Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder Bagian 1
Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan seorang manusia. Dan
diperlukan hanya beberapa detik untuk mati.
Di Pulau Taveuni, Fiji, sejumlah orang tanpa sengaja berkumpul. Setiapdari
mereka diam-diam menyimpan luka di hati. John Spooke, seorang penulis Inggris,
masih berduka akan kematian istrinya. Frank Andersen, seorang ahli biologi
evolusioner dari Norwegia, kehilangan seorang anak dalam sebuah kecelakaan
tragis dan berpisah dari istrinya.
Di antara mereka, tidak ada yang lebih menarik perhatian daripada Ana dan Jose,
pasangan penuh teka-teki dari Spanyol. Mengapa mereka kerap saling melontarkan
kalimat-kalimat ganjil tentang alam semesta dan Joker" Mengapa Ana begitu mirip
dengan model lukisan Maja karya Goya yang terkenal" Dan siapakah Joker itu" Apa
hubungannya dengan Maya, "ilusi-dunia?"
Novel Jostein Gaarder ini menyoroti gagasan-gagasan yang besar: penciptaan alam
semesta, evolusi kehidupan di atas bumi, munculnya manusia, dan tujuan dari
keberadaan manusia. Catatan Kesuksesan Dunia Sophie:
Novel Terlaris di Dunia pada 199S?" Telah diterjemahkan ke dalam 53 bahasa
" Terjual lebih dari 30 juta kopi di seluruh dunia
" Novel yang dipakai sebagai buku pengantar filsafat di berbagai universitas di
dunia "Pengarang bestseller Dunia Sophie kembali dengan petualangan filosofis yang
menakjubkan ... kali ini memasuki dunia makna hidup dan cinta. Sangat menggoda!"
Tlte Scotsman ?mizan "'i - '" "' l*" - :- H ?" "
? ?? ?mizan hJtOSlK "AMA>V ' " * "
Novel mizan JOSTEIN GAARDER Penulis Bestseller Dunia Sophie
Novel yang sarat gagasan. Menghibur sekai i et penuh hikmah. Daily Mail
?* Kita melahirkan dan dilahirkan oleh sebuah jiwa yang tak kita kenal.
Kita adalah teka-teki yang tak teterka siapa pun.
Kita adalah dongeng yang terperangkap dalam khayalannya sendiri.
Kita adalah apa yang terus berjalan tanpa pernah (iba pada pengertian.
" Sang mala yang meneliti alam semesta adalah mata alam semesta itu sendiri.
Apakah dongeng benar-benar akan menjadi dongeng jika ia tidak bisa melihat
dirinya sendiri" Apakah kehidupan sehari-hari akan menjadi keajaiban jika ia
terus-menerus berkeliling untuk menjelaskan dirinya sendiri"
la tahu ia akan pergi, maka ia sudah setengah-pergi. Ia akan pergi ke Ketiadaan.
Begitu tiba, ia bahkan tidak akan dapat bermimpi untuk pulang, la menuju dunia
yang di sana bahkan tidak ada tidur.
Maya Misteri Dunia dan Cinta MIZAN PUSTAKA: KRONIK ZAMAN BARU adalah
salah satu lini produk (product line) Penerbit Mizan yang menyajikan buku-buku
bertema umum dan luas yang merekam informasi dan pemikiran mutakhir serta
penting bagi masyarakat Indonesia.
Misteri Dunia dan Cinta JOSTEIN GAARDER mizan KKOhIK /MUN BARU MAYA: MISTERI DUNIA DAN CINTA Diterjemahkan dari Maya Karya Jostein Gaarder Copyright
" Jostein Gaarder and H. Aschehoug &Co., Oslo, 1999
Diterbitkan oleh Phoenix House, London, Inggris, 2000 Hak terjemahan bahasa
Indonesia pada Penerbit Mizan Penerjemah: Winny Prasetyowati Penyunting:
Andityas Prabantoro Proofreader: Eti Rohaeti Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved Cetakan 1, Januari 2008 Diterbitkan oleh Penerbit Mizan PT
Mizan Pustaka Anggota IKAPI Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 135, Bandung
40294 Telp. (022) 7834310-Faks. (022) 7834311 e-mail: kronik@mizan.com
http\//www .mizan .com Desain sampul: Andreas Kusumahadi ISBN 979-433-491-X
Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU) Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No.
146 Ujungberung, Bandung 40294 Telp. (022) 7815500 -Faks. (022) 7802288 e-mail:
mizanmu@bdg.centrin.net.id Perwakilan: Jakarta: (021) 7661724; Surabaya: (031)
60050079, 8281857; Makassar: (0411) 871369
Untuk Siri Isi Buku Prolog, 11 Surat untuk Vera, 27
Dia yang Terakhir Melihat, Akan Melihat yang Terbaik, 33 Adam yang Tak Terheranheran, 69 Amfibi Garda Depan, 97 Seorang Manusia Nyamuk dan Seekor Tokek, 139
Saudara Tiri Manusia Neanderthal yang Ternama,
179 Konferensi Tropis, 221 Merpati Jingga, 261 Engkau Memilih untuk Membagi Dua Duka
Kita, 299 Bellis Perennis, 323 Kurcaci dan Gambar Ajaib, 371 Logika Sangat
Kekurangan Ambivalensi, 423 Catatan Tambahan, 447 Manifesto, 519
Prolog AKU TAK AKAN PERNAH MELUPAKAN PAGI YANG LEMBAB DAN BERANGIN pada Januari 1998
itu, saat Frank mendarat di Taveuni, sebuah pulau kecil di Fiji. Petir
bergemuruh sepanjang malam, dan sebelum waktu sarapan, para pegawai Maravu
Plantation Resort sibuk memperbaiki kerusakan di pembangkit listrik. Karena
seluruh persediaan makanan beku terancam rusak, aku mengajukan diri mengemudi ke
Matei untuk menjemput tamu-tamu baru yang dijadwalkan mendarat di pulau
"dateline" dengan pesawat pagi dari Nadi. Angela dan Jochen Kiess sangat
berterima kasih karena tawaranku itu, dan Jochen mengatakan bahwa pada waktu
krisis, kita selalu dapat mengandalkan orang Inggris.
Aku memerhatikan orang Norwegia yang serius itu saat ia memasuki Land Rover. Ia
berumur 40-an tahun, bertinggi sedang, dan pirang seperti kebanyakan orang
Skandinavia lainnya, tetapi matanya cokelat dan memiliki aura lesu. Ia
memperkenalkan diri sebagai Frank Andersen, dan aku ingat saat itu aku mendugaduga bahwa mungkin ia adalah salah satu orang langka yang sepanjang hidup
tertekan oleh kesedihan akan ketiadaan semangat dan keajekan dalam hidup kita.
Dugaan ini menghilang saat pada sore harinya aku mengetahui bahwa ia adalah
seorang ahli biologi evolusioner. Bagi mereka yang
memang berkecenderungan murung, biologi evolusioner sama sekali bukan ilmu yang
membangkitkan semangat. Di atas meja di rumahku di Croydon, ada secarik kartu pos dari Barcelona yang
telah kusut, tertanggal 26 Mei 1992. Kartu pos itu bergambarkan kastel-pasir
yang belum selesai dari sebuah katedral, La Sagrada Familia, karya Gaudi dan di
belakangnya tertulis: Frank tercinta, Aku akan datang ke Oslo hari Selasa. Tetapi, aku tidak akan sendiri. Ada yang
berbeda sekarang. Kau harus mempersiapkan dirimu untuk menghadapi sesuatu.
Jangan telepon aku! Aku ingin bertemu denganmu sebelum kata mengemuka di antara
kita. Ingatkah engkau tentang ramuan ajaib" Sesaat lagi kau akan dapat menikmati
beberapa tetes darinya. Terkadang aku merasa amat takut. Adakah langkah yang
bisa kita ambil berdua untuk berdamai dengan singkatnya kehidupan"
Vera tercintamu. " Suatu siang, saat aku dan Frank duduk menghabiskan bir kami di bar di Maravu,
Frank memperlihatkan kartu pos dengan menara-menara tinggi itu. Aku telah
memberitahunya bahwa beberapa tahun sebelumnya aku kehilangan Sheila, dan ia
duduk di sana lama sebelum membuka dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu pos
terlipat yang ia buka dan letakkan di meja di hadapan kami. Salam pembukanya
tertulis dalam bahasa Spanyol, tetapi orang
Norwegia itu menerjemahkannya kata demi kata. Seolah-olah ia membutuhkan
pertolonganku untuk mengartikan apa yang ia terjemahkan sendiri.
"Siapakah Vera?" tanyaku. "Apakah ia istri Anda?"
Ia mengangguk. "Kami bertemu di Spanyol pada akhir delapan puluhan. Beberapa bulan kemudian,
kami tinggal di Oslo."
"Tapi kemudian, perkawinan Anda berantakan?" Ia menggelengkan kepala, tetapi
kemudian menambahkan, "Sepuluh tahun kemudian, ia pindah kembali ke Barcelona.
Itu adalah musim gugur yang lalu."
"Vera bukanlah nama Spanyol yang umum," aku menambahkan. "Maupun Catalan."
"Itu adalah nama sebuah kota kecil di Andalusia," katanya. "Menurut keluarganya,
Vera dilahirkan di sana."
Aku menatap kartu pos itu.
"Dan ia pergi ke Barcelona untuk mengunjungi keluarganya?"
Ia menggelengkan kepalanya lagi.
"Ia pergi ke sana selama beberapa minggu untuk mempertahankan tesis
doktoralnya." "Oh, begitu?" "Mengenai migrasi manusia pada zaman kuno dari Afrika. Vera adalah seorang ahli
palaeontologi." "Siapakah yang ia bilang akan dibawanya ke Oslo?" aku bertanya.
Ia menunduk menatap gelasnya.
"Sonja," hanya itu yang ia katakan. "Sonja?"
"Putri kami, Sonja."
"Jadi, Anda memiliki seorang anak perempuan?" Ia menunjuk ke arah kartu pos itu.
"Begitulah saya mengetahui bahwa Vera tengah hamil." "
"Bayi Anda?" Aku melihat tubuhnya sekilas mengejang. "Ya, bayi saya." Aku merasa
bahwa di suatu titik, kisah mereka berkembang buruk dan aku berusaha mendugaduga bagaimana itu terjadi. Aku masih punya beberapa petunjuk yang bisa
diselidiki. "Dan 'ramuan ajaib' yang Anda rasakan beberapa tetes ini" Terdengar sangat
menggoda." Ia ragu-ragu. Lalu ia mengelak dari pertanyaanku dengan senyum malu-malu.
"Tidak, itu terlalu bodoh," ujarnya. "Itu hanyalah salah satu khayalan Vera."
Aku tidak memercayainya. Kurasa ini adalah salah satu khayalan Frank dan Vera.
Aku memberi isyarat kepada penjaga bar dan memesan bir lagi. Frank hampir tidak
menyentuh birnya. "Silakan lanjutkan," ujarku. Ia pun melanjutkan. "Kami sama-sama memiliki dahaga
yang tak terpuaskan akan kehidupan. Atau, bisakah saya sebut itu sebagai 'dahaga
akan keabadian'" Saya tak yakin Anda mengerti apa yang saya maksud."
Tentu saja aku mengerti! Aku merasa jantungku berdetak begitu kencang di dada
sehingga aku berpikir sebaiknya aku menenangkan diri sejenak. Aku hanya
mengangkat telapak tanganku untuk mengisyaratkan bahwa aku tidak perlu
penjelasan lebih jauh tentang apa yang ia maksud dengan dahaga akan keabadian.
Ia menuruti isyaratku itu. Jelas ini bukan pertama kalinya Frank mencoba
menjelaskan makna dari kalimatnya itu.
"Saya belum pernah bertemu dengan seorang wanita yang juga memiliki kebutuhan
yang tak bisa ditawar itu. Vera adalah seseorang yang praktis dan hangat. Tetapi
ia juga cukup lama hidup di dalam dunianya sendiri, atau bisa saya sebut sebagai
dunia palaeontologi. Ia adalah tipe orang yang lebih cenderung ke arah vertikal
ketimbang horizontal." "Benarkah?"
"Ia tidak terlalu tertarik dengan hiruk pikuk kehidupan. Atau dengan apa yang ia
lihat dalam cermin. Ia cantik, bahkan sangat cantik. Tapi belum pernah saya
melihatnya memegang majalah wanita." Ia duduk sambil mencelupkan jari ke dalam
birnya. "Ia pernah bercerita bahwa ketika muda, ia mendapatkan mimpi yang terasa amat
nyata di siang bolong; mimpi tentang ramuan ajaib yang jika diminum setengahnya
dapat memberinya hidup abadi. Lalu, ia akan memiliki waktu tak terbatas untuk
mencari lelaki yang ia inginkan untuk meminum setengahnya lagi. Jadi, ia bisa
yakin bahwa ia bakal bertemu laki-laki yang tepat suatu hari, jika tidak minggu
depan, maka seratus atau seribu tahun lagi."
Aku menunjuk ke arah kartu itu lagi. "Dan sekarang ia telah menemukan ramuan
kehidupan itu?" Ia tersenyum pasrah. "Saat kembali dari Barcelona awal musim panas '92, dengan muram ia menyatakan
bahwa tentulah kami telah meneguk beberapa tetes minuman ajaib yang diimpikannya
saat muda itu. Yang ia maksud adalah anak kami yang bakal lahir itu. 'Sekarang,
sedikit dari diri kita telah memulai kehidupannya sendiri,' ujarnya. 'Dan
mungkin ia akan berbuah jutaan tahun ke depan.111
"Maksud Anda, keturunan?"
"Betul, itulah yang ia pikirkan. Sebenarnya, setiap manusia di planet ini adalah
keturunan dari satu wanita yang tinggal di Afrika beratus-ratus ribu tahun yang
lalu." Ia meneguk birnya dan terdiam selama beberapa waktu. Aku berusaha untuk
membuatnya berbicara lagi.
"Silakan lanjutkan," aku mendesak. Ia menatap mataku dalam-dalam, seolah-olah
mengukur apakah aku dapat ia percaya.
"Saat Vera tiba di Oslo pada waktu itu, ia meyakinkan saya bahwa ia tidak akan
ragu-ragu untuk membagi ramuan ajaibnya dengan saya jika ia memang memilikinya.
Tentu saja saya tidak mendapatkan 'ramuan ajaib' itu, tapi itu tetap menjadi
kenangan yang indah bagi saya. Saya dapat menangkap sekilas sesuatu yang mulia
dalam dirinya karena ia telah berani memilih sesuatu yang tidak akan bisa ia
ubah lagi." Aku mengangguk. "Zaman sekarang sangat langka orang yang menjanjikan kesetiaan abadi. Orangorang tetap bersama hanya pada saat keadaan baik. Bagaimanapun, pasti ada saatsaat buruk. Saat itulah banyak orang yang melarikan diri."
Sekarang ia menjadi lebih berapi-api.
"Saya rasa, saya dapat mengulang persis apa yang ia katakan. 'Bagiku hanya ada
satu laki-laki dan satu dunia,' ujarnya. 'Aku merasakannya dengan amat kuat
karena aku hanya hidup sekali.'"
"Itu adalah sebuah pengakuan cinta yang amat dalam," aku mengangguk. "Tetapi,
apa yang terjadi" Ia menjelaskan dengan sangat ringkas. Setelah menghabiskan bir, ia bercerita
bahwa mereka kehilangan Sonja saat ia berumur empat setengah tahun, dan setelah
itu mereka tidak dapat hidup bersama lagi. Terlalu banyak kesedihan di bawah
satu atap, ujarnya. Kemudian, ia hanya duduk dan memandang ke luar ke arah
pepohonan palem. Ia tidak mau membicarakan hal itu lagi, walaupun dengan hati-hati aku mencoba
beberapa kali untuk memancingnya.
Selain itu, perbincangan kami agak terhenti saat seekor kodok besar melompat
naik ke lantai tempat kami duduk. Ada bunyi "Blukl", dan kodok itu pun merangkak
di bawah meja di antara kaki-kaki kami.
"Seekor kodok tebu," ujarnya.
"Kodok tebu?" "Atau Bufo marinus. Mereka didatangkan dari Hawaii pada 1936 untuk memerangi
serangga di perkebunan tebu. Mereka berkembang subur di sini."
Ia menunjuk ke arah pepohonan palem dan kami pun melihat empat atau lima ekor
lainnya. Beberapa menit kemudian, aku berhasil menghitung sepuluh atau dua belas
kodok di atas rumput yang lembap. Aku sudah tinggal berhari-hari di pulau ini,
tetapi belum pernah melihat begitu banyak kodok sekaligus. Frank nyaris seolaholah menarik perhatian mereka, dan tidak lama kemudian, sekitar dua puluh ekor
telah muncul di sekitar kami. Memandangi semua kodok itu membuatku sedikit
jijik. Aku menyalakan sebatang rokok.
"Saya masih berpikir tentang ramuan yang Anda sebutkan tadi," ujarku. "Tidak
semua orang berani menyentuhnya. Saya rasa, kebanyakan orang akan membiarkannya
saja." Lalu, aku menegakkan pemantikku di atas meja dan berbisik, "Ini adalah pemantik
ajaib. Kalau Anda menyalakannya sekarang, Anda akan hidup abadi."
Ia menatap mataku tanpa senyum sedikit pun. Seolah-olah pupil matanya bersinar.
"Tapi, renungkan baik-baik," aku menekankan. "Anda hanya punya satu kesempatan
ini, dan keputusan Anda tak akan pernah dapat diubah."
Ia mengesampingkan peringatanku. "Itu tidak ada bedanya," katanya, tapi bahkan
pada saat itu aku masih tidak yakin arah mana yang ia tuju.
"Apakah Anda menginginkan rentang hidup
yang normal?" tanyaku dengan sungguh-sungguh. "Atau Anda berharap tetap berada
di Bumi ini untuk selamanya?"
Dengan perlahan tetapi yakin, Frank memungut pemantik itu dan menyalakannya.
Aku terkesan. Aku telah menghabiskan hampir seminggu di Pulau Fiji itu, tapi
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang aku tidak lagi merasa sendiri.
"Tidak banyak yang seperti kita," aku berkomentar.
Kemudian, untuk pertama kalinya, ia menyeringai lebar. Kurasa, seperti halnya
diriku, ia pun terkesan akan pertemuan kami.
"Tidak, pasti tidak banyak," ia sepakat. Kemudian, ia setengah bangkit dari
kursinya dan menjulurkan tangannya kepadaku di atas gelas-gelas bir.
Rasanya seolah-olah kami adalah anggota klub eksklusif yang sama. Frank dan aku
sama sekali tidak takut hidup abadi. Kami justru takut terhadap hal sebaliknya.
Tidak lama lagi waktu makan malam, jadi aku mengusulkan untuk mengesahkan
solidaritas kami yang baru saja terjalin ini dengan minuman. Ketika aku
menyarankan gin, ia mengangguk senang.
Kodok-kodok terus bermunculan di pepohonan palem, dan sekali lagi aku merasakan
gelombang rasa jijik. Aku mengaku kepada Frank bahwa aku belum terbiasa dengan
adanya tokek di dalam kamarku.
Gin pun datang. Dan saat para karyawan sedang menyiapkan meja-meja untuk makan
malam, kami pun duduk dan bersulang untuk para malaikat di surga. Kami juga
bersulang untuk kelompok kecil kami, yaitu semua orang yang tidak pernah bisa
menghilangkan rasa iri mereka terhadap kehidupan abadi para malaikat. Sambil
menunjuk ke arah kodok-kodok di antara pepohonan palem, Frank mengatakan bahwa
berdasarkan sopan santun, kami juga sebaiknya bersulang untuk mereka.
"Mereka juga saudara sedarah kita," ia menjelaskan. "Hubungan kita lebih dekat
dengan mereka ketimbang malaikat."
Frank memang seperti itu. Kepalanya mungkin tinggi di angkasa, tetapi kakinya
tetap berpijak kokoh di tanah. Sehari sebelumnya ia mengakui bahwa ia tidak
menikmati terbang dengan pesawat ringan yang telah membawanya dari Nadi ke
Matei. Ia menceritakan banyaknya guncangan dan kegelisahannya karena tidak ada
kopilot dalam penerbangan singkat itu. Sambil minum, ia memberitahuku bahwa pada
akhir April, ia akan menghadiri sebuah konferensi di kota universitas kuno,
Salamanca, dan bahwa setelah menelepon pusat konferensi sehari sebelumnya, ia
telah memastikan bahwa Vera juga telah mendaftar untuk konferensi itu.
Masalahnya adalah, ia sama sekali tidak tahu apakah Vera tahu mereka akan
bertemu di Salamanca. "Tapi Anda berharap begitu?" aku mengambil risiko. "Anda berharap ia akan ada di
sana?" Ia tidak menjawab pertanyaanku. Sore itu, semua meja di restoran Maravu
telah disusun untuk membentuk satu meja panjang. Itu adalah ide dariku karena banyak
dari para tamu yang datang sendirian. Tepat pada saat Ana dan Jose, pengunjung
yang pertama, memasuki ruangan, aku menatap untuk terakhir kalinya kartu pos
dengan delapan menara Promethea yang menjulang ke angkasa itu, dan
mengembalikannya kepada Frank.
"Simpan saja!" desaknya. "Saya sudah hafal setiap katanya."
Aku tidak dapat mengabaikan kepahitan dalam suaranya dan mencoba membujuknya
berubah pikiran. Tapi ia bersikeras. Sepertinya ia sudah mengambil keputusan
yang penting. "Jika saya yang menyimpannya," ujarnya, "cepat atau lambat mungkin saya akan
merobeknya. Jadi lebih baik jika Anda menyimpannya untuk saya. Dan, siapa tahu
mungkin kita bertemu lagi suatu hari."
Walaupun demikian, aku memutuskan akan mengembalikan kartu pos itu sebelum ia
meninggalkan pulau dateline itu. Tapi, pada pagi keberang-katan Frank, sebuah
peristiwa di Maravu mengalihkan perhatianku.
Pertemuanku kembali dengan orang Norwegia itu, hampir setahun kemudian, adalah
salah satu kebetulan luar biasa yang menambah bumbu dalam kehidupan dan kadangkadang memupuk harapan bahwa memang ada kekuatan gaib yang mengawasi hidup kita,
dan sesekali membenahi benang-benang takdir.
Kebetulan juga telah menggariskan bahwa aku bukan hanya memiliki kartu pos tua
itu. Mulai hari ini, aku juga memiliki surat panjang yang ditulis Frank untuk
Vera setelah pertemuan mereka di bulan April. Fakta bahwa dokumen langka ini
akhirnya jatuh ke tanganku kuanggap sebagai sebuah prestasi pribadi sebuah
prestasi yang tidak mungkin terwujud jika saja aku tidak secara kebetulan
bertemu dengan Frank di Madrid enam bulan kemudian. Kami bahkan bertemu di Hotel
Palace, hotel tempat ia pernah duduk dan menulis untuk Vera. Saat itu November
1998. Dalam suratnya kepada Vera itu, Frank menjelaskan beberapa episode yang kami
berdua lewatkan di Fiji. Cukup dimengerti bahwa ia lebih memilih membicarakan
Ana dan Jose, tetapi ia juga menyinggung beberapa percakapan di antara kami.
Selama menjalankan tugas mengetengahkan secara lengkap surat panjang ini, ada
godaan untuk menambahkan cerita Frank dengan beberapa komentarku sendiri di sana
sini. Akan tetapi, aku memilih untuk mengulang surat kepada Vera itu seutuhnya,
sebelum menambahkan catatanku sendiri yang cukup panjang.
Tentu aku sangat senang memiliki surat panjang ini, karena memungkinkanku
mempelajari kelima puluh dua manifesto itu. Sehubungan dengan itu, perkenankan
aku menyatakan bahwa sungguh keliru
jika ada yang menduga bahwa aku telah mencuri surat pribadi ini. Sama sekali
bukan itu yang terjadi. Tetapi, itu adalah hal lain lagi dan aku akan
menjelaskannya dalam catatan tambahan.
Dalam beberapa bulan mendatang, kita akan memasuki abad ke-21. Aku merasa waktu
berjalan dengan sangat cepat. Aku merasa waktu berjalan semakin dan semakin
cepat saja. Sejak masih kanak-kanak masa yang belum lama berlalu aku tahu akan berumur tepat
67 tahun sebelum menyaksikan milenium berikutnya. Pikiran itu selalu memesona
sekaligus mengerikan bagiku. Aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada Sheila
pada abad ke-20. Ia baru berusia 59 tahun saat wafat.
Mungkin aku akan kembali ke pulau dateline itu untuk menyaksikan pergantian
milenium. Aku mempertimbangkan untuk meletakkan surat kepada Vera ini dalam
sebuah kapsul waktu, yang akan tetap tersegel selama seribu tahun. Aku sangsi
surat ini perlu dipublikasikan sebelum seribu tahun, dan hal yang sama juga
berlaku untuk manifesto itu. Seribu tahun bukanlah rentang waktu yang panjang,
terlebih jika dibandingkan dengan jutaan tahun yang tercakup dalam manifesto
itu. Namun, seribu tahun cukup lama untuk menghapus sebagian besar jejak-jejak
kita, makhluk hidup yang fana, dan untuk membuat kisah Ana Maria Maya menjadi,
paling banter, sebuah mitos dari zaman purba. Kapan tepatnya kata-kata yang akan
kusampaikan ini akan didengar sudah tidak lagi penting pada masa hidupku. Yang
terpenting adalah suatu saat nanti, hal ini harus diceritakan; dan bahkan tidak
harus oleh diriku. Mungkin itulah sebabnya aku mulai berpikir tentang kapsul
waktu itu. Mungkin, setelah seribu tahun, dunia tidak lagi sebuah tempat yang
berisik seperti sekarang.
Setelah membaca ulang surat kepada Vera itu, akhirnya aku merasa siap untuk
mulai mengemasi pakaian-pakaian Sheila. Sudah waktunya. Beberapa orang dari Bala
Keselamatan akan datang besok pagi dan mereka berjanji untuk membawa semuanya.
Mereka bahkan juga akan membawa barang-barang tua yang tidak akan dapat mereka
jual. Rasanya nyaris seperti meruntuhkan sarang burung walet tua yang sudah
ditinggalkan selama bertahun-tahun.
Sesaat lagi aku akan mapan sebagai seorang duda. Itu juga adalah sebuah
kehidupan. Aku tidak akan lagi terperanjat jika memandang foto Sheila.
Menilik kebiasaanku belakangan ini berkutat dengan segala kenangan lama, mungkin
sepertinya berlawanan jika bahkan sekarang pun aku tidak akan menolak untuk
meneguk ramuan ajaib Vera. Aku akan melakukannya tanpa berkedip, bahkan jika aku
tidak bisa yakin dapat menemukan orang lain
yang akan kuberikan setengah ramuan itu. Toh sudah terlambat bagi Sheila. Satusatunya yang bisa ia lakukan selama setahun lalu hanyalah kemoterapi.
Aku sudah memiliki rencana untuk besok. Aku telah mengundang Chris Batt untuk
makan malam. Chris adalah kepala pustakawan di perpustakaan baru kami di
Croydon. Aku adalah salah seorang pengunjung setia perpustakaan itu. Menurutku,
suatu kehormatan besar bagi kota ini memiliki sebuah perpustakaan modern yang
dilengkapi sejumlah eskalator. Chris adalah seseorang yang inovatif. Aku yakin
ia tidak akan menyalakan pemantik di bar di Maravu itu. Ataupun merasa jijik
saat memandangi kodok-kodok itu.
Aku sudah bertekad untuk bertanya kepada Chris apakah menurutnya kata pengantar
sebuah buku biasanya ditulis sebelum atau sesudah penulisan isinya. Aku sendiri
punya teori bahwa kata pengantar hampir selalu ditulis pada saat terakhir. Ini
sejalan dengan suatu hal lain yang menarik perhatianku, terutama sesudah membaca
surat dari Frank. Sekian ratus juta tahun telah berlalu sejak amfibi pertama mulai merangkak di
daratan, sampai akhirnya muncul makhluk hidup di planet ini yang dapat
menceritakan kejadian tersebut. Baru sekaranglah kita dapat menulis kata
pengantar bagi sejarah manusia lama setelah sejarah itu terjadi. Ini seperti
ular yang menggigit ekornya sendiri. Mungkin hal ini juga berlaku untuk semua
proses kreatif. Mungkin ini juga berlaku dalam komposisi musik,
contohnya. Aku membayangkan bahwa hal yang paling terakhir ditulis dalam sebuah
simfoni adalah bagian preiude-nya. Aku akan menanyakan kepada Chris pendapatnya
tentang hal ini. Ia sedikit Jenaka, tapi bijaksana. Aku yakin Chris Batt tidak
akan dapat menyebutkan bahkan satu pun opera komedi yang bagian pembukanya
ditulis sebelum bagian-bagian lainnya terselesaikan. Sinopsis dari cerita apa
pun tidak akan muncul sampai ia tidak lagi punya manfaat. Sama seperti suara
guntur tidak pernah dapat memperingatkan kita akan datangnya kilat.
Aku tidak tahu apakah Chris Batt tahu banyak mengenai astronomi, tetapi aku juga
akan menanyakan pendapatnya tentang rangkuman singkat sejarah alam semesta
berikut ini: Tepuk tangan bagi Big Bang baru terdengar lima belas miliar tahun setelah
ledakan itu terjadi. Berikut ini adalah surat kepada Vera selengkapnya.
Croydon, Juni 1999 John Spooke
Vera Sayang, Dua minggu telah berlalu sejak kita bertemu, dan karena apa yang terjadi pada
malam itu, mungkin engkau merasa sudah saatnya engkau mendengar kabar dariku.
Aku hanya menunggu agar dapat membereskan segala sesuatu.
Aku tetap tinggal di Salamanca setelah konferensi itu karena aku yakin, benarbenar yakin, bahwa merekalah yang kulihat di bawah jembatan Sungai Tormes. Kau
pikir aku bercanda, kau pikir aku mengulur waktu hanya untuk membuatmu tetap
terhibur sampai kita kembali ke hotel. Tetapi memang Ana dan Joselah yang
kulihat saat itu, dan aku tidak dapat meninggalkan kota itu sebelum menghabiskan
satu atau dua hari untuk mencari mereka lagi. Tidak sengaja aku bertemu mereka
lagi keesokan harinya di Plaza Mayor. Tapi, aku tidak boleh terburu-buru. Aku
sudah memutuskan akan menceritakan segalanya kepadamu secara kronologis. Marilah
kujelaskan garis besar alasanku duduk dan menuliskan surat ini untukmu hari ini.
Satu setengah minggu kemudian kemarin lusa aku bertemu dengan Jose di Prado di
Madrid sini. Rasanya hampir seperti ia memang mencariku di antara galeri-galeri
Prado yang luas. Pagi ini kami bertemu lagi. Aku tengah duduk di sebuah bangku
di Taman Retiro, dengan teliti mengingat kembali semua yang telah ia ceritakan
kepadaku sejauh ini, tetapi beberapa potong masih tidak kumengerti. Tiba-tiba ia
telah berdiri di hadapanku seolah-olah
seseorang telah memberitahunya ke mana aku berjalan-jalan setiap hari. Ia pun
duduk, dan kami tetap duduk di situ selama beberapa jam hingga aku menemaninya
berjalan melalui taman menuju Stasiun Atocha. Sekonyong-konyong ia menjejalkan
seikat foto ke tanganku, lalu berlari untuk mengejar kereta. Setiba di kamar
hotel, aku baru tahu bahwa di balik setiap foto tertulis sesuatu. Itulah
manifesto yang dimaksud, Vera! Aku memiliki seluruh set kartu solitaire dalam
genggamanku. Semua yang Jose ceritakan kepadaku di Taman Retiro, ditambah apa yang ia berikan
kepadaku sebelum menghilang, mencegahku meninggalkan kota ini sebelum
mengirimkan seluruh cerita ini kepadamu. Saat ini pukul dua siang, dan aku tidak
akan dapat banyak tidur malam ini. Akan kupesan kopi dan sedikit makanan untuk
diantar ke kamarku, tapi selain dari itu tidak ada yang dapat menggangguku dari
tugasku satu-satunya, yaitu mengirimkan surat panjang ini kepadamu sebelum aku
berkemas dan berangkat menuju Sevilla hari Jumat pagi.
Aku sedikit khawatir bahwa mungkin engkau tidak akan segera mengakses internet.
Ada pula godaan untuk menuliskan laporan ini dalam beberapa tahap. Tetapi,
engkau harus mendapatkan laporan ini sekaligus semuanya atau tidak sama sekali.
Sempat terpikir bahwa mungkin setidaknya aku seharusnya mengirimkan sebuah email untuk mem-peringatkanmu bahwa sebuah e-mail lain yang lebih panjang akan
tiba suatu saat besok. Tapi, aku bahkan tidak yakin apakah engkau ingin mendapat
kabar dariku lagi. Pokoknya, aku harus sedikit keras berupaya membuatmu
memercayai cerita ini, dan aku bahkan belum mulai menuliskannya.
Di Fijilah aku mula-mula terjerat dalam jaring laba-laba ini, tapi sekarang aku
tidak ingat seberapa banyak yang telah kuceritakan kepadamu tentang hal itu.
Kita bertemu hanya beberapa hari, dan kita berdua berpendapat lebih baik saling
menjaga jarak. Namun, saat itu, ketika aku yakin melihat pasangan luar biasa
dari Fiji itu, aku ingat segala cerita langsung mengalir keluar dari mulutku.
Aku hanya tidak dapat mengingat apa yang sudah dan apa yang belum kuceritakan
kepadamu karena engkau terus memotongku dengan gelak tawamu kau pikir aku hanya
mengarang cerita secara spontan, untuk menghiburmu dan membuatmu betah berkumpul
denganku pada malam di tepi sungai itu.
Kau pasti bertanya-tanya apa sangkut pautnya Ana dan Jose dengan dirimu, atau
dalam hal ini dengan kita. Mungkin sebaiknya aku mengingatkanmu tentang
pertanyaan yang pernah kau kirimkan kepadaku dari Barcelona. Engkau menulis:
"Adakah langkah yang bisa kita berdua ambil untuk berdamai dengan singkatnya
kehidupan?" Sekarang aku mengangkat lagi pertanyaan itu, dan untuk menjawabnya,
pertama-tama aku harus membicarakan Ana dan Jose. Supaya benar-benar memahami
misiku, engkau harus melangkah mundur bersamaku bahkan lebih jauh lagi ke masa
lalu, mungkin hingga periode Devonian ketika amfibi pertama muncul. Kurasa, di
sanalah cerita ini dimulai.
Tidak peduli apa yang terjadi di antara kita, aku akan memintamu untuk melakukan
sesuatu untukku. Tapi untuk saat ini, duduk sajalah dan baca. Baca saja![]
Dia yang Terakhir Melihat, Akan Melihat yang Terbaik
TAHAP TERAKHIR DARI EKSPEDISIKU SELAMA DUA BULAN DI PASIFIK ADALAH sebuah pulau
di Fiji bernama Taveuni. Tugasku adalah menyelidiki bagaimana spesies-spesies
tanaman dan hewan yang didatangkan dari luar daerah itu telah memengaruhi
keseimbangan ekologi. Spesies-spesies itu mencakup "pendatang gelap", seperti
tikus dan cecurut, serangga dan kadal, tetapi juga spesies-spesies yang
kedatangan mereka relatif direncanakan, seperti oposum dan luak, untuk membatasi
jumlah hewan-hewan lain, terutama hama yang menyerang bentuk-bentuk pertanian
baru. Kelompok ketiga terdiri dari binatang liar yang telah dijinakkan, seperti
kucing, kambing, dan babi, juga tidak lupa hewan-hewan yang telah dengan gegabah
didatangkan sebagai bahan masakan atau sebagai binatang buruan diwakili oleh
binatang-binatang herbivora, seperti kelinci dan rusa kecil. Sementara untuk
tanaman-tanaman yang didatangkan, baik sebagai hiasan maupun untuk diambil
manfaatnya, daftar spesiesnya terlalu panjang dan bervariasi pada setiap pulau
sehingga tidak ada gunanya menyebutkan namanama mereka.
Bagi penelitian-penelitian semacam ini, bagian
selatan Pasifik itu bagaikan kota harta karun El Dorado. Belum lama yang lalu,
semua pulau yang terisolasi ini memiliki keseimbangan ekologi yang terdiri dari
beragam flora dan fauna asli, yang terjaga sejak zaman purba. Kini, Oseania
memiliki proporsi terbesar hewan yang terancam punah baik dari segi ukuran
maupun populasi. Ini bukan hanya karena didatangkannya spesies-spesies baru; di
banyak tempat, penebangan hutan dan pengelolaan pertanian yang tidak bijaksana
telah menyebabkan erosi tanah yang fatal, yang akhirnya menghancurkan habitathabitat tradisional. Hingga seabad yang lalu, beberapa dari pulau yang kukunjungi itu hampir tidak
pernah tersentuh oleh kebudayaan Eropa. Tetapi, kemudian datanglah gelombang
besar kolonisasi Eropa yang terakhir. Tentunya setiap pulau, setiap permukiman
baru, dan setiap pendaratan memiliki cerita masing-masing. Namun, dampak
ekologisnya selalu mengikuti sebuah pola menyedihkan yang sama: hewan-hewan dari
kapal, seperti tikus, cecurut, dan serangga, adalah pencemaran ekologis yang
datang bersamaan dengan kapal-kapal yang pertama berlabuh di pulau-pulau itu.
Untuk menanggulangi kerusakan yang disebabkan makhluk-makhluk ini, spesiesspesies hewan baru pun didatangkan. Kucing didatangkan untuk menekan jumlah
tikus, dan katak untuk mengendalikan beberapa jenis serangga, terutama di
perkebunan tebu. Dengan segera, spesies-spesies ini pun menjadi hama dan
pengganggu yang lebih besar daripada tikus dan serangga-serangga sebelumnya.
Maka, predator lain pun diperkenalkan. Akhirnya, hewan ini juga akan menjadi
sebuah bencana ekologi, tidak hanya bagi sejumlah spesies burung, tetapi juga
bagi banyak reptil asli yang unik. Maka, predator yang lebih besar pun
dibutuhkan. Dan seterusnya, Vera, dan seterusnya.
Akhir-akhir ini, kita lebih memercayai berbagai macam racun, virus, dan zat
sterilisasi dengan kata lain, perang kimia dan biologi. Namun, tidak mudah
menyusun sebuah rantai makanan baru, seandainya itu memang mungkin dilakukan.
Sebaliknya, sungguh mudah untuk menghancurkan sebuah keseimbangan ekologi yang
telah diciptakan oleh alam selama berjuta-juta tahun. Namun, kesembronoan tidak
lagi mengenal batas-batas negara. Yang aku maksud adalah kecerdikan yang pongah.
Terlintas dalam pikiranku kekayaan sumber daya yang tetap tak tereksploitasi
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh kaum Aborigin, Maori, dan Melanesia sebelum mereka mulai dididik orang
putih. Aku terpikir akan kegilaan semangat mencari keuntungan dan kerakusan.
Sekarang kita menggunakan eufemisme seperti "globalisasi" dan "perjanjian
dagang". Hal ini memberi kesan bahwa makanan bukanlah lagi sesuatu untuk
dimakan, melainkan sebuah komoditas. Jika dahulu manusia dapat memuaskan
keinginan mereka dari apa-apa yang dihasilkan tanah, kini semakin bertambah
besar tumpukan benda-benda tak berguna yang terus diproduksi, yang hanya mampu
dibeli oleh mereka yang paling kaya. Kita tidak lagi hidup dari tangan ke mulut.
Zaman surgawi telah berlalu.
Terlepas dari hal itu, engkau pasti tahu benar minatku yang tak pernah sirna
terhadap reptil. Ke-kagumanku yang kekanak-kanakan akan kehidupan di planet ini
pada zaman dahulu menjadikanku seorang ahli biologi. Keputusanku itu kuambil
jauh sebelum dinosaurus tiba-tiba menjadi begitu populer. Aku ingin tahu mengapa
reptil-reptil tingkat tinggi ini tiba-tiba mati. Aku juga tenggelam dalam
pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah henti menghantuiku: apakah yang akan
terjadi seandainya dinosaurus tidak punah" Apakah yang akan terjadi pada
mamalia-mamalia kecil mirip tikus yang merupakan nenek moyang dirimu maupun
diriku" Bahkan lebih penting lagi: apakah yang akan terjadi pada dinosaurus"
Di Oseania, aku mendapatkan banyak kesempatan untuk mempelajari beberapa spesies
reptil purbakala. Salah satu puncaknya adalah tuatara purba yang hidup di
beberapa pulau kecil yang terpencil di sekitar Selandia Baru. Dengan mengambil
risiko membuatmu sedikit kesal, harus kuakui bahwa aku dipenuhi kekaguman yang
tak dapat dijelaskan ketika aku melihat salah satu reptil hidup tertua di bumi,
yang bertahan di sisa-sisa hutan tua daratan Gondwana. Reptil-reptil purba ini
hidup dalam lubang-lubang di bawah tanah; sering berbagi ruang dengan burung
fulmar. Mereka tumbuh hingga sepanjang 70 sentimeter, dan dengan suhu tubuh
optimal hanya 9?C, mereka dapat hidup lebih dari satu abad. Jika engkau melihat
mereka pada malam hari, rasanya seperti berada di zaman Jura, saat Laurasia
terpecah dari Gondwana dan dinosaurus-dinosaurus raksasa baru saja mulai
berevolusi. Pada saat itulah Rhynchocephaliae, sebagai sebuah kelas reptil yang
kecil namun sangat ulet, menjadi berbeda dari ordo-ordo kadal lainnya. Hebatnya,
satu-satunya wakil dari ordo itu yang masih bertahan, yaitu tuatara, tetap tidak
berubah selama sekitar dua ratus juta tahun.
Napasku tercekat, Vera. Keberadaan tuatara tidak kurang mengagumkan daripada
jika seekor burung purba ditemukan hidup di salah satu pulau terpencil ini.
Sesungguhnya, pada 22 Desember 1938, tercatat peristiwa yang hampir seperti itu
di lepas pantai Afrika Selatan, ketika sebuah kapal nelayan menangkap seekor
ikan duri berongga dalam jalannya, seekor ikan yang disebut coelacanth. Kelas
ikan duri berongga ini, yang sangat penting bagi evolusi karena engkau dan aku
serta setiap mamalia darat lainnya dapat dilacak keturunannya dari kelas ini,
hingga Natal 1938 hanya ditemukan dalam bentuk fosil, dan diduga telah punah
hampir seratus juta tahun yang lalu. Baik coelacanth maupun tuatara pantas
dinamakan "fosil hidup", dan mungkin aku harus menambahkan "sejauh ini". Tuatara
belumlah lama tersebar luas di Selandia Baru.
Aku tidak pernah merasa senang menggunakan deskripsi rekan sesama akademisi akan
suatu spesies hewan. Minatku selalu terpusat pada perkembangan spesies-spesies,
dan dalam hal ini kita sering harus banyak bergantung pada sisa-sisa fosil. Tak
diragukan lagi bahwa sensasi fosil terbesar dalam abad terakhir ini adalah
penemuan dinosaurus berbulu belum lama ini. Penemuan baru ini memberikan bukti
nyata bahwa burung berasal dari dinosaurus. Engkau hampir-hampir dapat
mengatakan bahwa burung adalah dinosaurus!
Aku bukan berkata tidak tertarik pada tulang belulang tua dan fosil. Hanya saja,
begitu menangani spesies hidup, aku lebih suka melakukan sendiri penelitian
lapangan sebelum mengambil informasi dari tulisan-tulisan ilmiah orang lain dan
membenamkan diri dalam analisis yang lebih sistematis. Sejauh berhubungan dengan
tuatara demikian pula dengan sejumlah spesies asli lainnya yang memiliki usia
cukup tua habitat mereka bertahan luar biasa utuh selama berjuta-juta tahun. Ah,
memang benar, aku tidak menyangkal bahwa ada saat-saat aku merasa bagaikan
seorang Darwin masa kini, yaitu ketika aku terbang dari pulau ke pulau di atas
karang koral berwarna hijau, biru kehijauan, dan biru langit.
Di Fiji, aku terutama tertarik untuk mempelajari spesies langka iguana berjambul
yang hanya dapat ditemukan di beberapa pulau di sana dan baru diidentifikasi
pada 1979 (oleh John Gibbons). Fiji memiliki dua spesies iguana, dan ini saja
merupakan hal yang luar biasa karena spesies-spesies itu tidak ditemukan di mana
pun di Asia kecuali di Fiji dan sejauh berhubungan dengan spesies ini juga di
Tonga. Sebelumnya sering diduga bahwa iguana-iguana ini pastilah, secara ajaib,
berhasil menyeberang dari Amerika Selatan di atas sisa-sisa tumbuhan yang
terapung! Ini adalah sebuah kemungkinan, tentu saja, karena kemampuan untuk
berpindah dari satu benua ke benua lain dengan menaiki batang-batang kayu balsa
dan semacamnya mungkin tidak terbatas pada primata. Namun, Profesor Peter Newell
dari Universitas Pasifik Selatan menyatakan bahwa iguana di Fiji mungkin
memiliki sejarah geologis yang jauh lebih tua daripada yang dipercaya
sebelumnya. Ia menulis: "Penemuan-penemuan terakhir akan subfosil buaya yang
dapat berenang beribu-ribu kilometer jauhnya mungkin menunjukkan bahwa iguana
telah berada di sini jauh lebih lama daripada yang disangka sebelumnya.
Sebelumnya mereka dianggap sebagai peninggalan dari daratan Gondwana ketika Fiji
beserta negara-negara seperti Selandia Baru, Australia, dan India menjadi bagian
dari satu lempeng benua yang besar, yang di kemudian hari terpecah menjadi
bagian-bagian kecil." Iguana juga dapat ditemukan di Madagaskar, yang merupakan
bagian dari daratan Gondwana lebih dari 150 juta tahun yang lalu.
Tapi sekarang, aku tidak akan membuatmu bosan dengan penelitianku. Engkau akan
memiliki banyak kesempatan untuk mengetahui lebih banyak saat laporannya
dipublikasikan suatu saat pada sekitar pergantian milenium. Dan, tentu saja,
hanya jika engkau memang tertarik berjanjilah padaku.
* Saat itu, aku tengah berada dalam perjalanan pulang dari Auckland. Beberapa kali
dalam seminggu, Air New Zealand menyediakan penerbangan yang nyaman via Nadi dan
Honolulu menuju Los Angeles dengan penerbangan lanjutan ke Frankfurt. Tidak ada
yang menungguku di rumah benar-benar tidak ada jadi aku memutuskan untuk
berhenti di Fiji selama beberapa hari. Sebagian untuk mencerna seluruh kesan
yang kudapat selama aku masih berada di tengah kepulauan tropis. Sebagian lagi
untuk beristirahat dan sedikit meregangkan kaki sebelum perjalanan pulang yang
panjang. Aku sudah menghabiskan seminggu di Fiji ketika aku tiba di Oseania pada
awal November. Namun, aku belum sempat mengunjungi permata terindah dari
kepulauan tersebut. Yang kumaksud adalah Taveuni, yang sering disebut sebagai
"Pulau Taman dari Fiji" karena kesuburannya yang tak tertandingi dan letaknya
yang relatif terpisah dari dunia luar.
Rute penerbangan dari Nadi menuju Taveuni pagi itu terlalu penuh dan karenanya,
koperku bepergian di atas pesawat yang terlalu penuh tersebut sementara aku dan
empat penumpang lain dijejalkan ke dalam apa yang mereka sebut sebagai "pesawat
kotak korek api". Bisa kukatakan namanya benar-benar cocok. Kami hampir-hampir
harus merangkak untuk dapat memasuki pesawat kecil berkursi enam itu. Di dalam
kabin, kami segera disambut oleh sang pilot, yang dengan riang mengumumkan bahwa
sayang sekali tidak ada makanan maupun minuman selama perjalanan. Ia juga
meminta kami untuk tidak berjalan-jalan di gang tengah jika
memang tidak perlu. Ia cukup berhasil menyebabkan suasana hati para penumpangnya
dipenuhi humor gelap. Tambahan lagi, setengah dari dua jari di tangannya yang
memberi hormat kepada kami telah hilang. "Gang tengah" yang ia sebutkan hanya
selebar lima belas sentimeter, dan tidak seorang pun dari kami yang berada di
dalam pesawat itu berani memikirkan makanan karena begitu lepas landas, pesawat
tersebut terguncang ke sana kemari oleh turbulensi hebat sementara mesinnya
bekerja keras mengangkat kami melalui puncak Tomaniivi yang menjulang di Pulau
viti Levu. Kuduga lelaki itu adalah seorang pensiunan pilot yang pindah ke Fiji hanya
karena ia menolak mengucapkan selamat tinggal kepada tongkat kemudi dan
altimeter. Tetapi, ia orang yang cukup baik. Aku duduk di sana dengan lutut
tertekuk menempel pada punggung kursinya, dan ia terus menoleh ke arah kami
dengan senyum lebar; bertanya dari mana asal kami semua; menunjukkan di mana
kami berada pada peta setiap kali kami bertanya; dengan semangat menunjuk
karang-karang koral, lumba-lumba, dan ikan terbang di bawah sana; dan berbicara
sangat cepat tanpa henti.
Engkau mungkin sudah dapat menebak, aku duduk di sana dengan hati berdebardebar. Aku telah terbiasa naik pesawat ringan; beberapa minggu sebelumnya kuisi
dengan berpindah dari satu pulau ke pulau lain dengan pesawat semacam itu.
Tetapi harus kuakui bahwa aku merasa tidak tenang menaiki pesawat yang hanya
memiliki satu pilot. Engkau boleh saja mengatakan bahwa rasa takut ini tidak
rasional, suatu jenis keanehan. Ya, rasanya aku memang pernah mendengarmu
mengatakan hal itu, karena sebuah mobil pun hanya memiliki satu pengemudi,
ujarmu, dan lebih banyak orang yang meninggal di jalanan daripada di udara. Hal
itu mungkin benar, walaupun suatu keresahan yang muncul mendadak tidaklah dapat
diabaikan, terutama jika terjadi di ketinggian lima ribu kaki, dan dengan
seorang pilot berusia akhir enam puluhan. Pingsan di tengah panasnya hawa tropis
bukanlah hal yang tidak mungkin. Itu sangat manusiawi, hal-hal seperti itu bisa
saja terjadi. Setelah begitu sering bepergian, aku tidak mengkhawatirkan kesalahan teknis.
Sebaliknya, aku mencemaskan kegagalan organis. Aku duduk di dalam pesawat sambil
merasakan kegelisahan sebagai makhluk fana, sesosok vertebrata berdaging yang
saat itu terikat di sebuah kursi pesawat. Dan semua ini pun berlaku pada seorang
lelaki yang duduk dengan gagah berani di hadapan tongkat kemudi. Dan lelaki itu
tiga puluh tahun lebih tua daripada diriku. Sebuah gejala yang tak terbantahkan
dari kesadaran ini adalah denyut nadiku yang lebih mirip jika aku hampir
menyelesaikan sebuah maraton. Dan jika jantungku berdebar dua ratus kali per
menit, pikirku, lalu apa yang terjadi di dalam diri sang pilot; belum lagi
tingkat kolesterol dan keadaan pembuluh nadinya. Aku sama sekali tidak tahu apaapa mengenai orang yang ramah ini, aku belum pernah menelitinya secara medis
maupun memenuhi keingintahuanku
tentang apa yang ia makan pagi itu. Yang lebih menyiksa lagi adalah saat
kusadari bahwa aku tidak tahu apa pun mengenai kondisi batin sang pilot yang
sudah lanjut usia itu. Mungkin ia memercayai adanya kehidupan abadi suatu risiko
yang seharusnya dipertimbangkan saat menyeleksi orang-orang yang memiliki mata
pencarian seperti dirinya. Yang kumaksud adalah pilot yang terbang tanpa kopilot
dengan membawa para penumpang yang telah membayar; tentunya tidak banyak orang
seperti mereka. Mungkin ia baru saja dikhianati oleh seorang wanita. Atau
mungkin ia duduk di sana sambil memendam rahasia mengerikan bahwa siang itu ia
harus mengakui suatu penggelapan uang besar-besaran.
Aku tidak terhibur oleh Gunung Tomaniivi, lumba-lumba, maupun karang-karang
koral. Semuanya tampak begitu jauh di bawahku, aku terperangkap, aku tidak dapat
keluar, aku tidak dapat melarikan diri. Aku merindukan botol ginku, dan aku
tidak akan merasa malu sedikit pun untuk mengangkatnya ke bibirku jika saja saat
itu aku memilikinya. Memang sudah nasib bahwa botol berisi minuman penenangku
itu tersimpan di dalam koper yang telah terkirim dengan pesawat yang
dijadwalkan. Ini tidak ada hubungannya dengan "penyakit takut terbang", Vera. Kuharap engkau
menyadari bahwa penjelasanku sejauh ini juga bukan dimaksudkan sebagai laporan
perjalanan. Yang sedang kucoba jelaskan adalah kesadaranku tentang hidup. Di
satu pihak, hidup memang selalu ada bersamaku.
Tetapi, biasanya hidup hanya benar-benar muncul dalam dua situasi: saat aku
bangun pada pagi hari dan pada kesempatan yang lebih jarang, yaitu saat aku
mabuk. Orang bilang "in vino Veritas"; "dalam anggur terkandung kebenaran". Aku
sendiri percaya bahwa mabuk dapat menimbulkan keadaan mental yang lebih
telanjang, tidak dibuat-buat, dan pada dasarnya jauh lebih tulus daripada
kesadaran sehari-hari yang lebih membingungkan setidaknya jika berhubungan
dengan masalah-masalah yang benar-benar besar. Hal-hal itulah yang kita
maksudkan sekarang. Aku berhasil mendapatkan cara yang jauh lebih seketika,
lebih keren, dan lebih cepat untuk memasuki keadaan jiwa yang sama, yaitu dengan
cara mendelegasikan tanggung jawab atas kelangsungan keberadaanku atau
ketidakberadaanku kepada sang pilot pensiunan dalam pesawat kotak korek api
dengan kaca jendela yang retak dan instrumen-instrumen yang usang. Satu-satunya
perbedaan adalah bahwa indra-indraku lebih tajam dibandingkan dalam kedua
situasi lainnya, karena aku tidak sedang setengah tertidur dan sinapsis-sinapsis
sarafku tidak dikacaukan oleh alkohol.
Saat itu adalah pertama kalinya aku lepas landas dalam sebuah pesawat yang
diterbangkan seorang pilot yang telah pensiun dengan tiga jari masih utuh dan
dua lagi tinggal setengah mengendalikan tongkat kemudi. Selama ini, aku selalu
bangun menyambut hari baru, dan tidak terlalu jarang aku minum-minum untuk
mendapatkan keadaan mental yang lebih jujur, lebih mulia, dan, sesungguhnya,
lebih waras. Jadi, memang ada gunanya menyelami lebih dalam apa yang aku pikir
dan rasakan di atas awan sana selama tujuh puluh lima menit antara Nadi dan
Taveuni. Rasanya penuturanku ini juga pas karena sebentar lagi aku akan
menjelaskan pertemuanku dengan Ana dan Jose, dan tentu saja Gordon, yang sejauh
ini belum pernah aku sebutkan. Padahal, banyak percakapanku dengannya juga
mewarnai masa tinggalku di pulau itu.
Ada satu hal yang selalu urung kubicarakan secara tuntas denganmu, walaupun aku
pasti pernah menyinggungnya beberapa kali. Yang kumaksud adalah sebuah
pengalaman masa kecil di rumahku di dekat Oslo. Saat itu usiaku tujuh atau
hampir delapan tahun, tetapi pokoknya ini terjadi sebelum ulang tahunku yang
kedelapan karena saat itulah keluargaku pindah ke Madrid selama empat tahun. Aku
ingat berlari di sepanjang jalan setapak di hutan dengan saku baju penuh
hazelnut yang kutemukan. Aku ingin segera menunjukkannya kepada ibuku. Tibatiba, aku melihat seekor anak rusa terbaring di sebentang tanah lapang, di
permukaan lembap tanah hutan yang diselimuti permadani dedaunan musim gugur.
Daun-daun itu terus tertera dalam benakku karena kuingat sebagian dedaunan itu
juga terserak di atas anak rusa itu. Kupikir anak rusa itu sedang tidur, dan
walaupun sekarang aku tidak begitu yakin, rasanya aku mengendap-endap mendekati
hewan itu entah untuk mengelusnya atau untuk menyingkirkan semua dedaunan kuning
dan merah itu. Tetapi, anak rusa itu bukan sedang
tidur. Ia sudah mati. Kenyataan bahwa anak rusa itu sudah mati, atau terlebih lagi bahwa akulah yang
menemukannya, terasa sebagai sesuatu yang memalukan, sesuatu yang tidak akan
pernah dapat kuceritakan kepada ayah atau ibuku, atau bahkan nenek atau kakekku.
Jika rusa kecil itu bisa tergeletak tak bernyawa di hutan, mungkin akan semudah
itulah giliranku berikutnya untuk mati. Dan kesadaran ini yang biasanya tidak
dimiliki kebanyakan anak-anak, walaupun hal ini cukup jelas menghantui seluruh
hidupku sebagai suatu sensasi lahiriah. Aku selalu memiliki intuisi yang baik
mengenai hal-hal seperti didikan kepastoran dan psikiatri krisis, karena
kebungkaman yang kuputuskan sendiri itulah yang pasti mengubah kejadian itu
menjadi sebuah trauma. Jika saja saat itu aku berlari pulang dan menangis kepada
ibuku, hampir dapat dipastikan aku akan mendapatkan bantuan yang kubutuhkan
untuk mengatasi pengalaman tak menyenangkan itu. Tapi, aku tidak pernah dapat
mengungkapkannya kepada siapa aku berlatih setiap saat, walaupun tidak dapat
kukatakan bahwa aku telah mencapai kemajuan yang membuatku merasa terbebas.
Setiap pagi, aku masih terhenyak oleh kenyataan bahwa diriku hanyalah satusatunya, bahwa aku berada di sini hanya untuk saat ini, hanya pada waktu inilah
engkau dan aku menjadi penyandang kesadaran alam semesta akan dirinya sendiri.
Melihat kehidupan kita dari sudut pandang keabadian mungkin dapat dianggap
sebagai upaya moral atau intelektual yang terhormat, tetapi tidak berarti dapat membawa
ketenangan pikiran. Tidak ada rekonsiliasi yang otomatis dapat ditemukan dengan
menyadari bahwa aku seorang primata besar yang sadar akan dirinya mampu mencakup
seluruh sejarah alam semesta kita ini dalam ingatan, mulai dari Big Bang hingga
Bill Clinton dan Monica Lewinsky sekadar contoh dari dua primata paling terkenal
pada masa kita. Tidak ada ketenangan hati yang diperoleh dengan menjangkau
rentang waktu yang lebih luas. Malah kupikir sebaliknya: itu hanya menyebabkan
yang buruk menjadi semakin buruk. Mungkin lebih baik jika aku meminta seorang
penyembuh pikiran untuk mengeluarkan hewan mati itu dari alam bawah sadarku yang
telah membengkak walaupun aku yakin sekarang sudah terlambat.
Setelah kuungkap hal ini, sekarang kita dapat kembali ke kabin pesawat yang
sempit itu. Yang terjadi di sana bukan sekadar pencerahan sesaat pada pagi hari
seperti biasanya yang selalu meng-gemerencingkan sel-sel sarafku dan mengatakan
bahwa aku adalah seorang vertebrata terlalu rasional yang dikutuk untuk
menghadapi kenyataan bahwa aku hanya memiliki waktu beberapa bulan lagi untuk
hidup. Bukan, yang terjadi adalah tujuh puluh lima menit penelaahan yang saksama
atas perspektif-perspektif tersebut. Dan bahkan situasi saat itu bertambah
genting karena ada kemungkinan bahwa hanya dalam hitungan detik, hidupku di Bumi
akan berhenti total. Dengan sembrono, sang primata yang memegang kemudi menoleh
dan membuka sebuah peta besar, yang ia tekan dalam-dalam ke pangkuan seorang
primata wanita dari Australia yang duduk di sebelah kananku, yang tadi
memperkenalkan diri sebagai Laura. Aku tidak menyukai penurunan kualitas
navigasi pesawat ini hingga mencapai level yang lebih santai dan mendekati tidak
senonoh. Ceritaku ini tidak semestinya diterjemahkan bahwa rekan-rekan
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperjalananku adalah orang-orang yang tidak menyenangkan; justru sebaliknya,
aku menyukai setiap orang dari mereka, dan aku dapat saja membaringkan kepalaku
di pangkuan setiap dari mereka jika aku memang ingin mencari belas kasihan dan
perlindungan. Aku merasa seperti seekor kadal yang memelas, sesosok makhluk
gugup yang seharusnya tetap tinggal di atas tanah. Keyakinanku ini ada
hubungannya dengan kenyataan bahwa seorang keturunan kadal yang tua, bosan, dan
setengah congkaklah yang mengemudikan pesawat ini. Karena engkau membaca tulisan
ini dan karena engkau bertemu denganku di Salamanca beberapa bulan kemudian, kau
tahu bahwa pesawat itu berhasil mendarat dengan selamat. Masalahnya dengan
penerbangan itu adalah bahwa pengalamanku itu telah menimbulkan suatu perasaan
yang tak terelakkan, perasaan sebagai makhluk vertebrata biasa yang rapuh di
tengah-tengah kehidupan dan terbukti perasaan ini tidak bisa kulenyapkan pada
hari-hari selanjutnya. " Bandara di Taveuni itu bernama Matei dan sepertinya didesain khusus bagi
pesawat-pesawat kotak korek api. Landasan pacunya hanyalah segaris rumput sempit
yang diapit oleh barisan pohon kelapa, dan bahkan gedung bandaranya lebih mirip
sebuah halte bus dengan bangku-bangku bercat biru dan sebuah kios miniatur.
Koper-koperku akan tiba sejam lagi dengan pesawat yang telah dijadwalkan. Mobil
yang dikirim oleh Maravu Plantation Resort, tempatku akan menginap selama tiga
hari, tiba bersamaan dengan pesawat dan barang bawaanku.
Aku tidak akan menyimpang dari niatku untuk menceritakan segala sesuatu secara
berurutan. Jadi, jika aku berusaha melukiskan "Pulau Taman" dengan beberapa
sapuan kuas kasar, bukan berarti aku ingin menyimpang dari topik utama. Aku
hanya ingin menempatkan Ana dan Jose dalam sebuah lingkungan tempat, sejauh yang
bisa kuingat, mereka akan terus terkait.
Mengenai nama "Pulau Taman", seharusnya tempat itu sekalian saja disebut sebagai
"the Last Paradise", "Surga Terakhir". Nama ini akan memberi suatu keuntungan
praktis karena kata "Last" (Terakhir) dapat dengan mudah diganti dengan kata
"Lost" (Hilang) dalam beberapa dekade mendatang. Aku yakin banyak pengunjung
yang bahkan tidak akan menyadari perubahan kecil itu.
Spesies kita memiliki ketertarikan aneh terhadap kata "terakhir" dan "hilang".
Asyiknya suatu pengalaman yang masih dapat dinikmati generasi-generasi mendatang
sama sekali tak sebanding dengan melihat sesuatu yang tidak lama lagi bakal
hancur. Dia yang terakhir melihat, akan melihat yang terbaik. Sama seperti
anggota keluarga yang berkabung berdebat tentang siapa yang terakhir berbicara
dengan sang almarhum. Perlahan-lahan, dengan semakin sempitnya dunia, dan industri turisme
mengembangkan genre dan sub subgenre lebih lanjut, aku dapat meramalkan masa
depan yang cerah bagi nekroturisme: "Lihatlah Danau Baikal yang tak memiliki
kehidupan!", "Hanya beberapa tahun lagi sebelum Kepulauan Maladewa tenggelam"
atau: "Anda bisa menjadi manusia terakhir yang melihat seekor harimau hiduphidup!" Contoh-contoh semacam ini sangat banyak karena surga dunia menjadi
semakin sedikit saja, semakin mengecil dan juga rusak, tetapi hal ini tidak akan
mencegah turisme, justru sebaliknya.
Ada beberapa alasan mengapa selama ini Taveuni lebih beruntung dalam
perjumpaannya dengan dunia Barat daripada banyak pulau lain yang telah
kukunjungi. Permukaan tanah pulau vulkanis ini yang bergelombang banyak
berpengaruh dalam membatasi baik jumlah pengunjung maupun industri perkebunan.
Pantai-pantai lava hitam juga menahan turisme, dan walaupun sudut timur laut
pulau ini sebenarnya memiliki beberapa pantai berpasir koral putih yang masih
belum tersentuh, masalahnya di sini adalah curah hujan yang tinggi. Kombinasi
dari tanah vulkanis subur dan kelembapan yang tinggi inilah yang, selama
pertengahan abad ke-19, mendorong para penetap Eropa untuk membuka sejumlah
perkebunan. Pada awalnya, kapas kualitas tinggi adalah komoditas utama, tetapi
karena harga kapas turun drastis, perkebunan-perkebunan tebu di selatan pulau
menjadi bertambah penting. Kini, pepohonan palem adalah industri utama pulau
ini, begitu pula turisme yang semakin meningkat. Saat mengatakan turisme, yang
kumaksudkan adalah ekoturis-me, karena benar-benar tidak ada lagi yang bisa
dilakukan di sini kecuali menikmati lingkungan yang permai; tidak ada pusat
perbelanjaan, kehidupan malam, maupun kompleks perhotelan modern bertingkat
empat. Di pulau ini tidak ada siaran TV dan listrik sangatlah terbatas.
Kedua faktor terakhir itulah yang terutama membantu lestarinya tradisi bercerita
di antara penduduk. Kegelapan menyelimuti pulau pada pukul enam sore, kemudian
kata-kata lisan pun mengambil alih. Mungkin seseorang baru pulang dari
perjalanan memancing, seseorang yang lain memiliki pengalaman jauh di tengah
hutan, orang yang ketiga bertemu seorang Amerika yang tersesat di pinggir salah
satu sungai, dan masing-masing memiliki kisah untuk diceritakan. Mitos-mitos dan
legenda-legenda kuno pun terus dipertahankan karena di Taveuni tidak ada hiburan
selain dari apa yang diciptakan sendiri. Para penyelam dari seluruh dunia datang
ke sini untuk melihat koral dan kehidupan laut dalam kaleidoskop warna yang
mengagumkan. Sebagai tambahan, pulau ini masih dapat membanggakan diri dengan
salah satu populasi burung paling eksotik di dunia, jenis-jenis kelelawar yang
langka, pengem-baraan di dalam hutan dan semak-semak, dan, tentu saja, berjemur
di pantai dan di bawah sejumlah air terjun yang memikat.
Terdapat lebih dari seratus spesies burung di sini. Beberapa merupakan spesies
khas daerah ini seperti jenis merpati berdada Jingga yang terkenal. Untunglah
bagi mereka, luak India tidak pernah diperkenalkan di sini. Namun, untuk
mengontrol populasi serangga di perkebunan-perkebunan yang ada, burung magpie
dan kodok tebu pun didatangkan. Burung-burung magpie itu telah merebut habitat
alami burung-burung asli, dan kodok-kodok tebu menggusur katak-katak asli
semakin jauh ke dalam hutan. Tetapi, hebatnya, populasi burung-burung unik di
Taveuni masih tetap utuh. Hal menggembirakan yang sama juga terjadi pada
kelelawar, termasuk kelelawar buah raksasa, yang dengan rentang sayapnya yang
mencapai satu setengah meter, juga disebut rubah terbang atau "beka". Beka rebus
dianggap sebagai makanan lezat oleh para anggota masyarakat yang lebih tua.
Taveuni memiliki lebih dari seribu spesies tumbuhan yang telah diidentifikasi.
Dari seribu spesies tersebut, banyak yang merupakan endemik. Daerah pantainya
memiliki banyak rawa bakau dan pohon kelapa, sementara lebatnya hutan hujan yang
ditumbuhi paku-pakuan dengan pepohonan lokal yang tak terhitung banyaknya
membentuk daerah pedalaman pulau. Saat ini, ada pula beraneka ragam tumbuhtumbuhan tropis, seperti anggrek dan kembang sepatu. Bunga nasional Fiji,
Tagimaucia, adalah sebuah spesies yang hanya ditemukan di sini dan di pulau
tetangganya, Vanua Levu. Seperti lazim dijumpai di dunia belahan sini, keanekaragaman paling terlihat
pada fauna bawah lautnya. Engkau bahkan tidak perlu menyelam menggunakan snorkel
untuk dapat menemukan banyak sekali ikan, moluska, spons, bintang laut, dan
koral. Sungguh sulit menghindari kata-kata seperti "benar-benar sebuah
kaleidoskop" dan "berwarna-warni seperti pelangi" jika membicarakan kehidupan
laut di Pasifik Selatan, dan aku juga merasa bahwa di sekitar Taveuni, banyak
spesimen yang bahkan memiliki pola lebih indah daripada umumnya.
Kembali pada vertebrata darat asli pulau ini, seluruh kelas terwakili di sini,
walaupun selain burung-burung yang sangat beragam hanya dengan beberapa contoh.
Sebelum kodok diimpor dari Hawaii pada 1936, kelas amfibi paling banyak
terwakili oleh katak. Selain iguana, satu-satunya reptil yang ada adalah
beberapa spesies tokek dan ular. Namun, reptil yang paling mencolok mata
sekarang ini adalah jenis tokek rumah Hemidactyius frenatus yang menghibur,
walaupun jenis ini baru muncul di Fiji pada era 1970-an. Kelelawar adalah satusatunya mamalia asli yang dapat dibanggakan, dan mereka menikmati suatu
ekosistem tersendiri yang luar biasa disebabkan adaptasinya yang khas. Tiga ribu
lima ratus tahun yang lalu, manusia pemukim pertama tentunya turut membawa tikus
Polinesia, yang mungkin dibawa untuk dijadikan sumber makanan.
Vertebrata-vertebrata asli Taveuni diwakili
oleh ikan, katak, kadal, burung, kelelawar, dan orang-orang Fiji yang pada saat
ini berjumlah dua belas ribu jiwa. Maka, pulau ini pun menampilkan suatu
gambaran perkembangan vertebrata yang sangat apik dan nyaris transparan. Jika
kita meninjau kembali ke belakang, tidaklah terlalu sulit untuk melihat
bagaimana vertebrata di planet ini berevolusi dalam tahapan-tahapan yang begitu
jelas mulai dari ikan menjadi amfibi; dari amfibi menjadi reptil; dan akhirnya
dari reptil menjadi burung, kelelawar, dan orang-orang Fiji.
Apakah engkau pernah memikirkan bahwa dari segi evolusi semata, betapa "pasaran"
anatomi manusia, atau jika kujelaskan dengan kata-kata lain, betapa purba banyak
hal dari diri kita sebagai vertebrata" Mungkin engkau pernah memikirkan betapa
miripnya kerangka manusia dengan kerangka kadal dan salamander. Dan jika
memikirkan hal itu, engkau juga akan menyadari bahwa sebaliknya, gajah dan unta
misalnya, adalah buah yang cukup eksotis, yang jatuh lebih jauh dari batang
pohonnya, jika batang pohon di sini diartikan sebagai matriks purba tulang
belakang, tulang selangka, dan empat anggota tubuh yang memiliki lima jari.
Jalur cepat yang sejati di antara kehidupan sederhana pada periode Devon hingga
saat manusia menaklukkan bulan dipadati oleh amfibi-amfibi yang mirip
salamander, oleh reptil-reptil yang mirip mamalia, dan pada babak terakhir, oleh
primata. Tentu ada pula jaringan jalan keluar dan masuk yang mengagumkan.
Aku nyaris seperti dapat mendengar protesmu.
Pikiranku terlalu terpusat pada manusia, teriakmu, evolusi tentunya tidak linear
dan tidak disengaja; evolusi lebih mirip semak-semak dan kembang kol daripada
garis-garis maupun batang pohon. Apa hakku untuk menyebutkan bahwa satu atau dua
spesies dari seluruh kelas hewan lebih representatif dibandingkan spesiesspesies lain" Tetapi bukan itu yang kumaksud; aku hanya menunjukkan bahwa entah
bagaimana aku merasa memiliki hubungan yang lebih erat dengan kadal dibanding
dengan mamalia seperti kelelawar buah atau paus biru. Aku tidak diturunkan dari
kelelawar maupun paus biru, maupun dari jerapah, dan tidak juga dari orang utan,
tetapi aku adalah seorang keturunan langsung dari seekor ikan duri berongga,
dari seekor amfibi, dan kemudian dari seekor reptil yang mirip mamalia.
Keanekaragaman vertebrata yang tersebar di pulau ini membuatku melihatnya
sebagai satu gambaran besar dan hidup mengenai evolusi kehidupan di Bumi. Aku
menemukan diriku berada dalam sebuah ruang pameran Darwin, dan yang kumaksud
bukanlah hanya keempat anggota tubuh katak, kadal, kelelawar, dan orang-orang
Fiji, dengan struktur lima jari mereka yang serupa, walaupun kaki dan jari-jari
kaki orang-orang Fiji yang mengagumkan panjangnya sama menariknya dengan
anggota-anggota tubuh kadal.
Mengenai orang-orang Fiji, perlu ditambahkan bahwa, selain dari tikus dan
kelelawar, satu-satunya daging dalam makanan mereka hanyalah diri
mereka sendiri. Kanibalisme telah dipraktikkan secara luas hingga akhir abad ke19, jika kita mengabaikan satu-satunya tentara Jepang yang dimakan oleh seorang
Fiji, Viliame Lamasalato, baru-baru ini pada akhir Perang Dunia Kedua. Dampak
tradisi ini tidaklah kecil pada kemampuan pulau ini untuk menjaga keutuhan hutan
hujan dan lingkungannya. Aku bukannya menyarankan pembatasan populasi dengan
sesuatu yang mungkin dapat kita sebut sebagai konsumsi resiprokal. Namun, fakta
menyatakan bahwa kanibalisme memang berperan sebagai semacam pencegah ekologis
melawan penjajahan orang kulit putih. Baik Abel Tasman (1643) maupun James Cook
(1774) berlayar melewati Kepulauan Fiji, tetapi desas-desus mengenai bahaya
"kepulauan kanibal" ini telah mencegah mereka untuk nekat mendarat. Setelah
pemberontakan di atas kapal Bounty (1789), Kapten Bligh dan para perwiranya
berlayar melalui beberapa dari pulau ini dengan menggunakan sebuah perahu
terbuka. Namun, walaupun sangat lapar dan letih, mereka tidak berani mencuri
satu butir kelapa pun. Pada awal abad ke-19, orang-orang Eropa pertama tiba di
kerajaan pulau ini. Ada cerita yang beredar mengenai para misionaris yang
disambut dengan ramah dan dijamu dengan berbagai makanan yang benar-benar
tradisional; istilah itu benar-benar pantas, karena setelah makanan itu habis
disantap, diumumkan dengan penuh formalitas bahwa makanan pembuka yang disajikan
sebelumnya adalah dada wanita, makanan utamanya adalah paha seorang lelaki, dan
makanan penutupnya adalah otak yang untuk menikmatinya, para penduduk asli itu telah
menciptakan garpu khusus bermata empat. Salah satu dari para misionaris tersebut
yang ironisnya bernama Pendeta Baker (Pembakar) dijadikan masakan pada 1867.
Maka, meriam, peluru, dan mesiu pun didatangkan, dan sisanya tinggallah sejarah
kolonial. Yang pertama-tama dilakukan orang-orang Eropa di Fiji adalah menjarah
habis pohon-pohon cendana yang berharga. Kemudian, mereka mengimpor enam puluh
ribu pekerja perkebunan dari India. Itulah mengapa kini lebih dari setengah
populasi kepulauan ini adalah keturunan India. Gelombang kedatangan ini pun
membawa serangkaian wabah dan penyakit; pertama-tama kolera, yang menyebabkan
beberapa dari pulau tersebut tak berpenghuni, dan pada 1890 campak, yang
menyebabkan kematian sepertiga dari populasi Fiji.
Aku melihat suatu paradoks yang mengusik pikiran dalam semua ini: penyebab tetap
relatif utuhnya keseimbangan ekologi di beberapa pulau di Fiji adalah karena
orang-orang kulit putih tidak berani mendarat karena adanya kanibalisme. Ini
adalah suatu paradoks, walaupun aku sedikit bersimpati kepada suatu masyarakat
yang pada saat-saat sulit mampu mengonsumsi salah satu anggotanya sendiri
daripada berkompetisi untuk membunuh spesies-spesies lain. Aku sepakat bahwa
kanibalisme harus dipandang sebagai suatu pelanggaran atas apa yang kita sebut
sebagai "hak-hak alamiah", tetapi kesembronoan dunia Barat atas ekologi
merupakan suatu pelanggaran tanggung jawab manusia yang sama buruknya. Istilah
"hak-hak alamiah" memiliki sejarah lebih dari dua ribu tahun lamanya, dan hanya
satu hal yang ingin aku tanyakan: kapankah kita akan siap untuk memiliki istilah
"tanggung jawab alamiah?"
Karena aku sudah menyinggung tentang dua ribu tahun itu, izinkanlah aku akhirnya
menunjukkan satu lagi paradoks yang mencolok tentang "Pulau Taman dari Fiji".
Takdir telah menentukan bahwa pulau ini terletak persis di atas International
Date Line, karena kebetulan saja pulau ini terletak tepat pada garis bujur ke180 dari Observatorium Kerajaan di Greenwich. Ini berarti setengah dari pulau
ini berada pada hari ini dan setengah yang lain pada hari kemarin. Atau tentu
saja yang sebaliknya: satu bagian berada pada hari ini dan bagian yang lain pada
esok hari. Alasanku mengatakan hal ini merupakan takdir adalah karena Taveuni
menjadi tempat berpenduduk pertama di dunia yang akan melihat milenium ketiga.
Hal ini tidak akan terlewatkan begitu saja.
V Aku bukan satu-satunya yang dijemput oleh Land Rover itu. Aku juga ditemani oleh
dua orang tamu yang menuju tempat yang sama. Kami telah bercakap-cakap sebentar
di bandara selama menunggu koper-koper kami tiba dengan pesawat yang telah
dijadwalkan. Salah satu dari tamu tersebut adalah Laura, yang menunjukkan
antusiasme yang begitu besar terhadap pesawat terbang sembari menggoda pilot lanjut usia kami, saat aku
sibuk membolak-balik album keluarga Bumi adegan demi adegan mulai dari
pembelahan sel pertama pada awal periode Pra-Kambrium terus hingga waktu yang
telah ditetapkan bagiku di Bumi.
Laura berasal dari Adelaide dan adalah seorang wanita cantik di akhir usia dua
puluhan. Dengan kulitnya yang berwarna cokelat keemasan dan rambut hitam
panjangnya yang terkepang, ia agak mirip gadis muda Indian Amerika. Salah satu
keunikannya adalah salah satu matanya berwarna hijau dan yang lain berwarna
cokelat. Mungkin memang ada sedikit berkas warna cokelat di matanya yang hijau
dan mungkin seberkas warna hijau di matanya yang cokelat, tetapi tetap saja ia
memiliki satu mata hijau dan satu mata cokelat. Ini adalah suatu kelangkaan
genetik yang seingatku belum pernah kutemui. Aku juga memerhatikan ada lencana
World Wildlife Fund tersemat di ransel kanvasnya yang sederhana. Laura memang
menarik sekaligus eksentrik sehingga dapat memancing sedikit perhatianku, tetapi
tampak jelas ia tidak tertarik melakukan basa-basi perkenalan di bandara, karena
dengan segera ia menenggelamkan diri dalam buku panduan Lonely Planet-nya, sibuk
membaca tentang pulau itu.
Penumpang yang satu lagi adalah Bill; kurasa ia juga menyebutkan nama
belakangnya, tetapi aku telah lama melupakannya. Ia berusia akhir lima puluhan,
berasal dari Monterey, California, dan tampak
jelas pada masa mudanya ia adalah pencari petualangan yang kaya raya. Dengan
segera terbentuk suatu gambaran di benakku mengenai dirinya. Ia menampilkan
karakteristik tipikal Amerika Utara yang ganjil, yaitu hasrat tak tertahankan
untuk dapat mengalami secara langsung dunia ini sebanyak mungkin, tanpa
terganggu hubungan sosial dengan pasangan hidup, anak, maupun teman dekat. Bill
adalah seorang yang cukup unik. Aku ingat bahwa aku berpikiran sebagian orang
memang tidak pernah benar-benar menjadi dewasa, mereka hanya menjadi sangat kaya
dan seringnya sangat tua.
Lelaki yang menjemput kami adalah seorang Inggris dan memperkenalkan diri
sebagai John. Ia bertubuh sangat kuat dan kekar, berusia pertengahan enam
puluhan, tingginya setidaknya 190 sentimeter, dan memiliki rambut berwarna
kelabu dan jambang pendek yang hampir putih warnanya. Baru kemudian kusadari
bahwa ia bukanlah salah seorang pegawai Maravu, melainkan seorang tamu seperti
kami. John menawarkan diri untuk menjemput kami karena pihak penginapan tengah
berhalangan. Sepertinya ia sangat tertarik untuk sesegera mungkin mengenal para
tamu baru. Begitu mobil kami berbelok meninggalkan jalan pedesaan dan mendaki menuju Maravu
Plantation Resort, aku terpukau akan keindahan tempat itu. Penginapan tersebut
terdiri dari sepuluh pondok dan satu gedung utama yang tersebar di tengah
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkebunan kelapa tua. Pondok-pondok itu atau di pulau ini disebut sebagai burs
dibangun di atas sebuah bukit dengan pemandangan ke arah laut, di tengah-tengah
semak belukar yang lebat dan pohon-pohon nyiur yang melambai. Hal ini
menyebabkan setiap pondok tidak mungkin terlihat dari pondok-pondok lainnya,
atau setidaknya setiap pintu pondok dari pintu-pintu lainnya. Gedung utamanya
dibangun persis seperti salah satu rumah pertemuan tradisional pulau itu dengan
dinding-dindingnya yang terbuka dan dinding penyangga atap yang tinggi ditutupi
oleh atap dari dedaunan kelapa. Lantai kayunya cukup luas untuk menampung sebuah
area resepsionis yang terbuka, sebuah bar, sebuah restoran yang sama-sama diberi
nama Maravu dan sebuah lantai dansa yang lebar.
Kami disambut di bar dan disuguhi sebutir kelapa yang dilengkapi dengan
rangkaian kembang sepatu yang tertata rumit dan sebatang sedotan, sementara
formalitas untuk check-in dilengkapi. Kami duduk-duduk di sana selama beberapa
saat untuk mengobrol sementara semua orang yang tengah bertugas di Maravu pagi
itu melintas dan menyapa kami satu demi satu. "Bulai" ujar mereka, "Bulai" Kata
sapaan lokal ini begitu sering diulang di Kepulauan Fiji sehingga hampir menjadi
sebuah mantra. Tetapi, kata ini memiliki arti yang lebih fleksibel daripada
padanannya dalam sebagian besar bahasa lain. "Bula" dapat berarti apa saja,
mulai dari "Hai", "Halo", dan "Hari yang indah" hingga "Apa kabar?", "Selamat
menikmati hari Anda", dan "Selamat tinggal".
Semua orang di pulau itu tahu bahwa aku
adalah "Frank", Bill adalah "Bill", dan Laura adalah "Laura". Seakan-akan dalam
beberapa minggu sebelumnya, semua orang di tempat itu tidak punya pekerjaan
selain mempersiapkan kedatangan kami, untuk membuat kami merasa elite dan
spesial. Kami telah datang ke Maravu untuk dimurnikan dan dilahirkan kembali.
Bill menemukan bahwa dalam bahasa Fiji, "maravu" berarti "tenang dan damai",
sementara Laura ingin mengetahui tempat terbaik untuk melihat burung-burung nuri
yang terkenal di pulau ini.
Aku diantar melewati sebuah kolam renang dan menembus pepohonan palem menuju
bure 3. Aku hanya bergerak seminimal-minimalnya sebelum akhirnya duduk di
beranda beratap untuk memandang ke arah laut, dengan kekaguman yang mendalam, untuk
menikmati sebuah sumber daya alami yang teramat jarang ditemui dalam dunia kita
kini. Yang kumaksud adalah keheningan umat manusia bisa dibilang juga telah
memusnahkan hal itu. Sekali lagi aku telah berada di atas tanah walaupun hampir dapat dikatakan bahwa
aku belum mendarat, apalagi melupakan penerbangan itu, bahkan setelah ada
jaminan bahwa untuk penerbangan kembali ke Nadi, aku akan mendapat kursi di
dalam pesawat yang dijadwalkan. Suasana hatiku tengah diliputi kepanikan yang
menggelisahkan, sebuah keadaan jiwa yang kuyakin tidak akan dapat kusingkirkan.
Seolah aku tengah menikmati gelegak alkohol dalam tubuhku, namun sambil
menyadari pula bahwa sekali ini aku telah meminum anggur yang
tidak akan pernah keluar dari tubuhku.
Aku pernah mendengar tentang para dokter yang berubah menjadi penderita
hipokondrial, para pendaki gunung yang menjadi takut akan ketinggian, dan para
pendeta yang kehilangan keimanan mereka. Aku pun hampir sama buruknya. Aku
adalah ahli palaeontologi yang terjangkiti rasa takut akan tulang belulang. Aku
adalah ahli zoologi yang hampir tidak dapat mengakui bahwa ia sendiri adalah
seekor hewan. Aku adalah ahli biologi evolusioner yang sulit menerima bahwa
waktunya di Bumi pun terbatas. Separuh dari hidupku telah kuhabiskan untuk
mengamati sisa-sisa tulang belulang dari mamalia; dengan penuh keingintahuan aku
telah menceburkan diri untuk menganalisis sisa-sisa hewan yang mati, dan
sekarang aku terjangkit sebuah ketakutan yang nyaris menjurus ke kepanikan.
Ketakutan bahwa suatu hari aku akan menyumbangkan tumpukan kecil diriku sendiri
ke dalam materi yang selama ini begitu kunikmati. Aku merasa bangkrut. Tetapi,
ini tidak terasa seperti sebuah obsesi, ini hanyalah suatu pengertian intuitif
yang begitu mutlak. Buddha telah melihat seorang yang sakit, seorang tua, dan
jenazah. Pada masa kecil, aku telah menemukan seekor anak rusa mati di hutan,
dan sekarang setelah penerbangan yang berbahaya dari Nadi ke Matei itu luka lama
itu terbuka lagi. Sekali lagi, aku memutar ulang film panjang yang dimulai dari saat kehidupan
dimulai di Bumi empat miliar tahun yang lalu. Sejarah diriku sendirilah yang
tengah kutonton, nenek moyangku sendiri.
Bukan garis langsung nenek moyangku yang kembali kepada reptil-reptil kecil
mirip mamalia yang hidup di sini beberapa ratus juta tahun yang lalu tetapi
lebih jauh lagi kepada seekor reptil primitif, seekor amfibi, seekor ikan duri
berongga, seekor invertebrata, dan terus kembali kepada sel hidup yang paling
awal di dunia. Bukan saja aku diturunkan dari reptil-reptil mirip mamalia yang
hidup di sini beberapa ratus juta tahun yang lalu, tetapi setiap sel di dalam
tubuhku mengandung gen yang benar-benar setua itu. Aku adalah mata rantai
terakhir dalam sebuah rantai pembelahan sel yang tidak terputuskan, mata rantai
terakhir dari proses-proses biokimia yang kurang lebih telah diketahui, dan
dalam analisis terakhir mata rantai terakhir dari biologi molekuler. Aku
tersadar bahwa pada dasarnya, aku tidaklah berbeda dari organisme-organisme
sederhana bersel satu yang merupakan nenek moyangku yang paling pertama.
Singkatnya, aku tidaklah lebih dari sebuah koloni sel dengan satu perbedaan
penting bahwa sel-sel milikku lebih saling menyatu dibandingkan sel-sel yang
terdapat dalam sebuah kultur bakteri, sel-selku lebih berbeda-beda dan karenanya
mampu melakukan pembagian tanggung jawab yang lebih radikal. Namun, aku pun
terdiri dari sel-sel yang terpisah, dan setiap sel tersebut terbentuk dari
sebuah faktor pemersatu paling sederhana, yaitu kode genetik, sang master plan
itu sendiri, yang tertanam di setiap sel di dalam tubuhku. Kode DNA sendiri
mewakili suatu akumulasi mikroskopik dari beratus-ratus juta tahun permainan
tanpa tujuan dengan asam nukleat. Dan walau begitu, dari sudut pandang genetik, aku tidaklah
lebih dari sebuah konstruk raksasa dari sel-sel kembar yang identik. Namun,
bagaimana hiperklon-hiperklon ini dapat berkomunikasi satu sama lain, dan
terlebih lagi, menyalakan dan memadamkan gen mereka demi keuntungan maksimal
bagi keseluruhan ini adalah salah satu misteri terbesar di Bumi.
Motor penggerak evolusi yang sesungguhnya adalah suatu kenyataan sederhana bahwa
hanya suatu bagian yang sangat kecil dari setiap generasi mampu tumbuh dewasa
dan bereproduksi; tanpa adanya seleksi, evolusi tidak akan mungkin terjadi.
Pengikisan keturunan secara permanen dan perjuangan demi kelangsungan hidup yang
juga berlangsung selamanya menjadi pilar-pilar evolusi. Tetapi, nyatanya aku
duduk di sini, di sebuah pulau kecil di Oseania laksana sebuah perkecualian yang
luar biasa langka dalam peraturan yang mengatakan bahwa engkau tidak akan
mungkin memenangi hadiah pertama lotre seribu kali berturut-turut. Aku dan
dengan ini yang kumaksud adalah garis nenek moyangku, pohon silsilahku, garis
zigot dan pembelahan sel diriku sendiri yang tak pernah terputus telah bertahan
selama berjuta-juta generasi. Dalam setiap generasi, pertama-tama aku berhasil
membelah sel-selku, kemudian berkembang biak, membuahi telurku atau bertelur,
dan dalam tahap terakhir, menghasilkan keturunan yang hidup. Jika satu saja dari
berjuta-juta nenek moyangku, misalnya seekor amfibi yang menjalani kehidupan
yang dingin dan lembap pada periode Devon, atau seekor reptil yang merangkak di antara tumbuhtumbuhan pteridofita pada zaman Perm, jika satu saja individu itu mati sebelum
matang secara seksual sama seperti anak rusa malang di kampung halamanku di
Norwegia itu aku tidak akan mungkin duduk di beranda ini sekarang. Dan jangan
katakan bahwa aku memandang segalanya dari sudut pandang yang terlalu jangka
panjang, karena aku dapat saja mundur lebih jauh lagi: jika ada satu saja mutasi
yang fatal dalam sebuah pembelahan sel bakteri tertentu dua atau tiga miliar
tahun yang lalu, aku tidak akan pernah melihat dunia ini. Dari satu bakteri
itulah aku berasal, dan khususnya dari satu sel tersebut marilah kita menyebut
sel tersebut sebagai sel ZVG 31.514. 718.120.211.212.091.514 dalam koloni sel
KAR 251. 521.118.512.391.414.518 pada 180? garis bujur beberapa derajat sebelah
utara dari garis balik selatan. Aku tidak pernah mendapatkan kesempatan. Maka,
aku telah bertahan bermiliar-miliar kali dari bahaya-bahaya paling mengerikan,
tetapi nah, nah, nenek moyangku selalu berhasil oh ya, oh ya mereka selalu
berhasil meneruskan tongkat estafet genetik mereka. Dan dalam keadaan utuh pula,
Vera, selalu dalam keadaan utuh, walaupun secara berkala mereka sedikit mengubah
warisan itu dengan beberapa variasi teramat kecil yang menguntungkan. Jadi,
selalu ada estafet baru, karena akan masih ada berjuta-juta estafet yang harus
dilakukan. Dan walaupun hanya memiliki peluang yang amat kecil, kini tibalah
giliranku. Tetapi, estafet yang ba-ru telah dimulai, dan demikian selanjutnya,
dan mungkin generasi berikutnya akan tumbuh dewasa walaupun kita tidak akan
terlalu menghargainya. Tetapi begitulah yang akan terjadi, berulang-ulang,
karena tidak ada yang sudi jatuh ke dalam perangkap. Semua orang selalu berjagajaga, tongkat estafet genetik ini telah diteruskan dari generasi ke generasi
selama beratus-ratus juta kali. Buktinya, aku bisa berada di sini.
Demikianlah isi pikiranku. Bisa dibilang bahwa semua ini berkat perusahaan
penerbangan itu, karena mereka telah menempatkan bagasi genetikku yang berusia
jutaan tahun dalam bahaya besar. Aku merenungkan fakta bahwa diriku pagi ini
sudah larut dalam berbagai pemikiran pelik, padahal ikan-ikan duri berongga yang
menjadi nenek buyut dan kakek buyutku yang kebetulan hidup bertetangga di
periode Devon merangkak dari satu kubangan ke kubangan lain agar tidak kehabisan
napas karena kekurangan oksigen. Tetapi dan ini adalah bagian yang menyakitkan
kini, lomba estafet yang luar biasa panjang tetapi amat jelas dan transparan ini
akan berakhir. Permainan domino yang tak berkesudahan dan terus berlangsung
tanpa henti sedetik pun selama lebih dari tiga miliar tahun kini telah menemui
jalan buntu. Aku sudah mulai bersiap menghadapinya.
Aku merasa memiliki latar belakang yang sungguh kaya. Berapa generasi leluhurku
yang dapat kuhitung sejak amfibi pertama" Berapa kali pembelahan selkah yang
berhubungan dengan diriku sejak
zigot paling awal" Aku adalah seorang profesor dengan masa lalu yang sungguhsungguh kaya. Tetapi, aku tidak memiliki masa depan. Setelah ini, aku bukanlah
apa-apa. Demikianlah jalan pikiranku, dan mungkin sebaiknya aku menambahkan bahwa aku
memikirkan kita berdua. Tentu saja, aku juga merenungkan bahwa aku tidak
memiliki seorang anak pun. Lebih menyedihkan lagi, bahwa sejauh ini, dari garis
yang begitu panjang dan banyak yang berjalan selama beratus-ratus juta generasi
sebelum diriku, akulah generasi pertama yang tidak memiliki keturunan. Karena,
telah jelas diketahui bahwa ketidakmampuan memiliki anak tidak pernah dapat
diturunkan. Sudah menjadi hukum biologi evolusioner bahwa ketidakmampuan
menghasilkan keturunan adalah suatu karakteristik yang amat merugikan sehingga
dengan segera disingkirkan. Hanya mereka yang mampu memiliki anaklah yang dapat
mengimpikan memiliki cucu, dan tanpa cucu, seseorang tidak dapat menjadi seorang
nenek buyut atau kakek buyut.
Dan tepat saat segalanya tengah berjalan lancar, pikirku. Dan tepat saat aku
tengah mengagumi harta keluargaku yang tak ternilai. Pada satu sisi, aku sangat
kaya, aku memiliki berjuta-juta batu permata warisan kuno menghiasi dasar
petiku. Tetapi, aku menyanyikan bait yang terakhir. Usiaku hampir empat puluh
tahun, dan aku tidak melihat sedikit pun tanda-tanda bahwa aku akan memiliki
keturunan. Aku begitu sendirian di dunia ini, begitu terasing. []
Adam yang Tak Terheran-heran
Aku mencoba membaca ulang catatan terakhir yang kubuat di Auckland setelah
melakukan berbagai pertemuan dengan orang-orang dari pelestarian lingkungan
hidup. Beberapa kali kudengar suara berdebum pelan. Awalnya kukira itu adalah
gema suara petir di kejauhan, tetapi kemudian kusadari bahwa itu tentulah suara
kelapa yang berjatuhan ke tanah dari puncak pohon-pohon kelapa yang tinggi.
Setelah buah kelapa ketigaberdebum jatuh, tiba-tiba terdengar suara-suara
semakin mendekat, dan aku melihat seorang pria dan seorang wanita berjalan di
samping dinding pondokku dan terus menembus pepohonan palem melalui jalan
setapak kecil yang menurun ke arah laut dan jalanan. Lengan sang pria merengkuh
erat bahu sang wanita, begitu eratnya hingga sebenarnya aku merasa agak malu
berada di situ. Ini membuatku membayangkan seandainya Tuhan berkeliling di dalam
Taman Firdaus sambil mengamati makhluk-makhluk-Nya. Sekarang aku mengambil alih
peran tersebut, walaupun kejadian sekarang ini tentunya berlangsung setelah
kejatuhan mereka, karena tidak saja kedua makhluk itu berpelukan begitu erat,
mereka juga tidak lagi telanjang. Tuhan telah memakaikan sebuah gaun merah
menyala kepada sang wanita, dan sang pria diberi pakaian dari linen hitam. Aku
mendengar mereka berbicara dalam bahasa Spanyol dan aku pun menajamkan telingaku.
Tiba-tiba sang pria berhenti di tengah jalan setapak itu. Ia mengangkat
lengannya dari bahu Hawa dan menunjuk menembus kebun ke arah lautan. Kemudian ia
berbicara dengan lantang dan jelas: "Sama sekali tidak aneh bahwa Sang Pencipta
beristirahat setelah membentuk manusia dari debu dan meniupkan kehidupan ke
dalam lubang hidungnya, sehingga menjadikannya makhluk hidup. Yang mengejutkan
dari kejadian itu adalah Adam yang sama sekali tidak keheranan."
Udara saat itu panas, langit telah menjadi cerah setelah turunnya hujan deras di
pagi hari, tetapi aku dapat merasakan dingin merambati tubuhku. Tidakkah ia
nyaris seperti membaca pikiranku"
Si wanita tertawa. Ia berpaling kepada si pria dan menjawab, mengucapkan dengan
lantang: "Tidak bisa disangkal, menciptakan dunia seisinya adalah sebuah prestasi yang
patut dikagumi. Walaupun tentu dunia yang mampu menciptakan dirinya sendiri
pantas mendapatkan penghargaan lebih besar. Dan sebaliknya: pengalaman menjadi
sesuatu yang diciptakan tidak ada artinya dibandingkan perasaan yang meluap-luap
karena telah menciptakan diri sendiri dari kehampaan dan berdiri tegak dengan
kedua kakinya." Sekarang giliran si pria yang tertawa. Ia mengangguk sambil berpikir dan
melingkarkan lengannya di bahu sang wanita lagi. Ketika mereka kembali beranjak
dan segera akan menghilang di antara pepohonan palem, kudengar si pria berkata:
"Perspektif-perspektif ini begitu rumit; karenanya kita harus tetap membuka diri
terhadap berbagai kemungkinan. Jika memang ada Sang Pencipta, seperti apakah
dia" Dan jika Sang Pencipta itu tidak ada, apakah hakikat dunia ini?"
Aku sama sekali tidak bisa menduga siapakah sebenarnya kedua peramal ini. Aku
benar-benar terpaku. Apakah aku baru saja menyaksikan sebuah ritual pagi yang telah berjalan sejak
zaman dahulu kala" Ataukah aku hanya kebetulan menangkap beberapa bagian dari
sebuah percakapan yang lebih panjang" Jika memang begitu adanya, andai saja aku
dapat mendengar semuanya. Aku merogoh buku harian kecilku dan berusaha mencatat
semua yang telah mereka ucapkan.
Tidak lama kemudian, saat berjalan-jalan menjelajah, aku bertemu mereka lagi,
dan sekali ini aku bertemu langsung. Aku menyusuri jalan yang mengikuti garis
pantai, kecuali di bagian-bagian yang paling curam di bagian tenggara. Aku
mengikuti jalan tersebut selama sekitar 1,6 kilometer lalu tiba di suatu tempat
yang menurut peta dinamakan Pantai Pangeran Charles. Sebuah nama yang terlalu
muluk untuk sebuah laguna yang begini kecil, pikirku. Pada hari-hari tertentu,
pantai ini bahkan tidak akan memikat siapa pun untuk berenang di sini. Tetapi
mungkin sang ahli waris takhta Kerajaan Inggris itu pernah diseret ke sini
karena para penduduk ingin menunjukkan pantai yang paling indah di Taveuni
kepadanya. Pilihan mereka memang tepat.
Melalui sela-sela pohon bakau, aku dapat melihat Adam dan Hawa berjalan tanpa
alas kaki di dekat garis air, seakan-akan mereka tengah mengumpulkan kulit-kulit
kerang. Aku merasa diriku tertarik menuju mereka dan aku pun memutuskan untuk
berjalan ke arah pantai, seolah-olah karena kebetulan belaka. Tepat saat aku
keluar dari antara pepohonan, aku mendapat sebuah inspirasi: mengapa harus
menunjukkan bahwa aku bisa berbahasa Spanyol" Kemampuanku itu adalah sebuah
kartu as yang mungkin akan berguna jika kusimpan, setidaknya untuk saat ini.
Mereka mendengar kedatanganku dan mengamatiku dengan tatapan menyelidik. Kurasa
si wanita mengatakan sesuatu kepada si pria bahwa mereka tidak lagi sendirian.
Kecantikan wanita itu sebagaimana yang digambarkan dalam kisah Penciptaan dengan
rambut hitam yang tergantung dalam ikal-ikal lebat di atas gaun merahnya, gigi
yang putih bersih, dan mata yang hitam legam. Tubuhnya yang cokelat terbakar
matahari itu semampai, molek, dan mengagumkan, dan menurutku ia bergerak dengan
suatu keanggunan yang tidak biasa. Si pria lebih pendek dan tampak lebih
pendiam, menurut hampir seperti menutup diri, walaupun sebuah senyum nakal
tebersit di wajahnya yang tirus saat aku berjalan mendekat. Kulitnya pucat dan
ia memiliki rambut pirang dan mata biru. Usianya mungkin sekitar usiaku, dan
setidaknya sepuluh tahun lebih tua daripada usia si wanita.
Bahkan pada pertemuan pertama itu aku merasa pernah melihat wanita muda ini
sebelumnya. Walaupun aku tidak terlalu suka pada ide-ide seperti ini, tetapi
hampir seakan-akan aku pernah bertemu dengannya dalam kehidupan sebelum ini,
atau dalam keberadaan yang lain. Setelah sekilas merunut masa laluku dan
kenalan-kenalanku belakangan ini, aku tidak bisa memastikan pada episode
kehidupanku yang manakah ia hadir. Tetapi aku yakin pernah bertemu dengan wanita
ini sebelumnya, dan mengingat ia masih begitu muda, tentunya itu terjadi belum
terlalu lama. Aku menyapa mereka dengan menggunakan bahasa Inggris, mengatakan betapa indahnya
cuaca hari itu dan bahwa aku baru saja tiba di pulau itu. Mereka memperkenalkan
diri sebagai Ana dan Jose, dan aku memberi tahu mereka bahwa namaku Frank.
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Segera kami tahu bahwa kami sama-sama menginap di Maravu, karena memang tidak
ada akomodasi lain dalam beberapa kilometer di sekitar tempat itu. Kemampuan
bahasa Inggris mereka bagus.
"Liburan?" tanya Jose.
Aku menarik napas. Percakapan ini tidak perlu berpanjang-panjang. Aku memberi
tahu mereka bahwa aku sedang dalam perjalanan pulang setelah melakukan
penelitian lapangan selama beberapa minggu di Pasifik Selatan. Ketika aku
menambahkan beberapa kata mengomentari ancaman terhadap tumbuh-tumbuhan dan
hewan asli daerah itu, mereka mendengarkan lebih saksama. Mereka bertukar
tatapan penuh makna dan tampak begitu terikat sebagai pasangan sehingga aku pun
kembali merasa tidak nyaman. Aku sadar bahwa dalam sebuah situasi seperti ini,
beroperasi berpasangan memberikan keuntungan sangat besar.
"Dan Anda berdua?" tanyaku. "Sedang berbulan madu?"
Ana menggelengkan kepalanya.
"Kami bekerja dalam industri perfilman," ujarnya.
"Dalam industri perfilman?" ulangku.
Aku berusaha menggunakan kalimat itu sebagai upaya terakhir untuk mengetahui di
mana aku pernah bertemu dengan wanita anggun ini. Mungkinkah ia seorang bintang
film terkenal yang tengah menikmati liburan di Lautan Selatan dengan suaminya
yang sedikit lebih tua, sang sutradara atau juru kamera terkenal Jose entah
siapa" Toh bisa saja aku tidak pernah bertemu dengan wanita itu dalam kehidupan
nyata; mungkin aku hanya melihatnya di layar bioskop. Tidak, ini tidak mungkin,
aku tidak pernah gemar menonton film, terutama pada masa Ana menginjak usia
dewasa. Si wanita menatap suaminya dan tampak ragu sejenak sebelum menoleh ke arahku
lagi. Ia mengangguk dengan gaya menantang.
"Kami bekerja untuk sebuah stasiun TV Spanyol."
Seakan-akan untuk membuktikan kebenaran pernyataannya, ia mengambil sebuah
kamera kecil dan mulai memotret pemandangan pantai, Jose, dan
diriku. Si wanita tersenyum nakal, dan aku curiga ia tengah menertawakan diriku.
Jika memang itu yang ia lakukan, tidak akan sulit bagiku untuk memaafkannya,
karena aku tengah tersilaukan oleh sesuatu yang melebihi pasir koral putih dan
matahari tengah hari. Si lelaki bertanya kepada si wanita pukul berapa saat itu, dan aku ingat bahwa
hal itu kuanggap aneh karena kuperhatikan keduanya tidak mengenakan jam tangan.
Aku memberi tahu mereka bahwa saat itu pukul dua belas lewat seperempat, dan
sambil melambaikan tangan, aku berkata akan menjelajahi pulau itu. Tepat ketika
aku berbalik memunggungi mereka dan mulai menuju jalanan, aku mendengar si
wanita membisikkan sesuatu dengan nada seperti bacaan sakral.
"Ketika kita mati-saat adegan-adegan teiah terekam daiam pita seiuioid dan dekor
teiah dilepas dan dibakar kita ada f ah arwah daiam ingatan keturunan kita.
Kemudian kita ada f ah hantu, Sayangku, kemudian kita adaiah mitos. Tetapi, kita
masih bersama, kita masih merupakan masa iaiu yang bersama, kita adaiah masa
iaiu yang jauh. Di baiik kubah masa iaiu yang misterius, aku masih mendengar
suaramu." Aku berusaha terus melangkah ke jalan seolah-olah tidak mendengar apa pun, atau
setidaknya berpura-pura tidak mengerti ucapannya itu. Begitu melewati sebuah
belokan, kukeluarkan buku catatan kecilku dan kucoba menuliskan apa yang telah
ia katakan. "Di balik kubah masa lalu yang
misterius, aku masih mendengar suaramu ...."
Aku menimbang-nimbang apakah Ana telah memberiku sebuah petunjuk untuk kuikuti.
Mungkin aku harus mencari kunci jati dirinya pada suatu masa lalu yang
misterius. Aku pernah melihat wanita itu sebelumnya; aku benar-benar yakin. Tetapi pada
saat yang sama, terasa ada yang tak beres. Aku memiliki perasaan tidak
menyenangkan bahwa pada suatu waktu, sesuatu pernah terjadi pada dirinya.
* Pertemuanku dengan kedua orang Spanyol itu telah membuatku begitu resah sehingga
aku pun memutuskan untuk berjalan sejauh S kilometer sepanjang pantai menuju
garis bujur 180?, tempat kabarnya terdapat sebuah monumen yang didirikan tepat
di garis pemisah dua hari. Perjalanannya ternyata cukup panjang, tetapi aku jadi
berkesempatan untuk melihat-lihat kehidupan sehari-hari di pulau itu. Aku
berjalan melalui beberapa desa yang ramai dan disambut oleh senyuman para warga
yang berpakaian warna-warni. Beberapa sungai dipenuhi anak-anak yang sedang
berenang, ada pula satu atau dua orang dewasa yang berada di dalam air. Aku
memerhatikan bahwa lebih banyak para lelaki yang berkeliaran sambil menggendong
balita. Kaum wanita yang bekerja.
Aku tidak dapat menemukan satu pun wajah yang bersedih, padahal siang itu aku
mendapat kesempatan untuk mempelajari banyak wajah. Bunga dan buah kelapa, ikan dan
sayuran banyak terdapat di mana-mana, tetapi selain dari hal-hal itu, tidak
banyak yang mereka miliki menurut standar Dunia Barat. Tetapi bukankah Adam dan
Hawa pun hidup dalam kondisi seperti ini dalam Taman Firdaus, sebelum mereka
memakan buah dari pohon pengetahuan" Kemudian mereka dikutuk untuk bekerja di
bumi seumur hidup dan memakan roti hasil kerja keras mereka" Aku tidak dapat
membayangkan bahwa para wanita di pulau ini membutuhkan gas tawa maupun
pethidine untuk membantu kelahiran. Hidup ini bagaikan sebuah permainan,
pikirku, semua ini hanyalah sepotong gula-gula.
Kedua kakiku pegal ketika akhirnya aku mendekati Desa Waiyevo, yang hanya
berjarak 8DD meter dari dateline tersebut. Di sini, aku bercakap-cakap dengan
Libby Lesuma, seorang wanita Australia ramah yang menikahi seorang Fiji dan
memiliki sebuah toko kelontong dan sebuah toko suvenir kecil. Ia dikelilingi
oleh sekawanan anak-anak, dan ketika salah satu dari mereka pergi untuk
mengambil bola dari bawah sebuah pohon kelapa, aku menunjuk ke atas pohon
tersebut dan bertanya apakah ia tidak takut jika anak itu terkena buah kelapa
yang jatuh ke kepalanya. Wanita itu hanya tertawa dan berkata bahwa ia tidak
pernah memikirkan hal itu, ia lebih khawatir akan hiu. Walaupun begitu, ia tidak
pernah dapat menghentikan anak-anak itu berenang di laut. Namun, jika mereka
sedang terluka sedikit saja, mereka tidak boleh memasuki air. Hiu dapat mencium
bau darah dari kejauhan, ujarnya, dan aku mengangguk. Ketika aku mengatakan
bahwa aku telah berjalan jauh dari Maravu, ia bertanya mungkin masih ada
hubungannya dengan hiu tadi apakah aku lapar. Aku menjawab bahwa aku sangat
lapar, tetapi sambil bercanda, kutambahkan bahwa di sepanjang jalan tadi, aku
tidak merasa melewati satu pun restoran cepat saji. Ia pun tersenyum hangat
keibuan, dan bagaikan seorang ibu peri yang baik hati, ia membawaku ke sebuah
bar kecil yang tersembunyi di balik kedua tokonya, tepat di pinggir laut. Aku
menghabiskan makan siang sederhanaku sendirian sambil berusaha memotivasi diri
sendiri untuk melakukan sisa perjalanan yang terakhir. Bar itu bernama "Kafe
Kanibal", dan sebuah tulisan besar berhuruf merah yang mencolok mengumumkan:
"Kami senang sekali Anda datang untuk makan malam".
Sungguh santai sikap cucu buyut para kanibal ini terhadap seni memasak mereka
pada masa lalu, pikirku. Benar-benar tak terbayangkan bahwa orang-orang yang
begitu pengertian, gembira, dan selalu tersenyum ini hanya beberapa generasi
yang lalu akan memasukkan diriku ke dalam panci. Ada sesuatu dalam sikap mereka
yang ramah itu yang menimbulkan asosiasi pikiran semacam itu. Aku selalu merasa
mereka menyukai orang asing, tetapi terkadang aku merinding memikirkan bahwa
mereka mungkin menyukai turis-turis sedikit banyak sama seperti diriku menyukai
bau daging kambing panggang. Ketika orang-orang Fiji itu menyambutku dengan
sapaan "Bula" mereka yang selalu muncul di
segala tempat itu, terkadang aku berpikir apakah mereka akan mulai menjilati
bibir mereka. Aku tidak tahu apakah rasa daging manusia adalah sesuatu yang pada
akhirnya dapat merasuk ke dalam gen. Pertanyaan berikutnya, apakah mereka yang
pada dasarnya memiliki kecenderungan ke arah itu adalah mereka yang lebih
berpeluang bertahan hidup. Mereka yang tidak menyukai daging manusia mungkin
lebih sering kekurangan gizi dan mati karena kekurangan protein, belum lagi
mereka yang dimakan sebelum berhasil memproduksi keturunan. Orang-orang yang
dimakan itu pun telah kehilangan kartu pemilu genetik mereka.
Monumen yang didirikan di date-iine dipromosikan secara mencolok. Di belakang
sebuah tugu batu merah didirikan sebuah plakat vertikal yang menunjukkan sebuah
peta tiga dimensi Taveuni. Plakat itu menggambarkan "Pulau Taman" itu dari
udara; pemandangan yang tidak berani kunikmati saat aku duduk di dalam pesawat
kotak korek api. Di tengah model pulau tersebut yang dilukisi jalanan, danaudanau, dan aliran sungai tergambar sebuah garis dari utara ke selatan, yang
dalam dunia nyata merupakan bagian dari sebuah lingkaran, sebuah potongan dari
garis keliling Bumi. Garis ini terus memanjang melalui kedua kutub, dan garis
itu kemudian menjadi meridian utama yang memotong Greenwich. Di sebelah kanan
garis itu di belahan Bumi dari arah aku datang berjalan kaki adalah hari ini, di
sebelah kirinya adalah esok hari. Di bawah monumen tersebut tertera tulisan:
GARIS PENANGGALAN INTERNASIONAL; TEMPAT SETIAP HARI BARU DIMULAI.
Aku tidak akan mencoba mengusulkan bahwa berdiri dengan satu kaki pada hari ini
dan kaki yang satu lagi pada esok hari adalah sebuah perasaan yang mengguncang
dunia. Tetapi di pantai inilah, pikirku, milenium ketiga akan terbit, dan kini
hanya tinggal dua tahun lagi menuju saat itu. Antena-antena parabola akan
bermunculan bagaikan jamur beracun di salah satu dari begitu sedikit tempat di
dunia berpenghuni yang masih tidak memiliki sambungan televisi. Liputan-liputan
akan ditayangkan dari surga terakhir ini ke dunia luar yang tengah menemui
ajalnya. Dan liputan-liputan yang berasal dari batas luar ketakutan sebuah dunia
yang terluka itu akan menjungkirbalikkan kepolosan pulau ini yang menyerupai
utopia. Aku berpikir: tidak mungkin menyiarkan liputan dari sebuah mimpi tanpa
mengakhiri mimpi itu. Aku teringat akan berita yang pernah kubaca tentang rencana-rencana Fiji untuk
perayaan milenium. Aku selalu menganggap diriku pandai mengamati hal-hal yang
penting, dan ada satu kalimat yang terus kuingat. Ketua Komite Milenium Nasional
Fiji, Tuan Sitiveni Yaqona, pernah mengatakan: "Karena Fiji terletak tepat pada
garis bujur 180?, kami akan merayakan saat pertama tahun 2000 di Bumi, dan kami
telah mempelajari berbagai cara bagaimana milenium baru dapat dirayakan di
Fiji." Dan dalam konteks ini, Fiji berarti Taveuni "tepat pada garis bujur
180?". Aku khawatir dunia akan
melindas pulau tak berdaya ini dalam perayaan gila gilaannya tepat pada saat ?dan tempat masa depan akan dimulai. Semua itu akan terjadi di sini, tepat pada
papan yang menandai perbatasan antara milenium kedua dan ketiga, "saat pertama
tahun 2000 di Bumi".
Selain hasrat mencari "yang terakhir" (the last) dan "yang hilang" (the lost),
kita semua memiliki keinginan tidak sehat untuk menjadi "yang pertama". Walaupun
setelah mempertimbangkan lebih jauh, kusadari bahwa kedua hal itu sama persis.
Ketika Roald Amundsen menjadi orang pertama yang mencapai Kutub Selatan, ia juga
adalah yang terakhir. Ia adalah orang terakhir di Bumi yang dapat menaklukkan
alam liar yang masih murni itu, ini adalah fakta yang diketahui Scott dengan
harga mahal hanya sebulan sesudah Amundsen. Vang pertama akan menjadi yang
terakhir. Hal yang sama juga terjadi pada penaklukan Bulan yang tidak akan dapat
diulang oleh siapa pun oleh Neil Armstrong. Jadi, bukankah ucapannya yang
terkenal kepada Houston mengenai "satu langkah kecil bagi seseorang, satu
lompatan besar bagi umat manusia", merupakan suatu perbuatan yang murah hati
terhadap spesiesnya sendiri"
Di tempat aku berdiri saat ini, pada 1 Januari 2000, mungkin akan ada kerumunan
banyak orang. Persiapan untuk pesta tersebut telah dimulai; aku telah mendengar
ada beberapa program dokumenter TV dan penayangan pendahuluan lainnya tentang
dateline. Kemudian, para "turis tahun 2000" akan
ramai berdatangan bagaikan tangisan putus asa terakhir dari industri perjalanan
yang sebenarnya sudah terlalu sinis. Aku seolah-olah sudah bisa melihat posterposternya: "Rayakan datangnya milenium baru di tiga benua!" Segala jenis tiket
telah lama habis terjual, dan tiket-tiket itu akan semakin mahal. Terlalu banyak
orang di planet ini bersedia membayar beberapa ribu dolar untuk lari dari rasa
malu sosial yang mungkin timbul karena hanya sekali merayakan kedatangan
milenium baru, dan hanya di satu benua.
Aku bersiap-siap memulai perjalanan panjangku kembali ke Maravu. Namun, ketika
baru saja dengan hati-hati melakukan beberapa perhitungan waktu dan jarak,
sebuah jip hitam meluncur mendekati monumen tersebut dan Ana dan Jose melompat
keluar dari dalamnya. Aku merasakan nadiku berdenyut semakin cepat.
Ana menyapaku hangat. Tangannya menenteng sebuah kamera. Ia berkata, "Libby
berkata kami mungkin dapat menemukan Anda di sini."
Aku kebingungan. Lalu, aku pun teringat akan sang peri baik hati dari Waiyevo.
Ana menjelaskan lebih terperinci.
"Ada yang harus kami kerjakan di desa itu. Ketika mendengar Anda baru saja
lewat, kami pikir mungkin Anda membutuhkan tumpangan."
Aku pasti terlihat agak kebingungan. Namun, aku berterima kasih kepadanya atas
tawaran menumpang pulang karena aku telah salah memperkirakan baik waktu dan
berapa kilometer yang dapat
ditempuh kedua kakiku di jalanan yang berdebu itu. Waktu makan malam tinggal dua
jam lagi. Sekali lagi Ana mulai menekan tombol kameranya berkali-kali ke arah monumen,
jip, Jose, dan diriku. Jose menjelaskan bahwa mereka tengah berusaha memeriksa kondisi di pulau itu,
melakukan perjanjian, dan menyelesaikan beberapa persiapan sebelum kembali lagi
tahun ini untuk mengambil gambar bagi sebuah program dokumenter penting mengenai
pergantian milenium. Dokumenter ini akan menjadi bagian dari sebuah program
serial tentang berbagai tantangan yang dihadapi umat manusia saat lahirnya
milenium baru. Ana menunjuk ke sebuah peta pulau itu.
"Di sinilah kita berada sekarang," ujarnya. "Dan di sinilah tempat milenium
ketiga akan bermula, 'Satu-satunya tempat Anda dapat berjalan dari hari ini ke
esok hari tanpa memerlukan sepatu salju'."
Aku pernah mendengar slogan tersebut sebelumnya. Selain dari beberapa buah pulau
lain di Fiji, garis bujur 180? hanya melintasi Antartika dan Siberia Utara.
"Apakah banyak yang tertarik pada film dokumenter semacam itu?" tanyaku.
Jose mengangguk dengan enggan. "Ya, terlalu banyak."
Aku memiringkan kepalaku sedikit, dan ia pun menambahkan, "Kami akan memberikan
semacam peringatan."
Aku ingin tahu apa yang ia maksud.
"Mengenai apa?"
"Dengan satu atau lain cara, pergantian milenium ini memengaruhi seluruh planet,
dan semua orang berpikir mereka berhak hadir dalam kesempatan pertama itu.
Namun, kesadaran bahwa perhatian seluruh dunia tertuju kepadanya dapat menjadi
pengalaman yang sangat traumatis bagi sebuah pulau di Lautan Selatan yang rapuh.
Dari sudut pandang itu, akan lebih baik jika date line terletak di London atau
Paris saja. Walaupun pada masa kolonial memang lebih mudah jika garis tersebut
terletak jauh di tengah semak-semak liar di suatu tempat. Anda mengerti, kan,
Tujuh Tumbal Perawan 1 Pendekar Sakti Welas Asih Jin Sin Taihiap Karya Rajakelana Dendam Sejagad 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama