Mereka telah mencapai tepi danau, lalu berkeliling mencari mangsa, seperti
biasanya sekawanan serigala. Tapi sebentar-sebentar mereka melirik pesawat
raksasa di atas. Aku kuatir salah satu Pengendali, entah manusia atau HorkBajir, curiga melihat tingkah mereka.
Pipa kedua dan ketiga segera menyusul.
mendengar bunyi isapan. Ribuan, mungkin jutaan liter air. sedang disedot ke
dalam pesawat.
Tapi aku mengerti maksud Marco.
ujarku.
menembus atmosfer sebelum mendarat. Mereka mengisap oksigen. Dan sekarang mereka
menyedot air.>
rasanya ini satu-satunya kelemahan mereka yang kita ketahui sampai sekarang.>
Mereka menjauhi tepi danau. Tapi aku tidak ikut. Aku tidak perlu mencemaskan
batas waktu. Pesawat Yeerk menimbulkan aliran udara hangat ke atas. Aku merentangkan sayap
dan membiarkan diriku terbawa naik. Kedua pesawat Bug masih berputar-putar di
bawah. Para polisi gadungan dan Hork-Bajir masih terus berpatroli di sekeliling
danau. Kemudian aku melihatnya. Aku tahu bagi mata manusia semua elang kelihatan sama. Tapi aku langsung
mengenalinya - elang betina yang kubebaskan di showroom mobil bekas.
Ia juga sedang melayang-layang dengan bantuan angin termal, kira-kira seribu
meter di atasku. Tanpa pikir panjang aku menyesuaikan sudut sayapku dan terbang
menghampirinya. Aku yakin ia pun melihatku. Elang terbiasa memperhatikan segala sesuatu yang
terjadi di sekitar mereka. Ia tahu aku datang, dan ia menunggu.
Tapi bukan berarti kami berteman. Elang tidak memahami arti kata "teman". Dan ia
juga tidak merasa berutang budi karena aku telah membebaskannya. Elang tidak
mengenal perasaan seperti itu.
Mungkin ia malah tidak sadar hubungan antara aku dan kebebasannya.
Meski begitu, aku tetap terbang menghampirinya. Aku tidak tahu kenapa. Persamaan
di antara kami sebatas wujud luar saja. Kami sama-sama bersayap. Sama-sama punya
cakar. Sama-sama berbulu.
Tiba-tiba saja aku jadi takut. Takut pada elang itu. Padahal aku tidak takut
melayang-layang di atas pesawat antariksa asing, yang saking besarnya bisa
dijadikan mall. Tapi seekor elang malah membuatku takut.
Hmm, mungkin bukan elang itu penyebab ketakutanku.
Penyebab sesungguhnya mungkin perasaan senasib yang melandaku ketika aku terbang
menghampirinya. Aku merasa seperti pulang ke rumah. Seakan-akan tempatku memang bersamanya.
Perasaan itulah yang membuatku ngeri.
Bukan. BUKAN! Aku Tobias. Aku manusia. Manusia, bukan burung! Langsung saja aku membelok tajam
dan terbang menjauh. Aku manusia. Aku anak laki-laki bernama Tobias. Anak laki-laki dengan rambut
pirang yang selalu acak-acakan. Anak laki-laki yang punya teman-teman manusia.
Dan hobi-hobi manusia. Tapi sebagian dari diriku terus berkata, "Jangan bohongi diri sendiri. Kau
elang. Tobias sudah tiada."
Aku meluncur menuju permukaan tanah. Aku melipat sayapku ke belakang dan
menikmati angin yang menerpaku. Aku melaju semakin kencang! Dan lebih kencang
lagi! Kemudian, dengan sepasang mata tajam yang tak pernah kumiliki sewaktu masih jadi
Tobias, aku melihat kawanan serigala di bawah. Dan aku juga melihat bahaya yang
menghadang mereka. Chapter 10 KEEMPAT temanku berdiri seperti patung. Tanpa berkedip mereka menatap lima
serigala lain. Kedua kawanan serigala itu bertemu secara kebetulan. Seekor kelinci yang sudah
mati tergeletak di tengah-tengah. Itu mangsa kawanan yang satu lagi.
Teman-temanku memergoki mereka. Kini kedua serigala jantan alpha terlibat
perebutan kekuasaan yang mungkin akan berakibat fatal.
Salah satu serigala alpha itu adalah Jake.
Lawannya serigala jantan besar. Serigala sungguhan.
Kelebihan Jake adalah kecerdasannya sebagai manusia. Tapi dalam hal berkelahi,
lawannya lebih pengalaman. Serigala yang lemah tidak mungkin jadi pimpinan
kelompoknya. Kalau bisa, aku pasti tertawa. Ini betul-betul tidak masuk akal!
Tapi paling tidak ada sesuatu untuk mengalihkan pikiranku dari elang betina
tadi. Sekonyong-konyong aku sadar: batas waktunya! Mereka sudah hampir kehabisan waktu
ketika meninggalkan tepi danau. Jangan-jangan....
Cepat-cepat aku terbang melintas.
daerah kekuasaan mereka. Dan mereka pikir kami mau merampas hasil buruan
mereka.> Tiba-tiba lawan Jake menggeram dan maju selangkah. Jake langsung memamerkan
taringnya. Ia tidak beranjak sedikit pun.
Kedua serigala itu saling menggertak, tanpa menghiraukan bangkai kelinci yang
tergeletak di antara mereka.
Tak ada jawaban. Suasananya betul-betul tegang. Pertempuran hidup-mati bisa
meledak setiap saat. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Masalahnya, tindakan itu bertentangan dengan
naluriku sebagai elang. Juga bertentangan dengan akal sehatku sebagai Tobias.
Aku mengepakkan sayap untuk menambah ketinggian. Satu-satunya andalanku adalah
kecepatan. Kutatap bangkai kelinci itu dan berdoa aku memang segesit yang
kubayangkan.
"Tseeeer!" aku memekik.
Wusss! Di kiri-kananku serigala mengepung.
Bangkai kelinci berada tepat di depanku.
Jebret! Cakarku menyambar bangkai itu dan mencengkeram kulitnya.
Aku mengepakkan sayap, satu kali, dua kali. Bangkai kelinci itu terangkat dari
tanah. Serigala besar itu melompat. Kurasakan giginya menyambar ekorku.
Aku mengepakkan sayap sekuat tenaga. Tapi beban yang kubawa terlalu berat.
Kelinci itu setengah terangkat, setengah terseret di tanah. Sementara itu
serigala yang tidak rela kehilangan mangsanya terus mengejarku.
serigalanya.
Aku melepaskan kelinci itu tepat ketika si serigala besar berhasil mengejarku.
HAP! Taringnya, yang sanggup membunuh seekor rusa, menyambar hanya sepersekian
sentimeter di belakangku.
Angin bertiup pelan. Tapi itu sudah cukup. Aku merentangkan sayap dan membiarkan
diriku terangkat angin.
Tapi bulu ekor bisa tumbuh lagi. Aku menyusul teman-temanku. Mereka lari secepat
mungkin. Batas waktunya sudah dekat. Aku tidak tahu persis berapa banyak sisa waktu yang
mereka miliki. Inilah masalah paling besar yang kami hadapi. Kalaupun bisa, kami
tetap tidak mungkin memakai jam tangan. Mana ada serigala atau elang pakai jam
tangan" Pasti mencurigakan.
Aku lelah sekali. Aku telah terbang jauh dan dua kali nyaris celaka karena
sekawanan serigala. Naluri elang dalam diriku berbisik agar aku mencari dahan
yang enak untuk beristirahat. Tapi akal sehatku sebagai manusia mengatakan itu
tidak mungkin. Aku terbang lebih tinggi. Salah satu truk Polisi Hutan tampak di tepi danau.
Pengemudi dan para penumpangnya tidak kelihatan. Aku ymendekat dan menatap jam
yang ada di dasbor. Ya ampun! aku memekik ketika membaca angka yang ditunjukkan jam itu.
Tidak mungkin! Aku pasti salah lihat!
Chapter 11 KELELAHAN yang tadi kurasakan mendadak lenyap. Secepat mungkin aku kembali ke
teman-temanku. Saking cemasnya, aku sampai mual. Jantungku seakan-akan mau
meledak. Batas waktunya sudah lewat!
Mereka terlalu lama berubah jadi serigala. Mereka akan terperangkap. Seperti
aku. Untuk selama-lamanya.
jauh jaraknya, ucapan kita semakin sulit terdengar.
Moga-moga tidak ada pengaruhnya kalau batas waktu dilewati beberapa menit saja.
Ah, itu mereka! Di kejauhan tampak empat serigala yang tengah berlari ke arah
kota.
mereka.
Mereka langsung berhenti. Aku hinggap di dahan pohon. Tenagaku terkuras habis.
Cassie yang pertama berubah. Bulunya semakin pendek. Moncongnya berubah menjadi
hidung. Kaki serigalanya yang kurus mulai mengembang dan memanjang. Ekornya
menghilang perlahan-lahan. Wujudnya sudah lebih dari setengah manusia ketika
yang lain mulai menampakkan perubahan.
sudah terlambat tujuh menit.
Terlambat. Namun Cassie masih terus berubah. Bulunya digantikan kulit manusia. Kakinya
sudah terbungkus baju senam.
Tapi yang lain kurang beruntung.
< Ahhhhh! > Suara Rachel bergema dalam benakku. Agaknya ia mengalami kesulitan.
Aku melihat tangan manusia di ujung kaki serigalanya. Tapi selebihnya belum ada
perubahan apa pun. Keadaan Marco lebih parah lagi. Kepalanya sudah kembali normal. Tapi, selain
itu, ia tetap berwujud serigala. Ia menatap dirinya sendiri dan melolong
panjang. "Helowl. Yipmeahhh!" Suaranya setengah suara manusia, setengah suara
serigala. Ini lebih gawat dari yang kubayangkan. Semula aku menduga mereka akan
terperangkap dalam wujud serigala, sama seperti aku terperangkap sebagai elang.
Tapi ternyata mereka menjelma sebagai makhluk setengah manusia.
Mereka bagaikan monster. Cassie berlari mondar-mandir. "Ayo, Jake, pusatkan pikiranmu! Kau harus
konsentrasi! Rachel, jangan menyerah. Bayangkan dirimu sebagai manusia.
Anggaplah kau lagi menatap cermin. Kau harus lawan rasa takutmu, Marco!"
Pandangan Marco beralih padaku. Ia menatapku tanpa berkedip. Sorot matanya penuh
kebencian. Atau ketakutan. Atau mungkin juga kedua-duanya.
Aku tidak bergerak. Kalau Marco membutuhkan diriku untuk memusatkan pikiran, aku
sih tidak keberatan. Tapi secara bersamaan aku dilanda perasaan tidak senang. Dan tiba-tiba aku
melihat diriku sendiri sebagai sesuatu yang menakutkan.
Sebagai keanehan alam. Sebagai makhluk yang patut dikasihani.
Perlahan-lahan Marco mulai kembali ke wujudnya yang asli. Perlahan-lahan tubuh
serigalanya berubah menjadi sosok manusia.
Begitu pula Rachel dan Jake. Rupanya mereka berhasil memenangkan pertempuran.
"Terus, Jake, terus," Cassie memberi semangat. Tangan Jake digenggamnya eraterat. "Ayo, Jake. Kau pasti bisa. Kau pasti bisa."
Sementara itu aku memperhatikan Rachel. Ekornya memang sudah bertambah pendek,
tapi masih tetap kelihatan. Mulutnya masih menyembul ke depan. Rambutnya yang
pirang masih bercampur bulu kelabu. Tapi ia akan berhasil. Rupanya jam di truk
itu terlalu cepat. Nasib mereka ternyata ditentukan oleh selisih waktu lima menit saja.
Aku bersyukur mereka selamat. Mereka semua bisa jadi manusia lagi.
"Aduh, hampir saja," Jake mendesah sambil menarik napas panjang. Ia tergolek di
atas lapisan daun cemara yang menutupi tanah. "Hampir saja."
"Ya, hampir saja," Rachel menimpali. "Aku benar-benar capek. Aku serasa terjebak
dalam kolam lumpur yang lengket."
"Aku jadi manusia lagi," Marco bergumam sambil mengamati seluruh tubuhnya.
"Kaki. Tangan. Lengan dan pundak. Semuanya lengkap."
"Ha ha! Berhasil!" seru Cassie. Ia langsung memeluk Jake. Tapi ia jadi salah
tingkah, sebab kemudian ia segera menghampiri Rachel dan Marco, dan memeluk
mereka satu per satu. Semua tertawa cekikikan karena lega.
"Kita berhasil," kata Jake pelan.
Aku turut gembira. Sungguh. Tapi tiba-tiba aku tidak tahan berada di situ.
Tiba-tiba saja aku ingin meninggalkan mereka. Aku merasa seakan-akan ditelan
lubang hitam yang menganga. Aku merasa terjebak.
Terjebak. Untuk selama-lamanya! Aku menatap cakarku. Cakar itu takkan pernah lagi berubah jadi kaki manusia.
Aku menatap sayapku. Sayap yang takkan pernah lagi menjelma menjadi lengan. Aku
takkan pernah lagi memiliki tangan.
Animorphs - 3 Pertempuran Bawah Air di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku takkan pernah lagi bisa menyentuh sesuatu... seseorang... sampai kapan pun.
Aku melompat dari dahan dan merentangkan sayap.
"Tobias!" Jake memanggil.
Tapi aku tidak tahan tinggal lebih lama. Aku mengepakkan sayap tanpa
menghiraukan kelelahan yang menghinggapiku. Aku harus pergi. Aku harus terbang
sejauh-jauhnya. "Tobias, jangan! Kembalilah!" seru Rachel.
Aku menemukan angin termal dan segera naik ke angkasa yang luas, sementara
teriakan tanpa suara bergema dalam kepalaku.
Chapter 12 HARI sudah sore ketika aku pulang ke tempat yang kini menjadi rumahku.
Setelah aku terperangkap dalam tubuh elang, Jake melepaskan sebilah papan
dinding loteng rumahnya. Lubang itulah yang kupakai untuk keluar-masuk.
Lotengnya seperti loteng pada umumnya. Ada kardus-kardus berdebu berisi baju
Jake dan Tom sewaktu masih bayi, serta peti-peti penuh lampu dan hiasan pohon
Natal. Selain itu ada bufet tua yang hangus bagian atasnya.
Jake telah membuka salah satu laci bufet itu dan mengalasinya dengan selimut
bekas. Jake memang baik hati. Dulu ia sering melindungiku dari anak-anak berandal di
sekolah. Dulu. Waktu aku masih bersekolah. Kapan ya" Beberapa minggu lalu" Sebulan lalu"
Belum, belum selama itu kok.
Jake juga menaruh wadah Rubbermaid di sudut tersembunyi.
Aku lapar. Kuraih wadah itu dengan cakar kiri. Tutupnya kucopot dengan paruhku
yang bengkok. Daging, kentang, dan buncis. Dagingnya daging hamburger.
Aku tidak tahu bagaimana Jake bisa menyisihkan makanan untukku.
Ibunya mungkin menyangka ia menyisihkan makanan sisa untuk anjingnya, Homer.
Aku tidak bilang pada Jake bahwa aku tidak makan kentang dan sayuran. Hanya
daging saja yang bisa diolah oleh pencernaanku.
Aku... si elang... adalah hewan pemangsa. Di alam bebas elang makan tikus,
tupai, dan kelinci. Kucicipi sedikit daging hamburger itu. Dagingnya dingin. Dan sudah lama.
Sebenarnya aku tidak bernafsu makan daging itu, tapi aku harus mengisi perut.
Aku tidak suka daging yang sudah lama. Yang kuinginkan adalah daging segar. Aku
ingin daging hewan yang hidup, yang bernapas, yang bisa lari-lari. Aku ingin
menyambar hewan mangsaku, mencengkeramnya dengan cakarku yang tajam, dan
mengoyak-ngoyaknya. Itulah yang kuinginkan. Tepatnya yang diinginkan si elang. Dan dalam hal makanan
aku sulit melawan naluri elang. Rasa lapar yang kualami adalah rasa lapar seekor
elang. Aku mengepakkan sayap dan melompat ke dalam laci. Alas selimutnya terasa empuk
dan hangat. Tapi bukan itu yang dibutuhkan tubuh elangku.
Elang tinggal di sarang yang terbuat dari ranting. Elang bermalam di atas pohon
sambil merasakan tiupan angin, sambil mendengarkan mangsa berdecit-decit, sambil
menonton burung hantu berburu.
Aku melompat dari laci. Aku tidak bisa bermalam di situ. Tubuhku terlalu letih
untuk istirahat. Aku terbang keluar. Elang sebenarnya bukan binatang malam. Kegelapan malam
dikuasai pemburu lain. Tapi aku terlalu tegang, terlalu gelisah untuk tidur.
Mula-mula aku berkeliling tanpa tujuan, tapi dalam hati aku tahu siapa yang
hendak kudatangi. Lampu kamar Rachel masih menyala. Aku terbang ke bawah dan hinggap di rumah
burung yang sengaja dipasangnya untukku.
Aku menggesekkan sayap ke jendela.
jubah mandi dan selop berbulu.
"Hai," katanya. "Aku sudah kuatir terjadi sesuatu padamu."
"Kami tidak memikirkan perasaanmu tadi sore," sahut Rachel pelan-pelan. Ia takut
suaranya terdengar oleh ibu atau adik-adiknya. Bisa-bisa ia disangka sudah tidak
waras karena bicara sendiri.
"Masuklah. Pintu kamar sudah kukunci."
Aku masuk melalui jendela dan hinggap di atas meja rias.
Tiba-tiba aku sadar ada sesuatu di belakangku. Langsung saja aku menoleh.
Ternyata cermin. Aku menatap bayangan diriku sendiri. Ekorku tampak kemerahan, dengan bulu-bulu
panjang dan lurus. Punggungku cokelat bertotol-totol. Pundakku kekar dan agak
melengkung. Sosokku mirip pemain rugbi yang siap menjegal lawan. Bentuk kepalaku
cocok untuk membelah udara dengan kecepatan tinggi. Sedangkan mataku yang
cokelat menyorot tajam di atas paruhku yang mematikan.
Aku berpaling dari bayanganku di cermin.
"Apa maksudmu, Tobias?"
Sayang aku tidak bisa tersenyum. Rachel tampak begitu cemas.
Coba kalau aku bisa tersenyum, sedikit saja, sekadar untuk menghiburnya.
"A-apa... apa maksudmu?" ia bertanya sambil menggigit bibir. Ia berusaha
menyembunyikan kecemasannya, tapi mata elangku bisa melihat segalanya.
merasa tempatku memang bersamanya.>
"Tempatmu di sini, bersama kami," ujar Rachel tegas. "Kau manusia, Tobias."
"Karena yang penting adalah pikiranmu, dan isi hatimu," jawab Rachel. Sikapnya
mendadak berapi-api. "Manusia tidak ditentukan oleh fisiknya. Tidak ditentukan
oleh wujud luarnya."
Kelihatan jelas ia sudah mau menangis. Tapi Rachel termasuk cewek tabah. Ia
selalu mampu menguasai emosinya. Mungkin itu sebabnya aku menemui Rachel. Aku
membutuhkan tempat bersandar.
Aku membutuhkan seseorang yang bisa membagikan kekuatannya padaku.
Ia menghampiri meja kecil di samping tempat tidur dan membuka lacinya. Sejenak
ia memeriksa isi laci itu, seakan mencari sesuatu. Kemudian ia kembali
menghampiriku. Ia memegang foto berukuran kecil yang lalu ditunjukkannya padaku.
Rupanya itu foto diriku. Aku yang dulu.
Ia mengangguk. "Foto ini kurang bagus. Sebenarnya kau lebih ganteng lho."
"Tobias, suatu hari kaum Andalite akan kembali ke Bumi. Kalau tidak, kita semua,
seluruh umat manusia, akan celaka. Nah, mereka pasti punya cara agar kau bisa
kembali ke wujudmu yang dulu."
"Aku yakin," katanya. Kedua kata itu diucapkannya dengan sungguh-sungguh. Ia
ingin aku mempercayainya. Tapi matanya yang berkaca-kaca membuktikan ia bohong.
Seperti kubilang tadi, mata elang tidak bisa dikelabui.
Chapter 13 BICARA dengan Rachel ternyata membantu. Paling tidak, beban pikiranku jadi
sedikit lebih ringan. Aku tidur di laciku di loteng rumah Jake.
Keesokan harinya aku terbang berkeliling sambil menunggu teman-temanku pulang
sekolah. Aku sadar, sebenarnya ada enaknya juga jadi elang. Pertama, aku tidak
perlu buat PR. Dan selain itu, aku bisa terbang. Berapa banyak anak yang bisa terbang dengan kecepatan enam puluh kilometer
per jam, dan melaju dua kali lebih kencang lagi saat menukik"
Aku menuju ke pantai untuk mencari angin termal. Tempat yang paling baik adalah
di tebing-tebing yang berbatasan langsung dengan samudra biru.
Dari ketinggian aku bisa melihat mangsa di rumput di puncak tebing. Ada tikus
dan cecurut, tapi semuanya tidak kuhiraukan. Aku Tobias. Aku manusia. Aku tidak
makan binatang-binatang itu.
Nanti sore Jake akan mengadakan pertemuan di rumahnya.
Kami tidak perlu kuatir soal Tom, kakak Jake, karena Tom akan menghadiri rapat
The Sharing. The Sharing adalah "kedok" bagi kaum Yeerk. Kelompok ini pura-pura tampil
sebagai semacam perkumpulan pramuka, tapi sesungguhnya tujuan mereka adalah
merekrut induk semang sukarela untuk kaum Yeerk.
Sekarang aku jadi kebiasaan membaca arloji orang lain dari atas. Dan jam besar
serta petunjuk suhu yang kadang-kadang dipasang di gedung-gedung pencakar langit
juga membantuku. Ada beberapa hal yang kurindukan sejak aku kehilangan tubuh manusia. Sebagian
besar justru hal-hal yang dulu kuanggap sepele.
Mandi di pancuran, misalnya. Atau tidur pulas, tanpa menyadari apa pun yang
terjadi di sekeliling kita. Atau mengetahui jam berapa sekarang.
Sore harinya aku kembali terbang ke gedung sekolah. Aku melayang-layang di
atasnya sampai bel terakhir berdering. Aku menunggu sampai Jake, Rachel, Cassie,
dan Marco keluar. Mereka muncul sendiri-sendiri. Soalnya Marco takut ada yang
curiga kalau mereka selalu bersama-sama.
Aku mengikuti bus yang ditumpangi Jake dan Rachel. Mereka tinggal berdekatan.
Jarak di antara rumah mereka cuma beberapa blok.
Marco tinggal di apartemen di seberang jalan raya. Ia hidup berdua saja dengan
ayahnya, karena ibunya mati tenggelam beberapa tahun lalu.
Rumah Cassie paling jauh. Ia tinggal di tanah pertanian di pinggir kota, kirakira dua kilometer dari yang lain. Tapi aku hanya butuh waktu tiga menit untuk
terbang ke sana. Seperti kukatakan tadi, kadang-kadang ada untungnya kita punya sayap.
Aku melayang-layang terbawa angin termal di atas rumah Jake. Aku melihatnya
turun dari bus dan masuk ke rumahnya. Rachel tidak tampak karena terhalang
pepohonan, tapi aku sepintas sempat melihat Marco.
Aku memusatkan pikiran untuk mengamati teman-temanku.
Dengan cara itu aku bisa menahan keinginanku mencaplok tupai-tupai yang
berlompatan di pohon-pohon. Atau tikus-tikus yang berkeliaran di rumput.
Setelah beberapa waktu aku melihat Tom keluar dari rumah Jake.
Tom mirip sekali dengan adiknya. Hanya saja ia lebih besar, dan rambutnya lebih
pendek. Aku tidak kenal baik dengan Tom. Tapi justru karena Tom aku jadi seperti
sekarang, meskipun bukan salahnya. Waktu itu kami berusaha menyelamatkan Tom
dari kolam Yeerk. Sayangnya usaha kami gagal total, dan aku malah terperangkap
dalam wujud elang. Tom menyusuri trotoar. Gerak-geriknya biasa saja. Setelah berjalan satu blok,
sebuah mobil menghampirinya. Pintu mobil membuka dan Tom segera naik.
Mobil itu langsung menuju ke tempat pertemuan The Sharing.
Tak lama setelah itu aku melihat teman-temanku berangkat ke rumah Jake. Rachel
paling mudah dikenali, soalnya ia latihan senam sambil jalan. Ia meniti tepi
trotoar seakan-akan sedang melangkah di atas balok keseimbangan.
Aku baru masuk lewat jendela Jake setelah semua kawanku berkumpul di situ. Aku
tidak ingin mereka menyangka aku tidak punya kerjaan selain menunggu mereka.
"Ke mana saja kau?" tanya Marco. "Kami sudah satu jam menunggumu di sini."
Padahal ia baru datang dua menit yang lalu.
"Kalau bisa pertemuan ini jangan terlalu lama," ujar Cassie. "Aku harus membuat
laporan untuk pelajaran Ms. Lambert. Laporannya harus dikumpulkan besok lusa.
Dan aku juga berjanji pada Dad untuk membantunya melepaskan seekor burung hantu.
Burung hantu itu luka parah. Dia hinggap di kabel listrik dan badannya terbakar.
Tapi sekarang dia sudah sembuh. Dad dan aku sudah mencarikan habitat yang cocok
untuknya." "Jangan-jangan temanmu, Tobias?" Marco menggoda.
Yang lain langsung melotot. Tapi sebenarnya aku malah senang digoda. Ternyata
sikap Marco terhadapku belum berubah.
"Burung hantu di klinik bagus sekali," ujar Cassie.
tidak terdengar. Burung hantu bisa melintas tepat di depan mata kalian, tanpa
kalian mendengarnya.> "Ehm, oke, kalau Cassie memang ada perlu, sebaiknya kita langsung mulai saja,"
Jake menyela. "Setuju," Marco menimpali, "kalau kalian berdua sudah selesai membahas burung,
maksudku." "Aku juga tidak bisa lama-lama," ujar Rachel. Tampaknya ia agak salah tingkah.
"Kelompok senamku mengadakan pertunjukan di mall."
"Oh, kalau begitu aku pasti datang," Marco langsung berkoar.
"Awas saja kalau berani!" balas Rachel ketus. "Yang lain juga! Kalian kan tahu
aku tidak suka ikut pertunjukan konyol seperti itu."
Rachel bukan tipe cewek yang senang tampil di depan orang banyak.
"Ayo, serius sedikit, dong! Kita sekarang sudah tahu cara kaum Yeerk mendapatkan
udara dan air yang mereka butuhkan," Jake berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Kita tahu di mana mereka mendapatkannya. Dan juga kira-kira kapan mereka datang
untuk mengambilnya. Informasi ini mestinya bisa kita manfaatkan. Ada yang punya
usul?" Rachel angkat bahu. "Barangkali kita bisa mencari cara untuk menghancurkan
pesawat itu." Marco mengacungkan telunjuk. Huh, lagaknya kayak lagi di ruang kelas saja.
"Bagaimana kalau, ehm, kita membahas burung saja?"
Seperti biasa Rachel tidak menggubrisnya. "Begini. Kalau kita bisa menghancurkan
pesawat itu, barangkali kaum Yeerk akan kehabisan air dan udara. Barangkali
mereka akan terpaksa menyerah dan pulang ke tempat asal mereka."
"Mungkin saja," Cassie menanggapinya. "Tapi mungkin juga mereka punya selusin
pesawat seperti itu di tempat-tempat lain di dunia. Kita tidak tahu berapa
jumlah pesawat mereka."
"Bisa jadi yang satu ini sudah cukup untuk...," Marco mulai berkata. Tapi tibatiba ia terdiam. Sepertinya ia baru sadar bahwa usulnya berbahaya. "Maksudnya...
eh, tidak jadi, deh."
"Ada apa?" tanya Jake. "Kau mau bilang apa sih?"
Marco terpojok. Ia angkat bahu. "Oke, bagaimana kalau pesawat itu tidak meledak
atau hancur" Bagaimana kalau pesawat itu sedang terbang di atas kota, dan tibatiba alat yang membuatnya tidak kelihatan itu mati?"
Kami semua merenung sambil membayangkan peristiwa itu.
Tiba-tiba saja satu juta orang memandang ke langit dan melihat pesawat sebesar
gedung pencakar langit melayang-layang.
"Orang-orang pasti kaget," ujar Jake.
"O ya, mereka pasti kaget," Rachel membenarkan. "Dan pesawat itu juga akan
tertangkap radar. Disaksikan satu juta saksi mata. Kejadian seperti itu takkan
bisa ditutup-tutupi oleh para Pengendali."
apa yang terjadi." Ia semakin bersemangat. "Setelah itu, baru kita datangi pihak
berwajib. Para Pengendali takkan bisa mencegah kita! Kita akan menceritakan
semua hal yang kita ketahui!"
Kedua mata Rachel berbinar-binar. "Kita bisa membongkar kedok The Sharing. Dan
kita bisa melaporkan Chapman!"
"Memangnya kalian pikir Visser Three dan anak buahnya cuma duduk-duduk bengong
saja?" tanya Marco. "Kita tidak tahu berapa banyak pesawat mereka. Dan seberapa
besar kekuatan mereka."
Jake tampak agak kecewa.
ujarku. "Hah, dari mana kautahu?" tanya Marco. Nadanya menantang.
Aku menyangka Marco bakal melontarkan komentar pedas.
Seperti biasanya. Tapi ternyata ia cuma mengangguk. "Yeah, kau benar."
"Ini mungkin kesempatan emas bagi kita," kata Rachel. "Kita harus membuka tabir
yang menyelubungi pesawat itu, biar seluruh dunia bisa melihatnya."
"Bagaimana caranya?" tanya Marco.
Jake yang menjawab. "Kita harus menyusup ke pesawat itu." Ia mengedipkan mata
kepada Marco. "Mau kuberitahu bagaimana caranya?"
Marco menggeleng. "Tidak. Mestinya aku tidak usah bertanya tadi."
"Melalui pipa pengisap air. Dengan berubah jadi ikan."
Animorphs - 3 Pertempuran Bawah Air di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Marco menghela napas. "Jake, kan sudah kubilang, aku tidak mau tahu."
Chapter 14 RACHEL dan Cassie pergi ke arah berlawanan.
"Selamat beraksi," Cassie berseru pada Rachel.
"Yeah," ujar Rachel menggerutu.
"Nanti aku ke sana," seru Marco kepada Rachel. "Jangan jatuh sebelum aku datang
lho." Rachel langsung melotot. Tatapannya seolah mengatakan, "Awas saja kalau kau
berani nongol." Kemudian ia berbalik dan pergi, meninggalkan Marco, Jake, dan
aku. "Dia tergila-gila padaku," ujar Marco sambil mengedipkan mata pada Jake dan aku.
"Dasar besar kepala," gumam Jake. "Begini, Tobias. Kalau misi ini jadi kita
laksanakan, kita harus tunggu sampai akhir pekan."
sana, dan sebagai manusia kita tidak bisa berjalan sejauh itu. Sebagai serigala
pun kita perlu waktu agak lama, lebih dari satu jam. Sebaiknya kita berangkat
pagi-pagi, lalu menunggu di suatu tempat tersembunyi. Jadi kalau kaum Yeerk
muncul pada sore hari, kita punya waktu lebih lama untuk beraksi."
"Dan ada baiknya kita menghindari daerah kekuasaan kawanan serigala lain," Marco
mengingatkan. "Aku tidak berminat bertemu lagi dengan mereka."
Rencana Jake masuk akal.
"Kita butuh informasi sebanyak mungkin tentang daerah itu," kata Jake. Ia
menatapku dengan serius. "Barangkali..."
kemampuanku. Aku bisa kaya raya nih.>
Jake dan Marco terkekeh. Marco tampak agak kaget karena aku ternyata bisa
menertawakan nasibku. Kemudian Jake menatapku dengan tajam. Tampaknya ia agak kuatir.
Ia mengerutkan kening dan mengangguk. Aku tahu ia sendiri juga tegang waktu itu.
Dan aku tidak heran. Aku yakin sampai sekarang pun ia masih dihantui mimpi
buruk. "Oke, sekarang apa rencananya?" tanya Marco. "Kita coba menyelinap ke mall tanpa
ketahuan Rachel, atau kita tetap di sini dan main Doom?"
"Aku ada PR," jawab Jake. "Hati-hati, Marco, kalau kau kepergok menonton Rachel,
dia bakal berubah jadi gajah dan menginjak-injakmu sampai gepeng."
Marco meringis. "Kau masih ingat zaman dulu" Waktu anak cewek paling-paling cuma
bisa mengata-ngatai kita?"
Aku terbang pergi. Biar saja mereka bermain video game atau membuat PR atau
mengisi waktu dengan cara lain. Aku toh tidak bisa ikut.
Sebenarnya sih sayang. Dengan mataku yang tajam dan reaksiku yang cepat, aku
seharusnya bisa jadi jagoan bermain Doom.
Tapi joystick dan gamepad tidak dirancang untuk dimainkan dengan cakar elang.
Aku mengangkasa. Udara sore terasa sejuk.
Aku berputar-putar tanpa tujuan tertentu. Aku melintasi rumah Chapman. Chapman
wakil kepala sekolah kami. Tapi ia juga salah satu Pengendali yang punya
kedudukan paling tinggi. Kami pertama kali tahu bahwa Chapman salah satu dari mereka ketika ia memberikan
perintah pada prajurit Hork-Bajir untuk membunuh siapa pun dari kami yang
berhasil ditangkap. Katanya hanya kepala kami saja yang perlu dibawa untuk
diidentifikasi. Keterlaluan, kan" Tapi ternyata keadaannya lebih rumit dari dugaan kami.
Chapman memang bergabung dengan kaum Yeerk. Tapi ia melakukannya antara lain
demi menyelamatkan putrinya, Melissa.
Melissa akan ikut pertunjukan senam bersama Rachel sore ini.
Di mall. Aku sedih ketika teringat pada mall. Pusat pertokoan termasuk tempat-tempat yang
takkan pernah lagi bisa kudatangi. Daftarnya cukup panjang: sekolah, bioskop,
taman hiburan... Tunggu dulu. Siapa bilang aku tidak bisa ke taman hiburan"
Tentu saja aku bisa ke sana. Aku malah tidak perlu membeli karcis.
Aku jadi agak terhibur. Entah kenapa. Padahal aku tetap tidak bisa naik roller
coaster. Pokoknya aku jadi lebih bersemangat.
Aku bisa masuk The Gardens kapan saja aku mau. Dan, hei!
Aku juga bebas menyaksikan pertandingan football dan bisbol, asal
pertandingannya diadakan di luar gedung.
Dan konser! Wow! Aku bakal bisa menonton semua konser yang digelar di stadion. Tanpa perlu
repot-repot membeli tiket.
Ya, aku harus berpikir positif. Ada sejuta hal yang bisa kukerjakan sebagai
burung. Hal-hal yang mustahil kulakukan sebagai manusia.
Tapi jangan sekarang. Aku berputar dan menuju pegunungan. Ada tugas yang harus
kulaksanakan. Ini satu keuntungan lagi yang kumiliki. Aku bisa jadi mata-mata.
Mata-mata dari udara. Tak ada yang bisa menyaingi aku. Bahkan James Bond pun
kalah. Gumpalan awan tampak berderet sampai ke pegunungan. Cuacanya cocok sekali
untukku. Awan bisa membubung tinggi karena terdorong angin termal.
Aku akhirnya pasrah pada nasib. Hidupku sebenarnya memang tidak terlalu buruk.
Aku bisa terbang. Dulu, waktu aku masih bersosok manusia, aku sering memandang
ke langit sambil berharap bisa terbang. Dan sekarang keinginanku telah terkabul.
Bisa jadi malah ada anak-anak yang sedang mengamatiku dari bawah sambil
berpikir, "Wah, coba kalau aku bisa terbang."
Kalau saja aku punya sesuatu untuk dimakan. Aku agak lapar.
Seharusnya aku minta tolong Jake untuk menyiapkan makanan kecil.
Dan tiba-tiba saja aku telah beraksi. Aku bahkan tidak sadar apa yang kulakukan.
Mungkin karena perasaanku sedang begitu nyaman, begitu santai.
Aku berada di atas hutan, kira-kira satu kilometer setelah tanah pertanian
Cassie. Dan di tengah hutan terhampar lapangan rumput yang dikelilingi
pepohonan. Inilah yang disukai elang ekor merah.
Tanah terbuka yang ditumbuhi rumput.
Mangsa berkeliaran di mana-mana. Tupai-tupai mondar-mandir di tanah sambil
mencari biji-bijian. Sebentar-sebentar mereka duduk tegak dan mengamati
sekeliling dengan gelisah. Tikus-tikus bergegas lari dari lubang ke lubang.
Beberapa kelinci melompat-lompat.
Aku memfokuskan mata pada seekor tikus. Aku mengangkat bahu sebelah, membelok
tajam di udara, lalu menukik ke permukaan tanah.
Sayapku terlipat. Kepalaku tertunduk. Kakiku terjulur ke belakang supaya aku
bisa mencapai kecepatan maksimum.
Permukaan tanah semakin dekat. Sekonyong-konyong aku merentangkan sayap. Cakarku
bergerak ke depan. Pandanganku tidak beralih sedikit pun dari tikus itu.
Aku memusatkan perhatian pada mangsaku. Dan menyambar!
Kukepakkan sayap dengan semangat menggebu-gebu. Aku gembira luar biasa!
Perasaanku sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Cakarku mencengkeram daging hangat. Tikus itu menggeliat-geliut. Tapi ia tak
berdaya! Sama sekali tak berdaya!
Aku lupa diri. Kurentangkan sayap di sekeliling mangsaku. Aku harus melindunginya dari pemangsa
lain yang mungkin mencari kesempatan untuk mencurinya.
Aku mundur sedikit. Lalu kutatap cakarku. Semuanya merah berlumuran darah. Kerat-kerat daging tikus
menggantung dari paruhku. Aku panik.
Ya ampun. Gawat. Aku sampai lupa siapa aku sebenarnya. Aku mencoba lari. Tapi
aku tak lagi punya kaki untuk berlari. Yang kupunya hanyalah cakar mematikan.
Cakar yang berlumuran darah.
Aku terjerembap di tanah.
Tidak, aku memekik tanpa suara. Tapi tikus mati itu tetap terbayang di depan
mataku. Bau dagingnya tetap merangsang seleraku. Dan saat itulah aku sadar bahwa
kini sudah terlambat. Chapter 15 AKU terbang. Aku terbang sekencang-kencangnya. Aku telah membunuh dan melahap seekor tikus.
Betapa menjijikkan. Dan sekarang aku berusaha terbang sekencang mungkin untuk
meninggalkan mimpi buruk itu jauh di belakangku.
Tapi aku bahkan tidak bisa terbang sekencang itu. Aku manusia! Aku manusia! Aku
Tobias! Aku tidak tahu kenapa justru Rachel yang hendak kudatangi saat itu. Mungkin
karena ia satu-satunya yang bisa kusebut teman sejati. Atau mungkin juga karena
ia yang paling tahu segala sesuatu tentang diriku.
Aku membutuhkan seseorang yang bisa membangkitkan keyakinanku.
Gedung mall yang besar tampak di bawah. Aku melihat pintu utamanya yang terbuat
dari kaca. Orang-orang keluar-masuk tanpa henti. Rachel. Ia ada di situ.
"Tseeeeer!" Aku menukik sambil memekik karena marah dan frustrasi dan ngeri. Aku melesat
kencang ke arah pintu, persis seperti tadi, sewaktu hendak menyambar tikus.
Tapi kali ini aku takkan berhenti. Aku takkan merentangkan sayap untuk
mengurangi kecepatan. Aku ingin semuanya berakhir sekarang juga. Akan kuterjang
pintu kaca itu dengan kecepatan penuh.
Siapa tahu aku akan terbangun dari mimpi buruk yang terus menghantuiku.
Aku terus meluncur. Pintu kaca itu semakin dekat. Seorang laki-laki pendek
berambut gelap menghampiri pintu dan membukanya.
Wusss! Kecepatanku pasti lebih dari seratus dua puluh kilometer per jam ketika aku
melesat melewati pintu yang mendadak terbuka.
Di balik pintu pertama ada pintu lagi. Tapi pintu kedua ini pun terbuka lebar.
Tak ada benturan. Aku tidak menghantam apa pun.
Aku dikelilingi warna-warni dan cahaya terang benderang. Aku serasa berada di
dalam tabung warna yang berputar-putar.
Aku melihat Esprit. Guess. The Body Shop. Pizza Hut. Mrs. Fields.
Wusss! Aku melesat bagaikan peluru. Aku melintas beberapa senti saja di atas kepala
para pengunjung yang lalu-lalang. Beberapa menjerit ketakutan. Yang lain berseru
heran bercampur kagum. Aku tidak peduli. Pokoknya aku ingin menabrak sesuatu. Aku ingin bangun. Aku
ingin terempas ke lantai karena aku tidak lagi punya sayap. Karena sayapku telah
kembali menjadi kaki dan lengan.
Aku ingin kembali menjadi Tobias yang dulu.
Aku manusia! Aku manusia! Aku Tobias!
Sizzler. Levi's. Benetton. Mc Donalds. Wendy's. Dunia yang kukenal. Dunia di
mana aku seharusnya berada. Tempat-tempat yang pernah kudatangi. Makanan yang
pernah kucicipi. Dunia manusia.
Wusss! Dalam beberapa detik saja aku sudah sampai di atrium di tengah mall.
Aku melihat kerumunan orang berdiri membentuk lingkaran. Di tengah-tengah
kerumunan sejumlah matras biru terhampar di lantai.
Anak-anak cewek berbaju ketat sedang melakukan berbagai gerakan senam yang
anggun. Para pengunjung di lantai-lantai atas berdesak-desakan di tepi pagar
agar bisa ikut menonton. Rachel sedang meniti balok keseimbangan. Ia berdiri sambil mengangkat sebelah
kaki. Aku melewatinya bagaikan roket berwarna cokelat, emas, dan merah.
"Tobias!" ia berseru.
Tepat di depanku berdiri dinding tembok untuk mendirikan toko baru. Aku masih
meluncur kencang. Aku masih bisa menabrak tembok itu dan bangun dari mimpi
burukku. "Jangan!" Rachel memekik.
Aku merentangkan sayap dan melesat tegak lurus ke atas. Perutku menyerempet
permukaan dinding. Langit-langit mall terbuat dari kaca. Dan sejengkal lagi aku
sudah sampai di sana! Aku membelok pada detik terakhir, nyaris terlambat. Pundakku membentur kaca. Aku
terpental dan meluncur jatuh. Orang-orang di bawah menatapku dengan mata
terbelalak karena ngeri bercampur kagum dan iba.
Aku melihat wajah Rachel di tengah keramaian. Matanya tampak memohon-mohon.
Jangan, ia berkata tanpa suara. Jangan.
Aku meluncur ke bawah, antara sadar dan tidak. Rachel masih berdiri di atas
balok keseimbangan. Ia menangkapku sebelum aku terempas ke lantai. Tapi
akibatnya ia pun jatuh, dan kami berdua bergulingan di matras. "Kau harus keluar
dari sini!" ia bergumam dengan nada mendesak.
Orang-orang bergegas maju. Semua berusaha menyelamatkan Rachel dari amukan
burung elang. Ia mendorongku sedikit supaya aku bisa mengudara lagi. Orang yang
melihatnya pasti menyangka ia berusaha mengusirku.
Aku mengepakkan sayap dan terbang menghindari tangan-tangan yang menggapai-gapai
berusaha menangkapku. Seseorang melemparku dengan kantong belanja. Aku mengelak.
Tapi tak ada jalan keluar.
Aku menatap angkasa biru yang tampak di balik langit-langit kaca.
Naluri elang dalam kepalaku berteriak-teriak agar aku menuju tempat yang aman.
Dan si elang langsung melesat ke atas.
Menghampiri permukaan kaca. Ia tidak mengerti. Kaca itu tidak bisa ditembus.
Tebalnya tak kalah keras dibandingkan dinding batu.
Aku tak sanggup melawan desakan naluri itu. Si elang sudah menang. Ia sudah
membunuh. Membunuh dan melahap mangsanya.
Dan aku menyukainya. Sedetik lagi semuanya akan berakhir. Satu kepak sayap lagi dan...
Dari sudut mata aku melihat wajah yang serasa kukenal di lantai atas. Dan tibatiba sesuatu melewatiku dengan cepat. Sesuatu yang kecil dan berwarna putih.
PRANG! Bola bisbol itu menghantam langit-langit kaca hanya beberapa senti di depan
paruhku. Marco telah membidik tepat pada sasaran.
Pecahan-pecahan kaca beterbangan di sekelilingku. Aku melesat keluar melalui
lubang yang menganga. Langit! Si elang terbang cepat dan lurus.
Aku membiarkannya. Aku menyerah.
Tobias, anak-anak laki yang wajahnya tak bisa kuingat, kini telah tiada.
Chapter 16 HARI-HARI berikutnya terasa bagaikan mimpi panjang yang berjalan lambat. Aku
tidak kembali ke rumah Jake. Aku tidak menemui teman-temanku. Aku menghilang.
Aku mencari rumah baru untukku. Tempatnya cocok sekali untuk seekor elang ekor
merah - lapangan rumput tempat aku menangkap mangsaku yang pertama. Tidak jauh
dari lapangan itu terdapat daerah rawa-rawa yang juga cukup menyenangkan.
Sayangnya tempat itu sudah dikuasai elang lain, sehingga aku hanya sekali-sekali
saja bisa berburu di sana.
Aku menghabiskan hari-hariku dengan berburu. Kadang-kadang aku melayang dengan
bantuan angin termal sambil mengawasi lapangan rumput di bawah. Kadang-kadang
aku bertengger di dahan pohon dan menunggu sampai ada mangsa yang lengah.
Kemudian aku langsung menyambarnya, dan membunuhnya. Aku melahapnya ketika
darahnya masih hangat. Siang hari tidak begitu menyusahkan karena aku berburu terus.
Aku benar-benar sibuk, sebab aku sering gagal menangkap mangsa. Aku harus sering
berlatih supaya cepat mahir.
Malam hari lebih sulit. Aku tidak bisa berburu setelah gelap. Malam hari milik
pemangsa lain, terutama burung hantu. Pada malam hari kesadaran manusiaku
bangkit kembali. Manusia di dalam kepalaku teringat berbagai kenangan lama. Kenangan selagi aku
masih hidup sebagai manusia. Kenangan akan teman-temanku. Aku merasa sedih. Dan
kesepian. Tapi sebenarnya yang diinginkan Tobias si manusia hanyalah tidur. Ia ingin
menghilang dan memasrahkan diri kepada si elang. Ia ingin menerima kenyataan
bahwa ia bukan manusia lagi.
Namun pada malam hari, ketika aku bertengger di dahan pohon sambil menyaksikan
burung-burung hantu berburu, kenangan akan kehidupan manusia kembali terbayang
Animorphs - 3 Pertempuran Bawah Air di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bayang. Di samping itu juga ada berbagai kenangan lain. Aku teringat si elang betina.
Elang yang kubebaskan dari kerangkeng. Aku tahu tempat ia biasa berburu, yaitu
di dekat danau jernih di pegunungan.
Jadi suatu hari aku terbang ke sana. Ke danau itu. Aku melihatnya hinggap di
dahan pohon. Ia sedang mengintai seekor raccoon - sejenis kucing liar - yang masih
bayi. Ia pasti lapar sekali sampai nekat berburu raccoon, biarpun raccoon yang
masih kecil. Raccoon termasuk binatang galak dan berani.
Si elang betina menukik, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya.
Tapi raccoon memiliki sepasang mata tajam. Begitu tahu ada bahaya, bayi raccoon
itu langsung mengelak dan berlari ke tepi hutan.
Induknya ada di sana. Elang - selapar apa pun - takkan mau menyerang raccoon dewasa. Itu sama saja dengan
bunuh diri. Si elang betina kembali hinggap di dahan pohon.
Aku melayang-layang di atas sambil menunggu ia melihatku. Aku tidak tahu
bagaimana reaksinya setelah mengetahui kehadiranku.
Tapi yang jelas, aku harus berhati-hati. Ia elang betina, dan elang betina ratarata sepertiga lebih besar daripada elang jantan.
Tiba-tiba aku melihat sebuah bayangan berkelebat di hutan.
Ada sesuatu yang dikejar-kejar!
Menonton perburuan selalu asyik, walaupun pemburunya bukan elang. Tontonan
seperti itu bisa mengasah naluri berburu yang ada dalam diriku.
Si mangsa berlari pontang-panting dengan kedua kakinya. la menghindari pohonpohon. Menerobos semak-semak. Sekonyong-konyong ia tersandung dan terempas
keras. Ia bangkit dengan susah payah, lalu kembali berlari.
Aku mendengar bunyi napasnya yang terengah-engah. Tenaganya sudah nyaris
terkuras habis. Ia memekik-mekik. Suaranya keras dan melengking.
Si pemburu juga berlari kencang dengan kedua kakinya. Tapi kakinya sanggup
berlari jauh lebih kencang daripada si mangsa. Aku melihat tanduk-tanduk tajam
menyembul dari lengannya. Ia menggunakannya untuk membabat semak-semak dan
alang-alang. Persis mesin potong rumput.
Mesin potong rumput"
Bukan. Ada istilah lain. Mesin pencincang. Ya, begitulah Marco menyebut mereka.
Marco" Itu kan nama temanku. Teman manusiaku. Bayangannya muncul dalam benakku.
Tubuhnya pendek. Rambutnya gelap. Tingkahnya konyol.
Lalu aku seperti tersambar petir. Tiba-tiba aku sadar: si mangsa ini manusia.
Tapi, memangnya kenapa kalau manusia" Kenapa aku harus peduli" Ia kan mangsa.
Dan memang sudah begitu aturan mainnya: pemburu membunuh mangsa.
Tapi ini salah! Ia manusia!
"Tolong! Tolong!" Begitulah ia berseru. "Tolong! Tolong aku!"
Si pemburu sudah dekat. Beberapa detik lagi perburuan ini akan berakhir. Dengan
kemenangan si pemburu tentu saja. Pemburu ini sangat kuat, sangat gesit.
Dan ia adalah Hork-Bajir.
"Tolong, tolong aku!"
Aku tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi selanjutnya. Seluruh dunia seakanakan mendadak jungkir balik. Sekarang begini, tapi tahu-tahu sudah lain sama
sekali. Rasanya seperti kita membuka mata sehabis bermimpi.
Hork-Bajir itu mengejar-ngejar manusia. Manusia itu dijadikan mangsa. Ini tidak
benar. Tidak benar! Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Aku terpaku. Tubuhku jadi tegang.
Beberapa detik lalu aku masih berpikir bahwa elang yang waras takkan coba-coba
mendekati raccoon dewasa. Tapi sekarang aku malah mengincar makhluk Hork-Bajir.
Padahal kalau raccoon diibaratkan sebagai busur dan panah, maka Hork-Bajir
ibarat bom atom. Matanya yang harus kuserang, pikirku. Itu satu-satunya titik lemah Hork-Bajir.
"Tseeeer!" Aku melesat kencang ke arah Hork-Bajir sementara manusia yang tengah diburunya
kembali jatuh. Cakarku bergerak maju. Si Hork-Bajir memusatkan segenap perhatian pada
mangsanya. Aku menghantamnya sekuat tenaga, lalu segera terbang menjauh.
"Gurrawwwrr!" Hork-Bajir itu meraung. Ia menutup matanya dengan kedua tangan.
Si manusia bangkit lagi dan segera mengambil langkah seribu.
"Gurr gafrash! Kemari! Dia kabur! Hilch nahurrn!" teriak si Hork-Bajir. Mereka
selalu menggunakan bahasa gado-gado seperti itu kalau sedang bekerja sama dengan
manusia. Ia sedang memanggil bala bantuan. Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk melewati
puncak pepohonan. Ternyata cukup banyak Pengendali di sekelilingku. Pada jarak
sekitar seribu meter tampak Hork-Bajir lain. Dua petugas gadungan malah berada
lebih dekat lagi. Ingatanku mendadak muncul kembali. Para Polisi Hutan gadungan. Pasukan HorkBajir. Danau yang jernih. Rupanya ada pesawat perbekalan Yeerk sedang menuju
kemari. Kaum Yeerk. Kaum Andalite.
Teman-temanku, para anggota Animorphs.
Ya, teman-temanku. Kini aku ingat lagi. Tapi manusia yang dikejar-kejar ini
bukan salah satu dari mereka. Manusia ini lebih tua.
Aku tidak mengenalnya. Si elang betina memperhatikanku. Ia seolah-olah menarikku ke arahnya, bagaikan
magnet. Ia sejenis denganku. Ia sama seperti aku.
Sementara manusia tadi jelas tidak sama denganku. Ia tidak bisa terbang. Ia cuma
bisa lari-lari ke sana kemari. Dan sekarang giliran para Polisi Hutan yang
mengejar-ngejar dirinya. Siap memangsanya.
Namun, entah kenapa, aku tidak bisa membiarkan manusia itu menjadi mangsa.
Aku tidak bisa. Aku, Tobias, tidak bisa hanya berpangku tangan.
Chapter 17 AKU mendarat di ambang jendela kamar Rachel. Malam sudah larut. Tapi ia belum
tidur. Ia sedang membaca buku di tempat tidur. Kepalanya diganjal dengan bantal.
Aku mengepakkan sayap ke kaca jendela.
ia berdiri, berlari menghampiri jendela, dan membukanya.
"Tobias?"
Ia hendak merangkulku, dan bahkan sudah mengangkat tangan. Tapi kemudian ia
sadar itu tidak mungkin. Sosok burung tidak cocok untuk dipeluk-peluk.
"Kau tidak apa-apa" Kami semua cemas sekali. Cassie malah sudah kuatir kau
cedera atau bahkan terbunuh. Begitu banyak hal yang bisa terjadi. Jake merasa
sangat tertekan."
Setelah ia tahu aku baik-baik saja, ia jadi kesal. Dalam hati aku tersenyum.
Memang begitulah sifat Rachel.
"Apa-apaan sih kau, Tobias" Kenapa kau menghilang begitu saja dan membiarkan
kami cemas selama berhari-hari?"
bagaimana aku membunuh seekor tikus dan melahapnya. Aku juga bercerita betapa
aku membenci diriku sesudahnya. Aku sudah menduga bahwa ceritaku akan membuat
Rachel serba salah. Ia mencoba bersikap penuh pengertian, tapi kelihatan jelas
pengakuanku mengganggu hati nuraninya.
lagi semua kehidupanku semasa masih jadi manusia. Lalu terjadi sesuatu.>
"Apa?" Ia menghampiri pintu untuk memastikan ia sudah menguncinya. "Apa yang
terjadi?" Aku bercerita bahwa aku terbang ke danau dan melihat seorang laki-laki sedang
dikejar-kejar Hork-Bajir.
berhasil kugiring menjauhi mereka. Aku menyuruhnya bersembunyi. Dan setelah
keadaan aman, aku menyuruhnya lari.>
"Kau bicara dengannya?"
Rachel tampak kaget. "Tapi sekarang dia tahu tentang kau! Dia juga tahu soal
Hork-Bajir."
burung yang bisa telepati">
Rachel tertawa. "Yeah, benar juga. Dia bisa dianggap gila kalau begitu. Lagi
pula, seandainya dia buka mulut, kaum Yeerk pasti akan mencarinya dan
menghabisinya."
"Kau telah menyelamatkannya," ujar Rachel.
pada malam hari. Tak berbeda dengan apa yang aku lakukan. Berburu untuk makan.>
Rachel merenung sejenak. "Kaum Yeerk dan budak-budak mereka membunuh bukan untuk
makan," katanya. "Mereka membunuh untuk menguasai manusia. Kau membunuh karena
itu memang satu-satunya cara supaya kau bisa makan. Kau memang diciptakan
seperti itu oleh alam. Tapi membunuh karena haus kekuasaan, itu soal lain."
"Apa yang kaulakukan... membunuh untuk makan...ehm, itu memang wajar bagi seekor
elang. Kau bertindak sesuai nalurimu. Lain halnya dengan para Hork-Bajir. Segala
perbuatan mereka tidak alami. Mereka tak lagi punya naluri, apalagi akal sehat.
Mereka hanya alat kaum Yeerk. Dan tujuan kaum Yeerk cuma satu: menguasai dunia
beserta seluruh isinya."
"Kau manusia, Tobias," lanjut Rachel.
Rachel tampaknya sudah mau menangis. Aku langsung waswas, sebab Rachel bukan
tipe cewek yang mau menangis di depan orang lain.
Ia tersenyum. "Aku justru berterima kasih. Waktu itu aku baru saja mulai
beraksi, padahal kautahu sendiri aku tidak suka tampil di depan umum. Berkat
dirimu, semuanya selesai dalam sekejap."
Aku tertawa tanpa suara.
"Tidak ada yang cedera. Tapi, apa yang akan kau lakukan seandainya lemparan
Marco meleset" Kau pasti akan menabrak langit-langit kaca."
Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Rachel mendekat dan menepuk-nepuk kepalaku.
Elang di dalam diriku merasa terganggu. Namun tepukan tangan Rachel mirip
gerakan membersihkan bulu, jadi kubiarkan saja.
"Kau masih ingat kata-kataku waktu itu, Tobias" Bahwa kau takkan celaka selama
masih ada Jake, Cassie, dan aku. Juga Marco. Dia menolongmu saat kau dalam
kesulitan. Kami teman-temanmu. Kau tidak sendirian."
Rasanya aku ingin menangis. Tapi elang tidak bisa menangis. "Dan suatu hari,
kaum Andalite akan kembali...."
"Jangan nekat kalau memang tidak mungkin," ujar Rachel.
terperangkap. Mereka tidak bisa membebaskan diri, Rachel. Aku tahu bagaimana
perasaan mereka. Mungkin aku takkan pernah bisa bebas lagi. Mungkin aku
terperangkap untuk selama-lamanya. Tapi kalau kita bisa membebaskan beberapa
orang saja. Mungkin... entahlah. Mungkin itu yang kuperlukan agar bisa tetap
merasa seperti manusia.>
Chapter 18 KEESOKAN harinya kami menuju ke medan tempur. Aku terbang sambil memantau
keadaan, sementara empat serigala kelabu berlari di bawahku. Kami sengaja
berangkat pagi-pagi. Kami ingin sampai di tempat tujuan jauh sebelum kaum Yeerk
tiba untuk berburu tamu tak diundang.
Marco.
kemarin. Cuma ada raccoon dan sigung yang keluar-masuk gua itu. Mereka takkan
berani mendekat ke sana kalau ada beruang.>