Ceritasilat Novel Online

Simbol Yang Hilang 9

Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown Bagian 9


baka."[ ] BAB 103 Sebagai perenang serius, Robert Langdon sering bertanya- tanya bagaimana rasanya
tenggelam. Kini dia tahu, dirinya akan mengalaminya sendiri. Walaupun bisa
menahan napas lebih lama daripada sebagian besar orang, dia sudah bisa merasakan
paru-parunya bereaksi terhadap tidak adanya udara. Karbon dioksida berakumulasi
di dalam darahnya, menimbulkan desakan untuk menarik napas secara insting.
Jangan bernapas! Refleks untuk mulai bernapas semakin meningkat intensitasnya
seiring berlalunya waktu. Langdon tahu, sebentar lagi dia akan mencapai apa yang
disebut sebagai titik puncak penahanan napas - momen penting ketika seseorang
tidak mampu lagi menahan napas secara sengaja. Buka tutupnya! Insting Langdon
adalah menggedor-gedor dan melawan. Tapi dia tahu, sebaiknya tidak menyianyiakan oksigen yang berharga. Yang bisa dilakukannya hanyalah menata melalui
kekaburan air di atasnya dan berharap. Dunia luar kini hanya berupa petak buram
cahaya di atas jendela Plexiglas. Otot-otot pusatnya sudah mulai terbakar, dan
dia tahu hipoksia sedang berlangsung.
Mendadak sebuah wajah pucat cantik muncul, menunduk memandangnya. Itu Katherine.
Melalui selubung cairan, raut wajah lembutnya nyaris menyerupai malaikat. Mata
mereka bertemu lewat jendela Plexiglas, dan sejenak Langdon mengira dirinya
selamat. Katherine! Lalu dia mendengar teriakan ketakutan dan dan menyadari
bahwa Katherine dibawa ke sana oleh penangkapnya. Monster bertato itu memaksa
perempuan itu untuk menyaksikan apa yang akan terjadi.
Katherine, maaf.... Di dalam tempat gelap aneh ini, terperangkap di bawah air, Langdon berjuang
untuk memahami bahwa ini akan menjadi detik-detik terakhir kehidupannya. Dengan
segera dirinya tidak akan ada lagi... semua yang adalah dirinya... atau pernah
menjadi dirinya... atau akan menjadi dirinya ... berakhir. Ketika otaknya mati,
semua kenangan yang tersimpan di dalam materi kelabu itu, bersama-sama dengan
semua pengetahuan yang didapatnya, akan menguap begitu saja dalam banjir reaksireaksi kimia. Saat inilah Robert Langdon menyadari betapa tidak berarti dirinya di alam
semesta. Sebuah perasaan sepi dan hina yang belum pernah dialaminya. Dia nyaris
bersyukur ketika merasakan tibanya titik puncak penahanan-napas.
Saat itu kini dialaminya.
Paru-paru Langdon mendesakkan isinya yang sudah habis, mendut dan dengan
bersemangat bersiap-siap menghela napas. Langdon masih menahan napas sedetik
lebih hima lagi. Detik terakhirnya. Lalu, seperti manusia yang tidak lagi mampu mempertahankan
tangan di atas kompor menyala, dia menyerahkan diri kepada takdir.
Refleks mengalahkan akal sehat. Bibirnya terbuka.
Paru-parunya mengembang. Dan cairan mengalir masuk.
Rasa sakit yang memenuhi dadanya lebih dahsyat daripada yang dibayangkan
Langdon. Cairan itu membakar ketika mengalir ke dalam paru-paru. Rasa sakitnya
langsung melesat naik ke dalam tengkorak kepalanya, dan dia merasa seakan
kepalanya dihancurkan dengan penjepit. Terdengar gemuruh kencang di telinganya
dan, di sepanjang semua peristiwa itu, Katherine Solomon berteriak.
Muncul kilau cahaya yang membutakan. Lalu kegelapan.
Robert Langdon sudah tiada. [ ]
BAB 104 Sudah berakhir. Katherine Solomon sudah berhenti berteriak. Peristiwa tenggelam yang baru saja
disaksikannya telah mengejangkan ototnya, dan dia benar-benar lumpuh oleh
keterkejutan dan keputusasaan.
Di balik jendela Plexiglas, mata tak bernyawa Langdon menatap ruang kosong di
belakang Katherine. Raut wajahnya membeku menunjukkan kesakitan dan penyesalan.
Gelembung-gelembung udara mungil terakhir keluar dari mulut tak bernyawanya.
Lalu, seakan setuju untuk meninggalkan dunia ini, perlahan profesor Harvard itu
mulai tenggelam ke dasar tangki di sana dia menghilang ke dalam bayang-bayang.
Dia sudah tiada. Katherine mengalami mati-rasa.
Lelaki bertato itu menjulurkan tangan ke bawah, dengan tegas dan kejam menutup
jendela-intip kecil itu, menutup rapat mayat Langdon di dalamnya.
Lalu dia tersenyum kepada Katherine. "Ayo."
Sebelum Katherine bisa menjawab, lelaki itu mengangkat tubuh yang sedang berduka
itu ke atas bahunya, mematikan lampu dan membopongnya keluar ruangan. Dengan
beberapa langkah bertenaga, dia mengangkut Katherine ke ujung lorong, memasuki
ruang besar yang tampaknya bermandikan cahaya ungu kemerahan. Ruangan itu
beraroma seperti dupa. Dia membopong Katherine ke sebuah meja persegi empat di
tengah ruangan. Ia menjatuhkannya tertelentang keras-keras, membuatnya kehabisan
napas. Permukaan meja terasa kasar dan dingin. Apakah ini, batu "
Katherine baru saja menyadari posisinya ketika lelaki Itu melepaskan kawat dari
pergelangan tangan dan kakinya. Secara insting, dia mencoba melawan lelaki itu,
tapi lengan dan kakinya yang kram nyaris tidak memberikan respons. Kini lelaki
itu mulai mengikat tubuh Katherine pada meja dengan menggunakan pita-pita kulit
tebal. Dia mengencangkan sebuah pengikat melintasi kedua lutut Katherine, lalu
mengencangkan pengikat kedua melintasi pinggul, menjepit kedua lengan perempuan
itu di samping tubuh. Lalu dia memasang pengikat terakhir di atas tulang dada
Katherine, persis di atas payudara.
Semua itu hanya perlu waktu sejenak, dan sekali lagi Katherine tidak bisa
bergerak. Pergelangan tangan dan kakinya kini berdenyut-denyut ketika darah
kembali mengaliri tungkai-tungkainya.
"Buka mulutmu," bisik lelaki itu, seraya menjilati bibirnya sendiri yang
bertato. Katherine menggertakkan gigi dengan jijik.
Sekali lagi lelaki itu menjulurkan jari telunjuk dan menjalankannya perlahanlahan di sekeliling bibir Katherine, membuat kulit perempuan itu merinding.
Katherine menggertakkan gigi semakin kuat. Lelaki bertato itu tergelak dan,
dengan menggunakan tangan yang satanya, dia menemukan titik-tekan di leher
Katherine dan menekannya. Rahang Katherine langsung terbuka. Dia bisa merasakan
jari lelaki itu memasuki mulutnya dan menelusuri lidahnya. Dia tersedak dan
mencoba menggigit, tapi jari itu sudah pergi. Dengan masih menyeringai, lelaki
itu mengangkat ujung jarinya yang basah ke depan mata Katherine. Lalu dia
memejamkan mata dan, sekali lagi, menggosokkan air liur Katherine pada lingkaran
daging telanjang di atas kepalanya. Lelaki itu mendesah dan perlahan-lahan
membuka mata. Lalu, dengan ketenangan yang mengerikan, dia berbalik dan
meninggalkan ruangan. Dalam keheningan mendadak itu, Katherine bisa merasakan jantungnya berdentamdentam. Persis di atasnya, rangkaian- rangkaian lampu aneh tampak bermodulasi
dari merah ungu menjadi merah tua gelap, menerangi langit-langit rendah ruangan.
Ketika melihat langit-langit itu, Katherine hanya bisa menatap terpana. Setiap
incinya ditutupi lukisan. Kolase membingungkan di atas Katherine itu tampaknya
menggambarkan langit surga. Bintang-bintang, planet-planet, dan konstelasikonstelasi dengan simbol-simbol astrologis, bagan-bagan, dan formula-formula.
Ada panah-panah yang memprediksi orbit-orbit berbentuk simbol-simbol geometris
yang menunjukkan sudut-sudut dan makhluk-makhluk dalam zodiak yang mengintip
Katherine dari atas. Tampak seakan ada ilmuwan gila yang berkeliaran di Sistine.
Katherine menoleh, mengalihkan pandangan, tapi dinding di sebelah kirinya tidak
lebih baik. Serangkaian lilin di atas langit Abad Pertengahan berdiri tegak,
memancarkan kilau berpendar-pendar pada dinding yang benar-benar tersembunyi di
balik berhalaman-halaman teks, foto, dan gambar. Beberapa halaman tampak seperti
papirus atau kertas kulit yang dirobek dari buku-buku kuno; yang lainnya jelas
berasal dari teks-teks yang lebih baru; bercampur dengan foto-foto, gambargambar, peta-peta, skema-skema; kesemuanya tampaknya direkatkan di dinding
dengan sangat cermat. Tali- tali yang menyerupai sarang laba-laba itu dipakukan
melintasi semua itu, saling menghubungkan mereka dalam kemungkinan-kemungkinan
kacau yang tak terbatas. Katherine kembali berpaling, menoleh ke arah lain. Sayangnya, perbuatan ini
memberikan pemandangan yang paling mengerikan dibandingkan dengan semuanya tadi.
Bersebelahan dengan lempeng batu tempat Katherine ikatkan, berdiri tegak sebuah
meja-samping kecil yang langsung mengingatkannya pada meja instrumen di ruang
operasi rumah sakit. Di atas meja itu diatur serangkaian benda - di antaranya
alat suntik, wadah kecil berisi cairan warna gelap ... dan pisa besar dengan
pegangan dari tulang dan sebilah pisau terbuat dari besi yang digosok sampai
kekilapan tinggi yang tidak biasa.
Ya Tuhan ... apa yang hendak dilakukannya terhadapku" [ ]
BAB 105 Ketika spesialis keamanan sistem CIA Rick Parrish akhirnya melangkah ke dalam
kantor Nola Kaye, dia membawa selembar kertas.
"Kenapa begitu lama"!" desak Nola. Kubilang datang sekarang!
"Maaf," kata lelaki itu, seraya mendorong kacamata tebal ke atas hidung
panjangnya. "Aku mencoba mengumpulkan lebih banyak informasi untukmu, tapi-"
"Tunjukkan saja yang kau dapat."
Parrish menyerahkan hasil cetakan itu. "Teredaksi, tapi kau memahami intinya."
Nola meneliti halaman itu dengan takjub.
"Aku masih berusaha mencari tahu bagaimana seorang peretas bisa memperoleh
akses," ujar Parrish, "tapi tampaknya sebuah delegator spider membajak salah
satu mesin pencari-"
"Lupakan itu!" sergah Nola, seraya mendongak dari halaman itu. "Apa gerangan
yang dilakukan CIA dengan arsip rahasia mengenai segala piramida, portal kuno,
dan simbolon terukir?"
"Itulah yang membuatku begitu lama. Aku mencoba melihat dokumen apa yang menjadi
sasaran, jadi aku menelusuri jalur arsipnya." Parrish terdiam, berdeham.
"Dokumen ini ternyata berada di sebuah partisi yang ditujukan secara pribadi
untuk... direktur CIA itu sendiri."
Nola berputar, menatap dengan terkejut. Atasan Sato punya arsip mengenai
Piramida Mason" Dia tahu bahwa direktur yang sekarang, bersama-sama dengan
banyak eksekutif puncak CIA lainnya, adalah anggota Mason tingkat tinggi. Tapi
dia tidak bisa membayangkan salah seorang dari mereka menyimpan rahasia-rahasia
Mason dalam sebuah komputer CIA.
Tapi sekali lagi, mengingat apa yang disaksikannya dalam dua puluh jam terakhir
ini, segalanya memungkinkan.
Agen Simkins berbaring menelungkup, tersembunyi di balik semak-semak Franklin
Square. Matanya tertuju ke pintu masuk bertiang Almas Temple. Tidak ada apa-apa.
Tidak ada lampu yang menyala di dalam, dan tak seorang pun mendekati pintu. Ia
berpaling dan mengecek Bellamy. Lelaki itu sedang mondar-mandir sendirian di
tengah taman, tampak kedinginan. Benar-benar kedinginan. Simkins bisa melihatnya
menggigil dan gemetaran. Telepon bergetar. Dari Sato.
"Seberapa telat target kita?" tanya Sato.
Simkins menengok kronograf. "Sasaran mengatakan dua puluh menit. Sudah hampir
empat puluh menit. Ada sesuatu yang keliru!"
"Dia tidak datang," ujar Sato. "Sudah berakhir." Simkins tahu, Sato benar. "Ada
kabar dari Hartmann?"
"Tidak, dia tidak pernah menelepon dari Kalorama Height. Aku tidak bisa
menghubunginya." Simkins mengejang. Jika ini benar, ada sesuatu yang benar- benar keliru.
"Aku baru saja menelepon tim pendukung lapangan," ujar Sato, "dan mereka juga
tidak bisa menemukan Hartmann."
Sialan. "Mereka punya lokasi GPS Escalade itu?"
"Ya. Alamat rumah di Kalorama Heights,"jawab Sato.
"Kumpulkan orang-orangmu. Kita pergi."
Sato mengakhiri hubungan telepon dan memandang garis- langkah megah ibu kota
negaranya. Angin sedingin es melecut menembus jaket tipisnya, dan dia
membelitkan kedua lengan pada tubuh agar tetap hangat. Direktur Inoue Sato bukan
perempuan yang sering kedinginan... atau ketakutan. Akan tetapi, saat ini dia
merasakan. dua-duanya. [ ]
BAB 106 Mal'akh hanya mengenakan cawat sutra ketika bergegas menaiki rampa, melewati
pintu baja, dan keluar melalui lukisan ke dalam ruang tamu. Aku harus bersiapsiap dengan cepat. Dia melirik mayat agen CIA difoyer. Rumah ini tidak lagi
aman. Dengan membawa piramida batu di sebelah tangan, Mal'akh langsung melenggang
menuju ruang kerja di lantai pertama dan duduk di depan laptop. Ketika melakukan
log in, dia membayangkan Langdon di lantai bawah dan bertanya- tanya berapa
hari, atau bahkan minggu, akan berlalu sebelum mayat tenggelam itu ditemukan di
ruang bawah tanah rahasia. Tak ada bedanya. Saat itu, Mal'akh akan sudah lama
pergi. Langdon telah menjalankan peranannya... dengan brilian.
Dia bukan hanya menyatukan kembali bagian-bagian Piramida Mason, melainkan telah
menemukan cara untuk memecahkan kode kisi simbol-simbol misterius di dasarnya.
Sekilas pandang, simbol-simbol. itu tampak tak terpecahkan... akan tetapi
jawabannya sederhana... tepat di depan mata.
Laptop Mal'akh menyala, layarnya menyajikan e-mail yang sama yang diterimanya
tadi - foto batu-puncak berkilau, sebagian terhalang oleh jari Warren Bellamy.
The secret hides within The Order. Franklin Square.
Franklin Square... Delapan, ujar Katherine kepada Mal'akh. Perempuan itu juga
mengakui adanya agen-agen CIA yang mengawasi Franklin Square, berharap bisa
menangkap Mal'akh, Dia juga mengetahui ordo apa yang dirujuk oleh batu-puncak
Mason" Shriner" Rosicrucian"
Mal'akh kini tahu, tak satu pun dari kesemua itu. Langdon melihat kebenarannya.
Sepuluh menit yang lalu, dengan cairan naik ke sekeliling wajahnya, profesor
Harvard itu menemukan kunci untuk memecahkan piramida. "The Order Eight Franklin
Square (Persegi-Empat Formasi-Delapan)!" teriaknya dengan mata ketakutan."
Rahasia tersembunyi di dalam Persegi-Empat Franklin Formasi-Delapan.
Pertama-tama Mal'akh tidak bisa memahami artinya.
"Itu bukan alamat!" teriak Langdon dengan mulut ditekankan pada jendela
Plexiglas. "Persegi-Empat Franklin Formasi-Delapan itu persegi empat ajaib!"
Lalu dia mengatakan sesuatu mengenai Albrecht Durer... dan betapa kode pertama
piramida merupakan petunjuk untuk memecahkan kode yang terakhir ini.
Mal'akh mengenal persegi empat ajaib - penganut mistik menyebutnya sebagai
kamea. Teks kuno De Occulta Philosophia menjelaskan secara mendetail kekuatan
mistis persegi empat ajaib dan metode-metode untuk merancang sigil yang luar
biasa berdasarkan kisi ajaib angka-angka. Kini Langdon mengatakan kepadanya
sebuah persegi empat ajaib menyimpan kunci untuk memecahkan kode di dasar
piramida" "Kau perlu persegi empat ajaib delapan-kali-delapan!" teriak profesor itu. Satusatunya bagian tubuh Langdon yang berada di atas cairan hanyalah bibir. "Persegi
empat ajaib dikategorikan berdasarkan formasi! Persegi empat tiga-kali- tiga
disebut 'formasi-tiga'. Persegi empat empat-kali-empat disebut 'formasi-empat'!
Kau perharikan 'formasi delapan'!'
Cairan itu hampir menelan Langdon seluruhnya, dan profesor itu menghela napas
terakhir dengan putus asa, lalu meneriakkan sesuatu mengenai seorang anggota
Mason terkenal... bapak bangsa Amerika... ilmuwan, ahli mistik, ahli matematika,
penemu... dan juga pencipta kamea yang membawa namanya sampai hari ini.
Franklin. Seketika Mal'akh tahu bahwa Langdon benar.
Kini, dengan harapan meluap-luap, Mal'akh duduk di lantai alas bersama
laptopnya. Dia menjalankan pencarian Web cepat, dan menerima lusinan hasil,
memilih satu, dan mulai membaca.
PERSEGI- EMPAT FRANKLIN FORMASI- DELAPAN Salah satu persegi empat ajaib yang
paling terkenal dalam sejarah adalah persegi empat formasi- delapan yang
dipublikasikan pada 1769 oleh ilmuwan Amerika Benj amin Franklin, dan yang
menjadi terkenal karena menyertakan penjumlahan diagonal membengkok yang belum
pernah ada sebelumnya. Obsesi Franklin terhadap bentuk seni mistis ini
kemungkinan besar berasal dari hubungan-hubungan pribadinya dengan para alkemis
dan mistik terkemuka seat itu, dan juga keyakinannya sendiri dalam astrologi,
yang merupakan landasan bagi prediksi-prediksi yang dibuatnya dalam Poor
Richard's Almanack. Mal'akh mempelajari kreasi terkenal Franklin - susunan unik angka 1 sampai 64 dengan penjumlahan setiap baris, kolom, dan diagonal menghasilkan konstanta
ajaib yang sama. Rahasia tersembunyi dalam Persegi-Empat Franklin FormasiDelapan. Mal'akh tersenyum. Gemetar oleh kegembiraannya, ia meraih piramida batu dan
membaliknya, meneliti dasarnya Keenam puluh empat simbol ini perlu disusun-ulang
dan disusun dengan formasi yang berbeda, urutannya ditentukan oleh angka-angka
dalam persegi empat ajaib Franklin. Walaupun Mal'akh tidak bisa membayangkan
bagaimana kisi simbol-simbol yang kacau ini mendadak akan masuk akal dalam
formasi yang berbeda, ia memiliki keyakinan terhadap janji kuno.
Ordo ab chao. Dengan jantung berpacu, dia mengeluarkan selembar kertas dan dengan cepat
menggambar kisi kosong delapan- kali-delapan. Lalu dia mulai memasukkan simbolsimbol, satu per satu, dalam posisi yang ditentukan ulang itu. ang
menakjubkannya, hampir seketika kisi itu mulai masuk akal.


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keteraturan dari kekacauan!
Dia menyelesaikan seluruh pemecahan kode dan menatap hasil di hadapannya dengan
tidak percaya. Gambaran yang nyaris terbentuk. Kisi kacau-balau itu berubah...
tersusun kembali... dan, walaupun Mal'akh tidak bisa memahami seluruh pesan, ia
cukup paham... cukup paham untuk mengetahui dengan tepat kemana dia kini menuju.
Piramida itu menunjukkan jalan.
Kisi itu menunjuk ke salah satu lokasi mistis besar di dunia. Yang mengagumkan,
itu lokasi yang sama yang selalu dibayangkan Mal'akh sebagai tempat untuk
melengkapi perjalanannya. Takdir.
BAB 107 Meja batu itu terasa dingin di bawah punggung Katherine Solomon.
Bayangan mengerikan kematian Robert terus berputar di dalam benaknya, bersamasama dengan semua pikiran mengenai kakaknya. Apakah Peter juga mati" Pisau aneh
di meja di dekatnya terus membawa kilasan-kilasan gambar mengenai apa yang
dialaminya juga. Apakah ini benar-benar akhir dari segalanya"
Anehnya, semua pikiran Katherine langsung beralih pada riset-risetnya... pada
ilmu Noetic... dan pada terobosan- terobosan baru terkininya. Semuanya hilang...
berubah menjadi asap. Dia tidak akan pernah bisa menceritakan kepada dunia
segala dipelajarinya. Temuannya yang paling mengejutkan baru saja terjadi
beberapa bulan lalu, dan hasil- hasilnya berpotensi mendefinisikan kembali cara
manusia memandang kematian. Agaknya, kini memikirkan eksperimen itu...
memberinya penghuran yang tak terduga.
Ketika masih muda, Katherine Solomon sering bertanyatanya, adakah kehidupan setelah kematian. Adakah surga" Apa yang terjadi ketika
kita mati" Ketika dia semakin dewasa, studi-studinya dalam ilmu pengetahuan
segera menghapuskan segala gagasan tidak masuk akal mengenai surga, neraka, atau
kehidupan di alam baka. Dia mulai menganggap konsep "kehidupan setelah kematian"
sebagai gagasan manusia ... dongeng yang dirancang untuk memperlunak kebenaran
mengerikan berupa kefanaan kita.
Atau begitulah yang kupercayai.
Setahun yang lalu, Katherine dan kakaknya mendiskusikan salah satu pertanyaan
yang terus bertahan dalam filsafat, yakni keberadaan jiwa manusia, khususnya
pertanyaan mengenai apakah manusia memiliki semacam kesadaran yang mampu
bertahan di luar tubuh. Mereka berdua merasa bahwa jiwa manusia yang semacam itu mungkin memang ada.
Sebagian besar filsafat kuno mengiyakan. Kebijakan Buddha dan Brahmana mendukung
metempsikosis - perpindahan jiwa ke dalam tubuh-baru setelah kematian; pengikut
Plato mendefinisikan tubuh sebagai "penjara", dan dari sana, jiwa meloloskan
diri; Stoa, sebuah kelompok filosof Yunani kuno, menvebut jiwa sebagai apospasma
tou theu-"partikel Tuhan" dan percaya bahwa jiwa dipanggil kembali oleh Tuhan di
saat kematian. Dengan sedikit frustrasi, Katherine memperhatikan bahwa keberadaan jiwa manusia
mungkin suatu konsep yang tidak akan pernah bisa dibuktikan secara ilmiah.
Mengonfirmasi bahwa kesadaran bisa bertahan di luar tubuh manusia setelah
kematian sama saja dengan mengembuskan segumpal asap dan berharap bisa
menemukannya kembali bertahun-tahun kemudian.
Seusai diskusi mereka, Katherine mendapat gagasan aneh.
Kakaknya menyebut Kitab Kejadian dan penjelasannya mengenai jiwa sebagai
Neshemah - semacam "kecerdasan" spiritual yang terpisah dari tubuh. Terpikir
oleh Katherine bahwa kata kecerdasan menunjukkan adanya pikiran. Ilmu Noetic
jelas menyatakan bahwa pikiran punya massa, dan karenanya beralasan jika jiwa
manusia kemungkinan juga punya massa.
Bisakah aku menimbang jiwa manusia"
Gagasan itu tentu saja mustahil ... bahkan konyol untuk di pikirkan.
Tiga hari kemudian, mendadak Katherine terbangun dari tidur nyenyak dan duduk
tegak di tempat tidur. Dia melompat turun, pergi ke lab, dan langsung mulai
bekerja, merancang sebuah Asperimen yang mengejutkan sederhananya ... tapi juga
mengerikan beraninya. Dia sama sekali tidak tahu apakah eksperimennya akan berhasil, dan dia
memutuskan untuk tidak menceritakan gagasannya kepada Peter sampai pekerjaannya
selesai. Perlu empat bulan, tapi akhirnya Katherine membawa kakaknya ke dalam
lab, sambilmendorong sebuah peralatan besar yang disembunyikann ruang
penyimpanan belakang. "Aku merancang dan membangunnya sendiri," katanya, memperlihatkan penemuannya
kepada Peter. "Bisa menebak?"
Kakaknya menatap mesin aneh itu. "Inkubator?"
Katherine tertawa dan menggeleng, walaupun itu tebakan yang masuk akal. Mesin
itu memang sedikit menyerupai inkubatur transparan untuk bayi prematur, seperti
yang dilihat orang di rumah sakit. Akan tetapi, mesin ini berukuran dewasa kapsul plastik bening panjang, kedap-udara, seperti semacam kapsul tidur
futuristis. Mesin itu bertengger di atas sebuah peralatan elektronik besar.
"Aku ingin tahu apakah ini bisa membantumu menebak," kata Katherine, seraya
mencolokkan peralatan itu ke sumber listrik.
Layar digital pada mesin menyala, semua angkanya berubah-ubah ketika dia
mengalibrasi dengan cermat beberapa tombol.
Ketika Katherine sudah selesai, layarnya menunjukkan:
0 ,0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 kg
"Timbangan?" tanya Peter yang tampak kebingungan.
"Bukan sembarang timbangan." Katherine mengambil secarik kertas kecil dari meja
di dekat situ dan meletakkannya dengan lembut di atas kapsul. Semua angka pada
layar kembali berubah-ubah, lalu menunjukkan serangkaian angka baru.
0 ,0 0 0 8 1 9 4 3 2 5 kg
"Timbangan-mikkro presisi-tinggi," jelas Katherine.
"Resolusinya sampai beberapa mikrogram."
Peter masih tampak bingung. "Kau membuat timbangan yang tepat untuk...
seseorang?" "Tepat sekali," Katherine mengangkat tutup transparan pada mesin. Jika aku
meletakkan seseorang ke dalam kapsul ini dan merapatkan tutupnya, individu itu
akan berada di dalam sebuah sistem yang tertutup rapat seluruhnya. Tak ada yang
masuk atau keluar. Tak ada gas, cairan, partikel-partikel debu. Tak ada yang bisa lolos - bahkan
embusan-embusan napas, keringat yang menguap, cairan-cairan tubuh. Tidak ada."
Peter menyisir rambut perak tebalnya dengan tangan, tindakan gugup aneh yang
juga dilakukan oleh Katherine.
"Hmm... jelas seseorang akan mati dengan cepat di dalam sana."
Katherine mengangguk. "Kira-kira enam menit, tergantung kecepatan bernapasnya."
Peter menoleh kepadanya. "Aku tidak mengerti." Katherine tersenyum. "Kau akan
mengerti." Dia meninggalkan mesin itu dan menuntun Peter ke dalam ruang kontrol Kubus, lalu
mendudukkan kakaknya di hadapan layar plasma. Dia mulai mengetik dan mengakses
serangkaian arsip video yang disimpan pada drive-drive holografis. Ketika layar
plasma itu berpendar menyala, gambar di hadapan mereka tampak seperti rekaman
video amatir. Kamera bergerak, menunjukkan kamar tidur sederhana dengan tempat tidur
berantakan, botol-botol obat, respirator, dan monitor jantung. Peter tampak
bingung ketika kamera terus bergerak dan akhirnya mengungkapkan, hampir di
tengah kamar, peralatan timbangan Katherine.
Mata Peter membelalak. "Apa ...?"
Tutup transparan kapsul terbuka, dan seorang lelaki sangat renta yang mengenakan
masker oksigen berbaring di dalamnya.
Istrinya yang sudah tua dan seorang pekerja rumah sakit berdiri di samping
kapsul. Napas lelaki itu tersengal-sengal dan matanya terpejam.
"Lelaki di dalam kapsul adalah guru sainsku di Yale," jelas Katherine. "Aku dan
dia tetap berhubungan selama bertahun- tahun. Dia sakit parah. Dia selalu
berkata ingin menyumbangkan tubuhnya untuk ilmu pengetahuan. Jadi, ketika aku
menjelaskan gagasanku untuk eksperimen ini, dia langsung ingin ikut ambil bagian
di dalanmya." Peter tampak membisu oleh keterkejutan ketika menatap adegan yang terpampang di
hadapan mereka. Pekerja rumah sakit itu kini menoleh kepada istri lelaki itu.
"Sudah saatnya. Dia sudah siap."
Perempuan tua itu menepuk-nepuk mata basahnya dan mengangguk dengan tenang dan
tabah. "Oke." Perlahan-lahan pekerja rumah sakit menjulurkan tangan ke dalam kapsul dan
melepas masker oksigen lelaki itu. Lelaki itu bergerak sedikit, tapi matanya
tetap terpejam. Kini pekerja itu menyingkirkan respirator dan peralatan lainnya,
meninggalkan lelaki tua di dalam kapsul terisolasi penuh di tengah ruangan.
Istri lelaki sekarat itu kini mendekati kapsul, membungkuk dan dengan lembut
mencium kening suaminya. Lelaki tua tidak membuka mata, tapi bibirnya bergerak,
sedikit sekali, membentuk senyuman lemah penuh cinta.
Tanpa masker oksigennya, napas lelaki tua itu dengan cepat menjadi semakin
tersengal-sengal. Ajalnya jelas sudah dekat.
Dengan kekuatan dan ketenangan yang mengagumkan, istri laki itu perlahan-lahan
meletakkan tutup transparan kapsul dan menutupnya rapat-rapat, persis seperti
yang diajarkan Katherine.
Peter terenyak ketakutan. "Katherine, demi Tuhan"!"
"Tidak apa-apa," bisik Katherine. "Ada banyak udara di dilam kapsul." Dia sudah
melihat video ini lusinan kali, tapi video itu masih membuat denyut nadinya
berpacu. Dia menunjuk timbangan di bawah kapsul tertutup lelaki sekarat itu.
Angka-angka digitalnya menunjukkan:
5 1 ,4 5 3 4 6 4 4 kg "Itu bobot tubuhnya," ujar Katherine.
Napas lelaki itu menjadi semakin tersengal-sengal, dan Peter beringsut maju,
terpesona. "Inilah yang diinginkannya," bisik Katherine. "Perhatikan apa yang terjadi."
Istri lelaki itu sudah melangkah mundur dan kini duduk di tempat tidur,
menyaksikan diam-diam bersama pekerja rumah sakit.
Selama enam puluh detik selanjutnya, napas pendek lelaki itu semakin memburu,
sampai mendadak, seakan lelaki itu sendiri yang menentukan saatnya, dia menghela
napas terakhir. Semuanya berhenti.
Sudah berakhir. Istri dan pekerja rumah sakit itu saling menghibur tanpa bersuara.
Tidak terkadi apa-apa lagi.
Setelah beberapa detik, Peter melirik Katherine dengan pandangan yang jelas
menunjukkan kebingungan. Tunggu, pikir Katherine, seraya mengarahkan kembali pandangan Peter ke layar
digital kapsul yang masih berkilau tenang, memperlihatkan bobot lelaki tak
bernyawa itu. Lalu, terjadilah hal itu.
Ketika melihatnya, Peter tersentak ke belakang, nyaris terkatuh dari kursi.
"Tapi ... itu..." Dia menutupi mulutnya dengan terkejut. "Aku tidak bisa..."
Peter Solomon yang agung jarang kehabisan kata-kata. Katherine bereaksi serupa
ketika melihat apa yang terjadi untuk pertama kalinya.
Beberapa saat setelah kematian lelaki itu, angka-angka pada timbangan mendadak
berkurang. Lelaki itu langsung menjadi lebih ringan setelah kematiannya.
Perubahan bobotnya kecil sekali, tapi bisa diukur... dan implikasi- implikasinya
benar-benar membingungkan.
Katherine ingat dirinya menulis dalam buku catatan lab dengan tangan gemetar:
"Tampaknya ada 'materi' tak terlihat yang keluar dari tubuh manusia pada saat
kematiannya. Materi itu punya bobot yang bisa dikuantifikasi, dan tak terhalang
oleh penghang-penghalang fisik. Harus kuasumsikan bahwa materi itu bergerak
dalam suatu dimensi yang belum bisa kuketahui."
Dari ekspresi keterkejutan di wajah Peter, Katherine tahu kakaknya itu memahami
implikasi-implikasinya. "Katherine..." ujar Peter terbata-bata, seraya
mengerjap-ngerjapkan mata kelabunya, seakan untuk memastikan dia tidak sedang
bermimpi. "Kurasa, kau baru saja menimbang jiwa manusia."
Muncul keheningan panjang di antara mereka.
Katherine merasa bahwa kakaknya berupaya mencerna segala konsekuensikonsekuensinya yang nyata dan mengagumkan. Akan perlu waktu. Seandainya apa yang
baru saja mereka saksikan memang seperti apa yang tampak - yaitu, bukti bahwa
jiwa - kesadaran atau daya-hidup bisa bergerak di luar ranah tubuh - maka
pemahaman baru yang mengejutkan baru saja diperoleh. Ini menyangkut berbagai
pertanyaan mistis: perpindahan, kesadaran kosmis, pengalaman hampir-mati,
proyeksi astral, remote view, lucid dreaming, dan seterusnya dan seterusnya.
Jurnal-jurnal medis dipenuhi cerita mengenai pasien-pasien yang mati di meja
operasi, melihat tubuh mereka dari atas, lalu dibawa kembali pada kehidupan.
Peter terdiam, dan kini Katherine melihat air menggenangi matanya. Dia mengerti.
Waktu itu, dia juga menangis. Peter dan Katherine telah kehilangan orang-orang
tercinta. Dan, bagi siapa pun yang pernah mengalaminya, petunjuk terkecil
mengenai roh manusia yang terus bertahan setelah kematian akan membawa secercah
harapan. Dia memikirkan Zachary, pikir Katherine, yang memahami kesedihan mendalam di
mata kakaknya. Selama bertahun- tahun Peter membawa beban tanggung jawab atas
kernatian putranya. Peter berkali-kali menyatakan kepada Katherine bahwa
meninggalkan Zachary di penjara adalah kesalahan terburuk dalam hidupnya, dan
dia tidak akan pernah menemukan cara untak memaafkan dirinya sendiri.
Pintu yang terbanting menarik perhatian Katherine, dan mendadak dia kembali ke
ruang bawah tanah, berbaring di atas meja batu dingin. Pintu logam di atas rampa
menutup dengan keras, dan lelaki bertato itu kembali turun. Katherine bisa
mendengarkannya memasuki salah satu ruangan di lorong, melakukan sesuatu di
dalam, lalu menyusuri lorong menuju ruangan tempat Katherine berada. Ketika
lelaki itu masuk, Katherine bisa melihat bahwa dia sedang mendorong sesuatu yang
berada di depannya. Sesuatu yang berat... di atas roda-roda. Ketika lelaki itu
melangkah ke dalam cahaya, Katherine menatap dengan tidak percaya. Lelaki
bertato itu sedang mendorong seseorang yang berada di kursi roda. Secara
intelektual, otak Katherine mengenali lelaki di kursi.
Secara emosional, benaknya nyaris tidak bisa menerima apa yang sedang
dilihatnya. Peter" Dia tidak tahu apakah harus kegirangan karena kakaknya masih hidup... atau
benar-benar ketakutan. Tubuh Peter tercukur halus. Rambut perak tebalnya lenyap,
begitu juga sepasang alisnya, dan kulit halusnya berkilau seakan diminyaki. Dia
mengenakan gaun sutra hitam. Di tempat tangan kanannya seharusnya berada, dia
hanya punya bonggol yang dibalut perban bersih baru. Mata sarat-kesakitan
kakaknya memandangnya, penuh penyesalan dan penderitaan.
"Peter!" Suara Katherine pecah.
Kakaknya mencoba bicara, tapi hanya mengeluarkan suara- suara tenggorokan yang
teredam. Kini Katherine menyadari bahwa Peter terikat di kursi roda dan mulutnya
disumpal. Lelaki bertato itu menjulurkan tangan ke bawah dan dengan lembut mengelus-elus
kulit kepala plontos Peter. "Aku sudah menyiapkan kakakmu untuk kehormatan
besar. Dia punya peranan yang harus dimainkan-nya malam ini."
Seluruh tubuh Katherine mengejang. Tidak.....
"Sebentar lagi aku dan Peter akan pergi, tapi kurasa kau ingin mengucapkan
selarnat tinggal." "Ke mana kau membawanya?" tanya Katherine lemah.
Lelaki itu tersenyurn. "Aku dan Peter harus melakukan perjalanan ke gunung suci.
Di situlah tempat harta karun itu berada. Piramia Mason telah mengungkapkan
lokasinya. Temanmu Robert Langdonlah yang paling membantu."
Katherine memandang ke dalam mata kakaknya. "Dia membunuh ... Robert."
Raut wajah kakaknya mengernyit dalam penderitaan, dan menggeleng keras-keras,
seakan tidak mampu mendengar banyak hal yang menyakitkan lagi.
"Nah, nah, Peter," ujar lelaki itu, seraya kembali mengelus kulit kepala Peter.
"Jangan biarkan ini merusak momentnya. Ucapkan selamat tinggal kepada adik
perempuanmu. Ini reuni keluarga terakhirmu."
Katherine merasakan benaknya dipenuhi keputusasaan.
"Mengapa kau berbuat seperti ini"!" teriaknya kepada lelaki itu. Apa yang pernah
kami lakukan terhadapmu"! Mengapa kau begitu membenci keluargaku"!"
Lelaki bertato itu mendekat dan meletakkan mulutnya persis di samping telinga
Katherine. "Aku punya alasan- alasanku, Katherine." Lalu dia berjalan menuju
meja-samping dan memungut pisau aneh itu. Dia membawanya mendekat Katherine, dan
menyentuhkan bilah yang terasah tajam itu ke pipinya "Tak diragukan lagi, ini
pisau paling terkenal dalam sejarah."
Katherine tidak mengenal pisau terkenal apa pun, tapi pisau itu tampak kuno dan
mengancam. Bilahnya terasa setajam silet.
"Jangan khawatir," ujar lelaki itu. " Aku tidak bermaksud menyia-nyiakan
kekuatannya untukmu. Aku menyimpannya untuk pengorbanan yang lebih berharga...
di tempat yang lebih suci." Dia berpaling kepada kakak Katherine. "Peter, kau
mengenali pisau ini, bukan?"


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata kakak Katherine membelalak ketakutan sekaligus tidak percaya.
"Ya, Peter, artefak kuno ini masih ada. Aku memperolehnya dengan susah payah...
dan aku menyimpannya untukmu. Akhirnya, aku dan kau bisa mengakhiri perjalanan
menyakitkan kita bersama-sama."
Diiringi perkataan itu, dia membungkus pisau dengan hati- hati, dengan kain
bersama -sama semua barang lainnya - dupa, botol-botol kecil berisi cairan,
kain-kain satin putih, dan benda-benda seremonfal lainnya. Lalu dia memasukkan
barang-barang terbungkus itu ke dalain tas kulit Robert Langdon bersama-sama
dengan Piramida Mason dan batu- puncak. Katherine menyaksikan dengan tidak
berdaya ketika lelaki itu menutup tas bahu Langdon dan berpaling kepada
kakaknya. "Maukah kau membawakannya, Peter?" Lelaki itu meletakkan tas berat itu di atas
pangkuan Peter. Selanjutnya, lelaki itu berjalan ke sebuah laci dan mulai menggeledah isinya.
Katherine bisa mendengar denting benda-benda logam kecil. Ketika kembali, lelaki
itu meraih lengan kanan Katherine, lalu menenangkannya. Katherine tidak bisa
melihat apa yang sedang dilakukan oleh lelaki itu, tapi tampaknya Peter bisa,
dan sekali lagi dia mulai bergerak- gerak panik.
Katherine merasakan cubitan tajam mendadak di lengkung siku kanannya, lalu
kehangatan yang mengerikan terasa di sekelilingnya. Peter menciptakan suarasuara tercekik putus asa dan mencoba dengan sia-sia untuk meninggalkan kursi
berat itu. Katherine merasakan dinginnya perasaan mati-rasa yang menyebar ke
seluruh lengan bawah dan ujung-ujung jari tangannya.
Ketika lelaki itu melangkah minggir, Katherine bisa melihat mengapa kakaknya
begitu ketakutan. Lelaki bertato itu telah menyisipkan jarum medis ke dalam
nadinya, seakan Katherine sedang menyumbang darah, Akan tetapi, jarum ita tidak
melekat pada sebuah tabung. Darah Katherine kini mengalir keluar dengan
bebas ... mengaliri siku, lengan bawah, dan meja batu.
"Jam-pasir manusia," ujar lelaki itu, seraya berpaling kepada Peter. "Sebentar
lagi, ketika aku memintamu untuk memainkan perananmu, aku ingin kau membayangkan
Katherine ... mati sendirian di sini dalam kegelapan."
Raut wajah Peter benar-benar penuh penderitaan.
"Dia akan tetap hidup," ujar lelaki itu, "selama kira-kira satu jam. Jika kau
cepat-cepat bekerja sama denganku, aku akan punya cukup waktu untuk
menyelamatkannya. Tentunya, jika kau sedikit saja menentangku... adikmu akan
mati di sini sendirian dalam kegelapan."
Peter meraung melalui sumpalnya tanpa bisa dipahami.
"Aku tahu, aku tahu," ujar lelaki bertato itu, seraya meletakan tangan di bahu
Peter, "Ini sulit buatmu. Tapi, seharusnya tidak. Bagaimanapun, ini bukan
pertama kalinya kau meninggalkan seorang anggota keluarga." Dia terdiam,
membungkuk, dan berbicara di telinga Peter. "Tentu saja maksudku adalah putramu,
Zachary, di Penjara Soganlik."
Peter menarik tali-tali pengikatnya dan mengeluarkan teriakan teredam lain
melalui kain di mulutnya.
"Hentikan!" teriak Katherine.
"Aku mengingat malam itu dengan baik," ejek lelaki itu, ketika selesai berbenah.
"Aku mendengar seluruhnya. Kepala penjara menawarkan pembebasan putramu, tapi
kau memilih untuk memberi Zachary pelajaran... dengan meninggalkannya.
Anak laki-lakimu memang telah belajar, bukan?" Lelaki itu tersenyum,
"Kepergiannya... adalah keuntunganku."
Kini lelaki itu mengeluarkan kain linen dan memasukkannya dalam-dalam ke mulut
Katherine. "Kematian," bisiknya, "seharusnya berlangsung dengan tenang."
Peter meronta-ronta hebat. Tanpa sepatah kata pun lagi, lelaki bertato itu
perlahan-lahan mengeluarkan kursi roda Peter dari ruangan, memberi Peter
kesempatan untuk berlama-lama memandang adiknya untuk terakhir kalinya.
Katherine dan kakaknya saling bertatapan untuk terakhir kalinya.
Lalu Peter menghilang. Katherine bisa mendengar mereka menaiki rampa dan melewatu pintu logam. Ketika
mereka keluar, Katherine mendengar lelaki bertato itu mengunci pinta logam di
belakangnya dan melanjutkan perjalanan melalui lukisan The Three Graces.
Beberapa menit ke mudian, Katherine mendengar mesin mobil dinyalakan.
Lalu gedung itu sunyi. Sendirian dalam kegelapan, Katherine tergeletak berdarah.
BAB 108 Pikiran Robert Langdon melayang di dalam lubang tak berdasar.
Tak ada cahaya. Tak ada suara. Tak ada perasaan. Hanya kekosongan sunyi yang tak
terhingga. Kelembutan. Tanpa bobot. Tubuhnya telah melepaskan dirinya. Dia bebas.
Dunia fisik sudah tidak ada lagi. Waktu sudah tidak ada lagi. Kini dia adalah
kesadaran murni kesadaran tanpa-tubuh yang melayang dalam kekosongan alam
semesta luas. BAB 109 Helikopter UH-60 termodifikasi melayang rendah di atas puncak-puncak atap luas
Kalorama Heights, bergemuruh melintasi koordinat-koordinat yang diberikan kepada
mereka oleh tim pendukung. Agen Simkins adalah yang pertama melihat Escalate
hitam itu terparkir serampangan di halaman depan salah satu mansion. Gerbang
jalan masuknya tertutup, rumahnya gelap sepi.
Sato memberi isyarat untuk mendarat.
Helikopter itu mendarat keras di halaman depan, di antara beberapa kendaraan
lainnya ... salah satunya kendaraan petugas keamanan dengan lampu bulat di
atasnya. Simkins dan timnya melompat keluar, mengeluarkan senjata dan bergegas menuju
beranda. Ketika menemukan pintu depan dalam keadaan terkunci, Simkins
menangkupkan kedua tangannya di jendela dan mengintip ke dalam. Foyer gelap,
tapi Simkins bisa melihat bayang-bayang samar sesosok tubuh di lantai.
"Sialan," bisiknya. "Itu Hartmann."
Salah satu agennya meraih kursi dari beranda dan melemparkannya ke jendela
menonjol itu. Suara kaca pecah nyaris tak terdengar di tengah raungan helikopter
di belakang mereka. Beberapa detik kemudian, mereka semua sudah berada di dalam. Simkins bergegas
menuju foyer dan berlutut di samping Hartmann untuk mengecek denyut nadinya.
Tidak ada. Darah tampak di mana-mana. Lalu dia melihat obeng di leher Hartmann.
Yesus. Dia berdiri dan mengisyaratkan orang-orangnya untuk memulai penggeledahan
menyeluruh. Agen-agen itu menyebar melintasi lantai pertama, pembidik-laser mereka meneliti
kegelapan rumah mewah itu. Mereka tidak menemukan apa-apa di ruang tamu atau
ruang kerja. Tapi, yang mengejutkan, di ruang makan, mereka menemukan seorang
petugas keamanan perempuan yang mati tercekik. Simkins langsung kehilangan
harapan bisa menemukan Robert Langdon dan Katherine dalam keadaan hidup.
Pembunuh brutal ini jelas telah memasang perangkap. Dan, jika dia berhasil
membunuh seorang agen CIA dan seorang petugas keamanan bersenjata, tampaknya
seorang profesor dan seorang ilmuwan tidak punya peluang.
Setelah lantai pertama aman, Simkins mengirim dua agen untuk meneliti lantai
atas. Sementara itu, dia menemukan serangkaian tangga ruang bawah tanah di luar
dapur dan menuruninya. Di bawah tangga, dia menyorotkan senter. Ruang bawah
tanah itu luas dan bersih, seakan hampir tak pernah digunakan. Tangki uap,
dinding-dinding semen, beberapa kotak. Sama sekali tidak ada apa-apa di sini.
Simkins kembali naik menuju dapur persis ketika orang-orangnya turun dari lantai
dua. Semuanya menggeleng-gelengkan kepala.
Rumah itu sepi. Tak seorang pun di rumah. Dan tidak ada lagi mayat. Simkins menghubungi Sato
dengan radio, melaporkan bahwa semuanya aman dan memberitahukan perkembangan
menyedihkan itu. Ketika dia tiba di foyer, Sato sudah menaiki tangga menuju beranda. Warren
Bellamy terlihat di belakangnya, duduk bingung sendirian di dalam helikopter
bersama tas kerja titanium Sato di kakinya. Laptop berpengaman milik Direktur OS
itu memberi Sato akses ke seluruh-dunia, ke dalam sistem- sistem komputer CIA
melalui uplink-uplink tersandi dengan satelit. Sebelumnya tadi, dia menggunakan
komputer ini untuk memberi Bellamy semacam informasi yang begitu mengejutkan,
hingga lelaki itu bersedia bekerja sama sepenuhnya. Simkins sama sekali tidak
tahu. apa yang dilihat Bellamy. Tapi, apa pun itu, sang Arsitek tampak
terguncang hebat setelahnya.
Ketika memasuki foyer, Sato berhenti sejenak, menunduk memandangi mayat
Hartmann. Sejenak kemudian, dia mendongak menatap Simkins. "Tidak ada tandatanda Langdon Katherine" Atau Peter Solomon?"
Simkins menggeleng. "Jika masih hidup, lelaki itu membawa mereka bersamanya."
"Kau menemukan komputer di rumah itu?"
"Ya, Ma'am. Di kantor."
"Tunjukkan." Simkins menuntun Sato keluar dari foyer dan memasuki ruang tamu. Karpet mewah
ruangan dipenuhi oleh pecahan kaca dari jendela menonjol yang pecah. Mereka
berjalan melewati perapian, sebuah lukisan besar, dan beberapa rak buku menuju
pusat kantor. Kantornya berpanel kayu, dengan meja antik dan mozaik komputer
besar. Sato berjalan memutar ke belakang meja dan meneliti layar, lalu langsung
memberengut. "Keparat," ujarnya berbisik.
Simkins mengitari meja dan memandang layar. Kosong.
"Ada apa?" Sato menunjuk tempat penyimpanan komputer yang kosong di meja. "Dia memakai
laptop. Dia membawa benda itu bersamanya."
Simkins tidak mengerti. "Anda ingin melihat informasi yang dimilikinya?"
"Tidak," jawab Sato dengan nada serius. "Aku tidak ingin seorang pun melihat
informasi yang dimilikinya."
Di lantai bawah, di dalam ruang bawah tanah tersembunyi, Katherine Solomon
mendengar suara baling-baling helikopter diikuti oleh kaca pecah dan langkahlangkah kaki bersepatu bot berat di lantai di atasnya. Dia mencoba berteriak
minta tolong, tapi sumpal di mulutnya membuat hal itu mustahil. Dia nyaris tidak
bisa mengeluarkan suara. Semakin keras dia berusaha, semakin cepat darah
mengalir dari sikunya. Dia merasa kehabisan napas dan sedikit pusing.
Katherine-tahu, dia harus menenangkan diri. Gunakan pikiranmu, Katherine. Dengan
segenap tekad, dia membujuk dirinya sendri untuk memasuki keadaan meditatif.
Benak Robert Langdon melayang melewati kekosongan ruang. Dia mengintip ke dalam
kekosongan tak terhingga itu, mencari titik referensi apa pun. Dia tidak
menemukan apa- apa. Kegelapan total. Keheningan total. Kedamaian total.
Bahkan, tidak ada tarikan gravitasi yang memberitahunya mana atas dan mana
bawah. Tubuhnya lenyap. Ini pasti kematian. Waktu tampaknya berubah singkat, memanjang dan memampat, seakan tidak punya
pijakan di tempat ini. Langdon tidak tahu lagi seberapa lama waktu telah
berlalu. Sepuluh detik" Sepuluh menit" Sepuluh hari"
Akan tetapi, mendadak, bagaikan ledakan dahsyat di galaksi-galaksi yang jauh,
ingatan-ingatan mulai mewujud, bergulung-gulung menghampiri Langdon seperti
gelombang- kejut yang melintasi kehampaan luas.
Seketika Robert Langdon mulai ingat. Gambar-gambar menyergapnya... jelas dan
mengganggu. Dia menatap sebuah wajah tertutup tato. Sepasang tangan kuat
mengangkat kepalanya dan menumbukkannya ke lantai.
Rasa sakit menyeruak ... lalu kegelapan. Cahaya kelabu.
Berdenyut-denyut. Gumpalan-gumpalan ingatan. Langdon diseret, setengah sadar, turun, turun, turun.
Penangkapnya merapalkan sesuatu. Verbum significatium ... Verbum omnificum ...
Verbum perdo .... [ ] BAB 110 Direktur Sato berdiri sendirian di ruang kerja, menunggu divisi pencitraansatelit CIA memproses permintaannya. Salah satu kemewahan bekerja di area DC
adalah pengawasan selit. Jika beruntung, salah satu satelit mungkin berada di
posisi yang tepat malam ini untuk mendapatkan foto-foto rumah ini... mungkin
memotret sebuah kendaraan yang meninggalkan tempat ini dalam setengah jam
terakhir. "Maaf, Ma'am," kata teknisi satelit. "Tidak ada hasil pengawaan di koordinatkoordinat itu malam ini. Anda ingin mengajukan permintaan reposisi?"
"Tidak, terima kasih. Sudah terlambat." Sato menutup telepon.
Perempuan itu mengembuskan napas, kini dia sama sekali tidak tahu bagaimana cara
menemukan ke mana sasaran mereka pergi. Dia berjalan menuju foyer. Di sana,
orang- orangnya sudah memasukkan mayat Agen Hartmann ke dalam kantong dan sedang
membawanya menuju helikopter. Sato sudah memerintahkan Agen Simkins untuk
mengumpulkan orang-orangnya dan bersiap-siap kembali ke Langley, tapi Simkins
sedang berada di ruang tamu, dalam posisi merangkak. Dia tampak seakan sedang
sakit. "Kau baik-baik saja?"
Simkins mendongak dengan ekspresi wajah aneh. "Anda melihatnya?" Dia menunjuk
lantai ruang tamu. Sato mendekat dan menunduk memandangi karpet mewah itu. Dia menggeleng, tidak
melihat apa-apa. "Bongkoklah," ujar Simkins. "Lihat bulu-bulu karpetnya." Sato melakukannya.
Setelah beberapa saat, dia melihatnya.
Serat-serat karpet tampak seakan telah tergilas... melesak di sepanjang dua
garis lurus, seakan roda-roda dari suatu benda berat telah digelindingkan
melintasi ruangan. "Yang aneh," ujar Simkins, "adalah ke mana jejak-jejak itu pergi." Dia menunjuk.
Pandangan Sato mengikuti garis-garis paralel tersamar di sepanjang karpet ruang
tamu. Jejak-jejak itu tampaknya menghilang di bawah sebuah lukisan besar - dari
lantai sampai langit-langit - yang tergantung di samping perapian. Apa ini"
Simkins berjalan menuju lukisan itu dan mencoba menurunkannya dari dinding.
Benda itu tidak bergerak.
"Melekat," katanya, seraya menelusurkan jari-jari tangannya mengelilingi
pinggiran lukisan. "Tunggu, ada sesuatu di bawahnya...." jarinya menumbuk tuas
kecil di pinggiran bawah, dan sesuatu berbunyi klik.
Sato melangkah maju ketika Simkins mendorong bingkai lukisan itu, dan seluruh
lukisan berputar pelan pada porosnya bagaikan pintu-putar.
Simkins mengangkat senter dan menyorotkannya ke dalam ruang gelap di baliknya.
Mata Sato menyipit. Ini dia.
Di ujung koridor pendek, berdirilah sebuah pintu logam tebal.
Semua ingatan yang bergulung-gulung melewati kegelapan benak Langdon datang dan
pergi. Dalam kepergian mereka, jejak kilau merah darah berpusar-pusar, bersamasama dengan bisikan mengerikan yang sama di kejauhan.
Verbum significatium ... Verbum Omnificum ... Verbum perdo.
Perapalan itu berlanjut seperti dengung suara-suara yang menyanyikan kidung
Alkitab Abad Pertengahan.
Verbum significatium ... Verbum omnificum. Kata-kata itu kini berjatuhan
melewati kekosongan hampa. Di sekeliling Langdon, suara-suara baru menggema.
Apocalypsis ... Franklin ... Apocalypsis ... Verbum ... Apocalypsis Tanpa
disertai peringatan, sebuah lonceng kedukaan berdentang di suatu tempat di
kejauhan. Lonceng itu berdentang dan berdentang semakin keras. Kini lonceng itu
berdentang makin mendesak, seakan berharap Langdon akan mengerti, akan mendesak
pikiran Langdon untuk mengikuti.[ ] BAB 111
Lonceng yang berdentang di menara lonceng berbunyi selama tiga menit penuh,
menggetarkan lampu kristal yang tergantung di atas kepala Langdon. Berdekadedekade lalu, dia sering menghadiri ceramah di gedung pertemuan terkenal ini di
Phillips Exeter Academy. Akan tetapi, hari ini dia berada di sana untuk
mendengarkan ceramah seorang sahabat kepada badan mahasiswa. Ketika lampu-lampu
diredupkan, Langdon duduk di dekat dinding belakang, di bawah sekumpulan foto
pemimpin akademi. Keheningan menyebar di antara kerumunan itu.
Di dalam kegelapan total, sesosok bayangan tinggi melintasi panggung dan berdiri
di podium. "Selamat pagi," bisik suara tak berwajah itu ke dalam mikrofon.
Semua orang berdiri, berusaha melihat siapa yang menyapa mereka.
Sebuah proyektor slide menyala, menunjukkan foto hitam putih pudar - kastil
dramatis dengan facade dari batu pasir merah, menara-menara persegi empat
tinggi, dan hiasan- hiasan Gothik. Bayangan itu kembali bicara. "Siapa yang tahu di mana ini?"
"Inggris!" ujar seorang gadis dalam kegelapan. "Facade ini merupakan campuran
antara Gothik awal dan Romanesque akhir, berarti ini kastil Norman asli di
Inggris sekitar abad ke- 12."

Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wow," jawab suara tak berwajah itu. "Rupanya, ada yang benar-benar menguasai
kuliah arsitektur." Erangan pelan terdengar di mana-mana.
"Sayangnya," imbuh bayangan itu, "kau keliru sejauh empat ribu delapan ratus
kilometer dan setengah milenium."
Ruangan riuh. Kini proyektor menyajikan foto berwarna modern kastil yang sama itu dari sudut
yang berbeda. Menara-menara batu pasir Seneca Creek kastil mendominasi bagian
depan, tapi di latarbelakang yang mengejutkan dekatnya itu, berdirilah kubah
megah, putih berpilar, Gedung Capitol AS.
"Tunggu!" teriak gadis itu. "Ada kastil Norman di DC?"
"Semenjak 1855," jawab suara itu. "Dan saat itulah foto ikutnya ini diambil."
Muncul slide baru-foto hitam-putih interior, menunjuk ruang utama besar
berbentuk kubah, dihiasi kerangka-kerangka hewan, lemari-lemari pajang ilmiah,
wadah-wadah kaca berisi sampel biologis, artefak-artefak arkeologis, dan
cetakan- cetakan plastik reptil prasejarah.
"Kastil menakjubkan ini," ujar suara itu, "adalah museum pengetahuan pertama
Amerika yang sesungguhnya. Itu untuk Amerika dari seorang ilmuwan Inggris kaya,
yaitu bapak bangsa kita - percaya bahwa negara kita yang saat itu bayi bisa
menjadi tanah pencerahan. Dia menganugerahkan kekayaan besar kepada bapak bangsa
kita, dan meminta mereka mendirikan sebuah institusi untuk peningkatan dan
penyebaran ilmu pengetahuan di poros bangsa kita." Dia terdiam untuk waktu lama.
"Siapa yang bisa menyebut nama ilmuwan murah hati ini"'
Sebuah suara pelan di bagian depan berkata, "James Smithson?"
Bisikan yang mengungkapkan pemahaman riuh terdengar antara kerumunan.
"Memang Smithson," jawab lelaki di atas panggung. Peter Solomon kini melangkah
ke dalam cahaya, mata kelabunya berkilau jenaka. "Selamat pagi. Namaku Peter
Solomon, dan aku sekretaris Smithsonian Institute."
Para mahasiswa bertepuk tangan meriah.
Di dalam bayang-bayang, Langdon menyaksikan dengan kagum ketika Peter memukau
benak-benak muda itu dengan fotografis sejarah awal Smithsonian Institute.
Pertunjukkan dimulai dengan Kastil Smithsonian, lab-lab ilmu pengetahuan bawah
tanah, koridor-koridor yang didereti barang koleksi, ruangan penuh moluska, para
ilmuwan yang menyebut diri mereka sebagai "kurator crustacean (hewan berkulit
keras)", dan bahkan foto kuno dua penghuni kastil yang paling populer - sepasang
burung hantu bernama Diffusion (Penyebaran) dan Increase (Peningkatan) yang kini
sudah mati. Pertunjukan slide setengah-jam itu berakhir dengan foto satelit
mengesankan National Mall yang kini didereti museum- museum Smithsonian besar.
"Seperti yang kukatakan pada saat permulaan," ujar Solomon menyimpulkan, "James
Smithson dan bapak bangsa kita membayangkan negara besar kita sebagai tanah
pencerahan. Aku yakin, mereka kini akan merasa bangga. Smithsonian Institute
agung mereka berdiri sebagai simbol ilmu pengetahuan dan pemahaman, persis di
poros Amerika. Itu penghormatan yang hidup, bernapas, dan bekerja mewujudkan
mimpi bapak bangsa kita untuk Amerika-negara yang didirikan berdasarkan prinsip
pemahaman, kebijakan, dan ilmu pengetahuan."
Solomon mematikan proyektor diiringi tepuk tangan riuh bersemangat. Lampu-lampu
ruangan menyala, bersama-sama dengan lusinan tangan yang teracung bertanya.
Solomon menyilakan seorang anak laki-laki berambut merah di bagian tengah.
"Mr. Solomon?" sapa anak laki-laki itu, yang kedengaran bingung. "Anda
mengatakan bapak bangsa kita melepaskan diri dari tekanan keagamaan Eropa untuk
mendirikan negara berdasarkan prinsip-prinsip, kemajuan ilmu pengetahuan."
"Itu benar." "Tapi ... saya mendapat kesan bapak bangsa kita adalah orang orang yang sangat
religius, yang mendirikan Amerika sebagai negara Kristen."
Solomon tersenyum. "Sobat, jangan salah mengerti, bapak bangsa kita sangat
religius, tapi mereka Deist - orang-orang yang percaya kepada Tuhan, tapi dengan
cara universal dan dengan pikiran terbuka. Satu-satunya ideal keagamaan yang
mereka kemukakan adalah kebebasan beragama." Dia menarik mikrofon dari podium
dan melenggang ke pinggir panggung. " Bapak bangsa Amerika punya visi utopia
yang tercerahkan secara spiritual, di mana kebebasan berpikir, pendidikan massa,
dan kemajuan ilmiah akan menggantikan kegelapan takhayul keagamaan kuno."
Seorang gadis berambut pirang mengangkat tangan.
"Ya?" "Pak," kata gadis itu, seraya mengangkat ponsel. "Saya membaca riset Anda secara
online, dan menurut Wikipedia, Anda anggota terkemuka Persaudaraan Mason Bebas."
Solomon menunjukkan cincin Masonnya. "Aku bisa menghemat tagihan datamu."
Para mahasiswa tertawa. "Ya, wah," lanjut gadis itu dengan ragu, "Anda baru saja menyebut 'takhayul
keagamaan kuno' dan, tampaknya, jika seseorang bertanggung jawab
mempropagandakan takhayul- takhayul ... orang itu adalah kaum Mason."
Solomon tidak tampak terkejut. "Oh" Kok, bisa?"
"Wah, saya banyak membaca tentang Mason, sehingga tahu kalau mereka punya banyak
ritual dan kepercayaan kuno aneh. Artikel online ini bahkan mengatakan bahwa
kaum Mason memercayai kekuatan semacam kebijakan ajaib kuno... yang bisa
mengangkat manusia ke ranah dewa-dewa?" Semua orang menoleh dan menatap gadis
itu seakan dia gila. "Sesungguhnya," jawab Solomon, "dia benar."
Semua mahasiswa berputar menghadap ke depan dengan membelalak.
Solomon menahan senyum dan bertanya kepada gadis itu, "Apakah artikel itu
menawarkan kebijakan-Wiki lainnya mengenai pengetahuan ajaib ini?"
Kini gadis itu tampak tidak nyaman, tapi mulai membaca dari situs Web. "Untuk
memastikan kebijakan luar biasa ini tidak bisa digunakan oleh mereka yang tidak
layak, para ahli kuno menuliskan pengetahuan mereka dalam kode... menyelubungi
kebenaran luar biasa ini dalam bahasa metaforis simbol, mitos, dan alegoris.
Sampai saat ini, kebijakan tersandi ini berada di sekeliliiig kita... disandikan
dalam mitologi, seni, dan teks-teks gaib selama berabad-abad. Sayangnya, manusia
modern telah kehilangan kemampuan untuk memecahkan jaringan rumit simbolisme
ini... dan kebenaran luar biasa itu telah hilang."'
Solomon menunggu. "Hanya itu?"
Gadis itu beringsut di kursinya. "Sesungguhnya, masih ada sedikit lagi."
"Kuharap begitu. Harap... katakan."
Gadis itu tampak ragu, tapi berdeham dan melanjutkan.
"Menurut legenda, orang-orang bijalk yang menyandikan Misteri Kuno pada zaman
dahulu telah meninggalkan semacam kunci... kata-sandi yang bisa digunakan untuk
memecahkan rahasia-rahasia tersandi. Kata-sandi ajaib ini - yang dikenal sebagai
verbum significatium - dikatakan memiliki kekuatan untuk mengangkat kegelapan
dan memecahkan Misteri Kuno, menyingkapkan misteri-misteri itu untuk pemahaman
semua manusia." Solomon tersenyum sedih. "Ah, ya ... verbum significatium." Sejenak dia menatap
kekosongan, lalu mengarahkan kembali pandangannya kepada gadis berambut pirang
itu. "Dan di mana kata menakjubkan ini sekarang?"
Gadis itu tampak cemas, jelas berharap dirinya tidak menantang pembicara tamu
mereka. Dia menyelesaikan pembacaannya. "Menurut legenda, verbum significatium
terkubur jauh di bawah tanah. Di sana, kata itu menunggu dengan sabar kedatangan
momen penting dalam sejarah... momen ketika umat manusia tidak bisa lagi
bertahan tanpa kebenaran, pengetahuan, dan kebijakan selama berabad- abad. Di
persimpangan gelap ini, umat manusia pada akhirnya akan menggali Kata itu dan
memasuki abad baru pencerahan yang menakjubkan."
Gadis itu mematikan ponsel dan duduk melorot di kursinya. Setelah keheningan
panjang, mahasiswa lain mengangkat tangan. "Mr. Solomon, Anda tidak sungguhsungguh memercayai hal itu, bukan?"
Solomon tersenyum. "Mengapa tidak" Mitologi-mitologi kita punya tradisi panjang
kata-kata ajaib yang memberi pemahaman dan kekuatan menyerupai tuhan. Sampal
anak- anak masih meneriakkan 'abrakadabra' dengan harapan bisa menciptakan
sesuatu dari ketiadaan. Tentu saja, kita sudah lupa kalau kata ini bukan barang
mainan; kata ini punya akar dalam mistisisme Aramaik - Avrah KaDabra - yang
berbicara, 'Ketika bicara, aku menciptakan'." Hening.
"Tapi, Pak," desak mahasiswa itu kini, "pasti Anda tidak percaya bahwa satu kata
tanggal... verbum significatium ini... apapun itu... punya kekuatan untuk
mengungkapkan kebijakan kuno dan mendatangkan pencerahan ke seluruh dunia?"
Wajah Peter Solomon tidak mengungkapkan apa-apa.
"Sebenarnya kepercayaanku bukanlah urusanmu. Yang seharusnya menjadi urusanmu
adalah, ramalan mengenai datangnya pencerahan yang digaungkan di dalam hampir
semua tradisi keyakinan dan filsafat di dunia. Orang Hindu menyebutnya sebagai
Abad Krita, para astrolog menyebutnya sebagai Abad Aquarius, orang Yahudi
menjelaskan kedatangan Mesias, teosofis menyebutnya New Age, kosmolog
menyebutnya sebagai Konvergensi Harmonik dan meramalkan tanggal terjadinya."
"Dua puluh satu Desember 2012!" teriak seseorang.
"Ya, menggelisahkan cepat-nya... jika kau memercayai matematika bangsa Maya."
Langdon tergelak, mengingat bagaimana Solomon, sepuluh tahun yang lalu, telah
meramalkan dengan benar keriuhan proram-khusus televisi saat ini yang meramalkan
2012 sebagai Akhir Dunia.
"'Dengan mengesampingkan waktunya," ujar Solomo, "bagiku menakjubkan ketika
mengamati bahwa di sepanjang sejarah, semua filsafat umat manusia yang berbeda
menyetujui satu hal - datangnya pencerahan yang luar biasa. Di dalam semua
kebudayaan, di dalam semua era, di semua penjuru dunia, mimpi manusia terpusat
pada konsep yang persis sama - kedatangan apoteosis manusia... datangnya
perubahan pikiran manusia menjadi kemampuan potensial sejatinya." Dia tersenyum.
"Apa yang kemungkinan bisa menjelaskan sinkronitas kepercayaan semacam ini?"'
"Kebenaran," ujar sebuah suara pelan di dalam kerumunan. Solomon berputar.
"Siapa yang berkata begitu?"
Tangan yang teracung adalah milik seorang anak laki-laki Asia mungil, yang raut
wajah lembutnya menyatakan bahwa dia mungkin orang Nepal atau Tibet. "Mungkin
ada kebenaran universal yang tertanam di dalam jiwa semua orang. Mungkin kita
semua punya cerita yang sama yang tersembunyi di dalam diri kita, bagaikan
konstanta yang sama dalam DNA kita. Mungkin kebenaran kolektif ini bertanggung
jawab atas kesamaan dalam semua cerita kita."
Wajah Solomon berseri-seri ketika dia menyatukan kedua tangannya dan membungkuk
hormat kepada anak laki-laki itu. "Terima kasih." Semuanya terdiam.
"Kebenaran," kata Solomon kepada seluruh ruangan.
"Kebenaran punya kekuatan. Dan, jika kita semua tertarik pada gagasan-gagasan
yang serupa, mungkin kita melakukannya karena gagasan-gagasan itu benar...
tertulis jauh di dalam diri kita. Dan ketika mendengar kebenarannya, seandainya
pun kita tidak memahaminya, kita merasa bahwa kebenaran itu bergaung di dalam
diri kita ... bergetar bersama-sama dengan kebijakan yang tidak kita sadari.
Mungkin kebenaran itu tidak dipelajari oleh kita, tapi di- panggil... diingat... di-kenali... sebagai sesuatu yang sudah ada di dalam kita."
Ruangan benar-benar hening.
Solomon membiarkan perkataannya mengendap untuk waktu yang lama, lalu berkata
pelan, "Sebagai penutup, harus kuperingatkan bahwa mengungkapkan kebenaran itu
tidak pernah mudah. Di sepanjang sejarah, semua periode pencerahan dibarengi
oleh kegelapan, oleh munculnya perlawanan. Begitulah hukum alam dan
keseimbangan. Dan jika saat ini kita melihat semakin berkembangnya kegelapan di
dunia, harus kita sadari bahwa ini berarti terang yang setara sedang berkembang
dan berada di tubir periode penerangan yang benar-benar luar dan kita semua kalian semua - teramat sangat diberkahi karena akan menyaksikan momen penting
dalam sejarah ini. Dari semua yang pernah hidup, di dalam semua era dalam
sejarah sebentar lagi kita akan menyaksikan renaisans tertinggi kita. Setelah
kegelapan, kita akan melihat semua ilmu pengetahuan, pikiran, dan bahkan agama
kita, mengungkapkan kebenaran."
Solomon hendak mendapat tepuk tangan meriah ketika dia mengangkat kedua tangan,
mengisyaratkan ketenangan. " Dia menunjuk langsung gadis pendebat berambut
pirang yang membawa ponsel. "Aku tahu, kau dan aku tidak menyetujui banyak hal,
tapi aku ingin berterima kasih. Kegairahamnu merupakan katalisator penting dalam
perubahan-perubahan yang akan datang. Kegelapan memangsa keapatisan... dan
keyakinan adalah andalam terampuh kita. Tetaplah mempelajari keyakinan-mu.
Pelajari Alkitab." Dia tersenyum.
"Terutama halaman-halaman terakhir."
"Apocalypse (Hari Kiamat)?" tanya gadis itu.
"Tepat sekali. Kitab Wahyu adalah contoh nyata kebenaran bersama kita. Kitab
terakhir dalam Alkitab itu mengisahkan cerita yang identik dengan cerita di
dalam tradisi-tradisi lain yang terhitung jumlahnya. Semuanya meramalkan
pengungkapan kebijakan luar biasa yang akan segera terjadi." Seseorang berkata,
"Tapi, bukankah Apocalypse menyangkal akhir dunia" Anda tahu, Antikristus,
Armageddon, pertempuran terakhir antara kebaikan dan kejahatan?" Solomon
tergelak. "Siapa di sini yang mempelajari bahasa Yunani?"
Beberapa tangan teracung.
"Apa arti kata apocalypse secara harfiah?"
"Artinya," ujar seorang mahasiswa memulai, lalu terdiam seakan terkejut.
"Apocalypse berarti 'membuka-selubung' atau 'mengungkapkan'."
Solomon mengangguk setuju. "Tepat sekali. Secara harfiah, Apocalypse berarti
revealation (pengungkapan). The Book of Revealation (Kitab Wahyu) dalum Alkitab
meramalkan pengungkapan kebenaran luar biasa dan kebijakan yang tak
terbayangkan. Apocalypse bukan akhir dunia, tapi akhir dari dunia seperti yang
selama ini kita kenal. Ramalan Apocalypse hanyalah salah satu pesan indah
Alkitab yang terdistorsi." Solomon melangkah ke depan panggung. "Percayalah,
Apocalypse akan datang... dan sama sekali tidak menyerupai apa yang diajarkan
kepada kita." Tinggi di atas kepala, lonceng mulai berdentang.
Para mahasiswa bertepuk tangan dengan riuh dan bingung.
][ BAB 112 Katherine Solomon berada di ambang kesadaran ketika dikagetkan oleh gelombangkejut ledakan yang memekakkan telinga.
Beberapa saat kemudian, dia mencium bau asap. Telinganya berdenging.
Terdengar suara-suara teredam. Di kejauhan. Teriakan. Langkah kaki. Mendadak dia
bisa bernapas lebih lega. Kain itu telah ditarik dari mulutnya.
"Kau aman," bisik sebuah suara lelaki. "Bertahanlah." Katherine mengharapkan
lelaki itu menarik keluar jarum dilengan-nya, tapi dia malah meneriakkan
perintah-perintah. "Bawa peralatan medis... lekatkan infus pada jarum itu... masukkan rutan laktat
Ringer's lewat infus... bawakan aku pengukur tekanan darah." Ketika mulai
mengecek tanda-tanda vital Katherine, lelaki itu berkata, "Miss Solomon, orang
yang melakukan hal ini kepadamu... ke mana dia pergi?"
Katherine mencoba bicara, tapi tidak bisa.
"Miss Solomon?" ulang suara itu. "Ke mana dia pergi?" Katherine mencoba membuka
mata, tapi merasakan dirinya memudar.
"Kami harus tahu ke mana dia pergi," desak lelaki itu. Katherine membisikkan dua
kata sebagai jawaban, walaupun dia tahu kata-katanya tidak masuk akal.
"Gunung ... suci."
Direktur Sato melangkah melintasi pintu baja hancur itu dan menuruni rampa kayu
menuju ruang bawah tanah tersembunyi. Salah seorang agen menjumpainya di dasar
rampa. "Direktur, kurasa Anda ingin melihat ini."
Sato mengikuti agen itu ke dalam ruangan kecil di luar lorong sempit. Ruangan
itu terang benderang dan kosong, hanya ada setumpuk pakaian di lantai. Sato
mengenali jaket wol dan sepatu kulit santai Robert Langdon.
Agennya menunjuk dinding yang jauh, menunjuk sebuah wadah besar menyerupai peti
mati. Apa-apaan ini" Sato berjalan menghampiri wadah itu, dan kini bisa melihat pipa plastik bening
yang memanjang di dinding dan tersambung dengan wadah itu. Dengan waspada, dia
mendekati tangki. Kini dia bisa melihat adanya jendela-geser kecil di bagian
atasnya. Dia menjulurkan tangan dan menggeser penutup itu ke satu sisi,
mengungkapkan jendela kecil seperti portal. Sato terenyak.
Di balik Plexiglas... wajah kosong Profesor Langdon mengapung di bawah air.
Cahaya! Kekosongan abadi tempat Langdon melayang-layang mendadak diisi oleh matahari
yang membutakan. Berkas- berkas cahaya putih panas mengalir melintasi kegelapan
ruang, membakar benaknya.
Cahaya itu ada di mana-mana.
Mendadak, di dalam awan bercahaya di hadapannya, sebuah siluet cantik muncul.
Sebuah wajah... kabur dan tidak jelas... dua mata menatapnya melintasi
kekosongan. Aliran cahaya mengelilingi wajah itu, dan Langdon bertanya-tanya
apakah dia sedang memandang wajah Tuhan.
Sato memandang ke dalam tangki, bertanya-tanya apakah Profesor Langdon tahu apa
yang terjadi. Dia meragukannya. Bagaimanapun, disorientasi adalah seluruh tujuan
dari teknologi ini. Tangki deprivasi-indra telah ada semenjak tahun lima puluhan dan masih merupakan


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelarian populer bagi para pelaku eksperimen New Age kaya. "Mengapung", seperti
sebutannya, menawarkan pengalaman kembali ke-dalam rahim yang transendental,
semacam alat bantu-meditatif untuk meredakan akfivitas otak dengan melepaskan
sernua input indra - cahaya, suara, sentuhan, dan bahkan tarikan gravitasi. Di
dalam tangki tradisional, seseorang mengapung telentang di dalam larutan garam
berdaya-apung tinggi dengan wajah tetap berada di atas air sehingga bisa
bernapas. Akan tetapi, pada tahun-tahun belakangan ini, tangki itu telah melakukan
lompatan kuantum. Perfluorokarbon teroksigenasi.
Teknologi baru ini - yang dikenal sebagai Total Liquid Ventilation (TLV) begitu bertentangan dengan intuisi sehingga hannya beberapa orang yang meyakini
keberadaannya. Cairan untuk bernapas. Pernapasan-cairan telah menjadi kenyataan semenjak 1989 ketika Leland C. Clark
sukses mempertahankan nyawa seekor tikus yang direndam selama beberapa jam dalam
Perfluorokarbon teroksigenasi. Pada 1989, teknologi TLV melakukan kemunculan
yang dramatis dalam film The Abyss, walaupun hanya beberapa penonton yang
menyadari bahwa mereka sedang menyaksikan ilmu pengetahuan nyata.
TLV lahir dari upaya-upaya pengobatan modern untuk membantu bayi prematur
bernapas dengan mengembalikan mereka ke dalam keadaan penuh-cairan di dalam
rahim. Paru- paru manusia - setelah menghabiskan waktu sembilan bulan di dalam
rahim, tidak asing dengan keadaan penuh-cairan. Dulu, perfluorokarbon terlalu
kental sehingga tidak bisa digunakan sepenuhnya untuk bernapas. Tapi, terobosanterobosan modern telah membuat cairan untuk bernapas itu memiliki konsistensi
nyaris seperti air. Direktorat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi CIA - "para Penyihir Langley", sebutan
mereka di dalam komunitas intelijen - bekerja secara ekstensif dengan
perfluorokarbon teroksigenasi untuk mengembangkan teknologi-teknologi bagi
militer AS! Tim-tim elite penyelam lautan-dalam angkatan laut membuktikan bahwa menghirup
cairan teroksigenasi, dan bukannya helioks atau trimiks seperti biasa, memberi
mereka kemampuan menyelam sampai jauh lebih dalam tanpa berisiko menderita sakit
akibat tekanan. Dengan cara yang sama, NASA dan angkatan udara mempelajari bahwa
pilot-pilot yang dilengkapi dengan perangkat bernapas cair, dan bukannya tangki
oksigen tradisional, jauh lebih mampu menahan gaya gravitasi daripada biasanya,
karena cairan akan menyebarkan gaya-gravitasi secara lebih merata di seluruh
organ-dalam jika dibandingkan dengan gas.
Sato sudah mendengar bahwa kini ada "lab-lab pengalaman ekstrem". Di sana,
seseorang bisa mencoba tangki TLV ini.
"Mesin Meditasi", begitulah sebutannya. Tangki yang satu ini mungkin dipasang
untuk eksperimentasi privat pemiliknya, walaupun penambahan gerendel-gerendel
tebal yang bisa dikunci hanya meninggalkan sedikit keraguan di dalam benak Sato
bahwa tangki ini juga digunakan untuk sesuatu yang lebih kelam... teknik
interogasi yang juga dikenal oleh CIA.
Teknik interogasi terkenal water boarding sangat efektif karena korbannya benarbenar percaya dia tenggelam. Sato mengetahui beberapa operasi rahasia yang
menggunakan tangki deprivasi-indra seperti ini untuk meningkatkan ilusi
tenggelam sampai tingkat-tingkat baru yang mengerikan. Seorang korban yang
direndam dalam cairan untuk bernapas bisa secara harfiah "ditenggelamkan".
Kepanikan yang berhubungan dengan pengalaman tenggelam biasanya membuat korban
tidak menyadari bahwa cairan yang dihirupnya sedikit lebih kental daripada air.
Ketika cairan itu mengalir ke dalam paru-paru, korban sering pingsan ketakutan,
lalu terbangun dalam "penjara soliter" terekstrem. Berbagai agen pemati-rasa
topikal, obat pelumpuh, dan halusinogen dicampur dengan cairan teroksigenasi
hangat agar tahanan merasa dirinya terpisah seluruhnya dari tubuh. Ketika benak
tahanan itu mengirimkan perintah untuk menggerakkan tungkai-tungkai, tak ada
yang terjadi. Keadaan "mati" itusendiri sudah menakutkan, tapi disorientasi yang
sejati muncul akibat proses "kelahiran-kembali" yang, dengan bantuan cahaya
terang, udara dingin, dan suara memekakkan, bisa sangat menyakitkan dan
traumatis. Setelah beberapa kali kelahiran dan penenggelaman, tahanan akan
menjadi begitu kehilangan orientasi sehingga sama sekali tidak tahu apakah
dirinya hidup atau sudah mati... dan dia benar-benar akan menceritakan segalanya
kepada penginterogasi. Sato bertanya-tanya apakah dia harus menunggu tim medis untuk mengeluarkan
Langdon, tapi dia tahu dia tidak punya waktu. Aku harus tahu apa yang diketahui
Langdon. "Matikan lampu-lampu," perintahnya. "Dan carikan beberapa selimut untukku."
Matahari yang membutakan sudah menghilang. Wajah itu juga sudah menghilang.
Kegelapan sudah kembali, tapi Langdon kini bisa mendengar bisik-bisik di
kejauhan, menggema melintasi tahun-tahun cahaya kekosongan. Suara-suara
teredam ... kata-kata yang tidak bisa dimengerti. Kini muncul getarangetaran... seakan dunia hendak hancur berantakan.
Lalu, terjadilah hal itu.
Tanpa disertai peringatan, alam semesta robek menjadi dua. Sebuah jurang besar
terbuka dalam kekosongan... seakan ruang itu sendiri telah robek jahitanjahitannya. Kabut keabu-abuan mengalir melalui lubang itu, dan Langdon melihat
pemandangan mengerikan. Tangan-tangan buntung mendadak meraihnya, mencengkeram
tubuhnya, mencoba menariknya keluar dari dunianya.
Tidak! Dia mencoba melawan tangan-tangan itu, tapi dia tidak punya lengan...
tidak punya kepalan. Atau, punyakah dia" Mendadak dia merasakan tubuhnya mewujud
di sekeliling benaknya. Dagingnya telah kembali dan sedang direbut oleh tangantangan kuat yang menariknya ke atas. Jangan! Kumohon!
Tapi, sudah terlambat. Rasa sakit menyerang dada Langdon ketika tangan-tangan itu mengangkatnya melalui
lubang. Paru-parunya terasa seperti terisi pasir. Aku tidak bisa bernapas!
Mendadak dia tertelentang di permukaan terdingin dan terkeras yang bisa
dibayangkannya. Sesuatu menekan dadanya, berulang-ulang, keras dan menyakitkan.
Dia memuntahkan kehangatan itu.
Aku ingin kembali. Langdon merasa seakan dirinya seorang anak yang dilahirkan dari sebuah rahim.
Dia terguncang-guncang, terbatuk-batuk mengeluarkan cairan. Dia merasakan sakit
di dalam dada dan lehernya. Rasa sakit yang sangat menyiksa. Tenggorokannya
terbakar. Orang- orang bicara, mencoba berbisik, tapi suara mereka memekakkan.
Penglihatan Langdon kabur, dan yang bisa dilihatnya hanyalah bentuk-bentuk bisu.
Kulitnya seakan mati rasa, seperti kulit mati.
Dadanya kini terasa lebih erat ... tekanan. Aku tidak bisa bernapas!
Langdon terbatuk-batuk mengeluarkan lebih banyak cairan. Refleks muntah hebat
melandanya, dan dia menghela napas. Udara dingin mengalir ke dalam paru-paru,
dan dia merasa seakan dirinya adalah bayi baru lahir yang sedang menghela napas
pertamanya di dunia. Dunia ini menyiksanya. Yang diinginkan Langdon hanyalah
kembali ke rahim itu. Robert Langdon sama sekali tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu. Dia kini
bisa merasakan tubuhnya berbaring miring, terbungkus handuk-handuk dan selimutselimut di atas lantai keras. Sebuah wajah yang dikenalnya menunduk
memandangriya... tapi semua aliran cahaya gemilang itu sudah tiada. Gema-gema
perapalan di kejauhan masih menggelayuti benaknya.
Verbum significatium ... Verbum omnificum ....
"Profesor Langdon," bisik seseorang. "Anda tahu di mana Anda berada?"
Langdon mengangguk lemah, masih terbatuk-batuk.
Yang lebih penting, dia sudah mulai menyadari apa yang terjadi malam ini.[ ]
BAB 113 Terbungkus selimut-selimut wol, Langdon berdiri dengan kaki goyah dan menunduk
menatap tangki cairan yang terbuka. Tubuhnya telah kembali kepadanya, walaupun
dia berharap yang sebaliknya. Tenggorokan dan paru-parunya terbakar. Dunia ini
terasa keras dan kejam. Sato baru saja menjelaskan mengenai tangki deprivasi- indra... mengimbuhkan
bahwa seandainya dia tidak menarik Langdon keluar, Langdon akan mati kelaparan,
atau bahkan lebih buruk lagi. Langdon hampir yakin bahwa Peter telah menjalani
pengalaman yang serupa. Peter berada di dunia- antara, ujar lelaki bertato itu
kepadanya malam tadi. Dia berada dalam purgatory... Hamistagan. Jika Peter
menjalani proses kelahiran itu lebih dari satu kali, Langdon tidak akan terkejut
jika Peter mengatakan kepada penangkapnya apa pun yang ingin diketahui oleh
lelaki itu. Sato mengisyaratkan Langdon untuk mengikutinya, dan dia patuh, berjalan
perlahan-lahan menyusuri lorong sempit, masuk lebih jauh ke dalam sarang aneh
yang kini dilihatnya untuk pertama kalinya. Mereka memasuki sebuah ruang
berbentuk persegi empat dengan meja batu dan lampu berwarna mengerikan.
Katherine berada di sini, dan Langdon menghela napas lega. Walaupun demikian,
pemandangan itu mengkhawatirkan.
Katherine berbaring telentang di atas meja batu. Handuk- handuk bermandikan
darah tergeletak di lantai. Seorang agen CIA memegangi kantong infus dengan
selang tersambung ke lengan perempuan itu.
Katherine tersedu-sedu pelan.
"Katherine?" panggil Langdon parau, nyaris tak mampu bicara.
Katherine menoleh, tampak kehilangan orientasi dan bingungan. "Robert"!" Matanya
membelalak tidak percaya, kegirangan. "Tapi aku... melihatmu tenggelam!"
Langdon berjalan menuju meja batu.
Katherine menegakkan tubuh ke posisi duduk, mengabaikan selang infus dan segala
keberatan medis dari agen itu. Langdon tiba di meja, dan Katherine menjulurkan
tangan, melingkarkan kedua lengannya pada tubuh Langdon yang berbalut selimut,
memeluk erat-erat "Syukurlah," bisiknya, seraya mencium pipi Langdon. Lalu dia
mencium Langdon kembali, mendekapnya erat seakan tidak percaya lelaki itu nyata.
"Aku tidak mengerti... bagaimana...."
Sato mulai mengucapkan sesuatu mengenai tangki deprivasi-indra dan
perfluorokarbon teroksigenasi, tapi Katherine jelas tidak mendengarkan.
Perempuan itu hanya memeluk Langdon erat-erat.
"Robert," ujar Katherine, "Peter masih hidup." Suaranya bergetar ketika
menceritakan kembali pertemuan mengerikannya dengan Peter. Dia menjelaskan
kondisi fisik Peter-kursi roda, pisau aneh, sindiran-sindiran mengenai semacam
"pengorbanan" dan bagaimana dirinya ditinggalkan dalam keadaan berdarah sebagai
jam-pasir manusia untuk membujuk Peter agar segera bekerja sama.
Langdon nyaris tidak mampu bicara. "Kau... tahu ke... mereka pergi?"
"Katanya, dia akan membawa Peter ke gunung suci." Langdon melepaskan diri dan
menatap Katherine. Air mata menggenangi mata perempuan itu. "Katanya, dia sudah memecahkan kode
kisi di dasar piramida, dan piramida itu mengatakan kepadanya untuk pergi ke
gunung suci." "Profesor," desak Sato, "apakah itu ada artinya bagimu?" Langdon menggeleng.
"Sama sekali tidak." Tapi dia masih merasakan adanya harapan. "Tapi jika dia
memperoleh informasi itu dari dasar piramida, kita juga bisa memperolehnya." Aku
mengatakan kepadanya cara memecahkannya.
Sato menggelong, "Piramida itu tidak ada, Komi sudah mencarinya. Dia membawanya
serta." Sejenak Langdon tetap diam, memejamkan mata dan mencoba mengingat apa yang
dilihatnya di dasar piramida. Kisi simbol-simbol itu adalah salah satu gambar
terakhir yang dilihatnya sebelum tenggelam, dan trauma punya cara untuk membakar
ingatan lebih jauh ke dalam pikiran. Dia bisa mengingat sebagian kisinya, jelas
tidak semuanya, tapi mungkin sudah cukup"
Dia berpaling kepada Sato dan cepat-cepat berkata, "Aku mungkin bisa mengingat
cukup banyak, tapi kau harus mencarikan sesuatu di Internet untukku."
Sato mengeluarkan BlackBerry.
"Jalankan pencarian untuk 'Persegi-Empat Franklin Formasi Delapan'."
Sato memandangnya dengan terkejut, tapi mulai mengetik tanpa bertanya-tanya.
Penglihatan Langdon masih kabur, dan baru sekarang dia mulai mencerna keadaan
aneh di sekelilingnya. Dia menyadari bahwa meja batu yang sedang mereka sandari
tertutup noda- noda darah lama, dan dinding di sebelah kanannya tertutup
seluruhnya oleh halaman-halaman teks, foto-foto, gambar- gambar, peta-peta, dan
jaringan tah raksasa yang saling menghubungkan kesemuanya itu.
Ya Tuhan. Langdon berjalan menuju kolase aneh itu, dengan masih mencengkeram selimutselimut yang membelit tubuhnya. Koleksi informasi yang benar-benar aneh melekat
di dinding- halaman-halaman teks kuno, mulai dari sihir hitam sampai Alkitab
Kristen, gambar-gambar berbagai simbol dan sigil, halaman-halaman situs Web
mengenai teori konspirasi, dan foto-foto Washington, DC, yang diberi catatan dan
tanda tanya. Salah satu lembaran berisi daftar panjang kata-kata dalam banyak
bahasa. Langdon mengenali beberapa di antaranya sebagai kata-kata Mason suci,
yang lain adalah kata-kata sihir kuno, dan yang lain berasal dari mantra
seremonial. Itukah yang dicarinya" Sebuah kata" Sesederhana itukah"
Skeptisisme lama Langdon mengenai Piramida Mason sebagian besarnya didasarkan
pada apa yang konon diungkapkan oleh benda itu - lokasi Misteri Kuno. Temuan ini
pasti melibatkan sebuah lemari besi raksasa yang dipenuhi beribu-ribu volume
buku yang, entah bagaimana, bertahan dari perpustakaan kuno yang telah lama
hilang, tempat kesemuanya itu dulu disimpan. Semuanya tampak mustahil. Lemari
besi sebesar itu" Di bawah DC" Akan tetapi, kini, ingatannya mengenai ceramah
Peter di Phillipus Exeter, digabungkan dengan daftar kata-kata sihir ini, telah
membukakan kemungkinan lain yang mengejutkan.
Langdon yakin sekali dirinya tidak memercayai kekuatan kata-kata sihir... tetapi
tampaknya cukup jelas bahwa lelaki bertato ini memercayainya. Denyut nadi
Langdon semakin cepat ke sekali lagi dia meneliti catatan-catatan yang
dituliskan, peta-peta, teks-teks, cetakan-cetakan komputer, dan semua tali dan
catatan tempel yang saling berhubungan.
Dan memang, ada satu tema yang berulang.
Ya Tuhan, dia mencari verbum significatium... Kata yang Hilang. Langdon
membiarkan pikiran itu terbentuk, mengingat bagi bagian dari ceramah Peter. Dia
mencari Kata yang Hilang! Itulah yang diyakininya tersembunyi di Washington
sini. Sato tiba di sampingnya. "Inikah yang kau minta?" Dia menyerahkan BlackBerrynya. Langdon memandang kisi angka-angka delapan-kali- delapan di layar. "Tepat
sekali." Dia meraih secarik kertas.
"Aku perlu pena."
Sato memberinya sebuah pena dari saku. "Cepatlah."
Di kantor bawah-tanah Direktorat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Nola Kaye
sekali lagi mempelajari dokumen teredaksi yang dibawakan oleh petugas keamanan
sistem Rick Parrish untuknya, Apa yang dilakukan direktur CIA dengan arsip
mengenai piramida kuno dan lokasi bawah tanah rahasia"
Dia meraih telepon dan memutarnya.
Sato langsung menjawab, kedengaran tegang. "Nola, aku baru saja akan
meneleponmu." "Saya punya informasi baru," ujar Nola. "Saya tidak yakin apakah cocok, tapi
saya menemukan adanya dokumen teredaksi-"'
"Lupakan, apa pun itu," sela Sato. "Kami kehabisan waktu. Kami gagal menangkap
sasaran, dan aku punya semua alasan untuk percaya bahwa dia hendak melaksanakan
ancamannya." Nola merasakan tubuhnya menggigil.
"Berita baiknya adalah, kami tahu persis ke mana dia pergi."
Sato menghela napas panjang. "Berita buruknya adalah, dia membawa laptop
bersamanya." BAB 114 Kurang dari enam belas kilometer jauhnya dari sana, Mal'akh menyelubungkan
selimut pada tubuh Peter Solomon dan mendorongnya melintasi tempat parkir yang
diterangi cahaya bulan menuju bayang-bayang sebuah gedung besar. Struktur gedung
itu punya tepat tiga puluh tiga kolom uar ... masing-masingnya tepat tiga puluh
tiga kaki (sepuluh meter) tingginya. Struktur menyerupai gunung itu sepi pada
jam seperti ini, dan tak seorang pun melihat mereka di belakang sini. Bukannya
itu penting. Dari kejauhan, tak seorang pun akan berpikir dua kali ketika
melihat seorang lelaki tinggi yang tampak baik, dengan mantel hitam panjang,
membawa seorang cacat botak berjalan-jalan malam.
Ketika mereka mencapai pintu masuk belakang, Mal'akh mendorong Peter ke dekat
papan-kunci pengaman. Peter menatap benda itu dengan penuh penolakan, jelas
tidak ingin memasukkan kodenya.
Mal'akh tertawa. "Kau pikir, kau berada di sini agar aku bisa masuk" Begitu
cepatkah kau lupa kalau aku salah seorang saudaramu?" Dia menjulurkan tangan dan
mengetikkan kode akses yang diberikan kepadanya setelah inisiasinya ke dalam
derajat ketiga puluh tiga.
Pintu tebal itu berbunyi klik dan membuka.
Peter mengerang dan mulai menggeliat di kursi roda.
"Peter, Peter," bisik Mal'akh. "Ingatlah Katherine. Bersikaplah kooperatif, dan


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia akan hidup. Kau bisa menyelamatkannya. Aku berjanji..."
Mal'akh mendorong tawanannya ke dalam dan mengunci kembali pintu di belakang
mereka. Kini denyut nadinya berpacu penuh pengharapan. Dia mendorong Peter
melewati beberapa lorong menuju lift, lalu menekan tomboinya. Pintu- pintu
terbuka, dan Mal'akh berjalan mundur memasukinya, seraya menarik kursi roda
bersamanya. Lalu, untuk memastikan Peter bisa melihat apa yang dilakukannya, dia
menjulurkan tangan dan menekan tombol paling atas.
Pandangan ketakutan yang mendalam melintasi wajah tersiksa Peter.
"Shh..., " bisik Mal'akh, seraya mengelus-elus lembut kepala plontos Peter
ketika pintu-pintu lift menutup. "Seperti yang kau ketahui dengan baik...
rahasianya adalah cara untuk mati."
Aku tidak bisa mengingat semua simbolnya!
Langdon memejamkan mata, berupaya sekeras mungkin untuk mengingat lokasi tepat
simbol-simbol di bagian bawah piramida batu, tapi ingatan fotografisnya pun
tidak punya derajat ingatan seperti itu. Dia menuliskan beberapa simbol yang
bisa diingatnya, lalu meletakkan masing-masingnya pada lokasi yang ditunjukkan
oleh persegi empat ajaib Franklin.
Akan tetapi, sejauh ini, dia tidak melihat sesuatu pun yang masuk akal.
"Lihat!" desak Katherine. "Kau pasti berada di jalur yang benar. Baris pertama
semuanya huruf Yunani - jenis simbol yang sama diatur bersama-sama!"
Langdon juga sudah memperhatikan hal ini, tapi dia tidak bisa memikirkan kata
Yunani apa pun yang cocok dengan konfigurasi huruf dan ruang itu. Aku perlu
huruf pertama. Sekali lagi dia melihat persegi empat ajaib itu, mencoba
mengingat huruf yang berada di tempat nomor satu di dekat pojok kiri bawah.
Berpikirlah! Dia memejamkan mata, mencoba membayangkan dasar piramida. Barisan
bawah... di sebelah pojok kiri... huruf apa yang ada di sana"
Sejenak Langdon kembali berada di dalam tangki, tersiksa oleh ketakutan, menatap
bagian bawah piramida melalui Plexiglass.
Kini mendadak dia melihatnya. Dia membuka mata, menghirup napas dalam-dalam.
"Huruf pertama adalah H!"
Langdon berpaling kembali kepada kisi itu dan menuliskan huruf pertama. Kata itu
masih belum lengkap, tapi sudah cukup banyak yang dilihatnya. Mendadak dia
menyadari apa kemungkinan kata itu.
Heredom Dengan nadi berdenyut-denyut, Langdon mengetikkan pencarian baru pada
BlackBerry. Dia memasukkan ekuivaleri bahasa Inggris untuk kata Yunani terkenal
ini. Hasil pertama yang muncul adalah entri ensiklopedia. Dia membacanya, dan
tahu kalau kata itu pasti benar.
HEREDOM n. kata penting dalam Persaudaraan Mason Bebas "derajat tinggi", dari
ritual-ritual Rose Croix Prancis. Kata itu mengacu pada sebuah gunung khayalan
di Skotlandia, tempat legendaris Cabang pertama semacam itu. Dari kata Yunani
Heredom yang berasal dari Hieros-domos, kata Yunani untuk Rumah Suci.
"Itu dia! " teriak Langdon tidak percaya. " Ke sanalah mereka pergi!"
Sato membaca lewat bahu Langdon dan tampak kebingungan. Ke sebuah gunung
khayalan di Skotlandia"!"
Langdon menggeleng. "Tidak, ke sebuah gedung di Washington yang nama kodenya
Heredom." BAB 115 The House of the Temple - dikenal di antara saudara Mason sebagai Heredom selalu menjadi bagian paling berharga dari Scottish Rite Mason di Amerika.
Dengan atap berbentuk piramida berlereng curam, nama gedung itu berasal dari
gunung khayalan di Skotlandia. Akan tetapi, Mal'akh tahu, tidak ada yang
bersifat khayalan mengenai harta karun yang tersembunyi di sana.
Dia tahu, inilah tempatnya. Piramida Mason telah menunjukkan jalan.
Ketika lift tua itu perlahan-lahan naik ke lantai tiga, Mal'akh mengeluarkan
kertas yang tadi ditulisinya dengan penyusunan kembali kisi simbol-simbol
menggunakan Persegi Empat Franklim. Semua huruf Yunani kini telah bergeser ke
baris pertama... bersama-sama dengan satu simbol sederhana.
Heredom Pesan itu tidak mungkin lebih jelas lagi. Di bawah House of the Temple.
Heredom Kata yang Hilang ada di sini ... di suatu tempat.
Walaupun Mal'akh tidak tahu secara tepat cara menemukannya, dia yakin jawabannya
ada dalam simbol- simbol yang tersisa pada kisi. Yang menyenangkan, jika
menyangkut pengungkapan rahasia-rahasia Piramida Mason dan gedung ini, tak
seorang pun lebih berkualifikasi untuk membantu daripada Peter Solomon. Master
Terhormat itu sendiri. Peter terus menggeliat di kursi roda, menciptakan suara- suara teredamam melalui
sumpalnya. "Aku tahu, kau mengkhawatirkan Katherine," kata Mal'akh.
"Tapi, ini sudah hampir berakhir."
Bagi Mal'akh, bagian akhir ini terasa begitu mendadak kedatangannya. Setelah
bertahun-tahun menderita dan merencanakan, menunggu dan mencari... momen itu
kini tiba. Lift mulai melambat, dan dia merasakan gelombang ke gembiraan.
Lift berguncang, lalu berhenti.
Pintu-pintu tembaganya menggeser terbuka, dan Mal'akh memandang bilik megah di
hadapan mereka. Ruangan persegi empat besar itu dihiasi simbol-simbol dan
bermandikan cahaya bulan, yang bersinar melalui jendela di puncak langit-langit
tinggi di atas. Aku sudah menjalani satu lingkaran penuh, pikir Mal'akh.
Di Temple Room yang sama ini, Peter Solomon dan saudara seimannya telah begitu
tololnya menginisiasi Mal'akh sebagai salah satu dari mereka. Kini, rahasia
teragung kaum Mason - sesuatu yang bahkan tidak diyakini keberadaannya oleh
sebagian besar saudara Mason - akan terungkap.
"Dia tidak akan menemukan apa-apa," uJar Langdon, yang masih merasa pening dan
hilang orientasi ketika mengikuti Sato dan yang lain menaiki rampa kayu,
meninggalkan ruang bawah tanah. "Tidak ada Kata yang nyata. Semuanya metafora simbol Misteri Kuno."
Katherine mengikuti bersama dua agen yang menuntun tubuh lemahnya menaiki rampa.
Ketika kelompok itu bergerak dengan hati-hati melewati reruntahan pintu baja,
melewati lukisan berputar, dan memasuki ruang tamu, Langdon menjelaskan kepada
Sato bahwa Kata yang Hilang merupakan salah satu simbol Persaudaraan Mason Bebas
yang paling bertahan - satu kata tunggal, ditulis dalam bahasa kuno yang tidak
bisa lagi dipahami oleh manusia. Kata itu, seperti Misteri itu sendiri,
menjanjikan pengungkapan kekuatan tersembunyinya hanya kepada mereka yang cukup
tercerahkan untuk memecahkan sandinya. "Konon," ujar Langdon menyimpulkan, "jika
kau bisa memiliki dan memahami Kata yang Hilang... maka Misteri Kuno akan
menjadi jelas bagimu."
Sato meliriknya. "Jadi, kau percaya lelaki ini sedang mencari sebuah kata?"
Langdon harus mengakui kalau itu kedengarannya memang sangat absurd, tetapi itu
menjawab banyak pertanyaan.
"Dengar, aku bukan spesialis dalam sihir seremonial," katanya, "tapi semua
dokumen pada dinding-dinding ruang bawah tanah... dan dari penjelasan Katherine
mengenai kulit tidak bertato di kepalanya... menurutku dia berharap bisa
menemukan yang Hilang dan menuliskannya pada tubuhnya." Sato menggerakkan
kelompok itu menuju ruang makan. Di luar, helikopter memanaskan mesin, balingbalingnya bergerak semakin keras dan bergemuruh semakin keras.
Langdon terus bicara, berpikir dengan suara keras. "Jike lelaki ini benar-benar
percaya dirinya akan mengungkapkan kekuatan Misteri Kuno, tidak ada simbol yang
lebih ampuh di dalam benaknya daripada Kata yang Hilang. Jika lelaki ini bisa
menemukan dan menuliskannya di puncak kepala - di lokasi yang memang suci - tak
diragukan lagi bahwa dia menganggap dirinya sendiri berhias sempurna dan siap
secara ritualistis untuk...." Dia terdiam, melihat wajah Katherine memucat
ketika memikirkan takdir yang menanti Peter.
"Tapi, Robert," ujar Katherine lemah, suaranya nyaris tak terdengar di antara
gemuruh baling-baling helikopter. "Ini berita bagus, bukan" Jika dia ingin
menuliskan Kata yang Hilang di puncak kepalanya sebelum mengorbankan Peter, kita
punya waktu. Dia tidak akan membunuh Peter sampai dia menemukan Kata itu. Dan,
jika tidak ada Kata..."
Langdon berusaha tampak penuh harap ketika agen-agen itu membantu Katherine
duduk di sebuah kursi. "Sayangnya, Peter masih mengira kau akan mati kehabisan
sarah. Dia mengira, satu-satunya cara untuk menyelamatkanmu adalah dengan
bekerja sama dengan orang gila ini... mungkin dengan membantunya menemukan Kata
yang Hilang." "Lalu kenapa?" desak Katherine. "Jika Kata itu tidak ada-"
"Katherine," ujar Langdon, seraya menatap dalam-dalam matanya. "Jika aku percaya
kau sekarat, dan jika seseorang berjanji aku bisa menyelamatkanrnu dengan
menemukan Kata yang Hilang, maka untuk lelaki ini, aku akan mencarikan satu kata
- sembarang kata - lalu aku akan berdoa kepada Tuhan agar lelaki itu menepati
janji." "Direktur Sato!" teriak seorang agen dari ruang sebelah.
"Sebaiknya Anda melihat ini!"
Sato bergegas meninggalkan ruang makan dan melihat salah seorang agennya sedang
menuruni tangga dari kamar. Dia membawa rambut palsu berwarna pirang. Apa itu"
"Wig laki-laki," katanya, seraya menyerahkan benda itu kepada Sato. "Saya
temukan di ruang berpakaian. Lihatlah lebih teliti."
Wig pirang itu jauh lebih berat daripada yang diperkirakan. Sato. Tampaknya,
bagian dalamnya dicetak dari gel tebal. Anehnya, ada kawat yang menonjol dari
sisi bawah wig. "Baterai berbentuk gel yang menyesuaikan diri dengan bentuk kepala," ujar agen
itu. "Memberi tenaga pada kamera mungil optik serat yang tersembunyi di dalam
rambut." "Apa?" Sato meraba-raba dengan jari-jari tangannya sampai menemukan lensa kamera
mungil yang tak terlihat di dalam poni pirang wig itu. "Benda ini kamera
tersembunyi?" "Kamera video," jawab agen itu. "Menyimpan rekaman dalam kartu padat mungil
ini." Dia menunjuk persegi empat silikon seukuran prangko yang tertanam di dasar
wig. "Mungkin diaktifkan oleh gerakan."
Yesus, pikir Sato. Jadi, begitulah cara lelaki itu melakukannya. Versi ramping
kamera. rahasia "bunga yang disematkan pada kerah" ini telah memainkan peranan
kunci dalam krisis yang s dihadapi oleh Direktur OS malam ini. Sato memelototi
benda itu sedikit lebih lama, lalu menyerahkannya kembali kepada agen tadi.
"Teruslah menggeledah rumah," perintahnya. "Aku menginginkan kan semua informasi
yang bisa kau temukan mengenai lelaki ini. Kita tahu laptopnya tidak ada, dan
aku ingin tahu persis bagai rencananya untak menghubungkan laptop itu dengan
dunia luar ketika dia sedang dalam perjalanan. Geledah ruang kerjanya untuk
mencari segala manual, kabel, apa saja yang mungkin bisa memberi kita petunjuk
mengenai perangkat-kerasnya."
"Ya, Maam." Agen itu bergegas pergi.
Saatnya pergi. Sato bisa mendengar baling-baling helikopter berdengung dengan
kecepatan penuh. Dia bergegas kembali ke ruang makan. Di sana, Simkins sedang
menggiring Warren Bellamy masuk dari helikopter, dan sedang mengumpulkan
informasi darinya mengenai gedung yang mereka yakini menjadi tujuan sasaran
mereka. House of the Temple. "Pintu-pintu depannya ditutup rapat dari dalam," ujar Bellamy yang masih
berbalut selimut darurat dan terlihat menggigil akibat berada di luar Franklin
Square tadi. "Pintu masuk belakang gedung adalah satu-satunya jalan masuk. Pintu
itu dilengkapi papan-kunci dengan PIN akses yang hanya diketahui oleh anggotaanggota persaudaraan."
"Berapa PIN-nya?" desak Simkins, seraya mencatat.
Bellamy duduk, tampak terlalu lemah untuk berdiri. Dengan, gigi bergemeletuk,
dia menyebut kode aksesnya, lalu menambahkan, "Alamatnya di 1733 Sixteenth, tapi
kau perlu jalan akses dan area parkir di belakang gedung. Agak sulit
menemukannya, tapi-"
"Aku tahu persis di mana," ujar Langdon. "Akan kutunjukkan setibanya di sana."
Simkins menggeleng. "Kau tidak ikut, Profesor. Ini operasi militer-"
"Aku harus ikutl" bentak Langdon. "Peter ada di sana! Dan gedung itu seperti
labirin! Tanpa seseorang yang membimbing masuk, kalian akan perlu waktu sepuluh
menit untuk menemukan jalan ke Temple Room!"
"Dia benar," kata Bellamy. "Itu labirin. Memang ada lift, tapi sudah tua,
berisik, dan membuka sepenuhnya di Temple Room. Jika ingin masuk secara diamdiam, kau perlu menaiki tangga."
"Kau tidak akan pernah bisa menemukan jalanmu," ujar Langdon memperingatkan.
"Dari pintu masuk belakang itu kau bergerak melewati Hall of Regalia, Hall of
Honor, tangga tengah, Atrium, Tangga. Utama-"
"Cukup," sela Sato. "Langdon ikut."
BAB 116 Energi itu semakin berkembang.
Mal'akh bisa merasakan energi itu berdenyut-denyut di dalam dirinya, bergerak
naik turun menjalari tubuhnya ketika dia mendorong Peter Solomon menuju altar.
Aku akan keluar dari gedung ini dengan kekuatan yang tak terkirakan besarnya
jika dibandingkan dengan ketika aku memasukinya. Kini yang harus dilakukannya
hanyalah menemukan bahan terakhir.
Verbum significatium," bisiknya kepada diri sendiri. "
Verbum significatium ."
Mal'akh memarkir kursi roda Peter di samping altar, lalu berjalan memutar dan
membuka ritsleting tas bahu berat yang berada di atas pangkuan Peter. Dia
merogoh ke dalam, mengeluarkan piramida batu, dan mengangkatnya ke dalam cahaya
bulan persis di depan mata Peter, menunjukkan kisi simbol-simbol yang terukir di
dasarnya. "Sudah bertahun- tahun lamanya," ejeknya, "dan kau tidak pemah tahu
cara piramida ini menyimpan rahasia-rahasianya." Mal'akh meletakkan piramida itu
dengan hati-hati di pojok altar dan kembali menuju tas. "Dan jimat ini,"
lanjutnya, seraya mengeluarkan batu-puncak emas, "memang mendatangkan
keteraturan dari kekacauan, persis seperti yang dijanjikan." Dia meletakkan
batu-puncak logam itu dengan hati-hati di atas piramida batu, lalu melangkah
mundur agar Peter bisa melihat dengan jelas. "Lihatlah, symbolon-mu sudah
lengkap." Peter mengernyit, dengan sia-sia berusaha bicara.
"Bagus. Aku bisa melihat kalau kau ingin mengatakan sesuatu kepadaku." Dengan
kasar, Mal'akh merenggut sumpal itu.
Peter Solomon terbatuk-batuk dan tersengal-sengal selama beberapa detik, sebelum
akhirnya dia bisa bicara."Katherine...."
"Waktu Katherine pendek, jike kau ingin menyelamatkannya, kusarankan agar kau
melakukan persis seperti yang kukatakan."
Mal'akh curiga Katherine mungkin sudah mati atau, jika tidak, sedang
sekarat.Tidak ada bedanya. Perempuan itu beruntung, hidup cukup lama untuk
mengucapkan selamat tinggal kepada kakaknya.
"Kumohon," pinta Peter dengan suara parau. "Panggilkan ambulans untuknya...."
"Akan kulakukan persis seperti itu. Tapi, pertama-tama kau harus mengatakan cara
mengakses tangga rahasia."
Raut wajah Peter menunjukkan ketidakpercayaan. "Apa?"
"Tangga. Legenda Mason membicarakan tangga yang turun puluhan meter ke lokasi
rahasia tempat Kata yang Hilang dikuburkan."
Kini Peter tampak panik. "Kau tahu legendanya," pancing Mal'akh. "Sebuah tangga rahasia yang tersembunyi
di balik sebuah batu." Dia menunjuk altar tengah-balok granit besar dengan
inskripsi bersepuh emas dalam bahasa Ibrani: BERFIRMANLAH ALLAH: "JADILAH
TERANG." LALU, TERANG ITU JADI." Jelas, ini tempat yang benar. Pintu masuk
menuju tangga itu pasti tersembunyi di salah satu lantai di bawah kita."
"Tidak ada tangga rahasia di dalam gedung ini!" teriak Peter.
Mal'akh tersenyum sabar dan menunjuk ke atas. "Gedung ini berbentuk seperti
piramida." Dia menunjuk langit-langit berbentuk kubah bersudut-empat yang
meruncing dengan jendela persegi empat di puncaknya.
"Ya, House of the Temple memang piramida, tapi apa-"
"Peter, aku punya waktu semalaman." Mal'akh merapikan jubah sutra putih yang
menutupi tubuh sempurnanya. "Akan tetapi, Katherine tidak. Jika kau ingin dia
tetap hidup, kau harus mengatakan cara mengakses tangga itu."
"Sudah kukatakan kepadamu," ujar Peter, "tidak ada tangga rahasia di dalam
gedung ini!" "Tidak?" Dengan tenang Mal'akh mengeluarkan kertas yang ditulisinya dengan
penyusunan-kembali kisi simbol-simbol dari dasar piramida. "Ini pesan terakhir
Piramida Mason. Temanmu, Robert Langdon, membantuku memecahkannya." Mal'akh
mengangkat kertas itu dan memeganginya di depan mata Peter. Master Terhormat itu
menghela napas tajam ketika melihatnya. Bukan hanya keenam puluh empat simbol
itu telah disusun menjadi kelompok-kelompok yang jelas memiliki arti...
melainkan gambar yang nyata telah mewujud dari kekacauan itu.
Gambar sebuah tangga ... di bawah sebuah piramida.
Peter Solomon menatap kisi simbol-simbol di hadapannya dengan tidak percaya.
Piramida Mason telah menyimpan rahasianya selama bergenerasi-generasi. Kini,


Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendadak rahasia itu terungkap dan dia merasakan perasaan dingin yang mengancam
di dasar perutnya. Kode terakhir piramida. Sekilas pandang, arti sebenarnya simbol-simbol ini masih misterius bagi Peter.
Akan tetapi, dia langsung bisa memahami mengapa lelaki bertato itu memercayai
apa yang dipercayainya. Dia mengira ada tangga tersembunyi di bawah piramida yang disebut Heredom.
Dia salah memahami simbol-simbol ini.
"Dimana?" desak lelaki bertato itu. "Katakan cara menemukan tangga itu, dan aku
akan menyelamatkan Katherine."
Seandainya saja aku bisa, pikir Peter. Tapi, tangga itu tidak nyata. Mitos
mengenai tangga itu benar-benar simbolis... bagian dari alegori besar
Persaudaraan Mason. Tangga yang dikenal sebagai Tangga Berkelok-kelok itu muncul
dalam tracing board derajat kedua. Tangga itu merepresentasikan pendakian
intelektual manusia menuju Kebenaran Suci. Seperti tangga Yakub dalam Kitab
Kejadian, Tangga Berkelok-kelok itu merupakan simbol jalan-setapak menuju
surga... perjalanan manusia menuju Tuhan... hubungan antara ranah duniawi dan
spiritual. Anak-anak tangganya merepresentasikan banyak kebajikan pikiran.
Dia seharusnya tahu itu, pikir Peter. Dia telah menjalani semua inisiasinya.
Semua kandidat Mason mempelajari tangga simbolis yang bisa mereka daki,
memungkinkan mereka "untuk berpartisipasi dalarn misteri-misteri ilmu
pengetahuan manusia". Persaudaraan Mason Bebas, seperti Ilmu Noetic dan Misteri
Kuno, menghormati potensi pikiran manusia yang belum dimanfaatkan, dan banyak
simbol Persaudaraan Mason yang berhubungan dengan fisiologi manusia.
Cula Naga Pendekar Sakti 8 Animorphs - 31 Konspirasi The Conspiracy Keris Naga Merah 2

Cari Blog Ini