Ceritasilat Novel Online

Monte Cristo 6

The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas Bagian 6


gam-barannya dari Monte Cristo tidak mendapat kesukaran mengenalinya sebagai
orang yang berambut pirang, ber-jenggot merah dan bermata hitam.
Ketika Monte Cristo memasuki ruangan, anak muda itu sedang berbaring di kursi
panjang sambil tanpa sadar memukul-mukul sepatunya dengan tongkatnya yang
berkepala emas. Tatkala melihat Count of Monte Cristo ia cepat bangkit dan
bertanya, "Apakah Tuan Count of Monte Cristo?"
"Benar. Dan apakah benar pula saya berhadapan dengan Viscount Andrea
Cavalcanti?" 'Viscount Andrea Cavalcanti," anak muda itu mengulang dengan nada dan sikap
seenaknya. "Saya kira Tuan membawa surat perkenalan untuk saya."
"Saya tidak mau menyinggungnya karena tanda tangannya agak aneh bagi saya."
"Sinbad Pelaut, bukan?"
"Ya." "Dia kawan karib saya. Seorang inggris, kaya sekali, eksentrik hampir-hampir
mendekati gila Namanya yang sebenarnya adalah Lord Wilmore."
"Oh, kalau begitu dia orang Inggris yang . . . Tetapi baiklah, apa yang harus
saya lakukan sekarang, Count?"
"Saya minta Tuan berkata dengan terus terang," kata Monte Cristo. "Saya harap
Tuan suka menceriterakan sedikit tentang Tuan sendiri dan keluarga Tuan."
"Dengan senang sekali, Count," kata anak muda itu dengan kefasihan yang
menunjukkan kecerdasannya. "Saya adalah seperti Tuan katakan tadi, Viscount
Andrea Cavalcanti, putra Mayor Bartolomeo Cavalcanti, keturunan keluarga
Cavalcanti yang namanya tercatat dalam Buku Emas di Florence. Ketika berumur
lima tahun saya diculik guru yang berkhianat, dan sampai sekarang sudah lima
belas tahun lamanya saya tidak berjumpa lagi dengan ayah saya. Setelah saya akil
balig saya selalu berusaha mencarinya, namun sia-sia belaka. Akhirnya, surat
dari kawan Tuan itu memberi tahu bahwa ayah berada di Paris dan menyarankan saya
untuk menemui Tuan guna mendapatkan keterangan-keterangan yang lebih lanjut."
"Sangat menarik," kata Monte Cristo, "dan Tuan tidak salah datang kepada saya,
karena pada saat ini, pada saat ini juga, ayah Tuan berada di sini."
Sejak ia memasuki ruangan itu Monte Cristo tidak
pernah melepaskan pandangannya yang tajam pada
Andrea. Dia mengagumi kemampuan menguasai diri dan ketenangan suaranya. Tetapi
ketika mendengar bahwa ayah berada di sini, Andrea terkejut dan terlontar katakata dari mulutnya, "Ayah! Ayah di sini?"
"Benar," jawab Monte Cristo. "Ayah Tuan, Mayor Bartolomeo Cavalcanti '
Keterkejutan anak muda itu cepat sekali menghilang.
"Ya, tentu saja Mayor Bartolomeo Cavalcanti. Tuan katakan beliau berada di sini
sekarang?" "Ya, Tuan dapat segera menjumpainya. Beliau sedikit kaku dan suka membesarkan
diri. Mungkin karena dia terlalu lama menjadi militer. Selain dari itu, kekayaan
yang melimpah-limpah dapat dengan gampang menyebabkan
orang mengabaikan banyak hal."
"Maksud Tuan ayah saya seorang yang kaya-raya?"
"Seorang jutawan dengan penghasilan setengah juta frank setahun."
"Apakah ini berarti," tanya anak muda itu ingin segera mendapat kepastian,
"bahwa saya akan berada dalam keadaan yang menyenangkan?"
"Keadaan yang sangat menyenangkan. Dia bermaksud memberi Tuan lima puluh ribu
frank setahun selama Tuan tinggal di Paris."
"Apakah beliau bermaksud akan tinggal lama di Paris?"
"Kewajibannya tidak mengijinkan beliau tinggal lebih lama dari beberapa hari
saja." "Oh, Ayah!" kata Andrea. Jelas sekali bahwa ia sangat gembira mendengar itu.
Monte Cristo pura-pura tidak menangkap nada gembira dalam suara anak muda itu.
"Saya tidak bermaksud menahan Tuan lebih lama lagi, silakan Tuan masuk ruangan
sebelah ini. Ayah Tuan berada di sana."
Andrea membungkuk dalam-dalam lalu memasuk) ruangan yang ditunjukkan Monte Cristo. Setelah dia pergi, Monte Cristo memijit
sebuah tombol yang tersembunyi dan sebuah lukisan di dinding bergeser ke samping
memperlihatkan sebuah lubang cukup besar pada dinding, untuk mengintip ke
ruangan sebelah. Andrea menutup pintu lalu berjalan menghampiri Mayor yang segera berdiri ketika
melihat kedatangannya. "Ayah!" kata Andrea, cukup keras untuk didengar Monte Cristo dari balik pintu.
"Benarkah ini ayah?"
"Benar, anakku," kata Mayor dengan nada tenang.
"Alangkah menyenangkannya bertemu kembali setelah sekian lama terpisah!" kata
Andrea lagi sambil tetap mengawasi pintu.
"Benar, anakku. Sangat lama kita berpisah."
"Dan kita tidak akan berpisah lagi, bukan?"
"Aku khawatir, harus. Bukankah engkau telah menganggap Perancis sebagai tanah
airmu yang kedua?" "Terus terang, Ayah," kata anak muda itu, "hati saya akan hancur bila harus
meninggalkan Paris lagi '
"Dan aku sendiri tidak dapat hidup di mana pun juga, kecuali di Lucca. Aku harus
segera kembali ke Italia secepat mungkin."
"Tetapi sebelum Ayah kembali, haraplah Ayah memberikan dahulu surat-surat yang
dapat membuktikan leluhur saya.
"Tentu. Kedatanganku ke mari justru sengaja untuk memberikan itu. Inilah dia."
Andrea setengah merebut surat-surat itu dari tangan Mayor, lalu menelitinya
dengan mata yang terlatih. Setelah itu dia memandang wajah Mayor dengan senyuman
yang aneh, lalu berkata dalam bahasa Italia yang sempurna,
"Apakah di Italia tidak ada penjara, Ayah?"
"Apa maksudmu?"
"Di Perancis, pemalsuan surat seperti ini bisa dihukum sekurang-kurangnya lima
tahun." "Maaf, aku tidak mengerti," kata Mayor, berusaha keras untuk menunjukkan air
muka bangsawan. "Berapa Tuan dibayar untuk menjadi ayah saya?" tanya Andrea sambil menekan
lengan Mayor. Karena sangat terkejut Mayor membuka mulutnya.
"Sst!" kata Andrea merendahkan suaranya. "Saya akan membuka rahasia saya. Saya
mendapat lima puluh ribu frank setahun untuk menjadi anak Tuan."
Mayor melihat ke sekelilingnya penuh kekhawatiran.
"Jangan takut . .. kita hanya berdua saja," kata Andrea.
"Lagi pula kita berbicara dalam bahasa Italia."
'"Baiklah. Saya mendapat lima puluh ribu frank, tetapi hanya sekali."
"Tuan Cavalcanti, percayakah Tuan kepada dongeng-dongeng?""
"Sebelumnya tidak, tetapi sekarang terpaksa percaya."
"Tuan berpendapat saya dapat mempercayai janji-janji Count of Monte Cristo?"
"Ya, tetapi kita harus memainkan peranan kita masing-masing dengan baik oleh
karena mereka mendesak saya menjadi ayah Tuan."
"Siapa mereka itu?"
"Tidak tahu . . . siapa pun orangnya yang menyurati kita."
"Tuan menerima surat?"
"Ya." "Dari siapa?" "Dari orang yang menamakan dirinya Padri Busoni."
'Tuan kenal kepadanya?"
"Belum pernah bertemu sekalipun."
"Apa isinya?" "Apakah Tuan tidak akan menceriterakannya kepada orang lain?"
"Tentu saja tidak. Bukankah ini kepentingan kita bersama?"
"Bacalah, kalau begitu."
Mayor menyerahkan sepucuk surat yang berbunyi:
Tuan miskin, dan usia tua yang merepotkan sedang
menghadang Tuan. Maukah Tuan, kalaupun bukan kaya, sekurang-kurangnya mempunyai kecukupan
sehingga tidak tergantung kepada orang lain" Bila demikian, pergilah segera ke
Paris dan temui Count of Monte Cristo di Champs Elysees No. 30, dan minta kepada
beliau diperkenalkan kepada anak Tuan dari Oliva Corsinari yang direnggut dari
tangan Tuan ketika ia berumur lima tahun. Anak Tuan bernama Andrea Cavalcanti.
Seandainya Tuan merasa ragu-ragu akan maksud baik saya, bersama ini sayakirimkan sehelai cek seharga empat puluh delapan ribu frank yang dapat Tuan
uangkan di Paris. Hendaklah sudah berada di rumah Count of Monte Cristo bulan Mei tanggal 26 pukul
tujuh malam. PADRI BUSONI "Saya pun menerima surat yang hampir serupa ini," kata Andrea.
"Juga dari Padri Busoni?"
"Bukan. Dari Lord Wilmore, seorang inggris yang biasa menggunakan nama Sinbad
Pelaut Ini suratnya."
Mayor membaca: Tuan miskin, dan Tuan hanya mempunyai masa depan yang buruk. Maukah Tuan menjadi
orang yang merdeka, kaya dan menyandang nama yang terhormat" Bila demikian,
temuilah Count of Monte Cristo di Champs Elysee No. 30 di Paris, pada bulan Mei
tanggal 26 jam tujuh malam, lalu tanyakan kepada beliau tentang ayah Tuan. Tuan
adalah putra Mayor Bartolomeo Cavalcanti dan Markise Oliva Corsinari. Buktinya
akan Tuan lihat nanti dari surat-surat yang akan diberikan oleh Mayor kepada
Tuan. Dengan dokumen itu Tuan dapat memperkenalkan diri dengan nama itu kepada
kalangan atas di Paris.. Untuk memelihara"gelar dan kehormatan Tuan, kepada Tuan
akan diberikan tunjangan yang memadai sebesar lima puluh ribu frank setahun.
Bersama ini dikirimkan sehelai cek seharga lima puluh ribu frank dan sepucuk
surat perkenalan untuk Count of Monte Cristo, yang telah saya minta untuk
memenuhi semua keperluan Tuan.
SINBAD PELAUT "Luar biasa!" kata Mayor. 'Tuan sudah bertemu dengan Count of Monte Cristo?"
'Saya baru saja meninggalkan beliau di kamar sebelah."
"Apakah beliau menyetujui semua ini?"
"Semua." "Mengerti Tuan persoalannya?"
"Sedikit pun tidak. Tetapi biarlah, mari kita selesaikan permainan ini sampai
habis." "Baik. Tuan akan lihat nanti bahwa saya cukup berharga untuk menjadi pasangan
Tuan." "Saya tidak meragukannya sedikit pun, ayah tercinta."
"Tuan membuat saya bangga, anakku sayang."
Monte Cristo memilih saat itu untuk memasuki ruangan tersebut. Ketika mereka
mendengar suara langkah Monte Cristo segera mereka saling berpelukan bagaikan
ayah dan anak yang benar-benar sedang melepaskan rasa rindu.
"Rupanya tuan puas dengan putra Tuan, Mayor," kata Monte Cristo.
"Saya benar benar diliputi rasa bahagia."
"Bagaimana dengan Tuan, anak muda?"
"Oh, kebahagiaan saya hampir meledak."
"Bagus sekali!" kata Count of Monte Cristo. "Sekarang Tuan-tuan sudah boleh
pulang." "Bilamana kami akan mendapat kehormatan menemui Tuan lagi?" tanya Mayor.
"Oh, ya. Bilamana?" sambung Andrea.
"Sabtu yang akan datang, bila Tuan-tuan menghendakinya. Saya mengundang beberapa
orang untuk makan malam di rumah saya yang di Auteuil, Jalan de Fontaine No, 28."
"Jam berapa kami harus hadir?" tanya Andrea.
"Setengah tujuh."
"Kami akan ,hadir," kata Mayor sambil memegang topinya seperti layaknya seorang
militer. Kedua orang itu membungkuk memberi hormat kepada
Monte Cristo lalu pergi Monte Cristo berjalan ke jendela untuk melihat mereka
berjalan bergandengan tangan di pekarangan. "Sepasang buaya!" katanya sendiri.
"Memalukan sekali bahwa sebenarnya mereka bukan ayah dan anak!"
BAB XXXII SEKELILING pekarangan rumah Tuan de Villefort
yang sangat tuas dibatasi dengan tembok yang tinggi.
Maximilien yang lebih dahulu datang ke pintu besi yang berterali, bersembunyi di
keteduhan pepohonan yang banyak tumbuh di sana, menanti terdengarnya suara
langkah-langkah halus di jalan yang berpasir.
Akhirnya suara yang dinantikan itu datang, tetapi dia melihat bayangan dua
orang, bukan satu. Kedatangan Valentine memenuhi janji bertemu di tempat itu
rupanya terhalang oleh kunjungan Nyonya Danglars dan putrinya, Eugenie, yang
datang bertamu lebih lama daripada yang disangkanya. Ia mengajak Eugenie
berjalan-jalan di kebun agar Maximilien dapat melihat mereka dan memahami
mengapa keterlambatannya tidak terhindarkan.
Anak muda itu segera mengerti, berkat ketajaman naluri orang yang sedang
dirundung cinta. Hatinya merasa lega.
Setelah kurang lebih berjalan-jalan setengah jam kedua gadis itu masuk kembali
ke dalam rumah. Ini memberikan petunjuk kepada Maximilien bahwa kunjungan
keluarga Danglars sudah hampir berakhir.
Beberapa saat kemudian Valentine muncul kembali
sendirian. Namun karena khawatir dilihat orang, dia berjalan dengan tenang
sekali. Dia tidak langsung menemui Maximilian, melainkan duduk dahulu di sebuah
bangku mengawasi dengan teliti semua semak dan pohon dalam kebun itu dan
memperhatikan semua arah. Setelah
dirasanya keadaan aman, segera dia berlari menuju pintu besi. "Hai, Valentine."
"Hai, Maximilien. Maafkan aku membuatmu menunggu.
Tetapi engkau mengerti apa sebabnya, bukan?"
"Ya, aku melihat Nona Danglars. Aku tidak tahu bahwa kalian bersahabat."
"Siapa mengatakan kami bersahabat?"
"Tak seorang pun, tetapi caranya kalian berjalan dan bercakap-cakap menyebabkan
aku mengira begitu. Kalian bercakap-cakap seperti dua orang gadis yang sedang
membukakan rahasia masing-masing."
"Memang benar kami bertukar rahasia," kata Valentine.
"Dia menceriterakan bagaimana bencinya dia akan gagasan kawin dengan Albert de
Morcerf dan aku pun menceriterakan kepadanya betapa tidak bahagianya aku harus
kawin dengan Franz d'Epinay. Selama aku menceriterakan laki-laki yang tak
kucintai, hatiku tetap melekat kepada laki-laki yang selalu kucintai"
"Apakah Nona Danglars mencintai orang lain?"
"Katanya tidak. Dia mengatakan tidak berminat kawin.
Katanya, dia bersedia mengorbankan apa saja asal dapat menjalankan hidup bebas
dan bahkan hampir-hampir mengharapkan ayahnya menjadi miskin supaya dia
diizinkan menjadi seniwati seperti kawannya Louise d'Armilly. Tetapi tak usah
kita menghabiskan waktu dengan mempergunjingkan orang lain. Waktu kita hanya
tinggal sepuluh menit lagi"
"Ada apa, Valentine" Mengapa harus tergesa-gesa?"
"Ibu meminta saya menemuinya. Katanya, ada sesuatu yang akan dibicarakannya dan
ada hubungannya dengan sebagian dari kekayaanku. Bagiku, silakan ambil semua
kekayaanku. Aku terlalu kaya. Mungkin dengan demikian mereka tidak akan
mengganggu aku lagi. Bukankah engkau akan tetap mencintaiku sekalipun aku
miskin, Maximilien?"
"Engkau tahu, aku selalu mencintaimu. Aku tidak peduli dengan kekayaan atau
kemiskinan selama Valentineku berada di sampingku. Dan aku yakin tak seorang pun
yang akan dapat merenggutmu dariku! Tetapi tidakkah engkau merasa takut bahwa
pembicaraan ibu tirimu itu mungkin mengenai perkawinanmu?"
"Aku kira tidak."
"Walau bagaimana, jangan takut, Valentine. Aku tidak akan memilih wanita lain
selama hidupku." "Engkau tentu mengira aku akan bahagia mendengar
itu." "Maaf, memang aku kurang panjang pikir. Sebenarnya yang ingin kukatakan, aku
bertemu dengan Albert de Morcerf kemarin dan ia mengatakan menerima surat dari
Franz yang mengabarkan bahwa ia akan segera kembali ke Paris."
Wajah Valentine menjadi pucat dan ia mencari sandaran pada pintu besi.
"Mungkinkah itu yang akan dikatakan ibu?" katanya. 'Tetapi tidak, bukan dia
orangnya yang akan mengatakan itu."
"Mengapa tidak?"
"Karena . . . aku tidak yakin . . . sekalipun dia tidak terang-terangan
menentang perkawinan itu, aku tetap percaya bahwa dia tidak menyetujuinya,"
"Benar" Dalam hal ini, aku sangat menyukai Nyonya de Villefort! Kalau dia tidak


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyetujui perkawinan dengan Franz, mungkin engkau dapat memutuskannya dan dia
akan bersedia mempertimbangkan usul-usul yang lain."
"Jangan menggantungkan harapanmu kepada itu, Maximilien Bukan calon suami yang
dia tentang, tetapi perkawinannya itu sendiri."
"Bagaimana maksudmu" Kalau dia tidak menyetujui perkawinan, mengapa dia sendiri
kawin?" "Engkau tidak mengerti, Maximilien. Seperti telah kukatakan, aku terlalu kaya.
Aku mempunyai penghasilan hampir sebesar lima puluh ribu frank dari mendiang
ibuku. Kakek dan nenekku, Markis dan Markise Saint-Meran, akan mewariskan sejumlah yang
sama, dan kakekku yang seorang lagi, Tuan Noirtier, sudah menjelaskan bahwa
beliau bermaksud mewariskan semua harta kekayaannya kepadaku. Akibat dari ini,
adikku Edouard, yang tidak dapat mengharapkan apa-apa dari ibunya, akan tetap
miskin. Ibu titiku terlalu mencintai anaknya. Jadi, kalau aku tetap tidak kawin,
seluruh kekayaanku akan berpindah kepada ayahku, kalau aku mati, yang akan
meneruskannya nanti kepada Edouard."
"Aneh sekali mendengar keserakahan seperti itu pada seorang wanita muda dan
cantik!" "Jangan lupa bahwa itu bukan untuk dia sendiri, melainkan untuk anaknya.
Keserakahan yang engkau tidak sukai itu, dilihat dari sudut kecintaan seorang
ibu, hampir-hampir merupakan suatu kebajikan."
"Mengapa engkau tidak memberikan saja sebagian kekayaanmu kepada Edouard?"
"Bagaimana aku dapat menyarankan hal demikian kepada seorang perempuan yang
terus-menerus berbicara tentang ketulus-ikhlasannya . . " Dengar, ada yang
memanggilku." "Ah, Valentine," kata Maximilien, "julurkan kelingking-mu agar aku dapat
menciumnya!" "Apakah itu akan menyebabkan engkau bahagia?"
"Tentu." Valentine berdiri di atas bangku, lalu menjulurkan, bukan kelingkingnya
melainkan seluruh tangannya melalui terali. Maximilien memegangnya erat-erat
lalu menekannya pada bibirnya. Tetapi hanya sejenak. Valentine segera menariknya
kembali Maximilien mendengar Valentine berlari cepat-cepat ke dalam rumah.
BAB XXXIII SETELAH Nyonya Danglars dan anaknya pulang, dan
ketika Valentine berada di kebun menemui Maximilien, Villefort dan istrinya
pergi ke kamar Noirtier. Mereka duduk di kanan-kiri ayahnya setelah menyuruh
Barrois pergi, pelayan tua yang telah bekerja pada Noirtier selama lebih dari
dua puluh lima tahun. Noirtier didudukkan di kursi rodanya. Pagi hari dia didudukkan di sana, malam
hari ia diangkat dari sana. Dari seorang pejuang gigih yang kuat kekar, sekarang
hanya tinggal pendengaran dan penglihatannya yang masih utuh.
Seperti biasa yang terjadi pada orang-orang yang cacad, pa-da matanya yang masih
utuhlah sekarang bersatunya segala kekuatan dan kecerdasannya yang dahulu
menyebar ke seluruh tubuhnya. Dia memerintah dengan matanya, mengucapkan terima
kasih dengan matanya. Sangat menyeramkan sekali bila kita melihat matanya
menyala-nyala karena marah atau berkilat karena gembira. Hanya tiga orang yang
dapat memahami bahasa matanya. Villefort, Valentine dan pelayan tua Bar rois.
Tetapi karena Villefort hanya menemui ayahnya kalau perlu saja, seluruh
kebahagiaan orang tua itu bertumpu pada cucunya. Berkat kecintaan, kesetiaan dan
kesabaran itulah Valentine dapat membaca semua yang menjadi pikiran kakeknya
melalui matanya. "Ayah," kata Villefort, "alasan mengapa kami menyuruh Barrois meninggalkan kamar
dan tidak membawa Valentine ke mari karena kami ingin membicarakan sesuatu yang
tidak baik didengar oleh seorang gadis dan seorang pelayan.
Kami yakin bahwa apa yang akan kami katakan akan
menyenangkan hati Ayah."
Mata orang tua itu tidak menunjukkan apa-apa.
"Valentine akan dikawinkan tiga bulan lagi."
"Kami kira berita ini akan menarik perhatian Ayah," kata Nyonya de Villefort,
"oleh karena Valentine rupanya mempunyai suatu tempat yang khusus dalam hati
Ayah. Anak muda yang kami pilihkan baginya, mempunyai kekayaan yang cukup besar dan
nama yang baik dan tabiat kebiasaannya pasti akan membahagiakan Valentine.
Selain dari itu namanya tidaklah asing bagi Ayah. Dia adalah Tuan Franz de
Quesnal, Baron dari Epinay."
Ketika Nyonya Villefort mengucapkan nama itu, pelupuk mata orang tua itu
bergerak seperti bibir yang hendak mengucapkan sesuatu, lalu menyorotkan nyala
kemarahan. Villefort yang mengetahui akan permusuhan politik yang pernah terjadi antara
ayahnya dan ayah Franz dapat memahami kemarahan ini, namun dia pura-pura tidak
melihatnya. "Kami sama sekali tidak lupa memikirkan Ayah. Oleh karena Valentine
juga sangat mencintai ayah, kami telah mengatur sedemikian rupa sehingga bakal
suami Valentine setuju Ayah tinggal bersama mereka. Dengan demikian Ayah akan
mempunyai dua orang cucu yang
akan melayani Ayah."
Suatu gejolak perasaan berkecamuk dalam hati orang tua itu. Jerit kesakitan dan
kemarahan bergelora mendesak kerongkongannya, tetapi karena tidak dapat
berbicara wajahnya saja berubah menjadi merah padam.
"Tuan d'Epinay dan keluarganya menyetujui perkawinan ini," sambung Nyonya de
Villefort. "Keluarganya hanya terdiri dari paman dan bibinya. Ibunya telah
meninggal ketika melahirkan dia sedangkan ayahnya mati terbunuh pada tahun
1815." "Pembunuhan yang rahasia," tambah Villefort. "Pelakunya tidak pernah
terungkapkan, sekalipun kecurigaan diletakkan kepada beberapa orang. Penjahat
yang sebenarnya tentu akan merasa gembira kalau dia menjadi kita, dapat
memberikan putrinya kepada Tuan d'Epinay dengan maksud menutupi sisa-sisa
kecurigaan yang mungkin masih diletakkan kepadanya."
Noirtier dapat menguasai perasaannya dengan kekuatan yang tidak mungkin
terbayangkan masih terdapat pada tubuh yang rapuh seperti itu. "Ya, aku
mengerti," katanya dengan matanya kepada Villefort Air mukanya menunjukkan
penghinaan dan kemarahan yang mendalam. Villefort memahami sekali air muka ini
dan menjawabnya dengan mengangkat bahu. lalu dia mengajak istrinya pergi.
"Kami harus pergi sekarang," kata Nyonya de Villefort.
"Apakah saya akan menyuruh Edouard ke mari mengunjungi ayah?"
Telah disepakati bahwa kalau Noirtier akan menyatakan persetujuannya terhadap
sesuatu perkara ia akan memejamkan matanya, mengedipkannya beberapa kali kalau
tidak setuju. Dan apabila ia menghendaki sesuatu, ia akan menatap ke langitlangit. Apabila ia menghendaki Valentine, ia akan memejamkan mata kanannya saja,
sedangkan memejamkan mata kirinya ia meminta Barrois.
Untuk menjawab pertanyaan Nyonya de Villefort ia
mengedipkan matanya beberapa kali dengan kuat sekali.
Nyonya de Villefort menggigit bibirnya karena penolakan ini, lalu bertanya,
"Apakah saya akan memanggil Valentine?"
"Ya" jawab orang tua itu dengan memejamkan mata kanannya seketika.
Villefort dan istrinya membungkuk memberi hormat lalu meninggalkan kamar.
Valentine masuk tidak berapa lama kemudian. Pada
pandangannya yang pertama Valentine sudah dapat meraba betapa berat penderitaan
kakeknya dan betapa banyak yang ingin dikatakannya,
"Oh, Kakek! Ada apa" Kakek marah?"
"Ya," katanya dengan jalan memejamkan mata.
"Kepada siapa" Kepada ayah" Tidak. Kepada ibu" Tidak.
Kepada saya barangkali?"
Noirtier memejamkan lagi matanya.
"Kakek marah kepada saya?" tanya Valentine heran.
"Sehari ini baru sekarang saya menemui Kakek. Apakah ada yang membicarakah
tentang saya kepada Kakek?"
"Ya." "Sebentar . . . sebentar . . . Ayah dan ibu baru saja meninggalkan kamar ini.
Tentu mereka yang membuat Kakek marah. Apakah saya harus menanyakan kepada
mereka apa kesalahan saya supaya saya dapat meminta maaf kepada Kakek?"
"Tidak." "Apa yang mereka katakan . . . " Ah, saya mengerti!"
katanya dengan merendahkan suaranya dan bergeser lebih mendekat. "Mereka
berbicara tentang perkawinan saya?"
"Ya," jawab mata Noirtier dengan marah.
"Apakah Kakek takut saya akan meninggalkan Kakek"
Bahwa perkawinan itu akan membuat saya melupakan Kakek?"
"Bukan." "Kalau begitu berarti mereka telah pula mengatakan bahwa Tuan d'Epinay tidak
berkeberatan Kakek tinggal bersama kami?"
"Ya." "Lalu mengapa Kakek marah?"
Cahaya mata orang tua itu tiba-tiba memancarkan sinar kecintaan.
"Saya paham,", kata Valentine, "oleh karena Kakek sangat mencintai saya. Kakek
khawatir saya tidak akan berbahagia. Begitu bukan?"
"Benar." "Kakek tidak menyukai Tuan d'Epinay?"
"Tidak!Tidak!Tidak!" jawab Noirtier berkali-kali.
"Dengar Kakek," kata Valentine berlutut di hadapannya dan memeluk Noirtier di
lehernya, "saya pun tidak menyukai Tuan d'Epinay."
Suatu kilat kegembiraan bersinar di matanya.
"Oh, kalau saja Kakek dapat menolong membatalkan perkawinan itu! Kakek pasti
akan dapat menjadi pelindung seandainya keadaan Kakek tidak seperti ini. Tetapi
sekarang Kakek tak mungkin berbuat apa-apa kecuali turut merasakan kebahagiaan
dan kesedihan saya."
Ketika dia mengucapkan kalimat ini, Valentine melihat suatu cahaya kecerdikan
pada mata kakeknya yang ia artikan sebagai, "Kau keliru. Aku masih dapat berbuat
banyak untukmu." Noirtier melihat ke langit-langit sebagai tanda ia menghendaki sesuatu.
"Apa yang Kakek kehendaki?" Valentine mulai menyebutkan huruf-huruf menurut
urutan abjad. Pada setiap huruf ia berhenti sebentar melihat tanda pada mata
kakeknya. Pada huruf N kakeknya memberi isyarat 'ya'.
"Ah, dimulai dengan huruf N" kata Valentine. "Baik, apakah Na" Ne" Ni" No?"
"Ya." "No. Baik," kata Valentine. Dia pergi mengambil sebuah kamus, lalu membukanya di
hadapan Noirtier. Telunjuknya menunjuk setiap kata yang dimulai dengan no dan
setiap kali melihat isarat mata kakeknya, Pada kata notaris, kakeknya
menyuruhnya berhenti. "Kakek mau memanggil notaris?"
"Betul." "Hanya itu?" "Ya." Valentine membunyikan bel memanggil pelayan dan
menyuruhnya meminta Tuan dan Nyonya de Villefort datang ke kamar kakeknya.
Tuan de Villefort masuk diantar oleh Bar rois.
"Kakek ingin memanggil notaris," kata Valentine.
"Buat apa Ayah memanggil notaris?"
"Kalau Tuan Noirtier meminta notaris, ini pasti karena beliau memerlukannya,"
kata Barrois yang hanya menganggap Noirtier sebagai satu-satunya majikan. "Sebab
itu saya akan pergi memanggilnya dan membawanya sekali."
"Ayah dapat memanggil notaris kalau memang itu yang dikehendakinya," kata
Villefort kepada Noirtier, "tetapi saya akan meminta maaf kepadanya untuk Ayah
dan untuk saya sendiri, karena notaris itu nanti mungkin akan merasa
dipermainkan." "Sama saja," kata Barrois, "saya tetap akan memanggilnya." Pelayan itu pergi
dengan bersemangat. Villefort duduk dan menunggu. Noirtier tidak mengacuhkannya, tetapi dengan sudut
matanya ia memberi isarat kepada Valentine untuk tidak meninggalkan kamar.
Tiga perempat jam kemudian Barrois kembali bersama seorang notaris.
'Tuan diminta datang oleh Tuan Noirtier de Villefort ini," kata Villefort kepada
notaris setelah saling menyalami
"Kelumpuhannya menyebabkan beliau tidak dapat berkata-kata, dan sukar sekali
bagi kita mengetahui apa yang dipikirkannya."
Noirtier memanggil Valentine dengan matanya dan memintanya dengan sangat agar
dia segera berkata kepada notaris. "Saya dapat mengerti apa yang hendak
dikatakan kakek saya," kata Valentine.
"Itu benar, Tuan," Barrois menguatkan, "semuanya, seperti yang saya tadi
ceriterakan di perjalanan."
"Tuan Noirtier memejamkan matanya apabila beliau bermaksud mengatakan 'ya' dan
mengedipkannya beberapa kali apabila hendak mengatakan 'tidak'," kata Valentine.
"Dan bagaimanapun sulitnya tampaknya bagi Tuan mengikuti jalan pikiran Kakek,
saya akan memperlihatkan kepada Tuan demikian rupa sehingga Tuan tidak
mempunyai keragu-raguan lagi."
"Baik," jawab notaris, "mari kita coba saja. Apakah Tuan menerima nona ini
sebagai penterjemah, Tuan Noirtier?"
"Ya," jawab mata Noirtier.
"Baik. Sekarang, mengapa Tuan memerlukan saya?"
Valentine segera menyebutkan huruf-huruf menurut urutan abjad sampai dia disuruh
berhenti pada huruf W. Lalu dia bertanya, "Wa ... ?"
"Ya." Valentine membuka kamus dan menunjuk kata-kata
yang dimulai dengan sukukata 'wa'. "Wasiat," katanya setelah dia melihat isarat
mata Noirtier. "Wasiat!" kata notaris dengan kagum. "Tuan Noirtier bermaksud membuat surat
wasiat! Jelas sekali."
"Benar," kata mata Noirtier beberapa kali "Luar biasa!"
kata notaris kepada Villefort yang penuh keheranan.
"Ya, tetapi saya rasa wasiatnya akan lebih luar biasa la-gi," jawab Villefort.
"Kata-kata beliau tidak akan mungkin keluar sendiri tanpa dipengaruhi pikiran
anak saya, dan saya khawatir dia terlibat terlalu dalam dalam urusan warisan
Tuan Noirtier sehingga tidak akan dapat menjadi penter-jemah yang jujur."
'Tidak! Tidak!" mata Noirtier memberi isarat dengan kuatnya.
"Maksud Ayah " tanya Villefort terkejut, "Valentine tidak mempunyai kepentingan
dalam wasiat ayah?" "Tidak." "Tuan de Villefort," kata notaris, "beberapa menit yang lalu memang saya
menganggap sebagai tidak mungkin membuat surat wasiat menurut keinginan ayah
Tuan, tetapi sekarang saya rasa tidak ada yang lebih mudah dari itu. Menurut
hukum, surat wasiat ini akan sah bila dibaca di hadapan tujuh orang saksi,
disetujui isinya oleh pemberi wasiat, lalu disegel deh notaris di hadapan semua.
Selanjutnya untuk memperkuatnya lagi agar jangan sampai digugat orang di
kemudian hari, saya akan meminta bantuan seorang rekan, dan bertentangan dengan
kebiasaan dia akan turut hadir ketika pendiktean wasiat. Apakah Tuan puas, Tuan
Noirtier?" "Ya," kata Noirtier gembira sekali karena keinginannya dapat dimengerti.
Barrois yang mendengarkan seluruh pembicaraan dan dapat merasakan lebih dahulu
keinginan-keinginan majikannya, pergi tanpa menunggu perintah memanggil notaris seorang lagi.
Villefort menyuruh memanggil istrinya. Seperempat jam kemudian setiap orang
telah berkumpul di kamar Noirtier dan notaris kedua pun telah hadir. Notaris
yang pertama berkata kepada Noirtier,
"Apakah Tuan mengetahui berapa besar kekayaan Tuan?"
"Ya." "Saya akan menyebutkan beberapa jumlah berturut-turut Hendaknya Tuan
menghentikan saya apabila saya telah sampai kepada suatu jumlah yang menurutTuan
telah mendekati kekayaan yang Tuan miliki. Apakah itu lebih dari tiga ratus ribu
frank?" "Ya." "Empat ratus ribu frank?"
Noirtier tidak memberi tanda apa-apa.
"Lima ratus ribu" Enam"Tujuh"Delapan" Sembilan?"
Noirtier memejamkan matanya.
'Tuan memiliki sembilan ratus ribu frank?"
"Ya." "Kepada siapakah Tuan ingin mewariskannya" Kepada Nona Valentine de Villefort?"
Noirtier mengedipkan matanya berkali-kali dengan tegas agar tidak timbul salah
penafsiran. "Apakah Tuan tidak keliru?"


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Tidak!" jawab Noirtier.
"Tidak!" Hati Valentine risau, bukan karena tidak disebut sebagai pewaris tetapi oleh
karena ia mencurigai perasaan hati kakeknya yang mendorongnya bertindak begitu.
Tetapi Noirtier memandangnya dengan penuh perasaan cinta kasih sehingga
Valentine berteriak gembira. "Oh, saya mengerti.
Kakek hanya tidak memberi harta kekayaan saja, tetapi masih selalu melimpahkan
cintanya." "Ya. Ya," kata Noirtier dengan isarat mata yang tidak meragukan Valentine.
Penyisihan nama Valentine sebagai pewaris telah menimbulkan harapan yang tidak
terduga pada Nyonya de Villefort. Dia menghampiri orang tua itu lalu bertanya,
"Barangkali kepada Edouard, Ayah hendak mewariskannya?"
Mata Noirtier berkedip dengan kuat sekali, hendak menyatakan tidak setuju.
Bahkan matanya bersinar-sinar menunjukkan kebencian.
"Kepada putra Tuan, barangkali" Tuan de Villefort?"
tanya notaris. "Tidak." Kedua notaris itu saling berpandangan dalam keheranan.
Pipi Villefort dan istrinya menjadi merah. Yang seorang karena malu, yang lain
karena marah. "Tetapi apa yang telah kami perbuat kepada Kakek?"
tanya Valentine yang juga merasa heran.
Noirtier melihat kepada tangan Valentine.
"Tangan saya?" "Ya." "Nah, Tuan-tuan lihat sekarang, tidak ada gunanya,"
kata Villefort. "Ayah saya yang malang ini gila."
"Saya mengerti, saya mengerti!" kata Valentine tiba-tiba.
"Perkawinan saya, bukan begitu, Kakek?"
"Ya!Ya!Ya" "Kakek marah karena perkawinan itu?"
"Ya." "Kakek tidak menyetujui perkawinan saya kepada Tuan Franz d'Epinay?"
"Ya." "Tuan mencabut hak waris cucu Tuan karena ia akan kawin bertentangan dengan
keinginan Tuan?" tanya notaris.
"Ya." "Dan apa yang hendak Tuan lakukan dengan kekayaan Tuan apabila Nona de Villefort
kawin dengan Tuan d'Epinay" Apakah Tuan akan mewariskannya kepada salah seorang
lain dari keluarga Tuan?"
"Tidak." "Tuan akan mewariskannya kepada fakir miskin?"
"Ya." "Apa pendapat Tuan tentang hal ini, Tuan de Villefort?"
tanya notaris. "Tidak ada. Saya tahu ayah saya tidak akan pernah merubah keputusannya. Oleh
sebab itu, saya lebih baik mengundurkan diri. Kekayaannya yang sembilan ratus
ribu frank itu boleh meninggalkan keluarga, tetapi saya tidak akan menyerah
begitu saja kepada tingkah-polah orang tua itu dan saya akan tetap bertindak
menurut keyakinan saya,"
Villefort keluar bersama istrinya, meninggalkan ayahnya membuat wasiat seperti
yang dikehendakinya. BAB XXXIV KETIKA Tuan de Villefort dan Nyonya keluar dari
kamar ayahnya, mereka diberitahu bahwa Count of Monte Cristo datang berkunjung
dan sekarang sedang menanti di ruang tamu.
Setelah saling menyalami Monte Cristo berkata, "Saya datang untuk mengingatkan
Tuan kepada janji Tuan untuk hari Sabtu itu;'
"Bagaimana mungkin kami melupakannya," kata Nyonya de Villefort.
"Apakah Tuan akan menjamu kami di rumah Tuan di Champs Elysees?" tanya
Vlilefort. "Bukan. Di rumah yang di pinggir kota, di Auteuil."
"Auteuil" kata Villefort sedikit terkejut. "Oh ya, saya ingat sekarang. Istri
saya mengatakan bahwa Tuan mempunyai rumah di sana karena ke rumah itulah dia
dibawa setelah mendapat kecelakaan itu. Di jalan apa?"
"Rue de la Fontaine."
"Rue de la Fontaine!" Villefort mengulanginya dengan suara tertahan.
"Nomor?" "Dua puluh delapan."
"Jadi, Tuanlah yang membeli rumah Tuan de Saint-Meran itu rupanya!"
'Tuan de Saint-Meran," tanya Monte Cristo. "Apakah rumah itu milik beliau?"
"Benar," kata Nyonya de Villefort, "dan saya dapat menceriterakan sesuatu yang
aneh tentang rumah itu Tentu Tuan menganggapnya sebagai rumah yang menyenangkan,
bukan?" "Saya menganggapnya indah sekali"
"Nah, suami saya tidak pernah mau menempatinya."
"Saya tidak menyukai Auteuil," kata Villefort berusaha menguasai dirinya.
"Saya harap hal itu tidak akan menyebabkan saya kehilangan kebahagiaan menjamu
Tuan pada Sabtu malam nanti" kata Monte Crista
'Tidak . .. saya harap ... percayalah, saya akan berusaha supaya dapat
datang ..." jawab Villefort terbata-bata.
"Saya harap jangan ada dalih apapun juga!" kata Monte Cristo dengan tekanan
suara. "Saya mengharapkan kedatangan Tuan pada hari Sabtu jam enam sore. Apabila
Tuan tidak datang, saya terpaksa menarik kesimpulan bahwa ada sesuatu kisah
suram dalam rumah itu yang tidak berpenghuni selama dua puluh tahun terakhir
ini" "Saya akan hadir. Count, saya akan hadir!" kata Villefort cepat-cepat.
"Terima kasih" jawab Monte Cristo. "Izinkan saya sekarang mohon diri. Saya
bermaksud melihat sesuatu yang telah sering kali membuat saya memikirkannya
berjam-jam." "Apakah itu?" "Telegram. Saya malu mengatakannya, tetapi begitulah,"
"Telegram?" Nyonya de Villefort mengulanginya "Benar, telegram. Sering sekali
saya melihat tiang-tiang hitam menjulang di atas sebuah bukit atau di tepi-tepi
jalan. Dan setiap kali saya melihatnya pikiran saya selalu teringat kepada
tanda-tanda aneh yang berjalan di udara membawa pesan, dari seorang yang duduk
di suatu ujung kepada oiang lain yang duduk di ujung yang lain. Dia selalu
mengingatkan saya kepada jin dan bidadari atau mahluk-mahluk halus lainnya
Pendeknya kepada ilmu gaib, dan ini sangat menyenangkan. Kemudian saya mendengar
bahwa operator-operatornya hanyalah seorang biasa dengan gaji seribu dua ratus
frank setahun. Saya ingin sekali melihat dari dekat bagaimana dia mempermainkan
peralatannya mengirimkan pesan-pesan kepada kawannya di seberang lain."
"Kantor telegram mana yang akan Tuan kunjungi?"
tanya Villefort. "Yang mana yang Tuan sarankan?"
"Tentu yang tersibuk, saya kira"
"Jalur dari Spanyol, bukan?"
"Ya. Tetapi sebaiknya Tuan bergegas. Sebentar lagi hari akan gelap dan Tuan
tidak akan dapat melihat apa-apa."
"Terima masih," jawab Monte Cristo. "Saya akan menceriterakan kesan-kesan saya
pada hari Sabtu nanti."
Keesokan harinya Debray meninggalkan kantornya pergi ke rumah Danglars.
"Apakah suamimu mempunyai saham-saham Spanyol?"
tanyanya kepada Nyonya Danglars.
'Pasti. Seharga enam juta frank."
"Dia harus segera menjualnya dengan harga apa pun."
"Mengapa?" "Karena Don Carlos melarikan diri dari Bourges dan kembali ke Spanyol."
"Bagaimana kau mengetahuinya?"
"Dengan cara biasa aku mengetahuinya," kata Debray sambil mengangkat bahu.
Barones tidak menunggu diberi tahu untuk kedua kalinya. Dia segera berlari
kepada suaminya, yang pada gilirannya cepat-cepat pergi menemui penjual sahamsahamnya dan memerintahkan dia segera menjual saham Spanyol dengan harga apa
saja yang dapat diperolehnya. Ketika masyarakat mengetahui bahwa Baron Danglars
menjual saham-sahamnya, harga saham-saham Spanyol segera
menurun dengan dahsyat. Danglars rugi lima ratus ribu frank, tetapi dia
beruntung dapat menjual seluruhnya.
Kalau tidak kerugiannya akan berlipat-lipat.
Sore harinya dalam koran Le Messager terpampang sebuah berita yang berbunyi;
Berita kawat yang resmi King Don Carlos berhasil melarikan diri dari tempat
pengasingannya di Bourges dan telah kembali ke Spanyol melalui perbatasan
Catalonia. Barcelona berontak mendukung kedatangannya.
Semalam itu tiada lagi yang dibicarakan orang kecuali ketajaman hidung Danglars
sehingga ia hanya merugi lima ratus ribu frank dalam bencana seperti itu. Mereka
yang tidak mau menjual saham-saham Spanyolnya dan membelinya dari Danglars,
menganggap dirinya sudah hancur dan tidak dapat tidur semalaman.
Keesokan harinya dalam koran Le Moniteur terbaca lagi berita lain:
Berita yang dimuat kemarin dalam harian Le Messager yang mengatakan bahwa Don
Carlos melarikan diri dan pemberontakan di Barcelona, adalah tidak benar. King
Don Carlos tidak meninggalkan Bourges dan seluruh Spanyol tetap tenang dan aman.
Kekeliruan ini disebabkan oleh cuaca buruk yang mengangga kelancaran kantor
kawat sehingga timbul salah pengertian.
Harga saham-saham Spanyol naik lagi dua kali lipat.
Danglars yang sudah rugi lima ratus ribu frank menggigit jari lagi, karena tidak
dapat ikut beruntung dalam kenaikan BAB XXXV
DILIHAT dari luar rumah Count of Monte Cristo di
Auteuil tidak memberi kesan menyenangkan. Tidak ada sesuatu yang dapat
menunjukkan rumah itu milik Count of Monte Cristo yang kaya raya. Kesederhanaan
ini sesuai dengan keinginannya. Dengan tandas ia memerintahkan pegawainya agar
tidak mengadakan perubahan apa-apa di bagian luar. Baru#telah orang memasuki
rumah itu, akan kelihatan dan terasa keindahan dan kemewahannya.
Bertuccio telah menunjukkan seleranya yang baik dan keterampilan yang luar biasa
dalam merombak, mengisi dan mengatur rumah tersebut. Kalau tergantung kepada dia
sendiri ia mau merombak juga kebunnya
Hanya satu ruangan dalam rumah itu yang tidak dijamah sedikit pun. Keadaannya
tetap seperti sediakala. Yaitu, ruang tidur di lantai kedua yang mempunyai pintu
tersendiri menuju ke kebun. Para pelayan yang lalu di muka kamar itu selalu
diganggu perasaan ingin tahu. Lain dengan Bertuccio, ia selalu diganggu rasa
takut, bahkan sekali-sekali berdiri bulu tengkuknya.
Tepat pada jam enam Kapten Maximilien Morrel datang menunggang kudanya bernama
Medeah. Monte Cristo menyambutnya di ambang pintu muka dengan senyum yang ramah.
"Mudah-mudahan saya datang paling dahulu" kata Maximilien. "Saya ingin sekali
berbicara berdua sebelum tamu-tamu lain datang."
Tetapi tepat pada saat itu dua orang tamu berkuda dan sebuah kereta yang ditarik
sepasang kuda yang berlepotan keringat datang. Lucien Debray segera turun dari
kudanya, berjalan ke pintu kereta, membukanya lalu mengulurkan tangannya
membantu Nyonya Danglars turun dari dalamnya. Ketika turun sambil berpegang
kepada tangan Debray ia memberikan sebuah isarat yang halus sekali sehingga
tidak mungkin tampak oleh orang lain, kecuali oleh Monte Cristo. Tak ada suatu
gerakan mereka sekecil apa pun yang luput dari penglihatan Monte Cristo yang
tajam. Ia melihat sebuah kertas kecil berpindah tangan dari nyonya Danglars ke
tangan Debray dengan kelancaran yang sempurna dan menunjukkan bahwa perbuatan
seperti ini telah biasa mereka lakukan.
Baron Danglars turun sesudah istrinya. Wajahnya pucat seakan-akan baru keluar
dari dalam kubur. Tanpa sadar ia memetik-metik bunga sebuah pohon jeruk. Duridurinya menusuk jari-jari tangan Danglars. Ia terkejut, mengusap matanya seperti
orang yang baru sadar dari mimpi.
"Mayor Bartolomeo Cavalcanti dan Viscount Andrea Cavalcanti!" kata Baptistin
memberitahukan kedatangan mereka
Mayor Cavalcanti muncul dengan kemeja yang baru saja keluar dari pabrik, janggut
yang baru dipangkas, kumis abu-abu dan sorot mata penuh keyakinan diri,
berpakaian seragam mayor dengan dihiasi lima buah bintang
kehormatan. Di sebelahnya, putranya tercinta berpakaian serba baru dengan senyum
lebar. Viscount Andrea Cavalcanti. Sambil berdiri bercakap-cakap. Mata
Maximilien, Debray dan Chateau-Renaud berpindahpindah dari ayah ke anak. Tentu saja perhatiannya lebih tertarik kepada anaknya.
"Cavalcanti!" kata Debray.
"Nama yang bagus" jawab Maximilien.
"Benar,'' sambung Chateau-Renaud, "orang-orang Italia rata-rata mempunyai nama
yang bagus, tetapi mereka tidak mempunyai selera berbusana."
"Engkau memang orang yang sukar merasa puas," jawab Debray. "Lihat, bajunya baru
sekali dan dibuat penjahit yang termashur."
"Itulah yang aku tidak sukai," kata Chateau Renaud Anak muda itu seperti baru
sekali ini berpakaian baik seumur hidupnya."
"Siapa mereka itu?" tanya Danglars kepada Monte Crista
"Mayor Cavalcanti dengan putranya.'
"Belum pernah saya dengar nama itu sebelumnya."
"Tuan memang masih asing dengan bangsawan
bangsawan Italia. Cavalcanti adalah keturunan pangeran-pangeran."
"Bagaimana dengan kekayaannya?"
"Sangat banyak."
"Apa yang mereka lakukan di sini?"
"Mereka telah berusaha tanpa hasil membelanjakan seluruh kekayaannya. Mereka mau
mengambil kredit dari Tuan. Begitulah katanya ketika mereka datang kepada saya
dua hari yang lalu. Saya mengundang mereka sekarang demi kepentingan Tuan
terutama Saya akan perkenalkan Tuan kepada mereka."
"Rupanya mereka dapat berbicara Perancis fasih sekali."
"Putranya mendapat pendidikan di Perancis. Akan Tuan lihat nanti bahwa ia sangat
tertarik kepada wanita-wanita Perancis. Hatinya telah tetap ingin mendapatkan
seorang gadis Paris untuk istri."
"Gagasan yang baik sekali !" kata Danglars menyindir.
Nyonya Danglars memandang suaminya dengan sorot
mata yang biasanya diikuti dengan badai kemarahan.
Tetapi sekali ini ia dapat menahan diri.
"Tuan dan Nyonya de Villefort!" teriak Baptistin.
Sekalipun telah berusaha keras menguasai dirinya, namun Villefort masih jelas
tampak gugup. Monte Cristo merasakan tangannya gemetar ketika mereka berjabatan.
"Hanya wanita yang dapat menyembunyikan
perasaannya," kata Monte Cristo dalam hatinya ketika dia melihat Nyonya Danglars
tersenyum kepada Villefort dan memeluk istrinya.
Monte Cristo melihat Bertuccio berdiri di ruang sebelah yang lebih kecil. Dia
menghampirinya dan bertanya, "Ada yang kau perlukan, Bertuccio?"
"Tuan belum mengatakan berapa kursi yang harus saya sediakan."
"Ah, benar juga. Tetapi kau dapat menghitungnya sendiri sekarang"
"Apakah semua tamu telah hadir, Tuan?"
"Sudah." Bertuccio melihat tamu-tamu melalui pintu yang setengah terbuka. Mata Monte
Cristo mengawasinya dengan cermat
"Ya, Tuhan!" Bertuccio berteriak terkejut
"Mengapa?" "Nyonya itu, Tuan."
"Yang mana?" "Yang memakai baju putih dan perluasan yang banyak yang rambutnya pirang."
"Nyonya Danglars?"
"Saya tidak mengetahui namanya, tetapi dialah orangnya, Tuan. Dialah wanita yang
di kebun, wanita yang hamil itu! Wanita yang menantikan kedatangan..."
"Kedatangan siapa?"
Tanpa berkata Bertuccio mengarahkan telunjuknya kepada Villefort. "Oh!Oh!"
akhirnya dia dapat berkata lagi.
"Apakah Tuan melihatnya?"
"Apa" Siapa?"
"Dia!" "Tuan de Villefort, Jaksa Penuntut Umum" Tentu saja aku lihat!"
"Bukankah saya telah membunuhnya" Dia tidak mati?"
"Tentu saja dia tidak. Engkau melihatnya sendiri. Engkau tidak berhasil
menikamnya di antara rusuk keenam dan ketujuh di dada sebelah kiri sebagaimana
lazimnya dilakukan orang-orang Corsica, tetapi mungkin sedikit di atasnya atau
di bawahnya Sekarang tenangkan dirimu; Tuan dan Nyonya de Villefort' dua; Tuan
dan Nyonya Danglars, empat; tuan Chateau-Renaud, Tuan Debray, dan Tuan Morrel,


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tujuh, Mayor Cavalcanti, delapan."
"Delapan," kata Bertuccio mengulang.
"Nanti dulu, Berturicco, jangan cepat-cejpat pergi. Engkau mengabaikan seorang
tamu lagi Lihat sedikit ke sebelah kiri sana, Tuan Andrea Cavalcanti, anak muda
yang sedang menghadap ke sini."
Sekali ini Bertuccio hampir saja berteriak, tetapi pandangan Monte Cristo yang
tajam mencegahnya. "Benedetto!" katanya pelan-pelan.
"Sudah setengah tujuh, Bertuccio," kata Count of Monte Cristo. "Aku telah
meminta supaya hidangan disiapkan pada waktu ini. Engkau tahu aku tidak suka
menunggu." Monte Cristo kembali ke ruangan tamu, dan Bertuccio kembali ke tempatnya dengan
tersaruk-saruk. Sesekali ia berhenti dulu bersandar ke dinding mengumpulkan
tenaga. Lima menit kemudian, pintu ruang itu terbuka lebar-lebar dan Bertuccio muncul
lalu berteriak dengan menguatkan diri "Hidangan sudah siap!"
Monte Cristo membimbing Nyonya de Villefort, "Tuan de Villefort," katanya,
"sudikah Tuan menemani Nyonya Danglars?"
Villefort menurut dan tamu-tamu lainnya masuk ke dalam ruang makan.
Hidangannya luar biasa. Tetapi Monte Cristo bermaksud lebih menggugah keheranan
tamu-tamunya daripada selera makannya. Dia menjamu tamunya dengan cara Timur
seperti dalam dongeng-dongeng Arab. Segala macam buah-buahan yang dapat
didatangkan dari empat penjuru dunia memenuhi jambangan-jambangan Cina dan bakibaki buatan Jepang. Burung-burung yang langka dan jenis-jenis ikan tersusun rapi di
atas-piring-piring perak. Sedangkan berbagai anggur dari berbagai negeri
ditempatkan dalam wadah-wadah yang indah yang dapat menambah selera.
Kesemuanya ini dihidangkan di hadapan mata tamutamunya yang keheran-heranan.
''Sangat mengagumkan," kata Chateau-Renaud, "tetapi yang paling mengagumkan,
Count, adalah kecepatan dilak-sanakannya perintah-perintah Tuan. Tuan membeli
rumah ini barangkali baru lima atau enam hari yang lalu, tetapi dalam waktu yang
singkat sekali segala-galanya telah disulap. Rumah ini pernah tidak berpenghuni
sekurang-kurangnya selama sepuluh tahun. Keadaannya menyedihkan sekali, pintupintu dan jendela-jendelanya selalu tertutup rumput di halaman tumbuh tinggi
tidak terpelihara. Pendeknya, seandainya saja rumah ini bukan milik mertua
seorang Jaksa Penuntut Umum, orang pasti akan menganggapnya sebagai rumah yang
terkutuk karena di dalamnya pernah terjadi kejahatan yang terkutuk pula,"
Villefort yang selama ini tidak mau menjamah empat gelas anggur yang di
hadapannya, ketika mendengar ini cepat-cepat mengambil sebuah dart meminumnya
habis sekali teguk. Monte Cristo menunggu sebentar. Lalu, di tengah-tengah kediaman dia berkata,
"Aneh sekali, tetapi kesan itulah yang ada pada saya ketika untuk pertama
kalinya saya memasuki rumah ini. Ada sebuah kamar, sebuah kamar tidur biasa,
yang dindingnya dilapisi kain damas merah, yang entah apa sebabnya menimbulkan
sesuatu perasaan yang menyeramkan. Karena kita telah selesai makan, barangkali
Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya ingin
melihatnya. Kita dapat menikmati kopi kita nanti di kebun." Dia memandang tamutamunya satu persatu seakan-akan bertanya. Nyonya de Villefort berdiri, dan yang
lain-lainnya mengikutnya.
Villefort dan Nyonya Danglars tetap duduk untuk
sementara sambil saling berpandangan. "Kita harus ikut mereka," kata Villefort,
sambil berdiri dan menawarkan bimbingannya.
Tak ada yang aneh dalam kamar itu, kecuali bahwa
sekalipun sudah malam kamar itu tidak diterangi dan berbeda dengan ruanganruangan yang lain, kamar ini tidak mengalami perubahan sedikit pun. Segalagalanya masih tetap seperti keadaan semula. Kotor dan tidak terpelihara.
Tamu-tamu hampir semua sependapat dengan Monte
Cristo bahwa kamar ini memang menyeramkan.
"Lihat," kata Monte Cristo, "bagaimana anehnya letak tempat tidur itu dan betapa
suramnya pelapis dinding yang berwarna darah itu. Perhatikan juga kedua potret
yang telah menguning itu, bibirnya yang kebiru-biruan dan matanya yang seperti
ketakutan, seakan-akan hendak berkata: Aku menyaksikan segalanya!' Dan ini belum
semua." Monte Cristo berjalan lebih ke dalam lalu membuka sebuah pintu yang agak
tersembunyi. "Perhatikanlah tangga kecil ini, dan bagaimana pendapat Tuan-tuan.
Dapatkah Tuan membayangkan seseorang turun dengan hati-hati dalam kegelapan
malam, sambil membawa sesuatu yang ingin dia sembunyikan dari pandangan orang
lain, kalau tidak dari pandangan Tuhan?"
Nyonya Danglars bergantung setengah pingsan di tangan de Villefort dan Villefort
sendiri terpaksa bersandar kepada dinding.
"Mengapa, Nyonya?" tanya Debray terkejut. "Wajah Nyonya pucat sekali!"
"Sederhana sekali," jawab Nyonya de Villefort, "Count of Monte Cristo sengaja
menceriterakan sesuatu yang sangat menyeramkan agar kita semua mati ketakutan."
"Apakah benar Nyonya ketakutan?" tanya Monte Cristo.
'Tidak," jawab Nyonya Danglars, "tetapi khayalan Tuan itu seakan-akan nyata."
"Saya akui bahwa itu hanya permainan daya khayal saja," jawab Monte Cristo
tersenyum. "Sebenarnya kita dapat dengan mudah mengkhayalkannya sebagai sebuah
kamar tidur yang terhormat dari seorang ibu, ranjang ini sebagai saksi lahirnya
seorang bayi, dan pintu dan tangga ini semata-mata dibuat agar dokter, perawat
atau mungkin juga ayahnya sendiri dapat mengambil bayi itu tanpa mengganggu
tidur sang ibu." Sekarang, Nyonya Danglars benar-benar jatuh pingsan setelah dia memekik
sebentar. "Nyonya Danglars sakit," kata Villefort. "sebaiknya beliau dibawa ke dalam
keretanya." Dia tidak di bawa ke dalam keretanya, tetapi ke dalam kamar lain yang
bersebelahan dengan kamar tidur itu.
Monte Cristo meneteskan cairan merah ke dalam mulutnya, dan Nyonya Danglars
segera sadar kembali. Monte Cristo mencari Danglars, tetapi bankir ini yang
tidak mempunyai minat mendengarkan khayalan-khayalan sudah berada di dalam kebun
berbincang-bincang dengan Mayor Cavalcanti tentang proyek pembuatan jalan kereta
api antara Livorno dan Florence. Monte Cristo membimbing Nyonya Danglars ke
dalam kebun di mana mereka menemukan Danglars
duduk minum kopi di antara Mayor Cavalcanti dan anaknya.
"Benarkah saya telah menakutkan Nyonya?" tanya Monte Cristo.
'Tidak, Count. Seperti Tuan ketahui, segala sesuatu akan memberikan kesan kepada
kita sesuai dengan rangka pikiran kita pada waktu itu."
"Dan selanjutnya," kataVillefort dengan tawa terpaksa,
"sebuah kecurigaan yang kecil saja sudah cukup untuk..."
"Tuan boleh percaya atau tidak," kata Monte Cristo,
"tetapi saya yakin bahwa dalam rumah ini sudah terjadi suatu kejahatan."
"Harap Tuan hati-hati" kata Nyonya de Villefort. "Ada Jaksa Penuntut Umum di
antara kita." "Benar," kata Monte Cristo, "dan saya akan memanfaatkan kehadirannya dengan
membuat pernyataan ini di hadapan saksi-saksi."
"Semua ini menarik sekali," kata Debray. "Kalau benar pernah terjadi suatu
kejahatan dalam rumah ini, hal Ini akan merusak pencernaan makanan kita malam
ini." "Di sini pernah terjadi suatu kejahatan," kata Monte Cristo dengan tegas, "Mari
ikut saya, Tuan terutama sekali Tuan, Tuan de Villefort. Agar pernyataan saya
itu sah, harus saya lakukan di hadapan yang berwenang."
Monte Cristo memegan.g Villefort dan Nyonya Danglars di tangannya masing-masing
dan menarik mereka ke sebuah sudut yang gelap dalam kebun itu. Tamu-tamu yang
lain mengikuti dari belakang.
"Di sini, tepat di tempat ini," kata Monte Cristo, menginjak-nginjak tanah
dengan ujung sepatunya, "dengan maksud menyuburkan kembali pepohonan yang telah
tua-tua ini, saya menyuruh orang memasukkan kompos ke dalam tanah. Ketika mereka
sedang menggali di sini, mereka menemukan sebuah peti kayu dan di dalamnya ada
kerangka bayi yang baru dilahirkan. Saya harap Tuan-tuan tidak menganggap
ceritera ini sebagai khayalan."
Monte Cristo merasakan tangan Nyonya Danglars
menjadi kaku dan pergelangan Villefort gemetar.
"Bayi yang baru dilahirkan!" ulang Debray. "Kejahatan yang keji sekali!"
"Apa hukuman untuk pembunuh anak di sini ?"
Mayor Cavalcantt polos. "Dipenggal kepalanya," kata Danglars.
"Benarkah begitu, Tuan de Villefort ?" tanya Monte Cristo.
"Benar" jawab Villefort dengan suara yang hampir tidak menyerupai suara manusia.
Monte Cristo telah melihat bahwa kedua orang yang sengaja ia jebak untuk
menyaksikan pertunjukan ini telah sampai pada kekuatannya. Dia tidak bermaksud
untuk mendorongnya lebih jauh lagi. Karena itu cepat-cepat ia berkata, "Kita
melupakan kopi kita".
Dia membawa tamu-tamunya menuju ke sebuah meja
yang telah ditempatkan di tengah-tengah pekarangan.
Villefort mendekati Nyonya Danglars dan berbisik kepadanya, "Kita harus bertemu
besok." "Di mana?" "Di kantorku, tempat yang paling aman."
"Aku akan datang."
BAB XXXVI KETIKA malam telah larut Nyonya de Villefort
menyatakan keinginannya untuk kembali ke Paris. Nyonya Danglars tidak berani
mendahului pamit sekalipun hatinya sangat resah. Atas permintaan istrinya de
Villefort memulai meminta diri kepada tuan rumah, dan yang lain segera menyusul.
Ketika Andrea Cavalcanti hendak menaiki keretanya, sebuah tangan menepuk
bahunya. Dia menoleh dengan sangkaan bahwa Danglars atau Monte Cristo hendak
menyampaikan sesuatu. Tetapi bukan salah satu dari mereka yang dia lihat di
hadapannya sekarang Seraut wajah coklat karena bakaran sinar matahari dan
berjanggut dengan sepasang mata yang berkilat-kilat dibarengi senyum menyindir.
Senyuman yang memperlihatkan sebaris gigi putih, tajam-tajam bagaikan gigi
anjing hutan. Mungkin karena ia segera mengenali wajah ini atau mungkin juga
karena pemunculannya yang mendadak, Andrea terkejut mundur. "Mau apa engkau?"
tanyanya. "Aku mau agar engkau tidak membiarkan aku terpaksa jalan kaki ke Paris. Aku
sangat letih dan lapar, dan karena aku tidak makan sebaik yang engkau makan tadi
di perja-muan, aku hampir-hampir tidak dapat berdiri. Aku mau agar engkau
membawa aku ke kota dalam keretamu yang bagus ini"
Wajah Andrea memucat tetapi ia tidak berkata
"Itulah keinginanku," lanjut orang itu sambil memasukkan kedua tangannya ke
dalam saku bajunya seraya menatap Andrea penuh ancaman. ''Engkau dapat
memahaminya, Benedetto?"
Mendengar nama ini disebut, Andrea mendekati saisnya lalu berkata, "Orang ini
baru kembali dari tugas yang aku berikan kepadanya dan akan memberikan laporan.
Engkau pergi sendiri dan sewalah sebuah kereta."
Sais memandang keheranan tetapi tidak membantah.
"Baik, masuk!" kata Andrea kepada orang yang mendesak itu. Sampai melampaui
rumah yang terakhir dalam lingkungan itu ia berdiam tanpa berkata sedangkan
kawannya duduk di sebelahnya sambil tersenyum simpul tetapi juga tidak berkatakata. Setelah keluar dari daerah Auteuil, Andrea melihat ke sekeliling untuk
meyakinkan bahwa tak ada orang yang akan dapat melihat atau mendengar
mereka. Ia menghentikan kudanya laki berpaling kepada orang di-sebelahnya.
"Mengapa engkau datang
mengganggu?" "Dan engkau, anak muda, mengapa engkau tidak mempercayai aku?"
"Apa sebab engkau berpikir aku tidak mempercayaimu?"
"Karena ketika kita akan berpisah di Pont du Var engkau mengatakan akan pergi ke
Piedmont dan Tuscany. Kenyataannya engkau pergi ke Paris."
"Apa salahnya?"
"Tak ada salahnya. Bahkan aku berpikir mungkin baik buatku."
"Aha! Engkau bermaksud memeras?"
"Ucapanmu itu kasar sekali!"
"Engkau keliru, Tuan Caderousse. Awas, aku peringatkan'
"Jangan suka marah kepada kawan lamamu ini, anak muda. Engkau bertanggung jawab
untuk tuntutanku sekarang kepadamu."
Jawaban Caderouse membuat amarah Andrea menurun.
Dia menjalankan lagi keretanya.
"Apakah salahku kalau aku beruntung sedangkan engkau tidak?"
"Artinya nasibmu telah baik sekarang. Kereta ini bukan sewaan, dan bajumu pun
bukan baju sewaan" Bukan main!
Aku tahu hatimu baik. Kalau engkau mempunyai dua buah mantel aku yakin engkau
akan memberikan satu kepadaku.
Dahulu biasa aku memberimu sebagian dari makananku bila engkau lapar."
"Benar," jawab Andrea.
"Nafsu makanmu dahulu baik sekali," kata Caderousse.
"Apakah sekarang masih sebaik dahulu?"
"Tentu" jawab Andrea tertawa. "Pasti hidangan di rumah pangeran itu lezat
sekali." "Dia bukan pangeran, hanya seorang count."
"Kaya?" "Kaya sekali, tetapi jangan engkau berpikir yang bukan-bukan tentang dia. Dia
bukan orang yang gampang dipermainkan." "Jangan khawatir, aku tidak mempunyai niat apa-apa terhadapnya. Engkau boleh
menanganinya sendiri. Tetapi,"
tambah Caderousse dengan senyum yang tidak
menyenangkan, "tidak berarti bahwa engkau boleh melakukannya dengan cuma-cuma.
Engkau mengerti bukan?" "Berapa yang engkau butuhkan?"
"Aku rasa, seratus frank sebulan sudah cukup, tetapi..."
"Tetapi apa?" "Tetapi itu hanya pas-pasan saja. Dengan seratus lima puluh sebulan aku akan
merasa bahagia." "Ini dua ratus frank," kata Andrea sambil menyerahkan uang.
"Terima kasih " jawab Caderousse.
"Datanglah tanggal satu setiap bulan. Selama aku menerima tunjanganku, engkau
pun akan menerima tunjangan dariku."
"Aku tidak keliru," kata Caderousse lagi. "Memang engkau anak yang baik dan
alangkah bagusnya apabila nasib baik selalu menimpa orang-orang seperti engkau.
Sekarang, ceriterakanlah tentang keberuntunganmu itu."
"Buat apa mengetahuinya?"
"Rupanya engkau masih tidak percaya."
"Bukan begitu ... Aku bertemu dengan ayahku."
"Ayah kandungmu?"
"Tak jadi soal apakah dia ayah kandung atau bukan selama dia mau memberiku
uang." "Siapa nama ayahmu itu?"
"Mayor Cavalcanti."
"Apakah dia merasa puas dengan pertemuan antara ayah dan anak ini?"
"Sampai sejauh ini tampaknya dia merasa puas."
"Siapa yang mempertemukan kalian?"
"Count of Monte Cristo."
"Yang menjamumu malam ini?"
"Ya." "Dengar, mengapa engkau tidak berusaha agar dia mau menyewaku sebagai kakekmu,
karena tampaknya dia berusaha dalam bidang menghubung-hubungkan
kekeluargaan?" "Saya akan membicarakannya nanti dengan dia.
Sementara ini, apa rencanamu?"
'Terima kasih untuk perhatianmu itu," jawab
Caderousse. "Karena engkau pun menaruh banyak perhatian terhadap diriku," kata Andrea,
"rasanya aku pun mempunyai hak untuk memperoleh beberapa keterangan tentang diri
mu." "Benar juga katamu. Baik. Aku akan menyewa sebuah kamar di rumah yang terhormat,
membeli beberapa helai pakaian yang pantas, mencukur kumis dan janggut setiap
liari, lalu membaca koran di salah satu kedai minuman.


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malam hari menonton teater. Aku akan hidup seperti seorang pensiunan pembuat
roti sesuai dengan idamanku sejak dahulu."
"Baik sekali. Bila engkau dapat menjalankan rencanamu itu dan berkelakuan baik,
segala-galanya akan berjalan dengan lancar. Sekarang karena engkau telah
mendapatkan apa yang engkau inginkan silakan turun dan menghilang-lah!"
'Tidak, kawan." "Mengapa tidak?"
"Karena pakaianku compang-camping. Aku sama sekali tidak mempunyai surat
keterangan dan aku mempunyai dua ratus frank dalam saku baju. Aku pasti
ditangkap di batas kota. Untuk membebaskanku dari segala tuduhan aku akan
terpaksa mengatakan bahwa uang itu aku terima sebagai pemberian darimu dan ini
akan mengakibatkan penyelidikan lebih lanjut Akhirnya tentu mereka akan mengetahui bahwa aku
meninggalkan penjara Toulon tanpa pamit. Lalu mereka pasti akan mengembalikan
aku ke sana dan . .. berakhirlah impianku untuk hidup sebagai pensiunan pembuat
roti. Tidak, kawan, aku lebih senang untuk menetap dengan terhormat di Paris."
Andrea mengerenyitkan dahinya lalu menghentikan
kudanya. Sambil melihat ke sekelilingnya tangannya bergerak menelusur saku
jasnya, sampai menyentuh pelatuk sebuah pistol kecil di dalamnya. Dalam pada
itu, Caderousse yang tidak pernah melepaskan
kewaspadaannya, menggerakkan pula tangan kanannya ke pinggangnya, dengan hatihati mengambil sebilah pisau Spanyol yang selalu dia bawa untuk menjaga segala
kemungkinan. Kedua orang itu saling memahami gerakan masing-masing. Andrea
segera memindahkan tangannya ke kumisnya yang merah, lalu mengelus-elusnya untuk
beberapa saat. "Baik," akhirnya dia berkata, "kita akan pergi ke Paris bersama-sama. Tetapi
bagaimana engkau dapat melampaui perbatasan tanpa mencurigakan. Dengan pakaianmu
seperti itu, aku pikir engkau akan lebih aman berjalan kaki daripada berada
dalam keretaku." "Tunggu," kata Caderousse, "begini." Dia mengambil topi Andrea dan memakainya
lalu mengenakan mantel sais yang tertinggal.
"Bagaimana dengan kepalaku?" tanya Andrea. "Angin sangat kencang malam ini
sehingga dengan mudah dapat menerbangkan topimu."
Mereka dapat melalui perbatasan tanpa kesulitan.
Andrea menghentikan keretanya di pinggir jalan tidak jauh dari perbatasan, lalu
Caderousse meloncat turun.
"Kembalikan topiku dan mantel saisku itu."
"Apakah engkau mengharapkan aku sakit kedinginan?"
"Sampai bertemu lagi, Benedetto..." jawab Caderousse Lalu dia menghilang dalam
kegelapan malam. Andrea mengeluh, "Rupanya tidak mungkin orang
mendapat kesenangan yang sempurna dalam dunia ini."
BAB XXXVII DALAM perjalanan pulang dari rumah Montc Cristo di Auteuil, Debray tiba di muka
pintu rumah keluarga Danglars beberapa saat setelah Nyonya Danglars datang.
Seperti layaknya seorang yang sudah mengenal betul keadaan rumah itu ia segera
memasuki pekarangan lalu menyerahkan kudanya kepada seorang pelayan dan dia
menyodorkan tangan untuk membantu Nyonya Danglars turun dari keretanya.
Di muka pintu kamar tidurnya mereka bertemu dengan Cornelie, pelayan kepercayaan
Nyonya Danglars. "Apa kerja anakku selama kutinggalkan?" tanya Nyonya Danglars.
"Belajar dan sekarang telah tidur."
"Tetapi aku mendengar suara piano?"
"Nona d'Armilly. Dia bermain untuk nona Eugenie."
"Oh," kata Nyonya Danglars. "Tolong bantu aku mengganti pakaian."
Mereka memasuki kamar tidur. Debray merebahkan diri di atas kursi panjang.
"Tuan Lucien," teriak Nyonya Danglars dari kamarnya,
"benarkah Eugenie selama ini tidak mau berbicara dengan Tuan?"
"Aku bukan satu-satunya orang yang mengeluh tentang itu," jawab Debray sambil
bermain-main dengan anjing kecil yang tampaknya sudah mengenal betul tamu
keluarga ini. "Ya, aku tahu. Tetapi aku kira ia akan segera berubah dalam beberapa hari ini
dan aku yakin dia akan datang ke kantormu."
"Mengapa?" "Untuk meminta diantar menonton opera! Aku tidak pernah melihat orang yang
begitu tergila-gila kepada musik.
Rasanya agak aneh bagi gadis muda sebaya dia!"
Debray tersenyum dan menjawab, "Suruhlah dia datang dengan seijin orang tuanya
dan kami akan mengusahakan karcis baginya sekalipun sebenarnya kami tidak
mempunyai uang berkelebihan untuk membelikan karcis bagi gadis ber-bakat seperti
dia!" "Kurasa aku tidak memerlukanmu lagi, Cornelie" kata Nyonya Danglats.
Cornelie keluar. Beberapa saat kemudian Nyonya
Danglars pun keluar dari kamarnya dalam pakaian tidur yang bagus sekali,
kemudian duduk di sebelan Debray. Dia mengusap-ngusap anjing kecilnya, sedangkan
pikirannya entah di mana. Debray memperhatikannya tanpa mengucapkan kata sepatah
pun untuk beberapa saat. Akhirnya dia berkata, "Jawablah terus terang, Hermine.
Kukira ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Benar?"
"Tidak. Tak ada apa-apa." Nyonya Danglars berdiri menarik napas panjang-panjang
kemudian memperhatikan dirinya dalam cermin di tembok. "Rupaku kusut sekali
malam ini," katanya.
Debray sudah akan berdiri juga ketika tiba-tiba pintu terbuka dan Baron Danglars
masuk ruangan. Nyonya Danglars membalikkan badannya lalu melihat kepada suaminya tanpa usaha
menyembunyikan kekagetannya.
"Selamat malam, Nyonya," kata Danglars. 'Selamat malam Tuan Debray."
Nyonya Danglars mengira bahwa kedatangan suaminya yang tiba-tiba ini untuk
menyesali kata-kata dan sikapnya yang kusut sehari itu. Dengan tidak mengacuhkan
suaminya, Nyonya Danglars berkata kepada Debray,
"Tolong bacakan sesuatu bagiku, Tuan Debray."
Debray yang merasa kikuk karena kedatangan yang tiba-tiba itu, kini menjadi
tenang kembali setelah dia melihat Nyonya Danglars pun tetap tenang. Dia
bergerak hendak mengambil sebuah buku.
"Maaf, Nyonya," kata Danglars, "engkau akan letih sekali kalau tetap jaga sampai
larut sekali dan harap diingat bahwa Tuan Debray tinggal jauh sekali dari sini."
Debray bagaikan mendengar geledek. Tidak karena nada suara baron yang tenang
sekali atau karena kata-katanya yang sopan berlebihan, tetapi di balik
ketenangan dan kesopanannya itu ia dapat merasakan sesuatu yang tidak biasa ada
pada Danglars. Yaitu keteguhan hatinya untuk sekali ini tidak menurut kepada
keinginan istrinya. Nyonya Danglars pun terkejut. Keterkejutannya itu tergambarkan pada sorot
matanya. Kalau saja Danglars melihat sorot mata ini pasti ia akan merubah
sikapnya lagi. Tetapi kebetulan sekali ketika itu perhatiannya sudah ditujukan kepada beritaberita keuangan dalam surat kabar.
Pandangan Nyonya Danglars yang keras itu tidak berpengaruh apa-apa.
'Tuan Debray," kata Nyonya Danglars, "saya ingin meyakinkan Tuan bahwa saya sama
sekali tidak mengantuk dan saya ingin membicarakan banyak hal dengan Tuan pada
malam ini. Saya harap Tuan mau mendengarkannya sekali pun Tuan terpaksa tertidur
sambil berdiri." "Saya siap, Nyonya," jawab Debray dengan tenang dan dingin,
"Tuan Debray yang baik," kata Danglars menyela, "saya harap Tuan jangan
memaksakan diri mendengarkan
kedunguan istri saya malam ini. Tuan dapat
menangguhkannya sampai esok hari. Malam ini biarlah saya yang mengawaninya
karena saya mempunyai banyak hal yang penting yang ingin saya bicarakan dengan
dia." Sekali ini pukulan Danglars langsung sekali sehingga keduanya, baik Nyonya
Danglars maupun Debray sangat terkejut tanpa berkata sepatah pun. Mereka saling
berpandangan seakan-akan masing-masing mengharapkan bantuan dari yang lainnya
untuk menangkis serangan Danglars ini.
Namun kepala keluarga ini tetap unggul.
"Jangan Tuan berpikir saya mengusir Tuan," kata Danglars selanjutnya. "Soalnya,
kebetulan sekali beberapa hal yang tidak diduga menyebabkan saya perlu sekali
berbicara dengan istri saya malam ini Keinginan saya ini jarang sekali terjadi,
sehingga saya yakin Tuan tidak akan berkeberatan' Debray mengucapkan beberapa
kata dengan terbata-bata, membungkuk lalu pergi meninggalkan mereka.
"Tak masuk akal," katanya sendiri, 'bagaimana suami yang tampaknya sangat dungu
itu masih dapat menunjukkan kekuasaannya dengan mudah?"
Setelah Debray pergi, Danglars mengambil tempat di atas kursi panjang. Ia
menutup buku yang ditinggalkan terbuka lalu dengan sikap acuh tak acuh bermainmain dahulu dengan anjing. Tetapi anjing itu tidak seramah seperti kepada
Debray, bahkan ia mencoba menggigitnya. Danglars mengangkatnya pada tengkuknya
lalu melemparkannya ke kursi yang lain. Anjing yang terperanjat dan ketakutan
itu menciutkan badannya bersembunyi di balik bantal.
"Ada kemajuan sekarang," kata Nyonya Danglars menyindir. "Biasanya engkau hanya
kasar, malam ini sudah meningkat tidak sopan."
"Sebabnya karena perasaan hatiku sedang tidak enak."
Nyonya Danglars menatap suaminya dengan pandangan menghinakan. Biasanya Danglars
yang angkuh itu menjadi lunak apabila ia menerima sorot mata seperti itu, tetapi
sekali ini ia seakan-akan tidak memperhatikannya.
"Apa urusanku dengan perasaanmu itu?" tanya Nyonya Danglars tersinggung oleh
sikap suaminya yang acuh tak acuh. "Bawalah perasaanmu itu ke kamar tidurmu atau
ke kantormu, dan karena engkau mempunyai pegawai-pegawai, muntahkanlah kepada
mereka." "Nasihat buruk yang tidak akan kuturuti," jawab Danglars. "Pegawai-pegawaiku
semuanya orang jujur yang bekerja demi keuntunganku dan yang telah aku bayar di
bawah semestinya dibandingkan dengan keuntungan-keuntungan yang mereka hasilkan
bagiku. Tidak, aku tidak akan melampiaskan amarahku kepada mereka. Aku akan
memuntahkannya kepada mereka yang memakan
makananku, menggunakan kuda-kudaku dan menghancurkan keuntungan-keuntunganku."
"Dan siapakah orang-orang ini" Katakan dengan jelas."
"Engkau telah cukup mengetahuinya, tetapi bila engkau bersikeras menyangkalnya
baiklah aku jelaskan bahwa aku baru saja merugi sebanyak tujuh ratus ribu frank
dalam saham-saham Spanyol."
"Salahkukah kalau engkau merugi tujuh ratus ribu frank?"
"Yang jelas bukan salahku."
"Sekali lagi dan untuk terakhir kalinya," kata Nyonya Danglars dengan keras dan
tajam, "aku minta jangan engkau membicarakan lagi soal keuangan dengan aku,
karena itu adalah bahasa yang tidak pernah dipelajarkan baik oleh orang tuaku
maupun oleh suamiku yang pertama." "Aku yakin mereka tidak mempelajarkannya, karena mereka orang-orang miskin.
Sekalipun demikian aku kira engkau mempunyai perhatian terhadap kegiatan
keuanganku." "Apa yang membuat engkau berpikir begitu?"
"Oh, tidak sukar menjelaskannya. Contohnya, bulan Februari yang lalu engkau
membicarakan tentang saham-saham Haiti. Engkau mengatakan bahwa engkau bermimpi,
ada sebuah kapal yang berlayar menuju Le Harve
membawa berita bahwa pembayaran-pembayaran untuk
saham itu yang diperkirakan orang akan ditangguhkan, akan dibayar segera
sepenuhnya. Aku percaya kepada mimpimu itu. Karena itu secara diam-diam aku
membeli semua saham Haiti yang dapat kuperoleh dan aku
beruntung sebanyak empat ratus ribu frank. Dari
keuntungan itu engkau menerima seratus ribu frank. Apa yang kaulakukan dengan
uang itu, bukan urusan ku.
"Dalam bulan Maret, pemerintah akan menentukan pilihan siapa yang berhak
mengelola sebuah jaringan kereta api. Ada tiga buah perusahaan yang dicalonkan,
ketiganya memberikan jaminan yang sama kepada pemerintah.
Engkau mengatakan kepadaku bahwa nalurimu
memberitahukan hak itu akan diberikan kepada perusahaan yang bernama Societe du
Midi, dan sekalipun engkau mengatakan tidak mempunyai perhatian kepada dunia
usaha, aku mempercayai nalurimu yang memang sudah kuketahui sangat tajam dalam
hal-hal lain. Karena itu aku membeli dua pertiga dari seluruh saham perusahaan
itu. Hak itu diberikan pemerintah sesuai dengan bisikan nalurimu sehingga nilai
sahamnya meningkat menjadi lipat tiga. Aku beruntung sebanyak satu juta, dan
engkau kuberi sebanyak dua ratus ribu lima ratus sebagai komisi.
Bagaimana engkau menggunakan uang itu?"
'Apa pokok soalnya?" kata Nyonya Danglars. Suaranya bergetar karena marah dan
tidak sabar. "Sabar sebentar. Aku hampir selesai. Bulan April engkau makan malam di rumah
kediaman menteri. Di sana diam-diam engkau dapat mendengar pembicaraan rahasia
tentang pengusiran Don Carlos, raja Spanyol. Aku membeli semua saham Spanyol,
dan pengusiran itu terjadi. Aku beruntung lagi enam ratus ribu frank. Engkau
menerima dariku seratus lima puluh ribu yang engkau belanjakan menurut seleramu.
Aku tidak akan meminta pertanggunganjawab tentang penggunaan uang itu, tetapi
yang hendak kukatakan adalah fakta bahwa engkau telah menerima setengah juta
frank dalam tahun ini "Tetapi sekarang, keadaan sudah tidak selancar yang lalu. Tiga hari yang lewat
engkau berbicara soal politik dengan Tuan Debray dan engkau menarik kesimpulan
dari pembicaraan itu bahwa Don Carlos akan kembali ke
Spanyol. Aku menjual semua saham Spanyol. Berita
kembalinya Don Carlos tersebar dan terjadilah kepanikan.
Aku sudah bukan menjualnya lagi, melainkan
membagikannya dengan cuma-cuma. Keesokan harinya
ternyata bahwa berita itu palsu, dan itu menyebabkan aku merugi tujuh ratus ribu
frank." "Oleh karena aku selalu memberimu seperempat bagian dari keuntungan yang
kudapat, sepatutnya engkau pun turut menanggung seperempat dan kerugianku.
Seperempat dari tujuh ratus ribu frank adalah seratus tujuh puluh lima ribu
frank." "Engkau mengigau. Dan aku tidak melihat apa hubungannya Tuan Debray dengan
kejadian ini" "Kalau kebetulan engkau tidak mempunyai lagi uang yang seratus tujuhpuluh lima
ribu itu, engkau dapat memin-jamnya kepada kawan-kawanmu, dan Tuan Debray adalah
salah seorang dari kawan-kawanmu."
"Ini sudah keterlaluan!" teriak Nyonya Danglars marah.
"Jangan kalap, nanti aku terpaksa mengatakan bahwa Tuan Debray berpesta pora di
atas tumpukan setengah juta frank yang engkau berikan kepadanya sambil berpikir
bahwa ia telah berhasil menemukan sesuatu yang tidak akan mungkin ditemukan oleh
seorang penjudi kawakan sekalipun, yaitu sebuah permainan tanpa modal yang tidak
mengenal kalah." "Apa kau berani mengatakan bahwa engkau sendiri tidak mengenal permainan semacam
itu?" "Aku tidak akan mengatakan ya dan juga tidak akan mengatakan tidak. Aku hanya
akan mengatakan: perhatikanlah sikapku selama empat tahun terakhir ini setelah
kita bersikap tidak lagi sebagai suami isteri, dan engkau akan menemukan bahwa
sikapku tidak pernah berubah.
Beberapa saat setelah perpecahan engkau memutuskan belajar musik pada penyanyi
bariton tersohor itu yang telah membuat debutnya di gedung Teater Italia. Dan
aku sendiri, memutuskan belajar dansa pada penari yang telah berhasil
mentenarkan dirinya di London. Untuk itu aku harus membayar seratus ribu frank
untuk kita berdua, tetapi aku tidak berkata apa-apa karena aku berpendapat
keserasian sangat penting dalam suatu rumah tangga, dan seratus ribu itu bukan
jumlah yang terlampau banyak untuk seorang suami dan isterinya untuk belajar
dansa dan ber-nyanyi dengan baik. Segera engkau merasa jemu dengan menyanyi lalu
memutuskan belajar diplomasi kepada Sekertaris Menteri itu. Aku membiarkan
kehendakmu, lagi pula apa peduliku selama engkau membiayai pelajaranmu dengan
uangmu sendiri. Tetapi sekarang aku sadari bahwa engkau sudah mulai menggerogoti
keuanganku dan aku harus membayar kesukaanmu itu tujuh ratus ribu frank sebulan.
Sudah saatnya sekarang aku menghentikannya kecuali kalau diplomat itu mau
memberimu pelajaran secara cuma-cuma. Kalau tidak, tidak akan aku biarkan dia
menginjakkan kakinya lagi di rumah ini. Kau mengerti?"
"Ini sudah keterlaluan!" Nyonya Danglars berteriak sekali lagi. Napasnya
tersendat-sendat karena marah. "Engkau telah melampaui batas kesopanan!"
Danglars mengangkat bahunya. "Orang-orang aneh,"
katanya, "itu perempuan-perempuan yang menganggap, dirinya pintar karena dapat
melangsungkan petualangan-petualangan cintanya tanpa menjadi buah bibir


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masyarakat Paris. Tetapi sekalipun engkau berhasil menyembunyikan dosa-dosa
kecil itu terhadapku - yang sebenarnya bukan sesuatu yang sukar karena pada
umumnya aku tidak mau melihat hal-hal seperti itu - namun sebenarnya engkau
tidak sepandai seperti kawan-kawanmu sendiri. Tidak satu pun kelakuanmu terlepas
dari pengetahuanku selama enam belas tahun ini padahal selama itu engkau merasa
bangga karena mengira berhasil mengelabui aku.. Sebagai akibat dari sikapku yang
pura-pura tidak tahu itu, tidak seorang pun dari kekasih kekasihmu itu, mulai
dari Tuan Debray sampai kepada Tuan de Villefort, yang tidak gemetar bila
berhadapan dengan aku. Aku membiarkan engkau berkelakuan yang menjijikkan,
tetapi aku tidak akan membiarkan engkau membuat aku menjadi cemoohan orang.
Dan di atas segala-galanya aku tidak akan membiarkan engkau menghancurkan
kekayaanku." Sebelum suaminya menyebut nama de Villefort, Nyonya Danglars masih kuat
mempertahankan kepercayaan kepada dirinya sendin tetapi setelah itu, mukanya
menjadi pucat lalu meloncat sambil berteriak, "Tuan de Villefort" Apa maksudmu?"
Dengan pertanyaan itu seakan-akan ia ingin mengorek semua pengetahuan suaminya
tentang rahasianya. "Maksudku, bahwa suamimu yang pertama yang
mungkin sekali merasa tidak akan mampu melawan Jaksa Penuntut Umum, meninggal
karena sedih dan marah ketika mendapatkanmu hamil enam bulan, padahal ia baru
kembali dari bepergian selama sembilan bulan. Mengapa dia mati dan bukannya
membunuh kekasih isterinya"
Karena dia tidak mempunyai kekayaan untuk
diselamatkannya. Lain dengan aku. Aku mempunyai
kekayaan yang harus kupikirkan. Dan Tuan Debray, kawan kita itu, telah membuat
aku merugi sebanyak tujuh ratus ribu frank. Suruh dia mendengar pernyataanku ini
dan membayar bahagian kerugiannya. Dengan demikian kita akan tetap berkawan.
Kalau tidak, enyahlah dia dari sini. Ia seorang muda yang baik, selama beritaberita rahasianya mengandung kebenaran. Bila tidak, sekurang-kurangnya masih ada
lima puluh orang lagi di dunia ini yang lebih berharga daripada dia."
Nyonya Danglars terpukul, dia tidak, dapat berkata apa-apa lagi. Dia terhenyak
ke atas sebuah kursi. Pikirannya melayang kepada Villefort dan kejadian-kejadian
di rumah Monte Cristo dan kepada rangkaian musibah yang datang bertubi-tubi
dalam beberapa hari ini. Danglars tidak mengacuhkannya sekalipun ia melihat.
Tanpa sepatah kata pun, sedangkan isterinya. Sadar dari keadaan setengah
meyakin-yakinkan dirinya bahwa apa yang dialaminya itu hanya mimpi buruk belaka.
BAB XXXVIII KEESOKAN harinya, pada saat Debray biasanya
singgah sebentar di rumah Nyonya Danglars dalam
perjalanannya ke kantor, keretanya tidak muncul. Karena itu Nyonya Danglars
memesan keretanya sendiri, lalu berangkat. Danglars yang bersembunyi di balik
tirai jendela, mengawasi kepergian istrinya suatu hal yang memang sudah
diperkirakannya. Dia memerintahkan pelayan-pelayannya untuk segera diberitahu
apabila istrinya kembali. Tetapi sampai jam dua siang istrinya masih belum
pulang. Pada jam dua Baron Danglars pergi ke gedung Parlemen.
Sepulangnya dari Parlemen ia terus ke Champs Elysee no.
30. "Ada apa, Baron?" tanya Monte Cristo ketika ia menemuinya. 'Tampaknya Tuan dalam
kesukaran, dan ini merisaukan saya. Seorang kapitalis yang risau sama dengan
sebuah bintang berekor. Ia memberikan pertanda akan datangnya suatu malapetaka."
"Saya memang sedang dirundung malang dalam hari-hari ini Tidak ada berita-berita
yang saya dengar kecuali berita buruk. Yang terakhir adalah kebangkrutan di
Trieste." "Apa tuan berbicara tentang Jacopo Manfredi?"
"Tepat sekali! Coba Tuan bayangkan: seorang yang telah bekerja sama dengan saya
untuk entah sudah berapa lama, yang tidak pernah salah, tidak pernah menunggak,
yang membayar kewajibannya sebagai seorang pangeran. Sekarang saya mempunyai
tagihan kepadanya sebanyak satu juta frank. Dan tiba-tiba saja Jacopo Manfredi
menangguhkan pembayarannya! Digabungkan dengan
kejadian di Spanyol, bulan ini merupakan bulan malapetaka bagi saya."
"Apakah Tuan merugi pula di Spanyol?"
"Ya. Tujuh ratus ribu frank .. . Berbicara tentang usaha,"
tambah Danglars yang merasa senang mendapat jalan untuk mengalihkan persoalan,
"barangkah Tuan sudi memberi saran apa yang harus saya lakukan untuk Tuan
Cavalcantl" "Berilah dia kredit apabila Tuan mempercayainya."
"Saya kira dia dapat dipercaya. Dia telah menemui saya tadi pagi dan saya
memberinya kredit lima ribu frank setiap bulan untuk putranya."
"Enam puluh ribu frank setahun!" kata Monte Cristo.
"Apa yang dia kehendaki dari anak muda dengan uang belanja sebanyak itu?"
'Kalau anak itu memerlukan lagi beberapa ribu sebagai tambahan..."
"Jangan Tuan berikan. Ayahnya tidak akan menyetujuinya. Mungkin Tuan belum
mengetahui bagaimana sifat jutawan-jutawan Italia. Mereka semua pelit."
"Maksudnya,Tuan tidak mempercayai Tuan
Cavalcanti?" "Tentu saja saya mempercayainya! Dengan senang hati saya akan bersedia
meminjamkan sepuluh juta kepadanya.
Kekayaannya tidak perlu diragukan."
"Betulkah orang-orang Italia yang kaya itu selalu menikah dengan kalangannya
sendiri saja?" Danglars bertanya tanpa ragu. "Saya kira dengan maksud
menggabungkan kekayaannya."
"Memang benar demikian. Tetapi Cavalcanti seorang yang eksentrik. Ia tidak mau
melakukan apa yang dilakukan orang lain. Saya yakin ia membawa putranya ke sini
supaya dapat memperistri seorang wanita Paris."
"Begitu?" "Saya yakin." "Apakah Tuan mengetahui tentang kekayaannya?"
"Boleh dikatakan saya tidak mengenalnya. Vang saya ketahui hanyalah apa yang dia
katakan sendiri dan apa yang dikatakan Padri Busoni kepada saya. Baru tadi pagi
Padri Busoni memberitahukan bahwa Cavalcanti sudah merasa jemu melihat
kekayaannya mati tertanam di Italia, dan dia ingin mendapatkan suatu jalan untuk
menanamnya di Perancis atau Inggris. Apabila putranya memkah, mungkin sekali ia
akan memberinya dua sampai tiga juta frank. Seandainya putranya itu menikah
dengan putri seorang bankir, umpamanya, ia berharap boleh menanam modalnya dalam
perusahaan besannya."
"Mungkin saja, tetapi tentu dia ingin mendapatkan seorang putri ningrat sebagai
menantu." "Tidak perlu. Bangsawan bangsawan Italia sering sekali menikah dengan keturunan
orang biasa. Tetapi apa sebab Tuan mempunyai perhatian kepada soal ini" Apakah
Tuan mempunyai calon untuk Andrea?"
"Terus terang," kata Danglars, "saya ini seorang speku-lator, dan saya rasa
menawarkan calon istri bagi Andrea bukanlah suatu spekulasi yang buruk."
"Tuan tentu tidak berpikir menawarkan putri Tuan sendiri, bukan" Lagipula
bukankah dia sudah dipertunangkan dengan Albert de Morcerf?"
"Bahwa saya dengan Tuan de Morcerf telah berkali kali memperbincangkan
perkawinan mereka, itu benar, tetapi Nyonya de Morcerf dan Albert.."
"Apakah Tuan bermaksud mengatakan bahwa mereka tidak sebanding" Mungkin sekali
Albert tidak sekaya putri Tuan, tetapi Tuan tidak akan dapat menyangkal bahwa ia
mempunyai nama yang terhormat."
"Itu tidak saya sangsikan, tetapi saya lebih menyukai nama sendiri," jawab
Danglars. "Saya tidak dilahirkan sebagai seorang baron, namun setidak-tidaknya
Danglars adalah nama saya yang asli"
"Rupanya Tuan mau mengatakan bahwa nama asli Count de Morcerf bukan Morcerf?"
"Begitulah. Saya diangkat menjadi baron, dengan demikian saya benar-benar
seorang baron. Tetapi dia mengangkat dirinya sendiri menjadi count, dengan
demikian dia bukan count yang sebenarnya."
"Tak mungkin" "Begini, Count," sambung Danglars. "Saya mengenal Tuan Morcerf sejak tiga puluh
tahun yang lalu. Seperti tuan ketahui, saya tidak merahasiakan asal-usul saya.
Ketika saya masih seorang pegawai yang sederhana, Morcerf pun seorang nelayan
yang sederhana." "Siapa namanya ketika itu?"
"Fernand Mondego."
"Yakinkah Tuan?"
"Dia sering menjual ikan tangkapannya kepada saya sehingga saya mengenalnya
dengan betul." "Kalau begitu mengapa Tuan hendak mengawinkan putri Tuan dengan anaknya?"
"Oleh karena Fernand dan Danglars keduanya berasal dari keluarga sederhana,
keduanya berhasil meraih gelar bangsawan dan keduanya telah menjadi kaya. Oleh
sebab itu yang satu sama baiknya dengan yang lain, kecuali tentang cerita orang
mengenai dia, yang tidak dapat diterapkan kepada saya."
"Apa maksud Tuan?"
"Tidak apa-apa."
"Sebentar, saya faham sekarang. Apa yang baru saja Tuan katakan menyegarkan
kembali ingatan saya. Saya mendengar nama Fernand Mondego di Yunani."
"Dalam hubungan dengan peristiwa Ali Pasha?"
"Tepat sekali,"
"Itulah rahasianya yang terbesar," kata Danglars, "dan saya akui bahwa saya
bersedia mengeluarkan berapa pun biaya untuk mengetahui rahasia itu."
"Sebenarnya tidak akan sukar Tuan bila Tuan benar-benar ingin mengetahuinya.
Bukankah Tuan mempunyai relasi di Yunani?"
'Tentu saja." "Di Yanina?" "Saya mempunyai relasi di mana-mana."
"Baiklah. Mengapa tidak menyurati relasi Tuan di Yanina, menanyakan peranan apa
yang dimainkan seorang Perancis yang bernama Fernand Mondego dalam peristiwa Ali
Pasha itu?" "Tuan benar sekali!" kata Danglars gembira. Lalu dia berdiri. "Saya akan
menyuratinya hari ini juga!"
"Dan apabila Tuan mendengar bagian berita yang bersifat skandal..."
"Saya akan menceriterakannya kepada Tuan."
Danglars bergegas keluar dari rumah Monte Cristo
menuju keretanya. BAB XXXIX RUANG tamu kantor de Villefort penuh. Tetapi Nyonya Danglars tidak perlu
memperkenalkan diri oleh karena begitu dia masuk seorang pegawai datang
menjemputnya dan menanyakan apakah benar dia nyonya yang sudah membuat janji
dengan Tuan de Villefort Pegawai itu mengantarkan Nyonya Danglars masuk melalui
pintu pribadi. Villefort sedang menulis dengan membelakangi pintu.
Dia tidak menoleh ketika Nyonya Danglars masuk. Tetapi setelah didengarnya
pegawai itu menjauh, dia segera berdiri, lalu mengunci pintu dan menutup tirai
jendela. Setelah dia yakin tidak mungkin dilihat atau didengar orang, dia menghadap
kepada Nyonya Danglars dan
berkata, 'Telah lama sekali kita tidak pernah berbicara lagi berdua dan aku
merasa menyesal sekali bahwa kita
sekarang harus bertemu untuk membicarakan sesuatu yang tidak menyenangkan."
"Saya harap engkau dapat memahami perasaanku," kata Nyonya Danglars. "Dalam
ruangan ini telah banyak sekali penjahat yang gemetar seluruh tubuhnya karena
takut atau malu. Dan karena sekarang seluruh tubuhku gemetar dan merasa malu,
aku tidak dapat menahan perasaan bahwa aku pun seorang penjahat dan engkau jaksa
yang akan mengancam dengan hukuman. Tetapi, aku rasa engkau pun akan setuju
bahwa bila benar-benar aku berdosa, maka sebenarnya aku telah dihukum setimpal
tadi malam." "Hampir lebih dari setimpal dibanding dengan daya tahanmu," kata Villefort
sambil memegang tangannya.
"Walau demikian, aku harus mengatakan bahwa kita belum sampai kepada akhir
persoalan. Bagaimana mungkin
kejadian masa lalu yang mengerikan itu tiba-tiba hidup kembali" Bagaimana dia
muncul kembali bagaikan hantu yang keluar dari dalam kubur, dari dalam
persembunyiannya dalam hati kita?"
"Karena kebetulan, aku kira."
"Kebetulan" Tidak, tidak. Bukan kebetulan."
"Bukankah suatu hal yang kebetulan kalau Count Monte Cristo membeli rumah itu"
Bukankah kebetulan kalau pekerja pekerjanya menemukan bayi tak berdosa itu
terkubur di bawah semak-semak?"
"Para pekerja itu tidak menemukan apa-apa," kata Villefort dengan suram.
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, bahwa Count of Monte Cristo tidak menemukan kerangka bayi dalam
kebunnya karena tidak ada bayi yang dikuburkan di sana."
"Kalau begitu di mana engkau menguburnya" Dan apa sebabnya aku tidak
diberitahu?" "Dengarkan dahulu " kata Villefort, "engkau pasti akan merasa iba kepadaku
karena aku telah menanggung beban dukacita selama dua puluh tahun tanpa
membaginya sedikit pun kepadamu. Engkau tentu masih ingat bagaimana bayi itu
diserahkan kepadaku segera setelah dilahirkan dan bagaimana kita menyangka dia
telah mati." Nyonya Danglars meloncat seakan-akan hendak berdiri.
Tetapi Villefort menahannya dengan isyarat agar dia mau memperhatikan apa yang
hendak dikatakan selanjutnya.
"Kita mengira dia telah mati," katanya mengulangi. "Aku memasukkan ke dalam
sebuah peti, lalu menggali sebuah lubang di dalam kebun dan mengubur peti itu di
dalamnya. Belum lagi aku selesai menimbuninya, orang Corsica itu tiba-tiba menyerangku.
Aku merasakan sebuah tikaman, aku mencoba berteriak tetapi tak berdaya, lalu
jatuh tersungkur, menyangka ajalku telah dekat. Aku tidak akan dapat melupakan
keberanianmu ketika aku dengan terseok-seok berjalan sampai ke kaki tangga dan
engkau - sekalipun dengan penderitaanmu sendiri karena habis melahirkan masih kuat turun ke bawah lalu menolongku. Aku bergulat melawan maut selama tiga
bulan, lalu dokter menasihati agar aku pergi ke Selatan untuk penyembuhan, yang
berlangsung selama enam bulan. Ketika kembali ke Paris aku mendengar engkau
telah menikah dengan Tuan Danglars.
Dan aku pun mendengar bahwa rumah di Auteuil tidak dihuni lagi sejak kita
meninggalkannya. Pada suatu hari aku pergi ke sana pada jam lima sore, masuk ke
kamar tidur menunggu malam tiba.
"Semua pikiran yang menghantuiku selama tetirah ketika itu terasa lebih
mengancam lagi. Rupanya orang Corsica yang menikam aku itu melihat aku mengubur
sesuatu. Seandainya dia mengetahui siapa engkau, mungkin dia akan memerasmu. Mungkin juga
ia akan membunuhmu kalau mengetahui bahwa dia tidak berhasil membunuhku"
Oleh sebab itu aku harus menghilangkan semua jejak. Aku menunggu sampai gelap.
Aku menganggap diriku cukup pemberani, tetapi ketika aku membuka pintu dan
melihat cahaya bulan menyinari tangga, rasanya aku melihat hantu.
Aku hampir saja berteriak ketakutan dan merasa akan menjadi gila. Akhirnya aku
berhasil juga menguasai diri, lalu menuruni anak tangga. Satu-satunya yang tidak
berhasil aku kuasai adalah gemetarnya lutut. Pada setiap langkah aku memegang
sandaran tangga erat-erat. Seandainya tidak, pasti aku terjatuh.
"Di kebun itu aku mengambil sekop dan lentera yang aku tinggalkan dahulu di
sana. Aku mulai menggali. Sekalipun telah menggali dua kali lebih besar dan dua
kali lebih dalam daripada lubang yang aku gali dahulu, namun aku tidak dapat
menemukan apa-apa. Mungkin aku menggali di
tempat yang salah. Aku mengingat-ingat kembali semua tanda. Aku yakin tidak
keliru. Lalu aku menggali lagi lebih dalam dan lebar. Tidak ada apa-apa. Peti
kayu itu tidak ada di sana!"
"Tidak ada?" tanya Nyonya Danglars dengan suara tertahan.
"Jangan mengira aku berhenti sampai di sana," kata Villefort melanjutkan. "Aku
membayangkan orang Corsica itu mengambil peti itu karena mengira berisi harta,
dan lalu setelah melihat isinya, dia menggali lubang lain dan menguburkannya
kembali Seluruh kebun aku teliti, tetapi tidak menemukan apa-apa. Aku mencoba
berpikir, apa sebab orang itu mengambil mayat itu?"
"Sudah engkau katakan tadi," sela Nyonya Danglars,
"supaya dia mempunyai bukti tentang rahasia kita."
"Tidak, bukan itu. Tidak mungkin dia menyimpan mayat itu selama setahun. Dia


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus segera menunjukkan mayat itu kepada pengadilan dan membuat pernyataan.
Tetapi itu. tidak dilakukannya. Berarti ada kemungkinan lain yang lebih mengerikan: anak itu
masih hidup dan orang Corsica itulah yang merawatnya."
Nyonya Danglars terpekik sambil memegang tangan de Villefort. "Anakku masih
hidup! Engkau mengubur anakku hidup-hidup! Engkau tidak yakin ketika itu bahwa
dia telah mati, tetapi engkau menguburkannya juga!" Nyonya Danglars berdiri di
hadapan de Villefort dengan mata mengancam
Villefort berniat hendak mencegah meledaknya badai perasaan seorang ibu, ia
harus mengganjalnya dengan perasaan takut. Dan ketakutannya sendirilah yang
hendak di-pindahkannya kepada Nyonya Danglars. "Bila anak itu benar masih hidup
dan orang mengetahuinya, kita celaka,"
katanya dengan suara perlahan-lahan. "Dan karena Count of Monte Cristo
menceriterakan telah menemukan kerangka bayi di tempat yang sebenarnya tidak ada
bayi terkubur, berarti dia mengetahui rahasia kita! Itulah sebabnya aku meminta
engkau datang ke mari. Aku ingin memperingatkan engkau. Katakanlah," katanya
lagi sambil memandang tamunya dengan pandangan yang lebih mantap dibandingkan
dengan tadi "engkau tidak pernah menceriterakan hubungan kita kepada siapa pun
juga, bukan?" 'Tidak pernah!" "Apakah engkau mempunyai buku harian?"
"Tidak." "Barangkali engkau suka mengigau dalam tidur"."
"Tidak, aku selalu tidur bagaikan seorang anak. Masa engkau lupa?"
Nyonya Danglars merah mukanya, Villefort pun tersipu-sipu. "Aku ingat," katanya,
"hampir-hampir aku tidak mendengar engkau bernapas."
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Nyonya Danglars.
"Aku tahu apa yang harus kulakukan," jawab Villefort.
"Dalam tempo satu minggu aku akan sudah mengetahui siapa sebenarnya Tuan Monte
Cristo itu, dari mana dia berasal, dan mengapa dia berceritera tentang bayi-bayi
yang dikubur dalam kebun,"
Villefort menjabat tangan nyonya Danglars yang diulur-kan dengan sedikit enggan,
lalu mengantarkannya dengan hormat sampai ke pintu.
BAB XL PADA hari itu juga Albert de Morcerf mengunjungi
Count of Monte Cristo. Monte Cristo menerimanya dengan senyuman yang khas.
"Saya bani kembali dari Treport kurang dari sejam yang lalu." kata Albert, "dan
orang yang pertama kali saya kunjungi adalah Tuan,"
"Menyenangkan sekali mendengar itu."
"Ada berita buat saya?"
"Ya, Tuan Danglars hadir dalam undangan makan malam tempo hari itu."
"Saya telah memperkirakannya. Bukankah kepergian ibu dan saya ke Treport justru
untuk menghindari kehadirannya?"
"Ia juga bertemu dengan Tuan Andrea Cavalcanti."
"Pangeran dari Italia itu?"
"Jangan dilebih-lebihkan, la sendiri mengaku dirinya hanya seorang viscount. Dia
datang bersama ayahnya, yang lainnya adalah Tuan dan Nyonya Danglars, Tuan dan
Nyonya de Villefort, Tuan Debray, Maximilien Morrel dan oh ya, Tuan de ChateauRenaud." "Apakah mereka memperbincangkan saya?"
"Tak sepatah pun."
"Sayang sekali"
"Mengapa" Saya mengira Tuan justru ingin agar mereka melupakan Tuan."
"Benar, tetapi bila mereka tidak memperbincangkan saya, mungkin mereka masih
memikirkan tentang saya selama itu. Dan itulah yang tidak menyenangkan."
"Apa kerugian Tuan selama Nona Eugenie Danglars tidak berada bersama mereka
memikirkan Tuan" Meskipun mungkin ia memikirkannya di rumah"
"Saya yakin ia tidak melakukannya, atau setidak-tidaknya, seandainya ia
memikirkan saya, sama pula dengan pikiran saya terhadapnya."
"Cinta kasih yang mengharukan sekali! Sampai demikian itu kah kalian saling
membenci?" "Begini, Tuan." kata Albert, "Nona Danglars mungkin sekali dapat menjadi gundik
yang baik, tetapi sebagai istri..."
"Begitulah rupanya Tuan berpikir tentang calon istri Tuan," kata Monte Cristo
sambil tertawa lebar. "Memang barangkali terlalu kasar ungkapan saya itu, namun itulah pendapat saya.
Saya tidak dapat membayangkan bagaimana harus hidup bersamanya, mendengarkan dia
menyanyi, menggubah lagu dan puisi seumur hidup. Seorang gundik dapat saja kita
tinggalkan kapan kita mau, tetapi seorang istri lain lain soalnya! Kita harus
hidup seumur hidup bersamanya. Dan kalau saya membayangkan harus hidup seumur
hidup dengan dia, selalu saja saya mengalami mimpi buruk."
"Jangan terlalu khawatir harus menikah dengan Nona Danglars," kata Monte Cristo.
"Biarkan saja persoalan itu berlalu dengan sendirinya. Kalau Tuan mundur, Tuan
bukanlah orang pertama yang menarik kembali ucapannya.
Sungguhkah Tuan mau membatalkan pertunangan itu?"
"Saya berani membayar seratus ribu frank untuk mem-batalkannya."
"Dalam hal ini, Tuan harus bergembira karena Tuan Danglars bersedia membayar dua
kali lipat untuk maksud itu."
"Kalau itu benar, ini merupakan kebahagiaan yang tak ternilai!" kata Albert
gembira. Namun demikian ia tidak dapat menahan diri bertanya, "Tetapi apakah
alasan Tuan Danglars?"
"Ah, hanya tabiat kemanusiaan belaka! Ada seorang yang sudah siap menghantam
kehormatan orang lain dengan sebuah kapak, tetapi dia berteriak kesakitan apabila kehormatannya
sendiri tertusuk sebuah jarum."
"Sekalipun demikian, menurut pendapat saya Tuan Danglars..
"Harus merasa puas bermenantukan Tuan, bukan"
Tetapi ia seorang yang mempunyai selera buruk sehingga dapat puas dengan yang
lain." "Siapa calon dia?"
"Tidak tahu, tetapi sebaiknya Tuan membuka mata dan telinga lebar-lebar, mungkin
Tuan akan mengetahuinya sendiri."
BAB XLI NYONYA de Villefort dan Valentine pergi ke sebuah pesta dansa berdua setelah
gagal meminta suaminya menemaninya. Setelah mereka berangkat Jaksa Penuntut Umum
itu mengunci diri di kamar kerjanya sesuai dengan kebiasaannya pada malam hari.
Dia duduk menghadapi setumpuk pekerjaan yang mungkin akan mengejutkan
orang lain, tetapi yang dalam keadaan normal masih kurang cukup banyak untuk
memuaskan gairah kerjanya.
Sekali ini tumpukan kertas itu hanya merupakan dalih saja karena dia tidak
bermaksud bekerja, melainkan untuk merenungi masalah yang dihadapinya. Setelah
dia mengunci pintu dan berpesan untuk tidak diganggu kecuali oleh hal hal yang
sangat penting, ia duduk di kursinya dan mulai merenungi kembali semua kejadian
yang menimpanya dalam hari-hari terakhir ini, yang
membawanya kepada masa lalu yang suram dan pahit
Ketika ia sedang mengumpulkan kembali kepercayaan pada dirinya sendiri, ia
mendengar suara kereta berjalan di pekarangan. Lalu dia mendengar suara langkah
orang di tangga dibarengi dengan isak dan ratap tangis. Dia membuka pintu dan
sesaat kemudian seorang wanita tua masuk tanpa memberitahukan lebih dahulu.
Matanya bengkak karena menangis. "Mengerikan sekali!" katanya. "Aku pun akan
mati! Ya, aku akan mati." Wanita itu terduduk di atas sebuah kursi yang terdekat
pintu lalu menangis sejadi-jadinya. Villefort menghampiri bekas mertuanya, sebab
wanita itu tiada lain dari Nyonya de Saint-Meran, ibu dari istrinya yang
pertama. "Ada apa, Nyonya?" tanyanya. "Di mana Tuan de Saint-Meran?"
"Tuan de Saint-Meran telah meninggal."
"Meninggal" Begitu ... mendadak?" Villefort keheranan.
"Ya . . . terserang penyakit ayan yang sangat mendadak.
Saya sudah tidak dapat mengeluarkan air mata lagi. Rupanya dalam usia setua ini,
sudah tidak ada lagi air mata tersisa, padahal apabila orang sedang tertimpa
kesedihan ia perlu menangis... Di mana Valentine" Aku ingin bicara."
Villefort berpikir tidak baik kalau dia katakan bahwa Valentine sedang pergi ke
pesta dansa. Dengan sederhana ia katakan bahwa Valentine sedang bepergian dengan
ibu cirinya dan akan segera menyuruh orang untuk
menjemputnya. "Cepat. Secepat mungkin!" kata wanita tua itu.
Villefort membimbing nyonya tua itu ke ruang duduk.
"Nyonya harus beristirahat" katanya. Laki, ketika bekas mertuanya bertekuk lutut
dan berdo'a dari lubuk hatinya, ia pergi menyuruh pelayannya menjemput istri dan
anaknya. Valentine menjumpai neneknya sudah di kamar tidur.
Belaian tangan, hati yang pedih, suara yang tertahan di tenggorokan dan air mata
yang hangat sajalah yang dapat mengiringi kedatangan Valentine itu. Neneknya,
karena kesedihan yang sangat mendalam sudah tak sadarkan diri.
Sebuah gelas dan tempat air jeruk yang menjadi
kesukaannya diletakkan di atas sebuah meja kecil di samping ranjangnya.
Dia masih terbaring ketika Valentine mengunjunginya keesokan harinya. Demamnya
masih belum mereda. Bahkan ia dicekam oleh kegelisahan yang sangat.
"Nenek, tampaknya keadaan nenek semakin buruk."
"Tidak, aku hanya tidak sabar menunggu kedatanganmu sebelum aku memanggil
ayahmu. Aku ingin berbicara dengan dia,"
Valentine tidak berani membantah keinginan neneknya.
Villefort masuk selang tidak berapa lama.
"Tuan merencanakan menikahkan Valentine kepada Tuan Franz d'Epinay, bukan?"
tanya Nyonya de Saint-Meran kepadanya tanpa pendahuluan, seakan-akan ia tahu
akan kehabisan waktu. "Benar, Nyonya," jawab Villefort.
"Dia adalah putra Jendral d'Epinay yang mati terbunuh beberapa hari sebelum
Napoleon masuk kembali dari Elba."
"Benar." "Apakah dia tidak berkeberatan menikah dengan cucu seorang penganut Napoleon?"
"Untung sekali perselisihan antara kita sekarang telah padam. Tuan Franz
d'Epinay masih kecil ketika ayahnya meninggal. Dia tidak mengenal Tuan Noirtier
dan ia akan berkenalan dengan beliau, kalaupun tidak dengan perasaan gembira,
sekurang-kurangnya dengan sikap masa bodoh."
"Apakah mereka cocok satu sama lain?"
"Dalam segala hal. Tuan d'Epinay seorang anak muda yang terpandang."
Valentine tidak mencampuri percakapan mereka.
"Baiklah," kata Nyonya de Samt Meran setelah merenung beberapa saat. "Sebaiknya
dilaksanakan secepat-cepatnya karena saya merasa tidak akan hidup lama lagi."
"Oh, Nenek!" Valentine tiba-tiba berteriak.
"Aku tahu apa yang aku katakan," kata wanita tua itu dengan tenang. "Tuan harus
segera melaksanakannya karena Valentine sudah tidak mempunyai ibu lagi. Sekarang
sekurang-kurangnya ia masih mempunyai nenek untuk merestui pernikahannya."
"Akan segera dilaksanakan sesuai dengan keinginan Nyonya," kata Villefort,
"terutama sekali karena keinginan Nyonya itu sejalan benar dengan niat saya.
Segera setelah Tuan d'Epinay kembali ke Paris..,.?"
"Tetapi," Valentine menyela, "bukankah kita masih dalam berkabung! Apakah nenek
menghendaki perkawinan dalam keadaan seperti sekarang?"
"Janganlah kita terlalu memperturutkan kebiasaan yang selalu menghambat si lemah
membangun masa depannya yang kokoh!" jawab perempuan tua itu dengan penuh
semangat. "Aku sendiri kawin segera setelah kematan ibuku, dan aku tidak pernah
merasa tidak berbahagia karena itu."
"Nyonya masih saja dipengaruhi oleh bayangan kematian," kata Villefort
"Sudah saya katakan, saya akan segera mati. Sekalipun Tuan tidak akan percaya,
tetapi tadi malam, tepat di tempat Tuan sekarang berdiri benar-benar saya
melihat sesosok tubuh putih datang menghampiri dari pintu yang menghubungkan
kamar ini dengan kamar hias istri Tuan."
Valentine tidak dapat menahan jeritnya.
"Mungkin Nyonya hanya terganggu demam saja," kata Villefort.
"Silakan meragukannya, kalau mau," kata nyonya itu,
"tetapi saya yakin. Saya melihat sosok putih itu mendekat.
Bukan hanya melihat tetapi juga mendengar dia memindahkan gelas. Gelas itu, yang
di atas meja itu. Itulah arwah suamiku datang menjemput"
"Janganlah Nyonya terlalu memikirkan hal-hal yang buruk," kata Villefort "Nyonya
masih akan hidup lama, bahagia, dicintai dan dihormati dan kami akan berusaha
membantu Nyonya melupakan segala kesedihan."
"Tidak! Tidak! Tidak! Sekarang sebaiknya tolong panggilkan notaris untuk
mengukuhkan agar semua kekayaanku jatuh ke tangan Valentine, setelah aku mati."
"Nenek!" teriak Valentine lagi, lalu menekankan kedua bibirnya ke dahi neneknya.
"Rupanya Nenek menghendaki saya pun mati karena kesedihan. Nenek hanya demam.
Bukan notaris yang kita perlukan sekarang, melainkan seorang dokter."
"Dokter?" jawab wanita itu sambil menggerakkan kedua bahunya. "Aku tidak sakit,
hanya haus. Hanya itu."
"Mau minum apa?"
"Air jeruk, engkau tahu itu. Gelasnya di atas meja itu, tolong."
Valentine mengambil gelas itu dengan sedikit ragu, karena gelas itulah menurut
ceritera neneknya yang dipindahkan oleh hantu malam tadi.
Nyonya de Saint-Meran meneguknya sekali habis. Lalu, setelah merebahkan lagi
kepalanya di atas bantal, ia mengulang lagi, "Notaris! Notaris!"
Villefort meninggalkan ruangan dan Valentine duduk di sebelah ranjang neneknya.
Dua jam telah berlalu, selama itu nyonya tua itu jatuh tertidur dengan pulas.
Seorang pelayan datang memberitahukan bahwa dokter telah menunggu di luar.
Valentine segera berlari ke luar. Dokter d'Avrigny adalah sahabat keluarga dan
salah seorang dokter terpandai di Paris. Dia sangat menyukai Valentine yang ia
bantu lahir ke dunia. "Dokter!" kata Valentine, "kami sudah tidak sabar menunggu. Nenek... Tuan telah
mendengar musibah itu?"
"Tidak." "Ah," kata Valentine sambil menahan desakan tangisnya,
"kakek meninggal"
"Tuan de Saint-Meran?"
"Ya. Beliau meninggal karena serangan kelumpuhan yang mendadak. Nenek sangat
terpengaruh oleh khayalan bahwa kakek telah datang untuk menjemputnya."
"Bagaimana gejala-gejalanya?"
"Beliau selalu gelisah dan tidurnya pun resah. Katanya tadi malam beliau melihat
hantu datang ke kamarnya, bahkan beliau dapat mendengarnya ketika hantu itu
mengangkat gelas." "Nenekmu bukan orang yang biasa melihat bayangan,"
kata Dokter d'Avrigny. "Sangat mengherankan."
"Tolong segera, Dokter."
"Kau turut?" "Saya takut, karena beliau melarang saya memanggil Dokter. Dan saya pun bingung.
Saya rasa lebih baik saya berjalan-jalan di kebun untuk menenangkan diri."
Tak sukar mengira bagian mana dari kebun itu yang dia tuju. Setelah memetik
sebuah bunga mawar dan menye-matkannya di rambut ia berjalan sepanjang jalan
yang teduh menuju pintu gerbang yang berkisi-kisL Selagi berjalan dia mendengar
namanya dipanggil orang. Dia berhenti, terkejut. Suara Maximilien
Seakan-akan didorong naluri seorang kekasih dan seorang ibu, Maximilien mencium
ada sesuatu yang tidak beres di rumah Villefort Saat itu bukan waktunya ia
datang ke tempat itu, jadi hanya kebetulan belaka kalau Valentine datang ke
sana. "Engkau di sini, pada jam begini?" tanya Valentine terperanjat.
"Ya, Aku datang untuk menyampaikan sebuah berita buruk dan ingin bertanya kalaukalau engkau mempunyai berita bagiku."
"Katakanlah, Maximilien. Hatiku sudah sangat parah untuk dapat disentuh lagi
oleh kesedihan yang lain."
"Valentineku yang manis," kata Maximilien, mencoba menguasai perasaannya agar
dapat berbicara dengan terang dan jelas, "dengarkan baik-baik karena apa yang
hendak kukatakan sangat penting. Apakah orang tuamu telah menentukan tanggal
perkawinanmu?" "Aku tidak akan menyembunyikan apa pun kepadamu, Maximilien. Tadi pagi, nenek
yang aku perhitungkan akan memihak padaku, menghendaki agar pernikahan segera
dilaksanakan begitu Tuan d'Epinay kembali ke Paris."
Sebuah keluhan Sedih terlontar dari dada anak muda itu.
"Berarti besok" katanya, "karena Tuan d'Epinay telah datang tadi pagi. Sekarang
telah datang saatnya engkau memberikan sebuah jawaban yang akan menentukan hidup


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau matiku! Apa rencanamu?"
Valentine menundukkan kepalanya, dadanya penuh
dengan segala macam perasaan,
"Sekarang bukan saatnya kita membiarkan diri diha-nyutkan oleh kekecewaan yang
tidak berguna," lanjut Maximilien. "Banyak orang yang bersedia menderita dan
menelan air matanya dengan ringan hati dan
mengharapkan Tuhan menghiburnya di surga nanti. Tetapi mereka yang berkemauan
keras berjuang membalas pukulan takdir itu. Apakah engkau mempunyai rencana
untuk menolak takdir itu, Valentine" Itulah yang hendak kutanyakan."
Valentine tampak bingung. Ia memandang kekasihnya dengan mata penuh ketakutan.
Tak pernah timbul dalam benaknya niat untuk menolak keinginan ayah dan neneknya.
"Apa yang kaukatakan tadi, Maximilien?" tanyanya kemudian. "Apakah betul engkau
meminta aku melawan ayahku, melawan kehendak nenekku yang sedang berada di
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 7 Pendekar Rajawali Sakti 158 Pasukan Alis Kuning Pedang Sakti Tongkat Mustika 7

Cari Blog Ini