Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld Bagian 1
The Interpretation of Murder
The Interpretation of Murder
JED RUBENFELD THE INTERPRETATION OF MURDER
Diterjemahkan dari The Interpretation of Murder
karya Jed Rubenfeld Copyright " 2006, Jed Rubenfeld Hak cipta dilindungi undang-undang A/i rights
reserved Hak terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ada pada UFUK Press
Pewajah Sampul: Expertoha Studio Pewajah Isi: Ahmad Bisri Penerjemah: Isma B.
Soekoto Penyunting: Mehdy Zidane
Cetakan I: Maret 2007 ISBN: 979-1238-30-8 UFUK PRESS PT. Cahaya Insan Suci Jl. Warga 23A, Pejaten Barat, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan 12510, Indonesia Phone: 62-21-7976587, 79192866 Homepage:
www.ufukpress.com Blog : http://ufukpress.blogspot.com Email :
info@ufukpress.com Untuk Amy, Sophia, dan Lousia
Sigmund Freud Car/ G. Jung
PADA TAHUN 1909, Sigrnund Freud, ditemani oleh seseorang yang kemudian menjadi
muridnya, Carl Jung, mengunjungi Amerika Serikat untuk kali pertama dan terakhir
kalinya. Ia menyampaikan kuliah psikologinya di Clark University, di Worcester,
Massachussetts. Gelar kehormatan yang diberikan oleh Clark merupakan satusatunya
penghargaan publik terhadap karya Freud. Namun, setelah beberapa tahun berlalu,
Freud selalu mengeluhkan kunjungannya ke Amerika Serikat. Ia menganggap orangorang Amerika "biadab". Setelah kunjungan tersebut, ia jatuh sakit. Para penulis
biografi Freud telah sejak lama memikirkan misteri ini, karena mengira telah
terjadi sesuatu yang tak mereka ketahui. Mungkin saja hal tersebut telah
menimbulkan reaksi yang berlawanan yang tak dapat dijelaskan.
Prolog Minggu malam, tanggal 29 Agustus 19D9, pemandangan dari luar Alabaster Wing
memang menggetarkan. Seorang wanita muda ramping sedang berdiri di dalam salah
satu kamarnya. Ia diterangi oleh belasan nyala lilin. Tubuh indahnya nyaris
bugil. Kedua pergelangan tangannya menumpuk terikat di atas kepalanya.
Tenggorokannya terikat dengan pengikat lain. Ia tercekik oleh sehelai dasi
sutra, yang erat disimpulkan oleh tangan seorang lelaki.
Seluruh tubuhnya berkilatan lantaran suhu udara bulan Agustus yang panas.
Tungkai jenjangnya telanjang, demikian juga kedua lengannya. Bahu anggunnya juga
nyaris terbuka. Kesadarannya semakin berkurang. Ia mencoba berbicara. Ada
sesuatu yang harus ditanyakannya. Namun semua itu tersedak, lalu menghilang.
Gadis itu pun bertanya lagi dengan berbisik, "Namaku. Siapa namaku?"
Apartemen itu menjulang tinggi di atas daratan New York. Satu set peralatan
tergeletak di atas tempat tidurnya. Dari kiri ke kanan, terlihat sebuah pisau
cukur lelaki bergagang tulang, lalu sebuah
cambuk kuda terbuat dari kulit sepanjang enampuluh sentimeter. Terlihat juga
tiga bilah pisau operasi berukuran besar, dan sebuah botol kecil berisikan
setengah cairan bening. Si penyerang tampak sedang mempertimbangkan, sebelum
mengambil salah satu dari perlengkapan itu.
Gadis itu menggelengkan kepalanya sesaat ia melihat kilatan pisau cukur di
dinding. Ia mencoba berteriak, tetapi tenggorokannya telah menyempit, suara
permohonannya berubah menjadi bisikan saja.
Dari belakangnya, terdengar suara rendah, "Kau ingin aku menunggu?"
Gadis itu mengangguk. "Aku tidak bisa." Pergelangan tangan gadis itu masih disilangkan dan saling
bertumpuk di atas kepalanya. Pergelangan itu ramping sekali, jemarinya sangat
cantik, tungkai jenjangnya indah. "Aku tidak bisa menunggu." Gadis itu
mengedipkan matanya ketika gerakan teramat lembut mulai menyayat bagian paha
telanjangnya. Pisau cukur itu menghasilkan warna merah terang yang meluncur di
atas kulitnya. Ia menjerit. Punggungnya melengkung bagaikan lengkungan jendelajendela, sehingga rambut hitam legamnya jatuh ke punggungnya. Gadis itu pun
kembali menjerit ketika kali keduanya tindakan itu terulang pada bagian paha
lainnya. Kali ini, lebih nyaring terdengar.
"Jangan," suara itu memperingatkan dengan tenang. "Jangan ada teriakan."
Gadis itu hanya dapat menggelengkan kepalanya. Rupanya ia tidak mengerti.
"Kau harus mengeluarkan suara yang berbeda." Gadis itu menggeleng lagi. Ia ingin
berkata-kata tetapi tidak mampu.
"Ya. Kau harus bisa. Aku tahu kau bisa. Sudah aku ajari bagaimana caranya.
Apakah kau ingat?" Pisau cukur itu sekarang diletakkan di atas tempat tidur. Sementara pada
dinding, dalam cahaya lilin yang bergoyang-goyang, gadis itu melihat bayangan
cambuk kulit terangkat sebagai ganti benda tajam tadi.
"Kau mau ini" Bersuaralah seolah kau memang menginginkannya. Kau harus bersuara
seperti itu." Dengan perlahan namun pasti, dasi sutra tadi ditarik lebih erat di sekeliling
tenggorokan gadis itu. "Bersuaralah!"
Gadis itu berusaha melakukan apa yang diminta. Ia pun mengerang secara perlahan.
Erangan permohonan seorang gadis, yang belum pernah dilakukannya.
"Bagus. Seperti itu."
Sambil memegangi ujung dasi putih dengan tangan satunya, dan cemeti kulit pada
tangan lainnya, si penyiksa mencambuki bagian punggung. Gadis itu pun kembali
mengeluarkan suara erangan. Satu cambukan lagi, lebih keras. Sengatan itu
membuat si gadis menjerit, tetapi ia segera menahannya dan mengeluarkan suara
erangan lagi. "Semakin baik." Cambukan berikutnya mendarat pada punggungnya tetapi agak ke
bawah. Gadis itu membuka mulutnya, namun pada saat yang bersamaan, dasi itu
ditarik lebih erat, sehingga benar-benar tercekik, uara erangannya kali ini
terdengar tidak dibuat-buat,lebih serak, si penyiksa itu pun menjadi sangat
senang. Satu cambukan berikutnya, lalu berikutnya dan begitu seterusnya
degan lebih keras dan lebih cepat, mengenai bagian tubuhnya yang paling lembut,
mengoyak-ngoyak pakaiannya, meninggalkan bekas berkilat pada kulit putihnya.
Pada setiap cambukan, gadis itu tidak berteriak kesakitan, namun mengerang
seperti yang telah diajarkan padanya. Tangisannya pun menjadi lebih keras dan
semakin cepat. Sebelum cambukan itu berhenti, pastilah gadis itu telah pingsan. Namun tali dari
langitlangit yang mengikat pergelangan tangannya tetap membuatnya berdiri ? ?tegak. Tubuhnya sekarang berbilur bekas cambukan. Darah mengalir dari satu atau
dua goresan lukanya. Bagi gadis itu, sesaat segalanya menjadi gelap. Kemudian
secerca cahaya datang kembali. Tubuhnya bergetar.
Matanya terbuka. Bibirnya bergerak. "Di mana aku berada," ia mencoba berbisik,
namun tidak ada yang mendengar.
Si penyiksa mengamati leher indah gadis itu, lalu melonggarkan ikatan dasi
sutranya. Untuk beberapa saat, gadis itu bernafas dengan bebas. Namun kepalanya
masih tergolek ke belakang, gelombang rambut hitam melambai hingga pinggangnya.
Ikatan di sekitar lehernya pun mengerat lagi.
Gadis itu tidak lagi dapat melihat dengan jelas. Ia merasakan kehadiran jemari
tangan pada mulutnya yang menyentuh bibirnya dengan lembut. Jemari itu pun
menarik dasi sutra hingga semakin erat menjerat. Gadis itu berhenti tersedak.
Untuknya, cahaya lilin tadi telah padam, tanpa pernah kembali lagi.
BAGIAN Satu TIDAK ADA MISTERI dalam kebahagiaan.
Orangorang yang tak bahagia hampir sama semuanya. Beberapa telah terluka sejak
lama. Beberapa berusaha menyangkalnya. Beberapa coba menutupinya dengan
keangkuhan. Dan beberapa menyalakan api cinta lalu memadamkannya dengan
cemoohan, atau dengan ketidakpedulian yang terus melekat. Atau sebaliknya,
merekalah yang melekat pada luka itu sehingga masa lalu selalu menyelubungi
kehidupannya. Orang yang bahagia tidak menoleh ke belakang. Tidak juga melihat
ke depan. Ia hanya hidup di dalam hari ini.
Tetapi ada juga kesulitan. Masa kini tidak pernah mampu melahirkan satu hal:
makna. Arah kebahagiaan dan makna tidak sama. Untuk menemukan kebahagiaan,
seseorang hanya harus hidup pada satu waktu ia hanya harus hidup bagi waktu itu
?saja. Namun, jika ia menghendaki sekian makna dari mimpinya, rahasianya,
kehidupannya, ia harus menghidupkan kembali masa lalunya. Segelap apa pun itu.
Ia juga harus hidup bagi masa depan. Betapapun tidak menentunya. Jadi, alam
mempermainkan kebahagiaan dan makna di depan kita hanya agar
kita bisa memilih satu di antara keduanya.
Bagi diriku sendiri, aku selalu memilih makna. Aku rasa karena itulah malam ini,
Minggu 29 Agustus 1909, di pelabuhan Hoboken yang terik dan penuh sesak, aku
menunggu kedatangan kapal uap Nord-deutsch Lloyd George Washington dari Bremen,
membawa seorang penumpang yang paling ingin kutemui di dunia ini.
Pada pukul tujuh malam, belum ada tanda-tanda kapal itu akan tiba. Abraham Bill,
seorang kawan yang juga kolega psikiaterku, telah berada di pelabuhan itu dengan
tujuan sama. Ia nyaris tidak dapat menenangkan dirinya, gelisah, merokok tanpa
henti. Luar biasa teriknya, udara terasa pengap dengan aroma amis ikan. Kabut
yang tak lazim tampak naik dari permukaan air, seolah laut mengepulkan asap.
Peluit kapal terdengar berat seolah berasal dari air yang lebih dalam, sementara
kapalnya tidak terlihat. Bahkan pekikan burung layang-layang pun hanya terdengar
tanpa terihat di mana mereka beterbangan. Yang menggelikan, dalam benakku mulai
muncul anggapan kalau kapal uap itu telah kandas di balik kabut. Dua ribu
limaratus orang penumpangnya tenggelam di bawah kaki Patung Liberty. Senja pun
datang, tetapi suhu udara tidak mereda. Kami tetap menunggu.
Tibatiba, sebuah kapal putih besar muncul tanpa terlihat seperti titik di
?cakrawala sebelumnya. Secara mengejutkan kapal itu terlihat seperti seekor gajah
besar yang muncul dari balik kabut di depan mata kami. Semua orang di galangan
terpekik, dan mundur. Namun semua itu pudar lantaran teriakan para petugas
pelabuhan, dan tali tambang kapal dilemparkan untuk ditangkap. Kesibukan serta
kerumunan orang pun mengikutinya. Dalam beberapa menit, seratus buruh pelabuhan
membongkar muatan kapal. Brill berseru padaku supaya mengikutinya, berdesakan melalui jalan sempit. Izin
masuk ke kapalnya ditolak, tidak seorang pun diperbolehkan naik atau turun dari
kapal. Satu jam kemudian Brill menarik lengan bajuku dan menunjuk ke arah tiga
orang penumpang yang menuruni jembatan. Yang pertama adalah seorang lelaki
penting, sangat kurus, dengan rambut dan jenggot beruban, yang segera kukenali
sebagai ahli ilmu jiwa dari Wina, Dr. Sigmund Freud.
g PADA TAHUN 1909, telepon mulai luas digunakan penduduk New York City untuk
mempercepat komunikasi, dan selanjutnya, mengubah bentuk hubungan antara
manusia. Senin, 30 Agustus pukul delapan pagi, pengelola Balmoral mengangkat
gagang teleponnya, kemudian terburu-buru menelpon pemilik gedung.
Sebuah penthouse Gedung apartemen Travertine Wing, di situlah Tuan George
Banwell menerima panggilan itu. Ia berada enam belas tingkat di atas ruang si
pengelola. Sang pemilik gedung itu dikabari kalau seorang pelayan telah
menemukan Nona Riverford, yang menempati Alabaster Wing, tewas di kamarnya.
Gadis itu telah menjadi korban pembunuhan atau kemungkinannya, lebih buruk dari
itu. Banwell tidak segera menanggapi. Untuk sekian lama si pengelola tidak mendengar
suara Tuan Banwell. Ia pun bertanya, "Anda masih di sana, Tuan?"
Banwell menjawab dengan suara parau, "Perintahkan semua orang untuk keluar,
kunci pintunya, jangan ada
seorang pun yang masuk, dan perintahkan orang-orangmu untuk menutup mulut jika
mereka tidak ingin dipecat."
Lalu Banwell menghubungi Walikota New York City yang kebetulan adalah seorang
kawan lamanya. Pada akhir pembicaraannya itu, Banwell berkata, "Aku tidak
mungkin mengizinkan polisi memasuki gedungku, McClellan. Tidak seorang polisi
pun. Akulah yang akan me\ngatakan pada keluarganya sendiri. Riverford adalah
teman satu sekolahku. Ya betul, ayah gadis itu, si bedebah yang malang."
g AHLI OTOPSI HUGEL masuk sambil melontarkan kemarahannya atas kondisi rumah
penyimpanan jenazah kota tersebut. Walikota McClellan, yang telah mendengar
serangkaian keluhan itu sebelumnya, segera menghentikan Hugel. Lalu ia
menceritakan kejadian di Balmoral dan memerintahkan ahli otopsi itu pergi ke
sana dengan menggunakan mobil tanpa tanda dinas. Para penghuni gedung itu tidak
diperbolehkan untuk mengetahui kehadiran seorang polisi. Seorang detektif akan
menyusul kemudian. "Mengapa aku?" Tanya ahli otopsi itu, "seseorang dari kantorku bernama O'Hanlom,
bisa melakukan itu."
"Tidak," kata Walikota McClellan, "aku ingin kau sendiri yang pergi ke sana.
George Banwell adalah teman lamaku. Aku membutuhkan seorang berpengalaman dan
terper-caya untuk menyimpan rahasia. Kau termasuk salah satu dari sedikit orangorang kepercayaanku."
Ahli otopsi itu menggerutu namun akhirnya menyerah. "Aku punya dua syarat.
Pertama, siapa pun yang bertanggung jawab di gedung itu harus segera diberitahu
kalau tidak ada satu pun yang boleh disentuh. Jangan harap aku bisa memecahkan
kasus ini jika buktibuktinya sudah terinjak-injak dan rusak sebelum aku tiba,"
"Sangat masuk akal," kata Walikota McClellan, "apa lagi syaratnya?"
"Kedua, aku harus memiliki kewenangan penuh atas penyidikan itu, termasuk
detektif mana yang aku pilih."
"Baik," kata Walikota McClellan, "kau bias mendapatkan orang yang paling handal
dari lembaga itu." "Justru itu yang aku tidak mau," jawab Hugel, "sungguh menyenangkan bila aku
mendapatkan seorang detektif yang tidak akan menjual kasus yang telah kupecahkan. Ada seorang detektif baru namanya Littlemore. Aku mau orang itu yang
membantuku." "Littlemore" Bagus sekali," kata Walikota McClellan seraya mengalihkan
perhatiannya pada setumpuk kertas di atas mejanya, "Bingham pernah berkata kalau
Littlemore adalah salah seorang detektif muda terpandai yang dimilikinya."
"Terpandai" Sebenarnya ia adalah seorang detektif yang betulbetul tolol."
Walikota itu terkejut, "Jika kau menganggapnya begitu, lalu mengapa kau
menginginkannya, Hugel?"
"Karena ia tidak dapat disuap, setidaknya ia belum bisa."
g KETIKA AHLI OTOPSI HUGEL tiba di Balmoral, ia diminta menunggu Tuan Banwell.
Hugel tidak suka menunggu. Kini ia berusia limapuluh sembilan tahun. Tigapuluh
tahun terakhirnya telah dihabiskan dalam masa dinas pelayanan ruang jenazah yang tidak
sehat di kotamadya, sehingga wajahnya menjadi agak pucat kelabu. Ia mengenakan
kacamata tebal dan kumis yang terlalu besar di antara sepasang pipi cekungnya.
Ia betulbetul botak, kecuali ada sejumput rambut keriting mencuat di belakang
telinganya. Hugel adalah seorang yang tidak mudah dibuat senang. Bahkan ketika
sedang beristirahat pun, benjolan pada dahinya memberi kesan kalau dia adalah
seorang yang sedang marah.
Setelah limabelas menit menunggu sambil marahmarah, Tuan Banwell akhirnya
muncul. Seharusnya ia tidak terlalu lebih tinggi dari Hugel, namun tampaknya
Tuan Banwell berdiri menjulang di sampingnya. "Dan kau siapa?" Tanyanya.
"Ahli otopsi New York City," kata Hugel seraya coba memperlihatkan kewibawaan,
"Hanya aku yang boleh menyentuh jenazah itu. Segala kecacatan pada bukti akan
dituntut sebagai usaha penghalang-halangan. Anda mengerti?"
George Banwell sangat tahu kalau dirinya lebih tinggi, lebih tampan, berpakaian
lebih bagus, dan lebih kaya dibandingkan ahli otopsi itu. "Omong kosong,"
katanya, "ikuti aku, dan jangan bicara terlalu keras ketika kau berada di
gedungku." Banwell membawa Hugel ke lantai teratas Alabaster Wing. Hugel, mengikutinya
sambil mengertakkan giginya. Dalam lift itu tidak ada yang bicara. Hugel menatap
lantai dengan sikap tegas, matanya mengawasi celana panjang Tuan Banwell yang
bergaris-garis tipis dan sepatu berkilap dan bertumit rendah miliknya yang sudah
jelas lebih mahal dibanding harga jas, rompi, dasi, dan sepatu ahli otopsi
itu bila digabungkan jadi satu. Seorang pelayan lelaki, yang berdiri berjaga di
luar apartemen Nona Riverford, membukakan pintu bagi mereka. Tanpa suara,
Banwell memimpin Hugel beserta kepala pengelola dan pelayan tadi memasuki
koridor menuju kamar gadis itu.
Jasad yang nyaris bugil itu tergeletak di atas lantai, wajahnya pucat, matanya
tertutup, rambut hitam legam indah terserak di atas permadani bercorak Oriental
mewah. Ia masih tampak sangat jelita dengan lengan dan tungkainya masih tampak
anggun, namun di seputar lehernya ada bercak kemerahan yang mengerikan, dan
tubuhnya bergaris-garis bekas lecutan cambuk. Pergelangan tangannya masih
terikat, gontai di atas kepalanya. Ahli otopsi itu berjalan cepat ke arah jasad
itu. Ia menempelkan ibu jarinya pada kedua pergelangan tangan korban, tepat pada
urat nadi. "Bagaimana keadaannya, bagaimana dia bias terbunuh?" Tanya Banwell dengan suara
muram dan lengan terlipat.
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tidak tahu?" Tanya ahi otopsi itu.
"Untuk apa aku bertanya jika aku tahu?"
Hugel menoleh ke bawah tempat tidur. Ia berdiri dan menatap jasad itu dari
beberapa arah. "Menurutku, ia tewas karena tercekik. Mati perlahan-lahan."
"Apakah ia...?"
"Mungkin saja," sela Hugel atas perkataan Banwell yang belum sempat
diselesaikan, "tapi aku tidak yakin sebelum aku memeriksanya."
Dengan sepotong kapur merah, Hugel membuat lingkaran bergaris tengah kira-kira
dua setengah meter, mengelilingi jasad gadis itu dan menyatakan tidak seorang
pun boleh memasuki lingkarannya. Ia memeriksa ruangan,
dan semuanya sangat teratur, bahkan seprei yang terbuat dari bahan linen mahal
masih terpasang sangat rapi. Hugel membuka lemari milik Nona Riverford, berikut
rak pakaian dan kotak perhiasannya. Tidak ada yang tampak hilang. Gaun-gaun
gemerlapan tergantung rapi dalam lemari gantung, pakaian-dalam berenda terlipat
rapi dalam beberapa laci, sebuah tiara berlian dengan anting dan kalung yang
serasi, masih terletak dalam susunan harmonis di dalam sebuah kotak beledu biru
tua di atas lemari berlaci.
Hugel bertanya, siapakah yang pernah berada di ruangan itu. Hanya si pelayan
yang menemukan jasad itu yang menjawab. Setelah itu, apartemen tersebut dikunci,
dan tidak seorang pun yang diperbolehkan memasukinya. Si ahli otopsi itu
memanggil si pelayan, yang semula menolak melewati pintu kamar tidur. Dia adalah
gadis cantik berdarah Italia yang berusia sembilanbelas tahun, dengan rok
panjang dan celemek putih.
"Nona muda," kata Hugel, "kau mengganggu benda-benda di dalam kamar ini?"
Si pelayan menggelengkan kepalanya. Walau terdapat jenazah yang tergeletak di
lantai dan majikannya menatap ke arahnya, si pelayan tetap tenang dan menatap
mata sang penyidik. "Tidak, Pak," jawabnya.
"Kau membawa sesuatu ke dalam ruangan ini atau mengambil sesuatu?"
"Aku bukan pencuri," katanya.
"Kau memindahkan benda-benda perabotan atau pakaian?" "Tidak."
"Bagus sekali," ujar Hugel.
Si pelayan menatap Tuan Banwell, yang tidak
menyuruhnya pergi. Ia bahkan berkata pada sang ahli otopsi. "Selesaikanlah."
Hugel menatap tajam pemilik Balmoral itu. Lalu mengambil pena dan kertas.
"Nama?" "Nama siapa?" Tanya Banwell dengan geraman sehingga membuat si pengelola
ketakutan, "namaku?"
"Nama korban." "Elizabeth Riverford," jawab Banwell.
"Usia?" Tanya Hugel.
"Bagaimana aku tahu?"
"Aku tahu kau mengenal keluarganya."
"Aku mengenal ayahnya," ujar Banwell, "penduduk Chicago. Dia adalah seorang
bankir." "Aku mengerti. Kau tidak tahu alamatnya?" Tanya Hugel.
"Tentu saja aku tahu alamatnya." Kedua lelaki itu saling menatap.
"Maukah kau berbaik hati memberitahuku di manakah alamatnya?" Tanya Hugel.
"Aku akan memberikan alamatnya pada McClellan," kata Banwell.
Hugel mulai menggertakkan giginya lagi. "Aku yang berwenang dalam penyidikan
ini, bukan Walikota."
"Kita akan tahu berapa lama kau akan berwenang dalam penyidikan ini," jawab
Banwell yang sekali lagi memerintahkan ahli otopsi itu untuk menyelesaikan
penyidikan tersebut. Keluarga Riverford, jelas Banwell, menginginkan jasad anak
gadis mereka dibawa pulang. Banwell ingin segera melaksanakan kewajibannya itu.
Hugel berkata, ia tidak mungkin mengizinkannya, apa pun alasannya. Dalam kasus
pembunuhan, jenazah harus dilindungi oleh hukum demi keperluan otopsi.
"Tidak jasad ini," kata Banwell. Ia memerintahkan ahli otopsi itu untuk menelpon
Walikota jika ia memerlukan penjelasan atas perintahnya.
Hugel menanggapinya dengan mengatakan kalau ia tidak akan menerima perintah
kecuali dari seorang hakim. Jika ada yang mencoba menghentikan proses otopsi
jasad itu, ia akan memastikan adanya tuntutan dengan hukuman yang seberatberatnya. Ketika peringatan itu gagal menggeser Banwell, ahli otopsi itu
menambahkan kalau ia mengenal seorang wartawan di Herald yang menganggap
pembunuhan dan menghalangi hokum adalah berita hangat. Akhirnya dengan enggan
Banwell menyerah. Ahli otopsi itu membawa sebuah kamera kotak besar. Sekarang ia menggunakannya,
mengganti lempeng kamera dengan yang baru setelah terjadi ledakan berasap dari
lampu kilatnya. Banwell mengatakan, jika foto-foto itu dimuat di Herald, ia
yakin kalau Hugel tidak akan bekerja lagi di New York atau di mana pun. Hugel
tidak menjawabnya. Bersamaan dengan itu, terdengar suara erangan mengisi
ruangan. Suaranya seperti biola bernada tinggi yang digesek secara perlahan.
Tidak diketahui dari mana sumber suara itu. Seperti terdengar dari segala arah,
namun juga tidak dari mana pun. Suara itu semakin keras, hingga akhirnya menjadi
raungan. Si pelayan tadi menjerit. Dan ketika ia berhenti menjerit, di ruangan
itu tidak ada suara apa pun lagi.
Tuan Banwell memecah kesunyian. "Apa yang terjadi tadi?" Tanyanya pada si
pengelola. "Aku tidak tahu, Tuan," kata si pengelola. "Itu bukan untuk pertama kalinya.
Mungkin ada sesuatu di dalam dinding?"
"Baik, carilah," ujar Banwell.
Ketika ahli otopsi itu selesai memotret, ia mengatakan akan pergi dan membawa
jasad korban. Ia tidak berniat menanyai para tetangga si korban atau si pelayan
karena itu bukan bagian pekerjaannya. Ia juga tidak akan menunggu Detektif
Littlemore. Dalam suhu sepanas itu, jelasnya, pembusukan akan terjadi dengan
cepat jika jasad tidak segera dimasukkan ke dalam lemari pendingin. Dengan
bantuan dua petugas lift, jasad gadis itu dibawa ke lantai bawah tanah
menggunakan lift barang, dan selanjutnya menuju lorong belakang, tempat supir
pribadi Hugel menantinya.
Dua jam kemudian, ketika tiba di kantor polisi pusat di Centre Street tanpa
mengenakan seragam, Detektif Jimmy Littlemore terlihat bingung. Pembawa pesan
Walikota membutuhkan waktu untuk menemukan Littlemore. Rupanya, detektif itu
sedang berada di ruang bawah tanah gedung baru itu yang masih belum selesai
pembangunannya. Ia sedang mencoba jarak jangkau pistolnya. Perintah bagi
Littlemore adalah melakukan pemeriksaan menyeluruh di tempat kejadian pembunuhan
itu. Ketika berada di sana, Littlemore bukan saja tidak menemukan tempat
kejadian pembunuhan, ia juga tidak menemukan korbannya. Tuan Banwell tidak mau
berbicara dengannya, begitu juga para pegawai lainnya.
Dan ada seorang yang tidak sempat diwawancarai oleh Detektif Littlemore yaitu si
pelayan yang menemukan jenazah korban. Setelah ahli otopsi Hugel pergi, sebelum
detektif tiba, sang pengelola memanggil pelayan muda itu ke kantornya. Ia
memberinya secarik amplop yang berisi gaji sebulannya, dikurangi satu hari kerja
karena hari itu masih tanggal 30 Agustus. Pengelola memberitahu gadis itu kalau
ia diberhentikan. "Maafkan aku, Betty," katanya,
"aku sangat menyesal."
Dua DR. FREUD akhirnya dapat kutemui. Ia sama sekali tidak tampak seperti orang
gila. Air mukanya berwibawa, kepalanya berbentuk sempurna, janggutnya mencuat,
rapi, profesional. Tingginya sekitar seratus tujupuluh tiga sentimeter, bulat,
namun sangat bugar dan tegap bagi seorang lelaki berusia limapuluh tiga tahun.
Jasnya terbuat dari bahan yang sangat bagus, dengan jam rantai dan dasi bergaya
kontinental. Secara keseluruhan, ia tampak sangat tenang bagi seorang yang baru
saja melakukan pelayaran mengarungi laut selama seminggu.
Matanya menjelaskan lain hal. Brill telah memperingatkanku tentang hal itu.
Ketika Freud menuruni tangga kapal, matanya begitu menakutkan, seolah ia sedang
marah. Boleh jadi fitnah yang lama dialaminya di Eropa telah membentuk raut
cemberut menetap pada alisnya. Atau bisa jadi ia tidak senang berada di Amerika.
Enam bulan lalu, ketika G. Stanley Hall, Direktur Utama Clark
University pimpinanku pertama kali mengundang Freud ke Amerika Serikat, ia ? ?menolak kami. Kami tidak yakin mengapa, namun Hall bersikeras menjelaskan bahwa
Clark berharap dapat menganugerahkan penghargaan akademis tertinggi universitas
pada Freud. Ia bermaksud menjadikannya sebagai pusat perhatian pada ulang tahun
keduapuluh kami, dan memintanya memberikan serangkaian kuliah tentang
psikoanalisai, yang pertama di Amerika, Akhirnya Freud menerimanya. Apakah kini
ia menyesali keputusannya"
Segera kutahu segala perkiraan itu tidak terbukti. Begitu ia melangkah keluar
dari tangga kapal, Freud menyulut cerutu tindakan pertamanya pada tanah
?Amerika. Saat itu juga kesan cemberutnya menghilang, senyumannya tersungging,
dan segala kemuraman sirna. Ia menghisapnya dalam-dalam sambil melihat ke
sekelilingnya, dan menganggap segala keriuhan di pelabuhan itu sebagai hiburan
baginya. Brill menyapa Freud dengan hangat. Mereka telah saling mengenal di Eropa, bahkan
Brill pernah berkunjung ke rumah Freud di Wina. Ia menjelaskannya malam itu
kepadaku kalau rumah Dr. Freud anggun dan berisikan barang-barang antik. Ia
bersifat kekanakan dan sangat sayang pada anak-anak, lalu mereka berjam-jam
berbincang seru begitu seringnya Brill menceritakannya sehingga aku menjadi
?hafal. Entah dari mana, tibatiba sekelompok wartawan muncul. Mereka mengerumuni Freud
dan melontarkan pertanyaan yang pada umumnya dalam bahasa Jerman. Ia menjawabnya
dengan Jenaka namun tampak tergagap sehingga wawancara itu seperti berlangsung
serampa-ngan. Akhirnya Brill berhasil mengusir mereka dan menarikku ke depan.
"Izinkan aku," kata Brill kepada Freud, "memperkenalkan Dr. Stratham Younger,
seorang yang baru lulus dari Harvard University, sekarang mengajar di Clark. Ia
secara khusus dikirim ke sini oleh Hall untuk mengurus segala
i Psikoanalisa adalah salah satu bagian ilmu psikologi yang pertama kali
dicetuskan oleh Freud Teori ini sangat menekankan pada aspek ketidaksadaran
Teori ini juga menekankan bahwa jiwa memiliki tiga sistem: id, ego, dan
superego. keperluanmu selama berada di New York. Younger, tak diragukan lagi adalah
psikoanalis yang paling berbakat dan juga satusatunya di Amerika."
"Apa," sergah Freud, "kau tidak bisa menyatakan dirimu sendiri sebagai seorang
analis, Abraham?" "Aku tidak menyebut diriku sendiri orang Amerika," kata Brill. "Aku salah satu
dari kelompok Roosevelt, penghipnotis orang Amerika, yang menurut dirinya
sendiri, ia tidak diakui di negara ini."
"Aku selalu senang," kata Freud kepadaku dengan bahasa Inggrisnya yang sempurna,
"berkenalan dengan anggota baru pergerakan kecil kita. Terutama di sini, di
Amerika, aku memiliki harapan seperti itu." Ia memintaku untuk menyampaikan
terimakasihnya pada Direktur Utama Hall karena Clark telah memberinya
kehormatan. "Kehormatan itu ada pada kami, Pak," kataku, "tetapi aku khawatir aku tidak bisa
disebut sebagai seorang psikoanalis yang baik."
"Jangan bodoh," kata Brill, "tentu saja kau seorang psikoanalis yang baik."
Kemudian ia memperkenalkan aku kepada dua orang teman perjalanan Freud.
"Younger, kenalkan Sandor Ferenczi yang terkenal dari Budapest, yang namanya
merupakan persamaan kata dari kelainan jiwa di Eropa. Dan ini sama terkenalnya,
Carl Jung dari Zurich, yang Dementiaz-nya akan dikenal dalam peradaban dunia."
"Sangat senang," ujar Ferenczi dalam aksen kental Hongaria, "saya sangat senang.
Tetapi kumohon, abaikan saja katakata Brill tadi, semua orang begitu, percayalah
2 Merosotnya proses intelektual daya nalar dan emosional (Kamus Lengkap
Psikologi, J.P Chaplin, Divisi Buku Perguruan Tigggi, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1968 (Pent). padaku." Ferenczi ramah, berambut pirang-pasir, usianya berada di penghujung
tigapuluh tahunan, berpakaian stelan jas serba putih, cerah. Jelas terlihat
kalau ia dan Brill berteman akrab. Secara jasmani, keadaan mereka kontras namun
masih menyenangkan untuk dilihat, Brill adalah lelaki terpendek yang pernah
kukenal, dengan mata yang saling berdekatan dan dahi lebar datar. Sedangkan
Ferenczi, walau tidak jangkung, memiliki lengan panjang, jemari panjang dan
batas rambut yang surut ke belakang sehingga memperpanjang bentuk wajahnya.
Aku segera menyukai Ferenczi walaupun aku belum pernah berjabat tangan dengan
seseorang yang sepertinya tak memiliki kekuatan. Tangannya seperti seonggok
daging yang dijual di toko daging. Memalukan sekali, ia mengaduh keras dan
menarik jemarinya seolah mereka terhimpit hancur oleh tanganku. Aku benar-benar
memohon maaf, namun ia menegaskan kalau ia senang karena "segera mulai mengenal
tembok Amerika yang menghimpit," itu sebuah pernyataan yang hanya bias kuangguki
dengan sopan, Jung, yang kira-kira berusia tigapuluh lima tahun, memberikan kesan yang jelas
berbeda. Kemungkinan tingginya lebih dari seratus delapanpuluh centimeter. Ia
tidak tersenyum, bermata biru, berambut gelap, dengan hidung bengkok seperti
paruh burung, berkumis setipis pensil, dan berdahi sangat lebar. Menurutku, ia
sangat menarik bagi kaum wanita. Lelaki ini tidak setenang Freud. Genggaman
tangannya kuat dan dingin seperti baja. Ia berdiri setegak patung, bisa jadi ia
berpangkat letnan jika berada dalam satuan Garda Swiss, Namun kacamata bundarnya
menyatakan dirinya adalah seorang cendikiawan. Kesan simpati Brill pada Freud
dan Ferenczi sama sekali tidak tampak ketika ia menjabat tangan Jung.
"Bagaimana pelayaran kalian, Tuan-tuan?" Tanya Brill. Kami belum bisa pergi ke
mana pun sebelum koperkoper-tamu kami diambil. "Tidak terlalu meletihkan?"
"Benar-benar hebat," ujar Freud, "kau tidak akan percaya. Aku melihat seorang
pelayan kapal membaca bukuku Psychopathofogy of Everyday Life."
"Tidak mungkin!" Sergah Brill. "Ferenczi pasti telah memberikan buku itu
padanya." "Memberikan buku itu kepadanya?" seru Ferenczi,
"aku tidak mungkin melakukannya,"
Freud tidak memperhatikan tanggapan Brill. "Itu mungkin merupakan saat yang
paling kusyukuri dari kehidupan profesionalku, yang mungkin saja tidak pernah
tampak pada kehidupan pribadiku. Pengakuan dating pada kami, kawanku. Hal itu
datang perlahan, tapi pasti."
"Berapa lamakah penyeberangannya?" Tanyaku dengan bodoh.
"Seminggu," kata Freud, "dan kami melewatkan waktu itu sebaik mungkin dengan
melakukan hal-hal yang berguna: kami menganalisa mimpi kami masingmasing."
"Ya ampun," seru Brill. "Kuharap aku ikut bersama kalian. Bagaimana hasilnya,
tolong katakan, cepat."
"Yah, kau tahu," jawab Ferenczi, "analisa itu seperti menelanjangi orang di
depan umum. Namun setelah kau mampu melewati rasa malu, kau akan merasa segar."
"Begitulah yang kukatakan pada semua pasienku," kata Brill, "terutama pasienpasien perempuan. Lalu, bagaimana denganmu, Jung" Apakah kau juga menganggap
malu itu menyegarkan?"
Jung, yang hampir tigapuluh sentimeter lebih tinggi
dari Brill, menatap ke bawah seolah menatap pada hewan percobaan di
laboratorium. "Tidak terlalu tepat," katanya, "jika dikatakan kami bertiga
saling menganalisa mimpi kami."
"Benar," Ferenczi mempertegasnya. "Freud agak menganalisa kami, sedangkan Jung
dan aku saling menganalisa mimpi masingmasing dengan tajam."
"Apa?" Seru Brill, "maksudmu, tidak ada yang berani menganalisa sang Pakar?"
"Tidak ada yang diperbolehkan," kata Jung, tanpa menutupi rasa kekagumannya.
"Ya, ya," ujar Freud, sambil tersenyum mengerti,
"tetapi kalian semua menganalisaku habis-habisan begitu aku berpaling, begitu
kan, Abraham?" "Memang begitu," kata Brill, "karena kami semua anak-anak yang baik, dan kami
tahu kewajiban Oedipah kami."
g PENUMPANG yang baru tiba di Amerika Serikat hanya harus memberi tanda bagasinya
dengan nama hotelnya di Manhattan. Para petugas akan menyimpan koperkoper
tersebut di dalam gerbong bagasi, kemudian diambil alih oleh petugas lainnya
untuk melakukan tugas berikutnya. Kami menggunakan kemudahan itu, lalu berjalan
keluar peron, yang menghadap ke sungai. Dengan latar belakang matahari yang
mulai tenggelam, kabut mulai terangkat, maka terkuaklah kaki langit Manhattan
yang sibuk penuh taburan lampu.
3 Sifat yang muncul akibat kompleks Oedipus (keinginan seseorang anak untuk
menggantikan tempat seorang ayah di hadapan ibunya).
Perdebatan terjadi tentang apakah pengajaran Freud mendiktekan penentangan moral
seksualitas yang konvensional. Jung yakin begitu; memang, ia melanjutkan, siapa
pun yang gagal melihat pengertian itu artinya tidak mengerti Freud. Keseluruhan
pendapat psikoanalisa, katanya, bahwa larangan masyarakat merupakan
ketidakpedulian dan tidak sehat. Hanya kekecutan hati yang akan membuat orang
tunduk pada moralitas yang beradab begitu mereka telah mengerti penemuanpenemuan Freud. Brill dan Ferenczi menyangkal pada pendapat itu dengan bersemangat. Psikoanalisa
menuntut seorang manusia menyadari betul apa harapan seksualnya, bukannya tunduk
saja terhadapnya. "Ketika kami menyimak mimpi klien kami," kata Brill, "kami
menafsirkannya. Kami tidak menyuruh mereka untuk memenuhi keinginannya yang
tidak mereka nyatakan. Bagaimanapun, aku tidak lakukan itu. Kau bagaimana,
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jung?" Aku melihat, baik Brill ataupun Ferenczi, diam-diam melirik Freud ketika mereka
menguraikan gagasan mereka sambil berharap mendapatkan dukungan. Jung tidak ?pernah begitu. Ia sangat yakin atau berpura-pura yakin pada kedudukannya.
Sedangkan Freud, ia tidak memihak siapa pun, tampaknya ia senang melihat perdebabatan itu berkembang.
"Beberapa mimpi tidak perlu ditafsirkan," kata Jung, "mereka hanya membutuhkan
tindakan. Pertimbangkanlah mimpi Profesor Freud tadi malam tentang pelacur.
Maknanya tidak diragukan: libido yang tertekan, dipicu oleh pengharapan pada
kedatangan kami di dunia baru. Tidak ada gunanya membicarakan mimpi semacam
itu." Lalu Jung berpaling pada Freud.
"Mengapa kau tidak mewujudkan impianmu" Kita di
Amerika; kita bisa melakukan apa pun yang kita inginkan."
Untuk pertama kalinya Freud mengangkat alisnya, mengangguk, tetapi tidak
menyahut. Aku memberitahu kawan-kawanku kalau sudah waktunya kita masuk ke
kereta api. Freud menatap melintasi jembatan untuk terakhir kalinya. Angin
kencang menerpa wajah kami. Ketika kami semua menatap lampu-lampu Manhattan, ia
tersenyum. "Seandainya saja mereka tahu apa yang kita bawa untuk mereka."
g SEBELUM SEORANG PUN bangun, aku membaca Koran Senin pagi di ruang bundar mewah
Hotel Manhattan, tempat Clark University memberi penginapan pada Freud, Jung dan
Ferenczi, juga padaku, selama seminggu. (Brill, yang rumahnya di New York, tidak
memerlukan kamar). Tidak satu koran pun yang memuat berita tentang Freud atau
seminar mendatangnya di Clark, kecuali New Yorker Staats-Zeitung yang memuat
berita tentang kedatangan seorang "Dr. Freud dari Wina."
Aku tidak pernah berniat menjadi seorang dokter. Itu hanyalah harapan ayahku.
Dan apa yang diharapkannya itu sudah seharusnya menjadi perintah bagi kami.
Ketika berusia delapan tahun dan masih tinggal di rumah orangtuaku di Boston,
aku mengatakan padanya kalau aku akan menjadi sarjana Shakespeare Amerika yang
paling terkemuka. Jawab ayahku, aku bisa menjadi sarjana Shakespeare Amerika
yang paling terbelakang. Namun di muka atau di belakang, jika aku tidak mau
mengejar karir di dunia kedokteran, aku harus mencari biaya sendiri untuk
berkuliah di Harvard. Ancamannya itu tidak memengaruhiku. Aku tidak peduli pada keluarga yang terlalu
mencintai Harvard. Aku akan bahagia, ujarku kepada ayah, dan menyelesaikan
pendidikan di tempat lain. Itu adalah percakapan terakhirku dengan ayahku.
Ironisnya, aku mematuhi harapan ayahku hanya ketika ia tidak lagi memiliki uang
untuk membiayaiku. Kebangkrutan Bank Colonel Winslow pada November 19D3 tidak
dapat dibandingkan dengan kepanikan di New York empat tahun kemudian, tetapi itu
sudah cukup bagi ayahku. Ia kehilangan segalanya, termasuk sedikit yang ibu
miliki. Wajah ayah menjadi sepuluh tahun lebih tua dalam semalam. Kerutan dalam
muncul tibatiba pada keningnya. Ibuku berkata, aku seharusnya kasihan padanya,
tetapi aku tidak pernah kasihan padanya. Ibuku yang penuh kasih itu, menghindari
upacara pemakamannya. Untuk pertama kalinya, aku sadar kalau aku harus
melanjutkan kuliahku di kedokteran, tentunya jika aku mampu. Apakah setelah itu
ada kebutuhan baru yang mendorong keputusanku atau memang ada hal lain, aku ragu
untuk mengatakannya. Ketika semuanya berantakan, akulah yang seharusnya dikasihani, dan Harvard-lah
yang akhirnya mengasihaniku. Setelah pemakaman ayahku, aku memberitahu Harvard
bahwa aku akan mengundurkan diri pada akhir tahun, uang kuliah sebesar duaratus
dolar menjadi sangat tak terjangkau bagiku. Namun, Presiden Eliot memberikan
uang kuliah itu. Mungkin ia menyimpulkan kalau minat jangka panjang Harvard akan
lebih berguna jika tidak mengeluarkan Stratham Younger III dan membiarkannya
terseok melalui Yard. Dengan membebaskan beban uang kuliah pada anak yatim ini
dan harapan pengembalian di
masa mendatang, semuanya akan lebih baik. Apa pun motivasinya, aku akan selalu
berterimakasih kepada Harvard karena mengizinkan aku terus berkuliah di sana.
Hanya di Harvard-lah aku dapat mengikuti kuliah tentang neurologi yang terkenal
dari Profesor Putnam. Ketika itu aku sudah menjadi mahasiswa kedokteran. Aku
telah memenangkan beasiswa, tetapi kenyataannya, aku hanyalah seorang calon
dokter yang tidak bersemangat. Pada suatu pagi musim semi, dalam sebuah catatan
tentang penyakit syaraf, Putnam mengemukakan bahwa "teori seksual"-nya Sigmund
Freud adalah satusatunya karya menarik dalam topik neurosa obsesional dan
histeria. Setelah kuliah berakhir, aku bertanya karya siapakah yang harus aku
baca. Putnam menyebutkan Havelock Ellis, yang menyetujui dua penemuan radikal
Freud yaitu keberadaan yang disebut Freud dengan istilah "the unconscious [tidak
sadar]" dan seksual aetiologi neurosa. Putnam juga memperkenalkan aku dengan Dr.
Morton Prince, yang ketika itu baru memulai jurnal tentang psikologi abnormal.
Dr. Prince yang ternyata mengenal ayahku memiliki koleksi besar terbitan luar ? ?negeri dan memintaku untuk menjadi seorang pembaca akhir bukunya. Melalui
dirinyalah, aku bisa memperoleh segala karya Freud yang telah dipublikasikan.
Mulai dari The Interpretation of Dreams hingga Three Essays. Penguasaan bahasa
Jermanku baik, dan tanpa disadari selama bertahun-tahun, aku menjadi pembaca
karya-karya Freud yang fanatik. Pengetahuan Freud luar biasa, dan berbagai
tulisannya seperti barang berharga yang sangat indah. Gagasangagasannya, jika
kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan, akan mengubah dunia.
Kecintaanku pada karya Freud semakin menguat ketika aku menemukan solusi Freud
bagi Ham/et. Bagi Freud, itu hanyalah sebuah tulisan tidak berarti, yaitu sebuah
penyimpangan sebanyak duaratus halaman di tengah-tengah risalah mimpi-mimpi.
Namun, di situlah rupanya, sebuah jawaban terbaru bagi teka-teki yang paling
terkenal dalam kesusastraan Barat.
Hamlet karya Shakespeare telah dipentaskan menggunakan bahasa apa pun sebanyak
ribuan kali melebihi drama lainnya. Ini adalah karya yang paling banyak diulas
dalam kesusastraan. (Aku tidak memasukkan Kitab Injil, tentu saja). Namun ada
kekosongan yang janggal atau kehampaan pada inti drama tersebut: segala tindakan
ditemukan dalam citra ketidakmampuan pahlawannya untuk bertindak. Drama itu
terdiri dari serangkaian pengelakan dan berbagai alas an yang digunakan Hamlet.
Itu digunakan untuk membenarkan penundaan balas dendamnya terhadap pembunuh
ayahnya: Claudius, pamannya sendiri, yang saat itu menjadi Raja Denmark, dan
menikahi ibu Hamlet. Hal itu dijelaskan dengan monolog sedih yang memburukburukkan dirinya sendiri karena kelumpuhannya. Yang paling terkenal dari monolog
itu dimulai dengan, tentu saja, To be. Hanya karena berbagai penundaan dan
kesalahannya^ telah mengakibatkan kerusakan baginya. Hamlet, pada adegan
terakhir drama tersebut, membunuh pamannya.
Mengapa Hamlet tidak bertindak" Bukan karena kurangnya kesempatan terbaik yang
diberikan oleh Shakespeare untuk membunuh Claudius, namun Hamlet,
4 Kesalahnnya itu di antaranya: peristiwa Ophelia yang akhirnya bunuh diri,
ibunya yang akhirnya terbunuh lantaran meminum racun yang seharusnya disediakan
Claudius untuk Hamlet, dan resepnya sendiri yang berakibat fatal atas pedang
beracun Laertes. faktanya, tetap menghindar. Hamlet, padahal sebelumnya, mengakui, sekarang
mungkinkah kulakukan itu. Lalu apa yang menghalanginya" Mengapa keraguan yang
tak dapat dijelaskan ini, keraguan yang tampak seperti kelemahan dan nyaris
disebut kepengecutan, telah mampu memukau penonton di seluruh dunia selama tiga
abad terakhir" Pemikir sastra terbesar dalam zaman kita yaitu Goethe dan
Coleridge, telah mencoba mencabut pedang itu dari batu namun gagal. Ratusan
benak cendikiawan yang kurang pandai, telah pecah di atas batu tersebut.
Aku tidak menyukai jawaban Oedipal Freud. Sebenarnya aku jijik karenanya. Aku
tidak mau memercayainya lagi sebagaimana aku percaya pada Oedipus kompleks
sendiri. Aku harus menyangkal teori Freud yang mengguncangkan itu, aku harus
menemukan kekuarangannya, namun aku tidak mampu. Punggungku sudah letih ketika
aku duduk di Yard dari hari ke hari selama berjam-jam untuk membaca karya Freud
dan Shakespeare. Diagnosa Freud pada Hamlet tampaknya menjadi semakin tidak
dapat aku sangkal. Itu tidak saja telah menghasilkan pemecahan lengkap bagi
teka-teki drama, namun juga menjelaskan mengapa tidak seorang pun yang mampu
memecahkannya. Sehingga dalam waktu yang bersamaan, pembahasan yang memesona
atas sebuah tragedi itu, telah menjadi acuan universal. Hanya Freudlah ilmuwan
yang mengunakan penemuannya untuk memahami karya Shakespeare. Ini adalah obat
yang menjalin hubungan dengan jiwa. Ketika membaca dua halaman tulisan Dr. Freud
The Interpretation of Dreams, terasa masa depanku menjadi jelas. Jika aku tidak
dapat membuktikan kesalahan teori psikologi Dr. Freud, aku akan mengabdikan
hidup ini pada teori tersebut
9 AHLI OTOPSI CHARLES HUGEL tidak suka pada bunyi mengganggu yang keluar dari
dinding kamar tidur Nona Riverford. Bunyi itu seperti jiwa yang terperangkap di
dalam dinding dan mengerang minta dibebaskan. Hugel tidak dapat melupakan suara
itu dari ingatannya. Lebihlebih ketika ia merasa yakin kalau ada sesuatu yang
hilang dari ruangan itu. Sekembalinya ke kota, Hugel menelpon seorang pesuruh
dan menyuruhnya mencari Detektif Littlemore.
Ada lagi yang tidak disukai Hugel yaitu ruang kantornya sendiri. Ahli otopsi itu
belum juga diundang untuk pindah ke kantor pusat kepolisian yang megah atau ke
First Precinct yang dibangun di Old Slip. Kedua gedung itu tentunya dilengkapi
dengan pesawat-pesawat telepon. Para hakim telah mendapatkan Parthenon mereka
belum lama berselang. Namun dirinya, yang bukan saja kepala pemeriksa jenazah
kota, namun juga seorang pejabat sipil legal, yang tentunya sangat membutuhkan
perlengkapan modern itu, justru ditinggalkan di gedung Van den Heuvel yang
hampir roboh. Gedung itu dindingnya sudah terkelupas dan berjamur. Lebih buruk
lagi, langit-langitnya bebercak air. Ia benci pada bercak-bercak air itu, dengan
warna tepian bergerigi kecokelatan. Ia semakin membencinya hari ini karena rasarasanya, bercak itu semakin membesar. Ia juga mengira, mungkinkah langitlangit
itu akan terbelah dan jatuh menimpanya" Tentu saja seorang ahli otopsi harus
berdekatan dengan rumah penyimpanan jenazah. Ia tahu itu. Namun ia betulbetul
tidak bisa mengerti mengapa tempat penyimpanan jenazah modern tidak dapat dibangun jadi
satu gedung dengan kantor-kantor polisi yang baru.
Littlemore bergegas memasuki kantor ahli otopsi. Detektif itu berusia duapuluh
lima tahun. Tidak jangkung tidak juga pendek, Jimmy Littlemore tidak jelek,
namun juga tidak terlalu tampan. Rambutnya, yang dipangkas sangat pendek,
berwarna tidak gelap tapi tidak juga pirang; lebih tepat jika dikatakan merah.
Ia berwajah khas Amerika, terbuka dan ramah, yang jika tidak ada beberapa
nodanya, wajah itu tidak mudah untuk diingat. Jika Anda berpapasan dengannya di
jalan, Anda sepertinya tidak akan mengingatnya kembali. Namun mungkin Anda akan
teringat senyumannya yang siap terkembang, atau dasi kupu-kupu merah untuk
melengkapi topi jeraminya.
Ahli otopsi itu, yang berusaha terdengar berwibawa dan tegas, menyuruh
Littlemore melaporkan apa saja yang telah ditemukannya dalam kasus Nona
Riverford. Sementara untuk hal-hal paling khusus dalam penyidikan ini,
kewenangannya masih berada pada Hugel. Karena itu ia ingin Littlemore mengerti
betapa seriusnya akibat yang akan ditimbulkan jika ia tidak mendapatkan hal-hal
yang berguna. Suara ahli otopsi itu ternyata gagal menanamkan kesan pada si detektif muda.
Walaupun Littlemore belum pernah mendapat tugas menangani kasus bersama Hugel,
ia sangat mengenal, sebagaimana siapa pun lainnya di dalam kepolisian, kalau
ahli otopsi itu tidak disukai oleh Komisaris. Hugel juga memiliki nama ejekan
"si ghoul" [maling kuburan] lantaran pekerjaannya yang berhubungan dengan mayatmayat. Namun sayangnya, ia tidak
memiliki wewenang kuat di dalam departemen tersebut. Bagaimana juga Littlemore
adalah seorang yang ramah sekali, maka itu ia tidak mempertunjukan rasa kurang
hormatnya kepada Hugel. "Aku sama sekali tidak tahu kasus Nona Riverford, Pak Hugel. Kecuali kalau si
pembunuh berusia lebih dari limapuluh tahun, tingginya seratus tujuhpuluh lima
sentimeter, tidak menikah, terbiasa melihat darah, tinggal di bagian bawah Canal
Street, dan pergi ke pelabuhan dua hari sebelum kejadian itu."
Mulut Hugel ternganga. "Bagaimana kau bisa tahu semua itu?"
"Aku bercanda, Pak Hugel. Aku tidak tahu apa-apa tentang si pembunuh. Aku bahkan
tidak tahu mengapa mereka repot-repot menyuruhku ke sana. Anda tidak
meninggalkan sidik jari sedikit pun di sana, kan?"
"Sidik jari?" Tanya Hugel, "tentu saja tidak. Pengadilan tidak pernah menerima
sidik jari sebagai bukti kejahatan."
"Yah, aku datang terlambat. Tempat itu sudah dibersihkan ketika aku datang.
Semua barang milik gadis korban telah hilang."
Hugel menjadi sangat marah. Ia menyebut pembersihan itu merusak bukti. "Tetapi
kau seharusnya mengetahui sesuatu tentang Nona Riverford," tambahnya.
"Ia penghuni baru," sahut Littlemore, "ia baru tinggal di sana sekitar dua atau
tiga bulan." "Balmoral baru dibuka pada bulan Juni, Littlemore. Semua penghuni di sana baru
tinggal sekitar sebulan atau dua bulan."
"Oh." "Tidak ada lainnya?"
"Yah, gadis itu pendiam sekali. Tidak punya banyak
teman." "Ada yang melihatnya bersama orang lain?" Tanya Hugel.
"Ia masuk sekitar pukul delapan. Sendirian. Tidak ada tamu setelah itu. Ia masuk
ke apartemennya dan tidak keluar lagi, begitu setahu mereka."
"Ia punya tamu tetap?"
"Tidak. Tak seorang pun yang ingat siapa saja tamu gadis itu."
"Mengapa pada usia sedewasa itu dan di apartemen yang sebesar itu, ia tinggal
sendirian di New York City?"
"Itulah yang ingin kuketahui," sahut Littlemore, "tetapi orang-orang Balmoral
sama sekali bungkam padaku. Aku sangat serius tentang pelabuhan, Pak Hugel. Aku
menemukan sedikit sisa tanah liat di lantai kamar Nona Riverford. Masih agak
basah. Kupikir itu tanah pelabuhan."
"Tanah liat" Apa warnanya?" Tanya Hugel.
"Merah. Agak menggumpal."
"Itu bukan tanah liat, Littlemore," sergah Hugel seraya menggulung matanya ke
atas, "itu kapur merahku."
Detektif itu mengerutkan dahinya. "Aku heran, mengapa berbentuk lingkaran
besar." "Tolol kau ini, supaya orang tidak menyentuh jasad korban itu!"
"Aku hanya bercanda, Pak Hugel. Itu bukan kapurmu. Aku melihat kapur merahmu.
Tanah liat itu kulihat di dekat perapian. Beberapa jejak kecil. Aku butuh kaca
pembesar untuk dapat melihatnya. Tanah itu kubawa pulang untuk kubandingkan
dengan contoh-contoh tanah yang kukoleksi. Tanah itu sangat mirip dengan tanah
yang ada di galangan pelabuhan."
Hugel menerimanya. Ia menimbang-nimbang sebelum
memercayainya. "Apakah tanah di pelabuhan itu unik" Mungkinkah tanah itu berasal
dari tempat lain, misalnya Central Park?"
"Bukan dari sana," sahut detektif muda itu, "itu tanah sungai, Pak Hugel. Tidak
ada sungai di taman."
"Bagaimana dengan tanah dari Hudson Valley?"
"Mungkin juga berasal dari sana."
"Atau Fort Tyron, di kota bagian atas, tempat Billings baru saja mengeduk begitu
banyak tanah?" "Menurutmu ada tanah liat di atas sana?"
"Aku ucapkan selamat untuk kerja detektifmu yang hebat, Littlemore."
"Terima kasih, Pak Hugel."
"Mungkin kau mau tahu tentang gambaran si pembunuhnya?"
"Jelas aku mau."
"Lelaki itu berusia paruh baya, kaya raya, dan menggunakan tangan kanan.
Rambutnya mulai beruban, namun semula berwarna cokelat tua. Tingginya sekitar
seratus delapanpuluh dua sentimeter. Dan aku percaya ia mengenal korban itu
dengan baik." Littlemore tampak kagum. "Bagaimana itu bias dipastikan?"
"Ini ada tiga helai rambut yang kuambil dari tubuh si korban." Hugel menunjuk
dua potong kaca segi empat yang dijepit menjadi satu di atas meja kerjanya, di
sebelah sebuah mikroskop. Terapit di antara kaca-kaca itu, terdapat tiga helai
rambut. "Warnanya gelap tetapi ada semburat kelabu, menunjukkan lelaki paruh
baya. Pada leher gadis itu ada benang sutra putih, sangat mungkin itu adalah
dasi lelaki yang digunakan untuk mencekiknya. Mutu sutranya paling tinggi. Maka
lelaki itu pastilah orang berduit. Dari keterampilannya, deksteritas-nya, tidak diragukan
lagi ternyata luka-luka itu dibuat dari sebelah kanan ke kiri."
"Deksteritasnya?"
"Ketrampilan tangan kanannya, Detektif." "Tetapi bagaimana kau tahu ia sudah
mengenal si korban?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya menduga, Jawab pertanyaanku ini, bagaimanakah posisi
Nona Riverford ketika ia dicambuki?"
"Aku tidak pernah melihatnya," sahut si detektif seperti keberatan dengan
pertanyaan itu, "aku bahkan tidak tahu penyebab kematiannya."
"Strangulasi melengkung, dipastikan dengan keretakan pada pangkal tulang lidah,
seperti yang kulihat ketika aku membuka dadanya. Patahan yang bagus, aku bisa
katakan begitu, seperti percabangan tulang dada unggas. Ini memang dada
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempuan cantik: tulang iganya berbentuk sempurna, paruparu dan jantung, begitu
kuangkat, aku melihat jaringan bagian dada yang sehat. Aku senang memeganginya
dalam satu tanganku. Tetapi ternyata, Nona Riverford dicabuki dalam keadaan
berdiri. Buktinya, darahnya menetes langsung dari luka-luka cambukan. Kedua
tangannya pasti terikat di atas kepalanya dengan tali besar atau sejenisnya.
Hampir pasti ditempelkan pada sebuah alat yang berada di langitlangit kamar. Aku
melihat tali itu terikat pada alat yang tergantung di langitlangit. Tidakkah kau
melihatnya" Well, kembalilah ke sana dan kau menemukannya. Pertanyaannya,
mengapa lelaki itu menggunakan dasi sutra yang lembut untuk mencekik Nona
Riverford padahal ia memiliki tali yang kuat" Kesimpulan, Pak Littlemore, ia
tidak mau menempelkan sesuatu yang kasar pada leher si gadis. Mengapa begitu"
Menurutku, ia mempunyai perasaan tertentu pada gadis itu. Sekarang, tentang
tinggi badan lelaki itu, saya tahu pasti. Tinggi tubuh nona Riverford seratus
enampuluh sentimeter. Dilihat dari luka-lukanya, pencambukan itu dilakukan oleh
seorang yang tingginya duapuluh sentimeter di atas si korban. Jadi, tinggi tubuh
si pembunuh sekitar seratus delapan puluh tiga sentimeter."
"Kecuali jika ia berdiri di atas sesuatu," kata Littlemore.
"Apa?" "Di atas bangku atau sejenisnya." "Di atas bangku?" Hugel mengulangi. "Itu
mungkin saja," kata Littlemore. "Seorang lelaki tidak berdiri di atas sebuah
bangku ketika mencambuki seorang gadis, Detektif." "Mengapa tidak?"
"Karena itu menggelikan. Ia bisa saja terjatuh."
"Tidak, jika ia berpegangan pada sesuatu," kata si detektif, "sebuah tiang
lampu, mungkin, atau gantungan topi."
"Gantungan topi?" Kata Hugel, "mengapa ia harus melakukan hal itu, Detektif?"
"Untuk membuat kita mengira ia lebih tinggi."
"Berapa banyak kasus pembunuhan yang pernah kau selidiki?" Tanya Ahli Otopsi
Hugel. "Ini yang pertama bagiku," kata Littlemore, dengan kegembiraan yang tak
ditutupinya, "sebagai seorang detektif."
Hugel mengangguk. "Aku rasa paling tidak kau sudah berbicara dengan si pelayan?"
"Pelayan?" "Ya, pelayan nona Riverford. Apakah kau menanyainya tentang suatu hal yang tidak
seperti biasanya?" "Tidaka kukira."
"Aku tidak mau kau berpikir," bentak sang koroner, "aku ingin kau mencari tahu.
Kembalilah menuju Balmoral dan bicaralah pada si pelayan lagi. Gadis itulah yang
pertama kali memasuki kamarnya. Suruh ia menggambarkan dengan tepat apa yang
dilihatnya ketika ia masuk dalam kamar itu. Dengan rinci, kau dengar?"
g DI SUDUT Fifth Avenue Street dan Fifty-third Street, pada sebuah ruangan yang
tidak pernah dimasuki seorang wanita, bahkan untuk sekadar membersihkan debu
atau memukuli tirai, seorang pelayan lelaki menuangkan minuman dari sebuah karaf
anggur ke dalam tiga buah gelas kristal. Bagian mangkuk gelas tersebut diukir
begitu halus dan sangat dalam, sehingga dapat menampung seluruh isi botol
anggur. Si pelayan menuangkan sedikit anggur merah pada setiap gelas kristal
itu. Gelas-gelas itu ditawarkannya kepada tiga orang lakil aki. Mereka duduk di beberapa kursi berlengan lapis kulit yang diatur di sekeliling
perapian di tengah ruangan. Ruangan itu adalah sebuah perpustakaan yang
menyimpan lebih dari seribu tigaratus jilid buku, dan pada umumnya berbahasa
Yunani, Latin, atau Jerman. Pada satu sisi perapian yang tidak dinyalakan,
berdiri sebuah patung dada Aristoteles dengan pilar penyangga dari pualam hijau
lumut. Pada sisi lainnya, terdapat patung dada Hindu kuno. Di atas perapian
terdapat sebuah rangka yang memamerkan seekor ular besar melingkari sebuah gelombang sine
[lambang gerakan harmonis], di depan latar belakang nyala api. Kata CHARAKA
terukir dengan huruf-huruf kapital di bawahnya.
Asap dari pipa ketiga lelaki itu mengusap langitlangit yang tinggi. Tangan kanan
seorang lelaki yang duduk di tengah, bergerak hampir tidak kentara. Tangan itu
mengenakan seukuran besar cincin perak yang berbentuk unik. Usianya di
penghujung limapuluhan, terlihat anggun, wajahnya cekung, kurus namun kokoh,
dengan bola mata hitam, alis hitam di bawah rambut peraknya, dan memiliki tangan
bagaikan seorang pianis. Sebagai tanggapan atas gerakan tangan itu, si pelayan menyalakan perapian,
Tumpukan kertas yang ada di dalamnya pun tersentuh percikan api, kemudian
terbakar, Perapian itu menyala dan berderak-derak dengan tarian api Jingga.
"Pastikan kau menyimpan abunya," kata sang majikan kepada pelayannya.
Si pelayan mengangguk tanda mengerti, lalu pamit, dan menutup pintu,
"Hanya ada satu cara melawan api," lanjut lelaki
bertangan pianis tadi. Ia mengangkat gelas anggurnya "Tuan-tuan."
Ketika kedua lelaki lainnya juga mengangkat gelas kristal mereka bila saja ada ?seseorang yang mengamati terlihat seakan mereka juga mengenakan cincin perak
?yang sama pada tangan kanan mereka. Salah satu dari kedua orang lelaki itu
bertubuh gendut dan berpipi merah lantaran noda terbakar sebesar potongan stik
daging domba. Ia pun menyempurnakan ajakan bersulang lelaki anggun tadi, "Dengan
api," kemudian ia menghabiskan isi gelasnya.
Lelaki ketiga berkepala botak, bermata tajam, dan kurus. Ia tidak berkata-kata
namun mereguk Chateau Lafite, anggur keluaran tahun 187D.
"Kau mengenal Baron?" Tanya lelaki anggun itu sambil menoleh pada lelaki
berkepala botak, "Aku kira kau memiliki hubungan keluarga dengannya,"
"Yang kau maksud adalah si Rothschild?" Tanya si botak dengan lembut, "aku belum
pernah bertemu dengannya. Ikatan kami hanyalah sama-sama berasal dari Inggris."
Tiga UNTUK KUNJUNGAN PERTAMA FREUD ke Amerika, dari semua tempat wisata yang ada,
Brill memilihkan Coney Island. Dengan berjalan kaki, kami hanya menuruni blok
dari hotel ke Grand Central Station. Langit tak berawan, matahari sudah panas,
jalan-jalan padat dengan lalulintas Senin pagi. Mobil-mobil berjalan cepat, tak
sabar di sekitar kereta-kereta kuda pembawa barang kiriman. Kami tidak mungkin
untuk berbincang-bincang. Di seberang hotel, di jalan Forty Second Street, tiang
besar telah didirikan di sebuah gedung akan dibangun, dan sebuah alat pengebor
bertekanan angin mengeluarkan suara yang memekakkan telinga.
Di dalam terminal, tibatiba menjadi senyap. Freud dan Ferenczi berhenti
kebingungan. Kami berada di dalam sebuah terowongan kaca dan baja, panjangnya
seratus sembilahpuluh delapan meter, dengan ketinggian tiga puluh meter,
diterangi oleh lampu gas gantung yang dipasang di sepanjang langit-langitnya
yang melengkung. Itu adalah hasil karya para insinyur yang jauh melampaui menara
karya Tuan Eiffel di Paris. Hanya Jung yang tampak tidak terkesan. Aku mengira
apakah ia sehat-sehat saja; ia tampak agak pucat dan bingung. Freud tampak
sangat terkejut, seperti juga aku, ketika tahu kalau mereka akan membongkar
stasiun itu. Namun stasiun itu dulu dibangun untuk lokomotif bertenaga uap,
sementara zaman mesin uap sudah berakhir.
Ketika kami menuruni tangga ke IRT, suasana hati Freud menjadi meredup. "Ia
takut pada kereta api bawah tanah kalian," bisik Ferenczi di telingaku. "Neurosa
yang tak dapat dianalisa. Ia mengatakan begitu padaku tadi malam."
Perasaan Freud belum juga membaik ketika kereta api kami tibatiba tersentak
berhenti di dalam sebuah terowongan antara stasiun satu dan yang lainnya,
lampunya berkerdip mati, membenamkan kami ke dalam kegelap gulitaan yang pengap.
"Gedung-gedung di langit, kereta api di bumi," kata Freud dengan suara kesal.
"Ini Virgil bersama kalian orang Amerika: jika kau tidak bias menurunkan surga,
kau memutuskan untuk mengangkat neraka."
"Itu prasasti-mu, kan?" Tanya Ferenczi.
"Ya, tetapi tidak seharusnya menjadi tulisan pada nisan-ku," kata Freud.
"Tuan-tuan!" Seru Brill tibatiba, "Kalian masih belum mendengar analisa Younger
tentang tangan yang lumpuh."
"Sebuah sejarah kasus?" Kata Ferenczi bersemangat. "Kami harus mendengarnya."
"Jangan, jangan. Itu belum lengkap," kataku.
"Omong kosong," Brill mengomeliku. "Itu adalah analisa yang sempurna yang pernah
kudengar. Itu menegaskan setiap prinsip psikoanalisa."
Karena hanya mempunyai sedikit pilihan, aku pun menceritakan keberhasilan
kecilku, sambil menunggu dalam kegelapan hingga kereta api berjalan kembali.
g AKU LULUS DARI HARVARD pada tahun 19D8, dengan kesarjanaan tidak saja dari
kedokteran namun juga dari psikologi. Para profesorku terkesan atas
keberhasilanku, sehingga menarik perhatian G. Stanley Hall, orang pertama yang
lulus dari fakultas psikologi di Harvard, seorang pendiri American Psychological
Association, dan sekarang menjabat President Clark University di Worcester. Hall
berambisi agar Clark menjadi lembaga terdepan dalam bidang penelitian ilmiah di
negeri ini. Ketika ia menawariku kedudukan sebagai seorang asisten dosen di
fakultas psikologi, sementara aku masih boleh memulai praktik dokterku dan ?keluar dari Boston aku langsung menerimanya
?Satu bulan kemudian, aku mendapatkan pasien analitisku yang pertama: seorang
gadis bernama Priscilla, berusia enambelas tahun, dibawa ke ruang praktikku oleh
ibunya yang kebingungan. Hall bertanggungjawab atas keputusan keluarga mereka
untuk membawa gadis itu padaku. Aku tidak dapat menceritakan lebih dari itu
tanpa membuka jati diri gadis tersebut.
Priscilla pendek dan berat namun wajahnya menyenangkan dan pribadinya yang tidak
suka mengeluh. Selama setahun ia menderita nafas tersengal-sengal, kadang-kadang
sakit kepala yang tak tertahankan dan
tangan kirinya lumpuh total semuanya itu membuatnya gagap dan malu. Histeria
?jelas merupakan penyebab kelumpuhan, yang menyerang seluruh tangannya, termasuk
pergelangannya. Seperti yang telah dijelaskan Freud, kelumpuhan seperti ini
tidak ada hubungannya dengan perubahan pada kulit, dan karena itu dapat
dinyatakan tidak sebagai penyakit yang berdasarkan jasmaniah. Misalnya,
kerusakan syaraf asli mungkin menyebabkan jemari tertentu tidak dapat berfungsi,
namun tidak menjalar hingga pergelangan tangan. Atau ibu jari yang tidak dapat
berfungsi, sehingga menyebabkan jemari yang lainnya juga tidak dapat berfungsi.
Tetapi, ketika kelumpuhan menyerang seluruh tubuh, itu bukan masalah fisiologi
tetapi psikologi yang harus dikonsultasikan. Karena serangan seperti ini hanya
berhubungan dengan satu hal, citra kejiwaan dalam kasus Priscilla, citra dari
?tangan kirinya. Dokter yang merawat gadis itu tentu saja tidak menemukan penyebab kelumpuhannya.
Tidak juga sang ahli chirologi dari New York yang menyarankan agar beristirahat
dan betulbetul melakukan aktifitas. Tentu saja hal itu memperburuk keadaan
Priscilla. Bahkan mereka telah memanggil seorang ahli tulang, yang tentu saja
tidak bisa berbuat apa-apa.
Setelah mengenyampingkan berbagai kemungkinan neurologis dan orthopedis palsi,
?penyakit kegilaan Kien-bock, dan seterusnya aku memutuskan untuk mencoba
?psikoanalisa. Pertama-tama aku tidak membuat kemajuan. Alasannya adalah
kehadiran sang ibu gadis itu. Tidak ada petunjuk yang cukup untuk memintannya
meninggalkan dokter dan pasiennya berdua saja seperti yang disyaratkan dalam
perawatan psikoanalisa. Setelah kunjungan
ketiga, aku memberitahu sang ibu kalau aku tidak akan dapat membantu Priscilla,
atau menerimanya sebagai pasienku lagi, kecuali sang ibu tidak ikut hadir.
Meskipun demikian, awalnya aku tetap tidak dapat membuat Priscilla. Mengikuti
kemajuan-kemajuan terapi Freud yang paling baru, aku menyuruh Priscilla
berbaring dengan mata terpejam. Aku menyuruhnya untuk memikirkan tangannya yang
lumpuh dan mengatakan apa saja yang muncul dalam pikirannya yang ada hubungannya
dengan gejala penyakitnya, menyuarakan setiap pikiran yang masuk ke dalam
benaknya, apa pun itu, betapapun tampak tidak ada hubungannya, tidak pantas,
atau bahkan tidak sopan. Namun demikian, Priscilla menanggapinya hanya dengan
mengulang-ulang penggambaran yang paling biasa tentang awal penderitaannya.
Apa yang ia ceritakan tidak ada yang baru. Hingga pada suatu hari penting
tanggal 10 Agustus 19D7, Priscilla teringat hari yang penting. Hari itu adalah
sehari setelah pemakaman kakak perempuan kesayangannya, Mary, yang tinggal di
Boston bersama suaminya, Bradley. Pada musim panas itu, Mary meninggal dunia
karena influensa, meninggalkan Bradley dengan dua anak balitanya untuk dirawat.
Pada hari setelah pemakaman, Priscilla diberti tugas oleh ibunya untuk menulis
ucapan terima kasih pada begitu banyak teman dan keluarga yang turut berduka
cita, Malam itu, tangan kirinya yang biasa digunakannya untuk menulis terasa ? ?sakit luar biasa. Ia tidak mengira itu wajar-wajar saja karena ia memang sudah
menulis begitu banyak surat. Ia pun terkadang merasakan sakit itu selama
beberapa tahun terakhir. Malam itu, ia terbangun dari tidurnya, tidak dapat
bernafas. Ketika gangguan pernafasan itu mereda, ia
mencoba untuk kembali tidur, tetapi tidak bisa. Pada pagi hari, ia menderita,
untuk pertama kalinya, sakit kepala yang terus mengganggunya hingga tahun
berikutnya. Lebih buruk lagi, ternyata tangan kirinya juga lumpuh. Saat itu
tangannya tidak berfungsi hanya sebatas pergelangannya.
Ini dan aspek lainnya terus diulang-ulangnya padaku. Setelah itu ia akan
terdiam, lama. Betapapun aku memaksa dan meyakinkannya kalau pasti masih ada
yang bisa ia ceritakan padaku, ia berkeras mengaku tidak mampu bercerita lagi.
Aku berniat untuk menghipnotisnya. Ia gadis yang sangat mudah dipengaruhi.
Tetapi Freud secara tegas menolak hipnotis. Pada awalnya tehnik itu pernah
menjadi cara yang disukai Freud ketika ia masih bekerja bersama Breuer. Namun
kemudian Freud menemukan bahwa hipnotis tidak bertahan dampaknya, juga tidak
menghasilkan kenangan yang dapat dipercaya. Aku lebih baik menggunakan tehnik
baru yang dicetuskan Freud begitu ia meninggalkan tehnik hipnotis. Cara itulah
kemudian yang membawaku ke terobosan baru.
Aku katakan pada Priscilla kalau aku akan meletakkan tanganku di atas keningnya.
Aku yakinkan pada dirinya bahwa ada kenangan yang masih ingin keluar. Kenangan
itulah yang menjadi pusat kepentingan segala yang telah dikatakannya padaku.
Tanpa kenangan itu kami tidak akan mengerti apa pun. Aku katakan juga bahwa ia
sangat mengenal kenangan itu, walau ia tidak tahu kalau ia mengetahui kenangan
itu. Lalu kenangan itu segera muncul begitu tanganku menempel pada keningnya.
Aku ragu melakukan itu, karena aku telah mempertaruhkan otoritasku. Jika gagal,
reputasiku akan lebih buruk dibandingkan sebelumnya. Namun, kenangan itu muncul juga, begitu Priscilla
merasakan tekanan tanganku pada kepalanya, tepat seperti yang tertulis pada
tulisan Freud. "Oh, Dr. Younger," serunya. "Aku melihatnya!" "Apa?"
"Tangan Mary." "Tangan Mary?"
"Di dalam peti jenazah. Mengerikan sekali. Mereka menyuruh kami melihat jenazah
Mary." "Lanjutkan," kataku. Priscilla tidak mengatakan apa-apa.
"Ada yang salah pada tangan Mary?" Tanyaku.
"Oh, tidak, Dokter. Tangan itu sempurna. Tangannya selalu sempurna. Ia dapat
memainkan piano dengan indah, tidak seperti aku." Priscilla berjuang mengatasi
perasaan yang tidak dapat kujelaskan. Warna pipi dan dahinya memperingatkanku;
warnanya menjadi hampir merah terang. "Ia masih sangat cantik. Bahkan peti
jenazahnya pun indah, semua dilapis beledu dan kayu putih. Ia tampak seperti
Sleeping Beauty, Tetapi aku tahu ia tidak tidur."
"Ada apa dengan tangan Mary?"
"Tangannya?" "Ya, tangannya, Priscilla."
"Kumohon, jangan suruh aku mengatakannya padamu," katanya. "Aku malu."
"Kau tidak perlu malu. Kita tidak bertanggungjawab atas perasaan kita; karena
itu tidak ada perasaan yang bisa membuat kita malu."
"Betul begitu, Dr. Younger?"
"Betul." "
"Tetapi aku salah."
"Tangan kiri Mary, bukan?" Tanyaku mereka-reka. Ia mengangguk seolah sedang
mengakui sebuah kejahatan.
"Ceritakan padaku tentang tangan kiri, Priscilla."
"Cincin itu," bisiknya, dengan suara yang sangat lirih.
"Ya," kataku. "Cincin itu." Kata 'ya' yang kuucapkan adalah kebohongan. Kuharap
kata itu akan membuat Priscilla mengira aku sudah tahu segalanya, padahal
sebenarnya, aku tidak tahu apa-apa. Tindakan tipu daya ini adalah satusatunya
aspek dari segala pekerjaan ini yang kusesali. Tetapi ternyata aku melakukan
tipu daya itu berulang-kali, dalam bentuk yang berbeda-beda, pada setiap
tindakan psikoanalisa yang kulakukan.
Ia melanjutkan, "Itu adalah cincin emas yang diberikan Brad padanya. Kupikir,
sayang sekali. Sayang sekali jika cincin itu terkubur bersamanya."
"Seharusnya tidak perlu malu tentang hal itu. Sebenarnya itu adalah suatu
kearifan saja, bukan sifat buruk," kataku meyakinkannya dengan ketegasan seperti
biasanya. "Kau tidak mengerti," katanya. "Aku menginginkan cincin itu untuk diriku
sendiri." "Ya."
"Aku ingin mengenakannya, Dokter," ia hamper berteriak. "Aku ingin Brad menikahi
aku. Masa sih aku tidak bisa merawat dua bayi malang itu" Aku bias membuatnya
bahagia." Ia membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya dan menangis.
"Aku senang Mary meninggal, Dr. Younger. Aku senang. Karena sekarang Brad bebas
untuk menikahiku." "Priscilla," kataku. "Aku tidak bisa melihat wajahmu."
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maafkan aku." "Maksudku, aku tidak bisa melihat wajahmu karena tangan kirimu menutupinya."
Ia tersedak. Benar: ia menggunakan tangan kirinya untuk menyeka air matanya.
Gejala histerianya telah menghilang begitu ia mengingat kembali kenangan yang
mengakibatkan timbulnya penyakit itu. Sekarang setahun telah berlalu, dan
kelumpuhan itu tidak pernah muncul lagi. Demikian pula masalah sesak nafas dan
sakit kepalanya. Kelanjutan kisahnya cukup sederhana. Priscilla telah jatuh cinta pada Bradley
sejak lelaki itu datang mengunjungi Mary. Ketika itu, Priscilla berusia
tigabelas tahun. Aku tidak akan mengejutkan siapa pun, kuharap, karena
penelitianku menyimpulkan bahwa cinta seorang gadis berusia tigabelas tahun bisa
melibatkan gairah birahi, walau ia sendiri tidak mengerti hal seperti itu.
Priscilla tidak pernah mengakui gairah itu, atau kecemburuan yang dirasakannya
pada kakak perempuannya. Akibatnya tak dapat dielakkan bahwa pikiran anak itu
mengarah ke oportunistis, jika saja Mary meninggal dunia, akan ada jalan terbuka
baginya. Segala perasaan itu menekan Priscilla, bahkan juga pada bawah sadarnya.
Tekanan itu pasti merupakan penyebab utama rasa saki pada tangan kirinya yang
terkadang muncul, yang mungkin bermula sejak hari pernikahan itu sendiri. Ketika
itu Priscilla pertama kali melihat cincin emas diselipkan ke jari kakak
perempuannnya. Dua tahun kemudian, pandangan cincin pada tangan Mary di dalam
peti jenazah membangkitkan pikiran yang sama. Itu nyaris muncul atau mungkin, ?memang muncul sesaat pada kesadaran Priscilla. Tetapi sekarang, selain memiliki
?perasaan cemburu dan gairah yang tabu, ada juga kepuasan yang tak dapat dimaklumi pada
kematian kakak perempuannya yang terlalu cepat. Sehingga tekanan baru,
betulbetul yang lebih kuat dari yang pertama.
Peran yang dimainkan oleh secarik surat terima kasihnya ternyata lebih pelik.
Orang hanya dapat membayangkan bagaimana Priscilla menderita ketika menatap
tangan kirinya yang kosong, tidak dipercantik dengan sebentuk cincin kawin. Ia
juga selalu terlihat lara atas kematian kakak perempuannya. Boleh jadi ini
adalah pertentangan yang tak tertahankan bagi Priscilla. Pada waktu yang
bersamaan, keletihan menulis mungkin juga menjadi pemicu atas apa yang muncul
kemudian. Dalam segala kesempatan, tangan kirinya menjadi suatu bentuk
penghinaan baginya, yang mengingatkan dirinya akan keadaannya yang tidak menikah
juga pada harapannya yang tak tercapai.
Tiga hal yang harus dilakukan Priscilla menjadi beban yang sangat besar.
Pertama, ia tidak mau memiliki tangan seperti itu; ia harus menyingkirkan tangan
yang seharusnya mengenakan cincin kawin. Kedua, ia harus menghukum dirinya
sendiri karena keinginannya menggantikan Mary menjadi istri Bradley. Ketiga,
pelaksanaan harapannya harus terwujud. Ketiga hal ini masingmasing terselesaikan
melalui panyakit histerianya; bagaimana alam bawah sadarnya melaksanakan ketiga
hal tersebut, menurutku, benar-benar mengagumkan. Secara simbolis, Priscilla
memisahkan dirinya sendiri dari tangannya yang memalukan itu, bersamaan dengan
itu ia memenuhi harapannya dan menghukum dirinya sendiri karena terpenuhinya
harapan itu. Dengan membuat dirinya cacat, ia juga meyakinkan kalau ia tidak
dapat lagi merawat anak-anak
Bradley, atau yang dengan cerdik dikatakan sebagai "membuat Bradley bahagia."
Perawatan Priscilla, dari awal hingga akhir, memakan waktu selama dua minggu.
Setelah aku meyakinkannya kalau harapannya betulbetul wajar dan di luar
kendalinya, maka tidak saja penyakitnya sembuh tetapi juga menjadi lebih ceria.
Berita tentang kesembuhan seorang cacat tersebar melalui Worcester seolah Sang
Penyelamat telah mengembalikan penglihatan Isaiah yang buta. Kisah yang tersebar
tentang Priscilla seperti ini: Priscilla telah jatuh sakit karena cinta, dan aku
telah menyembuhkannya. Penempelan tanganku pada keningnya telah diberi kekuatan
mistik yang sesungguhnya tidak ada. Hal itu membuat reputasi dan praktik
kedokteranku maju dengan cepat, namun juga membuat berkurangnya kenyamananku.
Datanglah sekitar empatpuluh orang pasien psikoanalitis ke kantorku.
Masingmasing mengaku menderita gejala yang sama dengan Priscilla dan semuanya
mengharapkan diagnosa tentang cinta tak berbalas dan minta penyembuhan dengan
penempelan tanganku. g KERETA API ITU memasuki stasiun City Hall ketika aku selesai bercerita. Tidak
seorang pun menanggapi kasus Priscilla. Kukira aku telah memperolok diriku
sendiri. Namun Brill menyelamatkan aku. Ia berkata kepada Freud kalau aku berhak
tahu pendapat "Sang Guru" tentang analisaku.
Freud menoleh dan menatap padaku dengan, hampir-hampir aku percayai, sinar mata
yang menyenangkan. Ia mengatakan, jika beberapa bagian kecil diabaikan, analisa
itu tidak dapat dikembangkan lagi. Ia menganggap analisaku cemerlang, dan minta
izin padaku untuk menghubungkan analisaku dengan karya berikutnya. Brill menepuk
punggungku; Ferenczi tersenyum dan menjabat tanganku. Ini tidak hanya patut
disyukuri dalam karir profesionalku; tapi patut disyukuri di sepanjang hidupku.
Aku tak pernah menyadari betapa bagusnya stasiun City Hall. Semua tamuku
terkesan karenanya kecuali Jung, yang tibatiba memberitahu kalau ia tidak akan ?ikut bersama kami. Jung juga tidak mengatakan apa-apa, baik ketika atau setelah
aku menceritakan sejarah kasusku. Ia bilang, ia harus segera tidur.
"Tidur?" Tanya Brill. "Kau tadi malam tidur jam sembilan." Jung telah pergi ke
kamarnya begitu kami tiba dan tidak turun lagi. Sementara kami makan malam
bersama di hotel, dan baru masuk kamar setelah lewat tengah malam.
Freud bertanya pada Jung apakah ia sehat-sehat saja. Jung menjawab kalau hanya
kepalanya saja yang sakit. Freud memintaku membawanya kembali ke hotel. Tetapi
Jung tidak mau dibantu. Ia meyakinkan kami kalau ia bisa mengikuti jalan yang
kami lalu tadi dengan mudah. Kemudian kami, tanpa Jung, melanjutkan perjalanan.
9 KETIKA DETEKTIF JIMMY LITTLEMORE kembali ke Balmoral pada Senin malam, salah
satu penjaga pintu baru saja tiba untuk memulai tugas. Clifford, penjaga itu,
telah mendapat giliran bertugas sebagai penjaga makam pada malam sebelumnya.
Littlemore bertanya padanya apakah ia mengenal Nona Riverford.
Tampaknya Clifford tidak menerima perintah untuk tutup mulut dari atasannya.
"Tentu, aku ingat gadis itu,"
katanya. "Cantik sekali."
"Kau pernah bicara dengannya?" Tanya Littlemore. "Ia tidak banyak bicara,
setidaknya kepadaku." "Kau ingat adakah sesuatu yang khusus tentang gadis itu?"
"Aku pernah membukakan pintu untuknya beberapa kali pada pagi hari," jawab
Clifford. "Apa istimewanya?"
"Aku selesai bertugas jam enam pagi. Gadis-gadis yang kulihat pada jam itu
hanyalah para pekerja, sedangkan Nona Riverford kelihatannya bukan gadis seperti
itu. Kau tahu maksudku, kan" Ia mungkin saja pergi pada jam lima atau setengah
enam, aku tidak tahu pastinya."
"Ke mana?" Tanya Littlemore.
"Mana aku tahu."
"Bagaimana dengan kemarin malam" Kau melihat seseorang atau apa pun yang tidak
lazim?" "Apa maksudmu dengan tidak lazim?" Tanya Clifford.
"Apa saja yang berbeda, orang lain yang belum pernah kau lihat."
"Ada seorang lelaki," ujar Clifford, "ia pergi sekitar tengah malam. Tergesagesa sekali. Kau melihat lelaki itu, Mack" Ada yang tidak beres padanya,
menurutku." Penjaga pintu lainnya yang dipanggil Mack menggelengkan kepalanya.
"Merokok?" Tanya Littlemore pada Clifford, yang menerima rokok itu, kemudian
memasukkannya ke dalam saku, karena ia tidak boleh merokok ketika bertugas,
"Mengapa ia tidak beres?"
"Tidak beres saja. Mungkin ia orang luar negeri." Clifford tak dapat menyebutkan
kecurigaannya secara lebih jelas. Namun jelas ia menyatakan kalau lelaki itu
tidak tinggal di gedung ini. Littlemore mencatat gambaran tentang lelaki itu: berambut
hitam, jangkung, ramping, pakaiannya bagus, dahi lebar, berusia pertengahanakhir tigapuluhan, berkacamata, membawa tas hitam atau sejenisnya. Lelaki itu
menumpang taksi tua di luar Balmoral, menuju ke kota. Littlemore menginterogasi
para penjaga pintu itu selama sepuluh menit. Tidak seorang pun yang dapat
mengingat. Mungkin saja lelaki yang dicari itu telah memasuki apartemen tanpa
diketahui bersama salah seorang penghuni. Setelah itu Littlemore bertanya di
mana letak ruang para pelayan Balmoral. Mereka menunjuk ke arah ruang bawah
tanah. Di ruang bawah tanah, Littlemore memasuki ruangan berlangit-langit rendah dan
pengap dengan pipa-pipa bersilang-silang pada dindingnya, dan sekelompok pelayan
yang sedang melipati kain linen. Semuanya mengetahui siapa pelayan Nona
Riverford, namanya Betty Longobardi. Dengan berbisik, mereka menceritakan kepada
detektif kalau ia tidak akan dapat menemukan Betty di tempat mana pun gedung
ini. Betty telah pergi tadi pagi tanpa mengucapkan selamat tinggal pada siapa
pun. Mereka tidak tahu mengapa. Betty sangat sibuk tetapi ramah. Ia tidak pernah
mau menerima katakata kasar, bahkan dari pengelola sayap gedung ini. Begitulah
kata seorang pekerja wanita kepada Littlemore di ruang itu. Mungkin Betty
bertengkar lagi dengan si pengelola. Salah satu pelayan tahu di mana tempat tinggal
Betty. Setelah informasi ini, Littlemore pergi. Kemudian ia melihat seorang
berdarah Cina. Lelaki itu mengenakan kaos-dalam putih dan celana pendek berwarna gelap. Ia
memasuki ruangan sambil membawa sebuah keranjang anyaman rotan dipenuhi
kain-kain cucian. Setelah mengeluarkan isi keranjangnya, ia keluar ruangan lagi.
Itulah yang menarik perhatian Littlemore. Detektif itu menatap betis gemuk dan
sandal lelaki tadi. Seharusnya ia tak terlalu tertarik pada hal seperti itu,
termasuk cara lelaki itu berjalan yang menimbulkan suara seretan langkah kaki.
Akibatnya, menarik. Dua garis basah membekas di lantai setelah lelaki itu
berlalu. Kedua garis itu bernoda tanah liat merah gelap berkilau.
"Hei kau!" Seru detektif itu. Lelaki itu berhenti, masih membelakangi
Littlemore, bahunya menggantung, namun mulai bergerak. Kemudian ia berlari
sambil membawa keranjangnya, dan menghilang di sebuah sudut. Detektif itu
berlari kencang mengejarnya, berbelok di sudut, tepat ketika ia melihat lelaki
itu mendorong sepasang pintu angin di ujung koridor panjang. Littlemore berlari
di sepanjang koridor. Ia melewati pintu tadi dan melihat ke sekeliling ruang
binatu yang besar dan bising. Di sana terdapat orang bekerja di atas papan-papan
setrikaan, papan cuci, pengepres uap, dan alat pencuci yang harus diputar dengan
tangan. Para pekerja itu adalah orang-orang Negro, kulit putih, Italia, dan
Irlandia wajah berbagai bangsa tetapi tidak ada orang Cina. Sebuah keranjang ? ?rotan tergeletak menghadap ke atas, di dekat papan setrika, masih bergerak
sedikit seolah baru saja diletakkan. Seluruh lantainya basah, sehingga tidak ada
jejak yang dapat diikuti. Littlemore mengangkat sedikit tepi topi jeraminya dan
menggelengkan kepalanya. g TAMAN GRAMERCY, di kaki Lexington Avenue, merupakan satusatunya taman pribadi di
Manhattan. Yang berhak memasukinya hanyalah para pemilik rumah di seberang pagar
indah yang terbuat dari besi tempa. Setiap pemilik rumah memiliki kunci pintu
gerbang taman, yang memberikan jalan masuk ke surga kecil bebungaan dan penuh
kehijauan di dalamnya. Hari itu Senin 30 Agustus. Malam baru saja turun. Seorang gadis baru saja keluar
dari salah satu rumah. Sebuah kunci yang terbuat dari emas, kokoh, dan dilapisi
?warna hitam akan selalu menjadi benda ajaib. Sewaktu masih menjadi seorang
?bocah, gadis itu diperbolehkan oleh Ibu Biggs tua pelayannya untuk membawa
? ?kunci tadi di dalam sebuah tas kecil putihnya bila mereka hendak menyeberangi
jalan. Gadis itu masih terlalu kecil untuk dapat memutar kunci itu dengan
tangannya, namun Ibu Biggs akan membantunya. Ketika terbuka, seakan-akan
dunialah yang tengah tersingkap lebar di hadapannya.
Namun taman bebungaan itu telah jauh mengecil ketika bocah tadi telah tumbuh
menjadi seorang gadis. Kini, pada usianya yang ke tujuhbelas, tentu saja ia
dapat memutar kunci itu tanpa bantuan siapa pun. Itulah yang dilakukannya pada
malam itu. Ia masuk ke taman sendiri dan berjalan perlahan-lahan ke arah sebuah
bangku yang selalu biasa didudukinya. Ia mengempit buku pelajarannya di
lengannya. Juga sebuah buku rahasianya, The House of Mirth. Ia masih menyukai
bangkunya walaupun kini taman itu hanyalah sebagai pelengkap rumah ketimbang
tempat berlindungnya. Sejak lima minggu lalu, Ayah dan Ibunya sedang pergi ke
desa, meninggalkannya bersama Ibu
Biggs dan suaminya. Gadis itu senang melihat kedua orang tuanya pergi.
Hari itu sangat panas. Tetapi bangku itu terletak di bawah sepokok pohon willow
dan kanopi tua yang rindang. Buku-buku terbuka di sampingnya. Dua hari lagi,
September sudah tiba, suatu kesempatan yang dinantinya sejak lama sekali. Akhir
minggu depan, ia akan berusia delapanbelas tahun. Tiga minggu setelah itu, ia
akan masuk kelas matrikulasi di Barnard College. Ia adalah salah satu gadis yang
sekian lama tertahan untuk menjadi dewasa. Sehingga pada usia ketigabelas,
empatbelas dan limabelas tahun, ia masih saja bermain dengan boneka kapuknya.
Sebenarnya, ia sangat berharap dapat hidup dengan cara berbeda. Setidaknya
seperti teman-teman sekolahnya yang telah membicarakan stoking, gincu, dan
berbagai acara undangan. Pada usia enambelas tahun, boneka kapuknya telah
disimpan ke atas lemari yang sulit dijangkau. Pada usia tujuhbelas tahun, ia
telah menjadi seorang gadis yang luwes, bermata biru, dan cantik menawan. Rambut
pirangnya panjang, diikat dengan pita di belakang.
Ketika lonceng Gereja Calvary berdentang enam kali, ia melihat Bapak dan Ibu
Biggs berjalan dari depan serambi muka. Mereka berdua bergegas menuju toko-toko
sebelum tutup sambil melambaikan tangan. Gadis itu pun membalasnya. Beberapa
menit kemudian, ia beranjak pulang ke rumah sambil mengusap air matanya dan
mengempit buku-buku tadi di dadanya. Ia melihat rumput dan daun semanggi, juga
lebah-lebah yang beterbangan. Jika menoleh ke kiri, ia mungkin akan melihat, di
kejauhan taman, seorang lelaki memandanginya dari bagian luar pagar.
Lelaki yang telah mengamatinya sejak lama ini, membawa sebuah tas hitam di
tangan kanannya. Ia berbusana serba hitam. Berlebihan sebenarnya, sehingga
tampak kegerahan. Tatapannya tak pernah dilepaskan. Gadis itu terlihat
menyeberangi jalan lau menaiki tangga menuju rumah besarnya. Rumah indah itu
terbuat dari batu kapur, dihiasi dengan dua buah patung singa bak para penjaga
pada setiap sisi pintu depan. Lelaki itu melihat si gadis membuka pintu tanpa
membuka kuncinya. Lelaki itu telah mengamati dua orang pelayan tua yang baru saja meninggalkan
rumah. Setelah mengerlingkan mata ke kiri, kanan dan ke belakang, ia pun
beranjak. Dengan cepat ia tiba di rumah itu, menaiki tangga, mencoba membuka
pintu, dan tahu kalau pintu itu masih belum terkunci.
Setengah jam kemudian, keheningan Taman Gramercy pecah karena teriakan seorang
gadis. Jeritan itu merambat dari ujung satu jalan ke ujung lainnya, mengambang
di udara, terus mengambang lebih lama dari perkiraan orang biasanya. Tidak lama
setelah itu, seorang lelaki menyeruak keluar dari pintu belakang rumah tadi.
Sebuah benda metal berukuran tidak lebih besar dari sekeping uang logam,
melayang dari tangannya ketika lelaki itu tersandung anak tangga belakang. Logam
itu mengenai tiang bendera dan, anehnya, melambung tinggi ke udara. Lelaki itu
sendiri hampir terjerambab, namun bisa menguasai keseimbangannya. Ia terus
berlari ke arah bangsal pot-pot di taman, lalu meloloskan diri dari sana melalui
lorong di belakang. Bapak dan Ibu Biggs yang baru saja tiba dengan membawa tas-tas sayuran dan
bunga, mendengar jeritan itu. Dengan penuh ketakutan dan secepat mungkin, mereka
berebutan menaiki tangga. Di lantai dua, pintu kamar tidur utama terbuka,
padahal sebelumnya tertutup. Di dalam ruangan itulah mereka menemukan seorang
gadis. Keranjang belanjaan jatuh terlepas dari tangan Pak Biggs. Setengah
kilogram tepung terigu berserakan di sekitar sepatu hitamnya. Ada yang membentuk
awan debu kecil putih. Bawang kuning pun menggelinding ke arah kaki telanjang
gadis itu. Gadis itu berdiri di tengah kamar tidur orangtuanya, hanya mengenakan pakaian
dalam. Ia selayaknya tidak terlihat para pelayan itu. Tungkainya telanjang.
Lengan ramping jenjangnya terangkat ke atas kepalanya. Pergelangan tangannya
terikat menjadi satu dengan tali tebal yang kuat terkait di langitlangit, tempat
sebuah lampu gantung kecil tergantung. Jemari gadis itu hampir menyentuh prisma
kristal. Celana dalamnya robek pada bagian depan dan belakangnya, seolah
tercabik oleh cambuk rotan. Sehelai selendang leher lelaki berwarna putih
diikatkan erat di lehernya, dan di antara bibirnya.
Bagaimanapun juga, ia belum mati. Matanya tampak liar menatap, namun hanya
tatapan kosong. Ia menatap para pelayan yang sudah sangat dikenalnya itu tanpa
tatapan lega dan meneror. Seolah kedua orang itu adalah pembunuh, atau iblis.
Seluruh tubuhnya gemetar, walau udara panas. Ia mulai menjerit lagi, namun tidak
ada suara yang keluar, seolah ia sudah kehabisan suara.
Ibu Biggs sadar. Ia pun memerintahkan suaminya keluar ruangan untuk memanggil
dokter dan polisi. Dengan hati-hati ia mendekati gadis itu, berusaha
menenangkannya, dan membuka ikatan talinya. Ketika telah terbebas, mulutnya
membuat gerakan, pertanda ia ingin berbicara. Namun tetap saja tidak ada suara
yang terucap. Bahkan sepatah kata pun tidak terdengar. Tidak juga sebuah bisikan.
Ketika polisi tiba, mereka cemas. Gadis itu tidak dapat berbicara. Kertas dan
pensil pun mereka bawakan. Polisi meminta gadis itu untuk menuliskan apa yang
terjadi. Aku tidak bisa, tulisnya. Mengapa, tanya mereka. Dia menjawab; Aku tak
bisa mengingatnya.
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empat SENIN MALAM KETIKA HAMPIR pukul tujuh. Freud, Ferenczi, dan aku kembali ke
hotel. Brill telah tiba di rumah dengan letih dan bahagia. Aku percaya Coney
Island adalah tempat kesukaannya di Amerika. Sebelumnya, Brill telah mengejek
cara terapi para dokter Amerika terhadap para wanita histeris. Terapi mereka
dengan pijatan, atau melalui getaran, dan penyembuhan dengan air. "Itu semacam
perdukunan dan separuh industri seks," katanya. Ia menjelaskan tentang alat
getar ukuran besar yang baru-baru ini dibeli seharga empatratus dolar oleh
seorang profesor di Columbia yang juga dokter kenalannya. "Tahukah kau apa yang
sebenarnya mereka lakukan" Tak seorang pun yang mau mengakui, tetapi mereka
membuat klimaks para pasien wanitanya."
"Kau kelihatannya heran," tanya Freud, "Ibnu Sina melakukan hal yang sama di
Persia sembilanratus tahun lalu."
"Mereka menjadi kaya karena praktik semacam itu?" Tanya Brill, dengan nada
sedih. "Ribuan dolar setiap bulannya. Begitulah kira-kira. Tetapi yang terburuk adalah
kepura-puraan mereka. Aku
pernah menyatakan ini kepada dokter besar itu, kebetulan ia adalah atasanku. Aku
katakan jika cara pengobatannya berhasil, itu merupakan bukti psikoanalisa bahwa
ada hubungan kuat antara seksualitas dan histeria. Kau harus melihat wajah
mereka saat itu. Tidak ada unsur seksual di dalam perawatannya, begitu kata
dokter itu, sama sekali tidak ada. Ia hanya membiarkan si pasien melepaskan
kelebihan rangsangan neural. Jika saja aku berpikir sebaliknya, maka aku akan
merusak isi dari teori-teori Freud. Aku beruntung ia tidak memecatku."
Freud tersenyum. Ia tidak terpengaruh pada kekesalan Brill, atau pada
pembelaannya. Orang tidak bisa menyalahkan ketidaktahuan, ujarnya. Di samping
kesulitan yang memang telah ada dari pengungkapan kebenaran histeria, ada
tekanan kuat yang terkumpul selama lebih dari seribu tahun. Tekanan itu tak
mungkin mampu dihilangkannya dalam sehari. "Begitu juga dengan setiap penyakit,"
ujar Freud, "hanya dengan mengerti penyebabnya, kita dapat mengakui bahwa kita
mengerti penyakitnya. Karena itulah, kita dapat melakukan terapi. Kini, mereka
belum mampu mengetahui penyebabnya. Sehingga mereka masih saja berada di Zaman
Kegelapan. Mereka merawat pasiennya hingga berdarah-darah namun menyebut
tindakan itu sebagai pengobatan."
Kemudian percakapan itu berubah mengagumkan. Freud bertanya apakah kami ingin
mendengar salah satu kasus barunya tentang seorang pasien yang dihantui tikus
besar. Tentu saja kami mengatakan ya.
Aku belum pernah mendengar seorang pun berbicara seperti Freud. Dengan begitu
lancar, ia menceritakan kembali kasus itu. Sungguh berpengetahuan dan
berwawasan. Kami pun menyimak selama tiga jam dengan
takzim. Kami bertiga sesekali menyela, menguji berbagai kesimpulannya dengan
keberatan atau beberapa pertanyaan. Freud pun menjawabnya, bahkan sebelum kami
mempertanyakannya. Dalam tiga jam kesempatan itu, hidupku terasa lebih
bersemangat dibanding saat-saat lainnya dalam hidupku. Di tengah gonggongan,
teriakan anak-anak, dan para pencari ketegangan di Coney Island, aku rasa, kami
berempat sedang menelusuri pengetahuan diri manusia. Kami mulai menjelajahi
negeri yang belum terungkap. Atau, menapaki jalan yang belum terpetakan, yang
pada suatu hari kelak akan menjadi panutan dunia. Segala yang diduga telah
diketahui manusia: impian, kesadaran, atau gairah mereka sendiri yang paling
rahasia, akan berubah selamanya.
Di hotel, Freud dan Ferenczi bersiap pergi makan malam di rumah Brill.
Sayangnya, aku berjanji makan malam di tempat lain. Jung seharusnya ada bersama
ketiganya, namun kami tidak bisa menemukannya. Freud memintaku mengetuk pintu
kamar Jung, tetapi tidak ada jawaban. Mereka menunggu hingga pukul delapan, lalu
menuju rumah Brill tanpa dirinya. Aku bergegas berganti pakaian malam dengan
kesal. Bagaimanapun keadaannya, aku tidak terlalu senang dengan suasana pesta
besar. Kehilangan kesempatan makan malam bersama Freud betulbetul merupakan
penderitaan yang tak terbayangkan.
9 HARRY THAW adalah seorang ahli waris tambang Pitssburgh yang sederhana. Ia tidak
akan terhitung sebagai pesohor New York City jika saja tidak membunuh Stanford
White, seorang arsitek termashur, di atas atap Madison Square Garden pada tahun
1906. Walau Thaw menembak White tepat pada wajahnya di depan seratus orang tamu
jamuan makan malam, namun dua tahun kemudian seorang juri membebaskannya dengan
alasan gangguan kejiwaan. Kata beberapa pengamat, tidak ada seorang hakim
Amerika pun yang akan menghukum seseorang karena membunuh seorang bejat yang
meniduri istrinya. Meskipun, pada saat Harry Thaw menikahi White, ia masih
seorang gadis panggung, belum menjadi wanita terhormat. Yang lainnya
berpendapat, hakim itu tak menghukumnya, karena telah menerima sejumlah besar
uang dari pembela Thaw, sehingga tuntutan pengadilan dengan mudah dipatahkan.
g IBUKU ADALAH seorang dari keluarga Schermerhorn. Saudara perempuannya telah
menikah dengan salah satu anggota keluarga Fish. Memiliki pertalian dengan dua
keluarga penting itulah yang membuatku diundang ke setiap pesta bangsawan
Manhattan. Lantaran bertempat tinggal di Worcester, Massachusetts, sering membuatku
memiliki alasan yang cukup untuk mengelak dari berbagai undangan seperti itu.
Tetapi aku harus membuat pengecualian untuk pesta yang satu ini. Itu karena
diadakan oleh Bibi Mamie. Dia lebih dikenal dengan nama Nyonya Stuyvesant Fish.
Sesungguhnya ia bukanlah bibiku, namun aku telah dipaksa untuk memanggilnya
begitu sejak masih kecil. Ketika itu aku menghabiskan musim panas di rumahnya di
Newport. Setelah ayahku meninggal dunia, bibi Mamie-lah yang memastikan kalau
ibuku hidup nyaman dan tidak perlu mengosongkan rumahnya di Back Bay yang telah
ditinggalinya sepanjang usia pernikahan ibuku. Aku berdampingan dengan Belva,
sepupuku, di lorong itu. "Apa tadi?" Belva kembali menanyakan judul lagu itu ketika kami berjalan di
lorong yang seakan tidak berujung dengan segerombolan penonton di samping kami.
"Aida, karya Tuan Verdi. Dan kita ini adalah hewan-hewan yang berbaris, persis
seperti yang dikatakan oleh lirik lagu itu," jawabku.
Belva menunjuk pada seorang perempuan gemuk yang dikawal suaminya tidak jauh di
depan kami. "Oh, lihat itu! Pasangan Arthur Scott Burden. Aku belum pernah
bertemu dengan Nyonya Burden dalam balutan serban besar berwarna merah tua. Dia
kelihatan seperti gajah ya?"
"Belva," Younger coba memperingatkan.
"Dan di sana ada Conde Nasts. Topi Directoire-nya lebih cocok, bukan" Hiasan
bunga Gardenia-nya juga cocok, tetapi aku kurang yakin pada bulu burung
kasuarinya. Orangorang pasti akan menertawainya kalau ia lewat."
"Belva, sopan sedikit. Sadarkah kau kalau kini ada ribuan orang menonton kita?"
Belva jelas merasa senang karena perhatian itu, "aku bertaruh kau tidak punya
yang seperti ini di Boston."
"Sayang sekali, kami memang serba ketinggalan di Boston," kataku.
"Yang mengenakan hiasan sempurna dan banyak pada rambutnya itu adalah Tuan
Baroness von Haefton. Ia pernah mengucilkan aku dari pestanya musim salju yang
lalu demi seorang Marquis de Charette. Yang di sana itu adalah John Jacob Astor.
Orangorang mengatakan, dia terlihat di mana-mana bersama Maddie Forge, yang baru
berusia enambelas tahun. Lalu yang di sana itu adalah tuan rumah kita, keluarga
Stuyvesant Fishes." "Fish," Aku menyangkal.
"M aaf?" "Bentuk plural untuk Stuyvesant Fish adalah Stuyvensant Fish. Orang menyebutnya
'keluarga Fish1 bukan 'keluarga Fishes,'" Aneh sekali, aku bisa berlagak
mengoreksi Belva tentang sopan-santun New York.
"Tadi aku tidak percaya," katanya, "tetapi, Nyonya Fish sendiri nyaris terlihat
plural malam ini." "Jangan mengolok bibiku dengan satu kata pun, Belva." Belva betulbetul seusia
denganku, dan aku telah mengenalnya sejak bayi. Tetapi gadis kurus kering dan
tampak canggung yang malang itu, telah mulai bergaul walau tak seorang pun
tertarik padanya. Pada usia duapuluh tujuh tahun, aku khawatir, ia sangat putus
asa. Khawatirnya, dunia telah menganggapnya sebagai perawan tua.
"Setidaknya, bibi Mamie tidak membawa anjingnya malam ini."
Bibi Mamie pernah mengadakan sebuah pesta di Newport demi seekor anjing pudel
Prancis barunya. Anjing itu berjalan berjingkrak-jingkrak di atas permadani
merah dengan kalung bertabur berlian.
"Tetapi lihat, ia memang membawa anjingnya," Belva menunjuk pada Marion Fish,
putri termuda bibi Mamie, "dan masih mengenakan kalung berlian itu." ujar Belva
dengan senang. Belva tidak diundang pada pesta meriah pertamanya.
"Cukup, sepupu. Kau sendirian sekarang." Setelah tiba di ujung koridor, aku
meninggalkan Belva. Aku menyebut dia dihadiahkan padaku, dia dipasangkan
denganku, bukannya dengan Nona Hyde yang cukup kaya dan memiliki sedikit pesona
lainnya. Aku berdansa dengan beberapa orang nona juga, termasuk dengan Eleanor
Sears yang jangkung seperti penari balet. Ia sangat ramah, walau aku harus
menunduk karena topinya persis seperti som-brero. Dan tentu saja giliran itu
membawa aku sampai juga pada Belva yang malang.
Menurut kartu menu yang berkilap tepiannya, selain hidangan koktail kerang
tertulis sebagai hidangan wajib, juga ada buffet russe, daging domba pegunungan
yang dipanggang dengan puree kacang dan asparagus, serbat sampanye, penyu
Mariland punggung berlian, dan bebek merah dengan selada jeruk. Itu semua hanya
makan malam pertama, sementara yang kedua akan disajikan setelah tengah malam.
Setelah makan malam kedua, dansa dilanjutkan dengan dansa resmi mungkin sebuah ?
Mir-ror, setahuku begitulah kebiasaan bibi Mamie yang dimulai sekitar pukul ?setengah dua pagi.
"Nah, ini dia, Stratham!" Seru Bibi Mamie, "oh, mengapa kau bersepupu dengan
Marion" Seharusnya aku menikahkanmu dengannya bertahun-tahun lalu. Sekarang
dengarkan aku. Nona Crosby sedang bertanya siapakah kau pada semua orang. Ia
akan berusia delapanbelas pada tahun ini, ia gadis tercantik nomor dua di New
York. Sedangkan kau sendiri adalah lelaki tertampan di New York. Maksudku,
bujangan tertampan. Kau harus berdansa dengannya."
"Aku harus berdansa dengannya," kataku, "dan aku menerimanya karena perintah,
padahal ia seharusnya menikah dengan Tuan de Menocal."
"Tetapi, aku tidak mau ia menikah dengan de Menocal," jawab Bibi Mamie, "aku
ingin de Menocal menikahi cucu perempuan Franz dan Ellie Sigel. Namun, ia
melarikan diri ke Washington. Itu perkiraanku saja, orang tentunya lari ke
Washington. Apa ya yang dipikirkan gadis itu" Seharusnya jika orang kawin
biasanya mereka menuju Kongo. Kau sudah menyapa Stuyvie?"
Stuyvie, tentu saja adalah nama panggilan bagi suaminya yaitu Stuyvesant. Karena
aku belum bertegur sapa dengan Paman Fish, Bibi Mamie membawaku kepadanya. Ia
sedang asik bercakap-cakap dengan dua orang lelaki. Pertama adalah Louis J. de
G. Milhau, yang kukenal sebagai kawan saat berkuliah di Harvard. Lelaki satunya,
mungkin berusia empatpuluh lima tahun, tampak akrab, namun aku tidak ingat
padanya. Rambutnya dipangkas sangat pendek, matanya tampak cerdas, tidak
berjenggot, berkesan wibawa. Bibi Mamie menolong ingatanku ketika ia berkata,
sambil menahan nafasnya, "Itu Walikota McClellan. Ayo kita hampiri dia."
Walikota McClellan, ternyata sudah beranjak pulang. Bibi Mamie berseru mengeluh,
tidak setuju karena ia tidak akan menyaksikan Caruso. McClellan memohon maaf,
berterimakasih atas kemurahan hati Bibi Mamie yang telah menyumbang uang kepada
kota New York, dan ia bersumpah tidak akan pulang pada jam seperti itu jika
tidak ada keperluan penting. Bibi Mamie bahkan lebih berkeberatan. Kali ini
lantaran penggunaan kata "keperluan penting". Seraya beranjak, Bibi Mamie
berkata, ia tidak mau mendengarkan hal itu. Kami pun kebingungan.
Aku terkejut ketika Milhau berkata pada Walikota, "Younger ini adalah seorang
dokter. Mengapa tidak kau
ceritakan tentang kejadian itu padanya?"
"Demi Tuhan," seru Paman Fish, "benar itu. Seorang dokter lulusan Harvard.
Younger akan mengenal orang yang tepat untuk pekerjaan itu. Ceritakan padanya,
McClellan." Walikota McClellan menelitiku, kemudian membuat semacam keputusan di dalam
hatinya. Ia pun bertanya, "Kau mengenal Acton, Younger?"
"Lord Acton?" Tanyaku.
"Bukan, tapi Harcount Acton dari Gramercy Park. Ini tentang putrinya."
Nona Acton tampaknya telah menjadi korban penyerangan brutal tadi sore di rumah
keluarganya. Penjahatnya belum tertangkap tanpa seorang pun yang melihatnya.
Walikota McClellan, yang mengenal keluarga itu, dengan putus asa menginginkan
penjelasan Nona Acton tentang penjahat tersebut. Namun gadis itu tidak dapat
berbicara atau mengingat apa pun yang baru saja terjadi padanya. Walikota
McClellan segera kembali ke kantor polisi pusat. Gadis itu masih ada di sana.
Dokter keluarga yang merawat gadis itu, menyatakan kebingungannya. Tidak ada
tanda luka fisik pada gadis itu sebagai petunjuk masalah yang tengah
dihadapinya. "Gadis itu histeris," kataku, "ia menderita kriptomne sia." "Kripto-amnesia?" Ulang Milhau.
"Kehilangan ingatan karena tekanan kejadian traumatis. Istilah itu diciptakan
oleh Dr. Freud dari Wina. Keadaan itu pada dasarnya histeris dan bisa juga
disertai oleh aphonia atau tidak dapat berbicara."
"Demi Tuhan," seru Paman Fish lagi, "kau bilang tidak dapat berbicara" Itu dia!"
"Dr. Freud," lanjutku, "mempunyai sebuah buku tentang gangguan bicara." Risalah
Freud tentang gangguan bicara dibaca di Amerika sejak lama sebelum tulisan
psikologinya menjadi terkenal. "Ia mungkin orang yang paling paham di dunia
dalam masalah ini dan secara khusus telah memperlihatkan keterkaitan dengan
trauma histeris, terutama trauma seksual."
"Sayang, Dr. Freud-mu ada di Wina," kata Walikota McClellan.
lima AKU MENGGEDOR PINTU RUMAH Brill hingga Rose, istrinya, yang membukakan pintu.
Aku masuk dan menceritakan rencana konsultasi Freud dengan orang Amerika
Sepasang Naga Penakluk Iblis 2 Goosebumps - Darah Monster 4 Pahlawan Dan Kaisar 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama