The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas Bagian 5
sedang hamil tua. Tak lama kemudian pintu kecil itu terbuka dan seorang lakilaki masuk. Wanita itu berlari menjemputnya. Mereka berpelukan dengan mesranya
lalu bergandengan masuk ke dalam rumah. Laki-laki itu Tuan de Villefort. Segera
terpikir oleh saya bahwa kalau nanti ia pulang, mungkin sekali ia akan melalui
kebun lagi sendirian."
"Berhasilkah engkau mengetahui nama wanita itu?"
"Tidak, Tuan. Nanti Tuan akan dapat memahami bahwa saya tidak sempat
menyelidikinya." "Teruskan." "Sebenarnya saya dapat membunuhnya pada malam itu, tetapi saya belum mengenal
betul keadaan kebun itu sehingga takut tidak akan dapat melarikan diri
seandainya dia sempat berteriak meminta tolong.
Tiga hari kemudian, kira-kira jam tujuh malam, saya melihat seorang pelayan
meninggalkan rumah itu cepat-cepat dengan naik kuda. Dia kembali tiga jam
kemudian, badannya penuh debu. Sepuluh menit setelah itu, seorang laki-laki lain
membuka pintu kebun lalu masuk ke dalam.
Saya tidak melihat wajahnya, tetapi saya yakin orang itu Villefort karena
jantung saya berdetak keras seakan-akan memberitahukannya. Saya mencabut pisau
dan masuk kebun dengan menaiki benteng. Lalu saya bersembunyi di balik semak-semak yang
saya perhitungkan akan dilalui Villefort pada waktu dia pulang.
Sesudah menunggu dua jam baru Villefort keluar. Saya melihat dia membawa sesuatu
yang pada mulanya saya sangka sebuah senjata atau semacamnya. Nyatanya hanya
sebuah singkup; dia berhenti dekat semak-semak tempat saya bersembunyi dan mulai
membuat lubang di tanah. Ia melepaskan jasnya dan sesuatu yang dibawa di balik
jas itu untuk memberikan keleluasaan bergerak. Kebencian saya bercampur dengan
keinginan tahu. Sebab itu Saya
menunggu dan melihat apa yang hendak dilakukannya.
Beberapa saat kemudian dia mengambil sebuah peti ber-ukuran sedang dari bawah
jasnya tadi, lalu menguburnya.
Sehabis itu saya menyergapnya, menikamkan pisau pada dadanya sambil berteriak,
'Giovani Bertuccio, Kematianmu buat kakakku dan hartamu buat istrinya!
Pembalasanku ternyata lebih sempurna daripada yang aku perkirakan.
Saya tidak tahu, apakah ia mendengar kata-kata saya itu atau tidak. Saya kira
tidak, karena ia langsung rebah tanpa berkutik. Saya menggali kembali lubang itu
kemudian lari membawa peti melalui pintu kebun."
"Banyakkah isi peti itu?" tanya Monte Cristo.
"Ternyata isinya bukan uang, Yang Mulia. Saya berlari sampai di sebuah sungai.
Di tepinya saya membuka peti.
Yang saya dapatkan seorang bayi yang baru dilahirkan.
Mukanya yang kebiru-biruan menunjukkan ia hampir mati seperti tercekik, tetapi
saya masih dapat merasakan denyut jantungnya yang sudah lemah sekali. Saya
menghembuskan udara ke dalam paru-parunya lewat mulutnya dan seperempat jam
kemudian dia menangis. Saya sendiri pun
menangis, tetapi karena gembira 'Tuhan tidak mengutuk saya katakan kepada diri
sendiri, "buktinya Dia memperkenankan saya memberikan hidup kepada seorang
manusia sebagai pengganti hidup yang saya renggut dari manusia lain.'
Dari kain halus yang membungkus badannya, jelas bahwa orangtuanya termasuk
golongan kaya. Pada kain itu tersulam dua buah huruf. Saya menyobeknya menjadi
dua bagian demikian, rupa sehingga pada tiap bagian terdapat satu huruf. Satu
bagian saya ambil. Kemudian saya meletakkan bayi itu di muka pintu sebuah rumah
yatim-piatu, membunyikan lonceng pintunya lalu lari secepat dapat. Dua minggu
kemudian saya sudah kembali di Rogliano, desa kami di Corsica. Kalimat pertama
yang saya katakan kepada Assunta adalah, 'Semoga terhiburlah engkau, Israel
telah mati, tetapi saya telah membalas kematiannya.' Lalu saya ceritakan segala
yang telah terjadi. 'Giovani,' kata Assunta, 'sebaiknya kauambil kembali bayi itu. Kita harus
menjadi orangtuanya dan kita akan menamakan dia Benedetto sebagai peringatan
terhadap karunia yang diberikan Tuhan kepada kita.'
Satu-satunya jawaban saya kepada permintaannya ini, menyerahkan potongan kain
pembalut kepadanya yang sengaja saya bawa dengan maksud sebagai bukti untuk
meminta kembali bayi itu nanti apabila kami sudah cukup kaya,"
"Huruf-huruf apa yang tersulam pada kain itu?" tanya Monte Cristo.
"Huruf H dan N yang masing-masing di atasnya dibubuhi mahkota kebangsawanan."
"Aku ingin sekali mengetahui tentang dua soal."
"Yaitu?" "Bagaimana kejadiannya dengan anak laki-laki itu - tadi kaukatakan bayi itu
laki-laki, bukan?" "Tidak, Yang Mulia, saya rasa tidak mengatakan demikian. Tetapi memang, anak itu
laki-laki. Dan soal yang lain?"
"Aku ingin mengetahui kejahatan apa yang dituduhkan kepadamu ketika engkau
meminta seorang padri untuk menerima pengakuan dosamu di penjara di Nimes. Yang
datang Padri Busoni, bukan?"
"Kisahnya agak panjang, Yang Mulia.'.
"Tidak apa. Sekarang baru jam sepuluh. Seperti kau tahu, aku tidur sedikit
sekali dan aku kira sekarang ini engkau pun belum mau tidur."
Bertuccio mengangguk lalu meneruskan ceriteranya.
"Sebagian karena ingin mengenyahkan bayangan balas dendam yang terus saja
menghantui dan sebagian lagi dengan maksud mencukupi kebutuhan janda Israel,
saya kembali kepada kegiatan penyelundupan dengan semangat yang lebih besar
daripada yang sudah-sudah. Karena kakak saya terbunuh di Nimes saya tidak pernah
mau kembali ke kota itu. Akibatnya, hubungan kami dengan pemilik penginapan di
Nimes terputus. Akhirnya dia yang menghubungi kami dan membuka sebuah penginapan
baru dengan nama Pont du Garde, terletak di jalan antara Bellegarde dan
Beaucaire. Kami mempunyai kurang lebih selusin tempat semacam itu, tempat kami menyimpan
barang-barang dan menyembunyikan dari pemeriksaan bea cukai dan polisi, kalau perlu.
Suatu hari saya harus berangkat lagi. Assunta berkata kepada saya, 'kalau kau
kembali nanti saya mempunyai sesuatu bagimu.' Saya tanya apa itu, tetapi dia
tidak mau mengatakannya. Ketika saya pulang enam minggu kemudian, barang pertama
yang saya lihat di rumah adalah sebuah ranjang bayi dengan bayi di dalamnya.
Rupanya selama saya bepergian itu Assunta telah pergi ke Paris dan meminta bayi
itu Saya mengakui, Yang Mulia, bahwa ketika saya melihat mahluk kecil tak
berdaya itu tidur dengan lelap di ranjangnya, seakan-akan dada saya mengembang
dan air mata berlinang. Saya katakan kepada Assunta, 'Baik sekali engkau,
Assunta. Semoga Tuhan memberkahimu.'
Tetapi, rupanya dengan memilih anak itu Tuhan bermaksud menghukum saya. Belum
pernah saya menemukan watak yang lebih buruk pada anak semuda dia. Walaupun
demikian, tak seorang pun dapat mengatakan bahwa itu disebabkan karena
pendidikannya, sebab Assunta telah memperlakukannya seperti anak seorang
pangeran. Ketika ia berumur sebelas tahun kawan-kawan bergaulnya adalah orangorang yang berumur antara delapan belas dan dua puluh tahun yang telah sering
melakukan perbuatan yang tidak senonoh dan telah sering pula diperingatkan oleh
polisi Suatu saat, saya harus pergi lagi untuk suatu perjalanan yang penting. Setiap
kali kami memperbincangkan Benedetto, Assunta selalu melindunginya, sekalipun
dia mengakui bahwa ia sering kehilangan uang dalam jumlah yang cukup besar. Saya
menunjukkan suatu tempat di mana ia dapat menyembunyikan harta kami yang tak
seberapa banyak itu. Lalu saya berangkat ke Perancis.
Kami bermaksud menurunkan muatan di Teluk Lyon.
Pada waktu itu tahun 1829. Usaha penyelundupan sudah semakin sukar. Ketertiban
sudah mulai kokoh dan patroli-patroli dilakukan dengan lebih cermat dan ketat
dibandingkan dengan sebelumnya.
Pada permulaannya operasi kami berjalan dengan lancar.
Kami menambatkan kapal kami yang berdasar dua lapis di antara kapal-kapal lain
yang berjejer sepanjang kedua tepi Sungai Rhone. Di sana kami menurunkan muatan
lalu meneruskannya ke kota oleh sekutu-sekutu kami. Mungkin karena keberhasilan,
kami kurang waspada atau mungkin juga karena ada yang berkhianat, pada suatu
saat ketika kami hendak makan, pelayan kabin kapal kami datang berlari
memberitahukan bahwa sepasukan petugas bea cukai dan polisi sedang bergerak
menuju ke tempat kami Kami semua serentak berdiri, tetapi terlambat, kapal sudah
dikepung. Saya berlari ke ruang bawah, menyelinap ke luar melalui jendela bundar
lalu berenang di bawah permukaan air sampai ke sebuah terusan kecil yang
menghubungkan Sungai Rhone dengan terusan lain yang mengalir dari Beaucaire ke
Aigues-Mortes. Bukan kebetulan saya memilih jalan ini. Saya rasa. Yang Mulia,
saya sudah menceriterakaa tentang orang dari Nimes yang membuka penginapan di jalan antara
Beaucaire dan Bellegarde."
"Siapa nama orang itu?" tanya Monte Cristo yang kelihatannya mulai menaruh
perhatian kepada kisah Bertuccio. "Caspard Caderousse. Ia seorang yang berbadan tegap sekitar empat puluhan yang
telah beberapa kali membuktikan keberanian dan ketabahannya dalam keadaankeadaan yang gawat" '
"Kaukatakan tadi tahun 1829," kata Count. "Masih ingat bulannya?"
"Juni. Tanggal tiga Juni."
"Juni tanggal tiga tahun 1829. Ya. Teruskan lagi."
"Saya bermaksud bersembunyi di penginapan Caderouse.
Dalam keadaan biasa pun kami tidak pernah masuk
penginapan itu melalui pintu depan. Apalagi waktu itu karena saya khawatir
mungkin saja ada tamu-tamu yang menginap. Saya rrienyelinap masuk melalui pagar
kebun dan segera sampai di sebuah kamar kecil. Telah sering saya tidur di tempat
itu apabila saya tidak mendapatkan ranjang yang lebih baik. Kamar itu terpisah
dari ^bangunan induknya dengan dihalangi sebuah dinding kayu. Pada dinding itu
dibuat beberapa lubang pengintip untuk melihat kesempatan yang baik untuk
memberitahukan kehadiran kami kepada Caderousse. Dari lubang itu saya melihat
Caderousse masuk bersama seorang jang tidak saya kenal.
Saya diam dan menunggu. Rupanya tamu Caderouse itu seorang jauhari yang
hendak menjual perhiasan di pasar malam Beaucaire.
"Padri itu tidak menipu,' kata Caderousse kepada isterinya.
'Intan ini asli, dan Tuan ini, salah seorang jauhari termashur dari Paris,
bersedia membayar lima puluh ribu frank. Tetapi untuk meyakinkan bahwa intan ini
benar milik kita, beliau ingin sekali mendengar dari engkau bagaimana kisahnya
sampai jatuh ke tangan kira. Sementara itu, Tuan, silakan duduk dan saya akan
mengambil minuman untuk pelepas dahaga.'
'Silahkan ceriterakan, Nyonya,' kata Jauhari itu. Jelas sekali ia ingin
memanfaatkan ketidakhadiran Caderousse untuk memperbandingkan ceriteranya dengan
ceritera isterinya 'Yah,' kata Nyonya Caderousse, 'ini benar-benar merupakan rejeki dari langit
yang sama sekali di luar dugaan.
Empat belas tahua yang lalu suami saya mengenal seorang pelaut bernama Edmond
Dantes yang karena sesuatu sebab dipenjarakan. Dalam penjara itu ia bertemu
dengan seorang Inggris kaya yang memberinya sebuah intan ketika orang Inggris
itu dibebaskan. Dantes tidak beruntung, karena ia mati dalam penjara. Sebelum ia
meninggal dia mewariskan intan ini kepada kami dan meminta padri yang tadi pagi
datang ke mari menyampaikannya kepada kami "
'Ceritera Nyonya sama dengan apa yang dikatakan suami Nyonya,' kata Jauhari Itu,
'dan saya kira ceritera itu benar, meskipun selintas terdengar tidak masuk akal.
Sekarang yang harus kita bicarakan soal harganya.'
'Apa!' kata Caderousse. 'Saya kira kita sudah setuju dengan harga yang saya
minta!' 'Saya menawar empat puluh ribu.'
'Empat puluh ribu'. kata Nyonya Caderousse. 'Kami takkan melepaskannya untuk
harga itu. Padri itu mengatakan harganya lima puluh ribu."
'Saya hanya berani sampai empat puluh lima ribu, tidak lebih.'
"Tak apa, kata Caderousse, 'kami akap menjualnya
kepada orang lain.' "Silakan. Seperti Tuan lihat, saya sudah membawa uangnya.' Dia mengeluarkan
segulung uang kertas dan se-genggam emas murni yang berkilauan di hadapan mata
Caderousse. Caderousse bimbang? Dia menoleh kepada isterinya dan berbisik,
'Bagaimana pendapatmu"'"
'Berikan saja," jawabnya. 'Kalau tidak, mungkin ia mengadukan kita dan kita
tidak akan dapat menemui kembali padri itu untuk membenarkan keterangan kita.'
'Begitulah,' kata Caderousse kepada Jauhari, 'silakan ambil intan ini untuk
empat puluh lima ribu frank.'
Jauhari itu membayar lima belas ribu rank dengan emas dan tiga puluh tibu lagi
dengan uang kertas. 'Tunggu sebentar, saya akan rnengambil lampu" kata Nyonya Caderousse. "Sudah
agak gelap dan jangan sampai kita membuat kesalahan." Sementara mereka berunding
hari makin malam, dan bersamaan dengan itu awan mendu yan telah mengancam
semenjak setengah jam yang lalu, meledak menjadi hujan angin yang lebat. Tetapi
ketiga orang itu seakan-akan tidak memperdulikannya,
'Sudikah Tuan makan malam di sini?" tanya Caderousse.
"Terima kasih, saya harus segera kembali ke Beaucaire.
Istri saya mungkin sudah gelisah.'
"Tuan mau pulang dalam cuaca seburuk ini"' tanya
Caderousse, 'Saya tidak takut halilintar"
'Bagaimana terhadap penyamun" Kalau ada pasar malam biasanya jalan kurang aman.'
'Untuk para penyamun,' jawab Jauhari, 'saya sediakan ini.' Dia memperlihatkan
dua pucuk pistol. 'Kalau begitu,' kata Caderousse, 'selamat,jalan."
"Terima kasih." Jauhari itu mengambil tongkatnya lalu membuka pintu. Berbarengan
dengan pintu terbuka angin yang keras sekali bertiup ke dalam hampir memadamkan
lampu. 'Wali, dan saya harus menempuh jarak satu kilometer dalam cuaca begini" Jauhari
itu menjadi ragu-ragu. 'Menginap saja di sini," kata Caderousse.
'Betul Tuan, menginap saja,' sambung istrinya. 'Jangan khawatir, kami akan
menyediakan semua keperluan Tuan.'
Tidak, saya mesti kembali malam ini juga ke Beaucaire.
Selamat malam.' 'Mengapa engkau menahan"' tanya istrinya ketika
tamunya telah pergi. 'Mengapa, supaya dia tidak kembali ke Beaucaire malam ini,' jawab Caderousse
terkejut mendengar pertanyaan itu.
'Oh, aku kira ada maksud lain,'
'Apa sebab engkau berpikir begitu"' tanya Caderousse keras. 'Kalau engkau punya
maksud lain, tak nsah aku diberi tahu. Tahukah engkau, pikiranmu itu menentang
Tuhan.' Guntur menggelegar dan kilat bercahaya. Suara guruh melemah lalu hilang seakanakan menyesal harus meninggalkan rumah terkutuk itu. Nyonya Caderousse membuat tanda salib di
dadanya. Di tengah-tengah
kesunyian yang biasa menyusul sebuah guruh, terdengar orang mengetuk pintu.
Mereka terkejut, lalu berpandangan satu sama lain.
'Siapa!' Caderousse berteriak, sambil menyembunyikan uang yang terletak di meja
dengan tangannya. 'Joanes, Jauhari.' 'Kaukatakan aku menentang Tuhan,' kata istrinya,
'sekarang ternyata Tuhan mengembalikan dia kepada kita!'
Caderousse menjadi pucat dan merebahkan dirinya ke kursi. Dengan langkah-langkah
yang pasti istrinya berjalan ke pintu dan membukanya. 'Silakan duduk, Tuan.'
'Rupanya setan tidak menghendaki aku pulang ke
Beaucaire malam ini,' kata Jauhari yang sudah basah kuyup. 'Saya terima tawaran
untuk menginap di sini, Tuan Caderousse.'
Caderousse menggumamkan kata-kata yang tidak jelas dan mengusap keringat yang
mengucur di dahinya. Istrinya menutup kembali pintu,
"Apakah ada tamu-tamu lain"'
'Tidak ada.' 'Mudah-mudahan saya tidak menyusahkan kalian.'
"Menyusahkan" Sama sekali tidak, Tuan' kata istri Caderousse seperti gembira
Caderousse memandang istrinya dengan perasaan heran.
Sementara Joanes memanaskan badannya di muka perapian, istri Caderousse menyediakan sisa-sisa makanan malam itu di meja,
menambahnya dengan dua tiga butir telur segar. 'Nah" katanya sambil menaruh
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
botol anggur di meja, 'Silakan makan kalau Tuan sudah siap' Jauhari duduk untuk makan dan Nyonya
Caderousse melayaninya dengan penuh perhatian. Setelah dia,selesai makan, istri
Caderousse berkata, Tuan mesti rnerasa lelah, kamar telah saya siapkan. Silakan
naik dan selamat tidur.' Jauhari Joanes masih duduk-duduk selama seperempat jam
menunggu kalau kalau hujan mereda. Hujan bahkan
bertambah deras. Akhirnya dia naik ke kamarnya. Nyonya Caderousse mengikutinya
dengan pandangan penuh perhatian, sedangkan Caderousse sendiri memunggunginya.
Hal-hal kecil ini saya ingat kembali kemudian, padahal pada saat-saat terjadinya
tidak mempunyai arti apa-apa bagi saya. Kecuali soal intan, yang lainnya saya
anggap sebagai wajar saja. Karena saya merasa lelah saya bermaksud tidur untuk
beberapa ja" untuk kemudian berangkat lagi nanti tengah malam
Saya sedang tidur lelap ketika terbangunkan oleh suara pistol yang disusul
dengan teriakan yang mengerikan. Lalu terdengar suara orang mengerang dibarengi
suara gedebag-gedebug seperti orang sedang berkelahi. Teriakan melengking yang
sangat mengerikan menyebabkan saya terjaga betul-betul. Keadaan sunyi kembali.
Kemudian saya mendengar langkah orang menuruni tangga, masuk ke lantai bawah
berjalan mendekati perapian dan menyalakan lilin, Caderousse. Mukanya pucat dan
bajunya berlumuran darah. Dia naik lagi ke atas, membawa lilin itu dan tak lama kemudian turun lagi
dengan intan di tangannya. Dia membungkusnya dengan saputangan merah yang
melilit di lehernya. Sesudah itu dia membuka lemari, mengambil uang dan emas,
lalu lari ke luar dan menghilang dalam kegelapan.
Saya mengerti benar apa yang telah tadi. Saya menyesali diri seakan-akan sayalah yang berdosa. Dalam kesunyian itu saya mendengar orang mengerang.
Mungkin Jauhari itu masih hidup. Saya mendorong dinding pemisah ruangan dengan
balm dan dinding itu bergeser cukup lebar untuk saya lalui. Saya mengambil lilin
yang masih menyala yang ditinggalkan Caderousse lalu menaiki tangga ke ruang
atas, tetapi tangga itu terhalang oleh sesosok tubuh. Ternyata mayat Nyonya
Caderousse. Pistol itu diarahkan kepadanya Saya melangkahi tubuhnya dan masuk ke
dalam kamar. Keadaan kamar acak-acakan. Jauhari yang malang itu tergeletak di lantai dalam
gelimangan darah yang memancar dari luka-lukanya di dada. Sebuah pisau dapur masih menancap di
dadanya. Yang kelihatan hanya
gagangnya saja. Saya mengambil pistolnya yang sebuah lagi. Ternyata mesiunya
basah. Dia belum mati. Mendengar langkah saya dia membuka matanya, menggerakkan
bibirnya seakan-akan hendak mengatakan sesuatu, lalu mati.
Keadaan yang mengerikan itu mengacaukan pikiran sa-ya. Karena sudah tak ada lagi
yang dapat saya lakukan, hanya tinggal sebuah lagi keinginan saya lari. Saya
berlari menuruni tangga, sambil memegang kepala dengan kedua belah tangan.
Ternyata di bawah telah ada enam orang pejabat bea cukai dan dua orang serdadu.
Mereka menangkap saya. Saya sangat terkejut hingga tak berdaya melawan. Saya mencoba berbicara tetapi
tak sepatah pun keluar dari mulut saya, kecuali suara-suara tak menentu.
Akhirnya saya mencoba melepaskan diri dari pegangan mereka sambil berteriak.
'Aku tidak melakukannya! Aku tidak melakukannya!' Kedua serdadu itu mengarahkan
bedilnya kepada saya sambil berkata, 'Kalau bergerak kau-mati Kau dapat
menceriterakan soalmu kepada hakim di Nimes nanti.'
Mereka jnemborgol saya dan mengikatkan saya kepada bun tut-kuda mereka dan
membawa saya ke Nimes. Rupanya saya diikuti oleh seorang pejabat pabean yang seterusnya kehilangan
jejak saya di penginapan itu. Karena memperhitungkan saya akan menginap di sana
dia kembali dahulu meminta bantuan. Mereka datang tepat ketika pistol Caderousse
meletus, dan menangkap saya di tengah-tengah bukti yang seketika itu juga saya
pahami betapa akan mem-beratkannya nanti di pengadilan. Satu-satunya harapan saya, meminta kepada hakim agar mencari Padri Busoni yang namanya saya dengar tadi
dari suami istri Caderousse. Bila ceritera Caderousse itu hanya karangan belaka,
kalau padri itu merupakan tokoh khayal belaka, saya betul-betul akan celaka,
kecuali kalau Caderousse sendiri tertangkap dan mengakui semua perbuatannya.
Dua bulan berlalu, dan selama itu berkat kesediaan hakim, semua usaha dijalankan
untuk menemukan Padri Busoni. Dan pada tanggal delapan September, lima hari
sebelum hari pengadilan Padri Busoni datang ke sel saya.
Tuan dapat memahami betapa gembira hati saya ketika itu.
Saya ceriterakan semua yang saya lihat dan dengar dalam penginapan itu, dan
bertentangan sekati dengan sangkaan saya Padri Busoni membenarkan semua ceritera
Caderousse. Pada saat itulah, setelah saya mendapat keyakinan akan perhatian dan
pengertian beliau, didorong pula oleh harapan beliau dapat memaafkan satusatunya kejahatan yang telah saya perbuat, saya menceriterakan di bawah sumpah
pengakuan dosa, dan semua kejadian di Auteuil. Pengakuan dosa yang secara
spontan itu, rupanya meyakinkan beliau bahwa saya tidak bersalah dalam tuduhan
yang sekarang. Beliau berjanji akan berusaha sedapat dapatnya untuk meyakinkan
hakim bahwa saya tidak berdosa.
Saya melihat bukti usaha padri itu ketika sidang pengadilan diundurkan. Dan
sementara Caderousse berhasil ditangkap di sebuah negri asing dan dikembalikan
ke Perancis. Dia mengakui semua perbuatannya tetapi bersikeras bahwa gagasan
pembunuhan itu berasal dari istrinya.
Dia dihukum kerja paksa seumur hidup dan saya dibebaskan."
"Lalu engkau mengunjungiku dengan surat dari Padri Busoni itu?" tanya Monte
Cristo. "Betul, Yang Mulia. Rupanya beliau sangat memperhatikan keadaan saya.
'Penyelundupan akan menghancurkan engkau,' kata beliau kepada saya. 'Jangan
dilakukan lagi kalau engkau nanti bebas.' 'Tetapi bagaimana saya dapat
menghidupi ipar saya"' saya bertanya
''Salah seorang yang penah bertobat kepadaku dan sangat menghargaiku, meminta
tolong mencarikan seorang yang dapat dipercaya untuk menjadi pengurus rumahtangga. Kalau engkau berhasrat aku mau memberikan surat perkenalan, asal saja engkau
bersumpah tidak akan mengecewakan aku.' Saya mengangkat tangan untuk bersumpah, tetapi beliau mencegah, 'tidak perlu,
aku cukup mengenal watak orang Corsica dan aku menyukai mereka' Beliau menulis
surat yang saya serahkan kepada Tuan dahulu. Yang Mulia.
Bolehkah sekarang saya bertanya, Yang Mulia, apakah Tuan mempunyai alasan untuk
merasa kecewa terhadap saya?"
"Tidak," jawab Count of Monte Cristo, "dengan senang hati dapat kukatakan bahwa
engkau seorang yang setia, Bertuccio, meskipun engkau masih kekurangan
kepercayaan kepadaku."
"Saya?" "Ya, engkau. Mengapa engkau tidak pernah mengatakan mempunyai seorang kakak ipar
dan seorang anak angkat?"
"Ah, Yang Mulia, saya masih belum menceriterakan bagian yang paling pahit. Saya
kembali ke Corsica, tetapi ketika tiba, rumah berada dalam suasana berkabung.
Ada kejadian yang sangat getir yang tidak akan pernah dapat dilupakan oleh
tetangga-tetangga saya Assunta menuruti nasihat saya, menolak permintaan
Benedetto agar ia menyerahkan semua uang yang ada di rumah. Pada suatu hari dia
mengancam Assunta, lalu menghilang sehari itu.
Assunta menangis, karena walaupun bagaimana ia
mempunyai hati seorang ibu sejati. Pada jam sebelas malam Benedetto kembali
dengan dua orang kawannya Mereka menangkap Assunta. Salah seorang di antara
mereka - saya selalu bergidik kalau terpikir bahwa mungkin Benedetto sendiri yang
melakukannya - berkata, 'Kita siksa dia supaya menunjukkan tempat menyembunyikan
uang itu!' Wasilop, tetangga saya, sedang berada di Bastia ketika Itu, tetapi istrinya di
rumah sendirian. Dialah satu-satunya orang yang melihat dan mendengar apa yang
terjadi di rumah kakak ipar saya itu. Dua orang anak muda itu memegangi Assunta
dan yang seorang lagi mengunci pintu dan jendela. Dengan tidak menghiraukan
jeritan ketakutan Assunta mereka mengangkat kaki Assunta ka atas api.
Dalam usaha melepaskan diri, baju Assunta terbakar, dan mereka melepaskannya
karena takut turut terbakar. Assunta diketemukan esok paginya, setengah terbakar
tetapi masih bernafas. Lemari telah dibongkar dan uangnya telah tiada.
Sejak itu Benedetto meninggalkan Rogliano dan tidak pernah kembali lagi. Saya
sendiri pun tidak'pernah lagi melihat atau mendengar kabar tentang dia. Setelah
mendengar kejadian yang sangat menyedihkan inilah saya datang kepada Tuan, Yang
Mulia. Saya tidak pernah menceriterakan tentang kedua orang ini kepada Tuan
karena Benedetto telah hilang dan Assunta telah meninggal."
"Padri Busoni itu telah bertindak bijaksana dengan mengirimkan engkau kepadaku,"
kata Monte Cristo, "dan engkau pun bijaksana dengan menceriterakan seluruh
kisahmu. Dengan demikian aku tidak akan bersangka buruk lagi terhadapmu. Sekarang,
camkanlah kata-kata ini yang sering sekali aku dengar dari mulut Padri Busoni:
Untuk setiap kejahatan ada dua macam obat, waktu dan diam."
Setelah berkeliling sebentar melihat-lihat kebun, Count of Monte Cristo kembali
ke keretanya. Bertuccio yang melihat majikannya tiba-tiba menjadi murung, tanpa
berkata sepatah pun naik dan duduk di sebelah sais. Kereta bergerak menuju
Paris. BAB XXV KEESOKAN harinya menjelang jam dua siang, sebuah
kereta yang ditarik sepasang kuda Inggris yang gagah indah, berhenti di muka
pintu rumah Count of Monte Cristo. Di dalamnya duduk seorang laki-laki berjas
biru, kancing kancingnya terbungkus kain sutra dengan warna yang sama, bercelana
coklat dan rompi putih. Sebuah rantai emas yang besar melintang di dadanya.
Tetapi jelas sekali rambut yang hitam legam Itu tidak serasi dengan keriput di
dahinya. Pendeknya, ia seorang setengah baya yang ingin tampak muda. Ia mengeluarkan
kepala dari jendela kereta lalu memerintahkan pelayannya menanyakan apakah Count
of Monte Cristo ada di rumah.
Pelayan itu bertanya kepada penjaga pintu.
"Yang Mulia Count of Monte Cristo memang tinggal di sini, tetapi beliau sekarang
sedang sibuk," jawab penjaga pintu.
"Kalau begitu, tolong sampaikan kartu nama majikan saya, Baron Danglars. Tolong
katakan pula bahwa dalam perjalanannya ke Parlemen beliau mampir sebentar ingin
bertemu." "Saya tidak berhak menghadap beliau, tetapi pesan ini akan disampaikan oleh
pelayannya." Pelayan itu kembali ke kereta dan melaporkan jawaban penjaga pintu.
"Rupanya dia putera seorang raja, karena dipanggil Yang Mulia dan hanya
pelayannya saja yang berhak
menghadap!" kata Danglars. "Tetapi biarlah, itu urusan dia.
Suatu waktu dia mesti menemuiku kalau sudah
membutuhkan uang" Dia bersandar lagi dan berteriak nyaring sekali sehingga dapat
didengar ke seberang jalan.
"Ke Parlemen!" Monte Cristo yang diberitahu tentang kedatangan baron itu masih sempat
melihatnya dari balik tirai jendela dengan menggunakan teropong yang kuat.
"Ali!" ia berteriak, lalu memukul gong perunggu. Ali datang. "Panggil
Bertuccio." Dalam sekejap Bertuccio muncul. "Yang Mulia
memanggil saya?" "Ya. Apakah kau lihat tadi sepasang kuda yang berhenti di muka pintu?"
"Tentu saja, Yang Mulia Kuda yang bagus sekali."
"Mengapa," kata Monte Cristo mengerutkan dahi,
"masih ada kuda lain di luar kandangku yang sama bagusnya dengan kudaku sendiri,
padahal aku telah memerintahkan untuk membeli sepasang kuda yang paling bagus di
Paris?" Melihat majikannya mengerutkan dahi dan mendengar nada suaranya yang keras, Ali
menundukkan kepala. "Bukan salahmu, Ali," kata Count dalam bahasa Arab dengan nada yang ramah
sekali. "Engkau tidak banyak mengetahui tentang kuda Inggris." Wajah Ali kembari
cerah. "Yang Mulia kuda yang Tuan maksudkan itu tidak dijual," kata Bertuccio.
Monte Cristo mengangkat bahu, lalu berkata, "Tidakkah kau tahu bahwa segala
sesuatu akan dijual kepada orang yang berani membayar harganya?"
"Tuan Danglars membayar enam belas ribu frank untuk sepasang kuda itu, Yang
Mulia." "Tawarkan kepadanya tiga puluh dua ribu frank. Dia seorang pengusaha, dan
seprang pengusaha tak akan melewatkan kesempatan mendapat untung."
"Apakah Tuan berbicara sungguh-sungguh, Yang Mulia?" tanya Bertuccio ragu-ragu.
Monte Cristo memandang Bertuccio dengan heran
seakan-akan ia tidak percaya Bertuccio bertanya seperti itu.
"Aku harus mengunjungi seseorang nanti jam lima sore,"
katanya. "Aku minta supaya kuda itu telah dipasang di keretaku dan menunggu di
muka pintu." "Bolehkah saya mengingatkan bahwa sekarang telah jam dua siang?"
"Aku tahu." Hanya itu jawab Monte Cristo.
Pada jam lima sore Count of Monte Cristo memukul
gong tiga kali. Setiap pukulan mempunyai makna. Sekali untuk Ali, dua kali untuk
Baptistin, pelayan, dan tiga kali untuk Bertuccio.
Bertuccio masuk menghadap.
"Bagaimana dengan kuda itu?" dia bertanya.
"Sudah dipasang, Tuan."
Count of Monte Cristo pergi ke luar dan melihat
sepasang kuda yang tadi pagi terpasang pada kereta Danglars, sekarang sudah
terpasang di keretanya. "Benar-benar kuda indah gagah," katanya lagi. 'Bagus
engkau telah berhasil membelinya, sekalipun agak terlambat."
"Saya mendapat banyak kesukaran memperolehnya, Tuan," kata Bertuccio, "dan saya
terpaksa membayar dengan harga yang tinggi sekali."
"Apakah karena itu keindahannya menjadi berkurang?"
Bertuccio berbalik akan mengundurkan diri.
"Tunggu!" Monte Cristo mencegahnya. "Aku memerlukan sebidang tanah di tepi
pantai - di Normandia umpamanya - antara Le Havre dan Boulogne. Harus ada
pelabuhan kecil yang dapat dimasuki korvet. Kapal itu harus siap setiap saat
untuk berlayar kapan saja aku memerintahkannya. Coba cari keterangan tentang
tempat seperti itu, dan bila engkau mendengarnya, lihat. Kalau engkau sendiri
merasa puas, beli tanah itu atas namamu.
Korvet itu sekarang sedang dalam perjalanan ke Fecamp, bukan?"
"Saya melihatnya meluncur ke lautan pada hari yang sama kita meninggalkan
Marseilles." "Dan kapal pesiar, di mana sekarang?"
"Di Martigues,"
"Baik. Hubungi kapten masing-masing setiap saat agar mereka tidak tertidur."
Count of Monte Cristo menaiki keretanya dan memerintahkan sais membawanya ke
rumah Baron Danglars. Ruang tamu berwarna putih dan emas di rumah Baron Danglars sudah sangat terkenal
di Rue de la Chaussee-d' Antin Di ruang itulah dia menerima tamunya, dengan maksud memukaunya sejak
pertemuan pertama. "Benarkah saya mendapatkan kehormatan berhadapan dengan Tuan de Monte Cristo?"
katanya ketika dia masuk ruangan.
"Dan benarkah saya mendapatkan kehormatan berhadapan dengan Baron Danglars,
Ksatria dari Legiun Kehormatan dan Anggota Dewan Perwakilan?" Count of Monte
Cristo menyebut semua gelar yang tertulis dalam kartu nama Danglars.
Danglars merasakan sindiran itu dan menggigit bibirnya.
"Saya menerima sebuah surat dari perusahaan Thomson and French," kata Danglars,
"tetapi maksudnya tidak begitu jelas bagi saya. Itulah sebabnya saya mampir
kerumah Tuan meminta penjelasan."
"Saya siap untuk mendengarkan dan saya senang sekali kalau dapat menolong."
Danglars mengambil surat dari dalam saku bajunya.
"Surat ini meminta saya memberikan kredit tanpa batas kepada Tuan."
"Apa yang aneh dalam hal ini?"
'Tidak ada. Tetapi kata tanpa batas itu . . ."
"Apakah Tuan mengira bahwa Thomson and French tidak dapat dipercaya?" Monte
Cristo bertanya dengan nada sepolos mungkin.
"Oh, bukan begitu. Perusahaan itu sangat dapat dipercaya!" jawab Danglars dengan
senyum menyindir. 'Tetapi dalam dunia keuangan kata 'tanpa batas' itu sangat
samar-samar. Kesamar-samaran sama dengan keragu-raguan, dan seorang yang
bijaksana akan menjauhkan diri dari perkara-perkara yang meragukan. Maksud saya,
ingin sekali mendengar dari Tuan berapa jumlah yang hendak Tuan pinjam dari
saya."
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Alasan saya mengapa membuka kredit tanpa batas, karena saya tidak tahu dengan
pasti terlebih dahulu berapa jumlah yang akan saya perlukan."
Danglars menyandarkan dirinya ke tempat duduknya.
Dengan senyum angkuh dia berkata, "Tuan tidak perlu khawatir. Tuan boleh yakin
bahwa sekalipun uang saya terbatas jumlahnya, namun akan cukup untuk memenuhi
pinjaman yang tertinggi sekalipun, bahkan bila Tuan bermaksud meminta sejuta . .
." "Maaf, berapa?"
"Saya katakan sejuta," kata Danglars tidak menangkap maksud yang tersirat.
"Tetapi apa arti sejuta bagi saya?" kata Monte Cristo.
"Kalau saya hanya memerlukan sejuta, saya tidak perlu bersusah-susah membuka
kredit untuk jumlah itu! Di kantong saya selalu ada uang sekurang-kurangnya
sejumlah itu." Monte Cristo mengeluarkan dari tempat kartu namanya, dua buah
surat berharga masing-masing seharga lima ratus ribu frank.
Orang seperti Danglars harus dipukul dengan gada, bukan hanya ditusuk. Dia
menatap Monte Cristo dengan pandangan bingung, kagum dan tidak mengerti.
"Barangkali, sebaiknya Tuan berterus-terang saja bahwa tuan tidak mempercayai
Thomson and French" kata Monte Cristo selanjutnya. "Saya tidak menghilangkan
kemungkinan itu, dan sekalipun saya bukan ahli usaha, saya cukup waspada menjaga
segala kemungkinan. Ini ada dua buah lagi surat yang sama seperti yang Tuan
terima. Yang sebuah dari Firma Arstein and Eskeles di Wina, ditujukan kepada Baron de
Rothschild, membuka kredit tanpa batas bagi saya. Yang satu lagi dengan maksud
yang sama dari Firma Baring di London kepada Tuan Lafitte."
Danglars sekarang sudah betul-betul terpukul rubuh. Dia membuka kedua surat itu
dengan tangan gemetar dan memeriksa tanda tangannya dengan ketelitian yang dapat
menyinggung perasaan seandainya Monte Cristo tidak mengetahui bahwa dia benarbenar sedang dalam kebingungan. "Ini, tiga buah tanda tangan yang berharga jutaan frank!"
kata Danglars. Dia berdiri seakan-akan hendak memberikan penghormatan kepada
kekuasaan emas yang diwujudkan dalam bentuk orang duduk yang di hadapannya.
'Tiga buah kredit tanpa batas! Maafkan saya, Count, saya sudah tidak curiga
lagi, namun masih heran bahwa hal serupa ini ada."
"Nah," kata Count of Monte Cristo, "Setelah sekarang ada saling pengertian
antara kita, setelah tidak ada lagi kecurigaan, tidakkah sebaiknya sekarang kita
menentukan jumlah sementara untuk tahun pertama ini" Katakanlah enam juta,
umpamanya." "Baik, enam juta," jawab Danglars dengan suara parau.
Monte Cristo berdiri. "Saya harus mengakui suatu hal kepada Tuan, Count,"
kata Danglars. "Saya rasa, saya mengenal semua kekayaan yang berada di Eropa,
tetapi kekayaan Tuan belum pernah saya dengar. Mungkinkah ini kekayaan yang
belum lama tergali?"
"Bahkan sebaliknya, kekayaan yang sudah sangat tua.
Semacam kekayaan keluarga yang oleh pewarisnya dilarang disentuh sampai suatu
saat tertentu. Jumlahnya sekarang sudah menjadi tiga kali lipat karena bunganya.
Masa larangan itu telah berakhir beberapa tahun yang lalu, sehingga
ketidaktahuan Tuan tentang ini dapat dipahami.
Saya pikir dalam waktu yang dekat Tuan mendengar lebih banyak lagi tentang ini."
Monte Cristo menyertai ucapannya dengan senyuman yang membuat Franz 'Epinay bergidik tempo hari.
"Ya, mungkin nanti kalau kita sudah saling mengenal dengan lebih baik," jawab
Danglars. "Untuk hari ini, saya akan merasa senang sekali bila dapat
memperkenalkan Tuan kepada istri saya - maafkan keinginan saya ini karena langganan seperti Tuan boleh dikatakan merupakan keluarga sendiri."
Monte Cristo mengangguk tanda ia menyetujui maksud tuan rumahnya. Danglars
membunyikan bel, seorang pelayan muncul. "Apa Barones ada di rumah?" tanya Danglars.
"Ada, Tuan." "Ada tamu?" "Ada, Tuan." "Siapa" Tuan Debray?" tanya Danglars dengan kegirangan yang dibuat-buat yang
membuat Monte Cristo tersenyum dalam batin karena ia telah mengetahui rahasia keluarga Danglars yang
sebenarnya sudah bukan rahasia lagi.
"Benar, Tuan," jawab pelayan.
Danglars mengangguk. Kembali menghadap kepada
Monte Cristo ia berkata, "Tuan Debray adalah kawan lama kami. Ia sekertaris
Menteri Dalam Negeri. Adapun istri saya, Nyonya de Sevieres, berasal dari
keluarga bangsawan yang telah tua sekali. Dia kawin dengan saya setelah menjanda
dari Marquis of Nargonne."
"Saya belum mendapat kehormatan bertemu dengan Nyonya Danglars, tetapi dengan
Tuan Lucien Debray, sudah."
"Di mana Tuan berkenalan dengan dia?"
"Di rumah Tuan Albert de Morcerf "
"Ah, rupanya tuan telah mengenal Viscount muda itu?"
"Kami bertemu di Roma dan bersama-sama selama karnaval."
"Oh, ya. Saya ada mendengar kabar tentang
pengalamannya dengan bandit-bandit Roma dan
pembebasannya yang penuh rahasia. Saya rasa dia
menceriterakannya kepada istri dan anak saya ketika baru kembali dari Italia."
"Barones sudah menunggu, Tuan," kata pelayan yang sudah masuk kembali ke
ruangan. "Ijinkan saya menunjukkan jalan," kata Danglars kepada Count of Monte Cristo.
Nyonya Danglars yang masih kelihatan cantik sekalipun usianya sudah tiga puluh
enam tahun, duduk di depan piano. Lucien Debray duduk melihat-lihat album.
Debray telah sempat menceriterakan sedikit tentang Count of Monte Cristo ini.
Tergugah oleh ceritera Albert ditambah dengan keterangan-dari Debray, keinginan
Nyonya Danglars untuk bertemu dengan Count of Monte Cristo lebih meningkat lagi. Oleh
sebab itu ia menerima kedatangan suaminya dengan sebuah senyuman, suatu hal yang jarang sekali
terjadi, la menyebut Count of Monte Cristo dengan membungkukkan badan yang
anggun sekali. Debray saling hormat dengan Count of Monte Cristo Seperlunya, sedangkan kepada
Danglars ia memberikan salam yang akrab.
"Saya perkenalkan Count of Monte Cristo," kata Danglars. 'Tentang beliau ini
saya hanya akan mengatakan sesuatu yang pasti akan membuat beliau menjadi
favorit di kalangan wanita kita. Beliau datang di Paris dengan maksud tinggal
selama setahun dan menghamburkan uang sebanyak enam juta frank selama itu. Ini
berarti bahwa kita dapat mengharapkan serangkaian pesta dansa, pesta makan."
"Sayang sekali Tuan memilih waktu yang kurang tepat,"
kata Nyonya Danglars. "Paris sangat tidak menyenangkan dalam musim panas. Tak
ada pesta dansa, resepsi atau banket. Opera Italia sedang di London dan opera
Perancis sedang di mana-mana kecuali di Paris. Satu-satunya hiburan hanya
tinggal pacuan kuda di Champ de Mars dan Satory. Tuan menyukai kuda, Count?"
"Saya lama sekali tinggal di Timur, Nyonya, dan seperti Nyonya ketahui orangorang Timur hanya menghargai dua perkara dalam dunia ini, keindahan kuda dan
kecantikan wanita." Pada saat itu pelayan wanita kepercayaan Nyonya
Danglars masuk ruangan dan membisikkan sesuatu ke telinga majikannya. Wajah
Barones mendadak pucat. Dia berteriak, "Tak mungkin!" Lalu berbalik kepada
suaminya, "Benarkah yang dikatakan pelayan itu?"
"Apa yang dikatakannya?" jawab Danglars, jelas merasa tersinggung.
"Dia mengatakan bahwa ketika sais hendak memasang kuda pada kereta, dia
menemukan kedua kuda itu tidak berada di kandangnya. Bolehkah saya bertanya apa
artinya semua ini?" "Dengar dulu baik-baik . . ." kata Danglars.
"Aku akan mendengarkan, karena aku mau tahu apa yang hendak kaukatakan. Saya
meminta Tuan-tuan ini menjadi hakim dan saya akan memulai dengan memberikan
data-data ini. Tuan-tuan, Baron Danglars mempunyai sepuluh ekor kuda Dua di
antaranya milik saya, sepasang kuda terindah di Paris. Tuan telah
mengetaluiinya, Tuan Debray, kuda abu-abu berbintik-bintik hitam. Nah, justru
pada saat saya hendak meminjamkannya kepada Nyonya de Villefort untuk pergi ke
Boulogne esok hari, kedua kuda itu tak ada di kandangnya. Tak usah diragukan
lagi, Tuan Danglars telah menjualnya karena ada keuntungan beberapa ribu frank.
Sungguh menyebalkan orang-orang dagang mata duitan itu!"
"Kuda itu terlalu beringas, sayang," kata Danglars,
"Umurnya baru empat tahun, dan aku selalu khawatir akan keselamatanmu. Aku akan
mencari gantinya yang seperti itu, tetapi yang lebih tenang, lebih jinak, yang
tidak akan menegangkan urat sarafku."
Barones mengangkat bahunya dengan air muka
menghina. "Ya Tuhan!" teriak Debray. "Saya lihat kuda itu terpasang pada kereta Count of
Monte Cristo!" "Benar?" Nyonya Danglars berlari ke jendela. "Betul, itu kudaku!"
Danglars kebingungan. "Bagaimana mungkin?" kata Count of Monte Cristo.
menunjukkan keheranan. Danglars tak berkata sepatah pun. Dia membayangkan suatu bencana besar dalam
waktu yang dekat. Debray yang juga mencium akan segera timbul badai,
meninggalkan mereka. Monte Cristo yang tidak ingin merusak lagi keuntungan yang
timbul dari suasana itu dengan tinggal terlalu lama, mengangguk kepada Nyonya
Danglars meminta diri, lalu pergi meninggalkan Danglars dalam cengkeraman amarah
istrinya. "Bagus sekali'" pikir Count dalam hatinya. "Aku telah berhasil. Kedamaian rumah
tangga Danglars sekarang sudah berada dalam telapak tanganku, dan aku akan
segera pula berhasil menanamkan hutang budi pada keduanya dengan sekali pukul.
Aku ingin diperkenalkan kepada Eugenie Danglars, tetapi itu masih dapat
menunggu." Dengan pikiran itu dia naik ke dalam keretanya dan kembali ke1 rumahnya.
Dua jam kemudian Nyonya Danglars menerima sepucuk surat dari Monte Cristo. Dalam
surat itu Monte Cristo mengatakan bahwa ia tidak ingin memasuki Paris dengan
mulai menyakiti seorang wanita cantik. Dia akan berterima kasih sekali apabila
Nyonya Danglars mau menerima kembali kedua kudanya, yang dia kirimkan bersama
surat itu-, lengkap dengan pakaiannya yang sudah dilihatnya tadi, ditambah
dengan sebuah intan yang dipasangkan pada perhiasan telinga setiap kuda.
Danglars pun menerima sepucuk surat, dalam surat itu Count of Monte Cristo
meminta ijin memuaskan keinginannya sebagai seorang jutawan dan meminta maaf, mengembalikan sepasang
kuda itu dengan cara Timur.
Sore itu Monte Cristo pergi ke rumahnya di Auteuil, dikawani oleh Ali.
Esok siangnya, Ali dipanggil. Dia menemui majikannya di ruang kerja.
"Ali," kata Monte Cristo, "aku dengar engkau ahli dalam melempar laso. Betul
itu?" Ali mengangguk, lalu tegak kembali dengan bangga.
"Baik. Dapatkah engkau menghentikan seekor sapi jantan dengan laso"'
Ali mengangguk. "Harimau?" Mengangguk lagi. "Singa?" Ali menirukan cara melempar laso dengan gerakan
tangan dan meniru binatang tercekik.
"Yah, aku mengerti. Pernahkah engkau berburu singa?"
Ali tersenyum. "Baik. Sekarang dengarkan. Sebentar lagi akan lewat sebuah kereta dibawa kabur
sepasang kuda abu-abu berbintik-bintik hitam, kuda yang kemarin kugunakan.
Sekalipun dengan kemungkinan engkau mati terinjak engkau harus menghentikannya
tepat di muka rumah."
Ali berlari ke luar, lalu menarik sebuah garis dari pintu depan ke jalan. Dia
kembali lagi dan menunjukkan garis itu kepada majikannya. Monte Cristo menepuk
bahunya. Itulah caranya dia mengucapkan terima kasih kepada Ali.
Orang Nubla itu keluar lagi, lalu duduk di muka rumah sambil merokok.
Tak lama kemudian terdengar suara kereta mendekat dengan cepat. Sesaat kemudian
kereta itu sudah tampak. Saisnya berusaha dengan sekuat-kuatnya menghentikan kuda yang bertari seperti
dikejar setan itu, namun sia-sia.
Di dalam kereta, seorang wanita dan seorang anak laki-laki berumur delapan tahun
saling berpegangan dengan erat Mereka begitu takut sehingga tidak kuasa lagi
bersuara. Alt meletakkan pipanya, mengeluarkan seuntai laso, lalu melemparkannya ke arah
kuda. Kuda yang di sebelah kiri terjerat kedua kaki depannya. Dia terbawa lari
beberapa langkah sebelum kuda itu jatuh tersungkur. Kuda yang seekor lagi
terpaksa pula berhenti. Saisnya jatuh terjungkir dari kursinya. Ali sudah
berhasil menangkap kuda yang seekor lagi pada hidungnya dengan pegangan sekuat
kakatua. Karena kesakitan dan tertarik oleh kawannya kuda itu pun rebah di
sebelah pasangannya. Semua ini terjadi dalam sekejap, tetapi cukup lama untuk seorang laki-laJd
berlari ke luar dari rumah di depan tempat kejadian, diikuti oleh beberapa
pelayannya. Segera setelah sais membuka pintu kereta, laki-laki ini mengangkat
ke luar wanita yang memegang bantal di sebelah tangannya dan menekankan anaknya
yang telah pingsan ke dadanya
dengan tangan yang lain. Monte Cristo mengangkat keduanya ke dalam rumah lalu
merebahkan mereka pada sebuah dipan.
"Nyonya telah selamat sekarang," katanya.
Wanita itu menunjuk kepada anaknya dengan air muka yang lebih berarti daripada
dengan permohonan. Anak itu masih belum sadarkan diri.
"Ya, Nyonya, saya mengerti," kata Monte Cnsto memeriksa anak itu, "tidak ada
alasan untuk khawatir. Dia tidak terluka, hanya pingsan karena ketakutan."
'"Ah, jangan berkata begitu hanya untuk menenangkan hati saja! Lihat betapa
pucatnya dia! Oh, anakku, Edouard!
Bicaralah, anakku! Tuan, tolong panggilkan dokter! Saya maa memberikan semua
kekayaan saya kepada siapa pun yang bisa mengembalikan anak ini kepada saya!"
Monte Cristo membuka sebuah laci kecil, lalu mengeluarkan sebuah botol berisi
cairan berwarna merah darah.
Dikeluarkannya cairan itu beberapa tetes di antara kedua bibir anak itu.
Sekalipun masih pucat, Edouard membuka matanya hampir seketika.
Melihat ini ibunya hampir lupa daratan karena gembira.
"Di mana saya" Kepada siapa saya harus berterima kasih setelah selamat melampaui
cobaan Tuhan yang berat ini?"
"Nyonya," kata Monte Cristo, "Nyonya berada di rumah seorang yang merasa sangat
berbahagia memperoleh kesempatan untuk menghindarkan Nyonya dari bencana."
"Ini semua disebabkan keinginan saya yang tidak baik!.
Setiap orang di Paris berbicara tentang kuda yang indah gagah kepunyaan Nyonya
Danglars, dan saya cukup gila untuk ingin mencobanya."
"Apa kata Nyonya?" dengan kepura-puraan yang mengagumkan. "Apakah kedua kuda itu
milik Nyonya Danglars?"
"Ya. Tuan mengenalnya?"
"Saya beruntung sekali telah berkenalan dengan beliau.
Kegembiraan saya dapat menolong Nyonya menjadi
berlipat ganda, kecelakaan yang diakibatkan kuda itu mungkin dapat Nyonya
persalahkan kepada saya. Soalnya begini, saya membeli kuda itu dari Baron
Danglars kemarin. Tetapi, rupanya barones sangat sedih kehilangan kesayangannya
itu. Oleh sebab itu saya kembalikan lagi keduanya pada hari itu juga."
"Kalau begitu, tuan mesti Count of Monte Cristo yang diceriterakan Hermine
kemarin." "Benar, Nyonya."
"Saya, Nyonya Heloise de Villefort."
Monte Cristo membungkuk menerima perkenalan itu,
seakan-akan baru sekati itu mendengar nama itu.
"Oh, betapa besar rasa terima kasih suami saya nanti!
Tuan telah menyelamatkan putra dan istrinya sekaligus.
Bila tidak karena pelayan Tuan yang gagah berani itu, kami pasti sudah mati.
Saya harap Tuan memperkenankan saya memberikan penghargaan kepadanya."
''Saya harap Nyonya tidak merusak kesetiaan Ali kepada saya. Ali adalah hamba
saya. Dengan menyelamatkan jiwa Nyonya ia hanya mengabdi kepada saya, dan itu
adalah kewajibannya."
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi ia telah mempertaruhkan jiwanya sendiri."
"Saya pernah menyelamatkan jiwanya, Nyonya. Sebab itu boleh dikatakan jiwanya
telah menjadi milik saya."
Nyonya de Villefort terdiam. Mungkin ia berpikir tentang orang aneh ini yang
mempesonakan setiap ojang yang pernah melihatnya. Dalam kediaman ini Monte
Cristo memperhatikan Edouard yang terus-menerus diciumi
ibunya. Perawakannya pendek dan kurus, wajahnya agak pucat seperti biasa
terdapat pada anak-anak yang berambut merah. Namun, rambutnya yang hitam lebat
dan terurai sampai ke bahunya dan kadang-kadang menutupi sebagian wajahnya,
lebih menonjolkan lagi keliaran matanya yang penuh dengan kelicikan dan
kebinalan. Anak itu melepaskan dirinya dari dekapan ibunya, lalu membuka laci
tempat Monte Cristo menyimpan botol obat tadi. Dengan air muka seorang anak yang
biasa melaksanakan keinginannya dan yang tidak suka dicegah, ia membuka tutup
botol-botol yang berjejer di dalam laci tanpa meminta izin kepada siapa pun.
"Jangan menyentuh itu!" kata Monte Cristo tajam. "Ada beberapa yang sangat
berbahaya. Jangankan tertelan, terhisap pun sudah mematikan"
Nyonya de Villefort terkejut. la menarik anaknya.
Setelah agak reda, ia memperhatikan keadaan ruangan.
"Di sinikah Tuan biasa tinggal?" tanyanya, lalu berdiri.
"Tidak, Nyonya, rumah ini hanyalah semacam tempat menyepi. Saya tinggal di
Champs Elysee No. 30 . . . Saya lihat Nyonya telah pulih betul dan rupanya sudah
ingin pulang. Saya akan menyuruh memasang kuda pada kereta saya dan Ali akan
mengantarkan Nyonya sampai ke rumah.
Sementara itu sais Nyonya biar memperbaiki dahulu kereta Nyonya di sini dan
kalau dia sudah selesai saya akan meminjamkan sepasang kuda saya untuk
menariknya langsung ke rumah Nyonya Danglars."
"Tetapi saya takut menggunakan kuda itu lagi."
"Nyonya akan melihat nanti," kata Monte Cristo, "di tangan Ali mereka akan jinak
seperti biri-biri." Benar, Ali baru saja menghampiri kuda itu dengan
membawa sebuah kain yang telah dicelupkan ke dalam cairan berbau asam. Dia
menyapu hidung kuda dengan lap itu dan menyeka buih dan keringatnya. Lalu dia
memasangkannya pada kereta Monte Cristo. Setelah itu dia naik dan duduk di
tempat sais. Begitu jinaknya pasangan kuda itu sekarang sehingga Ali terpaksa
menggunakan cambuknya untuk membuatnya mulai bergerak. Hal ini sangat
mengherankan sekali bagi orang-orang di sekitar itu.
Sekalipun hanya dicambuk sekali-sekali, kuda itu tetap berjalan lambat sehingga
memerlukan waktu dua jam untuk sampai ke rumah Nyonya de Villefort di Faubourg
Saint-Hoftore. BAB XXVI MALAM harinya, Tuan de Villefort mengenakan jas
gelap dan sarung tangan putih, naik ke dalam keretanya dan turun di Champs
Elysee No. 30. Seandainya Count of Monte Cristo telah lama tinggal di Paris, dia akan
menghargai kunjungan ini. Tuan de Villefort bukan saja seorang jaksa, tetapi
juga boleh di-katakan seorang diplomat. Dia jarang sekali mau berkun-jung ke
rumah orang. Sekali setahun keluarganya mengadakan pesta di rumahnya, tetapi dia
sendiri tidak pernah hadir lebih dari seperempat jam. Tidak pernah ia pergi ke
teater, gedung konser atau tempat-tempat umum lainnya.
Sekali-sekali, tetapi jarang sekali, ia suka bermain bridge tetapi dengan kawankawan yang dipilihnya dengan teliti sekali, umpamanya seorang duta besar, atau
seorang pangeran atau seorang uskup.
Seorang pelayan memberitahukan kedatangan Tuan de Villefort kepada Count of
Monte Cristo ketika dia sedang menghadapi sebuah peta lebar mempelajari jalur
dari Saint Petersburg ke Cina. Jaksa Penuntut Umum itu memasuki ruangan dengan
langkah-langkah tegap dan ttratur seakan-akan ia memasuki ruang sidang
pengadilan. "Count," katanya memulai, "jasa yang Tuan berikan kepada istri dan anak saya
tadi siang mewajibkan saya mengucapkan terima kasih kepada Tuan. Kedatangan saya
sekarang untuk menjalankan kewajiban itu dan menyatakan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya." Ketika mengucapkan kata-kata ini air mukanya tidak berubah sama sekali, tetap
angkuh sebagaimana biasa, bahu dan lehernya tetap kaku. Orang sering
menjulukinya sebagai patung bernyawa.
"Saya sangat berbahagia dapat menolong seorang anak tersayang untuk ibunya,"
jawab Monte Cristo dingin,
"karena kata orang, kasih sayang seorang ibu merupakan perasaan yang paling
suci. Sebab itu, kebahagiaan yang ada pada saya dapat membebaskan Tuan dari
kewajiban itu, terlebih lagi karena saya mengetahui bahwa Tuan de Villefort
adalah orang yang tidak pernah menghambur-hamburkan kehormatan seperti yang
diberikannya sekarang kepada saya. Betapa berharganya pun kehormatan yang Tuan
berikan itu, bagi saya kutang nilainya dibandingkan dengan kepuasan yang ada
dalam hati saya." Mendengar jawaban yang tidak tersangka-sangka, Villefort terperanjat bagaikan
seorang serdadu tertusuk di balik baju besinya. Suatu gerak lembut pada bibirnya
yang biasa menghina orang, jelas menunjukkan bahwa ia tidak menganggap Count of
Monte Cristo sebagai orang yang tahu adat. Dia melihat ke sekeliling ruangan
mencari sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai dalih mengalihkan pembicaraan.
Melihat peta yang dihadapi Monte Cristo ia berkata, "Apakah Tuan menaruh
perhatian kepada ilmu bumi" Suatu ilmu yang bermanfaat sekali, terutama bagi
seorang seperti Tuan yang menurut pendengaran saya, ptdah berkunjung ke semua
negeri yang tercantum dalam peta."
"Ya," jawab Count, ''saya suka sekali mempelajari watak watak setiap manusia dan
berpendapat bahwa akan lebih mudah mempelajarinya dahulu watak manusia secara u
mum lalu menjurus kepada watak perorangan dibanding dengan sebaliknya."
"Aha, rupanya Tuan seorang filosof"' kata Vilefort setelah diam sejenak. Selama
diam itu dia mengumpulkan lagi tenaganya sebagai seorang olahragawan yang
menghadapi lawan yang berat. "Seandainya saya seperti Tuan dan menganggur, saya
dapat meyakinkan Tuan bahwa saya akan mencari pekerjaan yang lebih cerah."
"Benar, manusia itu mahluk yang buruk sekali apabila kita mempelajarinya lebih
teliti. Baru saja Tuan menyindir bahwa saya tidak mempunyai pekerjaan. Apakah
Tuan berpendapat bahwa Tuan sendiri mempunyai pekerjaan, Tuan de Villefort" Atau
tegasnya, apakah yang Tuan kerjakan sekarang itu cukup berharga?"
Keterkejutan Villefort meningkat lagi menerima tusukan kedua yang dilontarkan
oleh lawannya yang aneh ini.
"Perhatian Tuan hanya ditujukan kepada organisasi masyarakat belaka " kata Monte
Cristo selanjutnya. "Yang Tuan lihat hanya mesin-mesin saja, bukan orangorangnya yang bekerja di belakang mesin itu. Tuan hanya mengenal mereka yang
berpangkat, yang menerima pangkatnya dari seorang menteri atau seorang raja.
Tuan tidak dapat melihat mereka yang oleh Tuhan ditempatkan di atas menteri atau
raja. Mereka yang bukan diberi pangkat untuk dijabat, melainkan mereka uang
diberi sesuatu tugas untuk dilaksanakan."
"Dan Tuan menganggap diri Tuan sebagai salah seorang dari yang istimewa itu?"
tanya Vilfefprt yang sudah lebih terheran-heran lagi dan tidak dapat memastikan
apakah orang yang dihadapinya ini benar-benar orang yang istimewa atau orang
gila. "Ya, saya salah seorang dari mereka," jawab Monte Cristo dingin, "dan saya tidak
percaya bahwa pernah ada orang lain yang berada dalam keadaan seperti dalam
keadaan saya sekarang ini. Wilayah kekuasaan seorang raja terbatas oleh batasbatas yang alamiah atau oleh perbedaan adat kebiasaan dan perbedaan bahasa.
Kerajaan saya seluas dunia, oleh karena saya bukan orang Italia, bukan orang
Perancis, bukan orang Hindu, bukan orang Amerika atau orang Spanyol. Saya
seorang warga dunia. Saya
menterapkan semua adat kebiasaan dan berbicara dengan semua bahasa. Tuan akan
mengira saya orang Perancis karena saya berbicara bahasa Perancis selancar dan
sebaik Tuan. Tetapi Ali, hamba sahaya orang Nubia, menganggap saya orang Arab.
Bertuccio, pengurus rumahtangga saya, menganggap saya orang Romawi. Haydee, juga
hamba saya, menganggap saya orang Yunani. Oleh sebab itu, karena saya bukan warga
negara mana pun juga, karena saya tidak meminta perlindungan negara mana pun
juga, dan karena saya tidak memandang seorang pun sebagai saudara, saya tidak
pernah merasa terganggu oleh rintangan atau keseganan yang biasa melumpuhkan
mereka yang lemah. Saya hanya mempunyai tiga macam lawan. Yang pertama dan yang
kedua adalah jarak dan waktu. Tetapi dengan kegigihan dan ketekunan saya dapat
mengatasi keduanya. Yang ketiga, adalah yang paling mengerikan, yaitu bahwa saya
tidak kekal. Hanya itu yang dapat menghentikan saya sebelum mencapai tujuan.
Kecuali kalau maut telah merenggut, saya akan tetap seperti saya sekarang.
Itulah sebabnya sekarang saya mengatakan sesuatu yang belum Tuan dengar
sebelumnya, juga tidak dari mulut seorang raja, oleh karena raja memerlukan Tuan
dan orang lain takut kepada Tuan.
Siapakah orangnya dalam masyarakat yang menggelikan seperti masyarakat kita ini,
yang tidak pernah berkata kepada dirinya sendiri, 'Suatu saat mungkin saya harus
berhadapan dengan Jaksa Penuntut Umum'?"
"Sekalipun Tuan dapat berkata demikian namun selama Tuan berada di Perancis,
Tuan harus tunduk kepada hukum yang berlaku di Perancis."
"Saya menyadari itu, Tuan de Villefort Karenanya, saya setiap memasuki suatu
negara, terlebih dahulu saya mempelajari orang-orang yang mungkin menguntungkan
atau merugikan sampai saya mengenal mereka seperti mereka mengenal dirinya
sendiri, bahkan mungkin lebih.
Akibatnya, setiap jaksa yang mungkin harus saya hadapi akan berada dalam keadaan
yang lebih gawat daripada saya sendiri."
"Dengan kata lain," kata Villefort ragu-ragu, "manusia bersifat lemah dan setiap
orang menurut pendapat Tuan melakukan kesalahan."
"Benar, kesalahan dan kejahatan."
"Dan hanya Tuan sendiri yang sempurna?"
"Tidak, tidak sempurna," kata Monte Cristo, "hanya kebal. Saya menjaga dan
mempertahankan kehormatan saya terhadap manusia mana pun juga, tetapi
melepaskannya di hadapan Tuhan yang telah menjadikan saya dari tiada menjadi
seperti sekarang." "Saya sangat kagum," kata Villefort, "dan kalau benar-benar Tuan kuat, benarbenar unggul dan benar-benar sempurna atau kebal terhadap hukum, seperti yang
Tuan katakan tadi, saya hanya dapat berkata: berbanggalah dan pandai-pandailah
memanfaatkannya. Itulah hukum
kekuasaan. Tetapi, tentu setidak-tidaknya tuan mempunyai sesuatu cita-cita atau
semacamnya." "Benar, saya mempunyai ambisi itu."
"Bolehkah saya mengetahuinya?"
"Seperti biasa terjadi pada setiap manusia sekurang-kurangnya sekali selama
hidupnya, saya pun pernah diangkat setan sampai ke puncak gunung tertinggi di
dunia ini Dari atas sana ia menunjukkan seluruh jagat dan berkata kepada saya,
seperti dia berkata kepada Kristus: 'Wahai anak manusia, apa yang engkau
inginkan sebagai upah menuhankan aku?" Saya berpikir beberapa lama karena suatu
keinginan yang dahsyat memenuhi hati saya. Lalu saya menjawab: 'Saya selalu
mendengar tentang Tuhan, tetapi saya belum pernah melihatNya atau sesuatu yang
menyamainya, sehingga saya berpikir Tuhan itu tidak ada.
Saya ingin menjadi yang maha kuasa oleh karena yang paling penting dan paling
indah yang saya ketahui dalam dunia ini adalah, mengganjar dan menghukum.'
Tetapi setan itu menundukkan kepala dan mengeluh: 'Engkau keliru,'
katanya, 'Yang Maha Kuasa itu ada tetapi tak dapat dilihat.
Engkau tidak akan melihat sesuatu yang menyerupainya karena Ia bekerja melalui
relung-relung rahasia dan bergerak di jalur-jalur tersembunyi. Yang dapat aku
lakukan hanya membuatmu menjadi salah seorang petugas Yang Maha Kuasa.' Lalu
saya membuat perjanjian dengan dia.
Mungkin saya kehilangan jiwa karena itu, tetapi kalau saya mendapatkan lagi
kesempatan yang sama saya akan
mengulanginya lagi."
Keheranan Villefort sudah tidak dapat dikendalikan lagi, jelas sekali dari
suaranya ketika ia bertanya, 'Tidak adakah yang Tuan takuti kecuali mati?"
"Saya tidak mengatakan takut mati. Saya hanya mengatakan bahwa hanya matilah
yang dapat mencegah saya."
"Bagaimana tentang ketuaan?"
"Tugas saya akan selesai sebelum saya menjadi tua."
"Dan kegilaan?"
"Saya pernah akan menjadi gila, dan Tuan tentu mengenal dalil, Non bis in idem,
suatu dalil dalam ilmu hukum yang berarti sebuah perkara tidak boleh diadili dua
kali! Dalam hal saya berarti saya tidak akan menjadi gila untuk kedua kalinya."
"Masih ada lagi yang patut ditakuti di samping ketuaan dan kegilaan," kata
Villefort. "Umpamanya, penyakit ayan yang menyerang tanpa menghancurkan, tetapi
setelah itu segala-galanya habis. Datanglah ke rumah saya pada suatu waktu,
Tuan, dan saya akan memperkenalkan Tuan kepada ayah saya, Tuan Noirtier de
Villefort, seorang pengikut Jacobin yang gigih dalam Revolusi Perancis, seorang
yang barangkali tidak seperti Tuan pernah melihat kerajaan dunia, tetapi orang
yang pernah turut membantu
menggulingkan salah seorang raja yang paling berkuasa.
Namun, pembuluh darah otaknya yang pecah, telah
merubahnya sama sekali, bukan dalam sehari, bukan pula dalam sejam, melainkan
dalam sedetik. Tuan Noirtier, bekas anggota Jacobin, bekas senator, orang yang
menteriawakan ancaman pisau gflyotm meriam maupun belati, orang yang menganggap
Perancis hanya sebuah papan catur lebar belaka. Tuan Noirtier yang hebat,
sekarang telah menjadi Tuan Noirtier yang malang, orang tua yang lumpuh, bisu,
mayat hidup yang hanya tinggal menunggu saat-saat membusuknya."
"Apa kesimpulan tuan dari semua itu, Tuan de Villefort?"
"Saya menarik kesimpulan bahwa ayah saya hanyut terbawa nafsunya melakukan
kesalahan-kesalahan dan terhindar dari hukum manusia namun tidak dari Tuhan.
Tuhan telah menghukumnya karena perbuatannya itu."
Dengan sebuah senyum di bibir, Monte Cristo mengaum bagai harimau dalam lubuk
hatinya, yang dapat membuat Villefort lari tunggang langgang seandainya dia
dapat mendengarnya. "Saya harus minta diri, Count," kata Villefort yang sudah berdiri sejak lama,
"tetapi saya pergi dengan perasaan penuh penghargaan yang saya harap dapat
menyenangkan Tuan, seandainya Tuan mengenal saya lebih baik, sebab saya bukan
seperti orang biasa. Sama sekali tidak. Dan Tuan telah berhasil membuat Nyonya
de Villefort sebagai kawan yang kekal."
Setelah Jaksa Penuntut Umum itu pergi, Monte Cristo berkata kepada dirinya
sendiri, "Karena hatiku penuh dengan racun kebencian sekarang aku memerlukan
penawarnya." Dia memukul gong sekali. "Aku pergi menemui
Haydee," katanya kepada Ali. "Siapkan kereta setengah jam lagi."
BAB XXVII TENGAH hari Monte Cristo menyisihkan waktu
beberapa lama untuk dilewatkan bersama Haydee. Gadis Yunani ini menempati
apartemen yang sama sekali terpisah dari tempat Monte Cristo. Ruangannya
diperlengkapi dan diatur secara Timur. Lantainya seluruhnya tertutup oleh
permadani Turki yang tebal. Dindingnya dihias kain-kain sutera bersulam emas dan
di setiap kamar ada dipan yang lebar dengan bantal-bantal yang dapat diatur
menurut keinginan pemakainya.
Haydee sedang berbaring di lantai di atas bantal bersarung satin biru, sedang
kedua belah tangannya diletakkan di bawah kepala. Sikapnya yang khas Timur ini
mungkin akan terasa canggung oleh wanita-wanita Perancis. Matanya yang hitam
sayu, hidungnya yang mancung halus, bibirnya yang merah alamiah dan giginya yang
seperti mutiara, semuanya mewakili kecantikan seorang gadis Yunani Usianya tidak
akan lebih dari dua puluh tahun.
Monte Cristo memanggil pelayan bangsa Yunani dan
menyuruh menanyakan kepada Haydee apakah dia bisa menerimanya. Haydee bangkit
dan bertopang pada sebuah siku tangannya ketika Monte Cristo masuk. Lalu
mengulurkan tangannya yang sebuah lagi dengan senyum yang manis sekalL
"Mengapa Tuan harus meminta izin dahulu?" suaranya merdu khas seperti yang
dimiliki gadis-gadis Atena dan Sparta. "Apakah saya sudah bukan lagi hamba Tuan
dan Tuan bukan lagi tuan saya?"
"Haydee " jawab Count of Monte Cristo, "kita sekarang berada di tanah Perancis,
sebab itu engkau bebas."
"Bebas untuk apa?"
"Untuk meninggalkan aku."
"Mengapa saya harus meninggalkan Tuan?"
"Kita akan bertemu dengan banyak orang, dan bila, di antara pemuda-pemuda tampan
yang akan kita jumpai nanti ada yang menarik hatimu, tidak adil rasanya kalau
aku..." "Saya tidak akan lagi menemukan laki-laki yang lebih menarik daripada Tuan,
kecuali ayah."
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Masih ingatkah engkau akan wajah ayahmu?"
Haydee tersenyum. "Beliau berada di sini dan di sini."
katanya sambil menempatkan tangannya di matanya kemudian di dadanya.
"Dan aku berada di mana?" tanya Monte Cristo tersenyum pula.
"Tuan berada di mana-mana."
Monte Cristo menarik tangan Haydee untuk dicium,
tetapi Haydee menariknya. Sebagai gantinya ia
menyodorkan dahi. "Nah, Haydee," katanya, "engkau tahu bahwa engkau merdeka, bahwa engkau yang
menjadi tuan di sini, bahkan ratu. Engkau boleh menentukan sendiri apakah akan
memakai pakaian kebangsaanmu atau
mengesampingkannya. Terserah kepadamu. Engkau boleh tinggal di sini bua engkau
mau dan engkau boleh meninggalkan rumah ini kapan saja engkau suka. Akan selalu tersedia sebuah
kereta lengkap dengan kudanya. Ali dan Myrto akan menyertaimu dan keduanya siap
melaksanakan perintahmu. Hanya sebuah saja
permintaanku." "Katakanlah Tuan."
"Tetap rahasiakan kelahiranmu dan jangan bicarakan tentang masa lalumu, jangan
sekali-sekali menyebut nama ayahmu yang cemerlang itu atau nama ibumu yang
malang." "Sudah saya katakan, Tuan, bahwa saya tidak akan menemui siapa pun."
"Tidak mungkin engkau akan dapat mengasingkan diri di Perancis ini, seperti di
negeri-negeri Timur, Haydee.
Sebaiknya engkau terus mempelajari cara hidup orang di sini seperti yang telah
engkau lakukan di Roma, Florence, Milan dan Madrid. Pengetahuan itu akan selalu
berguna, tak perduli apakah engkau akan kembali ke Timur atau tetap tinggal di
sini." Haydee mengangkat matanya yang bundar tetapi telah membasah, lalu bertanya,
"Maksud Tuan apakah kita kembali ke Timur, bukan begitu?"
"Ya. Engkau mengetahui bahwa aku tidak akan meninggalkanmu. Bukan pohon yang
suka meninggalkan bunga, tetapi bunga yang suka meninggalkan pohon."
"Saya tidak akan meninggalkan Tuan," kata Haydee,
"karena saya tahu tidak akan bisa hidup tanpa Tuan."
"Manis, sepuluh tahun lagi aku sudah menjadi kakek-kakek sedangkan engkau masih
tetap muda. Engkau mencintaiku seperti engkau mencintai ayahmu sendiri"
"Tuan keliru. Saya tidak mencintai ayah seperti saya mencintai Tuan. Cinta saya
kepada Tuan sangat berbeda.
Bila ayah meninggal, saya tetap dapat hidup. Tetapi bila Tuan meninggal, saya
pun mati." Monte Cristo mengulurkan tangannya kepada Haydee
dengan senyum yang mesra sekali. Haydee menciumnya seperti biasa.
Monte Cristo meninggalkan Haydee sambil
mengucapkan sebaris sajak Pindar:
"Remaja adalah bunga
berubah menjadi buah, cinta.
Bahagia dia yang memelihara
dan memetiknya ketika masanya tiba."
BAB XXVIII MONTE Cristo tiba di Rue Meslay 27. Dia mengenali orang yang membukakan pintu
sebagai Cocles, tetapi Cocles tidak mengenal Monte Cristo.
Baptistin meloncat dari tempat duduknya untuk menanyakan apakah Tuan dan Nyonya
Herbault dan Tuan Maximilien berada di rumah dan dapat menerima Count of Monte Cristo.
"Count of Monte Cristo!" teriak Maxirnilien gembira setelah mendengar pesan itu.
Dia meletakkan cerutunya dan berlari menyambut tamunya.
"Terima kasih banyak, Count, untuk tidak melupakan janji Tuan kepada kami!"
Perwira muda itu menjabat tangan Monte Cristo dengan hangat sekali sehingga
tidak mungkin ada keraguan lagi tentang ketulusan hatinya.
"Silakan ikuti saya," kata Maximilien, "saya ingin mem-perkenalan Tuan secara
pribadi. Adik saya sedang di kebun mengurusi taman mawarnya sedang suaminya
sedang membaca surat kabar, juga di sana. Di mana saja Nyonya Herbault berada, Tuan
boleh yakin bahwa suaminya pasti berada di sekitar itu, dan sebaliknya.1'
Mendengar suara langkah mereka seorang wanita muda berumur dua puluh limaan,
berbaju gaun pagi dari sutera mengangkat kepala. Dia agak terkejut melihat tamu
yang tidak dikenalnya. Maximilien tertawa.
"Kakak saya ini agak keterlaluan dengan membawa Tuan ke mari," katanya kepada
Monte Cristo. "Dia tidak pernah mempertimbangkan perasaan adiknya. . . Penelon!
Penelon!" Seorang laki-laki tua yang sedang bekerja mengurus mawar Bengali meletakkan
singkupnya di tanah, lalu menghampiri dengan topi di tangan dan berusaha sebaikbaiknya menyembunyikan susur di mulut. Wajahnya yang mengki-lat dan matanya yang
menyinarkan keberanian dan
ketajaman jelas menunjukkan ia seorang pelaut kawakan, yang kulitnya coklat
karena bakaran matahari tropis dan badannya tangguh karena tempaan badai dan
taufan yang berbilang-bilang.
"Nona memanggil saya, Nona Julie?" katanya. Dia tetap memanggil putri majikannya
dengan 'Nona Julie', dan tidak pernah berhasil membiasakan dari memanggilnya
Nyonya Herbault. "Penelon! Katakan kepada Tuan Herbault, ada tamu."
Berbalik kepada Monte Cristo, ia menambahkan, "Maafkan saya sebentar, Tuan?"
Tanpa menunggu jawaban ia menghilang di antara
semak-semak masuk ke dalam rumah melalui pintu
samping. Tak beberapa lama kemudian Herbault datang menyambut tamunya dengan ramah
sekali. Setelah mengantar Count of Monte Cristo melihat-lihat kebun sebentar,
dia membawa tamunya ke dalam rumah, Udara dalam ruangan yang mereka masuki harum
semerbak dari bunga-bunga yang memenuhi sebuah jambangan besar buatan Jepang.
Julie yang sekarang sudah berpakaian rapih, menunggu mereka di sana. Burungburung dalam sangkar besar yang terletak tidak jauh berkacauan riang. Daun-daun
pepohonan yang hijau segar dan tumbuh dekat jendela berdesir mengusap-usap tirai
jendela beludru biru. Segala sesuatu dalam rumah mungil terpencil ini
menghembuskan kedamaian, mulai dari kicau burung sampai kepada senyum
pemiliknya. Sejak menginjakkan kakinya dalam ruangan ini Monte Cristo sudah
dapat merasakan kebahagiaan yang meliputi seisi rumah. Dia terdiam, lupa bahwa
setelah berbasa-basi, tuan rumah mengharapkan benar melanjutkan percakapan. Baru
kemudian dia sadar akan kesunyian yang hampir mengganggu ini, lalu cepat-cepat
berusaha melepaskan diri dari renungannya.
"Nyonya," katanya, "maafkan perasaan saya yang mungkin sekali mengherankan bagi
Nyonya yang sudah terbiasa dengan kedamaian dan kebahagiaan Tetapi buat saya
merupakan suatu pengalaman yang aneh sekali dapat menemukan orang yang
berbahagia sehingga sulit bagi saya mempercayainya,"
"Tidak kami pungkiri bahwa kami sangat berbahagia,"
jawab Julie, "namun betapa kami menderita sebelumnya.
Dan hanya sedikit orang yang membayar kebahagiaan dengan harga yang tinggi
sekali seperti yang kami lakukan."
Air muka Monte Cristo menunjukkan rasa ingin tahu.
"Apakah Tuhan memberikan hiburan dalam penderitaan itu seperti Dia berikan
kepada yang lain?" "Betul" kata Juhe, "secara jujur kami berani mengata-kan Dia telah memberikan
sesuatu bagi kami yang hanya Dia berikan kepada orang-orang yang dikehendakiNya.
Dia telah mengutus salah seorang malaikatNya kepada kami."
Pipi Monte Cristo memerah dan ia pura-pura batuk.
Untuk menyembunyikan perasaannya ia menutup batuknya dengan saputangan sehingga
wajahnya agak tersembunyi Lalu dia berjalan bolak-balik.
"Mungkin Tuan mentertawakan perasaan yang ada pada kami," kata Maximilien.
"Oh tidak, sama sekali tidak," jawab Monte Cristo cepat.
Ia menunjuk kepada sebuah bola dunia dari kristal yang di dalamnya terdapat
sebuah dompet sutera terletak di atas sebuah bantal kecil terbuat dari beludru
hitam. "Saya sedang bertanya-tanya dalam hati apa arti dompet yang disimpan
dengan kehormatan seperti itu."
"Barang itu adalah kekayaan keluarga kami yang paling berharga," jawab
Maximilien dengan tekanan suara.
"Isinya, sepucuk surat dan sebuah intan," sambung Julie,
"peninggalan malaikat yang tadi saya katakan."
"Count," kata Maximilien, mengeluarkan dompet itu dan menciumnya, "dompet ini
pernah berada pada tangan orang yang menyelamatkan ayah kami dari kematiau,
menyelamatkan kami dari kehinaan dan kemiskinan dan menyelamatkan kehormatan
nama keluarga kami. Surat ini ditulis oleh orang itu pada hari ketika ayah kami
sudah sampai ke puncak keputusasaan, dan penolong yang tidak dikenal itu
memberikan intan ini kepada Julie sebagai hadiah perkawinan."
Monte Cristo membaca surat itu dengan perasaan
bahagia yang tidak terlukiskan. Surat itu dialamatkan kepada Julie dan
ditandatangani oleh Sinbad Pelaut.
'Tadi Tuan mengatakan 'tidak kenal," kata Monte Cristo.
"Apakah orang yang telah berbuat itu berarti masih tetap merupakan rahasia bagi
Tuan?" "Benar, kami belum pernah mendapat kesempatan menjabat tangannya padahal kami
senantiasa meminta kepada Tuhan agar kami dipertemukan dengan orang Itu. Dia
seorang Inggris yang mewakili Firma Thomson and French di Roma. Itulah sebabnya
saya sangat terkejut ketika mendengar Tuan mengatakan firma itu sebagai bankir
Tuan. Katakanlah demi Tuhan, kenalkah Tuan dengan orang itu?"
"Sebentar," kata Monte Cristo, "apakah orangnya kira-kira sebesar saya, lebih
tinggi dan lebih kurus sedikit,, selalu memakai jas berkerah tinggi dan selalu
memegang pensil di tangannya?"
"Tuan mengenalnya kalau begitu!" Julie berteriak, matanya berkilat gembira.
'Tidak, saya hanya menerka-nerka. Saya mengenal
seorang bernama Lord Wilmore yang biasa melakukan amal-amal seperti itu tanpa
mau diketahui orang. Dia seorang aneh yang tidak mempercayai adanya rasa terima
kasih yang semurni-muminya pada manusia. Tetapi sejak ia berbuat banyak kebaikan
dengan cara itu, ia mendapatkan bukti-bukti bahwa ia keliru."
"Kalau Tuan mengenalnya, tolong kami perkenalkan!"
Julie meminta dengan sangat. "Seandainya kami dapat bertemu, dia pasti percaya
betapa kami berterima kasih kepadanya!"
"Sayang sekali," kata Monte Cristo. Dia mencoba menekan perasaan dalam suaranya.
"Seandainya benar yang dicari itu Lord Wilmore, saya khawatir Nyonya tidak akan
dapat menemuinya. Ketika saya berpisah dengan dia dua atau tiga tahun yang lalu
di Palermo, ia sedang bersiap-siap untuk bepergian ke negeri-negeri yang jauh
sekali, bahkan saya meragukan bahwa ia akan kembali lagi. Di samping itu, jangan
terlalu bersandar kepada terkaan saya tadi. Lord Wilmore belum tentu orang yang
dicari. Dia dan saya bersahabat karib, tetapi dia tidak pernah mengatakan
perkara ini kepada saya."
"Walaupun demikian, Tuan segera teringat kepadanya,"
kata Julie. "Saya hanya menerka saja."
"Di samping itu, Julie," kata Maximilien memihak kepada Monte Cristo, "jangan
lupa apa yang sering ayah katakan kepada kita: Bukan orang Inggris itu yang
memberikan kebahagiaan kepada kita."
Monte Cristo terkejut. "Ayah Tuan mengatakan . ... "
"Benar, Count. Ayah kami melihat sesuatu keajaiban dalam kejadian ini. Beliau
yakin bahwa penolongnya itu seorang yang bangkit kembali dari kuburnya. Ini
tidak masuk akal. Sekalipun saya sendiri tidak mempercayainya namun saya tidak
berkeinginan merusak keyakinan ayah.
Dan ketika beliau hendak meninggal, kata-katanya yang terakhir adalah:
Maximilien, yang menolong kita itu, Edmond Dantes!"
Wajah Monte Cristo menjadi pucat sekali Seakan-akan peredaran darahnya terhenti
sesaat, dan dia tidak berkata apa-apa. Dia melihat erlojinya, mengucapkan
beberapa kata pujian bagi Nyonya Herbault dengan kaku sekali, lalu berjabat
tangan dengan Emmanuel dan Maximilien.
"Nyonya, bolehkah saya kembali lagi pada suatu hari nanti"
Saya menyukai rumah Nyonya, dan saya sangat berterima kasih untuk penerimaan
Nyonya. Hari ini setelah beberapa tahun adalah untuk pertama kalinya saya dapat
melupakan lagi diri sendiri." Lalu dia cepat-cepat keluar.
"Orang yang aneh," kata Emmanuel.
"Ya," jawab Maximilien, "tetapi hatinya baik dan saya yakin dia menyukai kita."
"Bagi saya " kata Julie, "suaranya langsung menembus jantung. Kadang-kadang saya
mempunyai perasaan pernah mendengar suara itu."
BAB XXIX KEDATANGAN Count of Monte Cristo di rumah
Villefort dengan maksud mengadakan kunjungan balasan telah menimbulkan semacam
kegemparan dalam rumah itu.
Nyonya de Villefort sedang berada di kamarnya ketika kedatangan tamu
diberitahukan kepadanya. Ia segera menyuruh memanggil puteranya supaya dapat
sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada Count of Monte Cristo.
Setelah berbasa-basi Monte Cristo menanyakan Tuan de Villefort.
"Suami saya mendapat undangan makan malam dari Perdana Menteri," jawab wanita
itu. "Dia baru saja beberapa menit yang lalu berangkat, dan saya yakin ia akan
menyesal tidak dapat berjumpa dengan Tuan .. Edouard, di mana Valentine" Panggil
dia supaya dapat aku perkenalkan."
"Apakah Nyonya mempunyai puteri?"
"Puteri Tuan de Villefort dari pernikahannya yang pertama."
Selang beberapa lama Valentine memasuki ruangan. Ia, gadis tinggi langsing
berumur kira-kira sembilan belas tahun. Matanya biru kelam, tangannya putih
ramping. Ketika melihat ibu arinya berhadapan dengan tamu yang sering dia dengar
tentangnya, dia memberi hormat dengan menekukkan lututnya dan sedikit kemalumaluan namun dengan keanggunan yang menarik perhatian Monte Cristo.
"Maaf, Nyonya," kata Monte Cristo melihat berpindah-pindah dari Nyonya de
Villefort ke Valentine, "benarkah saya pernah mendapat kehormatan bertemu dengan
Nyonya dan Nona ini di suatu waktu di suatu tempat" Sejak lama saya mengingatingat ini, dan ketika Nona de Villefort tadi masuk, seakan-akan timbul lagi
secercah cahaya kepada daya ingatan saya yang telah melemah ini."
"Saya kira tidak mungkin, Tuan. Kami jarang sekali bepergian," kata Nyonya de
Villefort. "Bukan, bukan di Paris. . . . Maaf, saya mencoba menginat ingatnya lagi . . .
rasanya seperti di suatu hari yang cerah dan dalam semacam pesta
keagamaan. . . ." "Mungkin sekali Count of Monte Cristo melihat kita di Italia," kata Valentine.
"Betul, Nona!" teriak Monte Cristo. "Di Perugia ketika ada pesta Corpus Christi
di kebun hotel." "Memang saya ingat pernah ke Perugia," kata Nyonya de Villefort, "namun saya
tidak ingat kita pernah berkenalan."
"Biarkan saya membantu menyegarkan kembali ingatan Nyonya. Ketika itu hari
sangat panas. Nyonya sedang menunggu kereta yang terlambat datang karena
terhalang pesta itu. Nona de Villefort berjalan-jalan di sekitar kebun sedangkan
putra nyonya mengejar-ngejar burung. Ingatkah Nyonya pada waktu itu duduk di
atas sebuah bangku batu dan berbicara dengan seseorang?"
"Oh, ya," kata Nyonya de Villefort, pipinya sedikit kemerah-merahan, "saya
bercakap-cakap dengan seorang yang bermantel panjang . . . seorang dokter saya
kira." "Sayalah orang itu, Nyonya. Ketika itu saya telah tinggal di hotel itu selama
dua minggu. Dan waktu itu saya baru menyembuhkan pelayan saya dari penyakit
demam panas dan pemilik hotel dari penyakit kuning, sehingga saya dianggap orang
sebagai dokter yang hebat di sana."
"Karena Tuan menyembuhkan orang sakit, dengan sendirinya Tuan seorang dokter,
bukan?" "Bukan, Nyonya, saya bukan dokter sekalipun saya telah mempelajari ilmu kimia
dan ilmu alam dengan agak
mendalam" Jam berbunyi enam kali. "Sudah jam enam, Valentine," kata Nyonya de Villefort agak terperanjat. "Coba
lihat apakah kakekmu sudah siap untuk makan malam?"
Valentine berdiri, memberi hormat kepada Monte Cristo, lalu pergi tanpa berkata
sepatah pun. "Apakah karena saya, Nyonya menyuruh Nona de Villefort pergi?" tanya Monte
Cristo setelah Valentine meninggalkan ruangan.
'Tidak, sama sekali tidak!" jawab Nyonya de Villefort.
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jam enam adalah waktu kami biasa menyediakan makan malam bagi Tuan Noirtier.
Saya kira Tuan telah mengetahui tentang keadaan mertua saya."
"Sudah. Tuan de Villefort mencenterakannya kepada saya."
"Maafkan saya telah menyinggung kemalangan dalam rumahtangga kami. Tadi Tuan
sedang menceriterakan bahwa Tuan seorang ahli ilmu kimia."
"Oh, bukan itu maksud saya," jawab Monte Cristo tersenyum. "Saya mempelajari
ilmu kimia semata-mata karena saya bermaksud tinggal di negeri Timur dan ingin
mencontoh Raja Mifhridates."
"Mithridafes, rex Ponticus," tiba-tiba Edouard memasuki pembicaraan sambil
mengguntingi potret-potret dari sebuah album besar. "Dia adalah raja yang biasa
mencampur susunya dengan racun untuk sarapan setiap pagi."
"Edouard, terlalu engkau!" kata ibunya merebut album dari tangan anaknya.
"Engkau benar-benar menjengkelkan!
Keluar dan temani kakakmu!"
"Saya tidak mau pergi kalau album itu tidak diberikan,"
kata anak itu dengan seenaknya lalu merebahkan diri di kursi besar.
"Baik, tetapi pergi dari sini." Nyonya de Villefort memberikan album itu kepada
anaknya lalu menuntun dia keluar kamar.
"Apakah dia akan mengunci pintu?" tanya Monte Cristo dalam hatinya.
Nyonya de Villefort mengunci pintu dengan hati-hati.
Count of Monte Cristo pura-pura tidak melihatnya.
"Apa yang dikatakan putra nyonya tadi tersebut dalam buku karangan Cornebus
Nepos," kata Monte Cristo. "Ini menunjukkan bahwa pengetahuannya sudah banyak
sekali bagi anak seumur dia."
"Memang ia mudah sekali belajar," jawab ibunya yang merasa terpuji. "Sayangnya,
keras kepalanya itu bukan main. . . . Sehubungan dengan apa yang dikatakan tadi,
apakah Tuan percaya bahwa Raja Mithridates benar-benar mengebalkan dirinya
terhadap racun dengan cara
demikian?" "Percaya, Nyonya. Saya sendiri menjaga diri dengan cara yang sama untuk mencegah
jangan sampai diracun orang di Napoli, Palermo dan Smirna Dan di ketiga tempat
itu saya terhindar dari maut."
"Saya ingat Tuan telah menceriterakan itu kepada saya di Perugia."
"Apakah benar," tanya Monte Cristo seakan-akan terkejut. "Saya tidak ingat sama
sekali." "Bagaimana caranya Tuan membiasakan diri terhadap racun itu?"
"Sederhana sekali. Katakanlah Nyonya mengetahui terlebih dahulu racun macam apa
yang akan dikenakan orang terhadap diri Nyonya. Umpamanya saja racun brucine."
"Brucine itu berasal dari brucea ferruginea, bukan?"
'Tepat sekali. Saya kira, tidak banyak yang harus saya ajarkan lagi kepada
Nyonya. Jarang sekali ada wanita yang mempunyai pengetahuan seperti yang Nyonya
miliki . . . Baik, umpamanya racun itu brucine. Hari pertama nyonya menelannya sebanyak satu
miligram, hari kedua dua miligram dan seterusnya sampai Nyonya memakannya
sepuluh miligram pada hari yang kesepuluh. Setelah itu tambah menjadi dua
miligram sehari, sehingga pada hari yang kedua puluh nyonya telah menelan
sebanyak tiga puluh miligram, suatu jumlah yang tidak akan berbahaya bagi Nyonya
tetapi sangat mematikan bagi mereka yang tidak biasa."
"Saya sering sekali membaca kisah tentang Raja Mithridates itu," kata Nyonya de
Villefort sambil memikirkan sesuatu, "tetapi saya selalu menganggapnya sebagai
suatu dongeng belaka."
"Tidak, Nyonya. Kisah itu benar-benar nyata. Selain dari itu, orang-orang Timur
menggunakan racun tidak hanya sebagai perisai, tetapi juga sebagai senjata.
Mereka menggunakannya dengan keahlian yang sangat tinggi sehingga hukum manusia
tidak akan dapat menangkapnya. Cobalah Nyonya pergi ke luar Perancis, ke Kairo,
Napoli atau Roma, Nyonya akan bertemu dengan banyak orang yang tampaknya segarbugar, namun setan yang mengetahuinya akan berbisik ke telinga Nyonya, Orang itu
telah diracun selama tiga minggu, bulan depan dia akan mati kejang.
Racun itu menyerang salah suatu bagian tubuh tertentu, lalu menimbulkan semacam
penyakit yang tidak asing bagi dunia kedokteran tetapi mematikan. Dan terjadilah
pembunuhan sempurna yang tidak akan terbongkar untuk selama-lamanya "
"Sungguh menakutkan, namun juga mengagumkan!"
kata Nyonya de Villefort yang mendengarkan keterangan Monte Cristo dengan penuh
perhatian. "Untung sekali racun demikian hanya dapat dibuat oleh ahli-ahli kimia
saja, kalau tidak, setengah penduduk dunia ini akan meracun penduduk yang
setengahnya lagi." "Oleh ahli kimia atau seseorang yang telah mempelajari ilmu kimia," Jawab Monte
Cristo. "Tuan sendiri tentu Seorang ahli yang besar, karena telah dapat membuat obat
mujarab yang dapat menyembuhkan anak saya tempo hari. . . ."
"Jangan Nyonya keliru sangka. Setetes dari obat itu akan segera menyadarkan
orang pingsan. Tiga tetes akan mempengaruhi peredaran darah sehingga membuat
jantung berdebar keras dan sepuluh tetes akan mematikan. Tentu Nyonya masih
ingat betapa cepatnya saya mencegah putra Nyonya mempermainkah botol itu ketika
di rumah saya." "Artinya obat itu racun yang keras."
"Bukan begitu. Lagi pula harus kita camkan kata 'racun1
itu tidak bermakna apa-apa, karena dalam dunia kedokteran racun yang sangat
keras dapat menyembuhkan penyakit apabila digunakan dengan aturan dan ukuran
yang tepat." "Kalau bukan racun, apa namanya?"
"Itu adalah suatu persenyawaan kimia yang sengaja dibuat untuk saya oleh seorang
kawan yang sangat terpelajar dan yang mengajarkan kepada saya bagaimana menggunakannya."
"Saya mengerti, rupanya suatu obat penyembuh kekejangan."
"Dan yang sangat mujarab, Nyonya, seperti telah Nyonya saksikan sendiri. Saya
sendiri sering sekali meminumnya . . . dengan sangat hati-hati tentu," tambah
Monte Cristo sambil tersenyum.
"Saya percaya Tuan melakukannya," jawab Nyonya de Villefort dengan nada yang
sama seperti nada Monte Cristo.
"Saya sendiri, yang selalu gelisah dan gampang pingsan, karena tidak mempunyai
kawan yang terpelajar seperti Tuan, terpaksa memakai obat anti kejang ramuan
Tuan Planche." "Saya lebih suka memakai ramuan sendiri."
"Tentu saja. Saya pun akan berlaku begitu kalau saya mempunyainya, terutama
sekali setelah melihat sendiri bagaimana khasiatnya. Tetapi saya kira ramuan itu
sangat rahasia dan saya sendiri pun tidak cukup berani
menanyakan. bagaimana membuatnya."
'Tetapi saya cukup sopan untuk menawarkannya kepada Nyonya," jawab Monte Cristo
sambil bangkit dari kursinya.
"Oh!" "Hanya saja harap diingat baik-baik, dalam ukuran yang kecil, dapat merupakan
obat, tetapi akan menjadi racun berbahaya dalam jumlah yang besar. Lima sampai
enam tetes sudah dapat mematikan. Dan ramuan ini menjadi lebih berbahaya lagi
karena apabila yang lima atau enam tetes ini dicampurkan dengan segelas anggur
dia tidak akan mempengaruhi rasa dan bau anggur itu."
Jam menunjukkan setengah tujuh. Pada saat itu seorang pelayan datang
memberitahukan kedatangan tamu yang diundang makan malam oleh Nyonya de
Villefort. "Seandainya pertemuan kita ini merupakan pertemuan yang ketiga atau keempat
kalinya," kata Nyonya de Villefort, "dan apabila seandainya saya diberi
kehormatan menjadi kawan Tuan, bukan hanya sebagai orang yang berhutang budi
kepada Tuan, saya akan meminta dengan sangat agar Tuan sudi turut makan bersama
kami, dan saya tidak akan membiarkan diri saya putus asa karena penolakan yang
pertama." "Terima kasih banyak, Nyonya," jawab Monte Cristo,
"tetapi saya pun mempunyai janji lain yang harus saya tepati."
"Baiklah, dan harap Tuan tidak melupakan obat yang dijanjikan tadi."
"Tidak, Nyonya, pasti tidak. Melupakan itu berarti saya lupa kepada,percakapan
kita hari ini, suatu hal yang tidak mungkin."
Count of Monte Cristo membungkukkan badan memberi hormat, lalu meninggalkan
ruangan. Hasil pembicaraannya melebihi apa yang diharapkannya. "Aku yakin, benih
yang aku taburkan tidak jatuh di tanah yang gersang," katanya kepada dirinya
sendiri. Keesokan harinya, sesuai dengan janjinya ia mengirimi Nyonya de Villefort obat
yang dimintanya. BAB XXX BEBERAPA hari kemudian Albert de Morcerf
mengunjungi Count of Monte Cristo di Champs Elysee Rumah tersebut, sekalipun
hanya merupakan tempat kediaman sementara, namun berkat kekayaan Monte Cristo yang seakan-akan tak
terbatas, telah diatur seperti sebuah istana. Albert ditemani oleh Lucien
Debray. Count of Monte Cristo memikirkan bahwa kunjungan Debray
didorong oleh kepentingan berganda. Salah satu di antaranya, karena Nyonya
Danglars yang tidak dapat melihat sendiri rumah orang yang dengan gampang
memberikan begitu saja sepasang kuda yang berharga puluhan ribu frank dan
menonton opera dengan seorang gadis hamba sahaya yang mengenakan perhiasan
berharga jutaan frank, telah mengutus Debray untuk melihat-lihat bagi dia dan
melaporkannya nanti. Namun Monte Cristo tidak memperlihatkan perkiraannya itu.
''Masih seringkah Tuan bertemu dengan Baron
Danglars?" tanya Monte Cristo kepada Albert.
"Tentu saja. Bukankah telah saya ceriterakan hubungan saya dengan keluarga
mereka." "Berarti hubungan itu masih baik."
"Ya. Segala-galanya telah ditetapkan "
"Apakah dia cantik?"
"Bahkan cantik sekali. Tetapi, dia bukan selera saya. Dan saya tidak berharga
dibandingkan dengan dia!"
"Tuan berbicara seakan-akan telah menjadi suaminya!"
kata Monte Cristo. "Kelihatannya Tuan tidak begitu gembira dengan rencana
perkawinan ini." "Nona Danglars terlalu kaya bagi saya," jawab Albert.
"Dan ini menakutkan saya."
"Bagi saya," kata Monte Cristo, "sukar sekali memahami keengganan Tuah menikah
dengan seorang gadis yang cantik lagi kaya."
"Saya bukanlah satu-satunya orang yang berkeberatan dengan pernikahan itu. Ibu
pun tidak menyetujuinya. Saya kira ada sesuatu yang tidak beliau sukai dalam
keluarga Danglars itu . . . Tuan sangat berbahagia menjadi orang yang bebas!"
"Kalau begitu, bebaskanlah diri Tuan sendiri. Siapa yang akan menghalangi?"
"Ayah akan sangat kecewa apabila saya tidak menikahi Nona Danglars."
"Kawinlah dengan dia," kata Monte Cristo sambil mengangkat bahu.
"Sebaliknya " kata Albert, "ibu akan lebih dari kecewa apabila saya jadi kawin
Hati beliau akan sakit sekali."
"Kalau begitu jangan kawin."
"Saya akan mencoba mengambil keputusan. Sudikah Tuan memberi saya nasihat"
Barangkali Tuan dapat membantu saya keluar dari kemelut ini. . . . Tetapi,
apabila saya terpaksa harus memilih Salah satu dari dua keburukan, saya bersedia
berbantahan dengan ayah demi menghindarkan ibu dari kepedihan."
Monte Cristo membalikkan badan. Rupanya
perasaannya agak terganggu. "Hai," katanya kepada Debray yang sedang duduk di
sudut ruangan dengan sebuah pensil di tangan dan sebuah buku catatan di tangan
yang lain. "Apa yang sedang Tuan kerjakan" Menggambar?"
"Tidak. Saya sedang menghitung berapa keuntungan yang telah diperoleh Danglars
dari kenaikan harga saham di Haiti. Harga saham telah naik dari dua ratus enam
menjadi empat ratus sembilan dalam tiga hari. Bankir yang cekatan itu telah
memborongnya ketika harga masih dua ratus enam, lalu menjualnya lagi dengan
harga tinggi. Dia tentu beruntung tiga ratus ribu frank. Sekarang, harganya
telah turun lagi menjadi dua ratus lima."
"Kalau Tuan Danglars berani berspekulasi untung atau rugi tiga ratus ribu frank
dalam sehari, tentu ia seorang yang sangat kaya," kata Monte Cristo.
"Bukan dia yang suka berspekulasi itu!" kata Debray.
"Nyonya Danglars. Dia sangat berani."
"Kalau aku menjadi engkau," kata Albert, "aku akan menyembuhkannya dari
penyakitnya, dan ini akan merupakan jasa yang baik bagi calon menantunya."
"Maksudmu?" "Aku akan membuatnya jera. Kedudukanmu sebagai sekertaris menteri menyebabkan
berita-berita yang datang darimu diperhatikan dan diperhitungkan orang. Setiap
kali engkau membuka mulut, semua pedagang saham di Paris mencatat kata demi
kata.. Buatlah dia rugi seratus ribu frank beberapa kali, dia segera akan
menjadi lebih hati-hati."
"Aku belum dapat mengerti maksudmu " kata Debray sedikit terbata-bata.
"Sangat sederhana," lanjut Albert. "Ceriterakan pada suatu hari kepadanya sebuah
berita yang sensasionil atau sebuah berita telegram yang hanya engkau sendiri
yang dapat mengetahuinya. Umpamanya saja, bahwa Raja
Henry IV kemarin kelihatan di Gabrielle. Berita ini akan menyebabkan kenaikan
harga saham. Nyonya Danglars pasti akan segera membeli saham-saham itu. Dan dia
pasti akan merugi kalau keesokan harinya Beauchamp
membantah dalam korannya dengan menyatakan bahwa
menurut keterangan dari sumber yang dapat dipercaya berita yang mengatakan bahwa
Raja Henry IV berada di Gabrielle, adalah tidak benar."
Debray memaksakan diri tertawa. Monte Cristo juga, sekalipun tampaknya acuh tak
acuh, mengikuti kata demi kata pembicaraan Albert. Bahkan ia dapat mencium
semacam rahasia yang tersembunyi di balik kebingungan Debray. Kebingungan ini,
yang tidak kelihatan oleh Albert, menyebabkan Debray segera meminta diri. Jelas
sekali bahwa pikirannya kacau.
"Benarkah," kata Monte Cristo kepada Albert setelah dia mengantarkan Debray
sampai ke pintu, "ibu Tuan sangat tidak menyetujui perkawinan itu seperti yang
Tuan katakan tadi?" "Demikian tidak menyetujuinya sehingga Nyonya Danglars tidak pernah mau
berkunjung ke rumah kami. Dan saya kira ibu pun baru sekali berkunjung ke
rumahnya sampai sekarang."
"Kalau begitu," kata Monte Cristo lagi, "saya merasa akan lebih bebas berbicara.
Tuan Danglars adalah bankir saya dan Tuan de Villefort menghormat saya secara
berlebih-lebihan sebagai tanda terima kasihnya untuk sebuah jasa yang kebetulan
sekali dapat saya perbuat untuk keluarganya- Berdasarkan ini saya merencanakan
sebuah jamuan makan. Agar tidak timbul wasangka yang bukan-bukan di kemudian
hari, saya bermaksud mengundang keduanya bersama istri makan malam di rumah saya
di Auteuil. Kalau saya mengundang juga Tuan dan orang tua Tuan, saya khawatir
akan tampak sebagai suatu pertemuan untuk merencanakan perkawinan. Setidaktidaknya ibu Tuan akan berpikir demikian, apalagi kalau Tuan Danglars membawa
serta puterinya Dengan demikian saya akan membangkitkan ketidaksenangan ibu
Tuan, padahal saya ingin menghindarkannya."
"Terima kasih untuk keterbukaan Tuan," kata Albert.
"Saya senang sekali mendahului undangan Tuan menceriterakannya kepada ibu. Juga
akan saya ceriterakan betapa kehati hati an pertimbangan Tuan, dan saya yakin
beliau akan sangat berterima kasih, sekalipun ayah pasti akan marah kalau
mengetahuinya." Monte Cristo tertawa. "Ayah Tuan bukan satu-satunya yang akan marah. Tuan dan
Nyonya Danglars pun akan bertanya-tanya mengapa saya tidak mengundang Tuan dan
pasti mereka akan menganggap saya sebagai orang yang tidak mengetahui tata
kesopanan. Usahakanlah supaya Tuan mempunyai janji yang sangat penting pada hari
yang bersamaan, dan kirimlah surat kepada saya tentang itu.
Seperti Tuan ketahui, seorang bankir tidak mempercayai sesuatu kalau tidak
tertulis." "Saya mempunyai gagasan yang lebih baik dari itu. Sejak lama sekali ibu
menginginkan berlibur ke pantai. Kapan tuan bermaksud mengadakan jamuan itu?"
"Sabtu." "Sekarang hari Selasa. Baik, kami akan berangkat esok sore dan lusa kami sudah
berada di Treport. Saya akan segera menemui Tuan Danglars hari ini juga untuk
mengatakan bahwa ibu dan saya akan meninggalkan Paris esok.
Saya akan berpura-pura tidak bertemu dengan Tuan dan tidak mengetahui apa-apa
tentang jamuan makan yang akan Tuan selenggarakan."
"Bagaimana dengan Tuan Debray yang mengetahui Tuan di sini?"
"Benar juga." "Begini sebaiknya. Saya mengundang Tuan secara tidak resmi sekarang dan Tuan
menjawab bahwa Tuan tidak dapat hadir karena akan bepergian ke Treport."
"Setuju. Dan sekarang izinkan saya mengundang Tuan ke rumah pada jam berapa saja
Tuan kehendaki asal sebelum hari esok."
The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Terima kasih. Tetapi sayang sekali, saya khawatir tidak dapat memenuhinya. Saya
mempunyai janji yang sangat penting dengan Mayor Bartolomeo Cavalcanti - seorang
dari salah satu keluarga bangsawan yang tertua di Italia dan putranya Andrea, seorang anak muda sebaya Tuan yang bermaksud memasuki
masyarakat Paris dengan bantuan jutaan frank milik ayahnya. Saya berjanji akan menjamunya hari ini dan
ia akan mempercayakan putranya kepada saya."
"Seandainya Mayor Cavalcanti bermaksud mencarikan istri bagi putranya," kata
Albert, "saya akan senang sekali membantunya berkenalan dengan seorang gadis
yang cantik, keturunan bangsawan dari pihak ibunya dan dapat mewarisi gelar barones
dari pihak ayahnya."
"Sampai sejauh itukah Tuan berpikir?"
"Oh, Tuan tidak akan dapat membayangkan betapa besar rasa terima kasih saya
kepada Tuan apabila Tuan membantu saya tetap membujang!"
"Segala sesuatu mungkin saja terjadi," jawab Monte Cristo dengan nada tenang.
BAB XXXI COUNT of Monte Cristo tidak berbohong ketika ia
menolak undangan Albert dengan dalih akan menerima kunjungan seorang mayor
Italia. Jam berbunyi tujuh kali. Sesuai dengan perintah yang diterimanya Bertuccio
berangkat dua jam yang lalu ke Auteuil. Sebuah kereta kuda berhenti di muka
rumah Monte Cristo di Paris. Dari dalamnya keluar seorang laki-laki berumur
kira-kira lima puluh tahun. Kepalanya yang kecil dan hampir berbentuk segi tiga,
rambutnya yang putih dan misalnya yang tebal abu-abu, cepat dikenali oleh
BapUstin yang sudah menunggunya dan sudah menerima gambaran tamu ini dari
majikannya lebih dahulu. Tamu segera dibawa ke ruangan yang sangat sederhana.
Count of Monte Cristo sudah menunggu di sana dan segera bangkit menjemputnya.
"Selamat datang,.Tuan. Saya menunggu kedatangan Tuan."
"Benarkah" Pastikah Tuan bahwa saya yang Tuan tunggu?"
"Tentu saja. Tetapi kita dapat saling meyakinkan kalau Tuan menganggap peilu,"
"Selama Tuan yakin bahwa sayalah orangnya yang Tuan tunggu, sudah cukup bagi
saya." Tamu kelihatan agak kurang tenang.
"Lebih baik kita yakinkan saja dahulu, Tuan adalah Markls Bartolomeo-kz
Cavalcanti, bukan?" "Bartolomeo Cavalcanti," jawab tamu dengan gembira.
"Benar." "Bekas mayor tentara Austria?"
"Apakah betul saya mayor?" jawab tentara tua ini agak malu-malu.
"Ya, mayor. Itulah nama yang kami berikan di Perancis untuk pangkat yang Tuan
jabat di Italia." "Untuk saya baik saja. Tuan ketahui.. "
"Selain itu Tuan disuruh orang menemui saya."
"Benar." "Oleh Padri Busoni yang istimewa?"
"Benar!" jawab Bartolomeo gembira.
"Dan Tuan membawa sepucuk surat?"
"Inilah dia." Monte Cristo menerima surat itu lalu membacanya.
"Surat itu berbunyi:. . .Mayor Cavalcanti seorang bangsawan terhormat dari
Lucca, keturunan dari keluarga Cavalcanti dari Florence, mempunyai penghasilan
sebesar setengah juta...."
"Betulkah setengah juta?" tanya mayor itu.
"Betul, tertulis hitam di atas putih. Dan ini mesti benar, karena tidak ada
orang lain yang lebih mengetahui tentang orang-orang kaya di Eropa daripada
Padri Busoni." "Setengah juta. Saya tidak menyangka sebesar itu."
Monte Cristo meneruskan membaca, "Dia hanya kekurangan suatu hal untuk
melengkapi kebahagiaannya: menemukan kembali putranya tersayang yang telah
diculik ketika masih kecil oleh musuh keluarganya atau oleh orang-orang kelana.
Saya memberinya harapan bahwa Tuan akan dapat menolongnya. Dia sendiri telah
lebih dari lima belas tahun mencarinya, namun sia-sia."
Mayor itu memandang kepada Monte Cristo dengan air muka yang sukar digambarkan.
"Saya dapat menolong menemukannya kembali," kata Monte Cristo.
"Jadi surat itu benar?"
"Apakah Tuan meragukannya, Mayor?"
"Oh tidak, sedikit pun tidak! Seorang seperti Padri Busoni tidak akan berkelakar
. . . Tuan belum selesai membacanya, Yang Mulia."
"Ah, ya. Di bawahnya masih ada catatan: Untuk memudahkan dia menerima uang yang
diperlukannya di sini, saya telah memberinya dua ribu frank dan saya harap Tuan
suka membelinya lagi empat puluh delapan ribu frank dari uang saya yang ada pada
Tuan." Mayor Bartolomeo mengikuti pembacaan catatan ini
dengan penuh perhatian. "Baik," hanya itu komentar Monte Cristo.
"Catatan itu juga ..
"Mengapa?" 'Tuan mempercayai juga catatan itu seperti bagian-bagian lainnya?"
"Tentu saja. Antara Padri Busoni dengan saya ada hubungan keuangan. Saya tidak
tahu apakah benar hutang saya kepadanya sekarang persis sebesar empat puluh
delapan ribu frank. Tetapi kami tidak pernah merisaukan jumlah beberapa ribu."
"Jadi Tuan bersedia membayar saya empat puluh delapan ribu frank?"
"Kapan saja Tuan memerlukannya."
Mata mayor terbelalak. "Silahkan duduk, Mayor. Entah mengapa saya ini, membiarkan Tuan berdiri selama
seperempat jam." Mayor Bartolomeo mengambil sebuah kursi kemudian
mendudukinya. "Jadi," kata Monte Cristo, 'Tuan tinggal di Lucca dan kaya, seorang bangsawan
terhormat, menikmati penghormatan dan penghargaan dari masyarakat, dan hanya
kekurangan suatu perkara saja untuk membuat kebahagiaan Tuan sempurna."
"Hanya satu perkara, Yang Mulia."
"Dan perkara yang satu itu, menemukan kembali anak yang telah hilang."
"Ya, dan itu sangat penting bagi saya," kata Mayor terhormat itu, mengangkat
matanya dan mencoba mengeluarkan sebuah keluhan.
"Sudikah Tuan, Mayor Cavalcanti, menceriterakan kepada saya tentang putra Tuan
itu" Saya mendengar bahwa Tuan tetap membujang."
"Orang-orang memang berpendapat demikian, dan saya..."
"Dan Tuan mendukung pendapat orang-orang itu. Ada suatu dosa dalam masa muda
Tuan yang ingin Tuan sembunyikan - tidak untuk kepentingan Tuan sendiri ~
karena laki-laki memang tidak berkepentingan, namun demi kehormatan seorang
wanita." "Ya, demi kepentingan ibu anak saya!"
"Ibunya berasal dari keluarga terhormat di Italia, bukan?"
"Keturunan ningrat dari Ftesole, Yang Mulia. Keturunan ningrat dari Fiesole!"
"Siapa namanya?"
"Apakah itu perlu?"
"Ah, tak ada gunanya Tuan mengatakannya, karena saya sudah mengetahuinya."
"Tuan mengetahui segala-galanya," kata Mayor sambil membungkuk.
"Namanya, Oliva Corsinari. Betul?"
"Betul. Oliva Corsinari."
"Dan akhirnya Tuan menikahinya juga sekalipun ada tentangan dari pihak keluarga,
betul?" "Benar." "Apakah Tuan membawa surat-suratnya?"
"Surat-surat apa?" tanya Mayor heran.
"Surat perkawinan Tuan dengan Oliva Corsinari dan surat kelahiran putra Tuan.
Namanya Andrea, bukan?"
"Mungkin." "Mengapa mungkin?"
"Saya tidak berani memastikannya . . . karena sudah lama sekali saya tidak
melihatnya lagi." "Benar juga" kata Monte Cristo. "Tetapi surat-surat itu Tuan bawa?"
"Maaf, tak seorang pun memberitahu saya bahwa akan diperlukan, sehingga saya
menganggap tidak periu membawanya. Apakah itu penting betul" "
"Sangat penting. Tanpa dokumen itu perkawinan tidak diakui. Di Perancis ini,
lain seperti di Italia, perkawinan tidak cukup hanya dengan menghadap pastur dan
mengatakan: 'Kami saling mencintai; kawinkan kami. Di Perancis perkawinan itu
masih perlu dicatatkan di Kantor Catatan Sipil dan di sana setiap orang harus
dapat membuktikan siapa dirinya. Untung sekali, surat-surat Tuan sudah ada pa-da
saya," 'Tuan sudah memegangnya?"
"Ya." "Luar biasai" kata Mayor yang sudah ketakutan mendapat kesukaran menerima uang
yang empat puluh delapan ribu frank itu. "Saya tidak mengira Tuan mempunyai
surat-surat itu." "Orang tidak mungkin memikirkan semua soal. Untung sekali Padri Busoni menolong
memikirkannya untuk Tuan."
"Orang yang mengagumkan sekali Padri Busoni itu!
Beliau tentu mengirimkannya kepada Tuan."
"Inilah dia. Berikan ini kepada putra Tuan dan katakan supaya ia menyimpannya
dengan baik, jangan sampai hilang. Saya percaya Tuan dapat memahami betapa
pentingnya surat-surat ini."
"Saya menganggapnya sebagai tak bernilai selama ini"
"Sekarang, tentang ibu anak muda itu ..."
"Ya, Tuhan!" teriak Mayor terkejut. "Apakah perlu-kita membicarakannya juga?"
"Tidak, Mayor "jawab Monte Cristo. "Lagi pula, bukankah dia ...t'
"Benar, dia ..."
'Telah memenuhi kewajibannya terhadap hukum alam?"
"Benar." "Begitulah yang saya dengar. Dia telah meninggal sepuluh tahun yang lalu."
"Dan saya masih bersedih karena kehilangan dia," kata Mayor, mengeluarkan
saputangannya lalu menyeka matanya.
"Jangan terlampau bersedih, Mayor. Semua kita tidak langgeng. Sekarang, karena
ingatan Tuan telah segar kembali, tentu Tuan sudah dapat mengira bahwa saya
telah mempersiapkan suatu hadiah bagi Tuan."
"Hadiah yang menyenangkan tentu."
"Memang tidak mudah kita menipu mata dan hati seorang ayah. Tuan telah merasakan
bahwa dia sudah berada di sini."
"Siapa yang sudah berada di sini?"
"Putra Tuan. Andrea."
"Bagus, bagus sekali!"
"Saya dapat memahami perasaan Tuan," kata Monte Cristo, "dan saya sadar bahwa
saya harus memberi Tuan sedikit waktu untuk menenangkan diri. Juga saya ingin
mempersiapkan putra Tuan untuk pertemuan yang membahagiakan Ini, sebab saya kira
dia pun sama tidak sabarnya seperti Tuan."
''Saya kira juga begitu."
"Baiklah, sebelum seperempat jam dia akan memasuki ruangan ini melalui pintu
itu." "Soal lain sedikit, Count," kata Mayor, "seperti Tuan ketahui saya hanya membawa
dua ribu frank, dan..,"
"Dan Tuan memerlukan wang, bukan" Tentu saja Tuan akan memerlukannya, Ini
delapan ribu frank. Tinggal empat puluh ribu frank lagi."
Mata mayor berkilat-kilat "Apakah Tuan memerlukan tanda terima?" tanyanya.
"Tuan dapat memberikan tanda terima untuk seluruh jumlah nanti Antara orangorang yang jujur surat-menyurat demikian sebenarnya tidak perlu."
"Ya, tentu saja, antara orang-orang yang jujur."
"Bolehkah saya memberikan sebuah saran sekarang?"
"Saya akan senang sekali menerimanya."
"Saya kira Tuan tidak keberatan bila Tuan melepaskan jas itu."
"Mengapa?" kata Mayor, melihat kepada pakaiannya dengan semacam perasaan sayang.
"Memang masih mode di Italia, namun di Perancis sudah jauh ketinggalan jaman."
"Wah, memalukan sekali," kata Mayor. 'Tetapi apa yang harus saya pakai?"
"Tuan akan menemukan pakaian baru dalam koper Tuan."
"Dalam kopor" Saya hanya membawa sebuah tas,"
"itu yang Tuan bawa sendiri. Tuan mengirimkan kopor Tuan terlebih dahulu. Kopor
itu sekarang sudah berada di Hotel des Princes, di Jalan Richelieu, tempat Tuan
menetap selama di sini Saya kira Tuan telah memerintahkan pelayan Tuan untuk
mengisi kopor itu dengan segala macam yang akan Tuan perlukan. Tuan akan
mengenakan seragam dalam kesempatan-kesempatan yang penting saja. Ini akan mengesankan sekali. Dan
jangan lupa bintang-bintang kehormatannya."
"Baik sekali, baik sekali!" kata Mayor berpindah dari suatu kebingungan ke
kebingungan yang lain. "Sekarang, Mayor Cavalcanti," kata Monte Cristo,
"bersiap-siaplah untuk bertemu kembali dengan putra Tuan, Andrea."
Setelah membungkuk dengan hormat kepada mayor
yang lagi kebingungan itu, Monte Cristo meninggalkan ruangan.
Di kamar lain yang bersebelahan, seorang anak muda yang perlente telah menunggu.
Ia datang kurang lebih setengah jam yang lalu, Baptistin yang telah menerima
Iblis Dan Bidadari 3 Pendekar Rajawali Sakti 89 Pedang Halilintar Pendekar Bayangan Malaikat 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama