Ceritasilat Novel Online

Kill Mocking Bird 1

To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee Bagian 1


PULITZER PRIZE WINNING FOR FICTION TERJUAL LEBIH DARI 30 JUTA COPY DISELURUH
DUNIA TO KILL A MOCKING BIRD HARPER LEE novel tentang Kasih Sayang dan Prasangka
"Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu
dari sudut pandangnya ... hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani
hidup dengan caranya."
Harper Lee dalam To Kill a Mockingbird
Qanita membukakan jendela-jendela bagi Anda untuk menjelajahi cakrawala baru, _
menemukan makna dari pengalaman hidup dan kisah-kisah yang kaya inspirasi.
qanita To Kill A Mockingbird Harper Lee qanita To Kill A Mockingbird Diterjemahkan dari To Kill A Mockingbird
Karya Harper Lee Terbitan Warner Books, Inc. 1271 Avenue of the Americas
New York, N.Y. 10020 Penerjemah: Femmy Syahrani Penyunting: Berliani Mantili Nugrahani Proofreader:
Emi Kusmiati Copyright " 1960 by Harper Lee All rights reserved
Hak terjemahan ke dalam bahasa Indonesia ada pada Penerbit Qanita
Cetakan 1, Maret 2006 Diterbitkan oleh Penerbit Qanita PT Mizan Pustaka Anggota
IKAPI Jin. Cinambo No. 135, Cisaranten Wetan, Bandung 40294 Telp. (022) 7834310-fO
Faks. (022) 7834311 e-mail: qanita@mizan.com milis: qanita@yahoogroups.com
http ://www .mizan .com Desain sampul: Muhammad Roniyadi
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Lee, Harper
To Kill A Mockingbird/Harper Leej penerjemah, Femmy
Syahrani, penyunting, Berliani Mantili Nugrahani. Bandung:
Qanita, 2006. ix + 568 hlm.j 17,5 cm. Judul asli: To Kill A Mockingbird
ISBN 979-3269-40-5 I. Judul. II. Femmy, Syahrani III. Berliani N. Nugrahani
813 Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU) Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujungberung, Bandung 40294
Telp. (022) 7815500 (hunting) Faks (022)
7802288 e-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id
Tentang Penulis Harper Lee lahir di Monroeville, Alabama, pada tahun 1926 dan belajar di sekolah
negeri setempat dan University of Alabama. Sebelum mulai menulis, perempuan ini
bekerja di bagian pemesanan tiket sebuah maskapai penerbangan internasional.
Selain menulis, minat utamanya adalah
golf, musik, kriminologi, serta mengumpulkan memoar pendeta-pendeta abad ke-19.
Dia tinggal di New York. Buat Mr. Lee dan Alice dalam pertimbangan cinta dan kasih
'Pengacara, kukira, pernah jadi kanak-kanak." Charles Lamb
Satu Tatkala hampir berusia tiga belas tahun, tangan abangku, Jem, patah di bagian
siku. Setelah sembuh, dan ketakutan Jem bahwa dia tak akan pernah bisa bermain
football menghilang, dia jarang menyadari cederanya. Lengan kirinya sedikit
lebih pendek daripada yang kanan; saat berdiri atau berjalan, punggung tangannya
tegak lurus dengan badan, jempolnya sejajar dengan paha. Dia sama sekali tak
peduli, sepanjang bisa mengoper dan menendang.
Setelah cukup banyak waktu berlalu sehingga kami bisa menengok ke masa lalu,
kami kadang mengobrolkan kejadian-kejadian yang mengarah pada kecelakaan
tersebut. Aku bersikeras bahwa keluarga Ewell-lah yang memulai semuanya, tetapi
Jem, yang lebih tua empat tahun dariku, mengatakan bahwa rentetan masalah itu
diawali jauh sebelumnya. Menurutnya, awal yang sebenarnya terjadi pada musim
panas ketika Dili datang, saat Dili pertama kalinya memberi kami gagasan untuk
memaksa Boo Radley keluar.
Aku berkata, jika Jem ingin mengambil sudut pandang yang lebih luas, masalahnya
dimulai oleh Andrew Jackson. Andaikan Jenderal Jackson tidak menggiring suku
Indian Creek menjauhi hulu sungai, Simon Finch tak akan pernah mendayung ke hulu
Sungai Alabama. Lalu, di mana kami sekarang berada jika Simon Finch tidak
melakukannya" Karena kami sudah terlalu besar untuk membereskan perselisihan
melalui adu tinju, kami berkonsultasi kepada Atticus, ayah kami. Dia mengatakan
bahwa kami berdua benar. Sebagai orang Selatan, merupakan aib bagi sebagian anggota keluarga kami bahwa
tak ada nenek moyang kami yang berperan di pihak mana pun dalam Pertempuran
Hastings pertempuran menentukan di Hasting, Inggris, pada 1066 antara Inggris
dan Normandia. Yang kami miliki hanyalah Simon Finch, apoteker pemasang jerat
dari Cornwall yang kesalehannya hanya bisa dikalahkan oleh kekikiran-nya. Di
Inggris, Simon kesal menyaksikan kaum Metodis diburu oleh saudara-saudara mereka
yang lebih liberal. Dan karena Simon menganggap dirinya penganut Metodis, dia
menempuh perjalanan mengarungi Samudra Atlantik menuju Philadelphia, dari sana
ke Jamaika, lalu ke Mobile, dan berakhir di Saint Stephens. Dengan
mempertahankan ajaran John Wesley yang melarang terlalu banyak berkata-kata
dalam jual-beli, Simon menghasilkan banyak uang dari mengobati orang. Namun, dia
merasa khawatir kalau-kalau tergoda melakukan hal-hal yang bukan untuk kebesaran
Tuhan, seperti memakai emas dan pakaian mewah. Jadi, setelah melupakan pandangan
panutannya tersebut tentang perbudakan, Simon membeli tiga orang budak dan
dengan bantuan mereka membangun kediaman di tepi Sungai Alabama sekitar empat
puluh mil di atas Saint Stephens. Hanya sekali Simon kembali ke Saint Stephens untuk mencari
istri, dan bersamanya menurunkan anak cucu yang kebanyakan perempuan. Simon
hidup sampai usia tua dan mati dalam keadaan kaya.
Menurut kebiasaan, kaum lelaki dalam keluarga Finch menetap di rumah yang
dibangun Simon, Finch' s Landing, dan mencari nafkah dari menanam kapas.
Segalanya tersedia di tempat itu: sekalipun tampak sederhana dibandingkan
perkebunan-perkebunan mewah di sekitarnya, Landing menghasilkan semua yang
diperlukan untuk bertahan hidup kecuali es, tepung gandum, dan pakaian, yang
dipasok oleh kapal sungai dari Mobile.
Simon mungkin akan memandang perseteruan antara Amerika Utara dan Amerika
Selatan dengan kemarahan tanpa daya, karena hal itu telah melucuti semua hak
milik keturunannya, kecuali tanah. Namun, tradisi menetap di sana tetap tak
berubah sampai jauh setelah pergantian abad ke-20 saat ayahku, Atticus Finch,
berangkat ke Montgomery untuk belajar ilmu hukum, dan adik laki-lakinya ke
Boston untuk belajar ilmu kedokteran. Saudari mereka, Alexandra, menjadi satusatunya Finch yang tetap tinggal di Landing: dia menikahi lelaki pendiam yang
menghabiskan sebagian besar waktunya berbaring di tempat tidur gantung di
pinggir sungai sambil menduga-duga apakah tangkai pancingnya telah berhasil
menangkap ikan. Setelah ayahku lulus ujian pengacara, dia kembali ke Maycomb dan memulai
praktiknya. Maycomb, sekitar dua puluh mil di sebelah timur Finch's Landing,
merupakan ibu kota Maycomb County. Kantor Atticus di gedung pengadilan hanya
berisi gantungan topi, tempolong, papan dam, dan sebuah kitab Undang-Undang
Alabama yang tak bernoda. Dua klien pertamanya adalah sepasang korban tiang
gantungan terakhir di penjara Maycomb County. Atticus sudah mendesak mereka agar
menerima kebaikan negara dengan mengaku Bersalah dalam pembunuhan tingkat dua,
dan lolos dari kematian. Namun, mereka berdua adalah anggota keluarga Haverford,
nama yang sepadan dengan dungu di Maycomb County. Mereka membunuh seorang pandai
besi terkemuka di Maycomb karena kesalahpahaman tentang kepemilikan seekor kuda,
dengan sembrono melakukannya di depan tiga orang saksi. Bersikeras bahwa
"keparat itu layak dibunuh" merupakan pembelaan yang cukup baik bagi siapa pun.
Mereka ngotot mengaku Tak Bersalah untuk pembunuhan tingkat satu. Jadi, tak
banyak yang dapat dilakukan Atticus bagi kliennya selain menghadiri eksekusi
mereka; peristiwa yang mungkin menjadi awal ketidaksukaan mendalam ayahku pada
praktik hukum pidana. Selama lima tahun pertamanya di Maycomb, Atticus mempraktikkan penghematan
berlebihan. Beberapa tahun setelahnya, dia menanamkan pendapatannya untuk
pendidikan adiknya. John Hale Finch lebih muda sepuluh tahun dari ayahku, dan
memilih belajar ilmu kedokteran pada masa kapas tak lagi berharga; namun,
setelah menyekolahkan Paman Jack, Atticus memperoleh penghasilan yang lumayan dari praktik hukumnya.
Dia menyukai Maycomb, dia lahir dan besar di sana; dia kenal orang-orangnya,
mereka kenal dia, dan karena Simon Finch yang produktif, Atticus bersaudara
dengan hampir semua keluarga di kota itu melalui darah dan perkawinan.
Ou - Maycomb adalah sebuah kota tua yang kelelahan saat pertama kali aku mengenalnya.
Saat musim hujan, jalanan berubah menjadi kubangan lumpur merah; semak tumbuh di
trotoar, gedung pengadilan melesak di alun-alun. Dahulu, cuaca terasa lebih
panas; anjing hitam menderita pada siang musim panas; bagal kerempeng kepanasan
yang menghela kereta Hoover mengibas-ngibas lalat dalam bayangan pohon ek di
alun-alun. Kerah baju kaku kaum lelaki tampak lusuh pada pukul sembilan pagi.
Kaum wanita mandi sebelum tengah hari, setelah tidur siang pukul tiga, dan saat
senja tiba mereka menyerupai kue teh lembut yang berlapis keringat dan bedak
wangi. Pada masa itu, aktivitas dijalankan dengan lambat. Orang-orang melenggang
melintasi alun-alun, menyeret kaki keluar-masuk toko-toko di sekitarnya, santai
dalam mengerjakan apa pun. Satu hari terasa lebih panjang dari dua puluh empat
jam. Tak ada ketergesaan, karena tak ada tempat yang
dituju, tak ada yang bisa dibeli juga tak ada uang untuk membeli, dan tak ada
yang patut dilihat di luar batas Maycomb County. Namun, pada masa itu, sebagian
orang dihinggapi keoptimisan samar-samar: penduduk Maycomb County baru memahami
bahwa tak ada yang perlu ditakutkan selain ketakutan itu sendiri.
Kami tinggal di jalan perumahan utama di kota Atticus, Jem, dan aku, ditambah
Calpurnia, koki kami. Aku dan Jem menganggap ayah kami lumayan: dia bermain
bersama kami, membaca untuk kami, serta menghormati kami dengan tidak pernah
mencampuri urusan kami. Calpurnia beda lagi. Tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang; dia menderita rabun
jauh; matanya juling; tangannya selebar rangka tempat tidur dan dua kali lebih
keras. Dia selalu mengusirku keluar dapur, bertanya mengapa aku tak bisa
bersikap sebaik Jem padahal dia tahu bahwa Jem lebih tua dariku, serta
memanggilku pulang saat aku belum ingin pulang. Perselisihan kami selalu hebat
dan berat sebelah. Calpurnia selalu menang, terutama karena Atticus selalu
berpihak padanya. Dia telah bersama kami semenjak Jem dilahirkan, dan sepanjang
ingatanku aku selalu merasakan penindasannya.
Ibu kami meninggal saat aku baru berumur dua tahun, jadi aku tak pernah merasa
kehilangan. Dia berasal dari keluarga Graham di Montgomery; Atticus bertemu
dengannya ketika dia dipilih sebagai anggota badan legislatif negara bagian
untuk pertama kalinya. Atticus separuh baya saat itu, ibu
kami lima belas tahun lebih muda. Jem dilahirkan pada tahun pertama perkawinan
mereka; empat tahun kemudian aku lahir, dan dua tahun kemudian ibu kami
meninggal karena serangan jantung mendadak. Kata orang, penyakit keturunan. Aku
tidak merindukannya, tetapi kupikir Jem merasa kehilangan dirinya. Dia
mengingatnya dengan sangat jelas, terkadang, saat kami sedang bermain, dia
menghela napas panjang, lalu mendadak meninggalkanku dan bermain sendiri di
belakang garasi. Saat dia bertingkah seperti itu, aku tahu sebaiknya aku tidak
mengganggunya. Ketika aku hampir menginjak usia enam tahun dan Jem hampir sepuluh tahun, batas
jarak bermain musim panas kami (jarak panggil Calpurnia) adalah rumah Mrs. Henry
Lafayette Dubose dua rumah di sebelah utara rumah kami, serta Radley Place, tiga
rumah di sebelah selatan rumah kami. Kami tak pernah tergoda untuk melanggarnya.
Radley Place dihuni oleh makhluk tak dikenal yang gambarannya saja cukup untuk
membuat kami menjaga kelakuan selama berhari-hari. Sementara itu, Mrs. Dubose
benar-benar menyeramkan. Pada musim panas itulah, Dili memasuki kehidupan kami.
Pagi-pagi sekali, ketika kami mulai bermain di pekarangan belakang, aku dan Jem
mendengar suara yang berasal dari petak sawi Miss Rachel Haverford, tetangga
sebelah rumah kami. Kami mendekati pagar kawat untuk melihat kalau-kalau ada
anak anjing anjing rat terrier Miss Rachel sedang hamil
tua alih-alih kami menemukan seseorang sedang duduk, memandangi kami. Ketika
duduk, dia tampak tidak lebih tinggi daripada tanaman sawi. Kami menatapnya
hingga dia berbicara: "Hai."
"Hai juga," kata Jem ramah.
"Aku Charles Baker Harris," katanya. "Aku bisa membaca."
"Terus kenapa?" kataku.
"Barangkali saja kau ingin tahu. Kalau ada yang perlu dibaca, aku bisa ...."
"Umurmu berapa tahun?" tanya Jem, "empat setengah?"
"Hampir tujuh."
"Yah, pantas," kata Jem, menudingkan jempolnya ke arahku. "Scout ini sudah bisa
baca sejak lahir, padahal sekolah juga belum. Untuk anak hampir tujuh tahun,
kelihatannya kau kecil sekali."
"Aku kecil, tapi sudah tua," katanya. Jem menyibakkan rambutnya supaya bisa
melihat lebih baik. "Bagaimana kalau kau ke sini, Charles Baker Harris?"
katanya. "Ya Tuhan, nama macam apa itu?"
"Tapi tidak lebih lucu dari namamu, kan" Bibi Rachel bilang, namamu Jeremy
Atticus Finch." Jem merengut. "Aku kan sudah besar, cocok pakai nama seperti itu," katanya.
"Namamu lebih panjang dari badanmu. Taruhan, lebih panjang satu kaki."
"Orang-orang memanggilku Dili," kata Dili, berkutat menyusup lewat kolong pagar.
"Lebih gampang lewat atas daripada lewat bawah," kataku. "Asalmu dari mana?"
Dili berasal dari Meridian, Mississippi, sedang melewatkan musim panas bersama
bibinya, Miss Rachel, dan akan melewatkan setiap musim panas di Maycomb mulai
sekarang. Keluarganya berasal dari Maycomb County. Ibunya, yang bekerja untuk
seorang fotografer di Meridian, memasukkan foto Dili ke Lomba Anak Menawan dan
memenangkan lima dolar. Dia memberikannya kepada Dili, yang pergi ke bioskop dua
puluh kali dengan uang itu.
"Di sini tak ada pemutaran film, kecuali film tentang Yesus di gedung pengadilan
kadang-kadang," kata Jem. "Pernah nonton film yang bagus?"
Dili pernah menonton Dracula, suatu informasi baru yang menggerakkan Jem untuk
mulai memandangnya dengan rasa hormat. "Ceritakan pada kami," katanya.
Dili makhluk ajaib. Dia mengenakan celana pendek linen biru yang dikancingkan
pada kemejanya, rambutnya seputih salju dan menempel ke kepala seperti bulu
bebek; dia setahun lebih tua dari-ku, tetapi aku menjulang di sisinya. Selagi
dia menceritakan kisah tua itu, mata birunya meredup dan mencerah; tawanya
mendadak dan riang; dia punya kebiasaan menarik jambul di tengah keningnya.
Ketika Dili menghancurkan Dracula menjadi abu, dan Jem berkata filmnya
kedengarannya lebih seru daripada bukunya, aku bertanya kepada Dili, di mana
ayahnya, "Kau belum cerita apa-apa tentang dia."
"Aku tidak punya." "Sudah meninggal?" "Tidak
"Jadi kalau dia belum meninggal, kau pasti punya, kan?"
Pipi Dili merona dan Jem menyuruhku diam, tanda pasti bahwa keberadaan Dili
sudah diteliti dan dianggap bisa diterima. Semenjak itu, hari-hari musim panas
kami selalu berakhir dengan kepuasan. Kegiatan yang selalu membuat kami senang
adalah: memperbaiki rumah pohon kami yang terletak di antara dua pohon mindi
raksasa di pekarangan belakang, meributkan segala hal, memainkan seluruh drama
yang diangkat dari karya-karya Oliver Optic, Victor Appleton, dan Edgar Rice
Burroughs. Dalam hal ini, kami beruntung ada Dili. Dia memainkan peran yang
tadinya dipaksakan padaku kera dalam Tarzan, Mr. Crabtree dalam The Rover Boys,
Mr. Damon di Tom Swift. Demikianlah kami mengenal Dill sebagai Merlin kecil,
yang kepalanya disesaki rencana nyentrik, keinginan aneh, dan khayalan ganjil.
Namun, pada akhir Agustus, repertoar kami sudah menjadi hambar akibat
pengulangan yang tak terhitung, dan pada saat itulah Dili memberi kami gagasan
untuk memaksa Boo Radley keluar.
Radley Place memesona Dili. Meskipun sudah ada peringatan dan penjelasan dari
kami, tempat itu menyedotnya seperti bulan menarik air, tetapi dia hanya berani
mendekatinya sebatas tiang lampu di tikungan, jarak yang aman dari gerbang
Radley. Di sanalah dia berdiri, memeluk tiang besar, menatap
dan bertanya-tanya. Radley Place menjorok ke tikungan tak jauh dari rumah kami. Kalau berjalan ke


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selatan, kami akan berhadapan dengan berandanya; trotoar membelok dan memanjang
di sisi pekarangannya. Rumah itu rendah, dulunya berwarna putih dengan beranda
depan yang luas dan daun jendela hijau, tetapi warna putihnya sudah lama
menggelap menjadi sewarna dengan pekarangan abu-abu batu di sekelilingnya.
Genting yang dikeroposi hujan menjuntai dari tepian serambi; pohon ek
menghalangi matahari. Sisa-sisa tiang pagar bagaikan orang mabuk menjaga halaman
depan halaman telantar yang tak terawat yang banyak ditumbuhi semak-semak dan
rumput liar. Di dalam rumah itu, tinggal sesosok hantu jahat. Kata orang memang ada, tetapi
aku dan Jem belum pernah melihatnya. Kata orang, dia keluar pada malam hari
ketika bulan sedang tinggi, dan mengintip lewat jendela. Kalau bunga azalea
membeku dalam cuaca dingin yang singkat, itu gara-gara dia mengembuskan napasnya
pada bunga itu. Kejahatan kecil diam-diam mana pun yang terjadi di Maycomb
adalah ulahnya. Pernah kota kami diteror oleh serangkaian kejadian malam yang
mengerikan: ayam dan hewan peliharaan ditemukan terpotong-potong; meskipun
pelakunya adalah Crazy Addie, yang akhirnya menenggelamkan diri di Pusaran
Barker, orang masih memelototi Radley Place, enggan membuang kecurigaan awal
mereka. Orang Negro tak akan melewati Radley Place malam-malam,
lebih baik melintas ke trotoar seberang dan bersiul sambil berjalan. Pekarangan
sekolah Maycomb berbatasan dengan sisi belakang tanah Radley; dari kandang ayam
Radley, pohon kacang pecan yang tinggi menggugurkan buahnya ke pekarangan
sekolah, tetapi kacang-kacang itu bertebaran tak tersentuh oleh anak-anak.
Kacang pecan Radley bisa mematikan. Bola bisbol yang terpukul masuk ke halaman
Radley berarti hilang dan tak perlu dipertanyakan.
Keadaan menyedihkan rumah itu dimulai bertahun-tahun sebelum aku dan Jem lahir.
Keluarga Radley, yang disambut baik di mana pun di kota, menutup diri; suatu
kecenderungan yang tak termaafkan di Maycomb. Mereka tidak ke gereja rekreasi
utama Maycomb tetapi beribadat di rumah; Mrs. Radley jarang, bahkan mungkin tak
pernah, menyeberang jalan untuk rehat kopi pagi hari bersama para tetangganya,
dan pastinya tak pernah bergabung dengan kelompok apa pun di gereja. Mr. Radley
berjalan ke kota pada pukul 11.30 setiap siang dan kembali cepat-cepat pada
pukul 12.00, kadang-kadang membawa kantong kertas cokelat yang oleh para
tetangga diduga berisi belanjaan keluarga. Aku tak pernah tahu bagaimana Mr.
Radley tua mencari nafkah kata Jem, dia "membeli kapas", istilah sopan untuk
menganggur tetapi Mr. Radley dan istrinya sudah tinggal di sana bersama kedua
putranya sepanjang ingatan siapa pun.
Daun pintu dan jendela rumah Radley tertutup pada hari Minggu, satu lagi hal
yang asing bagi kebiasaan Maycomb: pintu hanya tertutup jika ada yang sakit atau cuaca dingin.
Di antara semua hari, hari Minggu adalah hari untuk acara bertamu sore hari yang
formal: perempuan mengenakan korset, lelaki mengenakan jas, anak-anak mengenakan
sepatu. Akan tetapi, menaiki tangga depan Radley dan berseru, "Hai" pada Minggu
sore adalah sesuatu yang tak pernah dilakukan tetangga mereka. Rumah Radley tak
punya pintu kawat. Aku pernah bertanya kepada Atticus, apakah pintu itu pernah
ada; Atticus bilang ya, tetapi sebelum aku lahir.
Menurut omongan para tetangga, ketika putra bungsu Radley masih belasan tahun,
dia berkenalan dengan beberapa anggota keluarga Cunningham dari Old Sarum suku
besar dan membingungkan yang tinggal di bagian utara county dan mereka pun
membentuk semacam geng di Maycomb. Tidak banyak yang mereka lakukan, tetapi
cukup banyak untuk menjadi bahan omongan warga kota dan membuat mereka
mendapatkan peringatan secara terbuka dari tiga mimbar: mereka nongkrong di
tukang cukur; mereka naik bus ke Abbottsville pada hari Minggu dan pergi ke
bioskop; mereka menghadiri acara dansa di Dew-Drop Inn & Fishing Camp, neraka
judi di tepi sungai yang mengaliri county; mereka bereksperimen dengan wiski
ilegal. Tak ada warga Maycomb yang cukup berani untuk memberi tahu Mr. Radley
bahwa putranya salah memilih teman bergaul.
Pada suatu malam, dalam lonjakan semangat tinggi yang berlebihan, mereka kebutkebutan di alun-alun dengan mobil butut pinjaman, memberikan perlawanan saat pendeta tua
Maycomb, Mr. Conner, akan menahan mereka, dan mengunci pria itu di toilet gedung
pengadilan. Warga kota memutuskan bahwa mereka harus mengambil tindakan; Mr.
Conner berkata, dia tahu persis siapa saja pelakunya, dan dia berjanji dan
bertekad tak akan membiarkan mereka lolos. Jadi, anak-anak itu diajukan ke
pengadilan remaja dengan tuntutan mengacau ketertiban, mengganggu ketenangan,
menyerang dan memukul, dan menggunakan bahasa kasar dan kotor di hadapan dan
dalam pendengaran seorang perempuan. Hakim bertanya kepada Mr. Conner mengapa
dia menyertakan tuntutan yang terakhir; Mr. Conner berkata mereka menyumpah
begitu lantang, sehingga dia yakin setiap perempuan di Maycomb mendengar mereka.
Sang hakim memutuskan untuk mengirim anak-anak itu ke sekolah kejuruan negeri;
kadang-kadang, anak-anak dikirim ke tempat itu tanpa alasan selain memberi
mereka makanan dan rumah yang layak: tempat itu bukan penjara dan bukan hal yang
memalukan. Mr. Radley merasa sebaliknya. Jika hakim membebaskan Arthur, Mr.
Radley akan memastikan pemuda itu tak akan membuat onar lagi. Karena tahu bahwa
perkataan Mr. Radley bisa dipegang, hakim dengan senang hati membebaskan Arthur.
Anak-anak lain pergi ke sekolah kejuruan dan menerima pendidikan menengah
terbaik di negara bagian; salah satu dari mereka bahkan dapat diterima di
sekolah teknik terkemuka di Auburn. Pintu
rumah Radley tertutup pada hari biasa maupun hari Minggu, dan putra Mr. Radley
tak terlihat lagi selama lima belas tahun.
Namun, tibalah suatu hari, yang hampir terhapus dari ingatan Jem, ketika Boo
Radley terdengar dan terlihat oleh beberapa orang, tetapi bukan oleh Jem. Kata
Jem, Atticus tak pernah bicara banyak tentang keluarga Radley: ketika Jem
menanyainya, satu-satunya jawaban Atticus adalah: pikirkan urusanmu sendiri dan
biarkan keluarga Radley memikirkan urusan mereka sendiri, itu hak mereka; tetapi
ketika peristiwa itu terjadi, kata Jem, Atticus menggeleng dan berkata, "Mm, mm,
mm." Jadi, Jem mendapatkan sebagian besar informasi dari Miss Stephanie Crawford,
tetangga kami yang pemarah, yang mengaku tahu semua detail tentang peristiwa
itu. Menurut Miss Stephanie, Boo sedang duduk di ruang tamu, menggunting
beberapa artikel dari Maycomb Tribune untuk ditempelkan dalam klipingnya.
Ayahnya memasuki ruangan. Ketika Mr. Radley lewat, Boo menghunjamkan gunting itu
pada kaki orangtuanya itu, mencabutnya, mengelap noda darah pada celananya, dan
melanjutkan kegiatannya. Mrs. Radley berlari menjerit-jerit ke jalanan, mengatakan bahwa Arthur sedang
membantai mereka semua, tetapi ketika sheriff tiba, dia menemukan Boo masih
duduk di ruang tamu, mengguntingi Tribune. Usianya tiga puluh tiga tahun saat
itu. Kata Miss Stephanie, Mr. Radley tua berkata, tak akan pernah ada anggota Radley
yang masuk rumah sakit jiwa mana pun, ketika dia mendengar saran bahwa melewatkan satu
musim di Tuscaloosa mungkin bisa membantu Boo. Boo tidak gila, dia hanya kadangkadang tidak bisa menjaga kelakuan. Boo boleh dikurung, kata Mr. Radley
mengalah, tetapi dia tetap bersikeras bahwa Boo tidak boleh dituntut: dia bukan
kriminal. Sheriff tak tega memenjarakannya bersama orang Negro, jadi Boo
dikurung di ruang bawah tanah gedung pengadilan.
Perpindahan Boo dari ruang bawah tanah kembali ke rumah hanya samar-samar
diingat Jem. Kata Miss Stephanie Crawford, sebagian dewan kota berkata kepada
Mr. Radley bahwa jika dia tidak menerima Boo kembali, Boo akan mati berlumut
akibat udara yang lembap. Lagi pula, Boo tidak bisa selamanya hidup dibiayai
pemerintah. Tak ada yang tahu bentuk intimidasi yang digunakan Mr. Radley agar Boo tak
keluar rumah, tetapi Jem menyimpulkan bahwa Radley merantainya ke tempat tidur
hampir sepanjang waktu. Atticus berkata tidak, bukan seperti itu, ada cara-cara
lain untuk menjauhkan seseorang dari orang lain.
Sesekali aku melihat Mrs. Radley membuka pintu depan, berjalan ke tepi beranda,
menyirami bunga kananya. Namun, setiap hari aku dan Jem melihat Mr. Radley
berjalan menuju dan kembali dari kota. Dia lelaki kurus yang tampak tangguh
dengan mata tak berwarna, begitu tak berwarna sehingga tidak memantulkan cahaya.
Tulang pipinya menonjol dan mulutnya lebar, dengan bibir atas tipis dan bibir
bawah tebal. Kata Miss Stephanie Crawford, dia
begitu lurus, sehingga dia hanya memandang sabda Tuhan sebagai satu-satunya
hukum, dan kami percaya karena postur Mr. Radley memang lurus seperti tongkat.
Dia tak pernah berbicara kepada kami. Kalau dia lewat, kami menunduk dan
berkata, "Selamat pagi, Sir," dan dia menjawabnya dengan batuk. Putra sulung Mr.
Radley tinggal di Pensacola; dia pulang pada hari Natal, dan dia adalah salah
satu dari sedikit orang yang pernah kami lihat memasuki atau meninggalkan tempat
itu. Semenjak Mr. Radley membawa pulang Arthur, kata orang, rumah itu mati.
Tetapi, tiba suatu hari ketika Atticus berkata bahwa dia akan menghukum kami
jika kami membuat keributan di halaman, lalu sebelum dia pergi, dia meminta
Calpurnia untuk menggantikannya menghukum kami jika Calpurnia mendengar kami
bersuara. Mr. Radley sedang sekarat.
Dia meninggal dengan perlahan-lahan. Kuda-kuda kayu merintangi jalan dan batasbatas tanah Radley, bongkahan jerami diletakkan di trotoar, lalu lintas
dialihkan ke jalan belakang. Dr. Reynolds memarkirkan mobilnya di depan rumah
kami dan berjalan ke rumah Radley setiap kali dia dipanggil. Selama berharihari, aku dan Jem berjingkat-jingkat di halaman. Akhirnya, kuda-kuda
disingkirkan, dan kami berdiri menonton dari beranda depan ketika Mr. Radley
melakukan perjalanan terakhirnya melewati rumah kami.
"Lelaki terkeji yang pernah ditiupkan napas oleh Tuhan telah meninggal," gumam
Calpurnia, dan dia meludah dengan syahdu ke halaman. Kami memandangnya kaget karena Calpurnia
jarang mengomentari cara hidup kaum kulit putih.
Para tetangga menyangka bahwa ketika Mr. Radley meninggal, Boo akan keluar,
tetapi sangkaan mereka keliru: kakak Boo kembali dari Pensacola dan menggantikan
Mr. Radley. Satu-satunya perbedaan antara dia dan ayahnya adalah usia mereka.
Kata Jem, Mr. Nathan Radley juga "membeli kapas". Namun, Mr. Nathan mau
berbicara kepada kami kalau kami mengucapkan selamat pagi, dan kadang-kadang
kami melihatnya datang dari kota membawa majalah.
Semakin banyak kami bercerita kepada Dili tentang keluarga Radley, semakin
banyak dia ingin tahu, semakin lama dia berdiri memeluk tiang lampu di tikungan,
semakin banyak dia bertanya-tanya.
"Dia sedang apa ya, di dalam," Dili biasa bergumam. "Sepertinya dia baru saja
melongokkan kepala lewat pintu."
Kata Jem, "Dia suka keluar kok, kalau sedang gelap gulita. Miss Stephanie
Crawford bilang, dia pernah bangun tengah malam dan melihatnya memandang tepat
padanya dari jendela ... dan kepalanya seperti tengkorak yang memandanginya.
Memangnya kamu belum pernah bangun malam-malam dan mendengarnya, Dili" Jalannya
seperti ini" Jem menyeret kakinya di atas kerikil. "Memangnya kenapa menurutmu
Miss Rachel mengunci pintu rapat-rapat di malam hari" Pagi-pagi aku sering
melihat jejaknya di halaman belakang dan suatu
malam aku mendengarnya menggaruk pintu kawat belakang, tetapi dia sudah pergi
waktu Atticus sampai di sana."
"Kira-kira seperti apa, ya tampangnya?" kata
Dili. Jem memberikan gambaran masuk akal tentang Boo: tinggi badannya enam setengah
kaki, dilihat dari jejaknya; dia memakan tupai dan kucing yang bisa ditangkapnya
mentah-mentah, karena itu tangannya selalu bernoda darah kalau kau memakan hewan
mentah-mentah, kau tak akan pernah bisa mencuci bersih noda darahnya. Ada bekas
luka panjang bergerigi melintasi wajahnya; giginya yang tersisa kuning dan
busuk; matanya menonjol, dan air liurnya menetes hampir sepanjang waktu.
"Ayo kita coba membuat dia keluar," kata Dili. "Aku ingin lihat seperti apa
dia." Kata Jem, kalau Dili mau mati, dia tinggal pergi dan mengetuk pintu depan.
Serbuan pertama kami terjadi hanya karena Dili mempertaruhkan buku The Grey
Ghost untuk dua buku Tom Swift milik Jem, bahwa Jem tak akan berani melewati
gerbang Radley. Seumur hidupnya, Jem tak pernah menampik tantangan.
Jem memikirkannya selama tiga hari. Kukira dia lebih menghargai kehormatan
daripada kepalanya karena Dili dengan mudah membujuknya, "Kau takut," kata Dili,
pada hari pertama. "Tidak takut, cuma mempertimbangkan," kata Jem. Hari
berikutnya, Dili berkata, "Hanya menaruh jempol kaki di halaman depan saja, kau
takut." Jem bilang dia tidak takut,
buktinya, dia telah melewati Radley Place setiap hari sekolah sepanjang
hidupnya. "Selalu berlari," kataku. Tetapi, Dili berhasil menaklukkannya pada hari ketiga,
ketika dia berkata kepada Jem bahwa warga Meridian tentunya tidak sepenakut
penduduk Maycomb, bahwa dia belum pernah melihat orang yang begitu penakut
seperti orang-orang Maycomb.
Itu sudah cukup untuk membuat Jem melangkah ke tikungan, lalu berhenti dan
bersandar pada tiang lampu, mengamati gerbang yang terayun-ayun pada engsel
buatan sendiri. "Kuharap kau tahu bahwa dia akan membunuh kita semua, Dill Harris," kata Jem,
ketika kami mengejarnya. "Jangan salahkan aku waktu dia mencongkel matamu. Kau
yang memulai, ingat."
"Kau masih takut," gumam Dili sabar. Jem ingin Dili tahu pasti bahwa dia tidak
takut pada apa pun, "Cuma aku tak bisa memikirkan cara untuk membuat dia keluar
tanpa dia menangkap kita. " Selain itu, Jem juga harus memikirkan keselamatan
adik perempuannya. Ketika Jem berkata begitu, aku tahu dia takut. Jem juga mengkhawatirkan adiknya
waktu aku menantangnya melompat dari atas rumah, "Kalau aku mati, kamu
bagaimana?" tanyanya. Lalu dia melompat, mendarat tanpa cedera, dan rasa
tanggung jawabnya menghilang sampai dia dihadapkan pada Radley Place.
"Kau mau mundur dari tantangan?" tanya Dili. "Kalau iya, berarti "
"Dili, hal-hal seperti ini harus dipikirkan," kata Jem. "Coba kupikir sebentar ...
ini seperti membuat kura-kura keluar
"Bagaimana itu?" tanya Dili. "Nyalakan korek di bawahnya." Aku memberi tahu Jem,
kalau dia membakar rumah Radley, aku akan mengadukannya kepada Atticus.
Dili bilang, menyalakan korek di bawah kura-kura itu perbuatan keji.
"Bukan keji, hanya untuk membujuknya toh kura-kuranya tidak benar-benar
dibakar," geram Jem.
"Dari mana kau tahu korek itu tidak akan melukainya?"
"Kura-kura tidak bisa merasa, bodoh," kata Jem.
"Memangnya kau pernah jadi kura-kura?"
"Ya ampun, Dili! Nah, biar kupikir dulu ... mungkin kita bisa menggoyangnya ...."
Jem berdiri berpikir begitu lama, sampai Dili mengalah sedikit, "Aku tak akan
bilang kau mundur dari tantangan, dan aku akan menukar The Grey Ghost kalau kau
ke sana dan menyentuh rumahnya." Wajah Jem mencerah. "Menyentuh rumah, itu
saja?" Dili mengangguk.
"Yakin, cuma itu" Aku tak mau nanti kau me-neriakiku buat melakukan hal lain
lagi begitu aku kembali."
"Iya, itu saja," kata Dili. "Mungkin nanti dia keluar mengejarmu kalau dia
melihatmu di halaman, lalu Scout dan aku akan menyergapnya dan meme ganginya sampai kita bisa berkata padanya bahwa kita tak akan menyakitinya."
Kami meninggalkan tikungan, menyeberangi jalan samping yang melintas di depan
rumah Radley dan berhenti di gerbang.
"Ayo," kata Dili. "Aku dan Scout akan menyusul."
"Iya, iya," kata Jem, "tak usah memburu-buru."
Dia berjalan ke pojok tanah Radley, lalu kembali lagi seolah-olah sedang
memutuskan cara terbaik untuk masuk mengerutkan kening dan menggaruk kepala.
Lalu, aku mengejeknya. Jem membuka gerbang dan berlari ke samping rumah, menepuk dengan telapak
tangannya dan berlari kembali melewati kami, tidak menunggu untuk melihat apakah
serangannya berhasil. Aku dan Dili mengikutinya rapat. Setelah aman berada di
beranda kami, terengah-engah dan kehabisan napas, kami melihat ke belakang.
Rumah tua itu masih sama, reyot dan sakit, tetapi seraya kami menatap melewati
jalan, kami merasa melihat daun jendela dalam bergerak. Klik. Gerakan kecil,
hampir tak terlihat, dan rumah itu kembali tidur.
Dua Dili meninggalkan kami untuk kembali ke Meridian pada awal September. Kami
mengantarnya menaiki bus pukul 17.00, dan aku merana tanpanya sampai aku
teringat bahwa aku akan mulai bersekolah seminggu lagi. Belum pernah aku
menanti-nantikan sesuatu seperti itu dalam hidupku. Aku menghabiskan berjam-jam
waktuku selama musim dingin di rumah pohon, memandangi pekarangan sekolah,
memata-matai seabrek anak melalui teleskop berkekuatan ganda pemberian Jem,
mempelajari permainan mereka, mengikuti jaket merah Jem menembus lingkaran
geliang-geliut permainan blind man's buff si "kucing" ditutup matanya, sementara
teman-temannya berusaha menyentuhnya tanpa tertangkap; kalau ada yang
tertangkap, si "kucing" menebak siapa orangnya diam-diam berbagi kekalahan dan
kemenangan kecil mereka. Aku ingin sekali bergabung dengan mereka.
Jem menurunkan derajatnya untuk membawaku ke sekolah pada hari pertama, tugas
yang biasanya dilakukan orangtua, tetapi Atticus berkata Jem akan dengan senang


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati menunjukkan letak ruang kelasku. Aku menduga ada uang yang terlibat dalam
transaksi ini, karena sementara kami berlari kecil mengitari tikungan melewati
Radley Place, aku mendengar gemerencing yang mencurigakan dalam saku
Jem. Ketika kami melambatkan langkah di tepi halaman sekolah, Jem dengan cermat
menjelaskan bahwa selama jam sekolah aku tak boleh mengganggunya, aku tak boleh
menemuinya untuk meminta melakonkan satu bab dari Tarzan and the Ant Men,
mempermalukannya dengan menyebut-nyebut kehidupan pribadinya, atau menguntitnya
pada jam istirahat dan siang hari. Aku harus tetap di kelas satu dan dia tetap
di kelas lima. Pendeknya, aku tidak boleh berurusan dengannya.
"Maksudmu, kita tak boleh main bareng lagi" "tanyaku.
"Di rumah, ya, kita main seperti biasa," katanya, "tapi nanti juga kamu pasti
tahu sekolah itu beda."
Ternyata memang berbeda. Sebelum pagi pertama usai, Miss Caroline Fisher, guru
kami, menyeretku ke depan ruangan dan menepuk telapak tanganku dengan penggaris,
menyuruhku berdiri di sudut hingga tengah hari.
Miss Caroline tak lebih dari dua puluh satu tahun. Rambutnya merah terang,
pipinya merah jambu, dan kukunya dicat merah. Dia juga mengenakan sepatu hak
tinggi dan rok bergaris merah-putih. Penampilan dan wanginya seperti permen
peppermint. Dia tinggal di seberang jalan, satu rumah dari kami, di kamar depan
lantai dua rumah Miss Maudie Atkinson, dan ketika Miss Maudie memperkenalkan
kami kepadanya, Jem terbengong-bengong selama berhari-hari.
Miss Caroline menuliskan namanya di papan
tulis dan berkata, "Kalimat ini berbunyi: saya Miss Caroline Fisher. Saya dari
Alabama Utara, dari Winston County." Anak-anak sekelas bergumam cemas, kalaukalau dia terbukti memiliki sifat-sifat aneh khas penduduk wilayah itu. (Ketika
Alabama melepaskan diri dari Union pada 11 Januari 1861, Winston County
melepaskan diri dari Alabama, dan setiap anak di Maycomb County tahu itu.)
Alabama Utara dipenuhi oleh Liquor Interests organisasi penjual minuman keras,
yang menentang amandemen UUD A.S. tentang memberikan hak suara kepada kaum
wanita, Big Mules politikus pelaku dagang sapi di Alabama, perusahaan baja,
pendukung Partai Republik, profesor, dan orang-orang lain yang tak punya latar
belakang. Miss Caroline mengawali hari dengan membacakan kisah tentang kucing. Kucingkucing itu bercakap-cakap panjang lebar, mereka memakai baju-baju indah, dan
tinggal di rumah hangat di bawah kompor dapur. Pada saat Bu Kucing menelepon
toko obat untuk memesan seporsi tikus berlapis cokelat, seluruh kelas menggeliat
seperti seember cacing umpan. Miss Caroline tampaknya tak menyadari bahwa anak
kelas satu yang berkemeja jins compang-camping dan mengenakan rok karung terigu
itu, yang sebagian besar sudah memotong kapas dan memberi makan babi sejak
mereka bisa berjalan, sudah kebal terhadap sastra imajinatif. Miss Caroline
sampai ke akhir cerita dan berkata, "Nah, ceritanya bagus, kan?"
Lalu, dia berjalan menuju papan tulis dan menuliskan alfabet dalam huruf kapital
yang kotak-kotak dan besar-besar, berbalik menghadap kelas dan bertanya, "Ada
yang tahu, ini apa?"
Semua tahu; kebanyakan murid di ruangan ini tinggal kelas tahun lalu.
Kuduga dia memilihku karena dia tahu namaku; selagi aku membacakan alfabet,
garis tipis muncul di antara alisnya, dan setelah menyuruhku membacakan sebagian
besar buku My First Reader dan kutipan pasar saham dari surat kabar The Mobile
Register, dia mendapati bahwa aku melek huruf dan memandangku dengan rasa tak
suka yang kentara. Miss Caroline menyuruhku memberi tahu ayahku agar tak
mengajariku lagi, itu akan mengganggu caraku membaca.
"Mengajari saya?" kataku heran. "Dia tidak mengajari saya apa-apa, Miss
Caroline. Atticus tidak punya waktu untuk mengajari saya apa-apa," tambahku,
ketika Miss Caroline tersenyum dan menggeleng. "Yah, malam-malam dia sudah
sangat kelelahan, biasanya dia cuma duduk saja di ruang tamu dan membaca."
"Kalau bukan dia yang mengajarimu, lantas siapa?" tanya Miss Caroline ramah.
"Pasti ada. Kamu kan tidak dilahirkan langsung bisa membaca The Mobile
Register." "Kata Jem, memang sebenarnya begitu. Dia pernah membaca buku yang menyebutkan
kalau saya ini anggota keluarga Bullfinch, bukan Finch. Kata Jem, nama saya
sebenarnya Jean Louise Bullfinch, jadi saya tertukar waktu baru lahir dan saya
sebenarnya seorang" Miss Caroline rupanya menyangka aku berbohong. "Kita tak boleh berkhayal terlalu
liar, Sayang," katanya. "Nah, beri tahu ayahmu supaya tidak mengajarimu lagi.
Belajar membaca itu lebih baik dilakukan dengan otak segar. Beri tahu dia, Ibu
akan mengambil alih sekarang dan mencoba memperbaiki kerusakan" "Ma'am?"
"Ayahmu tak tahu cara mengajar. Kamu boleh duduk sekarang."
Aku menggumamkan maaf dan duduk merenungkan kesalahanku. Aku tak pernah
bermaksud belajar membaca, tetapi entah bagaimana aku tiba-tiba sudah berkubang
dalam artikel-artikel koran harian. Saat melewati jam-jam panjang di gereja
waktu itukah aku belajar" sepanjang ingatanku, aku tak pernah tak bisa membaca
himne. Sekarang, karena aku terpaksa memikirkannya, membaca adalah sesuatu yang
kukuasai dengan sendirinya, seperti belajar memasang kancing belakang bajuku
tanpa melihat ke belakang, atau berhasil mengikat tali sepatu sendiri. Aku tak
bisa ingat kapan garis-garis di atas gerak jemari Atticus terpisah menjadi katakata, tetapi dalam ingatanku, aku menatapnya semalaman, sambil mendengarkan
berita hari itu, Rancangan Undang-Undang yang Disahkan menjadi Undang-Undang,
buku harian Lorenzo Dow apa pun yang kebetulan dibaca Atticus ketika aku
meringkuk di pangkuannya setiap malam. Sampai aku takut aku akan kehilangan
kegiatan ini, aku baru sadar
kalau aku belum pernah gemar membaca. Bukankah orang tak pernah gemar bernapas"
Aku tahu aku membuat Miss Caroline kesal. Jadi, aku diam saja dan menatap ke
luar jendela sampai waktu istirahat tiba, ketika Jem menarikku dari sekumpulan
anak kelas satu di halaman sekolah. Dia menanyakan keadaanku. Aku
menceritakannya. "Andai tak harus di sini terus, aku akan pergi. Jem, perempuan menyebalkan itu
bilang Atticus mengajariku membaca dan dia harus berhenti"
"Jangan khawatir, Scout," Jem menghiburku. "Kata guru kami, Miss Caroline sedang
memperkenalkan cara mengajar yang baru. Dia mempelajarinya sewaktu kuliah. Nanti
cara itu akan segera diterapkan ke semua kelas. Kalau memakai cara itu, kau tak
usah belajar banyak dari buku maksudnya, kalau kau mau belajar tentang sapi, kau
akan memerahnya, ngerti?"
"Iya, Jem, tapi aku tak mau belajar tentang sapi, aku"
"Kau harus mau. Kau harus tahu tentang sapi, sapi kan bagian penting kehidupan
Maycomb County." Aku harus puas hanya dengan mengejek Jem bahwa dia sudah gila.
"Aku cuma mencoba memberi tahu tentang cara mengajar baru di kelas satu, kepala
batu. Namanya Sistem Desimal Dewey."
Karena belum pernah mempertanyakan apa pun yang dikatakan Jem, aku tak punya
alasan untuk memulainya sekarang. Sistem Desimal Dewey mencakup, antara lain,
Miss Caroline melambaikan kartu-kartu yang bertuliskan "itu", "kucing", "tikus",
"orang", dan "kamu" kepada kami. Sepertinya kami tak diharapkan berkomentar, dan
seluruh kelas menerima pertunjukan standar ini dalam keheningan. Karena merasa
bosan, aku mulai menulis surat untuk Dill. Miss Caroline memergokiku menulis dan
menyuruhku memberi tahu ayahku untuk berhenti mengajariku. "Lagi pula," katanya.
"Anak kelas satu tidak menulis huruf sambung, kita menulis huruf cetak. Kamu
baru belajar menulis bersambung di kelas tiga."
Ini semua salah Calpurnia. Hanya menulis yang membuatku tidak merecokinya pada
hari-hari hujan. Dia memberiku tugas menulis dengan mencoretkan alfabet dengan
tegas di atas sabak, lalu menyalin satu bab dari Alkitab di bawahnya. Jika aku
bisa meniru tulisannya dengan memuaskan, dia menghadiahiku dengan sandwich
terbuka berisi mentega dan gula. Dalam cara mengajar Calpurnia, tak ada yang
sentimental: aku jarang menyenangkan dia dan dia jarang menghadiahiku.
"Yang harus pulang untuk makan siang, tolong acungkan tangan," kata Miss
Caroline, menyela ke-geramanku pada Calpurnia.
Anak-anak yang tinggal di kota mengacungkan tangan, dan dia memeriksa kami
sekilas. "Yang membawa bekal makan siang, letakkan di atas meja."
Ember bekal bermunculan, menimbulkan pantu Ian cahaya metalik yang menari-nari di langit-langit. Miss Caroline berjalan di
antara baris kursi, mengamati dan sesekali menyentuh bekal makan siang anakanak, mengangguk jika isinya memuaskan, sedikit mengerutkan kening pada beberapa
yang lain. Dia berhenti di meja Walter Cunningham. "Punyamu mana?" tanyanya.
Dari wajahnya, semua anak kelas satu tahu bahwa Walter Cunningham cacingan. Dari
kakinya yang tak bersepatu, kami tahu bagaimana dia terjangkit. Orang terjangkit
penyakit cacingan kalau bertelanjang kaki di halaman peternakan dan kubangan
babi. Andai Walter punya sepatu, tentu dia sudah memakainya pada hari pertama
sekolah dan menyimpannya sampai pertengahan musim dingin. Meskipun begitu, dia
mengenakan kemeja bersih dan overall yang ditambal rapi.
"Kamu lupa membawa bekal pagi ini?" tanya Miss Caroline.
Walter menatap lurus ke depan. Aku melihat otot-otot bergerak di rahangnya yang
kurus. "Kamu lupa menyiapkannya pagi ini?" tanya Miss Caroline. Rahang Walter bergerak
lagi. "Ya, Ma'am," dia akhirnya menggumam. Miss Caroline kembali ke mejanya dan
membuka tasnya. "Ini 25 sen," katanya kepada Walter. "Makanlah di kota hari ini.
Kamu boleh mengembalikan uangnya besok."
Walter menggeleng. "Tidak, Ma'am, terima kasih, Ma'am," dia berkata lambatlambat, menyeret ucapannya.
Rasa tak sabar merayapi suara Miss Caroline, "Ini, Walter, ambillah kemari."
Walter menggeleng lagi. Ketika Walter menggeleng ketiga kalinya, seseorang berbisik, "Ayo bilang saja,
Scout." Aku berbalik dan melihat sebagian besar anak yang tinggal di kota dan seluruh
delegasi bus sekolah memandangku. Aku dan Miss Caroline sudah bercakap dua kali,
dan mereka memandangku dengan keyakinan lugu bahwa "kedekatan" kami akan
menghasilkan pengertian. Aku bangkit dengan anggun demi Walter, "Ah Miss Caroline."
"Ada apa, Jean Louise?" "Miss Caroline, dia seorang Cunningham." Aku duduk
kembali. "Apa, Jean Louise?" Aku menyangka perkataanku sudah cukup jelas. Bagi
kami keadaannya cukup jelas: Walter Cunning ham telah berbohong mentah-mentah.
Dia bukannya lupa membawa bekal, dia memang tak punya bekal. Hari ini dia tak
punya bekal, besok atau lusa pun dia tak akan punya. Mungkin seumur hidupnya dia
belum pernah melihat uang 75 sen dalam waktu yang bersamaan.
Aku mencoba lagi, "Walter berasal dari keluarga Cunningham, Miss Caroline."
"Maaf, Jean Louise?"
"Tidak perlu minta maaf, Ma'am, lama-lama Ibu akan kenal juga dengan semua warga
county. Keluarga Cunningham tidak pernah mengambil apa pun
yang tidak akan bisa mereka kembalikan keranjang sumbangan gereja ataupun kupon
makanan. Mereka tidak pernah mengambil apa pun dari siapa pun, mereka merasa
tercukupi dengan apa yang mereka punya. Mereka tidak punya banyak, tapi mereka
mencukupkannya." Pengetahuan istimewaku tentang kaum Cunningham salah satu cabangnya, maksudku
diperoleh dari kejadian musim dingin lalu. Ayah Walter adalah salah satu klien
Atticus. Setelah pada suatu malam membicarakan sengketa warisan dalam suasana
suram di ruang tamu kami, sebelum Mr. Cunningham pergi, dia berkata, "Mr. Finch,
saya tak tahu kapan saya akan bisa membayar Anda."
"Itu tak perlu kaukhawatirkan, Walter," kata Atticus.
Ketika aku menanyakan arti warisan (entailment) kepada Jem, dan Jem
menjelaskannya sebagai ekor yang terjepit pada celah, aku bertanya kepada
Atticus apakah Mr. Cunningham akan pernah membayar kami.
"Tidak dalam bentuk uang," kata Atticus, "tetapi sebelum akhir tahun, aku pasti
sudah dibayar. Lihat saja."
Kami melihatnya. Pada suatu pagi, aku dan Jem menemukan tumpukan kayu bakar di
halaman belakang. Kemudian, sekarung kacang hickory muncul di tangga belakang.
Natal datang bersama sekerat bunga smilax dan holly. Pada musim semi, ketika
kami menemukan sekarung lobak, Atticus berkata bahwa pembayaran Mr. Cunningham
sudah lebih dari cukup. "Kenapa dia membayar dengan cara seperti itu?" tanyaku.
"Karena itu satu-satunya cara dia bisa membayar. Dia tak punya uang."
"Apakah kita miskin, Atticus?" Atticus mengangguk. "Sesungguhnya, iya." Jem
mengernyitkan hidung. "Apakah kita semiskin keluarga Cunningham?"
"Tidak juga. Keluarga Cunningham itu orang kampung, petani, dan krisis ekonomi
berdampak paling parah pada mereka."
Kata Atticus, para profesional jatuh miskin karena para petani jatuh miskin.
Karena Maycomb County adalah wilayah pertanian, kebanyakan penduduknya sulit
mengumpulkan uang untuk membayar dokter, dokter gigi, dan pengacara. Masalah
warisan hanyalah salah satu kesulitan Mr. Cunningham. Berhektar-hektar tanah
yang tidak diwariskan digadaikan seluruhnya, dan sedikit uang tunai yang
didapatkan dipakai untuk membayar bunga pinjaman. Jika dia mau menjaga mulut,
Mr. Cunningham bisa memperoleh pekerjaan di WPA (Works Project Administration),
tetapi tanahnya akan terbengkalai jika ditinggalkan dan dia lebih rela
menanggung lapar untuk mempertahankan tanahnya dan memberi suara sesuka hatinya.
Mr. Cunningham, kata Atticus, adalah orang yang unik.
Karena keluarga Cunningham tak punya uang untuk membayar pengacara, mereka
membayar kami dengan apa yang mereka miliki. "Apakah kau
tahu," kata Atticus, "bahwa Dr. Reynolds bekerja dengan cara yang sama" Untuk
beberapa orang, dia menetapkan harga sekarung kentang untuk membantu persalinan.
Miss Scout, coba dengarkan, akan kuberi tahu warisan itu apa. Definisi Jem
kadang-kadang hampir tepat."
Andai aku dapat menjelaskan hal ini kepada Miss Caroline, aku tentu tak perlu
repot dan Miss Caroline tak perlu merasa malu setelahnya, tetapi aku tak mampu
menjelaskan sebaik Atticus, jadi aku berkata, "Anda membuat dia malu, Miss
Caroline. Di rumah Walter tidak ada uang 25 sen untuk mengembalikan uang Ibu,
dan Ibu tidak perlu kayu bakar."
Miss Caroline berdiri terpaku, lalu menyambar kerahku dan menyeretku kembali ke
mejanya. "Jean Louise, kesabaranku untukmu pagi ini sudah habis," katanya. "Kamu
salah langkah terus, Sayang. Julurkan tanganmu."
Kusangka dia akan meludahinya karena itulah satu-satunya alasan menjulurkan
tangan bagi siapa pun di Maycomb: metode kuno untuk meresmikan perjanjian lisan.
Sambil bertanya-tanya perjanjian apa yang telah kami buat, aku menoleh ke temanteman sekelas untuk mencari jawaban, tetapi mereka balik memandangku dengan
bingung. Miss Caroline mengambil penggaris, memberiku enam kali tepukan lembut
dengan cepat, lalu menyuruhku berdiri di sudut. Badai tawa meledak ketika
akhirnya anak-anak menyadari bahwa Miss Caroline baru saja menghukumku.
Ketika Miss Caroline mengancam seisi kelas dengan hukuman yang sama, seluruh
anak kelas satu meledak lagi, dan baru diam seketika saat Miss Blount mendatangi
kelas mereka. Miss Blount, warga asli Maycomb yang belum mengetahui misteri
Sistem Desimal, muncul di pintu sambil berkacak pinggang dan mengumumkan, "Kalau
aku mendengar suara lagi dari ruangan ini, akan kubakar semua orang di dalamnya.
Miss Caroline, kelas enam tak bisa memusatkan perhatian pada piramida gara-gara
keributan seperti ini."
Persinggahanku di sudut hanya sebentar; diselamatkan bel, sehingga Miss Caroline
segera mengawasi anak-anak yang berbaris keluar untuk makan siang. Karena aku
yang terakhir keluar, kulihat dia melesak ke kursinya dan membenamkan kepala
pada lengannya. Andai saja sikapnya padaku lebih ramah, tentu aku akan merasa
kasihan. Dia cantik dan manis.
Tiga Menangkap Walter Cunningham di halaman sekolah membuatku sedikit senang, tetapi
ketika aku sedang menggosokkan hidungnya di tanah, Jem mendekat dan menyuruhku
berhenti. "Kau lebih besar dari dia," katanya.
"Dia hampir seumur denganmu," kataku. "Gara-gara dia, aku jadi salah langkah."
"Lepaskan dia, Scout. Memangnya ada apa?" "Dia tidak bawa bekal," kataku, lalu
menjelaskan keterlibatanku dalam urusan makanan Walter.
Walter sudah bangkit dan berdiri diam, mendengarkan aku dan Jem. Kepalannya
setengah disiapkan, seolah-olah menanti serangan dari kami berdua. Aku
menjejakkan kaki untuk mengusirnya, tetapi Jem mengulurkan tangan dan
mencegahku. Dia memandangi Walter dengan gaya menduga-duga. "Ayahmu Mr. Walter
Cunningham dari Old Sarum?" tanyanya, dan Walter mengangguk.
Wajah Walter tampak seperti dia dibesarkan dengan makanan ikan: matanya, sebiru
mata Dili Harris, tampak merah dan berair. Wajahnya tak berwarna, kecuali ujung
hidungnya yang merah muda dan lembap. Dia memainkan tali overall-nya, dengan
gugup memegang-megang kait logamnya.
Jem tiba-tiba menyeringai padanya. "Walter,
makan siang di rumah kami yuk," katanya. "Kami senang kalau kau mau."
Wajah Walter berseri, lalu suram kembali.
Kata Jem, "Ayah kami berteman dengan ayahmu. Scout ini, dia memang gila dia
tidak akan mengajakmu berkelahi lagi."
"Jangan terlalu yakin dulu," kataku. Aku kesal pada Jem yang mengobral janji
atas namaku, tetapi menit-menit istirahat siang yang berharga terus berdetak.


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya, Walter, aku tak akan menyerangmu lagi. Kau suka kacang mentega" Cal kami
jago masak." Walter berdiri di tempat, menggigit bibir. Aku dan Jem menyerah, dan kami sudah
dekat dengan Radley Place ketika Walter berseru, "Hei, aku ikut!"
Ketika Walter berhasil mengejar kami, Jem mengajaknya mengobrol santai. "Di sana
ada hantu," katanya ramah, menunjuk rumah Radley. "Pernah dengar tentang dia,
Walter?" "Rasanya pernah," kata Walter. "Aku hampir mati, waktu tahun pertama aku sekolah
dan makan kacang pecan itu kata orang, dia meracuninya dan menaruhnya di dekat
pagar sekolah." Sepertinya Jem tidak terlalu takut lagi pada Boo Radley kalau ada aku dan Walter
di sampingnya. Malah, dia semakin sombong, "Aku malah pernah masuk sampai ke
rumahnya," katanya kepada Walter.
"Orang yang pernah masuk ke rumahnya mestinya sudah tidak lari tunggang langgang
lagi setiap kali lewat di situ," kataku pada awan di langit.
"Siapa yang lari, Nona Centil?"
"Kau Jem, kalau tak ada teman." Pada saat kami sampai di tangga depan, Walter
sudah lupa bahwa dia seorang Cunningham. Jem berlari ke dapur dan meminta
Calpurnia menyiapkan piring tambahan karena kami kedatangan tamu. Atticus
menyapa Walter dan memulai diskusi tentang panen yang tak bisa dipahami olehku
maupun Jem. "Saya tidak naik ke kelas dua, Mr. Finch, karena saya harus bolos setiap musim
semi dan membantu Papa memotong, tetapi sekarang ada satu lagi di rumah yang
sudah bisa membantu."
"Apakah dia kalian bayar dengan sekarung kentang?" tanyaku, tetapi Atticus
menggeleng padaku. Selagi Walter menumpuk makanan di piringnya, dia dan Atticus mengobrol seperti
dua lelaki dewasa, membuatku dan Jem terheran-heran. Atticus sedang mengomentari
masalah-masalah pertanian ketika Walter menyela untuk meminta sirop gula.
Atticus memanggil Calpurnia, yang kembali dengan membawa sebotol sirop. Dia
berdiri menunggu Walter selesai menuangkan sirop itu banyak-banyak pada sayur
dan daging. Gelas susu pun mungkin akan dituangi juga andaikan aku tak
menanyakan, apa-apaan yang dia lakukan itu.
Piring perak berkelentang ketika dia meletakkan botol dan dengan cepat
meletakkan tangan di pangkuan. Lalu, dia menunduk.
Atticus menggeleng lagi padaku. "Tapi makanannya sampai terendam sirop begitu,"
aku protes. "Semuanya dituangi" Pada saat itulah, Calpurnia mengajakku ke dapur.
Dia sangat marah, dan saat dia sangat marah, tata bahasanya kacau. Ketika
tenang, tata bahasanya sama baiknya dengan tata bahasa siapa pun di Maycomb.
Kata Atticus, pendidikan Calpurnia lebih tinggi daripada sebagian besar orang
kulit hitam. Waktu dia memicingkan mata padaku, kerut-kerut kecil di sekitar matanya
bertambah dalam. "Ada orang yang cara makannya beda sama kita," bisiknya galak,
"tapi kau tak boleh negur mereka di meja gara-gara mereka beda. Anak itu tamumu,
dan kalau dia mau makan taplak meja, kaubiarkan saja, ngerti?"
"Dia bukan tamu, Cal, dia cuma seorang Cunningham"
"Tutup mulut. Siapa pun mereka, orang yang melangkahkan kakinya di rumah ini
adalah tamu. Jadi, jangan sampai aku pergoki kau mengomentari kebiasaan mereka
seolah kau lebih tinggi! Kalian mungkin memang lebih baik dari keluarga Cunnigham, tapi kau tak ada artinya kalau mempermalukan mereka seperti itu kalau kau
tak bisa makan dengan sopan di meja, duduk saja di sini dan makan di dapur!"
Calpurnia mendorongku ke ruang makan melalui pintu-ayun dengan tepukan
menyengat. Aku mengambil piringku dan menghabiskan makananku di dapur, tetapi
bersyukur karena tak perlu malu menghadapi mereka lagi. Aku mengatakan kepada
Calpurnia supaya dia menunggu, aku akan membalas: suatu hari nanti, saat dia tak
memerhatikan, aku akan menenggelamkan diri di Pusaran Baker, dan dia akan
menyesal. Lagi pula, tambahku, dia sudah membuatku kena masalah hari ini: dia
mengajariku menulis dan ini semua salahnya. "Jangan rewel," katanya.
Jem dan Walter berjalan kembali ke sekolah di depanku: tinggal sebentar untuk
mengadukan kepada Atticus tentang kejahatan Calpurnia masih sebanding dengan
berlari sendirian melewati Radley Place. "Dia memang lebih suka Jem daripada
aku," aku menyimpulkan, dan menyarankan agar Atticus tidak membuang waktu untuk
mengusirnya. "Pernahkah kau merenungkan bahwa Jem tidak membuat Cal cemas sepertimu?" suara
Atticus datar. "Aku tak berniat mengusirnya, sekarang atau kapan pun. Kita tak
bisa bertahan sehari pun tanpa Cal, pernahkah kau memikirkan itu" Pikirkanlah
betapa banyak yang dilakukan Cal untukmu, dan patuhilah perkataannya, mengerti?"
Aku kembali ke sekolah dengan menyimpan kebencian terhadap Calpurnia hingga
suara pekikan tiba-tiba memecahkan dendamku. Aku mendongak dan melihat Miss
Caroline berdiri di tengah-tengah ruangan, kengerian melanda wajahnya. Rupanya
dia sudah cukup pulih dari kejadian pagi hari dan menjalani profesinya dengan
lebih tabah. "Dia hidup!" jeritnya. Anak-anak lelaki bergegas membantunya. Ya Tuhan, pikirku,
dia takut tikus. Little Chuck Little,
yang memiliki kesabaran fenomenal dengan semua makhluk hidup, berkata, "Ke mana
perginya makhluk itu, Miss Caroline" Beri tahu kami ke mana perginya, cepat!
D.C." dia berpaling ke anak di belakangnya "D.C, tutup pintunya dan kita tangkap
dia. Cepat, Ma'am, ke mana perginya?"
Miss Caroline menudingkan jarinya yang gemetaran tidak pada lantai atau meja,
tetapi pada seseorang bertubuh besar yang tak kukenal. Wajah Little Chuck
menjadi tenang dan dia berkata lembut. "Maksud Anda, dia" Iya, Ma'am, dia memang
hidup. Apakah dia membuat Anda takut?"
Miss Caroline berkata putus asa, "Aku sedang berjalan melewatinya waktu makhluk
itu merayap dari rambutnya ... tahu-tahu saja merayap dari rambutnya"
Little Chuck menyeringai lebar. "Kutu tak perlu ditakuti, Ma'am. Anda belum
pernah lihat" Jangan takut, kembali saja ke meja Anda, lalu kita belajar lagi."
Little Chuck Little adalah seorang lagi penduduk yang tidak tahu dari mana dia
akan memperoleh makanannya yang berikut, tetapi dia seorang lelaki terhormat.
Dia memegang sikut Miss Caroline dan membimbingnya ke depan ruangan. "Tak usah
khawatir, Ma'am," katanya. "Tak perlu takut dengan kutu. Saya ambilkan air
dingin, ya." Pemilik kutu itu tak menunjukkan minat sedikit pun pada kehebohan yang
diakibatkannya. Dia menelusuri kulit kepala di atas keningnya, menemukan kutu
itu, dan menjepit makhluk itu di antara jempol
dan telunjuknya. Miss Caroline mengamati proses itu dengan takjub dan ngeri. Little Chuck
membawakan air dalam gelas kertas, dan Miss Caroline meminumnya dengan lega.
Akhirnya, dia mendapatkan kembali suaranya, "Siapa namamu, Nak?" tanyanya
lembut. Anak itu berkedip. "Siapa, saya?" Miss Caroline mengangguk.
"Burn's E well." Miss Caroline memeriksa buku absennya. "Di sini ada satu Ewell,
tetapi tak ada nama depannya ... bagaimana cara mengeja nama depanmu?"
"Saya tidak tahu. Kalau di rumah, saya dipanggil Burris."
"Nah, Burris," kata Miss Caroline, "Menurut Ibu, kamu boleh tidak bersekolah
untuk sisa siang ini. Ibu minta kamu pulang dan keramas."
Dari mejanya, Miss Caroline mengeluarkan sebuah buku tebal, membalik-balikkan
halamannya dan membaca sebentar. "Obat tradisional yang baik untuk Burris, Ibu
minta kamu pulang dan mencuci rambut dengan sabun alkali. Kalau sudah, obati
kulit kepalamu dengan kerosin." "Untuk apa, Ma'am?"
"Untuk membasmi eh, kutu. Soalnya, Burris, anak lain bisa tertular, dan tentunya
kamu tak mau itu terjadi, bukan?"
Anak itu berdiri. Manusia terdekil yang pernah kulihat. Lehernya abu-abu tua,
punggung tangannya berdaki, dan kukunya panjang dan hitam. Dia memicingkan mata
pada Miss Caroline dari daerah
bersih seukuran kepalan pada wajahnya. Mungkin tadi tak ada yang memerhatikannya
karena hampir sepanjang pagi, aku dan Miss Caroline menghibur anak sekelas.
"Dan Burris," kata Miss Caroline, "tolong mandi dulu sebelum kamu kembali
besok." Anak itu tertawa tak sopan. "Anda tak bisa mengusir saya, Ma'am. Saya memang
baru mau pergi saya sudah cukup lama di sini tahun ini."
Miss Caroline tampak bingung. "Apa maksudmu?"
Anak itu tidak menjawab. Dia mengeluarkan dengusan pendek dengan nada menghina.
Salah satu anggota kelas yang lebih tua menjawabnya, "Dia anggota keluarga
Ewell, Ma'am," dan aku bertanya-tanya apakah penjelasan ini akan gagal seperti
upayaku tadi. Namun, Miss Caroline tampaknya mau mendengarkan. "Ada banyak di
sekolah ini. Mereka datang pada hari pertama setiap tahun, lalu pergi. Pengawas
murid bisa memaksa mereka hadir karena dia mengancam melapor kepada sheriff,
tetapi dia sudah putus asa mencoba membuat mereka tetap bersekolah. Menurutnya,
dia sudah menegakkan hukum dengan mencantumkan nama mereka di buku absen dan
menggiring mereka ke sini pada hari pertama. Ibu mesti mencatat ketidakhadiran
mereka selama sisa tahun "Tapi, bagaimana orangtua mereka?" tanya Miss Caroline, dengan kecemasan yang
tulus. "Tak punya Ibu," jawabnya, "dan Papa mereka suka bikin masalah."
Burris Ewell tersanjung dengan penjelasan itu. "Sudah tiga tahun datang ke kelas
satu pada hari pertama," dia menambahkan. "Kalau saya pintar tahun ini, mestinya
saya akan dinaikkan ke kelas dua
Miss Caroline berkata, "Silakan duduk kembali, Burris," dan begitu dia
mengucapkannya, aku tahu dia telah membuat kesalahan besar. Pandangan meremehkan
anak itu berubah menjadi amarah. "Coba saja, Ma'am."
Little Chuck Little berdiri. "Biarkan dia pergi, M a' am," katanya. "Dia jahat,
jahat dan kuat. Bisa-bisa dia malah bikin kacau, dan di sini banyak anak kecil."
Dia termasuk anak yang bertubuh paling kecil, tetapi ketika Burris Ewell
berbalik menghadapnya, Little Chuck memasukkan tangan kanannya ke saku. "Hatihati, Burris," katanya. "Aku lebih suka membunuhmu daripada melihatmu.
Pulanglah." Burris tampaknya takut pada anak yang tingginya hanya setengahnya itu, dan Miss
Caroline memanfaatkan keraguannya, "Burris, pulanglah. Kalau tidak, Ibu akan
memanggil kepala sekolah," katanya. "Ibu toh, tetap harus melaporkan hal ini."
Anak itu mendengus dan melenggang malas ke
pintu. Setelah mencapai jarak aman, dia berbalik dan berseru, "Laporkan saja, tapi
terkutuk kau! Belum pernah ada pelacur ingusan yang jadi guru sekolah bisa
memaksaku! Kau tak bisa menyuruhku pergi, Missus. Ingat saja, kau tak mengusirku
ke mana-mana!" Dia menunggu sampai dia yakin Miss Caroline menangis, lalu berjalan ke luar
gedung. Dalam sekejap kami mengerumuni meja Miss Caroline, mencoba menghiburnya dengan
berbagai cara. Anak itu memang jahat sekali ... benar-benar kejam ... Ibu tidak
perlu mengajar orang-orang seperti itu ... itu bukan kebiasaan Maycomb, Miss
Caroline, bukan ... Ibu mau membacakan cerita" Cerita kucing tadi pagi bagus
sekali .... Miss Caroline tersenyum, membersihkan hidungnya dan berkata, "Terima kasih,
Sayang," membubarkan kami, membuka buku dan memesona kelas satu dengan narasi
panjang mengenai kodok katak yang tinggal di aula.
Ketika aku melewati Radley Place keempat kalinya hari itu dua kali dengan lari
secepat mungkin kemuramanku semakin mendalam, menyamai rumah itu. Jika sisa
tahun ajaran ini akan sarat drama seperti hari pertama, mungkin sedikit
menyenangkan, tetapi kemungkinan menempuh sembilan bulan dengan menahan
keinginan membaca dan menulis membuatku berpikir untuk kabur dari rumah.
Menjelang malam, sebagian besar rencana perjalananku sudah siap. Ketika aku dan
Jem adu lari di trotoar untuk menyambut Atticus saat pulang dari kantor, aku
tidak memberi banyak perlawanan. Ini kebiasaan kami, menyambut Atticus begitu
kami melihatnya mengitari tikungan kantor pos di kejauhan. Atticus tampaknya
sudah melupakan kesalahanku tadi siang; dia bertanya ini itu tentang sekolah.
Aku hanya memberikan jawaban-jawaban pendek satu suku kata dan dia tidak
mendesakku. Mungkin Calpurnia merasakan bahwa hariku suram: dia membiarkanku menungguinya
memasak makan malam. "Pejamkan mata dan buka mulutmu, aku punya kejutan,"
katanya. Dia jarang membuat roti jagung, katanya dia tak pernah punya waktu, tetapi
karena aku dan Jem bersekolah, hari ini beban kerjanya jadi lebih ringan. Dia
tahu aku suka sekali roti jagung.
"Aku rindu padamu hari ini," katanya. "Rumah ini sepi sekali, sampai-sampai
sekitar jam dua aku harus menyalakan radio."
"Kenapa" Aku dan Jem kan tak pernah di rumah kecuali kalau hujan."
"Aku tahu," katanya, "tapi salah satu dari kalian selalu datang kalau kupanggil.
Aku heran, berapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk memanggilmu dalam sehari.
Yah," katanya, bangkit dari kursi dapur, "cukup waktu untuk membuat roti jagung,
kurasa. Keluarlah dulu, aku mau menghidangkan makan malam."
Calpurnia membungkuk dan menciumku. Aku keluar, bertanya-tanya apa yang terjadi
padanya. Dia ingin berbaikan denganku, pasti itu sebabnya. Sejak dulu dia
terlalu keras dan sering jengkel padaku, dan hari ini, akhirnya dia menyadari
kekeliruannya. Dia menyesal dan terlalu keras kepala untuk mengatakannya. Aku
lelah akibat kenakalan-kenakalan yang kulakukan hari itu.
Setelah makan malam, Atticus duduk memegang koran dan memanggil, "Scout, siap
membaca?" Rupanya Tuhan memberiku beban lebih berat daripada yang bisa kutanggung, jadi
aku pergi ke teras depan. Atticus mengikutiku. "Ada apa, Scout?"
Kubilang kepada Atticus, aku merasa tidak enak badan, dan kurasa aku tak akan
bersekolah lagi kalau dia tak berkeberatan.
Atticus duduk di ayunan dan menumpangkan kaki. Jarinya mengeluyur ke saku kemeja
tempatnya menyimpan jam; katanya, dia hanya bisa berpikir dengan cara itu. Dia
menunggu dalam kesunyian yang menyenangkan, dan aku mencoba memperkuat
kedudukanku, "Kau tidak pernah sekolah, Atticus, dan kau baik-baik saja, jadi
aku juga mau di rumah saja. Kau bisa mengajariku seperti Kakek mengajarimu dan
Paman Jack." "Tidak, aku tak bisa," kata Atticus. "Aku harus mencari nafkah. Lagi pula, aku
bisa dipenjara kalau menahanmu di rumah malam ini kau minum magnesia dan besok
kau sekolah." "Aku tak apa-apa kok, benar."
"Sudah kuduga. Nah, ada apa sebenarnya?" Sedikit demi sedikit kuceritakan
padanya nasibku yang malang hari ini. "dan katanya, caramu mengajar keliru, jadi
kita tak boleh membaca bersama lagi, kapan pun. Tolong jangan menyuruhku ke sana
lagi, aku mohon, Sir."
Atticus berdiri dan berjalan ke tepi teras. Ketika selesai menekuri rumpun
anggur wistaria, dia berjalan kembali kepadaku.
"Pertama-tama," katanya, "kalau kau bisa
mempelajari satu keterampilan sederhana, Scout, kau bisa bergaul lebih baik
dengan berbagai jenis orang. Kau baru bisa memahami seseorang kalau kau sudah
memandang suatu situasi dari sudut pandangnya" "Sir?"
"kalau kau sudah memasuki kulitnya dan berjalan-jalan di dalamnya."
Kata Atticus, aku belajar banyak hal hari ini, dan Miss Caroline juga belajar
beberapa hal. Dia belajar untuk tidak pernah memberi sesuatu kepada seorang
Cunningham, misalnya, tetapi andai aku dan Walter tadi menempatkan diri kami
dalam posisinya, kami akan memahami bahwa kekeliruan itu tidak dia sengaja. Kami
tak bisa menuntutnya mengetahui semua kebiasaan Maycomb dalam sehari, dan kami
tak bisa menuntut tanggung jawabnya kalau dia tidak tahu.
"Enak saja," kataku. "Aku juga tak tahu kalau aku tak boleh membaca untuknya,
tapi dia menuntut tanggung jawabku dengar Atticus, aku tak harus bersekolah."
Aku meledak dengan pikiran mendadak. "Burris Ewell, ingat" Dia cuma bersekolah
pada hari pertama. Pengawas murid menganggap dia sudah menegakkan hukum dengan
mencantumkan namanya pada daftar absen"
"Kau tak bisa begitu, Scout," kata Atticus. "Kadang-kadang, dalam kasus
tertentu, lebih baik kita sedikit membengkokkan hukum. Dalam kasusmu, hukum
tetap kaku. Jadi, kau harus bersekolah."
"Aku tak mengerti kenapa aku harus sekolah
kalau dia tidak." "Dengarlah." Atticus berkata, keluarga Ewell sudah menjadi aib bagi Maycomb
selama bergenerasi-generasi. Sepanjang ingatannya, tak ada satu pun anggota
keluarga itu yang pernah bekerja dengan benar. Dia berkata bahwa pada suatu
Natal nanti, kalau dia membuang pohon Natal, dia akan mengajakku dan menunjukkan
di mana dan bagaimana mereka hidup. Mereka manusia, tetapi hidup seperti
binatang. "Mereka boleh bersekolah kapan pun mereka mau, kalau mereka
menunjukkan gejala terlemah bahwa mereka ingin menuntut ilmu," kata Atticus.
"Ada cava-cava untuk memaksa mereka bersekolah dengan kekerasan, tetapi konyol
kalau kita memaksakan orang seperti keluarga Ewell ke lingkungan baru"
"Kalau aku tak ke sekolah besok, kau akan memaksaku."
"Mari kita simpulkan begini," kata Atticus datar. "Kau, Miss Scout Finch, adalah


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang biasa. Kau harus menaati hukum." Dia berkata, keluarga Ewell adalah
masyarakat eksklusif yang beranggotakan orang-orang Ewell. Dalam situasi
tertentu, orang biasa dengan bijak membiarkan mereka memperoleh hak tertentu
dengan cara sederhana, yaitu membutakan mata pada beberapa kegiatan Ewell.
Mereka tak perlu bersekolah, misalnya. Contoh lain, Mr. Bob Ewell, ayah Burris,
diizinkan berburu dan menjerat di luar musim.
"Atticus, itu kan keliru," kataku. Di Maycomb County, berburu di luar musim
adalah kejahatan ringan menurut hukum, kejahatan besar di mata penduduk.
"Memang melanggar hukum," kata ayahku, "dan jelas keliru, tetapi kalau seseorang
menghabiskan uang santunan untuk membeli wiski hijau, anak-anaknya akan menangis
kelaparan. Sepengetahuan-ku, tak ada pemilik tanah di sekitar ini yang membenci
anak-anak itu karena memakan hewan yang ditangkap ayah mereka."
"Mr. Ewell tak boleh begitu"
"Memang tidak boleh, tetapi dia tak akan mengubah kebiasaannya. Apakah kau akan
melampiaskan ketidaksukaanmu pada anak-anaknya?"
"Tidak, Sir," gumamku, dan berusaha sekali lagi mempertahankan pendapatku, "tapi
kalau aku terus bersekolah, kita tak boleh membaca bersama lagi
ii "Hal ini sangat mengganggumu, ya?" "Ya, Sir."
Waktu Atticus memandangku, kulihat ekspresi wajahnya yang selalu membuatku
menduga ada sesuatu. "Kautahu artinya kompromi?" tanyanya. "Membengkokkan
hukum?" "Bukan, kesepakatan yang dicapai dengan sama-sama mengalah. Caranya begini,"
katanya. "Kalau kau mengalah dan mengakui bahwa bersekolah itu perlu, kita akan
terus membaca setiap malam seperti biasa. Setuju?"
"Setuju, Sir!" "Kita anggap kesepakatan ini sah, tanpa formalitas yang biasa," kata Atticus,
ketika dia melihatku bersiap-siap meludah. Saat aku membuka pintu kawat, Atticus berkata, "Omong-omong, Scout, sebaiknya
kau tidak usah bilang apa-apa di sekolah tentang kesepakatan kita."
"Kenapa tidak?"
"Aku khawatir kegiatan kita akan disambut dengan kecaman keras dari lembaga
pendidikan yang lebih berwenang."
Aku dan Jem sudah terbiasa dengan diksi ayah kami yang lebih cocok diterapkan
pada surat wasiat, dan kami bebas menyela Atticus kapan pun untuk memintanya
menjelaskan kata-kata itu kalau ucapannya tak kami mengerti.
"Apa, Sir?" Aku tak pernah bersekolah, katanya, Tetapi aku punya firasat bahwa jika kau
memberi tahu Miss Caroline bahwa kita membaca setiap malam, dia akan memburuku,
dan aku tak ingin dia memburu aku.'
Atticus menghabiskan waktunya denganku malam itu, dengan serius membaca kolomkolom teks tentang lelaki yang duduk di tiang bendera tanpa alasan yang jelas,
yang memberi alasan cukup bagi Jem untuk melewatkan Sabtu berikutnya di rumah
pohon. Jem duduk sejak usai sarapan sampai matahari terbenam dan bisa-bisa
bermalam di sana andai Atticus tidak memutus jalur perbekalannya. Hampir
sepanjang hari aku memanjat naik turun, menjadi kurirnya, menyediakan bacaan,
makanan dan minuman, dan sedang membawakan selimut
untuknya, ketika Atticus berkata bahwa kalau aku tidak mengacuhkannya, Jem akan
turun. Att. Empat Hari-hari sekolah selanjutnya tidak lebih baik daripada yang pertama. Sungguh,
hari-hari sekolah merupakan Proyek tanpa akhir yang perlahan berevolusi menjadi
Unit, yang membuat Pemerintah Alabama membuang-buang bermil-mil kertas karton
dan krayon lilin dalam niat baik tetapi sia-sia untuk mengajariku Dinamika
Kelompok. Yang disebut Jem sebagai Sistem Desimal Dewey sudah diterapkan di
seluruh sekolah pada akhir tahun pertamaku, jadi aku tak sempat membandingkannya
dengan teknik mengajar yang lain. Aku hanya bisa melihat ke sekelilingku:
Atticus dan pamanku, yang bersekolah di rumah, tahu segalanya setidaknya kalau
yang satu tidak tahu, yang lain pasti tahu. Lebih jauh lagi, mau tak mau aku
menyadari bahwa ayahku yang sudah bertahun-tahun berbakti menjadi anggota badan
legislatif negara bagian, setiap kali terpilih tanpa ada yang menentang, tak
tahu apa-apa soal penyesuaian-penyesuaian yang dianggap perlu oleh para guruku
untuk mengembangkan sifat Kewarganegaraan yang Baik. Jem, yang dididik dengan
sistem setengah Desimal setengah hukuman strap, tampaknya dapat bekerja secara
efektif sendirian maupun berkelompok, tetapi Jem bukan contoh yang baik. Tak ada
sistem tutorial buatan manusia yang dapat mencegahnya membaca. Sedangkan aku, aku tak tahu apaapa kecuali yang kupahami dari majalah Time dan bacaan apa pun yang ada di
rumah. Tetapi, seraya aku merayap seperti siput di ban berjalan sistem sekolah
Maycomb County, diam-diam aku merasa bahwa aku tak memperoleh sesuatu yang
semestinya kudapatkan. Apa itu, aku tak tahu, tetapi aku tak percaya kebosanan
selama dua belas tahun tanpa jeda adalah hal yang diinginkan pemerintah untukku.
Sementara tahun bergulir, karena aku keluar sekolah tiga puluh menit sebelum
Jem, yang harus tinggal sampai pukul tiga, aku berlari melewati Radley Place
secepat mungkin, tanpa berhenti sampai mencapai serambi rumah kami yang aman.
Suatu sore, ketika aku berlari melewati rumah itu, sesuatu menarik perhatianku,
sedemikian menariknya sehingga aku menghela napas panjang, menoleh ke belakang
lambat-lambat, dan kembali.
Dua pohon ek tumbuh di batas tanah Radley; akar pohon itu menjulur ke trotoar
dan membuatnya bergelombang. Ada sesuatu pada salah satu pohon itu yang menarik
perhatianku. Sehelai kertas timah menempel dalam sebuah ceruk tepat di atas mataku,
mengedipkan pantulan matahari senja padaku. Aku berjinjit, buru-buru melihat
sekeliling lagi, meraih ke lubang itu, dan menarik dua potong permen karet yang
tak ada bungkus luarnya. Insting pertamaku adalah cepat-cepat memasukkannya ke mulut, tetapi aku segera
teringat akan tempatku berada saat itu. Aku berlari ke rumah, dan memeriksa harta
curianku di serambi. Permen karet itu tampaknya baru. Kuendus, dan ternyata
baunya biasa. Kujilat dan kutunggu beberapa lama. Ketika aku tidak mati, aku
segera menjejalkannya ke mulut: Wrigley's Double-Mint.
Waktu Jem pulang, dia bertanya dari mana aku mendapat permen itu. Kubilang, aku
menemukannya. "Jangan asal makan barang yang kautemukan, Scout." "
"Aku tidak memungutnya dari tanah, tapi dari pohon."
Jem menggeram. "Benar kok," kataku. "Permennya menempel di pohon itu, yang kita lewati kalau
pulang sekolah." "Ludahkan sekarang juga!" Kuludahkan permennya. Rasanya toh sudah memudar.
"Sudah kukunyah sepanjang sore ini, dan aku belum mati, sakit pun tidak."
Jem mengentakkan kaki. "Memangnya kau tak tahu, pohon-pohon di sana itu tak
boleh kausentuh sekalipun" Kau bisa mati!"
"Lho, kau kan pernah menyentuh rumahnya!"
"Itu beda! Cepat kumur sekarang juga, ngerti!"
"Aku tak mau, nanti rasanya tak lagi menempel di lidahku."
"Kalau kau tak mau, aku adukan pada Calpurnia!"
Daripada mengambil risiko bertengkar dengan Calpurnia, aku menuruti perintah
Jem. Entah mengapa, tahun pertamaku bersekolah telah menciptakan perubahan besar
dalam hubunganku dengan Calpurnia: sikap Calpurnia yang bagaikan tiran, tak
adil, dan suka turut campur kini telah memudar menjadi sekadar gerutuan mengecam
biasa. Aku sendiri, kadang-kadang aku berusaha setengah mati agar tidak membuat
dia gusar. "Aku tidak memungutnya dari tanah, tapi dari pohon."
Jem menggeram. "Benar kok," kataku. "Permennya menempel di pohon itu, yang kita lewati kalau
pulang sekolah." "Ludahkan sekarang juga!" Kuludahkan permennya. Rasanya toh sudah memudar.
"Sudah kukunyah sepanjang sore ini, dan aku belum mati, sakit pun tidak."
Jem mengentakkan kaki. "Memangnya kau tak tahu, pohon-pohon di sana itu tak
boleh kausentuh sekalipun" Kau bisa mati!"
"Lho, kau kan pernah menyentuh rumahnya!"
"Itu beda! Cepat kumur sekarang juga, ngerti!"
"Aku tak mau, nanti rasanya tak lagi menempel di lidahku."
"Kalau kau tak mau, aku adukan pada Calpurnia!"
Daripada mengambil risiko bertengkar dengan Calpurnia, aku menuruti perintah
Jem. Entah mengapa, tahun pertamaku bersekolah telah menciptakan perubahan besar
dalam hubunganku dengan Calpurnia: sikap Calpurnia yang bagaikan tiran, tak
adil, dan suka turut campur kini telah memudar menjadi sekadar gerutuan mengecam
biasa. Aku sendiri, kadang-kadang aku berusaha setengah mati agar tidak membuat dia gusar.
Musim panas sebentar lagi tiba; aku dan Jem menantikannya dengan tak sabar.
Musim panas adalah musim terbaik bagi kami: kami bisa tidur di dipan di teras
belakang yang ditutupi layar kawat, atau mencoba tidur di rumah pohon; musim
panas berarti segala macam makanan lezat; musim panas adalah seribu warna dalam
pemandangan terik; tetapi, yang terutama, musim panas adalah Dili.
Sekolah selesai lebih pagi pada hari terakhir sebelum liburan, dan aku dan Jem
berjalan pulang bersama. "Mungkin Dili akan pulang besok," kataku.
"Mungkin lusa," kata Jem. "Di Mis'sippi sekolah bubar sehari lebih lambat."
Saat kami sampai dekat pohon ek di depan Radley Place, aku mengulurkan jari guna
menunjuk untuk keseratus kalinya ceruk tempat aku menemukan permen karet,
mencoba membuat Jem percaya bahwa aku menemukannya di situ, dan mendapati diriku
menunjuk sekali lagi pada secarik kertas timah. "Kelihatan, Scout! Aku lihat-"
Jem memandang berkeliling, menggapai, dan dengan hati-hati sekali mengantongi
sebuah paket kecil berkilat. Kami berlari pulang, dan di serambi kami memandangi sebuah kotak kecil yang
berbung-kus potongan-potongan kertas timah yang dikumpulkan dari pembungkus
permen karet. Bentuknya seperti kotak cincin pernikahan, beledu ungu dengan kait
kecil. Jem membuka kait kecil itu. Di dalamnya bertumpuk dua keping uang satu
sen yang sudah digosok dan dipoles. Jem memeriksanya.
"Kepala Indian," katanya. "1906 dan Scout, salah satunya 1900. Ini tua sekali."
"1900," aku mengulangnya. "Eh"
"Diam dulu, aku sedang berpikir."
"Jem, menurutmu, tempat persembunyian itu ada yang punya?"
"Tidak mungkin, tak banyak orang melewati tempat itu selain kita, kecuali tempat
itu dimiliki orang dewasa"
"Tak ada orang dewasa yang punya tempat persembunyian. Sebaiknya kita simpan
saja, setuju, Jem?" "Aku tak tahu kita harus bagaimana, Scout. Mau kita kembalikan ke siapa" Aku
tahu persis tak ada orang yang lewat situ Cecil pulang lewat jalan belakang,
mengitari kota. Cecil Jacobs, yang tinggal di ujung jalan kami, di sebelah kantor pos, berjalan
sejauh total satu mil setiap hari-sekolah untuk menghindari Radley Place dan
Mrs. Henry Lafayette Dubose tua. Mrs. Dubose tinggal dua rumah dari kami; para
tetangga telah sepakat bahwa Mrs. Dubose adalah perempuan tua terjahat yang
pernah hidup. Jem tak akan mau melewati rumahnya tanpa ditemani Atticus.
"Menurutmu, kita harus bagaimana, Jem?" Suatu barang menjadi milik penemunya,
kecuali kepemilikan dapat dibuktikan. Sesekali memetik kamelia, mengambil
seciprat susu panas dari sapi Miss Maudie Atkinson pada siang hari musim panas,
memetik sendiri anggur scuppernong milik orang lain
adalah bagian dari budaya etis kami, tetapi urusan uang lain lagi.
"Begini saja," kata Jem. "Kita simpan sampai sekolah mulai lagi, lalu keliling
dan bertanya pada semua orang apakah uang ini miliknya. Milik anak bus, mungkin
dia terlalu senang karena sekolah akan libur dan melupakannya. Uang ini ada yang
punya, aku tahu itu. Lihat kan, uangnya dipoles" Uang ini dirawat dengan baik."
"Iya, tapi untuk apa orang itu juga menyimpan permen karet di situ" Permen karet
kan tidak awet." "Aku tak tahu, Scout. Tapi barang ini penting bagi seseorang ...."
"Maksudmu, Jem "Yah, kepala Indian uang ini asalnya dari bangsa Indian, mengandung sihir yang
kuat, bisa membuat kita beruntung. Maksudnya, bukan seperti mendapat ayam goreng
saat kita tak mengharapkannya, tetapi hal-hal seperti umur panjang, kesehatan,
dan lulus tes enam minggu ... ini sangat berharga bagi seseorang. Akan kusimpan di
petiku." Sebelum Jem masuk ke kamarnya, dia memandangi Radley Place lagi, lama sekali.
Agaknya dia sedang berpikir lagi.
Dua hari kemudian, Dili tiba dengan penuh keagungan: dia naik kereta sendirian
dari Meridian ke Persimpangan Maycomb (nama basa-basi Persimpangan Maycomb
terletak di Abbott County) dan di sana dia dijemput Miss Rachel dengan taksi
satu-satunya di Maycomb; dia makan malam di restoran, dia melihat orang kembar
siam turun dari kereta di
Bay St Louise, dan tetap mempertahankan ceritanya meskipun sudah diancam. Dia
sudah membuang celana pendek jelek warna biru yang dikancingkan pada kemejanya,
dan mengenakan celana pendek betulan yang bersabuk; dia sedikit lebih gemuk,
meskipun tidak lebih tinggi, dan bercerita bahwa dia sudah bertemu ayahnya. Ayah
Dili lebih tinggi daripada ayah kami, janggutnya hitam (runcing), dan dia
presiden L & N Railroad.
"Aku sempat membantu masinisnya," kata Dili sambil menguap.
"Di kuping babi barangkali, Dili. Ssst," kata Jem. "Kita mau main apa hari ini?"
"Tom dan Sam dan Dick," kata Dili. "Ayo kita ke halaman depan." Dili ingin
memerankan Anak-Anak Rover karena ada tiga peran yang terhormat. Rupanya dia
bosan menjadi pemeran pembantu.
"Aku bosan itu," kataku. Aku bosan memerankan Tom Rover, yang tiba-tiba
kehilangan ingatan di tengah-tengah film dan menghilang dalam skenario hingga
bagian akhir, ketika dia ditemukan di Alaska.
"Karang saja cerita lain, Jem," kataku. "Aku bosan mengarang cerita." Hari-hari
pertama kebebasan kami, dan kami bosan. Aku bertanya-tanya apa yang akan terjadi
pada musim panas ini. Kami telah berjalan ke halaman depan, tempat Dili berdiri memandangi wajah suram
Radley Place di ujung jalan. "Aku mencium kematian," katanya. "Betul, aku
sungguh-sungguh," katanya, saat aku menyuruh dia tutup mulut.
"Maksudmu, kau bisa mencium bau orang yang akan mati?"
"Tidak, maksudku, aku dapat mencium seseorang dan tahu kalau dia akan mati. Ada
nyonya tua yang mengajariku caranya." Dili mencondongkan tubuh ke depan dan
mengendusku. "Jean Louise Finch, kau akan mati tiga hari lagi."
"Dili, kalau kau tidak diam, kupukul sampai kakimu bengkok. Aku serius"
"Kalian, diamlah," Jem menggeram, "tingkahmu seperti kamu percaya Uap Panas
saja." "Tingkahmu seperti kamu tidak percaya," kataku.
"Uap Panas itu apa?" tanya Dili.
"Kau belum pernah menyusuri jalan sepi saat malam dan melewati tempat panas?"
Jem bertanya kepada Dili. "Uap Panas adalah orang yang tak bisa masuk surga,
cuma luntang-lantung di jalanan sepi dan kalau kau berjalan menembusnya, kau
akan mati dan menjadi Uap Panas juga, dan kau gentayangan malam-malam, mengisap
napas orang" "Gimana caranya supaya kita tak menembus Uap Panas?"
"Tidak bisa," kata Jem. "Kadang-kadang, Uap Panas merentang selebar jalan, tapi
kalau kau terpaksa menembusnya, ucapkan 'Malaikat terang, hidup dalam kematian;
turunlah dari jalan, jangan isap napasku.1 Itu akan mencegah Uap Panas
membungkusmu" "Jangan percaya sedikit pun, Dili," kataku. "Kata
Calpurnia, itu cuma omongan nigger."
Jem merengut padaku dengan jengkel, tetapi berkata, "Jadi, kita mau memainkan
sesuatu atau tidak?"
"Kita menggelinding pakai ban saja," saranku.
Jem menghela napas. "Kau kan tahu aku sudah terlalu besar."
"Kau kan bisa mendorong."
Aku berlari ke halaman belakang dan menarik ban mobil tua dari bawah rumah. Aku
mendorongnya sampai ke halaman depan. "Aku yang pertama," kataku.
Kata Dili, mestinya dia yang pertama karena dia baru datang.
Jem menengahi, memberi giliran pertama untukku dan waktu tambahan untuk Dili,
dan aku melipat tubuh di dalam ban.
Setelah semuanya berlalu, aku baru menyadari bahwa Jem tersinggung karena aku
mendebatnya soal Uap Panas, dan bahwa dia dengan sabar menunggu kesempatan untuk
membalas. Dia membalasku dengan mendorong ban menuruni trotoar dengan seluruh
kekuatan yang dimilikinya. Tanah, langit, dan rumah-rumah meleleh menjadi palet
warna liar, telingaku berdenyut, napasku sesak. Aku tak bisa mengeluarkan tangan
untuk berhenti karena terjepit di antara dada dan lutut. Aku hanya bisa berharap
bahwa Jem mengejar ban yang berisi badanku, atau aku dihentikan oleh gundukan di


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

trotoar. Kudengar dia di belakangku, mengejar dan berteriak.
Ban itu menabrak kerikil, tergelincir melintasi jalan, menabrak rintangan dan
melontarkan aku bagai sumbat gabus ke sisi jalan. Pusing dan mual, aku berbaring
di semen dan menggelengkan kepalaku kuat-kuat untuk mengusir dengungan dalam
telingaku, dan mendengar suara Jem, "Scout, menyingkir dari situ, cepat!"
Aku mengangkat kepalaku dan menatap tangga Radley Place di depanku. Tubuhku
rasanya membeku. "Ayo Scout, jangan berbaring saja di situ!" teriak Jem. "Bisa bangun tidak?"
Aku berdiri, gemetar, terpaku.
"Ambil bannya!" seru Jem. "Bawa ke sini! Kamu bisa mikir tidak, sih?"
Ketika aku mampu bergerak, aku berlari kembali ke arah mereka secepat lutut
gemetarku dapat membawaku.
"Kenapa tidak dibawa?" Jem membentak.
"Kenapa bukan kau saja yang ambil?" jeritku.
Jem terdiam. "Sana, ambil! Tak jauh dari gerbang, kok. Kau kan pernah menyentuh rumahnya,
ingat?" Jem memandangku marah, tak bisa menolak, berlari di trotoar, beringsut di
gerbang, lalu secepat mungkin berlari masuk, dan mengambil ban itu.
"Lihat, kan?" Jem mendelik penuh kemenangan. "Ini tidak susah. Sumpah, Scout,
kadang-kadang tingkahmu mirip anak perempuan, bikin malu saja!"
Ada hal lain yang terjadi saat itu yang tak diketahuinya, tetapi aku memutuskan
untuk tidak memberi tahu. Calpurnia muncul di pintu depan dan berteriak, "Waktunya minum limun! Ayo masuk
anak-anak, hindari terik matahari sebelum kalian semua terpanggang hidup-hidup!"
Limun di tengah pagi adalah ritual musim panas. Calpurnia meletakkan satu poci
limun dan tiga gelas di teras, lalu melanjutkan pekerjaannya. Dimusuhi Jem tidak
terlalu membuatku cemas. Limun akan memulihkan suasana hatinya.
Jem menenggak gelasnya yang kedua dan menepuk dadanya. "Aku tahu yang akan kita
mainkan," dia mengumumkan. "Sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda."
"Apa?" tanya Dili.
"Boo Radley." Kadang-kadang, kepala Jem transparan: dia mengarang permainan itu
untuk membuatku mengerti bahwa dia tidak takut pada Radley dalam bentuk apa pun,
untuk memperbandingkan kepahlawanannya yang berani dengan kepengecutanku.
"Boo Radley" Bagaimana caranya?" tanya Dili. Kata Jem, "Scout, kamu jadi Mrs.
Radley" "Enak saja. Kurasa tidak"
"Kenapa?" kata Dili. "Masih takut?" "Dia bisa keluar malam-malam selagi kita
semua tidurkataku. Jem mendesis. "Scout, bagaimana dia bisa tahu apa yang kita lakukan" Lagi pula,
menurutku dia sudah tak ada. Dia sudah mati bertahun lalu dan keluarganya
menjejalkan mayatnya ke cerobong asap."
Kata Dill, "Jem, kita saja yang main, Scout boleh nonton kalau dia takut."
Aku cukup yakin Boo Radley masih ada di rumah itu, tetapi tak bisa
membuktikannya dan merasa sebaiknya aku menutup mulut atau aku akan dituduh
percaya pada Uap Panas, fenomena yang tidak kupercayai pada siang hari.
Jem membagi-bagi peran kami: aku jadi Mrs. Radley, dan yang harus kulakukan
hanyalah keluar dan menyapu teras. Dili jadi Mr. Radley tua: dia mondar-mandir
di trotoar dan batuk-batuk ketika Jem berbicara kepadanya. Jem, tentu saja, jadi
Boo: dia masuk ke kolong tangga depan dan sesekali memekik dan melolong.
Seiring berjalannya musim panas, permainan kami pun berkembang. Kami memoles dan
menyempurnakannya, menambah dialog dan plot hingga kami menciptakan sandiwara
kecil yang kami ubah-ubah setiap hari.
Dili adalah tokoh jahat yang terjahat: dia dapat memainkan peran apa pun yang
diberikan kepadanya. Kalau perannya orang yang jangkung, dia bisa terlihat
jangkung. Dia bahkan tampil sangat menawan dalam perannya yang terburuk; seorang
Gothic. Dengan enggan, aku memainkan beragam karakter wanita yang ada dalam
skenario. Aku tak pernah merasa sandiwara ini semenyenangkan Tarzan, dan aku
bermain pada musim panas itu dengan cemas meskipun Jem meyakinkanku bahwa Boo
Radley sudah mati dan tak ada yang akan menangkapku, karena ada dia dan
Calpurnia di siang hari dan ada Atticus di rumah malam harinya. Jem sudah jadi pahlawan sejak lahir.
Sandiwara kecil yang kami mainkan melankolis, dirangkai dari serpih-serpih gosip
dan legenda setempat: Mrs. Radley dulunya cantik sampai dia menikah dengan Mr.
Radley dan kehilangan semua uangnya. Dia juga kehilangan hampir seluruh giginya,
rambutnya, dan telunjuk kanannya (fakta ini masukan dari Dill Boo menggigitnya
putus pada suatu malam ketika tak berhasil menemukan kucing atau tupai untuk
dimakan); dia duduk di ruang tamu dan menangis hampir sepanjang waktu, sementara
Boo perlahan-lahan memahat habis semua perabot di rumah.
Lain waktu, kami bertiga berperan sebagai anak-anak anggota geng yang terjerat
hukum; sekali-sekali aku menjadi hakim pengadilan remaja; Dili menggelandang Jem
dan menjejalkannya di kolong tangga, menyodok-nyodoknya dengan sapu. Jika
diperlukan, Jem berperan sebagai sheriff, berbagai macam orang kota, dan Miss
Stephanie Crawford, yang berbicara tentang keluarga Radley lebih banyak daripada
siapa pun di Maycomb. Kalau tiba waktunya untuk memerankan adegan penting yang melibatkan Boo, Jem
menyelinap masuk ke rumah, mencuri gunting dari laci mesin jahit ketika
Calpurnia memunggunginya, lalu duduk di ayunan dan mengguntingi koran. Dili
melewatinya, batuk-batuk ke arah Jem, dan Jem pura-pura melompat ke paha Dili.
Dari tempatku berdiri, kelihatannya seperti sungguhan.
Kalau Mr. Nathan Radley kebetulan melewati kami dalam perjalanan hariannya ke
kota, kami berdiri diam tak bergerak sampai dia tak kelihatan, lalu bertanyatanya apa yang akan dia lakukan pada kami andai dia curiga. Kegiatan kami
berhenti jika ada tetangga yang muncul, dan suatu kali aku melihat Miss Maudie
Atkinson menatap kami dari seberang jalan, gunting tanamannya berhenti bergerak.
Pada suatu hari, kami begitu sibuk memerankan Bab XXV, Buku II, dari One Man's
Family, sehingga kami tak menyadari bahwa Atticus berdiri di trotoar menonton
kami, mengetuk-ngetukkan gulungan majalah pada lututnya. Posisi matahari
menunjukkan pukul dua belas siang.
"Kalian sedang main apa?" tanyanya.
"Bukan apa-apa," kata Jem. Penyangkalan Jem menandakan bagiku bahwa permainan
kami bersifat rahasia, jadi aku diam.
"Lalu, apa yang kaulakukan dengan gunting itu" Kenapa kau merobek koran itu"
Kalau itu koran hari ini, akan kukuliti badanmu."
"Bukan." "Bukan apa?" kata Atticus. "Bukan, Sir."
"Berikan gunting itu padaku," kata Atticus. "Gunting bukan mainan. Apakah ini
barangkali ada hubungannya dengan keluarga Radley?"
"Tidak, Sir," kata Jem dengan muka memerah.
"Kuharap tidak," katanya pendek, lalu masuk ke rumah.
"Jem ..." "Diam! Dia ada di ruang tamu, dia bisa mendengar kita dari sana."
Setelah aman di halaman, Dili bertanya kepada Jem, apakah kami masih bisa
bermain. "Aku tak tahu. Atticus tidak bilang bahwa kita tak boleh"
"Jem," kataku. "Menurutku, Atticus sebenarnya tahu."
"Tidak mungkin. Kalau dia tahu, dia pasti bilang."
Aku tak terlalu yakin, tetapi Jem bilang tingkahku seperti anak perempuan, bahwa
anak perempuan suka berkhayal, dan karena itu orang-orang membenci mereka, dan
kalau aku mulai bertingkah seperti itu, sekalian saja aku pergi dan mencari anak
perempuan untuk diajak main.
"Ya sudah, kau teruskan saja," kataku. "Nanti kau akan tahu sendiri."
Kedatangan Atticus adalah alasan kedua aku ingin berhenti memerankan sandiwara
itu. Alasan pertama terjadi pada hari aku terguling memasuki halaman depan
Radley. Di antara segala gelengan kepala, rasa mual yang kutahan, dan teriakan
Jem, aku mendengar suara lain, begitu rendah sehingga aku tak bisa mendengarnya
dari trotoar. Seseorang di dalam rumah sedang tertawa.
Lima Gerutuanku akhirnya memengaruhi Jem juga, seperti yang sudah kuperkirakan, dan
aku lega karena kami mengurangi permainan itu untuk beberapa lama. Namun, dia
masih bersikeras bahwa Atticus tak pernah melarang kami, karenanya kami boleh
bermain; dan andaikan Atticus pernah melarang kami, Jem sudah memikirkan cara
menyiasatinya: dia akan mengubah nama-nama tokohnya, maka kami tak bisa dituduh
memainkan apa pun. Dili menyetujui rencana ini sepenuh hati. Dili sudah mulai menyebalkan,
mengekori Jem terus. Di awal musim panas, dia pernah memintaku untuk
menikahinya, lalu dia langsung lupa. Dia mengikutiku, menandaiku sebagai
miliknya, berkata aku satu-satunya gadis yang akan dicintainya, lalu
mengabaikanku. Kupukuli dia dua kali tetapi percuma, dia malah semakin dekat
dengan Jem. Mereka melewatkan hari-hari bersama di rumah pohon, bersiasat dan
bersekongkol, memanggilku hanya kalau mereka memerlukan pihak ketiga. Namun, aku
menjauhkan diri dari persekongkolan gila-gilaan mereka beberapa lama, dan karena
sakit hati disebut anak perempuan, aku melewatkan hampir semua petang yang
tersisa pada musim panas itu duduk bersama Miss
Maudie Atkinson di serambinya.
Aku dan Jem selalu bebas bermain di halaman Miss Maudie asalkan tidak mengganggu
rumpun azaleanya, tetapi hubungan kami dengannya tidak bisa didefinisikan dengan
jelas. Sampai Jem dan Dili menyisihkanku dari rencana mereka, dia hanyalah satu
di antara banyak perempuan di lingkungan kami, tetapi keberadaannya relatif
tidak membahayakan. Perjanjian tidak terucap kami dengan Miss Maudie adalah kami boleh bermain di
halamannya, memakan anggur scuppernong-nya asal tidak memanjat tanaman
merambatnya, dan menjelajahi pekarangan belakangnya yang luas; persyaratan yang
begitu murah hati sehingga kami jarang berbicara dengannya. Kami sangat berhatihati menjaga keseimbangan hubungan kami yang rapuh, tetapi perilaku Jem dan Dili
memaksaku mempererat hubungan dengan Miss Maudie.
Miss Maudie membenci rumahnya: waktu yang dia lewatkan dalam rumah itu adalah
waktu yang tersia-sia. Dia seorang janda, wanita bunglon yang bekerja di kebun
bunganya dengan mengenakan topi jerami tua dan overall pria, tetapi, setelah
mandi pada pukul lima, dia muncul di teras dan menguasai jalanan dengan
kejelitaan berwibawa. Dia mencintai segala sesuatu ciptaan Tuhan yang tumbuh di muka bumi, bahkan
rumput liar. Kecuali satu. Jika dia menemukan sehelai rumput teki di halamannya,
suasana akan berubah ibarat Pertempuran Kedua di Marne pertempuran saat Perang
Dunia I, 15-18 Juli 1918, di dekat Sungai Marne pecah lagi: dia menyambar rumput
itu dengan mangkuk timah dan menyemprotnya dari bawah dengan pembasmi hama, yang
katanya sangat kuat dan bisa membunuh kami semua jika kami tidak berdiri jauhjauh. "Kenapa tidak dicabut saja?" tanyaku, setelah menyaksikan perjuangan panjang
melawan sehelai rumput yang tak sampai tujuh senti tingginya.
"Dicabut, Nak, dicabut?" Dia mengambil tunas yang lunglai dan menjepit batangnya
yang mungil. Benih-benih mikroskopis mengalir keluar. "Nah, satu batang rumput
teki ini bisa menghancurkan seluruh halaman. Lihat sini. Kalau musim gugur tiba,
benih ini mengering dan ditiup angin ke seluruh Maycomb County!" Ekspresi wajah
Miss Maudie menunjukkan bahwa peristiwa penyebaran benih rumput teki itu bisa
disamakan dengan penyebaran wabah penyakit dalam Perjanjian Lama.
Bahasa yang digunakan Miss Maudie termasuk renyah untuk ukuran penduduk Maycomb
County. Dia memanggil kami dengan nama, dan ketika menyeringai, dia
memperlihatkan dua taring palsunya yang terbuat dari emas. Ketika aku
mengaguminya dan berharap memilikinya juga suatu saat kelak, dia berkata, "Lihat
sini." Dengan decakan lidah, dia menyodorkan gigi palsunya, suatu tindakan intim
yang mengikat persahabatan kami.
Kebaikan Miss Maudie menyebar kepada Jem dan Dili, bilamana mereka beristirahat
sejenak dari proyek mereka: kami menuai keuntungan dari bakat
yang selama ini disembunyikan Miss Maudie dari kami. Kue buatannya adalah kue
terlezat di seluruh lingkungan kami. Setelah membuka rahasianya kepada kami,
setiap kali membuat kue, dia membuat satu kue berukuran besar dan tiga yang
berukuran kecil, lalu dia akan memanggil dari seberang jalan, "Jem Finch, Scout
Finch, Charles Baker Harris, kemarilah!" Kecepatan kami datang selalu
mendatangkan ganjaran. Pada musim panas, senja hari berlangsung lama dan damai. Aku dan Miss Maudie
sering duduk diam di serambinya, mengamati langit berubah dari kuning menjadi
merah muda saat matahari terbenam, mengamati burung walet terbang rendah di atas
lingkungan kami dan menghilang di balik atap gedung sekolah.
"Miss Maudie," kataku suatu senja, "menurutmu, apakah Boo Radley masih hidup?"
"Namanya Arthur dan dia masih hidup," katanya. Dia bergoyang perlahan di kursi
besar dari kayu ek. "Kamu bisa mencium wangi mimosaku" Sore ini aromanya seperti
napas malaikat." "Bisa, Ma'am. Tapi, Anda tahu dari mana?"
"Tahu apa, Nak?"
"Bahwa B Mr. Arthur masih hidup?"
"Pertanyaanmu sungguh mengerikan. Tapi, ya, topik ini memang mengerikan. Aku
tahu dia masih hidup, Jean Louise, karena dia belum terlihat digotong keluar."
"Mungkin saja dia mati dan dijejalkan ke cerobong asap."
"Dari mana kau mendapat pikiran seperti itu?" "Kata Jem, menurutnya, itulah yang
mereka lakukan." "Sssss. Setiap hari dia makin mirip Jack Finch."
Miss Maudie sudah mengenal Paman Jack Finch, adik Atticus, sejak masih kanakkanak. Usia mereka hampir sebaya dan mereka tumbuh bersama di Finch's Landing.
Miss Maudie adalah putri dari pemilik tanah tetangga, Dr. Frank Buford. Meskipun
profesi Dr. Buford adalah dokter, obsesinya adalah segala sesuatu yang tumbuh di
tanah; karena itulah dia tetap miskin. Paman Jack Finch membatasi minatnya
bercocok tanam pada pot jendela di Nashville dan tetap kaya. Kami bertemu Paman
Jack setiap Natal, dan setiap Natal dia berteriak ke rumah sebelah agar Miss
Maudie mau menikahinya. Miss Maudie pun balas berteriak, "Berteriaklah lebih
keras lagi, Jack Finch, biar orang-orang di kantor pos bisa mendengarnya, aku
tidak bisa mendengarmu!" Aku dan Jem merasa ini cara yang aneh untuk melamar
seorang wanita, tetapi Paman Jack memang agak aneh. Dia berkata bahwa dia sedang
mencoba membuat Miss Maudie kesal, bahwa dia sudah empat puluh tahun mencoba
tanpa hasil, bahwa dia orang terakhir di dunia yang dipertimbangkan Miss Maudie
untuk dinikahi tetapi orang pertama yang terpikir untuk digoda, dan pertahanan
terbaik untuk menghadapinya adalah serangan yang bersemangat, yang semuanya kami
pahami dengan jelas. "Arthur Radley cuma sering tinggal di dalam rumah, itu saja," kata Miss Maudie.
"Kau juga tinggal di rumah kan, kalau kau tidak ingin keluar?"
"Iya, Ma'am, tetapi aku pasti ingin keluar. Mengapa dia tidak?"
Mata Miss Maudie menyipit. "Kau kan sudah tahu ceritanya, sama seperti aku."
"Tapi aku belum pernah dengar kenapanya. Belum pernah ada yang memberitahuku
kenapa." Miss Maudie memasang gigi palsunya. "Kau tahu, Mr. Radley tua adalah penganut
Baptis pembasuh kaki Baptis misionaris pedesaan yang menafsirkan Alkitab secara
harfiah." "Miss Maudie, kau juga penganut paham itu, kan?"
"Cangkangku tidak sekeras itu, Nak. Aku hanya seorang Baptis."
"Bukannya kalian percaya soal membasuh kaki?"
"Memang. Tapi di rumah, di bak mandi."
"Tapi kami tak bisa mengikuti komuni bersama kalian"
Rupanya karena memutuskan bahwa lebih mudah mendefinisikan pembaptisan primitif
daripada komuni tertutup, Miss Maudie berkata, "Pembasuh kaki meyakini bahwa apa
pun yang menimbulkan rasa nikmat adalah dosa. Tahu tidak, pada suatu Sabtu
beberapa anggota mereka keluar dari hutan dan melewati tempat ini lalu berkata
padaku bahwa aku dan bunga-bungaku akan masuk neraka?" "Bungamu juga?"
"Ya, Nak. Bungaku juga akan terbakar bersamaku. Menurut mereka, aku terlalu
sering melewatkan waktu di alam ciptaan Tuhan dan terlalu jarang
tinggal di rumah membaca Alkitab."
Keyakinanku pada Injil mimbar berkurang saat membayangkan Miss Maudie direbus
selamanya di berbagai neraka Protestan. Memang, lidahnya tajam, dan dia tidak
berkeliling ke rumah-rumah tetangga untuk beramal, seperti Miss Stephanie
Crawford. Tetapi, sementara tak ada satu pun orang yang berakal sehat akan
percaya pada Miss Stephanie, aku dan Jem menaruh kepercayaan besar kepada Miss
Maudie. Dia tak pernah mengadukan kami, tak pernah bermain kucing-kucingan
dengan kami, dia sama sekali tidak tertarik pada kehidupan pribadi kami. Dia
teman kami. Bagaimana seorang makhluk yang begitu bijak bisa terancam siksaan
abadi, aku tak bisa mengerti.
"Itu tak benar, Miss Maudie. Anda adalah wanita terbaik yang kukenal."
Miss Maudie menyeringai. "Terima kasih, Nak. Masalahnya, kaum pembasuh kaki
menganggap perempuan sama dengan dosa. Mereka memahami Alkitab secara harfiah."
"Apakah karena itu Mr. Arthur tinggal di rumah, untuk menjauhi perempuan?"
"Aku tak tahu."


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku juga. Rasanya, kalau Mr. Arthur ingin masuk surga, mestinya paling sedikit
dia keluar ke teras. Atticus bilang, Tuhan mencintai manusia seperti manusia
mencintai dirinya sendiri"
Miss Maudie berhenti bergoyang, dan nada suaranya meninggi. "Kau terlalu muda
untuk memahami," katanya, "tetapi kadang-kadang, Alkitab di tangan seseorang
lebih buruk daripada botol wiski di tangan eh, ayahmu."
Aku kaget. "Atticus tak pernah minum wiski," kataku. "Seumur-umur dia tak pernah
minum setetes pun eh, pernah. Katanya, dia pernah minum sedikit dan dia tidak
suka." Miss Maudie tertawa. "Aku tidak sedang membicarakan ayahmu," katanya. "Maksudku,
andai Atticus Finch minum sampai mabuk, dia tak akan sebodoh beberapa orang
dalam kondisi terbaik mereka. Selalu ada saja jenis orang yang yang terlalu
sibuk memikirkan akhirat sehingga tak pernah belajar hidup di dunia ini.
Lihatlah ke ujung jalan dan kau bisa melihat hasilnya."
"Miss Maudie, apakah menurutmu benar, semua hal yang mereka bilang tentang B Mr.
Arthur?" "Hal-hal apa?" Aku menceritakannya.
"Tiga perempat dari cerita-cerita itu berasal dari orang kulit hitam dan
seperempatnya dari Stephanie Crawford," kata Miss Maudie tegas. "Stephanie
Crawford bahkan pernah bercerita padaku bahwa dia pernah terbangun tengah malam
dan melihat Arthur mengintipnya lewat jendela. Kubilang, lalu apa yang
kaulakukan, Stephanie, bergeser di tempat tidur dan menyediakan tempat untuknya"
Itu membungkamnya beberapa lama."
Aku yakin memang begitu. Suara Miss Maudie sudah cukup untuk membungkam siapa
pun. "Tidak, Nak," katanya, "rumah itu dirundung duka. Aku ingat Arthur Radley
sewaktu masih kecil. Dia selalu berbicara dengan sopan padaku, apa pun perbuatan yang kata orang dia
lakukan. Bicara sesopan yang dia mampu."
"Miss Maudie, menurutmu, apakah dia gila?" Miss Maudie menggeleng. "Andai dia
belum gila, mestinya dia sudah jadi gila sekarang. Apa yang terjadi pada orang
lain, kita tak pernah benar-benar tahu. Apa yang terjadi di dalam rumah di balik
pintu tertutup, rahasia apa"
"Atticus tak pernah melakukan apa pun padaku dan Jem di dalam rumah yang tak
dilakukannya di halaman," kataku, merasa wajib membela orang-tuaku.
"Ya Tuhan, Nak, aku sedang mengurai benang, memikirkan ayahmu pun tidak, tetapi
omong-omong tentang dia, aku berani berkata begini: Atticus Finch adalah orang
yang sama di dalam rumah dan dijalan umum. Kau mau kubekalipoundcake hangat
untuk dibawa pulang?"
Aku mau sekali. Keesokan paginya, saat aku terbangun, kutemukan Jem dan Dili di halaman
belakang, asyik mengobrol. Waktu aku bergabung, seperti biasa, mereka
mengusirku. "Tidak mau. Halaman ini punyaku juga, bukan cuma punyamu, Jem Finch. Aku punya
hak yang sama untuk bermain di sini sepertimu."
Dill dan Jem berdiskusi sejenak, "Kalau kau mau ikut, kau harus menurut," Dili
memperingatkan. "Ha-ah," kataku, "siapa yang tiba-tiba jadi pongah?"
"Kalau kau tidak bilang kau mau menurut, kami tak akan memberitahumu apa-apa,"
lanjut Dili. "Tingkahmu seperti kau bertambah tinggi sepuluh inci tadi malam! Baiklah, apa?"
Jem berkata dengan tenang, "Kami akan mengirim surat untuk Boo Radley."
"Bagaimana caranya?" aku berjuang menekan ketakutan yang otomatis muncul dalam
diriku. Miss Maudie tak akan merasa apa-apa bicara soal seperti ini dia sudah
tua dan aman di serambinya. Bagi kami, ini masalah lain.
Jem akan memasang surat itu pada ujung tongkat pancing dan menyelipkannya
menembus daun jendela. Kalau ada yang datang, Dili akan membunyikan lonceng.
Dili mengacungkan tangan kanannya. Dia memegang sebuah lonceng makan perak milik
ibuku. "Aku akan mengitari rumah ke samping," kata Jem. "Kemarin kami mengamati dari
seberang jalan, dan ada daun jendela yang lepas. Menurutku, setidaknya mungkin
aku bisa menempelkan surat itu di kosen jendela."
"Jem" "Sekarang kau sudah ikut, tidak boleh mundur, kau harus ikut, Nona Centil!"
"Iya, iya, tapi aku tak mau lihat. Jem, ada yang" "Harus lihat, kau harus
mengawasi bagian belakang rumah itu dan Dili akan mengawasi bagian depan rumah
dan jalanan, dan kalau ada yang datang, dia akan membunyikan lonceng. Jelas?"
"Ya sudah. Memangnya kau mau menulis apa?"
Kata Dili, "Dengan sangat sopan, kami memintanya keluar sesekali dan
menceritakan apa yang dilakukannya di dalam kami bilang, kami tak akan
menyakitinya dan akan membelikannya es krim."
"Kalian gila apa" Bisa-bisa kita dibunuh!" Kata Dili, "Ini gagasanku. Kupikir,
kalau dia keluar dan duduk sebentar bersama kita, perasaannya akan lebih enak."
"Dari mana kau tahu perasaannya sedang tak enak?"
"Yah, bagaimana perasaanmu kalau kau sudah seratus tahun terkurung tanpa makan
apa pun kecuali kucing" Pasti janggutnya sudah sepanjang ini"
"Seperti janggut ayahmu?"
"Ayahku tak punya janggut, dia" Dili berhenti, seolah-olah mencoba mengingat.
"Ha, kena kau," kataku. "Dulu kau bilang, waktu kau turun dari kereta, ayahmu
punya janggut hitam"
"Asal tahu saja, musim panas lalu janggutnya dia cukur habis! Benar, dan aku
punya surat yang bisa membuktikan dia juga mengirim dua dolar!"
"Teruskan saja kurasa dia bahkan mengirimmu seragam polisi berkuda. Tapi dia tak
pernah munculkan" Bohong saja terus, Nak"
Dill Harris bisa berbohong habis-habisan. Antara lain, dia pernah menumpang
Romantika Sebilah Pedang 5 Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah Golok Sakti 7

Cari Blog Ini