The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas Bagian 1
THE COUNT OF MONTE CRISTO
Karya : Alexander Dumas Di scan oleh BBSC eBook by Dewi KZ http://kangzusi.com/ DAFTAR ISI THE COUNT OF MONTE CRISTO
BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V BAB VI BAB VII BAB VIII BAB IX BAB X BAB XI BAB XII BAB XIII BAB XIV BAB XV BAB XVI BAB XVII BAB XVIII BAB XIX BAB XX BAB XXI BAB XXII BAB XXIII BAB XXIV BAB XXV BAB XXVI BAB XXVII BAB XXVIII BAB XXIX BAB XXX BAB XXXI BAB XXXII BAB XXXIII BAB XXXIV BAB XXXV BAB XXXVI BAB XXXVII BAB XXXVIII BAB XXXIX BAB XL BAB XLI BAB XLII BAB XLIII BAB XLIV BAB XLV BAB XLVI BAB XLVII BAB XLVIII BAB XLIX BAB L BAB LI BAB LII BAB LIII BAB LVI BAB LVII BAB LVIII BAB LIX BAB LX BAB LXI BAB LXII BAB LXIII BAB LXIV BAB LXV BAB LXVI BAB LXVII BAB LXVIII BAB LXIX BAB LXX BAB LXXI BAB LXXII BAB LXXIII BAB I PADA tanggal 24 Februari 1815 menara Pelabuhan
Marseilles memberi isyarat masuknya kapal bertiang tiga Le Pharaon yang datang
dari Smyrna, Triest dan Napoli.
Pelabuhan segera penuh sesak oleh orang-orang yang biasa ingin menonton, oleh
karena setiap kedatangan kapal selain saja dianggap mereka sebagai suatu
kejadian yang luar biasa. Apalagi kalau kapal itu seperti Le Pharaon, dibuat,
diperlengkapi, dimuati dan dimiliki oleh seorang penduduk Marseilles sendiri.
Kapal mendekat dengan perlahan-lahan sekali. Suasananya sedemikian rupa sehingga
orang orang dengan segera dapat mencium bahwa ada sesuatu yang kurang
menyenangkan. Mereka mulai mengira-ngira kecelakaan apa ge-rangan yang telah
terjadi dalam kapal itu. Tetapi pelaut-pelaut yang berpengalaman yang berada di
antara mereka segera pula mengetahui bahwa apabila benar terjadi sesuatu
kecelakaan, maka kecelakaan itu bukan menimpa kapalnya, karena kapal itu tampak
jelas masih utuh dan berjalan dengan baik. Di sebelah jurumudi yang sedang
bersiap-siap mengemudikan Le Pharaon masuk pelabuhan melalui jalan masuk yang
sempit, berdiri seorang anak muda. Dengan mata yang waspada disertai gerakan
tangan yang lincah ia mengikuti setiap gerakan kapal dan meneriakkan kembali
semua petunjuk jurumudi. Kebimbangan dan kecemasan yang meliputi orang-orang yang sedang menonton itu,
telah mempengaruhi seorang laki-laki sedemikian rupa sehingga ia tidak sabar
lagi menunggu sampai kapal merapat. Ia melompat ke dalam sebuah sekoci dan
memerintahkan pendayungnya menuju Le Pharaon
Ketika melihat sekoci mendekat, anak muda yang berdiri di sebelah jurumudi tadi
meninggalkan tempatnya dan berjalan ke tepi kapal dengan topi di tangannya.
Badannya tinggi semampai, matanya gelap dan rambutnya hitam sehitam arang.
Usianya tidak akan lebih, dari dua puluh tahun. Semua gerak-lakunya menunjukkan
ketenangan dan keteguhan hati yang khas dimiliki seseorang yang telah terbiasa
menghadapi bahaya sejak masa kecil.
"Dantes!" teriak orang dalam sekoci itu. "Ada apa"
Mengapa semua tampak begitu muram?"
"Ada musibah, Tuan Morrel!" jawab anak muda itu.
"Kami kehilangan Kapten Leclere yang perkasa selepas Civitavecchia."
"Bagaimana dengan muatan?" tanya si pemilik kapal ingin segera tahu.
"Muatan selamat, Tuan. Bahkan saya kira Tuan akan sangat puas. Tetapi Kapten
Leclere yang malang itu . . ."
"Mengapa sebenarnya Kapten itu?" Dari suaranya jelas bahwa hatinya lega
mendengar muatannya selamat.
"Beliau meninggal karena serangan penyakit pada otaknya. Jenazahnya kami
kuburkan di laut Pulau II Giglio Badannya kami bungkus dengan ranjang ayunnya
dan diberati dengan dua buah peluru meriam. Satu pada kepalanya dan sebuah pada
kakinya." Anak muda itu tersenyum sedih kemudian menambahkan, "Aneh sekali,
beliau turut berperang melawan Inggris selama sepuluh tahun, tetapi mengakhiri
hayatnya di atas ranjang."
"Ya, kita semua tidak ada yang abadi," kata pemilik kapal. "Lagipula yang tua
mesti memberi jalan bagi yang muda-muda. Bila tidak demikian tak mungkin ada
kemajuan bagi yang muda-muda."
Ketika kapal melarut Menara Putar pelaut muda itu berteriak kepada para kelasi,
"Siap menurunkan layar!"
Perintahnya segera dilaksanakan bagaikan perintah dalam sebuah kapal perang.
"Turunkan!" Dengan perintah terakhir ini semua layar turun dan laju kapal menjadi lambat
hampir tidak terasa. "Kalau Tuan sudi naik ke kapal, Tuan Morrel," kata Dantes yang melihat
ketidaksabaran pemilik kapal, 'Tuan dapat berbicara dengan Kepala Tata Usaha,
Tuan Danglars, yang baru saja keluar dari kamarnya. Beliau dapat memberikan
segala keterangan yang Tuan inginkan. Dan saya, mohon izin karena harus
mengawasi penurunan jangkar dan mendandani "kapal untuk berkabung."
Morrel tidak menanti dianjurkan untuk kedua kalinya.
Dia menangkap tangga tali yang dilemparkan Dantes kepadanya dan dengan kesigapan
seorang pelaut menaiki tangga tali itu.
Dantes kembali pada tugasnya dan Danglars datang
menghampiri Morrel. Kepala Tata Usaha itu berumur dua puluh lima atau dua puluh enam tahun.
Pembawaannya agak murung. Ke pada atasan ia pandai menjilat sedangkan kepada
bawahan nya bersifat angkuh. Semua awak kapal membencinya sehebat mereka
mencintai Edmond Dantes. "Saya kiiaTuan telah mendengar kabar tentang musibah yang menimpa kita,' kata
Dangiars memulai pembicaraan.
"Ya, sudah. Sayang sekali. Ia seorang pemberani dan terhormat."
"Dan seorang pelaut yang hebat. Sebagian besar dari usianya dihabiskannya antara
langit dan laut, sebagaimana wajibnya seseorang yang mendapat kepercayaan dari
sebuah perusahaan sepenting Morrel & Son."
"Tetapi," kata pemilik kapal sambil memperhatikan Dan tes yang sedang
mempersiapkan pelemparan sauh, "bagiku, seseorang itu tidak perlu berusia tua
untuk dapat bekerja dengan baik, Dangiars. Kawan kita yang itu, Edmond Dan tes,
untuk melakukan tugasnya jelas tidak memerlukan nasihat dari siapa pun."
"Benar," jawab Dangiars sambil melemparkan pandangan penuh benci kepada Dantes,
"ia muda dan tidak pernah ragu-ragu dalam segala hal. Segera setelah Kapten
meninggal, dia mengambil alih pimpinan tanpa
bermusyawarah dahulu dengan siapa pun. Dan dia telah merugikan kita satu
setengah hari karena menyinggahi dahulu Pulau Elba. Bukannya langsung pulang ke
Marseilles." "Tentang pengambilalihan pimpinan " kata pemilik kapal, "adalah kewajibannya
sebagai jummudi pertama, tetapi dia keliru kalau membuang waktu satu setengah
hari di Pulau Elba, kecuali kalau kapal memerlukan sesuatu perbaikan."
"Kapal itu sehat sesehat saya, Tuan Morrel, juga saya harap sesehat Tuan sendiri
Pembuangan waktu yang satu setengah hari itu, tidak lain h^a tingkahnya saja.
Dia ingin pergi ke darat saja, hanya itu."
"Dantes!" seru Tuan Morrel sambil membalikkan badan ke arah Dantes. "Ke mari
sebentar!" "Maaf Tuan, sebentar," jawab Dantes, kemudian menghadap kepada anak buahnya,
berteriak, "Lempar!" Sauh jatuh ke dalam air disertai gemerincingnya rantai.
Dantes berjalan menghampiri Tuan Morrel
"Aku ingin bertanya mengapa engkau singgah di Pulau Elba."
"Oh! Untuk memenuhi perintah Kapten Leclere. Sesaat sebelum meninggal beliau
memberikan sebuah bungkusan kepada saya untuk disampaikan kepada
Marsekal Bertrand di Pulau Elba." "Apakah engkau bertemu dengan beliau, Edmond?"
"Bertemu, Tuan."
Tuan Morrel melihat ke sekelilingnya kemudian menarik Dantes ke tempat yang agak
terpisah. "Bagaimana keadaan Kaisar?" dia bertanya ingin benar-benar mengetahui.
"Sepanjang yang saya ketahui, beliau sehat-sehat saja.
Beliau masuk ke kamar Marsekal ketika saya berada disana.
"Apa engkau berbicara kepada beliau?" "Tidak, beliau yang berbicara kepada
saya,"jawab Dantes tersenyum. "Apa kata beliau?"
"Beliau bertanya tentang Le Pharaon, bila meninggalkan Marseilles, bagaimana
rute perjalanannya dan apa muatannya. Saya kira, seandainya kapal itu kosong dan
saya pemiliknya, mungkin sekali beliau akan mencoba membelinya dari saya. Tetapi
saya ceritakan kepada beliau bahwa saya hanyalah junimudi pertama dan pemiliknya
adalah Perusahaan Morrel & Son. 'Aku kenal perusahaan itu,' kata beliau.
'Keluarga Morrel itu sudah beberapa generasi menjadi pemilik kapal, dan dalam
resimenku ada seorang Morrel ketika aku ditempatkan di Valence'."
"Itu benar!" Tuan Morrel mengiyakan dengan hati se-narig. "Dia adalah Policar
Morrel, pamanku, kemudian dia jadi kapten.
Sambil menepuk pundak Dantes dengan ramah ia berkata lagi, "Engkau telah bertindak benar dengan menuruti perintah Kapten Leclere
untuk singgah di Pulau Elba.
Sekalipun mungkin sekali engkau akan terlibat dalam kesulitan apabila diketahui
orang bahwa engkau telah menyerahkan sebuah bungkusan kepada Marsekal dan
berbicara dengan Kaisar."
"Kesulitan bagaimana, Tuan?" Dantes bertanya heran.
"Saya tidak mengetahui sama sekali apa isi bungkusan itu, sedangkan Kaisar hanya
bertanya sesuatu yang pasti akan beliau tanyakan juga kepada setiap pendatang ke
Pulau Elba. Tetapi maafkanlah saya sebentar, Tuan. Saya lihat Pejabat Kesehatan
dan Bea Cukai telah naik ke kapal."
Danglars menghampiri lagi Morrel setelah Dantes pergi.
"Rupanya ia memberikan alasan yang bagus untuk persing-gahannya itu, bukan?"
"Ia telah memberikan alasan yang bagus sekali, Tuan Danglars."
"Syukurlah. Tidak enak kalau melihat seorang kawan gagal melakukan
kewajibannya." "Dantes telah melakukan kewajibannya dengan baik sekali, Tuan," jawab pemilik
kapal. "Kapten Lederelah yang memerintahkan dia mampir di Pulau Elba."
"Berbicara tentang Kapten Leclere, apakah Dantes tidak menyerahkan surat untuk
Tuan?" "Tidak. Apa, memang ada surat untuk saya?"
"Saya kira Kapten Leclere menyerahkan sebuah surat bersama bungkusan itu."
"Bungkusan apa, Danglars?"
"Yang diserahkan Dantes di Pulau Elba."
"Bagaimana engkau mengetahui bahwa Dantes
menyerahkan bungkusan di sana?"
Wajah Danglars agak merah karena malu. "Pintu kamar Kapten terbuka sedikit
ketika saya lalu di sana," katanya,
"dan saya melihat Kapten menyerahkan sebuah bungkusan dan sebuah surat."
"Dia tidak mengatakan apa-apa tentang itu. Tetapi kalau memang ada, pasti ia
akan menyerahkannya."
Danglars diam sejenak, kemudian berkatat 'Tuan Morrel, saya harap Tuan tidak
mengatakan hal ini kepada Dantes, sebab mungkin saya salah."
Pada saat itulah Dantes datang kembali, dan Danglars pergi.
"Nah Dantes, selesai sekarang?" "Selesai, Tuan."
"Kalau begitu, maukah engkau makan malam di rumah kami?"
"Maaf Tuan Morrel, tetapi saya rasa saya mesti men'
dahulukan mengunjungi ayah saya. Walaupun demikian, saya sangat berterima kasih
atas kehormatan mendapat undangan itu."
"Engkau benar, Dantes. Engkau seorang anak yang baik.
Kami mengharapkan kedatanganmu setelah engkau menemui ayahmu." "Sekali lagi saya minta maaf Tuan, sebab setelah mengunjungi ayah ada lagi
seorang yang sama pentingnya."
"O ya, ya. Aku lupa bahwa ada seseorang yang sama tidak sabarnya seperti ayahmu
sedang menunggu kedatanganmu, Mercedes yang cantik. Engkau sungguh beruntung,
Edmond, mempunyai kekasih yang cantik."
"Dia bukan kekasih, Tuan," kata pelaut muda itu dengan tenang. "Dia tunangan
saya." "Ya, kadang-kadang kekasih dan tunangan itu sama saja," kata Morrel tertawa.
"Bagi kami tidak, Tuan."
"Baiklah, aku tidak akan menahanmu lebih lama lagi.
Engkau telah mengurus kepentinganku dengan baik, dan aku ingin memberimu waktu
sebanyak mungkin untuk mengurusi kepentinganmu sendiri. Apa masih ada yang hendak engkau katakan?"
"Tidak, Tuan."
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah Kapten Leclere tidak menitipkan sesuatu surat untukku sebelum dia
meninggal?" "Beliau sudah tidak kuasa lagi menulis, Tuan. Tetapi pertanyaan Tuan itu
mengingatkan saya untuk meminta kebaikanTuan agar memberi saya cuti selama dua
minggu." "Untuk kawin?" "Itu yang terutama, kemudian untuk pergi ke Paris."
"Baik, ambilah cuti selama engkau suka, Dantes. Untuk menurunkan muatan saja
akan mengambil waktu sekurang-kurangnya enam minggu, dan kita bcium akan siap
untuk berlayar lagi sebelum tiga bulan kurang-lebih. Tetapi dalam tempo tiga
bulan engkau harus sudah berada lagi di sini. Le Pharaon," kata pemilik kapal
selanjutnya sambil memegang bahu pelaut muda itu, "tak dapat berlayar tanpa
kaptennya." "Tanpa kaptennya?" Dantes setengah berteriak, matanya bersinar kegirangan.
"Apakah Tuan bermaksud mengangkat saya menjadi kapten Le Pharaon?" ' "Seandainya
aku tidak berkongsi, Dantes, saya akan menjabat tanganmu dan '
erkata. 'Engkau kuangkat jadi kapten.' Tetapi aku mempunyai teman usaha, dan
engkau tahu peribahasa Italia, bukan" Yang mengatakan: Barangsiapa mempunyai
kongsi berarti mempunyai majikan.' Tetapi, setidak-tidaknya urusan ini sudah
boleh dikatakan setengah jadi, karena engkau telah mendapat satu dari dua suara
yang diperlukan. Serahkan saja kepadaku untuk mendapatkan suara yang satu lagi
itu. Aku akan berusaha sebaik-baiknya."
"Oh, Tuan Morrel!" kata Dantes sambil memegang tangan pemilik kapal erat-erat.
Matanya berlinang linang "Saya menyampaikan terima kasih atas nama ayah dan Mercedes."
"Sudah, sudah, Edmond. Temuilah ayahmu, temuilah Mercedes, kemudian kembali dan
temui aku." "Apakah Tuan tidak perlu saya antar ke darat?"
"Tidak, terima kasih. Aku akan tinggal di kapal untuk melihat pembukuan bersama
Dangiars. Apakah engkau merasa puas terhadapnya selama perjalanan ini?"
"Itu tergantung kepada maksud pertanyaannya, Tuan Morrel. Apabila Tuan bertanya
apakah saya merasa puas terhadapnya sebagai kawan, jawabnya: tidak. Saya kita
dia membenci saya sejak pada hari kami sedikit bertengkar, dan saya telah
berbuat keliru dengan menyarankan agar berhenti barang sepuluh menit di Pulau
Monte Cristo untuk menyelesaikan pertengkaran itu. Saran yang keliru untuk dikemukakan dan dia
cukup bijak untuk menolaknya.
Tetapi kalau Tuan berbicara tentang dia sebagai Kepala Tata Usaha, saya kira
tidak ada sesuatu yang patut dikatakan dapat merugikan dia. Dan saya kira Tuan
akan merasa puas bagaimana ia melakukan kewajibannya."
"Kalau engkau menjadi kapten Le Pharaon, apakah engkau akan senang mempunyai dia
sebagai Kepala Tata Usaha?"
"Baik sebagai kapten maupun sebagai jurumudi pertama, Tuan Morrel, saya akan
selalu menghargai mereka yang mendapatkan kepercayaan dari pemilik kapal."
"Bagus, bagus, Dantes. Kulihat engkau baik dalam segala hal. Tetapi jangan raguragu, kalau mau pergi pergilah. Aku melihat engkau sudah ingin segera pergi."
"Bolehkah saya menggunakan sekoci Tuan?"
"Tentu." "Selamat tinggal, Tuan Morrel, dan sekali lagi terima kasih yang setulustulusnya." Pelaut muda itu melompat ke dalam sekoci kemudian duduk di buritan dan
memberikan perintah untuk didayung ke arah Canebiere. Sambil tersenyum pemilik
kapal mengikuti dengan pandangan sampai dia melompat ke darat, kemudian hilang
ditelan kerumunan orang. Ketika membalikkan badannya Morrel melihat Danglars
berdiri di belakangnya. Seperti dia juga, Danglars mengikuti gerak-gerik pelaut
muda itu dengan pandangan mata. Tetapi gambaran" hati yang tercermin pada wajah
masing-masing berbeda menyolok sekali.
BAB II SETELAH berjalan sepanjang Canebiere Dantes
berbelok ke Rue de Noilles, kemudian memasuki sebuah rumah kecil di sebelah kiri
jalan Alles de Meilhan. Ia menaiki tangga gelap kemudian berhenti di depan
sebuah pintu kamar yang setengah terbuka. Itulah kamar tempat ayah Edmond Dantes
tinggal. "Ayah! Ayah!"
Orang tua yang sedang berdiri membelakangi pintu terkejut kemudian membalikkan
badan dan kemudian jatuh dalam rangkulan tangan anaknya. Badannya gemetar (Jan
mukanya pucat. "Mengapa Ayah" Sakitkah Ayah?"
"Tidak, tidak Edmond. Aku tidak mengira bahwa engkau akan datang hari ini.
Kegembiraan yang mendadak inilah yang .. ."
"Kata orang, kegembiraan tidak pernah membahayakan.
Itulah sebabnya saya langsung menemui Ayah. Saya telah kembali dengan selamat
dan kita akan berbahagia lagi bersama-sama."
"Sedap sekali, anakku! Tetapi bagaimana kita akan berbahagia" Apakah maksudmu
tidak akan meninggalkan lagi aku seorang diri seterusnya" Coba ceriterakan apa
yang membuat kau segembira ini."
"Semoga Tuhan memaafkan, karena saya bergembira mendapatkan keuntungan yang
disebabkan ke matian seseorang. Tetapi saya tidak mempunyai kekuatan untuk
menahannya. Kapten Leclere meninggal dan tampaknya saya akan diangkat untuk
menggantikannya. Dapatkah Ayah membayangkan" Seorang kapten dalam usia dua puluh
tahun" Dengan gajih sebanyak seratus louis ditambah hak mendapat bagian dari
keuntungan" Dapatkah seorang pelaut miskin seperti saya ini mengharapkan yang
lebih dari itu?" "Benar anakku, engkau sangat beruntung."
"Dari gaji yang pertama saya bermaksud membelikan Ayah sebuah rumah dengan
kebunnya . . . Mengapa Ayah"
Tampaknya Ayah sakit."
"Tidak apa-apa. Sebentar juga berlalu," kata orang tua itu mencoba menghilangkan
kerisauan anaknya, tetapi
badannya telah sangat lemah dan ia jatuh terkulai.
"Sebaiknya Ayah minum anggur,1' kata Edmond. "Di mana Ayah meny imp anny a" "
"Aku tidak memerlukannya, Nak," kata orang tua itu mencoba mencegah anaknya
mencari anggur. "Mesti, Ayah, biar hangat. Katakan saja di mana!"
Edmond membuka dua tiga lemari yang ada dalam
kamar itu, namun semua kosong.
"Tak usah dicari, Edmond, karena aku tidak mempunyai anggur.'1
"Tidak ada anggur?"?" Edmond terkejut. Dengan mata terbelalak ia berpindahpindah memandang pipi ayahnya yang kempot dan lemari yang kosong. "ApakahAyali
kehabisan uang?" "Aku tidak memerlukan apa-apa lagi sekarang karena engkau telah kembali"
"Tetapi, tetapi tiga bulan yang lahi ketika saya akan pergi bukankah saya
memberi Ayah dua ratus frank," kata Edmond sedikit terbata-bata.
"Benar, Edmond. Tetapi ketika itu engkau lupa akan hutangmu kepada tetangga kita
Caderousse. Dia menagih kepadaku dan mengatakan akan melaporkannya kepada Tuan
Morrel apabila aku tidak membayarnya. Aku
khawatir, laporannya dapat merugikan engkau. Itulah sebabnya aku bayar dia."
'Tetapi hutangku berjumlah seratus empat puluh frank.
Apakah Ayah melunasinya dari uang yang dua ratus itu?"
Orang tua. itu mengangguk.
"Dan Ayah hidup selama tiga bulan hanya dengan empat puluh frank saja" Ya, Tuhan
ampunilah saya!!!" "Sudahlah, Edmond Yang penting engkau telah kembali dengan selamat." ,
"Ya, saya telah kembali dengan membawa sedikit uang dan harapan akan masa depan
yang cerah. Nih Ayah, ambillah semua dan belilah segala sesuatu yang
diperlukan." Dantes mengeluarkan semua isi dompetnya di atas meja: selusin emas batangan, dua
puluh lima atau tiga puluh frank dan beberapa uang kecil lainnya.
Wajah orang tua itu menjadi cerah. "Milik siapa itu?"
"Milik saya, milik Ayah, milik kita berdua! Ambillah dan belilah persediaan
makanan. Dan jangan khawatir, esok saya akan membawa lebih banyak lagi. Selain
uang saya masih punya kopi dan tembakau yang baik untuk Ayah.
Tetapi masih di kapal. Besok akan saya bawa . , .. Saya mendengar ada orang
datang." "Mungkin sekali Caderousse untuk mengucapkan selamat datang kepadamu."
"Orang yang lidahnya tidak seia dengan hatinya," Edmond menggerutu. "Tetapi
biarlah, dia adalah tetangga dan pernah berbuat jasa kepada kita"
Sesaat kemudian Caderousse memasuki kamar. Usianya kuranglebih dua puluh lima
tahun. Rambut dan janggutnya hitam. Di tangannya ada selembar kain - karena ia
seorang penjahit - yang sedang dikerjakannya untuk membuat sebuah jas.
"Engkau telah kembali, Edmond!" katanya dengan logat Marseilles yang masih
jelas. Senyumnya yang lebar memperlihatkan giginya yang putih.
"Ya, saya telah kembali. Dan siap untuk melakukan apa saja untukmu sepanjang
kemampuan saya." "Terima kasih. Tetapi untung, saya tidak memerlukan apa-apa Biasanya, orang lain
yang kadang-kadang memerlukan pertolongan saya"
Edmond sudah akan menjawab pernyataan tetangga ini tetapi Caderousse cepat
meneruskan, "Bukan engkau yang saya maksud. Benar saya meminjamimu uang tetapi
engkau telah mengembalikannya, jadi antara kita telah selesai."
"Kami tidak pernah merasa selesai dengan orang-orang yang telah berbuat baik
kepada kami. Sekalipun kami sudah tidak berhutang uang lagi tetapi kami tetap
berhutang kebaikan kepadanya."
"Mengapa engkau berbicara tentang itu" Yang sudah lewat biarlah. lalu. Lebih
baik kita berbicara tentang kepulanganmu saja, kawan. Saya kebetulan berjumpa
dengan kawan kita Dangiars di pelabuhan. Dialah yang me-ngabariku bahwa engkau
telah pulang. Dia juga mengatakan bahwa engkau telah mendapat tempat yang baik di hati Tuan Morrel.
Sebaiknya engkau tidak menolak undangannya untuk makan malam di rumahnya.
Apabila seseorang ingin menjadi kapten, dia harus pandai
mengambil hati pemilik kapal."
"Saya harap dapat menjadi kapten tanpa berbuat begitu,"
"Kalau dapat tentu saja lebih baik. Kawan-kawan lamamu tentu turut bergembira
melihat engkau berhasil maju.
Dan aku tahu ada seorang lagi yang akan lebih bergembira mendengar berita baik
itu." "Kau maksud Mercedes?" tanya ayah Dantes.
"Benar, Ayah." kata Edmond. "Karena kita telah bertemu dan saya lihat Ayah baikbaik saja dan segala keperluan sudah dapat disediakan, saya mohon Izin, Ayah,
untuk menemui Mercedes," Dantes memeluk ayahnya, mengangguk kepada Caderousse,
kemudian pergL Caderousse masih tinggal beberapa saat, kemudian
pamitan kepada ayah Edmond,pergi ke bawah dan bertemu dengan Dangiars yang
sengaja menunggu dia. "Nah," kata Dangiars, "apakah ada dia katakan kepadamu tentang harapannya untuk
menjadi kapten?" "Dia berbicara seperti sudah menjadi kapten, dan hal itu sudah membuatnya
angkuh. Dia menawarkan jasa baiknya kepadaku seakan-akan ia seorang besar."
"Apakah ia masih mencintai Mercedes?"
"Tergila-gila! Dia sedang pergi ke sana sekarang. Kecuali kalau aku keliru, aku
kira dia akan menemui hal-hal yang tidak menyenangkan baginya"
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak begitu yakin. Tetapi yang aku ketahui, setiap kali Mercedes datang ke
kota selalu ditemani seorang pemuda Catalan yang tegap yang wajahnya selalu me-m
anc arkan gelora cinta kep ad a M erced e s."
"Menurutmu, Dantes sekarang sedang menuju rumahnya?" tanya Dangiars.
"Ya, ia berangkat sesaat sebelum saya pamitan."
"Kalau begitu mari kita pergi ke arah yang sama. Kita berhenti di kedai kopi La
Reseve dan menunggu berita sambil minum anggur."
"Siapa yang akan memberi kita berita?"
"Kita akan duduk-duduk di sebelah jalan menunggu Dantes lewat kembali. Dari
wajahnya kita akan dapat mengetahui apa yang telah terjadi."
"Baiklah," kata Caderousse. 'Tetapi engkau yang membayar anggur itu, bukan?"
"Tentu saja," jawab Dangiars.
Kedua sahabat itu bergegas-gegas pergi.
BAB III KURANG lebih seratus langkah dari tempat Dangiars dan Caderousse duduk minum
anggur terdapat perkampungan orang-orang Catalan.
Pada suatu hari dahulu kala, serombongan orang tak dikenal datang dari Spanyol
mendarat pada sepotong tanah sempit yang merupakan sebuah tanjung. Pemimpin
mereka yang dapat berbicara sedikit bahasa Provencal, meminta kepada masyarakat
Marseilles agar suka memberikan kepada mereka tanjung yang kering itu.
Permintaan itu dikabulkan dan tiga bulan kemudian orang-orang pengelana tautan
itu mendirikan sebuah perkampungan kecil.
Sekarang, tiga atau empat abad sejak itu, keturunannya tetap setia kepada
perkampungannya dan mereka tidak mau bercampur dengan penduduk Marseilles.
Perkawinan mereka terbatas dalam lingkungannya sendiri saja dan mereka tetap mempertahankan
kebiasaan dan bahasa tanah asalnya.
Dalam salah sebuah rumah pada satu-satunya jalan
dalam perkampungan itu, seorang gadis cantik berdiri bersandar pada dinding.
Rambutnya hitam legam sedangkan sinar matanya redup seredup sinar mata rusa betina. Di hadapannya
duduk seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. Duduknya agak gugup dan
matanya memandang gadis itu dengan pandangan yang penuh kecemasan bercampur
kemarahan. Tetapi sorot mata gadis itu yang teguh dan tetap lebih menguasai
keadaan. 'Dengar, Mercedes," kata pemuda itu. "Sekarang sudah hampir Paskah lagi, saat
yang baik sekali untuk perkawinan. Beri aku jawaban!"
"Aku telah menjawabmu beratus kali, Fernand Dengan terus-menerus bertanya
seperti itu engkau hanya akan membenci dirimu sendiri. Aku tidak pernah
memberimu harapan. Aku selalu mengatakan: Aku mencintaimu, sebagai saudara,
tetapi j anganlah mengharapkan yang lain lagi karena hatiku telah menjadi milik
orang lain. Bukankah itu yang selalu kukatakan kepadamu, Fernand?"
"Benar, memang engkau cukup kejam untuk selalu berterus terang seperti itu."
"Terlepas dari itu, mengapa sebenarnya engkau menghendaki aku, seorang yatimpiatu yang miskin. Satu-satunya milikku hanyalah pondok lapuk yang hampir hancur
ini." "Aku tak peduli betapa miskin engkau, Mercedes. Aku lebih senang memilikimu
daripada memiliki anak gadis seorang pemilik kapal yang paling dapat dibanggakan
atau anak gadis seorang pemilik bank yang paling kaya di Marseilles ini. Yang
dibutuhkan seorang laki-laki hanyalah isteri yang dapat menjaga kehormatan dan
pandai mengatur rumah tangga. Di mana aku akan dapat menemukan gadis lain yang
lebih daripada engkau dalam kedua hal itu?"
"Fernand," jawab Mercedes sambil menggelengkan kepala. "Seorang wanita dapat
menjadi pengatur rumahtangga yang buruk dan bahkan dapat disangsikan
kehormatannya apabila dia mencintai laki-laki lain selain suaminya. Kuharap
engkau dapat puas dengan kesediaanku untuk bersahabat. Hanya itulah yang dapat
aku janjikan dan aku tidak pernah menjanjikan sesuatu yang aku sendiri tidak
yakin akan dapat memenuhinya"
Fernand berdiri, dia berjalan bolak-balik beberapa saat, kemudian berdiri di
hadapan Mercedes. Kedua tangannya mengepal dan matanya penuh amarah. "Katakanlah
sekali lagi, Mercedes, katanya "Itukah keputusanmu?"
"Aku mencintai Edmond Dantes," jawab gadis itu dengan tenang. "Dan tak akan ada
laki-laki lain yang bakal menjadi suamiku."
"Dan apakah engkau akan selalu mencintai dia?"
"Selama hayat dikandung badan."
Fernand menundukkan kepala karena harapannya putus, sambil menghembuskan napas
panjang-panjang ia mengeluh. Tiba-tiba dia memandang lagi kepada Mercedes dan berkata di antara
gigi-giginya, "Dan bila dia mati?"
"Bila dia mati, aku pun mati."
"Bagaimana kalau dia melupakanmu?"
"Mercedes!!!" terdengar suara penuh kegembiraan dari luar rumah.
"Oh!" teriak Mercedes. Pipinya menjadi merah karena bahagia. "Lihat, dia tidak
melupakan aku! Itulah dia!"
Mercedes berlari ke pintu, membukakannya dan berkata,
"Aku di sini, Edmond!"
Fernand mundur selangkah seperti orang ketakutan melihat ular berbisa, kemudian
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjatuhkan diri ke kursi Edmond dan Mercedes saling rangkul. Matahari
Marseilles yang cerah menembus masuk melalui pintu dan menyelimuti mereka
sepenuh-penuhnya dengan cahaya. Mula-mu-la mereka tidak menghiraukan apa-apa di
sekelilingnya. Kebahagiaan telah memisahkan mereka dari dunia lainnya.
Tiba-tiba Edmond melihat wajah yang masam yang mengawasinya dari kegelapan
kamar. Tanpa sadar Fernand memegang hulu pisaunya yang tergantung pada ikat
pinggangnya. "Maaf" kata Dantes. "Saya tidak tahu bahwa ada orang ketiga di sini" Sambil
memandang Mercedes ia bertanya,
"Siapakah Tuan ini?"
"Dia akan menjadi kawanmu, karena dia kawanku. Dia keponakanku, Fernand, orang
yang paling kucintai sesudah engkau. Apakah engkau tidak mengenalnya lagi?"
"Oh, benar juga!" jawab Edmond. Dengan memegang tangan Mercedes dengan tangan
kiri ia mengulurkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Fernand. Tetapi
Fetnand tetap diam bagaikan sebuah patung. Edmond melirik penuh tandatanya
kepada Mercedes yang gemetar dan kebingungan. Kemudian ia melihat lagi kepada
Fernand yang matanya penuh sinar ancaman. Semuanya dia tangkap dalam sekejap. Wajahnya
menjadi merah karena marah.
"Ketika aku bergegas-gegas ke mari untuk menemuimu, aku tidak mengira akan
menemui musuh dalam rumahmu ini," kata Edmond Dantes.
"Musuh!!!" kata Mercedes dengan mata marah memandang keponakannya. "Tidak ada
musuh di sini! Untuk' ku, Fernand seperti seorang saudara. Dia akan menjabat tanganmu tanda
persahabatan." Mercedes menatap Fernand dengan pandangan yang berwibawa, dan
seperti orang yang d i sihir Fernand mengulurkan tangan perlahan-lahan kepada
Edmond. Bagaikan sebuah gelombang yang tak berkekuatan, kebencian Fernand
mencair karena sorot mata Mercedes.
Begitu tangannya menjabat tangan Edmond, Fernand
sadar hanya itulah yang dapat ia lakukan. Dia membalikkan badan dengan mendadak
sekali kemudian berlari ke luar rumah,
"Oh!!!" keluhnya kepada dirinya sendiri. Dia berlari seperti orang gila sambil
memegang kepala dengan kedua belah tangan. "Bagaimana aku dapat menyingkirkan
dia" Apa yang dapat kulakukan" Apa yang dapat kulakukan?"
"Mau ke mana engkau bergegas-gegas, Fernand?" seseorang bertanya. Dia berhenti,
m&lihat sekeliling kemudian melihat Danglars sedang duduk dengan Caderousse di
tempat yang teduh di bawah pohon kedai minum.
"Mampirlah sebentar," kata Caderousse. "Ataukah engkau begitu terburu-buru
sehingga tidak mempunyai waktu untuk berbincang-bincang dengan kawan?"
^Terutama, dengan kawan yang mempunyai anggur
sebotol penuh di hadapannya?" tambah Danglars.
Fernand melihat kedua orang itu penuh kebingungan tanpa berkata sepatah pun.
"Tampaknya dia sedang kehilangan semangat" ujar Danglars menyentuh Caderousse
dengan lututnya. "Mungkinkah kita salah" Apakah ini berarti bahwa Dantes memenangkan perebutan itu?"
Mungkin begitu," jawab Caderousse. "Kita lihat saja."
Kemudian dia berkata lagi kepada Fernand, "Ayo! Bagai mana?"
Fernand menghapus keringatnya yang mengucur di dahi kemudian berjalan perlahanlahan ke tempat yang teduh itu.
"Hallo," katanya. "Kalian memanggil aku?" Dia duduk, merebahkan badan ke atas
meja sambil mengeluarkan keluhan seperti orang menangis.
"Kau tahu, Fernand," kata Caderousse. "Rupamu seperti laki-laki yang ditampik
perempuan!" Dia menyertai senda-guraunya ini dengan tertawa kasar.
"Apa katamu?" kata Danglars. "Pemuda setampan Fernand tak pernah gagal dalam
asmara. Tentu engkau hanya berolok-olok, Caderousse,"
'Tidak. Coba dengarkan bagaimana ia berkeluh-kesah.
Ayo Fernand, bangkit dan berceriteralah. Tidak sopan membisu kepada kawan yang
bertanya tentang kesehatanmu"' "Kesehatanku baik," jawab Fernand sambil mengepalkan kedua tangan tetapi tanpa
menegakkan kepala. "Nah, Danglars," kata Caderousse sambil berkedip kepada kawannya. "Beginilah
soalnya: Fernand ini, seorang Catalan yang berani dan salah seorang nelayan yang
terbaik di Marseilles, jatuh cinta kepada seorang gadis cantik yang bernama
Mercedes. Tetapi sayangnya, Mercedes jatuh cinta kepada Jurumudi Kelas I kapal
Le Pharaon. Karena sekarang Le Pharaon telah berlabuh hari ini . . . nah, kau
tentu mengerti." "Tidak, aku tidak mengerti," jawab Danglars.
"Fernand yang malang ini telah dipersilakan pergi,"
Caderousse meneruskan. "Bagaimana kalau benar begitu!" kata Fernand sambil mengangkat kepala dan
memandang Caderousse seakan-akan mendapatkan tempat untuk melampiaskan
amarahnya. "Mercedes bebas untuk jatuh cinta kepada siapa pun yang ia kehendaki,
bukan?" "Kalau begitu caramu berfikir," kata Caderousse,
"soalnya menjadi lain! Kukira engkau seorang Catalan. Aku mendengar bahwa
seorang Catalan, terutama sekali
Fernand Mondego sangat mengerikan pembalasannya."
"Kasihan!" kata Danglars, berpura-pura turut bersedih dari lubuk hatinya. "Dia
tentu tidak mengira bahwa Dantes akan kembali. Dia berfikir mungkin Dantes mati
dalam perjalanan atau sudah tidak setia lagi. Memang, kejadian seperti ini
selalu menyakitkan apabila datangnya sangat mendadak."
'Yang pasti," kata Caderousse yang telah mulai dipengaruhi anggur, "Fernand
bukanlah satu-satunya orang yang dirugikan dengan kembalinya Dantes yang penuh
bahagia itu, bukan begitu Danglars?"
"Benar, dan saya cenderung mengatakan bahwa itu akan membawa keburukan bagi
dirinya." "Tak jadi soal. Sementara itu, paling tidak dia akan mengawini Mercedes yang
cantik." Danglars memperhatikan wajah Fernand yang seperti kena timah cair oleh perkataan
Caderousse yang bernada sindiran itu. "Kapan perkawinan itu dilaksanakan?" dia
bertanya. "Mereka belum kawin!" kata Fernand bergumam.
"Tetapi mereka akan kawin!" kata Caderousse. "Sama pastinya dengan akan
diangkatnya Dantes menjadi Kapten Le Pharaon. Betul bukan, Danglars?"
Danglars terkejut mendengar ucapan Caderousse yang tak disangka ini, yang
baginya merupakan sebuah tikaman tajam. Dia memperhatikan wajah Caderousse ingin
memastikan apakah ucapannya itu direncanakan atau tidak.
Tetapi dia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan pada wajah orang mabuk itu.
"Baiklah," katanya sambil mengisi gelas-gelas, "mari kita minum untuk Kapten
Edmond Dantes, suami Mercedes yang cantik."
Caderousse mengangkat gelasnya dan menghabiskan isi nya dengan sekali teguk.
Fernand mengambil gelasnya, dan membantingnya ke tanah.
"Hei, hei!" seru Caderousse. "Apa itu" Coba lihat Fer-nantt. Penglihatanmu lebih
baik. Kukira mataku sudah mulai kabur. Engkau tahu bukan, bagaimana anggur
merusak pandangan orang. Kukira, aku melihat dua orang sejoli sedang berjalan
bergandengan tangan ... Ya Tuhan! Mereka tidak tahu bahwa kita melihatnya.
Mereka berciuman." Setiap garis kepedihan yang terpancar dari wajah Fernand tidak ada yang luput
dari perhatian Dangiars. "Siapa mereka, Fernand" Kau kenal?"
"Ya," jawab Fernand, masa bodoh. "Dantes dan Mercedes."
"Ah!" teriak Caderousse. "Benar tidak" Aku sendiri tidak dapat mengenali mereka
Hei Dantes! Hei,Nona! Mari ke mari sebentar dan beritahu kami kapan perkawinan
akan dilangsungkan. Fernand ini keras kepala, tidak mau mengatakannya kepada
kami." "Diam!" kata Dangiars berpura-pura menahan mulut Caderousse yang karena mabuknya
telah berkisar dari tempat duduknya. "Ayo berdiri dan jangan mengganggu merpa-ti
yang sedang berkasih-kasihan. Lihat Fernand, akalnya lebih sehat."
Dangiars memandang kedua teman duduknya. Dalam
hati ia berkata. "Kedua orang tolol ini tiada gunanya bagi ku, yang seorang
pemabuk yang seorang lagi pengecut. Aku khawatir nasib baik Dantes akan terjadi.
Dia akan menikahi gadis itu, menjadi Kapten Le Pharaon dan akan
mentertawakan kami, kecuali . . ." sebuah senyuman tersungging di bibirnya...
"kecuali kalau aku turun tangan."
"Hei!" Caderousse berteriak lagi. Badannya setengah tegak, bertelekan pada meja.
"Edmond! Apa kau tidak melihat kawan-kawanmu, atau engkau terlalu angkuh untuk
berbicara dengan kami?"
"Sama sekali tidak, Caderousse," jawab Dantes. "Aku tidak angkuh, tetapi aku
berbahagia, dan kukira kebahagiaan dapat membuat seseorang menjadi lebih buta
daripada angkuh." "Baik sekali" dalihmu itu," kata Caderousse. "Apa kabar Nyonya
Dantes?" "Itu belum menjadi namaku," jawab Mercedes tenang,
"Orang bilang, kalau seorang gadis dipanggil dengan nama tunangannya, dia bisa
celaka. Sebab itu panggillah saya Mercedes."
"Saya kira perkawinan akan segera berlangsung, bukan?"
kata Dangiars sambil membungkuk kepada pasangan
remaja itu. "Secepat mungkin, Tuan Dangiars. Hari ini segala persiapan akan diatur di rumah
ayah saya, dan besok, atau paling lambat lusa, kami akan merayakan pertunangan
kami di kedai ini. Semua kawan kami akan hadir, ini berarti bahwa tuan kami
undang, Tuan Dangiars, dan engkau juga, Caderousse."
"Bagaimana dengan Fernand?" tanya Caderousse sambil tertawa bodoh. "Apakah dia
juga diundang?" "Kawan istriku adalah kawanku juga," jawab Dantes,
"dan kami akan benar-benar kecewa apabila dia tidak hadir."
Fernand membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi
suaranya tertahan di Penggorokan
"Persiapannya hari ini dan pesta pertunangannya besok atau paling lambat lusa!"
seru Dangiars. "Tampaknya Tuan sangat terburu-buru, Kapten!"
"Tuan Dangiars," kata Dantes tersenyum, "saya ingin mengatakan apa yang
dikatakan Mercedes kepada
Caderousse: jangan memberi saya pangkat yang belum menjadi milik saya. Itu bisa
membawa celaka kepada saya"
"Maafkan saya," jawab Dangiars. "saya hanya ingin mengatakan bahwa tampaknya
Tuan sangat buru-buru. Padahal waktu sangat banyak Masih ada waktu tiga bulan sebelum Le Pharaon
mengarungi lautan lagi."
"Seseorang selalu akan terburu-buru untuk kebahagiaan.
Teiapi mengenai diri saya, tidak semata-mata karena^ngin mementingkan diri
sendiri. Saya harus pergi ke Paris."
"Oh! Apakah Tuan mempunyai urusan di sana?"
"Bukan urusan saya pribadi. Almarhum Kapten LecUre meminta saya melakukan
sesuatu baginya. Seperti Tuan pahami, ini merupakan tugas yang suci. Tetapi
jangan khawatir. Saya akan segera kembali."
"Ya, saya mengerti," kata Danglars. Kemudian d,ia berfikir, "mungkin dia pergi
ke Paris untuk menyerahkan surat Marsekal yang dititipkan kepadanya ... Ya
Tuhan! Surat itu memberi aku ilham, suatu ilham yang bagus sekali! Ah, Dantes,
kawanku, namamu belum lagi tercatat sebagai orang yang nomor satu dalam buku
harian kapal Le Pharaon!" Ketika Dantes akan pergi meninggalkan mereka, Danglars
berkata, "Selamat jalan!"
"Terima kasih," jawab Dantes sambil membungkuk dengan ramah. Kedua remaja itu
meneruskan perjalanan penuh bahagia bagaikan dua jiwa menuju surga.
BAB IV KEESOKAN harinya cuaca sangat menyenangkan.
Matahari yang cerah mewarnai buih ombak dengan warna ungu kemerah-merahan. Pesta
pertunangan telah dipersiapkan di dalam sebuah ruangan besar di tingkat kedua kedai La Reserve.
Pesta direncanakan akan dimulai jam dua belas siang. Tetapi pada jam sebelas
kedai itu telah penuh para undangan yang tampak tidak sabar lagi
menanti. Mereka adalah kelasi-kelasi Le Pharaon dan beberapa prajurit, kawankawan Dantes. Tersiar juga berita bahwa Morrel pun akan turut menghadiri pesta. Kalau benar,
ini betul-betul merupakan kehormatan yang besar bagi Dantes.
Ketika pemilik kapal datang, dia disambut dengan
hangat oleh para kelasi. Kehadirannya sekaligus merupakan petunjuk yang nyata
bahwa Edmond benar akan diangkat menjadi kapten mereka. Dan oleh sebab Edmond
dicintai mereka, mereka merasa berterima kasih karena sekali ini pilihan pemilik
kapal cocok dengan keinginan mereka sendiri.
Danglars dan Caderousse diutus memberitahu Dantes akan kahadiran Morrel, dan
meminta Dantes segera datang.
Tetapi sebelum mereka jauh berjalan, rombongan Dantes sudah tampak. Edmond dan
Mercedes didampingi oleh empat orang gadis pengiring dan ayah Edmond. Fernand
berjalan di belakang mereka dengan senyum kecut. Tetapi Edmond dan Mercedes
tidak melihatnya. Keduanya sangat berbahagia sehingga mereka tidak melihat orang
lain kecuali dirinya sendiri dan langit biru yang seakan-akan merestui
pertunangannya. Segera setelah mereka hendak memasuki La Reserve, Morrel turun menjemput mereka.
Tamu-tamu lainnya mengikuti dari belakang. Tangga kayu berderak-derak selama kurang-lebih lima
menit karena tekanan langkah-langkah yang berat. Hidangan segera diedarkan
setelah mereka menempati tempat duduk masing-masing.
"Sunyi benar pesta ini," seru ayah Edmond ketika dia menghirup bau anggur kuning
yang dihidangkan di hadapan Mercedes, "Padahal di sini berkumpul tiga puluh orang yang sedang
bersukacita." "Suami-suami memang selalu tidak pernah bersukacita,"
kata Caderousse. 'Tang jelas," kata Dantes, "bahwa sekarang ini saya terlalu berbahagia untuk
dapat bergembira ria. Bila itu yang kaumaksudkan, engkau benar, Caderousse.
Sukaria itu kadang-kadang mempunyai pengaruh yang aneh: dia dapat menekan kita
sama beratnya dengan dukacita."
'Tuan tidak mengkhawatirkan sesuatu, bukan?" tanya Danglars. "Menurut
penglihatanku segala sesuatu berjalan lancar bagi Tuan."
"Itulah yang agak mencemaskan hati saya," jawab Dantes. "Saya tidak pernah
berpendapat bahwa kebahagiaan dapat dicapai dengan mudah. Kebahagiaan, menurut
pendapat saya, sama seperti istana dalam dongeng yang pintu gerbangnya dikawal
oleh ular-ular naga. Kita harus berjuang untuk dapat merebutnya. Saya tidak tahu
apa sebenarnya yang telah saya lakukan sampai berhasil menjadi suami Mercedes."
"Suami!" seru Caderousse. "Belum lagi, Kapten. Silakan mencoba berlaku seperti
seorang suami, dan mari kita lihat bagaimana sambutan Mercedes."
Pipi Mercedes memerah. Fernand memalingkan
pandangan dan menyapu keringat yang membasahi dahi.
Pada saat itu terdengar ribut-ribut di tangga. Suara langkah-langkah orang
berjalan di tangga kayu bercampur dengan suara orang banyak berbicara, dan suara
gemerincing pedang mengatasi suara orang berpesta di lantai kedua.
Setiap orang terdiam. Terdengar tiga kali ketukan pada daun pintu.
"Atas nama hukum, bukakan pintu!" terdengar suara bergema. Tak seorang pun
menjawab. Pintu terbuka dan seorang komisaris polisi memasuki ruangan diikuti
oleh empat orang bersenjata yang dipimpin oleh seorang kopral.
"Ada apa?" tanya Morrel, melangkah mendekati Komisaris yang sudah dikenalnya.
"Ini mesti ada kekeliruan."
"Apabila ada kekeliruan, Tuan Morrel," jawab Komisaris itu, "akan segera
diperbaiki. Sementara ini saya membawa surat perintah menangkap, dan saya mesti
melakukan kewajiban saya. Siapa di antara Tuan-tuan yang bernama Edmond Dantes?"
Setiap mata menuju kepada anak muda ini yang merasa sangat tersinggung tetapi
tetap menahan diri menjaga kehormatannya.. Dantes maju selangkah dan berkata.
"Saya Edmond Dantes, Tuan. Apa yang Tuan kehendaki dari saya?"
''Edmond Dantes,Tuan saya tangkap." "Ditangkap!" seru Edmond terkejut, wajahnya
memucat. "Dengan alasan apa?"
"Saya ttdak tahu, tetapi Tuan akan diberitahu alasan' nya pada pemeriksaan yang
pertama." Morrel menyadari bahwa perdebatan tidak akan ada
gunanya. Seorang komisaris polisi dengan surat perintah menangkap di tangan
sudah bukan manusia lagi, melainkan sebuah patung hukum yang kaku, tuli dan
bisu. Tetapi ayah Dantes.yang tidak mengetahui hal ini, segera menghampiri
komisaris. Senantiasa ada saja masalah yang tidak pernah dapat dipahami oleh
batin seorang ayah atau ibu. Dia me'
minta dan memohon dengan sangat kepada komisaris agar mengurungkan niatnya,
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi permohonan itu tidak mem-buahkan apa-apa. Tetapi kesedihannya demikian
hebat sehingga hati komisaris tersentuh juga.
"Tenang-tenang saja, Tuan," katanya. "Mungkin putra Tuan hanya alpa mematuhi
beberapa ketentuan pelabuhan, dan mungkin sekali ia akan segera dibebaskan
kembali setelah memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan,"
Sementara itu Dantes menjabat tangan kawan-kawannya dan berkata, "Jangan
khawatir, kekeliruan ini akan segera dapat dijelaskan, bahkan mungkin sekali
sebelum saya sampai ke penjara." Dia berjalan menuruni tangga mengikuti
.komisaris dan dikawal sekelilingnya oleh serdadu-serdadu bersenjata. Sebuah
kereta telah menunggu di muka pintu. Dia menaikinya, diikuti oleh komisaris dan
dua orang serdadu. Pintu ditutup dan kereta bergerak menuju Marseilles.
BAB V PADA hari yang sama dan jam yang sama sebuah pesta pertunangan yang-lain sedang
berlangsung di salah satu rumah yang bergaya feodal di Rue du Grand-Cours. Bedanya, undangan di sini bukan pekerja-pekerja sederhana, kelasi dan serdadu,
melainkan orang-orang dan kalangan atas di Marseilles, Mereka pejabat-pejabat
pengadilan yang mengundurkan diri ketika kekuasaan direbut oleh Napoleon
Bonaparte, opsir-opsir tua yang meninggalkan posnya untuk bergabung dengan
tentara Conde, dan anak-anak muda yang dibesarkan keluarganya dengan didikan
membenci Kaisar Napoleon yang sekarang menjadi raja di Pulau Elba dengan rakyat
yang hanya lima sampai enam ribu orang, yang pernah disanjung dengan teriakan
"Hidup Napoleon"
oleh seratus dua puluh juta rakyat dengan berbagai bahasa, dianggap oleh mereka
sekarang sebagai telah tamat riwayatnya. Kaum yang setia kepada kerajaan merasa
unggul dan gembira. Mereka merasa seakan-akan terbangun dari mimpi buruk dan
kehidupan terasa baru kembali Pangeran Saint-Meran, bangsawan tua yang memiliki
bintang kehormatan Saint Louis, berdiri dan mengajak hadirin minum bagi kejayaan
Raja Louis XVIII. Ajakannya disambut dengan meriah. Gelas-gelas segera diangkat
dan para wanita melepaskan bunga-bunga hiasan dari
pakaiannya dan menaburkannya di atas meja.
"Ah," kata Nyonya Saint-Meran, seorang wanita yang keras pandangan matanya,
tipis bibirnya dan anggun sekalipun usianya telah limapuluhan. "Bila kaum
revolusioner yang memburu-buru kita pada zaman pemerintahan Teror sekarang turut
hadir di sini, mau tak mau mereka harus mengakui bahwa kesetiaan kita adalah
kesetiaan yang sejati, karena kita tetap setia kepada kerajaan sekalipun hampir
runtuh, sedangkan mereka mengaitkan diri kepada kekuasaan baru yang akan tumbuh
dan mencari keuntungan, padahal kita kehilangan segala yang kita miliki. Mereka harus
mengakui bahwa raja kita tetap Louis tercinta, sedangkan pemimpin mereka
hanyalah perampas kekuasaan, Napoleon terkutuk. Bukankah begitu, Tuan de
Villefort?" "Maaf, Nyonya, saya tidak mengikuti pembicaraan Nyonya."
"Jangan diganggu anak-anak muda ini," kata suaminya.
"Sebentar lagi mereka akan menikah dan dapat dipahami kalau mempunyai bahan
pembicaraan yang lebih menarik daripada politik."
"Maafkan saya, Ibu," kata seorang gadis cantik berambut pirang dan bermata sayu,
"karena saya memonopoli perhatian Tuan Villefort"
'Tentu saja aku maafkan, Renee " kata Nyonya Saint-Meran tersenyum ramah.
Senyuman yang sebenarnya agak aneh ditemukan pada wajah yang keras itu. "Saya
berkata, Tuan de Villefort, bahwa kaum Bonaparte tidak mempunyai keyakinan,
semangat dan kepatuhan seperti yang kita miliki."
"Benar, Nyonya, tetapi mereka mempunyai seaiatu yang lain sebagai imbangannya,
yaitu: fanatisme. Oleh mereka yang berwatak kasar dan berambisi besar itu,
Napoleon dianggap sebagai Nabi. Bagi mereka, Napoleon bukan hanya seorang
pembuat undang-undang dan kaisar semata-mata, tetapi juga sebuah perlambang, dia
adalah perwujudan dari persamaan hak. Kalau kobespjere
dianggap mewakili persamaan hak dengan merendahkan yang tinggi, menyeret rajaraja ke pisau gilotin, maka Napoleon mewakili persamaan hak dengan "mengangkat
yang rendah" karena dia mengangkat derajat rakyat sejajar dengan mahkota."
"Saya kira Tuan pasti sadar, Tuan de Vilefort," kata Nyonya Saint-Meran, "bahwa
yang Tuan katakan itu berbau revolusi. Tetapi saya maklum, karena kita toh tidak
dapat mengharapkan anak seorang kaum Girondi dapat membebaskan diri sama sekali
dari sifat-sifat leluhurnya."
Muka Villefort merah padam. "Saya akui bahwa ayah saya seorang kaum Girondi,
Nyonya," katanya, "tetapi saya telah memisahkan diri tidak hanya dari alam
Ukirannya sa-ja, tetapi juga dengan menanggalkan namanya. Dahulu dan mungkin
masih juga sekarang, ayah saya penganut
Bonaparte dan namanya Noirtier. Saya seorang penganut kerajaan dan nama saya
Villefort. Biarkanlah getah-getah revolusi itu mengering dan mati bersama batang
pohonnya yang telah menua, Nyonya, dan lebih baik kita memperhatikan tunas-tunas
muda yang tumbuh terpisah tetapi tidak mempunyai daya, bahkan keinginan untuk
melepaskan diri sepenuhnya dari induknya."
"Bagus sekali Villefort!" kata Pangeran Saint-Meran.
'Tepat sekali! Saya selalu mencoba menyarankan istri saya untuk melupakan masa
lalu, tetapi tak pernah berhasil.
Mungkin engkau akan lebih beruntung daripada saya."
"Baik," kata Nyonya Sain-Meran, "kita lupakan yang lalu, saya tidak
berkeberatan. Saya hanya ingin meminta agar Tuan tetap bersikap teguh di masa
yang akan datang, Tuan de Villefort Apabila ada seorang pengkhianat jatuh ke
tangan Tuan, camkanlah bahwa Tuan akan diperhatikan orang dengan ketat oleh
karena Tuan berasal dari keluarga yang bisa jadi bergabung dengan para
pengkhianat." "Pekerjaan saya, Nyonya, terutama sekali pada zaman yang kita alami sekarang
ini, menuntut saya untuk selalu bersikap keras. Telah berkali-kali saya harus
menangani perkara kejahatan politik dan perkara-perkara itu membuka kesempatan
bagi saya untuk membuktikan kekerasan saya.
Dan sayangnya, perkara-perkara semacam ini belum akan habis."
"Apa benar demikian?" tanya Nyonya Saint-Meran.
"Saya pikir demikian. Napoleon berada di Pulau Elba, di sebuah pulau yang masih
tampak dari pantai kita. Kehadirannya di sana menghidupkan harapan pejuangpejuangnya." "Benar," kata Nyonya Saint-Me"ran, "soalnya, apakah raja berkuasa atau tidak.
Kalau beliau berkuasa, pemerintahannya harus kuat dan para pejabatnya tidak phn-plan Itulah satusatunya jalan untuk mencegah kejahatan."
"Sayang, Nyonya," kata Villefort tersenyum, "sebagai Wakil Penuntut Umum saya
datang ke pengadilan selalu setelah kejahatan itu terjadi."
"Adalah kewajiban Tuan untuk memperbaikinya."
"Izinkan saya mengatakan sekali lagi, Nyonya, bahwa kewajiban kami bukan
memperbaiki kejahatan melainkan menghukumnya."
Pada saat itulah seorang pelayan masuk dan membisikkan sesuatu ke telinga
Villefort. Villefort meminta izin meninggalkan ruangan, dan tak lama kemudian
kembali lagi. "Saya tidak pernah mempunyai waktu untuk diri sendiri" katanya
kepada tunangannya. "Mereka datang mengganggu sekalipun saya sedang merayakan
hari pertunangan sendiri."
"Ada apa?" tanya Renee ingin tahu.
"Baru saja saya diberitahu tentang sesuatu yang sangat penting. Rupanya ada
komplotan kedi kaum Bonaparte ditemukan."
"Apa benar?" tanya Nyonya Saint-Meran terheran-heran.
"Inilah surat pengaduannya." Ia membacanya keras-keras: "Jaksa Penuntut Umum
diberitahukan dengan jalan ini oleh seorang kawan sependirian dan seagama, bahwa
Edmond Dantes, jurumudi pertama kapal Le Pharaon yang baru berlabuh tadi pagi
dari Smirna setelah singgah di Napoli dan Pulau Elba, telah mendapat kepercayaan
dari Mu rat untuk menyerahkan sebuah surat kepada Napoleon, dan mendapat
kepercayaan dari Napoleon untuk
menyerahkan surat kepada kaum Bonaparte di Paris.
Kebenaran akan diperoleh dengan jalan menangkap dia, oleh karena surat untuk ke
Paris itu dapat ditemukan atau pada dirinya, atau di rumah ayahnya, atau di
kamarnya di kapal Le Pharaon." "Tetapi," kata Renee. "itu surat kaleng, dan
alamatnya pun kepada Jaksa Penuntut Umum,bukan kepadamu."
"Benar, tetapi beliau sedang ke luar kota. Sekertarisnya mendapat perintah untuk
membuka semua surat masuk.
Dia menemukan surat ini kemudian menyuruh mencari saya sebagai Wakil Jaksa,
tetapi karena dia tidak berhasil menemukan saya, diambilnya kebijaksanaan
.sendiri menangkap orang itu,"
"Di mana dia sekarang?" tanya Renee.
"Di rumahku." "Kalau begitu, berangkatlah, anak muda," kata Markis Saint-Mlrant. 'Tugas lebih
penting daripada kami. Penuhi ke mana saja tugas dari raja memanggilmu."
Belum sampai ia keluar dari ruangan wajahnya yang gembira telah berubah menjadi
keras sekeras wajah orang yang harus menentukan hidup-matinya orang lain.
Terlepas dari pandangan politik ayahnya yang dapat menghancurkan masa depannya
apabila ia tidak melepaskan diri sepenuhnya, sebenarnya pada saat itu Gerald de
Villefort sedang diliputi rasa bahagia yang bukan alang-kcpalang. Meskipun baru
berusia dua puluh enam tahun, namun dia sudah kaya dan berhasil memegang jabatan
yang tinggi di pengadilan; ia akan segera kawin dengan seorang gadis cantik
pilihannya. Bukan hanya karena cinta semata, tetapi juga berdasarkan
perhitungan. Selain cantik, Nona Renee de Saint-Meran berasal dari keluarga yang
mempunyai pengaruh di pengadilan. Nona Renee menyediakan mas kawin sebesar
seratus lima puluh ribu franc, bahkan pada suatu saat nanti dapat mengharapkan
menerima warisan sebesar setengah juta. Semua ini bagi Villefort merupakan
bayangan kebahagiaan yang sungguh-sungguh menyilaukan.
Dia menjumpai komisaris polisi yang menantinya di pintu. Melihat orang ini
Villefort tersentak dari lamunannya. Dengan wajah yang dibuat lebih sungguhsungguh ia berkata, "Saya telah membaca surat itu. Tuan telah bertindak benar
dengan menangkap orang itu. Sekarang ceriterakan semua ihwal mengenai
persekongkolan itu."
"Kami sama sekali belum mengetahui tentang komplotan itu. Tuan. Semua suratmenyurat yang kami temukan pada orang itu telah kami letakkan di atas meja Tuan
dengan disegel. Seperti tertera dalam surat itu, namanya Edmond Dantes, Jurumudi
Pertama kapal Le Pharaon kepunyaan Perusahaan Morrel & Son yang berniaga katun
dengan Aleksandria dan Smirna."
Pada saat itu Villefort dihadapan seseorang yang rupanya sudah lama menunggu.
Orang itu adalah Tuan Morrel.
'Tuan de Villefort'." katanya. "Saya gembira sekali dapat menemukan Tuan. Telah
terjadi sesuatu kekeliruan yang besar sekali, Jurumudi Pertama kapal saya,
Edmond Dantes, telah ditangkap."
"Saya tahu, Tuan," jawab Villefort "Saya akan memeriksanya."
"Oh!" seru Morrel, terpesona oleh persabahatannya dengan anak muda itu. "Tuan
tidak mengenalnya! Dia orang yang paling sopan dan paling dapat dipercaya di
muka bumi ini." Villefort berasal dari golongan ningrat sedangkan Morrel dari rakyat jelata.
Yang pertama seorang penganut kaum kerajaan yang bersemangat sedang yang lain
diduga mempunyai kecenderungan tersembunyi kepada kaum Bonaparte. Villefort
memandang Morrel dengan angkuh dan menjawab dingin, "Tuan boleh yakin, bahwa
permohonan Tuan tidak akan sia-sia apabila tertuduh ternyata tidak bersalah.
Tetapi kita hidup dalam zaman yang sulit, Tuan, dan apabila ia ternyata bersalah
saya terpaksa menjalankan kewajiban saya."
Dengan terucapkannya kalimat itu ia telah sampai di depan rumahnya. Dengan gaya
bangsawan ia memasuki rumahnya setelah meminta diri dari pemilik kapal dengan
kesopanan sedingin air batu.
Ruang tamunya penuh dengan serdadu dan polisi yang menjaga tahanan.
Villefort melemparkan sekilas pandangan kepada Dantes, menerima setumpuk surat
yang diserahkan kepadanya oleh seorang polisi, kemudian meninggalkan ruang tamu
itu. Ketan pertamanya tentang Dantes, baik. Tetapi dia sering mendengar peribahasa
terkenal dalam dunia politik bahwa orang tidak boleh mempercayai kesan pertama.
Dan dia menterapkan peribahasa Itu dan mematikan kesan baik yang baru
diperolehnya. Kembali ia memasang wajah keras yang diperlukan pada saat-saat
penting-genting, kemudian duduk di kursi di belakang mejanya. Tak lama kemudian
Dantes masuk. Mukanya masih pucat, namun tenang dan tersungging senyuman. Dia
membungkuk memberi hormat dengan sopan, kemudian melihat ke sekeliling mencari
tempat duduk. "Siapa namamu dan apa pekerjaanmu?" Villefort bertanya.
"Edmond Dantes, Jurumudi Pertama kapal Le Pharaon milik Morrel &Son,"
"Berapa umurmu?"
"Sembilan belas."
"Apa yang sedang kaulakukan ketika ditangkap?"
"Sedang merayakan pesta pertunangan saya," jawab Dantes, suaranya agak bergetar.
"Saya sedang berada di ambang pernikahan dengan seorang gadis yang telah saya
cintai selama tiga tahun."
Villefort terkejut. Persamaan kejadian itu telah menggoncangkan hatinya yang
biasa membatu. Dalam lubuk hatinya ia memberikan rasa simpati. Dia sendiri
berada di ambang pernikahan, dan sekarang ia dipanggil tugas untuk menghancurkan
kebahagiaan seseorang yang seperti dirinya yang sedang berada di pintu puncak
kebahagiaan "Perbandingan ini pasti akan memberikan kesan yang menarik nanti dalam
perbincangan di rumah Tuan Saint-Meran," pikirnya.
Ia merancang-rancang dalam hatinya bagaimana ia akan mempidatokannya nanti.
Setelah rancangan pidato ini agak jelas tergambar dalam fikiran, ia
mengembalikan perhatiannya kepada Dantes, dan bertanya, "Pernahkah mengabdi
kepada Napoleon?" "Saya hampir dipanggil wajib masuk Angkatan Laut ketika beliau jatuh dari
kekuasaannya." "Saya mendapat keterangan bahwa engkau mempunyai pandangan politik yang
radikal," kata Villefort. Sebenarnya ia tidak pernah menerima keterangan seperti
itu, namun demikian tidak segan mengajukan pertanyaan dalam bentuk tuduhan.
"Pandangan politik saya, Tuan" Sebenarnya saya malu mengatakannya, tetapi
kenyataannya memang saya tidak pernah mempunyai sesuatu yang dapat dikatakan
sebagai pandangan politik. Umur saya baru sembilan belas tahun, seperti yang
saya katakan tadi, dan pengetahuan saya sangat picik. Rupanya saya tidak
ditakdirkan untuk memegang peranan penting dalam hidup ini Apa yang saya peroleh
sampai sekarang dan apa pun yang akan saya peroleh di kemudian hari seandainya
saya dapat menerima pangkat yang saya impikan itu semuanya berkat kebaikan Tuan
Morrel. Pandangan hidup saya hanya terbatas sampai kepada perasaan-perasaan ini:
Saya mencintai ayah, saya menghargai Tuan Morrel dan saya mencintai Mercedes.
Itulah yang dapat saya terangkan, Tuan. Seperti Tuan lihat, pandangan hidup say
a tidak menarik dan tidak penting."
Villefort mengawasi Dantes dengan seksama. Pemuda ini sangat tulus dan terbuka,
penuh dengan perasaan cinta kasih kepada sesamanya, termasuk kepada jaksa garang
yang sekarang sedang memeriksanya.
"Apakah engkau mempunyai musuh?" tanya Villefort,
"Musuh" Tidak, saya bukanlah orang yang cukup penting untuk punya musuh. Saya
akui bahwa saya sedikit cepat marah, namun terhadap anak buah saya selalu
mencoba mengekangnya. Saya mempunyai dua belas kelasi sebagai bawahan. Silakan
Tuan bertanya kepada mereka, saya yakin mereka akan mengatakan bahwa mereka
menyukai dan menghormati saya"
"Kalau engkau tidak mempunyai musuh, paling sedikit, padamu ada sesuatu yang
dapat menimbulkan iri hati orang. Umpamanya, engkau hampir menjadi kapten dalam
usia sembilan belas tahun dan engkau mempersunting gadis yang cantik. Kedua hal
itu .merupakan nasib baik yang jarang terjadi dalam dunia ini. Salah satu
daripadanya, mungkin menyebabkan seseorang irihati kepadamu."
"Apa yang Tuan katakan itu benar. Saya yakin Tuan mengenal watak manusia lebih
baik dari saya. Tetapi, apabila orang yang dengki itu berada dalam lingkungan
kawan-kawan saya, lebih baik saya tidak mengetahuinya, sebab saya akan terpaksa
membencinya" Keliru kalau engkau berfiki rseperti itu,kitaharus selalu mencoba melihat segala
persoalan sekeliling kita sejelas mungkin.
Dalam pandanganku engkau seorang pemuda yang
cukup berharga sehingga aku bersedia menolongmu
memberikan sedikit penjelasan tentang keadaanmu
sekarang,dengan jalan memperlihatkan surat pengaduan yang menyebabkan engkau
harus berhadapan dengan aku.Ini-lah apakah kau kenal tulisan ini?"
Dantes membaca surat itu. Seketika wajahnya berubah menjadi merah. Dia berkata,
"Tidak, Tuan, saya tidak mengenalnya Tulisan ini palsu, tetapi cukup jelas. Saya
merasa beruntung," tambahnya sambil memandang Villefort dengan penuh rasa terima
kasih, "berurusan dengan orang seperti Tuan, sebab fitnah yang keji1 ini jelas
perbuatan seorang musuh jahat." Dari sorot mata Dantes ketika ia mengucapkan
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalimat tadi, Villefort menangkap suatu kekuatan yang dahsyat tersembunyi di
balik kehalusan dan kesopanannya.
"Sekarang," kata Villefort, "jawablah sejujur-jujurnya, tidak sebagai seorang
tahanan kepada jaksa melainkan sebagai seorang yang difitnah kepada orang lain
yang menaruh perhatian dari lubuk hatinya. Adakah kebenaran pengaduan gelap
itu?" Dia melemparkan surat itu ke atas mejanya dengan perasaan jijik.
"Saya akan menceriterakan seluruh kebenaran, Tuan, dan untuk itu saya bersumpah
demi kehormatan saya sebagai seorang pelaut, demi cinta saya kepada Mercedes,
dan demi hidup ayah saya. Setelah kami meninggalkan Napoli, Kapten Leclere tibatiba mendapat serangan penyakit pada otaknya. Merasa bahwa hidupnya akan segera
berakhir, beliau memanggil saya, kemudian beliau berkata, 'Dantes yang baik,
bersumpahlah bahwa engkau akan sudi
melakukan apa yang akan saya minta. Ini adalah persoalan yang sangat penting.'
'Saya bersumpah, Kapten,' kata saya.
'Kalau saya mati.' katanya, 'engkau ambil alih pimpinan oleh karena engkau
Jurumudi Pertama. Singgahlah di Pulau fclba, pergi ke darat di Porto Ferralo,
minta bertemu dengan Marsekal, dan berikan surat ini kepadanya. Mungkin sekali,
engkau akan dititipi surat atau dipercaya untuk melakukan sesuatu tugas. Tugas
itu seharusnya untukku, tetapi hendaknya engkau melaksanakan itu untukku, dan
segala kehormatannya untukmu.'
'Saya akan melaksanakannya, Kapten,' kata saya. Tetapi mungkin menemui Marsekal
itu tidak semudah yang Tuan sangka, Kapten.'
"Ini ada sebuah cincin yang akan menghilangkan semua rintangan" katanya sambil
memberikan sebuah cincin. Dua jam kemudian beliau sudah tidak sadarkan diri dan
terus-menerus mengigau. Keesokan harinya meninggal."
"Lalu, apa yang kaulakukan?"
"Apa yang juga akan dilakukan setiap orang yang berada dalam keadaan seperti
saya, Tuan. Permintaan seseorang yang berada di ambang kematian selalu bersifat
suci, tetapi bagi seorang pelaut permintaan atasannya merupakan perintah yang
harus dilaksanakan. Saya tiba di Pulau Elba keesokan harinya kemudian turun ke
darat seorang diri. Seperti yang saya perkirakan pada mulanya menemukan beberapa kesukaran untuk
dapat bertemu dengan Marsekal itu. Saya mengirimkan cincin itu kepadanya dan
setelah itu semua pintu terbuka untuk saya. Marsekal memberikan sebuah surat
yang dialamatkan kc Paris dan meminta saya menyerahkannya secara pribadi. Saya
berjanji akan m elak sanakannya, oleh karena itu sesuai dengan permintaan
terakhir Kapten saya. Saya berlabuh di Marseilles, segera menyelesaikan segala
urusan kapal, kemudian menemui tunangan yang saya jumpai dalam keadaan lebih
cantik daripada biasanya. Akhirnya, Tuan, saya merayakan pesta pertunangan kami
dan bermaksud kawin pada hari itu juga untuk kemddian pergi ke Paris keesokan
harinya. Pada saat itulah saya ditangkap berdasarkan surat pengaduan yang
ternyata menjijikkan bagi Tuan - sama seperti bagi saya."
"Tampaknya engkau telah mengatakan apa yang sebenarnya," kata Villefort,
"kalaupun engkau melakukan kesalahan, itu hanya disebabkan kecerobohan, bahkan
kecerobohan itu masih dapat dipertanggungjawabkan karena perintah Kapten.
Berikan surat yang kauterima di Pulau Elba itu kepadaku, berikan janji kepadaku
bahwa engkau akan datang pabila saja engkau diminta datang, dan kem batilah ke
kawan-kawanmu." "Apakah maksudnya saya bebas, Tuan?" Dantes berteriak penuh kegembiraan.
"Ya, tetapi berikan dahulu surat itu."
"Saya kira sudah ada pada Tuan; mereka telah meram-pasnya bersama surat-surat
saya lainnya." "Sebentar," kata Villefort lagi kepada Dantes yang sudah mengambil sarung tangan
dan topinya. "Kepada siapa surat itu dialamatkan?"
"Kepada Tuan Noirtier, Rue Coq-Heron di Paris."
Sebuah halilintar tak akan mengejutkan Villefort seperti jawaban Dantes itu. Dia
terhenyak kembali ke kursinya, padahal ia sudah berdiri hendak mengambil
tumpukan surat-surat yang diambil dari Dantes. Dia mengambil surat celaka itu
dan memandangnya dengan kekacauan pikiran yang tidak tergambarkan. "Tuan
Noirtier, Rue Coq-Heron 13," katanya perlahan-lahan. Wajahnya makin lama makin
pucat "Benar, Tuan," kata Dantes yang juga terheran heran
"Apakah Tuan mengenalnya?"
"Tidak!" jawab Villefort dengan tegas. "Seorang abdi Raja yang setia tidak
pernah mengenal pengkhianat,"
"Apakah surat itu tentang pengkhianatan?" tanya Dantes yang merasa dirinya sudah
bebas, tetapi juga merasakan kegawatan keadaan lebih daripada semula. "Walau
bagaimana. Tuan, seperti tadi sudah saya katakan, saya sama sekali tidak
mengetahui akan isi surat itu."
"Betul," kata Villefort, "tetapi engkau mengetahui nama si alamat"
"Saya wajib mengetahuinya agar dapat menyampaikannya, Tuan."
"Apakah engkau pernah memperlihatkan surat ini kepada orang lain?" tanya
Villefort kemudian membacanya.
'Tidak kepada siapa pun, Tuan. Saya bersumpah."
"Dan tak seorang pun tahu bahwa engkau harus menyampaikan sebuah surat dari
Pulau Elba kepada Tuan Noirtier?"
'Tidak seorang pun, kecuali orang yang menitipkannya."
"Ini sangat berbahaya! Sangat berbahaya!" Villefort menggerutu setelah ia tamat
membacanya. Bibirnya yang rapat ketat, tangannya yang gemetar dan matanya yang
liar berapi-api menimbulkan kecemasan pada Dantes.
"Kalau saja dia mengetahui isi surat ini," kata Villefort dalam hati, "dan
seandainya dia mengetahui bahwa Noirtier ayah Villefort, hancurlah aku untuk
selamanya!" Dia berusaha sekuat tenaga menguasai dirinya,
kemudian berkata kepada Dantes setenang mungkin,
"Sekarang saya baru melihat bahwa dakwaan kepadamu sangat berat. Saya tidak
mempunyai wewenang untuk membebaskanmu sekarang juga seperti yang saya sangka
semula. Engkau telah melihat bagaimana aku mencoba ingin menolongmu, tetapi
ternyata sekarang aku harus tetap menahanmu untuk sementara, mudah-mudahan untuk
waktu yang sependek mungkin. Bukti utama yang dapat mencelakakanmu adalah surat
ini, dan, lihatlah . . ." Dia menghampiri tungku api pemanas ruangan,
melemparkan surat itu ke dalamnya dan memperhatikannya sampai habis menjadi abu.
"Seperti kausaksikan sendiri," ia meneruskan,
"bukti itu telah kubakar."
"Oh!" teriak Dantes gembira, "Tuan lebih dari baik, Tuan adalah wujud kebaikan
itu sendiri." "Aku kira sekarang engkau dapat mempercayai aku.
Karena itu, dengarkan baik-baik nasihatku ini. Aku akan menahanmu di sini sampai
malam nanti. Mungkin akan ada orang lain memeriksamu. Katakan semua yang pernah
kau' ceriterakan kepadaku, kecuali" tentang surat itu.
Jangan disinggung-singgung sepatah pun."
"Saya berjanji, Tuan," kata Dantes.
"Kalau ada orang bertanya tentang itu, sangkal saja.
Sangkal dengan keras dan engkau pasti selamat."
"Saya akan menyangkalnya, Tuan, jangan khawatir."
"Baik!" kata Villefort. Dia menekan tombol dan tak lama kemudian komisaris
polisi masuk. "Ikuti Tuan ini," katanya kepada Dantes. Dantes membungkuk hormat kemudian
melemparkan pandangan terima kasih dan berjalan ke luar kamar.
Segera setelah pintu tertutup kembali badan Villefort terasa sangat lemah. Ia
terkulai di kursinya setengah pingsan. "Ya Tuhanku!" katanya bergumam. "Kalau
saja Jaksa Penuntut Umum ada di Marseilles, dia akan melihat surat itu dan
hancurlah aku! Oh, Ayah, apakah Ayah akan selalu menjadi perintang
kebahagiaanku" Apakah saya harus terus-menerus menentang Ayah" "
Tiba-tiba, sebuah pikiran terlintas dalam benaknya.
Sebuah senyuman terukir di bibirnya dan matanya yang cekung memusat seakan-akan
sedang memandang suat u bayangan. "Ya!" katanya. "Surat yang dapat menghancurkan
diriku itu, mungkin juga dapat memberikan
keuntungan. Ayo, Villefort: berjuanglah!"
Setelah dia yakin bahwa tahanan itu sudah keluar dari ruang tamu, Wakil Jaksa
Penuntut Umum itu bergegas-gegas pergi ke rumah tunangannya.
BAB VI KETIKA melalui ruang tamu, Komisaris polisi memberi isyarat kepada dua orang
serdadu untuk mengawal Dantes di sebelah kiri dan kanannya. Pintu yang menuju ke
Kantor Pengadilan terbuka kemudian mereka berjalan melalui salah satu gang
panjang yang gelap dan menyeramkan.
Seperti rumah Villefort dihubungkan dengan Kantor Pengadilan, demikian juga
Kantor Pengadilan dihubungkan dengan penjara. Setelah berkali-kali berbelokbelok di beberapa gang Dantes dan pengawalnya sampai di sebuah pintu besi. Pintu
itu terbuka dan kemudian tertutup lagi setelah Dantes melaluinya. Udara yang
dihirupnya sekarang berlainan, kotor dan lembab. Dia sekarang berada dalam
penjara. Dia dimasukkan ke dalam sebuah sel yang agak bersih dan tidak terlampau
menakutkan; terutama karena kata-kata Villefort yang membesarkan hati masih
mengiang ngiang di telinganya.
Malam telah tiba dan sel menjadi gelap. Dengan
hilangnya penglihatan, pendengarannya menjadi lebih tajam. Karena suara yang
paling lemah pun dia berdiri mendekati pintu dengan keyakinan bahwa ia akan
segera dibebaskan, tetapi begitu suara itu menghilang lagi ia menjatuhkan diri
kembali ke tempat duduknya.
Akhirnya, menjelang jam sepuluh, tepat ketika ia sudah hampir kehilangan
harapan, dia mendengar langkah-langkah orang berjalan. Suara itu berhenti di
muka pintu selny:i: terdengar kunci diputar dan pintu yang tebal itu terbuka dan
terlihatlah dua buah obor yang menyilaukan.
Dantes . melihat ada empat orang serdadu.
"Apa kaitan hendak menemui saya?" dia bertanya.
"Ya." "Atas perintah Tuan Wakil Jaksa?"
"Tentu." Karena mengetahui bahwa mereka diperintah oleh Villefort hilanglah kecemasan dan
kebimbangan pada anak muda yang malang itu. Dengan tenang dia menempatkan
dirinya di tengah-tengah pengawalnya. Sebuah kereta polisi telah menantinya di
jalan. Pintunya terbuka dan sebelum ia sempat berkata apa-apa dia telah didorong
masuk ke dalamnya, padahal ia sama sekali tidak berniat untuk membangkang. Tak
lama kemudian dia sudah duduk di antara dua orang serdadu, sedang serdadu yang
dua lagi duduk di hadapannya. Kereta yang besar itu segera bergerak ke tempat
tujuan yang tidak diketahuinya
Ketika pada akhirnya kereta itu berhenti, Dantes baru sadar bahwa ia berada di
pelabuhan. Dua serdadu keluar lebih dahulu, kemudian Dantes diikuti oleh serdadu
lainnya. Keempat pengawal itu membawa Dantes ke sebuah perahu yang dipegang oleh
seorang pejabat pabean di dermaga dengan rantai. Dantes didudukkan di buritan,
dikelilingi oleh keempat serdadu itu, sedang seorang polisi mengambil tempat di
haluan. Perahu di dorong ke tengah, empat orang pendayung mengayuh kuat-kuat dan
selang beberapa lama mereka sudah berada di hiar pelabuhan.
"Akan dibawa ke mana aku ini?" Dantes bertanya kepada salah seorang serdadu.
"Engkau akan segera mengetahuinya."
'Tetapi..." "Kami dilarang memberikan keterangan apapun juga."
Dantes terdiam. Dia menunggu dengan tenang sambil berfikir, dan mencoba
menguakkan kegelapan malam
dengan mata terlatih seorang pelaut yang sudah biasa dengan ruang yang luas dan
kegelapan. Sementara itu para pengayuh berhenti mendayung sebab layar dinaikkan.
Akhirnya, meskipun dengan perasaan enggan untuk kedua kalinya Dantes bertanya,
"Hai kawan, demi nurani Saudara sendiri, kasih anilah saya dan tolonglah jawab
pertanyaan saya. Saya ini difttnah melakukan sesuatu pengkhianatan padahal
sebenarnya saya seorang Perancis yang setia. Mau dibawa ke mana saya ini?"
Tolong, katakanlah, dan saya berjanji demi kehormatan sebagai seorang pelaut
saya tidak akan berbuat apa-apa kecuali menyerahkan diri kepada nasib."
"Kalau engkau belum pernah keluar dari pelabuhan Marseilles atau kalau matamu
tertutup, engkau tidak akan dapat menerka ke mana kita akan menuju sekarang.
Coba lihat ke sekelilingmu."
Dantes berdiri dan memandang ke arah laju perahu.
Beberapa ratus yard di hadapannya tampak menjulang bukit karang yang tinggi. Dan
di atas bukit itu berdirilah Puri If yang menyeramkan. Secara tak terduga
melihat penjara yang tersohor mempunyai tradisi kekejaman yang sudah berabadabad lamanya, bagi Dantes sama dengan melihat tiang gantungan.
"Ya Tuhanku!" dia berteriak. "Penjara If. Mau apa kita ke sana?"
Serdadu yang ditanya itu tersenyum,
"Tak mungkin kalian membawa saya ke sana untuk dipenjarakan !" kata Dantes lagi.
"Puri If adalah penjara negara yang hanya digunakan untuk menyekap tahanantahanan politik. Saya tidak melakukan kejahatan apa pun. Apa saya akan disekap
disana?" "Mungkin."
'Tetapi Tuan de Villefort telah berjanji..."
"Aku tidak mengetahui apa yang dijanjikan Tuan de Villefort," kata serdadu itu.
"Yang aku ketahui hanyalah bahwa kita menuju ke Puri If Tunggu" Cepat, bantu
aku!" Dantes mencoba menceburkan diri ke laut, tetapi dua pasang tangan yang kuat-kuat
menariknya kembali, tepat ketika kedua kakinya melayang meninggalkan dasar
perahu. Dia terjatuh dan berteriak-teriak dengan geramnya.
"Awas, Kawan," kata salah seorang serdadu sambil menekan dia dengan lututnya,
"kalau sekali lagi engkau bertingkah, sekali saja, akan kutempatkan sebuah
peluru di kepalamu!"
Dantes merasakan tekanan moncong sebuah senapan
pada pelipisnya. Tak lama kemudian ia merasakan perahu melanggar sesuatu yang
keras. Ternyata mereka sudah sampai ke pesisir. Pengawal pengawal menarik Dantes
supaya berdiri, menyuruhnya keluar dari perahu kemudian meng-gusurnya kc anak
tangga yang menuju ke benteng. Dantes tidak melakukan perlawanan. Kclambanannya
bergerak disebabkan oleh tidak berdaya, bukan karena membangkang.
Ia merasa lumpuh, jalannya tersaruk-saruk seperti orang mabuk. Dia tahu akan
adanya anak tangga yang memaksa ia mengangkat kakinya, ia juga ingat berjalan
melalui sebuah pintu yang segera menutup kembali setelah ia masuk, tetapi
semuanya itu ia lakukan seperti sebuah mesin, sedangkan penglihatannya kabur
seperti terhalang kabut tebal. Akhirnya dia berhenti. Karena yakin tak akan
mungkin melarikan diri, serdadu-serdadu itu melepaskan genggamannya. Setelah menunggu kurang lebih
sepuluh menit, sebuah suara terdengar, "Suruh pesakitan itu mengikutiku. Akan
saya antarkan dia ke selnya."
"Ayo!" kata salah seorang serdadu sambil mendorong Dantes.
Dantes mengikuti pengantarnya masuk ke dalam sebuah kamar yang hampir seluruhnya
berada di bawah tanah. Udaranya demikian lembab sehingga dinding-dindingnya yang kotor penuh dengan
butir-butir air. Sebuah lampu minyak yang diletakkan pada sebuah bangku kecil,
yang sumbunya berenang dalam minyak yang busuk baunya, menerangi penginapan yang
menyeramkan ini. Cahayanya memungkinkan Dantes melihat pengantarnya, seorang
jurukunci rendahan dengan baju yang kumal dan wajah yang dungu.
"Inilah kamarmu untuk malam ini," katanya. "Malam telah larut dan Gubernur
penjara telah tidur. Besok, setelah beliau membaca petunjuk-petunjuk mengenai
dirimu, mungkin saja beliau menempatkanmu di sel yang lain.
Sementara itu, ini roti, air di sana tempatnya, dan di sudut sana ada jerami
untuk tidur. Segala yang dapat diharapkan seorang tahanan, sudah tersedia.
Selamat malam." Sebelum Dantes sempat menjawab apa-apa, jurukunci itu mengambil lampu, mengunci
pintu dari luar dan meninggalkan sel dalam gelap gulita.
Ketika sinar-sinar pertama fajar mulai menerangi kembali sel itu, jurukunci
datang kembali dan memberitahu Dantes bahwa menurut atasannya Dantes tidak akan
dipindahkan ke sel lain. Dantes tidak bergerak. Seakan-akan dia terpaku di
tempat ia berhenti ketika tadi malam masuk. Dia tetap berdiri sepanjang malam
tanpa tertidur barang sekejap pun. Jurukunci menghampirinya, tetapi Dantes
seperti tidak melihatnya. Bahunya ditepuk, Dantes terkejut dan
menggelengkan kepala. "Apa engkau tidak tidur?" tanya Sipir.
'Tidak tahu." 'Tidak lapar?" "Tidak tahu." "Ada sesuatu yang kauinginkan?"
"Aku mau bertemu dengan Gubernur."
"Tak mungkin." "Mengapa?" "Oleh karena peraturan di sini melarang tahanan memintanya."
"Apa yang boleh diminta?"
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Makanan yang lebih baik, kalau engkau mau membayarnya, berjalan-jalan di luar,
dan kadang-kadang buku bacaan."
"Aku tidak memerlukan buku, aku tidak ada minat untuk berjalan-jalan dan makanan
sudah cukup baik. Aku hanya menginginkan satu perkara saja: bertemu dengan
Gubernur." "Dengar," kata Sipu "jangan suka memikirkan yang bukan-bukan, dalam tempo dua
minggu engkau bisa gila."
Kaukira begitu?" "Ya. Oleh karena itulah awal kegilaan. Contohnya, ada seorang pendeta yang
asalnya ditahan di kamar ini juga.
Dia terus-menerus menawarkan uang sejuta franc kepada Gubernur asal saja beliau
mau membebaskannya. Akhirnya dia gila."
"Lalu, bagaimana selanjutnya?"
"Dia dipindahkan ke sel bawahtanah."
"Sekarang kau yang mendengarkan," kata Dantes. "Aku bukan pendeta dan aku tidak
gila. Aku tidak mampu menawarkan uang sejuta franc, tetapi aku dapat
memberimu tiga ratus franc kalau engkau bersedia
mengirimkan surat kepada seorang gadis yang bernama Mercedes, bila engkau
kebetulan ke Marseilles nanti...
bahkan sebenarnya bukan surat, hanya dua atau tiga kalimat saja."
"Seandainya aku mau menerima surat yang dua tiga kalimat itu dan tertangkap,
pasti aku dipecat. Penghasilan ku di sini seribu franc setahun, belum terhitung
makanan. Bodoh aku kalau aku mau mencari tambahan tiga ratus dengan mempertaruhkan seribu
franc." "Kalau begitu, kalau engkau menolak menyampaikan surat itu, atau menolak
memberitahu Mercedes bahwa aku di sini, pada suatu hari nanti aku akan
bersembunyi di balik pintu itu dan akan kupecahkan kepalamu dengan bangku itu
tepat ketika engkau masuk."
"Kau mengancam rupanya?" Sipir itu mundur selangkah dan berjaga-jaga untuk
mempertahankan diri. "Pendeta itu pun mulai dengan gejala-gejala begini. Dalam
tiga hari engkau sudah akan mengigau, sama seperti dia. Untung ada sel bawah
tanah di penjara If ini"
Dantes menjangkau dan mengangkat bangku itu ke atas kepalanya.
"Baik! Baik!" kata Sipir. "Aku akan menghadap Gubernur."
"Itu lebih baik!" kata Dantes dan meletakkan kembali bangku itu kemudian
mendudukinya dengan kepala terkulai dan mata cekung, seperti benar-benar ia
sudah gila. Sipir pergi dan tak berapa lama kemudian kembali lagi di antar empat orang
serdadu. "Atas perintah Gubernur
"katanya, "pindahkan pesakitan ini ke ruang di bawah kamar ini."
"Sel bawahtanah?" tanya kopralnya.
"Ya, kita harus menempatkan yang gila bersama yang gila lagi."
Keempat serdadu itu memegang Dantes yang sudah
kehilangan semangat. Dantes mengikuti mereka tanpa perlawanan. Setelah menuruni
lima belas buah anak tangga, sebuah pintu sel terbuka dan Dantes masuk ke
dalamnya. Ia bergumam kepada dirinya sendiri, "Ia benar, mereka harus menyatukan
yang gila dengan yang gila."
BAB VII DI ruang kerjanya yang kecil di Istana Tuilcries di Paris Raja Louis XVIII duduk
di belakang meja kesayangannya yang terbuat dari kayu kenari yang dibawanya
kembali dari tempat pengasingannya di Hart well, mendengarkan dengan acuh tak
acuh laporan seorang bangsawan beruban, berumur kira-kira lima puluh tahun.
Sambil mendengarkan itu Sri Baginda tiada hentinya membuat catatan di pinggir
halaman majalah Horace. "Apa yang Tuan katakan?" tanya Raja
"Bahwa saya sangat risau. Baginda. Saya mempunyai alasan yang kuat untuk percaya
bahwa ada badai sedang bergolak di Selatan."
"Aku khawatir Tuan mendapat laporan yang salah. Aku yakin bahwa cuaca sangat
baik di sana." Sebagai seorang yang cerdas Raja Louise XVIII mempunyai
kesanggupan membuat humor dengan cepat
"Baginda mungkin benar dalam memperhitungkan perasaan dan- pengertian yang baik
rakyat Perancis, tetapi rasanya saya pun tidaklah salah apabila saya
mengkhawatirkan kemungkinan percobaan pemberontakan yang nekad."
"Oleh siapa?" "Oleh Bonaparte, atau setidak-tidaknya oleh para peng-ikutnya."
"Duke Blacas yang baik," kata Raja, "kekhawatiran Tuan mengganggu pekerjaanku."
"Dan perasaan aman yang ada pada Baginda
mengganggu tidur saya, Baginda. Kekhawatiran saya tidak bersumber dari desasdesus yang kabur tidak berdasar, melainkan dari seorang yang cerdas dan dapat
dipercaya, yang baru saja tiba dari Marseilles sengaja unttuk mengabari saya
bahwa: bahaya besar sedang mengamcam Raja. Itulah sebabnya saya segera
menghadap. Saya kira penting sekali apabila Baginda sudi berbicara langsung
dengan Tuan de Villefort,"
"Tuan de Villefort!" seru Raja- "Diakah yang dari Marseilles itu. Mengapa tidak
Tuan sebutkan dari tadi?"
"Saya mengira nama itu tidak mempunyai arti apa-apa bagi Baginda."
"Memang tidak. Dia seorang anak muda yang sungguh-sungguh terhormat, cerdas dan
di atas segala-galanya sangat besar ambisinya. Selanjutnya, Tuan sendiri tahu
siapa ayahnya, bukan?"
"Ayahnya?" "Ya, namanya Noirtier."
"Noirtier kaum Girondi?"
"Tepat sekali" "Dan Baginda mengangkat anak seorang semacam itu sebagai Wakil Jaksa?"
"Blacas sahabatku, rupanya Tuan tidak mengerti. Tadi saya katakan Villefort
besar sekali ambisinya. Dia bersedia mengorbankan apa saja demi tujuannya,
bahkan ayahnya sendiri kalau perlu akan dikorbankannya juga."
"Apakah perlu saya hadapkan dia sekarang, Baginda?"
"Ya, segera." Duke Blacas segera meninggalkan ruangan dengan kegembiraan seorang anak muda dan
tak lama kemudian kembali lagi bersama Villefort. Ketika pintu terbuka,
Villefort sangat terkejut karena tidak mengira akan berhadapan muka dengan Raja
pribadi, [a berhenti seketika.
"Silakan masuk, Tuan de Villefort" kata Raja.
Villefort membungkuk dalam-dalam dan maju
selangkah, menunggu disapa.
"Tuan de Villefort," kata Raja Louise XVIII, "Duke Blacas memberitahu bahwa Tuan
mempunyai laporan yang sangat penting."
"Apa yang dikatakan Duke Blacas itu benar, Baginda.
Saya datang ke Paris secepat mungkin untuk mengabari Baginda bahwa dalam
menjalankan kewajiban sehari-hari saya telah berhasil mengungkapkan sebuah
komplotan yang amat sangat membahayakan, katakanlah, sebuah badai dahsyat yang
secara langsung mengancam Mahkota.
Baginda Yang Mulia, Napoleon si perampas telah
meninggalkan Pulau Elba membawa pasukan sebanyak tiga buah kapal. Tujuannya
tidak diketahui, tetapi pasti dia akan melakukan percobaan mendarat di Napoli
atau di Tuscany, bahkan mungkin sekali di Perancis. Saya rasa Baginda maklum
bahwa Napoleon mempunyai banyak pejuang
gerilya baik di Itali maupun di Perancis."
"Ya, aku tahu," kata Raja sangat tersinggung. "Coba teruskan, bagaimana Tuan
mengetahui semua ini?"
"Saya mengetahuinya dari seseorang di Marseilles yang telah lama saya amat-amati
dan telah saya tangkap pada hari saya berangkat ke Paris. Orang ini, seorang
pelaut yang bersemangat, yang telah lama saya curigai sebagai pengikut kaum
Bonaparte, pada suatu hari melakukan kunjungan rahasia ke Pulau Elba. Dari
Marsekal Bertrand ia mendapat kepercayaan untuk menyampaikan sebuah pesan
tertulis kepada seorang anggota kaum Bonaparte di Paris yang namanya tidak
berhasil saya ungkapkan. Tetapi saya berhasil mengetahui bahwa orang itu
mendapat tugas mempersiapkan kembalinya Napoleon dalam waktu yang dekat."
"Di mana orang itu sekarang?"
"Dalam penjara. Baginda."
"Ah, kebetulan Tuan Dandre datang!" seru Duke Blacas.
Menteri Kepolisian baru saja tiba di ambang pintu.
Mukanya pucat, tubuhnya gemetar dan matanya liar karena gugup.
Dengan kasar sekali Raja mendorong meja di hadapannya dan berteriak keras, "Ada
apa, Baron" Tuan tampak gugup sekali. Apakah bahaya yang merisaukan Tuan ada
hubungannya dengan apa yang baru saja dilaporkan oleh Tuan de Villefort?"
"Baginda, Baginda," kata Baron Dandre terbata-bata.
"Berkatalah!" Menteri Keepolisian menjatuhkan dirinya di kaki Raja dengan putus asa, kemudian
berkata, "Malapetaka besar, Baginda! Si Perampas telah meninggalkan Pulau Elba
pada tanggal 28 Pebruari dan pada tanggal 1 Maret telah mendarat di Perancis, di
sebuah pelabuhan kecil dekat Antibes,"
"Si Perampas mendarat di Perancis dekat Antibes, hanya seratus dua puluh lima
kilometer dari Paris, pada tanggal 1
Maret, dan Tuan baru mengetahuinya pada hari ini, tanggal 3 Maret. Bagaimana
mungkin! Ada dua kemungkinan,
Tuan menerima laporan salah, atau Tuan telah gila!"
"Maaf, Baginda, tetapi ini adalah kebenaran yang nyata!"
Raja Louis XVIII membuat gerakan yang menunjukkan kemarahan dan kecemasan yang
tidak terkatakan, kemudian berdiri tegak. "Di Perancisi" dia berteriak. "Si Perampas di Perancis!
Apa dia tidak dijaga" Tetapi, siapa tahu, mungkin ada orang yang berkomplot
dengan dia!" "Wahai, Baginda!" kata Duke Blacas. "Orang yang setia seperti Tuan Dandre tidak
mungkin dituduh berkhianat.
Kita semua buta dan beliau pun terkena kebutaan seperti kita."
"Tetapi . . .," Villefort menyela Setelah berhenti sejenak, dia berkata lagi,
"Maafkan saya, Baginda. Saya terpengaruh oleh dorongan hati saya."
"Jangan ragu-ragu!" jawab Raja. 'Tuanlah orangnya yang memberi kami kabar
tentang bencana ini. Sekarang tolong kami mengatasinya."
"Baginda Yang Mulia," kata Villefort, "Napoleon sangat dibenci di Selatan. Tidak
akan sukar menggerakkan rakyat Provence dan languedoc mengangkat senjata."
'Tak dapat disangkal," kata Menteri. 'Tetapi, sayang sekali dia sudah maju
melalui Gap dan Sisteron."
"Sudah sejauh itu!" sahut Raja makin gugup. "Maksud Tuan dia sudah menuju ke
Paris?" Menteri Kepolisian tidak menjawab, sama artinya dengan mengiyakan.
"Kalau begitu," kata Raja selanjutnya. "Saya sudah tidak memerlukan Tuan-tuan
lagi dan kalian boleh pergi. Yang harus dilakukan sekarang, menjadi kewajiban
Menteri Peperangan . . . Tuan de Villefort, Tuan pasti masih merasa lelah
setelah perjalanan yang jauh itu. Silakan beristirahat.
Tuan akan tinggal di rumah ayah Tuan bukan?"
Villefort merasa seolah-olah akan pingsan. 'Tidak, Baginda," katanya "Saya akan
tinggal di hotel Madrid, di Rue de Toumon."
"O, ya ya," kata Raja sambil tersenyum. "Saya sama sekali lupa bahwa Tuan tidak
sepaham dengan Tuan Noirtier. Ini merupakan pengorbanan tuan yang lain lagi untuk kerajaan yang
patut saya hargai." "Kebaikan hati Baginda bagi saya sudah merupakan penghargaan yang tidak
terhingga sehingga saya tidak berani mengharapkan yang lain lagi."
"Walaupun demikian, kami tidak akan melupakan Tuan Sementara itu, terimalah ini"
Raja menanggalkan bintang Pasukan Kehormatan yang selalu beliau pakai di samping
bintang Saint Louis, kemudian menyerahkannya kepada Villefort.
Mata Villefort basah karena air mata gembira dan bangga. Dia menerima bintang
itu dan menciumnya. "Sekarang silakan," kata Raja. "Apabila aku hipa kepada Tuan, maklum ingatan
seorang Raja pendek, jangan ragu-ragu mengingatkan aku."
Ketika Villefort meninggalkan Istana Tuileries, Menteri Kepolisian berkata
kepada Villefort, "Masa depan Tuan yang cerah sudah terjamin sekarang."
"Soalnya, berapa lama saya mesti menunggu," jawab Villefort dalam hati.
BAB VIII KEJADIAN yang satu menyusul yang lain dengan cepat.
Kisah kembalinya Napoleon dari Pulau Elba yang aneh, penuh rahasia, telah
menjadi pengetahuan umum. Suatu kejadian yang tidak ada bandingannya di masa
lampau dan mungkin juga tidak akan dapat ditiru di masa yang akan datang.
Raja Louis XVIII tidak berusaha keras untuk menahan serangan Napoleon itu.
Kerajaan yang masih jauh daripada selesai ia bangun kembali tergoncang pada
landasannya yang tidak kokoh. Satu pukulan dari Napoleon sudah cukup untuk
meruntuhkan seluruh bangunan ke raja an itu yang tidak lain terdiri dari hanya
campuran tidak menentu dari pemikiran-pemikiran kuno dan pendapat-pendapat baru
Oleh sebab itu Villefort tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari raja kecuali
penghargaan yang bukan saja tidak berguna, tetapi bahkan dapat membahayakan bagi
dirinya. Tak dapat diragukan lagi Napoleon pasti akan memecat dia kalau saja tidak ada
perlindungan dari ayahnya, Tuan Noirtier, yang mempunyai pengaruh yang sangat
besar di lingkungan Kehakiman selama Masa Pemerintahan Seratus Hari.
Villefort tetap dapat mempertahankan kedudukannya, tetapi perkawinannya
ditangguhkan sampai saat yang lebih baik. Apabila Napoleon tetap berkuasa,
Villefort akan membutuhkan calon isteri yang lain, dan ayahnya tentu akan
mencarikan seorang wanita baginya. Apabila sebaliknya, Raja Louis XVIII kembali
ke singgasana untuk kedua kalinya, pengaruh Markis de Saint-Meran akan dua kali
lipat lebih besar dari dahulu, dan perkawinan dengan puterinya akan lebih
menguntungkan bagi Villefort.
Adapun Dantes, tetap dalam sekapan. Karena terbenam dalam kedalaman sel
bawahtanah, ia sama sekali tidak mengetahui kejadian-kejadian di luar penjara,
baik tentang kejatuhan Raja Louis XVIII maupun tentang keruntuhan Kaisar
Napoleon. Dalam masa kembalinya Kaisar yang dikenal dengan
Masa Pemerintahan Seratus Hari, Morrel telah tiga kali menemui Villefort untuk
meminta dengan sangat agar Dantes dibebaskan Setiap kali Villefort
menenangkannya dengan janji dan harapan. Kemudian terjadilah peristiwa Waterloo,
awal kehancuran Napoleon. Morrel tidak datang-datang lagi kepada Villefort. Dia
telah melakukan segala sesuatu dalam batas kemampuannya untuk sahabat mudanya.
Mengusahakan lagi kebebasan Dantes dalam masa kekuasaan Raja Louis XVIII tidak
akan ada gunanya. Ketika Raja Louis XVIII kembali ke tampuk pemerintahan, Villefort meminta dan
memperoleh jabatan sebagai Jaksa Penuntut Umum di Toulouse yang ketika itu masih
lowong. Dua minggu kemudian ia menikah dengan Renee, putri Markis de SaintMeran. Dalam masa kekuasaan Napoleon yang pendek,
Danglars dihinggapi rasa takut. Dia memperhitungkan Dantes dapat muncul kembali
setiap saat dengan ancaman pembalasan dendam. Oleh sebab itu dia mengajukan
permohonan berhenti kepada Morrel, kemudian bekerja pada sebuah perusahaan
bangsa Spanyol di Madrid.
Setelah itu tak terdengar lagi kabar beritanya.
Lain dengan Fernand, dia tidak terlalu memusingkan pergantian kekuasaan itu.
Yang penting bagi dia, Dantes tidak ada, dan dia tidak merasa perlu menyusahkan
diri dengan mencari keterangan apa yang terjadi selanjutnya dengan Dantes.
Ketika Kaisar Napoleon berseru kepada rakyatnya, agar setiap lelaki yang dapat
memanggul senjata berduyun-duyun mematuhi suara Kaisar, Fernand menggabungkan
diri bersama kawan-kawannya.
Kesetiaannya kepada Mercedes, kesediaannya turut merasakan semua kesedihan
Mercedes, dan perhatiannya kepada keinginan-keinginan Mercedes betapa kecil
sekalipun telah meninggalkan kesan yang baik pada hati Mercedes yang tulus. Dari
dahulu Mercedes menyukai Fernand sebagai kawan. Perasaannya itu sekarang
diperdalam dengan perasaan baru: berterima kasih. Sekarang Fernand telah
berangkat menggabungkan diri kepada tentara Napoleon berbekalkan harapan, kalau
Dantes tidak kembali, ia akan memiliki Mercedes pada suatu saat nanti.
Mercedes ditinggalkan seorang diri. Seringkah ia ditemukan berjalan-jalan tanpa
tujuan sekitar perkampungan orang Catalan dengan bercucuran air mata. Kadangkadang ia berdiri bagai patung dalam panas matahari Selatan, kadangkadang duduk
di pantai mendengarkan gemuruh ombak yang abadi sambil bertanya-tanya kepada
dirinya apakah tidak lebih baik menenggelamkan diri ke kedalaman laut daripada
menderita kekejaman menanti tanpa harapan. Dia sudah melakukannya kalau saja
keyakinan agamanya tidak melarang membunuh diri.
Ayah Dantes kehilangan semua harapan ketika Napoleo-on runtuh kembali. Lima
bulan sejak ditinggalkan putranya, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir di
pangkuan Mercedes. Morrel membiayai semua keperluan penguburan dan membayar
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semua hutang yang terpaksa terjadi selama sakitnya. Untuk melakukan hal itu
diperlukan lebih banyak keberanian daripada kemurahan hati semata-mata, karena
menolong ayah seorang Bonapartis yang berbahaya seperti Dantes sekalipun di
ranjang kematian, ketika itu dapat dianggap sebagai suatu kejahatan.
BAB IX SEPERTI layaknya seorang tahanan, Dantes pun
mengalami semua tingkat kesengsaraan yang mau tidak mau harus diderita oleh
pesakitan yang dilupakan dalam sel bawahta nah. Pada mulanya, kebanggaan dirinya
masih tegak sebagai akibat dari harapan dan kesadaran tidak berdosa. Kemudian
mulai bimbang sekalipun keyakinan tidak berdosa masih ada; akhirnya
kebanggaannya hancur dan mulailah ia memohon, belum kepada Tuhan, tetapi baru
kepada manusia saja. Dia memohon supaya
dipindahkan ke sel yang lain, tak jadi soal ke sel lebih gelap pun. Suatu
perubahan, sekalipun tidak menguntungkan, akan dapat mengendorkan ketegangan
untuk beberapa hari. Dia memohon diberi buku bacaan dan diizinkan berjalan-jalan di luar sel. Tak
sebuah pun yang dikabulkan. Namun dia tidak berhenti meminta.
Akhirnya, setelah menguras habis semua daya kemanusiaannya, barulah dia
berpaling kepada Tuhan. Dia ingat kepada do'a-do'a yang diajarkan ibunya.
Sekarang dia dapat meresapkan arti setiap kata, padahal dahulu tak diacuhkan ny
a. Untuk orang yang berada dalam kesenangan, doa hanyalah merupakan rangkaian
kata tanpa makna, sampai pada suatu saat kesedihan dan kepedihan datang
menerangkan makna kata-kata agung yang ditujukan kepada Tuhan itu.
Sekalipun dia telah berdo'a dengan sungguh-sungguh, namun Tuhan mempunyai
rencana yang lain. Dia tetap tersekap. Jiwanya mulai gelap, dan kabut hitam
membayang di hadapan mata. Pikirannya hanya dipenuhi deh suatu perkara, bahwa
kebahagiaannya telah hancur oleh alasan-alasan yang tidak jelas.
Kemurungannya menimbulkan amarah yang mendalam.
Dia berteriak-teriak mengumpat Tuhan sehingga Sipir meloncat mundur ketakutan.
Setelah itu menghantamkan dirinya ke dinding. Surat pengaduan yang diperlihatkan
Villefort kepadanya, yang pernah dijamahnya pula, kembali terbayang dalam
Ukirannya. Seakan-akan dia melihat kembali baris demi baris yang terdiri dari
huruf-huruf yang membara. Dalam keadaan demikian, untung masih ada sisa-sisa
kesadaran yang meyakinkan dirinya bahwa yang menyebabkan dia sekarang terjerumus
ke jurang yang dalam, adalah perbuatan keji manusia, bukan hukuman dari Tuhan.
Dia mengutuk orang yang tak diketahuinya ini agar mendapat siksaan yang sepedih
pedihnya lebih pedih dari siksaan yang dapat dibayangkannya dalam keadaan amarah
yang menyala-nyala. Tetapi dia belum puas juga dengan kutukan ini, karena bahkan
siksaan yang paling kejam pun masih terlalu lunak, sebab penyiksaan yang kejam
itu akan berakhir dengan mati, dan kematian menyebabkan si ter kutuk, kalaupun
bukan mati dengan tenang, sekurang-kurangnya terlepas dari rasa sakit
Pikiran bahwa kematian melepaskan orang dari penderitaan, membawa Dantes kepada
gagasan untuk membunuh diri. Makin mantap dia memikirkannya, makin terhibur
hatinya. Segala kepedihan dan kesedihannya seakan-akan terbuang menghilang ke
luar selnya karena menghampiri malakalmaut. Hatinya terasa ringan ketika
membayangkan bahwa hidupnya dapat dibuang begitu saja, kapan saja, seperti
sepotong pakaian yang sudah lusuh.
Ada dua cara untuk mati: pertama, dengan jalan
menggantung diri dengan menggunakan saputangannya.
Kedua, dengan mogok makan sampai mati. Dia tidak
menyukai cara yang pertama. Dia dididik untuk
mempunyai rasa jijik kepada kaum perompak, yaitu mereka yang karena dosanya
digantung di ujung andang-andang sebuah kapal. Oleh sebab itu mati menggantung
diri dianggapnya sebagai tidak terhormat dan dia tidak bersedia mati dengan cara
itu. Dia memilih cara yang kedua dan bersumpah akan melaksanakannya sampai
selesai. "Akan kulemparkan makananku melalui jendela," katanya dalam hati,
"dengan demikian akan tampak seperti aku habis memakannya."
Sejak hari itu, dua kali sehari, dia melemparkan semua makanannya melalui
jendela kecil berjeruji. Melalui jendela itu tidak dapat terlihat apa-apa
kecuali langit. Mula-mula ia melakukannya dengan perasaan gembira, kemudian
dengan ragu-ragu dan akhirnya dengan perasaan menyesal. Dahulu ia menganggap
makanannya menjijikkan, tetapi sekarang, rasa lapar merubahnya menjadi
menggiurkan dan menghidupkan selera. Kadang-kadang ia memandang berjam jam kepada sepotong
daging atau roti hitam keras sebelum ia membuangnya. Tetapi ia selalu ingat
kepada sumpah yang telah dibuatnya, dan keengganan untuk merendahkan
martabatnya, selalu mencegah ia melanggar sumpah itu. Akhirnya ia kehabisan
tenaga juga sehingga tidak kuat lagi berdiri untuk membuang m akanannya.
Keesokan harinya, penglihatannya sudah kabur, telinganya sudah hampir tidak
mendengar. Sipir menyangka bahwa Dantes sakit payah, dan Dantes mengharapkan
malaikal maut akan datang menjemputnya setiap saat.
Kekakuan dan kelumpuhan sudah menguasai dirinya Rasa perih di perutnya sudah
hilang. Kalau ia memejamkan mata, cahaya-cahaya terang beterbangan di
hadapannya. Tiba-tiba, pada suatu malam menjelang jam setengah sepuluh ia mendengar suara
samar-samar datang dari arah dinding yang dekat dengan tempat ia berbaring.
Sebenarnya banyak sekali serangga-serangga yang menjijikkan berkeliaran dalam
selnya, tetapi Dantes sudah cukup terbiasa sehingga ia tidak pernah merasa
terganggu oleh suara binatang itu.
Tetapi sekali ini, entah karena sarafnya telah menjadi lebih peka sebab
berpuasa, entah memang suara itu lebih keras dari suara-suara serangga atau
entah karena pada saat itu segala sesuatu menjadi lebih penting, Dantes
mengangkat kepala untuk mendengar suara itu dengan lebih jelas. Ia mendengar
suara garukan yang teratur, yang mungkin berasal dari kuku atau gigi binatang
yang kuat atau mungkin juga dari sesuatu perkakas. Suara itu terus-menerus
terdengar untuk selama tiga jam, sebelum terdengar suara gemerisik seperti
jatuhnya barang-barang yang rapuh. Setelah itu keadaan menjadi sunyi senyap
kembali Keesokan harinya, suara itu terdengar kembali dan sangat jelas. "Tak syak lagi
sekarang," katanya kepada dirinya sendiri "Karena suara itu tetap ada sekalipun
di siang hari, ini pasti suara seorang pesakitan yang-sedang berusaha melarikan
diri. Alangkah senangnya bila aku berada bersama dia, aku akan menolongnya
dengan senang hati."
Tetapi, tiba-tiba bayangan hitam menghapus lagi harapannya. Bagaimana kalau
suara itu berasal dari pekerja-pekerja yang sedang memperbaiki sesuatu dekat
selnya" Tentu saja kepastian itu dapat dengan mudah diperoleh dengan menanyakannya
kepada Sipir, tetapi pertanyaan itu dapat membahayakan. Sayang sekali keadaan
badan Dantes begitu lemah dan kepalanya pening sehingga ia tidak mampu berftkir
secara teratur. Tak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk mengembalikan lagi
kejernihan be liku nya, kecuali menjangkau sayur kaldu yang ditinggalkan Sipir
dan meminumnya. Seketika juga ia merasakan me-rasuknya kesegaran secara
berangsur-angsur. Setelah beberapa saat ia berkata kepada dirinya sendiri,
"Hanya ada satu jalan untuk dapat meyakinkan itu, tanpa akibat apa pun. Aku akan
mengetuk dinding. Kalau yang bekerja itu seorang pekerja biasa, ia akan berhenti
sejenak mendengar ketukan itu dan mungkin menerka-nerka dari mana datangnya
suara. Tetapi apabila yang bekerja itu seorang pesakitan yang sedang berusaha
melarikan diri, ketukan itu akan membuatnya takut, dia akan berhenti bekerja dan
tak akan berani memulainya lagi sebelum malam, setelah ia yakin bahwa semua
orang telah tidur." Dantes berdiri. Sekarang kakinya sudah agak kuat dan penglihatannya sudah mulai
terang kembali. Dia berjalan ke salah satu sudut selnya dan menyomot sebuah batu
yang sudah hampir terlepas dari dinding karena kelembaban.
Dengan batu ia mengetuk dinding tiga kali berturut-turut di tempat suara tadi
terdengar paling jelas. Suara dari seberang sana lenyap seketika, Dantes memasang kupingnya baik-baik.
Sehari suntuk ia tidak mendengar lagi suara itu. "Seorang pesakitan," kata
Dantes yakin penuh kegembiraan. Daya hidupnya seakan-akan menghembus lagi ke
seluruh tubuh. Semalaman ia tidak tidur tetapi suara di dinding tak kunjung
terdengar juga. Keesokan harinya, ia melahap habis sarapannya. Semua perhatiannya ditujukan
kepada dinding. Hatinya merasa jengkel karena kehati hatian pesakitan itu yang
tidak mengira bahwa dia terganggu hanya oleh pesakitan lain yang berkeinginan
bebas juga. Tiga hari berlalu tanpa suara, berarti tujuh puluh dua jam. Pada
suatu malam, setelah Sipir melakukan pemeriksaan terakhir untuk hari itu, Dantes
menekankan telinganya ke dinding untuk kesekian kalinya, dan ia dapat merasakan
adanya suatu getaran yang sangat halus. Dia berjalan hilir-mudik untuk
mengendurkan urat syarafnya yang menjadi tegang, kemudian sekali lagi
menempelkan telinganya ke dinding. Dia tidak ragu lagi ada sesuatu yang sedang
berlaku di seberang dinding itu.
Orang di seberang telah mencium bahaya dalam usahanya yang pertama dan sekarang
sedang mencobanya lagi. Agar supaya lebih aman rupanya ia telah mengganti pahat
dengan pengumpil. Itulah sebabnya suara yang terdengar tidak begitu jelas.
Tergugah oleh ketekunannya hati Dantes sudah tetap untuk membantu orang yang tak
kenal lelah ini Menurut perkiraannya, orang itu bekerja tepat di bawah tempat
tidurnya. Oleh sebab itu dia menggeserkan tempat tidurnya dan menengok ke
sekeliling mencari sesuatu yang kiranya dapat digunakan sebagai perkakas. Tetapi
dia tidak menemukan apa-apa. Tak ada pisau atau barang logam lainnya. Dari
penyelidikannya yang telah berkali-kali dilakukan dia yakin betul bahwa jeruji
besi di jendelanya dipasang sedemikian rupa sehingga ihtiar membongkarnya akan
merupakan pekerjaan yang sia-sia belaka. Hanya tinggal satu kemungkinan lagi:
memecahkan kendi tempat airnya, dan menggunakan pecahannya yang tajam sebagai
pengorek tembok. Kendi dijumputnya kemudian dijatuh-kannya ke atas lantai.
Dia memilih dua atau tiga pecahan yang tajam, menyembunyikannya di bawah tikar
dan membiarkan sisanya berserakan. Kendi yang pecah merupakan kecelakaan yang
biasa sehingga tidak akan menimbulkan kecurigaan apa-apa pada Sipir.
Dantes mempunyai waktu semalam suntuk, tetapi tidak mudah baginya bekerja dalam
kegelapan. Lagi pula ia segera sadar bahwa perkakasnya yang hanya berupa
tembikar itu cepat menjadi tumpul tertumbuk batu yang keras pada dinding Oleh
sebab itu dia mengembalikan lagi tempat tidurnya ke tempat asalnya dan menanti
sampai hari menjelang siang. Sepanjang malam ia mendengarkan
pesakitan yang tak dikenal itu melaksanakan pekerjaannya di bawah tanah.
Ketika Sipir datang esok paginya Dantes menceritakan bahwa kendinya pecah karena
terlepas dari tangan. Sipir itu menggerutu dan pergi lagi untuk mengambil kendi
yang baru tanpa mau bersusah-payah membersihkan pecahan-pecahan yang berserakan
di lantai Dia kembali tak lama kemudian dan meminta Dantes agar lebih berhatihati. Lalu dia pergi lagi. Segera setelah Sipir pergi Dantes menggeserkan lagi
tempat tidurnya. Barulah tampak kepadanya bahwa pekerjaannya tadi malam tidak
menghasilkan apa-apa, karena ia mengorek-ngoreknya tepat pada batu, bukan pada
adukan tembok di sekelilingnya. Hatinya melonjak gembira ketika ia berhasil
mengikis adukan itu, sekalipun hanya sedikit saja Dan benar-benar hanya sedikit
Tetapi dalam tempo setengah jam ia dapat mengikisnya se
genggam. Tiga hari kemudian ia sudah berhasil mengikis habis semua adukan di sekeliling
batu itu. Tinggal sekarang mencungkilnya. Dia mencoba dengan jari-jarinya,
tetapi kekuatannya tidak memadai. Tembikar patah ketika ia mencoba
menggunakannya sebagai pengungkit. Setelah satu jam berusaha tanpa hasil, ia
bangkit dengan hati geram. Apakah ia harus menghentikan usahanya, tepat pada
permulaan" Ataukah ia harus menunggu lama tanpa daya dan guna sedangkan pesakitan yang lain
bekerja terus" Tiba-tiba sebuah pikiran melintas di kepalanya, dan dia tersenyum. Setiap hari
Sipir mengantarkan sayur dalam sebuah panci bergagang logam.
Rasanya Dantes mau mengurbankan sepuluh tahun dari hidupnya untuk memperoleh
tangkai logam itu. Hari itu pun, seperti biasanya Sipir mengisi mangkuk dari
panci itu. Setelah Sipir pergi Dantes meletakkan mangkuknya di lantai antara pintu dan
meja. Ketika kali lain Sipir masuk lagi ke dalam sel, mangkuk itu tersepak
hingga pecah. Sekali ini Dantes tak dapat disalahkan. Memang dia salah meletakkan mangkuk itu
di lantai, tetapi Sipir pun harus tidak boleh lengah. Oleh sebab itulah Sipir
hanya dapat menggerutu. Sipir mehhat lihat ke sekelilingnya mencari barang lain
yang kiranya dapat digunakan sebagai tempat sayur, tetapi tak ada apa-apa.
"Tinggalkan saja panci itu," kata Dantes. "Besok dapat kau ambil kembali."
Usul Dantes sangat menyenangkan bagi Sipir yang malas itu, dengan demikian dia
tidak perlu kembali ke atas, turun lagi dan kemudian naik lagi. Dengan senang ia
meninggalkan panci itu. Seluruh badan Dantes gemetar karena gembira. Setelah menunggu satu jam untuk
meyakinkan bahwa Sipir tidak akan kembali lagi, Dantes menggeserkan tempat
tidurnya dan mulai mengungkit batu yang sudah hampir lepas itu dengan
menggunakan tangkai panci. Baru setelah satu jam ia berhasil melepaskannya dari
dinding. Dengan terlepasnya batu itu terjadilah sebuah lubang dengan garis
tengah sebesar satu setengah kaki. Karena keinginannya yang kuat untuk
memanfaatkan malam itu, karena secara kebetulan atau lebih tepat lagi berkat
kecerdikannya, sehingga memperoleh perkakas yang sangat berharga, ia pun
meneruskan pekerjaannya dengan penuh gairah.
Esok paginya Sipir meletakkan sepotong roti di atas mejanya.
"Apakah aku tidak diberi mangkuk baru?" tanya Dantes.
"Tidak. Engkau memecahkan semua barang: mula-mula kendi, kemudian mangkuk. Aku
akan meninggalkan panci itu dan itulah mangkukmu."
Dantes memejamkan mata tanda bersyukur. Logam yang sepotong itu menimbulkan rasa
syukur, yang jauh lebih mendalam dibandingkan dengan keuntungan terbesar yang
pernah diperoleh dalam hidupnya.
Tetapi, ia tidak mendengar sesuatu lagi dari seberang dinding. Pekerjaan Dantes
telah menyebabkan pesakitan lain menghentikan usahanya. Namun, ini bukan alasan
bagi Dantes untuk berhenti juga. Kalau tetangganya tidak mau datang kepadanya,
Air Mata Di Sindang Darah 2 Wiro Sableng 123 Gondoruwo Patah Hati Naga Beracun 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama