Ceritasilat Novel Online

Puri Rodriganda 2

Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May Bagian 2


Unger melihat bungkah-bungkah emas dan benda-benda perhiasan itu. Kepalanya
menjadi pusing. "Tetapi benda-benda yang hendak kau hadiahkan itu beratus-ratus dolar harganya!"
"Bahkan mungkin berjuta-juta dolar."
"Aku tidak dapat menerimanya!"
"Kau hendak menolak pemberian sahabatmu?"
"Tidak, tetapi aku tak mau kau harus berkorban untukku."
Orang Indian itu menggelengkan kepalanya.
"Itu bukanlah korban. Apa yang kau lihat di sini, hanya sebagian dari hartaharta yang disimpan di El Reparo. Masih ada beberapa gua lagi. Bahkan Karja pun
tidak mengenalnya. Bila sampai aku meninggal, tak seorang pun dapat menerobos ke
dalam tempat-tempat penyimpanan harta itu. Kini aku hendak pergi mengunjungi
gua-gua lain. Perhatikanlah benda-benda berharga itu dan sampingkanlah bendabenda pilihanmu. Sekembaliku, benda-benda pilihanmu akan kumuatkan ke atas kuda,
lalu kita kembali ke Hacienda del Erina."
Obor itu kemudian dipancangkan oleh si Kepala Banteng ke sebuah lubang, ia lalu
pergi ke sudut paling jauh dari gua itu dan menghilang.
Orang kulit putih itu kini berdiri seorang diri di tengah-tengah kekayaan yang
tiada terhingga. Alangkah besar kepercayaan yang diberikan kepadanya. Andaikata
ia membunuh orang Mixteca itu, ia akan dapat memiliki segenap kekayaan, yang
sekarang hanya dijanjikan sebagian saja kepadanya. Namun pikiran demikian tak
pernah timbul dari hati orang yang jujur itu. Ia sudah terlalu bahagia dengan
bagian yang diserahkan kepadanya.
Sementara itu Alfonso sedang menuju ke gua itu bersama pelayan-pelayannya dengan
naik kuda. Ketakutannya pada akibat buruk dari perbuatan bodoh itu menyebabkan
ia berusaha mengejar waktu. Meskipun sebagai keponakan dan ahli waris pangeran
Fernando, pemilik sebenarnya dari hacienda patut dihormati orang namun
kenyataannya ia kurang disegani oleh orang-orang di daerah ini. Dengan berharap
di kota besar akan mendapat penghargaan lebih banyak, sesuai dengan derajat dan
martabatnya, ia mengambil keputusan untuk selekasnya pergi ke ibu kota Meksiko,
setelah mengambil harta karun dari dalam gua itu.
Dibiarkan kudanya berjalan mengatur kecepatan sendiri, karena dalam gelap agak
berbahaya untuk berjalan cepat-cepat. Gunung, yang ditujunya cukup dikenal
Alfonso, tetapi dari arah ini belum pernah didekatinya. Jalan-jalan yang
dilaluinya tidak dikenal hanya arah menjadi pedoman baginya. Karena itu tidak
mengherankan, bila ia agak lambat majunya.
Baru setelah pagi dapatlah ia menyuruh kudanya berlari lebih cepat. Tak lama
kemudian tampak di hadapannya gunung El Reparo. Mereka menyeberang sungai
pertama. Sebelum sampai di sungai yang kedua, Alfonso menyuruh mereka berhenti.
Ia tidak mau diikuti pelayannya sampai ke gua itu. Mula-mula ia ingin meyakinkan
diri sendiri, apakah gua itu ada.
"Bagaimana sekarang?" tanya yang seorang.
"Kalian menunggu!"
"Jadi Anda hendak meninggalkan kami?"
"Hanya sebentar!"
"Barang apa yang harus kami muat?"
"Itu bukan urusanmu; tunggu sampai saya kembali!"
Alfonso menjalankan kuda perlahan-lahan. Tiada berapa lama dijumpainya sungai
yang kedua. Ia turun dari atas kuda, menambatkan pada sebatang pohon, lalu
menghilang di balik semak belukar. Tak jauh lagi tampak sungai keluar dari
gunung. Setelah ditelitinya tempat itu, dengan hati-hati ia masuk ke dalam air
yang dingin itu, lalu melanjutkan perjalanan dengan merangkak. Sebelum sampai ia
ke gua, tampak cahaya terang benderang dan sangat mengherankannya.
Apakah itu" Mungkinkah nyala obor" Ataukah cahaya matahari yang masuk melalui
celah-celah" Tidak terpikir oleh orang Spanyol itu untuk kembali lagi. Hati-hati
ia merangkak terus, sambil berusaha, supaya jangan mengeluarkan suara sedikit
pun. Tiba-tiba tampak olehnya kilatan sinar berkilauan, berasal dari benda-benda
perhiasan dalam gua itu. Demi dilihatnya segala keindahan itu, tubuh merasa
gemetar. Setan harta sudah menguasainya. Matanya berganti-ganti dipejamkan dan
dibuka lagi. Hampir ia berteriak, kalau ia tidak melihat sesosok tubuh tak jauh
dari tempatnya sedang berlutut, memeriksa bungkah-bungkah emas dan benda
perhiasan yang terletak di hadapannya. Siapakah dia" Nah, kini ia memutar tubuh
sedikit, sehingga tampak mukanya. Pangeran mengenali orang itu.
"Unger!" katanya dalam hati. "Siapa yang memberi tahu rahasia itu kepadanya"
Seorang dirikah atau berkawan?"
Matanya mencari ke segenap penjuru, namun tak dapat ditemukannya orang lain.
Tiada disangkanya bahwa si Kepala Banteng ada di dalam.
Ia seorang diri, pikirnya dengan gembira. Ia tak akan menikmati penemuannya itu.
Tak sebutir emas pun akan jatuh ke tangannya. Inilah kesempatan untuk membalas
dendam terhadapnya. Tak jauh daripadanya terletak sebuah pemukul, terbuat dari
kayu besi dan dilekatkan pada pemukul, kaca kristal tajam. Dipegangnya senjata
itu, lalu menyelinap ke arah Unger, yang sedang asyik mengamati kalung berlian
yang bercahaya dengan sangat menakjubkan.
"Bukan main indahnya! Benda perhiasan ini tiada ternilai harganya."
Benda ini hendak ditaruh terpisah dari yang lain-lain. Ketika itu senjata
pemukul diayunkan dan jatuh dengan kuatnya ke atas kepala Unger. Seketika itu
tubuh Unger jatuh terkulai ke atas tanah. Kini pangeran berteriak-teriak liar.
"Mati dia! Sekarang harta ini semua milikku, milikku!"
Kegembiraan luar biasa membuat dia separuh gila. Ia meloncat-loncat dan bertepuk
tangan seperti orang yang berubah akal.
Tetapi apakah itu" Di sudut sana bergerak sesosok tubuh makin mendekat. Itulah
si Kepala Banteng, baru kembali dari dalam. Kini dilihatnya di tempat Unger
seorang lain, sedangkan Unger tergeletak di atas tanah di sebelahnya. Dengan dua
lompatan orang Mixteca itu sudah sampai di dekatnya, lalu memegang tubuh
penjahat itu. "Anjing! Mengapa kamu di sini?" serunya.
Pangeran terdiam saja. Ia mengetahui, bahwa orang Indian itu bukan tandingannya.
Sekarang matilah ia. Dari tingkat puncak kebahagiaan, dalam sekejap mata
terjatuh dalam lembah kematian yang mengerikan. Keringat dingin bercucuran di
seluruh tubuhnya. "Kau telah memukulnya?" seru si Kepala Banteng, sambil menunjuk ke arah tubuh
Unger dan senjata pemukul di atas tanah. Diguncang-guncangnya tubuh Alfonso itu
seperti tubuh anak kecil saja.
"Ya," jawab Alfonso dengan hati kecut.
"Mengapa?" "Harta inilah sebabnya," jawabnya terbata-bata.
"Masa! Aku tahu, dia adalah musuhmu. Sudah lama kau kehendaki kematiannya.
Celaka kamu, tiga kali celaka!"
Si Kepala Banteng membungkuk untuk menyelidiki tubuh kawannya. Pangeran berdiri
dengan diam. Betapa mudah untuk mengambil senjata pemukul dan berusaha untuk
berkelahi. Tetapi hal itu tidak dilakukannya. Ia seperti burung pipit, tak
sanggup terbang lagi di hadapan ular yang menunggunya dan akhirnya burung itu
akan ditelan oleh sang ular, tanpa mengadakan perlawanan.
"Ia sudah mati!" kata si Kepala Banteng, sambil meluruskan badannya.
"Aku akan menghakimimu! Kau telah membunuh seorang pemburu, yang paling mulia
hatinya di dunia ini. Sebagai hukuman kau patut mati seribu kali."
Orang Indian itu berdiri di hadapannya dengan tangan dilipat. Otot-ototnya
menonjol, matanya memancarkan sinar berapi-api serta menakutkan.
"Wah kau gemetar!" katanya, seraya melemparkan pandangan hina kepadanya. "Kau
seperti cacing, seorang pengecut tak ada harganya. Dari siapa kau ketahui jalan
ke gua ini?" Alfonso berdiam diri. Ketakutan membuatnya menundukkan kepala.
"Lekas jawab!" bentak cibolero.
"Karja!" bisik pangeran.
"Adikku?" "Benar." Mata orang Indian itu bercahaya seperti nyala obor yang panas.
"Bohong! Dengan menyebut-nyebut nama adikku, kau berharap dapat terhindar dari
hukuman?" "Aku berterus terang. Kau harus percaya."
"Wah, tentu telah kau gunakan ilmu hitam untuk merayu adikku, sampai ia mau
membuka rahasia tentang El Reparo. Tentu kau pura-pura menyatakan cinta?"
Pangeran berdiam diri. "Bicaralah terus terang, kau dapat meringankan nasibmu. Tahukah kau, bagaimana
cara kau akan menjumpai ajalmu" Di atas gunung terdapat sebuah kolam. Kolam itu
tidak berapa besar, tetapi dalamnya terdapat sepuluh ekor buaya suci. Perut
buaya itu digunakan raja-raja zaman dahulu sebagai kuburan bagi para penjahat.
Usia buaya itu lebih dari seratus tahun. Binatang-binatang itu tentu lapar
sekali, karena sudah lama tidak makan. Kau akan kubawa ke atas dan akan
kugantung pada sebatang pohon, sehingga kau hidup-hidup tergantung di atas kolam
itu. Buaya akan berlompatan ke atas, namun tak mencapai tubuhmu. Buaya-buaya itu
akan berebut untuk mendapat tubuhmu dan bau busuk akan tercium olehmu. Berharihari dan bermalam-malam kau akan tergantung, tak seorang pun akan melepaskan
ikatan sekitar lehermu. Panas terik matahari akan membuatmu kehausan dan
kelaparan. Akhirnya kau akan terjatuh dan ditelan buaya-buaya."
Alfonso mendengar dengan ketakutan. Lidahnya kaku, tak dapat digerakkan. Tak
dapat diucapkannya kata-kata untuk mohon belas kasihan.
"Hanya dengan berterus terang dapat meringankan nasibmu," demikian diulang
sekali lagi oleh orang Indian itu. "Jadi kau telah menyatakan cinta kepada
adikku?" "Benar," kata Alfonso.
"Tapi sebenarnya kau tidak mencintainya?"
"Tidak," jawab orang kulit putih itu. Ia tidak berani membohonginya.
"Tetapi ia mencintaimu?" tanya orang Indian itu lebih lanjut.
Pertanyaan ini dijawab dengan mengiakan.
"Kau bertemu dengan dia di mana?"
"Di bawah pohon zaitun di dekat anak sungai, di belakang hacienda."
"Kau telah berjanji akan mengawininya?"
"Benar." "Bilamana Karja membuka rahasia itu kepadamu?"
"Kemarin petang," jawabnya.
"Kau di sini seorang diri?"
"Aku beserta dua orang pelayan."
"Mereka tentu harus mengangkut harta itu. Kau telah memberi tahu rahasia itu
pada mereka juga!" "Mereka tidak mengetahui apa yang harus diangkut dan tidak mengetahui tentang
terdapatnya gua itu."
"Di mana mereka?"
"Mereka menanti dekat dari sini."
"Baik. Orang ini kubiarkan berbaring di sini, tetapi kau harus mengikutiku. Kau
belum kuikat, tetapi kau tak dapat melarikan diri. Kau seekor cacing, mudah
kuhancurkan dalam tanganku. Mari, ikut aku!"
"Hendak diapakan aku?" tanya Alfonso ketakutan.
"Itu segera akan kau ketahui."
Si Kepala Banteng memegang tangan Alfonso, lalu menarik Alfonso ke dalam sungai,
menuju ke luar gua. Air sungai serta cahaya matahari dari luar membuat Alfonso
merasa segar kembali. Ia menarik napas dalam-dalam dan bertanya kepada dirinya
sendiri, apakah ada jalan untuk menyelamatkan diri.
"Di mana kudamu?" tanya orang Mixteca itu.
"Kutambat pada sebatang pohon eik di sebelah kanan sana!"
"Di mana pelayanmu?"
"Di belakang bukit itu."
"Tunjukkan padaku kudamu."
Si Kepala Banteng pergi dengan tawanannya ke tempat yang telah ditunjukkan.
Setelah sampai di tempat kuda, diikatnya tangan pangeran ke belakang, kakinya
pun diikat dan mulutnya disumbat. Pangeran membiarkan diri diperlakukan
demikian, tanpa mengadakan perlawanan. Kemudian ia ditinggal di situ, setelah
orang Mixteca itu mengambil senapannya. Kini orang Mixteca itu menyelinap,
mencari kedua pelayan pangeran. Setelah sampai dekat sungai pertama didengarnya
orang sedang bercakap-cakap. Si Kepala Banteng meniarap dan merangkak ke arah
suara itu. Di balik gerombolan semak terakhir dilihatnya kedua orang itu sedang
duduk di tanah dan sedang asyik bercakap-cakap. Orang Indian itu memastikan
bahwa dari pihak mereka bahaya tidak mengancam, lalu kembali lagi ke tempat
tawanannya. BAB IV DI KOLAM DENGAN BUAYA Sementara itu kepala suku Apache bersama Karja dan vaquero mendekati El Reparo
dari sudut lain. Mereka belum sampai juga, karena Karja tersesat dalam gelap.
Karena itu mereka harus menempuh jalan memutar, menyebabkan mereka terlambat
sampai di tempat tujuan. "Ini sungainya," kata Karja kepada si Hati Beruang. "Kita akan segera tiba di
gua." Orang Apache itu mulai memeriksa daerah sekeliling.
"Uf!" serunya, lalu menunjuk ke arah bekas tapak kaki di atas tanah. "Pangeran
dengan orang-orangnya! Jalan terus, tetapi hati-hatilah!"
Si Hati Beruang, yang mengepalai rombongan, tiba-tiba memerintahkan berhenti. Ia
telah melihat kuda-kuda pelayan pangeran, yang sedang makan rumput, lalu ia
turun dari atas kuda. Ia memberi isyarat dengan tangan, supaya orang-orang tidak
mengikutinya. Ia menyelinap ke dalam semak-semak. Tak lama kemudian ia kembali
untuk memberitahu, bahwa pelayan Alfonso sedang duduk-duduk di sana. Kemudian
mereka berangkat lagi. Kini mereka tiba di sungai kedua. Tiba-tiba mereka
melihat kepala orang muncul dari balik semak-semak. Itulah si Kepala Banteng. Ia
telah mendengar mereka datang dan diam-diam menyelinap ke arah mereka untuk
mengetahui, siapakah yang datang.
"Uf! Kepala Banteng!" kata orang Apache. "Di manakah si Panah Halilintar?"
"Mati!" "Siapa pembunuhnya?" tanya si Hati Beruang dengan berang.
"Alfonso." "Di mana?" "Tak dapat kuterangkan di sini," jawab si Kepala Banteng, sambil memandang
vaquero. "Ikutlah aku ke orang kulit putih itu!"
Alfonso memandang mereka dengan ketakutan. Namun Hati Beruang maupun Karja tidak
menghiraukannya. Orang Mixteca berkata kepada orang Apache itu, "Maukah saudara
menjaga tawanan ini, sampai saya kembali lagi?"
Kemudian ia kembali ke gua. Sesampai di gua, ternyata, obor sudah hampir
terbakar habis. Ia menyalakan obor yang baru lagi dan menghampiri orang kulit
putih itu. Segera diketahuinya, bahwa letak tubuh kawannya itu sudah berubah
dari semula. Nadi orang itu diperiksa lagi. Ternyata masih berdenyut. Hal itu
sangat menggembirakan orang Mixteca itu. Pemburu itu, ketika ditinggalkannya
sadar kembali dan menggerakkan tubuhnya. Kemudian ia jatuh pingsan lagi. Orang
Mixteca itu mengangkatnya dengan hati-hati ke luar dan meletakkannya di atas
rumput. Orang Apache, ketika melihat kawannya dalam keadaan demikian, menepuk
mulut bedilnya yang menunjuk ke atas dan berseru,
"Bila saudara kulit putihku meninggal, awas pembunuhnya! Binatang buas dalam
hutan akan mencabik tubuhnya. Demikian sabda Shosh-in-liett, kepala suku
Apache." Ia membungkuk memandang Unger dan memeriksa kepalanya.
"Bekas pukulan dengan senjata pemukul," katanya setelah diperiksanya. "Rongga
otaknya pecah. Harus disediakan usungan untuk membawa ke hacienda. Akan kucari
akar obat oregano yang dapat menyembuhkan setiap luka."
Sedang vaquero pergi untuk membuat sebuah usungan dan Hati Beruang pergi pula
mencari akar obat, Kepala Banteng tinggal di tempat itu bersama adiknya.
"Kau marah padaku?" tanya gadis itu dengan lemah lembut.
Si Kepala Banteng tidak memandang kepadanya, tetapi ia menjawab, "Roh Agung
telah meninggalkan dirimu, dik!"
"Ia hanya meninggalkan diriku untuk sementara," katanya.
"Tetapi waktu Roh sedang meninggalkan dirimu telah terjadi hal-hal yang
menyedihkan. Kau mencintai Alfonso?"
"Benar." "Kau kira ia membalas cintamu?"
"Ya." "Apakah ia berjanji akan mengawinimu dan kau percaya kepadanya?"
"Ya. Pengkhianat itu telah membuat surat pengakuan tertulis, bahwa ia akan
mengawiniku." "Uf! Masih adakah surat itu padamu?"
"Ada di kamarku."
"Bolehkah aku membaca surat itu?"
"Boleh. Maukah kau maafkan daku?"


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hanya dapat kumaafkan bila kau menurut kehendakku."
"Aku akan menurut. Apa yang harus kuperbuat?"
"Akan kau dengar segera. Naiklah kuda dan kembali ke Hacienda, memanggil semua
orang Indian keturunan Mixteca. Katakan kepada mereka, bahwa Tecalto kepala suku
mereka, memerlukan bantuan mereka. Mereka harus meninggalkan pekerjaan mereka
dan langsung ke sini."
Karja langsung naik kuda, tanpa menanyakan sesuatu lalu melarikan kudanya.
Setengah jam kemudian kembalilah Hati Beruang. Akar-akar obat diperas dan
dibubuhkannya ke atas dahi Unger. Setelah itu dibalutnya luka itu.
Vaquero pun sudah siap usungannya, yang dibuat dari cabang dan ranting pohon,
ditutup dengan selimut. Usungan itu diletakkan di atas punggung dua ekor kuda
yang diikat menjadi satu. Unger diletakkan di atas usungan itu.
"Pangeran hendak diapakan?" tanya vaquero.
"Dia adalah milikku!" jawab Kepala Banteng. "Antarkanlah si Panah Halilintar ke
hacienda. Hati Beruang tinggal di sini saja."
Vaquero menurut dan membawa Unger ke hacienda. Kedua kepala suku berdiam diri
sejenak. Kemudian dilepaskan oleh si Kepala Banteng tali pengikat kaki
tawanannya, supaya tawanannya dapat berdiri di atas kakinya. Setelah itu
diikatkan pada ekor kuda. Lalu katanya kepada orang Apache itu, "Saudara boleh
mengikuti aku!" Kedua orang itu pergi naik kuda meninggalkan tempat itu. Bagi
pangeran perjalanan itu merupakan siksaan besar.
Kepala Banteng menjalankan kudanya mengitari lereng gunung, kemudian mendaki.
Setelah menempuh satu jam perjalanan mereka sampai di punggung pegunungan. Kini
mereka masuk hutan lebat. Di tengah-tengah hutan itu, dikelilingi semak belukar,
terdapat reruntuhan sebuah kuil lama, kepunyaan bangsa Astek. Kuil itu dahulu
berbentuk sebuah piramida terpancung, dikelilingi taman-taman. Taman-taman itu
dikelilingi dinding pula. Kini semuanya sudah tinggal reruntuhan saja.
Di salah satu taman itu terdapat sebuah kolam yang dalam airnya. Ke situlah
dibawa mereka tawanannya, yang telah dibebaskan dari tali pengikat dan sumbat
mulutnya. Kolam itu pada zaman dahulu berukuran kecil, tetapi sekarang sudah seperti danau
kecil. Di tepi tumbuh pohon-pohonan yang tinggi. Di situlah dua orang kepala
suku itu turun dari atas kudanya. Orang Mixteca itu duduk di atas rumput dan
mengajak orang Apache itu duduk di sebelahnya. Mula-mula mereka duduk tanpa
bercakap, sesuai dengan adat kebiasaan orang Indian. Kemudian cibolero bertanya,
"Saudara mengasihi si Panah Halilintar?"
"Benar, saya mengasihinya!" jawab orang Apache itu pendek.
"Orang kulit putih ini mau membunuhnya."
"Ia seorang pembunuh, karena kawan kita itu akan mati."
"Apa hukuman seorang pembunuh?"
"Hukuman mati."
Diam sejenak. Kemudian si Kepala Banteng mulai lagi, "Saudara kenal akan bangsa
Mixteca?" "Benar, aku mengenalnya," kata si Hati Beruang sambil mengangguk.
"Bangsa yang terkaya di Meksiko."
"Benar, mereka memiliki kekayaan yang tak ada bandingnya," kata orang Apache
itu. "Tahukah saudara, di mana harta kekayaan itu sekarang?"
"Saya tidak tahu."
"Dapatkah kepala suku Apache itu menyimpan rahasia?"
"Mulutnya tertutup seperti batu karang."
"Maka ia boleh mengetahui, bahwa Kepala Banteng adalah penjaga harta itu."
"Saudaraku Kepala Banteng sebaiknya menghancurkan harta itu! Emas itu dihuni roh
jahat. Seandainya bumi itu terbuat dari emas, maka Hati Beruang lebih baik mati
saja." "Saudara mempunyai kebijaksanaan tinggi, seperti yang dimiliki oleh kepalakepala suku zaman dahulu. Namun orang lain mencintai emas itu. Umpamanya, orang
kulit putih ini, ingin sekali memiliki harta kaum Mixteca itu."
"Uf!" "Ia datang dengan dua orang pelayan ingin mencuri harta itu."
"Siapa yang menunjukkan jalan?"
"Karja, seorang puteri bangsa Mixteca."
"Karja, adik si Kepala Banteng" Uf!"
"Benar," kata si Kepala Banteng dengan hati sedih. "Jiwanya gelap, karena ia
mencintai orang kulit putih itu. Orang kulit putih itu berjanji hendak
mengawininya, tetapi sebenarnya ia hanya menginginkan harta itu, untuk kemudian
meninggalkan gadis itu."
"Ia seorang pengkhianat."
"Apa hukuman seorang pengkhianat?"
"Hukuman mati."
"Dan apa hukuman seorang pengkhianat serta pembunuh?"
"Hukuman mati berganda."
"Saudara benar."
Diam lagi sejenak. Kedua kepala suku itu merupakan hakim prairi yang sangat
dahsyat dan ditakuti oleh lawan-lawan, karena mereka tidak dapat naik banding
atau dibela oleh seorang pengacara. Sebenarnya si Kepala Banteng itu dapat juga
menghakimi sendiri, tetapi ia ingin memberi kesempatan kepada orang Apache itu,
turut memberi suara, untuk menuntut bela terhadap kawannya yang terbunuh itu.
Mereka berbicara dengan logat bahasa Apache, yang tidak dipahami oleh Alfonso;
namun ia mengetahui bahwa mereka sedang memperbincangkan nasibnya. Ia gemetar
sekujur badan, mengingat buaya-buaya yang disinggung oleh si Kepala Banteng
dalam keterangannya. Inilah kolam yang dimaksud dan dekat tempat mereka duduk,
tumbuh sebatang pohon. Tumbuhnya agak condong ke atas air. Dahan-dahannya
menunduk, hampir-hampir mencapai permukaan air. Ngeri hati orang Spanyol itu,
bila ia mengarahkan pandang kepada pohon itu. Kemudian si Kepala Banteng memulai
lagi, "Tahukah saudara, di mana kematian berganda itu dapat ditemukan?"
"Saudara kepala suku Mixteca saja yang mengatakannya."
"Di sana!" Si Kepala Banteng menunjuk ke air. Orang Apache itu, tanpa menoleh, menjawab,
seolah-olah hal itu merupakan hal yang biasa saja,
"Buayakah penghuninya?"
"Benar. Saksikan sendiri saja!"
Ia menghampiri kolam, mengulurkan tangannya, lalu berseru,
"Nikan! Tlatlaka! Kemarilah!"
Serta merta permukaan air menjadi berbuih. Di sepuluh tempat tampak air mulai
beriak dan jumlah buaya sebanyak itu melaju ke tepi. Di situ binatang-binatang
itu berhenti dan mengeluarkan kepalanya yang jijik itu ke atas permukaan air.
Sebagian buaya itu tubuhnya berloreng dan sebagian lagi berbintik-bintik.
Panjang tak ada yang kurang dari empat meter. Tubuhnya menyerupai batang pohon
diliputi lumpur, kepalanya tampak mengerikan, ketika membuka dan menutup
moncongnya yang panjang itu; memperlihatkan baris-baris giginya yang tajam, tak
melepaskan mangsanya lagi, bila sudah tertangkap. Terdengar seorang memekik
ketakutan. Alfonsolah yang mengeluarkan pekik itu.
Kedua orang Indian itu memandang dengan hina. Seorang Indian mempunyai
kebiasaan, dapat menahan rasa sakit dengan sempurna. Bahkan di tiang penyiksa,
biar menderita ia tidak mengeluarkan suara sedikit pun atau memperlihatkan
dengan cara lain. Menurut kepercayaannya, seseorang yang menampakkan rasa sakit
di tiang penyiksa, tak diterima di padang perburuan abadi, yaitu surga bagi
orang Indian setelah meninggal dunia. Oleh karena itu, orang Indian sedari kecil
sekali sudah dididik menahan sakit. Biasanya mereka memandang rendah orang kulit
putih, karena mereka lebih peka pada macam-macam rasa sakit dari orang Indian.
"Kau lihat binatang-binatang itu" Ganas semua. Usianya tak ada yang kurang dari
sepuluh kali sepuluh musim semi. Kau lihat juga tali laso yang kubawa?"
"Aku paham maksud saudara dengan baik," jawab orang Apache itu pendek.
"Berapa tinggi binatang itu dapat melompat?"
"Ia tidak dapat mengangkat moncong lebih tinggi dari dua hasta, bila air itu
lebih dalam dari panjang badannya."
"Dan bila ia dapat menyentuh dasar kolam dengan ekornya?"
"Maka ia akan dapat melompat dua kali tinggi itu."
"Baik. Air itu cukup dalam. Maka kaki orang itu harus tergantung setinggi tiga
hasta di atas permukaan air. Siapa yang memanjat pohon" Saudara atau aku?"
"Aku yang memanjat," kata orang Apache itu.
Kedua orang Indian itu bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Alfonso, lalu
mengikat tangannya ke belakang punggung dengan tali laso, yang dililitkan dua
kali sekitar tubuhnya. Pada tali itu dihubungkan dua potong tali lagi, ujungnya
dipegang oleh orang Apache itu, ketika memanjat pohon.
Kini pangeran sadar, bahwa mereka sungguh-sungguh akan melaksanakan hukuman itu
terhadapnya. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Telinganya mengiang,
seolah-olah mendengar bunyi desing angin badai.
"Ampun, ampun!" demikian ratap dan rintihannya. Kedua hakim acuh tak acuh saja.
"Ampun!" serunya lagi. "Aku mau melakukan apa pun asal aku jangan digantung di
atas kolam itu!" Permohonan ini pun tiada mendapat sambutan. Si Kepala Banteng
memegang Alfonso dan menarik ke arah pohon.
"Jangan! Ampun! Akan kuhadiahkan seluruh milikku kepada kalian, kekuasaanku
sebagai pangeran, harta benda seluruh Rodriganda. Aku rela kehilangan segalagalanya asal biarkan aku tetap hidup."
Kini kepala suku Mixteca menjawab,
"Cih! Apa artinya Rodriganda itu" Apa artinya seluruh harta bendamu, harta benda
seorang pangeran" Apa artinya, dibandingkan dengan harta raja-raja Mixteca, yang
telah kau saksikan sendiri" Harta itu tidak menggiurkan hati kami, apa lagi
harta kepunyaan orang miskin, yang kau tawarkan kepada kami. Keputusan kami
tetap: kau akan mati! Perhatikan binatang-binatang buas itu, belum pernah
mendapat sajian daging orang kulit putih. Lama sekali kau akan bergantung di
pohon itu dan setiap kali kau menarik kakimu ke atas, bila buaya-buaya itu
hendak mencapaimu. Dan akhirnya kau akan letih lelah, badanmu terlalu lemah
untuk menggerakkan kaki. Saat itu kau akan menjadi mangsa binatang itu. Mereka
akan berebut mencabik badanmu. Itulah ganjaran seorang pangeran, yang menipu dan
merampok harta seorang gadis Indian!"
"Ampun! Ampun!" teriak Alfonso sekali lagi, mohon belas kasihan.
"Apa" Ampun" Kau kenal ampun, ketika kau pukul kepala pemburu kawan kami, dengan
senjata pemukul itu" Kau kenal ampun, ketika kau hancurkan hati gadis Indian
itu" Kami sangsikan, apakah hanya itu perbuatan jahatmu itu. Wahkonda telah
menciptakan manusia demikian, sehingga tidak mengetahui segala-galanya. Aku
tidak kenal hidupmu, tetapi orang yang melakukan kejahatan-kejahatan seperti
kamu, biasanya sudah kerap kali melakukannya sebelumnya. Maka kami ingin
menghakimimu dengan memperhitungkan segala kejahatan yang pernah kau lakukan.
Buaya-buaya yang akan menelan tubuhmu itu, sebenarnya masih belum sejahat kau.
Wahkonda telah menciptakan buaya untuk makan daging, tetapi manusia diciptakan
untuk menjadi baik. Maka jiwamu lebih busuk dari jiwa buaya."
Si Kepala Banteng mendorong orang malang itu lebih dekat ke arah air. Alfonso
memberontak. Kakinya masih bebas. Ia berusaha menahan dengan kaki. Kini orang
Indian itu mengikat kakinya, sehingga tawanan itu tidak berdaya sama sekali.
"Ampun! Ampun!" teriaknya.
Tetapi sia-sia. Orang Mixteca yang kuat itu mengangkatnya ke pohon, sambil
membawa kedua ujung tali itu dengan cara menggigitnya. Sesampai di atas duduklah
ia, lalu menghubungkan kedua potong tali menjadi satu dan mengaitkan tali itu
pada sebuah dahan yang kuat. Kemudian ia menarik tali itu. Dengan demikian tubuh
pangeran tertarik ke atas. Si Kepala Banteng membantu mendorong pangeran.
Sedikit demi sedikit tubuh pangeran naik ke atas.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" seru Alfonso, membayangkan kematian yang
mengerikan itu. "Aku rela menjadi pelayanmu. Apa pun yang kau suruh, aku akan
mengerjakan." "Seorang pangeran perlu mempunyai pelayan-pelayan, tetapi seorang Indian tidak
memerlukannya," jawabnya.
Buaya-buaya dalam kolam merupakan pemandangan yang mengerikan. Kolam itu terlalu
kecil baginya, makanan pun jauh dari cukup. Sudah lama buaya-buaya itu menderita
lapar. Karena kekurangan makanan, terjadilah saling serang-menyerang, sehingga
akibatnya, seekor kehilangan sebuah kaki dan seekor lagi sebagian dari tubuhnya.
Kini buaya-buaya itu melihat, bahwa akan diberi makanan. Maka binatang-binatang
itu berdesakan, berkumpul di tepi, di bawah pohon. Ekornya mengibas-ngibas,
membuat air berbuih. Sorot matanya yang menjijikkan membayangkan kerakusannya
dan moncong yang terbuka lebar itu mengatup memperdengarkan suara keras seperti
dua bilah papan tebal yang dipukulkan, satu kepada yang lain. Kesepuluh binatang
itu seolah-olah bersatu padu, merupakan seekor naga raksasa, bermoncong serta
berekor sepuluh. Tawanan itu menggigil. "Lepaskan aku, bangsat!" teriaknya.
"Tolong ditarik talinya sedikit ke atas!" kata si Kepala Banteng kepada orang
Apache itu. "Terkutuk kalian semua!" teriak pangeran dengan suara parau, sedang matanya liar
mencari sesuatu, yang dapat menolongnya.
"Cukuplah!" kata orang Mixteca itu, setelah membandingkan jarak antara dahan dan
permukaan air dengan panjang tali laso.
"Lilitkan saja tali laso itu ke batang pohon, lalu buatlah simpul yang kencang!"
Orang Apache itu berbuat seperti yang dikatakan kepadanya. Si Kepala Banteng
hingga kini dengan tangan sebelah berpegangan pada batang pohon, sedangkan
tangan yang sebelah memegang tawanannya. Untuk itu diperlukan tenaga otot-otot
yang kuat sekali. Andaikata pohon itu tidak cukup kuat disebabkan tumbuhnya yang
condong akan roboh, memikul beban tiga orang yang berat itu. Kini saat genting
akan tiba. Alfonso menyadari hal itu, lalu ia berteriak-teriak penuh kebencian.
"Kalian bukan manusia lagi. Kalian setan!"
"Kami adalah manusia, yang sedang menghakimi setan," jawab orang Mixteca itu.
"Lepaskan!" Aba-aba itu diikuti oleh jeritan orang yang dicekam maut. Tecalto telah
melepaskan Alfonso, serentak dengan itu mendorongnya kuat-kuat. Karena dorongan
ini tawanan berayun-ayun dari pohon ke atas permukaan air. Ia berayun kian
kemari. Tiap kali ia terayun ke atas permukaan air, buaya-buaya itu berlompatan
ke atas untuk mencapai orang itu.
"Cukuplah! Saudara boleh turun!"
Orang Apache itu lalu turun dari pohon. Mereka berdiri di tepi kolam, mengamati
keadaan yang mengerikan. Ayun-mengayun itu makin lama makin lemah. Akhirnya
berhenti dengan keadaan tawanan tergantung tegak lurus ke bawah. Ternyata
taksiran orang Mixteca itu tepat. Alfonso tergantung demikian tinggi, sehingga
buaya-buaya itu, bila melompat dapat mencapai kakinya. Maka Alfonso harus cepat
menarik kakinya ke atas, bila salah seekor buaya memagutnya. Itu dapat
dilakukannya, bila keadaan badannya masih kuat. Setelah badannya lemah ia tak
tertolong lagi. Memang banyak sekali dosa yang diperbuatnya, namun kematian
secara ini disertai rasa takut yang mencekam, seimbang dengan semua dosa yang
dipikulnya. "Selesailah tugas kita! Mari kita kembali lagi!" kata orang Apache yang turut
merasa ngeri juga. Kemudian mereka naik kudanya dan pergi meninggalkan tempat itu. Di belakangnya
masih lama terdengar jerit tangis pangeran.
"Aku ikut saudara," kata si Kepala Banteng.
Kini mereka dapat melarikan kuda lebih cepat lagi, karena mereka menuruni
gunung. Di bawah, dekat sungai, dijumpainya orang-orang Indian. Orang-orang itu
semuanya masuk suku Mixteca yang hampir punah. Mereka dipanggil Karja. Kepala
suku mereka berkata kepada orang Apache itu.
"Terima kasih atas bantuan saudara untuk menghakimi orang kulit putih itu.
Saudara boleh pulang ke hacienda lagi untuk merawat luka-luka si Panah
Halilintar. Aku sendiri baru besok dapat pergi ke sana, karena di sini masih
menunggu pekerjaan-pekerjaan yang harus diselesaikan."
Si Hati Beruang pergi meninggalkan mereka. Namun orang Mixteca itu mengumpulkan
orang-orang Indian yang hadir di situ. Mereka membuat lingkaran mengitarinya
untuk mendengar, apa yang dikehendakinya. Kepala suku itu melayangkan pandangnya
ke sekeliling dan mulai berkata,
"Kita ini putera-putera suatu bangsa yang akan punah. Orang kulit putih
mendatangkan kematian bagi kita. Mereka menghendaki harta kekayaan kita, akan
tetapi tidak memperolehnya. Nenek moyang kalian telah membantu nenek moyangku
menyembunyikan harta itu dan tak ada seorang pun di antara mereka berkhianat,
membuka rahasia itu kepada orang asing. Dapatkah kalian menutup rahasia itu
juga?" Mereka semuanya mengangguk, menyatakan setuju, lalu yang tertua di antara mereka
berkata atas nama semuanya, "Terkutuklah mulut mereka, yang memberitahu tempat
penyimpanan harta itu kepada orang asing!"
"Aku percaya kepada kalian. Hanya akulah yang mengetahui tempat itu. Namun ada
seorang kulit putih menemukan harta itu. Orang kulit putih itu hanya melihat
sebagian. Maka bagian itulah harus dipindahkan ke tempat persembunyian lain.
Bersediakah kalian membantuku?"
"Kami akan membantu."


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maka bersumpahlah demi roh ayah, saudara dan puteramu, bahwa kalian tidak akan
membuka rahasia tempat penyimpanan harta itu, atau pun menjamahnya sendiri!"
"Kami bersumpah," kata mereka semuanya.
"Beri makan kudamu, lalu ikutlah."
Setelah kudanya cukup makan rumput, orang-orang kulit merah itu masuk ke dalam
gua. Di situ mereka sibuk mengerjakan sesuatu. Hanya seorang berada di luar
menjaga keamanan kuda-kuda serta orang-orang yang sedang bekerja di dalam gua.
Pekerjaan ini dilakukan sepanjang malam. Baru keesokan harinya orang-orang
Mixteca itu keluar satu per satu dari dalam gua. Masing-masing membawa beban
ditumpukkan menjadi satu. Benda-benda itu terdiri atas bungkah-bungkah emas yang
besar dan barang-barang perhiasan, yang disisihkan Unger.
"Baik!" kata si Kepala Banteng, sambil mengamati tumpukan itu. "Bungkuslah
semuanya dengan sehelai selimut, lalu muatkan ke atas kuda! Inilah hadiah dari
suku Mixteca kepada seorang kulit putih, satu-satunya yang telah menyaksikan
harta raja-raja dengan seizinku. Semoga ia mendapat bahagia."
Setelah kuda beban penuh muatan, ia kembali lagi menyaksikan gua itu terakhir
kali. Bagian depan gua, yang telah dilihat Unger dan Alfonso telah kosong. Si
Kepala Banteng melihat-lihat sekeliling sekali lagi, lalu pergi ke suatu sudut
gua. Di situ terlihat sepotong sumbu tersembul keluar dari dalam tanah. Si
Kepala Banteng menyalakan sumbu itu dengan api obornya, lalu lari ke luar gua.
Di luar, semua orang menyingkir jauh dan menunggu. Beberapa saat kemudian
terdengar bunyi ledakan hebat. Bumi bergetar, asap tebal di bagian depan gunung
membubung ke langit, batu-batu besar terpecah-pecah. Batu-batuan itu runtuh
perlahan-lahan ke bawah, diikuti bunyi gemuruh. Anak sungai mengalirkan airnya
berbuih-buih melalui tumpukan puing itu, mula-mula bergumul dengan dahsyat,
tetapi kemudian tenang kembali, karena menemukan jalan air yang baru. Jalan
masuk ke harta raja-raja Mixteca sudah tertutup.
"Bersumpahlah sekali lagi dengan berjabat tangan, bahwa selama kalian hidup,
tidak membuka rahasia ini kepada siapa pun!" perintah si Kepala Banteng.
Orang-orang Indian itu bersumpah lagi. Nyata kelihatan pada wajah-wajah mereka,
bahwa mereka sungguh-sungguh, bahwa mereka lebih baik mati daripada melepaskan
sesuatu tentang rahasia mereka. Sekali lagi mereka mengarahkan pandang ke tempat
rahasia terpendam itu. Kemudian mereka pergi meninggalkan tempat itu.
Sekembali orang Apache dari gunung El Reparo ke hacienda, dijumpainya penduduk
sedang dalam dukacita besar. Emma sedang merawat tunangannya, yang menderita
luka parah di dalam kamar. Kebahagiaan mereka yang baru saja dikecapnya, jatuh
berkeping-keping. Karja mendampinginya merawat orang sakit itu dan berusaha
menghibur hatinya pula. Haciendero segera memerintahkan salah seorang penunggang
kuda terbaik, pergi ke Manclova untuk memanggil seorang dokter berpengalaman.
Ketika dilihatnya, orang Apache itu turun dari atas kuda, haciendero
menghampirinya untuk menanyakan berbagai hal kepadanya. Pada kesempatan ini ia
ber-"aku" ber-"engkau", seperti lazimnya digunakan oleh orang Indian.
"Engkau datang seorang diri?" tanyanya. "Di manakah Tecalto?"
"Masih di gunung El Reparo."
"Sedang mengapa ia di situ?"
"Itu tidak dikatakannya kepadaku."
"Kudengar, ia mengumpulkan orang-orang Indian. Apa maksudnya?"
"Aku tidak menanyakannya."
"Di mana pangeran Alfonso sekarang?"
"Tidak boleh kukatakan."
Arbellez agak kecewa, lalu berkata, "Itu tidak kau katakan, aku pun tidak akan
menanyakan, tidak dapat kukatakan! Jawaban macam apakah itu?"
Orang Apache itu menggerakkan tangan, seperti hendak menolak tuduhan itu, lalu
menjawab, "Saudara jangan menanyakan sesuatu yang tak dapat kujawab! Kepala suku
Apache bukanlah orang banyak cakap, melainkan orang yang mengutamakan
perbuatan." "Tetapi aku ingin mengetahui sedikit tentang apa yang terjadi di gunung itu."
"Puteri suku Mixteca akan menceriterakannya."
"Dia pun tak bersedia berbicara."
"Kepala Banteng akan segera kembali dan akan menceriterakannya. Tolong saudara
antarkan aku ke tempat tidur si Panah Halilintar, supaya aku dapat memeriksa
lukanya." "Ikut aku." Ketika kedua orang itu masuk ke dalam kamar Unger, tampak olehnya kedua gadis
itu sedang mendampingi orang sakit itu, Emma dengan air mata berlinang dan Karja
dengan hati yang sedih. Orang sakit itu sedang berguling dengan gelisah di
tempat tidurnya. Sudah nyata, bahwa ia sangat menderita, namun ia tetap menutup
mata dan tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Ketika si Hati Beruang memegang
kepalanya, ia mengerutkan muka, tetapi ia tetap tidak bersuara.
"Bagaimana keadaannya?" tanya haciendero.
"Ia tidak akan meninggal," jawab kepala suku itu. "Setiap kali lukanya harus
dibubuhi akar-akar obat itu!"
"Besok dokter akan datang."
"Akar obat oregano lebih manjur dari obat dokter. Apakah saudara mempunyai
seorang vaquero yang pandai menunggang kuda serta menembak?"
"Orangku yang paling pandai berburu dan menembak ialah Fransisco."
"Tolong panggilkan orang itu dan sediakan seekor kuda baginya! Ia harus
mendampingi aku. Aku hendak pergi ke daerah orang Comanche."
"Ke daerah orang Comanche" Astaghfirullah! Apa yang kau kehendaki di situ?"
"Saudara tidak kenal tabiat kaum Comanche" Kita telah merebut tawanan mereka.
Maka mereka pasti akan ke sini untuk membalas dendam."
"Mereka ke hacienda" Jarak sejauh itu?"
"Orang Indian tidak mengenal jarak, bila tujuannya hendak membalas dendam dan
untuk mengambil scalp (kulit kepala) musuhnya. Orang-orang Comanche pasti akan
datang." "Tetapi mengapa harus menyongsong mereka?"
"Untuk melihat mereka dan untuk mengetahui, kapan mereka tiba di sini dan jalan
mana yang dilaluinya."
"Apakah tidak lebih baik menanti mereka di sini dan mengirim beberapa prajurit
untuk memata-matai mereka?"
"Aku lebih suka melihat dengan mata kepala sendiri dan kurang percaya laporan
orang lain. Si Panah Halilintarlah, sebenarnya mengusulkan pergi menyongsong
anjing-anjing kaum Comanche itu. Sekarang ia sedang sakit, akulah yang
menggantikannya." "Kalau begitu, saudara dapat pergi. Aku akan memanggil Fransisco."
Tak lama kemudian vaquero itu tiba. Dari wajahnya dapat dipastikan, bahwa dialah
orang yang sesuai untuk tugas ini. Mereka mengemasi barang-barang yang
diperlukan dalam perjalanan mereka. Kemudian berangkatlah mereka.
Dua orang gadis itu hanya bersama orang luka itu dalam kamar, air mata Emma tak
tertahan lagi, mulai bercucuran. Kehadiran gadis itu benar-benar menyejukkan
hati orang sakit itu. Bila gadis itu melihat ia menderita, maka dipegang
tangannya, ketegangan pada wajahnya segera lenyap. Bila suatu kali diciumnya
dahi si sakit yang pucat pasi atau bibirnya, maka pada wajah si sakit tampak
cahaya kegembiraan, yang membuatnya melupakan penderitaan seketika.
"Ia sudah mengenal aku kembali, bukankah demikian?" tanya Emma kepada gadis
Indian. "Masa" Ia tidak melihatmu!" jawab Karja.
"Tanpa melihat dengan matanya ia dapat mengenaliku. Ia dapat melihat dengan
hatinya, bahwa kekasihnya duduk di sampingnya. Aku sangat menyesali kepergiannya
ke El Reparo. Mengapa saudaramu Tecalto harus membawanya ke gunung sial itu?"
"Jangan menyalahkan Tecalto. Sesungguhnya ia bermaksud baik. Ia ingin
memperlihatkan harta raja-raja kepadanya dan menghadiahkan sebagian dari harta
itu kepadanya." "Dan kau ingin memberi harta itu kepada pangeran!" kata Emma, menyesali
perbuatan kawannya. "Tak dapatkah kau memaafkan aku?" demikian Karja memohon.
"Aku memaafkanmu, karena aku mengetahui, bahwa cinta lebih kuat dari perkara
lain. Dapatkah ia sehat kembali seperti sedia kala?"
"Tidak. Kau saja yang melihat. Aku tidak ingin mengetahui sesuatu yang dimiliki
Alfonso." Barang bawaan Alfonso terdiri dari dua tas pelana, padat berisi barang-barang.
Tas-tas itu dibuka gadis Indian itu. Di antara barang-barang isinya, tak ada
yang mencurigakan. Hanya di dasar tas kedua ditemukan sepucuk surat. Langsung
surat dibaca oleh gadis itu. Itulah surat yang diterima pangeran dari seorang
utusan. Karja melirik Emma. Karena dilihatnya Emma sedang sibuk dengan si sakit,
maka cepat-cepat dimasukkannya surat itu ke dalam baju.
Kuda-kuda Meksiko itu dapat berjalan cepat dan tidak lekas letih. Si Hati
Beruang melarikan kudanya bersama Fransisco, vaquero itu, secepat angin ke arah
utara. Ketika malam tiba, sekonyong-konyong si Hati Beruang menghentikan kudanya, lalu
melihat ke tanah. Vaquero pun turut melihat ke tanah juga.
"Bukankah ini jejak-jejak kaki?" ia bertanya kepada orang Apache itu.
"Benarlah. Jejak kaki kuda; banyak sekali!" jawab orang Indian itu.
"Mereka datang dari arah utara!"
"Lalu membelok ke arah timur."
"Mari kita memeriksa lebih teliti!"
Mereka turun dari atas kuda dan memeriksa jejak-jejak kaki itu.
"Banyak benar kuda yang lewat di sini!"
"Mungkin ada dua ratus ekor."
Si Hati Beruang mengangguk, lalu menunjuk pada jejak kaki kuda yang tepinya
masih tajam. "Ya," kata vaquero yang mulai merasa cemas. "Kita beruntung. Mereka baru
seperempat jam yang lalu meninggalkan tempat ini."
"Mari, kita harus pergi sekarang juga! Aku harus melihat mereka."
Mereka segera naik kudanya, lalu mengikuti jejak itu. Mereka menuju ke daerah
pegunungan. Menjelang malam mereka melihat di atas sebuah bukit di hadapan
mereka garis hitam meliuk-liuk.
"Itulah penunggang-penunggang kuda kaum Comanche!" seru orang Apache itu.
"Benarlah. Mereka tentu menuju ke hacienda."
"Mereka bersembunyi sampai esok di pegunungan," jawab orang Indian itu. "Saudara
harus selekasnya pulang ke hacienda untuk bersiap menghadapi musuh. Aku tetap di
sini mengikuti jejak musuh. Aku harus mengetahui apa yang mereka kehendaki."
Setelah mengucap perkataan, orang Apache itu berpaling dan melanjutkan
perjalanannya, tanpa melihat vaquero itu menjalankan perintah atau tidak.
"Per dios!" kata Fransisco perlahan-lahan. "Orang Indian itu benar-benar hebat!
Seorang diri berani menghadapi musuh sebanyak dua ratus orang. Ia memberi
perintah, apa yang harus kulakukan, lalu tidak menghiraukan lagi, perintahnya
diturut atau tidak." Kemudian berpaling dan melarikan kudanya kembali ke arah
selatan. Fransisco harus lekas-lekas membawa berita kemalangan itu ke hacienda. Maka
dipacu kudanya. Hampir tengah malam ia tiba di situ.
Semua penghuni hacienda sudah tidur, hanya Emma masih bangun menjaga kekasihnya.
Vaquero itu mula-mula menghadap kepadanya. Emma membangunkan ayahnya. Vaquero
itu disuruh menghadap ayahnya dalam kamar.
"Benarkah, apa yang dikatakan Emma itu?" tanya Arbellez.
"Kaum Comanche sedang menuju ke mari?"
"Benarlah, senor."
"Bilamana mereka diperkirakan dapat sampai ke sini" Kuharap, jangan hari ini."
"Tidak. Hari ini kita masih aman."
"Banyakkah mereka itu?"
"Tak kurang dari dua ratus orang."
"Santa Madonna! Celaka kita! Mereka akan menghancurkan hacienda."
"Itu tidak kukhawatirkan, senor," bantah vaquero perkasa itu. "Kita masih dapat
mengadakan perlawanan; senjata kita pun cukup banyak."
"Tempat kau menjumpai mereka, berapa jauh dari sini?"
"Kira-kira enam jam naik kuda."
"Mereka tidak langsung menuju ke hacienda?"
"Tidak. Mereka terlalu hati-hati untuk berbuat demikian. Sekarang mereka sedang
bersembunyi di pegunungan. Sudah dapat dipastikan, bahwa mereka tidak akan
sampai ke mari sebelum besok malam."
"Namun kita harus membuat persiapan sekarang juga. Sayang sekali, senor Unger
sedang sakit!" "Hati Beruang dan Kepala Banteng pun masih ada."
"Kepala Banteng masih di gunung El Reparo. Akan kusuruh seseorang memanggilnya."
"Aku sajakah yang ke sana?"
"Kau terlalu lelah."
"Lelah?" kata Fransisco sambil tertawa. "Kudaku yang lelah, aku sendiri tidak."
"Tahukah kau di mana kepala suku itu dapat dijumpai?"
"Di ujung sungai kedua."
"Baik. Pasti akan kau jumpai dia. Boleh kau membangunkan orang-orang, lalu naik
kuda ke El Reparo." Seperempat jam setelah kepergiannya, beberapa api unggun dinyalakan orang di
sekitar hacienda. Terang nyala api itu menghindarkan mereka dari kedatangan
musuh. Si Kepala Banteng sedang meninggalkan gunung El Reparo bersama orang-orang suku
Mixteca, ketika mereka dijumpai oleh Fransisco.
"Mengapa kau datang ke mari" Apa yang terjadi?"
"Cepat pergi ke hacienda. Orang-orang Comanche datang menyerang kita!" seru
Fransisco. "Masa begitu cepat" Siapa yang mengatakannya?" tanya orang Indian itu.
"Aku melihatnya sendiri."
"Di mana?" Fransisco menceritakan tentang perjalanan sehari sebelumnya.
"Kalau begitu, kita masih mempunyai waktu," kata si Kepala Banteng. "Kaum
Comanche akan kehilangan beberapa scalp (kulit kepala). Bila si Hati Beruang
mengejarnya, segalanya akan beres. Mereka tidak akan lepas dari tangan kami."
Kini ia melarikan kuda cepat-cepat ke hacienda, yang dijumpainya dalam keadaan
kacau-balau. Arbellez sendiri menerima cibolero dan menanyakan pendapatnya.
Orang Indian itu memperhatikan sekeliling, lalu menggeleng kepala, ketika
melihat persiapan pertahanan mereka.
"Kau kira orang Comanche itu bodoh semuanya?" katanya.
"Tidak," kata Arbellez. "Sebaliknya, mereka cerdik. Tetapi mengapa bertanya
demikian?" "Perlukah segala persiapan ini?"
"Santa Madonna! Jadi kita tidak perlu mempertahankan diri?"
"Memang perlu, tapi bukan begini caranya. Kaum Comanche akan mengirim orangorangnya untuk memata-matai gerak-gerik kita. Mereka takkan menyerang pada siang
hari. Bila kita hendak menghalau mereka, mereka tidak boleh mengetahui, bahwa
kita sudah mengetahui lebih dahulu tentang kedatangan mereka."
"Benar juga pendapatmu!"
"Jadi kita harus mengadakan persiapan secara diam-diam. Berapa orang bernaung di
bawah pimpinanmu?" "Empat puluh orang."
"Itu sudah memadai. Mereka masing-masing punya senapan?"
"Semua mereka mempunyai senjata. Mesiu pun cukup. Bahkan meriam pun tersedia."
"Meriam?" tanya orang Indian itu terheran-heran.
"Benar, ada empat pucuk."
"Aku tidak mengetahui tentang itu. Dari mana dapat diperoleh?"
"Tukang besi kita telah membuatnya, ketika kau tidak di sini."
Orang Indian itu menggeleng kepala. "Tukang besi dapat membuatnya" Tetapi
senjata itu benar ampuhkah?"
"Memang ampuh. Senjata itu sudah kami tes lebih dahulu. Larasnya terbuat dari
kayu besi yang kuat, diperkuat oleh lima gelang besi tempa sekitarnya. Tak
mungkin laras itu meledak."
"Kalau begitu, senjata itu boleh digunakan. Kita akan menembak dengan kaca, paku
dan besi tua. Tembakan demikian akan membingungkan mereka. Kemungkinan besar
musuh akan mengadakan serangan besok malam. Hacienda harus gelap-gulita,
sehingga kaum Comanche mengira kita sedang tidur nyenyak semuanya. Bila mereka
mendekat, api-api unggun kita nyalakan di mana-mana, sehingga daerah sekitar
hacienda akan terang-benderang. Dengan demikian peluru kita lebih tepat mengenai
sasarannya." "Baik kita nyalakan api-api itu di atas atap rumah yang datar itu."
"Itu pendapat baik. Kita sediakan di tiap sudut setumpuk kayu bakar, yang kita
sirami dengan minyak tanah. Itu cukup untuk menerangi seluruh pekarangan."
"Dan di mana meriam itu kita tempatkan?"
"Di tiap sudut rumah kita mendirikan semacam kubu pertahanan. Di belakangnya
kita tempatkan meriam-meriam. Tiap meriam harus dapat menembak dua jurusan. Ah!"
Kata seru itu ditujukan pada seorang penunggang kuda, yang telah menempuh jarak
jauh. Orang Apachelah, yang baru datang itu.
"Hati Beruang!" seru Arbellez. "Dari mana kau?"


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dari daerah orang Comanche."
"Di manakah mereka?"
"Di El Reparo."
"Di El Reparo?" tanya si Kepala Banteng. "Mereka bermalam di sana?"
"Benar. Aku telah mengikuti sampai ke gunung. Mereka baru tengah malam tiba di
sana." "Di sebelah mana tempat perkemahan mereka?"
"Di sebelah utara."
"Uf! Jangan-jangan..." Orang Mixteca itu tiba-tiba memotong perkataannya
sendiri, lalu bicara berbisik-bisik dengan orang Apache itu: "Jangan-jangan
mereka menemukan pangeran di situ!"
"Tak usah takut. Ketika itu ia sudah mati dimakan buaya," jawab orang Apache itu
berbisik pula. Kaum Comanche terdiri atas dua ratus orang. Mereka dipimpin oleh salah seorang
kepala suku yang termasyhur, Arika-tugh atau si Rusa Hitam namanya. Di sisinya
terdapat dua orang penunggang kuda yang tangkas dan mengenal baik daerah sekitar
hacienda. Mereka tidak mungkin menempuh jalan sesat. Mereka naik kuda beriringiringan seperti biasa dilakukan orang Indian, bila mendaki gunung dan mereka
tidak menyadari, bahwa mereka sedang diikuti dari belakang oleh orang Apache
itu. Akhirnya mereka sampai di kaki gunung sebelah utara. Mereka mendaki
lerengnya, kemudian berhenti di balik gerombolan pohon-pohonan.
"Tahukah saudara sebuah tempat persembunyian yang baik di sekitar daerah ini
untuk bersembunyi pada siang hari?" tanya si Rusa Hitam kepada salah seorang
penunjuk jalan. Orang itu berpikir sejenak, lalu menjawab, "Ada. Di atas sana, dekat puncak
gunung." "Tempat apakah itu?"
"Di sana ada reruntuhan sebuah kuil. Pekarangannya luas dapat menampung beriburibu orang prajurit."
"Saudara kenal baik tempat itu?"
"Benarlah demikian."
"Perlukah tempat itu diselidiki lebih dahulu?"
"Memang, itu lebih baik."
"Kalau begitu, kita akan pergi berdua, sedangkan yang lain harus menunggu."
Mereka turun dari atas kudanya, memegang senjata mereka dan masuk ke dalam
hutan. Orang Indian mempunyai bakat mencari jalan di hutan-hutan. Perasaan serta
pandangan matanya sangat tajam, sehingga boleh dikata, mereka tak pernah
tersesat. Maka penunjuk jalan ini pun, dipimpin oleh perasaan tajam itu, tanpa
ragu-ragu melangkahkan kakinya mengarungi hutan ke arah reruntuhan kuil itu.
Kepala suku Comanche mengikuti mereka. Meskipun hari sudah gelap gulita, mereka
dapat menemukan reruntuhan itu, lalu mulai menyusuri dinding-dinding separuh
runtuh itu. Hati mereka lega, karena tidak bertemu dengan orang di daerah itu.
Tapi apakah itu" Suara siapakah meraung-raung di kejauhan" Suara manusia atau
binatangkah" "Suara apakah itu?" tanya si Rusa Hitam.
"Belum pernah kudengar suara seaneh itu," kata penunjuk jalan itu.
Sekali lagi terdengar teriak itu, memanjang bunyinya serta mengerikan.
"Itu suara seorang manusia dalam bahaya maut! Dari manakah suara itu?" tanya
kepala suku itu. "Entahlah. Gema yang memantulkannya memberi petunjuk yang salah."
"Tempat reruntuhan harus kita tinggalkan terlebih dahulu." Kini orang-orang
Indian itu mendaki tumpukan-tumpukan puing, lalu tiba di udara terbuka. Ketika
itu terdengar sekali lagi raung suara mengerikan itu. Dan sekarang mereka
mengetahui, dari mana suara itu datang.
Kedua orang itu menyelinap dengan hati-hati, lalu tiba di tepi kolam. Ketika
mereka menyusuri tepi kolam, tiba-tiba terdengar suara yang mendirikan bulu
roma, sekali ini dari tempat yang sangat dekat dengan mereka.
Meskipun orang Indian itu terkenal sebagai orang yang mempunyai urat saraf baja,
namun mereka saling terkejut mendengar suara itu.
"Dari sinilah keluar suara itu," kata penunjuk jalan, "dari dalam air."
"Bukan. Dari atas air," kata kepala suku memperbaiki ucapan tadi. "Dengarlah!"
"Bunyi ketepuk-ketepuk seperti gelepar buaya dalam air."
Air yang digerakkan binatang-binatang itu berkilat-kilat.
"Benar buaya! Lihat kilat di air itu!"
"Dan ada orang di tengah-tengah binatang itu!"
"Bukan. Orang itu di atasnya, di pohon." Arika-tugh menunjuk pada pohon di
hadapannya. "Kalau begitu, orang itu terikat tubuhnya."
Terdengar lagi raung itu, berasal dari ruang udara di antara permukaan air
dengan daun-daun pohon. "Siapa memanggil?" tanya kepala suku dengan suara kuat.
"Tolong!" jawabnya.
"Kau di mana?" "Aku tergantung di pohon."
"Uf! Di atas air?"
"Benar! Cepat tolong!"
"Siapakah kau?"
"Seorang Spanyol."
"Seorang Spanyol! Seorang kulit putih!" bisik si Rusa Hitam kepada kawannya.
"Biarkan dia tergantung di pohon." Namun kemudian ia bertanya lagi. "Siapa yang
menggantungmu?" "Dua orang Indian musuhku."
"Uf!" kata kepala suku itu. "Ia digantung di pohon untuk pembalas dendam."
Kemudian ia bertanya, "siapakah orang Indian yang dimaksud?"
"Seorang suku Mixteca dan seorang suku Apache. Lekas, tolong aku! Aku tidak
tahan lagi. Buaya akan mencabik-cabik tubuhku."
"Mereka musuh kita. Kalau begitu, baik kita bebaskan orang itu. Tetapi mula-mula
ia harus diterangi dahulu."
Lalu orang Indian itu mencari tumbuh-tumbuhan kering dan menyalakan api dengan
memakai pemantik apinya. Api itu menerangi sekeliling, di pohon tergantung tubuh
seorang kulit putih, kakinya sedikit di atas permukaan air. Tiap kali ia menarik
kaki ke atas, bila buaya-buaya itu hendak memagutnya.
"Hukuman berat itu untuk melaksanakan balas dendam!" kata si Rusa Hitam. "Ia
harus menjawab pertanyaan tanpa takut pada buaya-buaya itu."
Maka ia memanjat pohon, lalu menarik pada tali laso. Tubuh orang itu makin naik
ke atas, sehingga ia terhindar dari bahaya dimakan buaya itu. Alfonso melihat
dengan sekejap mata dalam cahaya api itu, bahwa orang yang baru datang orang
Indian suku Comanche. Wajahnya yang coreng-moreng menandakan, bahwa mereka dalam
keadaan perang. Ia paham semua itu dan hatinya merasa lega. Jiwanya akan
diselamatkan oleh kaum Comanche itu.
"Mengapa kau sampai digantung demikian?" tanya kepala suku itu selanjutnya.
"Karena aku berperang melawan mereka. Mereka musuhku."
"Mengapa tidak kau bunuh anjing-anjing itu. Orang Apache dan Mixteca adalah
pengecut." "Dua orang itu si Hati Beruang, kepala suku Apache dan si Kepala Banteng, kepala
suku Mixteca." "Si Hati Beruang dan si Kepala Banteng!" seru orang Comanche itu. "Di mana
mereka sekarang?" "Lepaskan aku dan aku akan dapat menangkap mereka."
"Baik. Akan tetap kubebaskan kau."
Si Rusa Hitam menarik dengan sekuat tenaga tali laso, sehingga pangeran itu
akhirnya dapat mencapai sebuah dahan, lalu bersandar pada dahan itu. Oleh karena
itu tangan orang Comanche itu menjadi bebas. Ia mencabut pisau dan memotong tali
pengikat tubuh pangeran. Kini pangeran, meskipun masih sangat lemah, dapat
berpegangan dengan tangan sendiri.
"Nah!" serunya. "Aku bebas! Bebaas!" Kemudian ia berteriak penuh kebencian dalam
gelap gulita. "Tapi kini pembalasannya! Pembalasan!"
"Jangan khawatir! Pembalasan pasti akan terlaksana!" kata orang Comanche itu,
yang merasa girang karena mendapat kawan baru. "Tetapi apa guna berteriak
sekeras itu! Kau mengetahui pasti, bahwa tak seorang pun terdapat di sekitar
daerah ini?" "Tiada seorang pun. Yang terdapat hanya aku dengan buaya-buaya ini. Aduh,
peristiwa ini takkan kulupakan seumur hidupku."
"Benarlah pendapat itu. Perlakuan sekejam ini tidak boleh kau lupakan seumur
hidup. Berusahalah membalas dendam! Mari, kita sekarang turun dari atas pohon
ini." Alfonso baru sekarang merasa bebas benar, ketika kakinya menginjak tanah.
"Terima kasih!" katanya. "Mintalah apa yang kau kehendaki. Akan kukabulkan!"
Jawab orang Comanche itu tenang, "Duduklah di sisi kami dan jawablah pertanyaan
kami." Alfonso duduk di atas rumput. Kakinya yang sakit karena tali pengikat, kini
dapat diluruskannya dengan bebas. Belum pernah hidup dirasakannya senyaman
sekarang. Kemudian ia bertanya,
"Kalian orang-orang Comanche?"
"Benar. Aku kepala sukunya, bernama Arika-tugh atau Rusa Hitam."
"Kalian sedang dalam keadaan perang?"
Orang Indian itu mengangguk. Lalu bertanya, "Kau kenal Hacienda del Erina" Siapa
nama orang yang tinggal di situ?"
"Namanya Pedro Arbellez."
"Ia mempunyai anak perempuan?"
"Benar." "Gadis itu mempunyai kawan, seorang gadis Indian dari suku Mixteca?"
"Benar. Namanya Karja, adik Tecalto."
"Adik si Kepala Banteng?" tanya kepala suku itu terkejut.
"Uf! Sayang kami tidak menjaga dua squaw itu lebih baik."
"Aku sudah dari dahulu mengetahuinya."
"Ah, apakah mungkin?" tanya si Rusa Hitam.
"Ya, karena mereka tinggal bersamaku."
"Bersamamu" Kau menggunakan bahasa teka-teki. Kukira, mereka tinggal di
hacienda." "Itu pun benar, karena hacienda itu kepunyaanku."
"Kepunyaanmu" Jadi kau adalah senor Pedro Arbellez?"
"Bukan. Aku adalah pangeran Alfonso de Rodriganda. Arbellez hanya menyewa
haciendaku." "Uf!" kata orang Comanche itu dengan nada dingin, sambil bangkit berdiri. "Kalau
begitu, kau harus digantung lagi di pohon di atas air, supaya menjadi mangsa
buaya." Akan tetapi Alfonso tidak hilang akal. Ia percaya, bahwa perkara ini akan beres.
Dengan tersenyum ia bertanya, "Mengapa aku harus digantung lagi?"
"Karena kau adalah pelindung dua squaw itu."
"Tenang dahulu, Rusa Hitam! Aku bukan pelindungnya. Sebaliknya, mereka adalah
musuhku dan kalian kawanku. Tahukah kalian, bahwa aku digantung karena pengaduan
dua orang gadis itu" Untunglah kalian datang tepat pada waktunya. Kalian
menyelamatkan jiwaku. Untuk menyatakan terima kasih akan kuhadiahkan kepadamu
tiga orang musuh besarmu, yaitu: Kepala Banteng, Hati Beruang dan Panah
Halilintar." "Maksudnya Itinti-ka, pencari jejak yang ulung?" seru orang Comanche itu. "Di
manakah dia?" Pertanyaan ini diajukannya dengan gugup. Pengharapan untuk menguasai sekaligus
tiga orang kenamaan itu membuatnya kehilangan segala keseimbangan jiwa dan
ketenangannya. "Akan kau dapat keterangan itu, tetapi dengan syarat tertentu. Kau hendak
menyerang hacienda?"
"Benar," kata orang Indian itu.
"Engkau akan berhasil?"
"Rusa Hitam belum pernah gagal."
"Kau mempunyai banyak prajurit?"
"Sepuluh kali sepuluh kali dua orang."
"Dua ratus orang" Sudah cukup. Kau akan memperoleh ketiga orang kepala suku itu
serta scalp-scalp semua penghuni hacienda, pendeknya semua yang dapat ditemukan
dalam hacienda, asal jangan mengganggu rumahnya, karena rumah itu milikku."
Orang itu berpikir sejenak, lalu menjawab,
"Baiklah. Keinginanmu akan terlaksana! Di manakah dapat ditemukan tiga orang
itu?" "Mereka semua bertempat tinggal di hacienda," kata pangeran sambil tersenyum
puas. "Uf, uf! Kau benar-benar cerdik!" kata Rusa Hitam.
"Tetapi kau harus memegang janji!"
"Kepala suku Comanche tak pernah ingkar janji. Baik! Rumah itu milikmu. Musuh
kita tiga orang itu, kulit kepala orang-orang hacienda, seluruh isi hacienda
adalah bagian kami. Apakah hacienda terbuat dari batu?"
"Dari batu dan dikelilingi dinding. Tetapi kuketahui jalan-jalan rahasia dan
akan kutunjukkan kepada kalian. Kalian akan masuk ke dalam rumah, ketika
penghuninya masih tidur nyenyak. Mereka akan terbangun, menjadi mangsa pisau
belati dan tomahawkmu."
"Banyakkah senjata di hacienda itu?"
"Banyak, tetapi mereka tak dapat menggunakannya."
"Berapa orang bertempat tinggal di situ?"
"Kira-kira empat puluh."
"Empat kali sepuluh" Itu berarti tujuh kali sepuluh, karena setiap kepala suku
sama nilai dengan sepuluh orang."
"Panah Halilintar tidak dapat dihitung. Ia luka-luka, mungkin sudah mati. Telah
kupukul kepalanya dengan senjata pemukul."
"Uf. Kau telah berkelahi dengan Itinti-ka" Siapa berani berkelahi dengan dia
adalah seorang prajurit gagah perkasa."
"Aku bukan seorang pengecut, meskipun kau jumpai aku sebagai seorang tawanan."
"Itu akan terbukti. Bila engkau mengantar kami ke hacienda. Apakah tidak terduga
oleh mereka, bahwa prajurit-prajurit Comanche akan datang membalas dendam?"
"Aku tidak mendengar mereka berbicara tentang hal itu."
"Akan kukirim seorang mata-mata."
"Tapi ia tak boleh diketahui seseorang."
"Uf! Ia akan langsung pergi ke hacienda."
"Ia akan dibunuh!"
"Tidak. Ia bukan orang Comanche, melainkan seorang Indian suku Opata. Mereka
tidak mencurigainya, sedangkan diam-diam ia mengumpulkan berita tentang mereka,
apakah mereka bersiap menghadapi peperangan dengan kaum Comanche atau tidak.
Tetapi sekarang aku mengetahui semua. Saudara boleh pergi mengumpulkan prajurit
dan membawa ke tempat reruntuhan kuil itu. Aku pun hendak ke sana bersama kepala
suku orang kulit putih itu."
Penunjuk jalan itu bergegas meninggalkan tempat itu dan kepala suku pergi
bersama Alfonso ke tempat reruntuhan kuil. Tetapi sebelumnya, orang Spanyol itu
masih sempat melirik ke kolam penuh buaya, yang membawa kenangan-kenangan yang
mencekam dan mengerikan. Di tepi kolam bergerombol binatang menjijikkan itu,
melihat dengan kepala terangkat ke arah mangsanya, yang sudah terlepas itu.
BAB V PERBUATAN HATI BERUANG YANG MENDATANGKAN KEKAGUMAN
Pagi-pagi keesokan harinya, kepala suku itu menempuh hutan bersama Alfonso dan
penunjuk jalan untuk menyelidiki daerah itu. Mereka tiba di tepi punggung bukit.
Dari atas tempat itu mereka dapat meninjau lembah di bawah. Tiba-tiba terdengar
ledakan dahsyat di bawah.
"Apa itu?" tanya Rusa Hitam.
"Bunyi tembakan," terka penunjuk jalan.
"Bukan tembakan, melainkan ledakan," kata Alfonso, yang segera mengetahui, apa
yang sebenarnya terjadi di bawah.
Mereka berjalan sampai ke ujung tebing, melihat ke bawah, ke anak sungai. Di
situ mereka melihat Kepala Banteng sedang melarikan kuda bersama orang-orang
Indian lainnya. Alfonso melihat kuda beban yang membawa selimut-selimut dan ia
menduga, bahwa selimut itu diisi dengan sebagian harta raja-raja.
"Siapakah orang-orang itu?" tanya kepala suku itu.
"Mereka kaum Mixteca," jawab orang Spanyol itu.
"Nasib kaum Mixteca akan mati punah!"
"Mereka masih cukup kuat. Ingat saja, bahwa mereka di bawah pimpinan Kepala
Banteng." "Uf! Itu dia, Kepala Banteng!" seru Arika-tugh, sambil memandang dengan rasa
benci kepadanya. "Tak lama lagi pasti ia digiring ke perkampungan orang Comanche
untuk mati di tiang penyiksa."
Setelah mereka kembali di tempat reruntuhan, mereka mengirim seorang mata-mata.
Orang itu berpakaian sebagai seorang Indian yang terhormat, mendapat sepucuk
senapan tua dan diberi seekor kuda pilihan yang terburuk. Ia mendapat tugas


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengunjungi hacienda, tetapi melalui jalan memutar, sehingga masuk dari arah
selatan. Kepala Banteng sedang berdiri bersama haciendero dan Hati Beruang dekat
jendela, ketika mata-mata itu datang masuk pekarangan.
"Uf!" seru orang Apache itu sambil tertawa mengejek.
"Ada apa?" tanya Arbellez terheran-heran.
"Kawan kita mengira, bahwa mata-mata musuh sudah datang," kata Kepala Banteng
untuk menerangkan ucapan orang Apache itu.
"Ia bukan orang Comanche!" kata Arbellez.
"Ia seorang Mara atau Opata. Pasti ia seorang pembelot."
"Bagaimana kita harus menyambut dia?"
"Dengan ramah-tamah. Ia tidak boleh mengetahui, bahwa kita mempersiapkan diri
untuk berperang." Haciendero pergi ke pekarangan. Orang Indian yang hendak masuk ke kamar para
pekerja, memberi salam dengan sopan.
"Apakah ini Hacienda del Erina, tuan rumahnya adalah senor Pedro Arbellez?"
tanya Indian Opata itu. "Itu saya sendiri."
"Maaf, Don Pedro! Bolehkah saya masuk?"
"Tentu boleh! Setiap tamu diperbolehkan masuk. Anda datang dari mana?"
"Saya datang dari daerah pegunungan Durango."
"Itu jauh sekali."
"Selama beberapa tahun saya tinggal di sana, tetapi tak tahan lebih lama lagi,
disebabkan penyakit demam yang bersimaharajalela di sana. Nampaknya kehidupan di
sini lebih baik. Apakah Anda memerlukan seorang vaquero di sini, senor?"
"Maaf. Pada saat ini kami sudah mempunyai cukup pegawai. Tetapi Anda boleh
tinggal di sini, beristirahat selama Anda kehendaki."
"Terima kasih. Karena Anda tidak memerlukan orang, saya akan berusaha mencari
pekerjaan di daerah sekitar sini. Sayang dalam perjalanan saya khawatir
kemungkinan mendapat gangguan."
"Mengapa" Takutkah Anda menghadapi orang Indian?"
"Bukanlah gangguan dari orang Indian yang saya khawatirkan, melainkan dari
gerombolan orang. Bukankah didesas-desuskan, bahwa kaum Comanche hendak
mengadakan penyerbuan ke sini?"
"Anda telah mendapat penerangan salah. Kaum Comanche tak berani datang ke mari,
karena mereka mengetahui, pertahanan kami sangat kuat. Akan tetapi, Anda boleh
tinggal di sini, makan dan minum sepuas hati."
Tuan rumah meninggalkan orang Opata itu, tidak terpengaruh sedikit pun oleh
berita yang baru didengarnya. Tamunya sama sekali tidak memerlukan istirahat. Ia
berkelana dengan tidak mengenal lelah di daerah sekeliling hacienda, lalu tengah
hari ia meninggalkan hacienda.
Ia pura-pura pergi ke perbatasan, padahal kembali menuju ke arah perkemahan kaum
Comanche. Setelah dilaporkan kepada kepala suku, apa yang dilihatnya, Rusa Hitam
mengangguk, lalu berkata dengan tertawa puas, "Hacienda itu akan dibangunkan
oleh amukan prajurit kita yang dahsyat dari tidur yang nyenyak. Kaum Comanche
akan berhasil membawa harta benda dan kulit kepala musuh kembali ke
perkemahannya." Ia minta Alfonso dan mata-matanya melukiskan letak serta seluk-beluk gedung
hacienda. Kemudian diadakanlah suatu pertemuan untuk membicarakan rencana
penyerbuan mereka. Mereka mengambil keputusan untuk berangkat pada senja hari. Menjelang tengah
malam tibalah mereka di sekitar hacienda. Mereka hendak mengepung hacienda.
Kemudian kepala suku akan memberi isyarat dan mereka harus memanjat dinding
pertahanan, lalu dapatlah mengepung gedung hacienda. Lima puluh prajurit harus
masuk gedung melalui jendela dan menyebar ke dalam berbagai lorong. Kemudian
barulah dimulai dengan pembunuhan-pembunuhan.
Sementara kaum Comanche bermusyawarah, di hacienda pun para penghuni sedang
bermusyawarah. "Apakah tersedia petasan?" tanya Kepala Banteng.
"Banyak. Tiap pesta yang kami adakan harus diramaikan dengan petasan," jawab
Arbellez. "Mengapa kau tanyakan petasan?"
"Maksudnya untuk mengusir kuda-kuda kepunyaan kaum Comanche, supaya mereka
terhambat dalam gerakannya. Maka kita harus mengetahui, di mana mereka
menyembunyikan kuda. Kita akan melemparkan petasan di bawahnya."
"Itu akan terjadi."
"Tetapi diperlukan prajurit yang gagah berani serta berhati-hati."
"Itu kupunyai. Kapan kita mulai membuat pertahanan?"
"Sebenarnya harus kita tunggu sampai malam tiba. Tetapi karena mata-mata mereka
tidak mencurigai kita sedikit pun, bolehlah kita mulai dengan pekerjaan itu
sekarang." Kini dimulailah kesibukan besar. Menjelang malam tak seorang vaquero pun tinggal
di padang rumput seperti biasa.
Mereka bersiap-siap di belakang dinding pertahanan menunggu segala sesuatu yang
terjadi. Sejam sebelum tengah malam orang Apache berangkat untuk memata-matai. Ia membawa
dua orang prajurit bersenjata lengkap. Mereka membawa juga petasan cukup banyak
untuk mengacaukan seribu ekor kuda. Akhirnya kepala suku kembali seorang diri.
"Telah kau lihat kaum Comanche itu?" tanya haciendero. "Di manakah mereka?"
"Mereka telah mengepung hacienda. Kuda-kuda mereka disembunyikan dekat anak
sungai." "Penjagaan mereka terdiri dari berapa orang?" tanya Kepala Banteng.
"Hanya tiga orang."
"Uf! Orang-orang kita akan melakukan tugas."
Kini Arbellez pergi ke kamar orang sakit. Meskipun berwajah pucat, namun mereka
tetap tenang. "Sudah datang mereka?" tanya Emma.
"Sudah. Si sakit sedang tidur?"
"Ia tidur dengan nyenyak."
"Maka kalian boleh pergi menempati tempat kalian. Bawalah sumbu yang kalian
perlukan!" Gadis-gadis itu menyalakan sumbu, lalu berlari ke atap datar rumah. Di tiap-tiap
sudut atap terdapat unggunan kayu bakar yang telah disiram dengan minyak tanah.
Di samping itu terdapat juga batu-batu besar serta senapan-senapan yang sudah
diisi, siap sedia untuk ditembakkan.
Malam itu sunyi senyap. Hanya desir air sungai dan dengus kuda terdengar dari
padang rumput. Namun hati penghuni hacienda berdebar-debar menanti kejadian
berikutnya. Sekonyong-konyong terdengar bunyi katak, sungguh-sungguh. Tetapi segenap
penghuni hacienda yang sedang waspada, mengerti bahwa bunyi itu merupakan abaaba untuk menyerang. Fransisco, vaquero yang berpengalaman, telah menawarkan jasa untuk melayani
meriam yang di tempatkan di depan. Ia telah mengisi dengan pecahan beling, paku
dan potongan besi. Di bawah selimut yang menutup meriam itu menyala sumbu, siap
sedia untuk membakar mesiu. Dengan sabar ia duduk di belakang meriamnya sambil
memasang telinga. Di bawah jendela, di sebelah kanan pintu masuk, berdiri kepala suku Apache
sedang berjaga-jaga dan di sebelah kiri pintu masuk berdiri seorang prajurit
penjaga. Kedua orang itu masing-masing memegang senapan dalam tangannya dan
senantiasa waspada pada tiap gerak-gerik di dalam kegelapan. Sekali lagi
terdengar bunyi korek katak itu, langsung diikuti oleh gerak-gerik prajurit di
depan dinding pertahanan. Mereka memanjat dinding dan tiba di pekarangan rumah.
Kelima puluh orang mendapat tugas masuk rumah, bergerombol dekat pintu masuk.
Pada saat itu orang Apache itu menjulurkan senapan yang berlaras dua ke luar
jendela. "Ankhuan selkhi no-khi-tembak!"
Senapannya meletus. Langsung keadaan tenteram damai dalam hacienda berubah
menjadi waspada dan siap-siaga di seluruh penjuru. Gadis-gadis yang bertugas di
atas atap rumah yang datar, segera menyalakan api di keempat sudut. Dalam
sekejap mata sekeliling rumah terang-benderang. Orang-orang Indian berdiri
terpaku sejenak, kebingungan. Dalam terang cahaya api tampak oleh Francisco
kelima puluh orang Comanche terdiam di hadapannya, pada jarak kurang dari lima
belas meter. Langsung ia melepaskan tembakan dengan meriam. Akibat yang ditimbulkan tembakan
ini tidak dapat dilukiskan. Gerombolan itu hampir seluruhnya berjatuhan di atas
tanah. Kemudian keadaan kacau-balau. Di atas tanah tampak tubuh mereka merayap
kian kemari, saling menghambat. Keadaan ini berlangsung cukup lama, sehingga
Francisco dapat mengisi meriam lagi. Tembakan kedua dilepaskan pula, yang
mengakibatkan keadaan kacau-balau di kalangan musuh berlangsung terus. Meriam
lain-lainnya pun turut berdentuman di setiap penjuru. Dari atas atap rumah
tampak kilat api yang berasal dari laras senapan. Tiba-tiba terdengar bunyi
rentetan letusan yang memekakkan telinga. Dari atas atap kejadian itu dapat
disaksikan dengan nyata. Petasan-petasan besar sedang dilemparkan ke bawah kaki
kuda-kuda musuh. Bunyi letusan itu diiringi oleh bunyi ringkik dan dengus kuda
beratus-ratus ekor, memberontak dan memutuskan tali pengikatnya, lalu lari
dengan liar ke segenap penjuru, menginjak segala sesuatu yang menghalangi
jalannya. Para penyerbu mulai mencurahkan kemarahannya dengan meraung-raung. Mereka
disinari dengan terangnya oleh nyala api, sehingga merupakan sasaran empuk,
sedangkan kamar-kamar di dalam rumah diliputi oleh kegelapan. Prajurit Comanche
tidak mendapat keuntungan oleh keadaan demikian. Penyambutan secara demikian
sama sekali tidak disangka-sangka. Kini mereka terpaksa melarikan diri.
Hanya Rusa Hitam tetap bertahan. Ia berusaha mengobarkan semangat orangorangnya, namun sia-sia belaka. Mula-mula ia berdiri di samping rumah. Kini ia
pindah ke depan rumah dengan harapan, melihat prajuritnya lebih berhasil di
situ. Namun ia kecewa lagi. Malah lebih buruk keadaan di sini. Francisco telah
menyapu bersih lawannya dengan meriam. Rusa Hitam putus harapannya memenangkan
peperangan ini, melompat ke atas dinding pertahanan, hendak melarikan diri.
Seketika ia dilihat oleh orang Apache itu dan berseru, "Arika-tugh!"
Namun ia tidak dapat menembak orang Comanche itu, karena kehabisan peluru.
"Rusa Hitam hendak melarikan diri," serunya, sambil melempar senapannya ke atas
tanah dan mencabut tomahawknya, kemudian ia melompat keluar dari jendela,
berlari dan melompati dinding pertahanan.
"Jangan lari seperti seorang pengecut. Takutkah kepala suku Comanche berhadapan
dengan kepala suku Apache?"
Rusa Hitam berhenti, lalu menjawab,
"Kaukah yang bicara itu Hati Beruang" Lekas datang kemari, aku ingin
mempersembahkan dagingmu kepada burung pemakan bangkai."
Kedua kepala suku itu kini saling berhadapan muka, masing-masing hanya
bersenjata tomahawk. Nyatalah, bahwa Hati Beruang di pihak yang menang. Tetapi
siapakah tiba-tiba datang dengan melompat ke arah mereka dengan membawa sebuah
senapan" Alfonso! Alfonso menganggap lebih bijaksana, tinggal di luar dinding pertahanan selama
pertempuran berlangsung, sedang mengamati jalan pertempuran dari jauh.
Disaksikannya prajurit Comanche melarikan diri. Kemudian disaksikannya juga
kepala suku Comanche terlibat dalam perkelahian dahsyat dengan kepala suku
Apache. Kalau tak ada orang menolong, tentu orang Comanche itu akan dibunuh.
Maka cepat-cepat Alfonso mendekat ke arah orang Apache itu, lalu memukulnya
dengan hulu senapan. Orang Comanche itu langsung mencabut pisau, siap untuk
menikam lawan dan menguliti kepalanya, tetapi Alfonso menahannya.
"Jangan!" katanya. "Ia harus menemui ajalnya dengan cara yang lebih layak."
"Benar juga pendapatmu," jawab Rusa Hitam. "Cepat bawa dia ke kuda!"
"Ke kuda" Kita sudah kehilangan kuda-kuda kita."
"Kehilangan?" tanya kepala suku itu terkejut.
"Mereka telah mencerai-beraikan kuda-kuda kita dengan petasan."
"Uf. Mari kita pergi, jangan sampai kita terlambat."
Mereka memegang tangan orang Apache itu, lalu menyeretnya pergi dari situ.
Kepala Banteng melihat orang Apache itu sedang mengejar lawannya, kepala suku
Comanche dan ia mengetahui bahwa kawannya dalam keadaan bahaya. Lekas-lekas ia
mengumpulkan orang-orangnya untuk mendatangi musuh. Karena dilihatnya, bahwa
pekarangan sudah bersih dari musuh, maka ia tanpa menjumpai kesukaran keluar
dari pintu gerbang yang sedang terbuka lebar. Setiba di luar, terjadilah
pertempuran kecil dengan kaum Comanche, yaitu umumnya harus menyerah kalah.
Setelah itu Kepala Banteng berusaha mencari orang Apache itu di daerah sekitar
hacienda yang masih diterangi oleh nyala api, namun tiada dapat menemukan.
Beberapa jam telah berlalu, ketika Hati Beruang sadar dari pingsan. Ia membuka
mata. Mula-mula dilihatnya api unggun, kemudian beberapa sosok tubuh liar duduk
di sekeliling api. Ia sendiri terbelenggu. Di sisi sebelah kanannya duduk Rusa
Hitam dan di sebelah kirinya Alfonso.
Ketika orang Spanyol itu melihat Hati Beruang membuka matanya, ia berkata, "Ia
sudah sadar kembali!"
Semua orang Comanche melihat ke arah tawanannya. Mereka telah mendengar ceritera
tentangnya, tetapi belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri. Orang Apache
itu tetap tenang meskipun dalam keadaan bahaya sebesar itu. Kepalanya merasa
sakit disebabkan oleh pukulan hulu senapan, namun ia masih dapat mengingat jelas
apa yang telah terjadi. "Katak raksasa Apache telah tertawan," ejek Rusa Hitam. Hati Beruang tertawa
mengejek juga. Ia mengerti, bahwa dalam keadaan ini ia tidak boleh berdiam diri.
"Namun pahlawan Comanche melarikan diri melihat katak raksasa itu!" balasnya.
"Diam, anjing! Bukankah sudah nyata, Hati Beruang terkalahkan oleh Rusa Hitam?"
"Bohong kau! Kau tidak mengalahkanku. Aku tidak dikalahkan oleh siapa pun. Aku
dipukul dari belakang secara pengecut. Itulah keteranganku. Cukuplah sudah.
Sekarang takkan kau dengar perkataan lagi dari mulutku. Hati Beruang memandang
hina kepada prajurit-prajurit yang berlompatan lari seperti kuman, demi
dilihatnya bahaya." "Nanti bila disiksa di tiang penyiksa, kau takkan sesombong itu lagi."
Orang Apache itu tidak menjawab. Ia telah mengucapkan pendapatnya. Ia telah
berjanji tidak akan bicara lagi dan janji itu akan dipatuhinya, apa pun yang
akan terjadi. Lawannya memahami sikap itu, maka kepala suku Comanche berkata,
"Janganlah kita membuang waktu. Kita tidak dapat lama tinggal di tempat ini.
Maka marilah kita cepat mengadili tawanan kita ini."
Mereka duduk membuat lingkaran, tanpa berkata-kata. Kemudian Rusa Hitam
memaparkan kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat orang Apache itu. Akhirnya
dikatakannya, "Ia harus dihukum mati."
"Haruskah kita membawanya ke perkemahan?" tanya Rusa Hitam.
Ini pun harus dimusyawarahkan lebih dahulu. Akhirnya diambil keputusan untuk
tidak menunda pelaksanaan hukuman mati, karena banyak yang dapat terjadi dalam
perjalanan mereka pulang ke perkemahan mereka.
"Tetapi hukuman mati bagaimana harus dikenakan padanya?" tanya Rusa Hitam.
Sekali lagi mereka bermusyawarah, namun tanpa hasil yang memuaskan, karena
tawanan mereka yang istimewa itu harus mendapat hukuman mati yang istimewa pula.
Kini Alfonso, yang sampai sekarang tidak mencampuri urusan mereka bangkit
berdiri, lalu bertanya, "Apakah aku berhak juga untuk turut mengadili orang Apache itu?"
"Tidak, kau sudah berjanji akan menyerahkan tawanan kepada kami," jawab Rusa
Hitam. "Apakah kalian telah memenuhi janji kalian kepadaku?"
"Belum, karena terpaksa oleh keadaan."
"Nah, jadi jelas, bahwa aku pun tak usah memenuhi janjiku dan tawanan itu milik
orang yang memukulnya sampai roboh. Ia harus mengalami nasib sama seperti yang
telah kualami. Kita akan mengikatnya di pohon, supaya menjadi mangsa buaya-buaya
yang ganas itu. Maka ia akan menderita siksaan lahir batin, serupa dengan apa
yang telah kuderita."
Perkataannya disambut dengan sorak-sorai oleh orang-orang Comanche dan setiap
orang menoleh kepada orang Apache itu untuk membaca pada mukanya, reaksi apakah
yang ditimbulkan oleh ucapan itu. Namun wajah orang Apache itu seperti dipahat
pada batu, tidak memperlihatkan perubahan sedikit pun.
"Tali laso kita cukupkah banyaknya?" tanya pangeran.
"Cukup. Inilah tali-tali bekas pengikat tubuhmu sendiri pada dahan pohon itu.
Selanjutnya tiap prajurit yang telah menangkap kuda mempunyai tali laso."
Beberapa di antara mereka berhasil menangkap kembali kuda-kuda mereka yang bebas
berkeliaran itu. "Baik. Kita akan mengikat tubuhnya, seperti mereka juga melakukan itu terhadap
diriku," kata Alfonso. Setelah pekerjaan itu dikerjakan, maka Rusa Hitam berkata
dengan nada mengejek, "Kepala suku Apache masih ingin mengajukan permintaan?"
Segera setelah Hati Beruang sadar kembali dari pingsan dan melihat, bahwa ia
terikat di dekat kolam buaya di gunung El Reparo, diketahuilah nasib yang akan
menimpa dirinya. Maka ia sama sekali tidak terkejut, ketika mendengar hukumannya
diucapkan orang. Ia memandang orang sekelilingnya satu-persatu, seolah-olah hendak menyimpan
dalam ingatan raut muka mereka, lalu berkata,


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kepala suku Apache tidak minta sesuatu. Hanya pemberitahuan kecil: semua yang
hadir di sekitarku ini sudah ditentukan nasibnya. Mereka akan mati ditikam
pisau. Hati Beruang telah berkata. Ia tidak akan berteriak dan meraung-raung
seperti pangeran kulit putih itu. Howgh!"
Kini seorang Comanche bertubuh tegap memanjat pohon. Hati Beruang ditarik ke
atas dan tak lama kemudian ia melayang-layang di atas permukaan air. Beberapa
waktu mereka mengamati tawanannya, seolah-olah tidak menghiraukan keadaan yang
penuh bahaya dan untuk menjauhkan kaki dari jangkauan binatang-binatang buas
itu. Kemudian kaum Comanche itu kembali lagi dengan kesibukan masing-masing.
"Saudara-saudara sekarang hendak kembali lagi ke padang perburuan?" tanya
Alfonso. "Kita harus mengadakan pembalasan dahulu," demikian ucapan agak ganjil kepala
suku itu. "Maukah kalian mengikuti aku" Aku dapat memberi kalian kesempatan untuk
membalas!" kata Alfonso.
"Dengan cara bagaimana?"
"Itu kemudian akan kukatakan, bila sudah ternyata, bahwa sisa di antara kelompok
kita hanyalah kita saja."
"Kami harus mendengar sekarang juga," kata pemimpin itu, "karena persekutuan
dengan saudara kulit putih sampai sekarang tidak membawa keuntungan."
"Persekutuan dengan saudara kulit merah pun tidak membawa keuntungan bagiku.
Maka tak perlu kita menyalahkan satu sama lain. Lebih baik kumpulkan orang-orang
saudara, lalu akan kukatakan, bagaimana cara mengadakan pembalasan."
"Di mana kita harus berkumpul?"
"Di sini saja."
"Baik, kami akan memberi kesempatan kepada saudara. Syukur kalau sekali ini
kepemimpinan saudara akan lebih berhasil."
Orang-orang Comanche pergi berpencaran dan pangeran tinggal seorang diri. Mulamula ia menikmati pemandangan buaya-buaya itu berlompatan mencapai kaki tawanan
itu, tetapi akhirnya ia pergi juga. Ia pergi ke anak sungai, tempat ia melihat
Kepala Banteng sibuk dengan orang-orangnya sehari sebelumnya. Ia ingin sekali
mengetahui, apa yang dikerjakan kepala suku itu di situ.
Baru saja bunyi langkah kaki Alfonso menghilang dari pendengaran, orang Apache
itu tersenyum gembira, "Uf!" katanya perlahan. Karena ia mengepit tali laso
pengikat tubuhnya di bawah lengan, maka ia dapat berayun ke atas seperti seorang
pemain sirkus di atas trapeze lalu memutar badannya, kaki ke atas dan kepala di
bawah. Kini buaya-buaya tidak dapat mencapai tubuhnya. Tetapi ia masih belum
merasa puas dengan itu. Akhirnya ia berhasil juga memegang tali laso. Lalu
dengan lutut dikepitnya tali setengah meter lebih tinggi lagi. Kini lututnya
didekatkannya pada dada. Tangannya dipindahkan lagi lebih ke atas, kemudian
menyusul gerakan dengan lututnya. Dengan demikian ia dapat menarik dirinya makin
ke atas. Akhirnya, dengan bersimbah peluh ia dapat mencapai dahan, tempat tali
laso diikatkan. Ia menyilangkan badan di atas dahan dan beristirahat beberapa
lamanya di situ. Kepalanya pusing, karena demikian lama bergantung dengan kepala
ke bawah. Benar ia pada ketika itu sudah terlepas dari bahaya dimakan buaya, akan tetapi
keadaannya masih tetap sangat berbahaya. Seandainya seorang Comanche tiba-tiba
datang atau ia tidak sanggup melepaskan belenggu, apa yang akan terjadi"
Ia menelentang melintang di atas dahan. Kini ia melipat lututnya sedapatdapatnya. Dengan demikian ia dapat mencapai tali pengikat kaki dengan tangannya.
Akhirnya ia menemukan simpul, lalu ia berusaha membukanya. Setelah lama bergumul
dengan simpul itu, berhasillah ia membukanya. Kini kedua kakinya bebas, sehingga
ia dapat mengaitkan kaki sebelah pada dahan, selanjutnya mengangkat bagian atas
badannya. Ia terduduk di atas dahan. Dengan tangan diikat di belakang punggung
ia berhasil mencapai ujung atas dari tali laso, tempat tali itu diikatkan pada
dahan. Membuka ikatan ini perlu usaha luar biasa. Ujung jari tangannya berdarah
karenanya. Ketika pekerjaan ini selesai dengan selamat, masih ada pekerjaan lagi
yang harus dilakukannya, ini pun tidak kurang sulitnya. Ia harus turun dari
pohon dengan tangan masih terikat. Pekerjaan itu tak mungkin dilakukannya,
Andaikata pohon itu lurus ke atas tumbuhnya. Untunglah tidak demikian halnya.
Batang pohon itu condong ke air tumbuhnya. Maka dapatlah ia bergeser dari dahan
ke batang pohon. Di situ ia memeluk batang dengan kedua belah kaki dan
membiarkan kepala bergantung ke bawah. Kemudian ia mengendurkan sedikit pelukan
kakinya pada batang pohon, sehingga ia sedikit bergeser ke bawah. Dengan jalan
mengepit dan mengendurkan kepitan kaki, ia akhirnya berhasil sampai ke atas
tanah. Ketika itu tubuhnya lemah, tiada bertenaga lagi. Tetapi... ia sudah
selamat. "Uf!" Hanya sepatah kata inilah diucapkan Hati Beruang. Sekali lagi ia memandang
kepada buaya-buaya, yang bergerombol di tepi kolam sedang mengawasi dengan
lahapnya, sambil mengatupkan moncongnya. Kemudian ia mencari perlindungan di
antara pohon-pohonan di hutan.
Kini masih harus dibuka ikatan tangannya. Beberapa lama orang Apache itu mencari
sesuatu di antara batu-batuan dan pohon-pohonan. Segera ditemukannya barang yang
dicari itu. Sebungkah batu karang dengan segi-segi tajam sesuai sekali dengan
keperluannya. Disandarkannya punggungnya pada segi yang tajam, lalu
digeserkannya terus-menerus, sampai tali pengikat tangannya putus. Kini ia
bebas. Pertempuran yang mula-mula terjadi dalam daerah yang dilingkungi dinding
pertahanan itu kini sudah menjalar sampai jauh ke luar dinding. Kepala Banteng
mengumpulkan orang-orangnya.
"Mereka sudah terhalau sampai jauh dari hacienda dan mereka tak mudah kembali
lagi," kata Arbellez dengan gembira hatinya, karena mendapat kemenangan.
"Namun janganlah kita lekas merasa puas," kata Kepala Banteng. "Kita masih harus
mengejar kaum Comanche itu."
"Mereka melarikan diri ke arah tertentu. Sudah tentu mereka menuju ke El Reparo
untuk berkumpul di daerah itu. Jadi kita harus mencari mereka di situ. Bolehkah
aku mendapat pengawalan vaquero dua puluh orang?" tanyanya kepada Arbellez.
"Tentu boleh." "Tetapi di manakah orang Apache itu?" tanya Fransisco.
"Ia tertawan," jawab Kepala Banteng.
"Tak mungkin," seru haciendero terkejut. "Kukira, ia masih melakukan
pengejaran." "Tidak. Ia mengetahui, bahwa lebih mudah mengadakan pengejaran pada siang hari
daripada sekarang." "Jadi ia terluka."
"Itu pun tidak. Dalam hal itu kita akan menemukan dengan mudah. Prajurit
Comanche yang mengetahui pemimpinnya dalam bahaya, datang memberi bantuan.
Mereka telah menaklukkan orang Apache itu."
"Kalau begitu, kita harus membebaskannya," seru Fransisco.
"Ya, kita akan membebaskannya," kata Kepala Banteng dengan penuh kepercayaan.
"Akan kubawa senapannya, supaya ada senjatanya. Mari kita berangkat!"
Sesaat kemudian dua puluh orang bergegas naik kuda, meninggalkan tempat itu.
Mereka menempuh jalan memutar, menuju ke lereng selatan gunung, supaya jangan
terlihat musuh yang telah melarikan diri. Pagi-pagi mereka tiba di tempat
tujuan. "Berhenti di sini!" perintah Kepala Banteng. "Kita harus meninggalkan kuda kita,
karena kita terhambat olehnya. Sanchez tinggal di sini menjaga kuda."
Vaquero itu berbuat seperti yang diperintahkan kepadanya, sedangkan mereka yang
lain mendaki gunung di bawah perlindungan pohon-pohonan. Hari sudah siang,
ketika mereka dengan sangat hati-hati menuju reruntuhan kuil. Ketika mereka
menempuh padang rumput yang tiada berapa luas, terdengar suara orang yang
berseru: "Uf!" Mereka melihat ke arah datangnya suara itu, lalu melihat Hati
Beruang menghampiri mereka.
"Uf!" jawab orang Mixteca itu. "Saudara kena tangkap orang?"
"Benar," jawab orang itu.
"Saudara harus berkelahi melawan sejumlah musuh?"
"Tidak. Rusa Hitamlah lawanku. Tiba-tiba kepalaku dipukul dari belakang. Setelah
aku sadar kembali, kulihat pangeran pengkhianat bersama-sama dengan kaum
Comanche." "Uf! Bukankah ia sudah mati ditelan buaya-buaya?" tanya orang Mixteca itu
terkejut. "Ternyata orang Spanyol itu masih hidup. Anjing-anjing Comanche telah
menemukannya di atas kolam buaya dan membebaskannya. Dia mengantarkan kaum
Comanche itu ke hacienda dan bersama mereka berperang melawan kita."
"Berperang melawan miliknya sendiri" Melawan orang-orangnya sendiri" Terlalu!
Orang demikian perlu kita kupas kulit kepalanya. Di mana ia sekarang?"
"Di pegunungan. Tentu ia kembali lagi di daerah kolam buaya untuk bergabung
dengan kaum Comanche."
"Kalau begitu persangkaanku benar. Jadi mereka akan bergabung di situ?"
"Mereka sudah tiba di situ. Kini mereka turun ke lembah untuk mengumpulkan
prajuritnya yang bercerai-berai. Tetapi mereka tentu akan kembali lagi."
"Dari mana saudara dapat mengetahui segala hal itu?"
"Itu kudengar oleh telingaku sendiri, ketika aku sedang bergantung di atas kolam
buaya." Kepala Banteng sangat terkejut.
"Jadi Hati Beruang menjalani hukuman, digantung di atas kolam buaya?"
"Benarlah. Hukuman itu atas anjuran pangeran. Langsung aku diikat dan digantung
di atas kolam." "Tetapi bagaimana saudara dapat membebaskan diri?"
"Kepala suku Apache sedikit pun tidak gentar menghadapi orang Comanche maupun
buaya-buaya itu. Ia menunggu sampai mereka pergi, lalu membebaskan diri."
"Hati Beruang dilindungi Manitou," kata Kepala Banteng memuji. "Ia seorang
prajurit yang cerdik dan gagah perkasa. Orang lain tak dapat meniru
perbuatannya. Kapan orang Comanche itu kembali lagi ke kolam itu?"
"Itu tidak dikatakan mereka. Kita akan bersembunyi di sana dan menantikan
kedatangan mereka." "Kita harus menghapus jejak kaki kita. Inilah senapan saudara. Telah kubawa
untuk disampaikan kepada saudara."
"Senjataku yang lain telah dirampas oleh Rusa Hitam," kata orang Apache itu.
"Biarlah akhirnya dia harus mengembalikan kepadaku. Malahan senjatanya sendiri
harus dihadiahkannya kepadaku. Boleh aku minta sedikit dari peluru dari saudara"
Kemudian kita dapat pergi bersama ke kolam buaya itu."
Setelah diperolehnya barang-barang yang dimintanya, mereka menyelinap ke dalam
hutan. Akhirnya mereka sampai di tepi hutan sekitar kolam. Ternyata belum
terdapat orang Comanche yang sudah kembali. Kini mereka mencari tempat
persembunyian yang memberi kesempatan untuk mengawasi musuh, tetapi mereka
sendiri tidak terlihat. Setiap orang diberi petunjuk, supaya hemat dengan peluru. Jangan sampai dua
peluru ditujukan kepada tubuh seorang musuh. Kemudian kedua kepala suku itu
bermusyawarah. "Apa tindakan kita sekarang?" tanya Kepala Banteng. "Kaum Comanche akan
mengetahui, bahwa kepala suku Apache telah terlepas dan mungkin sedang
mengumpulkan bala bantuan."
"Mereka tidak akan mengetahui," jawab orang Apache itu, lalu ia menghampiri
pohon di tepi kolam itu. Ia mencari batu tajam, lalu memotong ujung tali laso
yang bergantung ke bawah dengan batu itu. Kini orang yang melihatnya akan
mendapat kesan, bahwa tali itu putus karena ditarik-tarik. Kemudian ia memanjat
pohon dan melilitkan ujung tali bagian atas ke dahan, sehingga menimbulkan
kesan, bahwa orang yang digantung telah ditarik ke bawah oleh buaya.
Ketika ia kembali, Kepala Banteng berkata, "Saudara sangat cerdik! Sekarang
mereka tidak akan mengira bahwa saudara telah melepaskan diri."
Mereka diam di tempat persembunyiannya. Tak lama kemudian terdengar bunyi
langkah dua ekor kuda. Dua orang Comanche sedang menghampiri mereka.
"Uf!" seru salah seorang, ketika dilihatnya tawanannya tidak tergantung lagi.
"Ia telah terlepas!"
"Tak mungkin!" kata yang lain. "Tidakkah kau lihat, bahwa tali laso itu koyak"
Anjing itu telah ditelan buaya."
"Rohnya tak diterima di padang perburuan abadi, karena ia dimakan binatang. Biar
rohnya berkeliaran senantiasa bersama hantu-hantu dan roh-roh penasaran lain."
"Kita pertama sekali datang di sini. Mari kita turun dari kuda dan menantikan
saudara-saudara kita."
Mereka melompat turun dari atas kudanya, lalu hendak menambatkannya.
"Mari kita tundukkan mereka," bisik orang Apache itu.
"Tetapi saudara tidak membawa pisau!"
"Tidak mengapa. Akan kuperoleh pisau dari lawanku."
Maka disandarkannya senapan pada sebatang pohon, lalu ia menyelinap ke arah
lawannya. Kepala Banteng mengikutinya. Setelah mereka keluar dari hutan belukar,
mereka berlari dengan melompat-lompat ke arah orang Comanche, yang tidak
menyadari sedikit pun yang akan terjadi atas dirinya. Tiba-tiba Hati Beruang
memegang salah seorang pada lehernya, mencabut pisau dari pinggang lawannya itu
dan menikam tubuhnya. Dalam waktu dua menit ia sudah menguliti kepalanya. Kepala
Banteng berbuat serupa dengan lawan yang seorang lagi. Kedua orang Comanche itu
tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk mengadakan perlawanan.
"Apa yang harus kita perbuat dengan mayat mereka?" tanya orang Mixteca itu.
"Berikan saja sebagai makanan buaya."
Buaya-buaya telah mendengar kedatangan orang-orang itu. Kepalanya bermunculan
keluar ke atas permukaan air, bergerak ke arah tepi kolam. Ketika mayat kedua
orang Comanche itu dilempar ke dalam air, buaya-buaya itu langsung menerkam,
mengoyak dan menelannya. Mayat-mayat itu hampir tidak bersisa lagi. Hanya
tinggal sepotong dari sebelah tangan dengan dua buah jari, yang dihempas ombak
ke tepi. Selanjutnya dijaga oleh kedua kepala suku itu, supaya tidak tertinggal
bekas darah di atas rumput. Jejak kakinya dihapus dengan cermat. Kini mereka
dapat keluar dari tempat persembunyian dan merasa puas.
Tiada lama kemudian mereka mendengar bunyi langkah kaki kuda. Sekali ini tampak
prajurit-prajurit berkuda, kira-kira tiga puluh orang, dipimpin Rusa Hitam, yang
mengendarai kuda di depan sekali. Ketika dilihatnya bahwa Hati Beruang tidak ada
di tempatnya, maka ia berseru,
"Uf! Orang Apache itu hilang."
Ia mendekati kolam untuk menyelidiki keadaan. Tiba-tiba dilihatnya sepotong
tangan terdampar di tepi.
"Uf! Ia sudah dimakan buaya. Lihat saja. Di sini terdapat sepotong tangan
kirinya. Lihat juga tali laso yang putus itu!" Prajurit-prajuritnya turut
memeriksa juga dan semua sepaham, bahwa orang Apache itu telah mati dimakan
buaya. "Rohnya telah pergi ke padang perburuan abadi, tetapi tanpa disertai abdi-abdi,"
kata kepala suku sambil melemparkan potongan tangan itu ke dalam air. Buayabuaya berebut untuk makan tangan. Kepala suku memberi isyarat, lalu orangorangnya turun dari atas kuda dan duduk-duduk dekat kolam.
Makin banyak orang datang. Mereka adalah orang yang telah berhasil menangkap
kuda. Akhirnya jumlah mereka menjadi hampir lima puluh orang. Mereka tidak
menyelidiki keadaan daerah sekitarnya. Hal itu menandakan, bahwa Rusa Hitam
tidak berniat tinggal lama di situ. Lama ia duduk tepekur saja. Kini ia
memperdengarkan suaranya lagi, "Siapa telah melihat orang kulit putih itu?"
Tak seorang pun mengetahui di manakah pangeran.
"Cari jejaknya!"
"Keadaan kita menjadi berbahaya!" bisik orang Apache itu.
Kepala Banteng mengangguk lalu menjawab, "Di sini jejak kita sudah terhapus,
tetapi bila mereka pergi lebih jauh lagi, mereka akan menemukan jejak kita. Kita
harus mulai mengadakan penyerangan."
Ia batuk keras-keras. Baru saja bunyi itu hilang dari pendengaran, laras bedil
dua puluh batang kepunyaan kaum vaquero menjulur keluar dari semak belukar. Kaum
Comanche memasang telinga sambil berpaling.
"Tembak!" Dua puluh dua letusan bedil terdengar, kemudian disusul oleh dua lagi yang
keluar dari senapan berlaras dua kepunyaan kedua kepala suku. Orang-orang
Comanche berjatuhan di atas tanah. Sisanya berlompatan ke atas kuda hendak
melarikan diri. Kaum Comanche mengira, mereka berhadapan dengan musuh yang
banyak sekali, sehingga mereka tidak berusaha memberi perlawanan.
Tak seorang pun menembak Rusa Hitam, sesuai pesan Hati Beruang, karena ia hendak
mengadakan perhitungan sendiri dengannya, Rusa Hitam pun berusaha melarikan
diri. Kini orang Apache itu keluar semak-semak dan membidikkan senapan hanya
pada kuda orang Comanche itu, karena ia ingin menangkapnya hidup-hidup. Senjata
itu meletus, membuat kuda jatuh terguling di atas tanah dan penunggangnya
terlempar dari punggungnya. Segera orang Apache itu dengan langkah-langkah besar
menghampiri orang itu. Kini kepala suku Comanche itu bangkit berdiri. Bedilnya yang disandangnya dan
sudah terisi peluru itu dipegangnya dan dibidikkannya ke arah orang Apache itu,
sambil berkata, "Anjing! Masih hidupkah kau" Matilah sekarang!"
Tetapi Hati Beruang lebih cepat. Laras bedil itu dipukulnya ke samping, sehingga
tembakan meleset.

Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kepala suku Apache tak mati oleh tangan orang Comanche pengecut," jawabnya.
"Sebaliknya akulah akan mencabut nyawamu, supaya rohmu tetap menjadi abdiku di
padang perburuan abadi!"
Sambil mengucapkan perkataan itu dipukulnya orang Comanche itu dengan hulu
senapannya, sehingga ia jatuh pingsan di atas tanah. Kemudian diangkatnya badan
orang itu dan diletakkannya di dekat kolam. Para vaquero bergegas hendak
melucuti senjatanya. Kedua orang kepala suku itu menghalangi perbuatan mereka.
Setelah orang Comanche itu terbelenggu, sadarlah ia.
"Apakah Rusa Hitam hendak menyanyikan lagu kematiannya?" tanya Hati Beruang.
Yang ditanya tidak menjawab.
"Orang Comanche tak pandai menyanyi. Suaranya seperti bunyi katak atau burung
gagak. Tentu ia malu memperdengarkan suaranya," ejek Kepala Banteng.
Ini pun tidak dijawab. "Kalau begitu biar kepala suku Comanche mati tanpa lagu kematian," kata orang
Apache itu. Baru sekarang tawanan itu berkata, "Apakah kalian hendak menggantung tubuhku di
pohon?" "Tidak," jawab Hati Beruang. "Aku tidak bermaksud menyiksamu. Namun tubuhmu akan
dimakan juga oleh buaya. Sebelumnya akan kukuliti dahulu kepalamu, supaya aku
dapat memperlihatkan scalp seorang pengecut kepada rakyatku. Lekas kembalikan
pisau dan tomahawk kepunyaanku, yang telah kau rampas itu!"
Dengan mengucapkan perkataan itu dicabutnya kedua senjata itu dari ikat pinggang
tawanannya. "Kau hendak menguliti kepalaku?" tanya kepala suku Comanche itu.
"Haruskah aku mengambil scalp-mu dari dalam perut buaya setelah ia menelanmu?"
Hati Beruang mengambil pisaunya, memegang rambut tawanannya dengan tangan
kirinya, lalu membuat tiga gores di sekitar kepalanya dengan pisau di tangan
kanannya dan mencabut dengan keras rambut yang dipegangnya. Sekali cabut scalp
itu sudah terlepas dari kepala, Rusa Hitam tidak dapat menahan jeritnya karena
kesakitan. "Uf! Dengarlah pekik itu! Pengecut!" ejek Kepala Banteng, yang mengharapkan
sikap yang lebih perkasa dari lawannya.
"Lemparkan tubuhnya ke dalam air!" kata Kepala Banteng. "Tetapi pakai kakimu
saja untuk mendorongnya. Ia tidak patut mendapat perlakuan yang lebih mulia!"
"Tecalto benar. Akan kudorong tubuhnya seperti mendorong sesuatu yang nista,
yang tidak boleh disentuh tangan. Kepala suku yang bertabiat pengecut telah
merintih seperti seorang wanita tua. Baginya tidak akan digali makam, tidak di
puncak gunung maupun di lembah dalam. Rakyatnya tidak akan berziarah ke makamnya
untuk menyanyikan keperwiraannya. Karena perut buayalah menjadi makamnya."
Bagi seorang Indian, apalagi kepala sukunya, merupakan soal kehormatan untuk
tidak memperlihatkan ketakutannya, ataupun mengutarakan kesakitannya, sekalipun
siksaan yang seberat-beratnya yang dideritanya. Jadi orang Comanche itu nyatalah
tidak tahan uji. Maka patutlah tubuhnya didorong dengan kaki saja ke dalam air.
Kemudian mereka kembali lagi ke kuda mereka, yang harus membawanya ke hacienda.
Orang Apache itu naik kuda orang Comanche.
Setelah Alfonso meninggalkan kolam buaya, maka ia turun dari gunung menuju gua
tempat harta raja-raja itu. Sesampainya di situ, alangkah kecewa, karena dilihat
segalanya dalam keadaan porak-poranda. Di mana-mana hanya terlihat puing
berserakan. Berjam-jam ia berusaha mencari sisa-sisa harta di tengah-tengah
puing itu, namun sia-sia belaka. Kedua pelayannya pun hilang tak tentu ke mana
perginya. Dengan tidak habis-habisnya menyumpah musuhnya, ia pergi meninggalkan tumpukan
puing kembali kepada kaum Comanche. Ketika ia hendak mendaki lereng gunung di
sebelah timur, dilihatnya delapan prajurit Comanche menghampiri tempat
persembunyiannya. Ia keluar dari tempat itu lalu bertanya, "Kalian hendak ke
mana?" "Uf! Orang kulit putih di sini!" kata salah seorang.
"Kami sedang menuju lembah!"
"Mengapa" Kawanmu di atas?"
"Kami telah diserang orang-orang kulit putih."
"Valgame dios! (persetan mereka)"
"Kepala suku kami dijadikan makanan buaya, setelah kepalanya diambil scalp-nya
lebih dahulu oleh Hati Beruang."
"Tidak mungkin! Hati Beruang digantung di atas pohon?"
"Ia sudah dibebaskan. Barangkali oleh orang-orang kulit putih kawannya.
Sebenarnya kaulah patut disalahkan. Sekiranya kau tetap menjaga, tak akan
terjadi hal itu." "Kalian telah menyaksikan kejadian itu?"
"Mula-mula kami melarikan diri. Tetapi karena mereka tidak mengejar, maka dua
orang di antara kami kembali lagi untuk memata-matai."
"Ascuas! Kini tidak ada harapan lagi."
"Tapi masih ada yang tinggal, yaitu pembalasan!"
"Benar, pembalasan," kata Alfonso sambil merenung. "Apa yang hendak kalian
perbuat?" "Kami akan kembali ke perkemahan kami."
"Tanpa membawa sebuah scalp pun sebagai tanda mata?"
"Itu karena Roh yang Maha Besar murka kepada kami."
"Dan tanpa membawa barang-barang rampasan sebagai kenang-kenangan?"
"Kemudian masih cukup waktu untuk memperoleh scalp sebanyak yang kami
kehendaki." "Dengarlah! Aku menawarkan kepadamu barang-barang yang berguna bagimu indah dan
mahal harganya." "Apakah mungkin" Apa yang dapat diharapkan daripadamu. Seekor kuda pun tiada kau
miliki." "Akan kutangkap seekor kuda di padang rumput sekitar hacienda, kemudian aku akan
pergi ke ibu kota Meksiko. Kalian harus mendampingiku."
"Ke Meksiko" Mengapa?"
"Kalian harus melindungiku dalam perjalanan. Sebagai upah kalian akan mendapat
hadiah-hadiah yang sangat berharga."
"Hadiah apakah kiranya?"
"Kalian boleh memilih sendiri! Ketahuilah, bahwa aku ini seorang pangeran besar,
yaitu pangkat yang tinggi di kalangan orang kulit putih dan aku seorang kaya
raya, dapat menghadiahkan barang yang semahal-mahalnya."
"Dapatkah kami minta senjata, mesiu dan peluru?"
"Dapat kalian peroleh sekehendak hati."
"Mutiara dan barang perhiasan untuk squaw kami?"
"Itu pun akan kalian peroleh." Orang Indian itu mulai merasa tertarik.
"Kalau begitu, kami akan mendampingi serta melindungimu," kata salah seorang di
antara mereka. "Dapatkah masing-masing di antara kami memperoleh sepucuk bedil,
selanjutnya sebuah tomahawk, dua buah pisau dan peluru sebanyak yang terangkut
oleh kami?" "Semua itu akan kalian peroleh."
"Barang perhiasannya juga?"
"Kalian akan mendapat kalung, cincin, peniti dan mutiara sampai merasa puas
hatimu." "Howgh! Kami akan turut. Tapi ketahuilah, bahwa kau akan menebus dengan nyawa,
bila perkataanmu dusta belaka. Tetapi dua orang harus pergi dari rombongan kami.
Mereka harus mencari saudara-saudara kami di perkemahan."
"Pilihlah dua orang, enam orang pun cukup bagiku."
Mereka memilih dengan mengadakan undian, karena sudah tentu tak ada di antara
mereka, ingin kembali ke perkemahan dengan membawa berita kegagalan. Lebih baik
mereka ikut ke Meksiko untuk menerima hadiah-hadiah cemerlang yang telah
dijanjikan. Keenam orang yang ikut ke Meksiko memilih seorang pemimpin di antara
mereka dan mengucapkan selamat berpisah dengan kawannya, lalu pergi menangkap
seekor kuda untuk pangeran.
Kepala Banteng, Hati Beruang dan kaum vaquero kembali ke hacienda. Mereka cepat
sampai, karena tidak perlu menyembunyikan jejak. Keadaan di hacienda sama dengan
ketika ditinggalkannya. Para vaquero yang ditinggalkan untuk menjaga, sedang
sibuk menyingkirkan mayat orang-orang Comanche dan menyimpan meriam kembali.
Arbellez menyambut mereka dengan wajah berseri-seri.
"Puji syukur kepada Allah yang memberi kesempatan kepada kalian untuk kembali
lagi!" katanya. "Kami sudah sangat khawatir memikirkan kalian. Bagaimana
kabarnya?" "Rusa Hitam sudah mati," jawab Kepala Banteng. "Hati Beruang, saudaraku telah
menguliti kepalanya."
"Dan yang lain?"
"Telah melarikan diri. Mereka tidak akan segera kembali lagi."
"Jadi kalian yakin, keadaan kita aman," kata Don Pedro.
"Kalau begitu, kita dapat kembali melakukan pekerjaan kita sehari-hari."
"Bagaimana keadaan Panah Halilintar?"
"Ia masih belum siuman."
"Mari kita melihatnya."
Kedua kepala suku itu masuk rumah. Orang Mixteca mengantar orang Apache itu ke
kamar adiknya. Di dalam kamar disimpan juga harta raja-raja yang dijanjikan
kepada Unger. Mereka menemukan Karja di situ. Ia sedang berbaring di atas tikar
gantung sambil melamun. Demi dilihatnya dua orang itu masuk, ia melompat dari
Sakit Hati Seorang Wanita 8 Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Kemelut Kerajaan Mancu 8

Cari Blog Ini