Sang Penebus Karya Wally Lamb Bagian 15
Martyred Saints (Kehidupan Para Martir).
Aku meninggalkan dia menonton TV di ruang rekreasi, duduk di sofa. Di dinding di
atas kepalanya, terdapat spanduk bertuliskan Harapan Selalu Memancar di HOPE
HOUSE! "Sampai jumpa lagi besok," kataku. Membungkuk dan mencium kepalanya. Aku pulang,
minum setengah botol bir dan mulai tertidur. Tertidur seperti orang mati ....
Dering telepon membuatku terjaga
Hilang" .... Apa maksudnya hilang"
Thomas diperkirakan meninggalkan HOPE HOUSE setelah pukul 2.00 pagi, kata wanita
itu, setelah mereka melakukan pengecekan terakhir. Polisi sudah dihubungi.
Ray sudah bangun saat kutelepon. Aku mampir ke rumah dan menjemputnya saat ke
Hope House. Wanita direktur tempat itu terus-menerus mengangkat kedua tangannya
ke udara, mengatakan ini adalah akibat dari pemotongan dana. Sebelum pemotongan
dana, hal seperti ini tak pernah terjadi.
Jerry Martineau adalah salah satu polisi yang datang. Ray dan aku memberikan
daftar nama tempat yang mungkin didatangi
Thomas tempatnya bersembunyi dulu saat paranoianya kambuh. Martineau bilang dia
?optimis. Thomas baru hilang paling tidak dua jam. Sekitar lima belas atau dua
puluh menit lagi, matahari akan terbit mereka akan segera bisa melakukan
? pencarian. Mereka mungkin dapat bantuan pagi hari nanti, kalau memang perlu. Dia
akan menelepon polisi yang off duty kalau perlu. Mereka akan menemukannya untuk
kami. Aku mengangguk ke Martineau membiarkannya memberikan harapan padaku. Tapi aku ?tahu, Thomas sudah mati. Aku sudah merasakannya sejak turun dari ranjang setelah
menerima telepon itu. Seakan-akan aku menyeret sebagian diriku yang sudah mati.
Ray dan aku pergi ke The Falls, parkir di
pemakaman Indian dan menuju jalan setapak. Itu adalah gagasanku.
Ray mengatakan sesuatu yang tak bisa kudengar.
"Apa?" "Kataku, ayo jalan ke bawah sana. Berjalan di tepi sungai. Kita bisa jalan
sampai kaki jembatan, lalu menyeberang. Menyusuri sisi lainnya."
Aku menggeleng. Aku sadar aku tak mau jadi orang yang menemukannya.
Kami kembali menyusuri jalan setapak, ke tempat parkir mobil dan masuk Escort.
Aku sedang mencari kunci di sakuku, saat Ray mulai kehilangan kendali.
"Aku tahu aku terlalu keras padanya saat dia kecil," kata Ray. "Aku tahu, aku
begitu." Matanya panik, memohon. "Tapi ibumu terlalu memanjakannya; aku hanya
ingin membuatnya lebih tangguh untuk menghadapi dunia." Dia membuka pintu mobil
dan keluar lagi. Berputar-putar mengelilingi mobil. "Yesus," gumamnya terusmenerus. "Yesus."
Polisi menemukan sepatu dan kaus kaki Thomas dulu di pinggir sungai sekitar dua
?ratus yard setelah air terjun. Lalu sebelum tengah hari, dua orang dari tim SAR
menemukan mayatnya, di air sedalam pinggang, tersangkut di dahan pohon yang
tumbang. Thomas hanyut ke hilir sekitar setengah mil. Tubuhnya menghantam
bebatuan cukup parah: wajahnya lecet-lecet dan luka karena terkena
ranting pohon. Ray yang bilang padaku. Dialah yang pergi ke sana dan
mengidentifikasi mayat Thomas. Air bergemuruh di sekitarnya, kata seseorang
padanya; aliran sungai masih cukup deras karena hujan. Kemudian, laporan koroner
memastikan kematian terjadi pada pukul 4.00 setelah teleponku berdering.
?"Kecelakaan," katanya, meskipun sepatu dan kaus kakinya sudah dilepas dulu.
Apakah Thomas terjun atau terjatuh, tak ada yang tahu.
Ketika semua masalah administrasi selesai, hari sudah malam. Ray dan aku duduk
di meja dapur di rumah Hollyhock Avenue dan minum Scotch dari botol yang sama
yang kami minum saat Ma meninggal, empat tahun lalu. Kami berdua awalnya samasama diam, sama-sama kelelahan. Tapi saat gelas kedua, lidah kami mulai melemas.
"Mereka sudah mencoba mengatakan padaku untuk pelan-pelan saja," kataku.
"Petugas sosialnya, dokter. Mereka bilang dia pasti merasa tak aman setelah enam
bulan di sana. Tapi aku lebih tahu daripada mereka semua tentu saja. Akulah sang
ahli .... Kau tahu" Aku ini arogan. Itulah masalahku. Kalau aku tak arogan dia
mungkin masih hidup sekarang. Dia akan baik-baik saja."
Ray mengingatkanku bahwa Thomas tak baik-baik saja sejak dia berumur sembilan
belas tahun. "Benarkah?" kataku. "Yah, itu tak membuatku merasa lebih baik."
Ray berkata seandainya saja dia pergi dan mengunjunginya di Hatch setidaknya
?berusaha ke sana. Tapi setelah apa yang dia lakukan di perpustakaan itu Yesus Kristus,
?memotong tangannya sendiri itu adalah hal yang membuatnya tak mau
? mengunjunginya. "Aku sudah muak," katanya. "Tapi kau tidak. Kau memperjuangkan
anak itu sepanjang hidupnya." Tangan Ray yang besar dan kasar keras karena ?pekerjaan dan perang terulur ke seberang meja. Terangkat di atas bahuku selama
?beberapa detik lalu jatuh ke bahuku. Menekannya. Seakan-akan kami adalah anak
dan ayah. Seakan-akan sekarang setelah Thomas mati, aku bisa melupakan bagaimana
Ray memperlakukannya ....
Aku berdiri, agak pusing karena Scotch, karena sentuhan asing ayah tiriku. "Aku
lelah," kataku. "Tidurlah di sini malam ini," katanya. "Tidurlah di kamarmu dulu."
Kalau aku tak mabuk, aku pasti menolak. Lebih baik pulang ke rumah daripada naik
tangga itu dan masuk ke kamar di sebelah kiri lorong ke Museum Dominick dan
?Thomas. Aku menjatuhkan diri tengkurap di ranjang bawah ranjang Thomas. Ray masuk
?membawa seprai. "Letakkan saja di meja," kataku. "Aku akan memasangnya sebentar
lagi." "Oke," katanya. "Tidurlah. Sudah usai sekarang."
Yang benar saja, pikirku. Meskipun aku mabuk karena Scotch dan kelelahan, aku
tahu itu omong kosong. Malam itu, aku bermimpi kalau aku adalah Thomas yang tenggelam adalah Dominick,
?bukan aku. Aku mendengar kunci berputar, deritan pintu. Pintu selku membuka. "Oh, hai,
Ma," kataku. "Coba tebak" Dominick mati."
Aku terbangun pada pagi hari di ranjang atas ranjangku. Seprai masih di atas
?meja tempat Ray meninggalkannya semalam. Aku tak ingat naik ke atas. Seluruh
kamar diterangi cahaya matahari. Aku berbaring diam, memandang
langit-langit memandang noda cokelat lembap dekat jendela yang sudah ada di
?sana sejak kami kecil. Dan saat aku berbaring di sana, sebuah kenangan kembali melintas kenangan
?paling awal yang pernah kuingat. Aku masih empat tahun. Kenangan itu sangat
jelas, sangat nyata .... Aku seharusnya berbaring, tidur siang karena aku sudah besar. Aku sendirian.
Tidak ada Thomas. Sebelum Thomasku sakit, kami tidur siang bersama di ranjang
besar di kamar cadangan. Ma akan berbaring di antara kami, menceritakan dongeng
tentang kelinci kecil bernama Thomas dan kera kecil bernama Dominick, yang
selalu bikin ulah. Sekarang, Ma terlalu sibuk untuk mendongeng. Dia harus mengecek suhu badan
Thomas dan membawakannya obat serta air jahe. Dia memberiku beberapa buku dan
menyuruhku melihat gambarnya hingga aku mengantuk. Aku benci huruf-huruf di buku
itu: m untuk M a, t untuk Thomas. Aku benci halaman-halaman yang kucoret-coret.
Ma bertanya padaku siapa yang melakukannya dan aku bilang Thomaslah
pelakunya. Thomas adalah anak yang sangat, sangat, sangat, nakal.
Thomasku harus tidur di kamar cadangan sekarang. Aku bisa menggambar untuknya,
tapi aku tak boleh mengambilnya kembali. Aku bisa memanggilnya dari balik pintu,
tapi dia tak bisa menjawab karena tenggorokannya sakit dan dia harus istirahat.
Kemarin dia menjawabku dengan suara yang pelan sekali. Apa dia mengerut" Apakah
dia jadi Thomas kecil sekarang" "Bagaimana rupa Thomas?" tanyaku pada Ma. Dia
bilang Thomas terlihat sama, kecuali dia punya bintik-bintik merah di lehernya
dan di sikunya, dan sesuatu yang disebut dokter sebagai lidah stroberi.
Aku suka Jeli-O rasa stroberi daripada Jeli-O yang hijau. Kalau aku menjilat
atasnya, Ma bilang, "Jangan lakukan itu! Hanya anak nakal yang melakukan itu."
Kemarin aku meieletkan /idahku di cermin. Tak ada stroberi.
Dan aku MARAH pada Thomas. Aku harus disuntik dan itu sakit. Aku ingin Ma yang
mengantarku ke dokter, tapi Ray yang mengantarku. Dia bilang jarumnya tak akan
sakit, tapi ternyata sakit. Saat aku menangis, Ray menekan lenganku dan bilang,
"Kenapa kamu" Kau ini anak yang tangguh atau cengeng?" Kalau Thomas dan aku
menangis, Ray bilang, "Wah, wah, wah, dua gadis cengeng." Itu membuat tangis
kami makin keras. Ma bilang, tadi malam Thomas gemetaran sehingga giginya gemeletuk. "Tunjukkan
padaku!" kataku dan Ma membuat giginya berbunyi klik, klik, klik. Thomas boleh minum air
jahe sebanyak dia suka DAN ada semangkuk Jeli-O di lemari es hanya untuknya,
bukan aku. Kalau aku turun ke bawah, aku akan menjilatnya. Thomasku adalah anak
yang sangat, sangat nakal.
Kalau kau besar, kau tak harus tidur siang. Kau boleh tidur larut dan melihat
acara pertarungan Malam Jumat dan minum. Kalau aku besar nanti, aku akan
memenuhi bak mandi dengan air jahe dan melompat masuk dan minum sepuasku tanpa
sakit. Ketika Ma kecil, dia sakit campak seperti Thomas. Dia harus tidur di ranjang
seharian penuh dan memukulkan panci ke dinding memanggil Mrs. Tusia di sebelah
kalau dia butuh bantuan karena ayahnya tidur .... Anak lelaki dan anak perempuan
kecil bisa mati karena campak, kata Ma. Atau mereka sembuh, tapi jantungnya
lemah. Aku seharusnya tak boleh turun dari ranjang ini hingga selesai tidur siang.
Kalau aku bangun, Ma akan bilang Ray. Tidur siang membuatku kesal. Tidur siang
bodoh. Aku berguling-guling di seprai. Aku adalah hot dog dan selimutku adalah
rotinya .... Sekarang aku berdiri dan ranjangku adalah TRAMPOLIN RAKSASA! Aku
melompat! Tinggi sekali ke Surga tempat Mrs. Tusia tinggal sekarang .... Dia mati.
Dia sudah tua. Beberapa pria datang dan mengambilnya. Tapi aku tak akan
membiarkan para pria itu mengambil Thomasku. Aku akan menembak mereka. Dor! Dor!
Dor! Ma bilang Thomas boleh keluar seminggu lagi, tapi aku tak
tahu seminggu iagi itu kapan. Kupikir mungkin dia mati. Pria di rekaman opera Ma
juga sudah mati dan dia bisa bernyanyi. "Tuan dan Nyonya, Enrico Caruso!"
Rekaman itu dulu milik Papa. Papa juga di Surga.
Kenapa aku tak boleh melihat Thomas" Kenapa aku tak boleh menyentuh gambar yang
sudah dia sentuh" Tidur siang ini membuatku kepanas-an. Dan haus. Aku ingin
minum air jahe dingin Canada Dry.
"Ma! .... Maaaa?" "Apa?"
"Bolehkah aku bangun sekarang?"
"Setelah tidur siang. Sekarang tidurlah!"
Noda cokelat di langit-langit kamar jadi monster. Monster itu akan hidup,
terbang ke lorong dan mendobrak pintu, memakan kakakku. Kecuali kalau aku bisa
menembaknya. Karpet kamarku adalah danau raksasa. Pola bunganya adalah batu yang sampai ke
pinggir. Aku bisa melakukannya. Aku berhasil.
Aku sampai di pintu. Kadang, Ma berkata dia akan bilang Ray kalau aku nakal,
lalu dia tak bilang. Lorong depan kamar adalah sungai bergemuruh. Kau tak bisa
merenanginya. Kau harus terbang di atasnya dengan pesawat terbangmu, Song Bird.
"Bertahaniah, Thomas. Aku akan
menyelamatkanmu!" Aku adalah Sky King. Ini bukan tanganku; ini radioku.
Aku menerbangkan Song Bird di atas sungai bergemuruh itu ke pintu kamar Thomas.
Memandangnya. Mendengarkan.
Aku meletakkan tanganku di pegangan pintu yang berbentuk berlian besar. Pegangan
pintu itu berputar, membuka. Aku masuk ....
Gelap sekali. Tirainya diturunkan. Baunya tak enak. Kipas angin dari kamar Ma
dan Ray diletakkan di jendela, mengirimkan angin sepoi. Aku berjalan mendekati
ranjang. Memandangi Thomas. Aku menyebut namanya di seia suara kipas. "Thomas"
Thomas Birdsey! ... THOMAS JOSEPH BIRDSEY!"
Mulut Thomas tertutup. Aku ingin melihat lidah stroberinya. Dia tidur atau mati"
Thomas menghela napas. Aku mendekat. Dia tidak memakai baju. Aku bisa melihat tulang di balik kulitnya.
Tangannya terangkat ke atas kepala, telapak tangannya membuka ke atas, se-akanakan ada koboi yang berkata, "Angkat tangan!" lalu tetap saja menembaknya.
Gigi gemeletuk, lidah stroberi .... Tiba-tiba aku tahu hal yang belum pernah
kuketahui sebelumnya. Thomas dan aku bukan satu orang. Kami ada dua.
Aku mendekat lagi, membungkuk di telinganya dan membisikkan namaku.
Thomas bergerak. Tangannya bergerak ke arah suara.
"Dominick!" Kami dua orang berbeda. Thomas sakit dan aku tidak.
Dia tertidur. Dan aku bangun.
Aku bisa menyelamatkan diriku sendiri,
Empat Puluh Sat ii 13 Agustus 1949 Istriku dan aku tak pernah membicarakan apa yang dikatakan dottore-bahwa
melahirkan lagi bisa membuat jantungnya berhenti. Ignazia memindahkan bajubajunya ke bawah ke kamar Prosperine dan aku tak berusaha mengklaim apa yang
menjadi hak seorang suami.
Setelah malam Prosperine bercerita, aku menolak makan makanan yang dimasak di
rumahku. Aku bertemu dengan Signora Siragusa, induk semangku dulu. Dia setuju
membuatkanku makan malam untuk empat dolar seminggu dan tambahan lima puluh sen
untuk mendiamkan mulut penggosipnya. Setiap malam saat hendak pergi kerja, aku
berjalan melewati rumah signora dan mengambil kotak makanku. Setiap pagi, di
akhir shift-ku, aku berhenti di sana lagi untuk meninggalkan kotak makanku dan
sarapan di dapur signora. Makan siang biasanya aku lewatkan atau aku beli di
kota makanan 'Mericana tanpa rasa, semua dicelupkan dalam lem kuning yang ?
mereka sebut kuah. Roti mereka terasa seperti kapas bukannya roti.
Ignazia merasa terhina karena aku tak mau makan apa yang dimasaknya. Dia
mengatakan ini dengan cemberut, membanting panci dan menghela napas ke atas tak?pernah berkata-kata. Kami juga tak pernah bicara tentang semua yang diceritakan
Prosperine, meskipun aku yakin mereka berdua berbisik-bisik di belakang
punggungku. Kalau aku bisa mereka tipu sebelum malam itu, kini aku bukan orang
bodoh lagi. Confessione si Monyet saat mabuk telah membuatku berbahaya bagi
mereka berdua. Kalau aku orang 'Mericano aku pasti sudah pergi ke polisi dan melaporkan apa
yang sudah dikatakan Prosperine. Mungkin hukum akan membawa monyet gila itu
keluar dari rumahku dan mengirimnya kembali ke seberang lautan. Tapi seorang
Sisilia tahu bagaimana membuka mata dan menutup mulut. Aku tak mau ada skandal
lagi mencoreng nama Tempesta tak ada jari menunjuk ke casa di due
?appartamentiku sebagai tempat sembunyi para wanita pembunuh. Kadang aku
mengatakan pada diri sendiri kalau Ignazia bukanlah Violetta D'Annunzio, kucing
liar yang binal dan menjebak suaminya agar menelan pecahan kaca. Mungkin
Violetta sudah mendapatkan imbalan atas dosanya dan terkubur di tanah Palermo
seperti yang dikatakan Prosperine. Tapi aku tak bisa memercayai ini sepenuhnya
dan kembali menyadari kebenaran mengerikan itu.
Pada minggu-minggu pertama, bayi sumbing Ignazia menderita coiica dan menangis
siang malam. Ignazia juga menangis dan menderita masalah wanita. Istri Tusia berkata pada
istriku kalau semua masalah itu akan berhenti dengan sendirinya bahwa sang ibu
?dan anak akan tenang setelah anak itu dibaptis.
?"Tak ada battesimo," kataku pada Ignazia. Dia sengaja datang ke atas, ke
kamarku ke kamar tempat dia dulu tidur di sebelahku untuk meminta izinku.
? ?"Kenapa tidak?" tanyanya. "Agar penderitaanku terus berlanjut" Sehingga kedua
bayiku tak mendapatkan belas kasihan Tuhan?"
Aku tak mengatakan pada Ignazia tentang penyucian putraku di meja sepen pada
pagi kelahiran dan kematiannya. Aku takut tindakanku itu membuat Tuhan
marah seorang putra yang dibaptis dengan air cucian piring oleh seorang ayah
?yang melemparkan semen pada pastor, menyepelekan Yesus Kristus .... Kalau aku
sudah membuat anakku tersesat dengan battesimo sesat, aku tak akan mengirim
putriku yang berambut merah ke Surga.
"Aku pernah mengusir dua pastor dari tanah ini," kataku pada Ignazia. "Aku tak
mau jadi seorang ipocrita sekarang dan merangkak-rangkak kepada mereka."
"Kalau begitu, aku yang akan membawanya kepada mereka," katanya. Aku
menggelengkan kepala dan berkata dia harus melakukan apa yang kuperintahkan.
"Ayah egois macam apa yang membiarkan gerbang Surga terkunci bagi anaknya
sendiri?" teriaknya. "Kau berdosa besar!"
"Lebih baik kau tutup mulutmu tentang dosa-dosa-/cu.'" kataku padanya. "Lebih
baik pikirkan dosamu sendiri dosa yang kau lakukan di sini dengan si bodoh
?rambut merah di New York itu dan dosa yang kau lakukan di Italia dulu."
Dia berpaling dan buru-buru keluar kamar. Tapi aku mengikutinya turun tangga
menyeberangi lantai bawah ke ruang belakang. Dia tertelungkup di ranjang,
menangis tersedu. Dari pintu aku memperingatkannya menjelaskan kalau sampai dia
?berani membangkang dan diam-diam membaptis anak itu, dia akan membayar mahal.
"Kalau aku tahu kau merencanakan itu," kataku, "kau dan teman kurusmu akan
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyesal." Meskipun aku tahu rahasia Ignazia meskipun ada benci dan takut di antara kami
?berdua-passione-ku padanya semakin kuat. Mataku tak bisa berhenti memandangnya
berjalan di ruangan. Wajah dan figura-nya merupakan siksaan bagiku. Ratusan kali
sehari, aku mencium mulutnya, mengurai rambutnya, merobek kancing bajunya, dan
mengambil apa yang jadi hakku, tapi semua itu hanya terjadi di immagina-zione ....
Kadang, aku menyiksa diriku sendiri dengan memikirkan foto-foto cabul yang
diambil sang fotografo saat Ignazia masih di Italia membayangkan foto-foto itu ?berpindah tangan dari pria ke pria. Aku merinding membayangkannya, jari-jariku
gatal merobek tenggorokan para pria itu. Istriku di tangan semua
pria kecuali suaminya yang sah! Tapi meskipun aku tersiksa mengetahui adanya
foto-foto itu, aku juga terangsang membayangkannya. Mempunyai gairah yang tak
tersalurkan pada istri yang pembunuh sungguh sangat menyiksa seperti di Neraka!
?Kadang aku bermimpi Ignazia mencintaiku menyerahkan dirinya padaku dengan
?kepatuhan dan penuh gairah seperti istri Sisilia sejati menyerahkan dirinya pada
suami. Aku biasanya terbangun dari mimpi itu dengan celana basah dan bahagia.
Lalu kesedihan menerpaku dan aku akan membersihkan diriku sendiri, mengusap
benihku yang terbuang. Aku juga pernah mengalami mimpi aneh dan mengerikan
tentang Ignazia yang tidur dengan adikku Vincenzo yang sudah mati, sementara aku
duduk di ranjang dan menyisir rambutnya yang panjang. Dalam mimpi itu, aku
bahagia, tidak cemburu, dan terbangun pe-nuh rasa malu karena mimpiku itu. Aku
seakan-akan mendengar Vincenzo menertawakanku dari Neraka.
Kadang kerinduanku akan tubuh istriku menggangguku saat aku kerja dan menjadi
sebuah obsesi yang membuatku tak bisa konsentrasi. Bahkan suara tawa cekikikan
para gadis pemintal bisa merangsang-ku ... bahkan bualan Nabby Drinkwater tentang
kesenangan di rumah pelacuran di Bickel Road bisa membuatku terangsang.
Suatu pagi, keinginanku itu membuatku melewati rumah signora dan ke rumah di
Bickel Road di mana wanita Hongaria gemuk menyimpan para pelacur dan kucingnya.
Rumah itu bau kubis dan kencing
kucing. Aku membayar dan wanita itu memanggil pelayan kurus yang sibuk menggosok
pegangan tangga. "Lewat sini," kata gadis itu, dan aku mengikutinya naik tangga.
Kukira dia mengantarkanku ke seorang pelacur, tapi ketika aku masuk kamar, dia
menutup pintu di belakang kami. Dia tak lebih dari empat belas tahun, lima belas
... belum punya daging seperti wanita dewasa. Sementara aku melakukan urusanku,
ekspresi pelayan itu sama saja seperti saat dia menggosok pegangan tangga itu.
Aku meninggalkan rumah itu, bersumpah tak akan kembali lagi. Tapi aku kembali
lagi dan lagi, setiap kali khawatir akan bertemu dengan Drinkwater Indian
?berengsek yang bekerja di bawahku itu akan tahu bahwa aku juga punya kelemahan
yang sama seperti dia. Bahwa setan yang merasuki adikku Vincenzo juga
merasukiku. Aku selalu memakai gadis yang sama. Dan selalu, setelah aku selesai, aku
memintanya memakai baju dan segera pergi. Aku akan memandang dinding saat dia
berpakaian, rasa malu kembali menerpa setelah ardore-ku terlampiaskan. Lalu aku
beranjak dari ranjang murahan itu, mengancingkan celana dan berjalan ke rumahku
tempat aku tinggal dengan dua wanita pembunuh dan bayi berambut merah yang
mulutnya terbelah dan jiwanya masih ternoda oleh dosa awal.
Suatu hari, tak lama setelah perang selesai, aku membaca berita di koran kalau
si muka anjing Uskup McNulty meninggal karena serangan jantung. Berita mengatakan pastor kurus
Guglielmo telah diangkat sebagai uskup gereja St. Mary of Jesus Chris t -pas
tore Itaiiano pertama. Aku senang mendengar kematian McNulty sekaligus promosi
Guglielmo. Aku tak pernah bertengkar dengan Padre Guglielmo dia hanyalah
?peliharaan si uskup. Dalam hati aku mengucapkan selamat.
Belum ada seminggu kemudian, saat aku pergi ke rumah pemondokan Signora Siragusa
untuk sarapan, aku menemukan Guglielmo menunggu di dapur. Signora tua itu sibuk
dan berkeringat, membuat cake dan fritatta, dan menggoreng adonan dengan minyak
zaitunnya yang terbaik, seakan-akan Paus sendiri yang mampir ke rumahnya.
"Menyenangkan sekali berjumpa denganmu lagi, Temanku," kata Guglielmo. "Sudah
lumayan lama, bukan" Bagaimana kabar istrimu?"
Kukatakan padanya kalau istriku makan cukup dan hidup enak.
"Dan anakmu" Seorang putri, bukan" Dia pasti sudah bisa jalan sekarang."
Aku mengangguk. Disergap, pikirku. Tapi aku berkata dalam hati bahwa aku terlalu
pintar untuk terjebak dalam imboscata seperti ini. Signora Siragusa boleh saja
memasukkan gula sebanyak yang dia mau dalam adonan yang dia goreng itu, tapi aku
tak akan membiarkan anak perempuan berambut merah itu dibaptis.
Dua tahun telah berlalu sejak anak itu lahir. Perang melawan Jerman sudah
dilakukan dan dimenangi dan American Woolen and Textile sudah mencelup semua wol untuk mantel
para pelaut. Istri Tusia dan Signora Siragusa sudah berusaha membujukku tentang
penolakanku untuk membaptis anak itu. Bahkan Tusia sendiri berani menguliahiku
suatu pagi ketika aku duduk di kursinya mendapatkan cukuran gratis. (Tusia
berpikir dia sudah jadi orang sekarang-pezzo grosso di Knight of Columbus dan
Sons of Italy.) "Scusa Salvatore," kataku padanya, di tengah-tengah pidatonya.
"Sebaiknya kau pikirkan urusanmu sendiri sebelum aku memutuskan untuk menaikkan
sewamu." Itu langsung membuatnya diam. Setelah itu, suara yang terdengar
hanyalah suara Caruso yang keluar dari piringan hitam Tusia.
Pada tahun-tahun aku tak ke gereja, wajah Pastor Guglielmo sedikit melebar dan
rambutnya berubah keperakan. Dia mengulurkan tangan padaku. Signora Siragusa
berhenti dari kesibukannya untuk melihat. Kami bertiga menunggu apakah yang akan
dilakukan tanganku. Aku menjabat tangan Guglielmo. Seperti yang kubilang, aku tidak punya masalah
dengan pastor kecil itu yang dulu pernah duduk bersamaku di ruang duduk signora
berusaha menyadarkan adikku, Vincenzo. Yang berubah bukan hanya warna rambut
Guglielmo. Dia sekarang merokok sigaretti, terus-menerus, dan tak lagi
berpenampilan seperti orang yang takut pada dunia. Dia menanyakan kesehatan dan
pekerjaanku dan memanggilku dengan nama panggilan. Aku memberinya selamat
atas pengangkatannya sebagai pastore dan berkata aku berharap uskup tua itu
pergi ke Neraka seperti yang pantas dia dapatkan.
Signora Siragusa terengah dan memukulku dengan serbet, tapi Guglielmo
mengucapkan terima kasih padaku atas ucapan selamatku. "Bolehkah aku duduk
menemanimu sarapan dan sedikit berbincang?" katanya.
"Oh, si, Padre, tentu saja kau boleh duduk dengannya!" kata signora menjawab
untukku. "Duduklah! Duduk dan bersantailah! Aku berharap kau lapar."
"Bicara tentang apa?" tanyaku. "Kalau kau mau bicara tentang battesimo bayi itu,
lebih baik kau diam saja."
Pastor menggeleng. "Aku mau bicara tentang pekerjaan tukang batu," katanya.
"Tukang batu" Memangnya kenapa dengan tukang batu?"
Pastor bertanya pada Signora apakah kami bisa bicara secara pribadi. Nyonya
rumah menuangkan kopi kami, meletakkan piring di depan kami, lalu terburu-buru
keluar ruangan. Guglielmo dan aku menunggu hingga dia pergi.
Awalnya aku mengira kalau dia bicara dengan metafora dan sekarang dia akan ?mulai pidato tentang battesimo, bagaimana tiap 'batu bata' yang diletakkan di
tempatnya adalah jalan menuju Tuhan. Tapi dia mengejutkanku. Pastor itu
membicarakan batu bata yang sebenarnya, juga semen. Gereja St. Mary of Jesus
Christ akan membangun sekolah paroki baru, katanya. Sebuah sekolah gereja sudah
jadi mimpinya sejak dulu, tapi Uskup McNulty tak menyetujui gagasannya dan
menyatakan membangun sekolah terlalu mahal dan membuat pusing. Sejak dulu anakanak sekolah Katolik di Three Rivers harus indekos di New London dan terpisah
dari keluarganya selama hari sekolah. Sekarang, uskup agung mendengar dan
menyetujui rencana Guglielmo. Dia sudah menyewa seorang arsitek dan pekerja dari
Hartford. Tapi uskup agung mengingatkan pastor itu tentang masalah yang
dihadapinya jika proyek itu gagal atau memakan terlalu banyak biaya.
Yang dia perlukan, kata Guglielmo, adalah pengetahuan dan ketelitian seorang
jemaat untuk mengawasi pembangungan sekolah itu dan mewakili kepentingan gereja.
"Aku tak punya pengetahuan dalam bidang itu," katanya. "Dan sekolah itu,
berhasil atau tidak akan menjadi saksi pekerjaanku. Kalau aku menjabat secara
permanen, Domenico, maka sekolah baru itu harus bagus luar dan dalam. Aku datang
untuk minta bantuanmu."
Aku menggigit fritatta, mengunyahnya lagi dan lagi. Menggigit sekali lagi.
"Berapa upah pekerjaan ini?" tanyaku.
Gratis, katanya padaku. Aku harus menyumbangkan waktu dan bakatku. Tapi sekolah
ini akan dibuka dalam dua atau tiga tahun lagi tepat saat putriku menginjak ?usia sekolah. "Itu saja yang bisa kutawarkan sebagai kompensasinya, Domenico,"
katanya. "Aku meminta padamu sebagai
seorang ayah, bukan sebagai pebisnis."
"Ayah adalah pencari nafkah," kataku. "Bekerja gratis tak bisa membawa makanan
ke atas meja." "Tapi," kata pastor, "kita punya mukjizat saat Tuhan menurunkan roti dan ikan
untuk membimbing kita." Dia bilang kalau dia hanya meminta sekitar sejam waktuku
tiap hari. Mungkin aku bisa memeriksa bangunan itu pagi hari dalam perjalanan
pulang dari kerja, atau pada sore hari saat aku sudah bangun tidur. Dia hanya
perlu seseorang untuk mengawasi kemajuan bangunan hari per hari. "Seperti Yesus
yang menjadi pelayan bagi kita semua, aku mencari pelayan untuk sekolah ini,
tempat anak-anak akan diajari firman suci Tuhan," kata Guglielmo padaku.
Karena alasan-alasan tertentu yang tak masuk akal, perkataannya tentang mukjizat
roti dan ikan membuatku teringat pada kisah Prosperine: bagaimana penyihir tua
itu menyihir dua kelinci dari satu kelinci dan membunuh guru sekolah itu.
Kepalaku susah membedakan antara sihir dan mukjizat.
Aku menyelesaikan sarapan dan berdiri. "Terlalu sibuk," kataku padanya.
"Terlalu sibuk atau masih terlalu marah?" tanyanya.
Aku memandangnya, lalu melengos. Dia memintaku duduk lagi, memberinya waktu
semenit lagi. Jadi aku duduk.
"Hari ketika adikmu jatuh dari atap adalah hari yang menyedihkan bagi kita
semua," katanya. "Untukmu. Untukku. Untuk sang uskup juga. Menjelang ajal, dia bicara penuh
penyesalan tentang hari itu dan berdoa pada Tuhan meminta ampun karena telah
mengejek adikmu yang malang, aku juga menyesali kelemahanku hari
itu kegagalanku untuk menengahi, bertindak seperti yang diinginkan Tuhan ....
?Lihatlah padaku, tolong, Domenico. Biarkan mataku memandang matamu."
Sulit sekali untuk memandangnya. Tapi aku memandangnya.
"Di sini, di dapur ini, aku mengulurkan ranting zaitun. Mungkin sudah terlambat, tapi aku melakukannya dengan tulus. Biarkan yang lalu tetap
berlalu. Biarkan kemarahan terkubur dalam-dalam. Ampuni aku, Domenico. Aku
meminta padamu sebagai seorang saudara pada saudara yang lainnya."
Penyebutan kata saudara membuatku melengos lagi. "Aku tak punya saudara,"
kataku. "Polisi menembak satu dan kutukan uskup menjatuhkan yang satunya dari
atap. Dan mengenai sekolahmu, banyak tukang batu lain di sini. Ada Riccordino
atau Di Prima. Ada juga orang Polandia yang tinggal di"
Guglielmo meletakkan tangannya di atas tanganku untuk menghentikan omonganku.
"Dulu kau pernah bilang padaku," katanya, "kalau kau harus meninggalkan
pelajaran menjadi seorang pastor dan belajar menjadi tukang batu karena
kewajiban keluarga."
"Si," kataku. "Aku meninggalkan buku-bukuku,
meninggalkan seminari di Roma, untuk membersihkan masalah yang dibuat adikku
Vincenzo. Tidak ada pilihan lain. Itulah yang diperintahkan ayahku."
"Semua yang terjadi adalah bagian dari rencana Tuhan," kata Guglielmo. "Rumahmu
yang indah di Hollyhock Avenue tak akan berdiri sekarang kalau kau tak mempunyai
pengetahuan sebagai tukang batu. Mengapa kau tidak membiarkan sekolah agama
menjadi jembatan antara pelatihan spiritualmu dulu dan apa yang kau pelajari
saat kau jadi tukang batu dalam mematuhi perintah ayahmu?"
Ketika aku memejamkan mata menahan air mata yang akan jatuh, aku melihat Papa
dan Sisilia juga kehidupanku dulu .... Melihat lagi mata Weeping Vergine yang dulu
memanggilku untuk jadi pastor dan menyelamatkan jiwa manusia. Di antara para
pemuda Italia, akulah yang dipilih Bunda Suci untuk menunjukkan kesedihannya ....
Dan sekarang ... dan sekarang aku tinggal di seberang lautan dan mencelup kain
bukannya menyelamatkan jiwa manusia. Sekarang aku hidup selibat seperti pastor
di rumahku sendiri dan berjalan ke Bickel Road untuk meniduri pelacur kurus
karena satu bayi lagi di dalam perut istriku akan membunuhnya. Duduk di dapur
itu di depan Guglielmo, aku melihat betapa jauh hidupku telah tersesat dari
tujuan sejatiku, dan aku mengusap air mata yang menggenang di mataku.
"Aku bisa saja meminta Di Prima atau Riccordino untuk membantuku, Domenico,"
lanjut Guglielmo. "Aku akan meminta bantuan salah satu dari mereka kalau kau menolak. Tapi kaulah
yang kudatangi pertama kali. Kaulah yang kumintai bimbingan."
Kami bicara lebih dari satu jam pagi itu tak sekali pun menyebut tentang ?pembaptisan anak itu, tapi hanya tentang bangunan dan batu bata. Kami makan
masakan signora dan minum kopinya, lalu membersihkan meja dan melihat cetak biru
yang dibawa Guglielmo. Ketika kami meninggalkan dapur, aku setuju untuk
membantunya. Saat melewati ruang duduk menuju ke pintu depan, Guglielmo dan aku
menerima pelukan dan ciuman Signora Siragusa, dan doanya; dia duduk dan berdoa
dengan rosarionya sepanjang waktu ketika kami di dapur. Dia mendoakan aku,
katanya putra yang selalu dia harapkan menjadi putranya sendiri, meskipun dia
?sudah punya empat putra.
Guglielmo benar memercayai bantuanku dan beruntung mendapatkanku. Di Prima tak
?bisa menyusun batu bata dengan lurus bantuan seperti apa yang bisa dia berikan"
?Dan Riccordino adalah seorang yang pazzu. Tanpa Domenico Tempesta yang
mengawasi, para Yankee dari Hartford itu pasti sudah merampok gereja dan mem-bangun sekolah yang akan roboh jika tertiup angin. Sedangkan pastor malang itu,
dia bahkan tak tahu apa itu kayu kasau, dan bagian mana dari sekop yang
digunakan untuk menyendok semen! Tapi aku tahu. Para pekerja Yankee itu akan
melakukan pekerjaannya dengan benar dan mereka tidak menagih gereja terlalu
mahal untuk sebutir paku selama Domenico Onofrio Tempesta mengawasi.
Pengawasan yang kulakukan dalam pembangun sekolah menuntutku untuk datang ke
sana tiap hari, lalu mengunjungi rumah pendeta atau tempat pembangunan bersama
Guglielmo. Suatu siang, hari Sabtu, dia mengeluarkan arloji sakunya di tengah
perbincangan kami dan berkata dia harus ke sebelah untuk mendengar pengakuan.
Apakah aku, mungkin, mau menemaninya di sana"
Aku menggeleng. "Aku di luar semua itu," kataku.
"Di luar pengampunan, Domenico" Tidak, tidak tak pernah di luar pengampunan ?Tuhan. Yesus mencintai semua domba-dombanya, bahkan domba yang tersesat." Dia
bilang dia sering berdoa semoga kedamaian datang ke rumahku bahwa dia berharap
?doanya akan bisa menyalakan lilin dalam hatiku.
Aku bilang padanya untuk memberikan doa dan lilinnya pada domba-domba yang
rumahnya belum dikutuk oleh monsignore yang tak suci.
"Tapi rumahmu bisa menjadi rumah yang damai," katanya. "Kunci kedamaian adalah
pengampunan." Aku berdiri dan memandangnya berjalan ke gereja tempat para pendosa menunggunya,
tapi aku tidak mengikutinya ke sana. Dia tak tahu apa pun tentang
wanita pembunuh atau bukan. Dia tak tahu banyak tentang rumahku sebagaimana dia
?tak tahu banyak tentang bagaimana cara membangun sekolah.
Tapi sepanjang minggu itu di rumah, di pabrik, bahkan di ruang atas di Bickel
?Road aku ?memikirkan apa yang dikatakan pastor itu bahwa dia berdoa semoga kedamaian
?datang ke rumah Hollyhock Avenue nomor 66-68. Bahwa kedamaian itu mungkin ada.
Aku adalah orang pertama yang datang ke gereja Sabtu minggu depannya. Aku datang
awal dan berharap bisa segera masuk lalu keluar dengan cepat. Aku tak mau
membuat pengakuan bukan yang seperti itu. Terlalu sibuk. Aku mau menanyakan
?satu atau dua pertanyaan pada Guglielmo, pertanyaan yang tak bisa kutanyakan
langsung di depannya saat duduk di meja di rumah pendeta, atau saat berjalanjalan di sekitar lokasi pembangunan sekolah baru. Seperti kerikil di sepatuku,
pertanyaan ini menggangguku. Semakin jauh aku menghindar semakin mereka
menggangguku. Guglielmo terlambat ke gereja siang itu. Seseorang lain datang DiGangi. Aku
?ingat penyapu jalan itu. Lalu masuk seorang pria dan istrinya, sekelompok anak
sekolah. Pintu berderit membuka lagi dan lagi. Kami semua duduk di bangku dan
menunggu. Bapa Guglielmo masuk melalui belakang gereja dan menyalakan lampu. Dia berdeham
saat melewatiku, tapi tidak memandang atau mengatakan halo. Dia masuk ke ruang
pengakuan dan menutup pintu. Yang lain berdiri dan membentuk barisan. Aku tidak.
Biarkan para pendosa itu menumpahkan isi hati mereka, kataku dalam hati. Aku ke
sini tidak untuk mengaku. Aku ke
sini hanya untuk bertanya.
Selama berjam-jam, para pendosa datang dan pergi. Beberapa kukenal. Banyak yang
tak kukenal. Aku sudah tak pernah datang lagi ke gereja itu selama enam tahun.
Saat pukul empat, gereja kosong lagi, tinggal Guglielmo dan aku. Dia duduk di
ruang pengakuan, menunggu. Aku duduk di bangku, mengatakan pada diriku sendiri
agar berdiri, masuk ke sana, berlutut dan menanyakan pertanyaanku padanya. Tapi
akhirnya, saat aku berdiri, aku berbalik dan berjalan ke arah lain, pelan
awalnya dan lalu lebih cepat, menyusuri gang dan keluar ke ruang depan. Aku
membuka pintu kayu yang berat itu keluar ke udara yang segar. Aku terengah?engah, walaupun sepanjang siang aku hanya duduk saja di dalam gereja.
Minggu depannya, setiap kali aku bertemu dengan Guglielmo dan membicarakan
pembangunan sekolah, aku menunggunya menyinggung keberadaanku di gereja Sabtu
minggu lalu bertanya mengapa aku pergi ke pengakuan, tapi tidak mengaku. Dia ?pasti mengenali suaraku, menunggu mendengarkan dosa apa yang ada di jiwa mandor
pembangunan sekolahnya. Aku sudah menyiapkan jawaban untuknya aku sibuk dan dia
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?terlambat siang itu. Lagi pula, aku tak akan mengaku apa yang ada di jiwaku
?adalah urusan-/cu. Tapi dia tidak menyinggung keberadaanku di gereja waktu itu.
Mungkin dia memang tak melihatku. Aku diam saja dan begitu juga Guglielmo.
Di pabrik, suatu malam, Nabby Drinkwater Indian berengsek yang bekerja
?untukku terus-menerus menjatuhkan gulungan benang wol. "Kamu ini kenapa?"
?tanyaku padanya. "Aku tak tahu," katanya. "Lenganku mati rasa."
Lalu matanya mendelik dan dia jatuh mati. Mati begitu saja menjawab
?pertanyaanku dan semenit kemudian dia mati.
Aku tak pernah bisa mengandalkan Drinkwater. Dia malas, licik kelakuannya
?dengan botol minuman telah membuat adikku Pasquale dipecat dari pabrik. Tapi dia
sudah menjadi bawahanku selama lebih dari sepuluh tahun. Pada malam-malam ketika
dia niat bekerja, Indian kurus itu bisa menyelesaikan bagian pekerjaannya dan
bahkan lebih. Dia empat puluh dua dan aku empat puluh dua. Tiba-tiba dia jatuh
berlutut tepat di depan mataku. Aku menangkap tubuhnya sebelum wajahnya
menghantam lantai. Itulah yang kulakukan untuk si berengsek itu.
Hanya sedikit yang datang ke pemakamannya setengah lusin pekerja dari pabrik
?(tak ada bos) dan dua orang pria yang tak kukenal. Istrinya kulit hitam dan dia
punya empat anak setengah kulit hitam dua putra, dua putri. Drinkwater tak
?pernah banyak bicara tentang keluarganya. Aku salah seorang yang mengangkat peti
matinya. Istrinya memintaku datang lewat bos agen pabrik. Apa yang bisa
kukatakan tidak" .... Tak ada pastor di pemakaman, hanya seseorang dalam setelan
?kusut yang bicara. Aku tak tahu apakah orang Indian bisa pergi ke Surga, tapi
kalau mereka bisa, aku yakin
Drinkwater tidak berhasil masuk ke sana. Alasan pertama, dia selalu melanggar
perintah kesembilan dan kesepuluh (menginginkan istri orang lain dan harta). Dia
juga peminum, sering bermasalah dengan polisi. Dia sering pergi ke Bickel Road
dan kadang menyombongkan tentang hal itu saat istirahat makan malam ke pria
?lain, tak pernah padaku. Dia menghormatiku .... Dia mungkin bukan pekerja terbaik
di pabrik, tapi dia juga b-kan yang terburuk. Salah satu menantu pemilik
pabrik salah satu bajingan itu seharusnya datang ke pemakamannya, menunjukkan
? ?sedikit penghargaan. Sedikit ucapan terima kasih atas malam-malam saat dia
melakukan pekerjaannya. Namun begitu, Drinkwater jatuh dan mati, American Woolen
and Textile langsung melupakan bahwa dia pernah hidup dan bernapas.
Sabtu siang selanjutnya, aku kembali ke gereja kali ini tidak sejak awal, tapi
?mendekati akhir waktu pengakuan. Aku menunggu hingga tinggal Guglielmo dan aku
saja yang ada. Tapi sebelum aku berdiri dari dudukku, Guglielmo mematikan
lampunya dan keluar dari ruang pengakuan.
"Oh, Domenico," katanya. "Kukira semua orang pergi. Apa kau datang untuk
mengaku?" "Tidak ada confessione," kataku. "Aku datang untuk bertanya."
"Tentang sekolah?"
Aku melengos. "Bukan tentang sekolah," kataku. "Bukan."
Dia menunggu, tapi aku diam saja. "Baiklah kalau begitu. Lebih baik kau masuk."
Guglielmo masuk lagi ke ruang pengakuan dan menutup pintunya. Menyalakan
lampunya lagi. Di ruang pengakuan, aku berlutut menghadap bayangannya di balik tirai. Tanganku
bergetar di depan wajahku. Guglielmo diam saja. Aku diam saja. Akhirnya, dia
mengatakan padaku karena kami sudah di ruang pengakuan, mungkin aku sebaiknya
menanyakan pertanyaanku dalam konteks pengakuan tradisional. Itu akan memberi
tanda bahwa Tuhan juga mendengarkan, katanya, dan menjamin kesucian dari apa pun
yang akan kukatakan. "Kau setuju?" tanyanya padaku.
"Baiklah," kataku. Lalu aku diam saja.
Dia memulainya untukku. "Ampuni aku, Bapa karena telah berdosa ...."
"Ampuni aku Bapa, karena telah berdosa," ulangku. "Tapi tak sebanyak dosa yang
telah dilakukan orang padaku!"
Bayangan itu meletakkan jari di depan mulutnya. "Untuk mempersiapkan dirimu
menjalani Ekaristi, Domenico untuk bisa benar-benar menyesal kau hanya perlu ? ?melihat jiwamu sendiri. Biarkan para pendosa lain melihat jiwa mereka sendiri.
Kau harus berusaha rendah hati."
"Rendah hati?" kataku. "Percayalah padaku, Bapa, seorang pria yang tinggal
dengan dua wanita pembunuh belajar untuk rendah hati dengan berbagai cara."
"Pembunuh?" katanya. "Mengapa pembunuh?"
"Jangan tanyakan itu," kataku. "Itu urusan rumahku, bukan gereja."
Silenzia. Dan lalu Guglielmo bertanya apakah aku mengerti tentang apa yang telah
dia katakan tentang kesucian pengakuan. "Apa pun yang kau katakan atau tanyakan
di sini hanya antara kau dan Tuhan Bapa," bisiknya. "Aku hanya bertindak sebagai
wakilnya." "Scusa, Bapa," kataku. "Dari mana asalmu" Di Italia?"
"Dari Tivoli," katanya. "Tak jauh dari Roma."
"Ah, Roma," kataku. "Aku pernah tinggal di Roma dulu. Aku melihat bagaimana
kehidupan orang Roma. Di Roma, orang bilang apa yang ada di pikiran
mereka mereka meneriakkan semua masalah mereka dari tangga Coloseum kalau
?mereka suka dan tak ada yang peduli. Tapi aku siciliano. Kebiasaan untuk
menyimpan rahasia dan diam mengalir di pembuluh darahku. Bagi orang-orang dari
tempatmu memang berbeda. Orang Selatan-s/c///an/-menghormati kata-kata Tuhan dan
juga omerta." "Mengapa kau masuk ruang pengakuan, Domenico, kalau tidak untuk mengaku?"
"Aku sudah bilang padamu. Aku ingin jawaban dari dua pertanyaan pertanyaan yang
?membuatku tak bisa tidur .... Dan mungkin aku datang untuk membawa sedikit
kedamaian bagi rumahku untuk melepaskan kutukan bosmu padaku."
?"Domenico, 'bos'ku adalah Tuhan Yang Mahakuasa."
"Kau tahu siapa yang kumaksud; si uskup tua berengsek itu."
Guglielmo dua kali akan mengatakan sesuatu, tapi dua kali juga dia
mengurungkannya. Ketika bicara untuk yang ketiga kalinya, dia menyarankan agar
aku membuat perjanjian dengan Tuhan. Aku harus memutuskan perjanjianku dengan
omerta, kode kerahasiaan. "Tuhan mencari tanda dari keimananmu padaNya di atas
segalanya, Domenico," bisiknya. "Hanya setelah kau memberikannya kau bisa bebas
dari belenggu yang kau buat sendiri."
"Yang kubuat sendiri?" kataku, berniat untuk berbisik, tapi lupa. "Kau ada di
sana pada hari ketika dia mengutuk rumahku. 'Rumah di mana seorang pastor diusir
terkutuk dari puncak hingga dasarnya.1 Kata-katanya masih kuingat jelas. Kau ada
di sana kau juga mendengarnya! Dan lima belas menit kemudian adikku jatuh dan
?mati. Setahun setelah itu, aku menikahi seorang istri yang berzina dengan semua
pria lain, tetapi dengan suaminya yang sah dia seolah sama sucinya dengan para
biarawati dari Sisters of Humility! Pastor Irlandia berengsek itu adalah orang
yang membuat belenggu untukku. Dan kalau keadilan benar-benar ada, dia sekarang
pasti terbakar di Neraka karena apa yang dilakukannya."
Bayangan Bapa Guglielmo membuat tanda salib dan memintaku untuk bicara lebih
pelan. "Domenico, tak ada gunanya bagimu masuk ke rumah Tuhan dan memfitnah
salah satu anakNya," katanya
padaku. "Tapi untuk saat ini, mari kita mengambil jalan lain. Kau bilang ada
pertanyaan yang membuatmu tak bisa tidur. Pertanyaan apa" Ceritakan padaku
keraguanmu dan biarkan aku mencoba membantumu."
Aku membuka tirai dan melihat ke dalam gereja untuk meyakinkan bahwa kami masih
sendirian. Aku tak mau orang menguping urusanku.
"Aku bertanya bisikku. "Aku kadang khawatir kalau aku mungkin telah
menyengsarakan jiwa adikku ... dan putraku."
"Menyengsarakan mereka?" katanya. "Menyengsarakan bagaimana?"
Aku kembali mengeluarkan kepalaku dari ruang pengakuan. Masih tak ada orang di
luar. "Bapa, aku ingat kalau adikku Pasquale punya kelemahan tertentu."
"Kelemahan?" tanya Guglielmo. "Maksudmu kelemahan fisik atau spiritual?"
"Maksudku ...."
"Apa, Domenico" Katakan padaku."
"Padre, apakah berdosa besar seorang pria yang menolak istri dan mendapatkan
kesenangan dari monyet"1
Awalnya tak ada jawaban dari pastor. Dan ketika bicara lagi, dia kembali
menyinggung soal menyengsarakan jiwa. "Sebenarnya mengapa kau khawatir kalau kau
telah mengirim jiwa adikmu ke Neraka, Domenico?"
"Kau ada di sana! Aku melemparkan adonan semen! Kalau aku tidak lepas kendali,
aku tidak akan membuat marah pastor tua itu dan dia tak akan mengutuk rumahku. Lalu
Pasquale tak akan jatuh." Di sini, suaraku jadi sedikit serak, tapi aku terus
bicara. "Setelah adikku Vincenzo ditembak oleh polisi itu, kau berdiri di
samping ranjangnya di rumah pemondokan dan melakukan sakramen terakhir pada
berandalan itu mempersiapkannya untuk perjalanan ke akhirat. Tapi Pasquale yang?malang ... aku mencoba menarik perhatiannya pada seorang istri, Padre. Percayalah!
Dalam hal itu aku jelas tak bersalah. Tapi yang diinginkan Pasquale hanya
binatang peliharaannya yang berbulu itu. Setan sendiri pasti telah mengirim
monyet itu dari Neraka atau Madagaskar! Pada orang lain, aku menyangkal ada halhal yang aneh di antara mereka, tapi diam-diam ... bagaimana keduanya saling
berpandangan .... Siapa tahu apa yang terjadi di ruang bawah tanah signora"
Pompino! Ditaiino! Sejauh yang kutahu, adikku itu mungkin saja berlutut dan
memasukkan barangnya ke celah milik makhluk jelek itu!"
"Sssttt," kata Guglielmo. "Sssttt. Pelankan suaramu, Domenico. Ingatlah saat kau
berbicara bahwa kau ada di rumah Tuhan."
"Sousa, Padre," kataku. "Sousa, please. Di pabrik, kabar burung tak sedap
menyebar. Kadang aku lupa. Scusa lagi, signore. Scusa padamu juga Tuhan. Ampuni
aku." "Teruskan, Domenico," katanya. "Lepaskan bebanmu."
"Dalam hal lain, adikku Pasquale adalah pria yang
sopan sama sekali tak seperti si berandalan Vincenzo. Pendiam dan pemalu. ?Ringan tangan. Oh, dia memang kadang keras kepala; dia kadang minum terlalu
banyak daripada yang seharusnya. Tapi tanpa pengaruh alkohol pun, dia ... dia tak
pernah waras seratus persen. Bahkan saat dia kecil. Dia akan tertawa pada saatsaat yang aneh. Mungkin itu karena pengaruh kerja di tambang belerang sejak
kecil, siapa tahu" Dia adalah caruso ayahku dan Papa sering memukulnya di kepala
karena sesuatu hal. Mungkin itulah yang membuat otaknya kacau .... Tapi dia tak
pernah licik atau kejam, adikku Pasquale itu. Tak pernah perverso juga, hingga
setan berbentuk monyet betina itu memegang zakarnya!" "Domenico."
"Scusa Padre, scusa, maafkan aku. Aku mulai lagi, haha .... Aku mencoba
menghentikan apa yang terjadi mencoba mencarikannya istri untuk mengalihkan
?perhatian Pasquale. Tuhan tak bisa menyalahkanku dalam hal itu .... Oh, punya dua
adik yang mencoreng nama ayah kami seperti itu! Benar-benar beban yang berat
yang harus ditanggung anak sulung! Tapi setidaknya Vincenzo melakukannya dengan
manusia. Tapi berbagi passione semacam itu dengan seekor kera lalu mati tanpa
pengampunan. Aku tak bilang kalau aku tak bersalah, Padre. Kalau saja aku tidak
melempar semen. Seandainya ...."
"Domenico, apa kau pernah melihat adikmu dan monyet itu ... melakukan tindakan
jahat itu?" bisik Guglielmo. "Apakah Pasquale pernah membual atau mengatakan padamu tentang ini"
Apa kau hanya berspekulasi tentang ini, apa kau punya bukti?"
"Pasquale hampir tak pernah bicara," kataku. "Kau bisa bekerja dengannya
sepanjang hari dan tak mendengar apa pun keluar dari mulutnya kecuali sendawa
setelah makan. Dia orang yang sangat tertutup .... Sedangkan mengenai bukti, suatu
pagi ketika aku turun ke ruang bawah tanah untuk membangunkannya itu adalah
?kebiasaanku saat kami tinggal di pemondokan: membangunkannya untuk pergi kerja
ketika aku pulang untuk tidur. Suatu kali aku melihat ... aku melihat .... Scusa,
Padre, tapi aku belum pernah mengatakan apa yang kulihat pagi itu."
"Katakan padaku, Domenico. Apa yang kau katakan adalah antara kau dan Tuhan,
yang mencintai semua pendosa."
"Pasquale tertidur di ranjangnya dan tersenyum. Monyet itu duduk di perutnya dan
memainkan ... memainkan kancing celananya."
"Tapi Domenico, kalau itu saja yang kau"
"Scusa, Padre, biar aku selesaikan dulu." Aku membisikkan kelanjutannya, karena
aku sangat malu. "Pasquale mengalami cazzu duro. Monyet itu ... merangsangnya."
Bapa Guglielmo berdeham. Sekali, dua kali, tiga kali. Lalu dia diam selama
beberapa saat seperti Pasquale. "Dan itu saja buktimu?" tanyanya.
"Itu, dan gosip yang dikatakan setiap italiano di Three Rivers, Connecticut.
Suatu kali, di jalan, Colosanto di tukang roti bertanya padaku apakah benar monyet kecil itu memainkan
pipa adikku!" "Gosip adalah pekerjaan setan, Domenico," kata sang pastor.
"Si, Padre, tapi kalau berkaitan dengan adikku dan monyet itu, banyak rekan
sebangsaku yang dengan senang hati membantu pekerjaan setan itu!"
"Tapi, Domenico, yang kau lihat di ruang bawah tanah signora itu tak bisa jadi
bukti sebuah dosa. Sudah alami bagi pria untuk ... terangsang saat tidur."
"Si, Padre, memang alami."
"Tapi tentu saja, itu tak begitu alami ketika seekor monyet memainkan kancing
celananya." "Si, Padre. Sangat tak alami kafau itu terjadi."
Guglielmo diam selama beberapa detik dan dalam kediaman itu, di balik tirai yang
memisahkan kami, aku hampir bisa mendengar otaknya berputar. "Namun demikian,
Domenico," katanya menghela napas, "adikmu mungkin saja tak bersalah dan tak
melakukan tindakan tak bermoral seperti yang kau bayangkan. Dia mungkin saja
meninggal tanpa ada jejak dosa di jiwanya. Kau sendiri yang mengatakan kalau
Pasquale adalah orag yang baik murah hati, ringan tangan membantu kakaknya ?mewujudkan mimpi."
"Si, Padre," bisikku, "tapi apa yang dia impikan pagi itu ketika si monyet
memainkan pipa di celananya" Apa yang dia berikan pada makhluk jorok itu?"
"Kau harus ingat, Domenico, kalau Pasquale
adalah anak Tuhan. Biarkan pikiran itu menenangkanmu. Mungkin ... mungkin dia
hanya mencintai makhluk Tuhan yang lain seperti Santo Francis. Berpikir yang
lain hanya berdasarkan apa yang kau lihat"
"Seluruh kota menertawakannya!" potongku. "Pada kami berdua! Lelucon kasar!
Ucapan cabul tentang mereka berdua membuat bayi bersama .... Apakah kakak Santo
Francis pernah dibilang 'paman si monyet' dan ditertawakan di tukang pangkas?"
"Hal-hal yang dikatakan orang tidak membuat adikmu"
"Bahkan uskup sialan itu juga menuduhnya yang menganggap dirinya utusan Tuhan!
?Jangankan semen aku seharusnya melemparkan batu ke kepala bajingan itu! Kalau
?Pasquale di Neraka, maka pastor itu pasti di tempat yang lebih buruk."
"Domenico!" kata Bapa Guglielmo. "Aku mengingatkanmu lagi kalau dosa mendiang
uskup dan keselamatannya adalah antara Tuhan dan dia. Demikian juga dengan
adikmu. Mengira hal buruk terjadi pada yang satu dan menginginkan hal buruk
lainnya terjadi pada yang lain, sama saja dengan beranggapan bahwa kau bisa
menggantikan Tuhan. Rendahkan dirimu, Manusia! Berdoalah untuk kerendahan hati.
Kalau kau mencari pengampunan, kau harus rela merendahkan dirimu."
"Aku mencari jawaban untuk dua pertanyaanku," kataku mengingatkannya.
"Pertanyaanku tentang Pasquale dan pertanyaanku tentang putraku yang mati."
"Tanyakan pertanyaanmu kalau begitu. Tanyakan langsung."
"Apakah aku mengirim adikku ke Neraka karena melemparkan semen?"
"Tidak, karena kau tak punya kekuatan untuk melakukan itu. Hanya Tuhan yang
punya kekuatan menghukum atau menyelamatkan pendosa. Apa pertanyaanmu yang
lain?" "Bayi yang mati saat lahir ketika anak perempuan itu juga lahir" Putra istriku
dan aku Di sini aku harus berhenti.
"Hari itu pasti sangat berat bagimu dan Ignazia," kata Guglielmo akhirnya.
"Kematian dan kehidupan kebahagiaan dan
?kesedihan bersamaan."
?"Tidak ada kebahagiaan," kataku. "Apa bahagianya memeluk putramu yang mati dan
melihat istrimu melahirkan buah dosanya dengan pria lain" Di mana kebahagiaan
mengetahui istrimu adalah puttana pria lain?"
"Kata-kata yang kasar," kata Guglielmo. "Tuduhan yang sangat serius. Menyebut
istrimu pembunuh dan sekarang pelacur
"Itu urusanku," kataku mengingatkannya. "Pertanyaanku bukan tentang Ignazia.
Tentang anak lelaki yang mati itu."
"Tanyakan kalau begitu, Domenico."
Aku mengisahkan cerita malam mengerikan itu: bagaimana Prosperine menemuiku di
pabrik dan bagaimana aku menolak memanggil dottore. Aku mengisahkan bagaimana
aku menemukan bayi lelaki
itu di meja sepen sementara Ignazia melahirkan bayi perempuannya bagaimana aku,?yang pernah mengusir seorang pastor dari tanahku dan meninggalkan gereja,
membaptis putraku yang telah meninggal dengan air cucian piring dan minyak
goreng. Siang harinya, kataku, aku menyebut Tuhan sebagai monster.
"Apa pertanyaan yang ingin kau ajukan, Domenico?"
"Aku takut bisikku, "aku takut kalau aku
telah menyengsarakan jiwa putraku selamanya dengan melakukan pembaptisan yang
terlarang. Itulah kekhawatiran yang membuatku tak bisa tidur, bahkan ketika aku
sangat kelelahan sekalipun. Apakah aku sudah menghalangi darah dagingku sendiri
masuk Surga dengan membaptisnya memakai air cucian di rumahku yang tak
berTuhan?" Bapa Guglielmo mendekat ke tirai. Bibirnya menyentuh tirai itu saat dia bicara.
"Ketika melakukan itu, kau bertindak sebagai tangan Tuhan, seperti aku bertindak
di sini hari ini sebagai utusanNya untuk mengampuni dosa-dosamu. Kondisi jiwamu
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saat kau melakukan pembaptisan itu bukanlah masalah. Kau bisa melihat perbedaan
antara melayani Tuhan dan mengira kau bisa menggantikan Tuhan bukan?"
Aku diam saja. "Biar kujawab pertanyaanmu secara langsung," katanya. "Kau tidak menyengsarakan
jiwa putramu. Tindakanmu membuat bayi itu terlepas dari ketidakpastian dan
meletakkannya di tangan Yesus
Kristus, penyelamatnya. Yang akan melindunginya selamanya. Pembaptisan bayi itu
sah." Mendengar kata-kata itu, aku tersengal dan menyandarkan kepalku di dinding ruang
pengakuan. Guglielmo bertanya apakah aku pernah me ngatakan pada Ignazia tentang
?pembaptisan yang kulakukan di meja sepen pagi itu.
"Aku tak mengatakannya kepada siapa pun," kataku. "Hingga sekarang. Di sini."
"Kau harus pulang dan mengatakan pada istrimu bahwa anak itu sudah dibaptis. Itu
akan membuatnya tenang mendengar bahwa putranya bersama Tuhan bahwa anaknya
?yang mati aman bersama Yesus. Lalu kau harus membawa adik anak lelaki itu"
Aku mulai menangis. Aku tak tahan, tak bisa berhenti, bahkan walaupun seluruh
gereja tiba-tiba dipenuhi orang yang menontonku. Sedu sedan dan erangan yang
keluar dari mulutku sore itu pasti hampir menggoyangkan patung-patung suci dari
dudukannya. Aku tak punya kebanggaan hari itu, hanya rasa malu.
Bapa Guglielmo keluar dari ruang pengakuan dan berdiri membuka tirai untukku.
"Keluarlah," katanya.
Dia membimbingku ke bangku terdekat, lalu aku duduk dan menangis di kedua
tanganku dan ke lengan mantelku, ke saputanganku, saputangan Guglielmo. Padre
itu duduk dan menunggu, tangannya merangkul bahuku.
Saat aku bisa bicara lagi, aku melepaskan diriku dari Sisilia menghancurkan ?sumpah omerta menjadi
berkeping-keping dan mencurahkan seluruh hidupku. Dengan cepat dan gila aku
bicara, tanpa aturan, tak masuk akal. "Pelan," Guglielmo terus berkata padaku,
tapi aku tak bisa pelan. Lenganku bergerak ke sana kemari, tinjuku menghantam
bangku. Satu menit aku berteriak dan menit selanjutnya aku berbisik. Aku
mengatakan padanya bagaimana Patung Perawan menangis di hadapanku saat aku kecil
dan bagaimana ayahku mencerabutku dari sekolah agamaku sehingga aku bisa
membereskan masalah cabul Vincenzo. "Itulah yang membuatku tersesat ke jalan
dosa!" teriakku. "Dan sekarang anak muda dari Giuliana yang pernah dikunjungi
Bunda Suci adalah pria yang mengunjungi rumah pelacuran di Bickel Road." Aku
bercerita bagaimana aku memukul Ignazia pada malam perkawinan kami dan bagaimana
magistrate-sialan di Giuliana itu merampas medagiia emas ayahku yang seharusnya
jadi milikku. Aku mendeskripsikan teriakan monyet adikku saat aku melemparnya ke
sungai dan teriakan ibuku pada hari ketika aku dan kedua adikku meninggalkannya
di Sisilia. Apakah berdosa, tanyaku pada pastor itu, kalau seseorang
menginginkan hidup yang lebih baik" Aku sudah keberatan harus membawa dua adik
ke Amerika, haruskah aku membawa ibuku" Ibu yang kemudian berbalik dan
berkhianat, membawa pria yang telah menghina dan menghancurkan ayahku ke
ranjangnya" Aku mengatakan pada Guglielmo bahwa selama perjalanan ke ia 'Merica
beberapa kali aku berniat bunuh diri dan bahwa istriku dan temannya
telah membunuh artiste lukisan kaca di Italia dulu. Aku menceritakan lagi kisah
gila si Monyet tentang si penyihir Ciccolina dan sihir hitamnya membelah satu
?kelinci jadi dua kelinci. Berdosakah, tanyaku padanya, melindungi dua wanita
pembunuh" Aku mengatakan bagaimana Prosperine sialan itu mengancam akan memotong
buah zakarku kalau aku menyentuh istriku. Istriku sendiri yang kunikahi dengan
tulus dan kuberikan rumah layaknya istana! Istriku sendiri!
Selama satu jam mungkin lebih, aku tak tahu aku mengakui semua dosaku dan
? ?mendaftar semua dosa yang dilakukan orang lain padaku. Semua keluar dari diriku
seperti racun seperti lahar yang bergemuruh dan muncrat dari kawah Etna!
?Berkali-kali Guglielmo memotongku dengan mengajukan pertanyaan demi pertanyaan
saat dia bingung memilah-milah nama dan lokasi ceritaku dan mengingatkanku lagi
dan lagi bahwa untuk mendapatkan pengampunan aku harus mengakui kesalahanku
sendiri, bukan mendendam terhadap kesalahan orang lain padaku.
Saat aku berhenti, suaraku serak karena air mata dan kebanyakan bicara. Siang
sudah berganti malam dan kelelahan yang sangat kuat seperti yang belum pernah
kurasakan merayap di tulang belulangku. Gereja sangat sunyi dan tenang. Yang
terdengar adalah suara uap yang keluar dari pemanas, dan api lilin-lilin nazar
yang bergoyang-goyang di sisi altar. Aku ingat, aku terpaku oleh keheningan itu.
Guglielmo bicara. Kunci kedamaian jiwaku, katanya, bukanlah membuang kepahitan dan kegetiran yang
kurasakan. "Pada saat-saat terakhirnya, ketika Yesus sekarat di salibnya, Dia
memandang ke Surga dan berkata, 'Maafkan mereka, Bapa, karena mereka tak tahu
apa yang mereka lakukan.' Kau harus meniru Yesus setiap hari, Domenico,
memaafkan semua orang yang kau rasa telah berbuat salah padamu. Kau harus
memaafkan mendiang uskup karena kemarahannya, adikmu Vincenzo karena nafsunya,
tukang es karena ejekannya, magistrate-karena mengambil medali ayahmu. Kau
bahkan harus memaafkan pelayan rumahmu karena ancaman dan resep membunuhnya ....
Tapi yang paling utama, Domenico, kau harus memaafkan istrimu."
"Memaafkan wanita yang hidupnya adalah sebuah kebohongan?" protesku. "Dia bilang
padaku bahwa ia vergine! Dia bersekongkol membunuh suaminya sendiri! Aku bahkan
tak percaya makanan yang dimasaknya!"
"Berfokuslah pada kebaikan dalam dirinya, Domenico, bukan dosanya," kata
Guglielmo. "Maafkan dia dan dia akan menunjukkan kebaikan yang dia simpan dalam
hatinya dan belum dia tunjukkan. Dan kalau kau melihat dalam hatimu sendiri, kau
akan menemukan cinta untuk putri yang telah kalian ciptakan bersama. Kalau saja
kau mengizinkan putrimu dibaptis, maka"
"Aku sudah menguburkan anak yang kubuat
bersama Ignazia," kataku mengingatkannya. "Dia membuat anak perempuan itu dari
zina dengan Irlandia pemalas berambut merah. Tidak ada darah di seprai! Dia
mengandung putraku dan anak orang lain di perutnya bersama! Mungkin itulah
sebabnya putraku mati. Terlalu penuh di sana!"
Bapa Guglielmo menghela napas. "Istrimu bukanlah kucing liar, Domenico,"
katanya. "Tak mungkin dua anak yang dikandung bersama mempunyai ayah yang
berbeda." "Anak perempuan itu berambut merah seperti Irlandia berengsek itu dan iabbro
ieporino!" kataku. "Tuhan memberi anak itu tanda dua kali karena dosa-dosa
ibunya!" "Domenico, setiap anak di dunia ini adalah sebuah kesempurnaan bukti nyata ?cinta Tuhan," Guglielmo mengatakan bibir sumbing bayi itu membuktikan bahwa kita
tak bisa memahami sepenuhnya kearifan kehendak Tuhan dan rambut merah anak itu
hanya membuktikan kalau Ignazia atau aku pernah punya leluhur berambut merah.
"Atau, mungkin," lanjutnya. "Tuhan sedang menguji keimananmu. Singkirkan
keraguanmu dan rangkul anak itu. Dia anakmu. Cintailah putri yang dianugerahkan
Yesus padamu sebagaimana kau mencintai putra yang telah dipanggil-Nya kembali ke
Surga. Izinkan aku membaptis anak itu, Domenico untuk membersihkan dosa
?awalnya. Terimalah kehendak Tuhan dan rumahmu akan dipenuhi berkah dari Roh
Kudus." Kukatakan padanya aku tak akan pernah bisa
mencintai putri yang bukan putriku, meski demi keadilan aku telah memberikan
kehidupan yang cukup untuknya dan ibunya. "Mereka tinggal di rumah yang di
mejanya selalu ada makanan, bukan" Dan hangat saat musim dingin" Dan kamar mandi
di dalam?" " "Mereka tinggal di rumah tempat pemaafan di-belenggu," kata Guglielmo.
"Pada hari-hari yang dingin pada bulan Januari, lebih baik hangat daripada
dimaafkan." "Dan lebih baik lagi kalau keduanya," katanya lagi. "Domenico, kau harus
mendengarkan aku. Pengampunan adalah tanah subur tempat cinta bisa tumbuh. Dan
cintalah, bukan sakit hati, yang akan membuat rumahmu diberkati Tuhan." Dia
bertanya apa aku ingin dibebaskan dari kesedihanku atau aku ingin terus
menanggungnya. Kukatakan aku menginginkan kedamaian di rumahku dan di hatiku dan tidur saat aku
lelah. "Kalau begitu, bawa istri dan anakmu ke Misa besok pagi," kata Guglielmo.
"Terimalah Ekaristi. Dan Minggu paginya, bawa Ignazia, putrimu, dan sponsor ke
sakristi sehingga aku bisa membuat putrimu menjadi anak Tuhan sebagaimana
kakaknya di Surga. Hari itu, undang aku makan malam di rumahmu. Aku akan datang
dan memberkati rumahmu 'dari puncak sampai dasarnya', dan bersyukur pada Tuhan
atas makanan yang diletakkan oleh para wanitamu di depanku. Aku akan memakan apa
pun yang mereka siapkan, membaginya denganmu, dan bersyukur pada Tuhan
atas rahmat yang telah Dia berikan."
Penebusan dosaku, lanjutnya, harus dua kali lipat. Pertama aku harus melakukan
doa rosario setiap hari selama sebulan, mulai hari itu juga. Saat berdoa, aku
harus merenungkan kata-kata 'sebagaimana kami memaafkan mereka yang melakukan
kesalahan pada kami'. Saat aku berdoa Bunda Maria, aku harus merenungkan frasa,
'berkatilah buah dari rahimku'. Aku harus mengingat bahwa Bunda Suci hidup dalam
diri tiap wanita dalam Ignazia dan Prosperine dan juga para pelacur di Bickel ?Road, masing-masing mereka, Tuhan akan menyelamatkan jiwanya.
Penebusan dosaku yang kedua adalah sesuatu yang tak biasa, kata Guglielmo yang
?akan menuntutku menggunakan pikiran cerdasku, bakatku dalam bahasa, dan
pendidikan agama yang pernah dikaruniakan Tuhan padaku. Aku harus mencatat
dengan kertas dan pena semua yang kukatakan padanya siang itu. "Kau harus
menuliskan kisah hidupmu," kata Guglielmo. "Bukan dengan cara tak beraturan
seperti tadi, tapi secara teratur. Mulailah sejak awal, tempatkan yang tengah di
tengah dan tuliskan kehidupanmu yang sekarang di akhir. Tinggalkan omerta dan
datanglah pada Tuhan. Tuliskan kenanganmu, Domenico, dan saat kau melakukannya,
renungkanlah kehendak Tuhan agar kau mengampuni mereka yang berdosa padamu
seperti Dia mengampuni semua pendosa. Dengan cara ini kau akan bisa menguraikan
simpul-simpul kemarahan dan kesombongan yang membelenggumu
dan membuatmu menderita. Kau akan meneladani Yesus dan mulai menemukan
kerendahan hati." Kukatakan padanya bahwa bahasa Inggrisku tidak terlalu bagus bahwa aku bisa
?membaca dan bicara, tapi kurang ahli dalam menulis. Guglielmo bilang kalau Tuhan
memahami semua bahasa, tidak hanya Inggris. Aku bisa menuliskan perenunganku
dalam bahasa ibuku kalau aku mau baik bahasa Italia berpendidikan yang
?kupelajari di sekolah atau dialek Sisilia yang kugunakan saat kecil. Yang
penting, kata Guglielmo, bukan bagaimana aku menulisnya, melainkan aku bisa
menyelesaikan penebusan dosaku dengan tulus.
Aku memprotes dengan alasan aku sibuk aku bekerja sepuluh jam sehari, mengurus
?rumah, dan mengawasi agar para pekerja yang dia sewa tidak menipunya. Aku
bertanya berapa banyak pendosa yang mengaku hari itu dan diberi penebusan dosa
dua kali lipat. "Jangan pikirkan pendosa lainnya," katanya. "Penebusan dosa mereka adalah urusan
mereka dan penebusan dosamu adalah urusanmu. Berdoalah doa rosario dengan
kerendahan hati dan temukan waktu setiap hari untuk berkontemplasi dan merenung
melalui tulisanmu. Dan kalau kau sudah menyelesaikan menulis sejarah hidupmu,
meditasimu, biarkan aku membaca pikiran yang telah kau tulis. Aku akan
membantumu, Domenico. Merenung akan membantumu agar tak tersesat lebih jauh.
Kedamaian yang kau dambakan akan datang padamu dan ke rumahmu. Kau akan tidur
nyenyak pada malam hari, dan kalau waktunya tiba kau akan tidur dalam kedamaian
abadi. Tuhan menganugerahkan padamu kehendak untuk mengikuti perkataanku ataupun
tidak. Keputusan ada di tanganmu. Sekarang, malam sudah larut. Ucapkanlah dosa
Pertobatan." Aku tak ingat bagaimana memulainya.
"Oh, Tuhan, aku benar-benar menyesal Guglielmo mengajariku.
"Oh, Tuhan, aku benar-benar menyesal ulangku; lalu berhenti.
"Karena telah melanggar perintahMu."
"Karena telah melanggar perintahMu."
"Dan aku muak terhadap semua dosa-dosaku karena ...."
"Karena ...." "Karena aku takut kehilangan Surga-Mu dan aku takut siksaan Neraka, tapi yang
paling utama ...." "Tapi yang paling utama ... tapi yang paling utama ... karena dosa-dosaku itu
membuatMu marah Tuhan, Yang Maha Pengasih dan pantas mendapatkan seluruh
kasihku. Aku bertekad dengan anugerahmu untuk mengakui dosa-dosaku, melakukan
penebusan dosa, dan ... dan aku lupa selanjutnya."
"Dan memperbaiki hidupku."
"Dan memperbaiki hidupku."
"Amin." "Amin." Ketika aku pulang ke rumah dari gereja malam itu, aku masuk ke dapur. Bayi itu
sedang tidur di buaiannya di dekat kompor. Ignazia dan Prosperine duduk di meja
sedang makan malam. Aku ingat masakan malam itu adalah Minestrone. Minestrone
dan roti yang masih hangat. Roti sebenarnya bukan roti kapas buatan orang ?Amerika yang kubeli di kota. Uap sup membuat jendela dapur berembun.
Aku duduk di meja dengan mereka berdua. "Ambilkan aku makanan itu," kataku pada
Prosperine. "Baunya enak."
Prosperine memandang ke Ignazia dan Ignazia balas memandangnya. Lalu dagu
Ignazia bergetar sedikit dia menahan air mata. Dialah yang berdiri dan
?mengambilkan sup untukku. Dan kami bertiga duduk di meja dan makan. Sup dan
roti. Itu adalah makanan pertama yang kumakan di rumahku sejak malam Prosperine
mabuk karena anggurku dan mengisahkan cerita gilanya. Sup itu enak pas rasanya.
?Istriku, semoga dia beristirahat dalam damai, selalu bisa menambahkan sedikit
ini dan sedikit itu dan membuat zuppa yang enak.
15 Agustus 1949 Anak itu akhirnya dibaptis sebagai Concettina Pasqualina, untuk mengenang Mama
dan adikku Pasquale. Tusia dan istrinya menjadi gombare dan madrina. Seperti
yang dia janjikan, Bapa Guglielmo datang setelah pembaptisan dan memberkati
rumahku. Dia pergi dari ruangan ke ruangan (bahkan juga kamar mandi di ujung
tangga), menggumamkan doanya dalam bahasa latin dan memercikkan air suci dari bejana kecil yang
dibawanya. Dia memberkati ruang bawah tanah terakhir, berdiri tepat di tempat
Pasquale jatuh dan mengangkat kutukan uskup. Lalu dia kembali ke atas ke meja di
ruang makan dan memakan apa yang telah disiapkan Ignazia, Prosperine dan Signora
Tus'\a-antipasto, pisci, cavateiii, viteiia dengan kentang panggang. Yang
terbaik dan banyak. Aku membeli daging itu dari Hurok sendiri. "Dia sibuk di
belakang," kata putranya padaku. "Aku bisa membantu Anda, Mr. Tempesta." Tapi
aku menyuruhnya memanggil ayahnya. "Berikan daging terbaik di tokomu," kataku
pada Hurok. "Yang kau jual hanya pada para bos." Dia bilang daging yang terbaik
harganya lebih mahal. Aku bilang padanya ambilkan saja dagingnya dan biar
uangnya jadi urusanku. Dagingnya sangat bagus. Mudah diiris seperti mentega.
Tapi kurang lembut. Madonna! Yahudi licik itu bahkan memberi harga tiga puluh
lima sen satu pon. Aku membuka tabungan di Dime Bank Three Rivers untuk Concettina (dua puluh lima
dolar) dan menyuruh Ignazia memesan kereta bayi dari katalog Sears dan
Roebuck's. Ada dua kereta bayi di halaman yang sama yang satu lebih murah, yang
?satu kualitasnya lebih bagus, tapi terlalu mahal. "Yang mana yang harus
kupesan?" tanya Ignazia.
"Pesan yang bagus dan kuat," kataku. "Memangnya apa yang kau pikirkan" Bahwa aku
ingin benda itu hancur berantakan di jalan dengan anak itu di
dalamnya" Gunakan otakmu!"
Carrozza dari Sears dan Roebuck's itu membantu menghilangkan sedikit sifat
pemalu Ignazia di sekitar wanita 'Mehcana di Hollyhock Avenue. Concettina
berambut merah dan bibirnya sumbing, tapi dia diberkahi dengan disposizione yang
manis dan pemalu yang kadang mengingatkanku pada adikku Pasquale. Para wanita
tetangga biasanya akan berkunjung dan menengok anak itu dan membicarakan anakanak mereka sendiri dengan Ignazia. Kunjungan-kunjungan ini kemudian disusul
undangan minum teh ke rumah tetangga dan berjalan-jalan ke kota untuk belanja.
Ignazia melaporkan setiap percakapan kecilnya padaku. Wanita ini bilang begini!
Yang itu begitu! Aku mendorong pergaulannya itu. Itu membuat Ignazia berlatih
bahasa Inggris dan mengurangi pengaruh dari wanita yang satunya. Semakin istriku
merasa nyaman dengan wanita baik-baik itu, maka dia akan semakin terbebas dari
temannya yang gila yang merokok pipa dan statusnya di bawahnya itu.
Dia dan Prosperine masih tidur di kamar belakang bersama, tapi sekarang Ignazia
mulai menunjukkan pada temannya itu siapa yang menjadi nyonya rumah dan siapa
yang pelayan. Suatu pagi, ketika aku pulang kerja, aku masuk melewati pintu
depan dan mendengar Ignazia dan Prosperine sedang berdebat. Aku mengikuti arah
suara mereka hingga ke kamar belakang. "Ada apa?" tanyaku pada istriku.
"Tak ada apa-apa," katanya melotot pada Prosperine. "Aku hanya ingin beberapa
orang tahu tempat mereka, itu saja. Saat aku memberinya uang dan menyuruhnya pergi ke pasar
dan membeli keju satu pon, maksudku adalah sekarang, bukan saat dia ingin."
Aku mencengkeram lengan Prosperine dan menyeretnya ke depan Ignazia. Mereka
berdua saling tak mau memandang. "Ini istriku dan padrona rumah ini," aku
mengingatkan si Monyet. "Kami memberimu tempat untuk tidur pada malam hari
karena kau harus mematuhi perintahnya pada siang hari. Kalau dia bilang padamu,
'Belikan aku keju,' maka pergilah dan beli. Kalau dia bilang, 'Jilat kotoran di
sepatuku,' maka jilatlah. Atau kau akan menemukan dirimu tidur di luar dan
kedinginan. Mengerti?"
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si Monyet cemberut, tak berkata apa pun. Aku menekan lengannya sedikit lebih
keras. "Mengerti?" tanyaku lagi.
"Sudahlah, Domenico, lepaskan dia," kata Ignazia. "Ini urusan kami, bukan
urusanmu." "Apa pun yang terjadi di dalam rumahku adalah urusanku," kataku padanya.
"Apapun. Dan kalau dia tak suka, dia bisa membereskan barangnya dan pergi dari
sini." Kemudian aku mengeratkan peganganku ke lengan si Monyet dan menyeretnya
ke pintu depan. Lalu aku membuka pintu dan mendorongnya keluar. "Beli keju
sana," kataku. "Atau aku akan menghajarmu sehingga kau bisa melihat ganda lagi,
tapi kali ini tanpa bantuan penyihir itu!"
Ketika si Monyet sampai ke trotoar, dia berhenti dan berbalik padaku. "Dia yang
meludah ke langit akan diludahi lagi!" teriaknya dalam bahasa Italia.
Dan aku berteriak membalas dalam bahasa yang sama. "Ancam saja aku hingga ayam
bisa kencing, kau berengsek kurus," teriakku. Aku akan berteriak lagi, tapi
kemudian melihat dua teman wanita 'Mehcana Ignazia menghentikan obrolan mereka
dan melihat kami. Wanita tak punya kerjaan selalu ingin tahu urusan orang lain.
"Masalah dengan pelayan, Mr. Tempesta?" kata salah satunya.
"Tak ada masalah yang tak bisa kuatasi, ha-ha-ha," kataku.
Dua mignotti sok tahu itu menganggukkan kepala bersimpati dan mengobrol lagi.
Aku menutup pintu dan bersumpah akan mengurus masalah kecil yang nama sebenarnya
tak kuketahui, tapi memanggil dirinya sendiri Prosperine Tucci. Sekali untuk
selamanya, aku akan memusnahkan lintah itu dari rumahku.
Kondisi kesehatan Signora Siragusa yang memburuk akhirnya membuat Prosperine
keluar dari rumahku. Rematik mengganggu kaki dan jari-jari wanita tua itu
sehingga dia tak bisa lagi menjalankan rumah pemondokan tanpa bantuan. Signora
dan aku membuat perjanjian. Prosperine akan membantu memasak dan membersihkan
rumahnya dengan bayaran sebuah ranjang di loteng dan satu dolar sehari, yang
langsung dibayarkan signora padaku setiap Sabtu pagi. Setidaknya aku bisa
mendapat kembali sebagian uang yang sudah kukeluarkan untuk memberinya makan dan
pakaian, dan sedikit kompensasi karena mau menerimanya. (Aku memberikan satu dolar
seminggu pada Prosperine untuk membeli tembakau dan keperluan lainnya dan
menyimpan yang lima dolar.)
Sekarang aku hanya melihat wajah jelek Prosperine pada hari Minggu, hari
liburnya. Ignazia, anak itu dan aku pergi ke Misa dan Prosperine datang dari
Pleasant Hill dan masuk sendiri dengan kuncinya. (Pagana pembunuh itu tak pernah
ke gereja. Mengapa repot-repot" Dia tahu ke mana jiwanya akan menuju setelah
mati nanti!) Ketika Ignazia dan aku kembali ke casa di due appartamenti, dia
sudah ada di sana, duduk di meja dapurku, stocking-nya diturunkan sampai mata
kakinya yang kurus. Merokok pipanya dan minum segelas anggur dari guci yang
kusimpan di bawah tempat cuci. Dia tak pernah mengangkat satu jari pun untuk
membantu istriku memasak makan siang. Dia hanya duduk di sana seperti ratu
kecil. Ha! Dia seperti jerawat di cuio.
Awalnya, Ignazia tak suka karena harus mengerjakan pekerjaan ekstra setelah
Prosperine pergi. Dia kesepian tanpa temannya, katanya. Tapi bahkan Ignazia pun
mulai melihat bahwa keadaan lebih baik saat temannnya pergi sepanjang minggu.
Concettina mulai tersenyum padaku dan bicara kadang begitu banyak kata yang ?dirangkai bersama sehingga dia hampir seperti pidato! Dia anak yang manis,
kecuali mulutnya yang seperti kelinci itu, dan rambut yang oranye seperti labu.
Kadang sebelum berangkat kerja malam hari, aku
memangkunya dan menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan ibuku dulu saat aku
dan adik-adikku masih kecil. Saat aku bernyanyi, kadang aku melihat kilasan mata
Mama di mata gadis kecil itu. Guglielmo mungkin saja benar tentang rambut merah
anak ini leluhur ibuku datang dari Utara. Itu bukan sesuatu yang pernah
?kukatakan pada Ignazia .... Sungguh aneh mengingat bagaimana senandung itu akan
membawaku kembali ke Italia setiap kali aku memangku gadis kecil itu. Pada
malam-malam tertentu, aku pergi kerja dan senandung itu terus terngiang di
kepalaku. Ignazia suka mengintip kami dari pintu saat aku bersenandung untuk Concettina.
Sekali dua kali aku bahkan melihatnya tersenyum. Kadang, saat dia memandikan
anak itu, aku mendengar keduanya menyanyikan lagu Mama bersama. Mereka berdua
belajar lagu itu dari mendengarkanku lagu ibuku dari mulut istriku dan anak
?itu. Hal kecil seperti itu bisa memberimu kedamaian sekitar sejam pada siang
hari bisa meyakinkanku bahwa Violetta D'Annunzio sudah terkubur di
?Palermo sedang mengalami siksaan Neraka dan Ignazia tetaplah Ignaziaku.
? ?Aku mencoba menyelesaikan penebusan dosa yang harus kulakukan duduk dan
?menuliskan kisah hidupku seperti yang disarankan Guglielmo, tapi aku terlalu
sibuk. Satu halaman di sana, satu halaman di sini, dengan seminggu atau dua
minggu jaraknya. Aku tak suka mengungkit cerita masa lalu kematian Papa di
?tambang, Paman Nardo yang
mengendalikan nasibku, hilangnya medali emas ayahku .... Apa bagusnya mengungkit
lagi semua itu" Aku membeli sebuah brankas dan mengunci beberapa halaman yang
telah kutulis itu seorang siciliano tahu bagaimana menyimpan rahasia seperti
?itu. Kadang setelah Misa atau pertemuan tentang sekolah yang baru, Guglielmo bertanya
padaku tentang kemajuan proyekku dan aku akan mengangkat bahu dan berbohong
sedikit mengatakan kalau aku sudah menulis lebih banyak daripada yang
seharusnya. Apa masalahnya" Aku adalah orang yang sibuk. Satu kali aku
mengatakan pada Padre itu bahwa aku sudah menulis hingga setengah hidupku pada
masa sekarang. "Itu bagus sekali, Domenico," katanya. "Katakan padaku kapan kau
siap dan kita berdua akan membacanya bersama."
Ketika sekolah baru itu selesai dibangun, uskup agung datang dari Hartford untuk
meresmikannya. Aku mengundang sepupuku, Vitaglio dan Lena dari Brooklyn. Mereka
datang naik kereta api ke New London dengan anak-anak mereka, bertujuh membawa
tas, paket, dan barang untuk menginap. Rumahku seperti Grand Central Station
malam itu! Lena dan Ignazia memasak dan mengobrol di dapur, bambini Lena
berteriak-teriak dan saling berkejaran dengan Concettina dari ruang ke ruang ....
Vitaglio dan aku bermain bola bocce di halaman belakang dan agak mabuk karena
minum anggur yang dia bawa dari kota. Saat tidur, Vitaglio mencium Lena
dan aku mencium Ignazia. Lalu dia dan aku pergi ke kamar atas. Sebelum masuk
selimut, Vitaglio berlutut dan berdoa.
"Kau minta apa pada Tuhan?" gurauku. "Sejuta dolar" Dua juta?"
"Aku tidak minta apa-apa," katanya. "Aku berterima kasih padaNya karena makanan
enak, anggur yang enak, kesehatan, dan famiglia."
Dia berdiri dan masuk ke dalam selimut, menghela napas dan langsung tertidur.
Aku mengulurkan tangan mematikan lampu dan berbaring dalam gelap. Langit-langit
kamar di atasku terlihat segelap dan seluas Lautan Atlantik pada malam-malam
panjang saat kami menyeberang ke Amerika. Aku memikirkan semua yang telah
terjadi sejak itu apa yang telah kucapai dan apa yang terjadi padaku. Air mata ?mengalir di pipiku dan ke telingaku. Berbaring di sebelahku, suami Lena
mendengkur nyenyak. Aku tak sering berdoa aku tak lagi melakukannya setelah aku
?meninggalkan seminari untuk menjadi tukang batu. Tapi tengah malam itu, aku
berdiri dari ranjang dan berlutut, aku berterima kasih pada Tuhan untuk hal yang
sama yang disyukuri Vitaglio kesehatan, rumah, famiglia dan karena membantuku
? ?menyingkirkan Monyet itu.
Keesokan harinya, sepertinya semua orang Katolik di Connecticut berkumpul di
gereja St. Mary of Jesus Christ untuk menghadiri peresmian sekolah baru! Setelah
Misa dan pemotongan pita, diadakan upacara dan sambutan di aula gereja di lantai
bawah. (Guglielmo ingin aku dan Ignazia duduk di
meja utama, jadi di sanalah kami du-duk, di dekat Shanley sang walikota.) Pezzo
grosso ini berpidato, pezzo grosso itu berpidato. Seseorang membaca telegramma
dari Gubernur Negara Bagian Connecticut! Bapa Guglielmo adalah orang terakhir
yang berpidato. "Berdirilah, Domenico," katanya. "Berdirilah." Jadi aku berdiri. Semua orang di
aula itu memandangku. Tanpa bantuan Domenico Tempesta, kata Guglielmo, sekolah baru itu tak akan
selesai. "Kami sangat berterima kasih pada pria ini." Lalu empat anak dari
sekolah baru maju ke depan, terkikik-kikik meskipun para biarawati memandang
mereka penuh teguran. Mereka memberikan mawar merah pada Ignazia dan memberikan
kotak kecil padaku. "Buka saja temanku yang baik! Buka!" kata Guglielmo padaku.
Dia juga tertawa kecil seperti anak-anak kecil tadi!
Di dalam kotak itu adalah pita merah yang terikat pada sebuah medaglia (berlapis
perak bukan emas). Terukir di salah satu sisinya adalah salib Yesus Kristus dan
Lampu Pengetahuan. Di sisi lain terukir kata-kata ini: "Kepada Domenico
Tempesta. Dengan Terima Kasih yang Tulus dari para Murid Sekolah St. Mary of
Jesus Christ." Begitu tulisannya.
Uskup agung berdiri dan melangkah ke depan. Dia mengambil medali itu dari
kotaknya, mengangkatnya di atas kepalaku dan menggantungkannya di leherku. Lalu
semua orang berdiri, memberiku ovazione in piedi. Vitaglio dan Lena, Tusia,
bahkan beberapa pekerja dari
American Woolen yang datang semuanya berdiri dari kursinya. Tepuk tangan mereka?sangat riuh rendah, sehingga kupikir atap gereja akan runtuh!
Ignazia juga berdiri. Dan putrinya. Ignazia memegang buket mawar yang mereka
berikan padanya. Seminggu sebelumnya aku memberikan delapan dolar padanya untuk
membeli sesuatu untuk dia kenakan ke upacara peresmian itu. Dia membeli kain
untuk baju baru Concettina dan topi beledu untuk dirinya merah terang seperti
?warna mawar itu dan pita medali yang melingkar di leherku! Aku berpaling dan
melihat ke istriku. Dia adalah wanita tercantik di aula itu ... berdiri di sana,
bertepuk tangan dan wajahnya memerah, mengenakan topi merah barunya. Lalu dia
meletakkan bunga itu di meja dan memegang tangan putrinya membuat tangan
?Concettina kecil bertepuk tangan juga.
"Papa! Papa!" kata Concettina. "Hore untuk Papa!"
Aku baik-baik saja hingga aku mendengar itu. Aku terpaksa menahan air mataku dan
meninggalkan aula untuk beberapa menit. "Pidato Mr. Tempesta!" orang-orang
berteriak saat aku berusaha keluar dari sana. "Pidato! Pidato!"
Tapi yang bisa kulakukan hanyalah berterima kasih pada mereka, melambai, dan
menangis. Empat Puluh Dua Ray dan aku duduk berdampingan di kantor berdinding kayu Rumah Pemakaman
Fiztgerald, memutuskan semua detailnya: peti tertutup, tak ada penghormatan,
pemakaman pribadi. "Misa Pemakaman?" tanya sang pengurus. Dia terlalu sok sibuk, dan gigi palsunya
sangat jelek. Fiztgerald sudah pensiun sejak kematian Ma menjual bisnis dan
?nama mereka pada orang ini.
"Misa Pemakaman?" ulangku. Ya dari Ray dan tidak dari mulutku keluar
berbarengan. "Dia religius," kata Ray.
"Dia gila," tukasku. "Sudah selesai."
Si Gigi Palsulah yang mengusulkan kompromi: pastor di sebelah makam, misa
sederhana dan pribadi. Masalahnya adalah apa yang harus dilakukan setelahnya.
"Sebagian besar orang menyajikan sesuatu," katanya. "Tapi kau tak harus
melakukan itu. Lakukan saja apa yang menurutmu enak."
"Sudah tengah hari saat pemakaman selesai," kataku pada Ray. "Orang pasti
mengharapkan sesuatu." Kukatakan padanya aku akan memesan makanan dari Franco's,
pergi ke Hollyhock Avenue dan membantunya bersiap-siap karena di
?tempatku, bahkan sedikit orang pun sudah terasa sesak. Walaupun berat hati
akhirnya Ray menyetujui rencana itu dan dalam hati aku berkata, hei, dia tumbuh
besar di rumah itu. Kakek kami yang membangunnya. Kenapa kita tak boleh
mengadakannya di sana"
Sesampainya di rumah, aku membuat daftar nama orang yang baik kepada Thomas
selama ini memperlakukannya seperti manusia. Nama dan nomor telepon yang ada
?bisa ditampung dalam satu kartu indeks. Sulit sekali menelepon mereka meminta
?satu hal lagi dari beberapa orang yang 'sudah mendukung' Thomas selama ini. Aku
menyisakan dua panggilan tersulit untuk terakhir.
"Anda telah menghubungi nomor Ralph Drinkwater, penjaga pipa perdamaian suku
Wequonnoc. Kalau ini berhubungan dengan masa/ah dewan suku ...."
Aku memejamkan mata, terbata-bata meninggalkan pesan di mesin penjawab Ralph:
pukul 11.00, Pemakaman Boswell Avenue, upacara selama dua puluh menit. "Bukan
masalah besar kalau kau tak bisa datang," kataku. "Hanya saja .... Yah, kalau kau
ingin datang Aku menutup telepon,
bertanya pada diri sendiri mengapa aku sangat gugup bicara dengan mesin penjawab
sialan itu. Tapi aku sangat beruntung ketika menelepon Dessa. Bukan mesin yang menjawab,
tapi pria itu. Si pembuat keramik. "Pukul sebelas?" tanyanya. "Oke. Aku akan
bilang padanya. Ada hal lain yang bisa kami bantu?"
Aku memejamkan mata, dalam hati berkata, ya, berhenti bilang kami. "Uhhmmm.
Makasih. Tidak." Ada jeda selama tiga atau empat detik saat seharusnya aku bilang "Selamat
Tinggal". Dan The Man adalah yang pertama memecahkan kesunyian itu. "Aku ... aku
pernah kehilangan salah seorang saudaraku," katanya. "Enam tahun lalu.
Kecelakaan sepeda motor."
Dia kehilangan salah satu saudaranya" Aku bahkan sudah tak utuh lagi sekarang.
"Adikku, Jeff," katanya. "Dia dan aku sangat dekat." Aku memejamkan mata.
Berjanji pada diriku bahwa ini akan selesai sepuluh detik lagi. "Pergi untuk
selamanya: berat sekali. Dari kami berlima, Jeff adalah satu-satunya yang mau
mengangkat telepon, menanyakan apa kau masih hidup .... Ya, bertahanlah. Itu saja
yang ingin kukatakan. Kau mau dia meneleponmu kalau pulang nanti?"
Tak perlu, kataku. Boleh saja kalau dia mau.
Setelah menutup telepon, aku merobek daftar itu. Merobeknya menjadi kepingankepingan kecil. Setidaknya bagian itu sudah selesai. Setengah jalan keluar dari
dapur aku berhenti, tiba-tiba menyadari apa yang terjadi.
Pergi untuk selamanya. Kalau kembaranmu mati, apa kau masih kembar"
Matahari bersinar cerah saat pemakaman cuaca lumayan hangat untuk bulan April, ?tapi berangin. Seseorang telah menanam bunga tulip warna merah
putih di depan nisan. Dessa mungkin" Aku tahu dia sering datang ke pemakaman
untuk mengunjungi Angela, di bagian anak-anak. Bukan aku. Bagiku pemakaman itu
seperti ladang ranjau. Angela, Ma, dan kakek nenekku. Dan sekarang kakakku juga.
"YESUS, LEMBUT DAN RENDAH HATI, BUATLAH HATIKU SEPERTI HATIMU." CONCETTINA
TEMPESTA BIRDSEY, 1916-1987 RAYMOND ALVAH BIRDSEY, 1923 -THOMAS JOSEPH BIRDSEY,
1949 - Nisan itu berukuran sedang, dari granit berbintik, Ray dan Ma membeli lahan itu
setelah Ma sakit. Aku ingat Ma meneleponku setelahnya. Bilang kalau mereka pikir
aku mungkin saja menikah lagi dan aku ingin membuat persiapan sendiri-t api dia
?ingin Thomas terurus. Dia merencanakan agar Thomas dimakamkan di sampingnya.
Angin terus meniup bunga-bunga tulip itu, membuat mereka merunduk ke satu arah
dan ke arah lainnya. Salju yang turun terlambat akan menghabisi mereka.
Si Gigi Palsu bilang biasanya ada enam pengangkat peti, tapi kami bisa saja
memakai empat orang. Itulah yang kami lakukan. Ray, aku, Leo, dan Mr. Athony
dari seberang jalan. Peti mati itu lebih berat daripada yang kuduga. Menjelang
ajalnya, Thomas lebih berat sekitar lima puluh atau enam puluh pon dari aku.
Semua karena makanan berkanji dan obat penenang. Duduk-duduk saja di Hatch.
Hampir setiap orang yang kuundang datang. Leo dan Angie (minus anak-anak), Jerry
Martineau, suami istri Anthony ... Sam dan Vera Jacobs datang. Suami istri Jacobs
yang memasak di Settle itu selalu baik pada kakakku. Mengirim kartu saat Natal
dan ulang tahun, dan semacamnya. Tho-mas menyimpan semuanya. Aku menemukan
sekitar dua puluh atau tiga puluh kartu, diberi tanggal dan diikat dengan karet
di dalam kotak bersama barang-barangnya yang lain. Jadi, aku memasukkan pasangan
Jacobs ke daftarku. Kalau Thomas menyimpan semua kartu itu, mereka pasti berarti
baginya, bukan" Dessa tak muncul. Dessa dan Ralph Drinkwater. Ya, kataku dalam hati, siapa yang
memanen pasti menuai. Rasakan akibat dari tindakanmu pada masa lalu, Dominick.
Kau mengkhianati mereka berdua. Mengumpankan pria itu ke polisi malam itu.
Mengkhianati istrimu yang berduka setiap malam, kau terbangun dan mendengarnya
menangis, tapi kau diam saja. Tidak turun dari ranjang. Tidak mendekatinya,
karena terlalu menyakitkan Seleksi alam, Birdsey: inilah yang kau dapatkan
akhirnya. Pastornya aneh bukan salah satu dari pastor yang biasa di gereja St. Mary, tapi?seseorang yang mereka datangkan dari Danielson. Aku merasa sedih untuk Ray. Dia
sudah bekerja suka rela di gereja St. Anthony selama lebih dari dua puluh
tahun memasang pipa, listrik, membersihkan halaman setiap musim semi dan musim
?gugur. Tapi tak seorang pun dari tiga pastor di sana yang bisa mengubah "jadwalnya" .... Bapa
LaVie nama pastor itu. Dia mengingatkanku pada seseorang yang tak kuingat jelas.
Suaranya terdengar lebih muda di telepon, tapi saat bertemu muka dia tidak muda.
Akhir lima puluhan, mungkin" Awal enam puluh" Muncul di pemakaman memakai sandal
bukannya sepatu dan kaus kaki. Apa maksudnya itu" Mencoba menjadi Yesus atau
apa" Seperti yang kubilang, cuaca memang sudah cukup hangat untuk bulan April,
tapi tak sehangat itu sehingga kau bisa memakai sandal.
Tapi ketidakhadiran Dessa menyakitkan juga, tak peduli apakah aku pantas
menerimanya atau tidak. Sepanjang upacara pemakaman, aku terus mengharap dia
datang terus membayangkan bagaimana aku mengisyaratkan agar dia berdiri di
?sebelahku saat dia datang. Memegang tangannya, mungkin. Karena sejarah kami
lebih daripada sekadar akhir yang buruk. Dan karena Thomas menyayanginya juga.
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dessa adalah temanku yang sangat, sangat, sangat, SANGAT, baik," katanya.
Thomas bilang padaku berkali-kali .... Terdengar suara pintu mobil tertutup di
tengah-tengah upacara dan aku berpikir, itu dia. Dessa datang. Tapi yang muncul
adalah Lisa Sheffer, terburu-buru menuruni bukit, mantel panjangnya berkibarkibar. Telat seperti biasanya.
Bapa LaVie. Bapa Kehidupan .... Dia melakukan basa-basi seperti biasanya,
memberikan khotbah seperti biasanya tentang abu kembali ke abu dan
debu ke debu. Membacakan beberapa ayat Injil. Ada ayat yang kau sukai" Tanyanya
lewat telepon. Tidak, kataku. Apa pun yang menurutnya pantas. Dan yang dia pilih
adalah pasal yang sama yang kudengar diucapkan Thomas berkali-kali. "Tuhan
adaiah gembaiaku; aku tak akan kekurangan. Di padang hijau Dia menidurkanku; Dia
membimbingku ke sungai yang tenang
Bapa LaVie bertanya tentang Ma. Kanker payudara, kataku. Mengatakan bagaimana
dia sangat khawatir tentang apa yang akan terjadi pada Thomas kalau dia
meninggal. "Mereka dekat?" tanya Bapa LaVie. "Dekat sekali, seperti dua kacang
di pot," kataku. Dua kacang di pot, dua peti di tanah. Mrs. Calabash dan Mrs.
Floon .... Pada akhir upacara, Bapa LaVie menutup buku doanya dan meletakkan tangan di atas
peti Thomas. Memberikan ending bahagia ala Walt Disney: Thomas dan Ma, bersatu
kembali di Surga, semua beban mereka terangkat. Dia tersenyum padaku dan aku
tersenyum membalas, berkata dalam hati: George Carlin. Dia mengingatkanku pada
George Carlin .... Berpikir: Bebas! Akhirnya aku bebas! Mereka bermain "ramahramahan" di Surga! Kau turun ke bawah saja sekarang, Dominick. Beri tahu kami kalau Ray datang. Aku
sudah membuatkan makanan khusus untukmu di lemari es ....
Aku memandang Ray. Dia cemberut, menarik-narik ujung sarung tangannya.
Partnerku, sekutuku. Apa yang terjadi di rumah ini bukan urusan
orang lain. Kau dengar aku"
Ya, Ya, Laksamana! Ya, Pak! .... Matanya bersirobok dengan mata Dr. Patel. Wanita
itu mengangguk ke arahku, tersenyum simpul. Apakah kau bisa membaca pikiranku,
Dok" Hari terburuk itu saat aku mencurahkan semua masalah kecil kami" Apakah ?kau tahu rahasia kami, Dok"
Turunlah Dominick. Berjaga/ah kalau Ray datang. Ini tak akan menyenangkan
buatmu. Ya, Ma! Tentu, Ma! Apa kau akan menyayangiku kalau begitu, Ma"
Dan Ma benar. Pasti tak akan menyenangkan di atas sana. Bodoh sekali, yang
mereka lakukan di sana. Mereka memakai baju perempuan, topi perempuan, sarung
tangan, dan mengadakan pesta minum teh. Semakin besar aku dan Thomas, semakin
aku malu melihat mereka bermain "ramah-ramahan".
Teh lagi, Mrs. Calabash"
Ya, terima kasih, Mrs. Floon.
Aku benci mendengar mereka di atas sana. Benci menjadi penjaga mereka, makan apa
pun makanan yang diletakkan Ma di lemari es untuk menyuapku. Mendengarkan suara
mobil Ray, berjaga-jaga terhadap Serigala Jahat. Aku benci itu, Ma. Aku ingin
kau tetap di bawah. Mencintai kami berdua ....
Aku ingat semuanya tentang hari itu: cuacanya (mendung dan gerimis), baju yang
kupakai (celana setengah lutut, kaus Old YellerJ. Makan malam kami semur
?daging di atas kompor; jendela dapur berembun karena uap dari panci sayur yang
?mendidih. Ma meninggalkan puding untukku di lemari es hari itu: puding
butterscotch dan whipped cream di kaleng semprot. Kami merengek selama
berminggu-minggu agar Ma membeli krim kalengan itu .... Kami sudah kelas lima
sekarang. Itu memalukan. Thomas sudah terlalu tua untuk bermain "ramah-ramahan".
Aku membuat lima, Dominick empat untuk pencuci mulut nanti dan satu untukmu.
?Jangan dikasih krim terlalu banyak. Satu semprotan saja. Sisakan untuk makan
malam. Aku menjejerkan puding itu di atas meja, dan menyemprotnya dengan krim: lima
puding, lima menara whipped cream. Aku makan satu per satu makan dengan sangat
?cepat hingga tersedak. Mengapa aku tak boleh memakan semuanya" Apa yang akan
dilakukan Ma" Bilang ke Ray" Mengadukan aku ke Ray" Aku memandang bayangan
wajahku yang berlepotan krim. Dia menderita hidrofobia, Nak. Kau harus menembak
Old Yeller karena dia menderita hidro fobia ....
Aku mendengar mereka berdua tertawa di atas. Mrs. Calabash, muffin ini benarbenar enak. Diam! Diam! Diam!
Mataku melihat kaleng gula. Aku mengulurkan tangan membuka tutupnya dan
menggulingkannya. Butir-butir gula tumpah ke meja, lalu ke lantai. Air terjun
gula putih. Aku menjentikkan jariku ke butiran gula itu hingga mental. Menginjak
butiran gula dengan sepatuku.
Teh lagi, Mrs. Floon"
Ya, terima kasih, Mrs. Calabash.
Aku mengambil kaleng terigu. Plop, plop-plop-plop, tepung tumpah ke lantai.
Kabut terigu berputar di mata kakiku. Rasanya menyenangkan, membuat semua
berantakan. Rasanya seperti mendapatkan keadilan. Mengambil kaleng krim, aku
mengguncang-guncangkannya sangat keras. Lalu menyemprotkannya dari ujung meja
hingga ke ujung lainnya. Thoma-sanakbodohjeleksiafan. Krim itu menggelembung,
berdeguk; dan tinggal desisan kaleng yang kosong. Aku melemparkannya ke lemari
es sekuat mungkin. "Dominick?" Aku tak menjawab. "Dominick?" suara kaleng yang menghantam pintu lemari es mengganggu permainan
kecil mereka; Ma muncul di puncak tangga. "Dominick?"
"Apa?" "Apa yang terjadi di sana?"
"Tak ada apa-apa."
"Suara apa yang kudengar tadi?"
"Bukan apa-apa. Aku menjatuhkan sesuatu."
"Apa ada yang pecah?"
"Tidak." Diam selama beberapa detik. Lalu langkahnya menjauh, kembali ke kamar cadangan.
Mrs. Floon, muffin ini benar-benar lezat,' Kau harus memberikan resepnya padaku!
Pintu tertutup lagi. Aku berjalan menyusuri meja, tinjuku menghantam pesan krim yang kutulis tadi.
Pow! Pow! Pow! SialaniBerengsek! SialaniBerengsek! Krim
beterbangan ke mana-mana. Aku melihat makan malam kami di atas kompor, membuka
laci dan mengambil sendok sayur. Mengambil semur daging makan malam ?kami melemparkannya ke lantai, ke tepung terigu dan gula. Mencampur semuanya
?dengan ujung sepatu ketsku. Menginjak-injaknya. Meluncur di atasnya. Kepalaku
berdentam; jantungku berdegup. Aku merasa sangat kuat. Sekuat Hercules, tak
terbelenggu. Dia akan menangis kalau melihatnya. Mereka berdua akan menangis. Ma
akan marah dan takut ....
Aku berbalik untuk mengamati kehancuran yang telah kubuat dan dia berdiri di
sana: Ray. Dia berdiri di pintu ruang makan. Tak terdengar suara mobil masuk halaman, tak
ada peringatan. Aku tak tahu berapa lama dia sudah mengamatiku.
Dia tak membentak. Hanya memandangku, mengamatiku. Kami menunggu.
Lututku gemetar, bingung. Aku lega. Ray akhirnya memergokiku, menangkap basah
aku, di depan bukti nyata. Ini sudah selesai, pikirku: sekarang dia tahu. Akulah
si kembar yang nakal. Akulah si biang kerok. Bukan Thomas. Aku.
Ray terlihat takut, bukannya marah. Dan itu menakutkan-/cu. "Di mana ... di mana
ibumu?" tanyanya. Aku menyentuh wajahku. Mengusap krim di alisku, di rambutku. "Jawab aku."
Mengapa dia tidak berteriak dan membentak" Menghajarku" Apakah kekacauan yang
kubuat ini tidak terlihat" "Ini kecelakaan," kataku. "Aku akan membersihkannya."
"Di mana ibumu?" tanyanya lagi.
Mobilnya mogok hari \tu-itulah sebabnya aku tidak mendengarnya. Dia menumpang
pulang ke rumah, diturunkan di depan. Aku berdiri diam, penjaga yang gagal.
Aku ingin melindungi mereka darinya; aku ingin mereka tertangkap. Ray berdiri,
menunggu. "Di atas," kataku.
"Atas di mana?"
"Di kamar cadangan. Mereka memainkan permainan bodohnya. Mereka selalu bermain
di sana." "Oh Yesus yang Lembut Hati, kasihanilah jiwa dombaMu yang telah pergi, Thomas,"
kata Bapa LaVie. "Jangan terlalu keras menilainya, tapi biarkan DarahMu yang
Berharga jatuh ke api yang membakar. Oh Sang Penyelamat Penuh Kasih, kirimkan
Malaikat-Mu untuk membimbing dombamu yang telah pergi, Thomas, ke tempat yang
terang dan damai. Semoga jiwanya dan jiwa-jiwa orang yang beriman yang telah
pergi beristirahat dalam damai dalam belas kasihan Tuhan."
"Amin," kami semua berkata. "Amin."
Sirene tengah hari berbunyi. Si Gigi Palsu maju ke depan. "Upacara pemakaman ini
sudah berakhir, tapi setelah ini, keluarga Thomas mengundang Anda ke rumah Mr.
Raymond Birdsey di 68 Hollyhock Avenue, untuk makan siang dan mengenang
almarhum." Aku pergi ke rumah Ray pagi itu seperti yang kujanjikan menyedot karpet, ?menyiapkan semuanya. Ray sudah bangun dan keluar rumah. Tak ada pesan, tak ada
apa pun. Dia sudah menurunkan kursi lipat dari loteng itu saja. Orang dari
?Franco's mengirimkan makanan saat aku di sana: Fiesta Party Platter nomor 4, 6,
dan 7, cukup memberi makan lima hingga enam kali lipat jumlah orang yang kami
undang. Begitu aku melihat nampan-nampan makanan itu aku langsung sadar aku
memesan terlalu banyak ....
Ray dan aku berdiri sejenak lebih lama daripada yang lain. Kami berdua tak
bicara. Dari sudut mataku, aku melihat Ray mengulurkan tangan di atas peti mati
Thomas, mengetuk pelan. Satu, dua, tiga kali. Lalu dia berjalan pergi.
Aku tak bisa memikirkan bagaimana mengucapkan perpisahan yang pantas untuk
kakakku. Bagaimana kau mengucapkan selamat jalan pada peti" Pada separuh dirimu
yang akan ditutupi tanah" Aku menyesal, Thomas. Aku jahat karena aku iri. Aku
minta maaf. Di mobil, orang-orang menjabat tanganku, memelukku. Mengatakan aku sudah menjadi
adik yang baik dan sekarang aku bisa mengurus diriku sendiri. Seakan-akan
?semuanya sudah selesai sekarang. Seakan-akan karena Thomas sudah dikubur maka
aku tak akan membawa kenangannya. Angie bilang dia menelepon Dessa pagi
tadi dan Dess bilang dia akan datang. Aku mengangkat
?bahu, tersenyum. "Kurasa dia ingat kalau dia harus keramas atau apa."
Bapa LaVie mendekatiku. Bapa George Carlin. Aku mengucapkan terima kasih
padanya, menyelipkan lima puluh dolar yang kumasukkan ke sakuku pagi tadi. Dua
lembar dua puluhan dan selembar sepuluh dolar, ter lipat kusut. Kusut kulipat?lipat dengan tak sadar karena aku gugup selama upacara pemakaman. Aku seharusnya
memasukkan uang itu ke amplop. Setidaknya merapikannya. "Kuharap kau tidak repot
datang ke sini," kataku.
"Tak masalah," katanya padaku. "Tak masalah sama sekali. Kami adalah pria santai
dengan jadwal yang fleksibel, kau tahu."
"Ya?" kataku. "Kau sudah pensiun?" Yang itu adalah merupakan kesalahan besar.
Dia adalah tipe pria yang jika kau menanyakan satu pertanyaan padanya dia akan
menceritakan seluruh kisah hidupnya. Sero;-pensiun, katanya; dia baru saja
ditempatkan di Connecticut setelah dua puluh tiga tahun di Saginaw, Michigan.
Tanah Danau-Danau Besar. Tanah Tuhan. Apakah aku sudah pernah ke sana"
Belum, kataku. Tidak. Kalau begitu apa Three Rivers" Tanah tak berTuhan"
"Aku pernah menderita kanker," katanya.
"Ya" Yang benar?" Mataku mencari-cari Leo siapa saja yang bisa menyingkirkan ?pendeta ini dariku.
Sudah setahun lalu setahun hingga hari ini ?sejak dokter menemukan tumor di selangkangannya, katanya. Ganas, tak bisa
dioperasi, sebesar buah jeruk. Mereka menyarankan agar bersiap-siap. Mereka
memvonis usianya tinggal enam bulan hingga setahun. Jadi, dia mengundurkan diri
dari gerejanya dan pulang untuk menghabiskan waktu bersama ibunya, yang berusia
delapan puluh delapan tahun, tapi masih cerewet.
Orang selalu melakukan itu, pikirku: membandingkan tumor dengan buah jeruk.
Tapi kemudian, katanya, terjadi mukjizat. Sebuah misteri medis. Dia menolak
kemoterapi, diet khusus, dan sebagainya, dan sebagainya; dia menerima
penyakitnya sebagai kehendak Tuhan. Tapi tumornya mengerut dengan
sendirinya menjadi semakin kecil dalam setiap pemeriksaan. Dan dalam sembilan
?bulan, tumor itu telah menghilang, sama sekali. Membuat para dokter dan
paramedis terheran-heran, katanya, "Tapi dokter adalah para peragu. Misteri
memang ada di dunia ini. Masalahnya cuma kau menerimanya atau tidak."
"Huh-huh," kataku. "Wow." Di mana sih, Leo"
Kanker telah membuat hidupnya lebih baik, kata Bapa LaVie menantangnya untuk ?hidup lebih baik. Misalnya, kanker itu membuatnya lebih bisa bersimpati pada
penderita AIDS, pada kaum miskin, dan tertindas. Dan pada orang-orang yang
melawan fanatisme. Para fanatik.
"Ada para fanatik di tanah Tuhan?" kataku. Dia tertawa. "Memang ada. Kurasa
fanatisme ada di mana-mana." Tapi kembali ke masalah kankernya, katanya. Mengklarifikasi
berbagai hal padanya. Membuatnya rendah hati.
Mengingatkannya kalau cobaan Tuhan meskipun berat untuk ditanggung juga
? ?merupakan kesempatan. "Aku menjalani kehidupan kontemplasi religius," katanya,
"dan masih seperti itu hingga sekarang."
Diam, aku ingin berteriak padanya. Diam! Diam! Diam!
Ray sudah di dalam limusin, mengetuk-ngetukkan kakinya, tak sabar ingin segera
pergi dari sini. Dia bergeser; aku masuk. Si Gigi Palsu menutupkan pintu
untukku. Bagian dari paket kurasa; layanan sopir pulang pergi dengan Grim Reaper
sebagai sopirnya. Kami berjalan keluar pemakaman. Melewati nisan kakekku, seorang pembersih di
traktor, seorang pria duduk di dalam Jeepnya dengan mesin menyala. Kami melewati
gerbang besi dan kembali ke Boswell Avenue.
"Aku ingin tahu siapa yang menanam tulip itu," kataku, setengah pada diriku
sendiri dan pada Ray. "Apa kau pikir itu Dessa?"
"Aku," kata Ray.
Kami diam selama beberapa saat. "Kapan kau melakukannya?"
"Pagi ini." Itu menjelaskan ke mana dia pergi saat aku datang ke rumahnya.
"Ya ... kuharap salju tak turun."
Ray meletakkan tangan di lututnya, menghindari mataku dan melihat ke luar
jendela. Dalam keheningan, aku sadar siapa pria di Jeep itu: Ralph Drinkwater.
Ralph datang juga akhirnya menjauh, tapi datang. Aku memandang ke luar jendela.
?Mengusap air mataku. "Kalau salju turun lagi, aku akan menanam lagi," kata Ray.
Si Gigi Palsu mengantarkan kami melewati Kota Three Rivers dan bukannya melewati
pinggir kota. Kami melewati area pembangunan kasino, rumah sakit jiwa, restoran
McDonald tempat aku makan dengan Thomas empat hari lalu. Kami melewati jembatan
Sungai Sachem dan melewati tengah kota.
"Kau ingat ketika aku sering mengajak kalian ke sana?" kata Ray.
"Hmm?" Aku memandang ke sisinya dan ke luar jendela. Kami melewati toko komputer
yang dulu adalah Paradise Bakery. Setelah Misa gereja hari Minggu, Ray akan
menurunkan Ma di rumah sehingga dia bisa memasak makan siang. Lalu dia akan
membawa Thomas dan aku ke Paradise dan membelikan kami cruller. Lalu dia membawa
kami ke Wequonnoc Park. "Ke taman juga," kataku. "Kita pergi ke bakery dulu lalu ke taman."
Dia mengangguk. Kalau aku berkedip aku pasti tak melihat senyumnya. "Kau selalu
ingin main ke palang monyet dan dia selalu ingin main jungkat-jungkit," kata Ray. "Aku sering
harus menengahi kalian berdua. Menyuruh kalian bergiliran."
Yang kuingat tentang naik jungkat-jungkit adalah bagaimana Thomas selalu marah
padaku, dan tiba-tiba pergi begitu saja. Sehingga aku terbanting ke tanah ....
Kematian mungkin rasanya seperti itu: muak, tak tahan lagi, Thomas melompat dari
jungkat-jungkit yang kami mainkan.
Menghantamkan aku kembali ke tanah di mana aku terduduk, terpana. Terpaku.
Paradise Bakery, Wequonnoc Park .... Begitukah Ray mengatasi semua ini" Mengingat
semua hal baik yang dia lakukan sebagai ayah" Dan menolak yang lainnya" Bahkan
juga menolak hari yang terburuk hari ketika dia dan aku menghancurkan Mrs. ?Calabash dan Mrs. Floon.
Mereka di atas. Di atas di mana" Di kamar cadangan. Mereka memainkan permainan bodoh itu. Mereka sefaiu main di
sana. Ray melangkah melewati kekacauan di dapur seakan-akan semua itu tak ada.
Meninggalkan jejak tepung dan sup dari belakang rumah ke depan. Aku ingat dia
berjalan mengendapendap. Ke atas, menyusuri lorong ke ka-mar cadangan. Apakah
dia sudah mencurigai mereka" Kalau tidak untuk apa dia mengendapendap"....
Ray membanting pintu hingga terbuka. Menangkap basah mereka seperti polisi yang
menangkap basah penjahat. Dari bawah, aku mendengar jeritan, raungan set
?cangkir teh Ma dihantamkan ke dinding. Thomaslah yang dia kejar, bukan Ma. Anak
perempuan sialan! .... Bukan anakku! Tangan Ma patah karena menghalanginya
?melemparkan dirinya di antara kemurkaan Ray dan Thomas.
"Lari, Sayang! Lari!" Aku ingat Ma menjerit. Kami bertiga menjerit dan
meraung kakakku dan ibuku di atas dan aku di bawah. Lalu Thomas muncul di
?puncak tangga, terburu-buru turun ke arahku. Lari! Lari!
Ray menangkapnya di tengah tangga. Mencengkeram bagian belakang bajunya,
mengangkatnya, mencekiknya, memukul kepalanya. Sekarang turun ke sana! Turuni
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangga sialan ini! Mereka kehilangan keseimbangan. Berguling-guling ke bawah, jatuh bertumpukan di
bawah tangga. Maafkan aku Ray! Jangan sakiti aku! Jangan sakiti aku, Ray!
Thomas telentang, ditindih Ray, dan aku melihat Ray mencengkeram pergelangan
tangannya, melambaikan tangan Thomas yang memakai sarung tangan putih di depan
wajahnya. Inilah yang dipakai anak perempuan kecil! Kau mengerti! Apa kau
ini anak perempuan sialan" Ray terus menggoyangkan pergelangan ta-ngan
?itu membuat Thomas menampar dirinya sendiri berkali-kali dengan tangannya
?sendiri yang bersarung tangan putih. Lagi dan lagi, berkali-kali.
Aku ingin menjerit padanya, jauhi kakakku! Aku
ingin menendang dan memukul Ray dan menyeretnya menjauh dari Thomas. Tapi aku
takut dilumpuhkan oleh kemarahannya.
?Ray berdiri, terengah-engah, dan menyeret Thomas, yang memberontak dan
menjeritjerit, ke arah lemari di lorong depan. Dia membuka pintu lemari itu dan
mendorongnya ke dalam. Thomas terjatuh di tumpukan sepatu bot, sepatu karet,
payung. Ray membanting pintu. Menguncinya. Berteriak mengatasi jeritan Thomas
agar sebaiknya dia memikirkan dan merenungkan apa yang dilakukannya di atas
tadi. Dan kalau aku sudah tenang dan siap untuk mengeluarkanmu, kau sebaiknya
berjalan keluar seperti anak laki-laki! Kau mengerti" Ray menendang pintu
lemari, lalu pergi ke ruang duduk untuk menenangkan diri dan melihat TV.
Yesus, dia terus bergumam, lagi dan lagi. Yesus, Yesus ....
Tangan Geledek 14 Fear Street - Salah Sambung Ii The Wrong Number Ii Kaki Tiga Menjangan 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama