Ceritasilat Novel Online

Kisah Cinta Abadi 1

Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari Bagian 1


Siapa pernah menyangka di balik keindahan dan kesucian cinta yg tercermin dari
Taj mahal,tersimpan keangkuhan hati manusia"
atau,pernahkah kita menduga ketulusan cinta shah jahan kepada arjumand
banu,mumtaz mahal sang penghias istana,harus ternoda oleh sisi gelap nan
menyakitkan" Tat kala Taj Mahal selesai dibangun,kesulitan mughal justru terkoyak dari dalam
istana,perseteruan dua anak shah jahan,dara dan Aurangzeb,dalam memperebutkan
singgasana merak kesultanan makin memanas dan mencapai puncaknya,ketika
aurangzeb melakukan pemberontakan,aurangzeb lalu memenggal kepala dara dan
menunjukkanya dihadapan sang ayah,shah jahan
maka berulanglah sebuah penghianatan terhadap hukum Timurid yang diciptakan
leluhur mereka,Timur-i-leng:jangan sakiti saudaramu,meskipun mereka mungkin
layak mendapatkanya. ini tak ubahnya sebuah karma akibah shah jahan membunuh saudaranya,Khusrav,demi
mengamankan kekuasaanya. Novel ini menjanjikan kisah Taj mahal dari sudut pandang berbeda,dimana
kesetiaan berbalut nafsu angkara akan takhta,melanjutkan tradisi penggambaran
indah john shors dalam Taj Mahal:kisah cinta abadi(Mizan,2006)pembaca diajak
menikmati eksotika india masa silam dengan segala kegemerlapanya.
sama menakjubkanya dengan bangunan Taj mahal yang di deskripsikanya-Sunday
-observer - Novel yang sangat memukau......
-asia magazine - Timeri N Murari Novel yang penuh gairah dan eksotis!
memesona hingga halaman terakhir
-THE GUARDIAN- Hanya membiarkan setetes air mata ini jatuh. Taj Mahal, berkilau tanpa noda.
menerangi kelokan waktu untuk selamanya.... O Sultan! Kau Ingin menghentikan waktu dengan kea|aiban keindahan
dan menjalin rangkaian bunga yang akan menautkan kematian tak terbentuk dengan
bentuk keabadian'. Meskipun begitu, penanda cintamu tak akan lekang oleh waktu, tak akan runtuh,
tak akan goyah oleh bergantinya kesultanan, tak akan terpengaruh oleh pasang
surut kematian. membawa pesan kasihmu yang abadi dari masa ke masa.
Makam itu masih berdiri dan tak bergerak di tempatnya.
Di sini, di bumi yang berdebu, makam itu merengkuh kematian dengan lembut, dan
menyelubunginya dengan serpihan kenangan.
Rabindranath Tagore? TAJ MAHAL sebuah cinta abadi MIZAN PUSTAKA: KRONIK ZAMAN BARU adalah salah satu lini produk {product line)
Penerbit Mizan yang menyajikan buku-buku bertema umum dan luas yang merekam
informasi dan pemikiran mutakhir serta penting bagi masyarakat Indonesia.
Sebuah Monumen Cinta nan Abadi
Timeri N. Murari mizan .KRQMK.ZAAIAN.BABL1.. TAJ: TRAGEDI DI BALIK TANDA CINTA ABADI Diterjemahkan dari Taj: A Story of Mughal
India Copyright "Timeri N. Mur ari 2004 Published by the Penguin Group Penguin
Book India Pvt. Ltd, 11 Community Centre, Panchsheel Park, New Delhi 110 o 17,
India. All rights reserved Hak terjemahan ke dalam bahasa Indonesia pada
Penerbit Mizan Penerjemah Maria M. Lubis Penyunting: Andhy Romdani Proofreader:
M. EkaMustamar Cetakan I, November 2007 Cetakan II, Januari 2008 Hak cipta
dilindungi undang-undang All rights reserved Diterbitkan oleh Penerbit Mizan PT
Mizan Pustaka Anggota IKAPI Jin Cinambo No. 135, Cisaranten Wetan, Ujungber ung,
Bandung 40394 Telp. (022) 7834310 -fo Faks.(022)782288 e-mail: kronik@mizan.com
http://www.mizan.com Desain sampul: Andreas Kusumahadi ISBN 979-433-486-3
Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU) Jin Cinambo (Cisaranten Wetan) No.
146 Ujungber ung, Bandung 40294 Telp. (022) 7815500 (hunting) -f O Faks 0)22)
7802288 e-mail: mizanmu @fcdg .centrin.net id Perwakilan: Jakarta: 0)21)7661724;
Surabaya: 0)31)60050079. 8281857; (ubkassar: 0)411)871369
Untuk seorang perempuan cantik, istriku Maureen, dengan penuh cinta
Pujian untuk Taj "Hanya seorang novelis sejarah sekaliber Timeri N. Murah yang bisa berseluncur
begitu dekat dengan mulut kawah gunung berapi. Struktur novel ini sama
menakjubkannya dengan bangunan Taj Mahal yang dideskripsikannya."
-Bill A it ke n, Sunday Observer
"Novel dengan pergantian ritme cerita yang eksotis, sensual, dan keras secara
bergantian ...." -The Guardian "Sebuah buku tentang kesederhanaan yang sangat dahsyat
-Gloucestershire Echo "Novel yang sangat memukau dan membuat para penikmat buku ini bisa membaca
makna-makna simbolis di dalamnya."
-Asia Magazine Tentang Penulis Timeri Murari telah menulis beberapa novel, skenario, dan naskah drama. Filmnya,
The Square Circle, masuk ke dalam sepuluh film terbaik versi majalah Time. Dia
mengadaptasi film tersebut ke
dalam naskah drama dan menyutradarainya di Teater Leicester Haymarket. Novelnya
yang berjudul The Arrangements of Love, diterbitkan oleh Penguin pada 2004. Dia
juga menulis kolom mingguan di media The Hindu.
Saat ini Timeri N. Murari tinggal di India. Untuk mengenal sang penulis lebih
dalam, kunjungi http://timerimurari.com.
Dinasti Mughal Agung imur-ileng Babur 1483-1530 t 1526-1530
Humayun 1508-1556 Kamran t 1530-1556
Askar Hii Hakim GhiyaS Beg Jahangir (Salim) Murad Danival 1569-1627 _ _."t 1S05 - 16?"
Kushrav Panuez Shah Jahan Shahhya (Khurrum) ? ? ?1592 -1666 I 1627 -1658
fvfchrunissa ftsaf Khan Sher ladilti Atkun A)umand (Mimtaz-i-lubhal) 1595 -1630
Jahanara (Begum Sahib) 1614 Dara Shukoh 1615-1659 Shahshuja Raushanara Ajrangzeb MJrad Kudsiya 1616-1617- "amgir 1624-16301660 1671 1618-1707 1661 1706
t 1658-1707 ahadur Shah 1643-1712 I 1707 -1712
Catatan Penulis Masa lalu adalah prolog bagi masa kini. Peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi
tiga ratus tahun yang lalu masih terus bergaung di India modern. Konflik
berkepanjangan antara orang-orang Hindu dan Muslim dan pembentukan negara ?Pakistan kemungkinan besar disebabkan oleh tindakan Aurangzeb, anak lelaki Shah
?Jahan dan Arjumand. Semua karakter dalam novel ini-kecuali Murthi, Sita, dan anak-anak mereka benarbenar hidup tiga abad yang lalu, tetapi aku yakin bahwa seorang lelaki seperti
Murthi pernah hidup dan wafat saat membangun Taj Mahal, bersama-sama dua puluh
dua ribu orang lain. Ada seorang lelaki bernama Isa yang berjalan di bawah bayang-bayang Mughal Agung
Shah Jahan. Selain namanya, tidak ada lagi kisah tentangnya yang bisa diketahui.
Saat dibangun, makam akbar di Agra disebut Mumtaz Mahal. Tetapi, berabad-abad
kemudian, karena erosi waktu dan kenangan, bangunan itu
hanya dikenal dengan nama Taj Mahal. Jali, tabir, yang mengelilingi sarkofagus
Arjumand dan Shah Jahan dikenal sebagai hasil karya ukiran terbaik di seluruh
India. Dalam novelku, bab-bab yang bernomor ganjil menceritakan tahun 1607-1630, dan
merupakan kisah kehidupan Shah Jahan dan Arjumand: kisah cinta mereka,
pernikahan mereka, dan pe-nobat-an resmi Shah Jahan sebagai Mughal Agung. Babbab bernomor genap mengungkapkan kisah dari 1632-1666 dan mendeskripsi-kan
tahun-tahun kekuasaan Shah Jahan setelah itu: pembangunan Taj Mahal, kisah
Murthi, dan pemberontakan Aurangzeb terhadap ayahnya. Selain itu, diberikan juga
tanggal berdasarkan sistem kalender Islam tradisional, tahun Hijriah.[]
TAKTYA TAKHTA" (Takhta atau Makam") Sebuah peribahasa Mughal
?PROLOG 1150/1740 Masehi Hujan menghantam bumi dengan sangat deras. Saat itu tidak dapat ditentukan,
apakah masih siang atau sudah malam; waktu bergulir begitu cepat, tak terasa,
bagaikan manusia dan binatang diterkam oleh kebutaan. Tidak ada yang bisa
didengar kecuali suara sungai, menggemuruh dan menggelegar bagaikan naga raksasa
Sang Syiwa. Bumi bagaikan pecah berkeping-keping di bawah kedahsyatan hujan dan
hampir pasrah akan nasib manusia, binatang, tanaman, dan rumah, seakan tak mampu
lagi menanggung mereka yang membebaninya.
Dari bawah sebuah lengkungan batu raksasa, seekor monyet dunia lama menatap ke
luar, ke arah tirai air yang terbentuk. Selama hidupnya, ia tidak pernah
menyaksikan kedahsyatan seperti ini, dan di wajah sinisnya yang berkerenyit, ada
selarik ketakutan. Bulu-bulunya tertidur, berwarna cokelat-jingga gelap
bersemburat kelabu, dan di tempat-tempat yang bulunya terlepas tampak kulit
sang monyet yang berwarna hitam; bekas-bekas gigitan, yang sudah lama dan sudah
sembuh, mengoyak dagingnya dalam lengkung-lengkung bekas luka. Di dekat dinding
batu berkerumun beberapa ekor kera yang terdiri dari lima belas kera langour. Ia
bukan anggota kelompok itu. Mereka tampak anggun, langsing, dan berbulu
mengilap; sementara sang monyet itu gemuk dan jelek, tetapi ia telah membunuh
pemimpin mereka sehingga saat ini mereka tunduk kepadanya. Ia menjaga mereka
dengan penuh kesungguhan, dan mereka menerima kekuasaannya dengan pasrah. Dengan
keempat kakinya, sang monyet berjalan. Hujan menerpa punggungnya, bagaikan murka
karena keangkuhan sang monyet, tetapi bukannya berteduh, ia malah bergerak
menuju tangga sebuah taman yang terbengkalai. Kelima belas kera langour yang
ketakutan terhadap badai, juga ketakutan jika ditelantarkan, menjerit-jerit.
Lalu, dengan putus asa, mereka mengikuti sang pemimpin. Sang monyet tua
tampaknya tidak peduli pada kericuhan di belakangnya. Ia memerhatikan air mancur
yang membanjir dan ubin yang terbenam di bawah tanaman perdu rapat; ia mengambil
sekeping ubin yang patah dan melemparkannya ke air mancur.
Di bawah tembok, sang monyet duduk di atas kaki belakangnya dan memicingkan mata
untuk memandang sebuah bangunan luas berwarna putih bersih, yang tampak dalam
kegelapan. Sesuatu menjulang tinggi seperti bukit, membelah malam yang
menyelimuti. Sepertinya benda itu tidak hanya
menghalangi kegelapan pantai, tetapi juga bagaikan menolaknya, sehingga tampak
menyerupai sebuah aura terang di antara tembok-temboknya dan malam kelam. Ia
tidak menaiki tangga, tetapi mengitarinya, waspada untuk tidak melakukan
kebiasaan lama. Akhirnya, setelah yakin, ia menemukan sebuah pijakan di ubin
marmer dan melompat naik ke sebuah fondasi batu.
Ada celah di tebing itu, tempat kegelapan menyelinap masuk, dan ia mengikutinya,
melangkah hati-hati di atas serpihan-serpihan marmer yang tersebar di lantai.
Air hujan juga bisa masuk, meninggalkan kubangan-kubangan air. Ia mengendus kelembap-an dan kekosongan, tetapi juga mencium aroma wangi dupa ia tidak ?menyukainya kemudian bau manusia, yang masam dan tidak enak. Ia penasaran dan
?tidak takut. Sang monyet melangkah lebih jauh, menapaki dedaunan kering, dan
melihat sebuah tabir yang dipahat dan dihias dengan indah, melompat cepat ke
atas, menghindari celah-celah yang terbuka di ubin marmer.
"Siapa itu!" sebuah suara terdengar.
Sang monyet membeku, mendengarkan suara sebuah tongkat yang berdetak ribut.
Seorang pria muncul dari lantai bawah, lemah, renta, dan buta.
"Ah, ternyata kau. Aku bisa mengendus baumu. Kemari, kau tak perlu takut
kepadaku." Suara orang itu bergema. Suara hujan tidak dapat menembus keheningan di dalam
ruangan tertutup itu. Sang monyet mengamati pria itu,
mengetahui dia buta dan tidak berbahaya, dan teman-teman sang monyet pun sudah
berkumpul di sekelilingnya, mengibaskan air dari bulu-bulu mereka yang lembap.
"Tidak ada makanan di sini. Hanya ada batu, dan siapa yang bisa makan batu" Aku
telah menyentuh semua benda di sini, semua dingin dan licin, seperti permukaan
air es. Aku tidak tahu tempat apa ini, atau mengapa tempat ini dibangun. Bisakah
kau menceritakannya kepadaku, Hanuman?"
Sang monyet menggaruk-garuk dadanya dan mengabaikan pria itu.
"Kau sendiri juga tidak tahu. Bagimu, seperti juga aku, tempat ini hanyalah
tempat berteduh dari hujan.11 []
Kisah Cinta 1017/1607 Masehi Arjumand Apakah guntur yang membangunkanku" Aku duduk, terkejut, mendengarkan dengan
saksama. Saat ini seharusnya belum masuk musim monsun-musim pancaroba, tetapi
udara begitu terasa mengancam, dan membeku, bagaikan menunggu untuk meledak
murka. Aku bisa mendengar kehampaan, kecuali kaokan pertama gagak-gagak, burungburung bulbul yang berlatih menyenandungkan nada memukau, dan tupai-tupai yang
bercericit nyaring. Langit tampak memucat, dengan sisa-sisa malam yang masih
menggantung di tepi cakrawala. Pohon-pohon mangga, peepul, dan banyan di luar
jendela pun terlihat samar dalam kelembutan cahaya.
Mungkin mimpiku yang telah membuatku terjaga, meskipun aku tidak bisa benarbenar mengingatnya. Gelegar guntur membuat jantungku terlonjak, dan saat ini
masih berdegup kencang. Apakah ini sebuah peringatan" Aku tidak merasakan
ketakutan, tidak merasakan beban, seperti seorang
terpidana mati yang akan menikmati fajar terakhirnya di dunia. Tetapi, aku
sendiri terkejut, sepertinya aku merasakan kelegaan, kebahagiaan. Kegembiraan
memang tidak menyebar di sekelilingku, tetapi ada di dalam diriku sendiri, dalam
sisa-sisa impianku yang manis.
Aku menatap hamparan luas keperakan di atas langit kemerahan, lalu memandang
bayangan gelap tempat bumi dan kahyangan bertemu, yang membara dengan semburat
merah terang. Di kejauhan, aku melihat suatu objek, tetapi tidak bisa memastikan
apa itu. Sebongkah karang" Seorang manusia" Objek itu terang dan menyilaukan.
Apa yang mungkin akan diramalkan oleh peramal bintangku dari mimpi seperti ini"
Kekayaan" Kebahagiaan" Cinta" Hasrat yang dimiliki oleh semua makhluk" Tetapi,
tanpa petunjuk sang cenayang, aku tahu bahwa hari-hari esok akan penuh arti,
yang bisa saja penting. Aku menghadapinya dengan berani, tak sabar menunggu.
Zenana masih berada dalam kegelapan, tetapi kesibukan pagi mulai terdengar di
luar dan aku bisa mendengar panggilan para pedagang jalanan, roda kereta kerbau
yang berkeretak, dan seorang anak bernyanyi dengan suaranya yang bening dan
merdu. Dari jauh, irama dundhubi menandakan hadirnya sang Mughal Agung Jahangir
di jharoka-i-darshan. Setiap hari, satu jam sebelum matahari terbit, dia
memamerkan dirinya sendiri kepada para pejabat dan rakyat jelata dari atas Lal
Quila. Kehadirannya bisa meyakinkan orang-orang
bahwa dia masih hidup dan kesultanan aman tenteram. Dia harus membuktikan
keberadaannya setiap hari. Aku bisa membayangkan dia duduk di singgasana
peraknya, menatap ke timur, ke tepi dunia, tempat kesultanannya berujung. Sudah
lazim diketahui bahwa seekor unta membutuhkan waktu enam belas hari untuk
melintas dari perbatasan timur ke perbatasan barat, daerah di antara Persia dan
Bengal, dan enam belas hari lagi dari Himalaya di utara ke Dataran Deccan di
selatan. Pusat kemegahan ini adalah Sultan Agra, tetapi ke mana pun dia pergi ke
daerah kekuasaannya, itu adalah pusatnya.
Dundhubi juga merupakan tanda bagi penghuni rumah kami untuk bangun. Suaranya
terdengar akrab; karena memang selalu terdengar sama. Seumur hidup, aku telah
mengikuti gerakan-gerakan dari suara-suara ini: para budak yang menyalakan api
di dapur, kibasan sapu yang berirama, dan perputaran manusia penghuni rumah dari
ruangan-ruangan di bawah. Dari dalam, aku mendengar bisikan para ibu, nenek, dan
bibi. Hari ini, aku bisa mendengar nada tertentu dalam suara mereka, suatu
keributan kecil, bagaikan mereka juga terbangun oleh gelegar guntur. Tadi aku
berpikir jika aku satu-satunya yang terbangun karena itu, tetapi keributan yang
melanda seluruh zenana membuatku merasa kecewa.
"Apakah kau sudah bangun, Arjumand?" ibuku memanggil.
Biasanya, harem tidak terbangun dini hari, dan
para perempuan biasanya membutuhkan setengah hari untuk membersihkan diri dan


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian, tetapi hari ini kegiatan benar-benar membingungkan. Para pelayan dan
budak berlari bolak-balik, mengambil, membawa, dan meletakkan sesuatu seperti
yang diperintahkan oleh bibiku Mehrunissa, ibuku, nenekku, para istri, serta
kerabat perempuan lain. Peti-peti perhiasan, gulungan sutra, kotak-kotak tempat
gading, perak, dan giok yang tersimpan dalam satu tempat, karena malam ini akan
berlangsung Pasar Malam Bangsawan Meena. Seperti komet, acara ini hanya akan
berlangsung sekali dalam setahun, pada akhir musim semi, dan memicu kegairahan
para perempuan dalam lingkungan istana.
"Apakah kau akan bersiap?" Mehrunissa bertanya kepadaku.
"Apakah aku juga harus ikut?"
"Mengapa tidak" Sekarang kau sudah cukup besar. Seseorang mungkin bisa
memerhatikan dan melamarmu."
Pada tahun 1017 ini usiaku baru dua belas tahun, sudah hampir waktunya untuk
menikah. Aku adalah anak semata wayang dan hidupku begitu terkungkung dan tidak
menarik. Pendidikanku-membaca, menulis, melukis, musik, sejarah, dan Quran-sudah sangat
layak dan cukup bagi seorang istri pejabat. Pernikahanku yang dijodohkan sudah
pasti akan merupakan penyatuan hampa antara dua tubuh dan dua kekayaan. Tak ada
yang bisa kulakukan untuk menghindari masa
depanku ini. Tentu saja aku memimpikan romansa; semua gadis pun mengalaminya.
"Atau tawarkan sesuatu yang lain," salah satu kerabatku mengusulkan dengan
keras, menyebabkan tawa berderai.
"Aku tidak punya apa-apa untuk dijual," sahutku, mengabaikan maksudnya.
"Kau bisa menjual apa pun-buah-buahan, rempah-rempah, ukiran. Itu tidak penting.
Tapi, tentu saja," Mehrunissa menambahkan dengan malu-malu, "jika di tendamu ada
barang-barang berharga, kau bisa menarik para pejabat, bahkan mungkin sang
Sultan sendiri." "Apa yang akan Bibi jual?"
"Perhiasan emas dan sutra yang kurancang sendiri." Bibiku mengulurkan tangannya
ke salah satu petinya, mengangkat gelang-gelang dan kalung-kalung zamrud
berhiaskan intan, cincin-cincin bermata batu mirah dan safir, kemudian dengan
asal menumpahkannya ke luar. Dia mengerutkan wajah melihat perhiasannya.
"Apakah kau pikir ini sudah cukup bagus?"
"Memang ada yang lebih bagus?"
Dia mengangkat bahu, masih merasa ragu, kemudian menatapku dengan tatapan yang
diam-diam menyiratkan spekulasi. Meskipun sangat cantik, Mehrunissa adalah
seorang perempuan yang berkepribadian sangat sulit. Dia mendera atau menyiksa
siapa saja yang tidak menuruti keinginannya, dan bahkan suaminya, Jenderal Sher
Afkun, yang keberaniannya di medan perang tidak
perlu dipertanyakan lagi, bertekuk lutut di bawah bayang-bayangnya. Bibiku
selalu ingin menyilaukan dan memikat hati orang lain. Jika bisa memetik bulan
dan bintang dari angkasa, dia akan memasangnya di atas tumpukan logam-logam,
batu-batu berharga, dan lembaran-lembaran sutra.
"Tapi mereka tidak akan datang untuk membeli, hanya untuk memandang kita. Mereka
hanya akan memandang dan memandang, tapi tidak memperlihatkan keberanian."
"Dalam kesempatan apa lagi mereka bisa melihat kita" Para perempuan pasar biasa
bisa menunjukkan wajah mereka ke dunia dan pergi ke mana pun mereka suka, tapi
kita harus menghabiskan seumur hidup kita dalam kungkungan purdah."
"Lebih baik tidak bisa dilihat, tapi bisa melihat segalanya." kata Mehrunissa
tajam. "Itu akan membuat para pria membayangkan kita dan berkhayal."
"Dan hanya itu yang bisa mereka lakukan," aku menimpali dengan keras kepala.
"Siapa lagi yang akan datang ke pasar malam, selain Sultan?"
"Banyak pejabat agung." Dia merendahkan suaranya, terdengar bersiasat, "Bahkan
mungkin sang pangeran, Shah Jahan. Siapa tahu ada peristiwa menakjubkan yang
akan terjadi malam ini?"
Dia mendesah penuh harap. Semua perempuan berubah karena merasa bersemangat,
tetapi tampaknya hanya Mehrunissa yang tersihir kegairahan menyambut acara.
Malam ini, dia bisa melupakan rumah tangga dan anak perempuannya
yang masih kecil, sekali lagi berpura-pura menjadi seorang gadis, memimpikan
romansa dan menulis puisi bagi seorang kekasih yang akan, dengan embusan
keajaiban, merebut hatinya. Aku bertanya-tanya, apakah dia sudah memiliki
seorang kekasih dalam impiannya.
"Apa yang Bibi harapkan akan terjadi?" aku bertanya.
"Aku hanya memperkirakan keadaan nanti," dia menukas dengan ceria. "Di mana
Ladilli?" "Masih tidur." Ladilli adalah putri bibiku, dan seperti aku, dia adalah anak
tunggal. Dia adalah sahabatku, seorang gadis pemalu dan pendiam, yang tidak
pernah memiliki keberanian.
Aku tidak memiliki banyak barang untuk dipajang di tendaku seperti Mehrunissa.
Aku masih muda dan belum menikah, dan bukannya kalung rantai yang berat dan
beberapa gelang emas, kebanyakan perhiasanku terbuat dari perak. Aku
mengumpulkan gelang kaki, cincin hidung, gelang, kalung, dan cincin milikku,
tetapi jumlahnya hanya sedikit. Mereka sama sekali tidak berharga apa-apa-hanya
seribu rupee, mungkin tidak sampai.
Ketika aku menatap perhiasanku, aku bagaikan tersambar dan tergetar oleh gelegar
guntur lagi. Ada sebuah impian yang selalu terbayang kembali, yang
mengingatkanku bahwa hari ini akan berbeda. Dalam mimpiku, aku melihat sesuatu
yang berwarna merah, tetapi tidak bisa memastikan apakah itu merah darah atau
merah sutra-dalam mimpiku, mereka bagaikan berbaur silih berganti-dan aku
mendengar suara seseorang, suara pria, lembut, tetapi aku tidak bisa mendengar
apa yang dia katakan. Aku tidak melihat wajahnya dalam mimpiku; aku hanya tahu
kami menunggu satu sama lain.
"Pikiranmu tampaknya melayang jauh, Agachi," Isa membuyarkan lamunanku. "Kau
tampak tidak bersemangat seperti begum-begum yang lain."
Isa adalah seorang chokra-pengemis yang memainkan sulap jalanan-yang ditemukan
dan dibebaskan oleh kakekku, Ghiyas Beg, tiga tahun yang lalu. Meskipun dia
beberapa tahun lebih tua daripada diriku, tubuhnya masih kecil dan kurus. Isa
bercerita kepada kami bahwa dia diculik dari sebuah desa di utara Golconda oleh
seorang tukang sulap ketika dia masih kecil, dan mereka menjelajah bersama-sama
selama bertahun-tahun. Dia telah berusaha kabur dari majikannya, tetapi
tertangkap dan sedang dipukuli dengan bertubi-tubi saat kakekku menemukannya.
Dia diizinkan masuk ke dalam harem karena dia mengaku telah menjadi kasim, yang
dipastikan oleh kasim Mehrunissa, Muneer. Kadang-kadang, aku meragukan kisah
tentang Isa ini, tetapi dia melayaniku lebih setia daripada yang bisa dilakukan
para pelayan perempuan. "Aku bermimpi, Isa, dan aku sedang mencoba untuk mengingat-ingatnya."
"Saat kau tertidur, mimpimu akan kembali," kata
Isa. "Mungkin. Ini, tolong bawakan." Aku memberikan
perhiasan perakku yang terbungkus kain sutra kepadanya. "Apakah yang lain sudah
siap?" "Ya, Agachi."
Bazaar diadakan di taman-taman di istana Sultan. Istana Sultan tersembunyi jauh
di dalam benteng Lai Quilla yang berdiri bagaikan sebuah bukit kecil dari batu
paras berwarna merah, di tepi Sungai Jumna. Istana ini dibangun oleh ayah
Padishah, Akbar Agung. Akbar adalah orang yang begitu murah hati memberikan
pekerjaan kepada kakekku saat dia pertama kali tiba di Hindustan dari Persia.
Mereka berkenalan karena dipertemukan oleh seorang pemilik karavan unta, yang
mengantarkan kakekku Ghiyas Beg kepada Mughal Agung; jika ini tidak terjadi,
mungkin kami masih tidak beruntung dan miskin, seperti ribuan manusia yang
menyesaki jalanan Agra. Kemajuan kakekku begitu cemerlang-tetapi dengan segera mengecewakan lagi. Dia
maju pesat ketika melayani Akbar, tetapi karena salah menilai sang Sultan, dia
terlalu banyak menerima upeti. Ada kebiasaan di Persia dan Hindustan untuk
menerima hadiah sebagai imbalan suatu perbuatan, tetapi menurut Akbar, menterimenterinya tidak boleh melakukan praktik seperti ini, dan dia memecat kakekku.
Sejak kematian Akbar dua tahun yang lalu, kakekku ingin melayani anaknya juga,
Jahangir. Mungkin akhirnya hati Jahangir luluh juga, karena kami diberikan suatu
hadiah besar, yaitu diundang ke Pasar Malam Bangsawan Meena. Karena itu, bisa
dimengerti jika peristiwa ini menyebabkan
kegairahan yang begitu besar di tempat tinggal kami.
Prosesi keluarga kami dari rumah menuju benteng yang berjarak empat kos tidak
begitu besar: hanya tiga tandu. Muneer membuka jalan di antara kerumunan dengan
sebuah lathi yang dia gunakan dengan penuh kekejaman dan sukacita. Aku
mengajukan protes kepada Mehrunissa, tetapi tampaknya dia juga menikmati
kegembiraan yang sama setiap mendengar lecutan kayu di tubuh manusia.
Aku memilih untuk berjalan, dengan Isa yang mengikuti selangkah di belakangku,
menghadapi debu, panas, tetapi bisa melihat pemandangan kota besar yang
menakjubkan, daripada di dalam selubung tandu yang menutup. Tidak ada kota lain
yang sebesar dan seberagam ini di seluruh dunia. Di sini, aku melihat para
lelaki dan perempuan dari Bengal, Persia, Yunani, Uzbekistan, Cathay, para kaum
feringhi dari laut-laut barat, orang-orang Afghan, dan orang-orang dari setiap
suba di Hindustan. Di sini, pasar di tepi jalan menjual kekayaan dunia:
porselen, emas, perak, gading, sutra, batu mirah, intan, rempah-rempah, budak,
kuda, dan gajah. Di belakang kami berbaris prosesi kecil pengemis. Isa memberi
masing-masing satu dam atau satu jetal, tergantung kelusuhan mereka. Jika dia
sedang berjalan sendirian, mungkin dia akan mengusir mereka dengan seruan atau
umpatan. Orang-orang miskin selalu bersikap kasar terhadap sesama mereka.
Kami memasuki Lai Quila melalui darwaza Amar Singh. Darwaza Delhi dan darwaza
Hathi Pol diperuntukkan untuk jalur pasukan perang Mughal, yang menempati
setengah bagian benteng. Kami melewati para prajurit kesultanan yang mengenakan
seragam-seragam merah terang, baju-baju zirah berkilauan, dan dipersenjatai
dengan pedang dan perisai. Kami melangkah dari satu dunia ke dunia yang lain.
Benteng itu sendiri berbentuk seperti busur raksasa dengan "tali busur" yang
menghadap ke sungai. Temboknya setinggi tujuh belas meter dan tebalnya tiga
meter, dengan puncak yang dibentuk bergerigi mirip mata gergaji. Ada menaramenara yang dibangun teratur di sepanjang tembok, masing-masing berjarak dua
kos, semua dijaga oleh para prajurit kesultanan. Kami menunggu sebentar di
halaman Amar Singh dengan orang-orang lain yang tak terhitung jumlahnya, sebelum
diizinkan memasuki lorong sempit menuju istana. Komandan penjaga duduk di
kejauhan, di atas sebuah panggung, dan memeriksa apakah kami betul-betul
diundang. Sekarang, jalan menanjak dengan curam, di antara dua tembok tinggi. Di
puncak tanjakan terhampar sebuah area luas. Di depan kami ada sebuah diwan-i-am
berpilar dengan atap kayu dan langit-langit dari perak tempa. Istana sendiri
berdiri di ujung taman di sebelah kanan kami, di tembok utara benteng, menghadap
ke sungai. Istana itu dibangun dengan indah dari batu paras merah, dindingdinding dan pilar-pilarnya ditutupi
ukiran-ukiran detail yang tersusun rapi. Meskipun berukuran besar, tampaknya
istana itu begitu indah dan rapuh.
Karena suatu alasan, sang Sultan sendiri jarang menempatinya. Dia tinggal dan
tidur dalam sebuah bargah yang didirikan di taman. Ini adalah sebuah tenda
raksasa yang rumit dan memiliki banyak ruangan, dihiasi dengan permadanipermadani indah dari Persia dan Kashmir, dinding-dindingnya dihiasi lukisanlukisan dan lembaran-lembaran sutra yang ditempeli batu-batu berharga. Timur-ileng, penakluk Mongol pertama, telah membuat peraturan bahwa tidak boleh ada
keturunannya yang tidur di bawah atap bangunan, dan setiap sultan mematuhi
perintahnya. Area benteng lainnya dipenuhi oleh pasar, kantor-kantor
administrasi, dan bengkel-bengkel kerja yang tak terhitung jumlahnya.
Hanya ada sedikit perubahan selama tiga tahun keterasingan kami, tetapi aku
merasakan sesuatu yang baru: istana, air-air mancur, hamba sahaya istana dalam
busana mereka yang cemerlang, para musisi, penampil akrobat, gajah-gajah, dan
kuda-kuda, bahkan udara sendiri tampaknya sedang bernyanyi. Acara itu bukan
sekadar pendekatan kekuasaan. Seluruh kesultanan memiliki satu detak jantungdetak jantung Jahangir-dan kami semua berada dekat dengannya. Keramaian,
kericuhan, dan hawa panas membuat orang-orang merasa pusing: tandu-tandu yang
berjumlah tak terhingga membawa harem-harem pangeran dan para pejabat mendorong
serta menerobos untuk menurunkan
bawaan berharga mereka di tangga istana. Harem-harem sultan menempati bagian
paling luas dari bangunan ini dan merupakan tempat yang sulit untuk dimasuki,
karena, selain para perempuan penghuninya, tempat ini juga menyimpan harta
Mughal Agung yang tak terhingga.
Pertama, kami harus melewati selapis penjaga istana, semua bersenjata jezails,
sebuah senapan panjang, atau tombak. Mereka tidak mendekati para perempuan,
tetapi para pelayan pria dalam rombongan kami diperiksa dengan ketat. Lapisan
berikutnya, yang menjaga koridor-koridor di dalam istana sendiri, dipenuhi oleh
budak-budak perempuan dari Uzbekistan. Mereka adalah kesatria yang sama kejamnya
dengan para penjaga istana, dan sama-sama dipersenjatai. Sosok mereka seperti
lelaki, dengan bahu lebar yang kukuh, lengan-lengan kuat, dan sikap yang kaku.
Mereka memeriksa kami, para perempuan, dan kadang-kadang terlalu akrab, meskipun
ada beberapa tangan yang tampaknya terlalu kasar bertindak. Tetapi, aku tidak.
Di dalam harem sendiri ada para kasim. Satu-satunya tugas mereka adalah untuk
mencegah para lelaki yang bisa berpasangan dengan perempuan mana saja memasuki
harem. Tetapi, mereka dikenal mudah terpengaruh, sehingga ceroboh dalam
menjalankan tugas. Aku belum pernah melihat begitu banyak perempuan yang bersukacita berkumpul
bersama di satu tempat dan waktu yang sama. Aku tidak bisa menghitung jumlah
mereka, tetapi Isa, yang tampaknya tahu banyak hal, mengatakan bahwa ada lebih dari delapan ribu orang.
Mungkin saja: Akbar memiliki empat ratus istri dan lima ribu selir, dan
kebanyakan di antara mereka masih tinggal di istana. Kebanyakan pernikahan
mereka adalah persekutuan politik, seperti juga pernikahan Jahangir. Pernikahanpernikahan mata ini berakhir setelah periode waktu yang disepakati dan para
perempuan akan kembali ke rumah mereka, bergelimang hadiah emas dari Mughal
Agung. Perkawinan dengan nikah berlangsung seumur hidup dan para istri
mendapatkan gaji yang memuaskan, dihadiahi jagir-jagir besar, dan kekayaan masih
bertambah karena usaha-usaha mereka dalam bidang perdagangan dan jasa. Para
perempuan dari berbagai negara dan bahasa berkumpul bersama: orang-orang Rajput,
Kashmir, Persia, Bengal, Tartar, Mongol, Tibet, Rusia, Circasia.
Istana mirip dengan sebuah sarang lebah raksasa dengan banyak ruangan. Ukuran
dan kemewahan perabot ruangan-ruangan itu beragam, tergantung derajat kemuliaan
penghuninya. Udara begitu pengap dan harum dengan parfum-parfum yang tampaknya
menguar dari dinding-dinding, dan aku merasa bagaikan sedang menapaki daging
yang lembut dan wangi belerang. Kami bergerak maju dengan lambat, sebagian
karena kerumunan manusia yang padat, dan sebagian lagi karena Mehrunissa
mengenal banyak perempuan, jadi dia sering berhenti untuk menyapa setiap orang
yang dia kenal dengan begitu akrab dan ramah; meskipun
setelah itu dia akan melontarkan komentar pedas dalam bisikan rendah. Kebanyakan
perempuan menatap kami dengan terkejut. Tetapi, jika Mehrunissa bersalah karena
ketidakjujurannya, mereka juga sama saja. Di lapangan, perhatian ini diukur
dengan kedekatan seseorang dengan sang Sultan. Hubunganku dengan Sultan begitu
jauh, tidak penting sama sekali. Tetapi, aku bisa mengartikan setiap tatapan:
mengapa kami diundang" Apakah kakekku sudah dimaafkan" Segera, aku menemukan
diriku sendiri terserang sesak napas, bukan karena udara yang pengap-angin
sepoi-sepoi yang sejuk menerpa dari Sungai Jumna-tetapi karena persahabatan yang
palsu. Aku berhasil menuju balkon dan menatap ke bawah, ke taman istana. Salah satu
keunikan Mughal adalah karena istana ini dipenuhi nuansa oasis keindahan alami.
Taman-taman tidak menampakkan suatu kesan permanen, tetapi merupakan sesuatu
yang mengesankan kehidupan nomadik para leluhur mereka; air, pepohonan, dan
bunga-bunga yang jarang ditemui. Bagian tengah padang rumput luas dipenuhi
dengan setiap bunga yang bisa dibayangkan-mawar, melati, kemboja, kana, violetdan dipagari oleh pepohonan besar yang teduh, serta kolam air mancur yang terusmenerus mengalir. Air memancar penuh irama, dengan tiga puluh enam pasangan
kerbau yang bergantian membawa air dari sumur sepanjang siang dan malam.
Pemandangan ini sendiri begitu
menyejukkan dan menenangkan dalam sengatan panas musim kemarau. Para pekerja
lelaki mulai mendirikan tenda-tenda untuk bazaar, tempatku nanti duduk, dan
menawarkan tumpukan kecil perhiasan perakku. Jalan setapak tanah di antara
benteng akan segera tertutup karpet.
"Ternyata kau di sana. Aku sudah mencarimu ke mana-mana." Mehrunissa menarik
seorang perempuan mungil dan pemalu di belakangnya, begitu lembut dan rapuh
bagaikan pakaian sutra yang dia kenakan.
"Yang Mulia, ini keponakanku, Arjumand."
Aku mengangguk kepada Jodi Bai, permaisuri Jahangir. Dia berdiri sambil menunggu
dengan gugup, bahkan tampak tidak senang, bagaikan menungguku untuk berbicara.
Aku tidak bisa menemukan apa yang harus kukatakan kepada perempuan pendiam yang
murung ini, dan hanya mengamatinya saat Mehrunissa berceloteh riang tentang
pasar malam. Jodi Bai berasal dari Rajput dan merupakan penganut Hindu, ibu sang
Pangeran Shah Jahan. Aku tidak mengira bibiku begitu akrab dengan Permaisuri,
dan pertunjukan perhatian yang begitu mencolok ini menunjukkan maksud
terselubung Mehrunissa. Mehrunissa


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperhitungkan segala sesuatu dengan cermat, seperti seorang ahli matematika.
"Oh, dia benar-benar perempuan konyol," Mehrunissa berbisik saat Jodi Bai
melesat meninggalkan kami, bagaikan seekor binatang liar mungil yang bersembunyi
di balik rerumputan tinggi.
"Lalu, mengapa Bibi begitu akrab dengannya?"
"Karena aku tidak bisa kurang ajar terhadap istri Jahangir." Dia menoleh ke
belakang, ke arah kamar-kamar yang sesak. "Selain itu, aku tidak tahu bagaimana
dia sebenarnya. Seorang permaisuri! Tidak heran, Jahangir mabuk-mabukan hingga
hampir mati." "Mereka bilang, Jahangir sudah minum sebelum menikahinya. Dua saudara lelakinya
juga meninggal karena minum."
"Dan dia tidak akan hidup terlalu lama lagi jika terus bersamanya."
"Mengapa Bibi begitu peduli terhadap hal itu?"
"Bukan urusanmu."
Mehrunissa tiba-tiba pergi, menggabungkan diri ke dalam kerumunan manusia, tawa,
dan celoteh, bagaikan seekor burung yang melayang dibawa angin. Aku tahu, di
balik kecantikan bibiku, suatu arus ambisi sedingin es mengalir deras. Aku tidak
bisa meramalkan ambisinya, karena tersembunyi rapat di dalam pikiran rahasianya,
yang tidak diketahui oleh seorang pun.
mim Pada saat yang sudah dijanjikan, tiga jam sebelum tengah malam, kami mendengar
suara perempuan di kejauhan mengumumkan, "Zindabad Padishah, Zindabad Padishah."
Keributan mereda saat sang Sultan mendekat, dan semua perempuan bangkit untuk
memberi salam kepadanya. Jahangir melangkah santai di atas karpet beludru yang terhampar, terlibat dalam
pembicaraan serius dengan kakekku, Ghiyas Beg. Sang Padishah mengenakan turban
sutra merah tua, yang dari atasnya mencuat sehelai panjang bulu burung bangau
yang mengangguk-angguk. Mengapit bulu itu, ada lingkaran-lingkaran emas yang
bertatah susunan batu mirah dan berlian, masing-masing seukuran buah kenari. Di
bagian tengah, menahan bulu di tempatnya, ada sebuah bros dengan susunan zamrud
yang berkilauan. Di pinggangnya, dia mengenakan sebuah sabuk emas, yang dihiasi
dengan intan-intan dan batu mirah. Pedang Humayun tersemat di pinggang sebelah
kirinya, dan di sebelah kanan terdapat sebuah belati melengkung dengan gagang
berhias batu mirah terbungkus dalam sarungnya. Seuntai kalung dengan tiga lapis
mutiara tergantung di lehernya, dan di setiap lengan ada gelang-gelang emas yang
bertatah berlian, sebuah gelang yang tebal di atas sikunya, dan masing-masing
tiga buah di setiap pergelangan tangannya. Jari-jarinya juga dihiasi cincincincin bermata batu mulia, dan kakinya mengenakan sandal bersulam benang emas
dan butir-butir mutiara. Di belakangnya dua pria berjalan, yang seorang membawa
sebuah wadah panah dan sebuah busur besar, yang lain membawa sebuah buku. Di
belakang sang pembawa buku, ada seorang anak lelaki Abyssinia yang membawa pena
dan tinta, karena Jahangir memiliki hasrat keingintahuan tentang dunia, dan akan
segera mencatat setiap pikiran dan kesannya dengan teliti.
Tenda kecilku didirikan agak jauh dari gerbang, di bawah keteduhan sebatang
pohon neem. Mehrunissa berada di dekat cahaya paling terang, dekat kolam air
mancur. Aku mengatur perhiasanku dan mengatur sekali lagi, tetapi tidak ada yang
bisa kulakukan untuk membuat tampilan yang menarik. Pernak-pernik milikku
tergeletak begitu saja di atas karpet biru kecil.
"Siapa yang akan membeli ini semua, Isa?"
"Seorang pria yang paling beruntung, Agachi. Aku bisa merasakannya."
"Dia pasti seorang pria tolol. Dia pasti akan memiliki kesempatan lebih baik di
tempat lain, di pasar malam ini, selain di sini."
Sekarang para pejabat tidak lagi mengikuti sang Sultan, tetapi menyebar di jalan
setapak di antara tenda-tenda. Aku benar-benar canggung tanpa cadarku di hadapan
para pria yang benar-benar asing ini, meskipun diam-diam, inilah yang
kuharapkan. Waktu semalam bagaikan tidak cukup bagiku; jiwaku melayang tinggi
bagaikan seekor burung yang menderita karena jerat yang mengikat kakinya.
Lamunanku buyar karena kedatangan kakekku.
"Kau benar-benar tersembunyi, Arjumand."
"Ini tenda yang diberikan untukku. Aku satu-satunya yang masih gadis."
Kakekku tertawa. "Tapi, kau gadis yang cantik!"
Aku tersenyum. Kakek selalu mengatakan hal itu. Dia adalah seorang lelaki baik
yang tenang, tinggi dan kurus, dengan mata yang berwarna mirip langit
malam, seperti mataku. "Apakah Kakek akan membeli sesuatu" Kumohon.
Soalnya, tidak ada orang lain yang akan membeli barangku."
"Tidak, barangmu seharusnya merupakan keberuntungan bagi lelaki lain. Sebentar
lagi akan ada yang membelinya." Lalu, kakekku berbisik: "Tapi, jika mereka semua
bertindak bodoh, aku akan kembali dan membeli semuanya. Ingatlah, beri aku harga
yang cocok untukku."
"Aku melihat Kakek dengan Sultan."
"Ya. Dia cukup baik untuk menerima kehadiranku yang bersahaja ini."
"Apa yang kalian bicarakan" Apakah dia akan memberi Kakek tugas?"
"Aku akan menceritakannya nanti." Kakek mencubit pipiku dengan penuh rahasia.
Lalu, Kakek pergi, dan beberapa lelaki lain berjalan lambat ke arahku,
kebanyakan menatapku, saling berbisik dan tergelak, tetapi tidak berani untuk
mendekat. Para perempuan lain, seperti para wanita di pasar betulan, merayu dan
memanggil-manggil mereka, tetapi aku tidak bisa bersikap seberani itu. Malahan,
aku hanya memerhatikan tamasha: Aku melihat Jahangir berhenti di tenda
Mehrunissa, membeli sesuatu, berbisik kepada bibiku itu, lalu berjalan lagi.
Mehrunissa tampak gembira dan puas, tetapi, dengan segera dia mengalihkan
perhatiannya kepada seorang pejabat lain.
Saat itulah aku merasakan ada tatapan seseorang mengarah kepadaku. Tatapan itu
begitu kuat, menginginkan aku untuk menoleh ke arahnya. Aku nyaris bisa
merasakan kelembutannya. Tubuhku begitu lemas, dan saat aku menoleh, melalui
tenda-tenda yang menghalangi, di ujung jalan setapak, aku melihat sang pangeran,
Shah Jahan. Melalui celah terbuka tenda di antara kami, tempat cahaya lilin berkilauan dan
menciptakan bayangan-bayangan gelap yang memagari, mataku terpaku oleh
tatapannya. Berwarna hitam kelam, penuh kerinduan, kesepian, berbinar karena
cahayanya sendiri, mata sang pangeran bukan hanya memancarkan sorot menyala
seorang pangeran, sang pemberi perintah, seorang Mughal, tetapi binar mata
seorang anak lelaki yang ketakutan. Aku tahu, akulah yang menyebabkan
ketakutannya itu, tetapi aku tidak bisa membuang muka darinya. Dia bagaikan
guntur yang menyambarku dalam kegelapan. Dialah warna merah dalam mimpiku, bukan
merah darah, tetapi warna merah turban pangeran, sang putra mahkota. Dalam
mimpiku, aku mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, dan dia menggenggamnya
seakan tahu bahwa akulah satu-satunya teman dalam kesepian dan keagungannya
sebagai pangeran. Dia menghilang dari tatapanku; kali ini giliranku yang merasa
takut, khawatir kehilangan harapan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku
menoleh ke arahnya dan memeriksa jalan setapak sempit yang dipadati para
perempuan yang sedang sibuk dan tertawa, serta para lelaki terhormat. Aku
berharap mereka menghilang dari bumi ini; dan dalam hati aku juga mengutuk
mereka. Kemudian, aku melihatnya berusaha menerobos kerumunan dengan kasar.
Sepertinya dia bagaikan berlari, kemudian harapan itu, ketenangan yang damai,
merengkuhku dalam-dalam, membuatku tenggelam dalam sebuah impian lembut yang
penuh kehangatan. Shah Jahan Aku, Pangeran Shah Jahan, bukan lagi seorang anak lelaki bernama Khurrum, tetapi
sudah menjadi Penakluk Dunia dan ahli waris Sultan Jahangir, Padishah dari
Hindustan, meskipun masih berusia lima belas tahun. Kebanggaan menyelubungi
karena aku adalah anak lelaki kesayangan ayahku, dan diundang untuk menghadiri
Pasar Malam Bangsawan Meena. Tubuhku bergetar karena kegairahan menyambut acara
tersebut, karena kehadiranku bukan hanya sebagai simbol perwakilan ayahku,
tetapi juga simbol kesultanan. Mereka semua mengesahkan aku sebagai ahli waris
kesultanan agung ini, di atas tiga saudara lelakiku. Bisa memerintah, untuk
memegang tongkat kekuasaan, adalah satu-satunya ambisi dari seorang pangeran
muda. Dan pada malam ini, aku merasa bahwa pasar malam kali ini bisa menjadi
peristiwa yang semakin melapangkan jalanku.
Pasar Malam Bangsawan Meena pertama kalinya diadakan oleh kakek buyutku, Sultan
Humayun. Ini adalah ide yang sangat bagus, karena menurut
peraturan kebangsawanan, para perempuan bisa tampil tanpa cadar di hadapan
sekelompok pria yang terpilih. Cadar-cadar sutra yang sepanjang tahun dikenakan
di sini, selama semalam, tidak lagi tampak. Dunia sempit harem akan dibebaskan;
selama beberapa jam yang singkat, kami bisa melihat wajah-wajah para perempuan
terhormat yang tidak tertutup.
Meskipun hawa panas dan udara seperti tak bergerak, orang-orang terus
berdatangan ke istana ketika malam menjelang. Tenda-tenda sudah ditegakkan oleh
para pekerja pria di taman, dan, tak diragukan lagi, para perempuan sudah
memilah-milah barang-barang yang akan mereka tawarkan. Aku bisa mendengar mereka
tawar-menawar dan berdebat seperti para perempuan di chowk-pasar jalanan. Dan
jika beruntung, para pembeli juga bisa mendapatkan bukan hanya barang-barang
yang mereka beli, tetapi juga para perempuan penjualnya sendiri. Aku pernah
mendengar segelintir pejabat yang sedang menyombongkan penaklukan mereka, yang
memuji penuh hasrat akan malam-malam menakjubkan di Pasar Malam Bangsawan itu.
Aku juga bukannya belum berpengalaman dalam hal ini. Aku pernah menghabiskan
waktu bersama budak-budak perempuanku, dan kadang-kadang, sekadar untuk hiburan,
pergi ditemani para penari di pasar dan membayar kehadiran mereka. Tetapi, aku
telah belajar dari pengalaman, bahwa karena posisiku sebagai pangeran, aku
menghargai keberadaan para
perempuan yang menemaniku. Aku tidak mendengarkan bisikan mereka, karena mereka
hanya berbisik untuk memujiku, untuk mendapatkan hadiah dan kekayaan. Para
penyair menulis dan menyanyikan lagu cinta, tentang para lelaki dan perempuan
yang merana dan sekarat karena penyakit ganjil itu, tetapi cinta bagiku hanyalah
ilusi; istana adalah sebuah gurun yang kering kasih sayang.
Saat dimandikan dan didandani, aku tersenyum karena pikiranku sendiri. Dan,
melihat hal ini, para budak perempuan menggodaku tentang malam ini: aku akan
bertemu seorang putri. Seorang peramal bintang sudah meramalkan jika sang
pangeran akan beruntung. Dia akan jatuh cinta dan hidup selamanya dalam
kebahagiaan. Aku menertawakan godaan mereka dan tidak memercayainya. Tetapi, aku
bertanya-tanya: mengapa aku begitu bersemangat" Apakah ini karena pikiran akan
melihat wajah-wajah perempuan yang sempat kupandang sekilas, kudengar berbicara,
tetapi tidak benar-benar bisa kutatap dengan jelas"
Mencocokkan suara dengan wajah, tangan dengan wajah, mata dengan wajah adalah
permainan yang menyenangkan. Apa lagi yang bisa kuharapkan: semalam atau dua
malam penuh kenikmatan, mungkin bisa seminggu, atau sebulan" Aku menganggap
pikiran ini membosankan. Aku bisa memilih setiap perempuan di dalam kamar ini
untuk memuaskan hasratku. Tetapi, aku merasa bagaikan ada guntur yang menunggu
untuk menggelegar di udara. Apakah ini suatu perasaan hampa"
Ada dua orang yang menemaniku, Nawab dari Ajmer dan seorang pejabat, Allami
Sa'du-lla Khan. Mereka juga mengenakan pakaian semewah pakaianku, dan meskipun
lebih tua, mereka tampak penasaran dan bersemangat. Mereka juga belum pernah
menghadiri pasar malam bangsawan. Mereka pergi ke balkon, memerhatikan taman;
yang berkilauan dengan cahaya, lilin-lilin berkelap-kelip di setiap relung,
lentera-lentera tergantung di pepohonan dan tenda, sinarnya tertangkap dan
dipantulkan lagi oleh air mancur. Mereka melihat bayangan-bayangan dan mendengar
suara tawa. "Kita harus bergegas, kita harus pergi."
"Tunggu sebentar," perintahku. "Minumlah sedikit anggur dulu, tunggu dan nikmati
kesenangan yang akan datang."
Mereka mematuhi, tetapi hanya karena aku yang berbicara. Mereka tidak mundur,
tetapi masih berdiri di balkon sambil menatap ke bawah dengan penuh hasrat,
bagaikan orang-orang tolol yang belum pernah melihat perempuan. Aku ingin mereka
mendampingiku untuk menghabiskan waktu, berbicara tentang perburuan atau
olahraga kami. "Duduk!" Mereka duduk, gelisah, menggeliat seperti cheetah. Aku juga merasa begitu,
tetapi seorang pangeran harus selalu menunjukkan pengendalian diri, karena jika
tidak, dia tidak memiliki kekuasaan. Tetapi, aku kehilangan perhatian mereka
saat kami mendengar dundhubi bertalu-talu, menandakan
ayahku Jahangir mendekat. Dari balkon, kami melihat ayahku Jahangir memasuki
taman, diikuti oleh rombongan panjang para pengikutnya.
Sesaat, semua hening, semua memberi hormat, kemudian celoteh dan musik terdengar
kembali. "Tunggu beberapa menit lagi, hingga ayahku sudah sibuk dengan urusannya."
Saat aku merasa kehebohan sudah mereda, dan Sultan sendiri tidak akan mencuri
perhatian dari kedatanganku, kami turun.
Ini adalah pasar malam yang sebenarnya; para perempuan harum berjongkok di tenda
mereka, di depan tumpukan kain sutra, peti-peti perhiasan indah dari emas dan
perak, mainan, parfum, gading berukir, hingga patung-patung kecil dari marmer.
Udara dipenuhi suara dan tawa mereka yang merdu, serta diwarnai alunan musik
lembut. Mereka segera menyadari kehadiranku dan para perempuan yang berada di
dekat pintu masuk mulai tertawa dan bertepuk tangan. Sorot mata mereka berani
dan mengundang, setiap perempuan memanggilku untuk membeli barang dari tenda
mereka sendiri, beberapa menarik lengan bajuku seperti para chokra di pasar
sebenarnya. "Lihatlah barang-barangku, coba yang ini; ini murah, terutama untuk
Shah Jahan. Lihatlah sutra ini . di sini ada sebuah vas dari Bengal." Kehidupan
mereka sangat bergantung pada penjualan ini, begitu juga antusiasme mereka. Aku
berjalan menyusuri jalan di antara tenda, menandai beberapa wajah dan tubuh,
beberapa cantik, beberapa tidak, tua dan muda, kurus dan gemuk.
Mereka semua liar dan menggoda, bagaikan burung yang terlepas dari sangkar
mereka, berputar-putar dan mencicit-cicit di taman. Celoteh mereka yang tidak
ada hentinya menyiksaku, dan semua bagaikan sudah diatur, untuk menghindari
seorang perempuan yang begitu gigih menawarkan, aku berbalik.
Bagaimana aku bisa menerangkan diriku yang tiba-tiba tak berdaya, dan lumpuhnya
semua indraku" Perempuan itu berlutut di seberang jalan, diam dan sendirian,
jauh dari tamasha. Memang benar, kecantikannya-wajah oval yang sempurna, matanya
yang besar, mulutnya yang bagaikan kuncup mawar, dan, rambut hitam berkilaunya
yang berhias rangkaian melati-memikat mataku. Tetapi, kesyahduannya yang
membuatku terpaku. Dia melihat sekelilingnya, memandang segalanya, dengan
kegembiraan yang sangat. Senyuman lembut tersungging di wajahnya, dari dalam
hati, tidak seperti tawa para perempuan lain yang terdengar dangkal. Aku melihat
sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain: kejujuran. Aku merasa, jika aku
berbicara, dia akan mendengarkan diriku, bukan mendengarkan seorang pangeran.
Jantungku, jantungku, terasa sakit karena berdegup kencang, dan saat dia menoleh
dan melihatku melalui bukaan tenda, degupnya bagaikan terhenti. Aku benar-benar
takut-bahkan seluruh kekuatan yang kumiliki untuk menguasai dunia pun tak akan
bisa menghentikan ledakan ketakutan ini-bahwa dia akan membuang muka dariku.
Dengan segera, aku merasa bahwa ketertarikanku akan pudar bukan karena rayuannya, tetapi karena
pengabaiannya. Tetapi, dengan segera aku tidak lagi merasa khawatir. Dia tetap
terdiam, menatapku, ingin tahu, tampak bahagia, dan-apa ini"-aku merasa bagaikan
kami pernah bersentuhan. Aku tidak bisa mengingat bagaimana aku bisa tiba di sampingnya. Aku sudah sampai
di sana, melihat tendanya yang menjajakan perhiasan perak, benda-benda mungil
dan sederhana, dan dia hanya ditemani oleh seorang chokra. Aku tidak mampu
menahan diri; kata-kata dan perasaan bagaikan akan meledak dari diriku.
"Aku merasa, sepertinya kita telah bersentuhan," aku berkata dengan keras, tidak
mampu mengendalikan kekuasaan lidahku yang lebih terbiasa memerintah daripada
mengutarakan isi hati. Aku mencoba lagi, "Tapi, itu tidak mungkin terjadi dari
kejauhan. Tapi, aku merasakan lenganmu menyentuh lenganku dengan lembut.
Mencintai secepat kilat bagaikan menantang hidup itu sendiri. Ini adalah suatu
lompatan penuh keyakinan, bagaikan memasuki sebuah medan perang tanpa
perlindungan baju zirah, memercayai bahwa entah bagaimana, kita tidak akan
terbunuh. Tapi, bahkan jika kita terbunuh, keberadaanku tidak akan berharga
tanpa kehadiranmu. Kau harus memberi tahu siapa dirimu. Aku harus mendengar
suaramu dan merasa yakin jika kau benar-benar ada, bukan sebuah mimpi yang akan
menghilang bagaikan air yang menguap dalam hawa panas."
"Arjumand Banu, Yang Mulia."
Suaranya melayang di udara dengan begitu syahdu, lembut, dan manis. Canggung
karena tatapan tajamku, dia menurunkan pandangannya dengan malu-malu dan mulai
membungkuk penuh penghormatan. Hal itu sudah cukup membuat jantungku sakit dan
aku langsung maju untuk mencegahnya, menyentuh bahunya. Aku merasa bagaikan
tersambar petir. "Kulitmu membakarku, dan menyebabkan jantungku berdegup bagaikan genderang
perang." "Yang Mulia hanya mengatakan kepadaku apa yang juga sudah kurasakan." Tampaknya,
dia memiringkan kepalanya dan menyapu punggung tanganku dengan pipinya. "Mungkin
hanya karena hawa panas."


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, tidak. Hawa panas hanya menyengat permukaan kulitku, menyebabkan kita
merasa sedikit tidak nyaman. Sesuatu merasuki tubuhku, jauh ke dalam dagingku,
membakar jantungku, dan mengacaukan pikiranku. Bahkan aku tidak tahu apa yang
kubicarakan." "Kata-kata Anda sangat manis, Yang Mulia," dia bergerak dengan lembut, dan
tanganku terjatuh. Aku masih merasakan kelembutan pipinya yang menggoda,
bagaikan sebuah segel yang dicapkan ke kulitku. "Lidah Anda terlalu terlatih
untuk terpeleset di depan seorang gadis."
"Ini," aku mencabut belatiku dari sarungnya. "Jika ini hanya mimpi, akhirilah
segera. Aku tak berdaya menahan manisnya semua ini. Rasa ini
bercampur aduk dengan perasaan dalam hatiku, dan satu-satunya suara yang bisa
kudengar dalam kepalaku hanyalah denyut darah yang berulang: 'Arjumand ...
Arjumand.1 Apakah kau tidak merasakan hal yang sama saat kita pertama kali
saling menatap?" "Ya, Yang Mulia. Tapi, rasanya bagaikan aku kembali tertidur dan tenggelam dalam
mimpi ...." "Mimpi apa?" "Aku tidak bisa menceritakan apa pun. Tapi, saat aku terbangun pagi ini, aku
merasa seperti saat aku melihat Anda pertama kali di sini." Dia menatap wajahku
dengan hati-hati, memandang jauh ke balik kulit dan tulangku, menerawang melalui
mataku sendiri untuk mengetahui apa yang ada di baliknya. "Anda memang nyata.
Ini bukan lagi impian."
Aku berlutut di hadapannya, ketika dia juga berlutut di tendanya, dan dengan
berani mengulurkan tangan untuk dia sentuh.
"Rasakan demam di tubuhku lagi. Kau juga sedang terjaga, seperti diriku."
Dengan malu-malu, dia menyentuh tanganku, dan sekali lagi, kami merasakan
kejutan dalam sentuhan satu sama lain. Tampaknya, kilat yang membelah langit
dalam musim monsun telah menyala di antara kami. Aku berharap kami tetap saling
bersentuhan, tetapi dia melepaskan pegangannya, sekarang merasa yakin kami
bersama-sama, tidak terpisah dalam impian yang berbeda.
"Aku akan duduk di sini selamanya dan menatapmu."
Dia tertawa, dan suara lembutnya membuatku merasa bagaikan sedang melayang di
antara nada-nada musik indah yang ganjil.
"Kalau begitu, kita akan terus menua dengan hanya saling berpandangan."
"Kehidupan apa yang lebih baik daripada itu" Kuharap ada suatu hari, dengan
matahari yang penuh bayanganmu. Bayangan-bayangan ini menipuku. Mereka
membengkokkan hidungmu, padahal bentuknya sempurna. Mereka menggelapkan matamu,
tetapi aku tahu matamu bening dan indah. Tapi, mereka tidak dapat mengubah
bentuk mulutmu atau lengkung pipimu."
"Apakah Anda hanya melihat sebagian kecil sosokku" Tak terhingga jumlah
perempuan lain di istana ini yang jauh lebih cantik daripada diriku."
"Tidak. Tidak ada yang bisa mengalahkanmu. Yang mereka tampilkan hanyalah
kebohongan di permukaan. Aku melihat jauh ke dalam matamu dan wajahmu. Aku
merasakan bahwa aku telah mengenalmu seumur hidupku, tetapi aku tidak tahu apaapa. Aku tidak bisa menahannya, tetapi syukurlah aku bisa melihatmu malam ini."
"Ya," suaranya tiba-tiba terdengar ragu-ragu. "Tapi, aku mungkin akan selalu
memandang Yang Mulia, dari hari ke hari, tahun ke tahun, tetapi Anda tak akan
pernah memimpikan kehadiranku."
"Tapi aku mengalaminya, aku memimpikannya," aku berkata dengan tegas, berharap
bisa meyakinkannya. "Hanya perlu suatu tatapan yang
bisa mendekatkan kita. Bukankah kau merasakan tatapan itu melampaui penglihatan,
melampaui sentuhan, melampaui pendengaran" Aku merasakan sentuhanmu di hatiku
dari kejauhan, seperti kau merasakan sentuhanku. Bahkan, melalui cadar, aku bisa
mengetahui cintamu. Memang begitu, betul bukan?"
"Memang tidak ada yang lain, Yang Mulia."
Aku berharap dia tidak mengatakan kalimat itu. Aku merasakan guncangan, getaran
yang mulai merobek perasaanku.
"Jika saja aku ini bukan pangeran aku
berkata. "Jika Anda bukan pangeran, perasaanku tidak akan berkurang."
Aku menatap matanya. Matanya lebar, tak berkedip, membuatku bisa melihat
kebenaran yang dia ucapkan. Aku merasakan getarannya mereda, dan tidak bisa
menyembunyikan kegembiraanku. Aku tertawa keras, dan mendengarnya berbisik:
"Tapi, bagaimana aku memanggil Anda?"
"Kekasihku, cintaku. Kau adalah kekasihku satu-satunya, cintaku."
"Kekasihku," dia bergumam dalam bisikan, memuaskan diriku secara utuh, membuatku
merona dengan keinginan untuk memeluknya.
Kami masih berlutut, saling menatap, berharap untuk tidak melepaskan pandangan,
melewatkan senyuman, atau gerakan tubuhnya. Kami tidak dapat mengalihkan
pandangan. Tak ada yang bisa mengetahui, berapa lama waktu sudah berlalu
dalam keadaan seperti ini. Aku merasakan sentuhan di bahuku, membuyarkan
keheningan lembut dunia kami, dan mendongak dengan kesal. Allami Sa'du-lla Khan
membungkuk dengan penuh permintaan maaf, dan melihat kilatan amarahku, dia
mundur teratur. Kerumunan di sekeliling kami terdiam, menatap kami.
"Biarkan mereka. Aku Shah Jahan. Sekarang mundurlah."
"Yang Mulia, Anda seharusnya berkeliling juga. Para perempuan bertanya-tanya, di
mana Shah Jahan, agar mereka bisa memberi hormat. Anda tidak bisa mengabaikan
keinginan mereka." "Aku akan segera datang. Pergilah." Dia mundur, dan aku kembali ke kekasihku.
"Aku akan berbicara dengan ayahku tentang kita."
Dia membungkuk, tanda menerima. "Jika ini adalah keinginannya
"Ini adalah keinginanku," aku berkata dengan tegas, lalu bangkit. Dia tidak
bergerak, masih berlutut, tetapi wajahnya terangkat, terus menatap wajahku. Aku
berharap bisa membungkuk cepat dan menyentuhkan bibirku ke bibirnya, tetapi aku
tidak melakukannya. Dia tahu apa yang kuharapkan dan tersenyum menggoda.
"Pasti ada waktu lain, saat kita tidak perlu menghadapi pandangan mata banyak
orang." Dari tendanya, dia mengangkat sebuah perhiasan perak. "Apakah kekasihku
ingin membeli sebuah kenang-kenangan" Setelah menghabiskan begitu banyak waktu,
Anda tidak bisa pergi dengan tangan kosong, dan setidaknya aku harus mendapatkan
satu atau dua rupee."
"Apa yang akan kau lakukan dengan rupee itu?"
"Mendermakannya kepada orang miskin. Mereka lebih membutuhkannya daripada kami."
"Orang miskin!" Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku.
"Apakah kekasihku tidak menyadari keberadaan mereka" Mereka hidup di luar istana
ini." "Saat aku bersamamu, aku hanya sedikit menyadari kehadiran yang lain. Di dunia
tidak ada lagi hal lain, hanya kita berdua yang hidup. Jika ini untuk orang
miskin, aku akan membeli semuanya. Berapa harga semua?"
Dia mengerutkan kening dan memerhatikan tumpukan perhiasannya, lalu menatapku,
memberiku senyuman Jenaka.
"Sepuluh ribu rupee." "Aku setuju."
Dia mulai tertawa, mengintipku dari balik tirai rambut yang jatuh ke wajahnya.
Aku tidak bisa menahan kebahagiaan, berharap bisa menculik dan membawanya kabur.
Tetapi, aku menoleh ke arah budakku dan meletakkan kantong uang yang dia bawa di
atas lantai tenda kecil gadis itu.
"Aku akan menemuimu lagi."
"Jika itu keinginan Anda."
Arjumand Lalu, dia menghilang. Aku ingin dia tetap di sini, duduk selamanya, tanpa perlu
berbicara. Kehadiran dirinya, sosoknya yang menjelma, sudah cukup
untuk menyembuhkan sakitku dan membuatku nyaman. Aku melirik punggungnya, yang
bergerak di antara kerumunan, kemudian menghilang dari pandanganku. Dia telah
pergi, pertemuan kami serasa tidak nyata, hanya dalam mimpiku, dan aku masih
menunggu semua ini kembali nyata.
Isa mengumpulkan tumpukan kecil perhiasanku dan memandang berkeliling, mencari
sehelai kain untuk membungkusnya.
"Ini," aku membuka syal sutraku yang berwarna kuning pucat dengan pinggiran
bersulam benang emas, dan dengan hati-hati membungkus perhiasanku di dalamnya.
Aku menalikan simpulnya dengan tidak terlalu erat, kemudian memberikannya kepada
budakku. "Hitung uangnya," kata Isa. "Kau sungguh beruntung, Agachi. Sepuluh ribu rupee!
Hanya seorang pangeran yang bisa begitu baik."
Tiba-tiba aku merasa resah. Aku memutar leherku untuk mencari Shah Jahan.
Bagaimana jika ada seorang gadis lain, di tenda lain, yang juga menerima jumlah
uang yang sama" Aku tahu itu tidak akan terjadi, tetapi aku tidak bisa menahan
rasa penasaranku. "Isa. Pergilah dan cari tahu apakah Pangeran masih ada di taman. Cepat!"
Dari tatapan Isa, aku tahu dia mengetahui apa yang sedang kupikirkan.
Kegembiraan dan kepedihan tidak bisa kusembunyikan. Aku tidak terlindung oleh
cadar. Isa menyelinap di antara kerumunan; aku menggenggam kantong koin yang
menjadi simbol kenyamananku. Tiba-tiba, aku menyadari para perempuan lain di
sekelilingku, tenda-tenda di seberang jalan, tenda-tenda di sisi yang lain, dan
yang ada di belakangku. Aku dikelilingi tatapan mereka. Tak mungkin aku tidak
bisa merasakan kecemburuan mereka. Rasa iri yang pahit terpancar dari mata
mereka, dan meskipun mereka tersenyum saat tatapanku beradu dengan tatapan
mereka, aku bisa merasakan hawa dingin yang menguasai hati mereka. Mereka hanya
melihat kekasihku sebagai Pangeran Shah Jahan, dan yang juga mereka lihat
hanyalah bayangan mereka sendiri dari cermin emas. Mereka tidak bisa menatap
jauh ke dalam, tidak bisa menatap menembusnya; hasrat akan kekayaan menguasai
mereka. Kekasihku hanyalah sekantong emas di tanganku, kekuasaan kesultanan yang
tak terbatas, dia adalah Shah Jahan, Penakluk Dunia. Mata mereka membuatku
merasa kotor; mereka ingin memercayai bahwa aku bersiasat dan penuh perhitungan,
melancarkan jampi-jampi manis yang telah mereka latih, memikatnya dengan ramuan
sihir yang bisa mengikat hatinya.
"Dia sudah pergi, Agachi. Dia pergi sendirian."
"Mengapa dia pergi?"
"Agachi, tidak ada orang yang bisa memberi tahu pergerakan Shah Jahan kepada
seorang pelayan hina. Aku hanya mengetahui dia pergi." Isa ragu-ragu. "Setiap
orang tahu, dia telah membeli perhiasanmu dengan harga sepuluh ribu rupee.
Beberapa orang percaya, harganya sama dengan
satu lakh. Aku mengatakan kepada seorang idiot, harganya sama dengan sepuluh
lakh." Dia tertawa sendiri. "Apakah kau ingin terus di sini?" Satu lakh sama
dengan satu juta. "Untuk apa" Ayo kita pulang."
Aku tidak bisa tidur. Udara masih terasa panas, pengap dengan bau dupa dan
dengung nyamuk-nyamuk yang mengganggu. Aku merasa dikuasai sesuatu.
Cinta itu pedih, terasa seperti kerinduan yang tidak tercapai. Dunia meranggas
dan mati, orang-orang menghilang, hanya dia yang ada. Diriku bagaikan terbagi
dalam dua kutub: tubuhku terkubur dalam getaran, denyutan, dan kesakitan;
perasaan dan pikiranku melayang ke arah lain. Manusia yang mencintai hidup dalam
keberadaan yang terpisah, yang tidak bisa mereka kendalikan. Perasaan ini
ringan, lalu terkubur ketakutan; diriku melayang, kemudian tenggelam dalam
kegelapan; semua bagaikan bernyanyi, kemudian menghilang, menjadi air mata
perpisahan yang pahit. Harapan, harapan, harapan, adalah suara detak jantungku.
Aku mendengar Ladilli datang saat cahaya sudah berubah menjadi kelabu pudar. Dia
menyelinap ke tempat tidurnya dan berbaring terdiam. Aku berpura-pura tidur,
tetapi merasakan kehadiran orang lain di sisi tempat tidurku, mendengar denting
lembut gelang kaki, dan desir kain sutra yang jelas. Aku mengintip dan melihat
Mehrunissa berdiri di dekatku, menatap dengan tajam. Tidak ada cukup cahaya
untuk bisa membaca ekspresinya, tetapi
aku merasa tidak nyaman dengan kehadiran dan tatapannya yang tajam. Dia melirik
ke arah Ladilli, kemudian menghilang.[]
2 Taj Mahal 1042/1632 Masehi Malam tidak dihiasi bulan ketika Murthi pertama kalinya menatap ke arah Agra.
Dia meninggalkan istrinya yang sedang menyiapkan makan malam bersama anak
lelakinya yang berusia tiga tahun dan para pengembara lain, lalu berjalan
sendirian dalam kegelapan malam menuju kota yang berkilauan di kejauhan. Ini
merupakan tindakan yang berani, dan dia cukup puas karena bisa menemukan
keberanian seperti itu dalam dirinya. Malam terasa mengancamnya. Di atasnya,
kubah langit raksasa yang melengkung terlihat cerah, yang selalu membuatnya
mengalami rasa takut dan rasa malu yang sangat. Kemegahannya membuat dia merasa
bagaikan seekor semut yang berjalan terseok-seok menapaki kehidupan, tanpa
peduli keagungan alam semesta. Tetapi, di dekat sana ada bahaya yang lebih
besar: para dacoit-gerombolan bandit-yang menunggu untuk mengiris leher
pengembara untuk mendapatkan sekeping koin; binatang-binatang liar, tua atau
terluka, yang sangat gembira menemukan
mangsa dengan mudah. Dia menoleh ke belakang dan melihat perapian tempat
memasak, berkelap-kelip dan kecil. Dia berpikir untuk kembali, menunggu hingga
pagi, tetapi dia masih terus berjalan, tidak mampu mengendalikan dorongan dalam
dirinya. Dia menaiki sebuah tanjakan kecil, terpeleset tanah dan kerikil yang
rontok, menyambar semak lantana untuk pegangan, kemudian mencapai puncak bukit.
Tanah kembali menurun ke arah Sungai Jumna. Jauh di depan sana, di cakrawala,
Agra tampak jelas terbentang.
Murthi mendesah tak percaya, dan duduk di tanah, siku bertumpu ke lututnya,
tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku akan tersesat di sini, dia berpikir,
kuharap aku tidak pergi. Dia merasakan pedihnya kerinduan akan rumah, dan cahaya di kejauhan memudar
ketika air mata menggenang di matanya. Dia membiarkannya mengalir di pipinya
yang cekung, menetes ke jiba-nya yang kumal. Dia membersihkan ingus ke arah
samping, kemudian menyeka mata dan hidungnya dengan tuval koyak yang tergantung
di bahunya. Rumah, bagaikan langit malam, begitu jauh dan saat ini hanya sebuah
kenangan. Dia mengetahui butuh waktu bertahun-tahun hingga dia bisa melihat
rumahnya lagi. Murthi tidak bisa membayangkan seandainya dia tak akan pernah
kembali-pikiran itu membuatnya takut. Dia tahu, dia akan kembali ke kampung
halamannya, keluarganya, teman-temannya; dia tersenyum saat membayangkan kisahkisah yang akan dia ceritakan
kepada mereka, tentang perjalanannya ke kota Mughal Agung.
Dia pergi dari desa bukan karena keinginannya sendiri, melainkan diperintahkan
untuk melakukan perjalanan yang keras ini ke arah utara. Dia adalah seorang
Acharya, pematung dewa-dewi, seperti yang telah dilakukan keluarganya dari
generasi ke generasi. Ini membuatnya merasa bagaikan tak akan mati, karena
berkesinambungan-bukan hanya dagingnya, tetapi juga pikiran dan jiwanya. Perajin
seperti dirinya telah membangun sebuah kuil megah di Madurai, di Kancheepuram,
di Thirukullakundrum, dan di desanya, dia dihormati karena kemampuannya memahat.
Seperti ayah dan kakek moyangnya, dia bisa mengubah batu menjadi sutra, melihat
sebentuk dewa-dewi pada batu granit dan marmer, serta mewujudkannya menjadi
nyata dalam pandangan manusia.
Tetapi, suatu hari, alur hidupnya yang panjang tiba-tiba terputus. Dengan muram,
dia memikirkan pengkhianatan dari dewa-dewi yang telah dia ciptakan dengan
begitu indah. Ayahnya telah diberi perintah oleh junjungan mereka, Raja Guntikul, dan diberi
tahu dengan riang, bahwa dia harus melakukan perjalanan ke Agra. Sang Raja telah
mendengar bahwa Mughal Agung, sepupu jauhnya, seorang Muslim, telah
memerintahkan seniman-seniman dari berbagai penjuru negeri untuk membangun
sebuah monumen besar untuk permaisurinya yang telah meninggal, Mumtaz-i-Mahal.
Orang-orang Muslim biasanya
membangun sebuah makam untuk orang-orang yang meninggal, bukan membakarnya saja
di ghat-tepi sungai. Bangunan itu bukan untuk disembah. Karena kebaikan hatinya,
sang Raja mengirimkan perajin terbaiknya untuk membantu membangun konstruksi
monumen tersebut. Ayah Murthi berterima kasih kepada sang Raja untuk kehormatan ini, tetapi
menyatakan bahwa dia sudah terlalu tua untuk menempuh perjalanan melelahkan ke
Agra. Mungkin salah seorang anaknya akan lebih mudah untuk pergi. Sang Raja
langsung menerima penggantian ini dan memberikan sejumlah uang untuk bekal
perjalanan, beserta sebuah hadiah patung Krishna dari gading untuk sang Mughal
Agung Shah Jahan. Hanya dengan memicingkan mata menentang cahaya, Murthi bisa mengenali siluet
benteng yang besar. Benteng itu berwarna gelap dan menyeramkan, dengan cahaya
yang berkelip-kelip dari menara-menara tinggi di atas kota; sebuah bukit di tepi
sungai. Selama perjalanan ini, dia telah melewati begitu banyak benteng, tetapi
tidak ada yang sebesar ini.
Keesokan harinya, di bawah sinar matahari yang terang, benteng itu tampak
membuat cakrawala menjadi kecil. Tembok-tembok merahnya yang tinggi dan warna
air sungai membuat Murthi ciut nyali. Sita, istrinya yang sedang hamil,
mendekatinya untuk meminta perlindungan, dan
anak lelakinya, Gopi, bergelantungan di kakinya. Teman-teman seperjalanannya,
para pedagang keliling, perajin seperti dirinya, semua harus bekerja untuk
monumen tersebut, menatap dengan kekhawatiran dan mengajukan pertanyaan yang


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama. "Bahkan pada malam hari," dia berkata, "benteng itu tampak menakutkan. Di
sanalah Mughal Agung tinggal."
"Apakah dia seorang dewa?" tanya Gopi.
"Bukan. Dia manusia biasa. Tapi, jauh, jauh lebih agung daripada raja kita.
Negerinya sangat besar, aku diberi tahu." Dia tidak mengetahui sejauh mana
batas-batas kesultanan ini; dia hanya mengetahui bahwa waktu tiga bulan telah
habis hanya untuk menempuh sebagian kecil kesultanan ini.
"Kau bisa melihatnya kalau mau," salah seorang pedagang keliling berkata. Dia
sering datang ke kota itu dan menceritakan kehebatannya.
"Dan berbicara dengannya?"
Si pedagang keliling, seorang bania dari Gujarat, tertawa puas karena kebodohan
Murthi. "Dia tak akan memerhatikan seseorang seperti dirimu. Setiap hari, sebelum fajar,
dia akan memperlihatkan dirinya, dari jharoka-i-darshan." Si pedagang keliling
menunjuk ke arah sebuah celah benteng yang terbuka. "Dari sana."
"Kalau begitu, kita akan melihatnya," kata Murthi. Pasti sang Mughal merupakan
pemandangan yang menakjubkan.
Air sungai bergulung-gulung dan pecah ketika
menerpa benteng raksasa. Ketika mereka mendekat, Murthi melihat sebuah bangunan
kecil, seukuran rumah biasa, dengan sebuah kubah, terbuat dari batu bata dan
semen. Cat putihnya telah ternoda dan tampak pula kehitaman karena air hujan,
dan tampak pula tanda-tanda retak. Sepertinya bangunan itu dibangun dengan
serampangan dan terburu-buru. Yang menarik perhatian Murthi adalah para prajurit
yang menjaganya. Ada sekitar dua puluh pengawal, beberapa berkumpul di
kerindangan pohon lemon, yang lain bertugas menjaga. Mereka mengenakan seragam
kerajaan yang berwarna merah, cahaya matahari memantul di tombak dan perisai
mereka. "Apa yang mereka jaga?" tanya Murthi. "Tampaknya seperti bangunan kutcha,
seperti gubuk." "Itu adalah makam Permaisuri," jawab si pedagang keliling.
"Itu" Berarti makamnya sudah dibangun." Murthi merasa marah. "Kita tidak perlu
datang sejauh ini. Semua orang tolol juga bisa membangunnya. Mengapa aku harus
dikirim kemari?" "Itu hanya tempat peristirahatannya sementara."
"Seperti apa sang Permaisuri?"
"Cantik, kata mereka. Tapi, siapa yang pernah melihatnya?"
Murthi menatap si pedagang keliling dan kehilangan kekhawatirannya. Dia tahu
pria ini tidak tahu apa-apa dan sekarang hanya membual. Sepanjang perjalanan,
dia telah menanyakan hal yang sama: "Seperti apa dia?" dan dia selalu
mendapatkan jawaban yang sama. "Siapa yang pernah melihatnya?" Tidak ada orang
yang mengetahui bagaimana kecantikan sang Permaisuri, dan hal ini mengganggunya.
Dia telah memahat dewa-dewi yang sudah dilihat dan dipuja oleh semua orang;
kuil-kuil yang menjulang megah ke angkasa, tempat para lelaki dan perempuan
mempersembahkan bunga-bunga, buah-buahan, dan permintaan mereka. Bagaimana dia
bisa mengerjakan sebuah bangunan bagi seorang perempuan yang sudah meninggal
yang belum pernah dia lihat" Suatu hari, dia pasti bisa bertemu seseorang yang
bisa bercerita kepadanya, seperti apa perempuan ini. [ ]
Kisah Cinta 1017/1607 Masehi Isa "Kau tampak lelah, Agachi."
"Aku tidak tidur nyenyak," jawab Arjumand.
Dia duduk di kerindangan sebatang pohon rain, dan meskipun wajahnya tertutup
bayangan, berbintik-bintik oleh cahaya matahari, aku bisa melihat bagian bawah
matanya yang menghitam. Kehitaman itu membentuk lengkungan gelap dan warna
kelabu matanya merupakan warna awan mendung. Beberapa minggu sudah lewat sejak
pasar malam yang penuh keajaiban itu, dan dia hanya mendengar bisikan-bisikan
kabar angin tentang cinta Shah Jahan kepadanya. Kabar angin berembus di sekitar
rumah tentang Shah Jahan yang mabuk kepayang dan berjalan mondar-mandir di
koridor-koridor istana bagaikan hantu yang ingin mencari kedamaian abadi.
Tetapi, Arjumand sendiri belum mendengar kabar apa-apa dari Shah Jahan. Dia
menunggu dan terus menunggu, semakin layu di hadapanku. Sebuah buku puisi
tergeletak terbuka di pangkuannya, tetapi dia tidak pernah membalik halamannya.
"Saat aku tertidur, aku bermimpi aku sedang terjaga, dan saat aku terjaga, aku
hanya bisa memimpikan dirinya. Aku memimpikan sentuhannya lagi, bagaimana dia
menatapku, dan apa yang dia katakan, serta suaranya. Itu memang nyata."
"Ya, Agachi. Aku menyaksikannya."
Aku siaga di dekatnya. Aku sudah menyelesaikan tugasku mengantar dan mengambil
barang, terburu-buru dan berderap di seluruh penjuru rumah. Saat keluarga ini
tinggal di benteng, rumahnya lebih kecil, tetapi saat Ghiyas Beg bekerja untuk
Akbar, mereka pindah ke rumah ini. Rumah ini memiliki banyak, terlalu banyak
ruangan, dan dihiasi dengan taman yang sangat luas. Taman ini adalah duplikat
salah satu taman di istana-setiap pejabat pasti meniru Mughal Agung-tetapi kolam
air mancur kami tidak berair, hanya ada dedaunan, debu, dan bunga-bunga mati.
Kolam air mancur ini dibuat oleh seorang pejabat, tetapi entah bagaimana,
Jahangir merasa kecewa. Sang pejabat kehilangan kekayaan dan tanahnya dalam
semalam. Hampir semua tanah di negeri ini dimiliki langsung oleh sultan. Akbar
telah menetapkan sebuah sistem yang mengatur sebagian pendapatan diterima secara
langsung, dari petani ke pengurus harta kesultanan. Sisanya diberikan melalui
jagir-jagir-daerah kecil yang dipimpin oleh seorang pejabat militer-kecil atau
besar, sebagai imbalan pelayanan, dan pemasukan yang didapat oleh
pemilik harta dikenai pajak yang proporsional. Dengan jentikan jari, seorang
sultan bisa membuat seorang miskin menjadi pangeran dan seorang pangeran menjadi
miskin. "Apakah dia akan menemuiku lagi, Isa?"
Aku bisa mengenali maksud terselubung dalam pertanyaannya. Mana bisa dia menemui
sang Pangeran lebih sering dari balik kisi-kisi yang melingkupi harem"
"Tentu saja." Itu adalah satu-satunya jawaban menghibur yang bisa kuberikan. Aku
tidak menambahkan, jika itu adalah karmamu. Aku lebih memilih menggunakan kata
itu daripada sebuah kata Muslim, kismet. Keberuntungan. Karma mengandung polapola alam semesta yang detail dan utuh, pergerakan suatu kekuasaan di luar
persepsi kita. "Apakah kau ingin aku melakukan sedikit sihir untuk menghiburmu,
Agachi?" "Itu adalah muslihat biasa, bukan sihir."
"Orang-orang desa percaya jika itu sihir. Semua tergantung kepada kepercayaan,
Agachi. Bagaimana Tuhan bisa bertahan jika kita tidak memercayaiNya?"
Arjumand menatapku dengan serius, tetapi kemudian tersenyum. Senyuman itu
bagaikan sehelai kelopak bunga yang melayang jatuh dan menimpa permukaan air
yang tenang, menyebabkan gelombang air yang lembut, hampir tidak kentara, tetapi
masih terus terlihat lama setelah kelopak bunga itu menghilang.
"Ya, perlihatkan aku sedikit sihir. Bawakan kemari . Shah Jahan. Tepat di sini.
Di tamanku ini, tepat di kakiku. Ayolah, Isa. Itu adalah permintaan sederhana
yang kuajukan kepada seorang penyihir besar."
"Ah, Agachi, kau memang benar. Aku hanya menampilkan muslihat-muslihat murahan.
Jika sang badmash yang menculikku, dari keluargaku, cukup ahli, aku pasti bisa
memunculkan Shah Jahan dari udara kosong." Ya, penculikku memang seorang
badmash-bajingan tolol. Arjumand menatapku dengan sedih. "Kau tak bisa mengingat apa-apa tentang
keluargamu?" Sebelum aku bisa menjawab, kami mendengar jeritan mengerikan dari rumah. Itu
adalah suara perempuan, tinggi dan melengking, dan bahkan, saat jeritan itu
sudah berhenti, sepertinya suara lengkingan itu masih berputar di udara,
bagaikan seekor elang yang tidak mampu hinggap di tanah. Kami berlari secepat
yang kami bisa, berdesak-desakan dengan para pelayan dan anggota keluarga.
Kami mengira akan melihat darah dan kematian, tetapi kami hanya menemukan
Mehrunissa berjalan mondar-mandir dengan penuh kemurkaan, lalu selama sesaat dia
terdiam. Suaminya, yang gagal untuk meredakan amarahnya, duduk di atas dipan.
Kami tidak tahu apa yang telah terjadi, jadi kami semua menunggu, memerhatikan,
dan mengawasi. Ladilli sudah bergabung dengan ayahnya, mencari perlindungan dari
badai yang sedang menerpa. "Apakah ini balas budi yang kudapatkan?" tiba-tiba
Mehrunissa berteriak, entah kepada siapa, karena tidak ada yang menjawab.
"Ini adalah posisi yang penting," protes Sher Afkun. Tampak jelas bahwa dia
sedang berusaha terus-menerus meyakinkan istrinya, tetapi Mehrunissa
mengabaikannya. "Tapi, di mana tempat itu" Ayolah. Katakan pada mereka, di mana lokasi posisi
penting itu." Lengannya melambai ke arah kami. "Tunjukkan kepada mereka,
seberapa murah hati Sultan kepada kita. Dan setelah semua yang kulakukan." Sher
Afkun terdiam dan Mehrunissa membentak: "Bengal. Di mana Bengal" Jaraknya seribu
kos dari sini!" "Tapi aku akan menjadi Diwan. Itu adalah posisi yang sangat penting. Bengal
adalah tanah yang kaya. Dengan cara apa lagi sang Sultan bisa menunjukkan bahwa
dia memaafkan kita?"
Mehrunissa ternyata tidak melunak. "Dengan memberimu sebuah jabatan di sini
sebagai Mir Saman . atau sesuatu yang lain." Mehrunissa membuang muka dari
suaminya, dan dengan yakin bahwa dirinya tidak diperhatikan oleh orang lain (aku
berdiri sambil bersembunyi dalam bayang-bayang), wajahnya berubah. Sekarang, dia
bisa sendirian lagi, menatap cermin pada malam hari, ketika semua orang tidur.
Pada saat-saat seperti itu, kita bisa membuka siasat-siasat dalam hidup kita,
melepaskan pikiran-pikiran dan impian rahasia kita bagaikan iblis yang mewujud.
Yang kulihat saat ini membuatku takut, dan hanya sebagian membuatku yakin akan
bisik-bisik yang telah kudengar. Jahangir sendiri menginginkan Mehrunissa. Dia juga telah
tenggelam dalam hasrat cinta sejak pasar malam itu. Sudah tentu, pasar malam itu
merupakan suatu peristiwa bersejarah bagi keluarga ini. Sosok Jahangir sudah
menjelma di mata dan hadapan Mehrunissa. Diwan, Mir Saman-jabatan-jabatan ini
hanya suatu siasat sang Sultan untuk mengasingkan Sher Afkun. Mehrunissa telah
memalingkan wajahnya untuk melihat dari arah mana arus kekuasaan berpusat, dan sudah menemukannya, bagaikan
seorang awam yang tiba-tiba bisa mengetahui rahasia si penyihir, dan dia tahu
bagaimana caranya untuk memanfaatkan hal ini sesuai keinginannya. Saat inilah
waktunya untuk menampilkan kemarahan tanpa ditutup-tutupi, tetapi sebelum dia
berbalik, bibirnya sudah menyunggingkan senyum yang memperlihatkan lesung
pipinya. Dia berjalan ke arah dipan, mengecup dahi Sher Afkun dan mencubit pipi Ladilli,
suatu tindakan menyakitkan yang meninggalkan bekas merah di wajah anak
perempuannya. "Maafkan aku; aku sudah marah. Aku hanya khawatir dengan usahaku
di sini." Dia mendesah dengan dramatis, seolah kemarahannya tadi hanyalah hal
sepele. Sudah diketahui secara luas jika dia memiliki sebuah usaha yang sukses,
merancang dan membuat pakaian bagi para perempuan di harem. Dia bahkan bisa
menggambar pola untuk kain-kain . bunga-bunga, buah-buahan, bentuk-bentuk
geometris, yang disulam dengan benang emas dan perak.
"Yang sudah terjadi, terjadilah. Aku sangat bangga kepadamu. Tentu saja, kita
akan pergi." Sehari sebelum keberangkatan mereka ke Bengal, rumah ini mendapat kehormatan
karena kunjungan Jahangir.
Bukan hal yang sederhana dan murah untuk menghibur sang Mughal Agung. Selain
persiapan makanan dan hiburan, ada suatu kebiasaan untuk memberi sultan dengan
hadiah yang berlimpah. Hadiah yang layak bagi Mughal Agung adalah emas dan
berlian, kuda dan budak. Semua bisa ditawarkan; semua bisa diterima. Orang-orang
yang raja pilih untuk dikunjungi pasti mengeluarkan banyak simpanan, dan aku
mengira bahwa dia sering melakukan ini hanya untuk mengancam atau bahkan untuk
hiburan semata. Dia juga bisa menolak hadiah-hadiah, mungkin hanya menerima
sebuah perhiasan sederhana sebagai tanda kesopanan, atau bisa juga menerima
segalanya, tergantung apakah dia merasa puas atau tidak. Apabila hati Sultan tak
terpuaskan, biasanya para pejabat akan mengalami penurunan status menjadi orang
miskin. Pada malam kunjungan Jahangir, aku menjaga hadiah-hadiah yang dipamerkan di atas
sehelai karpet Persia yang mahal. Para perempuan telah menghiasi diri mereka
sendiri dengan segala perhiasan-gelang, kalung, anting, anting-anting hidung,
gelang kaki-dan sekarang mereka berbaring
di atas karpet dengan saling berimpit, bagaikan emas, berlian, batu mirah, dan
mutiara yang bergelombang. Para perempuan harem tampak ganjil, bagaikan
berkilauan karena kepolosan mereka, seperti merak yang digunduli.
Ada juga piring-piring serta cawan-cawan emas dan perak, gelas-gelas kristal,
dan sebuah vas yang dibawa jauh dari Cathay, yang paling berharga karena
kelangkaannya dibandingkan barang-barang lain.
Ghiyas Beg adalah seorang lelaki yang mengerti Jahangir. Hadiahnya sederhana,
tetapi penuh makna. Dia telah membeli vas itu dari seorang pelaut feringhi,
seorang pria bertubuh besar yang sedang mabuk, yang sering datang ke pasar.
Benda itu berupa tabung tembaga panjang dengan pelat-pelat kaca kecil yang
ditempel di ujung lainnya. Aku tidak mengerti kegunaannya, hingga Arjumand
menyelinap ke dalam ruangan itu-seperti seorang gadis kecil yang berjingkatjingkat di antara banyak orang dewasa. Dia mengambil dan memeriksanya, pertamatama mengintip dari salah satu ujungnya, kemudian dari ujung yang lain,
mengarahkannya kepadaku bagaikan sebuah senapan jezail. Dia mulai tertawa.
"Apa itu, Agachi?"
"Ini membuat benda-benda tampak besar dan kecil. Dari ujung yang satu, kau
tampak kecil, tapi dari ujung lain, aku sulit melihatmu karena kau begitu besar.
Ini." Dia memberikannya kepadaku, dan pergi ke ujung
ruangan. Dia berpose seperti seorang gadis nautch-penari, tangan di pinggulnya,
kemudian berputar di atas jari kakinya. Aku tidak bisa menurunkan kaca itu
hingga dia mendekat dan menatap dari ujung yang lain.
"Kau bodoh, Isa. Coba lihat dari ujung yang lain juga."
"Satu sisi saja sudah cukup, Agachi." Dengan penuh kekaguman, aku mengembalikan
alat itu ke atas karpet. "Bahkan majikanku Lekraj juga tidak akan mampu
melakukan sihir seperti ini. Tapi, dia memang pesulap yang bodoh."
"Apakah kau ingin menghukumnya suatu hari, karena semua yang telah dia lakukan
kepadamu?" "Tidak. Dia sudah cukup menderita."
"Kau anak baik, Isa." Selama sesaat, wajahnya tampak berbayang gelap. "Ada
ruangan kecil untuk itu di sini." Aku mengharapkan dia meneruskan dan
menerangkan maksudnya. Kata-katanya aneh, karena hidupnya selalu penuh kebaikan,
dan dia adalah anggota keluarga kesayanganku, bahkan jauh melebihi Ladilli.
"Bibiku mengirimku kemari untuk menjemputmu."
"Aku tidak bisa meninggalkan penjagaanku."
"Kalau begitu, pinjami aku belatimu. Aku akan menggantikanmu berjaga."
Itu merupakan sebuah perintah, dan dia mengulurkan tangannya. Dengan ragu-ragu,
aku memberinya senjataku, meskipun merasa khawatir jika sesuatu terjadi padanya
saat aku pergi. "Apakah kau mau menceritakan apa yang dia
katakan kepadamu?" "Tentu saja, Agachi."
Jawabanku membuatnya tersenyum, bagaikan aku memberinya pujian. Saat aku menoleh
ke belakang, dia masih tersenyum, dan menyelipkan belatiku ke balik kain di
pinggangnya. mim Mehrunissa duduk di depan cerminnya, mengoleskan kajal di sekeliling matanya,
sementara sang budak menyikat rambutnya. Dia menyuruh mereka keluar saat aku
masuk, dan melangkah menuju kotaknya yang terkunci, membukanya, lalu
mengeluarkan sebuah kotak gading kecil dari balik lipatan baju.
"Isa, kau harus menjaga barang ini dengan nyawamu."
"Baik, Begum." Aku mengulurkan tangan untuk mengambilnya, mencoba memberanikan
diri. Benda ini sudah pasti sangat berharga.
"Kau tidak boleh memberi tahu siapa pun jika aku memberikan ini kepadamu," dia
mengulurkannya dan menatap galak ke arahku. "Aku akan membuatmu kehilangan nyawa
jika terjadi sesuatu pada benda ini. Kau mengerti, Badmash?"
"Ya, Begum." Ketakutan membuatku berkeringat, dan suaraku bergetar. "Saya
mengerti. Apa yang harus saya lakukan dengan benda ini?"
"Aku belum selesai, Bodoh. Kau akan mengantarkannya, secara pribadi, kepada
Sultan." "Yang Mulia, bagaimana saya bisa mendekati Padishah?"
"Karena aku tidak bisa, Bodoh." Dengan hati-hati, Mehrunissa memilih sehelai
kain sutra mewah dan membungkus kotak dengan kain itu. "Kotak ini disegel. Jika
aku mendengar segelnya rusak, aku akan mengatur supaya gajah meremukkanmu hingga
mati." Aku tidak bisa untuk tidak memercayainya. Hal itu adalah tindakan eksekusi yang
biasa terjadi, suatu hiburan bagi Sultan dan orang-orang, dan aku ini seorang
budak, yang tidak bisa lolos dari hukuman seperti itu. Selain ketakutan, aku
merasa sebal: mengapa aku yang dipilih" Mengapa bukan ayahnya, suaminya, atau


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saudara lelakinya yang menyerahkan hadiah berharga ini kepada Mughal Agung"
Tetapi, dalam pikiran kalutku ini, aku tahu bahwa mereka tidak boleh mengetahui
hadiah ini. Dan itu membuat tugasku lebih berbahaya, karena aku harus
melakukannya dengan cepat dan rahasia.
Mehrunissa bisa membaca pikiranku. "Kau akan memberikan kepada Mughal Agung
secara terbuka, sebagai hadiah darimu."
"Dia tidak akan menerima hadiah dari seorang hina seperti saya."
"Dia akan menerimanya," kata Mehrunissa dengan yakin, lalu kembali menatap
cermin. Aku masih berdiri, memegang kotak gading itu, ukirannya menekan telapak
tanganku. "Aku akan mengawasimu, Isa. Ingatlah itu."
Aku melihat bayangan Mehrunissa, sekeras kaca yang ada di hadapannya, berbayangbayang dalam cahaya lilin. Sosoknya begitu berkesan dalam
pikiran dan hatiku, dan hingga aku menyerahkan hadiah itu kepada Jahangir, aku
terus dihantui dan diikuti oleh mata besar tersebut.
Sebelum meninggalkan kamarnya, aku menyembunyikan hadiah itu di balik tumpukan
bajuku dalam-dalam dan kembali ke tempat penjagaanku. Arjumand melihat keringat
yang membutir di wajahku.
"Kau tampak sakit. Apakah kau tidak enak badan, Isa?"
"Tidak apa-apa, Agachi." Aku mengambil kembali belatiku, yang hangat karena
genggaman tangannya, dan menghindari tatapannya.
Dia menyentuhkan punggung tangannya ke dahiku untuk mengetahui apakah aku demam
atau tidak. Aku tersentuh akan kepeduliannya, tetapi tetap saja, aku masih tidak
bisa membalas tatapannya. Berlawanan dengan tatapan Mehrunissa yang penuh
ancaman, tatapan Arjumand begitu lembut.
"Aku tidak akan bertanya padamu apa yang diperintahkan oleh bibiku. Itu
membuatmu tidak senang."
"Ya, Agachi. Dia mengawasi kita." Aku tidak berani melihatnya, tetapi Arjumand
menatapku, dan dia menggelengkan kepala. Keberanianku timbul, dan aku merogoh ke
dalam, mencoba mengambil kotak gading. Arjumand menghentikan tanganku.
"Jangan. Aku tidak bisa menjaga rahasia, dan jika kau menunjukkannya kepadaku,
aku akan memberi tahu orang lain. Jika kau mendapat
masalah dengan Mehrunissa, itu tidak akan menyenangkan."
"Memang betul. Terima kasih, Agachi." Kepercayaan Arjumand malah semakin
menambah penderitaanku. Bagaimana seorang pelayan bisa mengabdi kepada banyak
tuan atau nyonya majikannya, dan tetap jujur kepada salah seorang dari mereka"
Itu adalah harapanku, tetapi tidak mungkin.
Sebelumnya, sehari setelah Pasar Malam Bangsawan Meena, aku dipanggil oleh
Mehrunissa. Dia duduk bersila di sebuah meja gading kecil, kepalanya menunduk,
rambutnya bagaikan dua aliran deras hujan yang berwarna gelap di samping
wajahnya, mempelajari Ain-i-Akbari. Teks panjang tentang pemerintahan itu
ditulis oleh Menteri Akbar, Abui Fazl. Hal-hal tentang kesultanan begitu
mengesankan Mehrunissa. Tidak diragukan lagi, dia sedang mempersiapkan diri
untuk suatu posisi penting. Akhirnya, dia mendongak.
"Ceritakan semua kepadaku."
"Semuanya, Begum?"
"Tentang semalam, Bodoh. Setiap kata yang terucap di antara mereka."
"Aku tidak mendengar. Aku .." "Kau memiliki telinga gajah, dan aku akan
mencabutnya dari kepala tololmu jika kau tidak segera menceritakan yang
sebenarnya." Sulit sekali untuk bersikap berani di hadapan
Mehrunissa. Tidak mungkin. Aku berbicara. Dia mendengarkan dengan teliti,
kemudian menyuruhku pergi. Aku meratapi pengkhianatanku terhadap Arjumand,
tetapi tidak memiliki keberanian untuk menceritakan hal itu kepadanya.
Kami mendengar kedatangan Padishah: dentuman dundhubi, tiupan terompet, dan para
prajurit yang mengamankan jalan. Ahadi, pengawal pribadi kerajaan, berderap di
depan Jahangir. Jahangir berbaring santai di atas tandu perak, sementara para
budak terburu-buru menebarkan kelopak mawar dan membuka gulungan permadani
Kashmir. Para lelaki di rumah terburu-buru keluar, dan saat Jahangir berdiri
dari tandunya, mereka mempertunjukkan kornish, meletakkan kepala di telapak
tangan mereka, mempersilakan Sultan menikmati rumah mereka. Jahangir tampak
ceria, bahkan bersemangat, dan merangkul Ghiyas Beg dengan penuh keakraban. Dia
juga melakukan hal yang sama, bahkan dengan lebih hangat, kepada suami
Mehrunissa. Kepada ayah Arjumand, dia tersenyum dan menyambut uluran tangannya,
lalu berjalan dengan goyah ke dalam rumah. Wajahnya tampak lebih gemuk, dan saat
dia berbicara, kedengarannya ada bisikan suara lain dari dalam mulutnya. Ini
membuat napasnya cepat habis dan dia terbatuk-batuk.
Selangkah di belakang, pengiringnya berjalan-seorang pembawa pedang dan seorang
pembawa buku. Tidak diragukan lagi, di dalam Jahangir-nama pasti banyak lukisan
Mehrunissa yang jelita, tetapi tidak ada satu pun dapat menandingi hadiah yang
akan kupersembahkan kepada Sultan atas perintah Mehrunissa, pada malam
kedatangannya. Seperti biasa, Jahangir memeriksa semua hadiah yang dipersembahkan kepadanya,
tetapi hanya memilih satu benda yang menunjukkan kebaikannya terhadap keluarga
kami. Benda yang dipilihnya adalah alat yang diberikan oleh Ghiyas Beg, dan saat
dia meletakkan alat itu di depan matanya, dia menemukan jika dia mampu melihat
bulan bagaikan hanya berjarak beberapa langkah. Dia tertawa puas.
"Apa nama benda ini?"
"Saya tidak tahu, Padishah," jawab Ghiyas Beg. "Saya menemukannya di pasar, dan
hanya berharap benda ini bisa menarik perhatian Yang Mulia."
"Benda ini menakjubkan. Sekarang aku bisa meneliti berbagai hal-bintang-bintang,
binatang, burung-bahkan aku bisa melihat wajah rakyatku dan membaca pikiran
mereka." Kemudian mereka masuk ke ruang dalam, tempat minuman anggur disajikan bagi sang
Sultan. Dalam hal ini, dia merasa seleranya terpuaskan setelah menghabiskan dua
puluh botol anggur dalam sehari, meskipun dia tidak merasakan efek yang
menyenangkan tanpa beberapa pil opium yang ditambahkan ke dalam setiap gelas.
Kakek buyutnya Babur telah mencatat bagaimana rasanya: "selama berada dalam
pengaruhnya, aku bisa menikmati banyak taman bunga yang memesona". Aku
menyuguhkan minuman anggur dan meletakkan hadiah Mehrunissa di atas baki. "Apa
ini?" Aku membungkuk dalam-dalam. "Padishah, ini hadiah sederhana dari hamba."
Jahangir mengambil kotak gading itu dan membuka segelnya. Ternyata isinya adalah
lukisan Mehrunissa. Dalam lukisan itu, dia sedang berbaring di dipan,
menampilkan seluruh kecantikannya bagi mata sang Sultan, dan sang Sultan tidak
mengangkat kepalanya dari kenikmatan memandang bentuk yang terlukis di situ.
Kulit Mehrunissa seputih susu, rambutnya hitam, panjang, dan terurai dengan
misterius di atas dadanya, menuju pinggangnya, dan wajahnya berbentuk jantung
hati. "Siapa yang memberimu ini?" dia bertanya kepadaku.
"Tidak . tidak ada, Padishah. Ini adalah sebuah hadiah .."
Aku begitu ketakutan untuk berbicara lebih banyak. Jahangir membawanya ke tempat
terang dan menelitinya dari dekat, dan tampaknya, hal itu secara jelas
membuatnya lebih puas. Dia mendesah dengan keras; aku tahu sang Sultan tidak
mampu menolak Mehrunissa. Dengan keberaniannya, Mehrunissa telah memikat hati
Sultan. Ghiyas Beg ingin memeriksa hadiah itu, tetapi Jahangir menutup kotak itu
dan menahannya. "Ini bukan apa-apa, Temanku. Hanya sebuah teka-teki. Aku harus memberikan
penghargaan bagi pelayanmu untuk kecerdasannya." Dia melemparkan
sebuah cincin bermata zamrud kepadaku, dan dengan tangkas aku menangkapnya.
"Izinkan para perempuan menemani kita, Ghiyas. Mendengar nyanyian mereka pasti
akan menambah kegembiraan kita."
Ghiyas Beg tidak dapat menolak perintahnya, dan memanggil para perempuan dari
tempat tinggal mereka, di balik jali, tempat mereka melihat dan mendengar
semuanya. Jahangir mengizinkan mereka membuka cadar. Dia berhak untuk melihat
wajah mereka. Kadang-kadang, dia mengizinkan rekannya yang istimewa untuk
melihat wajah-wajah perempuan miliknya. Tetapi, dia kecewa karena Mehrunissa
tidak ada di antara mereka. Mehrunissa masih ada di zenana, menunggu-dia tahu
apa yang akan terjadi-perintahnya yang khusus.
"Apakah semua ada di sini?"
"Semua, kecuali putriku Mehrunissa, Padishah. Sher Afkun, kau harus
menjemputnya." Sher Afkun segera pergi untuk menjemput Mehrunissa. Aku bisa melihat
ketidaksukaan Sher Afkun, tetapi Jahangir tidak sabar. Akhirnya, tirai terbuka
dan Sher Afkun kembali dengan Mehrunissa. Mehrunissa mempertunjukkan kornish,
dan tetap menunduk hingga sang Sultan mengizinkannya menegakkan tubuh. Karena
mengenal Mehrunissa dengan baik, aku merasa bahwa dia tertawa di balik beatilhanya. "Kau boleh membukanya," perintah Jahangir.
Mehrunissa tidak segera melakukannya. Kemudian, perlahan-lahan, dia membuka
cadarnya, dan sang Sultan bertepuk tangan dengan penuh kegembiraan. Pada malam yang sama,
Jahangir mengangkat Ghiyas Beg ke posisi Itiam-ud-daulah, Pilar Pemerintahan.
Betapa cepatnya keberuntungan keluarga ini berubah. []
Taj Mahal 1042/1632 Masehi "Aku membuat patung-patung dewa," kata Murthi. "Dewa-dewa itu tidak ada," sang
petugas menukas. Dia mengumpulkan kertas-kertasnya dan menatap Murthi. Dia
segera melihat wajah kurus berkulit gelap, tampak masih muda, tetapi sudah kusam
karena janggut kelabu, atau tangannya yang kuat, lecet, kapalan, dan tergores
karena terbiasa memegang peralatan.
Di belakang Murthi, para lelaki dan perempuan menunggu dengan sabar. Ada beriburibu manusia; bagaikan sebuah aliran sungai yang mendengung, mengisi paritparit, menenggelamkan semak-semak, dan membanjiri pepohonan. Mereka berjongkok
atau berbaring dengan sabar di bawah keteduhan bayangan. Anak-anak menatap
dengan malu-malu ke sekeliling mereka, banyak sekali orang berkerumun; para
pedagang keliling memenuhi udara dengan teriakan mereka dan aroma makanan
dagangan mereka: samosa, bhaji, gula-gula, roti, chai, jeruk. Udara tampak
berdebu kekuningan, kering dan membara, dan terasa pengap-harus diisap dengan hati-hati melalui
mulut. "Aku seorang Acharya," Murthi bersikeras. Kata-katanya tidak berarti apa-apa
bagi si petugas, dan keheningan melanda kedua pria tersebut, mengasingkan mereka
dari kericuhan di sekitar. Lalat-lalat mendengung; akhirnya, itulah satu-satunya
yang Murthi ketahui. Dia tidak bisa bergerak. Dia sudah lelah dan lesu; tetapi
perjalanan ini belum berakhir.
Tempat tinggal mereka adalah maidan di tepi sungai, tidak seberapa jauh dari
benteng. Tempat tidur mereka sesak karena banyaknya penghuni, memasak dan makan
di udara terbuka, dan saat fajar, ketika orang lain melihat sang Sultan, Murthi
mandi di Sungai Jumna dan berdoa. Setiap hari, lebih banyak pekerja yang datang,
dan perlahan-lahan, tanpa terencana dan dengan sendirinya, sebuah kota kecil
mulai tumbuh. Para pedagang keliling lalu tinggal di situ, membangun lapak-lapak
kecil, mengetahui banyak orang yang menghuni. Gubuk-gubuk juga muncul di antara
debu, rendah, reyot, terbuat dari jerami usang, tetapi menawarkan perlindungan
dari matahari dan dinginnya malam. Gubuk Murthi sendiri hanya memiliki satu
ruangan kecil, dengan sebuah ceruk di sudut untuk memasak; perabotan Sita hanya
berupa tiga panci keramik dan sebuah sendok kayu. Sudut lain dibiarkan menjadi
tempat ritual: sebuah lampu minyak menyala saat fajar dan senja di depan sebuah
patung Lakshmi. Milik mereka yang
paling berharga, perkakas milik Murthi-pahat-pahat, sebuah palu, dan sebuah
puputan-tersembunyi di sebuah lubang di balik patung tersebut.
mim Agra telah membuat Murthi bingung sekaligus bersemangat, dan selama berharihari, dia berkeliling bersama Sita dan Gopi, dengan malu-malu mengamati
pergerakan manusia yang memusingkan dan tanpa henti. Mereka mendengar beragam
bahasa yang tidak mereka mengerti, melihat orang-orang dari daerah yang belum
pernah mereka ketahui, dan mengamati, selama berjam-jam, karavan unta raksasa
yang tiba dan menurunkan barang-barang bawaan dari Persia, Bengal, Samarkand,
Kashmir, dan Rajputana. Orang-orang terhormat dan para pangeran melewati mereka,
tinggi di atas howdah, dengan para prajurit yang berkeliaran, para perempuan
yang ditandu, dan para pelayan di belakang mereka.
Dengan waspada, mereka mengamati benteng besar itu juga, mendesah penuh
keseganan karena ukuran dan kemegahannya, tidak mampu membayangkan apa atau
siapa yang dilindungi di dalamnya. Para prajurit galak, berseragam merah dengan
baju zirah yang berkilau, tampak sangat menarik ketika melakukan pergantian
tugas setiap jam, setiap genderang berbunyi. Suatu pagi, satu jam sebelum fajar,
saat cahaya kelabu pucat baru saja muncul dalam selarik garis tipis di antara
bumi dan surga, mereka berkumpul dalam jumlah ratusan
di maidan antara sungai dan benteng, untuk bisa melihat Mughal Agung Shah Jahan
dalam jharoka-i-darshan. Lonceng berdentang, rantai emas diturunkan.
"Apa itu?" Murthi bertanya.
"Untuk keadilan. Kau bisa mengaitkan petisimu di rantai itu. Katanya Padishah
akan mempelajarinya, dan melakukan tindakan. Siapa yang tahu?" Murthi mengangkat
Gopi ke bahunya dan, mencoba melihat sang Sultan yang belum tampak, menunggu
suatu penampilan yang megah. Orang-orang melakukan namaste, berharap bisikan
mereka bisa terbawa naik ke bukaan di tembok yang tinggi. Sebaliknya, mereka
ingin diberkahi, dilindungi oleh kekuasaannya.
"Apakah dia dewa?" tanya Gopi, kesulitan bernapas karena merasa tegang.
"Bukan. Seorang manusia. Tapi bagi kita," Murthi berbicara dengan datar, "dia
sama dengan dewa." Mereka menunggu; sang Sultan menunggu; tidak bergerak bagaikan marmer. Jarak
yang memisahkan mereka bagaikan sejauh bentangan alam semesta, dan hanya seorang
manusia yang bisa menyeberanginya, tetapi Sultan masih tampak diam dan membeku.
Akhirnya, saat matahari sudah terbit sepenuhnya dan terbebas dari kegelapan,
sang Sultan bangkit dan menghilang. Sekarang rantai emas sudah dinaikkan lagi.
"Apakah orang-orang menggunakannya?" Murthi menatap celah di tembok tersebut.
"Kadang-kadang."
"Siapa yang bertugas?" Murthi bertanya dengan tidak sabar.
Sang petugas, dengan bosan, meludah ke samping. Dia mengangguk ke arah benteng
dan paviliun-paviliun marmer yang mulai berdiri di belakang tembok tinggi.
"Dia," sahutnya, lalu dia tertawa. "Kita mulai lagi. Kau ingin pekerjaan .."
"Aku dikirim ke sini. Aku memberimu hadiah dari Raja untuk Padishah."
"Dia akan menerimanya. Aku akan menyerahkannya secara pribadi. Sekarang, apakah
kau pemotong batu?" "Bukan. Aku seorang pematung. Seorang Acharya. Aku memahat dewa-dewa."
"Tidak ada dewa di sini. Kau harus memotong marmer, atau pergi. Yang lain
menunggu." Murthi tidak bergerak. Di belakang si petugas ada banyak shamiyana yang berwarna
terang, para petugas yang datang dan pergi, membawa gulungan gambar dan pena,
berbicara dalam bisikan yang terdengar serius. Kadang-kadang, mereka akan keluar
untuk menatap batu, semak-semak, dan segerumbul pohon limau di belakang
shamiyana, membandingkannya dengan gambar dan menggerakkan tangan sambil
berbicara, kemudian menghilang lagi.
"Aku akan berbicara dengan mereka," Murthi menunjuk.
"Jika itu kemauanmu. Ayolah."
Tetapi, Murthi masih tidak bergerak, tetap berjongkok, kebingungan. Dia tidak
bisa menyia-nyiakan keterampilan turun-temurun hanya untuk memotong marmer.
Setidaknya dia mempunyai kebanggaan. Dia tidak bisa kembali, tidak bisa tetap di
sana; dia tenggelam dalam penderitaan dan ketidakpastian. Si petugas kembali
memeriksa kertas-kertasnya, siap menulis dengan pena, seakan-akan Murthi sudah
tidak ada lagi di situ. "Apakah orang-orang akan beribadah di bangunan ini?"
"Tidak," akhirnya si petugas menjawab. "Ini adalah makam."
"Ah, kalau begitu, kalian akan menginginkan patung Permaisuri."
"Tidak. Quran melarang manusia untuk memasang patung-patung mereka di dalam
bangunan. Dan Allah sendiri tidak memiliki ukuran atau bentuk."
Murthi mengangguk bagaikan mengerti, tetapi si petugas tahu, kata-katanya tidak
berarti bagi Murthi. "Seperti apa sang Permaisuri?"
"Bagaimana aku bisa tahu" Sekarang pergilah, atau kau tidak akan memotong batu.
Ada banyak orang lain."
Seorang lelaki muncul dari sebuah shamiyana. Dia tinggi dan langsing, janggutnya
tersisir rapi dan berwarna kelabu menarik. Dia mengenakan kain muslin yang indah
dan mahal, yang membuat orang-orang bisa melihat ke lipatan kurtanya. Jarijarinya bercincin dan dia mengenakan gelang emas di kedua lengannya.
Isa memeriksa kerumunan. Ribuan lelaki dan perempuan, mungkin sebanyak dua puluh
ribu, pikir Isa, menunggu dengan sabar. Para petugas duduk di barisan meja kecil
yang rendah, mencatat detail-detail fisik setiap pekerja, baik lelaki maupunn
perempuan: bekas luka, bekas cacav, bibir tebal, kutil, dan mata juling. Setiap


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari pembayaran upah, deskripsi ini harus diperiksa sebelum uang berpindah
tangan. Akbar telah menetapkan aturan kepada prajuritnya agar orang asing tidak
bisa dibayar. Isa melihat seorang pria berjongkok gelisah di depan seorang
petugas yang sedang mengabaikannya. Selama beberapa saat, tidak ada yang mereka
bicarakan. Si lelaki melihatnya, menatapnya, lalu mengalihkan pandangan. Isa
kembali ke shamiyana dan memanggil si petugas. "Siapa pria itu?"
"Seorang lelaki konyol. Dia memahat dewa-dewa, katanya. Aku mengatakan
kepadanya, di sana tidak akan ada patung-patung. Tapi, dia tidak mau pergi," si
petugas mengangkat bahu. "Pertanyaanku, siapa dia" Cari tahu dari mana dia datang, lalu kembali dan
ceritakan kepadaku."
Si petugas kembali ke posisinya dan mengambil penanya. Dia tidak mengerti
mengapa Isa tertarik, tetapi dia mematuhinya, dan mengajukan beberapa pertanyaan
kepada Murthi. Saat sudah mencatat jawabannya, dia kembali ke Isa.
"Dia datang dari Guntikul, di selatan .."
"Aku tahu." "Dia seorang Acharya. Namanya Murthi. Ayahnya
pemuja Krishna, kakeknya pemuja Lakshmi. Dia dikirim oleh Raja. Aku menawarkan
pekerjaan sebagai pemotong batu, tapi dia tidak mau menerimanya."
"Beri dia pekerjaan," kata Isa.
"Tapi tidak ada yang bisa dia lakukan di sini."
"Keterampilannya bisa digunakan untuk hal lain. Jangan sebut-sebut ini. Awasi
dan laporkan langsung kepadaku bagaimana kehidupannya."[]
Taj Mahal 1042/1632 Masehi Shah Jahan "Kau sedang bermimpi, Yang Mulia."
"Tidak bolehkah seorang pangeran bermimpi?"
"Tidak boleh jika di medan perang. Aku bisa membunuhmu tiga kali-di sini, di
sini, dan di sini." Pedang Jenderal Mahabat Khan menyentuh leherku, jantungku,
dan perutku. "Dalam medan perang, seorang raja adalah jantungnya. Jika ia
terbunuh, kekalahan sudah tidak bisa lagi terelakkan. Saat kau menjadi sultan,
ingatlah nasihat kakekmu, Akbar: 'Suatu monarki seharusnya selalu berhasrat
untuk menaklukkan, jika tidak, negara-negara tetangganya akan mengangkat senjata
melawannya.'" "Aku belum menjadi sultan. Masih ada waktu untuk bermimpi."
Seorang prajurit mengambil pedang dan perisaiku. Debu sisa pertempuran kami
menggantung di udara, dan pasir lembap karena keringat kami. Sang Jenderal
berjalan di sampingku ketika kami menuju
ke hamam. Cara dia berjalan mirip dengan Akbar, yang juga telah dia dampingi
dalam banyak pertempuran. Dia kuat, kekar, dan penuh bekas luka. "Kau terlalu
banyak memimpikan gadis itu-Arjumand."
"Mimpiku membebaskan kesendirian yang sunyi. Tidak diragukan lagi, para jenderal
menjalani kehidupan tanpa mimpi."
"Begitu juga seharusnya para pangeran dan sultan."
Ar-ju-mand. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak bermimpi dan merasakan tubuhku
Pendekar Bloon 11 Pendekar Romantis 09 Ratu Cadar Jenazah Perkampungan Hantu 1

Cari Blog Ini