Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge Bagian 2
Aku ini benar-benar kikuk!" Ia ber "ck-ck-ck" lagi dengan cepat, bunyinya
seperti mesin tik yang sedang menuliskan sebaris kalimat. "Dan menumpahi bukumu,
ya, Bromwich" Yah, apa boleh buat. Tidak ada gunanya menyesali hal yang sudah
terjadi. Atau dengan menggunakan peribahasa kita, 'Tidak ada gunanya menangisi
susu yang sudah tumpah'."
Dengan segera Darbishire mengacungkan tangannya.
"Turunkan saja lagi tanganmu itu, Darbishire," kata Pak Wilkins. "Aku tahu apa
yang hendak kaukatakan. Bukan susu yang tumpah, tapi tinta! Itu tidak perlu
kaukatakan, karena aku tidak mau mendengarnya. Jika aku ingin mengatakan 'susu',
itulah yang kukatakan. Aku tidak mau mendengar apa-apa darimu tentang tinta yang
tumpah!" "Bukan itu yang hendak saya katakan, Pak," kata Darbishire dengan suara pelan.
"Saya tadi hanya hendak mengatakan bahwa ada tetesan -eh-susu di hidung
Bromwich, Pak." Pak Wilkins mendehem. Keras sekali bunyinya, seperti senapan kuno yang
ditembakkan. Tinta yang tumpah dibersihkan dengan kertas pengisap dan alat
pembersih papan tulis. Pak Wilkins melarang penggunaan berbagai saputangan yang
tidak bisa dibilang putih lagi, yang disodorkan oleh anak-anak. Dengan kesal
disuruhnya anak-anak segera mulai bekerja.
Jennings tidak bisa memusatkan perhatian pada soal-soal matematika yang harus
dikerjakan. Ia sibuk berpikir, apakah sebaiknya mengaku saja bahwa ialah yang
menyebabkan tinta tumpah. Paling enak baginya adalah jangan menyebut-nyebut soal
itu lagi. Anjing tidur jangan dibangunkan! Atau dengan 'kata lain, biar saja Pak
Wilkins menyangka bahwa itu merupakan akibat perbuatannya. Tapi hati kecil
Jennings mengatakan, tidak adil jika membiarkan guru itu menyalahkan dirinya
sendiri. Di pihak lain, mengingat kemungkinan bahwa nanti akan terjadi
keributan, sebaiknya ia secara berhati-hati menyelidiki dulu tentang akibatakibatnya jika ia mengaku. Jennings mengacungkan tangannya.
"Pak," katanya, sementara Pak Wilkins mengangkat alisnya sebagai tanda
menyuruhnya bicara, "Pak, Anda tahu kan, ketika Anda tadi menumpahkan tinta?"
"Ya, aku tahu," kata Pak Wilkins dengan nada tidak senang.
"Tapi andaikan bukan Anda yang melakukannya, Pak."
Pak Wilkins mengangkat alisnya yang satu lagi.
"Tidak ada gunanya berandai-andai seperti itu," tukasnya. "Jika aku yang
menumpahkan, maka akulah yang menumpahkan. Tidak ada gunanya banyak bicara lagi
mengenainya. Ayo, terus saja kerjakan soal-soalmu."
"Tapi," kata Jennings berkeras, "ini penting sekali, Pak. Saya tahu, Anda
menyangka bahwa Andalah yang menumpahkan. Saya juga tahu, kelihatannya seperti
memang Andalah yang menumpahkan. Tapi bagaimana jika sebenarnya bukan Anda, Pak"
Bagaimana jika itu cuma salah lihat saja?"
Wajah Pak Wilkins bertambah masam. Tidak ada yang lebih cepat membuat dirinya
marah daripada perasaan bahwa ada anak hendak mempermainkannya. Dan
keingintahuan Jennings dianggapnya sebagai perbuatan sengaja untuk melucu.
"Kau ini hendak melucu, ya?" bentaknya.
"Wah, tidak, Pak," jawab Jennings. Ia terkejut, karena rupanya Pak Wilkins salah
sangka. Ia bersungguh-sungguh, dikira ingin melucu.
"Kalau begitu jangan suka omong kosong. Aku tidak buta. Aku punya mata. Aku bisa
melihat tinta yang tumpah. Aku tidak melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada."
"Seharusnya memang begitu, Pak-tapi bagaimana jika Anda menarik kesimpulan yang
sebenarnya keliru" Bagaimana jika orang lain yang menumpahkan, dan bukan Anda"
Sudah cukupkah jika orang itu mengatakan, 'Maaf, maaf', seperti Anda tadi" Atau
karena orang itu bukan Anda, apakah Anda akan marah karenanya?"
Kini Pak Wilkins merasa pasti bahwa anak itu hendak mempermainkan dirinya. Seisi
kelas tahu bahwa Pak Wilkins gampang sekali dipancing kemarahannya, dan mereka
sudah sering melakukannya untuk meramaikan suasana pada waktu-waktu belajar
siang hari yang biasanya membosankan itu. Dan Pak Wilkins paling tidak tahan
jika dipermainkan. "Aku-aku-aku-kau-kau-cukup sebegitu saja, Jennings," katanya tergagap-gagap.
Lehernya yang nampak memerah merupakan tanda bahaya.
"Tapi sungguh, Pak," kata Jennings tetap berkeras. Saat itu terdengar suara
salah seorang anak tertawa. Suara tertawa itulah, yang merupakan tanda jelas
bahwa anak-anak berniat mempermainkan dirinya, menyebabkan kemarahan Pak Wilkins
meledak. "Kau boleh tinggal di dalam waktu teman-temanmu main sepak bola nanti!" bentak
Pak Wilkins, sementara anak yang tertawa tadi langsung diam. "Dan sekarang
teruskan kerja kalian! Aku tidak mau mendengar apa-apa lagi."
Jennings kaget setengah mati. Ia juga bingung. Tidak salah dengarkah ia tadi" Ia
sama sekali tidak berniat melucu. Dan kini ia dihukum, tapi bukan karena
menumpahkan tinta. Ia bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengakui
kesalahannya. Adilkah itu" Niatnya untuk membeberkan kebenaran tentang kejadian
tinta tumpah dibungkam, dan kini ia mengalami nasib yang begitu gawat!
Padahal ia sudah tidak sabar lagi menunggu, ingin lekas-lekas bisa bermain sepak
bola. Ia kembali menekuni soal-soal matematika yang ada di depannya dengan
perasaan sebal. Kehidupan ini benar-benar tidak adil, gerutunya dalam hati.
"Simpan buku-buku kalian, dengan tenang," kata Pak Wilkins dengan suaranya yang
keras setengah jam kemudian. "Dengan tenang, kataku!" bentaknya dengan suara
mengguntur, ketika salah seorang anak yang duduk di baris depan, karena gugupnya
terlepas pegangannya sehingga tutup sebelah atas meja terbanting dengan keras.
"Baiklah, sekarang kalian pergi ke ruang ganti pakaian dan persiapkan diri untuk
bermain sepak bola. Semuanya, kecuali Jennings! Ia tetap tinggal di sini. Ayo,
cepat sedikit. Di gang nanti jangan berlari-lari. Anak yang dalam waktu lima
menit belum selesai menukar pakaian, tidak boleh ikut bermain."
Seisi kelas bergerak ke luar, berdesak-desak dengan tenang. Agak sulit juga,
harus bergegas tanpa boleh berlari.
Jennings memandang teman-temannya yang pergi dengan perasaan sedih. Tidak enak
rasanya melihat mereka boleh bersenang-senang, kecuali dia sendiri. Padahal ia
sudah berniat akan memamerkan kejagoannya bermain bola kepada mereka. Ia merasa
matanya mulai basah. Dengan cepat dipalingkannya muka, membelakangi teman-teman
yang bergegas keluar lewat pintu kelas.
Pak Wilkins menghampiri meja Jennings. Dengan mata dibelalakkan, ditatapnya
kepala anak yang menunduk itu. Anak-anak baru ini perlu diberi pelajaran! Mereka
harus menyadari apa yang akan terjadi jika mencoba-coba mempermainkan dirinya.
Anak ini tadi pasti merasa akan bisa asyik, menertawakannya. Nah, sekarang ia
boleh tetap tinggal di kelas, biar tahu rasa! Tapi kemudian Pak Wilkins melihat
ada air menetes ke atas meja. Rupanya Jennings sama sekali tidak merasa asyik.
Pak Wilkins terkejut. Jangan-jangan ia bertindak agak terlalu keras. Janganjangan... Meski tingkah-lakunya kasar, sebenarnya Pak Wilkins itu baik hati
orangnya. Ia sendiri menyadarinya, dan karena itu berusaha menyembunyikannya
dengan jalan mengambil sikap keras jika ada yang mencoba-coba menyalahgunakan
wataknya yang sebenarnya baik hati itu.
"Kenapa kau menangis?" tanya Pak Wilkins. Ia meneguhkan hati, menghadapi wajah
yang dibasahi air mata dan sikap yang minta dikasihani.
"Saya tidak tahu, Pak," kata Jennings, sementara air matanya terus bercucuran.
"Kau pasti ingin ikut bermain sepak bola di luar, ya?"
Jennings mengangguk. "Ya, ini salahmu sendiri," kata Pak Wilkins. "Kau mestinya sudah memikirkannya,
sebelum coba-coba melucu tadi."
''Tapi saya bukan hendak melucu," kata Jennings membela diri. "Saya cuma hendak
mengatakan kepada Anda bahwa bukan Anda yang menumpahkan tinta itu."
"Ah! Bukan aku yang menumpahkannya, ya?" tukas Pak Wilkins, Ia sudah mulai naik
darah lagi. "Begitu, ya! Lucu, benar-benar lucu. Kalau kau lebih tahu tentang
perbuatanku daripada aku sendiri, lalu apa yang kulakukan tadi, hahh" Coba
katakan!" "Anda tidak berbuat apa-apa, Pak. Anda tadi cuma masuk dan membuka pintu lebarlebar." "Lalu tinta itu sendiri yang membuka sumbat botolnya dan kemudian muncrat ke
luar" Itu yang hendak kaukatakan?"
''Tidak, Pak." "Aneh! Kalau begitu siapa yang menumpahkannya?"
"Saya, Pak." Pak Wilkins menatap Jennings dengan tajam. Anak itu tidak menimbulkan kesan
seperti hendak melucu. Tapi barangkali ini cuma siasat saja, untuk membuatnya
malu. Karena itu lebih baik ia berjaga- jaga.
"Teruskan," katanya.
Jennings menceritakan segalanya, mulai dari maksudnya meminjamkan buku kepada
seorang teman yang duduk di depan, lalu lemparannya yang agak meleset, sehingga
buku jatuh sekitar setengah meter melewati sasaran, lalu kedatangan Pak Wilkins
yang masuk dengan bergegas-gegas, serta kekeliruannya karena terlalu buru-buru
menarik kesimpulan. "Dan saya tadi cuma hendak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, Pak! Tapi
Anda tidak mengizinkan saya bicara, lalu saya disuruh tinggal di dalam," kata
Jennings mengakhiri ceritanya. Ia berbicara sambil terus mengawasi wajah Pak
Wilkins, untuk melihat bagaimana sikapnya setelah mendengar kejadian yang
sebenarnya itu. Selama Jennings bercerita, wajah Pak Wilkins nampak makin lama makin merah.
Nampak jelas bahwa sebentar lagi ia akan meledak. Dan akhirnya ledakan itu
datang. Terdengar suara yang keras sekali dari mulutnya. Begitu kerasnya, sampai
anak-anak yang sedang berada di ruang ganti pakaian di tingkat bawah juga bisa
mendengarnya. Jennings cepat-cepat merunduk di bangkunya, karena takut terkena
gempa itu. Tapi saat berikutnya ia membuka matanya lebar-lebar karena heran.
Suara keras itu bukan karena marah, tapi geli!
"Huahahaha!" seru Pak Wilkins tertawa. Suaranya menyebabkan pena yang terletak
di atas meja Jennings sampai bergetar.
Jika Pak Wilkins tertawa, kerasnya memang luar biasa. Menurut Pak Carter,
retakan di langit-langit ruang duduk guru disebabkan oleh Pak Wilkins yang pada
semester yang lalu menemukan kalimat yang dianggapnya lucu dalam karangan
tentang sejarah yang ditulis oleh seorang murid dan saat itu sedang diperiksa
olehnya untuk diberi nilai.
"Wah," katanya dengan suara keras, sambil mengusap pipinya yang basah oleh air
mata yang bercucuran karena terlalu banyak tertawa. "Dan aku tadi sempat
mengomeli diriku sendiri karena kikuk, sementara kau ingin mengaku tapi tidak
kuberi kesempatan berbicara! Sana," sambungnya, "pergilah ke bawah dan ganti
pakaianmu. Masih ada waktu kalau kau buru-buru."
''Tapi bagaimana dengan hukuman tadi, Pak?" tanya Jennings. Ia masih agak ngeri,
karena sikap geli guru itu hampir sama dahsyatnya seperti apabila ia sedang
marah. "Apa maksudmu-hukuman?" kata Pak Wilkins. "Urusan itu sudah tidak ada lagi,
setelah aku tahu bahwa kau bukan sengaja hendak melucu."
''Tapi karena menumpahkan tinta, Pak?"
"O, itu maksudmu," kata Pak Wilkins. "Yah, anggaplah memang aku yang
menumpahkannya tadi, hukuman apakah yang menurutmu sepantasnya diberikan
kepadaku?" Jennings berpikir sebentar.
"Saya rasa cukup jika diperingatkannya saja," katanya kemudian.
"Baiklah," kata Pak Wilkins. "Aku setuju saja, jika kau menganggap bahwa itu
hukuman yang selayaknya. Jadi kau mendapat peringatan. Sekarang, cepatlah ke
ruang ganti pakaian, sebelum terlambat."
Jennings tidak menunggu sampai disuruh dua kali. Ia melesat keluar dari ruang
kelas, tanpa mempedulikan segala peraturan sekolah, lari di gang menuju ruang
ganti pakaian. Sambil berlari ia berlatih melakukan tendangan ke arah gawang. Ia mengayunkan
kaki: sepak pojok yang indah, bola melayang di udara, penjaga gawang yang
meloncat hanya bisa menangkap angin, bola melesat masuk dan menghantam jaring di
sebelah dalam gawang. Hore! Jennings membayangkan para penonton bersorak riuh.
"Hebat, Jennings!" seru mereka sambil menepuk-nepuk punggungnya. Jennings
tersenyum dengan sikap merendah. Senyumannya diarahkan pada alat pemadam api
yang digantungkan di dinding. Kemudian ia membayangkan tahap permainan
selanjutnya. Sekarang enaknya tendangan penalti. Ia mempercepat larinya sambil
memasuki tikungan gang untuk menuju ruang ganti. Diayunkannya kaki yang sebelah
kiri, tepat mengenai bola yang ada dalam bayangannya saja. Tendangan ke bola
yang tidak ada, mengenai sesuatu yang benar-benar ada. Dan itu jelas bukan bola.
Tendangan Jennings yang dilakukan dengan sekuat tenaga mengenai tulang kering
Kepala Sekolah, tepat di bawah tempurung lutut.
"Aduh!" jerit Kepala Sekolah, yang nama lengkapnya Martin Winthrop Barlow
Pemberton-Oakes, tapi dikenal dengan panggilan Pak Pemberton-Oakes saja. Ia
sebetulnya tidak gemar menari balet. Tapi sekali ini ia berputar dan mengayunayunkan kaki, persis penari balet yang hebat. Namun pengiringnya bukan musik.
tapi rasa sakit. Ketika rasa sakitnya sudah agak berkurang, dengan hati-hati
diletakkannya kaki yang kena tendangan tadi ke lantai. Ia memandang ke bawah,
untuk melihat apa yang menyebabkan rasa sakit itu.
"Maaf, Pak," kata Jennings. "Saya tidak mengira bahwa Anda akan datang dari
balik tikungan." "Ini sekolah," kata Kepala Sekolah, "bukan tempat bermain-main. Di sini ada
peraturan untuk keselamatan orang-orang yang hendak menikung dalam gang tanpa
ditendang tempurung lututnya. Jadi apabila aku membuat peraturan bahwa anak-anak
tidak boleh berlari-lari di dalam gang, maka aku tidak bisa mengerti apa
sebabnya laranganku itu tidak dipatuhi, dan kujumpai kau melakukan pelanggaran
seperti ini." "Tidak, Pak," kata Jennings.
Kepala Sekolah tidak biasa dipotong apabila sedang berpidato.
"Tidak, Pak" Apa maksudmu dengan 'Tidak, Pak'" Kau tidak sependapat dengan katakataku?" katanya. "Tidak, Pak, eh-maksud saya, saya rasa Anda tidak bisa mengerti-eh-apa yang Anda
katakan tadi, Pak, saya sepenuhnya sependapat, Pak."
"Harap kaucamkan baik-baik, jika aku mengatakan sesuatu, itu bukan pertanyaan!
Aku tidak membutuhkan jawaban atau komentar."
"Ya, Pak-eh, maksud saya-tidak ada komentar, Pak," kata Jennings buru-buru.
"Sekarang kembalilah ke kelasmu, Jennings, dan renungkan nasib anak-anak yang
berlari-lari di dalam gang. Aku tidak mengerti, kenapa kau tidak bisa bertingkah
laku sebagai manusia yang beradab!"
Sementara itu tim-tim sepak bola sudah selesai berganti pakaian dan kini
berbondong-bondong keluar, menuju lapangan. Jennings hanya bisa dengan sedih
memandang mereka dari jendela kelas. HabisIah riwayatnya sekarang! Ia tidak bisa
ikut main hari ini. Dan jika ia terus bernasib seperti sekarang, ia takkan
pernah bisa ikut bermain sepak bola.
Tiga menit kemudian ia masih saja merenung dengan perasaan getir. Tahu-tahu
dilihatnya Pak Pemberton-Oakes muncul di ambang pintu.
"Nah, Jennings," kata kepala sekolah itu, "sudah kaurenungkan kesalahanmu?"
Tempurung lututnya tidak begitu sakit lagi rasanya sekarang. Itu menyebabkan
sikapnya berubah menjadi agak lunak terhadap murid baru tadi. Mungkin anak itu
masih terlalu baru, jadi belum bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan sekolah.
"Sudah, Pak," jawab Jennings.
"Kalau begitu pergilah ke ruang ganti," kata Kepala Sekolah lagi. "Tapi sekali
ini berjalan dengan tenang, ya!"
Jennings sudah hampir saja mengucapkan terima kasih. Tapi tidak jadi, karena ia
takut kalau ucapan itu nanti dianggap sebagai komentar lagi.
"Nah," kata Pak Pemberton-Oakes, "tidak ada yang hendak kaukatakan?"
"Ada, Pak. Terima kasih banyak, Pak."
Guru-guru memang makhluk aneh, kata Jennings dalam hati, sambil berjalan dengan
tenang menuju ruang ganti pakaian. Mula-mula aku dimarahi karena menjawab, tapi
kemudian dimarahi lagi karena tidak menjawab. Wah, ia harus bergegas-gegas jika
masih ingin ikut bermain sepak bola. Teman-teman sudah sejak lama bermain, dan
jika ia tidak dengan segera ada di sana, nanti ia tidak diperbolehkan ikut lagi.
Tidak ada lagi waktu baginya untuk menukar pakaian seperti semestinya, karena
itu mengharuskannya membuka seluruh pakaiannya dulu. Ia lantas hanya membuka
jasnya, lalu memakai sweater sepak bola. Beberapa detik yang berharga terbuang
ketika ia mencoba memakai celana pendek olahraganya di atas celana yang sudah
dipakai. Tapi tidak bisa, karena terlalu sempit.
Akhirnya digulungnya saja pipa celana sekolahnya ke atas, lalu ditariknya
sweater olahraganya yang besar ke bawah sehingga hampir mencapai lutut. Dengan
begitu tidak nampak lagi celana apa yang dipakainya saat itu. Urusan kaus kaki
lebih gampang. Kaus kaki olahraga dipakainya di atas kaus kaki sekolah. Sekarang
tinggal sepatu sepak bolanya saja. Wah, sebentar lagi pasti sudah setengah
permainan! Teman-teman sudah sejak tadi pergi ke lapangan.
Tapi ternyata tidak semuanya. Ketika Jennings membungkuk untuk menyambar sepatu
sepak bolanya, ia melihat Darbishire. Anak itu duduk di lantai, di depan lemari
tempat menaruh sepatu-sepatu sepak bola.
"Sedang apa kau di situ, Darbi?" tanya Jennings.
"Ini, sepatu sialan ini," jawab Darbishire. "Ibuku menyimpulkan tali-talinya
Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sewaktu mengemasi barang-barangku. Tali sepatu yang satu diikatkannya ke tali
sepatu yang lainnya, katanya supaya tidak tercecer-ini bukannya aku tidak mau,"
sambungnya untuk menjelaskan bahwa ia tidak kepingin bermain sepak bola, "tapi
ibuku beranggapan bahwa lebih kecil kemungkinan ada yang tercecer apabila - "
Jennings buru-buru memotong, karena tidak ingin membuang waktu dengan
mendengarkan penjelasan Darbishire.
"Nah, kalau tidak ada yang tercecer, kenapa tidak kaupakai?"
"Aku tidak bisa melepaskan simpulnya," kata Darbishire dengan sedih. "Sudah dua
puluh menit kucoba, kutarik-tarik, tapi semakin keras kutarik, semakin tidak
bisa aku melepaskan ikatan ini."
"Huii, betul, susah sekali melepaskannya sekarang," kata Jennings sependapat,
sambil memeriksa ikatan yang saling berjalin itu. "Kurasa takkan ada yang mampu.
Apa boleh buat, kau terpaksa muncul dengan sepatumu dalam keadaan begitu. Kalau
tidak, bisa kena marah nanti! Kau kan tidak kepingin diomeli?"
Menurut perasaan Darbishire, kemampuannya sebagai pemain sepak bola pasti akan
sangat terganggu apabila ia harus bermain dengan sepasang sepatu yang talitalinya saling terikat erat. Tapi nampaknya tidak ada pilihan lain baginya
kecuali muncul dalam keadaan begitu. Ia memakai sepatu yang sebelah kiri dan
kemudian yang kanan, lalu bergerak beringsut-ingsut dengannya ke pintu. Talitali sepatunya masih memungkinkannya setiap kali melangkah sejauh dua puluh lima
senti. Dengan bantuan Jennings yang membimbingnya, ia berjalan teringsut-ingsut
ke lapangan. Penampilan kedua anak itu benar-benar aneh! Jennings nampak gendut karena baju
sekolahnya yang ada di bawah sweater, dan sweater ini ditarik ke bawah sampai
hampir menyentuh lutut. Jadi kelihatannya seakan-akan ia lupa memakai celana!
Pak Carter sedang sibuk memimpin permainan. Ia tidak mau membuang-buang waktu,
menanyakan kenapa mereka berdua datang terlambat.
"Brown sudah kutempatkan sebagai gelandang tengah, karena kau tadi tidak ada,
Jennings," katanya. "Sekarang kau sebaiknya bermain sebagai-nanti dulu, kulihat
sebentar-kita kekurangan pemain apa?"
Saat itu mereka berdiri dekat gawang. Penjaga gawang di situ, namanya Paterson,
dengan segera menyela. "Bolehkah saya tidak bermain sebagai penjaga gawang, Pak" Saya kedinginan karena
cuma berdiri saja di sini. Dan Jennings mestinya hebat sebagai penjaga gawang,
kalau melihat sweaternya yang seperti itu. Boleh ya, Pak?"
Paterson memang kedinginan kelihatannya. Bulan September di Inggris memang mulai
dingin hawanya, karena sudah musim gugur. Pak Carter menyuruhnya maju ke depan,
sementara Jennings ditugaskan menjaga gawang.
"Dan tadi kukatakan kau harus bermain di mana, Darbishire?" tanya Pak Carter.
"Kata Anda saya harus keluar, Pak," jawab Darbishire.
"Keluar" Ke mana?"
"Saya tidak tahu, Pak. Di luar ke arah kiri-pokoknya begitu kata Anda tadi."
"Ah, sekarang aku ingat lagi," kata Pak Carter. Akhirnya ia mengerti. "Kiri
luar, bukan ke luar ke arah kiri."
Permainan dilanjutkan lagi, dan berlangsung dengan seru. Pak Carter sangat sibuk
memberi petunjuk, sampai tidak sempat melihat Darbishire berjalan teringsutingsut ke arah sayap kiri. Agak lama juga ia baru sampai di tempat yang harus
dituju, dan itu pun dengan bertanya beberapa kali pada pemain-pemain yang lain.
Akhirnya ia sampai ke suatu tempat di dekat garis pinggir sebelah ujung. Di
situlah ia berdiri dengan sikap agak kikuk, tapi jauh dari keramaian anak-anak
yang berebut bola. Gawang yang dijaga Jennings diserang dengan gencar oleh para pemain depan tim
lawan. Dalam waktu empat menit saja ia berhasil delapan kali menyelamatkan
gawang. Tiga kali karena tangkapannya lengket, dan lima kali karena kebetulan.
Ia mulai merasa gerah, karena memakai pakaian rangkap dua. Tapi membuka pakaian
yang membuatnya kepanasan, sama saja artinya dengan mencari perkara. Jennings
mengusap keningnya yang basah berkeringat. Dilihatnya para pemain depan lawan
mulai membangun serangan lagi. Bola bergulir ke arahnya. Dengan mudah Jennings
berhasil menangkapnya. Tapi sebelum sempat mengirim bola ke arah pemain depan
timnya, ia sudah dikepung pada tiga sisi oleh para pemain lawan. Bagaimana
sekarang" Gawang tidak dilengkapi dengan jala. Jadi Jennings lantas memutuskan untuk
bergerak mundur. Sambil terus mendekap bola, ia melangkah mundur melewati garis
batas gawang, mengitari tiang lalu menendang bola jauh ke tengah lapangan. Ia
mendengar bunyi peluit ditiup.
"Gol," seru Pak Carter.
"Mana bisa, Pak," bantah Jennings. "Saya kan berhasil menangkap bola sebelum
melintasi garis gawang."
"Betul, tapi kau kemudian membawanya melewati garis ,ketika kau lari mengitari
tiang gawang," kata Pak Carter menjelaskan.
"Tapi itu kan cuma supaya bola tidak bisa direbut Washbrooke. Saya
menyelamatkannya jauh sebelum itu."
Pak Carter memandang penjaga gawang yang berkeringat itu dengan lebih saksama.
"Kau itu memakai apa?" katanya, lalu datang menghampiri untuk memeriksa sendiri.
"Rompi kemeja, dasi, celana dalam, celana sekolah dengan saku yang menggembungsepatu bola, dua pasang kaus kaki, dan sweater yang terlalu besar, katanya
sambil meneliti. "Kau yakin bahwa kau tidak ingin memakai mantelmu juga
sekaligus?" Jennings berusaha menjelaskan duduk persoalannya Tapi percuma saja. Untuk ketiga
kalinya siang itu ia melangkah ke ruang ganti pakaian, sementara Pak Carter
meniup peluit untuk memulai lagi permainan.
Darbishire merasa senang, disuruh bermain di posisi kiri luar. Di sini bisa
tenang di tengah lapangan, jadi jauh dari tempatnya. Kecil sekali kemungkinannya
ada yang akan mengganggu ketenangannya dengan menendang bola ke tempatnya di
dekat garis pinggir itu. Ia melihat beberapa kuntum bunga yang tumbuh hanya berberapa meter di luar garis
pinggir. Ia ingin memetiknya, tapi tali sepatunya menghalangi niatnya itu.
Biarlah, ia akan pura-pura menjadi tawanan yang dirantai, dan harus menjalani
hukuman sepuluh tahun dalam keadaan begitu... Lamunannya terhenti, karena hal
yang dikiranya takkan terjadi tahu-tahu menjadi kenyataan. Seorang pemain yang
entah mimpi apa mengoperkan bola ke posisi sayap kiri. Bola melayang lurus ke
arah Darbishire. Apa yang harus dilakukannya sekarang" O ya, bola itu harus
ditendang. Ke arah mana tidak menjadi soal, pokoknya bola sialan itu harus
ditendang sejauh mungkin. Mudah-mudahan saja tidak datang lagi nanti.
"Ayo, Darbishire!" seru kapten kesebelasannya. "Cepat, tendang!"
Rasanya terlalu melebih-lebihkan jika dikatakan bahwa Darbishire menendang bola
itu. Bukannya dia tidak mau, tapi tidak sanggup. Ditambah lagi kedua kakinya
tidak bisa bergerak bebas, karena tali kedua sepatunya yang saling terikat
membentuk simpul yang erat. Darbishire mengayunkan kaki kanannya ke belakang,
sejauh yang dimungkinkan oleh talinya. Jadi hanya dua puluh lima senti. Lalu
diayunkannya kaki itu ke depan, sekuat mungkin. Gerakan ke depan itu menyeret
kakinya yang satu lagi. Hasilnya kedua kaki terangkat ke atas, dan Darbishire
jatuh terjengkang sementara bola menggelinding ke luar lapangan.
Anak-anak bergegas menghampiri dan membantunya berdiri lagi. Mereka terpingkalpingkal ketika melihat apa yang menyebabkan anak itu terjatuh.
"Kenapa kau, Darbishire?" tanya mereka. "Kena serangan otak, ya?"
"Ah, tidak," jawab Darbishire. "Aku cuma mengalami hambatan sementara saja."
Pak Carter memandang tali-tali sepatu yang tersimpul erat itu, lalu dengan pisau
sakunya memotong "hambatan sementara" itu.
Dua menit kemudian ia meniup peluit lagi, tanda pertandingan selesai. Saat
itulah Jennings muncul kembali, kini dengan berpakaian olahraga seperti
seharusnya. Ia sudah siap untuk ikut bermain.
5. LATIHAN NYANYI DAN KEBAKARAN
"KURASA aku takkan mungkin bisa masuk Kesebelasan Kedua," kata Darbishire
beberapa hari kemudian, "bahkan meski aku sudah berusaha sebisa-bisaku."
"Kalau aku, jelas akan berusaha agar diterima," kata Jennings. "Aku akan
berlatih mati-matian."
Jennings memang memiliki bakat sebagai pemain sepak bola. Ia agak kecewa hari
Sabtu sebelum itu, ketika diumumkan nama-nama pemain untuk pertandingan melawan'
Sekolah Bracebridge dan namanya sendiri tidak tertera pada pengumuman itu.
Padahal pertandingannya di tempat lawan. Itu jauh lebih mengasyikkan, karena
berarti mengadakan perjalanan dengan mini bus. Belum lagi hidangan sore yang
kemudian menyusul di sana!
"Kau perlu menunjukkan minatmu pada sepak bola, Darbishire. Kalau tidak, temanteman akan menganggapmu anak cengeng."
"Aku punya ide, kalau begitu," kata Darbishire. "Aku akan menjadi reporter
olahraga seperti yang di koran-koran itu. Aku akan melaporkan jalannya
pertandingan-pertandingan kita, untuk dimuat dalam majalah sekolah. Bisa juga
aku nanti menuliskan beberapa petunjuk mengenai cara memperbaiki teknik
permainan, supaya bisa seperti pemain-pemain internasional kita. Dengan begitu
kedudukanku kan bisa penting di kalangan persepakbolaan. Ya, kan?"
Jennings mengiakan dengan nada sangsi. "Asal petunjuk-petunjuk itu hanya
kautulis saja, dan kau tidak mencoba menunjukkan caranya secara langsung,"
katanya. Saat itu mereka sedang menunggu saat latihan paduan suara dimulai. Dalam
latihan-latihan itu anak-anak lebih banyak berlatih menyanyikan lagu-lagu
tradisional pelaut, untuk ditampilkan dalam acara konser penutup semester nanti.
Latihannya dilangsungkan sesudah waktu makan siang. Anak-anak menggemarinya,
karena yang memimpin Pak Wilkins.
Guru itu sebenarnya tidak mengajar musik. Pengetahuan musiknya juga tidak
memadai untuk diserahi tugas sepenting itu. Tapi ia bisa mengiringi lagu-lagu
pelaut, seperti Shenandoah dan A Drunken Sailor dengan piano, meski permainannya
tidak bisa dibilang gemilang. Kalau Pak Wilkins itu pemain profesional,
kemungkinannya dalam waktu tiga bulan saja piano yang dipergunakannya pasti
sudah ambruk. Tapi pokoknya, ia bisa bermain piano! Selain itu Kepala Sekolah
juga mempertimbangkan, suara Pak Wilkins yang lantang itu cocok sekali untuk
menyanyikan lagu-lagu pelaut.
Pak Wilkins memasuki aula dan langsung menuju piano.
"Halaman empat puluh empat, lagu Fire Down Below," katanya dengan suara seolaholah hendak menyiarkan ucapannya itu ke seluruh negeri tanpa menggunakan
mikrofon. Ia membunyikan beberapa nada pembuka.
"Aduh, Pak!" kata Nuttall sambil mengernyitkan muka. Anak itu peka sekali
pendengarannya. "Ada apa?" tanya Pak Wilkins. Tangannya berhenti bermain, di tengah perpaduan
nada-nada sumbang. "Nadanya keliru, Pak. Meleset jauh dari sasaran."
"Ah, menurutku lumayan juga bunyinya," jawab Pak Wilkins. "Paling-paling cuma
sedikit saja melesetnya."
Kata-kata lagu Fire Down Below diiringi bunyi nada-nada piano yang hanya samarsamar saja mirip dengan lagu itu dibawa angin ke telinga Pak Carter dan Kepala
Sekolah, yang saat itu sedang berjalan melintasi lapangan.
"Saya menerima surat lagi dari Pak Jennings," kata Pak Pemberton-Oakes sambil
berjalan. "Ia nampaknya tidak bisa memahami isi surat anaknya yang seminggu
sekali sampai ke rumah. Dan ia juga masih prihatin memikirkan apakah Jennings
sudah bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di asrama dan di sekolah."
Kepala Sekolah itu membanggakan dirinya bahwa ia tahu segala-galanya mengenai
anak-anak yang dititipkan orang tua mereka kepadanya. Karena itu ia agak
menyesal, karena sejauh ini belum sempat untuk secara teliti memperhatikan
Jennings dan segala kebiasaannya. Ia hanya mengetahui bahwa anak itu nampaknya
memiliki kebiasaan menendang tempurung lutut orang lain. Dan itu tidak bisa
cukup untuk memberikan penilaian mengenai wataknya. Dari nada keprihatinan yang
diutarakan Pak Jennings dalam suratnya nampaknya ia menganggap anaknya itu
berjiwa halus dan berperasaan peka.
Pak Carter tidak sependapat. Menurut anggapannya, Jennings itu kehalusan dan
kepekaannya seperti truk. Atau bahkan seperti buldoser. Tahan banting!
"Anak itu bisa disamakan seperti gabus di dalam air," katanya menjelaskan. "Biar
dibenamkan pun, saat berikutnya ia sudah terapung lagi di permukaan."
Kepala Sekolah merasa bahwa ia perlu dengan lebih saksama memperhatikan tingkah
laku Jennings. "Suara aneh apa itu" Berisiknya bukan main! Kedengarannya datang dari aula,"
katanya kepada Pak Carter, sementara lagu Fire Down Below mulai terdengar lagi
setelah anak-anak berhenti sebentar untuk mengistirahatkan paru-paru mereka.
"Itu Pak Wilkins," jawab Pak Carter. "Ia sedang memimpin anak-anak berlatih
paduan suara." "Bagaimana?" kata Pak Pemberton-Oakes sambil menangkupkan tangan di belakang
telinga. "Saya tidak bisa mendengar!"
"Wilkins-latihan paduan suara," kata Pak Carter mengulangi dengan suara agak
dikeraskan. "Kedengarannya seperti suara ribut pada waktu ada kebakaran," kata Kepala
Sekolah. "O ya, saya jadi teringat - kita perlu mengadakan latihan kebakaran,
siang ini juga. Sudah lama kita tidak melakukannya."
Pak Carter melongo. Ia tidak bisa mengerti, bagaimana pikiran Kepala Sekolah
bisa dengan begitu cepat meloncat dari urusan latihan paduan suara ke latihan
bahaya kebakaran. Sementara itu Kepala Sekolah melanjutkan,
"Jika Wilkins sudah selesai menggebuk-gebuk tuts piano dan menimbulkan bunyibunyi aneh itu, kita suruh anak-anak naik ke atas ke ruang tidur mereka, lalu
turun dengan menggunakan tali Davy."
Peraturan mengenai apa yang harus dilakukan anak-anak apabila ada kebakaran
terpasang di semua ruangan tidur di asrama. Latihan mengenainya juga biasa
dilakukan secara teratur. Saat itu anak-anak harus berdiri dengan tenang di sisi
ranjang masing-masing. Apabila gong dibunyikan, mereka harus melakukan berbagai
hal yang sudah ditentukan dalam peraturan, dan setelah itu berbaris dengan
tertib menuruni tangga besar.
Cara turun lainnya adalah dengan menggunakan tali Davy. Alat itu terdiri dari
sebuah kotak baja yang disekrupkan kuat-kuat ke bingkai jendela dan berisi
segulung kabel yang di ujungnya dilengkapi dengan ambin, yakni semacam ban.
Tubuh disusupkan ke dalam ambin itu sampai ke bagian dada. Dengan ambin melilit
dada dan menyangkut pada ketiak, orang yang menggunakannya kemudian bergerak
turun dengan pelan-pelan dari ambang jendela menuju ke tanah, sementara tali
terulur secara otomatis dari gulungannya di dalam kotak baja. Berlatih
menyelamatkan diri dengan menggunakan tali Davy sangat disukai anak-anak yang
tinggal di asrama sekolah itu. Tapi menurut peraturan, penggunaannya hanya
diperbolehkan apabila diawasi para guru.
"Tidak," kata Kepala Sekolah menyambung lagi, "lebih baik tidak kita katakan
kepada mereka untuk menggunakan alat penyelamatan diri itu. Kita katakan saja
tangga tidak bisa dilewati lagi. Biar mereka sendiri mencari akal."
Kepala Sekolah biasa menguji kecerdasan dan daya kepemimpinan anak-anak dengan
cara menyuruh salah seorang dari mereka melihat adanya kebakaran-yang tentu saja
sebetulnya tidak ada - dan melihat apa yang kemudian dilakukan anak itu dalam
menghadapi keadaan darurat yang timbul karenanya.
Begitu anak-anak selesai menyanyikan lagu dengan iringan piano dan juga suara
Pak Wilkins, segera Pak Pemberton-Oakes masuk ke aula dan langsung berbicara
kepada anak-anak yang berkumpul di situ.
"Setelah kalian selesai dengan Fire Down Below," katanya, "sekarang kita mulai
dengan 'api dari atas'."
Dari air muka anak-anak yang berjumlah tujuh puluh sembilan itu Kepala Sekolah
menarik kesimpulan bahwa mereka tidak memahami leluconnya.
"Ya kan, Fire Down Below itu artinya 'Api di Bawah'," katanya menjelaskan. "Kini
kita anggap ada kebakaran di tangga asrama, di luar Ruang Empat. Nah-apakah yang
pertama-tama harus kita lakukan?"
Tujuh puluh delapan anak mengacungkan tangan. Kepala Sekolah melihat bahwa
Jennings tidak ikut mengacungkan tangannya.
"Nah, Darbishire?" kata Kepala Sekolah. "Coba kaukatakan, apa yang harus
pertama-tama kita lakukan ?"
"Kita harus memakai akal, Pak," kata Darbishire. Ia menyebutkan Peraturan No. 1
Dalam Menghadapi Bahaya Kebakaran. "Dan jika dengan akal kita sendiri tidak bisa
ditemukan apa yang harus selanjutnya dilakukan, kita harus memanggil salah
seorang guru dan menuruti petunjuk-petunjuknya. "
"Yah," kata Kepala Sekolah. Ia agak bingung, bagaimana harus menanggapi jawaban
itu. "Tapi bagaimana jika tidak ada guru yang bisa dihubungi?"
Sekali lagi tujuh puluh delapan tangan diacungkan ke atas. Tapi pikiran Jennings
saat itu sedang melayang ke lapangan sepak bola, di mana ia baru saja mencetak
gol ke dalam gawang kesebelasan Australia dalam pertandingan paling seru dalam
waktu sekian tahun. Pak Pemberton-Oakes merasa bahwa saat itu merupakan kesempatan yang sangat baik
untuk menguji kecerdasan Jennings. Ia akan menugaskannya memimpin latihan
kebakaran itu. Ia ingin tahu, apa yang terjadi nanti.
"Kita anggap saja sekarang ini bukan setengah tiga siang, melainkan setengah
tiga dinihari," kata Kepala Sekolah, "dan seorang anak di Ruang Empat-katakan
saja anak itu Jennings-tiba-tiba terbangun."
Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar namanya disebut, menyebabkan Jennings dengan segera kembali dari
lapangan sepak bola di mana pikirannya selama itu berada, dan di mana ia baru
saja melayangkan tendangan ke arah gawang lawan.
"Bagaimana, Pak?" katanya.
"Aku mengatakan, Jennings terbangun dari tidurnya," kata Pak Pemberton-Oakes
mengulangi. "Tapi melihat tampangmu sementara aku sedang bicara tadi, kurasa kau
bukan hanya tidur, melainkan sudah memasuki tahap hibernasi musim dingin.
Betulkah itu?" "Saya tidak tahu, Pak," jawab Jennings. "Saya tidak tahu arti kata hiber-itu,
kata yang Anda sebutkan tadi."
"Istilah itu berlaku untuk makhluk-makhluk seperti kodok, tikus tanah,
kelelawar, dan kelihatannya juga untuk beberapa anak kecil," kata Kepala Sekolah
menjelaskan. "Istilah itu berasal dari kata hibernia dalam bahasa Latin, yang
berarti pemukiman musim dingin. Jadi kata hibernasi berarti" Nah, apa" Coba
kaupikirkan!" Jennings berusaha memikirkan arti kata itu. Tapi pikirannya untuk sebagian masih
mengambang di lapangan sepak bola.
"Nah, Jennings-apa yang dilakukan kelelawar di musim dingin?"
"Kelelawar, Pak" Di musim dingin" Menggigil kedinginan, mestinya."
Jawaban konyol itu tidak diacuhkan oleh Pak Pemberton-Oakes. Ia melanjutkan
penjelasan tentang latihan bahaya kebakaran yang akan diadakan. Jennings, yang
terbangun dari tidurnya saat dinihari, mencium bau asap. Rupnya api sudah
berkobar di luar. Ia harus menganggap bahwa saat itu tidak ada guru yang bisa
dihubungi. Ia juga harus membayangkan bahwa tangga untuk pergi ke bawah sudah
ambruk dimakan api. Mampukah ia bertindak dalam menghadapi situasi seperti itu"
Jennings merasa mampu. Tapi ia mengatakan, jika mereka harus menganggap ada
kebakaran, dan tangga yang ambruk hanya terjadi dalam pikiran saja, maka menurut
akal sehat mereka kan juga bisa membayangkan bahwa mereka cepat-cepat mengenakan
pakaian dari bahan asbes yang tahan api. Atau kalau tidak, membayangkan bahwa
mereka meloncat ke bawah, di mana sudah dibentangkan kain lebar yang dipegang
oleh orang banyak. ''Tidak bisa," kata Kepala Sekolah. "Sesudah membayangkan bahwa ada kebakaran,
tindakan selebihnya harus dilakukan tepat seperti kalau benar-benar ada
kebakaran. Tepat seperti keharusannya - mengerti" Peraturan-peraturan harus
sepenuhnya ditaati dalam latihan ini."
''Tapi, Pak - " "Tidak ada tetapi-tetapi. Ini pengujian inisiatifmu, Jennings. Kau kuberi waktu
beberapa menit untuk menyimak peraturannya dan untuk memikirkan langkah-langkah
tindakan. Sesudah itu kaubunyikan gong tanda kebakaran, Aku ingin tahu,
bagaimana hasilnya nanti."
Begitu anak-anak sudah berada di tingkat atas bangunan asrama yang merupakan
ruang-ruang tidur mereka, Jennings langsung mulai mengatur.
"Sekarang pakai piama kalian," katanya. "Kita kan diharuskan berhibernasi, lalu
nanti waktu bangun tahu-tahu ruangan sudah penuh asap."
"Asyik," kata Darbishire. "Aku punya usul! Kita basahi handuk kita di bak, lalu
kita bungkuskan ke kepala untuk menutupi hidung. Lalu kita merangkak-rangkak
dengan kepala dekat ke lantai. Asap kan selalu naik ke atas. Jadi dekat lantai
tidak begitu banyak asapnya."
"Itu ide yang bagus," kata Atkinson. "Kita nanti pura-pura mencari jalan keluar.
Tapi asap terlalu tebal! Jadi kita merangkak-rangkak terus di lantai, karena
tidak bisa melihat di mana letak pintu."
Di dinding ditempelkan selembar kertas berisi peraturan yang harus diikuti jika
ada kebakaran. Peraturan itu ditulis dengan mesin tik. Jennings mengambil kertas
itu lalu membacakan isinya dengan suara keras:
"Anak yang melihat adanya kobaran api pada malam hari harus membunyikan gong
tanda bahaya. Setelah itu Pak Carter harus diberitahu, dan ia kemudian menelepon
satuan pemadam kebakaran."
"Tapi Kepala Sekolah tadi kan mengatakan kita harus berusaha sendiri
menyelamatkan diri, karena tidak ada guru yang bisa dihubungi," kata Darbishire
membantah. "Bagaimana peraturannya jika keadaannya begitu?"
Jennings membaca lagi. "Jika guru tidak ada, anak-anak harus menggunakan ini... ini..."
"Menggunakan kertas peraturan itu?" kata Darbishire dengan perasaan heran. Aneh,
menghadapi kebakaran dengan kertas!
"Bukan, bukan kertas ini, tapi 'inisiatif. Memberi petunjuk saja memakai katakata sulit! Kenapa tidak dibilang, 'menggunakan akalnya', begitu"!"
Ia melewati baris-baris kalimat selanjutnya, karena dianggapnya membosankan
saja. "Sudahlah, kita mulai saja sekarang," katanya. "Ayo cepat, kita memakai piama
dulu. Sesudah itu buka dan tutup semua pintu dan jendela."
Darbishire diperbolehkannya ikut ke serambi kecil di ujung atas tangga. Ia
menjadi "pembantu pemukul gong". Sambil menuju ke situ Darbishire bercerita
bahwa perlu sekali sikap berhati-hati jika ada kobaran api.
"Ayahku pernah sedang memanggang roti di atas oven gas di dapur," katanya dengan
gaya seperti sedang berdeklamasi, "tahu-tahu roti itu menyala, dan sebelum
ayahku tahu di mana ia berada. terdengar bunyi embusan kencang. 'Wush', begitu
bunyinya, lalu..... "Apa sebabnya ayahmu tidak tahu di mana ia berada?" tanya Jennings.
"Tentu saja ia tahu. Ia sedang memanggang roti di dapur."
"Tapi kau tadi mengatakan, terdengar buny! 'wush' sebelum ayahmu tahu di mana ia
berada" kata Jennings. "Jika ia saat itu sedang ada di dapur, mestinya ia kan
mengetahuinya. Kecuali jika ia hilang ingatan."
"Ah, kau ini ada-ada saja," kata Darbishire. Ia malas menjelaskan bahwa ungkapan
itu sama saja artinya dengan "tahu-tahu". "Apakah tidak sebaiknya kita mulai
saja adanya kobaran api?"
Jennings berpikir-pikir. Segala-galanya harus dilakukan seperti benar-benar ada
kebakaran, dan bukan cuma keisengan Kepala Sekolah saja mengenai bagaimana
sebaiknya mengisi waktu luang anak-anak pada saat mereka tidak harus belajar.
Apabila benar-benar ada kebakaran, Pak Carter pasti akan menelepon satuan
pemadam kebakaran. Tapi masalahnya dalam latihan sekali ini Jennings harus
menggunakan akalnya sebagai ganti inisiatif guru. Kalau begitu Kepala Sekolah
pasti mengharapkan dari dirinya untuk memanggil bantuan. Pastilah itu yang
dimaksudkan olehnya, ketika ia dengan gampang saja menyatakan bahwa tangga sudah
tidak ada lagi karena ambruk dimakan api.
Mungkin Kepala Sekolah sudah memberi tahu satuan pemadam kebakaran dan saat ini
para anggotanya sudah siap sedia dengan mesin kendaraan dihidupkan. Ia tidak
boleh gagal dalam ujian inisiatif ini, kata Jennings.
Darbishire kaget sekali ketika mendengar niat Jennings untuk menelepon kantor
satuan pemadam kebakaran.
"Tidak bisakah itu dilakukan dengan pura-pura saja?" katanya mengusulkan.
"Pura-pura" Huh! Kau kan mendengar apa kata Kepala Sekolah tadi sewaktu aku
mengusulkan bahwa kita pura-pura memakai pakaian tahan api," kata Jennings
sambil mendengus. Berani taruhan, nanti yang pertama-tama dikatakannya adalah,
'Kau sudah mengontak pemadam kebakaran"' "
"Kepala Sekolah tidak begitu bicaranya," kata Darbishire. "Dan jika ia tidak
menanyakan itu-orang-orang dari pemadam kebakaran pasti marah sekali nanti.
Bagaimana jika saat kau menelepon mereka sedang enak-enak duduk sambil minum teh
dan menikmati hidangan yang sedap roti panggang dengan isi daging dan keju,
misalnya" Makanan itu pasti akan sudah dingin apabila mereka kembali lagi dari
sini." "Dari mana kau tahu mereka makan roti panggang dengan daging dan keju?" tukas
Jennings. "Aku tidak tahu, tahu katakanlah..."
"Nah, itu buktinya," kata Jennings dengan mantap. "Selain itu, bagaimana kita
bisa keluar dari sini, apabila lewat tangga sudah tidak bisa lagi?"
Alasan yang dikemukakan Jennings itu menyebabkan Darbishire akhirnya mengalah.
Kedua anak itu sama sekali tidak memikirkan kemungkinan memakai alat penyelamat
yang sudah tersedia, yaitu tali Davy. Mereka belum pernah mempergunakannya. Alat
dari logam yang terpasang di ambang jendela itu mereka sangka alat penghemat
tenaga untuk mengilapkan lantai.
Anak-anak yang lain sudah pernah diberi petunjuk mengenai penggunaannya. Mereka
mungkin bisa menduga apa sebetulnya yang dikehendaki Kepala Sekolah dari mereka.
Tapi sialnya, mereka sama sekali tidak tahu apa yang diniatkan oleh Jennings.
Dengan sepenuh tenaga Jennings memukul gong yang dipegang kuat-kuat oleh
Darbishire. Sementara bunyinya masih menggema ke mana-mana, jendela-jendela di
berbagai ruang tidur terbuka dengan cepat, tali-tali penyelamat mulai terulur ke
bawah dengan membawa anak-anak yang menggantungkan tubuh mereka pada ambin itu
terjadi di semua ruang tidur, kecuali Ruang Empat yang terletak di tingkat
paling atas. Di dalam ruangan itu anak-anak dengan muka terbungkus handuk basah
merangkak-rangkak di lantai, sesuai dengan peraturannya.
Jennings berlari-lari ke kamar Pak Carter. Untungnya kamar itu letaknya juga di
tingkat paling atas. Dengan begitu tidak timbul kesulitan yang disebabkan oleh
tidak adanya lagi tangga yang menuju ke tingkat sebelah bawah. Jennngs mengetukngetuk pintu kamar Pak Carter. Tidak terdengar jawaban dari dalam. Pak Carter
tidak ada di situ, seperti sudah direncanakan.
Jennings menghampiri telepon yang ada di atas meja di kamar itu. Apakah yang
harus dikatakannya kepada satuan pemadam kebakaran" Ah sebaiknya minta saja pada
mereka agar dikirimkan tangga ulur, karena tangga di dalam bangunan asrama sudah
ambruk dan ada beberapa orang anak yang harus diselamatkan di tingkat paling
atas. Jam yang ada di meja Pak Carter menunjukkan waktu pukul tiga kurang sepuluh
menit, ketika Jennings memutar angka sembilan sebanyak tiga kali.
"Di situ kantor pemadam kebakaran?" katanya dengan gaya penting.
*** Stasiun pemadam kebakaran Dunhambury terletak di tengah-tengah kota itu, sekitar
tujuh sampai delapan kilometer dari Linbury Court.
Pangkalan satuan pemadam kebakaran itu biasanya selalu siap untuk beraksi,
terutama apabila kepalanya, Pak Cuppling sedang bertugas. Baginya merupakan
kebanggaan bahwa semua peralatan yang terbuat dari logam selalu digosok bersih
sehingga nampak kemilau, dan selang air digulung dengan sangat rapi.
Pukul setengah tiga siang itu Pak Cuppling pergi untuk memeriksa perlengkapan
yang dipercayakan padanya untuk hari itu. Papan di mana nama-nama para petugas
dan perlengkapan yang tersedia tertulis, sedikit pun tidak memberi petunjuk
kepadanya bahwa ia sebentar lagi akan kaget setengah mati. "Kendaraan pemadam
kebakaran dengan tangga ulur," demikianlah tertera pada papan daftar itu.
"Pimpinan: Kepala Petugas Cuppling. Awak: petugas Long dan petugas Short. "
Tapi ketika Pak Cuppling sampai di tempat kendaraan yang dilengkapi dengan
tangga ulur, pemandangan yang nampak di depannya ternyata tidak sesuai dengan
tradisi kerapian dan kesigapan yang begitu dibanggakan stasiun pemadam kebakaran
itu. Bagian-bagian dari kuningan nampak pudar warnanya, selang air basah dan
kotor, kotak pengisap berlumut, lumpur mengotori spatbor dan kaca jendela. Mata
Pak Cuppling terbelalak. Belum pernah ia melihat kendaraan sejorok itu. Topitopi helm dan sepatu para petugas berserakan di tempat penggulungan selang, di
sela-sela berbagai alat dan kaleng-kaleng bensin.
Orang yang sambil lalu lewat dan melihatnya pasti akan mengira bahwa kendaraan
itu baru saja kembali setelah bertugas memadamkan kebakaran di tempat sampah.
Tapi perkiraan itu keliru. Kehidupan di sekitar Dunhambury benar-benar tenang
dan damai Kalaupun ada kasus yang harus ditangani stasiun pemadam kebakaran di
situ, maka yang terbakar paling-paling tumpukan jerami, atau kebakaran di tempat
pendiangan. Dan untuk menumpas api yang berkobar di kedua tempat itu, tangga
ulur sudah pasti tidak diperlukan.
Kendaraan itu benar-benar hebat. Ditangani secara ahli oleh Kepala Petugas
Cuppling, tangga ulur yang panjang keseluruhannya sekitar tiga puluh meter bisa
dipanjangkan dengan cepat, dan digerak-gerakkan ke depan dan menyamping dengan
lincah, seperti naga laut sedang mengulurkan lehernya yang panjang.
Sayang peralatan yang sehebat itu biasanya hanya dimanfaatkan untuk menolong
kucing-kucing yang naik ke atas atap gereja dan kemudian tidak berani turun
lagi, atau untuk panjatan petugas yang harus membersihkan jendela-jendela
sebelah atas dari stasiun pemadam kebakaran. Tapi begitulah, jenis kebakaran
yang diperlukan untuk bisa memamerkan segala kemampuan kendaraan tangga ulur
itu. Jarang sekali terjadi di daerah pedesaan itu.
Mata Pak Cuppling terkejap-kejap kaget ketika melihat keadaan kendaraan yang
tidak terurus itu. Dengan wajah geram ia pergi mencari anak buahnya.
Petugas Long dan Petugas Short sebenarnya sigap kalau sedang bertugas memadamkan
kebakaran. Tapi mereka mempunyai kebiasaan, menyingkir ke tempat yang sulit
ditemukan apabila menghadapi tugas-tugas biasa yang tidak menyenangkan, seperti
membersihkan kendaraan misalnya.
Pak Cuppling menemukan mereka di dalam menara pengamat kebakaran. Sambil duduk
di atas tumpukan selang, kedua petugas itu sedang menggosok-gosok sebatang pipa
tegak yang terpasang di situ dengan kain lap. Mereka melakukannya berselangseling dengan kesibukan mengisi formulir tebakan hasil pertandingan sepak bola.
"Eh, Anda rupanya yang datang, Archie," kata kedua petugas itu menyapa Pak
Cuppling. "Mau membantu kami, ya?"
Petugas Long, yang lebih dikenal dengan nama julukannya, yaitu Lofty, menyapa
atasannya dengan keramahan yang dimaksudkannya untuk menghilangkan kecurigaan.
Sementara Petugas Short cepat-cepat menyembunyikan formulir tebakannya di dalam
topi petnya. "Tidak ada 'Archie' di sini," balas kepala regu mereka dengan gaya atasan. "Aku
ini Kepala Petugas Cuppling bagi kalian jika aku sedang bertugas. Ingat itu
baik-baik! Dan menurut kalian berdua, kalian ini sedang apa, bersembunyi seperti
ini?" "Bersembunyi?" kata Petugas Long dengan air muka yang memamerkan perasaan
tersinggung. "Siapa bilang kami bersembunyi! Aku dan Shorty sedang menggosok batang pipa
kuningan ini. Mengkilat sekali, kan?"
Tapi atasan mereka tidak terkesan. Ia bertanya kenapa kendaraan tangga ulur
begitu kotor dan berantakan keadaannya. Ia sendiri sedari pagi sibuk terus
memeriksa tiang-tiang sambungan pipa air di kota. Sementara Long dan Short
ditugaskan di kendaraan tangga ulur. Jadi merekalah yang bertanggung jawab atas
keadaannya. Kedua petugas itu lantas menceritakan apa yang mereka lakukan sehari itu pagipagi sekali mereka ditugaskan untuk membawa kendaraan itu ke sungai, untuk
menguji kesempurnaan kerja pompa dan selang-selang air. Saat itu air sungai di
Dunhambury sedang surut. Jadi mereka terpaksa membawa kendaraan itu menuruni
tebing sungai yang berlumpur, agar bisa dekat ke air. Kemudian terjadi hal yang
sangat tidak diharapkan. Roda-roda kendaraan terbenam dalam lumpur. Dalam upaya
membebaskannya kedua petugas itu sendiri akhirnya juga berlumur lumpur, begitu
pula segala sesuatu yang kemudian bersentuhan dengan tubuh mereka.
"Astaga!" tukas atasan mereka, ketika kedua petugas itu selesai dengan laporan
mereka. "Kejadian itu kan tadi pagi! Sekarang ini pukul tiga kurang dua puluh menit, dan
kalian belum berbuat apa-apa untuk membersihkan kendaraan itu. Sebelum segalagalanya bersih kembali, kalian bahkan tidak boleh pergi untuk makan siang. Ayo,
kita harus mulai bekerja sekarang. Segala bagiannya harus kita lepaskan lalu
dibersihkan dan semua selang yang basah digosok dengan sikat sampai bersih, dan
diganti dengan yang kering." Setelah itu ia bergegas mendului, menuju kendaraan
tangga ulur. Ia sudah tidak sabar lagi, ingin lekas-lekas membersihkannya.
Pak Long dan Pak Short, atau Lofty dan Shorty menurut julukan mereka, mengikuti
dengan langkah lebih pelan.
"Sialan, ia berhasil menemukan kita," kata Lofty. "Padahal di menara tadi enak
dan hangat." "Ayo cepat," seru kepala petugas. "Kalian tidak digaji untuk mengobrol saja
sepanjang hari. Semuanya dibuka sekarang ini juga," katanya memberi instruksi.
"Semua harus dibersihkan sebersih-bersihnya. "
Bunyi kelontang-kelonteng logam dan gedebak-gedebuk, ditimpali suara mendengus
dan terengah-engah, menunjukkan bahwa awak kendaraan itu sibuk bekerja
melepaskan bagian-bagian kendaraan tangga ulur yang pelayanan dan
pemeliharaannya merupakan tugas mereka hari itu.
Pak Archie Cuppling memberi contoh kepada anak buahnya. Gerak-geriknya serba
tepat, seperti mesin saja kelihatannya. Hal itu mengingatkan Lofty bahwa ia
perlu memeriksa keadaan karburator. Ia memang montir mesin yang terampil. Dan
sebagai montir yang terampil, ia merasa bahwa apabila pekerjaan di stasiun
pemadam kebakaran mulai tidak menyenangkan, ia berhak menarik diri dari
kesibukan kerja itu dan mengkhususkan diri melakukan tugas yang tenang, seperti
misalnya memeriksa busi dan sebagainya. Itu merupakan cara yang paling baik
untuk menghindarkan diri dari kesebalan mencuci selang air dan menggosokgosoknya sampai bersih. Soalnya, tidak ada yang bisa membantah bahwa mesin
kendaraan harus selalu berada dalam keadaan siap jalan. Tapi sekali ini
siasatnya itu gagal. "Ayo keluar dari situ," kata Pak Cuppling kepada Lofty yang sudah membungkukkan
Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepalanya ke bawah kap mesin. "Itu bisa nanti kaulakukan, jika selang-selang ini
sudah kita gosok sampai bersih."
Perasaan Lofty sebagai montir kendaraan yang baik tersinggung mendengarnya.
"Tapi penyemprot pada karburator tersumbat," katanya mencoba membantah. ''Tadi
ketika kembali dari sungai kami mogok-mogok terus. Jika tidak kubersihkan, nanti
bisa repot jika tiba-tiba harus bertugas."
Karburator kendaraan tangga ulur itu memang menyebabkan kendaraan berulang kali
mogok pagi itu. Tapi Petugas Long sudah begitu sering mencari-cari alasan
seperti itu jika sedang malas bekerja. Karenanya Pak Archie Cuppling tidak
memperdulikannya. Walau Lofty terus memprotes, Ia tetap saja disuruh membantu
menurunkan berbagai bagian kendaraan itu.
Sementara itu berbagai macam bagian kendaraan . dan peralatan sudah bertumpuktumpuk di lantai. Pak Cuppling menyuruh kedua anak buahnya mengeluarkan semua
selang air yang kotor ke pekarangan.
"Astaga, kita ini seperti sedang melakukan pembersihan di musim semi saja," kata
Pak Short alias Shorty menggerutu. "Harus kukemanakan sepatu-sepatu kita" Di
sini tidak ada tempat lagi."
"Bawa saja ke sana, ke dekat dinding," jawab atasannya. "Nanti kita cuci dulu,
sebelum ditaruh lagi di sini."
Shorty berjalan dengan langkah santai ke tempat yang ditunjuk oleh atasannya
sambil membawa. sepatu-sepatu karet mereka yang berlaras tinggi. Sepatu-sepatu
itu dilemparkannya ke lantai, bersebelahan dengan beberapa bel as sepatu
lainnya, milik para petugas pemadam kebakaran yang juga ditempatkan di situ.
Tiba-tiba ia teringat pada sesuatu.
"He,:' serunya pada Pak Cuppling, "tidak perlukah kita memberi tahu ruang
kontrol bahwa tangga ulur saat ini tidak bisa dipakai" Bagaimana jika tiba-tiba
ada panggilan tugas?"
Saat itulah Kepala Petugas Cuppling melakukan kekeliruan.
"Itu tidak, perlu kaujadikan pikiran," katanya. "Tangga ini sudah tiga tahun
tidak pernah lagi dipakai untuk keperluan memadamkan kebakaran. Jadi takkan apaapa jika tidak siap pakai selama seperempat jam saja." Setelah itu, dengan
memamerkan semangat yang luar biasa, diangkatnya tiga gulung selang yang basah
sekaligus, lalu berlari-lari dengannya ke pekarangan. Lofty langsung lemas
melihatnya. Akhirnya segala perlengkapan sudah diturunkan dari kendaraan tangga ulur itu.
Kepala Petugas Cuppling benar-benar luar biasa. Dengan cepat disingkirkannya
lumpur Sungai Dun dari tubuh kendaraan. Bunyi air yang bepercikkan di pekarangan
menunjukkan bahwa Petugas Long dan Short, setelah merentangkan selang-selang yang kotor, kini sedang sibuk mencucinya dengan air dan menggosok-gosok dengan
sikat. Tepat sembilan menit sebelum pukul tiga, lonceng-lonceng berdering. Bunyinya
terdengar sampai jauh, dan mengisyaratkan adanya kejadian penting.
Petugas Long yang saat itu sedang menyalakan rokoknya, langsung tertegun.
"Ada kebakaran," katanya, meski kedua petugas yang lainnya juga sudah tahu.
'Tapi kita takkan perlu ikut berangkat," kata Petugas Short yang berdiri sambil
bertelekan pada gagang sapu yang sedang dipegang olehnya.
Sudah merupakan hal yang biasa di kota itu bahwa kendaraan tangga ulur tidak
pernah diperlukan apabila ada kebakaran di situ. Dan awaknya tidak perlu ikut
melakukan tugas pemadaman. Mereka hanya perlu selalu siap di kendaraan itu.
Karenanya Pak Cuppling dan kedua bawahannya tetap tenang saja. Mereka hanya
memperhatikan dengan santai sementara petugas-petugas yang lain datang berlarilari dari berbagai arah, menanggapi panggilan lonceng-lonceng yang berdering
terus. Ada yang meluncur turun lewat tiang dari ruang istirahat di tingkat atas
stasiun, ada yang muncul dari pintu. Di mana-mana nampak kaki berlari-lari,
dengan cepat disusupkan ke dalam sepatu-sepatu karet berlaras tinggi, sementara
lengan-lengan bergerak dengan cepat mengenakan mantel dinas.
Sementara Lofty dan Shorty melenggang dengan santai memasuki garasi tempat
kendaraan, para petugas yang lainnya bergegas naik ke kendaraan-kendaraan tempat
tugas masing-masing. Sesaat kemudian nampak orang muncul berlari-lari dari ruang kontrol. Orang itu
Kepala Petugas Archie Cuppling. Wajahnya dengan jelas menampakkan kepanikan.
'Tangga ulur!" serunya sambil berlari. "Cepat! Cepat! Kita harus bertugas!"
Kedua anak buahnya melongo. Tapi pesan yang tertulis di kertas yang ada di
tangannya menegaskan bahwa itu memang benar. "Sekolah Linbury Court," begitulah
tertulis di kertas itu. "Orang-orang terjebak di lantai tiga. Diperlukan tangga ulur untuk menyelamatkan
mereka." "Kita tidak mungkin bisa berangkat," kata Shorty dengan gugup. "Segala
perlengkapan kita berserakan begini. Apa yang harus kita lakukan sekarang ?"
"Naikkan semuanya lagi! Cepat!" teriak atasannya. "Cepat! Cepat! Ayo, Kawankawan, bantu kami," serunya kepada para petugas lain yang sementara itu turun
lagi dari kendaraan-kendaraan mereka dan melepaskan sepatu karet yang tadi
dipakai dengan buru-buru. "Nyalakan mesin, Shorty. Kita sudah membuang waktu
satu menit!" Tidak ada alasan yang bisa membenarkan keberangkatan yang terlambat jika ada
panggilan untuk memadamkan kebakaran. Pak Cuppling sudah panas-dingin rasa
tubuhnya karena malu. Ia seharusnya senantiasa berjaga-jaga menghadapi
kemungkinan seperti itu. "Cepat! Lebih cepat lagi!" katanya membakar semangat anak buahnya, sambil
memimpin mereka menaikkan segala perlengkapan ke atas kendaraan. "Taruh di mana
saja untuk sementara. Nanti baru kita atur, kalau sudah tiba di sana. Ayo, kita
harus segera berangkat!"
Seluruh petugas yang sedang dinas di stasiun bergegas-gegas ikut membantu. Tapi
Kepala Petugas Cuppling mengalahkan mereka semua.
Dan sekitar dua menit kemudian sebagian besar dari perlengkapan sudah ada di
atas kendaraan. Lofty duduk di kursi pengemudi. Jari tangannya menekan starter.
Tapi mesin kendaraan itu tidak mau hidup.
"Tidak bisa," serunya, entah kepada siapa. "Karburatornya sih, tersumbat."
"Ada apa?" seru Pak Cuppling, mengalahkan bunyi kelentang-kelenting perlengkapan
yang masih terus dinaikkan ke atas kendaraan.
"Mesinnya tidak mau hidup."
"Harus mau! He, yang lain-lain, tolong dorongkan!"
Para petugas yang tidak harus berangkat berkumpul di sekeliling kendaraan tangga
ulur itu. Mereka mendorong kendaraan yang berat itu sampai di lereng di depan
stasiun. ''Tunggu, tunggu dulu," seru Shorty.
"Kita tidak bisa menunggu lagi," jawab Pak Cuppling.
"Tapi kita belum memakai sepatu dinas."
"Apa?"seru Pak Cuppling kaget.
''Tadi Anda katakan kami harus membukanya dan kami..."
"Baiklah. Stop' stop!" seru Pak Cuppling, sementara para petugas yang selebihnya
mulai mendorong kendaraan menuruni lereng. "Cepat turun, Shorty. Kau yang tahu
di mana sepatu-sepatu itu tadi kauletakkan."
Petugas pemadam kebakaran Shorty lari bergegas-gegas. Dengan napas tersengalsengal ia sampai di tempat sepatu-sepatu karet berlaras tinggi yang ditaruh
dekat dinding. Sepatu-sepatu yang tadinya diatur berderet rapi nampak acakacakan sekarang. "Sudah, jangan pilih-pilih lagi," seru Pak Cuppling dari luar. "Ambil saja tiga
pasang yang terdekat. Ayo cepatlah sedikit! Sudah lima menit nih, sejak loncenglonceng berbunyi tadi!"
Pak Shorty meraup sejumlah sepatu karet lalu buru-buru naik ke atas kendaraannya
lagi yang kemudian didorong menuruni lereng. Mesinnya terbatuk-batuk sebentar,
lalu hidup. Kendaraan itu mulai bergerak menyusur jalan besar di kota itu sambil
terbatuk-batuk dan tersentak-sentak. Kecepatannya sekitar 25 kilometer per jam.
Padahal pedal gas sudah ditekan dalam-dalam, sampai menyentuh lantai. .
Mereka tadi memerlukan waktu enam menit, barulah kendaraan bisa berangkat. Apa
kata kepala stasiun nanti" Pak Cuppling yang sudah berkeringat, semakin banyak
keringatnya yang mengucur ketika membayangkannya. Kemudian ia teringat pada
urusan yang lebih gawat: Diduga, ada orang-orang terjebak di lantai paling atas.
Aduh, gawat! Dan dengan mesin kendaraan yang ngadat seperti ini, kecepatan
paling tinggi yang bisa dicapai hanya dua puluh lima kilometer per jam. Padahal
jarak yang harus ditempuh, tujuh sampai delapan kilometer!
Tiga tahun lamanya Kepala Petugas Cuppling mengharap-harapkan datangnya
penugasan seperti ini. Ia membayangkan akan sudah. siap dan berangkat dalam
waktu tidak sampai tiga puluh detik; lalu meluncur ke tempat kejadian dengan
kecepatan lebih dari seratus kilometer per jam.
Aksi penyelamatan berlangsung dalam waktu lebih singkat dari yang diperkirakan,
sementara tangga ulur bekerja dengan mulus ditangannya yang terampil. Tapi
kenyataannya sekarang" Segala-galanya kacau. Mungkin pangkatnya nanti
diturunkan! Itu paling sedikit. Dan bagaimana jika... Keringat dingin membasahi
kening Pak Cuppling ketika ia membayangkan orang-orang yang terjebak dan saat
itu dengan perasaan cemas menunggu-nunggu kedatangannya.
Ia mengeluh sementara kendaraan tangga ulur itu berjalan dengan mesin terbatukbatuk, lewat di depan gereja. Dilihatnya jam besar di menara gereja menunjukkan
waktu pukul tiga lewat satu menit.
'Tidak bisa kaupercepat jalannya sedikit, Lofty?"
Tapi Lofty sudah berusaha sebisa-bisanya. Pak Cuppling hanya bisa marah-marah
pada dirinya sendiri. Ia menyesali kerajinannya tadi, yang kini ternyata membawa
kesulitan baginya sendiri.
Bayangkan, apa yang akan terjadi dengan dirinya jika ia tahu bahwa sebenarnya
sama sekali tidak ada kebakaran di tempat yang saat itu sedang dituju.
6. SULAP TALI GAYA BARU KEPALA SEKOLAH memperhatikan deretan anak-anak yang berbaris di hadapannya di
lapangan bermain. "Pak Carter," katanya, "Anda belum selesai juga mengabsen mereka?" .
"Semuanya sudah hadir, kecuali anak-anak dan Ruang Empat," kata Pak Carter.
"Saya tidak tahu kenapa mereka belum muncul."
Kepala Sekolah memandang arloji tangannya sekilas."
"Sudah pukul tiga." Ia berdecak-decak. Paling tidak sudah sepuluh menit yang
lalu gong dibunyikan. Apa yang sedang mereka lakukan, sampai bisa begini lama?"
Sejak bunyi gong tanda latihan dimulai, Kepala Sekolah, ditemani Pak Carter dan
Pak Wilkins, memperhatikan anak-anak dari ruang-ruang tidur lainnya
menyelamatkan diri secara tertib, dengan menuruni tali penyelamat. Semua
berlangsung sesuai dengan rencana, kecuali belum adanya anak-anak dari Ruang
Empat yang tidak diketahui sebab-sebabnya. "
"Coba Anda periksa sebentar ke dalam, Carter, kata Kepala Sekolah.
Pak Carter bergegas masuk ke dalam gedung lalu menaiki tangga ke tingkat atas.
Ia menemukan Jennings seorang diri, berdiri di serambi di ujung atas tangga.
"Wah, Anda tidak bisa naik lewat tangga, Pak," kata Jennings. "Tangga sudah
ambruk, dan ada lubang besar di tempat Anda berdiri...."
Pak Carter memotongnya. "Apa saja yang kalian lakukan selama ini?" tukasnya. "Mestinya semua kan sudah
di luar sekarang!" "Saya tadi ke kamar Anda, seperti yang ditulis dalam peraturan tentang
kebakaran. Tapi karena Anda tidak ada di sana, saya lantas melakukan hal yang
pasti Anda lakukan jika Anda tadi ada."
"Lalu apa yang menurutmu akan kulakukan jika aku ada?"
"Menelepon pemadam kebakaran, Pak," jawab Jennings.
Baru beberapa detik kemudian Pak Carter berhasil memahami makna ucapan itu. "itu
memang pasti kulakukan, jika benar-benar ada kebakaran..." Ia berhenti, karena
saat itu barulah dipahaminya apa yang sudah terjadi.
"Jennings! Maksudmu - apa sebetulnya yang sudah kaulakukan?"
"Hanya apa yang dikatakan Kepala Sekolah, Pak, tentang menggunakan akal. Kan
tadi kami disuruh membayangkan, dan sebagainya."
"Ah, membayangkan!" kata Pak Carter mengulangi dengan nada lega. "Untunglah! Aku
sempat kaget." Ia tenang kembali, karena Jennings ternyata hanya membayangkan
saja. Jadi hanya berpura-pura. "Sesaat kukira kau benar-benar menelepon pemadam
kebakaran!" Pak Carter tertawa.
"Tapi saya tadi benar-benar menelepon ke sana, Pak. Sebentar lagi pasti sudah
tiba di sini." "Jennings! Anak konyol!" Pak Carter kaget lagi. "Cepat, katakan apa yang
sebenarnya sudah terjadi!"
Jennings mengatakannya. Ia bercerita dengan bangga bahwa setelah berhasil
memahami maksud Kepala Sekolah-tangga yang tidak bisa dipakai karena ambruk
dimakan api, guru yang tidak ada, bangunan yang sudah penuh dengan asap-ia
menarik kesimpulan bahwa satu-satunya cara menyelamatkan diri yang, paling aman
adalah dengan menggunakan tangga ulur. Dan tangga itu ada di stasiun pemadam
kebakaran. "Aduh, gawat!" keluh Pak Carter.
"Ada apa, Pak?" tanya Jennings. "Apakah perbuatan saya itu tidak benar?"
"Benar" Kita pasti akan dihukum nanti. Mempermainkan petugas, memberi tanda
bahaya palsu!" Rasa bangga Jennings langsung lenyap ketika mendengar omelan Pak Carter tentang
perbuatannya memanggil pemadam kebakaran, padahal tidak ada bahaya apa-apa. Hati
anak itu semakin kecut ketika guru itu melanjutkan dengan penjelasan tentang apa
sebetulnya dimaksudkan oleh Kepala Sekolah. Aduh, itu rupanya yang dimaksudkan
dengan memakai akal! Sama sekali tak terpikir olehnya untuk menggunakan tali
Davy. Pak Carter mengeluh. Tidak ada lagi yang bisa diperbuatnya sekarang. Sudah
sepuluh menit berlalu sejak anak konyol itu menelepon untuk memanggil bantuan.
Jadi setiap saat akan bisa terdengar bunyi sirene, tanda datangnya awak satuan
pemadam kebakaran yang siap untuk memerangi kobaran api yang sebenarnya tidak
ada. Pak Carter bisa membayangkan kata-kata yang terlontar dari mulut mereka
nanti, jika diberi tahu bahwa tangga dari kayu ek yang kokoh di mana mereka
nanti berdiri sudah tidak ada karena ambruk dimakan api!
Kepala Sekolah juga pasti hanya bisa geleng-geleng kepala kalau diberi tahu
tentang penafsiran Jennings terhadap instruksinya. Satu-satunya harapan yang
masih tersisa adalah kemungkinan bahwa pemadam kebakaran tidak datang. Saat itu
sudah pukul tiga lewat tujuh menit. Bunyi sirene kendaraan pemadam kebakaran
belum juga terdengar. Mungkinkah mereka tidak berangkat, karena curiga mendengar
suara anak-anak yang menelepon meminta mereka datang" Kemungkinan itu sangat
kecil. Tapi dalam keadaan seperti yang dihadapi, kemungkinan yang sekecil apa
pun pasti diharapkannya akan bisa terjadi.
Sementara itu Jennings sudah menyadari besarnya akibat yang akan timbul karena
perbuatannya tadi, menelepon pemadam kebakaran.
"Bisa saja mereka tidak datang," katanya berharap. "Kata Darbishire, mereka di
sana siang ini makan enak. Jadi kebakarannya pasti harus dianggap penting sekali
sebelum mereka mau meninggalkannya - hidangan enak itu, maksud saya, bukan
kebakarannya! Dan Darbishire mestinya bisa dipercaya, karena ayahnya sudah
sangat berpengalaman dengan urusan kebakaran, ketika ia sedang memanggang roti
misalnya, Pak." Kalau Pak Carter sempat memperhatikan kata-kata yang diucapkan oleh Jennings, ia
pasti bingung karena tidak mengerti ujung pangkalnya. Tapi ia saat itu sibuk
dengan pikirannya sendiri.
"Jika dalam beberapa menit mereka belum muncul juga," katanya, "ada kemungkinan
mereka takkan datang." Tapi ia mengatakan tanpa keyakinan dalam nadanya.
Pak Pemberton-Oakes termasuk orang yang sabar. Tapi ia tidak bisa menunggu
sepanjang hari. Sudah sekian menit yang lalu Pak Carter pergi memeriksa misteri
anak-anak Ruang Empat yang lenyap. Tapi sampai sekarang guru itu belum juga
muncul kembali. Sekali itu Pak Pemberton-Oakes tidak mementingkan gengsinya
sebagai kepala sekolah yang berwibawa. Ia lari menaiki tangga. Sesampai di
serambi ujung atas tangga di lantai satu, nyaris saja ia bertubrukan dengan Pak
Carter. "Ah, Anda datang," kata Pak Carter menyambut. "Nampaknya telah terjadi salah
pengertian di sini, dan singkatnya yang terjadi adalah - "
"Kita tidak punya waktu untuk penjelasan, Carter," kata Kepala Sekolah memotong.
"Saya sudah bertekad hendak menyuruh anak-anak dari ruangan itu melakukan
latihan menyelamatkan diri, dan kalau begini terus, hari pasti sudah gelap
apabila urusan ini akhirnya selesai. Sekarang Anda ke lapangan saja untuk
mengawasi anak-anak yang sudah ada di sana. Dan tolong panggilkan Wilkins, suruh
dia kemari!" Pak Carter mengangkat bahu. Ada kemungkinan sebentar lagi terjadi keributan,
jika satuan pemadam kebakaran tiba dan melihat bahwa di situ sama sekali tidak
ada kebakaran. Tapi tidak ada siapa pun juga yang bisa berbuat apa-apa
mengenainya - bahkan Kepala Sekolah pun tidak!
Namun, jika bala bantuan yang diminta datang itu tidak muncul, tidak ada gunanya
ia ribut-ribut tentang soal Jennings menelepon tadi. Setidak-tidaknya, selama
Kepala Sekolah dalam keadaan marah-marah seperti itu. Masih ada kesempatan nanti
untuk menjelaskannya. Pak Pemberton-Oakes buru-buru membuka pintu Ruang Empat. Ia tertegun di ambang,
melihat pemandangan yang ada di depannya. Anak-anak yang menempati ruang tidur
Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu bukannya nampak siap untuk melakukan pengungsian secara tertib. Temple,
Venables, Atkinson, dan Darbishire, dengan piama di luar pakaian sekolah, nampak
merayap-rayap di lantai. Muka mereka diselubungi handuk yang basah kuyup dari
handuk meninggalkan bekas basah di lantai, kelihatannya seperti jejak keong.
Jennings berdiri di depan jendela sambil memandang dengan cemas ke luar. Air
mukanya seperti peramal yang sedang melihat ke masa depan yang buruk.
Wajah Kepala Sekolah langsung mendung. Air mukanya seperti diselubungi awan
gelap. Nada suaranya pun langsung dingin.
"Kenapa kalian merayap-rayap di lantai seperti itu?" tukasnya.
Keempat anak yang merayap-rayap itu berdiri. Darbishire membuka handuk yang
menutupi mukanya. "Asap api tidak begitu tebal jika muka kita didekatkan ke lantai, Pak," katanya.
"Dengan begitu kita bisa bernapas dengan lebih lega."
"Bernapas" Asap" Kau ini bicara tentang apa" Dan apa sebabnya kalian memakai
piama?" "Anda kan mengatakan sekarang ini tengah malam, Pak," jawab Venables.
"Saya yang salah, Pak," kata Jennings sambil datang menghampiri. "Anda
mengatakan kami harus berbuat seolah-olah benar ada kebakaran, dan saya kira
Anda memaksudkan segala-galanya harus dilakukan seperti semestinya, seperti
memberi kabar kepada - begini, Pak, saya menyesal sekali, tapi yang sebenarnya
terjadi adalah - " Jennings bingung, bagaimana sebaiknya menyampaikan berita itu kepada Pak
Pemberton-Oakes. Air muka Kepala Sekolah menyebabkan ia merasa tidak mampu
meneruskan kalimatnya. Tapi ia harus melakukannya!
"Begini soalnya, Pak, jika Anda mengerti maksud saya," sambungnya dengan
bingung, "atau tepatnya..."
'Tepatnya, Jennings, perbuatanmu ini goblok dan tidak bertanggung jawab," tukas
Kepala Sekolah memotong, tidak memberi kesempatan kepada Jennings untuk mengakui
kesalahan yang dilakukannya tanpa sadar bahwa itu merupakan kesalahan. "Ketika
aku menyuruhmu menyelamatkan diri bersama teman-temanmu seruangan ini tadi,
menurut perkiraanmu apa yang kumaksudkan harus kalian pergunakan?"
"Akal kami, Pak," jawab Jennings.
"Ya, ya, itu juga," tukas Pak Pemberton-Oakes dengan nada tidak sabar. "Tapi
selain itu?" "Tali Davy, Pak. Tadi Pak Carter memberi tahukannya. "
"Tepat!" kata Kepala Sekolah. "Kalian ini semuanya benar-benar tidak bisa
diandalkan. Tambahan waktu belajar satu jam malam ini mungkin akan bisa membantu
kalian di masa depan lebih menggunakan otak!"
Sesaat kemudian pintu ruangan terbuka dengan cepat, dan Pak Wilkins bergegas
masuk "Kata Pak Carter saya dipanggil kemari, Yang Mulia!"
"O ya, Pak Wilkins. Anak-anak ini sama sekali tidak tahu bagaimana harus
bersikap pada saat latihan bahaya kebakaran. Tolong jelaskan kepada mereka cara
kerja tali Davy." Setelah itu Kepala Sekolah bergegas keluar. Ia hendak
memeriksa ruang-ruang tidur yang lain, untuk memastikan bahwa pengungsian anakanak dari situ tidak menyebabkan keadaan ruangan-ruangan mereka acak-acakan.
*** Sudah sekitar empat kilometer kendaraan tangga ulur berjalan tersendat-sendat
dengan kecepatan dua puluh lima kilometer per jam. Pak Cuppling melampiaskan
kekesalannya dengan jalan terus-menerus membunyikan sirene. Begitu sudah keluar
dari kota, Lofty memprotes.
"Untuk apa sirene dibunyikan terus-menerus. Jalanan kan sepi," katanya. "Dengan
sirene pun kendaraan ini tetap saja tidak bisa lebih cepat jalannya."
Pak Cuppling mengomel. "Sudah seperempat jam sejak stasiun menerima telepon tadi," katanya. "Mestinya
sudah lama kita tiba di tempat kejadian dan melakukan penyelamatan!"
Sementara itu kendaraan itu sampai di ruas jalan yang menanjak. Kecepatannya
menurun, menjadi sepuluh kilometer per jam.
"Kelihatannya mobil ini tidak mungkin sanggup," katanya. "Asal jangan mogok
saja!" Ia menggerak-gerakkan tubuhnya mundur-maju, seperti hendak membantu kendaraan
agar bisa mencapai ujung sebelah atas bagian yang menanjak itu. Tapi
kecepatannya semakin menurun. Terdengar bunyi mesin seperti menghela napas,
terbatuk-batuk sebentar, lalu diam.
Lofty meloneat turun dari kendaraan, membuka kap mesin lalu mengutak-atik
karburator. "Sebentar," katanya sambil memutar obeng.
"Masih empat kilometer lagi," kata Shorty yang ada di belakang. "Ini pelajaran
yang baik bagi Anda, Pak Kepala. Lain kali jangan suruh-suruh kami membersihkan
segala-galanya." "Cukup, Petugas Short!" Pak Cuppling tidak kepingin mendengar omelan tentang
semangat kerjanya yang ternyata membawa kesialan itu.
'Tidak ada gunanya kita duduk-duduk saja di sini, tanpa berbuat apa-apa. Ayo,
kita pakai saja sepatu dinas kita. Dengan begitu bisa menghemat waktu jika sudah
tiba di tempat kebakaran nanti."
Petugas Short mencari-cari dalam tumpukan sepatu karet berlaras tinggi. Ia
menemukan ukuran yang cocok untuk kaki kirinya. Lalu ia mencari-cari lagi,
sementara air mukanya menampakkan kebingungan yang makin lama makin kentara.
"Aneh," katanya, "aku tidak bisa menemukan yang sebelah kanan. Sepatu ini yang
sebelah kiri. Ini juga. Lah, ini juga! Astaga! Yang kubawa semuanya sebelah
kiri. Enam sepatu kiri, tidak satu pun yang kanan!"
Pak Cuppling mengerang. "Anda sih, menyuruh aku cepat-cepat tadi," kata Shorty menyalahkan atasannya.
"Di tumpukan dekat dinding itu ada sekitar dua puluh pasang sepatu dinas yang
campur aduk, dan Anda mengatakan sambar saja enam..."
"Ya deh! Ya deh! Tidak usah mengomel panjang-lebar," tukas kepala petugas
kebakaran dengan sebal. "Apa boleh buat, kita terpaksa memakai yang kiri saja.
Lihat, sudah pukul tiga lewat dua belas menit! Kalau begini terus, pukul
setengah empat nanti belum tentu kita sudah tiba di sana. Cepatlah sedikit,
Lofty! Kan tidak perlu seluruh mesin dibongkar"!"
"Enak saja Anda mengomel-ngomel," kata Lofty kesal. "Coba Anda tadi membiarkan
aku membersihkan mesin dan tidak disuruh-suruh menggosok selang air yang basah,
kita takkan mogok di sini sekarang." ,
Sementara itu Shorty dengan terengah-engah mencoba memasukkan sepatu sebelah
kiri ke kaki kanannya. Sepatu itu kekecilan, sehingga kakinya terasa sakit di
dalamnya. "Huhh!" gerutunya. "Kita kelihatannya seperti orang gila saja nanti, jika muncul
di tempat kebakaran dengan memakai sepatu yang kedua-duanya sebelah kiri!"
"Sudah hebat jika kita bisa sampai di sana," tugas Pak Cuppling. "Jika
kupikirkan bangunan itu terbakar dan orang-orang di dalamnya berteriak-teriak
minta tolong..." "Aduh, gawat!" kata Shorty dengan tiba-tiba. "Baru sekarang kusadari!"
"Apa?" . "Kita tidak membawa selang air."
"Apaa?" Pak Cuppling kaget setengah mati.
"Betul. Selang-selang yang kotor kan tadi kita gelar di pekarangan," kata Shorty
menjelaskan. "Lalu karena kemudian kita semua begitu sibuk mondar-mandir
menaikkan kembali segala perlengkapan, aku lupa mengambil selang bersih dari
gudang." Pak Cuppling tidak bisa berkata apa-apa lagi.
*** Pak Wilkins menunggu sampai anak-anak Ruang Empat sudah selesai membuka pakaian
tidur mereka. Setelah itu ia mulai menjelaskan.
"Sekarang, cara kerja-eh-anu-barang ini sederhana sekali," katanya. "Kotak logam
berbentuk bulat ini berisi gulungan tali. Dan yang menonjol keluar dari celah
ini," sambungnya, "ini namanya ambin. "
"Tapi kelihatannya seperti jerat, Pak," kata Temple.
"Baiklah, disebut jerat juga bisa," kata Pak Wilkins. "Nah, jerat ini pada saat
menggunakan alat ini harus disangkutkan di bawah ketiak. Dan ini-eh, alat inipenyetelan-eh, penyetel ini bisa digerak-gerakkan untuk menyetel. Dengan
perkataan lain..." Pak Wilkins mencari-cari nama yang tepat dari alat itu, tapi
tidak berhasil. "Dengan perkataan lain, penyetel ini bisa disetel."
"Lalu gunanya untuk apa?" kata Temple lagi.
"Gunanya tentu saja ada," kata Pak Wilkins agak kesal. "Alat ini dijeratkan pada
geseran, atau tepatnya digeserkan pada jerat supaya jeratnya tidak kendur
melilit dada, sehingga pemakainya tidak-eh, tidak tergeser keluar dari jerat."
Pak Wilkins merasa bahwa ia tidak berhasil memberikan penjelasan dengan baik.
Meski begitu ia terus saja melanjutkan.
"Sekarang, jerat dan gulungan tali yang satu lagi ini," katanya, "harus dilempar
ke luar jendela sebelum kita memakai alat ini. Jadi sementara pemakainya nanti
turun, jerat yang satu lagi ini naik, siap untuk menurunkan orang berikut. Dan
sementara orang itu turun, jerat kita naik lagi ke atas." Pak Wilkins berhenti
bicara. Dari tampang anak-anak yang ada di depannya nampak jelas bahwa mereka
tidak bisa mengikuti penjelasannya.
"Sudah jelas?" katanya, dengan harapan bahwa anak-anak akan mengiakan.
"Tapi Anda di mana, Pak?" tanya Darbishire.
"Aku" Aku ada di sini," jawab Pak Wilkins. "Aku akan mengawasi kalian berlatih
mempergunakannya." "Tidak, bukan Anda maksud saya, Pak. Maksud saya, saya atau siapa pun yang
pertama-tama turun dengan tali jerat itu. Maksud saya, sewaktu jerat yang
pertama naik lagi ke atas, apakah orang itu tidak ikut naik juga?"
Pak Wilkins memutuskan untuk lebih baik menunjukkan saja penggunaannya secara
langsung. Dipanggilnya Darbishire, lalu dipasangnya ambin atau jerat tali Davy
melilit dada itu, dan dikencangkannya dengan alat penyetel yang menyerupai
gesper. Setelah itu Pak Wilkins membuka jendela dan melontarkan tali yang satu
lagi ke uar, sementara Darbishire memanjat ke ambang jendela. Ia merasa gamang
di situ. Tanah yang nampak di bawah kelihatannya lumayan jauhnya. Tapi jika
anak-anak yang lain bisa melakukannya, Ia rasanya pasti bisa pula. Tapi masih
ada satu hal yang dikhawatirkannya.
''Tapi bagaimana jika tali ini tiba-tiba putus, Pak?"
"Itu tidak apa," kata Temple dengan santai, "nanti kita ganti saja dengan tali
lain." "Tali ini tidak bisa putus, karena terbuat dari baja," kata Pak Wilkins.
"Istilahnya yang tepat, kabel baja."
"Baja itu memang kebal, ya Pak?" kata Temple.
"Bukan kebal, goblok," tukas salah seorang temannya, "tapi kabel."
Anak-anak dari Ruang Empat berkerumun mengelilingi Darbishire yang masih tetap
berdiri di ambang jendela.
"He, Darbi," kata Venables, "kalau kita tidak berjumpa lagi, pisau lipatmu yang
ada empat matanya itu untukku, ya?" Ia nyengir, seperti labah-labah yang melihat
ada lalat tersangkut di jaringnya.
"Jangan suka begitu, ah," kata Darbishire. "Aku takkan apa-apa. Menurut
Ayahku..." "Ayo turun, Darbishire:" kata Pak Wilkins memotong. "Berlututlah dengan kaki
diletakkan agak ke belakang, lalu dorong tubuhmu dengan pelan menjauhi dinding
sementara kau meluncur turun.
"Kenapa harus begitu, Pak?" tanya Darbishire. Ia sudah curiga saja, janganjangan ada sesuatu yang membahayakan.
"Kau harus menghindari tanaman merambat yang tumbuh menempel ke dinding. Kau kan
tidak ingin badanmu tersangkut di situ?"
"Mungkin saya perlu mengucapkan kata-kata perpisahan dulu, Pak, seperti tokohtokoh pahlawan dalam cerita-cerita kuno sebelum mereka berangkat menantang
marabahaya," kata Darbishire. Ia menikmati perhatian yang terarah kepadanya.
"Kau ini mau turun atau tidak?" tanya Pak Wilkins dengan nada tidak sabar.
"Ya, tentu saja, Pak. Saya cuma ingin-yah, selamat tinggal. Teman-teman," kata
Darbishire buru-buru, setelah melihat air muka Pak Wilkins.
"Ini jauh lebih hebat dari apa pun juga yang pernah kulakukan." Ia berlutut
dengan posisi menghadap ke luar, lalu mendorong tubuhnya ke depan. Dengan cepat
ia menghilang dari penglihatan teman-temannya, sementara gulungan kabel kawat
mulai terulur. Tapi sayangnya, Darbishire lupa mendorong dirinya menjauhi dinding dan tetap
berada dalam posisi berlutut. Sebagai akibatnya, lima detik kemudian kakinya
tahu-tahu menyentuh ambang jendela ruangan yang letaknya tepat di bawah jendela
Ruang Empat. Ketika berpikir apa yang harus dilakukan selanjutnya, tiba-tiba ia
mendapat akal. Dengan cepat dibukanya gesper yang menyebabkan jerat dengan erat
melilit dadanya. Dilepaskannya jerat itu dari tubuhnya, lalu ia masuk ke dalam ruangan yang
ambang jendelanya dipijak olehnya. Ternyata ia memasuki Ruang Dua.
"Untung ide ini muncul dengan cepat," kata Darbishire pada dirinya sendiri. Jika
hal yang dilakukannya itu merupakan latihan untuk membiasakan diri menghadapi
kejadian sebenarnya, maka semua harus berjalan seperti seharusnya. Tidak boleh
ada yang kelupaan. Dan karena disuruh bergegas-gegas oleh Pak Wilkins tadi, ia
lupa membawa pisau lipatnya yang bermata empat dan dilengkapi dengan alat
pembuka gabus sumbat botol. Dalam keadaan sebenarnya ia takkan meninggalkan
milik yang disayanginya itu di ruang tidur dengan risiko dimakan api. Untung
saja ia teringat, sementara masih ada waktu untuk mengambilnya. Kabel baja
dibiarkannya tergantung-gantung di luar, dan ia sendiri naik lagi ke lantai atas
lewat tangga. Pak Wilkins heran ketika kabel dari alat penyelamat itu tiba-tiba berhenti
bergerak. Ia menjulurkan kepalanya ke luar untuk melihat apa yang terjadi.
"Astaga!" serunya. Ia melihat jerat tali Davy terayun-ayun pelan dipermainkan
angin, sekitar lima meter di bawah ambang jendela di mana ia berada. Anak yang
mestinya ada dalam jerat di ujung kabel, tidak kelihatan. Anak itu tidak ada di
situ! Pak Wilkins memandang ke tanah. Tapi Darbishire juga tidak ada di situ. Ia
memandang ke kiri, ke kanan, dan bahkan ke atas-meski itu sebenarnya tidak
perlu. "Aku -aku -aku -Apa -apa - apa -Aku tidak mengerti... Mustahil... Ini mestinya
tidak mungkin." Anak-anak berkerumun di dekat jendela dengan heran. Tapi tidak ada yang bisa
mengatakan apa sebetulnya yang sudah terjadi.
"Mungkin ini sulap tali gaya baru," kata Jennings mencoba menebak. "Kalau
biasanya orang yang menghilang ketika memanjat tali ke atas, Darbishire
menciptakan sulapan gaya baru dengan menghilang di ujung tali yang terulur ke
bawah." Saat itu pintu Ruang Empat terbuka dan Kepala Sekolah muncul. Ia sudah selesai
memeriksa ruangan-ruangan asrama yang lainnya. Ia baru saja meninggalkan Ruang
Dua, ketika beberapa detik kemudian Darbishire masuk ke situ.
"Ada apa, Pak Wilkins?" tanya Kepala Sekolah. "Ada yang tidak beres?"
"Untung Anda datang, Pak," kata Pak Wilkins. "Saya melihat sesuatu yang tidak
mungkin, atau tepatnya tidak melihat apa yang seharusnya nampak; bukan sesuatu
yang seharusnya saya lihat-yah, pokoknya Anda mengerti kan, maksud saya?"
Melihat Kepala Sekolah tidak memahaminya, Pak Wilkins lantas berusaha
menjelaskan. Tapi bicaranya begitu gugup, sehingga Pak Pemberton-Oakes tidak mau
percaya. "Lenyap kata Anda, Pak Wilkins?" katanya. "Omong kosong! Itu kan tidak mungkin."
Kepala Sekolah menghampiri jendela lalu menjulurkan kepala ke luar dan memandang
ke bawah, memandang jerat tali Davy yang tergantung tanpa ada Darbishire di
situ. "Astaga!" katanya. "Anda yakin, tadi ia disusupkan ke dalam jerat?"
Pak Wilkins memanggil anak-anak yang ada di ruangan itu sebagai saksi bahwa ia
benar-benar sudah melakukannya.
'Tapi itu kan tidak mungkin," kata Kepala Sekolah. "Kabelnya beres. Jeratnya
beres. Aneh, benar-benar..."
Saat itu pintu ruangan terbuka dan Darbishire melangkah masuk dengan terburuburu. Semua yang ada di ruangan itu terkejut. Pak Pemberton-Oakes yang paling
dulu bisa bicara lagi. "Ke mana kau tadi, Darbishire?" tukasnya.
Darbishire tidak mengerti, apa sebabnya semua yang ada di situ memandangnya
dengan sikap tercengang. "Tidak ke mana-mana, Pak," katanya, "maksud saya tidak ke mana-mana secara
khusus. Saya tadi kan turun dengan tali Davy dan sampai di depan jendela Ruang
Dua, ketika tiba-tiba, sebelum saya tahu di mana saya berada..." Ia tidak
meneruskan kalimatnya. Untung ia pada waktunya teringat bahwa pisau lipatnya
tertinggal di ruang atas. Kepala Sekolah pasti senang sekali mendengar bahwa ia
ingat segala-galanya yang harus dilakukan dalam keadaan bahaya yang sebenarnya.
"Ayo terus," kata Kepala Sekolah mendesak. "Sebelum kau tahu di mana kau
berada...?" "Bukan begitu, Pak," kata Darbishire, "saya tentu saja tahu di mana saya tadi
itu berada. Seperti ayah saya juga, ketika dia waktu itu sedang memanggang roti
di dapur." Pak Pemberton-Oakes tidak melihat sangkut paut ayah Darbishire memanggang roti
Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dapur dengan kelenyapan anaknya secara misterius tadi.
Darbishire menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Tapi alasannya kembali ke
bangunan yang terbakar, ternyata tidak disambut dengan senang oleh Kepala
Sekolah. "Kau naik lagi ke atas?" kata Pak Pemberton-Oakes dengan nada tidak bisa
mengerti. Ia menatap langit-langit dengan sikap putus asa.
"Akan terlalu membebani kecerdasanmukah, Darbishire, jika kuminta kau berpikir
apa sebabnya perbuatanmu kembali ke ruang tidur ini setelah kau tadi
meninggalkannya merupakan kesalahan yang konyol?"
Darbishire berpikir. Mula-mula untuk memahami pertanyaan yang diajukan Kepala
Sekolah dengan kalimat sepanjang itu. Kemudian apa yang dimaksudkan dengan katakata "kesalahan konyol". Masa pisau lipat bermata empat dibiarkan saja ditinggal
di atas, biar dimakan api" Pasti bukan itu penyebabnya, melainkan soal lain.
"Ah, saya mengerti, Pak," katanya dengan gembira. "Saya tadi kembali kemari
lewat tangga. Padahal tangga itu kan sudah ambruk! Ya, memang, itu memang
kesalahan yang konyol. Tapi nanti dulu, Anda tadi sewaktu kemari kan juga lewat
tangga itu, pak! Jadi kita sama-sama melakukan kesalahan konyol, ya, Pak?"
"Kau kadang-kadang bisa benar-benar bodoh, Darbishire!" tukas Kepala Sekolah.
"Kesalahan yang kaulakukan tadi adalah masuk lagi ke bangunan yang dianggap
sedang terbakar. 'Nyawa lebih penting daripada harta benda'! Itulah semboyan
yang dianut semua petugas pemadam kebakaran yang baik."
"Aduh, ampun!" seru Jennings dengan tiba-tiba. "Aku sampai lupa tentang pemadam
kebakaran itu." Ia memutar kepalanya sambil hampir terbalik letaknya, untuk
melihat arloji yang melilit pada pergelangan tangan Pak Wilkins. Ternyata saat
itu pukul tiga lewat dua puluh satu menit.
"Sekarang sudah jelas, mereka takkan datang," katanya pada diri sendiri.
Tapi Jennings keliru. Sekitar empat kilometer dari situ, Petugas Long sudah
menyelesaikan pekerjaannya membereskan mesin kendaraan tangga ulur yang mogok di
tengah perjalanan. Ia memerlukan waktu lebih lama dari yang diperkirakannya. Dan
keterlambatan itu menyebabkan atasannya, Kepala Petugas Cuppling, semakin marahmarah. Pukul tiga lewat dua puluh dua menit Lofty bergegas naik ke kendaraan dan duduk
di belakang setir, lalu menekan starter.
"Sekarang sudah beres," katanya. Mesin langsung hidup, dan kendaraan itu mulai
meluncur Makin lama makin laju: tujuh puluh lima, sembilan puluh, seratus
sepuluh kilometer per jam. Tapi kecepatan seperti apa pun tidak bisa melenyapkan
keterlambatan yang sudah terjadi. Pasti sudah pukul tiga lewat dua puluh lima
menit apabila mereka nanti tiba di Linbury. itu berarti dibutuhkan waktu tiga
puluh empat menit untuk tiba di tempat kebakaran, sejak panggilan masuk di
stasiun! Tatapan mata Petugas Long terpaku ke jalan dan tangannya melekat pada setir.
Tapi lidahnya tetap saja longgar.
"Sekali ini benar-benar habis riwayat Anda, Kepala Petugas Cupling!" serunya.
Suaranya nyaris tak terdengar, dikalahkan bunyi sirene yang mengaing-ngaing.
"Semuanya berantakan gara-gara Anda. Datang terlambat setengah jam di tempat
kejadian, tanpa selang air dan semua memakai sepatu yang. sebelah kiri saja. Aku
tidak ingin jadi Anda jika kita kembali di pangkalan nanti."
"Aku tidak peduli nanti jadi siapa," kata Shorty sambil berpegangan kuat-kuat ke
tangga, "yang jelas kakiku sakit sekali rasanya!"
Lari kendaraan semakin laju, melesat untuk menunaikan tugas menyelamatkan nyawa.
7. KETEGANGAN DAN PENGAMPUNAN
"PAKWILKINS," kata Kepala Sekolah setelah selesai mengomeli Darbishire, "anakanak ini kelihatannya sama sekali tidak mengerti apa yang diharapkan dari mereka
dalam keadaan darurat. Tolong Anda tunjukkan cara turun yang benar dengan
mempergunakan tali Davy."
"Baik," kata Pak Wilkins. Ditariknya ke atas kabel baja yang terulur,
dipasangnya jerat melilit dadanya, lalu ia memanjat naik ke ambang jendela.
"Sekarang perhatikan baik-baik, Anak-anak," katanya. "Akan kalian lihat bahwa
caranya sangat gampang." Anak-anak berkerumun dekat jendela, sementara Pak
Wilkins mulai meluncur turun sambil terus berbicara.
"Sekarang lihatlah bagaimana aku mendorong diriku...." Kata-katanya terhenti
dengan tiba-tiba. Begitu pula halnya dengan gerak kabel. Untuk kedua kalinya
terjadi sesuatu yang tidak terduga.
"Wow, kabel yang kebal berhenti lagi!" kata Temple.
"Kalian mundur," kata Pak Pemberton-Oakes. Didorongnya mereka ke samping dan
dijulurkannya kepala ke luar jendela.
Sesuatu hal yang tidak diingini telah mengganggu peragaan teknik penyelamatan
diri yang sempurna. Pak Wilkins, karena sibuk memberi penjelasan ke arah jendela
yang ada di atas kepalanya, lupa mendorongkan kakinya dengan pelan agar tubuhnya
menjauhi dinding. Sebagai akibatnya jerat yang melilit dadanya tersangkut pada
sebuah ranting tanaman merambat yang lumayan besarnya.
Pak Wilkins tergantung-gantung tanpa daya. Ia berusaha membebaskan diri, tapi
sia-sia belaka. Berat tubuhnya menyebabkan kabel terentang dengan kencang. Kaki
Pak Wilkins tidak bisa dipijakkan ke mana pun juga. Karenanya ia tidak bisa
mengendurkan rentangan kabel untuk kemudian membebaskan diri. Ranting tanaman
merambat yang menyebabkan ia tersangkut kelihatannya kokoh sekali. Tidak mungkin
patah. Pak Wilkins berada dalam situasi yang tidak enak, meski tidak berbahaya.
Situasi itu jelas tidak menambah wibawanya sebagai peraga.. teknik penyelamatan
diri. "Apa yang terjadi, Pak Wilkins?" tanya Kepala Sekolah.
Anak-anak yang ada di atas mendengar balasan yang tidak jelas, disertai bunyi
dengusan kesal. "Percuma," seru Pak Wilkins ke atas, setelah selama beberapa saat lagi berusaha
membebaskan diri dari tanaman merambat yang mengganggu geraknya turun. "Jerat
yang tersangkut tidak bisa dilepaskan, dan saya tidak bisa mematahkan dahan itu,
Suling Pusaka Kumala 5 Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Amanat Marga 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama