiga jam" Hah, bagus. Hei, Kelly, kita
semua sudah tahu bahwa dia mati malam ini."
"Hanya itu yang bisa kulakukan." Kelly menggelengkan
kepala. "Sayangnya kurva pendinginan kurang teliti untuk
jangka waktu di bawah tiga jam. Aku cuma bisa
memastikan bahwa dia mati dalam tiga jam terakhir. Tapi
aku mendapat kesan bahwa wanita itu sudah agak lama
mati. Rasanya lebih dekat ke tiga jam."
Graham berpaling pada tim SID. "Sudah ada yang
menemukan celana dalamnya?"
"Belum, Letnan."
Graham memandang berkeliling dan berkata, "Tasnya
lenyap, celana dalamnya lenyap."
Aku berkata, "Kaupikir barang-barang itu diamhil
orang?" "Entahlah," jawabnya. "Tapi bukankah seorang wanita
yang menghadiri suatu pesta dengan gaun seharga 30.000
dolar biasanya membawa tas?" Kemudian Graham menatap
melewati bahuku dan lersenyum. "Wah, ada kejutan
untukmu, Petey-san. Salah satu pengagummu ingin
bertemu." Yang bergegas menghampiriku adalah Ellen Farley,
sekretaris pers Wali Kota. Farley berusia 15 tahun, rambut
pirang tua dipotong pendek, penampilan sempurna, seperti
biasa. Ia pernah menjadi pembaca berita ketika masih
muda, tetapi kini sudah bertahun-tahun bekerja di kantor
Wali Kota. Ellen Farley cerdas, gesit, dan memiliki tubuh
indah, yang sepanjang pengetahuanku hanya ia gunakan
untuk dirinya sendiri. Aku menyukainya. Aku membantunya beberapa kali
sewaktu aku masih di kantor pers L.A.P.D. Berhubung Wali
Kota dan Kepala Polisi saling membenci, permintaan dari
kantor Wali Kota kadang-kadang diteruskan dari Ellen
padaku, dan aku menangani semuanya. Biasanya hal-hal
sepele: menunda pengumuman sebuah laporan sampai
akhir pekan, agar dapat dimuat pada hari Sabtu. Atau
mengumumkan bahwa tuntutan untuk kasus tertentu
belum diajukan, padahal sudah. Aku melakukannya karena
Farley selalu berkata apa adanya. Dan sepertinya sekarang
pun ia akan bersikap sama.
"Begini, Pete," katanya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi
di sini, tapi Pak Wali Kota mendapat keluhan dari
seseorang bernama Mr. Ashiguro..."
"Aku tidak heran."
"Dan Pak Wali Kota minta agar aku mengingatkanmu
bahwa tidak ada alasan bagi pejabat kota ini untuk bersikap
kasar terhadap warga negara asing."
Graham berkomentar keras-keras, "Terutama kalau
mereka memberikan sumbangan kampanye yang begitu
besar." "Warga negara asing tidak bisa menyumbang untuk
kampanye politik Amerika," kata Farley. "Anda pun tahu
itu." Ia merendahkan suaranya, "Ini kasus peka, Pete.
Kuminta, kau berhati-hati. Kau tahu bahwa orang Jepang
sangat sensitif terhadap perlakuan yang mereka terima di
sini." "Oke, baiklah."
Ia memandang lewat dinding kaca ruang rapat, ke arah
atrium. "Itu John Connor, ya?"
"Ya." "Kupikir dia sudah pensiun. Sedang apa dia di sini?"
"Membantuku dalam kasus ini."
Farley mengerutkan kening. "Asal tahu saja, perasaan
orang Jepang terhadap dia, tidak menentu. Mereka punya
istilah untuk itu. Untuk seseorang yang tergila-gila pada
Jepang, lalu berballk 180 derajat dan mencaci maki Jepang."
"Connor tidak begitu."
"Ishiguro merasa diperlakukan secara kasar."
"Ishiguro mengatur-atur kami," kataku. "Dan di sini ada
wanita muda yang mati terbunuh, yang rupanya luput dari
perhatian semua orang."
"Pete," ujar Farley, "tidak ada yang berusaha
mengatur-atur kalian. Aku cuma ingin mengatakan bahwa
kau perlu mempertimbangkan situasi khusus yang..."
Ia terdiam. Ia menatap mayat di ruang rapat.
"Ellen?" kataku. "Kau kenal dia?"
"Tidak." Ia berpaling ke arah lain.
"Kau yakin?" Kelihatan jelas bahwa perasaannya terguncang.
Graham berkata, "Anda sempat melihatnya di bawah
sebelum ini?" "Saya tidak... barangkali. Mungkin. Sori, saya harus
kembali sekarang." "Ellen. Terus teranglah."
"Aku tidak tahu siapa dia, Pete. Aku pasti akan cerita,
kalau aku tahu. Pokoknya, jaga hubungan baik dengan
orang-orang Jepang. Hanya itu pesan Pak Wali Kota yang
harus kusampaikan padamu. Aku harus kembali sekarang."
Ia bergegas menuju lift. Aku memperhatikannya pergi.
Perasaanku tidak enak. Graham datang dan berdiri di sampingku. "Pantatnya
seksi," katanya. "Tapi dia tidak berterus terang, Kawan,
bahkan dengan kau." Aku berkata, "Apa maksudnya, bahkan denganku?"
"Semua orang tahu bahwa kau dan Farley pernah intim."
"Apa maksudmu?"
Graham menonjok bahuku. "Ayolah. Kau sudah cerai
sekarang. Mana ada yang peduli."
Aku membantah, "Cerita itu tidak benar, Tom."
"Oke, baiklah." Ia mengangkat kedua tangannya.
"Mungkin aku salah dengar."
Aku memperhatikan Farley di ujung atrium. Ia
membungkuk, lewat di bawah pita. Ia menekan tombol lift,
dan menunggu sampai liftnya datang sambil mengetuk-ngetukkan kaki dengan tidak sabar.
Aku bertanya, "Kaupikir dia kenal korban ini?"
"Taruhan," kata Graham. "Kau tahu kenapa Wali Kota
menyukai dia" Dia berdiri di sampingnya dan membisikkan
nama-nama orang ke telinganya. Orang yang tidak
ditemuinya selama, bertahun-tahun. Suami-suami, istri-istri, anak-anak, semuanya. Percayalah, Farley tahu
siapa cewek ini." "Kalau begitu, kenapa dia tidak memberitahu kita?"
"Entah," kata Graham. "Mungkin karena cewek ini
penting bagi seseorang. Lihat saja bagaimana dia kabur
tadi. Kita harus mencari tahu siapa cewek yang mati ini.
Sebab aku benci kalau menjadi orang terakhir di kota ini
yang mengetabuinya."
Connor berada di seberang ruangan. Ia melambaikan
tangan ke arah kami. "Mau apa lagi dia sekarang?" ujar Graham. "Melambai-lambai seperti itu. Apa itu yang dipegangnya?"
"Kelihatannya seperti tas," kataku.
"Cheryl Lynn Austin," Connor membacakan. "Lahir di
Midland, Texas, Iblusan Texas State. Dua puluh tiga tahun.
Dia punya apartemen di Westwood, tapi belum cukup lama,
di sini untuk menukar SIM Texas-nya."
Isi tas bertebaran di sebuah meja. Kami menyodok-nyodok semuanya dengan pensil.
"Di mana kautemukan tas ini?" tanyaku. Tasnya kecil,
gelap, bermanik-manik, dengan jepitan berupa mutiara.
Sebuah tas antik dari tahun empat puluhan. Mahal.
"Tasnya tergeletak di pot palem di dekat ruang rapat."
Connor membuka ritsleting sebuah kantong mungil.
Segulung lembaran seratus dolar menggelinding ke meja.
"Bagus. Miss Austin diurus dengan baik."
Aku berkata, "Tidak ada kunci mobil?"
"Tidak." "Kalau begitu, dia datang bersama orang lain."
"Dan rupanya dia juga berniat pulang bersama orang
lain. Sopir taksi tidak punya uang kembalian untuk seratus
dolar." Selain itu masih ada kartu kredit American Express, Gold
Card. Lipstik dan tempat bedak. Sebungkus rokok Mild
Seven Menthol, rokok Jepang. Kartu untuk Daimatsu Night
Dub di Tokyo. Empat butir pil kecil berwarna biru. Hanya
itu. Dengan menggunakan pensil, Connor membalikkan tas
itu. Bintik-bintik kecil berwrarna hijau jatuh ke meja.
"Kalian tahu apa inii?"
"Tidak," kataku. Graham mengamatinya melalui kaca
pembesar. Connor berkata, "Ini kacang berlapis wasabi. Wasabi
adalah lobak hijau yang dihidangkan di restoran-restoran
Jepang. Aku belum pernah tahu bahwa ada kacang berlapis
wasabi. "Aku tidak pasti apakah ada yang menjualnya selain di
Jepang." Graham menggerutu. "Kurasa sudah cukup. Bagaimana,
John" Apakah Ishiguro akan memanggil saksi-saksi yang
kauminta?" "Jangan harap mereka muncul dalam waktu dekat," kata
Connor. "Yeah," kata Graham. "Kita tidak akan ketemu mereka
sebelum lusa, sebelum para pengacara mereka selesai
memberi pengarahan mengenai apa yang harus mereka
katakan." Ia menjauhi meja. "Kalian sadar kenapa mereka
mengulur-ulur waktu" Soalnya cewek ini dibunuh oleh
orang Jepang. Itulah masalah yang kita hadapi."
"Ada kemungkinan," kata Connor.
"Hei, Kawan. Bukan sekadar kemungkinan. Kita di sini.
Ini gedung mereka. Dan tipe cewek seperti itulah yang
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cocok dengan selera mereka. Mawar Amerika bertangkai
panjang. Kalian tahu angana-angan orang-orang cebol itu"
Berhubungan seks dengan pemain voli."
Connor mengangkat bahu. "Mungkin saja."
"Ah, jangan pura-pura," kata Graham. "Kau tahu mereka
hidup susah di negeri sendiri. Berdesak-desakan di kereta
bawah tanah, bekerja untuk perusahaan-perusahaan besar.
Terpaksa memendam perasaan. Lalu mereka datang ke sini,
jauh dari segala batasan di rumah, dan tiba-tiba mereka
kaya dan bebas. Mereka bisa melakukan apa saja yang
mereka inginkan. Dan sekali-sekali salah satu dari mereka
agak melewati batas. Ayo, buktikan bahwa aku keliru."
Connor menatap Graham untuk waktu yang cukup lama.
Akhirnya ia berkata, "Jadi, menurutmu, Tom, seorang
pembunuh Jepang memutuskan untuk menghabisi wanita
muda ini di meja di ruang rapat dewan direksi Nakamoto?"
"Yeah." 'Sebagai tindakan simbolis?"
Graham mengangkat bahu. "Astaga, mana aku tahu" Ini
bukan perkara biasa. Tapi satu hal sudah jelas. Tak peduli
bagaimana caranya, aku akan menangkap bajingan yang
melakukan ini." Bab 5 LIFT turun dengan cepat. Connor bersandar pada
dinding kaca. "Sebenarnya banyak alasan untuk tidak
menyukai orang Jepang," katanya, "tapi Graham tidak
mengetahui satu pun." Ia mendesah. "Anda tahu apa yang
mereka katakan tentang kita?"
"Apa?" "Mereka mengatakan, orang Amerika terlalu sibuk
membuat teori. Menurut mereka, kita tidak meluangkan
cukup banyak waktu untuk mengamati dunia, sehingga kita
tidak tahu bagaimana keadaan sesungguhnya."
"Apakah itu pemikiran Zen?"
"Bukan." Ia tertawa. "Sekadar pengamatan saja.
Tanyalah bagaimana pendapat salesman komputer
mengenai sejawatnya di Amerika, dan dia akan
memberikan jawaban yang sama. Semua orang di Jepang
yang berurusan dengan orang Amerika berpandangan
demikian. Dan kalau Anda mengamati Graham, Anda akan
mengakui bahwa mereka benar. Graham tidak mempunyai
pengetahuan atau pengalaman langsung. Dia hanya
berpegang pada sekumpulan prasangka dan khayalan
media. Dia tidak tahu apa-apa mengenai orang Jepang - dan
juga tak pernah terpikir olehnya untuk mencari tahu."
Aku berkata, "Jadi, menurut Anda, dugaannya keliru"
Wanita muda itu tidak dibunuh oleh orang Jepang?"
"Saya tidak berkata begitu, Kohai," balas Connor.
"Mungkin sekali Graham memang benar. Tapi saat ini..."
Pintu membuka dan kami melihat suasana pesta,
mendengar band m emainkan Moonlight Serenade. Dua
pasang tamu masuk ke dalam lift. Mereka tampak seperti
orang real estate - para pria berambut perak dan
berpenampilan penuh martabat, para wanita cantik dan
agak norak. Salah satu dari kedua wanita itu berkata, "Dia
lebih pendek dari yang kuduga."
"Ya, mungil. Dan laki-laki itu... apakah dia pacarnya?"
"Kelihatannya begitu. Bukankah dia juga tampil dalam
video klipnya?" "Rasanya memang dia."
Salah satu dari kedua pria bertanya, "Menurutmu,
apakah payudaranya dioperasi plastik?"
"Sekarang ini, siapa yang tidak dioperasi?"
Wanita yang satu lagi tertawa cekikikan. "Aku, tentu
saja." "Benar, Christine."
"Tapi aku ada niat. Kaulihat Emily tadi?"
"Oh, dadanya benar-benar busung sekarang."
"Yeah, ini gara-gara Jane. Dia yang mulai. Sekarang
semuanya ingin yang besar."
Kedua pria menoleh dan memandang ke luar jendela.
"Gedung mereka hebat sekali, " salah satu berkata.
"Detail-detailnya! Pasti mahal sekali. Kau sering melakukan
bisnis dengan orang Jepang sekarang, Ron?"
"Sekitar dua puluh persen," jawab pria yang satu lagi.
"Jauh berkurang dibanding tahun lalu. Aku terpaksa giat
berlatih golf, sebab mereka selalu mau main golf."
"Dua puluh persen dari proyek-proyekmu?"
"Yeah. Sekarang ini mereka sedang memborong segala
sesuatu di Orange County."
"Tentu saja. Los Angeles sudah jadi milik mereka," salah
satu wanita berkomentar sambil tertlawa.
"Yeah, hampir. Gedung Arco di seberang sana pastilah
dibeli oleh mereka," pria itu berkata sambil menunjuk ke
luar jendela. "Kurasa sekarang ini sekitar tujuh puluh
sampai tujuh puluh lima persen pusat kota Los Angeles
sudah berada di tangan mereka."
"Apalagi di Hawaii."
"Wah, mereka pemilik Hawaii - sembilan puluh persen
dari Honolulu, seratus persen dari Pantai Kona. Mereka
membangun lapangan golf seperti orang kesurupan."
Salah satu wanita bertanya, "Apakah pesta ini masuk ET
besok" Kulihat banyak kamera tadi."
"Nonton saja acaranya besok."
Lift berkata, "Mosugu de gozaimasu.
Kami sampai di lantai parkir, dan orang-orang itu keluar.
Connor memperhatikan mereka pergi, dan menggelengkan
kepala. "Tak ada satu negara pun di dunia ini," katanya,
"tempat kita bisa mendengar orang mengobrol santai
mengenal penjualan kota-kota mereka kepada orang asing.
" "Mengobrol?" kataku. "Merekalah yang menjual semuanya." "Ya. Orang Amerika memang giat dalam menjual. Orang
Jepang sampai terheran-heran. Menurut mereka, kita
sedang melakukan bunuh diri ekonomi. Dan tentu saja
mereka benar." Sambil bicara, Connor menekan sebuah
tombol pada panil lift yang bertulisan KHUSUS KEADAAN
DARURAT. Sebuah alarm berdenting. "Untuk apa Anda melakukan itu?"
Connor menatap kamera video yang terpasang di sudut
langit-langit dan melambaikan tangan dengan ceria. Sebuah
suara, berkata lewat interkom, "Selamat malam. Apakah
saya bisa membantu?"
"Ya," ujar Connor. "Apakah saya bicara dengan
keamanan gedung?" "Betul, Sir. Apakah ada gangguan pada lift yang Anda
naiki?" "Di mana ruang Anda?"
"Kami di lantai lobi, pojok tenggara, di belakang lift."
"Terima kasih banyak," kata Connor. Ia menekan tombol
lobi. Bab 6 RUANG keamanan di Nakamoto Tower berukuran kecil,
mungkin lima kali tujuh meter. Ruangan itu dikuasai oleh
tiga panil video yang besar dan datar, masing-masing
terdiri atas selusin monitor. Saat itu, sebagian besar layar
tampak gelap. Tetapi satu deret memperlihatkan keadaan
di lobi dan tempat parkir. Deret lain menampilkan suasana
pesta yang tengah berlangsung. Dan pada deret ketiga
terlihat tim-tim kepolisian di lantai 46.
Petugas keamanan yang giliran jaga bernama Jerome
Phillips. Ia berkulit hitam, berusia empat puluhan. Seragam
Nakamoto Security berwarna abu-abu yang dikenakannya
tampak basah di sekitar kerah dan gelap di bawah ketiak. Ia
minta agar kami tidak menutup pintu ketika kami masuk.
Kelihatan sekali bahwa ia gelisah akibat kehadiran kami.
Aku mencium bahwa ia menyembunyikan sesuatu, tetapi
Connor mendekatinya dengan sikap bersahabat. Kami
menunjukkan lencana dan bersalaman. Connor berhasil
membangun suasana bahwa kami bertiga sama-sama
tenaga profesional dalam bidang keamanan yang hendak
berbincang-bincang. "Anda pasti sibuk sekali malam ini, Mr.
Phillips." "Yeah. Urusan pesta dan segala macam."
"Dan penuh sesak, di ruang kecil ini."
Phillips mengusap keringat dari keningnya. "Wah, jangan
tanya. Semuanya berdesak-desakan di sini."
Aku berkata, "Semuanya?"
Connor menatapku dan berkata, "Setelah orang-orang
Jepang menyingkir dari lantai 46 tadi, mereka turun ke sini
dan mengawasi kami lewat monitor-monitor. Bukan begitu,
Mr. Phillips?" Phillips mengangguk. "Tidak semuanya, tapi cukup
banyak. Bergerombol di sini, mengepul-ngepulkan asap
rokok sialan, melotot, terengah-engah, dan saling
membagikan fax." " Fax?" "Oh, yeah, setiap beberapa menit ada yang bawa fax
baru. Dengan tulisan Jepang. Semua membacanya dan
memberi komentar. Lalu salah satu dari mereka pergi
untuk mengirim fax balasan. Dan yang lainnya tinggal di
sini untuk mengamati Anda di atas."
Connor berkata, "Juga mendengarkan?"
Phillips menggeleng. "Tidak. Kami tidak punya saluran
audio." "Masa?" ujar Connor. "Padahal peralatan ini kelihatannya up-to-date."
"Up-to-date" Hah, ini yang paling canggih di seluruh
dunia. Orang-orang ini, wah. Orang-orang ini tidak pernah
setengah-setengah. Mereka punya sistem alarm kebakaran
dan pencegahan kebakaran terbaik, sistem gempa bumi
terbaik, dan tentu saja sistem keamanan elektronik
terbaik-kamera, detektor, semuanya yang terbaik."
"Saya tahu," kata Connor. "Karena itulah saya heran
bahwa mereka tidak punya audio."
"Begitulah. Tidak ada audio, tidak ada warna. Hanya
video resolusi tinggi. Jangan tanya saya kenapa. Saya hanya
tahu bahwa ada hubungan dengan kamera-kamera dan
bagaimana kamera-kamera itu disambungkan."
Pada panil-panil video, aku melihat lima monitor yang
menampilkan pandangan ke lantai 46, masing-masing
diambil dari sudut yang berbeda. Ternyata orang-orang
Jepang telah memasang kamera untuk meliput seluruh
lantai. Aku teringat bahwa Connor berjalan-jalan di atrium
tadi, sambil mendongakkan kepala. Rupanya waktu itu ia
telah melihat kamera-kamera tersebut.
Kini aku melihat Graham di ruang rapat, sibuk memberi
pengarahan kepada semua tim. Ia sedang merokok, yang
melanggar peraturan yang berlaku di tempat kejadian
perkara. Aku melihat Helen meregangkan badan dan
menguap. Sementara itu, Kelly sedang bersiap-siap untuk
memindahkan mayat korban dari meja ke kantong jenazah,
dan ia tengah... Tiba-tiba aku menyadarinya.
Di atas sana ada kamera. Lima buah kamera. Meliput setiap jengkal lantai.
Aku berkata, "Ya Tuhan," dan langsung membalik. Aku
baru hendak mengatakan sesuatu ketika Connor tersenyum
penuh pengertian dan meletakkan tangannya ke bahuku. Ia
meremas bahuku keras-keras.
"Letnan," ia berkata.
Sakitnya luar biasa. Aku berusaha untuk tidak
menggerenyit. "Ya, Kapten?"
"Barangkali Anda ingin mengajukan satu atau dua
pertanyaan pada Mr. Phillips?"
"Tidak, Kapten. Silakan teruskan."
Ia melepaskan bahuku. Aku mengeluarkan buku catatan.
Connor duduk di tepi meja dan berkata, "Sudah lamakah
Anda bergabung dengan Nakamoto Security, Mr. Phillips?"
"Ya, sudah sekitar enam tahun sekarang, Sir. Saya mulai
di pabrik mereka di La Habra, dan ketika kaki saya cedera saya mengalami kecelakaan mobil - dan saya tidak bisa
berjalan dengan baik, mereka memindahkan saya ke bagian
ke amanan. Soalnya di sana saya tidak perlu berkeliling-keliling. Lalu, waktu mereka membuka pabrik di
Torrance, mereka memindahkan saya ke sana. Istri saya
juga dapat pekerjaan di pabrik di Torrance. Mereka
mengerjakan sub perakitan untuk Toyota. Lalu, ketika
gedung ini didirikan, saya dibawa ke sini, untuk bekerja
malam "Begitu. Seluruhnya enam tahun."
"Ya, Sir." "Anda tentu betah bekerja di sini."
"Hmm, begini saja, kedudukan saya aman. Ini besar
artinya di Amerika. Saya tahu bahwa orang kulit hitam
dianggap rendah oleh mereka, tapi saya selalu
diperlakukan dengan baik. Sebelum ini, saya bekerja untuk
GM di Van Nuys, dan itu... Anda tahu sendiri, itu sudah
tamat." "Ya," ujar Connor dengan nada simpatik.
"Tempat itu," ujar Phillips sambil geleng-geleng karena
teringat lagi. "Oh. Dan manajer-manajer yang ditugaskan
untuk mengontrol para pekerja. Anda takkan percaya.
Semuanya MBA keparat dari Detroit, anak-anak ingusan
yang tak tahu apa-apa. Mereka tidak tahu tahap-tahap
pekerjaan. Mereka tidak bisa membedakan mesin bubut
dari mesin pres. Tapi mereka tetap saja mengatur-atur
mandor. Mereka dapat 200.000 setahun dan mereka tidak
tahu apa-apa. Dan tak ada yang bekerja dengan benar.
Mobil-mobil yang kami rakit semuanya kacau. Tapi di sini,"
katanya sambil mengetuk-ngetuk meja. "Di sini, kalau ada
masalah, atau kalau ada sesuatu yang tidak berfungsi dengan semestinya, saya tinggal lapor saja. Dan mereka
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langsung datang, dan mereka kenal sistemnya - cara
kerjanya - dan kami membahas masalahnya di sini, lalu
masalahnya diatasi. Langsung. Di tempat. Di sini, semua
masalah segera diatasi. Itu bedanya. Orang-orang ini,
mereka benar-benar sigap "
"Jadi, Anda betah di sini?"
"Mereka selalu memperlakukan saya dengan baik," ujar
Phillips sambil mengangguk.
Ucapannya terasa mengambang, kurang bersemangat.
Aku mendapat kesan bahwa orang itu tidak memiliki
tanggung jawab terhadap perusahaan tempatnya bekerja,
dan bahwa kami dapat mengorek lebih banyak informasi
darinya. Kami tinggal memancingnya dengan pertanyaanpertanyaan terarah. "Kesetiaan sangat penting," ujar Connor sambil
mengangguk-angguk. "Bagi mereka," balas Phillips. "Mereka mengharapkan
agar kami selalu memperlihatkan semangat menggebu-gebu untuk perusahaan. Jadi, saya selalu datang
lima belas atau, dua puluh menit lebih awal, dan pulang
lima belas atau, dua puluh menit lebih lambat dari yang
seharusnya. Mereka senang kalau kami bekerja lembur.
Saya melakukan hal yang sama di Van Nuys, tapi tak ada
yang memperhatikannya."
"Anda bertugas dari jam berapa sampai jam berapa?"
"Jam sembilan malam sampai jam tujuh pagi."
"Dan malam ini" Jam berapa Anda datang?"
"Jam sembilan kurang seperempat. Saya kan sudah
bilang, saya selalu datang lima belas menit lebih awal."
Laporan mengenai pembunuhan itu direkam sekitar
pukul 20.30. Jadi, kalau orang ini datang pukul 20.45,
berarti dia terlambat hampir lima belas menit untuk
melihat pembunuhannya. "Siapa yang bertugas sebelum
Anda?" "Hmm, biasanya Ted Cole. Tapi saya tidak tahu apakah
dia masuk malam ini."
"Kenapa?" Petugas keamanan itu mengusap keringat di keningnya
dengan lengan baju dan memalingkan muka.
"Kenapa begitu, Mr. Phillips?" kataku dengan nada lebih
mendesak. Petugas keamanan itu mengedip-ngedipkan mata dan
mengerutkan kening, tanpa berkata apa-apa.
Connor berkata dengan tenang, "Karena Ted Cole tidak
ada di sini pada waktu Mr. Phillips tiba tadi, bukan begitu,
Mr. Phillips?" Si petugas keamanan menggelengkan kepala. "Dia
memang tidak di sini waktu saya datang."
Aku hendak mengajukan pertanyaan lain, tetapi Connor
mengangkat sebelah tangan. "Saya bisa membayangkan,
Mr. Phillips, Anda tentu terkejut ketika masuk ke sini pada
pukul sembilan kurang seperempat."
"Memang," jawab Phillips.
"Apa yang Anda lakukan kemudian?"
"Hmm. Saya langsung tanya pada pria itu, 'Apakah saya
bisa membantu Anda"' Dengan sopan, tapi tegas.
Bagaimanapun juga, ini ruang keamanan. Dan saya tidak
tahu siapa dia, saya belum pernah melihatnya. Dan dia
kelihatan tegang. Sangat tegang. Dia membentak saya,
'Minggir.' Congkak sekali, seakan-akan seisi dunia ini
miliknya. Dia melewati saya, dengan membawa tas
kerjanya. "Saya bilang, 'Maaf, Sir. Saya perlu memeriksa identitas
Anda.' Dia tidak menjawab, dia terus saja ber jalan. Keluar
dari lobi, lalu turun tangga."
"Anda tidak berusaha mencegahnya?"
"Tidak, Sir." "Karena dia orang Jepang?"
"Betul. Tapi saya menghubungi ruang keamanan pusat di
lantai sembilan, untuk melaporkan bahwa saya memergoki
seseorang di sini. Dan mereka bilang, 'Jangan khawatir,
tidak apa-apa.' Tapi saya bisa dengar bahwa mereka juga
tegang. Semuanya tegang. Dan kemudian, di layar monitor
saya lihat... wanita yang mati itu. Baru waktu itu saya mulai
mengertl apa masalahnya."
Connor berkata, "Orang yang Anda pergoki, apakah Anda
dapat menggambarkannya?"
Si petugas keamanan mengangkat bahu. "Tiga puluh,
atau tiga puluh lima tahun, tingginya sedang-sedang saja.
Setelan jas warna biru tua, seperti yang dipakai oleh
semuanya. Tapi dia lebih trendi dari yang lain. Dia pakai
dasi bermotif segi tiga. Oh... dan di tangannya ada bekas
luka, seperti bekas luka bakar atau semacamnya."
"Tangan sebelah mana?"
"Tangan kiri. Saya melihatnya waktu dia menutup tas
kerja." "Anda sempat melihat isi tas itu?"
"Tidak." "Tapi dia sedang menutupnya ketika Anda memasuki
ruangan?" "Ya." "Apakah Anda mendapat kesan bahwa dia mengambil
sesuatu dari ruangan ini?"
"Saya tidak bisa memastlkannya, Sir."
Aku mulai jengkel menghadapi Phillips, yang terus
berusaha menghindar. "Menurut Anda, apa yang
diambilnya?" Connor langsung memelototiku.
Si petugas keamanan tampak bingung. "Saya benar-benar tidak tahu, Sir."
Connor berkata, "Tentu saja. Anda tidak mungkin tahu
apa isi tas kerja orang lain. Ngomong-ngomong, apakah
Anda membuat rekaman dari kamera-kamera keamanan di
sini?" "Ya." "Anda bisa memperlihatkan caranya pada saya?"
"Tentu." Petugas keamanan itu berdiri dan membuka pintu
di ujung ruangan. Kami mengikutinya ke sebuah ruangan
kecil yang dipenuhi tumpukan kotak, dari lantai sampai
langit-langit. Semuanya dengan huruf-huruf kanji dan
nomor-nomor Inggris. Masing-masing dilengkapi sebuah
lampu merah yang menyala, dan counter LED, dengan
angka-angka yang bergerak maju.
Phillips berkata, "Ini alat-alat perekam kami, yang
menerima sinyal dari semua kamera di gedung ini. Video
delapan milimeter, definisi tinggi." Ia meraih sebuah kaset
kecil, mirip kaset musik. "Setiap kaset ini punya masa
rekam selama delapan jam. Kami ganti kaset jam sembilan
malam, jadi itu hal pertama yang saya kerjakan waktu
mulai bertugas. Saya keluarkan yang lama, lalu
memasukkan yang baru "
"Dan apakah malam ini Anda juga mengganti kaset pukul
sembilan?" "Ya, Sir. Seperti biasa."
"Dan apa yang Anda lakukan dengan kaset-kaset yang
Anda keluarkan dari alat perekam?"
"Saya simpan semuanya di sini," katanya, sambil
membungkuk untuk memperlihatkan beberapa laci
panjang dan tipis. "Semua rekaman disimpan selama 72
jam. Tiga hari. Kami punya sembilan set kaset,
masing-Masing dipakai tiga hari sekali. Oke?"
Connor tampak ragu-ragu. "Mungkin lebih baik kalau
saya mencatat keterangan Anda." Ia mengeluarkan bolpoin
dan buku catatan kecil. "Nah, masing-masing kaset dipakai
untuk merekam selama delapan jam, Anda mempunyai
sembilan set berbeda..."
"Betul, betul."
Connor menulis sejenak, lalu menggoyang-goyangkan
bolpoin dengan kesal. "Bolpoin brengsek. Tintanya habis.
Ada keranjang sampah di sini?"
Phillips menuniuk ke pojok ruangan. "Sebelah sana."
"Terima kasih."
Connor membuang bolpoinnya. Aku menyodorkan
bolpoinku. Ia meneruskan catatannya. "Jadi, Mr. Phillips,
Anda mempunyai sembilan set..."
"Betul. Setiap set ditandai dengan huruf, mulai dari A
sampai 1. Nah, waktu saya datang pukul sembilan, saya
keluarkan semua kaset dan memeriksa huruf mana yang
sudah dipakai, lalu saya masukkan yang berikut. Malam ini,
misalnya, saya keluarkan set C, jadi saya masukkan set D,
yang dipakai merekam sekarang." "Ah, begitu," ujar Connor. "Dan setelah itu Anda
menyimpan set C di salah satu laci di sebelah sana?"
"Betul." Ia membuka sebuah laci. "Yang ini."
Connor berkata, "Boleh saya lihat sebentar?" Ia melirik
deret kaset yang diberi label dengan rapi. Kemudian ia
cepat-cepat membuka laci-laci yang lain, dan mengamati
tumpukan deretan yang ada di dalam. Selain huruf-huruf
yang berbeda-beda, semua laci tampak sama.
"Saya rasa saya mengerti sekarang," ujar Connor. "Anda
melakukan rotasi dengan kesembilan set itu. "
"Persis." "Jadi masing-masing set digunakan setiap tiga hari
sekali." "Betul." "Dan sudah berapa lama sistem ini digunakan oleh
keamanan di sini?" "Gedung ini masih baru, tapi kami sudah bertugas, ehm,
sekitar dua bulan." "Kelihatannya sistem ini terorganisasi dengan baik,"
Connor memuji. "Terima kasih atas penjelasan Anda.
Sekarang tinggal beberapa pertanyaan lagi."
"Silakan." "Pertama-tama, counter-counter ini," ujar Connor, sambil
menunjuk counter-counter LED pada alat-alat perekam.
"Sepertinya counter-counter ini menunjukkan sudah berapa
lama sebuah alat perekam bekerja. Apakah itu benar"
Sebab sekarang hampir jam sebelas, dan Anda
memasukkan kaset jam sembilan, dan pada alat perekam
paling atas terbaca 1:55:30, dan pada yang berikut 1:55:10,
dan seterusnya." "Ya, itu benar. Saya memasukkan semua kaset
berturut-turut. Tapi di antara masing-masing kaset ada
selang waktu selama beberapa detlk."
"Begitu. Semua counter menunjukkan hampir dua jam.
Tapi satu alat perekam di bawah sini baru menunjukkan
tiga puluh menit. Apakah itu berarti alat perekam ini
rusak?" "Oh," ujar Phillips. Ia mengerutkan kening. "Ada
kemungkinan. Saya sudah bilang bahwa. saya mengganti
semua kaset berturut-turut. Tapi alat-alat perekam ini
memakai teknologi mutakhir. Kadangkadang ada yang
tidak beres. Atau barangkali sempat ada gangguan listrik.
Mungkin itu." "Ya. Mungkin saia," kata Connor. "Anda dapat
memberitahu saya kamera mana yang disambungkan ke
alat perekam ini?" "Ya, tentu saja." Phillips membaca nomor yang
tercantum, lalu kembali ke ruang utama dan mengamati
panil video. "Ini dia, kamera empat enam strip enam,"
katanya. "Monitor yang ini."
Monitor yang ditunjuknya menampilkan pandangan dari
salah satu kamera di atrium. Seluruh lantai 46 kelihatan.
"Tapi," kata Phillips, "hebatnya sistem ini, biarpun salah
satu alat perekam macet, kami masih punya kamera-kamera lain di lantai ini, dan sepertinya semuanya
berfungsi dengan normal."
"Ya, memang," ujar Connor. "Oh, ya, apakah Anda bisa
memberitabu saya kenapa begitu banyak kamera terpasang
di lantai 46?" "Sebenarnya ini rahasia perusahaan," jawab Phillips.
"Tapi Anda tahu sendiri bahwa mereka tergila-gila pada
efisiensi. Kabarnya mereka ingin memacu para pegawai
kantor." "Jadi, pada dasarnya kamera-kamera itu dipasang untuk
memantau para pegawai sepanjang hari, dan membantu
mereka meningkatkan efisiensi?"
"Itulah yang saya dengar."
"Hmm, saya rasa memang begitu," kata Connor. "Oh, satu
hal lagi. Anda tahu alamat Ted Cole?"
Phillips menggelengkan kepala. "Tidak."
"Anda pernah pergi bersamanya, mengunjungi bar,
misalnya?" "Pernah, tapi tidak sering. Orangnya agak aneh."
"Anda pernah ke apartemennya?"
"Belum. Dia sangat tertutup. Kalau, tidak salah, dia
tinggal bersama ibunya. Biasanya kami mengunjungi
sebuah bar di Palomino, di dekat bandara. Dia suka
suasananya." Connor mengangguk.- "Pertanyaan terakhir, di mana
telepon umum terdekat?"
"Di lobi, dan di sebelah kanan, di dekat kamar kecil. Tapi
Anda bisa pakai telepon di sini saja."
Connor menyalami petugas keamanan itu dengan sikap
hangat. "Mr. Phillips, terima kasih atas kesediaan Anda
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk berbicara dengan kami."
"Kembali." Aku memberikan kartu namaku padanya. "Kalau Anda
nanti teringat sesuatu yang mungkin bisa membantu kami,
Mr. Phillips, jangan ragu-ragu untuk menghubungi saya."
Kemudian aku melangkah pergi
Bab 7 CONNOR berdiri di telepon umum di lobi. Teleponnya
model baru dengan dua gagang, masing-masing satu di
kiri-kanan, yang memungkinkan dua orang melakukan
percakapan secara bersamaan pada satu saluran.
Telepon-telepon semacam itu Sudah bertahun-tahun
digunakan di Tokyo, dan belakangan ini juga mulai muncul
di seluruh Los Angeles. Tentu saja Pacific Bell tidak lagi
merupakan pemasok utama untuk telepon umum di
Amerika. Pasar itu pun sudah ditembus oleh perusahaan-perusahaan Jepang. Aku memperhatikan
Connor mencacat sebuah nomor telepon di buku
catatannya. "Sedang apa Anda?"
"Ada dua pertanyaan terpisah yang harus kita jawab
malam ini. Pertama, bagaimana wanita muda itu sampai
terbunuh di sebuah lantai kantor. Tapi kita juga harus
melacak siapa yang menelepon polisi untuk melaporkan
pembunuhan tersebut."
"Dan Anda pikir orang itu menelepon dari telepon umum
ini?" "Ada kemungkinan."
Ia menutup buku catatan, lalu melirik jam tangannya.
"Sudah malam. Sebaiknya kita segera mulai bergerak."
"Saya rasa kita melakukan kesalahan besar."
"Kenapa Anda berpendapat demikian?" tanya Connor.
"Saya sangsi apakah kita harus meninggalkan kaset-kaset video tadi di ruang keamanan. Bagaimana kalau
ada yang menukar semuanya sementara kita pergi?"
"Kaset-kaset itu sudah ditukar," kata Connor.
"Dari mana Anda tahu?"
"Saya mengorbankan bolpoin saya untuk memastikannya," ia berkata. Ia mulal berjalan ke arah
tangga yang menuju tempat parkir di bawah. Aku
mengikutinya. "Begini," ujar Connor. "Ketika, Phillips menjelaskan
sistem rotasi sederhana tadi, saya segera menyadari bahwa
mungkin ada yang menukar kaset-kaset itu. Masalahnya,
bagaimana saya bisa membuktikannya?"
Suaranya memantul dari dinding-dinding beton di ruang
tangga. Connor terus bergegas turun. Dengan setiap
langkah ia melewati dua anak tangga. Aku berusaha agar
tidak ketinggalan. Connor berkata, "Jika ada yang menukar kaset-kaset itu,
bagaimana mereka melakukannya" Mereka akan terburu-buru, takut melakukan kesalahan. Mereka pasti
tidak ingin meninggalkan satu kaset yang dapat
memberatkan mereka. Jadi, kemungkinan besar mereka
mengambil satu set lengkap, dan menggantinya. Tapi
dengan apa" Mereka tak mungkin sekadar memindahkan
set berikutnya. Berhubung hanya ada sembilan set, pasti
ada yang mengetahui kalau satu set hilang. Sebab akan ada
satu laci yang kosong. Karena itu, mereka terpaksa
mengganti set yang mereka ambil dengan satu set baru.
Dua puluh kaset baru. Dan itu berarti saya perlu memeriksa
keranjang sampah." "Untuk itulah Anda membuang bolpoin Anda?"
"Ya. Saya tidak ingin Phillips mengetahui tujuan saya
yang sebenarnya." "Dan?" "Keranjang sampah ternyata penuh bungkus plastik
yang sudah diremas-remas. Jenis bungkus plastik yang
digunakan sebagai pembungkus kaset video baru."
"Ah, saya mengerti."
"Setelah jelas bahwa kaset-kaset itu sudah dilukar,
tinggal satu pertanyaan yang harus dijawab, yaitu set yang
mana" Jadi saya berlagak bodoh, dan membuka semua laci.
Pedang Golok Yang Menggetarkan 22 Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka Cula Naga Pendekar Sakti 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama