Ceritasilat Novel Online

Apalagi Jennings 1

Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge Bagian 1


Apalagi Jennings Karya : Anthony Buckeridge
Convert, Editor : Raynold
(www.tagtag.com/tamanbacaan)
Ebook pdf oleh : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info
1. ATAP GEDUNG WICKET, yaitu gawang permainan cricket, itu terdiri
atas tiga garis tegak lurus yang dibuat dengan kapur tulis di
dinding gudang sepeda, Tempat pelemparan bola, yang
disebut pitch, terdapat di ujung seberang lintasan ditandai
dengan selembar sweter yang digeletakkan di atas aspal.
Pangkal tongkat pemukul sudah pecah berjumbai-jumbai
seperti kuas usang. Dan bola tenis tua yang dipakai sebagai
pengganti bola cricket sudah tidak memiliki daya lenting
lagi, setelah selama empat masa pelajaran tersuruk di
tengah rumput tinggi di belakang ruang olahraga.
Perlengkapan permainannya memang seadanya saja.
Tapi di gelanggang permainan, suasana tegang. Untuk
pertama kalinya dalam sejarah, Kesebelasan Cricket Bumi
bertanding melawan sebuah regu dari Angkasa Luar.
Kalau dilihat sepintas lalu, sebenarnya sedikit sekali
perbedaan antara manusia-manusia pemain regu bumi dan
tamu-tamu mereka yang datang dari planet lain itu. Jumlah
kaki dan tangan mereka seperti lazimnya, masing-masing
dua. Semua berbicara dalam bahasa sama, dengan
kelantangan yang serupa. Kalau ada orang luar kebetulan
melihat, pasti mengira sekelompok murid kelas tiga Sekolah
Linbury Court sedang asyik bermain cricket sebentar selama
setengah jam sebelum saat lonceng asrama berbunyi.
Tapi orang bisa saja keliru. Jika dilihat lebih teliti,
penonton yang cermat mungkin akan melihat beberapa hal
tertentu yang membedakan para pemain bumi dari
makhluk-makhluk yang datang dari planet luar. Jennings
misalnya, yang bermain untuk regu makhluk angkasa luar,
bisa saja dikira murid sekolah Inggris yang periang dan
berumur sebelas tahun. Tapi jika dilihat dua bolpoin yang
mencuat ke atas dari keningnya dan dijepitkan ke kepala
dengan gelang karet, barulah kita sadar bahwa dia
sebenarnya makhluk yang berasal dari Planet Mars!
Atau Darbishire yang berdiri di tempat melempar bola,
membersihkan lensa kacamatanya dengan selembar daun
sambil menunggu saat permainan dimulai - dia itu benarbenar nampak seperti manusia biasa, dengan rambutnya
yang pirang, mata biru pucat, dan gerak-geriknya yang agak
serba ragu. Tapi ia memakai semacam baskom tempat
mencuci sayuran yang terbuat dari plastik hijau. Tidak salah
lagi, itu merupakan petunjuk tentang siapa dirinya. Dia sendiri kalau ditanya akan dengan segera menjelaskan:
siapa pun yang tahu bahwa baskom plastik seperti itu
merupakan penutup kepala yang lazim dipakai di kawasan
pinggiran sistem matahari, pasti akan langsung dapat
menebak bahwa pemakainya berasal dari Planet Pluto.
Atkinson (dari Yupiter) dan Venables (dari Venus)
melengkapi regu Angkasa Luar, yang terdiri atas empat
anak-eh, bukan, makhluk. Di kening Atkinson ada mata
ketiga, yang digambar di situ dengan crayon berwarna biru.
Sementara Venables tidak menyandang tanda-tanda
pengenal bahwa ia berasal dari luar bumi. Untuk
membuktikan bahwa ia berasal dari Planet Venus, ia
berbicara dengan logat aneh, seperti orang Indian dalam
film koboi kuno. "Aku pelempar ulung angkasa luar. Aku lempar tonggak
tengah Regu Bumi dengan Benda Terbang Bobrok,"
katanya, ketika Temple maju ke depan wicket, siap
melempar bola untuk Regu Bumi.
Tapi Jennings, kapten regu lawan, mempunyai gagasan
lain. "Kau tidak bisa menjadi pemukul pertama," katanya
kepada pemain dari Venus. "Aku hendak memasang
Darbishire." "Darbishire! Kau sudah sinting rupanya, ya!" Venables
begitu marah mendengar pilihan itu, sehingga ia memprotes
dalam bahasa Inggris biasa. "Si Darbi, lemparannya pasti
melenceng seratus mil dari wicket."
"Dia tadi sudah mengatakan lebih dulu ingin menjadi
pelempar pertama, ketika aku memenangkan undian. Nanti
jika ia ternyata ngaco, kan gampang kita tukar," kata
Jennings menjelaskan. "Aku takkan meleset," kata Darbishire dengan gaya
yakin. Ia sudah selesai menggosok lensa kacamatanya. Kini
ia menggosok-gosok permukaan bola tenis yang sudah
lembek itu. Ia berharap, jika dilempar bola itu akan
berputar-putar. "Kami, para pemain angkasa luar mengenal
segala teknik pelemparan! Kami selalu mengikuti laporan
pandangan mata yang disiarkan Radio BBC, sejak ada radio
teleskop." Sambil berkata begitu jago dari Pluto itu berseru "Play!",
yang berarti permainan dimulai. Ia lari enam langkah ke
depan, untuk melemparkan bola pertama dalam pertandingan luar biasa ini. Tapi ketika lengannya yang
memegang bola diayunkan ke atas, baskom penutup
kepalanya tergeser ke depan, menutupi matanya. Bola yang
dilempar melenceng, mengenai bahu Atkinson yang sudah
siap menangkap bola pada posisi kedua di sebelah kiri
Temple. Temple, yang sudah siap untuk memukul bola,
mengendurkan sikap siaganya. "Wide!'" serunya. Padahal
semua juga melihatnya. "Sori, Temple," kata Darbishire. "Masalahnya gaya tarik
di Bumi sini, lain dari tempat asalku. Kacau lemparanku
jadinya!" Makhluk Pluto itu melepaskan helm plastiknya yang
hijau, lalu del1gan sepenuhnya memanfaatkan gaya tarik
bumi, melepaskan lemparan berikut. Sekali ini kakinya
menyandung sweter yang menandai batas tempat melempar. Akibatnya, lemparan kedua itu juga melenceng
jauh. "Wide!" kata Temple lagi, sementara Atkinson mengambil bola yang jatuh ke tengah sebuah semak berduri
gatal. Temple mengomentari lagi,
"Jika begini terus, kami bisa mencapai angka seratus
tanpa pernah menyentuh bola."
"Ini kesalahan Jennings - karena menempatkan Darbi
sebagai pelempar pertama," keluh Venables. "Semuanya
tahu, permainan Darbi payah, seperti permainan burung
jalak bertelapak datar."
Kata-katanya itu tidak didasarkan pada pengamatan
pribadi. Rasanya tidak mungkin Venables pernah melihat
burung-burung jalak bermain cricket; dan andaikan pernah,
rasanya pantas disangsikan apakah ia bisa mengenali
kemiripan kemampuan Darbishire bermain cricket dengan
salah satu anggota tim satwa bersayap itu yang kebetulan
telapak kakinya datar. Meski begitu, ada benarnya juga kritik yang diucapkannya. Itu harus diakui oleh Jennings. "Baiklah, ia
akan kutarik pada akhir seri lemparan ini, apabila
lemparannya masih tetap tidak bisa lurus," katanya
menyetujui. Tapi itu ternyata tidak perlu. Semua tercengang melihat
lemparannya yang ketiga. Lemparan itu lurus, menuju ke
wicket. Temple maju selangkah dan memukul bola dengan
sekuat tenaga. Pukulan itu bagus sekali. Bola melambung jauh ke atas
kepala para pemain yang siap menangkap di lapangan,
makin lama makin tinggi. Sesaat kelihatannya seperti akan
melewati atap ruang olahraga, yang dindingnya merupakan
batas kiri lapangan. Tapi ternyata bola itu mengenai tembok
sebelah atas talang, lalu melenting dan jatuh di atap yang
datar. Pertandingan seketika itu juga terhenti.
"Hore! Enam angka, karena bola melewati batas
lapangan!" seru Temple. Ia memutar-mutar tongkat
pemukul di atas kepalanya, seperti orang Indian dengan
kapak perangnya. "Tidak, tidak, kau mati! Jika bola jatuh ke atas atap, itu
berarti bola mati," bantah Atkinson.
"Mana mungkin! Bola kan tidak langsung jatuh ke atas
atap, tapi sebelumnya mengenai anunya talang."
"Ya, tapi tidak jatuh lagi ke bawah. Itu artinya bola
hilang." "Itu buktinya bahwa aku benar," kata Temple ngotot.
"Periksa saja peraturan permainan cricket. Untuk bola
hilang, regu yang memukul selalu mendapat enam angka."
"Itu hanya kalau ada bola lain sebagai pengganti," kata
Jennings tidak mau kalah. "Kau boleh saja dapat enam
angka, tapi cuma itu saja. Permainan selesai, kecuali jika
ada yang punya bola serep."
Nampaknya itu merupakan akhir yang mengecewakan
dari pertandingan yang diawali dengan begitu bersemangat,
tidak lebih dua menit yang lalu. Karena tidak ada bola
cadangan, sudah sewajarnya jika beberapa pemain
mengomel-omel. "Ini semua kesalahan Jennings. Selalu saja membuat
kacau," kata Atkinson. "Katanya ini pertandingan
terpenting dalam sejarah sistem matahari..."
Jennings langsung memotong. "Ya, tapi semua kan tahu
bahwa sebenarnya tidak ada pemain-pemain cricket dari
Venus, Mars, dan planet-planet lainnya."
"Sekarang memang belum, tapi siapa tahu pada suatu
hari nanti! Bayangkan apa yang akan terjadi jika kau yang
saat itu diserahi tugas mengatur permainan," kata Atkinson
lagi, sementara dalam pikirannya 'muncul berbagai
kemungkinan baru. "Bayangkan, jika dua puluh tahun lagi Klub MCC
mengundang pemain-pemain angkasa luar terkenal dari
berbagai tempat yang jauhnya sekian tahun cahaya dari
sini, bertanding di Lapangan Lords. Kan tidak mungkin
pertandingan terhenti sementara babak pertama sedang
berjalan, hanya karena tidak seorang pun di bumi ingat
untuk menyediakan bola cricket cadangan."
"Itu kan edan," kata Darbishire membela sahabatnya.
"Kita bahkan tidak tahu apakah ada makhluk hidup di
planet-planet lain. Apalagi apakah mereka juga mengenal
permainan cricket." Atkinson menuding baskom tempat sayuran yang
tergeletak di aspal. "Nah-kalau begitu, Darbi, untuk apa
kaupakai barang itu di kepalamu" Kau yang tadi
mengatakan, makhluk-makhluk di Pluto memakai helm
angkasa luar seperti itu."
"Tapi itu kan tadi, sewaktu kita cuma pura-pura. Masa
kau tidak bisa membedakan...?" Darbi mendecak-decakkan
lidah sambil menggeleng-geleng. Ia merasa tidak ada
gunanya melanjutkan. Kebetulan saat itu Martin-Jones,
pemain Regu Bumi yang kalau permainan bisa diteruskan
akan mendapat giliran terakhir sebagai batsman - pemukul
bola - muncul dari balik ruang olahraga. Ia tadi pergi ke
kebun sayur yang ada di situ, untuk memeriksa situasi
sebentar. "Ada kemungkinan bola bisa kita ambil, jika kita cepatcepat," katanya melaporkan. "Tadi kukira menggelinding ke
seberang, lalu aku ke sana untuk melihat."
"Lalu, jatuh ke sanakah bola itu?"
"Tidak, mestinya masih ada di atas. Pak Robo baru saja
mengecat pipa saluran air di pojok itu, saat ini ia sedang
tidak ada, dan tangga dibiarkannya tersandar di sana."
Itu merupakan peluang yang sangat baik, sayang kalau
tidak dimanfaatkan. Anak-anak tahu, mestinya banyak bola
berada di atap datar ruang olahraga. Biasanya, satu-satunya
cara naik ke atap itu adalah lewat sebuah jendela di ruang
loteng. Tapi pintu ruangan itu dikunci dan anak-anak
dilarang masuk ke situ. Jadi selama ini tidak ada
kemungkinan mengambil bola yang jatuh ke atap lewat
jalan itu. Tapi jika Robinson, orang yang bertugas
membersihkan sekolah dan melakukan berbagai pekerjaan
kecil lainnya dan yang oleh anak-anak disingkat namanya
menjadi Pak Robo, pergi dengan meninggalkan tangga di
sana, bodoh namanya jika kesempatan baik itu disia-siakan!
Tapi mereka harus hati-hati. Memanjat-manjat, baik itu
tangga atau atap, jelas merupakan perbuatan terlarang
menurut peraturan sekolah. Selain itu, dinding terujung dari
ruang olahraga merupakan batas kebun sayur milik sekolah.
Dan kebun itu juga tidak boleh dimasuki anak-anak, karena
mereka memang tidak ada urusan di sana.
"Kalau begitu, ayo," kata Venables, "tunggu apa lagi?"
Anak-anak mulai bergerak menuju bangunan tempat
berolahraga itu, tapi Jennings berseru menahan mereka.
"Jangan semuanya," katanya. "Pak Wilkie saat ini ada di
lapangan tenis. Ia pasti langsung curiga, jika kita semua
tahu-tahu menghilang."
Ia memandang berkeliling. "Aku dan Temple saja yang


Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

naik, sementara kalian pura-pura masih terus bermain
cricket." "Kenapa aku?" tanya Temple.
"Karena kau yang tadi memukul bola itu."
"Justru karena itu mestinya anak lain yang mengambil.
Masa, regu yang sedang mendapat giliran memukul, harus
mengambil bola. Tugas regumu mencari bola yang hilang
setelah dipukul." "Ya, betul," kata Martin-Jones sependapat. "Suruh saja
Darbi yang naik. Kan salah dia tadi, melempar bola yang
begitu mudah dipukul oleh Temple."
"Eh, enak saja!" kata Darbi memprotes. "Hanya karena
aku melakukan lemparan yang bagus dan lurus..."
"Sudahlah, jangan membantah lagi, Darbi! Mendingan
kita berdua saja," kata Jennings memotong.
Jennings dan Darbishire bersahabat karib. Padahal baik
dari penampilan maupun watak kedua anak itu begitu
berbeda. Jennings suka bertindak tanpa berpikir dulu. Ia
selalu ingin tahu dan gemar berperan sebagai pemimpin
dalam kehidupan sekolah yang seperti apa pun juga, yang
sedang dianggapnya menarik. Darbishire, sebaliknya, ia
sudah puas menjadi penonton saja. Tapi karena sering
mendampingi Jennings yang lincah itu, Darbi sering terlibat
dalam berbagai aktivitas temannya itu. Sudah berapa kali
saja ia terjebak dalam situasi-situasi yang sebenarnya tidak
disenanginya, mengingat wataknya yang selalu berhati-hati.
Salah satu situasi seperti itu adalah yang dihadapinya
sekarang. "Risikonya besar, jika kita naik ke atap tanpa minta izin
dulu," katanya dengan nada segan, sementara Jennings
sudah mendului menuju pojok ruang olahraga. "Pak Wilkie
itu, matanya tajam sekali. Sekilas saja ia memandang ke
arah sini, nah..." "Biar tajam, takkan mungkin bisa menembus dinding
bata," kata Jennings. "Untung bagi kita, Pak Robo
mengecat yang sebelah sana dulu."
Ruang olahraga di Sekolah Linbury Court itu merupakan
sebuah bangunan tersendiri. Letaknya di belakang
bangunan utama sekolah. Kedua bangunan itu dihubungkan oleh sebuah lorong beratap. Sebagian besar
dari bangunan tempat berolahraga ih1 terdiri atas satu lantai
saja. Tapi pada satu ujungnya ada tangga menanjak,
menuju sebuah gang yang berakhir pada sebuah pintu. Dan
di balik pintu itu ada gudang kecil dengan sebuah jendela
kaca di langit-langit. Jika jendela itu dibuka, orang bisa naik
ke atas atap. Begitu sudah melewati pojok pertama, Jennings dan
Darbi sudah tidak bisa dilihat lagi oleh guru yang saat itu
bertugas mengawasi. Tapi kedua anak itu masih harus
melewati kebun sayur dulu untuk mencapai tangga, yang
seperti dikatakan Martin-Jones tadi memang terjulur sampai
ke atap. Kelihatan Pak Robinson sedang mengecat talang
dan pipa-pipa saluran air. Nampak dari catnya yang masih
basah. Tapi orang itu sendiri tidak nampak. Begitu pula
segala perlengkapannya, seperti kaleng-kaleng cat serta
kuas. Jadi cukup aman untuk memperkirakan bahwa ia
sudah selesai bekerja untuk hari itu.
Jennings bergegas menghampiri tangga lalu memanjatnya. Gerakannya cekatan, seperti monyet saja.
Darbishire menyusul, dengan berhati-hati. Ia tidak suka
memanjat-manjat. Ketika sudah setengah jalan, ia
memandang ke bawah. Tanaman kubis di kebun sayur
menurut penglihatannya seperti jauh sekali di bawah. Ia
berhenti sebentar memanjat, karena merasa pusing.
"Ayo, jangan berhenti di tengah-tengah! Seperti kentang
setengah matang saja," seru Jennings yang sudah sampai di
atas. "Dan hati-hati, jangan sampai kena cat basah pada
saat melangkahi talang. Kemejaku sempat kena, lumayan
besar bekasnya." Darbishire memegang anak tangga kuat-kuat. Takkan
apa-apa asal tidak melihat ke bawah, katanya pada diri
sendiri. Atau jika tidak melihat ke atas" Ah, mendingan
jangan melihat ke mana-mana! Dengan memaksa diri ia
mulai memanjat lagi. Matanya menatap lurus ke dinding
bangunan yang ada di depannya. Ia bergerak seperti robot,
tanpa berpikir. Perasaannya menjadi lebih enak ketika sudah sampai di
atas dan Jennings menolongnya melangkah dari anak
tangga teratas ke atap. "Lama sekali kau memanjatnya,"
kata temannya itu tidak sabaran.
Darbishire mengangguk. Ia tidak mau mengaku bahwa ia
tadi sangat gugup. "Aku tadi... eh... menikmati pemandangan," katanya.
"Jangan pedulikan pemandangan, kita masih ada tugas."
Jennings berbalik, membelakangi pemandangan. Matanya
langsung terbelalak karena kagum. "Wow! Coba lihat ini,
Darbi. Seperti tempat penyimpanan harta karun bajak laut
saja!" Atap datar ruang olahraga itu kelihatan seperti tempat
penimbunan bola yang hilang. Berlusin-lusin banyaknya,
tergeletak di atas seng yang melapisi permukaan atap itu:
bola tenis, bola cricket, bola karet, bola golf - bahkan ada
satu atau dua bola untuk permainan sepak bola. Beberapa di
antaranya mestinya sudah bertahun-tahun ada di situ, kalau
melihat keadaannya. Jennings mengumpulkan bola-bola itu sebanyak setengah
lusin dan menjejalkan semuanya ke balik kemejanya.
Setelah itu ia menuju ke tepi atap yang menghadap ke
lapangan tempat bermain-main. Ia bisa melihat temanteman di bawah. Semua mendongak dengan wajah harapharap cemas. "Ketemu?" seru Temple bertanya.
Sebagai ganti jawaban, Jennings melemparkan bola-bola
tenis tadi ke bawah. Ia nyengir senang, sementara anakanak yang di bawah berebutan bola.
Darbishire datang membawa dua bola cricket dan sebuah
bola sepak bola yang kempis, sementara Jennings kembali
ke bagian tengah atap untuk mengambil bola-bola lagi.
Kemudian, selama beberapa menit mereka asyik melempari
teman-teman mereka dengan segala macam benda yang
ditemukan di atap. Selain bola, mereka menemukan pula
dua layang-layang berbentuk kotak, lima buah model
pesawat luncur, dan sebuah sepatu untuk senam yang sudah
tua. Tidak satu pun benda itu masih ada gunanya, karena
sudah begitu lama terkena pengaruh cuaca. Tapi bagi kedua
anak yang ada di atap, asyik rasanya melemparkan bendabenda itu ke arah teman-teman mereka di bawah;
memperhatikan mereka berusaha melindungi diri sewaktu
benda-benda itu dilemparkan dari atas, lalu bergegas
mengambil bola yang sudah tidak ada anginnya lagi atau
pesawat luncur yang sudah rusak.
Dengan segera sudah tidak ada lagi sampah di atas atap,
sementara saku anak-anak yang berada di lapangan di
bawah penuh dengan berbagai benda yang mereka ambil.
"Itulah semuanya," seru Jennings ke bawah. "Sekarang
kita punya cukup banyak bola untuk melakukan lima puluh
ribu pertandingan." Ia berpaling. Tepat pada saat itu
terdengar bunyi peluit ditiup di kejauhan. Begitu
mendengarnya, Jennings langsung berlutut di balik tembok
rendah yang membatasi pinggiran atap. Darbishire
ditariknya, agar ikut bersembunyi!
Pak Wilkins yang mendapat giliran mengawasi petang
itu. Dan bunyi peluit yang ditiupnya menandakan bahwa
saat istirahat sudah habis. Karena keasyikan melempari
teman-temannya tadi, Jennings sampai sama sekali
melupakan guru itu. Mungkinkah Pak Wilkins melihat
mereka dari lapangan tenis" Mestinya mereka terlihat jelas,
berdiri di atas atap seperti tadi. Itu kalau Pak Wilkins
kebetulan memandang ke arah situ.
"Dia melihat kita atau tidak, menurutmu?" tanya Darbi
dengan suara gemetar. Jennings mengangkat bahu. "Itu akan kita ketahui
sebentar lagi. Ia akan kemari, untuk menggiring temanteman ke dalam. Kita memang sinting tadi, berdiri di
pinggir atap!" "Kita harus buru-buru turun! Lima menit lagi lonceng
asrama akan dibunyikan," kata Darbishire. Ia mulai
menyeberangi atap dengan merangkak, tapi Jennings
menahannya. "Sudah terlambat! Jika kita turun lewat tangga tadi, ada
kemungkinan kelihatan oleh Pak Wilkie. Sebaiknya kita
tunggu saja di sini sampai semua sudah masuk, lalu cepatcepat menyusul mereka lewat jendela ruang ganti pakaian."
Darbi tidak bersemangat mendengar rencana terbaik
temannya itu. Baginya sudah cukup gawat, harus menuruni
tangga lagi, juga apabila saat itu tidak ketahuan oleh Pak
Wilkins. Apalagi jika sesudah itu masih harus memanjatmanjat masuk lewat jendela, semen tara terus berjaga-jaga
jangan sampai tepergok guru pengawas bermata tajam itu.
Hihh, mengerikan! "Aku menyesal, kenapa ikut naik kemari tadi,"
gumamnya. "Coba kita biarkan saja bola sialan itu hilang,
tergeletak di sini."
"Ssst! Jangan mengeluh terus, Darbi, nanti terdengar
oleh Pak Wilkie. Ia sudah menuju kemari, kalau mendengar
suaranya." Suara guru yang bertugas mengawasi hari itu memang
sangat lantang. Terdengar jelas kata-katanya berseru-seru
sambil berkeliling di lapangan tempat bermain.
"Ayo, Anak-anak, cepat masuk!" katanya sambil
melintasi gelanggang pertandingan antar planet yang tadi
terpaksa dihentikan. Jennings dan Darbishire merunduk semakin rendah,
mendengar suaranya yang melambung sampai ke atas.
"Ayo cepat, Venables! Apa saja itu yang kaumasukkan ke
dalam swetermu?" "Cuma beberapa bola yang tadinya hilang, Pak,"
terdengar jawaban Venables.
Jennings langsung tegang, khawatir kalau Pak Wilkins
meminta penjelasan lebih jauh. Tapi guru pengawas itu
cuma mendengus sambil berkata, "Ayo keluarkan, taruh di
tempat lain. Rusak nanti potongan pakaianmu karenanya."
Sesaat tidak terdengar apa-apa, lalu Pak Wilkins berkata
lagi, "Apa itu yang mengotori keningmu, Atkinson?"
"Mata saya yang ketiga, Pak," Jawab Atkinson bangga.
"Kami tadi mengadakan pertandingan antar planet yang
terkenal, dan saya jadi monster mata melotot dari Yupiter.
Di Yupiter, semuanya memiliki tiga mata, Pak - sejauh
yang kami ketahui." "Begitu, ya!" Terdengar jelas dari nada suaranya bahwa
guru pengawas itu tidak berminat pada pemain-pemain
cricket bermata melotot yang berasal dari planet yang jauh.
"Yah, pokoknya jangan sampai lupa mencuci corengmoreng di mukamu itu, begitu masuk ke kamar tidur."
Suara-suara di bawah semakin melemah kedengarannya,
sementara anak-anak masuk ke dalam gedung bersama guru
pengawas mereka. Ketika sudah benar-benar sunyi, Jennings bangkit dan
berkata, "Ayo, sekarang sudah aman. Jika kita bergegas,
mungkin masih sempat menyelinap ke dalam sebelum pintu
dikunci." Darbishire menelan ludah.
"Kau dulu, Jen," bisiknya, sementara mereka berdua
menuju ke tempat. tangga tadi tersandar.
"Kupegangi tangga sementara kau turun, lalu kau nanti
berdiri di anak tangga paling bawah, untuk membantu aku
melangkah turun." "Baiklah!" Jennings sudah lebih dulu sampai di tembok
rendah pinggiran atap. "Tapi nanti jangan berlama-lama
lagi melihat pemandangan. Kita cuma punya waktu
untuk..." Jennings terdiam. Ketika bicara lagi, suaranya meninggi
karena kaget. "Cepat kemari, Darbi! Lihatlah, apa yang
terjadi!" Darbishire bergegas menghampiri, sambil terus memikirkan cara terbaik menuruni tangga. Ketika ia
memandang ke balik tembok, dilihatnya bahwa masalah itu
tidak berlaku lagi baginya.
Tangga tadi sudah tidak ada lagi di situ!
0odw-rayo0 2. TERJEBAK PENJELASANNYA sederhana saja. Pak Henry Robinson, yang oleh anak-anak dijuluki Robo -tentu saja itu
tidak boleh sampai terdengar oleh orangnya - sudah cukup
lama bekerja di Sekolah Linbury Court. Jadi sudah
berpengalaman bahwa anak-anak adalah makhluk-makhluk
yang harus dihadapi dengan sikap curiga.
Mereka dengan seenaknya saja berjalan di atas lantai


Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang baru saja dipolesnya sampai mengkilat, meninggalkan
jejak basah dan kotor karena air yang menetes dari kalengkaleng cat air yang mereka bawa. Mereka memasukkan
kecebong-kecebong yang masih hidup ke dalam baskombaskom tempat air pencuci badan, atau ular yang sudah
mati ke dalam sepatu lars karet milik orang lain. Mereka
menjejalkan kaus-kaus kaki basah di balik kisi-kisi alat
pemanas ruangan, atau menyumbat lubang semprot alat
pemadam api dengan permen yang lengket. Tentu saja tidak
pernah dengan sengaja, begitu kata mereka kepadanya:
segala perbuatan yang menurut mereka wajar saja itu
merupakan akibat sedang linglung, atau karena ingin tahu.
Semuanya itu menyebabkan Robo selalu waswas pada
dalam menghadapi anak-anak.
Contohnya adalah tangga itu. Pak Robinson baru saja
selesai melakukan pekerjaan mengecat untuk hari itu, ketika
anak-anak muncul di lapangan bermain pada saat istirahat
petang hari. Pak Robinson pergi untuk membersihkan kuaskuas dan menyimpan kaleng-kaleng catnya. Ketika hendak
duduk untuk makan malam, barulah ia teringat bahwa ia
meninggalkan tangga masih dalam keadaan tersandar pada
dinding ruang olahraga. Mestinya tangga itu aman-aman saja jika dibiarkan di
situ sampai besok, katanya dalam hati, karena tidak
kelihatan dan berada di tempat yang tidak boleh didatangi
anak-anak. Tapi kemudian hati kecilnya yang selalu
waspada mengingatkan bahwa ia sedikit pun tidak boleh
lengah. Lebih baik aman daripada menyesal nanti!
Jadi ia kembali ke tempat kerjanya tadi dan
menyingkirkan tangga untuk disimpan. Pada waktu itu
Jennings dan Darbi sedang asyik-asyiknya menghujani
teman-teman mereka di bawah dengan bola-bola tenis dari
sisi lain atap. Tindakan berjaga-jaga yang dilakukan oleh Pak
Robinson itu tidak menghibur perasaan kedua anak yang
berada di atas atap, sementara mereka memandang lewat
sisi atas tembok rendah ke bawah, memandang tanah yang
terbentang sepuluh meter di bawah mereka.
"Apa yang terjadi" Apa yang kita lakukan sekarang?"
keluh Darbishire. "Kalau tentang apa yang terjadi, itu sudah jelas," tukas
Jennings dengan sebal. "Sekarang kita terpaksa berteriak
minta tolong. Moga-moga saja ada yang mendengar."
"Tapi itu berarti kita akan ketahuan. Dan jika Pak Wilkie
sampai tahu bahwa kita naik kemari tanpa izin..."
"Dia pasti akan tahu juga - kalau tidak sekarang, pasti
besok pagi!" "Besok pagi!" Darbishire merasa seram membayangkan
kemungkinan itu. "Maksudmu, kita harus gemetar
semalaman di atas atap ini"!"
"Ya, kecuali jika kita berteriak minta tolong. Sepanjang
yang bisa kulihat, tidak ada cara lain bagi kita untuk bisa
turun." Keduanya lantas berseru-seru minta tolong. Mereka
berseru sekuat tenaga, tapi tidak ada yang mendengar. Saat
itu seisi sekolah sudah berada di dalam, minum susu dan
makan biskuit di ruang makan yang letaknya di ujung
paling jauh gedung utama. Dan setelah itu anak-anak akan
naik ke ruang tidur mereka. Jennings dan Darbi takkan
kelihatan dari sana, dan suara mereka pun tidak mungkin
bisa terdengar. Jadi kecil sekali kemungkinannya akan ada
yang datang menyelamatkan!
Tiba-tiba Jennings berkata, "He, Darbi! Bagaimana
dengan jendela kaca yang di langit-langit gudang" Mungkin
kita bisa masuk lewat situ."
Darbishire menggeleng. "Kita kan dilarang memasuki
gudang," katanya. "Tapi naik ke atap juga tidak boleh. Jadi sama saja, di
mana pun kita berada."
"Ya, tapi pintunya kan terkunci. Jika kita berhasil masuk
lewat jendela itu, kita masih saja tidak bisa keluar dari
ruangan itu." "Dari mana kau tahu bahwa pintunya terkunci" Kau
pernah memeriksanya sendiri?" kata Jennings. Semangatnya bangkit lagi. "Siapa tahu cuma digerendel
saja! Kalau kita berhasil masuk, lalu tinggal menggeser
gerendelnya saja, lalu..."
"Baiklah, kalau begitu kita coba saja."
Mereka bergegas ke jendela itu, yang letaknya di ujung
atap. Ketika baru setengah jalan, Darbishire melihat cacat
dalam pertimbangan temannya.
"He, tunggu dulu, Jen," katanya sambil berhenti berjalan.
"Jika digerendel, pasti dari luar! Bagaimana kita mau
menggesernya?" "Ah, jangan cerewet, Darbi," potong Jennings dengan
nada tidak sabaran. "Saat ini kita tidak tahu apakah pintu
gudang itu dikunci, digerendel, ditutup palang, atau dijaga
anjing herder! Itu baru akan kita ketahui nanti, jika sudah
berhasil masuk ke situ. Siapa tahu, mungkin sama sekali
tidak dikunci! Kan konyol, jika kita tetap saja di sini padahal pintu itu bisa dibuka."
Ia mendului ke jendela kaca kabur itu. Ukurannya satu
meter persegi, dengan bingkai kayu agak menonjol ke atas,
lebih tinggi sedikit dari seng pelapis atap di sekelilingnya.
Jennings mencengkeram bingkai bawah jendela itu lalu
menariknya. Ternyata bergerak sedikit. Jennings langsung
gembira. Tapi ia sendiri tidak mampu menarik jendela itu
sampai tegak lurus. "Pegang sudut sebelah sana itu, lalu ikut tarik!" katanya
pada Darbishire. Dengan tenaga mereka berdua, jendela kaca itu berhasil
mereka buka lebih lebar. Saat itu barulah Jennings melihat
bahwa kait pengancing yang ada di sebelah dalam ternyata
sudah patah karena dimakan karat. "Kita mujur!" katanya
sambil menganggukkan kepala ke arah kait yang patah itu.
"Coba tidak patah, takkan mungkin kita bisa membukanya." "Mujur?" kata Darbi menanggapi dengan wajah lesu.
"Kita baru bisa bicara tentang mujur apabila sudah berhasil
selamat dari kesulitan besar ini!" Kedua anak itu menjengukkan kepala mereka lewat lubang jendela. Mereka melihat lantai papan ruangan gudang itu, tiga meter di bawah mereka. Jennings yang lebih dulu turun. Ia memerosotkan tubuhnya sampai akhirnya bergelantungan dengan kedua tangan memegang pinggiran lubang jendela. Setelah itu ia menjatuhkan diri dengan enteng ke lantai. Darbishire kalah jauh kemampuannya dari Jennings, di
segi ketangkasan. Jennings membantunya turun dengan
memegangi kedua kakinya. Kemudian mereka bergegas ke
pintu. Jennings memegang tombol pintu dan memutarnya.
Percuma saja, pintu itu dikunci.
"Aduh, pancing peot, payah ini," keluh Darbishire. "Di
dalam sini, lebih-lebih tidak ada gunanya lagi berteriakteriak minta tolong!"
Wajah Jennings membayangkan kegelisahan. Ia berpaling, mendongak ke arah jendela yang ada di langitlangit ruangan. "Barangkali sebaiknya kita naik saja kembali
ke atas atap, dan dari sana mencoba lagi berteriak minta
tolong...." Saat itu di atas kepala mereka terdengar bunyi yang keras
sekali, menggema dalam ruangan sempit itu. Jendela berat
yang tadi mereka biarkan berada dalam posisi tegak lurus,
jatuh kembali ke posisi semula. Tadi sewaktu membukanya,
kedua anak itu harus mengerahkan segenap tenaga mereka.
Lagi pula, saat itu mereka bisa bergerak dengan leluasa.
Kini, salah satu dari mereka mencoba membukanya
kembali sambil berdiri dengan sikap goyah di atas bahu
temannya - itu merupakan percobaan yang mustahil bisa
berhasil. "Yah, beginilah keadaannya," kata Jennings. Suaranya
datar, bernada pasrah. "Kita harus tetap di sini sampai ada
yang datang." Gudang tempat mereka terkurung itu merupakan tempat
menyimpan perlengkapan berkemah pasukan pramuka
sekolah itu. Di dinding dipajang bendera-bendera dan
emblem regu-regu, poster-poster berwarna dengan gambar
burung-burung yang hidup di alam bebas, serta sebuah
diagram yang menunjukkan berbagai teknik pembuatan
simpul. Pada daun pintu digantungkan semboyan pramuka
Inggris, Be Prepared, yang kurang lebih berarti Siaplah
Selalu. Ada pula Peraturan Pramuka yang ditulis besarbesar dengan huruf emas pada selembar papan hijau.
Dalam ruangan itu ada tenda-tenda dan macam-macam
lagi, pokoknya semua yang diperlukan untuk berkemah.
Tapi gudang sempit dan sumpek itu bukan tempat
berkemah yang nyaman. Apalagi di situ banyak sekali
sarang labah-labah. "Kita tidak bisa di sini terus sepanjang malam," kata
Darbishire menyatakan keberatannya. "Selain itu, apa kata
Pak Wilkie nanti jika mengetahui bahwa kita tidak ada di
ruang tidur bersama teman-teman?"
Kedua anak itu membicarakan kesulitan mereka saat itu,
sambil duduk di atas dua buah ember yang dibalikkan.
Kecemasan mereka yang terbesar adalah bahwa tidak ada
yang tahu di mana mereka berada. Venables dan kawankawan mereka yang selebihnya tadi tidak tahu bahwa
tangga dibawa pergi oleh Pak Robinson. Jadi pasti mereka
mengira kedua teman bermain cricket itu sudah turun dan
masuk ke gedung bersama anak-anak yang lain. Bahkan
apabila mereka kemudian tidak muncul di ruang tidur,
kenyataan itu pasti disembunyikan selama mungkin agar
tidak ketahuan oleh guru pengawas. Soalnya, teman-teman
itu pasti berpikir bahwa kedua anak yang belum muncul itu
tentu sedang melakukan salah satu kesibukan yang
terlarang. Dan akan tahukah Pak Wilkins bahwa Jennings dan
Darbi tidak hadir" Bisa saja ia mengira pada saat masuk ke
Ruang Empat untuk mengucapkan selamat tidur dan jangan
berisik lagi, bahwa kedua anak itu sedang pergi ke Matron
untuk minta perawatan karena digigit nyamuk atau tumit
yang melepuh! Jika itu yang terjadi, kemungkinan mereka
diselamatkan sebelum besok pagi memang sangat kecil....
Tidak ada hidangan susu dan biskuit malam ini; tidak ada
ranjang berkasur empuk; bahkan mungkin juga tidak ada
sarapan keesokan paginya. Hukuman apa pun yang pada
akhirnya akan dijatuhkan, merupakan hal sepele kalau
dibandingkan dengan penderitaan yang harus mereka alami
sebelum dibebaskan dari kurungan itu.
Akhirnya Jennings membuka mulut. "Tidak ada gunanya
panik! Jika kita terpaksa tinggal di lubang gelap ini
sepanjang malam, sebaiknya kita atur saja agar bisa
senyaman mungkin." Ia bangkit dari ember yang diduduki, lalu pergi
memeriksa perlengkapan berkemah yang ditaruh di atas
papan-papan rak. Pada papan paling atas ditemukannya
sebuah kantong tidur berwarna hijau dan sisi dalamnya
dilapisi bahan yang hangat. Kantong tidur itu dilengkapi
dengan kancing tarik. Jennings menurunkannya, lalu
menggelarnya di lantai. "Setidak-tidaknya aku nanti takkan kedinginan," katanya. "Kau juga sebaiknya mencari sesuatu yang bisa
dipakai untuk membungkus tubuhmu. Pukul tiga dini hari
nanti di sini dinginnya pasti seperti dalam lemari es."
Darbishire memilih beberapa lembar selimut tentara
yang sudah berlubang-lubang dimakan ngengat. Ia mencari

Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cari bantal di antara perlengkapan perkemahan itu. Tapi
ternyata tidak ada. Akhirnya ia mengambil sebuah ember
dari kain kanvas kedap air, untuk dijadikan pengganti
bantal. "Boleh dibilang segala macam barang ada di sini, tapi
tidak ada gunanya bagi kita!" katanya dengan sebal, sambil
menggerakkan tangan ke arah rak yang ada di belakangnya.
"Lihat saja - sebuah lampu minyak, tapi tidak ada korek api;
sebuah panci penggorengan, tapi tidak ada daging untuk
digoreng. Bahkan kompas pun ada untuk menemukan jalan
kembali ke tempat yang didiami orang - tapi kita tidak bisa
melewati pintu itu!"
Jennings berusaha membangkitkan semangat Darbishire.
"He, coba lihat ini," katanya sambil mengambil sebuah
topi pelaut yang sudah usang, terbuat dari kain terpal kedap
air. Dipakainya topi itu. Kedua bolpoin yang terpasang di
keningnya dengan diikat gelang karet sudah lama
dilepaskannya, karena ia sudah tidak lagi berperan sebagai
makhluk Planet Mars. "Pantas tidak ini, untuk meluncurkan
sekoci penolong?" Tapi percobaannya untuk melucu tidak ditanggapi.
"Ah, diam kau," kata Darbi dengan kesal, lalu
membungkuk untuk menggelar selimut-selimutnya. "Kita
saat ini terjebak dalam kesulitan yang paling payah sejak
pertempuran di Hastings, tapi kau masih sempat-sempatnya
membuat lelucon seperti anak kelas satu."
"Mendingan begitu, daripada berkeluh kesah," jawab
Jennings sambil mengangkat bahu. Topi pelaut itu terlalu
besar baginya, sehingga pinggir tudungnya yang sebelah
depan terjuntai menutupi matanya. "Dengan ini kepalaku
akan tetap kering, jika atap ternyata bocor," katanya sambil
mengikat tali topi itu di bawah dagunya. Kemudian
dibukanya kantong tidur, lalu ia menyusup ke dalamnya.
Sambil telentang ditariknya ritsleting kantong tidur itu ke
atas, sampai menyentuh dagunya.
Beberapa saat kemudian Darbishire mendengar Jennings
bergerak-gerak dalam kantong tidur sambil mengomel kesal.
"Ada apa lagi sekarang?" tanya Darbi.
"Ini, ritsleting konyol," keluh Jennings. "Ketika kutarik
ke atas tadi, bagian depan kemejaku terjepit. Sekarang aku
sama sekali tidak bisa melepaskannya lagi!"
Darbishire mendengus. "Hahh! Cuma itu saja! Kusangka
kita sudah cukup repot, tanpa perlu memikirkan ritsleting
yang brengsek." Ia sudah capek, lapar, sedih, dan sangat
bingung. Hari sudah mulai gelap sekarang, tapi sementara
berbaring dalam selimut-selimut yang membungkus tubuhnya, ia masih bisa menyimak semboyan pramuka
yang tertulis dengan huruf-huruf emas dan terpasang di
daun pintu. Nasihat itu tidak banyak manfaatnya bagi mereka saat
itu, katanya dalam hati, sementara ia menggerak-gerakkan
kepalanya yang terletak di atas ember kanvas yang kaku itu.
Gampang saja mengatakan Siaplah Selalu, tapi dengan
anak kikuk berotak udang seperti Jennings sebagai
pemimpin, bagaimana bisa diketahui untuk kejadian apa
saja ia harus bersiap"
Ketika mereka sudah mengenakan piama dan bersiapsiap untuk masuk ke tempat tidur, barulah penghuni Ruang
Tidur Empat menyadari bahwa dua anak teman sekamar
mereka tidak ada. Venables, yang duduk di ranjangnya sambil mencoba
menjerat jari-jari kakinya dengan tali pinggang kimononya,
berkata, "Ngomong-ngomong, apa yang terjadi dengan
kedua antariksawan terkenal dari Mars dan Pluto" Pak
Wilkie pasti akan mengorbit, apabila mereka belum kembali
ke Bumi sebelum ia datang untuk menyuruh kita tidur."
Atkinson melonjak-lonjak di ranjangnya, seperti badut di
atas trampolin. "Mereka tadi tidak ada sewaktu kita minum
susu dan makan biskuit," katanya mengomentari di sela
lonjakannya. "Mungkin mereka pergi ke bawah, mendatangi kotak
tempat penyimpanan bekal makanan Jennings," kata
Temple menebak. "Atau mungkin mereka tepergok Kepala
Sekolah, lalu mereka digiring ke ruang kerjanya untuk
diberi perlakuan menyeramkan yang terkenal itu."
"Tapi mungkin juga tidak," tukas Atkinson. "Sebentar
lagi mereka pasti muncul. Mereka mestinya ada di sekitar
sini." Saat itu belum ada yang merasa gelisah. Namun ketika
Pak Wilkins muncul beberapa menit kemudian dalam
perjalanan kelilingnya memeriksa ruang-ruang tidur,
keadaan menjadi gawat. Pak Wilkins itu bertubuh besar. Kelihatannya selalu
sibuk, berwatak meledak-ledak dan tidak sabaran. Meski ia
sebenarnya suka pada anak-anak didiknya, ia berkeras
memandang tingkah laku mereka dengan mata orang
dewasa. Sebagai akibatnya, ia tidak pernah bisa memahami
keisengan generasi yang sedang dalam pertumbuhan itu.
"Semua sudah di tempat tidur?" katanya dengan
suaranya yang lantang, sementara ia melangkah masuk
dengan langkah seperti tentara sedang berjalan di tempat.
Pandangannya bergerak ke kedua ranjang yang kosong.
"Mana Jennings dan Darbishire?" .
Venables, Temple, dan Atkinson memandang ke arahnya
dengan heran. Mereka bersikap seolah-olah baru saat itu
sadar bahwa teman-teman mereka itu tidak ada di antara
mereka. Ketiga anak itu berpandang-pandangan dengan
sikap pura-pura tidak tahu apa-apa. Demi kesetiakawanan,
mereka harus berusaha melenyapkan kecurigaan Pak
Wilkins. "Jennings dan Darbishire, Pak?" kata Venables mengulangi dengan gaya seperti berusaha mengingat-ingat
nama yang rasanya pernah didengar.
"0 ya, mereka... eh... mereka saat ini memang tidak ada
di sini, seperti Anda katakan, Pak. Saya rasa mereka
barangkali... eh... ada di tempat lain. Pokoknya, begitulah."
Ruang Tidur Empat tidak besar ukurannya. Di dalamnya
ada lima buah ranjang, tiga baskom untuk mencuci badan,
dan sebuah lemari pakaian. Di situ tidak ada tempat yang
bisa dipakai untuk bersembunyi. Tapi meski begitu
Atkinson tetap saja melakukan pencarian dengan cermat. Ia
bahkan melongok ke kolong ranjang-ranjang dan ke
belakang lemari pakaian, sebelum melaporkan hasilnya.
"Tidak, mereka sudah jelas tidak ada di sini, Pak - saya
mengeceknya," katanya.
"Aku bisa melihat bahwa mereka tidak ada di sini, anak
konyol," tukas Pak Wilkins. "Ayo berdiri, dan langsung
masuk ke tempat tidur."
"Mungkin mereka sedang ke klinik, Pak," kata Temple
menyampaikan dugaannya. "Matron punya persediaan obat
batuk baru yang mujarab, dan..."
"Mereka tidak ada di klinik - aku baru saja ke sana," kata
Pak Wilkins memotong. Ia melirik jam tangannya. Sudah
hampir tiba saatnya anak-anak harus tidur. "Jika anak-anak
konyol itu belum juga ada di ranjang mereka dalam dua
menit lagi, aku akan... aku akan... yah, awas mereka nanti."
Ia melangkah pergi dari ruangan itu, untuk melihat
apakah kedua anak itu masih keluyuran di lantai bawah.
Tapi mereka tidak ada di situ! Demikian pula di kamar
mandi, atau di ruang-ruang tidur yang lain. Pak Wilkins
mulai gelisah. Ia memperluas pencariannya, ke tempattempat persembunyian yang lebih kecil kemungkinannya. Ia
memeriksa ke balik lemari-lemari tempat sepatu di ruang
tempat penyimpanan bekal makanan kecil milik anak-anak;
ia bahkan melongok sebentar ke balik piano di ruang musik,
meski akal sehatnya mengatakan tidak mungkin ada anak
yang bisa menyusup masuk ke dalam celah sempit yang
lebarnya hanya sepuluh senti!
Hampir seperempat jam kemudian ia muncul lagi di
Ruang Tidur Empat. Kini ia sudah benar-benar bingung.
"Benar-benar mustahil!" katanya marah-marah. "Mereka
sama sekali tidak ada dalam gedung ini. Kalian yakin, tidak
tahu ke mana mereka?"
"Tidak, Pak," kata anak-anak penghuni Ruang Tidur
Empat serempak. Mereka kini sama bingungnya seperti Pak
Wilkins. "Kalau begitu tinggal satu hal yang bisa dilakukan," kata
guru yang bertugas mengawasi itu memutuskan. "Aku
terpaksa meminta Kepala Sekolah untuk menelepon polisi,
melaporkan bahwa mereka hilang."
Wah, polisi! Venables, Temple, dan Atkinson saling
berpandangan dengan gelisah. Kalau polisi akan dipanggil,
urusannya menjadi lain. Soalnya sudah bukan permainan
lagi seperti tadi, tapi ini sudah serius!
"Begini Pak, kami tahu di mana mereka berada ketika
Anda tadi meniup peluit 'tanda semua masuk'," kata
Venables dengan segan-segan. "Mereka ada di... eh... di
atap ruang olahraga, Pak."
"Mereka ada di mana"!" Pak Wilkins kaget sekali.
"Tapi kami sangka mereka akan turun lagi. Soalnya,
kami tadi sedang bermain cricket..."
"Cricket! Di atas atap?"
"Tidak, Pak, di bawah, di pelataran aspal. Kami sedang
mengadakan pertandingan..."
"Bumi lawan Angkasa Luar, Pak," kata Atkinson
melengkapi. "Jennings menjadi makhluk Mars yang
termasyhur, dan saya makhluk Yupiter bermata tiga, sedang
Venables menjadi..."
"Diam!" bentak Pak Wilkins. Meski soal itu mungkin
saja menarik pada kesempatan lain, tapi saat itu menurut
perasaannya bukan waktunya untuk mendengarkan
perincian mengenai pemain-pemain yang datang dari
planet-planet lain. "Lalu apa yang mereka lakukan di atas
atap itu?" "Mengambil bola, Pak," kata Venables menjelaskan.
"Soalnya, Robinson meninggalkan tangga di sana dan..."
"Begitu, ya" Sekarang aku mengerti." Pak Wilkins
menatap ketiga anak itu dengan mata melotot. "Dan kurasa
mereka ada di atas sana, tidak jauh dari kepalaku, sewaktu
aku menyuruh kalian semua masuk?"
"Ya, Pak." "Doh!" Pak Wilkins harus memaksa diri agar tetap
tenang. "Kenapa tadi tidak kalian katakan padaku?"
"Anda tidak menanyakannya, Pak. Anda berkata,
apakah kami tahu di mana mereka berada, dan kami
sungguh-sungguh tidak tahu karena mengira mereka pasti
akan turun dan..." "Ya, ya, sudahlah." Karena kini sudah ada petunjuk yang
bisa ditelusuri, Pak Wilkins bergegas keluar dan turun ke
bawah. Ia bergegas-gegas, dua anak tangga dilewatinya
setiap kali ia melangkah. Hari sudah hampir gelap, dan jika
anak-anak konyol itu masih tetap terjebak di tempat yang
tingginya sepuluh meter dari tanah, mereka harus selekas
mungkin diselamatkan. Tapi untuk itu tentu saja ia memerlukan senter! Baru saja
tadi pagi ia menyita senter yang bagus dari Rumbelow,
sewaktu anak itu sedang berlatih memberi isyarat Morse di
bawah tutup meja tulisnya, sementara menunggu pelajaran
matematika dimulai. Pak Wilkins masuk sebentar ke ruang
kelas murid-murid Kelas Tiga untuk mengambil senter itu,
yang ditaruhnya tadi di meja guru. Kemudian ia pergi ke
luar gedung lewat pintu samping, dan melintasi lapangan
tempat bermain yang dilapisi aspal, menuju tempat
pertandingan yang hanya berlangsung sebentar tadi siang.
Sambil menyorotkan sinar senter ke atas, ia memandang
ke sisi atas dinding ruang olahraga sambil memanggilmanggil, "Jennings! ...Darbishire! Kalian ada di sana?" Tapi
jawaban yang terdengar hanya gema suaranya sendiri.
Kemudian Pak Wilkins pergi ke balik bangunan itu.
Dilihatnya tangga itu sudah tidak ada lagi di sana.
Mungkinkah anak-anak konyol itu masih ada di atas dan
bersembunyi" Atau sudah lebih dulu turun ketika tangga
diambil" Ia memutuskan untuk segera mencari Robinson,
lalu naik ke atas atap untuk memeriksa!
Pak Wilkins melintasi kebun sayuran menuju ke pondok
pesuruh sekolah itu. Tapi dalam perjalanan ke situ ia nyaris
saja jatuh karena tersandung tangga yang digeletakkan
begitu saja di tanah, di dekat dinding gudang peralatan.
Sesaat Pak Wilkins ragu, apakah ia bisa melakukannya
sendiri tanpa bantuan. Dan itulah keputusan yang
diambilnya, karena ia lihat pondok tempat Robinson gelap.
Pak Wilkins bertubuh kekar. Tangga itu ditegakkannya.
Sambil memanggul alat panjat itu ia kembali ke bangunan
tempat olahraga dan menyandarkannya ke dinding.
Ketika sudah sampai di atap disorotkannya sinar senter
berkeliling. Tapi kedua anak yang dicarinya itu tidak
nampak di situ. Juga tidak terdengar suara mereka
menjawab ketika ia memanggil-manggil mereka.
Pak Wilkins bingung. Mereka tidak mungkin bisa turun,
setelah tangga diambil. Jadi di manakah..."
Kemudian ia teringat pada gudang yang jendela kacanya
berada di atap. Ya, tentu saja! Ada kemungkinan mereka
hendak turun lewat situ, tapi kemudian menemukan pintu
terkunci. Setelah tahu di mana kedua anak itu berada, ia kini harus
memutuskan cara terbaik untuk membebaskan mereka,
pikir Pak Wilkins sambil berjalan di atas atap.
Menggunakan tangga dalam gelap bisa berbahaya, dan
membawa turun anak-anak itu dengan selamat sampai ke
bawah bisa merepotkan. Pak Wilkins tiba di tepi jendela kaca. Dengan tenaganya
yang besar ditariknya bingkai jendela itu sehingga terbuka


Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke atas. "Jennings! ...Darbishire!" serunya sambil melongok
ke ruangan gelap yang ada di bawahnya. Tapi tetap tidak
terdengar jawaban. Ia merasa heran, lalu menyorotkan sinar
senternya ke bawah. Kemudian, seperti yang terjadi pada Darbishire satu jam
sebelumnya, Pak Wilkins menyadari bahwa masalah yang
dihadapi ternyata bukanlah yang selama itu menggelisahkan dirinya. Gudang itu kosong. Kedua anak itu tidak ada di situ!
0o-dwkz-ray-o0 3. PERTOLONGAN SEDIKIT pun tidak ada kesangsian bahwa ketiga anak
yang berada di Ruang Tidur Empat akan bertindak
menolong kedua teman mereka.
Begitu pintu ditutup dengan keras oleh Pak Wilkins
setelah ia melangkah ke luar, Atkinson langsung duduk di
ranjangnya dan berkata, "Wow! Kasihan Jen dan Darbi. Mereka takkan punya
kesempatan sedikit pun apabila roket-roket Pak Wilkie
berdesingan dari tempat peluncurannya. Sayang kita tidak
bisa menyelamatkan mereka dari cengkeramannya."
"Mungkin masih bisa, asal kita cepat-cepat," kata
Venables menyarankan. "Itu jika mereka masih ada di atas
atap. Semua tergantung pada hal itu."
"Bagaimana caranya" Kita tidak punya helikopter," kata
Temple. Tapi rencana Venables tidak memerlukan pengerahan
helikopter. Sewaktu masih menjadi kurcaci dalam Regu
Peewit, ia sempat beberapa kali masuk ke gudang tempat
penyimpanan alat-alat kepanduan. Jadi ia tahu bahwa di
situ ada jendela yang membuka ke atap.
"Jika kita masuk ke ruang olahraga lalu naik tangga, kita
bisa masuk ke gudang yang ada di sana," katanya
menjelaskan. "Lalu kita bisa menolong mereka masuk lewat
jendela kaca, dan mereka akan sudah berada di sini
sementara Pak Wilkie masih berkeliaran terus mencari-cari
mereka." "Hm. Idemu itu bagus," kata Atkinson. Ia mengerutkan
kening, berpikir-pikir. "Tapi pintu kan dikunci?"
"Betul, tapi aku tahu di mana anak kuncinya disimpan,"
kata Venables memberi tahu. "Aku pernah melihat Pak
Carter menaruhnya di lemari yang ada di ujung atas tangga.
Itu, setelah kita berada dalam gudang itu untuk
membereskan barang-barang perlengkapan."
Temple nyengir. "Kalau begitu, bereslah persoalannya.
Aku berani bertaruh, Pak Wilkie pasti tidak tahu di mana
anak kunci itu disimpan, karena dia tidak pernah aktif
dalam kepramukaan. Ia pasti melongo jika datang kemari
lagi nanti dan menemukan mereka berdua sudah berbaring
di tempat tidur." Kelihatannya besar kemungkinannya aksi pertolongan
itu akan berhasil. Tapi Temple dan kedua temannya harus
buru-buru, jika ingin bisa membuat Pak Wilkins melongo
nanti. Aksi itu dipimpin oleh Venables. Itu sudah dengan
sendirinya, karena dialah yang tahu di mana anak kunci itu
disimpan. Tapi ia memerlukan bantuan untuk membuka
jendela atap itu, demikian pendapatnya. Ia tidak "tahu,
apakah jendela itu bisa dibuka dengan gampang atau tidak.
"Aku ikut untuk membantumu membukanya nanti," kata
Temple menawarkan diri. "Tapi bagaimana dengan
pengamanan" Bagaimana jika kita nanti berjumpa dengan
salah seorang guru?"
"Itu takkan terjadi jika sekarang ini juga kita berangkat,"
kata Venables menenangkan. "Para guru saat ini sedang
makan malam - kecuali Pak Wilkie, tentunya." Dan kita
harus berjaga-jaga agar jangan sampai tepergok guru
pengawas itu, katanya dalam hati. Di mana Pak Wilkins
berada saat itu hanya bisa ditebak-tebak saja, dan Venables
berharap semoga saja dugaan itu tepat.
"Ayo, kita berangkat," kata Venables lagi, sambil
mencari-cari sandalnya di bawah ranjang. "Jika buru-buru,
kita akan bisa sudah kembali lagi kemari bersama Jen dan
Darbi, sementara Pak Wilkie masih berkeliaran di luar
mencari tangga Pak Robo."
Atkinson mengantar kedua anggota regu penolong itu
sampai ke ujung atas tangga. "Hati-hati saja," katanya
berbisik, sementara kedua temannya berjingkat-jingkat
menuruni tangga sambil mengenakan kimono masingmasing. Venables dan Temple tidak berjumpa siapa pun
juga sewaktu mereka melintasi serambi bawah dan
menyelinap ke luar lewat pintu samping. Keadaan juga
tetap aman ketika mereka menyusuri lorong beratap menuju
ke ruang olahraga. Mereka tidak tahu bahwa tepat pada
saat itu Pak Wilkins nyaris jatuh di dekat gudang tempat
penyimpanan peralatan Pak Robinson, karena tersandung
tangga yang tergeletak begitu saja di tanah.
Dengan perasaan tegang, kedua anak itu akhirnya tiba di
sebelah luar pintu ruang olahraga. Pintu itu tidak pernah
berada dalam keadaan terkunci pada waktu seperti saat itu.
Soalnya, setelah selesai makan malam dan membaca koran,
barulah Pak Robinson berkeliling untuk memeriksa apakah
pintu-pintu berbagai bangunan yang ada di kompleks
sekolah itu - selain pintu-pintu gedung utama--sudah
terkunci semua. Tangga di sisi ruang olahraga yang menuju ke gudang
peralatan pramuka gelap gulita. Venables dan Temple
menaikinya sambil meraba-raba. Sesampai di gang yang
terdapat di ujung atas tangga, Venables berjalan sambil
meraba-raba dinding. Akhirnya ia menyentuh lemari yang
ada di situ. Anak kunci gudang disimpan di dalam lemari
itu, tergantung pada sebatang paku. Dengan segera jarijarinya sudah menemukan anak kunci itu. Kedua anak itu
meneruskan langkah mereka. Venables berjalan di depan,
menuju ke ujung gang. "Sejauh ini semuanya beres," katanya pada Temple.
"Yang sulit nanti, menurunkan Jen dan Darbi dari atap
lewat jendela gudang."
Sambil bicara dimasukkannya anak kunci itu ke dalam
lubangnya. Tapi sebelum, ia sempat memutarnya, terdengar
suara seseorang dari balik pintu.
"He! Siapa di luar itu?"
"Aku-kami," balas Venables dengan suara lirih.
"Siapa itu, aku---kami?"
"Venables dan Temple. Siapa di dalam?"
"Aku-kami. Jennings dan Darbishire."
"Kenapa kalian ada di situ" Mestinya kan masih di atas
atap," kata Venables. Ia agak kecewa. "Kami datang untuk
menolong kalian. Anak kuncinya sudah kuambil."
"Kalau begitu cepatlah buka, jangan pidato lagi dari balik
pintu." Yang berbicara itu Darbishire. Terdengar jelas dari
suaranya bahwa ia gugup. "Ayo, cepatlah! Kami sudah
tidak tahan lagi, terkurung dalam ruang menyeramkan ini."
Venables membukakan pintu. Saat itu bulan baru saja
muncul. Sinarnya yang temaram masuk ke dalam gudang
lewat jendela yang ada di langit-langit ruangan. Karena
sinar itu, kedua anak yang datang menolong bisa melihat
Darbishire menandak-nandak dengan lega. Mula-mula
mereka tidak melihat teman mereka yang satu lagi. Baru
sesaat kemudian perhatian mereka terarah pada suatu
onggokan tak berbentuk dan tak berwajah di ujung ruangan.
Onggokan itu berwujud sesuatu yang terbungkus. Dan
bungkusan itu menggeliat-geliat maju. Itu Jennings, yang
tidak bisa keluar dari kantong tidur. Mukanya tidak
kelihatan karena tertutup topi pelaut.
"Ayo, Jen. Jangan suka iseng, membuang-buang waktu
saja," kata Venables cepat-cepat sambil berbisik. "Pak
Wilkie saat ini sedang berkeliaran, mencari kalian berdua.
Kalian masih sempat masuk ke tempat tidur kalian sebelum
mereka menelepon polisi, jika kita kembali sekarang ini
juga." Venables berpaling untuk mendului berjalan menuju ke
tangga. Ia diikuti oleh Temple, dan Darbishire menyusul di
belakangnya. Tapi Jennings tidak beranjak untuk mengikuti. "He, jangan tinggalkan aku," terdengar suaranya dari
bawah topi pelaut. Nadanya cemas.
Ketiga anak yang sudah berjalan langsung berpaling
dengan heran, kecuali Darbishire, tentunya.
"Sudahlah, Jen," kata Temple tidak sabaran lagi. "Ini
bukan saatnya membuang-buang waktu. Sedetik pun tidak
boleh!" "Aku bukan hendak membuang-buang waktu," kata
Jennings memprotes. "Aku tidak bisa berjalan - itulah
sebabnya." "Tidak bisa berjalan!" Timbul kecemasan dalam hati
Temple. "Maksudmu, kakimu patah, atau terkilir, begitu?"
"Bukan begitu, tapi aku tidak bisa keluar dari kantong
tidur ini. Aku bahkan tidak bisa membebaskan kedua
lenganku. Ritsletingnya macet."
Ketiga temannya kembali untuk menolong. Tapi mereka
juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sewaktu menarik ritsleting
untuk menutup kantong tidur itu sampai ke dagunya,
Jennings bukan saja menyebabkan lubang kancing teratas
dari kemejanya terjepit, tapi juga tali-tali pengikat topi
pelaut yang dipakainya dan tadi disimpulkannya di bawah
dagu. Sebagai akibatnya ritsleting itu benar-benar macet.
Ditarik atau didorong sekuat apa pun, tetap saja macet.
"Percuma saja," keluh Venables setelah berusaha dengan
sia-sia selama setengah menit.
"Kau ini sinting rupanya, Jen. Untuk apa kau
melakukannya?" "Bukan kusengaja," kata Jennings membela diri.
"Kausangka aku meringkus diriku sendiri seperti ini karena
senang, ya "!" "Sudahlah, jangan bertengkar! Sini, biar kucoba," kata
Temple. Ditariknya pegangan ritsleting itu dengan sekuat
tenaga. Tapi dia pun tidak berhasil. "Tali-tali topi konyol ini
yang menyebabkannya macet," katanya menarik kesimpulan. "Barangkali akan lebih besar kemungkinan
berhasil membukanya jika yang itu dulu dilepaskan."
Dipegangnya pinggiran topi pelaut itu pada posisi di
belakang kain penutup telinga, lalu dicobanya menariknya
ke depan. Tapi kembali ia tidak berhasil, karena tali-tali topi
itu terikat kencang di bawah dagu Jennings. Akibatnya, topi
pelaut itu malah semakin menutupi muka anak itu. Kini
Jennings sama sekali tidak bisa melihat apa-apa lagi.
Suaranya terdengar samar, di dalam topi.
Venables mencak-mencak dengan gelisah. "Aduh,
bagaimana ini! Beberapa saat lagi Pak Wilkie pasti menuju
kemari. Cepat atau lambat, pasti akan terpikir olehnya
untuk mencari ke gudang ini."
Dugaannya tepat, karena sementara ia sedang mengatakan hal itu, Pak Wilkins sedang menyandarkan
ujung atas tangga ke pinggiran atap ruang olahraga.
Tiba-tiba Darbishire membuka mulut.
"Aku tahu bagaimana kita bisa membebaskannya."
Anak-anak yang lain berpaling padanya.
"Bagaimana caranya?" tanya mereka berharap.
"Ambil gunting, lalu kita gunting jahitan..."
"Tapi, di sini kan tidak ada gunting, konyol," kata
Temple memotong. "Ya, memang. Tapi coba kalau ada!"
"Sudah, jangan main kalau-kalau lagi! Kita tidak punya
waktu untuk mengambilnya, karena Pak Wilkie tidak
tinggal diam saja." Temple berpaling ke temannya yang
terbungkus rapat dalam kantong tidur. "Kau terpaksa
berusaha sendiri kembali ke kamar kita, Jen! Kalau sudah
sampai di sana, nanti kita berusaha membebaskan dirimu."
Perjalanan menuruni tangga, menyusur lorong beratap,
masuk ke gedung utama lewat pintu samping lalu naik
tangga ke lantai tiga di mana Ruang Tidur Empat terdapat,
pasti akan lama sekali, terkenang oleh Jennings.
Siapa pernah ikut perlombaan lari karung pasti tahu
bahwa ada dua cara yang diizinkan untuk mencapai garis
finis. Cara pertama adalah dengan mengangkangkan kaki
sehingga bertumpu pada sudut-sudut sebelah bawah karung,
lalu mulai berjalan seperti bebek. Cara kedua adalah
merapatkan kedua kaki lalu bergerak maju dengan
melonjak-lonjak, sambil berjaga-jaga jangan sampai kaki
tersangkut ke kain karung yang terlipat-lipat di sekitar mata
kaki. Tapi tentu saja masih ada cara-cara lainnya lagi,
misalnya berbaring lalu berguling-guling seperti batang
kayu, atau berbaring menelungkup lalu maju sambil
melengkung-lengkungkan badan, seperti cara ulat berjalan.
Namun kedua teknik yang belakangan ini tidak lazim
dijumpai dalam perlombaan yang diatur secara baik.
Jennings memakai dua cara yang pertama dalam
perjalanannya ke Ruang Tidur Empat. Sementara
Darbishire dan Venables menopangnya di kedua sisi, ia


Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak maju menyusur gang menuju ke ujung atas tangga.
Menuruni tangga merupakan urusan yang sulit, karena
dilakukan dalam kegelapan. Jennings menyelesaikan urusan
itu dengan cara duduk di anak tangga paling atas, dengan
kedua kaki pada anak tangga kedua di sebelah bawah.
Dalam posisi begitulah ia melonjak-lonjak turun.
"Huhh, ini sih bukan main-main namanya!" katanya
mengeluh ketika mereka sudah keluar dari ruang olahraga
yang gelap gulita dan tiba di lorong beratap. Di situ sinar
bulan yang temaram menerangi jalan yang harus dilewati,
sehingga mempermudah perjalanan.
"Bagaimana jika dia kita gendong saja?" kata Temple
mengusulkan. "Terlalu berat," kata Darbishire. "Dan selain itu juga
akan makan waktu lebih lama, karena kita harus silih
berganti menggendong. Ck, coba kita punya gerobak atau
kursi roda...." "Ah, diam kau, Darbi! Rupanya otakmu perlu diperiksa.
Tadi ingin ada gunting, sekarang kepingin ada gerobak!
Kau seperti peri penolong Cinderella saja: nanti akhirnya
kau menginginkan kereta dari kaca yang ditarik tikus-tikus
putih," kata Venables dengan nada sebal, sementara
rombongan itu bergerak menyusur lorong.
"Ayolah, cepatkan langkah kalian. Kalau begini terus,
nanti setiba kita di kamar, ternyata Pak Wilkie sudah
menunggu di situ. Mungkin saja dia sudah ada di sana
sekarang." Sekali ini dugaan Venables meleset. Tapi melesetnya
tidak terlalu jauh. Sementara anak-anak bergegas masuk ke
gedung utama lewat pintu samping, guru pengawas itu
sedang menyorotkan senternya ke dalam gudang yang baru
dua menit empat puluh tiga detik yang lalu mereka
tinggalkan. Perjalanan menaiki tangga ke atas, bagi Jennings beserta
ketiga temannya benar-benar merepotkan, meski lampulampu di situ menyala sehingga mereka bisa melihat jalan
yang harus ditempuh. Mula-mula Jennings mencoba kebalikan dari cara yang
dipakainya menuruni tangga di ruang olahraga: tapi sambil
duduk melonjak-lonjak ke atas, ternyata makan waktu lebih
lama daripada ketika menuruni tangga. Karenanya pada
tangga menuju lantai tiga ia berdiri tegak lalu melompati
anak-anak tangga satu demi satu, dengan Darbishire dan
Temple memegangi sikunya di sisi kiri dan kanan.
Perjalanan menyusur gang lebih mudah, tapi perasaan
mereka tetap saja tidak enak karena tidak tahu pasti apakah
mereka berhasil mendului Pak Wilkie atau tidak.
Kekhawatiran itu dibuyarkan oleh Atkinson, yang
bersandar di pagar pembatas gang. Ia memandang dengan
mata melotot karena heran, sementara anak-anak menaiki
tangga terakhir. "Wow, pancing peot! Apa yang kaulakukan dalam
kantong tidur itu, Jen?" katanya menyapa.
"Jangan tanya-tanya apa yang kulakukan di dalam sini.
Mana Pak Wilkie?" tanya Jennings buru-buru.
"Dia belum muncul lagi."
"Fiuh, untunglah kalau begitu," Jennings sampai di anak
tangga paling atas, lalu bergerak beringsut-ingsut menuju ke
kamar tidur yang gelap, seperti anjing laut di atas gunung
es. Ia merebahkan diri di ranjangnya dengan napas
tersengal-sengal, sementara Darbishire menggeledah kantong seponnya dengan diterangi sinar senter, mencaricari gunting kukunya. "Apa yang terjadi" Ada apa, sih?" desak Atkinson. Tapi
tidak ada yang punya waktu maupun kesabaran untuk
memperhatikan segala pertanyaannya itu.
Gunting kuku Darbishire ternyata sangat tumpul,
sehingga menembus permukaan kue saja mungkin tidak
bisa. Apalagi bahan tebal yang merupakan bagian dari
ritsleting kantong tidur itu.
"Aku tidak bisa melihat apa yang kulakukan dengan
sinar senter yang lemah ini," keluhnya. "Kita terpaksa
menyalakan lampu kamar."
"Itu terlalu besar risikonya, karena pasti akan terlihat
oleh Pak Wilkie," kata Venables. "Kita hanya bisa berharap
bahwa dia tidak..." Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, karena saat itu
terdengar bunyi ditutup dengan keras di serambi bawah,
disusul oleh langkah-langkah berat yang bergegas di tangga
dan langsung masuk ke kamar lewat pintu yang terbuka.
Bunyi langkah itu yang masuk ke kamar, bukan orang yang
menyebabkannya. "Wah, Pak Wilkie sedang melacak!" kata Venables.
"Cepat betulkan letakmu berbaring, Jen, lalu tarik selimut
ke atas." "Bagaimana caranya?" bantah Jennings. "Kedua tanganku kan ada di dalam kantong sialan ini!"
"Yah, pokoknya berbuatlah sesuatu. Dan kau, Atki,
menyelinaplah ke gang, tahan Pak Wilkie di situ. Katakan
padanya, mereka berdua sudah ada di tempat tidur, jadi dia
tidak perlu lagi repot-repot masuk kemari."
Biasanya Jennings-lah yang mengatur dalam menghadapi suatu situasi. Jennings yang biasa memberi
perintah. Tapi sekali ini hal itu dilakukan oleh Venables.
Dan kenyataan ini, bahwa ia bisa mengambil alih komando
- meski hanya untuk sementara - tanpa ada protes sama
sekali dari anak yang biasanya memimpin, merupakan bukti
betapa goyahnya perasaan Jennings saat itu, sebagai akibat
kejadian-kejadian selama berapa menit sebelumnya.
Atkinson lari ke gang, lalu sambil menyandar ke pagar
pembatas ia berseru ke bawah, "Pak, Pak! Urusannya sudah
beres, Pak. Semuanya sudah berhasil dikendalikan."
Langkah-langkah berat tadi berhenti di ujung atas tangga
pertama. "Apa maksudmu, 'semuanya sudah berhasil
dikendalikan'?" "Jennings dan Darbishire, Pak. Mereka sudah di tempat
tidur, Pak. Sudah masuk di bawah selimut, Pak. Mereka
tadi cuma agak terlambat sedikit masuk ke kamar. Cuma itu
saja." "Begitu, ya"!" Dari nada suaranya terdengar jelas bahwa
kecil sekali kemungkinannya Pak Wilkins akan membiarkan kedua anak yang terlambat masuk itu tetap
berbaring dengan nyaman di ranjang masing-masing.
"Ya, Pak. Mereka tadi... eh... ada halangan sedikit. Tapi
Anda tidak perlu repot-repot lagi sekarang, karena
keduanya sudah tidur. Atau tepatnya..." Atkinson berusaha
sebaik mungkin, tapi ia juga sadar bahwa ia tidak boleh
keterlaluan dalam melakukannya. "Sebenarnya mereka
belum benar-benar tidur, tapi sudah mengantuk sekali. Jadi
jika saya ini Anda, Pak..."
"Bilang pada kedua anak itu, mereka harus dengan
segera melapor padaku di ruang guru," kata Pak Wilkins
dengan suara menggelegar.
"Tapi, Pak..." "Dengan segera, kataku. Kaudengar itu" Seketika ini
juga! Bilang pada Jennings dan Darbishire, tidak peduli
apakah mereka masih bangun atau sudah tidur, jika mereka
belum ada di ruang guru satu menit dari sekarang, aku
akan... aku akan..." Pak Wilkins menggerak-gerakkan
kedua lengannya, mencari-cari ancaman seram yang sesuai
untuk situasi saat itu. Akhirnya ia menyambung, "Yah,
pokoknya satu menit dari sekarang mereka harus sudah ada
di ruang guru. Kalau tidak, tahu sendiri nanti!"
Atkinson kembali ke kamar tidur. "Kalian sudah dengar
sendiri, kan?" katanya.
0o-dwkz-ray-o0 4. HUKUMAN KETIKA Pak Wilkins memasuki ruang guru beberapa
saat kemudian, dilihatnya rekannya, Pak Carter, sedang
duduk di sebuah kursi besar dengan sandaran lengan. Pak
Carter sedang membaca koran terbitan sore.
Pak Carter, asisten senior Kepala Sekolah, berbeda sekali
dari Pak Wilkins. Kalau Pak Wilkins cepat sekali ribut, Pak
Carter berwatak tenang dan ramah. Sementara Pak Wilkins
selalu bingung menghadapi tingkah laku anak-anak yang
sedang tumbuh, Pak Carter sangat memahami segala gerak
perasaan mereka. Ia selalu bersedia untuk dengan sikap
simpatik menghadapi anak berumur sebelas tahun yang
mana pun juga, yang mengalami kesulitan sebagai akibat
perbuatan mereka sendiri.
Pak Wilkins memasuki ruang guru dengan cepat, lalu
menutup pintu kembali dengan cara membantingnya.
"Aku sudah benar-benar jenuh, direpotkan oleh anakanak konyol dari Ruang Tidur Empat - apalagi Jennings,"
keluhnya sambil menghenyakkan tubuhnya ke sebuah kursi
besar. "Bayangkan, dia dan Darbishire tadi naik ke atas atap
ruang olahraga, mencari bola-bola yang hilang."
"0 ya?" Pak Carter menanggapi dengan nada berminat.
"Lalu, ada yang mereka temukan" Mestinya di situ ada
berlusin-lusin bola..."
"Aku tidak tahu apakah ada yang mereka temukan, dan
aku juga tidak peduli," kata Pak Wilkins memotong dengan
kesal. "Bukan itu soalnya. Yang kupersoalkan adalah ketika
aku naik ke sana mencari mereka, ternyata mereka tidak
ada di situ." "Lalu di mana mereka?"
"Aku belum tahu, tapi sebentar lagi aku akan tahu,"
jawab Pak Wilkins. "Aku baru saja memberi waktu enam
puluh detik pada Jennings dan Darbishire untuk datang
melapor padaku, guna menjelaskan perbuatan mereka."
Ia memandang jam tangannya, Saat itu terdengar bunyi
pintu diketuk dari luar. Bunyinya pelan, takut-takut.
Pengetuknya pasti seseorang yang tidak ingin menghadapi
sambutan yang menunggu di dalam.
"Masuk!" kata Pak Wilkins dengan suara keras.
Pintu terbuka. Nampak Darbishire berdiri dengan sikap
gelisah di ambangnya. Ia memakai kimono untuk menutupi
pakaian biasanya. Tapi kesan seolah-olah ia baru
dibangunkan dari tidurnya dirusak oleh celana dan
sepatunya, yang nampak jelas di bawah kimono.
"Anda... eh... Anda menyuruh saya datang untuk
melapor kemari, Pak," kata anak itu.
"Aku tadi menyuruh kalian berdua datang melapor
padaku," kata Pak Wilkins membetulkan. "Mana Jennings?" "Dia... eh... saya rasa dia sedang dalam perjalanan
kemari, Pak." Seakan sebagai bukti ucapannya itu, terdengar bunyi
berdebum-debum di gang. Datangnya dari arah tangga.
Bunyi itu sulit dikenali. Dari kejauhan terdengar seperti keberisikan di gelanggang boling, yang sedang ramai. Tapi ketika sudah lebih dekat, kedengarannya lebih mirip kanguru yang sedang mengejar entah apa, di daerah gurun Australia. Pak Wilkins bangkit dengan cepat dari kursinya, seperti roket meninggalkan landasan pel luncuran. "Apa...
apa... apa bunyi berisik itu?" tanyanya. Dengan
tiga langkah saja ia sudah sampai di pintu. Ia keluar ke
gang, melewati Darbishire yang masih terus berdiri di
ambang pintu. Pak Carter ikut keluar dengan langkah yang
lebih santai. Kemudian, kedua guru itu memandang dengan mata
terbelalak karena heran, memandang sosok yang datang
menghampiri; seakan sosok itu suatu makhluk hidup yang
selama itu belum dikenal oleh dunia ilmu pengetahuan.
Mata dan ubun-ubunnya nampak, tapi bagian bawah


Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mukanya tertutup topi kedap air yang dipakai dengan gaya
kantong makanan yang digantungkan di bawah mulut
seekor kuda. Makhluk ajaib itu tidak memiliki lengan dan kaki. Dari
leher ke bawah, tubuhnya terbungkus semacam kepompong
berwarna hijau. Kepompong yang menyentuh lantai itu
berlipat-lipat bagian bawahnya.
Tidak mudah untuk mengatakan, termasuk jenis apa
makhluk itu. Kalau ada kemiripannya dengan sesuatu,
maka bisa dikatakan mirip mumi Mesir purba yang sedang
berlatih lari gawang seratus sepuluh meter.
Dengan wajah mengernyit, Pak Carter berkata, "Aduh,
lagi-lagi Jennings!"
Pak Wilkins merasa komentar begitu saja tidak
memadai. "Doh! Selama hidupku, belum pernah aku...!
Demi guntur, apa yang sedang kaulakukan itu, Jennings"
Ayo cepat, keluar dari kantong konyol itu!"
"Tidak bisa, Pak," kata sosok yang terbungkus seperti
mumi itu berterus terang. "Ritsletingnya macet."
"Hahh" Macam-macam saja!" Pak Wilkins datang
menghampiri dengan cepat. Ditariknya pegangan ritsleting
itu kuat-kuat ke bawah. Tapi perbuatannya itu hanya
menyebabkan Jennings kehilangan keseimbangannya. Ia
terpeleset, lalu jatuh teronggok di lantai.
"Untuk apa kau tadi masuk ke dalamnya?" Sambil
marah-marah, guru itu mengangkat Jennings sehingga
berdiri lagi. "Tadi kau kusuruh datang melapor padaku, dan
kini kau datang melonjak-lonjak menuruni tangga seperti
sekarung kentang! Belum pernah seumur hidupku..."
"Pertama-tama yang harus kita lakukan adalah mengeluarkannya dari dalam kantong," kata Pak Carter
menyarankan. "Penjelasannya bisa menunggu sampai ia
sudah bebas." Diperiksanya ritsleting kantong tidur itu, lalu
ia masuk ke ruang guru untuk mencari gunting.
Beberapa menit kemudian, ketika jahitan sudah dibuka
dengan gunting dan lubang ritsleting dilepaskan dari tali-tali
pengikat topi pelaut, Jennings melangkah keluar dari
bungkusannya sambil menarik napas lega. "Terima kasih,
Pak. Terima kasih banyak, Pak. Terima kasih banyakbanyak, Pak," katanya pada Pak Carter. "Saya tadi sudah
takut saja kalau-kalau saya harus terus mendekam di
dalamnya sepanjang malam. Di dalam situ panasnya bukan
main sampai saya kira saya akan mendidih atau lumer
atau..." "Diam!" Pak Wilkins tidak berminat mendengar
kelegaan hati Jennings, begitu pula tentang reaksi kimia
tubuhnya terhadap suhu yang tinggi. "Aku ingin tahu
kenapa kalian tadi ada di atas atap ruang olahraga, lalu di
mana kalian selama ini dan apa yang lakukan selama itu."
Tapi Pak Carter kembali menengahi. Ia mengajak Pak
Wilkins masuk ke ruang guru. Di balik pintu yang ditutup
ia mengatakan bahwa rasanya saat itu malam sudah terlalu
larut untuk melakukan pemeriksaan tentang kenapa dan
untuk apa dari kejadian yang diributkan malam itu. Kedua
anak itu tentu saja harus dihukum. Tapi itu kan bisa
menunggu sampai besok pagi"
Pak Wilkins setuju, setelah memandang jam tangannya
sebentar. Bagaimanapun juga, ia belum sempat makan
malam. Ia membuka pintu lalu dengan membentak
menyuruh Jennings dan Darbishire dengan segera masuk ke
tempat tidur, dan besok sehabis sarapan pagi datang
melapor padanya. Kedua anak itu berpaling lalu pergi ke atas. Jennings
berjalan dengan kantong tidur tersampir di pundaknya.
Semen tara berjalan, mereka mendengar suara Pak Wilkins
mengeluh kepada Pak Carter mengenai kebodohan anakanak pada umumnya, apalagi Jennings.
"Benar-benar luar biasa! Mereka sudah sinting rupanya,"
katanya dengan nada kesal. "Setiap kali aku bertugas
sebagai pengawas, anak-anak konyol dari Ruang Tidur
Empat itu selalu menyebabkan kacau balaunya peraturan
sekolah. Terserah Anda mau percaya atau tidak, Carter,
tapi aku tadi siang meninggalkan mereka yang sedang
bermain cricket dengan biasa-biasa saja di lapangan, tapi
tidak sampai setengah jam kemudian..."
Suaranya tidak terdengar lagi, karena saat itu pintu ruang
guru ditutupnya dengan keras.
Ada bermacam-macam hukuman yang menunggu
Jennings dan Darbishire sewaktu mereka datang melapor
pada Pak Wilkins sehabis sarapan keesokan paginya. Di
antaranya termasuk kehilangan nilai dan larangan
meninggalkan kompleks sekolah selama tiga kali sekolah
setengah hari. Hukuman yang terakhir ini dirasakan lebih
berat, karena itu berarti mereka berdua tidak bisa ikut
piknik bersama anak-anak dari kelas rendah yang menurut
rencana akan diadakan hari Sabtu yang akan datang.
Selanjutnya, Pak Wilkins mengatakan bahwa ia berniat
untuk menyita semua bola tenis yang diambil dari atas atap
dan mencampakkannya ke dalam api pembakaran
tumpukan sampah, agar tidak ada yang memperoleh
keuntungan dari keisengan mereka naik ke atap itu.
Ancaman itu tidak berhasil dilaksanakan, karena dengan
segera kabar mengenainya tersebar dan benda-benda yang
akan disita itu secara misterius lenyap sebelum sempat
dikumpulkan. "Sialan, nggak bisa piknik, nih," keluh Darbi pada
temannya ketika mereka meninggalkan ruang guru setelah
Pak Wilkins selesai dengan ceramahnya pada mereka.
"Nanti cuma kita berdua saja dari Kelas Tiga yang harus
tinggal di sekolah."
"Biar saja. Kita pasti akan menemukan sesuatu yang bisa
kita lakukan," kata Jennings. Saat itu ia sendiri belum tahu,
apa yang akan terjadi pada hari Sabtu mendatang itu.
Piknik anak-anak kelas rendah yang diadakan pada
waktu paro pertama masa sekolah musim panas kali ini
akan dipimpin oleh Pak Carter, bersama Pak Wilkins.
Kepala Sekolah, Pak Pemberton-Oakes, segan ikut, karena
terakhir kalinya ikut piknik ia secara tidak sengaja
menduduki sarang semut. Selain itu ia juga merasa
terganggu oleh serangga-serangga terbang yang tidak hentihentinya mendesum di sekitar sandwich yang sedang
dimakannya. "Sebaiknya mereka Anda ajak saja ke tepi sungai dekat
Dunhambury, Carter," kata Pak Pemberton-Oakes kepada
asisten seniornya itu di ruang guru pada hari Minggu
petang, ketika mereka sedang mendiskusikan acara itu.
"Saya akan meminta pada Matron agar bekal makanan dan
lain-lainnya sudah disiapkan segera setelah sarapan pagi,
agar kalian semua bisa berangkat dengan bus yang pukul
sepuluh." Pak Carter menyimak daftar yang telah disusunnya.
"Bagaimana dengan Jennings dan Darbishire?" tanyanya.
"Wilkins berkeras bahwa mereka tidak boleh ikut, sebagai
hukuman." "0ya, tentu saja, urusan naik ke atas atap itu!" Kepala
Sekolah berpikir sebentar lalu berkata lagi, "Saya rasa kedua
anak itu takkan menimbulkan masalah. Akan saya
usahakan salah satu kesibukan bagi mereka, agar tidak bisa
berbuat macam-macam. Sesore bekerja mencabuti gulma di
kebunku mungkin akan jadi pelajaran yang bermanfaat
untuk menyadari kesalahan mereka."
Hari demi hari berlalu. Saat itu awal bulan Juni. Tapi
cuaca sudah nyaman dan hangat. Ketika pagi hari Sabtu
menjelang, sinar matahari yang cerah menjanjikan hari
yang menyenangkan. Pukul sepuluh, Jennings dan Darbishire berdiri di balik
jendela ruang Kelas Tiga, memandang teman-teman
mereka yang lebih mujur berkumpul di tempat bermain,
untuk berangkat ke halte bus. Pak Wilkins membebani
mereka dengan begitu banyak tugas sehingga mereka sepagi
itu pasti akan terus sibuk. Tapi saat itu mereka tidak merasa
tertarik untuk mengerjakan soal-soal matematika.
"Akan kusabet saja soal-soal konyol itu secepat
mungkin," kata Darbishire. Ia pergi dari jendela dengan
perasaan berat. "Lalu, jika masih ada waktu tersisa, aku
hendak mengurus prangko-prangkoku." Pagi itu baru saja
datang kiriman majalah filateli bulanan edisi terbaru lewat
pos, dan Darbi sudah kepingin sekali melihat-lihat isinya.
"Mana mungkin," kata Jennings. "Kita memang terbebas
dari Pak Wilkie untuk hari ini, tapi kan masih ada Pak Hind
dan guru-guru yang lain - termasuk pula Kepala Sekolah.
Aku berani bertaruh, dia saat ini pasti sedang duduk di
ruang kerjanya, sibuk merancang salah satu siksaan seram
untuk menyibukkan kita sepanjang siang sampai sore.
Pak Pemberton-Oakes memang sedang duduk di ruang
kerjanya saat itu. Tapi ia tidak sedang memikirkan
persoalan kedua tahanan yang ada di ruang Kelas Tiga.
Kepala Sekolah sedang berbicara di telepon. Atau tepatnya,
ia sedang mendengarkan Bu Thorpe, seorang wanita ramah
yang suaranya mengingatkan pendengarnya kepada burung.
Bu Thorpe gemar sekali mensponsori kegiatan-kegiatan
berguna di desa Linbury, yang letaknya berdekatan dengan
sekolah. Dialah yang mengetuai Institut Wanita, menyelenggarakan pasar amal, mengawasi kelompokkelompok bermain anak-anak prasekolah, dan menggiring
kaum wanita penghuni desa itu masuk ke bus untuk
mengunjungi tempat-tempat bersejarah.
Seperti biasanya jika menelepon Kepala Sekolah, Bu
Thorpe ingin minta tolong, "...dan seperti Anda ketahui,
Pak Oakes, siang ini akan diadakan pesta gereja. Biasanya
memang kami selenggarakan pada bulan Juli, tapi tahun ini
kami ingin mengadakannya agak lebih cepat, dan karena
cuaca hari ini begitu indah...."
Suara Bu Thorpe melengking tinggi, mirip suara burung
beo yang pandai berbicara. Kepala Sekolah agak
menjauhkan gagang telepon dari telinganya, sementara
menunggu permintaan yang dirasanya pasti akan datang.
Mudah-mudahan saja wanita itu tidak hendak memintanya
untuk membagi-bagikan hadiah lagi, katanya dalam hati. Ia
pernah melakukan tugas itu pada pesta jemaah gereja tahun
sebelumnya, dan karena Jennings dan Darbishire, kejadian
itu masih tetap segar dalam ingatannya.
Tapi permintaan yang diajukan kali ini ternyata
sederhana saja. "Kami memerlukan tambahan tempat duduk untuk
orang-orang yang ingin menonton tarian anak-anak Sekolah
Dasar," kata Bu Thorpe. "Dan karena saya tahu bahwa di
tribun cricket sekolah Anda ada begitu banyak kursi, saya
ingin bertanya apakah Anda bersedia meminjamkan satu
atau dua lusin untuk nanti siang?"
"0 ya, tentu saja bisa. Dengan senang hati," kata Pak
Pemberton-Oakes. Ia merasa lega, karena wanita itu
ternyata begitu sepele permintaannya. "Nanti akan saya
suruh antarkan ke pekarangan rumah pendeta."
"Terima kasih, Anda benar-benar baik hati, Pak Oakes.
Tarian itu akan diadakan setelah acara minum teh, jadi
Anda tidak perlu buru-buru. Sekali lagi terima kasih. Anda
baik hati, mau menolong kami."
"Ah, itu kan sudah sewajarnya. Saya senang, bisa
membantu." Aku memang berniat pergi ke Dunhambury siang ini,
kata Kepala Sekolah mengingatkan dirinya sendiri sambil
mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. Akan
disuruhnya beberapa orang anak mengumpulkan kursi-kursi
itu dan memasukkannya ke trailer-nya. Trailer itu nanti
akan ditinggalkannya di Linbury pada waktu lewat di situ
dalam perjalanan menuju kota. Ia menuliskannya dalam
buku catatan, lalu ia kembali ke pekerjaannya semula.
Sejam kemudian Jennings meletakkan penanya lalu
berkata, "Nah, kurasa sudah cukup banyak soal yang
kukerjakan untuk menyibukkan Pak Wilkie apabila ia
pulang petang nanti. Kau bagaimana?"
Darbishire menggeleng sedih. "Aku masih macet pada
soal tentang pengendara sepeda yang mengayuh sepedanya
dengan kecepatan dua belas kilometer per jam, dan
berusaha tiba di kota mendului bus yang berjalan tiga kali
lebih cepat." "Soal itu gila! Jika ia begitu ingin cepat-cepat, mestinya
tinggalkan saja sepedanya di tepi jalan lalu ikut dengan bus
apabila kendaraan itu menyusulnya." Jennings mengibaskan tangannya, sebagai tanda bahwa dengan
begitu selesailah urusan itu. "Yuk, kita melihat-lihat isi
majalah prangkomu itu, untuk menghibur diri."
Berita yang paling menggembirakan dalam majalah
Junior Philatelic Bulletin itu adalah pengumuman akan
diterbitkannya prangko-prangko Inggris, untuk memperingati penemuan-penemuan ilmiah termasyhur
pada abad kedua puluh. "Wow! Aku kepingin punya beberapa dari seri itu."
Jennings berdiri di belakang Darbishire, ikut mengagumi
gambar-gambar prangko yang terpajang pada halaman
pertama. "Kapan penjualannya dimulai?"
Darbishire menyimak tulisan kecil-kecil yang ada di


Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawah gambar-gambar prangko itu.
"Tanggal 16 Juni," katanya kemudian. "Jika kita bisa
membeli beberapa dan minta distempel pada hari pertama,
mungkin beberapa tahun lagi nilainya akan bisa menjadi
ratusan pound." "Ratusan pound?" Jennings benar-benar tercengang
mendengarnya. "Yah, mungkin tidak sampai ratusan - tapi pokoknya
cukup tinggi. Yang jelas, lebih daripada hanya beberapa
penny saja. Tapi prangko-prangko itu harus distempel pada
hari pertama penerbitannya. Itu penting, kalau ingin
nilainya kemudian menanjak."
Jennings mengeluarkan buku hariannya lalu membalikbalik halamannya. Kemudian ia berkata, "Menurutmu,
mungkinkah juga akan dijual di kantor pos kecil, seperti
yang di Linbury Stores?"
"Pasti di situ disediakan juga beberapa eksemplar," kata
Darbi. "Tentu saja supaya mendapat bagian, kita harus
termasuk yang antre paling depan nanti."
"Itulah masalahnya," kata Jennings. "Tanggal 16 Juni itu
hari Senin, dan tidak lama setelah kantor pos buka kita akan
sudah harus masuk sekolah. Tapi di pihak lain,"
sambungnya sambil merenung, "di pihak lain, itu berarti
anak-anak lain di sekolah ini juga takkan ada yang bisa
membeli! Jadi jika kita jalankan rencanaku, prangkoprangko itu akan semakin tinggi nilainya, karena
merupakan barang yang sangat langka."
"Rencanamu?" tanya Darbishire dengan nada tidak
mengerti. "Maksudmu, kau sudah menemukan cara untuk
bisa pergi ke kantor pos sementara yang anak-anak yang
lain sedang bersekolah ?"
"Tidak, aku belum punya rencana," kata Jennings
mengakui, sambil mengembalikan buku hariannya ke dalam
saku. "Tapi aku punya banyak waktu untuk mengaturnya
sampai dengan tanggal 16 Juni itu. Aku pasti akan
menemukan jalan, Darbi - lihat sajalah nanti!"
0oodwkz-rayoo0 5. SASARAN YANG SULIT MULANYA Pak Pemberton-Oakes bermaksud untuk
menyibukkan Jennings dan Darbishire dari siang sampai
sore dengan pekerjaan mencabuti tumbuhan liar di
kebunnya. Tapi karena teringat akan janjinya pada Bu
Thorpe, tidak lama setelah selesai makan siang ia
memutuskan untuk menyalurkan energi kedua anak itu
untuk keperluan yang lebih mendesak.
Pukul setengah tiga Kepala Sekolah memasuki kebunnya. Saat itu Jennings sedang mengejar-ngejar
Darbishire berkeliling petak-petak tanaman bunga mawar,
sambil melemparinya dengan gumpalan-gumpalan rumput
kering sisa pengguntingan beberapa waktu sebelumnya.
Hujan potongan rumput itu terhenti ketika kedua anak itu
berpaling dan melihat bahwa mereka tidak sendiri lagi di
situ. "Ayo kemari, kalian berdua," kata Kepala Sekolah, lalu
berkata, "Karena nampaknya kalian tidak bisa melaksanakan tugas yang kuberikan tanpa terus-menerus
diawasi, sekarang kalian boleh melakukan pekerjaan lain.
Selama melakukannya, lebih kecil kemungkinannya kalian
akan sempat berbuat macam-macam."
Kursi-kursi lipat dengan tempat duduk dari kain kanvas
itu ada di tribun cricket, katanya pada mereka, dan
mobilnya yang sudah digandengkan pada trailer ada di
lapangan bermain. Dua lusin kursi harus dikumpulkan lalu
dimuat ke trailer itu secara rapi. Karena mestinya mereka
bisa menghitung sampai dua puluh empat, begitu kata
Kepala Sekolah dengan nada menyindir, apakah ia
menuntut terlalu banyak dengan berharap bahwa mereka
bisa melakukan tugas sederhana itu tanpa mengakibatkan
kerusakan pada trailer, atau meninggalkan tribun dalam
keadaan seperti habis kejatuhan bom"
Jennings dan Darbi mengatakan, rasanya itu bisa mereka
lakukan. "Ya, Pak. Tentu saja, Pak. Kami akan berhati-hati
sekali," kata Jennings berjanji.
Setengah jam kemudian, ketika Kepala Sekolah datang
ke lapangan bermain, ia menemukan segala-galanya dalam
keadaan beres. Kursi-kursi lipat sudah tersusun rapi di
dalam trailer, dan kedua anak yang mengerjakannya berdiri
di sampingnya, menunggu instruksi selanjutnya.
Kepala Sekolah berpikir sebentar. Bu Thorpe mungkin
akan senang jika ada tenaga tambahan untuk membantu
mengatur kursi-kursi itu nanti di pekarangan rumah
pendeta. Dia sendiri tidak bisa tinggal untuk melakukannya
karena sudah ada janji lain. Tapi itu bukan alasan untuk
tidak menugaskan Jennings dan Darbishire untuk terus
melakukan pekerjaan yang berguna.
Ia membuka pintu mobil sambil berkata, "Ayo masuk!
Kita akan membawa muatan ini ke pesta jemaah gereja."
Kedua anak itu tentu saja mendengarnya. Kelihatannya
itu merupakan cara yang lebih baik untuk mengisi waktu
siang itu, daripada saling menjejalkan gumpalan rumput
kering ke dalam kerah baju masing-masing.
Tapi mereka tentu saja masih menjalani hukuman. Hal
itu ditegaskan oleh Kepala Sekolah, sementara ia
mengemudikan mobilnya menyusur jalan menuju ke desa.
"Nanti sesudah kalian atur kursi-kursi itu dan Bu Thorpe
tidak memerlukan kalian lagi, kalian langsung kembali ke
sekolah," katanya. "Maksud Anda kami harus berjalan kaki, Pak?" tanya
Jennings. "Tentu saja! Kau kan tidak mengira aku akan menyewa
helikopter, hanya agar kalian tidak perlu berjalan kaki
sejauh setengah mil"! Kalian nanti tidak boleh tetap di sana,
bersenang-senang, kalian harus kembali ke sekolah dan
menonton anak-anak kelas atas main cricket, sampai saat
minum teh sore." Kepala Sekolah membelokkan mobilnya memasuki
pekarangan rumah pendeta, lalu turun bersama kedua
penumpangnya. Ketika mereka sedang melepaskan trailer
dari mobil, Bu Thorpe muncul, dengan langkahnya yang
kecil-kecil untuk menyambut mereka.
"Anda begitu baik hati, Pak Oakes," katanya dengan
suaranya yang tinggi. "Saya tidak tahu bagaimana harus
mengatur tempat duduk nanti kalau tidak ada kursi-kursi
tambahan ini." Pak Pemberton-Oakes tersenyum sopan. "Saya membawa dua tenaga muda untuk membantu-bantu
mengatur kursi itu nanti dan... eh... untuk membantu kalau
ada tugas-tugas lain," katanya sambil menggerakkan
tangannya ke arah Jennings dan Darbi. "Sayangnya, saya
tidak bisa lama-lama di sini - saya ada janji di Dunhambury;
tapi Anda tidak perlu buru-buru dengan kursi-kursi itu,
begitu pula dengan trailer-nya. Besok akan saya suruh orang
menjemputnya lagi kemari."
Selama kurang lebih seperempat jam setelah kepergian
Kepala Sekolah, Jennings dan Darbishire sibuk bergegas
mondar-mandir di bawah sinar matahari yang panas:
menurunkan kursi-kursi, menggotongnya melintasi lapangan rumput, dan meletakkannya di ujung sebelah sana
dari tenda tempat hidangan.
Ketika kursi terakhir sudah ditaruh di tempatnya, muka
kedua anak itu nampak merah padam karena kepanasan.
Tubuh mereka basah karena keringat, dan lutut mereka
gemetar karena capek. Bu Thorpe datang menghampiri ketika mereka sedang
menyeka keringat yang membasahi dahi. "Astaga, kalian
tadi bekerja keras rupanya," kata wanita itu kagum.
"Padahal hawa begini panas. Sudah selayaknya kalian
mendapat segelas limun dan es krim sebagai imbalannya."
"Terima kasih," kata kedua anak yang memang sudah
sangat haus itu. Bu Thorpe memandang jam tangannya sebentar.
"Hidangan akan disajikan pukul empat, jadi jika kalian
ingin melihat-lihat berkeli1ing dulu dan kemudian datang
ke tenda tempat penyajian hidangan..."
"Asyik!" seru Jennings bergembira. "Dan jika Anda
masih punya tugas-tugas lain, dengan senang hati kami
akan melakukannya. Sungguh!"
Saat itu tidak ada apa-apa yang bisa mereka kerjakan,
kata wanita itu, tapi jika mereka mau menunggu sampai
acara tarian' sudah selesai, mereka bisa mengangkut kursikursi pinjaman itu kembali ke trailer dan memuatnya ke
situ. "He, Jen, kau yakin tidak akan apa-apa jika kita tetap ada
di sini?" kata Darbi dengan nada sangsi, sementara mereka
melangkah pergi untuk melihat-lihat atraksi yang ada di
pesta itu. "Kepala Sekolah tadi mengatakan kita harus
langsung kembali ke sekolah apabila kursi-kursi sudah kita
bereskan." "Tidak, bukan begitu katanya tadi. Ia mengatakan, kita
harus pulang begitu tenaga kita tidak diperlukan lagi oleh
Bu Thorpe," kata Jennings membetulkan. Sementara itu
sudah terpikir olehnya bahwa hal itu bisa dipakai sebagai
alasan yang sangat baik bagi mereka untuk tetap tinggal di
situ selama mungkin. "Kepala Sekolah sudah pergi ke
Dunhambury, dan Pak Hind tidak tahu kapan kita harus
kembali, sementara Bu Thorpe tidak tahu bahwa ini
merupakan hukuman bagi kita," sambungnya. "Jika kau
ingin tahu pendapatku, kita aman di sini. Tinggal minta saja
pada Bu Thorpe untuk memberikan beberapa tugas pada
kita, dan kita bisa berlenggang kembali ke sekolah pada saat
yang kita kehendaki tanpa ada seorang pun yang bisa
mengatakan apa-apa mengenainya."
Jennings merasa puas dengan penjelasannya yang
meyakinkan itu. Ia lantas berjalan mendului, kembali ke
lapangan rumput untuk melihat hiburan apa saja yang ada
pada pasar amal gereja Linbury itu.
Mereka dikecewakan. Ada kios adu ketangkasan
melempar gelang, di mana Darbishire menghabiskan uang
sepuluh penny tanpa berhasil memenangkan apa-apa; lalu
ada pula permainan memancing, di mana Jennings sebal
karena yang terkait sebuah bingkisan kecil berisi gelang
plastik untuk digigit-gigit bayi yang baru akan tumbuh
giginya. Juga ada kios yang menjual baju hangat hasil
rajutan untuk dipakai di tempat tidur serta penutup teko teh
dari kain laken, serta sebuah kios lagi yang menjual sayuran
hasil kebun sendiri dan acar buatan sendiri pula. Ada
perlombaan-perlombaan menebak berat sebuah kue dan
menebak nama sebuah boneka plastik yang jelek. Segala
atraksi itu tidak begitu menarik bagi dua orang anak yang
bertekad menikmati waktu sesore dengan melanggar
instruksi. "Benar-benar payah! Mendingan kembali saja ke sekolah
nonton permainan cricket, daripada berkeliaran tanpa guna
di sini," keluh Darbi setelah mereka mengitari lapangan
rumput itu. "Kita belum bisa pergi sekarang. Bu Thorpe tadi kan
berjanji akan memberi es krim dan limun. Kalau kita
bernasib mujur, mungkin saja kita akan diberi hidangan
makan sore yang lengkap," kata Jennings. Ia melambaikan
tangannya menunjuk ke arah ujung pekarangan yang jauh
dari tempat mereka berada saat itu. "Yuk, kita melihat ada
apa saja di sana." Pada sebidang tanah yang ditumbuhi rumput kasar, di
luar lapangan rumput yang merupakan pekarangan rumah
pendeta, ada sekelompok kecil orang yang sedang sibuk
dengan permainan yang dinamakan Boling Memperebutkan
Babi. Sarana permainannya sederhana, terdiri atas selembar
papan yang dipasang melintang. Papan itu dilengkapi
dengan sejumlah lubang. Para pemain harus melemparkan
sejumlah bola yang terbuat dari kayu. Di atas lubang-lubang
itu ada nomor-nomor, mulai dari satu sampai sepuluh; dan
menurut aturan permainan yang tertulis pada selembar
kertas yang dipasang di dekat situ, babi akan dihadiahkan
pada pemain yang pada akhir acara berhasil mencapai
angka tertinggi dengan lemparan enam buah bola berturutturut. Sewaktu Jennings dan Darbi tiba di situ, pendeta baru
saja selesai melempar. Hasilnya payah: lima angka dari
enam puluh yang mungkin bisa dicapai. Tukang pos desa
itu, yang mendapat giliran berikutnya, mencapai nilai tidak
lebih dari tujuh belas. Ia disusul oleh seorang pemuda yang
ternyata adalah kapten tim cricket desa itu. Angka yang
dicapainya hanya dua puluh satu.
"Rupanya permainan ini tidak segampang kelihatannya,"
kata Darbishire menarik kesimpulan.
"Tidak, bukan sulit - mereka saja yang tidak pandai
menggelindingkan bola," kata Jennings sambil mendengus.
"Seperti kau, sewaktu menjadi pelempar pertama untuk
Kesebelasan Angkasa Luar."
Darbi berlagak tidak mendengar penghinaan itu. Ia
berkata, "Huh, aku kepingin lihat, apakah kau bisa
mencapai angka lebih tinggi!"
"Aku mau saja! Mau taruhan apa, bahwa aku tidak bisa
mencapai angka sebanyak orang yang terakhir melempar?"


Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Darbi berpikir-pikir sebentar. Pembayarannya sepuluh
penny untuk enam bola. "Aku tidak mau bertaruh, tapi aku
mentraktirmu untuk ikut dalam permainan ini, asal kau
mentraktirku untuk mencoba lagi di kios permainan lempar
gelang." "Setuju!" Jennings langsung ikut antre untuk menunggu
giliran. Tidak lama kemudian ia sudah berdiri pada posisi
paling depan, dengan enam bola kayu di depan kakinya.
Dua lemparannya yang pertama mengenai papan dan
terpantul kembali. Ia tidak mendapat angka untuk itu,
Dengan lemparan ketiga ia memperoleh angka satu;
lemparan keempat meleset lagi, sementara lemparannya
yang kelima melewati lubang yang memberikannya tiga
angka. Darbishire tertawa terpingkal-pingkal. "Hah, lihat si
Kepala Besar!" ejeknya. "Tidak bisa mengenai tumpukan
jerami dengan tomat busuk! Empat - cuma sebegitu saja
angka yang kaucapai! Aku bisa mencapai angka lebih dari
itu, dengan mata ditutup dan kedua tangan terikat di
punggung." Jennings tidak menanggapinya. Ia kelihatannya seperti
sedang sibuk berkonsentrasi. Kemudian diambilnya ancangancang dengan bolanya yang terakhir. Bola itu dilempar,
dan memasuki lubang di tengah-tengah. Angka maksimum,
sepuluh! "Empat belas!" kata Darbishire. "Kau ternyata tidak lebih
baik dari yang lain-lainnya. Itulah, kalau suka membanggakan diri!" Tapi keberhasilan Jennings dengan lemparan bolanya
yang terakhir menimbulkan keyakinan lagi dalam hatinya.
Ia berpaling pada temannya. Matanya berkilat-kilat. "Aku
sudah menemukan rahasianya, Darbi! Bolaku yang terakhir
tadi langsung masuk ke sasaran utama, kan?"
"Memangnya kenapa kalau begitu" Bola-bola yang lain
kan tidak!" "Itu dia persoalannya. Tanah di sini tidak rata, sehingga
sulit membidik. Tapi di tengah sebidang kecil rerumputan di
depan lubang itu tidak begitu. Jika lemparan diarahkan ke
situ, bolanya pasti akan menggelinding masuk. Tidak
mungkin meleset! Rahasia itu baru kutemukan ketika
bolaku tinggal satu."
"Wow! Kedengarannya kau benar-benar menemukan
caranya." Suara Darbi sudah tidak bernada mengejek lagi.
"Jadi, apa yang akan kaulakukan sekarang?"
"Mencoba lagi, tentu saja," jawab Jennings bersemangat.
"Gila kalau tidak kulakukan, setelah kita menemukan
rahasianya." Sekali lagi ia mendaftarkan diri kepada pemuda
berkemeja kotak-kotak dan bercelana jeans, yang bertugas
mengawasi permainan itu. Sekali lagi Jennings berlutut, lalu
membidikkan bola pertama dari enam buah yang ada di
depan kakinya. Tapi ternyata masih tetap tidak segampang yang
diharapkannya. Ia berhasil melemparkan bola ke petak
rumput yang ada di depan lubang dengan nomor sepuluh di
atasnya. Tapi bolanya tidak menggelinding masuk ke
lubang sasaran. Hanya papannya saja yang dikenai,
sehingga bola itu terpantul kembali tanpa menghasilkan
angka. Dengan lemparan kedua ia berhasil mendapat angka
delapan, lalu yang ketiga menghasilkan angka sembilan,
karena kedua bola itu melenceng sedikit ke kanan dan ke
kiri. Dua bola berikutnya menyebalkan Jennings, karena
nyaris saja masuk. Kedua-duanya menggelinding ke lubang
tengah yang diidam-idamkan - tapi kemudian berhenti
sebelum sampai masuk. Jennings mulai putus asa. Lima bola sudah dilemparnya,
dan ia baru berhasil meraih tujuh belas angka. Hasil itu
tidak lebih baik dari yang dicapai tukang pos, dan jauh lebih
buruk dari prestasi kapten regu cricket. Dan kini, ia
menghadapi situasi sulit: kedua bola yang nyaris masuk tadi
menutupi lubang yang hendak dijadikan sasaran.
"Sial!" Darbi mengomentari. "Sekarang bagaimana?"
Jennings mengangkat bahu. "Payah, ya?"
Tanpa mengharap akan bisa meningkatkan jumlah angka
yang sudah dicapai, bola terakhir dilemparkannya ke arah
papan tanpa membidik sama sekali. Tahu-tahu terjadi
peristiwa yang merupakan kebetulan saja, tapi menguntungkan baginya. Bola yang dilempar mengenai
salah satu bola yang menutupi lubang dan berada pada
posisi paling dekat dengan tempatnya berdiri. Bola itu
menggelinding ke depan, mengenai bola yang ada di
depannya. Hasilnya luar biasa: kedua bola itu melesat lurus ke
depan, memasuki lubang sasaran, disusui bola yang
dilemparkan. Terdengar suara-suara kaget dan sorak
gembira di kalangan kelompok kecil yang menonton.
"Anda lihat itu!" Ia mendapat angka tiga puluh dengan
sekali lempar," kata tukang pos pada pendeta.
"Hebat! Hebat!" Pendeta mengucapkan selamat pada
Jennings dengan wajah berseri-seri. "Prestasi yang bagus,
anak muda! Sangat baik!"
"Itu tadi cuma kebetulan saja sebenarnya," kata Jennings
merendah, tapi tanpa berhasil mengendalikan suaranya
yang bernada bangga. Kapten regu cricket bertanya kepada pemuda yang
menyelenggarakan permainan itu. "Berapa jumlah angka
keseluruhannya?" Pemuda berkemeja kotak-kotak itu menghitung-hitung
angka yang tercatat dalam buku notesnya. "Delapan
tambah sembilan ditambah lagi dengan tiga puluh, jadi
empat puluh tujuh. Angka tertinggi sejauh ini, tapi
kautunggu saja sampai Clive mendapat giliran melempar.
Dia selalu mencapai angka melebihi lima puluh. Kalau
kondisinya sedang sempurna, lemparannya tidak pernah
meleset." "Kalau begitu kau tidak jadi menang, Jen," kata
Darbishire menyimpulkan sambil mengernyit. "Kecuali jika
juga disediakan hadiah kedua, tentu saja. Untuk hadiah itu,
kau punya harapan memenangkannya." Darbi berpaling
untuk membaca aturan permainan yang tertulis pada
selembar kertas yang terpasang di dekatnya, Begitu selesai
membaca, ia tertawa lebar.
"Bagaimana dengan hadiah yang ini, Jen" Hadiah kedua,
sebotol kristal pengharum air mandi!"
"Aku tidak pernah memakainya," tukas Jennings tegas.
"Lagi pula, aku memang tidak berniat memenangkan
hadiah. Aku cuma ingin menunjukkan padamu bahwa
lemparanku tidak sepayah yang kaubayangkan."
Saat itu sudah lewat pukul empat. Lewat alat pengeras
suara terdengar pengumuman bahwa hidangan sudah bisa
diambil di tenda tempat makanan dan minuman. Dengan
rasa haus dan penuh harap, Jennings dan Darbi mendatangi
tenda itu, dengan keyakinan bahwa Bu Thorpe tidak
melupakan undangannya kepada kedua anak yang tadi
sudah begitu rajin menata kursi-kursi.
Ternyata wanita itu memang tidak lupa. Meski banyak
orang berkerumun dalam tenda, ia menyediakan tempat
bagi Jennings dan Darbishire di sudut yang jauh di belakang
tempat teh. Kedua anak itu duduk di situ sambil makan
sandwich, kue-kue, dan es krim, serta minum limun. Hanya
karena mengingat tata kesopanan saja mereka akhirnya
menolak ketika ditawari apakah mau tambah lagi.
"Wuah! Kalau diingat bahwa kita ini sebenarnya sedang
dihukum, lumayan juga keadaan kita saat ini, ya?" kata
Jennings sambil menghabiskan porsi es krimnya yang
ketiga. "Jauh lebih enak daripada ikut piknik bulukan itu,
bersama Pak Wilkie!"
Darbishire masih saja cenderung merasa cemas
mengenai cara mereka menafsirkan instruksi Kepala
Sekolah tadi. "Kita sudah lebih dari satu jam berada di sini,"
katanya. "Apakah nanti tidak terjadi apa-apa?"
"Ah, apalah yang mungkin bisa terjadi"!" tukas Jennings.
"Kita berbuat persis seperti yang disuruh Kepala Sekolah,
yaitu membantu Bu Thorpe. Nanti sekitar setengah enam
barulah kita pergi dari sini dan tiba di sekolah tepat pada
waktunya untuk makan sore lagi pukul enam."
Mereka tidak menonton anak-anak sekolah rendah
menari. Uang mereka menyusut sepuluh penny lagi di kios
adu ketangkasan lempar gelang. Mereka juga menonton
sebentar, melihat serombongan pekerja pertanian yang
kekar-kekar mencoba melemparkan sebuah karung berisi
jerami melewati sebatang tiang yang dipasang melintang
seperti palang gawang, lima meter di atas tanah. Ketika tari Pertempuran Bawah Air 2 Tiga Dalam Satu 05 Lima Laknat Malam Kliwon Setan Seribu Nyawa 2

Cari Blog Ini