Ceritasilat Novel Online

Lily Pencarian Cinta 3

Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb Bagian 3


"Sejak kapan kamu jadi cerewet?" tanyaku.
Dia tak menghiraukan pertanyaanku, sibuk memain-mainkan tombol radio.
"Sekarang ibumu sedang apa ya," kataku.
"Makan piza sama Baba!" seru Ahmed dari ruangan sebelah-pendengar yang pilihpilih, rupanya. "Makan piza sama Baba!" ulang Sitta.
"Apa yang masih kamu ingat tentang baba-mu?" seruku kepada Ahmed.
"Apa yang masih kamu ingat tentang baba-mu?" ulang Sitta kepadaku, seolah-olah
ini permainan. Aku bisa menjawab, beberapa hal, meskipun sebagian besar agak samar. Berenang
bersama ayahku di Laut Tengah, dia bermain gitar di jalan dengan wadah gitar
terbuka dan beberapa uang logam berkilap-kilap di latar beludru biru. Ibu dan
ayahku bermalas-malas di Pantai Tangier, di dekat hotel putih bobrok tempat kami
tinggal di medina, dengan tangga yang berderak dan pegangannya yang rusak
sehingga kami tak bisa menjejakkan kedua kaki pada satu anak tangga bersamaan.
Aku rasanya ingat ayahku menawarkan memperbaiki tangga itu dan Haji Mustafa
merasa begitu berterima kasih atas tawaran itu sehingga katanya kami boleh
memakai kamar secara gratis, tetapi aku tidak ingat apakah ayahku memang pernah
memperbaikinya. Mereka bisa mendapatkan banyak dengan mengandalkan mulut manis.
"Kalau Etiopia-ada yang masih kamu ingat tentang Etiopia?" seruku kepada Ahmed,
yang belum juga menjawab. "Kamu sendiri?" dia balas berseru.
"Ya, sebenarnya aku masih ingat."
"Masih ingat apa saja?" serunya. Dia bangkit dari sofa dan berdiri di pintu
dapur, membawa buku komiknya. "Masih ingat apa saja?" tuntutnya. Sekarang dia
tidak ingin lagi bercerita tentang sufi yang sakit dan anak yatim-piatu, tetapi
tentang tempat asalnya. Bangsanya.
Sulit aku menjawab. Ini bukan sekadar masalah apa yang diingat, tetapi mengapa.
Ada tempat-tempat amputasi ketika masa lalu dipenggal dari tubuh masa kini.
Mengingatnya hanya akan mendorong pertumbuhan tangan-kaki khayal. Dan ini bukan
sekadar masalah apa yang diingat, atau mengapa, tetapi apa yang harus dilakukan
pada hal-hal yang diingat itu, keping mana dari serakan itu yang harus dibawa
serta, mana yang harus dirawat dan dilestarikan, mana yang harus ditinggalkan.
"Itu rumit," kataku kepada Ahmed.
Dia berjalan kembali ke sofa, membawa buku komiknya.
Sitta menonton, sementara aku menuangkan makaroni ke dalam panci. Bing Crosby
melantunkan lagu "White Christmas" di radio.
"Di sekolah ada pohon Natal," Sitta bercerita.
"Oh ya, Sayang?" Aku bisa memberi tahu Ahmed, kenanganku akan kekuatannya
terlalu besar, tetapi sekaligus jumlahnya tidak cukup.
"Pohonnya berkelap-kelip dan ada bintangnya sebesar ini," Sitta melanjutkan,
tangannya dibuka lebar. "Itu tidak Islami, kan?" aku berkomentar. Setidaknya sepertiga anak di kelasnya
pasti Muslim. "Pohonnya cantik," katanya.
Cukup wajar. Dia anak perempuan yang menyukai benda-benda cantik. Ada hiasan
Natal dan peribahasa Arab berbingkai dan berhuruf emas bingkai yang tergantung
di dinding flat ibunya. Begitu pula barbie, yang sering dibalutnya dan ditidurkannya dalam kerudung sutra ungu ibunya. Dan Ahmed anak lelaki yang senang
membaca buku komik dan mendengarkan Prince. Poster Makkah dan Michael Jackson
tergantung berdampingan di dinding kamar mereka. Sitta dan Ahmed menantikan
libur Natal, meskipun tak akan ada puding, pohon, ataupun foto mereka yang
dipangku si kakek tambun.
Meskipun mereka sangat berbeda, warga Etiopia yang terpengaruh misionarispenganut Lutheran, Advent Hari Ketujuh, dan Pantekosta-mengum-pulkan iuran
setiap tahun untuk memberi hadiah Natal kepada setiap anak Etiopia di rumah
susun. Tetapi, kami memandang hadiah ini dengan curiga. Tak hanya orang-orang
ini menerima agama farenji yang dibawa ke Etiopia oleh orang Swedia, Norwegia,
dan Kanada yang tulus (mengapa selalu negara-negara dingin" aku bertanya-tanya),
mereka juga meniru semangat misionaris. Brosur ditinggalkan diam-diam di
belakang hadiah. Untuk Sitta dan Ahmed, hal-hal ini tidaklah bertentangan, juga ketika seorang
muslimah berkulit putih yang tumbuh di Afrika, memasak makaroni keju untuk mereka di London. Dunia
di luar, tentu saja, dipenuhi pertemuan-pertemuan dengan orang asing,
pertentangan yang tak bisa atau tak ingin didamaikan.
Ketika Amina mengantarkan anak-anak di sekolah.
Oi, nig nog! Di sini sudah terlalu banyak orang asing. Kami tidak perlu orang
macam kamu menambahkan anak monyet sialan di sini!
Shalat Jumat, sekali dalam seminggu aku memakai kerudung.
Lihat cewek itu! Paki kulit putih sialan!
Bergajul yang sedang mabuk itu dengan seenaknya mengejekku.
Ras penguasa. Ngerti"
* Sabtu paginya, Ahmed mogok bangun di sofa, meskipun dia tahu ada les mengaji.
"Tapi kenapa aku harus pergi?" dia merengek.
"Karena ini penting, Ahmed Ayo."
"Tapi nggak ada anak yang bersekolah setiap Sabtu."
Aku tahu itu tidak benar.
"Nggak adil," dia mengembik.
Aku ingin sekali bersekolah sewaktu masih kecil. "Sekolah kehidupan" ayahku
cenderung mengajariku untuk bermalas-malasan sepanjang pagi, sehingga pada usia
enam tahun aku sudah bosan. Aku rela menukar benda apa pun milikku-sikat gigi,
ransel, boneka-agar bisa pergi ke sekolah betulan. Di sana aku bisa mengenakan
seragam dan punya kotak pensil dan teman-teman. Tetapi, orangtuaku tak mau aku
dikuasai oleh sesuatu yang mereka anggap sebagai kurungan kehidupan
institusional yang menyesakkan. Untunglah, ada Abdal Akbar. Ketika aku beri tahu
bahwa aku ingin bersekolah di madrasah di Tamegroute, Abdal Akbar sangat senang.
Seluruh hariku kemudian diatur berdasarkan pelajaran: setiap pagi di madrasah,
pelajaran sore dengan Abdal Akbar, dan setiap malam dilewatkan dengan membaca
buku dari Muhammed Bruce di bawah cahaya lilin. "Kamu suka makan lilin, ya?"
Abdal Akbar sering menggodaku. "Untunglah para peziarah sangat murah hati."
Tetapi, kita semua menginginkan apa yang tak kita miliki, bukan" Ahmed ingin
bersantai, sebaliknya aku ingin dia bersekolah.
"Begini saja, Ahmed," kataku. "Kamu tak boleh tinggal di tempat tidur karena aku
harus ke kantor, tetapi kamu boleh bolos madrasah sekali ini saja."
Tiba-tiba dia tersentak bangun, hampir melompat dari tempat tidur.
"Aku belum selesai. Dengan satu syarat, oke?"
"He-eh." "Nanti kamu membacakan surah tujuh kepadaku di luar kepala."
"Oke." Dia menjawab agak terpaksa.
Bubur untuk sarapan anak-anak, dan untukku, secangkir teh dan rokok-aku
menikmati setiap kepulannya sambil mengeluarkan kepala lewat
jendela. Pagi ini, aku takut membaca daftar baru dari Roma tanpa Amina.
"Ahmed?" tanyaku sambil melemparkan puntung rokok ke tempat sampah.
"Mmm?" tanyanya dengan bibir lengket.
"Dengar, kalau kau boleh bolos madrasah hari ini, apa itu berarti aku boleh
bolos ke kantor?" "Lalu mengerjakan apa?" tanyanya. Bukan pertanyaan yang tak masuk akal.
"Apa pun yang kamu ingin lakukan."
"Membuat biskuit Natal," kata Sitta. "Seperti yang kami makan di sekolah."
Kecuali itu. "Habiskan buburmu, Sitta. Kalau kau, Ahmed?"
"Menonton kriket."
"Aku tidak yakin sekarang ada tayangan kriket. Mau kutanyakan ke Mr. Jahangir?"
Sulit sekali menyenangkan semua orang. Bagaimana cara Amina melakukannya"
Mr. Jahangir senang sekali ditemani Ahmed muda di lapangan kriket Kennington
Oval. "Aku sangat berterima kasih, Mr. J. Punya dua anak tidak mudah."
"Coba saja punya tujuh, Sayang."
Andaipun aku mau, aku cemas waktu sudah semakin sempit.
Sekarang tinggal aku dan Sitta, menghadapi sepanjang hari. Sebaiknya kuajak dia
keluar, sesuatu yang mendidik; itu pasti menyenangkan hati Amina. Aku benarbenar sedang tak bertanggung jawab-setidaknya aku harus membuat hari ini
bermanfaat. Sitta ingin ke Istana Kensington. Dia mulai agak terobsesi dengan Lady Di sejak
darmawisata sekolah ke istana tersebut dua bulan yang lalu.
"Mari kita ke tempat yang belum pernah kau kunjungi," aku mengusulkan. Suatu
tempat yang warna-warni, hidup, multikultural.
Sangat dewasa sekali aku mengusulkan kami pergi ke kota, padahal aku begitu
jarang meninggalkan lingkungan kami. Aku tidak terlalu hafal rute bus, tetapi
hari itu terlalu cerah, sayang jika hanya dilewatkan di bawah tanah. Sitta cukup
tenang memasangkan dan melepaskan pakaian boneka Barbie-nya di sampingku di
kursi plastik merah, tidak sadar akan sekitarnya, sementara aku menggaruk-garuk
kulit. Kami tumpah ke trotoar di tengah-tengah Camden Market, aku berdiri dan
memicingkan mata ke segala arah, berusaha menentukan lokasi kami, sementara
kami, tersenggol kanan-kiri. Aku pernah dua kali ke sini, keduanya bersama Mrs.
Jahangir, yang kemari untuk membeli bahan kain, tetapi daerah ini selalu
berubah-ubah, setiap bulan berganti, tergantung siapa yang bisa membayar sewa.
Sitta mengayunkan Barbie di satu tangan dan meletakkan tangan satunya di
tanganku, sementara kami mengeluyur ke jalan yang tertutup untuk kendaraan.
Musik reggae terdengar berisik dari pintu toko yang dibingkai gambar-gambar Bob
Marley, dan bertarung dengan lagu soundtrack film Hindi di seberang jalan. Rak
pakaian berbaris di trotoar. Kaum perempuan meraba kainnya sambil lewat, dan kaum lelaki mencoba
topi dan kacamata hitam dan membungkuk untuk melihat bayangan di cermin kecil
yang dipegang oleh perempuan Eropa Timur yang berjongkok. Lebih jauh lagi di
jalan, orang tawar-menawar di antara gunungan pakaian dalam, dan beberapa lelaki
Nigeria melempar tas duffle terbuka yang menawarkan pilihan arloji dan parfum.
Ada orang-orang punk berambut Mohawk dan anak-anak kulit putih dengan rambut
dreadlock dan aku bertanya-tanya, sekilasan saja, mengapa kami tidak tinggal di
sini saja, mengapa kami tinggal di bagian kota yang gelap, tanpa kehidupan
jalan, di perumahan yang dibangun tahun 1960-an, di gedung kejam berlantai
banyak, yang setengahnya tak memiliki pemanas terpusat, yang sudah mulai
memburuk kondisinya sejak gedung itu dibangun.
"Aku lapar," kata Sitta.
Aku memindai jendela toko, mencari restoran, tempat yang cukup netral, tidak
mengintimidasi. Diapit tempat cuci pakaian dan toko yang menjual pakaian
sintetis dan pernak-pernik obat, berdirilah sebuah kafe yang tidak lebih lebar
daripada bus, dengan huruf Amhara distensil pada jendelanya. Aku menyeret Sitta
bersama Barbie-nya menyeberangi jalan dan memasuki pintu itu ke ruangan yang
sempit. Dupa dibakar, sang penyanyi tersohor Aster Aweke terdengar di speaker
murahan, dan beberapa lelaki yang duduk di sepanjang tembok mendongak, tampak
kaget, lalu membuang muka.
Aku membantu Sitta menanggalkan jaket dan duduk. "Aku mau McDonald's," katanya.
"Mama selalu membolehkan kami makan McDonald's kalau kami lagi jalan-jalan."
Aku menghela napas dan membuka kancing jaketku. "Bolehkah aku minum kopi dulu?"
Dia cemberut, bersamaan itu seorang pelayan berlipstik merah cerah dan kuku
panjang yang dicat, mendekati.
"Halo, si kecil," katanya kepada Sitta dalam bahasa Amhara. "Kenapa kamu sedih?"
"Dia tak bisa bahasa Amhara," jawabku dalam bahasa Amhara.
"Tapi kamu bisa?" tanyanya dalam bahasa Inggris. "Kamu misionaris?"
"Bukan," aku tertawa.
"Mau pesan?" "Buna." Dia ragu. "Nescafe?" "Bukan, buna," kataku mulai kesal. Dia mengangkat bahu.
"Ishi, oke. Dan untukmu?" tanyanya kepada Sitta dalam bahasa Amhara. "Sita, kamu
mau pesan?" "McDonald's," kata Sitta merajuk, mengayun-ayunkan kaki.
Kopiku diantarkan dengan diikuti tawa antara dua pelayan. Si pelayan meletakkan
cangkir keramik kecil. "Cantik," komentar Sitta, menyentuh kuku si pelayan.
"Kamu suka?" si pelayan tersenyum. "Namanya
Kecup Stroberi." Sitta cekikikan. Pasti ini sebabnya aku tinggal di perumahan terkutuk di wilayah yang jauh. Di
sanalah aku merasa cocok.
Aku lalu menenggak kopi. Sisa pahitnya menyisa di mulutku.
* Sitta mendapatkan McDonald's dalam perjalanan pulang. Dia sedang mengambil
kentang goreng dari kantongnya ketika sebuah rambu menarik perhatiannya melalui
jendela bus. Dia melompat berdiri, mengakibatkan kantong kertas beserta isinya
itu tumpah ke lantai. "Itu tulisan istana! Istana!"
Semua orang di bus berputar untuk melihat, geli melihat semangat anak Afrika itu
tentang keluarga kerajaan.
Aku sedang membungkuk untuk memunguti kentang goreng dari lantai, ketika namaku
terdengar. Dr. Gupta melambaikan tangan, baju operasinya terlihat di balik
jaket. Dia duduk di depan kami dan duduk menyamping.
"Kebetulan kita bertemu," katanya. "Biasanya aku naik kereta bawah tanah ke
rumah sakit, tetapi hari ini terlalu cerah. Siapa ini?" tanyanya.
"Ini Sitta. Sitta, ini Dr. Gupta."
"Robin," katanya, meskipun Sitta tidak menoleh dari jendela. "Keluarga?"
"Putri sahabatku."
"Dia memesona," katanya. "Ke mana tujuan
kalian" Kamu tidak kerja hari ini, ya?"
"Tidak, kami cuma mau jalan-jalan sebentar. Mengajak dia ke Camden Market, tapi
sepertinya dia jauh lebih tertarik pada keluarga ningrat Inggris."
Istana Buckingham tidak terlihat dari sini, dan bukan pula istana tempat tinggal
Lady Di, tetapi Sitta tetap menempelkan wajahnya ke kaca.
"Tahu nggak, di Etiopia juga ada istana," aku berusaha membangkitkan minatnya.
"Kamu pernah ke Etiopia?" tanya Dr. Gupta.
"Mmm." Aku mengangguk. "Bagus sekali, lho, Sitta. Letaknya di dalam rimba yang
rimbun, dan ada aneka jenis burung beterbangan, dan ada kebun binatang eksotis
dengan hewan-hewan mengerang dan melolong di dalam kerangkeng emas."
"Apa ada putri raja seperti Lady Di?" tanya Sitta sambil menoleh.
"Dulu pernah ada putri raja, tapi tidak terlalu cantik."
Yang Mulia Tuan Putri Tenagneworq. Sama sekali tidak cocok dijadikan dongeng.
Dalam fotonya dia tampak sangat gemuk dan sangat tua, dan aku masih ingat jelas,
dulu aku berpikir bahwa wajahnya yang merah bulat itu persis delima yang
dicampur dengan katak malang yang berkutil.
"Apakah rambutnya pirang?" tanya Sitta.
"Tidak, rambutnya tidak pirang," jawabku. "Tidak semua putri raja berambut
pirang." "Mirip anak-anak kakakku," Robin tertawa. "Anak perempuannya tak mau makan apa
pun yang dimasak saudariku karena katanya ghee itu menggemukkan-padahal sudah
jelas dia kurus sekali. Dan anak lelakinya kemarin ini pulang dengan potongan
rambut krukat-ayahnya seorang Sikh, dia tak pernah memotong rambut seumur
hidupnya, dan katanya dia hampir terkena serangan jantung. Mereka baru pindah ke
Los Angeles enam bulan yang lalu."
"Kamu sudah berkenalan dengan Barbie?" tanyaku, sambil mencibir boneka Sitta
yang berada di kursi. "Luar biasa betapa cepatnya mereka meniru ini. Seperti spons, sungguh," kata Dr.
Gupta, "Oh, ya ... Aku ingin sekali mendengar petualanganmu di Etiopia kapankapan." Petualangan" Etiopia bukan semacam pengalaman liburan. Aku menarik tangan Sitta.
"Ayo," kataku sambil berdiri.
"Turun di sini?" tanya Dr. Gupta heran. "Kamu mau ke mana?"
"Pulang." "Oh." Dia ragu. "Aku tak pernah terpikir ..." "Bahwa aku tinggal di flat"
Air mukaku menyebabkan dia buru-buru menjelaskan maksud perkataannya. "Bukan.
Bahwa kamu tinggal begitu dekat dengan rumah sakit. Aku tak mau berada dekatdekat situ pada hari libur, begitu. Aku lebih suka memisahkan hidupku dan
pekerjaanku." Aku juga, pikirku, sambil menggandeng tangan Sitta dan turun dari bus. Sitta
menoleh dan melambaikan tangan. Aku bertekad tidak menoleh.
Aku mengaji surah ketujuh bersama Ahmed setelah acara minum teh, menyuruhnya
mundur dan mengulang beberapa kata dan membahas maknanya. Aku rindu mengajar,


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi di madrasah setempat kami, guru Al-Quran semuanya lelaki. Keadaan lebih
ketat di sini, secara keseluruhan bisa dikatakan jauh lebih ortodoks.
Aku menelepon Amina untuk menanyakan kabarnya. Suaranya ringan, halus,
mengawang-awang. Menurutnya aku berusaha terlalu keras. Dia memberiku saran agar
membiarkan Sitta menjadi Sitta sepenuhnya.
"Meskipun itu berarti Barbie dan hamburger?"
"Terutama jika itu berarti Barbie dan hamburger."
A mina tiba di rumah setelah tiga minggu di Roma, membawa koper penuh hadiah
untuk anak-anak dan berbinar dengan cahaya yang tak bisa disembunyikan. Sisi
perempuan dalam diriku yang menyadari itu, bukan sisi perawat. Surat-surat Yusuf
sedang diproses di Roma, sementara bayi lain tumbuh di perut Amina; segalanya
membulat pada tubuhnya, membulat dan ringan. Aku harus berusaha mengisi hidupku
dengan hal lain, sesuatu yang terpisah dan jauh dari Amina, begitu ujarku pada
diriku, bertekad mencari cara agar aku peduli lagi tentang pekerjaanku sebagai
perawat. Sebenarnya, tidak sulit juga mengabaikan sengatan lampu neon, menyingkirkan
kesinisan saat aku menaikkan dosis morfin pasien, berbicara kepada para ibu,
meminta mereka tinggal. "Dia memerlu-kanmu di sini. Lihat, bagaimana kelopak
matanya menggelepar saat kamu bicara?" Ternyata tidak terlalu sulit, kuakui ini
berkat Dr. Gupta. Aku tak sengaja bertemu lagi dengannya dua minggu setelah Amina pulang. Rotasi
bangsal membawanya ke dalam orbitku. Aku melihat dia berjalan dari ujung lorong
dan aku berusaha keras menghindarinya, menatap pada alas tulisku dengan saksama
saat dia mendekat, ingin mengobrol.
"Senang sekali kembali bertemu denganmu," katanya sambil menggenggam pergelangan
tanganku. "Selama ini aku cemas bahwa kita mungkin memulai ini dengan buruk."
Aku berdiri bengong, tak tahu harus menjawab bagaimana.
"Dengar," katanya sambil melirihkan suara, sementara kami menepi ke dinding
untuk mencegah tabrakan antara dua usungan. "Aku cuma ingin berteman denganmu,
tapi setiap kali aku berbicara denganmu, aku merasa aku mengatakan sesuatu yang
menyinggung perasaanmu. Atau sesuatu yang tolol."
Aku menggeleng lemah. "Tak ada yang perlu kumintakan maaf?" tanyanya.
"Tidak, ini salahku," kataku. "Bagaimana maksudmu?" tanyanya lembut, mendekatkan
tubuh. "Aku agak pemalu," kataku, meskipun bukan itu persisnya. "Lambat akrab."
"Lambat itu bagus," katanya. "Kekuatan cita rasanya akan lebih keluar."
Aku tak tahu harus melihat ke mana. Aku memilih melihat tanda nama di dadanya.
"Begini." Dia berdeham. "Aku harus melanjutkan keliling, tapi aku ingin tanyaada seri ceramah yang kuhadiri sebulan sekali di London School of Tropical Hygiene and Medicine.
Minggu depan ada tim Inggris-Mesir yang menyajikan temuan mereka tentang parasit
Sungai Nil. Wabah di Mesir. Aku ingin tahu saja, apa kamu berminat."
"Aku ingin tahu, apa parasit itu memengaruhi Sudan dan Etiopia juga?" kataku.
"Pertanyaan bagus. Mungkin kamu bisa tanyakan langsung."
Amina mengecat flatnya-pengeluaran besar, kemewahan; tak akan ada orang lain di
gedung itu mau repot-repot. Flatku belum pernah dicat selama bertahun-tahun aku
tinggal di sana. Aku bahkan tak pernah memajang foto. Tetapi, Amina seorang ibu;
dia tahu cara menjadikan rumah yang membuat betah. Dia membeli karpet baru dan
poster anak singa berbingkai dan memalu paku pada dinding yang baru dicat putih
itu. Perawatan rumahnya meluas ke kantor kami, ruang yang sangat penuh sesak, saat
sedang rapi sekalipun. Dia benar-benar ingin menata ulang dan meningkatkan
produktivitas-istilah yang dipinjam dari pekerjaannya di Jasa Rujukan Pengungsi
yang didanai pemerintah-tetapi kantor kami memiliki logika internal, yang diatur
oleh hati. Kami memprioritaskan hal-hal yang menyentuh hati kami, kami keteteran
dalam pembukuan dan tugas administrasi lainnya, begitu pula dalam efisiensiasi
kerja. Bayangkan memberi tahu seorang tamu: air
matamu tidak produktif; ini penyia-nyiaan sumber daya; pencarianmu ini tak ada
harapan. Kami menawarkan sesuatu yang tak ditawarkan organisasi lain: keakraban,
kasih sayang, dan secangkir buna kental, dan bilamana perlu dibutuhkan delapan
jam untuk konseling, berarti kami harus siap dalam delapan jam itu.
"Andai kita ini badan amal terdaftar, mungkin bakal ada yang menyumbangkan
komputer," kata Amina sambil memindahkan arsip dari satu laci ke laci lain.
Aku membayangkan pusingnya. Aku membayangkan pengacara dan akuntan. Dan berjutajuta data. "Kita perlu sekretaris, kalau begitu."
"Ya," kata Amina sambil mengangguk, membanting laci tertutup.
"Tapi kita tak mampu menggaji sekretaris."
"Tapi andai kita badan amal yang benar ..." Dia menghentikan dirinya, melihatku
menggelengkan kepala. "Lilly, setiap organisasi harus tumbuh dan berubah.
Mengikuti zaman, bukan?"
Aku dan Robin duduk berdampingan dalam gelap, menatap jalan di depan, sementara
kami berkendara kembali ke Lambeth. Ceramah itu bahkan lebih menarik daripada
yang kubayangkan. Aku sudah pernah dengar tentang bilharziasis, mengenalnya
samar-samar sebagai penyakit yang disebabkan parasit, tetapi tidak detailnya
yang mengerikan: cacing jahat yang kawin gila-gilaan, mengeluarkan
ratusan telur berduri setiap hari, telur yang berkeliaran di lorong-lorong gelap
usus, kandung kemih, ginjal, paru-paru, membuat jalan dengan mengoyak tubuh,
menyantap sel darah merah, menyebabkan anemia, infeksi, dan penyakit.
Pengobatannya ada, tetapi mahal dan hampir tak tersedia di Afrika, padahal di
sana merupakan penyakit parasit yang paling merusak setelah malaria. Aku
teringat ratusan anak yang pernah kukenal, yang mungkin menderita perdarahan
internal tanpa kami sadari. Yang mungkin masih menderita sekarang.
Para dokter Mesir sedang berusaha membuat vaksin, tetapi salah satu rintangan
terbesar adalah cara mengisolasi parasit ini, yang berdiam di dalam sel
inangnya. Perang kamuflase.
Robin sepertinya menyadari bahwa aku tidak berani mengacungkan tangan di tengah
peserta ceramah itu-lelaki, terutama para dokter beruban-karena pertanyaan
terakhir malam itu adalah pertanyaanku yang diutarakan mulutnya. Tentang Sungai
Nil Biru dan Putih. Agaknya dia ingat semuanya.
Suasana hati kami serius saat kami membicarakan pengurangan dana ke National
Health Service, sistem pelayanan kesehatan publik, dan bagaimana rumah sakit
menanggapi peningkatan infeksi HIV yang menyertai bilharziasis. Aku menceritakan
kegiatanku dan Amina setiap Sabtu, pengungsi yang kami temui, juga keyakinanku
bahwa tak akan ada seorang pun yang mau melakukan uji HIV.
Dia memahami pemikiranku, melihat argumen
yang kuat, tetapi aku merasa terlalu banyak berbicara, melepaskan selapis kulit.
"Bagaimana kamu mula-mula tertarik pada bidang pengobatan?" tanyanya sambil
menepi ke trotoar. "Cerita panjang," jawabku. "Lain kali. Aku juga harus pulang," ujarku sambil
meraih gagang pintu. Robin tertawa. "Aku berhenti di sini hanya karena kamu belum memberi tahuku di
mana tempat tinggalmu. Aku cuma tahu bahwa letaknya di dekat halte bus."
Aku ragu. "Bolehkah aku setidaknya mengantarmu ke pintu?" tanyanya.
"Terima kasih, tapi aku bisa jalan kaki dari sini."
"Oke. Yah, terima kasih sudah ikut denganku."
"Terima kasih juga. Ceramahnya sangat informatif," ujarku, kembali ke formalitas
hubungan kerja. Bagian Keempat Harar, Etiopia 1972-1974 Sang Kaisar ^kesendirian adalah sebuah hal yang sangat langka di kota seperti Harar; konsep
privasi tidak dipahami. Di kala sakit pun, sementara kebiasaan farenji adalah
menyelimutimu dalam tenang dan gelap, kebiasaan Harari adalah menghiburmu dengan
musik dan lagu, tak pernah meninggalkan sisimu, karena selalu ada rasa waswas
bahwa kau mungkin dirasuki zar, ruh jin yang paling jahat.
Bercha menawarkan kompromi: cara menyendiri di tengah orang lain, kesendirian
yang direstui dan dibatasi oleh saksi, tetapi di dalam kota yang melimpah-ruah
manusia dan hewan dan bunyi, kebutuhan, dan kotorannya; transendensi adalah
kebutuhan, dan untuk itu, qat adalah kuncinya.
Akhirnya, melalui kegigihan semata, aku menemukan kenikmatan tersembunyinya. Aku
menemukan bagaimana cara menggiling daunnya agar lumat di antara gigi dan dengan
sabar mengekstraksi kekuatan halusnya, agar kita mengapung seperti ba Ion dan melayang di langit yang lambat dan kusam. Kata orang, qat membantu
konsentrasi, membebaskan pikiran dari tubuh yang merepotkan, membantu orang
tetap teguh dalam kemonotonan zikir setiap Kamis malam, membantu murid
mengerjakan ujian. Qat agaknya membawaku menembus awan dan menuruni lubang
kelinci ketika aku masih anak-anak dan dua orang bernama Alice dan Philip
mengenakan kostum lucu dan berbicara dalam teka-teki untuk menghibur aku maupun
mereka sendiri. Aku mengunjungi dunia mereka, dan jika aku kehilangan arah,
mereka tinggal menunjukku ke arah naik. Aku cukup senang bisa berkunjung, tetapi
aku tak ingin tinggal di sana. Aku berbeda dengan mereka. Di sinilah aku cocok:
di ruangan gelap yang dimeriahkan dengan percakapan ini, di samping Aziz,
merasakan panas terpancar dari kulitnya, merasakan suhu tubuhku sendiri naik.
Aku menanti-nantikan hari Sabtu dengan semangat yang coba kesembunyikan dari
Nouria. Aku menggosok gigi dengan kayu yang diraut dari kayu pohon khusus, yang
kulit kayunya bercita rasa seperti pohon akar manis. Aku menggosokkan minyak
goreng bekas pada telapak kaki, dalam kegelapan dapur, malam-malam.
Sekarang aku berjalan ke rumah paman Aziz sendirian, menyelinap keluar di satu
gerbang dan masuk kembali di gerbang berikutnya, singgah dulu di pasar untuk
membeli qat. Aku sudah belajar cara memilih daun terbaik dan menawar harganya.
Ini kelihatannya qat kemarin. Kamu mencoba menipu ku karena aku farenji" Kamu pikir aku tak bisa membe-elakan" Beli dengan harga
satu birr pun aku tak mau, untuk qat bertepi sekasar itu. Atau dari arah lain:
Oh, Mouna, bajumu cantik sekali. Pasti qat daganganmu laris ya, sampai kamu bisa
membeli kain seindah itu. Kamu pekerja keras, dan begitu murah hati, istri-istri
suamimu yang lain beruntung memilikimu. Dan putrimu, wah, mirip sekali denganmu,
dia beruntung memiliki ibu sepertimu, mewarisi kecantikan seperti itu, pasti
nanti kamu kesulitan memilih di antara sekian banyak peminang. Oh, kamu baik
sekali, kamu menyimpankan seikat daun muda ini khusus untukku" Tapi sayangnya
aku cuma membawa uang satu birr hari ini. Bisa menghabiskan waktu setengah jam.
Bertukar sapa dengan paman Aziz bisa menghabiskan waktu setengah jam lagi. Dia
menyapaku dalam bahasa Arab, mendoakan aku pada sore yang bercahaya, dan aku
mendoakan dia pada sore penuh krim. Dia menyapaku dalam bahasa Harari,
menanyakan apakah aku baik-baik saja, lalu menyapaku dalam bahasa Oromiffa,
Somali, dan terkadang Amhara. Kami berdua menyukainya. Aku selalu saja tergagap.
Tidak seperti orang Harari, sepertinya aku tidak mampu mempelajari bahasa lain
lagi. Mereka bergonta-ganti bahasa semudah berganti kerudung. Tampaknya
ketakmampuanku itulah yang paling membuat geli paman Aziz.
Dalam bercha, berbagai peristiwa minggu itu selalu banyak dibahas, dan aku mulai
lebih melibatkan diri seiring bertambahnya pengetahuanku tentang dunia sekuler
yang menjadi perhatian mereka. Aku membawa buku tulis, untuk mencatat kata-kata
baru. Para lelaki sering membicarakan dunia di luar tembok kami, dunia yang
tampak begitu gonjang-ganjing jika dibandingkan dengan kedamaian dan ketertiban
hidup di kota kami. Minggu yang satu tentang Palestina, minggu yang lain tentang
Aljazair atau Uganda. Tajuddin sedang memetik daun qat dari tangkainya secepat kambing, saat dia
memberi tahu kami bahwa Presiden Uganda, Idi Amin, telah mengumumkan pengusiran
semua orang Asia dari negara itu.
"Tapi bagaimana bisa dia berbuat begitu?" tanyaku.
"Orang Asia mengendalikan pasar," kata Aziz. "Mereka yang memiliki sebagian
besar kekayaan di Uganda."
"Seorang diktator bisa melakukan apa pun yang dia mau," tambah Munir.
"Dia akan menghancurkan ekonomi," kata Tajuddin sambil menggeleng-geleng.
"Haile Selassie rupanya sangat marah tentang itu," kata Aziz.
"Kenapa?" tanyaku.
"Ini termasuk upaya Idi Amin untuk mempererat hubungan dengan beberapa negara
Arab," jawabnya. "Haile Selassie merasa kesepian," kata Munir. "Di utara ada bangsa Muslim-di
Mesir dan Eritrea-dan Djibouti dan Somalia, dan di sisi lainnya di Sudan. Jadi, dia merasa Etiopia
adalah pulau Kristen kecil yang mengapung di lautan Islam.
Tapi ibunya sendiri muslimah," kataku. Bahkan, aku ingat lelaki yang mengantar
aku dan Hussein dengan mobil ke Harar dari ibu kota, memberi tahuku bahwa ibu
sang kaisar adalah muslimah dari Harar. Sang kaisar mencintai Harar, begitu si
sopir berkata, menggambarkannya sebagai tempat di mana umat Islam dan Kristen
berpelukan hangat. Munir mengangkat alis terkejut. "Yah," katanya sambil berdeham, "ibunya
meninggal sewaktu dia masih kecil. Lagi pula, tidak penting siapa ibunya, yang
penting hanyalah siapa ayahnya, dan ayahnya adalah Ras Makonnen, kaisar
sebelumnya. Tak ada ayah yang lebih penting daripada dia di kalangan umat
Kristen." Setelah mirqana turun, Aziz bangkit dan dengan sekali menekan tombol, televisi
yang menampilkan gambar yang tak asing lagi. Konvoi sang kaisar mendekati
istana. Ribuan orang bersujud di depan gerbang, yang telah menanti kedatangan
Raja di antara Raja. Gerbang emas hanya menyiratkan kemewahan luar biasa di dalam. Sayap utara, aku
pernah tinggal di sana selama seminggu bersama Hussein, memiliki sederet kamar
berdinding marmer di sepanjang lorongnya, dipisahkan dari bagian istana lain
dengan serangkaian pintu-ganda setinggi pohon. Hussein dulu berdiri di
belakangku, mengintip lewat bahuku, sementara aku membuka pintu pertama di
sepanjang lorong. Cermin bingkai bersepuh emas dan perabot berhias yang dicat putih-emas memenuhi
semua ruangan. "Lihat ini," aku ingat, waktu itu aku merasa takjub saat membelai seprai sutra
di kamar tidur utama. "Pernahkah kamu melihat yang seperti ini, Hussein?"
"Surga 'Adn," katanya menerawang. "Orang-orang dalam jalan kebenaran akan dihias
di dalamnya dengan gelang emas dan mutiara; dan pakaian mereka akan terbuat dari
sutra." "Mereka akan berbaring di dalamnya di atas singgasana," aku balas mengutip.
Aku meninggalkan Hussein dan menjelajahi ruangan di balik pintu tertutup
lainnya. Ketika sampai di ruang duduk, aku membuka jendela agar cahaya mentari
senja masuk. Aku menatap ke luar jendela, ke kolam tempat seekor burung bangau
merah jambu sedang berdiri di atas satu kaki, mematuk-matuk kutu di bawah
sayapnya. Miriam, perempuan yang ditugasi sekretaris istana untuk mengurus kami, saat itu
memasuki kamar, membawa nampan besar.
"Buna," katanya tegas, sambil meletakkan nampan di meja.
"Buna," sahutku, menyangka kata itu berarti halo dalam bahasa Amhara.
Miriam menata taplak di meja putih, lalu meletakkan cangkir kopi kecil warna
putih dan poci kopi tanah liat warna hitam.
"Buna," katanya lagi sambil menunjuk ke nampan, lalu pergi mendekatiku dan
menutup jendela. "Tidak bagus," katanya sambil menggelengkan kepala.
"Tapi pemandangannya bagus," aku memprotes, dan membuka lagi jendela itu.
Miriam berkacak pinggang dan menghela napas. Dia meninggalkan kamar, dan kembali
beberapa menit kemudian, membawa anglo kecil berisi batu bara. Aku mengamati,
sementara dia berlutut di lantai dan mengguncangkan penggorengan besar berisi
biji kopi hijau di atas panasnya. Biji itu bergemeretak dan terbakar lalu
mencokelat, dan kepulan asap wangi menggoda Hussein masuk ke kamar.
Miriam mengerik biji itu dari penggorengan ke dalam lumpang dan mulai
menumbuknya dengan alu kayu. Dia menaburkan biji kepulaga, dan setelah semuanya
ditumbuk menjadi serbuk hitam wangi, dia mengambilnya sesendok dan menuangkannya
dengan hati-hati ke leher sempit si poci kopi tanah liat.
Kami berlutut di atas bantal yang telah diletakkan Miriam di lantai, dan dia
memberi kami masing-masing secangkir. Aku mendelik kepada Hussein, cemas dia
hendak menolak. Miriam menawari kami berondong jagung untuk menemani kopi itu,
mengeluarkannya seperti sulap dari dalam roknya. Kombinasi yang aneh, tetapi
aku, yang seumur hidupku baru sekali melihat berondong jagung di sebuah pasar
malam di Prancis selatan saat pergi bersama orangtuaku, meraup biji itu.
Kami minum tiga cangkir kecil. Setelah selesai, Miriam menata kembali semuanya
dengan rapi di atas nampan dan membawanya pergi. Aku dan Hussein duduk terdiam,
tak tahu harus berbuat apa. Tetapi, Miriam segera kembali dan menyiapkan bak
mandi. Dia juga meminta baju kotor kami. Aku menumpahkan isi ranselku dan
menyerahkan setiap potong pakaianku yang sedikit itu. Miriam mencari yang lainkoper, tas kecil, kotak topi, peti, bagasi orang farenji sebelum-sebelumnya.
Kami duduk untuk makan malam, hanya aku dan Hussein, di sebuah meja bertaplak
putih, ditata dengan pisau dan garpu perak, piring saji perak, wadah garam dan
merica, dan gelas anggur. Hussein berjengit melihat kemewahan di atas meja.


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gurun pasir telah menjadikan kami begitu serius, menempatkan kami di bawah
tekanan yang begitu besar. Aku dengan senang hati menikmati hidangan yang
ditawarkan, sementara Hussein tampaknya menunjukkan penolakannya.
"Bisakah setidaknya kau menyingkirkan itu," katanya sambil menunjuk botol
anggur. Aku meletakkan benda yang menyinggung itu ke lantai.
"Bismillah," kata Hussein, dengan berat hati mengangkat garpu dan pisau yang
asing itu untuk mencicipi jamuan di hadapan kami: burung puyuh yang berenang
dalam cairan manis, dibumbui dengan bawang bombai, apel dan walnut, ditemani
semacam sayur hijau yang lembut, direndam bawang putih dan minyak. Berada di
dekat hidangan ayam puyuh itu ada segunung kentang goreng, dipotong dengan
tangan menjadi helai-helai tipis dan panjang, berkilap akibat minyak dan garam.
Makanan terlezat yang pernah kusantap.
Sekarang di sini, di ruang gudang yang gelap, bertengger di atas kota penuh
sesak di mana penyakit bergerak jauh lebih bebas dan lebih mudah daripada
manusia, sulit dipercaya bahwa aku berada di negara yang sama. Bahwa di kota
inilah sang kaisar dilahirkan.
"Drama akan dimulai," kata Aziz. Dia meraih tanganku dan mulai menjabarkan plot
acara itu dengan berbisik. "Lelaki itu mengabdikan diri untuk melayani sang
kaisar, dan kamu lihat perempuan itu" Istri lelaki itu. Perempuan itu menyusun
muslihat dengan adik suaminya untuk mencuri liontin kecil milik suaminya, hadiah
dari sang kaisar sebagai tanda penghargaan atas pengabdiannya."
Aku tak bisa membedakan episode-episode setiap minggu. Selalu saja ada
pemuslihat, biasanya perempuan, yang berusaha menyabotase pelayan setia sang
kaisar. Para pemuslihat selalu hancur di akhir cerita, dan meskipun si lelaki
mungkin kehilangan istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, tangan-kakinya,
dia tak pernah kehilangan kesetiaannya, dan untuk itu dia akhirnya diberi
penghargaan tertinggi. Musik penutup membahana dan gambar televisi menghilang. Aziz tidak melepaskan
tanganku meskipun orang lain bangkit berdiri, menepiskan serpih-serpih qat dari
pakaian, sementara mereka mengomentari akhir cerita yang dapat ditebak.
Dia berbisik kepadaku. "Tinggallah," kemudian dia berdiri dan mengucapkan
selamat jalan kepada teman-temannya. Aku duduk di pojok ruangan lem-bap itu,
memeriksa inai di kukuku, dan menggumamkan "Masalaama" kepada setiap orang di
kelompok itu. "Sampai ketemu Sabtu depan," masing-masing berkata.
Aziz menutup pintu, mengurung kami berdua dalam ruangan yang berbau dupa dan
keringat. "Jangan khawatir," katanya sambil membenarkan sarungnya di pinggang, lalu duduk.
"Sebaiknya aku pergi, Aziz. Ini terlalu haram." Kata pepatah, ketika seorang
lelaki dan perempuan hanya berduaan, setan adalah teman ketiga.
"Kamu muslimah yang sangat baik," katanya. "Aku mengagumi hal ini pada dirimu."
"Meskipun kamu tidak sepakat mengenai pentingnya hal ini bagiku."
"Ini bukan masalah aku sepakat atau tidak. Kurasa yang kukagumi adalah kekuatan
batin yang dimunculkan oleh keyakinan ini pada dirimu. Tempat ini tidak mudah
untuk orang luar, tetapi kamu tampak memiliki kepastian, mungkin berkat imanmu
itu, dan hal itu memungkinkan kamu berjuang agar mendapat tempat di sini."
"Itu satu-satunya kepastian yang kumiliki."
"Itu pun aku tak punya," katanya sambil memegang kedua tanganku di tangannya.
"Aku cuma bermaksud bahwa aku tak ingin kamu kehilangan tempatmu."
"Apa maksudmu?"
"Kamu memperoleh reputasi baik sebagai guru," katanya. "Kamu perlu lebih
berhati-hati. Kamu sudah bekerja keras untuk mendapatkan rasa hormat dari
masyarakat. Jangan sampai desas-desus itu dimulai lagi."
Dia benar: aku tak boleh ke sini lagi. Ini terlalu riskan. Kaum perempuan akan
memanggilku sharmuta, menarik anak-anaknya dari kelasku, mengusir dan mengutukku
ke neraka andai mereka tahu bahwa aku menggoda setan setiap hari Sabtu, tahu
tentang lamunan yang mencemari kehidupan yang saleh.
"Sebaiknya kamu tidak menyiratkan bahwa kamu mengenal kaisar," lanjutnya.
"Apa hubungan kaisar dengan ini?"
"Kenyataan bahwa ibunya seorang muslimah."
"Tapi bukankah semua orang tahu itu?"
"Mungkin, tapi tetap saja, orang menjadi penasaran kalau kamu membicarakan
kaisar dengan akrab. Kamu tahu pepatah Inggris, dinding punya telinga?"
Aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa Allah Maha Melihat. Allah melihat ini: Aziz
menundukkan kepala dan mencium tangan kananku di segitiga berdaging tempat
jempol bertemu telunjuk. Cara seorang peziarah mencium tangan seorang murid.
"Bukan pelanggaran agama yang perlu kamu cemaskan," katanya, "melainkan
pelanggaran politik."
21 jK^egigihankulah yang melambungkan reputasiku sebagai guru yang baik, tetapi
prestasiku dibatasi oleh jumlah Al-Quran yang hanya satu, Al-Quran milikku
dengan sampul kulit hijau yang memudar, meninggalkan debu di semua orang yang
menyentuhnya. Ketika sekelompok murid sudah menghafal sebuah surah dengan
mengulang baris demi baris, ayat demi ayat, aku mengambil kitab itu dan
membacakan keseluruhan surah berikutnya kepada mereka sebelum kami memulai lagi,
baris demi baris, melantunkan setiap kata.
Anak-anak yang lebih tua memiliki keuntungan karena bisa menuliskan setiap baris
pada dua sabak yang pernah digunakan Fathi dan Anwar di madrasah, memberikan
asosiasi visual yang membantu mereka menyusun struktur surah itu dalam benak
mereka. Mereka belajar dengan baik, dan sudah maju hingga surah kedua belas,
tetapi menghafal setiap surah secara terpisah bukan berarti mengenal Al-Quran.
Abdal Akbar mengajariku bahwa hubungan antarsurah juga sama pentingnya.
Di Dalam Ruang Suci Sebuah tanda seseorang telah mengenal Al-Quran adalah jika dia melihat kitab itu
dalam jarak jauh, dia tahu pola teks tersebut, yang biasanya harus mengejanya
dari jarak dekat. Di samping itu, kalau kau hanya menghafal teks secara
berurutan, kau tak akan ingat ketika diminta membacakan surah keempat puluh.
Kecuali kau termasuk orang genius langka, yang dapat membayangkan susunan buku
dalam hati, kau harus membaca 39 surah dalam hati sebelum bisa membacakan yang
keempat puluh. Aku perlu Al-Quran lebih banyak. Terpikir olehku bahwa Hussein mungkin bisa
membantu. Aku meminta Gishta untuk menanyakan soal ini kepadanya, apakah dia
bisa datang dan mengunjungiku di rumah Nouria.
Dia menggeleng. "Pemuda itu tak pernah meninggalkan rumah, sekali pun. Kamu yang
harus mendatanginya."
Tetapi itu mustahil. Gishta tahu itu.
"Hari Minggu ini," dia mengangkat jari dan berkata, "Syaikh tersayang kami
menjenguk ibunya di Dire Dawa, kunjungan bulanan."
Aku terpana mendengar bahwa sang syaikh punya ibu, sementara usia syaikh sudah
terlalu tua. "Kenapa ibunya tidak tinggal di sini bersamanya?"
"Ibunya lebih suka Dire Dawa karena di sana tak ada Fatima."
"Maksudmu, Fatima, istri pertama?"
"Tepat sekali," kata Gishta sambil membentuk cakar dengan tangannya.
Maka, pada hari Minggu pagi, setelah pelajaran singkat dengan murid-muridku, aku
menyampirkan jilbab tergelap di kepalaku dan buru-buru keluar ke jalan. Aku
melewati kios daging di pasar, tempat dagangan halal para jagal tergantung dari
kait raksasa, melewati penjual buah-buahan yang tersembunyi di balik piramida
kuning dan Jingga, menembus kawanan lalat dan bau pengap diesel dan menuruni
jalan terjal di seberang pasar, tempat tukang jahit menjahit di sebelah pintu
logam biru yang terbuka di kios mereka.
Aku melewati gadis-gadis Oromo yang membawa kayu bakar yang beratnya melebihi
berat tubuh mereka sendiri, penderita lepra di sudut jalan yang mengemis dengan
melambai-lambaikan tangan buntungnya, dan kaum lelaki Harari berkupluk rajut
putih yang menuju tempat kerja masing-masing di toko yang berderet di jalan
beraspal di tengah kota. Para pedagang ini menjual barang impor murah dari Cina
dan India-tekstil, elektronik, alat makan-dan pakaian jadi, obat, dan tembakau.
Jalan utama merupakan simfoni derit pintu logam dan hiruk-pikuk sapaan yang
diserukan di atas kaleng minyak sayur dan bal kain.
Orang menyapaku dalam perjalanan; aku menyapa mereka. "Apa kabar pagi ini?"
"Baik, alhamdulillah," kami saling bertanya dan menjawab seraya bergerak
menyusuri jalan kota yang sempit dan penuh sampah, jalan yang begitu sempit
sehingga memiliki nama seperti "Bertemu dan Berdamai", karena kau mungkin
terpaksa berdamai dengan musuhmu-dan musuh selalu ada-agar bisa lewat.
Kehadiranku terasa sama lazimnya dengan bau kotoran keledai, mentega basi, dan
kemenyan. Setelah peringatan Aziz kemarin, aku merasa lega bahwa akhirnya aku
tidak dipandang aneh. * Kompleks rumah Syaikh Jami berbeda sekali jika tanpa kedatangan para tamu,
sebuah oase yang tenteram, pagarnya dikelilingi rempah-rempah wangi dan pohon
buah-buahan yang dipenuhi burung. Pekarangan lengang. Fatima, Zehtahoun, dan
Gishta sudah berangkat tadi pagi ke ladang, seperti biasanya setiap pagi,
menyandang tas kulit besar di punggung, rata seperti paru-paru yang mengempis.
Lahan perkebunan Paman Jami terletak di dekat kota, mulai di seberang sungai.
Lahan itu ditanami stimulan dan buah-buahan-qat, kopi, mangga, jeruk, pisang.
Qat harus dipetik segar setiap hari, karena semakin lembut dan hijau daunnya,
semakin besar efek intoksikasi dan semakin tinggi pula harga yang akan dibayar
konsumen (baik pencandu maupun konsumen biasa). Adapun buah qat tidak perlu
dipetik sesering daunnya; kopi bahkan lebih jarang lagi.
Saat tas mereka setengah penuh, ketiga perempuan itu beristirahat, berjongkok di
bawah rindangnya pohon jeruk untuk minum teh bersama. Kemudian, setelah berhasil
mengumpulkan satu tas penuh, mereka kembali ke kota, mendaki bukit untuk
kemudian menurunkan beban di pasar.
Paman Jami sangat kaya sehingga ketiga istrinya menjual qat secara borongan ke
perantara, yang mempekerjakan gadis-gadis untuk menjual ke pelanggan sepanjang
hari. Kaum perempuan yang tidak sekaya mereka duduk di atas rok dan menjual qat
langsung dari tas. Mereka menjual kepada para lelaki bermata liar yang lebih
menyukai makan daun hijau itu daripada makanan biasa yang telah menunggu di
pasar sejak fajar menyingsing. Para pedagang yang, seperti pedagang lain di kota
ini, membeli sejumlah besar daun setelah makan siang, untuk dikunyah sepanjang
sore di belakang tokonya. Kaum perempuan tengah baya mengunyah daun dari
beberapa tangkai bersama teman-temannya sambil menganyam keranjang dan memilah
gandum sepanjang sore. Kakek-kakek saleh yang sudah ompong dan harus menumbuk
qat dengan alu, menambahkan gula dan air untuk membentuk pasta kental. Semua
orang yang hendak mengunjungi makam keramat-remaja maupun orangtua makan qatkarena ini komponen penting dalam sesajen apa pun di kota para wali.
Pada akhir hari, sisa qat dijual kepada para pedagang yang membungkusnya dengan
plastik dan mengangkutnya ke Djibouti dan negara lain.
Qat adalah obat, basis ekonomi, pelumas spiritual, gaya hidup.
Aku mencium bau bensin dan mendengar bunyi sapu yang sedang digunakan di
belakang salah satu rumah. Setiap istri syaikh memiliki rumah sendiri. Pintu
kayu besar rumah-rumah ini membuka ke
pekarangan bersama, yang di seberangnya terletak rumah lain yang didiami Syaikh
Jami dan putra-putranya. Setiap istri juga memiliki pembantu, gadis Oromo-masih anak-anak-yang dicomot
dari pedesaan; orangtuanya buruh tani di tanah Harari. Anak-anak perempuan itu
menyapu pekarangan setiap hari, memercikkan air ke tanah untuk mengendapkan
debu. Mereka menyapu kotoran kambing dan bangkai kecoak, dan menuangkan bensin
di ambang pintu untuk mengusir lalat.
Anak-anak perempuan itu menyalakan kembali api di dapur bersama, sebuah gubuk
yang menghitam, tempat mereka memanaskan ketel raksasa berisi sup yang tak
pernah habis. Mereka menambahkan lagi air, bawang putih, cabai, dan kelabat,
meninggalkannya mendidih perlahan-lahan sampai kembalinya para istri syaikh dari
ladang. Seminggu sekali anak-anak itu menggiling sorgum, karena orang Harari menyerap
sup dengan roti injera yang dibuat dari sorgum, bukan dari teff pahit yang
digunakan di tempat lain di Etiopia. Makanan ini membuat mereka lebih gemuk, dan
semakin gemuk mereka, semakin kaya penampilan mereka. Aku adalah antitesis sosok
ideal Harari: tinggi dan kurus seperti nomad Somali yang miskin.
Gishta selalu mengeluhkan pembantu. Setiap minggu ada saja satu yang kabur
karena dipukuli oleh salah seorang istri atau digerayangi oleh salah seorang
putra syaikh yang banyak; karena tidak digaji karena suatu kesalahan; atau
semata-mata karena dia merindukan keluarganya, merindukan dunia di mana dia dicintai; karena
di seberang perbatasan bangsa si pembantu disebut sebagai Galla, "bangsa tidak
beradab". Gishta juga sering memukul pembantunya, seperti istri yang lain. Itulah salah
satu hak istimewa yang dinikmatinya setelah bekerja keras menghapus asal
usulnya, kerja keras yang diganjar dengan hadiah tertinggi-menikah dengan
seorang lelaki Harari, tokoh terkemuka pula. Inilah semen yang telah memantapkan
semua fondasi yang dibangunnya selama bertahun-tahun.
"Untukmu juga," dia mulai sering berkata kepadaku. "Terutama untukmu. Itulah
satu-satunya cara." Aku melewati beberapa anak sang syaikh, terlalu kecil dan terlalu asyik dengan
permainan lempar batu untuk aku berikan komentar-saat aku melintasi pekarangan
ke arah gedung berkubah putih kecil yang bersandar ke tembok seberang. Melalui
pintu melengkung, aku mengintip ke ruang-dalam makam keramat yang seperti gua
itu, untuk pertama kalinya. Dengan berhati-hati, aku melangkahi ambang pintu ke
dalam awan dupa dan berhenti untuk menyesuaikan diri dengan cahaya remang.
Inilah ruang suci bagian dalam. Di sinilah Syaikh Jami melewatkan sebagian besar
waktunya, dan menerima tamu setiap Kamis, orang dari kota dan pedesaan sekitar,
dan sesekali peziarah dari jauh. Satu per satu, tamu berlutut di hadapannya,
mencium punggung tangannya yang besar. Mereka
menyajikan persembahan berupa qat, susu, uang, dan kristal dupa atau gandum yang
dibungkus dengan kerucut koran. Mereka membisikkan permohonan ke telinganya dan
mengucapkan terima kasih saat sang syaikh melemparkan dupa ke wadah arang
membara, melepaskan doa mereka ke dalam kepulan asap manis yang membentuk awan
lengket di atas jamaah. Setelah diberkahi, setiap tamu duduk di dinding makam
keramat, bersandar dan mulai menjejali pipi dengan qat, perlahan-lahan mengunyah
daun itu di antara geraham, untuk mengekstraksi kekuatan hipnotisnya.
Saat matahari terbenam, penabuhan genderang dimulai, memanggil kaum Mukmin ke
tempat keramat. Saat itulah, setelah gelap turun dan pekarangan dipenuhi orang,
biasanya aku baru datang.
Hari ini, kabut dupa abu-abu buyar dan memperlihatkan Hussein duduk sendirian.
Idris, murid Syaikh Jami seorang lagi, mengajar di Madrasah Bilal Al-Habash di
pusat kota setiap pagi. "Lilly," kata Hussein samar, melihat ke suatu tempat di atas bahuku.
"Ya, ini aku." "Kusangka kau jin."
"Aku?" "Melihatmu di sini. Jadi, kamu sudah dengar." "Dengar apa?"
"Bahwa Abdal Akbar kita sudah berpulang." Aku berlutut di depannya dan menutupi
wajahku dengan tangan, sementara bobot berita ini melesak seperti batu di
perutku. Ada yang mengirim kabar tentang wafatnya Abdal Akbar kepada Syaikh Jami. Menurut
Hussein, dia meninggal dengan "cara biasa"-usia lanjut. Dia tetap tinggal di
zawiyah, tetap gigih menghadapi perubahan politik. Dia tidak dibunuh. Setidaknya
dia tidak dibunuh. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un" kami berdua berbisik. Kami berasal dari
Allah dan kepadaNya kami kembali.
Aku meletakkan kepala di bahu Hussein. Dia tak bergerak. "Mungkin semestinya
kita tidak meninggalkannya," kataku setelah beberapa menit.
"Kita tidak meninggalkan dia," kata Hussein tenang. "Dia berada dalam dirimu,
dia berada dalam diriku, dia berada dalam Paman Jami."
"Aku berusaha melanjutkan amalnya," kataku kepada Hussein. "Aku mengajarkan
mengaji ke anak-anak di lingkungan sepupu Gishta."
"Kudengar begitu."
"Kamu tahu." "Binti Abdal. Aku selalu memasang satu telinga."
Jadi, dia tidak seluruhnya meninggalkan dunia fana yang kuhuni. Nada rendah azan
dimulai, dan aku menegakkan tubuh. Idris akan kembali pada jam makan siang. Aku
menyeka mata dengan tepi wol kasar Hussein dan segera bercerita tentang kelasku
kepadanya, betapa terkekangnya kegiatan kami dengan hanya satu Al-Quran. Di sini
tentu ada banyak, bukan" Tentu aku boleh meminjam satu tanpa ketahuan.
Dia menatapku kosong. "Tidak boleh?" tanyaku. Dia meraup beberapa tangkai qat dan menawarkannya, untuk
menyatakan bahwa dia tak bisa berbuat apa-apa untuk membantuku. Langit di atas
kini dipenuhi paduan suara muazin dari semua masjid di sekitar. Aku benar-benar


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus berangkat. "Tak apa-apa," kataku sambil cepat-cepat berdiri. "Biar kupikirkan sendiri jalan
keluarnya. Assalamu 'alaikum." Aku membungkuk untuk bergegas keluar, tetapi
begitu aku melewati pintu, aku menabrak tepat ke dada Idris. Dia mendesis dan
gemetar, seolah-olah baru disiram air dingin dan dia bergerak mundur untuk
membiarkan aku lewat. Aku berlari melintasi halaman dan keluar ke jalan.
Aku menemukan Bortucan sendirian di rumah, sedang menggaruk telinga sambil
menusuk-nusukkan tongkat ke tanah. Aku mengangkatnya dan menggendongnya sambil
mengoceh dan mondar-mandir di halaman. "Bagaimana cara mencari jalan keluarnya,
Bee" Terlalu banyak murid, tidak cukup buku. Semua tekad telah menggumpal,
tetapi begitu banyak rintangan."
Perhatian Bortucan teralihkan oleh kepalanya yang gatal. Aku menarik tangannya
dan menemukan jarinya berlumuran darah. "Oh, Bee," erangku. Jelas ada sarang
kutu di rambutnya. Karena Nouria tak ada, aku tak perlu menanyakan pendapatnya.
Aku menggendongnya ke jalan aspal dan keluar lewat
gerbang utama. Bortucan merintih saat melihat rumah sakit; masih ingat tempat itu. Aku
mendekapnya erat-erat dengan kedua lengan, dan menaiki tangga.
Kami melewati beberapa dokter dan perawat sebelum melihat orang yang kukenal.
"Hei! Si farenji yang bisa bahasa Harari, serta adiknya," Munir bergurau sambil
menghampiri kami. "Kulit kepalanya berdarah."
"Boleh kulihat?" tanyanya sambil membelai pipi Bortucan.
"Kalau kamu mau," kataku.
"Ah. Biar kucarikan doktermu," katanya sambil mengedipkan mata.
Aziz muncul di tikungan beberapa menit kemudian, tersenyum. "Kata Munir, ada
gadis cantik yang mencariku."
"Bortucan sakit," cetusku.
"Bisa kulihat," katanya. "Kulit kepalanya."
Aku mengikutinya ke sebuah ruangan hijau, tempat aku mendudukkan Bortucan di
kursi dan dia dengan hati-hati membelah rambutnya. Sambil mencukur di sekitar
daerah yang berdarah, dia menemukan beberapa petak merah yang menyembul.
Akhirnya, seluruh rambut Bortucan harus dicukur. Anak itu memegangi rambutnya di
antara ujung jari, menatapnya seolah-olah rambut itu bukan miliknya.
"Sejenis cacing," Aziz menjelaskan. "Menyusup ke bawah kulit dan bertelur di
sana. Lihat yang ini. Bortucan merobek permukaan dengan kuku dan telurnya
tersebar. Aku harus merobek permukaan
yang lain." "Aduh." "Kita beri dia obat agar dia mengantuk."
Ketika dia kembali, aku memeluk Bortucan, sementara Aziz menusukkan jarum ke
lengannya. Anak itu mengerang seperti kucing terluka. Aku merasakan hangatnya
napas Aziz di leherku dan tubuh Bortucan yang tiba-tiba berat karena melorot di
pelukanku. Aku membaringkannya dan Aziz membuat sayatan-sayatan kecil di kulit kepalanya,
menempelkan handuk panas dan menekannya di empat sarang lain. Dia selesai dengan
mengecat kulit kepala itu menjadi ungu.
"Ayo, kita minum teh dulu," katanya. "Dia baru bangun setengah jam lagi."
Kami duduk di halaman kecil di belakang rumah sakit, tempat beberapa lelaki dan
perempuan lain yang berpakaian putih dan hijau duduk bersama. Hukum pemisahan
ruang laki-laki-perempuan tampaknya tidak berlaku di sini. Aziz membeli dua
cangkir kaleng teh dari kantin rumah sakit, meletakkannya, dan mengeluarkan
sekantong bubuk putih dari sakunya.
"Susu bubuk," dia menjelaskan sambil menawarkannya kepadaku. "Aku tak pernah
minum jenis lain. Apakah Bortucan bisa belajar dari kelasmu?"
"Sedikit." "Ayah Zemzem tampaknya sangat terkesan dengan putrinya."
"Anak itu istimewa. Jauh lebih pintar daripada
yang lain. Masalahnya, kegiatan kami terbatas dengan satu Al-Quran. Aku kan tak
bisa merobek halamannya supaya mereka bisa mempelajari bagiannya masing-masing."
"Aku tahu betul, bagaimana memiliki sumber daya terbatas untuk bekerja. Andai
saja ada yang bisa kuperbuat untuk membantumu."
"Kamu punya Al-Quran yang bisa kami pakai?"
"Punya," katanya sambil mengangkat alis. "Nanti aku tanya Munir juga."
Keesokan harinya Zemzem membawa sepotong injera ke kelas untukku. Di dalam
lipatannya ada surat dari Aziz: "Aku punya solusi untuk masalahmu. Kalau kamu
bisa menemuiku setengah jam lebih awal di rumah pamanku hari Sabtu nanti, akan
kutunjukkan." Kali ini surat itu ditutup bukan dengan "Temanmu", melainkan
"Hambamu". Aku menemuinya di halaman rumah pamannya pada tengah hari Sabtu itu, dan
mengikutinya ke ruangan utama. Pamannya membuka peti kayu di pojok,
memperlihatkan puluhan buku kecil berjilid kulit. Setiap buku mengandung satu
juz Al-Quran. Ini hanya digunakan pada satu kesempatan, pada bulan Shafar, bulan
berbahaya ketika orang tak boleh menikah atau bepergian, satu juz untuk setiap
hari pada bulan itu. Paman Aziz adalah anggota dewan tetua yang berkumpul setiap
malam bulan Shafar untuk membaca satu juz dan menghalau bala.
"Untuk anak-anak," kata Paman Aziz.
Aku menoleh kepada Aziz. Hadiah yang luar biasa.
"Dia hanya minta dikembalikan untuk bulan Shafar. Selama sisa tahun, Al-Quran
ini milikmu." Kami berlutut bersama dan menghitung dua set penuh yang berdebu, yang kami
bungkus dalam tas kulit tua yang digunakan untuk membawa qat. Aku tak mampu
berkata-kata sepanjang kejadian itu, hanya menyadari kulit Al-Quran yang lunak
dan usang di tanganku dan keinginan untuk menyentuh kulit Aziz.
"Dari Hussein," aku berbohong kepada Nouria, menumpuk Al-Quran di sudut kamar
kami. ")eberapa surah yang dilantunkan serentak menghasilkan paduan suara firman suci
yang melambungkan jiwa, menggema di seluruh kota: murid-muridku mengaji,
sementara para sufi duduk di makam-makam keramat mengucapkan kesembilan puluh
sembilan asma Allah, dan orang-orang suci seperti Syaikh Jami menceritakan
hadis, para imam duduk di masjid-masjid berbicara kepada Allah, para qadi
mengisi ruang pengadilan dengan kata-kata syariat, dan muazin membanjiri langit
dengan panggilan mereka. Dengan bantuan jilid 1 juz, murid-muridku yang lebih tua dapat memperbaiki ?kelemahan masing-masing, mempelajari surah-surah yang paling sulit untuk
dihafal. Aku mengetukkan tongkat ke dinding, mendorong mereka menjaga kecepatan
agar tetap teratur dan konsisten. Di madrasah banyak guru menggunakan cambuk,
yang mereka lecutkan ke lantai dan, tidak jarang pula, ke telapak tangan dan
punggung murid mereka. Ketika murid-murid yang lebih tua berhasil membaca seluruh surah bersama-sama,
tanpa disela, tanpa berhenti atau ragu, aku mengetuk agar mereka melanjutkan ke
surah berikutnya. Murid-murid yang muda lebih membutuhkan bimbingan. Mereka
mendengarkan dan mengulang setiap baris suatu ayat. Aku memperbaiki pengucapan,
menawarkan sebaris untuk memantik ingatan ketika mereka mulai berhenti,
mendorong mereka berayun ke kiri-kanan dan menemukan irama setiap ayat dalam
tubuh mereka. Bortucan belum melewati surah pertama, dia seolah menjadi alat
pengatur kecepatan belajar bagi murid lainnya.
Setelah keenam murid tertua mampu membacakan sepertiga pertama Al-Quran bersamasama, kami menganggap sudah waktunya kami merayakan. Aku dan Nouria mengundang
orangtua murid datang pada hari Jumat pagi. Gishta membuat kue setampah besar
dan menyediakan susu dan gula untuk teh. Semua anak disuruh mengenakan pakaian
terbaik, meskipun bagi beberapa anak, ini hanya berarti pakaian sehari-hari
mereka, tetapi dicuci. Keenam anak berdiri berbaris menghadap timur, termasuk Fathi dan Anwar. Aku
mengenakan pakaian tradisional yang dibuatkan Gishta untukku, berdiri di depan
mereka, melantunkan baris pertama dari surah yang kupilih secara acak, dari
sepertiga pertama Al-Quran. Mereka mengulangi baris yang telah kuucapkan dan
melanjutkan surah itu sampai selesai, tanpa aku. Aku lalu membalik halaman
Al-Quran dan membacakan baris pertama surah lain.
Para orangtua berdiri membatu, terpana.
"Apakah mereka tahu surah mana yang akan kamu pilih?" tanya seorang ayah, ketika
aku bersiap memilih yang ketiga.
"Tidak. Ini." Aku mengangsurkan Al-Quran itu kepadanya. "Kamu saja yang pilih."
Dia maju dengan ragu dan melihat kitab itu. Aku membalik halaman untuknya dan
memintanya memberi tahu kapan aku harus berhenti.
"Ya, di situ, di situ boleh," katanya.
"Silakan," aku mendorongnya, mengangguk kepada anak-anak yang menunggu.
Dia berdeham dan melantunkan baris pertama surah ketiga. Suaranya indah, tetapi
halaman di depan kami menunjukkan awal surah kelima.
Ketika anak-anak menyelesaikan surah itu, dia bertepuk tangan bersemangat. Lebih
dari satu ibu menangis, dan raut Nouria sungguh bahagia, seolah-olah dia belum
pernah sedekat ini dengan Allah.
"Mereka sebaik anak-anak madrasah yang kaya-kaya itu!" kata ayah Zemzem.
Terdengar gumam setuju dari semua penjuru.
"Kita akan membawa mereka ke Paman Jami," kata Gishta.
Aku melotot kepadanya. Apa yang dia pikirkan Para orangtua juga menggumam ragu.
Syaikh Jami adalah sosok yang sangar.
"Semua anak Harari melakukan ini," kata Gishta sambil melambaikan tangan.
"Benar, benar," para orangtua setuju. Madrasah membawa murid mereka ke makam
keramat setahun sekali, supaya mereka dapat menunjukkan hasil belajar mereka dan
menerima berkah sang wali agar keberhasilan dapat berlanjut.
"Tapi anak-anak madrasah itu kaya dan berpakaian bagus," kata seorang ibu.
"Semestinya kamu malu berpikiran seperti itu," tegur Gishta. "Kita semua setara
di mata Allah." Aku semakin menyukai gagasan yang tampaknya dianggap Gishta sebagai semacam
misi. Murid-muridku berhak mendapatkan pengakuan sang syaikh seperti murid lain
dan setidaknya dia tak bisa mengecamku sebagai guru.
"Dia benci orang farenji!" Gishta senang memberi tahuku. "Wisatawan sih cerita
lain, tetapi yang terburuk adalah yang datang kemari dan mengatakan bahwa mereka
memiliki misi spiritual. Oh, ini membuatnya murka!"
"Tapi apakah itu benar-benar terjadi?"
"Ya, mungkin sekitar lima tahun sekali. Mereka mengaku sebagai sufi. Satu datang
dari Inggris, yang lain dari tempat bernama Florida. Aku suka kata ini, Florida,
seperti nama anak perempuan. Satu dari Pakistan. Dan satu dari California, nama
anak perempuan lagi. Kenapa orang farenji menamai kota dengan nama anak
perempuan?" "Ayahku berasal dari tempat bernama Basingstoke," aku memberi tahu.
"Itu," katanya "nama yang konyol."
Sang syaikh rupanya memperlakukan kedatangan orang asing mana pun yang mengklaim
sedang menempuh perjalanan spiritual dengan kecurigaan yang hampir membenci.
Kamu ingin belajar cara sufi" tanyanya keras kepada mereka. Berarti kamu harus
hidup jumud, menolak semua hal-hal duniawi, semua perhatian fana, berjalan
telanjang kaki di atas bara, hanya makan makanan sisa dan sampah, memiliki hanya
satu pikiran-yakni menghapuskan diri, menghapuskan ego melalui pengabdian,
mencari berkah, mencari kesatuan dengan yang ilahiah.
Dan mereka memohon, Oh ya, ya, kumohon, guruku, itulah persisnya yang
kuinginkan, dan tersungkur di kakinya, mengatakan mereka rela melakukan apa
saja. Sang syaikh tidaklah bertugas menguji batas pengabdian mereka; ujian itu dibuat
oleh mereka sendiri. Tetapi, keyakinan orang asing biasanya terbukti setipis
suaranya. Suami Gishta tidak percaya bahwa seorang asing mampu melepaskan
kenikmatan fana, meskipun dia mengaku seorang sufi. Setiap orang akhirnya
terbukti munafik. Ada yang datang sambil membawa cokelat yang disembunyikan di
balik selimut. Ada yang makan obat farenji yang mengakibatkan dia bermimpi penuh
kekerasan saat terjaga. Ada satu yang sangat buruk, yang menyimpan satu setel
pakaian ganti di kotak pos, kalau-kalau dia merasa perlu istirahat-memanjakan
diri dengan berpakaian jas dan tinggal
di Ras Hotel di Dire Dawa, minum bir, dan membayar sharmuta untuk menemaninya.
Tetapi ini berbeda, Gishta mendesak. Karena aku seorang farenji yang berbuat
baik, dengan mengajar anak-anak miskin di Harar.
Kami kelompok yang berbinar-binar dengan senyum gugup. Nouria membuat kemeja
baru untuk kedua putranya dari sepotong kemeja peninggalan suaminya yang sudah
lama mati, pakaian itu muncul secara ajaib, seolah-olah selama ini menunggu
untuk acara seperti itu. Para ibu dari tiga di antara empat murid perempuan
telah menghias tangan putrinya dengan inai, dan menghadiahkan jilbab putih baru
seperti yang dikenakan anak-anak di madrasah formal; anak lelaki memakai kupluk
rajut putih. Aku sendiri mendandani Zemzem.
Gishta menemui kami di jalan, mengeluarkan untai manik-manik perak dari sakunya
dan mengalungkannya di leher anak-anak perempuan yang terkesima. Dia menciprati
semua anak dengan wewangian sebelum menuntun kami melewati gapura hijau.
Dua istri suaminya yang lain, Fatima dan Zehtahoun, sudah berangkat ke
perkebunan pagi itu tanpa dia-tetapi Fatima sempat mengutuknya dengan hinaan
Harari paling kejam, menyebutnya istri pemalas. Seorang gadis pembantu berhenti
menyapu karena kaget melihat kami, dan suara Syaikh Jami mengapung melalui pintu
makam keramat. Sang syaikh dan Hussein sedang membaca bersama seperti yang biasa
mereka lakukan setiap pagi-teks esoteris dengan kisah-kisah peristiwa mukjizat,
dan beberapa hadis langka, yakni catatan tentang tindakan dan sabda Nabi, yang
disusun oleh para sahabat dan keturunannya.
Kami diam di pintu masuk makam keramat; anak-anak gelisah. Sebagian besar dari
mereka sudah pernah ke kompleks ini, di antara ratusan orang pada suatu Kamis
malam, tetapi mereka belum pernah memasuki makam keramat dan berdiri di hadapan
Syaikh dan meminta perhatiannya. Seringai Anwar memudar. Dia tersentak saat aku
meletakkan tangan di bahunya.
Gishta memegang lenganku. "Sebaiknya kamu tetap di sini," bisiknya. Dia
mendorong anak-anak melewati pintu, dan mereka berbaris masuk.
"Bismillahirrahmanirrahim," ana k lelaki tertua mulai mengaji setelah sesaat,
memimpin kelompok itu menghafal bagian Al-Quran yang sangat disukai di Harar
karena merujuk tentang mencari perlindungan di negeri-negeri yang bersimpati.
Aku berdiri dengan menahan napas, satu tangan di dinding makam keramat, tangan
lain di jantung. Aku harus berterima kasih kepada Aziz untuk momen ini.
"Baik sekali," kudengar sang syaikh berkata, meskipun tidak mengucapkan selamat
kepada anak-anak nyaris tanpa ekspresi apa pun. "Tapi aku tak mengerti. Kalian
berasal dari madrasah mana?"
"Madrasah Binti Abdal," kata anak lelaki tertua.
"Binti Abdal?" tanya sang syaikh. "Siapa itu Binti Abdal?"
"Guru kami," jawab anak itu. "Ya, ya, tapi siapa dia?"
Gishta mendorongku maju. Aku menunduk melewati pintu masuk dan berdiri di
samping murid-muridku. Sang syaikh menatap, benar-benar diam, Hussein berlutut di sampingnya. "Masya
Allah," sang syaikh akhirnya berkata, menggelengkan kepalanya yang besar.
Hussein membuka mulut seakan-akan hendak berbicara. Anwar, yang masih meringis
ngeri, meraih tanganku. "Ya Allah," sang syaikh berkata secara dramatis, menyatukan tangannya yang gemuk
itu di depan mukanya. Dia menghela napas dalam-dalam, mata terpejam.
Salah seorang anak perempuan melangkah mundur, dan anak yang lain mengikuti
contohnya. Tiba-tiba sang syaikh menengadah, matanya kuning. Dia melemparkan tangan lebarlebar dan berseru: "Farenji!" Dia mengaumkan sesuatu yang terjemahan kasarnya
berarti anak haram penipu. Lalu dia menyebut Muhammed Bruce Mahmoud. Nada bas
berdentam yang keluar dari mulutnya bisa mengguncang fondasi, andai ada, tetapi
nada itu mati pada tembok tanah liat yang lunak, karpet rumbai, dan lantai
tanah. Seorang anak mulai terisak, dan tangan Gishta tiba-tiba muncul lewat pintu,
menarik pakaian anak-anak, menarik mereka menuju cahaya di luar
makam keramat. "Gishta!" seru si syaikh. "Apa ini?"
Gishta berbicara takut-takut dari pintu. "Murid-murid ini datang untuk meminta
berkah," katanya. "Tapi dengan seorang farenji" Kita tak usah belajar Islam dari farenji! Orangorang ini tak berguna! Pembohong! Pencuri!" teriaknya.
"Berani-beraninya kau menghakimiku," kataku sambil menatap genangan berminyak di
matanya. Sang syaikh mendidih, akan meledak.
"Hanya Allah yang berhak menghakimi orang," kataku ke dalam keremangan.
"Assalamu 'alaikum." Aku membungkuk keluar lewat pintu dan bergabung dengan
murid-muridku. * "Kamu masih ingat lelaki itu, Muhammed Bruce?" dengan emosi yang telah tertata
kembali, aku bertanya kepada Gishta setelah kami berjalan kembali ke rumah
Nouria. Dia mengangguk kuat-kuat. Muhammed Bruce Mahmoud, katanya, terkenal


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai salah seorang peziarah paling berbahaya yang pernah menginjakkan kaki di
tanah Harari. Dia, yang mengaku orang Pakistan albino melarat dari Lahore,
dipungut oleh sang syaikh, tetapi membuat kesalahan besar, yakni menyembunyikan
rahasia asal usulnya di dalam ceruk salah satu pohon di kompleks.
Tak lama setelah kedatangan Muhammed Bruce, Syaikh Jami melemparkan beberapa
arang membara ke dalam ceruk tersebut, diikuti beberapa bongkah dupa, seperti yang
dilakukannya sebulan sekali untuk menghormati ibu Bilal Al-Habash. Bulan itu dia
tidak disambut oleh kepul asap manis yang bertiup dari pohon, tetapi oleh bau
mirip racun. Dia terpaksa menyiramkan sekaleng air ke dalam ceruk, memadamkan
api yang berkobar. Dengan bingung, dia meraih ke dalam pohon dan mengeluarkan tas yang basah dan
setengah terbakar. Di dalamnya dia menemukan segulung uang kertas, paspor si
lelaki yang mengaku bernama Muhammed itu, tercantum nama semacam Bruce Mac dan
negara asalnya Inggris, sebotol alkohol, buku tentang Harar, dan setumpuk kartu
remi dengan gambar bocah telanjang.
Syaikh Jami mengusir Bruce dan melempar tas terbakar yang penuh racun itu.
"Orang yang tidak berkepala dingin tentu membunuhmu," kata si syaikh. "Tapi itu
kuserahkan kepada Allah."
Satu-satunya yang disimpan sang syaikh adalah buku itu, karena buku dihargai,
kata-kata adalah kekuatan. "Buku dusta farenji tentang Harar," kata Gishta
menggigil. "Kamu lihat! Kamu lihat!" serunya. "Nanti kubawakan bukunya dan kamu
akan lihat." Keesokan sore Gishta menjatuhkan jilid koyak di tanah dekat kakiku. Buku itu
First Footsteps in East Africa: A Journey to Harar karya Sir Richard Burton,
penjelajah terkenal yang dibanggakan Muhammed Bruce sebagai paman kakeknya.
Sang syaikh tak dapat membaca buku itu, tetapi seorang temannya yang terpelajar
menggarisbawahi beberapa teks dan menuliskan terjemahan Arab di pinggir halaman.
Gishta melihat dari balik bahuku sementara aku membaca tulisan yang
digarisbawahi. Burton menyebut tempat ini "surga yang dihuni keledai". Dia
mengecam penduduknya sebagai "fanatik agama", "berprasangka buruk", "barbar",
"kasar dan tak bermoral", "buruk rupa karena penyakit," bersuara jelek: "yang
lelaki lantang dan kasar", yang perempuan parau dan melengking".
Dia menyombongkan diri sebagai orang yang berhasil mematahkan mantra penjaga
yang katanya melindungi kota ini dan warganya. Dia berniat merobek kain Islam
dan membuat orang Harari telanjang, rapuh, dan berutang budi. Menundukkan
melalui pencemaran. "Tapi dia tidak mematahkan mantra apa pun," kataku, sambil menoleh kepada
Gishta. Burton atau bukan, Islam berada di dalam diri dan di sekitar kami. Dan
Syaikh Jami, sebagai keturunan dari wali Harar terbesar, adalah titik tumpu
dunia ini; dialah denyut jantung kota Harar.
"Tapi setelah lelaki ini, orang farenji mulai berdatangan," kata Gishta.
"Sekalipun mereka datang dan menghancurkan semua masjid dan semua makam keramat,
Islam tetap tidak patah," kataku.
"Mungkin suatu hari nanti kamu bisa menulis buku farenji lain dan menyatakan
kebenaran," kata Nouria.
"Insya Allah," jawabku.
"Suamiku buta kalau dia tak bisa melihat apa isi hatimu," kata Gishta.
Kecupan dalam Bahasa Inggris Set'aP subuh, aku dan Nouria bergiliran saling menuangkan air untuk berwudhu.
Allahu Akbar-mulut, lubang hidung, dan muka dibasuh bersih.
Allahu Akbar-tangan, lengan, kepala, kaki, telinga, dan lutut.
Dosa-dosa malam terbasuh, jatuh menetes-netes ke tanah, dan dengan keadaan suci,
kami shalat dan sujud bersama.
Aku telah terbiasa tidur lagi selama sejam, meskipun itu tidak dianjurkan.
Nouria membiarkan aku hingga derajat tertentu karena, seperti yang biasa
diingatkan dia dan Gishta, tak lama lagi aku harus menanggung semua tanggung
jawab dunia orang dewasa. Bukan kemalasan seperti ini yang menjadi perhatian
mereka melainkan kesendirianku kata mereka, jiwaku akan rapuh terhadap serangan
ruh jahat. Aku makin lama makin yakin bahwa mereka benar. Dalam kesendirianku,
aku tak bisa menahan diri untuk tetap memelihara hasrat rahasia. Sementara aku dapat
mendisiplinkan otakku untuk menjaga kesucian pikiran, indra-indraku
mengkhianatiku. Mereka memiliki kehendak sendiri, ingatan sendiri.
Hangatnya telapak tangan Aziz yang merah jambu. Aroma samar keringat yang
tersembunyi di dalam kemeja katunnya, berulang-ulang. Warna cokelat iris
matanya. Kelembutan kulitnya yang laksana mentega. Keseluruhan sosoknya yang
ideal. Curi-curi waktu setiap Sabtu sore, di ruangan gelap yang dulu digunakan untuk
menyimpan daun tembakau; dunia rahasia yang kami huni bersama teman-teman kami.
* Sadia mulai mengunjungiku seusai sekolah untuk belajar bahasa Inggris karena dia
ingin membuat Munir terkesan. Pelajaran kami agak terbatas; dia hanya tertarik
pada satu topik. "I would be," pelajaran kami dimulai, dengan aku melebih-lebihkan setiap kata.
"I would be," ulang Sadia.
"Honoured ..." "Unnerred ..." "To be ..." "To be ..." "Your wife." "Your wife!" Sadia memekik. "Hus!" Aku harus menyuruhnya diam karena Nouria dan
Gishta mendongak dari tempat mereka
sedang berjongkok di seberang rumah, mencelupkan jerami ke dalam pewarna, satu
ember merah jambu cerah, satu ember warna hijau kesukaan Nabi.
Tawa kami meledak, saling memegangi bahu. Gishta menoleh kepada kami dengan
geli, sedikit rasa sayang, senang melihat kami berdua menjadi remaja biasa.
Mereka senang bahwa aku dan Sadia berteman. Gadis yang baik sekali, mereka
selalu berkata. Dari keluarga baik-baik. Ayahnya sudah naik haji tujuh kali. Dan
dia sendiri sudah berhaji di usia semuda itu.
Tetapi, sedikit sekali yang mereka ketahui tentang apa yang dilakukan gadis
baik-baik dari keluarga baik-baik setiap hari Sabtu. Ini lebih dari sekadar
berpegangan tangan, demikian yang diceritakan Sadia kepadaku dengan bersemangat,
setelah Gishta dan Nouria keluar rumah untuk membawa jerami berwarna ke Ikhista
Aini di rumah sebelah. Dia dan Munir memang meninggalkan rumah paman Aziz secara
terpisah, tetapi lalu bertemu lagi sepuluh menit kemudian di balik salah satu
rumah bundar beratap jerami yang mengelompok di luar gerbang terdekat.
"Koloni pengidap lepra?"
"Benar. Kami bersembunyi di balik rumah terjauh, supaya tidak kelihatan orang.
Andai pengidap lepra melihat kami, mereka tak akan peduli. Mereka tak akan
memberi tahu orangtua kamu, dan Tuhan tahu, tak ada juga yang memercayai
perkataan mereka." "Tapi apa kamu tidak takut tertular?"
"Tidak mudah ditularkan, kata Munir. Lagi pula, aku rela memotong kakiku agar
bisa bersamanya. Aku masih punya satu kaki lagi. Tuhan baik sekali memberi kita
semua bagian tubuh dua-dua. Yah, hampir semua!"
"Sadia!" aku terlonjak. "Kalian berbuat apa di sana?"
"Berciuman," bisiknya penuh persekongkolan.
Berpegangan tangan di ruangan tertutup itu satu hal, tetapi mengambil risiko
menunjukkan kemesraan di luar tembok itu hal lain lagi. Kaum perempuan akan
menyebutnya julukan yang lebih buruk daripada sharmuta, jika dia tepergok.
Mereka akan berkata, tak akan ada lelaki yang menginginkannya. Mungkin
keluarganya akan mengusirnya ke Dire Dawa, untuk menyingkirkan aib.
Tetapi, Munir memang ingin menikahi Sadia, dan upaya menaklukkan ibu Sadia agar
putrinya diizinkan menjadi istri Munir, sudah dimulai. Mula-mula Munir
mendatangi rumah keluarga Sadia untuk memperkenalkan diri, menyatakan bahwa dia
akan selalu ada jika mereka memerlukan jasa dokter. Kemudian, dia menaruh minat
pada saudara Sadia, yang pandai dalam sains, dan menanyakan apakah dia tertarik
kuliah kedokteran. Lalu, dia melibatkan ibunya sendiri, mengutusnya dalam misi
amal beberapa kali. Meskipun para ayah harus menyetujui, para ibulah yang
mengajukan calon; para ibulah yang sebenarnya memegang kendali.
"Oke, Sadia, sekarang serius," kataku. "Jika Munir memberi tahumu bahwa ayahmu
sudah memberi restu?"
7 say: I would be unnerred to be wife." 7 would be honoured to be ..." 7 would be
honoured ..." "Sadia?" aku menyela sambil melirihkan suara. "Apa Aziz pernah punya pacar?"
"Mmm ..." Dia melihat ke langit. "Bukan pacar, sebenarnya, cuma, aku nggak tahu ...
Kata Munir, pernah ada gadis di Addis Ababa, tapi dia orang Amhara."
"Orang Kristen?" Aku langsung menyesal menanyakan hal ini.
"Oh, Lilly, tidak," katanya. "Dia orang Amhara, dia tak mungkin pacar Aziz. Lagi
pula, tangan siapa yang dia pegang sekarang, hmm?"
Tanganku, aku berusaha menenangkan diri sambil menyusuri tembok luar yang
berdebu pada hari Sabtu berikutnya. Tanganku di dalam genggamannya.
Qat dan obrolan dan televisi dalam gelap, unsur-unsur bercha hari Sabtu itu
tidak berbeda. Aku merasa mual, bertanya-tanya apakah dia pernah mencium gadis
Amhara itu. Aziz memintaku tetap tinggal pada setiap akhir bercha, seperti yang sekarang
selalu dilakukannya setiap minggu. Keinginan untuk tetap berduaan dengannya
menguasai akal sehat; aku akan menjadi muslimah yang baik lagi pada perjalanan
pulang. Dia menutup pintu setelah teman-temannya pergi, dan ruangan itu gelap
dan sunyi lagi, bau keringat tubuh mengisi udara, serpih qat bertebaran di
sekitar kami di lantai. Dia duduk bersila di depanku dan menatapku. Dia
mengambil tanganku. Aku menelan bola wol di tenggorokanku, sementara dia menyentuh garis luar
wajahku dengan jempolnya. Mukaku terasa kecil di tangannya, ibarat mangga yang
diangkatnya untuk dikagumi.
Inilah sebabnya kaum sufi berusaha menghapus tubuh, kusadari saat itu. Bukan
karena tubuh ini menampung parasit, bukan karena menuntut makanan dan air dan
tidur, tetapi karena berduaan seperti itu saja dapat menguasai dan merenggut
perasaan yang paling suci, niat yang paling saleh, dan sentuhan serta kecupan
dapat mengubah dunia. "Kudengar kamu membungkam sang syaikh," bisiknya.
"Aku tidak berniat begitu."
"Tak ada gadis Harari yang seberani itu."
"Waktu itu aku marah."
"Kamu memperjuangkan keyakinanmu. Itu sesuatu yang indah dan langka."
Kebenaran S'sa rasa bersalah melapisi kulitku bagai putih telur. Satu raut muka yang
keliru saja, aku takut lapisan itu akan retak. Aku berdoa memohon ampun setiap
Kamis malam. Penolakan sang syaikh akan diriku dan murid-muridku tidak
mengurungkan niatku bergabung dengan kerumunan berayun yang berkumpul di
sekeliling makam keramat pendek itu seminggu sekali untuk merayakan sang wali
dan mukjizatnya. Aku melompat dari kaki kiri ke kanan, membisikkan doa. Aku meminta Bilal AlHabash untuk memberi perhatian khusus kepada Bortucan, yang otaknya tidak
normal, untuk memastikan bahwa Abdal Akbar selamat di surga, untuk memberi
rezeki yang baik kepada Nouria, untuk menghargai upaya Hussein, untuk membantu
Aziz lulus ujian, untuk memaafkan aku yang menggoda iblis. Aku tak pernah
menyebutkan orangtuaku atau Muhammed Bruce dalam doaku karena aku takut mereka
sudah pergi ke tempat lain, lubang membara yang tak mungkin pernah dikunjungi
Bilal Al-Habash. Hussein berdiri tegap di samping Syaikh Jami di depan orang ramai sementara sang
syaikh memimpin kami dalam zikir. Aku tetap di belakang, bertepuk tangan dan
menari dan mengunyah qat seperti orang lain. Vah, hampir seperti orang lain.
Kuakui, sebagian diriku tak bisa lagi tunduk pada kesempatan ini, dan menolak
mirqana. Sementara pikiran orang lain melonggar dan meluas, fokusku tampaknya
meneleskop ke satu sosok lelaki tampan dan jangkung, dengan senyum pahit-manis
yang memikat dan suara lembut yang berlawanan dengan besar tubuhnya.
Ini bukan menyembah dia, karena itu dosa, dosa terbesar seorang Muslim:
mempersekutukan Allah. Kami yang beriman pada wali kadang dituduh syirik. Tak
semua orang menyetujui ibadah kami; banyak ulama di kota menepiskan keyakinan
dan ritual kami. Mereka meyakini bahwa akar ibadah kami berasal dari praktik
penyembah berhala yang hidup di sini sebelum Islam datang di bagian Afrika kami
pada abad kesembilan. Mereka menyebut ini kebodohan, keterbelakangan, Afrika.
Di luar para pengkritik, ada orang-orang yang mengecam, yang mengatakan bahwa
kami melakukan praktik yang memusuhi Islam, yang memandang keyakinan kami
sebagai bid'ah, tindakan kami sebagai dosa, dan ingin memenjarakan kami, bahkan
membunuh kami. Di Arab Saudi, keyakinan seperti kami ini dipandang sebagai wabah
maut. Orang Harari yang berhaji ke Makkah harus memendam nama para wali di bibir
mereka, tetapi begitu mereka pulang, mereka langsung mendatangi makam keramat
Bilal Al-Habash untuk mendapatkan berkahnya karena telah menunaikan rukun Islam.
Kami merasa aman di sini, di bawah perlindungan lebih dari tiga ratus wali,
Bilal yang tertinggi di antara mereka, di sebuah negara yang kaisarnya dikatakan
sama-sama mencintai warga Muslimnya maupun warga Kristennya.
Namun, aku juga mendengar Aziz berkata bahwa sang kaisar takut Etiopianya adalah
pulau Kristen yang kesepian, mengapung di lautan Muslim. Semestinya sang kaisar
tak perlu khawatir. Tidak seperti Maroko, di sini tidak ada tarekat, tidak ada
murid yang berdakwah, hanya menjamurnya wali setempat, makam keramat mereka
dirawat dan kenangan mereka dipelihara oleh keturunan mereka dan orang-orang
yang mereka lindungi. Praktik kami jinak, lokal, tidak politis.
Meskipun berusaha sebaik-baiknya menenggelamkan diri dalam ayunan kerumunan
Kamis malam, aku membayangkan Aziz di rumah ibunya; mengenakan sarung yang
disimpulkan di pinggang dengan, seragam rumah sakitnya tergantung di paku di
dinding dengan membuat tanda pensil di pinggiran buku teks, menutup buku dan
menghafal seluruh paragraf tentang sistem saraf pusat dalam bahasa Inggris.
Aku lega dapat berdalih bahwa aku harus membawa pulang anak-anak Nouria dan
menidurkan mereka. Dengan begitu, ibu mereka bebas untuk tinggal di makam
keramat dan berputar dan berpuntir dan mendesis dan melompat hingga subuh esok
hari. Dengan begitu, aku bisa sendirian, jiwaku yang rapuh menuntunku
membayangkan ciuman dalam gelap, berulang-ulang, membawa sensasinya hingga dini
hari. Ini bukan menyembah, Ini lebih berupa pemecah perhatian yang selalu
diperingatkan Hussein: cinta duniawi.
Julukan Kasih Sayang A ku bersila di atas tikar jerami di halaman, memanfaatkan cahaya terakhir sore
itu. Kali ini, aku sedang mengerjakan proyek baru, membuat kamus bahasa HarariInggris, pekerjaan yang disemangati semua orang karena Kaisar Haile Selassie
sudah lama menganjurkan rakyat belajar bahasa Inggris, mereformasi sistem
pendidikan, dan bersikukuh bahwa inilah cara yang harus ditempuh agar bangsa ini
maju. Islam mengajari kami bahwa pendidikan adalah sarana menuju pencerahan, dan bahwa
disiplin adalah satu-satunya jalan ke sana. Namun, meskipun mungkin reformasi
pendidikan Haile Selassie dielu-elukan, tampaknya reformasi tersebut hanya
menguntungkan sedikit orang. Selain orang terkaya di kota, tak ada yang mampu
membebaskan anaknya selama sejam, apalagi setengah hari, untuk bersekolah. Orang
Harari adalah pengecualian, memastikan semua anak mereka, termasuk anak
perempuan, mengenyam pendidikan-minimal belajar mengaji.
Aku sangat menikmati mengerjakan kamus itu, meskipun kadang orang menjadi
jengkel karena sering kutanyai. "Dewasa sebelum waktunya," dulu ibuku sering
berkata. "Lilly yang selalu ingin tahu," kata ayahku, "seperti kancil." Dia juga
mencintai bahasa. Dia memberiku buku tulis saat usiaku enam tahun, dan tak lama
setelah itulah aku mulai mengoleksi kata. Kata Arab dan kemudian Harari, dan
bahkan sesekali kata Inggris, biasanya yang berkaitan dengan kedokteran atau
politik. "Sebutkan nama setiap tumbuhan yang kamu kenal!" aku meminta Gishta. "Sebutkan
setiap kata yang terpikir olehmu, yang berkaitan dengan langit!" aku meminta
Nouria. Kadang mereka meladeniku; kadang mereka berkata, mereka terlalu sibuk untuk
permainanku. Mereka paling tidak suka kalau aku menanyakan hal-hal abstrak- "Aku
tak tahu, Lilly. Mana aku tahu" Bahagia, sedih, tak ada di antaranya"-dan
istilah teknis yang sulit-"Aku bukan petani, Lilly. Aku tak tahu nama benda itu.
Apa pentingnya" Toh cuma kata petani."
Kami dikelilingi serpih-serpih bercha lain, tetapi alih-alih berbisik dan
berdekatan dalam gelap seperti yang biasa kami lakukan setelah semua orang
pergi, Aziz bangkit dan membuka jendela. Ada yang ingin dia tunjukkan kepadaku:
buku teks kedokteran baru yang baru saja diambilnya di kantor pos di Dire Dawa.
Aku mengagumi sampulnya yang keras dan putih berkilap, dan foto berwarna organdalam pada halaman yang licin.
"Kamu tahu kenapa aku menunjukkan ini kepadamu?" tanyanya sambil melihat dari


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balik bahuku, sementara aku membalik-balik halaman yang berkilap. "Karena ini
buku terakhir yang harus kupelajari."
"Lalu kamu siap mengikuti ujian," kataku, menyadari signifikansinya.
"Enam bulan lagi, akhir bulan Agustus, ujian berikutnya dijadwalkan. Aku harus
ke Kairo untuk mengikutinya."
Aku tak yakin seberapa jauh tempat itu, tetapi sejauh apa pun, tetap saja bukan
di sini. "Berapa lama?"
"Mungkin aku hanya seminggu di sana. Tapi ada perjalanan pergi ke Addis ditambah
waktu tempuh pulang ke Harari, jadi mungkin aku akan pergi dua minggu. Kamu
pernah naik pesawat terbang?" tanyanya.
"Pernah. Sudah lama sekali."
"Aku sejak dulu ingin naik pesawat," katanya.
"Lalu bagaimana setelah kamu ikut ujian?"
"Menunggu hasilnya. Aku harus mendapat nilai bagus untuk memperoleh beasiswa.
Kalau tidak, aku tak mampu membayar uang kuliahnya. Selama ini aku menabung,
tapi kamu tahu sendiri, ini Etiopia, yang para dokternya pun miskin."
"Ah, aku yakin kamu pasti mendapat beasiswa."
"Insya Allah," kata Aziz. "Dan kalau aku dapat" Kamu tahu itu berarti aku akan
empat tahun tinggal di Kairo."
"Lama sekali." "Lalu aku akan pulang dan melayani masyarakat. Aku ingin mengembangkan keahlian
yang tak ada di sini. Ilmu kedokteran penyakit dalam-teru-tama untuk anak-anak."
Dia akan mampu menyelamatkan satu generasi anak, pikirku. Dia akan menyelamatkan
anak-anak seperti Bortucan dari tanah kotor.
"Insya Allah, kita akan mengadakan bercha bersama-sama lagi setelah itu.
Maksudnya, kalau kamu masih di sini."
Masih di sini" "Rumahku di sini, Aziz."
"Kamu tak mau pulang ke Maroko kapan-kapan?" "Tidak lagi," kataku. Tidak sejak
Abdal Akbar wafat. Tidak sejak aku mulai mengajar anak-anak. Tidak sejak aku
mengenalmu." "Tapi, tentu saja, bercha tak akan mungkin diadakan lagi, karena suamimu pasti
keberatan." "Suamiku?"
"Teman-temanmu akan mencarikan suami untukmu," katanya. "Mungkin malah sudah. Itulah yang dilakukan perempuan."
* Gishta kini memanggilku menggunakan panggilan sayang yang disukai orang: kuday,
kulaylay, "hatiku", "ginjalku". "Andai saja kamu disunat," keluhnya. "Kamu tentu
nyaris sempurna. Kamu yakin, kamu tak mau disunat" Tak ada kata terlambat."
"Cukup yakin," aku bersikeras.
"Yah, mungkin gusimu ..."
"Sudah kubilang, aku tak mau."
"Persis remaja," dia menghela napas. "Keras kepala sekali. Berdarah panas."
"Ibulah yang bertugas memadamkan api," Gishta memperingatkan Nouria. Tetapi,
Nouria tak pernah memperlakukanku sebagaimana orangtua. Aku berusaha meredupkan
kobar dalam diri, yang ditebak Gishta dengan benar, tetapi Aziz selalu saja
bangkit dari abunya, bibirnya bergerak-gerak, percakapannya tak pernah berakhir,
kata-katanya membuatku merasa berat dan lambat, seakan-akan tak akan ada cukup
waktu sebelum dia berangkat ke Kairo untuk menyelesaikan segala yang ingin kami
katakan. Sejak hari pertama Aziz memegang tanganku, aku mulai menemukan bahwa tak ada
suatu hal pun di dunia yang sesuai dengan tampilan luarnya. Akan tetapi,
demikianlah kita memulai di setiap dunia baru: pertama-tama kita membaca buku
petunjuknya. Kita mempraktikkan aturannya seperti yang telah dituliskan, dan
setelah kita cukup mahir dengan cara menjalaninya, barulah kita menemukan
pertentangan, makna tersembunyi, ruang di antara kata. Tandanya ada di manamana: bukti adanya arus yang mengalir di bawah aturan pergaulan yang ketat, yang
mengatur hubungan antara lelaki dan perempuan. Seperti letak kendi air di relung
kecil di sebelah kanan pintu utama di bagian dalam rumah
Gishta. "Biasanya, kendi diletakkan di lantai," Gishta menjelaskan, "tapi kalau
kendi itu muncul di relung, berarti giliranku."
Ini berarti hampir setiap Selasa Gishta mengirimkan kedua anaknya ke rumah
Zehtahoun, istri kedua sang syaikh, setelah azan isya, sehingga dia sendirian di
rumah, menghias mata dengan celak, mengurapi rambut dan tubuhnya dengan minyak
dan wewangian, dan mengenakan diri tipis, yakni gaun malam Somali, yang membalut
tubuhnya dengan sempurna.
"Dia datang dan mengejutkanku malam-malam," demikianlah Gishta menggambarkannya.
Aku ingin mengorek detail kejadian itu darinya, tetapi aku tahu, rasa ingin
tahuku akan membuatnya curiga. Aku semestinya bersikap pasif. Menunggu sampai
aku dipilih oleh peminang-peminang Harari, pasporku menuju penerimaan penuh
dalam masyarakat, lelaki yang akan menikahiku, lalu mengajariku.
Andai saja dia tahu bahwa aku sudah mencium Aziz. Bahwa aku mendambakan berduaan
dengan lelaki ini dalam gelap, bahwa aku melamunkan dirinya dalam setiap jeda di
antara kalimat. Bahwa aku akan menunggu kepulangannya selama empat tahun. Bahwa
aku mengompromikan satu-satunya hal penting yang kuyakini, agar bisa berada
bersamanya. Orang tidak semestinya menikah demi cinta, mereka seharusnya menikah untuk
mempererat hubungan antara keluarga: demi garis keturunan, demi kekayaan, demi
status. Dan kulit hitam seperti kulit Aziz tak menawarkan satu pun hal itu.
Orang Harari berpaling dari kulit gelap, meskipun itu mengalir dalam darah
mereka sendiri: mereka lebih suka menoleh ke arah timur, bukan ke Afrika, untuk
asal usul mereka. Mereka lebih suka menganggap orang Arab-Nabi dan para
sahabatnya, para wali-sebagai leluhur mereka, daripada para budak. Ini fiksi
yang dirumitkan oleh kulit hitam.
Aku semestinya menunggu datangnya peminang, tetapi usiaku sudah sembilan belas
sekarang. Penantian itu semestinya tidak berlangsung selama itu.
"Di Afrika, hidup itu pendek," Gishta sering berkata, "terlalu pendek untuk
membuang-buang waktu. Kamu jangan terlalu lama menggantung di pohon, Lilly.
Akhirnya kamu akan kehilangan pegangan, jatuh ke tanah, rusak, membusuk. Tak ada
yang mau makan buah yang sudah jatuh-itu hanya untuk pengemis dan burung. Orang
hanya ingin menginjakmu."
Bagian Kelima London, Inggris 1987-1988
Berkumpul Kembali 26 epuluh orang perempuan sudah seharian
memasak di sepuluh flat, menyambut kedatangan Yusuf, masing-masing bertingkah
seolah-olah suaminya sendiri yang akan pulang. Mereka yang sudah berkumpul
kembali dengan suaminya ingin berbagi kemujuran; mereka yang belum mendapat
kabar berkhayal bahwa reuni ini adalah reuni mereka sendiri; mereka yang
mengetahui bahwa suaminya tewas pun ingin menjalani hidup orang lain semalam
saja; sementara aku melawan rasa iri dan memaki diriku karena egois.
Berjalan seperti bebek, Amina, si duba raksasa, pergi menjemput suaminya di
Bandara Heathrow, sementara aku menyelia persiapan lainnya. Kami menata makanan
di atas meja, dan para lelaki Oromo dari ujung lorong membawa mawar dan membawa
seember bir yang sudah berfermentasi selama seminggu di kakus mereka. Bir itu
kental dan keruh, manis dan kuning: kaya madu, gaya Etiopia.
Kami memasukkan kaset ke pemutarnya dan paduan suara sumbang di kejauhan mengisi
ruangan. Tak lama kemudian, Yusuf melambaikan tangan dan menganggukkan kepala kepada
kerumunan yang berteriak-teriak di hadapannya, yang menebarkan kelopak mawar dan
ucapan selamat datang kepadanya dan Amina. Amina melambaikan tangan kepada Sitta
dan Ahmed, yang mengintai di pinggiran. "Ayo sapa Baba."
Sitta memasukkan jempol ke mulutnya. Aku meraih tangannya yang lain dan
mengusulkan kami mengambil gambar yang dibuatnya untuk ayahnya di sekolah hari
itu. Dia menggeleng dan menatap lelaki kecil berjanggut yang pipinya bercodet.
Ahmed melangkah maju, mengenakan jas kedodoran yang masih bisa dipakainya sampai
tiga tahun ke depan. Dia menyeringai tanpa malu-malu.
"Masya Allah," suara ayahnya bergemuruh. "Kau sudah besar." Yusuf merengkuh
putranya dengan canggung.
Lalu seorang perempuan menyanyi. Perhatian perlahan-lahan bergeser dari Ahmed
dan Yusuf ke meja makanan. Aku memperkenalkan Sitta kepada ayahnya.
"Sitta?" bisik Yusuf lembut, sambil berjongkok di lantai supaya mata mereka
sejajar. "Sitta yang cantik?"
Anak itu mengangguk, jempolnya masih di dalam mulut. Dia mengeluarkannya cukup
lama untuk bertanya: "Kamu bawa kado untukku?"
Yusuf tersenyum simpatik dan melirikku penuh arti. Sederhana sekali. Biarkan
Sitta menjadi Sitta, gadis Inggris.
Yusuf mengelilingi ruangan, mengobrol dengan suara perlahan, menyesap segelas
penuh bir. Kulihat dia berusaha meringankan suasana demi keluarganya, tetapi
pikirannya tersita, tidak benar-benar hadir di sini. Insomnia dan depresi telah
menjadi sahabat setianya selama tujuh tahun belakangan, menggantikan istri dan
anaknya setelah mereka terpisah di kamp pengungsi di Thika, di luar Nairobi.
Ada ribuan orang di kamp itu, menghuni tenda dan mengantre makanan, berbagi
sumur umum. Ada orang Uganda dan Sudan, Eritrea dan Etiopia. Lelaki dipisahkan
dari perempuan dan anak-anak; keluarga terpecah-belah. Teman sekamar Yusuf, tiga
orang Amhara, merasa jijik oleh kehadiran seorang Oromo di antara mereka. Mereka
langsung menimbulkan masalah baginya, melaporkannya kepada pengatur kamp
pengungsian, petugas dari pasukan keamanan Kenya. Mereka berkata bahwa dia bukan
pengungsi sungguhan, melainkan anggota gerakan nasionalis Oromo, penghasut yang
berkomunikasi dengan orang Oromo lain di kamp itu, untuk merencanakan serangan
terhadap Dergue, pemerintah Mengistu, dari beberapa pangkalan di Kenya.
Yusuf lantas ditangkap oleh polisi Kenya, diserahkan kepada agen Mengistu, dan
dibawa ke Addis dengan helikopter, lalu dipenjarakan dan disiksa selama
bertahun-tahun. Dia tidak tahu bahwa istrinya sedang mengandung Sitta ketika dia
diciduk. Karena istrinya saat itu memang belum hamil. Ini rahasia yang disimpan
Amina dari suaminya, dan hanya baru-baru ini dipercayakan kepadaku.
Setelah Yusuf dibawa, mereka mulai menginterogasi semua orang Oromo di kamp.
Amina, sebagai istri seseorang yang diduga penghasut Oromo, segera dicurigai.
Bagaimana dia bisa meyakinkan mereka bahwa dia tidak bersalah" Satu-satunya cara
melindungi putranya adalah tunduk pada tuntutan mereka. Dia berbaring, membuka
kakinya lebar-lebar, dan membiarkan petugas pertama melahap tubuhnya. Petugas
kedua, menepiskannya sebagai pelacur karena dia tidak pernah menjalani
infibulasi, dan memerkosa lewat duburnya.
Amina terkoyak, dia hamil, dan dia pun dibebaskan. Lelaki berseragam polisi jauh
lebih menakutkan baginya daripada neo-Nazi mabuk yang membenci negro dan senang
mengganggu. Si petugas pertama memasukkan Amina dan putranya ke dalam kendaraannya dan
mengantarkan mereka ke bandara, di mana dia mencampakkan mereka ke tanah. "Coba
saja lihat apakah farenji mau berurusan dengan pelacur Galla," dia meludah
sebelum meluncur pergi. Amina menggendong putranya dan berlari dari awan debu. Dia cukup lancang mencuri
dompet si petugas, penuh berisi dolar Amerika dan birr Etiopia yang dirampas
petugas itu dari para pengungsi di kamp-mencuri tabungan mereka dan
menghancurkan semua sarana yang memungkinkan mereka melarikan diri. Semua isi
dompet itu cukup untuk membeli makanan dan tempat tinggal untuk Amina dan Ahmed
selama beberapa bulan, sampai dia mendapatkan surat-surat palsu yang
dibutuhkannya untuk bisa naik pesawat.
"Petugas itu pasti takut bahwa aku, Galla kotor ini, akan melahirkan orang yang
mirip dengannya," katanya kala itu kepadaku. "Tapi itu akhir Afrika bagiku,
bagaimanapun juga," katanya sambil mengusapkan tangan di meja Formica, seolaholah untuk memupus masa lalu. "Aku lebih suka mati dan pergi ke neraka, daripada
tinggal di sana." Lalu Sitta lahir, pipinya bertahi lalat yang berbentuk mirip benua. Dan
kenyataan bahwa Amina memilih melihat tanda itu sebagai Afrika.
"Lama-kelamaan akan lebih mudah. Benar, sedikit demi sedikit" hanya itu yang
terpikir olehku untuk diucapkan kepada Yusuf, sambil berjalan ke dapur, meskipun
aku bertanya-tanya begitu perkataan itu terucap, apakah lebih baik baginya jika
aku tak berkata apa-apa. Aku bahkan tak yakin aku meyakini perkataan itu. Lebih
tepatnya, lama-kelamaan prioritas hidup akhirnya bergeser.
Ketika perayaan sudah usai dan anak-anak pergi tidur dengan enggan, aku dan
Amina mencuci piring, sementara Yusuf bersila di lantai sambil membuka kitab
suci di depannya, air mata berderai menuruni wajahnya. Aku dan Amina pura-pura
tak memerhatikan, tetapi terenyuh hati ini rasanya menyaksikan runtuhnya
bendungan di sungai yang dibangun seorang lelaki. Salah satu kekejaman yang
ditanggung Yusuf di penjara adalah tak adanya akses ke Al-Quran. Satu-satunya
hal yang diinginkannya adalah membaca Al-Quran. Dia tampak khusyuk-sama persis
seperti saat diwahyukan kepada Nabi Muhammad, ketika dia duduk di dalam gua dan
menerima firman Allah melalui Malaikat Jibril, lebih dari 1.300 tahun yang lalu.
Mengaji di tengah-tengah keluarga menandakan kau sudah pulang.
* Kedatangan Yusuf, tidak serta-merta mengubah keberlangsungan kehidupan seharihari kami. Setelah pesta penyambutan selesai, bukti perayaan pun segera dicuci
dan dirapikan. "Aku akan baik-baik saja," kata Yusuf ketika aku melongokkan kepala dalam
perjalanan ke rumah sakit. Amina telah meninggalkan sepanci besar sup di kompor
untuk suaminya, dan bau bawang putih dan kohlrabi memenuhi flat. Aku menawari
Yusuf tumpukan surat kabar hari ini, yang diterimanya dengan sopan. Sebagai
seseorang yang baru datang, seharusnya kondisi Yusuf yang tak berselera makan,
tak berminat pada berita atau tak mampu berkonsentrasi harus kami sadari dan
pahami, tetapi kami terlalu bersemangat dengan menawarinya hal-hal yang biasa
diberikan kepada penderita flu.
Hingga derajat tertentu, kami merasa tak berdaya, tetapi pada derajat lebih
tinggi, mungkin, kami lupa, atau kami ingin lupa. Aku ingat, dulu aku merasa
seperti seorang Galla ketika pertama kali tiba di sini, tidak mengetahui
kebiasaan tempat ini; seperti seorang Falasha: seorang terasing, tak bernegara,
menapaki tanah asing, berjingkat-jingkat agar tak meninggalkan jejak. Rasanya
seperti hantu, bukan perasaan yang ingin kualami lagi. Memenuhi tuntutan seharihari kehidupan Inggris, kami menampik kehampaan yang kini dihuni Yusuf. Tempat
yang begitu dekat, sehingga terlihat melalui tabir perban yang tipis: lubang
yang berbau lumpur, mentega basi, dan rasa logam pahit darah tertumpah.
Sebaliknya, rumah sakit terasa menyilaukan, serangan murni terhadap indra,
sentakan kasar. Robin tampak menonjol bagiku dalam dunia bercat putih dan berbau
obat ini. Dua orang peneliti California telah mengisolasi galur hepatitis baru
yang mereka sebut C. Robin berjuang agar terdengar di antara kelompok lelaki
berambut putih yang menguasai perhatian kedua orang Amerika itu. Robin memiliki
pertanyaan sungguhan, yang, tidak seperti pertanyaan para lelaki beruban itu,
tidak berkaitan dengan paten.
Namun, dia tampaknya tidak berkecil hati; semangatnya bagai anjing golden
retriever, dia melambaikan tangannya dengan semangat seperti menggoyangkan ekor.
"Robin, aku perlu pulang," kataku, bergerak untuk menyelamatkannya.
"Oh. Ya, ya, tentu saja." Dia menoleh kepadaku, memisahkan diri dari kerumunan
di sekeliling orang Amerika itu.
Kami berdua terkejut melihat kemiripan antara virus baru ini dan HIV-cara
penularannya, populasi yang dijangkitinya-meskipun menurut kedua peneliti ini,
hepatitis C disebabkan oleh jenis virus yang berbeda sama sekali, berasal dari
keluarga yang sama dengan penyebab demam berdarah dan demam kuning, penyakit
tropis yang terutama ditemukan di Afrika. Aku sudah dapat melihat implikasinya.
"Tahu nggak, Robin?" Aku menoleh kepadanya sementara dia mengemudi. "Aku tak
ingin menyebutkan siapa, tetapi aku pernah lihat beberapa perawat yang paling
cerdas di rumah sakit menghindari orang Afrika yang mereka rawat. Mereka
melakukannya dengan halus; mereka hanya mengatur jadwal jaga supaya perawat yang
lebih junior yang harus merawat pasien Afrika."
Dia membuat hatiku mencelus dengan tiba-tiba menepi di jalan dan menghentikan
mobil. Dia mengangguk-angguk, tenggelam dalam pikirannya.
"Aku begitu terbiasa dengan hal semacam ini, sehingga sudah tidak memerhatikan
lagi," dia akhirnya berkata.
"Mengesalkan, ya?" kataku.
"Salah satunya. Eh, kamu mau membicarakan hal ini sambil makan malam?"
"Malam ini?" tanyaku kaget.
"Sebentar sajalah?"
"Aku benar-benar harus pulang."
"Mungkin lain kali," katanya, lebih sopan daripada yang pantas kuterima. Dia
mengulurkan tangan dan meremas tanganku sebelum memasukkan gigi mobil.
Liftnya rusak lagi. Aku lalu mendaki sebelas tingkat tangga beton yang temaram.
Lorong ini kadang berbahaya, tempat transaksi narkoba yang sebagian besar
dilakukan antara lelaki, Jantungku serasa hampir melompat keluar dari mulut saat
aku memasukkan kunciku ke pintu flat Amina. Ada jejak terigu dari sofa ke dapur.
Sitta sedang berdiri dengan lengan baju tersingsing, terigu tampak mengotori
rambutnya, penggilas dikepit, sementara Mrs. Jahangir memberinya petunjuk
tentang menggilas adonan roti chapatti di meja dapur yang retak.
Mrs. Jahangir mampir untuk menjaga anak-anak. Amina sedang kuliah malam ini, dan


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesehatan Yusuf belum juga kembali pulih. Proses pemulihan Yusuf dari traumanya
ternyata berjalan lambat, seperti es yang menyusut ke tengah-tengah dari tepi
danau beku. Setelah rasa lega semula di saat reuni, dia menjadi lembam. Dia
bersembunyi dalam gelap, lampu padam, jauh dari jendela, saat istri dan anakanaknya di luar rumah. Dia mengembalikan koran kepadaku tanpa dibaca.
Amina nyaris mengharapkan Yusuf marah-marah, meskipun, seperti yang berkali-kali
kami lihat di kalangan lelaki yang dikebiri oleh ketakberdayaan dan
ketergantungan mereka, amarah itu biasanya diarahkan kepada perempuan.
"Setidaknya dia tak akan lagi merasa tak berdaya," ratap Amina.
Uang menjadi masalah, meskipun Amina tidak meributkannya. Dulu Yusuf memegang
jabatan senior sebagai dosen pertanian di Universitas Ale-maya, di luar Harar.
Dia meneliti penyesuaian metode pertanian Amerika dengan budi daya teff dan
mengajar ekonomi pertanian. Sulit membayangkan tempat bagi Yusuf di dunia beton
yang padat ini, di mana satu-satunya warna hijau adalah warna lumut yang
menempel pada batu bata yang lembap, dan rumput liar yang dengan keras kepala
menembus trotoar retak. Aku menghadiahi Yusuf satu pot geranium, tetapi justru
Amina-lah yang menyiraminya.
Malam ini dia berdiri di pintu dapur dan mengamati, sementara aku menyisir
terigu dari rambut Sitta. Wajah Yusuf melunak. Kerut di antara alisnya sedang
menipis. Bahkan codet di pipinya tidak terlalu mencolok lagi.
"Kamu menikmati ceramah tadi?" tanyanya. Ini inisiatif sungguhan pertamanya
untuk membuka percakapan.
"Ya. Maksudku, menikmati mungkin kurang tepat. Yang jelas, informatif. Di mana
Ahmed?" "Di tempat tidur. Mengaji. Tadi kami mengaji bersama." Satu lagi pertanda baik.
Keesokan paginya, pagi kelima puluh lima di London, Yusuf ditinggalkan sendirian
lagi. Sekakmat ^(jjsuf pasti tahu di lubuk hatinya bahwa dia bukan ayah Sitta, karena ketika
Tariq dilahirkan, barulah es padat di pusat dirinya itu mulai meleleh. Aku
menyelipkan uang untuknya supaya dia tidak perlu meminta. Dia lalu memberikannya
kepada salah seorang lelaki Oromo di lorong, memintanya membelikan televisi
hitam-putih bekas ukuran kecil, yang akan dihadiahkannya kepada istrinya untuk
menghiburnya sepanjang empat puluh hari ulma yang membosankan di rumah.
Namun, kali ini Amina mulai terserang kebosanan. "Bagaimana bisa?" serunya. "Ini
benar-benar tidak realistis. Aku harus bekerja!" Dia menatap Yusuf dan aku
seolah-olah kami ini sepasang orang tolol.
Bukan hanya kepraktisan yang memengaruhi keputusannya. Dia mengejek usulku
mengubur plasenta di Kennington Park. "Itu hanya takhayul konyol," katanya.
"Tidak perlu dikubur."
Entah kapan dalam masa tujuh tahun ini, kebutuhan menjadi takhayul, tradisi
menjadi sukarela, lalu ritual semakin merosot sebagai topik yang memalukan.
"Tapi setidaknya kita harus memastikan bahwa anak itu diberkahi," kata Yusuf
kepadaku, setelah olok-olok istrinya. Dia meminta tolong kepadaku, tahu entah
bagaimana bahwa sebagian diriku masih tinggal di dunia lama, tak mau
melepaskannya, sementara Amina "bergerak seiring zaman."
Amina akhirnya kembali bekerja, menitipkan putranya yang berusia empat belas
hari beserta persediaan ASI di toko keluarga Jahangir. Mrs. J dengan murah hati
bersedia menjaga Tariq siang hari, karena dia juga menjaga dua cucu terkecilnya.
Aku atau Amina menjemput si bayi dalam perjalanan pulang; napas bayi itu berbau
susu, aroma bumbu garam masala menguar dari rambutnya yang hitam dan tebal.
Pada hari keempat puluh kelahiran Tariq, Yusuf menemuiku di toko. Ini termasuk
beberapa kali pertama dia meninggalkan flat, jelas pertama kalinya dia keluar
sendirian. Dia sudah mencukur janggut untuk kesempatan ini, memperlihatkan lebih
banyak codet. Dia datang membawa ayam beku berbungkus plastik, yang
diserahkannya dengan mengangkat bahu tanpa daya. Inilah yang dibawanya sebagai
persembahan bagi Mrs. Jahangir, yang menerima burung beku itu, dan meletakkan
Tariq dalam pelukan lelaki itu.
Aku berjalan melintasi toko, menyusuri lorong sempit, dan memasuki kantor
asosiasi komunitas di belakang. Yusuf mengikuti dan memandangi ruangan penuh
sesak itu, dengan rak buku yang penuh dengan binder hitam dan map manila. Dia
meraba bendera poliester berwarna merah, kuning, dan hijau, yang dibeli seorang
perempuan Jamaika di pasar seharga $3.50.
Aku melambaikan tangan. "Di sinilah semuanya terjadi." Di sinilah reuni
dimudahkan, hati diremukkan, harapan dipulihkan. "Di situ persisnya Amina duduk
pada hari dia akhirnya melihat namamu," kataku sambil menunjuk kursi Jingga.
Yusuf menatap kursi itu seolah-olah benda itu bertanggung jawab. "Aku cemas dia
kecewa padaku," katanya lirih.
"Yusuf" Dia menunggu bertahun-tahun untuk melihat namamu. Hanya itu yang
diinginkannya." "Seperti kamu, menunggu."
"Insya Allah." Mrs. Jahangir menyusul kami, memasuki pintu dan membawa sepiring timah penuh
arang dengan sarung tangan oven, berjalan melewati kami, membuka gerendel pintu
belakang dan menuangkan arang ke pot bunga. Yusuf menuruni beberapa anak tangga
sambil menggendong Tariq, dan aku mengeluarkan dupa dari kantongku lalu
melemparkannya ke dalam arang. Yusuf menyerahkan Tariq kepadaku dan berlutut di
tanah. Dia menaikkan telapak tangan dan membisikkan doa tanpa suara ke asap
wangi itu. Aku membuai Tariq, sementara jemarinya menggerapai udara di atas
kepalanya dan ayahnya meminta sang wali untuk memastikan putranya dilindungi
saat mengarungi beberapa tahun pertama yang rapuh itu-di Etiopia, dalam masamasa awal itu, agaknya satu di antara dua bayi meninggal.
Mrs. Jahangir sudah mempersiapkan teh manis rasa kepulaga. Kami duduk di peti
terbalik di samping kulkas di belakang toko dan dia menawari kami biskuit
Inggris dari kaleng. Terdengar ratapan getir ketika salah satu cucunya menggigit
keras-keras ke lengan cucu satunya. Dia bergerak cepat untuk menutup mulut si
nakal, lalu menghibur si korban, sementara bel kasir di depan toko berbunyi.
Yusuf memerhatikan papan catur yang bertengger di atas peti tomat kalengan, lalu
dia berdiri dengan penuh minat. Dia mempelajari susunan buah catur itu yang
warnanya tampak mencolok.
"Siapa yang bermain?" tanyanya kepada Mrs. Jahangir.
"Suamiku lawan suamiku," kata perempuan itu, tertawa sambil sedikit memutar
mata. "Permainannya sangat tak seimbang."
"Mr. Jahangir!" seruku. Mr. J mendekat dengan celemek Tower of London-nya,
membawa laci uang. "Mungkin Yusuf mau bermain."
Mr. Jahangir lekas meletakkan laci itu di pangkuan istrinya. "Hitung ini,"
perintahnya sambil melepaskan ikatan tali celemeknya. "Jago bermain catur?"
tanyanya kepada Yusuf dengan sangat serius, matanya melotot.
Mrs. J mencubit sikuku, geli melihat betapa seriusnya suaminya menganggap hal
ini. Tak ada lagi yang mau bermain dengannya. Kata Mr. Jahangir, itu karena
lawan-lawannya takut, tetapi aku sudah pernah dengar, lebih dari satu orang
berkata bahwa dia argumentatif dan suka memanipulasi peraturan untuk
menguntungkan dirinya. "Yah, aku ..."
"Mungkin kamu mengenali papan ini?" kata Mr. Jahangir. "Dari partai kedelapan
dalam pertandingan besar antara Fischer dan Spassky."
"Aku punya teman main catur di penjara," kata Yusuf perlahan. "Meskipun baru
berbulan-bulan kemudian aku tahu siapa dia."
Seketika kami terdiam. Itulah pertama kalinya Yusuf mengatakan apa pun tentang
pengalamannya di penjara.
"Kami diberi waktu lima belas menit di udara terbuka setiap hari," katanya,
menatap kosong ke depan. "Mereka membebaskan kami bergiliran ke halaman persegi
yang hanya berisi tanah dan batu. Suatu hari aku menemukan pola batu yang
berbeda-beda ukuran di tanah, dan aku mengenalinya sebagai permainan catur.
Bagiku, itu luar biasa. Dan aku melihat langkah berikutnya begitu jelas; aku tak
bisa menahan diri. Aku menggerakkan batu itu. Dan besoknya" Ada yang
menggerakkan batu di pihak lawan. Hari demi hari, satu demi satu batu, aku dan
teman bisuku memainkan permainan ini."
Mr. Jahangir mengakui bahwa dia tak bisa menyelesaikan permainan itu dari sini,
bahwa dia macet dengan papan ini berbulan-bulan. Dia bahkan bersedia menyerahkan
pihak yang nantinya akan menang. "Kamu jadi Amerika," katanya. "Aku jadi
Soviet." Yusuf menatap papan dan mempertimbangkan pilihannya.
Aku memikirkan Yusuf di tempat kerja.
"Siapa teman mainmu itu?" tanyaku kepadanya kemudian.
"Pada hari aku memenangi pertandingan itu, kutemukan pintu selku tak terkunci.
Ternyata sang mayor. Aku tahu karena dia memalingkan kepala, seolah-olah agar
tidak melihat aku lewat."
Yusuf terus menceritakan anekdot-anekdot kecil tentang penjara. Dia merenungkan
makna segala sesuatu. Makna di bawah permukaan, seperti penempuh jalan mistik
yang mencari kebenaran di balik kata-kata.
"Hanya itu yang kumiliki jika tubuh sudah dihancurkan," katanya kepadaku sambil
mengetuk pelipisnya. Kaum sufi menolak tubuh mereka; korban penyiksaan melepaskan diri dari tubuh
mereka; keduanya mencari transendensi dengan cara masing-masing.
"Kamu melamun, ya," kata Robin sambil duduk di depanku di kantin.
"Cuma berpikir saja."
Dia tampak ingin mendapat lebih; aku memberanikan diri mencoba menawarkannya.
"Kita sering melihat orang yang menderita penyakit psikosomatik, tetapi ada juga
orang yang pernah mengalami trauma fisik yang paling ekstrem, tetapi entah
bagaimana berhasil menanggung rasa sakitnya. Lebih dari itu, mereka tetap
memiliki optimisme mendasar yang sepertinya tak bisa dimiliki jenis orang
psikosomatik." "Hebat sekali pikiranmu sebelum makan siang."
Aku tertawa. "Maaf. Kamu yang tanya."
"Aku sepakat, ini menarik," katanya sambil menyendok gula ke kopinya, dengan
jumlah yang mencemaskan. "Tak ada perbedaan fisiologis dalam apa yang kita
rasakan. Ambang nyeri orang tampaknya dipengaruhi oleh banyak hal. Budaya,
kepribadian, pengalaman masa kecil ..."
"Kamu tak pernah cerita, bagaimana kau tertarik pada kedokteran," pintaku.
"Aku?" tanyanya sambil mengangkat alis dan menyingkirkan cangkir kopinya. "Aku
sebenarnya tidak diberi banyak pilihan. Kurasa aku sudah tahu, aku akan menjadi
dokter pada usia sepuluh. Begitu banyak orang yang memberi tahuku bahwa aku akan
menjadi dokter, dan kuliah di Inggris-Cam-bridge, tentu saja, sehingga kukira
aku mulai meyakini bahwa aku telah ditakdirkan begitu."
Dipetakan begitu jelas. Begitu pasti. Garis yang begitu lurus. Mengetahui dengan
persis bagaimana hidupmu akan bergulir. Bagaimana orang seperti dia dan orang
seperti aku terdampar di tempat yang sama"
"Kamu?" tanya Robin.
"Yah, sampai aku datang ke Inggris dan kuliah keperawatan, sebenarnya pendidikan
dasarku adalah agama: Al-Quran, Hadis." Aku tak begitu yakin bagaimana harus
menjawab. "Aku sudah cukup banyak membaca buku Barat. Ada seorang lelaki,
mulanya orang Inggris, tetapi dia masuk Islam, teman orangtuaku di Maroko-tempat
aku dibesarkan. Ceritanya agak panjang. Lelaki ini, Muhammed Bruce, menjadi
semacam waliku karena orangtuaku meninggal tanpa aku tahu apa sebabnya."
"Aku turut bersedih," kata Robin sambil meraih tanganku.
"Tak masalah." Aku menggeleng sambil menarik tanganku. "Yang kutahu persis,
Muhammed Bruce orangnya agak aneh dan sangat pongah. Dia mengaku dirinya cicit
keponakan seorang penjelajah terkenal, Sir Richard Burton ..."
"Yang menulis Arabian Nights?"
"Persis." "Sayangnya kami hanya mengenal kisah itu dalam versi tak asli dan diilustrasi
untuk anak-anak, dibacakan menjelang tidur di antara buku-buku Enid Blyton. Tapi
itu menarik. Karya turunan Burton."
"Menurut pengakuannya. Dia mengaku mengetahui banyak hal, tetapi yang pasti dia
cukup tulus, menyayangiku, dan aku sangat menyukainya. Dia menjengukku sebulan
sekali, membawa setumpuk buku dan menjatuhkannya dalam pelukanku. Dia sangat
menekankan bahwa penguasaan ilmu dalam berbagai bidang adalah tujuan pendidikan
Inggris,1 dia sering berkata."
Aku mendengar makna di baliknya. Bertolak belakang dengan pendidikan agak
eksklusif yang kamu dapatkan di zawiyah ini, yang di dalamnya Al-Quran adalah satu-satunya
buku, bahasa Arab satu-satunya bahasa, Allah satu-satunya topik, berserah diri
satu-satunya sikap. "Kedengarannya tidak asing," kata Robin.
* Aku melewati Rumah Sakit Lambeth tua dalam perjalanan pulang, seperti biasanya
setiap hari. Aku berhenti dan mengeluarkan rokok dari tasku. Di sinilah Sitta
Dendam Tokoh Buangan 1 Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan Lembah Tiga Malaikat 15

Cari Blog Ini