Sang Penebus Karya Wally Lamb Bagian 6
"Kau agak ketinggalan zaman, ya?" kataku. "Ya" Tolong jelaskan."
"Dokter-dokternya yang lain sudah melakukan itu selama bertahun-tahun:
menganalisis saat dia berlatih buang air besar waktu balita, catatan SD-nya.
Lalu semua orang berubah pikiran memutuskan bahwa semua itu disebabkan oleh
faktor biokimia, susunan genetiknya."
"Oh, memang benar, Dominick," kata Dr. Patel. "Tak diragukan lagi. Aku hanya
mencoba sebanyak mungkin memetakan realitas masa lalu dan masa kini kakakmu.
Menjadi dirinya mencoba menjadi dia. Dan untuk mencapai itu, kau bisa memberikan
bantuan besar padaku. Kalau kau mau."
"Aku tak tahu," kataku. "Bagaimana caranya?" "Dengan terus mendengarkan rekaman
sesi kakakmu dan membagikan
pandangan-pandanganmu. Dan dengan membagi kenanganmu akan masa lalu kalian. Aku
terutama tertarik dengan ingatan masa kanak-kanak kalian, dan masa saat penyakit
Thomas muncul bulan-bulan ketika mulai terlihat gejala skizofrenia pada dirinya.
Bagaimana dan mengapa yang berasal dari waktu-waktu itu."
Sembilan belas enam puluh sembilan, pikirku: kru kerja kami pada musim panas.
"Karena seperti yang telah kita bahas sebelumnya, kau adalah cerminan kakakmu.
Dirinya yang sehat. Dalam istilah ilmiahnya, kau sama dengan grup kontrol.
Sehingga, akan berguna kalau aku
menganalisis kalian berdua sehingga aku bisa merancang terapi untuk Thomas. Itu
pun kalau, seperti yang kubilang tadi, kau mau membantu."
Aku sudah ditipu oleh optimisme sebelumnya. Oleh harapan gombal. Aku tak tahu,
apakah aku mau atau tak mau lagi. Kukatakan pada Dr. Patel kalau aku akan
memikirkannya. "Siapa yang tak ingin saudara kembar, Mr. Birdsey?" katanya. "Siapa yang tak
pernah membayangkan bahwa di suatu tempat di dunia ini terdapat kembarannya"
Mendamba adanya hubungan sedekat saudara kembar salah satu cara melindungi diri
dari badai kehidupan. Jadi, siapa bilang kalau 'kondisi kembar' kalian tidak
bisa menjadi kunci dari kesembuhan kakak Anda?"
Kunci, pikirku. Chiave. Satu hal yang pasti: Dr. Patel terdengar tulus. Untuk pertama kalinya, kakakku
tidak mendapatkan psikolog tunjukan negara yang hanya coba-coba, yang hanya
mementingkan uangnya. Untuk kali ini, Thomas tidak mendapatkan psikolog yang
tidak peduli. Di pintu, di akhir sesi kami, Dr. Patel bertanya mata pelajaran apa yang dulu
kuajarkan di sekolah. "Apa" .... Oh. Sejarah. Sejarah di SMU."
"Ah", katanya. "Itu pekerjaan yang menantang. Dan sangat diperlukan. Penting
bagi anak-anak untuk belajar bahwa mereka adalah hasil dari orang-orang yang
lahir sebelum mereka. Apa kau setuju?"
"Yah "Mengapa wajahmu memerah, Mr. Birdsey?"
"Wajahku tidak merah. Aku cuma ... aku sudah tak pernah lagi masuk kelas selama
tujuh tahun lebih. Terima kasih tehnya. Aku akan memikirkan apa yang kau
katakan. Telepon aku kalau terjadi sesuatu."
Dr. Patel memintaku untuk menunggu sebentar. Dia pergi ke mejanya dan menulis di
selembar kertas. "Ini resepku untuk Anda, Mr. Birdsey," katanya, mengulurkan
kertas yang baru ditulisinya. "Jika kau suka baca, bacalah buku-buku ini. Bagus
untuk jiwa." Resepnya; seakan-akan aku pasiennya. Seakan-akan dia melakukan terapi
terhadap-/cu. Aku mengambil kertas itu, meliriknya tanpa membaca dan memasukkannya ke saku
jinku. "Terima kasih," kataku. "Hanya masalahnya bukan pada jiwaku, Dokter.
Masalahnya ada pada otak kakakku."
Dia mengangguk. "Dan untuk menyembuhkannya, maukah kau melakukan apa yang
kuminta" Menceritakan kembali kenangan-kenangan masa kecil kalian yang kau
anggap penting padaku" Dan mulai mengingat kapan kakak Anda pertama kali
mengalami serangan skizofrenia" Permulaan sakitnya?"
"Yeah," kataku. "Oke." Saat tinggal selangkah lagi menuju lorong, aku berhenti.
Berpaling. "Aku, uh ... kau ingat" Saat kau bertanya apakah aku punya anak?"
"Ya." "Kami ... istriku dan aku mantan istriku "Ya?"
"Kami pernah punya seorang putri." Dr. Patel menunggu, matanya masih tersenyum
padaku. "Dia meninggal. Waktu bayi. Saat berusia tiga minggu."
"Ah," katanya. "Saya turut bersedih. Dan saya juga berterima kasih."
"Terima kasih" Untuk apa?"
"Karena telah bersedia berbagi informasi itu denganku. Saya tahu, Anda orang
yang tertutup, Mr. Birdsey. Terima kasih telah memercayaiku."
Keesokan paginya, Sabtu pagi, Joy melewatiku, memeluk setumpuk pakaian kotor.
"Kau menginginkan ini?" katanya. Dia memegang "resep" Dr. Patel: daftar buku
yang bahkan aku sudah tak ingat lagi. Joy mengambilnya dari kantong jinku. Dalam
tulisan bulat-bulat yang miring, Dr. Patel menulis: The Uses of Enchantment, The
Hero with a Thousand Faces, The King and the Corpse.
"Buang saja," kataku, dan Joy berjalan menuju ruang cuci. "Tapi, tunggu. Berikan
padaku. Enam Belas 1969 Ma SdnQdt senang saat kami pulang liburan setelah tahun pertama di universitas,
tapi dia tak suka melihat Thomas menjadi kurus. Ma bertekad mengembalikan daging
ke tulang-tulang Thomas, memanggang iasagna dan pie, bangun pagi-pagi memasak
daging dan telur untuk sarapan dan menyiapkan bekal makan siang kami. Ma
menambahkan sandwich ekstra di kotak makan siang Thomas dan memasukkan pesan
tertulis tentang betapa Ma bangga padanya bahwa dia adalah putra terbaik yang
bisa dimiliki seorang ibu.
Tak banyak peluang kerja yang bisa didapat musim panas itu, namun kakakku dan
aku mendapatkan kerja musiman dengan Dinas Pekerjaan Umum Three Rivers. (Ray
kenal dengan supervisornya, Lou Clukey dari VFW). Pekerjaan fisik berat berupah
minimum dengan tambahan manfaat seperti terkena semak beracun dan biang keringat
karena panas. Tapi sebenarnya, aku suka bekerja di Dinas Pekerjaan Umum Three
Rivers. Pekerjaan itu mendatangkan uang dan membuat kami jauh dari rumah pada
siang hari ketika Ray ada
di rumah. Setelah setahun tak lepas dari buku, terkurung di kamar asrama dengan
kakakku, sungguh enak merasakan sinar matahari, menghirup udara segar, dan
berkeringat. Betapa nikmat rasanya menenteng sekop atau sabit dan bekerja, lalu
memandang ke belakang, melihat hasil kerjaku tanpa harus menunggu persetujuan
profesor sok tahu segala.
Pekerjaan yang paling kusukai adalah memotong dan mencabut rumput di pemakaman
kota: pemakaman kuno di Rivertown dengan tulisan nisan yang aneh-aneh, pemakaman
Indian di dekat The Falls, dan pemakaman besar di Boswell Avenue dan Slater
Street. Hari pertama, kami membersihkan pemakaman di Boswell Avenue, aku
langsung mencari makam kakekku: monumen nisan granit setinggi enam kaki, dengan
dua patung malaikat berduka dari semen. Domenico Onofrio Tempesta (1880-1949)
"Kedukaan terdalam tak bersuara." Istrinya, Ignazia (1897-1925), dimakamkan di
sisi lain pemakaman dengan nisan yang lebih kecil dan sederhana. Thomaslah yang
menemukan makam ibu Ma, saat musim panas sudah berjalan setengahnya. "Oh, aku
tak tahu .... Tak ada alasan apa pun," kata Ma saat aku bertanya kenapa kakek dan
nenek tidak dimakamkan bersama.
Awalnya aku khawatir tentang Thomas. Aku masih agak takut kalau ingat saat
Thomas menghancurkan mesin tik kami. Selain itu, Thomas juga bukan jenis orang
yang cocok kerja fisik. Tapi aku diam saja dan tetap waspada, dan setelah
seminggu atau lebih, aku mulai rileks. Melepaskan kewaspadaanku.
Kadang Thomas lupa apa yang sedang dilakukannya, atau tersesat ke suatu tempat,
tapi tak berbahaya. Dia lumayan bisa menjaga diri. Awal Juli, kulit Thomas sudah
mulai kecokelatan, tubuhnya mulai berisi dan tak mirip Lurch lagi. Rupanya
universitas tidak membuatnya gila, kataku pada diri sendiri. Dia cuma kecapekan.
Dia baik-baik saja. Dan pada bulan September nanti, dia harus berusaha sendiri
melepaskan diri dari jeratan lubang akademik yang dibuatnya semester lalu karena
membolos. Dasar si berengsek.
Thomas tak pernah makan sandwich ekstra yang disiapkan Ma untuknya. Aku yang
memakannya. Kadang, saat dia tidak langsung memberikannya padaku, aku mencarinya
di kotak makan Thomas dan menemukan pesan yang ditulis Ma untuknya. Ma sangat
paham hingga memutuskan lebih baik tidak menulis pesan seperti itu untukku.
Suatu kali, dia pernah melakukan hal itu saat aku SMU dan teman-temanku merampas
pesan itu dan menyebarkannya. Saat pulang aku marah-marah pada Ma. Tapi, pesanpesan sayang itu tak pernah membuat Thomas malu seperti aku. Dia bahkan senang
mendapatkan omong kosong seperti itu.
Tapi aku salut juga pada Thomas: dia keluar dan memperbaiki mesin tik kami tanpa
kusuruh. Sehingga Ma dan Ray tak tahu apa yang terjadi. Dia mengambil inisiatif,
membayar biaya perbaikan dari gaji pertamanya, dan mesin tik itu selesai diperbaiki dalam seminggu. Satusatunya masalah adalah dia tak bisa membeli kotak wadah mesin tik yang baru.
Saat Ma tahu kotaknya hilang, dia bertanya pada-ku, bukan pada Thomas. Aku
bilang padanya kalau seseorang di universitas telah mencurinya. Ma berdiri
terpaku, terlihat khawatir, terdiam. "Bukan masalah besar, Ma," kataku
menenangkannya. "Masih untung mereka cuma mengambil kotaknya, tidak dengan mesin
tiknya sekalian, iya kan?"
Ma bilang dia tak percaya kalau mahasiswa tega mencuri dari temannya sendiri.
Kukatakan kalau dia akan terkejut mengetahui apa yang bisa dilakukan mahasiswa.
"Apakah karena obat, Dominick?" tanya Ma. "Apakah karena itu, dia jadi kurus?"
Aku merangkul dan menciumnya. Mengatakan pada Ma kalau dia terlalu khawatir.
Menggodanya hingga kekhawatiran hilang dari matanya. Dia baik-baik saja, Ma,
kataku. Benar. Dia cuma kelelahan, itu saja.
Setiap hari, pergi kerja pukul tujuh tiga puluh, Thomas dan aku melapor pada
gudang kota tempat Lou Clukey membagi-bagi kru kerja ke seluruh penjuru Three
Rivers. Thomas dan aku ditugaskan menjadi bawahan mandor bertubuh besar bernama
Dell Weeks. Dell adalah orang yang eksentrik. Dia gundul, dan punya gigi palsu
dari perak di barisan gigi depannya. Dia juga punya mulut paling kotor yang pernah kutemui. Dell tak
tahan dengan Lou Clukey, yang mantan tentara Angkatan Laut dan rapi, dan kau
bisa melihat bahwa Lou juga punya perasaan yang sama. Bahkan kau bisa merasakan
ketegangan di antara mereka berdua, begitu mereka berdua saling berada dalam
jarak radius dua puluh kaki. Jadi, tak heran kalau kelompok kami biasanya
melakukan pekerjaan yang paling kotor. Sepanjang pagi, kami menyekop pasir,
memotong semak-semak rawa, mengalirkan limbah, membersihkan toilet umum. Kami
menyisihkan pekerjaan memotong rumput untuk siang hari.
Selain Dell Weeks, kelompok kerja kami beranggotakan empat orang; Thomas, aku,
Leo Blood, dan Ralph Drinkwater. Leo juga pekerja musiman seperti aku dan
Thomas, dia kakak kelas kami kuliah di UConn. Drinkwater adalah pekerja penuh
waktu. Kalau wajib militer dan Electric Boat tidak mengambilnya, dia berisiko
menjadi pekerja tetap Dinas Pekerjaan Umum Three Rivers seperti Dell.
Drinkwater tak banyak bertambah tinggi sejak di SMU saat dia dikeluarkan dari
kelas Mr. LoPresto karena menertawakan konsep bahwa orang kulit merah punah
karena superioritas alami orang kulit putih. Dia masih lima kaki enam inci, lima
kaki tujuh inci mungkin, tapi dia terlihat lebih tangguh dan sombong daripada
dulu. Kelas bantam. Otot-ototnya keras dan kuat dan dia berjalan dengan sombong;
dia bahkan memotong rumput dengan sok. Sepanjang musim panas itu, Drinkwater
mengenakan pakaian yang sama saat pergi kerja. Dia tidak bau seperti Dell. Dia
cuma tak pernah pakai baju lain selain celana jin hitam dan baju kutung biru.
Leo dan aku bertaruh dua puluh dolar tentang kapan akhirnya Drinkwater akan
menyerah dan mengganti pakaiannya. Aku bertaruh di tanggal ganjil dan Leo di
tanggal genap, dan kami berdua menunggu sepanjang musim panas.
Meskipun aku tak mengakuinya waktu itu, Drinkwater adalah pekerja terbaik dari
kami berempat, dia fokus dan mantap, tak peduli meski cuaca sangat panas.
Sepanjang hari, dia mendengarkan radio transistor ke-cil yang dia cantolkan di
ikat pinggangnya lagu-lagu Top 40, pertandingan bisbol jika Red Sox main. Dia
selalu menyalakan radio itu, sehingga sampai sekarang aku masih ingat setengah
dari iklan-iklannya. Bersemangatiah, kau ada/ah Generasi Pepsi. ... Kau punya
teman di Three Rivers Savings ... Datanglah ke Constantine Motors, di mana kami di
puncak, namun sejajar. Sepanjang hari, musik dan iklan berjalan dengan
Drinkwater. Awalnya dia lumayan antisosial. Dia terlihat selalu memandangi Thomas dan aku.
Sekitar lima puluh kali sehari, saat aku mengangkat kepala, aku memergoki Ralph
mengalihkan pandangan dari kami. Itu bukan hal baru: orang-orang selalu
memandangi Thomas dan aku. Oh, lihat, Muriel! Kembar! Tapi Ralph dulu juga
kembar. Apa yang dia lihat"
Saat berkendara ke tempat kerja, Thomas, Leo dan aku biasanya naik ke bak
belakang truk dan Ralph duduk di depan bersama Dell. Dia kadang bicara pada Dell, tapi dia hampir
tak pernah mengatakan sepatah kata pun pada kami, bahkan ketika salah satu dari
kami bertanya langsung padanya. Sepupu Ralph, Lonnie, tewas di Nam awal tahun
itu dia dimakamkan di pemakaman Indian. Saat kami memotong rumput di sana, ?Ralph selalu menjauh dari nisan Lonnie. Biasanya aku yang membersihkan rumput di
sekitar makam itu; kami membagi makam menjadi beberapa kotak, dan makam Lonnie
selalu menjadi bagianku. Aku biasanya mulai memotong dan mencabuti rumput serta
mulai berpikir tentang Lonnie saat dia mendapat masalah karena meludahi anak?anak di halaman, saat nonton film, di kamar mandi bawah, ketika dia mencengkeram
pergelangan tanganku dan menghinaku untuk menghibur dirinya dan Ralph. Kenapa
kau memukul dirimu sendiri, bocah" Huh" Kenapa kau memukul dirimu sendiri" ...
Nisan Lonnie berukuran lumayan. Dari granit, kasar di satu sisi dan dipoles di
sisi lain. Tertulis, nisan ini dipersembahkan oleh VFW untuk menghormati Lonnie
sebagai salah satu prajurit Three Rivers pertama yang gugur di Vietnam.
Kehormatan yang hebat; memberikan nyawamu untuk kesalahan nasional. Sia-sia.
Saat Thomas dan aku kecil, penjahat besar di dunia ini adalah anak-anak lain.
Anak-anak nakal. Biang kerok seperti Lonnie Peck. Sekarang musuhnya adalah
Nixon. Nixon dan politikus gemuk tak berleher lainnya yang terus mengobarkan
perang-mengirimkan anak-anak ke
hutan agar tertembak kepalanya.
Makam adik kembar Ralph, Penny Ann, juga di sana. Makam itu dekat dengan makam
Lonnie meski tidak bersebelahan, sekitar dua puluh lima atau tiga puluh kaki
jauhnya. Nisan Penny Ann hanyalah nisan kecil bertuliskan inisialnya P.A.D. Aku
bahkan melewatkannya saat pertama kami bekerja di sana. Lalu, bam! Aku tiba-tiba
sadar nisan itu milik siapa. Aku sering berusaha mengatakan tentang makam-makam
itu pada Ralph. Setidaknya tentang makam Lonnie. Kematian seorang prajurit lebih
mudah dibicarakan daripada kematian seorang gadis kecil karena pemerkosaan dan
pembunuhan. Tapi, aku tak mengatakan apa pun tentang kedua makam itu. Ralph tak
memberiku kesempatan. Dia tak pernah menurunkan kewaspadaannya meski sedetik.
Suatu kali, pada minggu pertama kami bekerja, kami berdua Ralph dan aku
mengangkat peralatan ke bak belakang truk. Aku mengingatkan padanya kalau kami
pernah sekolah bersama di SD River Street dan sekelas lagi di kelas sejarah si
Berengsek LoPresto di SMU JFK. Drinkwater hanya memandangku tanpa ekspresi.
"Ingat?" kataku akhirnya. Dia berdiri diam, memandangku seakan-akan aku makhluk
asing dari Mars atau semacamnya.
"Yeah, aku ingat," katanya. "Memangnya kenapa?"
"Nggak apa-apa," kataku. "Sorry aku telah mengatakannya. Sorry juga kalau aku
bernapas, oke?" Saat pagi sejuk dan pekerjaan kami tidak terlalu melelahkan atau jika Lou Clukey
ada di dekat kami Dell juga menjadi mandor pekerja dia akan bekerja bersama
kami. Tapi kalau tidak, biasanya dia hanya duduk di truk, bersandar di pintu
sopir yang terbuka, merokok, dan mencari-cari kesalahan kami. Kadang, dia
berdiri dan mendekati kakakku. Merampas sapu atau gergaji yang dipegang Thomas
dan memberi sedikit demonstrasi tentang bagaimana seharusnya Thomas bekerja.
Atau dia akan menyuruh Drinkwater berhenti bekerja dan menunjukkan pada Thomas
cara bekerja yang benar. Itu memalukan bagi Thomas maupun Ralph cukup memalukan
sehingga kau tak tega melihatnya dan harus berpaling. Tapi Dell suka reaksi
gugup Thomas dan tatapan kesal dari Ralph. Dia suka mempermalukan mereka,
terutama Thomas. Dell bahkan punya lelucon tentang bagaimana dia tak bisa
membedakan kakakku dan aku kecuali saat kami berdua memegang sekop. Saat itu dia
bisa membedakan kami, tak masalah. Dia menjuluki kami si Burung Bersaudara,
Punya Burung dan Tak Punya Burung.
Dari kami berempat, Dell lebih menyukai Leo dan aku. Kami adalah orang yang
selalu dia suruh berhenti bekerja sebentar dan pergi ke Central Soda untuk
membeli kopi, atau mengisi wadah air minum di sumur kota, atau pergi
membelikannya rokok. Leo dan aku adalah tempat Dell menceritakan lelucon
bodohnya. Ketika Dell menceritakan leluconnya, aku biasanya tersenyum palsu atau tertawa
gugup. Kadang, aku melirik diam-diam ke arah Drinkwater. Ralph mungkin keturunan
penuh suku Indian Wequonnoc seperti yang diklaimnya di kelas Mr. LoPresto, tapi
kulitnya lumayan gelap. Aku belum pernah melihat seorang Indian yang juga
terlihat seperti seorang Afro. Sepanjang musim panas, radio transistor Ralph
terus menyanyikan kedatangan zaman Aquarius dan semua orang tersenyum pada
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saudaranya dan saling mencintai, tapi lelucon-lelucon Dell mematikan pesan dari
lagu-lagu itu. Drinkwater selalu diam saat Dell menceritakan lelucon-lelucon rasis itu. Dia tak
pernah tersenyum, tapi dia juga tak pernah mendebatnya tak pernah menantang ?Dell seperti hari di kelas Mr. LoPresto waktu itu. Aku benci lelucon-lelucon
Dell, benar-benar benci, tapi aku terlalu pengecut untuk mengatakannya. Bukan
berarti aku mau mengakui kepengecutanku ini. Dengan 30 SKS yang sudah kujalani
di universitas selama setahun, aku bisa menjustifikasi sikap diamku: pada
akhirnya, orang-orang generasi kami akan memimpin dan semua orang fanatik akan
musnah. Lagi pula, Ralph tidak mengatakan apa-apa padahal setidaknya dia/ah yang
keturunan kulit hitam jadi mengapa aku harus angkat bicara" Jadi, aku terus
menjual diriku untuk mendapatkan keistimewaan disuruh-suruh pergi ke sumur kota
atau ke kedai kopi. Setiap mendengar lelucon-lelucon itu, aku tersenyum dan
menutup mulutku, mempertahankan status "pekerja istimewaku". Leo juga melakukan
hal yang sama. Musim panas itu, Leo dan aku merekatkan kembali persahabatan yang kami mulai dua
tahun sebelumnya di kelas matematika musim panas. Saat aku berpikir-menganalisis
apa yang membuat kami berteman, jauh sebelum kami menjadi saudara ipar karena
menikahi Constantine bersaudara satu-satunya hal yang terpikirkan olehku adalah
fakta bahwa kami berkebalikan. Selalu begitu. Di pesta dansa SMU, aku adalah
tipe orang yang pasif, bersandar di dinding. Orang yang berdiri diam sepanjang
malam melihat band karena terlalu takut mengajak gadis berdansa. Tapi Leo tak
begitu. Leo adalah seorang penampil. Waktu itu julukannya masih Cooi Jerk. Cepat
atau lambat, seseorang akan meminta lagu itu "Cool Jerk", dan Leo akan melangkah
ke tengah-tengah lantai gym dan menarikan tahan solonya yang heboh. Anak-anak
biasanya melingkarinya, bertepuk tangan dan bersorak dan menertawakannya, dan
lemak Leo akan bergoyang ke sana kemari, keringat bercucuran dari wajahnya.
Kurasa aku mengagumi keberanian Leo, meskipun merasa agak aneh. Suatu kali, di
tengah pertemuan sekolah di aula saat pertunjukan slide show membosankan tentang
orang-orang dari negara lain Leo mengacungkan tangannya untuk menjadi
sukarelawan dan naik ke panggung, memakai rok rumput dan belajar menari hula
dari murid-murid Hawaii yang berkunjung. Anak-anak mulai berteriak, "Cool Jerk!
Cool Jerk!" mengalahkan bunyi musik ukulele, hingga pinggul Leo mulai berputar
kencang tidak seperti menari
hula dan anak-anak bersorak liar, dan bahkan murid-murid Hawaii pun berhenti
tersenyum. Neck Veins, wakil kepala sekolah, naik panggung dan menghentikan
pertunjukan itu, dan meminta kami semua kembali ke jam pelajaran ketiga. Tetapi
bukannya melepaskan rok rumputnya dan keluar dengan bangga, Leo malah mulai
berpidato tentang bagaimana SMU JFK menerapkan kediktatoran seperti di Kuba dan
kami semua harus mogok. Dia diskors selama dua minggu dan dilarang mengikuti
aktivitas ekstrakurikuler.
"Bagaimana kau tahan bersama dengan orang paling brengsek di sekolah?" Thomas
selalu menanyakan itu sepanjang musim panas saat aku dan Leo di kelas remedial
aljabar bersama. Leo memang brengsek; aku tahu itu. Tapi seperti yang kubilang
tadi, dia adalah kebalikan dari kakakku dan aku: tak malu, bebas, dan lucu
sekali. Kenekatan Leo membuat kami berdua mendapat akses pada kesenangankesenangan terlarang yang bisa-bisa membuat kakakku keberatan dan ayah tiriku
memukuliku kalau mereka tahu: bioskop drive-in porno di rute 165, balapan di
Narragansett, toko minuman keras di Pachaug Pond Road yang mau menjual minuman
pada anak-anak seperti kami. Aku mabuk untuk pertama kalinya di dalam mobil
Biscayne milik ibu Leo, merokok Muriel dan berbagi sebotol Bali Hai. Saat itu
usiaku lima belas tahun. Sekarang, empat tahun kemudian saat kerja musim panas Thomas juga masih
berkeberatan melihatku berteman dengan Leo seperti dulu.
"Tepat seperti yang kubutuhkan, Leo Blood lagi," begitu katanya setiap kali aku
mengatakan padanya bahwa Leo akan datang setelah makan malam untuk main atau
mengajakku pergi. Ma menyukai Leo karena dia banyak makan. Ray berkata bahwa di
Angkatan Laut, dia belajar untuk tidak terlalu memercayai orang seperti Leo.
"Dia terlalu mementingkan diri sendiri. Orang seperti itu bahkan tak ragu-ragu
menjualmu." Ayah tiriku bekerja di shift ketiga, itu berarti dia ada di rumah sepanjang
siang dan orang pertama yang menerima surat-surat. Saat itu, aku berlangganan
dua majalah, Newsweek dan Sporting News. Aku selalu kesal karena Ray jadi orang
pertama yang membaca majalah itu sebelum aku melipat halamannya, mengusutkan
sampulnya, meninggalkannya di sembarang tempat sehingga membuatku harus
mencarinya dulu kalau ingin membacanya. Di rumah kami, surat adalah properti
Ray, tak peduli nama siapa yang tertulis di amplop, dan kalau kau mengeluh
tentang itu, kamu-\ah yang justru melakukan kesalahan besar.
Suatu hari pada bulan Juli, Thomas dan aku pulang dari kerja dan menemukan Ray
duduk di meja dapur, minum sebotol Moxie dan menunggu kami. "Well, well, well,"
katanya. "Rupanya dua genius kita. Duduklah. Aku mau mengobrol sedikit dengan
kalian berdua." Ma juga menunggu kami, terlihat pucat, tangannya meremas-remas serbet. Dia telah
membuat acar mentimun manis hari itu, kesukaan Thomas dan aku. Sebaris stoples
berisi acar berjajar di meja dapur. Dapur berbau manis dan cuka.
Kami berdua duduk. Ray berpaling ke Thomas. "Coba kau jelaskan ini!" katanya.
Di tangannya, Ray memegang laporan nilai dari UConn semua D dan F, juga mata
kuliah yang tidak selesai yang tak pernah diceritakan Thomas. Ray melambailambaikan kertas itu seperti barang bukti di pengadilan. "Apa alasanmu,
Einstein" Kau senang-senang saja di sana" Kau enak saja meminta uang yang
kudapatkan dari kerja keras lalu kau bahkan tak mau belajar?"
"Ayolah, Ray," kata Ma. "Kau bilang kau akan memberinya kesempatan untuk
menjelaskan." "Itu benar, Suzie Q. Dan itulah yang ingin kudengar. Penjelasannya. Dan
sebaiknya bagus." Thomas duduk diam, tangan di pangkuan, matanya menunduk dan tergenang air mata.
Seperti kubilang, Thomas tak bisa membela dirinya sendiri. Jadi, Ray terus
memarahinya. Dia sendiri tak pernah ke universitas, kata Ray, jadi mungkin dia bodoh. Tapi
sumpah, dia tak bisa mengerti untuk apa membuang-buang uang yang didapatkan dari
kerja keras, hanya agar badut yang duduk di depannya bisa menganggap universitas
sebagai lelucon. Sebenarnya, untuk apa uang yang dia bayarkan itu" Seluruh tubuh
Thomas bergetar. Dia bisa menjelaskan apa yang terjadi, katanya, tapi bisakah
dia minum dulu" Tidak, kamu tidak boleh minum dulu, kata Ray padanya. Dia sebaiknya menjelaskan
apa yang dilakukannya selama setahun ini. Ray meneguk Moxienya dan membanting
botol itu ke meja keras-keras sehingga aku terlompat kaget. Tiga puluh SKS
kuliah yang sudah kuambil menguap begitu saja.
Thomas berdeham. "Well," dia memulai. Suaranya keras selama sedetik, dan detik
berikutnya hampir-hampir tak terdengar; dengan berputar-putar dia menjelaskan
bahwa dia mengalami kesulitan menyesuaikan diri di universitas. Susah tidur.
"Aku selalu kecapekan. Dan sangat gugup. Aku tak bisa berkonsentrasi ... aku
mencoba dan mencoba, tetapi di sana terlalu ribut."
"Ribut?" kata Ray. "Itu alasanmu" Ribut?"
"Bukan itu saja. Aku merasa ... banyak hal pokoknya. Kurasa ... kurasa aku rindu
rumah." Ma maju selangkah mendekati Thomas, lalu berhenti. Mengendalikan emosinya.
"Oh, ya ampun," ejek Ray. "Kelinci kecil Mama yang malang rindu rumah." Setiap
kali Thomas membuka mulut, dia memberikan amunisi tambahan bagi ayah tiri kami
untuk mengejeknya. "Aku benar-benar menyesal, Ray. Aku tahu aku mengecewakanmu. Kau juga, Ma. Yang
bisa kukatakan hanyalah bahwa ini tak akan terjadi lagi."
Ray mencondongkan tubuh ke Thomas. Tepat di depan wajahnya. "Kau benar ini tak
akan terjadi lagi, Bocah. Tidak dengan uang-ku." Ray berpaling
ke Ma, mengacungkan telunjuknya. "Dan juga tidak dengan uangmu, Suzie Q, kalaukalau kau dapat ide gila untuk mencari kerja lagi. Mungkin kau tak tahu kalau
kau telah ditipu, tapi aku tahu. Anak ini akan tinggal di rumah September depan
dan bekerja mencari uang."
Thomas diam selama beberapa saat. Lalu dia bilang ke Ray kalau dia mendapat
kesempatan lagi, dia bisa memperbaiki semuanya. "Kau bisa, ya" Bagaimana?"
Thomas memandangku. "Dominick pergi ke perpustakaan untuk belajar," katanya.
"Mungkin aku bisa mencobanya. Belajar di perpustakaan dengan Dominick. Dan kalau
beberapa dosen mau memberikan sedikit bantuan padaku ...."
Aku bisa tahu dari suara Thomas yang kian serak, bagaimana kata-kata itu keluar
dengan terbata-bata, bahwa dia sebentar lagi akan menangis tersedusedu tangisan penuh erangan dan rintihan yang selalu berhasil dimunculkan oleh ?Ray sejak kami masih anak-anak. Aku ingin menyelamatkan kakakku dari tangisan
itu. Aku tak ingin Ray mendapatkan kepuasan dari tangisan Thomas. Jadi aku
menyerahkan leherku sendiri di meja penjagal.
"IPK-ku 3,2, Ray," kataku. "Kenapa kau tidak bilang padaku apa yang salah dengan
itu?" Ray memandangku. Memakan umpanku. "Nah, mengapa kau tidak mengatakan padaku apa
itu IPK, Tuan Sok Pintar?" kata Ray padaku. "Lagi pula, aku hanya sekolah hingga
kelas tiga SMU. Aku hanya
bertempur di dua peperangan itu saja. Aku bukan ensiklopedi berjalan seperti kau
dan si pintar ini. Aku hanyalah buruh yang membuat dapur tetap ngebut."
Aku menantang pandangan Ray. "Itu Indeks Prestasi Kumulatif," kataku. "Empat
poin untuk A, tiga untuk B, dua untuk C. Aku masuk ke daftar dekan, Ray."
"Aku masuk ke daftar dekan, Ray," dia mencibir sambil mengulang omonganku.
"Jadi, itu membuatmu jadi siapa" Raja Farouk" Apakah itu berarti kotoranku bau
dan kotoranmu tidak?"
"Yang kumaksudkan adalah aku masuk ke daftar dekan." "
"Wah, itu hebat, Sayang," kata Ma dengan susah payah. "Selamat."
Ray menukas Ma dan mengatakan agar Ma tutup mulut dan jangan ikut campur. Dia
meletakkan laporan nilai Thomas dan mengambil la poran nilaiku, lalu mulai
mengejek pencapaianku satu demi satu. B-plus untuk psikologi" Memangnya kenapa!
Psikologi hanyalah setumpuk tahi kuda menurutnya. A-minus untuk probabilitas"
Demi Tuhan, dia bahkan tak tahu apa itu. Dia tertawa mencemooh pada nilai A yang
kudapat untuk apresiasi seni. "Anak-anak usiamu ada di luar sana mati untuk
negara mereka dan kau duduk manis di kelas mengapresiasi lukisan di dinding" Dan
aku membayar untuk itu" Aku tak pernah dengar hal yang menyedihkan seperti ini."
"Jadi, apa yang kau mau, Ray?" kataku. "Kau mau kami berdua pergi ke sana agar
kepala kami bolong ditembak Viet Cong" Itu yang membuatmu senang?"
"Jangan bilang begitu, Sayang," kata Ma. Ray mencondongkan tubuh ke depan dan
mencengkeram bagian depan kausku. Menarikku hingga berdiri. "Jangan kau berani
berkata padaku seperti itu, Bocah," katanya. "Mengerti" Aku tak peduli berapa
ba-nyak A yang kau dapatkan dari"
"Lepaskan aku, Ray," kataku.
"Kau dengar aku" Hah?"
Kausku dia puntir. Membuat bagian belakang leherku tertarik dan sakit. "Kataku,
lepaskan kausku, Sialan."
"Baiklah, kalian berdua," kata Ma. "Ayolah. Itu tak perlu. Tenanglah."
"Tenang?" kata Ray. Dia melepaskan cengkeramannya dengan mendorongku ke belakang
sehingga aku kehilangan pegangan, dan jatuh menabrak salah satu kursi dapur.
"Kau mau aku tenang, Connie" Oke, aku akan tenang. Biar kutunjukkan betapa
tenangnya aku." Ray meraih lengan Ma dan menyeretnya ke meja dapur tempat stoples acarnya
berjejer. Dia mengambil salah satu stoples itu dan melemparkannya seperti granat
ke pintu lemari es. Mengambil satu lagi. Membantingnya ke lantai dekat kaki
Thomas. Stoples ketiga hancur menghantam salah satu kaki meja. Saat dia selesai,
lantai dapur penuh ceceran kaca dan acar, serta air acar sisa-sisa kerja keras
ibuku seharian. Aku ingin membunuh si bangsat itu.
Membayangkan mengambil salah satu pecahan stoples itu dan mengejarnya. Menikam
jantungnya dalam-dalam. Tapi aku berdiri terpaku, ketakutan.
"Bagaimana ketenanganku, Sayang?" kata Ray pada Ma. Mukanya merah, napasnya
tersengal. "Kau suka" Hah?"
Ma mengambil sapu dan kain pel, tapi Ray bilang jangan pergi ke mana-mana dan
tutup mulut. Dia ingin mengatakan sesuatu pada kami bertiga dan dia ingin kami
bertiga diam mendengarkan.
Thomas dan aku adalah banci, katanya, dan sejauh yang dia tahu, itu semua adalah
kesalahan Ma. Kami adalah Suzy dan Betty Pinkus, mahasiswa anak mami,
bersembunyi di balik celemek Ma dan bukannya melakukan apa yang benar. Tak
seorang pun dari kami peduli pada negara kami tak peduli pada apa pun kecuali
diri sendiri. Apakah kami pikir dia dulu ingin pergi perang dan melawan orang
Jerman" Apa kami pikir dia ingin mempertaruhkan nyawanya beberapa tahun kemudian
di Korea" Pria harus melakukan apa yang harus dilakukan, bukan apa yang ingin
mereka lakukan. Ibu kami terlalu memanjakan kami memperlakukan kami seperti
pangeran. Kami berdua hanya tahu ambil, ambil, ambil. Kami begitu sejak kecil
dan dia muak. Persetan dengan kami, kalau kami berpikir Ray akan terus membiayai
kami. Dia bosan dengan semua itu.
Tak ada gunanya membela diri ketika Ray mencapai puncak kemarahannya seperti
itu. Apa pun yang coba kau katakan malah akan membuatmu diomeli berkali lipat
apalagi Ma juga akan menerima konsekuensinya. Hal terbaik yang kau bisa lakukan adalah menutup
dirimu. Hilangkan semua emosi dari wajahmu. Bertahan.
Itu adalah suatu hal yang selalu bisa kupahami, tapi tak pernah bisa dimengerti
Thomas. Siang itu, kakakku duduk, menangis tersedu dan minta maaf, seakan-akan
air mata dan permintaan maaf akan membuat Ray menyayangi kami. Atau setidaknya
berhenti membenci kami. Ray terus mengomel, menghantamkan pukulan kata-katanya
ke Thomas, lagi dan lagi. Melihatnya saja membuatku ingin muntah.
Aku berdiri dan berjalan ke pintu belakang, menginjak acar, air dan pecahan kaca
dengan bot kerjaku di setiap langkah. "Kembali ke sini! Siapa bilang padamu
kalau ini?" Aku membanting pintu menutup di belakangku.
Aku berlari-lari kecil saat sampai di ujung Hollyhock Avenue, naik bukit ke
Summit Street lalu ke hutan. Aku melewati sebuah keluarga yang sedang piknik dan
sepasang remaja berciuman di pinggir Rosemark's Pond. Terjun ke kolam, masih
dengan sepatu bot, baju, dan semuanya.
Bernapas dalam, hirup dan lepaskan, hirup dan lepaskan.
Menyelam ke bawah air. Aku sampai di rumah sekitar tengan malam, kukira-setelah Ray pergi kerja dan
Thomas tidur. Lantai dapur sudah bersih dari pecahan kaca dan
acar. Piring makan malam sudah dicuci dan ditata di rak, makan malamku dibungkus
plastik dan diletakkan di lemari es. Aku duduk di meja, makan dan membaca koran
saat aku mendengar ibuku turun tangga.
Dia berbau seperti talek beraroma lilac yang kuberikan setiap Natal satu-satunya
hal yang menurutnya dia perlukan. Dia mengenakan jubah rumah yang belum pernah
kulihat jubah penuh warna dan bunga. Kuku jari kakinya dicat pink.
"Aku tak tahu bagaimana kau bisa makan spageti dingin seperti itu," katanya.
"Sini, biar aku hangatkan untukmu."
"Nggak usah," kataku. Ma duduk di kursi seberang meja di depanku. "Sayang?"
katanya. "Apakah kau baik-baik saja?"
"Yap." "Tapi, kau tak terlihat baik-baik saja. Kau terlihat berantakan seperti
Hesperus." "Aku benci dia, Ma," kataku. Ma menggeleng. "Tidak, kau tidak benci
dia, Dominick." "Ya. Aku benci dia."
Ma berdiri dan membelakangiku, mulai menyimpan piring-piring di lemari dapur.
"Kau benci temperamennya, bukan orangnya. Anak tak mungkin membenci ayahnya."
"Dia bukan ayahku."
"Ya, dia ayahmu, Dominick."
"Satu-satunya hal yang membuat dia jadi ayahku adalah beberapa kertas bodoh yang
dia tanda tangani. Ayah macam apa yang mengganggu dan memarahi anaknya seperti cara dia
memarahi Thomas malam ini" Ayah macam apa yang ingin anak-anaknya pergi perang
dan mati?" "Dia tak bilang begitu, Dominick. Jangan memercayai semua kata-katanya. Dia
menyayangi kalian berdua."
"Dia tak tahan pada kami dan kau tahu itu. Dia benci semua hal tentang kami. Dia
selalu begitu sejak kami kecil."
Ma menggeleng lagi. "Masalahnya dengan ayahmu adalah .... Yah, aku tak ingin
cerita, tetapi masa kecilnya sangat sulit."
"Jangan sebut dia ayahku. Dia bukan ayahku."
"Dia tak punya rumah yang nyaman Dominick. Ibunya seorang gelandangan. Dia tak
banyak cerita tentang itu, tapi kurasa ketika dia marah seperti tadi, karena dia
ingat masa kecilnya."
"Apakah ayah kandung kami masih hidup?" kataku. "Apakah dia gila atau apa"
Katakan padaku!" Ma memandang langsung ke mataku selama sedetik, lalu berpaling. Menangkupkan
tangannya di atas bibirnya yang sumbing. "Yang kukatakan adalah, Sayang, masalah
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti ini muncul dalam setiap keluarga. Bukan hanya kita. Kini, tolong jangan
jalan-jalan di dapur dengan kaki telanjang. Kurasa aku sudah membersihkan semua
pecahan kacanya, tapi kadang ada yang tertinggal. Hati-hati ya, Sayang, oke?"
"Siapa dia, Ma?" tanyaku. "Siapa ayah kami?"
Ma berdiri selama beberapa saat. Tersenyum
lemah padaku. "Selamat malam," katanya. "Tidurlah sekarang. Hati-hati pada
pecahan kaca. Oke!"Tujuh Belas
"Mr.Birdsey, ceritakan tentang ayah tiri
Anda." Diam. "Mr. Birdsey" Anda mendengar saya?" "Apa?"
"Kemarin, pada akhir sesi, kita " "Bolehkah aku merokok?"?"Merokok buruk untuk kesehatanmu, Mr. Birdsey. Dan juga kesehatanku, karena aku
berada daiam ruangan yang sama dengan Anda. Aku iebih suka Anda tidak mempunyai
kebiasaan merokok setiap kaii kita duduk dan berbincang."
"Kemarin kau tidak berkeberatan. Kau bahkan menyalakan rokok pertamaku."
"Kemarin adalah perkecualian. Kita mengalami kemajuan dan "
?"Aku berpikir lebih jernih saat merokok. Aku bisa mengingat lebih baik."
"Aku tak mengerti bagaimana itu bisa terjadi, Mr. Birdsey. Secara fisiologis itu
tak ada hubungannya. Ayo kita teruskan saja, ya" Berkaitan dengan ayah tiri
Anda, apa Anda pikir " "Kau percaya reinkarnasi?"?Diam sebentar. "Mr. Birdsey, aku tak akan
mendiskusikan kepercayaan agamaku ataupun kehidupan pribadiku dengan pasien. Itu
kebijakanku. Itu tak reievan dengan apa yang ingin kita capai sekarang."
"Yah, aku ingin merokok. Itu kebijakanku."
"Lalu, bagaimana Anda membenarkan itu terkait dengan keyakinan agama Anda, Mr.
Birdsey" Aku ingin tahu. Bukankah Alkitab menyatakan, tubuhmu adalah kuilmu,
maka " ?"Jangan sebut aku dengan nama itu."
"Maaf?" "Panggil aku dengan nama kode. Terutama kalau direkam. Posisiku sudah lumayan
membahayakan." "Kalau begitu, apa sebaiknya aku memanggil Anda, Thomas" Anda bilang beberapa
waktu lalu kalau Anda lebih memilih panggilan resmi 'Mr. Birdsey', tapi mungkin
setelah kita sekarang sudah mempunyai hubungan "
?"Panggil aku dengan nama kode, kubilang. Mr. Y."
"Mr. Y" Ya?"
"Kau mengamankan rekaman ini. Benar?" "Ya, ya. Hal ini sudah muncul beberapa
kali. Semua rekaman-"
"Apa kau pikir setelah mereka mengenakan tahanan rumah padaku mereka tidak
mengamati setiap gerakanku" Tidak duduk menunggu aku membuat kesalahan?" "Siapa
maksudmu?" "Sudahlah. Apa yang tak kau tahu tak akan melukaimu."
"Aku ingin meyakinkan Anda, Mr. Birdsey, bahwa
kita ada di lingkungan aman. Sebagai dokter Anda sekutu Anda aku sudah
? ?mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin keselamatan Anda."
Diam. "Indira Gandhi mati dibunuh, bukan?"
"Perdana menteri" Ya, benar. Sekarang, karena waktu kita bersama sangat
berharga, mari kita berbincang sedikit tentang"
"Dibunuh dan dikremasi. Whoosh! Jangan bilang padaku kalau CIA tak ada
hubungannya dengan itu .... Mungkin itu terkait dengan pembuluh darah."
"Maaf?" "Kenapa aku bisa mengingat lebih baik saat aku merokok. Mungkin itu ada
hubungannya dengan cara nikotin memengaruhi aliran darah ke otak. Tidak semua
kebenaran itu ilmiah. Coba buktikan mukjizat dengan eksperimen di laboratorium,
Mrs. Gandhi. Coba analisis DNA Tuhan. "
"Anda aman di sini, Mr. Birdsey. Cukup aman."
"Bolehkah aku merokok?"
Di rekaman, aku mendengar laci dibuka, suara "ceklik" pemantik menyala.
Aku tak bisa menahan senyum. "Thomas satu, Dr. Patel nol," kataku.
Dr. Patel mengangguk. "Kakakmu adalah manipulator berbakat, Dominick. Kurasa
itulah yang diajarkan rumah sakit jiwa selama dua puluh tahun."
"Hei, kalau dia keluar ke dunia nyata, memanfaatkan orang akan menjadi keahlian
berharga, bukan?" "Ya" Kau pikir begitu" Itu pandangan yang
menarik." Dr. Patel selalu begitu: mengubah komentar isengku menjadi sesuatu
yang menyadarkanku. Kau harus hati-hati dengan Dr. Patel, bahkan kalau kau cuma
saudara sang pasien. Kami ada di kantor Lisa Sheffer di Hatch, bukan di kantor Dr. Patel. Sheffer
mengajak kami bertemu pagi tadi setelah dia mendapatkan telepon tak terduga dari
kantor pengadilan. Ada perubahan rencana. Hakim mengkaji kasus kakakku hari itu,
bukannya menunggu hingga akhir periode observasi selama lima belas hari. Langkah
itu terlalu awal dan tak diduga"mencurigakan", kata Sheffer. Kami berencana
bertemu di kantornya pukul empat sore untuk mendiskusikan hasilnya Lisa, Dr.
Patel, dan aku. Tapi karena Sheffer terlambat, dokter menyarankan agar kami
mendengarkan rekaman sesi terakhir Thomas sembari menunggu. Katanya kakakku
menyebutkan beberapa hal yang ingin diperdengarkan dokter padaku dan melihat
reaksiku. Tapi, dia mengingatkan bahwa beberapa hal yang dikatakan Thomas
mungkin akan membuatku marah. Aku mengangkat bahu. Mengatakan padanya bahwa aku
bisa menerimanya bahwa aku sudah mendengar semuanya hingga titik ini.
Di rekaman, terdengar Thomas mengisap rokoknya.
"Mr. Birdsey, terakhir kaii kita bicara, kau menyebutkan bahwa ayah tirimu
kadang menyiksa ibumu. Apa Anda ingat?"
"Hari-hari ini, Alice. Pow! Tepat di tempat ciuman!"
"Apa dia mengutip ayah tiri Anda tadi, Dominick?" tanya Dr. Patel.
Aku menggeleng. "Jackie Gleason."
Dr. Patel tak mengerti. Dia menghentikan rekaman.
"The Honeymooners. Acara TV." Tak ada tanda-tanda pemahaman. "Pria ini komedian
bernama Jackie Gleason dia biasa bilang itu kepada istrinya. Di TV. 'Hari-hari
ini, Alice. Pow! Tepat di tempat ciuman!1"
"Ya" Maaf. Apa itu tempat ciuman?"
"Tempat ciuman" Mulut."
"Ah, mulut. Ya, ya. Dan ini film komedi" Tentang seorang pria yang memukul
istrinya di mulut?" "Dia tak pernah benar-benar ... itu,uh ... kau sudah keluar konteks."
"Aku mengerti," katanya. Dia terus memandangku. Aku tak tahu mengapa wajahku
terasa panas. "Apakah ayah Anda menyiksa ibu Anda secara fisik, Mr. Birdsey" Atau apakah itu
dari sikapnya yang" "Itu bukan pemandangan yang indah." "Maukah Anda menjelaskannya?" Tidak ada
jawaban. "Mr. Birdsey" Apa yang 'tidak indah' dari itu?"
"Dia sering memperlakukan ibuku seperti kantong pasir, itu yang apa. Dia
memukulnya di rahang. Menendangnya. Membantingnya ke dinding. Dia menyuruh kami
melihat." "Kami?" "Adikku dan aku."
"Itu benar-benar omong kosong," kataku. Dr. Patel menekan tombol stop. "Ya" Anda
bilang itu tak pernah terjadi?" "Tidak!"
"Suatu kali kami duduk makan maiam, kami berempat, dan Ray tiba-tiba mengulurkan
tangan dan menyikut ibuku, tepat di wajah. Tanpa aiasan. Hanya karena dia ingin,
itu saja. Dia mematahkan hidung ibuku."
Aku mendekapkan tangan ke dada. Menggelengkan kepala. "Tak pernah terjadi,"
kataku ke langit-langit ruangan.
"Kau yakin?" "Ayah tiriku mematahkan hidung ibuku dan aku tak ingat?"
"Dia sering memerkosanya. Di depan kami."
"Tuhan Yesus. Apa dia benar-benar"
"Kau melihat itu, Mr. Birdsey "
"Sering. Dia menyuruh kami."
"Biar kuulangi sebentar agar aku yakin aku mengerti. Anda bilang ayah tiri Anda
sering memerkosa ibu Anda dan menyuruh Anda dan adik Anda melihat?"
"Dia menarik kami turun dari ranjang di tengah malam kadang-kadang. Menyeret
kami di lorong ke kamar mereka dan-"
"Ya ampun. Itu benar-benar"
" menarik gaun tidur ibuku ke atas dan langsung menyerangnya."?"Kau dan Dominick melihat itu?"
"Kami tak punya pilihan lain. Kami harus duduk
melihat dan diam. Ibuku memohon kepadanya untuk membiarkan kami pergi, tapi dia
menyuruhnya diam atau dia akan memotong leher kami. Lalu, setelah selesai, dia
akan bilang, 'Kalian berdua, inilah dunia yang sebenarnya. Sebaiknya kalian
mulai terbiasa dari sekarang.' Dia selalu mencoba membuat kami kuat. Kadang dia
menyuruh kami...." Thomas terus mengoceh. Aku duduk di sana berusaha untuk tidak mendengarkan. Aku
membaca tulisan di diploma Sheffer yang digantung di dinding. Mengamati cat yang
mulai terkelupas di langit-langit. Mencuil-cuil noda cat kering di lutut jinku
sampai berlubang. Apakah Thomas tidak cukup membuat Ma menderita saat dia masih
hidup tanpa harus mengembalikan Ma dari kematian untuk diperkosa Ray" Di depan
kami" Demi Tuhan, aku benci Thomas. Benci dia. "Dominick?"
Saat itulah aku sadar, Dr. Patel telah menghentikan rekaman. "Ya?"
"Aku tadi bilang kau terlihat pucat." "Aku baik-baik saja. Oke."
"Mungkin kita cukupkan saja untuk hari ini. Mungkin kita bisa"
Aku meluruskan punggungku. Berusaha memandang matanya. "Boleh kan, aku bertanya"
Apakah Thomas berusaha menipumu dengan omong kosong ini atau dia berpikir semua
itu betul-betul terjadi?"
"Aku rasa dia yakin hal itu terjadi. Dan kau bilang
semua itu tidak terjadi, benar?"
"Bahwa Ray memerkosa ibuku dan kami menonton" Ya ampun, biarkan aku berpikir."
Aku berdiri dan berjalan ke jendela yang berterali. Memandangi area rekreasi
menyedihkan itu dengan keranjang basketnya yang berkarat, meja piknik yang
terlihat sudah digigiti bagian pinggirnya. Bagaimana Sheffer tahan bekerja di
sini" Bagaimana mungkin ada orang yang tahan bekerja di sini sepanjang hari ?mendengarkan omong kosong seperti itu dan tidak menjadi gila" Aku berpaling ke
?Dr. Patel. "Kau mau tahu apa yang aku pikir" Kau mau tahu pendapatku" Kurasa dia
menggombalimu. Dia tahu kalau dia menceritakan cerita horor yang bagus padamu,
kau akan menyebutnya sebagai 'kemajuan' dan mengizinkannya merokok. Kau bilang
sendiri tadi: dia manipulator yang baik. Kau sedang dimanipulasi."
"Ayah tirimu" "Dengar, ayah tiriku mungkin bisa menjadi bajingan nomor satu kalau dia mau,
oke" Aku mengakui itu. Tapi dia cuma pengganggu, bukan orang yang tidak punya
perasaan manusia .... Ya Tuhan, kalau kami pernah melihat hal yang dikatakan
Thomas tadi, bukankah kami berdua sudah jadi gila saat ini" Dia dan aku?" "Kau
terlihat marah." "Jawab saja satu hal, oke" Apakah psikologi atau psikiatri di India dua puluh
tahun ketinggalan zaman atau apa?"
"Mengapa kau bertanya begitu, Dominick?"
"Karena ... dengar, aku tak bermaksud menghinamu, tapi teknik yang kau gunakan ini
agak ketinggalan zaman, bukan?"
"Teknik yang mana maksudmu?"
"Semua omong kosong tentang sejarah keluarga ini. Seakan-akan hal itu terulang
lagi atau semacamnya."
"Terulang lagi" Dalam hal apa?"
"Saat pertama kali Thomas masuk rumah sakit, dulu sekali, dokter selalu
mengendus-endus hal-hal buruk yang terjadi pada masa kecilnya. Apa dia pernah
dipukul" Bagaimana toilet training-nya" Apa Ma dan Ray sering bertengkar" Ma
sering pulang dari sesi dengan dokter Thomas, dan ... dia lalu pergi ke atas dan
berbaring. Aku mendengarnya, dia menangis tersedu-sedu di kamar."
"Ibumu" Mengapa demikian?"
Teh lagi, Mrs. Floon"
Ya, terima kasih, Mrs. Calabash.
"Dominick?" "Karena ... karena mereka selalu mengatakan secara tak langsung bahwa ibuku-\ah
yang menyebabkan Thomas begitu. Dan itu tidak ... adil."
"Dokter mengimplikasikan kalau ibumu yang menyebabkan Thomas sakit?"
"Itu omong kosong."
"Ya, tentu saja. Aku sama sekali tidak mengimplikasikan kalau"
"Maksudku, Thomas adalah anak kesayangannya, dia selalu menjaganya selama
hidupnya ... pertama dia jadi gila dan mereka memasukkannya ke rumah gila. Lalu
ibuku datang dan berkunjung setiap hari dia harus naik bus ke sana karena Ray
tak mau ... karena Ray malu ... kemudian dokter menghantamkan rasa bersalah padanya"
Itu tidak adil!" "Dominick, tak ada yang adil dalam sakitnya kakakmu. Kalau kau mencari keadilan
dalam hubungannya dengan skizofrenia, maka itu akan sia-sia. Tak ada pasien
ataupun keluarga pasien yang pantas menerima penderitaan ini. Dan aku jelas
tidak berusaha menyalahkan siapa-siapa. Aku hanya menyelidiki"
"Menyelidiki masa lalunya. Aku tahu itu! Itulah yang kukatakan. Itu sudah
dilakukan psikiater dua puluh tahun lalu saat semua ini ... saat mimpi buruk ini
berawal. Dan kemudian, dokternya yang lain Ehlers dan Bradbury dan beberapa ?orang lain saat mereka datang, mereka berkata, 'Oh, tidak, semua sejarah
?keluarga itu tak relevan. Tak ada hubungannya dengan bagaimana dia jadi dewasa:
ini masalah genetika. Kami tak perlu menganalisis masa lalu. Yang harus
dilakukan adalah berfokus pada masa depannya: bagaimana mengontrol perilakunya dengan obat-obatan, bagaimana mengajari
dia mengurus diri sendiri'. Jadi, aku bertanya-tanya mengapa kita kembali
memunguti sisa-sisa masa lalunya. Apa itu yang masih dilakukan di India"'"
"Aku tak tahu, Dominick. Aku tidak ahli dalam
praktik psikiatri yang diterapkan di negara asalku. Aku sudah tak tinggal di
sana lebih dari dua puluh lima tahun. Katakan padaku. Apa kau merasa tidak
nyaman mengingat masa lalu?"
"Apakah aku begitu" Tidak, aku bukannya tidak nyaman. Aku cuma ... aku cuma
bertanya-tanya. Kalau masalahnya adalah genetika dan menemukan gabungan obat
yang tepat sehingga dia bisa tinggal di asrama kelompok, maka"
"Genetika dan terapi jangka panjang keduanya menjadi bagian dari terapi
keseluruhan. Bagian integral, Dominick. Aku bukannya tidak setuju dengan Dr.
Ehlers dan yang lainnya tentang itu. Dan setiap waktu, kami belajar hal baru.
Tahun ini telah terjadi perkembangan yang menjanjikan. Keluarnya izin untuk
Clozapine, misalnya. Sekarang, saat ini, kakak Anda kelihatannya tidak mendapat
manfaat dari" "Kita sudah membahas itu. Ada hal lainnya?"
"Maaf?" "Kau bilang Clozapine atau Clozaril atau apa saja namanya. Apa hal lainnya?"
"Sebenarnya aku sudah bermaksud membahas hal ini denganmu. Ada penelitian baru
yang mengagumkan di National Institute of Mental Health. Penelitian yang
melibatkan anak kembar. Peneliti mengamati perbedaan fisik di otak penderita
skizofrenia dengan otak saudara kembar mereka yang sehat. Menyelidiki
kemungkinan bahwa abnormalitas yang terjadi mungkin terkait dengan infeksi virus
pada masa bayi atau gangguan
kekebalan. Aku sudah berhubungan dengan Dr. Weinberger di Institut. Dia sangat
tertarik padamu dan kakakmu tentang kemungkinan menjalankan MRI pada kalian ?berdua." "MRI" Bukankah itu ?"
?"MRI adalah gambaran jaringan lunak tubuh. Gambaran otakmu dalam hal ini.
Prosedurnya sangat aman. Tak sakit sama sekali."
"Kami bukan tikus laboratorium."
"Bukan, memang bukan, Dominick. Dan aku bukan ilmuwan gila. Dan setahuku Dr.
Weinberger juga bukan. Aku tidak menyatakan bahwa ini adalah hal yang harus kita
lakukan sekarang. Mungkin nanti. Aku hanya membahasnya untuk meyakinkanmu."
"Meyakinkanku tentang apa?"
"Bahwa aku tidak dua puluh tahun ketinggalan zaman. Meskipun aku kelahiran
India." Aku melengos. "Yang kukatakan adalah ... aku cuma tidak mengerti mengapa kau
menghabiskan banyak waktu .... Kalau semua memang karena abnormalitas otak dan
MRI, lalu apa manfaat rekaman dan pembicaraan tentang sejarah masa lalu ini?"
"Aku tak yakin, Dominick. Aku hanya meraba-raba mencoba mendapatkan gambaran
?yang lebih lengkap. Begini: saat berusia sembilan belas tahun, seorang pria muda
masuk ke hutan dan tersesat. Aku hanya berupaya masuk hutan untuk menemukannya.
Yang lain mungkin menerbangkan helikopter di atas, menganalisis
data menggunakan ?metode yang lebih maju. Tapi, aku berjalan kaki. Memanggil nama pria muda itu
dan mendengarkan jawabannya. Aku tidak bisa menjamin apa yang akan kutemukan.
Siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu yang bisa membantu. Prosesnya adalah trial
and error." "Yeah, sejauh yang kulihat ini hanya buang-buang waktu saja."
"Terima kasih atas pendapatmu."
Aku melihat jam dinding. "Ya ampun, di mana sih, si Sheffer" Kalau dia akan
seterlambat ini, dia seharusnya menelepon dulu bukan?"
"Mungkin dia tak bisa menelepon. Mungkin dia sedang dalam perjalanan sekarang."
"Dengar, aku tak bermaksud menghinamu. Aku tahu kau bermaksud baik."
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tidak menghinaku, Dominick. Kau hanya mengekspresikan pendapatmu. Dan itu
tidak masalah. Menyenangkan." Dr. Patel tersenyum.
Aku kembali duduk. "Baiklah, teruskan," kataku. "Mainkan sisanya."
"Rekamannya" Kau yakin?"
"Teruskan." "Mr. Birdsey, Anda bilang pada sesi kita yang lalu kalau ayah tiri Anda tidak
hanya menyiksa ibu Anda, tetapi juga menyiksamu dan Dominick. Mari kita bahas
hal ini sedikit." "Nggak usah dan bilang saja kita sudah membahasnya. "
Terdengar nyala pemantik. Suara Thomas mengisap dan mengembuskan asap rokok.
"Apa ayah tiri Anda memukul Anda, Mr. Birdsey?" "Ya."
"Sering atau tidak sering?" "Sering."
"Tidak sering," kataku membenarkan. "Dia biasanya melepaskan ikat pinggangnya
dan mencambukku dengan itu." "Di mana?"
"Di mana pun dia suka. Di dapur. Di garasi."
"Bukan, maksudku di bagian mana dia memukulmu" Di bagian tubuh mana?"
"Kakiku, lenganku, pantat .... Suatu kali dia memukul wajahku dengan ikat
pinggangnya dan gespernya mematahkan gigiku. Ini. Lihat kan, patah sedikit."
Aku menunjukkan jariku ke tape recorder, menuduh gaya Perry Mason. "Oke,
berhenti," kataku. "Thomas mematahkan gigi itu dalam kecelakaan saat berseluncur
di salju. Kami berseluncur di Bukit Cow Barn dan mulut Thomas terantuk pada
besi." "Dia tak pernah memukul Dominick seperti dia memukuliku."
"Tak pernah?" "Tidak. Dia selalu mengganggu Thomas Dirt." "Thomas Dirt" Mengapa kau menyebut
dirimu sendiri seperti itu?"
"Aku tidak menyebut diriku sendiri. Aku Mr. Y." Aku merasa darah naik ke
wajahku. Dr. Patel memandangiku. Dia menghentikan rekaman. "Apakah itu benar, Dominick?" tanyanya.
"Apakah Thomas dibedakan?"
Aku berdeham membersihkan tenggorokanku. "Uh ... apa?"
"Saat ayah tirimu menyiksa atau mengganggu kakakmu apa kau biasanya tak
diganggu?" "Aku tak tahu ... kadang." Aku memandang tanganku yang menggenggam di lututku
mengerat, rileks, mengerat lagi. "Mungkin."
Kelegaan dan rasa bersalah yang sudah ada sejak lama: menjadi orang yang tidak
diteriaki, tidak diseret, atau dipukul di kepala. "Masalahnya adalah ...
masalahnya adalah aku tidak selalu membuat Ray marah seperti Thomas. Aku tak
tahu. Susah dijelaskan. Kau harus mengalaminya sendiri."
"Bawa aku ke sana kalau begitu, Dominick. Bantu aku memahami."
"Ini tidak ... aku cuma tahu kapan harus diam."
"Ya?" "Dan Thomas ... dia tak pernah tahu bagaimana main bertahan, kau tahu" Maksudku,
kau harusnya melihat dia memainkan olahraga full contact. Dia tak pernah bisa
mengerti. Dan bisa dibilang ... itu sama hal-nya dengan Ray."
"Apakah kau bisa menjelaskan maksudmu, Dominick?"
"Kau harus bertahan dengan Ray. Tahu kapan harus menggertak, kapan harus minggir
...." "Ya, teruskan. Ini membantu." "Juga kapan harus melawannya. Ray menghormati
itu: ketika kau menarik garis, melawan. Saat kau menunjukkan padanya kau berani
... punya keberanian ... aku hanya .... Va Tuhan, mengapa ini sangat sulit?"
"Mengapa dan apa yang sulit?"
Aku tak bisa menjawab. Kalau aku menjawabnya, aku mungkin akan menangis.
"Dominick, apa yang kau rasakan sekarang?"
"Apa yang kurasakan" Aku tak tahu. Tidak ada apa-apa. Aku hanya
"Apa kau takut?"
"Tidak!" "Marah?" "Aku hanya ... memang begitulah Ray. Kau harus main bertahan dengannya. *
Aku tiba-tiba melihat dan mendengar Ray wajahnya merah, mengejek, hanya seinci ?atau dua inci dari wajahku. Melawanku dalam permainan basket yang kulakukan
dengannya pada suatu Sabtu pagi. "Bertahan! Bertahan! Kenapa, gadis cengeng" Kau
mau main basket atau masuk dan bermain dengan boneka kertasmu?"
"Mr. Birdsey, Anda pikir mengapa ayah tiri Anda lebih keras pada Anda daripada
adik Anda?" "Aku tidak berpikir kenapa. Aku tahu kenapa. Dia iri padaku."
"Ya" Apa yang membuatnya iri?"
"Karena dia sadar bahwa Tuhan punya rencana khusus untukku."
Aku memutar pandanganku. Menggeser dudukku.
Thomaslah yang punya boneka-boneka kertas itu, bukan aku! Dia melihat boneka itu
di swalayan five-and-ten dan merengek pada Ma sehingga akhirnya Ma menyerah dan
?membelikannya, dan ketika Ray mengetahuinya, kami bertiga dalam masalah: Thomas,
Ma, dan aku. Bersalah karena hubungan darah. Bersalah karena aku adalah
kembarannya. Ray mengamuk ketika dia melihat boneka-boneka itu. Merobek kepala
mereka, lengan dan kakinya ... dan keranjang basket di atas pintu garasi itu
maksudnya untuk kami berdua, tapi Thomas tak pernah mau keluar dan bermain. Dan
saat dia harus saat Ray menyeretnya keluar dia selalu tak bisa menangkap ? ?operan atau semacamnya. Terkena bola di wajahnya. Lari masuk rumah mencari Ma,
menangis, dikejar oleh hinaan dan olokan Ray.
"Dan Anda merasa bahwa itu membuat ayah tiri Anda iri" Hubungan khususmu dengan
Tuhan?" "Ya!"
"Apakah Ray adalah orang yang religius?"
"Tidak sereligius yang dia kira."
"Bisakah Anda menjelaskannya?"
"SEMOGA DAMAI BERSAMAMU! TUBUH KRISTUS! SEMOGA CAHAYA ABADI MEN YIN ARIMU! Hanya
karena kau orang yang bersuara paling keras di gereja, tak berarti kau yang
paling suci .... Dia bahkan tak pernah pergi ke gereja sama sekali saat
kami kecil. Hingga dia jadi Katolik."
"Benarkah" Dia beralih agama?"
"Untuk menyenangkan ibuku. Mereka punya masa f ah."
"Masalah perkawinan" Bagaimana Anda bisa tahu, Mr. Birdsey?" "Aku Mr. Y."
"Maafkan aku. Aku salah. Tapi, bagaimana kau tahu mereka punya masalah?"
"Karena ibuku cerita padaku. Aku adalah sahabat terbaiknya. Dia memikirkan untuk
bercerai. Tak ada orang yang bercerai waktu itu, tapi dia memikirkannya."
"Tidak, Ma tidak memikirkannya," kataku.
"Tidak" Mungkinkah dia menceritakannya pada kakakmu dan kau tidak mengetahuinya"
Apakah mungkin" "Tidak." "Tidak?" "Ibuku menemui pastor untuk minta bantuan. Lalu ayah tiriku juga. Lalu dia
memutuskan untuk pindah ke Katolik."
"Apakah ini benar, Dominick?" tanya Dr. Patel. "Dia pindah agama?" "ya."
"Saat itu kalian berdua umur berapa?"
"Sembilan mungkin" Atau sepuluh" Aku meragukan kalau ibuku menceritakan itu pada
Thomas" "Saat itulah Ray mulai pergi ke Misa setiap pagi. Setelah kerja. Dia kerja di
shift ketiga, dan begitu selesai, dia langsung pergi ke Misa pagi. Dia sok
baik dengan para pastor. Mengerjakan semua pekerjaan, membersihkan ha/aman
gereja gratis. Mengganti oli mobil mereka .... Seakan-akan bersikap seperti budak
mereka akan membuatnya masuk Surga. Se-akan-akan ITU bisa menghapus perlakuannya
pada kami. Dia sering menyuruh Dominick dan aku membersihkan salju di kediaman
pastor dan biara, dan kami tak boleh menerima bayaran. Suatu kali, para
biarawati memberi kami sekotak permen pita untuk adikku dan aku tapi saat kami
? ?sampai di rumah, Ray menyuruh kami kembali ke biara dan mengembalikan permen
itu." "Apa itu benar, Dominick?" tanya Dr. Patel.
Aku mengangguk. Memejamkan mataku. "Kami berdua bahkan tak suka permen pita.
Kalau kau pikirkan lagi, tanda kedaluwarsa"
"Padahal, itu permen kesenanganku. Permen pita .... Kau tahu kenapa" Kenapa dia
membenciku" Karena dia mulai sadar bahwa akulah yang dipilih Tuhan. Bukan dia.
Bukan Tuan yang pergi ke Misa setiap hari. Itu juga yang membuatnya gugup:
karena orang yang dia ganggu selama hidupnya adalah Rasul Tuhan Yesus Kristus."
"Apa itu membuatnya iri" Mengetahui bahwa Anda dipilih Tuhan untuk melakukan
yang istimewa?" "Sangat-sangat iri. Satu hal yang tidak dia sadari yang tidak disadari semua ?orang adalah bahwa ini beban yang sangat berat."
?"Apa itu, Mr. Birdsey" Maukah Anda menjelaskan beban seperti apa yang Anda
tanggung?" "Mengetahui! Melihat!" "Melihat apa Mr. Birdsey?"
"Apa yang diinginkan Tuhan. Dan apa yang tidak diinginkan-NYA." Helaan napas
panjang. "Dia tak INGIN kita berperang melawan Irak. Dia ingin kita saling
mencintai. MenghormatiNYA, bukan menyembah dolar. Negara ini, sejak awal sudah
.... Lihat saja sejarah kita! Lihat apa yang terjadi di Wounded Knee! Lihat saja
perbudakan!" Thomas mulai tersedu. "Tuhan ingin aku menunjukkan jalan.
Menunjukkan pada orang-orang bahwa keserakahan mereka .... Tapi bagaimana aku bisa
melakukan itu kalau aku dikenai tahanan rumah?"
"Siapa yang menahan Anda, Mr. Birdsey?"
"Aku cuma ingin membangunkan orang-orang! Itu saja. Aku cuma mencoba melakukan
perintah Tuhan. Karena itulah aku melakukan ini."
"Melakukan apa?" kataku."Apa yang dia maksudkan tadi?"
Dr. Patel mengetukkan satu jari ke pergelangan tangannya.
"Tapi tak seorang pun mengerti kalau itu sebuah pengorbanan. Tidak juga
Dominick. Dia bilang dia mengerti, tapi dia tak mengerti. Dia sangat marah
padaku." "Saya sudah bicara beberapa kali dengan adik Anda Mr. Birdsey. Dia
mengkhawatirkan Anda, tapi dia tidak marah."
"Kalau begitu, mengapa dia tidak menengokku?"
Aku memejamkan mataku, seakan-akan dengan tidak melihat tape recorder di depanku
bisa membuat suara Thomas pergi.
"Apakah kau tak ingat" Dia tidak bisa mengunjungimu sebelum izin keamanannya
turun. Itu sudah menjadi kebijakan di sini. Adik Anda sangat ingin menengok
Anda, dan dia akan segera datang setelah izinnya turun."
"Oh." "Kau ingat sekarang?" "Aku lupa." Mr. Birdsey?" "Apa?"
"Apakah ayah tiri Anda pernah menyiksa Anda dengan cara yang lain?" Diam lama.
"Ya." "Maukah Anda menceritakannya padaku?" Helaan napas panjang. "Suatu kali dia
menyuruhku berjalan di atas pecahan kaca."
"Benarkah" Tolong teruskan."
"Dia menyebarkan pecahan kaca di seluruh lantai lantai dapur dan dia ? ?menyuruhku berjalan di atasnya. Kakiku harus dijahit. Aku harus berjalan memakai
tongkat. Kau seharusnya melihat telapak kakiku saat itu."
Aku mengangkat tanganku, meminta Dr. Patel menghentikan rekaman. "Itu adalah
kecelakaan," kataku. "Aku ingat sekali peristiwanya. Ray marah dan membanting
stoples ke lantai stoples acar dan kemudian Thomas tak sengaja menginjak
? ?pecahan kaca dan kakinya luka. Tapi, itu kecelakaan!"
"Aku mengerti. Seberapa sering Ray marah-marah?"
"Apa" Aku tak tahu. Tidak terlalu sering. Tapi, apa kau tak lihat bagaimana dia
memutarbalikkan peristiwanya" Thomas" Sama seperti cerita patah giginya tadi.
Dia mengalami kecelakaan dan-"
"Kau terdengar protektif, Dominick. Apa kau ingin melindungi ayah tirimu?"
"Tidak!" "Atau privasi keluargamu kalau begitu?"
"Aku tidak 'melindungi' siapa-siapa. Aku cuma bilang kalau Ray tidak menyebarkan
pecahan kaca di lantai dan bilang, 'Oke Thomas, berjalanlah di atas pecahan kaca
ini karena kau tangan kanan Yesus.' Kupikir kau menginginkan pandanganku. Kukira
itulah maksud semua ini."
"Memang." "Kalau begitu apa yang kau tuduhkan padaku?" "Menuduhmu?"
"Atau ... mempsikoanalisis-/cu atau apa pun. Bukan aku pasienmu."
"Dia sering membuka lemariku dan mengencingi semua bajuku. Sepatuku. Dia selalu
melakukan itu mengencingi sepatuku .... Tak ada yang tahu tentang itu. Dia bilang
?dia akan membunuhku kalau aku bilang pada siapa pun."
"Mr. Birdsey, mengapa ayah tiri Anda mengencingi baju Anda?"
Diam. "Itu bukan apa-apa. Itu baru permulaan."
"Dia melakukan hal yang lebih buruk lagi?"
"Jauh, jauh lebih buruk."
"Apa yang dia lakukan yang lebih buruk?"
"Dia sering mengikatku dan lalu memasukkan benda-benda ke pantatku."
"Yesus! Mengapa ... mengapa kau membesar-besarkan ini" Kalau Ray tahu Thomas
mengatakan hal-hal seperti ini, dia akan"
"Benda-benda apa, Mr. Birdsey?"
"Benda-benda tajam. Pensil. Obeng. Suatu kali dia mengambil gagang pisau dan-"
"Oke, hentikan! Hentikan benda sialan itu ! Aku tak bisa pokoknya hentikan!"
?Aku maju ke depan dan menghentikan benda sialan itu sendiri.
Kami berdua duduk diam, menunggu napasku kembali teratur.
"Dominick?" "Apa?" "Apa yang dikatakan kakakmu sangat menganggumu. Iya, kan?"
Aku tertawa. "Sama sekali tidak. Coba, ayo kita lihat. Ibuku sering diperkosa
dan kami menontonnya. Ray memasukkan obeng ke pantatnya. Ini sangat menyenangkan
untuk didengarkan, Doc. Hal kecil."
"Katakan padaku bagaimana perasaanmu sekarang."
Aku berpaling dan langsung menatapnya. "Memangnya apa bedanya kalau aku bilang
apa yang aku rasakan" Aku bukan orang yang punya bayangan memuakkan, menyimpang"
"Kau sepertinya marah. Apa kau marah, Dominick?"
"Aku MARAH" Yeah, kau bisa bilang begitu. Aku MURKA, oke?" "Mengapa?"
Aku bisa melihat diriku melepaskan kontrol dan mengikuti insting itu melewati ?garis di mana aku tak bisa kembali. Itu adalah satu hal yang kupahami tentang
Ray: bahwa kadang kemarahan bisa terasa seenak seks. Bisa menjadi pelepasan yang
menyenangkan. "Kenapa aku MARAH" Aku bilang padamu kenapa aku MARAH, oke" Karena sekarang
seharusnya aku ada di Gillette Street menyelesaikan pekerjaan mengecat yang
seharusnya sudah selesai tiga minggu lalu. Tapi, di mana aku sekarang" Aku ada
di rumah gila dengan keamanan maksimum mendengarkan kakakku yang gila berbicara
tentang ... tentang ... dan dia bilang padaku, 'Mengapa kau tidak berhenti saja
memikirkan dia dan mulai memikirkan aku, Dominick" Dahulukan aku daripada
kakakmu' .... Yesus Kristus! Kapan keruwetan ini akan"
"Dominick" Siapa 'dia' yang kau maksudkan?"
"Joy! Pacarku! Aku sudah menanggung beban Thomas selama hidupku dan dengan
enaknya dia bilang, 'Mengapa kau tidak pernah mengurusku"' Aku bilang padamu
kenapa! Aku" "Dominick, tolong pelankan suaramu. Sangat baik kau melepaskan kemarahan seperti
ini, tapi mengapa kau tidak duduk dan menarik napas panjang dulu?"
"Mengapa" Apa yang bisa didapat dari napas panjang" Membuat Thomas sembuh dari
gilanya" Membuat tangan sialannya tumbuh lagi?"
"Itu akan membuatmu sedikit tenang dan"
"Aku tak mau tenang! Kau yang bertanya padaku kenapa aku marah dan sekarang aku
bilang padamu! Apa kau tahu bagaimana RASANYA" Apa kau TAHU" Aku empat puluh
tahun dan aku masih-"
"Dominick, kalau kau tidak memelankan suaramu, maka petugas keamanan akan"
"Orang lain pergi ke perpustakaan untuk mencari BUKU, ya kan" Melihat BUKU. Tapi
bukan itu yang dilakukan KAKAKKU YANG BRENGSEK DAN BODOH! Itu bukan DIA! Dia
pergi ke perpustakaan dan memotong tangannya untuk Yesus! Dan kau mau tahu"
CONNIE CHUNG sialan meneleponku! Aku menerima telepon beberapa pengisap darah
sialan dari New York yang ingin jadi agen BUKUnya! Dan aku tak bisa"
"Dominick?" "Kau ingin tahu bagaimana rasanya" Kau mau tahu" Itu seperti ... seperti ... selama
hidupku kakakku sudah seperti jangkar dalam hidupku. Menarikku ke bawah. Bahkan
sebelum dia sakit. Bahkan sebelum dia jadi gila dan kehilangan kontrol di depan
.... Jangkar,' ... Dan kau tahu apa yang kudapatkan" Aku hanya dapat sedikit
kesempatan untuk naik ke permukaan. Untuk bernapas. Tapi aku tak pernah, tak
akan pernah .... Kau tahu apa yang biasa terpikir olehku" Aku dulu berpikir bahwa
pada akhirnya kau tahu, cepat atau lambat aku akan? ?bisa menjauh darinya. Memotong talinya. Tapi di sinilah aku, empat puluh tahun
dan masih di rumah gila, mengurusi .... Berjalan di air. Itu seperti ... seperti ....
Dan kadang aku benci dia. Benar. Aku mengaku. Aku benar-benar benci padanya.
Tapi kau tahu sesuatu" Ini yang benar-benar aneh. Sebaiknya tak ada orang yang
berani bilang apa pun sebaiknya tak ada orang yang memandangnya rendah atau aku
?akan .... Dan masalahnya adalah, kurasa akhirnya aku mengerti, kau tahu" Aku
akhirnya mengerti." "Mengerti apa, Dominick?"
"Bahwa dia adalah kutukan bagiku. Jangkarku. Bahwa selama sisa hidupku aku akan
terus berjalan di atas air. Bahwa dia adalah seluruh hidupku! Kakakku yang gila.
Aku hanya akan berjalan di atas air, hanya bernapas ... dan itu saja. Aku tak akan
bisa pergi darinya! Tak akan!"
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar ketukan di pintu. "Jangan sekarang, terima kasih," Dr. Patel berteriak
keras-keras ke arah pintu.
"Beberapa hari lalu" Minggu lalu mungkin" Aku pergi ke toko swalayan. Pacarku
bilang, 'Kita kehabisan susu, Dominick. Belilah susu.' Jadi aku pergi ke
swalayan dan saat aku meletakkan segalon susu di meja kasir, kasirnya orang
?gemuk dengan rambut oranye dan hidung bertindik dia ... dia memandangiku seperti
?... seperti aku "Seperti kau apa?"
"Seperti aku dia/ Thomas. Yang mungkin ... mungkin itulah yang akan terjadi padaku
sebelum aku mati. Maksudku, kami kembar, bukan" Pada akhirnya itu juga akan terjadi
padaku, iya kan?" "Sebenarnya apa yang menurutmu akan terjadi, Dominick?"
"Dia akan menarikku ke bawah. Aku akan tenggelam."
Aku melakukan latihan pernapasannya yang bodoh. Menautkan jemariku seperti yang
dia perintahkan dan meletakkannya di atas perutku. Mengisi perutku dengan udara
seperti balon. Mengembuskan napas dengan pelan, lambat dan teratur. Menghirup.
Mengembus. Itu terlihat bodoh, tapi aku melakukannya. Dan pada tarikan napas
keenam atau ketujuh, latihan itu berhasil. Membuatku tenang. Mengembalikanku ke
dunia. "Kau takut kan, Dominick: pikiran bahwa kau juga bisa menjadi sakit jiwa"
Bagaimana mungkin hal itu tidak menakutkanmu selama bertahun-tahun ini" Kau
adiknya. Kembarannya." Bertahan! bertahan!
"Itu tak seperti ... dengar, aku tidak bilang kalau dia tak pernah memukul Ma.
Ray. Dia memukulnya. Hanya saja"
Pintu kantor terbuka sangat keras dan tiba-tiba sehingga Dr. Patel dan aku
?terlompat kaget. "Yesus!" Aku membentak Sheffer. "Apa kau tak pernah mengetuk
pintu?" "Di pintu kantorku sendiri?" bentak Sheffer balik.
Dia melemparkan setumpuk fiie ke mejanya. Dia
melihat tape recorder di meja, pandangan memperingatkan dari Dr. Patel, dan
kurasa kondisiku saat itu. Sheffer sendiri terlihat agak kesal juga.
Dia mengangkat kedua tangannya. "Aku minta maaf," katanya. "Beri aku beberapa
menit, ya" Aku mau ke toilet dulu."
Setelah pintu tertutup di belakang Sheffer, Dr. Patel bertanya padaku apa aku
baik-baik saja. Kukatakan padanya aku, toh masih hidup.
"Mana yang kalian inginkan dulu?" tanya Sheffer pada kami. "Kabar buruk atau
baik?" "Buruk," kataku dan pada saat bersamaan Dr. Patel bilang, "Baik."
Sheffer menjelaskan bahwa hakim telah memutuskan untuk membatalkan tuduhan
kriminal pada kakakku. Yang berkaitan dengan senjata. Kabar buruknya setidaknya?mungkin bisa menjadi buruk bahwa Thomas diserahkan pada Dewan Kajian Keamanan
?Psikiatri. "Orang-orang hukum dan aturan yang kaku itu, bukan?" kataku. "Orang-orang yang
ingin mengurung semua orang dan membuang kuncinya?"
"Tidak semua orang, Domenico. Tapi mereka yang masuk headline memang cenderung
kurang beruntung saat berhadapan dengan mereka." Dia memandang ke Dr. Patel.
"Setidaknya itu pendapat-/cu."
"Tapi, Lisa," kata Dr. Patel. "Kasus Mr. Birdsey sangat berbeda dengan kasuskasus besar lainnya yang diurusi Dewan. Tak ada tuduhan kriminal, tak ada korban."
"Itu bisa dibantah," kata Sheffer. "Para pengunjung perpustakaan hari itu
ketakutan, bukan" Khawatir akan keselamatan mereka" Bukankah mereka bisa disebut
sebagai korban" Mereka bisa berpendapat seperti itu."
Aku teringat pada penampilan Mrs. Fenneck di pintuku pustakawan itu mengatakan
?padaku bahwa dia tak bisa makan dan tidur sejak kejadian itu. "Siapa yang bisa
membantah itu?" tanyaku.
"Dewan Kajian. Atau bagaimana kalau begini: Thomas adalah pelaku kejahatan
sekaligus korban. Mereka bisa mengatakan bahwa mereka harus mengurungnya dalam
waktu lama agar dia tidak membahayakan dirinya sendiri. Dan itu mungkin sebuah
poin yang valid. Anehnya yang sebenarnya membuatku khawatir adalah mereka
? ?sudah menjadwalkan sidangnya. Tahu kapan" Tanggal tiga puluh satu."
"Tiga puluh satu Oktober?" kata Dr. Patel. Sheffer mengangguk. "Halloween! Trick
or treat, kids." "Tapi Lisa, itu minggu depan," kata Dr. Patel. "Obat-obatan yang dia minum belum
bisa menstabilkannya saat itu. Dia baru menjalani terapi neuroleptiknya kurang
dari tiga minggu." "Belum lagi fakta bahwa periode observasi lima belas hari habis hari itu."
"Menggelikan," kata Dr. Patel. "Bagaimana mereka mengatakan akan menggunakan
rekomendasi kita kalau kita bahkan tak punya waktu untuk mengamati dan membuat
laporannya?" Sheffer bilang, hakim bahkan tak mau mendengarkan argumennya tentang penundaan.
"Ironis, bukan?" katanya. "Aku biasanya mengeluh tentang betapa tidak efisiennya
sistem peradilan, tapi dalam kasus ini, efisiensinya justru membuatku takut.
Mengapa mereka sangat bijaksana?"
"Aku bisa bilang satu hal," kataku. "Kalau ini adalah usaha untuk
menutupnutupi jika mereka berusaha mempercepat kasus ini sehingga mereka bisa ?menghukumnya di kurungan tikus selama setahun lagi aku akan mengamuk."
?"Kau tahu, Domenico," kata Sheffer. "Hatch mungkin tempat yang tepat untuk
Thomas. Atau tidak. Itulah masalahnya: terlalu cepat untuk menyimpulkan. Tapi
aku akan jujur padamu: kalau kau muncul di pengadilan dan 'mengamuk1, mungkin
itu adalah kesempatan terbaikmu un-tuk mengeluarkan dia dari sini. Setidaknya
itu akan membuat pernyataan: bahwa dia punya keluarga yang peduli. Bahwa
keluarganya mau menanggung sebagian tanggung jawab. Mereka mungkin mau
mendengarnya kalau kau mengatakannya dengan benar. Semuanya bergantung."
"Bergantung apa?"
Sheffer memandang Dr. Patel. "Aku tak tahu. Pada politik mungkin. Atau pada
siapa kalau ada orang yang mau menarik tali dari sisi yang berlawanan."
? ?Saat aku beranjak pergi, Dr. Patel memintaku untuk menunggu sebentar, sementara
dia mengembalikan tape recorder ke kantornya. Dia akan mengantarku ke pintu
depan, katanya. Tunggu sebentar saja.
Sheffer berjalan mendekati filing cabinet-nya. Dia mengenakan setelan cokelat
dan sepatu hak tinggi yang senada. Berdandan seperti itu, dia semakin kelihatan
seperti penjilat. "Di mana sepatu kets-mu?" tanyaku.
"Apa?" "Bajumu yang biasa. Aku hampir-hampir tak mengenalimu dalam samaran pengacara
wanita itu." Dia memutar matanya. "Kau harus berpakaian sesuai dengan para hakim yang
konservatif itu. Tak boleh lebih aneh dari Sandra Day O'Connor. Kau tahu
seberapa jauh aku mau berkorban?"
"Aku mulai mengerti," kataku. Memandangnya langsung. "Terima kasih."
"Aku cuma berharap ini berhasil," katanya. "Sesi yang sulit, hari ini?" "Apa?"
"Sesi kakakmu" Kau terlihat agak syok ketika aku masuk tadi. Dan sekarang aku
minta maaf, karena mengagetkan seperti tadi."
Aku mengangkat bahu. Berpaling. "Tak masalah," gumamku.
Ketika Dr. Patel kembali, dia menggandeng lenganku dan mengantarku berjalan
sepanjang koridor Hatch yang berwarna kemerahan seperti hati. Melewati pos
keamanan, hingga ke metal detector di pintu depan. Di bawah sinar halogen,
sari Dr. Patel yang berwarna emas dan jeruk terlihat terlalu menyilaukan.
"Hari ini sulit bagimu," katanya. Menekan lenganku sedikit. "Namun demikian,
kuharap itu produktif."
Kukatakan padanya aku menyesal.
"Ya" Menyesal karena apa, Dominick?"
"Karena kehilangan kendali. Karena berteriak. Semua umpatan yang kukatakan
tadi." Dr. Patel menggeleng kuat-kuat. "Reaksimu pandanganmu sangat membantuku,
? ?Dominick. Mungkin semua itu akan penting untuk nanti. Kita tak akan tahu.
Tetapi, kurasa, sebaiknya kita menghentikan praktik kau mendengarkan rekaman
sesi kakakmu." "Mengapa" Kupikir kau tadi bilang itu membantu."
"Memang. Tapi terapi untuk kakaknya tak seharusnya memberikan risiko pada
adiknya." "Dengar, kalau aku bisa membantunya ... aku ingin membantunya. Kalau kau bisa
mempelajari hal-hal dariku."
Dr. Patel menggenggam tanganku. Meremasnya. "Aku belajar satu hal yang sangat
berguna hari ini," katanya.
"Yeah" Apa itu?"
"Aku tahu bahwa ada dua pria muda yang tersesat di hutan. Bukan satu. Dua."
Dia memberikan senyum simpul khasnya padaku salah satu senyum yang pribadi dan ?tak profesional. "Aku mungkin tak akan menemukan salah seorang pria muda itu,"
katanya. "Dia sudah tersesat terlalu lama. Aku takut kesempatannya
terlalu kecil untuk menemukannya. Tapi untuk pria muda satunya, aku mungkin akan
lebih beruntung. Pria muda yang lainnya mungkin akan memanggilku."
Delapan Belas 1969 Musim panas saat Thomas dan aku bekerja di Dinas Pekerjaan Umum Three Rivers
merupakan musim panas yang sama dengan saat berlangsungnya Woodstock,
Chappaquiddick, dan "lompatan raksasa Neil Armstrong bagi kemanusiaan". Ray
sangat senang karena kita akan mengalahkan Rusia dan menjadi negara pertama yang
mendaratkan orang di bulan, sehingga dia pergi ke Abram's Appliance Store
seminggu sebelum peluncuran dan menukar tambah TV Emerson hitam putih lama kami
dengan TV warna Sylvania model kabinet. Dia bilang, dia tak peduli pada dirinya
sendiri, tapi dia ingin kakakku, Ma, dan aku bisa melihat sejarah dibuat di TV
yang gambarnya tidak bergerak-gerak naik dan membuat semua orang terlihat
seperti seonggok batangan korek api.
Ray menghabiskan sepanjang minggu melompat dari kursinya untuk menyesuaikan
tombol warna dan kontras di TV; tak seorang pun dari kami dia izinkan
menyesuaikan warna pada TV yang baru. Kurasa dia pasti ingin mendapatkan imbalan
yang pantas bagi uang yang telah dikeluarkannya untuk
membayar TV ini, karena dia selalu membuat gambarnya terlalu terang terlalu
?jelas hingga menyilaukan. Dia mengotak-atik tombol itu hingga bulu-bulu merak di
logo NBC merah seperti darah dan lapangan bisbol di Yankee stadium berwarna
hijau jeruk limau. Dan wajah pembaca berita di TV bersinar seperti lentera JackO-Lantern saat perayaan Halloween.
Pada malam besar pendaratan di bulan, Ray jengkel padaku karena aku sudah ada
janji dengan Leo Blood untuk pergi ke Pantai Easterly. "Salah satu momen
terbesar dalam sejarah Amerika dan kau pergi ke klub dansa?" tanyanya.
"Itulah keindahan Amerika, Ray," kataku. "Ini adalah negara bebas."
Celetukan lelucon adalah satu-satunya yang bisa kulakukan setelah kemarahan Ray
yang membanting stoples acar. Selama beberapa hari, dia baik pada Ma. Sangat
ramah, malah. Juga pada Thomas, yang turun ke dapur telanjang kaki pada pagi
hari setelah Ray membanting stoples dan menginjak salah satu pecahan kaca yang
terlewatkan oleh Ma. Pecahan kaca sepanjang satu inci itu masuk sangat dalam ke
tumit Thomas sehingga Ma dan aku tak berani mengeluarkannya sendiri. Kami buruburu membawa Thomas ke unit gawat darurat dan dokter menyobek serta mencungkil
pecahan kaca itu dari kaki Thomas. Thomas pingsan selama penanganan medis itu.
Dan lukanya harus dijahit luar dalam. Ketika kami sampai di rumah, Ray sudah
pulang kerja dan membersihkan
jejak darah yang memanjang dari dapur sepanjang rumah hingga ke teras depan. Dia
menunggu kami di pintu depan, pucat dan terguncang. "Apa yang terjadi?" katanya.
Kami bertiga membiarkannya menunggu hingga Thomas berhasil naik tangga teras
dengan tongkat penopangnya.
Lebih daripada semuanya, TV berwarna baru itu adalah permintaan maaf Ray yang
tak terucap. Dan rencanaku keluar pada malam pendaratan di bulan adalah caraku
bilang "terima kasih, tapi maaf saja."
"Apakah mereka menjual alkohol di sana?" tanya Ray, melewatiku di pintu depan
saat aku menunggu Leo menjemput.
"Aku tak bisa masuk ke tempat yang menyediakan alkohol," kataku. "Mereka meminta
kartu pengenal di pintu."
"Sebaiknya begitu," katanya. "Kalau aku me-mergokimu melakukan sesuatu yang
seharusnya tak boleh kau lakukan, aku akan membuat pantatmu berdarah."
Seperti kau membuat kaki Thomas berdarah, kau brengsek, kataku dalam hati.
Klakson Leo akhirnya terdengar setelah TV menayangkan pendaratan the Eagle, tapi
sebelum Armstrong turun ke bulan. Leo tak lagi memakai mobil Biscayne ibunya.
Kini Leo ke mana-mana dengan mobilnya sendiri, '66 Skylark convertible, biru
kobalt, dengan V-8, empat di lantai dan tape recorder delapan track dengan
speaker di belakang. Dia mendapatkan harga yang bagus untuk mobil itu karena
olinya bocor dan atap convertible-nya macet permanen. Leo menyimpan sebotol Quaker State, lembaran
plastik dan setumpuk handuk di bagasi untuk keadaan darurat.
Leo selalu mengebut dan ceroboh saat menyetir, dan itu menyenangkan bagiku,
terutama malam itu. Neil Armstrong mungkin terbang ke Surga, tapi Leo dan aku
mengebut di rute 22 dengan Rolling Stone menggelegar dan terpaan angin di wajah
kami. Aku merasa bisa bernapas lagi. Kami minum bir sepanjang perjalanan,
membuang kalengnya ke jalan sembari mengebut. Persetan Ray, persetan bulan, dan
persetan astronot. Kami keren.
Leo ingin pergi ke dua klub, The Blue Sands dan tempat baru bernama DialTone
Lounge. "Malam ini kita akan beraksi, Birdsey Boy," katanya padaku.
Leo melepaskan setir dan memukul-mukul dadanya. Lalu dia memegang setir lagi,
berdiri tegak dan berteriak seperti Tarzan. Mobil yang kami naiki keluar ke
badan jalan dan berbelok tajam kembali ke jalan.
Di tempat parkir Blue Sands, Leo memberiku kartu identitas palsu dan menyuruhku
menghafalkan nama palsuku dan hari lahirnya dan menatap penjaga pintu tepat di
matanya. Jangan tanya mengapa aku masih ingat ini, tapi namaku malam itu adalah
Charles Crookshank, lahir 19 Januari 1947. "Ngomong-ngomong di mana kau dapat
barang semacam ini?" tanyaku pada Leo.
"Itu perlengkapan standar. Bisa dikirim."
Pria penjaga pintu terlihat seperti baru keluar dari Planet of the Apes. Dia
mengamati kartu pengenal kami dengan senternya, lalu mengarahkan senter itu tepat ke wajah kami,
jadi susah payahlah kami berusaha membuat kontak mata. "Jadi," kata Leo.
"Bagaimana pendaratan di bulan ini menurutmu" Lumayan liar kan?"
Penjaga pintu mengabaikan Leo dan memandangku. "Kau punya SIM atau identifikasi
lain, Mr. Crookshank?" tanyanya.
"Lucu juga kau menyebutkan itu," kata Leo turut campur. "Kami berdua dari
Manhattan, tahu" Dengan semua bus dan subway di sana, kami tak pernah butuh SIM.
Kau tak perlu itu di New York."
"Bukankah kamu baru saja datang dengan mobil tadi" Mobil Buick dengan plat nomor
Connecticut?" "Ya memang. Sangat teliti," Leo tertawa. "Kami meminjam mobil kakakku."
Pria itu memandang kartu pengenal palsu Leo dan meminta Leo menyebutkan tanggal
lahirnya. Leo berhasil menyebut tanggalnya dengan benar, tapi dia salah bulan.
"Pergi, kalian berdua," kata The Ape Man itu.
"Baiklah, Sobat," kata Leo padanya. "Peace, brother. Dan izinkan aku memberi
selamat padamu atas kariermu yang sukses ini. Banyak orang yang ingin berada di
puncak sepertimu, mengumpulkan dolar lecek dan menepuk tangan orang-orang di bar
kotor seperti ini." Kami harus berlari kembali ke mobil Skylark Leo dan masuk
melompati pintu, karena King Kong tadi mengejar kami hingga ke tempat parkir.
Di DialTone Lounge kartu pengenal palsu itu memungkinkan kami masuk dengan
mudah. Semua meja di DialTone diberi nomor yang diterangi lampu neon dan dilengkapi telepon.
Maksudnya adalah: kau bisa melihat-lihat cewek, lalu menelepon mejanya, dan
merayu selama beberapa menit sementara dia dan teman-temannya melihat ke semua
pengunjung pria dan mencoba mencocokkan suara di telepon dengan gerakan bibir.
Di DialTone lebih banyak pria daripada wanita. Tempat itu dipenuhi pelaut dari
markas kapal selam di Groton. Sebagian besar pelaut itu mengenakan dasi, manikmanik, dan jin bell-bottom tahun 69 kehidupan seksmu tak akan bagus kalau kau ?terlihat seperti militer tapi aksen dan potongan rambut mereka tak mendukung.
?Leo dan aku berhasil mendapatkan meja terakhir, meja dengan dua kursi di pojok
tepat di belakang dua pelaut. Seorang dari mereka tinggi, kurus, dan satunya
besar tak berleher seperti hidran air yang punya mata. "Tepat seperti yang kita
butuhkan," gumam Leo saat kami duduk. "Popeye dan Bluto menutupi pandangan
kita." "Telepon dia," kata si Kurus mendorong-dorong temannya, si Tanpa Leher.
"Yang mana?" "Cewek yang kuajak bicara di bar tadi." "Haruskah?"
"Tentu saja. Ayo, Sobat! Namanya Cindy."
Si Tanpa Leher mengangkat telepon dan memutar nomornya. "Hello" Cindy" Kau tak
kenal aku, tapi aku punya pesan untukmu dari Dick Hertz."
Si Tanpa Leher menutupi gagang telepon dengan tangannya dan berusaha keras untuk
tidak tertawa. "Dick Hertz siapa" Yah, karena kau tanya, Cindy, punyaku sudah tak tahan lagi.
Mau membuatnya senang?" Dia lalu membanting gagang telepon. Tawa terbahak-bahak
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan pukulan tangan mereka di meja membuat setengah orang di DialTone memandang
ke arah mereka. "Ya ampun, Birdsey, orang-orang itu membuatmu terlihat sopan," kata Leo. "Nggak
heran kita kalah dalam perang sialan (fucking war) itu."
Teman si Tanpa Leher memandang kami selama beberapa detik, lalu mencondongkan
tubuh dan menepuk pundak Leo. "Maaf, Sobat, tapi kau bilang apa barusan?"
"Apa?" kata Leo.
"Aku bertanya apa yang baru saja kau bilang. Pada temanmu itu. Sesuatu tentang
aku dan temanku dan sesuatu tentang fucking war?"
Leo terlihat bingung. Lalu dia tertawa. "Aku tadi bilang fucking whores
(pelacur). Aku bilang tempat ini penuh dengan fucking whores."
"Oh. Baiklah." Pria tadi memandang temannya dan kembali ke Leo. "Kau benar
bilang begitu. Aku pikir kau tadi bilang sesuatu yang lain."
"Tak masalah, Teman," kata Leo, tangannya membuat isyarat peace. Aku
menggelengkan kepala dan tersenyum.
Leo dengan penuh semangat memandang berkeliling. Kakinya mengetukngetuk lantai,
jarinya mengetukngetuk meja. "Meja 7, dekat bar," katanya. "Dari kiri ke kanan:
C-minus, C-plus, B-minus, C. Meja 18, dekat pintu, semua orang
dapat F kecuali si rambut cokelat dengan baju putih yang baru saja duduk. Aku ?beri dia B. Pantat bagus, dada bagus, tapi hidung kurang."
"Hidung justru penting," kata si Tanpa Leher mencondongkan tubuhnya ke kami.
Leo bersikap seakan-akan Popeye dan Bluto di depan kami tidak ada.
"Nah, di sana ada dua cewek dengan nilai A, Birdsey. Meja 12. Dua cewek berambut
cokelat pakai rok mini. Bagaimana menurutmu kalau kita menghapuskan penderitaan
mereka?" Leo mengangkat telepon dan bilang aku boleh mendapat cewek yang
berponi. Yang menjawab adalah "cewekku". Leo bilang padanya kalau dia dan aku sedang
mengunjungi Pantai Timur dari LA dan kami ingin tahu sesuatu. "Kalian bekerja di
Twentieth Century Fox juga, bukan" Sepertinya kami pernah bertemu dengan kalian
di sana?" Aku mengerang dan menggelengkan kepala. "Ya ampun, Leo," kataku. "Kadang aku
sendiri tak percaya pada omonganmu."
Leo menangkupkan tangannya ke gagang telepon. "Makan kotoran sana, Birdseed. Kau
mendengar maestro bekerja sekarang. Kau harusnya mencatat."
Leo menceritakan bagaimana aku dan dia adalah stuntman Hollywood dan teman Steve
McQueen. Leo bilang dia pernah menjadi stunt di Bullitt dan dia baru saja
menyelesaikan syuting film James Bond yang belum dirilis. Apakah kalian berdua
pernah melihat Bu teh Cas sidy and the Sundance Kid" Adegan Paul Newman dan
Robert Redford saling mengucapkan selamat tinggal dan melompat ke jurang"
Sebenarnya yang melompat ke jurang waktu itu adalah Leo, bukan Rob Redford.
Ngomong-ngomong, begitulah teman-temannya memanggilnya, Rob. Dia dan Leo main
kartu satu atau dua kali sebulan.
Kau bisa tahu dari bahasa tubuh kedua cewek itu dan cara mereka memandang kami
kalau mereka tak percaya. Lalu cewek yang berponi memberikan telepon ke
temannya, yang mengatakan sesuatu yang pedas ke Leo. Leo bilang persetan
padanya. "Lihat, itulah yang kubenci," katanya. "Cewek A yang tahu dia adalah cewek
bernilai A. Itu meracuni kepalanya seperti penyakit otak. Aku lebih memilih
cewek B yang ramah daripada cewek A yang sok. Cewek B tahu cara berterima
kasih." Pelayan kami berdiri di dekat meja, berkulit gelap dan langsing, rambut
panjangnya dikepang. "Kau menilai wanita-wanita ini?"
"Tidak, kami berharap mendapatkan dua orang," kata Leo padanya, melihatnya dari
kepala sampai ujung kaki. "Semoga keduanya dari jajaran nilai B atau A."
"Oh, well, aku yakin mereka akan terkesan pada kepekaanmu," katanya. "Kalian mau
pesan apa?" Saat dia menulis pesanan kami, salah seorang pelaut di meja sebelah mengulurkan
tangan dan menarik kepangannya. Dia membanting nampannya, berbalik dan
menghadapi kedua pelaut itu. "Jaga
tangan kalian atau aku akan meminta keamanan melemparkan kalian keluar,"
tegurnya. "Mengerti?"
"Hei, manis, aku cuma ingin menarik perhatianmu," kata si Tanpa Leher. "Apa kami
bisa dapat satu pitcher lagi minuman" Dan bagaimana dengan makanan" Apa
seseorang nggak bisa dapat makanan di tempat ini?"
"Yeah, kalian bisa dapat makanan," jawab sang pelayan. "Kalian mau apa?"
"Bagaimana kalau kamu, Sayang" Bisakah aku memesan agar kamu duduk di
pangkuanku?" Aku mencondongkan tubuh ke arah mereka. "Hei, dengar," kataku. "Kenapa kalian
tidak diam saja dan biarkan dia melakukan pekerjaannya?"
"Tidak, kau yang dengar," tukas pelayan wanita itu. "Aku bekerja sejak siang
tadi dan orang yang seharusnya menggantikanku dua jam lalu masih belum muncul.
Jadi, aku tak butuh kalian mulai berkelahi mempertahankan kehormatanku, oke?"
"Oke," kataku, mengangkat kedua tangan, menyerah. "Baik. Maafkan aku."
Dia kembali menghadap para pelaut itu. "Kami punya sandwich," katanya datar.
"Dengan kentang goreng dan acar. Itu yang kami punya."
"Sandwich ya" Kau punya Virginia Sandwich dengan ham panggang"1
"Kami punya ham," kata sang pelayan. "Tapi aku tak tahu asalnya dari mana."
"Hai, Sayang, kalau kau kesal, itu bukan salahku. Ambilkan aku Virginia sandwich
dengan ham panggang dengan roti gandum dan mustard, dan
se-pitcher lagi minuman tak enak ini. Scofield, kau mau makan sesuatu?"
"Aku mau pencuci mulut yang kau bilang tadi," katanya. "Semacam pie dengan kau
duduk di pangkuanku."
"Dasar brengsek," gumam sang pelayan. Dia terjepit di antara dua meja kami dan
aku berdiri agar dia bisa lewat. "Aku tidak melakukan ini karena aku gentleman
atau apa," kataku. "Jujur."
"Tutup mulutmu," katanya, mendorongku ke pinggir.
Leo mulai menjelaskan teori pribadinya tentang bagaimana wanita judes cenderung
lebih liar di ranjang. Aku tak benar-benar mendengarkan-nya. Aku memandang
pelayan tadi cara notes pesanannya bergoyang di saku belakang jinnya saat dia ?berjalan ke sana kemari, caranya mengeratkan ikatan celemeknya dan mengangkat
kepangannya saat dia akan memijat tengkuknya. Dia pendek paling lima kaki.
?Tubuh bagus, wajah manis. Dari caranya bergerak terlihat dia cewek yang berani.
Aku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya.
TV di atas bar menyiarkan siaran pendaratan di bulan, dua puluh atau dua puluh
lima orang berkumpul menonton. Bukan berarti mereka bisa mendengarkan siarannya
dengan bagus ditingkahi suara musik dan teriakan DJ. Bibir Walter Cronkite
bergerak-gerak tak bersuara di TV menyiarkan pendaratan itu. Para astronot masih
belum keluar dari pesawat angkasa mereka.
Aku mengangguk ke layar TV. "Ingat ketika Alan Shepard terbang ke angkasa luar"
Betapa hebohnya saat itu?"
"Saat itu aku kelas enam," kata Leo.
"Kami kelas lima."
"Kami siapa?" "Thomas dan aku. Guru kami membawa radio dan kami duduk mendengarkan saja, tidak
belajar. Setelah peluncuran, kami semua berdiri dan menyanyikan 'My Country 'Tis
of Thee'." Leo mengangguk. "Kau tahu apa yang telah kuamati darimu, Birdsey" Setiap kali
kau membicarakan sesuatu, kau selalu bilang 'kami'. Sepertinya kau dan dia
kembar siam yang menempel di pinggang atau semacamnya." Mata Leo memandang ke
belakangku. "Whoa, mama, aku mau menempelkan pinggangku dengan yang itu."
Mataku mengikuti pandangan Leo kepada cewek pirang berambut panjang di bar. Aku
memandang sekeliling mencari pelayan mungil tadi. Dia ada di tiga meja dari
tempat kami. "Aku sangat senang dengan semua hal yang berkaitan dengan astronot saat aku
kecil," kata Leo. "Kau?" "Oh, yeah. Benar-benar suka. Gus Grissom, Wally Schirra, sebangsanya. Aku bahkan
punya album astronot. Ambisi utamaku dalam hidup adalah pergi ke Cape Canaveral
dan berjabat tangan dengan John Glenn."
"Thomas dan aku punya kotak makan siang astronot," kataku.
"Aku juga. Aku juga punya itu. Kupikir itu keren sekali."
Aku bilang pada Leo kalau aku bahkan tak yakin bagaimana perasaanku melihat
Amerika berhasil mendaratkan orang di bulan. "Maksudku, sialan, ini seperti
memutarbalikkan pikiran film fiksi ilmiah yang dijadikan kenyataan. Hore untuk ?orang-orang film .... Tapi, semua ini sangat terasa proNixon. Kemenangan
kapitalisme, kemenangan atas kerajaan Komunis yang jahat. Jadi, tak masalah
kalau kita menjatuhkan bom napalm di negara lain dan kalah. Benar, kan?"
"Tuhan memberkati Amerika," kata Leo. "Ayah tiriku pergi ke toko dan membeli TV
baru untuk merayakan. Dia mungkin di rumah sekarang bergairah menonton TV."
"Ngomong-ngomong tentang gairah," kata Leo. "Lihat cewek rambut merah yang
mengenakan rok kotak-kotak. Meja 16. Kurasa aku jatuh c-i-n-t-a."
Baru saja Leo mengangkat telepon dan akan memutar nomor, seorang pria mendekati
cewek itu dan mengajaknya berdansa. "Sayang sekali, Sundance," godaku. "Kurasa
kau harus lompat ke jurang sedikit lebih cepat lagi."
"Lompat saja sendiri, Birdsey," katanya. "Hei, kau tahu Dell bilang apa padaku"
Tentang astronot" Bahwa semua itu tipuan bahwa mereka tak benar-benar pergi ke
?bulan. Dia bilang mereka memfilmkannya di sebuah studio TV yang dirahasiakan di
New Jersey. Nixon mengatur semua itu untuk mengalihkan perhatian orang dari
perang. Dell bilang, dia membaca semua itu di koran yang dia beli."
"Dan itu pasti New York Times, bukan?" aku tertawa,
"Si Berengsek Dell, man," Leo juga tertawa. "Aku tak tahu orang itu berasal dari
pianet mana." Sebagian besar malam itu tak begitu kuingat. Aku ingat berdansa dengan cewek
pirang dikuncir kuda yang mengingatkanku pada Ellie May Clampett. Aku ingat
DialTone membagikan sampanye gratis setelah Armstrong dan Aldrin melompat-lompat
di bulan. Ingat juga ketika si Tanpa Leher memukul seseorang dan diusir keluar
oleh dua penjaga. Dan di sekitar itu, pelayan kami sudah berganti.
"Aku mau keluar," kataku pada Leo. Saat itu sudah lewat tengah malam. "Mau
jalan-jalan di pantai."
Leo berhasil berdansa dengan si rambut merah itu juga akhirnya; dansa mereka
mulai terlihat sebagai forepfay. "Senang kenal denganmu," kata Leo.
Di luar, udara sejuk dan berair, dan bulan terlihat temaram. Seseorang di tempat
parkir sedang berusaha menyalakan mobilnya, memutar kunci lagi dan lagi.
Aku memanjat gundukan pasir dan turun ke laut. Ombak terdengar seperti suara
siraman toilet. Gundukan rumput laut bertebaran di sana-sini.
Tak ada orang di sekitarku. Aku melepaskan sandal dan melemparkannya ke menara
penjaga. Melipat celana jinku dan masuk ke air.
Dinginnya air laut sedikit menghilangkan pengaruh alkohol menghapus pusing, bau?rokok, dan kilatan-kilatan lampu dansa dari dalam. Hanya mempertunjukkan daging,
itulah semua maksud bar itu. Aku masih bisa mendengar dentuman musik di dalam,
tapi semakin lama semakin samar, seiring semakin jauh aku berjalan. Ombak yang
menjilati kakiku terasa enak. Aku memandang ke bulan.
Aku pasti sudah berjalan sekitar satu mil atau satu setengah mil, hanya
memikirkan satu hal: bagaimana rasanya berada di atas sana dan melihat ke bumi
di bawah. Tak menjadi bagian dari bumi lagi. Melihat bumi secara keseluruhan.
Itulah yang sebenarnya. Itulah yang sulit: bisa dibilang kita semua ini
sebenarnya adalah pejalan di bulan (moonwaikers). Aku. Leo. Ralph Drink water.
Kakakku. Bahkan ayah tiriku yang bodoh, terjebak dalam permainan tiga lawan satu
dengan Ma, Thomas dan aku. Bahkan semua badut di DialTone Lounge sana, minum
sampai mabuk sehingga mereka punya keberanian untuk mencoba dan meniduri
beberapa cewek cewek yang mana saja menghubungkan diri dengan seseorang, meski
? ?hanya untuk beberapa menit di kursi belakang mobil. Untuk beberapa detik,
semuanya jelas. Semuanya masuk akal. Siapa pria yang dibahas di kelas filsafat
semester lalu" Pria eksistensialisme itu" Dia benar. Setiap orang sendiri.
Bahkan, jika kau punya saudara kembar identik. Maksudku, untuk apa Thomas bangun
pada tengah malam dan lari mengeliling asrama" Semua itu tak masuk akal, itu sebabnya. Karena dunia
ini absurd. Karena setiap orang pada dasarnya sendiri ... Whoa, terlalu jauh, aku
menyadarkan diriku sendiri untuk kembali ke bumi. Berat, Man. Aku teringat
pelajaran sebulan penuh setelah ujian selesai. Aku mulai berubah menjadi filsuf
aneh. Aku menunduk dan mengambil beberapa batu. Melemparnya, satu demi satu, ke
ombak yang bergelombang. Aku tak tahu berapa lama aku duduk di sana, melempar
batu. Saat aku kembali untuk mengambil sandalku, aku melihat sebuah siluet duduk di
atas menara penjaga. Seseorang bertubuh kecil. "Yuhuu," teriak siluet itu. "Kau
punya tali derek?" Kukatakan aku tak punya. "Apa kau orang yang baru saja kudengar menyalakan mobil
tadi" Sepertinya kau benar-benar membuat salurannya tersumbat. Kalau aku jadi
kamu, tunggu sebentar lalu coba lagi."
Saat mendekat, aku tahu siapa dia: pelayan mungil dari DialTone. Dia duduk
memeluk kakinya, mengenakan kaus hangat dengan tangan dimasukkan ke lengan.
"Bukan berarti aku mencoba menyelamatkanmu atau apa."
Dia tersenyum. "Hei, aku benar-benar menghargai tindakanmu menegur orang-orang
brengsek itu," katanya. "Itu tadi manis sekali. Terima kasih."
"Nggak masalah."
"Aku hanya muak dengan semua itu, kau tahu" Pria berusaha memegang pantatmu
sepanjang malam. Menunjukkan pada teman-teman mereka betapa hebatnya dia. Salah satu
pelayan sudah kawakan mengajariku untuk bersikap tegas. Marahi mereka seperti ? ?kau ibunya dan kalau mereka tak mau berhenti kau kirim saja mereka ke kamarnya.
Jadi, itulah yang kulakukan. Dan berhasil."
Aku mengangguk. "Tadi memang benar-benar membuatku takut," kataku.
Dia memandang ke arah DialTone. "Ya Tuhan, aku benci tempat itu," katanya.
"Yeah, kalau memang benar peradaban Barat sedang mengalami kemunduran, maka kita
mungkin sudah mencapai titik terendah dengan DialTone Lounge." Dia tertawa
dengan tawanya yang manis. Malam itu di menara penjaga pantai adalah pertama
kalinya aku mendengar tawanya.
"Jadi, apa yang mereka lakukan, memecatmu?" tanyaku. "Atau kau berhenti?"
"Tidak keduanya. Gantiku akhirnya muncul. Ya Tuhan, kuharap aku bisa menyalakan
mobil bodoh itu. Aku tak mau duduk hingga pukul dua dan menunggu asisten
manajerku yang mesum mengantarku pulang."
"Kau tinggal di mana?" kataku. "Mungkin temanku dan aku bisa memberimu
tumpangan." Dia tersenyum. "Cowok yang merendahkan perempuan" Tidak, terima kasih."
"Nggak masalah."
Kami berdua diam selama beberapa detik. Aku mulai berjalan pergi.
"Kau mau duduk di atas sini bersamaku?" katanya. "Naiklah. Masih ada tempat."
"Yeah?" Dia bilang dia punya tempat yang sudah dia hangatkan untukku.
Aku naik menara dan duduk di sebelahnya. Melihat buku di pangkuannya. Dia suka
baca sejak dulu dia suka baca.
?"Apakah ibumu tak pernah mengatakan jangan membaca di dalam gelap?" kataku.
"Aku nggak membaca dalam gelap kok. Aku membaca dengan sinar bulan."
"Nggak ada bedanya. Apa bagusnya sih, buku itu sehingga kau rela merusakkan
matamu?" "Richard Brautigan," katanya, mengulurkan buku itu padaku. "Aku tak begitu
paham, tapi aku tak bisa berhenti membacanya." Katanya. "Misterius ... menggugah
keingintahuanku." Aku membuka buku itu dan memicingkan mataku berusaha membacanya. Berhasil
membaca alinea pertama. Membacanya keras-keras. "Di semangka yang manis tindakan
dilakukan dan dilakukan lagi seperti hidupku dalam manisnya semangka. Aku
mengatakan ini padamu karena aku di sini dan kau jauh."
"Lihat foto dia," katanya. "Foto dia ada di semua sampul bukunya."
Aku menutup buku itu, mengarahkannya ke sinar bulan. "Kelihatannya seperti Mark
Twain diasamkan," kataku. Dia tertawa. Mengusapkan tangannya ke rambutku yang
ikal, mengacaknya sebentar. Apa aku mengingat ini dengan benar" Apa
hanya itu yang dibutuhkan" Yang aku tahu adalah ini: bahwa aku jatuh cinta
padanya saat itu juga. Sebelum aku melompat turun dari menara penjaga itu.
Dia gampang diajak bicara itu sebabnya. Dan manis. Dan pintar. Juga lucu. Dia ?bilang dia dua puluh satu tahun, tahun ketiga di Boston College, mengambil
program Pendidikan Anak Usia Dini. Selain menjadi pelayan pada pagi hari, dia
bekerja di program Head Start. "Ayahku ingin aku bekerja dengannya lagi musim
panas ini," katanya. "Di bagian pembukuan dengan pamanku Costas. Ayahku punya
diler mobil. Tapi aku sudah melakukan itu selama tiga musim panas berturutturut. Aku mau perubahan. Dan sedikit kebebasan, kurasa. Apa kau percaya kalau
aku benar-benar ingin melalui proses wawancara sebelum mendapat kerja" Mengisi
lamaran dan melihat apakah ada orang lain selain keluargaku yang mau
memperkerjakan aku" Apa itu masuk akal?"
"Lebih masuk akal daripada fakta bahwa ayahmu punya diler mobil dan kau ke manamana naik mobil yang mesinnya nggak mau menyala," kataku.
"Ya, Tuhan, Daddy akan mati kalau dia tahu aku di luar malam-malam tak bisa
pulang. Maksudnya baik, tapi dia overprotective. Siapa namamu?"
"Nama-ku" Dominick."
"Dominick," ulangnya. "Italia, ya?"
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Yah, setengahnya, sih."
"Setengahnya lagi apa?"
Pukulan telak. Pertanyaan yang tak mungkin terjawab. "Yah, sedikit ini, sedikit
itu," kataku. "Bagaimana denganmu?"
"Yunani," katanya. "Dari dua sisi. Ayahku Yunani Amerika dan ibuku imigran.
Ngomong-ngomong, namaku Dessa."
"Dessa apa?" "Constantine." "Constantine" Yang ada di 'Datanglah dan temui the Dodge boys di Constantine
Motors'?" Aku menyanyikan jingle iklan yang kudengar jutaan kali di radio Ralph
Drinkwater. Dia tertawa. Memukulku pelan. "Aku harus bilang pada ayahku kalau dia kembali
nanti bahwa iklan-iklan itu akhirnya bermanfaat juga."
"Aku kan, belum membeli mobil?" kataku. "Di mana dia?"
"Apa?" "Ayahmu. Kau tadi bilang, 'kalau dia kembali nanti'."
"Oh. Dia di Yunani. Dia, ibuku, dan adik perempuanku. Mereka pergi ke sana
setiap tahun untuk mengunjungi kerabat. Ini adalah pertama kalinya aku tidak
ikut. Kau pernah ke sana?"
Yeah, tentu, pikirku. Keluarga Birdsey yang sering bepergian dengan pesawat jet.
"Belum pernah."
"Oh, pergilah ke sana kalau kau punya kesempatan. Laut Aegean sangat
mengagumkan. Peninggalan sejarahnya cahaya matahari di sana sama sekali tak ?sama dengan di sini. Dan airnya!
Kau tak akan percaya melihat warna airnya."
Kami duduk diam selama semenit atau lebih, memandang laut, tak mengatakan apa
pun. Biasanya, dengan seorang gadis, aku akan panik dengan kediaman seperti itu.
Tapi dengan Dessa, kediaman itu terasa nyaman.
"Berapa usia adikmu?" kataku.
"Athena" Yuck. Dia tujuh belas tahun."
"Athena" Seperti dewi kebijaksanaan?"
Dessa tertawa. "Lebih mirip dewi perilaku menyebalkan. Dia benci namanya. Kami
harus memanggilnya Angie. Dia benar-benar manja! Orangtuaku terlalu
membebaskannya." Kukatakan padanya kalau aku punya saudara kembar.
"Benarkah" Identik atau fraternal?" "Identik."
"Oh, wow," katanya. "Bukankah itu keren" Punya saudara kembar?"
Aku mendengus pendek. "Tidak.'1 "Tidak" Kenapa tidak?"
Tiba-tiba aku menceritakan padanya tentang tahun pertama kami di UConn Thomas
?mengurung diri di kamar kami dan melampiaskan frustrasinya pada mesin tik kami.
Dessa hanya mendengarkan. Membiarkanku terus bicara, yang aku sendiri tak
percaya bahwa aku bisa bicara begitu banyak.
"Kurasa berat, mempunyai seseorang yang begitu dekat denganmu," katanya.
"Apalagi kalau dia sangat bergantung. Kau pasti merasa kau tak
pernah punya ruang untuk bernapas."
Aku tak percaya bahwa akhirnya ada seseorang yang benar-benar mendengarkanku.
Bahwa ada seseorang, hingga tahap tertentu, memahami. Aku mencondongkan tubuh
dan menciumnya. Dia membalas ciumanku. "Kau terasa enak," katanya. "Agak asin."
Sekitar setengah lusin ciuman kemudian, aku mulai panas dan
menginginkannya mencapai kecepatan dari nol hingga enam puluh dalam waktu
?semenit. "Hei, tunggu dulu koboi," katanya. Dia melepaskan tanganku yang
merangkulnya dan melompat turun dari menara penjaga. Memandang ke bulan. "Aneh
bukan?" katanya. "Bahwa saat ini ada dua anak manusia di atas sana, berjalanjalan" Manusia di bulan. Tak bisa dipercaya, ya?"
Dia berjalan pelan ke air. Masuk ke air.
Aku di sini dan kau jauh, pikirku, tak yakin apakah yang kumaksudkan adalah
Dessa, atau kakakku, atau para astronot di bulan sana. Tak yakin apa yang
kumaksud. "Hei, Dominick, ke sini!" teriaknya. "Lihat!"
Ketika aku sampai di dekatnya, Dessa menarik tanganku. Dia memandang ke air. "Ya
Tuhan, aku tak pernah melihat ini lagi sejak aku kecil," katanya.
"Melihat apa?" "Fosfor. Di air. Itu dia!"
"Mana?" kataku. "Apa yang kau bicarakan ini?"
"Cahaya yang berkedip-kedip di permukaan air. Kau harus cepat. Cahaya itu hanya
bertahan sekitar sedetik. Lihat.' Itu ada lagi! Lihat?"
Aku melihat laut. Pasir. Kaki kami di air. "Adikku dan aku dulu menyebutnya debu
peri. Itu ada lagi!"
Aku menganggap Dessa hanya mempermainkanku. Tak pernah bisa melihat cahaya itu.
Lalu, sialan, itu dia. Fosfor.
Debu peri. Mobil Dessa langsung menyala pada percobaan pertama.
* Malam itu, dalam perjalanan pulang aku setengah mendengarkan ocehan Leo yang
mengeluh betapa cewek-cewek rambut merah hanyalah penggoda. "Seperti sebuah
perkumpulan," katanya. "Hukum tak tertulis." Kami berhenti di Oh Boy Diner.
Minum kopi, makan telur. Aku tidak menyebutkan apa pun tentang Dessa tak ?mengatakan sepatah kata pun. Aku tak ingin mendengar teori Leo tentang pelayan,
atau gadis berkepang, atau cewek anak orang kaya. Dalam perjalanan kembali ke
mobil, aku memasukkan tanganku ke kantong jinku dan meraba korek api DialTone.
Aku meminta Dessa menulis nomor teleponnya di bagian dalam bungkus dua korek
api, tidak hanya satu. Yang kedua adalah untuk jaga-jaga kalau aku kehilangan
yang pertama. Aku tak mau ambil risiko.
Aku tiba di rumah setelah pukul dua. Kakakku dan ibuku sudah tidur; Ray
berbaring di sofa, mendengkur, sendirian dengan malam terbesarnya
dalam sejarah. TV masih menyala, Walter Cronkite masih melaporkan dari ruang
kontrol misi. Kulitnya berkilau seperti sinar inframerah. Dia terus mengoceh
tentang bulan. Sembilan Belas 1969 Dell Weeks tak pernah minum sebelum tengah hari dan biasanya sebelum tengah
minggu. Tapi pada Kamis atau Jumat, dia mulai meneguk botol Seagramnya saat
makan siang dan akan mabuk menjelang sore hari.
Dell adalah tipe pemabuk Jekyll dan Hyde. Kadang alkohol membuatnya menjadi
teman terbaik semua orang. "Tak masuk akal membunuh dirimu hanya demi upah
minimum," katanya, tangannya melingkar di bahumu, napasnya yang bau alkohol di
wajahmu. Kali lain, dia menyebalkan dan menganggu mulai mengomel tentang
?"pemalas" dan "banci sekolahan" yang tak bisa membedakan mana pangkal dan mana
ujung sekop. Dell mulai memanggil kakakku Dickless saat dia mabuk dan jadi
kasar. Kalau kami beruntung saat Dell minum tengah hari, dia biasanya akan meringkuk
dan mendengkur di bawah pohon, di sebelah atau bahkan di bawah truk. Dia bilang
pada kami untuk pergi ke mana saja yang kami suka kalau kami menyelesaikan
pekerjaan lebih awal meninggalkannya sendirian dan tidak
?mengganggunya kecuali kalau kami melihat truk Lou Clukey datang. Awalnya, Leo,
Thomas, dan aku hanya duduk-duduk saja dan mengobrol, sementara Ralph Drinkwater
akan duduk tak jauh dari kami cukup jauh untuk menyendiri, tapi cukup dekat
?untuk mendengar percakapan kami. Kalau kami ingat membawa setumpuk kartu, kami
biasanya main kartu. Beberapa kali kami hampir mati karena bosan sehingga kami
main tarik tambang benteng atau apa pun seakan-akan kami anak-anak sembilan
? ?tahun dan bukannya sembilan belas tahun.
Kadang saat kami bermain membunuh waktu, Ralph akan mengeluarkan rokok ganja dan
duduk di sana, mengisap dan menyeringai sinis pada kami seakan-akan ada yang
Riwayat Lie Bouw Pek 1 Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo Sepasang Taji Iblis 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama