Ceritasilat Novel Online

Puri Rodriganda 5

Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May Bagian 5


bahwa anak itu telah dibius. Aku harus menukar anak itu dengan anak lain, yang
sedang tidur dalam kamar sebelahnya. Kamar itu tiada terkunci dan aku mendapat
ether sebotol untuk membius anak yang kedua itu. Setelah menukarkan pakaian
kedua anak itu, aku membawa anak yang pertama bersama kepala perampok ke sini."
"Kakek mengetahui dengan pasti?"
"Aku dapat menyatakannya dengan sumpah! Kau mengira telah bermimpi, padahal kau
telah mengalami kejadian yang sesungguhnya. Ketika aku menukar kedua anak itu,
aku masih sempat melihat pada baju anak asing itu suatu gambar mahkota dengan
dua huruf R dan S. Aku masih dapat mengingat pula tanggal kejadian itu, yaitu
tanggal 1 Oktober tahun 1830 pada malam hari, pergantian tanggal 1 ke 2
Oktober." "Kakek masih dapat mengingat orang yang membawa anak itu" Maklumlah, bagiku
keterangan itu amat penting."
"Aku tidak kenal dia, tetapi aku mendengar namanya disebut orang. Pemimpin
perampok kurang pandai merahasiakan namanya. Sekali aku mendengar, ia
memanggilnya Gasparino dan nama itu disebut sekali lagi ketika ia sedang
berpisah dengan orang itu. Ketika itu pintu terbuka dan aku dapat menangkap nama
itu diucapkan. Pasti aku dapat mengenal orang itu kembali, bila aku bertemu
dengannya." "Bagaimana bentuk tubuhnya?"
"Tinggi kurus. Suaranya agak parau dan ia suka menggunakan kata-kata dan
ungkapan lemah-lembut."
"Jadi Kakek telah membawa anak asing itu ke mari! Apa yang terjadi dengan anak
itu kemudian?" "Ia disembunyikan dalam gua dan dirawat dengan baik. Ia selalu bicara tentang
mama dan papanya, tentang bayi Roseta, tentang Alimpo dan Elvira yang baik itu.
Akhirnya ia dilarang oleh Capitano menyebut nama-nama itu. Kemudian mungkin
sudah terlupakan lagi olehnya nama-nama itu."
"Tidak," selang Mariano. "Aku sekali-kali tidak melupakannya. Kedua nama yang
disebut belakangan itu memang masih belum timbul dalam ingatanku, tetapi
sekarang aku dapat mengingatnya kembali. Alimpo yang baik hati itu kerap kali
menggendongku. Ia mempunyai kumis tebal dan gagah. Aku tidak suka dicium olehnya
karena kumisnya itu. Ia selalu mengakhiri perkataannya dengan, 'Demikian juga
pendapat Elvira.' Elvira ialah istrinya. Badannya gemuk. Aku dapat
membayangkannya dengan nyata di hadapan mataku. Aku pasti akan mengenalnya bila
aku bertemu dengannya. Sekarang lanjutkan cerita Kakek!"
Setelah dengan susah payah mengatasi serangan batuk, ia melanjutkan.
"Beberapa minggu setelah penukaran anak itu aku diberi tugas membunuh seseorang.
Aku menolak. Capitano mengancam akan membunuhku, bila aku tidak melaksanakan
perintahnya. Aku pura-pura hendak mematuhi perintahnya, padahal aku pergi dan
tiada kembali lagi. Aku pergi berlayar sebagai kelasi di sebuah kapal Perancis,
kemudian di beberapa kapal Amerika. Aku menderita sakit ketika kapalku berlabuh
di San Juan d'Ulloa. Aku sembuh kembali, lalu bekerja pada seorang hartawan
bangsa Meksiko. Aku dibawa olehnya ke ibukota Meksiko. Aku mengabdi padanya
beberapa tahun lamanya hingga ia meninggal. Sejak itu nasibku agak malang. Uang
tabunganku makin menyusut dan aku diserang penyakit paru-paru. Ajalku sudah
hampir sampai. Ketika itu timbul keinginan pada diriku untuk minta pengampunan
karena dosa-dosaku. Aku ingin mencari anak yang diculik itu dan mohon
pengampunan dari padanya. Aku mengumpulkan uang dengan minta-minta untuk
membiayai pelayaranku ke Spanyol. Penyakitku telah mengubah tubuhku secara
sempurna, sehingga aku tidak usah khawatir akan dikenal orang lagi. Maka aku
memberanikan diri pergi ke sarang perampok untuk mencari anak itu. Dengan
kehendak Allah juga maka pada hari pertama aku sudah dapat bertemu dengan anak
itu. Untung juga demikian, kalau tidak, mungkin aku tidak akan bertemu lagi
dengannya untuk selama-lamanya."
Kembali orang tua itu mendapat serangan batuk, setelah selesai menceritakan
riwayatnya yang menimbulkan perasaan-perasaan yang bertentangan satu sama lain
dalam diri anak muda itu. Kini ia tiada dapat duduk dengan tenang, melainkan
berjalan hilir mudik di dalam sel itu. Orang yang berbaring di hadapannya telah
berbuat kejahatan pada dirinya. Namun orang itu hanyalah alat saja di tangan
seorang penjahat. Lagipula ia harus mematuhi perintah Capitano. Patutkah ia
melepas amarahnya kepada orang yang sudah demikian tersiksa lahir batin itu,
lagipula tinggal menunggu ajalnya saja" Orang sakit itu menengadahkan tangan,
lalu memandang Mariano dengan iba. Anak muda itu menghampirinya, mengulurkan
tangan kepadanya dan berkata,
"Tito Sertano, aku memaafkanmu. aku dapat memaklumi seluruh perbuatanmu yang
sesat itu. Aku sendiri pun hanya seorang yang berdosa juga dan perlu minta
pengampunan dosa dari pada Tuhan seperti aku telah mengampunimu."
Kepala pengemis itu terkulai ke belakang, matanya dipejamkan dan pada wajahnya
terbayang perasaan damai sentosa.
"Betapa lega hatiku sekarang!" bisiknya. "Ya Allah, puji syukur kepada-Mu. Kini
aku dapat meninggal dengan tenang. Namun berilah kesempatan kepadaku untuk
memulihkan kembali kebahagiaan dari suatu keluarga agung, yang telah kuhancurkan
di masa lalu. Kulihat, engkau sudah membawa pena dan tinta. Maka catatlah segala
yang hendak kuceritakan, dan aku akan menandatangani keterangan itu. Biar engkau
dapat memakai sebagai bukti, bahwa kaulah orang yang telah diculik itu."
"Baik, akan kukerjakan itu," jawab Mariano sambil mengeluarkan alat-alat
tulisnya. "Apa yang aku dengar itu, nyata masih belum cukup. Hanya Tuhan yang
mengetahui, di mana orang yang dipanggil dengan nama Gasparino itu tinggal, dan
di mana orang-orang yang menukar anak itu kini bertempat tinggal. Apa nama hotel
tempat kedua anak itu ditukar?"
"Nama hotel itu 'El Hombre Grande'," jawab pengemis itu.
"Dan di kamar mana kejadian itu berlaku?"
"Aku mengambil anak itu dari kamar yang terakhir di tingkat pertama."
"Apakah mereka akhirnya mengetahui, bahwa anak-anak itu telah ditukar?"
"Entahlah. Kami sudah meninggalkan hotel itu pagi-pagi sekali, ketika semua
orang sedang tidur."
Kini Mariano menyusun surat yang berisi segala yang diperlukan itu. Setelah
selesai, surat itu ditandatangani oleh pengemis itu.
"Nah," kata Mariano, "surat ini akan kusimpan baik-baik. Kini aku hendak pergi
dan aku harus mengucapkan terima kasih pada keterangan Kakek yang sangat berguna
itu bagiku. Aku telah mengampuni segala perbuatan Kakek. Semoga Tuhan juga
mengampuni Kakek." Kemudian Mariano kembali lagi ke kamarnya, tetapi ia tidak dapat tidur
semalaman. Apa yang telah didengarnya bukan main penting baginya. Namun beberapa
bagian dari keterangan itu, justru bagian utama, masih diliputi kegelapan.
Itulah yang terus-menerus minta perhatiannya.
Hingga kini ia menganggap pemimpin perampok sebagai penyelamatnya. Tetapi
sekarang ia mengenalnya sebagai seorang pelaku kejahatan yang menyebabkan dia,
seorang anak yang tidak berdosa, direnggut dari tangan orangtuanya yang agung
dan terdampar di sarang gerombolan perampok. Kasihnya pada Capitano berubah
menjadi rasa benci. Segenap kemarahannya dicurahkan kepada pemimpin itu, karena
pengemis itu hanya memegang peran sebagai alat saja. Ia terpaksa tunduk bahkan
kemudian ia menderita dalam usahanya menebus dosa. Kini ia sudah hampir menemui
ajalnya. Maka hal itu membuat hati Mariano lunak. Tidak tega ia marah kepada
orang tua itu. Ia akan berusaha menyembunyikan perasaannya pada kepala perampok
maupun membuka selubung rahasia tentang asal usul dirinya.
Ada lagi seorang dalam sarang perampok yang tidak dapat tidur. Ialah kepala
perampok. Ia duduk dalam kamar yang dindingnya penuh digantungi berbagai senjata
yang mahal. Orang itu sedang duduk tepekur bertopang dagu. Kadang-kadang ia
terbangun dari lamunannya.
"Gasparino Cortejo ini benar-benar seorang bajingan. Hatinya lebih busuk
daripada perampok yang paling jahat!" katanya kepada dirinya sendiri. "Mengapa
ia ingin membunuh dokter itu" Yah, sebenarnya apa peduli aku pada hal itu" Namun
ingin juga kuketahui. Banyak benar uangnya! Jangan dilewatkan kesempatan baik
ini. Jangan dilepaskan dia sebelum kuperas habis-habis hartanya!"
Otaknya berputar lagi. Perkembangan pikiran ini menggelisahkannya. Maka ia
bangkit, lalu berjalan mondar-mandir, sambil berkata pada dirinya sendiri,
"Peristiwa Mariano pun dapat menghasilkan uang banyak juga, bila kutangani
dengan cerdik. Tugasku sebenarnya membunuh anak itu. Namun bodoh, bila
kulakukan. Anak itu dapat kugunakan sebagai sandera untuk mengorek uang dari
saku si bedebah itu. Sayang, aku sudah telanjur menyayangi anak itu. Sungguh tak
sampai hati mencelakakannya, bila hal itu perlu juga dilakukan."
Kepala perampok itu berjalan lagi hilir mudik. Kemudian sambil tertawa mengejek
ia pergi ke dinding batu dari kamarnya. Ia menekan suatu tempat, lalu sebuah
batu persegi yang kecil bergeser. Di belakangnya terlihat suatu lubang dalam.
Kepala perampok itu memasukkan tangan ke dalamnya dan mengeluarkan dari dalamnya
sepucuk surat yang sudah kuning warnanya karena lama disimpan.
"Aku ingat benar, ketika si bedebah itu menolak dengan keras permintaanku untuk
menandatangani surat ini. Tetapi ia harus juga, karena ia dalam kekuasaanku. Dan
karena aku tidak ingin namaku disebut di dalamnya, maka nama kaki tanganku,
Tito, yang telah mengambil anak itu tertulis dalamnya."
Dibukanya lipatan surat itu lalu ia berdiri dekat lampu dan membaca.
"Dengan ini saya menyatakan sejujurnya, bahwa nelayan Tito Sertano dari Mataro
pada tanggal 1 Oktober 1830 di hotel 'El Hombre Grande' di Barcelona atas
permintaan saya dengan bayaran seribu keping uang piaster melakukan perbuatan
penukaran seorang anak dengan anak yang lain. Anak yang telah ditukar dan
bernama Mariano itu berada di sebuah gua di pegunungan dan mendapat perlindungan
secukupnya. Manresa, 15 November 1830
Gasparino Cortejo notaris." Kepala perampok itu melipat surat itu dan meletakkannya kembali ke dalam tempat
rahasianya. Kemudian ia membelai-belai janggutnya dengan hati puas, lalu ia
berkata dalam hati, "Dengan surat ini aku dapat menguasai si bedebah itu. Maka uangnya akan mengalir
keluar dari dalam pundi-pundinya. Sayang aku gagal untuk mengetahui siapa
sebenarnya anak yang ditukarkan itu. Namun aku dapat menduga. Cortejo adalah
seorang ahli hukum yang bekerja pada Pangeran Manuel de Rodriganda y Sevilla.
Aku harus menyelidikinya! Pangeran muda sedang dinanti kedatangannya, atau
barangkali ia sudah datang juga. Perlukah aku mengamatinya" Haruskah aku
meneliti hubungan keluarga Pangeran" Ya, itulah jalannya. Tetapi dapat
dikerjakan siapa?" Wajahnya yang keruh karena berpikir tiba-tiba cerah kembali. Ia telah menemukan
akal. "Aku mendapat ilham. Benar! Dialah paling cocok untuk pekerjaan ini. Mariano,
anakku! Kau dapat bergerak dengan bebas di kalangan mereka. Untunglah, bahwa aku
telah mengutamakan didikanmu mengenai tata hidup adat kebiasaan seperti yang
dimiliki oleh seorang kalangan atas. Kau pandai menunggang kuda, bermain anggar,
menembak, dan berenang. Tubuhmu kuat, sifatmu pemberani, setia dan patuh kepada
atasan serta cerdik. Kaulah, yang hendak kuutus. Notaris itu tidak pernah
melihatmu. Maka ia tidak dapat mengenalimu. Takkan terduga olehnya, bahwa anak
muda yang tampan, ramah dan lincah itu sebenarnya anak yang dahulu sudah
direncanakan hendak dibunuh. Wah, sungguh ganjil jalan nasib itu!"
Ia masih berjalan hilir mudik beberapa lama, kemudian ia tidur.
Keesokan hari ketika ia bangun datanglah seorang perampok melapor kepadanya,
"Capitano, orang asing yang kemarin datang, baru saja meninggal!"
"Baik, kita sudah bebas dari padanya. Makamkan dia, habis perkara! Coba lihat,
Mariano sudah bangun atau belum. Suruh dia lekas datang kemari!"
Perampok itu pergi. Tak lama kemudian Mariano masuk ke dalam. Ia memberi hormat
dengan sepatutnya sambil berusaha menyembunyikan perasaan yang sudah berubah
itu. Capitano menyilakannya duduk dan berkata,
"Bagaimana keadaan kuda jantanmu, Mariano?"
Muka anak muda itu berseri-seri ketika mendengar nama hewan kesayangannya
disebut-sebut. "Ia tidak terkendalikan lagi," jawabnya. "Sudah lebih sebulan ia dikurung dalam
gua kandangnya itu. Aku terpaksa memisahkan dari kuda-kuda lain, karena ia suka
menendang-nendang kawannya."
"Maka engkau harus hati-hati benar, bila hari ini engkau menungganginya. Hewan
segagah dan setangkas dia akan susah benar dikendarai, bila selama empat minggu
tidak pernah ditunggangi orang."
"Jadi, aku harus mengendarainya, benarkah demikian, Capitano" Ke mana?"
"Ke Manresa dan ke Puri Rodriganda."
"Itu jauh sekali!"
"Engkau akan mempunyai waktu cukup lama untuk mengadakan perjalanan itu. Mungkin
engkau harus tinggal di situ berminggu-minggu lamanya."
Wajah anak muda itu makin cerah. Bayangannya, dapat meninggalkan tempat tinggal
yang suram dan gelap itu berminggu-minggu lamanya, membuat hatinya bersorak.
"Aku mendapat tugas?" tanyanya.
"Benarlah. Suatu tugas yang sulit dikerjakan," jawab Capitano. "Pakaianmu sudah
siap?" "Sudah siap semua."
"Dan seragamnya?"
"Itu pun sudah. Haruskah aku menyamar sebagai perwira?"
"Sebagai perwira bangsa Perancis. Engkau pandai berbahasa Perancis bukan" Akan
kusiapkan surat keterangan cuti bagimu dengan nama Alfred de Lautreville,
seorang letnan pasukan berkuda. Engkau harus berdaya upaya memperoleh izin masuk
ke Puri Rodriganda, lagipula harus berusaha sedemikian rupa, sehingga mereka
mengajakmu tinggal lama di situ sebagai tamu. Selama waktu itu engkau harus
membuat laporan tentang hal itu. Aku mengetahui, engkau sanggup melaksanakan
tugas seperti itu." "Dapatkah Anda memberi keterangan sedikit mengenai hal itu, yang dapat berguna
bagiku dalam menjalankan tugas?"
"Sayang hanya sedikit yang kuketahui. Terutama harus kau curahkan perhatianmu
kepada seorang notaris yang bernama Cortejo. Aku ingin mendengar banyak tentang
dia dan tentang hubungannya dengan keluarga Pangeran. Lalu masih ada seorang,
yaitu pangeran muda, bernama Alfonso, yang telah lama tinggal di Meksiko.
Telitilah perihal tingkah lakunya pada Pangeran maupun notarisnya! Ingin sekali
kuketahui apakah ia mirip rupanya dengan notaris itu. Nah, berkemas-kemaslah
sekarang! Uang yang kauperlukan akan kusediakan bersama dengan surat jalanmu.
Engkau harus pandai bergaya seperti orang tingkat atas, maka uang yang
kauperlukan untuk itu tidaklah sedikit. Selanjutnya engkau akan didampingi oleh
seorang abdi yang dapat kupercayai dan yang sewaktu-waktu dapat kaupakai sebagai
utusan untuk menyampaikan berita-berita penting kepadaku."
BAB IV PERCOBAAN PEMBUNUHAN YANG GAGAL
Puri Rodriganda sunyi senyap keadaannya. Pangeran berpesan kepada segenap
penghuni puri supaya menghindari segala kebisingan, karena ia sangat lelah dan
perlu istirahat. Tidak ada orang yang dapat mengatasi Alimpo, penjaga puri yang
lanjut usia itu, dalam mematuhi pesan Pangeran itu. Bagaikan seekor kucing ia
menyelinap tanpa mengeluarkan suara sedikit pun naik dan turun tangga. Bahkan di
rumahnya sendiri, yang begitu jauh letaknya dari kediaman Pangeran itu, ia tetap
mempertahankan cara berhati-hati yang luar biasa itu. Di situ pun ia berjalan
seolah-olah kaki tidak berjejak pada lantai.
Elvira, istrinya pun tidak mau ketinggalan dalam menjauhi kebisingan itu. Hanya
sayang sekali, tubuhnya yang gemuk benar-benar menjadi halangan. Mukanya yang
bundar bagaikan bulan purnama itu selalu berseri-seri. Matanya yang ramah
seakan-akan tertawa selalu dan mulutnya terbiasa dengan mengucapkan kata-kata
yang manis. Suaminya setia, meskipun berbeda jauh secara jasmaniah, mempunyai
banyak persamaan di bidang rohaniah. Itulah yang membuat mereka selalu hidup
rukun dan bahagia, seperti sepasang burung merpati.
Kini Alimpo sedang sibuk menyiapkan sebuah meja tulis yang mewah, sedang
istrinya mematut sehelai permadani yang indah. Sambil bekerja mereka berbicara
berbisik-bisik, seolah-olah takut kalau-kalau percakapan mereka dapat mengganggu
Pangeran. "Kaukira, meja tulis ini dapat memuaskan hati Dokter?" tanya Alimpo.
"Pasti! Dan apa yang dikatakannya pula, bila melihat permadani ini, Alimpo?"
"Pasti ia akan sangat menghargainya."
"Memang, barang-barang yang kita berikan kepadanya sungguh merupakan barang
pilihan." "Dokter itu benar-benar seorang ahli."
"Lagipula ia seorang yang tampan, Alimpo!"
"Entahlah. Kalian kaum wanita, pandai benar menilai seseorang mengenai
ketampanannya. Namun itu bukan bidangku. Aku kurang paham. Yang kupahami
hanyalah bahwa dokter itu seorang yang mempunyai pembawaan menarik dan bahwa aku
menaruh hormat yang sebesar-besarnya kepadanya."
"Demikian pula pendapatku. Ia seorang peramah, namun nampak begitu mulia dan
agung, tak ubahnya dengan seorang bangsawan tinggi saja."


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pangeran sendiri sangat menyukainya."
"Dan Condesa pun juga. Tetapi yang lain-lain, seperti para dokter Spanyol dari
semula sudah tidak kusukai."
"Lebih-lebih lagi perasaanku. Seperti kauketahui, aku tidak suka mengutuk orang,
tetapi pada ketiga dokter itu terpaksa aku mengadakan pengecualian. Bukankah
demikian juga pendapatmu, Elvira?"
"Aku setuju seratus persen. Mereka pasti sudah menghalanginya, percayalah
Alimpo! Dan bagaimana pendapatmu tentang Pangeran Muda?"
"Kukira - eh - baik ia disambar petir saja seperti ketiga dokter itu juga."
"Wah! Jangan begitu lancang mulutmu! Itu kan putra majikanmu sendiri! Namun
benar jugalah perkataanmu! Aku pun tidak dapat memandang tanpa curiga. Benarkah
ia putra Pangeran yang sesungguhnya?"
"Aneh juga, bahwa aku tidak dapat melihat persamaan dengan Pangeran ayahnya."
"Aku melihat persamaan. Bukan dengan Pangeran, melainkan dengan Notaris
Cortejo." "Bukankah lebih banyak persamaan dengan Nona Clarissa?"
Elvira merasa heran mendengar ucapan itu. Namun setelah berpikir sejenak, ia
menjawab, "Benar jugalah pendapatmu, Alimpo! Memang ada persamaan dengan Nona Clarissa.
Alangkah cocoknya, bila kedua orang itu menjadi ayah dan ibu Pangeran Muda. Aneh
benar?" "Memang demikian," jawab suaminya. "Tetapi kini meja tulisku sudah siap."
"Permadaniku pun siap juga. Mari kita suruh membawa kedua barang itu ke kamar
Tuan Dokter." "Baiklah!" Di dalam lorong mereka bertemu dengan tiga dokter Spanyol yang sedang menuju
kamar Pangeran. Setelah mereka sampai di ruang muka kediaman Pangeran, Dokter
Francas bertanya kepada seorang abdi yang menjaga di situ.
"Kami dengar, Pangeran sedang sakit. Kami ingin bicara dengan beliau."
"Maaf. Yang Mulia tidak mengizinkan tamu mengunjunginya."
"Kami juga dilarang?"
"Pangeran tidak menyebut nama."
"Maka biarkan kami masuk!"
"Saya tidak berani."
"Mengapa tidak" Bukankah wajar, bila Pangeran sakit, para dokter memberi bantuan
kepadanya?" "Namun saya tidak berani juga," jawab abdi itu dengan sopan. "Saya harus
mematuhi perintah Pangeran."
"Perintah kami pun harus kautaati!" hardik dokter itu. "Persoalan ini mengenai
orang sakit, dan dokterlah yang berhak memerintah."
"Mula-mula saya pun mengira demikian, Tuan. Tetapi kemudian saya mendapat
pelajaran. Dari Dokter Sternau dan kemudian dari Pangeran sendiri. Ketika Anda
hendak melakukan pembedahan terhadap Pangeran, Anda memerintahkan supaya
melarang orang masuk, sampai-sampai Condesa sendiri dilarang. Saya mematuhi
perintah Anda. Karena itu saya kena marah."
"Itu jelas salahmu sendiri. Coba jika engkau berhasil mencegah Condesa dengan
orang asing itu masuk, engkau akan terhindar dari kemarahan mereka. Jadi
dapatkah engkau melaporkan kehadiran kami atau tidak?"
Abdi itu bimbang seketika lalu menjawab,
"Baik, akan saya laporkan."
Ia masuk kamar sebelahnya dan kembali lagi dengan berita, bahwa dokter boleh
masuk. "Apa kataku?" kata Francas gembira. "Maka lain kali kamu harus menaruh hormat
lebih banyak kepada kami!"
Abdi itu membukakan pintu. Di belakang mereka ia mencibir kepada mereka.
Pangeran berbaring di ruang yang sama dengan beberapa hari yang lalu, ketika ia
hendak mengalami pembedahan. Ia berbaring di atas sebuah divan yang beralas kain
beledu dan memakai baju pagi yang ringan. Ia tampak agak lelah, tetapi tidak
seperti orang sakit. Ketiga dokter itu memberi hormat dengan membungkuk, meskipun perbuatan itu tidak
dapat dilihat oleh Pangeran. Pangeran memberi tanda bahwa mereka boleh duduk,
lalu berkata, "Tuan-Tuan tentu telah mendengar, bahwa saya memerlukan istirahat. Bila saya
menerima Anda juga, maka dengan perbuatan ini saya memperlihatkan rasa
persahabatan saya. Silakan mengemukakan keinginan Anda!"
Francas bangkit dari kursi lalu menjawab,
"Yang Mulia, kedatangan kami hanyalah karena dorongan kecemasan hati kami
melihat keadaan kesehatan Anda. Memang kami telah mendengar tentang keinginan
Anda untuk mendapat istirahat yang sempurna. Justru karena itu kami mengira,
mungkin kesehatan Anda makin menurun. Maka kami merasa berkewajiban datang
kepada Anda untuk memberi pertolongan bila diperlukan."
"Terima kasih!" jawab Pangeran dengan ramah. "Benar saya merasa agak letih,
namun saya kira tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan."
"Maaf, Yang Mulia," tukas Dokter Milanos, "kerap kali terjadi seorang pasien
menganggap keadaannya tidak berbahaya, padahal sebaliknya keadaannya. Hanya
seorang dokterlah, yang pandai menentukan hal itu."
"Mungkin Anda benar," jawab Pangeran sambil tertawa kecil. "Saya pun tidak hanya
mengutarakan pendapat saya sendiri dalam hal ini. Pendapat dokterlah yang saya
ikuti. Menurut Dokter Sternau keadaan saya itu tidak perlu dikhawatirkan dan
bukankah tadi juga Anda katakan, bahwa saya harus taat pada nasihat dokter."
Ketiga dokter itu berpandang-pandangan sejenak dengan penuh rasa terkejut,
kemudian Francas bertanya dengan muka sungguh-sungguh,
"Sternau, orang asing itu" Yang Mulia, Dokter Cielli di samping saya ini, telah
mendapat kehormatan untuk menjadi dokter pribadi Anda bertahun-tahun lamanya.
Kami pun, Dokter Milanos dan saya, dengan rela memberi tenaga kami untuk
menyembuhkan penyakit Anda. Kami bertiga merupakan regu dokter kenamaan karena
keahlian maupun kemahirannya. Kami berpendapat, bahwa keadaan Anda adalah gawat.
Karena itu kami harus mengambil tindakan tegas untuk menyelamatkan Anda.
Sebaiknya adalah keyakinan kami juga, bahwa pembedahan dengan gurdi sepit
seperti yang dianjurkan oleh orang asing itu tak akan berhasil, melainkan hanya
akan menyebabkan kematian saja."
"Itukah merupakan keyakinan Anda, Tuan-Tuan?" tanya Pangeran dengan sungguhsungguh. "Benar," jawab ketiga dokter itu serentak.
Kini Pangeran memegang sebuah kotak kecil yang terletak di sebelahnya di atas
meja. Kotak itu dibuka, lalu diberikannya kepada para dokter.
"Maka ada baiknya Anda berkenalan dengan isi kotak ini!" katanya sambil
tersenyum. Francas memegang kotak itu, memeriksa isinya secara sepintas lalu dan
meneruskannya kepada Cielli.
"Hanya serbuk," katanya dengan nada meremehkan. "Barangkali Senor Sternau
mengira penyakit Anda dapat disembuhkan dengan memberi minum obat serbuk dan
obat cair saja. Alangkah lucu pendapat demikian!"
"Anda salah! Serbuk itu bukan untuk dimasukkan ke dalam tubuh saya, melainkan
telah dikeluarkan dari dalamnya."
"Apa!" seru Francas terheran-heran.
"Benarlah Tuan-Tuan! Tadi pagi Dokter Sternau sudah mulai menghancurkan batu itu
dan serbuk inilah hasil pekerjaannya. Dan Anda melihat, saya masih belum mati,
bukan?" Ketiga orang itu menarik wajah kemalu-maluan, namun hal itu tidak terlihat oleh
Pangeran karena penyakit butanya.
Francas cepat dapat menguasai diri lagi, lalu bertanya,
"Yakinkah Yang Mulia, bahwa serbuk ini berasal dari batu yang dihancurkan itu?"
Pangeran tampak tersinggung sekali oleh ucapan itu lalu berseru, "Anda
barangkali menganggap Dokter Sternau seorang penipu atau seorang tukang sihir.
Sikap demikian sekali-kali tidak dapat saya benarkan. Lagipula akhirnya akan
merugikan diri Anda sendiri! Ketahuilah, bahwa Senor Sternau mendapat
kepercayaan penuh dari saya! Hari ini ia telah menyerahkan bukti, bahwa cara
pembedahannya sekali-kali tidak mengandung bahaya seperti yang telah Anda
bayangkan. Kini saya menaruh kepercayaan kepada pendapatnya, bahwa penyakit mata
saya dapat disembuhkan. Tuan-Tuan, ketahuilah juga, bahwa Dokter Sternau
sebenarnya bermaksud untuk bekerja sama dengan Anda, tetapi sifat kasar Anda
membuat dia mengurungkan niatnya. Sungguhpun masih muda usianya, namun orangorang bahkan mereka yang sudah banyak pengalaman pun, dapat meneladan kepadanya.
Bekerjasamalah dengan dia, maka saya akan mendengar nasihat Anda!"
Kini Francas merentangkan kedua belah tangannya, seolah-olah hendak menolak,
lalu berkata, "Terima kasih, Yang Mulia! Saya sama sekali tidak bermaksud untuk menerima
kuliah dari seorang yang masih duduk di bangku sekolah layaknya. Bila Anda lebih
banyak mempercayai dia daripada kami, itu urusan Anda. Tetapi kami pun tidak
dapat membiarkan orang memandang rendah pada kesanggupan kami. Maka kini saya
minta diizinkan pulang lagi ke Madrid."
"Saya pun ingin kembali ke Cordova. Di situ tenaga saya akan lebih dihargai,"
kata Milanos dengan penuh harga diri.
"Dan saya," kata Cielli, "saya mohon dibebaskan dari jabatan saya sebagai dokter
pribadi Anda. Mungkin Senor Sternau ingin mengisi tempat yang kosong itu."
"Masya Allah! Serangan begitu dahsyat Anda lancarkan kepada diri saya seorang
diri. Bagaimana saya menangkisnya!" kata Pangeran sambil tersenyum tenang. "Puri
Rodriganda selalu menerima Anda sebagai tamu kehormatan. Namun bila Anda dengan
tunggang langgang ingin meninggalkannya, maka saya tidak dapat menghalanginya.
Sampaikanlah saja perhitungan Anda kepada pengurus keuangan saya, lalu terimalah
pernyataan terima kasih saya pada segala jerih payah Anda selama bertugas di
sini." "Terima kasih Anda sudah kami terima, Don Manuel!" kata Francas dengan nada
tajam. "Maukah Anda menganggap kunjungan kami kali ini sebagai kunjungan
terakhir?" "Permohonan itu pun dapat saya kabulkan," jawab Pangeran. "Selamat jalan, TuanTuan!" Para dokter memberi hormat lalu pergi.
Di luar mereka berhenti sejenak dan berpandang-pandangan.
"Peran kita sudah tamat!" kata Francas.
"Kalah!" kata Cielli dengan berang. "Dikalahkan oleh orang semacam itu!"
"Tidak, kita masih belum kalah!" kata Francas. "Sekarang kita pergi, tetapi saya
yakin, kita akan dipanggil kembali!"
Para dokter berjalan lagi menuju kamar mereka masing-masing dengan muka keruh.
Ketika Francas masuk ke dalam kamarnya, ia melihat sudah ada orang di dalamnya.
Pangeran Alfonso, Notaris, dan Nona Clarissa sedang menanti di situ.
"Bagaimana, berhasilkah?" tanya Alfonso.
"Berhasil," jawab Francas dengan muka masam.
"Syukurlah!" "Jangan terlalu cepat merasa puas, Pangeran!" kata dokter itu. "Memang ada yang
berhasil, tetapi bukan kami. Sternaulah yang berhasil."
"Astagfirullah!" seru Notaris. "Semoga ia disambar petir!"
"Ya, tetapi harus langsung, sekarang juga, karena saya tidak lama lagi di sini!"
kata dokter itu dengan tersenyum pahit.
"Anda hendak pergi?" tanya Clarissa terkejut.
"Benarlah. Kami telah dipecat. Kami harus menyerahkan perhitungan kami kepada
pengurus keuangan Pangeran."
"Kurang ajar benar," kata Notaris. "Tetapi Anda jangan pergi!"
"Jangan pergi" Anda kira Dokter Francas tidak mempunyai harga diri, dan mau
memaksakan kehendak kepada pasien demikian?"
"Bukan memaksakan kehendak Anda. Dengar dahulu! Pangeran sendiri akan mohon
supaya Anda tetap di sini."
"Kalau begitu lain perkara. Tetapi bagaimana dapat diusahakan supaya Pangeran
mau berbuat demikian?"
"O, itu perkara kecil. Akan saya urus. Tetapi ceritakan dahulu tentang
percakapan Anda dengan Pangeran."
"Itu dapat diceritakan dengan singkat sekali. Pendek kata maksudnya hendak
memecat kami. Maka cepat-cepat kami mendahuluinya dengan mengajukan permintaan
kami sendiri untuk berhenti."
Ia melanjutkan ceritanya. Pangeran Alfonso hingga kini berdiam diri saja. Ia
duduk dekat jendela dengan muka muram. Tetapi ketika dokter itu selesai
bercerita, ia berpaling. "Jadi pembedahan itu sudah dimulai" Benarkah demikian?"
"Benar, dan tanpa diberitahukan kepada kita! Sternau telah membalas kita dengan
menggunakan senjata kita sendiri."
"Anda kira, ia akan berhasil mengeluarkan batu itu, Senor Francas?"
"Saya yakin." "Itu tidak boleh. Kita harus mencegahnya!"
"Bagaimana dapat Anda mencegahnya, Don Alfonso?" tanya dokter itu dengan
melirik. "Itu urusan Senor Cortejo."
"Ya, serahkan saja kepada saya. Saya mengetahui bagaimana harus menanganinya,"
kata Cortejo. "Benar, percayakan hal itu kepada Senor Gasparino," kata Clarissa. "Orang asing
ini tidak boleh terus-menerus mengganggu kita. Tuhan tidak akan mengizinkan ia
terus-menerus melanggar hukum-Nya. Murka Allah akan menimpa dan menghancurkan
kepadanya!" "Dokter, sudikah Anda memperpanjang kediaman Anda di Rodriganda dengan sehari
lagi?" tanya Notaris. "Saya yakin, esok hari hati Pangeran akan senang melihat
Anda masih tinggal di sini."
"Dapatkah Anda menjamin itu" Baik, saya akan tinggal di sini, tetapi hanya
sampai esok pagi. Kalau sampai waktu itu saya tidak diminta tinggal, saya akan
pergi juga." "Jangan khawatir! Percayalah segalanya kepada saya," kata Cortejo. "Tetapi
sekarang saya harus pergi."
Ia pergi menuju ke taman. Ketika ia sampai di perbatasan taman dengan hutan, ia
berhenti di balik semak-semak dan mengeluarkan bunyi siul nyaring. Tidak lama
kemudian daun-daun sebuah semak dikuak orang. Seorang laki-laki berpakaian
daerah sekitar itu keluar dari balik semak. Ia memakai kain hitam penutup
lengan. "Untunglah Anda datang," katanya. "Sudah lama Anda saya nantikan. Anda tentu
membawa tugas juga untuk saya."
"Memang, ada tugas," geram Cortejo. "Hari ini juga harus dikerjakan."
"Baik! Tetapi bilamana?"
"Tunggu sampai saat yang tepat tiba. Orang itu masih belum ada dalam puri."
"Saya mengetahui. Saya telah melihatnya berjalan di hutan. Saya menyuruh orang
memata-matainya. Menurut laporannya, orang itu pergi ke pegunungan bersama
penjaga hutan." "Jadi ia sedang berburu. Bukankah lebih baik tugasmu dilaksanakan di situ juga?"
"Lebih baik jangan! Tak mudah bagi kami menemukannya di situ."
"Jadi lebih baik menunggu sampai ia kembali lagi ke taman."
"Baik. Tapi bila ia datang dari sebelah lain?"
"Kalau begitu, kalian harus menunda melaksanakan tugas sampai nanti. Tampak ia
mempunyai kebiasaan untuk berjalan-jalan pada senja hari. Itulah kesempatan
baik. Mudah-mudahan akan berhasil!"
"Sudah pasti, Senor! Peluru kami tidak pernah meleset!"
"Jangan memakai peluru. Harus cukup dengan pisau saja. Suatu tembakan dapat
mengacaukan suasana dan itu harus dicegah. Bila kalian memasukkan pisau ke dalam
tangannya maka orang akan mengira, bahwa ia melakukan bunuh diri."
"Saya harus mematuhi perintah Anda, sungguhpun sebutir peluru sebenarnya lebih
pasti dan aman. Orang ini tidak boleh dipandang enteng. Ia bertubuh kuat dan
tidak akan menyerah begitu saja."
"O, jadi kalian takut," ejek Cortejo.
"Sekali-kali tidak. Jangan khawatir, perintah Anda akan dilaksanakan juga.
Tetapi bagaimana dengan pembayaran upahnya" Pemimpin kami menguasakan pada saya
menerima uang itu." "Datanglah tepat tengah malam ke tempat ini lagi. Akan kubayarkan uang itu. Kamu
membawa kain penutup" Apa gunanya?"
"Anda menganggap kami masih hijau?" kata perampok itu dengan tertawa. "Kami
bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kain penutup itu berguna sekali untuk
membuat kami sukar dikenal orang."
"Maka laksanakan tugas dengan baik!" demikian nasihat Notaris, sambil
memalingkan badan hendak kembali lagi ke puri.
Perampok itu adalah seorang yang dikirim oleh Capitano kepada notaris di
Rodriganda untuk membunuh Sternau. Benarlah, apa yang dikatakannya itu. Sternau
telah pergi bersama seorang penjaga hutan, bukan untuk berburu, melainkan untuk
menikmati udara segar dari pegunungan dan hutan dan untuk mengenal lebih baik
daerah sekitar puri. Peninjauannya makan waktu lebih lama daripada yang disangka
semula. Baru siang hari ia kembali lagi.


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sternau memegang bedil pinjaman dari Pangeran di tangannya. Kedua larasnya masih
terisi peluru yang belum sempat digunakan. Terdorong oleh perasaan romantis ia
tidak kembali melalui jalan biasa, melainkan berjalan melalui hutan. Sambil
berjalan tepekur menikmati alam ia sampai di taman. Tiba-tiba terlihat olehnya
suatu bintik putih di hadapannya. Di atas jalan kecil sedang berjalan Roseta dan
gaunnya yang putih berkilat-kilat di antara pohon-pohon.
Tampak ia sedang mencari atau menanti kedatangan orang, karena kadang-kadang ia
tertegun mendengarkan. Ia mengetahui, bahwa Sternau telah pergi ke hutan dan
karena dokter itu sampai sekarang masih belum datang, hatinya menjadi resah lalu
ia pergi menuju ke taman. Roseta mendengar bunyi desir di hadapannya, lalu
melihat seseorang keluar dari balik semak-semak. Ternyata Sternau dan memberi
salam kepadanya. Putri mengulurkan tangan, tetapi cepat-cepat menarik kembali,
sedang pipinya menjadi merah padam.
"Maaf Senor," katanya. "Sekali-kali tidak saya duga Anda di sini!"
"Sayalah yang harus minta maaf, Dona Roseta," jawab dokter itu. "Saya telah
menempuh hutan, lalu melihat Anda. Maka saya merasa berkewajiban memperlihatkan
diri saya." "Notaris telah menanyakan Anda."
"Itu sudah saya duga. Saya terlambat. Saya akan secepatnya pergi ke situ."
"Bolehkah saya ikut?" tanya Putri. Mukanya menjadi merah lagi.
"Tentu boleh," jawab Sternau.
Bedilnya dipanggul lalu ia berjalan bergandengan tangan dengan Roseta melalui
taman ke puri. "Tahukah Anda, bahwa ketiga dokter itu hendak pergi?" tanya gadis itu untuk
mulai suatu percakapan. "Masa!" jawabnya. "Itu agak mengejutkan. Saya tidak bermusuhan dengan mereka.
Saya hanya ingin memperlihatkan kepada mereka, bahwa Don Manuel dapat sembuh dan
dapat melihat kembali."
"Anda benar-benar percaya, bahwa Ayah dapat melihat kembali?"
"Ya, saya yakin."
"Dan mereka hari ini justru menyatakan sebaliknya. O, Senor, sembuhkanlah ayahku
dan berilah penglihatan kembali. Saya akan berterima kasih kepada Anda seumur
hidup!" "Percayalah kepada bantuan Tuhan! Ia akan memberi pimpinan kepada saya, agar
dapat melakukan yang sebaiknya."
"Anda dapat melakukan... eh, apa itu?" Kata-kata terakhir itu diucapkan Condesa
dengan amat terkejut, karena tiba-tiba semak-semak di hadapannya bergerak
dikuakkan orang. Lalu muncullah kepala orang bertopeng hitam. Dari kedua lubang
matanya kelihatan cahaya mata yang liar.
Tak lama kemudian terdengar aba-aba, "Ayo. Tikam dia!" Sosok-sosok tubuh
bertopeng, yang kini bermunculan keluar dari semak belukar dengan membawa pisau
terhunus, berlompatan mengepung Sternau.
Untunglah dokter itu bukan pertama kalinya menghadapi situasi seperti demikian.
Selama masa pengembaraannya di Amerika Utara ia kerap kali berkelahi dengan
suku-suku Indian liar. Maka ia terbiasa dengan segala kemungkinan. Dalam keadaan
demikian ia tak pernah merasa takut atau bimbang dan dapat segera bertindak
secara tepat. "Wah, ditujukan kepada diri saya!" serunya.
Dengan mengucapkan perkataan itu dilepaskannya tangan kawan wanitanya, lalu
melompatlah ia secepat kilat beberapa langkah ke samping. Secepat itu juga
dipegangnya bedil dan diarahkannya. Dua letusan terdengar, lalu dua orang
bertopeng menjerit dan menghilang ke dalam semak-semak. Dalam sekejap mata
diputarnya bedilnya, lalu dihantamkan hulunya ke atas kepala penyerang ketiga.
Orang itu rebah ke atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Pada saat
itu pula lengannya tertikam oleh penyerang keempat. Tetapi dengan gerak cepat
dipegangnya penyerang itu pada lehernya. Dijatuhkannya bedilnya, karena senjata
itu terlalu panjang untuk dipakai sebagai pemukul. Dengan kepalan tinju tepat
dikenai pelipis lawannya, yang langsung rebah ke atas tanah. Ketika ia berpaling
mencari lawan berikutnya, dilihatnya bahwa orang itu sudah menghilang.
Kini ia baru sempat memperhatikan Roseta. Ketakutan telah membuat tubuh gadis
itu kaku. Ia bersandar pada sebatang pohon sambil memeluk batangnya. Mukanya
pucat dan matanya dipejamkan, seolah-olah takut menyaksikan kekasihnya dikeroyok
oleh begitu banyak lawan. Seluruh peristiwa itu hanya berlangsung tidak lebih
dari satu menit lamanya. Lawan sehebat ini sama sekali tidak diduga oleh para
perampok itu. "Condesa," kata Sternau, "sadarlah!"
Suara Sternau membuat Roseta sadar kembali. Ia membuka mata. Ketika dilihat
kekasihnya berdiri di hadapannya tanpa mengalami cedera, bukan main gembira
hatinya. "Carlos!" serunya dengan hati bersorak.
Peralihan dari rasa takut yang mencekam kepada rasa gembira, terlalu cepat dan
membingungkannya. Seketika ia lupa hambatan-hambatan adat dan kesopanan.
Langsung dipeluknya kekasihnya erat-erat dan disandarkan kepalanya pada dadanya,
lalu ia menangis tersedu-sedu.
"Roseta!" Kata ini diucapkan hampir-hampir tanpa suara, namun sepatah kata ini
membayangkan kasih dan bahagia yang sempurna. "Roseta, tenanglah! Pembunuhpembunuh itu sudah terusir."
Kemudian tampak oleh Roseta lengan kekasihnya berdarah, lalu ia berseru
terkejut. "Astagfirullah, engkau mendapat luka!"
"Tidak apa," katanya sambil menenangkannya. "Itu hanya luka kecil."
"Jahat benar mereka!" kata Roseta sambil menggigil dan memperhatikan dengan rasa
takut tubuh-tubuh yang tergolek di atas tanah itu.
"Siapakah mereka" Telah kau apakan mereka" Lima orang pembunuh, Carlos, engkau
benar-benar seorang yang kuat dan gagah berani!"
Roseta menyandarkan kepalanya kembali pada dada Sternau dan ketika gadis itu
memandang kepadanya, pandangan penuh rasa cinta dan kagum, sehingga Sternau
tidak dapat menahan diri lagi. Ia menundukkan kepala dan mencium kekasihnya
dengan mesra. Tiba-tiba Roseta terkejut. "Siapa itu?" Terdengar bunyi langkah kaki yang
tergesa-gesa, datang dari puri menuju ke arah mereka. Kemudian tampak tiga
orang. Mereka adalah dua orang pembantu tukang kebun disertai oleh Alimpo.
Alimpo pergi ke taman untuk memetik bunga yang hendak dipakai sebagai penghias
kamar Sternau. Ketika sedang memetik bunga-bunga itu didengarnya bunyi tembakan
itu. Itu bukan hal yang biasa. Karena itu mereka menduga telah terjadi sesuatu
yang memerlukan pertolongan. Segera mereka bergegas ke tempat kejadian itu.
Setelah penjaga puri tiba di situ ia berdiri dengan tercengang.
"Condesa! Senor Sternau! Apa yang terjadi?" serunya.
"Ada yang hendak membunuh Senor Sternau," jawab Roseta dengan panas hati.
"Membunuh?" tanya orang bertubuh kecil itu. "Masya Allah, mana mungkin" Itu
harus saya ceritakan kepada Elvira!"
Setelah mengatakan ini ia bertepuk tangan dan melihat sekelilingnya, seolah-olah
ia menduga bahwa Elvira ada di dekatnya.
"Akan tetapi Senor Sternaulah yang memang," demikian ditambahkan Roseta.
"Ia telah mengalahkan lima penyerang itu."
"Lima orang" Wah!" seru Alimpo terheran-heran. "Lima orang sekaligus?"
"Tiga orang terlepas," demikian diperbaiki Sternau. "Yang terbaring ini telah
saya pukul dengan tinju saya. Mungkin ia hanya pingsan saja. Ayo, tolong saya
membuka topeng mereka. Kita lihat, dapatkah kita mengenal mereka atau tidak."
"Tetapi, Senor, bukankah lebih baik, mengobati luka Anda lebih dahulu?" tanya
Roseta. "Itu nanti saja, Dona Roseta," jawab Sternau. "Luka tikaman itu tidak begitu
besar." "Tikaman!" seru Alimpo. "Masya Allah, betapa mengerikan! Sayang Elvira tidak di
sini. Ia biasa mengobati orang luka! Mari Senor, untuk sementara akan saya balut
luka Anda dengan sepotong saputangan!"
Sternau mengulurkan tangan kepadanya dengan tersenyum, lalu penjaga puri yang
berbudi itu membalut lukanya erat-erat dengan sepotong saputangan, sehingga
darahnya tidak dapat keluar lagi.
"Nah, yang perlu sudah dikerjakan," katanya. "Masya Allah, suatu percobaan
pembunuhan di Puri Rodriganda!"
Ia membungkuk dan membuka topeng perampok yang tergolek di atas tanah, dibantu
oleh kedua tukang kebun itu. Ternyata bahwa mereka tidak mengenal orang-orang
itu. Salah seorang sudah mati. Pukulan dengan hulu bedil telah menghancurkan
kepalanya. Roseta memalingkan muka dengan menggigil.
"Hebat benar pukulannya!" kata Alimpo. "Seperti dikerjakan oleh palu godam
saja!" "Siapa membawa tali?" tanya Sternau yang menyelidiki perampok lainnya. "Ia hanya
pingsan saja. Kita harus mengikatnya. Ia akan memberitahu kepada kita, siapakah
dia sebenarnya dan mengapa kawan-kawannya ingin membunuh saya."
"Ya, bangsat ini harus bicara," kata Alimpo. "Awas kalau ia tidak mau. Saya
sanggup mengoyak-ngoyak tubuhnya berkeping-keping. Ya, Senor, saya berbahaya
sekali bila sudah marah!"
Sternau tersenyum dan bertanya, "Tapi pernahkah Anda marah, Senor Alimpo?"
"Sebenarnya belum pernah, Senor! Tetapi saya dapat membayangkan bahwa saya sama
berbahaya dengan seekor harimau atau seekor buaya, bila saya marah!"
Juan Alimpo mengeluarkan sepotong tali dari dalam saku, lalu mengikat tangan
orang pingsan itu erat-erat di belakangnya, sehingga pasti ia tidak dapat
menggerakkannya bila ia sadar kembali.
"Nah dia sudah diikat," katanya. "Masih ada perintah apa lagi, Senor?"
"Saya akan pergi bersama Condesa ke puri dan mengirim orang-orang kepada Anda,"
jawab Sternau. "Orang ini setelah sadar kembali harus dikurung di tempat yang
aman. Ia tidak boleh lepas! Kawannya harus kita biarkan saja terbaring hingga
datang alcalde, hakim desa, untuk menyaksikan kejadiannya."
"Kami ada tempat yang aman untuk mengurung tawanan kita. Ia pasti tidak dapat
lolos dari situ!" "Baik! Tetapi kita harus bertindak hati-hati! Ada juga pembunuh yang lolos. Kita
tidak mengetahui, berapa banyak jumlah mereka. Sangat mungkin mereka akan
kembali lagi untuk membebaskan kawannya."
"Kembali lagi" Membebaskan?" tanya penjaga puri terkejut. "Dan saya harus
tinggal di sini" Tetapi bagaimana bila mereka menikam atau menembak, Senor" Itu
berbahaya sekali! O, apa yang akan dikatakan oleh Elvira?"
"Bukankah Anda seorang pemberani, Senor Juan Alimpo?"
"Apa" Pemberani" Ya, tentu. Bahkan lebih dari itu! O, kalau Anda mengetahui saya
ini seorang yang berbahaya sekali untuk musuh. Tetapi peristiwa yang Anda alami
berlainan. Mereka mulai menikam dengan pisau! Itu terlalu kejam! Apalagi bila
mereka menembak. Itu lebih-lebih lagi."
"Baik! Kalau begitu akan saya tinggalkan bedil saya di sini. Lagipula pisau
kepunyaan kedua orang ini dapat juga kalian gunakan untuk membela diri."
Sternau mengisi bedilnya dan memberikannya kepada penjaga puri. Tetapi Alimpo
mundur tiga langkah, lalu berkata terkejut.
"Iih! Jangan berikan kepada saya, Senor! Senjata itu dapat meletus sebelum
tersentuh. Berikan saja kepada kedua tukang kebun itu. Ada dua laras, mereka
masing-masing dapat membunuh seorang musuh dengannya. Saya akan mengambil kedua
pisau dari tawanan kita. Itu cukup untuk membunuh dua orang musuh juga."
Setelah Alimpo mendapat apa yang diinginkannya, maka Sternau pergi bersama
Condesa ke puri. Ia minta supaya Condesa pergi mengunjungi ayahnya dan memberitahu dengan hatihati tentang peristiwa tadi. Kemudian ia mengumpulkan beberapa orang pekerja,
yang segera disuruh pergi ke tempat di hutan itu. Setelah itu barulah ia pergi
ke kamar membalut lukanya.
Di atas tangga rumah ia bertemu Nona Clarissa, yang sedang berjalan-jalan.
Ketika tampak olehnya tangan Sternau yang dibalut itu ia bertanya,
"Ada apa, Senor" Saya lihat, tangan Anda dibalut dan pada baju Anda melekat
darah. Apa yang telah terjadi?"
Sternau merasa agak heran, bahwa wanita yang biasanya selalu acuh tak acuh saja
terhadapnya, kini menegurnya. Tetapi ia menjawab dengan sopan,
"Saya terluka, Nona."
"Terluka" Siapakah gerangan yang melukai Anda?"
"Kami tidak mengenal pelaku-pelakunya. Mereka bermaksud membunuh saya."
"Astagfirullah! Jadi jiwa orang di Puri Rodriganda ini tidak aman" Tetapi,"
tambahnya sambil melirik pada dokter itu, "seperti kata Anda tadi, pelakupelakunya tidak dapat dikenali. Jadi mereka itu dilihat orang lain juga, selain
oleh Anda?" "Dilihat oleh penjaga puri dan dua orang tukang kebun."
"Mereka telah melarikan diri?"
"Beberapa orang telah lolos, seorang dapat saya matikan dan seorang lagi menjadi
tawanan kami. Tawanan itu akan dibawa oleh penjaga puri."
Wanita itu tampak pucat pasi mukanya. Karena terkejut ia hampir tidak dapat
menguasai dirinya, lalu berkata dengan suara gemetar,
"Maafkan saya, Senor, berita ini benar-benar mengejutkan, sehingga seluruh badan
saya merasa lemas! Percobaan pembunuhan! Terkutuklah para pelakunya! Semoga
Tuhan memberi hukuman setimpal kepada mereka! Berita ini begitu mencekam bagi
saya, sehingga saya terpaksa mengurungkan niat saya berjalan-jalan."
"Bolehkah saya antar Anda ke kamar Anda?" tanya Sternau sambil mengulurkan
tangan kepadanya. Wanita itu mengangguk dan dengan lemas menyandarkan tubuhnya pada lengan dokter
itu. Dalam keadaan biasa ia tidak akan berbuat demikian. Tetapi ketakutan
rencana jahatnya diketahui orang membuatnya merasa kehilangan segala tenaga.
Sternau mengantarkannya sampai ke pintu, lalu pergi setelah pamit. Ia merasa
senang dapat berpisah, karena ada sesuatu pada diri wanita tua itu yang tidak
berkenan padanya. Clarissa masuk ke dalam kamarnya, lalu merebahkan dirinya ke
atas divan. Tak lama kemudian ia memanggil pelayannya dan menyuruhnya pergi
memanggil Senor Gasparino Cortejo. Orang itu datang. Ia merasa heran, mengapa
Clarissa dalam keadaan gelisah seperti itu.
"Engkau menyuruh aku datang, Clarissa. Tetapi mengapa begitu gelisah?"
"Celaka, celaka besar menimpa kita!" serunya. "Aduh, tubuhku begitu lemas. Aku
hampir tak dapat menceritakannya."
"Masa!" kata Cortejo tenang. "Engkau masih dapat berbicara, masakan tak dapat
bercerita tentang perkara yang kaurisaukan itu."
"Ya, tetapi perkara itu terlalu buruk! Porak-porandalah segala cita-cita dan
rencana kita!" "Caramba, tak perlu engkau meratap seperti itu, bicaralah! Engkau membuat aku
takut dengan sikapmu yang kurang teguh itu. Apa, apa yang terjadi"
Kecelakaankah" Ayo, ceritakan!"
"Dengarlah! Dokter Sternau telah diserang orang di taman."
Wajah Notaris yang menyerupai burung buas itu menjadi cerah mendengar keterangan
itu. Ia tersenyum puas. Kiranya penyerangan yang didalangi olehnya itu telah
berhasil dilaksanakan, maka ia berkata,
"Nah. Apa yang buruk" Kan biasa saja" Dari siapa kau dengar berita itu?"
"Itulah yang membuat hatiku risau! Bila berita itu kudengar dari orang lain,
maka tak begitu resah hatiku..."
"Jadi, bagaimana" Katakanlah langsung!"
"Dokter Sternau sendirilah, yang membawa berita itu."
Notaris terdiam karena terkejut.
"Dokter Sternau" Tak mungkin!" katanya ragu-ragu.
"Namun itulah faktanya. Aku sangat terkejut, sehingga aku harus membiarkan
diriku diantar oleh orang yang menjadi musuh kita. Mengapakah sampai begitu
kesudahannya?" "Jadi ia telah luput?" tanya Notaris sambil mengertakkan gigi.
"Ia hanya luka ringan pada tangannya."
"Dungu benar mereka! Harus kuajar mereka bagaimana cara menikamkan pisau."
"Sayang tak akan tercapai maksudmu itu, karena salah seorang perampok telah
dibunuhnya, dan yang lain telah sempat ditawan mereka."
"Setan!" maki Advokat perlahan-lahan. "Itu berbahaya. Orang mati tidak dapat
berbicara, tetapi tawanan itu dapat menjadi berbahaya."
"Dapatkah ia membocorkan rahasia?"
"Tentu! Para perampok itu telah melihat aku. Mereka dapat mengenal aku, karena
aku pernah bercakap-cakap dengannya."
"Aduh! Kamu begitu ceroboh."
"Aku tidak akan mendengar keluh-kesahmu lagi. Kejadian yang lampau tidak perlu
disesali. Yang penting ialah: kita harus menemukan pemecahannya."
"Ada! Ada pemecahan yang betul-betul memuaskan!" seru wanita itu bersemangat.
"Tawanan itu harus kita lepaskan dengan diam-diam."
"Itu dapat dikerjakan. Tetapi tidak dapat dengan langsung. Kita harus menanti
saat yang paling tepat. Tawanan itu baru besok dapat dibawa ke pengadilan. Malam
ini ia masih akan disekap dalam puri. Kita dapat membebaskan dengan mudah. Asal
ia tidak membocorkan rahasia sebelumnya."
"Maka ia harus diberi tanda."
"Benarlah! Biar saya pergi ke taman dahulu, ke tempat perkelahian terjadi. Masya


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Allah! Seorang diri melawan banyak musuh! Dan keluar sebagai pemenang. Orang itu
pandai benar berkelahi. Baik, sekali ini ia masih dapat bebas menikmati hidup,
tetapi lain kali kita tidak akan meleset lagi. Lain kali harus digunakan siasat
cerdik untuk menangkapnya."
"Dan bagaimana menurut pendapatmu apakah kita dapat menyingkirkan orang yang
kita benci itu?" tanya wanita, kawannya yang "berbudi" itu.
"Yah, tentang bagaimana caranya, aku sendiri pun masih belum mengetahui dengan
pasti," jawab sekutu wanita itu.
"Dokter Sternau harus mati, bila kita ingin berhasil melaksanakan rencana kita,"
kata Clarissa dengan penuh keyakinan.
"Yang pasti ialah, bahwa rencana kita tidak boleh kita urungkan," kata Notaris,
"aku akan menyetujui segala tindakan yang dapat mendekatkan kita kepada tujuan
kita." Clarissa mengangguk dan Notaris melanjutkan, "Kini aku hendak pergi ke tempat
perkelahian itu." Ia bergegas ke taman. Di situ sudah berkerumun sebagian besar penghuni puri,
tertarik ke tempat itu karena berita yang menggemparkan itu.
Segalanya berjalan sesuai rencana Cortejo, seperti yang telah dipaparkan kepada
wanita sekutunya itu. Sedang mayat perampok dibiarkan tergolek di taman dengan
mendapat penjagaan ketat, maka perampok seorang lagi, yang menjadi tawanan
mereka digiring ke puri. Cortejo mengenal orang itu sebagai orang yang telah
diberi tugas olehnya. Mereka bertemu dekat puri. Cortejo diam-diam berhasil
memberi tanda kepada tawanan itu. Ia menyentuhkan mulutnya dengan jari. Tanda
itu dilihat oleh tawanan itu. Ia mengangguk. Muka Cortejo yang suram menjadi
cerah kembali. Ia tersenyum gembira.
Hati Pangeran sangat cemas ketika mendengar berita tentang percobaan pembunuhan
pada Dokter, tamunya yang sangat dihormati itu. Roseta berdaya upaya untuk
menenangkan hati ayahnya. Pangeran memerintahkan supaya diadakan pemeriksaan
dengan teliti. Ketiga dokter Spanyol itu diam-diam pergi meninggalkan desa.
Mereka dapat menduga, siapa yang memberi perintah untuk membunuh itu. Setelah
mengalami kegagalan, untuk sementara mereka masih belum menaruh harapan lagi.
Luka Sternau tidak begitu parah. Ia tidak merasa terganggu olehnya. Maka ia
dapat mencurahkan segenap perhatiannya kepada Pangeran. Dalam waktu singkat
sejak ia tinggal di puri, ia sudah berhasil mengambil hati sebagian besar
penghuninya. Itulah sebabnya, maka mereka ingin sekali mengetahui, siapa orang
yang hendak membunuhnya. Sayang keinginan mereka tiada terkabulkan, karena
tawanan itu tetap bungkam saja, tidak berbicara sedikit pun. Karena itu,
terpaksalah mereka menunggu sampai perkara itu jatuh ke tangan pengadilan.
Peristiwa yang menggemparkan itu panjang lebar dibicarakan di rumah penjaga
puri. "Akan kuceritakan kepadamu, Elvira sayang, seluruh kejadian itu, dari mula
sampai akhir." "Ya, aku ingin sekali mendengarnya, Alimpo sayang," jawab Elvira.
Penjaga puri itu memegang sebatang sapu, melihat ke kanan dan ke kiri sambil
meneliti benda-benda yang terdapat dalam kamar, dan berkata,
"Jadi kawanan penjahat itu datang berlima. Umpamanya jam besar ini sebagai
penjahat pertama, almari pakaian sebagai yang kedua, meja bunga sebagai yang
ketiga, lampu duduk sebagai yang keempat, dan kopor yang di sudut itu sebagai
yang kelima. Setujukah?"
"Setuju, Alimpo sayang."
"Bagus! Jadi inilah mereka, kelima pembunuh itu. Kita masih memerlukan Dokter
Sternau yang hendak dibunuh mereka dan Condesa. Senor Sternau adalah aku
sendiri, sedangkan engkau adalah Condesa. Setujukah?"
"Setuju! Jadi aku menjadi Condesa!"
Sambil mengucapkan perkataan itu wanita gemuk itu meluruskan tubuh dalam
usahanya menyamai sikap Condesa.
"Kini aku, Dokter Sternau, hendak pergi berburu," demikian dilanjutkan oleh
penjaga puri itu, "lalu aku kembali dengan memanggul bedil berlaras dua."
Sambil berkata demikian dipanggulnya sebatang sapu lalu ia berkata,
"Aku berjumpa denganmu di taman, Elviraku, maksudku Putri Roseta. Aku memberi
hormat dan kamu membalas hormatku."
Lalu ia membungkukkan tubuhnya dalam-dalam, sedang wanita itu memaksakan
tubuhnya yang gemuk membungkuk dengan lemah gemulai. Kemudian Alimpo berkata
lagi, "Sedang aku memberi hormat, aku diserang oleh kelima orang penjahat itu. Yang
pertama, jadi jam besar itu, melompat ke arahku, tetapi segera kubidikkan
bedilku ke arahnya, lalu aku menembak bahunya - dor!"
Sambil berkata demikian ia membidikkan sapu dan menembak dengan mulutnya.
Kemudian ia berkata lagi,
"Kini datang yang kedua, jadi almari pakaian itu, dengan pisau terhunus
menujuku. Aku menembak lagi - dor! Kini datang yang ketiga jadi meja bunga itu.
Wah! Aku kehabisan peluru! Maka aku timpa kepalanya dengan gagang bedil."
Ia memutar sapunya, lalu memukul keras-keras meja dengannya.
"Yang keempat datang, yaitu lampu duduk itu. Aku tidak dapat memukul dengan
gagang bedil, karena jaraknya terlalu dekat. Aku harus meninjunya hingga
pingsan. Beginilah kira-kira ia melakukannya..."
Alimpo memegang lampu duduk dengan tangan kirinya, lalu meninju dengan tangan
kanannya, sehingga lampu itu pecah berkeping-keping. Si penjaga puri begitu
asyik memeragakan peristiwa itu, sehingga ia tidak dapat membedakan yang khayal
dengan yang nyata. "Aduh, Alimpoku, apa yang telah kau perbuat?" keluh istrinya.
"Diam, Elvira sayang," jawabnya. "Bukankah kamu ini Roseta. Putri itu sekalikali tidak menghiraukan lampu itu. Aku harus memukul penjahat yang keempat ini,
karena ia sudah sempat melukai lenganku."
"Memang kau benar, namun agak sayang lampu yang bagus itu. Tetapi tidak mengapa,
karena engkau telah memecah lampu itu untuk kepentingan Senor Sternau."
"Memang, Elvira. Aku berbuat itu demi kepentingannya. Tahukah kamu, bahwa aku
rela berbuat apa pun untuk memenuhi keinginannya. Tadi di taman aku sudah
mempersiapkan diri dengan senjata pisau dua bilah untuk menikam kawanan penjahat
itu." "Kamu hendak menikam?" tanya istrinya kurang percaya.
"Memang. Aku, Alimpomu!" kata penjaga puri itu.
"Masya Allah! Dua bilah pisau" Siapa yang hendak kautikam?"
"Para pembunuh yang melarikan diri, bila mereka berani kembali lagi."
"Astagfirullah!" seru Elvira kagum. "Kian besar keberanianmu! Seakan-akan kau
haus darah." "Benarlah. Pada saat-saat segenting ini timbul sifat-sifatku yang asli," jawab
Alimpo dengan memasang wajah seram sambil membelai-belai kumis.
"Pergilah segera ke gudang penyimpanan senjata dan ambil untukku pedang
kepunyaan bangsawan kenamaan zaman lampau, Arbicault de Rodriganda."
"Pedang yang besar dan dahsyat itu?" tanya wanita gemuk itu tercengang. "Untuk
apa?" "Karena aku malam nanti harus menjaga tawanan itu."
"Apa" Kau hendak membahayakan jiwamu dengan membawa pedang yang mengerikan itu.
Tidakkah terlalu besar korban demikian" Bayangkan, Andaikata tawanan itu
lepas..." "Sst! Janganlah khawatir! Tentu aku tidak begitu bodoh untuk berdiri menjaga di
muka pintu kamar tawanan dengan pedang itu. Aku akan menjaga di dalam kamarku
sendiri. Bila tawanan itu lepas, ia tidak akan melihatku. Tetapi bila ia sampai
masuk ke kamarku, ia akan melihat pedang dahsyat itu dan ia akan lari tungganglanggang. Kini aku hendak pergi membawa serombongan abdi ke bawah untuk
memeriksa, kalau-kalau pintunya belum terkunci dengan baik."
Pada saat itu juga Condesa Roseta masuk ke dalam kamar Pangeran terengah-engah
dan dengan wajah berseri-seri. Di dalam kamar sudah hadir juga Sternau.
"Aku membawa kabar baik untuk Ayah," katanya. "Baru saja aku menerima sepucuk
surat. Akan kubacakan Ayah surat itu?"
"Boleh, asal Senor Sternau mengizinkannya," kata Pangeran dengan rendah hati.
"Tentu ia akan mengizinkan. Coba Ayah dengar!" jawab Roseta lalu membacakan
surat itu. "Madrid, 30. 5. 1848
Rosetaku yang tercinta! Ayah telah diangkat sebagai seorang ambassador di Meksiko. Ia harus lekas pergi
ke sana dan aku akan mengikutinya. Tetapi sebenarnya aku harus mengunjungimu
dahulu. Aku akan pergi ke Rodriganda. Lusa aku akan tiba di situ. Bila mungkin,
jemputlah aku di Kota Pons. Di situ aku akan beristirahat selama setengah jam!
Sampaikan salamku kepada Pangeran dan terimalah sendiri peluk cium dari
sahabatmu. Amy Dryden." "Bukankah itu berita baik, Yah?" tanya Roseta.
"Tentu, Nak," jawab Pangeran. Kemudian ia menatap Sternau dan menerangkan.
"Lady Amy Dryden ialah putri Lord Henry Dryden, Pangeran Nottingham yang selama
beberapa tahun telah tinggal di Madrid. Di situlah kedua wanita itu bertemu dan
berkenalan." "Bolehkah aku besok pergi menjemput Amy?" tanya Roseta kepada ayahnya.
"Tentu boleh!" jawab ayahnya. "Bila tiada salah, besok ada pekan raya di Kota
Pons. Sebaiknya engkau diantar oleh penjaga puri ke situ, Nak."
"Aku mendapat pengawal yang gagah perkasa," jawab Roseta sambil tertawa.
Sternau pun ingin menawarkan jasanya sebagai pengawal, namun sayang, ia tidak
dapat meninggalkan pasiennya.
Tidak berapa lama kemudian, ketika semua orang sudah tidur, dua orang menyelinap
ke bawah, ke ruang tempat tawanan dikurung. Kedua orang itu adalah Pangeran
Alfonso dan Notaris Cortejo. Di muka pintu ruang tahanan berdiri dua orang abdi,
yang mendapat tugas jaga pada ketika itu. Sesampai di bawah, Notaris tetap di
tempatnya, sedang Alfonso berjalan dengan langkah yang keras bunyinya, supaya
para penjaga dapat mendengar dengan jelas. Mereka sedang duduk di atas lantai
dengan muka muram. Mereka menyalakan sebuah lentera. Ketika mereka melihat tuan
muda mereka, maka segeralah mereka berdiri dan memberi hormat.
"Orang itu ditahan di belakang pintu ini?" tanya Alfonso.
"Benarlah," jawab salah seorang.
"Kuharap, kalian menjaganya dengan baik! Bila kalian membiarkan tawanan itu
lepas, janganlah kalian berharap mendapat pengampunan dari kami! Coba, berikan
lentera itu sebentar kepadaku!"
Pura-pura ia hendak membakar rokok yang sudah padam itu. Dengan sengaja
disinggungnya lentera itu, sehingga terjatuh dari tangan abdi itu. Salah satu
kaca lentera pecah dan apinya padam.
"Dungu kau!" seru Alfonso dengan berang. "Jemput lentera itu. Aku akan
menyalakan lagi!" Sambil berkata demikian Alfonso membungkuk dan diam-diam memegang lentera itu
dalam tangannya. Ketika para abdi sedang sibuk meraba-raba dalam gelap untuk
menemukan lentera itu dan mendapat caci maki dari majikannya, maka Notaris
menggunakan kesempatan membuka pintu kamar dengan perlahan-lahan sekali sehingga
tiada terdengar oleh seorang pun, lalu menyelinap masuk ke dalam. Pangeran
Alfonso berdiri sedemikian, sehingga para abdi tidak dapat melihatnya. Ketika
tidak lama kemudian tangan Notaris meraba bahunya, ia mengetahui bahwa pekerjaan membebaskan tawanan sudah selesai. Ia meletakkan lentera itu ke atas
lantai, lalu mundur selangkah.
"Apakah kalian menunggu bantuanku untuk menemukan lentera sial itu?" tanyanya
dengan berang. "Inilah lenteranya! Telah saya temukan di sini!" seru seorang abdi gembira.
"Tetapi minyaknya sudah tumpah!"
"Lekas ambil minyak lagi untuk menggantikan yang tumpah itu. Biar untuk
sementara kita nyalakan sumbunya tanpa minyak."
Alfonso mengambil korek api dan menyalakan lampu. Kemudian ia membuka pintu
ruang tawanan, yang sudah ditutup kembali dengan rapi oleh notaris itu, lalu
menyinarkan cahaya lampunya ke dalam. Ia membuka pintu sedemikian, sehingga para
abdi tidak dapat melihat ke dalam kamar.
"Tawanan itu sedang tidur atau pura-pura tidur!" kata Alfonso lalu menutup
kembali pintu itu. "Baik kita jangan ganggu dia!"
Sambil mengucapkan kata-kata itu berpalinglah ia dan naik tangga.
Dalam pada itu Notaris diam-diam pergi membawa tawanan itu. Mereka meninggalkan
puri tanpa diketahui orang. Akhirnya ketika mereka mengira keadaan sudah cukup
aman, advokat itu berhenti, lalu berkata menyindir,
"Bagus benar kau laksanakan tugasmu itu. Tentu kamu sekarang minta dibayar
juga." "Maaf, Senor!" jawab tawanan itu. "Sepandai-pandai tupai meloncat, sekali gagal
juga." "Ya, tetapi jangan pada kesempatan sepenting ini! Nampaknya seolah-olah
pemimpinmu sengaja mengirim orang-orang yang berjiwa pengecut."
Perampok itu mendekatinya, lalu berkata menantang.
"Anda bermaksud menghina saya?"
"Habis bagaimana aku harus menamakannya" Bila bergerombol menghadapi seorang
lawan, dan masih juga gagal, apakah mereka itu bukan orang yang berjiwa
pengecut?" "Memang berkata itu lebih mudah daripada berbuat. Anda sendiri sanggupkah
mengerjakannya" Anda sepanjang hari hidup bersama dengan orang itu. Cukup waktu
dan kesempatan untuk menyingkirkannya, bukan" Namun hal itu tidak terjadi.
Sebaliknya Anda harus minta bantuan orang lain untuk melakukannya. Bukankah Anda
juga seorang pengecut" Camkanlah itu! Anda bukan pemimpin saya. Maka tak perlu
saya menerima segala perlakukan Anda yang kurang sopan itu. Anda tidak lebih
baik sedikit pun dari saya. Setali tiga uang. Awas! Bila saya mengadukan Anda,
Anda akan celaka! Jangan suka melontarkan tuduhan yang bukan-bukan! Ingat, bahwa
di antara kawan-kawan saya tidak ada yang berjiwa pengecut!"
"Baik! Tetapi mengapa kalian tidak dapat membunuh orang itu?"
"Yah. Siapa dapat menduga lebih dahulu, bahwa raksasa itu begitu kuat dan pandai
berkelahi!" "Bukankah kalian berkelompok menghadapinya?"
"Benar, tetapi kami hanya dibolehkan menyerang dengan pisau. Itulah perintah
Anda. Sebenarnya tembakan dengan peluru adalah cara yang lebih aman, tetapi Anda
tidak menyetujui. Jadi nyatalah, Anda sendiri yang harus memikul tanggung jawab
kegagalan usaha itu."
"Jadi," kata Notaris sambil tertawa, "mungkin juga maksudmu untuk memaksa aku
membayar upahmu, seakan-akan kamu telah melakukan kewajiban dengan semestinya."
"Memang saya bermaksud minta upahku. Anda sendiri yang bersalah. Anda wajib
membayar upah saya!"
"Aku tidak mau membayar, sebelum dokter itu mati."
"Bunuh saja sendiri - sanggup atau tidak!"
"Itu kan pekerjaan kalian!" seru Notaris dengan berang.
"Kini sudah bukan tugas kami lagi! Kami telah melakukan apa yang ditugaskan
kepada kami. Tugas itu tidak berhasil dengan baik, tetapi itu bukan salah kami.
Saya menuntut diberi bayaran. Bila Anda merasa sayang membayar upah itu, maka
Anda akan menyesal. Kemudian Anda harus membayar uang berlipat ganda banyaknya.
Pemimpin kami akan menuntut ganti rugi untuk kawan kami yang telah tewas."
"Persetan kau, laknat!"
"Baik! Saya akan patuhi perintah Anda! Saya akan pergi!" kata perampok itu
sambil tertawa mengejek. Langsung ia menghilang dalam kegelapan malam.
Perkembangan demikian sama sekali tidak diduga oleh Notaris. Ia memanggil dengan
suara yang sekeras masih dimungkinkan oleh keadaan tanpa membahayakan dirinya,
tetapi tidak mendapat jawaban. Ia mulai merasa takut. Mungkinkah ia diadukan
oleh perampok itu" Kalau itu terjadi, maka rencana yang muluk-muluk, yang dengan
tekun dibina sejak dahulu, akan kacau-balau dibuatnya. Ia kembali lagi ke puri
dengan hati cemas lalu tidur, namun tidak mendapat istirahat yang diinginkannya.
Semalaman ia tidak memejamkan mata. Keesokan paginya ia mendengar suara hirukpikuk di dalam puri. Dari suara-suara yang didengarnya ia mendapat kesimpulan,
bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Ia terbangun. Ia mendengar pintu
kamarnya diketuk orang. Suara seorang abdi kedengaran di luar pintu.
"Anda masih beristirahat, Senor Cortejo?"
"Masih," jawabnya hati-hati.
"Bangunlah, Senor! Don Manuel ingin berbicara dengan Anda. Ada sesuatu telah
terjadi. Perampok itu telah lepas tadi malam."
"Tak mungkin!" seru advokat itu pura-pura terkejut. "Aku segera datang!"
Tidak lama kemudian ia meninggalkan kamarnya pergi ke Pangeran. Di kamar
Pangeran sudah hadir Putri Roseta, Senora Clarissa, dan Alfonso.
"Sudahkah Anda dengar berita yang mengejutkan itu?" tanya Don Manuel.
"Sudah," jawab Cortejo, "akan tetapi saya rasa berita itu salah."
"Tidak salah. Perampok itu benar-benar telah lepas."
"Mana mungkin! Bukankah tawanan itu dijaga ketat oleh dua orang abdi?"
"Namun ia sudah menghilang tanpa bekas."
"Hm!" geram Notaris sambil memasang muka, seolah-olah ia terkejut sekali.
"Sudahkah Anda mendengar dari Alfonso, bahwa semalam ia telah menyaksikan
tawanan itu masih ada?"
"Ya. Putraku telah mengunjungi ruang tahanan itu dan ia melihat sendiri tawanan


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu sedang tidur di lantai."
"Kalau begitu, mereka itu dilepas oleh para abdi penjaganya sendiri. Tidak ada
keterangan lain lagi yang masuk akal."
"Itu tidak mungkin. Kedua abdi itu begitu terkejut sehingga saya tidak dapat
mencurigai sedikit pun."
"Saya pun percaya, bahwa para abdi tidak bersalah," kata Roseta dengan nada
meyakinkan. "Mereka orang-orang yang setia, itu dapat saya jamin."
"Tetapi bagaimana perampok itu dapat melepaskan diri, kalau tidak dengan
pertolongan mereka?" tanya ahli hukum itu.
"Itu yang akan kita selidiki. Ayahku telah memanggil Anda untuk membantu
penyelidikan itu." "Bagus! Saya harap, penyelidikan akan membawa hasil yang nyata. Saya langsung
akan pergi ke tempat kejadiannya."
Sudah dapat diduga, bahwa penyelidikan itu tak akan membawa hasil. Sternau pun
terbangun dari tidurnya oleh hiruk-pikuk dalam puri itu. Segera ia pergi untuk
melihat apa yang terjadi. Di lorong ia bertemu dengan penjaga puri yang
kelihatan sedang bingung sekali.
"Anda sudah mengetahui?" tanya Alimpo cepat. "Pembunuh itu telah melarikan
diri." "Tak mungkin," seru dokter itu terkejut.
"Namun kenyataannya demikian," jawab Alimpo. "Ia menghilang, tanpa meninggalkan
bekas. Itu pun dikatakan oleh Elviraku."
"Tetapi saya tidak mengerti. Bagaimana tawanan itu dapat meninggalkan ruang
tahanan?" "Tak seorang pun mengetahui, bahkan Elviraku pun tidak. Saya menugaskan dua
orang abdi menjaga di muka pintu. Pangeran Alfonso pun turut menyaksikan tawanan
itu sedang tidur di ruang tahanan. Tadi pagi, ketika para abdi masuk ke dalam
ruang untuk mengantar air minum, tawanan itu sudah hilang!"
"Sangat mengherankan! Itu harus diselidiki! Bila orang itu melarikan diri, usaha
pembunuhan pada diri saya kemarin tidak mungkin menjadi terang!"
"Sayang sekali, Tuan! Kini datang orang-orang yang berwajib mengadakan
penyelidikan, dan pelaku utamanya, pembunuh itu, justru telah menghilang. Sangat
menyedihkan dan memalukan. Demikian dikatakan juga oleh Elviraku. Tetapi saya
sudah cukup membuang waktu mengobrol di sini. Saya mempunyai tugas. Saya harus
mengantar Condesa Roseta dengan kereta kuda ke Kota Pons."
Alimpo segera pergi, karena ia sekarang harus melakukan tugas mulia, yaitu
melindungi putri majikannya dalam perjalanan, supaya tidak terjadi sesuatu pada
dirinya. Hal itu membuatnya merasa bangga, membuat otot-otot tubuhnya yang kecil
itu berkembang besar serta mempunyai keberanian seekor singa. Meskipun ia tidak
dipersenjatai dengan pedang zaman kuno yang pernah dipuji sifatnya kepada
istrinya itu, rasanya ia seorang pahlawan besar yang setiap saat dapat membela
putri majikannya itu. BAB V SEORANG LETNAN PERANCIS Hari itu di Kota Pons terdapat pekan raya. Karena itu jalan-jalan yang
menghubungkan kota itu dengan daerah-daerah sekitarnya menjadi ramai sepanjang
hari. Bangsa Spanyol terkenal sebagai bangsa yang bersungguh-sungguh, namun bila
tiba waktunya untuk melihat hidup dari sudut gembira, akan diraihnya kesempatan
itu dengan dua belah tangannya.
Dua orang sedang kelihatan menempuh jalan dari arah utara menuju ke kota. Mereka
menghindari jalan raya dan hanya melalui jalan-jalan kecil, supaya tidak usah
berjumpa dengan orang-orang. Mereka memanggul bedil Pirenea berlaras panjang
serta membawa beberapa pistol dan pisau belati tersisip pada ikat pinggangnya.
Dengan demikian mereka tidak menimbulkan kesan, bahwa mereka orang-orang yang
cinta damai. Salah seorang di antara mereka menyandang seutas tali. Di ujungnya
tergantung segulung kain hitam. Dalam keadaan terbuka kain itu akan dapat kita
ketahui sebagai topeng, yang juga dipakai para perampok yang telah menyerang
Dokter Sternau di Rodriganda itu. Adakah hubungan antara orang-orang ini dengan
pembunuh-pembunuh Dokter Sternau itu"
Memang ada. Yang seorang ialah yang sempat melarikan diri setelah serangannya
ternyata gagal, yang seorang lagi ialah perampok yang dibebaskan Notaris.
Setelah diputuskan percakapan dengan notaris itu, maka ia cepat-cepat
meninggalkan Rodriganda, menuju Kota Pons. Di tengah jalan ia berjumpa dengan
kawan yang sedang bersembunyi, sedang menanti perkembangan lebih lanjut dari
peristiwa itu. "Nah, bagaimana sekarang!" kata salah seorang setelah lama mereka berjalan tanpa
bercakap. "Bagaimana pendapatmu, Bartolo?"
"Aku akan kembali lagi ke Capitano."
"Bodoh kau, kalau mau kembali lagi!" kata yang lain. "Kita akan kena marah dan
tidak akan lepas dari hukuman kita, karena kegagalan usaha kita. Sekurangkurangnya kita akan sepuluh kali tidak mendapat bagian harta rampasan."
"Bagus kalau sampai di situ saja akibatnya. Mungkin hukumannya lebih kejam
lagi!" kata Bartolo. "Kau benar Juanito, namun kita harus taat juga. Kita sudah
mengucapkan sumpah setia."
"Kuanggap tak perlu memegang janji pada seorang pemimpin perampok. Aku ikuti
teladan kaum saudagar. Kini aku akan membuka usaha sendiri. Kau ikut aku atau
tidak?" "Aku" Hm!"
"Coba bayangkan, Bartolo! Capitano mendapat sebagian besar dari apa yang kita
kumpulkan. Semua rahasia, siasat, dan rencana dipegangnya sendiri. Kita yang
mengerjakan segalanya, kita yang dimasukkan ke dalam penjara atau digantung. Ia
sendiri tinggal di rumah dengan aman. Ia hanya memimpin saja. Kau sudah
mengetahui, berapa banyak uang yang sudah diterima sebagai upah untuk membunuh
dokter itu. Dan berapakah yang akan direlakan untuk diserahkan kepada kita?"
"Ya, hanya sedikit sekali yang dapat kita harapkan. Itu sudah pasti."
"Bukankah lebih baik berusaha sendiri tanpa menjadi kaki tangan orang lain"
Umpamanya kita dapat menawan seorang bangsawan kaya-raya. Kita dapat minta uang
tebusan besar, yang dapat kita nikmati bersama."
"Kau benar juga, Juanito! Kalau begitu, kita harus meninggalkan tempat ini. Bila
diketahui oleh Capitano, tamatlah riwayat kita ini."
"Kita akan menyeberang Sungai Ebro. Tetapi kita harus mengumpulkan uang lebih
dahulu untuk ongkos perjalanan. Pada saat ini di Pons diadakan pekan raya.
Orang-orang akan membawa uang lebih yang tidak mereka perlukan sendiri. Itu
dapat dipakai untuk keperluan kita. Ayo, kita pergi sekarang!"
"Baiklah! Jadi engkau mempunyai bedil!"
"Bedil-bedil dan pistol-pistol yang harus kita tinggalkan, karena hanya boleh
menyerang dengan pisau saja ketika itu. Kebetulan aku mempunyai dua bilah pisau.
Boleh kuberi sebilah."
"Tetapi dengan bedil dan pistol itu kita akan menarik perhatian."
"Bodoh! Apa yang belum kita perlukan, kita sembunyikan dahulu."
Mereka tidur semalam dalam hutan. Keesokan paginya mereka menanam senjata mereka
yang belum diperlukan. Kemudian mereka berangkat menuju Kota Pons. Mereka tidak
bermaksud masuk kota itu, karena pekerjaan itu terlalu berbahaya bagi mereka.
Mereka bermaksud bersembunyi di luar kota di suatu tempat persembunyian. Dari
tempat itu mereka menghadang orang-orang yang lalu dan membawa uang banyak.
Dengan demikian mereka berharap dapat mengumpulkan cukup uang sebagai bekal
belanja. Mereka sedang berbaring di balik semak belukar dan melihat orang-orang lalu
lintas, tanpa mereka bergerak dari tempat persembunyiannya, karena di antara
orang yang lalu tidak menimbulkan kesan membawa uang banyak. Tiba-tiba mereka
mendengar derap kaki kuda dan putaran roda kereta. Bartolo menjenguk keluar dari
semak-semak, namun ia menarik diri kembali dengan terkejut.
"Ada apa" Siapakah dia?" tanya Juanito.
"Astagfirullah! Betapa terkejutnya aku!" jawab yang lain.
"Itulah Condesa dari Rodriganda, yang ditemani oleh dokter itu, ketika kita
menyerangnya." "Benarkah" Bagus, itu mangsa kita."
Sekarang giliran Juanito untuk mengintip dari balik semak-semak.
"Ya, kau benar" katanya. "Tetapi begitu cepat jalannya. Kita tidak sempat
menembak." "Menembak?" tanya Bartolo. "Kau kan tidak bermaksud membunuhnya!"
"Bukan orangnya. Aku hanya ingin menembak kudanya, supaya kereta itu terpaksa
berhenti dan mereka dengan sendirinya akan jatuh ke tangan kita."
"Itu pendapat yang lebih baik. Aku tidak tega membunuh seorang putri yang sangat
cantik. Kedua orang pengawalnya dapat kita selesaikan dengan mudah. Saisnya
tidak nampak sebagai seorang pahlawan, apalagi yang lainnya. Aku mendengar dia
kemarin disebut penjaga puri. Dia seorang penakut benar, melihat nyamuk pun ia
akan lari tunggang langgang. Condesa tentu akan membawa banyak uang. Bagaimana
sekarang, kita akan menunggu sampai ia kembali lagi?"
"Baik!" angguk Juanito. "Kita tidak dapat mengharapkan mangsa lebih baik lagi.
Kita tembak saja kudanya. Kau kuda di sebelah kanan dan aku kuda di sebelah
kiri. Selanjutnya akan kita lihat bagaimana perkembangannya."
Ketika rencana ini diperbincangkan, kereta Putri Rodriganda berjalan menuju Kota
Pons. Roseta mengetahui, bahwa kawannya akan tiba dengan naik kereta pos dan
karena masih belum waktunya kereta pos itu datang, maka Roseta minta supaya
saisnya mengantarkan dahulu ke sebuah hotel, tempat Putri biasa menginap, bila
ia sedang di Pons. Setengah jam kemudian tibalah kereta pos ditarik oleh enam ekor kuda. Alimpo dan
sais sedang menanti di perhentian kereta pos untuk menjemput tamu dan
mengantarkannya ke majikannya. Satu per satu penumpangnya turun dari kereta pos
dan sebagai penumpang terakhir turunlah seorang wanita berbaju tebal dan mukanya
bertudung. Penjaga puri telah mengamati semua penumpang dengan sia-sia. Akhirnya
ia menghampiri wanita itu, membungkuk dalam-dalam dan berkata,
"Selamat siang - selamat datang! Anda tentu Senorita Lady Dryden!"
Wanita itu tertawa riang, terdengar seperti kicau seekor burung yang sedap
didengar. Kemudian dijawabnya sambutan aneh yang baru didengarnya itu.
"Benarlah, Kawan, saya ini Amy Dryden. Dan siapakah Anda?"
"Dona Lady Senorita yang mulia, saya ini Senor Juan Alimpo, penjaga Puri
Rodriganda. Demikian juga pendapat Elviraku."
Kembalilah terdengar tawa riang yang pendek itu.
"Dan siapakah Elvira itu?"
"Elvira itu istri saya, Lady Amy Senorita Dryden."
"O, begitu! Dan katakanlah, Anda hanya sendiri saja datang menjemputku?"
"Tidak, Lady Dryden Dona! Condesa turut juga. Beliau di hotel menanti Anda."
"Antarkan saya ke sana, Senor Alimpo!"
Penjaga puri memberi tanda kepada sais untuk mengurus barang bawaan tamu. Ia
sendiri berjalan dengan bangga di muka wanita Inggris itu sebagai penunjuk
jalan. Alimpo yang berbudi itu menyadari, bahwa "Dona Lady Amy Senorita Dryden"
telah mendapat pelayanan yang sangat terhormat dari padanya.
Roseta sedang berdiri di depan jendela, ketika ia melihat kawannya datang.
Cepat-cepat ia menghampiri kawannya itu. Mereka bertemu di depan pintu kamar.
Wanita asing itu membuka tudung mukanya dan kini Alimpo melihat wajah seorang
gadis cantik berambut pirang yang ramah dan memesonakan, sehingga Alimpo lupa
segala-galanya, lupa bahwa kurang pantas baginya turut menyaksikan dua gadis itu
berpeluk cium. Baru setelah ia melihat pandangan mata majikannya yang seolaholah menegur, ia sadar pada kesalahannya, lalu cepat-cepat memutar badannya dan
kembali ke ruang bawah. Di situ ia bertemu dengan sais, yang sedang terengahengah membawa barang-barang bagasi yang berat itu.
"Masya Allah! Alangkah cantiknya!" seru Alimpo penuh kekaguman. "Dan rambutnya
itu, aduhai benar! Bagaikan emas! Bahkan lebih murni daripada emas... Hai!
Mengapa engkau melongo saja, memandang aku terus-menerus! Masih banyak
pekerjaanmu menanti! Bawalah kopor-kopor dan kotak-kotak itu ke kereta dan
janganlah ingin tahu urusan-urusan orang lain yang tidak dapat kaupahami!"
Penjaga puri itu tersentak dari lamunan, ketika dilihatnya sais itu sedang
memandangnya dengan tercengang dan sedang melahap segala rahasia lubuk hatinya,
yang dengan tiada sadar telah diungkapkannya. Ia membelalakkan mata kepada sais,
lalu memutar badannya dan pergi ke sekitar kamar majikannya untuk menanti
perintah-perintah selanjutnya.
Selesai bersalam-salaman, kedua gadis itu saling menceritakan pengalamanpengalamannya masing-masing. Kini mereka berdiri di muka jendela dan bercakapcakap dengan gembira, sambil menyaksikan keramaian berhubung dengan pekan raya
itu. Gadis Inggris itu sambil menunjuk dengan jari berkata,
"Lihatlah, Roseta, siapakah orang itu?"
"Seorang perwira! Pasukan berkuda!"
"Kau kenal dia?"
"Tidak. Ia bukan orang Spanyol. Dilihat dari pakaian seragamnya, ia seorang
Perancis." Ternyata itu Mariano, dalam perjalanan menuju Rodriganda, melalui Kota Pons.
Siapa menyaksikan dia, berpakaian seragam pasukan berkuda yang manis, dengan
gagah duduk di atas kuda jantan yang tangkas, sekali-kali tidak akan mengira,
bahwa anak muda itu adalah anak angkat seorang pemimpin perampok. Adelardo,
seorang perampok yang menyamar sebagai abdi, mengikutinya dengan jarak tertentu.
Mariano menuju ke hotel untuk beristirahat sejenak. Tetapi sebuah gerobak yang
agak tinggi, berisi buah-buahan sebagai barang jualan, menghalangi jalannya.
Bukannya mengitari gerobak itu, Mariano langsung saja melompat dengan kuda
jantannya. Kuda itu melakukannya dengan begitu mudah, seolah-olah rintangan itu
tiada berarti sedikit pun baginya.
"Hebat juga!" seru Roseta dan bertepuk tangan.
"Penunggang kuda yang tangkas!" kata Amy, sambil mengagumi anak muda itu.
Penunggang kuda itu memperhatikan rumah yang hendak dikunjunginya. Tiba-tiba
perhatiannya tertarik kepada jendela dengan kedua gadis itu di belakangnya.
Kedua gadis itu menyaksikan air muka pada wajah pemuda itu berubah menjadi
gembira. Pemuda itu menarik kekang kudanya, seolah-olah hendak menghentikan kuda
dan berdiam diri sejenak di situ, namun perbuatan itu diurungkan. Sekali lagi ia
melempar pandangannya ke atas lalu melompat turun dari kudanya.
"Tidak tampakkah olehmu, bahwa ia memandang kepadamu?" tanya Amy, yang menjadi
merah padam mukanya. "Pandangan itu bukan untukku, melainkan untukmu sendiri. Aku yakin!"
"Itu tidak mungkin!" kata gadis Inggris itu sambil tertawa kemalu-maluan. "Kau
begitu cantik, setiap orang pasti akan menaruh perhatian kepadamu."
"Tahukah kamu, bahwa kamu jauh lebih cantik daripadaku, Amy" Kamu tidak percaya"
Baik, akan kubuktikan."
"Bagaimana caranya, Roseta" Kau membuatku ingin tahu."
"Seorang wasit akan menentukannya."
"Itu hebat!" tawa gadis Inggris itu. "Siapa yang menjadi wasitnya" Tentu
maksudmu bukan Alimpo, yang memanggilku Senorita Amy Dona Dryden."
"Bukan dia, Manis. Meskipun Alimpo seorang abdi yang baik hati dan setia, namun
janganlah kita memberi beban dengan tugas sebagai seorang wasit. Ia betul-betul
tidak akan sanggup, karena ia tidak mempunyai pendapat sama sekali tanpa
'Elviranya'. Tapi di Puri Rodriganda terdapat seorang yang tepat sekali untuk
tugas sebagai wasit itu: ialah dokter kami."
"Seorang dokter" Apa pengetahuan seorang dokter dalam bidang kecantikan"
Bukankah nanti pendapatnya akan didasarkan pada obat-obatan dan ramuan-ramuan?"
Amy tertawa dengan nakal, sehingga Roseta terpaksa turut tertawa juga, tetapi
cepat-cepat ia menjawab, "Tidak semua dokter hanya memikirkan tentang obat-obatan saja. Dokter Sternau
itu..." "Sternau?" selang kawannya. "Itu nama orang Jerman. Dahulu kaukatakan, doktermu
bernama Cielli." "Benar. Tetapi Dokter Cielli sudah berhenti. Bayangkan dahulu, Amy sahabatku,
ayahku akan dapat melihat lagi!"
Gadis Inggris itu cepat melihat ke muka kawannya. Pada mata kawannya itu
terlihat sinar kegembiraan yang sangat.
"Mungkinkah itu?" tanyanya. "Alangkah bahagianya! Ceritakanlah! Cepat,
ceritakan!" "Baik, akan kuceritakan, tetapi jangan di sini. Nanti saja. Dalam perjalanan
kita ke puri. Janganlah kita membiarkan Ayah menunggu lama kedatanganmu."
Roseta memerintahkan Alimpo menyiapkan kereta kuda. Beberapa menit kemudian
mereka meninggalkan kamar dan naik ke atas kereta. Di halaman di muka hotel
tertambat dua ekor kuda kepunyaan dua orang pemuda yang baru datang itu. Mariano
sudah ada di dalam menghadapi anggur segelas yang telah dipesannya. Namun ia
tidak menyentuh anggur itu, karena di hadapannya selalu terbayang kedua mata
biru yang dilihatnya tadi. Mata itu telah memandangnya dengan penuh kekaguman.
Kini didengarnya derap kaki kuda. Ia melihat ke luar jendela. Tampak olehnya
sais sedang memasang kuda pada keretanya. Cepat-cepat ia menghadapi jendela. Ia
memandang ke arah pintu kereta. Di situ tergambar sebuah mahkota dengan warna
keemasan di atas latar putih dan di bahwa mahkota itu tertera huruf-huruf: R dan
S. Ditekankannya tangannya kepada pelipisnya. Ia merasa nadinya berdenyut keras.
Baru saja dilihatnya penjelmaan dari mimpi-mimpinya. Jadi mimpi itu ternyata
bukan mimpi, melainkan kenyataan. Jiwanya bergelora dan berbuih, tetapi ia


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menahan diri dan memanggil pemilik hotel.
"Kereta itu milik siapa?" tanya Mariano.
"Kepunyaan Pangeran Manuel de Rodriganda," jawabnya.
"Rodriganda," demikian diulangnya dengan berbisik. "Dan apakah makna huruf S
itu?" "Pangeran itu bernama Manuel de Rodriganda y Sevilla. Wanita yang baru naik ke
atas kereta itu adalah anaknya, Condesa Roseta."
"O, begitu. Dan siapa wanita lainnya?"
"Ia orang asing. Menurut keterangan penjaga puri, Senor Juan Alimpo, wanita itu
adalah seorang kawan Condesa, seorang Inggris. Ia berkunjung ke Rodriganda."
Pemilik hotel pergi. Mariano berdiam diri. Agak bingunglah ia, ke mana harus
dicurahkan perhatiannya lebih dahulu, ke muka gadis Inggris yang masih belum
mengenakan tudung itu atau ke lambang kebangsawanan yang huruf-hurufnya memberi
pengharapan penuh kepadanya. Kini kedua gadis itu sudah duduk di dalam kereta.
Pemilik hotel berlari ke luar untuk mengucapkan salam berpisah, ketika perhatian
Amy tertarik kepada jendela yang terbuka itu. Di belakangnya berdiri Mariano.
Amy menjadi merah mukanya. Tak lama kemudian kereta itu berangkat. Mariano
melempar sekeping uang perak ke atas meja, lalu bergegas-gegas ke luar.
Kudanya dinaiki dan dipacunya.
"Kita sudah harus pergi lagi?" tanya abdinya terheran-heran. Adelardo tidak
mendapat jawaban melainkan harus cepat-cepat menaiki kudanya juga untuk
mengikuti tuannya. Baru setelah Mariano menempuh jarak yang agak jauh, ia
memperlambat lari kudanya. Gelora darahnya sudah mereda dan ia dapat berpikir
tenang kembali. Mungkinkah pertemuan ini hanya berdasar kebetulan saja, tidak
mengandung arti sama sekali baginya" Mungkinkah lebih banyak keluarga yang
memakai lambang kedua huruf R dan S itu" Mengapa ia melarikan kudanya cepatcepat seperti dikejar-kejar setan untuk mengikuti kereta itu" Bukankah
Rodriganda tujuannya juga, sehingga ia pasti dapat berjumpa dengan kedua wanita
itu kembali, bila Andaikata ia kehilangan jejak kereta kuda itu"
Maka Mariano memperlambat lari kudanya. Kereta itu dilihatnya menikung di sebuah
kelokan dan menghilang. Akan tetapi sesaat kemudian ia terkejut: ia mendengar
bunyi tembakan. Sekali lagi terdengar sebuah tembakan. Di balik kelokan terlihat
asap mengepul di dua tempat. Apakah kereta itu sedang ditembak orang" Mariano
memacu kudanya. Dalam waktu kurang dari semenit ia mencapai kelokan dan melihat
apa yang terjadi. Kereta yang ditumpangi Putri berhenti di tengah-tengah jalan dan dua ekor kuda
yang menariknya tergolek di atas tanah, kepalanya berlumuran darah. di belakang
kereta itu sedang berjongkok sais yang gemetar di sekujur tubuhnya. Anehnya,
Alimpo, penjaga puri yang suka disebut pahlawan itu, kini menghilang tanpa
jejak. Di atas tangga kereta berdiri seseorang yang berkedok dan membidikkan
pistolnya ke arah kedua wanita itu. Di sampingnya, di atas tanah, berdiri
kawannya yang membidikkan bedilnya. Mukanya telah dilumuri dengan arang. Ketika
mereka mendengar derap kaki kuda di belakangnya, mereka memutar badannya.
"Bangsat!" geram Bartolo setelah dikenali Mariano.
"Persetan dengan dia!" seru Juanito. "Tembak saja! Habis perkara!"
Maka dibidikkannya bedilnya ke arah Mariano dan ditariknya picunya. Tetapi
pemuda itu waspada dan sudah siap mengelak. Peluru mendesing di sisinya, namun
tiada mengenainya. Seketika kemudian sudah dicabutnya pedangnya dari sarungnya.
"Terimalah ini, bedebah!"
Dengan perkataan ini ditetakkan pedangnya ke atas kepala lawannya sehingga orang
itu rebah ke atas tanah. "Nah, mereka sudah dibereskan," kata pemuda itu sambil membungkuk dalam-dalam di
hadapan kedua wanita itu. "Apakah Anda terluka, Senorita-Senorita?"
Dengan pistol masih di dalam tangan, ia berdiri di hadapan mereka. Amy berdiam
diri saja, hanya mukanya menjadi merah. Roseta segera dapat menguasai diri dan
menjawab, "Tidak. Untunglah kami tidak mendapat cedera, berkat pertolongan Anda. Anda
datang tepat pada waktunya untuk menghindarkan bencana. Maka kami menyatakan
terima kasih yang sebesar-besarnya, Senor! Saya adalah Condesa de Rodriganda dan
wanita ini Amy Dryden, sahabat saya."
Mariano memberi hormat dan berkata,
"Saya adalah Letnan Alfred de Lautreville. Bolehkah saya mendapat kehormatan
untuk melayani kepentingan Anda?"
"Sayang kami merasa terpaksa memenuhi permintaan Anda, karena abdi-abdi kami
telah menghilang tanpa jejak."
"Saya lihat ada seorang duduk di belakang kereta. Ayo, ke marilah kamu!"
Sais itu bangkit dari sikap jongkoknya, lalu menghampiri pemuda itu dengan
berjalan tertimpang-timpang dan merasa malu.
"Mengapa engkau bersembunyi" Bukankah seharusnya engkau melindungi kedua wanita
itu?" tanya letnan itu.
"Saya hanya duduk di belakang kereta, Senor teniente (letnan)," bunyi jawabnya.
"Tetapi mengapa" Orang bertubuh sekuat kamu, tidak berani melawan perampokperampok seperti itu?"
"Kalau disuruh berkelahi, sebenarnya saya berani melawannya, tetapi mereka
hendak menembak saya. Lagipula Senor Alimpo lebih-lebih lagi, Senor Teniente. Ia
sedang bersembunyi di balik semak-semak itu."
Sais itu langsung menunjuk ke tempat persembunyian yang dimaksudkannya. Dengan
perlahan-lahan Alimpo bangkit di balik semak-semak itu. Ia telah menelungkup
dengan muka menyentuh tanah, supaya tidak sampai menyaksikan bencana itu.
Setelah dilihatnya, bahwa sudah lewat, ia melompat, dan berlari-lari dengan
kedua belah tangannya terkepal menjadi tinju.
"Condesa!" serunya dengan gagah, "mereka hendak menyerang kita. Di mana mereka
sekarang, jahanam itu" Akan saya hancurkan mereka!"
Mariano hendak menjawab, namun ketika dilihatnya Alimpo, perkataan itu tidak
keluar dari mulutnya. Kurasa, sudah pernah melihat orang ini. Orang yang
bertubuh kecil, muka yang nampak ketakutan, janggut yang aneh itu!
Roseta yang menggantikan menjawab.
"Kemauan baikmu itu sudah terlambat. Maka jangan cepat-cepat mau melarikan
diri." "Melarikan diri" Apakah saya melarikan diri?" tanya Alimpo dengan kemalu-maluan.
"Benarlah. Lalu kamu bersembunyi."
"Bersembunyi" Ya, tentu, itu terpaksa saya lakukan. Saya tidak boleh ditembak
mati, maka saya bersembunyi. Maksud saya kemudian akan menolong Anda."
"Caramu agak aneh untuk menyelamatkan orang!" kata Roseta dengan tersenyum.
"Tetapi biar bagaimana juga, pertolonganmu sudah tidak diperlukan lagi. Lihat
tubuh kedua orang yang tergolek di situ. Siapakah mereka?"
Adelardo telah turun dari kudanya, lalu mulai membuka alat penyamaran kedua
orang itu. Perampok yang kepalanya kena tetak pedang itu mukanya berlumuran
darah dan tidak dapat dikenal lagi. Tetapi setelah muka perampok yang lain
dibersihkan dari arangnya, maka penjaga puri berseru,
"Astagfirullah! Itu pelarian kita! Anda dapat mengenalnya juga, Dona Roseta?"
"Benar juga!" kata Tuan Putri. "Kalau begitu, ia sudah menerima ganjarannya!"
Untunglah bahwa peristiwa itu telah memenuhi segala pikiran kedua wanita itu,
sehingga perbuatan kedua pemuda itu luput dari perhatian mereka. Letnan bersama
abdinya itu berjongkok dekat mayat itu dan Adelardo berbisik, "Astagfirullah!
Itu Bartolo." "Sst! Diam! Jangan sampai kedengaran!" kata Mariano, memperingatkan abdinya.
Kemudian ia bangkit berdiri dan bertanya kepada Tuan Putri, "Anda kenal dia,
Dona Roseta?" "Ya, saya mengenalnya. Ia termasuk kelompok pembunuh yang berikhtiar hendak
membunuh salah seorang penghuni puri. Ia telah kami tangkap."
Pemuda itu memberi isyarat dengan pandangannya kepada Adelardo supaya berhatihati, lalu berkata pura-pura acuh tak acuh,
"Peristiwa ini segera harus kita laporkan ke Kota Pons karena tempat ini
termasuk daerah kota itu."
"Dan bagaimana dengan kami" Lalu kereta saya bersama kuda yang malang itu hendak
diapakan?" "Anda janganlah terganggu oleh pikiran-pikiran lain yang menyusahkan. Mohon
izinkan saya mengantar Anda ke Rodriganda."
"Dengan segala suka hati, Senor Teniente! Tetapi kami sudah tidak mempunyai kuda
lagi!" "Itu soal mudah. Saya dapat memasang kuda saya sendiri dan kuda abdi saya di
muka kereta Anda. Kita dapat meninggalkan tempat ini, sedang abdi saya tinggal
di sini bersama orang-orang Anda untuk melaporkan kejadian itu dan menjaga mayat
sampai tiba waktunya orang-orang mengangkatnya dari situ. Kemudian mereka dapat
menyusul kita naik kereta sewaan."
"Usul itu baik, Senor Teniente," kata Roseta. "Cepat, lepaskan kuda-kuda yang
sudah mati dari kekangnya dan singkirkanlah. Tempat ini menimbulkan rasa muak
dalam hatiku." Tak lama kemudian kereta itu sudah disiapkan dengan dua kuda
baru. Letnan melompat ke atas tempat duduk sais. Penjaga puri menghampiri pintu
kereta lalu berkata, "Condesa yang mulia, sudikah Anda mengabulkan permintaan saya! Sampaikan kepada
Elviraku, bahwa saya tidak tertembak mati dan bahwa kami telah memperoleh
kemenangan yang gilang-gemilang!"
"Baik, akan kusampaikan," janji Tuan Putri.
Hampir-hampir kekang kuda terlepas dari tangan Letnan. Elvira, Alimpo! Itulah
justru nama-nama yang melekat dalam ingatan. Mungkinkah sekarang secara
kebetulan ia sedang mengikuti jejak mereka yang dicarinya"
"Akan segera saya laporkan," kata penjaga puri. "Perkara perampokan seperti ini
harus dilaporkan kepada yang berwajib. Demikian juga pendapat Elviraku."
Kini sudah jelas sekali bagi Mariano. Jadi benar juga perkiraannya itu, Alimpo
ini orang yang dahulu kerap kali menggendong dan menidurkannya. Tetapi ia tidak
dapat lama-lama memikirkan hal itu, karena Tuan Putri memberi tanda untuk
berangkat. Penjaga puri memperhatikan kereta berangkat sampai akhirnya menghilang dari
pandangannya. Kemudian ia menegur serdadu pasukan berkuda itu.
"Anda seorang abdi dari perwira tadi, bukan" Siapa nama perwira itu?"
"Namanya Letnan Alfred de Lautreville."
"Jadi ia seorang Perancis?"
"Benarlah. Pasukan kami bertugas di Paris."
"Tetapi Anda mahir benar berbahasa daerah Catalonia, seolah-olah Anda orang
kelahiran sini. Apa maksud Anda pergi ke Spanyol?"
"Hm. Itu tidak boleh saya katakan," jawab Adelardo bangga. "Kami diutus ke mari
membawa tugas kenegaraan."
"O, jadi atasan Anda seorang duta!" seru Alimpo. "Masya Allah! Masih begitu muda
sudah menjadi seorang duta! Dan berpangkat letnan lagi!"
Kini ia berbicara dengan sais, "Sudah kau perhatikan baik-baik senor Teniente
tadi! Adakah sesuatu yang patut kau kemukakan?"
"Tidak ada!" "Masa! Harus ada sesuatu! Berapa lama kamu bekerja pada Pangeran?"
"Lebih dari tiga puluh tahun."
"Kalau begitu kamu sudah mengenal Pangeran pada masa mudanya. Coba bandingkan
Pangeran ketika itu dengan Senor Teniente de Lautreville. Adakah sesuatu yang
patut dikemukakan?" "Tidak ada!" jawab sais itu sambil menggeleng kepala.
"Benar-benar dungu kamu!"
"Mungkin begitu," jawab sais itu acuh tak acuh.
Dalam pada itu kereta berjalan terus ke Rodriganda. Roseta sibuk memikirkan,
siapakah gerangan orang yang menyewa pembunuh-pembunuh itu. Amy sebaliknya asyik
dengan memandang pemuda yang sedang duduk di muka kereta, di tempat sais.
Akhirnya kereta tiba di Puri Rodriganda. Di muka pintu halaman berdiri seorang
bertubuh tinggi kurus yang sedang mengawasi mereka dengan terheran-heran.
"Siapakah orang itu?" tanya Amy.
"Senor Gasparino Cortejo, ahli hukum kami," jawab Roseta.
Mariano pun kenal nama itu. Bukankah itu nama orang yang telah memberi perintah
untuk menukarkan dirinya" Dan di atas pintu gerbang puri ia melihat terpahat di
atas batu, suatu gambar lambang sebuah mahkota dan di bawahnya tertulis hurufhuruf R dan S. Puri yang indah dan agung itu memberi kesan yang tidak
terlukiskan kepadanya. Seolah-olah ia tiba di suatu tempat, yang merupakan
sumber dari segala mimpi tentang masa kecilnya, lalu melompatlah ia dari tempat
sais dengan perasaan, bahwa hidupnya mulai sekarang ini masuk tahap yang baru.
Notaris menatap pemuda itu dengan rasa heran. "Apakah ini?" sungutnya. "Siapakah
orang itu" Nyata benar persamaannya! Inilah Pangeran Manuel tiga puluh tahun
yang lampau! Suatu kebetulan saja atau bukan?"
Sepintas lalu tampak olehnya, bahwa dirinya sedang diamati juga oleh pemuda itu.
Pandangan pemuda itu mengandung rasa ingin tahu bercampur kewaspadaan seperti
menghadapi suatu bahaya. Kedua wanita itu telah turun dari kereta lalu menaiki
tangga luar yang besar itu. Notaris menyambut mereka dengan tersenyum sopan dan
memberi hormat dengan membungkuk.
"Saya merasa mendapat kehormatan besar sebagai orang pertama dapat menyambut
kedatangan Anda. Kini izinkan saya diperkenalkan kepada pengantar Anda."
Kemudian, ketika nama Gasparino Cortejo disebut oleh Roseta, maka tampaklah
pandangan Letnan kepada Notaris mengandung rasa curiga. Ketika Notaris mendengar
nama Alfred ke Lautreville hatinya menjadi lega. Perwira itu berbangsa Prancis jadi persamaannya dengan Pangeran hanyalah suatu kebetulan.
Kini kedatangan kereta di puri sudah mulai ketahui orang. Alfonso, Dokter
Sternau, dan Nona Clarissa bergegas-gegas datang untuk menyambut para tamu.
Mereka melihat kuda-kuda lain yang dipasang pada kereta itu dan Alfonso
menanyakan apa sebabnya. "Senor de Lautreville begitu baik meminjamkan kudanya, karena kuda kami telah
tertembak mati," demikianlah penjelasan Roseta.
"Tertembak mati?" tanya ahli hukum itu terheran-heran. "Oleh siapakah?"
"Oleh perampok, tawanan kita, yang semalam melarikan diri."
Kini diceritakan oleh Roseta segala kejadiannya. Cerita itu menawan hati para
pendengarnya. Perwira yang masih muda itu menerima pujian dan ucapan terima
kasih mereka. Cortejo pun mengulurkan tangannya kepadanya. Kemudian ia berkata,
"Perampok biadab seperti itu tak boleh tidak harus ditindak dengan tegas. Kini
sedang hadir di rumah Pangeran suatu panitia di bawah pimpinan seorang perwira
pengadilan dari Barcelona, yang dapat mengadakan penyelidikan dengan saksama.
Petugas-petugas itu masih perlu mengajukan beberapa pertanyaan kepada Condesa.
Setelah itu mereka akan mengadakan penyelidikan tentang perampokan yang
dilakukan kemarin. Kemudian mereka akan dapat langsung pergi ke Pons."
Kini orang-orang pergi ke Pangeran. Di situ mereka menjumpai perwira pengadilan.
Pangeran Manuel mengucapkan selamat datang kepada kawan putrinya dan menyatakan
rasa terima kasihnya kepada Letnan yang dengan gagah berani telah menyelamatkan
jiwa kedua wanita itu. Namun Mariano menolak pujian itu. "Sebenarnya saya bukan seorang pahlawan. Yang
telah saya selamatkan hanyalah uang, bukan jiwa wanita itu."
"Saya tidak sependapat," kata Roseta. "Sesungguhnya Anda telah menyelamatkan
jiwa kami. Maka anggaplah rumah kami sebagai rumah Anda sendiri! Kami tidak akan
membiarkan Anda cepat-cepat meninggalkan Rodriganda!"
Mariano membuat isyarat seolah-olah hendak menangkis lalu menjawab, "Saya telah
melakukan kewajiban saya, ketika saya mengantar Anda ke Rodriganda. Namun saya
tidak boleh menyalahgunakan kebaikan hati Anda."
"Itu bukan penyalahgunaan," kata Pangeran cepat-cepat menengahi. "Anda akan
membuat kami merasa lebih berterima kasih, bila Anda sudi menerima undangan
kami. Saya benar-benar mengharap, supaya Anda beristirahat di rumah kami setelah
menempuh perjalanan yang melelahkan itu. Roseta akan menyuruh menyediakan kamarkamar untuk Anda." Perkataan tadi bukanlah diucapkan hanya karena terdorong oleh kesopanan sematamata. Pangeran itu buta dan tidak dapat melihat perwira itu. Tetapi ia mendengar
suaranya dan aneh, suara itu mengandung sesuatu yang menarik baginya. Notaris
pun turut menyaksikan dan diam-diam membandingkan wajah kedua orang itu. Memang
harus diakui, bahwa persamaannya agak mencolok juga. Lalu ia bermaksud hendak
berhati-hati. Setelah rombongan berpisah, maka letnan itu diantar oleh seorang abdi ke kamarkamarnya. Ia mendapat tiga buah kamar, sebuah kamar di muka, sebuah kamar duduk,
dan sebuah kamar tidur. Ia meletakkan pedangnya di kamar duduk, lalu pergi ke
kamar tidur untuk mencuci muka. Di dalam kamar itu terdapat juga istri penjaga
puri, yang sedang memeriksa apakah semua sudah beres. Ketika ia mendengar bunyi
langkah kaki, ia menoleh ke arah pintu. Ia mengetahui, bahwa tamunya seorang
perwira Perancis, maka hendak memberi hormat dengan membungkuk. Namun ketika
tampak olehnya wajah tamu itu, ia lupa membungkuk. Dengan mata terbelalak ia
berseru, "Astagfirullah! Pangeran Manuel!"
Perkataan itu membuat Mariano mundur selangkah. Wanita yang berdiri di
hadapannya benar-benar dikenalnya. Semasa kecil ia kerap kali duduk di atas
pangkuannya dan memandang mukanya yang bundar dan berkilat itu. Akhirnya ia
bertanya, "Elvira! Bukankah Anda penjaga puri bernama Elvira?"


Puri Rodriganda Karya Dr. Karl May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar," jawabnya sambil menarik napas. "Tuan kenal saya?"
"Ya. Saya dengar dari suami Anda. Tetapi mengapa Anda menamakan saya Pangeran
Manuel?" "Hampir tidak dapat dipercaya, Senor Teniente! Anda sama benar dengan Pangeran
Manuel, ketika beliau berusia dua puluh tahun."
"Benarkah" Yah, alam kadang-kadang menciptakan hal yang ganjil."
"Seperti pinang dibelah dua! Aduh, Alimpoku harus melihatnya!"
"Ia sudah melihat saya."
"Benar juga. Tadi sudah Tuan katakan, bahwa ia pernah bercerita tentang saya."
"Sudahkah Anda menerima salamnya dengan perantaraan Condesa?"
"Benarkah" Ia memberi salam kepada saya?"
"Benar." Pada wajah wanita itu nampak rasa bahagia dan ia berkata dengan mata berseriseri, "Memang itulah sifat Alimpo. Ia menyampaikan salam! Alangkah manisnya! Apa lagi
yang dikatakannya?" "Bahwa ia tidak tertembak mati."
"Masya Allah. Ya, saya dengar juga dari seorang abdi, bahwa ia turut diserang.
Untung benar Condesa mendapat perlindungan dari padanya."
"Tentu," kata Mariano sambil tersenyum. "Ia minta disampaikan juga kepada Anda,
bahwa ia telah memberi perlawanan dengan gagah perkasa dan memperoleh kemenangan
gilang-gemilang." "Saya yakin! Ya, saya yakin! Demikian ia selalu, Alimpoku. Bahkan kadang-kadang
ia terlalu berani, sehingga saya harus menahannya. Mari saya antar Anda ke
serambi tempat lukisan-lukisan. Nanti Anda dapat melihat sendiri, betapa besar
persamaan Anda dengan Pangeran Manuel. Tetapi baiklah Anda beristirahat dahulu.
Anda telah berkelahi dengan perampok-perampok itu. Tentu Anda sudah terlalu
lelah." Elvira hendak meninggalkan kamar, tetapi Mariano menahannya.
"Tunggu sebentar, Senora. Dapatkah Anda meluangkan sedikit waktu untuk menjawab
beberapa pertanyaan?"
"Untuk Anda saya selalu menyediakan waktu," jawab wanita itu. "Anda dan Senor
Sternau tidak dapat saya tolak permintaannya."
"Maksud Anda dokter itu" Coba ceritakan, siapakah dia."
"Senor Sternau itu seorang yang - yah, hampir sama gagah perkasanya dengan
Alimpoku. Ia telah datang dari Kota Paris. Ia dapat menyembuhkan Pangeran dari
penyakit kebutaannya. Dokter-dokter paling terkenal di sini tidak sanggup
melakukannya. Kemarin ia diserang sekelompok perampok."
"Itu sudah saya dengar. Apakah sebab-sebabnya, mengapa ia harus dibunuh"
Barangkali ia mempunyai musuh."
"Mempunyai musuh" Tidak mungkin! Ia tidak pernah berbuat jahat pada seseorang.
Semua orang menyukainya."
Penyerangan pada dokter itu merupakan teka-teki bagi Mariano. Sudah tentu
Capitano merupakan dalangnya. Namun harus juga ada seseorang yang menghendaki
kematiannya dan berani membayar mahal kepada Capitano. Puri Rodriganda baginya
seperti diselubungi oleh suatu rahasia yang perlu diungkapkan olehnya.
"Tampaknya saya akan tinggal di sini beberapa waktu lamanya," demikian
dilanjutkan Mariano. "Maka saya perlu mengetahui sedikit tentang para penghuni
yang bertempat tinggal di puri ini. bolehkah saya bertanya mengenai hal itu?"
"Silakan Anda bertanya. Saya akan menjawab dengan segala senang hati."
"Bagus! Pertama-tama siapakah Senor Gasparino Cortejo itu?"
"Bila saya harus berterus-terang, Senor Teniente, maka harus saya katakan, bahwa
tidak ada orang yang menyukai orang ini. Sudah lama ia membantu Pangeran.
Pekerjaannya sebagai ahli hukum yang mengurus kepentingan Pangeran. Ia adalah
tangan kanan Pangeran dalam urusan perbendaharaan. Sifatnya tinggi hati dan
sembunyi-sembunyi. Kata Alimpoku: ia seorang kepercayaan Pangeran, yang
menggunakan kekuasaan itu untuk kepentingan dirinya sendiri."
"Lalu siapakah Dona Clarissa itu?" tanya Mariano.
"Ia bekerja sebagai seorang wanita pendamping Condesa, tetapi ia banyak bergaul
dengan Gasparino. Ia berlagak sebagai orang yang berhati suci, namun orang-orang
tidak menyukainya." "Dan pangeran muda itu?"
"Dia baru beberapa bulan di sini. Sebelumnya ia tinggal di Meksiko."
"Berapa lama?" "Sejak kecil ia diambil dari sini."
"Aneh juga! Seorang Pangeran mengirimkan putranya ketika masih kecil sekali,
menempuh lautan, ke suatu negeri yang keadaan keamanannya masih sangat meragukan
dan jiwa seseorang tidak berharga."
"Ada alasan mengapa Pangeran sampai berbuat demikian. Adik Pangeran, yang
Pembalesan 1 Wiro Sableng 082 Dewi Ular Telapak Setan 3

Cari Blog Ini