Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge Bagian 2
geleng sambil mengerutkan kening. "Kita harus mengambil jalan lain. Saya akan
menyuruhnya pergi ke Dunhambury naik bus pada kesempatan libur setengah hari
yang berikut. Akan saya suruh dia mengatakan kepada tukang pangkas agar
rambutnya dipotong sampai pendek."
Pak Wilkins mengangguk untuk menyatakan persetujuannya. Sementara itu
ditelusurinya sisi dalam kerah kemejanya dengan jarinya. Aku pun sudah perlu
memangkas rambutku lagi, katanya dalam hati.
Hujan turun pada hari Rabu dan latihan sepakbola dibatalkan. Beberapa saat
sebelum pukul dua siang, ketika murid-murid sudah bersiap-siap untuk mengisi
waktu libur setengah hari dengan berbagai kesibukan yang tenang di dalam
ruangan, Jennings dan Darbishire bergegas ke ruang jahit. Mereka hendak menemui
Matron, seperti yang sudah disepakati.
Mereka mengetuk pintu. Tapi tidak terdengar jawaban dari dalam. Matron tidak ada
di situ karena ia tidak mengira mereka akan datang secepat itu. Selama beberapa
waktu kedua anak itu menunggu di gang, duduk di atas tempat cucian sambil
mengentak-entakkan tumit ke sisi tempat cucian yang terbuat dari rotan itu.
Bromwich kebetulan lewat. Anak itu mengatakan, "Jika kalian sedang menunggu
Matron, sebaiknya kalian memesan makanan dan menyiapkan kantong tidur. Dia tadi
pergi ke desa, dengan mobil Pak Carter. Pulangnya mungkin baru beberapa jam
lagi." Jennings merasa sebal. "Huh, Matron! Ini sabotase namanya. Dia kan sudah
sungguh-sungguh berjanji untuk menemui kita siang ini!"
"Mungkin maksudnya setelah selesai bermain sepakbola. Dan dia tidak tahu bahwa
itu dibatalkan," kata Darbishire membela Matron. "Lebih baik kita pergi saja
dulu, lalu kembali lagi kemari pukul empat."
Tapi siang itu mereka tidak punya rencana apa pun. Karenanya mereka tetap
menunggu di situ, dengan gelisah, tanpa tujuan. Dan dengan perasaan bosan.
Setelah beberapa waktu, Jennings mengatakan, "Yuk, kita masuk dan melihat ke
dalam lemari. Kita lihat saja, pakaian apa saja yang disimpannya di situ."
"Dia kan mengatakan, kita tidak boleh menyentuh apa pun," kata Darbishire. "Kita
disuruhnya menunggu di luar sini sampai dia datang."
"Aku tak bermaksud menyentuh apa pun, tolol! Cuma ingin melihat-lihat saja.
Jangan khawatir. Jika Matron mengira kita akan baru muncul setelah bermain
sepakbola, itu berarti baru beberapa jam lagi dia pulang."
Jennings mencoba membuka pintu, tapi tidak bisa pintunya terkunci. Selama
beberapa saat ia berpikir sambil menatap pintu sambil mengerutkan kening. Tibatiba - hanya karena ingin mencoba dan sama sekali tanpa. menyangka akan berhasldikeuarkannya anak kunci pintu paviliun dan sakunya lalu dimasukkannya ke dalam
lubang kunci. Anak kunci diputar. Ternyata cocok. Pintu pun terbuka.
Darbishire ternganga keheranan. "He, dari mana kau memperoleh anak kunci itu?"
tanyanya. "Ini anak kunci paviliun yang dicari-cari," kata Jennings menjelaskan. "Aku
meminjamnya dengan diam-diam pada waktu tim-tim sekolah kita pergi ke
Bracebridge." "Wow. Awas, kalau sampai ketahuan. Kepala Sekolah kan mengatakan sewaktu kita
semua berkumpul di aula bahwa jika ada yang menemukannya, harus..."
"Ya, aku tahu, aku juga mendengarnya. Aku sudah berusaha mengembalikannya ke
gelang kunci Pak Wilkie, tapi gelang itu sudah tidak ada lagi di kamarnya.
Kurasa beliau membawanya ke mana-mana dalam sakunya."
Dengan nada masih heran, Darbishire bertanya lagi, "Tapi jika itu anak kunci
paviliun, kenapa cocok untuk membuka pintu ruang jahit?"
"Maklumlah, kunci-kunci kodian," kata Jennings sambil mengangkat bahu. "Satu
anak kunci bisa dipakai untuk membuka beberapa pintu." Sambil tersenyum,
dimasukkannya kembali anak kunci itu ke dalam sakunya. "Ini informasi penting,
perlu diketahui!" Ia mendului masuk ke ruang jahit. Darbishire bergegas ikut dengan perasaan
gelisah, karena takut kalau-kalau Matron tiba-tiba saja muncul.
Pakaian-pakaian bekas itu disimpan dalam sebuah lemari dinding yang ukurannya
dari lantai sampai langit-langit. Di situ juga ditaruh sejumlah kostum teater
yang pernah dipakai dalam pertunjukan-pertunjukan sandiwara dan konser.
Jennings memutar pegangan pintu lemari itu. Ketika daun pintu terbuka, bermacammacam corak pakaian yang tergumpal menjadi sebuah gulungan jatuh ke lantai.
Darbishire berjingkrak-jingkrak karena gugup.
"Cepat, masukkan kembali," desaknya. "Matron tidak boleh sampai tahu bahwa kita
mengacak-acak lemari ini, karena nanti dia tidak mau memberi kita apa-apa untuk
orang-orangan itu. Itu kan sudah dikatakan olehnya."
Jennings menaruh gumpalan pakaian itu ke dalam lemari lagi. Saat itu ia melihat
setumpuk tameng pelindung dada yang terbuat dari kardus dan dicat warna perak.
Tameng-tameng itu terletak di atas celana jeans usang di papan rak sebelah atas.
"He, coba lihat ini!" serunya. Diambilnya salah satu tameng itu lalu
diperlihatkannya pada Darbishire. "Ini kan tameng-tameng yang dibuatkan Matron
untuk kita, waktu kita mementaskan sebagian kisah Henry V. Ingat, tidak?"
Darbishire bergidik. Ya, pertunjukan yang menampilkan cuplikan karya pujangga
Shakespeare itu masih diingatnya. Dan karena Jennings, pertunjukan itu menjadi
mimpi buruk yang akan selalu terbayang selama bertahun-tahun dalam ingatan
Darbishire. Sementara itu Jennings sudah sibuk mengacak-acak kumpulan perlengkapan busana
teater sambil berseru-seru setiap kali ia mengenali perlengkapan dan kostum yang
pernah dipakainya dalam pementasan.
Beberapa detik kemudian kepalanya keluar lagi dari dalam lemari. Ia berpaling ke
temannya sambil mengacungkan sekaleng cat semprot berwarna perak yang masih ada
isinya. "Coba lihat ini!" katanya bergairah. "Aku menemukan cat semprot Matron!"
"Lucu sekali! Kaleng cat inilah yang dipergunakannya untuk mengecat tamengtameng pementasan kita." Diguncang-guncangnya kaleng itu. Ternyata isinya masih
lumayan banyak. "Barang seperti ini benar-benar hebat! Tidak perlu lagi
menggunakan kuas untuk mengecat. Tinggal tekan tombol yang di atas ini."
Jennings menyandarkan tameng dada dari kardus itu ke ambang jendela lalu
membidikkan kaleng cat ke arahnya.
"Seperti begini-lihatlah!"
"Jangan sekarang, Jen," kata Darbi berkeberatan. "Bagaimana jika nanti Matron
tahu-tahu masuk dan melihat bahwa tameng itu basah."
"Tidak mungkin. Cat semprot ini akan segera kering. Nih, kubuktikan."
Ada petunjuk pemakaian yang tertulis pada kaleng itu. Petunjuk itu menegaskan
pentingnya membidikkan lubang semprot dengan saksama ke arah yang hendak dicat.
Tapi Jennings tidak tahu. membuang-buang waktu membaca petunjuk itu dulu. Ia
berdiri agak jauh dari sasaran dengan kaleng dipegang setinggi kepala. Setelah
Itu ditekannya tombol yang ada di sebelah atas.
Hasilnya di luar dugaannya. Cat yang tersembur ke luar tidak melapisi tameng
sasarannya, melainkan memancar ke arah yang berlawanan dan lapisi rambut si
pembidik dengan cat aluminium.
Hal itu terjadi dalam sekejap mata. Sewaktu Jennings melepaskan tombol yang
ditekannya dengan jari, rambutnya sudah kemilau keperakan.
"Wow, nyaris saja mataku kena semprot" katanya sambil meletakkan kaleng cat itu.
"Untung saja meleset."
Dari nada suaranya yang riang, jelas Jennings sama sekali tidak tahu bahwa telah
terjadi sesuatu yang luar biasa. Melihat air muka Darbishire yang tampak sangat
kaget serta suaranya yang bernada panik membuat anak itu sadar ada sesuatu yang
tidak beres. "Meleset! Nyaris kena semprot!" kata Darbishire, mengulangi kata-kata temannya
itu. "Apa maksudmu-kau nyaris kena"! Coba lihat saja kepalamu! Lihat rambutmu!
Cat semua!" Di dinding seberang tergantung sebuah cermin. Jennings bergegas ke situ untuk
melihat seberapa besar bencana yang menimpa dirinya. Napasnya tersentak sewaktu
melihat bayangannya di cermin. Rambutnya telah berubah warna, menjadi keperakan.
Bukan itu saja. Rambutnya juga membentuk jalur-jalur lengket, yang kelihatan
seperti buntut-buntut tikus. Jennings menyentuh rambutnya. Kini jari-jari
tangannya ikut berlumur cat aluminium.
"Aduh, gawat nih!" serunya.
"Kau ini sudah sinting rupanya," kata Darbishire dengan gugup. "Masa lubang
semprot kauarahkan langsung ke kepalamu dan..."
"Aku tadi tidak sadar bahwa lubangnya mengarah padaku. Kusangka ke arah
sebaliknya. Habis, lubangnya kecil sekali sih! Tidak kelihatan jelas, kecuali
jika di..." "Sudah, jangan banyak alasan lagi. Kita cepat-cepat saja keluar dari sini, dan
cuci rambutmu itu sebelum Matron datang," desak Darbishire.
Kedua anak itu bergegas mengembalikan tameng-tameng dada ke tempat semula,
menutup pintu lemari dinding, lalu lari ke gang sambil membanting pintu kamar
jahit sampai tertutup kembali.
6. Belakang dan Samping Pendek
DALAM pelarian mereka menuju ruang cuci di bawah, kedua anak itu berhati-hati
sekali agar tidak terlihat oleh siapa-siapa. Setiap kali hendak melewati sudutsudut ruangan, Darbishire maju lebih dulu untuk mengawasi apakah ada gutu yang
datang dari arah yang berlawanan.
Sewaktu mereka sampai di lantai dasar, timbul pikiran dalam benak anak itu dan
ia berkata, "Mungkin tidak bisa hilang dengan dicuci, Jen. Cat itu mutunya
sangat baik, dan karena sekarang sudah kering, rasanya diperlukan patri untuk
membuatnya terkelupas."
"Tidak usah,ya! Aku tidak kepingin kepalaku dipanggang pakai patri!"
"Atau, kau terpaksa mencukur kepalamu sampai botak. Kecuali jika kau bisa
meyakinkan Kepala Sekolah bahwa pelajaran-pelajaran matematika yang ampunampunan sulitnya itu menyebabkan rambutmu tahu-tahu sudah beruban."
Jennings mendengus. Situasi yang dihadapinya sekarang sudah cukup memusingkan,
pikirnya - tanpa harus mendengarkan Darbi yang ingin melucu mengenainya! Jennings bergegas
masuk ke ruang cuci lalu berhenti di depan bak-bak cuci.
"Mudah-mudahan saja kalau dicuci bisa lepas," katanya, sambil memandang bayangan
dirinya di cermin. "Jika Matron sampai melihat keadaanku, dia akan langsung tahu
bahwa kita telah melanggar larangannya, yaitu membuka lemari itu pada saat dia
tidak ada. Dan itu berarti dia takkan mau memberi kita pakaian bekas untuk
orang-orangan itu." Darbishire menyurukkan kepalanya ke dalam handuk gulungan dan memilinnya
sehingga membentuk serban. "Artinya bukan cuma itu saja," jawabnya. "Akibatnya
bisa seratus kali lebih gawat."
"Lebih gawat" ...Bagaimana maksudmu?"
"Karena pertama-tama yang akan ditanyakannya nanti adalah bagaimana kau sampai
bisa masuk ke ruang jahit. Kau terpaksa mengaku bahwa kau memasuki kamar Pak
Wilkie ketika dia sedang tidak ada di situ lalu kau mengambil anak kunci
paviliun tanpa minta izin terlebih dulu-anak kunci yang sejak minggu lalu
dicari-cari setiap orang di sekolah ini."
Air muka Jennings tampak suram ketika ia mengisi bak dan mengambil sabun. "Kau
benar, Darbi," katanya. "Kita cepat-cepat saja mencoba mencuci rambutku. Mudahmudahan saja berhasil."
Tapi ternyata upaya itu sia-sia belaka, meski sudah digosok sekuat tenaga.
Ketika upaya pembersihan dihentikan beberapa menit kemudian, kepala Jennings
masih saja tampak kemilau.
"Percuma saja. Sabun kelihatannya malah menyebabkan catnya semakin lengket,"
keluh Jennings sambil menotol-notolkan handuk ke rambutnya yang basah dan
lengket berlapis cat. "Kalau begitu kita terpaksa memotongnya," kata Darbi memutuskan. "Kau tunggu di
sini sementara aku mengambil gunting kukuku."
Anak itu bergegas ke ruang tidur untuk mengambil alat itu. Dengan segera ia
sudah kembali. Namun upayanya dengan menggunakan gunting kukunya yang melengkung dan tumpul itu
mengakibatkan keadaan menjadi semakin parah. Setelah beberapa gumpal rambut di
beberapa tempat digunting olehnya, permukaan kepala Jennings mulai kelihatan
seperti sikat permadani yang dimakan ngengat.
"Sudah, sudah! Hentikan!" kata korbannya memprotes sambil menjauhkan diri dari
tukang pangkas amatir itu lalu memeriksa penampilannya di cermin untuk melihat
kerusakan yang terjadi. "Kau tidak rata memotongnya, tolol! Dasar kikuk. Pasti
Matron bertambah ribut jika melihatnya."
"Aku kan cuma ingin membantu. Aku bukan ahlinya," kata Darbishire membela diri.
Meski demikian harus diakuinya bahwa usahanya itu membuat keadaan bertambah
gawat. Karena kini ada bagian yang botak di sebelah atas telinga kiri Jennings, serta
rambut yang terpotong berjenjang-jenjang ke atas, ke arah ubun-ubunnya; rambut
sebelah depannya kelihatan bergerigi, sementara bagian tengkuk seperti peta
pantai barat Skotlandia, berlekuk-lekuk. Begitu pun rambut yang tersisa masih
tetap terlapis oleh cat aluminium yang mengilap.
Jennings yang selama itu terus memandang bayangan dirinya di cermin sambil
cemberut, menoleh ke arah jam dinding yang ada di ruang cuci. Pukul tiga lewat
dua puluh menit. "Jika aku bisa pergi ke Dunhambury tanpa ketahuan, aku akan pergi ke tukang
pangkas rambut, minta agar rambutku dibereskan," katanya.
Darbishire mengangguk. "Itu ide bagus! Minta saja agar dilayani Pak Hales-karena
dia yang biasa datang kemari untuk memangkas rambut kita. Mungkin dia punya
shampoo khusus untuk menghilangkan cat. Dan setelah itu rambutmu bisa dipotong
pendek sisi samping dan belakangnya, untuk meratakan bagian-bagian yang kupotong
tadi." "Aku tidak mau kelihatan seperti habis potong rambut," kata Jennings
berkeberatan, "sebab mungkin nanti guru-guru tahu. Aku akan minta dipotong
sedikit saja." "Ya, tapi itu tergantung apakah..."
"Sudah, jangan cerewet, Darbi," tukas Jennings. "Aku sedang mengatur rencana."
Teman-temannya di Linbury Court sudah tahu semua, apabila Jennings menyusun
rencana untuk mengelabui para guru dan Matron, sudah pasti rencana itu telah
dipertimbangkan sebaik mungkin dan benar-benar praktis-dalam teorinya! Perincian
mengenai waktu, tempat, dalih, sarana pengangkutan, samaran (jika diperlukan),
perbekalan, dan perlengkapan, semua disusun dengan sangat saksama sehingga semua
yang terlibat di dalamnya merasa yakin bahwa pelaksanaannya pasti akan berhasil.
Tapi, apabila rencana itu sudah dijalankan, ada saja hambatan tak terduga atau
nasib yang tidak bisa dikendalikan si perencana yang mengakibatkan proyek
menjadi kacau. Rencana Pemangkasan Rambut dengan Diam-diam ? Hak Cipta: JCT. Jennings tidak
merupakan kekecualian. Dalam teori, rencana itu tampaknya tidak mungkin meleset
dan menampakkan kemampuan menyusun rencana yang setara dengan seorang komandan
militer. Masalah pertama adalah bagaimana caranya keluar dari kompleks sekolah tanpa
terlihat oleh salah seorang guru. Seperti biasa, rintangan ini ditanggulangi
Jennings dengan bakatnya dalam bertipu muslihat."
Sementara itu hujan sudah berhenti, dan pukul empat kurang seperempat anak-anak
luar - anak-anak yang bersekolah di Linbury Court, tapi tinggal di rumah
orangtua mereka yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolah itu - yang karena
hujan tetap berada di sekolah dan ikut melakukan berbagai hobi di dalam ruang,
bersiap-siap untuk pulang ke rumah masing-masing, naik sepeda atau berjalan
kaki. Salah satunya adalah Pettigrew, seorang anak Kelas Tiga bertubuh morttok
dan kulit mukanya berbintik-bintik. Setiap hari ia naik sepeda ke sekolah
melewati jalan Dunhambury.
Berbeda dengan anak-anak lainnya yang mengenakan jas hujan sekolah yang berwarna
biru tua, pada saat-saat hujan Pettigrew tiba di sekolah dengan mantel hujan
dari plastik berwarna kuning cerah. Penutup tubuh yang mencolok mata itulah yang
hendak dimanfaatkan oleh Jennings, sebagai penyamaran diri.
Tapi ia sendiri tidak mau menghubungi Pettigrew, atau yang biasa disapa dengan
julukannya, Petters, secara langsung.
"Coba tolong tanyakan pada Petters, apakah ia mau meminjamkan sepedanya padaku
untuk pergi ke luar, dan bilang padanya aku akan menunggunya di tempat
penyimpanan sepeda pukul empat kurang dua puluh menit," kata Jennings kepada
Darbishire, setelah ia selesai memaparkan rencananya. "Dan ambilkan topi petku
pada saat kau kembali nanti. Aku tidak berani keluar tanpa memakai sesuatu untuk
menutupi rambutku." "Baiklah. Tapi aku tidak begitu mengerti bagaimana caranya kau akan.....
"Tenang sajalah, Darbi. Asal aku bisa melewati pintu depan tanpa ketahuan,
rencana selanjutnya akan sangat mudah pelaksanaannya."
Dan agaknya kali ini rencananya memang akan bisa berhasil. Jennings berniat
hendak naik bus pukul empat ke Dunhambury, sesuai dengan jadwal. Ia akan tiba di
tempat pangkas rambut dalam waktu tidak sampai setengah jam, dan selesai
dipangkas tepat pada waktunya untuk bisa naik bus pukul setengah enam, yang akan
membawanya kembali ke sekolah. Uang yang ada padanya cukup untuk membayar ongkos
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bus, tapi mungkin tidak cukup untuk membayar ongkos pangkas dan cuci rambut.
Tapi Pak Hales, tukang cukur yang biasa datang untuk memangkas rambut anak-anak
asrama, kelihatannya mau mengerti. Jennings yakin, Pak Hales pasti mau
mengirimkan surat tagihan ongkos pemangkasan rambut Jennings ke alamat
orangtuanya di rumah. Beberapa menit kemudian Darbishire kembali dengan berita bahwa Pettigrew
bersedia bekerja sama melaksanakan tahap pertama rencana Jennings.
"Dia mengatakan, kau boleh memakai mantel dan sepedanya, asal kau
meninggalkannya di luar gerbang utama, supaya ia bisa mengambilnya kembali nanti
sambil berjalan ke luar," katanya sambil mencampakkan topi pet Jennings ke dalam
bak cuci yang kosong. "Aku sudah meminta beberapa anak luar agar bersiap
melindungi dirimu sewaktu melewati pintu depan. Tapi hati-hati, guru yang
bertugas sebagai pengawas adalah Pak Hind, dan matanya tajam sekali, seperti
kamera monitor." Jam di ruang cuci menunjukkan waktu pukul empat kurang dua puluh lima menit.
Sudah waktunya untuk bersiap-siap! Jennings mengenakan topi petnya,
dibenamkannya dalam-dalam menutupi rambut.
"Sebaiknya kau jangan sampai ketemu dengan seorang guru pun dalam perjalanan ke
tempat penyimpanan sepeda," kata Darbishire memperingatkan. "Mungkin dia akan
merasa aneh jika melihatmu memakai topi pet di dalam gedung."
Kemungkinan itu sudah dipikirkan oleh Jennings. Ia memutuskan untuk keluar lewat
Jendela ruang cuci, lalu menyelinap ke tempat penyimpanan sepeda dan berlindung
di balik semak-semak yang memagari jalan setapak ke tempat itu.
Itu mungkin merupakan persoalan sepele, tapi khas merupakan cara kerja Jennings,
yang jago dalam mengatur rencana. Tidak ada yang bisa membantah bahwa siasatsiasat anak itu mulus sampai ke perincian yang sekecil-kecilnya-yah, setidaktidaknya, dalam teorinya!
Pak Hind berdiri di ujung atas tangga masuk pintu gerbang. Di tangannya ada
daftar absen anak-anak luar. Sebagai guru pengawas saat itu, tugasnya adalah
memastikan bahwa anak-anak luar pulang secara tertib dan pada waktunya.
Pemeriksaan anak-anak luar yang pulang itu berlangsung tanpa upacara macammacam: anak-anak hanya membuka topi pet masing-masing sewaktu berjalan kaki atau
bersepeda melalui pintu gerbang, sementara guru pengawas mengecek nama-nama
mereka yang ada dalam daftarnya.
Biasanya, anak-anak yang naik sepeda pulang sendiri-sendiri atau berpasangan.
Tapi hari ini mereka muncul bergerombol rapat. Ketika mereka hendak melewati
pintu gerbang, Pak Hind melihat Marshall dan Lewis berada di sisi luar yang
paling dekat dengan tempatnya berdiri. Mereka mengapit serombongan anak yang
bersepeda saling berdekatan. Di tengah-tengah rombongan itu tampak mantel hujan
Pettigrew yang kuning cerah, mencolok seperti rambu dalam kegelapan.
Anak-anak yang bersepeda lewat itu mengangkat topi pet mereka. Tapi pengamat
yang lebih teliti pasti melihat bahwa anak yang memakai mantel hujan kuning
membuang muka, sementara tangannya hanya mendorong tudung topi petnya sedikit
saja ke atas. Jennings merasa bahwa itu bukan saat yang baik untuk mengambil
risiko menampakkan rambutnya yang perak kemilau.
Pak Hind membubuhkan tanda di belakang nama-nama yang tertera dalam daftarnya:
Marshall, Lewis, Pettigrew-dan yang selebihnya. Ia tidak mengalami kesulitan
ketika memberi tanda-tanda tanda itu, meskipun anak-anak yang bersepeda
melewatinya itu bergerombol rapat sekali.
Ketika anak luar terakhir sudah melaluinya, guru pengawas itu kembali ke ruang
guru. Kemudian ia berdiri di depan jendela, sambil minum teh. Tiba-tiba ia
meletakkan cangkirnya dan berkata, "Astaga, apakah saya ini bermimpi?"
Pak Carter dan Matron, yang sedang mengobrol berdua, menoleh ke arahnya dengan
heran. "Saya baru saja melihat Pettigrew berjalan kaki lewat di depan jendela," kata
Pak Hind dengan nada seperti sedang mengumumkan munculnya sesosok makhluk hijau
kerdil dari ruang angkasa.
"Yah, kenapa tidak?" kata Matron mengomentari. "Kan memang sudah waktunya anakanak luar pulang?" "Tapi anak itu tadi sudah pulang! Saya melihatnya bersepeda keluar beberapa
menit yang lalu. Saya sudah membubuhkan tanda di belakang namanya di daftar."
"Kalau begitu mungkin Anda salah lihat tadi."
"Salah lihat" Mana mungkin! Dengan mantel hujan berwarna kuning yang mencolok
seperti sekoci penyelamat itu, dari jarak satu mil pun masih bisa dikenali. Saya
benar-benar tidak mengerti."
Pak Hind membuka jendela lalu berseru memanggil sosok yang bergerak menjauh itu.
Tapi saat itu Pettigrew sudah sampai di balik sudut bangunan, sehingga tidak
kelihatan dan juga tidak bisa mendengar lagi panggilan itu.
"Aneh!" kata Pak Hind, sambil menutup jendela kembali. Benar-benar misterius!
Dia yang salah lihat, atau mungkin juga pikirannya yang mengada-ada... atau
mungkin juga itu merupakan akibat beban mental, mengajar menggambar pada anakanak Kelas Tiga! Matron menghabiskan tehnya lalu berkata, "Yah, saya harus pergi sekarang. Saya
sudah berjanji pada Jennings dan Darbishire untuk memeriksa isi lemari dinding
di ruang jahit. Mereka memerlukan beberapa potong pakaian yang akan dikenakan
pada orang-orangan yang mereka buat. Saya rasa saat ini mereka pasti sudah
menunggu saya di sana."
Ia berpaling dan dilihatnya ada sebuah cangkir kosong di atas baki beroda. Ia
berkata lagi, "Saya lihat, Pak Wilkins belum datang untuk meminum tehnya. Ini
bukan kebiasaannya! Barangkali Anda tahu, apakah dia sedang pergi?"
Pak Carter mengambil sepotong biskuit. "Saya rasa, ya," jawabnya. "Dia tadi
mengatakan hendak pergi sebentar ke Dunhambury untuk memangkas rambutnya, jika
ada waktu." Tentu saja bukan termasuk dalam rencana Jennings kalau Pettigrew sempat terlihat
oleh seorang guru pada saat anak itu sedang lewat di depan jendela ruang guru.
Itu hanya merupakan kekeliruan memilih waktu tepat yang tidak berhubungan sama
sekali dengan rencana awal, yang kini sudah memasuki Tahap Kedua.
Sewaktu Pettigrew sampai di jalan besar, ditemukannya sepedanya disembunyikan
dalam pagar semak dekat halte bus seperti yang sudah disepakati. Mantel hujannya
yang kuning disampirkan ke setang. Jennings tidak kelihatan lagi, karena bus
pukul empat sudah berangkat beberapa menit sebelumnya, dan saat itu Jennings
yang jago mengatur rencana itu sudah mencapai setengah perjalanan menuju
Dunhambury. Pettigrew mengenakan mantel hujannya lalu mulai mengayuh sepedanya untuk pulang.
Boleh-boleh saja anak-anak asrama menyusun segala siasat hebat, katanya pada
diri sendiri sambil menggenjot pedal sepedanya menyusuri jalan, tapi bisa apa
mereka jika tidak ada anak-anak luar yang membantu dalam pelaksanaannya!
Jennings turun dari bus di halte dekat lampu lalu lintas di jalan utama kota
Dunhambury. Ia mengetahui paling sedikit ada tiga tempat pangkas rambut pria di
kota itu, namun ia sama sekali tidak tahu yang mana tempat Pak Hales bekerja.
Alamat terdekat adalah di bawah bukit kalau kita datang dari arah lampu lalu
lintas. Karenanya ia bergegas kembali menyusuri jalan utama, lalu melongokkan
kepalanya dari ambang pintu ke dalam tempat pangkas itu. Tapi Pak Hales tidak
kelihatan di situ. Ia lantas memutuskan untuk mencari di sebuah salon yang
kelihatan lebih mentereng. Jennings ingat, ia pernah melihat salon itu, di
seberang jalan. Ia berjalan melewati toko swalayan, jendela-jendelanya penuh dipasangi posterposter iklan sampai barang-barang yang dipajang tidak bisa dilihat. Ia tidak
berhenti di depan toko alat-alat musik (15 pound atau lebih untuk piano tua
Anda). Tapi topeng-topeng Guy Fawkes yang dipajang di jendela toko agen surat
kabar dan majalah di sebelahnya menyebabkan langkah Jennings terhenti dengan
seketika. Mereka memerlukan topeng untuk orang-orangan itu, dan ini mungkin satu-satunya
kesempatan baginya untuk membeli sebuah sebelum terlambat. Mereka kan akan
membuat arak-arakan rahasia untuk mengumpulkan sumbangan di desa Linbury yang
menurut rencana akan dilangsungkan hari Sabtu mendatang.
Topeng-topeng itu begitu aneh dan jelek rupanya, hampir tidak ada kemiripannya
dengan wajah manusia biasa, apalagi dengan wajah G. Fawkes (almarhum) yang asli.
Tapi Jennings tidak begitu peduli dengan ketepatan perincian sejarah.
Ia memutuskan bahwa topeng plastik yang kelihatan sangat aneh dengan hidungnya
yang bulat berwarna merah dan kumis tebal menggelantung di sudut bibir-yang
terpajang di tengah topeng-yang lain-benar-benar cocok untuk keperluan mereka.
Ia bergegas masuk ke toko itu. Ia membeli topeng jelek itu, memasukkannya ke
dalam saku, lalu bergegas keluar lagi. Dia sadar bahwa uang tiga puluh penny
yang harus dikeluarkannya untuk membeli topeng itu akan mengurangi uang untuk
membayar ongkos pangkas rambut.
Sambil berjalan mendaki bukit ia berpikir bahwa terpaksa ia harus berhasil
mendesak Pak Hales agar mengirimkan surat tagihan ongkos potong rambut kepada
orangtuanya di rumah. Sebuah tanda dalam bentuk tabung lampu bergaris-garis miring merah tampak
berputar-putar pada sumbunya, beberapa meter di depan, di tepi jalan yang sedang
ditelusuri Jennings. Di bawah tanda tersebut ada papan bergaris-garis melintang.
Pada papan itu tertera tulisan: WALTON-Salon Penata Rambut Pria (Sejak 1929).
Jennings bergegas mendatangi salon itu, mendorong pintunya sehingga terbuka,
lalu menjenguk ke dalam. Ruang tempat pangkas rambut itu panjang dan agak sempit ukurannya. Cermin-cermin
dan bak-bak cuci berjajar pada satu dinding yang memanjang, tempat empat tukang
pangkas sedang melayani para pelanggan mereka. Di sepanjang dinding seberang
terdapat bangku-bangku besar berlapis kulit, yang ditempati orang-orang yang
menunggu giliran dilayani.
Jennings langsung gembira ketika melihat Pak Hales sedang sibuk bekerja di ujung
belakang salon itu. Ternyata ia menemukan tempat yang benar! Jennings berjalan
melewati orang-orang yang sedang duduk menunggu, lalu duduk di bangku yang
terdapat di belakang kursi Pak Hales.
Jennings tidak perlu menunggu terlalu lama. Sebenarnya ia sudah mendapat giliran
untuk dilayani sebelum tukang pangkas langganan sekolah itu selesai. Tapi
Jennings menolak dipangkas oleh tukang yang lain. Ia lebih suka menunggu tukang
pangkas pilihannya. Beberapa menit kemudian, Pak Hales selesai memangkas rambut pelanggannya,
seorang pria yang sudah agak berumur. Setelah membantu pria itu mengenakan
mantelnya, ia berpaling ke arah bangku-bangku di belakangnya. "Siapa sekarang?"
tanyanya dengan singkat. Jennings bergegas maju lalu duduk di kursi pangkas. Tapi topi petnya masih tetap
terbenam menutupi rambutnya.
"Selamat siang, Pak Hales. Anda kenal saya, kan?" katanya agak gelisah. "Nama
saya Jennings, dari Linbury Court. Saya mendatangi Anda kemari karena... eh,
karena ada semacam keadaan darurat."
Pemangkas rambut itu mengangguk. Pak Hales ramah, berambut putih, dan
berkacamata. Sudah sejak beberapa tahun ia biasa datang ke Sekolah Linbury dua
minggu sekali, pada hari Selasa petang. Jarang ada anak dari sana datang ke
salon. Yah, sekali-sekali memang Kepala Sekolah mengirim seorang anak yang
rambutnya perlu dipangkas untuk suatu acara khusus.
"Potong rambut karena ada urusan mendesak, ya?" kata Pak Hales mengomentari.
"Boleh saja, Nak. Tapi aku akan bisa melihat keadaan rambutmu dengan lebih baik
jika kaubuka topimu itu!"
Jennings merasa ragu. "Yah, justru itu persoalannya! Ini keadaan darurat, jika
Anda mengerti maksud saya. Saya mengalami kesulitan karena sekaleng cat." Ia
membuka topi petnya sambil tertawa pelan dengan perasaan gugup.
Pak Hales sedikit pun tidak pernah menduga apa yang akan dilihatnya. Ia mundur
dengan cepat, sementara matanya terpicing dan bibirnya dimonyongkan sewaktu
melihat apa yang tampak di depannya.
"Huihh, bukan main! Baru sekali ini aku melihat rambut orang seperti begini. Apa
yang terjadi, Nak" Kau kelihatan seperti semak berduri dilanda angin topan."
Dengan ringkas Jennings menceritakan bencana yang terjadi. Dan kemudian, karena
Pak Hales kelihatannya orang yang mau mengerti, Jennings menceritakan
kesulitannya dan menjelaskan apa sebabnya pemangkasan rambutnya harus
berlangsung secara sembunyi-sembunyi, jangan sampai terdengar oleh para guru.
Jennings tercengang, karena Pak Hales ternyata menganggap kejadian itu lucu.
Begitu kerasnya ia tertawa, sampai nyaris tidak mampu memegang alat penggunting
rambut yang pada saat itu sedang dipakainya untuk memperbaiki hasil potongan
Darbishire. "Lain kali kalau sahabatmu itu memangkas rambutmu lagi, bilang
padanya agar menggunakan pisau besar pencincang daging," katanya menyarankan.
Tubuh tukang pangkas rambut itu terguncang-guncang karena menahan gelak yang
hendak tersembur keluar lagi.
Tapi meskipun komentarnya begitu, Pak Hales ternyata bisa jadi sekutu yang bisa
diandalkan. Ia berjanji tidak akan membuka rahasia Jennings, dan ia juga
bersedia tidak langsung dibayar ketika mendengar tentang kesulitan keuangan yang
sedang melanda pelanggannya itu.
"Soal itu tak usah dipikirkan, Nak. Tidak usah menulis surat pada orangtuamu,"
katanya. "Aku akan menambahkan ongkos satu kali pangkas rambut lagi apabila aku
nanti mengirimkan tagihan ke sekolah kalian pada akhir semester ini."
"Terima kasih banyak. Anda benar-benar baik hati," jawab Jennings. "Dan menurut
Anda, apakah Matron nanti tidak akan tahu bahwa ongkos tambahan itu adalah untuk
memangkas rambut saya?"
"Tentu saja tidak. Mana mungkin, jika aku tidak menuliskan namamu dalam surat
tagihan itu!" Dalam beberapa menit saja keparahan yang dilakukan Darbishire sudah berhasil
agak dirapikan. Setelah itu Pak Hales mulai beraksi dengan shampoo spiritus
untuk melenyapkan segala bekas cat aluminium.
Jennings menatap bayangannya di cermin sementara warna perak dengan pelan
memudar dan kertas-kertas tisu yang direndam dalam spiritus serta kapas yang
kotor semakin bertumpuk-tumpuk di sekitar mata kaki Pak Hales, ahli penata
rambut itu. Sayang, begitu banyak yang terpaksa dipangkas, kata Jennings dalam hati. Ia
terpaksa mulai membiarkan rambutnya tumbuh sekali lagi, apabila ia masih
mengharapkan akan bisa menjadi pemegang rekor sebagai anak yang paling gondrong
di Kelas Tiga. Selain itu, kini ada bahaya lain yang jelas menantinya. Matron
atau salah seorang guru akan melihat bahwa ia telah memangkas rambutnya, mereka
lalu menuntut penjelasan. Meski demikian, itu merupakan risiko yang harus di...
Tiba-tiba Jennings terkejut. Sikap duduknya menjadi tegak, tapi segera ia
merendahkan tubuhnya kembali. Ia berusaha menyembunyikan mukanya dalam kain
selubung yang menutupi bahunya... karena saat itu pintu depan salon terbuka, dan
lewat cermin Jennings bisa melihat Pak Wilkins masuk dengan langkah cepat. Pak
Wilkins rupanya juga hendak memangkaskan rambutnya di situ.
7. Dalam Bahaya BAHKAN penata rambut yang paling berpengalaman pun bisa kaget akibat tingkah
aneh seorang pelanggan yang tiba-tiba melonjak seperti ikan yang hendak
menyambar serangga yang sedang terbang di udara dan kemudian merunduk sambil
mengudungkan kain selubung penutup badan ke mukanya sampai setinggi telinga.
"He, jangan bergerak-gerak! Ada apa sih?" kata Pak Hales protes. "Bagaimana aku
bisa membereskan rambutmu jika kau terus saja menggeliat-geliat seperti cacing
kepanasan!" Dengan lambat dan hati-hati, Jennings menurunkan selubung yang menutupi mukanya.
Tapi hanya sedikit saja, sampai mata kirinya tampak. Ia mengedipkan matanya
sebagai isyarat kepada pemangkas rambut yang kebingungan itu, lalu melirik
dengan cepat ke ujung ruang salon.
Apa yang dilihatnya sudah cukup untuk membuyarkan harapan jago penyusun rencana
mana pun juga. Satu-satunya pelanggan yang masih menunggu giliran adalah Pak
Wilkins. Guru itu duduk di bangku yang letaknya persis di sebelah pintu depan,
sambil membalik-balik halaman sebuah majalah yang tadi diambilnya dari meja.
Jennings memutar otak. Ia agak merasa lega karena Pak Wilkins duduk di tempat
yang jauh dari dirinya. Karena semua kursi tukang cukur masih ditempati-para
tukang pangkas serta orang-orang yang sedang mereka layani sedikit-banyak
melindungi dirinya dari penglihatan Pak Wilkins.
Meski perlindungan itu tidak benar-benar aman, tapi bila nasibnya mujur, mungkin
itu sudah cukup menyembunyikan identitas Jennings yang saat itu tertutup kain
selubung di kursi yang paling jauh, sekitar sepuluh meter dari tempat Pak
Wilkins duduk. Tapi sampai kapan" Bagaimana jika Pak Wilkins berhenti membaca lalu memandang ke
sekelilingnya! Bagaimana jika pada waktu gilirannya nanti ia lantas dipersilakan
duduk di kursi yang di sebelahnya! Bagaimana jika...
Jennings berhenti berandai-andai; soalnya, Pak Hales ternyata tidak memahami
makna kedipan mata Jennings yang memberi tanda agar berhati-hati. Ia meminta
penjelasan dengan suara yang lantang.
"Ada apa, Nak" Kau sakit, barangka1i?" kata tukang pangkas rambut itu. "Ayolah,
duduk yang lurus dan jangan kaupakai selubung itu untuk menutup muka. Aku tidak
bisa menggunting bagian tengkukmu."
Sambil terus mengawasi Pak Wilkins lewat cermin, Jennings berbisik, "Salah
seorang guru kami. Baru saja masuk. Duduk dekat pintu!"
"Keraskan suaramu, Nak. Telingaku yang sebelah tuli. Siapa yang duduk di atas
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buku?" "Tidak, bukan di atas buku! Di dekat pintu."
Karena ingin tahu apa sebetulnya yang menjadi persoalan, tukang pangkas rambut
itu memutar tubuhnya dan memandang ke depan. Caranya memandang pasti akan
menarik perhatian Pak Wilkins, jika saja guru itu tidak sedang asyik dengan
majalahnya. Jennings menahan napas. Tapi nyatanya Pak Wilkins tidak mendongak, dan krisis
pun berlalu. Pak Hales berpaling kembali dan mengernyitkan muka ke arah Jennings
lewat cermin. Kernyitan itu dimaksudkannya untuk mengatakan bahwa ia sudah melihat orang yang
baru masuk itu, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa mengenainya. Lagi pula, dan
itu dalam kedudukannya sebagai tukang pangkas rambut resmi di Sekolah Linbury
Court, dia-Ronald Alfred Hales-tidak mau terlibat kalau nanti terjadi situasi
yang tidak enak antara guru dan murid.
Jennings duduk dengan perasaan tegang di kursinya. Rencananya berantakan dan
kelihatannya tak ada jalan keluar. Cat yang masih melekat di rambutnya tinggal
beberapa jalur lagi dan sebentar lagi Pak Hales pasti akan sudah selesai dengan
perawatannya. Lalu setelah itu bagaimana" Pasti akan datang orang-orang lain yang hendak
memangkaskan rambut mereka, dan mereka pasti ingin dilayani. Jadi ia tidak bisa
tetap duduk di kursi itu. Selain itu, ia juga harus naik bus sesuai jadwalnya
untuk kembali ke sekolah. Tapi meninggalkan salon agar tidak sampai ditinggal
bus, berarti harus lewat di depan Pak Wilkins.
Jennings masih mencari-cari akal untuk menanggulangi masalahnya ketika salah
seorang tukang pangkas berseru, "Silakan, yang berikut.
Pak Wilkins meletakkan majalahnya lalu melangkah maju untuk duduk di kursi yang
sudah kosong. Jennings melirik. Dilihatnya guru itu menempati kursi paling ujung, yang
bersebelahan dengan pintu depan. Kenyataan Itu tidak bisa membantu Jennings
keluar dari kesulitannya. Merupakan perbuatan gila jika ia mencoba menyelinap
lewat tanpa ketahuan, karena cermin yang terpasang di dinding membuat hal itu
mustahil bisa terjadi. Pak Wilkins tinggal memandang lurus saja ke depan, dan ia
akan bisa dengan jelas melihat semua yang berlangsung di balik punggungnya.
Saat itu ada beberapa pelanggan masuk lalu duduk di bangku-bangku untuk menunggu
giliran. Dan beberapa saat kemudian Pak Hales menatap kepala Jennings dengan
pandangan menguji. Setelah itu ia membungkuk lalu berbisik, "Yah, begitulah,
selesai! Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Selanjutnya urusanmu sendiri,
Nak." Pak Hales mengambil selubung yang menutupi bahu Jennings sambil mengisyaratkan
dengan gerakan kepalanya ke arah sebuah lemari kaca yang ada di belakangnya.
Dalam lemari itu terpajang botol-botol berisi cairan penyegar rambut dan tubetube sabun cukur. Dengan suara nyaris tak terdengar ia menambahkan, "Kenapa
tidak berdiri saja di belakang lemari itu sampai ia sudah pergi nanti. Kau
takkan kelihatan olehnya dari ujung sebelah sana itu."
Jennings mengangguk untuk menyatakan terima kasihnya. Ia merosot turun dari
kursi dan, dengan dilindungi oleh Pak Hales yang pura-pura sibuk sekali
mengibas-ngibaskan kain selubung, Jennings melesat menyeberangi ruangan menuju
ke balik lemari lalu merapatkan diri ke dinding di situ.
Dari tempat persembunyiannya itu Jennings menilik situasi yang dihadapinya.
Lemari pajangan itu menonjol sekitar setengah meter atau lebih sedikit ke tengah
ruangan. Jadi jika ia berdiri dengan diam-diam di balik lemari itu, kecil
kemungkinannya Pak Wilkins akan melihatnya. Tapi sudut di balik lemari yang
merupakan tempat persembunyian itu, sekaligus juga merupakan penjara baginya,
karena ia harus tetap berdiri di situ sampai Pak Wilkins sudah pergi nanti.
Dan itu tidak mungkin. Ia tidak bisa tetap saja di situ, karena terdesak waktu.
Ia memandang sebentar ke arah jam yang tergantung di bagian tengah dinding yang
memanjang. Ia melihat saat itu sudah pukul tujuh kurang dua puluh menit. Mata
Jennings terkejap karena kaget. Masa sih sudah begitu larut" Jam itu pasti tidak
beres. Kemudian Jennings terkejap lagi, sewaktu menyadari bahwa jam itu tergantung di
dinding tempat lemari pajangan terletak dan ia melihatnya terbalik, karena
melihatnya melalui cermin.
Kalau begitu waktu saat itu adalah... eh... hmm... wow! Pukul lima lewat dua
puluh menit. Dan bus yang harus dinaikinya akan berangkat tepat pukul setengah
enam. Katakanlah, ia memerlukan waktu tepat dua menit untuk lari secepatcepatnya ke halte bus, maka itu berarti paling lambat delapan menit lagi ia
harus sudah keluar dari salon.
Bagaimanakah peluangnya" Akan berapa lamakah Pak Wilkins masih tetap duduk di
kursi sementara tukang pangkas menggunting rambutnya" ...Semua tergantung dari
hal itu! Selama beberapa waktu setelah melihat Jennings keluar naik sepeda Pettigrew,
Darbishire berdiri di balik jendela kelas sambil memikirkan titik-titik lemah
dalam Rencana Pemangkasan Rambut dengan Diam-diam ? Hak Cipta: JCT. Jennings.
Risikonya cukup besar, kata Darbi dalam hati. Di pihak lain, temannya itu sudah
berpengalaman dalam melakukan perbuatan seperti itu dan mungkin pada akhirnya
akan berhasil juga, meski mengalami berbagai kesukaran dalam menjalaninya.
Setelah perasaan cemasnya hilang, Darbi pergi ke ruang duduk murid-murid untuk
melihat-lihat album prangkonya. Dalam perjalanan ke sana ia berpapasan dengan
Matron yang baru keluar dari klinik di tangga.
"Ah, Darbishire," kata Matron menyapa. "Ke mana saja kau dan Jennings" Dari tadi
sudah kutunggu-tunggu. Apa yang terjadi dengan kalian berdua?"
Darbishire langsung tegang, karena merasa bersalah. Kecelakaan dengan cat
semprot pasti ketahuan oleh Matron! Tapi dengan segera Darbi tenang kembali
ketika Matron melanjutkan, "Kusangka kalian hendak ikut denganku pukul empat ke
ruang jahit untuk memilih pakaian bagi orang-orangan kalian. Sudah hampir
sepuluh menit aku menunggu kalian."
"O, ya, betul, tentu saja, Matron," kata Darbishire yang masih agak lemah karena
terkejut tadi. Tapi ia menabahkan diri dan berkata, "Yah, sebenarnya kami tidak
tahu bahwa yang Anda maksud pukul empat. Kami kira Anda berkata sesudah makan
siang, tapi Anda tidak ada sewaktu kami... eh, datang ke atas untuk melihat."
"O, begitu. Yah, kalau begitu sekarang saja kita melakukannya. Mana Jennings?"
Itu merupakan pertanyaan yang sulit dijawab.
"Dia... eh... yah, dia tidak ada di sini saat ini. Mungkin ada di tempat lainatau tepatnya, maksud saya, saya tidak tahu apakah saya bisa memanggilnya
sekarang ini-jika Anda mengerti maksud saya."
Matron tidak memahami maksud Darbishire, tapi ia tidak menanyakannya lebih
lanjut. "Kalau begitu kau sendiri sajalah yang ikut dan memilihnya nanti. Aku
tidak bisa membuang-buang waktuku sesore ini hanya untuk menunggu Jennings
muncul." Matron berbalik lalu mendului naik tangga menuju ke ruang jahit. Setiba di sana
dibukanya pintu dengan anak kunci yang dibawanya. Sewaktu masuk mengikuti
Matron, Darbishire memandang berkeliling dengan perasaan gelisah. Ia khawatir,
jangan-jangan dia dan Jennings meninggalkan sesuatu di situ, yang bisa menarik
perhatian Matron. Tapi mangan itu tampak cukup rapi, tidak menampakkan bekasbekas kedatangan mereka tadi siang.
Matron membuka lemari dinding. "Ini ada beberapa kemeja dan sweter usang yang
boleh kauambil," katanya sambil mencari-cari di rak-rak lemari itu. "Dan kalau
tidak salah juga ada celana jeans sudah tua di sini."
"Ya, betul, Matron. Di bawah tameng-tameng dada dari kardus itu," kata
Darbishire dengan segera, tanpa berpikir lagi.
Matron menoleh ke arahnya dengan heran.
"Penglihatanmu bagus! Bagaimana kau bisa tahu apa yang ada di bawah tamengtameng dada itu?" "Yah, saya cuma menduga, barangkali saja ada di situ. Di tempat semacam itu kan
biasanya ditaruh celana jeans." Dalam hati, Darbishire mengumpati dirinya
sendiri. Nyaris saja ketahuan! Matron mestinya tahu bahwa ia tidak bisa melihat
dari tempatnya berdiri. Matron mengambil setumpuk pakaian bekas lalu membawanya ke meja. Tidak cukup
tempat di situ untuk menggelar semuanya, karena separo meja sudah ditempati
pakaian yang masih dipakai sehari-hari, yang masih harus ditambal atau dijahit.
Di antaranya tampak kaus kaki Temple, sweter Blotwell yang robek, jas hujan
Binns yang hilang kancingnya, dan, paling atas dari tumpukan itu, jaket sport
tua Pak Wilkins yang dibawanya ke situ pagi itu karena ada beberapa bagian yang
perlu dijahit. Matron mendorong tumpukan pakaian yang masih harus dibetulkan itu ke ujung meja
lalu meletakkan tumpukan yang diambilnya dari lemari dinding pada ujung yang
lain. "Nah, sekarang silakan pilih sendiri, Darbishire!"
Darbishire melakukan tugasnya seperti harus memilih busana yang akan dipakai
guna menghadiri pesta kebun keluarga kerajaan. Beberapa menit lamanya ia
memilih-milih. Tapi ia tidak bisa mengambil keputusan. Matron sudah mengetukngetukkan telapak sepatunya ke lantai dengan sikap tidak sabar.
"Ayo, ambillah keputusan. Kalau kau ragu terus, bisa-bisa sepanjang malam kita
tetap di sini," keluh Matron, sementara Darbi bingung memilih antara baju piama
bergaris-garis dan kemeja berwarna. "Kan hanya akan untuk orang-orangan, yang
nantinya juga akan dibakar."
"Memang benar, Matron, tapi kami ingin penampilannya bergaya," Darbishire
mengatakannya dengan bersungguh-sungguh. Ia mengemban tugasnya dengan serius.
"Soalnya, hanya ada saya sendiri di sini untuk melakukan pilihan. Jadi saya
tidak bisa sembarangan mengambil keputusan."
Lima menit kemudian, ketika Darbishire masih saja menilik tumpukan pakaian bekas
tanpa bisa mengambil keputusan, Atkinson menjengukkan kepalanya dari balik pintu
dan berkata, "Ah, di sini Anda rupanya, Matron! Bromwich ada di klinik. Ia
merasa kurang enak badan. Saya katakan padanya bahwa saya akan melapor pada
Anda." "Baiklah, aku segera datang," jawab Matron. "Mendingan itu daripada menonton
ahli penata busana modis ini sedang sibuk memilih-milih model terbaru." Ketika
sudah sampai di ambang pintu Matron menoleh dan menambahkan, "Ambil saja yang
kaukehendaki, Darbishire, sementara sisanya kaubiarkan saja di meja. Nanti akan
kusimpan lagi." "Ya, Matron. Terima kasih, Matron."
"Dan jangan sampai pakaian-pakaian bekas itu tercampur dengan yang masih harus
dibetulkan!" "Baik, Matron. Itu takkan terjadi. Masa saya seceroboh itu"!"
Ia berniat akan berhati-hati sekali. Meskipun demikian, ketika akhirnya
Darbishire selesai memilih pakaian yang dinilainya bergaya untuk orang-orangan
mereka, keadaan di atas meja ruang jahit itu tampak seperti di tempat obral
pakaian. Sebelum pergi ia masih berusaha merapikan lagi. Namun sementara itu
semuanya sudah tercampur aduk. Pakaian-pakaian itu sudah tidak lagi merupakan
dua tumpukan yang terpisah.
Tapi itu tidak perlu terlalu dipikirkan, katanya pada diri sendiri. Matron pasti
segera membuat keadaan di atas meja itu rapi kembali begitu ia kembali. Matron
sangat terampil mengerjakan urusan-urusan seperti itu!
Dengan perasaan puas, sambil mengepit perangkat pakaian hasil pilihannya,
Darbishire menuruni tangga ke lantai bawah, untuk mencari Venables dan Temple.
Kedua anak itu ditemukannya di ruang tempat menaruh kotak-kotak perbekalan
jajanan. Mereka sedang berusaha menambal sebuah lubang di tungkai kiri orangorangan. Bagian karung di tempat itu sudah lapuk, sehingga jerami yang diisikan
ke dalamnya selalu saja tersembul ke luar.
"He, bagaimana pendapat kalian tentang ini?" seru Darbi dengan gembira, sambil
mencampakkan perangkat pakaian yang dibawanya ke seberang mangan, ke arah mereka. "Mode pria yang paling baru, seperti yang diiklankan di TV."
Darbishire telah melakukan pilihan berselera: selembar kemeja warna merah jambu,
celana jeans yang sudah belel, sebuah jaket sport yang sudah tua, sebuah topi
pandan, sepasang sarung tangan yang kedua-duanya untuk tangan kiri, sebuah selop
besar untuk dipakai di kamar tidur, dan sebuah sepatu kanvas kecil bersol karet.
Pilihan itu disambut dengan hangat oleh Venables dan Temple. Kedua anak itu
langsung mendandani tubuh orang-orangan yang lembek dengan busananya yang
menggelikan itu. Sementara potongan pakaian terakhir ditarik-tarik menyelubungi
kedua lengan yang berisi jerami, Temple mengatakan, "He, ini kan jaket Pak
Wilkie. Itu, yang biasa dipakainya kalau mewasiti permainan sepakbola."
"Yah, dia takkan mewasiti sepakbola dengan ini lagi," kata Venables. "Tidak
sesudah hari ini." "Kata Matron tadi, aku boleh mengambilnya," kata Darbishire menenangkan mereka.
"Katanya, aku boleh mengambil yang mana saja, kecuali yang masih harus
dibetulkan." Temple mengangguk. "Kalau begitu bereslah. Memang sudah waktunya Pak Wilkie
membeli jaket baru."
Ketika orang-orangan itu sudah selesai didandani, mereka menaruhnya dalam posisi
duduk di rak lalu berdiri mengelilingi sambil mengagumi penampilannya.
Venables berkata, "Hebat, ya! Dengan jaket itu, bahkan kelihatannya mirip Pak
Wilkie. Nanti apabila anak-anak yang lain melihatnya, mereka pasti tertawa
geli." Darbishire memiringkan letak topi pandan sedikit lagi agar kelihatan lebih aksi.
Ia mengatakan, "Kita harus membeli topeng untuknya. Atau kalau tidak, membuatnya
sendiri. Itu bisa kita jadikan tugas buat Jennings."
"Ke mana dia?" tanya Venables. "Kusangka kalian berdua yang bersama-sama
memilihkan pakaian."
Darbishire mengernyitkan muka. "Tadinya memang begitu, tapi ia mengalami
kecelakaan yang tidak boleh diketahui oleh siapa pun juga."
Mata kedua anak itu langsung membundar karena perasaan ingin tahu. "Apa yang
terjadi" Kau kan bisa menceritakannya kepada kami," desak Temple. "Kami kan
bukan guru!" "Memang bukan, tapi..." Darbishire menimbang-nimbang. Rasanya pengaturan
keamanan tidak berlaku untuk kedua teman mereka itu.
"Begini, kalian tahu, kan, anak kunci paviliun" Dan kalian tahu, anak kunci itu
masih belum ditemukan?"
"Tentu saja kami tahu!" kata Temple. "Sepanjang minggu ini, pada saat berkumpul
pagi hari, Kepala Sekolah ngomongnya kan tentang itu terus."
"Nah anak kunci itu ada di dalam saku Jen. Dia-yah, bisa dikatakan-menyitanya
dari Pak Wilkie sewaktu guru itu sedang tidak ada. Ternyata anak kunci itu juga
bisa dipakai untuk membuka pintu ruang jahit."
Temple dan Venables menatap Darbishire sambil mengerutkan kening. Mereka tidak
mengerti. Bagi mereka, penjelasan anak itu sama sekali tidak jelas.
"Teruskanlah! Lalu kenapa?"
"Dia harus cepat-cepat mencari akal ketika cat ternyata tidak bisa dihilangkan
dengan jalan mencucinya. Kalian tentu saja tidak bisa tahu mengenainya, karena
ka1in saat itu tidak ada di sana."
Melihat kedua pendengarnya masih juga belum mengerti, Darbishire lantas
memaparkan bencana yang terjadi di ruang jahit serta secara ringkas menuturkan
tentang Rencana Memangkas Rambut dengan Diam-diam.
Venables dan Temple mendengarkan dengan asyik.
"Serahkan saja pada Jennings, untuk memikirkan siasat yang lihai," kata Venables
ketika Darbishire selesai bercerita. "Lalu di mana dia sekarang?"
"Sekarang" Maksudmu pada saat ini?" tanya Darbishire. Ia memandang jam
tangannya. Tepat pukul lima lewat dua puluh menit, Waktu Greenwich. "Yah,
menurut jadwalnya yang termasyhur, tepat waktu, dan tidak mungkin meleset, saat
ini Jennings sedang berdiri di halte bus di Dunhambury, menunggu bus pukul
setengah enam datang!"
Perkiraan Darbishire itu keliru. Pada saat itu Jennings tidak sedang menunggu di
halte bus Dunhambury. Ia bahkan sama sekali tidak berada di dekat-dekat tempat
itu. Ia masih bersembunyi di balik lemari pajangan di salon penata rambut.
Dengan perasaan semakin gelisah, ia bertanya-tanya dalam hati, masih berapa lama
pemangkasan rambut Pak Wilkins berlangsung.
Waktu sudah berlalu tujuh menit sejak ia bergegas menyembunyikan diri, dan
dengan setiap detik yang berlalu, situasi semakin bertambah gawat baginya.
Apabila ia tidak keluar dari tempat itu dalam waktu semenit yang tersisa, takkan
ada harapan baginya untuk bisa naik bus, seperti yang sudah direncanakannya. Dan
apabila ia tidak kelihatan di sekolah pada saat makan sore, pasti akan ada
pertanyaan, dan segala perbuatannya akan ketahuan: menyimpan secara tidak sah
anak kunci yang hilang, memasuki ruang jahit tanpa izin, mengelabui guru
pengawas, pergi naik bus tanpa izin, begitu pula...
Tiba-tiba Jennings menjadi tegang. Ia menahan napas. Dari tempat
persembunyiannya di balik lemari pajangan, ia bisa melihat bayangan Pak Wilkins
di cermin; dan sementara ia masih memperhatikan, dilihatnya tukang pangkas yang
melayani guru itu membuka kain selubung yang menutupi bahu pelanggannya.
Penderitaannya sudah berakhir! Pak Wilkins akan pergi-pada saat-saat terakhir
baginya! Jennings memutuskan untuk membiarkan Pak Wilkins keluar dulu dan berjalan sampai
ke sudut jalan dan menuju ke tempat parkir mobil. Setelah itu ia akan berlari
sekencang-kencangnya ke arah yang berlawanan. Apabila nasibnya mujur, ia akan
tiba di halte bus beberapa saat sebelum kendaraan umum itu datang.
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi saat berikutnya, harapan Jennings yang tadi sudah bangkit, langsung
berantakan lagi. Tukang cukur tadi, setelah mengibas-ngibaskan kain selubung
untuk menyingkirkan rambut yang menempel, kemudian menyelubungkannya kembali
menutupi tubuh Pak Wilkins. Ternyata ia masih hendak mencuci rambut Pak Wilkins!
Jennings rasanya kepingin menangis karena kecewa. Dengan perasaan kecut
diperhatikannya tukang cukur itu mendekatkan kursi yang diduduki Pak Wilkins ke
dinding. Dilihatnya guru itu memajukan tubuhnya ke depan lalu menundukkan kepala
di atas bak tempat cuci rambut.
Kemudian, sambil terus memperhatikan, dalam benak Jennings timbul gagasan nekat.
Jika kepala Pak Wilkins sedang dimasukkan ke dalam bak, ia takkan bisa melihat
apa yang terjadi di belakangnya! Inilah saatnya untuk melarikan diri ke luar!
Kalau tidak sekarang, pasti nanti sudah terlambat!
Sambil menggenggam topi petnya erat-erat, Jennings meninggalkan tempat
persembunyiannya lalu berjingkat-jingkat menuju pintu depan. Ia sebenarnya ingin
berlari, tapi takut bunyi langkahnya akan menyebabkan Pak Wilkins mengangkat
kepalanya untuk melihat. Karenanya Jennings bergerak maju dengan langkah berjingkat-jingkat. Geraknya
saat itu seperti kucing yang sedang berjalan di atas pagar yang dipasangi pakupaku. Ia begitu tegang membayangkan bahaya yang mengancam, sehingga tidak
melihat senyuman membesarkan hati yang tersungging di wajah Pak Hales, begitu
pula pandangan terheran-heran yang diarahkan para pelanggan yang sedang
menunggu. Kini Jennings sudah sampai di belakang kursi yang ditempati Pak
Wilkins. Pintu depan tidak sampai dua meter lagi jauhnya, dan setelah melewati
pintu itu ia akan selamat.
Jennings terus berjalan, berjingkat-jingkat. Ia sampai di pintu dan tangannya
sudah bergerak hendak meraih pegangan, ketika Pak Wilkins mengangkat kepalanya
dan melihat bayangan anak yang sedang berusaha keluar tanpa ketahuan itu.
"Ah, Jennings!" kata Pak Wilkins.
8. Rencana Kampanye JENNINGS begitu kaget, sampai terlonjak seperti kelinci terkejut. Ia membalikkan
tubuh dengan perasaan kecut. Kerongkongannya kering: ia tidak bisa mengatakan
apa-apa. Ia hanya bisa melongo dengan wajah tolol, menunggu datangnya pertanyaan
yang sudah pasti akan diajukan, disusul kemarahan guru itu.
Tapi ternyata yang ditakutinya tidak terjadi!
Pak Wilkins bukannya bertanya, ia malah berkata, "Sungguh, kau tampak jauh lebih
rapi sekarang, Jennings, setelah memangkaskan rambutmu. Tidak lagi kelihatan
seperti atap rumbia yang dijadikan sarang oleh burung-burung. Aku nyaris saja
tidak mengenalimu." Ia mengatakannya dengan nada ramah dan berkelakar. Sedikit
pun tidak terasa adanya nada heran atau marah.
Jennings bingung. Kenapa Pak Wilkie jadi begitu" Kenapa ia tidak minta
penjelasan dan mengancamkan berbagai hukuman" Keheranannya semakin bertambah
ketika guru itu melanjutkan, "Tunggu sebentar sampai aku sudah selesai, nanti
kau boleh ikut aku pulang ke sekolah. Tunggu saja di dalam mobilku, jika kau
mau. Aku menaruhnya di tempat parkir, di balik sudut jalan."
"Baik, Pak. Terima kasih, Pak."
Dalam keadaan masih bingung, Jennings meninggalkan salon dengan langkah lunglai.
Ia menuju ke tempat parkir mobil di dekat situ, tempat mobil Pak Wilkins ditaruh
agak jauh dari jalan masuk. Pintu-pintu kendaraan itu tidak terkunci.
Jadi Jennings lantas masuk dan duduk di bangku di sebelah tempat duduk
pengemudi, lalu berusaha memahami hal-hal yang baru saja dialaminya.
Tapi ia tidak berhasil! Dari sudut mana pun ia mencoba meniliknya, ia tetap saja
tidak menemukan alasan bagi sikap Pak Wilkins tadi.
Coba saja pikirkan kenyataannya! Ia barusan tertangkap basah, berada di luar
lingkungan sekolah tanpa izin, melakukan sesuatu yang begitu luar biasa sehingga
guru mana pun akan menuntut penjelasan.
Sementara Pak Wilkins tadi menerimanya seakan-akan merupakan hal yang paling
lumrah. Satu pertanyaan pun tidak diajukannya! Sama sekali tidak ada kata-kata kecaman!
Benar-benar tidak masuk akal!
Tapi hal yang membingungkan bagi Jennings, bagi Pak Wilkins merupakan persoalan
yang sangat jelas. Soalnya, baru saja dua hari yang lalu, pada saat para guru
sedang makan malam, Kepala Sekolah memutuskan bahwa anak itu harus pergi ke
Dunhambury pada kesempatan libur setengah hari yang berikut untuk memangkaskan
rambutnya. Jadi tidak aneh bagi Pak Wilkins kalau kedatangan mereka berdua di
salon penata rambut terjadi pada saat yang hampir bersamaan.
Jennings berhenti memikirkan urusan itu, lalu dengan iseng memperhatikan panel
instrumen yang ada di depannya. Kunci starter ada di tempatnya, tergantung pada
sebuah gelang tempat juga terdapat seberkas anak kunci.
Ia membungkukkan tubuhnya ke depan, mengamati dengan lebih saksama. Eh, tentu
saja! Itu kan berkas kunci yang begitu jarang terpisah dari pemiliknya; berkas
dari mana Jennings "meminjam" anak kunci paviliun, anak kunci bertotol cat hijau
di tangkainya.... Ini kesempatan baginya untuk mengembalikan anak kunci itu ke
tempatnya, tanpa ada yang melihat!
Jennings celingukan, memandang berkeliling. Tapi ia tidak melihat Pak Wilkins.
Dengan cepat dikeluarkannya anak kunci paviliun dari sakunya, lalu
digabungkannya kembali ke berkas anak kunci yang tergantung pada gelang kunci.
Setelah itu barulah ia menarik napas lega.
Beberapa menit kemudian Pak Wilkins, dengan rambut sudah dipangkas rapi,
berjalan dengan langkah panjang-panjang menyusuri mobil-mobil yang diparkir
berderet-deret. "Siap untuk berangkat!" katanya ramah dengan suaranya yang menggelegar,
sementara ia duduk di bangku pengemudi. "Untung aku tadi melihatmu. Kurasa jika
kau tadi berjalan ke halte bus, bus yang hendak kaunaiki pasti sudah berangkat."
Sambil berkata begitu diputarnya kunci starter untuk menghidupkan mesin mobil.
Dalam perjalanan, Jennings terus melirik ke arah Pak Wilkins dengan sikap
waspada. Tapi tidak sesaat pun-juga tidak ketika mereka sudah tiba di sekolahPak Wilkins menyadari bahwa anak kunci yang selama itu lenyap kini sudah kembali
di tempatnya semula. Venables, Temple, dan Darbishire sedang mencuci tangan, bersiap-siap pergi ke
ruang makan untuk minum teh sore, ketika mereka mendengar bunyi mobil Pak
Wilkins berhenti di luar, di pelataran tempat bermain.
Temple, yang paling dekat ke jendela, terdengar tersentak kaget. Itu menyebabkan
kedua anak yang lain bergegas menghampirinya.
"Lihat itu! Jennings tertangkap oleh Pak Wilkie. Beliau membawanya pulang dengan
mobil." "Wow! Kasihan Jennings! Pasti akan terjadi keributan gawat mengenainya apabila
mereka sudah masuk nanti," kata Venables meramalkan.
"Taruhan, Pak Wilkie pasti marah besar."
"Yah, sampai di situ sajalah Rencana Memangkas Rambut dengan Diam-diam," kata
Darbishire sambil menggeleng-geleng sedih. "Sudah dari semula kuketahui bahwa
rencana itu bukan tidak mungkin gagal. Tapi Jennings, mana mau dia mendengar
kalau sudah punya kemauan!?"
Ia memandang dengan mata terpicing ke arah luar yang sudah remang-remang gelap,
sementara Pak Wilkins dan Jennings berjalan beriring-iringan menuju pintu
samping. Dengan perasaan heran, Darbishire menambahkan, "Tapi Pak Wilkie
kelihatannya tidak marah-marah. Aku baru saja mendengar beliau tertawa."
"Yah, tentu saja Pak Wilkie tertawa," kata Temple. "Terkekeh senang membayangkan
apa yang nanti akan dilakukan beliau terhadap si korban yang malang, yang sudah
tidak bisa berbuat apa-apa lagi, seperti cacing yang terkait pada mata kail." Ia
melangkah ke pintu. "Yuk, kita periksa apa yang telah terjadi. Aku harus
mengetahuinya." Ketika ketiga anak itu sampai di serambi depan, Pak Wilkins dan Jennings masuk
ke situ lewat pintu samping. Pak Wilkins tampak senang sekali.
"...tapi kurasa tidak ada alasan untuk merasa cemas," katanya dengan nada
menenangkan. "Pasti ada di tempat yang aman. Aku akan mencarinya dengan saksama malam ini
juga." "Terima kasih, Pak," jawab Jennings. "Tapi Anda tidak perlu repot-repot, karena
itu tidak begitu penting."
"Tentu saja itu penting! Aku yang diserahi tanggung jawab atasnya dan aku
bertekad akan..." Pak Wilkins tidak melanjutkan kalimatnya ketika melihat Darbishire, Venables,
dan Temple memandang sambil melongo ke arahnya dari seberang serambi. "Ada apa
dengan kalian bertiga" Kalian tidak mengenali Jennings lagi setelah rambutnya
dipangkas?" Terdengar suara tertawa Pak Wilkins yang menggelegar. "Aku
sependapat, memang kaget juga melihatnya berpenampilan seperti manusia beradab,
tapi harus kalian akui bahwa perubahannya bersifat positif."
Saat itu lonceng tanda makan sore berdering. Pak Wilkins langsung berjalan
dengan cepat menuju kamarnya, meninggalkan Jennings yang cengar-cengir kikuk
sambil tetap berdiri di atas keset di belakang pintu. Teman-temannya yang
kebingungan bergegas menghampiri lalu menghujaninya dengan berbagai pertanyaan.
"Di mana melesetnya" Bagaimana kau sampai bisa tertangkap oleh Pak Wilki" Apa
yang akan terjadi sekarang" Apa sebabnya beliau tidak marah-marah?"
Jennings menghadapi berbagai pertanyaan itu dengan cengiran yakin. "Jangan
panik! Operasi diselesaikan sesuai dengan rencana-yah, tidak benar-benar sesuai,
tapi segala-galanya beres."
"Ya, tapi..." "Saat ini tidak ada waktu untuk menjelaskan! Lonceng makan sore sudah berbunyi
dan aku lapar. Nanti saja kuceritakan." Jennings mencampakkan topi petnya ke
cantolan terdekat, lalu bergegas ke ruang makan. Teman-temannya mengikuti dengan
perasaan ingin tahu yang sangat besar.
"Tapi apa yang diocehkan Pak Wilkins tadi ketika mengatakan bahwa tidak ada
alasan untuk merasa cemas?" desak Venables sambil menarik bahu Jennings agar
temannya itu memperlambat langkahnya.
"O, itu! Itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan operasi rahasiaku,"
jawab Jennings sambil membebaskan diri dari pegangan Venables. "Itu cuma tentang
arlojiku yang kutitipkan kepada beliau beberapa hari yang lalu, sewaktu sedang
main sepakbola. Pak Wilkie kemudian tidak ingat lagi di mana barang itu
ditaruh." "Cuma itu saja"!" Venables kecewa. "Tapi itu memang khas Pak Wilkie. Beliau itu
sudah linglung-arlojimu dihilangkan, anak kunci paviliun dihilangkan. Kalau
tidak hati-hati, kapan-kapan bisa kepala Pak Wilkie sendiri yang hilang."
"Ya, begitulah." Jennings tersenyum, seakan menikmati suatu lelucon yang hanya
dia sendiri yang tahu. "Tapi kalian tidak perlu khawatir tentang urusan anak
kunci paviliun. Aku punya perasaan, barang itu kapan-kapan pasti akan muncul
lagi. " Baru ketika anak-anak yang menempati Ruang Tidur Empat sudah masuk ke ranjang
masing-masing, mereka memperoleh peluang untuk mendengarkan kisah sebenarnya
dari peristiwa sore itu. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka
membanding-bandingkan nasib mujur dan nasib sial yang muncul, dan akhirnya
mengakui kehebatan Jennings dalam menangani situasi yang sulit. Serahkan saja
pada Jennings! Begitulah kesimpulan mereka. Kalau ada yang bisa lolos dari kesulitan itu,
Jennings termasuk salah seorang di antaranya!
Tapi hal yang tidak bisa mereka mengerti adalah tingkah laku Pak Wilkins yang
diluar kebiasaan ketika jelas menghadapi kasus pelanggaran terhadap tata tertib
sekolah. Apa sebabnya dia tidak melabrak dan menjatuhkan hukuman kepada Jennings
yang nyata-nyata bersalah, harus dinilai sebagai salah satu misteri yang paling
aneh pada zaman modern ini.
Venables menegakkan tubuhnya di tempat tidur dan berkata, "Aku sependapat bahwa
bagaimanapun Jennings memang berhasil. Tapi jika aku yang mengalami kejadian
tadi sore itu, aku berani bertaruh bahwa aku pasti bisa melewati Pak Wilkie
tanpa ketahuan sama sekali."
"Dengan cara bagaimana?" tanya Atkinson.
"Nah, dia kan mengantongi topeng Guy Hawkes itu! Dia bisa memakainya untuk
menutupi muka lalu berlenggang keluar salon, sementara Pak Wilkie takkan mungkin
bisa mengenalinya. Itu dia, rencana yang benar-benar lihai."
Jennings, si jago siasat, mengeluarkan bunyi dari mulutnya sebagai tanda
meremehkan. "Sungguh, Venables, kau ini rasanya perlu memeriksakan otakmu. Aku
sudah cukup sering mendengar siasat yang konyol, tapi yang kauucapkan tadi itu
benar-benar pantas mendapat tanda penghargaan sebagai yang paling konyol." Dari
bangku duduk di samping tempat tidurnya ia mengambil topeng yang dibawanya ke
ruang tidur untuk diperlihatkan kepada teman-temannya.
"Bayangkan, aku berlenggang lewat di belakangnya dengan dasi dan jas seragam
sekolah, membawa topi pet di tangan, dan memakai benda ini menutupi mukaku!"
Untuk memperagakan maksudnya, dipakainya topeng plastik berwajah aneh itu, lalu
ia meloncat turun dari ranjang dan berjalan sempoyongan di dalam ruangan sambil
menggerak-gerakkan kedua lengannya dengan sikap konyol. Ketika sampai di tepi
ranjang Venables ia berkata, "Kurasa kau beranggapan, Pak Wilkie akan mengatakan
begini dalam hati, 'Ah, ada anak lewat. Seorang anak dari Sekolah Linbury Court,
dengan hidung bulat seperti bola kriket dan berkumis tebal melengkung ke bawah.
Aneh, aku selama ini tidak pernah melihatnya. Pasti anak baru!'"
Setelah menunjukkan kekonyolan siasat Venables, Jennings menari-nari kembali
lalu berhenti di ,samping tempat tidurnya, tepat pada saat Pak Carter masuk
untuk memberitahu bahwa sudah tiba saatnya anak-anak tidur dan tidak bercakapcakap lagi. "Pertunjukan yang mengerikan," kata guru itu sambil pura-pura ngeri. "Hilanglah
sekarang seleraku untuk makan malam."
Jennings melepaskan topeng yang menutupi mukanya lalu nyengir. "Anda bisa
mengenali saya, Pak" Bisa tahukah Anda siapa orangnya jika topeng ini terus saya
pakai?" Pak Carter tetap memasang tampang serius. "Kau tentunya sudah tahu, Jennings,
semua guru memiliki mata fotoelektrik pemantau pencuri. Pandangan mereka bahkan
bisa menembus penyamaran yang paling membingungkan!"
Pak Carter memadamkan lampu kamar lalu pergi ke ruang guru, tempat beberapa
rekannya berkumpul sebelum makan malam. Kepala Sekolah sedang meneliti sebuah
catatan, sibuk mengecek urusan-urusan yang masih harus dilakukan.
"Ah, Anda, Carter! Saya perlu bicara sedikit dengan Anda mengenai acara Malam
Api Unggun," katanya. "Saya sudah mengirim undangan kepada sejumlah penduduk
setempat, seperti yang Anda sarankan, dan saya juga sudah memberitahu mereka
bahwa saya sudah mengizinkan beberapa anak untuk mengumpulkan sumbangan apabila
pesta kembang api sudah selesai."
"Bagus," kata Pak Carter menyetujui. "Ini sebenarnya gagasan anak-anak Kelas
Tiga. Jennings dan kawan-kawannya berharap akan berhasil mengumpulkan uang dalam
jumlah yang lumayan, yang kemudian akan disumbangkan untuk menolong orang-orang
yang kelaparan di dunia."
"Saya senang mendengar Jennings akhirnya..." Pak Pemberton-Oakes tidak
melanjutkan kalimatnya. Di wajahnya muncul sekilas perasaan kesal. "Ck,
menjengkelkan! Ngomong-ngomong tentang Jennings, saya lantas teringat bahwa saya
bermaksud menyuruhnya pergi memangkaskan rambutnya tadi siang. Tapi saya lupa
sama sekali." Pak Wilkins, yang selama itu sibuk membaca koran petang, mengangkat kepalanya.
"Anda lupa, Pak" Tapi Anda pasti sudah menyuruhnya. Saya berjumpa dengan anak
itu di salon di Dunhambury. Saya ajak dia pulang naik mobil saya."
"0, ya" Aneh sekali! Anda tanyakan tidak padanya, siapa yang menyuruhnya?"
"Itu sama sekali tidak timbul dalam pikiran saya, karena saya anggap dia ada di
sana setelah Anda menyuruhnya."
"Tidak, baru sekarang ini saya ingat hal itu. Jadi kenapa..." Tiba-tiba air muka
Kepala Sekolah yang tampak heran berubah menjadi penuh pengertian. "Ah, ya,
tentu saja, pasti Matron yang menyuruh. Matron hadir sewaktu kita membicarakan
soal itu pada saat makan malam beberapa hari yang lalu. Untunglah, dia ingat
untuk memberitahu anak itu."
Matron saat itu kebetulan tidak ada, jadi tidak bisa mengatakan bahwa bukan dia
yang menyuruh Jennings pergi. Pak Pemberton-Oakes kemudian berbicara tentang
urusan-urusan lain.... Dan di lantai atas, di Ruang Tidur Empat, Jennings merebahkan diri di ranjangnya
untuk tidur, tanpa sadar bahwa ia baru saja kembali bernasib baik, lolos lagi
dari malapetaka yang mungkin menimpa dirinya.
Pada hari-hari libur setengah hari tertentu, setelah selesai bermain sepakbola,
anak-anak Linbury Court diizinkan pergi ke desa Linbury untuk membeli jajanan
atau apa saja yang mereka perlukan. Kebiasaan inilah yang hendak dimanfaatkan
Jennings beserta teman-temannya untuk tujuan mereka sendiri, yaitu mengarak
orang-orangan mereka di jalan desa sambil melambai-lambaikan kotak-kotak
sumbangan di depan muka orang-orang yang lewat.
Hak pergi ke desa bisa dicabut sebagai hukuman karena berkelakuan buruk atau
karena kemajuan belajar dalam kelas tidak memuaskan.
Tapi pada hari Sabtu pertama bulan November, tak ada satu pun dari kelima
anggota Subpanitia Aksi Khusus Dana Kembang Api Kelas Tiga yang dikenai hukuman
itu. Mereka berkumpul di pintu gerbang gedung untuk mengecekkan nama-nama mereka
kepada guru yang saat itu bertugas sebagai pengawas.
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jennings, Darbishire, Atkinson, Venables, Temple," kata Pak Carter, sambil
membubuhkan tanda di belakang nama anak-anak itu. "Kalian harus melapor lagi
bahwa kalian sudah kembali pukul setengah enam nanti. Jangan sampai terlambat."
"Baik, Pak!... Tidak, Pak!"
Kelima anak itu pun berjalan ke luar dengan tertib. Tapi begitu sudah tidak
terlihat lagi dari gedung sekolah, mereka berbelok ke kanan, berjalan menyusuri
pinggiran lapangan-lapangan sepakbola, menuju gudang penyimpanan perkakas yang
letaknya di belakang kebun sayur.
"Kita nanti keluar lewat pintu pagar belakang," kata Darbishire kepada Atkinson,
yang tidak hadir ketika Jennings memaparkan rencana mereka di gudang perbekalan.
"Jika kita lewat jalan setapak; kecil sekali kemungkinannya kita akan berpapasan
dengan orang lain dalam perjalanan."
"Oke, tapi bagaimana dengan orang-orangannya?" tanya Atkinson, petugas hubungan
masyarakat organisasi mereka. "Kan kita akan membawanya."
"Memang! Orang-orangan itu ada di dalam gudang perkakas. Temple dan Venables
menaruhnya dengan sembunyi-sembunyi di sana kemarin, disembunyikan di bawah
karung-karung. Dan di situ ada semacam gerobak, yang menurut Temple cocok sekali
dipakai untuk mengangkutnya berkeliling nanti."
Mereka berhasil tiba di gudang itu dengan selamat. Orang-orangan dikeluarkan
dari bawah tumpukan karung lalu diikatkan ke sebuah gerobak sampah yang akan
dijadikan keretanya. Dengan topeng sudah terpasang, topi pandan bertengger miring di kepala, dan
jaket olahraga Pak Wilkins yang tampak kekecilan di tubuh yang gemuk itu, dalam
pikiran para anggota Subpanitia Aksi tidak ada keragu-raguan lagi bahwa boneka
itu merupakan hasil karya yang tinggi nilai seninya.
"Semuanya minggir! Cup, aku yang mendorongnya," kata Jennings sambil mendorong
gerobak itu ke luar. "Dan semua waspada, ya. Lihat-lihat kalau ada guru. Kurasa
kita takkan berjumpa seseorang yang perlu kita cemaskan reaksinya, tapi siapa
tahu, kan?" Anak-anak itu tidak melihat siapa pun pada saat arak-arakan mereka menyusuri
jalan setapak yang becek menuju pintu pagar sebelah belakang. Sesampai di luar,
mereka tidak mengambil jalan yang biasa, melainkan menyusuri jalan setapak yang
melintasi tanah pertanian Pak Arrowsmith.
Jalan tanah itu berlubang-lubang karena roda-roda traktor Pak Arrowsmith.
Akibatnya baru saja beberapa ratus meter mereka mendorong gerobak berisi orangorangan di jalan itu, salah satu roda gerobak terlepas dari porosnya.
Jennings mencampakkan roda itu ke dalam parit sambil mengatakan, "Kita tidak
punya waktu untuk membetulkannya. Aku akan mendorong gerobak ini dengan bertumpu
pada satu roda saja, sementara kalian menahan sisi gerobak sebelah sana agar
bisa seimbang." Perjalanan mereka ke desa berlangsung dengan lambat dan tidak mudah. Tapi
akhirnya mereka tiba juga di Linbury. Mereka mendorong gerobak yang hanya beroda
pada satu sisinya itu menyusuri jalan desa. Mereka berhenti tidak jauh dari Toko
Serba Ada yang merangkap Kantor Pos Pembantu, tempat terdapat jalan setapak yang
tegak lurus terhadap jalan utama, menuju ke sederetan rumah pedesaan.
"Ini merupakan geladi resik! Semuanya sudah kuatur, hak cipta merupakan
milikku," kata Jennings ketika gerobak berisi orang-orangan itu sudah
disandarkan dengan aman ke tembok pagar sebuah kebun depan rumah seseorang.
"Aku, Darbi, dan Atki yang akan mengumpulkan sumbangan, sementara Temple dan Ven
menjadi penjaga keamanan di kedua ujung jalan ini." Ia berpaling kepada kedua
penjaga keamanan itu. "Tugas kalian adalah berdiri di tempat yang memungkinkan kalian melihat ke balik
sudut jalan. Kalian nanti harus memberi isyarat dengan cara melambaikan
saputangan kalian apabila melihat ada mobil salah seorang guru datang. Dengan
begitu kami akan punya waktu untuk menyembunyikan kotak-kotak sumbangan lalu
berjalan dengan santai ke Toko Serba Ada, seakan-akan memang hendak ke sana
untuk membeli permen."
"Tapi bagaimana dengan orang-orangan kita?" tanya Atkinson.
"Kita tinggalkan saja. Takkan ada yang tahu bahwa orang-orangan itu berhubungan
dengan kita, jika kita berlagak tidak tahu. Lalu, kalau guru itu sudah lewat,
kita keluar lagi dari toko, dan melanjutkan kerja kita."
"Bagaimana jika guru itu melihat kami melambai-lambaikan saputangan?" tanya
Venables. "Biar saja! Kita kan memang sedang berada di desa, dengan izin resmi dari
sekolah! Kan tidak ada peraturan yang melarang kita melambai dengan ramah pada
guru yang kebetulan lewat."
Darbishire merogoh jas hujannya. Ia mengeluarkan dua kaleng berbentuk tabung,
bekas tempat coklat. Tutup kaleng itu sudah dilubangi, berbentuk celah sempit.
Sisi kedua tabung ditempeli kertas yang terasa lengket karena lem. Pada kertas
itu tertulis dengan huruf-huruf tebal: Dukunglah Usaha Bantuan untuk Bencana
Kelaparan. "Ini untukmu, Atki. Jennings sudah punya," kata Darbishire sambil menyodorkan
sebuah kalengnya kepada Atkinson. "Aku sudah memasukkan uang empat penny ke
dalam tabung yang kaupegang itu agar kau bisa menggerincingkannya untuk menarik
perhatian. Tapi nanti kembalikan, ya, sebelum kita menghitung hasil aksi kita."
Jennings, selaku pemimpin, mengambil tempat di trotoar di samping orang-orangan
mereka. "Oke! Tempati Pangkalan-pangkalan Aksi!" katanya dengan nada memberi
komando. Kelompok aksi bentukan mereka sendiri itu berpencar, pergi ke tempat tugas
masing-masing. Ekspedisi Rahasia Pengumpulan Dana @ Hak Cipta: J.CT. Jennings sudah dimulai!
9. Sumbangan bagi Orang-orangan
DESA Linbury, yang letaknya terpencil dalam salah satu lembah perbukitan di
South Downs di ujung selatan Inggris, bukan merupakan pusat kehidupan pedesaan
yang ramai. Meski di sana ada berbagai hal yang menarik, seperti gereja yang
dibangun semasa Abad Pertengahan, tempat penjualan bensin, serta ketiga tokonya
yang kecil-kecil, penduduk desa itu kebanyakan lebih suka pergi dengan bus ke
kota Dunhambury pada had Sabtu sore, daripada berbelanja atau mengisi waktu
senggang mereka di kampung halaman sendiri.
Karenanya, pada hari itu hanya beberapa orang yang ada untuk mengagumi orangorangan yang diarak anak-anak; dan lebih sedikit lagi yang bersedia mendukung
suatu usaha mulia dengan memberikan sumbangan uang tunai. Setelah menggerincinggerincingkan kaleng-kaleng mereka selama dua puluh menit di depan Toko Serba Ada
merangkap Kantor Pos Pembantu, Darbishire hanya mendapat uang sebanyak tiga
penny dan selembar kupon berhadiah sebatang sabun, Atkinson mendapatkan sekeping
uang franc Belgia, sementara Jennings tidak berhasil mendapat apa-apa.
Yang menunjukkan minat terhadap aksi pengumpulan dana itu juga hanya anak-anak
lain dari sekolah mereka yang juga sedang mendapat izin pergi ke desa; tapi
mereka pun tidak punya uang yang bisa disumbangkan. Mereka hanya bisa memberikan
dorongan semangat saja. "Bagaimana perkembangannya?" tanya Bromwich dan Martin-Jones sewaktu melewati
gerobak berisi orang-orangan dalam perjalanan kembali ke sekolah.
"Pasaran sedang agak sepi saat ini," kata Jennings berterus terang. "Tapi aku
tidak khawatir. Sebentar lagi keadaan pasti akan menjadi lebih baik."
Seakan-akan sebagai jawaban atas perkiraannya itu, Bu Thorpe yang tinggal di
Oaktree Cottage saat itu muncul dengan sepedanya dan dengan seketika keadaan
berubah! Bu Thorpe adalah seorang wanita setengah umur dengan wajah runcing. Ia seperti
tidak mengenal kata lelah. Dengan kata lain, ia sangat aktif dalam kegiatankegiatan di masyarakat desa itu. Penampilannya rapi dan mungil, bagaikan burung,
gerak-geriknya yang serba menggelepar dan suaranya yang mencicit jika berbicara,
menimbulkan kesan seakan-akan dia itu seekor burung kecil yang berkicau. Dia
kenai baik dengan anak-anak, karena sering berkunjung ke sekolah mereka. Mereka
pun pernah beberapa kali terlibat dalam kegiatan Bu Thorpe di lingkungan jemaat
gerejanya. Sewaktu wanita setengah umur itu turun dari sepedanya di depan Toko Serba Ada,
Darbishire menghampiri sambil mengguncang-guncangkan kaleng sumbangannya.
"Selamat siang, Bu Thorpe! Itu orang-orangan Guy Fawkes kami, di sana itu,"
katanya sambil tersenyum sopan. "Apakah Anda bersedia memberi untuk..."
Darbi tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Sebab Bu Thorpe bukannya membalas
sapaan Darbishire dengan senyuman ramah seperti biasanya. Wanita bertubuh kecil
mungil itu menatapnya dengan galak, seperti hendak menelannya mentah-mentah.
"Memalukan!" tukas Bu Thorpe. "Kalian harus merasa malu! Berani-beraninya!"
Suaranya, yang biasanya terdengar merdu seperti kicauan murai di pagi hari musim
semi, saat itu melengking tinggi seperti suara burung beo yang ribut memprotes
karena diberi makanan yang tidak disukainya.
Darbishire terbengong-bengong. "Maaf, saya tidak mengerti," katanya.
"Sumbangan untuk orang-orangan itu, ya!" Bu Thorpe mengibaskan lengannya ke arah
orang-orangan yang didudukkan di dalam gerobak.
"Keterlaluan! Berani-beraninya kau berdiri di sini, meminta-minta sumbangan pada
orang-orang, hanya dengan maksud nanti menghabiskan uang yang terkumpul untuk
membeli jajanan dan kembang api, untuk kesenangan kalian sendiri!"
Jennings bergegas maju untuk menjelaskan.
"Maaf, Bu Thorpe, Anda tidak mengerti. Kami hanya..."
"Aku mengerti sekali. Mengemis-ya, itulah yang kalian lakukan! Memanfaatkan
tanggal 5 November, hari peringatan penumpasan pemberontakan Guy Fawkes, sebagai
alasan untuk merongrong orang-orang agar mau memberikan uang hasil jerih payah
mereka. Akan kukatakan kepada Pak Pemberton-Oakes nanti, apa pendapatku tentang
kelakuan kalian. Aku heran ia mengizinkan hal seperti ini terjadi di
sekolahnya." "Aduh, itu tidak adil, Bu Thorpe! Kami mengumpulkan sumbangan ini bukan untuk
kami." Tapi Bu Thorpe sedang marah sekali, sehingga bahkan tidak mendengar Jennings
menyela. "Dan apabila dipikir, sementara kalian, anak-anak yang serba berkecukupan,
mengemis di jalan, anak-anak miskin di bagian-bagian lain di dunia ini benarbenar berada dalam - keadaan sengsara. Merupakan kewajiban kalian untuk juga
memikirkan mereka yang bernasib tidak sebaik kalian!"
Bu Thorpe berhenti berbicara karena kehabisan napas, dan saat itu dengan cepat
Jennings mengatakan, "Justru itulah yang sedang kami lakukan sekarang ini,"
katanya tegas. "Kami mengumpulkan sumbangan ini bukan untuk kami sendiri. Anda
bacalah apa yang tertulis di kaleng-kaleng sumbangan kami!"
Bu Thorpe membaca tulisan itu, dan dengan seketika air mukanya berubah. Kini ia
tampak bagai burung jalak yang malang, terperangkap dalam jaring, tidak galak
lagi seperti tadi. "Aduh, maaf sekali, ya. Aku tidak tahu tadi," katanya minta maaf. "Jika ini
untuk tujuan amal, lain lagi persoalannya. Aku setuju sekali, dengan sepenuh
hati. Sungguh!" "Ini merupakan bagian dari proyek kami untuk membantu dana yang hendak
dikumpulkan Pak Carter," kata Jennings menjelaskan. "Dan nanti, pada Malam Api
Unggun, kami juga akan melakukan aksi pengumpulan sumbangan."
"Ya, ya, aku akan datang menghadirinya. Aku sudah menerima undangan dari Pak
Oakes," kata Bu Thorpe bersungguh-sungguh. "Maafkan sikapku tadi, karena
terburu-buru menarik kesimpulan yang keliru. Begitu banyak anak-anak
berkeliaran, meminta-minta uang untuk orang-orangan mereka, sehingga aku
berpendapat bahwa sudah waktunya untuk bersikap tegas!" Bu Thorpe mencari-cari
sebentar dalam dompetnya, lalu menyodorkan uang sebanyak dua puluh penny. "Tapi
jika untuk tujuan baik, urusannya jadi lain, kan!"
Uang sebanyak dua puluh penny itu bergerincing masuk ke dalam kaleng sumbangan.
Bu Thorpe, dengan wajah berseri-seri, menyandarkan sepedanya lalu masuk ke Toko
Serba Ada. "Puih!" Jennings menepuk-nepuk keningnya dengan saputangan. "Gawat juga tadi
itu, ya!" Darbishire mengangguk. "Tapi ia baik hati juga. Apalagi jika ia mau menyumbang
lagi dalam pesta kembang api."
Atkinson dengan segera menjauh ke tempat yang dirasakannya cukup aman, begitu
tadi terdengar lengkingan suara Bu Thorpe yang marah-marah. Kini dengan pelanpelan ia datang lagi. Ia merasa bosan dan juga kecewa karena sedikitnya
sumbangan yang masuk ke dalam kalengnya. "Sebentar lagi kita harus pergi dari
sini. Pukul setengah enam nanti kita sudah harus mengembalikan orang-orangan itu
ke dalam gudang." Pandangan matanya menelusuri jalan ke arah Dunhambury. Tahu-tahu disikutnya
rusuk Jennings dengan keras. "He, lihat itu Temple melambai-lambai!" serunya.
Temple memang melambai-lambai-dan telah melakukannya sejak beberapa detik. Kini
ia berjingkrak-jingkrak panik. Ia marah sekali pada ketiga temannya yang
bertugas mengumpulkan sumbangan, karena tidak memperhatikan isyaratnya.
Penyebab kepanikannya adalah mobil Pak Wilkins, yang saat itu sudah melewati
Atkinson dan menuju ke arah ketiga pengumpul sumbangan dengan kecepatan 45
kilometer per jam. Pak Wilkins memang selalu berhati-hati pada saat melalui
jalan desa. Ketiga pengumpul sumbangan itu buru-buru menyembunyikan kaleng-kaleng mereka di
balik jas hujan yang dipakai, lalu berjalan dengan santai ke arah Toko Serba
Ada. Mereka berlagak hendak pergi membeli jajanan di toko itu.
Namun belum sampai sepuluh meter mereka melangkah, ketika siasat mereka tibatiba menjadi kacau. Mereka mengira Pak Wilkins akan terus. Tapi ternyata tidak!
Guru itu memperlambat jalan mobilnya. Tampaknya ia hendak berhenti di depan Toko
Serba Ada. Jennings cepat-cepat berpikir. Bu Thorpe sudah ada di dalam toko. Beberapa saat
lagi Pak Wilkins pun akan ada di situ. Pasti berbahaya sekali jika anak-anak
juga ikut masuk. Soalnya, bila kedua orang dewasa itu kemudian bercakap-cakap,
dan anak-anak itu masuk, Bu Thorpe pasti akan menyinggung tentang orang-orangan
mereka. Sambil menyambar lengan kedua rekannya, Jennings berbisik, "Perubahan rencana!
Cepat, ikut aku!" Ia berbalik dengan cepat lalu lari di jalan sempit itu, menjauhi jalan besar dan
menuju ke deretan rumah pedesaan. Darbishire dan Atkinson, yang kaget dan
bingung, membuntutinya terus sebelum akhirnya, setelah lari sejauh dua puluh
meter, Jennings berhenti di balik sebuah pagar semak.
"Apa-apaan sih?" tanya Atkinson dengan napas tersengal-sengal.
"Kita lebih aman di sini, sementara Pak Wilkie mengobrol dengan Bu Thorpe di
dalam toko," kata Jennings menjelaskan. "Nekat namanya, jika kita juga ikut
masuk ke situ." "Menurutmu, Bu Thorpe akan bercerita padanya?"
Jennings mengangkat bahu. "Itu bisa saja terjadi. Mungkin Bu Thorpe menyangka
kita sudah mendapat izin. Jika Pak Wilkie harus buru-buru dan kita tidak ada di
sana untuk ditanyai, mungkin kita bisa selamat."
Paling-paling, hanya itu yang bisa diharapkan!
"Apa yang kita lakukan selanjutnya?" tanya Darbishire ingin tahu.
"Kita menunggu sampai Pak Wilkie pergi," kata Jennings memutuskan. "Begitu dia
pergi, keadaan aman dan kita bisa kembali ke tempat semula."
Pada saat-saat gawat, Darbishire selalu menyilangkan jari-jarinya dan memberi
dirinya sendiri tiga permintaan untuk mengelak dari bencana. Dan itu juga
dilakukannya saat itu! "Mudah-mudahan Bu Thorpe tidak mengatakan apa-apa tentang kami," katanya meminta
dalam hati. "Mudah-mudahan Pak Wilkie sedang buru-buru. Mudah-mudahan dia sudah
pergi sebelum aku menghitung sampai lima puluh."
Dua permintaan Darbi terkabul. Bu Thorpe begitu sibuk berbicara dengan pelayan
toko di bagian makanan, sehingga ia bahkan tidak melihat Pak Wilkins masuk. Dan
Pak Wilkins, yang ternyata memang sedang buru-buru, hanya membeli sebuah bolpoin
lalu melangkah ke luar lagi. Ia hanya sempat mengucapkan, "Selamat pagi, Bu
Thorpe," sambil berjalan ke pintu.
Dan permintaan Darbi yang ketiga sebenarnya akan bisa terkabul pula, kalau saja
Jennings ingat pada satu hal penting. Orang-orangan Guy Fawkes merupakan
pemandangan yang lumrah di jalan-jalan pada hari Sabtu sebelum tanggal 5
November, dan biasanya Pak Wilkins takkan begitu memperhatikan boneka-boneka
seperti itu. Namun sewaktu hendak masuk ke mobilnya, ia melihat bahwa orang-orangan yang
tergeletak dalam gerobak di depan Toko Serba Ada itu memakai jaket sport yang
potongan dan warnanya seperti pernah dilihatnya.
Pak Wilkins memandang sekali lagi. Tidak mungkin itu jaketnya, katanya dalam
hati. Mustahil! Tapi kelihatannya kok sama dengan miliknya, sampai-sampai ke
tambalan kulit yang sudah aus pada bagian sikunya itu. Dengan perasaan heran, ia
keluar lagi dari mobilnya, menghampiri orang-orangan itu untuk menelitinya
secara saksama. Alisnya langsung terangkat karena kaget. Tidak salah lagi, itu, memang jaketnya,
yang dianggapnya masih ada di ruang jahit sekolah, karena ada beberapa bagian
yang perlu dijahit. Lalu, kenapa ada di situ, membungkus karung berisi jerami terbentuk orangorangan itu, yang tergeletak di luar Toko Serba Ada merangkap Kantor Pos
Pembantu Linbury"
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pak Wilkins bingung. Ia memandang ke kiri dan ke kanan, mencari-cari sesuatu
yang bisa dijadikan petunjuk misteri itu. Tapi Temple dan Venables, kedua anak
yang bertugas sebagai penjaga keamanan, sejak tadi sudah lari menyembunyikan
diri, sehingga tak seorang pun kelihatan. Kemudian Pak Wilkins melayangkan
pandangan ke arah jalan kecil yang menuju ke deretan rumah pedesaan. Ia masih
sempat melihat kepala seseorang yang dengan cepat menyusup masuk kembali ke
dalam perlindungan semak pagar.
Pak Wilkins mengenali kepala itu. Itu kepala Darbishire yang, setelah menghitung
sampai 47, memberanikan diri untuk memandang sebentar ke arah jalan besar dengan
harapan akan melihat mobil Pak Wilkins lewat sebelum ia selesai menghitung
sampai lima puluh. Dengan suara selantang megafon, Pak Wilkins memanggil, "Darbishire! Kemari,
cepat!" Darbishire muncul dari tempat persembunyiannya, diikuti oleh Jennings dan
Atkinson, yang merasa tidak ada gunanya lagi bersembunyi karena sudah ketahuan.
"Apa sebenarnya yang sedang kalian lakukan?" bentak guru itu dengan galak,
sementara anak-anak muncul dari jalan kecil dan berdiri di hadapannya dengan
sikap malu-malu. "Kaliankah yang bertanggung jawab atas benda jelek di dalam
gerobak itu?" "Itu orang-orangan kami, Pak," kata Jennings menjelaskan. "Kami sudah mendapat
izin membuatnya, untuk Malam Api Unggun."
"Itu mungkin saja! Tapi kalian tidak mendapat izin mengarak benda brengsek itu
berkeliling desa, kan"!"
"Yah, sebenarnya tidak, Pak. Tapi kami kira itu takkan apa-apa karena kami
membantu Pak Carter mengumpulkan sumbangan untuk menolong orang-orang yang
menderita kelaparan, dan Matron memberikan pakaian usang ini untuk mendandani
boneka tersebut dan..."
"Matron yang memberikannya?" Pak Wilkins terkejut setengah mati. "Matron
memberikan jaket sportku yang masih bagus untuk dicampakkan ke dalam api
unggun?" "Bukan dia sendiri yang memberikannya kepada kami, Pak," kata Darbishire
mengakui. "Tapi dia mengatakan, kami boleh mengambil sendiri pakaian-pakaian tua
yang sudah tidak dipakai lagi, yang terdapat di ruang jahit."
"Tapi aku masih mau memakainya! Aku meninggalkannya di sana bukan karena sudah
tidak mau memakainya lagi. Aku meninggalkannya di sana untuk dibetulkan."
"O! Wah, begitu, ya, Pak. Maaf, Pak, saya tidak berpikir begitu," kata
Darbishire dengan suara menggumam. Setelah dipikir-pikir, ia memang menyebabkan
pakaian-pakaian yang ditaruh di atas meja ruang jahit menjadi acak-acakan. Tapi
itu benar-benar tak disengajanya, jika jaket lusuh itu tercampur ke tumpukan
yang keliru, tidak adil apabila kesalahan ditimpakan pada anak yang sedang
memilih pakaian-pakaian usang itu. Mestinya Pak Wilkins sendiri yang
berkewajiban menjaga miliknya!
Tapi Pak Wilkins tampaknya tidak begitu jalan pikirannya.
"Keterlaluan," tukasnya. "Kelakuan yang tidak bertanggung jawab dan menganggap
sepi hak milik orang lain! Ingin rasanya aku meminta pada Kepala Sekolah agar
beliau membatalkan izin pesta kembang api dan api unggun hari Selasa mendatang
itu. Dan aku juga akan..."
"Api unggun dibatalkan"! Aduh, Pak Wilkins, itu tidak boleh terjadi! Itu
merupakan kesempatan yang sangat baik bagi anak-anak untuk melakukan sesuatu
yang mulia." Kata-kata yang memotong kalimat Pak Wilkins itu datang dari balik punggungnya.
Pak Wilkins berpaling dan melihat Bu Thorpe berdiri di belakangnya, dekat
sikunya. Bu Thorpe memandangnya dengan air muka kecut seperti seekor burung yang
menatap cacing yang dengan cepat menyusup ke dalam tanah. "Menurut saya, bagus
sekali anak-anak ini bersedia mengisi waktu luang mereka untuk membuat orangorangan dan mengumpulkan sumbangan bagi saudara-saudara mereka yang tidak sebaik
mereka nasibnya." Dengan sopan Pak Wilkins berkata, "Saya rasa Anda tidak begitu mengerti duduk
persoalannya, Bu Thorpe. Saya tidak berkeberatan anak-anak ini membuat orangorangan, jika mereka menghendakinya. Yang membuat saya kesal adalah kelancangan
mereka, yang dengan seenaknya saja mengambil pakaian saya untuk dipakaikan pada
boneka itu." Bu Thorpe tersenyum menawan. "Yah, namanya juga anak-anak! Dan saya yakin Anda
takkan merusak kesenangan mereka, jika mengingat pekerjaan mulia yang dilakukan
anak-anak ini." Bu Thorpe menghampiri sepedanya lalu menggantungkan kantong
belanjaannya ke setang. "Kami semua sudah ingin sekali melihat pesta kembang api
pada hari Selasa itu. Jadi ingat, Anak-anak, siapkanlah kotak-kotak sumbangan
kalian," katanya sambil naik ke atas sadel sepedanya. "Menurut saya, bagus
sekali para guru dan murid bekerja bahu-membahu untuk suatu tujuan bersama.
Bukankah begitu, Pak Wilkins?"
Pak Wilkins mengerutkan keningnya dengan perasaan sebal, sementara pengendara
sepeda bertubuh ringkih itu pergi. Ia tadi sebenarnya sudah hendak menjatuhkan
hukuman pada anak-anak itu, sebelum tiba-tiba Bu Thorpe datang mencampuri....
Dan kini ia merasa tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Segala ucapan wanita itu
tentang tujuan mulia secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa dia-L.P.
Wilkins-tidak mengenal perikemanusiaan apabila tidak ikut memberikan dukungan
pada upaya kemasyarakatan. Pada hakikatnya, Bu Thorpe tadi menuduhnya lebih
mementingkan penyelamatan jaket tuanya yang sudah lusuh daripada ikut mendukung
upaya meringankan penderitaan orang-orang yang dilanda bencana kelaparan.
Itu jelas-jelas tidak benar! Anak-anak itu memang seharusnya dikenai hukuman,
namun... namun...! Pak Wilkins tidak bisa memutuskan sikap yang harus diambil.
Dengan ketus dikatakannya, "Kalian saat ini juga kembali ke sekolah, dan bawa
orang-orangan konyol itu."
Kemudian ia bergegas kembali ke mobilnya, langsung. Sambil mengemudi, ia menatap
lurus ke depan dengan wajah cemberut.
Matron sedang bercakap-cakap dengan Pak Carter di serambi depan sewaktu Pak
Wilkins tiba kembali di sekolah. Hatinya masih panas akibat kejadian di desa
tadi. Ia menatap Matron dengan wajah masam. Matron juga ikut bertanggung jawab
atas kekesalan hatiku ini, kata Pak Wilkins dalam hati. Karenanya ia merasa
berhak untuk protes. "Ck, Matron, saya rasa itu sudah keterlaluan," katanya dengan nada menyesali.
"Saya mengantarkan jaket sport saya ke ruang jahit untuk dibetulkan. Saya sama
sekali tidak mengira Anda akan memberikannya kepada anak-anak Kelas Tiga, untuk
mendandani orang-orangan mereka."
Matron memandangnya dengan heran. "Saya tidak memberikannya kepada mereka,"
katanya. "Tidak" Yah, kenyataannya jaket itu ada pada mereka. Saya baru saja memergoki
Jennings beserta kawan-kawannya mengarak orang-orangan jelek mereka yang memakai
pakaian saya berkeliling desa!"
Matron tertawa. "Dasar Jennings! Saya rasa itu pasti karena tercampur dengan
pakaian-pakaian bekas. Maaf sajalah." Matron berhenti sebentar. "Tapi Anda tidak
bermaksud memintanya kembali, kan?"
"Keenakan mereka!" Pak Wilkins sangat tersinggung. "Saya kan memakai jaket itu
setiap kali memimpin anak-anak latihan bermain sepakbola."
"Terserahlah," kata Matron sambil mengangkat bahu dengan sikap tidak peduli.
"Tapi jaket itu kan sudah sangat tua, Pak Wilkins. Sebenarnya sudah tidak ada
gunanya lagi dibetulkan."
"Saya sependapat," kata Pak Carter mencampuri pembicaraan. "Benar-benar sudah
waktunya Anda membeli jaket yang baru, Wilkins. Kecuali itu, ingatlah pada uang
yang diharapkan anak-anak akan bisa mereka kumpulkan pada saat api unggun nanti.
Masa Anda tidak mau merelakan pakaian yang sudah sangat usang itu" Saya sangka
Anda akan merasa senang, bisa memberi sedikit sumbangan untuk suatu tujuan
mulia." Pak Wilkins terkejut. Kedua orang itu bukannya ikut merasakan
ketersinggungannya; mereka malah memihak anak-anak dan bersama-sama mengecamnya.
Mereka semua: Bu Thorpe, Matron... dan bahkan Carter! ...Hm! Bagaimana sekarang"
Memang harus diakui, itu merupakan tujuan mulia, tapi meskipun begitu...!
Sementara sedang memikirkan masalah itu, tangan Pak Wilkins bermain-main dengan
berkas kunci yang dibawanya masuk setelah kunci starter dilepaskan dari
tempatnya di mobil. Tiba-tiba disadarinya bahwa Pak Carter memandangnya dengan
sikap heran. "Tolong betulkan apabila saya keliru," kata Pak Carter dengan tenang dan lembut.
"Tapi bukankah anak kunci dengan setetes cat hijau pada tangkainya itu yang kita
cari-cari selama ini?"
Pak Wilkins memandang ke bawah, menatap berkas kunci yang ada di tangannya. Ia
langsung melongo. Dagunya jatuh, membentuk sudut 45 derajat dengan rahang atas,
sementara matanya menatap benda logam yang dipegangnya itu dengan hati-hati,
seakan-akan takut kalau sisinya yang bergerigi akan menggigit jari-jarinya.
"Astaga! Anak kunci paviliun!" katanya tergagap.
"Tepat!" kata Pak Carter menegaskan. "Kita takkan perlu begitu ribut-ribut
seandainya saja Anda sepuluh hari yang lalu mengatakan bahwa barang itu ada pada
Anda." "Tapi waktu itu saya tidak tahu di mana anak kunci ini berada! Saya baru saja
melihatnya. Kenapa tahu-tahu ada di sini"!"
"Mungkin Anda mengembalikannya ke situ tanpa menyadarinya."
"Saya sama sekali tidak melakukan hal itu."
"Kalau begitu mestinya ada orang lain yang melakukannya ketika Anda sedang tidak
ada." "Mustahil! Tidak mungkin," kata Pak Wilkins berkeras. "Saya berani bersumpah,
gelang kunci ini tidak pernah saya tinggalkan sejak pertandingan melawan
Bracebridge pada waktu itu. Saya selalu membawanya di dalam saku celanakukecuali saat sedang mengemudikan mobil."
"Yah, jika Anda tidak menaruhnya kembali dan juga bukan orang lain..." Pak
Carter tidak menyelesaikan kalimatnya, namun Pak Wilkins lantas menyadari bahwa
Pak Carter dan Matron memandangnya dengan sikap cemas dan prihatin. Cara mereka
memandang itu seakan-akan menunjukkan bahwa itu adalah gejala-gejala ketegangan
mental akibat mengajar anak-anak Kelas Tiga sebanyak empat belas jam pelajaran
dalam seminggu. Tepat pada saat itu pintu samping yang menuju ke pelataran tempat bermain
terbuka dengan tiba-tiba. Jennings masuk, dengan jaket Pak Wilkins tersampir
pada lengannya. "Maaf, Pak, ini jaket Anda," kata anak itu, menghampiri. "Kami menyesal telahyah, katakanlah-meminjamnya secara tak sengaja."
"Begitu, ya!" "Ya, Pak. Kami telah berembuk mengenainya dalam perjalanan pulang tadi, lalu
kami mencopotnya dari orang-orangan kami karena Anda kelihatannya begitu...
eh... begitu tidak senang melihatnya." Sambil menggeser-geserkan kakinya dengan
kikuk, Jennings menyodorkan jaket ke arah Pak Wilkins.
Pak Wilkins ragu-ragu sejenak. Kemudian ia menggerakkan lengannya dengan gaya
dramatis, seakan-akan hendak menyingkirkan jaket itu.
"Kalian boleh tetap memilikinya! Sana, bawa pergi! Pakaikan kembali pada orangorangan itu," katanya memerintahkan dengan suara lantang.
"Wah... tapi, Pak, kami pikir..."
"Aku sudah berubah pikiran. Aku akan senang sekali nanti, melihatnya terbakar di
tengah api unggun." Pak Wilkins tertawa kecil, dengan perasaan kikuk. "Kau kan
tidak menganggapku orang yang tega merintangi suatu tujuan mulia hanya karena
sebuah jaket sport yang sudah lusuh!"
"Tidak, Pak. Tentu saja tidak, Pak. Terima kasih banyak, Pak. Sungguh, terima
kasih banyak." Jennings berbalik hendak pergi, sambil mengepit jaket itu erat-erat. Tapi ketika
sudah melintasi separo ruang serambi tiba-tiba ia teringat pada sesuatu. Ia
berpaling lalu mengatakan, "0, ya, ngomong-ngomong, Pak-bagaimana, Anda sudah
menemukan kembali arloji saya?"
"Sayangnya belum, Jennings." Pak Wilkins tersenyum ke arah anak itu, sebagai
isyarat untuk menenangkannya. "Tapi jangan khawatir. Barang itu tidak mungkin
ada jauh-jauh dari tempat ini. Mestinya di sekitar sini."
Pak Carter melemparkan pandangan saling mengerti ke arah Matron. "Ya, seperti
anak kunci paviliun itu!" katanya penuh makna.
10. Malam Api Unggun PADA hari Senin dan Selasa ternyata tidak ada latihan sepakbola. Sebagai
gantinya, anak-anak Linbury Court semua menggunakan waktu kosong tersebut untuk
mengumpulkan kayu semak dan ranting-ranting yang kemudian dionggokkan di
sebidang tanah kosong di belakang lapangan sepakbola.
Anak-anak Kelas Tiga yang paling giat mengumpulkan bahan bakar untuk api unggun.
Pettigrew dan Marshall mengumpulkan isi seluruh keranjang sampah yang ada di
sekolah, untuk dijadikan bahan penyala api. Atkinson (petugas hubungan
masyarakat dari Guy Fawkes almarhum) membuat sejumlah tabung sumbangan lagi,
yang dibubuhi tulisan Dukunglah Usaha Bantuan untuk Bencana Kelaparan. Bromwich
dan Martin-Jones membantu Pak Carter menyusun acara pesta kembang api dan
membangun landasan peluncuran mercon-mercon roket. Sementara Venables dan Temple
merapikan serta menyikat busana orang-orangan sebagai persiapan untuk upacara
pembakaran. Jennings dan Darbishire mengisi waktu luang mereka pada hari Senin dengan
mencari kayu bakar ke mana-mana. Pak Hind bertugas memimpin pekerjaan
menumpukkan kayu di atas onggokkan ranting dan membentuknya menjadi sebuah
piramida yang rapi. Ia berdiri di atas sebuah tangga lipat yang tinggi, memberi
semangat kepada anak-anak yang mencari kayu bakar.
"Kayunya belum cukup untuk bisa membuat api unggun yang mengesankan," katanya
kepada Jennings dan Darbishire ketika kedua anak itu tiba di kaki tangga
tempatnya berdiri sambil membawa beberapa genggam ranting dan daun kering.
"Sana, cari lebih banyak lagi."
Selama sepuluh menit tadi kedua anak itu sudah tiga kali bolak-balik. Mereka
sudah mulai merasa putus asa.
"Tampaknya tidak ada lagi, Pak-yah, tidak ada yang mampu kami bawa sendiri,"
kata Jennings menjelaskan. "Anak-anak Kelas Lima sudah meminjam gerobak
gandengan Pak Kepala untuk mengangkuti batang-batang kayu yang besar-besar, dan
Pendekar Kembar 9 Goosebumps - Rahasia Kepala Terpenggal Pendekar Pedang Bayangan 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama