Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb Bagian 5
"Karena kebutuhan orang banyak harus didahulukan daripada kepentingan sendiri,"
katanya, sama sekali tidak kedengaran seperti dirinya.
"Tapi bagaimana ujianmu bulan depan?"
"Itu harus menunggu."
"Kamu memilih tinggal di sini daripada menuntut ilmu di Kairo?"
"Sekarang ini, kalau perlu memilih, ya. Ya, aku pilih di sini."
"Tapi kusangka kamu menginginkan pendidikan lanjut itu, supaya kau bisa menolong
lebih banyak orang. Itu juga bermanfaat bagi orang banyak."
"Itu cara pandang yang sangat Barat," katanya.
Rasanya seolah-olah jembatan di antara kami telah runtuh. Atau lebih tepatnya,
baru saja dia ledakkan. Aku tidak sempat mempelajari kehancuran itu. Begitu dia pergi, Gishta
mendekatkan tubuh dan menepuk tanganku.
"Ini jalan terbaik," kata Nouria.
Aku masih terlalu kalut, tidak menjawab.
"Dia harus menikah dengan gadis Harari," kata Gishta. "Andai dia Harari murni,
mungkin dia punya pilihan. Pilihan lelaki dalam hal-hal seperti ini lebih
sedikit daripada pilihan perempuan."
Mereka jelas tahu bahwa aku dan Aziz memiliki suatu hubungan, tetapi rasa legaku
bahwa mereka tidak marah hanya terasa sekilas. Maksud Gishta, bagian-bagian kami
berdua tak akan bisa membentuk satu Harari utuh jika digabungkan. Aku marah
bahwa dia mereduksi semuanya, sekali lagi, menjadi masalah pernikahan, padahal
ada masalah yang lebih besar saat ini.
"Ini tidak berkaitan dengan itu!" seruku, tetapi segera menyesal membentaknya.
Jika perempuan memang dijauhkan dari politik, aku tak bisa menyalahkan mereka.
Inilah politik mereka. Masalah hati.
Bagian Ketujuh London, Inggris 1988 Membantai Tangkai 39 11 Wah ," Hany a itu yang dapat kuucapkan.
"Kamu tak suka?" tanya Amina sambil menjulurkan leher untuk melihat bagian
belakang roknya. "Yaa pilihannya agak tidak biasa." Motif kotak-kotak, sedikit di atas lutut,
baju bekas, dan berbau kamper dan nilam, seperti tokonya.
"Ini fashinn gidir!" katanya.
Mungkin memang begitu. Hanya saja aku tak pernah membayangkan dia memakainya,
tak mampu membayangkan dia memakainya, bahkan pada saat ini, saat dia sedang
memakainya. Dia menarik tirai hingga tertutup, melepaskan rok itu, dan hampir merobek tirai
itu dari relnya saat dia keluar lagi dan berderap melewatiku dan menghempaskan
rok itu di meja kasir, saat seorang remaja, yang bibirnya ditindik, mengambil
uangnya dengan senang hati. Tiga belas setengah pound untuk rok berjamur.
Namun, ada acara khusus-ulang tahun pertama kedatangan Yusuf di London. Lelaki
itu bersikeras bahwa dia tidak ingin pesta besar, hanya keluarga
serta Mr. dan Mrs. Jahangir, dan meskipun menurut adat, biasanya kami merayakan
sesuatu dengan sebanyak mungkin orang, kami menurut.
Selama tiga malam terakhir kami menyiapkan jamuan makanan istimewa, hidangan
yang biasanya hanya dibuat untuk pernikahan dan orang yang pulang berhaji. Ada
mulukhiya, sup hijau kental yang muluk, yang kami peroleh dari bangsa Mesir
ketika seabad silam mereka menduduki Harar sebentar; sambusa, yaitu kue samosa
kecil yang diperkenalkan pedagang India; misr wat, yaitu sup kacang koro yang
kami pinjam dari bangsa Sudan; spageti Bolognese, yang diperkenalkan bangsa
Italia ke dalam pola makan kami; ruz bi laiban, yaitu puding nasi dari bangsa
Arab lewat bangsa Inggris; dan ankhar mahtab, sup babat, mungkin makanan yang
paling tidak enak dari semua hidangan, tetapi satu-satunya yang dapat kami sebut
sebagai milik kami sendiri.
Amina membakar dupa untuk menutupi bau bawang bombai goreng yang santer dan kami
menyanyikan lagu rakyat sambil beradu siku di tempat yang sangat sempit ini.
Kami kini mengeluh, padahal dulu kami pernah menciptakan mukjizat dari air
sungai cokelat, sayur dan buah berbumbu, dan daging yang tidak didinginkan, yang
kami masak di atas api kayu, dengan asap menyekat mata dan noda hitam menghiasi
wajah, sambil menyeka kening dengan sudut rok dari panas gerah semasa kemarau
ketika kami bahkan tak bisa mandi atau mencuci pakaian.
Aku menutupi meja dengan taplak yang dibeli Amina di toko obral-rusa kutub dan
buah jeruju, didiskon di bulan Juli-dan mengatur piring dan mangkuk mewah
bertepi emas, supaya orang dapat mengambil makanan sendiri. Amina meletakkan
satu piring tambahan. "Sudah cukup," kataku.
"Lebih baik kelebihan satu daripada kekurangan," katanya sambil berputar-putar
dalam rok barunya. Bau kampernya masih tercium.
Tamu kehormatan kami tiba pada pukul enam, siap membuyarkan mirqana yang
dicapainya dengan kaum lelaki Oromo di ujung lorong, membawa sekaleng bir. Dia
mengagumi pakaian istrinya. "Sangat modis," katanya, matanya berbinar-binar saat
menatap lutut istrinya. "Masya Allah," gumamku dan berpaling. Yusuf sudah setahun lalu tiba, tetapi baru
sekarang dia pulang kepada istrinya.
Mrs. Jahangir membawa anak-anak. Lidah dan bibir Sitta dan Ahmed tampak merah
cerah, meskipun Mrs. J bersumpah dia tidak merusak selera makan mereka dengan
permen. Mr. Jahangir mengikuti, mendengus secara dramatis karena hadiah darinya
begitu berat-hadiah untuk Yusuf, papan catur berat yang terbuat dari kuningan,
disertai permintaan maaf tentang akhir permainan mereka sebelumnya.
Setelah semua orang tiba dan menanggalkan sepatu, Amina menekan play di pemutar
kaset. Yusuf berseri-seri saat suara penyanyi kesukaannya memenuhi ruangan.
"Dari mana kamu menemukan ini?" tanyanya kepada istrinya.
"Dia sekarang tinggal di Norwegia. Aku menyurati dia."
Bayangkan. Seseorang yang begitu terkenal di Etiopia sehingga mempekerjakan
sekelompok pengawal pribadi, sepasukan pelayan, harem perempuan yang tersungkur
di kakinya, sekarang adalah lelaki yang tinggal sendirian di flat subsidi kecil
di pinggiran kota Oslo, menyantap haring acar dengan roti bakar kering untuk
makan malam, menerima surat dan menuliskan balasannya dengan tangannya sendiri.
Amina baru hendak mengambil surat itu untuk membuktikannya, ketika terdengar
ketukan di pintu. "Kita tidak menunggu tamu lain, kan?" tanyaku.
Dia melewatiku, membuka pintu, dan di sana berdirilah Robin, memeluk dua ikat
besar bunga, dibungkus kertas ungu.
Aku ingin membunuh Amina-tunggu, tidak jadi-aku benar-benar bisa mencekiknya.
Robin meletakkan seikat di tangan Amina dan menawarkan seikat lagi kepadaku
lewat atas bahu Amina. Dia membawa bunga yang tepat: mawar kuning dan merah
jambu untuk Amina, bunga lili putih untukku. Aku menatap benang sarinya yang
Jingga. Hanya keluarga, Amina, ingat"
Robin juga membawa satu stoples untuk Amina, chutney persik yang katanya
dibuatnya sendiri, berdasarkan resep ibunya. 'Dan di mana kamu menemukan persik
masam kecil untuk membuat chutney persik yang sempurna', Mrs. Jahangir bertanyatanya sambil mengangkat stoples itu ke dekat cahaya, dan "Maaf, ini Dr. Gupta,"
Amina memperkenalkan lelaki itu, "teman Lilly."
"Robin saja," kata lelaki itu sambil menjabat tangan Mr. dan Mrs. Jahangir.
Yusuf menawarinya bir, Amina berkata, "Ayo, ayo makan, kita ada jamuan," dan
sepanjang semua kejadian itu, aku hanya berdiri, memegang bunga, merasa benarbenar tak berselera merayakan apa-apa.
Aku meletakkan bunga itu di meja dapur, kembali ke ruang duduk, lalu menumpuk
makanan tinggi-tinggi di dua piring untuk Ahmed dan Sitta. Tariq sedang
menggenggam kaki meja dengan satu tangan, berdiri goyah di atas kaki yang labil
sambil menggapai-gapai untuk mengambil sepotong injera. Ahmed dan Sitta
mengambil piring mereka dan memegangnya setinggi mata dengan kedua tangan,
membawanya ke ruangan lain untuk menonton televisi.
"Ada masalah?" tanya Robin, tiba-tiba berada di sampingku.
"Tak ada apa-apa," jawabku.
"Kamu tidak tahu aku akan datang, ya," katanya.
"Amina memang lupa memberi tahuku." "Kuharap tidak merepotkan," katanya. "Tidak,
lihat, makanannya banyak." Aku meninggalkannya, menyibukkan diri di dapur.
"Bunga lili untuk Lilly-nya," senandung Amina, sementara aku menatap wastafel,
membantai tangkai bunga dengan pisau roti.
"Dia tidak cocok di sini, Amina."
Dia cemberut. "Ah, kenapa kamu berkata begitu" Ini acara perayaan, Lilly."
Aku menghunjamkan tangkai itu ke dalam gelas.
Adegan yang bergulir di ruang duduk tampak sangat ceria. Mr. Jahangir bertanya,
"Keluargamu, apakah masih bersaudara dengan keluarga Gupta farmasi di Mumbai"
Dan di universitas mana di Cambridge" Kamu suka main catur?"
Robin sedang mengambul-ambul Tariq di atas lututnya, dan anak itu kegirangan.
"Bow, wow, wow, wee," dia bernyanyi, melemparkan injera-nya ke lantai.
"Oh, pah, pan," kata Yusuf, "jangan terbuai dengan perilakunya yang sopan, Dr.
Gupta. Mr. Jahangir ini seperti hiu di lautan ikan teri saat dia duduk di depan
papan catur," meskipun maksudnya adalah Mr. Jahangir suka curang. Aku ragu,
papan catur kuningan ataupun permintaan maaf dapat membujuk Yusuf untuk duduk
dan bermain lagi dengannya.
Mr. J berseri-seri, senang dibandingkan dengan pemangsa.
Amina memutuskan untuk tak menghiraukanku dan bergabung dengan pesta itu. Aku
memutuskan untuk tak menghiraukan pesta itu dan bergabung dengan anak-anak.
"Kamu tampak cantik sekali," kata Robin sambil menangkap lenganku saat aku
berusaha melewatinya, dan aku benci bahwa dia pernah melihatku mengenakan diri,
baju tidur yang juga dikenakan Amina setelah petang, di masa yang tidak terlalu
bermotif kotak-kotak. "Cuma mau memeriksa anak-anak."
Aku mengganti saluran televisi meskipun Sitta memprotes, membesarkan volume
suara, tidak peduli bahwa acara berita tidak sesuai untuk mereka. Tempat tidur
mengembuskan napas saat aku duduk di antara mereka.
Ahmed bersendawa. "Maaf," katanya.
* Aku berangkat ke kantor asosiasi komunitas paginya. Jalan lengang, cahaya
temaram. Aku menduga Amina akan bangun siang. Atau bercinta siang, jika
mengingat cara Yusuf menatap kakinya tadi malam. Aku berhasil menghindari
seluruh pesta dengan makan bersama anak-anak, mencuci piring, dan menidurkan
Tariq. Aku berhasil menghindari bercakap-cakap dengan Robin sepanjang malam itu
dan hanya mengucapkan selamat jalan yang singkat.
Amina tiba sekitar setengah sepuluh, saat aku sudah membuka separuh surat minggu
itu. "Sudah minum buna?" tanyanya sambil menjatuhkan tas ke kursi.
"Belum." Dia mengambil ceret, hendak membawanya keluar ke wastafel di lorong.
"Buna betulan?" tanyaku. "Aku benci Nescafe yang kamu minum sekarang."
"Kamu ini habasha sekali," dengusnya. Etiopia sekali.
"Biar aku yang buat," gerutuku sambil mendorong kursi ke belakang.
Aku menuangkan biji hijau dari kantong kertas ke telapak tangan. Menyalakan
pembakar Bunsen, memanaskan piring kaleng, dan melemparkan biji ke dalamnya. Aku
mengguncang piring itu dengan tangan kiri, lalu meletakkannya di atas api,
sambil menatap tanda-tanda yang kami buat di peta Michelin di dinding.
"Aku sedih kamu nggak ikut pesta, Lilly," katanya sambil membalik-balik sisa
surat yang belum dibuka. "Maaf, aku cuma sedang nggak selera." "Padahal pestanya bagus." "Untukmu,
mungkin," kataku sambil menatap peta itu.
"Kamu kesal padaku karena aku punya Yusuf, iya, kan?" tanyanya, lebih berupa
pernyataan daripada pertanyaan.
Dia setengah benar. Aku memang kesal padanya, tetapi lebih karena dia mencoba
menggantikan Aziz dengan Robin, bukan karena dia memiliki Yusuf. Karena dia ikut
campur: tidak menghormati ataupun mengakui ruang yang ditempati Aziz. Sekarang
dia sudah memiliki Yusuf, dia sudah tak ingat lagi bagaimana rasanya.
"Kamu pikir hatiku tidak remuk setiap hari, bertanya-tanya apakah saudariku
masih hidup, atau apakah saudara-saudaraku sedang disiksa sampai mati di
penjara?" tanyanya. "Kamu pikir, mudah membesarkan tiga anak dan mengurus suami
yang trauma dan takut gelap dan takut lelaki lain dan kadang dia bahkan takut
pada anak-anaknya sendiri karena mimpi buruk selalu berputar-putar di kepalanya"
Tahu nggak, sejak dia datang ke Inggris, dia tidak ingin disentuh olehku karena
sewaktu dia di penjara, kulitnya dibakar korek api. Bayangkan orang yang kamu
cintai memandangimu seolah-olah takut kamu akan menyakiti mereka."
"Setidaknya kamu punya keluarga."
Dia menarik napas marah. "Tahu nggak, Lilly" Kamu harus berhenti bertingkah
seperti anak yatim piatu."
"Oh, sial!" pekikku. Biji hitam yang membara jatuh dari piring kaleng ke karpet
dan dalam beberapa detik saja melelehkan akrilik di dekat kakiku. "Sial, sial,
sial!" Aku menginjak-injak bagian itu.
Tanpa berkata-kata, Amina menyiramnya dengan gembor. ^
Aku menghindari kantin, berdiri di luar pada saat istirahat, menonton lembar
surat kabar beterbangan, berkumpul di sebelah para perokok lain yang mendorong
tiang infus dan membiarkan pantat mereka tertiup angin. "Beri aku sebatang,"
kata seseorang, "biar terjangkit maut," semenit kemudian.
Salah seorang pasien mengeluh bahwa aku bau asap rokok-ini dari perempuan yang
selalu terendam air kencingnya sendiri. Aku tak punya kesabaran lagi. Aku bahkan
menyadari hal ini dengan anak-anak. Pertengkaran mereka sering membuatku
jengkel. "Dari mana kamu belajar bahasa macam ini?" bentakku kepada Ahmed tempo hari,
ketika dia memanggil adiknya anak haram.
Bibir bawah Ahmed mulai gemetar.
"Jawab! Di sekolah?" aku mendesak.
Dia menggeleng. "Darimu," gumamnya.
"Apa?" "Waktu kamu memarahi sopir taksi itu."
Karena si sopir berkata dia tak punya kembalian. Karena aku perlu kembalian itu
untuk membeli susu. Karena satu-satunya hal yang kunikmati hanyalah secangkir
teh. Hanya beberapa hari kemudian aku bertemu Robin. Aku tak bisa menghindarinya
selamanya. Dia mendongak ketika aku memasuki kantin, lalu melambaikan tangan.
Dia menawariku saus Tabasco sebelum membumbui beef stroganoff-nya. Dia sedang
membenci pekerjaannya hari ini. Omongannya dipenuhi "birokrasi berengsek" dan
"diktator picik berengsek" dan "rabun dekat pelit berengsek" pada hari-hari
Robin membenci pekerjaannya.
"Begini, aku benar-benar tidak tahu Amina tidak memberi tahumu bahwa aku akan hadir," katanya, menurunkan gigi ke sikap canggung. "Tapi
pestanya menyenangkan. Aku menyesali kamu tidak muncul."
"Aku hanya merasa tidak sepantasnya kau hadir."
"Aku, kan, diundang," katanya bingung. "Tidak sesederhana itu."
"Bisakah kamu setidaknya mencoba menjelaskan masalahnya?" dia memohon. "Aku
bingung. Kamu bilang kamu juga menyukaiku."
Aku dilanda gelombang hijau. Aku mengangkat tangan. "Aku tak bisa."
"Tak bisa apa?"
"Pokoknya tak bisa," kataku, lalu kabur ke kamar kecil.
Aku menatap cermin timah yang bergelombang. Putih mataku berwarna kuning,
rambutku kuning, gigiku kuning akibat merokok. Segala sesuatu pada diriku tampak
kusam dan sakit-sakitan. Penampilanku seolah-olah aku baru saja keluar dari
tumpukan kompos. Aku melepaskan sepatu dan kaus kaki, membuka keran, membasuh tangan, wajah,
leher, membasuh lubang hidung dan mulut, mencuci lengan, ubunubun, kaki dan
pergelangan tangan. Aku menghamparkan gaunku sebagai sajadah. Biasanya aku tidak
shalat di rumah sakit; rekan-rekanku mengeluhkan keberantakan, semua air di
lantai, dan mereka berkata mereka merasa canggung, terlalu sungkan menggunakan
toilet saat aku bersujud di lantai, dan hanya ada dua bilik. Tidak ada bedanya
meskipun aku berkata bahwa saat aku shalat aku tidak berada di tempat ini pada
waktu ini, aku tak akan menyadari kalaupun mereka muntah-muntah di toilet,
menyedot kokain dari rak baja nirkarat di atas wastafel.
Mudah-mudahan mereka tak menyadari aku ada di sini, meringkuk di salah satu
bilik, kaki di atas dudukan toilet, terisak-isak menyedihkan, menggunakan gaunku
sebagai saputangan. Bermain Catur M eyakini bahwa segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah dapat menimbulkan
fatalisme, tetapi fatalisme tidak sama dengan iman. Fatalisme itu kecurangan:
melepaskan diri dari tanggung jawab. Orang beriman itu bertindak, sementara aku
berbaring tak bergerak. Aku malas bangkit dari sofa ataupun menjawab ketukan di
pintu. Aku tidak selera menerima gangguan, meskipun aku tidak melakukan apa-apa,
selain berbaring di sini mengenakan piama flanel dan kaus kaki merosot, memeluk
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
botol air panas suam kuku dan menekuri retak-retak di langit-langit. Aku sudah
mencoba membaca, tetapi tidak tahan membaca lebih dari satu paragraf setiap
kali. Lantai diseraki surat kabar yang terbengkalai dan gelas yoghurt kosong.
Tiga hari yang lalu Robin menemaniku pulang setelah keruntuhanku di toilet. Aku
akhirnya membiarkan dia masuk ke flatku. Aku memasukkan kunci ke pintu,
mendorongnya terbuka, dan berdiri di pintu, sementara dia masuk ke ruang
dudukku. Dia tertawa, tampak sedikit bingung. "Kamu nggak mau masuk?"
Kami minum teh di meja dapur di dekat jendela, yang memperlihatkan pemandangan
gedung lain yang sama persis, berdiri kesepian di petang biru tua. Kami duduk
berhadapan, dengan lutut di dekat radiator, lampu neon berdengung di atas, dan
kaca jendela tipis berderak-derak di sebelah pipi.
"Sudah berapa lama kamu tinggal di sini?" tanyanya.
"Kenapa?" "Tak ada gambar di dinding, atau foto, atau apa pun, itu saja."
"Aku lebih suka begini."
"Maaf kalau aku terlalu mendesak," katanya kedua kalinya. "Mungkin aku sedikit
canggung soal mendekati lawan jenis. Aku menyangka sebagian besar perempuan
senang dikejar." "Bukan itu masalahnya."
"Yah, jelas aku melanggar suatu batas."
Dia berusaha mencari jalan memasuki kehidupan yang tak memiliki pintu. Ada
sebuah halaman dalam, yang tersembunyi dari jalan, tetapi ini tempat para
penjaga bertugas, tempat yang dihuni Aziz, berjalan-jalan dalam galabaya
putihnya, menghafal tulisan dari buku. Rasanya seolah-olah aku harus
melindunginya dengan lebih sengit lagi sekarang, karena Amina sudah tak lagi
mendiami tempat ini bersamaku.
Aku meraih tangan Robin. "Maaf," kataku. "Aku sungguh menghargai upayamu."
Dia tertawa lagi. "Kamu bicara seolah-olah aku sedang berusaha berbuat baik
padamu! Seperti memperbaiki pipa! Tindakanku mungkin keliru, tapi kurasa aku
tidak sepenuhnya salah membaca situasi. Kamu nggak perlu menutup diri dariku
sepenuhnya." Aku menggeleng. "Ada apa?" Aku menatap sepatuku. "Apa ada orang lain?"
Akhirnya, pertanyaan yang tepat. Pertanyaan yang paling sederhana. Apa pun
perasaanku untuk Robin, ada organ tak bernama yang hanya menangkap hal tak
kasatmata. Itu sebabnya aku merasakan kehadiran Aziz di jendela, di genangan, di
kaca; sosok kurus tak berbentuk, gigih dan sunyi senyap. Dia tidak mengatakan:
lupakan aku, lanjutkan hidupmu, aku sudah melupakanmu, atau aku sudah mati,
Lilly, sudah lama mati, jadi bergaullah dengan lelaki Rabindranath ini, beri dia
ruang. Dia tidak berkata: apa pun yang terjadi padaku bukan salahmu.
Aku mengangkat kepala. Robin menghela napas dan menunduk. "Lilly, kenapa kamu tidak bilang saja"
Sekarang aku merasa tolol. Itu tidak adil."
Kebisuan Aziz menguasai segala hal lain. Ia meredam bunyi langkah Robin saat dia
mundur ke pintu, menyusuri lorong beton, keluar dari gedung, dan berjalan pergi.
Kebisuan Aziz telah meredam tiga hari terakhir.
* Yusuf masuk dengan kunci sendiri. "Kami sudah lama tak melihatmu," katanya
meminta maaf. "Aku cuma capek," jawabku.
"Sakit?" tanyanya sambil duduk di dekat kakiku.
"Mungkin." "Mau kubawakan sesuatu" Teh" Sup" Kemarin aku bikin sup, yang kata Amina ingin
dia cicipi setiap hari."
"Bukan sakit seperti itu. Tapi aku akan baik-baik saja."
"Mau kuajari catur?" tanya Yusuf. Dia bertengkar sedikit dengan teman-teman
Oromo-nya setelah mendapati bahwa salah seorang dari mereka pernah menjadi
tentara di pasukan Dergue, meskipun hanya sebentar dan dipaksa. Mungkin catur
juga bisa mengalihkan perhatianku, tetapi sulit membayangkan diriku peduli
tentang permainan, meskipun Yusuf bersikukuh bahwa catur jauh lebih mirip
kehidupan daripada yang disadari orang.
Dia kembali membawa papan catur dan menamai buah-buahnya dalam bahasa Arab
seraya meletakkannya satu per satu.
"Kamu tak akan angkat?" tanyanya ketika aku tidak bergerak untuk mengangkat
telepon. Aku menggeleng. "Boleh aku?" Aku mengangkat bahu tak peduli dan menatap petak-petak catur-jingga membara
seperti matahari terbenam di Etiopia, cokelat tua tanah gembur.
Buah catur bersiap-siaga untuk berperang.
"Robin yang menelepon," kata Yusuf sambil kembali duduk bersila di lantai. "Dia
ingin tahu apakah kamu baik-baik saja."
"Kamu jawab apa?"
"Bahwa kamu sedang belajar catur, tentu," kata Yusuf sambil tersenyum.
"Aku sedang melarikan diri dari dia, Yusuf," kataku lirih.
Dia mempertimbangkan ini sambil menggaruk janggut. "Mungkin kamu bukan melarikan
diri dari dia, tapi dari perasaanmu."
Yusuf jarang berbicara, tetapi perkataan yang jarang itu selalu tepat. Itulah
sebabnya hubungan dengan Robin harus berakhir. Perasaanku untuknya hanya bisa
tumbuh, sementara perasaanku untuk Aziz tak berubah, seperti satu-satunya foto
dirinya-dua puluh enam tahun, menatap lurus ke depan, diam terpaku dalam warna
hitam-putih. Menatapku seolah-olah aku masih sembilan belas tahun.
Aku meraih satu buah dari papan catur. "Ini apa namanya?"
Aku berdoa meminta pertanda bahwa aku telah melakukan hal yang benar, berdoa
sepanjang bulan Shafar, bulan berbahaya dalam kalender Islam, saat kami tak
boleh melamar atau menikah atau bepergian, karena akan terkena musibah. Di
Harar, Syaikh Jami sering menyengajakan diri mengunjungi makam keramat setiap
wali yang berjumlah tiga ratus lebih di kota itu sepanjang bulan Shafar, untuk
memaksimalkan perlindungan kami dari kejahatan dan penyakit. Dia mengunjungi
makam-makam keramat yang terlupakan, yang tersembunyi di dapur rakyat, di lubang
di dinding pagar, di kelok sungai, di rongga pohon, memastikan bahwa dia telah
menghormati setiap wali di jajaran wali setidaknya setahun sekali.
Di sini kami hanya punya pot bunga. Dan hanya aku yang berdoa. Amina tak mau
menemaniku ke belakang karena imam setempat menegaskan bahwa keyakinan tentang
bulan Shafar ini hanya takhayul, yang diwarisi dari zaman Jahiliah. Aku membakar
dupa setiap hari selama tiga puluh hari, meminta Bilal untuk menghubungi semua
wali yang lain. Aku berharap bahwa ada keturunan Syaikh Jami melakukan hal yang
sama di Harar. Amina dan Vusuf dan anak-anak berusaha sebaik-baiknya mengelilingiku dengan halhal keseharian kehidupan keluarga. Para tetangga yang berniat baik juga singgah
membawakan kari dan sup kubis, menitipkan panci ke tangan Amina. "Makanlah,"
kataku kepada Amina dan Yusuf. Aromanya menggiurkan, tetapi mulut, perut, tetap
tak berselera. Tariq berjalan limbung, mencari-cari masalah dan mengunyah barang yang bukan
makanan, sedangkan Ahmed dan Sitta bertengkar di dapur. Sitta keluar sambil
menangis dan Yusuf, yang sedang duduk di sampingku, melebarkan tangan dan
merengkuhnya ke pangkuan. Ahmed menggoda adiknya tentang tahi lalatnya, katanya
tahi lalat itu mirip noda tinta. Itu bukan perkataan yang terburuk dari anakanak. Aku pernah mendengar anak-anak Etiopia yang lain memanggilnya nig nog,
Galla, Shankilla. Jumlah ejekan yang mereka ketahui dua kali lebih banyak
daripada orangtua mereka: ejekan dari dunia lama maupun baru.
Sitta membenamkan muka di leher ayahnya, dan Yusuf membelai pipinya.
"Dia menelepon lagi hari ini," kata Yusuf kepadaku.
"Semestinya dia tak usah repot," jawabku. "Semestinya dia melanjutkan saja
hidupnya." Amina mengangkat gagasan konseling, yang kutolak mentah-mentah, tetapi saat aku
memikirkan betapa tak adilnya sikapku kepada Robin, aku bertanya-tanya apakah
mungkin konseling adalah tindakan layanan masyarakat.
Hukumanku karena bolos bekerja lagi selama seminggu tanpa penjelasan dalam dua
tahun terakhir adalah cuti wajib ini. Kali ini tak ada pertemuan dengan dewan,
dan aku bersyukur. Tentu memalukan sekali harus bertemu dengan Robin. Kepala
keperawatan hanya memberiku secarik kertas dengan nomor telepon psikiater jaga.
Itu langsung masuk tempat cucian, bersama seragamku.
Saat meraih poci teh malam itu, aku menemukan sebotol pil hijau-putih di dalam
lemariku. Resep obat depresi untuk Yusuf. Dokternya tak lain adalah Dr. Gupta.
Bagian Kedelapan Harar, Etiopia us-September 1974
Cjishta tiba dengan tersengal-sengal, marah, menyela kelasku. "Suruh anak-anak
ini pulang!" perintahnya.
"Ada apa?" "Suruh mereka pulang sekarang!" serunya.
"Kenapa kamu membuat anak-anak jadi takut seperti itu?" tanyaku, setelah
menyuruh mereka pulang membawa buku kecil pinjaman mereka masing-masing, dan
meyakinkan mereka bahwa segalanya baik-baik saja.
Gishta tampak liar karena marah, memekik tentang anak-anak yang dimanja, dan
bahwa dia terpaksa bekerja sewaktu berusia delapan tahun. Namun, saat aku
menatap matanya, aku menyadari bahwa bukan amarah, melainkan takut, yang
membuatnya meracau dan melambai-lambaikan tangan dan menampar pagar seng.
Tadi pagi dia disapa dengan todongan senapan ke wajahnya, demikian pengakuannya
begitu Nouria pulang dari pasar. Para buruh Oromo yang bertani di ladang Syaikh
Jami rupanya mengeluh bahwa
mereka muak harus bekerja membanting tulang agar para istri syaikh bisa
mengenakan sutra. Mereka mengusir mereka dengan senapan.
Gishta sama sekali tidak bersimpati pada mereka, meskipun ayahnya sendiri tentu
bekerja seperti itu, agar kaum perempuan Harari bisa tetap berpakaian mahal.
Namun, orang-orang yang berubah status sosial biasanya lebih sok-bermoral
daripada mereka yang dilahirkan dengan status itu. Aku tinggal melihat diriku
sendiri untuk mengetahui bahwa ini benar. Sewaktu aku pertama kali bertemu
dengan Aziz, keyakinan agamaku jauh lebih dogmatis daripada dia. Tetapi, lalu
dia menggandeng tanganku, dan dengan tindakan itu, melonggarkan peganganku. Dan
sekarang" Tanpa tangannya" Aku hancur. Aku merindukan masa yang lebih mudah,
ketika menjadi Muslim itu kaku dan diikat peraturan, sedangkan masa lalu jelasjelas merupakan masa pra-Islam. Andai saja ada sesuatu yang mutlak, yang dapat
diyakini. Toh sekarang adalah zaman ketika orang tak tahu apa yang harus
diyakini, apa yang harus dipegang. Kau dapat mencium kecurigaan di udaradisemprotkan ke semua orang, bisik kesetiaan, pemberontakan petani kecil,
ketidakse-tiaan, persaingan, pengkhianatan. Rasa takut membatasi gerakan
perempuan. Hening tampak mendominasi hubungan antara saudara lelaki dan sahabat.
Dan semakin sedikit murid yang datang ke kelasku.
Dulu, jika ada anak yang absen lebih dari satu hari, aku selalu mencari tahu.
Kali ini tidak ada pengecualian. Ke wajahku orangtua berkata, "Ini zaman tak
pasti, kami lebih suka mereka di rumah," lalu, seperti yang kutemukan tak lama
kemudian, murid-muridku ternyata datang ke Madrasah Bilal Al-Habash, guru mereka
tak lain adalah Idris-murid Syaikh Jami yang satu lagi, lelaki yang, setiap kali
bertemu denganku, tidak menyembunyikan kenyataan bahwa dia membenciku.
"Saat zaman menjadi tak pasti, orang lebih memilih kewenangan lelaki," kata
Idris dengan puas, ketika aku memberanikan diri menemuinya di luar madrasah.
Hari Ahad berikutnya, ketika Syaikh Jami dijadwalkan menjenguk ibunya di Dire
Dawa, aku mendatangi Hussein untuk menegaskan kecurigaanku. Hussein, yang duduk
sendirian di tempat keramat, berkata bahwa Idris meniadakan uang sekolah sebagai
kompensasi. "Kompensasi untuk apa?" tanyaku.
Selama ini tak pernah ada rahasia antara aku dan Hussein, tetapi dia enggan
terlibat. Aku cukup marah untuk menelikung tangannya tanpa menyentuhnya.
Untuk sesuatu yang rupanya disebut Idris sebagai "pendidikan inferior yang
mereka terima sejauh ini".
"Dan kenapa tiba-tiba dia mau mengajar sekarang?" seruku. "Dan kenapa kamu tidak
membelaku?" Hussein menunduk. "Kamu pengecut, Hussein," kataku. Aku pun tertegun mendengar kerasnya katakataku. Satu demi satu, saluran komunikasi diisi dengan derau.
Lalu, tak seorang pun murid muncul.
"Di mana Rahile" Dan di mana kedua kakaknya?" tanyaku kepada Nouria besoknya.
"Rahile kusuruh mengambil cucian. Anwar dan Fathi sedang di pasar. Kalau mereka
tidak bersekolah, mereka harus bekerja."
"Tapi aku masih bisa mengajar mereka," kataku. "Kita bisa seperti dulu lagi."
"Sebentar lagi, insya Allah," kata Nouria. "Tapi sekarang ini kita perlu
pemasukan." Aku duduk dan memasukkan jemariku ke dalam lubang yang digali Bortucan di tanah.
M eskipun ketidakpastian merajalela, Sadia masih hanya membicarakan
pernikahannya yang akan datang. Aku tak mengerti bagaimana dia bisa terus
berpura-pura bahwa hidup ini normal. Padahal dia jarang bertemu dengan Munir
selama beberapa minggu terakhir, karena pemuda itu, seperti Aziz, sibuk dengan
rapat-rapat misterius itu.
Dia bersikeras kami pergi ke Dire Dawa pada akhir pekan untuk berbelanja.
"Banyak sekali barang yang harus kupilih," katanya dengan bersemangat. "Oh,
pasti menyenangkan! Kita bisa berjalan dari toko ke toko dan berkata, 'Aku mau
yang ini dan ini dan ini,' lalu Munir harus datang bersama ibunya dan mereka
akan membeli semuanya. Lalu saat kami pindah ke rumah baru kami, semua barang
itu akan di sana-segala hal yang diperlukan seorang istri baru untuk membuat ?suaminya nyaman."
Aku meladeninya: semangatnya terasa seperti selingan segar dari suasana kiamat
yang menjangkiti semua orang lain. Sikapnya yang cuek semestinya tidak perlu
membuatku heran, toh dia ini gadis remaja, yang, saat membicarakan Makkah,
bahkan tidak menyebut-nyebut Ka'bah. Baginya, Makkah adalah tempat asyik untuk
membeli parfum dan kosmetik. Benar-benar fashinn gidir.
Kami berangkat ke Dire Dawa setelah subuh pada suatu hari Sabtu. Sadia mendesak
agar kita naik taksi pribadi, karena sekarang sudah tersedia lagi, tidak naik
minibus yang penuh sesak. Di kursi belakang dia mengoceh seolah-olah tak ada
politik di dunia. Kami mujur, si sopir tidak bisa bahasa kami.
"Kamu tahu kenapa kita sudah berminggu-minggu tidak bertemu Warda?" bisiknya.
"Jangan bilang dia diundang ke rapat itu," sahutku.
"Tidak!" bisik Sadia sambil menarik roknya ke luar dan menggembungkan pipinya.
"Apa?" pekikku.
"Hus!" tegur Sadia sambil tertawa. Ibu Warda sedang menyembunyikan putrinya.
Setelah bayi itu lahir, ibunya akan mengklaim bayi itu anaknya. "Ini normal,"
kata Sadia. "Sadia?" tanyaku ragu.
"Ya, farenji?" dia mendekut.
"Apa kamu dan Munir pernah ...T'
"Astaga!" Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil tertawa.
"Pernah, belum?"
Dia mengangguk dan mengangkat dua jari. "Sakit nggak?"
Dia meringis dan berkata tanpa suara, sakit.
"Apa kamu pernah absuma?" "Tentu saja," katanya. "Tapi hanya absuma kecil. Tidak
seperti Warda, dia diberi absuma besar." "Pasti sakit sekali."
"Memang sakit. Tapi ada kenikmatan yang jauh lebih besar di sini," katanya
sambil mengetuk pelipisnya. "Dan kamu dan Aziz?"
Aku menggeleng. "Lucu," katanya. "Kata orang, gadis farenji-lah yang sharmuta."
Taksi itu menurunkan kami di pasar pusat Dire Dawa dan Sadia menggandeng
tanganku, menarikku menyusuri jalan-jalan yang tak asing lagi. Dia berhenti di
luar gerbang biru rumah Kakek Ibrahim.
Aku menyambar pergelangan tangannya. "Kenapa kita ke sini?"
Dia mengangkat bahu. "Kakek itu masih keluarga."
"Tapi kusangka dia kakek Munir."
"Yah dia kakekku juga. Munir itu sepupuku. Tidak sopan, kan, kalau aku tidak
menjenguknya selagi aku di sini?"
Kakek itu gembira bertemu denganku, meskipun dia mengomeliku karena belum pernah
menjenguknya lagi. Dia menggoda Sadia tentang Munir, berkata bahwa gadis itu
seperti rrata, daging yang terselip di antara gigi pemuda malang itu.
Sadia terkikik-kikik mendengar pujian itu, lalu si kakek memajukan tubuhnya
kepadaku dan berkata: "Dia menunggumu di lantai atas."
Aku menoleh kepada Sadia, tetapi dia hanya menyeringai. "Ayo," katanya genit.
Dia menyapaku dengan waswas juga, senyumnya kaku, gerakannya ragu. Aku ingin
menekankan keningku ke iganya. Aku ingin menangis. Aku ingin memutar balik
beberapa bulan terakhir dan duduk dalam kesunyian tanpa dosa di kamar gelap
kami.
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perkataannya lambat keluar, dengan beberapa kali dimulai dan berhenti, awal
seperti: "Yang ingin kukatakan...," "Aku berpikir...," dan akhirnya, "Lilly, aku
tidak bermaksud bersikap kasar. Aku berusaha melindungi kita berdua. Aku tak
pernah menanyakan bagaimana kamu mengenal sang kaisar, seberapa jauh kamu
mengenalnya, tetapi saat ini sudah tak penting lagi karena hubungan apa pun akan
membahayakanmu." "Dan kukira itu berarti hubunganmu denganku akan membahayakanmu."
"Benar," dia mengakui. "Dan andaikan aku tidak berkomitmen pada gerakan yang
mengutuk kerajaan, hal ini tak akan terlalu sulit kuterima."
"Kamu takut teman-teman barumu akan menolakmu akibat hubunganmu denganku."
"Ada yang perlu kamu lihat," katanya lembut.
"Senapan lagi?"
"Kamu akan mengerti beberapa jam lagi," katanya dan terdiam.
Dia memberanikan diri menjembatani jarak di antara kami dengan meraih tanganku.
Tidak adil. Jempolnya menelusuri garis kehidupan di telapak tanganku. Dia sedang
mencoba merengkuhku kembali.
"Lilly, tolong," dia memohon.
Dalam kegelapan yang biru, kami menyaksikan pawai tengkorak tertatih-tatih
melintasi layar. Segalanya-tubuh, tanah, jalan, dan langit-sewarna pasir.
Membran tipis yang merentang di atas rongga dada para makhluk ini bergetar
dengan upaya keras untuk bergerak. Mereka terjatuh pada lutut yang bertonjolan,
dan tulang iga mereka remuk saat jatuh. Kaum perempuan menggendong bayi-bayi
mati dengan mulut berkerak dan mata raksasa yang dibingkai dengan bulu mata yang
ditutupi lalat. Tak ada suara. Pawai itu menipis, meninggalkan jejak mayat yang
bergelimpangan di jalan yang merentang ke kota utara; di mana pasar melimpah
ruah dengan karung sorgum dan teff dan tumpukan kacang polong dan kacang koro
yang dibelah. Anggota pasukan Yang Mulia berjaga di seluruh pasar, mengusir kaum pengemis
dengan senapan. Ratusan kilometer di selatan, Haile Selassie sedang berdiri di balkonnya,
menyapa rakyatnya dalam acara ulang tahun kedelapan puluh, dua tahun sebelumnya.
Kami menyaksikan sang kaisar melemparkan koin tembaga kepada kaum miskin dan
bersantap di istana dengan para pejabat berkulit putih, memberi mereka makan
sampanye dan kaviar yang diterbangkan berpesawat-pesawat dari Paris.
Para pejabat Haile Selassie di utara memerintahkan tentara membersihkan jalanjalan ini dari aib berupa puluhan ribu mayat berjalan yang sakit tersebut.
Sekarang, kan, sedang ada perayaan.
Kami melihat adegan tentara menembaki warga sipil yang kelaparan, demi
memperingati ulang tahun sang kaisar, sementara dia berkeliaran di taman istana
yang rimbun, memberi makan anjing dan macan tutul peliharaannya dengan potongan
daging terpilih dari piring perak yang diangkat tinggi-tinggi oleh pelayannya.
Kami mendengar kata kelaparan, tetapi kami belum pernah melihat gambarnya. Haile
Selassie baru mulai menggunakan kata itu bulan sebelumnya. Sebelum itu, dia
menyangkal bahwa hal itu terjadi di Etiopia. Sekarang kami dapat melihat
gambarnya untuk mengiringi kata itu, berkat seorang jurnalis Inggris.
Sadia bergegas keluar dari ruangan itu di tengah-tengah siaran, dengan tangan
menutupi mulut. Kakek Ibrahim adalah orang pertama yang berbicara ke dalam gelap. "Sudah
berakhir," katanya, takjub dalam suaranya.
Dia cukup tua, masih ingat masa sebelum Haile Selassie. Dia cukup tua untuk
mengingat masa sebelum Etiopia menjadi negara.
"Harus berakhir," jawab Aziz, yang hanya mengenal negara ini, dan hanya
mengenalnya dalam keadaan seperti ini.
* Aku melihat genangan darah di tangga istana. Aku melihat singa kekaisaran,
kelaparan di dalam kerangkeng, terlalu lapar untuk membedakan antara musuh dan
kawan. Aku melihat mayat hidup mencengkeram tangga istana seperti teritip, dan
menendang selimut dari tubuhku. Malam yang menyesakkan.
Bulan memancarkan cahaya perak di atas balkon. Di sebelah kiriku, papan lantai
berderit. Aziz berada di sampingku. Kami berdiri dengan lengan bersentuhan.
"Film itu sudah ditayangkan di Inggris," dia akhirnya berkata. "Dewan militer
berpendapat sudah waktunya masyarakat kita sendiri mengetahui kenyataan. Sang
kaisar dituduh mengambil seratus juta dolar uang negara dan menyembunyikannya di
rekening bank Swiss. Komite mengutus petugas dan mereka menemukan ribuan dolar
direkatkan di lantai di bawah karpet. Mereka menyita dokumen dan membacakan
daftar angka di radio-uang yang disimpan di rekening lain, rumah dan investasi
asing, semuanya atas nama para menteri-aset yang dibeli dengan uang yang ditarik
dari bendahara negara, sementara ratusan ribu orang di utara mati kelaparan. Tak
akan ada yang mampu menyangkal gambar-gambar itu."
"Tapi apa yang akan terjadi?"
"Dewan membicarakan basis kekuasaan yang baru sama sekali-di tangan petani dan
buruh-mayoritas. Dan untuk mewujudkannya" Tanah harus diambil dari orang kaya
yang memilikinya dan dikembalikan kepada orang miskin yang sesungguhnya
mengolahnya. Dari keluarga kerajaan, Gereja, masjid, tuan tanah. Tak ada lagi
kerja paksa, tak ada lagi hak mengambil upeti dari petani, tak ada lagi
pembayaran untuk jasa militer dan kesetiaan dalam bentuk anugerah tanah, tak ada
lagi kepemilikan pribadi."
"Itu berarti mengambil tanah dari orang Harar," aku menyadari. Orang Harari
makmur dengan sistem feodalisme, itulah basis ekonomi mereka, meskipun jika
mereka mengakui hal itu, mereka mendakwa diri sendiri sebagai orang yang
diuntungkan oleh sistem korupsi sang kaisar.
"Mereka salah satu komunitas terkaya di negeri ini," kata Aziz.
"Tapi aku tak bisa membayangkan mereka menyerahkan tanah begitu saja."
"Itu sebabnya harus ada sebagian orang dari Harar, termasuk orang Harari,
setidaknya sebagian pemuda berpendidikan, yang bergabung dengan partai revolusi.
Kami tahu hal ini akan ditentang. Orang Harari sudah menikmati perlakuan
istimewa selama berabad-abad-kekayaan mereka berasal dari eksploitasi petani.
Harar dulu salah satu pasar budak terbesar di Afrika Timur. Orang Harari menukar
orang kulit hitam seperti aku dengan barang dari Tiongkok. Ayahku dibeli dengan
setangki mesiu." "Jadi bahkan dalam masa hidupnya ..."
"Bahkan dalam masa hidupnya. Aku menyandang nama ini-Abdulnasser-budak dari
pemilik Hararinya." "Tapi Bilal Al-Habash juga budak," aku menawarkan.
Aziz menghela napas. "Yah, dalam prinsipnya, Islam itu tentang kesetaraan. Kami
sudah berusaha meyakini, tetapi kupikir ... Banyak di antara kami yang merasa
sosialisme, Marxisme, mungkin satu-satunya kemungkinan untuk mencapai
kesetaraan. Bukan agama. Kamu tahu tentang Marx?"
Aku menggeleng. "Aku bisa meminjamkan bukunya," kata Aziz. "Buku kecil warna merah."
Aku terbangun mendengar azan dan menemukan Aziz berbaring di sebelahku. Aku
menatap bulu matanya yang lebat, yang bergetar seolah-olah sedang menonton film
dalam tidurnya, Charlie Chaplin mungkin, dari cara bibirnya melengkung ke atas
di sudut. Aziz membuka matanya, memegang bahuku dan menggulingkanku telentang. "Aziz!" si
kakek berteriak dari bawah. "Kenapa kamu belum bangun?"
Aziz menghela napas dan ambruk di atasku. "Sial," katanya kasar, membenamkan
wajahnya di rambutku. "Sial."
Kami berbaring dalam onggokan pasrah sejenak, jantung memukul iga yang lain.
Akhirnya dia berbicara. "Apa pun yang terjadi, Lilly, ketahuilah bahwa aku
mencintaimu." Aku berbaring hampa, datar, diam, terkulai. Apa pun yang terjadi" Rasanya
seolah-olah perutku terbuat dari kaca dan ditabrak burung, membuat retak tipis
dengan paruhnya. "Aku juga mencintaimu, Aziz," kataku lemah, memegang perutku, takut pecah.
Dia mengambil sudut sarungnya dan dengan lembut menyekaku. Sesuci apa pun kami,
kami bersalah sampai saat ini dibuktikan tak bersalah. Andai ini terjadi pada
malam pengantin kami, dia tentu membawa kain itu dan menyampirkannya di atas
semangkuk besar permen yang akan dihadiahkannya kepada ibuku keesokan paginya.
Nouria, barangkali. Nouria dan Gishta akan berlari ke luar ke jalan, melambailambaikan sarung itu dan melolong lantang supaya semua orang dapat merayakan
bukti keperawananku. Andai ini malam pengantin kami.
1974 J-Jari itu hari Tahun Baru, menurut kalender Kristen Ortodoks Etiopia. Aku dan
Aziz dan kakek duduk mendengarkan radio sambil berbagi semangkuk bubur sorgum.
Sadia sudah berangkat ke toko pagi-pagi, bertekad melanjutkan sesuai rencana. Si
kakek sedang kesulitan, giginya tampaknya tidak terpasang dengan benar di
mulutnya pagi itu. Setiap kali Aziz mengulurkan tangan untuk menyendok bubur
lagi, aku merasa bulu lengannya menyengat lenganku.
Musik berakhir dan Tahun Baru dimulai dengan proklamasi di radio dalam bahasa
Amhara. Aziz menerjemahkan.
"Meskipun rakyat memperlakukan takhta dengan iktikad baik sebagai lambang
kesatuan, Haile Selassie I menyalahgunakan kewenangan, martabat, dan
kehormatannya demi kepentingan pribadi. Akibatnya, negara ini mendapati dirinya
dalam keadaan miskin dan terpecah-belah. Lebih dari itu, seorang raja berusia 82
tahun, karena usianya itu, tak mampu lagi memenuhi kewajibannya. Karena itu,
Yang Mulia Kaisar Haile Selassie I diturunkan dari takhta mulai 12 September
1974, dan kekuasaan diambil alih oleh Komite Militer Sementara. Etiopia di atas
segalanya." Dengan itu, Parlemen dibubarkan, Undang-Undang digantungkan, dan Pengadilan
Agung dihapuskan. Sang kaisar, yang memiliki wewenang tertinggi atas ketiga hal
tersebut, tidak melawan ketika ditangkap. Konon dia yang semula menyangkal
adanya kelaparan, lalu menyangkal keparahannya, lalu menyangkal mengetahui
keterlibatan militer, malam sebelumnya di istana, dia dipaksa duduk dengan para
pemimpin Dergue dan menyaksikan film Dimbleby saat disiarkan ke seluruh negeri.
Dia konon menyahut, "Jika revolusi baik untuk rakyat, aku pun mendukung
revolusi," lalu berangkat tidur.
Sadia berhasil memilih hal-hal berikut tanpa bantuanku: enam setel seprai katun
Mesir (meskipun hampir tak ada orang Harari yang tidur di tempat tidur),
pemanggang roti, blender, televisi (meskipun sangat sedikit orang Harari yang
mendapat listrik), telepon (meskipun tak ada kabel telepon di Harar), kendi dan
dua belas gelas yang serasi (untuk menyajikan air tercemar dan berparasit kepada
tamu"), enam wadah es batu (meskipun tak ada kulkas), dan pakaian, sepatu dan
perhiasan emas yang cukup untuk memelihara penampilan sangat mewah seumur
hidupnya. Dia sedang menyebutkan daftar ini kepadaku ketika tiba-tiba terdengar gedoran di
gerbang logam di pagar tembok si kakek. Kami semua membeku, tetapi si kakek
tersadar dan menyuruh pelayannya membukakan gerbang.
Ternyata Girma dari restoran.
Aziz melompat untuk menyapanya. Mereka berbisik-bisik sebentar sebelum Aziz
berbalik dan berkata, "Lilly, waktunya kamu pergi."
"Apa?" "Untuk pulang," kata Aziz sederhana.
"Ke Harar," kataku hati-hati.
"Di sana tidak aman untukmu."
"Tapi aku tak punya rumah lain."
"Kurasa kamu tak punya pilihan lain," kata Aziz. "Aku tahu aku tak punya pilihan
lain. Girma ke sini untuk mengantarmu. Kamu harus berangkat sekarang."
"Sekarang sedang kebakaran," tambah Girma, di saat yang terlalu mendesak untuk
metafora. "Dergue," Aziz mulai menjelaskan. "Mereka menangkapi orang yang terkait dengan
kaisar dalam bentuk apa pun." Dia melambai ke ruangan. "Kita semua berisiko."
Karena kaitan kalian denganku.
"Djibouti," Aziz dan Girma berkata serentak.
Aku dan Aziz saling menatap. Ini tak mungkin terjadi. Aziz merogoh sakunya dan
mengeluarkan kartu identitas rumah sakitnya. Dia mengangkat plastiknya dan
mengelupas foto hitam-putih yang kecil itu.
"Aku ingin kamu pegang ini," katanya, dan meletakkan foto yang bertepi
melengkung itu di tanganku.
Aku menatap foto mungil itu. "Tapi apa yang bisa kuberikan kepadamu?"
"Kamu sudah memberikannya," katanya sambil menepuk perutnya. "Di dalam sini. Apa
pun yang terjadi." Manis di dalam perut. Bagian Kesembilan London, Inggris 1990-1991
Daftar nama yang dikirim kepada kami setiap bulan semakin panjang saja. Sudah
tak mungkin lagi memikirkan orang per orang; aku melihat negara yang dijungkirbalikkan dan semua penduduknya diguncangkan keluar dan dijatuhkan di perkemahan
yang menunggangi perbatasan Etiopia laksana cincin api. Sebagian besar akan mati
di sana, enam belas kilometer dari perbatasan rumah, akibat kelaparan dan
penyakit, yang wabah terbarunya adalah AIDS.
"Kurasa aku tak tahan lagi," kataku sambil melemparkan daftar terbaru ke meja
dan menggosok mata dengan telapak tangan. "Semuanya hanya coreng hitam."
"Kejenuhan khas relawan sosial," sahut Amina, dipersenjatai dengan bahasa
jabatan barunya sebagai direktur sementara Layanan Permukiman di Dewan Lambeth.
Dia menggunakan bahasa yang sama untuk menutupi kekecewaannya sendiri. Dia
43 Kisah Kelaparan dan Pengungsi
menyingkirkan perasaannya demi mencapai ketertiban dan efisiensi.
Amina datang ke flatku saat memerlukan ketenteraman, dan bekerja di meja dapur
dengan semangkuk sup. Aku meninggalkannya bekerja dan pergi ke flatnya, di mana
aku bisa membantu masalah Dickens, tetapi tak tahu apa-apa soal Shakespeare.
Yusuf cemerlang dalam matematika dan semua ilmu pengetahuan alam. Setidaknya dia
menemukan juga manfaat gelar ekonomi pertaniannya.
Tariq, yang kini dua setengah tahun, sungguh mengerikan. Namun, kami biasanya
membiarkan dia mengacau, mungkin mengetahui bahwa di tempat dan waktu lain, dia
mungkin menjual kacang kepada pencandu qat di pasar, bukannya menghantam panci,
mungkin sebentar lagi belajar mengisi pistol.
Kami menemukan dua hal yang membuatnya tenang: selai Marmite, yang dikenalnya
dari tipe ibu-ibu di penitipan anak, yang dijilatinya dari roti bakar dan
disedotnya dari jarinya, dan suara berwibawa dari acara berita malam. Dia tidak
menonton siaran itu, hanya menempelkan kepala di bagian belakang televisi,
mengundang suara-suara itu berbicara langsung ke telinganya.
Aku menemukan pekerjaan paruh-waktu untuk Yusuf baru-baru ini sebagai petugas
kebersihan di rumah sakit. Dia tampaknya cukup menyukainya, kurasa salah satunya
karena kejelasan hubungan manusia di sana. Ada dokter, tata usaha, dan perawat
di atas petugas kebersihan, tetapi di bawahnya ada pasien. Dia tidak perlu
merasa takut pada mereka, karena dengan menjadi pasien, mereka tak berdaya.
Yusuf mungkin merasa mati rasa dalam konteks besar dunia, tetapi setidaknya di
rumah sakit ada orang yang menghormatinya, meminta bantuannya. Bahkan orang
berkulit putih. Dialah yang mengenakan seragam.
Pekerjaan ini tampaknya cukup berhasil memulihkan rasa percaya dirinya, karena
akhir-akhir ini dia membaca buku tentang teknik bertani di Inggris modern dan
bertanya kepadaku tentang budi daya kacang kedelai dan tanah gambut, hal-hal
yang tak kumengerti sama sekali. Dia perlahan-lahan merawat bara harapan menjadi
nyala api. Sementara Tariq terus menempelkan kepala ke belakang televisi setiap malam,
Yusuf mulai terlibat dengan berita. Kami duduk berdampingan dan menonton dunia
bersatu dan terbelah di depan mata. Sulit membayangkan bahwa sebuah kekaisaran
mampu bertahan selama dua ribu tahun, jika dalam setahun kaum Komunis melepaskan
kekuasaan tunggal di Uni Soviet, Yugoslavia meledak dan retak, Nelson Mandela
dibebaskan, Perang Dingin berakhir, Uni Eropa disepakati, Jerman bersatu
kembali, dan Irak menyerang tetangga kecil bernama Kuwait, memicu perang baru
yang lebih mendunia daripada yang pernah diketahui bangsa Barat.
Yusuf berkata kepadaku dengan bijak, penuh ramalan: "Kaum Muslim akan menjadi
bangsa Rusia baru." "Tak pernah ada berita tentang Etiopia," keluhnya, sementara kami menyaksikan
dunia berubah di depan mata. "Seolah-olah negara kita tidak ada."
"Etiopia tidak penting bagi Barat," kataku, menyatakan hal yang gamblang. "Kita
tidak menawarkan apa-apa yang dapat mereka eksploitasi."
Ini terbukti merupakan berkah sekaligus kutukan. Kami dapat merasa bangga bahwa
Etiopia bertahan dari penjajahan Eropa, tetapi lalu kami harus menerima bahwa
dalam imajinasi Eropa, negara ini hanya terbayang sebagai bangsa miskin yang
kelaparan, dengan tingkat kematian anak tertinggi, harapan hidup rata-rata
terendah, dan tingkat melek huruf terendah di dunia. Sebagai kisah kelaparan dan
pengungsi. "Ada satu hal yang kita tawarkan yang dapat mereka eksploitasi," kata Yusuf.
"Contoh bagus tentang kejahatan komunisme."
"Benar. Tapi kita sudah seperti ini sebelum Dergue," aku mendebat.
"Bisa saja kejadiannya berbeda," katanya. "Dulu Haile Selassie sedang bergerak.
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melalui pendidikan, beberapa perkembangan di bidang pertanian ..."
"Untuk kepentingan segelintir orang, Yusuf. Dan dengan mengorbankan ratusan ribu
orang yang mati." "Yah, sekarang jelas kita tidak lebih baik," katanya. "Setidaknya pada zaman
Haile Selassie, kita bisa mengekspor-kopi-tapi kita kehilangan pasar itu garagara komunisme. Mengistu telah membuat dunia memusuhi kita dengan bersekutu
dengan Rusia." "Tapi sekarang Soviet sudah melepaskan monopoli mereka ..."
"Yang berarti tak lama lagi, Etiopia tak akan punya teman lagi," Yusuf
bersikeras. "Mengistu akan dilemahkan oleh perubahan ini di Uni Soviet,
percayalah. Aku meramalkan Dergue akan tamat setahun lagi."
# Pada hari Sabtu aku membaca daftar samar-samar, seperti yang sekarang cenderung
terjadi, lebih memindai mencari pola daripada membaca detail, bertanya-tanya
apakah Yusuf benar dan apakah pekerjaan kami di sini karenanya akan berakhir.
Ada generasi pengungsi baru yang datang dan tinggal di perumahan, terutama orang
Somali dan Kurdi. Orang Etiopia sudah jarang mendapat prioritas dalam perumahan,
karena jumlahnya terus bertambah-seolah-olah ini sudah terlalu lama berlangsung,
tak pantas lagi diperhatikan secara khusus. Krisis, secara definisi, hanya
terjadi sebentar. Krisis yang berkelanjutan adalah oksimoron.
Aku menggeser daftar itu ke Amina di seberang meja. "Sebagian besar nama
Kristen," aku menyimpulkan.
Amina melirik halaman depan. "Eh. Ada sekretaris baru di Roma."
"Oh, ya." "Munir Jamal Mahmoud ini. Sepertinya Nadjmia sudah pindah."
Aku memajukan tubuh. "Nama itu. Sebutkan lagi nama itu."
Dia memicingkan mata melalui kacamatanya. "Munir Jamal Mahmoud," dia membaca.
"M.D." "Munir," kataku. "Siapa Munir?" tanyanya. "Sahabat Aziz."
Amina mengambil kertas baru dari laci.
Kebahagiaan Hubunganku dan Robin agak dingin selama sekitar enam bulan setelah kami berhenti
berkencan-kalau memang bisa disebut berkencan. Apa pun namanya, sekarang
situasinya mereda menjadi keberjarakan yang sopan. Kukira suatu saat dia
berhenti merasa muak, lalu memutuskan untuk menyalurkan energinya ke tempat
lain, mungkin mengarahkannya kepada orang lain yang lebih sesuai. Perempuan yang
mengajaknya masuk ke flat yang berperabot lengkap dan memiliki hobi cemerlang
seperti bela diri, atau melukis dengan cat minyak; perempuan yang menawarkan
jalan masuk dan memiliki kehidupan di luar pekerjaan. Dan sebaiknya dia
melakukan itu, dan kuharap dia sudah melakukannya, tetapi aku tak tahu karena
kami tidak bertukar informasi pribadi, kami hanya berbasa-basi di lorong lalu
berpisah. Aku berlari melewatinya pada hari surat itu tiba, pontang-panting ke bangsal
korban, di sana Yusuf sedang mengepel lantai.
Aku perlu saringan. Dan aku perlu suara seorang lelaki Etiopia. "Bacakan untukku
sekali," aku meminta Yusuf, tersengal-sengal, "tapi jangan bacakan bagian yang
buruk. Lalu bacakan lagi, kali ini dengan bagian yang buruk."
"Di sini?" tanya Yusuf, melihat ke kericuhan di sekeliling.
Aku mengambil pel dari tangannya dan dia merogoh-rogoh sakunya mencari kacamata
baca. Dia membaca dengan suara perlahan, dengan suara seorang pujangga, dan
hiruk-pikuk rumah sakit memudar ke latar.
Oktober 199D Lilly yang baik,
Kuharap surat ini sampai di tanganmu yang sehat dan dengan sekelumit kebahagiaan
dalam kehidupanmu di London. Tak bisa kuungkapkan betapa melambungnya hatiku
saat menerima surat darimu. Aku baik-baik saja, alhamdulillah. Andai saja aku
dapat memberikan kabar baik yang kau minta, karena itu juga akan meringankan
hatimu. Aku sudah beberapa tahun tidak bertemu Aziz, tetapi terakhir kali aku
bertemu dengannya, dia baik-baik, hanya saja marah seperti aku tentang rezim
brutal ini. Insya Allah si Mengistu akan mati dan semua kebenaran akan
terungkap, tetapi sekarang situasi masih berbahaya. Orang tak boleh menentang.
Seperti yang kau ketahui, aku dan Aziz sangat mendukung perubahan ini di negara
kita. Kami turut serta dalam gerakan yang mengakhiri kekaisaran dan
mengembangkan negara sesuai dengan prinsip sosialis. Gerakan kami searah
setujuan, sampai si diktator Mengistu mulai menggunakan senapan dan membunuh.
Kami memiliki ideologi yang kuat, tetapi kami cinta damai. Kelompok mahasiswa
kami pecah menjadi dua partai, lalu sesungguhnya semua harapan meraih negara
sosialis pun sirna. Saudara berperang dengan saudara, dan si diktator
mengirimkan jenderal-jenderalnya untuk menangkap sebagian besar dokter dari
rumah sakit. Kata mereka, kami menentang revolusi dan mengirim seorang ke sini,
seorang ke sana, ke banyak penjara di seluruh negeri. Tetapi sesungguhnya, kami
tidak menentang revolusi, setidaknya dalam prinsipnya, mereka hanya memerlukan
dokter untuk penjara mereka. Isi penjara membeludak. Semua orang di Etiopia
rupanya menentang revolusi.
Aku dan Aziz beruntung dalam satu hal. Karena kami satu tim medis, kami dikirim
bersama-sama ke Jijiga. Sungguh, kondisi di sana sangat buruk. Orang tidur
tumpang-tindih dan kehabisan napas karena tak ada ruang. Tentu saja, di kemudian
hari, mereka bahkan tidak repot berpura-pura ini penjara. Tetapi, saat itu
penjara masih penjara, dan mula-mula kami tak mau bekerja untuk para penangkap
yang korup ini, tetapi mereka benar-benar membuat kami tak punya pilihan. Namun,
kami berhasil melewati pengalaman itu. Sekarang aku berjalan dengan kruk karena
kuku kakiku, dan mata Aziz tidak terlalu bagus sekarang, tetapi sebenarnya kami
termasuk beruntung, alhamdulillah. Mereka mematahkan semangatmu di awal, lalu
cukup-jika mereka dapat memanfa-atkanmu, mereka akan melakukannya.
Pada 1977 keadaan sangat parah, dengan mimpi buruk yang disebut mereka Teror
Merah. Mereka mengirimku ke penjara baru, jauh di barat daya, ketika banyak
orang Etiopia berusaha melarikan diri ke Sudan. Kami memohon para petugas di
Jijiga karena kami satu tim medis, tetapi mereka tak bisa kehilangan dua dokter,
jadi mereka mengirim yang berkaki pincang, bukan yang bermata buruk. Aku merasa
tak enak, ya Allah, tetapi ini kesempatanku dan aku melarikan diri ke Khartoum,
naik truk. Dan dari sana ke Mesir dan setelah beberapa tahun di Kairo, naik
kapal laut ke Roma karena aku menemukan sepupuku di sini. Sekarang aku bekerja
paruh waktu untuk asosiasi ini, tetapi insya Allah aku akan segera ke Toronto,
tempat kakak tertuaku tinggal. Kalau aku ke Toronto, aku akan menyuratimu dan
mengabarimu bahwa Allah telah mengabulkan permintaanku.
Mungkin kau bisa mencari seorang lelaki di
London. Dia kepala staf di Addis Ababa dan mengajar kami di Universitas Haile
Selassie. Kami dengar dia ke London untuk pelatihan lagi-dikirim oleh Mengistu
sendirM-tetapi menjadi pemohon suaka politik. Dia orang yang hebat. Mungkin dia
bisa membantumu. Mengistu memberinya nama Amhara, tetapi sebenarnya namanya
Ramadan Sherif. Insya Allah akan ada berita yang meringankan hatimu. Farenji yang baik-Aziz membicarakanmu setiap hari. Assalamu 'alaikum Munir Ada yang namanya buruk, ada yang namanya relatif buruk. Dalam pekerjaan kami,
aku sudah mendengar begitu banyak cerita, sehingga aku tak mungkin bisa
menciptakan bentuk penyiksaan baru yang belum terpikir oleh Dergue. Munir
kehilangan jari kaki dan sebagian bahasa Inggrisnya (atau mungkin hanya bahasa
Inggrisku yang sudah membaik). Aziz yang malang kehilangan sebelah mata. Aku
bertanya-tanya apa lagi yang telah dirampas dari mereka. Jelas harapan mereka
meraih Etiopia baru, dalam sosialisme sebagai jalan untuk maju. Revolusi berbuah
seperti ini, aku sudah mengerti sekarang. Semakin ke kiri teorinya, semakin
cepat pendulum kembali ke tengah, praktik berayun ke kanan. Runtuhlah si tirai
besi. Yusuf membacakan surat itu lagi. Versi kedua mirip dengan yang pertama. Inilah
pikiranku, berturut-turut:
Bukan aku yang menyebabkan dia dikirim ke penjara"
Dia membicarakan aku setiap hari"
Sadia. Munir bahkan tak menyebut-nyebut namanya. Ramadan Sherif.
Bukan aku yang menyebabkan dia dikirim ke penjara.
Dia membicarakan aku setiap hari.
* Beberapa hari kemudian aku tahu-tahu terkapar di lantai teraso, darah di mataku,
meluas menjadi genangan di bawah daguku.
"Astaga, Lilly, kamu beruntung sekali matamu tidak kena," kata Robin, yang
menyelia bangsal hari itu. "Sepertinya ini biang keladinya," katanya sambil
memungut pisau bedah dari genangan darah dan instrumen. Nampannya berhasil
meluncur sejauh setengah lorong.
Dia menyeka kotoran di wajahku dengan saputangan dan memapahku bangkit.
"Aku tersandung, entah bagaimana," kataku sambil menatap sepatuku seolah-olah
merekalah yang perlu dipersalahkan.
Robin mencukur sepetak rambutku, sementara aku duduk di ranjang dorong di
lorong. "Ada masalah apa?" dia menyelidik, sambil memeriksa ubunubunku.
"Aku tidak berguna, sungguh," aku memaki diri sendiri.
"Kamu mau ini kubekukan dulu?" tanyanya. Aku menggeleng. Dia baik hati. Dia tak
pernah tidak baik hati. "Kamu cukup tidur?"
"Dua malam ini, tidak," aku mengakui. Begadang, tanpa jawaban. Amina belum
menemukan nama Ramadan Sherif di berkas kami yang mana pun. Aku belum menemukan
namanya atau variasinya di daftar staf dan fakultas di rumah sakit atau
universitas London. "Kenapa bisa begitu, Lilly?" Robin mendesak. "Rahasia antara dokter-pasien."
"Aku sedang berusaha mencari seseorang," kataku, sementara dia menusukkan jarum
ke dalam kulitku. "Jangan!" katanya. "Tegakkan kepalamu, aku baru mulai!" Dia merendahkan suara.
"Kamu tak perlu menceritakannya kepadaku kalau tak mau."
Aku tak bisa bergerak karena ada jarum di kepalaku. Air mata bergulir di pipiku.
"Oh, astaga, semestinya aku membekukan kamu."
"Bukan itu," cetusku. "Aku hanya merasa begitu tak berdaya. Keadaannya kacau
sekali di Etiopia." "Kamu sudah berbuat banyak untuk orang Etiopia di sini. Setidaknya itu
bermanfaat, kan?" "Ini tidak sealtruis seperti kelihatannya."
"Itu tidak berarti ini bukan kegiatan yang baik. Maksudku, orang Islam berzakat,
kan" Tapi itu bukan benar-benar altruisme. Zakat itu pemenuhan rukun Islam,
diberi pahala karena menjadi Muslim yang baik, jadi zakat lebih berkaitan dengan
si pemberi, bukan si penerima. Dan orang Yahudi membuat mitzvah-sama saja. Dan
orang Katolik berkata, berbuat baiklah kepada orang lain. Kenapa" Karena
semuanya akan kembali dan menggigit pantat mereka kalau mereka tidak menurut.
Tapi semuanya tetap bermanfaat, amal atau sedekah ini, semuanya menjadikan dunia
ini lebih baik, tetapi kukira tidaklah jujur kalau kita menganggap tindakan itu
altruis." Aku mengangguk. "Lilly, jangan bergerak! Seperti kebanyakan orang dalam profesi medis, kamu
terbukti bukan pasien yang baik."
Aku menanyakan orang Hindu kepadanya. Tentang beramal.
"Oh, yah, ini yang paling mementingkan diri sendiri," katanya. "Semuanya soal
karma, menciptakan yang positif dan mengurangi yang negatif supaya kita menitis
lebih baik pada kehidupan berikutnya."
"Aku minta maaf sekali, Robin," kataku. "Untuk segalanya."
"Tak apa-apa," katanya sambil melangkah mundur dan mengagumi hasil karyanya.
"Aku masih berdiri, kan?"
"Kamu baik sekali. Sabar sekali. Aku hanya ..."
Dia duduk di sampingku di atas ranjang dorong di lorong steril ini dan dalam
satu gerakan lambat menarikku ke bahunya. Aku bersandar padanya, tanganku
terlipat di pangkuanku, maskara membuat jejak di bahunya yang putih.
Disinfektan. Sarung tangan karet. Dan di baliknya, kehangatan bubuk kunyit yang
menghipnotis, aroma jujur jintan ulek dari tubuhnya.
46 jRjDbin mengangguk, mengenali nama itu samar-samar, ketika kami berbagi
secangkir teh di kantin. "Aku yakin lelaki ini orang Etiopia," katanya. "Di
konferensi yang kuhadiri tahun lalu tentang AIDS di Afrika. Kamu pasti menyukai
konferensi itu, Lilly, tetapi waktu itu kita tidak benar-benar, kamu tahu ii
"Berteman." "Pokoknya," lanjutnya, "ini kemungkinan kecil, tapi mungkin aku masih menyimpan
catatan laporannya di suatu tempat. Tentu saja, hanya kalau kamu mau aku
mencarinya." "Bisa aku membantumu mencari?" tanyaku.
"Apa" Di flatku?" Dia tertawa mendengar permintaan tak malu-malu yang tidak
biasa itu. "Aku nyaris tak percaya, akhirnya aku berhasil memikatmu agar mau ke
flatku. Ah, hidup ini lucu. Andai aku tahu hanya diperlukan salah satu arsipku,
tentu aku Aria Terakhir dan Lambaian Manila
sudah melambaikan map manila itu kepadamu bertahun-tahun lalu."
Flatnya membuatku terheran. Patung dewa dan dewi dengan tangan melambai-lambai
berdiri di rak buku, di kosen jendela, di atas televisi. Setiap patung merupakan
anggota tubuh yang simpang siur dan aku tak bisa membedakan tangan mana milik
kepala yang mana. "Baunya sedap," kataku.
"Aku curang. Beli di Marks and Spencer's."
Dia menggeser sepiring nasi biriyani ke depanku dengan tangan bersarung tangan
oven. Aku dibutakan oleh titik-titik polka dan uap air.
Setelah kami selesai, aku membawa piring-piring ke dapur yang sempit. Nyaris
saja piring itu jatuh saat aku melihat diriku di cermin di atas wastafel.
Astaga, pemandangan yang buruk. Aku menyentuh garis jahitan di wajahku dan
meraba pitak di kepala. Robin berdiri di belakangku, bayangannya terpotong di leher. Dia menyingkapkan
rambutku ke belakang dengan tangannya. Leherku geli dan aku berdiri di sana
dengan piring di kedua tangan, menatap bayangan jaketnya di cermin.
"Codet ini nantinya hebat sekali," katanya.
Dia membuat kopi dengan susu panas dan membumbuinya dengan kepulaga dan cengkih:
tidak benar-benar Etiopia, tetapi jelas bukan Inggris. Aku menenggaknya dengan
buru-buru, membakar lidahku.
"Baik." Dia bangkit dari meja, menangkap petunjukku.
Aku mengikutinya ke kamar tidur. Di atas tempat tidurnya terdapat poster gajah
berbingkai dan seprai Jingga cerah dengan motif lingkaran-lingkaran perak
berkilau. Sebuah rak penuh buku dan di atas lemari ada foto keluarga dan teman.
Rasanya seperti kamar tidur anak perempuan. Aku malu bahwa begitu sedikit yang
kuketahui tentang dia. Dia berlutut dan menarik dua kotak kardus berdebu dari kolong tempat tidur.
Aku mengambil salah satu foto di atas lemari. "Orangtuamu?"
Dia mengangkat kepala. "Paman dan bibiku. Mereka tinggal di Manchester, tapi
mereka memperlakukan aku seperti anak sendiri. Hidup mereka sulit. Idi Amin
mengusir mereka dari Uganda tahun 72 dan mereka tak pernah sama lagi. Mereka
dulu memiliki bisnis impor sendiri."
"Kenapa mereka tidak pulang ke India?"
"Oh, kamu tahu bagaimana keadaannya. Begitu kamu berada di luar suatu tempat,
kamu tak pernah bisa pulang. Tidak sepenuhnya."
Dia benar, tetapi orang hanya tahu itu kalau masih ada pilihan untuk pulang.
Aku berdiri di balik bahunya, sementara dia membalik-balik arsip di kotak kedua.
Manis melihat bagaimana kehidupannya dipajang di sini. Aku ingat dia berkomentar
bahwa aku tidak punya foto atau lukisan di dindingku. Sekarang masih begitu,
tetapi aku kini dapat memahami bahwa itu dapat membuat rumah tampak lebih ceria.
Aku memindai punggung buku-buku Robin tanpa minat, sementara dia menggali ke
kolong tempat tidur untuk mengeluarkan kotak ketiga. Sebuah judul memikat
perhatianku: Kisah Kaum Sufi di Gurun Sahara. Nama yang mengoyak hatiku: M.
Bruce MacDonald. Aku meraih punggungnya yang tipis dan mengambilnya dari rak.
Aku membuka sampulnya, membalik ke halaman pertama dan kedua. Di sana,
persembahan dicetak di halaman putih krem: "Untuk Lilly." "Ya Tuhan."
"Eureka!" seru Robin sambil mengeluarkan satu
map. Aku mengembalikan buku dan menelan ganjalan di tenggorokanku, sementara Robin
mengusap debu dari hidung dan mendengus, membalik-balik buku kecil bertulisan
"Pencegahan HIV/AIDS di Afrika Sub-Sahara," dicap di bagian depan. Bulan putih
kuku Robin memindai indeks. Dia membuka halaman dua puluh tiga. "Ini dia."
Aku melihat dari balik bahunya. Dr. B. Wondemariam. "Persepsi Islam tentang
Penyebaran HIV/AIDS di Tanduk Afrika. Unit Wellcome untuk Sejarah Kedokteran,
University of Oxford," judul abstrak itu berbunyi. Di akhir artikel ada biografi
singkat. Mantan kepala staf di Rumah Sakit Addis Ababa dan kepala jurusan
kedokteran di Universitas Addis Ababa.
"Ya Allah!" seruku. "Boleh pinjam telepon?"
"Tentu."
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menelepon Amina di rumah. "Kamu di mana, Lilly?" tanyanya. "Bukannya kita
mau mengajak Sitta dan Ahmed ke Ritzy?"
Aku benar-benar lupa. Semestinya kami mengajak mereka nonton film malam ini.
"Maaf sekali, Amina, sampaikan maafku pada anak-anak. Cuma aku sedang di flat
Robin dan ..." "Oh la la," dendang Amina-ungkapan favoritnya yang baru, yang digunakannya untuk
mengomentari apa pun dari buah yang ranum sampai berita kerusuhan.
"Dokter itu, bertahun-tahun lalu. Orang Amhara itu. Kamu ingat namanya?"
"Dokter apa" Yang kukunjungi di Camden dulu" Aku tak ingat, Lilly. Itu lima
tahun yang lalu." "Wondemariam?" aku mencoba.
Dia diam. "Ya, itu mungkin sekali."
"Nama depan B."
"Ya." Aku mendengar dia mengangguk. "Namanya Berhanu."
Aku tidak mempertanyakan saat Robin berkata kita. Kita naik bus. Kita jadikan
acara seharian. Kita berangkat sekitar jam sebelas hari Kamis. Aku membiarkan
dia mengambil alih kendali. Aku bahkan memintanya menelepon.
"Siapa ini?" lelaki itu bertanya.
"Namaku Dr. Gupta, dari South Western Hospital. Aku teman seorang teman."
"Tapi kenapa kamu memanggilku Ramadan?"
"Teman seorang teman dari masa lalu."
Robin menutup telepon dengan tangannya yang lain. Dia orangnya, dia menggerakkan
bibir. Aku mendekatkan tubuh untuk mendengar. "Anda mau apa?"
"Saya ingin bertanya soal orang yang mungkin kita berdua kenal, tapi saya tak
ingin bertanya lewat telepon," kata Robin.
"Anda bukan orang Etiopia."
"Bukan, India."
Pasti inilah sebabnya dia membolehkan kami bertamu. Dia pasti ketakutan
mendengar nama aslinya, tetapi tidak terlalu takut seperti andaikan nama itu
keluar dari mulut seorang Etiopia. Statusmu mungkin sah di negara baru, tetapi
itu tak ada artinya dalam peperangan negara lama.
Amina membuatkan kami bekal seolah-olah kami anak-anak yang pertama kali
berangkat bersekolah. Di bus aku membuka bungkusan sandwich roti putih yang
dipotong pinggirannya, termos teh, dan surat yang dituliskan di secarik kertas
yang dicap dengan jejak cakar dan kata-kata Dari meja Amina Mergessa. "Semoga
harimu menyenangkan. Jika bukan tujuannya, setidaknya perjalanannya," tulisnya
dengan provokatif. Aku menatap ke luar jendela ke pedesaan di balik santirku. "Buku itu," kataku
kepada Robin. "Oleh Muhammed Bruce. Kamu tak pernah menyebut-nyebut."
"Aku tak berani. Aku menyadari aku benar-benar sudah melanggar batas."
"Seperti apa bukunya"1
"Belum kubaca."
"Kenapa?" "Karena kubeli untukmu."
Aku menciumnya. Sekali, dua kali, tiga kali, di pipinya.
Bulu matanya gemetar. Dia terkejut. Dia tersenyum.
Kantor Dr. Ramadan adalah ruangan sederhana dengan jendela ceruk yang diselimuti
tumbuhan wisteria, menghadap ke jalan. Dia lelaki jangkung berwibawa yang
berusia enam puluhan, dengan janggut kelabu yang dipotong rapi. Dia terkesan
formal dan mengenakan setelan jas abu-abu dengan dasi dimasukkan ke balik jaket
yang satu kancingnya hilang. Kami duduk di sofa yang kainnya koyak, tetapi tidak
menanggalkan jaket. Udara dingin ternyata gigih, menemukan jalan masuk ke
ruangan melalui celah yang tak terlihat, dan meskipun hari sudah gelap, tuan
rumah kami tidak menyalakan lampu di atas.
"Aziz Abdulnasser," ulangnya, menggulirkan nama itu di mulutnya. Dia berputar di
kursinya. "Dan katamu dia mungkin pernah menjadi mahasiswa saya kapan?"
"Sekitar 1960-an akhir. Mungkin seawal 66."
"Hmm. Lalu dipenjarakan di Jijiga?"
"Pada pertengahan 1970-an. Mungkin 76, 77."
"Kurasa saya tahu kenapa teman Anda mengirimmu kepada saya," katanya serius,
bersandar dan merentangkan sisa kancing di jaketnya. Dia menggaruk pelipisnya
dengan penghapus di ujung pensil.
"Anda tahu?" Aku harus menarik setiap kalimat darinya.
"Saya sangat mengenal penjara itu."
"Anda juga dipenjarakan di sana?"
"Tidak. Tidak juga." Dia meletakkan telapak tangannya di meja itu. "Sayangnya,
Nona, penjara itu dihancurkan tahun 1978," katanya, berbicara kepada tangannya.
"Juga semua orang yang dipenjarakan di sana."
Aku membuka mulut, tetapi tak ada kata yang keluar. Robin meraih tanganku. Aku
hanya memiliki perasaan yang tentunya dirasakan orang saat kabel mesin penyokong
hidup dicabut. Beberapa kejang tanpa disengaja mengguncang igaku.
"Semasa pertempuran Dergue dan orang Somali," katanya, matanya menatap ke
langit-langit. Aku hanya melihat gelembung matanya secara siluet-bulan bulat
yang merenung. "Orang Somali memandang kepergian Haile Selassie sebagai
kesempatan untuk mencoba merebut kembali Ogaden. Dan mereka benar juga, kalau
boleh kutambahkan. Kekacauan kecil itu diakibatkan oleh perjanjian antara Haile
Selassie dan Inggris di Somalia. Jadi, Dergue melakukan apa yang selalu
dilakukan Dergue dan mulai mengumpulkan semua orang yang dicurigai tak hanya
ingin berperang, tetapi bahkan berpikir tentang berperang-jadi, Dergue
membanggakan dirinya mampu membaca pikiran orang. Seperti yang bisa Anda
bayangkan, tidak lama kemudian penjara di Jijiga penuh dengan orang Somali
Etiopia "Lalu pasukan Somali menyerang daerah itu," dia terus berceramah kepada langitlangit. "Mereka menduduki Jijiga. Mereka bahkan maju ke barat hingga ke Harar.
Dergue mendatangkan penasihat Rusia dan pasukan Kuba untuk melawan orang Somalia
atas nama mereka, dan tiba-tiba daerah itu penuh tank dan sarat ranjau darat dan
semua mesin yang belum pernah kita lihat di daerah sana di Etiopia. Orang Kuba
mendesak pasukan Somalia mundur di daratan hingga ke Jijiga. Lalu mereka
menjatuhkan bom dari pesawat. Mereka sengaja menyasar penjara untuk membasmi
pemberontak Somali bangsa Etiopia. Mereka juga membunuh banyak orang lain,"
katanya tanpa emosi. Semestinya aku tahu. Semestinya aku tahu ada hal lain yang Munir tak ingin
katakan. Sangat Etiopia sekali dia, tak mau menyampaikan kabar buruk. Untuk
menjaga harapan, kemungkinan Aziz masih hidup. Dan sangat Muslim sekali. Insya
Allah. Selalu ada peluang bahwa Allah menghendaki apa yang kita inginkan. Aziz
mungkin menyebut namaku setiap hari, tetapi hari-hari itu berakhir baginya, bagi
kami, pada tahun 1978. Aku menyadari bahwa kuku jariku telah menimbulkan darah pada tangan Robin. Dia
tidak melepaskan. Dia meremas tanganku semakin erat.
"Dari mana saya tahu ini, kalian mungkin bertanya-tanya?" lanjut si dokter,
akhirnya menatap kami. "Saya malu mengatakannya, tetapi saya dipekerjakan oleh
Dergue. Ini ketika saya dipaksa mengambil nama Amhara. Saya tak punya pilihan.
Saya kepala staf di rumah sakit di Addis. Saya diperintahkan menjadi dokter
pribadi Mengistu dan perwira seniornya saat dia mulai berkuasa. Dan pada 1978,
Mengistu sedang berada di Jijiga. Menyaksikan seluruh adegan ini terjadi seperti
sedang menonton opera," kata si dokter dengan lambaian tangan dramatis. "Dia
bahkan berdiri dan bertepuk tangan."
Sisi Etiopia dalam diriku semestinya melolong, memperlihatkan dukanya,
menengadah ke langit dan menjerit sekuat paru-parunya, memohon kemurahan hati
dari Allah, memohon ampunan, memohon belas kasihan untuk jiwa yang dicintainya.
Namun, sisi Inggris dalam diriku membisu.
Aku harus kabur dari ruangan ini. Aku mengguncang tangan Robin hingga lepas dan
menarik gagang pintu. Kedua lelaki itu mengamatiku dari jendela saat aku
berdebam menuruni tangga, saat aku pontang-panting di jalan, saat aku menengadah
ke langit dan hujan membanjir ke mulutku yang terbuka, mengancam akan mengisi
paru-paruku. Aku terbatuk dan meludahkan air hujan dan melemparkan tanganku ke pagar besi di
depanku, menggenggam jerujinya, yang di baliknya berdiri sebuah gereja, St.
Giles, dan pekuburan yang begitu tua sehingga nama orang-orang mati sudah
terkikis habis. Andai ini pekuburan Muslim, tak akan ada nama. Dan tak ada nisan
yang lebih besar daripada yang lain. Kita semua setara di mata Allah. Kita semua
tak bernama. Kita semua kembali kepada Allah pada akhirnya.
Awan hitam melayang di atas kepalaku dan hujan tiba-tiba berhenti. Robin
melepaskan jemariku dari jeruji besi dan meletakkan payung di tanganku.
Dia membalikkan jaketnya dan menutupiku dengannya pada perjalanan pulang naik
bus. Aku menyandarkan kepala di atas bahunya.
Dia berbisik: "Umat Hindu meyakini bahwa esensi seseorang-jiwa-hidup terus,
dititiskan berulang-ulang dengan kedewasaan yang lebih tinggi setiap kali,
sehingga akhirnya jiwa itu mencapai moksa, kebebasan dari tubuh. Itulah yang
paling kami dambakan."
Seperti seorang sufi, pikirku, bedanya sufi berusaha melakukan itu dalam satu
masa hidup. Apakah jiwa bisa berimigrasi" Aku bertanya-tanya malam harinya. Aku harus tanya
Robin besok pagi. Aku tak akan membangunkannya sekarang. Dia tidur nyenyak,
kakinya yang panjang bersilang di pergelangan dan menggantung dari tepi sofaku.
47 jR^amalan Yusuf jitu. Pada Mei 1991, EPRDF-sebuah koalisi kekuatan revolusi yang
dipimpin oleh gerilyawan Tigriya dari utara-menggulirkan tank memasuki Addis
Ababa dan menyebabkan Mengistu dan para perwiranya angkat kaki.
Dergue didakwa telah membunuh, secara ilegal menangkap, memenjarakan, dan
menyiksa ratusan ribu warga Etiopia, mendukung dan memanfaatkan kelaparan untuk
membunuh ratusan ribu lagi, menciptakan wabah orang yang tercerabut dan diaspora
pengungsi ke seluruh dunia.
Aziz hanyalah satu di antara jutaan. Tetapi, dia satu milikku.
Selama bulan-bulan sejak aku dan Robin mengunjungi Dr. Ramadan, aku mulai
bertanya-tanya apakah, dalam beberapa hal, Aziz dulu hanya merupakan hantu.
Ketakhadirannyalah yang merupakan bagian dari diriku, dan telah seperti itu
selama bertahun-tahun. Inilah diriku, mungkin diri kita semua, pemelihara orangorang yang tak hadir atau
Timur, Barat, dan Lebih Barat Lagi
sudah mati. Inilah berkah dan beban bagi orang yang hidup. Inilah persembahan
Muhammed Bruce dalam bukunya. Tak ada orang di antara kita yang yatim piatu,
sekalipun semua orang yang pernah kita cintai sudah mati.
Sekarang berakhirlah tujuh belas tahun teror dan kita terus melanjutkan hidup.
" Yusuf ditawari jabatan junior di universitas pertanian di sebuah kota di barat
Kanada. Mereka tak tahu apa-apa tentang Calgary, kecuali bahwa udaranya sangatsangat dingin pada musim salju, ada gunung, dan sepupu Yusuf memiliki restoran
yang diapit antara toko sayur dan tukang pangkas rambut, juga dimiliki seorang
Oromo. Tetapi, ini cukup. Ini lebih dari London. Dulu mereka dipaksa
mengasingkan diri dan sekarang, beberapa tahun kemudian, mereka siap memilih
tentang bagaimana dan di mana mereka akan hidup. Mereka sudah bukan lagi
pengungsi. Gelombang pengungsi baru telah tiba untuk menggantikan mereka.
"Kamu sendiri mau ke mana?" tanya Amina kepadaku.
"Aku tak tahu. Apa aku harus pergi?"
"Yah, kamu tak mau kan tinggal di sini selama sisa hidupmu."
"Kenapa tidak" Tak ada yang salah di sini. Maksudku, tempat ini sudah sepuluh
tahun menjadi rumahmu, kan?"
Ada perbedaan penting di antara kami yang belum pernah kusadari sepenuhnya
sebelum ini. Bagi Amina, tiba di London adalah peristiwa acak; dia bisa saja
tiba di tempat mana pun. Tetapi bagiku, Inggris adalah satu-satunya tempat yang
logis, di mana akar sejarahku, meskipun tampak asing bagiku, sebenarnya
terkubur. Perjalananku berakhir di sini. Sebenarnya, berakhir di sini bertahuntahun yang lalu, jauh sebelum aku siap. Diperlukan waktu tujuh belas tahun
hingga jiwaku menyusul tubuhku ke sini.
Aku teringat masa ketika aku dan Hussein berangkat ke Harar. Aku memohon Abdal
Akbar memberitahuku apa lagi yang diketahuinya tentang nasib orangtuaku. Biarlah
satu bab berakhir sebelum bab lain dimulai. Dia biasanya samar-samar setiap kali
aku bertanya, hanya berkata bahwa Allah Mahatahu, hal-hal semacam itu, tetapi
pada kesempatan yang satu ini, barangkali karena dia tahu mungkin tak akan ada
kesempatan lagi menyampaikan kejadian sebenarnya, dia memberitahuku bahwa mereka
mencuri dari peti uang, mengambil sebagian besar uang yang disumbangkan oleh
peziarah untuk membeli sejumlah besar opium, yang mereka coba jual di ganggang
medina di Tangier. "Tapi kenapa mereka perlu menghasilkan uang sebanyak itu?" tanyaku kepadanya.
"Karena mereka berusaha membeli tiket pulang," itu jawabannya.
Kalau kamu menancapkan akar, akar itu akan tumbuh, begitu ayahku sering berkata.
Amina melingkari sebuah iklan, mendorongnya melintasi meja Formica, dan
menemaniku naik kereta bawah tanah ke utara, ke Finsbury Park. Tak jauh dari
Pasar Camden, yang sangat kusukai, tetapi jauh lebih murah. Apartemen itu
terletak di sebuah rumah, bukan gedung, di jalan perumahan reyot dengan taman
depan bertembok. Sebagian besar sudah diubah menjadi flat atas dan bawah.
Tempat itu memiliki pemanasan udara terpusat dan perapian dan, tidak seperti di
perumahan lama, flat baruku memiliki sejarah Inggris: bergenerasi-generasi orang
tinggal di lantai kayu keras, cokelat tembakau di tirai, sisa segulung wallpaper
di lemari pakaian, abu di perapian. Tempat itu memiliki kehangatan yang begitu
berbeda dengan lorong beton di rumah susun, saat gaung sepi malah memperbesar
perasaan bahwa kami tinggal di pengasingan, dan hanya menambah hasrat untuk
hidup di masa lalu dan bersantap diam-diam seperti penderita bulimia di lemari
yang penuh kenangan. London tak akan lagi tampak sergam di seberang sungai. Aku akan tinggal di tepi
utaranya dan memasuki pedalamannya, sebagai bagian pekerjaanku sebagai perawat
di unit kesehatan masyarakat bergerak, yang antara lain mengoperasikan
pertukaran jarum. Kualifikasi keperawatanku diperlukan untuk pekerjaan ini,
kegiatan hari Sabtuku membuatku direkomendasikan. Bertahun-tahun menangani orang
yang terpukul, terluka, takut, depresi, cemas, marah, dan ingin bunuh diri telah
mempersiapkan diriku dengan baik untuk pekerjaan dalam kota yang keras ini.
Robin menyarankan aku memulai hobi yang membuat santai, seperti yoga atau
meditasi. Jelas bahwa memang harus ada perbedaan antara pekerjaanku dan
kehidupan pribadiku. Dan aku setuju. Aku siap menggeluti kehidupan pribadiku.
Robin meminjam van, lalu dia dan Yusuf membantuku mengemas isi apartemenku, yang
hanya sedikit. Selama bertahun-tahun tinggal di tempat ini, aku tak pernah
membeli apa pun yang layak disimpan. Itu bisa diberikan ke Leiia di ujung
lorong, dan kafau dia tak mau, kita bawa saja ke Oxfam. Oh tidak, benda itu" Itu
teriaiu menghina. Lempar saja langsung ke tempat sampah.
Pada awal malam pada hari pindahan, Amina tiba bersama anak-anak dan sepanci
besar dorro wat yang dibawanya jauh-jauh dengan kereta api bawah tanah. Dia
meletakkannya di atas kompor dan hampir kehilangan alisnya akibat jilatan api
pertama. "Amina." Aku tersenyum, melambaikan satu paket dupa. Kami harus mengusir roh
dulu. Dia tertawa dan mengatakan aku sangat fashinn qadim, seperti perempuan tua di
Harar. Aku tak menggubrisnya, menyalakan setengah lusin tangkai dari api, lalu
melambai-lambaikan itu, mendoakan agar leluhur dan roh yang tinggal di tempat
ini mengalami perjalanan yang baik ke surga. Jika kematian seseorang tidak
diberi penghormatan yang pantas, rohnya terperangkap di antara dunia dan
akhirat. Ini ucapan selamat perpisahan.
Yusuf menarik napas dalam-dalam, Robin memandangku penuh kasih, Tariq
mengikutiku dari ruangan ke ruangan, dan Ahmed dan Sitta yang menyangka ini
permainan, bersaing tertawa paling lantang. Ini mungkin satu-satunya kesempatan
mereka menyaksikan tradisi Harari lama ini, tiba-tiba kusadari. Inilah yang
terjadi di Barat. Umat Islam dari Pakistan shalat bersama-sama umat Islam dari
Nigeria, Etiopia, Malaysia, dan Iran, dan karena satu-satunya hal yang mereka
miliki bersama adalah kitab suci, itu menjadi satu-satunya dasar untuk komunitas
yang baru; bukan budaya, bukan adat, bukan tempat. Al-Quran adalah satu-satunya
yang menawarkan konsensus, jadi adat dibuang seakan-akan itu pakaian dunia
ketiga yang kotor. "Dulu kami jahil," kata banyak orang, seolah-olah setelah
berada di Baratlah mereka memahami jalan sejati Islam.
Bahkan imam kami sendiri, di masjid yang kami kunjungi selama bertahun-tahun,
mendukung hal ini, menyerukan pentingnya keseragaman ibadah dan pakaian di
hadapan dunia yang memusuhi. Para imam mengutuk pengikisan nilai-nilai Islam di
Barat, terutama pemisahan antara lelaki dan perempuan. "Pelestarian umat
bergantung pada upaya kita melindungi kaum perempuan kita," kata imam kami
menegaskan, dan mengharuskan kami berpakaian lebih konservatif dan mengingat
bahwa nilai kami di bumi ini adalah menjadi ibu generasi berikutnya.
Mungkin aku sangat fashinn qadim, tetapi untuk menjadi seortodoks yang dituntut
imam ini, aku harus meninggalkan agama yang kuketahui. Yang dimintanya adalah
pindah agama. Buat apa aku melakukan hal seperti itu" Agamaku penuh warna dan
kemungkinan dan pilihan; penafsiran yang moderat, yang ditunjukkan mungkin oleh
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aziz, agama yang memungkinkan kita menggunakan sarana apa pun yang membuat kita
merasa lebih dekat dengan Allah, baik itu wali, tasbih, atau qat, agama yang
membolehkan kita minum sesekali, bekerja berdampingan dengan lelaki, tidak
mengenakan jilbab kapan kita mau, duduk sendirian dengan lelaki non-muhrim di
satu ruangan, bahkan memegang tangannya, atau bahkan, beranikah kukatakan,
merasakan cinta untuk seorang Hindu.
Ini penafsiran yang menempatkan jihad sebagaimana yang diajarkan Hussein
kepadaku, yaitu perjuangan pribadi seseorang menjadi Muslim yang baik, bukan
perang terhadap orang-orang non-Muslim, seperti yang mulai dikhutbahkan imam
kami. Aku tak pernah lagi ke masjid, dan aku agak lega bahwa Amina akan pindah karena
alasan ini. Dia sudah meninggalkan jilbabnya yang warna-warni, memilih jilbab
polos warna biru tua. Menurutku, dia tak perlu lagi mendengarkan imam ini.
Dia sedang mengaduk sup ayam dengan me-munggungiku, tetapi meskipun dia
menyebutku kolot, aku mendengar dia mengucapkan doa bersamaku saat aku
melambaikan dupa di atas kepalanya.
Kami makan dengan gaya Etiopia, duduk di lantai, dorro wat di tengah-tengah
tampah yang ditutupi injera, sedikit salad, dan sesendok keju putih di tepi.
Kami merobek injera dengan tangan kanan. Aku mengambil peran ibu dan memisahkan
daging dari tulang dan memotong-motong telur rebus dengan jariku. Kami makan,
dan seperti semua orang India yang menyantap makanan kami, Robin tampak seolaholah seumur hidupnya dia makan seperti ini.
"Kamu punya anak perempuan?" tanya Sitta kepada Robin di antara kunyahan.
"Tidak, Sitta. Belum."
"Kamu punya istri?" desak Sitta, membuatku
malu. "Belum." Robin tertawa, menoleh kepadaku, dan aku menyadari betapa aku menyukai
matanya yang berlainan bentuk, dan aku bertanya-tanya apakah dunia tampak
sedikit berbeda baginya melalui mata itu atau karena mata itu.
"Di Etiopia pun tak punya?" tanya Sitta.
Semua orang tertawa, meskipun ini tidak mengherankan. Setiap orang dewasa yang
dia kenal, kehilangan seseorang. Dalam pikirannya, Etiopia pastilah negara
tempat tinggal orang hilang. Dan kukira warna kulit Robin tidak jauh berbeda
dengan orang Harari. "Seperti suami Lilly," kata Sitta.
Tawa berhenti dan kami menatap pangkuan masing-masing.
"Dia bukan suamiku, Sitta," kataku setelah semenit.
Sitta tampak bingung. "Kenapa Dokter belum menikah?" tanya Amina tanpa tedeng aling-aling.
Robin mengerang. "Oh, gara-gara ibuku. Aku tahu kedengarannya tidak modern, tapi
dia ingin aku menikah dengan gadis Bengali baik-baik. Dia selalu mengirimiku
foto. Kali terakhir dia meneleponku, dia tak bisa berhenti terkikik dan aku
tanya kenapa dia geli, lalu dia berkata dengan memekik: 'Mukulika" Ayo
perkenalkan diri.1 "Dia menyuruh gadis ini mengambil telepon di ujung sana! Percaya, nggak" Rikuh
sekali. 'Dan kamu spesialisasi apa, Dr. Gupta" Dulu ayahku dokter di Mumbai.
Tidak, sayangnya dia sudah meninggal.' Dan ibuku menyela: 'Beri tahu Mukulika
tentang penghargaan kelas satu, beri tahu dia tentang menyelamatkan nyawa Mr.
Parminder malang.'" Ahmed dan Sitta merasa Robin meniru ibunya sangat lucu. "Mr. Parminder malang,"
celetuk Sitta meniru. Aku nyaris tak percaya betapa aku keliru menilai Robin. Bagaimana aku dulu
mengabaikannya karena bahasa Inggrisnya yang sempurna dan pendidikan Cambridgenya. Membenci bahwa dia bisa dengan mudahnya mengangkat telepon dan menghubungi
kampung halamannya. Padahal, luar biasa bahwa betapa mirip pengalaman kami.
"Kamu bisa main ski?" tanya Ahmed kepada Robin.
"Yah, dulu aku ..."
"Karena kata Ayo, kami akan main ski di
Pegunungan Rocky," sela Ahmed.
"Benarkah, Amina?" aku tertawa. "Masya Allah!" "Ya!" serunya. "Kamu tahu"-dia
berisyarat, seolah-olah sedang memegang tongkat ski-"dan celana khusus dan topi
wol yang ujungnya ada bola, sangat fashinn gidir!"
Kami berdua terpingkal-pingkal sampai kami menyadari bahwa itu tidak lucu sama
sekali. Beginilah dunia ini sekarang: seorang perempuan Etiopia berjilbab main
ski menuruni gunung Kanada. Gambaran ketegaran. Dunia baru.
Meskipun kami telah diterpa berbagai kebrutalan, kami masih memiliki keinginan
untuk bersikap sopan kepada orang asing. Mata kami mungkin memar, tetapi kami
tetap bersikukuh menyisir rambut. Jari kaki kami mungkin ditembak putus oleh
bocah sembilan tahun, tetapi kami tetap meyakini keluguan anak-anak. Kami
mungkin pernah diperkosa, berulang-ulang, oleh dua lelaki di perkemahan
pengungsi Kenya, tetapi kami masih membuka diri kepada orang-orang yang kami
cintai. Kamu mungkin telah kehilangan segalanya, tetapi kami tetap ingin
bermurah hati dan berbagi sisa milik kami yang sedikit. Kami masih punya mimpi.
"Aku punya hadiah pindah rumah untukmu," kata Robin setelah Amina, Yusuf, dan
anak-anak sudah pergi. "Oh, padahal kamu tak perlu repot-repot. Kamu sudah banyak membantuku."
Dia mengambil handuk dari tanganku yang bersabun dan menggantikannya dengan
sepasang sepatu bot. "Sepatu lars!" aku tertawa. Aku membungkuk untuk mengenakannya. "Oh," aku ragu,
baru hendak memasukkan kakiku ke sepatu kedua. "Tapi sepatunya tidak serasi."
"Pasti serasi di kebunmu," katanya. '"Aneh sekali,' tetanggamu akan berkata.
'Inggris sekali.'" Dan manis sekali Robin ingat detail terkecil dari masa laluku yang jauh itu,
bahwa dia menariknya dekat-dekat, menghargainya, memperlakukannya sebagai benda
berharga, layak mendapat tempat di rak di atas perapian, dijajarkan untuk
dikagumi, dihormati, dimiliki bersama.
Sedikit Latar, Banyak Ucapan Terima Kasih
Novel ini karya fiksi yang diilhami oleh riset, hubungan manusia, dan terutama
imajinasi. Dengan demikian, saya banyak mengotak-atik sejarah dan geografi
tempat dan orang yang ditampilkan dalam buku ini-mungkin yang paling berani
adalah memberikan status wali kepada muazin pertama Islam, Bilal Al-Habash.i
Meskipun demikian, saya berusaha menjaga ketepatan sejarah dengan secara kasar
mengikuti peristiwa-peristiwa menjelang revolusi tahun 1974 dan setelahnya, pada
tahun-tahun kekuasaan Dergue. Untuk kronologi ini, saya mengandalkan dan
berutang budi pada potret Ryszard Kapuscinski tentang Haile Selassie, The
Emperor: Downfall of an Autocrat; A History of Modern Ethiopia karya Bahru
Zewde; laporan Africa Watch berjudul Evil
i Untuk diketahui, Aq (Ayah) Abadi i 'fO Umr al-Rida adalah wali pelindung Kota
Harar, tetapi kepentingan sosoknya hanya dirasakan secara setempat. Mungkin wali
yang paling berpengaruh di Dunia luiislim, yang pengaruhnya dirasakan di seluruh
Timur Tengah dan menjangkau Aftika Utara, dengan cara yang serupa de-ngan yang
saya siratkan untuk Bilal Al-Habash di sini, adalah Abdul Qadir Jailan
Days: 3D Years of War and Famine in Ethiopia yang disusun oleh Alex de Waal; dan
film karya Jonathan Dimbleby, Ethiopia: The Unknown Famine.
Karya-karya berikut ini juga tak ternilai: First Footsteps in East Africa: A
Journey to Harar karya Sir Richard Burton; The Shorter Encyclopedia of Islam
yang disusun oleh H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers; dan Al-Quran bahasa Arab/Inggris
versi Yusuf Ali. * Saya berutang terima kasih sebanyak satu setengah dasawarsa. Untuk
memperkenalkan saya pertama kali dengan "gagasan" Etiopia dan masalah Oromo lima
belas tahun yang lalu, saya berterima kasih kepada teman baik saya Agitu Ruda.
Untuk memperkenalkan kemungkinan riset di Etiopia pada tahun 1992, ketika saya
memulai kuliah S2 dalam bidang antropologi sosial di Oxford, saya berterima
kasih kepada Dr. Bahru Zewde, mantan direktur Institute of Ethiopian Studies di
Addis Ababa University. Terima kasih kepada Dr. Adhana Haile Adhana untuk
persahabatannya di Inggris dan Etiopia, dan kepadanya, Federawit dan anak-anak
mereka-Haile, Hayget, Biruke, dan Salam-untuk membuka rumah mereka di Addis
kepada saya dan berbagi segala yang mereka miliki. Terima kasih kepada Neil dan
Tigist Chadder untuk persahabatan dan kemurahan hati mereka-menerima saya dengan
begitu hangat dan menunjukkan sisi Addis yang sangat berbeda.
Terima kasih kepada Ahmed Zekaria untuk kemurahan hatinya yang luar biasa, tak
hanya dalam berbagi karya etnografinya tentang Kota Harar, tetapi dalam
memperkenalkan saya kepada kerabatnya, dengan merekalah saya tinggal di Harar
pada tahun 1994 dan 1995. Terima kasih kepada Haji Mohammed Adem dan Abai Nafisa
dan anak-anak mereka-terutama Maria-dan Haji Mohammed Adem dan Fatima Sitti dan
anak-anak mereka-terutama Ekram Sayang-yang telah menjadi keluarga bagi saya di
Harar. Saya berutang budi kepada Mohammed Jami Guleid karena membantu riset di Harar,
kepada teman-teman terdekat di kota itu-Ekram, Hashim, Abdulaziz, Alemayehu,
Biruke, Nouria, dan Sara-dan teman yang terlalu banyak untuk disebutkan, yang
mengajari saya segala sesuatu, dari cara mendiagnosis sendiri giardiasis sampai
cara membeli kambing yang baik.
Untuk semangat dan bimbingan dalam kegiatan akademis yang mengilhami buku ini,
saya terutama berterima kasih kepada Profesor Wendy James, penasihat doktoral saya. Terima kasih juga
kepada penyelia pascadoktoral, Profesor Janice Boddy di University of Toronto,
kepada Ted Colman, dan kepada Profesor Celia Rothenberg, Profesor Anne Meneley,
dan Profesor Michael Levin untuk percakapan tentang minat etnografi yang sama
selama bertahun-tahun. Saya berutang budi kepada organisasi berikut ini, yang membantu mendanai riset
saya: Harold Hyam Wingate Foundation, Royal Anthropological Institute, Magdalen College, dan
Graduate Studies Office di Oxford University (untuk pekerjaan doktoral); dan
Social Sciences and Humanities Research Council of Canada dan University of
Toronto (untuk riset pascadoktoral).
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada anggota Harari Community Association
di Toronto, yang menyambut saya di acara mereka dan ke dalam rumah mereka. Untuk
sebagian riset saya baru-baru ini tentang bangsa Oromo, saya berterima kasih
kepada Profesor Mohammed Hassen di Georgia State University, Dr. Trevor Trueman
dari Oromo Support Group, Lydia Namarra dan Taha Ali Abdi dari Oromo Relief
Association di London, Tesfaye Deressa Kumsa di Toronto, dan Bonsa Waltajjii di
London. Untuk jawaban pertanyaan tentang rumah sakit di London, saya berterima kasih
kepada Patrick Fenessy dan Deirdre Graham. Terima kasih kepada Richard Gibbs
dari Croydon Council dan Steve Roud dari Croydon Library karena menjawab
pertanyaan saya tentang permukiman Etiopia di daerah itu dan kepada Lydia
Namarra yang mengarahkan saya ke Lambeth. Terima kasih kepada kakek saya, Sir
Edward Fennessy, untuk perhatiannya. Terima kasih kepada Tammy Gibb dan Fraser
Tannock untuk bantuannya dengan geografi London, dan Ruth Pet-rie yang memberi
saya gambaran tentang Brixton tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan. Terima
kasih kepada Ted Woodhead untuk wawasan tentang Methodisme dan misionaris.
Terima kasih kepada Sarah Dearing yang membahas sastra dan revolusi. Terima
kasih kepada Bedri Ahmed yang menjawab pertanyaan saya tentang peristilahan
Harari. Dan untuk mengakrabkan saya kembali dengan Timur Tengah selama dua tahun
terakhir, terima kasih kepada Maureen Conway dan Ken Campbell.
* Untuk dukungan dalam penulisan novel ini, saya ingin mengucapkan terima kasih
kepada: Toronto Arts Council, Ontario Arts Council, Canada Council, Banff Center
for the Arts, dan MacDowell Colony.
Terima kasih kepada Anne McDermid yang mewakili saya dan karya-karya saya.
Terima kasih kepada para editor saya yang luar biasa, Martha Kanya-Forstner dan
Maya Mavjee, yang mengeluarkan buku yang ditakdirkan untuk ditulis ini dari
dalam diri saya, dan kepada Shaun Oakey untuk nasihat editorial tajam yang
mendorong penyelesaian buku ini. Terima kasih kepada Anne McDermid, Annie
Sommers, Sheila Fennessy, Heather Conway, dan Christopher Kelly untuk komentar
tentang berbagai draf, dan Kelly Dignan, Suzanne Brandreth, dan Ravi Mirchandani
untuk keterlibatan mereka pada tahap awal dalam pengembangan buku ini. Terima
kasih kepada Louise Dennys untuk kemurahan hatinya dan dukungannya yang terusmenerus dan kepada Scott Sellers, Scott Richardson, dan Lara Hinchberger di
Random House of Canada dan Jane Warren di Anne McDermid and Associates untuk
keterlibatan mereka. Akhirnya, kepada keluarga dekat dan sahabat-Sheila, Stan, Vibika, Annie, Chris
K., James, Charly, Drew, Su, dan Heather-saya sangat berterima kasih untuk
dukungan kalian. Dan begitu bersyukur memiliki kalian dalam hidup saya.
Lilly telah diterbitkan oleh:
1. Kanada (edisi berbahasa Inggris) Doubleday, Maret 2DD5 (hard cover) Anchor,
Maret 2DD6 (paperback) 2. Kanada (edisi berbahasa Prancis) Le Meac, 2DD8, Le mile d' Harar
3. Inggris dan Australia William Heinemann, Februari 2DD6 (hard cover) Vintage, Februari 2DD7 (paperback)
4. Amerika Serikat Penguin Press, April 2DD6 (hard cover), April 2DD7 (paperback)
5. Prancis Actes Sud, 2DD8, Le mile d'fO Harar
6. Belanda Anthos, September 2DDS, De terugkeer van Lilly
7. Spanyol Al fa gua ra, 2DD6, Las Mural/as de Harrar
8. Indonesia Qanita, Mizan, 2DD8, Lilly g. Norwegia
Cappelen, 2DD6, Bittersortt
10. Serbia Laguna 11. Israel Glosarium absuma: Sunat yang dilakukan pada perempuan, baklava: Sejenis makanan pencuci
mulut, berisi kacang cincang dicampur madu, dengan lapisan
luar tepung. beef stroganof: Hidangan khas Rusia, daging sapi goreng yang disajikan dengan
saus dan krim sour. Berasal dari Rusia abad ke-19 dan mulai dikenal di Iran,
Eropa, Amerika Utara, Australia, dan Afrika, dengan berbagai variasi
menyesuaikan daerahnya. Berbere: Rempah-rempah khas masakan Etiopia, biasanya menjadi bumbu dasar
hidangan Dabo Kolo, Doro Wat, dan lain-lain.
Biriyani: Dibawa oleh para pedagang Muslim Timur Tengah dan Asia Selatan,
hidangan ini berupa nasi yang dicampur daging, sayuran, yoghurt, ditambah bumbu
rempah-rempah. Buna: kopi Capisce questo: "Apakah kau paham?", bahasa Italia
Chiffon: Semacam kue yang berbahan dasar minyak
sayur, telur, gula, tepung, pengembang kue, dan penyedap rasa. Chiffon cake
pertama kali dibuat pada 1927 oleh salesman asuransi di California, Harry Baker,
yang mengisi hari luangnya dengan membuka bisnis katering kecil-kecilan.
Crepe: Kue dadar tipis yang terbuat dari tepung
terigu. Habash: Orang Etiopia
Duchess: Istri atau janda Duke; seorang perempuan yang memegang komando layaknya
Duke. Duke: Gelar kehormatan bagi lelaki, secara historis posisinya di bawah Raja atau
Ratu, dan bertugas mengontrol sebuah Duchy atau Dukedom. Berasal dari bahasa
Latin Dux Bellorum, berdekatan makna dengan "komandan militer".
Fashinn qadim: Pakaian kuno, ketinggalan mode
Fatira: Kue dadar dari tepung terigu berukuran besar, sering kali dilapisi
telur, dan dimakan dengan mencelupkannya ke dalam madu.
Galabaya: Tunik tradisional Mesir, biasa dikenakan bersama Lasa, selempang
sutra. Mirip abaya, tunik dekoratif yang biasa dipakai di acara resmi dan
festival rakyat. Galla: Kata hinaan bagi orang Oromo yang berarti tak beradab.
Ginee: uang Gnocchi: Pasta Italia dicampur kentang Grappa: Minuman beralkohol khas Italia
Hookah: Alat tradisional untuk mengisap rokok, berbentuk tabung yang dihubungkan
pipa-pipa. Injera: Makanan nasional Etiopia, kue dadar berongga dari tepung gandum yang
disajikan dalam piring bundar berukuran besar, dan di atasnya terdapat Wat; Doro
wat (daging ayam), Key wat (daging kambing), dan Asa wat (ikan). Banyak
ditemukan di dataran tinggi Etiopia.
Ishi = Oke Kohl rabi: Berasal dari kata kohl, kubis, dan rabi, lobak cina. Tanaman ini
berumbi seperti lobak, dan daun yang menyerupai kubis.
Legging: celana pendek ketat yang sering dikenakan para gadis.
Mademoiselle: Panggilan bagi perempuan muda yang belum menikah.
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Minti: Gadis Etiopia kekasih pertama Aziz, kependekan dari Mintiwab. Dia sangat
dihormati Aziz. Nig nog: Kata rasis yang ditujukan untuk orang kulit hitam. Obboleetii: Saudara
perempuan Paki: Kata hinaan yang ditujukan untuk orang Pakistan. Pimento: Sejenis paprika
Pinafore: Pakaian tak berlengan yang biasanya dikenakan para gadis.
Qat: Tanaman berbunga yang tumbuh subur di kawasan tropis Afrika Timur dan
Semenanjung Arab. Qat mengandung zat amfetamin, alkaloid cathinone, semacam
narkotika yang membuat WHO pada 198D menetapkannya sebagai tanaman terlarang dan
harus dikontrol secara ketat
penggunaannya. Di Etiopia, qat disamping menjadi kudapan ringan layaknya meminum
kopi, ia juga menjadi semacam pengikat rasa sosial masyarakat dalam acara
keagamaan ataupun lainnya.
Quitt qahwah: minuman teh yang dibuat dari daun kopi.
Ragazza: Teman perempuan, bahasa Italia. Samosa: Kudapan yang berasal dari
India, bagian dalam berisi sayuran dan daging. Shankilla: Suku Shankilla
Teff: Sereal sebagai bahan dasar injera. Kaya akan nutrisi; karbohidrat,
protein, asam amino, dan lysine.
Wanker: Kata hinaan yang berarti "orang tolol" Wat: Saus pengiring makan injera.
Waqaa: Tuhan tradisional bagi orang Oromo. Zawiyah: Tempat para sufi belajar
tasawuf. ?" ?" ?" ?" Pedang Kunang Kunang 5 Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Mengganasnya Siluman Gila Guling 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama