Midnight Sun Karya Stephenie Meyer Bagian 5
menentukan apakah dia akan disidangkan di Texas atau di Oklahoma."
Fotonya agak buram, foto buron. Dia masih berjanggut lebat waktu foto itu
diambil. Bahkan jika Bella menonton dia tidak akan mengenalinya. Kuharap dia
tidak menonton; itu bisa membuatnya ketakutan.
"Beritanya tidak akan sampai ke Forks. Kejadiannya terlalu jauh untuk jadi
berita lokal," beritahu Alice padaku. "Beruntung ada Carlisle yang bisa
membawanya keluar dari negara bagian ini."
Aku mengangguk. Bella sendiri tidak terlalu sering nonton TV. Aku juga jarang
melihat ayahnya menonton acara selain olahraga.
Aku telah melakukan yang kubisa. Monster itu tidak lagi berkeliaran, dan aku
tidak jadi pembunuh. Paling tidak, bukan belakangan ini. Pilihanku tepat dengan
mempercayakannya pada Carlisle, walaupun aku tidak sepenuhnya puas penjahat itu
bisa lolos semudah itu. Kuharap dia akan diadili di Texas, dimana hukuman mati
masih sering diberikan...
Tidak. Itu tidak penting lagi. Aku akan melupakan hal itu, dan fokus pada apa
yang paling penting. Aku baru meninggalkan kamar Bella tidak sampai satu jam yang lalu, tapi aku
sudah tidak sabar ingin menemuinya lagi. "Alice, maukah kau-"
Dia langsung memotongku, "Rosalie yang akan mengemudi. Dia akan berlagak marah,
tapi tahu sendiri, dia akan senang punya alasan untuk memamerkan mobilnya."
Alice tertawa riang. Aku tersenyum padanya. "Sampai ketemu di sekolah."
Alice menghela napas, dan senyumku berubah jadi seringai.
Aku tahu, aku tahu, batinnya. Belum saatnya. Aku Akan menunggu sampai kau siap
buat Bella mengenalku. Kau mestinya tahu, ini bukan karena aku egois. Bella juga
akan menyukaiku. Aku tidak menanggapi, dan buru-buru keluar. Itu cara pandang yang berbeda untuk
melihat situasi ini. Maukah Bella mengenal Alice" Maukah dia punya sahabat
seorang vampir" Kalau dari sudut pandang Bella...mungkin ide itu tidak terlalu mengganggu.
Aku mengeluh sendiri. Apa yang Bella mau dan apa yang terbaik bagi Bella adalah
dua hal yang bertentangan.
Aku mulai gelisah ketika parkir di depan rumah Bella. Pepatah manusia
mengatakan, banyak hal kelihatan berbeda di pagi hari-hal itu berubah karena kau
tidur. Apakah aku juga akan kelihatan berbeda di mata Bella, di bawah langit
mendung dan berkabut pada pagi hari ini" Mungkinkah kebenaran itu akhirnya
meresap ketika dia tidur" Mungkinkah akhirnya dia takut"
Sepertinya tadi malam mimpinya indah. Ketika menggumamkan namaku berulang-ulang,
dia tersenyum. Lebih dari sekali dia memohon agar aku tetap tinggal. Apa itu
tidak akan ada artinya hari ini"
Aku menunggu dengan cemas, mendengarkan suara-suara yang ditimbulkannya di dalam
rumah-langkahnya yang setengah berlari di tangga, sobekan kertas timah, benturan
botol-botol saat dia menutup lemari es. Sepertinya dia sedang terburu-buru.
Tidak sabar ingin cepat-cepat ke sekolah" Bayangan itu membuatku tersenyum,
penuh harapan lagi. Aku melihat ke jam. Sepertinya-jika menghitung-hitung kecepatan maksimal truknya
- dia hampir terlambat. Bella menghambur keluar rumah. Tasnya disampirkan di pundak. Rambut ikalnya agak
berantakan. Sweter hijau yang dia pakai tidak cukup tebal untuk melindungi
tubuhnya dari dinginnya kabut.
Sweter panjang itu ukurannya kebesaran sehingga menyamarkan bentuk tubuh Bella
yang gemulai, mengubah lekuk-lekuknya yang menawan jadi tidak berbentuk. Namun
aku sama menyukainya seperti jika dia memakai blus biru muda tadi malam...warna
biru mengalir bagai air di permukaan tubuhnya, kainnya membalut kulitnya begitu
rupa hingga terlihat sangat menarik, potongannya cukup pendek untuk menunjukkan
tulang selangkanya yang mempesona, yang melengkung indah dari bawah leher...
Kurasa lebih baik aku menjauhkan bayangan itu. Jadi aku bersyukur dengan sweter
yang dia pakai. Aku tidak boleh membuat kesalahan. Dan merupakan kesalahan besar
jika aku sampai terhanyut pada hasrat aneh yang mulai terbebas dalam diriku,
hasrat terhadap bibirnya...kulitnya...tubuhnya.... Hasrat yang selama seratus
tahun terkurung rapat. Tapi aku tidak boleh membayangkan itu. Aku tidak boleh
membayangkan menyentuhnya, karena itu mustahil.
Aku akan meremukkan dia. Setelah membanting pintu Bella langsung lari hingga hampir saja tidak menyadari
mobilku. Kemudian dia berhenti mendadak. Tubuhnya membeku. Tasnya merosot ke tangan, dan
matanya membelalak saat melihat mobilku.
Aku keluar, tanpa repot-repot mengekang kecepatan kilatku, dan membukakan pintu
mobil untuk dia. Aku tidak mau mengelabuinya lagi - paling tidak saat kami
berdua, aku akan menjadi diriku sendiri.
Dia menatapku, terkejut saat aku muncul begitu saja. Kemudian kekagetan di
matanya berubah jadi sesuatu yang lain, dan aku tidak perlu lagi takut
perasaannya berubah. Hangat, kagum, terpesona, semua jadi satu pada mata
coklatnya yang mencair. "Kau mau berangkat bersamaku hari ini?" tanyaku padanya. Tidak seperti waktu
makan malam kemarin, aku memberinya pilihan. Mulai sekarang, semua harus sesuai
kemauannya. "Ya, terima kasih," gumamnya sambil masuk kedalam mobilku tanpa ragu-ragu.
Apa aku akan berhenti keheranan, bahwa akulah orang yang dijawab ya olehnya"
Sepertinya aku akan terus heran.
Aku langsung melesat mengitari mobil, tidak sabar ingin berada di sampingnya.
Dia tidak terlihat kaget dengan kemunculanku yang tiba-tiba.
Kebahagiaan yang kurasakan ketika dia duduk disampingku seperti ini, tidak ada
bandingannya. Walau aku sangat menikmati kedekatan keluargaku, juga dengan
berbagai kemewahan yang kupunya, aku belum pernah merasa sebahagia ini. Bahkan
walau tahu kalau ini salah, bahwa ini tidak akan berakhir dengan baik, tetap
saja tidak bisa menghapus senyumku.
Jaketku kusampirkan di sandaran kursinya. Kulihat dia memandanginya.
"Aku membawakan jaket untukmu." Itu alasan yang kupakai untuk datang tanpa
diundang. Pagi ini dingin. Dia tidak punya jaket. Tentunya ini bentuk sikap
ksatria yang bisa diterima. "Aku tak ingin kau sakit atau apa."
"Aku tak selemah itu, kau tahu," sanggahnya sambil menatap dadaku dan bukannya
wajahku, seakan dia ragu-ragu untuk menatap mataku. Tapi jaketku dipakai juga
tanpa harus kupaksa. "Benarkah?" gumamku sendiri.
Dia terlihat menerawang ke luar saat kami mulai jalan. Aku hanya tahan berdiam
diri selama beberapa detik. Aku harus tahu apa yang dia pikirkan pagi ini. Ada
banyak hal yang berubah diantara kami sejak matahari terbit.
"Apa tidak ada rentetan pertanyaan hari ini?" tanyaku sesantai mungkin.
Dia tersenyum, terlihat lega aku mengungkitnya. "Apakah pertanyaan-pertanyaanku
mengganggumu?" "Tidak seperti reaksimu," jawabku jujur sambil tersenyum untuk membalas
senyumnya. Ujung bibirnya mengerut turun. "Apakah reaksiku buruk?"
"Tidak, itu masalahnya. Kau menerimanya dengan tenang sekali-tidak wajar." Tidak
ada satu jeritanpun. Bagaimana itu mungkin" "Itu memuatku bertanya-tanya, apa
yang sebenarnya kau pikirkan."
Tentu saja, apapun yang dia perbuat atau tidak perbuat, membuatku bertanyatanya. "Aku selalu mengatakan apa yang sebenarnya kupikirkan."
"Kau mengeditnya."
Dia menggigit bibirnya lagi, kelihatannya tidak sadar-reflek ketika sedang
tegang. "Tidak terlalu banyak."
Hanya dengan mendengar kata-kata itu sudah membuat penasaranku memuncak. Apa
yang dengan sengaja ia tutupi dariku"
"Cukup untuk memuatku gila," sergahku.
Dia ragu sejenak, lalu berbisik, "Kau tidak ingin mendengarnya."
Aku harus berpikir sebentar, mengulang kembali seluruh pembicaraan tadi malam,
kata perkata, mencari hubungannya. Mungkin aku mesti lebih berkonsentrasi lagi
karena aku tidak bisa membayangkan ada sesuatu yang tidak ingin kudengar dari
dia. Tapi kemudian-karena nada bicaranya sama dengan tadi malam; ada kepedihan
yang tiba-tiba muncul-aku ingat. Secara spesifik aku sempat meminta dia untuk
tidak mengucapkan pikirannya; Jangan pernah katakan itu. Aku hampir menggeram
ketika itu, dan membuatnya menangis...
Apa itu yang ia sembunyikan" Kedalaman perasaannya padaku" Bahwa sosokku sebagai
monster tidak penting buatnya, dan bahwa sudah terlambat untuk berubah pikiran"
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kebahagiaan dan penderitaan ini terlalu kuat
untuk diungkapkan lewat kata-kata. Benturan keduanya terlalu liar untuk
dijelaskan. Keadaan hening, hanya ada suara dari detak jantungnya yang teratur.
"Di mana keluargamu yang lain?" tanyanya tiba-tiba.
Aku mengambil napas panjang-merasakan aroma pekatnya yang membakar untuk pertama
kalinya pagi ini; aku mulai terbiasa, aku menyadari dengan puas-dan memaksa
diriku serileks mungkin. "Mereka naik mobil Rosalie." Kebetulan ada tempat kosong di samping mobil yang
ia tanyakan, dan aku parkir disitu. Kuseembunyikan senyumku saat matanya
membelalak. "Kelewat mencolok, kan?"
"Mmm, wow. Kalau Rosalie punya itu, kenapa dia pergi bersamamu" "
Rosalie pasti akan menikmati reaksi Bella...jika dia mau bersikap obyektif
tentang Bella, yang mana kuragukan.
"Seperti kataku, kelewat mencolok. Kami berusaha membaur."
"Kalian tidak berhasil." Dan dia tertawa riang. Keriangan suara tawanya
menghangatkan jantungku. "Jadi kenapa Rosalie mengemudi sendiri kalau itu kelewat menarik perhatian?"
tanyanya heran. "Tidakkah kau tahu" Aku melanggar semua aturan sekarang."
Jawabanku pasti tidak terlalu menakuktkan-jadi tentu saja, Bella tersenyum
mendengarnya. Dia tidak menunggu untuk dibukakan pintu, sama seperti tadi malam. Sekarang aku
harus menjaga sikapku-jadi aku tidak bisa melesat untuk menahannya-tapi untuk
selanjutnya dia harus mulai membiasakan diri untuk diperlakukan dengan sopan.
Dan harus secepatnya. Aku berjalan di sampingnya sedekat yang aku berani sambil mengamati kalau-kalau
dia merasa risih. Dua kali tangannya sedikit terjuntai ke arahku, namun ditarik
lagi. Kelihatannya seperti ingin menyentuhku... Napasku memburu.
"Kenapa kalian mempunyai mobil-mobil seperti itu" Kalau kalian memang
menginginkan privasi?" tanyanya sambil jalan.
"Memanjakan diri. Kami semua suka ngebut."
"Sudah kuduga," gumamnya masam.
Dia tidak mendongak untuk melihat seringai jailku.
Ya ampun! Aku tidak percaya ini! Bagaimana cara Bella melakukannya" Aku tidak
mengerti! Kenapa" Suara batin Jessica menyela pikiranku. Dia sedang menunggu Bella, berlindung
dari guyuran hujan di bawah atap kafetaria. Jaket Bella di tangannya. Matanya
membelalak tidak percaya.
Kemudian Bella melihat juga. Rona merah muda muncul di pipinya ketika dia
menangkap reaksi Jessica. Pikiran Jessica terbaca dengan jelas di wajahnya.
"Hei Jessica. Terima kasih sudah ingat membawanya," sapa Bella. Dia mengambil
jaketnya dan Jessica memberikan masih sambil melongo.
Aku harus sopan pada teman Bella, entah dia itu teman yang baik atau bukan.
"Selamat, pagi Jessica."
Waahhh... Mata Jessica makin membelalak. Ini aneh...dan jujur saja, sedikit
memalukan...menyadari bagaimana berada di dekat Bella telah melunakkan diriku.
Sepertinya tidak ada lagi orang yang takut. Jika Emmet sampai tahu, dia pasti
akan menertawaiku habis-habisan.
"Err...hai," gumam Jessica tidak jelas. Kemudian matanya memelototi Bella.
"Kalau begitu sampai ketemu di kelas Trigono."
Kau harus menceritakan semuanya. Tidak boleh tidak. Setiap detailnya. Aku harus
mendapatkan detailnya! Si Edward CULLEN!! Dunia tidak adil!
Bibir Bella cemberut. "Yeah, sampai ketemu nanti."
Benak Jessica makin berkeliaran saat berjalan menuju kelas. Sesekali dia menoleh
ke belakang. Cerita lengkapnya. Aku tidak mau terima jika kurang dari itu. Apa mereka memang
sudah berencana untuk bertemu tadi malam" Apa mereka sudah berkencan" Sudah
berapa lama" Tega-teganya Bella merahasiakan hal ini" Kenapa juga dia mau
merahasiakannya" Ini tidak mungkin cuma iseng-Bella pasti serius. Apa ada
kemungkinan yang lain" Aku akan mencari tahu. Kira-kira, apa dia sudah
menciumnya" Ya ampun... Benak Jessica tiba-tiba terputus, dia ganti membayangkan
adegan itu. Aku langsung berusaha mengusirnya.
Itu tidak akan mungkin terjadi. Namun tetap saja aku...
Tidak, aku menolak untuk membenarkan tindakan yang seperti itu, bahkan tidak ke
diriku sendiri. Aku menginginkan dia dengan cara salah seperti apa lagi" Dan
cara mana yang akhirnya akan berujung pada kematiannya"
Aku menggeleng, berusaha ceria lagi.
"Apa yang akan kau katakan padanya?" .
"Hei!" desisnya tajam. "Kupikir kau tak bisa membaca pikiranku!"
"Aku tak bisa." Aku menatap kaget, berusaha mengolah ucapanya. Ah-kami pasti
memikirkan hal yang sama. Hmm...aku cukup suka itu. "Bagaimanapun, aku bisa
membaca pikirannya-dia tak sabar ingin menginterogasimu di kelas."
Bella mengerang. Kemudian dengan begitu saja dia melepas jaketku. Awalnya aku
tidak sadar-aku sama sekali tidak meminta jaketku; aku lebih memilih dia pakai
terus...sebagai kenang-kenangan-jadi aku terlambat membantu melepaskannya. Dia
mengembalikan jaketku, dan memakai jaketnya sendiri tanpa melihat kalau tanganku
sudah siap membantu. Aku merengut karenanya, namun cepat mengontrol ekspresiku
agar tidak dilihat dia. "Jadi, kau akan bilang apa padanya?" desakku.
"Tolong bantu aku sedikit. Apa yang ingin diketahuinya?"
Aku tersenyum, dan menggeleng. Aku ingin mendengar apa yang dia pikirkan saat
itu juga, tanpa persiapan. "Itu tidak adil."
Matanya menyipit. "Tidak, kau tidak akan memberitahu apa yang kau ketahui-itu
baru tidak adil." Betul-dia tidak suka standar ganda.
Kami sampai di depan kelasnya-dimana aku harus meninggalkan dia; aku bertanyatanya apa Ms. Cope mau membantu menukar jadwal pelajaran bahasa Inggrisku...
Sebaiknya jangan, aku harus berlaku adil.
"Dia ingin tahu apakah kita diam-diam berkencan," kataku lambat-lambat. "Dan dia
ingin tahu bagaimana perasaanmu terhadapku."
Matanya melebar-bukannya kaget, tapi dibuat-buat. Dia sok polos.
"Iihh," gumamnya. "Apa yang harus kukatakan?"
"Hmm." Dia selalu saja mencoba mengorekku ketimbang membuka pikirannya sendiri.
Aku menimbang-nimbang bagaimana menjawabnya.
Sejumput rambutnya yang agak basah karena kabut, terlepas dari belakang telinga,
dan terjuntai di sekitar tulang selangkanya yang sekarang tersembunyi dibalik
sweter. Itu menarik perhatian mataku...pada lekuk tulangnya yang masih agak
kelihatan... Kuraih rambut itu hati-hati agar jangan sampai menyentuh kulitnya-pagi ini sudah
cukup dingin tanpa ketambahan sentuhanku-dan mengembalikannya ke balik telinga
agar tidak menarik perhatianku lagi. Aku ingat saat Mike Newton menyentuh
rambutnya, ketika itu Bella langsung menjauh. Kali ini reaksinya sama sekali
berbeda; pupil matanya melebar, aliran darah di balik kulitnya menderas, dan
detak jantungnya mendadak tidak beraturan.
Aku berusaha menyembunyikan senyumku saat menjawab pertanyaannya. "Kurasa kau
bisa mengatakan ya untuk petanyaan pertama... kalau kau tidak keberatan-,"
biarkan dia yang memilih, harus selalu begitu, "-itu lebih mudah daripada
penjelasan lainnya."
"Aku tak keberatan," bisiknya. Detak jantungnya masih belum teratur.
"Dan untuk pertanyaan yang satu lagi... " kini aku tidak bisa menyembunyikan
senyumku. "Well, aku akan mendengar jawabannya langsung darimu."
Biarkan Bella mempertimbangkan hal itu. Aku menahan tawaku saat syok terlihat di
wajahnya. Aku cepat-cepat berbalik, sebelum dia sempat menuntut jawaban lagi. Aku menemui
kesulitan untuk tidak menjawab apapun yang ia tanya. Dan aku ingin mendengar
pikirannya, bukan pikiranku sendiri.
"Sampai ketemu saat makan siang," kataku sambil menoleh melihatnya, sekedar
alasan untuk mengecek apa dia masih memandangiku dengan terlongo. Dan, dia masih
begitu, dengan mulut terbuka. Aku berbalik lagi dan tertawa.
Samar-samar aku menyadari pikiran syok orang-orang disekitarku-tatapan mereka
bergantian ke aku dan Bella. Namun aku tidak terlalu memperhatikan mereka. Aku
tidak bisa berkonsentrasi. Untuk melangkah dengan tenang saja sudah susah. Aku
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingin lari-benar-benar lari, secepat kilat hingga menghilang, seperti terbang.
Sebagian dariku sekarang sudah terbang.
Sesampainya di kelas jaketku kupakai. Keharuman pekat Bella yang tertinggal pun
bergelung disekelilingku. Kubiarkan tenggorokanku terbakar supaya nanti saat
bertemu lagi lebih mudah mengatasinya.
Ada untungnya juga para guru sudah tidak pernah menanyaiku lagi. Hari ini
mungkin mereka bisa memergokiku tanpa jawaban. Pikiranku sedang berkeliaran ke
tempat lain; hanya badanku yang di kelas.
Tentu saja aku sedang memandangi Bella. Itu jadi alamiah-sealami seperti
bernapas. Dia sedang bercakap-cakap dengan Mike Newton, dan sebisa mungkin
berusaha mengalihkan pembicaraan ke Jessica. Aku menyeringai begitu lebar hingga
Rob Sawyer, yang duduk di meja sebelahku, berjengit di kursinya dan bergeser
menjauh. Ugh. Menyeramkan. Well, aku tidak sepenuhnya kehilangan tajiku.
Kadang-kadang aku juga mengawasi Jessica. Dia tidak sabar menunggu jam ke empat,
dan sedang memikirkan daftar pertanyaan untuk Bella. Aku sendiri sepuluh kali
lebih tidak sabar ketimbang Jessica.
Dan aku juga mendengarkan Angela Weber.
Aku tidak lupa dengan hutang budiku padanya-karena telah memikirkan yang baikbaik saja tentang Bella dan pertolongannya tadi malam. Jadi sepanjang pelajaran
aku mencari-cari sesuatu yang ia inginkan. Kusangka itu akan mudah; seperti
kebanyakan orang, pasti ada barang-barang mewah atau benda tertentu yang dia
idam-idamkan. Beberapa, mungkin. Aku akan mengirimkannya tanpa nama, dan
menganggap impas. Tapi ternyata Angela sama polosnya dengan Bella. Pikirannya sangat aneh untuk
ukuran remaja. Bahagia. Barangkali ini alasan dari kebaikan hatinya yang tidak
lazim-dia satu dari beberapa orang yang telah memiliki yang dia inginkan, dan
menginginkan yang telah ia miliki. Jika tidak sedang memperhatikan pelajaran,
dia memikirkan adik kembarnya, yang akan ia ajak ke pantai akhir pekan nantiterhibur oleh semangat mereka dengan sikap hampir keibuan. Dia sering diminta
menjaga mereka, tapi itu tidak membuatnya kesal... Itu sangat murah hati.
Tapi tidak terlalu menolong buatku.
Pasti ada sesuatu yang dia mau. Aku cuma perlu terus mencari. Tapi nanti lagi.
Ini saatnya kelas Trigono Bella bersama Jessica.
Aku tidak memperhatikan jalanku saat menuju kelas bahasa Inggris. Jessica sudah
duduk di kursinya. Kedua kakinya mengetuk-ngetuk lantai tidak sabaran menunggu
Bella datang. Sebaliknya, ketika sampai di kursiku, aku langsung sepenuhnya diam. Aku sampai
harus mengingatkan diriku untuk sesekali membuat gerakan, untuk memainkan
sandiwaraku sebagai manusia. Itu sangat sulit, pikiranku terlalu fokus ke
Jessica. Kuharap dia benar-benar memperhatikan, benar-benar membaca wajah Bella
untukku. Ketukan Jessica makin cepat ketika Bella memasuki kelas.
Dia kelihatan...murung. Kenapa" Mungkin tidak terjadi apa-apa antara dia dengan
Edward Cullen. Itu pasti mengecewakan. Kecuali...dengan begitu Edward berarti
masih sendirian...jika tiba-tiba Edward tertarik untuk kencan, aku tidak
keberatan membantunya... Wajah Bella tidak kelihatan murung, melainkan malas. Dia gelisah-dia tahu aku
akan mendengar semuanya. Aku tersenyum sendiri.
"Ceritakan semuanya!" desak Jess, sementara Bella masih melepas jaketnya untuk
disampirkan di kursi. Dia bergerak dengan enngan.
Ugh, di lamban sekali. Ayo cepat ceritakan!
"Apa yang ingin kau ketahui?" tanya Bella setengah hati setelah dia duduk. "Apa
yang terjadi semalam" "
"Dia mengajakku makan malam, lalu mengantarku pulang."
Lalu" Ayolah, pasti lebih dari itu! Paling-paling dia bohong, aku tahu itu. Aku
akan cari tahu yang sebenarnya.
"Bagaimana kau bisa pulang secepat itu?"
Kulihat Bella memutar bola matanya dari pandangan curiga Jessica. "Dia ngebut
seperti orang sinting. Mengerikan."
Dia tersenyum, senyuman kecil. Dan aku tergelak, memotong pembicaraan Mr. Mason.
Tawaku berusaha kuubah jadi batuk, tapi tidak ada yang tertipu. Mr. Mason
memelototiku, tapi aku bahkan tidak mau repot-repot mendengarkan pikirannya. Aku
masih sibuk dengan Jessica.
Huh. Sepertinya dia menceritakan yang sebenarnya. Kenapa dia mesti membuatku
menanyakannya kata per kata" Kalau itu aku, pasti sudah tidak sabar untuk
menceritakannya. "Apakah itu semacam kencan-apakah kau memberitahunya untuk menemuimu disana?"
Jessica mengamati baik-baik ekspresi Bella, dan kecewa karena kelihatannya
datar-datar saja. "Tidak-aku sangat terkejut melihatnya di sana," beritahu Bella.
Apa yang terjadi?" "Tapi hari ini dia menjemputmu ke sekolah?" Pasti ada cerita
lainnya. "Ya-itu juga kejutan. Dia memerhatikan aku tidak membawa jaket semalam." Itu
tidak terlalu menarik, batin Jessica, lagi-lagi kecewa.
Aku capek mendengar rentetan pertanyaannya-aku mau mendengar sesuatu yang belum
kuketahui. Kuharap Jessica tidak terlalu kecewa hingga melewatkan pertanyaan
yang kutunggu-tunggu. "Jadi, kalian akan berkencan lagi?" desak Jessica.
"Dia menawarkan mengantarku ke Seattle sabtu nanti, karena menurut dia, trukku
tidak bakal sanggup-apakah itu masuk hitungan?"
Hmm. Sepertinya Edward juga cukup serius...well, jaga Bella baik-baik. Pasti ada
yang aneh dengan si Edward, jika bukan Bella-nya yang aneh. Bagaimana INI bisa
terjadi" "Ya." Jessica menjawab pertanyaan Bella.
"Well, kalau begitu, ya," tegas Bella.
"W-o-w. Edward Cullen." Entah Bella menyukai Edward atau tidak, ini berita
besar. "Aku tahu," desah Bella.
Nada suara Bella menyemangati Jessica. Akhirnya-dia menyadari juga situasinya.
Dia juga pasti tahu... "Tunggu!" Tiba-tiba dia ingat pertanyaan yang paling penting. "Apakah dia sudah
menciummu?" Please bilang ya. Lalu ceritakan setiap detailnya!
"Belum," gumam Bella pelan, lalu dia menunduk, memandangi tangannya. "Bukan
begitu." Sial. Kuharap... Ha. Sepertinya Bella juga mengharapkannya.
Aku mengerutkan dahi. Bella memang terlihat kecewa akan sesuatu, tapi tidak
mungkin itu alasannya. Dia tidak mungkin menginginkan hal itu. Dia tidak mungkin
mau sedekat itu dengan gigiku. Seperti yang dia ketahui, aku punya taring.
Aku menggigil. "Menurutmu hari sabtu...?" desak Jessica lagi.
Bella bahkan terlihat lebih kecewa ketika berkata, "Aku sangat meragukannya."
Yah, dia memang menginginkannya. Itu pasti menyebalkan buat dia.
Apakah karena melihatnya lewat persepsi Jessica maka sepertinya asumsi Jessica
betul" Selama setengah detik pikiranku disela oleh bayangan-yang mustahil-tentang
bagaimana rasanya jika mencium Bella. Bibirku pada bibirnya, batu-dingin pada
kehangatan, merasakan kelembutannya yang seperti sutra...
Kemudian dia mati. Aku menggeleng-geleng sambil meringis, lalu memperhatikan lagi.
"Apa yang kalian obrolkan?" Apa kau bicara dengannya, atau kau justru membuatnya
harus bertanya satu persatu seperti ini"
Aku tersenyum kecut. Tebakan Jessica tidak terlalu melenceng.
"Entahlah, Jess, banyak. Kami membicarakan tentang tugas esai bahasa Inggris,
sedikit." Sangat, sangat sedikit. Aku tersenyum lebar.
Oh, AYOLAH. "Ayolah, Bella! Ceritakan detailnya."
Bella ragu sejenak. "Well, baiklah... akan kuceritakan satu. Mestinya kau lihat pelayan restoran
merayunya-terang-terangan sekali. Tapi dia tidak memerhatikan pelayan itu sama
sekali." Detail yang aneh untuk diceritakan. Aku bahkan tidak menyangka Bella menyadari
hal itu. Sepertinya itu tidak terlalu relevan.
Menarik... "Itu pertanda baik. Apakah pelayan itu cantik?"
Hmm. Jessica menanggapinya dengan lebih serius ketimbang aku. Pasti urusan
perempuan. "Sangat," ujar Bella. "Dan barangkali umurnya 19 atau 20."
Sesaat Jessica ingat ketika ia dan Mike kencan senin kemarin-Mike bersikap
terlalu sopan dengan si pelayan, yang menurut Jessica sama sekali tidak cantik.
Dia mengusir ingatan itu dan kembali. Dia mengekang kekesalannya agar bisa
meneruskan pertanyaannya.
"Lebih baik lagi. dia pasti menyukaimu."
"Kurasa begitu," ucap Bella tidak yakin, dan aku hampir saja berdiri. "Tapi
sulit mengetahuinya. Sikapnya selalu misterius."
Aku pasti tidak setransparan dan selepas kendali seperti yang kupikir. Namun
tetap saja...dengan pengamatan yang ia punya... Bagaimana mungkin dia tidak
menyadari bahwa aku jatuh cinta padanya" Kuulang kembali seluruh pembicaraan
kami berdua, dan baru sadar aku memang belum pernah mengucapkan kata-kata itu.
Tapi rasanya ungkapan itu sudah terbalut dalam setiap kata yang kuucapkan.
Wow. Bagaimana caranya kau bisa duduk di samping seorang model dan mengobrol
dengannya" "Aku tidak mengira kau berani sekali hanya berduaan dengannya."
Bella terlihat syok. "Kenapa?"
Reaksi yang aneh. Memangnya menurut dia yang kumaksud apa" "Dia begitu..." Apa
istilahnya yang tepat" "Mengintimidasi. Aku takkan tahu apa yang harus kukatakan
padanya." Bahkan tadi aku tidak bisa bicara dengan benar, padahal dia cuma
mengucapkan selamat pagi. Aku pasti kelihatan seperti orang idiot.
Bella tersenyum. "Tapi aku memang punya beberapa masalah dengan logika ketika
bersamanya." Dia pasti sekedar menghibur Jessica. Bella terlihat begitu terkendali ketika
bersamaku. "Oh, well," desah Jessica. "Dia memang luar biasa tampan. "
Tatapan Bella tiba-tiba jadi dingin. Pancaran matanya mirip seperti ketika
sedang tersinggung. Jessica sendiri tidak menangkap perubahan itu.
"Dia jauh lebih dari pada sekedar sangat tampan," tukas Bella.
Oooh. Akhirnya muncul juga. "Sungguh" Seperti apa?"
Bella menggigit bibirnya sebelum menjawab. "Aku tak bisa menjelaskannya dengan
tepat... tapi dia jauh lebih luar biasa di balik wajahnya." Dia berpaling dari
Jessica, tatapannya berubah tidak fokus seakan sedang memandangi sesuatu yang
jauh. Yang kurasakan saat ini mirip dengan yang kurasakan ketika Carlisle atau Esme
menyanjungku lebih dari yang sepantasnya. Mirip, tapi lebih dalam, dan lebih
melimpah. Jangan berlagak bodoh-tidak ada yang lebih baik ketimbang wajahnya! Kecuali
mungkin badannya. Hhh. "Apakah itu mungkin?" Jessica terkikik.
Bella tidak menoleh. Dia terus memandang ke kejauhan, mengabaikan Jessica.
Orang normal pasti sudah berbunga-bunga. Barangkali jika kutanyakan dengan
bahasa yang lebih sederhana. Ha ha. Aku seperti bicara dengan anak TK. "Jadi,
kau menyukainya?" Badanku membeku. Bella tidak melihat ke Jessica. "Ya."
"Maksudku, kau benar-benar menyukainya?"
"Ya." Lihat, dia tersipu-sipu! Ya, aku sedang melihatnya.
" Seberapa suka?" desak Jessica.
Ruang kelasku mungkin saja diguncang gempa dan aku tidak menyadarinya. Wajah
Bella bersemu merah-aku hampir bisa merasakan hangatnya.
"Terlalu suka," bisiknya. "Lebih dari dia menyukaiku. Tapi aku tidak tahu
bagaimana mengatasinya."
Sial! Apa tadi yang Mr. Varner tanyakan" "Mmm. Nomer berapa Mr. Varner?"
Untung Jessica tidak bisa menanyai Bella lagi. Aku butuh waktu sebentar.
Apa coba yang dipikirkan gadis itu" Lebih dari dia menyukaiku" Darimana dia
dapat ide itu" Tapi aku tidak tahu bagaimana mengatasinya" Apa coba itu artinya"
Aku tidak bisa menemukan penjelasan yang rasional dari perkataanya. Ucapannya
tak beralasan. Rasanya aku seperti tidak dihargai. Sesuatu yang sudah sangat-sangat jelas,
entah bagaimana jadi terpelintir di dalam otaknya yang ganjil. Lebih dari dia
menyukaiku" Barangkali dia memang masih perlu dibawa ke psikiater.
Aku melihat ke jam, dan menggertakan gigi. Kenapa satu menit jadi terasa seabad
untuk mahluk abadi sepertiku" Kemana larinya akal sehatku"
Rahangku terkatup rapat selama jam pelajaran Mr. Varner. Aku lebih banyak
mendengar pelajaran di kelas Bella ketimbang di kelasku sendiri. Bella dan
Jessica tidak bicara lagi, tapi sesekali Jessica melirik ke Bella. Satu kali,
wajahnya sempat bersemu merah tanpa alasan yang jelas.
Jam makan siang tidak datang-datang juga.
Kuharap Jessica bisa mendapatkan semua jawaban yang kutunggu saat jam pelajaran
selesai. Tapi Bella lebih cepat dari dia.
Sesaat setelah bel bunyi, Bella menoleh ke Jessica.
"Di kelas Inggris, Mike bertanya apakah kau mengatakan sesuatu tentang Senin
Malam," kata Bella sambil tersenyum. Aku mengerti apa yang dia lakukan-menyerang
adalah pertahanan yang terbaik.
Mike bertanya tentang aku" Perasaan senang membuat pikiran Jessica jadi melunak,
tanpa sindiran seperti biasanya. "Kau bercanda! Apa katamu?"
"Kubilang kau sangat menikmatinya-dia kelihatan senang."
"Katakan apa persisnya yang dikatakannya, juga jawabanmu!"
Jelas, cuma itu yang bisa kudapat dari Jessica hari ini. Bella tersenyum seakan
sedang memikirkan hal yang sama, seakan dia telah memenangkan ronde ini.
Well, pada saat makan siang nanti akan lain ceritanya. Aku harus lebih berhasil
ketimbang Jessica. Akan kupastikan itu.
Hanya kadang-kadang aku saja mengecek pikiran Jessica selama jam pelajaran
selanjutnya. Aku tidak tahan dengan obsesinya pada Mike Newton. Aku sudah cukup
mendengar tentang Mike Newton selama dua minggu ini. Sudah untung dia masih
hidup. Aku berjalan dengan malas ke ruang gimnasium bersama Alice. Kami selalu malas
jika menyangkut aktivitas fisik bersama manusia. Ini hari pertama bermain
badminton. Alice jadi pasanganku. Aku mendesah bosan, mengayunkan raketku dengan
sangat-sangat pelan untuk mengembalikan kok nya ke seberang net. Lauren Mallory
jadi lawan kami; dia gagal memukulnya. Alice memutar-mutar raketnya sambil
menatap ke langit-langit.
Kami semua membenci pelajaran olahraga, terutama Emmet. Mengalah dalam
pertandingan bertentangan dengan filosofi hidupnya. Pelajaran olahraga hari ini
lebih parah dari biasanya-aku hampir sekesal Emmet.
Sebalum kepalaku meledak, Coach Clapp menyudahi permainan. Dengan geli aku
bersyukur dia melewatkan sarapannya-percobaan awal untuk diet-dan rasa lapar
yang diakibatkannya membuat dia ingin cepat-cepat mencari makan. Dia berjanji ke
dirinya sendiri akan mengulang lagi besok...
Ini memberiku cukup waktu untuk ke kelas Bella sebelum dia keluar.
Selamat bersenang-senang, batin Alice saat dia bergegas menemui Jasper. Aku cuma
perlu bersabar beberapa hari lagi. Kurasa kau tidak mau menyampaikan salamku
untuk Bella, kan" Aku menggeleng jengkel. Apa semua paranormal memang sombong"
Sekedar informasi, matahari akan bersinar cerah akhir pekan nanti. Kau mungkin
perlu mengatur ulang rencanamu.
Aku menghela napas saat berjalan ke arah yang berlawanan dengan Alice. Sombong,
tapi jelas berguna. Aku bersandar di depan kelas Bella, menunggu. Aku berdiri cukup dekat hingga
bisa mendengar suara Jessica dari balik tembok, sama jelasnya dengan suara
pikirannya. "Hari ini kau tidak akan duduk bersama kami, kan?" dia terlihat...berseri-seri.
Berani taruhan, pasti ada banyak yang tidak ia ceritakan.
"Kurasa tidak," jawab Bella. Anehnya, dengan ragu.
Bukannya tadi aku sudah janji akan makan siang bersamanya" Apa yang dia pikir"
Mereka keluar kelas berdua, sama-sama tercengang ketika melihatku. Tapi aku cuma
bisa mendengar pikiran Jessica.
Baik sekali dia. Wow. Oh, pasti itu, pasti ada lebih banyak lagi yang tidak
Bella ceritakan. Barangkali aku akan meneleponnya nanti malam...atau mungkin aku
tidak usah menyemangatinya. Huh. Kuharap Edward cepat bosan dengan Bella. Mike
sih cukup manis tapi...wow.
"Sampai nanti, Bella."
Bella menghampiriku, berhenti beberapa langkah dariku, masih belum yakin.
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pipinya merona merah muda.
Aku sekarang cukup mengenalnya untuk yakin bahwa bukan takut yang membuatnya
ragu. Rupanya ini ada kaitannya dengan jurang perasaan yang dia bayangkan. Lebih
dari dia menyukaiku. Sangat absurd!
"Halo," sapaku dengan suara parau.
Wajahnya makin cerah. "Hai."
Kelihatannya dia tidak tahu harus berkata apa lagi, jadi kami diam saja selama
berjalan ke kafetaria. Jaketku bekerja dengan baik-aromanya jadi tidak setajam biasanya. Ini cuma rasa
terbakar yang sudah sering kurasakan. Dengan mudah bisa kuabaikan.
Bella nampak resah ketika berjalan di antrian. Tanpa sadar dia memain-mainkan
resleting jaketnya, dan mengganti-ganti tumpuan kakinya dengan gugup. Dia sering
melirikku, namun tiap kali bertemu pandang, dia langsung menunduk, seakan malu.
Apa ini karena ada begitu banyak orang yang menatap kami" Mungkin dia bisa
mendengar bisikan-bisikan mereka-gosip yang terucap tidak beda dengan isi kepala
mereka. Atau barangkali dia sadar, dari melihat ekspresiku, bahwa dia dalam kesulitan.
Dia tidak bicara apa-apa sampai aku mengambil makanan untuk dia. Aku tidak tahu
kesukaannya apa-belum tahu-jadi aku mengambil satu dari tiap makanan yang ada.
"Apa yang kau lakukan?" desisnya pelan. "Kau tidak mengambil itu semua untukku,
kan?" Aku menggeleng, dan membawa nampannya ke kasir. "Tentu saja separuhnya untukku."
Alisnya terangkat skeptis, tapi tidak berkomentar. Setelah membayar makanannya,
aku mengajaknya duduk di tempat kami bicara minggu lalu. Sepertinya itu sudah
berlalu lama sekali. Semuanya tampak berbeda sekarang.
Dia duduk di seberangku lagi. Kudorong nampannya ke dia.
"Ambil apa saja yang kau mau."
Dia mengambil sebuah apel dan memutar-mutarnya di tangan. Sorot matanya
menyelidik. "Aku penasaran." Benar-benar kejutan.
"Apa yang kau lakukan bila ada yang menantangmu makan?" Dia mengucapkannya
dengan sangat pelan hingga tidak mungkin ada orang yang bisa mendengar. Telinga
keluargaku lain lagi, jika mereka sedang memperhatikan. Mestinya aku terlebih
dulu mengatakan sesuatu ke mereka...
"Kau selalu saja penasaran," keluhku. Oh, baiklah. Ini bukannya aku belum pernah
makan sebelumnya. Ini bagian dari bersikap ksatria. Bagian yang tidak
menyenangkan. Aku mengambil yang terdekat, dan menatap matanya sembari menggigit apapun ini.
Tanpa melihat aku tidak tahu apa yang kumakan. Bentuknya tipis dan padat, sama
menjijikannya dengan semua makanan manusia lainnya. Aku mengunyah cepat-cepat
dan menelannya, menyembunyikan ekspresi jijik di wajahku. Gumpalan makanan itu
bergerak pelan dan tidak nyaman di tenggorokanku. Aku mengeluh saat memikirkan
harus memuntahkannya lagi nanti. Menjijikan!
Ekspresi Bella syok. Kagum.
"Kalau seseorang menantangmu makan kotoran, kau bisa melakukannya, ya kan?"
Hidungnya mengerut dan ia tersenyum. "Aku pernah melakukannya... ketika
ditantang. Tidak terlalu buruk."
Aku tertawa. "Kurasa aku tidak terkejut."
Mereka terlihat nyaman, ya kan" Dilihat dari bahasa tubuhnya begitu. Nanti biar
kuberitahu ke Bella. Edward mencondongkan tubuhnya ke Bella seperti seharusnya
jika dia tertarik pada Bella. Dia terlihat tertarik. Dia terlihat...sempurna.
Jessica menghela napas. Yumy.
Aku bertemu pandang dengan tatapan penasaran Jessica, dan dia langsung berpaling
gugup, cekikikan ke teman sebelahnya.
Hmm. Barangkali sebaiknya aku tetap dengan Mike saja. Realita, bukan fantasi...
"Jessica sedang memerhatikan semua tindak-tandukku." Aku memberitahu Bella.
"Nanti dia akan memaparkannya padamu."
Kusorongkan sisa makanannya ke Bella-pizza, setelah kulihat-bertanya-tanya
bagaimana memulainya. Rasa frustasiku kembali muncul, kata-kata itu terulang
kembali di kepalaku: lebih dari dia menyukaiku. Tapi aku tidak tahu bagaimana
cara mengatasinya. Dia menggigit sisa pizza tadi. Itu membuatku takjub, melihat begitu percayanya
dia padaku. Tentu saja dia tidak tahu aku punya liur berbisa yang beracun-meski
tidak akan menular dengan cara seperti itu. Tetap saja, kukira dia akan
memperlakukanku dengan cara yang berbeda, seperti sesuatu yang lain. Tapi dia
tidak pernah memperlakukanku berbeda- paling tidak, tidak dengan cara yang
negatif... Aku mesti memulainya pelan-pelan.
"Jadi pelayannya cantik, ya?"
Dia mengangkat alisnya. "Kau benar-benar tidak memerhatikan?" Dia pikir ada
perempuan lain yang bisa mengalihkan perhatianku darinya. Lagi-lagi absurd.
"Tidak. Aku memikirkan banyak hal." Diantaranya perhatianku tertuju pada blus
tipis yang membalut tubuhnya...
Untungnya sekarang dia memakai sweter jelek ini.
"Perempuan malang," ujar Bella sambil tersenyum.
Dia senang aku tidak tertarik pada pelayan itu. Cukup bisa dipahami. Sudah
berapa kali, coba, aku membayangkan meremukkan Mike Newton sewaktu di kelas
Biologi" Tapi tidak mungkin dia percaya bahwa perasaan manusianya, pengalaman tujuh belas
tahunnya yang pendek, bisa lebih kuat dari hasrat abadi yang telah terbangun
selama satu abad dalam diriku.
"Sesuatu yang kau katakan pada Jessica... " Aku tidak sanggup membuat suaraku
tetap santai. "Well, itu menggangguku."
Dia langsung mengambil sikap defensif. "Aku tidak terkejut kau mendengar sesuatu
yang tidak kau sukai. Kau tahu kan apa kata pepatah tentang tukang nguping."
Tukang nguping tidak akan pernah mendengar sesuatu yang baik buat diri mereka,
begitu pepatahnya. "Aku sudah mengingatkan bahwa aku akan mendengarkan."
"Dan aku sudah mengingatkan tidak semua yang kupikirkan baik untuk kau ketahui."
Ah, yang dia maksud saat aku membuatnya menangis. Penyesalan membuat suaraku
makin parau. "Memang. Meski begitu, kau tidak sepenuhnya benar. Aku ingin tahu
apa yang kau pikirkan-semuanya. Aku hanya berharap... kau tidak memikirkan
beberapa hal." Lagi-lagi separuh bohong. Aku tahu, tidak seharusnya aku berharap dia peduli
padaku. Tapi toh aku mengharapkannya. Tentu saja aku mengharapkannya.
"Itu sama saja," gerutunya dengan bersungut-sungut.
"Tapi bukan itu masalahnya sekarang."
"Lalu apa?" Dia mencondongkan tubuh ke depan. Tangan kanannya memegangi leher. Dan itu
menarik perhatianku. Pasti kulitnya halus sekali... Fokus, perintahku pada
diriku. "Apakah kau benar-benar yakin kau lebih peduli padaku daripada aku padamu?"
Buatku pertanyaan itu terdengar menggelikan, seakan kata-katanya campur aduk.
Matanya melebar, napasnya terhenti. Kemudian dia berpaling, berkedip cepat. Dia
menghela napas pelan. "Kau melakukannya lagi," gumamnya.
"Apa?" "Membuatku terpesona," akunya, sambil menatap mataku hati-hati.
"Oh." Hmm. Aku tidak tahu bagaimana cara mengatasi itu. Aku juga tidak yakin aku
tidak mau membuatnya begitu. Aku masih tidak percaya bisa melakukannya. Tapi itu
tidak akan membantu pembicaraan ini.
"Bukan salahmu." Dia menghela napas lagi. "Kau tak bisa mencegahnya."
"Apakah kau akan menjawab pertanyaanku?" desakku.
Dia memandangi meja. "Ya."
Cuma itu yang dia katakan.
"Ya, kau akan menjawab, atau ya, kau benar-benar berpendapat begitu?" tanyaku
tidak sabar. "Ya, aku benar-benar berpendapat begitu," jawabnya pelan, masih menghindari
tatapanku. Ada nada sendu pada suaranya. Dan dia tersipu lagi. Giginya mulai
menggigit bibirnya. Aku jadi sadar, pasti sangat sulit buat dia untuk mengakui itu, karena dia
benar-benar mempercayainya. Dan aku tidak jauh beda dengan si pengecut Mike
Newton, yang menanyakan perasaan Bella duluan sebelum menyatakan perasaannya.
Tidak penting bahwa rasanya aku telah mengungkapkan perasaanku dengan jelas,
yang pasti, dia tidak pernah menangkapnya. Jadi tidak ada alasan bagiku untuk
mengelak. "Kau salah." Aku meyakinkan dia. Pasti dia mendengar kelembutan dalam suaraku.
Bella menatapku. Tatapannya misterius, tidak memberitahu apa-apa.
"Kau tak bisa mengetahuinya," bisiknya pelan.
Menurutnya aku meremehkan perasaannya karena aku tidak bisa mendengar
pikirannya. Tapi yang sebenarnya terjadi, dia lah yang meremehkan perasaanku.
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?" Aku bertanya-tanya.
Dia menatapku balik, dengan kerut diantara alisnya, dan sambil menggigit bibir.
Untuk kesekian kali, dengan sia-sia aku berharap bisa mendengar pikirannya.
Aku hampir memohon padanya untuk memberitahu apa yang sedang berkecamuk dalam
pikirannya, tapi dia mengangkat jarinya untuk mencegahku bicara.
"Biarkan aku berpikir," pintanya.
Selama dia cuma mengatur pikiran, aku bisa sabar.
Atau, aku bisa pura-pura sabar.
Dia mengatupkan tangan, mengait dan menguraikan jemarinya yang mungil. Dia
mengamati tangannya seakan itu milik orang lain saat dia mulai bicara.
"Well, terlepas dari kenyataannya," gumamnya ragu-ragu. "Kadang-kadang... aku
tidak yakin-aku tidak tahu caranya membaca pikiran-tapi terkadang rasanya seolah
kau berusaha mengucapkan selamat tinggal ketika kau mengatakan sesuatu yang
lain." Dia tidak mendongak.
Dia menangkapnya, ya kan" Sadarkah dia bahwa hanya karena diriku lemah dan egois
maka aku tetap ada disini" Apa dia memandang remeh perasaanku hanya karena itu"
"Peka," bisikku, dan menghela napas. Kemudian aku melihat dengan ngeri saat
ekspresinya berubah terluka. Aku buru-buru menyangkal asumsinya. "Tapi justru
itulah kenapa kau salah."
Aku berhenti sebentar, mengingat-ingat kata pertama dari penjelasannya. Kata itu
menggangguku, meski tidak terlalu mengerti maknanya. "Apa maksudmu dengan
'kenyataannya'?" "Well, lihat aku," ujarnya.
Aku sedang melihatnya. Yang dari tadi kulakukan adalah melihatnya. Apa
maksudnya" "Aku sangat biasa-biasa saja." Dia menjelaskan. "Well, kecuali untuk hal-hal
buruk seperti pengalaman yang sangat dekat dengan kematian, dan aku begitu
canggung sehingga bisa dibilang nyaris tak berdaya. Sedang kan kau?" dia
melambaikan tangan ke arahku, seakan sedang menegaskan sesuatu yang sudah sangat
jelas. Dia pikir dia biasa-biasa saja" Dia pikir, entah bagaimana, aku jauh lebih baik
dibanding dirinya" Berdasar perkiraan siapa" Orang konyol yang berpikiran picik
seperti Jessica atau Ms. Cope" Bagaimana mungkin dia tidak menyadari bahwa dia
adalah perempuan paling cantik...paling indah... bahkan kata-kata itu tidak
cukup untuk melukisan dirinya.
Dan dia tidak menyadari hal itu.
"Kau sendiri tidak melihat dirimu dengan jelas," kataku padanya. "Kuakui kau
benar tentang hal-hal buruk itu... "
Aku tertawa kecut. Aku tidak menganggap takdir gelap yang memburunya
menggelikan. Namun begitu, kecanggungannya cukup lucu juga. Menggemaskan. Apa
mungkin dia mau percaya jika kukatakan dia itu cantik luar-dalam" Mungkin dia
lebih percaya dengan bukti. "Tapi kau tidak mendengar apa yang dipikirkan setiap
laki-laki di sekolah ini tentangmu pada hari pertamamu di sini."
Ah, aku ingat harapan dan getaran hati, yang jadi pikiran mereka waktu itu. Yang
kemudian berubah menjadi fantasi-fantasi yang mustahil. Mustahil karena Bella
tidak menginginkan satupun dari mereka.
Padaku lah Bella mengatakan ya. Senyumku pasti sombong.
Sementara wajahnya kosong karena terkejut. "Aku tak percaya..." gumamnya.
"Percayalah sekali ini saja-kau bukan manusia biasa."
Keberadaannya sendiri saja cukup jadi alasan untuk menghargai seisi dunia
lainnya. Dia tidak terbiasa dengan pujian, bisa kulihat itu. Satu lagi yang
mesti dia biasakan. Dia merona, dan buru-buru mengubah topik pembicaraan. "Tapi
aku tidak mengucapkan selamat
tinggal." "Tidakkah kau mengerti" Itu yang membuktikan bahwa aku benar. Akulah yang paling
peduli, karena seandainya aku bisa melakukannya..." Apakah aku akan bisa jadi
cukup tidak-egois untuk melakukan apa yang seharusnya" Aku menggeleng putus asa.
Aku harus bisa mendapatkan kekuatan itu. Dia pantas memperoleh kehidupan, bukan
seperti yang Alice lihat di masa depan. "Seandainya meninggalkanmu adalah
sesuatu yang harus kulakukan..." dan memang itu yang seharusnya, ya kan" Tidak
ada itu malaikat yang sembrono. Bella bukan untukku. "Akan kusakiti diriku
sendiri demi menjagamu agar tidak terluka, supaya kau tetap aman."
Karena sudah mengatakannya, aku bersikeras bahwa itulah yang seharusnya terjadi.
Dia mendelik padaku. Entah bagaimana, ucapanku telah membuatnya marah. "Dan
pikirmu aku takkan melakukan hal yang sama?"
Dia sangat marah-begitu lembut dan rapuh. Bagaimana mungkin dia bisa menyakiti
orang lain" "Kau takkan pernah perlu membuat keputusan itu," sanggahku dengan suara
tertekan, menyadari besarnya perbedaan diantara kami.
Dia menatapku. Kini sorot prihatin menggantikan amarah di matanya, memunculkan
kerut diantara dua mata itu.
Pasti ada yang salah dengan dunia ini jika seseorang, yang begitu baik dan rapuh
seperti dia, tidak memiliki malaikat pelindung untuk menjaganya tetap aman.
Well, batinku dengan humor gelap, paling tidak dia memiliki vampir pelindung.
Aku tersenyum. Aku senang dengan alasan itu. "Tentu saja menjagamu tetap aman
mulai terasa seperti pekerjaan purnawaktu yang senantiasa memerlukan
kehadiranku." Dia tersenyum juga. "Tak seorangpun mencoba membunuhku hari ini," ucapnya
santai. Kemudian selama setengah detik wajahnya berubah spekulatif sebelum kemudian
tatapannya jadi misterius lagi.
"Belum," tambahku datar.
"Belum." Secara mengejutkan dia sependapat. Kukira dia akan menyangkal setiap
usaha untuk melindunginya.
Tega-teganya dia. DASAR EGOIS! Tega-teganya dia melakukan hal itu pada kita!
Teriakan murka pikiran Rosalie memecah konsentrasiku.
"Tenanglah, Rose," kudengar bisikan Emmet dari seberang kafetaria. Tangannya
merangkul erat pundak Rosalie-menahannya.
Sori, Edward, sesal Alice dalam hati. Dia bisa menebak Bella tahu terlalu banyak
dari isi pembicaraanmu...dan, well, akan lebih parah lagi andai aku tidak
langsung memberitahu yang sebenarnya. Percayalah.
Aku mengernyit pada gambaran yang mengikutinya, akan apa yang bakal terjadi
seandainya Rosalie baru tahu ketika di rumah, dimana dia tidak perlu menahan
diri untuk melindungi identitasnya. Aku mesti menyembunyikan Aston Martinku jika
dia masih belum juga tenang saat sekolah usai. Gambaran mobil favoritku hancur
berkeping-keping membuatku kesal-meski tahu aku pantas menerimanya.
Jasper juga tidak terlalu senang dengan keputusanku.
Biar kutangani mereka nanti. Siang ini waktuku bersama Bella tidak terlalu
banyak, dan aku tidak mau menyia-nyiakannya. Dan aku jadi teringat dengan
peringatan Alice tadi. Kugeser jauh-jauh histeria pikiran Rosalie yang masih belum berhenti. "Aku punya
pertanyaan lain untukmu."
"Tanyakan saja," ujarnya sambil tersenyum.
"Apakah kau benar-benar harus ke Seattle sabtu ini, atau kah itu hanya alasan
untuk menolak semua penggemarmu?"
Dia cemberut. "Kau tahu, aku belum memaafkanmu untuk masalah Tyler. Itu semua
salahmu, sehingga dia mengira aku akan pergi ke prom bersamanya."
"Oh, dia akan mengajakmu sendiri tanpa bantuanku-aku cuma ingin melihat
reaksimu." Aku tergelak mengingat ekspresi syoknya. Tidak satupun cerita horor tentang
diriku bisa membuatnya sesyok itu. Kebenaran tidak membuatnya takut. Dia ingin
bersama denganku. Jalan pikirannya benar-benar ruwet.
"Kalau aku mengajakmu, apakah kau akan menolak?"
"Mungkin tidak. Tapi aku kemudian akan membatalkannya - berpura-pura sakit atau
mengalami cedera pergelangan kaki."
Benar-benar aneh. "Kenapa kau melakukan itu?"
Dia menggeleng, seakan kecewa aku tidak langsung mengerti. "Kau tak pernah
melihatku di kelas olahraga, tapi kupikir kau bakal mengerti."
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ah. "Apakah kau sedang bicara tentang fakta bahwa kau tak bisa berjalan di
permukaan rata tanpa tersandung?"
"Tentu saja." "Itu bukan masalah. Tergantung siapa yang memimpin dansanya."
Selama sepersekian detik, perasaanku meluap gembira pada bayangan merangkulnya
pada saat berdansa-dan pasti dia memakai sesuatu yang cantik dan indah ketimbang
sweter jelek ini. Dengan sangat jelas aku ingat bagaimana tubuhnya terasa dibawah pelukanku
setelah menyelematkan dia dari terjangan van. Aku lebih bisa mengingat
sensasinya ketimbang kepanikanku waktu itu. Dia terasa begitu hangat dan lembut,
sangat pas dalam rengkuhan tubuhku...
Aku kembali dari ingatan itu.
"Tapi kau belum bilang-" kataku buru-buru, mencegah dia mendebat soal
kecanggungannya, seperti yang jelas-jelas ingin dia lakukan. "Apakah kau sudah
mantap ingin ke Seattle, atau kau tidak keberatan kita melakukan sesuatu yang
berbeda?" Sedikit rumit-memberinya kesempatan untuk memilih, tapi tanpa memberinya pilihan
untuk tidak bersamaku. Kurasa itu tetap adil. Lagipula tadi malam aku sudah
janji padanya...dan aku senang pada ide untuk memenuhinya-hampir sebesar
kecemasanku pada ide itu sendiri.
Sabtu nanti matahari akan bersinar. Aku bisa memperlihatkan diriku yang
sebenarnya, jika aku cukup berani untuk menghadapi kengerian dan kejijikan dia.
Aku tahu tempat yang tepat untuk mengambil resiko itu...
"Aku terbuka untuk tawaran lain. Tapi aku punya satu permintaan."
Setuju, tapi dengan syarat. Apa yang dia inginkan"
"Apa?" "Boleh aku yang mengemudi?"
Apa ini idenya untuk melucu" "Kenapa?"
"Well, terutama karena waktu kubilang kepada Charlie akan pergi ke Seattle, dia
secara spesifik bertanya apakah aku pergi sendirian, dan waktu itu, memang ya.
Kalau dia bertanya lagi, barangkali aku tidak akan berbohong, tapi rasanya dia
tidak akan bertanya lagi, dan meninggalkan truk di rumah akan membuatnya
bertanya-tanya. Juga karena cara menyetirmu membuatku takut."
Aku memutar bola mataku. "Dari semua hal dalam diriku yang bisa membuatmu takut,
kau malah takut dengan caraku mengemudi." Aku menggeleng tak percaya. Jujur
saja, jalan pikirannya betul-betul terbalik.
Edward, panggil Alice mendesak.
Mendadak, aku menatap ke sinar cerah matahari; salah satu dari penglihatan
Alice. Itu tempat yang sangat kukenal, tempat dimana aku akan mengajak Bella-sebuah
padang rumput kecil, yang belum pernah dikunjungi siapapun selain diriku. Tempat
sunyi yang indah, tempat aku biasa menyendiri-cukup jauh dari jalan setapak atau
pemukiman penduduk hingga bahkan pikiranku bisa tenang, tidak mendengar apa-apa.
Alice mengenalinya juga, karena dia telah melihatku disana, pada salah satu
penglihatannya yang tidak terlalu lama-salah satu dari penglihatan kabur dan
bekedip-kedip yang Alice tunjukan padaku di pagi ketika Bella kuselamatkan dari
terjangan van. Dalam penglihatan yang berkedip-kedip itu, aku tidak sendirian. Dan sekarang
semuanya jelas-Bella bersamaku disana. Berarti aku berani mengambil resiko itu.
Bella memandangiku, pelangi menari di depan wajahnya, matanya tidak bisa
dijajaki. Itu tempat yang sama, batin Alice. Pikirannya diliputi kengerian yang tidak
cocok dengan penglihatan itu. Tegang, itu mungkin, tapi kenapa ngeri" Apa
maksudnya dengan tempat yang sama"
Kemudian aku melihatnya. Edward! teriak Alice nyaring. Aku mencintainya, Edward!
Aku langsung mengusirnya.
Dia tidak mencintai Bella seperti aku mencintainya. Penglihatannya mustahil.
Keliru. Dia pasti salah, melihat sesuatu yang tidak mungkin.
Tidak sampai setengah detik telah berlalu. Bella menatap wajahku penasaran,
menunggu persetujuanku atas permintaannya. Apa dia sempat melihat kekalutanku,
atau itu terlalu cepat untuk dia"
Aku fokus pada dirinya, pada pembicaraan yang belum selesai ini. Kuusir jauhjauh Alice, juga penglihatannya yang keliru, dari pikiranku. Hal itu tidak layak
mendapat perhatianku. Meski begitu, aku terlanjur tidak bisa mengimbangi suasana hati Bella. Aku
bertanya dengan nada serius dan agak muram, "tidakkah kau ingin memberitahu
ayahmu, kau akan melewatkan hari itu bersamaku?"
Kuusir lebih jauh lebih penglihatan itu, menjaganya agar tidak terlintas di
pikiranku. "Dengan Charlie, berbohong selalu lebih baik," ucapnya yakin akan hal itu. "Lagi
pula, memangnya kita mau kemana?"
Alice pasti salah. Sangat salah. Sama sekali tidak mungkin itu bisa terjadi. Dan
itu penglihatan yang sudah sangat lama, sudah tidak relevan lagi. Banyak hal
telah berubah. "Prakiraan cuacanya bagus," kataku pelan sambil berusaha mengatasi kepanikan dan
kebimbanganku. Alice pasti salah. Aku akan melanjutkan seakan aku tidak
mendengar atau melihat apa-apa. "Jadi aku akan menghilang untuk sementara... dan
kau bisa ikut bersamaku kalau mau."
Bella langsung mengerti yang kumaksud; matanya jadi cerah dan bersemangat. "Dan
kau akan memperlihatkan padaku yang kau maksud mengenai matahari?"
Mungkin, seperti yang sudah-sudah, reaksi dia besok akan berbeda dari yang
kukira. Aku tersenyum pada kemungkinan itu. Dan aku berjuang untuk bisa kembali
menikmati momen santai ini.
"Ya. Tapi..." Dia belum bilang ya. "Kalau kau tidak ingin... berduaan denganku,
aku tetap tidak ingin kau pergi ke Seattle sendirian. Aku khawatir memikirkan
masalah yang mungkin menimpamu di kota sebesar itu."
Bibirnya mengatup rapat; dia tersinggung.
"Phoenix tiga kali lebih besar daripada Seattle-itu baru jumlah populasinya.
Untuk ukuran-" "Tapi nyatanya, insiden yang kau alami tidak bermula di Phoenix," sanggahku,
menyela pembenarannya. "Jadi, lebih baik kau berada di dekatku."
Dia bisa bersamaku selamanya dan itu tetap masih belum cukup.
Aku tidak boleh berpikiran seperti itu. Kami tidak punya waktu selamanya. Tiap
detik berjalan lebih cepat dari sebelumnya; tiap detik mengubah dirinya
sementara aku tidak akan pernah berubah.
"Karena itu sudah terjadi, aku tak keberatan berduaan saja denganmu," ujarnya
sependapat. Bukan, itu lebih karena instingnya yang terbalik.
"Aku tahu." Aku menghela napas. "Meski begitu, kau harus memberitahu Charlie."
"Kenapa aku harus repot-repot melakukannya?" tanyanya ngeri. Aku mendelik ke
dia, penglihatan yang tidak lagi mampu kutahan akhirnya berkeliaran di kepalaku.
"Sebagai satu alasan kecil bagiku untuk memulangkanmu," desisku. Dia mesti
memberiku kesempatan-satu orang saksi untuk membuatku tetap waspada. Kenapa
Alice mesti menunjukan penglihatan itu sekarang" Bella menelan ludah, kemudian
menatapku lama. Apa yang dia lihat" "Kurasa aku akan mengambil resiko itu."
Ugh! Apa dia tipe orang yang jadi bersemangat ketika nyawanya sedang terancam"
Apa dia mencari sesuatu yang bisa memacu adrenalinnya"
Aku mendelik marah ke Alice, yang sedang melirikku dengan tatapan
memperingatkan. Di sampingnya, Rosalie menatapku murka. Tapi aku tidak terlalu
peduli. Biar saja dia menghancurkan mobilku. Itu cuma mainan.
"Kita bicara yang lain saja," saran Bella tiba-tiba.
Aku kembali melihat ke arahnya, bertanya-tanya kenapa dia begitu tidak peduli
dengan apa yang sudah jelas-jelas di depan mata. Kenapa dia tidak menganggapku
sebagai monster, seperti yang semestinya"
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
Matanya bergerak ke kiri dan ke kanan, seakan sedang memastikan tidak ada yang
menguping. Dia pasti berencana untuk mengungkit topik yang berhubungan dengan
mitos-mitos itu lagi. Matanya berhenti sejenak, badannya membeku, lalu dia
kembali melihat ke arahku.
"Kenapa kau pergi ke Goat Rocks akhir pekan lalu... untuk berburu" Charlie
bilang, itu bukan tempat yang baik untuk hiking, banyak beruang." Benar-benar
tidak peduli. Aku menatapnya, mengangkat satu alis. "Beruang?" Dia menahan
napas. Aku tersenyum kecut saat mengamati hal itu meresap dalam pikirannya. Apa ini
akan membuat dia menanggapiku dengan serius"
Dia mengendalikan ekspresinya. "Kau tahu, sekarang bukan musim berburu beruang,"
ucapnya sungguh-sungguh dengan mata menyipit.
"Kalau kau membaca dengan teliti, peraturannya hanya mencakup berburu dengan
senjata." Sejenak dia tidak bisa mengendalikan ekspresinya lagi. Mulutnya ternganga.
"Beruang?" Kali ini dengan nada sangsi, bukan lagi syok.
"Beruang Grizzly adalah kesukaan Emmet."
Aku mengamati matanya, melihat dia mengolah ucapanku.
"Hmm," gumamnya. Dia menunduk dan menggigit pizanya. Dia mengunyah sambil
berpikir, lalu meneguk minumannya.
"Jadi," akhirnya dia mendongak. "Kesukaanmu apa?"
Mestinya aku bisa menduga pertanyaan dia, tapi aku tidak. Bella selalu saja
menarik, sekecil apapun itu.
"Singa gunung," jawabku cepat.
"Ah." Nadanya santai, detak jantungnya tetap tenang, seakan kita sedang
membicarakan tempat makan yang paling enak.
Baiklah kalau begitu. Jika dia memang menganggapnya ini bukan sesuatu yang tidak
umum... "Tentu saja, kami harus berhati-hati agar tidak membahayakan lingkungan dengan
kegiatan berburu kami." Aku berusaha mengimbangi nada suaranya. "Kami berusaha
fokus pada area yang jumlah populasi binatang predatornya tinggi-menciptakan
daerah jangkauan sejauh mungkin. Di sekitar sini banyak rusa dan kijang, dan itu
sebenarnya cukup, tapi dimana kesenangannya?"
Dia mendengarkan dengan ekspresi tertarik yang sopan, seakan aku seorang guru
yang sedang mengajar. Mau tidak mau aku tersenyum.
"Ya, benar," gumamnya santai. Dia menggigit pizzanya lagi.
"Awal musim semi adalah musim berburu beruang kesukaan Emmet." Aku meneruskan
dengan kuliahku. "Mereka baru saja selesai hibernasi, jadi lebih pemarah."
Tujuh puluh tahun kemudian, dia masih belum bisa melupakan kekalahan pertamanya
dulu. "Tak ada yang lebih menyenangkan daripada beruang Grizzly yang sedang marah."
Bella mengangguk-angguk serius.
Aku tertawa terbahak-bahak, menggeleng-geleng pada ketenangannya yang tidak
logis. Itu pasti dibuat-buat. "Tolong katakan apa yang benar-benar kau
pikirkan." "Aku mencoba membayangkannya-tapi tidak bisa." Kerutan muncul diantara matanya.
"Bagaimana kalian berburu beruang tanpa senjata?"
"Oh, kami punya senjata." Kupamerkan gigiku dengan seringai lebar. Kukira dia
akan terlonjak, tapi ternyata tetap tenang. "Pokoknya bukan jenis senjata yang
terpikir oleh mereka ketika membuat peraturan berburu. Kalau kau pernah melihat
beruang menyerang di acara televisi, kau seharusnya bisa membayangkan cara Emmet
berburu." Dia melirik ke meja tempat keluargaku duduk, dan gemetar.
Akhirnya. Kemudian aku tertawa sendiri karena aku tahu sebagian dari diriku
berharap dia tetap tidak peduli.
Matanya yang gelap terlihat lebar dan dalam saat menatapku. "Apa kau juga
seperti beruang?" suaranya hampir seperti bisikan.
"Lebih seperti singa, atau begitulah kata mereka." Aku berusaha bicara senormal
mungkin. "Barangkali pilihan kami mencerminkan kepribadian kami."
Sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas. Kelihatannya dia berusaha tersenyum.
"Barangkali." Kemudian dia menelengkan kepalanya, rasa penasaran terlihat jelas
di matanya. " Apakah aku akan pernah melihatnya?"
Aku tidak perlu gambaran dari Alice untuk mengilustrasikan kengerian iniimajinasiku sendiri sudah cukup.
"Tentu saja tidak!" Aku menggeram padanya.
Dia menjauh ke belakang. Matanya tertegun sekaligus takut.
Aku bersandar ke kursi, menjauh juga. Dia tidak akan pernah melihatnya. Dia
tidak boleh melakukan itu agar aku bisa menjaganya tetap hidup.
"Terlalu menakutkan buatku?" suaranya tetap datar. Sedang jantungnya, biar
bagaimanapun, berdetak dua kali lebih cepat.
"Kalau cuma karena itu, aku sudah akan mengajakmu nanti malam," jawabku ketus.
"Kauperlu merasakan ketakutan yang sebenarnya. Tak ada cara yang lebih baik
buatmu." "Lalu kenapa?" desaknya tidak peduli.
Aku mendelik sengit, menunggu dia untuk takut. Aku sendiri takut. Bisa
kubayangkan bagaimana jadinya jika Bella ada di dekatku saat aku sedang
berburu... Matanya masih tetap penasaran dan tidak sabar. Hanya itu. Tidak ada takut. Dia
masih menunggu jawabanku.
Tapi satu jamku dengan dia sudah habis.
"Nanti saja jawabnya," kataku masih kesal, dan aku berdiri. "Kita bakal
terlambat." Dia memandang ke sekelilingnya, bingung, seakan lupa sedang makan siang. Bahkan
seperti lupa sedang berada di sekolah-terkejut bahwa aku dan dia tidak sedang
sendirian di tempat yang terpencil. Aku sangat mengerti perasaan itu. Sulit
mengingat sekelilingku jika sedang bersamanya.
Dia cepat-cepat bangkit, sedikit terhuyung-huyung, dan menyampirkan tasnya ke
pundak. "Kalau begitu sampai nanti," jawabnya.
Aku bisa melihat dia belum menyerah; dia benar-benar akan menagih jawabanku.
12. Kesulitan Kami berdua berjalan bersama-sama menuju kelas Biologi. Aku berusaha fokus pada
momen ini, pada gadis di sampingku, pada apa yang nyata dan solid, pada apapun
yang bisa menjauhkan dari penglihatan palsunya Alice.
Kami meleweati Angela Weber, yang sedang berlama-lama di lorong. Dia sedang
mendiskusikan sebuah tugas bersama dengan seorang cowok dari kelas trigono. Aku
cuma mengamati pikirannya sekilas, mengira akan kecewa lagi, namun aku justru
kaget karena mendapati nuansanya yang sayu.
Ah, ternyata ada juga yang Angela inginkan. Sayangnya, itu bukan sesuatu yang
bisa dibungkus dan dikirim dengan mudah.
Aku jadi merasa lebih tenang setelah mendengar kerinduan terpendam Angela. Aku
bisa mengerti keputus-asaan dia. Dan saat itu juga aku merasa senasib dengannya.
Walau aneh, aku merasa terhibur karena tahu aku bukan satu-satunya yang
mengalami kisah cinta yang tragis. Patah hati ada dimana-mana.
Detik berikutnya aku jadi marah. Tidak seharusnya kisah Angela berakhir tragis.
Dia manusia, pujaannya juga manusia. Dan perbedaan mereka yang menurut dia tidak
bisa ditanggulangi adalah konyol. Benar-benar konyol jika dibandingkan dengan
situasiku. Patah hatinya tidak beralasan. Kesedihan yang sia-sia, tidak ada
alasan bagi dia untuk tidak bisa bersama orang yang ia inginkan. Kenapa dia
tidak bisa mendapatkan yang ia inginkan" Kenapa kisah cintanya tidak bisa
berakhir bahagia" Aku sudah berniat memberinya hadiah... Well, aku akan memberi dia apa yang dia
inginkan. Dengan kemampuan alamiku, mungkin itu tidak akan terlalu sulit.
Aku ganti mengamati pikiran cowok disampingnya, pemuda dambaannya. Dan
sepertinya anak itu bukannya tidak tertarik, hanya saja dia juga terkendala oleh
kesulitan yang sama dengan Angela. Tidak punya harapan dan sudah menyerah
duluan. Yang perlu kulakukan cuma merencanakan sesuatu untuk mendorong mereka...
Rencana itu pun langsung terbentuk dengan mudah, naskahnya tersusun begitu saja.
Aku butuh bantuan Emmet-membujuknya untuk mau terlibat adalah satu-satunya
kesulitan. Sifat manusia jauh lebih mudah untuk dimanipulasi ketimbang vampir.
Aku puas dengan rencanaku, dengan hadiahku untuk Angela. Itu pengalihan yang
menyenangkan dari masalahku sendiri. Seandainya saja masalahku bisa diatasi
semudah itu. Moodku sedikit lebih baik saat aku dan Bella duduk di tempat kami. Mungkin
sebaiknya aku lebih optimis. Mungkin di luar sana ada solusi yang terlewatkan
olehku, sama seperti solusi sederhana Angela yang tidak terlihat olehnya.
Mungkin tidak terlalu mirip...tapi kenapa mesti membuang-buang waktu dengan
berputus asa" Aku tidak punya banyak waktu untuk disia-siakan jika menyangkut
tentang Bella. Setiap detik berharga.
Mr. Banner masuk sambil menarik meja beroda yang diatasnya terdapat TV dan VCR
kuno. Dia melompati satu bab pelajaran yang menurut dia tidak menarik-kelainan
genetis- dengan memutar film selama tiga hari kedepan. Lorenzo's Oil bukan film
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang terlalu riang, tapi itu tidak mengendurkan semangat seisi kelas. Tidak ada
catatan, tidak ada bahan tes. Tiga hari bebas. Kesukaan manusia.
Bagiku sendiri tidak terlalu penting. Aku tidak berencana memperhatikan apapun
selain Bella. Hari ini aku tidak menarik kursiku menjauh. Biasanya aku melakukannya untuk
memberi ruang buat bernapas. Sebagai gantinya, aku duduk di dekatnya seperti
yang dilakukan manusia normal. Lebih dekat dari saat duduk di mobil, cukup dekat
hingga sisi kiri tubuhku terbenam ke dalam kehangatan dari kulitnya.
Itu pengalaman yang ganjil, menyenangkan sekaligus mendebarkan, tapi aku lebih
menyukai ini ketimbang duduk di sebrang meja seperti di kafetaria. Ini melebihi
dari yang biasa kudapat, namun tetap saja aku langsung menyadari bahwa ini masih
belum cukup. Aku belum puas. Berada sedekat ini dengannya hanya membuatku ingin
berada lebih dekat lagi. Aku telah menuduhnya sebagai magnet bagi mara bahaya. Saat ini terasa seperti
itulah arti harfiahnya. Aku adalah bahaya, dan, dengan setiap inchi lebih dekat
dengannya, daya tariknya jadi semakin kuat.
Kemudian Mr. Varner mematikan lampu.
Rasanya aneh bagaimana itu membuat situasinya jadi lain, padahal kegelapan tidak
terlalu berdampak buat mataku. Aku masih bisa melihat seterang dan sejelas
seperti sebelumnya. Setiap detail dalam ruangan ini terlihat sangat jelas.
Jadi, kenapa mendadak muncul aliran listrik yang menyengat tubuhku" Apakah
karena aku tahu cuma aku satu-satunya yang masih bisa melihat dengan jelas"
Bahwa Bella dan aku tidak terlihat oleh orang lain" Seperti kami sedang
sendirian, hanya berdua saja, tersembunyi di kegelapan, duduk bersebelahan
begitu dekat... Tau-tau tanganku sudah bergerak ke arahnya tanpa bisa kukontrol. Hanya untuk
menyentuh tangannya, untuk menggenggamnya di tengah kegelapan. Apa itu bisa jadi
kesalahan yang mengerikan" Jika kulit dinginku mengganggu, dia cuma tinggal
menarik tangannya... Kutarik tanganku lagi, kudekap lenganku rapat-rapat di dada, dan mengepalkan
tangan. Tidak boleh ada kesalahan. Aku sudah berjanji dengan diriku untuk tidak
membuat kesalahan, tidak peduli seberapa kecil kelihatannya. Jika aku memegang
tangannya, aku hanya akan meminta lebih lagi-sentuhan lain yang tidak berdasar,
gerakan lain yang lebih dekat. Aku bisa merasakan itu. Jenis hasrat yang baru,
berkembang di dalam diriku, berusaha menembus pengendalianku.
Tidak boleh ada kesalahan.
Bella juga mendekap lengannya di dada. Tangannya juga terkepal.
Apa yang kau pikirkan" Aku sangat ingin membisikkan kata-kata itu, tapi
ruangannya terlalu sunyi untuk menyamarkan bisikan sekalipun.
Filmnya dimulai, memberi tambahan penerangan sedikit. Bella melirik. Dia
menyadari kekakuan posisi badanku-seperti badannya-dan tersenyum. Bibirnya
sedikit merekah, dan matanya terlihat hangat mengundang.
Atau, barangkali aku melihat apa yang ingin kulihat.
Aku tersenyum balik; dia seperti kehabisan napas dan buru-buru berpaling.
Itu membuatnya lebih buruk. Aku tidak tahu pikirannya, tapi aku jadi yakin
dugaanku tepat, bahwa dia ingin aku menyentuhnya. Dia merasakan hasrat berbahaya
ini sama seperti diriku. Aliran listrik mengalir diantara badanku dan dia.
Selama sisa pelajaran dia tidak bergerak sama sekali, terus mendekap lengannya
rapat-rapat, sama seperti aku juga terus mendekap lenganku. Sesekali dia
melirik, dan segera saja aliran listrik yang lebih kuat menyambarku.
Satu jam berlalu lambat. Ini pengalaman baru. Aku tidak keberatan duduk begini
terus selama berhari-hari hanya untuk menikmati sensasi ini sepenuhnya.
Bermacam pikiran berkecamuk dalam kepalaku selama menit demi menit berlalu.
Rasionalitasku bergumul dengan hasratku sementara aku berusaha mencari
pembenaran untuk bisa menyentuhnya.
Akhirnya Mr Varner menyalakan lampu lagi.
Dalam terang, atmosfer ruangan kembali normal. Bella menghela napas dan
melepaskan dekapannya, kemudian melemaskan jemarinya. Pasti tidak nyaman buat
dia bertahan di posisi itu selama tadi. Sebaliknya buatku sangat mudah-diam
mematung sudah jadi sifat alamiku.
Aku tertawa geli melihat ekspresi lega di wajahnya. "Well, tadi itu menarik."
"Hmmm," gumamnya. Jelas dia mengerti apa yang kumaksud, tapi tidak berkomentar.
Itu jadi membuatku tidak bisa mendengar apa yang sedang dipikirkan dia saat ini.
Aku menghela napas. Berharap seperti apapun tetap tidak akan membantu.
"Yuk?" ajakku sambil berdiri.
Dia mengerutkan muka dan bangkit dengan agak terhuyung, tangannya mencari-cari
pegangan supaya tidak jatuh.
Aku bisa menawarkan tanganku. Atau aku bisa memegangi sikunya hingga dia bisa
berdiri seimbang. Tentu itu bukan pelanggaran yang terlalu berat...
Tidak boleh ada kesalahan.
Dia sangat pendiam saat kami berjalan ke ruang gimnasium. Kerut diantara matanya
jadi bukti bahwa dia sedang berpikir keras. Aku sendiri juga sedang bepikir
keras. Satu sentuhan saja tidak akan menyakiti dia. Sisi egoisku masih saja bersikeras.
Aku bisa dengan mudah mengatur tekanan sentuhanku. Itu sama sekali tidak sulit,
selama aku bisa mengontrol diriku sepenuhnya. Indera perabaku jauh lebih
sensitif dibanding manusia; aku bisa berjuggling dengan selusin gelas kristal
tanpa memecahkan gelas-gelas itu; aku bisa memegang gelembung sabun tanpa
memecahkannya. Selama aku bisa mengontrol diriku...
Bella seperti gelembung sabun-rapuh dan tidak abadi.
Sampai berapa lama lagi aku bisa membenarkan kehadiranku dalam hidupnya"
Berapabanyak waktu yang kupunya" Akankah ada kesempatan lain seperti kesempatan
ini, seperti saat ini, seperti detik ini"
Bella tidak selalu bisa berada dalam jangkauan tanganku seperti ini...
Sesampainya di depan ruang gimnasium, dia berbalik menghadapku. Matanya melebar
saat melihat ekspresi wajahku. Dia tidak bicara. Kuamati bayangan diriku yang
terpantul di matanya, dan melihat pergumulan dalam diriku. Aku menyaksikan
bagaimana wajahku berubah saat sisi baikku kalah dalam peperangan itu.
Dan tanganku sudah terangkat begitu saja. Selembut seakan dia terbuat dari kaca
yang paling tipis, seakan dia serapuh gelembung sabun, jari-jariku membelai
kulit pipinya yang hangat. Dibawah sentuhanku, pipinya jadi memanas, dan bisa
kurasakan denyut darahnya semakin cepat dibalik kulitnya yang bening.
Cukup, perintahku, meski tanganku masih ingin meneruskan belaiannya ke sisi
wajahnya yang lain. Cukup.
Rasanya sulit untuk menarik tanganku, untuk menghentikan diriku agar tidak lebih
mendekat lagi ke dia. Tapi aku berhasil melakukannya.
Dan dalam sekejapan itu beribu pilihan yang berbeda berkecamuk dalam pikirankuberibu pilihan cara untuk menyentuhnya. Ujung jariku menelusuri bentuk bibirnya.
Telapak tanganku mengusap dagunya. Mengambil sejumput rambutnya dengan tanganku.
Lenganku melingkari pinggangnya, merangkulnya dalam dekapanku.
Cukup. Aku memaksa diriku untuk berbalik, untuk menjauh darinya. Badanku bergerak kakuingin menolak. Kubiarkan pikiranku tertinggal di belakang untuk mengawasi Bella saat aku
berlalu menjauh, hampir lari untuk menghindari godaannya. Aku menangkap pikiran
Mike Newton -itu yang paling berisik-sementara dia menyaksikan Bella berjalan
linglung melewatinya. Mata Bella tidak fokus dan pipinya merah. Mike mendelik,
dan tiba-tiba namaku bercampur dengan sumpah serapah di kepalanya; aku tidak
tahan untuk tidak menyeringai menanggapi itu.
Tanganku masih seperti tersengat listrik. Aku melemaskan dan mengepalkan, tapi
tetap saja sengatan itu tetap ada.
Tidak, aku tidak menyakiti dia-tapi menyentuhnya tetap sebuah kesalahan.
Rasanya seperti api-seperti haus yang biasanya membakar tenggorokanku telah
menyebar ke sekujur tubuh.
Lain kali, saat berada di dekatnya, mampukah aku mengendalikan diri untuk tidak
menyentuhnya lagi" Dan jika sudah menyentuhnya satu kali, sanggupkah aku
berhenti sampai disitu saja"
Tidak boleh ada kesalahan lagi. Titik. Nikmati saja kenangannya, Edward, aku
memberitahu diriku dengan muram, dan jaga tanganmu untuk dirimu sendiri.
Pilihannya itu, atau aku harus memaksa diriku untuk pergi, entah bagaimana
caranya. Karena aku tidak boleh berada di dekatnya jika terus-terusan membuat
kesalahan. Aku mengambil napas panjang dan menenangkan pikiran.
Aku bertemu Emmet di depan kelas bahasa Spanyol.
"Hai, Edward." Dia terlihat lebih baik. Aneh, tapi lebih baik. Bahagia.
"Hai, Em." Apa aku terlihat bahagia" Sepertinya begitu, terlepas dari kekacauan
di dalam kepalaku, aku merasa begitu.
Sebainya kau hati-hati, kid. Rosalie ingin merobek mulutmu.
Aku mendesah. "Sori aku membuatmu harus menghadapi kemarahannya. Apa kau marah
denganku?" "Tidak. Lama-lama Rose juga akan lupa. Biar bagaimanapun memang sudah seharusnya
itu terjadi." Dengan apa yang dilihat Alice bakal terjadi...
Mengingat penglihatan Alice bukan sesuatu yang kubutuhkan saat ini. Aku
memandang lurus kedepan, gigiku terkunci rapat.
Saat sedang mencari pengalih perhatian, Ben Cheney masuk ke kelas mendului kami.
Ah-ini kesempatanku untuk memberi hadiah ke Angela Weber.
Aku berhenti dan menangkap lengan Emmet. "Tunggu sebentar."
Ada apa" "Aku tahu aku tidak pantas mendapatkannya, tapi maukah kau menolongku?"
"Menolong bagaimana?" tanyanya penasaran.
Di bawah napasku-dan dengan kecepatan yanag tidak mungkin diikuti pendengaran
manusia, tidak peduli seberapa keras kata-kata itu diucapkan-kujelaskan padanya
apa yang kumau. Dia terlongo. Pikirannya sama kosongnya dengan wajahnya.
"Jadi?" bisikku. "Kamu mau membantuku?"
Butuh semenit buatnya untuk merespon. "Tapi, kenapa?"
"Ayolah, Emmet. Kenapa tidak?"
Siapa kau dan apa yang kau lakukan terhadap saudaraku"
"Bukankah kau selalu mengeluh bahwa sekolah selalu saja membosankan" Ini sesuatu
yang berbeda, kan" Anggap saja ini sebagai eksperimen-eksperimen terhadap sifat
dasar manusia." Dia memandangku sebentar sebelum menyerah. "Well, ini memang berbeda, kuakui
itu... Baiklah kalau begitu." Emmet mendengus lalu mengangkat bahu. "Aku akan
membantumu." Aku tersenyum padanya. Kini aku jadi lebih bersemangat dengan rencanaku setelah
Emmet setuju untuk terlibat. Rosalie memang selalu menjengkelkan, tapi aku akan
selalu berhutang padanya karena telah memilih Emmetl; tidak ada yang memiliki
saudara lebih baik ketimbang diriku.
Emmet tidak butuh latihan. Aku membisikkan sekali lagi baris-baris skenario
miliknya pada saat kami masuk ke dalam kelas.
Ben sudah duduk di belakangku. Dia sedang mencari-cari tugasnya untuk
dikumpulkan. Emmet dan aku duduk dan melakukan hal yang sama. Kelas masih belum
sepenuhnnya tenang; gumaman orang-orang yang saling ngobrol tidak akan berhenti
sampai Mrs. Goff menyuruh mereka diam. Dia sendiri tidak buru-buru, dia sedang
memberi nilai tes kelas sebelumnya.
"Jadi," ujar Emmet dengan suara lebih keras dari yang dibutuhkan-jika dia memang
berniat bicara hanya padaku. "Apa kau sudah mengajak Angela Weber kencan?"
Suara kesibukan di belakangku tiba-tiba terhenti, perhatian Ben terpaku pada
pembicaraanku dan Emmet. Angela" Mereka sedang membicarakan Angela"
Bagus. Aku berhasil menarik perhatiannya.
"Belum," jawabku sambil menggeleng agar terlihat menyesal.
"Kenapa belum?" Emmet berimprovisasi, "Apa kau takut?"
Aku meringis padanya. "Bukan karena itu. Kudengar dia tertarik dengan orang
lain." Edward Cullen ingin mengajak Angela kencan" Tapi... Tidak. Aku tidak suka itu.
Aku tidak mau dia dekat-dekat Angela. Dia...tidak pantas untuk Angela.
Tidak...aman. Aku tidak menduga yang muncul adalah insting untuk melindungi. Yang kurencanakan
adalah cemburu. Tapi apapun itu sama saja.
"Kau membiarkan itu menghentikanmu?" tanya Emmet mengejek, berimprovisasi lagi.
"Kau tidak mau bersaing?"
Aku mendelik padanya, "Bukan begitu. Kurasa dia sudah terlanjur suka dengan
seorang bocah bernama Ben, salah satu dari teman-temannya. Aku tidak mau
berusaha meyakinkan dia yang sebaliknya. Masih ada gadis-gadis lain."
Reaksi di belakangku menggemparkan.
"Ben siapa?" tanya Emmet, kembali ke naskahnya.
"Kalau tidak salah pasangan labku bilang namanya Ben Cheney. Aku tidak tahu
pasti yang mana orangnya."
Aku menahan senyumku. Hanya keluarga Cullen yang sombong yang bisa lolos saat
pura-pura tidak kenal setiap murid di sekolahan yang kecil ini.
Pikiran Ben berkecamuk tidak karuan. Aku" Daripada Edward Cullen" Tapi kenapa
dia bisa suka denganku"
"Edward," Emmet berbisik dengan suara rendah, melirik ke bocah di belakangku.
"Dia tepat di belakangmu," mimiknya dibuat sedemikian rupa hingga si Ben bisa
dengan mudah membaca kata-katanya.
"Oh." Aku berbalik ke belakang dan mendelik ke bocah itu. Untuk sesaat, tatapan di
balik kacamata itu ketakutan, tapi kemudian dia menegakkan pundaknya, merasa
tersinggung karena diremehkan. Mukanya memerah karena marah.
"Huh," dengusku arogan kemudian kembali menoleh ke Emmet.
Dia pikir dia lebih baik dariku. Tapi Angela tidak berpikir begitu. Akan
kubuktikan ke orang sombong ini... Sempurna.
"Tapi, bukannya katamu Angela mengajak si Yorkie ke pesta dansa nanti?" tanya
Emmet sambil mendengus ketika menyebut nama bocah yang sering ia cemooh karena
kecanggungannya. "Nampaknya itu keputusan dia bersama teman-teman perempuannya." Aku ingin
meyakinkan bahwa Ben betul-betul mengerti tentang hal ini. "Angela itu pemalu.
Jika B- well, jika seorang laki-laki tidak punya nyali untuk mengajaknya kencan,
Angela tidak akan pernah mengajaknya."
"Kau sendiri suka dengan gadis yang pemalu." Emmet kembali berimprovisasi. Gadis
yang pemalu. Gadis seperti...hmm, aku tidak tahu. Mungkin Bella Swan"
Aku menyeringai padanya. "Tepat." kemudian aku kembali ke pertunjukan ini.
"Mungkin Angela akan capek menunggu. Mungkin aku akan mengajaknya ke pesta
prom." Tidak, kau tidak akan. Batin Ben sambil menegakkan duduknya. Memang kenapa kalau
dia lebih tinggi dariku" Jika dia sendiri tidak peduli, begitu pula aku. Angela
adalah orang yang paling baik, paling cerdas, dan paling cantik di sekolahan
ini...dan dia menginginkan aku.
Aku suka dengan Ben. Kelihatannya dia cerdas dan baik hati. Cukup pantas untuk
perempuan seperti Angela.
Aku mengacungkan ibu jari ke Emmet dari bawah meja. Dan saat bersamaan Mrs. Goff
berdiri, mengucapkan salam ke kelas.
Oke, kuakui-tadi itu menyenangkan, batin Emmet.
Aku tersenyum sendiri, senang telah berhasil membuat satu kisah cinta berakhir
bahagia. Aku sangat yakin Ben akan melanjutkan niatnya, dan Angela akan menerima
hadiahku. Hutangku telah lunas.
Betapa menggelikannya manusia, menjadikan perbedaan tinggi enam inchi
mengacaukan kebahagiaan mereka.
Kesuksesan rencana tadi mengembalikan suasana hatiku jadi baik. Aku tersenyum
lagi seraya duduk lebih nyaman, siap-siap untuk terhibur. Bagaimanapun, seperti
yang Bella katakan, aku belum pernah melihat dia di kelas olahraga.
Pikiran Mike lebih mudah ditemui diantara dengungan suara-suara disana.
Pikirannya jadi terlalu familiar selama satu minggu ini. Dengan mengeluh aku
mengalah untuk mendengarkan lewat dia. Paling tidak aku tahu dia akan
memperhatikan Bella. Aku mendengarkan tepat saat dia menawarkan diri jadi pasangan badminton Bella;
saat bersamaan, bentuk berpasangan yang lain terlintas di kepala Mike. Senyumku
lenyap, gigiku terkatup erat, dan aku mesti mengingatkan diriku bahwa membunuh
Mike Newton bukan sesuatu yang bisa dimaafkan.
"Terima kasih, Mike-kau tahu, kau tak perlu melakukannya."
"Jangan khawatir, aku tidak akan mengganggumu."
Mereka saling senyum satu sama lain. Dan di kepala Mike berkelebatan berbagai
insiden sebelumnya di kelas olahraga-selalu saja dengan berbagai cara
berhubungan dengan Bella. Awalnya Mike bermain sendirian, Bella cuma berdiri enggan di belakang lapangan,
memegangi raketnya hati-hati seakan itu senjata. Kemudian Coach Clapp menyuruh
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mike memberi Bella kesempatan main.
Oh, aduh, batin Mike saat Bella melangkah maju sambil mengeluh. Dia memegang
raketnya dengan canggung.
Jenifer Ford sengaja mengarahkan servis langsung ke Bella. Mike melihat Bella
maju menghadang tapi ayunan raketnya jauh dari sasaran. Mike pun buru-buru
mengejar koknya. Pada saat itu aku melihat arah ayunan raket Bella dengan ngeri. Dan benar saja,
raketnya mengenai ujung atas net dan memantul kembali ke dia, memukul keningnya
sebelum kemudian terpelintir dan mengenai bahu Mike dengan suara keras.
Ow. Ow. Aduh. Itu pasti akan meninggalkan bekas.
Bella mengelus-elus keningnya. Rasanya sulit untuk tetap tinggal di tempatku,
mengetahui dia terluka. Tapi apa yang bisa kulakukan jika disana" Dan
kelihatannya tidak terlalu serius... Aku menahan diri dan tetap mengawasi saja.
Jika dia berniat untuk tetap melanjutkan, aku akan mencari alasan untuk
mengeluarkan dia dari kelas.
Coach Clapp tertawa. "Sori, Newton." Gadis itu adalah orang paling ceroboh yang
pernah kulihat. Sebaiknya tidak perlu membuat yang lain jadi korbannya.
Dia sengaja memunggungi Mike dan Bella, ganti mengawasi pertandingan lain supaya
Bella bisa kembali jadi penonton saja.
Aduh, batin Mike lagi sambil memijat-mijat tangannya. Dia menoleh ke Bella. "Apa
kau tidak apa-apa?" "Tidak apa-apa, kau sendiri?" tanyanya malu, mukanya merah.
"Kurasa aku baik-baik saja." Jangan sampai kedengaran seperti anak cengeng. Tapi
ya ampun, ini sakit! Mike mengayun-ngayunkan tangannya sambil meringis.
"Aku akan tinggal di belakang sini saja." Bella terlihat malu daripada sakit.
Mungkin Mike yang kena pukul lebih keras. Aku jelas berharap itu yang terjadi.
Paling tidak Bella tidak ikut main lagi. Dia memegang raketnya sangat hati-hati
di belakang punggung, matanya melebar menyesal... Aku menyamarkan tawaku sebagai
batuk. Apa yang lucu" Emmet ingin tahu.
"Nanti saja," gumamku.
Bella tidak ikut main lagi. Coach Clapp mengabaikan dia dan membiarkan Mike
bermain sendirian. Di penghujung jam, aku sudah menyelesaikan tesnya dengan mudah. Dan Mrs. Goff
mengijinkanku keluar lebih awal. Aku mendengarkan pikiran Mike lekat-lekat
selama berjalan melintasi halaman sekolah. Dia memutuskan untuk menanyakan Bella
tentang aku. Jessica bersumpah mereka berkencan. Kenapa" Kenapa Edward harus memilih Bella"
Dia tidak menyadari kejadian yang sebenarnya-bahwa Bella lah yang memilih aku.
"Jadi." "Jadi apa?" tanya Bella bingung.
"Kau jalan dengan Cullen, heh?" Kau dengan si aneh itu. Kurasa, jika orang kaya
sebegitu pentingnya buatmu...
Aku menggertakan gigi mendengar asumsinya yang merendahkan itu. "Itu bukan
urusanmu, Mike." Defensif. Jadi itu betul. Sial. "Aku tidak suka."
"Memang tidak perlu," sergah Bella marah.
Kenapa Bella tidak melihat betapa anehnya si Cullen itu" Mereka semuanya aneh.
Melihat bagaimana cara dia memandang Bella membuatku merinding. "Caranya
memandangmu... seolah ingin memakanmu."
Aku ngeri menunggu respon Bella.
Mukanya merah padam, dia menekan bibirnya seakan sedang menahan napas. Kemudian,
tiba-tiba keluar suara tawa dari mulutnya. Sekarang dia menertawakan aku. Sial.
Mike memutar badan, dan pergi ke ruang ganti, pikirannya sunyi.
Aku bersandar ke tembok ruang gimnasium sambil berusaha mengendalikan diri.
Bagaimana bisa dia menertawakan tuduhan Mike-begitu tepat sasaran hingga
membuatku khawatir jangan-jangan penduduk Forks sudah jadi terlalu sadar...
kenapa dia tertawa pada tebakan bahwa aku mau membunuhnya, ketika dia tahu itu
sepenuhnya tepat" Apanya yang lucu dari itu"
Ada apa dengan dia" Apa dia punya selera humor yang gelap" Itu tidak cocok dengan karakternya, tapi
bagaimana aku bisa yakin" Atau mungkin lamunanku tentang malaikat sembrono itu
ada betulnya, paling tidak di satu sisi, bahwa Bella tidak punya rasa takut sama
sekali. Pemberani -itu istilah umumnya. Yang lain mungkin akan bilang dia itu
bodoh, tapi aku tahu bagaimana cerdasnya dia. Namun, apapun alasannya, ketidak
kenal takutan dia dan keanehan selera humornya itu, tidak baik untuk dirinya.
Apakah hal itu yang membuat dia selalu berada dalam bahaya" Mungkin dia akan
selalu membutuhkan kehadiranku disampingnya...
Begitu saja, dan seketika suasana hatiku sudah membumbung tinggi.
Jika aku bisa mendisiplinkan diri, membuat diriku tetap aman, maka mungkin aku
bisa tetap berada disampingnya.
Ketika dia berjalan menuju pintu, pundaknya terlihat kaku dan dia sedang
menggigit birbirnya lagi-tanda gelisah. Tapi begitu matanya menatapku, pundaknya
yang kaku langsung rileks dan senyum mengembang di wajahnya. Ekspresinya sangat
damai. Dia berjalan ke arahku tanpa ragu-ragu, hanya berhenti ketika dia sudah
begitu dekat hingga kehangatan badannya menyapuku seperti gelombang.
"Hai," bisiknya.
Kebahagiaan yang kurasakan saat ini, lagi, tidak ada bandingannya.
"Halo," sapaku, lalu-karena moodku yang tiba-tiba jadi begitu enteng, aku tidak
tahan untuk tidak menggodanya-aku menambahkan, "bagaimana kelas olahragamu?"
Senyumnya bimbang. "Baik-baik saja."
Dia tidak pandai berbohong.
"Benarkah?" aku sudah akan melanjutkan pertanyaanku-aku masih mengkhawatirkan
kepalanya; apa masih sakit"-tapi kemudian pikiran ribut Mike Newton memecah
konsentrasiku. Aku benci dia. Kuharap dia mati. Semoga mobil mewahnya terjun ke jurang. Kenapa
dia harus menganggu Bella segala" Kenapa dia tidak bergaul saja dengan kaumnya
sendiri -kaum orang-orang aneh.
"Apa?" desak Bella.
Mataku kembali fokus ke Bella. Dia melihat ke Mike yang memunggungi kami pergi,
kemudian ke aku lagi. "Newton membuatku kesal," akuku.
Dia terperanjat, dan senyumnya lenyap. Dia pasti lupa aku punya kemampuan untuk
mengawasi semua kekikukan dia selama satu jam tadi, atau berharap aku tidak
menggunakannya. "Kau tidak sedang mendengarkan lagi, kan?"
"Bagaimana kepalamu?"
"Kau ini bukan main!" desisnya kesal, lalu pergi meninggalkanku, berjalan cepatcepat ke parkiran. Mukanya merah padam-dia malu.
Aku megejarnya, berharap kemarahannya segera reda. Biasanya dia cepat memaafkan.
"Kau sendiri yang bilang, aku tak pernah melihatmu di kelas olahraga-aku jadi
penasaran." Dia tidak menjawab. Dia masih tampak kesal.
Sesampainya di parkiran mendadak dia berhenti saat menyadari jalan menuju
mobilku terhalangi oleh kerumunan cowok.
Kira-kira seberapa cepat mobil ini di jalan bebas hambatan...
Coba lihat pedal gas SMGnya itu. Aku belum pernah melihatnya selain di
majalah... Peleknya keren... Tentu saja, kuharap aku punya enampuluh ribu dolar di kantongku... Ini lah
sebabnya kenapa Rosalie sebaiknya hanya menggunakan mobilnya saat keluar kota
saja. Aku menyelinap diantara mereka menuju mobilku; setelah bimbang sejenak, Bella
mengikuti. "Kelewat mencolok," gumamku saat dia masuk ke mobil.
"Mobil apa itu?"
"M3." Dahinya berkerut. "Aku tidak paham jenis-jenis mobil."
"Itu keluaran BMW." Aku memutar bola mataku, lalu fokus pada usahaku untuk
mundur tanpa menyenggol siapapun. Terutama aku harus memusatkan padangan pada
beberapa cowok yang kelihatannya tidak mau bergerak sama sekali. Cukup dengan
setengah detik bertemu pandang denganku, mereka berhasil diyakinkan untuk
minggir. "Kau masih marah?" tanyaku padanya. Kerutan di dahinya telah lenyap.
"Jelas."sergahnya kasar.
Aku menghela napas. Mungkin mestinya tadi aku tidak mengungkitnya. Oh, baiklah.
Kurasa aku bisa mencoba untuk minta maaf. "Maukah kau memaafkanku kalau aku
meminta maaf?" Dia mempertimbangkan sejenak. "Mungkin..., kalau kau bersungguh-sungguh."
akhirnya dia memutuskan. "Dan kalau kau berjanji tidak mengulanginya lagi."
Aku tidak mau berbohong, dan tidak mungkin aku setuju pada hal itu. Mungkin aku
bisa menawarkan janji yang lain...
"Bagaimana kalau aku bersungguh-sungguh, dan aku setuju membiarkanmu mengemudi
sabtu nanti?" Aku berjengit dalam hati pada pikiran itu.
Kerut diantara matanya kembali muncul saat dia sedang mempertimbangkan
tawaranku. "Setuju," ucapnya setelah beberapa saat.
Sekarang untuk permintaan maafku... Aku belum pernah dengan sengaja mencoba
membuat Bella terpesona, tapi sekarang kelihatannya waktu yang tepat. Sambil
mengemudikan mobilku menjauh dari sekolahan, aku menatap lekat-lekat ke dalam
matanya, bertanya-tanya apa sudah melakukannya dengan benar. Aku menggunakan
nada yang paling membujuk.
"Kalau begitu aku sangat menyesal telah membuatmu marah."
Jantungnya berdetak lebih keras dari sebelumnya, iramanya berantakan. Matanya
melebar, kelihatan seperti terhipnotis.
Aku setengah tersenyum. Sepertinya aku telah melakukan dengan benar. Tentu saja,
aku juga sulit berpaling dari matanya. Sama-sama terpesona. Untung aku sudah
hapal jalan ini. "Dan aku akan tiba di depan rumahmu pagi-pagi sekali sabtu nanti," tambahku,
melengkapi permintaan maafku.
Dia mengerjap beberapa kali, dan menggoyang kepalanya seperti ingin menjenihkan
isinya. "Mmm," gumamnya, "rasanya tidak terlalu membantu bila Charlie melihat
volvo asing di halaman rumahnya."
Ah, betapa masih sedikitnya pengetahuan dia tentang diriku. "Aku tidak berencana
membawa mobil." "Bagaimana-" Dia sudah mau akan bertanya.
Tapi kusela duluan. Jawabannya sulit dijelaskan jika tanpa didemonstrasikan, dan
sekarang bukan waktu yang tepat. "Jangan khawatir soal itu. Aku akan datang,
tanpa mobil." Dia menelengkan kepala, sesaat seperti ingin bertanya lebih lanjut, tapi
kemudian berubah pikiran.
"Apakah ini sudah cukup 'nanti' seperti yang kau janjikan?" Dia mengingatkan
pada pembicaraan yang belum selesai di kafetaria tadi; dia melepas satu
pertanyaan sulit hanya untuk kembali pada pertanyaan yang juga tidak mengenakan.
"Kurasa sudah," jawabku enggan.
Aku parkir di depan rumahnya. Mendadak aku jadi tegang memikirkan bagaimana cara
menjelaskannya...tanpa membuat sifat monsterku jadi terlihat dengan jelas, tanpa
membuatnya takut. Atau, apakah menutupi sifat gelapku itu salah"
Dia menunggu dengan ekspresi tertarik yang sopan seperti tadi siang. Jika aku
tidak sedang gelisah, ketenangannya yang tidak masuk akal ini pasti akan
membuatku tertawa. "Kau masih ingin tahu kenapa kau tidak bisa melihatku berburu?" tanyaku
akhirnya. "Well, aku terutama ingin tahu bagaimana reaksimu."
"Apa aku membuatmu takut?" aku sangat yakin dia akan menyangkal.
"Tidak." Aku berusaha untuk tidak tersenyum, tapi gagal. "Aku minta maaf telah membuatmu
takut." Dan senyumku pun lenyap. "Hanya saja, membayangkan kau ada disana...
sementara kami berburu."
"Pasti buruk?" Membayangkannya saja sudah terlalu mengerikan-Bella yang begitu rapuh berada di
tengah kegelapan; sosokku yang lepas kendali... Aku berusaha mengusir bayangan
itu. "Sangat." "Karena...?" Aku mengambil napas dalam-dalam, berkonsentrasi pada rasa haus yang membakar
kerongkonganku. Merasakannya dalam-dalam, mengaturnya, membuktikan dominasiku
atas sensasi itu. Rasa haus itu tidak akan pernah menguasaiku lagi-kuharap itu
benar-benar bisa jadi kenyataan. Aku akan jadi lebih aman untuk Bella.
Kutatap awan yang menggantung di luar tanpa benar-benar menatapnya, berharap
bisa percaya bahwa tekadku semata akan membuat perbedaan jika saat berburu aku
menemukan aromanya. "Ketika kami berburu...kami membiarkan indra mengendalikan diri kami."
Kupertimbangkan setiap kata yang mau kuucapkan. "Tanpa banyak menggunakan
pikiran. Terutama indra penciuman kami. Kalau kau berada di dekatku ketika aku
kehilangan kendali seperti itu... "
Aku menggeleng dengan perasaan tersiksa, membayangkan apa yang akan-bukan apa
yang mungkin, tapi apa yang akan-pasti terjadi.
Aku mendengarkan suara detak jantungnya, lalu menoleh, resah, untuk membaca
matanya. Wajah Bella nampak tenang, tatapannya sungguh-sungguh. Mulutnya sedikit mengerut
-yang kuduga karena-prihatin. Tapi prihatin karena apa" Keamanan dirinya" Atau
karena kegundahanku" Aku terus menatapnya, berusaha menerjemahkan ekpresi
ambigunya jadi sesuatu yang pasti.
Dia menatap balik. Matanya melebar setelah beberapa saat, dan pupilnya meluas
meski cahaya disini tidak berubah.
Napasku semakin cepat, dan mendadak keheningan ini berubah. Getaran yang
kurasakan siang tadi memenuhi atmosfer sekelilingku. Aliran listrik yang
mengalir diantara kami dan hasarat untuk menyentuhnya, dalam sekejap berkembang
lebih kuat dari rasa hausku.
Aliran listrik ini membuatku seperti memiliki denyut jantung lagi. Tubuhku
menari bersamanya, seakan aku manusia. Lebih dari apapun di dunia ini aku ingin
merasakan kehangatan bibirnya di bibirku. Selama sekejap, aku berusaha matimatian mencari kekuatan, untuk mengontrol diriku, untuk sanggup mendekatkan
bibirku ke bibirnya... Dia menarik napas-tersendat. Dan pada saat itulah aku sadar bahwa ketika napasku
memburu, justru saat bersamaan napasnya terhenti sama sekali.
Aku memejamkan mata, berusaha memutus aliran listrik diantara kami.
Tidak boleh ada kesalahan.
Keberadaan bella sangat bergantung pada ribuan keseimbangan proses kimiawi yang
sensitif. Semuanya sangat mudah terganggu. Irama denyut paru-paru, aliran
oksigen, adalah soal hidup-mati bagi dia. Debaran detak jantungnya yang rapuh
bisa dihentikan begitu saja oleh berbagai macam insiden konyol atau oleh
penyakit atau oleh...diriku.
Semua anggota keluargaku tidak akan ragu-ragu untuk menukarkan keabadian mereka
kalau itu bisa membuat mereka menjadi manusia lagi. Mereka siap menantang
apapun, dibakar hidup-hidup selama berhari-hari atau bahkan berabad-abad bila
perlu. Kebanyakan dari kaum kami menyanjung-nyanjung keabadian melebihi apapun. Bahkan
ada manusia yang mengidamkannya, yang mencari di tempat-tempat gelap untuk bisa
menemukan mahluk yang mau memberi mereka hadiah kegelapan itu...
Bukan kami. Bukan keluargaku. Kami akan menukar apapun untuk bisa menjadi
manusia lagi. Tapi, tidak satupun dari kami yang pernah seputus asa ingin kembali seperti
diriku saat ini. Aku memandangi bintik-bintik mikroskopis yang ada di kaca depan, seakan
solusinya tersembunyi di situ. Getaran listrik itu masih belum lenyap, dan aku
harus berkonsentrasi untuk menjaga tanganku tetap berada di kemudi.
Tangan kananku mulai tersengat listrik lagi, seperti saat habis menyentuhnya.
"Bella, kurasa kau harus masuk sekarang."
Dia langsung menurut, tanpa berkomentar, keluar dari mobil dan menutup pintunya.
Apakah dia juga merasakan kemungkinan terjadinya petaka sejelas yang kurasakan"
Apakah menyakitkan baginya untuk pergi, sama seperti menyakitkannya bagiku untuk
membiarkan dia pergi" Satu-satunya penghibur adalah bawah aku akan segera
menemuinya. Lebih cepat dari dia akan melihatku. Aku tersenyum pada hal itu,
kemudian menurunkan kaca jendela samping dan mencondongkan tubuhku untuk bicara
dengannya sekali lagi- sekarang sudah lebih aman, dengan kehangatan tubuhnya di
luar mobil. Dia menoleh untuk mencari tahu apa yang kumau, penasaran.
Masih saja penasaran, meski hari ini dia sudah menanyaiku berbagai macam
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertanyaan. Rasa penasaranku sendiri sama sekali belum terpuaskan; menjawab
pertanyaan-pertanyaannya hari ini hanya mengungkapkan rahasiaku-aku tidak
mendapat apa-apa dari dia kecuali dugaan belaka. Itu tidak adil.
"Oh, Bella?" "Ya?" "Besok giliranku."
Dahinya berkerut. "Giliran apa?"
"Bertanya padamu."
Besok, ketika kami berdua berada di tempat yang lebih aman, dikelilingi saksisaksi, aku akan mendapat jawabanku. Aku tersenyum pada pikiran itu, lalu
berpaling karena dia tidak menunjukan tanda-tanda akan beranjak. Bahkan dengan
dia di luar mobil, gaung getaran listrk itu masih menggantung di sekelilingku.
Aku juga ingin keluar, untuk mengantarnya ke depan pintu sebagai alasan untuk
bisa tetap di sampingnya...
Tidak boleh ada kesalahan.
Aku menginjak pedal gas, lalu menghela napas begitu dia hilang di belakangku.
Kelihatannya aku selalu lari menuju Bella atau melarikan diri dari dia, tidak
pernah tetap tinggal di tempat. Aku mesti mencari cara untuk bisa mengendalikan
diriku jika mau semuanya berjalan lancar.
Panji Akbar Matahari Terbenam 3 Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka Ratu Peri Selat Sunda 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama