Ceritasilat Novel Online

Lily Pencarian Cinta 4

Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb Bagian 4


dilahirkan, tepat di trotoar ini, enam setengah tahun yang lalu. Meskipun gedung
ini tampak sama saja, Tariq dilahirkan ke dunia yang jauh berbeda. Arah
pemikiran ibunya telah bergeser dari timur ke barat di antara kelahiran kedua
anak terkecilnya. Namun, meskipun Amina condong ke barat, buku-buku yang kusebutkan kepada Robin,
titik acuan yang diperkenalkan Muhammed Bruce kepadaku pasti asing bagi Amina.
Buku itu tidak termasuk kosakata yang kami ketahui bersama. Aku ingat membaca
Charles Dickens dan Jane Austen, puisi Rumi, versi ilustrasi Alice's Adventures
in Wonderland, dan tentu saja The Arabian Nights (versi orisinal, yang cukup
brutal dan mesum), buku harian Anne Frank (aku ingin mengenalnya; aku merasa dia
mengenalku), Robinson Crusoe, Gulliver's Travels dan sebagian besar karya Jules
Verne. Pilihan Muhammed Bruce lebih diperhitungkan daripada yang pernah kusadari. Dia
melengkapi pendidikan Islamku dengan dosis realitas-realitas yang lain. Dia
pasti sudah membayangkan bahwa kelak aku harus melangkah di dunia yang lebih
luas; buku yang dihadiahkannya menyajikan pelajaran tentang perang dan moralitas
dan penyakit, cinta dan pengkhianatan dan, mungkin yang terpenting, bertahan
hidup. Di bawah laut, di pusat bumi, di planet lain, sendirian di pulau
terpencil, sebagai orang yang diburu, dalam perang, sebagai raksasa di antara
orang liliput, di masa depan, di dunia yang jungkir balik, dunia di balik
cermin, dunia yang sudah gila.
Dunia seperti yang kami huni. Dunia seperti yang telah kami tinggalkan.
Sementara itu, Yusuf menggambarkan Etiopia sebagai padang api: kobar yang
meninggalkan jejak mayat gosong dan bumi hangus. Perang saudara dengan Eritrea
terus memburuk; orang Tigrinya melancarkan perang gerilya di utara; orang Somali
menyerang daerah Ogaden lagi; dan orang Oromo terus memperjuangkan kemerdekaan
melalui gerakan bawah tanah. Pemberontakan setempat sering kali berkobar
sehingga memaksa dibuat pos-pos militer yang membentuk cincin di sekeliling
setiap kota. Pasukan Dergue memerlukan semua lelaki yang bisa dikumpulkan untuk berperang.
Wajib militer dimulai pada awal 1980-an. Tak lama kemudian mereka menutup semua
universitas, memaksa mahasiswa mengikuti wajib militer. Kami mendengar kabar
burung sekarang bahwa pasukan itu menggunakan bantuan makanan sebagai insentif,
menyogok dan menculik anak sekolah, memaksa bocah sembilan tahun untuk
mengangkat senjata. Bayangkan, Ahmed bersenjata dan terlibat dalam hal yang berbahaya, memimpin unit
komando pada usianya. Bayangkan pula jika Fathi dan Anwar dipaksa mengorbankan
masa remaja mereka demi perang.
"Aku sedang membaca kotamu," kata Robin dengan bangga. Di saku jaket putihnya
ada buku First Footsteps in East Africa karya Burton.
Melihat buku itu, rasa kepemilikanku atas kota itu mulai timbul. "Tahu tidak,
orang Harari merasa penggambaran Burton akan diri mereka sangat menghina," aku
memberi tahu. "Mmm, buku ini terlalu romantis dan merendahkan," dia sepakat. "Ini
mengingatkanku pada sastra kolonial tentang India. Sebaiknya aku me-minjamimu
buku yang dia tulis tentang orang Sindhi."
Aku baru saja menghina Robin. Aku tak perlu menempatkan buku itu untuknya; ini
sejarah yang sangat dia kenal.
"Jadi apakah orangtua walimu juga pengelana?"
"Tidak juga, setidaknya sewaktu aku mengenalnya. Dia sudah berpuluh tahun
tinggal di Maroko. Tangier, lalu Marakesh. Sepertinya dia banyak mengembara
semasa mudanya. Dia bahkan membual bahwa dia pernah bermain polo dengan kaisar
Etiopia. Aku dulu bertanya-tanya, bagaimana mahkota sang raja bisa tetap di
kepalanya saat dia mengayun-ayunkan tongkat pemukulnya."
Robin tertawa. Dan aku memikirkan betapa besarnya keadaan berubah. Pada 1969,
Raja Hassan II mulai menggembungkan pasukan Maroko untuk mengusir sisa penjajah
dari negara itu. Spanyol baru saja mengembalikan kota pesisir Sidi Ifni, tetapi
orang Spanyol tetap menancapkan kuku di Provinsi Sahara Barat. Ini akan menjadi
pertempuran terakhir. Saat itu bahkan Muhammed Bruce pun sudah merasa putus asa. Dia sudah tinggal di
Maroko lebih dari tiga puluh tahun. Dia telah menyaksikan negara itu merdeka
dari Prancis. Dia kenal banyak orang asing yang dibunuh di kota pada tahun-tahun
itu, termasuk orangtuaku. Tetapi, dia tetap di Maroko meskipun berbagai kejadian
mengerikan telah terjadi.
"Semestinya waktu itulah kesempatan terbaik untuk keluar dari Maroko" waktu itu
dia berkata dengan wajah sedih.
Rasanya seperti pengkhianatan, tetapi sebenarnya itu hanya tanda berkabung
Muhammed Bruce untuk berlalunya sebuah era. Era ketika bangsa Eropa menjelajahi
bumi demi mengejar petualangan, tidak memerhatikan kehidupan dan hukum bangsa
yang menghuni negara-negara yang mereka jarah seperti buah ceri. Meludahkan
bijinya. Seperti orangtuaku. Mereka menginjak dunia seperti para Burton pada
masanya, tetapi lebih buruk lagi, karena mereka tidak berpikir bahwa sepatu
mereka meninggalkan jejak.
"Kamu tahu nasib dia selanjutnya?" tanya Robin.
"Samar-samar." Beberapa tahun yang lalu aku membaca sebuah obituari. Ternyata
dia sudah kembali di Inggris, didiagnosis mengidap Alzheimer, dan meninggal
akibat stroke di rumah sakit swasta di Guilford sebagai Bruce MacDonald. Aku
tidak menyimpan surat kabar itu. Aku lebih suka mengenangnya sebagai seseorang
yang kubenci namun tetap kucintai: Muhammed Bruce Mahmoud, dengan segala
kenangannya di Afrika Utara, dikelilingi buku dan anak lelaki dan burung
"Kamu masih terus terngiang olehnya?" tanya Robin terlalu banyak pertanyaan.
28 Oekarang Yusuf mengasuh Tariq seharian di rumah, dan dia mulai merindukan
percakapan dewasa pada sore hari. Sebetulnya, dia lebih suka ditemani olehku
karena aku tidak banyak bertanya. Sejak dia bermain catur dengan Mr. J seminggu
sekali, Amina mulai merecokinya dengan seringnya bertanya tentang apa
kegiatannya seharian, kapan dia mungkin siap mulai mencari kerja, apakah mau
didaftarkan kuliah atau kursus.
Aku dan Yusuf kini punya kebiasaan menonton televisi bersama dan aku
mengajarinya memasak. Mulanya dia menolak: aku harus bersusah payah meyakinkan
dirinya bahwa ini bukan serangan terhadap kejantanannya. Sudah berat baginya
bahwa istrinyalah yang mencari nafkah. Lebih berat lagi dia harus menjalani
ritual perempuan dengan membawa bayi itu ke makam keramat, dan sekarang dia
mengasuh Tariq di rumah karena Mrs. Jahangir telah kerepotan dengan satu cucu
tambahan lagi. Di Etiopia lelaki tak pernah berada di dapur. Dan
Kaki Palsu bahkan di kalangan miskin, ini pekerjaan pembantu. Di Etiopia selalu ada orang
yang lebih miskin darimu. Bahkan Nouria akhirnya mampu mendapatkan pembantu.
Aku menceritakan bahwa temanku Robin senang memasak, padahal dia dokter. Robin
bercerita bahwa dia senang menggiling bumbu sendiri dan mempraktikkan resep
ibunya. Dia senang merambah toko buku bekas dan menonton kriket pada hari libur.
Itu membuatku menyadari bahwa aku tak punya hobi sama sekali.
Sembari mendengar ocehanku, Yusuf mengangkat tutup panci dan menatap bagian
dalamnya. "Lilly, gosong. Nasiku gosong lagi," katanya sambil menggeleng kecewa.
Aku mengintip ke dalam panci. "Tidak semuanya rusak. Kita bisa menyelamatkan
bagian atasnya." Aku mengerik nasi itu ke dalam mangkuk. "Tolong ambilkan tempat
sampah," kataku. "Jangan dibuang ke sana," kata Yusuf. "Amina pasti marah kalau dia lihat ada
yang mubazir." "Baiklah. Masukkan ke kantong lain, biar kubawa ke flatku."
"Terima kasih, Lilly."
"Robin bertanya soal orangtua waliku hari ini," kataku. Yusuf sekarang sudah
mendengar sebagian besar cerita hidupku.
"Itu pertanda baik atau buruk?" tanyanya sambil menusuk-nusuk nasi yang tersisa
di panci. "Agak berlebihan, barangkali." "Terlalu pribadi?"
"Mmm ... iya." "Aku juga memerhatikan bahwa farenji suka begitu. Kita memberi mereka sepotong
informasi, lalu mereka punya sepuluh pertanyaan. Dan mereka tidak menganggap ini
tidak sopan sama sekali."
"Iya. Aku masih belum terbiasa. Tapi dalam kasus Robin, sikapnya bukan hanya
terlalu ingin tahu, tetapi juga agak tidak pas. Seolah-olah dia mengajukan
pertanyaan yang salah."
"Memangnya pertanyaan yang benar itu seperti apa?" tanya Yusuf.
"Aku tak tahu juga."
"Ahh. Dasar perempuan Harari," goda Yusuf, senyum langka menghias wajahnya.
"Kalian ingin si lelaki yang membaca pikiranmu."
Sayangnya, pertama kali Yusuf menemani kami ke kantor asosiasi komunitas, kami
harus menghadapi seorang lelaki yang murka karena istrinya telah meminta seorang
teman untuk membantu menyunat putri mereka. Dia ingin si teman perempuan itu
digantung. "Dia memangsa kaum perempuan kita!" teriaknya. "Dia merusak pikiran
mereka dan mencuri uang kita!"
Aku dan Amina meyakinkan dia bahwa kami akan mencarikan perawat kesehatan
masyarakat untuk mengadakan seminar tentang praktik-praktik budaya yang
berbahaya, tetapi kami menyadari bahwa seminar itu tak akan dihadiri banyak
orang. Yusuf tetap diam di pojok, jengah mendengar lelaki membicarakan urusan perempuan
begitu terang-terangan. Lalu seorang perempuan yang kami juluki Ratu Angkasa muncul. Dia dulu bekerja di
Ethiopian Airlines dan dia memperlakukan kami seolah-olah kami ini pelayannya.
Kami berdua sama-sama tak tahan menghadapinya. Amina, karena mungkin ingin
membuat Yusuf terkesan, hari itu kehilangan kesabaran dengan perempuan itu. Dia
memaki perempuan itu dan menyuruhnya berhenti menyia-nyiakan waktu kami dengan
tuntutan yang konyol dan egois tentang "penyelidikan" dan "pengusutan".
"Neraka Jahanam!" seru Amina, membuatku terheran-heran. "Kami menangani krisis
di sini! Kami bukan regu penyelidik pribadimu!"
Sejak itu, Yusuf tak mau lagi menemani kami, meskipun kami berusaha meyakinkan
bahwa tidak setiap minggu sedramatis atau segaduh itu. Dia melewatkan setiap
Sabtu pagi dengan teman-teman barunya, kenalan orang Oromo di masjid, yang
dikunjunginya untuk minum kopi atau main catur di kafe Etiopia kecil yang baru
dibuka di Brixton. Sekarang Tariq ikut kami ke kantor, seperti Sitta dulu. Dia duduk gelisah di
seperangkat kursi kecil yang kami buatkan khusus untuknya; dia menggeliat-geliut
seperti lembar bacon di penggorengan. Aku lalu mengangkatnya, mencoba
mengalihkan perhatiannya dari ketaknyamanan tubuhnya, ketika pintu terbuka.
"Mudah-mudahan kamu tak keberatan aku mampir seperti ini." Robin ragu di pintu.
Dia memegang kotak kardus yang diikat pita merah jambu.
"Tidak, masuklah," kataku, segera pulih. Aku memperkenalkan dia kepada Amina.
Robin menawarinya kotak kardus itu-baklava, dari toko kue Lebanon. Amina
terpesona dan menyodorkan kursi Jingga kepada Robin dan menawarkan kopi. Amina
kemudian permisi sebentar untuk mengisi ceret dari keran berdecit di lorong.
Kunjungan Robin tampaknya tanpa alasan khusus. Dia duduk bersama kami dan
menyeruput kopi Etiopia dari cangkir porselen kecil. Saat memegang cangkir itu,
dia seperti sedang memakai pelindung jari tangan seorang petinju. Dia lantas
memuji Amina karena kopinya enak dan dia senang melihat tempat kami bekerja.
Semasa mahasiswa, dia pernah menjadi relawan untuk organisasi yang mengirimkan
kaki dan tangan palsu bekas ke India. Kantor kami mengingatkannya pada kantor
mereka di Cambridge. Tetapi, kamu sendiri tidak kehilangan tangan atau kaki, pikirku, sementara Amina
tersenyum genit kepadanya dan menanyakan bagaimana organisasi itu mendapatkan
dana. "Sumbangan," jawabnya, lalu menanyakan apakah kami memerlukan perlengkapan
kantor. Robin mempunyai seorang kenalan di toko alat tulis yang menawarkan
diskon untuk badan amal. Amina berkata "Asyik sekali" persis ketika aku berkata "Kurasa itu bermanfaat
bagi kami, terima kasih."
Robin melihat kami berdua bergantian, lalu tertawa. "Baiklah, beri tahu saja aku
kalau persediaanmu sudah hampir habis," katanya, lalu mengucapkan selamat
tinggal. "Dia cuma ingin membantu," Amina bersikeras ketika aku menutup pintu setelah dia
keluar. "Tapi urusan kita di sini tidak berkaitan dengan dia," kataku.
"Biarkan dia membantu, Lilly. Lelaki senang kalau merasa dirinya bermanfaat.
Terutama kalau sedang naksir seseorang."
Tanda Kapur M inggu pagi ini tak seperti biasanya cerah, cahaya mentari membanjiri dapur Amina
yang mungil. Amina menuangkan adonan sedikit demi sedikit secara melingkar ke
penggorengan besar sembari mendesakku lagi tentang Robin. Dia yakin, aku
merahasiakan sesuatu darinya.
"Aku tak ingin mengecewakanmu, Amina. Kami menghadiri beberapa ceramah bersama,
itu saja. Benar-benar tak ada cerita lain," kataku kedua kalinya.
Dalam perjalanan pulang dari ceramah terakhir, Robin menanyakan apakah aku bisa
mengemudi. Dia meletakkan tanganku di persneling, menutupinya dengan tangannya
sendiri, dan membimbingku dari gigi satu hingga gigi empat. Susunan itu, pola
itu, menyenangkan bagiku. Aku heran juga mengapa aku tak pernah membayangkan
diriku mengemudi. Ini bukan sekadar biaya mobil.
Amina menghela napas. "Dia lelaki yang baik sekali."
Aku harus sepakat. Senantiasa ceria, tetapi nyaris terlalu bersemangat. "Kamu
sih pasti menyukai lelaki mana pun yang memberimu baklava," godaku.
"Kamu pikir aku ini semacam sharmuta kue?" "Lha, apakah baklava itu kamu bagikan
kepada orang lain" Atau malah kamu membawa pulang kue-kue itu?"
"Lupakan saja," katanya.
"Kamu mau aku membawa anak-anak ke taman?" usulku.
"Paksa juga Yusuf pergi," dia memohon. "Mungkin hari ini dia mau ikut, cuaca
sedang cerah." Taman itu dipenuhi anak-anak yang berseliweran. Perempuan dengan beraneka ragam
jilbab duduk berkelompok-kelompok di bangku, begitu tenggelam dalam percakapan
sehingga mereka tidak memperhatikan anak-anak yang lebih besar mendorong anakanak kecil. Sebagian besar tidak cukup memahami bahasa Inggris, sehingga tidak
tahu bahwa kata-kata kasar seperti poof dan wanker semestinya mereka cemaskan.
"Main yang rukun!" bentakku kepada Ahmed sekali-sekali. "Bantu adikmu mengambil
itu, Ahmed!" Yusuf tak pernah membentak. Dia menatap lurus ke depan, pada pemandangan anakanak yang ingar-bingar dan warna-warni ini, memanjat struktur panjatan,
berputar-putar gila di komidi berkarat, bertengkar memperebutkan sepeda yang
dipakai bersama oleh terlalu banyak anak, dan berakrobat mencari perhatian yang
akhirnya menimbulkan air mata.
Yusuf termasuk satu di antara ayah-ayah yang berjumlah sedikit di taman itu, dan
satu-satunya yang tidak merokok atau duduk bersama lelaki lain. Aku bertanyatanya, apakah dia sudah sejak dulu berbeda dengan orang lain, apakah inilah yang
menjadikannya orang unik. Aku menahan dorongan hati untuk memegang tangannya.
"Kenapa kamu tak pernah main catur lagi dengan Mr. Jahangir?" tanyaku.
"Dia muak." "Astaga. Dia ingin kamu bertukar pihak?"
"Tidak. Dia ingin aku berpura-pura bahwa aku tak melihatnya main curang."
Musik mobil es krim menjalar seperti arus listrik di kerumunan. "Boleh kami
beli, Baba?" Tiba-tiba anak-anak berada di depannya.
"Kalian tidak suka es krim, kan?" kata Yusuf, mengulur waktu. "Es krim itu
dingin, lho." Dia berpura-pura gemetar.
Aku mencondongkan tubuh ke depan, dan uang logam tumpah dari kantongku. Yusuf
tak punya uang. "Kalau kalian bisa menemukan cukup uang di tanah untuk membeli dua es krim,
kalian boleh beli." Mereka segera merangkak, saling menyikut. "Aku duluan yang
lihat itu!" pekik Sitta sambil memegang kepalan Ahmed dengan kedua tangan. Ahmed
menyikutnya. "Aku duluan, dasar Paki!" "Ahmed!" bentakku. Dia mendongak kaget.
"Jangan sekali-kali mengatakan itu lagi. Kepada siapa pun. Mengerti?"
"Maaf," gumamnya, tidak yakin apakah masih boleh melanjutkan kegiatan.
"Sudah ada berapa uangnya?" tanya ayahnya.
Ahmed mulai menghitung uang logam di tangannya.
* Orang tentu menyangka Sitta baru saja mengarungi Gurun Sahara seharian, kalau
melihatnya menyeret kaki dalam perjalanan pulang. Kami mendorongnya melatih
berhitung dalam bahasa Arab, berharap mengalihkan pikirannya. Ahmed ikut
bermain, tetapi Sitta terus merengek di belakang kami. Saat Ahmed mencapai angka
tiga puluh lima, kami mendengar lolongan sirene di kejauhan, datang ke arah
kami. Tubuh Yusuf menegang saat mendengar suara itu; dia menyambar tangan kedua
anaknya dan menyeret mereka ke gang berikutnya. Dia merapatkan tubuh pada
dinding batu bata. Kulihat nadi berdenyut di lehernya.
"Itu ambulans," kataku tenang. Dia memejamkan mata erat-erat dan jakunnya


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menukik saat dia menelan. Sesaat kemudian, sirene itu berlalu.
"Mungkin ada yang kena serangan jantung," kata Ahmed lemah. Dia akan tumbuh
seperti kebanyakan anak di taman bermain hari ini: membaca situasi dan
meledakkan ranjau untuk generasi sebelumnya.
# Keesokan paginya ada pesan yang menantiku di ruang perawat. Aku sering dipanggil
untuk meredakan rasa takut para perempuan yang diinfibulasi yang akan
melahirkan, untuk menjelaskan kepada dokter bahwa bekas luka di punggung
bukanlah hasil penganiayaan, melainkan bukti niat baik perdarahan dengan lintah;
diminta untuk membantu orang yang tak bisa turun ranjang melakukan wudhu sebelum
shalat; bahkan membacakan Al-Quran di saat sakratulmaut. Permintaan seperti itu
tidak aneh. Namun, tempat tidur itu sudah kosong saat aku sampai di sana. Semua bukti
kematian Mr. Tadesse sudah dicuci. Dia meninggal perlahan-lahan tadi malam,
paru-parunya tertusuk oleh tulang iga yang hancur, akibat jatuh sepuluh tingkat
dari gedung di kompleks perumahan. Dia pendatang baru dan tampaknya tak memiliki
keluarga. Orang tak pernah benar-benar menyebutnya "bunuh diri", tetapi kabar itu lebih
sering terdengar daripada yang ingin kami akui. Tak ada yang menggunakan kata
itu karena takut terjangkiti; kami hanya membicarakan kecelakaan dan penyakit
yang tidak menular. Bunuh diri adalah dosa terhadap Allah. Tak ada yang ingin
percaya bahwa keadaan seseorang bisa begitu kehilangan harapan sehingga dia mau
meninggalkan Allah. Jalan di sekeliling kami tentu akan dipenuhi tanda kapur
yang mengelilingi mayat. Aku mengorek informasi dari Amina ketika dia singgah malam itu untuk belajar di
meja dapurku. Dia tahu banyak soal drama di lingkungan ini, baik maupun buruk.
"Mereka menuduh Tadesse seorang perwira Dergue." Mereka adalah tetangga
Etiopianya. "Mereka mengancam akan memberi tahu pihak berwenang bahwa Tadesse
bukan pengungsi yang sah. Tadesse berkata; tolong, jangan, seluruh, keluargaku
telah dibunuh oleh Dergue. Dan mereka berkata, tidak kamulah pembunuh itu."
Perang di antara kami semakin sengit dan tidak terhapus begitu saja, karena di
sini, orang bebas bicara. Mereka dapat mengungkapkan kebencian terhadap Dergue,
tanpa takut mereka akan diseret dari tempat tidur dengan todongan senjata tengah
malam, dipaksa menyaksikan istri mereka diperkosa ramai-ramai, ditembak perutnya
dan ditinggalkan sekarat di jalanan. Di sini mereka bahkan bisa membalas dendam.
# Aku menawari Robin setengah sandwich keju dan acarku. Aku sedang menulis
catatan, dan manakala aku berhenti sebentar, masih memegang pena, Robin
mengetuk-ngetuk buku jariku dengan main-main, seolah-olah mengetuk tuts piano.
Dia membujukku agar tetap tinggal dan minum teh secangkir lagi.
Perhatiannya membuatku tersanjung, meskipun dia terlalu banyak bertanya.
Kegigihannya mengikis dinding luarku, lebih lembut daripada ampelas, tetapi
tidak selembut angin yang mengauskan cat.
"Kamu pernah dihubungi oleh orang yang kamu kenal di Etiopia?" tanyanya.
"Maksudku, melalui pekerjaanmu di asosiasi?"
"Tidak juga," jawabku.
Dia tidak mengeluhkan jawabanku yang menghindar, meskipun begitu dia tetap
bertekad baja, atau mungkin justru karena begitu. Tetapi, aku lebih lambat dari
lambat, seperti glasir, di zaman es.
Dia meneleponku pada malam hari liburku, pertama kalinya dia menghubungiku di
rumah. Saat itu, dia berada di telepon umum, ingin mengobrol denganku. Aku
nyaris tak bisa mendengar suaranya gara-gara kegaduhan lalu lintas. Bukan saat
yang tepat: Amina sedang kuliah malam, Tariq melekat di kakiku, sementara aku
berusaha menyiapkan makan malam, dan Ahmed baru saja berhasil mencopot pintu
lemari dari engselnya dengan bergelantungan di situ. Aku bukan pendisiplin yang
baik, dan Yusuf lebih parah lagi. Di mana, sih, dia"
"Yusuf!" teriakku hingga terdengar ke telinga Robin di ujung telepon. "Maaf,
Robin." "Kusangka kau tinggal sendirian," komentarnya santai.
"Memang. Maksudku, iya dan tidak." Terlalu sulit menjelaskan bahwa aku dan Amina
sudah seperti istri pertama dan istri kedua. Dulu kami sering bercanda bahwa
yang kurang hanyalah suami yang sama, tetapi sekarang itu pun sudah tidak benar.
Sepertinya aku lebih sering melewatkan waktu bersama Yusuf daripada Amina.
"Bisa kuperbaiki," Yusuf berkata padaku sambil memeriksa pintu lemari.
Saat itu terdengar lolongan hebat, dan Ahmed mengejar adiknya di dapur sambil
memegang garpu. "Ya Tuhan," kata Robin.
"Maaf, aku harus pergi," kataku sambil menutup telepon.
SO Akses Terbatas ICa m 1 b e rp a k a i a n b a g u s s u p a y a a n a k - a n a k merasa bangga
akan kami, seperti kami bangga akan mereka. Yusuf mengenakan dasi sutra yang
dibelinya obral di bagasi mobil dan jas pea coat biru tua yang dibelikan Amina
seharga 29 pound karena vuringnya sedikit koyak. Rambut Yusuf tampak berkilap
berkat disemprot Afro Sheen.
Kami bertiga berbaris masuk ke gedung olahraga sekolah, dan Amina melemparkan
jaket kami ke kursi di sebelahku. "Kursi sudah dipesan," katanya penuh percaya
diri. Dia memindai penonton, lalu melambaikan kedua tangannya dengan liar. "Di
atas sini, di sini!" Dia mengambil jaket-jaket itu dan berteriak kepada Yusuf.
Robin menyelinap ke kursi di sampingku.
"Aku sempat cemas akan terlambat," bisiknya, sementara lampu meredup. Dia masih
mengenakan baju operasi, meskipun sudah ganti sepatu. Aku tak percaya Amina
mengundangnya tanpa memberi tahuku, tanpa meminta izin kepadaku. Aku mencubit
sikunya. Dia menarik tangannya dan tersenyum genit, sambil menaikkan jari ke
bibir. Seorang wanita muda berdiri di panggung, rambut pirangnya diekor kuda. Mikrofon
memekik dan dia merengket, berjengit. Dia mengetuk mikrofon yang telah kembali
normal, dan dalam aksen kental Kiwi mengucapkan selamat datang di pertunjukan
tahunan SD Kennington Road.
Begitu anak-anak memenuhi panggung, Amina melambai-lambaikan tangan di atas
kepalanya. Sitta tersenyum dan balas melambai dari panggung, sementara Ahmed
menatap kakinya yang telanjang. Mereka berpakaian sebagai orang Maori,
mengenakan kostum kertas yang dicat merah, hitam, dan putih. Imut sekaligus
absurd. Guru mereka yang pirang itu memetik ukulele, dan anak-anak membentuk
ombak dengan tangan. Robin meletakkan tangannya di atas tanganku dan membiarkannya di situ. Aku
merasakan panas telapak tangannya sampai sejam pertunjukan kemudian, ketika
penonton bertepuk tangan dan semua orang berdiri dan tangannya terjatuh.
Sitta dan Ahmed melompat-lompat di depan orangtua mereka.
"Aku bagus, nggak, Mama?" tanya Ahmed, tangannya melingkari pinggang ibunya.
"Kamu yang terbaik," kata Amina sambil mencium ubun-ubunnya.
"Kalau aku?" seru Sitta, menggeliat melepaskan diri dari pelukan ayahnya.
"Aku bisa mendengar suaramu bernyanyi seperti malaikat di atas suara yang lain!"
Percakapan ini menggema di seluruh ruangan dalam dua puluh empat bahasa. Ruangan
dipenuhi perempuan-perempuan yang memakai kain sari dan jilbab dan kain kente
khas Ghana, suatu Perserikatan Bangsa-Bangsa dari para ibu yang bangga.
Lelakinya jarang-sedang kuliah malam, bekerja di ban berjalan, mengemudi taksi,
menggoreng ikan, atau di balik jeruji di penjara di tempat jauh.
Percakapan tumpah ke jalan. Tetapi, di sini keriuhan mereda dan suara seorang
lelaki mendominasi. Seorang lelaki Inggris gemuk berkepala plontos, sedang
mendorong bahu seorang lelaki Nigeria kecil.
Ketika si lelaki Nigeria melangkah mundur, beberapa lelaki lain bergegas maju.
Tinju dan tuduhan mulai melayang, dan aku dan Amina menarik anak-anak mundur.
"Ayo, anak-anak!" Kami menarik, sementara mereka menatap.
Namun, Yusuf tetap berdiri di tempat. Tak bergerak di tepi perkelahian, yang
kini melibatkan kepalan semua lelaki di dekat situ.
"Yusuf!" panggil Amina, tetapi suaminya terpana pada pertunjukan tubuh-tubuh
yang roboh, tak mampu bergerak ataupun berbicara.
Robin menarik sikunya. Yusuf membiarkan dirinya ditarik pergi.
Aku mengucapkan terima kasih kepada Robin karena telah menemani Yusuf pulang,
lalu mengucapkan selamat malam.
"Nah, sekarang aku sudah melihat gedung ini, kalau itu yang kamu cemaskan,"
katanya, tentunya memancing ajakan masuk untuk minum teh.
Aku sudah mencoba membayangkan dia di dalam-menyusuri lorong beton, memasuki
flatku, duduk di sofa dan menyesap teh, meletakkan cangkir di lantai, meraih
tanganku, merengkuhku, mencium bibirku-dan semuanya terjadi dalam beberapa
detik, tetapi kemudian aku membuka mata. Lelaki yang salah. Di saat yang salah.
Di tempat yang salah. Gedung ini cocok untuk lelaki seperti Yusuf, yang beringsut kembali memasuki
dunia, lelaki seperti Aziz yang ketakhadirannya menghantui lorong, dan para
perempuan yang mencintai mereka. Inilah satu-satunya tempat yang dapat kami
definisikan sebagai milik kami, tempat kami bisa menyingkirkan bahasa,
kesopanan, protokol, keramah-tamahan yang diharuskan Inggris. Tempat kami
terlindungi. "Tapi bagaimana aku bisa mengenalmu kalau kamu bahkan tak mau membiarkan aku
melihat tempat tinggalmu," tanya Robin, dan segera meminta maaf, mengulurkan
tangan dan dengan lembut meremas tanganku. "Aku hanya ingin mengenalmu lebih
jauh," katanya. Kedengarannya begitu sederhana. Ingin. Ingin apa yang ada di hadapanmu di tempat
ini saat ini. "Aku benar-benar menyukaimu."
Tapi begitu sedikit yang kamu ketahui tentangku, pikirku, kelabakan oleh
keterusterangannya. Saat melihatku, dia pasti membayangkan sesuatu yang utuh.
"Aku juga menyukaimu, Robin," aku berhasil berkata.
Aku memang menyukainya, dan rasanya buruk sekali.
Yusuf mundur lagi ke dalam dirinya. Aku tidak yakin dia lelaki yang senang
menggunakan tinju; sebaliknya, kehilangan suaranyalah yang tampaknya mematahkan
dirinya. Suaranya memang indah: berirama dan merdu. Aku yakin, dia seorang
pujangga dalam dunia ekonomi pertanian. Dia terkenal sebagai guru, Amina
mengatakannya kepadaku, meskipun bahasa pengajaran utama di universitas adalah
bahasa Inggris, Yusuf bergabung dengan kampanye untuk membuat sistemisasi
Oromiffa pada awal 1970-an, menuliskan bahasa lisan yang dipakai oleh tiga puluh
juta orang lebih. Dia bahkan menulis beberapa brosur tentang pestisida dalam
bahasa Oromiffa, tetapi dengan definisi propaganda yang liberal. Dergue mengecam
brosur ini sebagai risalah pengacau yang dirancang untuk menyulut perasaan
penentang revolusi di kalangan pembajak tanah. Tampak jelas cukup awal bahwa
hubungan kekuasaan di Etiopia tidak berubah secara mendasar dengan adanya
revolusi. Dergue didominasi oleh orang Amhara, sama seperti kekaisaran Haile
Selassie. Meniru bahasa dan budaya mereka tetap menjadi satu-satunya jalan untuk
maju. Aku bertanya-tanya apakah Yusuf akan mengajari anak-anaknya menulis dalam bahasa
Oromiffa kelak, tetapi saat ini dia bahkan tak mampu menceritakan dongeng
pengantar tidur kepada mereka. Amina mulai kehilangan kesabaran. Dia berkata
kepadaku bahwa tempo hari sebuah mobil meledak di jalan di bawah dan Yusuf
tiarap ke lantai dan berusaha merangkak ke kolong sofa. Anak-anak tertawa,
Sepertinya Amina memiliki empati tak terbatas untuk semua orang, kecuali untuk
suaminya. Mengapa kekecewaan selalu datang dengan cepat, di saat apa yang telah
lama kaudambakan memasuki pintu" Seolah-olah menemukan ujung gaun pengantinmu
terseret dalam lumpur. Yusuf sedang menonton televisi anak-anak dengan tirai ditutup. Dia memegang
secangkir teh dingin. Aku hendak berangkat bekerja, tetapi kuambil dulu cangkir
teh itu dari tangan Yusuf dan kuletakkan di meja dapur. Aku mencuci tangan dan
menutup rambutku, mengambil Al-Quran dari rak, berlutut di lantai dan memulai
kisah Musa kecil, yang dibesarkan oleh Fir'aun.
Pesan yang ingin kusampaikan, dari sekian banyak pesan yang ditawarkan kisah
Musa, adalah bahwa Allah kadang menempatkan kita di situasi yang asing dan
sulit, dan pada waktunya nanti akan terbukti bahwa kesulitan situasi kita adalah
berkah tersembunyi. Aku kemudian terpikir, bahwa aku harus lebih sering
mengingatkan diriku sendiri akan hal ini.
Yusuf mengambil kitab itu dari tanganku, hendak melanjutkan di tempatku
berhenti. "Anak-anak pandai mengaji, bukan?" katanya pahit-manis.
Aku mengangguk. "Iya."
"Aku berterima kasih padamu, Lilly. Seolah-olah kamu mengerjakan tugasku saat
aku tak ada." Bagian Keenam Harar, Etiopia Maret-Juli 1974
Baju Zirah Suci Ada kenyamanan dalam tatanan dan keter-dugaan dunia kami. Kota kami adalah kota
99 masjid dan tiga ratus lebih wali, makam keramat mereka tertata di sepanjang
tujuh lingkaran yang konsen-tris. Ada lima gerbang yang menandai tembok kota dan
lima balai-balai lempung di setiap rumah Harari, sebagaimana hari-hari kami
berpusar di sekeliling kelima shalat dan hidup kami diatur oleh lima rukun
Islam. Kepastian dunia kami diperkuat setiap awal hari baru, ketika kami dibangunkan
oleh suara azan. Maksudnya, setiap hari, kecuali satu hari. Pada suatu Rabu yang
aneh, pada Maret 1974, Syaikh Jami Abdullah Rahman, pemandu spiritual dan
pemimpin masyarakat yang ditakuti dan dihormati, keturunan dan murid wali
pelindung kota, mentor bergenerasi-generasi lelaki yang menempuh jalan mistis,
kepala keluarga yang berkuasa dan suami dari Fatima, Zehtahoun, dan Gishta, ayah
22 anak dan kakek hampir 50 cucu, tidak bangun untuk pertama kalinya dalam 67 tahun.
Sang syaikh terbiasa dibangunkan oleh paduan suara tertentu, kerapatan tertentu
berupa seratus suara kurang satu, tetapi pagi itu ada satu muazin yang tidak
mengumandangkan azan. Syaikh Jami tidak terbangun, dan akibatnya, penghuni lain
rumah itu pun tidak bangun.
Gishta bercerita kepada kami, bahwa dia terbangun dan mendapati keheningan yang
begitu ganjil, sampai-sampai dia bertanya-tanya apakah Hari Penghakiman sudah
datang. Dia menempelkan telinga ke pintu, menunggu suara sang syaikh menggeser
gerendel tebal di pintu kayu yang memisahkan dirinya dan putra-putranya dari
para perempuan dan putri-putrinya di rumah-rumah mereka di seberang halaman.
Gishta menunggu suara suaminya buang air kecil di ember kosong di belakang
gudang kayu, berharap mendengar denting akrab air seninya mengenai logam. Dia
bersiap mendengarkan lengking memekakkan saat sang syaikh mengangkat tutup berat
yang menutupi gentong minyak sebelum dia meraup air untuk berwudhu. Dia menunggu
bunyi suaminya mendengus dan meludah sambil membasuh, tetapi tak terdengar apaapa pagi itu, hanya hening.
Tak seorang pun para istri membuka pintu, karena menurut kebiasaan, mereka
melakukan itu hanya setelah Syaikh Jami dan muridnya, Hussein dan Idris, sudah
selesai. Tetapi, saat para perempuan akhirnya mendengar sang syaikh, mereka
sudah terlambat berjalan ke ladang. Daun qat yang berlilin tentu sudah
kehilangan kelembutan dini hari. Memetiknya sesiang ini hanya mubazir,
membiarkannya layu di tangan, sementara para perantara dan pelanggan berkomentar
miring dan menyerahkan uang mereka ke orang lain.
Para petani Oromo yang menunggu para istri syaikh setiap pagi akhirnya menyadari
bahwa ketiga perempuan itu tak akan datang, karena konon mereka memutuskan
mengunyah qat sebanyak jatah panen sehari itu, sehingga teler dan lupa menyiangi
dan menyiram, dan seharian itu melakukan hobi favorit kedua: membicarakan
khayalan mereka tentang pemberontakan petani. Para perantara yang biasanya
mendistribusikan qat istri syaikh kepada penjual pun membanting kaki dan
mengancam tak akan berurusan bisnis lagi dengan ketiga perempuan itu. Para gadis
yang menjual untuk para perantara ini mendapat getahnya, diomeli oleh para
pencandu gelisah yang matanya semakin liar, yang sudah sepagian menunggu qat.
Karena pagi itu ketiga istri syaikh tidak ke pasar, mereka tidak membeli daging
atau sayur untuk makan malam. Mereka mengencerkan sisa sup dari hari sebelumnya,
dan anak-anak mengeluh bahwa mereka masih lapar. Ketiga perempuan itu, yang tak
pernah segan-segan menghukum, menampar lebih dari satu anak untuk menghentikan
rengekan mereka. Namun, tidak semua orang dapat dibungkam dengan tamparan. Tak ada yang bisa
disuguhkan untuk hyena malam itu. Kawanan hyena terbiasa diberi makanan cukup di
gang di depan makam keramat. Memberi makan hyena adalah kewajiban kami semua.
Ini kesepakatan tak terucap dan penuh ritual. Kawanan hyena berjalan bolak-balik
sepanjang malam, tak mau menghilang. Tak ada orang di rumah yang menikmati rasa
lega saat mendengar menjauhnya jeritan mengenaskan mereka saat matahari terbit
keesokan paginya. Menurut Gishta, dia dapat mendengar mereka berputar-putar,
napas mereka berat karena marah.
Dia dan istri syaikh lainnya takut meninggalkan kompleks. Rasa takut mereka
ditegaskan saat mengetahui bahwa gadis Somali yang biasa membawakan mereka susu
unta segar setiap hari telah digigit sampai mati dan dilahap di gang itu.
Tak munculnya Gishta di rumah kami merupakan salah satu dari sekian petunjuk


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa ada yang tidak beres. Tiga muridku tidak datang untuk belajar dua hari
berturut-turut. Anwar kembali dengan tangan kosong dari pasar, setelah kami
suruh membeli susu dari perempuan Somali. Lalu pada Kamis malam itu, dalam
perjalanan ke makam keramat, tabuhan genderang tak terdengar. Ada orang yang
tetap di rumah, merasa itu pertanda buruk; ada yang tetap berjalan, termasuk aku
dan Nouria, tetapi menemukan bahwa pintu kompleks terkunci. Kami mendengar
selentingan bahwa makam keramat itu tutup sepanjang hari tadi-pertama kali ini
terjadi sepanjang ingatan kami.
Kami berbalik dan pulang.
Ketika Gishta akhirnya muncul di rumah kami pada hari Jumat, dia bercerita
tentang seorang ibu yang membawa bayi barunya yang sedang sakit untuk diberkati
pada hari sebelumnya. Perempuan itu menafsirkan pintu yang terkunci itu sebagai
pertanda bahwa anaknya dirasuki jin dan membawanya ke dukun untuk diusir
setannya. Ada banyak cerita tentang para peziarah yang sudah berjalan 58
kilometer dari pedesaan dan tak punya pilihan selain berjalan pulang 58
kilometer, tanpa menerima berkah. Ada desas-desus bahwa seorang pemuda datang
mencari berkah karena dia kehilangan satu mata dalam kecelakaan. Dia pulang
dengan keyakinan bahwa dia ditakdirkan buta dan menusuk matanya sebelah lagi
dengan tongkat. Setiap tamu hari itu terpaksa mempertanyakan apakah mereka telah
menyinggung perasaan sang wali, apakah mereka sudah tak lagi diridhai Tuhan.
Desas-desus menyebar dari kompleks Syaikh Jami ke rumah tetangga, dari muazin ke
muazin, dari petani yang bekerja di ladang Paman Jami ke petani di ladang
tetangga, dari para penjual qat yang biasanya menjual qat yang dibawa istri
Syaikh Jami ke semua penjual lain di Faras Magala, dari para peziarah yang
kembali tanpa terpuaskan dari makam keramat Bilal Al-Habash ke keluarga dan
tetangga mereka, dan di kota yang hanya terpisah dua orang di antara gadis
tercantik dan lelaki terjelek, arus kasak-kusuk melanda seluruh kota hanya dalam
tiga hari. Ketika Gishta akhirnya datang menemui kami, kecurigaan kami sudah ditegaskan.
Entah bagaimana, dalam beberapa hari pada bulan Maret 1974 itu, dalam kota yang
telah berabad-abad bertahan dari perang, kelaparan, wabah penyakit, serangan
bangsa asing, kehancuran sebuah emirat, dan penyertaan dalam kekaisaran Kristen,
segalanya mulai terurai. Seolah-olah mantra pelindung akhirnya telah dipatahkan; ada retak dalam baju
zirah suci yang melindungi kami.
Milik Penyerang Musuh P "i-eristiwa-peristiwa minggu itu tidak mencegah kami mengadakan bercha, meskipun
kami semua resah. Tetapi, sementara aku galau tentang penyok di baju zirah suci
yang meliputi kota itu, seperti biasa Aziz dan Munir tampaknya lebih memikirkan
masalah sekuler. Munir seperti segumpal energi gugup. Dia dan Aziz mendengar soal unjuk rasa di
ibu kota, mahasiswa yang memimpin demonstrasi, orang berteriak-teriak marah
kepada kaisar. "Tapi orang menyembah dia seperti Tuhan," kataku, mengingat gambar yang
ditampilkan di televisi setiap hari Sabtu: orang yang tersungkur di tanah dan
mencium kakinya. Mencium trotoar yang ditapakinya. Mencium jejak yang
ditinggalkan di tanah oleh konvoinya.
"Mereka yang menjadikannya Tuhan," kata Munir.
"Ayolah, Munir," Aziz menyanggah. "Kamu bicara seolah-olah rakyatlah yang
memberinya kekuasaan ini."
"Memang begitu, kan?"
"Dia menciptakan mitologi tentang dirinya untuk menanamkan rasa takut," kata
Aziz. "Singa Penakluk dari Suku Judea, Pilihan Tuhan, Raja di Antara Raja,
Keperkasaan Trinitas, semuanya."
Dulu aku jelas takut pada sang kaisar: reputasinya yang membangkitkan rasa itu.
Istananya merupakan altar yang memamerkan keagungannya, dengan jubah
penobatannya, seragam militernya, dinding penuh medali, lencana, dan
penghargaan, serta kepala mini milik para musuh penyerang lama, yang dipajang di
lemari kaca. Keagungannya diperkuat oleh segala hal yang mengelilinginya,
termasuk tata surya berupa menteri dan pelayan. Untuk meminta bertemu guna
mengucapkan terima kasih saja, aku terpaksa membuat janji dengan menteri kalam
yang terhormat. "Kau punya urusan bisnis yang perlu dibahas dengan Yang Mulia?" tanya seorang
lelaki jangkung dengan wajah panjang dan muram, dengan keseriusan seluruh dunia.
"Yah, sebenarnya bukan bisnis ..."
"Urusan pribadi?"
"Aku sebenarnya hanya ingin mengucapkan terima kasih. Aku ingin tahu apakah ada
waktu yang cocok untuk melakukan itu."
"Yah," kata sang menteri sambil berdeham. "Setelah sarapan, sang kaisar
berolahraga, kemudian dia berjalan-jalan di taman dan kebun binatang. Lalu, dia
ke kantor di Istana Jubilee. Dia menerima permohonan dari rakyat di gerbanggerbang dalam perjalanan ke Balairung, tempat para menteri menantinya untuk
rapat jam sembilan. Jam sembilan sampai sepuluh adalah Jam Pembagian Tugas.
Setelah jam itu selesai dan semua tugas telah dibagikan, dia pindah ke Aula
Keemasan untuk Jam Bendahara, saat Yang Mulia mempertimbangkan permohonan dari
rakyatnya. Jam sebelas, Jam Menteri dimulai, dan sang kaisar memusatkan otaknya
yang cemerlang pada urusan kekaisaran. Tengah hari sang kaisar mengenakan jubah
hakim dan membuka Jam Pengadilan Tinggi Banding Akhir. Lalu, jam satu kaisar
kembali ke sini untuk makan siang sebentar bersama keluarga sebelum kembali
menjalani tugas sore hari untuk memimpin Jam Perbaikan, Koreksi, Hubungan, dan
Komisi. Lalu, setelah makan malam, dia tidur."
"Begitu," jawabku, sedikit prihatin karena sang menteri belum menarik napas.
"Jadi maksudmu tak ada waktu yang cocok?"
"Maksudku, kecuali kau menteri atau jenderal, anggota keluarga, anggota kebun
binatang, rakyat, atau penjahat, kau tidak cocok ke jam mana pun. Kecuali, tentu
saja, kau duta dari negara lain."
Sebagai penghibur, sang menteri menyanggupi akan menyampaikan terima kasih kami,
meskipun aku tak memiliki jaminan bahwa dia melakukannya. Aku jelas tidak
memiliki kepastian bahwa sang kaisar pernah mengetahui tentang kehadiran kami di
istana itu, apakah surat dari Muhammed Bruce bahkan pernah sampai di tangannya.
Surat itu dioper dari penjaga ke penjaga dan berakhir di meja sekretaris istana.
Dia mengantar kami ke penjagaan Miriam. Yang pasti, keesokan harinya, sang
menteri menyampaikan pemberitahuan tentang pengaturan perjalanan kami. Kami akan
berangkat ke Harar keesokan paginya menumpang salah satu dari 27 mobil dalam
armada kekaisaran. Aku terkesan oleh komentar si sopir bahwa umat Islam dan Kristen di Harar hidup
rukun. Aku tumbuh besar dengan kesan bahwa orang Kristen bukanlah musuh,
melainkan umat yang tak menangkap firman terakhir Tuhan. Umat yang lebih cocok
dikasihani dan dididik, daripada dikecam. Kami semua ahli kitab, umat Kristen,
Islam, dan Yahudi, tetapi versi kami berlanjut enam abad kemudian. Kami
bertanggung jawab untuk berbagi informasi ini dengan orang lain.
Namun, di Sudan kami telah menyaksikan sebuah pemerintah Muslim yang membunuh
sesama warga yang beragama Kristen. Dan di sini, kota kami dikelilingi oleh
orang Amhara bersenjata yang hidup di permukiman seng di perbukitan di dekat
situ. Jika ini namanya hidup rukun, bukannya lingkaran kasih yang kubayangkan,
ini lebih mirip pagar kawat berduri. Mungkin ini sebabnya Aziz menyarankan bahwa
aku tidak menyiratkan pernah terkait dengan kaisar: kata-kata tadi tidak terlalu
sesuai dengan kenyataan. Seperti gereja Kristen di pusat kota. Ini bukan hadiah
untuk orang Harar; ini pengingat mencolok tentang penaklukan, berdiri secara
menentang dan agresif kepada lingkungan sekitar. Apa lagi maknanya, jika gedung
tertinggi di kota Muslim adalah sebuah gereja"
Bahu Munir melorot. "Bisa berlaku dua arah, kukira. Rakyat memberinya kekuasaan,
tetapi dia sendiri jelas memiliki ... Aku tak tahu kata persisnya, mungkin sihir.
Ini sebagian legenda, mitos, apa pun yang kau mau sebut, tetapi sebagian lagi
jelas kepribadiannya. Terutama cara dia menangani bangsa Barat. Dia benar-benar
memesona mereka. Aku hanya tidak bisa melihat, siapa yang memiliki kepribadian
yang sesuai untuk menggantikannya setelah dia mati."
Jelas tidak putranya, Asfa Wossen, yang menurut pemahamanku dari perkataan
Tawfiq, pernah mencoba menggulingkan ayahnya beberapa tahun yang lalu. Rupanya
sang pangeran merekrut orang langsung dari istana, anggota Pengawal Kekaisaran
milik Haile Selassie sendiri, mengutuk rezim ayahnya sebagai rezim yang dikuasai
oleh ego dan nepotisme. Dia berkata, ayahnya tidak benar-benar berminat
mengembangkan negara dan menghapus kemiskinan, hanya memperbanyak kekayaan dan
hak istimewa kaum aristokrat dengan mempertahankan kemiskinan warga sipil biasa.
"Tapi itu tak ada hasilnya. Rencana itu terbongkar sebelum mereka sempat
menggulingkan kaisar," kata Munir.
"Bukan tak ada," kata Aziz lirih, menatap lantai.
"Oke, baiklah. Sekarang tiba-tiba orang melihat kelemahan dalam kekaisaran yang
perkasa." Aziz mencampakkan ranting di tangannya. "Ratusan orang mati, Munir."
Sang kaisar menyuruh semua anggota Pengawal Kekaisaran dihukum mati. Dan hampir
semua orang di istana. Dia mengampuni anaknya, meskipun anak itu sekarang
kebetulan lumpuh dan tinggal di rumah sakit di Swiss.
"Jadi apakah tuduhan putranya ini benar?" tanyaku.
Munir melirik ke samping, pada Aziz. "Yah, jawabannya tergantung apakah kamu
aristokrat atau warga biasa yang miskin. Lihat saja Harar. Benar-benar tak ada
ruang tengah." "Ada ruang tengah yang kecil," sela Aziz.
Munir menyeringai. "Ya, para penghasut. Ini masalahnya tentang pendidikan-ini
menciptakan orang-orang yang beropini. Lebih baik petani tidak dididik, bisabisa mereka mulai menuntut hak. Lebih baik mendidik anak sepertiku: putra
pemilik tanah yang kaya, orang yang hidup enak di bawah sistem feodal ini."
"Reformasi pendidikan ini tipuan," kata Aziz sambil memutar mata.
"Atau pastikan semua lulusan terbaik dari sekolah menengah di seluruh negara
direkrut menjadi tentara," lanjut Munir. "Dengan begitu, kaum terdidik dipaksa
agar setia, dengan membuat mereka tergantung soal nafkah. Sebagian besar mereka
dididik di sini, di akademi militer di luar tembok."
"Oh, mulai lagi, deh. Kunyah ini, Profesor Munir," kata Sadia sambil menyodorkan
tangkai. "Cepat dan dapatkan mirqana supaya kau diam!"
Sadia datang dan duduk di sebelahku, sementara para pemuda terus berbincang.
Meskipun aku ingin menjadi bagian percakapan itu, Sadia bertekad memisahkan
ruangan itu antara lelaki dan perempuan, dan para lelaki cukup senang terus
merang-sek tanpa kami. Sadia bersandar di bahuku dan mengambil buku tulis dari
pangkuanku. Dia membalik ke halaman kosong di dekat belakang dan mulai mensketsa
gambar perempuan dalam gaun pengantin. "Sadia," tulisnya di atas gambar itu. Dia
menggambar pengiring pengantin: saudaranya, Orit dan Huda, juga Titune, Warda,
dan aku. Aku hanya bisa dibedakan dari tinggi tubuhku.
Kami menyibukkan diri, bergiliran memakai pensil, menambahkan detail pada adegan
itu. Dia menggambar sapi yang akan disembelih. Aku menuliskan nama istri pertama
syaikh yang galak, Fatima, di atas sapi itu. Sadia memberi dirinya anting-anting
dan menggambarkan rantai perak di sekeliling keningnya, dan aku menambahkan
lengkung di sudut bibirnya untuk memberinya senyum bandel. Aku membayangkan
diriku di tempat Sadia. Aku akan melakukan lebih dari sekadar menunggu Aziz
pulang dari Kairo. Aku akan ikut bersamanya kalau dia meminta.
Namun, sore itu tak ada ajakan apa pun. Aziz dan Munir masih terlibat dalam
percakapan serius ketika Sadia bangkit dan mengucapkan selamat tinggal.
Percakapan mereka terhenti.
"Sudah sore," kata Aziz kepadaku.
"Sebaiknya aku juga pulang," kataku sambil berdiri dan menepis serpih qat dari
rok. "Ciao," kata mereka berdua, "masalaama," duanya tidak bangkit dari lantai.
Memanggil Semua Wali J^Jam menambahkan suaranya. Langit mendung, tetapi hujan tidak turun. Kami masih
punya air yang dibawa seember-seember dari sungai, tetapi puncak bebatuan besar
di tengah sungai sudah berminggu-minggu kering.
Syaikh Jami berziarah ke murid seorang wali yang bisa berkomunikasi dengan
hyena. Dia dan murid ini duduk di ladang malam-malam dan mempersembahkan
semangkuk khusus bubur bermen-tega dan daging kepada hyena. Sekarang kaum
perempuan melakukan upacara penebusan, berziarah mingguan kepada wali yang mampu
mendatangkan hujan. Tetapi, musim hujan berlalu tanpa hujan. Kami memakai
wewangian lebih banyak. Kami membakar dupa lebih banyak. Kami menemukan kutu
lagi di rambut anak-anak.
Halaman kami kerontang dan berdebu dan dikerubungi lalat, meskipun anehnya,
tumbuhan di sepatu lars yang dulunya lusuh itu malah menjadi tegap. Di tengahtengah kemarau, saat air tak dapat disia-siakan setetes pun, entah bagaimana,
terjadi pengecualian: tumbuhan yang tak bermanfaat apa-apa itu diberi makan.
Gishta menyumbang sebisanya dari persediaan di gudangnya-sedikit sorgum, sedikit
minyak, sedikit mentega, apa pun yang bisa kami manfaatkan. Namun, tanpa air,
Nouria tak punya pendapatan. Dia tak mungkin mencuci pakaian. Tetapi, Gishta
punya masalah sendiri. Fatima rupanya menjadi monster kalau tak ada air, menjadi
sok memimpin, yang hanya dapat dilakukan istri pertama, dengan penjatahan yang
ketat, sambil berdesis dan memerintah-merintah. "Aku ingin mencelupkan kepalanya
ke dalam seember air dan membungkamnya," Gishta mencibir, sambil memberiku
sewadah susu masam. Hidup itu tidak hanya pendek di Afrika, seperti yang sering diingatkan Gishta
kepadaku, hidup juga seringnya sulit.
Kami mulai mendengar desas-desus bahwa kelaparan parah sedang merebak di bagian
utara negara. Namun, yang kami lihat di televisi Aziz hanyalah pidato Vang Mulia
tentang pembangunan negara, dan perwira Pasukan Kekaisarannya yang bermedali
berkilau sedang mengunjungi tempat yang mengalami kemajuan-sumur baru, panen
sukses dari tanaman hibrida baru, sekolah untuk orang buta, pabrik tekstil yang
mempekerjakan tunadaksa. "Sejak dulu selalu ada kelaparan," kata Amir meremehkan. "Sudah begitu selama
ribuan tahun." "Ah, iya, tetapi kali ini dunia memerhatikan," kata Munir sambil menggoyangkan
jarinya. "Ini tidak terlalu masalah kalau kelaparan ini disebabkan oleh kemarau
dan panen gagal. Itu gara-gara alam. Tapi kalau petani dipaksa memanen jumlah
yang sama dalam setahun padahal tanaman tidak menghasilkan banyak, lalu mereka
harus menyerahkan semuanya kepada tuan tanah, mereka tak punya apa-apa lagi
untuk makan. Itulah sebabnya ada kelaparan."
"Tidak selalu," kata Aziz. "Di utara berbeda. Di sana masalahnya adalah perang
dengan Eritrea. Mereka membakar ladang supaya tak ada panen, dan petani terpaksa
membeli senapan, bukannya memberi makan diri sendiri. Itu sebabnya ada
kelaparan." "Mengerikan," gumam Sadia sambil menggeleng.
"Oh, jangan naif," bentak Aziz. "Kamu pikir ini tidak terjadi di Harar?"
"Tapi sulit membayangkannya," kataku membela Sadia. Meskipun aku tak kesulitan
memercayai hal-hal yang tak terlihat karena Allah menjelma dalam begitu banyak
cara tersembunyi, aku tak mampu membayangkan seperti apa kelaparan itu.
Kata Munir, "Kita tidak berperang dan kita tidak dilanda kemarau parah. Yang
sedang kita alami sekarang tidak sebanding dengan mereka."
"Memang tidak, tapi seandainya begitu" Kamu pikir keadaan kita akan berbeda"
Kamu pikir orang Harari akan berkata kepada orang Oromo: Jangan, simpan saja
sebagian makanan untuk kalian. Kalian teman kami, saudara Muslim kami, dan lagi
pula, kalian yang memanen makanan yang kami santap, jadi kami tak mungkin
membiarkan kalian kelaparan."
Nadanya yang mengejek itu menggema di udara diam. Terbentuk keheningan yang
canggung. Aziz berdiri, menarik sarungnya erat-erat di pinggang lalu
meninggalkan ruangan. * Aziz muncul di rumah Nouria sore esoknya. Terlalu banyak yang terungkap jika aku
terlalu akrab, jadi aku membenamkan kepalaku dan menyibukkan diri dengan kamusku sementara dia berbasa-basi dengan Nouria. Nouria menawarinya teh, meskipun
hanya memiliki sedikit air, dan karena Aziz sopan, dia tidak menolak, tetapi
ketika cangkir itu berada di tangannya, dia menuangkan isinya ke dalam mulut
Bortucan yang menerima. Nouria takut pada sang dokter; dia tentu bertanya-tanya apa yang menyebabkan
kunjungan tak terduga ini. Aku juga begitu. Namun, ketika Aziz menggendong
Bortucan dan anak itu terkekeh, Nouria tersenyum.
"Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaannya," kata Aziz kepada Nouria. "Dia
tampak sehat. Apakah pernah ada jendul lagi di balik rambutnya?"
Nouria menggumamkan sesuatu dan mohon diri untuk menyalakan api.
"Jendul itu datang dan pergi," kataku sambil mendekatinya.
"Itu bisa diobati," katanya. "Tapi ini, sayangnya," katanya sambil menunjuk
pelipis anak itu, "tidak bisa." Pengobatan farenji pun tak punya jawaban.
"Aku sebenarnya datang untuk minta maaf karena marah-marah kemarin," katanya
sambil melirihkan suara dan beralih ke bahasa Inggris. "Kamu jangan hiraukan aku
kalau aku sedang begitu."


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi aku ingin mengerti."
"Aku mau tanya, kamu mau ikut ke tanah pertanian Sabtu depan?" Aku ragu.
"Ada yang ingin kutunjukkan." Aku mengangguk.
Dia mengangsurkan Bortucan kepadaku dan mengeluarkan permen dari sakunya untuk
anak itu. Dia melongokkan kepala ke dapur untuk memohon pamit kepada Nouria.
"Dia bilang apa tadi?" tanya Nouria begitu lelaki itu pergi.
"Dia sedang belajar untuk ujian dan bukunya berbahasa Inggris. Dia menanyakan
arti beberapa kata."
Aku terheran-heran betapa mudahnya dusta itu terucap.
Murid-muridku berhati-hati dan lambat. Sikap mereka yang menahan diri ini pasti
berkaitan dengan tekanan di rumah masing-masing akibat kemarau, tetapi aku mau
tak mau merasa cemas bahwa akulah yang bersalah. Aku harus bertobat atas rahasia
dan dustaku, kataku dalam hati, tetapi lalu pikiranku melayang dan melihat
telapak tangan Aziz di depan mataku. Aku menatap garis-garis di situ, bertanyatanya apakah dia sedang berusaha menunjukkan peta suatu tempat di dunia ini
kepadaku. * Aku dan Aziz meringkuk bersama di kereta kuda, tersembunyi di bawah atap kain di
kereta yang rendah itu, sementara kusir membawa kami ke sebelah utara kota, ke
ladang-ladang hijau melalui jalan yang sering dilalui. Kami melewati berhektarehektare semak qat, kawanan kambing, dan sesekali petani yang menyandang senapan.
"Kenapa mereka perlu senapan?" tanyaku.
"Perlindungan," jawab Aziz.
"Hyena?" "
"Terutama." Kami mengikuti kali dangkal menuju sekumpulan pohon pendek yang digelantungi
beberapa tandan pisang hijau kecil. Angin terasa manis: campuran wewangian. Di
sinilah kami turun. Aziz menjinjing karung di satu tangan dan menggandeng tanganku dengan tangan
lain. Dia jelas merasa lebih bebas di sini. Tanah begitu terbuka dan begitu
rimbun, sangat berbeda dengan keberadaan kami yang sempit dan bertembok di dalam
kota, tetapi aku merasa rikuh bergandengan tangan di cahaya telanjang ini.
"Tanah ibuku," katanya penuh kerinduan, sambil menghamparkan selimut di tepi
sungai. Aku mengagumi keindahan tempat ini, sementara kami duduk di atas kain wol yang
dibentangkan di tepi sungai berumput, di bawah rindang pohon. Arus kecil
keperakan mengalir di dekat kaki kami. Aku bertanya-tanya apakah ini dunia yang
kulihat terpetakan di telapak tangannya.
"Tanah ini sekarang sudah berpuluh tahun dimiliki saudara ibuku."
"Karena dia menikahi lelaki Sudan?"
Aziz mengangguk. "Tak diakui anak lagi." Dia menuangkan teh manis dari termos
dan membuka bungkus fatira berbentuk persegi, yaitu pastel tipis yang diisi
telur orak-arik. Dia berkata dia senang dapat menikmati tempat ini bersamaku. Ke
sinilah dia datang setiap kali menerima buku teks baru-tempat dia membuka buku
itu pertama kali, ritual miliknya sendiri.
"Entah bagaimana, berada di sini membuatku membayangkan bahwa segalanya
mungkin," katanya. "Kamu seperti udara ini bagiku, Lilly: sesuatu yang segar,
sesuatu yang penuh harapan. Kamu dan batin-mu." Dia mengulurkan tangan ke
pipiku, tetapi lalu tangannya jatuh. "Sulit mempertahankan tekad dan kemauan
berbuat baik di negara yang begitu miskin. Kamu dengar sendiri rasa frustrasi
kami-persediaan yang tidak memadai, penyakit kronis, keengganan masyarakat
meminta kami turun tangan sampai sudah terlambat. Situasi ini melelahkan, lalu
kami membenci diri sendiri karena menyerah."
Aku ingin sekali mencari cara membantunya, sebagaimana dia menemukan cara untuk
memberiku apa yang kuperlukan guna mengajar kelasku.
"Kita berhak marah," katanya sambil mengusap remah-remah dari bibirnya.
"Terutama pada ketidakadilan. Kita membanggakan kenyataan bahwa negara kita tak
pernah dijajah, tetapi yang tak ingin diakui orang-orang adalah bahwa kita hidup
di bawah rezim penjajah ciptaan kita sendiri. Kita memanggil orang Afrika lain
sebagai Barya-budak. Kita menyebut orang Etiopia di Selatan sebagai Shankilla.
Artinya kira-kira hitam kotor. Kita menyebut orang Oromo sebagai Galla. Mereka
mau menggunakan ketiga hinaan ini untuk mengejekku kalau mereka bisa, tetapi aku
ini enigma bagi mereka. Orang kulit hitam yang memiliki ibu orang Harari. Orang
kulit hitam yang berpendidikan tinggi. Mereka tak tahu di mana harus menempatkan
aku." "Mungkin kamu memang orang Etiopia jenis baru," aku mengusulkan. "Orang Etiopia
modern." "Yah, berarti orang Etiopia modern adalah orang Etiopia yang marah," kata Aziz.
Kami bangkit dari tepi sungai dan dalam kebisuannya dia meraih tanganku lagi,
menggandengku menembus pepohonan pisang, melintasi padang semak qat, ke arah
gubuk kayu. Anak-anak yang bermain di tanah di depan gubuk itu melihat kami
datang dan berlari menghampiri sambil memekik. "Farenji! Farenji!" seru mereka,
membelai tanganku, menyentuh pakaianku.
"Hus!" Aziz mendiamkan mereka, mengeluarkan permen dari kantong. Dia mengatakan
sesuatu dalam bahasa Oromiffa, yang membuat mereka semua berlarian pulang,
kecuali seorang. Aziz mengangkat si anak yang ditinggalkan teman-temannya ke
atas kepala, lalu mendudukkannya di atas bahu. Bocah ingusan itu tertawa dan
meraba rambut Aziz dengan jarinya yang kotor.
Aziz meletakkan bocah itu di pintu masuk gubuk, tempat ayam berkotek-kotek. Kami
mengikutinya masuk. Ruangan gelap itu dipenuhi asap menyengat, berasal dari
panci gosong yang isinya mendidih di atas kompor kerosin kecil di pojok. Ruangan
itu sangat gelap, sehingga mataku perlu waktu beberapa menit untuk menyesuaikan
diri, dan setelah itu pun aku hanya bisa melihat warna putih mata-paling sedikit
sepuluh pasang-menatap suram dari keempat sisi ruangan.
Aziz mendekati seorang kakek yang berbaring di dipan. Aku tak bisa melihat mata
orang itu, dan dia mengerang saat disentuh Aziz.
"Si pemilik mencungkil matanya," kata Aziz kepadaku. "Tahun lalu dia hanya
memukulinya dengan kawat berduri."
Aku menggigil. "Panen tidak sebanyak yang diperkirakannya. Selama dua tahun berturut-turut,
hujan hanya sedikit." Aziz mengeluarkan gunting dari karungnya dan menyiramnya
dengan alkohol. Dia melepaskan jahitan dari wajah lelaki itu. "Aku harus
menjahit lubangnya agar tertutup," dia menjelaskan. "Tak ada lagi yang dapat
kulakukan." Tetapi, panen seperti apa yang dapat dikumpulkan lelaki ini tahun depan tanpa
mata, aku bertanya-tanya. "Bisa pegang ini?" tanya Aziz sambil mengulurkan botol alkohol di belakangnya.
Aku mendekatinya untuk mengambil botol itu dari tangannya. Lalu dapat kulihat
bahwa lelaki itu bukan berbaring di atas dipan. Dia sedang berbaring di atas
tumpukan senapan. Rencana di mana-mana. Tampaknya tak ada yang tahu mengapa begitu, tetapi orang
sepakat bahwa semuanya bermula pada pagi itu, saat seorang muazin tidak berazan.
Meskipun dia telah diganti hari itu juga, nada suara yang baru ini berbeda,
sedikit sumbang, ternoda oleh misteri tentang ke mana perginya muazin sebelumnya
dan mengapa. Hari bulan Maret yang tidak dimulai itu berlanjut menjadi
berminggu-minggu, lalu berbulan-bulan yang berisi awal-awal yang salah dan
ledakan amarah yang tak disembunyikan. Kaum petani kini menimbun senapan di
pedesaan, perempuan miskin dirasuki ruh zar, pemuda seperti Aziz dan Munir
teragitasi dan marah, anak-anak takut dan lupa apa yang dipelajari di kelas, dan
istri bertindak kejam kepada madunya.
Karena tak ada banyak air, orang menjadi pelit dan galak, selalu waspada, saling
memaki tamak, menjerit jika setetes saja jatuh tersia-sia ke tanah.
Gishta muncul dengan menyandang bukti: bibir pecah, pipi biru.
"Fatima itu monster," katanya sambil mengusap rahang, sementara kami berjongkok
di dapur dan membuat teh. "Dia dulu selalu memukuliku. Tahun pertama menikah
seharusnya bulan madu. Apa yang kuperoleh" Perutku ditonjok dan kepalaku
ditendang." Gishta berusaha menempuh masa inisiasi kejam itu tanpa air mata; orang Harari
membenci air mata, membenci pertunjukan kelemahan.
Pemukulan terakhir ini adalah akibat Gishta berani keramas tengah malam. Tetapi,
telinga sang istri pertama sangat tajam, terutama pada masa kemarau. Fatima
muncul di pojok seolah-olah sudah lama menunggu untuk menerkam, merebut mangkuk
dari tangan madunya itu dan melemparkannya ke dinding. "Dasar gadis egois!"
jerit Fatima, sementara mangkuk itu terguling.
Fatima, memukul kedua telinga Gishta, memegang kepala Gishta di antara kedua
tangannya, dan mengguncang-guncangnya seolah-olah sedang berusaha mengeluarkan
biji keras kepala dari labu. Gishta mencakar tangan Fatima dengan kukunya.
"Seharusnya kupotong dadamu!" desis Fatima sebelum mendorong Gishta ke tanah.
"Kamu cuma ambil, ambil, ambil! Mencuri dari dapur untuk sepupu Galla-mu yang
pemalas dan si farenji itu!"
Gishta menginap di rumah selama dua hari, membantu kami membuat berbere untuk
dijual di pasar Amhara. Bibirnya malah bertambah parah saat dia menggosokkan abu
ke dalamnya untuk mengeringkan lendir yang keluar.
"Biar kupanggilkan dokter," desakku beberapa kali. Ketika dia menolak makan
malam, jelas bahwa bibirnya lebih menyakitkan daripada yang diakuinya. "Aku akan
memanggil dokter," kataku tegas. Anehnya, dia malah menangis.
Sejam kemudian, Aziz mengangkat dagu Gishta dengan dua jari. Aku menjadi
perawat, memegangi tas dokternya.
"Aku tak bisa menjahitnya kalau infeksi begini," katanya. "Harus disembuhkan
dulu." Dia membersihkan luka itu dengan hidrogen peroksida dan mengoleskan salep
antibiotika. "Dan makan ini dua kali sehari, untuk jaga-jaga," katanya memberi
petunjuk kepada Gishta. Perempuan itu menatap pil-pil putih di dalam paket kertas itu dengan rasa tidak
percaya. "Dia lelaki baik," kata Gishta setelah Aziz pergi. "Sayang, dia hitam sekali."
"Shankilla sekali," Nouria sepakat.
Kami membuat berbere untuk menggantikan mencuci baju. Selama tiga hari, halaman
dipenuhi selimut merah cabai yang dijemur. Kami baru saja memunguti kulit yang
kering itu ketika Nouria mendongak dan bertanya, "Kalian merasakan itu?"
"Iya," aku terkagum-kagum sambil menyeka kening.
"Alhamdulillah!"
"Hujan!" seru Fathi.
"Cepat!" pekik Nouria. "Ini harus kita bawa masuk! Akan hancur kalau basah!"
Namun, hujan tiba-tiba turun mendera, dan meskipun anak-anak membantu kami
menyeret terpal ke pintu rumah, kami tidak cukup cepat. Nouria tampak seolaholah akan menangis, tetapi dia malah tertawa histeris. Ini mubazir yang parah,
tetapi kami begitu gembira sehingga kami mengangkat tangan dan menyerah,
sementara tanah langsung berubah menjadi lumpur.
* Malam itu Anwar memimpin kami membacakan Al-Fatihah, surah pertama, tetapi
ketika dia memulai, Bortucan tidak mengikuti.
"Ada apa, Bee?" tanyaku sambil menariknya ke pangkuanku.
Nouria mengangkat bahu. "Dia sudah biasa lupa."
"Tapi dia sudah hafal surah ini."
"Otaknya kecil. Anak kembar itu tidak baik. Nasib buruk. Yang satu mencuri dari
yang lain." "Tapi dia sudah banyak kemajuan."
"Allah memberi dan Allah mengambil," kata Nouria pasrah. "Dia memberi Paman
Jami, lalu mengambilnya juga."
Aku menatap Nouria. "Ayah mereka," bisiknya.
Aku berdengap. "Syaikh Jami?"
"Lima tahun," katanya sambil mengangkat tangan. Gundiknya selama lima tahun. Dia
berbicara dengan isyarat: perut hamil, akhir perselingkuhan.
Ini dari lelaki yang menyebut farenji sebagai munafik dan pendusta.
"Apakah Gishta tahu?"
Nouria tertawa. "Tentu saja dia tahu. Dia yang punya ide itu. Lelaki itu orang
Harari yang baik. Gishta pikir, mungkin dia akan menikahiku sebagai istri
keempat." "Jadi kenapa tidak terjadi?"
Nouria menggigil. "Oh, si Fatima itu. Dia tidak suka orang Oromo. Dua istri
Harari, dua istri Oromo" Tidak, dia tidak suka keseimbangan berubah. Dia terlalu
tua, tak bisa punya anak lagi. Dia tidak ingin anak blasteran berkeliaran dan
tumbuh dan mendapatkan warisan yang diinginkannya."
"Tapi dia menerima Gishta."
"Huh! Dia berusaha membunuh Gishta. Dia menaruh mata jahat yang paling jahat
padanya. Gishta keguguran bayi pertamanya dan bayi ketiga dan kelima. Dia telah
menempuh hidup yang sangat-sangat sulit."
Nouria pun begitu. Tanpa pernikahan, seorang ayah tak akan mengakui anak sebagai
miliknya. Karena garis keturunan, seperti yang dikatakan Aziz, adalah segalanya.
Kemerdekaan, hukuman mati, status halal atau haram di dunia.
35 IVIunir mengambil alih tugas membagikan qat hari Sabtu itu karena Aziz tak
ditemukan di mana-mana. Dia memisah-misahkan tangkai, mengedarkannya dan
menyisihkan jatah Nabi, melemparkan dupa ke dalam arang, dan memanjatkan doa
sebelum mengajak kami mulai mengunyah. Aku tak pernah tahu apa yang terjadi pada
jatah Nabi. "Tapi di mana dia?" tanyaku sambil meletakkan daun di antara geraham dan pipiku
dengan lesu. "Mungkin ada yang melahirkan," Tawfiq menduga, sambil melemparkan tangkai yang
sudah dipetiknya sampai bersih. "Hujan turun, lalu tahu-tahu perempuan
melahirkan. Itu sering terjadi, meskipun aku tak bisa menawarkan penjelasan
medis untuk itu." Namun, dokter jarang dipanggil untuk membantu persalinan. Pertama-tama bidan,
dukun jika ada masalah, tetapi dokter hanya jika situasinya benar-benar parah.
"Lebih mungkin dia terdampar di Dire Dawa," kata Munir. "Tak ada taksi."
Tugas Seorang Ibu "Tak ada taksi?" Sadia tampak kalut. Di Dire Dawa ada butik baru yang ingin dia
kunjungi. "Mogok kerja," kata Munir. "Kaisar melipatgandakan harga bensin."
"Begitu saja?" tanyaku.
Munir mengangkat bahu. "Dia kaisarnya."
"Mungkin kalau dia menyadari bahwa dia mengganggu acara belanjamu, tentu dia
akan menangguhkannya," kata Tawfiq, tetapi meskipun dia menggoda Sadia, kelompok
ini tidak bersemangat. Bukan hanya tak adanya bunga api yang beterbangan saat
Aziz dan Munir berdebat, tetapi ada kualitas lain yang tak bisa disentuh.
Tubuhku terasa lumpuh, lesu, telantar di ruangan tempat aku terbiasa merasa
setiap benang diriku ditarik kencang dengan pengharapan.
Keesokan harinya Nouria pulang dari pasar dengan tangan kosong, kecuali sebutir
bawang bombai dan dua butir tomat. Bagaimana kami bisa membuat injera untuk
minggu ini tanpa sorgum"
"Kadang ini terjadi. Aku tak tahu, Lilly."
"Apa maksudmu, kamu tak tahu?"
"Maksudku, tiba-tiba diperlukan pendapatan sebulan untuk membeli segenggam
kecil. Aku tak tahu, tetapi semua orang sama. Perempuan bergigi perak itu, dia
punya sorgum yang sedikit lebih murah, tetapi sudah banyak jamurnya, baunya
tercium." "Bagaimana kalau beras?"
"Huh. Semestinya kamu lihat sendiri. Aku melihat perempuan Saudi itu-yang
suaminya di toko kaca"-dan dia berkata kepada Ikhista Aini, 'Tentu aku bisa
menjual beras, beri saja aku cincin emas di jari manismu.1"
Kami mencukupkan bawang bombai dan tomat, membuat sup encer yang kami bubuhi
beberapa sobek injera kering. Rahile mencari daging dengan sia-sia. Katanya dia
tidak suka injera lama. Ibunya meringis kepadaku, seolah-olah berkata: lihat
betapa manjanya dia sekarang! Sejak aku mengajar, makanan kami membaik, dan
Rahile telah terbiasa dengan kehidupan yang enak itu, seolah-olah itu haknya
sejak lahir. Dia membeli jilbab pertamanya baru-baru ini dengan memberi tahu
Gishta bahwa, kalau sudah besar nanti, dia ingin berpakaian persis seperti
Gishta. "Andai saja aku sudah besar sekarang," katanya sambil cemberut, "dewasa
dan cantik sepertimu."
"Anak yang satu itu tak akan pernah hidup miskin," kata Nouria, sambil mengamati
putrinya pamer di sekeliling halaman dengan sepatuku dan jilbab barunya.
Tetapi, itu sebelum harga kain melonjak-kain dari India yang kami gunakan untuk
membuat jilbab dan pakaian. Gishta masuk ke halaman kami dengan membanting kaki,
kesal, baru saja bertengkar dengan pedagang kain yang paling sering
dikunjunginya. "Dia mencoba menjual katun ini kepadaku dengan harga sutra. Dia
pikir dia itu siapa, tiba-tiba" Pasti istrinya yang memaksa dia. Perempuan
tamak." "Aku ingat sewaktu istrinya masih kecil," kata


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nouria. "Waktu itu juga dia sudah tamak, bahkan mencuri abrikos dari pasar..."
Kedua perempuan itu bergunjing, sementara aku mengambil sepatuku dari tempat
Rahile meninggalkannya. Aku menepuk-nepukkan solnya untuk menyingkirkan debu dan
bertanya-tanya apa makna semua kenaikan harga ini dan bagaimana kami
menanganinya jika ini berlanjut. Aziz pasti tahu, aku akan tanya kepadanya,
tetapi bagaimana kalau dia tidak muncul lagi hari Sabtu"
Aku mengenakan jilbabku dan memberi tahu mereka bahwa aku akan ke pasar, untuk
memeriksa apakah semua pedagang kain menaikkan harga atau hanya yang satu ini.
"Dan coba tersenyum sedikit saat berbicara ke pedagang kain itu," kata Gishta.
"Dan ingatkan perempuan Somali itu bahwa putra-putranya beruntung punya guru
sepertimu," kata Nouria.
Aku mengetuk pintu logam rumah ibu Aziz dan lelaki itu segera membukakan pintu,
mengenakan sandal dan galabaya putih longgar, memegang buku tulis. Aku
menyelinap ke halaman setelah diajak masuk. Dia sendirian, ibunya sedang
melakukan shir shir, bertamu, aku bisa duduk dengannya di balai-balai di ruangan
utama kalau aku mau, dan berbagi minuman soda.
Aku lebih memilih tetap berdiri di halaman, terlalu gugup memikirkan kemungkinan
ibunya pulang dan menemukan kami duduk berdua. Kata Aziz, dia merindukanku hari
Sabtu kemarin, tetapi dia harus menunaikan tugas keluarga. Penjelasan yang tidak
menawarkan hiburan. Suatu rasa yang disebut iri berfermentasi di perutku saat
dia bicara. Rupanya ibunya mengklaim telah menemukan gadis ideal untuknya dan
mengutusnya untuk memperkenalkan diri. Menemukan jodoh yang cocok bagi anak
adalah tugas seorang ibu. Dalam arti tertentu, kesuksesan sebagai ibu bergantung
pada hal ini. Ini kedua kalinya ibunya melakukan hal ini sejak Aziz pulang dari
kuliah kedokteran. Yang ideal itu bagaimana" tanyaku ingin tahu.
"Patuh, pandai mengurus rumah tangga, terampil dalam kerajinan tangan, berkulit
terang, cantik, dan berasal dari keturunan yang baik," jawab Aziz tanpa ragu.
"Meskipun tidak perlu dalam urutan itu."
Berkulit terang, pikirku. Satu dari enam. "Ini seperti permainan," kata Aziz,
mencoba memperkecil signifikansinya. "Aku pergi memperkenalkan diri kepada ibu
gadis itu dan berkata bahwa aku akan selalu ada jika keluarga itu memerlukan
jasa dokter. Dia menawariku tempat duduk yang menghadap pintu kayu supaya aku
dapat melihat gadis itu saat dia melintasi halaman. Itu membuatku sangat tidak
nyaman. Dalam permainan ini, semestinya aku menjadi pemburu dan gadis itu
mangsa. Yang pasti, ibuku sekarang marah karena aku pulang jauh sebelum waktu
yang dianggap sopan. Aku semestinya tetap di sana dan shalat bersama ayahnya dan
makan malam bersama saudara-saudaranya. Tapi aku tak bisa."
Aku bertanya-tanya apakah gadis itu cantik.
Aku bertanya-tanya apakah aku bakal tahan jika ini terjadi lagi. Aku merasa
sedikit mual. Begitu aku pulang, Nouria menanyakan apakah aku sakit.
"Tidak. Kenapa?"
"Kata Rahile, kamu pergi ke rumah dokter."
"Kupikir mungkin ibunya tahu tempat membeli kain dengan harga terjangkau.
Pakaiannya selalu bagus-bagus."
"Apakah dia tahu?" tanya Nouria, matanya penuh peringatan.
Itu tidak cukup untuk mencegahku berjalan ke rumah sakit pada jam makan siang
keesokan harinya. Aku merasakan suatu perasaan baru yang tak enak. Bagaimana
andai suatu hari nanti ibunya memperkenalkan dia kepada gadis yang ideal, atau
gadis yang kecantikannya menaklukkan hatinya" Dan soal kecantikan itu, bagaimana
soal para perawat" Toh rumah sakit adalah dunia ketika perempuan lebih bebas
berinteraksi dengan lelaki.
Pintu depan rumah sakit dihalangi oleh kerumunan perempuan yang berteriak dan
mengacung-acungkan poster. Aku menemukan jalan masuk lewat belakang gedung.
"Ada apa di luar?" tanyaku begitu menemukan Aziz di lorong hijau pucat.
Dia menarikku keluar ke halaman belakang. "Perawat sedang mogok kerja," katanya,
sementara kami duduk di bangku. "Dokter harus bekerja lebih lama untuk menangani
kasus gawat darurat."
Dia mendesakku ikut menyantap bekal roti dan tomat dan membelikan aku secangkir
teh dalam gelas kaleng dari kantin. Dia menawariku susu bubuk dari kantong di
sakunya. "Kamu cemas?" tanyaku.
"Ini selalu mencemaskan. Yang pasti, Lilly, aku senang kamu datang. Aku ingin
kamu tahu bahwa kemarin, sewaktu ibuku pulang, aku memberi tahunya bahwa aku
akan memilih sendiri setelah aku siap. Tentu saja dia menentang karena itu bukan
cara tradisional. Dia cukup yakin bahwa hanya seorang perempuan yang dapat
menilai sifat perempuan lain secara jujur. Cara terbaik adalah menyerahkannya
kepada ibumu, katanya."
"Apakah gadis itu cantik?" tanyaku, meskipun sudah berusaha menahan diri.
Aziz menghela napas. "Ibuku melakukan ini karena dia ingin aku menikah dan masuk
ke keluarga Harari yang baik. Orang jarang menikah demi cinta. Mereka meyakini
bahwa hati itu menyesatkan, mendorongmu membuat keputusan yang akan merugi-kanmu
pada akhirnya nanti. Lihat ibuku-dia masih membayar untuk perbuatannya. Dia
tidak ingin aku mengalami pengasingan yang dideritanya. Dan sejujurnya" Kurasa
dia yakin bahwa dia dapat menaikkan status sosialnya dengan menjalin pertalian
dengan keluarga lama yang mapan. Memperoleh kembali statusnya. Dan dia mungkin
bisa. Mungkin." "Melalui kamu."
"Melalui aku." "Apakah tidak cukup bahwa kamu kuliah, bahwa kamu memiliki pekerjaan terhormat,
dengan gelar dan pendapatan?"
"Ini bukan demokrasi, Lilly." Dia tampak tenggelam dalam pikirannya saat
mengaduk teh. "Bagaimana soal gadis di Addis Ababa?"
"Ah, rupanya sudah ada gosip," katanya sambil melihat ke bawah. "Mintiwab. Dia
kuliah kedokteran bersama kami."
Kulitku meradang mendengar namanya.
"Dia tidak membalas cintaku," katanya tanpa emosi apa pun.
Iri berombak dalam tubuhku dan tumpah ke tanah.
"Begini, sebelum aku bertemu dengannya-maafkan aku soal ini-aku dulu berpikir
bahwa perempuan itu agak bodoh. Lalu, kami ke universitas kedokteran dan aku
melihat gadis ini, yang tak segan menjahit luka, atau membedah mayat, dan aku
menyadari: perempuan bersifat pasif bukan karena alam. Mereka begitu hanya
karena budaya menuntut mereka begitu.
"Suatu hari aku mendekatinya dan mengundangnya ke pesta kecil yang akan kuadakan
dengan Munir. Tapi kamu tahu apa katanya?"
"Bahwa dia tak bisa berkencan dengan orang Muslim?"
"Bukan. Dia benar-benar berkata bahwa dia tidak tertarik pada apa pun selain
kuliah. Dia sudah terlalu sering melihat gadis meninggalkan kuliah setelah
bertemu lelaki, dan dia tak mau kalau sampai dia tidak selesai kuliah dan tidak
menjadi dokter. Dan lucunya, kurasa itulah sebabnya aku mencintainya," kata
Aziz, terdengar kaget. "Aku menyadari bahwa jika diberi kesempatan, perempuan
bisa setara dengan lelaki. Itu membuatku bertanya-tanya, mungkin inilah alasan
sebenarnya lelaki dan perempuan dipisahkan dalam Islam."
Aku tak sempat memikirkan hal itu. Aziz menggenggam kedua pergelangan tanganku,
lututnya menekan lututku. "Yang pasti, ibuku ingin aku bertemu dengan gadis
Harari baik-baik, tetapi kuliah kedokteran telah merusakku, tak sesuai lagi
untuk pernikahan tradisional. Tak ada gadis Harari yang seperti Minti. Lalu ada
kamu, farenji, dengan kemandirian dan keyakinan yang begitu besar, dengan
keinginanmu mengubah kehidupan anak miskin. Tak hanya keinginan-rencana dan
dampak. Aku harus bagaimana lagi?"
Aku menatap bekas jarinya di kulitku.
Faras Magala masih menggeliat. Pencandu qat memohon kepada penjual qat, orang
kota melakukan barter dengan petani, penjahit mendengung di mesin tua mereka,
kambing dan keledai buang angin dan buang kotoran, anak-anak merengek dan
melolong, dan pengidap lepra mengemis tanpa tangan dan kaki dan hidung. Buah dan
sayur sudah segar dan melimpah lagi pada akhir kemarau. Ini pertanda untung:
pencandu qat menjadi kasar semasa kemarau kemarin ini, seperti yang selalu
terjadi setiap kali obat mereka menjadi mahal atau tak tersedia, menyambitkan
hinaan dan batu kepada orang lewat.
Hanya ada satu taksi umum ke Dire Dawa sekarang ini. Minibus tersebut sudah
penuh ketika aku menyelinap naik, berisi beberapa orang Oromo yang kembali ke
kota-kota kecil di luar Dire Dawa dan dua perempuan Harari yang berangkat untuk
berbelanja atau mengunjungi kerabat sehari itu, dan dari mereka ini aku sengaja
menyembunyikan mukaku. 36 Memeluk Seorang Gadis Selama bertahun-tahun, sudah banyak orang Harari yang pindah ke Dire Dawa. Orang
Prancis telah membangun rel kereta dari Djibouti ke Addis Ababa pada pergantian
abad, dan Dire Dawa adalah salah satu perhentian di sepanjang rute delapan ratus
kilometer itu. Barang impor, sebagian besar dari India dan Cina, lebih murah di
situ karena diturunkan langsung dari kereta api.
Ada orang Harari yang pindah hingga ke Addis Ababa untuk mencari uang, dan
makmur dalam berdagang ke mana pun mereka pergi. Namun, sebagian besar dari
mereka tetap tinggal di kota lama, dan tak ada yang meninggalkan negara, kecuali
untuk berhaji. Orang Etiopia secara keseluruhan tak pernah meninggalkan
negaranya. Beberapa mahasiswa pergi ke barat untuk menimba ilmu, yang
direncanakan akan mereka manfaatkan di negara sendiri, tetapi tak ada emigrasi,
tak ada hal semacam diaspora; kata untuk hal-hal ini bahkan belum ada hingga
sejarah berlanjut. Aku keluar uang cukup besar untuk perjalanan ini, dan ketika bus keluar dari
alun-alun utama, aku melambaikan tangan ke belakang, air mata bergulir di
wajahku. "Kenapa kamu menangis, Sayang?" tanya seorang perempuan Oromo ompong dalam
bahasa Harari yang tengah memangku ayam.
Aku bersyukur bahwa dia berasumsi bahwa aku bisa bahasa Harari. Terlihat dari
pakaianku dan caraku membawa diri. Ditambah lagi matanya tertutup lapisan putih.
"Karena aku meninggalkan ibuku," jawabku sambil melihat lagi ke belakang,
berbohong karena aku benar-benar tak tahu jawabannya. Campur aduk" Sebagian.
Dusta semakin sering. Dan semakin mudah. Nouria dan Gishta merestui kepergianku,
meyakini bahwa aku ke Dire Dawa untuk menemui Sadia, dan kami akan menginap di
rumah saudaranya dan melewatkan akhir pekan guna berbelanja benda-benda yang
harus disediakan Munir dan keluarganya untuk rumah baru mereka nanti.
Ini bukannya mustahil; kami memang berencana melakukan hal ini tak lama lagi,
tetapi belum. Sadia dengan senang hati berkolusi dalam petualanganku yang riskan
ini, berkata dia akan menutupi jejakku jika, sebagai balasannya, aku berusaha
mengunjungi butik baru dengan barang impor fashinn gidir dari India dan
menghafal semua barang di raknya.
"Kamu putri yang baik," kata perempuan Oromo tua itu sambil membelai ayamnya.
Setelah sejam menempuh jalan gunung yang berkelok-kelok, kami sampai di dasar
gurun. Aku harus berdesak-desakan turun bus, sementara penumpang jurusan balik
berusaha berjejalan naik dengan membawa barang. Aku mengangkat kepala untuk
melihat dia, sebuah obelisk yang berdiri dengan kuat dan mantap di tengah alunalun yang penuh sesak ini.
"Lewat sini," katanya, memegangi sikuku menembus kerumunan, melewati warung buah
yang ditumpuki mangga tinggi-tinggi, kambing yang mencari-cari sayur, toko yang
memajang ember plastik berwarna primer, seorang bocah yang menyemir sepatu
meskipun dirinya tak mengenakan sepatu.
Kami membelok ke sebuah jalan indah, diapit pohon akasia yang meledak dengan
warna merah dan ungu, menciprati jalan dengan warna dan keteduhan. Gedunggedungnya, yang modern dan luas, berwarna aneka kuning dan merah jambu yang
ceria, serta putih yang bersih dan segar. Tumbuhan merambat menggelayut genit
dari tembok pagar, berkata: Di sini ada kehidupan dan kehidupan ini baik. Kota
ini jauh lebih bersih dan lebih cerah daripada Harar. Dan jauh lebih panas.
Udara diam tak berbisik dan matahari berkobar putih meskipun hari sudah sore.
Kami menyelinap ke gang di antara dua gedung, yang berujung di sebuah gerbang
logam biru cerah berkilat-kilat, dan aku mengikuti Aziz masuk ke halaman yang
kecil, teduh, dan rapi, terbuat dari ubin keramik kuning dan biru, air mancur
berhias di tengah-tengah. Rumah ini milik kakek Munir, dan Aziz tinggal di sini
setiap kali dia ke Dire Dawa, yang dilakukannya sesekali untuk mengambil buku
atau perlengkapan kedokteran.
"Mari kuperkenalkan," kata Aziz, mendaki tiga tangga ke ruangan utama.
"Persiapkan dirimu," dia memperingatkan aku. "Kakek Ibrahim!" teriaknya.
Seorang lelaki Harari kecil yang keriput, dengan rambut merah menyala karena
inai, sedang duduk di atas bantal, diapit secangkir air dan Al-Quran.
"Inilah gadis yang kuceritakan itu!" teriak Aziz. "Gadis Arab itu!"
Penglihatan kakek itu rupanya lebih buruk daripada pendengarannya, tetapi
kekurangan dalam kedua indra itu diimbanginya dengan kekuatan. "Ahlan wa
sahlan!" katanya dengan suara yang ternyata lantang juga. Selamat datang. "Kamu
pernah bertemu orang yang berusia 98 tahun?" tanyanya dalam bahasa Arab.
Aku tertawa dan berkata tidak, belum pernah. Dia lalu mengeluarkan gigi
palsunya, dan aku serta-merta memekik, menyebabkan dia tertawa tergelak-gelak
sehingga seluruh tubuhnya berguncang. Tiba-tiba, kakek itu melompat berdiri.
"Gigiku memang tak ada, tapi aku masih bisa menari!" teriaknya. Dia melompat
turun dari balai-balai ke lantai dan berlari ke halaman. "Lihat aku!" teriaknya
sambil mendengus, berlari berputar-putar, rambut ikal merahnya terpantul-pantul.
"Aku punya energi sebesar lelaki berusia setengahku! Semua istriku sudah mati!"
teriaknya. "Tak ada yang bisa mengimbangiku!"
"Itu benar," kata Aziz. "Sekarang dia sendirian di sini. Sebagian besar anaknya
sudah meninggal. Dia hanya punya cucu dan cicit sekarang."
"Kakek hebat," kataku.
"Aku sembilan puluh delapan tahun!" teriaknya lagi, sebelum berlari kembali ke
ruangan utama dan melompat ke balai-balai dan kembali duduk. Dia segera
memejamkan mata dan mulai mendengkur.
Aku meredam tawa. "Dia mengidap kondisi medis," bisik Aziz. "Narkolepsi. Dia bisa tertidur di
tengah kegiatan apa pun. Sejujurnya, kurasa itulah yang membuatnya awet muda.
Dia tentu tidur selama setengah hidupnya. Sebenarnya dia baru empat puluh
sembilan tahun!" Aku berjingkat-jingkat keluar ruangan dan mengikuti Aziz menaiki tangga sempit.
Balkonnya yang memperlihatkan halaman itu terbentang di sepanjang lantai satu.
Aziz mengantarku ke kamarku di satu ujung. Kamar itu berperabot sederhana,
tetapi ada tempat tidur. Aku belum pernah tidur di tempat tidur sejak di istana.
Tepi kasurnya melesak dengan berat tubuhku.
"Kusangka hanya orang kerajaan yang tidur di tempat tidur di Etiopia," kataku.
"Istri kedua Kakek orang Italia," kata Aziz, "dan dia bersikeras harus ada
tempat tidur. Dengan seprai katun Mesir. Dan cokelat lezat. Dia memesannya dari
Roma. Kutinggalkan dulu, ya" Nanti kujemput lagi ke sini untuk makan malam."
Aku merebahkan diri di tempat tidur, membiarkan pintu terbuka supaya aku dapat
menikmati matahari sore, dan menatap debu yang menari-nari di atas kepalaku.
Aneh rasanya berada di sini, bebas dari mata usil, merdeka dari tempat sempit.
Aku memikirkan si kakek dan istri Italianya. Bertanya-tanya bagaimana mereka
bertemu dan apakah si perempuan Italia itu belajar bahasa Arab atau Harari dan
masuk Islam, dan apakah mereka punya anak yang setengah hitam setengah putih dan
apakah anak-anak itu dibenci karena darah campuran mereka. Aku bertanya-tanya
apakah si kakek pernah ke Italia, main ski di Pegunungan Alpen. Aku iri pada
narkolepsi-nya dan tertidur.
Aziz berdiri di pintuku. Dia mengenakan setelan jas biru tua, yang lengannya
tampak kependekan. "Aku terpikir mengajakmu ke restoran Eropa untuk makan malam," katanya sedikit
kikuk. "Aku baru tahu ada orang Eropa yang tinggal di sini," kataku.
"Orang Eropanya sudah pergi, tetapi makanannya tidak. Ada restoran Italia yang
sangat istimewa di sini. Kita bisa makan apa pun yang kita mau-spageti, risotto,
lasagna. Semuanya dibuat di dapur mereka."
Aku meringis. "Sayangnya, aku tak punya pakaian bagus.
Dia menarik selendang dari belakang punggungnya dan menyodorkannya kepadaku-kain
sutra tipis warna ungu dan merah jambu, yang longgar dan indah. "Istri Italia
Kakek dulu sering memakai ini," katanya sambil memasukkannya ke tanganku.
"Indah sekali." Aku membelai kain lembut itu. "Tapi apa dia tidak marah
melihatku mengenakan ini?"
"Dia yang menyuruhku memberikannya kepadamu."
Aku meletakkan satu tangan di bahunya dan berjinjit untuk mencium pipinya. Saat
tubuhku mendekat, dia menangkup belakang kepalaku dan merengkuhku.
"Aku senang sekali kamu datang," bisiknya ke telingaku. Kurasakan jantungnya
berdebar-debar melalui jasnya. Dia berbau seperti korek api terbakar dan
kolonye. Aku memejamkan mata dan menghirup aromanya sebelum melangkah mundur dan
mengenakan selendang itu di kepalaku.
Dia mengaitkan lengannya ke lenganku, sementara kami menyusuri jalan yang gelap.


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dire Dawa ini tidak konservatif, dia meyakinkanku. "Harar begitu kolot. Aku
kadang jadi senewen," katanya.
Kami melewati tirai merah ke halaman kecil, di mana sebuah gubuk kayu menaungi
meja panjang yang ditutupi kain kotak-kotak merah-putih di bawah atap kain. Meja
itu diterangi lilin dan lentera yang digantung di bubungan. Sungguh istimewa.
Ini mengingatkanku sewaktu aku duduk di kafe bersama orangtuaku di suatu tempat
di Eropa. Tetapi, peristiwa seperti ini selalu riuh dan sesak. Di sini hanya ada
sepasang manusia yang duduk berdekatan di ujung meja, terlalu asyik berdua
sehingga tak melirik kami sedikit pun.
Seorang lelaki melangkah keluar dari bayangan dan menjabat tangan Aziz keras.
"Ciao, Girma," kata Aziz. "Senang bertemu denganmu." Mereka saling memegang
bahu. "Apa kabar" Apa kabar keluargamu-saudaramu yang nakal itu?"
"Ibsaa sedang di sini," kata Girma sambil merendahkan suara.
"Aku sudah bertahun-tahun tak bertemu dengannya!"
"Sejak universitas ditutup."
Aziz melangkah mundur, kaget. "Kapan itu terjadi?"
"Awal minggu lalu. Mahasiswa sedang unjuk rasa di luar istana."
"Karena inflasi?" tanya Aziz.
"Ini berawal ketika harga bensin dinaikkan. Mahasiswa turun untuk mendukung
sopir taksi; mereka bahkan mulai membakar bus-bus kaisar, tetapi polisi
mengakhiri itu dengan tongkat mereka. Tentu saja, ini malah membuat mahasiswa
semakin keras. Tapi kamu juga tahu, Aziz, mereka sendiri mencari masalah, mereka
terlalu muda, tak tahu bahwa mereka tidaklah tak terkalahkan."
"Tapi mereka benar, bertindak memperjuangkan prinsip mereka. Aku iri pada halhal yang tak mereka ketahui," kata Aziz.
Girma menghela napas. "Apa yang perlu membuat kita merasa iri" Kali ini beberapa
mahasiswa berhasil melewati gerbang istana dan, yah ... puf." Girma menaikkan
tangannya seolah sedang memegang senapan.
Aziz mendorong temannya melanjutkan, meskipun dia menggenggam bahuku dengan cara
yang mengungkapkan bahwa dia dapat merasakan rasa ngeriku yang kian besar.
"Jadi sekarang pemerintah melarang orang berkumpul untuk acara apa pun," lanjut
Girma. "Kalau kamu berdiri bersama empat temanmu di jalan dan membicarakan
cuaca, kamu bisa ditangkap."
"Tapi kita tak pernah melihat ini di televisi," cetusku.
"Kaisar mengendalikan stasiun televisi," kata Girma. "Kita juga tidak melihat
tukang sampah mogok kerja. Atau pegawai negeri. Atau jurnalis. Yang pasti,"
katanya sambil menangkup bahu Aziz, "cukuplah kita bicara politik. Kamu dan
temanmu datang ke sini untuk makan malam. Jangan sampai aku merusak suasana."
Aziz diam sejenak setelah kami duduk. Dia menatap tangan di pangkuannya.
"Kenapa kita tak pernah mendengar soal ini?" tanyaku kepadanya.
"Di Harar kita sangat terputus dari dunia," dia akhirnya berkata kepada taplak
meja. "Kita hanya mendengar secuil-secuil. Pemberontakan di sini, unjuk rasa di
sana. Orang terus menyebutkan semua ini insiden yang tidak saling berkaitan
karena sebagian besar terjadi di kota kecil, tetapi jika ini juga terjadi di ibu
kota, aku benar-benar ragu ..."
"Apa yang kamu ragukan?"
"Tidak." Dia menggeleng. "Sebaiknya aku tidak membiarkan diri mulai berkhayal,"
katanya, menyapukan telapak tangan di meja.
Girma menyerahkan menu kepada Aziz dan meletakkan dua gelas kecil. "Ini grappa,"
dia memberi tahu. "Di sini tidak konservatif," Aziz meyakinkanku kedua kalinya malam itu. "Kurasa
tidak ada salahnya orang minum sekali-sekali. Dalam situasi yang tepat. Dan
hanya kalau tidak menjadi kebiasaan dan membuatmu meninggalkan tanggung jawab."
Aku menyeringai. "Kamu sangat praktis. Muslim paling praktis yang pernah
kutemui." "Menurutku, disiplin sejati diraih dengan menyusuri jalan tengah. Aku memandang
peraturan hanya sebagai panduan untuk masa-masa ketika kita tak memiliki
kekuatan atau kearifan untuk memutuskan sesuatu sendiri."
Tapi itu pasti memerlukan keberanian besar, pikirku. Dalam banyak hal, lebih
sulit menjalani hidup di tengah-tengah daripada di pinggir. Lebih sulit
menafsirkan menurut situasi, karena dengan begitu kita tak memiliki jaminan
bahwa kita berbuat hal yang benar di mata Allah, tak ada keyakinan bahwa kita
akan mendapat pahala di akhirat.
Aziz memesan daging anak lembu, dan aku memesan sesuatu yang disebut gnocchi,
karena Girma menggambarkannya sebagai "setiap gigitan memiliki kesempurnaan".
Girma meletakkan serbet, pisau dan garpu. Aku memungut pisau dan membaliknya.
"Apakah kamu rindu bersantap dengan pisau dan garpu?" tanya Aziz.
"Aku senang makan dengan tangan."
"Tapi tidak terlalu higienis."
"Tapi lebih akrab. Rasanya pelit memiliki piring sendiri, rasanya salah menikam
makanan dengan logam. Makanan terasa enak dari tangan."
Dia mengangkat alis. "Dari mana kamu mendapatkan pikiran yang terbuka ini"
Apakah didikan dari orangtuamu?"
Aku menatapnya dan melihat pantulan diriku di matanya yang berbinar-binar.
"Kukira bisa dibilang begitu," jawabku, baru sekarang ini memikirkannya. Belum
pernah ada orang yang menanyakan hal seperti itu. Di bawah bimbingan Abdal
Akbar, aku diminta melihat ke depan, tak pernah ke belakang, seolah-olah
kehidupanku sebelumnya adalah zaman Jahiliah-masa kebodohan sebelum datangnya
Islam. Kenangan tentang orangtuaku ternoda. Didefinisikan dengan pertanyaan.
Apakah mereka pada dasarnya tak bermoral" Apakah mereka pantas mati" Entah
bagaimana, lebih mudah meyakini bahwa jawaban kedua pertanyaan itu adalah "ya".
"Mereka sangat senang bertualang," kataku dengan susah payah, tak tahu cara
mengungkapkannya dalam kata-kata. "Penuh gairah dan rasa ingin tahu tentang
kehidupan, tetapi justru hal-hal itu sering menyebabkan mereka agak serampangan
dan tidak bertanggung jawab."
Makanan kami datang, tetapi kami berdua tidak menyentuhnya, sementara aku
berusaha menarik sesuatu yang konkret dari masa pra-Islam yang kabur, yang
dilewatkan berkelana di Eropa bersama orangtuaku. Saat-saat bahagia terasa
langka dan hanya sebentar-sebentar, dijalani dengan latar ketakpastian dan rasa
kesepian yang tidak jarang.
"Aku mengerti mengapa Islam begitu menarik bagimu," kata Aziz sambil menawariku
gigitan pertama-sedikit daging anak domba dari ujung garpunya. "Di sini kami
dilahirkan dalam Islam," katanya. "Kami tidak diminta memilih hidup ini atau
itu. Barangkali masalahnya adalah hidup satunya harus diapakan setelah kita
memilih hidup yang ini."
"Memang masalah," kataku. Kau mengabaikannya. Atau kau mengutuknya. Kau
menganggap non-Muslim-termasuk, mungkin sekali terutama, orangtuamu-sebagai
hedonis. Kau menyebut mereka egois dan tidak beretika, karena hal itu lebih
mudah daripada harus mendamaikan semuanya. Dan kau berusaha menjadi orang baik
dalam hidupmu yang baru. Kau berusaha menjadi Muslim yang sangat baik. Tetapi,
lalu kau bertemu dengan lelaki yang mengatakan bahwa penafsiran yang jauh lebih
liberal itu mungkin dilakukan-minum sesekali, berduaan dengan gadis. Dan kaulah
gadis itu. Dan kau berduaan dengan lelaki itu. Dan kau mendapati dirimu
mengompromikan segala yang kau sangka kau yakini agar berada di sini bersamanya.
Dan ironisnya, meskipun keadaan terasa jauh lebih tak pasti dalam banyak hal,
jika dibandingkan dengan ketika kehidupanmu adalah eksistensi tak bernama yang
diatur oleh keinginan hati orangtuamu, kau tak bisa menahan keinginanmu untuk
berada di sini. Aku tersentak keluar dari pikiran itu, dengan berani mengangkat gelas grappa-ku.
"Dalam bahasa Prancis, orang berkata: demi kesehatanmu."
Api mengoyak tenggorokanku.
Berjam-jam kemudian, kami terhuyung-huyung bersama di jalanan yang hampir
lengang, dengan perut penuh kue dan kepala penuh grappa. Aziz menceritakan kisah
tentang neneknya, wanita buta yang katanya memiliki kekuatan penyembuhan dalam
sentuhannya. "Dia sangat percaya pada wali," katanya, "sering mengunjungi makam keramat Ay
Kulleeyay, wali pelindung gerabah pecah, dan Aw Warika, wali yang dapat
melenyapkan kutil-terutama yang besar-besar dan ditumbuhi bulu hitam."
Aku tertawa tak percaya, tetapi Aziz bersikukuh bahwa dia serius. "Sungguh, ada
wali untuk hampir setiap masalah yang bisa kamu bayangkan. Kalau kutilnya kecil,
datang ke Sidi Abou saja."
Aku meraih mansetnya dan menghentikannya di jalan. "Kamu tidak memercayai wali,
ya?" "Aku yakin bahwa orang percaya," katanya, memalingkan muka sambil
mempertimbangkan pertanyaan itu. "Mereka perlu memercayai sesuatu yang lebih
dekat daripada Allah, karena Allah sering terasa terlalu jauh."
Dia benar: wali menawari kami tangga untuk mencapai-Nya dengan lebih mudah. "Dan
wali mempersatukan umat," aku menambahkan.
Dia mengangguk. "Benar. Atau setidaknya iman pada wali itu yang mempersatukan."
"Sama saja," kataku, terdengar jauh lebih yakin daripada yang kurasakan.
* Malam itu panas, malam tentang ingatan yang dikenang dengan latar dengkuran
keras si kakek di bawah. Aku menjadi penonton yang enggan, menyaksikan
orangtuaku merangkak menaiki lubang kelinci dan melepaskan kostum. Mereka
biasanya di bawah tanah. Di bawah kaki kita, di tempat tinggal bangsa jin.
Jauh lebih mudah menganggap mereka terpisah, membagi dunia menjadi dua: lelaki
dan perempuan, mati dan hidup, hitam dan putih, sesat dan Muslim. Lebih mudah
bersikap getir dan mengutuk, menyangkali hubungan dan menjaga jarak, karena
tanpa ada penghakiman, seperti yang kutemukan dengan tuntunan Aziz, rasa damba
mengintai. Philip dari Basingstoke dan Alice dari Dublin, dua orang yang mati saat mencari
kehidupan yang lain. Dan putri mereka, yang mungkin sedang menjalani kehidupan
yang tak berhasil mereka raih. Alice, melalui cermin, telah menjadi Lilly ... dan
Lilly, di hadapan Aziz, tersingkap tabirnya.
Lelaki itu berdiri bagai malaikat di pintu, bertelanjang kaki, cahaya bulan
memijarkan rambutnya. Dia menarik napas dan melangkah hati-hati ke dalam kamar,
lalu duduk di tepi tempat tidurku. Katanya rambutku terasa aneh: licin, hampir
basah. Dia menyentuh pipiku.
"Apa ini?" tanyanya sambil menghapus air mata dari daguku. "Kenapa, Lilly" Ada
apa?" "Aku tak tahu," bisikku. "Aku cuma memikirkan ayahku."
"Aku ikut sedih," kata Aziz. "Sekarang kamu rindu padanya."
"Aku hanya memikirkan tentang masa ... masa kami berada di pantai di luar Tangier.
Ada sekelompok perempuan berpakaian hitam, duduk berdekatan di bawah payung,
menunjuk-nunjuk kami dan menggelengkan kepala. Aku bertanya pada ayahku, kenapa
mereka memakai pakaian seperti itu, bahkan di pantai, dan katanya mereka
melakukan itu demi agama. Tapi apakah mereka tidak kepanasan" tanyaku kepadanya,
dan katanya: aku yakin mereka kepanasan, tapi mungkin ada hal lain yang lebih
penting bagi mereka. "Apa misalnya" tanyaku ingin tahu. Kami sedang mengeringkan tubuh, bersiap-siap
pergi, dan kata ayahku: Mungkin suatu hari nanti kamu akan mendapat kesempatan
untuk menanyai mereka. Aneh-seolah-olah dia tahu, entah bagaimana, bahwa aku
akan mendapat kesempatan itu. Bahwa dunia itu akan menjadi duniaku. Tapi saat
itu aku berkata: Mereka membuatku takut. Dan seperti yang diingatkan ayahku,
tampaknya mereka juga takut pada kami."
Aziz berbaring telentang di sebelahku, kepalanya berbagi bantal denganku,
tangannya kaku di kedua sisi tubuh. Aku menarik lengan kanannya ke bawah
kepalaku dan meletakkan pipiku di atas dadanya. Dadanya hangat dan mantap,
jantungnya nyaring, dan dia berbau keringat samar, seperti cabai dan asap kayu
di dapur Girma. Dia menyatukan tangannya untuk menahanku di situ.
Aku mengamati wajahnya yang lembut, sementara muazin membangunkan dunia.
Saat itu, aku berharap agar waktu berhenti. Tapi itu hanya harapanku.
"Aziz! Kenapa kamu belum bangun, Anak malas?" teriak si kakek dari halaman di
bawah. "Usiaku sembilan delapan dan energiku lebih banyak daripada kamu!" lanjut si
kakek. "Alihkan perhatiannya, Lilly," bisik Aziz.
Aku merapikan diri-ku, lalu menyelinap keluar pintu dan melongokkan kepala ke
balkon. "Selamat pagi, Kek," seruku dari langkan. "Apa kuketuk saja pintunya?"
Aku berpura-pura melakukan itu. "Tak ada jawaban," seruku dari balkon. "Bukannya
dia bilang dia harus keluar pagi-pagi" Kakek tidak ingat" Mungkin Kakek
tertidur." "Mungkin," si kakek mengakui. "Kalau begitu, kamu turun dan sarapan denganku,
ya" Aku sudah sejam lebih menunggu ditemani makan."
"Tentu saja," jawabku, memegangi diriku dengan satu tangan dan menuruni tangga
kayu. Tapi bagaimana mungkin sejam berlalu sejak azan"
Aku duduk bersama Kakek Ibrahim di ruang utama, menyobek-nyobek injera untuk
menyendok kacang koro, tetapi aku nyaris tak mampu memaksa diriku menyantapnya.
"Dari mana asalmu, kata Aziz kemarin?" tanya si kakek.
"Yaman," jawabku tanpa ragu.
"Ah, iya, rumah sejati Ratu Sheba yang agung." Dia mengangguk. "Aku tak percaya
cerita orang Amhara bahwa Ratu Sheba itu orang mereka. Kurasa mereka hanya
menciptakan mitos itu untuk meyakinkan diri mereka, bahwa mereka semacam ras
unggul pilihan Tuhan. Yang pasti ... jangan biarkan aku mulai ... kata Aziz, kamu
mengunjungi keluarga di sini?" "Di Harar."
"Hah," katanya sambil melambaikan tangan mengabaikan. "Aku tak mengerti kenapa
Munir dan Aziz bersikeras ingin bekerja di sana. Rumah sakit di sini jauh lebih
bagus, dan orang tidak terlalu bertakhayul soal ini. Aku tak tahan semua omong
kosong itu-wali dan mukjizat dan hal yang mereka lakukan pada anak perempuan.
Itu semua adat, bukan Islam. Hanya bohong," katanya. "Percayalah, aku menikah
bertahun-tahun dengan perempuan Italia. Dia cantik dan suci. Tak ada yang kotor
dan berbahaya dalam dirinya."
Aziz bergabung dengan kami, sudah berpakaian dan bercukur. Dia menatapku luruslurus dan tersenyum. Aku merasakan kulitku terbakar merah dengan rasa bersalah.
"Datang juga kamu, anakku!" teriak si kakek. "Bagus. Kalau aku berduaan lebih
lama di sini dengan gadis memesona ini, aku bisa-bisa mulai percaya, akhirnya
aku menemukan istri yang cukup muda yang bisa mengimbangiku!"
37 jK^ami pulang ke kota yang berbeda. Selama ini Pasukan Kekaisaran tak pernah
masuk, tidak mencampuri urusan orang Harari, tetapi tiba-tiba kami melihat ujung
jari, diikuti putihnya mata, saat tentara mulai mengintip di atas tembok.
Dua tentara berpenampilan lusuh menghentikan minibus yang kutumpangi dari Dire
Dawa dan menginterogasi sopirnya. Dia terpaksa menyelipkan uang kepada mereka
sebelum mereka membolehkan bus itu melewati gerbang kota. Si sopir menaikkan
jendela. "Mereka sudah terjangkit flu Negele," akhirnya seorang penumpang berkata.
"Kudengar para tentara sedang sakit," kataku kepada Aziz ketika kami bertemu
lagi di bercha, "flu Negele."
"Siapa yang bilang?" tanya Munir tiba-tiba. "Aku menguping seseorang berkata
begitu." Ternyata Negele adalah kota di Provinsi Sida-mo. Tentara di sana
melancarkan pemberontakan
Mata yang Mengintip di Atas Tembok
setelah inflasi membuat mereka tak mungkin membeli teff atau beras. Mereka hidup
dengan makan kulit kentang berjamur dan air, menuntut kenaikan gaji, sementara
para perwira terus menjejali perut dengan daging dan injera, dan bir. Tentara
menodongkan senapan ke pelipis para perwira senior, berkata bahwa mereka
melakukan ini atas nama kaisar, menyiangi korupsi dan ketaksetiaan di jajaran
kekaisaran dan memberi ganjaran kepada mereka yang benar-benar melayani rezim
kekaisaran. "Flu ini sangat menular," kata Aziz.
"Akhirnya terjadi juga," kata Munir.
Aku tak tahu apa maksud Munir, karena flu Negele semakin menyulitkan kami kaum
perempuan saat kami ke pasar. Tentara luntang-lantung di sana, bersandar pada
senapan, mengulurkan tangan untuk menjamah perempuan yang lewat. Kaum lelaki
marah pada istri mereka yang enggan pergi ke pasar, lalu marah pada istri mereka
yang pergi ke pasar dan dihentikan tentara. Aku dan Nouria menghadapinya jika
perlu, tetapi aku menjadi "si farenji" lagi. Nouria melihat betapa marah aku
dibuatnya, jadi dia memintaku agar tidak khawatir, bahwa dia akan pergi
sendirian. Dia pulang dari pasar dengan rasa jijik, mandi bersih-bersih setelah
dijamah para lelaki ini, yang kotor, dan bau daging Kristen dan air seni, serta
bir. Televisi menampilkan Haile Selassie tersenyum, menyambut pejabat dari negara
asing, bepergian ke provinsi-provinsi selatan, tempat ribuan rakyatnya
mengenakan kostum suku dan tampak takjub dan bersujud di tanah di depannya.
Seluruh desa menari, menyanyi, "Hidup sang kaisar, Raja di Antara Raja."
Kami menonton adegan kunjungan ke Jamaika, tempat kerumunan yang berambut
panjang dan bersuka ria berseru, "Jah Rastafari!" dan melambai-lambaikan poster
yang berbunyi "Selassie adalah Kristus." Dia menjadi Ras Tafari hingga tahun
193D, yaitu tahun dia dinobatkan sebagai Negusa Negast, atau Raja di Antara
Raja, dan mengambil nama Haile Selassie, yang berarti "Keperkasaan Trinitas."


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
"Lihat itu," seru Aziz, "mereka mendaur ulang berita lama! Ini terjadi bertahuntahun yang lalu!" "Dan kamu tahu lelucon soal ini, Lilly?" Munir menunjuk lelaki kecil bermedali
di layar. "Sementara orang-orang Jamaika ini memandang dia sebagai lambang besar
kemerdekaan Afrika, sang kaisar menyangkal bahwa orang Etiopia adalah orang
Afrika! Orang Etiopia adalah putra Raja Solomon dari Yerusalem, begitu mereka
mengklaim. Setidaknya orang Amhara."
"Jelas bukan orang Oromo," kata Aziz. "Mereka tak pernah mengikutkan orang Galla
..." "... atau orang Shankilla."
"... atau orang Falasha."
"... atau orang Barya."
"Mereka punya julukan menghina untuk semua suku, kecuali suku mereka sendiri,"
kata Aziz. "Dan orang Harari," tambah Munir. "Mereka tak punya julukan untuk kita."
"Tidak, mereka hanya menyebutmu si pelit yang tamak dan egois, yang rela menjual
anak sendiri demi uang. Kalianlah orang Yahudi sejati bangsa Etiopia."
"Itu termasuk kamu, Aziz," kata Munir.
"Oh, ya?" bentak Aziz.
Mereka berdua menghela napas kesal dan berpaling.
* Para tentara semakin dekat, berani menghampiri masjid: mereka berjaga di luar
gerbang perempuan saat kami membanjir masuk untuk shalat Jumat, menghina dengan
ejekan cabul dan gerakan kurang ajar. Kaum perempuan ambruk di tangga ke pintu
masuk masjid, tidak suci lagi dan tak bisa masuk.
Begitu sang imam menyadari bahwa sebagian besar jamaahnya tidak hadir, dia
sendiri datang untuk melihat apa masalahnya. Dia menyuruh para asistennya
membawa berember-ember air supaya kaum perempuan dapat berwudhu membersihkan
najis dan bersama-sama, sebagai suatu umat, kami memulihkan diri dan bersujud
dalam shalat. Jumat berikutnya, kaum lelaki dari dewan tetua, para lelaki terkemuka dengan
kupluk dan janggut putih yang rapi, membentuk pagar manusia di antara kami dan
tentara saat kami berbaris masuk melalui gerbang perempuan. Tentara tidak berani
menumpahkan kejahatan mereka di atas kepala para pemimpin umat kami. Mereka
berdiri diam dan mengejek, sambil mengamati kami lewat.
Namun, imam kami tidak hadir hari itu, dan tampaknya tak ada yang ditunjuk untuk
menggantikannya. Kasak-kusuk merebak ke seluruh jamaah. Mungkin dia menghilang
seperti si muazin, orang-orang berkata-spekulasi yang menimbulkan rasa seram di
hati semua orang, karena jika muazin dan imam tidak aman, apalagi kami.
Syaikh Jami menyerukan agar kami tenang dan tertib, menenteramkan hati, meyakini
iman sebagai panduan kami.
Setelah itu, aku mengorek informasi dari Gishta. "Apakah sang syaikh mengatakan
sesuatu, mengatakan apakah memang benar sang imam menghilang?"
"Dia tak pernah membicarakan hal seperti ini denganku," kata Gishta. "Tapi
setiap malam Selasa aku bisa mengorek apa pun yang kuinginkan darinya, jadi beri
aku waktu sampai hari itu, aku akan mencoba mencari informasi."
Namun, sebelum hari Selasa, dewan tetua berkumpul untuk membahas situasi itu.
Mereka mengirim utusan ke semua lingkungan, memberi tahu warga bahwa kami harus
berhati-hati, melangkah lebih pendek, mematuhi jam malam yang baru saja
ditetapkan tentara, yang melarang orang di jalan setelah jam enam malam.
Semua orang diam, tak yakin apa makna ini semua. Alasan tidak diberikan,
implikasi tidak dijelaskan. Selama sehari orang terkurung di rumah masingmasing, seolah-olah tak ada yang perlu bekerja, menjaga toko, menjaga warung,
mengerjakan PR, membeli sayur, menyiapkan makanan, memberi makan anak.
"Komite" adalah kata di bibir Gishta pada hari Rabu. Ada semacam komite yang
diorganisasi oleh dewan perwira militer dan kesatuan polisi, yang baru dibentuk,
ditunjuk untuk menyelidiki korupsi atas nama kaisar. Syaikh Jami memberi tahu
Gishta bahwa mereka telah mendakwa sang imam tidak setia kepada kaisar, meskipun
dia tidak tahu atas dasar apa, karena komite ini tidak menawarkan penjelasan.
Dan mereka juga yang bertanggung jawab atas menghilangnya si muazin, juga
beberapa orang lain yang tidak begitu terkemuka, selama dua bulan terakhir ini.
"Berpeganglah pada iman" adalah pesan Syaikh Jami. "Orang benar akan diberi
pahala; penjahat akan dihukum."
Aku punya iman, tetapi aku juga ingin informasi lain. Aku menuju rumah sakit
setelah makan siang, mengambil jalan di luar tembok untuk menghindari tentara di
gerbang utama. Namun, jalan lebar tempat berdirinya rumah sakit tampak lengang,
dan pintu depan rumah sakit tertutup, tak seorang pun penjaga terlihat. Aku
melihat ke sepanjang jalan, semakin cemas, karena tak ada orang, tak ada
gerakan, kecuali sepasang kambing yang tidak tahu apa-apa, menggigiti kutu di
pergelangan kaki mereka. Lalu aku menyadari bahwa gerbang yang biasanya dijaga
dan menutupi kediaman kerajaan di seberang jalan rumah sakit kini terbuka lebar.
Aku maju beberapa langkah dan kulihat pintu itu rusak seperti wajah yang dirusak
cacav air. Aku berlari, kehilangan sebelah sepatu, tetapi terus berlari di tengah jalan
lengang itu ke pintu masuk terdekat-gerbang utama, yang dijaga dua tentara.
Seorang menghentikanku dan mengatakan sesuatu dalam bahasa Amhara, tetapi aku
hanya mengerti "Miss Farenji." "Capisce questo?" tanyanya kemudian, sambil
memegang bagian depan celananya. Tentara temannya tertawa dan memukul lengannya
dengan senapan. Aku melesat melewati pintu salah satu toko di dekat gerbang.
Pertama-tama kusangka toko itu kosong, tetapi si pemilik perlahan-lahan bangkit
dari ruangan belakang di mana dia sedang mengunyah qat, menarik tirai dan
menatapku. "Haji Mahfouz," kataku, lega melihat wajah yang kukenal dari lingkungan.
"Kamu mau apa?" tanyanya, tanpa menyapaku.
"Tentara itu," aku terengah-engah sambil menunjuk ke jalan.
"Aku tak mau masalah dibawa ke tokoku." Dia melangkah mengitari meja kasir dan
membuka pintu. Lagi, aku lari. Aziz sedang di rumah, Munir bersamanya, keduanya masih mengenakan pakaian rumah
sakit, sewaktu aku tiba dengan tersengal-sengal, jilbab di bahuku, tak mampu
mengeluarkan kata-kata. "Coba tarik napas dulu," kata Aziz sambil membawakan segelas air. Aku
membenamkan kepala di kedua tanganku, berusaha memulihkan diri.
"Apa yang terjadi?" akhirnya aku bertanya. "Tadi aku mencarimu ke rumah sakit ..."
"Itu riskan sekali," kata Munir.
"Tapi dari mana aku bisa tahu?"
"Kamu sudah dengar pesan dari para tetua-saat ini tidak aman, terutama di luar
tembok." "Aku cuma ingin menanyakan sesuatu padamu, sesuatu yang kudengar tentang
komite." "Sekarang bertanya pun tidak aman, Lilly," kata Aziz. "Kenapa kamu tidak
mengindahkan syaikh-mu, yang berkhutbah agar kalian lebih rajin beribadah?"
Dia meremehkanku, aku sadar. Dia tidak percaya bahwa iman adalah jawabannya,
setidaknya bukan untuknya. Dia menyuruhku ke pojok seperti anak-anak. Atau
seperti perempuan. * Komite itulah yang bertanggung jawab atas tindakan menyatroni kediaman kerajaan
dan menculik duke dan duchess kembali ke ibu kota. Lalu tentara menduduki itu.
Dan di mana sang kaisar dalam semua ini" Mengangguk-angguk mendukung, rupanya.
Tetapi, mengapa kaisar menganjurkan penangkapan anggota keluarganya sendiri" Dan
mengapa aku harus mengandalkan Gishta untuk mendapatkan informasi yang dikorek
dari Syaikh Jami setiap Selasa malam, padahal Aziz dan Munir jelas-jelas tahu
apa yang terjadi" Percakapan mereka setiap Sabtu menjadi lirih, padahal
kelihatan bahwa banyak yang ingin mereka bicarakan. Mereka tidak tertegun dan
lumpuh seperti kebanyakan orang yang kukenal, tetapi malah tergugah, dan
percakapan mereka tampak mendesak. Aku tidak berani menyela dengan bertanya; aku
sudah diperingatkan. Selain Sadia, gadis-gadis lain tak menghadiri bercha lagi, lebih suka dekatdekat dengan rumah sendiri. Para pemuda yang lain merasa dikecualikan oleh Aziz
dan Munir, dan berkumpul di rumah Tawfiq untuk bercha, dan maaf, kata Tawfiq, di
sana tak mungkin menerima perempuan.
Pada suatu Sabtu di musim panas itu, aku muncul di rumah paman Aziz seperti
biasa. Kakek itu menyapa seperti biasanya, menyambut dengan isyarat, silakan
masuk, tetapi ruangan itu kosong. Aku menemukan termos teh dan kendi air yang
biasa di lantai, juga setumpuk kecil qat, tetapi tak ada orang lain, sampai
Sadia tiba beberapa menit kemudian dan berkata, "Kata Munir, mereka ada urusan
hari ini." Dia tidak bisa atau tidak mau menjelaskan lebih lanjut.
"Kamu mau qat?" tanyanya tanpa minat, melambaikan satu tangkai.
Aku mengangkat bahu. "Tidak juga." Tujuan utamaku ke sini adalah kumpul-kumpul.
Berkumpul dengan Aziz. Kami menyalakan televisi. Di ibu kota sedang turun hujan. Kecuali satu atau dua
anggota Pengawal Kekaisaran, sang kaisar berdiri sendirian di balkon, bersiapsiap berpidato. Dia berdiri dalam hujan dan berbicara kepada seluruh negeri,
berbicara dengan penuh welas asih tentang kelaparan di utara. Aku yakin kami
belum pernah mendengarnya menggunakan kata kelaparan sebelum ini. Dia menekankan
kemajuan yang dicapai dalam perkembangan ekonomi dan memuji tentara dan polisi
atas kesetiaan mereka yang menggebu-gebu dan tiada surut, juga karena memandu
komite yang sedang memberantas korupsi dari negeri ini.
Namun, apakah dia menangis sambil berbicara" Mungkin itu hujan, tetapi selama
bertahun-tahun setelahnya, orang, baik yang benar-benar melihat siaran itu atau
tidak, berkata bahwa mereka menyaksikan kapan tepatnya sang singa mulai mati.
Dengan pidato singgasana itu, telah menjadi jelas: dinasti dua ribu tahun ini
sedang hancur lebur di depan mata kami.
38 Sebentang Pantai, Sebuah Jembatan J^Vku dan Nouria kini bekerja menjahit cangkang keong laut pada bibir keranjang
yang sudah selesai. Pekerjaan yang membosankan itu berhasil mengimbangi sebagian
ketakpastian yang mengelilingi kami. Kami bekerja sambil bernyanyi , lagu rakyat
yang diajarkan Gishta tentang anak-anak Harari yang tersesat di alam liar dan
dibawa pulang hyena yang mereka tunggangi, tentang Nabi Nuh dan hewan, dan
tentang gadis-gadis yang secara keliru menikah demi cinta.
Nyanyianku berhenti ketika pagar terbuka suatu sore dan Aziz melangkah masuk.
Keseriusan wajahnya membuatku berdiri tegak, cangkang tumpah dari pangkuanku ke
tanah. Dia menyapa Nouria dan Gishta, yang tetap duduk, dan menyunggingkan
senyum sebelum mengajakku bicara dalam bahasa Inggris.
Dia tidak membuang waktu. Dia minta maaf karena tidak datang hari Sabtu
sebelumnya, tetapi katanya dia perlu berada di tempat lain pada waktu luangnya, dengan kelompok
orang lain, dan dengan demikian mengakhiri bercha kami secara resmi. Aku mati
rasa. "Rapat," katanya, ketika aku meminta informasi lebih. "Tentang apa yang sedang
terjadi." "Tapi apa yang sedang terjadi?" "Perubahan," katanya lirih. "Tapi tak
bisakah aku terlibat?" "Sayangnya, tidak dengan kelompok ini. Kami berkumpul di
luar kota." "Tapi aku pernah keluar kota bersamamu, Aziz," aku mengingatkan, bertanya-tanya
apakah ini berkaitan dengan gudang senjata di bawah lelaki tanpa mata itu.
"Rapat ini hanya untuk lelaki." Aku tertegun. "Tapi katamu, kamu meyakini lelaki
dan perempuan itu setara, setidaknya jika diberi kesempatan. Minti. Masih
ingat?" "Sekarang tak ada waktu untuk memberi kesempatan."
Aku menatapnya dingin. "Dengar, Lilly, tidak semua orang seperti aku dan Munir. Sebagian lebih
konservatif dan lebih suka garis antara lelaki dan perempuan ditarik lebih
tegas, terutama dalam urusan politik. Ini masalah prioritas."
Dia lebih memilih ini daripada aku. Entah kenapa, ini mengingatkanku pada
kelompok perempuan di pantai Maroko itu. Berpakaian hitam. Tidak merasa gerah,
kata ayahku, karena hal-hal lain lebih penting bagi mereka. Tetapi, aku sudah
menanggalkan kain hitamku demi berdekatan dengan Aziz.
"Kenapa, Aziz?" aku memohon.
Bidadari Dari Sungai Es 17 Siluman Ular Putih 07 Tombak Raja Akherat Kaki Tiga Menjangan 43

Cari Blog Ini