Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock Bagian 3
"Mungkin sekitar tiga puluh lima tahun," kataku. "Kau mungkin masih bisa hidup
sampai sekitar tiga puluh tahun lebih." Sambil berkata demikian, aku
mengeluarkan pistolku. Dia menjatuhkan rokoknya. "Ambil saja uangnya," ujarnya.
"Aku tidak tertarik dengan uangmu. Aku memikirkan nenek baik yang tadi, dan
mungkin ratusan nenek-nenek, kakek-kakek dan anak-anak baik yang sedang
tersenyum. Kau penjahat. Keberadaanmu tidak dibenarkan."
Dan aku membunuhnya. Aku duduk dan menunggu. Setelah sepuluh menit aku masih sendirian dengan si mayat.
Tiba-tiba aku merasa ngantuk. Sangat mengantuk. Mungkin akan lebih baik jika aku
menyerahkan diri kepada polisi setelah aku tidur nyenyak malam ini.
Aku menuliskan surat pembenaran diriku atas kematian si supir dengan selembar
kertas dari buku notes, membubuhkan inisialku, dan meletakkannya di saku kemeja
si supir. Aku berjalan empat blok sebelum aku men-cegat taksi yang mengantar ke
apartemenku. Aku tidur nyenyak sekali dan mungkin aku bermimpi saat tidur itu. Dan kalaupun
iya, mimpiku sangat menyenangkan dan damai, dan ketika aku bangun, ternyata
sudah pukul sembilan. Setelah mandi dan sarapan dengan nikmat, aku memilih pakaianku yang terbaik.
Lalu aku ingat, aku belum membayar tagihan telepon bulan ini. Aku menuliskan
sejumlah angka di cek dan memasukkannya ke dalam amplop yang kemudian kububuhkan
alamat di sampul depannya. Tapi aku ingat, aku kehabisan perangko. Tidak apaapa. Aku bisa membelinya di jalan menuju kantor polisi.
Aku hampir sampai di sana ketika aku ingat perangko itu. Lalu aku berhenti di
sebuah apotik di sudut jalan. Tempat itu belum pernah kukunjungi sebelumnya.
Penjaganya, mengenakan jas yang terlihat seperti dokter, duduk di belakang teko
soda sambil membaca koran dan seorang agen penjual keliling sedang mencatat
sesuatu di buku pesanannya yang besar.
Penjaga itu tidak menoleh dari bacaannya ketika aku masuk. "Mereka mendapatkan
sidik jarinya pada kertas notes itu, mereka juga mendapatkan tulisan tangannya
dan inisial si pelaku. Ada apa dengan para polisi sekarang?"
Si agen mengangkat bahu. "Apa gunanya jika sidik jari pembunuh tidak ada dalam
catatan polisi" Tulisan tangan juga begitu, kalau tidak ada pembandingnya ya
buat apa" Lagipula, ada berapa ribu LT di kota ini?" Dia menutup bukunya. "Aku akan
kembali lagi minggu depan."
Ketika si agen itu pergi, apoteker itu masih saja membaca koran.
Aku berdehem. Dia segera menyelesaikan bacaannya yang panjang dan lalu mendongak. "Well?"
"Aku mau membeli perangko seharga empat sen."
Apa yang kukatakan membuatnya bagai tersambar petir. Dia hanya memandangku
selama lima belas detik penuh. Dia beranjak dari kursi dan berjalan pelan ke
belakang apotik menuju rak toko berteralis.
Langkahku mendadak terhenti demi melihat pipa-pipa yang dipajang di rak.
Setelah beberapa saat aku merasa ada yang mengawasi dan aku mendongak.
Si apoteker itu berdiri di ujung rak terjauh, dengan satu tangan berkacak
pinggang dan tangan lain memegang perangko dengan acuh.
"Kau mau aku membawakannya?"
Dan aku teringat seorang bocah lelaki berumur enam tahun yang hanya punya uang
lima sen. Kali ini tidak hanya satu sen, tapi lima, dan peristiwa ini terjadi
waktu uang satu sen seharga dengan bermacam-macam permen.
Bocah itu masuk karena apa yang terpajang di rak menarik perhatiannya - lima
puluh jenis permen manis beraneka rasa, dan benaknya berjingkrak gembira campur
bingung menentukan permen mana yang akan dipilih. Cambuk merah" Licorice" Atau c
a m p u r a n " Tapi jangan permen cherry. Dia tidak suka permen cherry.
Dan kemudian dia menyadari, apoteker yang menjaga toko itu sedang berdiri di
sebelah rak pajangan - mengetuk-ngetukkan sebelah kaki. Matanya membara karena
merasa terganggu, dan - tidak lebih dari itu - marah.
"Apa kau perlu waktu seharian hanya untuk memutuskan bagaimana cara menghabiskan
uang lima senmu itu?"
Bocah itu sangat halus perasaannya dan mendengar hal itu dia merasa seperti ada
orang yang baru saja meninju perutnya. Uang lima sennya yang berharga kini bukan
apa-apa lagi. Lelaki itu menghina uangnya. Dan dia juga menghina si bocah.
Dia menunjuk asal-asalan. "Aku mau itu sebanyak lima sen."
Ketika dia meninggalkan apotik, dibukanya kantung permen itu dan menemukan
permen cherry di dalamnya.
Bukan masalah baginya. Apapun yang dia temukan di dalam kantung itu dia tidak
akan bisa memakannya. Saat ini aku sedang memandang si apoteker itu, yang memegang perangko seharga
empat sen, dan kebencian yang ditujukan pada orang-orang yang tidak menyumbang
langsung demi keuntungannya. Aku yakin, apoteker itu pasti tidak akan
berjingkrak senang jika aku membeli salah satu pipa rokoknya.
Kemudian aku teringat perangko seharga empat sen itu, dan sekantung permen
cherry yang kubuang beberapa tahun yang lalu.
Aku bergerak menghampiri si apoteker dan mengeluarkan pistol dari dalam saku.
"Berapa usiamu?"
Ketika dia mati, aku segera menuliskan pesan. Saat ini aku membunuh untuk diriku
sendiri dan sepertinya aku perlu minum.
Aku berjalan beberapa saat dan masuk ke sebuah bar kecil. Aku memesan brandy dan
air. Setelah sepuluh menit aku baru mendengar suara sirine polisi yang melintas.
Bartender menghampiri jendela. "Sepertinya dekat." Dia lalu mengambil mantelnya.
"Aku harus lihat apa yang terjadi. Jika ada yang masuk, bilang saja aku akan
kembali." Botol brandy diletakkannya di atas meja bar. "Ambil sendiri, tapi
nanti katakan padaku seberapa banyak yang kau minum."
Aku menyesap brandy ku perlahan-lahan dan memandang mobil polisi tambahan yang
melintas di jalan , y a n g disusul dengan ambulans.
Si bartender kembali setelah sepuluh menit menghilang, diikuti seorang
pelanggan. "Bir botol pendek, Joe."
"Ini brandy keduaku," ujarku.
Joe memungut recehanku. "Si apoteker di seberang jalan terbunuh. Sepertinya oleh
pembunuh yang menghabisi orang-orang yang kurang sopan."
Si pelanggan melihat Joe yang sedang membuka tutup botol bir. "Bagaimana kau
tahu" Mungkin hanya perampokan."
Joe menggelengkan kepalanya. "Bukan. Fred Masters - y a n g punya toko TV di
seberang jalan - menemukan mayatnya dan membaca pesan di sakunya."
Pelanggan itu meletakkan sepuluh sen di atas meja. "Aku tidak akan menangisinya.
Aku selalu membeli keperluanku di tempat lain. Dia bertingkah seakan dia berbuat
kebajikan saat dia menunggumu."
Joe mengangguk. "Kurasa orang-orang sekitar sini tidak akan merindukannya. Dia
selalu membuat banyak masalah."
Aku baru saja berniat untuk menghampiri apotik itu dan menyerahkan diri, tapi
aku malah memesan segelas brandy lagi dan mengeluarkan buku catatanku. Aku mulai
mendaftar beberapa nama. Mengejutkan sekali bagaimana satu nama mengikuti nama-nama yang lain dalam
daftarku. Ada kenangan-kenangan pahit dalam nama-nama tersebut, beberapa
kenangan besar, lainnya kecil, dan kenangan-kenangan lain yang kualami sendiri
dan banyak lagi yang kusaksikan - mungkin dirasakan lebih men-dalam oleh
korbannya. Nama-nama. Juga seorang penjaga gudang yang tidak kuketahui namanya tapi harus
kusertakan dalam daftar. Aku ingat ketika Miss Newman mengajarku.
Kami adalah murid-muridnya di kelas enam dan beliau membawa kami mengadakan
kunjungan - kali ini ke gudang yang terletak di sepanjang sungai, tempat dia
akan menjelaskan 'bagaimana cara kerja industri'.
Beliau selalu merencanakan kunjungan-kunjungannya dan meminta izin dari para
pengelolanya, tapi kali ini kami tersasar ketika kami sampai di gudang-gudang
itu - Miss Newman dengan tiga puluh anak yang mengaguminya.
Dan penjaga gudang itu mengusirnya keluar. Dia menggunakan bahasa yang tidak
kami mengerti, tapi kami merasakan kegalakannya, dan dia menggiring kami dan
Miss Newman. Miss Newman adalah seorang perempuan mungil yang ketakutan ketika kami akhirnya
meninggalkan tempat itu. Beliau tidak hadir keesokan harinya, juga hari-hari
berikutnya, sampai akhirnya kami tahu bahwa beliau minta izin pindah tugas.
Dan aku, yang juga sangat menyayanginya, tahu alasan sebenarnya. Beliau tidak
punya muka menghadapi kami, murid-muridnya, setelah apa yang terjadi kemarin.
Apakah penjaga gudang itu masih hidup"
Aku membayangkan lelaki berusia duapuluhan saat itu.
Ketika aku pergi meninggalkan bar setengah jam kemudian, kusadari ada banyak
pekerjaan yang harus kulakukan.
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang sibuk, dan diantara orang-orang
lainnya, aku menemukan si penjaga gudang itu. Aku mengatakan alasan kematiannya
karena dia tidak ingat sama sekali tentang kejadian dulu.
Dan ketika aku sudah menyelesaikan apa yang harus kulakukan, aku mampir ke
sebuah rumah makan kecil tidak jauh dari sana.
Pelayan yang ada disana segera menyudahi obrolannya dengan kasir dan menghampiri
mejaku. "Kau mau apa?"
Aku memesan steak dan tomat.
Daging steaknya ternyata tepat seperti yang diharapkan dari lingkungan seperti
ini. Ketika aku akan mengambil sendok kopi, tanpa sengaja aku malah
menjatuhkannya ke lantai.
Aku memungutnya. "Pelayan, bisakah Anda mengambilkan sendok lagi?"
Dia kembali ke mejaku dan merampas sendok itu dari tanganku. "Kau ini gemetaran
atau kenapa, sih?" Setelah beberapa saat dia kembali dan keiihatannya dia ingin membanting sendok
itu ke meja. Tapi kemudian raut wajahnya yang galak berubah. Gerakan tangannya berhenti
sesaat, dan ketika sendok itu akhirnya menyentuh taplak, dia meletakkannya
dengan lembut sekali. Sangat lembut.
Dia tertawa gugup. "Maafkan ucapan saya tadi ya, Pak."
Itu adalah sebuah permintaan maaf, dan aku menjawab,"Tidak apa-apa."
"Maksud saya, Anda boleh menjatuhkan sendok berapa kali pun sesuka Anda. Saya
akan senang mengambilkan sendok lain untuk Anda."
"Terima kasih." Dan aku mencermati kopiku.
"Anda tidak merasa kesal, kan, Pak?"
"Tidak. Sama sekali tidak."
Dia mengambil koran dari meja kosong di dekatnya. "Ini, Pak. Anda bisa membaca
koran ini sambil makan. Maksud saya, ini bagian dari pelayanan kami. Gratis."
Ketika pelayan itu meninggalkan mejaku, kasir yang tadi mengobrol dengannya
menatap si pelayan dengan mata membelalak. "Apa maksudmu dengan semua itu,
Mable?" Mable melirik sekilas ke arahku sebelum menjawab pertanyaan si kasir dengan
pandangan tidak nyaman. "Kau tidak akan tahu siapa yang kau hadapi sekarangsekarang ini. Lebih baik kau berlaku sopan mulai sekarang."
Aku membaca koran sambil makan, dan satu berita menarik perhatianku. Seorang
lelaki memanaskan uang receh di wajan sebelum memberikannya ke anak-anak yang
mengetuk pintu dan berteriak trick-or treat pada malam Halloween. Dan dia hanya
didenda dua puluh dolar. Menyedihkan.
Aku mencatat nama dan alamatnya.
Dokter Briller baru selesai memeriksa kesehatanku. "Selesai sudah, Mr. Turner."
Aku mengambil kemejaku. "Saya rasa dunia pengobatan belum menemukan keajaiban
untuk penyakit saya sejak terakhir kali saya kesini. Bukan begitu, dokter?"
Dia tertawa riang seperti biasa. "Sayangnya belum." Dia memandangku yang sedang
mengancingkan kemeja. "Ngomong-ngomong, Anda sudah memutuskan apa yang akan Anda
lakukan dengan waktu yang tersisa?"
Sudah, tapi kupikir-pikir lebih baik aku mengatakan, "Belum."
Dia kelihatannya agak kesal dengan jawabanku. "Harusnya Anda memikirkannya.
Sekarang Anda hanya punya waktu tiga bulan lagi. Dan katakan pada saya apa yang
akan Anda lakukan nanti. Harus."
Ketika aku selesai mengancingkan kemejaku, dia duduk di kursinya dan melirik ke
koran yang tergeletak di atas meja. "Kelihatannya pembunuh itu sedikit sibuk,
ya?" "Tapi yang paling mengejutkan adalah reaksi publik terhadap kejahatan ini. Apa
Anda sudah membaca Surat Pembaca baru-baru ini?"
"Belum." "Pembunuhan ini kelihatannya sangat disetujui oleh seluruh masyarakat. Beberapa
penulis surat itu malahan ada yang mengusulkan akan memberi daftar yang berisi
beberapa nama pilihan mereka untuk si pembunuh."
Aku harus membeli koran itu.
"Tidak hanya itu," ujar dokter Briller,
"seluruh kota diserang demam kesopanan."
Aku mengenakan mantelku. "Apa saya harus kembali kesini dua minggu lagi?"
Dia menyingkirkan korannya. "Ya. Dan cobalah untuk menghadapi semuanya dengan
gembira. Kita semua kan pasti mati suatu hari nanti."
Tapi waktu kematian dokter Briller belum ditentukan dan mungkin maut akan menjemputnya beberapa puluh tahun lagi nanti.
Pertemuanku dengan dokter Briller berlangsung tadi sore, dan sekarang sudah
pukul sepuluh malam ketika aku turun dari bis dan berjalan menuju apartemenku.
Ketika aku mendekati tikungan terdengar suara tembakan. Aku berbalik arah menuju
ke Milding Lane dan memergoki seorang lelaki dengan pistol di tangan sedang
berdiri di sebelah mayat yang tergeletak di trotoar yang sepi.
Aku melongok ke bawah. "Ya ampun. Polisi."
Lelaki kecil itu mengangguk. "Ya. Apa yang saya lakukan mungkin terlihat agak
keterlaluan, tapi tadi dia mempergunakan berbagai macam bahasa yang tidak
penting untuk diucapkan."
"Ah," ujarku. Lelaki kecil itu kembali mengangguk. "Saya memarkir kendaraan di dekat hidran
pemadam kebakaran. Dan saya tidak bermaksud untuk berlama-lama disana, sungguh.
Polisi ini menunggu saya ketika saya kembali ke mobil. Dan akhirnya dia tahu
saya lupa membawa SIM. Saya tidak akan bertindak seperti ini kalau saja dia
cukup menulis surat tilang - karena saya memang bersalah, Pak, dan saya
mengakuinya - tapi dia tidak puas hanya dengan surat tilang itu. Dia
mempertanyakan hal-hal yang membuat saya malu, menyangkut kecerdasan, keawasan
mata, kemungkinan mobil itu mobil curian, dan akhirnya mengenai keabsahan
kelahiran saya." Matanya mengerjap, mengenang sesuatu. "Padahal ibu saya itu
bagaikan malaikat, Pak. Malaikat sejati."
Aku ingat ketika aku ditegur saat menyeberang sembarangan. Dengan senang hati
aku terima peringatan biasa, atau surat tilang, tetapi polisi yang menegurku itu
terus saja memberiku kuliah dengan bahasa yang kasar di hadapan para pejalan
kaki yang lalu-lalang di sekitarku sambil tersenyum simpul.
Sangat memalukan. Lelaki kecil itu memandang pistol di tangannya. "Saya baru saja membelinya hari
ini dan bermaksud menggunakannya untuk pengelola bangunan apartemen tempat saya
tinggal. Seorang lelaki kasar yang sok jagoan."
Aku setuju. "Jenis orang yang patut menerima hukuman."
Dia menarik nafas. "Haruskah saya menyerahkan diri ke polisi sekarang?"
Aku menimbang-nimbang . Dia memandangku.
Dia berdehem sekali. "Atau mungkin saya tinggalkan pesan saja, ya" Saya pernah
membaca di koran tentang..."
Aku meminjamkan buku notesku.
Dia menuliskan beberapa kata, membubuhkan inisial namanya, dan kertas itu
diantara dua kancing jaket si polisi yang sudah mati.
Dia menyerahkan kembali buku notesku.
"Saya harus ingat untuk membeli buku notes seperti ini nanti."
Dia membuka pintu mobilnya. "Apakah saya bisa mengantar sampai ke tempat tujuan
Anda, Pak?" "Terima kasih, tapi tidak usah," jawabku.
"Malam ini cerah sekali. Saya ingin berjalan kaki saja."
Seorang lelaki yang menyenangkan, kataku dalam hati, ketika aku berjalan
meninggalkannya. Sayangnya, hanya sedikit orang yang seperti dia.[]
MAAF, SALAH SAMBUNG Lucille Fletcher dan Allan Ullman
Dia menggapai telepon di meja sebelah tempat tidurnya sekali lagi, memutar
piringan nomer dengan kekuatan berlebihan. Cahaya dari lampu tidur - satusatunya cahaya yang bersinar di kamar gelap itu - membuat perhiasan-perhiasan di
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangannya berkilat-kilat. Wajah yang cantik dan lembut, dalam taburan cahaya
lampu yang melingkar, mengerutkan kening, menyiratkan perasaan kesal yang sesuai
dengan gerakan tergesa-gesa dan resah saat dia memutar piringan nomer telepon.
Setelah selesai memutar nomer telepon yang dituju, dia duduk dengan resah untuk
beberapa saat. la merasa tidak nyaman dengan sakit di punggung belakangnya
akibat duduk tanpa penyangga. Terdengar suara di telepon yang menandakan nomer
yang dituju sedang sibuk. Dia membanting gagang telepon ke tempatnya, dan
berteriak, "Tidak mungkin. Tidak mungkin."
Tubuhnya dihempaskan ke bantal-bantal lembut di tempat tidur. Matanya terpejam,
mencoba menghilangkan bayangan-bayangan di dalam dan di luar kamar, panorama
kota yang kabur berbentuk segiempat yang dapat dilihatnya melalui jendela yang
terbuka. Saat dia terbaring di seprei tipis yang biasa dipergunakan di musim
panas, dirasakannya angin sore sepoi-sepoi meraba lipatan-lipatan baju tidurnya.
Suara-suara malam dan hiruk-pikuk jalan tiga lantai di bawahnya masih bisa
didengamya. Konsentrasinya yang keras itu membuatnya menganggap saat-saat menunggu seperti
ini adalah sebuah siksaan. Dimana dia" Apa yang membuatnya tidak pulang-pulang"
Mengapa dia tidak memilih malam lain selain malam ini untuk meninggalkannya
sendirian, untuk menghilang tanpa memberi kabar padanya lebih dulu, dan tanpa
pesan apapun" Itu bukan kebiasaannya. Sama sekali bukan kebiasaannya. Dia tahu
betul bagaimana sikap yang seperti itu berpengaruh terhadap istrinya. Dan
terhadap dirinya sendiri. Untuk melakukan apa yang hampirdilakukan sebelumnya
sangatlah tidak mungkin. Tapi bila sekarang ini ketidakhadirannya memang
disengaja - bagaimana"
Apa dia terluka" Tidak mungkin dia mengalami kecelakaan tanpa ada orang yang
menghubungi ke rumah saat itu juga!
Tapi ada hal lain yang membuatnya jengkel, dan semuanya berakar dari
kejengkelannya akibat ketidakhadiran lelaki itu yang tanpa alasan. Ada masalah
dengan telepon. Setelah dipikir-pikir, itulah yang paling mengganggunya telepon . Dia telah menghubungi kantornya berkali-kali selama setengah jam
lebih. Dia telah mencoba menghubungi kantor lelaki itu. Tiap saat dia memutar
nomer, selalu saja nada sibuk yang terdengar. Bukan nada 'jangan dijawab' yang
lebih meyakinkan, tapi selalu saja nada sibuk. Kalau saja lelaki itu disana dan jelas sekali selalu ada seseorang disana - apa mungkin dia bicara lewat
telepon selama setengah jam penuh" Kemungkinan"
Ya. Kesempatan" Tidak.
Benaknya membayangkan apa saja yang dilakukan si lelaki saat ini, seolah dia
sendiri yang berhadapan langsung dengan semua yang dihadapi lelaki itu sekarang.
Hasilnya adalah kesulitan yang ditimbulkan akibat sakit - penyakitnya - yang
membobol benteng pertahanan kesabarannya. Kelihatannya lelaki itu tidak pernah
terlalu peduli dengan periode-periode panjang saat dia tidak mampu merespon
ajakan si lelaki. Meskipun dia itu lelaki yang memiliki hasrat menggebu-gebu binatang sehat dan kuat - kemampuannya mengendalikan diri sangat patut
diandalkan. Dengan kata lain, terus terang saja, dia tidak pernah bermimpi mengenai
perempuan lain - atau beberapa! Tapi sekarang... "
Tetapi kemungkinan seperti itu sepertinya tidak cocok dalam situasi sekarang.
Apalagi setelah dia membicarakannya secara terang-terangan dan memeriksa semua
kemungkinan dengan seksama. Dia adalah seorang lelaki yang hati-hati. Apapun
yang dia lakukan, di-rencanakannya dengan matang dan dilaksanakan dengan rapi.
Dia tidak mungkin bertindak bodoh - atau ceroboh - karena itu tidak sesuai dengan
sifatnya selama ini. Prospek terkecilpun bahkan tidak mungkin untuk dilaksanakan. Dia lebih
menginginkan sesuatu yang berskala besar, sesuai dengan keberanian yang
merefleksikan kekuatan dan ketampanan sendunya dengan sempurna.
Pikiran-pikiran itu membuatnya membuka mata sejenak, menatap ke foto pernikahan
mereka dalam pigura cantik di meja sebelah tempat tidurnya. Foto itu terlihat
samar-samar, tapi kenangannya tergambar jelas, berdampingan. Dia mengenakan gaun
sutra gading yang anggun di sebelah lelaki tegap dan tampan dan mereka tersenyum
bahagia. Tidak ada yang berubah darinya. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, tidak
ada yang merubah tubuh berototnya yang bersih itu, juga senyum yang jarang
terpancar di wajahnya yang tampan dan tanpa kerut.
Yang berubah adalah perempuan itu sendiri . Hanya perawatan yang sangat
paripurna sajalah yang meninggalkan sedikit bukti-bukti apa saja yang telah
dilakukan oleh waktu dan ketidakberdayaannya sekarang.
Tetapi, secepat apapun dia berusaha memulihkan kekuatannya kembali dan
memanfaatkan kemudaan yang masih tersisa, peralatan kecantikan termahalpun tidak
dapat menutupi kerut-merut di seputar mata dan garis di dekat bibir yang semakin
dalam, atau kulit yang menggelambir di bawah dagu. Apakah mungkin lelaki itu
memperhatikan apa yang membuat istrinya terus mengurung diri di rumah sepanjang
hari semata-mata bukan karena penyakit saja"
Dia mengenang kembali apa yang disukai suaminya - hal-hal yang sangat dihargai
lelaki itu. Setelah sepuluh tahun menikah - pernikahan yang direncanakan si
istri dengan amat sangat cermat - dia tahu betul kekayaan ayahnya adalah sesuatu
yang meredakan kegelisahan si suami selama ini. Dia sangat menghormati gundukan
uang itu. Jangan harap dia mau melakukan apapun jika dia tidak terjangkau oleh
gelimangan uang jutawan Cotterell.
Begitulah caranya jika kau menginginkan sesuatu, ujarnya, mengingatkan dirinya
sendiri. Jangan pernah lupa tentang hal itu. Dia yang selalu menginginkannya seperti itu.
Hubungan praktis dengan suaminya yang kini telah berkembang itu telah memberi
apa yang paling diinginkannya - lelaki yang paling bisa menciptakan ilusi yang
dikembangkannya sendiri, ilusi sebuah pernikahan yang bahagia. Teman-temannya
cemburu, dan dicemburui adalah hal yang paling didambakan yang bisa ditawarkan
oleh kehidupan. Kenangan akan pernikahannya yang dirancang sedemikian rupa itu memudar, dan
sekali lagi kejengkelannya karena ditinggal sendiri membuatnya mendidih. Telepon
sialan! Ada sesuatu yang licik tentang telepon itu - tentang nada sibuk yang tidak
putus-putus itu. Tapi kemudian terlintas di benaknya, mungkin ada kerusakan mekanis atau
semacamnya dalam sistem pemanggilan nomer.
Dia duduk kembali, menjangkau telepon dengan tangannya, dan tidak sabar dengan
dirinya sendiri karena tidak memikirkan hal itu sebelumnya. Piringan nomer ke
'Operator' diputarnya. Suara dengungan yang putus-putus itu, kemudian berbunyi klik diikuti suara ramah
yang berkata, "Silahkan sebutkan nomer tujuan."
"Operator, bisakah Anda menghubungi Murray Hill 3:0093?"
"Anda bisa menghubungi nomer itu langsung dengan menelepon dari pesawat Anda
sendiri," jawab si operator.
"Sudah, tapi selalu tidak bisa," katanya lagi, merasa terganggu. "Karena itulah
saya menghubungi Anda."
"Apa masalahnya, Nyonya?"
"Well, saya telah menghubungi Murrray Hill 3:0093 selama setengah jam ini dan
nadanya selalu saja sibuk. Itu sangat tidak mungkin."
"Murray Hill 3:0093?" ulang si operator.
"Saya akan mencoba menghubunginya. Silahkan tunggu sebentar."
"Itu kantor suami saya," jelasnya sambil mendengarkan operator yang sedang
berusaha. "Harusnya dia sudah berada di rumah sejak tadi. Aku tidak habis pikir
apa yang membuatnya tertahan disana - atau mengapa sambungan telepon konyol ini
tiba-tiba selalu saja bernada sibuk. Biasanya kantor itu tutup pukul enam sore."
"Menghubungi Murray Hill 3:0093," jawab si operator otomatis.
Lagi-lagi nada sibuk! Nada sibuk bodoh dan terkutuk yang seakan-akan berlangsung
abadi. Dia baru akan meletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya, ketika tiba-tiba,
secara ajaib, nada sibuk itu berhenti, dan suara seorang lelaki berkata, "Halo?"
"Halo!" teriaknya, bersemangat. "Tolong sambungkan dengan Mr. Stevenson."
Lagi-lagi lelaki itu menjawab, "Halo?"
Suaranya dalam, serak, dengan aksen kental, dan suara itu mudah dikenali
meskipun dia hanya mengucapkan satu kata.
Dia mendekatkan bibirnya ke gagang telepon, berbicara lambat-lambat, dengan
suara ramah, "Maaf, saya ingin bicara dengan Mr. Stevenson, disini Mrs.
Stevenson." Dan suara serak itu berkata, "Halo" George?"
Yang lebih gila lagi, tiba-tiba terdengar suara kedua - sengau - dan datar - menjawab,
"Ya." Dengan suara putus asa, dia berteriak,
"Siapa ini" Ini nomer berapa, ya" Tolong katakan."
"Aku sudah menerima pesanmu, George,"
kata si suara serak. "Apa semua berjalan lancar malam ini?"
"Ya. Semuanya lancar, Aku sedang bersama klien kita sekarang. Dia bilang
medannya sudah bersih."
Fantastis sekali. Tidak bisa dipercaya dan sangat tidak mungkin. Dengan suara
dingin akhirnya dia berkata, "Permisi. Apa yang sedang terjadi disini" Saya
sedang mempergunakan sambungan ini, jika Anda semua tidak berkeberatan."
Bahkan ketika dia sedang bicara tadi, dia tahu mereka yang di ujung sana tidak
bisa mendengarnya. Si 'George' atau lelaki satunya itu sama sekali tidak dapat
mendengarnya. Dia menyalahkan sambungan telepon yang acak-acakan. Sekarang dia
harus memutuskan teleponnya, menghubungi si operator lagi, dan harus menjalani
semua tetek-bengek seperti tadi. Setidaknya itulah yang seharusnya dia lakukan.
Tapi tidak. Orang-orang aneh itu sedang berbicara dan apa yang didengarnya
membuatnya terpaku di tempat.
"Oke," sahut si suara serak lagi. "Nanti jam 11:15 kan, George?"
"Ya, tepat pukul 11:15. Kuharap kau sudah mengerti semuanya sekarang."
"Ya. Kurasa begitu."
"Well, coba jelaskan padaku sekali lagi agar aku tahu kau sudah memahami
semuanya dengan baik."
"Oke, George. Jam 11:00 polisi penjaga rumah akan pergi ke bar di Second Avenue
untuk membeli bir. Aku akan masuk melalui jendela dapur di belakang rumah.
Kemudian aku akan menunggu kereta melintas di jembatan - kalau-kalau jendelanya
terbuka dan dia berteriak."
"Benar." "Aku lupa menanyakannya padamu, George. Apa aku boleh mempergunakan pisau?"
"Boleh," jawab suara nasal si George itu datar. "Tapi lakukan dengan cepat, ya.
Klien kita tidak mau perempuan itu menderita terlalu lama."
"Aku mengerti, George."
"Dan jangan lupa, ambil cincin dan kalung-nya - dan perhiasan di laci lemari
pakaian," ujar George. "Klien kita ingin semua terlihat seperti perampokan
biasa. Hanya perampokan biasa. Ini penting sekali."
"Semuanya tidak akan meleset, George. Kau tahu betul siapa aku."
"Ya. Sekarang sekali lagi..."
"Oke. Saat polisi itu pergi beli bir, aku akan masuk lewatjendela belakang - di
dapur. Lalu aku menunggu kereta lewat. Setelah semuanya selesai, aku akan
mengambil perhiasannya."
"Benar. Kau ingat alamatnya?"
"Ya," sahut si suara serak. "Di - "
Terpana oleh rasa takut dan gelisah, ditempelkannya gagang telepon itu erat-erat
ke telinga sampai pelipisnya terasa sakit. Saat itu juga tiba-tiba sambungan
terputus, lalu beberapa detik kemudian suara dengung monoton menggantikan
percakapan tadi. Dia tercengang, dan berteriak, "Mengerikan sekali! Sangat mengerikan!" Adakah
tanda-tanda keraguan dalam suara yang aneh, tanpa emosi, dan bernada bisnis itu"
Pisau" Pisau! Pisau! Orang di telepon itu mengatakan dengan jelas seakan-akan pisau adalah hal
paling umum dibicarakan orang di dunia ini, selain jendela yang terbuka dan
perempuan yang menjerit. 9:35 Dia memegang gagang telepon, menatapnya dengan penuh ketakutan ke arah meja yang
berantakan. Apa yang barusan didengarnya"
Tidak mungkin - semua itu tidak mungkin. Itu hanya imajinasinya saja yang menipu jeda waktu yang sejenak dirasakan saat kenyataan memudardan lamunan menyapu
ceruk pikirannya. Tapi nada suara George yang tenang dan datar yang sedang
berbicara dengan lelaki bersuara dalam itu kembali terdengar sejelas-jelasnya
ketika dia mencoba mengingat-ingat mereka. Tidak pernah ada mimpi dengan
gambaran sejelas ini. Dia memang mendengar mereka. Dia merasa itu nyata, senyata
benda hitam dingin yang dia pegang sedari tadi, senyata itulah dia mendengar
mereka. Dia mendengar dua suara yang berbeda menggambarkan kematian seorang
perempuan malang - perempuan yang sedang berada di rumah sendirian, seseorang yang
memesan pembunuh bayaran seakan-akan dia memesan sayuran pada sebuah toko agar
diantar ke rumahnya. Dan apa yang bisa dia lakukan" Dalam hal ini, apa yang harus dia lakukan" Dia
tidak sengaja mendengarnya, sistem telepon yang dipergunakannya meleset secara
mekanik. Dia tidak mendengar apapun yang mengarah langsung ke para lelaki tadi.
Mungkin dia dapat memaksakan benaknya untuk mencoba mengingat-ingat lagi dengan
sekuat tenaga untuk bisa mengurutkan kembali percakapan tadi.
Tapi dia tidak bisa, yang dia ingat hanya perempuan ini - perempuan seperti
dirinya, mungkin, sendiri dan kesepian - bisa dia peringatkan kalau saja dia
tahu bagaimana caranya. Dia tidak bisa hanya berdiam diri saja disini - dia
harus segera melakukan sesuatu untuk menenangkan kesadarannya. Dengan jemari
bergetar, dia kembali mengangkat gagang telepon dan menghubungi operator.
"Operator," katanya gugup. "Sambunganku baru saja diputus."
"Maaf, Nyonya. Nomer berapa yang Anda hubungi?"
"Harusnya Murray Hill 3:0093, tapi ternyata bukan. Pasti ada sambungan lain yang
masuk ke dalam saluran saya dan tiba-tiba saya malah terhubung dengan nomer yang
salah dan saya - saya baru saja mendengar hal yang paling mengerikan pembunuhan - " Suaranya meninggi dan bernada memerintah. "Dan saya ingin Anda menghubungi nomer
itu kembali." "Maaf, Nyonya. Saya tidak mengerti."
"Oh!" serunya tidak sabar. "Aku tahu aku salah nomer dan bukan urusanku untuk
mendengarkan apa yang mereka bicarakan, tapi dua orang lelaki ini - dua orang
jahat berdarah dingin - akan membunuh seseorang.
Seorang perempuan malang yang tidak bersalah - yang sedang sendirian - di sebuah
rumah dekat jembatan. Dan kita harus menghentikan mereka - kita harus menghentikan
mereka!" "Nomer berapa yang Anda tuju, Nyonya?" tanya si operator dengan sabar.
"Itu tidak jadi soal sekarang," bentaknya. "Ini nomer yang salah. Nomer yang kau
putar sendiri. Dan kita harus tahu nomer berapa tadi yang kau putar,
secepatnya." "Tapi - Nyonya - "
"Bodoh sekali kamu ini!" Sekarang dia benar-benar murka. "Begini. Kelihatannya
kau salah memutar nomer. Aku memintamu untuk menghubungkan aku dengan Murray
Hill 3:0093. Kau memutamya. Tapi jari tanganmu terpeleset atau semacamnya - dan
kau mem-buat teleponku salah sambung ke nomer lain - dan aku bisa mendengar
mereka bicara tapi mereka tidak bisa mendengarku. Sekarang, sepertinya aku bisa
memintamu untuk membuat kesalahan seperti itu lagi, kali ini sengaja. Bisakah
kau menghubungkanku kembali dengan Murray Hill 3:0093, sama cerobohnya seperti
tadi?" "Murrray Hill 3:0093, silahkan tunggu sebentar," sahut operator dengan cepat.
Ketika dia menunggu operator itu, tangannya bergerak ke arah botol-botol obat di
meja samping tempat tidur dan memungut selembar sapu tangan berenda yang
teronggok di antara botol-botol. Dia melap butiran keringat di kening ketika
lagi-lagi terdengar nada sibuk, dan operator menyela, "salurannya sedang sibuk,
Nyonya." Dengan marah dia meninju kasurnya.
"Operator! Kamu pasti tidak mencoba menghubungkan saya dengan nomer yang salah
seperti tadi! Saya sudah jelas-jelas memintanya. Kamu malah menghubungkan saya
dengan nomer yang benar. Sekarang saya minta kamu melacak nomer tadi. Sudah
tugasmu melacak nomer tadi!"
"Sebentar," sahut si operator, tetap dengan suara ramah, seperti ingin
mengundurkan diri. "Saya akan menyambungkan Anda dengan atasan saya."
"Silahkan," jawabnya , kembali menghempaskan diri ke bantal di belakangnya. Lalu
terdengar suara lain yang ramah, efisien dan menenangkan dari seberang sana.
"Disini Kepala Operator," dan sekali lagi dia berkonsentrasi dengan gagang
telepon di tangannya, bicara dengan sangat hati-hati. Suaranya terdengar sangat
jengkel. "Saya sedang sakit keras, tapi saya baru saja mendengar sesuatu yang mengejutkan
- melalui telepon - dan saya ingin sekali melacak sambungan telepon tadi. Yang
saya dengar ini menyangkut pembunuhan - pembunuhan berdarah dingin yang kejam yang
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan dilaksanakan pada seorang perempuan malang, malam ini - pukul 11:15. Begini,
tadi saya mencoba menghubungi kantor suami saya. Saya sedang sendirian sekarang
pembantu saya sedang libur dan pelayan yang lain tidur di rumah masing-masing.
Suami saya berjanji untuk tiba di rumah pukul enam - jadi ketika dia belum pulang
jam sembilan, saya menghubungi kantornya. Tapi yang terdengar selalu nada sibuk.
Kemudian saya mengira mungkin salurannya ada yang salah dan meminta operator
untuk menghubungkannya. Tapi ketika sudah terhubung, saya malah masuk ke saluran
yang salah dan mendengar percakapan dua orang pembunuh yang mengerikan ini. Dan
kemudian salurannya terputus sebelum aku tahu siapa dua orang ini, dan kupikir
bila kau bisa menghubungkanku kembali dengan saiuran yang salah tadi, atau
mungkin melacaknya..."
Kepala operator itu adalah orang yang penuh pengertian dan lembut hati - dan hal
itu hampir membuatnya gila. Dia menjelaskan hanya sambungan yang sedang
berlangsung saja yang bisa dilacak. Dan sambungan yang sudah terputus sudah
pasti tidak bisa dilacak.
"Saya tahu mereka mungkin sudah berhenti bicara sekarang," sahutnya tajam.
"Mereka kan tidak sedang bergosip. Karena itulah saya minta operatormu untuk
mencoba menemukan kembali nomer mereka. Kau kira hal sederhana seperti itu
tidak..." Kritikan pedas dalam suaranya tidak menggoyahkan ketenangan suara Kepala
Operator di seberang. "Atas dasar apa Anda menginginkan nomer ini dilacak,
Nyonya?" "Alasan!" serunya. "Apa aku perlu alasan yang lebih daripada alasan yang sudah
kuutarakan tadi" Secara tidak sengaja, aku mendengar dua pembunuh. Pembunuhan
yang mereka lakukan akan dilaksanakan malam ini - pukul 11:15. Ada seorang
perempuan yang akan terbunuh - di suatu tempat di kota ini..."
Kepala Operator itu sangat simpatik - dan dia sangat sabar. "Saya mengerti itu,
Nyonya," sahutnya. "Saya hanya bisa menyarankan agar Anda memberitahukan kepada polisi
mengenai inforrmasi ini. Bila Anda ingin menghubungi operator dan meminta..."
Dia langsung memutuskan telepon, namun ia kembali mengangkat gagang telepon lalu
menunggu sampai ada nada panggil.
Kemarahan bangkit dalam dadanya, membuat pipinya yang pucat berwarna kemerahan,
dan mengasingkannya dari sekitar kecuali nada panggil di teleponnya yang terus
berrdengung. Dia tidak mendengar suara berbisik dari perahu-perahu yang membelah sungai kelam
di bawahnya, atau suara lalu-lintas yang mengalir pelan di sepanjang jalan tol
di pinggir sungai. Dia tidak mendengar suara denting logam baja yang beradu, dan
suara grek, grek, grek dari kereta yang mendekati jembatan.
Jendela kamarnya yang bergetar akibat kereta yang melintas juga tidak
diperhatikannya - getaran yang dirambatkan secara molekuler oleh jembatan yang
bergetar. Dan ketika kereta itu akhimya berbunyi dengan keras, dia baru
mendengamya. Di saat yang sama, suara seorang operator terdengar dari seberang
telepon. "Silahkan sebutkan nomer yang Anda tuju."
"Sambungkan saya dengan polisi," katanya, sambil menyipitkan mata ketika suara
baja yang saling beradu itu berteriak memenuhi malam dan kemudian semakin samar
dan menghilang. Ketika dengung telepon terdengar di telinganya sekali lagi, dia baru merasakan
hawa panas yang menekan. Dia menyentuh keningnya dan bagian lembab di bawah
matanya dengan sapu tangan. Kemudian sebuah suara lelah menyahut , "Kantor
Polisi. Markas Tujuhbelas. Disini Sersan Duffy."
"Ini Mrs. Stevenson - Mrs. Henry Stevenson - Sutton Place nomer 43," sahutnya.
"Saya bermaksud melaporkan kejadian pembunuhan..."
"Apa yang Anda maksud, Nyonya?"
"Saya mau melaporkan adanya pembunuhan."
"Anda bilang pembunuhan, Nyonya?"
"Tolong, dengarkan saya sampai selesai..."
"Ya, silahkan, Nyonya."
"Pembunuhan ini belum berlangsung, tapi pasti akan terjadi... Saya baru saja
mendengar secara tidak sengaja tentang pembunuhan itu melalui telepon."
"Anda bilang Anda mendengarnya di telepon, Nyonya?"
"Ya. Melalui saluran yang salah sambung yang dihubungkan oleh operator telepon.
Saya sudah mencoba untuk melacak sendiri nomer telepon itu - tapi semua orang
yang kumintai bantuan - sepertinya begitu bodoh..."
"Bisakah Anda memberitahukan kepada saya dimana pembunuhan itu akan terjadi?"
"Rencana pembunuhan itu jelas sekali," sahutnya getir, merasakan keraguan polisi
itu mengenai laporannya. "Aku mendengarnya dengan sangat jelas. Ada dua orang
lelaki yang sedang berbicara. Mereka akan membunuh seorang perempuan pada jam
11:15 malam ini. Perempuan itu tinggal di sebuah rumah dekat jembatan."
"Lalu?" "Dan ada satpam di jalanan. Dia akan pergi ke suatu tempat di Second Avenue
untuk membeli segelas bir dan kemudian pembunuh ini akan memanjat jendela dan
membunuhnya dengan pisau."
"Selanjutnya bagaimana, Nyonya?"
"Dan ada lelaki ketiga disana - seorang klien - begitu mereka memanggilnya - yang
membayar mereka untuk melakukan hal ini - hal mengerikan yang akan dilakukan
lelaki-lelaki lainnya. Si klien ini menginginkan agar perhiasan si perempuan itu
diambil agar terlihat seperti perampokan biasa."
"Begitu. Apakah itu sudah semuanya, Nyonya?"
"Well, hal ini benar-benar mengguncang syarafku - saya sedang sakit..."
"Begitu. Dan kapan Anda mendengar hal ini, Nyonya?"
"Sekitar delapan menit yang lalu."
"Dan nama Anda, Nyonya?"
"Mrs. Henry Stevenson."
"Dan alamat Anda?"
"Sutton Place nomer empat puluh tiga. Dekat jembatan. Jembatan Queensboro, Anda
tahu, bukan" Dan kami juga punya penjaga pribadi di jalan rumah kami - dan di
Second Avenue..." "Nomer berapa yang Anda hubungi tadi, Nyonya?"
"Murray Hill 3:0093. Tapi bukan dari nomer itu saya mendengarnya. Murray Hill
3:0093 itu kantor suami saya. Saya sedang mencoba menghubungi suami saya karena
dia belum pulang-pulang juga - "
"Well," ujar si polisi merasa bosan, "kami akan mencoba mengeceknya, Mrs.
Stevenson. Kami akan mengecek perusahaan telepon."
"Tapi tadi perusahaan telepon bilang mereka tidak bisa meiacak telepon yang
sambungannya sudah terputus. Mungkin Anda pribadi bisa melakukan sesuatu dengan
lebih cepat dan drastis daripada hanya mengecek panggilan itu. Di saat Anda
sedang meiacak telepon itu-mereka sudah akan melaksanakan pembunuhan tersebut."
"Well, kami akan menanganinya, Bu,"jawab si polisi itu sambil menghela napas.
"Jangan khawatir."
"Tapi saya benar-benar khawatir, Pak," sahutnya setengah mengeluh. "Anda harus
melakukan sesutu untuk melindungi orang ini. Saya akan merasa lebih aman bila
Anda me lakukannya - bila Anda mengirimkan panggilan melalui radio polisi ke
lingkungan itu." Polisi itu menarik napas lagi. "Begini, Bu, apakah Anda tahu seberapa panjang
jalan Second Avenue itu?"
"Saya tahu, tapi..."
"Dan apakah Anda tahu ada berapa banyak jembatan di Manhattan?"
"Tentu saja, tapi..."
"Jadi apa yang membuat Anda berpikir bahwa pembunuhan ini akan terjadi di
lingkungan Anda, kalau memang nanti akan terjadi pembunuhan" Mungkin yang Anda
dengar tadi adalah panggilan dari New York. Mungkin Anda tersambung ke saluran
interlokal." "Saya kira Anda mau melakukan sesuatu," jawabnya getir. "Anda seharusnya
bertanggung jawab untuk melindungi para anggota masyarakat yang baik. Tapi
ketika saya membicarakan tentang pembunuhan yang akan terjadi Anda malah mengira
saya sedang bergurau atau semacamnya."
"Maafkan saya, Bu," sahut si polisi itu dengan tenang. "Banyak terjadi
pembunuhan di kota ini. Bila kami bisa menghentikan semuanya, kami akan lakukan
itu. Tapi petunjuk yang Anda berikan pada saya - well, itu petunjuk yang masih
samar. Bahkan hampir tidak ada gunanya sama sekali. Begini saja," tambahnya,
berusaha terdengar riang. "Mungkin yang Anda dengar tadi hanyalah salah satu
program radio sinting yang tanpa sengaja masuk ke saluran telepon. Mungkin Anda
terhubung dengan salah satu acara kriminal tentang pembunuhan. Bahkan mungkin
Anda mendengarnya samar-samar dari jendela dan mengira mendengarnya di telepon."
"Bukan," jawabnya dingin. "Sama sekali bukan begitu. Sudah saya bilang saya
mendengarnya di telepon. Mengapa Anda ngotot sekali sih"
"Saya ingin membantu Anda sebisa mungkin, Nyonya," sahut si polisi dengan suara
meyakinkan. "Apakah Anda tidak merasa ada sesuatu sifatnya menipu mengenai
panggilan tadi - atau apakah ada seseorang yang berencana membunuh Anda?"
Dia tertawa, gugup. "Saya" Tentu saja tidak. Itu akan menjadi hal yang paling
menggelikan. Maksudku - mengapa harus ada orang yang menginginkan kematianku" Aku
bahkan tidak kenal seorangpun di New York. Aku baru beberapa bulan tinggal
disini dan aku tidak menemui siapapun kecuali pembantu-pembantuku dan suamiku."
"Kalau begitu, Bu, tidak ada sesuatupun yang harus Anda khawatirkan," ujarnya
jujur. "Dan sekarang - jika Anda mengijinkan, Bu, ada beberapa hal lain yang lebih
penting yang harus saya tangani. Selamat malam, Nyonya."
Dengan perasaan jijik dia menjatuhkan gagang telepon ke tempatnya. Diambilnya
tabung kecil berisi garam harum, membuka sumbatnya, dan menghirupnya dalamdalam. Setelah dia merasa lega, dia menyumbatnya dengan gabus dan meletakkan kembali di
meja sebelah tempat tidur. Lagi-lagi dia menghempaskan diri ke bantal, bertanyatanya apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Marahnya akibat laporan yang hanya
ditanggapi sekenanya oleh polisi itu telah berkurang sekarang.
Lagipula, mungkin memang sulit sekali melacak kedua orang yang berbicara di
telepon tadi secara langsung. Tapi tetap saja, mereka harus melakukan sesuatu setidaknya mereka mengumumkannya lewat radio atau semacamnya untuk
memperingatkan polisi-polisi lainnya di kota tentang adanya bahaya yang
mengancam seseorang - dimanapun orang itu berada.
Sesaat, keadaan genting yang diakibatkan telepon pembunuhan itu terasa samarsamar di benaknya. Tetapi percakapan keji yang dia dengar itu bukan berarti bisa
dilupakannya sama sekali - juga pikiran tentang perempuan malang yang bernasib
buruk itu. Tetapi kesepiannya sendiri kembali menjadi hal yang mengganggu.
Perbuatan Henry meninggalkannya sendirian di rumah benar-benar tidak bisa
dimaafkan. Kalau saja dia tahu, pembantunya pasti akan dipaksa untuk tetap
tinggal di rumah. Sekelilingnya mulai membuatnya gugup kini. Ruangan yang remang-remang, dipenuhi
dengan perabotan terbaru yang mahal-mahal, menjadi kepompong yang membuatnya
ter-kungkung dan merasa tidak ada jalan keluar.
Jajaran botol-botol dan tabung-tabung, kotak dan penyegar yang terletak di atas
meja has yang terletak di dinding seberangnya, memancarkan suasana membosankan,
mengingatkannya akan kecantikan yang makin memudar. Ruang duduk mewah dan
nyaman, dengan bangku-bangku anggun dan kursi-kursi taman yang diletakkan di
ruangan yang ditutupi dengan cantik, meja-meja pajangan yang dihias dengan mewah
- semuanya diletakkan dalam ruangan dengan karpet setinggi mata kaki yang sesuai
dengan warna dindingnya - dan semua terlihat seakan-akan diatur oleh tangan
terampil yang tidak terlihat.
Ruangan itu tidak memiliki kehidupan. Serasa di dalam tahanan. Kain halus dan
berkilat yang menutupi tirai, membingkai jendela bagai terali besi penjara. Dia
benci sekali tempat ini. Dia juga membenci ketidakberdayaannya dalam mengatasi
kesepian. Lagi-lagi dia menyambar pesawat telepon dan memutar nomer operator.
"Operator, demi Tuhan, bisakah Anda menghubungkan saya dengan Murrray Hill
3:0093 sekali lagi" Saya tidak habis pikir, apa yang menahannya disana sebegitu
lama." Kali ini tidak ada nada sibuk terdengar!
Hanya nada panggil yang bersuara seperti mendengkur, terus dan terus. Sampai
akhimya suara operator memutus dengkuran itu dan berkata, "Tidak ada jawaban
dari sana, Nyonya." "Saya tahu," sahutnya dengan suara manis.
"Saya tahu. Anda tidak usah mengumumkannya pada saya. Saya bisa dengar sendiri."
Akhirnya telepon itu diletakkannya kembali.
Dia kembali berbaring di kasur, menatap pintu kamar yang setengah terbuka,
mendengarkan dengan seksama layaknya orang-orang kesepian yang mencoba
mendengarkan suara-suara dari sekelilingnya, mencari bukti adanya gerakan
sekecil apapun, tanda-tanda berakhirnya kesepian ini. Tapi tidak ada apa-apa
sama sekali. Pandangannya tertumbuk ke meja kecil di sebelah tempat tidur,
dengan jejeran botol-botol obat, jam meja, dan saputangan kusut - semuanya
terkelompok dekat telepon. Tanpa sadar, dia membuka iaci di bawah meja itu,
mengambil sisir bertatahkan berlian dan kaca kecil dari sana. Sisir berkilau itu
meluncur tenang di rambutnya, dan dia menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri
untuk melihat hasilnya di kaca. Puas dengan tatanan rambutnya yang anggun, dia
mengambil lipstik dari laci yang sama, dengan hati-hati memulaskan warna merah
yang kembali memunculkan kesegaran di wajahnya.
Henry selalu bisa menunjukkan kekaguman akan kecantikannya, pikirnya. Belakangan
ini, mungkin, komentarnya yang menggebu-gebu menjadi kurang spontan, terasa
rutin, mekanis. Atau apakah karena sekarang dia belum pulang tanpa ada pemberitahuan makanya dia
merasa seperti itu" Dan itu mengingatkannya akan keberadaan Henry yang masih
jadi masalah sekarang ini, situasi menyebalkan yang tidak juga terselesaikan.
Dari laci yang sama dia mengambil notes kecil bersampul hitam dengan jilid
spiral. Dia membuka pada bagian "J" ketika telepon berbunyi tiba-tiba. Dengan
cepat dan antusias, disambarnya telepon dan dijawab dengan suara manis, "Halloo-o-o." Kepalanya agak pusing saat dia mendengar suara dari telepon, "Ini adalah
sambungan interlokal. Ada seseorang yang ingin berbicara dengan Mrs. Stevenson
dari Chicago." "Ya, disini Mrs. Stevenson." Lalu beberapa menit kemudian, "Halo, Ayah, apa
kabar?" "Baik-baik saja," sahut Jim Cotterell bersemangat. "Baik-baik saja, Leona. Dan bagaimana kabar gadisku malam ini?"
Sepanjang hidupnya, Leona Stevenson selalu mendengar dan selalu sebal dengan
ungkapan yang selalu diucapkan ayahnya yang tinggi besar itu dalam setiap
percakapan yang biasanya hanya terjadi satu arah. Percakapan yang isinya biasanya - si ayah memerintahkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Dan sesuatu
itu seringkali berhubungan dengan kenyamanan pribadi Jim Cotterell maupun
rekening banknya yang membengkak, atau keduanya. Energinya yang meluap-luap dan
lidahnya yang tajam telah berhasil menggelindingkan formula pil biasa menjadi
salah satu bisnis pabrik farmasi terbesar saat ini.
Walaupun dia sendiri bukan seorang kimiawan, dia telah berhasil menemukan
tambang platina murni yang mengguncangkan hasrat publik akan pengobatan diri
sendiri. Kimiawan - seperti yang biasa dia katakan saat tidak ada seorangpun
kimiawan hadir di tempat yang sama, atau kadang ada beberapa - kimiawan itu
pasaran, dinilai hanya dengan setumpuk recehan. Tapi agen penjual yang baik itu
sangat jarang ditemui dan mereka bernilai layaknya emas.
Tiga puluh tahun yang lalu Jim Cotterell berhasil menipu seorang apoteker di
sudut jalan agar menjual murah formula obat sakit kepala yang tidak berbahaya
tapi selalu bekerja efektif. Dan sekarang, pil, puyer dan sirup obat batuknya
mengalir dari selusin pabrik raksasa ke seluruh penjuru dunia. Dia memerintah
jaringan korporasi yang besar ini dengan tangan besi, dan itu adalah tangan yang
sama yang bergetar kebingungan saat putrinya, Leona, merajuk atau marah.
Hubungan antara Jim dan Leona memang aneh, dan tidak ada seorangpun yang
mengerti kecuali Jim dan Leona sendiri.
Ibu Leona, yang meninggal ketika melahirkan putrinya, memiliki kecantikan anggun
dan kebanggaan halus. Tapi perempuan itu bukanlah pasangan yang sebanding dengan
mahluk besar yang biasa mengayun tubuh mungil istrinya sampai kakinya terjuntai
dari atas lantai. Kematian istrinya adalah kekalahan Jim Cotterell yang pertama,
dan yang paling utama. Kejadian itu membuat jiwanya kosong akan kelembutan,
membuatnya enggan melakukan hal-hal yang menyenangkan dan membuat insting
bisnisnya berkurang. Kecuali untuk hal-hal yang menyangkut diri si putri, Leona.
Bukannya menjadi objek cinta ayahnya, Leona adalah semacam tanda mata dari cinta
yang pernah dimiliki ayahnya. Jim menjaga Leona seperti seorang pemburu tersesat
yang kedinginan menjaga api unggun yang hampir mati. Dan ketika api itu
membesar, dia menjadi semakin takut. Bukan takut akan api yang membakar dirinya,
tapi takut api itu mati. Leona, yang mewarisi kecantikan ibunya, memiliki perpaduan aneh antara
kebanggaan yang dimiliki ibunya dan sifat keras kepala dari ayahnya. Ketika
tahun demi tahun dia tumbuh dewasa, Leona tidak memiliki pribadi yang cukup kuat
dari perpaduan ini. kebalikannya, dia menjadi sangat galak, sangat perhitungan,
dan harus mendapatkan segala sesuatu yang dia inginkan, apapun itu. Tanpa
perduli siapa nanti yang akan menjadi korban.
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jim, dengan alasan yang jauh tersembunyi di balik sifatnya yang agresif, malah
mendorong temperamen putrinya yang keras itu. Dalam hal tertentu, itu
menyenangkan baginya - memuaskan kebutuhan akan sesuatu di dalam dirinya - memiliki
sepotong pujaan tempat dia bisa merendahkan diri di hadapan pujaan itu.
Dia membenarkan sikapnya sendiri dengan alasan kesehatan Leona yang lemah dan
mengancam jiwa sang putri. Ketakutannya akan hal ini ditunjang sepenuhnya oleh
dokter keluarga yang heran karena seringnya Leona murka maka dia menganjurkan
untuk selalu membuat Leona tenang. Kemudahan yang dimiliki putri kecil itu
seakan seperti perisai dan pedang khayalan yang akan melawan segala kesusahan
yang dia alami, dan tahun-tahun berikutnya keluhan sakitnya menelan hal-hal
nyata yang dia alami. Kenangan masa kecil tenggelam di alam bawah sadarnya - hanya
gejala-gejala sakit fisik yang mengkhawatirkan yang terlihat saat dia mengalami
stres berat. Dan akibatnya, di usia tigapuluhan, dia percaya dan yakin bahwa dia menderita
lemah jantung. Dokter yang menanganinya masih saja heran, meskipun kemungkinan dia mengidap
penyakit itu tetap ada. Ada banyak indikasi yang menunjang pendapat si dokter.
Tapi Jim tetap saja memperlakukan Leona sekehendak hatinya.
Hanya ketika Leona memutuskan untuk pindah ke New York saja maka Jim memintanya
untuk menemui ahli jantung lainnya.
"Bagaimana kabar gadisku malam ini?" tanya Jim.
"Aku sedang kesal, " jawab si putri, cemberut.
"Kesal?" "Well, siapa sih yang tidak kesal" Aku tidak tahu dimana Henry, lagipula - aku
baru saja mendengar rencana pembunuhan di telepon!"
"Demi Tuhan, sayang , apa yang kau bicarakan?"
"Aku mencoba menghubungi Henry dikantornya. Dan entah bagaimana tahu-tahu aku
sudah terhubung dengan saluran yang salah dan aku mendengar kedua orang ini
bicara mengenai pembunuhan yang akan mereka lakukan terhadap seorang
perempuan..." "Tunggu sebentar," potong Jim kasar. "Aku harus tahu hal yang sebenarnya.
Mengapa kau mencoba menghubungi Henry dikantornya - malam-malam begini?"
"Karena dia belum pulang. Aku tidak tahu ada apa sebenarnya. Sudah kucoba untuk
telepon kantornya, tapi malah nada sibuk yang terdengar. Sampai akhirnya
kudengar dua orang itu bicara."
"Begitu ya, sayang " " sahut ayahnya dengan suara marah. "Ini sangat
menggangguku. Anak ini memang tidak punya tanggung jawab sama sekali dan
sekarang dia berulah seperti ini. Kalaupun dia memang menghadiri rapat di
Boston, harusnya dia..."
"Boston?" teriaknya. "Ada apa di Boston?"
"Apa Henry belum bilang" Ada konvensi pengusaha obat-obatan di Boston, dan dari
laporannya, dia berencana akan pergi kesana. Bahkan jika dia berubah pikiran
dalam menit-menit terakhir, dia tidak berhak membuatmu menunggu sendiri di
rumah." "Mungkin dia sudah berusaha mengabarkan aku," jawab Leona ragu-ragu. "Mungkin
dia mencoba menelepon kesini saat aku mencoba menghubungi kantornya pada waktu
yang bersamaan. Jika dia harus berangkat dengan kereta malam..."
"Alasan apa itu! Seharusnya dia berusaha keras untuk mengabarkan hal ini
padamu!" "Aku tahu, Ayah."
"Well, jangan khawatir, Sayang. Aku akan meluruskan kelakuan Henry ini..."
"Masalahnya," sahut Leona tiba-tiba, "aku tidak bisa berhenti mengkhawatirkan
percakapan di telepon tadi..."
"Santai sajalah, Sayang. Yang kau dengar tadi mungkin saja cuma gurauan - cuma
beberapa orang badut iseng yang sedang beraksi. Lagipula. Siapa yang bakal
membicarakan tentang pembunuhan yang sebenarnya di telepon?"
"Tapi itu sungguhan," ujarnya, mencoba meyakinkan ayahnya. "Dan aku sama sekali
merasa tidak enak jadinya - apalagi aku hanya sendirian di rumah."
"Sendiri! Dan bahkan pembantumu itu..."
"Ya, Ayah," ujarnya.
"Well, kalau begitu . . . Apa kau sudah menelepon polisi?"
"Tentu saja. Tapi mereka tidak begitu tertarik. Hal-hal seperti ini dianggap
tidak masuk akal. "Well, kau sudah melakukan sebisamu dalam situasi seperti ini. Jadi, Sayang,
jangan biarkan hal itu terus mengganggumu lagi. Dan besok," suaranya kini berat
karena kemarahan yang ditahan. "Besok kita akan bicara sedikit dengan Henry dimanapun dia berada."
"Baiklah Ayah. Selamat malam."
"Selamat malam," sahutnya. "Ya ampun... kuharap kau pulang, Sayang. Tempat ini
seperti kamar mayat saja. Aku tidak tahu mengapa Henry membuatku membicarakan
tentang... Well, jaga dirimu baik-baik. Aku akan menelepon lagi besok."
Leona meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya, seulas senyum samar
terbayang di wajahnya, membayangkan bagaimana bencinya Henry mendapatkan telepon
seperti ini dari bapak mertuanya. Henry tidak pernah menyinggung mengenai hal
ini sama sekali, tapi kebenciannya adalah sesuatu yang bisa dirasakan, bukan
dilihat atau didengar oleh Leona.
9:51 Dia agak tenang dengan kepedulian ayahnya dan dengan pikiran akan ganti rugi
yang hebat yang menunggu kepulangan Henry nanti. Tapi tetap saja dia tidak dapat
membujuk pikirannya untuk tenang dan membiarkan waktu yang menjawab pertanyaan
dalam benaknya. Dari pembicaraan tidak mengenakkan antara "George" dan salah
satu teman iblisnya yang suka memakai pisau, dia telah mencoba sebisanya untuk
menarik perhatian para polisi.
Tidak ada alasan kejujurannya nanti akan disalahkan jika terjadi tragedi nanti.
Koran besok pagi mungkin akan menjelaskan akhir cerita malam ini - jika akhir itu
memang ada. Dan jika nanti ada seorang perempuan tidak bersalah yang ditikam sampai mati,
dan dirampok, dia akan meminta Henry untuk menulis ke koran itu, ke Komisaris
Polisi, dan mungkin ke Walikota, tentang tanggapan para polisi di Departemen
Kepolisian yang biasa-biasa saja terhadap informasi vital ini. Dan mereka akan
menyelidiki misteri sebenarnya karena kesaksiannya akan membuktikan perampokan
itu bukan hal yang sesungguhnya terjadi dan ada seseorang yang memerintahkan
agar perempuan itu dibunuh. Hal-hal seperti ini akan menjadi sensasi untuk pers,
dan kebajikannya untuk menceritakan apa yang dia dengar semalam akan membuat
dirinya menjadi kepala berita di koran-koran. Kawan-kawannya di Chicago akan
terpesona oleh keberaniannya.
Padahal dia invalid - setidaknya itulah yang dia rasakan.
Tapi Henry ini kemana sih" Pikiran-pikirannya terganggu oleh usaha yang dia
lakukan untuk dapat medengarkan suara sekecil apapun - dan itu dipertegas dengan
gerakan-gerakannya - akan adanya seseorang yang masuk ke dalam rumah. Papan yang
berderak, atau kertas yang bergemerisik karena hembusan angin, dan untuk sesaat
dia mendengar suara langkah kaki, maupun orang bernapas. Jantungnya berdebardebar tiap saat; dan kekecewaannya seperti menambahkan minyak ke dalam api
kemarahannya. Dia tidak bisa hanya duduk dan menunggu disana.
Setidaknya dia dapat berusaha melaporkan semua ini ke Henry.
Sebuah buku notes berwarna hitam kecil dikeluarkannya dari dalam laci meja
sebelah tempat tidur, mencari-cari bagian dengan huruf
'J'. Disana dia menemukan entri dengan nama
'Miss Jennings', dan di sebelahnya ada nomer: Main 4:4500.
Dan nomer ini diputarnya.
Perempuan-perempuan yang serupa burung dan bersarang di hotel khusus perempuan
di Elizabeth Pratt itu bercicit-cicit heboh di ruang duduk utama. Malam itu
adalah malam permainan Bingo, dan mereka seakan bertengger di meja-meja yang
memenuhi ruangan itu - meja kartu, meja perpustakaan, dan meja biasa yang dipinjam
dari ruang makan - dan berkonsentrasi penuh pada kartu-kartu dihadapan mereka,
berdecak dan berderik, dan kadang-kadang berkoak-koak ketika sejumlah angka
disebutkan. Ruangan itu kuno, tua, dengan bau beledu dan kehormatan yang sudah usang.
Lukisan-lukisan suram dan berdebu di bingkai-bingkai berkilat berukuran besar
tergantung pada dinding coklat pudar. Kursi-kursi kecil dan dudukan-dudukan
antik bersandar di dinding dengan nuansa kaku, dipisahkan oleh meja- meja dengan
berbagai lampu porselen berkap rumbai-rumbai di atasnya. Di langit-langit
terdapat tempat lilin kuningan yang sudah usang, dengan keran gas yang dibuka
dan bersinar menandakan zaman kesangsian saat tempat lilin itu dibuat, yang
meninggalkan semacam kilatan di barisan lampu-lampu listrik yang berjajar. Tidak
ada sesuatupun di dalam ruangan itu yang bisa mengganggu bayangan kejayaan masa
lalu tempat sebagian besar tamu hotel itu hidup.
Di salah satu ujung ruangan, seorang perempuan besar bergaun warna hitam karat
menatap melalui kacamata tanpa gagang ke arah angka-angka yang diambil dari
tabung di sebelahnya. Ketika satu demi satu angka-angka itu menjadi jelas di
matanya, dia akan menyentak kepalanya ke satu arah, memandang ke seluruh
ruangan, dan menyebut angka itu dengan suara yang keras, tinggi, dan
menyakitkan. Wajah tirusnya akan tersenyum mendadak dan kemudian dia akan
kembali mengambil angka-angka itu lagi. Itu berlangsung beberapa waktu secara
terus menerus dan monoton, sehingga ketika ada gangguan mendadak dia terhuyung
kaget dari duduknya. Seorang perempuan kecil dan bundar dengan kerah dan lengan baju terkanji,
merayap ke dalam ruangan dan mengangkat tangan ragu-ragu ke arah si penyebut
nomer itu. "Ssss-shhht, Miss Jennings - "
Perempuan yang dipanggil itu, terkejut dan marah, memandang galak ke arah si
pengacau. "Tolong ya!" katanya tajam, dan sekali lagi mulai memilih sebuah angka dari
tabung. Tapi pengacau itu, meskipun jelas-jelas diintimidasi, tidak mau diusir
begitu saja. "Ada telepon," bisiknya seolah meminta maaf. "Untuk Anda, Miss
Jennings... dari Mrs. Stevenson..."
Miss Jennings, dengan sepotong kertas karton terhenti di udara, memandang tajam
ke arah perempuan kecil yang gugup itu. "Siapa?" tanyanya terkejut.
"Mrs. Stevenson... Itu juga kalau dia masih menunggu..."
Mata Miss Jennings membesar dan kacamata tanpa gagang yang ada di ujung
hidungnya bergetar. " Oh! " teriaknya. "Katakan padanya, aku segera datang."
Lalu dia memutar kepalanya yang dihiasi rambut bercat hitam yang disanggul ke
orang-orang yang menontonnya, dengan riang dia berteriak, "Aku mohon maaf, nonanona. Kuharap kalian tidak keberatan. Aku harus menerima telepon penting dari
Mrs. Stevenson... Kalian tahu kan - putri Mr. Cotterell... Mr. Cotterell yang
memiliki Perusahaan Cotterell..." kemudian dia terbang ke tujuannya.
Sambil meluncur keluar ruang duduk dan melintas di depan meja operator telepon,
perempuan itu berteriak agar dia dihubungkan dengan Mrs. Stevenson dari kamarnya
yang terletak di ujung lorong sempit dan panjang di lantai satu - yang dilaluinya
dengan kaki yang hampir tidak menyentuh tangga berkarpet maupun lantai papan
tua. Pintu kamar dibuka, dan dia langsung melemparkan diri ke sebuah kursi malas
raksasa berwarna hijau di sebelah ranjang bertiang kuningan, dan menyambar
pesawat telepon - semua dilakukan dengan satu gerakan mengalir.
"Hal - halo. Halo, Mrs. Stevenson," dia menyapa sambil menghembuskan napas lega.
Matanya yang kecil terlihat seperti mata burung sekarang karena kacamata tanpa
gagang yang biasa dikenakannya diletakkan di pangkuan. "Saya senang sekali
karena Anda menelepon."
"Maafkan jika saya mengganggu," ujar Leona.
"Tidak apa-apa," seru Miss Jennings. "Saya hanya sedang mengadakan permainan
kecil sebagai pengisi waktu luang di hotel sini. Saya harap saya tidak membuat
Anda menunggu terlalu lama."
"Tidak apa-apa. Saya menelepon karena ingin bertanya, kira-kira Mr. Stevenson
pergi kemana, ya" Telepon saya - nadanya sibuk sekali sore ini sehingga saya saya khawatir mungkin dia tidak dapat menghubungi saya. Dan saya cemas
sekali..." Miss Jennings mencengkeram gagang telepon lebih erat ke dadanya yang kurus.
Matanya memancarkan ketertarikan yang tidak tulus. Ini mengasyikkan.
"Tidak," jawabnya agak terengah. "Saya tidak tahu Mr. Stevenson pergi kemana.
Aneh sekali beliau belum sampai ke rumah."
"Apa dia ada sesuatu yang harus dikerjakan sampai malam begini?" tanya Leona.
"Ti - tidak. Saya rasa tidak. Beliau tidak ada di kantor ketika saya pulang pukul
enam." "Dia tidak ada disana?"
"Tidak. Bahkan beliau hanya ada di kantor beberapa menit seharian ini. Siang,
kalau tidak salah. Kemudian beliau pergi dengan seorang perempuan dan itu adalah
terakhir kalinya saya melihat Mr. Stevenson hari ini."
"Perempuan - ?"
"Ya," sahut Miss Jennings, dan sinar di matanya itu semakin terang. "Ada seorang
perempuan yang menunggu kedatangan Mr. Stevenson selama satu jam lebih. Dan
kelihatannya dia sangat cemas."
Leona ragu-ragu sejenak. Kemudian dia bertanya, suaranya bergetar. "Apakah apakah - perempuan itu orang yang dikenal Mr. Stevenson" Seseorang yang pernah
kesana sebelumnya?" "T-t-tidak. Dia belum pernah kesini sebelumnya. Saya tidak yakin. Dan Mr.
Stevenson juga kelihatannya tidak - tidak mau mengenalinya. Awalnya memang
begitu." "Apakah Anda ingat siapa nama perempuan itu, Miss Jennings?"
"Namanya Lord - L-O-R-D, Mrs. Lord. Saya rasa nama depannya Sally."
"Well, apa yang mereka lakukan?" desak Leona.
Miss Jennings memandang langit-langit kamar, mengingat-ingat apa saja yang telah
terjadi hari ini. "Mr. Stevenson kelihatannya agak malu, tapi bagaimanapun
beliau berusaha memulihkan situasi tersebut. Beliau mengatakan pada Mrs. Lord
bahwa beliau sudah ada janji dengan seseorang dan memintanya untuk datang lain
kali. Perempuan itu menolak, dia bilang ini penting. Jadi Mr. Stevenson
mengusulkan agar dia menemaninya makan sebelum mengadakan pertemuan dengan orang
yang dijanjikan. Lalu mereka pergi keluar."
"Dan dia sama sekali tidak kembali setelah itu?"
"Tidak, Mrs. Stevenson. Saya pulang pukul enam, seperti yang sudah saya katakan
tadi, dan beliau belum datang juga. Hanya ada satu pesan untuk beliau selama
beliau pergi sepanjang sore tadi."
"Pesan" Dari siapa?"
"Oh, dari Mr. Evans - orang yang menghubungi Mr. Stevenson tiap minggu. Biasa...
pengganggu." "Well," sahut Leona agak bimbang." Semua ini aneh sekali. Tapi saya yakin Mr.
Stevenson akan mengabari saya jika ada sesuatu yang penting. Dia selalu
mengatakan segala yang terjadi di kantor."
"Ya, Mrs. Stevenson." Seulas senyum mengejek membayang di wajahnya ketika dia
mengatakannya. "Saya ingin bertanya," sambung Leona. "Apa Mr. Stevenson pernah mengatakan pada
Anda tentang kepergiannya ke Boston" Dia - dia mengatakan padaku..."
"Oh, itu!" seru Miss Jennings. "Beliau memang melaporkan pada Mr. Cotterell
mengenai kemungkinan untuk menghadiri kovensi di Boston. Tapi jika beliau pergi
sekarang - saya tidak tahu."
"Well, terima kasih," sahut Leona seriang mungkin. "Terima kasih banyak, Miss
Jennings. Saya tidak akan menahan Anda lebih lama lagi."
"Saya yang berterima kasih pada Anda, Mrs. Stevenson. Saya senang bisa membantu
Anda. Saya harap keterangan saya cukup membantu. Sebagian besar orang-orang di
kantor - well - kami agak-agak iri terhadap Anda, Mrs. Stevenson. Mr. Stevenson
sangat setia pada Anda."
"Ya," sahut Leona. "Dia memang begitu - "
"Saya harap Anda menyukai bunga yang dikirim hari ini," sambung Miss Jennings.
"Saya rasa bunga kamelia cukup cantik, sebagai ganti..."
"Sangat cantik memang," sahut Leona. "Selamat malam, Miss Jennings."
Miss Jennings menjawab salam Leona dan menutup teleponnya. Dia bersandar sambil
menerawang, menatap langit-langit kuningan tempat tiga bola lampu yang berpendar
telanjang tanpa tudung. Tapi dia tidak melihat sinar tajam itu atau yang
lainnya. Matanya berputar di dalam rongganya, mengira-ngira akan adanya sebuah
rahasia yang nantinya amat menjanjikan dan mengejutkan. Tidak ragu lagi, itu
memang rahasia, atau sesuatu yang dulunya dirahasiakan. Adanya penjelasan yang
nantinya akan dikemukakan oleh Mr. Stevenson akan langsung ditolaknya mentahmentah. Dia selalu merasa ada yang aneh tentang diri Mr. Stevenson. Ada suasana
konflik yang selalu melingkupi wajah tampan dan keras itu dan sikapnya tak
tertembus. Kalau dipikir-pikir, dia hanya sebentar saja berada di kantor. Dan
Miss Jennings, dengan pikirannya yang sedang berputar-putar penuh tipu daya,
mulai memikirkan segala kemungkinan.
Pucat dan gemetar, Leona jatuh ke atas tempat tidur yang bertaburkan bantalbantal Jadi begitu ya! Apa yang tidak bisa terjadi temyata sekarang terjadi! Bodoh!
Benar-benar bodoh! Membuat dirinya terjebak perselingkuhan kotor dengan gadis
dari masa lalunya. Dan terpergok hampir saat itu juga.
Membuka aibnya tentang caranya bertugas dalam menangani perusahaan ayahnya. Untuk
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memaksanya memilih salah satu adalah aib dalam masyarakat - hancurnya ilusi yang
diciptakan Leona tentang kehidupannya yang menyenangkan - tapi di sisi lain dia
harus menanggung malu yang dirasakannya secara pribadi, dikalahkan selamanya
oleh Henry yang tahu Leona tidak bisa mengalahkannya, selamanya. Tidak masuk
akal! Mengapa semuanya terjadi malam ini" Apakah ada seseorang yang mencoba
membuatnya gila" Apakah ada seseorang - Henry, mungkin - yang mencoba untuk membuatnya kena
serangan jantung" Sesuatu melintas di benaknya... nama perempuan itu - Lord. Sepertinya nama itu
pernah dia dengar sebelumnya. Atau melihatnya. Hari ini. Suatu waktu di hari ini
nama itu pernah dilihatnya. Tapi karena gelisah, sulit sekali mengingatnya. Dia
yakin nama itu pernah dilihatnya. Dan tiba-tiba saja dia ingat.
Dia mengayunkan kakinya untuk turun dari tempat tidur, awalnya agak gemetar. Dia
berjalan menuju meja rias, menyalakan lampu yang menyala di salah satu ujungnya.
Matanya menangkap sebentuk kartu putih di dekat tempat bunga - kartu yang
menyertai bunga kamelia yang dikirimkan Henry hari ini
"Dengan segenap cintaku, Henry," tulisnya. Dia menyambar kartu putih itu,
merobeknya sampai membentuk serpihan kecil dan menyebarnya di lantai. Dia mulai
mengacak-acak barang-barang yang ada di meja, sampai matanya tertumbuk pada
salah satu botol parfum yang di belakangnya ada sepucuk kertas dengan beberapa
baris berisi daftar yang ditulis oleh pelayannya. Ketika dia mengambil kertas
itu, telepon berdering. Dia kembali meneggelamkan diri ke tempat tidur dengan kertas itu tergenggam di
tangannya sambil mengangkat telepon. Suara seorang lelaki - bergaung, lelah, dan
tua, dengan aksen Inggris yang kental, berkata, "Tolong dengan Mr. Stevenson."
"Dia tidak ada," bentaknya. "Siapa ini?"
"Mr. Evans disini. Kapan kira-kira dia datang" Ini penting sekali. Saya sudah
menghubungi kantornya, dan sepertinya dia tidak ada disana."
"Saya tidak tahu dimana Mr. Stevenson sekarang ini," sahutnya. "Lebih baik Anda
menelepon lagi nanti."
"Kira-kira lima belas menit lagi?" tanya si lelaki. "Saya tidak punya waktu
lagi. Saya akan meninggalkan kota tengan malam nanti."
"Baiklah," ujarnya. "Lima belas menit lagi."
"Terima kasih," sahutnya bergumam. "Saya akan menelepon lagi nanti. Dan - tolong
katakan pada Mr. Stevenson saya menelepon. Jika dia sudah pulang. Nama saya
Evans. E-V-A-N-S. Saya ada keperluan yang sangat penting."
Evans dan teleponnya tadi segera menghilang dari benaknya segera saat Leona
menutup telepon. Dia membawa sepucuk kertas itu ke bawah lampu. Di atasnya
tertulis: Telepon untuk Mr. Stevenson." Di bawahnya ada 3 entri yang ringkas:
15:30 Mr. Evans. Richmond 8:12.
16:35 Mr. Evans. Richmond 8:12.
16:50 Mrs. Lord. Jackson Heights 5:9964.
Itu dia. Mrs. Lord! Menghubungi Henry di rumahnya sendiri - di rumah Leona.
Konyol sekali. Ada batasan tertentu untuk hal-hal semacam ini, dan salah satu
batas itu telah terlampaui. Dijangkaunya telepon dan diputarnya nomer Jackson
Heights. Wajahnya mengeras, cemburu, sekeras batu. Jemarinya gemetar gugup,
menggenggam ujung tempat tidur ketika dia menunggu jawaban dari seberang.
Kemudian nada panggil berubah menjadi suara anak kecil yang berkata, "Halo,
disini kediaman Lords."
Terkejut, Leona berkata, "Saya ingin bicara dengan Mrs. Lord. Apa dia ada?"
"Sebentar," sahut si bocah. "Saya panggil."
Didengarnya anak kecil itu meletakkan telepon. Samar-samar terdengar suara
seorang lelaki, "Apa itu untuk Ayah, Nak?" Lalu suara si bocah, "Buat Ibu," lalu
suara lelaki itu menggumam bingung, tapi tidak terlalu jelas untuk dikenali. Dia
mencoba mendengarkan dengan seksama, jika mungkin mengenali, gaya bicara lelaki
itu. Tapi tidak ada satupun dari suara-suara tersebut yang dikenalnya. Tiba-tiba
dia merasa tegang, dan menempelkan gagang telepon lebih erat ke telinganya untuk
bisa mendengar lebih jelas. Tadi dia mendengar ada yang menyebutkan "Stevenson"
dari percakapan yang samar-samar itu. Dan "Cotterell Corporation" ! Dan "Staten
Island." Setelah itu ada seseorang - perempuan - mendekati telepon,
memperingatkan si bocah untuk kembali ke tempat tidur, berkata ke salah seorang
lelaki disana, "Fred - teganya kamu! Dia berjalan keluar tanpa alas kaki!"
Kemudian ada suara berkerisik ketika telepon itu kembali diangkat, dan perempuan
itu menyapa, "Halo?"
Mulut Leona tiba-tiba seperti penuh kapas.
Dia terdiam sesaat untuk menelan ludah. "Halo, Mrs. Lords?"
"Saya sendiri."
"Ini Mrs. Henry Stevenson, Mrs. Lords. Saya - saya yakin kita belum pernah
bertemu - tapi saya tahu Anda menemui suami saya siang ini."
" Oh - ya - memang , " sahut suara di seberang agak ragu.
Kegugupan yang didengarnya dari si perempuan itu membuat lidah Leona terasa
longgar. "Biasanya, saya bahkan tidak akan bermimpi untuk mengganggu Anda, Mrs. Lord,"
kata Leona menyindir. "Tetapi - sebagaimana yang sudah terjadi - suami saya
belum pulang sore ini. Saya tidak dapat menghubunginya dimanapun. Dan saya pikir
mungkin Anda bisa mengatakan pada saya dimana kira-kira dia berada..."
"Oh - ya - bisa," sahut si perempuan tadi, samar-samar.
"Saya tidak bisa mendengar suara Anda, Mrs. Lords. Bisakah Anda bicara sedikit
lebih keras?" "Tentu saja - saya..."
"Apa ada yg salah?" tanya Leona dengan dingin. "Saya harap Anda tidak
menyembunyikan sesuatu dari saya, Mrs. Lords."
"Oh, tidak... Bisakah saya menghubungi Anda kembali?"
"Mengapa?" "Karena..." Suara perempuan itu mendadak berubah dari putus asa yang diam
menjadi aneh dan merasa terganggu. "Sekarang malam bermain kartu bridge, Anda
mengerti kan?" "Apa maksud Anda?" Tanya Leona mendesak. "Apa hubungannya permainan bridge
dengan hal ini" Maaf, tapi saya sama sekali tidak mengerti apa yang Anda maksud,
Mrs. Lords!" "Dan kemudian kita jalan-jalan ke Rotin Point," si perempuan itu melanjutkan
seolah tidak terjadi apapun.
"Hey, dengar," ujar Leona kasar. "Anda ingin mempermainkan saya, ya, Mrs. Lords"
Jika Anda belum tahu, saya ini invalid. Saya tidak tahan dengan perbuatan yang
menjengkelkan ini. Sekarang bilang pada saya: Apakah suami saya ada disana
bersama Anda" Apakah dia ada disana" Katakan sejujurnya pada saya!"
"Tiga telur dipisahkan," kata si perempuan itu meracau. "Dua gelas susu, dan
satu gelas susu asam. Buat krim susu asam itu dengan menambahkan sedikit gula,
lalu tambahkan satu sendok tepung..." Kemudian hening sesaat, lalu terdengar
suara perempuan itu berbisik. "Leona... Leona... Ini Sally Hunt, Leona. Kau
ingat kan" Maafkan kekonyolanku, tapi tadi suamiku berdiri dekat sekali dengan
telepon. Aku tidak bisa bicara sekarang. Aku akan menghubungi secepat mungkin.
Tunggu saja..." Dan suaranya menghilang.
Leona berbaring di kasur, menenangkan sarafnya. Dia sangat bingung dengan apa
yang baru saja terjadi. Aneh sekali cara Sally untuk kembali masuk ke dalam
kehidupannya seperti ini!
Sally Hunt! Dulu Sally jatuh cinta pada Henry, mungkin sampai sekarang juga masih, meski
mungkin dia sudah menikah dan punya anak. Dia sudah jatuh cinta pada Henry sejak
dia mengundang Henry untuk menemaninya ke pesta dansa di kampus. Malam itu Leona
mencabutnya dari keramaian. Kejadian itu sudah lama berselang.
Tapi Leona mengingatnya dengan mudah.
Musik dansa menggelegar dari sebuah fonograf yang disandarkan pada tembok
panggung Auditorium. Dibawahnya, dalam ruang luas yang dihiasi dengan baliho dan
kertas warna-warni, beberapa pasang muda-mudi menari berjingkrakan, atau hanya
berdiri sambil ngobrol, atau berkelana ke meja prasmanan. Sebagian besardari
para pemuda itu bertampang sama - rambut cepak, celana baggy, jas wol. Dan gadisgadisnya memiliki seragam mereka sendiri - sweater gombrong dan rok, dengan
rambut panjang diikat di tengkuk.
Tapi ada dua orang diantara mereka yang berbeda.
Pemuda yang berdansa dengan Sally jelas-jelas bukan anak kampus. Pakaiannya
sesuai, rambutnya dipotong bergaya konvensional dan rapih; dan caranya menari
sangat anggun dan jauh dari kesan kasar. Tubuhnya tinggi, berotot, dan berambut
gelap, juga tampan. Dari cara Sally memandang penuh rasa kagum, mudah sekali
mengetahui apa yang membuat sepasang mata gadis itu berbinar-binar, dan itu
bukan akibat kegairahan pesta saat itu.
Dari raut wajahnya, tidak ada sedikitpun yang bisa menampakkan isi hati si
pemuda. Dia memandang acuh dari atas kepala Sally, dan lagaknya hampir seperti
pengawal. Leona, gadis berpengalaman dengan kecantikan pucat, terbalut gaun hitam dan
rambut pendek berkilat sampai ke ujung daun telinga, adalah sosok yang menonjol
diantara kumpulan pemuda-pemudi itu bagai kapal pesiar diantara tongkang. Segala
hal yang ada pada dirinya terlihat sangat berbeda.
Perbedaan mahal itu nyata-nyata terpampang. Gadis-gadis tidak berpakaian seperti
itu dari uang saku yang pas-pasan.
Dia memperhatikan Sally yang berdansa untuk beberapa saat, lalu melangkah ke
arah mereka, menuju punggung lebar pasangan Sally itu. Dia menepuk bahu pemuda
itu dan berkata, sambil tersenyum, "Boleh aku menyela?"
Mereka berdua terkejut, berdiri samping-menyamping, dan Sally bingung. Pemuda
itu menatap langsung ke wajah Leona penasaran.
"Kau tidak keberatan kan, Sally?" tanya Leona.
Sally segera pulih dari keterkejutannya, dengan cepat berkata , "Kau mendapat
taklukan, Henry. Selamat."
Leona menatap dengan pandangan sayu ke arah pasangan Sally. "Aku Leona
Cotterell. Siapa namamu?"
Sebelum si pemuda menjawab, Sally segera mengenalkannya. "Ini Henry Stevenson,
Leona." Leona tersenyum dan menyibakkan rambutnya dengan anggun kemudian bergerak ke
arahnya. "Mari kita berdansa," ajaknya. Dan terjadilah apa yang terjadi.
Mereka berdansa dan Leona menjadi pusat perhatian. Pandangan acuh Henry tidak
terlihat lagi sejak saat itu. Dia jelas-jelas terpesona, dan meskipun pemuda itu
tidak mengobrol pujian terhadap Leona, dia telah menyampaikan kekagumannya pada
daya tarik Leona, akan jurang yang memisahkannya dengan teman-temannya yang
lain, seperti misalnya, Sally.
Dia langsung menebak ayahnya adalah Jim Cotterell. "Beliau adalah orang yang
sangat kukagumi," ujarnya. "Beliau tahu apa yang diinginkan. Memiliki otak untuk
merencanakan dan mendapatkannya. Uang. Kau bisa lakukan apapun dengan uang.
Suatu hari nanti..." dan dia berhenti mendadak sambil tersenyum layaknya seorang
bocah. Leona suka senyum itu. Senyum yang tidak melebar ke seluruh wajah sebagaimana
perubahan wajah dengan mempertontonkan banyak gigi seperti sebagian pemuda
lainnya. Senyum itu seperti menyalakan lilin di matanya, dan lengkungan menarik di sudut
mulutnya menjadi lebih dalam. Hal ini malah memperkuat karakter wajahnya. Senyum
yang tulus, lugu dan tidak berkesan sombong.
Ketika mereka bergerak perlahan melintasi lantai dansa, ada hal lain tentang
diri pemuda acuh ini dan membuat Leona sangat tertarik.
Dia sama sekali tidak peduli dengan kuliah.
"Terlalu miskin," jawabnya tanpa senyum. "Keluargaku terlalu miskin. Aku harus
membantu mereka sebisaku."
Leona menanggapi dengan apik.
"Beberapa orang-orang menarik yang aku tahu malah tidak kuliah. Ayahku juga
bukan orang kuliahan."
"Oh?" Henry menanggapi senang. "Jadi masih ada harapan bagiku. Maksudku, untuk
bisa meraih kesuksesan."
"Ayahku selalu bilang, jika seorang lelaki tidak punya bakat untuk mencetak
uang, kuliah tidak akan membuatnya jadi berbakat. Dan jika dia memang berbakat
mencetak uang , mengapa menghabiskan waktu di bangku kuliah?"
Hal itu benar-benar membuat Henry senang. "Hore untuk Ayah!" ujarnya.
Musik berhenti dan Henry menarik tangannya dari pinggang Leona, juga melepaskan
tangan gadis itu yang sedari tadi digenggam-nya. "Terima kasih," katanya.
"Banyak terima kasih."
Leona tersenyum nakal. "Maukah kau duduk jika musik diputar kembali?"
"Tunggu sebentar," ujarnya dengan wajah pura-pura takut. "Bagaimana dengan
Sally" Lagipula, Sally itu adalah - adalah pengiringku kalau dia tidak
mengundangku..." Leona menunjuk ke arah Sally yang sedang berbicara asyik dengan beberapa pemuda
berambut cepak di seberang ruangan. "Sally sudah ada yang menemani, lagipula
kita cuma beberapa menit saja. Ayo kita keluar dan akan kutunjukkan mobilku
padamu kesayanganku."
Dia menarik tangan si pemuda dan membawanya keluar dari auditorium. Mereka
melintasi halaman yang diterangi cahaya bulan ke arah jalanan. Berpuluh-puluh
mobil berjajar di sepanjang halaman parkir, tapi ada satu mobil yang bentuknya
lebih rendah dan lebih panjang daripada mobil lainnya, dan dua kali lebih gagah
daripada mobil di sebelahnya.
"Bukankah dia cantik?" ujarnya bangga. "Tidak ada satupun yang seperti ini.
Perbandingannya satu banding seratus, begitu kata penjual yang menawarkan ke
Ayah. Kata Ayah mobil ini terlalu mewah untukku, tapi setelah aku melihatnya,
mobil lain sepertinya tidak ada apa-apanya di dunia ini."
"Mobil hebat," ujar Henry. " Bugatti! Lumayan! Sangat lumayan!"
Leona kembali menarik tangan Henry.
"Bagaimana kalau kau mencobanya?" tanya Leona memaksa. "Cuma berputar-putar
sedikit di jalanan sekitar sini. Tidak ada seorangpun yang akan kehilangan
kita." Dengan segera dia menyetujuinya, dan Leona bahkan ingat betul bagaimana Henry
kemudian agak berlari kembali melintasi halaman dan masuk ke dalam auditorium
untuk mengambilkan mantel bulu Leona dan jaketnya sendiri. Hanya dalam beberapa
menit mereka sudah berada di jalanan, atap terbuka, dengan mesin Bugatti
menderum dan bergetar galak.
Udara musim dingin yang tajam mengiris wajah mereka, mengaduk-aduk mereka dengan
perasaan gembira yang menggelitik. Dia mengerti kini -ketika hal itu
dipikirkannya kembali sekarang - bukan dia atau mobilnya yang hebat yang menjadi
sumber kesenangan Henry yang menyetir sambil berteriak-teriak ribut malam itu.
Tapi kesan yang ditampilkan dari diri dan kendaraannya itu - yang tidak hanya
dilihat dari kejauhan, tidak dimimpikan, ada di bawah kendali tangannya. Dan
itulah sebabnya mengapa wajahnya bercahaya saat dia mengendarai mobil Leona. Dan
itulah alasan mengapa dia tidak menolak ketika diajak kabur dari lantai dansa.
Dia telah merasakan apa yang selanjutnya diketahui dengan pasti, dan bahkan
benaknya telah mulai membuat rencana, membuat bagan, dan menentukan pola yang
akan dilaksanakannya nanti. Sedikit demi sedikit dia merasakan kepastian yang
makin menguat di dalam pikirannya. Dia mengarahkan Henry untuk berbelok dan akan
membuat mereka terjebak di jalan buntu.
"Mobil hebat," katanya memuji, enggan untuk berhenti. "Mobil ini benar-benar
bisa ngebut. Aku ingin membawanya keluar kapan-kapan dan melepaskannya di alam
bebas." Sambil tertawa Leona berkata, "Kita hampir tidak mengenal satu sama lain.
Kuharap kau mau mengantarku pulang nanti. Atau apakah aku harus keluar dan
berjalan kaki pulang?"
Leona merebahkan diri ke jok mobil untuk menatap langit malam, hitam bagai
beledu dan bertabur bintang-bintang, terpotong di satu tempat oleh bulan dingin
setipis pisau. "Sally Hunt," gumamnya, melamun. "Aku tidak pernah bisa membayangkan kalian
berdampingan berdua sampai kapanpun."
Dia berpaling dari setir dan memandangnya, tangan melingkar dari atas kepala
memeluk jok mobil bagian belakang. "Mengapa?"
"Oh - perasaanku saja. Aku mengenali berbagai sifat. Ayahku sering mengajakku
kemana-mana - keluar negeri dan semacamnya - dan aku sering sekali bertemu banyak
orang baru. Kau akan mengkotak-kotakkan orang berdasarkan kelasnya setelah
beberapa saat - setelah kau sering bepergian seperti itu. Kau dan Sally tidak
berada di kelas yang sama. Kalian sangat jauh berbeda."
"Maksudmu uang?" tanyanya getir.
"Maksudmu keluarganya kaya dan aku seharusnya tidak masuk begitu saja dan
merusak tatanan itu?"
"Bukan begitu maksudku," katanya terburu-buru. "Aku sama sekali tidak memikirkan
hal itu." "Tidak ya" Lalu apa?"
"Aku hanya berpikir Sally memang cocok untukmu karena kalian berasal dari kota
kecil yang sama. Tapi kau berbeda."
"Aku berbeda" Dan kau bisa menemukan perbedaan itu pada diriku - dalam waktu
sesingkat ini?" Dia tertawa kecil mengejek.
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa tidak?" Leona balik bertanya.
"Kau lihat saja anak-anak di lantai dansa tadi. Mereka anak-anak kampus yang
berasal dari keluarga baik-baik, kaya dan terpandang. Tapi kau membuat mereka
terlihat seperti bayi. Dan sebagian besar dari mereka akan tetap menjadi bayi
seumur hidup." "Bagaimana denganku?"
"Kau bukan bayi, Henry. Mungkin bahkan kau tidak pernah menjadi bayi."
Saat itulah Henry mencondongkan badan ke arah Leona dan menciumnya - agak kasar,
dan berpengalaman. Ciuman itu cukup lama untuk membuat Leona merasa gemetar
karena kegembiraan luar biasa yang menjalari setiap syaraf di tubuhnya.
Lalu Henry kembali ke tempatnya semula, menatapnya seperti seorang seniman
memeriksa hasil karya seninya. "Aku selalu ingin mencium uang sejuta dollar,"
ujarnya. Dia tersenyum licik. "Apa kau mau mencoba mencium uang dua juta dolar?"
Ucapannya membuat Henry kaget, memaksanya untuk terpaksa tersenyum. Dia telah
memasukkan cakarnya kembali - untuk sesaat - dan mata Henry berkilat-kilat
gembira. "Aw!" serunya, dan kemudian, "Mungkin aku agak sedikit lebih baik daripada anakanak berandal di pesta dansa tadi. Tapi semua itu karena aku harus memenuhi
kebutuhan hidupku dan keluargaku selama ini - dan itu tidak cukup bagiku."
"Bagiku itu sudah cukup jauh. Aku tahu kau akan berusaha semampumu. Semua ini
berkaitan dengan penampilanmu. Bagaimana kau mempengaruhi orang lain. Orang
sepertiku." Raut wajahnya kembali dingin dan sinis. "Ini lucu sekali," ujarnya. "Yang
kulakukan hanya duduk disini dan menyerap semua pujian dari seorang gadis yang
punya uang jutaan dolar, jaket bulu, dan Bugatti, dan tidak akan pernah kutemui
lagi." "Kau tidak tahu," kata Leona. "Kau tidak tahu - apa-apa."
"Aku tidak mengerti."
"Kau akan mengerti nanti," ujarnya lembut. "Ceritakan tentang dirimu, Henry.
Darimana asalmu" Bagaimana keluargamu?"
Dia tertawa sinis. "Itu cerita yang sangat singkat. Aku datang dari keluarga
yang sering disebut sebagai 'salah jalur'. Ayahku mengantarkan batubara ketika
dia sadar, dan berpidato tentang kemiskinan saat mabuk. Keadaan ibuku mungkin
akan baik-baik saja jika beliau tidak jatuh cinta pada Ayah. Ibu dulu pernah
mengenyam pendidikan dan menginginkan pendidikan yang lebih tinggi lagi. Tapi
beliau malah membesarkan enam anak, menjaga mereka agar tetap hidup dan jauh
dari masalah, dengan atap - bocor lagi - di atas kepala mereka dan sesuatu untuk
mengganjal perut mereka. Begitulah. Impian Amerika."
"Tapi bagaimana dengan kamu?" tanya Leona. Kau tidak kelihatan seperti - seperti - "
"Seperti orang miskin" Seperti orang yang membagi rokoknya menjadi dua agar
lebih awet" Tidak," ujarnya. "Tidak separah itu. Ibuku berusaha memasukkanku ke
sekolah lanjutan dan bukan memaksaku bekerja, setelah aku menyelesaikan kelas
delapan. Di sekolah lanjutan mereka sadar bahwa aku bisa berlari cepat sambil
mengepit bola. Aku jadi terkenal.
Sally Hunt mengajakku untuk menemui keluarganya - di kotaku, keluarga Hunt
tergolong keluarga yang lumayan terpandang - dan ayahnya ternyata menyukaiku.
Dia memberiku pekerjaan di apotik terbesar di kota itu."
"Apotik!" seru Leona. "Henry, ini takdir!"
"Tentu saja," sahut Henry menyeringai dan menerima sindiran Leona. "Sudah kuduga
kau akan merasa seperti itu."
"Ceritakan lebih banyak lagi padaku," ujar Leona dengan riang. "Apa kita masih
berurusan di bidang yang sama?"
"Tentu saja," sahut Henry. "Sekarang aku adalah manager segalanya kecuali bagian
resep. Bocah lokal membuat semua jadi enak. Sandwich enak, soda enak..."
"Bagaimana dengan Sally?" tanya Leona.
Saat-saat konyol dan singkat itu hilang. Dia ragu-ragu, raut sedih yang terlihat
alami kembali mewarnai wajahnya.
"Sally anak yang baik," jawabnya. "Kami berteman akrab. Tidak lebih dari itu.
Keluarganya sangat baik padaku. Mereka membantuku di masa-masa sulit. Tapi aku
tidak tahu. Kadang-kadang aku merasa..."
Dia mengalihkan pandang dari Leona.
Matanya menerawang jauh ke depan, ke arah hutan gelap di pinggir lapangan di
tepi jalan, dan jauh lagi sampai dia tidak bisa melihatnya."
"Ya... Merasa... apa?" tanya Leona lembut.
"Seolah-olah aku terjebak. Seolah-olah apapun yang kulakukan - sekeras apapun
aku bekerja - aku tidak akan pernah mendapatkan apa yang kumau karena aku
menginginkan lebih banyak."
Mereka duduk dalam diam. Henry menawarkan rokok padanya, mengambil satu, dan
menyalakan rokok mereka. Pengakuannya itu menimbulkan kemarahan terpendam dalam
dirinya. Akhirnya dia menghisap rokoknya dalam-dalam, berbalik ke arah Leona
sambil menyeringai dan berkata, "Kau dan Bugatti sialanmu! Ayo kita kembali ke
pesta dansa!" Mereka kembali berkendara dalam diam.
Tidak ada seorangpun yang bicara sampai mereka memarkir mobil dan Henry membuka
pintu untuk Leona. Tiba-tiba Leona menarik lengan bajunya. "Bagaimana jika kau
kupertemukan dengan ayahku, Henry?"
"Boleh, itu boleh saja. Kami punya banyak kesamaan. Kami berdua bekerja dalam
bidang obat-obatan." Dia tertawa, kali ini tanpa kegetiran di dalamnya,
melainkan ingin menunjukkan apa yang diucapkan itu memang lucu.
"Aku sungguh-sungguh. Kurasa Ayah akan menyukaimu. Apalagi jika dia kupaksa
untuk itu. Beliau akan datang akhir pekan besok dan aku akan membolos hari
Sabtu. Bagaimana jika kau bertemu dengan kami pada hari itu?"
"Tahukah kau," jawabnya lambat-lambat.
"Mengapa tidak" Lagipula tidak akan kerugian padaku jika kulakukan."
Dan dari situlah semuanya bermula. Henry, layaknya anak kuda yang gelisah,
awalnya tidak mudah ditangani. Dia memiliki kebanggaan dan kemandirian, dan dia
tahu ada seorang gadis anak orang terkaya di Amerika yang menaruh perhatian
besar padanya. Perhatian khusus yang sangat besar, dan itu membuatnya curiga. Tapi Leona sabar
menunggu. Henry pernah berkata mungkin dia meminta terlalu banyak. Dengan itulah
Leona membuka pintu hati Henry. Dengan dunia dalam genggamannya, kebanggaan itu
tidak bisa ditahan lagi. Dan ketika itu dihancurkan saat itulah Leona
mendapatkan apa yang ia inginkan.
Leona mengenang kejadian dengan Sally Hunt yang hampir membuatnya tertawa, tidak
lama setelah pesta dansa itu. Suatu sore Sally mendatangi kamarnya, agak raguragu, tapi dengan ketegasan yang meliputi wajah cantik yang biasanya riang itu.
"Leona, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu."
Saat itu Leona sedang membungkuk di atas beberapa koper yang tergeletak di atas
tempat tidurnya. Dia menengadah ke arah Sally sambil berkata dengan nada
jengkel, "Well - Ya Tuhan, cepat katakan apa maksudmu! Aku akan pergi ke Chicago
dalam beberapa menit."
Sally menunduk sesaat, kemudian menatap mata Leona dengan tiba-tiba. "Kau sering
sekali menemui Henry beberapa minggu ini, Leona, dan ada sesuatu..."
"Ya?" jawab Leona agak mengejek.
"Ada sesuatu yang kurasakan - dan kupikir - aku harus mengatakannya padamu."
"Kau sudah mengatakan hal itu sebelumnya. Ayo, katakan saja ada apa."
"Dia bukan jenis laki-laki - untuk dipermainkan, Leona. Jangan main-main lagi
dengan dia, Leona -tolong."
"Siapa bilang aku main-main dengannya?" tanya Leona ingin tahu sambil berjalan
ke arah lemari untuk mengambil pakaian lagi.
"Oh, Leona - dia itu bukan orang dari golonganmu -dia tidak lebih dari anak-anak
yang lain..." Leona mendadak diam. "Aku suka keberanianmu..."
Tapi Sally terus bicara dengan penuh semangat. "Jika kau tidak menghentikannya
sekarang kau akan menyesal, Leona. Henry bukan orang yang tepat untukmu . Aku
mengenalnya hampir seumur hidupku. Ayahku membantunya. Seluruh keluargaku
memperlakukannya seolah dia bagian dari kami. Dan dia selalu baik jika salah
satu dari kami ada di dekatnya -untuk membantunya. Tapi dia -agak lain. Dia
memang manis, baik dan lembut - untuk beberapa saat, kemudian suasana hatinya
akan - berubah. Dia menginginkan hal-hal yang tidak bisa didapatkannya. Dan jauh
di dalam lubuk hatinya hal itu membuatnya gila. Saat itulah dia perlu bantuan
-kami. Oh, kukira aku memang mencintainya. Tapi pengertian lebih penting dari
cinta. Dia tidak akan nyaman dengan orang yang tidak mengerti dirinya. Dia
melakukan hal-hal yang - yang akan membawanya berhadapan dengan banyak masalah
jika orang tidak memahami betul bagaimana dia sebenarnya."
Leona tertawa keras. "Tipuan bagus, tapi tidak berhasil untukku, Sally. Kau
hanya tidak bisa bersaing. Sesungguhnya, aku sangat memikirkan si Henry
Stevenson itu. Dan aku mengerti dia. Dan kupikir dia terlalu bagus untuk
ditempatkan di kotamu. Jika aku ingin mengajaknya bersenang-senang,
memperkenalkannya ke beberapa orang, itu urusanku. Jika aku ingin menikahinya itu juga urusanku." "Menikahinya!" Sally terperanjat. "Kau tidak bermaksud begitu 'kan. Kau
bercanda." Leona tersenyum puas. "Apa ada alasan yang lebih baik mengapa aku tidak bisa
menikahinya?" Sally menarik diri setelah Leona mengatakan hal itu, dan Leona kembali
mengingatnya ketika dia berbaring gelisah di ranjang. Sally sama sekali tidak
melakukan perlawanan yang cukup berarti. Dan jika dia melakukan kebalikannya,
sebenarnya itu lebih baik.
Perlawanan dari Jim Cotterell juga tidak banyak berarti, meskipun dia telah
berusaha sekuat tenaga bagai lembu jantan yang sedang distempel dengan logam
panas. "Anak itu tidak punya apa-apa," ujar Jim setahun kemudian, Ada setitik
permohonan dalam suaranya yang bergemuruh itu. "Dia memang seorang pemuda yang
gagah. Tapi dia hanya bocah biasa - layaknya batu - pasaran. Setelah banyaknya
biaya yang kukeluarkan untuk pendidikanmu -ke luar negeri -memberikan apapun
yang kau mau - mengapa kau membuat dirimu jadi sia-sia begini?"
"Aku mencintainya," jawab Leona dengan tegas, menatap langsung mata ayahnya.
"Sampah!" teriak Jim. "Kau itu keras kepala."
Leona dengan kepala batu berdebat dengan ayahnya untuk menegaskan bahwa dia
bukan anak yang keras kepala. Dia mencintai Henry dan itu dikatakannya berulangulang kali. Tapi Jim mengetahui semua dengan lebih baik.
Leona mencintai Henry sama seperti dia mencintai Bugatti-nya, teriak Jim.
"Masalahnya, Ayah," sahut Leona murka,
"Ayah tidak ingin aku menikah dengan siapapun. Ayah hanya ingin aku tinggal
disini, di rumah ini - bersamamu."
Leona berdiri tegak menantang ayahnya.
Jim berjalan mondar-mandir di kandangnya, dengan wajah segemuk sapi berwarna keunguan karena kecemasan dan kejengkelannya.
"Itu tidak benar - sama sekali tidak benar," jawabnya sambil menghentikan
langkah di hadapan Leona. "Kau tahu aku memberikan segalanya untukmu. Aku selalu
memberikan apa yang kau inginkan -membiarkanmu melakukan apapun yang kau suka,
tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Tapi kali ini lain. Pernikahan adalah hal
besar bagi gadis dengan posisi sepertimu. Aku telah bekerja dengan sangat keras.
Aku membangun bisnis besar. Untukku" Bukan! Pertama untuk ibumu, sekarang
untukmu. Saat aku mati nanti, kau akan dapatkan semuanya. Dan aku tidak ingin
nantinya ada seorang bodoh yang menggerayangi hakmu hanya karena kau menikah
dengannya. Apalagi di saat kau terlalu gelisah untuk bisa berpikir dengan
jernih." "Dengarkan Ayah, sayang. Kau harus berpikir tentang hal ini sekali lagi. Coba
beri waktu bagi dirimu sendiri -misalnya setahun - untuk bisa melihat seberapa
baik anak ini untukmu. Temuilah dia sesuka hatimu. Kemudian jika kau masih
menginginkannya..." Tawaran ayahnya hanya membuat amarah Leona makin memuncak.
"Ayah ini pembenci!" teriak Leona. "Egois dan pembenci. Ayah tidak peduli
denganku. Ayah hanya memikirkan diri dan bisnis Ayah itu. Ayah tidak suka Henry
hanya karena dia mencampuri rencana egois Ayah. Anggaplah dia anak desa.
Memangnya sewaktu Ayah memulai semuanya itu, Ayah siapa, sih - di Texas sini?"
Tubuh Leona tergetar menahan amarah.
Dia memandang senang demi melihat raut wajah khawatir yang segera terpampang di
sana. "Tenang, Sayang," ujar Jim memohon. "Kau hanya akan membuat dirimu sendiri jadi
sakit." "Sakit!" teriak Leona. "Membuat diriku sakit! Ayahlah yang membuat diriku sakit.
Ayah dengan uang dan bisnis Ayah yang hebat itu. Ayah tidak peduli jika semua
itu hanya akan membawaku ke alam kubur supaya aman dan tidak ada seorangpun yang
akan mengambilnya dari Ayah."
Leona mengisak, dan Jim mencoba merangkulnya. Dia berkelit, dengan sebal
menghempaskan diri ke kursi. "Aku - aku tidak ingin lagi membicarakan hal ini"
ujarnya sedih diantara isak tertahan. "Aku merasa tidak enak badan..." Kemudian,
sambil berkonsentrasi penuh, Leona membuat dirinya pingsan, dan ketika dia
mendekati kegelapan yang mengundang, Leona mendengar ayahnya berteriak-teriak
memanggil pelayan kepaia.
Pernikahan itu adalah kemenangan yang mulus dan cepat. Masih segar dalam
ingatannya getaran suara yang gembira saat dengan hasrat memiliki ketika dia
mengucapkan, "Saya - Leona - bersedia menerima Henry -"
Dan sikap Henry memenuhi semua harapan Leona. Dia tidak tegang - juga tidak
terlalu santai - dan perilakunya membuat semua tamu terpesona. Dan Henry sudah
mulai menyerap pengaruh menyenangkan dari gelimang kemewahan yang tiada akhir.
Jika ada sedikit keraguan dan keberatan dalam diri Henry maka Leona akan segera
menampiknya. Saat itu Henry menunjukkan bahwa pembawaan dirinya yang sempurna dan itu
membanggakan Leona. Bahkan Jim kelihatannya senang akan semua itu, untuk beberapa saat. Tapi Leona
mengerti wajah ayahnya yang tersenyum lelah itu sebenarnya menyimpan banyak
kesedihan. Jim tidak akan pernah bisa menerima Henry seutuhnya. Tidak akan pernah.
Seberapapun kerasnya dia mencoba.
Semua ini memenuhi benaknya selama upacara pernikahan dan setelah makan malam di
kediaman Jim. Bagi Leona, Henry adalah sebuah proyek yang sedang ditangani,
sebuah persamaan matematika yang harus dipecahkan. Dia bermaksud menyelesaikan
persamaan dan proyek itu dengan harga berapapun. Pada akhirnya Jim harus
mengakui kesalahannya. Kesenangan akan kemenangan yang belum juga dimenangkannya terpancar dengan riang
di benaknya, ketika - tanpa terlihat oleh orang lain - tangannya yang memandu
tangan Henry menelusuri jajaran perangkat makan perak yang berkilat di meja
sarapan. Selama bulan madu panjang di Eropa setelah itu, Leona senang akan kesantaian
yang tidak memalukan sama sekali yang diajarkan Henry padanya. Tidak diragukan
lagi, tawaran kemewahan tanpa batas yang diajukan Leona untuknya, serasi dengan
wajah ayu dan penerimaan tubuh Leona atas Henry, membuat lelaki itu lengah. Dia
menerima ajaran Leona dengan a onggun, bahkan dengan penghormatan. Jika Leona
memaksa memilihkan pakaian untuk Henry dan bagaimana cara Henry memakainya, maka
itu adalah kesenangan, bukan gangguan atau penghinaan.
Dia kelihatannya cukup cepat untuk menyadari sebagaimana pentingnya hal-hal
tersebut dalam dunia Leona, dan bagaimana dia bisa lebih nyaman bila dia tampil
dengan benar dan perilakunya tanpa cela. Bahkan dia juga tidak sadar
ketampanannya yang nyata dan tegas diperjelas dengan tatanan yang teratur itu.
Leona melihatnya mendiami kehidupan dimana masa lalu - bagaimanapun itu menghilang, atau begitulah yang diinginkannya. Itu tidak begitu penting. Yang
penting baginya adalah pada saatnya nanti Henry akan begitu larut ke dalam
keehidupan yang diciptakan Leona sampai tidak ada sedikitpun kekuatan yang bisa
melawannya. Dan itulah yang diinginkan Leona.
Pandangan kemenangan - senyum puas yang terulas samar - bermain-main di wajah
lelah dan ketakutan Leona ketika dia terbaring sambil menduga-duga apa yang
kira-kira terjadi sejak malam ketika Sally memperkenalkan Leona pada Henry.
Sesaat kemudian Leona mendengar ledakan serak dari salah satu perahu di sungai.
Senyum itu memudar ketika dia bangkit, memandang botol-botol obat di meja kecil,
dan jam di sebelahnya. Tiba-tiba saja suara telepon berdering mengejutkannya.
9:55 Ternyata Sally yang menelepon.
"Aku minta maaf karena tadi terdengar bodoh dan misterius," kata Sally. "Aku
tidak bisa bicara saat itu. Aku takut suamiku mendengar apa yang aku bicarakan.
Jadi aku mencari alasan agar aku bisa keluar dan menelepon dari telepon umum."
"Well, kalau dipikir-pikir memang aneh," jawab Leona.
"Kau mungkin akan berpikir bahwa semua ini aneh, Leona - mendengar suaraku lagi
setelah beberapa tahun. Tapi aku harus menemui Henry lagi hari ini. Aku sangat
Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
khawatir memikirkannya."
"Khawatir" Kalau boleh tahu, mengapa kau sangat mengkhawatirkan Henry" Kuharap
kau ingat, Sally, simpatimu itu tidak terlalu banyak berguna."
"Aku tidak memiliki maksud apapun - hanya menolongmu. Ini mungkin bisa jadi hal
yang serius untuk Henry - sangat serius. Agak sukar menjelaskannya. Tapi akan
kucoba menjelaskannya secepat mungkin."
"Tolong lakukan," sahut Leona kasar.
"Well - Fred, suamiku, adalah penyelidik Jaksa Wilayah..."
"Oh, menyenangkan sekali!" bisik Leona. "Sekitar tiga minggu yang lalu dia,
suamiku, menunjukkan kliping koran tentang kau dan Henry. Sepertinya itu dari
halaman Perkumpulan atau semacamnya..."
"Ya, aku ingat."
"...dan dia ingin tahu apakah itu Henry Stevenson yang dulu adalah kekasihku."
"Kekasihmu?" ujar Leona. "Aneh sekali!"
"Kukatakan pada Fred, itu memang Henry dan Fred hanya tertawa sambil berkata,
'Well, tenyata kau tidak tahu 'kan! ' Lalu dia memasukkan kliping itu kembali ke
dalam saku. Aku bertanya apa yang aneh melihat nama Henry di koran. Dia hanya
tersenyum dan berkata semua ini hanya kebetulan - ada sesuatu yang berhubungan
dengan kasus yang sedang ditanganinya."
"Kasus?" "Ya. Fred bilang dia tidak bisa membicarakan kasus itu - hanya dugaan. Aku sudah
mencoba memancing-mancing. Tapi dia mulai menggodaku dengan mengatakan aku masih
menaruh rasa pada Henry..."
"Yang, tentu saja, kau sangkal," ujar Leona menyindir.
"Tentu saja - " sahut Sally merepet. "Sungguh konyol mengatakan hal itu setelah
bertahun-tahun yang kami alami!"
"Teruskan - " "Kami hampir selesai sarapan saat itu. Lalu telepon berbunyi. Itu adalah salah
satu bawahannya Fred - dari kantor Jaksa Wilayah. Aku dengar Fred bicara sesuatu
tentang 'Stevenson' dan seseorang yang kedengarannya seperti 'Harpootlian'. Fred berkata
Tentu saja kita akan pergi. Katakan pada Harpootlian untuk mengatur semuanya.
Hari kamis sekitar pukul 11:30, di bilik pergantian Ferry di Selatan."
Sally berhenti bicara sesaat, dan Leona membentak marah, "Begini, Sally. Semua
ini memang menarik. Tapi bisakah kau langsung ke pokok permasalahan" Henry
mungkin sedang mencoba menghubungiku saat ini. Lagipula, apa hubungan Henry
dengan semua hal sampah menyangkut suamimu itu?"
"Aku akan mengatakannya padamu secepat mungkin," rengek Sally. "Tapi ini semua
agak rumit dan aku harus menceritakan padamu seluruhnya. Aku tidak akan
mengganggumu, Leona, jika apa yang kukatakan ini tidak penting."
"Well, - " Leona menarik napas pasrah. "Lalu bagaimana selanjutnya."
"Aku - aku menguntit mereka - "
"Kau - apa?" "Aku menguntit mereka. Kamis pagi. Aku tahu mungkin semua ini sulit dipercaya kedengarannya gila - tapi aku takut. Aku ingin tahu apa yang terjadi. Lagipula,
aku sudah mengenal Henry hampir seumur hidupnya. Aku - well - ada hal-hal dalam
dirinya yang agak aneh. Aku mencoba mengatakannya padamu - bertahun-tahun yang
lalu." Leona mengeluarkan suara-suara tidak sabar. "Sungguh," ujarnya. "Tapi - apakah
ini semua penting" Jika kau ingin memperingatkan aku, Sally, lebih baik kau
berhenti sekarang." Jawaban Sally semakin menunjukkan kesan sedih. "Tolonglah, jangan terlalu curiga
padaku," ujarnya memohon. "Aku mengatakan apa yang terjadi padamu karena semua
ini mungkin ada hubungannya dengan ketidakhadiran Henry malam ini. Aku tidak
tahu pasti, tapi biarkan aku menyelesai kan ceritaku..."
"Silahkan," ujar Leona. "Secepatnya."
"Pagi itu hujan rintik-rintik. Aku membawa payung, jadi aku menutupi wajahku
hampir sepanjang waktu. Meskipun kupikir hal itu tidak membawa banyak perbedaan.
Tidak sulit untuk menguntit orang-orang itu - apalagi saat gerimis.
"Aku melihat Fred menemui dua orang lelaki - salah satunya adalah Joe Harris,
rekan kerja Fred yang hampir setiap waktu bekerja bersamanya. Lainnya adalah
seorang lelaki gemuk dengan rambut putih berombak. Kukira dia adalah orang yang
disebut-sebut sebagai Harpootlian.
"Aku menunggu di kejauhan sampai mereka bergerak ke kerumunan orang di dekat
ferry. Kemudian aku membeli tiket dan mengikuti mereka. Tidak sulit untuk
sembunyi dari mereka dalam ferry. Lagipula hampir sepanjang waktu kuhabiskan
dengan duduk di kamar mandi."
"Menyenangkan sekali," sahut Leona megejek.
"Well, itu adalah tempat terbaik... Oh, well" lanjut Sally dengan mantap,
"setelah mereka turun dari ferry di Staten Island mereka kereta. Aku menempel
ketat di belakang mereka. Tentu saja tidak di gerbong yang sama..."
"Tentu saja!" sahut Leona menggaung.
"...tapi dua gerbong sesudah gerbong mereka. Aku menunggu mereka turun dari
kereta, dan ketika mereka turun aku juga turun. Saat itu gerimis masih saja
turun dan tidak ada seorangpun yang memperhatikanku. Kukira sebagian besar
orang-orang itu sedang bergegas-gegas, terburu-buru keluar dari gerbong."
"Kamu benar-benar perhatian terhadap sekeliling - "
"Tempat ini adalah semacam koloni pantai, Leona. Kelihatan kosong dan kumuh
sekali. Jalan-jalan disana bergelombang dan dialasi dengan semen kasar. Disana-sini
banyak tumpukan pasir kecil-kecil. Rumah-rumah itu sebagian besar berupa pondokpondok lusuh dan di tengah-tengahnya terdapat rumah judi kecii. Setelah Fred dan
kedua lelaki itu berjalan menuju pantai, aku berjalan menuju rumah judi itu dan
mengawasi mereka dari sudut beranda. Aku bisa melihat mereka dengan jelas dari
sana. Dan sepertinya tidak ada yang memperhatikan aku yang berdiri di
keteduhan." "Sungguh!" sahut Leona. "Apakah aku harus...?"
"Itu benar! Itu benar!" seru Sally. "Sudah kubilang semua ini mungkin
kedengarannya gila..."
"Gila itu bukan kata yang tepat..."
"Hanya ada seorang lelaki disamping Fred dan dua orang lelaki itu - seorang
lelaki sedang menggali kerang di pinggir pantai. Lelaki berambut putih itu
kelihatannya berhenti sesaat dan memandang ke arah si lelaki, dan lelaki itu
sedang melakukan sesuatu di kejauhan. Kemudian dia melanjutkan menggali, dan si
lelaki berjalan menuju meja makan kecil lalu masuk ."
Leona, mengomel dongkol, menyela, berteriak. "Demi Tuhan, Sally, apakah harus
sebegini lama" Bisakah kau memberitahukan secara langsung tanpa harus mengajakku
berputar-putar sampai ke Staten Island seperti ini" Atau apakah kau sengaja
menahanku untuk terus mendengarkanmu dengan alasan tertentu?"
Sally meyakinkan Leona. "Kau harus mendengar semuanya. Kau kira aku senang
meringkuk di dalam bilik pengap ini" Pemilik toko ini terus saja melirik ke
arahku. Dia marah karena tokonya sudah mau tutup.
"Kemudian," lanjutnya, "aku menunggu di dalam rintik hujan selama satu jam dan
tidak terjadi apapun. Kemudian, ketika aku sedang memikirkan kebodohanku ikut
dalam perjalanan ini, aku melihat sesuatu yang aneh. Lelaki yang sedang mencari
kerang itu berdiri dan merentangkan tangannya seolah-olah sedang menguap.
Beberapa saat kemudian kudengar suara perahu bermotor di pantai, dan aku lihat
perahu itu bergerak cepat menuju daratan. Perahu itu melambat mendekati daratan
dan menuju dermaga yang paling dekat ke rumah teraneh di tempat itu.
"Kuharap kau bisa melihat rumah itu, Leona. Kuno, dan sedikit miring. Kukira
fondasinya sudah tenggelam ke pasir bertahun-tahun sebelumnya. Menyeramkan
sekali, horor, seperti rumah Charles Adams - di New Yorker, kau tahu kan?"
"Tolong," kata Leona. "bisakah kau bicara secara langsung?"
"Well, perahu itu merapat di dermaga dan seorang lelaki bungkuk keluar dari sana
dan mengikat kapal itu. Kemudian seorang leiaki paruh baya bertubuh tinggi juga
keluar dari perahu itu. Dia berpakaian hitam-hitam, kecuali topi Panama yang
dikenakan di kepalanya. Dia mengepit koper kerja. Saat kakinya menginjak
daratan, si lelaki kecil bungkuk itu segera menyalakan motor dan pergi.
"Leiaki berpakaian hitam itu berjalan keluar dermaga dan masuk ke dalam rumah
tua itu. Beberapa saat kemudian si pencari kerang mengambil ember dan sekopnya
dan berjalan menuju ke rumah makan kecil itu. Aku memperhatikan ketika dia
melewati rumah makan itu dia agak tersandung, membuat embernya membentur pintu.
Itu pasti isyarat. Dia terus saja melewati pantai, dan Fred serta yang lainnya
keluar dari rumah makan itu dan berjalan menuju ke rumah tua. Lelaki berambut
putih itu mengetuk pintu, pintu dibuka, dan mereka masuk.
"Aku masih tidak mengerti sedikitpun apa yang terjadi saat itu, Leona - siapa
orang-orang itu maupun apa yang terjadi di rumah tua..."
"Sebuah rumah bordil, tidak diragukan lagi," sindir Leona tajam.
"...tapi aku sadar mereka di dalam selama setengah jam penuh. Ketika mereka
akhirnya keluar, Fred membawa tas kerja - yang tadinya dibawah oleh orang yang
berpakaian hitam-hitam!"
"Baiklah," ujar Leona. "Fred membawa tas kerja. Lalu apa?"
"Aku tidak tahu , " sahut Sally lemah.
"Sesudah itu aku harus segera pulang ke rumah -mendahului Fred. Tapi aku tahu,"
tambahnya dengan penuh semangat, "kita harus melakukan sesuatu... sebelum
semuanya terlambat!"
Sebelum Leona menjawab, sekeping uang receh berbunyi nyaring mengenai dasar
kotak telepon dan terdengar suara operator menyela.
Waktu bicara Sally selama lima menit sudah habis. Leona mendengar Sally
mengegerutu seraya mencari-cari recehan di dalam tasnya.
Akhirnya dia berkata, "Sudah, Operator."
Kemudian, "Leona, Leona - apakah kau masih disana?"
"Ya, aku masih mendengarkanmu," sahut Leona curiga. "Aku harus bilang, ini semua
aneh sekali." "Aku tahu," Sally mengamini. "Ini memang aneh sekali bagiku. Aku tidak bisa
mempercayainya. Aku tidak bisa menghubungkan Henry dengan-dengan kejahatan yang
diselidiki Fred. Itulah mengapa aku menemui Henry hah ini - untuk mengetahui
kebenaran dari dirinya."
"Apakah kau mendapatkannya?" tanya Leona suram.
"Aku menemuinya - kau tahu itu - tapi aku tidak berhasil mengetahui apapun. Aku
tidak punya kesempatan."
"Tapi kau keluar bersamanya," kata Leona.
"Sekretarisnya bilang dia melihatmu."
"Ya, aku memang keluar bersamanya. Dia juga tidak begitu senang melihat
kedatanganku. Aku memang tidak mengharapkan dia melompat-lompat atau semacamnya.
Tapi dia - bisa dibilang tidak begitu sopan. Dia kelihatan asik dengan
pikirannya sendiri. Aku pernah melihatnya seperti itu ketika dia masih kecil,
dan itu biasanya terjadi ketika - well - dia sedang mengalami konflik dalam
dirinya sendiri. "Dia mengajakku makan bersama dengannya, dan kami pergi ke Georgian Room di
Metropolis. Ketika kami baru saja duduk, seorang pria bernama Freeman -Bill
Freeman - seorang lelaki tua dan makmur - datang menghampiri dan bicara tentang
bursa saham pada Henry."
"Freeman?" tanya Leona. "Kurasa aku tidak kenal seorangpun bernama Freeman - "
"Henry kelihatannya tidak ingin membicarakan hal itu tapi Mr. Freeman itu terus
saja bicara. Kurasa ada hal serius yang sedang terjadi pada beberapa saham atau
semacamnya pagi itu. Henry berkata, 'Kau pasti membuat kesalahan suatu hari
nanti,' dan Freeman hanya tertawa dan berkata 'Suatu hari nanti, Stevenson" Kau
hanya sedikit beruntung. Tapi seorang lelaki dengan posisi sepertimu bisa
menerima berbagai macam hukuman. Tapi aku, aku harus lebih berhati-hati. Aku ini
hanya kentang biasa.' "Henry makan sedikit sekali, begitu juga aku. Yang menggangguku adalah Mr.
Freeman yang sedang bicara tentang masalah-masalahnya, dan aku sama sekali tidak
bisa mengatakan apa-apa. Akhirnya kami berdiri dan Mr. Freeman pergi. Henry dan
aku berjalan keluar menuju lobi hotel. Henry meminta maaf karena dia punya janji
dalam beberapa menit, dan dia menyarankan mengapa aku tidak menelepon kau,
Leona, kapan-kapan, dan kita bisa berkumpul bersama-sama. Tapi sepertinya dia
tidak bersungguh-sungguh mengatakan itu. Kami berdiri dekat pintu masuk kantor
cabang pialang saham di hotel itu, dan seorang lelaki kurus keluar dan memanggil
Henry, 'Oh, Mr. Stevenson, aku ingin segera bicara dengan Anda secepatnya.'
Henry menjadi pucat, bagiku sepertinya begitu, dan dia berkata pada lelaki kecil
itu, 'Baiklah, Mr. Hanshaw, saya akan segera berada di kantor Anda.' Dia
mengucapkan selamat tinggal padaku dengan agak terburu-buru dan aku melihatnya
masuk ke dalam kantor itu. Di pintunya tertulis, T. F. Hanshaw, Manager."
"Well - dia pasti - dia pasti mengatakan sesuatu padamu," ujar Leona merepet.
"Aku yakin dia tidak hanya duduk disana dan bicara tentang saham dan semacamnya
- karena dia tidak tahu apapun tentang itu - tiap saat."
"Oh, aku sudah bertanya padanya apakah dia bahagia, dan apakah dia menyenangi
pekerjaannya. Dia berkata, 'Baik - baik. Aku sekarang adalah wakil direktur yang
besar.Aku memencet lebih banyak tombol daripada orang lain - kecuali diantara
beberapa wakil direktur.'
Dia mencoba melucu, tapi aku bisa merasakan kegetiran yang dia rasakan. Aku
bertanya padanya mengenai hal itu, dan saat itulah Mr. Freeman datang."
"Aku sama sekali tidak mengerti semua ini." Kesangsian Leona yang mengejek itu
jelas terdengar. "Saat Henry pergi pagi ini, dia kelihatan seperti biasa, dan
aku yakin sekali. Kami sangat bahagia dalam kurun waktu sepuluh tahun ini sangat bahagia. Henry sama sekali tidak punya masalah apapun. Ayahku juga
melihatnya. Dan sepanjang itu menyangkut masalah bisnis, kukira semuanya baikbaik saja dengan Henry. Kau pasti salah mengartikan ucapannya - kalaupun memang
dia mengucapkan sesuatu. Aku masih tidak yakin kalau ini bukanlah semacam
permainan yang kau lakukan padaku, Sally."
Lagi-lagi, sebelum Sally menjawab, terdengar suara operator berkata dengan
jelas, "Waktu Anda selama lima menit sudah habis, Nyonya. Silahkan masukkan lima sen
untuk waktu bicara lima menit lagi.'
Sally mencari-cari ke dalam tasnya, dan akhirnya berkata, putus asa, "Aku tidak
punya recehan lagi. Aku akan kembali meneleponmu jika aku sudah dapat uang receh
lagi." Kemudian dia menambahkan dengan sedikit terburu-buru, "Aku hanya ingin
mengatakan - sekarang aku tahu -bahwa Henry memang sedang dalam masalah. Fred
sedang mengerjakan semacam laporan malam ini. Kasus ini, apapun itu masalahnya,
kelihatannya akan jadi besar nanti. Dia sedang sibuk bertelepon kesana-sini. Aku
mendengar nama Henry disebutkan berulang-ulang. Dan ada juga nama lain seseorang bernama Evans."
"Waktu Anda sudah habis, Nyonya," kata si operator.
"Waldo Evans," kata Sally berbicara dengan cepat. "Kurasa itulah nama yang
kulihat pada rumah yang ada di Staten Island..."
"Waktu Anda sudah habis, Nyonya."
10:05 Segera setelah Sally menutup telepon, Leona menjumput gumpalan kertas dimana dia
menemukan nomer telepon Sally. Dan disitu tertulis, "Mr. Evans. Richmond
8:1112." Dengan hati-hati dia memutar nomer itu dan terkejut ketika terdengar suara
operator yang bertanya, "Apakah Anda menghubungi Mr. Evan, Richmond 8:1112?"
"Ya," jawab leona gelisah. "Betul."
"Nomer tersebut... sudah diputus."
Dia duduk tegak di tempat tidur dan meletakkan gagang telepon ke tempatnya,
memandang ke depan - matanya terbuka lebar dan bingung. Kejadian-kejadian aneh
sore ini saling berkejaran di benaknya. Tidak adanya Henry di rumah, pembunuh di
telepon, Miss Jennings, cerita gila Sally - tidak ada satupun yang masuk akal.
Dan entah bagaimana, ada kekacauan yang akan terjadi, aroma yang menyiratkan
bahaya tercium di udara. Mungkin Henry dalam kesulitan. Mungkin ada sesuatu yang
Gairah Sang Pembantai 1 Pendekar Rajawali Sakti 74 Siluman Penghisap Darah Anak Berandalan 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama