Ceritasilat Novel Online

Padang Bayang Kelabu 3

Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon Bagian 3


Saksi-saksi tampil silih berganti: pembantu wanita yang bersaksi bahwa ia telah melihat Mrs Savalas berkali-kali datang ke kamar sopir" ke-pala pelayan pria yang bersaksi bahwa ia mendengar George Savalas mengancam akan menceraikan istrinya dan mengubah surat wasiat-nya" para tetangga yang mendengar pertengkaran yang berisik di antara suami-istri Savalas"
Dan tetap saja Napoleon Chotas tak punya pertanyaan untuk semua saksi itu. Jaring sedang merapat dengan cepat meringkus Anastasia Savalas.
Peter Demonides sudah bisa merasakan caha-ya kemenangan. Mata batinnya sudah bisa melihat kepala-kepala berita di surat-surat kabar. Peradilan ini akan jadi peradilan pembunuhan yang paling cepat berakhir dalam sejarah. Peradilan ini malahan bisa jadi akan selesai hari ini, pikirnya. Napoleon Chotas yang masyhur itu sudah
jadi orang yang kalah. "Saya memanggil Mr Niko Mentakis untuk
bersaksi." Mentakis seorang pria muda yang serius, berperawakan kurus, dengan gaya berbicara yang pelan dan hati-hati.
172 "Mr Mentakis, harap jelaskan kepada sidang apa pekerjaan Anda?"
"Ya, sir. Saya bekerja di nursery."
"Anda mengurus anak-anak?"
"Oh tidak, sir. Bukan nursery itu. Kami menanam pohon-pohon dan bunga-bunga, dan semua jenis tanaman."
"Oh, begitu. Jadi Anda seorang ahli tanaman."
"Saya kira begitu. Saya sudah menggeluti bidang itu cukup lama."
"Dan saya kira salah satu tugas Anda adalah menjaga supaya tanaman-tanaman yang-akan dijual itu tetap sehat?"
"Oh, ya, sir. Kami merawat semuanya dengan baik. Kami tidak akan menjual tanaman yang sakit kepada langganan kami. Kebanyakan pelanggan merupakan pelanggan tetap."
"Maksud Anda, pelanggan-pelanggan yang sama terus datang kembali kepada Anda?"
"Ya, sir." Suaranya terdengar bangga. "Kami memberikan service yang baik."
"Katakan, Mr Mentakis, apakah Mrs Savalas salah satu langganan tetap Anda?"
"Oh, ya, sir. Mrs Savalas senang akan tanaman dan bunga-bungaan."
Hakim Ketua berkata dengan tidak sabar, "Mr Demonides, sidang merasa bahwa arah pertanyaan itu tidak relevan. Harap Anda melanjutkan dengan yang lain, atau?"
"Kalau sidang mengizinkan saya untuk me"
173 nyelesaikan ini, Yang Mulia, saksi ini penting
artinya bagi kasus ini."
Hakim Ketua melihat ke arah Napoleon Chotas. "Mr Chotas, Anda punya keberatan atas
arah pertanyaan ini?"
Napoleon Chotas menengadah dan mengedip-ngedipkan mata. "Apa" Tidak, Yang Mulia."
Hakim Ketua menatapnya dengan frustrasi, lalu menoleh kepada Peter Demonides. "Baiklah.
Anda boleh melanjutkan."
"Mr Mentakis, apakah Mrs Savalas datang kepada Anda pada suatu hari di bulan Desember dan mengatakan bahwa ia mempunyai masalah dengan beberapa tanamannya?"
"Ya, sir. Benar."
"Benarkah ia mengatakan bahwa tanaman-ta-namannya rusak karena serangan serangga?" "Ya, sir."
"Dan bukankah ia minta sesuatu kepada Anda untuk memusnahkan serangga-serangga itu?" "Ya, sir."
"Bisakah disebutkan kepada sidang apa itu?" "Saya menjual kepadanya sejumlah antimony." "Bisa Anda jelaskan kepada sidang itu tepatnya apa?"
"Itu racun, seperti arsenic."
Terdengar suara gemuruh di ruang sidang.
Hakim Ketua mengetukkan palunya. "Kalau terjadi lagi ketidaktertiban seperti tadi, saya akan meminta juru sita untuk mengosongkan
174 ruang sidang ini." Ia lalu melihat ke arah Peter Demonides. "Anda boleh melanjutkan bertanya."
"Jadi Anda menjual kepadanya sejumlah antimony."
"Ya, sir." "Dan menurut Anda itu racun yang mematikan" Tadi Anda membandingkannya dengan arsenic."
"Oh, ya, sir. Itu memang mematikan."
"Dan Anda mencatat penjualan itu dalam bu-ku catatan Anda, seperti yang diwajibkan oleh undang-undang jika Anda menjual racun jenis apa pun?"
"Ya, sir." "Dan apakah Anda sekarang membawa buku catatan itu, Mr Mentakis?"
"Saya bawa." Ia memberikan kepada Peter Demonides sebuah buku besar.
Jaksa Penuntut itu lalu menghampiri para hakim. "Yang Mulia, ini akan saya sebut sebagai Bukti A." Ia lalu menghadapi saksi. "Saya tak ada pertanyaan lagi." Ia melihat ke arah Napoleon Chotas.
Napoleon Chotas mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Tak ada pertanyaan."
Peter Demonides menarik napas dalam-da-lam. Kini tiba waktunya untuk menjatuhkan bomnya. "Saya akan mengajukan Bukti B." Ia melihat ke arah bagian belakang ruang itu, dan berkata kepada juru sita yang berdiri dekat pin-tu, "Tolong dibawa masuk sekarang."
175 Juru sita dengan bergegas melangkah ke luar dan tak lama kemudian kembali membawa sebotol sirup obat batuk di sebuah nampan. Terlihat isi botol itu tidak penuh. Para penonton menyaksikan, terpukau, saat juru sita memberikan botol itu kepada Jaksa. Peter Demonides meletakkannya di atas meja di depan para juri.
"Ladies and gentlemen, Anda sedang menyaksikan senjata pembunuhan. Inilah senjata yang telah membunuh George Savalas. Inilah sirup batuk yang diberikan Mrs Savalas kepada suaminya pada malam kematiannya. Sirup batuk ini dicampur dengan antimony. Seperti Anda ketahui, korban meneguk sedikit"dan dua puluh menit kemudian ia meninggal."
Napoleon Chotas berdiri dari kursinya, dan berkata dengan pelan, "Keberatan. Bagaimana Jaksa Penuntut bisa tahu bahwa memang botol itu yang diberikan untuk diminum oleh almar-hum?"
Dan Peter Demonides menutup pintu jebak-annya dengan mantap. "Dengan segala hormat bagi rekan saya, Mrs Savalas telah mengakui bahwa ia memberikan sirup ini saat suaminya batuk-batuk tanpa berhenti di malam kematiannya. Sejak itu botol ini disimpan dalam tempat terkunei oleh polisi sampai dibawa ke pengadilan beberapa menit yang lalu. Pemeriksa ma-yat telah bersaksi bahwa George Savalas meninggal karena keracunan antimony. Sirup batuk ini telah dicampur dengan antimony." Ia melihat
176 ke arah Napoleon Chotas dengan sikap menantang.
Napoleon Chotas menggelengkan kepala merasa kalah. "Kalau begitu saya rasa tidak ada keraguan lagi."
Peter Demonides berkata dengan nada kemenangan, "Sama sekali tidak ada. Terima kasih, Mr Chotas. Penuntutan selesai sampai di sini dulu."
Hakim Ketua melihat ke arah Napoleon Chotas. "Apakah pembela sudah siap dengan kesimpulannya?"
Napoleon Chotas bangkit. "Ya, Yang Mulia."
Lama ia berdiri di situ. Lalu dengan perlahan dan santai ia melangkah ke depan. Ia berdiri di depan box para juri, menggaruk kepalanya seakan mencoba mereka-reka apa yang akan dikatakannya. Ketika akhirnya ia memulai, bicaranya pelan, seakan masih mencari-cari kata-kata yang tepat.
"Saya kira ada di antara yang hadir yang * merasa heran mengapa saya tidak menanya-si-lang para saksi. Terus terang saja, saya berpendapat Mr Demonides telah melakukan pekerjaannya dengan sangat baik sehingga tak perlu lagi saya menanyai mereka."
Si tolol itu malahan membantuku untuk memenangkan kasus ini, pikir Peter Demonides dengan gembira.
Napoleon Chotas lalu menoleh ke arah botol sirup batuk itu sebentar, lalu setelah itu meng"
177 hadapi para juri lagi. "Semua saksi tadi tampak sangat jujur. Tapi mereka sebenarnya tidak membuktikan apa-apa, bukan" Maksud saya?" Ia menggelengkan kepala. "Well, kalau kita gabungkan semua yang dikatakan oleh para saksi itu, maka hanya satu hal yang diungkapkan: Seorang gadis muda yang can-tik menikah dengan lelaki tua yang barangkali tidak bisa memuaskan kebutuhan seksualnya." la mengangguk ke arah Josef Pappas. "Jadi ia mencari seorang pria muda yang bisa. Tapi sampai sebegitu itu sudah kita ketahui dari surat kabar, bukan" Tak ada yang tak diketahui mengenai affair mereka. Seluruh dunia tahu itu. Itu sudah diberitakan oleh semua koran picisan di dunia. Begini, Anda dan saya mungkin tidak setuju dengan kelakuan gadis itu, ladies and gentlemen, tapi Anastasia Savalas saat ini tidak diadili untuk perbuatan zina. Ia
tidak dihadapkan ke pengadilan karena ia mempunyai dorongan seksual normal yang
mungkin dipunyai oleh semua wanita muda.
Tidak, dia sedang diadili di sini untuk
pembunuhan." Ia lalu menoleh melihat botol itu lagi, seakan
sangat tertarik olehnya. Biar si tua itu mengoceh, pikir Peter Demonides.
Ia melihat sekilas ke lonceng di dinding ruang
sidang itu. Jam dua belas kurang lima menit.
Para hakim selalu melakukan reses di tengah
hari. Si tolol tua itu tak akan bisa menyelesaikan kesimpulannya. Ia bahkan tidak cukup
178 pintar untuk menunggu sampai sidang reses lagi. Mengapa dulu aku selalu takut kepadanya" Peter Demonides terheran-heran sendiri.
Napoleon Chotas masih terus berbicara, "Mari kita sama-sama memeriksa barang bukti ini, ya" Beberapa tanaman Mrs Savalas tidak sehat dan ia merasa cukup berkepentingan untuk menye-lamatkannya. Ia datang kepada Mr Mentakis, seorang ahli tanaman, yang menganjurkannya untuk menggunakan antimony. Demikianlah ia mengikuti anjuran itu. Apa itu disebut sebagai pembunuhan" Bagi saya pasti itu bukan. Kemudian ada kesaksian dari pengurus rumah tang-ga, yang mengatakan bahwa Mrs Savalas menyuruh semua pembantu pergi supaya ia bisa menikmati santap malam bulan madu bersama suaminya, yang akan disiapkannya sendiri untuknya. Well, saya kira pengurus rumah tangga itu barangkali setengah jatuh cinta kepada Mr Savalas. Orang tidak bekerja pada seseorang selama dua puluh lima tahun kecuali bila ia mempunyai suatu perasaan yang cukup mendalam terhadapnya. Ia membenci Anastasia Savalas. Tidakkah bisa Anda lihat itu dari nada suaranya?" Chotas terbatuk sedikit dan berdehem. "Jadi, mari kita anggap bahwa terdakwa, jauh dalam hatinya, sungguh-sungguh mencintai suaminya, dan ia mencoba sekuat tenaga untuk mempertahankan perkawinannya. Bagaimana cara seorang wanita menunjukkan cintanya kepada seorang pria" Well, salah satu cara yang paling
179 umum ialah dengan memasak untuknya. Bukankah itu suatu bentuk pernyataan cinta" Saya kira iya." Ia menoleh melihat botol itu lagi. "Dan bukankah cara yang lainnya yaitu merawatnya selagi sakit"seperti yang biasa diucapkan dalam upacara pernikahan, setia dalam keadaan sakit dan sehat?"
Lonceng di dinding menunjukkan jam dua belas kurang satu menit.
"Ladies and gentlemen, tadi pada awal persidangan ini saya mengatakan kepada Anda untuk melihat wajah wanita ini. Itu bukanlah wajah seorang pembunuh. Itu bukan mata seorang pencabut nyawa."
Peter Demonides memperhatikan wajah para juri saat mereka menatap ke arah terdakwa. Belum pernah ia melihat ekspresi tidak senang yang gamblang seperti itu. Para juri sudah berada dalam genggamannya.
"Hukum itu teramat jelas, ladies and gentlemen. Seperti yang akan diberitahukan kepada Anda oleh para hakim kita yang mulia, untuk membuat putusan bersalah, kita sama sekali tak boleh mempunyai keraguan atas kesalahan terdakwa. Sama sekali tak boleh."
Ketika Napoleon Chotas berbicara, ia terbatuk lagi, dan mengeluarkan saputangan dari sakunya untuk menutupi mulutnya. Ia lalu berjalan menghampiri botol sirup yang terletak di atas meja di depan para juri.
"Kalau diurut-urutkan semuanya tadi, Jaksa
180 sebenarnya belum membuktikan apa-apa, bukan" Kecuali bahwa inilah botol yang diberikan Mrs Savalas kepada suaminya. Kenyataannya adalah, Pengadilan ini sama sekali tidak punya kasus." Saat ia mengakhiri kalimatnya itu, ia batuk lagi, lama dan tak bisa berhenti. Tanpa sadar, ia meraih botol obat batuk itu, meng-angkatnya ke bibirnya dan meneguk banyak-ba-nyak. Setiap orang di ruang pengadilan itu membelalak, terpukau, dan terdengar suara-sua-ra yang menunjukkan rasa ngeri.
Ruang sidang itu menjadi ricuh.
Hakim Ketua dengan cemas berkata, "Mr Chotas?"
Napoleon Chotas meneguk sekali lagi. "Yang Mulia, penuntutan Jaksa adalah ejekan terhadap keadilan. George Savalas tidak mati karena tangan wanita ini. Pembelaan saya tutup sampai di sini."
Lonceng menunjukkan angka dua belas. Seorang juru sita bergegas menghampiri Hakim Ketua dan berbisik.
Hakim Ketua mengetukkan palunya. "Harap tertib! Harap tertib! Kita akan reses. Juri akan mengundurkan diri dan mencoba mencapai putusan. Sidang akan dimulai lagi pada jam dua siang."
Peter Demonides berdiri di situ, terpaku. Ada orang yang menukar botol itu! Tapi tidak, itu tidak mungkin. Barang bukti itu dijaga setiap saat. Mungkinkah si patolog berbuat kekeliruan
181 sefatal itu" Demonides menoleh untuk berbicara dengan asistennya, dan ketika ia melihat ke sekelilingnya mencari Napoleon Chotas, lelaki tersebut telah menghilang.
Jam dua siang, saat sidang dimulai kembali, para juri perlahan-lahan memasuki ruang sidang dan mengambil tempat duduk. Napoleon Chotas tidak ada.
Bajingan itu sudah mati, pikir Peter Demonides.
Dan pada saat ia memikirkan kemungkinan itu, Napoleon Chotas masuk melalui pintu, kelihatan sangat sehat. Semua orang di ruang sidang itu menoleh untuk menatap ke arahnya ketika ia berjalan menuju ke kursinya.
Hakim Ketua berkata, "Bapak-bapak dan Ibu-ibu anggota juri, sudahkah Anda memperoleh suatu putusan?"
Ketua juri berdiri. "Sudah, Yang Mulia. Kami memutuskan bahwa terdakwa tidak bersalah."
Hadirin dengan spontan bertepuk tangan dengan gemuruh.
Peter Demonides merasa darah surut dari wajahnya. Bajingan itu lagi-lagi melakukannya terhadapku, pikirnya. Ia mendongakkan kepalanya dan Napoleon Chotas sedang memandang ke arahnya, menyeringai.
182 Bab 8 Kantor pengacara Tritsis and Tritsis tak pelak lagi adalah kantor pengacara yang paling bergengsi di Yunani. Para pendirinya sudah lama pensiun, dan kantor itu sekarang dimiliki oleh Napoleon Chotas. Ada enam partner yang ter-gabung di situ, tapi Chotas adalah pemimpin jeniusnya.
Apabila ada orang kaya yang dituduh melakukan pembunuhan, maka pikirannya pasti tertuju kepada Napoleon Chotas. Prestasinya benar-benar menakjubkan. Dalam kariernya yang selama bertahun-tahun membela orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan utama itu, Chotas telah mencatat sukses-sukses besar. Peradilan Anastasia Savalas belum lama berselang ini telah membuat kepala berita di seluruh dunia. Chotas telah membela seorang klien yang dalam pemikiran banyak orang terlibat dalam kasus pembunuhan yang amat gamblang, dan ia telah membukukan kemenangan yang spektakuler. Ia telah menempuh risiko besar saat itu, tapi ia tahu itu merupakan satu-satunya jalan
183 baginya untuk bisa menyelamatkan nyawa kli-ennya.
Ia tersenyum sendiri kalau ia ingat bagaimana wajah para juri ketika ia meneguk sirup yang dicampur dengan racun maut itu. Ia telah menjadwalkan pernyataan kesimpulannya itu dengan teliti sehingga ia akan diinterupsi pada jam dua belas tepat. Itulah kunci dari semuanya ini. Seandainya para hakim saat itu mengubah kebiasaan rutinnya dan melanjutkan sampai lewat jam dua belas" Ia bergidik memikirkan apa yang akan terjadi pada dirinya.
Saat itupun, sesuatu yang tak terduga mun-cul, yang hampir saja menyebabkan nyawanya melayang. Setelah reses diumumkan, Chotas se-gera bergegas menyusuri koridor, namun sekelompok wartawan menghadang jalannya.
"Mr Chotas, bagaimana Anda bisa tahu sirup batuk itu tidak diracuni?""
"Bisakah Anda jelaskan bagaimana?"" "Apakah menurut Anda ada yang menukar botol itu?""
"Apakah Anastasia Savalas mempunyai?"" "Maaf, Saudara-saudara. Rasanya saya harus melakukan sesuatu yang mendesak sekarang, tuntutan badani. Saya pasti akan menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda nanti."
Ia bergegas menuju kamar kecil untuk pria yang terletak di ujung koridor itu. Ada tanda tergantung pada pegangan pintunya yang berbunyi: "Tidak Bisa Dipakai."
184 Seorang wartawan berkata, "Saya kira Anda harus mencari kamar kecil lainnya."
Napoleon Chotas menyeringai. "Rasanya saya tak bisa menunggu lagi." Ia mendorong pintu itu terbuka, berjalan masuk dan menguncinya.
Tim itu sudah berada di dalam, menunggunya. Sang dokter mengeluh, "Saya sudah mulai cemas. Antimony kerjanya cepat." Ia membentak asistennya. "Siapkan pompa perut itu."
"Ya, Dokter." Dokter itu menoleh ke Napoleon Chotas. "Berbaring di lantai. Saya kira ini agak kurang enak buat Anda."
"Jika aku memikirkan apa yang terjadi jika aku tidak mau," Napoleon Chotas menyeringai, "maka aku harus mau."
Imbalan yang diterima Napoleon Chotas untuk menyelamatkan Anastasia Savalas adalah satu juta dolar, disetor ke rekeningnya di sebuah bank Swiss. Chotas mempunyai rumah bagai istana di Kolonarai"daerah permukiman cantik di Athena"sebuah vila di Pulau Corfu, dan sebuah apartemen di Paris di Avenue Foch.
Pokoknya, Napoleon Chotas punya alasan ku-at untuk merasa puas akan kehidupannya. Hanya ada satu noda hitam yang mengotori lembaran hidupnya.
Namanya Frederick Stavros, dan ia ini anggota terbaru di Tritsis and Tritsis. Para peng"
185 acara lainnya di kantor itu terus-menerus mengeluh tentang Stavros.
"Ia cuma kelas dua, Napoleon. Ia tidak pantas
berada di kantor seperti ini?"
"Stavros hampir saja mengacaukan kasusku. Orang itu benar-benar tolol?"
"Kaudengar apa yang dilakukan Stavros kemarin di persidangan" Hakim hampir saja
mengusir dia?" "Sialan, mengapa tidak kaupecat saja si Stavros itu" Ia tidak bisa apa-apa. Kita tidak perlu dia, dan ia merusakkan reputasi kita."
Napoleon Chotas sangat sadar akan hal itu. Dan dia hampir saja tergoda untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Aku tidak bisa memecatnya. Tapi akhirnya ia hanya mengatakan, "Beri dia kesempatan. Stavros akan berhasil kelak."
Dan hanya itulah yang bisa diperoleh partner-part ner-nya darinya.
Seorang filsuf pernah berujar, "Hati-hatilah dengan apa yang kauharapkan; itu bisa betul-betul terkabul."
Frederick Stavros, anggota baru Tritsis and Tritsis, benar-benar telah memperoleh apa yang pernah diidam-idamkannya, dan itu telah membuatnya menjadi salah satu orang yang paling menderita di dunia. Ia tidak bisa tidur atau makan, dan berat badannya telah turun dengan drastis.
186 "Kau harus ke dokter, Frederick," istrinya mendesak. Kau nampak menyedihkan."
"Tidak, aku" itu percuma saja."
Ia tahu bahwa penyakitnya tak dapat disembuhkan oleh dokter mana pun. Hati nuraninya sedang membunuhnya.
Frederick Stavros tadinya seorang pemuda yang tegar, bersemangat, ambisius, dan idealis. Selama bertahun-tahun ia bekerja di sebuah kantor yang kumuh di Monastiraki, daerah miskin kota Athena, membela klien-klien tak berduit, sering kali bekerja tanpa dibayar. Ketika ia bertemu dengan Napoleon Chotas, hidupnya mendadak berubah.
Setahun yang lalu, Stavros membela Larry Douglas, diadili bersama Noelle Page menyangkut pembunuhan istri Douglas, Catherine. Napoleon Chotas disewa oleh Constantin Demiris yang berkuasa itu untuk membela kekasihnya. Sejak semula, Stavros sudah bersedia untuk membiarkan Chotas saja yang melakukan kedua pembelaan itu sekaligus. Ia segan terhadap pengacara cemerlang itu.
"Kau harus melihat Chotas beraksi," ia sering mengatakan kepada istrinya. "Orang itu luar biasa. Semoga aku bisa bergabung dengan dia pada suatu hari."
Ketika persidangan sudah hampir sampai pada akhirnya, terjadi sesuatu yang di luar du-gaan. Napoleon Chotas dengan sikap ramah
187 mengumpulkan Noelle Page, Larry Douglas, dan Frederick Stavros di sebuah ruang pribadi.
Chotas mengatakan kepada Stavros, "Saya baru saja mengadakan pertemuan dengan para hakim. Kalau para terdakwa bersedia mengubah pernyataannya dan mengaku bersalah, para hakim setuju untuk memberikan hukuman lima tahun pada masing-masing terdakwa, dengan yang empat tahun ditangguhkan. Prakteknya nanti, mereka akan menjalani hukuman itu tidak lebih dari enam bulan." Ia menoleh kepada Larry. "Karena Anda orang Amerika, Mr Douglas, Anda akan dideportasikan. Anda tidak akan pernah diizinkan untuk kembali ke Yunani."
Noelle Page dan Larry Douglas dengan gembira menyetujui mengubah pernyataannya. Lima belas menit kemudian, saat para terdakwa dan para pengacaranya berdiri di depan bangkunya, Hakim Ketua berkata, "Pengadilan Yunani tidak pernah menjatuhkan hukuman mati dalam suatu kasus di mana tindak pembunuhan belum bisa dibuktikan dengan pasti. Karena itu, rekan-rekan saya dan saya terus terang saja merasa heran ketika para terdakwa mengubah pernyataannya dan mengaku bersalah di tengah proses peradilan" Saya umumkan bahwa hukuman ba-gi kedua tergugat, Noelle Page dan Lawrence Douglas, adalah eksekusi oleh regu tembak" yang akan dilaksanakan dalam waktu sembilan puluh hari dari tanggal ini."
Dan saat itulah Stavros baru tahu bahwa Na"
188 poleon Chotas telah menipu mereka semua. Ternyata tawaran hakim itu tidak pernah ada. Chotas telah disewa oleh Constantin Demiris bukan untuk membela Noelle Page, tapi malahan untuk menjerumuskan dia. Ini merupakan tindakan balas dendam Demiris kepada wanita yang telah mengkhianatinya. Stavros telah ikut terlibat tanpa sadar dalam suatu rencana penje-bakan yang berdarah dingin.
Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi, pikir Stavros. Aku akan menceritakan kepada Hakim Ketua tentang apa yang telah dilakukan Chotas dan putusan akan diubah.
Tapi Napoleon Chotas menjumpai Stavros dan berkata, "Kalau Anda besok ada waktu, maukah Anda datang dan makan siang bersama saya, Frederick" Saya ingin Anda bertemu dengan partner-partner saya?"
Empat minggu kemudian, Frederick Stavros sudah menjadi partner penuh di kantor pengacara Tritsis and Tritsis yang bergengsi itu, dengan ruang kantor yang luas dan gaji yang besar. Ia telah menjual jiwanya kepada iblis. Tapi ia akhirnya sadar bahwa ini adalah kontrak yang amat berat untuk dijalani. Aku tak bisa terus begini.
"Ia tak bisa menghapuskan perasaan bersalah-nya yang amat mendalam. Aku seorang pern-" bunuh, pikirnya.
189 Frederick sangat menderita karena dilema ini, dan akhirnya sampai pada sebuah keputusan.
Ia memasuki kantor Napoleon Chotas pagi-pagi sekali suatu hari. "Leon?"
"My God, man, kau nampak gawat," kata Napoleon Chotas. "Sebaiknya kau pergi berlibur, Frederick. Itu akan baik bagimu."
Tapi Stavros tahu itu tidak akan menjawab masalahnya ini. "Leon, saya sangat berterima kasih atas apa yang telah kaulakukan buat saya, tapi saya" saya tidak bisa terus tinggal di sini."
Chotas memandangnya dengan heran. "Kau ini bicara apa" Keadaanmu baik-baik saja di
sini." Tidak. Saya"saya sedang menuju kehancuran."
"Menuju kehancuran" Aku tidak mengerti apa yang merisaukanmu."
Frederick Stavros menatapnya dengan tidak percaya. "Apa" apa yang telah kita lakukan terhadap Noelle Page dan Larry Douglas. Tidakkah" tidakkah kau merasa bersalah?"
Mata Chotas menyipit. Hati-hati. "Frederick, kadang-kadang keadilan harus dijalankan melalui cara-cara yang kurang layak." Napoleon Chotas tersenyum. "Percayalah padaku, tak ada yang harus kita sesali. Mereka berdua memang bersalah."
"Kita yang telah membuat mereka dinyatakan bersalah. Kita telah menipu mereka. Saya tidak
190 bisa hidup dengan itu terus-menerus. Maafkan saya. Bersama ini saya mengundurkan diri. Saya bekerja sampai akhir bulan ini saja."
"Aku tak akan menerima pengunduran diri-mu," Chotas berkata dengan tegas. "Mengapa tak kaulakukan saja seperti yang kuusulkan tadi"pergilah berlibur dan?""
"Tidak. Saya tidak akan bisa senang di sini, sadar akan apa yang saya tahu. Maafkan saya."
Napoleon Chotas mengamati dia, sorot matanya mengeras. "Tahukah kau apa yang sedang kaulakukan ini" Kau membuang karier yang cemerlang" hidupmu."
"Tidak. Saya justru menyelamatkan hidup saya."
"Jadi keputusanmu itu sudah bulat?"
"Ya. Saya amat menyesal, Leon. Tapi kau tak perlu kuatir, saya tidak akan pernah membicarakan"apa yang telah terjadi." Ia berbalik dan berjalan ke luar dari kantor itu.
Napoleon Chotas lama duduk di depan meja tulisnya, terbenam dalam pikirannya. Akhirnya, ia mengambil keputusan. Ia mengangkat telepon dan memutar sebuah nomor. "Bisa tolong beritahukan kepada Mr Demiris bahwa saya harus bertemu dengannya sore ini" Katakan padanya ini penting."
Jam empat sore hari itu, Napoleon Chotas duduk di kantor Constantin Demiris.
"Ada masalah apa, Leon?" tanya Demiris.
191 "Barangkali tak akan jadi masalah," Chotas menjawab dengan hati-hati, "tapi kupikir aku harus memberitahumu bahwa Frederick Stavros menemuiku tadi pagi. Ia memutuskan untuk berhenti bekerja."
"Stavros" Pengacara Larry Douglas itu" Jadi?"
"Rupanya hati nuraninya membuatnya gelisah."
Demiris lama terdiam. "Begitu."
"Ia berjanji untuk tidak berbicara tentang apa" apa yang terjadi hari itu di pengadilan." "Kau percaya itu?"
"Ya. Terus terang saja, aku percaya, Costa."
Constantin Demiris tersenyum. "Beres, kalau begitu. Tak ada yang perlu dikuatirkan, bukan?"
?" Napoleon Chotas bangkit, merasa lega. "Ku-rasa tidak. Aku hanya berpikir bahwa kau harus tahu ini."
"Kau benar telah memberitahu aku. Kau ada waktu untuk dinner minggu depan?"
Tentu saja." "Nanti kutelepon, dan kita atur sesuatu." "Terima kasih, Costa."
Pada hari Jumat, sore hampir senja, gereja kuno Kapnikarea di pusat kota Athena sunyi senyap, damai dan tenteram. Di pojok dekat altar, Frederick Stavros berlutut di depan Father Konstantinou. Pastor itu menaruh secarik kain di atas kepala Stavros.
192 "Saya telah berbuat dosa, Father. Dosa saya tak terampuni."
"Masalah besar manusia, anakku, adalah bahwa ia berpikir ia hanyalah seorang manusia. Apa dosa-dosamu?"
"Saya seorang pembunuh."
"Kau telah mengambil nyawa orang?"
"Ya, Father. Saya tidak tahu harus melakukan apa untuk menebusnya."
"Tuhan tahu apa yang harus dilakukan. Kita akan bertanya kepadaNya."
"Saya membiarkan diri saya disesatkan, karena nafsu dan keserakahan. Terjadinya setahun yang lalu. Saya sedang membela seseorang yang. dituduh melakukan pembunuhan. Persidangan itu berjalan lancar. Tapi kemudian Napoleon Chotas?"
Ketika Frederick Stavros meninggalkan gereja itu setengah jam kemudian, ia merasa telah menjadi seorang manusia baru. Seakan beban yang teramat berat sudah diangkat dari pundaknya. Ia merasa sudah dicuci melalui upacara pengakuan dosa yang sudah berabad-abad umurnya itu. Ia telah menceritakan kepada pastor itu semuanya, dan untuk pertama kalinya sejak hari yang mengerikan itu, ia merasa utuh kembali."*
Aku akan memulai hidup baru. Aku akan pindah ke kota lain dan mulai lagi. Aku akan mencoba menebus sebisanya perbuatan buruk yang telah ku"
193 lakukan. Terima kasih, Father, karena kau telah memberikan kesempatan kepadaku.
Hari mulai gelap dan pusat Ermos Square itu sudah sangat sepi. Ketika Frederick Stavros tiba di pojok jalan, lampu berubah hijau, dan ia mulai menyeberang. Saat ia sampai di tengah perempatan, sebuah limousine hitam meluncur menuruni bukit, lampu-lampu depannya mati, menerjang ke arahnya bagaikan monster raksasa tak berotak. Stavros menatap, terpaku. Sudah terlambat untuk melompat ke samping. Terdengar benturan dahsyat dan Stavros merasa tubuhnya dihantam dan terkoyak. Terasa kesakitan yang amat sangat seketika, kemudian semuanya gelap.
Napoleon Chotas suka bangun pagi-pagi. Ia menikmati saat-saat berada sendirian sebelum urusan-urusan rutin sehari-hari mulai mencekam dirinya. Ia selalu makan pagi sendirian, sambil membaca koran-koran pagi. Di pagi itu ada beberapa berita yang menarik. Perdana Menteri Themistocles Sophoulis baru saja membentuk kabinet koalisi lima partai. Aku harus mengirimkan ucapan selamat kepadanya. Tentara Komunis Cina dilaporkan telah mencapai tepi utara Sungai Yangtze. Harry Truman dan Alben Barkley telah dilantik sebagai Presiden dan Wa-kil Presiden Amerika Serikat. Napoleon Chotas membalik ke halaman dua, dan darahnya mem-194
beku. Tulisan yang menarik perhatiannya berbunyi:
Mr Frederick Stavros, salah satu partner kantor pengacara bergengsi, Tritsis and Tritsis, tewas kemarin petang dalam suatu kecelakaan tabrak lari ketika ia pulang dari Gereja Kapnikarea. Para saksi melaporkan bahwa mobil si penabrak adalah limousine hitam tanpa pelat nomor. Mr Stavros adalah tokoh penting dalam peradilan sensasional dari Noelle Page dan Larry Douglas. Saat itu ia adalah pengacara Larry Douglas dan"
Napoleon Chotas berhenti membaca. Ia duduk di kursinya, kaku, makan paginya terlupakan. Suatu kecelakaan. Benarkah itu suatu kecelakaan" Constantin Demiris mengatakan kepadanya tak ada yang perlu dikuatirkan. Tapi banyak orang telah membuat kekeliruan dengan menilai Demiris berdasarkan tampak luarnya saja.
Chotas menghampiri telepon dan menelepon Constantin Demiris. Seorang sekretaris menghu-bungkannya.
"Apakah kau sudah membaca koran pagi?" tanya Chotas.
"Belum. Kenapa?"
"Frederick Stavros sudah mati."
"Apa?" Ia berseru dengan nada terkejut. "Kau bicara apa itu?"
195 "Ia terbunuh semalam dalam kecelakaan ta-brak lari."
"My God. Kasihan dia, Leon. Pengemudinya
sudah ditangkap?" "Belum, belum tertangkap."
"Barangkali aku bisa sedikit mendesak polisi. Tak ada yang aman zaman sekarang. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau dinner-nya hari Kamis ini?" "Baik."
"Jadi sudah OK, ya?"
Napoleon Chotas ahli dalam membaca yang tersirat. Constantin Demiris benar-benar terkejut. Ia tidak ada sangkut-paut dengan kematian Stavros, Chotas yakin itu.
Pagi berikutnya. Napoleon Chotas mengendarai mobilnya memasuki garasi pribadi di bangunan kantornya dan memarkirnya di situ. Ketika ia sedang melangkah ke arah lift, seorang laki-laki muda muncul dari kegelapan. "Anda punya geretan?"
Terlintas sebuah peringatan untuk waspada di benak Chotas. Laki-laki itu asing, dan dia tak punya urusan untuk berada di garasi itu.
"Tentu." Tanpa berpikir lagi, Chotas meng-hantamkan tas kantornya ke wajah orang itu.
Orang asing itu berteriak kesakitan. "Kau bajingan!" Ia merogoh sakunya dan menarik ke luar sepucuk pistol dengan peredam yang sudah terpasang.
196 "Hey! Ada apa di situ?" ada suara teriakan. Seorang penjaga berseragam berlari ke arah mereka.
Orang asing itu ragu-ragu sejenak, lalu lari menuju pintu yang terbuka.
Si penjaga tiba di samping Chotas. "Anda tidak apa-apa, Mr Chotas?"
"Ah" ya." Napoleon Chotas terengah-engah. "Saya tidak apa-apa."
"Ia mau berbuat apa?"
Napoleon Chotas berkata pelan, "Saya tidak pasti."
Bisa jadi itu suatu kebetulan saja, Chotas berkata pada dirinya sendiri, ketika sudah duduk di depan meja tulisnya. Mungkin orang itu hanya ingin merampokku. Tapi orang tidak memakai pistol dengan peredam hanya untuk merampok. Tidak, dia bermaksud membunuhku. Dan Constantin Demiris bisa saja menunjukkan sikap terkejut jika mendengar berita ini, sama seperti ia telah berpura-pura terkejut waktu mendengar tentang kematian Frederick Stavros.
Seharusnya aku tahu, pikir Chotas. Demiris bukan orang yang mau mengambil risiko. Ia tidak akan membiarkan celah-celah yang bisa berbahaya. Well, Mr Demiris akan menerima kejutan nanti
Suara sekretaris Napoleon Chotas terdengar lewat interkom, "Mr Chotas, Anda harus berada di pengadilan tiga puluh menit lagi."
Hari ini adalah hari pernyataan kesimpulan"
197 nya dalam kasus pembunuhan berantai, tapi Chotas terlalu terguncang untuk hadir di pengadilan. "Telepon Pak Hakim dan jelaskan bahwa saya sakit. Minta salah satu partner mewakili saya. Hari ini saya tidak terima telepon."
Ia lalu mengambil sebuah tape recorder dari laci meja tulisnya dan duduk di situ, berpikir. Lalu ia mulai berbicara.
Ketika hari mulai sore, Napoleon Chotas mun-cul di kantor Jaksa Penuntut Umum, Peter Demonides, membawa sebuah amplop manila. Resepsionis segera mengenali dia.
Selamat sore, Mr Chotas. Bisa saya bantu?"
"Saya ingin bertemu dengan Mr Demonides."
Beliau sedang rapat. Anda sudah ada janji?"


Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belum. Tolong beritahu dia saya ada di sini, dan ada masalah penting."
"Ya, baik." Lima belas menit kemudian, Napoleon Chotas diantar masuk ke kantor Jaksa Penuntut itu.
Tumben," kata Demonides. "Apa yang bisa kubantu" Apakah kita akan melakukan tawar-menawar gugatan sore ini?"
"Bukan. Ini masalah pribadi, Peter."
"Duduklah, Leon."
Setelah keduanya duduk, Chotas berkata, "Aku ingin meninggalkan amplop ini buatmu. Amplop ini disegel, dan hanya boleh dibuka apabila aku nanti mati karena kecelakaan."
Peter Demonides mengamati Chotas dengan
198 rasa ingin tahu. "Kau mengira akan ada sesuatu yang terjadi pada dirimu?" "Itu mungkin."
"Begitu. Salah satu klienmu yang tak tahu berterima kasih?"
"Tak jadi soal siapa. Kau satu-satunya orang yang bisa kupercaya. Bisakah kausimpan ini di tempat yang aman di mana tak ada orang lain yang tahu?"
"Tentu saja." Ia mencondongkan badannya ke depan. "Kau kelihatan takut."
"Memang." "Kau perlu perlindungan dari kantorku" Aku bisa menugaskan seorang polisi mengawalmu."
Chotas menepuk amplop itu. "Inilah satu-satunya perlindungan yang kuperlukan."
"Baiklah. Jika kau yakin begitu."
"Aku yakin." Chotas bangkit dan mengulurkan tangannya. "Efharisto. Aku tak tahu bagaimana harus berterima kasih."
Peter Demonides tersenyum. "Parakalo. Kau f utang satu padaku."
Satu jam kemudian, seorang kurir berseragam tiba di perkantoran Hellenic Trade Corporation. Ia menghampiri salah satu sekretaris di situ.
"Saya mengantarkan paket untuk Mr Demiris."
"Saya akan menandatanganinya." "Saya diminta untuk menyerahkannya kepada Mr Demiris sendiri."
199 "Maaf, saya tidak bisa mengganggu beliau. Paket ini dari siapa?" "Napoleon Chotas."
"Benar-benar Anda tak dapat meninggalkannya saja?"
"Benar, ma"am."
"Coba saya lihat apakah Mr Demiris mau menerimanya."
Ia menekan tombol interkom. "Maafkan saya, Mr Demiris. Seorang kurir membawa paket buat Anda dari Mr Chotas."
Suara Demiris terdengar lewat interkom. "Bawa masuk, Irene."
"Katanya ia diminta untuk menyerahkannya
kepada Anda sendiri."
Diam sebentar. "Masuklah bersama dia."
Irene dan kurir itu memasuki ruang kantor itu.
"Anda Constantin Demiris?"
"Ya." "Mohon ini ditandatangani."
Demiris menandatangani secarik kertas. Kurir itu meletakkan sebuah amplop di meja tulis Demiris. "Terima kasih."
Constantin Demiris mengawasi sekretarisnya dan kurir itu meninggalkan kantornya. Ia mengamati amplop itu sebentar, wajahnya nampak tepekur, lalu membukanya. Ada sebuah tape recorder kecil di dalamnya, berisi sebuah kaset. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia menekan tom-bolnya dan kaset itu mulai berputar.
200 Suara Napoleon Chotas memenuhi ruang kantor itu.
"My dear Costa: Semuanya akan lebih gam pang jadinya seandainya kau percaya bahwa Frederick Stavros tidak bermaksud untuk membocorkan rahasia kecil kita. Aku lebih-lebih lagi menyesal sebab kau juga tidak percaya bahwa aku tidak bermaksud untuk berbicara tentang peristiwa yang kurang enak itu. Aku punya alasan kuat untuk berpendapat bahwa kaulah yang mendalangi kematian Stavros yang malang itu, dan bahwa sekarang kau bermaksud untuk membunuhku. Karena hidupku berharga buatku seperti hidupmu juga berharga bagimu, dengan segala hormat aku menolak untuk menjadi kor-banmu yang berikutnya" Aku sudah berjaga-jaga untuk itu, dengan menulis detil-detil keter-libatan kau dan aku dalam peradilan Noelle Page dan Larry Douglas, dan telah memasukkan itu ke dalam amplop bersegel dan memberikannya kepada Jaksa Penuntut untuk di-buka hanya apabila aku mati karena kecelakaan. Jadi kini sepenuhnya demi kepentinganmu, my friend, untuk mengatur bagaimana supaya aku tetap hidup tak kurang suatu apa."
Kaset itu berakhir. Constantin Demiris duduk di situ, dengan pandangan kosong. Ketika Napoleon Chotas kembali ke kantornya sore itu, rasa takutnya sudah
201 hilang. Constantin Demiris adalah orang yang berbahaya, tapi ia jauh dari bodoh. Ia tidak akan menyakiti orang lain jika itu akan membahayakan dirinya. Ia telah mengambil langkah, pikir Chotas, dan aku telah membuatnya skakmat. Ia tersenyum sendiri. Kukira aku harus menyiapkan rencana-rencana lain untuk makan malam Ka-mis nanti.
Selama beberapa hari setelah itu, Napoleon Chotas sibuk menyiapkan diri untuk menghadapi kasus pembunuhan baru yang menyangkut seorang istri yang telah membunuh dua pacar gelap suaminya. Chotas bangun pagi-pagi dan bekerja sampai larut malam, mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan silangnya. Nalurinya berkata bahwa"walaupun nampaknya tidak mungkin"ia akan menang lagi.
Hari Rabu malam, ia bekerja di kantornya sampai tengah malam, lalu naik mobil pulang. Ia tiba di vilanya jam 1.00 dini hari.
Pern bantu laki-lakinya menyambutnya di pintu masuk. "Anda menginginkan sesuatu, Mr
Chotas" Saya bisa menyiapkan mezedes kalau
Tuan lapar, atau?""
"Tidak, terima kasih. Saya tidak perlu apa-apa. Pergilah tidur."
Napoleon Chotas naik ke atas ke kamar tidurnya. Selama satu jam ia masih memikirkan persidangan yang akan dihadapinya besok, dan
202 akhirnya pada jam dua dini hari ia tertidur. Ia bermimpi.
Ia sedang berada di pengadilan, menanyai-si-lang seorang saksi, ketika tiba-tiba saksi itu me-nyobek-nyobek pakaiannya.
"Mengapa Anda lakukan itu?" Chotas bertanya.
"Saya kepanasan."
Chotas melihat ke sekeliling ruang sidang yang penuh sesak itu dan melihat bahwa semua penonton sedang menanggalkan pakaian mereka.
Ia menoleh kepada hakim. "Yang Mulia, saya berkeberatan?"
Hakim juga sedang menanggalkan jubahnya. Terlalu panas di sini," katanya.
Benar panas di sini. Dan berisik.
Napoleon Chotas membuka matanya. Lidah-lidah api menjilat-jilat pintu kamar tidur itu dan asap masuk memenuhi ruangan.
Napoleon duduk, terjaga penuh seketika itu juga.
Rumah sedang terbakar. Mengapa alartn-nya ti-"dak berbunyi"
Pintu sudah mulai melengkung karena panas yang tinggi. Chotas bergegas menuju ke jendela, serasa tercekik oleh asap. Ia mencoba mendo-brak jendela itu tapi ternyata ditutup mati dari luar. Asap semakin tebal, dan makin sulit rasanya untuk bernapas. Tak ada jalan ke luar.
Bara api mulai berjatuhan dari langit-langit.
203 Sebuah tembok runtuh dan segumpal nyala api menyelimuti tubuhnya. Ia berteriak. Rambutnya dan piamanya terbakar. Dengan mata gelap ia melemparkan tubuhnya ke arah jendela yang tertutup dan menerobos menembus jendela itu, tubuhnya yang menyala terjun ke tanah enam belas kaki di bawah.
Esok harinya pagi-pagi sekali,. Jaksa Penuntut Umum Peter Demonides diantar masuk ke ruang baca Constantin Demiris oleh seorang pembantu wanita.
"Kalimehra, Peter," kata Demiris. "Terima kasih atas kedatanganmu. Kaubawa itu?"
"Ya, sir." Ia memberikan kepada Demiris amplop bersegel yang diberikan Napoleon Chotas kepadanya. "Saya pikir Anda barangkali mau menyimpannya di sini."
"Kau sungguh bijaksana, Peter. Kau mau ma-kan pagi?"
"Efharisto. Anda sangat ramah, Mr Demiris."
"Costa. Panggil aku Costa. Sudah lama kuper-hatikan dirimu, Peter. Kurasa kau punya masa depan yang baik. Aku ingin mencarikan jabatan yang cocok untukmu dalam organisasiku. Apa-kah kau tertarik?"Peter Demonides tersenyum. "Ya, Costa. Saya sangat tertarik."
"Bagus. Mari kita dengan santai berbicara tentang itu sambil makan pagi."
204 Bab 9 London Catherine berbicara dengan Constantin Demiris sedikitnya seminggu sekali dan itu mulai menjadi sebuah pola. Ia terus saja mengirimkan ha-diah-hadiah, dan kalau gadis itu memprotes, ia meyakinkan dia bahwa itu hanya sekadar tanda penghargaan yang tak ada artinya. "Evelyn menceritakan kepadaku bagaimana kau telah menangani masalah Baxter dengan baik sekali." Atau, "Aku mendengar dari Evelyn tentang ga-gasanmu untuk menghemat biaya-biaya angkut-an kapal."
Pada kenyataannya, Catherine memang bang-ga dengan prestasinya. Ia menemukan sejumlah hal di kantor itu yang bisa ditingkatkan. Kemampuan-kemampuan lamanya telah pulih kembali, dan ia tahu bahwa efisiensi di kantor itu telah banyak meningkat karena dia.
"Aku amat bangga akan dirimu," kata Constantin Demiris kepadanya.
Dan hati Catherine serasa berbunga-bunga. Ia benar-benar pria yang sangat baik dan penuh perhatian.
205 Sudah hampir waktunya aku mengambil langkah, Demiris memutuskan. Stavros dan Chotas telah disingkirkan, maka satu-satunya orang yang bi-sa menghubungkan dia dengan apa yang telah terjadi hanyalah Catherine. Sebenarnya bahaya tinggal kecil sekali tapi, seperti yang telah di-dapati oleh Napoleon Chotas, Demiris bukan orang yang mau mengambil risiko. Sayang sekali, pikir Demiris, bahwa gadis itu harus pergi. Ia begitu cantik. Tapi lebih dahulu, vila di Rafina itu.
Ia telah membeli vila itu. Ia akan membawa Catherine ke sana dan bercumbu dengan dia persis seperti Larry Douglas telah bercumbu dengan Noelle. Setelah itu"
Dari waktu ke waktu, Catherine diingatkan pa-da masa lalunya. Ia membaca di Times London berita kematian Frederick Stavros dan Napoleon Chotas, dan nama-nama itu tidak berarti apa-apa baginya bila tidak disebutkan bahwa mere-ka itu dulu pengacara Larry Douglas dan Noelle Page.
Malam itu ia bermimpi lagi.
Pada suatu pagi, Catherine melihat sebuah berita di surat kabar yang membuatnya terguncang:
William Fraser, Asisten Presiden Amerika Harry Truman, telah tiba di London untuk
206 merundingkan sebuah perjanjian perdagangan baru dengan Perdana Menteri Inggris.
Ia meletakkan surat kabar itu, merasa begitu rapuh dan konyol. "William Fraser. Lelaki itu sangat berperanan dalam hidupnya dulu. Apakah sekiranya, yang akan terjadi jika dulu ia tidak meninggalkan William"
Catherine duduk di depan mejanya, tersenyum dengan waswas, menatap berita di surat kabar itu. William Fraser adalah salah satu pria yang paling ia sayangi yang per-nah dikenalnya. Kenangannya saja sudah bisa membuatnya merasa hangat dan dika-sihi. Dan sekarang ia berada di sini di London. Aku harus menjumpainya, pikirnya. Menurut surat kabar itu, ia tinggal di Claridge"s Hotel.
Catherine memutar nomor telepon hotel itu, dan jari-jarinya gemetar. Ia mempunyai perasaan bahwa masa lalu sebentar lagi akan menjadi masa sekarang. Ia merasa begitu tergetar jika ingat akan bertemu dengan Fraser. Apa yang ikan dikatakannya jika ia mendengar suaraku" jika ia melihatku lagi"
Operatornya berkata, "Selamat pagi, Claridge"s."
Catherine menarik napas dalam-dalam. "To-long sambungkan dengan Mr William Fraser."
"Maafkan saya, madam. Tadi Anda bilang Mr atau Mrs William Fraser?"
Catherine merasa ia seperti baru saja dipukul.
207 Betapa bodohnya aku. Mengapa tak terpikir olehku" Tentu saja ia sudah menikah sekarang. "Madam?"
"Saya" Tak usah saja. Terima kasih." Ia meletakkan kembali gagang telepon perlahan-lahan.
Aku sudah terlambat. Sudah lewat. Costa benar. Biarkan masa lalu tetap tinggal masa lalu.
Kesepian bisa menggerogoti, melumpuhkan semangat hidup. Setiap orang perlu membagi kebahagiaan, kemenangan, dan penderitaannya dengan orang lain. Catherine hidup dalam du-nia yang penuh orang-orang asing, menyaksikan kebahagiaan pasangan-pasangan lain, mendengar sayup-sayup suara tawa mereka yang di-mabuk cinta. Tapi ia menolak untuk menga-sihani dirinya sendiri.
Aku bukan satu-satunya wanita di dunia yang
sendirian. Aku hidup! Aku hidup!
Acara tak akan bisa habis di London. Bioskop-bioskop London penuh dengan film-film Amerika dan Catherine gemar menonton. Ia menonton The Razor"s Edge dan Anna and the King of Siam. Gentleman"s Agreement adalah film yang membuat orang berpikir, dan Cary Grant amat memikat dalam The Bachelor and the Bobby Soxer.
Catherine pergi menonton konser-konser di Albert Hall dan menyaksikan balet di Sadler"s
208 Wells. Ia pergi ke Stratford-upon-Avon untuk melihat Anthony Quayle dalam The Taming of the Shrew, dan untuk melihat Sir Laurence Olivier dalam Richard III. Tapi memang kurang enak nonton sendirian.
Kemudian datanglah Kirk Reynolds.
Saat itu di kantor, ketika seorang pria jangkung, menarik, menghampiri Catherine dan berkata, "Saya Kirk Reynolds. Di mana saja Anda selama ini?"
"Maaf?" "Saya telah menunggu-nunggu orang seperti Anda."
Begitulah awal mulanya. Kirk Reynolds adalah seorang pengacara Amerika yang bekerja pada Constantin Demiris, menangani merger-merger internasional. Ia berumur empat puluhan, serius, cerdas dan penuh perhatian.
Ketika membicarakan Kirk Reynolds dengan Evelyn, Catherine berkata, "Tahukah kau apa yang paling kusukai dari dirinya" Ia membuatku merasa seperti seorang wanita. Sudah lama aku tidak merasa begitu."
"Aku tidak yakin," Evelyn berkeberatan. "Aku akan hati-hati kalau aku jadi kau. Jangan terburu-buru."
"Tidak, tidak akan," Catherine berjanji.
Kirk Reynolds mengajak Catherine melihat-lihat
209 tempat-tempat yang ada hubungannya dengan hukum di London. Mereka mengunjungi Old Bailey, di mana para penjahat diadili selama berabad-abad, dan mereka berjalan-jalan di aula utama gedung-gedung pengadilan, melewati para pengacara Inggris bertampang muram yang mengenakan wig dan jubah. Mereka mengunjungi bekas lokasi Penjara Newgate, yang dibangun pada abad kedelapan belas. Tepat di de-pan lokasi penjara itu, jalanan melebar, lalu dengan tak terduga menyempit kembali.
"Aneh juga ini," kata Catherine. "Mengapa ya, jalanan dibuat seperti ini?"
"Untuk bisa menampung khalayak. Di sini mereka dulu menghukum mati para penjahat di
depan umum." Catherine bergidik. Dawai angannya tersentuh lagi.
Pada suatu petang, Kirk Reynolds membawa Catherine ke East India Dock Road, di sepanjang dermaga.
"Belum lama berselang, polisi berjalan ber-dua-dua jika lewat tern pat ini," kata Reynolds. "Ini tempat bermukim para penjahat."
Daerah itu memang. nampak gelap dan se-ram, dan masih saja nampak berbahaya bagi Catherine.
Mereka makan malam di Prospect of Whitby, salah satu pub yang paling tua di Inggris, du-duk di balkon yang terletak di atas Sungai
210 Thames, menyaksikan kapal-kapal tongkang bergerak sepanjang sungai melewati kapal-kapal be-sar yang sedang berlayar menuju ke laut lepas.
Catherine senang pada nama-nama pub London yang aneh-aneh itu. Ye Olde Cheshire Cheese dan Falstaff dan Goat In Boots. Di suatu malam lain mereka pergi ke sebuah pub kuno yang semarak di City Road, bernama The Eagle.
"Aku berani bertaruh kau dulu sering bernyanyi tentang tempat ini saat kau masih anak-anak."
Catherine menatapnya. "Bernyanyi tentang itu" Bahkan dengar pun belum pernah aku tentang tempat ini."
"Sudah, pasti sudah. The Eagle ini asal dari sebuah lagu anak-anak kuno."
"Lagu anak-anak yang mana?"
"Dulu, City Road ini pusat para penjahit pakaian dan setiap mendekati akhir minggu, para penjahit itu pasti* kekurangan dana, lalu mereka menggadaikan setrikanya"atau kain bulunya" sampai mereka menerima pembayaran. Lalu seseorang menulis sebuah lagu anak-anak mengenai hal itu:
Naik-turun jalanan kota Masuk-keluar The Eagle Begitulah jalannya uang Lenyap sudah kain bulu itu."
Catherine tertawa, "Kok bisa-bisanya kau tahu itu?"
"Para pengacara dituntut untuk tahu tentang
211 semua hal. Tapi ada satu hal yang aku tak tahu. Kau bisa main ski?"
"Sayang sekali tidak. Mengapa?""
Ia tiba-tiba jadi serius. "Aku akan pergi ke St Moritz. Di sana banyak instruktur ski yang ba-gus. Maukah kau pergi denganku, Catherine?"
Pertanyaan itu benar-benar membuatnya terperangah.
Kirk menunggu jawabannya.
"Aku" aku tidak tahu, Kirk."
"Maukah kau mempertimbangkannya?"
"Ya." Tubuhnya bergetar. Ia teringat betapa menggetarkan saat-saat ia bercumbu dengan Larry, dan ia bertanya-tanya apakah ia akan pernah bisa merasakan lagi saat-saat seperti itu. "Aku akan mempertimbangkannya."
Catherine memutuskan untuk memperkenalkan Kirk kepada Wim.
Mereka menjemput Wim di flatnya dan membawanya ke The Ivy untuk makan malam. Sepanjang malam itu, Wim sekali pun tak pernah melihat ke arah Kirk Reynolds secara langsung. Ia nampak sepenuhnya menarik diri. Kirk memandang Catherine dengan ekspresi bertanya. Ia membuat isyarat dengan mulutnya, Ajak dia bicara. Kirk mengangguk dan memandang ke
arah Wim. "Kau suka London, Wim?" "Lumayan."
"Ada kota yang jadi favoritmu?"
212 "Tidak ada." "Kau senang dengan pekerjaanmu?" "Lumayan."
Kirk melihat kepada Catherine, menggelengkan kepala.dan mengangkat bahu.
Catherine membuat isyarat dengan mulutnya: Please.
Kirk menarik napas dan memandang Wim lagi. "Aku main golf kalau hari Minggu, Wim. Kau suka main?"
Wim berkata, "Dalam golf tongkat pemukul berkepala besi jenis-jenisnya adalah driving iron midiron mid mashie mashie iron mashie spade ma-shie mashie niblick niblick shorter niblick dan putter. Tongkat pemukul berkepala kayu jenis-jenisnya adalah driver brassie spoon dan baffy."
Kirk Reynolds berkedip, "Kau pasti pintar main."
"Ia tak pernah main," Catherine menjelaskan. "Wim cuma" tahu semuanya. Ia bisa melakukan apa saja mengenai matematika."
Kirk Reynolds benar-benar kesal. Tadinya ia berharap akan bisa melewatkan malam itu ber-dua dengan Catherine, tapi ia malahan mengajak orang yang menjengkelkan ini.
Kirk tersenyum dengan terpaksa. "O, ya?" Ia menoleh ke arah Wim dan bertanya dengan lugu, "Apa kau sekiranya tahu berapa dua pangkat lima puluh sembilan?"
Wim duduk di situ berdiam diri selama tiga puluh detik, menatap taplak meja, dan, ketika
213 Kirk sudah akan berbicara, Wim berkata, "576.460.752.303.423.488."
"Astaga!" kata Kirk. "Apa itu benar?"
"Yeah," Wim menukas. "Itu benar."
Catherine memandang Wim, "Wim, bisakah kau menarik akar enam dari?" Ia begitu saja mencomot sebuah angka. "24.137.585?"
Mereka berdua menatap Wim, yang duduk di situ dengan wajah tanpa ekspresi. Dua puluh lima detik kemudian ia berkata, "Tujuh belas; sisanya adalah enam belas."
"Ini benar-benar tidak mungkin," Kirk berseru.
"Percayalah," kata Catherine kepadanya.
Kirk memandang Wim. "Bagaimana bisa kaulakukan itu?"
Wim mengangkat bahu. Catherine berkata, "Wim bisa mengalikan angka-angka digit empat dalam tiga puluh detik, dan menghafalkan lima puluh nomor telepon dalam lima menit. Sekali ia mengingat-nya, ia tak akan bisa lupa lagi."
Kirk Reynolds memandang Wim Vandeen dengan tertegun. "Kantorku pasti akan mau memakai orang seperti kau," katanya.
"Aku sudah bekerja," Wim menukas.
Ketika Kirk Reynolds mengantarkan Catherine pulang di akhir acara malam itu, ia berkata, "Kau tidak akan lupa tentang St Moritz, kan?"
214 r"Ti("f" tidak akan luPa*" Mengapa aku tidak bilang "ya" saja"
Constantin Demiris menelepon saat malam sudah larut. Catherine hampir saja menceritakan kepadanya tentang Kirk Reynolds, tapi pada saat terakhir ia memutuskan untuk tidak menea-takannya. "
215 Bab 10 Athena Father konstantinou sedang gelisah. Sejak saat ia melihat berita koran tentang kematian Frederick Stavros akibat tabrak lari, pikirannya tak pernah bisa tenang. Pastor itu sudah mendengar ribuan pengakuan dosa sejak ia ditahbiskan, tapi pengakuan Frederick Stavros yang dramatis itu, diikuti dengan kematiannya, telah menanamkan kesan yang tak terhapuskan.
"Hey, apa yang kaurisaukan?"
Father Konstantinou menoleh untuk melihat kepada laki-laki muda molek yang tergolek bu-gil di sisinya di tempat tidur. "Tidak ada apa-apa, Sayang."
"Apa aku tidak membuatmu bahagia?"
"Kau tahu kau membuatku bahagia, Georgios."
"Jadi apa masalahnya" Kau berlaku seakan aku tidak ada di sini, demi Kristus."
"Jangan menggunakan kata-kata terlarang."
"Aku tak mau didiamkan saja."
"Maafkan aku, darling. Hanya" salah satu
216 anggota jemaatku terbunuh dalam suatu kecelakaan mobil."
"Kita semua harus mati suatu saat, kan?" "Tentu. Tapi yang satu ini pikirannya amat terganggu.".
"Maksudmu, ia agak sakit ingatan?"
"Bukan. Ia menyimpan satu rahasia besar, dan itu menjadi beban yang terlalu berat untuk ditanggungnya."
"Rahasia apa?" Pastor itu mengusap paha laki-laki muda itu. "Kau tahu aku tidak bisa membicarakannya. Itu diceritakan kepadaku sebagai pengakuan dosa."
"Kukira tadinya kita tak boleh saling menyimpan rahasia."
"Memang, Georgios, tapi?" "Gamoto! Kalau iya iya, kalau tidak tidak. Lagi pula orang itu sudah mati. Jadi apa salahnya?"
"Tidak ada, kurasa, tapi?"
Georgios La to merangkul pasangan tidurnya itu, dan berbisik di telinganya, "Aku ingin tahu."
"Kau menggelitik telingaku." Lato mulai mengusap-usap tubuh Father Konstantinou.
"Oh" jangan berhenti?" "Ceritakan padaku kalau begitu." "Baiklah. Kurasa tak akan berakibat apa-apa sekarang?"
217 Georgios Lato mulai bisa mengecap nikmatnya dunia ini. Ia dilahirkan di daerah kumuh Athena, dan ketika umurnya dua belas tahun, ia menjadi pelacur pria. Pada mulanya Lato menyusuri jalanan, memunguti beberapa dolar sebagai imbalan melayani para pemabuk di lo-rong-lorong kumuh dan para turis di kamar-kamar hotelnya. Ia dianugerahi wajah tampan dengan kulit gelap dan tubuh tegap dan kekar.
Ketika ia berumur enam belas tahun, seorang mudkari berkata, "Kau seorang poulaki, Georgios. Tapi kau menyia-nyiakan itu. Kau akan kutangani dan kau akan memperoleh banyak
uang." Dan ia menepati janjinya. Sejak itu Georgios Lato hanya melayani pria-pria kaya yang ber-kedudukan penting saja, dan ia dibayar mahal untuk itu.
Ketika Lato bertemu dengan Nikos. Veritos, asisten pribadi taipan besar, Spyros Lambrou, kehidupannya berubah.
"Aku jatuh cinta padamu," kata Nikos Veritos kepada pemuda itu. "Aku ingin kau berhenti melacurkan dirimu. Kau milikku sekarang."
"Tentu, Niki. Aku juga mencintaimu."
Veritos terus-menerus memanjakan pemuda itu dengan hadiah-hadiah. Ia membiayai keper-luan sandangnya, menyevvakan apartemen kecil untuknya dan memberinya uang saku. Tapi ia
218 terus cerewet mencurigai apa yang dilakukan Lato kalau ia sedang tidak bersamanya.
Veritos menanggulangi masalah ini pada suatu hari dengan mengatakan, "Aku telah men-dapatkari pekerjaan buat kau di perusahaan Spyros Lambrou, di mana aku bekerja."
"Supaya kau bisa mengawasi aku terus, ya" Aku tidak mau?"
"Tentu saja bukan karena itu, sweetheart. Aku cuma ingin kau selalu berada di dekatku."
Georgios Lato memprotes pada mulanya, tapi akhirnya ia menyerah. Ternyata ia mendapati bahwa ia senang juga bekerja di perusahaan itu. Ia bekerja di bagian ekspedisi, sekaligus sebagai kurir, dan itu membuatnya bisa memperoleh tambahan penghasilan di luar, dari klien-klien yang suka kepadanya seperti Father Konstantinou itu.
Saat Georgios Lato meninggalkan tempat tidur Father Konstantinou sore itu, pikirannya kacau. Rahasia yang dipercayakan pastor itu kepadanya merupakan sebuah berita yang mence-ngangkan, dan langsung benaknya bekerja untuk memikirkan bagaimana ia bisa memperoleh uang dari hal itu. Ia bisa menyampaikan berita itu kepada Nikos Veritos, tapi ia mempunyai rencana yang lebih besar. Aku akan langsung menyampaikannya pada big boss, kata Lato pada dirinya sendiri. Di sanalah akan kudapatkan imbalan yang sepatutnya.
219 Paginya, Lato melangkah masuk ke dalam kantor reception Spyros Lambrou.
Sekretaris di belakang meja tulis mendongak. "Oh. Kiriman suratnya pagi benar hari ini, Georgios."
Georgios Lato menggelengkan kepala. "Bukan, ma"am. Saya perlu menjumpai Mr Lambrou."
Ia tersenyum. "O, ya" Anda mau bertemu untuk urusan apa" Anda punya usulan bisnis untuk dia?" ia menggoda.
Lato berkata dengan serius, "Bukan, bukan itu. Saya baru saja mendapat berita bahwa ibu saya sakit keras, dan saya" saya harus segera pulang. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada Mr Lambrou karena telah memberikan pekerjaan kepada saya di sini. Hanya sebentar sekali, tapi jika ia terlalu sibuk?" Ia
bergerak untuk pergi. "Tunggu. Saya yakin ia tidak berkeberatan."
Sepuluh menit kemudian, Georgios Lato berdiri di kantor Spyros Lambrou. Belum pernah ia masuk ke tempat itu sebelumnya, dan ia tercekam oleh kemewahan di situ.
"Yah, anak muda. Aku ikut sedih mendengar
ibumu sakit keras. Barangkali sedikit bonus dariku akan?"
"Terima kasih, sir. Tapi sebenarnya saya berada di sini bukan karena itu."
Lambrou mengerutkan dahi kepadanya. "Aku
tidak mengerti." 220 "Mr Lambrou, saya punya informasi penting yang mungkin akan berharga bagi Anda."
Ia bisa melihat ekspresi wajah Lambrou yang skeptis. "Oh, ya" Aku kuatir aku agak sibuk, jadi jika kau?"
"Ini tentang Constantin Demiris." Kata-kata itu meluncur dari mulutnya. "Saya punya teman baik, seorang pastor. Ia menerima pengakuan dosa dari seseorang yang terbunuh langsung setelah itu dalam suatu kecelakaan mobil, dan apa yang telah disampaikan orang itu adalah tentang Constantin Demiris. Mr Demiris telah melakukan sesuatu yang amat jahat. Benar-benar jahat. Ia bisa dipenjara karena perbuatannya itu. Tapi jika Anda tidak tertarik?"
Spyros Lambrou tiba-tiba merasa amat tertarik. "Duduklah" siapa namamu?"
"Lato, sir. Georgios Lato."
"Baiklah, Lato. Bagaimana kalau kau mulai dari awal?"
Pernikahan Constantin Demiris dan Melina me-mang sudah retak selama bertahun-tahun, tapi belum pernah ada kekerasan fisik sampai belum lama berselang ini.


Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mulainya adalah di tengah perdebatan sengit mengenai affair Constantin Demiris dengan teman Melina yang paling karib.
"Kau mengubah semua wanita menjadi pelacur," Melina berteriak. "Semua yang kausentuh menjadi kotor."
221 "Skaseh! Tutup mulutmu yang kotor itu."
"Tak akan," kata Melina menantang. "Aku akan mengumumkan kepada dunia kau benar-benar pousti. Kakakku benar. Kau memang monster."
Demiris mengangkat tangannya dan menampar Melina dengan keras di wajahnya. Ia lari ke luar kamar itu.
Minggu berikutnya mereka bertengkar lagi, dan Constantin memukulnya lagi. Melina me-ngemasi barang-barangnya dan naik pesawat menuju ke Atticos, pulau pribadi kakaknya. Ia tinggal di situ selama seminggu, menderita dan kesepian. Ia rindu kepada suaminya, dan ia mulai merenung-renung mencoba memahami apa yang telah dilakukan suaminya itu.
Akulah yang salah, pikir Melina. Seharusnya aku jangan menentang Costa. Dan: la tidak bermaksud memukulku. Ia hanya lupa diri dan tidak sadar akan apa yang dilakukannya. Dan: Seandainya Costa tidak mencintaiku, ia tidak akan sampai memukulku, bukan"
Tapi pada akhirnya, Melina sadar bahwa semua itu hanya dalih, karena sebenarnya ia tidak akan sanggup melakukan perceraian. Hari Minggu berikutnya ia pulang ke rumah.
Demiris sedang berada di perpustakaan.
Ia mendongakkan kepalanya ketika Melina masuk. "Jadi kau memutuskan untuk kembali."
"Ini rumahku, Costa. Kau suamiku, dan aku mencintaimu. Tapi aku ingin mengatakan satu
222 hal kepadamu. Jika berani kausentuh aku lagi, aku akan membunuhmu."
Demiris memandang matanya dan ia tahu bahwa wanita itu bersungguh-sungguh.
Anehnya, pernikahan mereka tampaknya menjadi lebih baik setelah kejadian lebih baik setelah itu, Constantin berhati-hati untuk sela-lu mengendalikan diri jika menghadapi Melina. Ia masih terus dengan affair-affair-nya, namun Melina terlalu angkuh untuk membujuknya agar menghentikan itu. Satu saat nanti ia akan bosan dengan semua pelacur-nya, pikir Melina, dan ia akan sadar bahwa ia hanya membutuhkan diriku.
Pada suatu malam Minggu, Constantin Demiris sedang mengenakan jas untuk makan malam, bersiap-siap untuk keluar. Melina masuk ke kamar.
"Kau mau ke mana?" "Aku ada janji."
"Apa kau sudah lupa" Kita akan makan malam di tempat Spyros malam ini."
"Aku tidak lupa. Aku punya urusan yang lebih penting."
Melina berdiri di situ memandangnya, sangat marah. "Dan aku tahu urusan apa"poulaki" mu itu! Dan kau akan pergi ke salah satu sun-dalmu untuk memuaskannya."
"Kau lebih baik meniaga mulutmu. Kau seka"
223 rang sudah jadi istri yang nyinyir, Melina." Demiris memantas diri di depan kaca.
"Aku tidak akan membiarkan ini!" Apa yang dilakukan Demiris terhadapnya sudah cukup menyakitkan, tapi dengan sengaja menghina kakaknya di samping semua yang telah terjadi adalah sesuatu yang sudah keterlaluan. Ia harus menemukan cara untuk menyakitinya, dan hanya ada satu cara yang diketahuinya. "Kita ber-dua seharusnya tinggal di rumah malam ini,"
kata Melina. "Oh, ya?" tanyanya dengan tak acuh. "Kenapa?"
"Kau tidak tahu ini hari apa?" ia mengusik
Demiris. "Tidak."
"Ini adalah hari peringatan aku membunuh anak laki-lakimu, Costa. Aku dulu minta di-gugurkan."
Ia berdiri terpaku di situ, dan Melina bisa melihat pupil matanya berubah jadi gelap.
"Aku minta dokter melakukan operasi supaya aku tidak akan pernah bisa mengandung anak-anakmu lagi," ia berdusta.
Demiris sepenuhnya lepas kendali. "Skaseh!" Dan ia meninju wajahnya dan terus memukul.
Melina menjerit dan berbalik dan lari menyusuri koridor, Constantin mengejar di belakangnya.
Ia menangkap Melina di puncak tangga. "Aku akan membunuhmu untuk itu," sua"
224 ranya menggelegar. Ketika ia memukulnya lagi, Melina hilang keseimbangan dan terjatuh, berguling-guling turun tangga yang panjang itu.
Ia terbujur di dasar tangga, meratap kesakitan. "Oh, Tuhan. Tolong aku. Ada yang pa-tah."
Demiris berdiri di situ, menatap ke bawah ke arahnya, sinar matanya dingin.
"Aku akan menyuruh pembantu memanggil dokter. Aku tidak mau terlambat memenuhi janjiku."
Telepon berdering beberapa saat sebelum makan malam.
"Mr Lambrou" Ini Dr. Metaxis. Adik perempuan Anda minta saya menghubungi Anda. Ia berada di sini di rumah sakit pribadi saya. Rupanya ia baru saja mengalami kecelakaan?"
Ketika Spyros Lambrou memasuki kamar Melina di rumah sakit itu, ia. menghampiri tempat tidurnya, dan menatapnya, merasa ngeri. Melina mengalami patah tangan, gegar otak, dan wajahnya bengkak parah.
Spyros Lambrou mengucapkan satu kata, "Constantin." Suaranya bergetar karena murka.
Mata Melina basah dengan air mata. "Ia tidak sengaja," bisiknya.
"Aku akan menghancurkannya. Aku bersumpah demi hidupku." Spyros Lambrou belum pernah merasakan kemurkaan seperti ini.
Ia tak sanggup membayangkan apa yang se"
225 dang dilakukan Constantin Demiris terhadap Melina. Harus ada cara untuk menghentikan dia, tapi bagaimana" Ia tak tahu. Ia memerlukan petunjuk. Seperti yang dulu sering dilakukannya, Spyros Lambrou memutuskan untuk bertanya kepada Madame Piris. Barangkali wanita itu punya cara untuk membantunya.
Dalam perjalanan untuk mengunjungi wanita itu, Lambrou berpikir dengan masam, Teman-temanku akan menertawaiku jika mereka tahu aku berkonsultasi dengan seorang dukun. Tapi nyatanya dulu, Madame Piris mengatakan kepadanya hal-hal yang luar biasa yang ternyata benar terjadi. Ia harus menolongku sekarang.
Mereka duduk di hadapan sebuah meja di po-jok gelap cafe remang-remang itu. Madame Piris nampak lebih tua daripada waktu terakhir ia menemuinya. Wanita itu duduk di situ, matanya menatapnya dengan tak berkedip.
"Saya perlu bantuan, Madame Piris," kata
Lambrou. Ia mengangguk. Dari mana harus mulai" "Ada suatu peradilan kasus pembunuhan sekitar satu setengah tahun yang lalu. Seorang wanita bernama Catherine
Douglas telah di?" Ekspresi wajah Madame Piris berubah. "Tidak," ia mengerang.
226 Spyros Lambrou menatapnya, kebingungan. "Ia dibunuh oleh?"
Madame Piris bangkit berdiri. "Tidak! Para arwah mengatakan kepada saya ia akan mati!"
Spyros Lambrou benar-benar bingung. "Ia me-mang sudah mati," katanya. "Ia dibunuh oleh?"
"Ia masih hidup!"
Sekarang Lambrou benar-benar tidak mengerti. "Itu tidak mungkin."
"Ia datang ke sini. Ia datang menjumpaiku tiga bulan yang lalu. Mereka telah menyembunyikan dia di biara."
Lambrou menatap wanita itu, terpaku. Dan tiba-tiba segala sesuatu menjadi jelas. Mereka menyembunyikan dia di biara. Salah satu aksi amal favorit Demiris adalah menyumbang uang kepada biara di Ioannina, kota kecil di mana Catherine Douglas disangka dibunuh. Informasi yang diterima Spyros dari Georgios Lato sangat cocok. Demiris telah mengirim dua orang yang tak bersalah ke ajalnya dengan dakwaan membunuh Catherine, padahal ia masih hidup, disembunyikan oleh para biarawati.
Dan Lambrou tahu bagaimana caranya menghancurkan Constantin Demiris. Tony Rizzoli.
227 Bab 11 Masalah-masalah Tony Rizzoli makin bertumpuk. Semua yang bisa salah menjadi benar-benar salah. Yang telah terjadi sebetulnya bukan kesalahannya, tapi ia tahu bahwa the Family akan menganggapnya bertanggung jawab. Mereka tidak bisa mentolerir alasan-alasan.
Yang lebih-lebih membuatnya frustrasi adalah bahwa bagian pertama dari operasi obat bius itu berjalan dengan sempurna. Ia telah berhasil menyelundupkan kiriman itu ke Athena tanpa kesulitan dan telah menyimpannya untuk sementara dalam sebuah gudang. Ia telah me-nyuap seorang pramugara udara untuk mau menyelundupkannya ke dalam pesawat dari Athena ke New York. Lalu, hanya dua puluh empat jam sebelum penerbangan, si tolol itu ditangkap karena mengendarai mobil dalam keadaan mabuk, dan perusahaan penerbangan memecatnya.
Tony Rizzoli lalu mengubah rencananya. Ia telah berhasil mengatur seorang mule (tukang antar narkotik)"yaitu seorang turis berumur tu"
228 juh puluh tahun bernama Sara Murchison yang sedang mengunjungi putrinya di Athena"untuk membawa sebuah koper balik ke New York untuknya. Wanita itu tidak sadar apa yang sebenarnya akan dibawanya.
"Itu berisi sedikit cendera mata yang sudah saya janjikan kepada ibu saya untuk dikirim-kan," Tony Rizzoli menjelaskan, "dan karena Anda sangat baik hati mau melakukan ini, saya ingin membayar tiket pesawat Anda."
"Oh, itu tidak perlu," Sara Murchison memprotes. "Saya senang melakukannya untuk Anda. Saya tinggal tidak jauh dari apartemen ibu Anda. Saya berharap bisa jumpa dengannya."
"Dan saya yakin ia akan senang bertemu dengan Anda juga," kata Tony Rizzoli dengan lan-car. "Masalahnya, ia sakit. Tapi akan ada orang di sana yang akan menjemput koper itu."
Ia pas sekali untuk melakukan hal itu"seorang nenek yang manis perilakunya dan seratus persen Amerika. Satu-satunya hal yang perlu dicemaskan oleh pabean mengenai dirinya vaitu kalau ia menyelundupkan jarum-jarum ra-jut.
Sara Murchison akan berangkat ke New York di pagi berikutnya.
"Saya akan menjemput Anda dan mengantarkan Anda ke bandara."
"Wan, terima kasih. Anda benar-benar anak muda yang penuh perhatian. Ibu Anda pasti sangat bangga akan diri Anda."
229 "Ya. Kami memang sangat dekat." Ibunya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.
Pagi berikutnya, saat Rizzoli akan meninggalkan hotelnya menuju ke gudang untuk mengambil paket itu, teleponnya berdering.
"Mr Rizzoli?" Suara itu asing.
"Ya?" "Ini Dr. Patsaka dari Ruang Darurat Rumah Sakit Athena. Di sini ada Mrs Sara Murchison. Ia tersandung dan jatuh tadi malam dan tulang pinggulnya retak. Dia mendesak saya untuk memberitahu Anda bahwa ia sangat menyesal?"
Tony Rizzoli membanting gagang telepon itu. "Merda!" Jadi sudah dua kejadian berturut-turut. Di mana ia bisa mendapatkan mule yang lain"
Rizzoli tahu ia harus berhati-hati. Ada desas-desus bahwa seorang agen anti-narkotik Amerika yang andal sedang berada di Athena bekerja sama dengan para pejabat Yunani. Mereka mengawasi semua perjalanan ke luar Athena, dan pesawat serta kapal semuanya diperiksa
secara rutin. Seperti masih belum cukup saja, ada lagi satu masalah. Salah satu gowster-nya"maling yang pecandu narkotik"telah memberikan informasi bahwa polisi sedang mulai memeriksa gudang-gudang, mencari obat bius dan barang terlarang lainnya. Tekanan bertubi-tubi. Sudah waktunya untuk menjelaskan situasi ini kepada the Fami-230
Tony Rizzoli meninggalkan hotelnya dan berjalan menyusuri Jalan Patission menuju ke Pusat Telepon Kota. Ia tidak yakin apakah telepon hotelnya disadap, tapi ia tidak ingin mengambil risiko.
Bangunan beton di Jalan Patission Nomor 85 itu besar, berwarna coklat, dengan sederet pilar di bagian depan, dan sebuah pelat logam yang bertuliskan: O.T.E. Rizzoli berjalan ke pintu ma-suknya dan melihat ke sekelilingnya. Dua lusin booth telepon berderet sepanjang dinding-din-dingnya, setiap booth diberi nomor. Rak-rak penuh dengan buku petunjuk telepon dari seluruh dunia. Di tengah ruang itu terdapat sebuah me-ja di mana empat orang petugas melayani pe-sanan hubungan telepon. Orang antre menunggu untuk dihubungkan.
Tony Rizzoli mendekati salah satu wanita di belakang meja itu. "Selamat pagi," katanya.
"Boleh saya bantu?"
"Saya mau menelepon ke luar negeri."
"Barangkali harus menunggu tiga puluh me-nit."
"Tidak apa-apa."
"Tolong sebutkan nama negara dan nomornya."
Tony Rizzoli ragu-ragu. "Tentu." Ia menyerahkan secarik kertas kepada wanita itu. "Telepon ini dibayar penerima."
"Nama Anda?" "Brown. Tom Brown."
231 "Baiklah, Mr Brown. Saya akan memanggil Anda jika sudah tersambung." "Terima kasih."
Ia lalu berjalan menghampiri salah satu bang-ku di seberang ruang itu, dan duduk di situ. Aku bisa mencoba menyembunyikan bungkusan itu dalam sebuah mobil, dan mcmbayar orang untuk mengemudikannya melewati perbatasan. Tapi itu berbahaya; mobil-mobil digeledah. Barangkali kalau aku bisa mencari orang lain"
"Mr Brown" Mr Tom Brown?" Nama itu diulang dua kali sebelum Rizzoli sadar bahwa itu untuk dia. Ia bangkit dan bergegas menuju ke meja.
"Rekan Anda sudah menerima panggilan itu. Booth nomor tujuh, silakan."
"Terima kasih. O, ya, apa boleh saya minta kembali kertas yang tadi saya berikan kepada Anda" Saya perlu lagi nomornya."
"Tentu." Wanita itu mengembalikan potongan
kertas itu. Tony Rizzoli memasuki Booth tujuh dan menu tup pintunya. "Hello."
"Tony" Kaukah itu?"
"Yeah. Apa kabar, Pete?"
"Terus terang saja, kami agak kuatir, Tony. Anak-anak berharap bahwa kiriman itu sudah dalam perjalanan saat ini."
"Ada beberapa masalah."
"Apa barangnya sudah dikirim?"
232 "Belum. Masih ada di sini."
Hening sejenak. "Kami tidak mau sampai terjadi apa-apa dengannya, Tony."
"Tak akan terjadi apa-apa dengannya. Aku cuma perlu mencari jalan lain untuk mengeluarkannya dari sini. Agen-agen anti-narkotika sialan itu ada di mana-mana."
"Yang kita bicarakan ini meliputi sepuluh juta dolar, Tony."
"Aku tahu. Jangan kuatir, aku akan mencari jalan."
"Lakukan itu, Tony. Carilah jalan." Hubungan terputus.
Seorang laki-laki yang mengenakan setelan abu-abu memperhatikan ketika Tony Rizzoli berjalan menuju ke pintu keluar. Laki-laki itu menghampiri wanita yang di belakang meja.
"Signomi. Anda lihat laki-laki yang baru saja keluar itu?"
Wanita itu mendongak. "Ochi?"
"Saya mau tahu nomor berapa yang ditele-ponnya tadi."
"Maafkan saya. Kami tidak boleh memberikan keterangan seperti itu."
Laki-laki itu meraih saku belakang celananya dan mengeluarkan sebuah dompet. Nampak se- " buah periscfi emas kecil terpasang padanya. "Po-lisi. Saya Inspektur Tinou."
Ekspresi wajah wanita itu berubah. "Oh. Dia
233 tadi memberikan secarik kertas yang berisi nomor itu, tapi lalu dimintanya lagi."
"Tapi Anda membuat salinan untuk catatan
Anda?" "Oh, ya, kami selalu berbuat begitu." "Boleh saya minta nomor itu?" "Tentu saja."
Ia lalu menuliskan sebuah nomor pada secarik kertas dan memberikannya kepada sang inspektur. Inspektur itu mempelajarinya sebentar. Kode negaranya 39, dan kode kotanya 91.
Italia. Palermo. "Terima kasih. Apa sekiranya Anda masih ingat nama apa yang diberikan orang itu?"
"Ya. Namanya Brown. Tom Brown."
Pembicaraan telepon tadi telah membuat Tony Rizzoli tegang. Ia rasanya ingin ke kamar kecil. Sialan Pete Lucca! Di depan, di pojok Kolonaki Square, Rizzoli melihat tulisan: Apohoritirion, WC. Baik pria maupun wanita berjalan lewat pintu masuk itu untuk menggunakan fasilitas yang sama. Dan orang Yunani menganggap dirinya berbudaya, pikir Rizzoli. Menjijikkan.
Ada empat orang yang duduk mengitari meja konferensi di vila di pegunungan di atas Palermo.
"Barangnya mestinya sudah dikirim saat ini, Pete," salah satu mengeluh. "Masalahnya apa?"
234 "Aku tidak pasti. Masalahnya mungkin Tony Rizzoli."
"Kita tidak pernah punya masalah dengan Tony sebelum ini."
"Aku tahu"tapi terkadang orang bisa jadi serakah. Kurasa sebaiknya kita kirim seseorang ke Athena untuk mengecek."
"Sayang. Aku selalu menyukai Tony."
Di Jalan Stadiou Nomor 10, markas besar polisi di pusat kota Athena, sedang berlangsung rapat. Di dalam ruangan ada Kepala Polisi Livreri Dmitri, Inspektur Tinou, dan seorang Amerika, Letnan Walt Kelly, agen dari Divisi Pabean De-par temen Keuangan Amerika.
"Kami mendapat info," kata Kelly, "bahwa transaksi obat bius yang besar akan berlangsung. Barangnya akan dikirim keluar melalui Athena. Tony Rizzoli terlibat."
Inspektur Tinou duduk diam. Angkatan kepolisian Yunani tidak senang dengan adanya campur tangan negara lain dalam urusan intern-nya. Khususnya Amerika. Mereka selalu toosou, begitu yakin bahwa dirinya benar.
Kepala polisi itu angkat bicara. "Kami sedang menanganinya, Letnan. Tony Rizzoli baru saja melakukan pembicaraan telepon dengan Palermo. Kami sedang melacak nomornya sekarang. Kalau kami menemukannya, berarti kami menemukan sumbernya."
235 Telepon di meja tulisnya berdering. Dmitri dan Inspektur Tinou berpandangan.
Inspektur Tinou mengangkat telepon. "Kau-dapatkan itu?" Ia menyimak sebentar, wajahnya tanpa ekspresi, lalu gagang telepon diletakkan"
nya. "Bagaimana?" "Mereka telah melacak nomor itu." "Dan?"
"Telepon itu ternyata ditujukan kepada telepon umum di lapangan kota." "Gamoto!"
"Mr Rizzoli kita ini sangat ineh eksipnos."
Walt Kelly berkata dengan tidak sabar, "Saya tidak bisa bahasa Yunani."
"Maaf, Letnan. Artinya ia licin."
Kelly berkata, "Saya ingin Anda meningkatkan pengawasan atas dirinya."
Sungguh sombong orang ini. Kepala Polisi Dmitri menoleh ke Inspektur Tinou. "Kita sebenarnya tidak punya cukup bukti untuk bisa bertindak lebih dari ini, bukan?"
"Betul, sir. Hanya dugaan-dugaan kuat saja."
Kepala Polisi Dmitri menoleh kepada Walt Kelly. "Saya kira saya tak dapat menyediakan cukup banyak orang untuk mengawasi setiap orang yang kita curigai ikut terlibat dalam masalah narkotika." "Tapi Rizzoli?"
"Saya yakinkan Anda, kami punya sumber-sumber sendiri, Mr Kelly. Kalau nanti kami
236 memperoleh info-info lebih jauh, kami tahu di mana harus menghubungi Anda."
Walt Kelly menatapnya dengan kecewa. "Jangan menunggu terlalu lama," katanya. "Nanti kiriman itu telanjur lolos."
Vila di Rafina sudah siap. Agen penjualan mengatakan kepada Constantin Demiris, "Saya tahu Anda membelinya termasuk perabotan, tapi kalau saya boleh mengusulkan sejumlah perabot baru?"
"Tidak. Saya mau semuanya tetap persis sama seperti ini."
Persis sama seperti itu saat Noelle-nya yang tidak setia dan kekasihnya, Larry, berada di situ mengkhianati dirinya. Ia berjalan melewati ruang duduk. Apakah mereka bercinta di sini di te-ngah-tengah lantai" Di ruang kerja" Di dapur" Demiris memasuki kamar tidur. Ada tempat tidur besar di pojok. Tempat tidur mereka. Di mana Douglas membelai tubuh Noelle yang telanjang, di mana ia mencuri apa yang menjadi milik Demiris. Douglas sudah membayar pengkhia-natannya itu dan kini ia akan membayar lagi. Demiris memandang tempat tidur itu. Aku akan bercinta dengan Catherine di sini pcrtama-tama, pikir Demiris. Setelah itu ruang-ruang lainnya. Semuanya. Ia menelepon Catherine dari vila itu.
"Hello." "Aku sedang memikirkan dirimu."
237 Tony Rizzoli kedatangan dua tamu yang tak disangka dari Sicilia. Mereka masuk saja ke kamar hotelnya tanpa permisi, dan Rizzoli langsung mencium adanya bahaya. Alfredo Mancuso berperawakan besar. Gino Laveri lebih besar lagi.
Mancuso langsung ke pokok persoalan. "Pete Lucca mengirim kami."
Rizzoli berusaha nampak biasa-biasa saja. "Ba-gus. Selamat datang di Athena. Apa yang bisa saya bantu?"
"Kau tidak perlu berbasa-basi, Rizzoli," kata Mancuso. "Pete ingin tahu kau sedang melakukan permainan apa."
"Permainan" Kau ini bicara apa" Sudah kujelaskan padanya aku punya sedikit masalah."
"Karena itulah kami ada di sini. Untuk membantumu mengatasinya."
"Tunggu dulu, kawan-kawan," Rizzoli memprotes. "Barang itu sudah kusimpan di gudang, cukup aman. Ketika?"
"Pete tidak mau barang itu disimpan. Ia telah menanam banyak uang untuk itu." Laveri menempelkan tinjunya di dada Rizzoli, dan mendorongnya duduk di sebuah kursi. "Mari kujelaskan kepadamu, Rizzoli. Seandainya barang itu sekarang sudah berada di jalan-jalan New York seperti yang direncanakan, Pete sudah bisa memungut uang, menukarnya, dan memanfaat-kannya lagi di jalan-jalan. Kau tahu maksudku?"
238 Aku mungkin bisa mengalahkan kedua gorila ini, pikir Rizzoli. Tapi ia tahu ia tidak akan berkelahi dengan mereka; itu artinya ia akan menghadapi Pete Lucca.
"Tentu, aku mengerti sepenuhnya apa yang kaukatakan itu," kata Rizzoli menenangkan. "Tapi sekarang ini tidak semudah dulu. Polisi Yunani tersebar di mana-mana, dan mereka men-datangkan agen anti-narkotika dari Washington. Aku punya rencana?"
"Pete juga punya rencana," tukas Laveri. "Kau tahu apa rencananya itu" Ia berpesan, kalau barangnya belum dikirim juga minggu depan, kau harus mengadakan uangnya dengan usa-hamu sendiri."
"Hey!" Rizzoli memprotes. "Aku tidak punya uang sebanyak itu. Aku?"
"Pete juga berpikir mungkin kau tak punya. Jadi dia menyuruh kami mencari cara-cara lain untuk membuatmu membayar.?"
Tony Rizzoli menarik napas panjang. "Okay. Bilang padanya semuanya pasti beres."
"Baik. Sementara itu kami akan tetap di sini. Kau punya waktu satu minggu."
Tony Rizzoli membuat aturan bagi dirinya sendiri untuk tidak minum sebelum tengah hari, tapi ketika kedua orang itu telah pergi, ia membuka sebotol Scotch dan meneguk banyak-ba-nyak dua kali. Ia merasakan hangatnya Scotch itu mengaliri tubuhnya, tapi itu tidak menolong.
239 Tak ada yang bisa menolong, pikirnya. Bagaimana bisa orang tua itu jadi begitu terhadapku" Aku ini sudah seperti putranya sendiri, tapi ia cuma memberikan waktu seminggu untuk mencari jalan keluar. Aku perlu seorang mule, segera. Di kasino, ia memutuskan. Aku akan menemukan mule di sana.
Jam sepuluh malam, Rizzoli naik mobil ke Lou-traki, kasino terkenal lima puluh mil di sebelah barat Athena. Ia berjalan-jalan berkeliling ruang judi yang luas dan riuh rendah itu, menyaksikan semua yang terjadi. Selalu ada banyak orang yang kalah, yang mau melakukan apa saja untuk memperoleh tambahan uang judi. Makin putus asa dia, makin gampang dia di-jadikan mangsa. Rizzoli mendapatkan apa yang dicarinya dengan segera, di sebuah meja rolet. Ia seorang laki-laki kecil dan berdada menonjol ke depan seperti burung, rambut kelabu, umur lima puluhan, dan terus-terusan menepuk dahinya dengan saputangan. Makin banyak ke-kalahannya, makin banyak ia berkeringat.
Rizzoli mengawasi dia dengan penuh perhatian. Ia telah pernah melihat gejala-gejala seperti ini sebelumnya. Ini contoh klasik dari seorang penjudi yang kalah lebih dari yang sanggup ditanggungnya.
Ketika chip di depan orang itu sudah habis, ia berkata kepada bandar, "Saya" saya minta lagi setumpuk chip."
Bandar itu menoleh kepada pengawas meja.
240 "Berikan padanya. Untuk yang terakhir kali." Tony Rizzoli tidak tahu berapa yang sudah dikuras dari si korban. Ia duduk di sebelah laki-laki itu, dan ikut main. Rolet adalah permainan yang menguras uang, tapi Rizzoli tahu caranya mengendalikan permainan ini, dan tumpukan chip-nya bertambah sementara punya orang di sebelahnya terus berkurang. Orang yang kalah itu dengan panik menyebar chip-nya di seluruh meja, main nomor, main warna, dan bahkan main ganjil-genap. Benar-benar dia tidak tahu harus bagaimana, pikir Rizzoli.
Chip terakhir akhirnya raib pula. Orang asing itu duduk di situ, terdiam kelu.
Ia mendongak ke arah bandar dengan penuh harap. "Apa bisa?"" Bandar itu menggelengkan kepala. "Sony." Laki-laki itu menarik napas, dan bangkit berdiri.
Rizzoli bangkit pada saat bersamaan. "Sa-yang," katanya dengan simpatik. "Saya agak beruntung. Mari saya traktir Anda minum."
Laki-laki itu mengedip-ngedipkan matanya. Suaranya gemetar. "Anda baik sekali, sir."
Telah kudapat mule itu, pikir Rizzoli. Laki-laki itu jelas perlu uang. Ia pasti mau jika ditawari untuk membawa sebuah paket biasa ke New York dengan upah seratus dolar atau berapa, sekalian pesiar ke Amerika dengan gratis.
"Nama saya Tony Rizzoli."
"Victor Korontzis."
241 Rizzoli membawa Korontzis ke bar. "Anda mau minum apa?"
"Saya" rasanya saya tak punya uang lagi."
Tony Rizzoli melambaikan tangannya. "Jangan kuatir tentang itu."
"Kalau begitu saya mau retsina saja, terima kasih."
Rizzoli menoleh kepada pelayan. "Dan satu
Chivas Regal pakai es."
"Anda berada di sini sebagai turis?" Korontzis
bertanya dengan sopan. "Ya," Rizzoli menjawab. "Saya sedang berlibur. Ini negeri yang indah."
Korontzis mengangkat bahu. "Saya kira begitu."
"Anda tidak senang di sini?"
"Oh, memang benar indah. Cuma semuanya sekarang mahal. Maksud saya, semua harga naik. Kecuali bila Anda seorang milyuner, cukup berat menanggung biaya makanan, terutama kalau Anda punya istri dan empat anak." Nada suaranya terdengar pahit.
Makin lama makin baik bagiku. "Pekerjaan Anda apa, Victor?" Rizzoli bertanya seakan biasa-biasa saja.
"Saya kurator di Museum Negara Athena."
"Yeah" Apa yang dilakukan seorang kurator?"
Secercah nada bangga terpancar dalam suara Korontzis. "Saya mengurus semua barang antik yang digali dari tanah Yunani ini." Ia meneguk minumannya. "Well, tentu saja tidak semuanya.
242 Kami punya museum-museum lain. The Acropolis, dan National Archaeological Museum. Tapi museum kamilah yang koleksi benda-benda kunonya paling berharga."
Tony Rizzoli mendapati dirinya makin tertarik. "Seberapa berharganya?"
Victor Korontzis mengangkat bahu. "Kebanyakan benda itu tak bisa diukur nilainya. Tentu saja ada undang-undang yang melarang membawa benda-benda antik itu ke luar negeri. Tapi kami punya toko kecil di museum yang menjual tiruan-tiruannya."
Benak Rizzoli mulai berputar keras. "Benar begitu" Seberapa baguskah tiruan-tiruan itu?"
"Oh, bagus sekali. Hanya seorang ahli yang bisa membedakan antara yang tiruan dan yang asli."
"Mari saya belikan Anda minuman lagi," kata Rizzoli.
"Terima kasih. Anda baik sekali. Maaf saya tidak bisa membalas kebaikan Anda ini."
Rizzoli tersenyum. "Jangan pikirkan itu. Sebenarnya, ada sesuatu yang bisa Anda lakukan untuk saya. Saya ingin melihat-lihat museum Anda. Kedengarannya amat memikat."
"Oh, memang benar." Korontzis meyakinkan dia dengan penuh semangat. "Salah satu museum yang paling menarik di dunia. Saya senang sekali kalau bisa membawa Anda berkeliling kapan saja. Kapan Anda punya waktu?"
"Bagaimana kalau besok pagi-pagi?"
243 Tony Rizzoli punya perasaan bahwa ia sedang menangani sesuatu yang malahan lebih menguntungkan daripada seorang mule saja.
Museum Negara Athena terletak di cabang jalan Platia Syntagma, di jantung kota Athena. Museum itu sendiri merupakan bangunan cantik yang dibangun dalam gaya sebuah kuil kuno, dengan empat pilar Ionian di bagian depannya, sebuah bendera Yunani berkibar di atasnya, dan empat sosok patung pahatan di atapnya yang paling atas. Di dalamnya, ruangan-ruangan besar dari marmer itu penuh dengan benda-benda antik dari berbagai zaman dalam sejarah Yunani, dan ruang-ruang kecilnya penuh dengan peti-peti berisi benda-benda bersejarah dan benda-benda antik. Ada cangkir-cangkir emas dan mahkota-mahkota emas, pedang-pedang berta-tah manikam dan cawan-cawan untuk upacara. Satu peti berisi empat topeng jenazah, dan peti lainnya, pecahan-pecahan patung tua yang berabad-abad umurnya.
Victor Korontzis memberikan kepada Tony layanan tour pribadi. Korontzis berhenti di depan sebuah peti yang berisi patung seorang de-wi bermahkota bunga-bunga opium. "Ini dewi opium," ia menjelaskan dengan suara berbisik. "Mahkota itu merupakan lambang bagi fung-sinya, yaitu pembawa tidur, mimpi, wahyu dan kematian."
"Nilainya kira-kira berapa?"
244 Korontzis tertawa. "Seandainya dijual" Ber-juta-juta." "Oh, ya?"
Kurator bertubuh kecil itu jelas sekali tampak bangga selagi dia berjalan berkeliling menunjukkan hartanya yang tak ternilai itu. "Ini kepala kouros, lima ratus tiga puluh sebelum Masehi" ini kepala Dewa Athena dengan helm Corinthian, tahun empat belas lima puluh sebelum Masehi" dan ini benda yang luar biasa. Topeng emas seorang Achaea dari makam raja-raja Acropolis of Mycenae, abad keenam belas sebelum Masehi. Orang percaya bahwa ia adalah Agamemnon."
"Wan!" Ia membawa Tony Rizzoli ke sebuah peti lain. Di dalamnya terdapat sebuah kendi yang teramat anggun.
"Ini salah satu favorit saya," Korontzis mengaku, wajahnya berbinar. "Saya tahu orangtua tidak boleh punya anak emas, tapi saya tidak bisa. Kendi antik ini?"
"Bagi saya nampaknya seperti vas biasa."
"Er-ya. Kendi ini diketemukan dalam ruang takhta waktu dilakukan penggalian di Knossos. Anda bisa melihat ukirannya menggambarkan penangkapan banteng dengan jala. Di zaman kuno, tentu saja, mereka menangkap banteng dengan jala supaya darahnya yang dikeramat-kan tidak tercecer, sehingga?"
245 "Berapa nilainya?" Rizzoli memotong bicaranya.
"Saya kira sekitar sepuluh juta dolar."


Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tony Rizzoli mengerutkan dahi. "Untuk ben-da seperti itu?"
"Memang! Anda mesti ingat, benda itu berasal dari zaman Minoa Akhir, sekitar seribu lima ratus sebelum Masehi."
Tony melihat-lihat puluhan kotak kaca yang penuh dengan benda-benda kuno. "Apakah semua benda ini sangat berharga?"
"Oh my, tidak. Hanya yang benar-benar antik saja. Benda-benda seperti itu tidak dapat diganti, tentu saja, dan memberikan kepada kita petunjuk tentang bagaimana peradaban-peradaban kuno dulu berjalan. Mari saya tunjukkan sesuatu kepada Anda di sebelah sini."
Tony mengikuti Korontzis masuk ke ruang lain. Mereka berhenti di depan sebuah peti di
pojok ruangan. Victor Korontzis menunjuk sebuah vas. "Ini salah satu harta kami yang paling berharga. Ini merupakan salah satu contoh paling dini dari pelambangan fonetik. Lingkaran dengan tanda silang yang Anda lihat itu adalah huruf Ka. Lingkaran bertanda silang itu adalah salah satu bentuk paling dini yang dituliskan manusia untuk menyatakan kosmos. Hanya ada?"
Siapa yang peduli itu! "Berapa harganya?" Tony mendesak.
246 Korontzis menarik napas. "Sebesar uang te-busan raja."
Ketika Tony Rizzoli meninggalkan museum di pagi itu, ia menghitung-hitung kekayaan yang lebih besar daripada yang pernah dibayangkannya dalam mimpi-mimpinya yang paling hebat. Hanya karena mujur saja, ia tersandung sebuah tambang emas. Ia mencari mule, tapi ia malah menemukan kunci masuk ke sebuah rumah harta karun. Laba dari transaksi heroin itu nantinya harus dibagi enam. Tak ada orang yang terlalu bodoh mau mengkhianati the Family; tapi pencurian benda antik ini adalah sesuatu yang lain lagi. Jika dia bisa menyelundupkan benda-benda antik ke luar Yunani, itu akan merupakan deal sampingan yang hanya akan dimilikinya sendiri; mafia tidak akan mengharapkan apa-apa dari itu. Rizzoli benar-benar merasa amat bergairah. Sekarang yang harus kulakukan, pikir Rizzoli, adalah memikirkan bagaimana caranya mengail ikan besar itu. Soal mule bisa dipikirkan belakangan.
Malam itu, Rizzoli membawa teman barunya ke Mostrov Athena, sebuah nightclub yang menya-jikan hiburan yang seronok, dan menyediakan pramuria-pramuria yang seksi seusai pertunjukan.
"Mari kita ambil beberapa cewek dan bersenang-senang sedikit," Rizzoli mengusulkan.
247 "Saya harus cepat pulang menjumpai keluarga saya," Korontzis memprotes. "Lagi pula, rasanya saya tak akan sanggup membayar semuanya itu."
"Hey, Anda tamu saya. Pengeluaran saya ditanggung perusahaan. Saya sama sekali tidak mengeluarkan biaya apa-apa."
Rizzoli mengatur supaya salah satu gadis itu membawa Victor Korontzis pulang ke kamar hotelnya.
"Anda tidak ikut?" Korontzis bertanya.
"Saya ada sedikit bisnis yang harus diselesaikan," kata Tony kepadanya. "Silakan. Semuanya sudah diatur."
Pagi berikutnya, Tony Rizzoli datang lagi ke museum itu. Ada rombongan-rombongan turis dalam jumlah besar berjalan masuk ke ruangan-ruangan itu, mengagumi benda-benda kuno yang bernilai tinggi itu.
Korontzis membawa Rizzoli masuk ke kantornya. Ia benar-benar kemalu-maluan dan mukanya merah. "Aku" aku tak tahu bagaimana harus berterima kasih kepadamu untuk tadi malam, Tony. Ia" benar-benar aku amat senang."
Rizzoli tersenyum. "Buat apa punya teman, Victor?"
"Tapi aku tak dapat membalas kebaikanmu."
"Aku tidak mengharapkan itu," Rizzoli berkata dengan sungguh-sungguh. "Aku menyu-kaimu. Aku suka berada bersamamu. Ngo"
248 mong-ngomong, malam ini akan ada permainan poker di salah satu hotel. Aku akan ikut main. Kau tertarik?"
"Terima kasih. Aku ingin, tapi?" Ia mengangkat bahu. "Kukira sebaiknya aku tidak ikut saja."
"Ayolah. Kalau yang kaurisaukan itu masalah uang, jangan kuatir. Aku akan memberimu modal taruhan."
Korontzis menggelengkan kepala. "Kau sudah terlalu baik selama ini. Kalau aku kalah, aku tak akan bisa mengembalikannya padamu."
Tony Rizzoli menyeringai. "Siapa bilang kau akan kalah" Kita akan membuat perangkap." ?"Perangkap" Aku" aku kurang mengerti." Rizzoli berkata pelan, "Seorang temanku bernama Otto Dalton akan mengendalikan permainan itu. Ada sejumlah turis Amerika berkan-tong tebal yang gemar berjudi, Otto dan aku akan melipat mereka."
Korontzis menatapnya, matanya terbelalak. "Melipat mereka" Maksudmu, kau" kau akan menipu?" Korontzis menjilat bibirnya. "Aku" aku belum pernah melakukan yang seperti itu."
Rizzoli mengangguk dengan simpatik. "Aku mengerti. Kalau itu merisaukanmu, sebaiknya jangan kaulakukan. Tadinya aku berpikir ini jalan yang gampang bagimu untuk memungut dua atau tiga ribu dolar."
Mata Korontzis makin melebar. "Dua atau tiga ribu dolar?"
249 "Oh, ya. Paling sedikit itu."
Korontzis menjilat bibirnya lagi. "Aku" aku" Apa tidak berbahaya?"
Tony Rizzoli tertawa. "Kalau berbahaya, aku pasti tidak akan melakukannya, kan" Itu mudah sekali. Otto orang yang tangannya terampil" seorang pembagi ulung. Ia bisa membagi kartu dari atas, bawah atau tengah. Itu sudah dilakukannya selama bertahun-tahun dan ia tidak
pernah ketahuan." Korontzis duduk di situ, menatap Rizzoli.
"Berapa" berapa yang akan kuperlukan untuk bisa ikut main?"
"Sekitar lima ratus dolar. Begini saja. Permainan ini begitu pasti sehingga aku berani meminjamimu lima ratusnya itu, tapi seandainya kau nanti kalah kau tak perlu mengembalikannya."
"Kau benar-benar sangat pemurah, Tony. Mengapa" mengapa kau bersikap begitu terhadapku?"
"Akan kukatakan mengapa." Suara Tony penuh dengan nada kemarahan. "Kalau aku melihat seorang yang baik dan bekerja keras seperti kau ini, dengan jabatan yang penuh tanggung jawab, yaitu kurator dari salah satu museum terbaik di dunia, dan Negara tidak cukup menghargaimu dengan memberikan gaji yang pantas"dan kau berjuang untuk memberi makan keluargamu"well, terus terang saja, Victor,
250 aku jadi panas. Kapan kau terakhir kali naik gaji?"
"Mereka" mereka tidak pernah memberikan kenaikan gaji."
"Nan, itulah. Coba dengar. Kau punya pilihan, Victor. Kau bisa membiarkan aku menolongmu sedikit malam ini, sehingga kau bisa memperoleh beberapa ribu dolar dan bisa hidup lebih baik yang memang layak bagimu. Atau kau terus hidup berkekurangan sepanjang sisa hidupmu."
"Aku" aku tidak tahu, Tony. Aku mestinya tidak?"
Tony Rizzoli bangkit berdiri. "Aku mengerti. Barangkali aku akan kembali ke Athena setahun atau dua tahun lagi, dan mungkin kita akan bisa berkumpul lagi. Senang sekali aku bisa ke-nal denganmu, Victor." Rizzoli mulai melangkah menuju pintu keluar.
Korontzis mengambil keputusan. "Tunggu. Aku" aku ingin pergi denganmu malam ini."
Ia telah memakan umpan itu. "Hey, bagus sekali," kata Tony Rizzoli. "Aku benar-benar senang punya kesempatan untuk membantumu."
Korontzis ragu-ragu. "Maafkan aku, tapi aku mau memastikan bahwa aku memahamimu dengan benar. Kaubilang tadi bahwa kalau aku kalah yang lima ratus dolar itu, aku tak usah mengembalikannya kepadamu?"
"Benar sekali," kata Rizzoli. "Sebab kau tak mungkin kalah. Permainan itu sudah diatur."
251 "Di mana permainan itu akan diadakan.
"Kamar empat dua puluh Metropole Hotel. Jam sepuluh. Katakan kepada istrimu kau akan lembur malam ini."
252 Bab 12 Ada empat laki-laki di kamar hotel itu selain Tony Rizzoli dan Victor Korontzis.
"Kenalk&n ini temanku, Otto Dalton," kata Rizzoli. "Victor Korontzis."
Kedua laki-laki itu bersalaman.
Rizzoli melihat kepada yang lain-lainnya dengan jenaka. "Rasanya belum pernah saya bertemu dengan Anda-Anda semua."
Otto Dalton yang mengenalkan.
"Perry Breslauer dari Detroit" Marvin Seymour dari Houston" Sal Prizzi dari New York."
Victor Korontzis mengangguk ke arah mereka itu, terlalu tegang untuk berbicara.
Otto Dalton berumur enam puluhan, kurus, rambutnya beruban, sikapnya sopan dan ramah. Perry Breslauer lebih muda, tapi wajahya kurus dan cekung. Marvin Seymour seorang pria kurus dan halus perangainya. Sal Prizzi berperawakan besar tubuhnya bagaikan pohon ek, lengannya tampak kokoh. Ia mempunyai mata yang kecil dan jahat, dan wajahnya dihiasi codet-codet karena pisau.
253 Rizzoli telah memberikan penjelasan kepada Korontzis sebelum permainan dimulai. Orang-orang ini banyak uangnya. Mereka sanggup untuk kalah banyak. Seymour memiliki perusahaan asuransi. Breslauer adalah dealer mobil dengan kantor-kan-tor cabang di seluruh Amerika, dan Sal Prizzi kepala serikat buruh di New York.
Otto Dalton berbicara. "Baiklah, Tuan-tuan. Bisa kita mulai" Chip putih ini lima dolar, yang biru sepuluh, yang merah dua puluh lima, dan yang hitam lima puluh. Coba kita lihat warna uang Anda."
Korontzis mengeluarkan lima ratus dolar yang dipinjamkan Tony Rizzoli kepadanya. Bukan, pikirnya, bukan dipinjamkan, diberikan. Ia melihat ke arah Rizzoli dan tersenyum. Alangkah baiknya Rizzoli itu sebagai teman.
Yang lain-lainnya mengeluarkan lembaran-lembaran uang kertas besar.
Korontzis tiba-tiba merasa kuatir. Bagaimana kalau ada yang tidak beres, dan ia kalah lima ratus dolar" Ia menyingkirkan pikiran tersebut. Temannya Tony akan mengatasi hal itu. Tapi kalau ia menang" Korontzis tiba-tiba dipenuhi dengan perasaan senang yang meluap-luap.
Permainan dimulai. Pembagi yang menentukan. Pada mulanya taruhannya kecil, dan bentuk permainan berubah-ubah dari kartu lima, kartu tujuh, draw poker, dan tinggi-rendah.
254 Pada mulanya yang menang dan yang kalah terbagi rata, tapi secara berangsur angin mulai berubah.
Rupanya Victor Korontzis dan Tony Rizzoli tak pernah bisa salah. Pada waktu kartu-kartu mereka bagus, kartu-kartu orang lain jelek. Kalau yang lain-lain kartunya bagus, Korontzis dan Rizzoli lebih bagus lagi.
Victor Korontzis seakan tak percaya akan per-untungannya ini. Pada akhir malam itu ia telah menang hampir dua ribu dolar. Seperti sebuah mukjizat saja.
Ilusi Illusion 1 Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat Geger Di Pangandaran 2

Cari Blog Ini