Ceritasilat Novel Online

Frankenstein 5

Frankenstein Or The Modern Prometheus Karya Mary Shelley Bagian 5


Ayah masih Ingin menunda keberangkatan kami. Dia takut jangan-jangan aku kelelahan dalam perjalanan, sebab kondisi badanku sudah hancur sama sekali aku hampir-hampir hanya merupakan bayangan manusia belaka. Kekuatanku sudah habis. Badanku tinggal kulit pembalut tulang, dan siang-malam kerangkaku terus-menerus menjadi mangsa demam.
Walaupun demikian aku tetap mendesak ayahku agar kami segera meninggalkan Irlandia. Aku sudah tidak sabar lagi, sehingga akhirnya ayah menyerah kepada kehendakku. Kami naik kapal yang menuju ke Havre-de- GriJtce, dan berlayar dengan didorong angin turutan dari pantai Irlandia. Waktu itu tengah malam. Aku berbaring di geladak memandangi bintang yang bertaburan di langit, serta mendengarkan suara ombak. Aku merasa senang karena kini kegelapan menyembunyikan Irlandia dari pandangan mataku. Dadaku berdebar-debar dengan rasa sukacita karena aku segera akan melihat Jenewa kembali. Masa lampau bagiku sudah berlalu seperti sebuah mimpi buruk.
Memang keadaan di sekitarku kini sudah tidak mengingatkanku lagi kepada Clerval atau semua yang sudah jatuh menjadi korban makhluk ciptaanku. Tapi kini terbayang kembali olehku semua yang pernah kuhayati dalam hidup ketenteraman dan kebahagiaanku waktu aku tinggal di " Jenewa, kematian ibuku, dan keberangkatanku ke Ingolstadt.
Dan kemudian aku teringat kembali dengan dorongan kegilaan yang menyebabkan aku menciptakan musuhku sendiri yang sangat mengerikan. Aku juga teringat kembali kepada malam waktu dia mulai hidup. Setelah itu aku tidak bisa lagi mengikuti urutan ingatanku. Ribuan perasaan menekan jiwaku, dan aku menangis dengan hati sangat pedih.
Sejak aku sembuh dari demam, setiap malam aku biasa menelan laudanum sedikit. Sebab hanya dengan bantuan obat bius inilah aku bisa mendapatkan istirahat yang cukup. Kemudian karena jiwaku tertekan oleh berbagai kemalangan, aku menelan obat ini dalam takaran dua kali lipat dari biasanya dan aku segera tidur pulas.
Tapi tidur tidak mampu membebaskanku dari penderitaan. Mimpiku selalu buruk dan mengerikan. Menjelang pagi aku selalu diganggu mimpi yang seburuk-buruknya. Aku merasa seakan si ibhs mencekik leherku, dan aku tidak bisa melepaskan diri. Erangan dan jeritan sampai terdengar oleh telingaku sendiri. Orang yang menjagaku selalu membangunkanku dari tidur setiap kali aku mulai mengigau.
Aku melihat ombak berkejar-kejaran di sekelilingku, awan berarak di langit, tapi si iblis tidak kulihat. Aku lalu menjadi tenang kembali. Di saat-saat semacam itu ketenangan sementara yang kurasakan bagiku hanya merupakan gencatan senjata sampai datangnya bencana yang tak terelakkan.
Bab 22 AKHIRNYA kapal yang kami tumpangi sampai ke tujuan terakhir. Kami mendarat, dan terus melanjutkan perjalanan ke Paris. Aku segera menge tahui bahwa aku telah memeras tenagaku terlalu banyak. Aku harus beristirahat dulu sebelum meneruskan perjalanan pula.
Ayah menjaga dan merawatku tanpa mengenal lelah. Tapi dia tidak tahu penyebab penderitaanku, dan memakai cara yang salah dalam berusaha menyembuhkan penyakitku yang takkan bisa diobati lagi. Dia menginginkan agar aku mencari kesenangan di tengah pergaulan masyarakat. Tapi aku merasa jijik melihat muka manusia. Oh, tidak, tidak jijik! Mereka semua saudaraku, sesamaku. Aku menyukai mereka, baik yang bermuka cantik maupun buruk. Aku hanya merasa tidak layak dan tidak berhak bergaul dengan mereka. Aku telah melepaskan ke tengah mereka musuh yang kegemarannya menumpahkan darah dan mendengarkan erangan mereka. Mereka semua pasti akan memburuku sampai ke mana saja, kalau mereka sudah mengetahui perbuatan jahatku!
Akhirnya ayah menyerah kepada keinginanku menghindari masyarakat. Kini dia ganti berusaha menghalaukan kesedihan dan keputusasaanku dengan katakata bujukan serta penghiburan.Kadang kadang ayah mengira aku merasa rendah diri karena telah diadili dengan tuduhan membunuh. Dia lalu berusaha membuktikan kepadaku bahwa rasa megah diri sama sekali tidak ada artinya. Aduh! Ayah, kataku, alangkah sedikitnya yang kauketahui tentang diriku. Semua manusia dengan perasaaan dan nafsunya pasti akan merasa direndahkan, kalau makhluk hina seperti aku merasa megah diri. Justine yang malang sama tidak berdosanya dengan diriku, dan dia mendapat tuduhan yang sama. Bahkan dia mendapat hukuman mati karenanya. Dan akulah yang menjadi penyebabnya jadi berarti aku yang telah membunuhnya. William, Justine dan Henry semua mati oleh tanganku.
Selama aku dalam tahanan, ayah sudah sering mendengar kata-kata semacam itu keluar dari mulutku. Setiap kali aku menuduh diriku sendiri, dia seakan menginginkan satu penjelasan. Tapi pada kesempatan lain rupanya dia hanya menganggap kata-kataku sebagai igauan orang sakit.
Tapi aku tidak pernah memberikan penjelasan. Aku tetap tutup mulut dalam persoalan makhluk buruk yang kuciptakan. Aku sadar bahwa aku pasti akan dianggap gila. Kesadaran itu saja sudah cukup bagiku untuk menahan lidahku untuk selama-lamanya.
Di samping itu aku juga tidak bisa membuka satu rahasia yang akan membuat pendengarku merasa ngeri dan takut yang di luar batas. Aku lalu menahan diriku serta menahankan rasa haus belas kasihan orang. Aku tetap menutup mulut, dan rahasiaku yang mengerikan tetap menjadi rahasia bagi seluruh dunia. Walaupun demikian kata-kata semacam yang kukatakan kepada ayah masih seringkali terlanjur kuucapkan. Aku tidak bisa memberikan penjelasan, tapi sebagian kebenarannya sedikit meringankan ku dari beban kesedihanku yang misterius.
Pada kesempatan semacam ini ayah berkata dengan air muka sangat heran, Victor, Anakku yang tercinta, kegilaan macam apa pula ini" Nak, kuminta janganlah kau berkata seperti itu lagi.
Aku tidak gila, seruku sekuat-kuatnya. Matahari dan langit yang menyaksikan perbuatanku, menjadi saksi kebenaran kata-kataku. Akulah pembunuh semua korban yang tidak berdosa ini. Mereka mati karena akibat perbuatanku. Seribu kali aku mau menumpahkan darahku sendiri untuk menyelamatkan jiwa mereka. Tapi aku tidak bisa, Ayah. Bahkan aku tidak bisa mengorbankan seluruh umat manusia untuk menyelamatkan jiwa mereka. Kata-kataku yang terakhir meyakinkan ayah bahwa pikiranku sudah kacau. Dia segera mengganti bahan percakapan, serta berusaha membelokkan arah pikiranku. Dia berusaha sebisa-bisa-nya menghapuskan ingatanku akan peristiwa di Irlandia. Dia tidak pernah menyinggung-nyinggung kejadian waktu aku di sana, atau memintaku menceritakan kemalanganku.
Waktu pun berjalan terus, dan lambat laun aku menjadi semakin tenang. Kesedihan masih tetap bermukim di dalam hatiku, tapi aku sudah tidak pernah lagi mengungkap-ungkap kejahatanku sendiri. Bagiku sudah cukup menyakitkan perasaan hanya dengan menyadarinya saja. Kini sikapku sudah menjadi lebih tenang daripada dulu, pada waktu-waktu sejak aku melakukan perjalanan di padang es.
Beberapa hari sebelum kami meninggalkan Paris untuk menuju ke Switzerland, aku menerima surat berikut ini dari Elizabeth:
Sahabatku yang tercinta, Aku sangat gembira menerima surat dari pamanku yang dikirim dari Paris. Kau sudah tidak jauh lagi dariku, dan kuharap kita akan bertemu lagi dalam tempo dua minggu. Saudara sepupuku yang malang, alangkah banyaknya kemalangan yang kaualami! Kurasa sekarang keadaanmu lebih menyedihkan daripada waktu kau meninggalkan Jenewa. Musim dingin yang lalu sangat menyedihkan, sebab aku tersiksa oleh kekhawatiran dan ketegangan jiwa. Tapi aku tetap berharap akan melihat kedamaian pada wajahmu, dan mudahmudahan hatimu belum hampa sama sekali dari kesenangan dan ketenangan. Walaupun demikian aku merasa takut jangan-jangan perasaan yang setahun berselang membuatmu sedih, kini bahkan semakin besar dengan bertambahnya waktu. Waktu ini aku tidak ingin mengganggumu, karena banyaknya kemalangan yang memberatkan hatimu. Tapi percakapan dengan pamanku sebelum dia berangkat memberikan penjelasan yang perlu diketahui sebelum kita bertemu.
Penjelasan! Begitulah mungkin kau berkata. Apa yang harus dijelaskan oleh Elizabeth" Kalau kau memang berkata begini, pertanyaanku sudah terjawab dan aku tidak ragu-ragu lagi. Tapi kau sangat jauh dariku. Mungkin kau mengharapkan dan akan merasa senang menerima penjelasan ini. Karena itulah maka aku segera menulis surat. Aku sudah lama ingin menyatakan perasaan ini selama kau pergi, tapi selama itu aku tidak punya keberanian untuk memulai.
Kau tahu benar, Victor, bahwa ikatan antara kita merupakan rencana yang sangat diinginkan oleh kedua orang tuamu sejak kita masih kanak-kanak. Kita sudah diberitahu waktu kita meningkat dewasa, dan dipersiapkan untuk menunggu pelaksanaannya. Kita teman bermain yang saling mencintai selama masa kecil kita. Aku pun yakin bahwa kita masih saling mengasihi setelah kita dewasa.
Tapi ada kemungkinan kita hanya saling mencintai seperti dua orang kakakberadik, tanpa menginginkan hubungan yang lebih intim lagi. Mungkinkah ini persoalan yang harus kita atasi" Katakanlah kepadaku, Victor-ku sayang. Jawablah per- tanyaanku dengan jujur, demi kebahagiaan kita Apakah kau tidak mencintai wanita lain"
Kau sudah melancong ke mana-mana. Selama beberapa tahun kau tinggal di Ingolstadt. Pada musim gugur yang lalu kulihat kau begitu sedih. Kau menghindari setiap orang dan suka menyendiri. Waktu itu kuakui bahwa aku berpikir kau pasti menyesali hubungan kita. Aku mengira kau hanya akan memenuhi keinginan orang tuamu, yang bertentangan dengan keinginanmu sendiri. Tapi ini pikiran yang keliru. Kuakui, Sahabatku, bahwa aku cinta padamu. Aku selalu mengimpi-impikan kelak kau akan menjadi sahabat dan teman hidupku untuk selama-lamanya.
Yang penting bagiku ialah kebahagiaanmu, di samping kebahagiaanku sendiri. Perkawinan kita akan membuatku menderita selama-lamanya, kalau kau menjalaninya hanya karena terpaksa dan di luar kehendakmu sendiri. Bahkan sekarang pun aku menangis memikirkan dirimu yang selalu dirundung matang. Dan aku yang sangat menyayangimu masih akan menambahkan kesedihanmu sepuluh kali lipat, dengan menjadi penghalang tercapainya keinginanmu. Ah, Victor! Percayalah, saudara sepupumu mencintaimu dengan setulus hati, sehingga tidak merasa sedih dengan perkiraan ini. Berbahagialah, Sahabatku. Dan kalau kau memenuhi permintaanku ini yang bisa mengganggu ketenteraman hatiku.
Janganlah surat ini mengganggu pikiranmu. Janganlah kau membalas surat ini besok pagi, lusa, atau bahkan sampai kau datang, kalau itu mendatangkan penderitaan kepadamu. Pamanku akan mengirimkan kabar tentang kesehatanmu. Kalau kau memberiku satu senyuman saja setelah kita bertemu kembali kelak, aku sudah tidak memerlukan kebahagiaan lainnya. Jenewa, 18 Mei 17 ....
Elizabeth Lavenza Surat ini mengingatkanku kembali kepada apa yang sudah kulupakan, yaitu ancaman si iblis: aku akan datang kepadamu pada malam perkawinanmu! Itulah hukuman yang akan dijatuhkan kepadaku. Pada malam itu si iblis akan menggunakan setiap cara untuk menghancurkanku, serta merenggut-kanku dari kebahagiaan yang mungkin akan bisa menghibur kesedihanku. Pada malam itu dia akan menggenapkan kejahatannya dengan kematianku.
Baiklah, kalau memang harus demikian. Jadi pasti akan terjadi pertarungan antara hidup dan mati. Dalam pertarungan ini kalau dia menang, aku pasti akan mendapatkan kedamaian dan kekuasaannya terhadap diriku akan berakhir. Dan kalau dia bisa dibinasakan, aku akan menjadi orang yang bebas merdeka. Aduh! Kebebasan macam apa" Seperti yang dirasakan oleh seorang petani yang keluarganya dibantai dengan disaksikan oleh mata kepalanya sendiri, rumahnya dibakar, ladangnya dirusak dan dia menjadi gelandangan yang tidak punya apaapa, sebatang kara, tapi bebas merdeka.
Seperti itulah kelak kebebasanku. Tapi Elizabeth bagiku merupakan harta yang tak ternilai harganya, yang akan bisa mengimbangi rasa sesal yang mengerikan serta rasa bersalah yang akan selalu memburuku sampai ajalku tiba. Elizabeth yang cantik dan sangat kucintai! Suratnya kubaca dan kubaca kembali, dan sedikit ketenangan meresap ke hatiku. Ketenangan ini seakan membisikkan kepadaku impian cinta dan kebahagiaan surgawi. Tapi buah larangan sudah kumakan, dan tangan malaikat melintang menghalangiku dari setiap harapan.
Tapi aku rela mati demi kebahagiaan Elizabeth. Seandainya iblis ini datang untuk melaksanakan ancamannya, maka maut sudah tidak terelakkan lagi. Tapi sekali lagi aku mempertimbangkan, apakah perkawinanku akan mempercepat aku menerima takdirku. Kebinasaanku memang bisa datang lebih cepat beberapa bulan. Tapi kalau iblis ini merasa curiga bahwa aku mengundurnya, dia pasti akan menemukan cara pembalasan dendam lain yang lebih mengerikan.
Dia sudah bersumpah untuk datang pada malam perkawinanku. Tapi ancamannya ini tidak berarti bahwa dia akan memberiku ketenangan pada saatsaat sebelumnya. Sebab dia juga telah membunuh Clerval, seakan untuk menunjukkan bahwa dia belum memuaskan rasa haus-darah yang dipunyainya, walaupun dia telah mengeluarkan ancaman.
Maka aku memutuskan akan segera mengikat tali perkawinan dengan Elizabeth. Ini akan mendatangkan kebahagiaan baik kepada Elizabeth sendiri, maupun kepada ayahku. Dan aku tahu bahwa takdir yang akan menimpa diriku takkan bisa ditunda barang satu jam sekalipun.
Dengan pikiran ini memenuhi otakku, aku menulis surat kepada Elizabeth. Suratku penuh ketenangan dan kasih sayang. Aku khawatir. Adikku sayang, kataku dalam surat, sedikit sekali kebahagiaan yang masih tersisa bagi kita di dunia ini. Tapi satu-satunya kebahagiaan yang bisa kunikmati terkandung dalam dirimu. Buanglah ketakutanmu yang tanpa alasan. Hidupku hanya kubaktikan kepadamu seorang, dan hanya kepadamu aku akan memberikan kebahagiaan hidup. Aku punya sebuah rahasia, Elizabeth. Rahasia yang kumiliki sangat mengerikan. Kalau rahasia ini ku bukakan kepadamu, tubuhmu pasti akan membeku karena merasa ngeri. Kemudian kau akan merasa heran karena aku kuat menanggungkan penderitaan dan masih hidup sampai saat ini. Aku akan menceritakan rahasiaku kepadamu sehari setelah pelaksanaan pernikahan kita. Sebab, Saudara sepupuku yang manis, antara kita harus ada rasa saling mempercayai. Tapi kuminta setelah itu janganlah kau menyebutnyebutnya atau menanyakannya kepadaku. Ini kuminta dengan sangat kepadamu, dan aku tahu kau pasti akan memenuhi permintaanku. Kira-kira seminggu setelah kedatangan surat Elizabeth, kami kembali ke Jenewa. Elizabeth menyambutku dengan kasih sayang yang hangat. Tapi air matanya berlinang demi dilihatnya tubuhku yang kurus kering dan mukaku yang pucat.
Aku pun melihat perubahan pada dirinya. Dia lebih kurus, serta kehilangan banyak sekali sifat periangnya, yang dulu sangat mempesona diriku. Tapi dia masih tetap lemah lembut dengan pandangan mata penuh kasih sayang. Dia kini bahkan lebih tepat sebagai teman hidup orang yang sengsara seperti diriku. Namun ketenangan yang kini kurasakan tidak tahan lama. Kenangan pahitku segera kembali. Dan kalau aku teringat kepada apa yang telah terjadi, aku benar-benar dicengkam oleh rasa kegilaan. Kadang-kadang aku terbakar oleh kemarahan yang menyala-nyala, dan kadang-kadang aku patah semangat dan putus asa. Aku tidak berbicara atau melihat kepada orang lain. Aku hanya duduk tidak bergerak-gerak, dilumpuhkan oleh kesedihan yang menguasai diriku.
Hanya Elizabeth saja yang bisa menghiburku dari kepedihan ini. Suaranya yang merdu dan lemah lembut bisa menenangkanku, manakala aku panas dibakar kemarahan. Pada kesempatan lain bujukannya mampu membangkitkan kembali perasaan manusiawi yang masih kumiliki, manakala semangatku runtuh. Dia menangis bersamaku dan menangisiku. Kemudian dia berusaha menenangkan hatiku. Ah! Memang baik sekali bagi orang yang tidak beruntung untuk menerima penghiburan. Tapi orang yang bersalah takkan mendapatkan kedamaian. Siksaan penyesalan meracuni kenikmatan yang kadang-kadang terdapat dalam merasakan kesedihan.
Tidak lama setelah kami sampai ke rumah, ayah segera memperbincangkan perkawinanku dengan Elizabeth yang akan segera dilangsungkan. Aku tetap membisu.
Apakah kau punya suatu ikatan lain" Sama sekali tidak. Aku mencintai Elizabeth dan dengan senang hati mengharapkan segera terlaksananya ikatan suci kami. Marilah harinya segera kita tetapkan. Dan pada hari itu aku akan mengucapkan sumpah sehidup-semati dengan saudara sepupuku serta akan membahagiakannya, dalam hidup atau mati.
Victor-ku sayang, janganlah berkata begitu. Kemalangan yang sangat besar baru saja menimpa kita semua. Marilah kita semakin saling mendekatkan diri, dan menumpahkan cinta kita kepada semua yang masih hidup. Keluarga kita kecil, tapi kini hubungan kita lebih rapat karena ikatan kasih sayang dan rasa sepenanggungan. Pada waktunya kelak kesedihan kita akan mereda, dan tunastunas baru akan lahir tempat kita mengalihkan cinta kita dari mereka yang telah direnggutkan dari tengah-tengah kita dengan cara begitu kejam. Demikianlah ajaran dari ayah. Tapi aku teringat kembali kepada ancaman si iblis. Karena perbuatannya selama ini yang banyak menumpahkan darah, aku hampir-hampir menganggapnya sebagai makhluk yang tak termusnahkan. Dan waktu dia mengucapkan kata-kata aku akan datang kepadamu pada malam perkawinanmu, aku menganggap nasibku sudah tak terelakkan lagi karena ancamannya ini.
Tapi bagiku kematian bukan hal yang buruk, kalau dibandingkan dengan kehilangan Elizabeth. Maka dengan wajah berseri-seri aku menyetujui saran ayahku. Kalau Elizabeth setuju, aku ingin agar upacara pernikahan kami dilangsungkan sepuluh hari lagi. Kubayangkan dengan demikian aku telah memastikan takdirku.
Ya Tuhan! Seandainya aku tahu bagaimana sebenarnya kehendak iblis musuhku, tentu aku lebih suka pergi mengembara, mengasingkan diri dari negeriku. Aku pasti akan lebih suka menjadi gelandangan sebatang kara daripada menyetujui perkawinan yang akibatnya sangat mengerikan ini. Tapi seakan telah kena sihir, aku telah menjadi buta terhadap tujuan si iblis yang sesungguhnya. Aku bukannya menyiapkan kematianku sendiri, melainkan kematian orang yang sangat kucintai .Semakin dekat hari perkawinan yang sudah ditetapkan, aku meragakan hatiku semakin dalam terbenam di dalam kesedihan. Ini mungkin karena ke-pengecutan, atau karena firasat buruk. Tapi aku menyembunyikan perasaanku sebaik-baiknya. Aku selalu memperlihatkan senyuman dan kegembiraan, sehingga ayah dan Elizabeth pun selalu bersukacita.
Elizabeth menunggu ikatan resmi kami dengan rasa senang dan puas. Dia yakin bahwa kebahagiaan yang akan diperolehnya kelak bisa menghapuskan semua kenangan pahit masa lampau.
Kami pun menyusun persiapan untuk menyong song hari pernikahan kami. Di samping itu kami juga sering menerima kunjungan untuk menyampaikan ucapan selamat. Semua penuh senyum dan kegembiraan.
Aku tetap menyimpan baik-baik dalam hatiku kekhawatiran yang kurasakan. Secara lahiriah aku kelihatan menyetujui rencana ayah dengan sepenuh hati, padahal sebenarnya hanya pulasan saja untuk menutupi kesedihanku. Dengan usaha ayahku, sebagian warisan Elizabeth bisa diberikan kepadanya oleh pemerintah Austria. Dia mendapat warisan sebidang tanah yang tidak begitu luas di pantai Como. Kencananya, segera setelah kami menikah kami akan terus pindah ke Villa Lavenza. Kami akan menjalani hari-hari pertama kami yang penuh kebahagiaan di tepi danau yang indah, tidak jauh dari rumah. Sementara itu aku selalu berjaga-jaga untuk membela diri, kalau-kalau si ibli^ membuat serangan terbuka. Aku selalu membawa pistol dan pisau, serta selalu waspada. Dengan demikian maka aku merasa lebih tenang dan aman.Kini semakin dekat ke hari perkawinanku, ancaman terhadap diriku rasanya semakin kabur dan lebih mirip satu khayalan belaka. Ancaman ini rasakan tidak lagi mengganggu rasa ketenteraman-ku. Sebaliknya kini semakin terasa olehku kebahagiaan yang kuharapkan segera tercapai setelah perkawinanku. Rasanya takkan ada peristiwa yang bisa membatalkan tercapainya kebahagiaan ini. Elizabeth rupanya juga merasa bahagia. Sikapku yang tenang juga menenangkan perasaannya. Tapi setelah harinya tiba, dia tampak bersedih hati. Ya, hari perkawinanku kecuali merupakan saat peme nuhan keinginanku juga merupakan saat penentu an takdirku. Rupanya dia juga terganggu oleh firasat buruk. Atau mungkin pikirannya terganggu oleh rahasia mengerikan yang kujanjikan untuk kubu-kakan kepadanya pada hari esoknya. Ayah sementara itu terlalu sibuk mengurus persiapan peralatan, serta terlalu bergembira. Kesedihan kemenakannya hanya dianggap sebagai sikap wajar dari seorang gadis yang akan menjadi pengantin.
Setelah upacara pernikahan selesai, di rumah kami diselenggarakan pesta besarbesaran. Tapi aku dengan Elizabeth segera memulai perjalanan kami. Malamnya kami menginap di Evian, dan meneruskan perjalanan keesokan harinya. Hari cerah dan angin datang dari arah buritan kapal. Semua bergembira melepas pelayaran bulan madu kami.
Itulah saat terakhir dalam hidupku waktu aku masih bisa merasakan kebahagiaan. Kami me luncur dengan cepat. Matahari sangat terik, tapi kami terlindung dari sinarnya oleh semacam tenda. Sementara itu kami menikmati indahnya pemandangan. Kadang-kadang kami melihat ke tepi danau, dan kami lihat Mont SaleVe serta tepian Montalegre yang permai. Di kejauhan, lebih tinggi daripada segala-galanya, kami lihat Mont Bianc serta pegunungan salju di sekelilingnya. Kadangkadang kami melihat ke tepi danau di seberang. Di sana kami lihat pegunungan Jura yang besar dan hitam. Tebingnya yang curam tidak terdaki oleh siapa pun yang ingin menaklukkannya.
Aku menggenggam tangan Elizabeth. Kau tampak sedih, Sayangku. Ah! Kalau kau tahu bahwa aku pun menderita serta akan menanggungkan penderitaan yang lebih besar lagi, kau pasti akan berusaha memberiku kesempatan mengenyam ke tenteraman dan kebebasan dari kesedihan, yang setidak-tidaknya bisa kurasakan sehari ini saja.
Berbahagialah, Victor-ku sayang, jawab Elizabeth. Kuharap tidak ada suatu apa pun yang menyedihkanmu. Yakinlah, walaupun air mukaku tidak memperlihatkan kegembiraan, tapi hatiku merasa bahagia. Sesuatu berbisik kepadaku agar aku tidak terlalu menggantungkan diri kepada masa depan yang terbuka di hadapan kita, tapi aku tidak mau mendengarkan suara yang tidak menyenangkan ini. Perhatikan, alangkah cepatnya kita meluncur. Lihatlah awan yang kadang-kadang menutupi kubah Mont Blanc, rasanya bahkan lebih memperindah pemandangan. Lihatlah juga ikan yang tak terhitung banyaknya, yang berenang-renang di air jernih. Air begitu jernihnya, sehingga kita bisa melibat setiap butir batu yang tergeletak di dasar danau. Sungguh hari yang indah! Alangkah bahagia dan tenteramnya alam!
Demikianlah Elizabeth berusaha mengalihkan pikiranku dan pikirannya sendiri dari bayangan per soalan yang menyedihkan. Tapi sikapnya tidak tetap, selalu berubah-ubah Kebahagiaan yang selama beberapa saat terpancar dari matanya selalu digantikan oleh kesedihan dan pikiran melayang-layang. Matahari pun semakin jauh condong ke barat. Kami melewati sungai Drance, dan kami perhatikan alirannya yang berkelok-kelok di antara bukit-bukit dan lembah. Pegunungan Alpen kelihatan lebih dekat ke danau, dan kami sampai ke pegunungan yang merupakan perbatasan sebelah timur. Menara Evian tampak berkilau-kilauan di bawah hutan yang mengelilinginya serta gunung-gunung yang menjulang tinggi di atasnya.
Angin yang selama itu mendorong kami sehingga perahu meluncur sangat laju, setelah matahari terbenam berubah menjadi sepoi-sepoi. Permukaan air hanya beriak kecil-kecil dan pepohonan menggeletar lembut. Kami memutar haluan menuju ke pantai, dan kami disongsong oleh wanginya bunga-bungaan serta rumput kering.
Waktu kami mendarat matahari sudah lenyap di balik kaki langit. Tatkala aku menginjakkan kaki di pantai, kurasakan kekhawatiran dan ketakutanku kembali lagi. Rasanya sejak itu kesedihan seperti mencengkam diriku untuk selamalamanya.
Bab 23 KAMI mendarat pada jam delapan malam. Sejenak kami berjalan-jalan di tepi danau, menikmati indahnya cahaya senja. Kemudian kami pergi ke penginapan yang menghadap ke danau, dikelilingi hutan dan pegunungan. Malam sudah gelap, tapi gunung-gunung tampak samar-samar lebih hitam daripada kegelapan.
Angin dari selatan sudah berhenti, tapi kini angin kencang dari barat ganti bertiup. Bulan sudah tinggi di langit, dan sudah mulai turun. Awan yang berarak di atasnya lebih cepat daripada burung elang yang terbang melayang, meredupkan sinarnya. Permukaan danau penuh bayangan langit yang ber ubahubah, bahkan kelihatan lebih ramai karena kini airnya mulai berombak. Tibatiba badai datang, disertai hujan lebat.
Seharian tadi aku merasa tenteram. Tapi segera setelah kegelapan malam menyembunyikan segala-galanya, seribu satu ketakutan timbul lagi dalam pikiranku. Aku gelisah dan waspada. Pistol yang kusimpan di balik jasku kuraba dengan tangan kanan. Setiap suara menakutkanku. Tapi aku sudah bertekad akan menjual nyawaku semahal-mahalnya. Aku tidak akan meninggalkan gelanggang pertarungan sebelum jiwaku sendiri atau jiwa musuhku melayang.
Elizabeth sudah cukup lama memperhatikan kegelisahanku. Tapi dia diam saja dengan sikap ketakutan. Rupanya dia melihat pancaran air mukaku yang membuatnya merasa ngeri. Dengan badan gemetar dia bertanya: Apa sebenarnya yang menggelisahkan mu Victor-ku sayang" Apa yang kautakutkan"
Ah! Tenanglah, Sayangku, jawabku. Setelah malam ini berlalu semua akan aman. Tapi malam ini akan terjadi peristiwa yang mengerikan, sangat mengerikan.
Selama satu jam hanya itulah yang terpikir olehku. Tapi tiba-tiba aku sadar bahwa pertarunganku nanti pasti akan membuat isteriku kalut dan takut yang luar biasa. Maka dengan tegas kubujuk agar dia mau masuk ke kamar tidur. Aku mengambil keputusan baru akan menyusulnya setelah kuketahui tentang perihal musuhku.
Dia pun meninggalkanku. Dan aku meneruskan berjalan mondar-mandir di gang beberapa waktu lamanya. Kuperiksa setiap sudut rumah, yang mungkin bisa digunakan oleh musuhku sebagai tempat bersembunyi.
Tapi sedikit pun aku tidak menemukan jejak musuhku. Aku mulai berpikir bahwa telah terjadi suatu peristiwa yang mencegah pelaksanaan ancaman terhadap diriku. Tapi tiba-tiba kudengar sebuah pekikan yang meninggi dan sangat mengerikan. Suara ini datang dari kamar tempat Elizabeth beristirahat. Begitu suara ini kudengar, kesadaran seakan membanjir masuk ke dalam pikiranku. Tanganku lemas. Sekujur badanku serasa kehilangan tenaga. Tapi ini hanya kurasakan selama sesaat. Terdengar kembali suara jeritan, dan aku menghambur masuk ke kamar.
Ya Tuhan! Mengapa aku tidak mati saja" Mengapa aku harus merasakan kehancuran harapanku yang tertinggi, serta harus menyaksikan kebinasaan makhluk paling suci di dunia" Kulihat Elizabeth menggeletak melintang di tempat tidur, tidak bergerak-gerak dan sudah tidak bernyawa lagi. Kepalanya tergantung lemas ke bawah, dan wajahnya yang pucat separuh tertutup oleh rambutnya. Ke mana pun aku membuang muka, aku selalu melihat tubuhnya yang terbayang di pelupuk mataku tangan dan tubuhnya yang sudah lemas dilemparkan oleh si pembunuh ke atas ranjang pe ngantinnya sendiri.
Sanggupkah aku menyaksikan ini dan tetap hidup" Aduh! Hidup selalu bergantung erat-erat setiap kali orang sangat tidak menghendakinya. Sesaat kemudian aku tidak sadarkan d Tri dan roboh ke lantai.
Waktu aku siuman kembali, kulihat orang-orang dari penginapan mengerumuniku. Muka mereka memancarkan kengerian yang iuar biasa. Tapi kengerian orang lain bagiku hanya terasa sebagai olok-olok, bayangan dari perasaan yang menekanku.
Aku melepaskan diri dari kerumunan mereka, pergi ke kamar tempat Elizabeth dibaringkan. Ya, Elizabeth, Kekasihku, Isteriku yang begitu kusayangi dan kuagung-agungkan. Sikap berbaring-nya sudah diubah. Kini kepalanya terletak di atas tangannya, dan sehelai sapu tangan ditutupkan ke muka dan lehernya. Sepintas lalu dia kelihatan seakan sedang tidur.
Aku menghambur ke depan dan memeluknya. Tapi tubuhnya yang sudah kaku dan dingin me nyadarkanku bahwa kini dia bukan lagi Elizabeth yang selama ini kucintai. Bekas cekikan si pembunuh kelihatan jelas pada lehernya, dan kini dia sudah tidak bernafas lagi.
Suatu ketika aku kebetulan melihat ke atas. Sebelumnya jendela kamar kelihatan gelap. Kini aku merasa panik melihat sinar bulan yang kuning menyorot ke dalam kamar. Tirai jendela telah disibakkan. Dan dengan rasa ngeri yang sulit dilukiskan, kulihat di jendela terbuka sesosok tubuh yang sangat menakutkan serta menjijikkan. Kulihat senyuman pada muka makhluk iblis ini. Rupanya dia mengejekku, dan dengan telunjuk iblisnya dia menunjuk ke mayat isteriku.
Aku menyerbu ke jendela. Kucabut pistol dari dadaku, dan kulepaskan tembakan. Tapi dia mengelak. Dia melompat dari tempatnya, lari secepat kilat dan terjun ke danau.
Suara tembakan pistolku menyebabkan orang banyak menyerbu masuk ke kamar. Aku menunjuk ke arah tempat makhluk ini menghilang. Kemudian kami mengikuti jejaknya dengan perahu. Beberapa buah jala ditebarkan, tapi sia-sia belaka.
Setelah melakukan pemburuan selama beberapa jam, kami kembali dengan putus asa. Orang banyak sebagian besar yakin bahwa yang kulihat hanya sesuatu yang ada dalam angan-anganku saja. Kami mendarat, dan mereka terus melakukan pencarian di daratan. Kelompok pengejar pergi ke segala penjuru, menyusup ke tengah pohon-pohonan dan kebun anggur.
Aku bermaksud menyertai mereka. Tapi belum jauh dari rumah, kepalaku sudah terasa pening. Langkahku seperti orang mabuk, dan akhirnya aku tersungkur ke tanah karena kelelahan. Mataku serasa tertutup oleh sehelai selaput, dan kulitku berkeriput karena panas dan demam.
Dalam keadaan demikian aku diusung ke dalam dan dibaringkan di tempat tidur. Aku hampir-hampir tidak memahami apa yang sedang terjadi.Mataku menjelajahi seluruh ruangan, seakan mencari-cari sesuatu yang telah hilang. Beberapa waktu kemudian aku bangun. Seakan terdorong oleh instink, aku pergi ke kamar tempat kekasihku terbaring. Beberapa orang wanita yang mengerumuninya sedang menangis. Aku pun turut menangis bersama mereka. Waktu itu pikiranku tidak menentu. Pikiranku melayang-layang, tertuju kepada berbagai macam persoalan. Dengan pikiran kacau-balau aku mengingat-ingat semua kemalangan yang kuderita beserta dengan penyebabnya. Aku sangat kalut, diliputi kabut keheranan dan kengerian. Mula-mula William dibunuh, kemudian Justine dihukum mati. Selanjutnya Clerval juga jatuh menjadi korban, dan yang terakhir isteriku. Bahkan pada saat itu aku tidak tahu apakah kerabatku yang masih ada selamat dari kekejaman si iblis. Mungkin waktu itu juga ayahku sedang menggeliat-geliat dalam cekikannya, dan Ernest sudah menggeletak tidak bernyawa. Gagasan ini membuatku menggigil dan mengingatkanku untuk segera bertindak. Aku segera berkemas-kemas dan memutuskan untuk kembali ke Jenewa secepat mungkin.
Tidak ada kuda yang bisa kusewa, jadi aku harus pulang melalui danau. Tapi angin waktu itu tidak memungkinkan untuk melakukan pelayaran, dan hujan yang turun sangat lebat. Tapi waktu itu fajar baru merekah, dan aku bisa berharap akan sampai ke rumah malamnya.
Aku mengupah beberapa orang untuk mendayung, bahkan aku sendiri juga turut mengayuh perahu. Seperti biasa aku selalu berusaha mengurangi siksaan batin dengan mengeluarkan tenaga jasmani. Tapi saat itu kesedihan yang kurasakan menyebabkan tenaga jasmaniku lenyap sama sekali .Dayung kulemparkan, dan aku duduk sambil menopang kepalaku dengan dua tangan. Pikiranku sama sekali dikuasai oleh penderitaan yang kian memuncak.
Kalau aku mengangkat kepala, aku melihat pemandangan yang belum lama keindahannya kunikmati bersama dia yang kini tinggal kenangan belaka. Air mata mengalir ke pipiku.
Waktu itu hujan berhenti sejenak. Kulihat beberapa ekor ikan bermain-main dalam ahseperti beberapa jam yang lalu. Ya, ini ikan yang sebelumnya telah diperhatikan oleh Elizabeth. Tak ada yang lebih menyakitkan bagi perasaan manusia daripada perubahan yang begitu besar dan tiba-tiba. Matahari bisa bersinar dan awan bisa berarak seperti biasa, tapi tidak ada yang kelihatan sama bagiku seperti hari kemarin. Iblis telah me renggutkan setiap harapan kebahagiaan masa depanku. Tidak ada lagi makhluk yang lebih menyedihkan daripada diriku. Begitu banyak dan mengerikan peristiwa yang terjadi terhadap diriku, terlalu banyak untuk riwayat hidup satu orang.
Tapi mengapa aku harus menceritakan terus peristiwa yang sangat menyedihkan ini" Riwayat hidupku memang penuh kengerian. Kini aku sudah mencapai puncaknya, dan apa yang harus kuceritakan sekarang rasanya sudah terlalu berlebih-lebihan. Coba bayangkan! Satu demi satu keluargaj dan sahabatku direnggutkan dariku. Aku dibiarkan merana seorang diri.
Kini tenagaku sudah hampir habis sama sekali. Dengan beberapa kalimat aku harus menceritakan akhir kisahku yang mengerikan.
Aku pun sampai ke Jenewa. Ayah dan Ernest masih hidup. Tapi ayah tidak mampu menanggung kesedihan yang juga kurasakan, demi mendengar ceritaku. Sekarang aku sadar, betapa tua dan rapuh dia! Matanya menjadi belingsatan dan hampa, serta kehilangan cahaya. Baginya, Elizabeth lebih dari seorang anak kandung. Elizabeth sangat disayanginya, lebih-lebih karena sudah tidak banyak lagi yang bisa dicintainya.
Terkutuk, terkutuklah iblis yang mendatangkan kesedihan begitu besar kepada ayahku yang sudah j ubanan, serta menghancurkan jiwanya sama sekali! Ayah tidak kuasa lagi menanggung beban penderitaan yang sudah menumpuk sedemikian banyaknya. Mata air kehidupannya tiba-tiba berhenti mengalirkan semangat hidup. Dia tidak bisa lagi bangun dari tempat tidur, dan beberapa hari kemudian dia menghembuskan nafas penghabisan dalam pelukanku. Lalu apa jadinya dengan diriku" Aku tidak tahu. Aku kehilangan ingatan. Aku hanya bisa merasakan rantai dan kegelapan yang memberati diriku. Kadangkadang aku bermimpi sedang berjalan-jalan di taman bunga penuh kegembiraan bersama teman-teman di masa kanak-kanakku. Tapi setelah terbangun, aku mendapatkan diriku berada dalam penjara bawah tanah.
Kesedihan menyusul. Tapi lambat laun aku mulai sadar akan diriku, penderitaan serta keadaanku. Tidak lama kemudian aku dibebaskan dari kurungan. Rupanya selama itu aku dianggap gila. Selama beberapa bulan aku dikurung dalam sel tahanan seorang diri.
Namun bagiku kebebasan merupakan hadiah yang tidak berguna. Tapi kemudian terpikir olehku bahwa kebebasanku bisa kumanfaatkan untuk berusaha membalas dendam. Setelah kenangan tentang penderitaan masa lalu kembali kurasakan, aku mulai memikirkan penyebabnya. Ya, penyebabnya tidak lain makhluk ciptaanku sendiri iblis mengerikan yang kulepaskan ke dunia untuk mendatangkan kehancuranku sendiri! Aku merasa terbakar oleh kemarahan kalau teringat kepada makhluk ini. Aku sangat bernafsu ingin menangkapnya, serta membalas dendam dengan menghancurkan kepalanya yang terkutuk.
Kemarahanku tidak terbatas hanya pada pikiran semata-mata. Aku juga mulai memikirkan cara terbaik untuk melaksanakan pembalasan dendamku. Setelah keputusanku bulat, aku pun mulai bertindak. Beberapa bulan setelah aku dibebaskan, aku menemui hakim bagian kriminil. Kuceritakan kepadanya bahwa aku punya tuntutan yang akan kuajukan. Kukatakan kepadanya bahwa aku kenal dengan pemusnah keluargaku. Aku mengajukan permohonan kepadanya agar dia menggunakan segenap wewenangnya untuk menangkap si pembunuh.
Hakim mendengarkan kata-kataku dengan penuh perhatian dan rasa belas kasihan. Percayalah, Tuan, katanya, kami akan berusaha sekuat tenaga untuk menangkap penjahat ini.
Terima kasih, jawabku. Kalau begitu dengarkan keterangan yang akan kupaparkan. Memang ini sebuah cerita yang sangat aneh. Aku khawatir ceritaku tidak mudah menarik kepercayaan orang, sebab walaupun semuanya benar tapi kedengar annya sangat ajaib. Ceritaku juga bisa disalahartikan sebagai sebuah mimpi, padahal aku tidak punya motif untuk menceritakan kebohongan. Sikapku waktu menceritakan ini penuh ketenangan dan mengesankan. Dalam hati aku sudah bertekad memburu perusak hidupku dan membunuhnya. Tekad ini meredakan penderitaanku, dan untuk sementara menenangkan hidupku. Aku menceritakan kisahku secara singkat, tapi tegas dan dengan tepat. Kusebutkan tanggal setiap peristiwa dengan tepat, dan aku tidak pernah menyimpang dengan mengucapkan makian atau seman.
Mula-mula hakim kelihatan tidak percaya. Tapi aku terus bercerita, dan perhatian serta rasa tertariknya semakin bertambah. Kulihat dia kadang-kadang menggigil karena ngeri. Pada kesempatan lainnya dia tampak sangat heran. Rasa takjub yang tidak bercampur dengan ketakpercayaan terbayang jelas pada air mukanya.
Setelah aku mengakhiri ceritaku, aku berkata, Inilah makhluk yang kutuduh melakukan kejahatan selama ini. Tentang penangkapan dan hukumannya terserah kepada wewenang dan kekuasaanmu. Ini tugasmu sebagai seorang hakim. Aku yakin dan berharap perasaanmu sebagai manusia tidak menentang pelaksanaan tugasmu dalam persoalan ini.
Kata-kataku yang terakhir mengubah pendirian pendengarku. Dia telah mendengarkan ceritaku setengah percaya setengah tidak, seperti orang mendengarkan dongeng tentang peri dan kejadian-kejadian ajaib. Tapi setelah dia diminta untuk bertindak secara resmi, seluruh sikap ketakpercayaannya kembali.
Dia menjawab pelahan: Dengan segala senang hati aku ingin memberikan setiap bantuan yang kauperlukan untuk melakukan pengejaran. Tapi makhluk yang kau-ceritakan rupanya memiliki kekuatan luar biasa, yang akan mengalahkan setiap usahaku. Siapa yang akan bisa mengejar makhluk yang sanggup melintasi padang es, serta tinggal di dalam gua yang tidak bisa didatangi manusia" Lagipula beberapa bulan sudah berlalu sejak dia melakukan kejahatannya. Tak ada seorang pun yang tahu ke mana dia pergi, atau di mana dia bertempat-tinggal.
Aku tidak ragu-ragu lagi, dia pasti tinggal tidak jauh dari kediamanku. Dan kalau dia benar sudah melarikan diri ke pegunungan Alpen, dia bisa diburu seperti kambing gunung dan dibinasakan seperti binatang buas. Tapi aku sudah mengetahui bagaimana pendirianmu. Kau tidak mempercayai ceritaku, dan tidak mau memburu musuhku untuk menghukumnya.
Sementara aku berbicara, kemarahan membuat mataku berkilat-kilat. Hakim mulai merasa khawatir. Kau keliru, katanya. Aku akan berusaha menangkap makhluk ini kalau aku mampu. Percayalah, aku akan menjatuhkan hukuman yang setimpal untuk semua kejahatannya. Tapi mendengar ceritamu sendiri tentang kemampuan makhluk ini, aku merasa khawatir jangan-jangan usaha kita kelak ternyata sia-sia belaka. Jadi sementara kita melakukan segala usaha, kau harus bersedia menerima kegagalan dan kekecewaan.
Tidak perlu begitu. Tapi apa yang akan kukatakan takkan ada gunanya. Pembalasan dendamku tidak ada sangkut-pautnya dengan kepen-tinganmu. Aku tidak bisa melukiskan kemarahanku demi kuketahui bahwa pembunuh ini, yang kulepaskan ke tengah masyarakat, masih hidup. Kau menolak tuntutanku yang jujur. Sekarang aku hanya tinggal memiliki satu cara lagi. Aku akan berusaha sendiri untuk membinasakannya, walaupun akibatnya aku sendiri akan menemui ajal.
Aku mengatakan ini dengan badan gemetar karena marah. Aku yakin sikapku bisa dianggap sebagai tingkah orang gila, atau orang kesurupan. Ya, seorang hakim Jenewa otaknya penuh dengan gagasan lain, yang jauh dari heroisme atau kesadaran berbakti kepada masyarakat. Tentu saja gagasanku hanya ditafsirkannya sebagai kegilaan.
Dia berusaha menenangkanku, seperti seorang perawat membujuk anak kecil. Dia menganggap ceritaku sebagai igauan orang sakit ingatan belaka. Bung, seruku, alangkah kosongnya jiwamu dari harga diri dan kebijaksanaan! Sudah, berhenti! Kau tidak tahu apa yang kaukatakan. Aku pergi meninggalkan rumah hakim dengan marah dan kesal. Sampai di rumah aku mulai memikirkan cara lain untuk bertindak.
Bab 24 AKU sekarang hampir-hampir tidak bisa lagi berpikir dengan akal sehat. Tindakanku hanya terdorong oleh kemarahan. Hanya nafsu membalas dendam yang memberiku kekuatan dan gairah hidup. Nafsu ini jugalah yang memerintah pe rasaanku, serta kadang-kadang menenangkan hatiku.
Keputusanku yang terutama ialah meninggalkan Jenewa untuk selama-lamanya. Aku mencintai negeriku manakala aku berbahagia dan dicintai. Tapi setelah aku menderita kesedihan, rasanya aku jadi berubah membencinya. Aku membawa uang secukupnya, juga perhiasan milik ibuku dan terus berangkat. Kini aku memulai pengembaraan yang hanya akan berakhir kalau hidupku juga berakhir. Aku hampir sudah menjelajahi seluruh dunia. Aku sudah mengalami hidup yang penuh kekerasan dan ke sulitan, seperti yang umumnya dirasakan oleh para pelancong di gurun-gurun pasir dan di negeri biadab. Aku hampirhampir tidak mengerti bagaimana aku bisa tetap hidup. Aku sudah seringkali terkapar di padang pasir dan hampir mati. Tapi nafsu membalas dendam membuat aku tetap hidup. Aku tidak berani meninggalkan dunia fana ini lebih dulu dan membiarkan musuhku tetap hidup.
Waktu aku meninggalkan Jenewa, usahaku yang pertama ialah mencari jejak musuhku. Tapi rencanaku tidak tetap. Selama berjam-jam aku mengembara di luar kota, tidak tabu arah mana yang harus kuambil. Setelah malam tiba aku sadar telah berada di pintu gerbang kuburan tempat William, Elizabeth dan ayah d ke bumikan
Aku masuk ke dalam kuburan dan menghampiri batu nisan yang bertutiskan nama mereka. Di mana-mana sunyi senyap. Yang terdengar hanyalah bisikan lembut daun-daun pepohonan yang diusik angin. Malam sudah hampir gelap, dan keadaan di situ sangat khidmat dan tenang. Rasanya seakan arwah mereka yang sudah berpulang kembali dan mengerumuni si peziarah. Tapi kesedjhan serta kekhidmatan yang ditimbulkan oleh suasana tenang di sekitarku segera berganti dengan kemarahan. Mereka sudah tiada, tapi aku masih hidup di dunia. Pembunuh mereka juga masih hidup. Untuk membinasakannya, aku harus berusaha mempertahankan hidupku yang sudah payah.
Aku berlutut di rumput dan mencium tanah. Dengan bibir gemetar aku berkata: Demi tanah suci tempatku berlutut, demi arwah yang berkeliaran di dekatku dan demi kesedihan abadi yang kurasakan, aku bersumpah. Juga demi kau, O Malam beserta dengan arwah yang bernaung dalam keteduhanmu, aku bersumpah untuk memburu iblis yang menyebabkan kesedihanku, sampai aku atau dia binasa dalam pertarungan sampai mati. Untuk tujuan inilah aku mempertahankan hidupku. Untuk melaksanakan balas dendamku ini sekali lagi aku mau melihat matahari dan menginjak rumput dunia fana. Dan kuminta kepadamu, arwah semua yang sudah mati, dan juga kau, setan-setan yang berkeliaran, untuk membantu pelaksanaan kerjaku.Bantulah aku membuat iblis terkutuk ini binasa. Biarlah dia merasakan penderitaan yang sekarang menyiksaku.
Aku mengucapkan sumpahku dengan khidmat. Aku sampai hampir merasa yakin bahwa arwah keluargaku yang terbunuh mendengar dan menyetujui maksudku. Tapi menjelang akhir kalimatku kemarahanku menyala-nyala sehingga kata-kataku tercekik di tenggorokan.
Dalam keheningan malam kata-kataku dijawab dengan suara ketawa iblis yang keras. Suaranya mendengung di telingaku, panjang dan berat. Pegunungan menggemakan suaranya, dan aku merasakan diriku dikelilingi suara tertawa dan ejekan.
Setelah suara tertawa berhenti, kudengar suara yang sangat kukenal dan kubenci. Suaranya begitu dekat ke telingaku berkata kepadaku dalam bisikan, Aku puas, orang jahat! Kau bertekad untuk tetap hidup, dan aku merasa puas. Aku menyerbu ke arah datangnya suara, tapi si iblis mengelakkan terkamanku. Tiba-tiba bulan purnama terbit. Cahayanya menyinari tubuhnya yang buruk dan mengerikan, waktu dia berlari dengan kecepatan jauh melebihi kecepatan manusia.
Aku mengejarnya. Dan selama beberapa bulan hanya itulah pekerjaanku. Dengan sedikit petunjuk yang kuperoleh, aku mengikuti sungai Rhone yang berbelok-belok. Namun usahaku sia-sia. Aku sampai ke Laut Tengah yang biru. Di situ secara kebetulan yang aneh kulihat pada suatu malam si iblis menyembunyikan diri dalam kapal yang akan berlayar ke Laut Hitam. Aku turut naik ke kapal ini. Tapi dia lenyap begitu saja, aku tidak tahu ke mana larinya. Kutemukan kembali jejaknya di tengah padang belantara Tartar dan Rusia. Tapi masih saja dia berhasil meloloskan diri dari kejaranku. Di sana kadang-kadang beberapa orang petani yang ketakutan melihat rupa iblis ini memberitahukan kepadaku arah yang diambilnya. Tapi kadang-kadang dia sendiri rupanya khawatir jangan-jangan aku kehilangan jejaknya, putus asa dan mati. Maka dia dengan sengaja meninggalkan jejak untuk memberi petunjuk kepadaku. Salju sudah mulai berguguran di atas kepalaku. Dan kulihat jejaknya yang besar-besar di tengah , padang yang memutih. Coba bayangkan semua yang kurasakan! Dingin, serba kekurangan dan kelelahan hanyalah sebagian kecil dari semua yang harus kuderita. Aku dikutuki oleh iblis, dan ke mana-mana membawa nerakaku sendiri yang abadi.
Tapi roh baik masih mengikutiku dan menuntun langkahku, serta menolongku dari ke sulitan yang kelihatannya takkan teratasi. Kadang-kadang kalau aku sudah hampir mati kelaparan di tengah gurun pasir, tahu-tahu aku mendapatkan makanan yang seakan sengaja disediakan untukku. Makanan ini tentu saja sangat sederhana, seperti yang biasa dimakan para petani di pedalaman. Aku yakin makanan ini dihidangkan oleh arwah yang kuminta! bantuannya. Pada kesempatan lain waktu aku hampir mati kehausan dan di mana-mana kering, tiba-tiba awan kecil terkumpul di langit. Beberapa tetes air turun, hanya cukup untuk melenyapkan dahagaku. Dan kemudian awan pun lenyap tertiup angin. Sedapat mungkin aku selalu berjalan mengikuti tepi sungai. Tapi iblis yang kukejar biasanya menghindari sungai. Rupanya dia tahu bahwa kota besar selalu didirikan di tepi sungai. Di beberapa tempat manusia sangat jarang kutemukan. Biasanya aku hidup dengan memakan binatang liar yang berhasil kutangkap. Aku membawa banyak uang, dan akubisa menjalin persahabatan dengan orang desa dengan cara membagi-bagikannya. Atau kadang-kadang setelah mengambil sebagian, binatang yang kubunuh kuberikan kepada mereka. Sebagai gantinya, mereka memberiku api dan perkakas untuk memasak makanan.
Cara hidup yang semacam ini sangat tidak kusenangi. Aku hanya bisa merasakan kesenangan dalam tidur. Ah, alangkah nikmatnya tidur bagiku! Seringkali kalau aku merasa sangat berat menanggung kesedihan, aku terus berbaring untuk tidur. Dalam tidur, mimpiku seringkali mendatangkan rasa bahagia. Roh yang menjagaku rupanya memberiku saat-saat bahagia ini, agar aku bisa beristirahat dan mendapatkan kekuatanku kembali untuk melanjutkan perjalanan.
Seandainya aku tidak bisa menikmati kesenangan beristirahat, mungkin aku sudah lama binasa karena menanggung kesulitan. Selama siang hari semangatku dibangkitkan oleh harapan menunggu datangnya malam. Dan setelah malam tiba, dalam tidur aku melihat semua sahabatku, isteriku serta negeriku yang kucintai. Sekali lagi aku melihat wajah ayahku yang ramah. Aku mendengar suara Elizabeth yang merdu, serta melihat Cierval yang sehat wal afiat dan penuh gairah hidup.
Seringkali kalau aku kelelahan karena berjalan, aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku sedang bermimpi. Aku tinggal menunggu datangnya malam, dan aku akan menikmati kenyat n di tengah-tengah semua orang yang kucintai. Alangkah cintanya aku kepada mereka! Bahkan pada saat aku sadar, aku seringkali meyakinkan diriku bahwa mereka masih hidup! Pada saat-saat semacam itu nafsu balas dendamku yang menyala-nyala padam. Aku meneruskan perjalanan mengejar musuhku seperti orang yang tidak sadar seakan bukan karena dorongan keinginan yang berkobar-kobar. Aku tidak tahu bagaimana perasaan dia yang ku kejar. Kadang-kadang dia meninggalkan tulisan pada sekeping kulit kayu, atau pada batang pohon dengan menggunakan batu runcing. Maksudnya untuk memberi petunjuk, atau membangkitkan kemarahanku.
Pemerintahanku belum berakhir demikian lah bunyi salah satu tulisan yang ditinggalkannya kau hidup, dan kekuasaanku sempurna. Ikuti aku. Aku pergi menuju ke padang es abadi di utara. Di sana kau akan merasakan penderitaan karena dingin dan kebekuan, sedangkan aku kebal dari penderitaan. Kalau kau berjalan cukup cepat mengikuti jalan setapak ini, kau akan menemukan seekor kelinci yang, sudah mati. Makanlah, untuk menyegarkan kembali tubuhmu. Teruslah, musuhku! Kita masih akan bertarung untuk saling membunuh, l api sebelumnya kau harus merasakan banyak penderitaan, sampai saatnya tiba.
Iblis pengejek! Sekali lagi aku bersumpah untuk melaksanakan balas dendamku. Aku bertekad tidak akan menyerah sebelum dia atau aku binasa. Kemudian dengan senang hati aku akan menyusui Elizabeth dan semua kerabatku yang sudah berpulang. Mungkin sekarang mereka bahkan sudah menyiapkan hadiah bagiku, sebagai imbalan jerih payahku!
Aku masih terus melakukan pengejaran ke utara. Salju makin lama makin tebal. Hawa dingin semakin membekukan tubuh, hampir-hampir tak tertahankan rasanya. Semua petani mengurung diri dalam pondoknya. Hanya satu dua orang saja yang berani keluar. Mereka biasanya para pemburu, keluar untuk menangkap binatang yang berkeliaran mencari mangsa. Sungai penuh es, dan tidak ada ikan yang bisa ditangkap. Maka semakin sulit aku mencari makanan. Musuhku semakin merasa menang, dengan makin meningkatnya kesulitanku. Dia meninggalkan lagi tulisan seperti berikut ini:
Awasi Penderitaanmu baru saja mulai. Bungkuslah tubuhmu dengan mantel kulit binatang berbulu, dan bawalah bekal makanan. Kita akan segera melakukan perjalanan yang sulit, dan penderitaanmu akan memuaskan kebencianku yang abadi.
Keberanian dan ketabahanku semakin kuat karena kata-kata ejekan ini. Aku bertekad tidak akan gagal melaksanakan maksudku. Aku berseru meminta bantuan kepada langit, serta meneruskan perjalanan melintasi padang salju dengan langkah tetap. Akhirnya di kejauhan samudera mulai tampak, meluas sampai ke cakrawala.
Oh! Sungguh jauh bedanya laut di sini dengan laut di selatan yang berwarna biru! Di sini laut seluruhnya tertutup lapisan es, hampir tidak bisa dibedakan dengan daratan. Orang Yunani menangis gembira kalau melihat Laut Tengah dari bukit-bukit di Asia, dan mereka bersukacita karena jerih lelah mereka sudah berakhir. Tapi aku tidak menangis. Aku berlutut, dan dengan sepenuh hati mengucapkan terima kasih kepada roh pelindung yang telah menuntunku. Aku telah sampai dengan selamat ke tempat yang kuharapkan akan menjadi arena pertarungan dengan iblis yang selama ini ku-kejar-kejar.
Beberapa minggu sebelumnya aku telah mendapatkan pengeretan dan beberapa ekor anjing untuk menariknya. Maka dengan kereta salju ini aku bisa melintasi padang es lebih cepat daripada yang kubayangkan.
Aku tidak tahu apakah musuhku memiliki alat pengangkutan yang sama. Tapi kalau sebelumnya aku semakin jauh tertinggal, setelah aku sampai ke tepi laut kuketahui bahwa iblis yang kukejar hanya sejauh sehari perjalanan di depanku. Aku berharap akan berhasil menyusulnya sebelum dia sampai ke pantai seberang.
Dengan semangat dan keberanian baru aku meneruskan pengejaran. Dua hari kemudian aku sampai ke sebuah kampung kecil yang menyedihkan di tepi pantai. Aku bertanya kepada penghuninya, untuk mencari keterangan tentang si iblis. Keterangan yang kuperoleh tidak meragukan lagi.
Mereka mengatakan bahwa malam sebelumnya telah datang seorang yang berbentuk raksasa. Dia bersenjata senapan dan beberapa buah pistol. Penghuni sebuah pondok yang terpencil lari semua karena takut melihat rupanya yang mengerikan. Dia mengambil persediaan makanan mereka untuk musim dingin dan dimuat di atas pengeretan. Untuk menarik pengeretan ini dia menangkap beberapa ekor anjing penghela yang terlatih. Malam itu juga iblis ini meneruskan perjalanan melintasi lautan, mengambil arah yang tidak sampai ke daratan mana pun. Orang desa yang ketakutan merasa senang karena raksasa ini pergi. Mereka mengira dia pasti sudah binasa. Kalau tidak terbenam karena lapisan es pecah, mungkin mati beku karena kedinginan.
Demi mendengar keterangan ini aku merasa putus asa. Dia telah lolos dari kejaranku. Dan aku harus memulai lagi perjalanan menempuh padang es yang hampir tak ada batasnya. Penghuni desa ini saja merasa tidak sanggup menahan hawa dingin di tengah samudera es ini. Apalagi aku, orang yang biasa hidup dalam iklim yang lebih panas! Aku sama sekali tidak punya harapan akan bisa hidup.
Tapi memikirkan si iblis akan hidup dengan penuh rasa kemenangan, kemarahan dan nafsu balas dendamku menyala kembali. Laksana ombak yang datang bergulung-gulung, perasaan ini membanjir menenggelamkan perasaan lainnya. Setelah beristirahat sebentar, aku bersiap-siap untuk meneruskan pengejaran.
Aku menukar pengeretanku dengan kereta salju yang lebih cocok untuk melakukan perjalanan melintasi lautan beku. Aku membawa bekal makanan banyak-banyak, terus bertolak dari daratan mi.
Sejak saat itu aku sudah tidak tahu lagi berapa hari yang sudah berlalu. Selama itu aku menanggung penderitaan yang luar biasa. Kalau tidak didorong oleh semangat dan nafsu yang menyala-nyala dalam hatiku, aku pasti sudah binasa. Gunung es yang besar dan sulit ditempuh seringkali menghambat perjalananku. Aku juga sering mendengar bergolaknya samudera yang mengadu gununggunung es dengan suara gemuruh, mengancam untuk menghancurkanku. Tapi sekali lagi salju turun, membuat permukaan es mudah dilalui. Menilik habisnya persediaan makanan yang kubawa, aku bisa menduga bahwa aku sudah tiga minggu lamanya menempuh perjalanan. Harapan yang terusmenerus diulur-ulur seringkali membuat air mataku meleleh penuh kesedihan dan penyesalan. Sekali aku berhasil mendaki dan menuruni gunung, dan seekor anjingku mati kehabisan tenaga. Dengan rasa pilu aku memandangi padang es yang tuas terhampar di hadapanku. Tiba-tiba kulihat sebuah titik hitam jauh di dekat kaki langit.
Aku menajamkan penglihatanku, untuk mengetahui dengan pasti benda apa yang kulihat. Aku berseru kegirangan demi kukenali sosok tubuh berbentuk buruk di atas sebuah kereta salju. Oh Alangkah besarnya harapan yang berkobar kembali dalam hatiku!
Air mata hangat membanjir ke luar, dan cepat-cepat kuhapus. Air mataku tidak boleh mengaburkan pandanganku, supaya si iblis tidak terlepas lagi dari penglihatanku. Tapi tetap saja air mataku bercucuran. Akhirnya aku tidak kuasa lagi menahan perasaan, dan tangisku meledak.
Tapi sekarang bukan waktunya untuk berlalai-Lalai. Anjing yang mati kulepaskan dari ikatannya, dan lain-lainnya kuberi makan banyak-banyak. Setelah beristirahat selama satu jam, aku meneruskan perjalanan pula. Pengeretan di depanku masih bisa kulihat. Aku tidak melepaskannya lagi dari penglihatanku, kecuali satu kait waktu pandanganku terhalang oleh sebuah bukit es. Rupanya aku berhasil mengejarnya. Setelah perjalanan selama dua hari, kulihat musuhku tidak lebih dari dua kilometer di depanku. Melihat ini dadaku berdebar-debar.
Tapi kini setelah musuhku hampir terjangkau, tiba-tiba harapanku padam, Jejaknya kini lebih sulit dicari daripada sebelumnya. Kudengar samu-dera di bawah lapisan es bergolak. Suaranya yang menggemuruh serta gelombang yang berdeburan di bawahku makin lama makin mengerikan.
Aku berusaha maju terus, tapi sia-sia belaka. Badai datang dan lautan makin menggejolak. Lak sana gempa bumi yang hebat, lapisan es retak-retak. Pecahannya saling bertumbukan dengan suara yang sangat dahsyat. Tidak lama kemudian badai berhenti. Dalam tempo beberapa menit saja aku sudah dipisahkan dari musuhku oleh air laut yang bergolak, berbusa dan berbuih. Aku terapung-apung di atas pecahan es. Pecahan es ini pun makin lama makin kecil, mengancam untuk mendatangkan kematian yang mengerikan bagiku.
Beberapa jam berlalu dalam keadaan semacam ini. Beberapa ekor anjingku mati. Aku sendiri sudah hampir mati terbenam. Saat itulah aku melihat kapalmu, memberiku harapan keselamatan dan hidup.
Aku tidak mengerti bagaimana sebuah kapal sampai berlayar begitu jauh ke utara, dan aku sangat heran melihatnya. Aku segera menghancurkan sebagian kereta saljuku untuk membuat dayung. Dengan potongan papan itu aku mendayung rakit-esku ke arah kapalmu.
Aku sudah bertekad, seandainya kau dalam perjalanan ke selatan, aku lebih baik mempercayakan nasibku kepada laut daripada membatalkan maksudku. Aku berharap akan bisa membujukmu agar mau memberiku sebuah perahu untuk mengejar musuhku.
Tapi ternyata pelayaranmu menuju ke utara. Kau menaikkanku ke atas kapal pada saat tenagaku habis. Kalau tidak mendapat pertolonganmu, aku pasti sudah mati. Padahal aku masih takut mati, sebab tugasku belum tertunaikan. Oh! Apakah roh penuntunku memberikan kesempatan kepadaku untuk beristirahat" Ataukah aku harus mati, dan dia masih tetap hidup" Seandainya aku mati, Walton, bersumpahlah kau untuk tidak membiarkannya lolos. Carilah dia sampai ketemu, dan bunuhlah dia untuk memuaskan nafsu balas dendamku. Tapi patutkah aku menyuruhmu mengambil-alih tugasku, melakukan pengejaran dan menahankan penderitaan seperti yang telah kurasakan" Tidak, aku tidak mementingkan diri sendiri Tapi seandainya nasib mempertemukanmu dengan dia, bersumpahlah kau kepadaku untuk membunuhnya. Bersumpahlah kau untuk mengakhiri kemenangannya atas penderitaanku. Akhiri hidupnya, agar dia tidak memperpanjang lagi daftar kejahatannya yang sangat keji.
Berhati-hatilah! Dia pandai bicara dan pintar membujuk. Bahkan dia pernah berhasil mempengaruhi hatiku. Tapi kau jangan percaya kepadanya. Jiwanya seburuk rupanya yang mengerikan, penuh kelicikan dan kejahatan iblis. Jangan dengarkan perkataannya. Sebutkan nama William, Justine, Clerval, ayahku dan Victor yang malang, dan tikamkan pedangmu ke jantungnya. Arwahku akan selalu mendampingimu, untuk meluruskan tikaman ujung pedangmu.
"RatuBuku Sambungan surat Robert Walton.
26 Agustus 17. Kau sudah membaca cerita yang aneh dan mengerikan ini, Margaret. Tidakkah kau merasakan darahmu membeku karena ngeri, seperti yang kurasakan" Kadang-kadang karena tercengkam oleh penderitaan yang tiba-tiba dirasakannya, dia tidak bisa meneruskan ceritanya. Pada kesempatan lainnya dia bercerita dengan suara terputus-putus karena kepedihan hatinya. Matanya yang bagus kadang-kadang menyala-nyala karena kemarahan, dan kadang-kadang sayu tertunduk oleh rasa duka yang tak ada taranya. Kalau dia bisa menahan perasaannya, dia bisa mengisahkan peristiwa yang paling mengerikan dengan suara penuh ketenangan. Kemudian seperti gunung meletus, air mukanya berubah penuh kemarahan. Dia memekikkan kutukan kepada iblis penyebab kesengsaraannya.
Ceritanya sating berhubungan, dan diceritakan dengan kebenaran yang bersahaja. Tapi kuakui kepadamu bahwa surat Felix kepada Satle yang ditunjukkannya kepadaku serta makhluk yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri dari kapal lebih meyakinkan diriku akan kebenaran ceritanya, daripada kata katanya untuk meyakinkanku.
Jadi makhluk seperti yang diceritakannya benar-benar ada! Aku tidak meragukannya, walaupun aku merasa heran dan takjub. Kadang-kadang aku berusaha mendapatkan dari Frankenstein rumus dan cara membuat makhluk ini. Tapi dalam perkara ini dia benar-benar teguh dan kebal terhadap bujukan. Apakah kau gila, Sahabatku" katanya. Ataukah kau terdorong oleh rasa ingin tahu yang tanpa dipikir" Apakah kau juga akan menciptakan iblis musuhmu dan musuh seluruh dunia" Semoga kedamaian mengisi hatimu! Ambillah pelajaran dari kesedihanku, dan janganlah kau mencari untuk menambah kesedihanmu sendiri. m Frankenstein mengetahui bahwa aku membuat catatan tentang riwayat hidupnya. Dia meminta catatanku, untuk memeriksanya. Kemudian dia sendiri membuat koreksi di beberapa tempat. Terutama dia menghidupkan percakapan antara dia sendiri dengan musuhnya.
Karena kau telah mengabadikan ceritaku, katanya, aku tidak menginginkan cerita yang kurang betul diwariskan turun-temurun.
Demikianlah waktu seminggu berlalu, sementara aku mendengarkan cerita paling aneh yang bisa dikhayalkan manusia. Pikiran dan segenap perasaanku tertumpah kepada tamuku, beserta dengan kisah yang diceritakannya. Aku sangat ingin menghiburnya. Tapi dapatkah aku membangkitkan semangat hidup orang yang begitu menyedihkan, serta begitu hampa dari ha rapan mendapatkan penghiburan" Oh, tidak! Kini dia hanya mengenal satu kegembiraan saja, yaitu kalau dia bisa mati dan beristirahat untuk selamalamanya.
Tapi kadangkala dia pun masih bisa menikmati satu kesenangan, yaitu akibat dia terlalu lama menyendiri serta gangguan demam. Kalau dalam mimpi dia berjumpa dengan keluarganya, dia yakin bahwa itu bukan sekedar mimpi belaka. Dia yakin bahwa mereka benar-benar datang menemuinya dari dunia yang jauh. Kepercayaan ini menenangkan perasaannya, sehingga aku sendiri hampir mempercayainya sebagai satu kenyataanpan kami tidak selalu terbatas pada riwayat dan kesedihannya saja. Dia juga memiliki pengetahuan yang luas di bidang kesusasteraan. Kepandaiannya berbicara sangat kuat, serta sangat menyentuh perasaan. Dia bisa membangkitkan belas kasihan orang, tanpa dia sendiri menitikkan air mata. Betapa hebatnya orang ini di kala masih penuh kebahagiaan dan tidak kurang suatu apa! Sedang di saat-saat kehancurannya saja, dia masih memperlihatkan wataknya yang agung dan luhur. Rupanya dia masih menyadari harga diri dan kebesarannya pada saat kejatuhannya.
Waktu aku masih muda, katanya, aku yakin bahwa aku sudah ditakdirkan untuk menghasilkan karya agung. Perasaanku sangat dalam, tapi aku pun memiliki cara berpikir yang tenang, yang memungkinkanku bisa mencapai prestasi yang tinggi. Kesadaran akan kebesaran jiwaku membantuku untuk menaruh kepercayaan kepada diri sendiri, padahal seandainya orang lain pasti sudah putus asa. Sebab aku menganggap satu kejahatan, kalau aku menyianyiakan bakatku yang seharusnya berguna bagi kesejahteraan umat manusia. Kalau aku memikirkan tentang pekerjaan yang sudah kusele-saikan, yaitu penciptaan makhluk perasa yang mampu berpikir, aku tidak bisa menyamakan diriku dengan para penemu lain yang biasa. Tapi pikiran yang mendorongku untuk memulai penciptaanku dulu, kini hanya membenamkanku semakin dalam di dalam lumpur kehinaan. Perhitungan dan harapanku ternyata meleset semua. Aku seperti malaikat yang ingin mencapai kemahakuasaan, akhirnya dirantai dalam neraka abadi. Imajinasiku sangat kuat dan kemampuanku luar biasa. Karena perpaduan dua hal inilah, maka aku punya gagasan ingin menciptakan manusia buatan. Bahkan sekarang pun aku masih teringat kepada perasaanku waktu pekerjaanku belum selesai. Kadang-kadang aku merasa berada di sorga. Kadang-kadang aku merasa sangat bangga kepada kemampuanku, dan kadangkadang hasratku menyala-nyala ingin tahu bagaimana kelak hasilnya. Sejak kecil aku sudah dididik untuk bercita-cita setinggi bintang. Kini alangkah dalamnya aku terbenam! Oh! Sahabatku, kalau kau mengenalku dalam keadaanku dulu, kau takkan mengenaliku dalam keadaan sengsara seperti ini. Dulu kesedihan tidak pernah singgah ke hatiku. Aku seakan terus terdorong ke atas oleh takdir untuk mencapai keagungan. Tapi kemudian aku jatuh, jatuh dan tidak bisa bangkit kembali.
Haruskah aku kehilangan sahabat yang mengagumkan ini" Aku sudah lama mendambakan seorang sahabat. Aku menginginkan sahabat yang bisa memahami perasaanku, serta mencintaiku. Bayangkan! Di tengah samudera sunyi ini aku mendapatkan sahabat yang kuidam-idamkan. Tapi aku khawatir, aku hanya mendapatkannya untuk mengetahui nilainya yang tinggi dan kemudian kehilangan dirinya. Aku ingin menyelamatkan jiwanya, tapi dia menolak gagasanku.
Aku berterima kasih kepadamu, Walton, katanya, atas maksud baikmu yang kautujukan kepada diriku yang sangat malang ini. Tapi kalau kau berbicara tentang hidup dan harapan baru, apakah kau juga memikirkan mereka yang telah tiada" Adakah laki-laki yang seperti Clerval" Dan masih adakah wanita lain yang seperti Elizabeth" Mereka bagiku bukan sekedar sahabat belaka. Ikatan kasih sayang kami sejak masa kanak-kanak tetap tidak berubah. Di mana pun aku berada, suara Elizabeth yang lemah lembut serta kata-kata Clerval yang riang gembira rasanya selalu terngiang di telingaku. Mereka kini sudah tiada. Dan sekarang dalam kesendirian hanya ada satu perasaan saja yang mendorongku untuk tetap hidup. Seandainya aku berhasil membaktikan diri untuk kesejahteraan unrat manusia, pasti aku masih bisa menghayati hidup walaupun sebatang kara. Tapi ternyata aku tidak ditakdirkan demikian. Sekarang aku harus memburu dan membinasakan makhluk yang telah kuberi hidup. Setelah itu barulah tugasku di dunia tertunaikan, dan aku bisa mati dengan perasaan tenang.
2 September. Adikku sayang, Aku menulis surat ini dalam keadaan sedang dikelilingi bahaya. Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih ditakdirkan untuk melihat Inggris kembali, serta bertemu dengan penghuninya Aku dikelilingi oleh gunung-gunung es yang mengancam untuk meremukkan kapalku, dan tidak ada jalan untuk melepaskan diri.
Orang-orang gagah berani yang menyertai pelayaranku meminta bantuanku, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Keadaan kami sangat mengerikan, namun aku tidak kehilangan keberanian dan harapan. Yang membuatku merasa ngeri hanyalah pikiran bahwa hidup orang-orang ini terancam bahaya karena aku. Kalau kami binasa, penyebabnya tidak lain adalah rencanaku yang gila. Dan bagaimanakah perasaanmu, Margaret" Kau pasti takkan mempercayai berita kebinasaanku, dan kau akan selalu menunggu kedatanganku kembali. Bertahun-tahun akan berlalu, dan kau akan seringkali didatangi rasa kekhawatiran, namun kau masih disiksa oleh harapan.
Oh! Adikku sayang, kepedihan hatimu selama menunggu diriku yang tak kunjung tiba kelak lebih menyiksa bagiku daripada kematianku sendiri. Tapi kau punya suami dan anak-anak yang manis. Kau akan selalu bahagia. Semoga Tuhan memberkati dan membuatmu selalu berbahagia!
Tamuku yang memilukan memandangiku dengan rasa belas kasihan yang paling lembut. Dia berusaha membangkitkan harapanku, dan berbicara seakan hidup adalah harta yang paling dihargainya. Dia mengingatkanku tentang betapa seringnya para pelaut diancam bahaya yang sama waktu mengarungi lautan. Tanpa mengingat dirinya sendiri, dia membuat ramalan yang menggembirakan mengenai diriku.
Bahkan para kelasi merasakan pengaruh kepandaiannya berbicara. Kalau dia berbicara, mereka tidak lagi merasa putus asa. Dia membangkitkan semangat dan tenaga mereka. Dan sementara mereka mendengarkan suaranya, mereka menganggap gunung es yang menjulang tinggi hanya sebagai gundukan sarang tikus tanah yang akan lenyap karena kehendak manusia.
Tapi perasaan begini hanya bersifat sementara. Setiap hari harapan yang selalu tertunda-tunda membuat mereka ketakutan. Dan aku hampir hampir merasa khawatir, jangan-jangan ketakutan mereka mengakibatkan timbulnya pemberontakan di kapal.
5 September Baru saja terjadi peristiwa yang sangat menarik Begitu menariknya, sehingga walaupun kemungkinan besar surat ini takkan pernah sampai ke tanganmu, namun aku tidak bisa melewatkannya begitu saja tanpa menuliskannya. Kami masih dikelilingi gunung es. Setiap saat kami masih terancam bahaya hancur lebur kalau gunung ini saling bertumbukan. Udara terasa dingin luar biasa. Banyak teman-temanku yang sudah mendapatkan kuburannya di tengah lautan es yang jauh dari mana pun.Tiap hari kesehatan Frankenstein semakin merosot. Sinar matanya masih menyala-nyala, tapi tenaganya sudah habis. Kalau dia melakukan gerakan dengan tiba-tiba, dengan cepat dia terpe-renyak kembali dan diam seperti orang yang tidak bernyawa.
Dalam suratku yang terakhir aku menyebutkan ketakutanku kalau ka au terjadi pemberontakan di kapal. Pagi ini aku sedang memperhatikan wajah sahabatku yang pucat. Matanya setengah tertutup, dan anggota badannya tergantung lemas. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara setengah lusin pelaut yang minta masuk ke dalam kabin. Mereka masuk, dan pemimpinnya berbicara kepadaku. Dia berkata kepadaku, bahwa dia dengan teman-temannya datang untuk mengajukan permintaan yang tidak bisa kutolak. Kami sedang terjepit es, dan mungkin tidak bisa melepaskan diri lagi. Tapi mereka menakutkan, seandainya kelak kami punya kesempatan mendapatkan jalan keluar, aku akan bertindak bodoh dengan meneruskan pelayaran dan menghadapkan mereka dengan bahaya baru. Maka dia atas nama teman-temannya mendesakku agar aku mau bersumpah untuk berbalik haluan menuju ke selatan, kalau nanti kapal terlepas dari kepungan gunung es.
Permintaan mereka mengganggu pikiranku. Aku belum putus harapan, dan aku pun tidak memikirkan untuk pulang kalau kapal terlepas dari jepitan es. Tapi dapatkah aku menolak tuntutan ini" Aku masih ragu-ragu untuk memberikan jawaban. Waktu itu Frankenstein yang dari tadi berdiam diri, bahkan kelihatannya tidak punya cukup tenaga untuk mengikuti pembicaraan kami, memaksa dirinya untuk bangkit. Matanya menyala-nyala, dan pipinya memerah. Dia menoleh kepada para pelaut yang menemuiku seraya berkata: Apa maksudmu" Tuntutan apa yang kauajukan kepada kaptenmu" Apakah kau begitu mudah dibelokkan dari tujuanmu" Bukankah kau mengatakan ini sebuah ekspedisi besar" Tapi kebesarannya bukan karena lautan yang kauarungi tenang dan rata seperti laut selatan. Kebesarannya karena pelayaran ini penuh bahaya dan kengerian. Karena setiap saat dalam pelayaran ini menuntut segenap tenaga dan keberanianmu. Karena kau selalu dikelilingi bencana dan bahaya maut, dan kau harus berani mengatasinya. Karena ini semua, maka pelayaran ini bisa dikatakan sebuah ekspedisi besar. Dan kau mendapat penghormatan besar untuk menjalaninya. Untuk selama-lamanya kau akan dipuji-puji sebagai orang yang berjasa kepada umat manusia. Namamu akan disejajarkan dengan mereka yang menantang maut demi kesejahteraan seisi dunia. Dan sekarang lihatlah! Pada bayangan per tama ancaman bahaya, atau pada saat pertama keberanian dan ketabahanmu akan mendapat ujian. Kau lebih suka dicap sebagai orang yang tidak cukup memiliki tenaga untuk menahankan hawa dingin dan ancaman bahaya. Sebagai orang yang berjiwa kerdil, kau menggigil dan pulang untuk memanaskan badan di muka per diangan. Sungguh sia-sia segala perlengkapan yang sudah dipersiapkan dengan susah payah! Kalian tidak perlu datang jauhjauh ke sini untuk memberi malu kaptenmu dengan menyerah .kalah, hanya karena kalian semuanya pengecut. Oh! Jadilah manusia, atau lebih dari manusia! Tetaplah teguh memegang tujuan mu sekuat batu karang. Es ini tidak terbuat dari bahan yang sama dengan bahan pembuat hatimu. Es ini bisa keras seperti batu atau mencair menjadi air, sesuai dengan kehendakmu. Janganlah kalian kembali kepada keluarga masing-masing dengan cap pengecut pada dahimu. Kembalilah sebagai pahlawan yang berhasil melakukan penaklukan, dan pahlawan yang tidak tahu apa arti kata menyerah atau meninggalkan gelanggang pertarungan.
Dia berbicara dengan semangat menyala-nyala serta mata yang penuh sinar kepahlawanan. Herankah kau kalau hati orang-orang ini tergerak olehnya" Mereka saling berpandangan tanpa bisa menjawab. Kemudian aku berbicara. Kusuruh mereka beristirahat, serta merenungkan apa yang dikatakannya. Aku juga tidak akan memaksakan kehendakku meneruskan pelayaran ke utara, kalau itu bertentangan dengan kehendak mereka. Tapi aku berharap, setelah mereka memikirkannya keberanian mereka akan kembali.
Mereka pergi, dan aku mengalihkan perhatian kepada sahabatku. Tapi dia sudah kehabisan tenaga pula, dan jiwanya hampir melayang.
Aku tidak tahu bagaimana semua ini akan berakhir. Tapi rasanya aku lebih baik mati daripada pulang dengan rasa malu, karena tujuanku tidak terlaksana. Tapi aku khawatir memang demikianlah nasibku. Orang-orangku tanpa dorongan rasa kehormatan dan cita-cita tinggi, takkan mau terus menahankan penderitaan seperti yang sedang kami alami.
7 September. Nasibku sudah ditetapkan. Aku menyatakan setuju untuk kembali, kalau kami tidak binasa. Maka harapanku hancur oleh kepengecutan dan ketak-tetapan hati. Aku pulang tanpa hasil apa pun, dan dengan rasa kecewa. Untuk menahankan rasa kecewa ini dengan sabar, rasanya memerlukan filsafat yang lebih dalam daripada yang kumiliki.
12 September. Semuanya sudah berlalu. Aku pulang ke Inggris. Aku sudah kehilangan harapan mencapai kebesaran dan harapan menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Aku sudah kehilangan sahabatku. Tapi aku akan mencoba menceritakan pengalaman pahitku kepadamu. Adikku sayang. Dan sementara aku berlayar pulang ke Inggris dan kepadamu, aku tidak akan terus merasa murung. Pada tanggai 9 September es mulai bergerak. Suaranya yang menggemuruh terdengar dari jauh, waktu pulau-pulau es ini mulai retak dan pecah-pecah di mana-mana. Kami terjepit di tengah bahaya yang sangat dahsyat, tapi kami sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa.
Karena tidak ada yang bisa dilakukan, maka aku memusatkan perhatian kepada tamuku yang malang. Sakitnya makin payah, dan akhirnya dia tidak bisa meninggalkan tempat tidur. Di belakang kami es pecah dan terdorong arus yang kuat ke utara. Angin bertiup dari barat, dan pada tanggal 11 jalan ke arah selatan terbuka lebar.
Para pelaut yang melihat ini sadar dan yakin bahwa mereka akan bisa pulang ke kampung halaman. Mereka pun bersorak-sorai dengan gembira. Frankenstein kebetulan siuman. Dia menanyakan penyebab suara hiruk-pikuk yang didengarnya.
Mereka bersorak-sorai, jawabku, sebab mereka segera akan pulang ke Inggris.
Jadi kau benar-benar akan kembali"
Aduh! Ya, betul. Aku tidak sanggup menolak tuntutan mereka. Aku tidak bisa memaksa mereka menempuh bahaya di luar kehendak mereka sendiri, dan aku harus kembali.
Kembalilah, kalau itu sudah menjadi kehendakmu. Tapi aku tidak mau kembali. Kau boleh membatalkan maksudmu. Tapi aku tidak berani ^ mengurungkan apa yang sudah menjadi tujuanku, sebab aku mengemban tugas dari Tuhan sendiri. Sekarang badanku lemah, tapi roh yang membantu pelaksanaan pembalasan dendamku akan memberiku kekuatan cukup. Dia berkata demikian seraya mencoba bangkit dari tempat tidur. Tapi usaha ini sudah terlalu berat baginya. Dia terkapar kembali dan jatuh pingsan. Lama sekali dia tidak sadarkan diri. Aku sampai seringkali mengira bahwa nyawanya benar-benar sudah meninggalkan raganya. Tapi akhirnya dia siuman kembali, dan membuka matanya. Nafasnya sengal-sengal dan dia tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Dokter kapal memberinya obat penenang, serta memberi perintah kepada kami agar dia tidak diganggu. Dia juga mengatakan bahwa hidup sahabatku tinggal beberapa jam saja.
Nasib sahabatku sudah ditentukan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali bersabar dan ber sedih hati. Aku duduk di sisi tempat tidur, menjaganya. Matanya tertutup, dan kukira dia tidur. Tapi kemudian dengan suara lemah dia memanggilku, memintaku lebih dekat kepadanya. Dia berkata: . Aduh! Kekuatan yang kuandalkan sudah habis sama sekali. Aku merasa akan segera menghembuskan nafas penghabisan. Dan dia, musuhku dan pe-nyiksaku, pada saat ini masih hidup. Janganlah kau mengira, Walton, bahwa pada saatsaat akhir hidupku ini aku masih merasakan dendam yang menyala-nyala seperti yang pernah kukatakan kepadamu. Tapi aku merasa sudah selayaknya kalau aku menghendaki kematian musuhku.
Dalam beberapa hari yang terakhir ini aku selalu merenungkan semua perbuatanku di masa lampau. Dan aku pun tidak bisa menyalahkan diriku sendiri. Dalam kegilaan dan hasrat yang menyala-nyala aku menciptakan makhluk yang bisa berpikir. Aku pun bermaksud membuatnya bahagia, sekuatkuat kemampuanku. Ini sudah menjadi kewajibanku, tapi masih ada kewajiban lain yang lebih luhur daripada itu. Aku lebih mengutamakan kewajibanku terhadap manusia sesamaku, sebab kewajiban ini bertalian dengan kebahagiaan atau kesedihan yang lebih besar.
Terdorong oleh pendirian ini maka aku menolak tuntutan makhluk ciptaanku untuk menciptakan makhluk lain sebagai teman hidupnya. Dan penolakanku ini juga sudah pada tempatnya. Dia selama ini memperlihatkan sifat mementingkan diri sendiri dan kejahatan yang tiada taranya. Dia membinasakan sahabat dan keluargaku. Dia membunuh semua orang yang memiliki perasaan halus, kebahagiaan dan kebijaksanaan. Aku pun tidak tahu sampai sebesar apa rasa haus kejahatannya.
Untuk mencegahnya menyebarkan kejahatan lebih banyak lagi, maka dia harus mati. Sudah menjadi kewajibanku untuk merabinasakannya, tapi aku gagal melaksanakan tugas ini. Waktu terdorong oleh sifat mementingkan diri sendiri dan nafsu jahat, aku memintamu untuk meneruskan pekerjaan yang belum selesai ini. Sekarang aku mengulangi permintaanku, dan kali ini permintaanku terdorong oleh akal sehat dan keinginan berbuat baik kepada sesama hidup. Namun aku tidak bisa memintamu meninggalkan negeri dan teman-temanmu, untuk menunaikan tugas ini. Dan karena kini kau memutuskan kembali ke Inggris, lebih kecil lagi kemungkinanmu bertemu dengan dia. Walaupun demikian semua terserah kepadamu untuk mempertimbangkan persoalan ini. Pikiran dan perasaanku sudah sangat terganggu oleh ajal yang semakin mendekat. Aku tidak berani memintamu untuk melakukan apa yang menurut pertimbanganku benar, sebab mungkin aku masih disesatkan oleh nafsu dan kemarahan.
Pikiranku sangat terganggu oleh kenyataan bahwa iblis ini masih tetap hidup sebagai penyebar bencana. Tapi ditinjau dari segi lain, karena aku seringkali menginginkan pembebasanku, saat-saat akhir hidupku ini merupakan satusatunya saat penuh kebahagiaan yang baru kurasakan selama bertahun-tahun. Bayangan semua orang yang kucintai sudah melintas di hadapanku, dan aku ingin segera menyerahkan diri ke pelukan mereka.
Selamat tinggal, Walton! Carilah kebahagiaan dalam ketenangan. Hindarilah ambisi, walaupun kelihatannya ambisi yang tidak berbahaya, hanya mencari pengetahuan dan penemuan baru. Tapi mengapa aku mengatakan ini" Aku memang telah gagal dalam usaha mencapai apa yang kuharapkan, tapi yang lain mungkin akan berhasil.
Suaranya makin lama makin lemah. Akhirnya tenaganya habis pula, dan dia terdiam kembali. Kira-kira setengah jam kemudian dia mencoba berbicara lagi. tapi tidak bisa. Dia menggenggam tanganku dengan pegangan lemah, dan matanya menutup untuk selama-lamanya. Waktu dia menghembuskan nafas penghabisan, senyum manis tersungging pada bibirnya.
Margaret, komentar apa yang bisa kuberikan berkenaan dengan kematian sahabatku ini" Apa yang bisa kukatakan agar kau bisa memahami kesedihanku yang sangat dalam" Apa yang bisa kunyatakan hanya merupakan penjelasan yang lemah dan kurang tepat. Air mataku keluar membanjir. Perasaanku tercengkam oleh kekecewaan. Tapi aku sedang melakukan pelayaran menuju ke Inggeris, dan hanya itulah mungkin yang bisa memberiku penghiburan. Tiba-tiba aku terganggu oleh suatu suara. Suara apakah itu" Waktu ini tengah malam. Angin ber tiup pelahan, dan penjaga di geladak hampir-hampir tidak tergerak. Sekali lagi kudengar suara seperti suara manusia, tapi lebih serak. Suara ini datang dari kamar tempat membaringkan mayat Frankenstein. Aku harus pergi memeriksanya. Selamat malam, Adikku.
Ya Tuhan! Alangkah mengerikannya apa yang kusaksikan! Aku masih merasa pusing kalau mengingatnya kembali. Aku hampir-hampir tidak tahu, apakah aku mampu menceritakannya. Tapi kisah yang kucatat takkan lengkap, kalau aku tidak menyertakan peristiwa terakhir yang hebat dan mengerikan ini. Aku masuk ke kabin tempat mayat sahabatku terbaring. Di atasnya kulihat sedang mencangkung sesosok tubuh yang aku tidak bisa menemukan katakata untuk melukiskannya. Ukuran tubuhnya sangat besar, dengan proporsi yang aneh dan mengerikan. Waktu dia membungkukkan badan di atas peti mati, mukanya tertutup rambutnya yang panjang dan kusut. Tapi sebelah tangannya yang besar terangkat, rupa dan warnanya seperti tangan mayat yang dimumi. Dia sedang meratap penuh kesedihan. Tapi waktu mendengar suara kedatanganku, dia berhenti berbicara dan melompat ke jendela. Behim pernah aku melihat apa pun yang lebih mengerikan daripada mukanya! Mukanya begitu menjijikkan, sangat mengerikan. Serta merta aku memejamkan mata, dan mencoba mengingat-ingat apa kewajiban yang harus kulakukan terhadap iblis perusak ini. Aku berseru menahannya.
Dia berhenti dan melihat kepadaku dengan rasa heran. Kemudian sekali lagi dia melihat kepada penciptanya yang sudah tidak bernyawa lagi. Waktu itu dia seperti tidak menyadari kehadiranku. Air muka dan setiap gerakannya seakan terdorong oleh kemarahan yang tidak bisa ditahannya lagi.
Itu juga korbanku! serunya. Dengan kema-tiannya, semua kejahatanku sudah berakhir. Hidupku yang penuh rentetan penderitaan pun akan segera berakhir pula! Apa hasilnya kalau aku sekarang memintamu untuk memaafkanku" Aku, yang dengan tanpa ampun telah membinasakan semua yang ka cintai. Aduh! Tubuhnya sudah dingin, dan dia tidak bisa menjawab perkataanku. Suaranya seperti tercekik. Tadinya aku bermaksud memenuhi permintaan sahabatku sebelum meninggal untuk membinasakannya. Tapi kini aku dikuasai perasaan campuran antara rasa ingin tahu dan belas kasihan.
Makhluk yang mengerikan ini kuhampiri. Aku tidak berani lagi menatap mukanya, sebab pada keburukan rupanya ada sesuatu yang menakutkan. Aku mencoba berbicara, tapi kata-kataku tidak bisa keluar dari mulutku. Sedangkan makhluk ini terus-menerus meratapi dirinya.
Akhirnya aku mengumpulkan keberanian untuk berbicara kepadanya pada saat dia berhenti berkata-kata sebentar dalam amukan badai kesedihannya. Penyesalanmu kini terlalu berlebih-lebihan, kataku. Seharusnya kau mendengarkan r suara hati nuranimu, dan merasa menyesal sebelum kau melakukan tindakan balas dendammu. Mungkin kalau kau menyesal dari dulu, sekarang Frankenstein masih hidup.
Apakah kau mimpi" tanya iblis ini. Dan apakah kau mengira aku mati terhadap penderi taan dan rasa penyesalan" Dia, sambungnya seraya menunjuk kepada mayat sahabatku, dia tidak menderita karena melakukan tindak kejahatan. Oh! Penderitaannya tidak ada seper-sepuluh-ribunya penderitaan yang kurasakan selama aku dihantui perbuatan jahatku. Rasa mementingkan diri sendiri yang mengerikan selalu men dorong tindakanku, sementara hatiku diracuni rasa sesal.
Apakah kaukira erangan Clerval semerdu suara musik di telingaku" Hatiku sudah dibuat agar mudah terpengaruh oleh rasa cinta dan kasih sayang. Tapi kemudian hatiku berubah menjadi jahat karena kesedihan dan kebencian yang ku-terima. Dalam menanggungkan penderitaan karena perubahan ini, kau takkan bisa membayangkan bagaimana siksaan yang kurasakan.
Setelah pembunuhan Clerval, aku kembali ke Switzerland dengan hati hancur dan tercengkam kesedihan. Belas kasihanku jatuh kepada Frankenstein. Sedemikian besarnya belas kasihanku kepadanya, sampai meningkat menjadi rasa kenge rian. Aku merasa jijik kepada diriku sendiri. Tapi kemudian kuketahui bahwa dia, yang sekaligus telah menciptakan diriku beserta dengan segala siksaan yang harus kuderita, berani mengharapkan kebahagiaan. Sementara dia membuatku menderita kesedihan dan kesusahan yang tak terperi, dia sendiri mencari kesenangan untuk dirinya. Dia mencari kesenangan dalam kenikmatan perasaan dan pemenuhan nafsu yang tidak boleh kurasakan! Tentu saja rasa iri hati dan kemarahanku membuat diriku sangat ingin membalas dendam.
Aku mengingat-ingat kembali ancamanku, dan memutuskan untuk melaksanakannya. Aku tahu bahwa dengan melaksanakan ancaman ini aku sendiri akan mendapatkan siksaan hati yang tak terkira pedihnya. Tapi aku hanyalah budak dari keinginan yang sangat kubenci, namun tidak dapat kutentang.
Tapi setelah aku membunuh Elizabeth... aduh! Tapi tidak! Waktu itu aku tidak merasa sedih. Aku sudah membuang semua perasaanku dan mengatasi semua penderitaanku. Yang kurasakan waktu itu hanya keputusasaan yang tanpa batas. Kejahatan sudah menjadi perbuatan yang biasa saja bagiku. Aku tidak punya pilihan lain kecuali meneruskan melakukan perbuatan yang sudah menjadi pilihanku. Pemenuhan rencana jahatku sudah men jadi nafsu yang sulit dipuaskan. Dan sekarang semua sudah berakhir. Itulah dia korbanku yang terakhir!
Mula-mula hatiku tersentuh oleh pernyataan rasa kesedihannya. Tapi kemudian teringat olehku kata-kata Frankenstein tentang kepandaiannya berbicara serta kepintarannya membujuk. Sekali lagi kubayangkan pandanganku kepada mayat sahabatku. Serta-merta kemarahanku bangkit kembali. Iblis! kataku. Bagus benar kau datang ke mari untuk meratapi hasil kejahatanmu sendiri. Kau melemparkan suluh menyala ke atas bangunan rumah. Setelah semua habis terbakar, kau duduk di tengah puing-puing dan meratapi keruntuhan kota, Iblis munafik! Kalau dia yang kauratapi masih hidup, maka dia pasti akan menjadi sasaran kedengkian mu yang terkutuk. Bukan belas kasihan yang kaurasakan. Kau meratap, sebab korban kejahatanmu terlepas dari tanganmu.
Oh, bukan begitu bukan begitu, sela makhluk buruk ini. Tapi pasti demikian kesan yang kauperoleh dari pengamatan terhadap apa yang kulakukan. Walaupun demikian aku juga tidak mencari orang yang bisa turut merasakan kesedihanku. Di mana pun aku tidak pernah mendapatkan simpati. Dulu aku mula-mula sekali mencari cinta dan kebajikan. Aku ingin sekali menyalurkan rasa kebahagiaan dan kasih sayang yang memenuhi hatiku, dan aku ingin mengambil bagian di dalamnya. Tapi kebajikan ini bagiku sekarang hanya merupakan bayangan belaka. Sedangkan kebahagiaan dan kasih sayang kini berubah menjadi keputus-asaan yang pahit. Di mana aku bisa mendapatkan simpati"
Aku sudah merasa puas merasakan penderitaanku sendirian, selama aku masih merasa menderita. Kalau aku mati, aku sudah merasa puas dengan kebencian dan penghinaan memenuhi ingatanku. Dulu perasaanku terhibur oleh impian tentang kebajikan, kemashuran dan kebahagiaan. Dulu aku disesatkan oleh harapan hampa, bahwa suatu ketika aku akan bertemu dengan manusia yang sudi memaafkan rupa lahiriahku yang buruk dan mencintaiku karena kebaikan hatiku. Dulu pikiranku penuh dengan cita-cita luhur serta hasrat mengabdi.
Tapi kini kejahatan telah menurunkan derajatku sampai lebih rendah daripada binatang yang paling hina. Tidak ada kesalahan, kejahatan, kedengkian dan penderitaan yang bisa dibandingkan dengan hal-hal ini yang terdapat pada diriku. Kalau aku memikirkan kembali semua dosa yang telah kulakukan, aku hampir-hampir tidak percaya bahwa aku makhluk yang sama dengan diriku dulu yang penuh bayangan kebajikan. Tapi ini pun sudah selayaknya. Malaikat yang jatuh dalam dosa menjadi iblis yang paling jahat. Tapi bahkan musuh Tuhan dan manusia ini masih punya teman dalam pengasingannya. Dan aku seorang diri.
Kau, yang menyebut Frankenstein sahabatmu, rupanya mengetahui semua kejahatanku serta kemalangannya. Tapi dalam cerita yang dipaparkan kepadamu, dia tidak menyebut-nyebut berapa lamanya aku disiksa oleh penderitaan. Sebab sementara aku menghancurkan harapannya, aku tidak bisa memberi kepuasan kepada keinginanku sendiri. Nafsuku tetap menyala-nyala dan memedihkan hatiku.
Aku mendambakan cinta dan persahabatan, padahal di mana-mana aku mendapatkan kebencian. Apakah ini bukan ketakadilan" Apakah hanya aku yang dicap sebagai penjahat, sedangkan seluruh umat manusia berdosa kepadaku" Mengapa kau tidak membenci Felix, yang mengusir sahabatnya dengan cara yang begitu keji" Mengapa kau tidak merasa jijik kepada laki-laki yang berusaha mem-binasakanku, padahal aku telah menolong anaknya dari bahaya mati terbenam dalam sungai" Tidak, mereka semua manusia berbudi dan tanpa cacat cela! Akulah makhluk buruk yang harus dibenci, disepak, diinjak-injak. Bahkan sampai sekarang darahku masih mendidih kalau teringat kepada ketakadilan ini.
Tapi memang benar aku makhluk buruk dan jahat. Aku telah membunuh anak yang manis dan tak berdaya. Aku telah mencekik orang yang tak berdosa waktu mereka sedang tidur, padahal mereka tidak pernah menyakiti diriku atau makhluk hidup mana pun. Aku telah mendatangkan kesedihan kepada penciptaku, padahal dia orang yang patut dihormati dan dicintai serta terkemuka di tengah manusia sesamanya. Aku telah memburunya sampai dia mendapatkan kehancurannya.
Itulah dia, terbaring pucat dan dingin dalam kematian. Kau membenciku, tapi rasa jijikmu terhadap diriku takkan menyamai rasa jijikku terhadap diriku sendiri. Aku melihat ke tangan yang selama ini telah melakukan banyak kejahatan. Ingin sekali rasanya aku menggunakan tanganku sendiri untuk menutup mataku, agar aku tidak dihantui lagi oleh semua perbuatanku. Janganlah kau takut aku akan mendatangkan S bencana di masa yang akan datang. Tugas hidupku sudah hampir selesai. Aku tidak menginginkan kematianmu atau kematian manusia mana pun untuk menggenapkan apa yang harus kuperbuat, sebab aku hanya tinggal menginginkan kematianku sendiri. Janganlah kau mengira aku akan berlambat-lambat untuk melaksanakan pembunuhan diriku.
Aku akan meninggalkan kapalmu dengan naik rakit es, yang akan membawaku ke titik terjauh di sebelah utara dari bulat an bumi ini. Di sana aku akan menyusun sendiri unggun api yang akan membakar tubuhku sampai menjadi abu. Aku tidak ingin mayatku kelak bisa digunakan oleh orang berjiwa nista yang ingin membuat makhluk seperti diriku.
Aku akan mati. Aku takkan lagi merasakan penderitaan karena keinginanku tidak tercapai. Orang yang menghidupkan diriku sudah mati. Setelah aku tidak ada lagi, ingatan kepada kami berdua juga akan segera lenyap. Aku takkan lagi merasakan sinar matahari, melihat bintang-bintang atau me rasakan angin membelai pipiku. Semua inderaku takkan merasakan apa-apa lagi. Dalam keadaan itulah aku merasakan kebahagiaan.
Beberapa tahun yang lalu dunia terhampar di 4 hadapanku untuk pertama kalinya. Aku merasakan sinar matahari musim panas yang hangat. Aku mendengar suara bergeresek daun-daunan yang ditiup angin, serta suara kicauan burung yang merdu. Hanya itulah yang bisa kurasakan pada waktu itu. Dan waktu itu aku akan menangis seandainya maut menjemputku. Tapi sekarang hanya kematianlah satu-satunya penghiburan bagiku. Hatiku sudah diracuni oleh begitu banyak kejahatan, serta habis dikoyak-koyak oleh rasa sesal yang paling pahit. Jadi di mana lagi aku akan memperoleh kedamaian, kecuali dalam kematian"
Selamat tinggal! Aku akan meninggalkanmu. Kaulah manusia terakhir yang melihat diriku. Selamat berpisah, Frankenstein! Seandainya kau masih hidup dan masih ingin melakukan balas dendam terhadap diriku, sebenarnya, kau lebih puas kalau aku tetap hidup. Sebab dalam hidup aku selalu merasakan penderitaan, sedangkan dalam kematian aku merasakan kedamaian. Tapi tidak demikian kehendakmu. Kau ingin membinasakan diriku, supaya aku tidak menimbulkan bencana yang lebih besar lagi. Namun seandainya sekarang kau masih bisa berpikir dan merasakan dengan cara yang tidak kuketahui, kau tidak menginginkan pembalasan dendam terhadap diriku yang lebih besar daripada keinginanku sendiri.
Walaupun jiwa ragamu hancur semacam itu, tapi penderitaanku masih jauh lebih besar daripada penderitaanmu. Sebab sengatan rasa penyesalan yang sangat pedih selalu kurasakan dalam luka hatiku, sampai maut menutup luka hatiku untuk selama-lamanya.
Tapi tidak lama lagi aku akan mati, katanya dengan nada sedih dan khidmat. Apa yang sekarang masih kurasakan segera tidak akan kurasakan lagi. Segera kesedihan yang membakar hatiku akan lenyap. Aku akan terjun ke dalam kobaran api unggunku sendiri dengan rasa penuh kemenangan. Aku akan bersorak-sorai dalam nyala api yang menyiksa dan meleburkan tubuhku. Dan api ini pun akan segera padam. Abu dari tubuhku akan ditiup angin dan disebarkan ke laut. Arwahku akan tidur dalam kedamaian. Selamat tinggal. Setelah mengucapkan kalimatnya yang terakhir, dia melompat ke luar melalui jendela kabin. Dia terjun dan mendarat di atas rakit es yang terapung di sisi kapal. Segera ombak menghanyutkannya, dan dia lenyap dalam gelap di kejauhan.
END Misteri Setan Menandak 1 Pertemuan Maut Di Kutub Utara Ice Station Zebra Karya Alistair Maclean Jala Pedang Jaring Sutra 2

Cari Blog Ini