Ceritasilat Novel Online

Kite Runner 4

The Kite Runner Karya Khaled Hosseini Bagian 4


cahaya fluorescent Bel elektrik di pintu akan berdering saat aku memasuki tempat
itu, dan Baba akan memalingkan wajahnya, melambai dan tersenyum, matanya berair
akibat kelelahan. Pada hari yang sama saat dia mendapatkan pekerjaan, aku dan Baba pergi ke San
Jose untuk menemui Mrs. Dobbins, petugas yang mengurusi
kewarganegaraan kami. Dia adalah seorang wanita berkulit hitam yang menderita
kegemukan, dengan mata bercahaya dan senyuman yang memunculkan lesung pipi.
Suatu kali, dia memberitahuku bahwa dia adalah seorang penyanyi gereja, dan aku
memercayainya suaranya membuatku memikirkan susu hangat dan madu. Baba
menjatuhkan setumpuk kupon makanan di atas meja Mrs. Dobbins. "Terima kasih,
tapi saya tidak ingin," kata Baba. "Saya bekerja selalu. Di Afgahnistan saya
kerja, di Amerika saya kerja. Terima kasih banyak, Mrs. Dobbins, tapi saya tidak
suka uang cuma-cuma."
Mrs. Dobbins mengedipkan mata. Dia mengambil tumpukan kupon makanan itu,
menatapku dan Baba, seolah-olah kami sedang bercanda, atau "mengerjainya,"
begitulah yang biasa dikatakan Hassan. "Sudah lima belas tahun aku bertugas di
sini, dan tidak seorang pun pernah melakukannya," katanya. Dan begitrulah Baba
mengakhiri saat-saat memalukan yang melibatkan kupon makanan di depan kasir, dan
meringankan salah satu ketakutan terbesarnya: Bahwa seorang warga Afghan akan
melihatnya membeli makanan dengan uang sedekah. Baba melangkah keluar dari
kantor petugas sosial itu layaknya seorang pria yang baru sembuh dari penyakit
tumor. * Pada musim panas 1983, aku lulus dari SMA di
umurku yang ke-20. Sejauh itu, aku adalah siswa senior tertua yang turut
melontarkan topi wisuda di lapangan football hari itu. Aku ingat saat aku
kehilangan Baba di antara lautan keluarga, kilatan kamera, dan toga biru. Aku
menemukannya di dekat garis 25 yard, mengantungi tangan, kamera tergantung di
lehernya. Baba menghilang dan muncul kembali di antara kerumunan manusia yang
bergerak di antara kami: para siswi berbusana biru yang saling memekik, memeluk,
dan menangis, para siswa yang saling berhighfive pada kawan-kawan dan ayah
mereka. Jenggot Baba berwarna kelabu, rambut di atas keningnya mulai menipis,
dan tidakkah saat di Kabul dia tampak lebih tinggi" Baba mengenakan setelan
cokelatnya satu-satunya setelan yang dia miliki, setelan yang sama yang
dikenakannya untuk menghadiri pesta pernikahan dan upacara pemakaman warga
Afghan dan dasi merah yang kubelikan untuknya saat dia merayakan ulang tahunnya
yang ke-50 tahun itu. Baba melihatku dan melambaikan tangannya. Tersenyum. Dia
memberiku isyarat untuk kembali mengenakan topi wisudaku, dan mengambil foto
diriku dengan latar belakang menara jam sekolah. Aku tersenyum padanya-di satu
sisi, hari ini lebih berarti baginya daripada bagiku. Baba mendekatiku, mengalungkan lengannya di leherku, dan mencium keningku. "Aku moftakhir, Amir,"
katanya. Bangga. Matanya berbinar saat mengatakannya dan aku menyukai saat aku
menerima tatapannya. Malamnya, Baba membawaku ke kedai kebab
khas Afghan di Hayward dan memesan begitu banyak makanan. Dia mengatakan pada
pemiliknya bahwa putranya akan mulai kuliah pada musim gugur nanti. Sesaat
sebelum upacara kelulusan aku bertukar pendapat dengannya tentang masalah ini,
memberitahunya bahwa aku ingin mencari pekerjaan. Aku ingin membantunya,
menabung, mungkin aku akan mulai kuliah tahun berikutnya. Namun dia menatapku
dengan tatapan penuh arti khas Baba, dan kata-kata yang sudah tertata rapi di
lidahku pun seketika menguap.
Setelah selesai makan malam, Baba membawaku ke bar di seberang restoran itu.
Tempat itu suram, dan aroma bir yang menusuk, yang selamanya tidak kusukai,
menempel di dindingnya. Para pria yang mengenakan topi pet dan kaus tanpa lengan
bermain biliar, gumpalan asap rokok menggantung di atas meja-meja hijau,
bergerak di bawah cahaya lampu fluorescent Kami saling menatap, Baba masih
mengenakan setelan cokelatnya dan aku mengenakan celana yang tersetrika rapi dan
jaket olahraga. Kami duduk di bar, di sebelah seorang pria tua, yang wajah
keriputnya tampak mengerikan dalam cahaya lampu biru iklan Michelob di depannya.
Baba menyalakan rokok dan memesan bir untuk kami. "Malam ini aku sangat
bahagia," seolah bicara pada dirinya sendiri, Baba mengumumkan berita ini pada
semua orang. "Malam ini aku minum dengan putraku. Dan satu lagi, tolong, untuk
temanku," katanya sambil menepuk punggung pria tua itu. Pak tua itu
mengangkat topinya dan memberinya senyuman. Gigi atasnya ompong.
Baba menghabiskan birnya dalam tiga tegukan dan memesan satu gelas lagi. Saat
aku baru memaksa diriku menghabiskan seperempat gelas, Baba telah menghabiskan
tiga gelas bir. Saat itu dia telah membelikan segelas scotch untuk Pak Tua itu
dan satu pitcher Budweiser pada empat pria yang sedang bermain biliar. Pria-pria
itu menjabat tangannya dan menepuk punggungnya. Mereka minum untuknya. Seseorang
menyalakan rokok yang akan diisapnya. Baba melonggarkan dasinya dan memberikan
segenggam koin 25 sen pada si Pak Tua dan menunjuk ke arah jukebox. "Bilang
padanya untuk memainkan lagu kesukaannya," katanya padaku. Pak Tua itu
mengangguk dan memberi hormat pada Baba. Beberapa saat kemudian, musik country
membahana, dan, hanya dengan begitu, Baba telah menyelenggarakan sebuah pesta.
Di tengah keramaian, tiba-tiba Baba berdiri, mengangkat gelas birnya,
menumpahkan sebagian isinya ke lantai yang tertutup serbuk gergaji, dan
meneriakkan, "Dasar Rusia keparat!" Teriakan itu segera disusul dengan gelegar
tawa bersahutan yang memekakkan telinga. Sekali lagi, Baba membelikan minuman
pada semua orang itu. Saat kami meninggalkan tempat itu, semua orang merasa bersedih melihat Baba
pergi. Kabul, Peshawar, Hayward. Baba tidak berubah; pikiran itu membuatku
tersenyum. Aku membawa Baba pulang dalam mobil Buick
Century tua warna kuning tanah milik Baba. Di sepanjang jalan Baba tertidur,
mendengkur seperti bor. Dari tubuhnya menguar aroma tembakau dan alkohol, manis
dan tajam. Namun saat aku menghentikan mobil, Baba segera terbangun dan berkata
dengan lantang, "Terus jalan sampai ujung blok ini."
"Kenapa, Baba?"
"Jalan saja." Baba menyuruhku memarkir mobil di ujung selatan jalan, dia merogoh
saku mantelnya dan menyerahkan sebuah kunci padaku. "Lihatlah," katanya seraya
menunjuk mobil yang diparkir di depan kami. Sebuah Ford model kuno, panjang dan
lebar, warna gelapnya tidak terlihat di bawah cahaya bulan. "Mobil ini perlu
dicat ulang, dan aku akan menyuruh seseorang di tempat kerjaku mengganti
onderdilnya dengan yang baru, namun ia bisa jalan."
Aku menerima kunci itu dan diam terpaku, kutatap Baba, lalu mobil itu.
"Kau akan membutuhkannya untuk pergi kuliah," katanya.
Aku meraih tangannya. Menggenggamnya. Air mataku mengalir dan aku merasa lega
karena kegelapan malam menyembunyikan wajah kami. "Terima kasih, Baba."
Kami keluar dari mobil Baba dan duduk di dalam Ford itu. Model Grand Torino.
Warnanya biru gelap, kata Baba. Aku mengendarainya mengelilingi blok, menguji
remnya, lampu seinnya. Aku memarkirnya di depan gedung apartemen kami dan
mematikan mesinnya. "Tashakor, Baba jan," ucapku. Aku ingin mengatakan lebih banyak,
betapa aku tersentuh dengan kebaikannya, betapa aku menghargai semua yang telah
dilakukannya untukku, semua yang masih dilakukannya. Namun aku tahu bahwa semua
itu hanya akan membuatnya malu. "Tashakor," maka aku mengulangnya.
Baba tersenyum dan menyandarkan kepalanya pada dudukan leher, keningnya hampir
menyentuh atap mobil. Kami tidak berkata-kata. Hanya duduk dalam kegelapan,
mendengarkan denting mesin yang mulai mendingin, lengkingan sirene di kejauhan.
Lalu Baba memalingkan kepalanya ke arahku. "Aku berharap saat ini Hassan ada di
sini bersama kita," katanya.
Sepasang tangan baja mencekik leherku saat Baba menyebutkan nama Hassan. Aku
menurunkan jendela. Menanti tangan-tangan baja itu melonggarkan cengkeramannya.
Aku akan mendaftar ke perguruan tinggi pada musim gugur, itulah yang kukatakan
pada Baba seusai upacara kelulusan. Baba sedang menghirup teh hitam dingin dan
mengunyah kuaci cardamom, yang diyakininya merupakan penangkal sakit kepala yang
timbul akibat mabuk. "Kurasa aku ingin mengambil jurusan bahasa Inggris," kataku. Dalam hati aku
mempersiapkan diri menerima rasa sakit, menantikan jawabannya. "Bahasa Inggris?" "Penulisan
kreatif." Baba mempertimbangkan perkataanku. Terus menyesap tehnya. "Cerita, itu yang
kaumaksud. Kau mau mengarang cerita." Aku menunduk, memandangi kakiku.
"Apa kau akan dibayar untuk itu, mengarang cerita?"
"Kalau aku menjadi penulis yang bagus," kataku. "Dan kalau aku ditemukan."
"Berapa besar kemungkinannya, ditemukan?"
"Hal itu senantiasa terjadi," jawabku.
Baba mengangguk. "Dan apa yang akan kaulakukan saat kau menunggu dirimu menjadi
penulis yang bagus dan ditemukan" Bagaimana kau akan mendapat uang" Kalau kau
menikah, bagaimana kau akan menghidupi khanummu?"
Aku tidak sanggup menatap matanya. "Aku a-kan ... mencari pekerjaan."
"Oh," sahutnya. "Wah, wah! Jadi, begini yang kumengerti, kau akan menghabiskan
beberapa tahun kuliah untuk mendapatkan gelar, lalu kau akan mendapatkan
pekerjaan chatti seperti yang kulakukan, pekerjaan yang bisa saja dengan mudah
kaudapatkan hari ini, sambil sedikit berharap bahwa suatu hari nanti, gelarmu
akan membantumu untuk ... ditemukan." Baba menghirup napas panjang dan menyesap
tehnya. Menggerutu tentang sekolah kedokteran, sekolah hukum, dan "pekerjaan
betulan." Pipiku terasa panas dan rasa bersalah menggerogotiku, rasa bersalah karena
diriku berperan dalam memperparah penyakitnya, yang menyebabkan kuku-kukunya
menghitam, dan pergelangan tangannya nyeri. Tapi aku akan tetap memegang
keinginanku, putusku. Aku tidak ingin lagi berkorban untuk Baba. Terakhir kali
aku melakukannya, aku telah membuat diriku sendiri terpuruk.
Baba menghela napas dan, kali ini, memasukkan segenggam penuh kuaci cardamom ke
dalam mulutnya. Kadang-kadang, aku duduk di belakang kemudi Fordku, membuka jendelanya, dan
mengendarainya selama berjam-jam, dari East Bay sampai ke South Bay, menuju
Peninsula dan kembali lagi. Aku bermobil melalui jalan-jalan dengan deretan
pohon kapuk di lingkungan kami di Fremont, tempat para warga, yang tidak pernah
berjabatan tangan dengan para raja, tinggal dalam rumah-rumah kumuh berlantai
satu, dengan jendela berterali, dan dengan mobil-mobil tua seperti milikku
meneteskan oli di jalan masuk belakang yang beratap hitam. Pagar berantai abuabu membatasi halaman belakang dari halaman tetangga. Mainan, ban bekas, dan
botol-botol bir dengan label terkelupas berserakan di halaman depan yang tak
terawat. Aku bermobil melewati taman-taman yang teduh, yang menguarkan aroma kulit kayu,
melewati ruko-ruko yang cukup besar untuk menyelenggarakan lima pertandingan
Buzkashi bersamaan. Aku mengendarai Torinoku ke atas perbukitan Los Altos,
melewati rumah-rumah mewah dengan jendela yang memberikan pemandangan bagai
lukisan dan singa-singa perak yang menjaga pagar besi-tempa, rumah-rumah dengan
patung malaikat yang memancarkan air berjajar di jalan masuk yang terawat, tanpa
adanya Ford Torino terparkir di sana. Rumah-rumah yang akan membuat rumah Baba
di Wazir Akbar Khan tampak bagaikan pondok pelayan.
Pada suatu Sabtu pagi, aku bangun lebih awal dan bermobil ke selatan melalui
Highway 17, mengendarai Fordku melalui jalan pegunungan yang berkelok menuju
Santa Cruz. Aku akan memarkir mobilku di dekat mercusuar tua dan menantikan
matahari terbit, duduk di mobilku dan menyaksikan kabut berarak dari laut. Di
Afghanistan, aku hanya pernah melihat lautan di gedung bioskop. Saat aku duduk
dalam kegelapan di samping Hassan, aku selalu membayangkan, apakah yang telah
kubaca dalam buku benar, bahwa air laut beraroma garam. Aku sering berkata pada
Hassan bahwa suatu hari nanti, kami akan berjalan-jalan di pantai yang ditumbuhi
rumput laut, membenamkan kaki kami ke dalam pasir, dan menyaksikan air mengalir
melewati sela-sela jari kaki kami. Saat pertama kali melihat Samudra Pasifik,
aku hampir menangis. Lautan itu
seluas dan sebiru lautan-lautan yang kulihat di layar bioskop pada masa kecilku.
Terkadang, di pagi buta, aku memarkir mobilku dan berjalan melewati jalan
pribadi rumah-rumah mewah itu. Aku akan menempelkan wajahku ke pagar, mencoba
menghitung kilatan merah lampu-lampu belakang mobil yang berjajar sejauh mata
memandang. BMW. Saab. Porsche. Mobil-mobil yang tak pernah kulihat di Kabul,
tempat sebagian besar orang mengendarai Volga keluaran Rusia, Opel tua, atau
Paikan keluaran Iran. Hampir dua tahun berlalu sejak kami tiba di AS dan aku masih terpesona oleh
luasnya negara ini. Setiap jalan bercabang ke jalan lain, setiap kota berbatasan
dengan kota lain, di balik perbukitan terdapat pegunungan dan di balik
pegunungan terdapat perbukitan, dan di baliknya, terdapat lebih banyak lagi kota
dan penduduk. Lama sebelum pasukan Roussi berbaris memasuki Afghanistan, lama sebelum
perkampungan-perkampungan dibakar dan sekolah-sekolah dihancurkan, lama sebelum
pertambangan bertebaran bagaikan bibit-bibit kematian dan anak-anak dikuburkan
di bawah tumpukan batu, bagiku, Kabul telah menjadi kota hantu. Kota yang
dipenuhi hantu-hantu berbibir sumbing.
Amerika berbeda. Amerika adalah sebuah sungai, mengalir deras, tanpa memedulikan
masa silam. Aku bisa menghanyutkan diriku mengikuti arus sungai itu, membiarkan
dosa-dosaku tenggelam di dasarnya, membiarkan sungai itu membawaku ke
suatu tempat yang jauh. Suatu tempat yang tidak dihuni oleh hantu, kenangan, dan
dosa. Untuk alasan itulah, bukan alasan yang lain, a-ku berdiri tegak di Amerika.
Pada musim panas berikutnya, 1984-musim panas saat aku berulang tahun ke-21-Baba
menjual Buick-nya dan membeli bus Volkswagen 71 berkondisi menyedihkan seharga
$550 dari seorang kenalan lamanya, warga Afghan tua yang dulunya bekerja sebagai
guru ilmu pengetahuan alam SMA di Kabul. Pada suatu siang, para tetangga
melongokkan kepala, berpaling keheranan saat bus itu memasuki jalan dan bunyibunyian berisik mengiringi setiap gerakannya. Baba mematikan mesin dan
membiarkan bus itu meluncur tanpa suara menuju lahan parkir yang sudah kami
siapkan. Kami duduk terbenam di jok, tertawa terbahak-bahak hingga air mata
mengaliri pipi kami, dan, yang lebih penting, hingga kami yakin bahwa para
tetangga tidak lagi memerhatikan kami. Bus itu hanyalah sebuah rongsokan besi
tua bertabur karat, jendela-jendelanya yang pecah ditutup dengan kantong sampah
hitam, ban-bannya halus, dan dudukannya terburai hingga menampakkan per-per di
dalamnya. Tetapi guru tua yang menjualnya telah menyakinkan Baba bahwa mesin dan
transmisinya masih kencang dan, dalam hal itu,
si tua itu tidak berbohong.
Setiap Sabtu, Baba membangunkanku saat subuh. Selagi dia berpakaian, aku
memeriksa iklan kolom di koran lokal dan melingkari iklan-iklan obral garasi.
Kami memetakan rute yang akan kami tempuh Fremont, Union City, Newark, dan
Hayward menjadi prioritas kami, lalu San Jose, Milpitas, Sunnyvale, dan Campbell
jika masih ada waktu. Baba menyetir bus itu sambil menghirup teh panas dari
termos, dan aku bertugas menjadi navigator. Kami berhenti untuk mengunjungi
tempat yang menyelenggarakan obral garasi dan membeli loakan yang sudah tidak
diinginkan orang lain. Kami menawar mesin jahit tua, boneka Barbie bermata satu,
raket tenis dari kayu, gitar tanpa senar, dan mesin penyedot debu Electrolux
model kuno. Saat waktu beranjak siang, kami telah memenuhi bagian belakang bus
VW itu dengan barang-barang bekas. Lalu pada Minggu pagi, kami kembali
mengendarai bus itu ke pasar loak San Jose di daerah Berryessa. Di sana, kami
menyewa lahan dan menjual rongsokan yang kami dapatkan sehari sebelumnya untuk
mencari keuntungan kecil: sebuah album grup musik Chicago yang kami beli seharga
25 sen bisa terjual seharga $1, atau $4 untuk lima album; mesin jahit Singer
loakan yang kami beli seharga $10, dengan sedikit tawar-me-nawar bisa laku
dengan harga $25. Pada musim panas itu, banyak keluarga Afghan yang mencari peruntungan di
berbagai bagian di pasar loak San Jose. Lantunan musik Afghan
berkumandang di sepanjang lorong bagian Barang Bekas. Terdapat aturan tak
terkatakan mengenai sikap yang harus ditunjukan pada sesama warga Afghan di
pasar loak itu: Kau menyapa orang yang berjualan di depanmu, kau mengundangnya
untuk menikmati kentang bolani atau sedikit qabuli, dan kau mengajak dia
mengobrol. Kau memberikan tassali, ungkapan turut berduka cita, saat orangtuanya
meninggal, memberi selamat saat anaknya lahir, dan menggelengkan kepalamu dengan
penuh kesedihan saat percakapan beralih ke Afghanistan dan para Roussi-yang tak
bisa selalu dihindari. Tetapi kau harus menghindari topik hari Sabtu, karena
mungkin saja kawan yang berdagang di depanmu adalah seseorang yang hari
sebelumnya hampir kautabrak saat kau berpacu keluar dari jalan bebas hambatan,
supaya bisa mengalahkannya merambah barang loakan diobral garasi yang kautuju.
Satu-satunya hal yang mengalir lebih kencang daripada teh dalam lorong-lorong
itu adalah gosip Afghan. Pasar loak itu adalah tempat kami menyesap teh hijau
dengan campuran kolchas kenari, dan mengetahui anak-anak perempuan dari keluarga
mana saja yang telah memutuskan tali pertunangan dan kabur dari rumah bersama
pacar-pacar Amerika mereka, siapa saja yang pernah menjadi Parchami-orang yang
menganut paham komunisme di Kabul, dan siapa saja yang telah membeli rumah
dengan menggunakan uang simpanan rahasia saat mereka masih menerima


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tunjangan sosial. Teh, Politik, dan Skandal, itulah campuran yang menggerakkan
hari Minggu Afghan di pasar loak.
Kadang-kadang aku menjaga stan kami sendirian saat Baba menelusuri lorong,
dengan berwibawa menekankan tangannya ke dada, menyapa orang-orang yang
dikenalnya saat di Kabul: mekanik dan tukang jahit menjual mantel wol loakan dan
helm bersepeda penuh goresan, bersebelahan dengan mantan duta besar, ahli bedah
tak laku, dan profesor universitas.
Pada suatu Minggu pagi di bulan Juli 1984, saat Baba menyiapkan dagangan, aku
membeli dua cangkir kopi dari stan makanan. Saat aku kembali, Baba sedang
bercakap-cakap dengan seorang pria lebih tua yang tampak terhormat. Aku
meletakkan cangkir kopi kami di bemper depan bus, di dekat stiker bertulisan
REAGAN/BUSH FOR '84. "Amir," Baba mengisyaratkan padaku untuk mendekati mereka, "ini Jenderal Sahib,
Mr. Iqbal Taheri. Saat di Kabul, Jenderal Taheri pernah dianugerahi bintang
penghargaan. Beliau bekerja untuk Kementrian Pertahanan."
Taheri. Mengapa nama itu begitu akrab di telingaku"
Seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang sering menghadiri pesta-pesta
resmi, Sang Jenderal seketika tertawa begitu mendengar lelucon kecil mengenai
orang-orang penting. Rambut tipis kelabunya disisir rapi ke belakang, berbatasan
dengan keningnya yang berwarna tembaga, dan
dua jumput alis tebal berwarna putih. Aroma cologne menguar dari tubuhnya yang
dibalut setelan berwarna kelabu besi, yang terlihat mengilap karena terlalu
sering disetrika; rantai jam saku emas tergantung dari rompinya.
"Perkenalan yang berlebihan," suaranya dalam dan berbudaya. "Assalamu 'alaikum,
bachem." Halo, anakku.
"Wa'alaikumussalam, Jenderal Sahib," aku menjabat tangannya. Tangan kurus itu
memberikan genggaman kuat, seolah-olah yang tersembunyi di balik kulit lembapnya itu adalah baja. "Amir akan menjadi penulis yang hebat," kata Baba. Aku sedikit terkejut
mendengarnya. "Dia telah menyelesaikan tahun pertamanya di perguruan tinggi dan
mendapat nilai A untuk semua mata kuliah yang diambilnya."
"Persiapan perguruan tinggi," aku mengoreksi perkataan Baba.
"Masya Allah," ucap Jenderal Taheri. "Apa kau akan menulis tentang negara kita,
atau mungkin sejarah" Ekonomi?"
"Saya menulis fiksi," kataku, memikirkan tentang lusinan cerita pendek yang
kutulis dalam buku catatan bersampul-kulit yang dihadiahkan Rahim Khan, mendugaduga mengapa aku tiba-tiba merasa malu saat mengingat kisah-kisah itu di hadapan
pria ini. "Ah, seorang pendongeng," kata Sang Jenderal. "Yah, orang-orang membutuhkan
kisah-kisah yang indah untuk mengalihkan pikiran mereka di
masa-masa susah seperti sekarang ini." Dia meletakkan tangannya di bahu Baba
seraya memandangku. "Omong-omong tentang cerita, aku dan ayahmu pernah berburu
merak bersama di Jalalabad pada suatu hari musim panas," katanya. "Itu sangat
menyenangkan. Kalau aku mengingatnya dengan benar, sudah terbukti bahwa mata
ayahmu sama tajamnya dalam berburu dan dalam berbisnis."
Baba menendang sebuah raket tenis kayu yang tergeletak di atas alas terpal kami
dengan ujung sepatu botnya. "Beberapa bisnis."
Jenderal Taheri berhasil menampilkan senyum yang menunjukkan kesedihan dan
kesopanan, menghela napas, dan dengan lembut menepuk punggung Baba. "Zendagi
migzara," ujarnya. Hidup terus berjalan. Dia mengalihkan tatapannya padaku.
"Kita bangsa Afghan gemar melebih-lebihkan, bachem, dan aku sering mendengar
banyak pria disebut hebat. Tetapi ayahmu jelas-jelas termasuk dalam sedikit
orang yang pantas menerima sebutan itu." Ceramah singkat ini, bagiku terdengar
seperti kesan yang ditimbulkan oleh setelan yang dia kenakan: sering dipakai dan
terlalu mengilap. "Kau membuatku tersanjung," kata Baba.
"Aku tidak menyanjungmu," balas Sang Jenderal, menolehkan kepalanya ke samping
dan menekankan tangannya ke dada untuk mengisyaratkan kerendahan hati. "Anakanak harus mengetahui kehebatan ayah mereka." Dia menatapku. "Kau menghargai
kehebatan ayahmu, bachem" Apa kau benar-benar menghargainya?"
"Balay, Jenderal Sahib, saya menghargai kehebatan Baba," ujarku, berharap pria
itu berhenti memanggilku "anakku."
"Kalau begitu selamat, kau sudah setengah jalan untuk menjadi seorang pria
dewasa," dia berkata tanpa menunjukkan tanda-tanda sedang bercanda, tanpa ironi,
pujian sambil lalu yang menunjukkan arogansi.
"Padar jan, ini tehmu." Suara seorang wanita muda. Dia berdiri di belakang kami,
gadis cantik berpinggul ramping dengan rambut lembut sehitam batu bara, memegang
termos terbuka dan gelas styrofoam di tangannya. Aku mengedipkan mata, jantungku
berdebar kencang. Gadis itu memiliki sepasang alis hitam tebal yang bertaut di
tengah, bagaikan lekukan sayap seekor burung yang sedang terbang, dan hidung
yang membulat indah, khas seorang putri Persia kuno-mungkin seperti milik
Tahmineh, istri Rostam dan ibu Sohrab dalam kisah Shahnamah. Tatapan matanya,
secokelat kenari dan dilindungi oleh bulu mata yang lentik, bertemu dengan
tatapanku. Sesaat. Dan dia pun berlalu.
"Kau baik sekali, sayangku," kata Jenderal Taheri. Dia memungut gelas itu dari
tangan si gadis. Sebelum dia meninggalkan kami, aku masih sempat memerhatikan
tanda lahir di atas garis rahangnya, berbentuk sabit berwarna coklat, yang
menodai kulit mulusnya dengan indah. Dia berjalan menuju sebuah van kelabu kusam
yang berjarak dua lorong dari tempat kami berjualan dan meletakkan termos yang
dipegangnya di dalam. Saat dia berlutut di
antara berkotak-kotak album rekaman dan buku-buku paperback tua, helaian
rambutnya jatuh melewati telinga.
"Putriku, Soraya jan," Jenderal Taheri mengumumkan. Setelahnya, dia menghela
napas panjang, seolah-olah begitu ingin mengubah topik pembicaraan, dan melirik
jam saku emasnya. "Wah, sudah saatnya kita mulai berjualan." Dia mencium pipi
Baba dan menjabat tanganku dengan kedua tangannya. "Semoga kau beruntung dengan
tulisanmu," katanya sambil menatap mataku. Pikiran apa pun yang terlintas di
benaknya, tersembunyi dalam biru pucat matanya.
Sepanjang hari itu, aku melawan dorongan untuk menatap van kelabu milik Jenderal
Taheri. Aku mengingatnya dalam perjalanan pulang. Taheri. Aku tahu, aku pernah mendengar
nama itu sebelumnya. "Bukankah ada cerita yang beredar tentang putri Taheri?" aku bertanya kepada
Baba, berusaha meluncurkannya sebagai pertanyaan basa-basi.
Kau mengenalku," kata Baba. Bus kami merayap perlahan di tengah antrean keluar
pasar loak. "Kalau pembicaraan mulai berubah menjadi per-gosipan, aku lebih baik
pergi." "Tapi pernah ada, bukan?" aku bersikeras. "Kenapa kau bertanya?" Baba
memandangku dengan tatapan geli. Aku mengangkat bahu dan berusaha keras menahan senyum. "Hanya ingin tahu, Baba."
"Benarkah" Hanya itu?" tanyanya, sambil terus menatapku geli. "Apakah gadis itu
telah memikatmu?" Aku memutar mata. "Tolonglah, Baba."
Baba tersenyum, dan membelokkan bus itu keluar dari kawasan pasar loak. Kami
menuju ke Highway 680. Selama beberapa saat kami terdiam. "Yang pernah kudengar
hanyalah pernah ada seorang pria dan kelanjutannya ... tidak berjalan dengan
baik." Baba mengatakannya dengan nada suram, seolah-olah sedang memberitahuku
bahwa gadis itu menderita kanker payudara.
"Oh." "Kudengar gadis itu sopan, rajin bekerja, dan baik. Namun belum pernah ada
khastegar, jodoh, yang mengetuk pintu Jenderal sejak saat itu." Baba menghela
napas. "Mungkin ini tidak adil, tapi sesuatu yang terjadi dalam beberapa hari,
kadang-kadang bahkan dalam sehari, bisa mengubah keseluruhan jalan hidup
seseorang, Amir," katanya.
* Saat aku berbaring tanpa mampu menutup mata di tempat tidurku malam itu, aku
memikirkan tanda lahir berbentuk sabit milik Soraya Taheri, hidungnya yang
membulat lembut, dan mata lebarnya yang
sekilas menatap mataku. Jantungku berdebar setiap kali aku memikirkannya. Soraya
Taheri. Putri Pasar Loakku.
Dua belas .^^Afghanistan, yelda adalah malam pertama dalam
bulan Jadi, malam pertama musim dingin, dan malam terpanjang dalam setahun.
Sesuai tradisi, pada malam yelda, aku dan Hassan begadang hingga larut malam,
menyembunyikan kedua kaki kami di bawah kursi, sementara Ali melemparkan kulit
apel ke dalam tungku pemanas dan menceritakan pada kami kisah-kisah kuno tentang
para sultan dan para perompak untuk melewati malam terpanjang itu. Dari Ali aku
mendengar kisah-kisah rakyat tentang yelda, tentang ngengat-ngengat pembawa
masalah yang menghanguskan diri mereka pada api-api lilin, dan serigala-serigala
yang mendaki gunung untuk mencari matahari. Ali bersumpah pada kami, bahwa jika
kami memakan semangka pada malam yelda, kami tidak akan kehausan saat musim
panas tiba. Saat aku beranjak remaja, aku membaca dalam buku-buku puisiku bahwa yelda adalah
malam tak berbintang yang memberikan siksaan panjang pada para kekasih, malam
yang membuat mereka berjuang melewati kegelapan tak berujung, menanti sang surya
terbit dan menghadirkan kekasih mereka kembali. Setelah aku bertemu dengan
Soraya Taheri, setiap malam sepanjang minggu menjadi yelda bagiku. Dan saat Minggu pagi
tiba, saat aku beranjak dari tempat tidurku, raut wajah bermata cokelat milik
Soraya Taheri telah memenuhi kepalaku. Dalam bus Baba, aku menghitung setiap mil
yang kami lalui hingga aku melihat gadis itu bertelanjang kaki, merapikan kotakkotak kardus berisi ensiklopedia tua yang kertasnya telah menguning, tumitnya
terlihat begitu putih di atas aspal, gelang perak teruntai mengelilingi
pergelangan kakinya yang ramping. Aku memikirkan bayangan di tanah yang
ditimbulkan oleh rambut indah yang terurai di punggungnya bagaikan sehelai tirai
beludru. Soraya. Putri Pasar Loak. Cahaya matahari pagi yang mengakhiri yeldaku.
Aku mengarang alasan untuk menyusuri lorong yang disetujui Baba dengan seringai
Jenaka dan melewati stan Taheri. Aku akan melambai pada Sang Jenderal, yang
senantiasa mengenakan setelan kelabunya yang mengilap karena terlalu sering
disetrika, dan pria itu akan melambai padaku. Kadang-kadang, dia akan bangkit
dari kursi direktur yang didudukinya, dan kami akan sedikit berbasa-basi
mengenai tulisanku, perang, dan penjualan pada hari itu. Dan aku harus menahan
pandanganku supaya tidak berkelana kemana-mana, berusaha tidak memandang Soraya
yang sedang duduk membaca buku. Aku dan Sang Jenderal akan saling memberi ucapan
sampai jumpa dan aku akan berusaha berjalan dengan tegak saat meninggalkan
tempat itu. Kadang-kadang dia duduk sendiri, Sang Jenderal pergi ke suatu tempat untuk
bersosialisasi, dan aku akan melewati stannya, berpura-pura tidak mengenalnya,
namun benar-benar berharap dapat mengenalnya. Kadang-kadang dia menjaga stan itu
bersama seorang wanita paruh baya bertubuh agak gemuk, berkulit pucat, dan
berambut merah hasil pewarnaan. Aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa sebelum
musim panas berakhir aku akan mengajaknya bercakap-cakap, namun tahun ajaran
baru kembali dimulai, daun-daun memerah, menguning, dan berguguran ke tanah,
hujan musim dingin mulai turun dan mengambuhkan nyeri pada persendian Baba,
tunas-tunas kembali bermunculan, dan aku tetap tidak memiliki di/, keberanian,
untuk menatap matanya. Musim semi berakhir pada penghujung bulan Mei 1985. Aku telah menyelesaikan
semua kelas pendidikan umum. Sebuah keajaiban kecil, karena sepanjang kuliah,
aku hanya duduk dan memikirkan hidung membulat milik Soraya.
Lalu, pada suatu hari Minggu yang panas menyengat, aku dan Baba berjualan di
pasar loak, duduk di stan kami, mengipasi wajah kami dengan lipatan koran.
Meskipun panas yang dipancarkan matahari saat itu menyengat bagaikan cap besi,
pasar loak itu dijejali pembeli dan penjualan kami pun meningkat saat itu baru
pukul 12.30 namun kami sudah berhasil mengumpulkan $160. Aku bangkit,
meregangkan badan, dan menawarkan pada Baba untuk membeli soda. Baba berkata
bahwa dia juga menginginkan soda.
"Berhati-hatilah, Amir," ujarnya saat aku mulai beranjak.
"Pada apa, Baba?"
"Aku bukan seorang ahmaq, jadi jangan coba-coba membodohiku."
"Aku tidak mengerti, apa yang sedang Baba bicarakan?"
"Ingat ini," Baba mengacungkan telunjuknya padaku. "Lelaki tua itu seorang
Pashtun hingga ke akar-akarnya. Dia memiliki riang dan namoos." Nang. Namoos.
Kehormatan dan kebanggaan. Prinsip utama pria-pria Pashtun. Terutama jika
berhubungan dengan kehormatan seorang istri. Atau anak perempuan.
"Aku hanya akan membeli minuman."
"Jangan mempermalukanku, itu saja kuminta."
"Ya, Tuhan. Aku tidak akan mempermalukan Baba."
Baba menyalakan rokok dan mulai mengipasi dirinya kembali.
Aku berjalan menyusuri lorong yang dipenuhi stan-stan penjualan, berbelok ke
kiri di dekat stan penjual kaus di situ, hanya dengan $5, pengunjung bisa
mendapatkan wajah Yesus, Elvis, Jim Morrison, atau ketiganya, disablon pada kaos
nilon putih. Alunan musik Mariachi menghidupkan stan itu, dan dari situ tercium
aroma acar dan daging panggang.
Aku melihat van kelabu keluarga Taheri diparkir dua mobil dari bus kami,
bersebelahan dengan kios yang menjual mangga-tusuk. Dia ada di sana
sendirian, membaca. Hari ini dia mengenakan gaun musim panas warna putih
sepanjang mata kaki. Sandal yang menon-jolkan jari-jari kakinya. Rambutnya
diikat ke belakang dengan ikat rambut berhias bunga tulip. Seperti biasanya, aku
bermaksud berjalan melewati stannya, dan aku pun melakukannya, hanya saja, tibatiba aku berdiri di dekat ujung taplak meja putih yang digelar untuk menjajakan
dagangan keluarga Taheri, menatap Soraya yang duduk di tengah-tengah hamparan
pengeriting rambut dan dasi-dasi usang. Dia mendongakkan kepalanya, menatapku.
"Salaam," sapaku. "Maaf kalau kamu menganggap saya seorang mozahem, saya tidak
bermaksud mengganggumu."
"Salaam." "Apakah hari ini Jenderal Sahib datang kemari?" tanyaku. Telingaku terbakar. Aku
tidak berani menatap matanya.
"Dia pergi ke sana," jawabnya. Dia menunjuk ke arah kanan. Gelang yang
dikenakannya melorot hingga ke siku, warna perak di atas warna zaitun.
"Bisakah kamu mengatakan pada beliau bahwa saya berkunjung?"
"Saya akan memberitahunya."
"Terima kasih," ucapku. "Oh, dan nama saya Amir. Kalau kamu belum tahu. Jadi
kamu bisa mengatakan pada beliau. Bahwa saya berkunjung. Untuk
"Ya." Aku menggeser kakiku, berdehem. "Saya akan
pergi sekarang. Maaf telah mengganggumu."
"Tidak, kamu tidak mengganggu," katanya.
"Oh. Bagus." Aku menelengkan kepala dan menyunggingkan senyum kecil untuknya.
"Saya akan pergi sekarang." Bukankah aku sudah mengatakannya" "Khoda hafez."
"Khoda hafez." Aku mulai berjalan. Berhenti dan membalikkan badan. Aku mengatakannya sebelum
keberanianku menghilang: "Bolehkah saya tahu, buku apa yang sedang kamu baca?"
Matanya berkedip. Aku menahan napas. Tiba-tiba, aku merasakan berpasang-pasang mata warga Afghan
yang berjualan di pasar loak itu menatap kami. Dalam bayanganku, kesunyian
seketika menyergap tempat itu. Bibir-bibir berhenti bergunjing saat kata-kata
belum selesai terucapkan. Kepala-kepala berpaling. Mata-mata menyipit, mengamati
kami dengan penuh ketertarikan.
Ada apa ini" Sampai di situ, pertemuan kami bisa dipandang sebagai pertemuan yang sopan,
seorang pria menanyakan keberadaan seorang pria lain. Namun aku telah memberikan
pertanyaan padanya dan kalau dia menjawab, kami akan ... yah, kami akan mengobrol.
Aku adalah seorang mojarad, seorang pria muda yang masih lajang, dan dia adalah
seorang wanita muda yang belum menikah. Bukan hanya itu, dia adalah seorang
wanita yang memiliki kisah iama. Kami memasuki wilayah yang berbahaya, wilayah
yang menjanjikan gosip panas dan terbaik. Lidah-lidah beracun akan bergoyang.
Dan dialah yang akan menjadi korban racun itu, bukan aku-aku sepenuhnya
menyadari standar ganda yang dianut warga Afghan, yang menguntungkan kaum pria.
Yang akan digunjingkan bukanlah Apa kau melihat pria itu bercakap-cakap dengan
gadis itu" namun Woooi! Lihat kan, gadis itu tidak ingin ditinggalkan. Dasar
lochak! Menurut standar Afghan, pertanyaan yang kulontarkan itu adalah pertanyaan yang
berani. Pertanyaan itu menelanjangi diriku, menyingkirkan semua keraguan yang
menutupi ketertarikanku padanya. Tetapi aku adalah seorang pria, dan risiko
terbesar yang mungkin menimpaku adalah ego yang terluka. Luka bisa disembuhkan.
Reputasi tidak bisa dipulihkan. Akankah dia menyambut tantanganku"
Dia menunjukkan kover buku itu kepadaku. Wuthering Heights. "Apa kamu pernah
membaca buku ini?" tanyanya.
Aku mengangguk. Bisa kurasakan detak jantungku mengalir ke kelopak mataku.


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ceritanya sedih sekali."
"Cerita sedih berarti buku bagus," katanya.
"Memang." "Kudengar kamu suka menulis." Bagaimana dia bisa tahu" Mungkin ayahnya yang
memberitahu dia, mungkin dia yang bertanya pada ayahnya. Secepat mungkin aku
menyingkirkan kedua perkiraanku yang tak masuk akal itu. Para ayah dan anak
lelaki mereka dapat berbicara
dengan bebas mengenai perempuan. Tapi tidak seorang gadis Afghan pun setidaknya
gadis Afghan yang sopan dan mohtaram berani menanyakan tentang seorang pria muda
pada ayahnya. Dan tidak seorang ayah pun, terutama seorang Pashtun yang memiliki
nang dan namoos, akan membicarakan tentang seorang mojarad dengan anak
perempuannya, kecuali pria yang dimaksud adalah seorang khastegar, pria yang
berniat mempersunting putrinya, yang telah melakukan hal terhormat dan mengirim
ayahnya untuk mengajukan lamaran.
Anehnya, aku mendengar diriku berkata, "Apa kamu mau membaca salah satu
ceritaku?" "Tentu saja," ujarnya. Saat itu aku bisa merasakan keengganan dalam suaranya,
aku bisa melihatnya dari tatapan matanya yang begitu cepat berpindah. Mungkin
dia menunggu kedatangan Sang Jenderal. Aku membayangkan apa yang akan dikatakan
oleh lelaki itu kalau dia sampai mendapati diriku berbicara begitu lama dengan
putrinya. "Mungkin kapan-kapan saya akan membawakannya untukmu," janjiku. Saat aku ingin
menambahkan sesuatu, wanita yang beberapa kali kulihat bersama Soraya menyusuri
lorong ke arah kami. Dia membawa kantong plastik yang penuh berisi buah-buahan.
Saat dia melihat kami, tatapannya beralih dari Soraya kepadaku dan kembali lagi
pada Soraya. Dia tersenyum.
"Amir jan, senang sekali bisa bertemu denganmu," sapanya sambil menata buahbuahan itu di atas taplak meja. Alis wanita itu mengilap karena basah oleh keringat. Rambut
merahnya, menempel di kepalanya bagaikan helm, berkilauan di bawah teriknya
matahari aku bisa melihat kulit kepalanya mengintip melalui sela-sela rambutnya
yang di bagian tertentu mulai menipis. Mata hijaunya yang kecil terkubur dalam
wajahnya yang sebulat kubis, giginya berlapis emas, dan jari-jari kecilnya
seperti sosis. Bandul emas bertuliskan Allah tergantung di dadanya, rantainya
tersembunyi di balik gelambir kulit dan lipatan lehernya. "Namaku Jamila, ibunda
Soraya jan." "Salaam, Khala jan," aku merasa malu, seperti yang kurasakan saat aku berada di
tengah-tengah warga Afghan, karena dia mengenaliku dan aku tidak sedikit pun
mengenalinya. "Bagaimana kabar ayahmu?" tanyanya.
"Baba baik-baik saja, terima kasih."
"Kau tahu, kakekmu, Ghazi Sahib, sang hakim" Nah, pamannya dan kakekku adalah
saudara sepupu," jelasnya. "Jadi kau tahu kan, kita bersaudara." Senyumnya
memamerkan giginya yang berlapis emas, dan aku memerhatikan bahwa sudut kanan
mulutnya sedikit menurun. Tatapan matanya kembali melompat-lompat antara Soraya
dan aku. Sekali waktu aku pernah menanyakan kepada Baba tentang mengapa hingga saat ini
anak perempuan keluarga Taheri belum juga menikah. Tidak ada pelamar, kata Baba.
Tidak ada pelamar yang pantas, dia menekankan. Namun Baba tidak
mau mengatakan selebihnya Baba mengetahui bahwa ucapan kecil tanpa maksud apa
pun dapat membahayakan prospek seorang wanita muda untuk menikah dengan baik.
Pria-pria Afghan, terutama mereka yang berasal dari keluarga terhormat, adalah
makhluk yang sulit ditebak. Sedikit bisikan di sini, sedikit desas-desus di
sana, dan mereka pun segera terbang seperti burung yang terkejut. Pesta-pesta
pernikahan telah datang dan pergi dan tidak seorang pun pernah menyanyikan
ahesta boro untuk Soraya, tidak seorang pun pernah menghiasi tangannya dengan
henna, tidak seorang pun pernah memegangi Al-Quran di atas kepalanya, dan hanya
Jenderal Taheri seoranglah yang berdansa dengannya dalam setiap pesta
pernikahan. Dan sekarang, wanita ini, ibu ini, dengan semangatnya yang berapi-api, tidak
menyembunyikan senyuman dan tatapan mata penuh harap yang begitu nyata terpancar
dari matanya. Aku sedikit merasa tak nyaman menyadari kekuasaan yang kupegang,
dan semua itu hanya gara-gara aku pernah memenangkan lotre genetis yang
menentukan jenis kelaminku.
Aku tidak pernah bisa membaca pikiran Sang Jenderal hanya dengan menatap
matanya, namun aku bisa mendapatkan cukup banyak dari mata istrinya: Jangan
pernah menjadikan wanita ini musuh-dalam persoalan apa pun.
"Duduklah, Amir jan," perintahnya. "Soraya, ambilkan kursi untuk dia, bachem.
Dan cucilah salah satu buah persik itu. Rasanya manis dan segar."
"Tidak usah, terima kasih," aku menolaknya. "Saya harus segera pergi. Ayah saya
menanti." "Oh?" Khanum Taheri berkata, dengan jelas menunjukkan rasa senangnya karena aku
telah berbuat sopan dengan menolak tawarannya. "Kalau begitu kemari-lah,
setidaknya bawa saja ini." Dia memasukkan beberapa buah kiwi dan buah persik ke
dalam kantong kertas dan memaksaku membawanya. "Sampaikan salamku pada ayahmu.
Dan sering-seringlah kemari menjenguk kami."
"Saya akan melakukannya. Terima kasih, Khala jan," ucapku. Dari sudut mataku,
aku melihat Soraya memandang ke arah lain.
* "Kupikir kau sedang membeli soda," kata Baba sambil meraih sekantong persik yang
kubawa. Dia memandangku dengan tatapan serius dan memperolok sekaligus. Aku
mulai menyusun alasan, namun dia hanya menggigit buah persik itu dan melambaikan
tangan. "Tidak perlu kaujelaskan, Amir. Ingat saja yang telah kukatakan."
Malam itu di tempat tidurku, aku membayangkan binar-binar pantulan sinar
matahari menari di mata Soraya dan lekukan indah di pangkal lehernya.
Percakapan kami terus mengiang di dalam kepalaku. Bagaimana dia mengatakannya:
saya dengar kamu suka menulis atau saya dengar kamu seorang penulis" Yang mana"
Di bawah selimut, aku menggulingkan badan dan memandangi langit-langit, merasa
sangat malang karena harus melewatkan enam malam yelda yang panjang dan
membosankan, sebelum aku bisa melihatnya lagi.
* Keadaan yang sama berlangsung selama beberapa minggu. Aku akan menunggu hingga
Sang Jenderal pergi berjalan-jalan, lalu aku akan berjalan melewati stan Taheri.
Jika Khanum Taheri ada di sana, dia akan menawariku secangkir teh dan kolcha dan
kami akan mengobrolkan keadaan Kabul di masa lalu, orang-orang yang kami kenal,
dan penyakit arthritis yang diderita-nya. Tidak diragukan lagi, dia bisa melihat
bahwa aku selalu muncul saat suaminya pergi, namun dia tak pernah
membicarakannya. "Oh, kau terlambat, Kakamu baru saja pergi," begitulah yang
akan dikatakannya. Aku sebenarnya menyukai suasana saat Khanum Taheri ada, dan
tidak hanya karena kesupelannya; saat berada di dekat ibunya, Soraya sepertinya
lebih santai dan lebih banyak bicara. Seolah-olah kehadiran ibunya membenarkan
apa pun yang sedang terjadi di antara kami meskipun tentu saja suasananya akan
jauh berbeda jika Jenderal Taheri
yang ada di dekatnya. Kehadiran Khanum Taheri menjadikan pertemuan kami,
kalaupun tidak sampai tahan gosip, akan kurang menarik untuk digosipkan,
meskipun sanjungan berlebihannya yang sering diberikan padaku jelas-jelas
membuat Soraya malu. Suatu hari, aku dan Soraya mengobrol berdua di stan mereka. Dia menceritakan
padaku tentang pendidikannya, bahwa sama seperti aku, dia juga sedang berusaha
menyelesaikan kelas-kelas pendidikan umum di Ohlone Junior College di Fremont.
"Kau ingin mengambil jurusan apa?"
"Aku ingin menjadi guru," katanya.
"Oh ya" Kenapa?"
"Aku memang selalu ingin menjadi guru. Saat kami tinggal di Virginia, aku
mendapatkan sertifikat ESL dan sekarang aku mengajar di perpustakaan umum sekali
dalam seminggu. Ibuku dulunya juga guru, dia mengajar bahasa Farsi dan sejarah
di SMA khusus putri Zarghoona di Kabul."
Seorang pria berperut buncit yang mengenakan topi berekor menawarkan $3 untuk
satu set penyangga lilin seharga $5 dan Soraya menyetujuinya. Dia menyimpan uang
pembayaran itu di dalam kotak permen yang tergeletak di dekat kakinya. Dia
menatapku malu-malu. "Aku ingin menceritakan sesuatu padamu," katanya, "tapi aku
merasa sedikit malu."
"Ceritakan saja."
"Sebenarnya ini cerita bodoh."
"Ayolah, ceritakan padaku." Dia tertawa. "Oke, saat aku duduk di kelas
empat di Kabul, ayahku mempekerjakan seorang wanita bernama Ziba untuk mengurus
rumah. Dia punya adik perempuan di Iran, di kota Mashad, dan karena Ziba buta
huruf, tidak jarang dia memintaku menuliskan surat untuk adiknya. Dan saat
adiknya membalas suratnya, aku akan membacakannya untuk Ziba. Suatu hari, aku
menawarkan diri padanya untuk mengajari dia membaca dan menulis. Dia
menyunggingkan senyuman yang sangat lebar untukku, matanya berkaca-kaca, dan dia
bilang, dia sangat menyukai tawaranku. Jadi, setiap kali aku selesai mengerjakan
PR, kami akan duduk di meja dapur dan aku mulai memperkenalkannya pada abjad.
Aku ingat, saat aku mengerjakan PR, kadang-kadang aku mendongak dan melihat Ziba
sedang bekerja di dapur, mengaduk daging dalam panci tekan, lalu beberapa saat
kemudian, dia pun duduk sambil memegang pensil, mengerjakan tugas menulis yang
kuberikan pada malam sebelumnya.
"Singkat cerita, dalam setahun, Ziba sudah bisa membaca buku cerita anak-anak.
Kami duduk di halaman dan dia membacakan kisah Dara dan Sara untukku-perlahan
namun benar. Dia mulai memanggilku dengan sebutan Moalem Soraya, Guru Soraya."
Tawanya kembali meledak. "Aku tahu kedengarannya memang kekanak-kanakan, namun
saat Ziba pertama kali menulis surat sendiri, aku tahu bahwa aku tidak ingin
menjadi apa pun selain menjadi guru. Aku begitu bangga padanya dan aku merasa
bahwa aku telah melakukan sesuatu yang benar-benar berharga, kamu tahu?"
"Ya," aku berbohong padanya. Aku memikirkan bagaimana aku menggunakan kemampuan
membacaku untuk mengolok-olok Hassan. Bagaimana aku menipunya karena dia tidak
menguasai kata-kata sulit.
"Ayahku ingin aku masuk sekolah hukum, ibuku selalu membicarakan sekolah
kedokteran, tapi aku akan menjadi guru. Gajinya memang kecil, tapi itulah yang
kumau." "Ibuku juga guru," aku memberitahunya.
"Aku tahu," katanya. "Ibuku pernah menceritakannya padaku." Setelah
mengatakannya, wajahnya memerah. Perkataannya itu memberikan petunjuk bahwa saat
aku tidak sedang bersama mereka, "Percakapan Amir" memang dilakukan oleh ibu dan
anak itu. Aku berusaha keras menahan senyumku.
"Aku membawakan sesuatu untukmu." Aku mencabut gulungan kertas dari saku
belakang celanaku. "Seperti yang pernah kujanjikan." Aku mengulurkan salah satu
cerpenku padanya. "Oh, kau ingat rupanya," wajahnya berseri-seri. "Terima kasih!" Aku tidak sempat
menyadari bahwa Soraya menyebutku dengan kata tu kau untuk pertama kalinya,
tidak lagi dengan shoma kamu yang lebih formal, saat tiba-tiba senyum di
wajahnya menghilang. Ronanya memudar, dan tatapannya terpaku pada sesuatu di
belakang punggungku. Aku membalikkan badan. Berhadap-hadapan langsung dengan
Jenderal Taheri. "Amir jan. Calon pendongeng kita. Menyenangkan sekali," sapanya. Senyum tipis
tersungging di bibirnya. "Salaam, Jenderal Sahib," aku mengucapkannya dengan bibir terkatup.
Dia berjalan melewatiku, memasuki stan. "Hari ini indah, bukan?" katanya sambil
mengaitkan ibu jarinya ke saku dada rompinya, sementara tangannya yang lain
terulur pada Soraya. Dia menyerahkan gulungan cerpenku pada ayahnya.
"Katanya hujan akan turun minggu ini. Sulit dipercaya, bukan?" Dia melemparkan
gulungan kertas itu ke tempat sampah. Memandangku dan dengan lembut meletakkan
tangannya di bahuku. Dia mengajakku keluar dari stan itu.
"Kau tahu, bachem, aku mulai sedikit menyukaimu. Kau pria muda yang sopan. Aku
yakin itu, tapi" dia menghela napas dan melambaikan tangannya" bahkan pria muda
yang sopan pun kadang-kadang perlu diingatkan. Tugaskulah untuk mengingatkanmu
bahwa ada banyak orang di pasar loak ini." Dia terdiam. Matanya yang tidak
pernah menunjukkan ekspresi apa pun memandang mataku. "Kau pasti tahu, semua
orang di sini adalah pendongeng." Senyumnya memperlihatkan gigi yang rapi
sempurna. "Sampaikan salamku untuk ayahmu, Amir jan."
Dia menurunkan tangannya. Tersenyum kembali.
"Ada apa?" tanya Baba yang sedang menunjukkan sebuah kursi goyang pada seorang
wanita tua. "Tidak apa-apa," jawabku. Aku menduduki sebuah pesawat TV kuno. Lalu aku
menceritakan kejadian yang baru kualami pada Baba.
"Ah, Amir," Baba menghela napas.
Ternyata aku tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam kesedihanku karena kejadian
itu. Seminggu kemudian, Baba jatuh sakit.
Penyakit Baba dimulai dengan batuk dan pilek parah. Setelah pileknya sembuh,
batuknya tetap bertahan. Baba menutupkan sapu tangan ke mulutnya dan terbatukbatuk dengan hebat, lalu dia akan menjejalkan sapu tangan itu ke sakunya. Aku
terus mendorongnya untuk menjalani pemeriksaan, namun dia terus menolakku. Baba
membenci dokter dan rumah sakit. Seingatku, sekalinya Baba pernah menemui dokter
adalah pada saat dia tertular malaria di India.
Lalu, dua minggu kemudian, aku mendapati percikan darah bercampur dahak yang
keluar saat Baba terbatuk parah di atas kloset.
"Sudah berapa lama ini terjadi, Baba?" aku menuntut penjelasan darinya.
"Kita makan apa malam nanti?" jawabnya.
"Aku akan membawa Baba ke dokter."
Meskipun Baba adalah seorang manajer pompa
bensin, pemilik tempat kerjanya itu tidak memberinya jaminan kesehatan, dan
Baba, dengan cerobohnya, tidak pernah memperjuangkan haknya tersebut. Jadi aku
membawanya ke rumah sakit umum county di San Jose. Seorang dokter berkulit pucat
dan berkantong mata yang menemui kami memperkenalkan dirinya sebagai dokter
magang tahun kedua. "Kelihatannya dia lebih muda darimu dan lebih sakit dariku,"
Baba mengomel. Dokter magang itu mengirim kami ke bawah untuk merontgent dada
Baba. Saat seorang perawat menyuruh kami masuk, dia sedang mengisi selembar
formulir. "Bawa ini ke meja depan," katanya sambil menulis dengan cepat.
"Apa ini?" tanyaku.
"Surat rujukan." Beberapa coretan ... dan coretan lagi.
"Untuk apa?" "Klinik paru-paru." "Maksud Anda?"
Dia melirikku sekilas lalu menaikkan kacamatanya. Lalu mulai menulis lagi. "Ada
noda di paru-paru kanannya. Saya ingin mereka memeriksanya."
"Noda?" tanyaku, ruangan itu tiba-tiba mengecil.
"Kanker?" Baba menambahkan dengan nada santai.
"Bisa jadi. Tapi noda itu memang mencurigakan," dokter itu menggumam.
"Tidak bisakah Anda memberi kami keterangan?" aku terus bertanya.
"Tidak juga. Perlu CAT scan dulu, lalu menemui dokter spesialis paru-paru." Dia
memberikan surat rujukan itu padaku. "Anda bilang, ayah Anda perokok, benar?"
"Ya." Dia mengangguk. Menatapku dan Baba bergantian. "Mereka akan menelepon Anda
setelah dua minggu."
Aku ingin bertanya padanya, bagaimana aku bisa bertahan selama dua minggu penuh
hanya dengan mengetahui bahwa noda di paru-paru Baba tampak "mencurigakan?"
Bagaimana bisa dia menyuruhku pulang hanya dengan kata itu"
Aku mengambil formulir itu dan berlalu. Malamnya, aku menunggu hingga Baba
tertidur, lalu melipat selembar selimut. Aku menggunakannya sebagai sajadah.
Sambil bersujud, aku melafalkan ayat-ayat Al-Quranmullah di Kabul telah membuat
kami berjanji untuk menghafalkannya yang sudah setengah terlupakan dan memohon
kebaikan dari Tuhan. Masih juga kurasakan kegalauan dan sungguh, saat itu aku
jadi merasa iri pada para mullah, pada kepercayaan dan keyakinan mereka.
Dua minggu telah berlalu dan tak seorang pun menelepon. Dan saat aku menelepon
mereka, mereka berkilah dengan mengatakan bahwa surat rujukan Baba tidak dapat
mereka temukan. Apakah aku yakin pernah membawanya ke rumah sakit itu" Mereka
berjanji untuk meneleponku setelah tiga minggu. Kemarahanku meledak dan aku
menawar waktu tiga minggu itu menjadi seminggu untuk mendapatkan CAT scan, dua minggu
untuk bertemu dengan dokter.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter spesialis paru-paru, Dr. Schneider,
berjalan lancar hingga Baba menanyakan asal dokter itu. Dr. Schneider mengatakan
Rusia. Baba pun lepas kendali.
"Maafkan kami, Dokter," aku menarik Baba. Dr. Schneider tersenyum dan memberi
kami ruang, masih memegang stetoskop di tangannya.
"Baba, saat di ruang tunggu aku membaca biografi Dr. Schneider. Dia dilahirkan
di Michigan. Michigan! Dia orang Amerika, jauh lebih Amerika dari pada kita."
"Aku tidak peduli di mana dia dilahirkan. Dia Roussi," Baba mengernyitkan
wajahnya dengan jijik, seolah-olah mengucapkan kata-kata kotor. "Orangtuanya
Roussi, kakek neneknya Roussi. Aku bersumpah atas wajah ibumu, akan kupatahkan


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lengannya kalau dia berani mencoba menyentuhku."
"Baba tidak tahu kalau orangtua Dr. Schneider kabur dari Shorawi" Mereka
melarikan diri!" Tetapi Baba tidak mau mendengar penjelasan apa pun. Kadang-kadang aku berpikir
bahwa satu-satunya yang mendapatkan cinta Baba selain mendiang isterinya adalah
Afghanistan, negara yang telah ditinggalkannya. Ingin rasanya aku meneriakkan
rasa frustasiku. Tetapi aku menahannya, aku menghela napas dan kembali menatap
Dr. Schneider. "Maaf, Dokter. Sepertinya kami tidak bisa meneruskan pemeriksaan
ini." Dokter spesialis paru-paru yang kami temui selanjutnya dan yang mendapatkan
persetujuan Baba, Dr. Amani, adalah seorang Iran. Dr. Amani, seorang pria
berperangai lembut dengan kumis melengkung dan rambut kelabu panjang, memberi
tahu kami bahwa dia telah meneliti hasil CAT scan dan bahwa dia harus
menjalankan sebuah prosedur yang disebut bronchoscopy untuk mendapatkan sampel
paru-paru Baba untuk kepentingan patologi. Dia menjadwalkan untuk melakukan
prosedur ini satu minggu kemudian. Saat menolong Baba keluar dari ruang periksa,
aku mengucapkan terima kasih pada dokter itu, berpikir bahwa sekarang aku akan
menjalani satu minggu berikutnya dengan kata baru, "sampel paru-paru," yang
bahkan lebih menakutkan daripada "mencurigakan." Aku berharap Soraya ikut
melalui ini semua bersamaku.
Ternyata, seperti Setan, penyakit kanker memiliki banyak nama. Penyakit Baba
disebut "Oat Ceii Carci-noma." Kanker paru-paru. Stadium lanjut. Tidak mungkin
dioperasi. Baba meminta Dr. Amani menyebutkan sisa waktu yang dimilikinya. Dr.
Amani menggigit bibir, menggunakan kata "berpulang." "Tentu saja Anda bisa
melakukan kemoterapi," katanya. "Tetapi efeknya hanya paliatif."
"Apa artinya?" tanya Baba.
Dr. Amani menghela napas. "Artinya, kemoterapi tidak akan mengubah hasil
akhirnya, hanya akan mem-per - panjang waktu untuk menuju ke sana." "Itu jawaban
yang jelas, Dr. Amani. Terima kasih telah memberitahu saya," ujar Baba. "Tetapi
saya tidak akan melakukan kemo." Wajahnya penuh tekad, sama seperti yang
ditunjukkannya pada saat dia menjatuhkan setumpuk kupon makanan ke meja Mrs.
Dobbins. "Tapi Baba"
"Jangan menantangku di depan umum, Amir. Jangan pernah. Siapa kaupikir dirimu
itu?" * Hujan yang dibicarakan Jenderal Taheri di pasar loak terlambat turun beberapa
minggu. Tetapi, saat kami melangkah keluar dari kantor Dr. Amani, mobil yang
lewat mencipratkan air keruh ke trotoar. Baba menyalakan sebatang rokok. Dia
terus merokok saat kami berjalan menuju ke mobil dan saat kami bermobil menuju
ke rumah. Saat Baba memasukkan kunci ke pintu lobi, aku berkata, "Aku berharap Baba mau
mencoba kemo." Baba mengantongi kuncinya, menarikku ke bawah kanopi bergaris di depan
apartemen, melin-dungiku dari hujan. Dia menekankan tangannya yang membawa rokok
ke dadaku. "Bas! Aku sudah memutuskan."
"Bagaimana denganku Baba" Apa yang sebaiknya kulakukan?" aku merasakan mataku
berat oleh air mata. Ekspresi jijik membayang di wajahnya yang basah oleh hujan. Tatapan yang sama
seperti yang diberikannya padaku saat aku kanak-kanak,
terjatuh, lututku terluka, dan aku menangis. Tangisankulah yang me-nye-babkan
ekspresi jijik itu muncul, dulu dan sekarang. "Umurmu sudah 22 tahun, Amir!
Seorang pria dewasa! Kau Baba
membuka mulutnya, menutupnya lagi, membukanya lagi, memikirkan apa yang akan
diucapkan-nya. Di atas kami, tetesan hujan, yang menjatuhi kanopi berbahan
kanvas, menimbulkan suara ribut bagaikan genderang. "Apa yang akan terjadi
padamu, katamu" Selama bertahun-tahun, itulah yang kucoba ajarkan padamu,
bagaimana supaya kau tidak pernah menanyakan pertanyaan itu."
Baba membuka pintu. Membalikkan badannya kepadaku. "Dan satu lagi. Jangan sampai
siapa pun mengetahuinya, kau dengar" Tidak seorang pun. Aku tidak ingin
mendapatkan simpati." Lalu dia pun menghilang dalam keremangan lobi. Sepanjang
sisa hari itu, Baba merokok tak henti di depan TV. Aku tidak tahu untuk apa atau
untuk siapa Baba berusaha tampak tegar. Aku" Dr. Amani" Atau mungkin untuk Tuhan
yang tidak pernah dia akui keberadaannya.
* Selama beberapa waktu, bahkan kanker pun tak mampu menghalangi Baba untuk
berjualan di pasar loak. Kami akan menjelajahi obral-obral garasi pada hari
Sabtu, Baba berada di balik kemudi dan aku menjadi navigatornya, dan kami menata
dagangan kami pada hari Minggu. Lampu-lampu kuningan. Sarung tangan bisbol. Jaket ski
dengan kancing rusak. Baba menyapa kenalan-kenalan Afghannya dan aku
mempertahankan satu atau dua dolar dari para penawar. Seolah-olah selisih uang
itu memang berarti. Seolah-olah hari saat aku menjadi yatim piatu tidak sedang
merayap mendekatiku, seiring dengan selesainya setiap penjualan hari Minggu
kami. Kadang-kadang, Jenderal Taheri dan istrinya mampir ke stan kami. Sang Jenderal,
seperti layaknya seorang diplomat, menyapaku dengan senyum lebar dan menjabat
tanganku dengan dua tangan. Tetapi keengganan yang dulu tak pernah ada tampak
dalam sikap Khanum Taheri. Keengganan yang hanya dipecahkan oleh senyum sendu
sembunyi-sembunyinya dan tatapan penuh permohonan maaf yang diper-lihatkannya
padaku saat Sang Jenderal tidak memerhatikan.
Aku mengingat masa itu sebagai sebuah masa dengan banyak "pertama": Pertama
kalinya aku mendengar Baba mengerang di kamar mandi. Pertama kalinya aku
menemukan noda darah di bantal Baba. Selama lebih dari tiga tahun bekerja di
pompa bensin, Baba belum pernah tidak masuk karena sakit. Lagi-lagi yang pertama
kalinya. Saat semua orang merayakan Halloween tahun itu, Baba merasa kelelahan pada
tengah-hari Sabtu sehingga dia memutuskan untuk menunggu di balik kemudi saat
aku keluar dan menawar berbagai rongsokan. Saat semua orang merayakan Thanks
giving, Baba tertidur sebelum hari beranjak siang. Saat hiasan kereta Santa
Claus mulai dipajang di halaman-halaman depan dan salju palsu dipasang di dahan
pinus-pinus Douglas, Baba tinggal di rumah dan aku mengemudikan bus VW Baba
sendirian mengelilingi kota.
Kadang-kadang di pasar loak, kenalan-kenalan Afghan Baba mengomentari berat
badannya yang berkurang. Awalnya, mereka memuji. Mereka bahkan menanyakan
rahasia diet Baba. Tetapi pujian dan pertanyaan itu berhenti saat berat badan
Baba tidak berhenti berkurang. Turun. Dan terus turun. Pipinya mencekung. Dan
dahinya melorot. Dan di tengah semuanya, matanya tampak menonjol dalam
rongganya. Lalu, pada suatu hari Minggu yang sejuk, beberapa saat setelah Perayaan Tahun
Baru, saat Baba menjual tudung lampu pada seorang Filipina bertubuh kekar, aku
bergegas kembali ke bus VW kami, mengambil selimut untuk menutupi kakinya.
"Hei, man, pria ini butuh pertolongan!" pria Filipina itu berteriak-teriak. Aku
berbalik dan melihat Baba terbaring di tanah. Tangan dan kakinya menegang.
"Komak!" aku menjerit. "Tolong!" aku berlari menuju Baba. Mulutnya berbusa,
cairan itu mengalir membasahi janggutnya. Bola matanya berputar dan hanya
menunjukkan warna putih. Orang-orang mengerumuni kami. Aku mendengar seseorang mengatakan kejang.
Seseorang lain berteriak, "Telepon 911!" aku mendengar
kaki-kaki berlari. Langit menggelap saat semakin banyak orang mengerumuni kami.
Air liur yang mengalir dari mulut Baba berwarna merah. Lidahnya tergigit. Aku
berlutut di sampingnya, menahan lengannya, dan berkata, aku di sini Baba, aku di
sini, Baba akan baik-baik saja, aku di sini. Seolah-olah aku bisa meredakan
kejangnya. Aku berteriak pada orang-orang yang mengelilingi kami untuk
meninggalkan kami sendirian, aku dan Babaku. Aku merasakan lututku basah. Cairan
itu berasal dari selangkangan Baba. Ssstt, Baba jan, aku di sini. Putramu di
sini. Dokter yang memeriksa Baba, berjanggut putih dan berkepala botak, mengajakku
keluar dari ruang periksa. "Saya ingin memeriksa CAT scan ayah Anda bersama
Anda," katanya. Dia meletakkan film itu di kotak bercahaya di koridor dan
menunjuk dengan karet penghapus di ujung pensilnya pada sel-sel kanker Baba,
seperti seorang polisi yang sedang menunjukkan foto tersangka pembunuhan pada
keluarga korbannya. Dalam gambar itu, otak Baba terlihat seperti irisan sebutir
biji kenari raksasa, dengan lubang-lubang kelabu berbentuk bola tenis.
"Seperti yang Anda lihat di sini, sel-sel kankernya telah menyebar," katanya.
"Dia harus mengonsumsi obat-obatan antikejang dan steroid untuk mengurangi
bengkak-bengkak dalam otaknya.
Dan saya mereko-mendasikan radiasi paliatif. Anda tahu artinya?"
Aku mengatakan padanya bahwa aku tahu. Aku sudah sangat fasih berbicara tentang
penyakit kanker. "Baiklah, kalau begitu," ujarnya. Dia memeriksa penyerantanya. "Saya harus
meninggalkan Anda, tapi Anda bisa menghubungi penyeranta saya kalau Anda ingin
menanyakan sesuatu."
"Terima kasih."
Sepanjang malam itu aku menunggui Baba di kursi di sebelah tempat tidurnya.
Paginya, ruang tunggu rumah sakit itu dipenuhi warga Afghan. Tukang daging dari
Newark. Seorang insinyur yang bekerja dengan Baba saat membangun panti asuhan.
Mereka mengantre memasuki kamar Baba, menyapanya dalam suara lirih. Berharap
Baba akan pulih dengan cepat. Saat itu Baba telah siuman, lemah dan letih, namun
sadar. Menjelang siang, Jenderal Taheri beserta istrinya datang menjenguk. Soraya
bersama mereka. Kami saling melirik, berpaling di saat yang sama. "Bagaimana
keadaanmu, kawanku?" Jenderal Taheri menggenggam tangan Baba.
Baba menunjuk selang infus yang menempel di lengannya. Tersenyum tipis. Sang
Jenderal membalas senyumnya.
"Kalian seharusnya tidak perlu repot-repot. Kalian semua," Baba berkata parau.
"Kami tidak merasa repot," ujar Khanum Taheri.
"Tidak repot sama sekali. Yang lebih penting, apa kau memerlukan sesuatu?"
Jenderal Taheri bertanya. "Apa pun" Katakan saja padaku, anggap aku seperti
saudaramu sendiri." Aku teringat sesuatu tentang kaum Pashtun yang suatu kali pernah dikatakan Baba.
Kita mungkin keras kepala dan aku tahu kita sangat sombong tapi, saat ada yang
membutuhkan, yakinlah padaku bahwa tidak ada orang lain yang lebih tepat berada
di sampingmu selain seorang Pashtun.
Baba menggelengkan kepalanya yang tergolek di bantal. "Kedatanganmu ke sini
telah menerangi penglihatanku." Sang Jenderal tersenyum dan meremas tangan Baba.
"Bagaimana kabarmu, Amir jan" Apa kau memerlukan sesuatu?"
Caranya memandangku, kebaikan yang tersirat di matanya .... "Tidak, terima kasih,
Jenderal Sahib. Saya Sesuatu mengganjal di tenggorokanku dan air mata mengalir
dari mataku. Aku berlari keluar dari ruangan itu.
Aku terisak di koridor, di dekat kotak berpenerangan, tempatku semalam
sebelumnya melihat wajah sang pembunuh.
Pintu kamar Baba terbuka dan Soraya melangkah ke luar. Dia berdiri di dekatku.
Saat itu dia mengenakan sweter kelabu dan celana jins. Rambutnya terurai. Aku
ingin mendapatkan kehangatan
dalam pelukannya. "Aku ikut bersedih, Amir," katanya. "Kami semua tahu bahwa ada sesuatu yang tak
wajar, namun kami benar-benar tidak menyangka bahwa inilah yang terjadi."
Aku mengusap mataku dengan lengan bajuku. "Baba tidak ingin orang lain tahu."
"Apa kau memerlukan sesuatu?"
"Tidak." Aku berusaha menyunggingkan senyum. Dia meletakkan tangannya dalam
genggamanku. Sentuhan pertama kami. Aku meremasnya. Membawanya ke wajahku.
Mataku. Aku melepasnya. "Sebaiknya kau kembali ke dalam. Atau ayahmu akan memburuku." Dia tersenyum dan mengangguk. "Memang." Dia membalikkan badannya dan berlalu.
"Soraya?" "Ya?" "Aku merasa bahagia melihatmu di sini. Ini berarti ... segalanya bagiku."
Mereka mengizinkan Baba pulang dua hari kemudian. Mereka mengirim seorang ahli
radiasi kanker untuk membujuk Baba menjalani terapi radiasi. Baba menolaknya.
Mereka mencoba membujukku untuk membujuknya. Tapi aku telah melihat ekspresi
wajah Baba. Aku mengucapkan terima kasih pada mereka, menandatangani formulir
yang mereka berikan, dan membawa Baba pulang dengan Ford Torinoku.
Malam itu, Baba terbaring di sofa dengan sehelai selimut wol menutupi tubuhnya.
Aku membawakan teh panas dan kenari panggang untuknya. Aku mendudukkannya,
melingkarkan lenganku ke punggungnya dan mengangkatnya dengan begitu mudah. Saat
aku menyentuh bahunya, jari-jariku merasakan tulang yang menonjol bagaikan sayap
burung. Aku mengembalikan selimutnya, menutupi dadanya, di mana tulang rusuknya
bertonjolan di bawah kulitnya yang tipis dan pucat.
"Ada lagikah yang bisa kulakukan untuk Baba?"
"Tidak, bachem. Terima kasih."
Aku duduk di sebelahnya. "Kalau begitu, aku ingin Baba melakukan sesuatu
untukku. Kalau Baba tidak terlalu lelah."
"Apa itu?" "Aku ingin Baba pergi untuk khastegah. Aku ingin Baba mendatangi Jenderal
Taheri. Mengajukan lamaran untuk putrinya."
Senyum lebar disunggingkan bibir kering Baba. Setitik kesegaran hijau di atas
daun yang layu. "Kau yakin?"
"Lebih yakin daripada apa pun yang kuyakini." "Kau sudah memikirkannya dalamdalam?" "Baiay, Baba."
"Kalau begitu, ambilkan telepon. Dan bawa kemari notes kecilku."
Aku mengedipkan mataku. "Sekarang?" "Kapan lagi?"
Aku memberinya senyuman. "Oke." Aku membawakan telepon dan notes kecil hitamnya,
tempat Baba mencatat nomor telepon teman-teman Afghannya. Baba mencari nama
Taheri. Memencet nomornya. Mendekatkan gagang telepon ke telinganya. Di dadaku,
jantungku jumpalitan tidak keruan.
"Jamila jan" Assalamualaikum," sapanya. Dia menyebutkan namanya. Diam sejenak.
"Jauh lebih baik, terima kasih. Baik sekali kalian mau mengunjungiku." Dia
mendengarkan selama beberapa saat. Mengangguk. "Aku akan mengingatnya, terima
kasih. Apa Jenderal Sahib ada di rumah?" Diam sejenak. "Terima kasih."
Baba melirikku. Untuk alasan tertentu, aku i-ngin tertawa. Atau menjerit. Aku
mengepalkan tanganku, membawanya ke mulutku dan menggigitnya. Baba mengeluarkan
tawa lirih lewat hidungnya.
"Jenderal Sahib, assalamu 'alaikum .... Ya, jauh lebih baik .... Baiay .... Kau baik
sekali. Jenderal Sahib, aku meneleponmu untuk menanyakan, apakah aku bisa
mengunjungiku dan Khanum Taheri besok pagi" Untuk membicarakan sesuatu yang
terhormat .... Va .... Jam sebelas boleh juga. Sampai bertemu. Khoda hafez."
Baba meletakkan gagang telepon. Kami saling memandang. Tawaku meledak. Tawa Baba
meledak. Baba membasahi rambutnya dan menyisirnya ke belakang. Aku menolongnya mengenakan
kemeja putih bersih dan mengikatkan dasinya, mau tak mau melihat kekosongan
selebar Scm di antara kerah baju dan leher Baba. Aku memikirkan betapa besar
ruangan yang akan menjadi kosong karena ditinggalkan oleh Baba jika saatnya tiba
nanti, dan aku segera mengalihkan pikiranku. Baba tidak akan meninggal. Tidak
sekarang. Dan hari ini harus dihabiskan dengan berpikiran baik. Jas cokelat
Baba, yang dipakainya saat hari wisudaku, menggantung di tubuhnya-sebagian besar
tubuh Baba yang dulu mengisi jas itu dengan pas telah meleleh. Aku harus
menggulung lengannya. Aku berjongkok dan mengikatkan tali sepatunya.
Keluarga Taheri tinggal di sebuah flat, rumah berlantai satu yang terletak dalam
salah satu area pemukiman yang banyak ditinggali warga Afghan di Fremont. Rumah
itu memiliki jendela yang menjorok ke luar, atap meruncing, dan teras depan yang
dipenuhi berpot-pot bunga geranium. Van abu-abu Sang Jenderal diparkir di jalan
masuknya. Aku menolong Baba keluar dari Ford-ku dan kembali duduk di belakang kemudi. Baba
menjulurkan kepalanya ke jendela penumpang. "Pulanglah, aku akan meneleponmu
satu jam lagi." "Oke, Baba," kataku. "Semoga beruntung."
Baba tersenyum. Aku meninggalkan tempat itu. Dari kaca spion, aku melihat Baba berjalan
perlahan-lahan melewati jalan masuk rumah keluarga Taheri, menunaikan
kewajiban terakhirnya sebagai ayah
Aku melangkah bolak-balik di sepanjang ruang tamu apartemen kami, menanti
telepon dari Baba. Lima belas menit telah berlalu. Lima belas menit selanjutnya
berjalan begitu lambat. Bagaimana kalau Sang Jenderal menolak" Bagaimana kalau
dia membenciku" Berulang kali aku memasuki dapur, memeriksa penanda waktu di
oven. Tepat sebelum tengah hari, telepon berdering. Dari Baba.
"Jadi?" "Jenderal menerima."


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menghela napas. Mendudukkan tubuhku. Tanganku gemetar. "Benarkah?"
"Ya, tetapi Soraya jan ada di kamarnya. Dia ingin berbicara denganmu dulu."
"Oke." Baba mengatakan sesuatu pada seseorang dan aku mendengar nada sambung saat dia
meletakkan teleponnya. "Amir?" suara Soraya.
"Salaam." "Ayahku menerimanya."
"Aku tahu," ujarku. Aku memindahkan gagang telepon itu ke tanganku yang lain.
Aku tersenyum. "Aku sangat bahagia. Aku tidak tahu harus berkata apa."
"Aku juga bahagia, Amir. Aku ... tak percaya ini terjadi."
Tawaku meledak. "Aku tahu."
"Dengar," katanya. "Aku ingin menceritakan sesuatu padamu. Sesuatu yang harus
kauketahui sebelum...."
"Aku tidak akan memedulikannya."
"Kau harus tahu. Aku tidak ingin memulai hubungan kita dengan menyimpan rahasia.
Dan aku lebih suka kau mendengarnya dariku."
"Kalau itu membuatmu merasa lebih baik, ceritakan saja padaku. Tapi itu tidak
akan mengubah apa pun."
Soraya terdiam selama beberapa saat. "Saat kami tinggal di Virginia, aku kabur
dengan seorang pria Afghan. Saat itu umurku 18 tahun ... suka memberontak ... bodoh,
dan ... dia kecanduan obat-obatan .... Kami tinggal bersama selama hampir sebulan.
Semua warga Afghan di Virginia membicarakannya.
"Akhirnya Padar menemukan kami. Dia muncul di depan pintu dan ... mengajakku
pulang. Saat itu aku histeris. Menjerit-jerit. Menyumpah-nyumpah. Mengatakan
bahwa aku membencinya ....
"Tapi akhirnya aku pulang dan-" Dia menangis. "Tunggu sebentar." Aku
mendengarnya menurunkan gagang telepon. Membersihkan hidungnya. "Maaf," suaranya
terdengar serak. "Saat aku sampai di rumah, aku melihat ibuku telah terserang
stroke, bagian kanan wajahnya lumpuh dan ... aku merasa begitu bersalah. Dia tidak
seharusnya mendapatkannya."
"Beberapa saat setelah itu, Padar membawa kami ke California." Keheningan
mengikuti ucapannya. "Bagaimana hubunganmu dengan ayahmu sekarang?" tanyaku.
"Pendapat kami selalu bertentangan, sampai sekarang pun masih, tapi aku
bersyukur karena saat itu dia mendatangiku. Aku benar-benar yakin dia telah
menyelamatkanku." Dia terdiam. "Jadi, apakah ceritaku ini mengganggumu?"
"Sedikit," ujarku. Cerita ini membuatku berutang sebuah kebenaran padanya. Aku
tidak bisa membohonginya dengan mengatakan bahwa harga diriku, iftikharku, tidak
tersengat sedikit pun mendengarnya pernah tinggal bersama seorang pria,
sedangkan aku sendiri belum pernah membawa seorang wanita pun ke tempat tidur.
Ini sedikit menggangguku, namun aku telah mempertimbangkan kemungkinan ini
masak-masak sejak seminggu sebelum aku meminta Baba untuk pergi melakukan
khastegah. Dan akhirnya, pertanyaan yang selalu kembali padaku adalah: Bagaimana
mungkin aku, dari semua orang lain, meng-hakimi seseorang atas masa lalu mereka"
"Apakah ini cukup mengganggumu hingga kau ingin berubah pikiran?"
"Tidak, Soraya. Tidak sedikit pun," ujarku. "Tidak sedikit pun yang kaukatakan
mengubah apa pun. Aku ingin kita menikah."
Tangisnya meledak. Aku merasa iri pada Soraya. Rahasianya telah terbuka. Terkatakan. Terpecahkan.
Aku membuka mulutku dan hampir mengatakan padanya bagaimana aku mengkhianati
Hassan, menipunya, membuatnya keluar dari rumah kami, dan menghancurkan hubungan
yang telah berjalan selama 40 tahun antara Baba dan Ali. Tapi aku tidak
mengatakannya. Aku menduga, banyak hal telah menjadikan Soraya Taheri orang yang
lebih baik daripada diriku. Keberanian hanyalah salah satu di antaranya.
Tiga belas lam saat kami tiba di kediaman keluarga Taheri
untuk menjalankan lafz, upacara "pemberian ucapan" aku harus memarkir Ford-ku di
seberang jalan. Halaman dan jalan masuk rumah itu telah dipenuhi begitu banyak
mobil. Aku mengenakan setelan biru tua yang kubeli sehari sebelumnya, setelah
aku menjemput Baba dari khastegah. Sebelum turun, aku menyempatkan diri
memeriksa ikatan dasiku di kaca spion.
"Kau tampak khosteep," Baba memujiku. Tampan.
"Terima kasih, Baba. Baba merasa sehat" Siap menghadapi semua ini?"
"Siap" Hari ini adalah hari yang paling berbahagia dalam hidupku, Amir," Baba
tersenyum letih. Dari depan pintu rumah itu, aku bisa mendengar suara para tamu yang bercakapcakap, suara tawa, dan alunan lembut musik Afghan kedengarannya seperti ghaza/
klasik yang dibawakan Ustad
Sarahang. Aku membunyikan bel. Seraut wajah muncul, mengintip melalui tirai
jendela ruang depan dan menghilang kembali. "Mereka datang!" suara seorang
wanita. Percakapan berhenti. Seseorang mematikan musik.
Khanum Taheri membukakan pintu untuk kami. "Assalamu 'alaikum," ucapnya dengan
wajah berseri-seri. Tampaknya dia telah mengeriting rambutnya, dan dia
mengenakan gaun hitam elegan sepanjang mata kaki. Saat aku memasuki ruang depan,
aku melihat matanya berkaca-kaca. "Kau baru saja masuk ke rumah kami dan aku
sudah menangis, Amir jan," katanya. Aku mendaratkan ciuman ke tangannya, seperti
yang diajarkan Baba semalam sebelumnya.
Sesaat kemudian, Khanum Taheri membawa kami melewati koridor yang terang
benderang menuju ruang tamu. Dinding kayu pada koridor itu dipenuhi foto-foto
keluarga Taheri, orang-orang yang akan menjadi keluarga baruku: Khanum Taheri
muda, dengan rambut disasak tinggi, bersama Sang Jenderal Air Terjun Niagara
tampak di latar belakang; Khanum Taheri dalam balutan gaun terusan, Sang
Jenderal mengenakan jaket berkerah tinggi dan dasi tipis, rambutnya masih tebal
dan hitam; Soraya, bersiap-siap mengendarai roller coaster, tersenyum dan
melambaikan tangannya, kawat gigi berwarna perak yang dikenakannya memantulkan
cahaya matahari. Satu lagi foto Sang Jenderal, tampak gagah dalam pakaian
militer lengkapnya, berjabatan tangan dengan Raja
Hussein dari Yordania. Tidak ketinggalan, potret Zahir Shah pun tertempel di
dinding itu. Ruang tamu telah dipenuhi sekitar 25 tamu, semuanya duduk di kursi yang telah
ditata berjajar mengelilingi ruangan. Saat Baba masuk, semua orang berdiri. Kami
mengelilingi ruangan, Baba berjalan perlahan di depanku, aku mengikutinya,
menjabat tangan dan menyapa para tamu. Sang Jenderal masih mengenakan setelan
abu-abunya memeluk Baba, mereka dengan lembut saling menepuk punggung. Ucapan
salam dibisikkan dengan penuh hormat.
Sang Jenderal memegang bahuku dengan kedua tangannya dan tersenyum bijaksana,
seolah-olah mengatakan, "Nah, inilah cara yang benar-cara Afghan-untuk
melakukannya, bachem." Kami saling mencium pipi sebanyak tiga kali.
Kami duduk di tengah ruangan penuh orang i-tu, Baba di sebelahku, Sang Jenderal
dan istrinya di hadapan kami. Napas Baba terdengar sedikit berat, dan dia terus
menerus mengusap keringat yang membasahi kening dan kulit kepalanya dengan
saputangan. Saat melihatku memerhatikannya, Baba berusaha menyeringai. "Aku
tidak apa-apa," dia menggerakkan bibirnya.
Sesuai tradisi, Soraya tidak berada dalam satu ruangan dengan kami.
Setelah beberapa saat berbasa-basi, Sang Jenderal berdeham. Ruangan itu seketika
menjadi sunyi dan semua orang menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan.
Sang Jenderal menganggukkan kepalanya kepada Baba.
Baba berdeham. Saat mulai berbicara, Baba berulangkah harus menarik napas di
tengah kalimatnya. "Jenderal Sahib, Khanum Jamila jan ... dengan penuh rasa hormat
... saya dan putra saya mengunjungi kediaman kalian hari ini. Kalian adalah ...
orang-orang terhormat ... yang berasal dari keluarga ternama dan memiliki reputasi
yang baik ... dan juga garis keturunan yang membanggakan. Saya datang tanpa
membawa apa-apa kecuali ihtiram yang besar ... dan penghormatan tertinggi untuk
Anda, untuk nama keluarga Anda, dan untuk kenangan ... para leluhur keluarga ini."
Baba terdiam sejenak. Berusaha mengatur napasnya. Mengusap keningnya. "Amir jan
adalah putra saya satu-satunya ... keturunan saya satu-satunya, dan selama ini dia
telah menjadi putra yang berbakti. Saya harap dia bisa membuktikan bahwa dirinya
... pantas mendapatkan kebaikan Anda. Saya memohon pada Anda untuk memberikan
kehormatan kepada Amir jan dan saya ... dan menerima putra saya ke dalam keluarga
Anda." Sang Jenderal mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sopan.
"Kami merasa terhormat menerima putra seorang pria semulia Anda ke dalam
keluarga kami," sambutnya. "Reputasi Anda telah tersiar dengan baik. Saya adalah
pengagum setia Anda saat kita di Kabul dan berlanjut hingga hari ini. Kami
merasa mendapatkan kehormatan karena bisa menyatukan keluarga kami dengan
keluarga Anda. "Sedangkan untukmu, Amir jan, aku menerimamu di rumah ini sebagai putraku,
sebagai suami dari putriku, yang selalu menjadi noor bagi mataku. Rasa sakitmu
akan menjadi rasa sakit kami, kebahagiaanmu kebahagiaan kami. Aku berharap kau
akan memandang aku dan Khala Jamilamu sebagai orang tua keduamu, dan aku akan
senantiasa berdoa untuk kebahagiaanmu dan Soraya jan tersayang kami. Kalian
berdua mendapatkan restu kami."
Semua orang bertepuk tangan, dan seakan-akan tepukan itu menjadi penanda,
kepala-kepala menoleh ke arah koridor. Inilah saat yang kunanti-nanti.
Soraya akhirnya muncul, tampak menawan dalam balutan gaun tradisional Afghan
berwarna merah anggur yang berlengan panjang dan berhiaskan benang emas. Baba
meraih tanganku dan menggenggamnya. Khanum Taheri kembali meneteskan air mata.
Perlahan, Soraya mendekati kami, diiringi barisan kerabat-kerabat wanitanya.
Dia mencium tangan ayahku. Akhirnya duduk di sampingku, menundukkan tatapannya.
Tepukan tangan dan sorak-sorai membahana.
Menurut tradisi, keluarga Soraya seharusnya menggelar pesta pertunangan, yang
dinamakan Shirini-khori atau upacara "Santapan Manis". Setelah itu, masa
pertunangan yang berlangsung selama
beberapa bulan akan mengikuti. Lalu, upacara dan pesta pernikahan
diselenggarakan dengan biaya yang ditanggung oleh Baba.
Kami semua sepakat bahwa aku dan Soraya tidak akan menjalani Shirini-khori.
Semua orang tahu alasannya, sehingga tidak seorang pun menyuarakannya: karena
dalam beberapa bulan, Baba tidak akan lagi tinggal bersama kami.
Aku dan Soraya tidak pernah berkencan berdua selama masa persiapan pernikahan
kami karena kami belum menikah dan tidak menjalankan Shirini-khori, pergi berdua
dianggap tidak pantas. Jadi, untuk menemui Soraya, aku harus pergi bersama Baba,
menghadiri jamuan makan malam di rumah keluarga Taheri. Di sana, aku duduk
berseberangan dengan Soraya. Membayangkan rasanya jika aku memeluknya, menghirup
aroma rambutnya. Menciumnya. Bercinta dengannya.
Baba menghabiskan $35.000, hampir seluruh tabungan-nya, untuk membiayai
awroussi, upacara pernikahan. Dia menyewa aula besar milik seorang warga Afghan
di Fremont untuk menyelenggarakan pesta pria pemilik tempat itu mengenal Baba
saat di Kabul dan memberinya diskon besar. Babalah yang membayar chiias,
sepasang cincin kawin kami, dan cincin berlian pilihanku. Dia pun membelikan
tuksedo untukku, dan juga busana tradisional berwarna hijau yang kukenakan pada
saat nika-upacava pengikatan janji setia.
Setelah segala upaya yang menguras tenaga untuk mempersiapkan malam pernikahan
kami hampir semuanya, syukurlah, dikerjakan oleh Khanum Taheri dan kawan-kawannya
hanya sedikit saja yang kuingat.
Aku ingat pelaksanaan nika kami. Kami duduk mengelilingi sebuah meja, aku dan
Soraya mengenakan busana berwarna hijau tidak hanya warna Islam, namun juga
warna musim semi dan awal baru. Aku memakai setelan lengkap, Soraya (satusatunya wanita di meja itu) memakai gaun berlengan panjang dengan kerudung yang
serasi. Baba, Jenderal Taheri (kali ini mengenakan tuksedo), dan beberapa paman
Soraya duduk di antara kami. Aku dan Soraya menundukkan pandangan, menunjukkan
bahwa kami saling menghormati, hanya sesekali kami saling melirik. Mullah yang
memimpin upacara itu menanyai para saksi dan membaca ayat Al-Quran. Kami
mengucapkan sumpah kami. Menandatangani surat nikah kami. Salah satu paman
Soraya yang tinggal di Virginia, Sharif jan, saudara laki-laki Khanum Taheri,
berdiri dan berdeham. Soraya pernah memberitahuku bahwa pria itu telah tinggal
di AS selama lebih dari 20 tahun. Dia bekerja untuk INS dan menikah dengan
wanita Amerika. Sharif jan juga pandai menulis puisi. Pria bertubuh kecil dengan
wajah menyerupai burung dan rambut mengembang itu membacakan sebuah puisi
panjang yang dipersembahkan untuk Soraya, ditulis mendadak di atas kertas yang
disediakan hotel. "Wah wah, Sharif jan!" saat dia selesai membacakan puisi itu,
semua orang memujinya. Aku ingat saat aku dan Soraya berjalan bergandengan tangan mendekati panggung,
kali ini aku mengenakan tuksedo, sedangkan Soraya mengenakan pari putih dengan
kerudung senada. Baba berjalan tertatih-tatih di sampingku, Sang Jenderal dan
istrinya di samping Soraya. Para paman beserta istri-istri mereka berbaris di
belakang kami, dan kami pun mengelilingi aula itu, melewati para tamu yang
bersorak sorai, memicingkan mata menghadapi begitu banyak kilatan lampu kamera.
Salah satu sepupu Soraya, putra Sharif jan, memegang Al-Quran di atas kepala
kami selama kami berjalan perlahan. Lagu pernikahan berkumandang dari setiap
pengeras suara dalam ruangan itu, ahesta boro, lagu yang pernah dinyanyikan
prajurit Rusia di pos pemeriksaan Mahipar pada malam aku dan Baba meninggalkan
Kabul: Ubah pagi hari menjadi kunci dan buanglah ke daiam sumur, Jangan buru-buru,
bulanku tersayang, jangan buru-buru. Jangan ingatkan matahari pagi untuk terbit
di ufuk timur, Jangan buru-buru, bulanku tersayang, jangan buru-buru.
Aku ingat saat aku duduk di sofa yang diletakkan di atas panggung, menggenggam
tangan Soraya, sementara 300-an pasang mata memandang kami.
Kami menjalankan upacara Ayena Masshaf. Sehelai kain ditudungkan ke kepala kami;
yang ada hanya kami berdua dan dua buah cermin, yang berguna untuk melihat
pantulan wajah satu sama lain. Di bawah lindungan kain, saat memandang bayangan
Soraya yang tersenyum dari cermin itu, untuk pertama kalinya aku membisikkan
padanya bahwa aku mencintainya. Pipinya merona merah, semerah henna.
Aku masih bisa membayangkan nampan-nam-pan berisi kebab chopan, sholeh-goshti,
dan nasi oranye cerah. Aku melihat senyum Baba saat dia duduk dalam apitan kami.
Aku ingat saat para pria dengan tubuh basah oleh keringat membentuk lingkaran
dan membawakan tahan tradisional attan, menandak-nandak, berputar semakin cepat
seiring dengan hentakan tabla, hingga hampir semuanya keluar dari lingkaran itu
karena tak kuasa menahan lelah. Aku ingat saat aku ber-andai-andai Rahim Khan
ada di sana. Dan aku ingat saat aku memikirkan apakah Hassan juga telah menikah. Kalau dia
memang telah menikah, wajah siapakah yang dilihatnya saat berada di bawah kain"
Tangan berhias henna milik siapakah yang digenggamnya"
Sekitar pukul 02.00, pesta dipindahkan dari aula ke apartemen Baba. Sekali lagi
teh dihidangkan dan musik dikumandangkan hingga para tetangga menelepon polisi. Satu jam sebelum
matahari terbit, saat para tamu akhirnya pergi, aku dan Soraya berbaring
berdampingan untuk pertama kalinya. Sepanjang hidupku, aku selalu dikelilingi
oleh laki-laki. Malam itu aku menemukan kelembutan seorang wanita.
* Soraya yang menyarankan supaya kami tinggal bersama Baba.
"Kupikir kau ingin tinggal di tempat kita sendiri," ujarku.
"Saat Kaka jan sakit seperti itu?" dia menyanggahku. Matanya mengatakan padaku
bahwa dengan cara inilah dia ingin mengawali pernikahan kami. Aku menciumnya.
"Terima kasih."
Soraya mengabdikan dirinya untuk merawat ayahku. Dia memanggang roti dan
menyeduh teh untuk Baba di pagi hari, dan membantunya naik dan turun tempat
tidur. Dia tidak pernah lupa menyediakan pil-pil penahan rasa sakitnya, mencuci
bajunya, membacakan lembar internasional di koran untuknya setiap siang. Dia
memasak makanan kesukaan Baba, shorwa kentang, meskipun Baba hanya akan makan
beberapa suapan, dan menemaninya berjalan-jalan singkat mengitari blok kami
setiap hari. Dan saat Baba merasakan tubuhnya penat karena berbaring sepanjang
waktu, untuk menghindarkan memar-memar karena selalu berbaring dengan posisi yang sama,
Soraya akan membantunya mengatur posisi.
Suatu hari, aku baru saja pulang dari apotek untuk membeli pil morfin Baba. Saat
aku menutup pintu, aku melihat sekilas Soraya dengan cepat menyembunyikan
sesuatu di balik selimut Baba. "Hei, aku melihatnya! Apa yang sedang kalian
berdua lakukan?" tanyaku.
"Tidak ada," Soraya tersenyum.
"Penipu." Aku mengangkat selimut Baba. "Apa ini?" tanyaku, meskipun saat aku
mengangkat buku bersampul-kulit itu, aku tahu. Jari-jariku mengelus pinggirannya yang dijahit dengan benang emas. Aku teringat akan pesta kembang api yang
sedang berlangsung saat Rahim Khan menghadiahkan buku ini untukku, malam
perayaan ulang tahunku yang ke-13, bunga-bunga api meluncur di langit dan
meledak dalam warna-warni menawan, merah, hijau, dan kuning.
"Aku tak percaya kau bisa menulis seindah ini," kata Soraya.
Baba mengangkat kepalanya dari bantal. "Aku yang memintanya membacakan buku itu
untukku. Kuharap kau tidak keberatan."


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mengembalikan buku itu pada Soraya dan meninggalkan ruangan itu. Baba tidak
akan suka melihatku menangis.
Sebulan setelah pernikahan kami, keluarga Taheri, Sharif beserta istrinya, Suzy,
dan beberapa bibi Soraya menghadiri acara makan malam di apartemen kami. Soraya
menyiapkan sabzi chalhw nasi putih dengan daging domba dan bayam. Setelah
selesai makan, kami semua menikmati teh hijau dan bermain kartu dalam kelompok
empat orang. Aku dan Soraya melawan Sharif dan Suzy di meja kopi, di dekat sofa
tempat Baba berbaring di bawah selimut wolnya. Baba memerhatikanku saat
menceritakan lelucon kepada Sharif, saat aku dan Soraya mengaitkan jari kami,
saat aku menyisipkan helaian rambutnya yang terlepas. Aku bisa melihat bahwa
dalam hati Baba tersenyum, selebar langit Kabul di malam hari, saat pohon-pohon
poplar bergemerisik dan kerikan jangkrik memenuhi taman.
Beberapa saat sebelum tengah malam, Baba meminta kami membantunya naik ke tempat
tidur. Aku dan Soraya menaruh lengannya di bahu kami dan kami melingkarkan
lengan kami di punggungnya. Saat kami menurunkannya, dia meminta Soraya
mematikan lampu tidurnya. Dia meminta kami mendekatkan wajah kami, lalu memberi
kami kecupan. "Nanti aku akan kembali membawakanmu morfin dan segelas air, Kaka jan," kata
Soraya. "Malam ini tidak perlu," katanya. "Aku tidak merasa sakit malam ini."
"Ya sudah," kata Soraya. Dia menaikkan selimut Baba. Kami menutup pintu
kamarnya. Baba tidak pernah terbangun lagi.
Mobil-mobil mereka memenuhi lapangan parkir sebuah masjid di Hayward. Di
lapangan rumput yang telah gundul di belakang masjid itu, berbagai jenis mobil
diparkir tak beraturan. Para pelayat harus memarkir mobil mereka tiga atau empat
blok dari masjid itu karena sudah tidak ada lahan parkir yang tersedia.
Lantai bagian pria di masjid itu, ruangan persegi yang luas, ditutup dengan
permadani-permadani Afghan dan matras-matras tipis yang disusun berjajar. Para
pria memasuki ruangan itu, meninggalkan sepatu mereka di pintu masuk, dan duduk
bersila di atas matras. Seorang mullah melafalkan surat-surat dari Al-Quran
melalui pengeras suara. Aku duduk di dekat pintu, posisi untuk keluarga yang
ditinggalkan. Jenderal Taheri duduk di sampingku.
Melalui pintu yang terbuka, aku bisa melihat mobil-mobil terus berdatangan,
cahaya matahari memantul dari kaca-kacanya. Dari mobil-mobil itu turunlah para
pelayat, para pria yang mengenakan pakaian berwarna gelap, para wanita yang
mengenakan gaun hitam, dengan kepala tertutup jilbab berwarna putih.
Saat lantunan ayat-ayat Al Quran menggema dalam ruangan itu, aku memikirkan
kisah yang dulu pernah kudengar, tentang Baba yang bergulat melawan beruang
hitam di Balukhistan. Baba telah bergulat melawan beruang sepanjang hidupnya,
kehilangan istrinya saat masih muda. Membesarkan anak laki-lakinya seorang diri.
Meninggalkan tanah air yang dicintainya, watannya. Kemiskinan. Harga diri yang terluka. Dan
akhirnya, sang beruang harus mengakui bahwa dia tidak mungkin menang. Tetapi,
meskipun dia kalah, dia telah kalah dengan terhormat.
Setelah selesai berdoa untuk Baba, para pelayat berbaris dan menyalamiku sembari
keluar. Aku menyalami mereka, menunaikan tugasku. Aku tidak mengenal sebagian
besar dari mereka. Senyum sopan kusunggingkan, sambil mengucapkan terima kasih
atas doa mereka, mendengarkan apa pun yang mereka sampaikan tentang Baba.
"... menolong saya membangun rumah di Taima ni "... memberkatinya "... tidak ada yang mau membantu saya dan dia meminjamkan
"... seperti saudara saya sendiri Saat mendengarkan mereka, aku menyadari seberapa
besar keberadaanku, jati diriku, yang diwujudkan oleh Baba dan jejak-jejak yang
ditinggalkannya dalam kehidupan banyak orang. Sepanjang hidupku, aku telah
menjadi "putra Baba." Sekarang Baba telah tiada. Dia tidak akan ada untuk
menunjukkan jalanku lagi; aku harus menemukannya sendiri.
Memikirkannya membuatku merasa takut.
Sebelumnya, di area pekuburan kecil untuk kaum Muslim, aku menyaksikan saat
jenazah Baba diturun-kan ke lubang. Sang mullah dan seorang pria lain memperdebatkan pilihan ayat Al-Quran yang
sebaiknya dibacakan saat pemakaman. Seandainya Jenderal Taheri tidak menengahi
mereka, perdebatan mereka akan mengacaukan upacara itu. Sang mullah memilih
sebuah ayat dan membacakannya, sambil melirik rekannya dengan penuh kemenangan.
Aku menyaksikan saat mereka menimbun satu sekop penuh tanah ke dalam lubang itu.
Lalu aku meninggalkannya. Aku berjalan ke bagian lain pekuburan itu. Duduk di
bawah naungan pohon maple merah.
Sekarang, pelayat terakhir menyalamiku dan masjid itu sunyi, hanya ada sang
mullah yang sedang mencabuti kabel-kabel mikrofon dan membungkus kitab sucinya
dengan kain berwarna hijau. Aku dan Sang Jenderal melangkah ke luar, disambut
oleh matahari senja. Kami menuruni tangga, melewati deretan pria yang sedang
merokok. Aku mendengar sekilas percakapan mereka, tentang pertandingan sepak
bola di Union City akhir minggu mendatang, tentang restoran Afghan baru di Santa
Clara. Ke-hi-dupan terus berjalan, meninggalkan Baba di belakang.
"Bagaimana keadaanmu, bachem?" Jenderal Taheri bertanya padaku.
Aku mengatupkan mulutku. Melawan air mata yang telah merongrongku sepanjang
hari. "Saya akan mencari Soraya," itulah yang kukatakan.
"Baiklah." Aku berjalan menuju bagian masjid yang dikhu-suskan untuk wanita. Soraya berdiri
di tangga bersama ibunya dan sepasang wanita yang samar-samar kuingat hadir saat
pesta pernikahan kami. Aku memberi isyarat pada Soraya. Dia mengatakan sesuatu
pada ibunya dan mendatangiku.
"Bisakah kita berjalan-jalan?" aku memintanya.
"Tentu." Dia meraih tanganku.
Kami berjalan dalam keheningan di sepanjang jalan yang terbuat dari tatanan batu
dengan semak rendah berderet di sepanjang sisinya. Setelah beberapa saat, kami
duduk di bangku dan memerhatikan pasangan berusia lanjut yang sedang berlutut di
dekat sebuah kuburan yang berjarak beberapa baris dari kami dan meletakkan
karangan bunga daisy di nisannya. "Soraya?"
"Ya?" "Aku akan merindukannya."
Dia meletakkan tangannya di pangkuanku. Chiia dari Baba berkilauan di jari
manisnya. Di belakangnya, aku bisa melihat para pelayat Baba pergi meninggalkan
Mission Boulevard. Beberapa saat kemudian kami pun meninggalkan tempat itu, dan
untuk pertama kalinya, Baba akan sendirian.
Soraya memelukku dan air mata itu pun akhirnya mengalir.
* Karena aku dan Soraya tidak pernah menjalani masa pertunangan, banyak hal
tentang keluarga Taheri baru kuketahui saat aku telah menikahi keluarga itu.
Misalnya, aku baru tahu bahwa, sekali dalam
sebulan, Sang Jenderal terserang migrain parah yang berlangsung selama hampir
seminggu. Saat sakit kepalanya kam-buh, Sang Jenderal memasuki kamarnya, membuka
baju, mematikan lampu, mengunci pintu, dan tidak akan keluar hingga rasa
sakitnya berkurang. Tak seorang pun diperbolehkan masuk, tak seorang pun
diperbolehkan mengetuk pintu. Pada akhirnya dia akan keluar, sekali lagi dengan
mengenakan setelan abu-abunya, menguarkan aroma tidur dan seprai, matanya merah
dan berkantung. Aku baru tahu dari Soraya bahwa sejauh yang diingatnya, Sang
Jenderal dan Khanum Taheri selalu tidur di kamar terpisah. Aku baru tahu bahwa
Sang Jenderal bisa jadi sangat menyebalkan, seperti ketika dia mencicipi qurma
yang dihidangkan istrinya, dia menghela napas dan menyingkirkannya. "Aku akan
memberimu yang lain," Khanum Taheri akan mengatakannya, namun Sang Jenderal akan
mengabaikannya, cemberut, dan menyantap roti dan bawang. Hal ini membuat Soraya
marah dan ibunya menangis. Soraya memberitahuku bahwa ayahnya mengonsumsi obat
antidepresi. Aku baru tahu bahwa Sang Jenderal menghidupi keluarganya dengan
uang tunjangan kesejahteraan dan belum pernah sekali pun bekerja selama berada
di AS, lebih memilih untuk mencairkan cek keluaran pemerintah daripada
menurunkan derajatnya dengan bekerja pada posisi yang tidak sesuai bagi orang
sekelasnya dia memandang pasar loak hanya sebagai hobi, cara untuk
bersosialisasi dengan kawan-kawan Afghannya. Sang Jenderal meyakini
bahwa, cepat atau lambat, Afghanistan akan merdeka, kejayaan monarki akan
kembali, dan dia akan kembali diminta untuk bertugas. Karena itulah, setiap
hari, Sang Jenderal mengenakan setelan abu-abunya, memutar jam sakunya, dan
menunggu. Aku baru tahu bahwa Khanum Taheri yang sekarang kupanggil Khala Jamila suatu
ketika pernah terkenal di Kabul karena suara emasnya. Meskipun dia tidak pernah
menjadi seorang penyanyi profesional, dia memiliki bakat yang bisa
mengarahkannya ke sana aku baru tahu bahwa Khala Jamila piawai menyanyikan lagu
lagu rakyat, ghazat, bahkan raga, nyanyian khas India yang biasanya dinyanyikan
oleh para pria. Tetapi meskipun Sang Jenderal gemar menikmati musik buktinya,
dia memiliki koleksi lengkap rekaman ghazaf klasik oleh penyanyi-penyanyi dari
Afghan dan India dia meyakini bahwa penampilan menyanyi yang terbaik hanya bisa
ditunjukkan oleh mereka yang memiliki reputasi kurang baik. Bahwa Khala Jamila
tidak akan pernah lagi menyanyi di depan umum adalah syarat yang diajukan Sang
Jenderal saat mereka hendak menikah. Soraya memberitahuku bahwa ibunya ingin
menyanyi pada pesta pernikahan kami, cukup satu lagu, namun Sang Jenderal hanya
menatapnya, dan topik itu pun terkubur selamanya. Khala Jamila bermain lotto
setiap minggu dan menonton Johnny Carson setiap malam. Dia menghabiskan hariharinya untuk mengurus kebunnya, merawat mawar, geranium, ubi jalar, dan
anggrek. Saat aku menikahi Soraya, bunga-bunga dan Johnny Carson tersingkir. Aku menjadi
sumber keceriaan baru dalam kehidupan Khala Jamila. Tidak seperti Sang Jenderal
yang selalu bersikap teratur dan diplomatis dia tidak menolak saat aku terus
memanggilnya dengan sebutan "Jenderal Sahib" Khala Jamila tidak pernah menutupi
betapa dia mengagumiku. Penyebabnya, diantaranya adalah, aku selalu mendengarkan
saat dia menyebutkan daftar penyakitnya yang mencengangkan, sesuatu yang telah
lama tidak lagi dipedulikan oleh Sang Jenderal. Soraya memberitahuku bahwa
setelah ibunya terserang stroke, dia merasa mendapatkan serangan jantung setiap
kali jantungnya berdetak lebih cepat, rematiknya kambuh setiap kali
persendiannya terasa sakit, dan stroke menimpanya setiap kali matanya berkedut.
Aku ingat saat Khala Jamila pertama kali menyebutkan tentang benjolan di
lehernya padaku. "Besok aku akan membolos kuliah dan membawa Khala jan ke
dokter," kataku. Sang Jenderal yang mendengarnya tersenyum dan berkata, "Kalau
begitu, sebaiknya kau menyingkirkan buku-bukumu selamanya, bachem. Daftar
pengobatan khalamu seperti karya Rumi: Panjangnya berjilid-jilid."
Tetapi Khala Jamila tidak hanya menemukan penonton untuk menyaksikan monolog
tentang penyakitnya. Aku benar-benar yakin bahwa seandainya aku membawa senapan
dan menjadi pembunuh membabi buta, aku akan tetap mendapatkan limpahan kasih
sayangnya. Penyebabnya adalah, aku telah menyingkirkan penyakit terparah dalam hatinya. Aku telah
mengeluarkannya dari ketakutan terbesar yang dimiliki oleh setiap ibu-ibu
Afghan: bahwa tidak akan ada khastegar yang terhormat yang akan meminang
putrinya. Bahwa putrinya akan menua sendirian, tanpa suami, tanpa anak. Setiap
wanita membutuhkan seorang suami. Meskipun sang suami menjadikan lagu dalam
dirinya berhenti mengalun.
Dan, dari Soraya, aku mengetahui detail peristiwa Virginia.
Kami sedang menghadiri sebuah pesta pernikahan. Paman Soraya, Sharif, yang
bekerja untuk INS, menikahkan putranya dengan seorang gadis Afghan dari Newark. Pesta itu diselenggarakan
di aula yang sama, tempat enam bulan sebelumnya, awroussi kami diadakan. Kami
sedang berdiri di tengah kerumunan para tamu, menyaksikan mempelai wanita
menerima cincin dari keluarga mempelai pria, saat kami tanpa sengaja mendengar
dua orang wanita paruh baya yang memunggungi kami bercakap-cakap.
"Pengantin yang cantik," kata salah satu dari mereka. "Lihatlah dia. Begitu
maghbool, bagaikan bulan."
"Ya," kata yang lainnya. "Lagipula dia masih suci. Perawan. Belum pernah punya
pacar." "Aku tahu. Bagus juga anak itu batal menikahi sepupunya."
Dalam perjalanan pulang, Soraya tidak mampu lagi menahan perasaannya. Aku
meminggirkan Fordku ke bahu jalan, berhenti di bawah tiang lampu di Fremont
Boulevard. "Sudahlah," aku menyibakkan rambutnya. "Siapa yang peduli?"
"Ini sungguh tidak adil," nada suaranya meninggi.
"Lupakan saja."
"Anak-anak lelaki mereka keluyuran ke kelab malam menggoda gadis-gadis dan
menghamili kekasih mereka, mereka punya anak haram dan tak ada seorang pun
membicarakannya. Oh, memang begitu cara pria bersenang-senang! Aku membuat satu
kesalahan dan tiba-tiba semua orang bicara tentang nang dan namoos, dan seumur
Misteri Kapal Layar Pancawarna 6 Pendekar Rajawali Sakti 106 Dewa Racun Hitam Pahlawan Harapan 9

Cari Blog Ini