Ceritasilat Novel Online

Kill Mocking Bird 3

To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee Bagian 3


dia berjalan dengan oleng, tetapi seolah-olah ditarik perlahan ke arah kami.
"Dia mencari tempat untuk mati," kata Jem. Mr. Tate berbalik. "Dia masih jauh
dari mati, Jem, dia belum mulai."
Tim Johnson tiba di jalan samping yang melintang di depan Radley Place, dan sisa
otaknya yang malang membuat dia berhenti dan tampak menimbang-nimbang jalan mana
yang akan dia ambil. Dia melangkah beberapa kali dengan ragu dan berhenti di
depan gerbang Radley; lalu dia mencoba berbalik, tetapi tampak kesulitan.
Kata Atticus, "Dia sudah berada dalam jarak tembak, Heck. Sebaiknya kautembak
saja sekarang sebelum dia mengambil jalan samping entah siapa yang berada di
balik tikungan. Masuklah, Cal."
Calpurnia membuka pintu kawat, menguncinya, lalu membukanya kembali dan memegang
kaitnya. Dia mencoba merintangi aku dan Jem dengan tubuhnya, tetapi kami bisa
melihat keluar dari bawah lengannya.
"Tembak saja, Mr. Finch." Mr. Tate menyerahkan senapan kepada Atticus; aku dan
Jem hampir pingsan. "Jangan buang waktu, Heck," kata Atticus. "Ayo."
"Mr. Finch, ini harus diselesaikan dengan sekali tembak."
Atticus menggeleng kuat-kuat, "Jangan berdiri saja, Heck! Dia tak akan menunggu
seharian" "Demi Tuhan, Mr. Finch, lihat dia di mana! Kalau meleset, pelurunya akan kena
rumah Radley! Tem-bakanku tidak begitu bagus, kau tahu itu!"
"Aku sudah tiga puluh tahun tak pernah menembak"
Mr. Tate hampir melempar senapan itu kepada Atticus. "Aku akan merasa lega kalau
kau menembak sekarang," katanya.
Samar-samar, aku dan Jem menyaksikan ayah kami mengambil senapan dan melangkah
ke tengah jalan. Dia berjalan cepat, tetapi aku melihatnya seolah-olah sedang
berjalan di dalam air: waktu merayap memualkan.
Ketika Atticus menaikkan kacamatanya, Calpurnia bergumam, "Tuhan, bantulah dia,"
dan meletakkan tangannya di pipi.
Atticus menaikkan kacamatanya ke kening; kacamata itu tergelincir turun, dan dia
menjatuhkannya ke jalan. Dalam hening kudengar kacamata itu berderak retak.
Atticus menggosok mata dan dagunya; kami melihatnya mengedip-ngedipkan matanya.
Di depan gerbang Radley, Tim Johnson telah membuat keputusan dengan sisa
otaknya. Dia akhirnya berbalik, mengikuti arah yang semula dia tempuh, ke jalan
kami. Dia maju dua langkah, lalu berhenti dan mendongak. Kami melihat tubuhnya
terpaku. Dengan gerakan begitu cepat sehingga seolah-olah lolos dari pandangan kami,
tangan Atticus menarik kokang seraya mengangkat senapan itu ke bahunya.
Senapan itu meletus. Tim Johnson melompat, terjatuh, dan ambruk ke trotoar
menjadi gundukan cokelat-putih. Dia tak tahu apa yang mengenainya. Mr. Tate
melompat turun dari teras dan berlari ke arah Radley Place. Dia berhenti di
depan anjing itu, berjongkok, berbalik, dan mengetukkan jari pada keningnya di
atas mata kiri. "Tembakanmu meleset sedikit ke kanan, Mr. Finch," serunya.
"Sejak dulu memang begitu," jawab Atticus. "Andai ada pilihan, aku lebih suka
pistol." Dia membungkuk dan memungut kacamatanya, menggerus lensa yang pecah itu menjadi
bubuk dengan tumitnya, menghampiri Mr. Tate, dan berdiri memandangi Tim Johnson.
Pintu terbuka satu demi satu, dan lingkungan itu perlahan menjadi hidup. Miss
Maudie berjalan menuruni tangga bersama Miss Stephanie Crawford.
Jem terpaku. Aku mencubitnya supaya dia bergerak, tetapi ketika Atticus melihat
kami menghampiri, dia berseru, "Kalian di sana saja."
Ketika Mr. Tate dan Atticus kembali ke halaman, Mr. Tate tersenyum. "Akan
kuminta Zeebo mengambilnya," katanya. "Kau belum banyak melupakannya, Mr. Finch.
Kata orang, kemampuan seperti itu tak akan pernah usang." Atticus diam saja.
"Atticus?" kata Jem. "Ya?"
"Tak apa-apa." "Aku melihatnya, One-Shot Finch Finch Sekali Tembak!"
Atticus memutar dan menghadap Miss Maudie. Mereka saling memandang tanpa berkata
apa-apa, dan Atticus masuk ke mobil sheriff. "Kemarilah," katanya kepada Jem.
"Jangan mendekati anjing itu, mengerti" Jangan dekati dia. Dia sama bahayanya,
mati ataupun hidup."
"Ya, Sir," kata Jem. "Atticus"
"Apa, Nak?" "Tidak apa-apa."
"Kau kenapa, Nak, tak bisa bicara?" kata Mr. Tate, menyeringai kepada Jem. "Baru
tahu ya, ayahmu" "Diam, Heck," kata Atticus, "ayo, kita kembali ke kota."
Ketika mereka melaj pergi, aku dan Jem pergi ke tangga depan Miss Stephanie.
Kami duduk menantikan Zeebo datang mengendarai truk sampah.
Jem duduk membisu dalam kebingungan, dan Miss Stephanie berkata, "Ck-ck-ck,
siapa sangka ada anjing gila di bulan Februari. Mungkin dia tidak gila, hanya
miring. Aku tak ingin melihat wajah Harry Johnson ketika dia pulang dari Mobile
dan mengetahui Atticus Finch menembak anjingnya. Pasti anjing itu penuh kutu
gara-gara pergi ke suatu tempat"
Kata Miss Maudie, Miss Stephanie pasti berbeda omongannya andai Tim Johnson
masih ada di jalanan, andai dia tahu bahwa mereka akan mengirim kepala anjing
itu ke Montgomery. Jem akhirnya bisa sedikit menyuarakan isi hatinya, "Kaulihat dia, Scout"
Kaulihat dia hanya berdiri" ... dan tahu-tahu tubuhnya rileks, kelihatannya seolah
senapan itu bagian dari dirinya ... dan dia melakukannya dengan sangat cepat,
seperti ... aku harus membidik selama sepuluh menit sebelum aku bisa mengenai
sesuatu ..." Miss Maudie menyeringai jahil. "Nah, Miss Jean Louise," katanya, "masih
beranggapan ayahmu tak bisa apa-apa" Masih malu?"
"Tidak, Ma'am," kataku malu-malu.
"Aku lupa memberi tahu waktu itu bahwa selain memainkan Jew's harp, Atticus
Finch adalah penembak terjitu di Maycomb County pada masanya."
"Jitu tiru Jem. "Betul, Jem Finch. Kurasa omongan kalian akan berubah sekarang. Heran, apa
kalian tidak tahu kalau saat remaja dia dijuluki 01' One-Shot" Waktu masih
tinggal di Landing, kalau dia menembak lima belas kali dan mengenai empat belas
burung merpati, dia akan mengeluh karena menyia-nyiakan amunisi."
"Dia tak pernah cerita apa-apa tentang itu," gumam Jem.
"Tak pernah cerita apa-apa, ya?" "Tidak, Ma'am."
"Kenapa dia tak pernah berburu lagi sekarang?" kataku.
"Mungkin aku bisa menjawab," kata Miss Maudie. "Seperti apa pun ayahmu, yang
pasti, dalam hatinya, dia beradab. Kejituan menembak adalah karunia Tuhan, bakat
oh, memang tetap harus berlatih untuk menyempurnakannya, tetapi menembak itu
berbeda dengan bermain piano dan semacamnya. Kurasa dia mungkin menggantung
senapan ketika dia menyadari bahwa Tuhan telah memberinya keunggulan yang tak
adil di atas sebagian besar makhluk hidup. Kurasa dia memutuskan dia tak akan
menembak sampai terpaksa, dan hari ini dia terpaksa."
"Tampaknya dia akan bangga tentang ini," kataku.
"Orang yang berakal sehat tak pernah berbang-ga dengan bakatnya," kata Miss
Maudie. Kami melihat Zeebo datang. Dia mengambil
garu dari belakang truk sampah dan dengan hati-hati mengangkut Tim Johnson. Dia
melempar anjing itu ke dalam truk, lalu menuangkan sesuatu dari jerigen ke tanah
tempat Tim jatuh. "Kalian jangan kemari beberapa lama," katanya.
Ketika kami tiba di rumah, aku berkata kepada Jem, kita akan punya bahan
pembicaraan di sekolah hari Senin nanti. Jem berpaling padaku.
"Jangan cerita apa-apa, Scout," katanya.
"Apa" Jelas aku akan cerita. Tidak semua ayah anak-anak di sekolah penembak
terjitu di Maycomb County."
Kata Jem, "Kupikir, kalau dia ingin kita tahu, dia pasti sudah cerita. Kalau dia
bangga akan hal ini, dia pasti sudah cerita."
"Mungkin dia hanya lupa," kataku.
"Tidak, Scout, ini sesuatu yang tak akan kamu mengerti. Atticus sudah sangat
tua, tetapi aku tak peduli kalau dia tak bisa apa-apa aku sama sekali tak peduli
kalau dia tak bisa melakukan apa pun."
Jem memungut batu dan melemparnya dengan riang ke garasi. Sambil mengejarnya,
dia berseru, "Atticus adalah lelaki terhormat, seperti aku!"
* Sebelas Sewaktu kami kecil, aku dan Jem membatasi kegiatan kami pada bagian selatan
lingkungan kami, tetapi ketika aku sudah lama duduk di kelas dua dan rasa
penasaran terhadap Boo Radley menjadi makin basi, daerah bisnis Maycomb lebih
memikat kami, membuat kami sering melewati jalan di depan rumah Mrs. Henry
Lafayette Dubose. Kami tak mungkin pergi ke kota tanpa melewati rumahnya,
kecuali mau memutar sejauh satu mil. Pertemuan-pertemuan kecil dengan Mrs.
Dubose sebelum ini membuatku tak ingin bertemu lagi dengannya, tetapi, kata Jem,
aku toh, harus tumbuh dewasa juga suatu saat.
Mrs. Dubose tinggal sendirian, hanya ditemani seorang gadis Negro yang selalu
melayaninya, dua rumah di sebelah utara rumah kami. Tangga depan rumahnya curam
dan rumahnya terdiri dari dua bagian yang disambungkan oleh sebuah ruang tamu.
Dia sudah sangat tua; hampir sepanjang hari dia tinggal di tempat tidur dan
sisanya dihabiskan di kursi roda. Menurut desas-desus, dia menyimpan sebuah
pistol CSA, tersembunyi di balik tumpukan tebal syal dan baju hangatnya.
Aku dan Jem membencinya. Kalau dia sedang
berada di teras ketika kami lewat, dia memelototi kami dengan pandangan murka,
melayangkan berbagai pertanyaan tentang perilaku kami dengan bengis, dan memberi
kami ramalan melankolis tentang seperti apa jadinya kami setelah dewasa kelak,
yaitu bukan siapa-siapa. Kami sudah lama menyingkirkan gagasan melewati rumahnya
dengan berjalan di seberang jalan; itu malah membuat dia melantangkan suara
sehingga semua tetangga bisa mendengar.
Tak ada yang bisa kami lakukan untuk menyenangkan hatinya. Jika aku berkata
seceria mungkin, "Hai, Mrs. Dubose," aku menerima jawaban, "Apa-apaan kamu haihai padaku, anak jelek! Seharusnya kamu bilang, selamat sore, Mrs. Dubose!"
Dia kejam. Suatu saat dia mendengar Jem menyebut ayah kami dengan "Atticus", dan
dia naik pitam. Selain menyebut kami bocah paling kurang ajar dan tidak sopan
yang melewati rumahnya, kami diberi tahu bahwa sayang sekali ayah kami tidak
menikah lagi setelah kematian ibu kami. Tak akan pernah ada perempuan yang lebih
baik daripada ibu kami, jadi tak ada gunanya Atticus menunda-nunda, dan sungguh
menyedihkan Atticus Finch membiarkan anak-anaknya menjadi liar. Aku tidak ingat
ibuku, tetapi Jem ingat dia kadang bercerita tentangnya padaku kemarahannya
langsung meledak ketika Mrs. Dubose meneriakkan kata-kata ini.
Jem setelah menghadapi Boo Radley, anjing gila, dan berbagai hal menyeramkan
lainnya menyimpulkan bahwa berhenti di tangga depan Miss
Rachel dan menunggu Atticus adalah tindakan pengecut. Dia menetapkan bahwa kami
harus berlari sampai tikungan kantor pos setiap sore untuk menyambut Atticus
saat dia pulang bekerja. Tak terhitung lagi berapa kali Atticus mendapati Jem
marah gara-gara sesuatu yang diucapkan Mrs. Dubose ketika kami lewat.
"Tenanglah, Nak," Atticus biasa berkata. "Dia sudah tua dan sakit-sakitan.
Angkatlah kepalamu dan jadilah lelaki terhormat. Apa pun yang dikatakannya
kepadamu, tugasmu adalah tidak membiarkan dia membuatmu marah."
Jem mengatakan, penyakit Mrs. Dubose tentu tidak parah, kalau bisa berteriakteriak seperti itu. Ketika kami bertiga mendekati rumahnya, Atticus membuka topi
lalu melambai dengan gagah kepadanya dan berkata, "Selamat sore, Mrs. Dubose!
Anda kelihatan seperti lukisan sore ini."
Aku tak pernah mendengar Atticus menyebutkan jenis lukisan yang dia maksud. Dia
menceritakan tentang hal-hal yang terjadi di gedung pengadilan, dan berkata
bahwa dia berharap dengan sepenuh hati Mrs. Dubose akan mengalami hari yang
indah besok. Dia mengembalikan topi ke kepala, mengangkatku ke bahunya tepat di
hadapan Mrs. Dubose, dan kami pulang dalam remang cahaya senja. Pada saat-saat
beginilah aku merasa bahwa ayahku, yang membenci senapan dan tak pernah ikut
perang, adalah lelaki paling berani yang pernah ada.
Pada sore setelah hari ulang tahun Jem yang kedua belas, dia merasa bahwa uang
hadiahnya memberati saku sehingga kami berjalan ke kota lebih awal. Menurut Jem, uangnya
cukup untuk membeli lokomotif miniatur untuk dirinya dan tongkat mayoret
untukku. Sudah lama aku menginginkan tongkat itu: dijual di V.J. Elmore, berhiaskan payet
dan perada, harganya tujuh belas sen. Waktu itu ambisiku adalah tumbuh besar dan
memutar tongkat bersama band SMA Maycomb County. Setelah aku berhasil
mengembangkan bakatku sampai bisa melempar tongkat ke atas dan hampir
menangkapnya ketika turun, Calpurnia tak mengizinkanku masuk ke rumah setiap
kali dia melihat tanganku memegang tongkat. Aku merasa, aku dapat memperbaiki
keterampi-lanku dengan menggunakan tongkat mayoret sungguhan, dan menurutku Jem
murah hati sekali mau membelikannya buatku.
Mrs. Dubose sedang duduk di teras ketika kami lewat.
"Kalian berdua mau ke mana siang hari begini?" serunya. "Kalian membolos, ya"
Akan kutelepon kepala sekolah dan kuadukan kalian!" Dia mengendalikan roda kursi
dan berbalik dengan sempurna.
"Ah, sekarang kan hari Sabtu, Mrs. Dubose," kata Jem.
"Tak ada bedanya kalaupun hari Sabtu," katanya tak jelas. "Aku ingin tahu,
apakah ayah kalian tahu kalian berada di mana?"
"Mrs. Dubose, kami sudah biasa pergi ke kota berdua sejak kami setinggi ini."
Kata Jem sambil menunjuk ke pahanya.
"Kalian jangan bohong padaku!" serunya. "Jeremy Finch, Maudie Atkinson
memberitahuku bahwa kau merusak tanaman scuppernong-nya pagi ini. Dia akan
memberi tahu ayahmu dan kau akan berharap dirimu tidak akan pernah lagi melihat
sinar matahari! Kalau minggu depan kamu belum dikirim ke sekolah anak nakal,
namaku bukan Dubose!"
Jem, yang belum pernah berada di dekat tanaman scuppernong Miss Maudie sejak
musim panas lalu, dan yang tahu bahwa Miss Maudie tak akan memberi tahu Atticus
kalaupun dia mendekati tanamannya, segera saja menyangkal.
"Kamu jangan membantah!" teriak Mrs. Dubose. "Dan kamu" dia menudingkan jarinya
yang keriput padaku "buat apa kamu pakai overall begitu" Kamu mestinya memakai
rok dan kamisol, Nona Muda! Kalau tak ada yang mengubah perilakumu, kamu akan
tumbuh dan berakhir jadi seorang pelayan seorang Finch menjadi pelayan di O.K.
Cafe hah!" Aku ketakutan. O.K. Cafe adalah kafe remang-remang di sisi utara alun-alun. Aku
menyambar tangan Jem, tetapi dia melepaskannya.
"Ayo, Scout," bisiknya. "Jangan pedulikan, angkat saja kepalamu dan jadilah
lelaki terhormat." Tetapi, Mrs. Dubose mencegah kami, "Tak hanya seorang Finch menjadi pelayan,
tetapi satu lagi di gedung pengadilan membela nigger1."
Tubuh Jem membeku. Tembakan Mrs. Dubose tepat mengenai sasaran dan perempuan tua
itu menyadarinya. "Iya, memang, mau jadi apa dunia ini kalau
seorang Finch pun berani menentang didikan orang tua" Akan kuberi tahu!" Dia
memasukkan jarinya ke mulut. Ketika dia menariknya keluar, seuntai air liur
panjang keperakan mengikutinya. "Ayahmu tak lebih baik daripada nigger dan
sampah yang dibelanya!"
Wajah Jem memerah. Aku menarik-narik lengan bajunya, dan pidato kecaman tentang
degenerasi moral keluarga Finch mengiringi kepergian kami. Premis utamanya
adalah bahwa setengah keluarga Finch memang sudah sakit jiwa, tetapi andai ibu
kami masih hidup, kami tak akan jatuh ke keadaan seperti ini.
Aku tak yakin bagian mana yang paling menjengkelkan Jem, tetapi aku tersinggung
dengan penilaian Mrs. Dubose tentang kesehatan mental keluargaku. Aku sudah
hampir terbiasa mendengar hinaan yang ditujukan pada Atticus, tetapi ini pertama
kalinya hinaan itu berasal dari orang dewasa. Kecuali komentarnya tentang
Atticus, kami sudah terbiasa dengan serangan Mrs. Dubose. Tanda-tanda datangnya
musim panas mulai terasa di udara berdiri di bawah bayangan terasa sejuk, tetapi
matahari terasa hangat, yang berarti masa-masa indah akan tiba: tak ada sekolah
dan Dili akan datang. Jem membeli lokomotifnya dan kami mampir di Elmore untuk membeli tongkat
mayoretku. Jem tidak menikmati acara belanja ini; dia menjejalkan lokomotifnya
ke saku dan berjalan pulang di sampingku tanpa berkata-kata. Pada perjalanan
pulang, aku hampir menabrak Mr. Link Deas, yang berkata, "Hati-hati, Scout!"
ketika aku gagal menangkap
tongkat, dan sewaktu kami menghampiri rumah Mrs. Dubose, tongkatku sudah kotor
karena jatuh ke tanah berkali-kali.
Dia tidak sedang berada di teras.
Pada tahun-tahun berikutnya, aku terkadang bertanya-tanya apa tepatnya yang
membuat Jem melakukannya, apa yang membuatnya melanggar ikatan "Jadilah lelaki
terhormat, Nak" dan fase moralitas sadar diri yang baru-baru ini dia masuki.
Omong kosong tentang Atticus membela nigger yang diterima Jem mungkin sama


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyaknya dengan yang kuterima, dan aku percaya bahwa dia bisa menahan amarahnya
sifat alaminya memang pendamai dan tidak gampang marah. Namun, pada saat itu,
kupikir satu-satunya penjelasan untuk tindakannya adalah bahwa dia mengalami
kegilaan sementara selama beberapa menit.
Perbuatan Jem adalah sesuatu yang mungkin kulakukan andaikan Atticus tidak
melarangku, yang kuasumsikan termasuk tidak bertengkar dengan wanita tua yang
mengesalkan. Kami baru saja tiba di gerbangnya, ketika Jem merebut tongkatku dan
berlari sambil mengayun-ayunkan tangannya dengan liar, naik tangga ke halaman
depan Mrs. Dubose, melupakan segala yang dikatakan Atticus, melupakan bahwa Mrs.
Dubose menyimpan pistol di balik syalnya, melupakan bahwa andaipun tembakan Mrs.
Dubose meleset, tembakan pelayannya, Jessie, mungkin tidak meleset.
Dia baru tenang kembali setelah memotong kuncup-kuncup di setiap semak kamelia
Mrs. Dubose, setelah tumpukan kuncup hijau dan daun berserakan di tanah. Dia
membengkokkan tongkatku dengan lututnya, mematahkannya jadi dua, dan
mencampakkannya. Pada saat itu, aku sudah menjerit-jerit. Jem menjambak rambutku, berkata bahwa
dia tak peduli, perbuatan itu akan dilakukannya lagi kalau ada kesempatan, dan
jika aku tidak tutup mulut, dia akan mencabut setiap rambut dari kepalaku. Aku
tidak tutup mulut dan dia menendangku. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh
terjerembap. Jem menarikku dengan kasar tetapi tampak menyesal. Tak ada yang
bisa dikatakan. Kami tidak menyambut Atticus pulang sore itu. Kami mengendap-endap di dapur sampai Calpurnia mengusir kami. Entah bagaimana
caranya, Calpurnia sepertinya mengetahui semua kejadian sore itu. Dia memang
sumber penghiburan yang kurang memuaskan, tetapi dia memberi Jem biskuit
beroleskan mentega panas yang dirobek menjadi dua oleh Jem dan dibagi denganku.
Rasanya seperti kapas. Kami ke ruang tamu. Aku mengambil majalah football, menemukan gambar Dixie
Howell, menunjukkannya kepada Jem dan berkata, "Dia mirip kamu." Itulah ucapan
paling baik hati untuknya yang terpikir olehku, tetapi tak membantu. Dia duduk
di jendela, membungkuk di kursi goyang, merengut, menunggu. Cahaya siang
memudar. Beberapa saat, yang terasa bagaikan dua abad geologis, kemudian, kami mendengar
sol sepatu Atticus menggesek tangga depan. Pintu kawat
menutup, ada jeda Atticus berada di dekat gantungan topi di ruang tamu dan kami
mendengarnya memanggil, "Jem!" Suaranya seperti angin musim dingin.
Atticus menyalakan lampu langit-langit di ruang duduk dan mendapati kami di
sana, diam membeku. Dia membawa tongkatku di satu tangan; rumbai kuningnya yang
kotor terseret di karpet. Dia menjulurkan tangan satunya; kuncup-kuncup kamelia
gemuk berada di situ. "Jem," katanya, "apa kau pelakunya?"
"Ya, Sir." "Mengapa kaulakukan?"
Jem berkata perlahan, "Dia bilang, kau membela nigger dan sampah."
"Kau melakukan ini karena dia berkata begitu?"
Bibir Jem bergerak, tetapi "Ya, Sir" nya tak terdengar.
"Nak, aku tak meragukan bahwa kau merasa terganggu oleh ejekan teman-temanmu
tentang aku yang membela nigger, seperti yang kaukatakan, tetapi melakukan hal
seperti ini kepada perempuan tua yang sakit-sakitan sungguh tak termaafkan. Aku
sangat menyarankan kau pergi ke rumah Mrs. Dubose dan berbicara dengannya," kata
Atticus. "Langsung pulang setelannya." Jem tidak bergerak.
"Ayo," kataku. Aku mengikuti Jem keluar dari ruang duduk. "Kembali ke sini,"
kata Atticus kepadaku. Aku kembali.
Atticus mengambil majalah Mobile Press dan duduk di kursi goyang yang beberapa
saat sebelumnya diduduki Jem. Aku sungguh tak mengerti bagaimana dia bisa duduk
tenang membaca surat kabar ketika putra satu-satunya kemungkinan besar sedang
dibunuh dengan senjata peninggalan Tentara Konfederasi. Memang, Jem kadang
membuatku jengkel sampai aku ingin membunuhnya, tetapi kalau dipikir-pikir,
hanya dialah yang kupunyai. Atticus tampaknya tak menyadari ini, atau kalaupun
menyadari, dia tak peduli.
Saat itu aku membencinya, tetapi kalau kita sedang punya masalah, kita mudah
lelah: tak lama kemudian aku bersembunyi dalam pangkuannya dan tangannya
merangkulku. "Kau sudah terlalu besar untuk dibuai," katanya.
"Kau tak peduli apa yang terjadi padanya, Atticus," kataku. "Kau hanya
mengirimnya ke sana untuk ditembak padahal dia cuma membelamu."
Atticus mendorong kepalaku ke bawah dagunya. "Belum waktunya untuk khawatir,"
katanya. "Aku tak pernah menyangka bahwa Jem akan kehilangan kesabarannya karena
hal ini kusangka aku akan lebih banyak mendapat masalah darimu."
Kubilang, aku tak mengerti mengapa kami harus bersabar, tak ada teman sekolah
yang kukenal yang harus bersabar tentang apa pun.
"Scout," kata Atticus, "saat musim panas tiba nanti, kau harus bersabar untuk
hal-hal yang jauh lebih buruk ... aku tahu, ini tidak adil bagimu dan Jem, tetapi
kadang-kadang kita harus menerima keadaan, dan cara kita membawa diri saat
keadaan memburuk yah, yang bisa kukatakan adalah, kalau kau dan Jem sudah besar,
barangkali kau akan melihat kembali kejadian ini dengan simpati dan mengerti
bahwa aku berusaha untuk tidak mengecewakan kalian. Kasus ini, kasus Tom
Robinson, menyangkut hakikat nurani manusia Scout, tak ada gunanya aku pergi ke
gereja dan beribadat kepada Tuhan kalau aku tidak mencoba menolong dia."
"Atticus, sepertinya kau keliru ..."
"Kenapa?" "Yah, sepertinya sebagian besar orang merasa mereka benar dan kau salah ..."
"Mereka memang berhak berpikir begitu, dan mereka berhak untuk dihormati
pendapatnya," kata Atticus, "tetapi sebelum aku mampu hidup bersama orang lain,
aku harus hidup dengan diriku sendiri. Satu hal yang tidak tunduk pada mayoritas
adalah nurani seseorang."
Ketika Jem kembali, dia mendapatiku masih di pangkuan Atticus. "Bagaimana, Nak?"
tanya Atticus. Dia menurunkanku, dan aku mengamati Jem diam-diam. Tampaknya dia
masih utuh, tetapi raut wajahnya aneh. Mungkin Mrs. Dubose memberinya satu dosis
calomel. "Aku sudah membersihkan halaman dan meminta maaf, tetapi sebenarnya aku tidak
menyesal, dan aku akan mengurus halamannya setiap Sabtu dan mencoba
menumbuhkannya lagi."
"Tak ada gunanya meminta maaf kalau kau tidak menyesal," kata Atticus. "Jem, dia
sudah tua dan sakit-sakitan. Kau tak bisa menuntut pertanggung jawabannya untuk perkataan
dan perbuatannya. Tentu, aku lebih suka kalau dia berkata begitu kepadaku
daripada kepada kalian, tetapi kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita
inginkan." Jem terpaku menatap motif mawar di karpet. "Atticus," katanya, "dia ingin aku
membaca untuknya." "Membaca untuknya?"
"Ya, Sir. Dia ingin aku datang setiap sore seusai sekolah dan pada hari Sabtu
untuk membaca keras-keras untuknya selama dua jam. Atticus, apakah harus?"
"Tentu." "Tetapi dia ingin aku melakukannya selama sebulan."
"Berarti kau akan melakukannya selama sebulan."
Jem meletakkan jempol kakinya pelan-pelan di tengah mawar dan menekannya.
Akhirnya dia berkata, "Atticus, kalau di trotoar aku tidak keberatan, tetapi di
dalam rumah gelap dan menyeramkan. Di langit-langitnya ada bayangan dan yang
lain ..." Atticus tersenyum tegas. "Bukankah kau suka berkhayal" Pura-pura saja kau berada
di rumah Radley." Senin sore keesokan harinya, aku dan Jem menaiki tangga depan yang curam ke
rumah Mrs. Dubose dan melangkah ke aulanya yang terbuka. Jem, yang dipersenjatai Ivanhoe
dan pengetahuannya yang luas, mengetuk pintu sebelah kiri.
"Mrs. Dubose?" panggilnya. Jessie membuka pintu kayu itu dan membuka selot pintu
kawat. "Kamukah itu, Jem Finch?" tanyanya. "Kamu mengajak adikmu. Aku tak tahu-"
"Suruh dua anak itu masuk, Jessie," kata Mrs. Dubose. Jessie membiarkan kami
masuk, lalu pergi ke dapur.
Bau menusuk menyeruak ketika kami melewati ambang pintu, bau yang sering
kudapati di rumah berdinding batu yang membusuk karena hujan, yang didalamnya
terdapat lampu minyak batu bara, gayung, dan seprai murahan yang tidak dikanji.
Bau seperti itu selalu membuatku takut, waspada, siaga. Di pojok ruangan
terdapat tempat tidur berwarna perunggu dan Mrs. Dubose berbaring di atasnya.
Aku bertanya-tanya apakah tingkah Jem telah membuatnya terbaring di situ, dan
sejenak aku merasa kasihan padanya. Dia berbaring di bawah tumpukan selimut
perca dan hampir tampak ramah.
Ada wastafel pualam di samping tempat tidurnya; di atasnya berdiri sebuah gelas
berisi sendok kecil, obat tetes telinga berwarna merah, sekotak kapas penyerap,
dan jam beker baja berkaki tiga.
"Jadi, kau membawa adikmu yang dekil itu, ya?" adalah sapaannya.
Jem berkata tenang, "Adik saya tidak dekil dan saya tidak takut pada Anda,"
meskipun kulihat lututnya gemetar. Aku menyangka akan diomeli, tetapi dia hanya berkata, "Kamu boleh mulai membaca,
Jeremy." Jem duduk di kursi beralas bambu dan membuka Ivanhoe. Aku mengambil satu kursi
lagi dan duduk di sampingnya.
"Lebih dekat," kata Mrs. Dubose. "Ke samping tempat tidur sini."
Kami memajukan kursi. Inilah jarak terdekatku dengannya, dan hal yang paling
ingin kulakukan adalah segera memundurkan kursi.
Mrs. Dubose buruk sekali. Wajahnya sewarna dengan sarung bantal kotor dan sudut
mulutnya berkilau oleh air liur, yang mengalir turun seperti glasir pada kerutkerut dalam di sekeliling dagunya. Bintik-bintik ketuaan menodai wajahnya, dan
matanya yang pucat memiliki pupil hitam yang kecil. Tangannya dipenuhi tonjolantonjolan kecil dan kutikulanya tumbuh melewati kuku. Bibir bawahnya menggantung
dan bibir atasnya menonjol; sesekali dia menarik bibir bawahnya ke bibir atasnya
dan dagunya ikut terbawa. Gerakan ini membuat air liurnya mengalir turun lebih
cepat. Aku tidak mau melihat lebih banyak dari yang terpaksa kulihat. Jem membuka
kembali Ivanhoe dan mulai membaca. Ketika menemukan kata yang tidak dia pahami,
Jem melompatinya, tetapi Mrs. Dubose mengetahuinya dan menyuruhnya mengeja kata
itu. Jem membaca barangkali selama dua puluh menit, dan selama itu aku
memandangi kerangka perapian yang ternodai jelaga, ke luar jendela, ke
mana pun agar aku tak perlu melihat Mrs. Dubose. Selagi Jem membaca,
kuperhatikan koreksi Mrs. Dubose semakin sedikit dan jarang sehingga Jem bahkan
membaca suatu kalimat dengan sangat tidak jelas. Mrs. Dubose tidak mendengarkan.
Aku menoleh ke tempat tidur. Sesuatu terjadi padanya. Dia berbaring telentang,
dengan selimut sampai ke dagu. Hanya kepala dan bahunya yang tampak. Kepalanya
bergerak kiri kanan perlahan. Sesekali dia membuka mulutnya lebar-lebar dan ?aku bisa melihat lidahnya menggelombang samar. Untai air liur mengumpul di
bibirnya; dia mengisapnya, lalu membuka mulut lagi. Mulutnya bekerja terpisah
dari bagian tubuhnya yang lain, bergerak keluar dan masuk, seperti cangkang
kerang di air surut. Kadang-kadang bibirnya mengeluarkan suara, "Pt," seperti
zat kental yang akan mendidih.
Aku menarik lengan baju Jem. Dia menoleh padaku, lalu pada tempat tidur. Kepala
Mrs. Dubose menoleh kepada kami, dan Jem berkata, "Mrs. Dubose, Anda tidak apaapa?" Mrs. Dubose tak menjawab.
Dering jam beker mengejutkan kami. Semenit kemudian, dengan saraf masih
bergelenyar, aku dan Jem sudah berada di trotoar, berjalan menuju rumah. Kami
tidak kabur. Jessie yang mengeluarkan kami: sebelum jam itu berhenti berbunyi,
dia sudah ada di kamar, mendorong aku dan Jem keluar.
"Syuh," katanya, "kalian pulanglah."
Saat melewati pintu, Jem terlihat ragu.
"Sudah waktunya minum obat," kata Jessie. Ketika pintu berayun menutup di
belakang kami, kulihat Jessie berjalan cepat ke tempat tidur Mrs. Dubose.
Baru pukul 15.45 ketika kami sampai di rumah. Jadi, aku dan Jem menendangnendang bola football di halaman belakang sampai tiba waktunya menyambut
Atticus. Atticus membawakan dua pensil kuning untukku dan majalah football untuk
Jem, yang kuduga adalah hadiah terselubung untuk sesi hari pertama kami bersama
Mrs. Dubose. Jem menceritakan apa yang terjadi.
"Dia membuatmu takut?" tanya Atticus.
"Tidak, Sir," kata Jem, "tapi dia jahat. Mungkin dia ayan atau apa. Dia sering
meludah." "Dia tidak melakukannya dengan sengaja. Kalau sedang sakit, kadang orang tidak
enak dilihat." "Dia membuatku takut," kataku. Atticus memandangku melalui kacamatanya. "Kau tak
perlu ikut dengan Jem, kan?"
Sore berikutnya di rumah Mrs. Dubose masih sama dengan yang pertama, dan juga
berikutnya, sampai akhirnya suatu pola terbentuk: segala sesuatu dimulai dengan
normal maksudku, Mrs. Dubose merecoki Jem beberapa lama tentang topik
kesukaannya, kamelianya, dan kecintaan ayah kami pada nigger; dia semakin jarang
bersuara, lalu diam. Jam beker berbunyi, Jessie mengusir kami, dan sisa hari itu
menjadi milik kami. "Atticus," kataku suatu sore, "apa sebenarnya arti pencinta nigger?"
Wajah Atticus suram. "Ada yang memanggilmu begitu?"
"Tidak, Sir, Mrs. Dubose memanggilmu begitu. Setiap sore sebelum Jem mulai
membaca, dia melakukan pemanasan dengan memanggilmu begitu. Francis memanggilku
begitu Natal kemarin, itu pertama kali aku mendengarnya."
"Karena itukah kau menyerangnya?" tanya Atticus.
"Ya, Sir "Lalu, mengapa kau menanyakan artinya?" Aku mencoba menjelaskan kepada Atticus
bahwa bukan perkataan Francis yang membuatku marah, melainkan cara dia
mengatakannya. "Seolah dia mengataiku cewek ingusan atau sebangsanya."
"Scout," kata Atticus, "pencinta nigger hanyalah julukan yang tak ada artinya
sama seperti anak ingusan. Sulit dijelaskan orang yang bodoh dan tak berharga
menggunakan kata ini saat mereka merasa seseorang mementingkan Negro di atas
kepentingan mereka sendiri. Kata ini ditujukan pada orang-orang seperti kita,
ketika mereka ingin menamai kita dengan istilah yang rendah dan buruk."
"Jadi, sebenarnya kau bukan pencinta nigger,
ya?" "Justru iya. Aku sungguh-sungguh mencoba mencintai semua orang ... aku kadangkadang bingung Sayang, bukanlah hinaan kalau kita dipanggil dengan sesuatu yang
dianggap orang nama yang buruk. Jadi, jangan sampai Mrs. Dubose membuatmu sedih.
Dia sendiri punya cukup masalah."
Suatu sore sebulan kemudian, Jem sedang bersusah payah membaca Sir Walter Scout,
begitu Jem menyebutnya yang dimaksud oleh Jem adalah Sir Walter Scott, sastrawan
Skotlandia yang karyanya antara lain Ivanhoe dan Rob Roy dan Mrs. Dubose
mengoreksinya setiap kali, ketika seseorang mengetuk pintu. "Masuk!" teriaknya.
Atticus memasuki ruangan. Dia menghampiri tempat tidur dan memegang tangan Mrs.
Dubose. "Aku pulang dari kantor dan tidak bertemu dengan anak-anak," katanya.
"Aku menduga mereka masih di sini."
Mrs. Dubose tersenyum padanya. Sungguh aku tak bisa mengerti bagaimana dia bisa
memaksa diri berbicara kepada Atticus, padahal dia tampak sangat membencinya.
"Kautahu sekarang jam berapa, Atticus?" katanya. "Tepat jam lima lebih empat
belas menit. Jam beker dipasang untuk jam lima tiga puluh. Aku ingin kautahu
itu." Aku tiba-tiba menyadari bahwa setiap hari kami tinggal sedikit lebih lama di
rumah Mrs. Dubose, bahwa jam beker berbunyi beberapa menit lebih lambat setiap
hari, dan bahwa penyakit ayannya bisa saja kambuh sebelum jam itu berbunyi. Hari
ini hampir dua jam dia mengganggu Jem tanpa ada tanda-tanda penyakit ayannya
akan kambuh, dan aku merasa terperangkap tanpa ada harapan untuk selamat. Jam
beker adalah tanda kebebasan kami; jika suatu hari ia tak berbunyi, apa yang
harus kami lakukan" "Aku merasa hari membaca Jem sudah hampir
habis," kata Atticus.
"Hanya seminggu lagi, rasanya," kata Mrs. Dubose, "untuk memastikan Jem bangkit.
"Tapi" Atticus mengangkat tangannya dan Jem terdiam. Dalam perjalanan pulang, Jem
berkata dia hanya wajib melakukannya selama sebulan dan waktu sebulan itu sudah
habis dan ini tidak adil.
"Hanya seminggu lagi, Nak," kata Atticus.
"Tidak," kata Jem.
"Ya," kata Atticus. Minggu berikutnya, kami kembali ke rumah Mrs. Dubose. Jam
beker sudah tak berbunyi lagi, tetapi Mrs. Dubose melepaskan kami dengan, "Sudah
cukup," begitu larut senja sehingga Atticus sudah membaca koran di rumah ketika
kami kembali. Meskipun penyakit ayannya tidak pernah kambuh lagi, dalam hal-hal
lain, dia adalah dirinya yang dulu: ketika Sir Walter Scott menguraikan panjanglebar tentang selokan dan istana, Mrs. Dubose menjadi bosan dan mengganggu kami.


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jeremy Finch, sudah kubilang, kamu akan menyesal sudah merusak kameliaku.
Sekarang, kamu menyesal, kan?"
Jem bilang, dia menyesal sekali.
"Jangan sangka kamu bisa mematikan bunga Snow on the Mountain milikku, ya" Hah,
kata Jessie, bagian atasnya sudah tumbuh lagi. Lain kali kamu tahu cara
melakukannya dengan benar, kan" Kamu akan mencabut sampai akarnya, kan?" Jem
bilang, tentu saja. "Jangan menggumam padaku, Nak! Angkat kepalamu dan katakan, ya, Ma'am. Tapi kamu
mungkin enggan mengangkat kepala, kalau ayahmu seperti itu."
Jem pun menaikkan dagunya dan memandang Mrs. Dubose dengan wajah tanpa
kebencian. Setelah berminggu-minggu, dia telah melatih ekspresi sopan dan
berjarak yang bisa ditampilkan pada Mrs. Dubose untuk menjawab ucapan-ucapannya
yang paling membekukan darah.
Akhirnya, hari itu tiba. Ketika Mrs. Dubose berkata, "Sudah cukup," suatu sore,
dia menambahkan, "Dan hukumanmu sudah selesai. Selamat sore."
Sudah selesai. Kami melompat-lompat di trotoar dengan kelegaan luar biasa,
meloncat-loncat dan melolong.
Musim semi itu menyenangkan: hari terasa lebih lama sehingga memberi kami lebih
banyak waktu untuk bermain. Benak Jem terutama dipenuhi statistik penting setiap
pemain football universitas di negeri ini. Setiap malam, Atticus membacakan
halaman olahraga surat kabar. Alabama bisa masuk pertandingan Rose Bowl lagi
tahun ini, jika dinilai dari calon pemainnya, yang tak satu pun namanya bisa
kami ucapkan. Atticus sedang membacakan kolom Windy Seaton suatu sore ketika
telepon berdering. Dia mengangkatnya, lalu pergi ke gantungan topi di ruang tamu. "Aku mau ke rumah
Mrs. Dubose sebentar," katanya. "Aku tak akan lama."
Tetapi, Atticus pergi sampai jauh melewati waktu tidurku. Ketika pulang, dia
membawa kotak permen. Atticus duduk di ruang duduk dan meletakkan kotak itu di
lantai di samping kursinya. "Apa maunya?" tanya Jem.
Kami sudah sebulan lebih tidak bertemu dengannya. Dia tidak pernah ada di teras
lagi ketika kami lewat. "Dia meninggal, Nak," kata Atticus. "Dia meninggal beberapa menit yang lalu."
"Oh," kata Jem. "Bagus."
"Memang bagus," kata Atticus. "Dia tidak menderita lagi. Dia sudah lama sakit.
Nak, tahukah kamu mengapa dia suka kejang-kejang seperti orang berpenyakit
ayan?" Jem menggeleng.
"Mrs. Dubose adalah pencandu morfin," kata Atticus. "Sudah bertahun-tahun dia
memakainya sebagai pereda rasa sakit. Dokter yang meresep-kannya. Dia telah
melewatkan sisa hidupnya dengan morfin dan meninggal tanpa banyak rasa sakit,
tetapi dia memang sinis"
"Sir?" kata Jem. Kata Atticus, "Tepat sebelum kau bertingkah dulu, dia
meneleponku untuk membuatkan surat wasiatnya. Dr. Reynold berkata dia hanya
punya beberapa bulan lagi. Urusan bisnisnya sudah diatur, tetapi katanya, 'Masih
ada satu hal yang belum diatur.'"
"Apa itu?" Jem bingung.
"Katanya, dia akan meninggalkan dunia ini tanpa berutang apa pun pada siapa pun.
Jem, kalau seseorang sakit separah dia, sebenarnya tak apa-apa memakan obat
untuk meringankan rasa sakit, tetapi baginya tidak. Katanya, dia berniat
melepaskan diri dari morfin sebelum meninggal, dan itulah yang dilakukannya."
Kata Jem, "Maksudmu, karena itukah dia kelihatan seperti orang sakit ayan?"
"Benar. Selama kau membaca untuknya, aku ragu dia mendengar sepatah kata pun.
Seluruh pikiran dan tubuhnya berkonsentrasi pada jam beker. Kalau dia tidak
menghukummu, aku sendiri yang akan menyuruhmu membaca untuknya. Mungkin itu
dapat mengalihkan perhatiannya. Ada alasan lain"
"Apakah saat meninggal dia bebas dari morfin?" tanya Jem.
"Sebebas udara gunung," kata Atticus. "Dia sadar sampai detik terakhir, hampir.
Sadar," dia tersenyum, "dan mengajak bertengkar. Dia masih tak setuju dengan
tindakanku dan berkata aku mungkin akan melewatkan sisa hidupku menebusmu dari
penjara. Dia meminta Jessie mengambilkan kotak ini untukmu"
Atticus meraih dan memungut kotak permen itu. Dia menyerahkannya kepada Jem.
Jem membukanya. Di dalam, dikelilingi gumpalan kapas lembap, adalah kamelia
putih, berlilin, sempurna. Setangkai Snow in the Mountain.
Mata Jem hampir melompat dari kepalanya. "Iblis neraka tua, iblis neraka tua!"
serunya, mencampakkannya. "Kenapa dia menggangguku terus?"
Secepat kilat Atticus berdiri di hadapannya. Jem membenamkan kepalanya di kemeja
Atticus. "Sst," katanya. "Kurasa itu caranya memberitahumu segalanya baik-baik
saja sekarang, Jem, segalanya baik-baik saja. Kautahu, dia perempuan terhormat
yang hebat." "Perempuan terhormat?" Jem mendongak. Wajahnya merah. "Setelah segala hal yang
dituduhkannya padamu, perempuan terhormat?"
"Ya. Dia memiliki pandangan pribadi tentang banyak hal, sangat berbeda denganku,
mungkin .... Nak, tadi aku berkata, kalau kau tidak kehilangan kesabaran sehingga
dia menghukummu, akulah yang akan menyuruhmu membaca untuknya. Aku ingin kau
melihat sesuatu dalam dirinya aku ingin kau melihat keberanian sejati, alih-alih
mendapat konsep bahwa keberanian selalu identik dengan lelaki bersenapan.
Keberanian adalah saat kau tahu kau akan kalah sebelum memulai, tetapi kau tetap
memulai dan kau merampungkannya, apa pun yang terjadi. Kau jarang menang, tetapi
kadang-kadang kau bisa menang. Mrs. Dubose menang, seluruh 45 kg dirinya.
Menurut pandangannya, dia meninggal tanpa berutang apa pun dan pada siapa pun.
Dia orang paling pemberani yang pernah kukenal."
Jem memungut kotak permen itu dan melemparnya ke api. Dia mengambil kamelianya,
dan ketika aku berangkat tidur, kulihat dia sedang mengelus-elus kelopaknya yang
lebar. Atticus sedang membaca surat kabar.
Dua Belas Jem berusia dua belas tahun. Susah hidup dengannya; dia tidak konsisten dan
suasana hatinya sering berubah. Selera makannya mengerikan, dan berkali-kali dia
bilang agar aku tak mengganggunya, sampai aku berkonsultasi kepada Atticus,
"Mungkin dia cacingan?" Atticus bilang, tidak, Jem sedang tumbuh. Aku harus
bersabar dan sesedikit mungkin mengganggunya.
Perubahan dalam diri Jem ini terjadi dalam beberapa minggu saja. Mrs. Dubose
belum juga tenang di makamnya saat itu Jem tampaknya cukup berterima kasih
karena aku menemaninya waktu dia membaca untuk Mrs. Dubose. Agaknya, dalam
semalam, Jem mendapatkan nilai-nilai hidup yang asing dan mencoba memaksakannya
padaku: beberapa kali dia malah sampai mengatur-atur. Setelah bertengkar dan Jem
membentak, "Sudah waktunya kau jadi anak perempuan dan bersikap seperti anak
perempuan!" tangisku meledak dan aku mengadu kepada Calpurnia.
"Jangan terlalu memikirkan Mister Jem" dia memulai.
"Mister Jem?" "Yah, dia menjadi Mister Jem sekarang."
"Dia belum setua itu," kataku. "Dia cuma perlu dipukuli, tapi aku tidak cukup
besar." "Sayangku," kata Calpurnia, "aku tak bisa mencegah Mister Jem tumbuh dewasa.
Sekarang, dia akan sering menghabiskan waktunya sendirian, mengerjakan apa pun
yang biasa dikerjakan anak lelaki, jadi kau ke dapur saja kalau merasa kesepian.
Kita bisa melakukan banyak kegiatan di sini."
Awal musim panas itu memberi pertanda buruk: Jem boleh berbuat sesuka hatinya;
aku harus merasa puas bergaul dengan Calpurnia sampai Dili datang. Dia tampaknya
senang melihatku muncul di dapur, dan dengan mengamatinya, aku mulai berpikir
bahwa untuk bisa menjadi anak perempuan membutuhkan keterampilan tertentu.
Namun, musim panas tiba dan Dili tidak datang. Aku menerima surat dan foto
darinya. Suratnya bercerita bahwa dia mempunyai ayah baru, yang fotonya
terlampir, dan dia harus tinggal di Meridian karena mereka berencana membangun
kapal untuk memancing. Ayahnya pengacara seperti Atticus, hanya jauh lebih muda.
Ayah baru Dili berwajah menyenangkan. Aku lega karena Dili mendapatkan ayah
baru, tetapi hatiku hancur. Dili mengakhiri suratnya dengan berkata bahwa dia
akan mencintaiku selamanya dan aku tidak perlu khawatir, karena dia akan datang
menjemputku dan menikahiku begitu dia mengumpulkan cukup uang, jadi tolong
suratnya dibalas. Kenyataan bahwa aku memiliki tunangan abadi tidak bisa menggantikan
ketidakhadirannya: aku belum pernah memikirkannya, tetapi musim panas adalah
Dili merokok tali di tepi kolam ikan, matanya menyala dengan rencana-rencana
rumit untuk membuat Boo Radley muncul; musim panas adalah kecepatan Dili mencium
pipiku ketika Jem tidak melihat, kerinduan yang kadang bisa saling kami rasakan.
Dengannya, hidup adalah rutin, tanpanya, hidup tak tertahankan. Aku merana
selama dua hari. Seolah itu belum cukup, badan legislatif negara bagian berkumpul untuk sidang
darurat dan Atticus meninggalkan kami selama dua minggu. Gubernur ingin membasmi
tikus-tikus yang mengganggu jalan pemerintahan; ada aksi damai di Birmingham; di
kota-kota, antrean di depan toko roti memanjang, sedangkan penduduk di pedesaan
semakin miskin. Tetapi, peristiwa-peristiwa ini jauh dari duniaku dan Jem.
Pada suatu pagi, kami terkejut melihat kartun di Montgomery Advertiser. Di atas
gambar itu, terdapat tulisan, "Finch dari Maycomb". Kartun itu menampilkan
Atticus bertelanjang kaki dan bercelana pendek, terantai pada meja: dia sedang
tekun menulis pada buku catatan, sementara beberapa gadis berpenampilan bodoh
berseru kepadanya, "Yuhu!"
"Ini pujian," Jem menjelaskan. "Dia menghabiskan waktunya mengerjakan hal-hal
yang tidak akan beres kalau tidak dikerjakan."
"Hah?" Selain memiliki sifat-sifat baru, Jem menampilkan gaya bijak yang membuatku
gila. "Oh, Scout, misalnya mereorganisasi sistem
pajak di county dan sebangsanya. Hal-hal seperti itu tak ada artinya bagi banyak
orang." "Kau tahu dari mana?"
"Ah, kau jangan ganggu aku. Aku sedang baca koran."
Keinginan Jem terkabul. Aku pergi ke dapur. Sambil menguliti kacang polong,
Calpurnia mendadak berkata, "Bagaimana aku menyiapkan kalian untuk pergi ke
gereja Minggu besok?"
"Tidak perlu. Atticus meninggalkan kami uang sumbangan."
Mata Calpurnia menyipit dan aku tahu apa yang terlintas di pikirannya. "Cal,"
kataku, "kautahu kami akan bersikap baik. Kami sudah bertahun-tahun bersikap
baik di gereja." Calpurnia rupanya mengingat suatu hari Minggu saat hujan lebat turun, ketika
kami ditinggalkan tanpa ayah dan tanpa guru. Anak-anak yang ditinggal sendirian
mengikat Eunice Ann Simpson ke kursi dan menempatkannya di ruang perapian. Kami
melupakannya dan naik ke gereja untuk mendengarkan khotbah dengan tenang ketika
terdengar dentang memekakkan dari pipa radiator, yang terus berbunyi sampai ada
yang menyelidiki dan mengeluarkan Eunice Ann, yang berkata dia tak mau bermain
Shadrach tokoh dalam Alkitab, salah satu dari tiga tawanan yang keluar dari
tungku api tanpa terbakar lagi. Kata Eunice Enn, Jem Finch meyakinkannya bahwa
dia tak akan terbakar kalau cukup beriman, tetapi di bawah memang panas.
"Lagi pula, Cal, ini bukan pertama kalinya Atticus meninggalkan kami," aku
protes. "Ya, tetapi biasanya dia memastikan gurumu akan hadir. Aku tak mendengarnya kali
ini mungkin dia lupa." Calpurnia menggaruk kepala. Mendadak dia tersenyum.
"Bagaimana kalau kau dan Mister Jem ikut ke gereja bersamaku besok?" "Benarkah?"
"Mau, kan?" Calpurnia menyeringai. Jika Calpurnia pernah menggosok badanku
dengan keras saat memandikanku sebelumnya, itu tidak ada apa-apanya dibandingkan
dengan pengawasannya pada kegiatan rutin Sabtu malam itu. Dia menyuruhku
menyabuni seluruh tubuhku dua kali, mengambil air bersih dari bak untuk setiap
bilasan; dia meletakkan kepalaku di baskom dan mencucinya dengan sabun Octagon
dan sabun castile. Dia sudah bertahun-tahun memercayai Jem, tetapi malam itu dia
melanggar privasi Jem dan memancing bentakan, "Apa orang di rumah ini tidak bisa
mandi tanpa diintip seluruh keluarga?"
Keesokan paginya, dia bangun lebih pagi dari biasanya untuk "memeriksa pakaian
kami". Kalau menginap di rumah, Calpurnia tidur di tempat tidur lipat di dapur;
pagi itu tempat tidurnya tertutupi pakaian hari Minggu kami. Dia telah
memberikan kanji banyak-banyak pada bajuku, bentuknya jadi seperti tenda kalau
aku duduk. Dia menyuruhku mengenakan rok dalam dan mengikatkan selendang merah
muda erat-erat di pinggangku. Dia menggosok sepatu kulitku dengan biskuit dingin
sampai aku bisa melihat bayangan wajahnya di sepatu itu.
"Seperti mau pergi ke Mardi Gras saja," kata Jem. "Buat apa semua ini, Cal?"
"Aku tak mau ada orang bilang bahwa aku tak becus mengurus anak-anak asuhanku,"
gumamnya. "Mister Jem, kau sama sekali tak boleh mengenakan dasi itu dengan
kemeja itu. Warnanya hijau."
"Memangnya kenapa?"
"Kemejanya biru. Apa kau tidak bisa membedakan?"
"Hihihi," aku melolong, "Jem buta warna."
Wajah Jem merah padam, tetapi Calpurnia berkata, "Kalian, hentikan. Kalian akan
pergi ke First Purchase sambil tersenyum."
Gereja Metodis Episkopal Afrika First Purchase terletak di wilayah Quarters, di
luar batas selatan kota, di seberang rel penggergajian tua. Bangunannya
berkerangka kuno dengan cat yang sudah mengelupas, satu-satunya gereja di
Maycomb yang memiliki menara dan lonceng, disebut First Purchase karena dibiayai
oleh pendapatan pertama para budak yang dibebaskan. Orang Negro beribadat di
sini setiap hari Minggu dan orang kulit putih berjudi di sini pada hari lain.
Halaman gereja itu berupa tanah liat sekeras bata, demikian pula pemakaman di
sampingnya. Jika seseorang meninggal saat cuaca kering, tubuhnya ditimbun
bongkah es sampai hujan melunakkan tanah. Beberapa makam di pemakaman ditandai
dengan batu nisan yang sudah remuk; nisan yang lebih baru dilapisi kaca yang
berwarna cerah dan pecahan botol Coca-Cola. Penangkal petir yang menjaga
beberapa makam menunjukkan jenazah yang beristirahat dengan tidak tenang; sisa
lilin yang habis terbakar berdiri di kepala makam anak-anak. Pemakaman yang
ceria. Bau Negro bersih yang hangat dan pahit-manis menyambut kami ketika kami memasuki
halaman gereja. Gaya rambut Hearts of Love berpadu dengan obat asafoetida,
tembakau, parfum Hoyt's Cologne, tembakau Brown's Mule, peppermint, dan talk
melati. Ketika mereka melihatku dan Jem bersama Calpurnia, kaum pria melangkah mundur
dan menanggalkan topi; kaum wanita menyilangkan tangan di pinggang, gerakan yang
biasa dilakukan pada hari kerja untuk menunjukkan perhatian penuh hormat. Mereka
memisah dan membuka jalan kecil ke pintu gereja bagi kami. Calpurnia berjalan di
antara aku dan Jem, menanggapi sapaan para tetangganya yang berpakaian cerah.
"Apa-apaan ini, Miss Cal?" kata sebuah suara di belakang kami.
Tangan Calpurnia memegang bahu kami. Kami berhenti dan menoleh ke belakang: di
hadapan kami berdiri seorang perempuan Negro bertubuh tinggi besar. Berat
tubuhnya ditumpukan pada satu kaki; dia meletakkan sikut kirinya di lekuk
pinggulnya, menunjuk kami dengan telapak tangan tertelentang. Kepalanya seperti
peluru, matanya berbentuk kacang aimond, hidungnya lurus, dan mulutnya seperti
busur Indian. Tingginya sepertinya tujuh kaki.
Aku merasa tangan Calpurnia menghunjam bahuku. "Kamu mau apa, Lula?" tanyanya,
dalam nada yang belum pernah kudengar dia gunakan. Dia berkata dengan tenang,
penuh kebencian. "Aku ingin tahu kenapa kamu membawa anak kulit putih ke gereja nigger."
"Mereka tamuku," kata Calpurnia. Lagi-lagi, aku merasa suaranya aneh: dia
berbicara seperti orang-orang itu.
"Ya, dan tentunya kamu juga tamu di rumah Finch pada hari biasa."
Gumaman menyebar di kerumunan. "Jangan rewel," bisik Calpurnia kepadaku, tetapi
bunga mawar di topinya bergetar marah.
Ketika Lula menapaki jalan ke arah kami, Calpurnia berkata, "Berhenti di situ,
nigger." Lula berhenti, tetapi berkata, "Kamu tak ada urusan membawa anak kulit putih
kemari mereka punya gereja sendiri, kita punya sendiri. Ini gereja kita, begitu
bukan, Miss Cal?" Calpurnia berkata, "Kita menyembah Tuhan yang sama, kan?"
Kata Jem, "Ayo kita pulang, Cal, mereka tak ingin kita di sini"
Aku sepakat: mereka tak ingin kami di sini. Aku merasakan, bukan melihat, bahwa
kami dikepung. Mereka terasa semakin dekat dengan kami, tetapi ketika aku
memandang Calpurnia, di matanya tersirat rasa geli. Ketika aku melihat ke jalan
masuk lagi, Lula sudah pergi, digantikan dengan kerumunan orang berkulit hitam.
Salah seorang memisahkan diri dari kerumunan. Dia Zeebo, si pengumpul sampah.
"Mister Jem," katanya, "kami senang dikunjungi. Tak perlu memedulikan Lula,
sikapnya menjengkelkan karena Pendeta Sykes mengancam akan menghukumnya. Sejak
dulu dia suka membuat onar, pikirannya kacau dan sikapnya sombong kami senang
sekali kalian datang."
Dengan itu, Calpurnia mengajak kami ke pintu gereja, dan kami disapa Pendeta
Sykes, yang mengajak kami ke bangku depan.
Bagian dalam First Purchase tidak berlangit-langit dan tidak dicat. Di sepanjang
dinding tergantung lampu kerosin pada kerangka perunggu, tidak menyala; bangku
pinus dijadikan tempat duduk. Di belakang mimbar yang terbuat dari kayu ek
kasar, berkibar sehelai bendera sutra merah muda pudar yang bertuliskan Tuhan


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adalah Cinta. Bendera itu adalah satu-satunya dekorasi gereja itu, kecuali
sebuah cetakan rotogravur The Light of the World karya Hunt. Tidak kelihatan
tanda-tanda adanya piano, organ, buku himne, panduan acara gereja pernak-pernik
gereja yang biasa kami lihat setiap hari Minggu. Cahaya dalam ruang gereja itu
remang-remang, rasa sejuk yang dihadirkan oleh kelembapan perlahan buyar seiring
dengan berkumpulnya jemaat. Pada setiap tempat duduk, tersedia kipas karton
murahan bergambarkan Taman Getse-mani berwarna mencolok, pemberian Toko Perkakas
Tyndal. (Kamu Tinggal Sebut Pasti Kami Jual).
Calpurnia mengisyaratkan padaku dan Jem agar duduk di ujung baris dan
menempatkan dirinya di antara kami. Dia merogoh tasnya, mengeluarkan
sapu tangan, dan membuka ikatan di pojok sapu tangan itu, tempatnya menyimpan
uang logam. Dia memberi satu koin bernilai sepuluh sen kepadaku dan satu koin
lagi kepada Jem. "Kami punya sendiri," bisik Jem. "Simpanlah," kata Calpurnia,
"kalian tamuku." Wajah Jem sekilas menunjukkan keraguan antara menjaga etika dan
menyimpan uangnya sendiri, tetapi kesopanan yang sudah menjadi sifat alaminya
menang dan dia mengantongi uangnya. Aku pun mengantongi punyaku tanpa ragu.
"Cal," bisikku, "mana buku himnenya?"
"Di sini tak ada," katanya.
"Jadi, bagaimana?"
"Sst," katanya. Pendeta Sykes sedang berdiri di balik mimbar, menatap jemaat
hingga semua tenang. Tubuhnya yang pendek dan gempal terbalut setelan jas hitam,
dasi hitam, kemeja putih, dan jam rantai emas yang berkilau dalam cahaya yang
masuk dari jendela berglasir.
Katanya, "Saudara-saudaraku, kita sangat senang menerima tamu pagi ini. Mister
dan Miss Finch. Kalian kenal ayah mereka. Sebelum saya memulai, akan saya
bacakan beberapa pengumuman."
Pendeta Sykes membalik-balik kertas, mengambil salah satunya, dan menunjukkannya
ke depan. "Masyarakat Misionaris berkumpul di rumah Saudari Annette Reeves hari
Selasa besok. Bawa jahitan."
Dia membaca dari kertas lain. "Kalian tahu tentang kesulitan Saudara Tom
Robinson. Sejak masih kanak-kanak, dia sudah menjadi anggota
setia First Purchase. Sumbangan yang dikumpulkan hari ini dan tiga hari Minggu
berikutnya akan diberikan kepada Helen istrinya, untuk membantunya di rumah."
Aku menonjok Jem. "Itu Tom yang Atticus ak" "Ss-t!"
Aku menoleh kepada Calpurnia tetapi dia langsung menyuruhku diam sebelum aku
membuka mulut. Setelah lebih mampu menguasai diri, aku memusatkan perhatian
kepada Pendeta Sykes, yang tampaknya menungguku terdiam. "Pengarah musik,
silakan memimpin kita dalam himne pertama," katanya.
Zeebo bangkit dari kursinya dan berjalan di lorong tengah, berhenti di depan
kami dan menghadap jemaat, membawa buku himne yang tampak kumal. Dia membukanya
dan berkata, "Kita akan menyanyikan nomor dua tujuh tiga."
Aku tak tahan lagi. "Bagaimana kita menyanyi kalau tak ada buku lagu?"
Calpurnia tersenyum, "Sst, Sayang," bisiknya, "sebentar lagi kautahu."
Zeebo berdeham lalu membaca dengan suara bagai gelegar artileri dari kejauhan:
"Ada tanah di seberang sungai."
Ajaibnya, dengan nada tepat, seratus suara menyanyikan kata-kata Zeebo. Pada
suku kata terakhir, yang ditahan dengan dengung parau, Zeebo melanjutkan, "Yang
selamanya kita sebut manis."
Musik kembali mengalun di sekitar kami; saat nada terakhir mengalun, Zeebo
menyambutnya dengan baris berikut: "Dan kita hanya mencapai pantai itu dengan
perintah iman." Jemaat ragu, Zeebo mengulangi baris dengan hati-hati, dan baris itu pun
dinyanyikan. Pada bagian refrein, Zeebo menutup bukunya, tanda bagi jemaat untuk
melanjutkan tanpa bantuannya.
Pada nada-nada akhir "hari peringatan," Zeebo berkata, "Dalam keabadian manis
yang jauh itu, di seberang sungai yang berkilau."
Baris demi baris, suara mengikuti dalam harmoni sederhana hingga himne berakhir
dalam gumam melankolis. Aku menoleh kepada Jem, yang sedang melirik kepada Zeebo. Aku juga sulit
percaya, tetapi kami berdua mendengarnya.
Pendeta Sykes lalu memohon kepada Tuhan untuk memberkati yang sakit dan yang
menderita, prosedur yang tak berbeda dengan kebiasaan gereja kami, kecuali
Pendeta Sykes mengarahkan perhatian Tuhan pada beberapa kasus spesifik.
Khotbahnya langsung mengutuk dosa, pernyataan sederhana dari moto pada dinding
di belakangnya: dia memperingatkan jemaatnya tentang kejahatan yang berasal dari
minuman memabukkan, perjudian, dan wanita asing. Para penyelundup alkohol
menimbulkan cukup masalah di Quarters, tetapi wanita lebih buruk lagi. Sekali
lagi, seperti yang sering kujumpai di gerejaku sendiri, aku dihadapkan pada
doktrin Perempuan yang Ternoda, yang sepertinya menguasai semua pendeta.
Aku dan Jem mendengar khotbah yang sama
Minggu demi Minggu, dengan satu pengecualian. Pendeta Sykes lebih leluasa
menggunakan mimbarnya untuk mengungkapkan pandangannya tentang kekhilafan orang.
Jim Hardy sudah lima hari Minggu absen dari gereja dan dia tidak sakit;
Constance Jackson harus menjaga perilakunya dia hampir bertengkar dengan
tetangganya; dia telah mendirikan satu-satunya pagar kebencian dalam sejarah
Quarters. Pendeta Sykes menutup khotbahnya. Dia berdiri di samping meja di depan mimbar
dan meminta sumbangan pagi, kegiatan yang asing bagiku dan Jem. Satu per satu
jemaat maju dan menjatuhkan uang logam lima sen dan sepuluh sen ke dalam kaleng
kopi berlapis hitam. Aku dan Jem mengikuti mereka, dan menerima ucapan "Terima
kasih, terima kasih" lirih seiring dengan berdentingnya uang kami.
Yang membuat kami heran, Pendeta Sykes mengosongkan kaleng ke atas meja dan
meraup koin dengan tangannya. Dia menegakkan tubuh dan berkata, "Ini tidak
cukup, kita harus punya sepuluh dolar."
Berbagai protes seketika terdengar. "Kalian tahu tujuannya Helen tak bisa
meninggalkan anak-anaknya untuk bekerja selagi Tom dipenjara. Kalau semua orang
memberi sepuluh sen lagi, akan cukup" Pendeta Sykes melambaikan tangannya dan
memanggil seseorang di bagian belakang gereja. "Alec, tutup pintunya. Tak ada
yang boleh pergi sampai kita punya sepuluh dolar."
Calpurnia mengorek-ngorek tas tangannya dan
mengeluarkan dompet koin kulit yang kucel. "Tidak, Cal," bisik Jem ketika dia
mengulurkan sekeping uang logam dua puluh lima sen yang berkilap, "kami bisa
menyumbangkan uang kami. Berikan uangmu, Scout."
Gereja semakin pengap, dan terpikir olehku bahwa Pendeta Sykes berniat membuat
jemaatnya berkeringat sampai mereka mau mengeluarkan uang. Kipas berdesir, kaki
bergeser, pengunyah tembakau menderita.
Pendeta Sykes mengejutkanku dengan berbicara tegas, "Carlow Richardson, aku
belum melihatmu berjalan ke depan."
Seorang pria kurus bercelana khaki berjalan ke depan dan memasukkan sekeping
uang. Jemaat menggumamkan pujian.
Pendeta Sykes lalu berkata, "Aku ingin kalian yang tak punya anak berkorban dan
memberi masing-masing sepuluh sen lagi. Lalu, jumlahnya akan cukup."
Perlahan-lahan, dengan susah payah, sepuluh dolar terkumpulkan. Pintu dibuka,
dan tiupan angin hangat memulihkan kami. Zeebo memimpin lagu On Jordan's Stormy
Banks, dan ibadah hari itu selesai.
Aku ingin tinggal dan menjelajah, tetapi Calpurnia mendorongku menyusuri lorong
di depannya. Di pintu gereja, ketika dia berhenti untuk mengobrol dengan Zeebo
dan keluarganya, aku dan Jem mengobrol dengan Pendeta Sykes. Aku ingin bertanya
banyak, tetapi memutuskan untuk menunggu dan meminta Calpurnia menjawab.
"Kami sungguh gembira kalian datang," kata Pendeta Sykes. "Ayahmu adalah teman
terbaik gereja ini."
Rasa ingin tahuku meledak, "Mengapa kalian mengumpulkan sumbangan untuk istri
Tom Robinson?" "Kamu tidak dengar alasannya?" tanya Pendeta Sykes. "Helen punya tiga anak kecil
dan dia tak bisa bekerja"
"Kenapa anak-anaknya tak dibawa saja, Pendeta?" tanyaku. Sudah biasa kaum Negro
pekerja ladang yang punya anak menaruh anak-anaknya di tempat teduh di mana saja
sementara orangtuanya bekerja biasanya bayi-bayi itu duduk di tempat teduh di
antara dua lajur kapas. Bayi yang belum bisa duduk diikat dengan gaya papoose
Indian di punggung ibunya, atau dibaringkan di kantong kapas sisa.
Pendeta Sykes ragu. "Sejujurnya, Miss Jean Louise, Helen kesulitan mendapat
kerja belakangan ini ... kalau sudah waktunya panen, kurasa Mr. Link Deas mau
menerimanya." "Kenapa sulit, Pak Pendeta?" Sebelum dia menjawab, kurasakan tangan Calpurnia di
bahuku. Saat aku merasakan tekanan tangannya, aku berkata, "Terima kasih telah
membolehkan kami bergabung." Jem meniruku, dan kami pun berjalan pulang.
"Cal, aku tahu Tom Robinson dipenjara karena dia berbuat buruk, tetapi kenapa
orang tak mau menerima Helen bekerja?" tanyaku.
Calpurnia, dengan baju voile biru tua dan topi silinder, berjalan di antara aku
dan Jem. "Karena perbuatan yang kata orang diperbuat Tom," katanya. "Orang-orang
tak ingin berurusan dengan keluarganya" '
"Memangnya apa yang dia lakukan, Cal?"
Calpurnia mendesah. "Mr. Bob Ewell tua menuduh Tom memerkosa anak gadisnya, lalu
polisi menahan Tom, lalu memenjarakan"
"Mr. Ewell?" Ingatanku tergugah. "Apakah dia sekeluarga dengan anak-anak Ewell
yang datang setiap hari pertama sekolah lalu pulang" Oh, kata Atticus, mereka
itu benar-benar sampah aku tak pernah mendengar Atticus membicarakan orang
seperti dia membicarakan keluarga Ewell. Katanya" "Ya, mereka orangnya."
"Yah, kalau semua orang di Maycomb tahu orang-orang macam apa keluarga Ewell
itu, mereka mestinya dengan senang hati menerima Helen bekerja ... memerkosa itu
apa, Cal?" "Itu harus kautanyakan sendiri pada Mr. Finch," katanya. "Dia bisa
menjelaskannya lebih baik dariku. Kalian lapar" Pak Pendeta lambat sekali
mengakhiri khotbah hari ini, biasanya dia tidak semembosankan itu."
"Dia mirip pendeta kami," kata Jem, "tetapi kenapa kalian menyanyikan himne
seperti itu?" "Sebaris-sebaris?" tanyanya.
"Kalian menyebutnya begitu?"
"Ya, kami menyebutnya lining, sebaris-sebaris. Kami sudah melakukannya sepanjang
ingatanku." Kata Jem, sepertinya mereka bisa menabung uang sumbangan selama setahun dan
membeli buku himne. Calpurnia tertawa. "Tak ada gunanya," katanya. "Mereka tidak bisa membaca."
"Tidak bisa baca?" tanyaku. "Mereka semua?"
"Benar," Calpurnia mengangguk. "Semuanya, kecuali empat orang di First Purchase
yang bisa membaca ... aku salah satunya."
"Kamu sekolah di mana, Cal?" tanya Jem.
"Tidak di mana-mana. Coba kuingat, siapa yang mengajariku alfabet" Miss Maudie
Atkinson, Miss Buford tua"
"Kamu setua itu?"
"Lebih tua daripada Mr. Finch malah." Calpurnia menyeringai. "Tapi aku tak tahu
berapa tahun terpautnya. Kami pernah mencoba mengingat-ingat, mencoba menghitung
berapa umurku aku bisa mengingat hanya beberapa tahun lebih banyak dari pada
dia. Jadi, aku tak jauh lebih tua, dengan mempertimbangkan bahwa ingatan lelaki
tak sebaik ingatan perempuan."
"Ulang tahunmu kapan, Cal?"
"Aku merayakannya pada hari Natal saja, lebih mudah diingataku tak punya hari
ulang tahun betulan."
"Tapi, Cal," protes Jem, "wajahmu tidak setua Atticus."
"Orang kulit hitam tidak terlihat menua secepat itu," katanya.
"Mungkin karena kalian tidak bisa baca. Cal,
kaukah yang mengajari Zeebo?"
"Ya, Mister Jem. Waktu dia masih kecil, sekolah pun belum ada. Tapi aku
membuatnya belajar."
Zeebo adalah putra tertua Calpurnia. Kalau dipikirkan, aku tentu tahu bahwa
Calpurnia sudah tua anak-anak Zeebo sudah cukup besar tetapi aku belum pernah
memikirkannya. "Kau mengajarinya dengan buku pelajaran membaca, seperti kami?" tanyaku.
"Tidak, aku menyuruhnya membaca satu halaman Alkitab setiap hari, dan ada buku
yang dipakai Miss Buford untuk mengajariku pasti kau tak tahu dari mana aku
mendapatkannya," katanya. Kami tidak tahu.
Calpurnia berkata, "Kakek Finch kalian yang memberikannya kepadaku."
"Kau pernah tinggal di Landing?" tanya Jem. "Kau belum pernah cerita."
"Memang iya, Mister Jem. Besar di sana, di antara Buford Place dan Landin1.
Setiap hari aku bekerja untuk keluarga Finch atau keluarga Buford, dan aku
pindah ke Maycomb waktu ayah dan ibumu menikah."
"Buku apa yang kau pakai Cal?" tanyaku.
"Commentaries dari Blackstone." Jem terkejut. "Maksudmu, kau mengajari Zeebo
dengan itu?" "Tentu saja, Mister Jem," Calpurnia meletakkan jarinya di bibir dengan malumalu. "Cuma dua buku itu yang kupunya. Kata kakekmu, Mr. Blackstone menulis
Bahasa Inggris yang baik-"
"Itu sebabnya bicaramu tidak seperti mereka," kata Jem.
"Mereka siapa?"
"Mereka, orang kulit hitam, Cal, tetapi kau bicara seperti mereka waktu di
gereja Aku tak pernah terpikir bahwa Calpurnia menjalani dua kehidupan yang sederhana.
Bayangan bahwa dia memiliki keberadaan yang terpisah dari rumah tangga kami
adalah hal baru, apalagi dia menguasai dua bahasa.
"Cal," tanyaku, "kenapa kau bicara bahasa nigger kepada kaummu kalau kau tahu
bahasa yang mereka pakai keliru?"
"Yah, pertama-tama, aku berkulit hitam"
"Tapi kan tidak berarti kau harus bicara seperti itu kalau kau tahu cara yang
benar," kata Jem. Calpurnia memiringkan topinya dan menggaruk kepala, lalu menekan topinya dengan
hati-hati menutupi telinganya, "Aku tidak tahu juga," katanya. "Misalkan kau dan
Scout berbicara dengan bahasa orang kulit hitam di rumah tak cocok, kan" Nah,
andai aku bicara bahasa kaum kulit putih di gereja, dan dengan tetanggaku"
Mereka pasti berpikir aku menyombongkan diri untuk mengalahkan keluarga Moses."
"Tapi, Cal, kau tahu yang lebih baik," kataku.
"Tidak selalu perlu menunjukkan semua yang kita ketahui. Itu bukan sikap
perempuan terhormat kedua, orang tak suka kalau ada orang lain yang lebih tahu
dari mereka. Itu membuat mereka sebal. Kita tak bisa mengubah mereka dengan
berbicara secara benar, mereka harus mau belajar sendiri, dan kalau mereka tak mau
belajar, tak ada yang bisa kita lakukan kecuali tutup mulut atau berbicara
dengan bahasa mereka."
"Cal, apa kapan-kapan aku boleh menemuimu?"
Dia memandangku. "Menemuiku, Sayang" Kau bertemu denganku setiap hari."
"Ke rumahmu," kataku. "Kapan-kapan seusai kerja" Atticus bisa menjemputku."
"Kapan pun kau mau," katanya. "Kami dengan senang hati menerimamu."
Kami berada di trotoar di samping Radley Place.
"Lihat di teras itu," kata Jem.
Aku menoleh ke Radley Place, menyangka akan melihat penghuni siluman rumah itu
sedang berjemur di ayunan. Ayunannya kosong.
"Maksudku, teras kita," kata Jem. Aku melihat ke ujung jalan. Gagah, tegap, dan
tegas, Bibi Alexandra sedang duduk di kursi goyang, gayanya seolah-olah dia
biasa duduk di sana setiap hari dalam hidupnya.
* Tiga Belas Taruh tasku di kamar tidur depan, Calpurnia," adalah kalimat pertama yang
diucapkan Bibi Alexandra. "Jean Louise, jangan garuk-garuk kepala," adalah
kalimat kedua yang diucapkannya.
Calpurnia mengangkat kopor berat Bibi dan membuka pintu. "Biar aku saja," kata
Jem, dan mengambilnya. Aku mendengar kopor berdebam di lantai kamar tidur. Bunyi
itu menimbulkan gema yang tertinggal.
"Bibi sedang berkunjung?" tanyaku. Kunjungan Bibi Alexandra dari Landing, yang
selalu bepergian dengan mewah, jarang terjadi. Dia memiliki Buick kotak berwarna
hijau cerah dan seorang sopir berkulit hitam, keduanya selalu berada dalam
keadaan rapi tetapi tampak tak sehat, tetapi hari ini keduanya tak terlihat.
"Ayahmu tidak memberi tahu?" tanyanya. Aku dan Jem mengeleng.
"Mungkin dia lupa. Dia belum pulang, ya?"
"Belum, Ma'am, biasanya dia baru pulang menjelang malam," kata Jem.
"Hmm, aku dan ayahmu memutuskan bahwa sudah waktunya aku tinggal bersama kalian
beberapa lama." "Beberapa lama" di Maycomb bisa berarti apa pun, dari tiga hari sampai tiga
puluh tahun. Aku dan Jem bertukar pandang.
"Jem sudah besar sekarang, kamu juga," katanya kepadaku. "Kami memutuskan bahwa
hal terbaik untukmu adalah memiliki perempuan lain yang bisa dijadikan teladan.
Tak akan lama lagi, Jean Louise, kamu akan tertarik pada pakaian dan laki-laki"


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku bisa saja melontarkan beberapa tanggapan: Cal juga perempuan, masih lama
lagi sebelum aku tertarik pada laki-laki, aku tak akan pernah tertarik pada
pakaian ... tetapi aku tetap diam.
"Paman Jimmy bagaimana?" tanya Jem. "Dia mau tinggal di sini juga?"
"Oh tidak, dia tetap di Landing. Dia akan mengurus tempat itu."
Begitu aku berkata, "Apa Bibi tak akan rindu padanya?" aku menyadari bahwa
pertanyaan itu tidak cocok. Baik Paman Jimmy ada ataupun tidak, tidak jauh
berbeda karena dia tak pernah berkata apa-apa. Bibi Alexandra mengabaikan
pertanyaanku. Aku tak bisa memikirkan hal lain untuk diucapkan padanya. Malah, aku tak pernah
bisa memikirkan bahan obrolan dengannya, dan aku duduk mengingat percakapan masa
lalu yang menyakitkan di antara kami: Apa kabar, Jean Louise" Baik, terima
kasih, Ma'am, apa kabar" Sangat baik, terima kasih; apa kegiatanmu sekarang"
Tidak ada. Kamu tak punya kegiatan apa-apa" Tidak, Ma'am. Tapi, tentu kamu punya
teman, kan" Ya, Ma'am. Nah, apa kegiatan kalian" Tidak ada.
Jelas Bibi menganggapku sangat membosankan karena aku pernah mendengarnya
menyebutku lambat saat berbicara dengan Atticus.
Ada cerita di balik semua itu, tetapi saat itu aku malas mengoreknya. Sekarang
hari Minggu, dan Bibi Alexandra mudah marah pada Hari Tuhan. Kupikir karena
korset Minggunya. Bibi tidak gemuk, tetapi gempal, dan dia memilih pakaian
tertutup yang mengangkat dadanya tinggi-tinggi, menggencet pinggangnya,
menonjolkan pantatnya, dan berhasil mengesankan bahwa Bibi Alexandra pernah
memiliki bentuk tubuh seperti jam pasir. Dari sudut mana pun, dia terlihat
tangguh. Sisa sore itu berlalu dalam kemuraman mengambang yang terasa ketika kerabat
berkunjung, tetapi langsung buyar ketika kami mendengar suara mobil memasuki
garasi. Itu Atticus, pulang dari Montgomery. Jem, melupakan wibawanya, berlari
bersamaku untuk menyambutnya. Jem merebut tas dan kopernya, aku melompat ke
dalam pelukannya, merasakan kecupan sekilasnya yang kering dan berkata, "Kau
bawakan buku untukku" Kau tahu Bibi di sini?"
Atticus menjawab kedua pertanyaan itu dengan ya. "Bagaimana pendapatmu kalau dia
tinggal bersama kita?"
Aku berbohong dengan mengatakan, aku akan suka sekali, tetapi seseorang harus
berbohong dalam keadaan tertentu dan harus selalu berbohong kalau tak bisa
berbuat lain. "Kami merasa sudah saatnya kalian membutuhkan yah, masalahnya begini, Scout,"
kata Atticus. "Bibimu membantuku dan juga membantu kalian. Aku tak bisa tinggal
di sini seharian bersama kalian, dan musim panas ini akan sangat panas."
"Ya, Sir," kataku, tak memahami satu pun perkataannya. Namun, aku mendapat
firasat bahwa kemunculan Bibi Alexandra di rumah ini lebih disebabkan oleh
kemauannya sendiri daripada kemauan Atticus. Bibi punya cara sendiri untuk
mencanangkan Apa Yang Terbaik Bagi Keluarga Kita, dan kukira kedatangannya untuk
tinggal bersama kami termasuk ke dalam kategori tersebut.
Maycomb menerimanya dengan baik. Miss Maudie Atkinson membuat kue Lane yang
mengandung begitu banyak rum sehingga aku jadi sedikit mabuk; Miss Stephanie
Crawford mengobrol lama dengan Bibi Alexandra, sebagian besar dari obrolan itu
diisi oleh Miss Stephanie yang menggeleng-gelengkan kepala dan berkata "Ya, ya,
ya." Miss Rachel yang tinggal di sebelah mengundang Bibi untuk minum kopi pada
sore hari, dan Mr. Nathan Radley sampai-sampai masuk ke halaman depan dan
berkata dia senang bertemu Bibi Alexandra.
Ketika Bibi Alexandra sudah mapan bersama kami dan hidup berjalan sebagaimana
biasanya, rasanya seolah-olah Bibi Alexandra memang sejak dulu tinggal bersama
kami. Penganan yang dibuatnya untuk Masyarakat Misionaris menambah reputasinya
sebagai nyonya rumah (dia tidak mengizinkan Calpurnia membuat penganan yang
diperlukan untuk mengganjal perut anggota komunitas itu saat mendengarkan laporan panjang
tentang kegiatan mereka); dia bergabung dan menjadi Sekretaris Klub Amanuensis
Maycomb. Bagi semua pihak yang hadir dan berpartisipasi dalam kehidupan county,
Bibi Alexandra adalah salah satu orang terakhir dari kaumnya: dia memiliki
perahu-sungai, tata krama sekolah internat; menjunjung tinggi nilai moral apa
pun yang mendatanginya; dia merupakan seseorang yang istimewa di mata mereka;
dia biang gosip yang tak tersembuhkan. Ketika Bibi Alexandra bersekolah, sifat
meragukan diri tidak ada dalam buku teks mana pun, jadi dia tidak tahu makna
kata itu. Dia tak pernah bosan, dan diberi kesempatan sedikit saja, dia akan
mengerahkan kekuasaannya: dia akan mengatur, menasihati, mewaspadai, dan
memperingatkan. Dia tak pernah melepaskan kesempatan untuk menunjukkan kelemahan keluarga lain
untuk menunjukkan keunggulan keluarga kami, sebuah kebiasaan yang dianggap lucu
oleh Jem, bukan dibencinya, "Bibi lebih baik menjaga cara bicaranya dia
menyinggung sebagian besar orang di Maycomb dan mereka masih saudara dengan
kita." Bibi Alexandra, saat menggarisbawahi hikmah peristiwa bunuh diri Sam
Merriweather muda, berkata bahwa kejadian itu disebabkan oleh sifat turunan yang
mengerikan dalam keluarga tersebut. Jika seorang gadis enam belas tahun
cekikikan dalam paduan suara, Bibi akan berkata, "Itu menunjukkan bahwa semua
perempuan keluarga Penfield berkepala kosong." Agaknya, semua orang di Maycomb
memiliki Sifat Turunan: Bakat Mabuk, Bakat Berjudi, Bakat Jahat, Bakat Aneh.
Pernah, ketika Bibi meyakinkan kami bahwa kecenderungan Miss Stephanie Crawford
mencampuri urusan orang lain itu sifat keturunan, Atticus berkata, "Dik, kalau
kita renungkan sejenak, generasi kita adalah generasi pertama dalam keluarga
Finch yang tidak menikah dengan sepupunya. Apakah kau mau bilang, keluarga Finch
memiliki Bakat Inses?"
Bibi Alexandra mengatakan tidak, itulah yang menyebabkan kami memiliki tangan
dan kaki yang kecil. Aku tak pernah bisa memahami pemikiran Bibi soal keturunan. Entah di mana, aku
mendapat kesan bahwa Orang Baik-Baik adalah orang yang melakukan yang terbaik
dengan pengetahuan yang mereka miliki, tetapi Bibi Alexandra berpendapat, yang
diungkapkan secara tidak langsung, bahwa semakin lama sebuah keluarga mendiami
satu petak tanah, semakin baik keluarga itu.
"Itu berarti keluarga Ewell adalah orang baik-baik," kata Jem. Keluarga besar
Burris Ewell dan saudara-saudaranya sudah tiga generasi tinggal di petak tanah
yang sama di belakang tempat pembuangan sampah Maycomb, dan hidup dari uang
santunan county. Namun, teori Bibi Alexandra ada benarnya juga. Maycomb adalah kota yang sudah
tua, letaknya dua puluh mil sebelah timur Finch's Landing, termasuk pedalaman
untuk ukuran kota setua itu.
Tetapi, Maycomb bisa saja terletak lebih dekat dengan sungai, kalau bukan garagara kebodohan seseorang bernama Sinkfield, yang menurut sejarah mengelola
penginapan di persimpangan dua jalan tikus, satu-satunya kedai di wilayah itu.
Sinkfield, bukan patriot, menyediakan dan memasok amunisi untuk kaum Indian dan
kaum pendatang, tanpa tahu atau peduli apakah dia bagian dari Wilayah Alabama
atau Indian suku Creek, asalkan bisnisnya bagus. Bisnisnya telah sukses ketika
Gubernur William Wyatt Bibb, dengan niat mempromosikan ketenteraman county yang
baru tercipta, mengirimkan seregu penyurvei untuk menemukan titik pusat county
dan mendirikan ibu kota pemerintahan di situ. Para penyurvei ini, tamu
Sinkfield, memberi tahu si tuan rumah bahwa dia berada dalam perbatasan
teritorial Maycomb County, dan menunjukkan tempat yang memungkinkan untuk
membangun ibu kota county. Andai Sinkfield tidak bertindak berani untuk
menyelamatkan bisnisnya, Maycomb mungkin akan didirikan di tengah Rawa-Rawa
Winston, tempat yang sama sekali tak menarik. Alih-alih, Maycomb tumbuh dan
membentang dari pusatnya, Kedai Sinkfield, karena pada suatu malam, Sinkfield
membuat tamu-tamunya mabuk dan rabun, lalu memengaruhi mereka untuk mengeluarkan
peta dan gambarnya, memotong sedikit di sini, menambah sedikit di sana, dan
menyesuaikan pusat county agar memenuhi persyaratan yang diinginkannya. Dia
mengusir mereka keesokan harinya, dipersenjatai peta dan lima quart rum dalam
tas pelana masing-masing dua dan
satu untuk diberikan pada Gubernur.
Karena alasan utama keberadaannya adalah untuk pemerintahan, Maycomb selalu
bersih dan tertata, tidak seperti sebagian besar Kota Alabama yang seukurannya.
Pada mulanya, gedung-gedung-nya kukuh, gedung pengadilannya mengagumkan,
jalannya sangat lebar. Jumlah kaum profesional yang bekerja di Maycomb cukup
tinggi: orang datang ke sana untuk mencabut gigi, memperbaiki gerobak,
mencurahkan isi hatinya, menabung, menyelamatkan jiwa, mengobati keledai.
Tetapi, kebijakan tindakan Sinkfield masih dipertanyakan. Dia menempatkan kota
muda itu terlalu jauh dari satu-satunya jalur transportasi umum pada masa itu
perahu sungai dan diperlukan dua hari untuk pergi dari ujung utara county ke
Maycomb untuk berbelanja barang-barang toko. Akibatnya, ukuran kota itu tak
berubah selama seratus tahun, sebuah pulau dalam anyaman lautan ladang kapas dan
hutan produksi. Meskipun keberadaan Maycomb tak diacuhkan dalam Perang Saudara, kekuasaan
Rekonstruksi dan kehancuran ekonomi memaksa kota itu tumbuh. Tumbuh ke dalam.
Begitu jarang orang baru berdiam di sana, keluarga-keluarga yang sama menikah
dengan keluarga-keluarga yang sama sehingga semua warganya tampak agak-agak
mirip. Kadang-kadang, seseorang akan kembali dari Montgomery atau Mobile bersama
orang luar, tetapi hasil pernikahan itu hanya menimbulkan riak dalam arus tenang
kemiripan keluarga. Keadaannya kurang-lebih sama saat aku kanak-kanak.
Memang ada sistem kasta di Maycomb, tetapi menurut pikiranku cara kerjanya
begini: warga tua, generasi yang sudah bertahun-tahun hidup berdampingan, sudah
bisa saling menebak: mereka sudah terbiasa dengan sikap, nuansa karakter, bahkan
gerakan, karena telah diulang dalam setiap generasi dan dipoles oleh waktu.
Jadi, peribahasa Tak Ada Crawford yang Mengurus Urusannya Sendiri, Satu dari
Tiga Merriwater Mengerikan, Kebenaran Tidak Bisa Ditemukan dalam Keluarga
Delafields, Semua Orang Buford Berjalan Seperti Itu, menjadi petunjuk dalam
kehidupan sehari-hari; jangan pernah menerima cek dari seorang Delafield tanpa
menelepon diam-diam ke bank. Bahu Miss Maudie Atkinson bungkuk karena dia
seorang Buford; jika Mrs. Grace
Merriweather menghirup gin dari botol Lydia E. Pinkham, itu tidak aneh ibunya
melakukan hal yang sama. Bibi Alexandra cocok dengan dunia Maycomb bagaikan sarung tangan yang pas benar
di tangan, tetapi tidak dengan duniaku dan Jem. Aku begitu sering terheran-heran
memikirkan bagaimana mungkin dia bersaudara dengan Atticus dan Paman Jack,
sampai-sampai aku membayangkan kisah-kisah tentang orang tertukar dan akar
beracun yang pernah Jem kisahkan pada masa lalu.
Ini adalah spekulasi asal-asalan yang kubuat selama bulan pertama kunjungannya,
karena dia jarang berbicara kepada Jem atau aku, dan kami hanya bertemu
dengannya pada waktu makan dan malam-malam sebelum kami tidur. Waktu itu musim
panas dan kami sering bermain di luar. Tentu, pada beberapa sore hari ketika aku
berlari masuk untuk minum, aku mendapati ruang tamu dikuasai para perempuan
terhormat Maycomb, menghirup minuman, berbisik, mengipas-ngipas dengan kipas
indah, dan aku pun dipanggil, "Jean Louise, mengobrollah bersama ibu-ibu ini."
Ketika aku muncul di ambang pintu, Bibi tampak seperti menyesali permintaannya;
biasanya tubuhku bernoda lumpur atau tertutupi pasir.
"Mengobrollah dengan Sepupu Lily-mu," katanya suatu sore, ketika dia
memerangkapku di ruang tamu.
"Siapa?" kataku.
"Sepupu Lily Brooke-mu," kata Bibi Alexandra.
"Dia sepupu kita" Aku baru tahu." Bibi Alexandra berhasil menyunggingkan
senyuman lembut yang mampu menyampaikan permintaan maaf kepada Sepupu Lily
sekaligus teguran tegas kepadaku. Ketika Sepupu Lily Brooke pergi, aku tahu aku
akan dimarahi. Sungguh menyedihkan bahwa ayahku lupa memberitahuku tentang Keluarga Finch, atau
menanamkan rasa bangga dalam diri anak-anaknya. Bibi Alexandra memanggil Jem,
yang duduk curiga di sofa di sampingku. Dia meninggalkan ruangan dan kembali
dengan membawa buku bersampul ungu dengan judul Meditations of Joshua S. St
Ctair yang ditulis dengan warna emas.
"Sepupumu menulis buku ini," kata Bibi Alexandra. "Dia tokoh yang indah."
Jem memeriksa buku kecil ini. "Ini Sepupu Joshua yang lama dipenjara?"
Bibi Alexandra berkata, "Kamu tahu dari mana?"
"Kata Atticus, dia menjadi gila saat belajar di Universitas. Katanya, dia
mencoba menembak presiden. Kata Atticus, Sepupu Joshua mengaku sebagai petugas
pemeriksa gorong-gorong yang sedang mencoba menembak dengan pistol flintlock
tua, tetapi pistol itu meledak di tangannya. Kata Atticus, keluarga besar kita
harus mengeluarkan uang lima ratus dolar untuk melepaskannya dari masalah itu"
Bibi Alexandra berdiri kaku seperti bangau. "Cukup," katanya. "Nanti kita
bicarakan lagi hal ini." Sebelum waktu tidur tiba, aku berada di kamar Jem,
mencoba meminjam buku, ketika Atticus mengetuk dan masuk. Dia duduk di tempat
tidur Jem, memandang kami dengan serius, lalu menyeringai.
"Eh er," katanya. Sebelum mengawali ceramahnya, dia berdeham, dan kupikir
pastilah dia mulai menua, tetapi tampangnya sama saja. "Aku tak tahu cara
mengatakan ini," dia memulai.
"Ya, katakan saja," kata Jem. "Kami melakukan sesuatu?"
Ayah kami benar-benar gelisah. "Tidak, aku hanya ingin menjelaskan kepada kalian
bahwa Bibi Alexandra-mu memintaku .... Nak, kau tahu bahwa kau seorang Finch,
bukan?" "Setahuku begitu." Jem mendelik. Suaranya meninggi tak terkendali, "Atticus, ada
apa?" Atticus menumpangkan kaki dan menyilangkan
tangannya. "Aku sedang mencoba menjelaskan fakta kehidupan."
Rasa kesal Jem meningkat. "Aku tahu soal itu," katanya.
Atticus tiba-tiba menjadi serius. Dalam suara pengacaranya, tanpa mengubah nada,
dia berkata, "Bibimu memintaku untuk mencoba menekankan padamu dan Jean Louise
bahwa kalian bukanlah manusia rata-rata, bahwa kalian adalah hasil didikan
terhormat beberapa generasi" Atticus berhenti, menatapku yang sedang mencaricari serangga yang bersembunyi di sela-sela kakiku.
"Didikan terhormat," lanjutnya, ketika aku sudah menemukannya dan menggaruk
bekas gigitannya, "dan bahwa kau harus berusaha menjaga nama keluargamu" Atticus
gigih menasihati kami meskipun kami tidak memerhatikannya, "Dia memintaku
memberi tahu kalian bahwa kalian harus mencoba bersikap seperti lelaki dan
perempuan terhormat sebagaimana semestinya. Dia ingin membicarakan tentang
keluarga kita dengan kalian dan apa arti keluarga kita bagi Maycomb County
selama ini, supaya kalian punya gambaran tentang siapa diri kalian, supaya
kalian tergerak untuk bersikap sesuai dengan itu," dia menyimpulkannya.
Tertegun, aku dan Jem bertukar pandang, lalu menatap Atticus, yang tampak sibuk
memegang-megang kerahnya. Kami tidak mengatakan apa-apa padanya.
Aku mengambil sisir dari meja Jem dan menggesekkan geriginya pada tepi meja.
"Jangan ribut," kata Atticus. Kegalakannya menyengatku. Aku mengangkat sisir itu
dan membantingnya. Entah mengapa, aku mulai menangis, dan aku tak bisa berhenti.
Orang ini bukan ayahku. Ayahku tak pernah berpikiran seperti itu. Ayahku tak
pernah berbicara seperti itu. Bibi Alexandra menyuruhnya, entah bagaimana
caranya. Melalui air mataku, kulihat Jem merasakan hal yang sama denganku, dia
menolehkan kepalanya ke satu sisi.
Tak ada tempat yang bisa kutuju, tetapi aku berbalik dan berhadapan langsung
dengan rompi Atticus. Kubenamkan kepalaku di dadanya dan aku mendengarkan suarasuara samar dalam tubuhnya dari balik kain biru muda itu: detak jamnya, gemeresik kemejanya yang terkanji, desir lembut napasnya.
"Perutmu keruyukan," kataku. "Aku tahu," katanya. "Sebaiknya kau minum soda."
"Baiklah." "Atticus, apa soal bersikap dan macam-macam yang lain itu akan membuat situasi
berubah" Maksudku, apakah kau?"
Kurasakan tangannya di belakang kepalaku. "Kau tak usah mengkhawatirkan apaapa," katanya. "Ini bukan waktunya untuk khawatir."
Saat mendengar kalimat itu, aku tahu dia telah kembali kepada kami. Darah dalam
kakiku mulai mengalir kembali, dan aku mendongak. "Kau benar-benar ingin kami
melakukan semua itu" Aku tak bisa
mengingat segala sesuatu yang mesti dilakukan keluarga Finch ...."
"Aku tak ingin kau mengingatnya. Lupakan saja."
Dia berjalan ke pintu dan keluar dari kamar Jem, menutup pintunya. Dia hampir
membantingnya, tetapi menahannya pada saat terakhir dan menutupnya perlahan.
Selagi aku dan Jem menatap, pintu itu membuka lagi dan Atticus melongokkan
kepalanya. Alisnya terangkat, kacamatanya melorot. "Aku jadi makin mirip dengan
Sepupu Joshua, ya" Menurut kalian, apakah nantinya aku akan membuang lima ratus
dolar dari tabungan keluarga kita?"
Aku tahu yang sedang dia coba lakukan, tetapi Atticus hanya seorang lelaki.
Seorang perempuan diperlukan untuk melakukan pekerjaan seperti itu.
Empat Belas eskipun tidak lagi mendengar berbagai hal tentang keluarga Finch dari Bibi
Alexandra, kami engar banyak hal dari warga kota. Setiap Sab-ipersenjatai dengan
koin lima sen, ketika Jem mengizinkanku mengikutinya (sekarang dia benar-benar
alergi dengan kehadiranku kalau kami di tempat umum), kami berkelit menembus
kerumunan orang yang berkeringat di trotoar dan kadang mendengar "Itu anak

To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anaknya" atau "Mereka anggota keluarga Finch". Saat berbalik untuk menghadapi
pencela kami, kami hanya akan melihat dua orang petani yang sedang memeriksa
kantong enema di jendela Toko Mayco. Atau dua wanita desa bertubuh gempal yang
mengenakan topi jerami dan duduk di gerobak Hoover.
"Mereka akan dibiarkan berkeliaran dan memerkosa seluruh penduduk desa kalau
kita bergantung pada pemimpin county ini," adalah salah satu komentar asalasalan yang kami dapatkan dari seorang pria kurus ketika dia berpapasan dengan
kami. Aku langsung ingat bahwa aku harus menanyakan sesuatu kepada Atticus.
"Memerkosa itu apa?" tanyaku malam itu. Atticus menatapku dari balik korannya.
Dia sedang duduk di kursinya yang terletak di samping jendela. Seiring
bertambahnya usia kami, aku dan Jem menganggap bahwa kami sudah cukup murah hati
telah memberikan Atticus waktu tiga puluh menit untuk menyendiri setelah makan
malam. Dia menghela napas dan berkata bahwa memerkosa adalah pelecehan badaniah
terhadap seorang perempuan dengan pemaksaan dan tanpa persetujuan.
"Yah, kalau artinya cuma itu, kenapa Calpurnia tak bisa menjelaskan ketika aku
menanyakan artinya pada dia?"
Atticus tampak merenung. "Kau bilang apa tadi?"
"Aku bertanya pada Calpurnia sepulang dari gereja tempo hari apa artinya, dan
dia bilang aku harus bertanya padamu tetapi aku lupa, jadi sekarang aku
menanyakannya." Atticus melipat korannya dan meletakkannya di pangkuan. "Coba ulangi," katanya.
Aku menceritakan padanya secara terperinci tentang perjalanan kami ke gereja
bersama Calpurnia. Atticus tampak menikmatinya, tetapi Bibi Alexandra, yang
sedang duduk di pojok sambil menjahit tanpa bersuara, meletakkan sulamannya dan
menatap kami. "Kalian pergi ke gereja Calpurnia hari Minggu
itu?" Kata Jem, "Ya, Ma'am, dia mengajak kami." Aku teringat akan sesuatu. "Ya, Ma'am,
dan dia berjanji aku boleh mampir ke rumahnya suatu
sore. Atticus, aku mau pergi Minggu depan, kalau boleh, ya" Kata Calpurnia, dia
mau menjemputku kalau kau sudah pergi."
"Tidak boleh." Bibi Alexandra yang mengucapkannya. Aku menoleh, terkejut, lalu
kembali menatap Atticus, cukup cepat untuk menyaksikan lirikan kilatnya ke arah
Bibi Alexandra, tetapi sudah terlambat. Aku menukas, "Aku tidak bicara pada
Bibi!" Untuk seorang pria berbadan besar, Atticus dapat bangkit dari kursi lebih cepat
daripada siapa pun yang kukenal. Dia berdiri. "Minta maaf pada bibimu," katanya.
"Aku tidak bertanya padanya, aku bertanya padamu"
Atticus menoleh dan menekanku pada dinding dengan matanya yang dalam. Suaranya
terdengar mengerikan, "Minta maaf dulu pada Bibi."
"Aku minta maaf, Bibi," gumamku.
"Nah," katanya. "Supaya jelas: kaupatuhi perkataan Calpurnia, kaupatuhi
perkataanku, dan selama bibimu ada di rumah ini, kau juga harus mematuhi
perkataannya. Mengerti?"
Aku mengerti, merenung sejenak, dan menyimpulkan bahwa satu-satunya cara aku
bisa melarikan diri dengan mempertahankan sedikit harga diriku adalah pergi ke
kamar mandi, dan diam di sana cukup lama agar mereka berpikir aku harus buang
air. Saat kembali ke ruangan itu, aku berlama-lama tinggal di ruang tamu untuk
mendengarkan diskusi sengit yang sedang berlangsung di ruang duduk.
Melalui pintu, aku melihat Jem duduk di sofa dengan majalah football menutupi
wajahnya. Kepalanya bergerak-gerak seolah-olah halaman majalahnya berisi siaran
langsung pertandingan tenis.
"... kau harus melakukan sesuatu tentang dia," kata Bibi. "Kau sudah membiarkan
ini berlangsung terlalu lama, Atticus, terlalu lama."
"Aku tak melihat apa salahnya mengizinkan dia ke sana. Cal akan menjaganya di
sana, seperti dia menjaganya di sini."
Siapa "dia" yang sedang mereka bicarakan" Hatiku melesak: aku. Aku merasa
seperti berada dalam penjara berdinding kapas merah muda berkanji, dan untuk
kedua kalinya dalam hidupku, aku mempertimbangkan untuk kabur. Secepatnya.
"Atticus, tak apa-apa berhati lunak, kau orang yang lunak, tetapi kau punya
putri yang harus dipikirkan. Putri yang sedang tumbuh."
"Itu yang sedang kupikirkan."
"Dan jangan mencoba menghindar. Kau harus menghadapinya cepat atau lambat, dan
tak ada salahnya kalau malam ini. Kita sudah tak butuh dia lagi sekarang."
Atticus berkata dengan datar, "Alexandra, Calpurnia tak akan meninggalkan rumah
ini sampai dia sendiri yang menginginkannya. Kau mungkin berpikir lain, tetapi
aku tak mungkin bisa bertahan selama ini tanpa dia. Dia anggota setia keluarga
ini dan kau harus menerima keadaan ini sebagaimana adanya. Lagi pula, Dik, aku
tak mau kau membanting tulang untuk kami tak ada alasan untuk melakukan itu.
Kita masih membutuhkan Cal seperti biasanya."
"Tetapi, Atticus"
"Lagi pula, aku merasa tidak ada sedikit pun yang salah pada anak-anak karena
Cal yang membesarkan mereka. Malah, dalam beberapa hal, dia bersikap keras pada
mereka, lebih dari layaknya seorang ibu ... dia tak pernah membiarkan mereka lolos
kalau mereka memang bersalah, dia tak pernah memanjakan mereka seperti
kebanyakan pengasuh berkulit hitam. Dia mencoba membesarkan mereka sesuai dengan
pengetahuannya, dan pengetahuan Cal cukup baik dan satu hal lagi, anak-anak
mencintainya." Aku bernapas lagi. Bukan aku, hanya Calpurnia yang mereka bicarakan. Kondisiku
pulih, aku memasuki ruang keluarga. Atticus sudah kembali terkubur di balik
korannya dan Bibi Alexandra menyibukkan diri dengan sulamannya. Tung, tung,
tung, jarumnya menembus lingkaran penahan kain. Dia berhenti dan menarik kainnya
lebih tegang: tung-tung-tung. Jelas terlihat bahwa dia sangat kesal.
Jem bangkit dan berjalan melintasi karpet. Dia mengisyaratkanku untuk
mengikutinya. Dia menuntunku ke kamarnya dan menutup pintu. Wajahnya serius.
"Mereka bertengkar, Scout." Aku dan Jem sering bertengkar akhir-akhir ini,
tetapi aku belum pernah mendengar atau melihat siapa pun bertengkar dengan
Atticus. Itu bukan pemandangan yang menyenangkan.
"Scout, cobalah untuk tidak membuat Bibi marah, mengerti?"
Komentar Atticus masih membuat jengkel sehingga aku tak menangkap nada memohon
dalam pertanyaan Jem. Amarahku naik lagi. "Kau mau menyuruh-nyuruh aku?"
"Bukan, masalahnya Atticus sedang banyak pikiran sekarang, kita tak perlu
menambah kekhawatirannya."
"Apa misalnya?" Atticus tidak kelihatan punya sesuatu yang khusus dalam
benaknya. "Kasus Tom Robinson yang mencemaskannya setengah mati"
Menurutku, Atticus tidak khawatir tentang apa pun. Lagi pula, kasus itu tak
pernah mengganggu kami kecuali sekali seminggu dan itu pun tidak lama.
"Itu karena kau tak bisa menyimpan sesuatu dalam pikiranmu dalam waktu yang
lama," kata Jem. "Orang dewasa berbeda, kami"
Sikap pongahnya yang membuatku gila akhir-akhir ini jadi tak tertahankan. Dia
tak mau melakukan apa-apa, kecuali membaca dan menyendiri. Tapi, semua yang
dibacanya diceritakan kepadaku, perbedaannya: dulu, karena menurutnya aku akan
suka; sekarang, untuk memberiku panduan dan pelajaran.
"Ya Tuhan, Jem! Kau pikir siapa dirimu?"
"Aku serius, Scout, kalau kau membuat Bibi kesal, aku aku akan memukul
pantatmu." Ucapannya itu membuatku naik pitam. "Dasar morfodit, kubunuh kau!" Karena dia
sedang duduk di tempat tidur, dengan mudah aku menjambak rambut depannya dan mendaratkan tinju
di mulutnya. Dia menamparku dan aku mencoba meninjunya dengan tangan kiriku,
tetapi tonjokan di perutku membuatku terjengkang di lantai. Pukulan itu hampir
membuatku sulit bernapas, tetapi tak jadi soal karena aku tahu dia membalas, dia
masih membalasku. Kami masih setara.
"Sekarang, sudah tidak bisa sombong lagi, kan!" teriakku, menyerbu lagi. Dia
masih di tempat tidur dan kuda-kudaku kurang sempurna. Jadi, kuhempaskan diriku
padanya sekeras mungkin, memukul, menjambak, mencubit, mencakar. Adu tinju itu
dengan cepat berubah menjadi perkelahian. Kami masih bergulat ketika Atticus
memisahkan kami. "Cukup," katanya. "Kalian berdua tidur sekarang."
"Cuh!" kataku kepada Jem. Dia disuruh tidur pada waktu tidurku.
"Siapa yang memulai?" tanya Atticus dengan letih.
"Jem. Dia memerintah-merintah aku. Aku tak perlu menuruti dia, kan?"
Atticus tersenyum. "Kita selesaikan begini saja: kau menuruti Jem kalau dia bisa
memaksamu. Adil?" Bibi Alexandra ada di sana tetapi tidak berkata apa-apa, dan ketika dia kembali
ke ruang tamu bersama Atticus, kami mendengarnya berkata, "... baru salah satu
yang ingin kusampaikan padamu," frasa yang kembali mempersatukan aku dan Jem.
Kamar kami terhubung; sewaktu aku menutup pintu penghubungnya, Jem berkata,
"Malam, Scout." "Malam," gumamku seraya melintasi kamar untuk menyalakan lampu.
Ketika melewati tempat tidur, aku menginjak sesuatu yang hangat, kenyal, dan
cukup mulus. Tidak terlalu mirip karet keras, dan aku punya firasat bahwa benda
itu hidup. Aku juga mendengarnya bergerak.
Aku menyalakan lampu dan melihat lantai di samping tempat tidur. Apa pun yang
kuinjak tadi sudah tak ada. Aku mengetuk pintu Jem. "Apa," katanya.
"Ular permukaannya seperti apa?"
"Agak kasar. Dingin. Berdebu. Kenapa?"
"Sepertinya ada seekor ular di kolong tempat tidurku. Tolong lihat ke sana."
"Kau bercanda?" Jem membuka pintu. Dia mengenakan celana piama. Aku melihat,
dengan rasa puas, bahwa bekas tinjuku masih terlihat di mulutnya. Ketika dia
melihat bahwa aku bersungguh-sungguh dengan perkataanku, dia berkata, "Kalau kau
mengira aku akan meletakkan wajahku di lantai untuk mencari ular, kau pasti
punya gagasan lain. Tunggu sebentar."
Dia pergi ke dapur dan mengambil sapu. "Sebaiknya kau naik ke tempat tidur,"
katanya. "Menurutmu, apa benar ular?" tanyaku. Ini peristiwa langka. Rumah-rumah kami tak
punya ruang bawah tanah; dibangun pada blok-blok batu beberapa kaki di atas
tanah, dan masuknya reptil bukannya tak pernah terjadi, tetapi tidak lazim.
Dalih Miss Rachel Haverford untuk minum segelas wiski tanpa es setiap pagi adalah bahwa dia
belum sembuh dari rasa takutnya ketika menemukan seekor ular derik melingkar di
lemari pakaian di kamar tidurnya, di atas cuciannya, ketika dia hendak
menggantungkan baju santainya.
Jem mengulurkan sapu ke kolong tempat tidur. Aku melihat ke kaki tempat tidur
untuk berjaga kalau-kalau ularnya keluar. Tak ada. Jem menyapu lebih dalam.
"Ular bisa mendengus?"
"Itu bukan ular," kata Jem. "Itu orang." Akhirnya, sesuatu yang berwarna cokelat
dekil melesat dari kolong tempat tidur. Jem mengangkat sapu dan memukul, meleset
seinci dari kepala Dili yang tiba-tiba muncul.
"Tuhan yang Mahakuasa." Ucap Jem khusyuk. Kami menyaksikan tubuh Dili muncul
sedikit demi sedikit. Tempatnya sempit. Dia berdiri dan melonggarkan bahunya,
memutar pergelangan kakinya, menggosok tengkuknya. Setelah aliran darahnya
kembali lancar, dia berkata, "Hei."
Jem menyebut Tuhan lagi. Aku tak mampu berkata-kata.
"Aku lapar sekali," kata Dill. "Ada makanan?" Seperti dalam mimpi, aku ke dapur.
Aku membawakannya susu dan setengah loyang roti jagung yang tersisa dari makan
malam. Dili melahapnya, mengunyah dengan gigi depan, seperti kebiasaannya.
Akhirnya, aku bisa kembali bersuara. "Bagaimana kau bisa sampai di sini?"
Ceritanya sungguh ruwet. Segar kembali karena kenyang, Dili menceritakan kisah
berikut: setelah dirantai dan ditinggalkan sekarat di ruang bawah tanah (rumah-rumah di Meridian punya ruang bawah tanah) oleh ayah
barunya yang tak menyukainya dan diam-diam bertahan hidup dengan kacang polong
mentah dari petani lewat yang mendengar seruan minta tolong (orang baik ini
menyelipkan seikat kacang setangkai demi setangkai melalui ventilasi), Dili
berupaya membebaskan diri dengan menarik-narik rantai dari dinding. Dengan
tangan masih terbelenggu, dia berjalan tanpa arah sejauh dua mil dari Meridian,
tempat dia menemukan pertunjukan hewan kecil-kecilan dan di sana dia mencari
uang dengan memandikan unta. Dia mengikuti rombongan pertunjukan ini ke seluruh
Mississippi hingga kepekaan akan arahnya yang tanpa cacat menyatakan dia berada
di Abbott County, Alabama, di seberang sungai dari Maycomb. Dia berjalan menuju
ke rumah kami. "Bagaimana kau bisa sampai di sini?" tanya Jem. Dia mengambil tiga belas dolar
dari tas ibunya, naik kereta pukul 09.00 dari Meridian dan turun di Simpang
Maycomb. Dia berjalan sejauh sepuluh atau sebelas dari empat belas mil jarak ke
Maycomb, berjalan mengarungi semak karena dia khawatir kalau-kalau pihak
berwajib sedang mencarinya, dan menumpang sepanjang sisa perjalanannya dengan
bergelantung di belakang gerobak kapas. Dia sudah dua jam bersembunyi di bawah
tempat tidur, menurutnya; dia mendengar kami di ruang makan, dan denting garpu pada
piring hampir membuatnya gila. Dia menyangka aku dan Jem tak akan pernah tidur;
dia mempertimbangkan untuk keluar dan membantuku memukul Jem, karena Jem sudah
jauh lebih tinggi, tetapi dia tahu Mr. Finch akan segera melerai, jadi pikirnya
lebih baik dia tetap di tempatnya. Dia lelah, sangat kotor, dan betah.
"Mereka pasti tak tahu kau di sini," kata Jem. "Kami pasti tahu kalau mereka
mencarimu "Sepertinya mereka masih mencari-cari di semua bioskop di Meridian." Dili
menyeringai. "Kau harus memberi tahu ibumu ke mana kau pergi," kata Jem. "Kau harus memberi
tahu ibumu kau ada di sini ....."
Mata Dili melirik sekilas kepada Jem, dan Jem memandangi lantai. Lalu, dia
bangkit dan melanggar aturan yang tersisa dari masa kecil kami. Dia keluar dari
kamar dan menuju ruang tamu. "Atticus," suaranya terdengar jauh, "bisa ke sini
sebentar, Sir?" Di balik kotoran yang dibasahi oleh keringat, wajah Dili memucat. Aku merasa
mual. Atticus berada di ambang pintu.
Dia masuk ke kamar dan berdiri sambil mengantongi tangan, memandangi Dili.
Akhirnya, aku bisa bersuara, "Tak apa-apa, Dili. Kalau dia ingin kau tahu
sesuatu, dia akan mengatakannya."
Dili menoleh padaku. "Maksudku, tak apa-apa," kataku. "Kau tahu dia tak akan
memarahimu, kau tahu kau tidak perlu takut pada Atticus."
"Aku tidak takut gumam Dili.
"Hanya lapar, pasti." Suara Atticus seperti biasa datar dan menyenangkan.
"Scout, kita bisa memberi lebih baik daripada seloyang roti jagung, bukan"
Berilah dia makan dan saat aku kembali, kita lihat apa yang bisa kita lakukan."
"Mr. Finch, jangan bilang Bibi Rachel, jangan paksa aku kembali, tolong, Sir!
Aku akan kabur lagi!"
"Wah, Nak," kata Atticus. "Tak ada yang menyuruhmu ke mana-mana, kecuali segera
tidur. Aku hanya akan mampir untuk memberi tahu Miss Rachel kau ada di sini dan
bertanya apakah kau boleh menginap di sini kau mau, kan" Dan demi Tuhan
kembalikan sebagian tanah county di tubuhmu ke tempatnya, pengikisan tanah yang
ada sudah cukup buruk."
Dili menatap sosok ayahku yang segera keluar dari kamar.
"Dia bercanda," kataku. "Maksudnya, kau disuruh mandi. Benar kan, sudah
kubilang, dia tak akan memarahimu."
Jem berdiri di pojok kamar, tampak seperti pengkhianat. "Dili, aku harus beri
tahu dia," katanya. "Kau tak bisa kabur sejauh tiga ratus mil tanpa diketahui
ibumu." Kami meninggalkannya tanpa berkata-kata.
Dili makan, dan makan, dan makan. Dia belum makan sejak malam sebelumnya. Dia
menghabiskan uangnya untuk membeli tiket, naik kereta seperti yang sudah sering
dilakukannya, mengobrol tenang dengan konduktor, yang sudah mengenali Dili,
tetapi dia tak berani menggunakan peraturan tentang anak-anak yang bepergian
sendirian: kalau anak kehilangan uang, konduktor akan meminjamkan untuk makan
malam dan ayahmu akan membayarnya di ujung perjalanan.
Dili melahap makanan sisa dan sedang meraih sekaleng daging dan kacang di lemari
makanan, keO tika "Do-oo Ye-sus" Miss Rachel terdengar di ruang tamu. Dili
gemetar seperti kelinci. Dengan tegar dia menerima Tunggu Sampai Kau Kupulangkan, Orangtuamu Sangat
Mencemas-kanmu, cukup tenang ketika mendengar Itu Gara-Gara Kau Keturunan
Harris, tersenyum saat mendengar Kau Boleh Menginap Semalam, dan membalas
pelukan yang akhirnya diberikan kepadanya.
Atticus menaikkan kacamata dan mengusap wajah.
"Ayahmu lelah," kata Bibi Alexandra, kata-kata pertamanya setelah rasanya dia
diam selama berjam-jam. Sedari tadi dia ada, tetapi tak bisa berkata-kata,
kukira. "Kalian tidurlah sekarang."
Kami meninggalkan mereka di ruang makan, Atticus masih memijit wajahnya. "Dari
perkosaan ke huru-hara sampai anak kabur," kami mendengar dia tergelak. "Apa
lagi yang akan terjadi dalam dua jam ini?"
Karena tampaknya keadaan sudah beres, Dili dan aku memutuskan untuk bersikap
baik kepada Jem. Lagi pula, Dili harus tidur bersamanya, jadi sekalian saja kami


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbicara padanya. Aku mengenakan piama, membaca beberapa
lama, dan mendapati diriku tiba-tiba tak mampu membuka mata. Dill dan Jem tak
bersuara; ketika aku mematikan lampu-bacaku, tak ada garis cahaya di bawah pintu
ke kamar Jem. Aku pasti tidur lama sekali, karena ketika seseorang mengguncangkan tubuhku,
ruangan remang dengan cahaya bulan terbenam. "Minggir, Scout."
"Dia merasa itu tugasnya," gumamku. "Jangan marah padanya."
Dili masuk ke tempat tidur di sampingku. "Aku tidak marah, kok," katanya. "Aku
cuma ingin tidur bersamamu. Kau belum tidur?"
Saat ini sudah bangun. Dengan malas aku bertanya, "Kenapa kau kabur?"
Tak ada jawaban. "Aku bilang, kenapa kau kabur" Dia memang jahat seperti
katamu?" "Tidak...."
"Bukannya kalian mau membuat perahu seperti yang kau tulis di suratmu?"
"Dia cuma bilang saja begitu. Kami tak pernah membuat perahu."
Aku menumpukan tubuhku pada sikut, menghadap siluet Dili. "Itu bukan alasan
untuk kabur. Mereka sering tidak melakukan apa yang mereka bilang akan mereka
lakukan "Bukan itu, dia mereka hanya tak tertarik padaku."
Ini alasan kabur teraneh yang pernah kudengar. "Kok bisa?"
"Yah, mereka selalu pergi keluar, dan bahkan
kalau mereka di rumah, mereka menyendiri di kamar." "Memangnya apa yang mereka
lakukan di kamar?" "Tidak ada, cuma duduk dan membaca tapi mereka tidak mau aku bersama mereka."
Aku mendorong bantal ke kepala ranjang dan duduk. "Kau tahu" Aku berencana kabur
malam ini karena kelakuan mereka semua. Kadang aku tidak mau mereka selalu
merecoki, Dili" Dili mengembuskan napas sabar, setengah helaan.
"selamat malam, Atticus pergi seharian dan kadang sampai malam dan pergi ke
badan legislatur dan aku tak tahu apa lagi kau pasti tak mau mereka selalu ada.
Dili, kau tidak bisa melakukan apa-apa kalau mereka ada."
"Bukan itu." Selagi Dili menjelaskan, kudapati diriku bertanya-tanya akan seperti apa hidup
ini andai Jem berbeda, bahkan berbeda dari dirinya yang sekarang; apa yang akan
kulakukan andai Atticus merasa tidak memerlukan kehadiran, pertolongan, dan
nasihatku. Dia tak bisa melewatkan hari tanpaku. Bahkan, Calpurnia pun
membutuhkan aku. Mereka memerlukanku.
"Dili, yang kau ceritakan salah orangtuamu tak mungkin bisa hidup tanpamu.
Mereka mungkin hanya mengabaikanmu. Lebih baik begini saja"
Suara Dili terdengar tenang dalam kegelapan, "Masalahnya, yang ingin kukatakan
adalah mereka memang lebih baik hidup tanpaku, aku tak bisa memberi mereka
bantuan apa pun. Mereka tidak
jahat. Mereka membelikan apa pun yang kuinginkan, tetapi sekarang-kamu sudah
punya nah mainlah. Kau punya sekamar barang. Aku belikan kamu buku itu jadi
bacalah." Dili mencoba memperdalam suaranya. "Kau bukan anak laki-laki. Anak
laki-laki mestinya keluar rumah dan bermain bisbol dengan anak-anak lain, tidak
diam di rumah mencemaskan orang tuanya."
Suara Dili kembali seperti biasa, "Oh, mereka tidak jahat. Mereka mencium dan
memelukku untuk mengucapkan selamat malam dan selamat pagi dan selamat tinggal
dan bilang mereka mencintaiku Scout, kita cari bayi, yuk." "Di mana?"
Dili mendengar ada orang yang punya perahu dan selalu mendayungnya menuju pulau
berkabut tempat dia menyimpan semua bayi; kami bisa memesan satu
"Itu bohong. Kata Bibi, Tuhan menjatuhkan bayi lewat cerobong asap. Setidaknya,
rasanya, itu yang dia bilang." Sekali itu, diksi Bibi tidak terlalu jelas.
"Eh, bukan begitu. Kau dapat bayi kalau kau punya pasangan. Tetapi, lelaki ini
juga ada dia punya banyak bayi yang menunggu untuk dibangunkan, dia meniupkan
napas ke dalam tubuh mereka
ii Dili memulai lagi. Hal-hal indah melayang di sekitar kepalanya yang penuh mimpi.
Dia dapat membaca dua buku sementara aku baru satu, tetapi dia lebih menyukai
keajaiban cerita karangannya sendiri. Dia dapat menambah dan mengurang lebih
cepat dari kilat, tetapi dia lebih suka dunia senjanya sendiri, dunia tempat
bayi-bayi tidur, menunggu dipetik seperti bakung pagi. Dia perlahan-lahan bicara
sampai tertidur, membawaku bersamanya, tetapi dalam keheningan pulau
berkabutnya, muncul citra kabur sebuah rumah kelabu suram yang berpintu cokelat.
"Dili?" "Mm?" "Menurutmu, kenapa Boo Radley tak pernah kabur?"
Dili menghela napas panjang dan berbalik membelakangiku.
"Mungkin dia tak punya tempat yang dituju kalau kabur
m Lima Belas Setelah banyak menelepon, banyak memohon atas nama terdakwa, dan sepucuk surat
pemberian maaf yang panjang dari ibunya, diputuskan bahwa Dili boleh tinggal.
Kami menikmati bersama sepekan yang damai. Setelah itu, rasanya tak ada apa-apa
lagi. Sebuah mimpi buruk mendatangi kami.
Mimpi itu dimulai suatu malam seusai makan. Dili sedang bertamu; Bibi Alexandra
duduk di kursinya di pojok, Atticus di kursinya di dekat jendela; aku dan Jem di
lantai, membaca. Pekan itu tenang: Aku mematuhi Bibi; Jem sudah terlalu besar
untuk bermain di rumah pohon, tetapi dia mau membantu aku dan Dili membuat
tangga tali baru untuk rumah itu; Dili mendapatkan rencana sempurna untuk
memaksa Boo Radley keluar tanpa perlu biaya (letakkan sebaris permen lemon dari
pintu belakang ke halaman depan, pasti dia akan mengikutinya, seperti semut).
Seseorang mengetuk pintu depan, Jem membukanya, dan memberi tahu bahwa tamunya
adalah Mr. Heck Tate. "Ajak dia masuk, Nak," kata Atticus. "Sudah. Ada beberapa orang di halaman,
mereka ingin kau keluar."
Di Maycomb, lelaki dewasa hanya berdiri di halaman depan saat bertamu untuk dua
alasan: kematian dan politik. Aku bertanya-tanya, siapa yang meninggal. Aku dan
Jem pergi ke pintu depan, tetapi Atticus berseru, "Ayo masuk lagi ke rumah."
Jem menyalakan lampu ruang duduk dan menempelkan hidungnya ke kawat jendela.
Bibi Alexandra memprotes. "Cuma sebentar, Bibi. Ayo kita lihat siapa mereka,"
katanya. Aku dan Dili melihat melalui jendela lain. Sekerumunan lelaki berdiri mengitari
Atticus. Mereka semua tampak berbicara bersamaan.
"... memindahkan dia ke penjara county besok." Mr. Tate sedang berkata, "Aku tak
Pendekar Penyebar Maut 28 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Tawanan Datuk Sesat 2

Cari Blog Ini