Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge Bagian 3
mereka tidak mau kami ikut mempergunakannya."
"Kalau begitu sebaiknya coba kalian pergi mencari ke tempat-tempat yang lebih
jauh," Pak Hind menyarankan. "Coba lihat apakah ada sesuatu yang ditumpukkan di
dekat tempat pembakaran sampah di kebun Kepala Sekolah. Biasanya beliau
menumpukkan sampah yang harus dibakar di sana. Kalau kalian ambil sampah itu,
beliau tidak perlu repot-repot lagi membakarnya."
Jennings dan Darbishire pergi melakukan apa yang disarankan Pak Hind. Dalam
perjalanan mereka berjumpa dengan Binns dan Blotwell. Kedua anak termuda di
sekolah itu lari sekencang-kencangnya melintasi lapangan sepakbola sambil
menggelindingkan dua ban mobil yang sudah gundul.
"Ban bekas mobil Pak Wilkins. Dia mengatakan kami boleh mengambilnya, untuk api
unggun," kata Binns menjelaskan, sementara kedua ban itu berguling masuk ke
dalam gawang dan rebah di situ. "Nanti pasti bakal meledak seperti bom dan menghamburkan gas
beracun yang mematikan."
"Kami punya rencana hebat," kata Blotwell. Mukanya dikernyitkan untuk
menunjukkan bahwa rencana mereka itu licik. "Mudah-mudahan saja saat itu anakanak yang berdiri di tempat yang berlawanan dengan arah angin semuanya akan
terkena asap, sehingga kami bisa mendapat sosis dan kentang panggang bagian
mereka." Anak itu terkekeh-kekeh. Jelek dan licik sekali kedengarannya. "Tidak
ada yang bisa melawan bau karet terbakar untuk merusak selera makan!" kata anak
Kelas Satu itu. "Cocok dengan jalan pikiran mereka yang kerdil," kata Jennings dengan nada
sedih. "Memang tidak bisa diharapkan anak-anak kecil dari kelas satu mau
memikirkan orang lain, seperti manusia pada umumnya."
Darbishire tersenyum, bergaya penyabar. "Berilah mereka kesempatan! Nanti,
apabila mereka sudah tumbuh menjadi anak-anak Kelas Tiga, mungkin saja mereka
akan hampir beradab. Kabarnya, pendidikan sangat mujarab pengaruhnya-bahkan
dalam kasus-kasus yang paling parah sekalipun."
Karena tidak bisa menemukan jawaban yang cocok untuk menutupi rasa malu, kedua
anak Kelas Satu itu mengambil ban-ban mereka lalu melanjutkan perlombaan
menggelindingkan roda-roda mobil itu. "Jangan dengarkan kata-kata mereka! Setiap
orang tahu, anak-anak Kelas Tiga gila semuanya," kata Blotwell sementara ia dan
sahabatnya menggelindingkan ban-ban mobil mereka ke arah tempat yang nantinya
akan diadakan api unggun. "Lagi pula, apa pun yang mereka katakan, aku akan
berdiri di tempat angin datang ke arah asap."
Kebun Kepala Sekolah biasanya tempat terlarang bagi anak-anak, namun instruksi
Pak Hind dengan jelas mengizinkan mereka masuk ke situ. Karenanya Jennings
lantas mendului masuk lewat pintu pagar lalu berlari menyusuri jalan kerikil
yang lebar, dibuntuti Darbishire.
Tempat pembakaran sampah terdapat di salah satu sudut kebun itu. Tempatnya
terlindung dari pandangan oleh semacam pagar semak perintang yang rantingrantingnya dianyam. Dilihat sepintas lalu, tampaknya tidak ada dedaunan kering
atau sampah lain semacam itu yang siap dibakar. Jennings dan Darbishire sudah
hendak keluar lagi ketika Jennings kebetulan melihat seonggok pohon poplar yang
masih kecil-kecil, lengkap dengan akar-akarnya. Pohon-pohon itu tergeletak di
tanah, tidak jauh dari onggokkan pupuk daun.
"Bagaimana kalau itu saja!" katanya. "Pasti bisa terbakar."
Darbishire sangsi. "Bagaimana kau bisa tahu pohon-pohon itu tidak diperlukan
lagi?" "Itu kan sudah jelas! Kepala Sekolah takkan menggali dan mencabutnya jika masih
ada gunanya." Jennings menunjuk ke arah sederetan pohon poplar yang agak jauh
dari tempat itu. Pohon-pohon itu ditanam di sana sebagai penahan angin.
"Lihatlah! Pohon-pohon ini dari sana! Orang tolol pun pasti tahu bahwa pada
waktu-waktu tertentu pohon-pohon muda yang menyusul tumbuh harus dicabuti agar
tidak jadi terlalu rapat. Dan itulah yang dilakukan Kepala Sekolah. Pohon-pohon
yang ada di sini adalah yang akan dibuangnya."
Kelihatannya itu cukup masuk akal. "Kalau begitu baiklah! Kita angkut saja ke
tempat Pak Hind!" kata Darbishire.
Jennings memperkirakan bahwa mereka harus beberapa kali bolak-balik apabila
pohon-pohon poplar itu harus diangkut dengan tangan. Cara yang lebih mudah untuk
mengangkutnya adalah dengan menggunakan gerobak gandeng Kepala Sekolah, kalau ia
bisa membujuk anak-anak Kelas Lima agar mau meminjamkan gerobak itu selama kirakira sepuluh menit. "Lebih baik kau ikut, Darbi," katanya. "Aku tidak tahu
apakah aku mampu menangani gerobak itu kalau seorang diri saja."
Kedua anak itu berlari kembali ke lapangan sepakbola. Yang pertama mereka lihat
di sana adalah gerobak gandeng Kepala Sekolah, di luar paviliun. Rupanya anakanak Kelas Lima telah selesai melakukan tugas mereka, dan meninggalkan gerobak
itu begitu saja di situ. Dan mereka sendiri sudah masuk ke gedung, bersiap-siap
minum teh sore. Gerobak yang biasanya digandengkan di belakang mobil Kepala Sekolah itu'ringan,
sehingga Jennings dan Darbishire bisa dengan gampang mendorongnya di tempat
datar. Mereka membawanya ke kebun Kepala Sekolah. Jennings menarik, sementara
Darbi mendorong dari belakang. Mereka langsung menuju tumpukan pupuk hijau.
Darbishire berkata, "Kita harus buru-buru, karena sebentar lagi sudah waktunya
minum teh sore." "Ini takkan lama. Kita bisa mengangkut semuanya sekaligus," kata Jennings
menanggapi. Jumlah pohon poplar muda yang ditumpukkan itu ada sekitar tiga puluh batang,
tertumpuk tinggi di gerobak ketika kedua anak itu selesai dengan pekerjaan
mereka. Jennings kembali memegang gagang gandengan lalu berkata, "Kita angkut
sekarang, Darbi! Pak Hind pasti senang, mendapat kayu sebanyak ini. Untung kita
tadi menemukannya." Karena ada muatan di atasnya, gerobak itu kini tidak begitu mudah lagi
dikendalikan. Ketika Jennings dan Darbi sampai di lapangan sepakbola, mereka
berjumpa dengan Martin-Jones dan Bromwich yang baru kembali dari landasan
peluncuran mercon-mercon roket. Kedua anak itu lalu didesak agar membantu
mendorong. Sementara itu hari sudah mulai gelap. Sewaktu keempat anak itu tiba di tempat
api unggun, ternyata Pak Hind sudah tidak ada lagi di sana. Begitu pula tangga
lipat tempat di mana ia berdiri di atasnya tadi. Karenanya anak-anak lantas
menurunkan muatan gerobak di pinggir tumpukan bahan yang nantinya akan dibakar
pada saat Malam Api Unggun, lalu menyusun semuanya dengan serapi mungkin pada
tumpukan yang berbentuk piramida. Ketika pohon poplar terakhir dicampakkan ke
piramida itu, terdengar bunyi lonceng yang merupakan tanda waktu minum teh sudah
tiba di kejauhan. "Yah, begitu!" kata Jennings dengan puas, sambil mengusapkan kedua tangannya
yang ber- lumpur ke jaketnya yang bertudung kepala. "Aku tidak tahu tentang kalian, tapi
bagiku, kurasa aku pantas diberi medali sebagai penghargaan atas segala
pekerjaan yang sudah kulakukan sore ini."
Jennings sama sekali tidak dianugerahi medali!
Setelah menghabiskan waktu luang mereka pada hari Senin sore untuk membuat
piramida yang akan dibakar pada Malam Api Unggun besok, pada waktu istirahat
pagi keesokan harinya seluruh sekolah sibuk membongkarnya kembali.
Kericuhan timbul seusai sarapan pagi, ketika Pak Pemberton-Oakes masuk ke
kebunnya untuk memeriksa kiriman pohon-pohon poplar muda, yang diantar ke situ
sehari sebelumnya. Ia tercengang mengetahui pohon-pohon muda itu tidak ada di
sana. Padahal ia sendiri melihat pegawai dari kebun bibit paginya mengangkuti
pohon-pohon itu masuk lewat pintu pagar.
Di manakah pohon-pohon itu disembunyikan oleh orang itu" Kemudian, sewaktu
melewati onggokkan humus, Kepala Sekolah melihat ada bongkah-bongkah tanah di
jalan setapak serta jalur-jalur jejak di tanah yang lembab, yang diakibatkan
oleh salah satu roda gerobak gandengan yang menggelinding keluar dari jalan
kerikil. Pak Pemberton-Oakes mengikuti jejak roda itu. Begitu sampai di luar pagar,
secara samar-samar dilihatnya bekas roda di rumput, juga jejak-jejak lumpur dan
ranting-ranting patah. Jejak-jejak itu menuju ke piramida untuk api unggun yang
baru saja dibangun. Lima menit kemudian ditemukannnya pohon-pohon poplar-nya; dan sepuluh menit
kemudian ia melangkah masuk dengan cepat ke aula, tempat anak-anak sudah
berkumpul semua sebelum sekolah dimulai. Pak Pemberton-Oakes tampak sangat
marah. "Ayo, anak-anak yang kemarin siang masuk ke kebunku, berdiri!"
Jennings dan Darbishire bangkit dari tempat duduk masing-masing. Jennings
bingung. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah itu karena mereka mempergunakan
gerobak gandengan tanpa minta izin terlebih dulu"
"Siapa yang menyuruh kalian mengambil pohon-pohon muda itu dan mencampakkannya
ke tumpukan kayu api unggun?" tanya Kepala Sekolah.
Ah, rupanya itulah penyebabnya!
"Tidak ada yang menyuruh, Pak. Kami sangka pohon-pohon itu tidak diperlukan,"
kata Jennings. Suaranya terdengar aneh, seperti mencicit, dalam aula yang sunyi
senyap. "Kami saat itu mencari ranting-ranting mati. Ketika melihat pohon-pohon
itu, kami sangka memang digali lalu dicabut untuk dibuang."
Pak Pemberton-Oakes sangat gemar berkebun. Karenanya ia kaget sekali mendengar
ucapan Jennings yang menunjukkan ketidaktahuan anak itu.
"Digali"... Dibuang?" katanya mengulangi. "Astaga, itu kan pohon-pohon baru.
Ditanam saja belum, apalagi dicabut!"
"Maaf, Pak." "Maaf! Seenaknya saja. Tahukah kalian bahwa kalian membuang pohon-pohon muda
yang dipilih secara cermat, yang harga seluruhnya seratus pound. Itu adalah
sederetan pohon yang mahal harganya! Akan kubatalkan api unggun petang ini...,"
ia berhenti sebentar, sementara dari deretan murid kelas-kelas rendah yang duk
di barisan depan terdengar sentakan napas yang menandakan kekecewaan,
"...kecuali apabila setiap batang pohon itu dikembalikan dalam keadaan utuh ke
kebunku sebelum perayaan dimulai."
Para murid dari kelas-kelas rendah menarik napas lega. Binns menyikut BlotwelL
Mereka saling mengedipkan mata. Rencana mereka ternyata akan bisa dilangsungkan!
Di bagian tengah aula, kedua anak yang bersalah duduk kembali sementara Pak
Pemberton-Oakes, dengan perasaan masih kesal, beralih ke pokok berikut yang
harus dibicarakan pagi itu.
Ketika pertemuan pagi sudah selesai dan para guru beranjak untuk meninggalkan
aula, Pak Wilkins berkata kepada rekannya, "Saya heran, Carter, Kepala Sekolah
tadi begitu marah hanya karena ada anak-anak yang karena ketidaktahuan mereka
mengambil beberapa batang pohon muda yang kurus-kurus. Mestinya beliau merasa
senang sekali, bisa berkorban sedikit demi suatu tujuan yang berfaedah."
Pak Carter menatapnya sesaat dengan pandangan penuh arti, lalu meninggalkannya.
Pekerjaan menyingkirkan pohon-pohon poplar dan membangun kembali piramida untuk
api unggun malam itu menghabiskan waktu istirahat pagi dan sebagian besar waktu
bermain siang menjelang sore. Pohon-pohon muda itu bercampur baur dengan dahan
dan ranting serta belukar sehingga akhirnya Pak Hind memutuskan, satu-satunya
yang bisa dilakukan adalah membongkar seluruh piramida lalu membangunnya lagi
dari semula. Sudah tentu anak-anak yang lain marah kepada Jennings dan Darbishire. Tapi
mereka berdua berhasil memulihkan nama baik mereka dengan bekerja lebih keras
daripada siapa pun juga. Dan ketika lonceng tanda minum teh sore berbunyi pukul
enam, piramida untuk api unggun sudah selesai dibangun lagi dan pohon-pohon
poplar sudah kembali dalam keadaan utuh ke kebun Kepala Sekolah.
Pukul setengah tujuh petang, para undangan mulai berdatangan. Mereka dijamu Pak
Pemberton-Oakes di ruang duduknya, menunggu saat perayaan dimulai.
Bu Thorpe hadir, membawa dompet yang penuh berisi uang kecil dalam tas
tangannya. Dr. Furnival-dokter sekolah-juga hadir; lalu Jenderal Merridew, bekas
murid Linbury Court yang paling terpandang di desa; Pak Arrowsmith-pengusaha
pertanian-bersama istrinya; Dr. Hipkin-pendeta desa Linbury; dan beberapa orang
lagi. Pak Robinson-pekerja sekolah-sudah membuat sejumlah obor dari kain laken tebal
yang dipakukan ke tongkat-tongkat lalu dicelupkan ke dalam minyak lilin. Dan
ketika pukul tujuh tiba, para tamu muncul di pintu depan. Anak-anak menyalakan
obor lalu membentuk barisan untuk mengantar tamu-tamu itu ke tempat api unggun
akan dinyalakan. Di ujung belakang rombongan yang berjalan, diantar barisan pembawa obor, tampak
Guy Fawkes (almarhum). Orang-orangan itu digendong di atas bahu para anggota
kelompok Aksi Dana Kembang Api Kelas Tiga.
Pakaian boneka besar itu menjadi bahan komentar.
"Aku ingin tahu, di mana anak-anak menemukan jaket tua yang jelek itu," kata
Jenderal Merridew dengan suara lantang, ketika orang-orangan itu lewat di
depannya. "Tidak bisa ku bayangkan, kok ada ya orang yang mau memakai jaket
seperti itu." Ia tertawa geli. "Kelihatannya seperti sisa obral pakaian orangorangan pengusir burung."
Pak Wilkins, yang berdiri di samping mantan jenderal itu, membersihkan hidungnya
dengan saputangan untuk menutupi rasa malu. Bayangkan, padahal ia sangat
menyukai jaket itu! Ketika buntut rombongan sudah sampai ke tumpukan piramida kayu api unggun, para
pengusung berhenti. Mereka menunggu Pak Hind menegakkan tangga lipat, untuk
meletakkan orang-orangan di atas piramida itu. Jennings, yang ikut memanggul
orang-orangan itu, menggeserkan sedikit pegangannya pada tubuh boneka Guy
Fawkes. Ia merasa jari-jarinya menyentuh sesuatu berbentuk bulat pipih. Benda
yang tersentuh itu terdapat di dalam jaket, di antara kain pelapis sebelah luar
dan kain pelapis sebelah dalamnya.
Mula-mula ia mengira yang tersentuh itu uang logam. Ia memasukkan tangannya ke
dalam saku jaket itu, untuk mengambil benda itu. Tapi uang logam tidak setebal
itu. Ia tidak berhasil mengeluarkannya dari dalam saku. Rupanya saku itu
berlubang. Jari-jari tangan Jennings meraba-raba, mencari lubang tersebut, lalu
merobeknya agar lebih besar. Setelah itu ia merogoh ke dalam dan mengeluarkan
sebuah arloji. Sesaat ditatapnya arloji itu dengan perasaan tidak percaya, diterangi nyala
obor. Kemudian ia berseru dengan keras, karena mengenalinya kembali.
"Wow! Lihat, apa yang kutemukan ini-arlojiku!"
Anak-anak lainnya, sesama pengawal orang-orangan, memandangnya dengan sikap
kaget. "Arlojimu!" Mana mungkin," kata Temple. "Pasti itu milik Pak Wilkie."
"Sungguh, ini arlojiku! Beliau memakai jaket ini waktu aku menitipkannya. Pantas
beliau tidak bisa menemukannya, karena saku jaket ini berlubang dan arloji itu
terselip masuk ke balik kain pelapis."
Jennings mengguncang-guncang arlojinya untuk memastikan arlojinya itu masih
jalan. Ketika ia sedang memasangnya di pergelangan tangannya, Pak Wilkins datang
menghampiri bersama Pak Carter untuk membantu Pak Hind menegakkan tangga lipat.
"Pak! Pak! Saya sudah menemukan arloji saya kembali, Pak," seru Jennings
bersemangat. "Ada di dalam jaket Anda, Pak."
Pak Wilkins senang sekali mendengarnya. "Rupanya ke situ benda itu terselip!
Dari semula aku sudah merasa bahwa arlojimu itu kapan-kapan pasti akan ditemukan
lagi-dan ternyata memang benar!" .
"Untung belum terlambat. Semenit saja lagi, benda itu akan ikut terbakar," Pak
Carter mengomentari. Jennings nyengir. "Nasib saya memang mujur! Dan berkat Pak Wilkins! Coba kalau
Anda tidak memberikan jaket Anda ini untuk dipakaikan ke orang-orangan kami,
arloji saya akan terus berada di balik kain jaket Anda!"
Sementara itu tangga sudah ditegakkan. Pak Hind mengambil orang-orangan Guy
Fawkes. Dipanjatnya tangga lalu dikaitkannya orang-orangan itu ke dahan kering
yang ada di puncak tumpukan. Sewaktu guru itu sudah turun lagi dan mengambil
kembali obornya yang dititipkannya sebentar pada Pak Carter, Blotwell bergegas
maju dan berkata dengan penuh harap, "Pak, boleh, ya, saya menyalakan api unggun
dengan obor saya?" Pak Hind menggeleng. "Maaf, Blotwell, kurasa lebih baik ,aku saja yang
melakukannya. Soalnya...," ia berhenti sebentar, sementara tangannya mengangkat
obornya tinggi-tinggi, "aku berbakat untuk melakukan pekerjaan seperti ini."
Sambil berkata begitu didorongnya obor yang dipegangnya ke seberkas jerami yang
sebelumnya sudah disiram minyak. Nyala api langsung menjulang tinggi.
Perayaan malam itu sangat memuaskan-bahkan lebih memuaskan dari biasanya,
demikian pendapat anak-anak. Seakan-akan api unggun tahun ini lebih besar
nyalanya, orang-orangan yang dibakar lebih kocak wujudnya, kembang apinya lebih
cemerlang, dan ledakan merconnya lebih nyaring.
Belum pernah acara makan-makan di luar terasa begitu enak: sosis berlapis abu
karena dipanggang di api unggun sampai nyaris hangus terbakar; minuman cokelat
yang dimasak di atas arang yang membara, sampai agak terasa berbau tanah.
Serpih-serpih arang tampak mengambang di permukaan cairan yang tidak begitu
panas itu. Dan semua sependapat, sedap rasanya membenamkan gigi ke kentang bakar
yang kerasnya seperti bata-dan tidak gampang untuk melepaskannya lagi setelah
menggigitnya!
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Para undangan menolak dengan ramah ketika ditawari hidangan tersebut seporsi
lagi. Tapi mereka merogoh saku dan mengeluarkan dompet sewaktu kaleng-kaleng
sumbangan dibawa ke arah mereka sambil digerincing-gerincingkan.... Dan ketika
semua sudah berakhir, api sudah padam dan kembang api sudah dinyalakan semua,
lalu para undangan pulang naik mobil masing-masing, anak-anak berbondong-bondong
masuk lagi ke gedung, merasa puas dengan acara malam itu.
Para anggota Aksi Dana Kembang Api Kelas Tiga lebih banyak merasa puas dan
bangga dengan acara tersebut ketimbang lainnya, karena mereka cukup repot
merencanakannya. Ketika isi kaleng-kaleng sumbangan sudah dikeluarkan di atas
meja di ruang Kelas Tiga, Martin-Jones yang bertugas selaku bendahara
mengumumkan bahwa meski ia tidak begitu pintar dalam berhitung, ternyata mereka
berhasil mengumpulkan dana sumbangan sosial sebesar empat belas pound.
"Lumayan juga, ya!" kata Jennings kepada rekan-rekannya sesama anggota
subpanitia, sementara Martin-Jones mengumpulkan hasil sumbangan untuk dibawa ke
kamar Pak Carter, untuk dihitung berapa persisnya jumlah itu di sana. "Bukankah
waktu itu sudah kukatakan, kita bisa saja mengadakan pesta kembang api dan
sekaligus membantu mengumpulkan dana ini," kata Jennings lagi.
Teman-temannya sesama anggota kelompok nyengir sambil mengangguk. "Serahkan saja
pada Jennings!" Begitulah kurang-lebih makna cengiran mereka. Memang, proyek
kembang api ternyata tidak berlangsung tepat seperti yang direncanakan, tapi
meski begitu, tanggal 5 November merupakan malam yang pantas dikenang!
11. Masalah Pengangkutan MESKI merupakan kenyataan bahwa matematika bukan merupakan mata pelajaran
unggulannya, perkiraan Martin-Jones tentang jumlah uang hasil sumbangan itu
ternyata tidak jauh meleset. Ketika jumlah keseluruhannya dihitung oleh Pak
Carter, ternyata Aksi Dana Kembang Api Kelas Tiga berhasil mengumpulkan uang
sejumlah 13 pound 92 penny untuk membantu meringankan bencana kelaparan.
"Dan itu belum ditambah 23 penny hasil pengumpulan kita di desa hari Minggu yang lalu," kata Atkinson menambahi ketika angka,
resmi jumlah sumbangan sampai di Ruang Tidur Empat sesaat sebelum lampu-lampu
harus dipadamkan. "Pokoknya, kita sudah memberikan jasa kita untuk dana Pak Carter pada semester
ini." Jennings tidak sependapat. "Kita harus berusaha mengumpulkan lebih banyak
lagi," katanya. "Dengan cara bagaimana?" tanya Temple. "Baru tahun depan kita bisa mengumpulkan
sumbangan lagi untuk perayaan Hari Guy Fawkes."
"Memang, tapi kita kan bisa melakukan sesuatu yang lain. Misalnya saja
seperti..." Jennings mengernyitkan mukanya sambil meneruskan kesibukannya,
menukar pakaian sehari-hari dengan pakaian tidur. Malam sudah agak larut, dan
perasaan anak-anak masih penuh dengan kenangan mengasyikkan tentang api unggun
tadi. Dalam hati Jennings berpendapat bahwa teman-temannya itu tak bisa
diharapkan mampu menghasilkan gagasan-gagasan cemerlang dengan seketika.
Ia berkata, "Serahkan saja padaku. Nanti akan kusuruh otakku berputar, lalu kita
lihat saja apa yang nanti muncul di permukaan."
Pada hari Kamis, Bu Thorpe menelepon Kepala Sekolah bahwa payungnya tertinggal
di sekolah. Ia lupa membawanya ketika pulang malam itu.
"Payung itu memang tidak begitu mahal harganya," kata wanita itu dengan suaranya
yang mencicit seperti burung. Tapi ia berbicara dengan sekeras-kerasnya,
sehingga Pak Pemberton-Oakes terpaksa menjauhkan gagang pesawat telepon dari
telinganya. "Tapi saya akan sangat berterima kasih jika Anda kebetulan
melihatnya dan memberi kabar kepada saya. Sepertinya saya meninggalkannya dekat
alat pemanas ruangan di ruang duduk Anda. Atau, jika tidak ada di situ, mungkin
di atas meja di serambi depan. Atau mungkin tidak ada salahnya juga memeriksanya
di bawah..." "Baiklah, Bu Thorpe. Kami akan mencarinya dengan saksama," kata Kepala Sekolah
berjanji, sambil memijit-mijit telinga kirinya yang dibebani suara kicauan
lantang Bu Thorpe. "Akan saya suruh salah seorang anak mengantarkannya ke rumah
Anda begitu kami sudah menemukannya."
Payung itu ternyata tidak bisa ditemukan di mana pun juga di dalam gedung,
meskipun Robinson beserta pegawai-pegawai lainnya sudah melakukan pencarian
dengan cermat. Tapi sehabis bermain sepakbola pada hari Minggu, Binns dan
Blotwell secara kebetulan menemukannya tergeletak di tengah rumput panjang di
dekat paviliun. Rupanya payung itu terlepas dari tangan pemiliknya, sewaktu ia
kembali dari menonton api unggun.
"He! Wow! Lihat apa yang kutemukan!" seru Binns. Dibentangkannya payung itu,
lalu ia berjalan dengan langkah kecil-kecil seperti wanita, sambil berlagak
mengangkat gaun yang panjangnya sampai mata kaki agar ujungnya tidak terkena
lumpur. Blotwell tidak terkesan melihat Binns meniru gerak-gerik wanita itu. "Kau
kelihatan seperti kepiting yang kakinya beku kedinginan," katanya. "Tapi, cup,
payung itu jadi milik kita. Sekarang kita bisa melakukan percobaan kita yang
itu!" Kedua murid termuda itu tidak mendengar berita kehilangan yang dialami Bu Thorpe
dan mereka juga tidak bisa mengerti, apa sebabnya ada orang meninggalkan payung
di tempat yang begitu tidak lazim. Tapi walau demikian, penemuan itu sangat
menggembirakan mereka. Berarti mereka sekarang bisa melaksanakan eksperimen yang
sudah sering ingin mereka lakukan, tapi selama itu tidak bisa karena tidak ada
alatnya. "Wow, ya, tentu saja! Operasi Kutu Telinga Terbang!" seru Binns bersemangat.
"Kita coba sendiri dengan payung ini untuk melihat bisa-tidaknya, lalu setelah
itu kita kumpulkan sukarelawan. "
Kedua anak itu berlari masuk ke gedung, terus menaiki tangga ke Ruang Tidur Dua
di lantai paling atas gedung; tapi sewaktu mereka sedang menaiki tangga tingkat
paling atas, mereka berpapasan dengan Pak Pemberton-Oakes yang hendak turun
lewat tangga yang sama. "Ah! Rupanya payung yang lenyap itu akhirnya ditemukan juga," katanya sewaktu
melihat benda yang hendak cepat-cepat disembunyikan Binns di balik punggungnya.
"Aku yakin, Bu Thorpe pasti akan sangat lega."
Binns tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Kepala Sekolah. Karenanya ia
berkata, "Ini cuma sebuah payung usang yang kami temukan di dekat paviliun, Pak.
Kami... eh... kami berpendapat, mungkin kami harus menyerahkannya ke tempat
pengumpulan barang-barang hilang."
"Itu merupakan tindakan yang sangat terpuji!" kata Kepala Sekolah. "Tapi rak
tempat menaruh barang-barang temuan letaknya kan di lantai dasar! Jadi bolehkah
aku bertanya, kenapa kau membawa payung itu ke atas, ke ruang tidur kalian?"
Binns dan Blotwell kelihatan malu. Mereka berdiri sambil menggeser-geserkan kaki
di lantai. Blotwell mengatakan, "Kami hendak melemparkannya ke luar lewat
jendela, Pak." "Kau hendak melakukan apa?" Alis Pak Pemberton-Oakes terangkat sebelah. Ia
sadar, anak-anak sering melakukan hal-hal luar biasa dengan alasan-alasan yang
bagi orang-orang dewasa jarang bisa dimengerti.
Tapi ini sudah keterlaluan! Ia sendiri-sewaktu masih muda-tidak pernah merasakan
ingin melemparkan payung ke luar dari jendela lantai paling atas. Ia kepingin
tahu apa yang ingin dicapai oleh Binns dan Blotwell dengan perbuatan seaneh itu.
"Bolehkah aku bertanya, kenapa?"
"Ya, Pak, kami ingin membentangkan payung itu dan melihat apakah jatuhnya lurus
seperti kue dadar atau meluncur turun dengan pelan, seperti parasut."
"Hanya semata-mata sebagai eksperimen ilmiah, mestinya?"
"Ya, begitulah, Pak. Saya dan Binns berpikir bahwa jika kami punya sesuatu yang
tidak terlalu berat, misalnya kutu telinga yang dimasukkan ke ,dalam kotak korek
api, lalu kotak itu diikatkan ke gagang payung, kami akan bisa membuat seranggaserangga itu melakukan terjun parasut."
"Kami takkan menyebabkan mereka cedera, Pak," kata Binns buru-buru meyakinkan.
"Satu dari kami akan berdiri di bawah dengan jaring kupu-kupu untuk menangkap
mereka apabila payung turun terlalu cepat. dan..."
Pak Pemberton-Oakes mengangkat tangannya, sebagai tanda bahwa Binns tidak perlu
meneruskan kalimatnya. Meskipun eksperimen itu mungkin saja penting maknanya
bagi kemajuan riset penerbangan, tapi masih ada urusan-urusan lain yang lebih
penting dan harus ditanganinya ketimbang mendengarkan penuturan tentang tindakan
pengamanan yang akan diterapkan demi keselamatan kutu telinga itu.
"Bawa payung itu ke Pak Carter, dan minta padanya untuk mengembalikannya pada Bu
Thorpe," Kepala Sekolah memerintahkan.
"Baik, Pak!" Sementara kedua anak itu menuruni tangga, tanpa sengaja Kepala Sekolah berpikirpikir tentang masalah yang hendak mereka buktikan.
Apakah payung itu akan turun ke bawah seperti parasut atau seperti kue
dadar" ...Hm! Jika diandaikan bobot barang itu sekitar setengah kilogram, dan
garis tengahnya bila dibentangkan kurang-lebih semeter, dengan angin berembus
pelan dari arah barat daya dengan kecepatan... Pak Pemberton-Oakes mengerjapkan
matanya, membangunkan diri dari lamunannya. "Ini konyol!" pikirnya. "Aku sudah
mulai jadi gila seperti anak-anak tadi!"
Binns dan Blotwell menjumpai Pak Carter yang sedang berdiri di tangga depan,
dikelilingi sekelompok murid yang sedang mengajukan izin untuk pergi ke desa.
Anak-anak Kelas Satu belum diberi hak khusus itu, dan kedua murid termuda itu
harus dengan susah payah menerobos kerumunan anak-anak untuk bisa sampai di
dekat guru pengawas tersebut.
"Ini perintah khusus dari Kepala Sekolah," kata Binns dengan sekuat-kuat
suaranya ketika ia dibentak anak-anak yang lebih tua karena dianggap mengganggu.
"Aku dan Blotters dipilih secara khusus untuk menyampaikan pesan penting dan
rahasia kepada Pak Carter."
Guru pengawas itu memanggil kedua petugas khusus itu, lalu mendengarkan pesan
mendesak yang harus mereka sampaikan. Setelah itu beliau bertanya pada yang
lainnya. "Adakah di antara kalian yang tahu di mana Oaktree Cottage?" Jennings dan
Darbishire mengangkat tangan mereka. "Kami tahu, Pak. Kami sudah pernah ke
sana." "Baik!" Pak Carter menyodorkan payung kepada Jennings. "Antarkan ini kepada Bu
Thorpe, dan sampaikan salam dari Kepala Sekolah."
"Baik, Pak." "Sesudah itu langsung kembali kemari," kata guru itu menyambung, karena teringat
keluhan Pak Wilkins minggu lalu. "Aku tidak ingin kejadian minggu lalu, saat
kalian mendapat cuti ke desa terulang kembali."
Jennings dan Darbishire lantas berangkat ke Linbury. Jennings berjalan sambil
memutar-mutar payung dan melambungkannya ke udara, dengan gaya seorang pemimpin
drum band. "He, kau dipesan untuk menyerahkan barang itu dalam keadaan utuh," kata Darbi
ketika Jennings salah tangkap dan payung itu untuk keempat kalinya jatuh ke
tanah. Jennings memungut payung yang terjatuh ke dalam jalur bekas roda dan menghapus
lumpur yang menempel dengan selembar daun.
"Bu Thorpe takkan keberatan. Dia sebenarnya sangat baik hati!" katanya. "Minggu
lalu kita pasti sudah habis-habisan didamprat Pak Wilkie kalau dia tidak memihak
kita." Oaktree Cottage terletak di tengah sebuah kebun yang rapi di dekat pusat desa.
Rumah itu sudah sangat tua dan kecil, dengan atap genteng yang menjorok miring
ke bawah pada satu sisinya sehingga hampir menyentuh tanah. Tampak jendelajendela berkesan ringkih yang menonjol serta sebuah pintu depan yang kokoh dari
kayu ek. Daun pintunya diperkuat dengan paku-paku besar, kelihatannya cukup
kokoh jika dijadikan pintu gerbang penjara.
Ketika Jennings dan Darbishire masuk lewat pintu pagar, Bu Thorpe melihat mereka
lalu menyongsong. "Rupanya kalian berhasil menemukan payungku! Syukurlah, aku senang sekali. Dan
kalian benar-benar baik hati, mau berjalan begitu jauh mengantarkannya kemari,"
katanya dengan suara seperti burung berkicau.
Jennings menyerahkan payung itu kepada Bu Thorpe, tanpa lupa menyampaikan salam
dari Kepala Sekolah. "Kami berhasil mengumpulkan sumbangan sekitar empat belas
pound pada Malam Api Unggun itu," katanya menambahkan dengan nada bangga. "Saya
sebenarnya berharap akan bisa mengumpulkan sedikit lebih banyak lagi, tapi
sejauh ini saya belum memperoleh ilham yang tepat untuk itu."
Mereka menolak ketika ditawari minum teh, tapi dengan senang hati menerima
sekantong buah apel untuk dibagi dengan teman-teman mereka.
"Ikutlah ke lumbung untuk memilih beberapa butir," kata Bu Thorpe sambil
mendului berjalan. "Pohon-pohon apelku tahun ini bagus-bagus buahnya, di dalam
lumbung begitu sejuk dan kering sehingga buah-buah itu masih tetap sesegar
ketika dipetik." Lumbung Bu Thorpe yang terletak di ujung kebunnya merupakan sebuah bangunan
kecil beratap rumput. Ukurannya kurang-lebih setengah dari rumahnya.
Keadaan di dalam bangunan itu kelihatan seperti di sebuah toko barang bekas.
Selain hasil kebun yang disimpan di atas rak-rak, juga ada sejumlah mebel model
kuno yang ditaruh di situ karena tidak ada tempat lain untuk menyimpannya. Di
antara beraneka ragam benda rumah tangga terdapat sebuah alat pemeras cucian
kuno dengan batang-batang giling dari kayu-kayu besar, sebuah perkakas pembersih
pisau, sebuah gramofon tua, sebuah kompor, minyak tanah, dan sebuah piano kecil.
Anak-anak memandang berkeliling dengan perasaan agak heran, sementara Bu Thorpe
sibuk memilih buah-buah apel yang paling mulus dari rak-rak.
"Kok piano ditaruh di sini?" kata Jennings. Ia membuka tutup instrumen musik
itu, menekan salah satu tutsnya, dan melihat seekor kumbang hitam kecil muncul
dari dalam kayu lalu berjalan di atas deretan tuts.
"Aku tidak punya tempat untuk itu di dalam rumah, jadi terpaksa kutaruh di sini.
Akibatnya piano itu jadi penuh sarang labah-labah," jawab Bu Thorpe. "Aku mau
saja menghadiahkannya kalau ada yang benar-benar memerlukannya."
Darbishire tidak bisa menghadapi kemurahan hati sebesar itu. "Menghadiahkannya!"
katanya mengulangi dengan heran. "Dengan cuma-cuma, maksud Anda?"
"Yah, piano itu tidak ada gunanya bagiku, hanya membuat tempat ini penuh saja.
Sayangnya, aku sendiri tidak bisa main piano dan aku yakin, takkan ada yang mau
membelinya." Sementara itu ia sudah selesai memilih-milih buah apel dan
menyodorkan kantong berisi buah-buahan itu kepada Darbishire. "Sudah kutanyakan
kepada beberapa orang di desa apakah mereka mau, tapi mereka semuanya begitu
sibuk nonton televisi setiap malam sehingga rupanya tidak ada lagi yang
menginginkan piano."
Jennings membisu terus ketika ia dan Darbishire mengikuti Bu Thorpe berjalan
kembali menyusuri jalan setapak. Tapi sewaktu mereka sudah sampai di pintu
pagar, ia berpaling pada wanita itu dan berkata, "Maaf, Bu Thorpe, tapi jika
Anda benar-benar tidak menginginkan lagi piano tua Anda itu, saya tahu seseorang
yang akan senang sekali jika memperolehnya."
Bu Thorpe menatap Jennings dengan pandangan bertanya. "Siapakah orang itu?"
"Saya!" Darbishire begitu kaget mendengar jawaban itu, sehingga nyaris saja kantong buah
apel terlepas dari tangannya. "Kau!" Kau sudah sinting rupanya, Jen!" katanya
membantah. "Untuk apa kau menginginkan piano" Di sekolah kita sudah ada sekitar
enam buah. Lagi pula, di mana kau akan menaruhnya" Dalam lemari sepatumu" Dalam
kantong seponmu" Di mana?"
Jennings membungkam kecaman bernada canda itu dengan tatapan matanya. "Aku bukan
menginginkannya untukku sendiri," katanya dengan gagah. "Aku menginginkannya
untuk tujuan amal, meringankan beban bencana kelaparan. Sepanjang minggu aku
sudah berusaha mencari-cari akal, bagaimana kita bisa menambah jumlah uang yang
berhasil kita kumpulkan, dan kurasa aku sudah menemukan jawabannya."
Bu Thorpe dan Darbishire memandangnya dengan sikap tidak mengerti.
"Kau takkan bisa menjualnya, jika itu yang ada dalam pikiranmu," kata Bu Thorpe
dengan nada meyakinkan. "Aku yakin, tidak ada seorang pun pedagang alat musik
yang mau mengucapkan terima kasih saja-apalagi mengeluarkan uang untuk piano
yang begitu kuno seperti milikku itu."
Jennings berkata dengan nada serius tapi dengan mata bersinar-sinar, "Itu
mungkin benar, Bu Thorpe, tapi saya tahu sesuatu. yang tidak Anda ketahui! Di
Dunhambury ada sebuah toko alat-alat musik yang menjamin dengan pasti akan
memberi paling sedikit lima belas pound - lima belas pound atau lebih, begitu
katanya - untuk piano-piano bekas yang sudah tua."
Darbishire tertawa. "Barangkali mereka cuma bercanda!"
"Bercanda!" Jennings marah karena temannya itu tidak mau percaya. "Aku
melihatnya dengan mataku sendiri, tahu! Tertulis! Aku melihatnya dari bus
sewaktu tim kita pergi bertanding ke Bracebridge, lalu melihatnya lagi ketika
aku pergi memangkaskan rambut waktu itu." Ia berhenti sebentar. Disikutnya dada
Darbishire untuk menegaskan keseriusan ucapannya. "Mereka takkan berani memasang
pengumuman seperti itu di jendela apabila mereka hanya main-main saja. Kan bisa
diadukan orang, karena dituduh menipu!"
Bu Thorpe terkesan melihat kesungguhan sikap Jennings. "Itu memang mungkin
saja," katanya mengakui. "Bisa saja kini permintaan akan piano-piano bekas
bertambah banyak-terutama model kuno seperti milikku itu. Tapi barang itu sudah
begitu lama di dalam lumbung sehingga aku khawatir kondisinya tidak begitu bagus
lagi." "Itu tidak penting," kata Jennings menenangkan. "Pengumuman itu mengatakan
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan jelas: dalam kondisi seperti apa pun juga. Itu berarti kita bisa
memperoleh lima belas pound untuknya, bahkan jika... jika..." ia mencari-cari
suatu contoh yang mantap, lalu menyambung... "bahkan jika kumbang-kumbang hitam
bermunculan dari celah-celah kayu kotaknya dan lari bolak-balik di atas deretan
tuts setiap kali lagu kebangsaan dimainkan."
"Yah, rasanya tidak ada salahnya mencoba. Aku setuju saja jika uang hasil
penjualannya bisa dimanfaatkan untuk suatu tujuan yang baik," kata Bu Thorpe.
"Kurasa sebaiknya kalian ikut masuk ke dalam dan minum teh bersamaku, supaya
kita bisa merembukkan cara terbaik yang harus ditempuh."
Sambil minum teh, mereka bertiga menyusun Rencana Mengenai Piano Kuno @ Hak
Cipta: JCT. Jennings, dengan ucapan terima kasih kepada F. Thorpe dan @
Darbishire. Instrumen musik itu akan mereka bawa ke toko alat musik di Dunhambury pada hari
Sabtu sore berikutnya, asal mereka sampai saat itu bisa berhasil menemukan cara
untuk mengangkutnya. Demikianlah keputusan yang diambil. Bu Thorpe memiliki
mobil dan bersedia mempergunakannya. Tapi itu bukan jenis kendaraan untuk
mengangkut piano. "Bahkan piano yang kecil saja pun tidak cukup," kata Bu Thorpe, sementara mereka
bertiga sibuk memikirkan masalah pengangkutan. "Aku memang punya alat penarik di
sebelah belakangnya-di belakang mobil, maksudku, bukan di belakang piano-alat
tarik itu sudah terpasang di situ sewaktu aku membelinya dari orang lain tahun
lalu. Jadi yang kita perlukan sekarang adalah gerobak gandeng."
Jennings dan Darbishire berpandang-pandangan dengan sorot mata berharap. Pak
Pemberton-Oakes memiliki sebuah gerobak gandeng. Jadi dia adalah orang yang
harus dihubungi. Tapi akan maukah dia meminjamkannya" Ada kemungkinan Kepala
Sekolah dengan tegas menolaknya, begitu ia membayangkan murid-muridnya dari
kelas junior mondar-mandir di jalan besar kota Dunhambury pada suatu Sabtu sore
yang ramai, menjajakan piano yang penuh dengan kumbang.
"Saya rasa lebih baik Anda saja yang menanyakan pada beliau," kata Darbishire
sambil tersenyum membujuk ketika nama Kepala Sekolah disebut. "Ada kemungkinan
beliau tidak peduli terhadap kami berdua Tapi tidak mungkin beliau akan
mengatakan tidak terhadap seorang dewasa seperti Anda."
"Beliau sudah pasti takkan menolak apabila Anda mengatakan ingin meminjamnya
demi meringankan bencana kelaparan," kata Jennings menyela. Pikirannya langsung
meloncat ke depan, mempertimbangkan rintangan-rintangan yang mungkin timbul.
"Tapi pada saat Anda meminta padanya, sebaiknya jangan terlalu banyak berkata
tentang saya dan Darbishire, karena kami hanya boleh pergi sampai Linbury saja.
Katakan saja pada beliau, Anda menginginkan kami mengantarkan gerobak itu ke
rumah Anda. Itu rasanya sudah cukup sebagai penjelasan untuk Kepala Sekolah."
Bu Thorpe sebenarnya tidak mau ikut dalam persekongkolan mereka, tidak peduli
apakah itu untuk tujuan baik atau tidak. Meskipun begitu ia bersedia untuk
menelepon Pak Pemberton-Oakes dan minta izin padanya agar anak-anak
diperbolehkan membantu melaksanakan rencana itu. Ia akan menjelaskan duduk
perkaranya dengan sejelas-jelasnya, lalu menyerahkan kepada Kepala Sekolah untuk
mengambil keputusan. Jennings dan Darbishire agak terlambat tiba kembali di sekolah. Pak Carter
menanyakan penyebabnya. "Kami ditahan Bu Thorpe, Pak," kata Jennings menjelaskan. "Beliau memaksa agar
kami masuk ke rumah lalu kami.. diberi minuman teh dan buah apel serta macammacam lagi. Kami tidak bisa pamitan sampai beliau selesai berbicara. Kami harus
sopan, ya, kan, Pak?"
Alasan itu ditanggapi Pak Carter dengan senyuman hambar. Salahnya sendiri,
memilih kedua anak itu tadi. Serahkan saja pada Jennings, untuk memanfaatkan
peluang itu dengan sebaiknya!
12. Garis Kuning Ganda KETIKA Bu Thorpe menelepon ke sekolah pada hari Senin, Pak Pemberton-Oakes
sedang pergi. Yang menjawab telepon tersebut adalah Bu Hackett, salah seorang
wanita pembersih ruangan yang saat itu kebetulan sedang membersihkan kamar kerja
Kepala Sekolah. Ketika Kepala Sekolah kembali, dilihatnya ada pesan di mejanya:
Bu Thorpe tadi menelepon. Katanya beliau punya tujuan baik dan memerlukan
Jennings, Darbishire, dan Taylor pada hari Sabtu sore.
Pak Pemberton-Oakes bingung. Di sekolahnya tidak ada anak yang bernama Taylor.
Ia baru saja hendak menelepon Bu Thorpe untuk meminta keterangan lebih jelas
ketika Jennings masuk ke kamar kerjanya, membawa buku-buku latihan bahasa
Prancis anak-anak Kelas Tiga.
Anak itu memang ditugasinya mengumpulkan latihan murid-murid Kelas Tiga untuk
diperiksanya. "Namamu disebut dalam sebuah pesan yang agak misterius, yang kuterima dari Bu
Thorpe," kata Kepala Sekolah, saat Jennings meletakkan buku-buku latihan bahasa
Prancis di atas meja kerja yang sisi atasnya berlapis kulit. "Mungkin kau bisa
menjelaskan misteri itu."
"Pesan misterius, Pak?" tanya Jennings. "Saya sama sekali tidak melakukan
sesuatu yang misterius, Pak... sungguh!"
"Kau salah mengerti. Maksudku, agaknya pesan itu mengandung semacam kata sandi,"
Pak Pemberton-Oakes menjelaskan. "Kalau itu bukan pesan rahasia, aku tidak
mengerti apa sebabnya beliau mempunyai tujuan baik dan memerlukan dirimu dan
Darbishire-belum lagi Taylor, yang sama sekali tidak ada di sekolah kita inipada hari Sabtu sore."
Didorongnya catatan pesan itu ke arah Jennings. Anak itu membacanya, lalu
berpikir selama beberapa detik. Kemudian matanya bersinar-sinar, menandakan ia
menemukan jawabannya. "Saya tahu, Pak! Yang dimaksud beliau sebenarnya adalah trailer, bukan Taylor."
Dugaan Jennings memang tepat, karena trailer adalah "gerobak gandeng". Ia
menyambung, "Bu Thorpe ingin meminjam trailer Anda untuk suatu tujuan baik."
Kepala Sekolah mengangguk. Bukan pertama kalinya Bu Thorpe mengajukan
permintaan-permintaan semacam itu.
"Urusannya berhubungan dengan pengumpulan dana sosial," kata Jennings lagi.
"Sewaktu kami mengembalikan payung beliau yang tertinggal di sini, beliau
memberi kami buah apel sekantong dan menceritakan semuanya kepada kami. Kami
menawarkan diri untuk membantu dan mengantarkan gerobak gandeng itu ke rumah
beliau, jika Anda izinkan, Pak."
"Sekarang aku mengerti." Permintaan itu rasanya bisa diterima, setelah maksud
pesannya diperjelas. Bu Thorpe memang terkenal karena kegiatannya mengumpulkan
dana sosial. Kemungkinan ia berniat menjual hasil kebun atau sesuatu semacam itu
untuk tujuan sosial. Gerobak gandeng itu akan sangat bermanfaat untuk mengangkut
jualannya berkeliling desa.
"Baiklah, Jennings. Tidak ada alasan kenapa kau tidak boleh membantu mendorong
gerobak itu." "Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak. Dan Darbishire juga boleh, Pak?"
"Sudah tentu Darbishire juga boleh! Kalau kupikir-pikir, rasanya diperlukan tiga
sampai empat anak untuk mengendalikan gerobak itu apabila sudah dimuati...
ehm... kotak-kotak berisi apel atau entah untuk apa Bu Thorpe memerlukan gerobak
itu." Pak Pemberton-Oakes memandang Jennings yang berdiri di seberang meja
dengan wajah berseri-seri. "Sebaiknya kauajak dua anak lagi untuk ikut dengan
kalian. Katakan pada guru pengawas bahwa kau sudah kuizinkan."
Jennings meninggalkan kamar kerja Kepala Sekolah dengan perasaan puas.
Darbishire perlu langsung diberitahu mengenai perkembangan terbaru, katanya
dalam hati. Ia lantas bergegas ke ruang duduk bersama yang tersedia bagi para
murid. Setiba di sana dijumpainya temannya itu sedang mengatur letak prangkoprangkonya dalam album. "Beres, Darbi! Pak Kepala sudah memberi izin pada kita untuk Sabtu yang akan
datang," kata Jennings sambil memasuki ruangan. "Dan kita juga boleh mengajak
dua anak lagi untuk membantu kita."
Darbishire tercengang. "Maksudmu, beliau mengatakan boleh dengan begitu saja"
Beliau tidak keberatan, kita membawa-bawa piano butut yang sudah dimakan rayap
dan penuh dengan kumbang berkeliling Dunhambury?"
"Sebetulnya, beliau tidak tahu-menahu tentang piano itu-begitu pula tentang
Dunhambury," kata Jennings mengakui. Ia memelankan suaranya supaya tidak
terdengar oleh yang lain. "Tadi ketika Bu Thorpe menelepon, beliau sedang tidak
ada, dan entah karena apa Pak Kepala mengira Bu Thorpe memerlukan gerobak
gandeng itu untuk mengangkut buah apel berkeliling desa."
"Apel" Bagaimana Pak Kepala bisa sampai berpikir begitu?"
Jennings mengangkat bahu. "Yah, aku tadi berusaha memberikan penjelasan sedikit,
tapi beliau tidak menanyakan lebih jauh, jadi aku juga diam saja."
"Itu memang lebih aman," kata temannya sependapat. "Tidak ada gunanya memberikan
keterangan panjang-lebar kepada orang-orang dewasa jika mereka tidak mau repot
mendengarkannya. Bukan salahmu jika beliau menarik kesimpulan keliru."
Pokok berikutnya dalam daftar rencana adalah mendapatkan dua anak lagi untuk
membantu menangani gerobak gandeng itu. Jennings menghampiri Temple dan
Venables, yang saat itu sedang asyik main catur di sudut ruangan.
Keduanya mau sekali membantu ketika mendengar tujuan ajakan itu. Tapi seperti
Darbishire tadi, mereka ingin tahu lebih dulu apakah izin dari Kepala Sekolah
sudah diperoleh. "Yah.. bisa dibilang sudah," kata Jennings. "Pak Kepala tahu, kita pergi dengan
tujuan baik bersama Bu Thorpe, tapi urusan yang selebihnya agak rawan juga. Pak
Kepala tidak boleh tahu lebih jauh lagi, karena bisa saja kita dilarang
melakukannya. Jadi kita harus menjadikan ini suatu tugas yang sangat rahasia."
"Bagaimana cara memuatkan piano itu ke atas gerobak?" tanya Venables.
Hal itu belum terpikir oleh Jennings. Piano milik Bu Thorpe itu memang kecil
ukurannya. Tapi meskipun begitu, pasti masih terlalu berat untuk diangkat empat
anak, tanpa alat bantu. "Sayang kita tidak bisa mengusahakan truk yang dilengkapi dengan alat pengangkat
garpu," kata Temple.
"Pengangkat garpu!" kata Venables mengulangi. "Yang kita perlukan adalah alat
pengangkat piano. Kalau mau mengangkat garpu saja kan tak perlu truk."
"Sangat lucu! Lelucon kocak!" tukas Temple. "Tapi benar, Jen, itu memang jadi
masalah. Sebaiknya kau mulai saja memasukkan data itu ke dalam mesin pemikirmu
dan lihat apakah mesin itu bisa menemukan jawaban."
Petang itu Jennings mengeposkan sepucuk surat yang dialamatkan ke Oaktree
Cottage. Isi surat itu sebagai berikut:
"Bu Thorpe yang terhormat,
Kami sudah diberi izin untuk datang dengan membawa gerobak gandeng itu bersama
dua anak lagi yang akan membantu mendorong. Tapi kami rasa itu akan terlalu
berat untuk diangkat, jadi adakah orang-orang Anda yang bisa membantu
mengangkatnya, kalau tidak kami akan mengalami kesulitan mengangkatnya karena
terlalu berat. Jika Anda menemukan akal mengenainya, jangan beritahu lewat
telepon karena mungkin diterima oleh orang yang tidak boleh tahu.
Saya harap keadaan cuaca di tempat Anda cerah.
Salam hormat, JCT. Jennings." "Isi suratmu ini menurutku sama sekali tidak jelas," kata Darbishire yang ikut
membaca ketika Jennings sedang menulis surat itu. "Kalau membaca apa yang
kautulis itu, ada kemungkinan Bu Thorpe nanti menyangka telepon sekolah kita
disadap." "Itu risiko yang harus kita ambil. Aku tidak berani menulis lebih banyak lagi di
dalam surat, karena siapa tahu, jangan-jangan juga jatuh ke tangan orang yang
tidak boleh tahu!" Tidak jelas, apakah Bu Thorpe akan terkesan dengan keharusan rahasia itu. Tapi,
paling tidak ia menuruti peringatan agar tidak menelepon ke sekolah. Sementara
itu Bu Thorpe pun memikirkan masalah menaikkan piano ke dalam gerobak. Karena
itu keesokan harinya ia pergi ke pertanian Arrowsmith dan di sana berbicara
dengan Pak Arrowsmith, pemilik pertanian itu.
Pak Arrowsmith merupakan kenalan baiknya. Alhasil, ketika Jennings bersama awak
pembawa gerobak gandeng tiba di Oaktree Cottage pukul dua lewat sedikit pada
hari Sabtu, mereka melihat tiga pekerja pertanian bertubuh kekar sedang
mengobrol dengan Bu Thorpe di depan pintu pagar.
"Nah, itu dia gerobak gandengnya sudah datang! Bagus!" kicau Bu Thorpe dengan
riang. "Dorong saja terus sampai ke lumbung, Anak-anak!" Ia menggerakkan
tangannya ke arah ketiga pekerja pertanian itu untuk memperkenalkan mereka. "Ini
Barney, Rocker, dan Pak Fouracres yang telah berbaik hati datang untuk membantu
menaikkan piano itu."
Rocker, seorang pemuda bertubuh kekar yang mengenakan celana jeans dan sepatu
lars tinggi dari karet, menyapa, "Halo!" sementara yang dua lagi mengangguk.
"Pak Qakes benar-benar baik hati, memberi izin pada kalian," sambung Bu Thorpe
sambil berjalan di belakang gerobak gandeng, menyusuri jalan setapak dalam
kebun. "Sewaktu menelepon ke sekolah, aku tidak bisa bicara dengan beliau
sendiri, tapi aku meninggalkan pesan yang jelas sekali sehingga beliau tahu
persis apa yang hendak kita lakukan."
Jennings menyembunyikan senyumnya. Kini, setelah mereka dengan selamat keluar
dari kompleks sekolah, ia merasa takkan ada apa-apa lagi yang perlu
dikhawatirkan.... Jennings merasa tenang, karena tidak tahu-menahu tentang
kegiatan yang akan dilakukan Kepala Sekolah sore itu.
Ketiga pekerja pertanian sedikit pun tidak mengalami kesulitan ketika mengangkat
piano dan menaruhnya ke dalam gerobak. Pak Fouracres, seorang pria bertubuh
besar, memegang satu ujung instrumen musik itu, sementara Rocker membantu
Barney-yang paling tua dan pendiam di antara mereka bertiga-mengangkat sisi yang
satu lagi. Anak-anak tidak diperlukan dalam pekerjaan itu. Selain memegangi
gerobak agar tidak goyang, tidak banyak lagi yang perlu mereka lakukan.
Kemudian, ketika piano sudah diletakkan dalam posisi terbaring dalam gerobak,
ketiga pekerja pertanian itu mendorong gerobak sampai ke jalan, lalu
menyambungkannya ke pengait yang ada di belakang mobil Bu Thorpe.
"Terima kasih, terima kasih, kalian telah bekerja dengan bagus sekali," kata Bu
Thorpe dengan suara berkicau kepada ketiga pekerja pertanian itu. Ia membuka
pintu mobil sambil memanggil anak-anak, "Ayo, masuk! Kita berangkat sekarang!"
Mobil itu meluncur ke arah Dunhambury, sementara ketiga pekerja pertanian masih
berdiri memperhatikan di pintu pagar. Pak Fouracres memandang Barney lalu
berkata, "Idenya sudah baik, meminta kita agar mengangkatnya ke dalam gerobak.
Tapi menurutmu, bagaimana cara mereka menurunkannya lagi nanti kalau sudah
sampai di tujuan?" Barney menggaruk-garuk belakang telinganya. "Yah, itu memang akan jadi masalah
nanti! Tapi itu bukan urusan kita lagi," katanya sambil mengangkat bahu.
Bu Thorpe menjalankan mobilnya dengan pelan dan sangat hati-hati. Ia tidak biasa
mengemudikan mobil sambil membawa gerobak gandeng, katanya pada anak-anak. Ia
yakin anak-anak bisa memahami bahwa ia memikirkan keselamatan para penumpangnya
dan keutuhan muatan yang ada dalam gerobak di belakang mobilnya.
Diperlukan waktu 25 menit untuk menempuh jarak tujuh setengah kilometer ke
Dunhambury. Tapi akhirnya mereka sampai juga di kota itu dan di sana masuk ke dalam arus
lalu lintas ramai yang bergerak seperti merangkak di jalan utama.
Jennings, yang duduk di depan di samping Bu Thorpe, terus memandang ke tepi
jalan dengan waspada, mencari-cari toko alat-alat musik yang waktu itu
dilihatnya. "Itu dia! Lihatlah itu, di seberang jalan!" serunya tiba-tiba sambil menunjuk ke
luar. "Dan pengumumannya masih terpasang di jendela etalase. Asyik!" Ia
berpaling pada Bu Thorpe yang sibuk mengemudikan mobilnya. "Bisakah Anda
berhenti di sebelah sana itu, Bu Thorpe" Sedikit lewat dari tiang lampu jalanan,
di seberang jalan." Mobil yang mereka tumpangi saat itu sedang bergerak di tengah iring-iringan
kendaraan yang tidak putus-putusnya. Di depan ada sebuah mobil van kantor pos,
sementara di belakangnya menyusul sebuah truk pengangkut susu yang sangat rapat
jaraknya. "Aku tidak bisa berhenti sekarang! Dan sudah pasti aku tidak bisa memotong ke
seberang jalan!" kata Bu Thorpe. Khas orang yang tidak bisa mengemudikan mobil,
yang dengan tiba-tiba saja meminta agar dilakukan suatu hal yang tidak mungkin,
katanya dalam hati. "Tepat di belakang kita ada truk, sementara dari arah depan
berdatangan segala macam jenis kendaraan."
"Tapi kita harus berhenti! Jika toko itu sampai terlewati, nanti kita harus
mengangkut piano kembali dengan berjalan kaki. Dan itu tidak mungkin bisa kita
lakukan sendiri." "Ck! Benar-benar serba salah! Tapi baiklah, aku akan mencobanya," kata Bu Thorpe
sambil mengarahkan mobilnya dengan lambat ke bagian tengah jalan. "Tapi sungguh,
mustahil rasanya bisa berhenti di tempat ini."
"Di sepanjang jalan ada garis kuning ganda yang sejajar dengan trotoar," kata
Darbishire yang duduk di jok belakang. Garis kuning ganda itu berarti bahwa di
tempat itu ada larangan berhenti.
"Dan di sudut jalan di sana itu ada seorang petugas lalu lintas," kata Venables.
"Kita hanya akan sebentar saja berhenti. Aku akan bergegas masuk ke toko dan
meminta orang-orang situ keluar untuk mengangkatkan piano itu untuk kita," kata
Jennings pada mereka. "Dan begitu piano sudah diturunkan dari gerobak, Bu Thorpe
bisa langsung menjalankan mobilnya lagi, mencari tempat parkir, lalu dari sana
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjalan kembali kemari untuk bergabung dengan kita."
Usul itu kedengarannya masuk akal, tapi sayangnya tanpa memperhitungkan padatnya
lalu lintas yang bergerak di kedua arah jalan utama kota itu.
Bu Thorpe menyalakan lampu tanda hendak membelok lalu menggeser posisi
kendaraannya ke tengah-tengah jalan. Tindakannya itu menjengkelkan sopir truk
susu, karena menyebabkan ia tidak bisa menyalip.
Ketika ada lubang di tengah arus kendaraan itu sudah mulai tidak sabar. Ia pergi
ke belakang mobil lalu berseru, "Awas! Siap beraksi!"
Sambil berkata begitu dicabutnya tuas pengait dari lubangnya lalu diangkatnya
dengan sekuat tenaga, sementara Darbishire membuka tutup bak gerobak yang
sebelah belakang. Karena sudah terlepas dari mobil, tentu saja ujung belakang
gerobak yang dibebani piano, bergerak turun dengan cepat. Terdengar bunyi
berdebam ketika pinggir bawah sisi belakang gerobak membentur aspal jalanan.
Piano meluncur keluar dari gerobak tanpa terkendali dan tergeletak dengan
punggung menghadap ke bawah di jalan. Kumbang-kumbang kecil berwarna hitam
bertemperasan keluar dari kayu kotak piano lalu lari ke segala arah.
Jennings sangat marah. "Kenapa begitu cepat kalian lepaskan! Kalian kan
seharusnya mengusahakan agar tegak."
"Aku kepingin melihatmu bisa melakukannya dengan lebih baik!" kata Temple
menggerutu. "Kami tadi sama sekali tidak sempat memegangnya, karena tahu-tahu
sudah meluncur turun."
Darbishire berkata, "Sudahlah, jangan bertengkar. Kini kita benar-benar dalam
kesulitan!" Dan itu memang benar! Kaget mendengar bunyi berdebum, petugas lalu lintas tadi menghentikan
perdebatannya dengan Bu Thorpe. Ia berpaling, untuk melihat apa yang terjadi.
"Astaga!" serunya dengan kesal. "Ada piano sialan di jalan! Mobil dan gerobak
gandengnya berhenti di tanda garis kuning ganda! Cepat, bawa pergi kendaraan ini
dari sini. Bisa-bisa nanti terjadi kemacetan dari sini sampai Brighton!"
Sudah jelas, Bu Thorpe yang bertubuh kecil dan ringkih takkan mampu
menggandengkan kembali gerobak ke mobilnya jika tidak dibantu.
Karenanya petugas lalu lintas itu dengan cepat memegang tuas pengait gerobak
gandeng dan menyambungkannya ke batang penghela di belakang mobil. Kemudian ia
melangkah ke tengah jalan. Dihentikannya sebentar mobil-mobil yang datang. Celah
yang terbentuk di antara deretan mobil yang bergerak pelan dimanfaatkan Bu
Thorpe untuk menyelipkan mobilnya yang menarik gerobak gandeng kembali ke sisi
jalan yang benar. Bu Thorpe melambai ke arah anak-anak, lalu pergi dengan mobilnya, mencari tempat
parkir. "Jangan putus asa!" demikian mungkin makna lambaiannya itu. "Aku akan segera
kembali, begitu sudah menemukan tempat parkir."
13. Piano Honky-Tonk BEGITU Bu Thorpe sudah pergi, petugas lalu lintas itu mengarahkan perhatiannya
pada piano yang tergeletak di badan jalan, merintangi arus kendaraan yang menuju
ke kaki bukit. "Aduh, ini benar-benar sudah keterlaluan! Ada yang harus bertanggung jawab atas
kejadian ini," katanya dengan nada mengancam.
Suaranya sudah tidak lagi terdengar capek, dan wajahnya yang semula tampak sedih
kini berubah menjadi marah bercampur bingung. "Perempuan tadi itu minta ditilang
rupanya karena menimbulkan kesulitan. Sedang kalian, Anak-anak, kalian benarbenar merupakan bencana. Coba lihat lalu lintas itu! Aku takkan heran jika
kemacetannya sekarang sudah sampai lima mil dari sini."
"Kami sungguh-sungguh menyesal," kata Jennings minta maaf. "Itu sih, manusia
bego di toko itu. Ia tidak mau keluar untuk membantu!"
Sementara itu orang-orang sudah berkerumun di trotoar. Petugas lalu lintas
menggamit beberapa orang yang menonton untuk membantunya.
"Tolong saya menegakkan barang ini," katanya meminta. "Tidak bisa dibiarkan
tergeletak terus di sini, karena menghalangi jalan."
Dengan bantuan orang-orang itu, piano kecil itu ditegakkan lalu ditaruh di atas
trotoar. "Terima kasih banyak, semuanya," kata Jennings sambil tersenyum gugup. "Sekarang
kami bisa menanganinya sendiri, karena sudah tegak. Tidak ada lagi yang perlu
dikhawatirkan." Petugas lalu lintas itu mendengus. "Aku senang, ada yang merasa tidak ada yang
perlu dikhawatirkan," gumamnya sambil bergegas membereskan kemacetan di tempat
yang letaknya lebih mendekati bukit.
Para penonton bubar dan keempat anak itu mendorong barang mereka menuju pintu
toko. Terlepas dari bagaimana mutu suara piano itu, yang jelas alas-alas kakinya
yang bulat berada dalam kondisi sempurna.
"Kau yakin mereka akan berminat?" tanya Temple kepada Jennings ketika mereka
sudah sampai di ambang pintu. "Katamu orang itu tidak mau mendengarkan sewaktu
kau masuk tadi." "Ah, itu kan karena dia sedang sibuk melayani orang dan tidak mau diganggu. Tapi
sekarang pasti beres. Bagaimanapun..."-Jennings menuding ke pengumuman yang
terpasang di kaca jendela-"di situ tertulis lima belas pound atau lebih. Itu
tidak bisa mereka pungkiri, kan!"
Agar instrumen musik itu bisa melewati ambang pintu, Jennings dan Darbishire
menarik dari salah satu ujungnya semen tara Venables dan Temple mendorong dari
ujung yang lain. Ketika piano sudah separo melewati ambang dan separonya lagi masih ada di
trotoar, pekerjaan mereka terhambat karena kedatangan pelayan toko. Orang itu
bergegas keluar dan ruang belakang untuk memeriksa apa yang sedang terjadi.
Orang itu bertubuh kecil dan agak galak. Ia memakai kacamata dengan bingkai dari
bahan tanduk serta setelan biru yang lusuh.
"Ada apa ini"!" tukasnya.
Jennings menyambutnya dengan senyuman menawan. "Selamat sore," katanya dengan
sopan. "Kami melihat pengumuman Anda tentang piano di jendela itu. Jadi kami
membawa sebuah untuk menjualnya kepada Anda." Ia menunjuk ke arah instrumen
musik yang menutupi jalan masuk. "Sayang kondisinya tidak begitu bagus, tapi
pada pengumuman Anda kan tertulis, , dalam kondisi seperti apa pun juga'."
Pelayan toko itu menatap Jennings dengan tajam. "Adakah orang dewasa yang
menemani kalian?" "O, kami bersama Bu Thorpe," kata Jennings menjelaskan. "Saat ini Bu Thorpe
sedang memarkir mobil, tapi sebentar lagi pasti kembali. Petugas lalu lintas
tadi tidak mengizinkannya berhenti di depan dan Anda tidak datang untuk
membantu, sehingga terpaksa kami sendiri yang membawanya masuk."
Pria bertubuh kecil itu mengangguk. "Dan nyonya itu hendak membeli piano yang
baru, ya?" "Wah, tidak! Beliau tidak ingin membeli piano-bahkan memainkannya saja tidak
bisa. Beliau ingin menjualnya untuk membantu meringankan bencana kelaparan."
Pelayan toko itu berpaling sambil mengangkat bahunya sedikit. "Kalau begitu
tidak ada gunanya kalian kemari. Kami hanya menerima piano-piano tua sebagai
tukar tambah pembelian piano baru."
Jennings melongo. Ia menatap pria itu dengan perasaan kecut. "Jadi, tukar
tambah?" katanya. "Tapi bagaimana dengan pengumuman di jendela luar itu?"
"Ya, bagaimana?" seru Darbishire, yang kaget menyadari rencana mereka yang
mungkin gagal. "Di situ dikatakan hitam di atas putih-secara tertulis. Itu tidak
bisa Anda pungkiri!"
Sikap pria yang galak itu agak melunak. Ia mendesah. Panjang sekali desahannya.
Ia sudah pernah menghadapi anak-anak optimis seperti mereka ini.
"Coba dengar sebentar,. Nak," katanya sambil menudingkan telunjuknya yang kurus
ke arah Darbishire. "Kami ini dibanjiri orang-orang seperti kalian, yang ingin
mendapat uang sekadarnya dengan menawarkan piano-piano tua yang penuh ulat, yang
hanya cocok untuk dilempar ke timbunan rongsokan. Percuma saja membawa sampah
semacam itu kemari."
"Tapi di pengumuman itu dikatakan, 'dalam kondisi seperti apa pun juga'," kata
Jennings mengingatkan. "Kami mau saja menerimanya-untuk tukar tambah," kata pelayan toko itu. "Kalau
ada orang yang benar-benar ingin membeli piano baru masuk kemari dengan membawa
segerobak sampah seperti itu," tudingan jarinya beralih ke instrumen musik yang
masih menghalangi di ambang pintu, "kami akan menjual piano baru padanya, lalu
piano bobroknya kami kirim ke pusat, untuk dicampakkan di tempat pembuangan
barang-barang bekas."
Jennings merasa dirinya tertipu. "Anda seharusnya menulis apa yang sebenarnya
Anda maksud. Itu penipuan namanya," katanya dengan nada menuduh.
"Bukan, tentu saja itu bukan penipuan. Apabila ada orang hendak melakukan
bisnis, tidak ada ruginya bagi kami untuk menerima piano rongsokannya dan
memotong lima belas persen dari harga penjualan piano yang baru. Yang penting,
kami bisa menjual dengan cepat! Piano-piano tua itu tidak ada gunanya bagi kami.
Menghadiahkannya saja kami takkan bisa-apalagi menjualnya!"
Tiba-tiba saja Rencana Mengenai Piano Kuno jadi berantakan. Jennings merasa
ingin menangis karena kesal. Ilham yang cemerlang, perencanaan yang cermat,
segala rintangan yang dihadapi dan berhasil dilewati-akhirnya percuma saja.
Proyeknya gagal total! Ia berpaling ke arah temannya dan berkata,
"Yuk, Darbi. Kita beritahu saja yang lainnya. Mereka pasti bertanya-tanya, apa
sebenarnya yang terjadi."
Venables dan Temple, yang menunggu dengan perasaan tidak sabar di luar toko,
memang bertanya-tanya apa yang terjadi di dalam. Mereka bisa melihat Jennings
berbicara dengan pelayan toko, tapi keberisikan bunyi kendaraan yang lewat
menyebabkan mereka tidak bisa menangkap pembicaraan itu.
Keduanya mencoba mengikuti Jennings dan Darbishire masuk ke toko, tapi tidak
bisa, sebab terhalang piano. Namun kini, dengan harapan bahwa urusan jual-beli
sudah diselesaikan, mereka menjulurkan kepala dari balik piano yang merintangi
untuk minta keterangan. "Sudah kauterima uangnya, Jen?" seru Temple dengan gembira.
"Berapa dibayarnya?" tanya Venables.
Jennings membentangkan kedua lengannya dengan sikap putus asa. "Tidak satu penny
pun! Rencana kita gagal. Orang itu tidak mau membelinya."
"Tidak mau membelinya"!" Venables mengulangi dengan nada kaget. "Tapi dia harus
membelinya! Kita tidak bisa mengangkutnya kembali lagi ke Linbury. Itu tidak
mungkin." Ucapan Venables itu ada benarnya. Karena tidak ada ketiga pekerja pertanian yang
membantu mengangkat piano, bayangan harus memuatkan kembali piano itu ke gerobak
gandeng sudah cukup membuat pikiran macet.
Pasti keadaan di jalan utama - nanti kacau-balau. Dalam pikirannya, Jennings
bisa membayangkan lalu lintas macet total: usaha Bu Thorpe yang sia-sia untuk
memarkir gerobak gandeng di luar toko, kemarahan petugas lalu lintas karena
terjadi lagi pelanggaran terhadap garis kuning ganda!
Jennings berpaling kembali pada pelayan toko dan berkata, "Saya sangat menyesal,
tapi kami terpaksa meninggalkan piano ini di sini. Kami tidak bisa berbuat apaapa lagi dengannya."
Pelayan toko itu naik darah. Sikapnya yang galak muncul lagi. "Akan kukatakan
apa yang bisa kalian lakukan dengannya," katanya marah-marah. "Kalian bisa
membawanya keluar dari toko ini. Aku tidak mau onggokan kayu bakar itu
menyebabkan tempat ini kelihatan berantakan, belum lagi rayap yang nanti
menyebar di sini. Ayo, keluarkan barang itu sekarang ini juga!"
"Tapi di mana kami harus menaruhnya" Kan tidak bisa ditinggalkan begitu saja di
jalan." "O, ya, kita bisa saja membuangnya ke jalan, dan akan kutunjukkan bagaimana
caranya." Pelayan toko itu melangkah dengan cepat melewati Jennings dan
Darbishire. Ia menyandarkan bahunya ke bagian piano yang masuk ke dalam toko
lalu mulai mendorong piano dengan sekuat tenaga.
Venables dan Temple buru-buru meloncat, menyelamatkan diri ke samping, sementara
instrumen musik itu terdorong-dorong melewati keset di depan pintu dan menuju ke
arah mereka. Akhirnya, setelah sampai di trotoar, barulah pelayan toko berhenti mendorong
piano tua itu. "Nah, sekarang barang ini sepenuhnya jadi urusan kalian lagi! Aku tidak punya
urusan lagi dengan piano tersebut-juga dengan kalian!" kata pelayan toko itu
dengan napas tersengal-sengal, sementara Jennings dan Darbishlre mengikuti
barang mereka yang tidak dikehendaki yang didorong ke luar itu. "Dan jika barang
itu sepuluh menit lagi masih juga ada di situ, aku akan menelepon polisi dan
minta agar kalian ditangkap karena menyebabkan orang lewat tidak bisa melihat
isi etalase toko." Ia masuk lagi ke dalam toko. Pintu depan dibantingnya keraskeras. Anak-anak berdiri di trotoar dengan lesu.
"Bagaimana sekarang" Apa yang harus kita lakukan?" keluh Temple.
"Seandainya saja Bu Thorpe sudah ada di sini," desah Darbishire sambil
celingukan, memandang ke hilir dan ke hulu jalan. "Berapa lama sih, waktu yang
diperlukannya untuk memarkir mobi1?"
Jennings menggeleng dengan wajah kecut. Takkan banyak yang bisa dilakukan Bu
Thorpe, pikir anak itu dengan getir, sementara orang-orang yang lalu lalang
terpaksa menghindari piano yang merintangi jalan mereka. Ada juga yang berhenti,
dengan perasaan heran mereka menonton keempat anak yang sedang sedih itu serta
piano kuno mereka.... Jennings merasa, ini merupakan salah satu dari situasi
payah yang tidak ada jalan keluarnya!
Ronald Alfred Hales, tukang pangkas rambut senior di Salon Walton (didirikan
pada tahun 1929), mempunyai kebiasaan berjalan-jalan menyusuri jalan utama pada
saat istirahat minum teh pada sore hari, untuk menikmati seteko teh dan dua iris
roti bakar di sebuah restoran langganannya yang terletak di pertengahan jalan ke
arah kaki bukit. Sambil menyeberang jalan di saat lampu berwarna hijau, ia mengingatkan diri
sendiri bahwa hari itu ia hanya akan bisa minum teh secangkir saja. Soalnya,
salon tempatnya bekerja ramai terus sejak saat makan siang. Pelanggan
berdatangan terus dan meminta... lamunannya buyar tiba-tiba ketika ia sampai di
depan toko alat musik, sementara langkahnya tertahan oleh sebuah piano kecil
yang melintang, menghalangi separo trotoar.
Pak Hales mengangkat kepalanya dan melihat empat murid Sekolah Linbury Court
berdiri mengelilingi piano itu dengan sikap murung. Salah seorang di antara
keempat anak itu dikenalinya kembali. Anak itulah yang datang ke salon lebih
dari dua minggu yang lalu, minta rambutnya dibereskan setelah kena cat semprot.
"Halo, halo! Sedang latihan main musik di jalanan?" Pak Hales menyapa dengan
nada usil. "Kau kan tidak berniat melapisi tuts-tuts piano itu dengan cat
aluminium?" Kelakarnya itu tidak mendapat tanggapan serupa. Jennings menoleh lalu berkata
dengan nada bingung, "Ini urusan serius, Pak Hales. Dengan cara bagaimanapun
kami harus menyingkirkan piano ini dari sini. Kalau tidak, bisa-bisa kami nanti
ditangkap karena mengganggu kelancaran lalu lintas."
Pak Hales terkejut. "Apa sebenarnya yang terjadi?"
Tukang pangkas rambut itu mendengarkan penuturan anak-anak dengan wajah serius.
Kemudian ia berkata kepada Jennings, "Kau ini memang tidak setengah-setengah
kalau mencari kesulitan. Belum pernah kujumpai anak seperti kamu ini, yang
begitu gemar menyerempet-nyerempet bahaya." Pak Hales berpikir-pikir, sementara
jarinya diketuk-ketukkan ke piano. Akhirnya ia berbicara lagi, "Jika kalian
ingin menyingkirkannya, ada kemungkinan Andy Chester masih mencari-cari piano
tua semacam ini." "Andy Chester?" Jennings tidak mengenal nama itu.
"Dia itu seorang pemuda yang mengelola Klub Pemuda di Denton Street. Klub itu
sedang mencari sebuah piano tua untuk pertunjukan revue yang hendak mereka
adakan." Revue adalah semacam pertunjukan yang menghidangkan tarian, nyanyian,
musik, lawak, dan macam-macam lagi.
"Tapi mungkin sekarang sudah terlambat," sambung Pak Hales.
"Yuk, kita tanyakan saja padanya," seru Venables bersemangat. "Di mana tempat
tinggalnya, Pak?" Pak Hales menimbang-nimbang sebentar. Ia memutuskan untuk tidak jadi minum teh
sore itu, karena urusan ini lebih penting. "Kuantar kalian ke sana," katanya
menawarkan. "Tapi bagaimana dengan piano ini" Bagaimana caranya membawa ke sana?" tanya
Darbishire. "Didorong, tentu saja," jawab pemangkas rambut itu. "Tempatnya tidak jauh, cuma
di balik sudut jalan yang pertama, dan jalannya menurun terus."
Pemandangan empat orang anak dan seorang pria yang sudah agak tua mendorongdorong piano menyusuri trotoar menyebabkan beberapa orang di jalan berpaling dan
memandang dengan heran ke arah mereka.
Meski letaknya dekat dengan jalan utama, Denton Street ternyata merupakan suatu
jalan yang sunyi. Hanya sedikit kendaraan bermotor yang lewat. Itu karena jalan
itu buntu, dan pengendara mobil yang mengetahuinya sering memarkir mobil mereka
di depan rumah-rumah tua yang berderet-deret hampir di sepanjang jalan tersebut.
Di ujung jalan itu, di tempat tidak ada lagi rumah-rumah, terdapat sebuah
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bangunan yang terbuat dari seng. Dulunya itu merupakan gereja salah satu sekte
agama Kristen, yang kemudian dijadikan markas Klub Pemuda Dunhambury.
Rombongan pendorong piano itu berhenti di depan bangunan itu. Pak Hales, dengan
napas memburu, masuk ke bangunan itu untuk mencari Andy Chester.
"Mudah-mudahan saja Pak Hales tidak terkena serangan jantung," kata Temple,
setelah anak-anak menunggu selama lima menit di luar.
"Sewaktu kita menaikkan piano ini ke atas trotoar, dia mendorong dengan sekuat
tenaga, dan kelihatannya dia tidak biasa melakukan pekerjaan seperti itu."
Tapi sesaat kemudian Pak Hales' sudah muncul lagi, bersama seorang pemuda
berjenggot dan berwajah ramah. Pemuda itu mengenakan sweter longgar dan celana
panjang berwarna cokelat pudar.
"Maaf, aku agak lama, Anak-anak. Aku harus menelepon ke salon dulu untuk
mengatakan aku agak terlambat kembali," kata Pak Hales menjelaskan. Ia
menggerakkan tangannya ke arah pemuda di sebelahnya. "Ini Andy Chester. Aku
sudah menceritakan segala-galanya padanya."
Pemimpin Klub Pemuda itu menyapa anak-anak dengan cengiran lalu memandang piano
yang berada di trotoar. "Kita dengarkan saja dulu bagaimana bunyinya, ya!" Ia membuka tutup tuts lalu
memainkan beberapa kombinasi nada dengan sekuat-kuatnya.
Darbishire mengernyitkan muka mendengar bunyinya. Tidak diperlukan pendengaran
yang halus untuk mengetahui bahwa laken-laken pelapis pemukul dawai sudah habis
dimakan ngengat, sehingga pemukul-pemukul yang terbuat dari kayu langsung
membentur dawai-dawai. Pasti Andy Chester takkan mau menerima piano tua yang bunyinya secempreng itu.
Bahkan sebagai hadiah pun tidak!
Tapi pemuda itu melanjutkan dengan memainkan suatu lagu gembira. Ia bermain
dengan asyik. Ketika lagu sudah selesai, ia berpaling pada anak-anak dengan
wajah berseri-seri karena senang.
"Indah! Benar-benar indah! Ini piano honky-tonk yang benar-benar asli," katanya
bergairah. "Bunyi logam yang mantap seperti tadi itu takkan bisa diperdengarkan
oleh piano yang biasa. Seperti minuman anggur-nada-nadanya memerlukan waktu
untuk menjadi benar-benar ranum."
Anak-anak memandangnya dengan perasaan agak heran. "Maksud Anda, Anda mau
mengambilnya?" tanya Jennings.
"Tentu saja aku mau! Sudah berminggu-minggu aku mencari sebuah piano yang
apabila dimainkan bunyinya seperti mesin pengaduk semen yang sedang bekerja.
Tepat! Instrumen inilah yang kami perlukan untuk revue kami." Senyum Andy
Chester bertambah lebar. Suaranya bergetar karena bersemangat. "Pertunjukan itu
karya kami sendiri. Judulnya, Menyusuri Pelosok-pelosok Dunhambury yang
Tergelap, dan kami tidak segan-segan mengkritik pejabat-pejabat setempat.
Misalnya ada satu adegan..."
Ia tidak melanjutkan kalimatnya, karena saat itu datang serombongan pemuda dan
pemudi berumur belasan. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap dengan lantang dan
ceria. Salah seorang pemuda membawa sebuah trompet, dan seorang gadis memanggul
sebuah gitar. "Mereka itu sebagian dari para pemain. Kami akan mengadakan latihan sore ini,"
kata Andy Chester. Lalu ia berteriak ke arah rombongan yang datang, "He, dengar,
kalian yang berkuping budek! Bagaimana kalau ini' sebagai pengiring yang
menggeletar!" Sekali lagi Andy Chester memainkan lagu gembira yang tadi, dan rombongan berumur
belasan tahun itu langsung mengerubung di sekeliling piano, mengetuk-ngetukkan
kaki mengikuti irama sambil mendengarkan dengan wajah senang. Gadis yang membawa
gitar lantas memetik instrumennya untuk mengiringi, begitu pula pemuda yang
membawa trompet. Seseorang mengambilkan kursi dari dalam bangunan, untuk tempat
duduk pemain piano. Musik yang terdengar semakin nyaring, rombongan yang
selebihnya menunggu saat yang tepat lalu mulai menari. Dan tiba-tiba saja sudah
berlangsung latihan spontan di trotoar, bahkan menyebar turun ke jalan.
Jennings dan teman-temannya terpesona menonton latihan itu. Ini merupakan
sesuatu yang baru dan menggairahkan-sesuatu di luar kehidupan sehari-hari anakanak itu, selalu berhubungan dengan tata tertib di sekolah asrama. Mereka sudah
lupa pada kejadian di toko alat musik tadi, mereka juga sudah lupa pada Bu
Thorpe, karena terlalu asyik melihat tontonan itu. Tidak terpikir oleh mereka
bahwa saat itu Bu Thorpe mencari-cari mereka.
Bunyi musik itu menimbulkan sekelompok orang mulai berkerumun. Orang-orang yang
tinggal di jalan itu mengintip ke luar dari balik tirai jendela. Keramaian
seperti itu tidak pernah terjadi sebelumnya di Denton Street!
Pak Hales, yang menikmati perpanjangan waktu istirahat minum tehnya tanpa izin
pihak majikan, menyentuh lengan Jennings sambil berkata, "Tidakkah kaukatakan
bahwa piano ini dijual untuk tujuan amal?"
Jennings mengangguk. "Betul. Untuk membantu meringankan beban bencana
kelaparan." Pemangkas rambut itu menggerakkan lengannya, menunjuk kerumunan orang yang
semakin banyak. "Kalau begitu, ini kesempatan baik bagi kalian! Bawalah topi
berkeliling sementara mereka sedang menonton. Nanti kalian pasti akan tertawatawa senang dalam perjalanan ke bank."
Meskipun usul itu cemerlang, pada mulanya Jennings merasa segan menyalahgunakan
kesempatan itu. "Apakah Andy Chester nanti tidak keberatan?" tanyanya dengan
nada sangsi. "Astaga, tentu saja tidak! Aku kan kenal Andy. Ia malah akan senang sekali, bisa
membantu." Tapi Jennings masih tetap ragu. "Tapi saya tidak punya kaleng sumbangan lagi."
"Itu bukan alasan!" Pak Hales mengarahkan gerakan jempol tangannya ke bangunan
di belakang mereka. "Kau pasti akan menemukan sesuatu yang bisa kaupakai di
dalam situ." Darbishire mengikuti percakapan antara Jennings dan pemangkas rambut itu dengan
penuh minat. "Itu ide bagus, Jen. Aku ikut membantumu mencari," katanya
menawarkan. Kedua anak itu masuk ke dalam bangunan lewat pintu depan yang terbuka. Mereka
sampai di sebuah ruangan besar tempat terdapat sebuah panggung. Tidak ada siapasiapa di situ, tapi berbagai perlengkapan dan dekor tampak berserakan di lantai.
"Bagaimana kalau ini saja yang dipakai untuk mengumpulkan sumbangan?" Darbishire
mengusulkan sambil memungut sebuah topi lusuh yang bagian atasnya bulat. Topi
itu tergeletak di atas tumpukan kostum.
Jennings menggeleng. Topi itu terlalu konyol bila dipergunakan untuk suatu
proyek yang serius, pikirnya. Ia memandang berkeliling dan menemukan sebuah
kaleng kosong bekas tempat kopi di ambang sebuah jendela. "Kurasa ini lebih
baik," katanya memutuskan. "Dan kita perlu membuat semacam pemberitahuan, untuk
tujuan apa kita mengumpulkan sumbangan."
Darbishire langsung bertindak. Di balik selembar poster yang terbuat dari karton
dan mengiklankan sebuah merek minuman ringan dituliskannya kata-kata Dukunglah
Usaha Bantuan Bencana Kelaparan. Ia menuliskannya dengan sepotong kapur tulis
yang ditemukannya di lantai, di bawah papan sasaran permainan lempar panah.
"Kelihatannya agak asal-asalan," kata Jennings, ketika mereka bergegas lagi
keluar dengan peralatan mereka. "Tapi kurasa mereka akan mengerti apa
maksudnya." Sementara itu musik sudah berhenti dan orang-orang yang berkerumun menonton
sudah mulai pergi satu per satu. Tapi sewaktu Jennings dan Darbishire datang
menghampiri, Pak Hales memberi isyarat pada mereka agar datang. Lalu ia
menghampiri Andy Chester dan berembuk sejenak dengannya.
Pemimpin Klub Pemuda itu mengangguk, lalu bangkit dan berbicara pada orang-orang
yang berkerumun. "Harap jangan pergi dulu, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya," serunya
lantang. "Atas permintaan khusus kami sekarang akan menampilkan acara penutup
kami yang menggemparkan. Dan selama kami menampilkannya, akan dipungut sumbangan
untuk suatu tujuan yang baik, yakni membantu korban bencana kelaparan di dunia."
Piano cempreng itu memperdengarkan nada-nada yang melenting-lenting, gitar dan
trompet mengiringi, dan para pemain selebihnya menggeliat-geliatkan tubuh
mengikuti irama sambil menyanyi dengan suara senyaring-nyaringnya.
Pak Hales yang paling dulu menjatuhkan sekeping uang ke dalam kaleng kopi yang
diedarkan. "Aku harus pergi sekarang," katanya pada anak-anak. "Wah, kalian
telah menyebabkan aku didamprat nanti, karena meninggalkan salon selama empat
puluh menit pada hari Sabtu sore yang sibuk."
Mereka berusaha mengucapkan terima kasih atas segala bantuan Pak Hales, namun
tukang pangkas yang baik itu tidak mau mendengarnya. "Kalian tidak perlu
berterima kasih," katanya menoleh sambil berjalan pergi. "Ini tadi benar-benar
menyegarkan. Sudah sejak bertahun-tahun aku tidak pernah lagi menikmati waktu
istirahat minum teh seperti ini."
Kedua anak yang mengumpulkan sumbangan melangkah dengan pelan di sela orangorang yang berkerumun. Jennings berkeliling sambil mengguncang-guncangkan kaleng
yang sudah berisi beberapa keping mata uang. Darbishire mengikuti di belakangnya
sambil membawa karton pemberitahuan bahwa uang itu akan disumbangkan pada suatu
dana sosial. Kebanyakan orang yang hadir memberikan sumbangan. Jennings senang sekali, karena
begitu cepatnya uang berhamburan masuk ke dalam kaleng.
"Terima kasih... terima kasih!" katanya berulang-ulang, sementara ia dan
Darbishire menyusup-nyusup di sela orang-orang yang berada di bagian belakang
kerumunan. Pada saat itu terjadilah hal yang sedikit pun tidak mereka duga sebelumnya!
Jennings berpaling, hendak mengatakan sesuatu kepada Darbishire yang berjalan
dekat sekali di belakangnya. Ia sama sekali tidak memandang ke arah calon
penyumbang yang ada di depannya. Ia hanya mengguncang-guncangkan kaleng
sumbangannya di depan orang itu.
"Terima kasih... terima kasih!" Tapi sekali ini gerakan tangannya mengguncangguncangkan kaleng tidak mendapat tanggapan. Karenanya Jennings lantas mendongak,
menatap tubuh jangkung dengan mantel kelabu yang berdiri di hadapannya.
Tatapan matanya bertemu pandangan dingin menusuk. Dan mata yang menatap itu
adalah mata M.W.B. Pemberton-Oakes, MA, kepala Sekolah Linbury Court.
14. Persoalan Hak Cipta PERJUMPAAN itu begitu tak terduga, sehingga selama beberapa saat baik Jennings
maupun Kepala Sekolah hanya saling menatap saja dengan sikap kaget. Sementara
Darbishire, ia begitu terkejut sampai-sampai poster yang dipegangnya terlepas
dan jatuh tergeletak dengan posisi terbalik ke dalam got yang ada di depan
kakinya. Pak Pemberton-Oakes yang lebih dulu pulih dari kekagetan.
"Tolong betulkan apabila aku keliru, Jennings," katanya dengan lemah lembut.
"Rasanya aku telah memberi kalian izin untuk membantu Bu Thorpe menjajakan
hasil,kebun di desa."
Jennings tidak menjawab, karena memang tidak mampu berbicara saat itu.
"Karenanya aku benar-benar bingung, apa sebabnya aku menjumpai dirimu sedang
melakukan pengumpulan sumbangan di... eh... lingkungan yang aneh di tengah kota
Dunhambury." Kepala Sekolah berhenti sebentar. "Aku menunggu jawabanmu dengan penuh minat."
"Begini, Pak, mungkin waktu itu kami kurang jelas memberikan keterangan," kata
Jennings dengan suara pelan. "Bu Thorpe punya piano yang tidak diperlukannya,
dan beliau mengatakan... atau tepatnya, beliau mengira... maksud saya, beliau
memutuskan..." "Bicaralah dengan jelas," kata Kepala Sekolah dengan galak. "Bu Thorpe
mengatakan, Bu Thorpe mengira, Bu Thorpe memutuskan-kita takkan bisa tahu duduk
perkara sebenarnya, kalau kau terus saja begitu. Ngomong-ngomong, mana Bu
Thorpe?" Jennings menunduk, dan sambil menggeser-geserkan kaki mengatakan, "Kami
kehilangan beliau, Pak."
"Kehilangan"!"
"Hanya untuk sementara waktu, tentu saja. Petugas lalu lintas tadi tidak
memperbolehkannya berhenti di garis kuning ganda di sepanjang jalan utama."
Pak Pemberton-Oakes sudah gelisah karena tidak sabar lagi. Ia juga tahu tentang
adanya garis kuning ganda tanda larangan berhenti di jalan utama! Justru itulah
yang menyebabkan ia memarkir mobilnya di Denton Street tadi, dan ia sedang
hendak kembali ke kendaraannya itu ketika bunyi musik dan kerumunan orang di
tengah jalan itu menarik perhatiannya. Dan ia lalu datang menghampiri.
"Sekarang dengarkan aku, Jennings! Aku tidak tahu, apa saja yang terjadi selama
ini, tapi aku berniat untuk mengetahuinya. Bu Thorpe rupanya kunci dalam
kejadian misterius ini, begitu aku mengetahui di mana beliau berada..."
Tepat pada saat itu "kunci" itu datang dari arah jalan utama. Wajahnya langsung
berseri ketika melihat Jennings dan Darbishire.
"Ah, di situ kalian rupanya! Akhirnya ketemu juga! Lega hatiku karenanya."
Kemudian barulah beliau melihat Pak Kepala Sekolah. Bu Thorpe mengangguk dengan
ramah. "Aduh, bukan main repotnya aku tadi! Orang yang di toko alat musik sama
sekali tidak bersikap membantu-dan juga kasar sikapnya-sehingga aku bingung.
Untung ada orang di luar toko swalayan yang memberitahu bahwa ia melihat sebuah
piano didorong-dorong ke arah sini. Tapi, yah, sekarang semuanya beres!" Melalui
sela-sela kerumunan orang, Bu Thorpe memandang ke arah para penari yang masih
terus bergerak-gerak mengikuti irama musik. Bu Thorpe pun lantas ikut melambailambaikan tangan dengan riang. "Dan ada konser yang asyik di tempat terbuka.
Benar-benar menyenangkan!"
Pak Pemberton-Oakes menahan kekesalannya yang sudah hampir meledak. Dengan sopan
tapi tegas ia berkata, "Bu Thorpe, agaknya ada salah paham di sini. Saya mengira
Anda memerlukan anak-anak ini untuk membantu Anda membawa... eh... apel dan
hasil kebun lainnya berkeliling desa dengan gerobak gandeng saya."
"Apel?" Bu Thorpe memiringkan kepalanya. Kelihatan seperti seekor burung yang
melihat ulat. "Tidak, bukan apel-tapi piano. Tepatnya, sebuah piano. Saya
sangka, saya sudah cukup jelas mengatakannya sewaktu menelepon waktu itu.
Rupanya wanita yang menerima pesan saya salah mengerti. Saya sudah mengiranya
saat itu." Dengan ringkas dijelaskannya maksud proyek sore itu. Bu Thorpe menyatakan bahwa
ia sendirilah yang bertanggung jawab atas segala kesalahpahaman yang terjadi.
Wanita itu juga memuji-muji Jennings dan ketiga temannya karena begitu
bersemangat membantu agar kegiatan yang baik itu bisa berhasil.
"Anda sudah sepatutnya bangga dengan mereka, Pak Oakes," kata Bu Thorpe. "Saya
yakin, Anda pasti akan dengan senang mengizinkan mereka ikut, apabila Anda tahu
apa rencana kegiatan kami."
Kepala Sekolah memaksa dirinya tersenyum. Karena mengenal Jennings dan temantemannya, ia menduga bahwa urusannya bukan cuma itu. Tapi ia memutuskan untuk
tidak mengorek keterangan lebih dalam lagi.
"Tentu saja saya senang dengan prakarsa mereka, tapi saya tidak bisa setuju
mereka ikut berperan dalam pertunjukan jalanan semacam ini," katanya. "Saya sama
sekali tidak tahu kalau ada niat untuk mengadakan sesuatu semacam ini."
"Tapi kami tidak merencanakannya, Pak. Ini sama sekali di luar rencana-tahu-tahu
saja terjadi," kata Jennings menjelaskan. Ia sudah merasa lebih lega sekarang,
setelah Bu Thorpe dengan begitu gigih mendukung mereka. "Soalnya, toko alat
musik itu tidak mau menerimanya, karenanya lantas kami berikan saja piano
tersebut kepada Klub Pemuda."
Sementara itu acara penutup yang ramai sudah berakhir. Kerumunan itu buyar, dan
para anggota Klub Pemuda yang bertubuh kekar mengangkut piano itu ke dalam
markas mereka untuk melanjutkan latihan di dalam.
Andy Chester datang menghampiri. "Mana anak yang tadi membawa kaleng sumbangan?"
serunya, sambil langsung menuju tempat Jennings. "Kami masih berutang padamu
untuk piano tua itu."
Jennings merasa kikuk, karena Kepala Sekolah ada di dekatnya, dan bisa ikut
mendengar percakapan mereka. "Ah, itu jangan Anda pikirkan. Pokoknya, piano itu
sudah lepas dari tangan kami. Kami tidak mengharapkan Anda membayar untuknya."
"Bagaimana juga, kami ingin ikut menyumbang. Ketika para pemain mendengar bahwa
kalian berharap bisa menjualnya untuk tujuan amal, mereka lantas berpendapat
bahwa kami harus berbuat sesuatu." Andy Chester mengeluarkan tiga keping mata
uang satu pound dari sakunya lalu menjatuhkannya ke dalam kaleng sumbangan.
"Disertai ucapan salam dan terima kasih Klub Pemuda Dunhambury," katanya sambil
nyengir. "Kami, penduduk sekitar sini bukan orang kaya, tapi kami tahu bahwa
keadaan kami masih jauh lebih baik daripada orang-orang yang mengalami bencana
kelaparan." Pak Pemberton-Oakes membawa anak-anak pulang ke sekolah dengan mobilnya. Bu
Thorpe begitu lelah karena kejadian-kejadian sore itu. Ia memutuskan untuk
mampir minum teh di Restoran Ye Olde Tudor Bunne Shoppe guna memulihkan tenaga
untuk perjalanan pulang nanti.
"Gerobak gandeng Anda akan saya kembalikan malam ini, Pak Oakes," katanya.
Jennings dan ketiga temannya yang berdiri di samping mobil Kepala Sekolah
berpamitan kepada wanita itu.
"Atau bisa juga kami ke rumah Anda besok untuk mengambilnya. Boleh, kan, Pak?"
kata Jennings menawarkan bantuan.
Kepala Sekolah mengernyit. Ia menarik napas. "Tidak, Jennings, itu satu hal yang
takkan kaulakukan," katanya tegas. "Meskipun aku bersedia tidak mempersoalkan
beberapa segi kelakuanmu sore ini, aku sudah memutuskan, demi kelancaran
Serahkan Saja Pada Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kegiatan sekolah, baik kau maupun teman-temanmu yang ada bersamamu sekarang ini
takkan diizinkan melangkahkan kaki ke luar kompleks sekolah sampai akhir
semester ini." "Ya, Pak. Maaf, Pak."
"Dan sekarang," lanjut Pak Pemberton-Oakes sambil membuka pintu mobilnya lebarlebar, "cepat kalian masuk, sebelum aku berubah pikiran dan memberi kalian
hukuman yang seharusnya kalian peroleh karena mencoba mengelabui diriku!"
Malam itu Jennings duduk di ranjangnya, di Ruang Tidur Empat. Ia sedang
menghitung uang yang telah berhasil mereka kumpulkan.
"Kita mendapat 23 penny untuk orang-orangan itu di luar Toko Serba Ada Linbury
waktu itu, lalu 13 pound dan 92 penny pada waktu Malam Kembang Api," katanya
kepada para anggota kelompok aksi, sementara mereka menunggu kedatangan Pak
Carter yang akan memadamkan lampu. "Jadi, jika ditambah dengan uang 2 pound dan
75 penny hasil pengumpulan tadi sore, ditambah lagi 3 pound yang dibayar untuk
piano, jumlah seluruhnya adalah 19 pound 90 penny. Seluruhnya kita sumbangkan
kepada Pak Carter untuk usaha amalnya."
"Lumayan," kata Atkinson. "Sayang kita tidak bisa mencapai angka bulat-tepat dua
puluh pound." "Bisa saja, jika kita semua menyumbang," kata Temple menyarankan. "Untuk kita
berlima, itu berarti masing-masing cuma dua penny."
Jennings menggeleng. "Tidak, uang untuk proyek ini hanya boleh dari penghasilan
kita saja. Siapa pun juga bisa memberi uang apabila cukup mujur untuk
memilikinya, tapi bekerja untuk itu-itu lain. Kita harus memakai otak kita, dan
selain itu juga harus banyak melakukan kerja keras."
Pak Carter melihat Jennings yang tampak sedang sibuk berpikir ketika guru itu
masuk berapa menit kemudian. "Kau kelihatan begitu serius, Jennings," katanya.
"Ada apa?" "Cuma merenung, Pak," kata Jennings sambil menggeleng. "Saya sedang menyuruh
mesin pemikir saya bekerja untuk melihat apakah saya bisa menghasilkan sepuluh
penny lagi untuk disumbangkan pada proyek Anda itu. Cuma itu, Pak."
Pak Carter tersenyum. "Kau sangat baik hati, Jennings." Ia memadamkan lampu
ruangan. "Aku yakin, kau akan berhasil menemukan jalan. Kau pasti bisa!"
Pak Carter duduk di kursi guru di ruang Kelas Tiga. Di hadapannya ada setumpuk
buku latihan. Saat itu merupakan jam terakhir pada hari Jumat siang, dan
khususnya minggu ini, jam pelajaran itu membuahkan hasil yang memuaskan.
Sudah lebih dari dua minggu waktu berlalu sejak Malam Api Unggun, namun masih
banyak anak menulis karangan yang berhubungan dengan perayaan kembang api itu.
Bromwich dan Martin-Jones bekerja sama menulis sebuah artikel teknis tentang
Persiapan Landasan Luncur Roket. Isinya merupakan saran yang berguna, yaitu
jangan terlalu dekat bila hendak menyalakan mercon roket murahan, karena roket
semacam itu cenderung melesat dengan arah yang sulit diperkirakan sebelumnya.
Paparan Venables tentang acara makan-makan di luar dengan hidangan sosis
panggang dan kentang bakar, sajak Temple mengenai arak-arakan obor, ulasan
Atkinson tentang Kewajiban-kewajiban Petugas Hubungan Masyarakat dari Seseorang
yang Sudah Mati, semuanya merupakan bahan bacaan yang mengasyikkan, meskipun
mungkin tidak sebaik hasil riset ilmiah yang dilakukan Darbishire mengenai
Akibat-akibat Politik dari Persekongkolan Bubuk Mesiu pada Tahun 1605.
Jennings pun menghasilkan karangan yang bagus. Sekali ini ia tidak menulis
tentang hal kegemarannya, yaitu ekspedisi ke luar angkasa dan perjumpaannya
dengan makhluk-makhluk kecil berwarna hijau. Sekali ini ia menyumbangkan sebuah
renungan mengenai perlunya mengumpulkan dana untuk membantu negara-negara miskin
di dunia demi perbaikan kondisi kehidupan rakyat mereka.
Pak Carter terkesan ketika membacanya. "Ini karanganmu yang paling baik selama
ini, Jennings," katanya. Ia memandang anak itu sambil tersenyum memuji. "Apabila
kauizinkan, aku ingin memuat karanganmu ini dalam edisi berikut majalah sekolah
kita." Jennings sangat senang mendengarnya. "Saya sangat serius sewaktu menulisnya,
Pak. Saya memang berharap Anda bersedia memuatnya dalam majalah kita. Soalnya,
saya punya alasan tertentu, Pak."
"O, ya" Alasan apa maksudmu?"
Jennings meninggalkan bangku tempat duduknya di barisan belakang. Ia berjalan ke
depan lalu berdiri di samping meja guru. Dengan telunjuk yang kotor kena tinta,
ia menunjuk kata-kata peringatan yang tertulis di bawah judul ulasannya: @ Hak
Cipta: J.C.T. Jennings. Tulisan ini dilindungi Undang-Undang Hak Cipta dan tidak
boleh diperbanyak tanpa izin pengarang. Perlindungan hak cipta ini juga mencakup
hak-hak di bidang film, televisi, dan radio-teleskop.
"Akan saya berikan izin tertulis pada Anda untuk memuatnya, Pak, tapi dengan
satu syarat: Anda harus membayar biaya khusus, sebesar sepuluh penny."
Alis Pak Carter terangkat karena heran. Ia tidak biasa menghadapi tuntutan
semacam itu. "O, itu bukan untuk saya, Pak. Saya menginginkan uang itu bukan untuk saya
sendiri," Jennings buru-buru menjelaskan, ketika melihat reaksi di wajah Pak
Carter. "Soalnya, kami tidak sepenuhnya berhasil mencapai target kami, yaitu
mengumpulkan dua puluh pound untuk disumbangkan kepada dana bantuan bencana
kelaparan." Jennings berhenti sebentar. Ia tersenyum dengan gaya rendah hati.
"Karenanya saya lantas berpikir, bagaimana kalau saya mencoba mendapatkan uang
yang kurang sedikit itu dengan jalan melakukan pekerjaan yang nilainya-yah,
katakanlah-sekitar sepuluh penny."
Pak Carter berpikir-pikir dulu sebelum menjawab. Sudah jelas, ia tidak sudi
memberi angin terhadap pemerasan di bidang sastra seperti ini. Tapi di pihak
lain, ini juga merupakan kasus istimewa. Dia sendiri yang memulai dengan
gagasannya tentang dana bantuan. Sayang sekali jika ia sekarang merintangi
tujuan yang setapak lagi akan berhasil diraih anak-anak.
"Baiklah, Jennings," kata Pak Carter, lalu merogoh sakunya untuk mengambil uang
sepuluh penny. "Terima kasih, Pak... Terima kasih banyak, Pak." Kemudian Jennings berkata lagi
dengan serius, "Saya jamin keamanan uang itu, Pak, untuk sementara ini. Kami
akan menyetorkannya kepada Anda, begitu bendahara kami sudah mengimbangkan neracanya."
Seisi kelas ribut berbicara dengan gembira sementara Jennings berjalan kembali
ke bangkunya, lalu memasukkan mata uang itu ke dalam kaleng kopi.
"Hidup Jennings! Hidup kelompok Aksi! Hidup Dana Kembang Api Kelas Tiga!" kata
Venables. Darbishire mengacungkan tangannya ke atas lalu berkata, "Pak, maaf, Pak! Rencana
untuk menghasilkan kekurangan sepuluh penny itu memerlukan pemikiran yang tidak
sedikit, Pak. Saya mulanya mengira takkan berhasil, tapi ternyata Jennings bisa!
Ya, kan, Pak?" Pak Carter mengangguk. "Yah, serahkan saja pada Jennings!" katanya.
Selesai Lembah Merpati 5 Pendekar Rajawali Sakti 170 Siluman Bukit Tengger Sumur Kematian 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama