Ceritasilat Novel Online

Sang Penebus 14

Sang Penebus Karya Wally Lamb Bagian 14


"Para santa mengirimkan kau padaku, bukan, Santa Lucia?" Selvi mengulurkan
tangan dan menyentuh rambut Violetta, meremas pipinya seakan-akan pipinya adalah
adonan roti. "Mata yang indah! Tulang wajah yang indah! Perfezionei
Apakah para santa telah menurunkanmu padaku, Lucia" Apakah Surga sendiri
merestui kerjaku?" Selvi terus memandang, menyentuh dan memutari Violetta,
membuat wajah dan leher gadis itu bermunculan bintik merah seperti gatal-gatal!
"Aku harus segera melukismu menangkapmu?dalam gambar, berjaga-jaga siapa tahu kau hanyalah roh yang akan segera hilang."
"Roh, signore?" tanya Violetta. Di hadapan para nelayan di pelabuhan suara
temanku itu biasanya sangat keras seperti lonceng kebakaran di Pescara. Namun di
depan Gallante Selvi, dia hanya bisa mencicit seperti tikus.
"Ikutilah aku," kata Selvi, menggandeng tangan Violetta. "Ayo ke laut sekarang
juga. Aku harus mempelajari wajahmu di bawah cahaya terang biarkan matahari
?jadi coiiaboratore-ku\ Lagi pula inspirasi seperti nyonya yang cerewet kau
?membiarkannya menunggu dan dia akan meninggalkanmu!"
Selvi mencondongkan tubuh dan mencium pelupuk mata Violetta dengan jempolnya
?membuat tanda salib di dahi gadis itu. Mengulurkan tangan ke belakang, dia
menekan cuia gadis itu, seakan-akan dia adalah melon dan bukan "santa". "Martir
Perawanku yang cantik," bisiknya, mengendus udara di sekitar Violetta. Dari
awal, Selvi bertingkah seperti anjing di depan Violetta. "Luciaku yang dikirim
padaku oleh para santa!"
"Namanya adalah Violetta D'Anunzio," kata si Monyet. "Ayahnya penjual ikan."
"Tutup mulutmu dan pergi ke dalam untuk bekerja!" perintah Selvi, tanpa
mengalihkan pandangan dari Violetta. "Cepat kerjakan semua pekerjaanmu yang
terbengkalai karena terlambat!"
"Saya tidak terlambat, Tuan," kata si Monyet mengingatkannya lagi. "Violetta
harus pulang sekarang dan membuat baccafa. Sedangkan Anda, Tuan, sebaiknya segera memakai
celana." "Scusa, Lucia," kata figiiu d'una mingia itu pada putri sang penjual ikan. Dia
mengangkat tangan Violetta dan mencium jari-jarinya. "Un minuto, un minuto."
Selvi mendekati si Monyet dan meninju telinganya dengan keras sehingga
berdenging seperti bel gereja saat Paskah. Dia juga menarik hidungnya dan
mendorongnya ke arah rumah wanita tua itu. Lalu dia berpaling lagi ke Violetta
dan jatuh berlutut. "Santa Lucia, pemandu jalanku yang buta, bantu aku melihat! Bantu aku melihat!"
artiste gila itu memohon pada Violetta, berdoa padanya seakan-akan dia patung!
Lalu dia berdiri dan menggandeng Violetta melewati kandang kambing dan ayam
Ciccolina. Setelah melewati tanggul mereka berdua lari, pelukis gila itu menarik
Violetta ke arah suara laut.
Prosperine berdiri dan memandang ke tempat mereka menghilang, air mata mengalir
di wajahnya. Apakah sebaiknya dia lari memanggil ayah Violetta" Demi dirinya"
Dia mendengarkan, menunggu suara jeritan Violetta, teriakan minta tolongnya yang
tak kunjung terdengar. Dan ketika dia melihat ke rumah lagi, wanita bungkuk itu
sudah keluar di halaman, berdiri terbungkuk di antara ayam-ayamnya, melambaikan
tangan memanggilnya. w - Prosperine mengambil saputangan dari lengan
bajunya dan menghapus ingusnya. Aku tak mengira orang yang berhati batu seperti
dia bisa menangis. Dia tak meneteskan air mata melihat kesulitan yang dialami
Ignazia kemarin dia tidak menangisi kematian putraku. Dia menengak anggur. ?Lagi. Tiga kali. Dia bicara seakan-akan dialah suami yang berkabung! Tapi aku
menahan lidahku dan menunggu. Lalu dia membuang ingusnya lagi, memasukkan
saputangan ke lengan bajunya, menghela napas. Meneruskan.
Kalaupun penyihir tua itu mengenali Prosperine sebagai orang yang sering
mengejeknya, dia tak mengatakan apa pun, tak melakukan balas dendam.
Dibandingkan dengan membuat makaroni, pekerjaannya sekarang sangat ringan.
Ciccolina tak banyak menuntut dan mengajarkan banyak hal pada gadis itu:
bagaimana menguliti kelinci dalam satu gerakan tanpa terputus, bagaimana membuat
ramuan mandi menyegarkan dengan air almond, bagaimana membuat pipa dari tanah
liat dan merokok. Dari wanita tua itulah si Monyet belajar enaknya tembakau.
Setiap pagi dia berjalan di sisi wanita tua itu, menarik keretanya ke lapangan
desa. Hari-hari sangat panjang dan panas, dan tak banyak orang yang membeli
binatang kurus Ciccolina. Kadang, hanya Pomaricci sang guru sekolah pelanggan
?Ciccolina yang paling setia, namun juga paling menyebalkan yang membeli daging.
?Pada siang hari, Prosperine akan melihat kedua adiknya berjalan-jalan di lapangan,
melambaikan tangan dengan cepat dari seberang jalan, berpura-pura tak mendengar
saat dia memanggil mereka untuk datang, duduk dan mengunjunginya. Adik-adiknya
sendiri, yang dia cintai dan dia asuh sejak kecil, sekarang mengabaikannya
karena dia bersama strega tua itu. Sedangkan ayah Prosperine, tak pernah sekali
pun dia meninggalkan toko makaroni dan berjalan ke lapangan untuk melihat
putrinya atau menanyakan bagaimana kabarnya.
Setelah menemukan wajah Santa Lucia, sang Martir Perawan, di faccia Violetta
D'Anunzio, Gallante Selvi mengubah rencananya dan mengumumkan bahwa dia akan
tinggal di Pescara selama bulan September. Setiap pagi, dia bertemu dengan
Violetta di pondok Ciccolina dan mengajaknya pergi ke laut. Di sana, Selvi
membungkusnya dengan kain linen atau renda atau kain putih biasa menggambar dan
?melukisnya pose demi pose.
Di kota, tersebar berita bahwa gadis ceroboh yang memahkotai Bunda Suci di
Festival Pengangkatan Bunda Maria ke Surga dan membuat semuanya
berantakan putri si penjual ikan itu! sekarang akan diabadikan sebagai Santa
? ?Lucia,sang Martir Perawan, dalam mahakarya lukisan kaca di katedral agung Kota
Torino. Menurut berita, Gallante Selvi sengaja datang ke Pescara untuk
mencarinya karena hanya gadis yang sudah disentuh matahari Pescara yang cocok
?untuk karya seni itu! Gosipnya, Santa Lucia sendiri muncul dalam pertanda yang dialami
seniman itu dan membimbingnya ke Violetta. Sepanjang hari, si Monyet duduk di
lapangan dan mendengarkan gosip tentang temannya.
D'Annunzio si penjual ikan, awalnya melarang anaknya berpose untuk sang artiste
bukan karena pertimbangan moral, tapi karena ikan-ikan jadi tak terurus. Ada
ratusan ikan makarel yang harus dibersihkan, diasinkan, dan dijual. Mengapa
harus membayar seorang pembantu kalau dia bisa mendapatkan bantuan dari putrinya
secara gratis" Tapi passione Violetta pada Gallante Selvi membuatnya tergilagila sehingga dia membangkang pada ayahnya dan tetap pergi, dan sebelum
D'Annunzio punya waktu untuk mengejarnya, bisnisnya mulai meningkat secara
dramatis. Tiba-tiba semua orang di Pescara ingin membeli ikan mereka dari ayah
Santa Lucia! Kadang pada pagi hari, Violetta dan Prosperine berpapasan di jalan desa, si
gadis cantik terburu-buru berjalan ke arah laut untuk berpose, sementara
temannya yang berwajah jelek menuju arah berlawanan, ditemani wanita tua bungkuk
itu dan ayam serta kelincinya yang setengah kelaparan. Kadang menjelang sore
hari mereka berdua berpapasan lagi, masing-masing menuju arah berlawanan.
Awalnya, ketika mereka bertemu di jalan, mereka melambai atau mengangguk. Namun
setelah beberapa saat, Violetta melengos dan tak mau bicara. Kediamannya seperti
pisau yang menghunjam ke jantung Prosperine. Si Monyet tahu bahwa di rumah Ciccolina mereka
tak hanya melukis dan berpose, saat si wanita tua dan dia pergi ke
lapangan bahwa Gallante Selvi dan temannya yang cantik melakukan tahan kuda. ?Lagi pula, Prosperinelah yang mencuci darah Violetta dari seprai sang pelukis.
Kadang setelah mereka berpapasan di jalan, Prosperine akan melihat ke belakang
dan mengintip temannya. Violetta terlihat bertambah cantik, kulitnya sekarang
agak gelap dan bersinar, rambutnya liar dan berantakan terkena angin dan air
asin Adriatico. "Dia dulu jauh lebih cantik daripada sekarang," katanya.
Aku duduk tegak di kursiku. "Dari sekarang?"
Si Monyet terlompat sedikit, seakan-akan ingat bahwa dia tidak bicara sendirian,
tapi bicara pada Tempesta. "Maksudku ... maksudku jauh lebih cantik daripada yang
bisa kubayangkan," katanya. "Kalau dia masih hidup. Tapi kita tak akan tahu. Dia
sudah lama meninggal. Violetta terkubur di Italia."
Prosperine memandangku. Aku membalasnya dan menahan lidahku. "Teruskan," kataku.
"Teruskan ceritamu."
Saat dia berpapasan dan melihat Violetta di jalan adalah saat di mana Prosperine
merasa paling merana tentang kehidupan barunya. Sendirian
dengan wanita tua itu, dia tak bahagia, tapi juga tidak sedih, dan pelan-pelan
kerinduan akan ayah dan adik-adiknya menghilang. Terbebas dari pekerjaan membuat
makaroni, dia baru sadar betapa dia benci pekerjaan itu repetizione, pegal-pegal
di punggung, kaki dan lengannya tiap hari. Kalau dia tetap di rumah, mungkin dia
akan jadi bungkuk seperti wanita tua itu. Siapa tahu" Mungkin itu akan jadi
nasib adik-adiknya yang telah mengabaikannya" Tuhan menghukum pengkhianatan
seperti itu, bukan" Pada hari Minggu, Prosperine diizinkan untuk mengikuti Misa di desa dan sudah
menjadi kebiasaannya untuk pergi tiap minggu hingga suatu hari ketika Ciccolina
menderita pusing-pusing. Si Monyet tinggal untuk membantunya. Hari itulah
pertama kali si wanita tua memanggilnya figlia mia, dan mengisyaratkan akan
mewariskan sebuah bakat besar padanya. Wanita tua itu mengatakan hal ini sambil
menarik Prosperine mendekat dan menepuk wajahnya. Si Monyet tak lagi takut
padanya, atau khawatir wanita tua itu punya kekuatan untuk mencelakainya. Saat
Ciccolina tersenyum dan menyentuh wajahnya, Prosperine menyadari bahwa strega
itu ternyata lebih buta daripada yang dia duga. Dia mengamati bulu-bulu halus
janggut wanita tua itu yang memutih, hidung besar yang bopeng seperti jeruk
lemon, gigi cokelatnya yang lebih rusak daripada batu jalan di lapangan. Tak ada
hal dalam diri Ciccolina yang membuat Prosperine takut lagi tidak juga dua mata
?katarak dengan caccoia kuning di pinggirnya, bahkan tidak juga benjolan tumor keunguan di dahi
wanita tua itu. Si Monyet memberanikan diri menyentuh benjolan itu, lalu
mengamati jari-jarinya pelan-pelan mendekatinya. Menyentuhnya. Kehangatan
benjolan itu mengejutkannya .... Figlia mia, itulah nama panggilan Ciccolina
untuknya. Pertengahan September, sekelompok orang mulai berkumpul di dekat pantai untuk
melihat Gallante Selvi menggambar dan melukis celebrita Pescara untuk lukisan
religiusnya di kaca. Penduduk kota dan pelancong datang untuk melihat dan
berdoa. Para biarawati tua yang du-lu mengajar Violetta yang sering menampar
? dan memarahinya karena nakal sekarang seperti kehilangan ingatan. "Dia adalah ?gadis yang manis," kata mereka. "Sangat patuh dan pintar. Sangat taat."
Sering yang berada di deretan penonton paling depan adalah pastor desa yang
memilih Violetta untuk membawa mahkota pada Festival Pengangkatan Maria ke
Surga. Sekarang, dia merasa berperan dalam pemilihan Gallante Selvi pada
Violetta sebagai modelnya. Prosperine sudah lupa nama pendeta itu dia biasa
?memanggilnya Padre Pomposo, dan itulah nama yang teringat olehnya sekarang. Dia
sangat suka stravaganza dan membanggakan diri. Bukankah dia punya mata terlatih
yang bisa melihat kecantikan spiritual" Bukankah ada hubungan suci antara
dirinya dan proyek lukisan kaca Selvi" Dia mulai berencana mengadakan festival
religius setelah mahakarya
Gallante Selvi selesai dan mungkin juga perjalanan ziarah ke Torino begitu
pembatas altar itu sudah dipasang di katedral. Sedangkan Violetta, dia sangat
dipuja. Hanya dalam sebulan, gadis yang dulu sering mengganggu pedagang di jalan
dan nelayan, serta bekerja sebagai pembuang tulang ikan, berubah menjadi Ratu
Pescara! Suatu siang, Violetta dan Gallante menghentikan pekerjaan mereka dan pergi ke
lapangan desa untuk berbelanja dan membanggakan diri, serta makan gelato di
trattoria-kafe yang sama yang tendanya dulu digunakan Violetta dan Prosperine
bersembunyi saat mengganggu wanita tua yang kini mulai disayangi si Monyet.
Sekarang, dari tempatnya di seberang jalan di antara kandang ayam dan kelinci
Ciccolina, Prosperine melotot pada Violetta. Dia benci baju baru dan sepatunya,
gayanya. Karena dia tahu rahasia mereka.
Saat dia sedang melotot marah, Prosperine melihat Violetta membisikkan sesuatu
pada sang artiste. Lalu seniman itu berpaling pada si Monyet dan menegur, "Apa
yang kau lihat gadis penjagal?" katanya dari beranda kafe di seberang jalan.
Hari itu Ciccolina sakit sehingga si Monyet pergi ke pasar sendiri. "Apakah
madrina-ku mengajarimu seni // mai occhio" Apakah aku sebaiknya mengangkat mano
coruto untuk menangkal kutukanmu?"
Selvi tertawa saat mengatakan itu dia hanya bergurau. Tapi pelayan dan beberapa
?orang lain yang mendengar perkataannya memandang Prosperine dengan curiga. Wajah
Prosperine memerah karena marah mendengar hinaan itu, dan melihat senyum sinis Violetta! Si
Monyet terus melotot pada mantan temannya itu hingga se-nyum sinis itu hilang
dari wajahnya. Ketika tuan dan nona itu ha! berdiri untuk pergi, Violetta tiba-tiba
? ?terhuyung-huyung hampir menabrak meja, mengeluhkan rasa sakit di kakinya.
"Apakah ini perbuatanmu?" teriaknya pada Prosperine di seberang jalan. "Apa kau
mengirimkan rasa sakit padaku karena kau iri?"
"Bah!" teriak si Monyet membalas. "Suruh temanmu itu berhenti mengunjungi celah
di antara kedua kakimu, 'Santa Lucia', dan rasa sakit itu akan hilang!"
Violetta tersengal dan tergopoh-gopoh malu menuju kereta mereka. Gallante Selvi
menunjuk ke Prosperine dan mengancam akan menghajarnya saat Prosperine kembali
ke rumah madrinanya nanti sore.
"Tuduhan yang menjijikkan," kata seseorang. "Pembangkangan!" kata yang lain
menyetujui. "Memangnya gadis penjagal itu berpikir siapa dirinya?"
"Dia memang aneh penyihir kecil."
?Pada hari-hari berikutnya, Prosperine dipelototi, digosipkan, dan bahkan
diludahi. Bahkan kedua adiknya tak mau memandang ataupun bicara padanya. Di
rumah, Gallante Selvi berusaha memenuhi sumpahnya untuk menghajar Prosperine,
tapi si wanita tua itu menghalangi dan melarangnya. Selvi terpaksa puas dengan
menggerutu marah dan mendorongnya, mengancamnya setiap kali ibu baptisnya tak
mendengar. Tapi sebulan setelahnya, dendam si Monyet terbalas! Tanggal satu Oktober, Selvi
diam-diam meninggalkan Pescara seperti pencuri pada tengah malam. Seorang porter
di stasiun kereta api mengatakan kalau sang artiste membawa dua peti dan dua
portofolio gambar, lukisan Violetta, dan Violetta! Gadis itu tak mengucapkan
selamat tinggal pada siapa pun, bahkan juga ayahnya!
Khawatir bisnisnya bangkrut, D'Annunzio menyebarkan berita bahwa Padre Pomposo
diam-diam telah menikahkan Gallante Selvi dan putrinya sebelum mereka pergi,
tapi hari Minggu berikutnya pastor itu menyangkalnya langsung dari pulpito.
Setelah itu, ayah Violetta melakukan pendekatan berbeda, dengan suara keras
seperti menjajakan ikan dia selalu mengatakan sudah tak mengakui Violetta lagi
sebagai putrinya. Namun bisnisnya tetap saja jatuh dan sebelum bulan Oktober
berakhir, seorang pria mabuk menusuk jantung D'Annunzio dalam perkelahian di bar
dan membunuhnya. Gallante Selvi dan Violetta berhasil ditemukan di Torino dan
diberi tahu tragedi itu, tapi Violetta tak pulang untuk memakamkan ayahnya.
Setiap orang setuju bahwa titisan Santa Lucia yang dulu dihormati di Pescara
telah melanggar perintah ketiga dan kesembilan dari sepuluh perintah Tuhan dan
pasti akan terbakar di neraka selamanya.
Pada bulan November, orang-orang desa sudah
capek membicarakan nama Violetta dan beralih menggosipkan para pendosa lain.
Pada bulan itu pulalah, Prosperine bilang dia menyaksikan sihir aneh yang
melibatkan kelinci. "Ah, akhirnya kelinci!" kataku. "Aku takut aku keburu mati tua sebelum kau
sampai pada pengalaman sihirmu itu."
Si Monyet menyalakan pipanya dan merokok, meneguk anggur, dan terdiam selama
beberapa saat. Aku diam dan menunggu. Lalu dia menghela napas dan meneruskan
ceritanya. "Ada tiga orang yang menyaksikannya," katanya. "Si bungkuk, guru
sekolah Pomaricci, dan aku."
Pomaricci adalah pria yang pelit, kurus dan tinggi, tapi perutnya buncit.
Giginya panjang-panjang dan kuning seperti kuda, dan mulutnya bau. Ciccolina
hampir buta, tapi dia tahu dari bau napasnya ketika Pomaricci datang untuk
membeli daging. Setiap hari, pria itu membeli seekor kelinci atau ayam untuk makan malamnya dan
selalu mengeluh pada wanita tua itu bahwa harganya terlalu mahal, hewannya
terlalu kurus. Kadang, dia menusuknusukkan jarinya ke sela-sela kandang, lebih
untuk mengganggu, bukannya merasakan berapa banyak daging mereka. "Tak lama lagi
aku akan mati kelaparan atau bangkrut karena membeli darimu, wanita tua," keluh
Pomaricci pada Ciccolina.
Lalu dia akan memandang Prosperine dan tersenyum, memperlihatkan seiris kecil
daging yang menempel di giginya dari makan malam kemarin.
Ciccolina biasanya menjawab bahwa orang miskin pun butuh makan, jadi mungkin dia
berpikir Pomaricci akan memilih kelaparan. "Setidaknya aku tak perlu
mendengarkan keluhanmu lagi," katanya.
Suara si Monyet tertahan di tenggorokannya dan terdengar seperti geraman anjing.
Dia mendekatkan kursinya padaku, seakan-akan kami adalah dua penjahat yang tak
ingin pembicaraannya terdengar orang lain.
Hari itu, Pomaricci mengeluh seperti biasanya dan menusuknusukkan jari ke


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kandang Ciccolina. Akhirnya, dia menghela napas dan membuka salah satu kandang
dan mengeluarkan kelinci untuk makan malamnya dengan memegang telinganya.
"Berapa harga sekantong tulang yang sudah hampir mati ini?" tanyanya pada
Ciccolina. Ciccolina mengangkat kelinci itu dan menyebutkan harganya.
"Apa" Kau merampokku, wanita tua!" protes Pomaricci. "Dengan harga itu aku
harusnya mendapatkan daging dua kali lebih banyak daripada yang bisa diberikan
binatang kurus ini." Tapi seperti biasanya dia membuka dompetnya yang lusuh dan
bersiap membayar harga yang diminta.
Hari itu Ciccolina sedang tak enak badan seperti biasa dia menderita pusing ?dan mal di capo. Saat menuju kota, dia dua kali jatuh terduduk di kereta dan
sekali terjatuh di jalan. Dia marah-marah seharian. "Dua kali lipat, ya?"
tukasnya pada spiiorcio Pomaricci. "Kalau daging dua kali lipat akan menutup
mulutmu, maka kau akan mendapatkannya!"
Ciccolina membanting kelinci yang ketakutan itu ke talenan dan menyuruh
Prosperine memegang kakinya. Si Monyet patuh dan golok besar wanita tua itu
berkilat di udara dan menghantam keras ke bawah, membelah kelinci itu pas di
tengah dan hampir saja mengenai ta-ngan kanan asistennya dan payudara kirinya.
Sihir yang dilihat Prosperine hari itu adalah ini: kelinci itu, yang terbelah di
tengah, sama sekali tak meneteskan darah. Tetapi kedua bagian yang terbelah itu
malah memanjang dan tumbuh menjadi kelinci lagi di depan mata Prosperine,
?Pomaricci sang guru sekolah, muncul dua ekor kelinci yang berasal dari kelinci
yang terbelah dua tadi! "Ini! Ambil keduanya dan pergilah!" teriak Ciccolina pada si guru sekolah.
"Kuharap kau tersedak tulangnya!" Dia mengangkat kedua kelinci itu di depan
Pomaricci dengan memegang telinga mereka. Dua kelinci itu meronta-ronta berusaha
melepaskan diri, seperti duapendoii berbulu.
Terpana, Pomaricci menjatuhkan koin uang dari tangannya dan terhuyung mundur
dari keanehan yang dilihatnya. Setelah beberapa langkah, dia
berbalik dan lari, berteriak-teriak tentang makan malamnya dan pekerjaan setan.
Ciccolina mencengkeram lengan Prosperine. Dengan jempolnya, dia membuat tanda
salib di dahi si Monyet. "Benedicial" bisik wanita tua itu. "Katakan cepat!
Benedicial Dan buat tanda salib!"
Gadis yang terpana itu melakukan apa yang diperintahkan padanya, tapi dalam
keadaan setengah sadar. Apakah dia bermimpi" Apakah yang dia lihat tadi benarbenar nyata" Matanya yang tak percaya tak bisa mengalihkan pandangan dari dua
kelinci yang berasal dari satu kelinci itu.
Malam itu, lonceng gereja berdentang mengumumkan kematian Pomaricci yang
meninggal karena serangan sawan.Sedangkan strega tua dan putri sulung pembuat
makaroni itu, melakukan perayaan! Ciccolina menyuruh Prosperine menyembelih dan
menguliti dua kelinci itu. Awalnya gadis itu mengira dia tak akan bisa membunuh
dan menguliti dua makhluk sihir itu, apalagi menggorengnya dan memakan
dagingnya. Tapi dia bisa! Mereka berdua makan daging kelinci dan zucca dari
kebun si wanita tua, dan roti yang dicelupkan ke dalam saus tomat. Benar-benar
makan besar! Sehingga Prosperine mengira perutnya akan meledak seperti
palhncino. Itu adalah makanan terenak yang pernah dia rasakan!
"Aku tahu hal itu kedengarannya gila, Tempesta," kata Prosperine malam itu
padaku. "Tapi aku berani
bersumpah di bawah kaki Yesus Kristus sendiri bahwa itu memang terjadi seperti
yang kukatakan! Aku memang melihatnya! Aku tahu itulah yang sebenarnya!"
Sampai di situ, si Monyet bergeser begitu dekat padaku sehingga aku bisa membaui
napasnya yang hangat berbau anggur dan tembakau. Dia memegang lututku dan mulai
berbisik, seakan-akan apa yang diceritakannya ini rahasia antara aku dan dia.
"Apa yang kulihat hari itu, Tempesta?" katanya. "Sebuah dosa" Mukjizat"
Pertanyaan itu muncul lagi di kepalaku kemarin ketika aku membantu kelahiran
anak kembar istrimu anak lelaki yang mati dan anak perempuan yang lahir dengan ?bibir kelinci. Apa artinya itu, Tempesta" Katakan padaku. Apa artinya?"
"Wanita bodoh," kataku, dan sedikit menjauhkan kursiku dari si bodoh itu. "Itu
artinya kau seharusnya membuang jauh takhayul dan allucinazioni-mu ke laut saat
ke sini. Mal occhio dan mukjizat bah! Kau mengatakan hal-hal yang hanya
?dipercayai orang idiot dan petani bodoh."
"Hati-hati dengan perkataanmu, Tempesta," dia memperingatkan, mengacungkan jari
kurusnya padaku. "Kalau tak ada bayangan berarti tak ada cahaya. Semoga Tuhan
menolong orang yang melakukan bid'ah!"
Kami duduk terdiam, si Monyet dan aku, kata-kata bid'ah, menghantam jiwaku
seperti batu. Dan aku kembali merasakan beban putraku yang mati di
lenganku. Melihat jempolku membuat tanda salib di dahinya. Kalau putraku
dibaptis oleh tangan seorang bid'ah, maka jiwanya tersesat dan tak terlindungi.
Aku telah mengirimnya ke Neraka, bukan ke Surga.
"Lebih baik kau diam dan tidur," kataku pada si Monyet. "Ignazia akan
membutuhkan bantuanmu sebelum matahari terbit dan kau akan pusing karena minum
alkohol dan tidak tidur."
Prosperine berdiri dan menunggu, menghalangi cahaya bulan yang menyusup lewat
jendela. Ada hal yang ingin dia katakan.
"Apa?" tanyaku tak sabar. "Apa yang kau inginkan sekarang?"
"Aku tahu apa yang dibilang dottore padamu," katanya.
"Dottore tidak mengatakan apa-apa padaku," jawabku. "Aku tak tahu apa yang kau
bicarakan." "Aku tahu kalau dia hamil lagi, dia bisa meninggal," katanya. "Jantungnya bisa
berhenti." "Memangnya kenapa?" kataku. "Itu adalah masalah pribadi antara suami dan istri.
Jangan ikut campur."
"Datanglah padaku kalau kau butuh," katanya. "Eh?"
"Ingatlah janji yang kuucapkan padamu saat kita tiba di sini. Kalau kau
melukainya, aku akan membalasmu. Kalau kau butuh, datanglah padaku dan
lakukanlah." Awalnya aku tidak mengerti apa yang dia katakan, dan ketika akhirnya aku
mengerti, memikirkannya saja membuatku muak. "Aku tak mau meniduri seekor monyet," kataku.
"Dan aku juga tak mau ditiduri orang bodoh," balasnya. "Tapi aku mau
melakukannya demi dia. Apa peduliku, asal itu bisa membuatnya tetap hidup" Itu
tak ada artinya bagiku. Kuperingatkan kau, jauhi dia. Ingatlah, Tempesta. Aku
pernah membunuh." Aku menertawakannya. "Guru sekolah yang malang mati karena sawan dan kau
mengklaim bertanggung jawab. Ha! Itu adalah kehendak Tuhan, bukan kau. Kalau ada
orang bid'ah di dapur ini, orangnya adalah kau.1"
"Aku tidak mengklaim bertanggung jawab atas kematian Pomaricci," katanya. "Aku
tidak bilang dia mati karena sihir itu. Aku juga tak bilang dia mati bukan
karena itu." Prosperine mengangkat gelas anggurnya yang kosong dan membantingnya lagi ke
meja, membuatnya retak. "Orang yang aku bunuh itu adalah Gallante Selvi,"
katanya. "Pelukis kaca bajingan itu."
"Kau bilang dia meninggalkan Pescara," kataku.
"Aku bilang dia memang pergi," katanya. "Dan sekarang kubilang padamu bahwa dia
kembali!" Jantungku berdegup kencang, tanganku basah oleh keringat. "Duduklah kalau
begitu," kataku padanya. "Duduk dan ceritakan padaku selanjutnya."
Setelah dia melihat sihir kelinci Ciccolina, Prosperine
mengabdikan seluruh hidupnya pada strega tua itu, yang sekarang dia sayangi
sekaligus takuti. Dia memohon pada Ciccolina untuk mengajarkan kekuatannya, tapi
selama berminggu-minggu wanita tua itu menolaknya dengan anggukan dan senyum,
pura-pura tak mendengar. Lalu ketika musim Epiphany mendekat, wanita tua bungkuk
itu mulai mengisyaratkan bahwa waktunya sudah dekat bahwa tengah malam saat ?malam Natal adalah waktu ketika para ibu memberikan anugerah rahasianya pada
anak perempuan mereka. Dan saat itulah Ciccolina mengajarinya pada malam Natal terakhir hidupnya,
?sebelum terlambat. Tengah malam, saat lonceng gereja berbunyi di desa merayakan
kelahiran bayi Kristus, Ciccolina memulai pelajaran untuk Prosperine: bagaimana
mendiagnosis dan menyembuhkan // mal occhio. Gadis itu memohon agar diajari hal
lain juga bagaimana mengirimkan mata setan, menyebabkan penderitaan bagi orang
?yang telah menghinanya. Lagi pula, dia memang punya musuh: para penduduk desa
yang meludah di depannya dan memanggilnya "penyihir cilik"; seorang ayah yang
menjualnya pada Gallante Selvi; dan yang paling utama: Gallante Selvi
sendiri yang telah mengubah temannya Violetta jadi membencinya dan menculik
?temannya itu dari desa! Tapi Ciccolina menolak mengajarkan seni balas dendam
pada si Monyet. Mungkin wanita tua itu sudah menduga dia akan menggunakan
kekuatan itu pada putra baptisnya. Mungkin juga tidak. Dunia ini sudah terlalu
penuh dengan niat buruk, kata Ciccolina padanya sudah terlalu banyak orang sombong
?yang merasa dirinya sebagai Tuhan.
Pada malam Natal itu, Ciccolina mengambil dari balik syalnya, kalung cabe merah
yang sudah dia keringkan dan dia rangkai pada musim panas sebelumnya. "Pakai
ini," katanya pada Prosperine. "Ujung-ujung corno ini akan menolak mata setan
dan melindungimu." Dia menyuruh gadis itu untuk mengambil minyak zaitun dan mengambil tiga mangkuk
Air Suci dari tangki air yang sudah diberkati Padre Pomposo dalam kunjungannya
musim panas lalu. Sepanjang malam, si Monyet mengulang-ulang mantra yang
diajarkan Ciccolina, berlatih membaca minyak di atas air. Ketika wanita tua itu
puas bahwa keahliannya sudah diajarkan, dia meludah ke tangannya dan meminta
Prosperine menutup mata. Dia mengusapkan ludahnya ke pelupuk mata Prosperine.
"Che puozze schiattaf" gumamnya berulang-ulang bukan pada Prosperine, melainkan
pada kegelapan. Lalu dia menyuruh gadis itu mengusap bungkuk di punggungnya
untuk keberuntungan. "Benedicial" kata Ciccolina. "Gunakan apa yang kau tahu
untuk melawan kejahatan."
Ciccolina meninggal bulan depannya, di samping si Monyet, di ranjang tempat
mereka berdua tidur tiap malam. Prosperine langsung tahu ketika dia terbangun
pada pagi hari. Dia melompat dari ranjang, mencoba memanggil dan menggoyangkan
badan strega tua itu. Ketika dia yakin bahwa wanita tua itu sudah meninggal, dia
menuangkan Air Suci ke sebuah mangkuk, meletakkannya di sebelah tubuh Ciccolina
dan memercikkan minyak di atasnya. Butiran-butiran minyak itu tidak menyebar,
tapi tetap membulat di permukaan, yang artinya jiwa Ciccolina beristirahat
dengan tenang. Si Monyet menutup mata wanita tua itu dan mencium tangannya,
wajahnya, bahkan benjolan tumor di dahinya. Wanita tua itu baik padanya, seperti
seorang madre, dan Prosperine menyayanginya walaupun dia buruk rupa.
Notaris mengabarkan berita kematian Ciccolina pada Gallante Selvi dan pelukis
itu mengirim instruksi bahwa Prosperine akan meneruskan merawat rumah ibu baptis
dan bisnisnya. Dia akan kembali ke Pescara pada musim panas untuk membayar ayah
Prosperine atas jasa Prosperine dan melukis lukisan kacanya di bawah cahaya
matahari musim panas Pescara. Tak ada tempat lain di Italia yang cahayanya
sempurna untuk karya vetro colorito-nya kecuali Pescara. Kunjungan itu juga
memungkinkan istri kecilnya mengunjungi kembali para pengagumnya.
Istri kecilnya! Seakan-akan dia tidak berbohong tentang perkawinannya, kalau
begitu dia adalah figiiu d'una mingia yang lebih besar daripada yang dibayangkan
si Monyet. Dan Violetta D'Annunzio adalah orang yang sangat bodoh!
Di sini, aku mengangkat tanganku untuk menghentikan cerita Signorina Muka
Monyet. "Aspetti uno momento!" kataku. "Apakah kau mengisahkan teka-teki?"
"Aku mengisahkan kebenaran!" protesnya. "Mengapa kau bilang teka-teki?"
"Aku tak bisa memahami mengapa kau menganggap temanmu bodoh karena menikahi
seniman kaya dan menjadi model seni daripada menghabiskan seumur hidupnya
membersihkan ikan dan digoda nelayan miskin. Ha! Apa yang kau harapkan bahwa ?Selvi akan mengabadikan-mu dalam karya seni suci" Menikahi-mu" Dan apa maksudnya
kau membunuh pria malang ini" Bagaimana kau membunuhnya memecahkan pembuluh
?darah di otaknya dengan il mal occhio?"
Tinju Prosperine menghantam meja, membuatku terlompat kaget. "Aku membunuhnya
dengan hasil karyanya," geramnya.
"Apa" Hentikan khayalan ini, Perempuan. Chian-tiku sudah membuatmu gila."
"Chiantimu sudah membuatku mengatakan kebenaran kepada orang bodoh," tukasnya.
"Aku lebih baik diam saja saat aku mengisahkan rahasiaku."
"Baiklah kalau begitu, bicaralah!" kataku. "Bicaralah hingga matahari terbit.
Bicaralah hingga lidahmu terlempar keluar dari mulutmu. Bagaimana kau membunuh
pelukis malang itu" Katakan padaku! Bicara!"
Gallante Selvi kembali ke Pescara dengan penuh gaya. Dia dan Violetta tiba di
lapangan Pescara dengan iringan tiga kereta yang ditarik tiga ekor kuda yang
diikuti kereta satu kuda. Kereta pertama dinaiki pasangan itu dan barang-barang
mereka. Sementara kereta kedua mengangkut "mahakarya" Selvi yang belum selesai,
untuk dirakit dan dilas nanti di Torino. Kereta ketiga mengangkut bahan-bahan
yang diperlukan untuk pekerjaan Selvi. Kereta itu mengangkut tungku kecil yang
digunakan sang seniman membakar lukisannya ke dalam kaca. Setiap bagian kaca
yang akan menjadi mahakaryanya dibungkus kain dan selimut agar tidak pecah. Ha!
Violetta juga dibungkus-bo/ero merah berbulu dengan aigleti emas, topi bulu
bergaya di kepalanya. Dia pasti terlihat seperti seorang wanita terhormat kalau
saja tak tenggelam dan menyedihkan dalam baju barunya.
Tentu saja, kedatangan mereka pada siang hari menarik perhatian orang. Selvi
selalu senang menjadi strombazzatore. Dia berdiri dan berpidato tentang
kecantikan dan seni. Katanya dia dan Violetta kembali untuk berduka di makam
madrinanya tercinta dan padre tersayang Violetta, dan juga agar dia dapat
menangkap chiaroscuro untuk pembatas altar Santa Lucia dengan warna biru seperti
Adriatico yang terlihat dari Pantai Pescara. Dia mengatakan bahwa dia merasa
sedih karena harus berpisah dengan karya-karya lukisnya di Torino dan tukang
kacanya yang terpercaya yang menyatukan kepingan-kepingan karya
seninya. Tapi dia rela memanggang karyanya dan melapisinya dengan kaca sendiri
di Pescara. Hanya warna-warna di Pescara yang cocok untuk mantel dan mata Santa
Lucia, Sang Martir Perawan!
Dia lalu merengkuh tangan Violetta yang bersarung tangan dan menciumnya sehingga
membuat para wanita desa menghela napas terpesona. Semua kecuali si Monyet! Dia
meludah mendengar kebohongan faccia brutta itu.
Selvi dan ayah si Monyet membuat perjanjian bahwa Prosperine tetap tinggal di
rumah Ciccolina untuk memasak dan merawat rumah, saat artiste dan "istrinya yang
terhormat" berkunjung. Seperti biasa, ayahnya mengabaikan protes Prosperine dan
mengatakan bahwa putri yang selalu mengeluh sama seperti anjing menggonggong
yang harus dihajar. Pada hari pertama mereka di Pescara, Violetta dan Selvi bersikap sopan dan penuh
kasih sayang terhadap satu sama lain berakting di depan Padre Pomposo dan tamu ?penting lainnya yang datang ke pondok kecil Ciccolina. Tapi malam itu, dari
balik dinding, Prosperine pertama kali mendengar pertengkaran dan perkelahian
pasangan itu. Keesokan paginya, Selvi mengeluh bahwa bubur yang dimasak Prosperine untuk
sarapannya terlalu halus dan seperti minuman babi. Dia melemparkan sereal itu ke
dinding, hampir saja mengenai kepala si Monyet lalu keluar berjalan-jalan ke
pantai. Violetta masuk dapur kecil itu, menutupi matanya yang bengkak dengan tangannya.
Dia bilang ke Prosperine, sebaiknya dia melupakan persahabatan mereka dulu. Itu sudah lama
sekali dan banyak hal yang sudah berubah. Prosperine sebaiknya ingat siapa yang
pelayan dan siapa yang jadi nyonya rumah.
"Cium tanganmu Signora Aristocratica," kata si Monyet. "Pasti masih bau ikan."
Wajah Violetta yang lebam dan membiru cemberut. "Siapkan air hangat untuk
mandiku dan tinggalkan aku," katanya. Prosperine menyiapkan air mandi untuknya,
tapi tak mau mematuhi perintah kedua. Dari pintu, dia memandang Violetta membuka
jubahnya, memperlihatkan bekas-bekas merah jejak perbuatan Selvi. Violetta kaget
ketika berbalik dan melihat si Monyet. "Keluar! Keluar!" teriaknya. "Aku tak
bisa menerima ketidakpatuhan ini!" Tapi Prosperine malah mendekat.
Violetta tergesa mengambil gaun malamnya dan menutupkan ke tubuhnya sebisanya.
Tapi begitu banyak luka di kulitnya dan dia tak bisa menutupi semuanya. Hati
Prosperine sakit melihat apa yang telah dilakukan Selvi pada temannya. "Ini
semua tak akan terjadi kalau saja kau tak membiarkannya menjadikanmu
puttananya," katanya pada Violetta.
"Berani sekali kau menjulukiku seperti itu!" teriak Violetta. "Kau, yang
membiarkan wanita tua itu mengubahmu jadi penyihir!"
"Bah!" Prosperine menjawab kembali. "Puta!"
"Bah!" Violetta membalas. "Strega!"
"Putal" "Stregal" "Putal" "Strega" Violetta mengulurkan tangan dan menampar wajah si Monyet.
Ketika Prosperine mengangkat tangan hendak membalas, Violetta mengerutkan tubuh
dan rasa takut memancar dari matanya sehingga tangan Prosperine turun dengan
sendirinya. Istri Gallante Selvi yang penakut ini sama sekali bukan seperti
gadis periang yang suka menggoda para nelayan di pelabuhan dan menjelaskan
"tahan kuda" pada Prosperine dan adik-adiknya. Artiste itu telah menghancurkan
semua keceriaan Violetta. Sekarang, nasib Violetta semalang kelinci di kandang
wanita tua itu terikat nasib seperti tali yang mengikat kambing Ciccolina.?Dua wanita itu saling berpelukan dan menangis. Sepanjang pagi itu, Violetta
menceritakan bagaimana kehidupannya selama setahun ini. Selalu dipukul,
dihinakan. Suatu kali ketika dia menolak Selvi di ranjang, laki-laki itu menuduh
dia selingkuh tak sesuci wajahnya yang telah dia lukis. "Selingkuh dengan


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?siapa?" Violetta bertanya dan Selvi menyebut setengah nama teman-teman mabuknya
yang sering diundangnya ke appartamento, menceritakan dengan detail perilaku
cabul yang menurutnya dilakukan Violetta dengan mereka. Lalu seakan-akan
Violetta benar-benar bersalah atas tuduhannya itu, Selvi menyeretnya ke wastafel
dan memasukkan kepalanya ke air begitu lama sehingga Violetta yakin dia akan
mati tenggelam. Kali lain ketika dia terlalu banyak
bergerak saat berpose sebagai Santa Lucia, Selvi membantingnya ke dinding hingga
pingsan. Bahu kirinya tak berfungsi normal lagi sejak itu. "Dan dia punya teman,
Rodolpho, seorang fotografo yang menjijikkan," bisik Violetta, di antara sedu
sedannya. "Dua kali Gallante menyuruhku berpose untuk orang itu memerintahkanku
?untuk melepas pakaian, merentangkan kakiku dan lebih buruk lagi, sementara
temannya memotret. Kedua kalinya aku memohon agar dia tak melakukan itu. Aku
sedang keguguran, Prosperine! Malam itu, Gallante menuduhku menikmati apa yang
dia suruh aku lakukan untuk fotografer itu dan membakar punggung dan kakiku.
Pria macam apa yang menyuruh istrinya melakukan hal seperti itu dan membakarnya"
Kukatakan padamu, Prosperine, aku membuat kesalahan besar pada hari aku
meninggalkan Pescara. Sering aku berpikir untuk bunuh diri agar bisa terlepas
dari dia. Neraka pasti tak lebih mengerikan daripada menikahi monster yang
melukis santa, tapi sebenarnya dia adalah setan."
Ketika Violetta tak punya cerita mengerikan lain untuk dikatakan, tak ada lagi
air mata, Prosperine memandikannya dengan air almond dan mengusapkan minyak
zaitun ke lebam dan bekas lukanya. Lalu dia memakaikan bajunya dan menyisir
rambutnya seperti yang dia lakukan dulu. Violetta masih menyimpan sisir kulit
penyu itu. Dia berkata pada Prosperine bahwa sentuhannya adalah obat dan si
Monyet menidurkan temannya dengan
pakaian bersih dan menatapnya saat tidur.
Siang itu di lapangan desa, Prosperine membunuh dan menguliti banyak
kelinci hari yang sibuk. Belum pernah dia merasa sepuas ini saat menyembelih.
?Setiap kibasan pisau, setiap kelinci yang berdarah dan sekarat di depannya, dia
bayangkan adalah si Gallante Selvi. Pria itu akan mendapatkan ganjaran setimpal
atas perbuatannya pada temannya, sumpah Prosperine. Dia akan membayar dengan
nyawanya. Tapi itu tidak mudah. Apa yang bisa dia lakukan" Menusukkan pisau ke jantungnya
saat orang-orang Pescara melihatnya melukis" Memenggal kepalanya di lapangan
desa dengan golok madrinanya" Selvi memang pantas mendapatkan itu, tapi
Prosperine tak mau menghabiskan sisa hidupnya di penjara. Apalagi setelah
temannya yang cantik kembali ke Pescara Violetta butuh perawatan dan
?perlindungan. Awalnya Prosperine berusaha mengirimkan // mai occhio pada Selvi. Meskipun
Ciccolina tak mengajarkannya sihir untuk membalas dendam, Prosperine berpikir
karena dia tahu bagaimana menyembuhkan dan mendiagnosis mata setan, dia mungkin
juga punya kekuatan untuk mengirimkan mata setan lewat matanya memberikan apa
?yang pantas untuk setan itu saat Tuhan terlalu sibuk untuk menghukumnya. Selama
dua hingga tiga hari berikutnya, Prosperine membelalak dan memandang Gallante
Selvi dengan kebencian dalam jiwanya. Dia memandang saat pria itu makan dan
tidur, melukis dan mengelas. Melotot melawan setiap kali pria itu mengeluhkan pekerjaan
Prosperine: bagaimana sapunya membuat debu beterbangan sehingga dia bersinbersin, wajahnya yang cemberut membuat mata Selvi sakit, bubur jagung yang
dimasak Prosperine tiap pagi untuknya terlalu halus dan tidak ada rasanya.
Tapi semua itu tak berguna. Semakin lama dan kuat dia memelototi Selvi dengan
niat buruk, pria itu terlihat semakin kuat dan sehat. Pada malam hari, suara
Violetta yang menangis dan memohon akan membangunkan Prosperine dari tidur yang
gelisah. Pada pagi hari, istri yang menderita itu akan menceritakan penghinaan
yang dialaminya, menunjukkan luka baru bekas gigi, di pahanya, seakan-akan ?suaminya itu adalah anjing buas dan bukannya manusia! Tapi anjing itu akan mati,
sumpah si Monyet dalam hati. Dan ketika dia pertama kali membisikkan kata
pembunuhan ke Violetta, Violetta tidak menghentikannya. Dia mendengarkan dengan
tenang, tangannya bergerak-gerak gelisah. Takut dan harapan ada di matanya.
Pembuatan pembatas altar-"mahakarya" Gallante Selvi yang belum selesai tidak
?berjalan dengan baik. Dia adalah seorang perfek-sionis dalam kerjanya, selalu
melukis di kaca-kaca kecil sebelum menambahkan lukisan seujung jari di karyanya
yang belum selesai. Ketika tak puas dengan usaha itu, dia akan melemparkan kaca
kecil itu ke dinding atau menendang kambing atau menjambak rambut
istrinya atau menamparnya. Dia akan mengelas potongan-potongan kaca itu tetapi
kemudian tak puas, membukanya lagi dan membanting pekerjaan sehari atau beberapa
hari ke tungku besi. Semua usahanya untuk menangkap azzuro suram laut tak pernah
berhasil menurutnya. Lagi dan lagi, dia mencampurkan warna dan bubuk timah dan
mencoba hasilnya di potongan kaca. Dia menulis resep campuran warnanya dan
menunggu cat itu mengering ke kaca di dalam tungku gugup seperti seorang ayah
yang menantikan kelahiran anak. Dan ketika dia mengeluarkan hasilnya dan
melihatnya, dia selalu menganggapnya salah dan melemparkan kaca panas itu sambil
mengumpat-umpat. "Persetan Perawan Maria!" katanya, atau, "Yesus Kristus
sialan!" Setelah Selvi marah-marah seperti itu, Prosperine harus segera datang dan
menyapu bekas-bekas kacanya. Selvi suka bekerja telanjang kaki dan berkata akan
memukul Prosperine sampai buta kalau sampai kakinya terkena kaca. Jadi, setiap
kali Prosperine mendengar suara ka-ca pecah dibanting, dia harus segera
mengambil sapu dan lari. Setiap hari, Prosperine menambahkan pecahan kaca, wadah
cat, dan kawat ke tumpukan di belakang kandang kambing. Lalu suatu pagi, seekor
anak kambing mengunyah talinya dan berhasil lepas. Dia memakan pecahan kaca
Selvi. Siang harinya, Prosperine melihat bagaimana binatang itu memuntahkan kaca
dan kawat. Sebelum matahari tenggelam, kambing malang itu kejang-kejang,
mengalami pendarahan dan mati. Saat itulah Prosperine tahu bagaimana dia akan
membunuh Gallante Selvi. Violetta dan Prosperine melakukan persiapan selama berhari-hari, berbisik-bisik
ketika Gallante di dekat mereka dan buru-buru mempersiapkan apa yang akan mereka
butuhkan ketika Selvi pergi. Mereka memutuskan akan melakukannya pada hari
Minggu satu-satunya hari dalam seminggu ketika Prosperine tidak pergi ke
?lapangan. Dia mengumpulkan pecahan kaca yang dibuang Selvi, menghancurkannya
hingga jadi remah-remah dan pecahan kecil dan menumbuknya jadi bubuk. Kres,
kres, kres dia masih bisa mengingat suara kaca itu saat bertumbukan dengan alu
dan tumbukan. Di sebuah panci, dia merendam dan mendidihkan potongan-potongan
kabel yang digunakan Selvi untuk menyatukan kaca. Sedikit demi sedikit, mereka
akan meracuninya dengan timah dan menghancurkan ususnya dengan kaca. Mereka
bekerja ketika Selvi pergi ke bar untuk minum, atau ke laut untuk berenang.
Kalau dia mau menelan makanan yang sudah mereka racuni, mereka akan bebas dari
tiraninya. Pada hari Sabtu, Prosperine dan Violetta sudah mempunyai setumpuk
bubuk kaca. "Besok pagi, buburnya tak akan terlalu halus lagi," bisik Prosperine pada
Violetta. "Dia akan senang!" Tapi dia tak mau mengambil risiko: hari itu,
Prosperine akan memasak braciola yang dibungkus dengan daging kambing dan kacang
walnut dan ditambah bubuk spesial mereka untuk makan siang Selvi. Untuk makan malam, dia
akan memanggang ayam yang diisi dengan roti jagung dan pignoli dan lebih banyak
bubuk itu! Malam harinya atau keesokan harinya, Selvi pasti akan mati seperti
kambing kecil Ciccolina. Bastardo itu akan mati karena digestione-nya\
Prosperine duduk diam dan memejamkan mata. Apakah dia mengatakan kebenaran"
Mengisahkan cerita itu untuk menakutiku" Apakah dia jadi torpore karena anggur
itu" Mengapa dia menghentikan ceritanya sekarang"
"Bangun," kataku dan menggoyang lengannya. Matanya terbuka.
"Tempesta," geramnya. "Aku berhasil!"
Keesokan paginya, Gallante Selvi makan sarapannya tanpa mengeluh dua mangkuk ?bubur jagung dengan tambahan garam, dan remah kasar juga air yang diracuni
timah. Violetta dan Prosperine pura-pura sibuk, menahan napas hingga sendok
terakhir hing-ga mereka mendengar sendawa puas Selvi. Sejam kemudian, pria itu
?sudah mengeluh haus, mual, dan rasa aneh yang tak mau hilang dari mulutnya.
Kalau saja dia bisa buang kotoran, dia akan merasa lebih baik.
"Obat pencahar Ciccolina akan membantumu," kata Prosperine. "Rasanya tak enak,
tapi manjur." Dia menyeduhkan teh dari akar lemon, adas, dan air timah, dengan tambahan bubuk
ekstra. "Madrina-mu mengajarkan resep ini padaku," kata Prosperine memberikan
teh itu pada Selvi. "Biji-bijian di dalamnya akan memudahkanmu buang hajat.
Minum dengan cepat. Dua cangkir akan lebih baik."
Selvi meminum teh itu dengan lega dan menghabiskannya dalam dua tegukan panjang
yang membuat porno d'Adamo turun naik. "Grazi, signorinaf Grazi f katanya pada
Prosperine, mengusap mulutnya dan berbaring di ranjang lagi. Pada hari terakhir
hidupnya, Gallante Selvi adalah pria yang sangat sopan!
Tengah hari, Selvi mulai gemetaran, mengerang, dan menarik bajunya ke atas
sehingga Violetta dan pelayannya bisa melihat gerakan perutnya yang aneh. Dia
mengeluh perutnya terasa panas, kepalanya pusing. Tangannya tak bisa
menggenggam. "Makan siang yang mengenyangkan akan membuat perutmu tenang," kata
Prosperine. Dia membantu Selvi turun dari ranjang dan ke meja makan. Tapi ketika
dia meletakkan sepiring bracioia di depan pria itu, Selvi muntah ke atas makanan
yang belum dimakan itu. Saat Selvi tidur dengan gelisah, Violetta berjalan mondar-mandir di dalam dan di
luar, menangis dan bergumam sendirian. Sementara Prosperine memasak ayam khusus
untuk Selvi. Tapi Selvi tak pernah makan ayam itu. Sore hari, dia terbangun dengan sakit di
perut yang membuatnya menjerit. Sejam kemudian dia buang hajat penuh darah. Ketika malam
turun, dia tidur sangat tenang, sehingga mereka harus meletakkan bulu angsa di
depan hidungnya untuk melihat napasnya.
Saat tengah malam, Selvi mulai kejang-kejang. Darah dan liur keluar dari
mulutnya. Baunya busuk, matanya liar. Beberapa kali dia berusaha
bicara berusaha berdoa mungkin tapi bibirnya hanya bergerak-gerak tanpa suara.
? ?Dalam cahaya lilin, mata hijaunya memancarkan sinar penderitaan seperti mata
para santa yang dilukisnya!
Menjelang akhir, Violetta tak tahan untuk melihat. Dia menangis dan bilang
mereka telah melakukan hal mengerikan yang akan membuat mereka masuk neraka.
?"Kau sama saja hidup di neraka dengan orang ini!" Prosperine mengingatkannya.
"Ingatlah kejahatan yang telah dia lakukan padamu kejahatan yang akan terus dia
?lakukan kalau kita tak menghentikannya! Kita melakukan apa yang harus kita
lakukan!" Tapi itu bukan berarti si Monyet senang melihat Selvi sekarat.
Sepanjang malam itu, hujan turun deras dan dia bertanya-tanya apakah hujan itu
adalah air mata si penyihir tua yang menyaksikan perbuatannya.
Gallante Selvi berhenti bernapas sejam sebelum matahari terbit. Prosperine
mencuci darah dari mulut dan pantatnya, Violetta menyisir rambutnya, menangis
dan mencium rambut pirangnya yang keriting. Dia terus memohon pada mayat Selvi
untuk mengampuninya dan akhirnya, Prosperine terpaksa menamparnya dan menutupi mayat
itu dengan selimut Ciccolina untuk menghentikannya.
Si Monyet mengatakan pada Violetta bahwa kalau mereka duduk dan diam saja tak ?memanggil dottore dan pastor akan menimbulkan kecurigaan. Tapi Violetta takut
?ditinggal sendirian takut Selvi akan hidup lagi dan mencekiknya, atau arwahnya
?yang penasaran akan mengisap udara dari mulutnya. Violetta tinggal di luar saat
Prosperine berjalan ke desa.
Di desa, si Monyet mengetuk pintu rumah dottore yang lebih bodoh di antara dua
dottori yang ada di Pescara yang kesalahannya lebih sering menyebabkan
?pasiennya mati. "Tolong cepat, sementara dia masih hidup," katanya. Bersama-sama
mereka membangunkan Padre Pomposo.
Sepanjang pemeriksaan dan doa yang dilakukan dottore dan pastor Violetta
?menangis sedih, akting seorang diva atau air mata kesedihan yang sebenarnya,
Prosperine tak tahu. Dottore pemalas itu menusuk tubuh Selvi sedikit.
"Appendice," katanya. "Pria malang ini mati karena appendice yang meletus." Lalu
dia pergi ke dapur, sementara pastor memberikan ritus terakhir pada bajingan
itu. Padre Pomposo-yang suka stravaganza dan pamer itu menyarankan pada Violetta
?bahwa dia harus memberikan pemakaman yang sesuai dengan reputasi suami
tercintanya sebagai seniman besar. Dengan izinnya, kata pastor itu, dia akan
menghubungi Panetta, sang impresario di pompe funebri, begitu kembali ke desa.
Panetta akan menjemput mayatnya, menyiapkannya, dan mengantarkannya ke gereja di
mana semua penduduk Pescara bisa datang untuk berduka. Mata Prosperine coba
memperingatkan Violetta. "Tidak! Tidak!" mereka harus memakamkannya dengan
cepat. Tapi mata Violetta hanya memandang pastor itu, seakan-akan ceremonia
bodohnya itu akan menyelamatkan jiwanya dan suaminya. Padre Pomposo terus bicara
tentang musik suci dan lilin khusus, sebuah procesione mungkin, pada Rabu atau
Kamis pagi, dari laut tempat seniman genius itu biasanya bekerja ke gereja
tempat diselenggarakannya Misa.
Prosperine mendecakkan mulutnya dan menggelengkan kepala dalam usaha sia-sia
untuk memperingatkan temannya. Sang Padre melihatnya lalu berpaling ke Violetta
lagi. Mungkin, katanya, kalau dia bisa bicara secara pribadi dengan sang janda
.... Lalu sebuah kejutan! Hal yang tak direncanakan oleh kedua wanita pembunuh
itu yang membuat kedok mereka terbuka! Karena disuruh keluar oleh pendeta yang
?sibuk mempersiapkan upacara pemakaman, Prosperine masuk dapur lagi. Di meja,
dottore bodoh itu sedang makan ayam panggang yang sudah diisinya dengan timah
dan bubuk kaca! "Scusi, Signorina," katanya pada si Monyet, melambaikan paha ayam yang tengah
dimakannya. "Kuharap padrona-mu yang cantik tak berkeberatan
aku mengisi perutku sedikit sebagai imbalan atas kerepotanku. Apa kau punya
sebotol vino untuk minum?" Di depannya terdapat tumpukan tulang dan sebuah
sendok. Isi ayam panggang yang beracun itu sudah habis setengahnya!
Panetta si pengurus pemakaman dan pembantunya datang siang itu untuk membawa
mayat Selvi. Violetta memeluk Prosperine, tersedu, saat kereta yang membawa
mayat suaminya pergi. Dottore bodoh itu tak terlihat sakit saat pergi tadi. Dia
memang tak makan bubuk kaca sebanyak yang dimakan Gallante. Mungkin semuanya
akan baik-baik saja. Tapi si serakah bodoh itu sakit ketika kereta yang membawa mayat Gallante sampai
ke desa! Dia sakit sepanjang hari itu dan sepanjang malam. Pagi harinya saat
buang hajat, dia berteriak kesakitan. Istrinya membawa kotoran dia keluar dan
mengamatinya di bawah matahari. Cacca berlumuran darah yang mengapung di pispot
itu berkilat dan membuka rahasia pembunuhan janda Selvi dan temannya!
Dottore dan istrinya membawa bukti mereka yang bau ke magistrato, mereka bertiga
menemui Panetta si pengurus pemakaman. Lalu mereka berempat pergi ke gereja
untuk membuka stomaco Gallante Selvi.
Ayah Prosperinelah yang menceritakan semua itu pada Prosperine, saat dia berdiri
di depan pintu rumah Ciccolina memakai celemek. Rambutnya memutih terkena tepung
makaroni, matanya bersinar ketakutan akan nasib anaknya. Istri Panetta adalah cugina Papa. Wanita
itu berlari ke toko makaroni dan memberitahunya dan Papa memaksa keledainya
ngebut ke Prosperine sebelum poiizia datang. "Ambil ini, apa pun yang sudah kau
lakukan segeralah lari," kata ayahnya. Dia meletakkan dua genggam koin di
celemek putrinya, lalu memeluknya erat-erat seakan-akan hendak mematahkan
tulangnya. Itu adalah terakhir kalinya Prosperine melihat ayahnya, ayahnya
berdiri di pintu rumah Ciccolina dan kenangan itu begitu membekas di benaknya.
Rupanya dia memang menyayangi putrinya, dan sebelum lengan ayahnya berhenti
memeluknya hari itu, Prosperine telah memaafkan ayahnya karena menjual dirinya.
Mereka lari! Melewati hutan lalu ke pelabuhan melewati nelayan-nelayan yang ?suka menggoda Violetta. Mereka menggunakan daya pikat si cantik dan uang si
buruk rupa untuk lari dari Pescara. Mereka melakukan apa yang harus dilakukan.
Itu adalah satu-satunya cara.
Dari perahu ke perahu, mereka bepergian sepanjang pantai. Prosperine belum
pernah keluar Pescara, tapi sekarang mereka berlayar melewati Bari dan Brindisi,
dan menyeberang stretto di Messina. Dan begitulah ceritanya Prosperine menjadi
siciiiana-di\a ke Sisilia untuk melarikan diri dari ancaman hukuman karena
membunuh! Untuk sementara dua wanita itu tinggal di Catania, di antara para pekerja di
lahan pertanian zaitun seorang petani kaya. Mereka aman di sana
hingga capomastro petani itu ingin mengintip di balik rok Violetta dan istrinya
mulai curiga dan bertanya-tanya dari mana asal kedua wanita itu. Pada malam
ketika istri yang cemburu itu menanyai mereka, Prosperine dan Violetta mencuri
uang dan lari lagi, kali ini menggunakan kereta ke Palermo.
Bulan-bulan berikutnya mereka bekerja di kota yang mengerikan itu di mana banyak
orang datang dan pergi. Violetta menemukan pekerjaan sebagai pelayan di sebuah
hotel, dan Prosperine bekerja sebagai tukang cuci di sana. Meskipun si Monyet
bisa sembunyi di ruang cuci belakang, Violetta harus keluar melayani makan para
pelancong. Jantungnya berhenti berdegup setiap kali pintu hotel terbuka.
Prosperine juga takut sering salah mengira orang di jalan sebagai pelancong
?Pescara! Wanita dan pria dan bambini semuanya terlihat seperti orang yang pernah
dia kenal tahu apa yang telah dia lakukan. Dia rindu pulang. Dia rindu melihat
?Adriatico, lapangan Pescara, papanya, adik-adiknya, Anna dan Teodolina. Tapi
bagian terbesar dari dirinya ingin merasa aman membeli keamanan dari dirinya
?sendiri dan temannya Violetta. Mereka tak boleh tertangkap! Mereka harus lari


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih jauh! Salah satu pelanggan di hotel yang sering makan malam dilayani oleh Violetta
adalah seorang iegaie yang baik dan sopan. Pada malam-malam ketika hotel sedang
sepi, dia biasanya meminta Violetta menemaninya bicara dan minum cognac. Pria
itu sering bepergian: dia sudah ke ia'Merica tiga kali.
Dan hatinya jadi hangat setiap kali teringat jumlah siciiiani malang yang telah
dia bantu berlayar ke Tanah Impian itu.
Apakah dia pernah membantu orang malang, tanya Violetta hati-hati, yang mungkin
bermasalah dengan hukum"
Legale itu mendekatkan tubuhnya ke janda pembunuh itu dan berbisik si, dia
sering membantu rekan sebangsa yang catatan kriminalnya perlu diputihkan. Dia
punya teman, katanya, seorang ufficiaie di passaporti. Bersama-sama mereka
kadang membuat orang mati hidup lagi, memberikan surat-surat perjalanan! Mereka
tak per-nah bertanya macam-macam pada imigran, kecuali satu: berapa banyak
fugitiva itu mampu membayar"
Pada minggu-minggu berikutnya, Violetta mulai memberikan bantuan tertentu pada
temannya iegaie itu. Sebagai gantinya, dia mengirim kabar rahasia pada pembuat
makaroni di Pescara bahwa dua pelarian itu masih hidup dan sehat dan butuh uang.
Lalu mereka menunggu dan menunggu hampir setahun, cukup lama sehingga ?Prosperine merasa ayahnya telah membuangnya karena tindakannya yang telah
mencoreng nama keluarga. Suatu hari, seorang pelaut muda datang ke hotel. Dia ingin bertemu dengan tukang
cuci dan diantarkan ke ruang cuci di belakang. Tanpa mengatakan sepatah kata
pun, pelaut muda itu mengeluarkan fotografia, memegangnya di depannya dan
menatap foto itu dan Prosperine secara bergantian. Tangan Prosperine di bak cuci
gemetar gugup saat dia mencuci dan menunggu. Dia mengira bahwa pria muda itu
adalah agente di poiizia, tapi ternyata bukan. Pelaut muda itu adalah suami
adiknya Teodolina. Adik bungsunya telah menikah dan di depannya ini adalah adik
iparnya! Pelaut muda itu memberikan dompet kulit. Di dalamnya adalah uang dari
ayahnya, sejumlah yang dibutuhkan iegaie untuk membuat surat jalan dan paspor
palsu, dan untuk sponsor dua pelarian itu begitu mereka sampai di Amerika, serta
sedikit sisa. Ayah Prosperine menjual toko makaroninya mengorbankan mata
?pencahariannya untuk putri yang dulu dia jual ke penyihir tua, lalu ke anak
baptisnya yang kejam. "Jadi Tempesta, aku menjadi Prosperine Tucci, gadis yang lima tahun lebih muda
dari diriku yang mati karena consuzione dan ibunya adalah adik dari Iaccoi
bersaudara tukang pipa berengsek yang menipumu. Mereka mendapatkan keuntungan
?lumayan dari dusta mereka, Tempesta, dan membuatmu terlihat seperti orang bodoh.
Dan di sinilah kita berdua sekarang, kau dan aku, saling mengumpat satu sama
lain." Aku mengulurkan tangan dan mencengkeram pergelangan tangannya. "Siapa namamu
yang sebenarnya, eh?" kataku. "Kalau Prosperine adalah nama yang dicuri dari
gadis yang sudah mati?"
"Dibeli bukan dicuri," katanya. "Dibayar dengan pengorbanan seorang ayah. Namaku
yang lain sudah tak penting lagi. Aku adalah diri-ku sendiri, Tempesta wanita yang
?mengawasimu. Itu saja yang perlu kau tahu."
"Dan kau berencana memberiku makan kaca untuk merobek ususku" Menikam-/cu pada
malam hari dengan pisau jagalmu?"
"Aku tak ingin melihat pria lain mati masuk neraka untuk kedua kalinya,
?katanya. "Gallante Selvi adalah setan itu sendiri. Kau hanya seorang pengganggu
dan orang bodoh. Jauhi Ignazia dan kau aman dariku."
Dia berdiri, terhuyung-huyung, lalu menuju ke kamar mandi. Orang yang tak pernah
minum di rumahku sebelumnya, malam itu minum hampir setengah guci. Sekarang,
dari balik pintu aku mendengar penyihir itu kencing. Aku juga mendengarnya
mengerang, dan bertanya-tanya apa dia mulai sadar dan menyadari bahwa dia sudah
?bercerita terlalu banyak.
Ketika dia keluar lagi, aku berdiri di depannya, menghalangi jalan ke kamarnya.
"Temanmu," kataku. "Violetta D'Annunzio. Apa yang terjadi padanya?"
Rasa takut melintas di wajah si Monyet dan hilang dengan cepat. "Eh" Violetta"
Dia tinggal ... tinggal di Palermo ... dia berubah pikiran dan menikahi legale itu."
"Eh?" "Pria itu jatuh cinta padanya dan mengubahnya jadi wanita terhormat. Sekarang
dia bahagia." "Bahagia karena mati?" kataku.
"Eh?" "Tadi kau bilang padaku dia mati. Di Italia."
Ketakutan dan kebingungan di matanya berbicara lebih keras daripada kata-kata.
"Dia memang dimakamkan di sana. Aku bilang dia bahagia sebelum meninggal ...
mungkin aku salah bicara, tapi itulah yang kumaksudkan."
"Ah," kataku. "Dan apakah suami keduanya sehat-sehat saja?"
Si Monyet tak mau memandangku. "Sang legale" Dia sangat berduka, pria yang
malang." "Si?" "Si, si. Dia mengirimkan berita duka itu padaku saat aku tinggal bersama dua
tukang pipa itu. Violetta mati karena influenza, malang sekali. Hidupnya sangat
menyedihkan." "Tadi kau bilang uang ayahmu itu membiayai pelarian 'kami1. Violetta datang ke
negara ini atau tidak?"
"Aku bilang pelarian 'ku'."
"Kau bilang pelarian 'kami'. Nostro. Aku dengar sendiri dari mulutmu."
"Kalau begitu kau salah dengar," katanya. "Mia, no nostra. Telingamu pasti penuh
dengan kotoran." Sekarang dia memandangku dan aku memandangnya. Kami berdiri, saling memandang,
tak ada yang berpaling. Saat itulah aku melihat bibir si Monyet bergetar. Dan
lalu di kamar, terdengar suara bayi menangis.
Aku tetap memandangnya tak berkedip selama lima belas detik atau lebih. "Kau
sebaiknya pergi," kataku akhirnya. "Temanmu Violetta
membutuhkanmu." Matanya yang mabuk dan ketakutan bergerak gelisah dari wajahku dan pintu kamar
lalu kembali lagi. "Temanku Violetta dikubur di Palermo," katanya sedikit ?terlalu keras. "Aku baru saja bilang padamu. Dosa besar kalau kau menghinakan
jiwa yang sudah mati."
Aku memegang lengannya dan berbisik di telinganya. "Kau benar-benar hebat,"
kataku, "berani bicara tentang dosa pada yang sudah mati!".^*Empat Puluh Sheffer terlambat, seperti biasanya. Mengapa pukul satu selalu berarti satu
lebih sepuluh atau lima belas menit bagi wanita itu" Mengapa pukul 11 selalu
jadi pukul 11.20 ditambah alasan"
Oke, tenangkan dirimu, Birdsey, kataku pada diri sendiri. Kalau kau marah
padanya begitu dia masuk dari pintu itu, kau tak akan mendapatkan apa yang kau
inginkan. Usahakan dia menjalani tes ... jangan libatkan aku dalam hal ini.
Telepon Drinkwater itu membuatku terjaga semalaman. Hanya delusi paranoid
kakakku, hah, Sheffer" Dia "benar-benar" aman rupanya. Hanya saja ada satu
detail kecil: dia mungkin terinfeksi. Seseorang di tempat sialan ini mungkin
telah menularinya AIDS. Aku akan menjaganya untukmu, Ma. Aku berjanji. Kau bisa pergi sekarang, Ma ....
Akui saja, Birdsey: kau tertidur saat menyetir. Kau biarkan mereka melenakanmu.
Mengurangi kunjungan, berhenti menelepon untuk mengeceknya ... dan saat kau
berkunjung, kau hanya setengah mendengarkan cerita horornya: bagaimana mereka
meracuninya, memprogramnya, masuk ke selnya
pada tengah malam .... Yesus, semoga dia tidak mengidap HIV. Jangan biarkan hasil
tes itu positif .... Aku tahu satu hal: aku akan meminta dokter independen memeriksanya, tak peduli
mereka suka atau tidak. Aku tak lagi percaya pada badut-badut ini. Aku tak
percaya perkataan siapa pun.
Oke, tenang. Pikirkan hal lain ... aku mengulurkan tangan mengambil koran di meja
Sheffer. PASCAPERANG TELUK, HARGA MINYAK JATUH .... Bagaimana bisa kita membunuh orang
hanya demi minyak murah, Dominick" Bagaimana bisa kita menerima itu" ....
PEMUKULAN KING: REKAMAN MENUNJUKKAN KESEMBRONOAN L.A.P.D..... Dia
aman di sini, Dominick. Unit Dua ada f ah yang terbaik. Sheffer sering sekali
mengatakan itu, dengan sangat meyakinkan sehingga aku percaya. Dan sekarang
lihat apa yang terjadi. Apa yang mungkin terjadi, aku mengingatkan diri sendiri. Tesnya mungkin saja negatif.
Aku melihat bayangan diriku di monitor komputer Sheffer. Melihat, tak peduli aku
suka atau tidak, bayangan kakekku .... Mengapa aku mengambil kisah Domenico itu
tadi malam membaca hal yang dijamin memperpanjang insomniaku membuatku merasa ? ?lebih buruk" .... Seorang pelukis yang muntah dan mencret hingga mati, kelinci
yang terbelah dan menjadi dua .... Jadi istrimu dan temannya adalah pelarian, Pak
Tua" Nenekku pembunuh" Itukah yang salah dari diri kami"
Dan bagaimana dengan kecurigaannya yang lain bahwa Ma adalah anak pria Irlandia
?itu" Kalau itu benar, maka Domenico bukan kakekku dan Thomas. Kami berhasil menghindar ...
hanya saja jejaknya masih menempel. Bagaimana dia bisa melahirkan anak kembar
dari dua ayah yang berbeda" Kalau aku bukan cucunya, mengapa aku terlihat mirip
sekali dengan fotonya foto-foto yang diselamatkan Ma dari rumah yang terbakar"
?Satu hal mulai jelas: mengapa dia memperlakukan Ma dengan buruk. "Muka kelinci",
"Guci retak": kalau kau tidak mengakui putrimu sendiri yakin bahwa dia bukan
?anakmu maka kau bisa dengan bebas memperlakuka-n-nya dengan kejam, bukan"
?Menghukumnya karena dosa ibunya .... Benar bukan, Pak Tua" Karena itukah kau
datang ke toko tempat anakmu bekerja dan memaksanya makan rokok" Menekan
wajahnya ke piring berisi telur goreng itu" .... Perkiraanku adalah "Papa" sering
menekan putrinya. Dia memukuli istrinya, bukan" Bahkan juga ibunya sendiri saat
di Sisilia" Mengapa dia harus mengecualikan putri sumbingnya yang tak dia akui"
Tak heran Ma takut pada bayangannya sendiri. Tak heran dia tak pernah bisa
melawan Ray .... Dia membiarkan sejarah terulang ketika menikahi Ray Birdsey. Itu
jelas. Aku katakan ini padamu, bocah! Kalau kau darah dagingku .... Tak ada anakku
yang pernah .... Si berengsek itu sejak dulu selalu tak pernah mengakui kami.
PENGEBOMAN DI IRAK "SEPERTI KIAMAT". "Laporan PBB mengatakan pengeboman Amerika
Serikat dan sekutunya telah membuat kondisi di
Irak seperti kiamat, hingga Januari 1991, Irak adalah negara yang ramai dan
maju. Sekarang, hampir semua infrastruktur pendukung kehidupan modern telah
rusak atau tak bisa digunakan lagi. Irak mundur ke masa zaman praindustri, tapi
dengan semua ketidakmampuan dan ketergantungan pada zaman industri yang
membutuhkan energi dan teknologi. Sedangkan korban jiwa ...."
Desert Storm, Rodney King: halaman depan koran menceritakan hal yang sama
berulang-ulang. Kekuasaan itu yang benar siapa pun yang punya bom pintar,
?tongkat pemukul .... Tiarap dan berlindung, Thomas! Kau mau belas kasihan" Lupakan
Tuhan. Tuhan adalah gambar murahan dari swalayan five-and-ten yang digantung di
dinding kamar Ma. Memohonlah pada sang penindas .... Maafkan aku, Ray. Aku tak
akan mengulanginya. Aku minta maaf .... Lagu soundtrack sepanjang masa di
Hollyhock Avenue. Mereka berdua di sana ibuku, kakakku menangis dan memohon
? ?belas kasihan pada tiran itu .... HUJAN DERAS DIRAMALKAN TURUN SEPANJANG AKHIR
PEKAN. Yah, begini saja Ma: Aku mungkin tertidur selama dua bulan terakhir ini, tapi
aku sekarang sudah bangun. Aku akan mengeluarkannya dari sini meskipun aku harus
pergi ke Hartford dan mendobrak pintu gubernur. Walaupun aku harus membakar
tempat sialan ini. PUTRA PENYANYI ERIC CLAPTON, 4 TAHUN, MENINGGAL JATUH ....
Pintu kantor Sheffer terbuka. "Hei, paisano. Maaf aku telat." Katanya. "Tapi kau
tak akan percaya hariku. Pertama pagi ini putriku bilang"
Aku mengangkat tangan untuk menghentikannya. "Aku ingin kakakku dites HIV,"
kataku. Sheffer berhenti. "Ada, uh ... ada alasan tertentu?"sudah berjanji pada Drinkwater
tiga kali selama pembicaraan telepon lima menit kami malam sebelumnya, bahwa aku
tak akan melibatkannya. Jadi aku mengangkat bahu. Hanya untuk jaga-jaga, kataku.
Setiap kali aku mengunjungi Thomas dia selalu mengeluh mendapatkan serangan
seksual. "Kita sudah membahas ini," katanya. "Ingat" Itu adalah delusi. Kepanikan
homoseksual." Sheffer duduk. "Ketika dia mulai mengatakan itu, hal terbaik untuk
menanganinya adalah"
"Aku tak mau dia ditangani," kataku. "Aku mau dia dites."
"Bangsal dimonitor siang malam, Dominick. Kalau ada pemerkosaan, itu hanya dalam
pikirannya saja. Sudahlah."
Aku bilang padanya kalau aku bisa mengajukan permintaan lewat Dr. Chase kalau
dia mau. Atau lewat supervisornya. Siapa namanya"
"Dr. Farber," kata Sheffer. Dia dan Farber akan bertemu sore nanti. Kalau aku
memaksa, Sheffer akan mengatakan itu padanya dan memberitahuku dua hari ?kemudian apa tanggapan Farber.
"Kalau pertemuannya sore nanti, mengapa kau tidak memberitahuku petang nanti?"
Sheffer agak menegang. Mereka baru saja
menambahkan tiga pasien baru dalam pengawasannya, katanya; laporan bulanannya
sudah terlambat dua hari; putrinya menderita infeksi telinga tadi pagi. Kalau
dia bisa menghubungiku petang nanti, dia akan melakukannya. Kalau tak bisa, aku
harus menunggu. Dia bekerja secepat yang dia bisa. "Lagi pula," katanya. "Aku
sudah tahu apa yang akan dikatakan Dr. Farber. Kalau mereka mulai membiarkan
keluarga pasien mengatur tes medis, maka akan terjadi banjir permintaan."
Otakku berpikir keras; gagasanku mulai muncul saat aku berbicara. "Kau ... pasti
kau mengikuti berita tentang pemukulan di Los Angeles itu bukan, Sheffer"
Bagaimana polisi memukuli pria kulit hitam itu hingga babak belur" .... Kau sudah
melihat rekamannya?"
"Ya," katanya. Aku melihatnya berusaha mengira-ngira maksudku.
"Lumayan brutal, ya" Mereka benar-benar menghajar pria itu." Adrenalinku
mengalir deras; sepatu ketsku mengetukngetuk lantai. "Publik mungkin sekarang
tak suka menoleransi brutalitas mereka yang berseragam, ya?"
Sheffer menunggu. "Ingat ... kau ingat malam bulan Oktober lalu ketika mereka memasukkan kakakku ke
sini" Bagaimana penjaga mengasahku" Kau melihatnya, bukan" Mengeluarkan kepalamu
dari pintu di tengah kekacauan itu?"
Wajah Sheffer tanpa ekspresi resmi. Dia tak
?mengaku ataupun menyangkal.
"Aku mengikuti saranmu. Ingat" Kau bilang agar aku memeriksakan diriku. Dan aku
lakukan itu. Pergi ke klinik. Meminta mereka mengambil foto dan semuanya.
Nasihatmu bagus sekali, Sheffer. Mendokumentasikan semuanya. Mendapatkan bukti."
Sheffer melirik ke interkom di dinding. "Apa maksudmu?" katanya.
"Aku baru saja mengatakannya, paisana," kataku. "Katakan ke Dr. Farber aku mau
Thomas dites." Sekitar pukul lima sore, aku menerima telepon dari kantor Dr. Richard Hume. Hume
adalah supervisor dari supervisornya Farber, kalau aku tak salah. Hume juga
duduk sebagai anggota Dewan Kajian yang mengurung kakakku di Hatch.
Sekretarisnya memintaku menunggu. Begitulah gaya para bos: mereka yang
meneleponmu, lalu menyuruhmu menunggu. Duduk dan menunggu kehormatan bicara
dengan mereka. Di telepon, Hume mengobrol denganku seakan-akan kami adalah kroni di Elks Lodge.
Dia senang aku sudah menyatakan kekhawatiranku pada Ms. Sheffer, katanya.
Keluarga pasien adalah bagian integral dari tim terapi di Hatch; itu tertulis di
misi rumah sakit. Namun menurutnya permintaanku yang ini agar kakakku di tes ?HIV tak bisa dilaksanakan sekarang. Rumah sakit memang mengetes pasien secara
?periodik, tapi dengan jadwal tertentu. Dr. Hume bilang dia
berharap aku bisa melihat dari sudut pandang rumah sakit: bahwa tidak efektif
dan bijak bagi pihak rumah sakit untuk"
"Aku akan membayarnya," kataku. "Aku ingin tes itu dilakukan oleh seseorang yang
independen. Bukan dari dokter di sana. Aku akan mempersiapkan semuanya dan
mengambil sampelnya. Katakan saja kapan aku bisa membawa dokternya ke sana."
Dr. Hume bilang rupanya aku belum mengerti. Kalau mereka membiarkan keluarga
pasien mendiktekan jadwal tes medis, maka itu akan jadi mimpi buruk. Thomas
sudah dites saat dia masuk rumah sakit Oktober lalu katanya. Tes berikutnya akan
dilakukan" "Siapa bos-mu?"kataku.
Diam sejenak. "Maaf?"
"Kau bertanggung jawab pada siapa" Karena aku tak akan menyerah. Aku, juga fotofotoku." Diam sejenak. "Foto-foto apa, Mr. Birdsey?"
Aku tak bisa menduga apakah dia memang belum tahu tentang apa yang sudah
kukatakan pada Sheffer atau hanya pura-pura tak mengerti. Aku tak tahu apa yang
sudah dilaporkan Sheffer. Tapi aku memutuskan untuk maju sekalian. "Foto
selangkanganku yang biru lebam," kataku. "Skrotumku membengkak seperti bola
basket. Salah satu penjaga bodohmu di Hatch memperlakukanku dengan kasar ketika
aku mengantarkan kakakku masuk ke sana. Menendang selangkanganku dua kali. Bisa
dibilang dia 'memperlakukanku seperti Rodney King'. Di depan para saksi."
Aku belum memikirkan ini sebelumnya coba-coba saja. Tapi sekarang sudah
?kepalang basah. Kami semua sudah telanjur terlibat Sheffer, si bos yang sedang


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?bicara denganku di telepon sekarang, kakakku, dan aku. "Aku langsung
memeriksakan diri setelah itu terjadi," kataku. "Aku mendokumentasikan semuanya.
Kau tahu maksudku" Dan sekarang, dengan kejadian di Los Angeles itu. Bagaimana
pandangan publik ... aku ... aku cuma berpikir kau mungkin mau mengizinkan tes itu
untuk kakakku. Sehingga kau tak pusing tujuh keliling, kau tahu?"
Tidak ada komentar dari ujung lain.
"Maksudku, satu tes kecil pasti tak akan membuat masalah prosedur, bukan" Kalau
semua baik-baik saja, aku akan pergi. Aku dan komplainku."
Hume bertanya apakah ada alasan tertentu mengapa aku merasa kakakku harus dites
HIV" Wajah Drinkwater berkilas di depanku. Jangan /ibatkan aku.
"Kakakku selalu bicara tentang orang yang masuk ke selnya pada malam hari,"
kataku. "Mungkin itu cuma paranoid aku tahu itu. Aku cuma ingin bagaimana kau
? ?menyebutnya" waspada. Kau setuju, bukan?"
?Aku menunggunya menyelesaikan pidato panjang lebar tentang bagaimana kebijakan
Negara Bagian Connecticut dan perhatian Hatch pada kesehatan pasiennya. Lalu aku
berterima kasih atas teleponnya. Kukatakan padanya aku akan menelepon
pengacaraku. Hume terdiam selama beberapa detik. "Yah, kau harus melakukan apa yang harus kau
lakukan, Mr. Birdsey," katanya, akhirnya. "Dan kami juga akan melakukan hal yang
sama. Karena kalau aku tak salah menangkap maksudmu, kau mencoba menyuapku. Dan
kalau kau pikir" "Hei, dengar Bos Besar," kataku. "Aku hanya mencoba melindungi pria yang tak
bisa melindungi dirinya sendiri. Seorang pria yang seharusnya tak berada di
rumah rekreasi yang kau kelola di sana. Yang ingin kulakukan hanyalah meyakinkan
tak ada orang di sana yang menyodomi kakakku."
Dia menutup teleponnya. Aku berdiri diam, jantungku berdegup kencang. Sialan, Birdsey! Itu adalah hal
yang seharusnya tak kau takukan-aku melemparkan telepon berengsek itu ke
seberang ruangan. Memandangnya mengenai pintu lemari es dan jatuh menggelosor di
lantai. Sampai ke bawah kakiku.
Nah, berengsek,kataku pada diri sendiri. Kau baru saja melakukan sesuatu. Baik
atau buruk, kau sudah menggerakkan sesuatu.
Dua kaleng bir kemudian, sekretaris Hume menelepon lagi. Tes yang kuminta untuk
kakakku dijadwalkan pada Senin pagi minggu depan. Pemeriksaan fisik Thomas akan
dilakukan oleh personil rumah sakit, dan darahnya dites oleh wakil dari Haynes
Pathobiology Laboratory. Aku mencoba berpikir jernih dan menghilangkan pengaruh bir yang baru kuminum.
Hume menuruti keinginanku. Memberikan apa yang kumau.
Kemenangan ini menakutkanku. "Mengapa dia berubah pikiran?" tanyaku.
Sekretarisnya bilang dia tak tahu apa-apa: dia hanya menyampaikan pesan dari
"bos". "Kalau begitu suruh 'bos' meneleponku lagi," kataku. "Aku akan menanyakannya
sendiri." Sekitar semenit dua menit kemudian, sekretaris itu bicara lagi. Dr. Hume sedang
tidak ada di mejanya di kantor, katanya. Ketika aku bilang aku akan menunggu
hingga dia kembali ke mejanya, sekretaris itu bilang, oh, tunggu dulu. Tas
kerjanya tak ada. Dia mungkin sudah pulang.
"Kalau begitu, sampaikan pesanku," kataku. "Katakan aku akan membawa doktev-ku
sendiri untuk mengetes kakakku."
Mengapa dia menyerah" Apakah dia takut akan sesuatu" Aku akan pergi ke klinik
besok pagi-pagi mencoba bicara pada dokter Cina itu, Dr. Yup yang temannya ? ?terbunuh di Tiananmen. Dia mengatakan apa yang dilakukan penjaga itu padaku
adalah "penindasan". Aku mau Dr. Yup memeriksa kakakku.
Besok siangnya, Sheffer menelepon, suaranya terdengar syok. "Dominick?" katanya.
"Apakah kau bisa menemuiku nanti" Ada sesuatu terjadi."
"Apa dia terluka?" kataku. "Apa seseorang melukainya?"
Tidak, katanya; tidak ada insiden baru. Tapi ketika aku bilang aku bisa ke Hatch
setengah jam lagi, Sheffer ragu-ragu. Bertanya apakah kami bisa bertemu di tempat lain di
?luar Three Rivers, mungkin. Shift-nya selesai pukul empat tiga puluh katanya.
Bagaimana dengan kedai kopi di luar universitas" Sugar Shack apa aku tahu
?tempat itu" Dia bisa datang ke sana sekitar pukul lima lewat lima belas"
Mengapa dia mengusulkan tempat lain yang jauhnya setengah jam naik mobil dari
sini" Tapi aku bilang aku akan datang. Bertanya lagi apakah kakakku baik-baik
saja. Tak ada hal buruk terjadi pada Thomas hari ini, katanya. Selain itu, dia sudah
tak yakin akan apa pun lagi. Dia akan menjelaskannya nanti.
Kopi yang kubelikan untuknya ketika aku sampai ke kedai donat itu sudah dingin
ketika Sheffer tiba. Tapi dia duduk dan meminumnya. Dia terlihat berantakan
sekali. "Bagaimana kabar putrimu?" tanyaku.
Matanya menyipit. "Jesse" Kenapa" Apa maksudmu?"
"Infeksi telinganya?"
"Oh. Lebih baik. Dokter memberinya Amoxicillin. Terima kasih sudah bertanya."
Dia mengeluarkan sebungkus rokok. "Boleh merokok di sini?" katanya. "Apa merokok
di tempat ini dosa?" Aku menyorongkan asbak kaleng ke depannya.
Aku bilang padanya aku bisa menduga apa yang akan dia katakan padaku aku sudah ?menduganya
saat datang ke sini. "Dia positif, bukan" Mereka gugup dan mengetesnya. Dia
terinfeksi." Sheffer menggeleng. Aku memang benar tentang mereka yang takut dan langsung
melakukan tes, katanya; mereka mengambil darah Thomas siang tadi. Tapi hasilnya
belum ada. Baru diketahui Senin pagi nanti.
"Jadi, mereka sudah punya hasilnya saat dia diperiksa secara resmi. Benar?"
Sheffer mengangguk. Mengambil cangkir kopinya dan mulai merobek-robek cangkir
styrofoam itu. "Dominick?" katanya. "Apa yang akan kukatakan padamu mungkin tak
berkaitan dengan Thomas, oke" Setidaknya tidak secara langsung. Dan mungkin juga
memang tak terkait sama sekali. Ingat itu." Wajahnya sedikit berubah, seperti
Dessa ketika sedang menahan tangis. Sheffer menghirup rokoknya dalam-dalam.
Mengembuskannya. Aku ham-pir tak tahan, tapi aku duduk dan menunggu. Menutup
mulutku untuk pertama kalinya dalam hidupku.
Dia bertanya apakah aku ingat pembicaraan kami beberapa bulan lalu tentang salah
satu petugas psikiater di Hatch yang bernama Duane Taylor. Aku berkomentar
?tentangnya pada hari aku berdiri di depan jendela kantornya dan melihat Thomas
di halaman rekreasi. Itu sebelum izin berkunjungku turun sebelum aku bisa
?menjenguk langsung kakakku. Apa aku ingat"
Aku melihat lagi bagaimana Thomas berdiri di halaman itu, menunggu rokoknya
dinyalakan sementara Duane Taylor berbincang dengan pasien favoritnya. Mengabaikan kakakku.
"Orang dengan topi koboi, bukan?" kataku. Sheffer mengangguk.
Ada penyerangan di Hatch seminggu yang lalu, katanya. Pada malam hari. Pihak
administrasi menutupinya sehingga sebagian staf tak mengetahuinya. "Dan itu
sangat mengesankan, mengingat kondisi di sana," katanya. "Tapi kasus ini memang
top secret." "Siapa yang diserang?"
"Duane Taylor. Dia diserang dari belakang di kamar mandi pria di Unit
Empat dicekik kawat dan ditinggalkan begitu saja."
? Aku menunggu. Sheffer mengangkat kepala membalas pandanganku. "Taylor bekerja ?pada siang hari," katanya.
Dia segera dilarikan ke Shanley Memorial lalu diterbangkan ke rumah sakit
Hartford. Selama beberapa hari kondisinya kritis, tapi sekarang mulai membaik.
Tapi dokter belum tahu apakah ada kerusakan permanen: karena otak yang
kekurangan oksigen. Sheffer mengisap rokoknya lagi. Memandang jijik pada rokoknya dan mematikannya,
meski masih setengah. "Aku berhenti merokok sejak ulang tahun Jesse," katanya.
"Putriku menginginkan dua hal: kami pergi ke Disney World dan aku berhenti
merokok. Aku tak sempat pergi ke Magic Kingdom, jadi aku membelikannya Carvei
Cake dan boneka Rainbow Brite dan membiarkannya membuang rokokku di toilet
diiringi lagu "Happy Birthday". Satu
kardus. Dan sekarang, malam ini aku akan menjemputnya dengan tubuh bau rokok."
Sheffer mulai menangis, lalu tertawa pendek dan mengangkat bahu. "Oh sudahlah,
lagi pula kredibilitasku sudah habis, bukan?"
"Apakah kakakku yang menyerang koboi itu" Itukah yang akan kau katakan padaku?"
Sheffer menggeleng. "Ya Tuhan, tidak, Dominick. Apakah itu yang kau ..." Tidak."
Orang yang mencekik Taylor mengaku pada malam itu juga, katanya. Pasien dari
unit lain dia tak bisa mengatakan namanya. Tapi mungkin sebentar lagi juga akan
?masuk koran. Kecuali jika rumah sakit bisa menutupinya, maka akan banyak hal
yang keluar. Mereka harus tiarap. "Versi resmi," dari penyerangan pada Taylor
adalah menurut pihak administrasi balas den-dam karena sebotol tequila. Taylor
? ?dan temannya penjaga bernama Edward Morrison rupanya berbisnis gelap. Alkohol
? ?dan rokok. Pil. "Itu saja yang dikatakan pihak rumah sakit," kata Sheffer.
"Menurut gosip, Taylor mengumpulkan uang dari pasien untuk tequila dan
menggelapkannya. Tapi itu bukan masalah minuman. Tapi tentang seks .... Kekuasaan.
Pemerkosaan." Kata itu membuat tubuhku menegang. "Apa hubungan semua ini dengan Thomas?"
kataku. Sheffer bertopang dagu. Memandangku dengan pandangan kalah. "Semoga saja, tak
ada hubungannya," katanya. "Dari yang aku dengar hari ini, Taylor biasanya
mengejar pasien-pasien muda yang berusia dua puluhan. Tapi aku belum tahu cerita keseluruhannya,
?Dominick. Kupikir aku tak tahu apa-apa lagi." Selama beberapa saat, kami duduk
diam, asap rokok Sheffer berputar-putar di sekitar kami.
"Coba aku bertanya sesuatu padamu," katanya. "Berapa kali dalam beberapa bulan
terakhir ini aku mengatakan kalau kakakmu aman" Dua puluh lima kali mungkin"
Tiga puluh" Sekarang kalikan jumlah itu dengan jumlah pasien yang kutangani. Dua
puluh lima atau tiga puluh jaminan keamanan kali empat puluh keluarga pasien ....
Ya Tuhan, betapa naifnya aku. Betapa bodoh." Dia mengulurkan tangannya yang
kurus dan bergetar, memegang tanganku dan menjabatnya. "Apa kabar?" katanya.
"Aku Lisa dari Sunnybrook Farm."
Sheffer mengeluarkan satu per satu rokok dari bungkusnya, mematahkannya jadi dua
dan membuangnya ke bekas gelas kopinya yang sudah robek dan tak keruan
bentuknya. "Tebak, apa lagi yang kutemukan hari ini?" katanya. "Lewat jalur tak
resmi tentu saja bukan melalui para pemimpin kami yang selalu bertanggung
?jawab. Aku menemukan bahwa mungkin sekitar seperempat populasi Hatch positif
HIV. Bahwa ada epidemi di sana, Dominick, dan pihak administrasi tak mengakuinya
selama ini. Menyembunyikan datanya. Mereka tak mau mendapatkan publisitas
buruk." Dr. Yup menemaniku ke Hatch Senin siang,
memeriksa kakakku dan mengambil sampel darah yang dia antarkan sendiri ke
laboratorium yang menjadi relasi kliniknya. Hasil tes di rumah sakit ataupun Dr.
Yup sama-sama menunjukkan Thomas negatif HIV. Tapi laporan Dr. Yup juga
menyebutkan adanya bisul di lubang dubur, memar, dan indikasi penetrasi rektal
lainnya. Akibatnya, kakakku akan dimintai keterangan dalam penyelidikan polisi terkait
kasus Duane Taylor dan Edward Morrison. Aku meminta agar diperbolehkan hadir
dalam sesi pertanyaan itu dan awalnya ditolak. Namun Thomas berkeras dan memaksa
pada polisi maupun administrasi rumah sakit kalau dia tak akan mengatakan apa
pun kecuali adiknya ikut hadir. Polisi memenuhi tuntutannya. Selama empat kali
wawancara aku duduk di samping Thomas.
Ini aneh: salah satu penyelidik kepala investigasi sebenarnya adalah Kapten ? ?Polisi Ronald Avery. Aku langsung mengenalinya: satu dari dua polisi yang
menangkap basah Leo dan aku merokok mariyuana di jembatan ma-lam itu dan membawa
kami ke markas untuk ditanyai. Saat itu, Avery masih muda berambut gelap dan
?kurus, mungkin belum ada tiga puluh tahun. Dia yang paling sopan dari tiga
polisi yang menanyai kami malam itu. Sekarang rambutnya sudah abu-abu dan
tubuhnya kendur. Sepertinya tinggal beberapa tahun lagi dia akan pensiun. Tapi
dia tetap sopan tetap bersikap fair. Dia sabar menanyai Thomas sepanjang
?wawancara berusaha selembut mungkin, walaupun
?tetap berusaha keras mendapatkan informasi yang diperlukan.
Cerita Thomas tentang keterlibatannya dengan Morrison dan Taylor terus berubahubah. Dia bilang Morrison pernah melecehkannya, tapi Taylor tidak. Lalu dia
mengatakan mereka berdua melecehkannya. Lalu keduanya tidak melakukan apa pun.
Selama wawancara terakhir, Thomas mengatakan bahwa Taylor pernah menyelundupkan
dirinya keluar dari Hatch suatu malam dan menerbangkannya secara rahasia ke
Washington D.C, untuk rapat dengan CIA. Wakil presiden dan Mrs. Quayle juga
hadir. Pasangan Quayle terlibat dalam penyamaran Taylor sejak awal dan juga
mendalangi pemberian sianida ke Sudafed yang membunuh beberapa orang di Seattle.
Sekarang setelah dia menceritakan semuanya, kata Thomas pada Kapten Avery, bisa
dianggap dia sudah pasti mati.
Saat aku duduk diam mendengarkan Thomas, berpandangan dengan Avery dan Dr.
Chase, wakil dari rumah sakit, aku teringat sesuatu yang dikatakan Dr. Patel
beberapa bulan lalu. Dua bersaudara tersesat di hutan. Saf ah satunya mungkin
akan tersesat selamanya. Tapi tersesat atau tidak, Thomas masih bisa berjalan. Masih bisa dikeluarkan
dari Hatch. Telepon tak terduga kedua dari Ralph Drinkwater terjadi beberapa minggu sebelum
cerita tentang Morrison dan Taylor masuk koran. "Aku punya sesuatu untukmu," katanya. "Sesuatu
yang mungkin bisa kau gunakan."
"Digunakan bagaimana?" kataku.
"Terserah kamu. Jangan libatkan aku. Kau datang menjenguknya dua hari
mendatang?" Aku bilang padanya aku bisa datang ke sana besok tengah hari.
"Itu bagus," katanya. Dia memintaku parkir di tempat parkir pengunjung paling
ujung dan jangan mengunci pintu mobil.
Apa ini skandal Watergate" Drinkwater sebagai Deep Throat" Mengapa dia
?melakukan ini" Setelah aku menengok Thomas besok siangnya, aku masuk lagi ke mobil Escortku.
Melihat ke laci, di bawah kursi. Tak ada apa pun. Tapi dalam perjalanan pulang,
aku teringat gulungan penahan matahari. Dan ketika aku membukanya, sehelai
kertas jatuh ke pangkuanku: sebuah memo dari Dr. Richard Hume ke Dr. Herve
Garcia, labelnya "Rahasia".
Hume itu ternyata bajingan sinis. Itu terlihat jelas. Apa pun alasannya memilih
profesi sebagai penyembuh, d\ajuga kehilangan jalan dan tersesat. Dalam memo,
dia menyarankan agar Garcia tidak melaporkan jumlah infeksi HIV di Hatch ke
Hartford dan secara retoris malah bertanya bukankah publik diam-diam sebenarnya
menyetujui jumlah infeksi HIV di Hatch kalau memang dikabarkan kepada
publik salah satu usaha "mengurangi populasi" dengan cara AIDS.?Darwinisme sosial, pikirku. Mr. LoPresto lagi. Yesus. Aku mulai mengerti apa
maksud Drinkwater melakukan semua ini. Walaupun dia sebentar lagi jadi jutawan
karena kasino itu, Ralph masih ingin membalas para penindas. Ia masih mencari
keadilan. Yah, apa pun alasan Ralph menyelundupkan memo curian itu ke mobilku, aku punya
kartu truf sekarang: untuk mengalahkan Hume. Kalau aku bermain dengan benar,
memo itu adalah kunci untuk membuka pintu mengeluarkan kakakku dari sana. La
chiave, pikirku. Ini dia Ma. Inilah yang kita tunggu-tunggu.
Dua pengacara pertama yang kuajak bicara menolak mewakiliku karena masalah etis.
Pengacara ketiga sepertinya tak mengerti apa yang kubutuhkan. "Kita akan
menuntut sebagai kelompok," katanya. "Keluarga pasien yang terinfeksi. Mereka
mungkin mau membayar jutaan dolar untuk menyelesaikan ini."
"Kakakku tak terinfeksi," kataku padanya.
Dia mengangguk. Aku akan menjadi anggota "tak resmi" dari kelompok keluarga itu.
Partner diam. Perjanjiannya bisa dibuat secara diam-diam sebelumnya. Dia tak
akan mewakiliku per se, tapi karena aku punya memo itu, dia menjamin aku akan
mendapatkan keuntungan seperti yang lain.
Aku berdiri, menggelengkan kepala. "Kau tahu?" kataku. "Kau seperti ilustrasi
dari setiap lelucon pengacara mata duitan yang pernah kudengar. Persetan kau."
Untuk menekankan maksudku, aku menendang tempat sampahnya saat berjalan
keluar, membuat sampahnya tumpah berantakan
"Constantine Motors. Leo Blood di sini. Bagaimana saya bisa membantu Anda?"
Aku bertanya apakah dia masih punya setelan mahalnya itu.
"Setelan Armaniku" Aku mengenakannya saat ini, Mr. Birdseed. Mengapa kau
bertanya?" "Karena aku butuh aktor dengan pakaian mahal."
Awalnya dia enggan: Leo yang bahkan mau mengambil risiko bodoh sepanjang
hidupnya. Yang hidup dan bersemangat dari tipuan berengsek seperti yang
kutawarkan padanya sekarang. Itu melanggar hukum, bukan" Berpura-pura sebagai
pengacara" Bagaimana kalau Dr. Hume ini mengenali dirinya dari foto di iklan
mobil" "Oh, ya," kataku. "Seakan-akan kau ini pesohor terkenal."
"Bagaimana dengan Gene" Kalau dia tahu tentang ini, dia akan langsung memecatku,
tak peduli aku menantunya."
"Itu adalah hal terbaik yang bisa terjadi padamu," kataku. "Ayolah, Leo. Kau tak
perlu bilang kau ini pengacara; kau hanya perlu mengisyaratkan kalau kau ini
pengacaraku. Ini adalah peran yang hebat."


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak tahu, Dominick. Aku ingin menolongmu, tapi"
"Dengar, aku membutuhkanmu Teman," kataku. "Tommy membutuhkanmu. Ini satusatunya kesempatan kami." Akhirnya pada 1 April kami berhasil "berkomunikasi langsung" dengan Hume. Aku
sudah membuat tiga janji pertemuan hingga saat itu; tapi sekretarisnya selalu
menelepon pada saat terakhir dan membatalkannya. "Persetan," kata Leo setelah
Hume membatalkan untuk ketiga kalinya. "Ayo kita sergap si berengsek itu." Saat
itu kurasa Leo sudah merasa dirinya lulus ujian pengacara.
Kami menunggu di seberang jalan di depan pintu masuk rumah sakit. "Kuharap ini
tidak memperburuk masalah Thomas," kataku.
Hidup sudah buruk bagi Thomas, kata Leo mengingatkanku. Yang kita coba lakukan
hanyalah memulai satu gerakan maju untuk Thomas.
Ketika Mercedes perak Hume meninggalkan rumah sakit, aku menyalakan mesin mobil
dan membuntutinya. Membuntuti si berengsek itu ke John Mason Parkway, ke rute
395, lalu ke jalur 1-95. "Apa si berengsek ini masih keluarganya Andretti atau
apa?" kata Leo. "Aku hanya berharap kita tak membuat kesalahan," kataku.
Leo berkata sebaiknya aku berhenti berpikir dan mengikuti bajingan itu saja.
Hume keluar dari jalan raya di Old Saybrook, menyusuri Rute 1 sekitar dua mil,
lalu masuk ke tempat parkir di restoran seafood kecil di pinggir jalan. Begitu
dia keluar dari mobil, pintu Cherokee
merah yang diparkir selang dua mobil darinya terbuka. Sepasang anak muda
mendekati Hume sekitar awal dua puluhan. Yang perempuan mirip sekali dengan H u?m e-pas t/ putrinya. Mereka berpelukan dan berciuman, tepukan di punggung untuk
si anak muda yang sepertinya pacar putrinya. "Jadi, bagaimana kabar kali-an di
Yale?" kudengar Hume bertanya.
Aku bilang ke Leo bahwa ini ide buruk sebaiknya kita pergi saja. Kita bisa
?menemuinya di Hatch. Ia tak bisa terus membatalkan perjanjian.
"Dengar, Dominick," kata Leo. "Aku sudah memakai setelan bodoh ini ke tempat
kerja selama tiga hari berturut-turut. Bahkan aku pun mulai mu-ak. Ayo. Saatnya
pertunjukan." Tas kerja di tangan, dan tangan yang lain terulur ke arah Hume, Leo berada di
depan. "Dr. Hume" Maafkan saya, Sir. Bisakah kami minta sedikit waktu?" Leo
mengenalkan dirinya sebagai Arthur verSteeg. Menjabat tangan putri Hume dan
pacarnya. "Arthur verSteeg. Senang bertemu dengan Anda. Arthur verSteeg. Dan ini
teman saya Dominick Birdsey."
Senyum di wajah Hume menghilang. Dia mengatakan pada dua mahasiswa Yale itu
untuk masuk dan memesankan Glenglivet dengan es untuknya.
Hume berdiri diam, membaca memonya selama beberapa detik, berkerut. Lalu dia
merobeknya. Membuat robekan-robekan kecil kertas beterbangan terbawa angin dari
Long Island Sound. "Robek saja, Dokter," kata Leo. "Teruskan saja. Kami punya banyak kopiannya."
"Apa yang kalian mau?" tanya Hume. "Uang?"
"Keadilan," kataku. "Satu-satunya hal yang kuinginkan darimu adalah"
Pengacara verSteeg memotongku. "Biarkan saya yang menangani ini Mr. Birdsey."
* Pada 11 April 1991, Dewan Kajian Keamanan Psikiatrik bertemu dalam sesi khusus,
mengubah keputusan mereka bulan Oktober lalu dan memindahkan Thomas dalam
tanggung jawab keluarganya, yang langsung berlaku. Namun Dewan tetap menyarankan
bahwa Thomas sebaiknya segera ditempatkan pada fasilitas rumah sakit jiwa
nonforensik berstaf lengkap.
"Selamat," kata Sheffer, menjabat tanganku di luar ruang sidang. "Aku tak tahu
bagaimana kau melakukannya dan hei, aku tak mau tahu tapi apa pun itu kau ? ?berhasil. Kau mengeluarkannya dari sini."
Aku mengangguk, tak tersenyum, "Hati-hati terhadap apa yang kau inginkan.
Benar?" Sheffer memperingatkanku bahwa setelah enam bulan dalam kondisi keamanan
maksimum, kebebasan bisa mendatangkan syok bagi sistem kakakku. Meskipun dia tak
suka di Hatch, tapi di sana ada semacam keamanan dengan semua kamera pengawas,
pengaturan, dan keteraturan.
Dia mungkin akan merasa tak terlindungi, tak aman bebas. Dan kebebasan ini
?datang begitu tiba-tiba; Sheffer bilang dia belum pernah melihat proses yang
secepat ini. Tak ada waktu untuk menyiapkan Thomas secara emosional untuk
pelepasannya. Atau mencarikan tempat baru untuknya.
Sheffer saat ini sedang berusaha. Settle tempat Thomas yang dulu jelas tak bisa
karena fasilitas itu akan ditutup akhir tahun ini sehingga mereka tidak menerima
pasien baru. Mereka malah mengurangi pasien. Tak ada pengecualian. Pilihan
keduanya, Middletown masih belum pasti. Dia sudah menelepon ke sana meminta
mereka menerima Thomas: dia akan memberiku hasilnya sore nanti. Mereka semua,
katanya dia, Dr. Chase, Dr. Patel, para perawat menyarankan agar Thomas tidak
? ?tinggal denganku. Tidak aman, katanya.
"Hei, masakanku tak begitu buruk," kataku padanya.
Sheffer tak membalas senyumku. "Dominick, aku akan mengatakan sesuatu padamu
yang mungkin tak akan kau sukai. Tapi aku akan tetap mengatakannya."
"Nah, itu baru kejutan," kataku.
"Kau arogan, Dominick. Kau orang yang baik. Aku tahu kau berusaha keras untuk
melakukan apa yang terbaik untuk dia. Tapi ... ya aku hanya berharap arogansimu
tidak membuat Thomas dalam bahaya. Hati-hatilah."
Apa arogan namanya kalau seseorang ingin
melindungi kakaknya" Kalau aku tak sedikit arogan, Thomas akan terkurung di sana
selamanya. Tapi aku tak mau berdebat dengannya bukan waktu dan tempat yang
?tepat. Jadi aku tersenyum, berterima kasih atas semua yang telah dia lakukan.
Balas memeluknya ketika dia membuka lengannya ke arahku.
Kalau Sheffer berpikir aku arogan, dia seharusnya membaca kisah kakekku.
Saat aku berjalan dengan Thomas melewati gerbang keamanan Hatch dan keluar, dia
berhenti di atas tangga dan memicingkan mata. Memandang ke langit, pucuk
pepohonan yang tertiup angin. Dia melangkah selangkah dua langkah. Memasukkan
tangannya yang kutung ke saku jaketnya.
"Yah," kataku. "Kau bebas sekarang."
"Aku target berjalan," katanya
Dr. Chase mengganti resep obatnya seminggu sebelum sidang obat psikoterapi baru?yang baru saja diizinkan oleh FDA (Food And Drug Agen-cy). Kalau terjadi
peningkatan, belum bisa dilihat hingga dua minggu mendatang. Tapi aku berharap
tak lagi mendengar siapa yang mengejar Tho-mas sekarang berharap bisa
?melewatkan siang penuh kemenangan bersamanya. Saat itulah aku baru sadar bahwa
dia pasti ketakutan keluar dari sana pasti sangat mengerikan menghadapi ruang
?terbuka bagi seseorang yang selalu melihat musuh di balik setiap pohon, setiap
kendaraan. "Kau mau ke rumahku dan nonton TV?" tanyaku. "Mampir dan bertemu Ray" .... Kau
lapar" Kau mau makan di McDonald atau di mana?"
Dia ingin pergi ke The Falls, katanya.
"The Falls" .... Ya, baiklah. Tentu. Kau bebas sekarang. Kau bisa melakukan apa
pun yang kau mau. Kita punya sesiang penuh untuk merayakan."
"Merayakan apa?" katanya.
"Kebebasanmu," kataku.
Thomas mendengus. Menggumamkan sesuatu yang tak bisa kudengar. "Kau bilang apa?"
Tapi dia tak menjawabku. * Aku berhenti di tempat parkir dekat pemakaman Indian. Bersama-sama kami melewati
pemakaman ke jalan setapak menuju The Falls.
"Ingat dia?" tanya Thomas. Dia berhenti dan menunjuk ke nisan Penny Ann
?Drinkwater. Aku mengangguk. Melihat tubuh Penny Ann jatuh di The Falls seperti dalam mimpi
burukku. Melihat anak Eric Clapton jatuh dari langit seperti Icarus.
"Kau, uh, ... kau sering ketemu kakaknya saat kau di sana?"
"Siapa?" "Ralph Drinkwater. Kakaknya." Orang yang mengeluarkanmu dari sana, kataku dalam
hati. Orang yang memberikan senjata yang kuperlukan untuk membuatmu aman lagi.
"Dia petugas pemeliharaan di sana. Ingat" Kau bilang kau bertemu dia sekali di
sana." "Di sana di mana?" "Di Hatch."
Dia memandangku. Memandang langsung ke mataku. "Kita sepupu," katanya.
Apa yang dia bicarakan" "Kita saudara, Man," kataku.
"Sepupu dia," katanya. Mengangguk ke arah makam Penny Ann.
"Yeah, terserah," kataku. "Ayo. Kita ke sungai."
Kami berjalan melewati jalan setapak di ujung pemakaman yang berlumpur karena
hujan dua hari berturut-turut. Thomas tak bugar lagi kesulitan menuruni lereng
?yang licin. Angin sepoi menggerakkan pucuk pohon pinus, ranting pohon oak yang
meranggas. Emosiku tak tertahankan.
Saat kami sampai di semak-semak iaurei, aku mengatakan pada Thomas sesuatu yang
tak pernah kukatakan pada orang lain sebelumnya, tidak juga pada Dessa: bahwa
kami berdiri di tempat favoritku. "Dua bulan lagi dan semak-semak ini akan
dipenuhi bunga," kataku. "Terjadi setiap awal Juni. Aku akan membawamu ke sini
lagi nanti. Berbunga setiap tahun."
Thomas bilang padaku kalau daun iaurei itu beracun. Apakah dia sudah bilang
bahwa ada orang yang berusaha meracunnya beberapa kali saat dia di Hatch" Dia
yakin dalangnya pasti Republikan.
Aku tak menjawabnya. Perayaan yang hebat, pikirku, dan mulai berjalan ke arah
suara air terjun. Ketika kami sampai ke tanah terbuka dekat air terjun kami berdiri ? ?berdampingan, memandang air sungai jatuh dari lereng di atas menuju ke bawah
dengan seluruh kekuatannya. Hari itu, alirannya sangat keras dan
bergemuruh permulaan musim semi, ditambah hujan dua hari kemarin. Aku memandang
?Thomas, mengamati wajahnya yang murung. Di bawah sinar matahari, semua tekanan
dan emosi yang dialaminya selama enam bulan dan selama dua puluh dua tahun
sebelumnya terlihat jelas di wajahnya. Dia terlihat jauh lebih tua daripada umur
sebenarnya yang empat puluh satu tahun. Tua. Sebagian diriku ketakutan setengah
mati mengantisipasi apa yang akan terjadi dalam beberapa minggu dan bulan
mendatang. Tapi sebagian diriku yang lain bahagia dan masih tak percaya. Dia di
sini, pikirku. Dia bersamaku, Ma. Aku berhasil mengeluarkannya.
Dan sekarang apa" Memalingkan wajahnya padaku, Thomas mengatakan sesuatu yang tak bisa kudengar di
sela gemuruh air. Aku menangkupkan tangan di telinga dan mendekat. "Apa?"
"Aku bilang, ini tempat yang suci." Aku mengangguk. Sedikit tegang. Masalah
Kesucian lagi, pikirku. Tapi saat aku memandang matanya aku merasakan
kekesalanku berubah menjadi perasaan lain. Iba, mungkin" Lega" Sayang" Aku tak
bisa menyebutkannya. Aku mulai menangis, karena emosiku benar-benar tak
terkendali. Thomas bertanya apa aku percaya Tuhan.
Awalnya aku tak mau menjawabnya. Mencari-cari jawaban yang tidak akan memicu
salah satu pidato Yesusnya. Lalu aku mengatakan sesuatu yang tak terpikirkan
sama sekali. "Kuharap aku percaya."
Dia mendekat selangkah ke arahku. Mengulurkan tangan dan merangkulku. Aku seakan
bisa melihat pergelangannya yang kutung di bahuku.
"Tuhan Yesus Kristus adalah penyelamatmu, Dominick," katanya. "Percayalah
padaku. Aku menyampaikan firman Tuhan."
"Begitu, ya?" kataku. "Ya, apa yang kau tahu?" Aku menghapus air mata dengan
lengan jaketku. Melangkah menjauh dari rangkulannya.
Kami berdua diam selama beberapa saat dua atau tiga menit mungkin. Akulah yang
?pertama bicara. "Kau tahu apa yang dikatakan seseorang padaku dulu?" kataku.
"Bahwa ini adalah sungai kehidupan yang dilakukan adalah mengalir dari masa
?lalu ke masa depan dan melewati kita ... masuk akal juga, ya?"
Thomas memandangku, tak berkata apa pun.
"Hei, ngomong-ngomong tentang masa lalu," kataku. "Kau tahu apa yang sedang
kubaca" Cerita Papa. Kakek kita .... Dia mendiktekan kisahnya sebelum meninggal.
Dalam bahasa Italia. Aku menyuruh seseorang menerjemahkannya .... Ma yang
memberikannya padaku. Pada kita berdua."
"Papa," ulang Thomas.
"Kau ingat bagaimana Ma bercerita tentangnya,
Papa begini, Papa begitu .... Ternyata, dia bukanlah pahlawan besar seperti yang
selalu diceritakan Ma. Dia, aku tak tahu ... dia kejam. Beberapa hal yang kubaca
benar-benar" "Bisakah kita masuk ke air?" tanya Thomas.
"Apa?" Aku agak kesal dia memotongku tak mendengarkan apa yang kukatakan.?Dia ingin melepas sepatu dan kaus kaki, katanya. Masuk ke sungai.
Airnya masih terlalu dingin sekarang, kataku. Aku akan mengantarnya ke sini lagi
saat cuaca sudah hangat dan dia boleh masuk selama dia suka. Bulan Juni mungkin,
saat bunga laurel bermekaran. "Ayo," kataku. "Kau lapar" Aku mulai lapar."
Aku berencana membeli makanan di drive thru. Pergi ke tempat umum akan kulakukan
dengannya pelan-pelan saja. Dan Thomas selalu tak terduga di restoran bahkan
?sebelum dia masuk ke Hatch. Tapi ketika kami masuk ke tempat parkir McDonald,
siapa yang masuk di belakang kami dan mengklakson kalau bukan Leo. Dia
menunjukkan jarinya ke tempat parkir di sebelah mobilnya.
Leo bicara dengan keras. Menjabat tangan Thomas sedikit terlalu bersemangat. Dia
mendesak agar kami masuk bersamanya dia akan mentraktir makan siang kami. Sejak
?kemenangan kami terhadap Dr. Hume, Leo mulai memanggil dirinya Victor Sifuentes,
salah seorang tokoh dalam LA Law. Pengacara ilegal dalam busana desainer. Dia
tak terlalu mengerti: karena semua itu hanya permainan akting bagi Leo. Tapi dia
juga patut merayakan ini, pikirku. Jadi kami masuk ke dalam.
Seluruh restoran dihiasai dekorasi Little Mermaid. Cahaya yang terang dan warnawarna cerah, antre dengan banyak orang; membuat kakakku gelisah. Dia terusmenerus melongokkan leher, mengedipkan mata. Di kasir, Leo dan aku memesan dan
aku berpaling ke Thomas, "Kau mau apa?" tanyaku. Dia terpaku memandang ke papan
menu. "Dia mau Bic Mac dan shake," kataku pada kasirnya. "Shake apa yang kau mau,
Thomas" Cokelat?"
Dia bilang mau Happy Meat.
"Thomas," kataku. "Itu buat anak-anak."
"Oh, tidak apa-apa," kata kasirnya. "Dia boleh memesan itu kalau mau. Semua
orang bisa membelinya."
Aku bilang terima kasih tapi dia tak mau itu.
"Ya, aku mau," kata Thomas.
"Ayolah, Birdsey," kata Leo. "Kalau temanku ini mau Happy Meal, maka itulah yang
akan kubeli untuknya. Happy Meat mana yang kau mau, Thomas" Mereka punya
hamburger, cheeseburger, McNuggets."
"McNuggets," kata Thomas. "Dan kopi hitam untuk minumku."
Kasirnya bilang Happy Meal minumnya bukan kopi. Hanya soda atau susu.
"Berikan dia kopi kalau dia mau kopi," kata Leo padanya. "Tambahkan saja
pesanannya." Ketika kasir pergi mempersiapkan pesanan kami, Leo mengucapkan satu dialog dari
film: sesuatu tentang chicken saiad sandwich, tahan napas, jepit ayamnya di antara kakimu.
Tutup mulut, aku ingin bilang begitu padanya. Masuk ke sini adalah kesalahan.
Aku ingin melakukan semuanya dengan pelan-pelan, menjaga semuanya baik dan
sederhana. Aku takut. Aku ingin membentak seseorang.
"Aku mau ke kamar mandi," kata Thomas.
"Oh. Oke. Aku akan pergi bersamamu," kataku. "Leo bisa membawa pesanan kita."
Thomas bilang aku tak perlu menemaninya. "Aku tahu, aku tak perlu," kataku.
"Tapi aku harus, oke" Kau keberatan?"
Thomas membuat repot tentu saja: mengunci dirinya sendiri di dalam selama
sekitar sepuluh menit. Membiarkanku berdiri di luar, gugup, memanggilnya setiap
tiga puluh detik. "Kau baik-baik saja" ... Kau masih hidup di dalam sana?" Orangorang masuk dan keluar memandangku aneh. Aku merasa seperti yang kurasakan dalam
perjalanan sekolah dulu saat dia mengunci dirinya di toilet bus. Merasakan apa
yang kurasakan pada tahun pertama kuliah, di asrama kami: Thomas dan Dominick
Birdsey, orang aneh. "Yesus, kukira kau jatuh atau apa," kata Leo. Dia memilih meja di dekat jendela
depan, tapi Thomas tak mau. Katanya dia akan jadi sasaran empuk di meja ini.
"Hentikan," kataku. "Duduk saja. Tak ada yang mengejarmu." Tapi Thomas cemberut
mendengar perkataanku. Leo berdiri, mengumpulkan pesanan kami. "Duduk saja," kataku. "Meja ini tak apaapa. Dia harus" "Apa masalahnya?" kata Leo. "Lagi pula, di sini silau. Ayo."
Ketika kami sudah duduk di meja dekat toilet, Thomas bilang ke Leo kalau dia
pernah bekerja di McDonald ini.
"Bukan yang ini," kataku. "Kau bekerja di McDonald yang di Crescent Street."
"Tidak," kata Thomas.
"Ya." Kau kambuh di sana, ingat" Kau menghancurkan speaker drive thru karena
alien memanggilmu. Ingat"
"Tidak" katanya. "Aku bekerja di sini."


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah," kataku. "Kau kerja di sini. Aku yang salah."
Baru setengah menghabiskan makanannya, Thomas bilang dia mau ke kamar mandi.
Kali ini, aku biarkan dia pergi sendiri.
"Dengar," kataku pada Leo. "Aku tahu maksudmu baik, tapi dia harus dilatih untuk
berfungsi secara normal di tempat umum. Seseorang yang sudah empat puluh satu
tahun seharusnya tidak memesan makanan anak-anak. Seharusnya tak boleh dibiarkan
bermain Sembunyi Di Belakang Restoran Karena Mereka Hendak Menangkapku."? ? ? ? ? ? ?Leo menyumpal mulutnya dengan kentang goreng. "Hei kau tahu apa yang dibilang
putriku beberapa hari yang lalu, Dominick?" katanya. "Santai saja, Dad. Dan
sekarang biarkan aku memberikan
kata-kata bijak itu padamu, oke" Rileks. Santai saja. Dia baik-baik saja."
"Yeah, benar," kataku. Aku mengulurkan tangan ke dalam Happy Meal Thomas dan
mengambil boneka Little Mermaid hadiahnya. Melambai-lambaikan boneka itu di
depan wajah Leo. * Thomas dan aku duduk di ruang duduk rumahku menonton The People's Court saat
Sheffer menelepon. "Oke, aku mendapatkan tempat untuknya," katanya. "Tapi agak
rumit. Middletown mau menerimanya, tapi mereka tak punya kamar hingga Jumat."
"Baiklah," kataku. "Dia bisa tinggal di sini sampai Jumat."
Sheffer bilang dia punya ide yang lebih baik. Dia sudah menelepon Hope House,
salah satu asrama Thomas dulu. Mereka setuju untuk melonggarkan aturan
sedikit menerimanya untuk sementara. "Mereka kekurangan staf, tapi kurasa itu ?lebih baik daripada dia tinggal denganmu." "Mengapa?"
"Apa yang akan kau lakukan, Dominick mengikatnya di ranjang" Berjaga semalaman
?seperti satpam"1 Kau pergilah ke bawah sekarang, Dominick. Ini tak akan menyenangkan buatmu.
Larilah ke atas dan bilang ke kami kalau Ray datang ....
Baiklah, kataku. Aku tak punya masalah kalau
Thomas di Hope House selama dua hari. Setidaknya tempat itu dekat. Dan dulu dia
juga suka tinggal di sana kondisinya lebih baik dibandingkan dengan di tempat
?lain. Aku akui, setelah menerima telepon Sheffer aku sudah mulai kewalahan. Pergi ke
McDonald membuatku lelah. Dan kalau Thomas tinggal di asrama; aku bisa punya
waktu mempersiapkan hal-hal yang dia perlukan di Middletown nanti: jin baru,
pakaian dalam, sampo, dan lainnya. Mungkin aku bisa membelikannya sepatu kets
sehingga dia tak usah lagi memakai sepatu pantofelnya itu.
Aku membuat makan malam lalu mengantarnya ke Hope House. Supervisor jaga malam
membaca dengan keras barang-barang pribadi yang ingin dibawa Thomas: "Sepatu,
Injil, buku religius, buku religius lainnya ...." Tak peduli dengan proses
pendaftarannya, Thomas duduk diam membuka-buka buku favoritnya: Lives of teh
Pendekar Bego 19 Dewa Arak 66 Pembunuh Gelap Tiga Naga Sakti 3

Cari Blog Ini