Ceritasilat Novel Online

Sang Penebus 7

Sang Penebus Karya Wally Lamb Bagian 7


lucu yang tidak kami ketahui. Seakan-akan Thomas, Leo, dan aku adalah lelucon.
Itu adalah seringai yang dulu dia tunjukkan di kelas sejarah Mr. LoPresto.
"Nggak," kata Ralph setiap kali kami bertanya apakah dia mau bergabung bersama
kami main kartu atau semacamnya. "Nggak tertarik." Aku terus mengharap dia
membalas ajakan kami dan membagikan rokok ganjanya aku pernah mengisapnya ?beberapa kali di sekolah dan menyukainya tapi Ralph tidak menawarkan dan aku
?tak mau mengemis. Graveball adalah hal yang akhirnya mendorong Drinkwater melepaskan seringainya
dan bergabung bersama kami. Suatu hari di pemakaman Boswell Avenue, pemotong
rumput Leo menabrak sesuatu
yang menimbulkan suara keras dan memental ke samping. Itu adalah bola Wiffle,
agak sobek dan jelek, tapi masih lumayan. Leo mengarang permainan di mana kau
harus memukul bola dengan gunting tanaman, lalu lari dari hong ke hong yang
?berupa nisan. Tapi, kau harus mendorong pemotong rumputmu saat kau lari dari
hong ke hong. Kami mulai dengan Leo di satu tim dan aku di tim lawan. Thomas menjadi pelempar
bola dan menjadi rekan tim untuk kami berdua dan kami mengarang sejumlah aturan
main untuk "pelari hantu". Kami baru bermain sekitar setengah jam ketika
Drinkwater tak tahan lagi. Dia berdiri. Mendekati kami, "Apa sih, yang kalian
mainkan?" tanyanya. Sejak tadi dia berpura-pura tidak mengamati kami.
Leo langsung menamai permainan itu. "Graveball," katanya. "Mau ikut main?"
Meskipun sedang fly karena ganja, Drinkwater hebat saat main graveball. Kau tak
bisa menduga sejauh apa sebuah bola Wiffle bisa terlempar setelah bertabrakan
dengan gunting tanaman. Thwock! Bola itu akan terbang melewati makam dan jatuh
di hutan. Hampir setengah dari pukulan Ralph memaksa kami berhenti main dan
mencari bola sialan itu. Ralph juga bisa lari seakan terbang dari hong satu ke
hong berikutnya, meski mendorong pemotong rumput. Orang itu benar-benar cepat.
Tapi, permainan gravebalHah yang memecahkan kebekuan antara kami dan Ralph.
Saat itu, aku sudah mulai mengencani Dessa. Keluarga Constantine tinggal di
rumah besar berlantai tiga di Hewett City, sekitar enam belas mil naik sepeda ke utara Three
Rivers. Mereka punya kolam renang di halaman belakang, patio, dan kebun bunga
yang indah. Pintu ganda di depan membuka ke serambi dengan lantai marmer. Di
ruang duduk, dengan sofa dan kursi beledu lukisan minyak Dessa dan adiknya ada
? ?jam besar raksasa. Ukuran dan ukiran jam itu dentangannya membuat jam besar
? ?di S&H Green Stamp yang sangat disukai dan diinginkan, tapi tak pernah
didapatkan Ma, tak ada apa-apanya. Setiap kali aku masuk ke rumah keluarga
Constantine, aku merasakan betapa kecilnya keluargaku.
Ayah Dessa telah meng-insta/ sistem keamanan sebelum pergi ke Yunani dan meminta
adiknya Costas berjanji untuk menelepon dan mengecek Dessa. Daddy juga meminta
putrinya berjanji tidak akan menerima teman lelaki sendiri saat mereka pergi,
terutama musisi tak berguna yang pernah mengasahnya. Namanya adalah Julian. Aku
telah membuat kesalahan, kata Dessa kepadaku, dan ayahnya mungkin tak akan
membiarkannya melupakan itu sepanjang hidupnya. Mrs. Constantine meyakinkan
Dessa kalau ayahnya percaya padanya. Yang tidak dia percaya adalah para hippies
dan orang gila yang banyak berkeliaran di luar sana. Lihat saja apa yang baru
saja terjadi di Hollywood pada istri sutradara yang malang itu. Dan dia baru
hamil enam bulan! Apa pun bisa terjadi, terutama pada anak gadis yang terlalu
mudah percaya pada orang. Apa pun. Dessa seharusnya
pergi bersama mereka ke Yunani daripada bekerja sebagai pelayan bar di tempat
dansa jorok dengan telepon itu. Dia seharusnya santai dan berjemur matahari dan
bertemu dengan pria-pria muda Yunani yang tampan.
Dessa menceritakan semua ini lewat telepon sebelum kunjunganku yang pertama,
jadi ada sesuatu yang seksi dan penuh pemberontakan saat aku mengayuh sepeda
Columbiaku pada kecepatan tiga di jalan masuk rumah Dessa yang berbentuk U, ke
halaman belakang rumah Constantine, dan ke garasi di mana aku memarkir sepedaku
di samping Chrysler Newport ibu Dessa yang tak pernah dipakai. Aku juga merasa
seksi, melepas bajuku yang penuh keringat setelah sekian lama mengayuh sepeda,
menjatuhkan pakaian itu ke lantai mosaik kamar mandi Dessa, dan menyabun tubuhku
di bawah pancuran shower-nya yang bisa berputar. Pertama kali aku datang, Dessa
menunggu di bawah saat aku mandi dan berganti baju. Kedua kali, dia menunggu dan
berbicara di balik pintu kaca memakai celana pendek dan bikini, sehingga aku
harus menunggu gairahku mereda sebelum aku bisa mematikan air dan keluar. Pada
kunjungan ketigaku, semuanya terjadi.
Sebelum Dessa, aku belum pernah merasakan gairah seperti itu. Aku bahkan pernah
bertanya-tanya apakah aku akan mengalaminya. Di Newsweek dan TV selalu
diberitakan tentang revolusi seksual memuat statistik mengejutkan tentang ?bagaimana mayoritas pria muda Amerika
telah berganti puluhan partner seks saat mereka seusiaku. Mungkin itu terjadi
pada Leo dan pria lain, tapi tidak padaku. Sebelum Dessa, jumlah total
pengalaman seksualku adalah episode di The Falls dengan Patty Katz dan suatu
kali di pesta asrama semester lalu ketika seorang gadis mabuk dalam gelap
menertawakan kebingunganku menyiasati stocking-nya, lalu memegang dan
membimbingku sambil berkata, "Di sini. Ayo."
Dessa lebih berpengalaman dia sudah pernah mempunyai dua kali "hubungan serius"
?sebelum denganku. Baik pemain musik maupun aktivis antiperang yang pernah
berhubungan dengannya usianya lebih tua kadang, menurut Dessa, itu membuatnya
?merasa seperti gadis kecil yang bodoh. Dan meskipun orangtuanya hanya tahu
kejadian dengan Julian Dessa menelepon orangtuanya dari kantor polisi Brighton
?pada malam pria itu membantingnya ke dinding dan mematahkan pergelangan
tangannya kedua pria itu sebenarnya pernah memukulnya. Dia bilang padaku bahwa
?dia menghargai kepolosanku. Sikap maluku. Dia bilang dia merasa aman dalam
pelukanku. "Itulah yang kubenci jadi pelayan," katanya suatu sore. "Fakta bahwa, pada
malam-malam tertentu, aku merasa tak aman." Kami berdua berbaring di ranjangnya,
mendengarkan musik, dan saling berpelukan. "Kebanyakan pria menjadi kasar saat
mereka minum. Aku benci melihat mereka saling berkelahi." Dia bergeser
menyamping sehingga bisa memandangku. "Apa sih, yang
menyebabkan kalian sangat marah?" katanya.
Aku mencium pelipisnya, sudut mulutnya. "Aku tidak marah," kataku. "Aku datang
dengan damai." "Tapi ini serius lho," katanya. "Kadang di tempat kerja, bahkan walaupun ada
penjaga dan bartender yang mengawasi kami, aku tetap tak merasa aman."
"Kalau begitu berhenti saja," kataku padanya.
"Aku tak bisa berhenti."
"Tentu saja bisa," kataku padanya. "Memangnya kau pikir bagaimana perasaan-/cu
melihat semua pria di bar memandangimu" Kalau kau berhenti, kita bisa bertemu
saat akhir pekan. Pergi ke pantai. Menghabiskan sepanjang hari bersama."
"Dominick, aku harus bekerja," katanya.
"Kau punya pekerjaan di Head Start. Itu juga kerja."
Dessa tertawa. "Kau tahu berapa yang kudapat dari pekerjaan itu, Dominick" Tiga
puluh enam dolar seminggu. Aku bisa mendapatkan dua kali lipat kadang tiga kaii
?iipat dengan membawakan bir untuk para pemabuk berengsek di DialTone."
"Hei, memangnya kau butuh uangnya" Uang sekolahmu mungkin berapa" Tujuh atau
delapan penjualan mobil di tempat ayahmu, kan?"
"Tapi bukan itu poinnya. Aku perlu membuktikan sesuatu pada diriku sendiri."
Aku menahan senyum, menelan sedikit kekesalan. Aku berharap akuiah yang punya
kenikmatan bekerja karena menginginkan sesuatu yang bukan uang. "Kau mau
membuktikan apa?" "Dominick, ayahku adalah orang paling murah
hati di dunia, oke" Dia akan memberikan apa pun yang diminta aku dan adikku.
Tapi itulah masalahnya. Kau harus membayar mahal untuk itu. Kau harus
menyerahkan kebebasanmu."
Aku mulai mengelus wajahnya. "Kalau aku berhenti, aku hanya akan membuktikan
maksud ayahku, bukan maksudku," katanya. "Daddy akan senang jika Dessa kecilnya
tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Kalau dia masih gadis kecil ayah. Tapi aku
bukan. Aku adalah milikku sendiri. Benar?"
"Benar," kataku.
Dessa mendekatkan tubuhnya. Memegang lenganku. "Apakah semua ini masuk akal
bagimu?" tanyanya. "Maksudku, kau tadi bilang 'benar', tapi apa kau benar-benar
mengerti maksudnya?"
Aku mengulurkan tangan, merengkuhnya. "Yeah, aku mengerti," kataku padanya. "Aku
benar-benar mempunyai maksud di sini."
"Oh, lupakan saja," keluhnya. "Kalian pria, sama saja."
* Dessa adalah pencinta yang sabar. Setelah dua atau tiga kali bercinta kilat, dia
menunjukkan padaku nikmatnya memanfaatkan waktuku, membuat pilihan dengannya.
"Apa kau suka ini?" tanyanya. Lalu Dessa akan memegang tanganku, membimbingku.
Lalu saat sudah siap, dia akan menarikku mendekat. Kadang aku merasa khawatir,
merasa tak aman, dan berpikir mungkin dia sedang
membayangkan pria lain. Lalu seakan-akan didorong insting, Dessa akan membuka
mata dan tersenyum padaku, menyentuh wajahku. Mengatakan sesuatu seperti, "Hai,
kamu?" dan mengalihkan perhatiannya padaku. Pada kenikmatan-/cu. Hingga aku
terhanyut dalam pelepasan yang begitu liar dan manis sehingga susah dipercaya,
bahwa, Ya Tuhan, ini benar-benar nyata, di sini dan terjadi padaku, Dominick.
Suatu kali setelah kami berdua mencapai puncak, dan masih berusaha mengatur
napas, aku bilang padanya kalau aku mencintainya. Memandang wajah Dessa berubah
dari damai ke sedih. "Aku sudah pernah mendengar rayuan itu sebelumnya," katanya.
"Itu bukan 'rayuan', Dessa. Aku serius."
"Oke, mengapa" Mengapa kau mencintaiku?"
"Karena kau adalah kau," kataku berusaha menjelaskan. "Dan karena ... kau guru
yang baik." Dessa tersenyum, memukulku pelan. "Kurasa kau cuma suka pelajarannya saja,"
katanya. Pada malam-malam musim panas itu, berdua bersama di rumah besar Constantine,
saling menggoda adalah bagian dari keseksian itu sendiri. Begitu pula makan. Di
lantai bawah, berbaring di karpet berwarna beige orangtuanya yang membentang di
lantai, kami mendengarkan musik Yunani, minum anggur merah dan berpesta: keju
feta dan zaitun cokelat berminyak, tomat dan basii, dan roti renyah dari
Gianacopolis Bakery. Kadang,
Dessa menghangatkan makanan yang sudah dibekukan ibunya dalam bungkusanbungkusan alumunium foil sebelum pergi: pie bayam, moussaka. Dan setelah itu,
kami minum anggur lagi dan buah. Kadang kami saling membacakan buku, atau
menonton TV, atau Dessa akan bercerita tentang saat dia dan adiknya Angie masih
kecil. Setelah dia membuatku tertawa, dia akan berkata, "Sekarang, kau yang
cerita tentang masa kanak-kanak-mu," dan aku tidak ingat apa pun selain pukulan
dan tangisan ketika Ray memergoki Thomas dan aku makan permen Halloween di ?gereja, ketika dia menghentikan mobil di pinggir jalan raya dan menyuruh kami
keluar mobil karena kami bertengkar. Saat itu kami berusia berapa" Enam" Tujuh,
mungkin" Kami keluar, berdiri di pinggir jalan dan Ray menderum pergi. Pergi
begitu saja dan meninggalkan kami di sana. Dan ketika dia kembali lagi, Thomas
dan aku saling berpelukan, menangis tersedu-sedu .... Tidak seburuk itu
sebenarnya. Tak seiaiu seburuk itu. Tapi ketika Dessa menanyakan tentang masa
kecilku, itu adalah cerita-cerita yang bisa kuingat. Jadi, aku hanya mengangkat
bahu dan mengatakan aku tak bisa mengingat hal-hal seperti dia. Lalu aku
menghindari pandangannya dan mengalihkan pembicaraan. Menunggunya berhenti
memandangiku. Menunggu keingintahuannya mereda.
Kadang, setelah hari gelap, kami akan berenang di kolam renang Dessa. Atau bersantai di teras
belakang. Atau naik ke kamar Dessa. Dan selalu, awalnya: kami berdua sama-sama
tak bisa menahan diri untuk saling menyentuh. Memuaskan dahaga. Itu membuatku
merasa kuat sekaligus lemah apa yang kami mulai musim panas itu di rumah besar ?Constantine yang kosong.
Karena jadwal kerja kami, aku bertemu dengan Dessa hanya Senin, Selasa, dan Rabu
malam. Pukul sebelas malam atau tengah malam, aku minum dua cangkir kopi, lalu
kembali naik sepeda mengayuh seperti orang gila ke Lakeside, menyeberangi
?Woodland dan ke rute 165. Saat sampai rumah, Ray sudah pergi kerja, sementara Ma
dan Thomas sudah tidur. Aku duduk di dapur kami yang dilapisi karpet plastik
dengan barang-barangnya yang norak, kertas lalat bergantung di atap penuh dengan
lalat, dan merasa malu tentang siapa dan apa kami ini. Atau, aku akan berbaring
di ruang duduk yang gelap di atas karpet suram dan sobek-sobek dari Sears dan
berpikir, inilah aku, pacar cewek kaya, satu-satunya pria yang membuatnya merasa
aman. Dan bukan sembarang cewek kaya. Tapi Dessa. Dan aku teringat kembali
kebersamaanku dengannya melihat jariku melepaskan kepangan rambut panjangnya.
?Lelah tapi bergairah, aku akan berguling ke sana kemari, tak bisa pergi ke atas
dan tidur. Kupikir aku sudah bersikap cuek. Tak mengira bahwa kencanku ketahuan, tapi
mungkin saja aku menunjukkan tanda-tanda. Saat kerja, Leo menggodaku setiap kali
aku menguap atau mengantuk pada waktu makan siang tentang "menu apa yang aku pesan dari teman
?pelayan kecilku". Di rumah, Ma terus menanyakan kapan dia akan bisa bertemu
dengan "cewek baruku". Thomas terus mendesakku untuk menceritakan Dessa itu
seperti apa. Merasa posesif akan apa yang kumiliki enggan berbagi informasi
?tentang Dessa, aku hanya memberikan sesedikit mungkin. "Dia pendek," kataku
padanya. "Rambutnya cokelat." "Apa lagi?"
"Itu saja," kataku, mengangkat bahu. "Pendek dan berambut cokelat. Dia mahasiswi
Boston College." Suatu pagi, saat aku bercukur di wastafel kamar mandi, Ray masuk dan berdiri di
belakangku, mengamati wajahku yang mengantuk di cermin kotak obat. Aku pulang
pukul tiga pagi, hanya tidur tiga jam sebelum berangkat kerja lagi.
"Ada apa?" kataku.
"Ibumu bilang kau pulang larut lagi semalam," katanya.
Aku diam saja. Terus bercukur.
"Kau dan cewek ini berhati-hati, tidak?" katanya.
Tadi malam, Dessa menunjukkan pil antihamilnya padaku seperti sekotak permen
Good & Plentys, pil-pil kecil yang menyelamatkan kami dari kerumitan. "Keamanan"
menurutku adalah tanggung jawab Dessa.
"Cewek ini?" kataku. Mencoba ekspresi sinis tidak peduli milik Ralph Drinkwater.
Ray mengeluarkan sekotak kondom Trojan dari
saku kemeja kerjanya dan melemparkannya ke atas tangki toilet. Tak mengatakan
apa pun, aku mengeratkan pegangan di pisau cukur di tanganku dan
mencukur mencoba sekeras mungkin untuk bersikap biasa, mengabaikan penyelidikan
?besarnya. Bertahan! Bertahan!
"Aku tak akan mendiskusikan kehidupan pribadiku denganmu, Ray," kataku. "Ini
pribadi." Ray tertawa pendek. "Nggak masalah buatku, Romeo. Kau bisa pergi ke mana pun dan
menjadi sepribadi apa pun yang kau mau. Cuma jangan pulang dan bilang ke ibumu
dan aku bahwa kau terjebak atau kau menghamili cewek."
Aku berpaling dan menghadapnya, setengah wajahku masih dipenuhi busa cukur,
setengah lagi sudah bersih tercukur. "Itu baru anak baik, Ray," kataku.
"Teruskan. Buat cinta menjadi terdengar seburuk mungkin." Lalu aku berbalik
menghadap ke cermin. Ray berdiri di belakangku selama beberapa detik, memandangku melukai diri
sendiri dengan pisau cukur, mengernyit, dan mengusap darah. Lalu dia melakukan
sesuatu yang benar-benar tak terduga: mengulurkan tangan dan memegang lenganku
dengan tangannya yang kapalan. Lebih seperti ayah dan tidak mengancam. Selama
beberapa detik kami saling berpandangan di cermin. "Yang kukatakan, anak keras
kepala, hanyalah bahwa aku ingat bagaimana rasanya saat seusiamu dan mengenal
seks untuk pertama kalinya," katanya. "Aku pernah di Angkatan Laut, Nak. Aku
tahu. Berhati-hatilah itu saja yang kukatakan. Jangan memperumit masalah."?Aku tak bisa memandangnya. Tak bisa menerima perlakuannya sebagai ayah yang
tiba-tiba. Aku tak suka dia berusaha turut campur atas apa yang kulakukan
bersama Dessa. Jadi, saat Ray berjalan keluar dari kamar mandi, aku
memanggilnya. Meraih ke atas tangki toilet dan mengambil kotak kondom itu.
"Ini," kataku melempar kondom itu padanya. "Kau lupa ini."
Ray menangkapnya. Melemparnya lagi. Kali ini kotak kondom itu mendarat di
wastafel, di bawah keran air yang menyala. "Aku tak lupa," katanya. "Memangnya
kau pikir untuk siapa aku keluar dan membeli barang sialan itu" Paus" Kakakmu?"
Setelah seminggu permainan graveball, Ralph Drinkwater memang mulai membagikan
rokok ganjanya. Sekali dua kali mengisap rokok itu merupakan hal yang baru bagi
Leo dan aku, bekerja di bawah pengaruh ganja, fly. Lalu hal itu menjadi setengah
rutin. Saat Dell tidur bahkan pada saat-saat dia tak tidur siang Leo,
? ?Drinkwater, dan aku tiba-tiba menemukan sesuatu yang menarik di hutan, lalu
merokok ganja bersama. Menghancurkan diri sendiri pada waktu kerja. Leo selalu
berusaha membuat Thomas ikut merokok, menyodor-nyodorkan rokok ganja yang sudah
dinyalakan di depan wajahnya tak peduli berapa kali Thomas menolaknya. Itu
merepotkan Thomas, karena dia
harus selalu berkata tidak; dia akan sok moralis. "Tepat seperti yang kuinginkan
Leo," katanya suatu kali. "Mengisap sesuatu yang akan membuatku menjadi orang
bodoh seperti kamu."
Rokok ganja Drinkwater mengubah pola pergaulan kami. Ralph, Leo, dan aku menjadi
trio dan Thomas menjadi orang yang tersisih. Kalau kami harus membersihkan
rumput atau semak di sebuah area, kami bertiga akan merancang cara untuk


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelesaikannya dengan lebih cepat dan lebih mudah, sementara Thomas akan
mengikut di belakang, tak diundang. Waktu makan siang, Thomas akan duduk
merengut sendirian, hampir tak bicara pada kami. Kadang, Dell menyuruh Thomas
melakukan pekerjaan yang lain menyuruh kami bertiga pergi ke lain tempat, lalu
?dia duduk dan mengamati Thomas bekerja. Mengkritiknya. Menghinanya. Dell mulai
punya ketertarikan khusus untuk menjadikan kehidupan Thomas susah.
"Bilang pada kakakmu untuk berhati-hati pada Dell," kata Ralph padaku suatu
siang. Kami berdua sedang mengecat meja piknik di taman kota, fly karena ganja
dan bau cat. Dell dan Thomas di seberang taman, mengecat bangku taman.
"Apa maksudmu, 'hati-hati padanya'?" tanyaku.
Ralph mengangkat bahu. "Aku tak bermaksud apa-apa. Bilang saja padanya."
Selama dua minggu pertama bekerja, Drinkwaterlah yang biasa duduk di bangku
depan truk bersama Dell, tapi kini Thomas yang duduk di depan. Mengingat itu
sekarang membuatku sedih,
tapi saat itu aku tak merasa apa-apa. Aku senang karena bisa pisah
dengannya bersyukur bisa sendirian. Aku ingat Thomas, duduk di depan, memutar ?lehernya ke belakang melihat Leo, Ralph, dan aku kami bertiga tertawa dan
?menyiuli gadis-gadis di jalan atau merokok ganja dalam perjalanan pulang ke
gudang kota. "Kakakmu itu nggak waras," kata Leo suatu kali ketika dia memergoki Thomas
memandang kami. "Dia lebih berantakan daripada setumpuk sandwich," kata Ralph. Dan kami bertiga
mendengus dan terkikik-kikik, menertawakan Thomas. Suatu kali dalam perjalanan
kembali ke kota, Leo memberikan salam ciuman pada seorang wanita yang naik
convertible di belakang kami. Wanita itu meneriakkan sesuatu dan mengatai kami
seperti Three Stooges, dan Ralph tiba-tiba meniru Curly Joe dengan sangat
miripnya dan tak terduga, sehingga kami bertiga tertawa hingga kehabisan napas.
Leo mengarang lagu untuk kami: "Three Dumb Fucks" yang nadanya diambil dari lagu
anak-anak "Three Blind Mice". Kadang sepanjang perjalanan kembali ke kota, kami
menyanyikan lagu itu dengan mengarang lirik baru yang menurut kami lucu. Kami
bertiga bahagia seperti babi dalam lumpur saat itu, fly karena ganja dan bekerja
di Dinas Pekerjaan Umum Three Rivers.
Meskipun musim panas itu aku, Leo, dan Drinkwater menjadi akrab, selalu ada
sesuatu yang misterius tentang Ralph. Sebuah tanda tanya yang berkaitan dengan
dirinya. Dia tak pernah cerita
banyak. Kami tahu dia tidak tinggal di rumah ibunya, tapi dia tak pernah bilang
di mana dia tinggal. Kadang dia menumpang pulang bersama Dell, tapi dia selalu
menolak tawaran tumpangan dari Leo. Dia selalu "terlalu sibuk" untuk nongkrong
bersama kami pada akhir pekan. Satu-satunya kesempatan kami nongkrong bertiga
musim panas itu adalah suatu hari Minggu ketika kami bertiga pergi ke Fenway
untuk mencari mainan kereta api. Dan bahkan saat itu Ralph juga merahasiakan
tempat tinggalnya. Kami menjemputnya di depan kantor pos, seingatku. Dan
menurunkannya juga di sana saat pulang, meskipun saat itu tengah hujan
deras kami bertiga basah kuyup sampai tulang karena atap convertible Leo rusak.
?Salah satu hal yang juga memisahkan kami adalah ras Ralph. Kau bisa merasakannya
kadang ketika Dell menceritakan lelucon bodohnya, atau saat Leo tak sengaja
menyindirnya. Indian, mulatto, atau apa pun dia, Drinkwater berbeda dengan kami,
mahasiswa kulit putih yang akan kembali ke sekolah pada akhir musim panas nanti,
sementara dia tetap terjebak di Three Rivers. Dan bukannya Ralph bodoh. Ralph
selalu mencoba berdiskusi dengan kami tentang masalah politik atau sesuatu yang
dia lihat di berita atau yang dia baca di artikel ilmiah. Ralph banyak
membaca sebanyak anak mahasiswa. Dia selalu mencoba menyuruh kami membaca satu
?buku, Soui on Ice, karya Eldridge Cleaver. Dia berkali-kali merekomendasikan
buku itu pada kami, sehingga kami sering menjadikannya
lelucon. Suatu kali Leo memanggil Ralph "Tonto", dan Ralph sangat marah. Dia bilang kalau
Leo bahkan tak pantas menjilat kaki seorang Indian Wequonnoc. Kali lain, kami
bertiga merokok di bendungan. Aku mengisap rokok hingga ke puntungnya dan Leo
berkata, "Yesus Kristus, Birdseed, kau tak harus menjilati benda itu sampai
habis seperti seorang negro." Drinkwater dan aku tertawa kecil saat Leo
mengatakan itu, tapi kemudian ada kesunyian tak enak yang lima belas detik lebih
panjang daripada seharusnya. Ralph berdiri dan berjalan ke hutan. "Itu tadi
pintar sekali," kataku pada Leo. "Kuucapkan selamat, Sobat."
"Hei, tembak saja aku, oke, Birdsey," tukas Leo. "Aku tak bisa ingat apakah dia
itu Indian atau Afro atau apa pun dia."
Satu hal lagi yang membuat jarak antara Ralph dan kami antara Ralph dan orang
?lain adalah kematian adiknya. Aku tak mengerti awalnya. Tak bisa menebak dari
?mana asal sifatnya yang moody itu. Aku tahu bahwa Penny Ann dikuburkan di
pemakanan Indian. Sepupunya Lonnie juga. Kau tak mungkin melewatkan nisan
Lonnie. "Mengenang Pejuang Modern". Kebalikannya, nisan Penny Ann hanya seukuran
kamus. "P.A.D" itu saja tulisannya. "1948-1958".
Setiap kali kami memotong rumput di pemakaman Indian, Ralph akan cemberut. Apa
pun yang kami katakan di sana tak ada yang lucu menurutnya.
Kupikir aku mengerti perasaannya. Tapi suatu hari aku sadar: ini bukan saja
tempat di mana terletak makam adik dan sepupunya. Lebih buruk daripada itu. Ini
adalah tempat di mana si pembunuh gila Monk membawa Penny Ann waktu badai salju
itu. Di sinilah tempat mereka menemukan mayatnya.
Dell suka menunda pembersihan pemakaman Indian pemakaman terkecil di ?kota untuk Jumat siang. Kami selalu menyelesaikannya lebih cepat, dan
?seringnya, Dell akan mengeluarkan botol Seagramnya dan mulai merayakan akhir
pekan lebih cepat. Suatu siang yang panas, Leo mendapatkan gagasan cemerlang
bahwa sebaiknya kami pergi ke jalan setapak menuju The Falls, lalu turun dan
berenang di sungai. Kupikir Drinkwater akan menghindari tempat itu. Tempat itu
juga membuatku sedikit bergidik. Tapi Ralph mengejutkanku dan mengikuti kami ke
jalan setapak. Aku tak ingat ada Thomas hari itu. Mungkin saat itu kakinya
sedang terluka terkena pecahan kaca dan dia tak masuk kerja.
Rambu dilarang masuk dipasang di berbagai tempat dan ada pagar kawat di kedua
sisi air terjun. Semua itu dipasang oleh pemerintah kota beberapa tahun lalu
setelah pembunuhan Penny Ann. Tapi pada musim panas tahun '69, tanda dilarang
masuk itu sudah berkarat dan retak. Anak-anak sejak dulu sudah membengkokkan
pagar kawat itu sebagai jalan masuk dan membuat jalan setapak ke sungai.
Leo berjalan terlebih dulu. Aku di belakangnya,
setengah berjalan dan setengah berlari menuruni lereng yang terjal. Drinkwater
paling belakang. Sesampai di tepi sungai, Leo dan aku melepaskan baju kami dan
masuk ke air sungai yang kecokelatan. Ralph membuka sepatu bot dan kaus kakinya,
melemparkan dompetnya ke tumpukan sepatu dan kaus kaki itu. Lalu dia masuk ke
air, masih mengenakan baju kutung dan celana jinnya. Aku bertanya-tanya
kenapa mengapa dia tak mau membuka bajunya tapi aku diam saja. Tidak
? ?mengoloknya. Walaupun aku tidak begitu mengerti mengapa Ralph kadang bertindak
seperti kelakuannya, setidaknya aku bisa merasakan. Tidak seperti Leo.
"Hei, kalian! Lihat!" teriak Leo mengalahkan deru air. Dia menunjuk ke tengah
sungai. "Gila! Apakah itu benar seperti yang kupikirkan?"
Ralph dan aku berdiri memandang Leo menyelam, berenang ke tempat yang
ditunjuknya tadi, dan muncul lagi. "Hei! Aku tak percaya! Memang benar!"
"Apa?" teriakku. Ralph dan aku menunggu, terpaku.
Bukannya menjawab, Leo menyelam lagi. Lalu muncul. "Yap, persis seperti yang
kukira.Yesus!" "Apa?" kataku. "Kau ngomong apa, sih?"
"Itu tadi si Mary Jo Kopechne. Dia pasti terbawa arus ke sini dari
Massachusetts. Kena kau!" Dia tertawa terbahak-bahak menyebalkan yang bergaung
hingga ke pepohonan. "Man, kalian benar-benar kena!"
Aku melirik gugup ke Ralph. "Diam, Leo," kataku.
"Kamu kenapa sih, Birdsey?" dia tertawa. "Kau kerabatnya Kennedy atau apa?"
Lalu Ralph menyelam. Aku menunggu. Dia muncul sekitar lima puluh kaki di hulu.
Naik ke pinggir dan menghilang ke hutan.
Aku berenang ke hulu, ingin menjauhkan diri dari Leo. Aku menenangkan diriku
selama lima atau sepuluh menit. Saat aku kembali ke The Falls, Leo memanggilku.
Dia menunjuk ke atas. Ralph telah menaiki jalan setapak itu lagi, tapi bukannya menuju bukaan di
pagar, dia naik lereng terjal sekitar sepuluh atau dua belas kaki. Kami
memandangnya terdiam hingga dia berada di sisi lereng yang tak dipagari. Dari
sana, dia mulai memanjat pohon oak raksasa yang tumbuh tepat di pinggir lereng.
Dia naik tinggi sekali melewati dahan demi dahan, hingga sampai ke dahan
tertinggi yang bahkan melihatnya saja membuatku mual. Akhirnya dia naik ke
sebuah dahan dan duduk di sana, kakinya tergantung di kedua sisi. Dia memandang
ke air terjun, dengan seringai khasnya. Yang paling mengesankan bagiku adalah
kesunyian dari posisinya: orang Indian yang hitam, pekerja bukan musiman. Si
kembar yang kehilangan kembarannya. Ada sesuatu tentang Ralph yang membuatku
dipenuhi kesedihan. Rasa sakit yang terlihat dari caranya duduk di atas dahan
pohon itu. Tapi tak sepenuhnya bisa dimengerti. Selain itu juga ada sesuatu yang
tak bisa dipahami. "Hei, Drinkwater," teriak Leo. "Ayo, terjun! Ayo, kau bangsat penakut. Loncat!"
Aku melihat tubuh Penny Ann jatuh dari lereng ke bawah air terjun. "Diam!" aku
berteriak dan memukul mulut Leo.
"Hei! Kenapa kau melakukan itu, Sialan?"
"Menutup mulutmu, kau berengsek," aku mencengkeram pergelangan Leo saat
kepalannya melayang untuk membalasku. Kami berdua bergelut, tenggelam. Aku akan
merobek mulutnya. Membuat giginya berdarah. Aku mengunci lengan Leo dari
belakang. "Adiknya mati di sini, kau idiot," bisikku ke telinganya. "Pembunuh
itu melempar tubuhnya di" "Adik siapa" Kau ngomong apa, sih"1
Kami berdua berhenti. Melihat ke atas. Ralph berdiri di atas dahan pohon itu
sekarang. Menggoyang-goyangkannya. Untuk beberapa detik, aku kira kami akan
menjadi saksi tindakan bunuh dirinya. Lalu dia kembali ke arah pohon, turun
dahan demi dahan ke bawah. Menuju ke tanah, ke pinggir. Dia jongkok, lalu
merangkak melewati lubang pagar dan kembali ke hutan. Aku berenang sejauh
mungkin dari Leo. Sebab kalau tidak, aku pasti sudah memukulnya. Mematahkan
giginya. Menghancurkan wajahnya.
Saat Leo dan aku sudah berpakaian, kembali ke truk, dan membangunkan Dell,
Drinkwater masih belum muncul. "Persetan si berengsek itu," kata Dell. "Sudah
waktunya pergi. Aku tak akan menunggu selamanya." Dia memasukkan gigi dan
menginjak gas. Membawa kami keluar dari pemakaman.
Selama perjalanan kembali ke kota, Leo maupun
aku tak bicara. "Hei Dominick, aku kan, sudah menyesal!" dia akhirnya berkata
saat truk masuk ke halaman Dinas Pekerjaan Umum. "Ibuku dan aku bahkan belum
tinggal di sini hingga tahun 1963, oke" Jadi, tembak saja aku. Aku bahkan tak
tahu dia punya adik!"
Pada malam yang sama, Thomas mulai menguliahiku tentang akibat buruk merokok
mariyuana. Kami berbaring dalam gelap, di kamar, sama-sama tak bisa tidur. Malam
hari tetap saja panas dan lembap. Udara panas menggantung di udara, menekanku.
Malam itu aku berencana untuk pergi ke rumah Dessa, tapi tadi dia menelepon dan
bilang harus pergi kerja menggantikan pelayan lain. "Kalau kau tidak keras ?kepala dan berhenti saja dari pekerjaan bodoh itu, hal seperti ini tak akan
terjadi," aku marah padanya. Dia langsung membalasku. Mengapa tidak aku saja
yang berhenti dari pekerjaan bodohku" Sehingga aku bisa menyediakan diri
untuknya kapan saja dia mau?"
"Karena aku bukan gadis kecil ayah, itu sebabnya. Karena kalau aku mau kembali
ke sekolah bulan depan dan tidak pergi ke Vietnam, aku harus bekerja banting
tulang lima hari seminggu untuk membayarnya. Oke, Tuan Putri?"
Dessa langsung menutup telepon. Tidak menjawab saat aku meneleponnya kembali. Di
antara yang tadi terjadi di The Falls hari itu dengan Ralph dan Leo, dan
pertengkaranku dengan Dessa, aku
tak mau menerima omelan Thomas.
"Itu tidak benar, Dominick," kata Thomas dari ranjang bawah. "Kalian dibayar
untuk bekerja, bukan mengisap benda itu."
"Kota ini mendapatkan imbalan lebih saat kami bekerja fly daripada kau yang
bekerja biasa," kataku. "Jauh lebih banyak."
"Masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah benda itu mengubahmu menjadi orang yang
berbeda. Selain itu, kau melanggar hukum. Bagaimana kalau Dell mengetahui apa
yang kalian lakukan?"
Aku melongokkan kepalaku ke ranjang bawah dan menertawakannya. "Bagaimana kalau
Dell tahu" Dell, yang selalu mabuk saat kerja sehingga dia harus tidur untuk
menghilangkannya" Dia akan mengadukan kami?"
"Kalau begitu, bagaimana jika Lou Clukey mengetahui apa yang terjadi" Aku tak
mau bilang ini padamu, Dominick, tapi kalian bau sekali setelah merokok benda
itu. Dan mata kalian kosong terutama matamu. Aku per-nah melihat orang-orang ?dari kelompok kerja lain memandangi kalian bertiga saat kembali ke kota.
Bagaimana kalau Lou Clukey tahu dan memanggil polisi" Itu akan membuat Ma
bahagia, bukan" Membaca namamu dalam laporan penahanan" Kau pikir apa yang akan
dilakukan Ray padamu?"
Aku bilang padanya kalau dia cuma paranoid bahwa tak seorang pun yang
?memandangi kami. "Oh yeah, benar," katanya.
"Dengar, semua orang di negara ini mabuk dan menghancurkan diri sendiri kecuali
santa-santa kecil seperti kamu," kataku. "Kami melakukan pekerjaan kami. Itu
bukan masalah besar."
"Baik, kalau begitu. Bilang itu ke Lou Clukey."
"Persetan Lou Clukey! Aku tak takut padanya. Dan aku juga tak takut pada Ray."
Aku memejamkan mataku dan berguling menghadap dinding. "Dan persetan kau juga.
Kalau aku ingin orang menyadarkan nuraniku, aku akan menelepon Jiminy Cricket.
Oke, Thomas?" "Oke," katanya. "Baik. Maafkan aku karena mengkhawatirkan adikku sendiri."
Aku berguling dan melongokkan kepala ke bawah. "Dengar, tak seorang pun selain
aku yang harus mengkhawatirkan diriku," kataku padanya. "Kau paham" Aku sudah
menjaga diriku sendiri selama hidupku. Kaulah yang justru harus dikhawatirkan
semua orang. Bukan aku. Ingat" Kaulah yang bermasalah."
Aku langsung menyesal begitu aku mengatakan itu. Aku ingat saat dia di kamar
asrama, mondar-mandir dan gemetar di depan mesin tik yang hancur .... Melihatnya
menangis di meja dapur saat Ray memarahinya tentang nilainya. Melihatnya
merengut di tempat kerja karena aku tak mau lagi dekat dengannya.
Thomas bilang dia ingin tahu apa maksudku.
"Apa?" "Yang baru kau bilang tadi. Bahwa aku bermasalah. Bahwa semua orang harus
mengkhawatirkanku." "Itu hanya berarti ... itu berarti kau harus mengurusi hidupmu sendiri yang
berantakan daripada mencampuri hidupku .... Dengar, cobalah merokok mariyuana
sekali dua kali. Itu tak masalah. Demi Tuhan, bergabunglah dengan ras manusia."
Tak seorang pun dari kami yang bicara selama beberapa menit. Thomaslah yang
bicara terlebih dulu. "Bolehkan aku tanya sesuatu?" katanya.
"Kalau itu tentang mariyuana, tidak. Topik itu sudah ditutup."
"Bukan tentang itu, kok. Ini tentang kau dan pacarmu."
Aku berguling telentang. Memandang ke langit-langit. "Ada apa dengan kami?"
"Apakah kau dan dia ... pergi tidur bersama?"
"Kenapa" Sekarang kau mau menguliahiku tentang seks sebelum nikah?"
"Tidak. Aku cuma ingin tahu."
"Apa yang kulakukan bersama Dessa bukan urusanmu ... ingin tahu tentang apa?"
Thomas diam dan membuatku menunggu selama beberapa saat." Tentang bagaimana
rasanya," katanya. "Kau tahu bagaimana rasanya. Jangan bilang kalau kau tak pernah mimpi basah atau
.... Kau tak sesuci itu, bukan?"
"Yang kumaksudkan bukan itu," katanya. "Maksudku, bagaimana rasanya berada dalam
tubuh seorang gadis."
Kamar menjadi sunyi selama beberapa saat. Lalu aku mengejutkan diriku sendiri.
"Rasanya enak," kataku. "Benar-benar enak. Seperti ... hubungan pribadi yang kau
bagi dengan orang lain." Besok pagi, aku akan menelepon Dessa dan meminta maaf.
Mungkin mengiriminya bunga, membelikannya kartu ucapan yang romantis. Atau
mungkin aku akan ke DialTone dan menunggunya selesai kerja. "Seperti ... seperti
kau adalah magnet. Tubuhmu dan tubuhnya."
Aku berbaring di ranjang, dalam kegelapan di atas kakakku. Memikirkan Dessa.
Mendambakannya. "Dia juga menginginkannya," kataku. "Ini seperti ... seperti ...."
Tiba-tiba aku sadar oleh intrusi yang dilakukan Thomas: kakakku sekali lagi
mencoba masuk ke daerah pribadiku. Thomas menginginkan sepotong iagi kehidupanku
dan bukannya pergi keluar dan mendapatkannya sendiri.
"Seperti apa?" katanya.
"Bukan seperti apa-apa. Seperti bukan urusanmu. Kalau kau ingin tahu bagaimana
rasanya, cari saja cewek sendiri dan tiduri dia. Dan merokoklah ganja dulu. Itu
akan membuatnya terasa lebih baik. Sekarang, tutup mulut dan tidurlah!" Aku
tengkurap. Mengeluh. Diriku tenang kembali.
Beberapa menit sunyi. "Dominick?" kata Thomas lagi. "Kau masih bangun?"
Aku mendiamkannya selama beberapa saat. Semenit atau lebih. "Kau mau apa?"
tanyaku. "Tentang kau merokok mariyuana" Aku cuma
khawatir, itu saja. Aku cuma tak ingin hal buruk terjadi padamu. Karena kau
adikku dan aku menyayangimu. Oke?"


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tak menjawabnya bahkan tak tahu bagaimana menjawabnya. Pernyataan kasih ?sayangnya yang tiba-tiba mengejutkanku. Membuatku malu. Aku bisa bergaul dengan
siapa saja yang kuinginkan musim panas itu, naik sepeda dan berkencan dengan
Dessa tujuh malam seminggu, tapi aku tak akan pernah bisa mengusir Thomas dari
hidupku .... Thomas tertidur lama sebelum aku menjawabnya, yang akhirnya kulakukan, menjawab
keras-keras setengah pada diriku sendiri. Di kegelapan, di sela dengkurannya.
"Aku juga mencintaimu," kataku.
"Kau tahu apa yang mengesaikanku saat aku mengingat percakapan itu" Percakapan
yang kami lakukan dalam gelap, dia dan aku" Yang mengesaikanku adalah bahwa saat
itu dia masih ada." "Masih ada bagaimana?"
"Masih bisa ... masih bisa peduli pada orang lain selain dirinya sendiri. Kurasa
saat itu penyakitnya pasti mulai menyerang otaknya. Itu pasti yang kemudian jadi
pemicu masalah dengan mesin tik kami. Benar kan" .... Tapi masih ada seseorang
dalam kepala Thomas saat itu. Dan aku menyia-nyiakannya. Membuang minggu-minggu
terakhir yang dia punya. Penyesalan, iya kan" Dua puluh dua puluh ... tapi yang
?ingin kulakukan musim panas itu hanyalah memisahkan diri darinya. Menjadi bagian
dari anak-anak lain menjadi salah satu dari Three Dumb Fucks di belakang truk.
?Menjadi pacar Dessa. Aku sudah muak dengan ...."
"Lalu" Setelah penyakit mengalahkannya, dia kehilangan kemampuan peduli pada
orang lain. Mengkhawatirkan orang lain kecuali dirinya sendiri. Musuh-musuhnya
.... Yah, dia memang kehilangan itu, tapi bisa juga tidak. Maksudku, dia selalu
mencoba menyelamatkan dunia, benar" Menyelamatkan peradaban dari mata-mata dan
Komunis juga semua omong kosong itu. Dengan caranya yang aneh, dia masih peduli
pada orang lain, kurasa. Tapi dia kehilangan kemampuan peduli pada ... yah,
padaku, kurasa. Dia hanya ... suara-suara halusinasi itu. Mereka
menenggelamkan hal-hal lain di kepala Thomas.
"Aku ingat pada pagi hari pernikahanku. Pernikahanku dengan Dessa. Aku bersiapsiap dan pergi ke rumah sakit dalam setelan lengkap aku dan Leo. Saat itu
?kondisi Thomas sangat buruk; dia tak bisa pergi ke pernikahan. Jadi Leo
mengantarku ke sana. Menunggu di mobil sementara aku masuk sendiri. Memakai
tuksedo. Dan aku bilang padanya, kataku, 'Kau tahu, Thomas, kalau situasinya tak
seperti ini, kalau kau tak sesakit ini, kau pasti menjadi pendampingku.'"
"Bagaimana reaksinya?"
"Oh, aku tak tahu. Tak banyak. Dia seakan-akan tak nyambung tak sadar karena
?pengaruh obatnya waktu itu. Librium mungkin. Aku iupa ... aku punya catatan
tentang semua itu sejarah pengobatannya dan semacamnya. Kau harusnya iihat file
?yang aku punya tentang dia. Satu lemari kabinet penuh. Ibuku dan aku mulai
menyimpannya bersama, dan setelah dia meninggal, aku berusaha meneruskannya.
Menyimpan catatannya ....
"Aku ingat pagi ketika aku pergi ke Settle untuk mengatakan padanya bahwa Ma
meninggal. Aku dan Ray yang pergi, tapi Ray tak lama tinggal di rumah sakit. Dan
Thomas aku tak tahu bagaimana dia akan bereaksi. Tapi dia ... apa ya" Sangat
?filosofis tentangnya, kurasa. Maksudku, dia mengerti. Dia mengerti kalau Ma
meninggal. Masalahnya ... kau tahu apa yang dilakukannya" Dia menunjukkan padaku
buku bodohnya tentang Kehidupan Para Martir. Membandingkan kematian Ma dengan ...
berkata seakan-akan Ma ada/ah santa bodoh yang hidup lima ratus tahun lalu dan
disiksa oleh Paus Siapa atau semacamnya. Seperti Ma adalah seseorang dari buku
santanya yang bodoh."
"Kau mau tisu, Dominick" Ada di sini. Ambil sendiri."
"Aku baik-baik saja .... Kau tahu kapan aku pernah mendapat perhatiannya" Malam
ketika aku pergi ke sana setelah Angela lahir. Aku pergi ke sana dan memberikan
rokok untuk memperingati kelahiran putriku. Mengatakan padanya bahwa dia
sudah jadi paman. Aku ingat dia menyukainya. Paman Thomas. Senyum lebar di
wajahnya ... dia, uh ... dia bahkan tak pernah bertemu dengannya. Putriku. Kami
belum sempat membawanya ke sana. Maksudku, tiga minggu. Akhir pekan itu kami
berencana menjenguknya. Pergi ke rumah sakit dan menunjukkan Angela pada Thomas.
Tapi, putriku meninggal. "Sebenarnya, aku tak bisa menerimanya, kau tahu" Kehilangan Thomas betapa ?sakitnya akhirnya melakukan apa yang sudah berusaha kulakukan sepanjang hidupku:
memisahkan kami berdua. Membuat kami seperti bukan kembar lagi. Tapi aku akan
jujur padamu. Ada saat-saat ketika aku merindukannya kembali. Saat-saat aku
sangat membutuhkannya."
"Ini. Ambil tisu ini."
"Malam itu ketika bayi kami meninggal" Lalu sekitar setahun kemudian: ketika aku
tenggelam sampai dasar. Saat ... Dessa bilang padaku, 'Aku harus bernapas,
Dominick. Kau mengisap oksigen dari ruangan sehingga membuatku tak bisa
bernapas.' Bayangkan kalau kau mendengar itu dari seseorang yang kau cintai.
Seseorang yang kau butuhkan lebih dari .... Yah, pokoknya, aku cuma, ... aku ingin
menurunkan penjagaan diriku untuk sekali saja, pertahananku, dan membagi...."
"Membagi apa, Dominick?"
"Cinta kakakku. Aku hanya ingin bilang padanya, 'Aku sangat ketakutan, Thomas.'
Dan memeluknya. Bergantung pada kakakku. Karena, kau tahu, dia
kakakku, bukan" Hanya saja, saat itu, dia bukan Thomas lagi. Saat itu dia sudah
menjadi pria gendut dengan potongan rambut rumah sakit dan celana dan kaus abuabu. Anak magang Yesus. Pria yang dikejar FBI, KGB, dan alien.
"Kau tahu, apa yang lucu" Kalau aku melihat kembali ... aku mengingat kembali
musim panas ketika kami berempat memotong rumput dan main graveball. Bermain
tarik tambang. Dan aku berpikir .... Aku berpikir bahwa taii itu bisa menarik
siapa pun ... Ralph, Leo, dan terutama aku.
"Mengapa penyakit itu menariknya dan bukan aku" Kembaran identiknya. Setengah
dirinya. Itulah yang tak bisa kumengerti hingga sekarang. Mengapa Thomas, dan
bukan aku?" Dua Puluh 1969 Ray terus memarahi kakakku tentang sekolah hingga pertengahan Agustus, lalu
suatu malam saat makan malam, dia mengumumkan akan memberi Thomas satu
kesempatan lagi. Dia memberikan cek senilai dua ribu dolar untuk biaya sekolah
Thomas dan aku, yang harus dibayar minggu itu, pada ibuku.
"Tuhan memberkatimu, Ray," kata Ma yang langsung meneteskan air mata. Ray suka
itu: menjadi Sang Pahlawan. Sang Penyelamat.
Thomas berkata bahwa Ray tak akan menyesalinya, demi Tuhan. Dia telah kapok.
Mulai sekarang, dia akan melakukan semua tugasnya dan pergi tidur lebih awal.
Dia akan keluar kamar dan berjalan-jalan kalau merasa gugup. Dia akan pergi ke
perpustakaan dan belajar denganku. Di tengah-tengah semua tekad yang diucapkan
Thomas itu, aku diam-diam berjanji pada diriku sendiri: Thomas akan berhasil
atau gagal tanpa bantuanku. Aku tak akan menggandengnya atau mengantarnya ke
perpustakaan atau melindunginya kalau nanti dia melampiaskan frustrasinya lagi
ke mesin tik kami. Aku juga tak akan tinggal dengannya. Tiga minggu sebelumnya, Leo dan aku diamdiam pergi ke kantor asrama universitas dan menanyakan tentang kemungkinan kami
bisa sekamar di South Campus. Sekarang, mereka telah memberi tahu kami bahwa
perubahan itu sudah dilakukan. Selain itu, aku berencana untuk pergi ke Boston
College setiap akhir pekan untuk menghabiskan waktu bersama Dessa supaya aku ?tidak kehilangan hal terbaik yang terjadi sepanjang hidupku.
Masalahnya adalah kendaraan. Kalau aku ingin bertemu dengan pacarku, aku tak
mungkin mengayuh sepedaku ke Massachusetts Turnpike. Menumpang memang murah,
tapi tak bisa diandalkan. Juga bisa agak menakutkan. Aku sudah mengalami
serangkaian pengalaman buruk saat menumpang: seorang pria yang bilang dia punya
bahan peledak di bagasinya, seorang sopir yang istri gilanya mengira kepalaku
terbakar. Banyak orang gila di luar sana yang mau berhenti dan memberimu
tumpangan. Aku butuh mobil.
Aku berhasil menabung sekitar seribu seratus dolar selama musim panas. Ray dan
aku punya perjanjian bahwa aku akan menambah lima ratus dolar pada pinjaman yang
dia berikan padaku untuk menutupi biaya kuliah. Aku berencana menggunakan
sebagian besar sisa tabunganku untuk membeli mobil bekas dan asuransi. Sisanya
untuk biaya hidup nanti. Tapi sekarang, ada pikiran yang tak mau hilang dari
kepalaku: membelikan cincin berlian
untuk Dessa sebagai hadiah Natal. Memangnya mengapa kalau aku baru sembilan
belas tahun" Aku sudah dua puluh tahun Natal nanti. Apa lagi yang kubutuhkan
untuk meyakinkan diriku bahwa Dessa adalah orangnya" Bahwa aku adalah orang yang
tepat untuknya" Dessa bilang sendiri: aku adalah satu-satunya pria yang
membuatnya merasa aman. Dalam fantasiku aku menghajar dua orang berengsek yang
pernah jadi pacarnya memukuli mereka habis-habisan karena telah melukai Dessa.
?Dari yang aku tahu, musisi mantan Dessa masih tinggal di Boston; dia dengan
mudah bisa kembali masuk ke dalam hidup Dessa. Atau Dessa mungkin bertemu dengan
orang baru pria tak berwajah yang bahkan tak bisa kubayangkan dalam lamunanku.
?Aku berpikir, kalau aku bisa membeli mobil bekas seharga dua ratus dolar dan
mendapat pekerjaan paruh waktu begitu nanti masuk kuliah, maka aku bisa menabung
untuk dana cincin pertunangan. Bukan berarti aku bisa membelikan bongkahan
berlian seperti yang dipakai ibunya. Tak mungkin bahkan dalam sejuta tahun pun.
Tetapi meskipun keluarga Constantine kaya, Dessa tak pernah peduli tentang
materi. Sejak keluarganya kembali dari Yunani, dia dan ayahnya bertengkar
tentang beberapa hal. Satu hal adalah tentang ayahnya yang terlalu mementingkan
uang. Hal lain tentang aku.
Keluarga Constantine pernah sengaja mengundangku untuk inspeksi seminggu setelah
mereka kembali dari Eropa. Rasanya aneh
mengenakan jas dan dasi, berjalan dengan sopan melewati ruangan yang sama tempat
aku dan Dessa pernah berlarian tanpa busana. Makan malam adalah yang terburuk:
kami berlima makan di meja makan mereka yang bergaya. Ibu Dessa terus bertanya
setiap kali mulutku sedang penuh. Aku menumpahkan kuah kambing di taplak meja
makan yang baru mereka beli dari perjalanan. Lalu adik Dessa, Angie, bilang
padaku di depan semua orang bahwa aku punya 'badan bagus'. Dia nyeietuk begitu
saja. Bukan berarti Angie masih kecil. Tujuh belas tahun sudah cukup umur untuk
mengetahui apa yang pantas diucapkan. Cukup tua untuk tahu bagaimana merusakkan
acara kakaknya. Angie ahli dalam hal itu.
Tetapi, hal yang terburuk dari makan malam itu adalah ayah Dessa. Setiap kali
aku memandangnya, dia tengah menatapku hanya mengunyah dan memandang, menelan
?dan memandang. Aku setengah mengira dia akan mematikan lampu dan mulai memutar
rekaman kamera tersembunyi memutar bukti bahwa aku telah meniduri anaknya di semua ruangan di
?rumahnya yang mewah. Kali kedua aku melihat Diogenes Constantine adalah di Constantine Dodge &
Chrysler Motors. Aku sudah mencoba untuk tidak pergi ke sana sudah bilang pada ?Dessa kalau ini gagasan buruk tapi dia memaksa. "Dominick, mereka punya mobil
?bekas di lapangan parkir seluas dua ekar. Aku yakin Daddy akan membantumu."
Setiba kami di sana, ayah
Dessa menyambut kami dengan dingin di kantornya lalu menyerahkan kami pada
George, keponakannya yang terlihat seperti burung pemakan bangkai salah satu
?sepupu Dessa yang dulu ikut bergabung di bisnis ini. George terus-menerus
mengarahkanku pada model mobil seharga seribuan dolar dan memutar matanya pada
setiap mobil yang kutanyakan. "Aku tak akan menjuaf mobil jebakan kematian itu
padamu," katanya saat aku bertanya tentang mobil Fairlane yang hanya sekitar
seratus lima puluh dolar melebihi bujetku. "Aku tak akan bisa tidur nyenyak
mengetahui sepupuku ke mana-mana naik benda itu." Kami mengakhiri kunjungan
tanpa membeli. Di tempat kerja, aku memasang iklan di papan pengumuman bahwa aku mencari mobil
bekas seharga dua ratusan dolar. Itu sungguh tindakan putus asa. Aku sudah pergi
ke setiap diler dan tempat pembuangan di sekitar Three Rivers. Aku bahkan
mengingat semua iklan mobil bekas. Tanpa hasil.
Aku juga belum mengatakan pada Thomas bahwa dia dan aku tidak akan sekamar lagi.
Tak lama lagi, kami akan berhenti dari kerja musim panas dan kembali kuliah.
Thomas berhak untuk tahu. Harus tahu. Cuma aku belum bisa mengatakannya.
Suatu pagi, saat aku masih juga menunda pemberitahuan itu, Thomas dan aku
berangkat kerja bersama. Saat itu cuaca sudah sangat panas kelembapan sangat
?tinggi, dan suhu hampir mencapai sembilan puluh derajat. Udara tak bergerak. Oke, kataku dalam hati,
inilah saatnya. Kalau sampai di Stanley's Market aku akan mengatakannya.
Berhenti membuat seakan-akan ini masalah besar.
Tapi ketika kami melewati Stanley's Market, kakakku terlebih dulu bicara, bukan
aku. "Dominick, maukah kau menolongku?" katanya.
"Apa?" "Bisakah kau bicara pada Dell" Minta dia untuk berhenti memanggilku Dicklessl"
Sepanjang musim panas itu, aku berusaha netral terhadap Dell, hanya melakukan
pekerjaanku, tutup mulut, dan menjadi si kembar Birdsey yang lebih dia sukai.
"Dengar, kau sudah menahan omong kosongnya sepanjang musim panas ini," kataku
pada Thomas. "Kurang dua minggu lagi dan Dell Weeks hanya akan tinggal sejarah.
Abaikan saja dia." "Aku muak mengabaikan dia," Thomas merengut. "Bagaimana perasaanmu kalau kau
yang dipanggil Dickiess?" "Kalau begitu, kau bilang saja pada si berengsek itu," kataku. "Pertahankan
dirimu sendiri sekali-kali. Itulah maksudnya."
"Oke, baiklah, Dominick. Terima kasih karena tak mau menolongku."
"Sama-sama," kataku. "Tak masalah."
Kami berdua diam sepanjang sisa perjalanan.
Sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang dari berbagai kelompok kerja untuk
mengobrol sementara Clukey dan para mandor mendiskusikan pekerjaan hari itu.
Ralph dan aku sedang berdebat dengan sekelompok orang lain tentang apakah Tom
Seaver dan Koosman bisa membawa Mets ke Series ketika Dell bersuit dan
melambaikan tangan menyuruhku mendekat.
"Hei, Lassie, cepat lari," goda seseorang. "Dipanggil Timmy, tuh." Semua orang
tertawa. "Hei, dengar, aku tak suka disiuli," kataku pada Dell sembari mendekatinya.
"Kalau kau mau memanggilku, pakai saja namaku."
Mengabaikan protesku, Dell mengetukkan jarinya pada papan pengumuman iklanku ?tentang mobil. "Aku baru lihat ini," katanya. "Kau masih mencari?"
"Yeah, aku masih mencari. Aku sudah mencari ke mana-mana."
Dell bilang dia punya Valiant tahun '62 terparkir di halaman belakangnya yang
mungkin akan dia jual. Mobil itu dulu milik istrinya. Mobil itu tak dipakai.
"Apa masalahnya?" kataku.
Dell mengangkat bahu. "Baterainya mungkin sudah mati sekarang. Body-nya sedikit
karatan. Tapi mesinnya masih baik. Mobil itu baru jalan sekitar enam puluh mil.
Kau modali sedikit, maka kau akan punya mobil bagus."
"Berapa harga yang kau minta?" kataku.
Dia mengangkat bahu lagi. "Harus sedikit lebih dari dua ratus dolar. Bagaimana
kalau kau datang saja akhir pekan ini dan melihatnya. Aku tinggal di
Bickel Road, setelah pemintalan wol. Kita bisa bicara masalah harga nanti kalau
kau tertarik." "Baiklah," kataku. "Terima kasih."
"Tapi telepon dulu. Aku mungkin saja di rumah atau mungkin juga keluar. Nomorku
ada di buku telepon."
Hari itu kami memotong semak di bendungan nyamuk, kutu kayu, dan lalat
?mengerubungi kami. Lou Clukey dan krunya berada di sana memotong dahan-dahan
pohon, jadi kami semua bekerja keras, bahkan juga Dell. Serangga, panas, dan
suara gergaji yang mendengung membuat semua orang terganggu. Clukey dan krunya
pergi sebelum tengah hari, meninggalkan kami untuk menyelesaikan pekerjaan.
Kami berlima duduk di meja piknik, melahap makan siang, ketika Dell melihat ke
Thomas. "Pergilah ke truk dan ambilkan rokokku, ya, Dickies s?" katanya.
Thomas memandangku lalu memandang Dell. "Pergilah sendiri ke neraka," katanya.
Senyum muncul di wajah Dell. Dia meminta Thomas untuk mengulangi apa yang baru
saja dia katakan. "Kau sebaiknya jangan memanggilku begitu lagi," kata Thomas.
Dell meletakkan sandwich-nya. Bertopang dagu dan memandang kakakku seakan-akan
dia adalah hal yang paling menarik di dunia. "Memanggilmu apa?"
"Kau tahu. Dan aku serius. Aku peringatkan kamu."
Saat aku menyarankan pada Thomas pagi tadi agar dia mempertahankan dirinya
sendiri, aku tidak bermaksud agar dia membuat pertengkaran di depan umum.
Maksudku agar dia mengatakan pada Dell secara pribadi di truk atau di mana
?saja. Tetapi itulah masalahnya dengan Thomas: kau berasumsi bahwa dia punya
insting tentang bagaimana berhadapan dengan orang lalu dia membuktikan bahwa kau
salah. Menunjukkan padamu betapa dia benar-benar tak tahu bagaimana harus
bertindak. Pertengkaran terbuka di depan kru yang lain jelas adalah cara yang
salah menghadapi Dell Weeks.
"Kau memberi aku peringatan?" Dell tertawa.
Thomas berdiri. Berdiri diam, matanya berkedip-kedip.
"Dia tidak memperingatkanmu," kataku. "Dia memintamu."
Dell mengangkat satu tangannya menyuruhku diam. "Apa kau bilang tadi kau
memperingatkan aku, Dickless" Kau memperingatkan aku apa?"
Thomas mencebil. Bibir bawahnya bergetar. Bertahan! Thomas! Bertahan!
"Hentikan saja, Dell," kata Drinkwater. "Terlalu panas untuk omong kosong ini."
Dell berdiri. Dia mengempiskan perut, menaikkan celananya dan berjalan ke meja
piknik tempat kakakku duduk. Dengan tinggi enam kaki dua inci atau tiga inci,


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dell lebih tinggi daripada Thomas sekitar empat inci dan lebih berat sekitar
empat puluh hingga lima puluh pon.
"Aku menunggu, Dickless," katanya. "Kau memperingatkanku apa?"
Wajah Thomas memerah. Bingung. Sedangkan kami duduk terpaku, melongo.
"Kau mau menantangku" Begitu" Kau berani 'berkelahi' melawan mandormu?" Dell
mengulurkan tangan dan mendorong Thomas sehingga dia mundur selangkah. Aku
merasakan tubuhku menegang.
Thomas memandangku, lalu ke Leo dan Ralph, lalu kembali ke Dell. "Tidak, aku
tidak akan 'berkelahi' melawanmu," katanya. "Tapi kalau kau tak mau berhenti,
aku akan bilang ke Lou Clukey. Aku akan bilang ke Lou kalau kau menggangguku."
Dell memandang ke arah kami, menyeringai. "Yah, katakan saja apa yang harus kau
katakan padanya, Mr. Dickless Dicky Bird. Menangislah ke Paman Lou dan katakan
padanya kalau Serigala Jahat mengganggumu dan kau tak punya keberanian untuk
melawannya sendiri."
Dell mengulurkan tangan dan mendorong dada Thomas dengan buku-buku jarinya.
Sekali. Dua kali. Tiga kali. "Tentu saja, Paman Lou mungkin punya banyak
pikiran. Seperti masalah pemasangan trotoar di Broad Street minggu depan. Atau
pekerjaan paving di Nestor Avenue. Tapi aku yakin kalau Paman Lou akan
menghentikan apa pun yang dia kerjakan untuk datang ke sini dan memukul pantatmu
karena menjuluki si bocah kecil manis ini dengan nama jelek."
"Kenapa kau tak mau berhenti?" celetuk Thomas.
"Itu saja yang kuminta! Berhenti memanggilku dengan nama itu!" Tubuhnya bergetar
hebat. Dell melangkah mendekat sekitar dua inci dari wajah Thomas. Dia mengulurkan ?tangan dan mulai meremas bahu Thomas. "Begini saja," kata Dell. "Aku akan buat
perjanjian denganmu, di sini dan sekarang. Kau turunkan celanamu dan tunjukkan
padaku dan para saksi di sini bahwa kau punya peralatan yang sesuai, dan kurasa
aku akan mencarikan nama baru untukmu."
"Yesus H. Kristus," gumam Ralph.
Tangan Dell bergerak dari bahu kakakku ke tengkuknya. Thomas tersentak.
"Bagaimana menurutmu, Dickless?"
Thomas menelan ludah. Tak berkata apa pun.
"Tak ada perjanjian, Dickless" Yah, seperti yang kuduga. Kau tak punya peralatan
yang tepat untuk berani berurusan denganku. Aku menutup kasus ini."
Dell memandang ke arah Leo dan aku, senyumnya memudar. Dia tampak lebih
menyedihkan daripada penuh kemenangan. Dia menyuruh kami untuk mengeluarkan
sabit dari truk dan mulai memotong alang-alang. Setelah selesai, katanya, kami
bisa mengisi bejana air di mata air. Kami boleh berlama-lama, berenang di
bendungan kalau kami mau. Kami boleh santai.
Suara sedu sedan Thomaslah yang membuat kami semua berpaling padanya. Tangannya
menarik gesper ikat pinggangnya, mencoba membuka kancing jinnya.
"Jangan!" teriakku.
Thomas menarik celana dan celana dalamnya hingga ke lutut, dan berdiri di sana,
tersedu-sedu, telanjang. "Kau senang SEKARANG?" teriaknya pada Dell. "SEKARANG
maukah kau tutup mulut dan meninggalkanku sendiri?"
Ralph dan Leo memalingkan muka. Dell berdiri saja di sana, tersenyum dan
menggelengkan kepalanya. "Menyedihkan," katanya. "Benar-benar menyedihkan."
Aku terburu-buru mendekati kakakku, menutupinya. Rasa malunya menjadi rasa
maluku. "Pakai celana sialanmu lagi!" teriakku padanya. "Kamu ini kenapa, sih?"
Ralph adalah satu-satunya orang yang masih duduk di meja piknik. Membungkuk
rendah, dia terus makan, mengunyah dengan marah,
menggumamkan sesuatu yang tak bisa kudengar.
"Ayo, Ralph," kata Dell. "Makan siang sudah selesai."
"Persetan kamu. Kau bilang makan siang sudah selesai!" tukas Drinkwater padanya.
"Kita masih punya enam menit. Jangan bilang padaku makan siang sudah selesai
kalau belum selesai." Tangan Ralph menyapu meja, kotak makan siang dan termos
berjatuhan. Dell berdiri di sana, melotot pada Ralph. Lalu tanpa mengatakan apa pun, dia
berjalan ke meja piknik, membungkuk, dan mengangkat Ralph mengangkatnya miring,?ke atas dan membaliknya. Ralph jatuh terjengkang di tanah, kakinya masih
tergantung pada bangku tempatnya
tadi duduk. Dell berjongkok di sampingnya. "Sekarang, kecuali jika aku mati dan mereka
mengangkat-mu sebagai mandor," katanya, "kau harus segera kembali bekerja atau
aku akan memecatmu dari kru ini lebih cepat sebelum kami sempat menghitung
sampai sepuluh. Ngomong-ngomong, aku punya pekerjaan khusus untuk pria-pria
tangguh sepertimu dan Dicky Bird di sana. Aku punya tugas khusus buat kalian
berdua." Dell menempatkan Drinkwater dan kakakku di bagian bendungan yang paling kotor
dan penuh serangga area yang menurut Lou Clukey tak usah dikerjakan.
?Aku hampir bicara. Mulutku terbuka dan menutup beberapa kali, tapi tak ada yang
keluar. Kekejaman Dell terasa seperti kekejaman Ray dan ketakutan yang sama
merasukiku, di perutku, di lenganku, dan di kakiku. Melumpuhkanku. Jadi bukannya
bicara, aku malah mengambil sabit dan pergi ke tempat alang-alang seperti dia
perintahkan dan mulai mengayun. Setiap helai alang-alang yang kupotong siang itu
adalah tenggorokan Dell. Tenggorokan Ray. Setiap ayunan sabitku membunuh mereka
berdua. Pada sore hari, Drinkwater dan Thomas naik ke bak belakang truk bersama Leo dan
aku. Mereka berdua berlumuran lumpur, tergores-gores dan penuh bekas gigitan
serangga. Tak seorang pun bicara selama bermil-mil. Lalu, tiba-tiba sepatu bot
Ralph menghantam bagian belakang truk dengan
sangat keras, sehingga selama sedetik aku mengira truk menabrak sesuatu. Dell
memandang lewat kaca spion untuk melihat apa yang terjadi. "Benar, kau bangsat,
kau sebaiknya berhati-hati," kata Ralph, melotot marah pada bayangan Dell di
spion. "Kau sebaiknya berhati-hati padaku mulai sekarang."
Ketika kami kembali ke pangkalan sore itu, bukannya langsung masuk ke garasi
seperti biasanya, Dell berhenti dulu di pinggir jalan, mematikan mesin dan
berjalan ke bak belakang.
"Aku punya satu hal untuk dikatakan tentang apa yang terjadi di sana saat makan
siang tadi," katanya pada kami. "Aku akan bilang sekali saja pada kalian semua
sehingga tak ada yang salah mengerti. Apa yang terjadi di kru kita tetap menjadi
rahasia kita. Mengerti" Itu bukan urusan siapa pun selain kita."
Matanya bergerak-gerak gugup dari Leo ke Ralph ke kakakku, lalu berhenti padaku.
"Oh yeah?" kataku.
"Ya. Apa yang kita lakukan adalah urusan kita. Bukan urusan Clukey. Juga bukan
urusan orang dari kru lain. Kruku dan aku saling melindungi." Dia menggerakkan
dagunya ke arah kakakku. "Misalnya saja kelakuan dia tadi di sana. Melepaskan
celana dan menangis seperti bayi. Mereka menyukai cerita seperti itu di sini.
Tapi mereka tak akan mendengarnya."
"Kau yang menyuruhnya," kataku mengingatkan. "Kau mendorong dia melakukan itu."
Dell melangkah selangkah ke arahku, melotot
penuh kebencian sehingga aku melengos menghindari matanya. "Atau misalnya
mariyuana yang kalian isap saat kerja sepanjang musim panas ini, Dicky Boy,"
katanya. "Kalian sepanjang musim panas ini fly seperti layang-layang terbawa
angin. Bersenang-senang dengan mariyuana. Kau kira aku tak tahu" Kalian kira
bisa membodohi si tua Dell" Coba tebak" Kalian tak bisa. Dan kalau Clukey
mengetahui kalian mengisap rokok itu, maka yang kau tahu, polisi dan ayah kalian
akan datang ke sini. Tapi yang kita lakukan adalah urusan kita dan bukan urusan
orang lain. Mengerti" Selama kalian mengerjakan pekerjaan kalian, aku tak lihat
apa pun. Paham" Satu tangan mencuci tangan yang lain."
Kami berempat duduk, terpaku. Lalu Drinkwater melompat lewat sisi truk dan mulai
berjalan pergi. "Hei, jagoan!" panggil Dell. Ralph tidak menjawab. Tak berbalik. "Bagaimana
dengan kartu absenmu, pria hebat" Kau mau kehilangan upah kerja sehari?"
Tanpa berpaling, Ralph mengangat lengannya, jari tengahnya mengacung tinggi ke
udara. Kami berempat memandang langkahnya, dia menghilang di balik pagar
tanaman. Dell kembali masuk truk dan menyalakan mesin.
"Apa kau percaya si berengsek itu?" bisik Leo padaku. "Dia memata-matai kita."
Aku bilang padanya supaya tutup mulut.
Thomas berhenti. Dia tidak membicarakannya dulu padaku atau memintaku
menemaninya ke kantor Lou Clukey. Dell memasukkan truk ke garasi, mematikan
mesin, dan Thomas langsung antre di depan kantor Lou Clukey. Dia di sana kurang
dari tiga menit dan keluar lagi. Itu saja.
Aku tak bisa berjalan pulang dengannya tak tahan mendengar keluhan dan ?rintihannya atau omongan 'apa kubilang'nya tentang merokok mariyuana. Aku juga
tak akan memaafkannya karena menghinakan dirinya sendiri di depan anggota kru
lain. Jadi aku berjalan ke arah berlawanan, ke Boswell, menuju South Main, dan
ke pusat kota. Aku akhirnya nongkrong di depan mesin pinball di Tepper's Bus
Stop. Aku tak mau berpikir. Aku cuma mau menghantam bola-bola perak kecil itu,
menggebrak tombol, memegang kedua sisi mesin sialan itu, dan menggoyanggoyangkannya. Kurasa aku melakukannya sedikit terlalu keras. Karena Pak Tua
Tepper keluar dari belakang counter dan bertanya apa masalahku. Kenapa aku
merasa berhak merusak properti orang lain" Apa masafah-ku"
Memangnya apa masalah dia" Apa yang terjadi"
Ketika aku sampai di rumah, Thomas sudah membuka surat dari universitas dan tahu
bahwa teman sekamarnya untuk tahun akademik 1969-1970 adalah seorang mahasiswa
pindahan dari Waterbury bernama Randall Deitz.
"Bagus sekali," erangnya, melambaikan surat itu di depan wajahku. "Inilah yang
kuperlukan setelah hari ini. Seorang sekretaris bodoh berbuat kesalahan, dan sekarang kita harus
kerja keras membereskannya!" Dia mondar-mandir di lantai dapur seperti yang dia
lakukan di kamar asrama setahun lalu tegang yang berlebihan.?Ma ada di depan kompor, sedang memasak saus untuk makan malam. "Oke, tenanglah,
Sayang," katanya pada Thomas. "Mungkin ini bisa kau bereskan lewat telepon."
"Tak seorang pun tahu apa yang mereka lakukan di universitas bodoh itu! Kami
mungkin harus melalui semua omong kosong ini hanya untuk memperbaiki kesalahan
seseorang yang bodoh."
"Tak ada kesalahan," kataku.
"Pertama mereka akan bilang padamu untuk pergi ke kantor ini.1 Lalu waktu kau
sampai di sana, mereka akan bilang, 'Oh, tidak, maksudnya bukan kantor yang ini.
Kau harus pergi ke kantor yang ini i'"
"Tak ada kesalahan," ulangku. Thomas dan Ma memandangku, menunggu berita
besarnya. Tak bisa memandang mata kakakku, aku bicara pada Ma. "Aku tak akan
sekamar lagi dengannya ... aku akan sekamar dengan Leo."
Aku bisa merasakan, meski tak melihat, kepanikan yang mulai melanda kakakku. Dia
terduduk di salah satu kursi dapur dan menyilangkan tangan di dada. Dia
menjulurkan lehernya ke belakang sejauh mungkin dariku.
"Kapan kau memutuskan ini, Dominick?" tanya Ma padaku.
"Aku tak tahu. Beberapa waktu lalu. Kami pergi
ke universitas dan mengajukan permintaan."
"Kami?" kata Thomas. "Kau dan Leo" Kalian berdua diam-diam pergi dan menikamku
dari belakang?" "Itu bukan masalah besar," kataku, masih memandang ke arah Ma. Aku melihat wajah
Ma memucat. Ketakutan merayapi matanya. "Kau memintaku untuk sekamar dengannya
pada tahun pertama dan aku menurut .... Aku sudah berniat mengatakannya. Cuma ...
cuma aku sangat sibuk."
"Jangan bilang padaku," kata Ma. "Bilang ke kakakmu."
Aku berpaling ke Thomas. "Ini akan baik untukmu, Man. Kau akan bertemu dengan
teman baru. Bagaimana kau tahu kalau orang baru ini siapa namanya" Randall"
?Bagaimana kau tahu dia bukan orang yang hebat" Dia mungkin akan menjadi teman
sekamar yang jauh lebih baik daripada aku. Kita terlalu dekat, kau dan aku. Dan
itu membuat kita saling terganggu."
Thomas duduk diam, merengut, tak berkata apa pun. Semenit dua menit sunyi.
"Yah," kata Ma, "kenapa kalian berdua tidak pergi saja ke atas dan membersihkan
diri" Makan malam akan siap setengah jam lagi, segera setelah ayah kalian
bangun. Thomas, kau mau pasta atau kacang" Kau yang pilih."
Thomas tak menjawab. "Aku tak punya waktu untuk makan, Ma," kataku. "Aku mau keluar."
"Kau mau pergi dengan siapa?" kata Thomas. "Dua sobatmu dari tempat kerja?"
"Tidak," kataku. "Aku mau pergi dengan pacarku. Apakah kau keberatan?" Aku
merencanakan cara untuk menghindar saat aku bicara. Dessa malam itu kerja di
DialTone. Shift-nya selesai pukul l.DD. Mungkin aku akan ke sana naik sepeda.
Mengejutkannya. "Oh, maksudmu si Wanita Misterius?" kata Thomas. "Cewek yang kau terlalu malu
untuk mempertemukannya dengan keluargamu?"
"Aku tak malu mempertemukannya denganmu. Kau mau bertemu dengannya" Baik. Kau
bisa bertemu dengannya." "Oke, kapan?"
"Aku tak tahu. Kapan-kapan."
Thomas tertawa sarkastik. Aku berdiri diam, memandangnya bermain-main dengan
wadah garam dan merica menuangkan tumpukan merica dan garam di meja. ?"Pengkhianat," gumamnya.
"Dengar, Dominick, kau harus makan sesuatu," kata Ma. "Aku punya terong di
lemari es dan masih ada daging gulung sisa kemarin. Bagaimana kalau aku
menggorengkan sedikit untukmu dan membuatkanmu sandwich" Ayolah. Ambilkan aku
kejunya." Begitulah Ma: marah dan terluka, tapi tetap siap memberimu makan. Siap membuatmu
merasa semakin bersalah. Aku naik ke kamar mandi atas, lalu berhenti di depan pintu dan berpaling ke
Thomas. "Hei, keras kepala?" kataku. "Kau mau mandi duluan?" Kurasa aku
bermaksud membuat itu sebagai permintaan
maaf untuk menunjukkan padanya kalau aku tidak benar-benar berengsek.
?Bertengkar berebut siapa yang lebih dulu mandi sudah menjadi ritual kami berdua
sejak kecil. Tapi, Thomas mengabaikannya. Dia mengambil wadah garam dan berkata padanya.
"Halo, aku Thomas Dirt," katanya. "Silakan berbohong padaku dan menginjak-injak
diriku. Semua orang melakukannya. Itu menyenangkan!"
Hampir pasti ini bisa dibilang sebagai sebuah misi bunuh diri: bersepeda ke
pantai pada Jumat malam yang gerimis dengan sepeda tanpa lampu dan spion. Selama
satu setengah jam perjalanan ke sana aku tak henti-hentinya diklakson, dan mobil
berusaha menghindariku mendadak dan sopirnya mengumpat padaku. Meskipun aku tahu
aku tak akan mengatakan apa pun pada Dessa tentang apa yang terjadi hari ini di
tempat kerja, aku membayangkan untuk diriku sendiri bahwa aku menceritakan semua
padanya. Melihat kami berdua duduk di salah satu meja hitam itu. Merasakan
sentuhan simpatinya di wajahku, ciuman penuh kasih yang dia berikan. Sepanjang
jalan, aku membayangkan diriku ditenangkan oleh Dessa yang penuh pengertian.
DialTone penuh pengunjung. Dessa terlihat terkejut, tapi tidak senang melihatku.
"Malam ini benar-benar jadi kebun binatang," katanya. "Aku bahkan mungkin tak
akan bisa bicara denganmu
hingga aku selesai kerja nanti. Va Tuhan, kau basah kuyup."
"Berdansalah denganku," kataku. "Aku tak bisa berdansa denganmu, Dominick. Aku
sedang kerja." "Satu kali saja."
"Dominick, tidak. Aku harus menulis pesanan. Melayani meja-meja"
Aku berjalan pergi, tak mau mendengarkan penjelasannya dan duduk di bar, memesan
bir. Kemudian, saat istirahat, Dessa memberiku kunci ke mobil ibunya. Ketika
manajer tak melihat, bartender menjual botol vodka yang masih berisi
sepertiganya padaku dan aku lalu keluar. Aku melemparkan sepedaku ke bagasi dan
duduk di kursi depan mobil menunggu Dessa. Menyalakan radio, meminum vodka.
Melihat jendela mobil jadi berkabut. Aku ingin merokok. Aku ingin Dessa. Aku
berusaha untuk tidak mengingat kakakku di bendungan, tersedu seperti idiot,
celananya melorot sampai ke lutut .... Pengkhianat,dia menyebutku. Haio, aku
Thomas Dirt. Yesus, berapa lama lagi aku harus menggendongnya" Kapan aku bisa
meneruskan hidupku sendiri" Mulai September pokoknya. Persetan dengannya.
Biarkan dia tenggelam atau berenang. Aku memejamkan mata. Bergerak-gerak untuk
membuat diriku lebih nyaman. Vodka, suara ombak memecah pantai, suara hujan di
atap mobil ibu Dessa membuatku mengantuk ....
* Ketika Dessa membangunkanku, saat itu sudah pukul dua lebih. "Hai," katanya. Aku
menguap dan meregangkan tubuh, lalu menciumnya. Dia bau: bir dan alkohol,
rambutnya bau asap rokok. Saat aku membelainya, tanganku mengenai benjolan uang
tip di saku jinnya. Aku sudah seminggu tak bertemu dengannya. Tak tidur dengannya selama dua minggu.
Sejak ayah ibunya kembali dari Yunani, kami harus mencuri-curi kesempatan. Tapi
dalam dua minggu hal itu akan berubah. Dessa adalah supervisor di asramanya, itu
artinya kamar untuk sendiri dengan tempat tidur dobel. Kalau bisnis mobilku
dengan Dell lancar, maka Dessa dan aku akan berbaring di ranjangnya di Boston,
bukannya duduk di mobil Newport ibunya.
"Coba tebak," katanya.
"Apa?" "Ayahku mendiamkanku. Kami bertengkar." "Tentang apa?" kataku.
"Oh, bukan masalah besar ... sebenarnya, sih besar juga. Tentang kamu." "Aku" Aku
kenapa?" "Oh, itu karena kesalahan bodohku sendiri. Aku secara tidak sengaja meninggalkan
dial pack milikku di kamar mandi. Ibuku menemukannya."
"Pil antihamilmu" Sialan."


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi bukannya ngomong denganku, seperti yang dilakukan ibu lain yang norma/,
dia malah pergi ke ayahku. Ayah masuk kamarku kemarin malam dan berkata dia mau
bicara denganku. Aku malu
setengah mati, tapi kubilang, 'Dengar, Daddy, aku sudah besar. Aku bisa
memutuskan sendiri.' Lalu dia mulai ngomong tentang kamu."
Dessa mendekat padaku. Menyandarkan kepalanya ke bahuku.
Aku bertanya padanya apa yang dikatakan ayahnya.
"Bahwa dia tak punya masalah pribadi denganmu, tapi kalau kau cuma mau jadi
guru, maka mungkin seharusnya aku berpikir dua kali sebelum aku nanti hamil dan
menjebak diriku sendiri."
Aku berdeham. Sepertinya aku merasa mabuk dan pusing sekaligus. "Apa maksudnya
itu?" tanyaku. "Oh, Daddy berpikir sebaiknya aku menikah dengan dokter atau pebisnis atau
seseorang yang punya properti. Aku mengatakan padanya kalau aku juga akan jadi
guru, dan dia bilang, oh, mengajar adalah pekerjaan yang pantas untuk wanita.
Wanita tidak harus mencari nafkah untuk keluarga. Pria yang harus cari nafkah.
Lalu aku kehilangan kendali. Aku tak tahan. Aku sangat marah/ Aku bilang padanya
bahwa aku menilai orang dari siapa mereka sebenarnya, bukan dari potensi
pendapatannya. Uang mungkin dewa bagi ayahku, kataku padanya, tapi tidak bagiku.
Itu membuatnya murka. Dia bilang padaku betapa menyedihkan saat tiba hari ketika
anak perempuan berani membantah ayahnya dan berkata kurang ajar padanya ketika ?anak-anak tak berterima kasih atas pemberian orangtuanya selama ini. Jadi,
sekarang kami tidak saling bicara. Dan itu saja ... kalau saja ibuku
bicara sendiri padaku tentang pil-pil itu dan bukannya .... Kadang aku benci dia,
Dominick!" Kami duduk diam selama beberapa menit, tak berkata apa-apa. Lalu aku
merangkulnya dan mulai membelainya . Tapi aku tidak bisa membangkitkan
?gairahnya. Dia tak mau berhenti bicara tentang ayahnya.
"Bagaimana mungkin dia berpikir kalau menjual mobil lebih baik daripada mendidik
anak" Dan beraninya dia menyepeiekanmu seperti itu. Dia bahkan tak kenai kamu,
Dominick. Sebelumnya, aku tak pernah mengira betapa dangkalnya pemikiran
ayahku." Aku menyentuhnya seperti yang dia suka seperti yang dia ajarkan tapi dia
? ?menghentikanku. "Dominick, aku baru saja bekerja selama tujuh jam dan tak bisa ...
yah, kau tahu. Dan sekarang aku marah lagi ke Daddy. Aku minta maaf. Tapi, aku
sedang tidak mood." "Bagaimana denganku?" kataku.
"Kenapa denganmu?"
"Yah, setidaknya aku sudah bersepeda dalam hujan untuk bertemu denganmu. Aku
menunggu di mobil selama lebih dari empat jam. Mungkin aku sedang mood."
"Dominick, apa yang harus kulakukan" Bilang pada manajer, 'Maaf, tapi pacarku
memutuskan untuk datang tiba-tiba jadi aku tak bisa meneruskan shift-ku"'"
"Tidak, kau tak perlu bilang begitu. Yang perlu kau lakukan adalah setidaknya
bersikap seakan-akan kau senang melihatku."
"Aku senang melihatmu," katanya. "Aku cuma sedang tegang. Kau tahu bagaimana
kondisi kerja di sini. Lalu masalah dengan ayahku. Maksudku, aku sudah dewasa,
kan" Aku bisa mengambil keputusan sendiri. Tapi, ya Tuhan, kalau ibumu menemukan
pil antihamilmu" "Tolong aku, ya?" kataku. "Jangan mengoceh lagi tentang orangtuamu!" Mobil
langsung sunyi. Setelah beberapa saat, aku duduk dan membuka pintu. Keluar dan masuk ke kursi
belakang. "Hei," kataku.
Tak ada jawaban. "Hei, kamu?" aku mencoba lagi.
"Hei, aku apa?"
"Ke sinilah." Dessa tak bergerak selama semenit dua menit. Lalu dia melangkahi kursi depan dan
ke belakang, duduk di sampingku. Menyilangkan tangan di dadanya, erat-erat.
"Seolah-olah hubungannya dengan ibuku adalah contoh yang baik," katanya. "Kau
harusnya lihat bagaimana ibuku harus meminta uang belanja padanya setiap pagi
saat sarapan. Dia mengatakan pada ayah apa yang dia butuhkan, menghitung setiap
sennya, lalu kalau ayah sudah puas, dia akan membuka dompet dan meletakkan satu
per satu uang dua puluhan dolar ke tangan ibuku. Menjijikkan."
Aku kembali menyentuhnya, mencoba membuatnya bergairah.
"Hei, Dominick" Aku tadi kan, sudah bilang
padamu, aku tidak ..." Diam, diam, pikirku, melanjutkan niatku. "Aku terlalu
tegang sekarang. Aku tak ingin hei, hentikan!"?Tapi berhenti bukanlah pilihan. Aku sudah berjam-jam menunggu di mobil. Dia
berutang padaku. Dan kalau dipikir-pikir, Dessa benar: berani-beraninya ayah
kaya sialannya itu bilang untuk mencari orang yang lebih baik daripadaku.
Aku mulai menindihnya. Sikapnya yang dingin kuanggap sebagai kekeraskepalaannya.
Cewek kaya bodoh. Aku menekannya keras-keras. "Aku cinta kamu, Sialan," kataku. Dia mengerang. Aku
mendengarnya memintaku berhenti berkata bahwa dia kesakitan, bahwa aku
?membuatnya takut. Tapi, apa yang aku butuhkan lebih kuat daripada ketakutannya,
dan ketika dia berusaha bergeser dari bawahku, aku tak membiarkannya. "Aku cinta
kamu," kataku setiap kali. "Aku cinta kamu, aku cinta kamu, aku cinta kamu."
Tapi kepalaku penuh dengan kebencian: apa hak ayah Dessa sialan itu untuk
menganggap dia lebih baik daripada aku" ... Sama saja dengan saat aku mengayunkan
sabit di bendungan siang tadi. Menghantam mesin pinbaii di Tepper's Bus Stop.
Aku baru sadar bahwa Dessa berusaha mencegahku setelah dia berhenti berontak.
Dia berbaring diam dan membiarkanku. Per berkeriut, seluruh mobil bergoyang, aku
mengumpat sambil memeluknya erat-erat, tanganku yang satu memukul-mukul sandaran
tempat duduk. Aku menyesal bahkan sebelum aku menjadi
lemas. Sebelum menarik napas. "Oh, Yesus," kataku. "Kurasa aku terbawa suasana."
Dessa menangis. Dia gemetaran di bahu dan dadaku.
"Aku benar-benar menyesal. Aku sudah menunggu di sini terlalu lama. Minum vodka
dan" Ketika aku mengulurkan tangan untuk membelai pipinya dia menampar tanganku.
Memukulku. "Aku tak bisa menahannya, Dessa. Aku minta maaf. Aku sangat menginginkanmu
sehingga kehilangan kendali."
"Diam!" Dia memukulku lagi. "Pergi dariku!"
Dessa membenahi pakaiannya dan kembali ke kursi depan.
"Apakah benar-benar seburuk itu?" kataku. "Bahwa aku kehilangan kendali karena
aku sangat menginginkanmu?"
"Kau tahu apa sebutannya 'menginginkan aku' seperti itu, Dominick?" katanya.
"Pemerkosaan." "Yeah, benar saja. Seperti kau dan aku tidak .... Dengar aku tak akan"
"Kau baru saja melakukannya, kau berengsek!" Dessa mulai menangis lagi.
"Hei, tunggu dulu. Itu tak adil."
"Aku baru saja mengalami minggu yang mengerikan," katanya. "Dan sekarang ini
terjadi." "Kau tahu?" kataku. "Aku juga mengalami minggu yang buruk. Apa kau pernah
berpikir untuk bertanya pada-ku minggu seperti apa yang aku alami"1'
Dessa menyalakan mesin mobil. "Aku akan mengantarmu pulang," katanya. "Lalu aku
juga akan pulang. Mandi air panas dan mencuci 'peristiwa' kecil yang baru saja kita alami.
Tolong aku, oke" Duduk saja di belakang dan jangan bicara padaku. Jangan berkata
apa-apa." "Kau menuduhku memerkosamu dan aku bahkan tak boleh mempertahankan diri"
Persetan dengan itu. Dessa! Persetan kau!"
Aku keluar dari mobil dan membanting pintu. Membukanya dan membantingnya lagi.
Aku mulai berjalan menjauh darinya keluar tempat parkir dan ke jalan. Aku ?mengangkat jempolku ke arah mobil yang lewat.
Dessa meminggirkan mobilnya di dekatku. Suara jendela yang terbuka terdengar di
telingaku. "Ayolah. Jangan lakukan ini, oke" Masuk saja dan aku akan mengantarmu
pulang. Kita berdua butuh menenangkan diri dan tidur."
"Pergi saja," kataku. "Kau tak mau ada pemerkosa di mobilmu."
"Baiklah, aku minta maaf," katanya. "Itu tadi memang agak sedikit keras. Hanya
saja setelah hubunganku yang terakhir, aku agak-"
Aku mulai berteriak padanya. "Aku sama sekali tak seperti orang itu! Jangan kau
berani ... aku sama sekali tak seperti orang itu!"
Jendela kembali menutup. Dessa menginjak gas. Pergi. Saat itulah aku ingat
sepedaku, di dalam bagasi mobil ibunya seperti mayat.
Aku sampai di rumah setelah dua jam dan tiga kali menumpang lega, akhirnya bisa
?pulang. Aku meraba-raba di dalam rumah yang gelap dan naik
tangga. Membuka baju dan menjatuhkannya ke lantai dan naik ke ranjang.
Saat berguling, aku mendengar gemerisik kertas. Aku berbaring telentang,
berusaha memicingkan mata melihat apa itu berusaha memutuskan apakah aku harus
?bangun dan melihatnya atau tidak. Beberapa menit kemudian, aku ingin buang air.
Maka aku melompat turun dari ranjang atas dan pergi ke kamar mandi.
Bertahun-tahun kemudian, aku masih ingat apa yang tertulis di pesan itu. Bahkan
masih bisa melihatnya-da\am tulisan tangannya yang aneh. Dia menujukannya pada
Dominick Birdsey, Pengkhianat.
Kau pikir mudah merasakan bagaimana tidurmu dicuri darimu tiap malam" Kau pikir
menyenangkan merasakan sayap Roh Kudus berkepak-kepak di tenggorokanmu"
Sincerely, Orang yang Mengetahui
Aku berdiri terpaku, memicingkan mata membaca pesan itu di bawah lampu kamar
mandi, dan berusaha mencernanya. Dia gila, kataku pada diri sendiri. Berkata
pada cermin di depanku. Dia benar-benar gila. Lalu aku meremas pesan bodohnya
itu, melemparnya, dan mengencinginya dalam lubang toilet. Dan menyiramnya ke pembuangan.
?Aku terjaga hingga fajar, memikirkan selusin argumen mengapa aku bukan
pemerkosa. Mengapa tidak sekamar dengan Thomas adalah pantas untukku.
Aku tertidur saat cahaya abu-abu fajar mulai menyelinap ke sela-sela ventilasi.
Dua Puluh Satu 1969 Suddh pukul dua siang lebih ketika aku bangun keesokan harinya. Kepalaku sakit.
Kamar berbau lembap. Aku merasakan diriku yang tegang. Apa yang terjadi
semalam apa yang telah kulakukan pada Dessa menghantamku seperti pukulan di ? ?perut.
"Hei," aku berteriak ke bawah saat berjalan menuju kamar mandi. "Ada orang di
rumah?" Kesunyian yang ada membuatku lega. Aku perlu menelepon Dessa untuk
memperbaiki kerusakan yang telah kulakukan dan tak ingin ada orang yang
mendengar. Aku membungkuk di atas wastafel dan mencipratkan air dingin ke wajah, membuka
mulutku di bawah keran untuk menghilangkan bau alkohol. Kencing di toilet dan
tiba-tiba aku ingat pesan aneh kakakku. Kau pikir mudah merasakan bagaimana
tidurmu dicuri darimu tiap maiam" Kaupikir menyenangkan merasakan sayap Roh
Kudus berkepak-kepak di tenggorokanmu?" Kenapa, sih dia" Awalnya masalah mesin
tik itu. Lalu tingkahnya yang memalukan di bendungan .... Aku baru
setengah mandi, ketika aku keluar dan berjalan ke lorong dengan air menetes dari
badanku dan kembali ke kamar kami. Aku berdiri di depan pintu, memandang pada
ranjang Thomas yang berantakan dan kosong. Apa yang terjadi"
Kembali ke kamar mandi, sabun dan air panas membantu mencuci sisa kejadian tadi
malam. Dessa dan aku hanya salah paham, itu saja. Sepedaku yang tertinggal di
bagasi mobil ibunya memberiku kesempatan. Mungkin dia bisa datang mengantarkan
sepeda itu dan kami bisa bicara meluruskan masalah. Mengepak makanan untuk
?piknik dan mungkin pergi ke The Falls, kalau kami berdua sedang mood.
Memperbaiki masalah semalam. Ya Tuhan, betapa aku butuh mobil.
Aku melingkarkan handuk di pinggang dan pergi ke kamar Ma dan Ray untuk
menggunakan telepon. Di cermin di atas meja rias Ma, aku mulai berfantasi sedang
bertinju dengan mantan pacar Dessa, meninju bayanganku sendiri di cermin. Aku
menjatuhkan diri ke lantai dan melakukan beberapa kali pushup. Aku tegang. Tak
bisa berhenti bersiul. Aku mengatakan pada diri sendiri bahwa aku merasa
hebat bersemangat tapi sebenarnya aku gugup. Takut sudah menghancurkan
? ?kesempatan bersama orang terbaik yang pernah kukenal selama hidupku yang bodoh.
Aku memutar nomor telepon rumah Constantine dan menunggu. Melihat sekeliling,
aku tiba-tiba melihat kamar Ma dan Ray seolah Dessa yang melihatnya. Kamar
orangtuanya tiga kali lipat dari
kamar ini. Karpetnya memenuhi lantai dari dinding ke dinding, sofa, dan lukisan
mural di dindingnya. Ibuku dan Ray punya lantai linoleum yang pudar dan penutup
jendela yang ditarik ke bawah, koleksi senjata seremonial Ray, dan barang-barang
suci Ma: salib, patung Maria, ukiran tangan berdoa di atas rak kayu jelek yang
dibuat Thomas di kelas keterampilan saat SMP. Cahaya matahari siang menerangi
penyok-penyok kayu bekas hantaman palunya, lubang paku yang lupa dia lapisi
dengan dempul. Di kelas keterampilan yang sama, aku membuat meja kecil dengan
rak untuk menyimpan piringan hitam. Mr. Foster meletakkan meja itu di etalase
musim seminya, tempat dia menyimpan barang-barang terbaiknya. Dia meletakkan
bunga philodendron di atas meja itu dan beberapa piringan hitamnya sendiri di
rak. Proyekku dipasang di etalase, tapi apa yang disimpan Ma" Yang dia simpan di
kamarnya" Rak Thomas yang berantakan.
Mengapa Dessa tak menjawab" Di mana dia"
Aku memandang pada lukisan suci Ma, Kebangkitan Yesus, jantung technicolor-nya
bersinar, matanya sedih seperti anjing basset. Kehidupan seks Ma dan Ray pasti
hebat dengan lukisan itu menggantung di atas ranjang mereka .... Aku ingat
kenangan bertahun-tahun lalu ketika Ma membeli benda itu, di swalayan five-andten. Hari yang sama ketika pria gila di bus kota menyentuh Ma. Ikut turun dari
bus ketika kami turun dan mengejar kami .... Aku ingat Ma duduk di kursi bus di
depan kami, ketakutan setengah mati, membiarkan saja
tangan pria itu menjalar ke mana pun dia mau. Ma bertingkah sama seperti setiap
kali orang lain memaksanya: diam dan pasrah. Menunggu Yesus datang
menyelamatkannya. Kalau benar bahwa orang yang lembut hati akan mewarisi bumi,
maka Ma pasti akan menjadi Rocke-feller-nya.
Aku berpikir tentang diskusi di kelas ilmu politik yang kuikuti semester lalu:
tentang apakah agama itu memang benar 'candu bagi manusia' .... Aku tak pernah
pergi ke Misa Minggu sejak pulang ke rumah selama liburan musim panas ini. Aku
ingin membuat pernyataan tentang siapa diriku sekarang bahwa aku telah ?berubah jadi aku tidur setiap Minggu pagi. Itu sangat mengesalkan Ray, terutama
?setelah sekarang dia diangkat menjadi anggota dewan gereja. Aku yakin pasti hal
ini membuat sedih Ma juga. Bukan berarti Ma pernah menyatakan keberatannya.
Bukan berarti Ma bahkan berani'mengatakannya .... Tapi, hei, ini kan hidup-/cu, bukan hidup mereka. Mengapa pergi ke gereja kalau Tuhan hanyalah
lelucon" Lukisan murahan dari swalayan five-and-ten" Aku tak mau jadi munafik
seperti Ray .... Thomas masih pergi ke gereja setiap minggu. Tuan Sok Baik, Tuan
yang Disentuh Oleh Roh Kudus .... Aku teringat kepada Profesor Barrett, dosen
apresiasi seni semester lalu. Ekspresionismenya yang abstrak. Dia mengajak kami
sekelas pergi ke Museum Guggenheim di New York. "Ke sini! Biar aku tunjukkan
padamu!" katanya, membawaku naik ke tangga spiral menuju ke sebuah dinding penuh
dengan gambaran tetesan air dan
letusan kembang api. Dia memilih-/cu karena alasan tertentu menggandengku dan ?menarikku ke arah lukisan Jackson Pollock, santa pelindungnya. "Tuhan sudah mati
dan Pollock tahu itu," katanya tiba-tiba pada suatu hari di kelas, profilnya
diterangi oleh cahaya kebiruan berdebu antara proyektor dan layar. Menurut kabar
burung, Sondra Barrett, profesorku itu, dia gampangan. Sering melakukannya
dengan seniman maupun mahasiswa. Apakah dia berusaha merayuku hari itu di
museum" Bagaimana kalau aku melayaninya" Kalau Sondra Barrett melihat lukisan
Yesus ibuku karya seni ala Woolworth dia pasti pingsan dan perlu mendapat
? ?oksigen. Aku mencoba membayangkan aku dan Sondra Barrett di suatu tempat.
Mencoba melupakan pria gila yang meraba ibuku hari itu di bus mantelnya yang
?ko-tor, benjolan di dahinya. Bagaimana dia mengendus ibuku saat menyentuhnya.
Ibuku diam saja, tak mengatakan apa pun .... Mungkin begitulah cara Thomas dan aku
dia lahirkan ke dunia: mungkin seorang pria gila memerkosa ibuku di gang yang
gelap dan dia diam saja. Pasrah. Mungkin itu/ah sebabnya mengapa asal-usul kami
menjadi rahasia yang gelap dan dalam.
Semilir angin bertiup ke dalam kamar, menggerakkan penutup jendela. Beberapa
robekan di penutup itu ditambal dengan isolasi yang sudah berwarna kecokelatan
karena lamanya. Apa yang dikatakan ayah Dessa bahwa anaknya akan miskin kalau
?menikah denganku" Wajahku memerah
mengakui kebenaran kata-kata itu. Menjepit gagang telepon di bahuku dan memukul
udara beberapa kali lagi. Rasakan ini Pak Tua sialan! Sepanjang musim panas aku
sudah menginjak-injak seluruh rumahmu. Membuat anakmu menjerit kesenangan.
Bahkan di lantai kamar tidurmu, kau berengsek, rasakan itu!
Aku mendengar langkah kaki di tangga.
Thomas. Mendengarnya menutup pintu kamar mandi, kencing, menyiram. Aku mendengarkan
langkahnya kembali turun. Setelah langkahnya menghilang baru aku sadar kalau
sejak tadi aku menahan napas mendengarkan suaranya bergerak di dalam rumah.
Tiba-tiba suara dering telepon di telinga menyadarkanku. Deringan telepon di
rumah Dessa: sudah deringan keempat puluh atau lima puluh sekarang. Mengapa dia
tak menjawab" Mungkin dia sedang berenang di luar. Atau berdiri saja memandangi telepon itu
berdering. Aku membanting gagang telepon, lalu mengangkatnya dan memutarnya
lagi. Kalau saja Dessa mau menjawab, aku bisa menjelaskan. Semalam aku hanya


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedikit khilaf, itu saja. Itu tak akan terjadi lagi. Dia aman bersamaku.
Titik. Selesai. Aku kembali duduk di ranjang Ma dan Ray. Seprainya sudah dilepas, bekas kawat
dan per terlihat menembus permukaan kasur. Ada noda cokelat di tengah-tengah.
Mungkin mereka membalikkan lukisan Yesus itu saat sedang bercinta. Sialan, Ma main seks. Dan
tak hanya dengan Ray saja. Siapa ayah kandung kakakku dan aku" Mungkin laki-laki
itu bahkan tak pernah tahu kami ada. Mungkin Ma tidak punya keberanian
mengatakan pada lelaki itu kalau dia telah menghamilinya .... Aku ingat suatu
siang bertahun-tahun lalu di halaman sekolah ketika Lonnie Peck menceritakan
lelucon jorok padaku. Kau tahu apa yang terjadi saat ayahmu meniduri ibumu"
Lonnie saat itu pasti sudah kelas tujuh atau delapan sangat keren di mata ?teman-temanku dan aku. Lelucon Lonnie membuatku paham apa yang terjadi antara
pria dan wanita, dan membuatku membayangkan Ray dan Ma melakukannya di kamar
tidur mereka. Saat pulang sekolah siang itu, aku awalnya menggoda kakakku dengan
pengetahuan baruku itu lalu membebaninya dengan itu, membawanya ke kamar Ma dan
Ray dan mendemonstrasikan seperti apa yang dilakukan Lonnie, menggunakan salah
satu rokok Viceroy Ray yang tergeletak di mejanya. Thomas mengatakan padaku
bahwa aku memang babi. "Mungkin itu dilakukan Gina Lollobrigida," katanya. "Tapi
bukan Ma." Aku sebenarnya juga ingin memercayai itu, tapi aku tidak percaya. Dan
kalau aku tahu, Thomas juga harus tahu. Aku harus memasukkan pengetahuan itu ke
kepalanya. Jadi, aku mendekatkan demonstrasi itu ke wajahnya, tertawa dan
mempercepat gerakan keluar masuk rokok. Itulah yang menjadi masalah di antara
kami, perbedaannya: aku tahu bahwa dunia ini pada dasarnya adalah tempat yang
buruk bahwa hidup itu menyebalkan dan Tuhan cuma lelucon, lukisan murahan yang
?bisa kau beli di five-and-ten. Aku tahu itu; Thomas tidak.
Mondar-mandir, aku berhenti untuk mengotak-atik barang-barang di atas laci Ma:
Avon cologne, bedak tabur, kotak perhiasan, foto keluarga. Aku memberi Ma kotak
perhiasan itu pada hari Natal saat aku kelas satu SMU. Saat aku membukanya, lagu
'Beautiful Dreamer' berdenting di bawah lapisan satinnya, seperti dulu.
Thomaslah yang pertama kali melihat kotak perhiasan itu, di etalase Boston Store
di pusat kota. Dia bilang padaku kalau dia memutuskan akan membelinya untuk Ma
bahkan sebelum dia tahu bahwa kotak musik itu memainkan lagu favorit Ma. Thomas
sepertinya sangat terpesona oleh kebetulan itu. Lalu badai salju membuatku
mendapat uang tambahan dari bekerja membersihkan salju sementara Thomas duduk
bermalasan seharian nonton TV, dan siang itu aku langsung pergi ke kota dan
membeli kotak perhiasan itu, mengalahkannya. Aku selalu melakukan itu saat kami
masih anak-anak: membuatnya tahu siapa dari kami berdua yang lebih pintar, kuat,
dan cepat. Mungkin itulah sebabnya dia bertingkah sangat aneh akhir-akhir ini.
Mungkin akhirnya aku membuatnya gila. Aku tak tahu kalau 'Beautiful Dreamer'
adalah lagu favorit Ma. Kalau kupikir-pikir lagi mungkin aku akan menebak 'Hot
Diggedy, Dog Diggedy', atau 'Ricochet Romance' dua lagu yang
kuingat Ma sering menyanyikannya saat kami masih kecil. Di dapur bersama kami,
saat Ray tak ada di rumah, Ma kadang mengurai rambutnya. Berani bertingkah lucu.
/ don't want no ricochet romance I don't want no ricochet love If you're
careless with your kisses Find some other turtle love
Aku menutup kembali kotak perhiasan itu. Hei, kalau memang benar aku pernah
sekali atau dua kali menipu kakakku, kataku meyakinkan diri sendiri, aku juga
sering menyelamatkannya. Kring, kring .... Jawab, berengsek! Aku tahu Dessa ada di rumah. Mempermainkanku.
Satu demi satu aku mengamati foto di meja Ma: Ray, muda dan kurus dalam seragam
Angkatan Lautnya; Thomas dan aku, masih TK dengan dasi kupu-kupu dan kelas tiga
SMU dengan cambang; Billy Covington dalam piama Supermannya. Foto yang paling
besar dalam pigura yang paling berat dan bagus adalah potret ayah Ma yang
? ?sudah kuning menua, yang makamnya kubersihkan dan kucabuti rumputnya sepanjang
musim panas ini. Domenico Tempesta. "Papa". Duka terdalam adalah diam.
Aku pernah bertanya pada Ma tentang arti tulisan di nisan itu. Namun, jawaban Ma
bukanlah jawaban. "Apa dia yang memintanya, Ma" Atau kau?"
"Apa" .... Oh, dia. Dia merencanakan semua pengaturannya sendiri dua tahun
sebelumnya." "Jadi apa artinya: 'duka terdalam adalah diam'?"
Ma tak pernah menjawab pertanyaan itu. Atau pertanyaan lain yang kuajukan:
mengapa Papa dan istrinya nenekku dimakamkan di sisi makam yang berlawanan. ? ?Menurut tanggal di nisannya, "Papa" meninggal musim panas sebelum Thomas dan aku
lahir. Apakah dia tahu tentang kami bahwa anak gadisnya mengandung anak kembar"
?Di foto berpigura itu, mata Domenico terlihat waspada dan curiga seakan-akan
?dia tidak memercayai orang yang memotretnya. Aku memandang mata Yesus di lukisan
di dinding. Membandingkan keduanya. Yesus orang yang menyedihkan; Domenico
adalah orang berengsek. Ini menggelikan, pikirku. Aku menghabiskan sepanjang Sabtu siang mendengarkan
telepon sialan ini terus berdering. Namun, aku belum bisa meletakkannya. Dessa
mungkin saja baru sampai rumah dari suatu tempat, membuka pintu depan dan
berlari tergesa untuk mengangkatnya. Atau, kalau dia mempermainkanku, baiklah,
aku akan mengalahkannya. Duduk di sini dan membiarkan telepon itu terus
berdering hingga dia menyerah.
Sisi kamar di area Ray masih terasa seperti 'area terlarang' area tak tersentuh
?sejak kami kanak-kanak. Sejak awal, Thomas dan aku diperingatkan untuk tidak
membangunkan Ray saat dia tidur. Dan saat dia tidur, bangun, ataupun keluar
rumah, kami dilarang masuk kamar Ma dan
Ray sendirian karena pisau, pedang, dan belati yang dia pajang di dinding.
"Benda-benda itu sangat tajam hingga bisa membuat kepala orang terpotong,"
katanya pada kami lebih dari sekali. "Kalau aku memergoki kalian di kamar ini
tanpa izin, aku akan menendangmu hingga mencelat sampai minggu depan."
Aku mendekat dan membuka lemari Ray. Dia masih gila dengan sepatunya: sepuluh
atau sebelas pasang berjajar di lantai lemari, mengilat dan berbaris, siap untuk
inspeksi. Celana dan kemeja kerja abu-abu yang dipakainya tiap malam untuk
bekerja di Electric Boat tergantung rapi di hanger, disetrika dan siap dipakai.
Ray selalu menyuruh Ma melipat lengan kemejanya hingga ke siku, lalu menyetrika
lipatan itu. Di dinding di atas meja Ray adalah pajangan senjata-senjatanya yang tak boleh
disentuh, medali militernya, dan foto buram ibunya, seorang wanita desa kurus,
yang menurut Thomas suatu kali terlihat seperti Ma Kettle muda. Di atas meja,
dengan susunan seperti biasanya adalah sendok sepatu Ray, sikat rambut, bedak
Gold Bond, Aqua Velva. Suatu kali saat masih kecil, aku mengendapendap ke kamar
itu saat Ray tidur dan meminjam sendok sepatunya. Membangunkan Ray saat tidur
siang akan membuatnya marah besar, tapi Billy Covington berkata dia membutuhkan
sendok sepatu itu untuk menghipnotis kami. Dia menantangku untuk melakukan itu
dan aku menerima tantangannya. Billy mengikat sendok
sepatu itu pada sebuah tali,
menggoyang-goyangkannya di depan kakakku dan aku seperti yang dia lihat di TV.
"Kau jadi ngantuuuk," kata Billy dalam aksen yang aneh. "Sangat, sangat
ngantuuuk." Setelah eksperimen itu gagal, kami bertiga main di luar dan
menggantungkan sendok sepatu itu di gorong-gorong hing-a benda itu tidak sengaja
terlepas dari talinya dan jatuh ke bawah. Sore itu, Ray bangun, memakai
sepatunya dan berteriak marah. Ibu Billy sudah menjemput Billy waktu itu. Di
antara sedu sedan dan napas yang terengah-engah, Thomas dan aku mengaku tentang
usaha hipnotis dan kecelakaan jatuhnya sendok sepatu itu ke gorong-gorong. Ray
tidak memukuli kami seperti yang kami takutkan. Tetapi, dia menyuruh aku berdiri
di anak tangga teratas dan Thomas di bawah, lalu menyuruh kami berdua naik turun
tangga hingga dia bilang cukup. Awalnya itu terasa lucu. Aku ingat kami tertawa
terkikik dan meleletkan lidah saat saling melewati. Tapi satu jam kemudian, aku
berkeringat dan kakiku sakit, dan Thomas menangis karena kakinya kram. "Bolehkah
mereka berhenti sekarang?" tanya Ma pada Ray, yang duduk di kursi dapur yang dia
pindahkan ke pintu depan untuk membaca Daily Record dan mengawasi kami. Ray
bilang pada Ma kami boleh berhenti kalau dia sudah merasa baikan dan yakin kami
sudah belajar tentang menghormati hak milik orang lain. Malam itu, saat Ray
pergi kerja, Ma turun dari ranjang dan mengusapkan minyak ke
betisku. Kami berdua menjalani hukuman selama dua jam naik turun tangga.?Sialan dia! Aku membanting gagang telepon dan sedetik kemudian telepon berbunyi.
"Halo?" kataku tergesa.
Aku mengira itu Dessa, tapi bukan. Itu Leo.
Yeah, oke, aku mau pergi memancing dengannya. Aku tak punya rencana lain. Pukul
enam" Baiklah. Yeah.
Ketika aku turun, Thomas duduk di sofa, mengenakan tshirt dan celana piama dan
topi stocking bergaris-garis merah biru di kepalanya. Dia mengenakan topi itu
sepanjang musim dingin. Di dalam asrama. Melihat benda itu di kepalanya:
mengingatkanku kembali pada semua peristiwa pada tahun pertama kuliah,
perilakunya yang aneh. Thomas memandang kosong ke TV.
"Ma di mana?" tanyaku. Dia tak mau menjawab.
Aku pergi ke dapur dan kembali membawa sereal, susu, mangkuk, dan sendok.
"Geser," kataku. Duduk di sofa di sebelahnya. Kedekatanku dengannya adalah
usahaku untuk berdamai. Thomas sedang menonton film Tarzan zaman dulu Johnny Weissmuller dan Brenda
?Joyce. Saat kami kecil, Thomas ngotot bahwa Johnny Weissmuller adalah Tarzan
terbaik sedangkan menurutku yang terbaik adalah Lex Barker. Aku bahkan setengah
meyakinkan diriku sendiri kalau Thomas dan aku mirip Lex Barker bahwa mungkin
?dia adalah ayah kami dan akan kembali untuk mengakui kami. Aku selalu melakukan
itu saat masih kecil: memimpikan ayah fantasi, dari Hollywood, menyelamatkan kami dari Ray. Itu
menyedihkan. Tapi sekarang duduk di sofa makan Cheerios, tiba-tiba semua itu
terasa lucu bagiku: Lex Barker berayun dari pohon ke pohon di Hollyhock Avenue
dan mendarat di kamar Ma. Ma dihamili oleh Tarzan si Manusia Kera. Dia datang
bertahun-tahun kemudian untuk menjemput kami dan membawa kami, ke mana" Hutan di
Afrika" Hollywood, California" Ya Ampun, anak-anak memang sangat bodoh.
"Hei, Tolol," kataku pada Thomas. "Aku masih berpendapat kalau Lex Barker adalah
Tarzan yang lebih baik daripada orang ini. Jelas. Tak diragukan lagi."
Tak ada jawaban. "Kau tadi bilang Ma dan Ray ke mana?" Diam.
Aku mengulurkan tangan dan menepukkan tanganku di depan wajahnya. "Hei, Thomas.
Bangun! Mereka ke mana?"
"Siapa?" "Ma dan Ray!" "Piknik," katanya, masih menonton TV. "Piknik serikat kerja Ray" Hari ini, ya?"
Tak ada jawaban. Aku menuangkan sereal lagi. Aku hampir memerlukan diamnya si Ding Dong di
sebelahku ini setelah semua omong kosong yang aku alami selama empat puluh
delapan jam terakhir. Film Tarzan itu sudah buram dan terpotong di
berbagai tempat; aksinya tersendat-sendat setiap dua detik. Seperti biasanya,
para pemburu kulit putih dalam baju safari yang baru disetrika yang menyebabkan
masalah yang keserakahannya telah membangunkan seluruh rimba. Tarzan mendorong ?Jane dan Boy untuk lari di jalan setapak di tengah rimba, sementara suku Zambezi
memburu mereka. Lalu mereka bertiga melompat ke danau yang jernih dan berenang
seperti speedboat. Aku pernah melihat adegan ini sekitar seratus kali saat masih
kecil, tapi sebelumnya tak pernah memerhatikan potongan gaun rimba Brenda Joyce
yang mini, bagaimana dia sedikit mengusap payudaranya saat keluar dari air.
"Kami akan segera kembali bersama Big Three Matinee Theater," ucap pembawa
acara. Aku memandang ke tangan kakakku di bantalan sofa di sebelahku. Jari-jari dan
kukunya habis digigiti, kulitnya memerah dan mengelupas, darah mengering di
sisi-sisi kukunya. Sepanjang tahun di asrama, dia menggigit dan mengunyah,
mengunyah dan menggigit. Selama dua semester, dia mungkin telah mengunyah
sekitar lima pon kulitnya. "Kurasa ada pertandingan Yankee di channel sepuluh,"
kataku."Kau mau menontonnya?"
Tidak ada jawaban. "Thomas" Hei! Kau mau menonton pertandingan?"
Thomas mengeluh dalam-dalam saat dia menjawabku. "Kalau aku ingin menonton
pertandingan bisbol yang bodoh, aku pasti sudah melihatnya sekarang."
Aku membiarkannya. Berdiri dan mencoba menelepon Dessa lagi. Mungkin aku lebih
beruntung dengan telepon di lantai bawah. Tapi, masih tak ada jawaban.
Aku duduk kembali di sebelah Thomas. Kakiku mengetukngetuk lantai. "Hei, kau
ingat waktu itu di piknik serikat kerja Ray ketika dia menyuruh kita menyanyikan
lagu bodoh itu untuk semua orang" Lagu-lagu perang yang diajarkannya pada kita
saat kita kecil" Bagaimana lagunya, ya?"
Thomas berkedip dua tiga kali. Mengusap hidungnya. '"Kau bodoh, Mr. Jap' dan
'Selamat Tinggal Mama, aku pergi ke Yokohama'," katanya.
"Yeah, benar! 'Kau bodoh, Mr. Jap.'" aku menggelengkan kepala. "Ray di
berengsek. Si bangsat rasis."
Aku menuangkan sereal lagi. Makan beberapa sendok dan meletakkan mangkuknya di
meja kopi. "Aku dan Dessa bertengkar hebat semalam," kataku. "Aku yang salah."
Keterbukaan itu meluncur saja dari mulutku membuatku terkejut sama seperti
?Thomas. Dia memandangku. "Tapi tak terlalu serius, kok," kataku. "Tak ada yang
tak bisa kami selesaikan. Kau dan dia tak lama lagi pasti akan bertemu. Kurasa
kau akan menyukainya. Dia baik. Aku ingin kau bertemu dengannya kapan-kapan."
"Aku akan bertemu dengannya besok siang," kata Thomas.
"Apa" .... Apa yang kau bicarakan ini?" Aku tiba-tiba merasa panik.
"Dia menelepon pagi ini. Saat kau masih tidur. Dia pikir aku adalah kamu."
"Dessa" Dia bilang apa?"
"Dia bilang padaku apa yang terjadi semalam."
Aku terpaku, berusaha memikirkan bagaimana harus merespons. "Apa maksudmu apa
?yang terjadi?" kataku akhirnya.
"Dia bilang kau melupakan sepedamu di mobilnya. Dia seharian ini pergi dengan
ibu dan adiknya, tapi dia bilang bisa datang besok siang dan mengembalikan
sepedamu. Dia ingin tahu apakah aku akan ada di rumah besok sehingga bisa
bertemu." "Yeah" Dia bilang apa lagi?"
"Tidak ada." "Bagaimana dia kedengarannya?"
"Aku tak tahu. Kedengarannya baik." "Yeah" Bagus. Hebat ... dia memang baik.
Benar-benar baik." Aku tiba-tiba merasa sangat lega. Dipenuhi simpati pada kakakku yang aneh. "Hei,
Thomas, tentang masalah teman sekamar itu," kataku. "Leo memintaku begitu saja
suatu hari. Ini bukan plot untuk melawanmu atau semacamnya. Aku hanya .... Kurasa
aku ingin membuat perubahan. Itu akan baik untukmu dan aku. Karena itulah aku
melakukannya. Untukmu."
Thomas menertawakan kebohonganku yang terlihat jelas.
"Baiklah, jangan percaya padaku," kataku. "Aku tak peduli. Tapi itulah yang
sebenarnya." Dia menggumamkan sesuatu. "Apa?"
"Nggak apa-apa."
Kami berdua diam selama beberapa saat. Di TV suku Zambezi telah berhasil
menangkap Jane dan Boy dan mengikat mereka berdua. Mereka sekarang sedang
melakukan tahan aneh memutari Jane dan Boy. Kalau Thomas mau bertemu dengan
Dessa, dia sebaiknya tak membuatku malu. Bahkan, setelah kupikir-pikir, Thomas
tak akan bertemu dengan Dessa. Belum sekarang. Aku akan memikirkan sesuatu.
"Kenapa sih, dengan topimu itu?" tanyaku padanya. "Mengapa kau mengenakan benda
itu di tengah-tengah musim panas?"
Tapi Thomas sedang berada di gelombang lain. "Seakan-akan dia Mr. Innocent,"
katanya. "Apa" Siapa yang kau bicarakan?" Aku menunggu. "Siapa yang seakan-akan Mr.
Innocent?" "Maukah kau menolongku?" kata Thomas.
"Bergantung. Apa?"
"Berhentilah bermain Mr. Friendly Brother, karena itu sama sekali tidak
meyakinkan. Aku tahu apa yang kalian bertiga rencanakan."
Aku tertawa. "Siapa 'kami bertiga' itu?"
"Kau dan dua sobatmu itu. Sepanjang musim panas ini kau berusaha menjebakku. Aku
punya semua informasi yang kuperlukan."
Pesan gila yang kubuang di toilet kemarin malam melintas di mataku. Apa yang
tertulis di pesan itu" "Apa pun yang kau bicarakan ini, kau membual," kataku
padanya. "Kamu kenapa, sih paranoid atau?apa?"
"Tidak. Aku cuma tahu." "Yeah" Tahu apa?"
Thomas menarik topi stocking-nya hingga hampir menutup matanya. Lalu dia
mengambil majalah TV Guide dan mulai merobek-robeknya.
"Hei, itu baru, Sialan," kataku. "Apa yang kau lakukan?"
Sebagai jawabannya, Thomas mulai bernyanyi. "Kau bodoh, Mr. Jap." Semakin keras
dan keras. Mulai meneriakkannya padaku.
"Hentikan!" Aku memperingatkannya. "Hentikan!" Dan ketika dia tak mau berhenti,
aku memegangnya. Menerkamnya dan memaksanya berhenti. Dia berteriak sangat keras
ketika aku melepaskan topi sialan itu dari kepalanya. Dia mulai melawanku dengan


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekuatan lebih yang tak kuduga. Sofa terbalik dan kami berdua jatuh ke belakang,
menjatuhkan meja, dan berguling ke lantai. Sebuah lampu meja jatuh, tidak pecah,
tapi tutupnya bengkok parah. Ketika aku berhasil mendudukinya dan menekan
bahunya ke lantai, Thomas menaikkan kepalanya dan meludahiku. Sudah cukup: aku
meninjunya, di hidung. Mencekik lehernya saat dia berusaha melepaskan diri
dariku. Meninjunya dua kali di tulang iga dan mengeratkan cekalanku di lehernya.
Dia tersengal. Lemas. "Oke, oke, oke," katanya.
Aku melepaskan tanganku. Thomas terbatuk-batuk.
Kami berdua kehabisan napas. Kurasa sama-sama ketakutan. Aku berdiri dan
mengembalikan meja kopi ke posisinya, juga lampu meja. Membuang TV Guide yang
sudah robek, membersihkan sereal yang tumpah dengan vacuum, mengembalikan bentuk
tutup lampu yang bengkok sebisanya. Thomas duduk saja di lantai, mengusap
lengannya lagi dan lagi. Di ruang bawah tanah, aku menyiapkan peralatan memancingku. Mengecek kotak
memancingku, kailku. Aku mencoba dan mencoba melepaskan sebuah simpul di tali
pancingku, tapi jariku tak mau berhenti gemetar. Ada apa dengan Thomas" Menulis
pesan bodoh itu. Menuduh kami berusaha menjebaknya. Kalau ini adalah semacam
permainan gombal yang dia mainkan, dia akan menyesal telah memulainya. Aku jamin
itu. Aku muak dengannya ....Tapi, bagaimana kalau ini bukan permainan" Dan kalau
bukan, lalu apa" Apa yang terjadi"
Aku keluar dan duduk di tangga semen, melempar pancingku lagi dan lagi ke
halaman belakang, ke semak honeysuckle. Setelah ayahnya pensiun, ibuku bilang,
dia sering menghabiskan sepanjang hari di halaman kecil ini, duduk di bawah
naungan tanaman anggurnya, merokok cerutu, dan mengenang Sisilia. Dia meninggal
di sana, karena stroke, pada musim panas saat Ma mengandung kami.
Sialan, Man. Kenapa dia" Pasti ada sesuatu yang salah.
Sebelum Leo menjemputku, aku kembali masuk ke
rumah. Thomas masih duduk di lantai seperti kutinggalkan tadi, masih mengusapusap lengannya. Topinya sudah dia kenakan lagi. "Lenganmu sakit?" tanyaku
padanya. Tak ada jawaban. "Apa terkilir" Kau baik-baik saja?"
Diam. Sebagian dari diriku ingin memukulnya lagi dan sebagian lagi ingin mengulurkan
tangan dan mengangkatnya dari lantai. "Kalau aku jadi kau," kataku. "Aku akan
Bentrok Rimba Persilatan 22 Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Memanah Burung Rajawali 24

Cari Blog Ini