Ceritasilat Novel Online

Name Of Rose 5

The Name Of The Rose Karya Umberto Eco Bagian 5


hubungannya dengan kematian Adelmo, dan
sekarang ia menyadari bahwa skandal itu telah
menyebar dan juga bisa melibatkan dirinya. Dan ia
tidak ingin kebenarannya ditemukan, atau
setidaknya ia tidak ingin aku yang menemukannya ii
"Kalau begitu, kita sedang berada dalam suatu tempat yang ditinggalkan oleh
Allah," kataku dengan kecil hati.
"Apa kau sudah menemukan suatu tempat di mana Tuhan akan merasa betah?" tanya
William kepadaku sambil memandang ke bawah dari tubuhnya yang amat tinggi itu.
Kemudian ia menyuruhku beristirahat. Sementara berbaring di atas dipanku, aku
menyimpulkan bahwa tidak seharusnya ayah mengirimku masuk ke dunia itu, yang
lebih rumit daripada yang sudah kubayangkan. Aku mulai belajar terlalu banyak.
"Salva me ab ore leonis."zi Aku berdoa sementara jatuh tertidur. []
21 "Selamatkanlah aku dari mulut singa" penerj.?Setelah Vespers
Dalam cerita ini, meski singkat, Alinardo tua menceritakan hal-hal amat menarik
tentang cara memasukinya.
-ku terjaga saat lonceng makan malam t_/jp hampir berbunyi. Aku merasa lesu dan
mengantuk, tidur pada siang hari serasa seperti dosa daging : makin banyak tidur
kau makin ingin tidur terus, dan toh tidak merasa nyaman, rasanya seperti
kenyang sekaligus tidak senang. William tidak ada dalam biliknya, sudah jelas ia
bangun jauh lebih awal. Setelah mencaricari sebentar, aku melihat dia keluar
dari Aedificium. Katanya ia sudah agak lama berada di skriptorium, menyisiri
halamanhalaman katalog dan mengamati para rahib yang tengah bekerja, sementara
berusaha mendekati meja Venantius dan melanjutkan pemeriksaannya. Tetapi entah
karena alasan apa, setiap rahib seakan terus berusaha mencegahnya meneliti
perkamen tersebut. Mulamula Maleakhi mendatanginya, untuk menunjukkan beberapa
ilustrasi yang bagus sekali. Kemudian Benno menyibukkannya dengan dalil-dalil
tidak penting. Nantinya, ketika ia
sudah membungkuk untuk melanjutkan pemeriksaannya, Berengar mulai mondar-mandir
di dekatnya sambil menawarkan untuk membantu.
Akhirnya, karena melihat guruku tampak sungguh sungguh bertekad memeriksa
barangbarang Venantius, Maleakhi langsung menegur bahwa, sebelum menggeledah
perkamen milik orang mati itu, mungkin guruku perlu minta izin dulu dari Abbas.
Ia sendiri, katanya, biarpun pustakawan, demi disiplin dan sikap menghormati,
telah menahan diri untuk tidak memeriksa. Bagaimanapun juga, seperti permintaan
William sendiri agar tak seorang pun mendekati meja itu, maka tak seorang pun
bisa mendekatinya sebelum diperintahkan oleh Abbas. William menyadari bahwa ia
tidak perlu uji kekuatan dengan Maleakhi, meskipun semua kegelisahan dan
ketakutan tentang perkamen Venantius itu sudah tentu meningkatkan hasratnya
untuk membacanya. Tetapi ia begitu bertekad untuk kembali ke sana malam itu, meskipun tidak tahu
caranya, sehingga tidak ingin menciptakan keributan.
Namun demikian, pikiran tentang balas dendam, yang, jika bukan diilhami oleh
rasa haus akan kebenaran, sudah tentu kelihatan amat bandel dan mungkin
memalukan. Sebelum memasuki ruang makan, kami jalanjalan lagi sebentar di kloster, untuk
menghilangkan rasa kantuk dalam udara malam yang dingin itu. Beberapa rahib
masih berjalanjalan di sana sambil bermeditasi. Di kebun yang membuka dari
kloster kami memergoki Alinardo dari Grottaferrata yang,
karena sekarang tubuhnya sudah renta, kalau tidak berdoa di dalam gereja,
menghabiskan sebagian besar waktunya di antara pepohonan. Ia sedang duduk di
teras luar dan tidak tampak kedinginan.
William mengucapkan beberapa patah kata untuk menyapanya, dan orang tua itu
terlihat bahagia bahwa ada seseorang yang mau menemaninya sebentar.
"Hari ini rasanya damai," kata William.
"Berkat keagungan Tuhan," jawab orang tua itu.
"Damai di surga, tetapi menyedihkan di bumi. Apa kau kenal baik Venantius?"
"Venantius siapa?" kata orang tua itu. Kemudian suatu cahaya memancar dalam
matanya. "Ah, pemuda yang mati itu. Binatang buas tengah berkeliaran di sekitar
biara ini ...." "Binatang buas apa?"
"Binatang buas besar yang muncul dari lautan .... Berkepala tujuh dan bertanduk
sepuluh dan tiga nama penghujatan tertera pada ujung sepuluh tanduknya dan di
atas tujuh kepalanya. Binatang buas itu amat menyerupai seekor macan kumbang, dengan kaki seekor
beruang, dan mulut seekor singa ... aku sudah melihatnya."
"Kau lihat di mana" Dalam perpustakaan?"
"Perpustakaan" Kenapa di sana" Aku sudah bertahun tahun tidak masuk ke
skriptorium dan belum pernah masuk ke perpustakaan itu.
Tak seorang pun masuk ke perpustakaan. Aku kenal mereka yang memang naik ke
perpustakaan "Siapa" Maleakhi" Berengar?"
"Oh, bukan kata orang tua itu. "Sebelumnya. Pustakawan sebelum Maleakhi,
bertahuntahun yang lalu ...."
"Siapa itu?" "Aku tidak ingat; ia meninggal sewaktu Maleakhi masih muda.
Dan pustakawan yang datang sebelum guru Maleakhi, dan ada seorang asisten
pustakawan muda waktu aku masih muda .... Tetapi aku belum pernah menginjakkan
kaki dalam perpustakaan. Labirin
"Perpustakaan itu sebuah labirin?"
"Hunc mundum tipice labyrinthus denotat ille," kata orang tua itu tanpa emosi.
"Intranti largus, redeunti sed nimis artus.zz
Perpustakaan itu sebuah labirin besar sekali, simbol labirin dunia. Coba saja
masuk dan kau tidak tahu apa kau akan keluar.
Kau tidak boleh melewati pilar-pilar Herkules ...."
"Jadi, kau tidak tahu cara memasuki perpustakaan manakala pintu-pintu Aedificium
sudah ditutup?" "Oh, ya." Orang tua itu tertawa. "Banyak yang tahu. Masuk saja melalui osarium
(ruang tengkorak). Kau bisa masuk lewat osarium, tetapi kau tentu tidak ingin
masuk lewat osarium itu. Tempat itu terus dijaga oleh rahibrahib yang sudah
mati." 22 "Labirin itu secara kias menggambarkan dunia ini," kata orang tua itu tanpa
emosi. "Lebar bagi yang masuk, tetapi sangat sempit bagi yang kembali" penerj.?"Hantu rahibrahib yang terus menjaga itu apa bukan orangorang yang mondar-mandir
di seluruh perpustakaan sambil membawa lampu pada malam hari?"
"Membawa lampu?" Orang tua itu tampak keheranan. "Aku belum pernah dengar cerita
ini. Rahibrahib yang sudah mati itu tinggal di osarium, tulang-tulangnya
berjatuhan sedikit demi sedikit dari makam dan terkumpul di situ, untuk menjaga
lorong tersebut. Apa kau belum pernah melihat altar kapel yang menuju ke
osarium?" "Yang ketiga dari kiri, setelah sekat, ya kan?"
"Yang ketiga" Mungkin. Itu altar yang batunya ditatah dengan ukiran seribu
tengkorak. Tengkorak keempat di sebelah kanan: tekan kedua matanya ... dan kau
akan berada dalam osarium. Tetapi jangan pergi ke sana; aku belum pernah ke
sana. Abbas tidak mengizinkannya."
"Dan binatang buas itu" Di mana kau melihatnya?"
"Binatang buas" Ah, Antikristus itu .... Ia sudah hampir datang, milenium sudah
lewat; kami tengah menantikannya
"Tetapi milenium itu sudah tiga ratus tahun yang lalu, dan waktu itu ia tidak
datang ...." "Antikristus itu tidak datang setelah seribu tahun telah lewat. Kalau sudah
lewat seribu tahun, keadilan mulai berkuasa; baru Antikristus itu datang, untuk
mengacau keadilan, dan kemudian akan terjadi pertempuran terakhir
"Tetapi keadilan akan berkuasa selama seribu
tahun," kata William.
"Atau mereka akan berkuasa sejak kematian Kristus sampai akhir milenium pertama,
dan dengan begitu Antikristus itu seharusnya sudah datang waktu itu. Kalau
begitu, keadilan belum lagi berkuasa, dan Antikristus masih jauh."
"Milenium itu tidak dihitung sejak kematian
Kristus, tetapi sejak sumbangan dari Konstantin,
tiga abad kemudian. Sekarang sudah seribu tahun ii
"Jadi, kekuasaan keadilan hampir berakhir?" "Aku tidak tahu .... Aku tidak tahu
apa-apa lagi; aku lelah. Perhitungan itu sukar. Beatus dari Liebana yang membuatnya; tanya saja Jorge, ia
masih muda, ia masih bisa mengingat dengan baik .... Tetapi sekarang sudah malam.
Apa kau tidak mendengar ketujuh sangkakala itu?" "Mengapa ketujuh sangkakala?"
"Apa kau tidak dengar bagaimana pemuda itu mati, pelukis itu"
Malaikat pertama membunyikan sangkakala pertama, dan hujan es dan api bercampur darah, Dan malaikat yang kedua
meniup sangkakala kedua, dan sepertiga dari laut menjadi darah .... Bukankah
pemuda yang kedua mati dalam lautan darah" Berhati-hatilah untuk sangkakala
ketiga! Sepertiga dari makhluk di laut akan mati.
Tuhan menghukum kita. Seluruh dunia di sekitar biara ini setara dengan
kebidahan. Kudengar di atas takhta Roma sekarang duduk seorang paus
jahat yang memanfaatkan hosti untuk praktik nekromansi, nujum, dan memberikannya
kepada ikan lelenya sebagai makanan .... Dan di tengah kita, seseorang telah
melanggar batas, telah merusak meterai labirin itu ...."
"Siapa yang mengatakan itu kepadamu?"
"Aku dengar itu. Semua berbisik-bisik bahwa dosa sudah memasuki biara ini. Apa
kau membawa kacang?"
Pertanyaan yang diajukan kepadaku itu membuatku terkejut. "Tidak, aku tidak
membawa kacang," kataku, bingung.
"Lain kali, bawakan aku sedikit kacang. Aku mengulum kacang itu dalam mulutku
kau lihat mulutku yang tak bergigi" sampai empuk.
Kacang merangsang ludah, aqua fons vitae.zj Maukah kau membawakan sedikit kacang
untukku besok?" "Besok akan kubawakan sedikit kacang," kataku kepadanya. Tetapi ia sudah
mendengkur. Kami meninggalkan dia dan pergi ke ruang makan. []
23 Air sumber kehidupan penerj.?Komplina
Dalam cerita ini mereka berhasil masuk Aedificium, memergoki seorang tamu
misterius, menemukan pesan rahasia dengan simbol nujum, dan juga sebuah buku,
tetapi lalu langsung lenyap, harus dicari lewat banyak ruang yang berurutan:
dicurinya lensa berharga William juga bukan perubahan yang terakhir
j^(>>^kan malam itu tidak menggembirakan dan r_J^ sepi. Mayat Venantius baru
ditemukan dua belas jam lalu. Semuanya yang hadir mencuricuri melirik ke
kursinya yang kosong di meja makan. Ketika tiba saatnya untuk komplina, prosesi
yang berbaris menuju koor itu bagaikan arakan pemakaman. Kami mengikuti ibadat
itu sambil berdiri di jalan-tengah gereja dan terus mengamati sebuah mata pada
kapel ketiga. Lilin yang dinyalakan tidak banyak, dan waktu kami melihat
Maleakhi muncul dari kegelapan untuk menuju bangkunya, kami tidak tahu persis
darimana ia datang. Kami beringsut ke balik bayangbayang, bersembunyi agak jauh
di samping jalan-tengah gereja itu, agar tak akan ada orang yang memergoki kalau
kami tidak ikut keluar setelah ibadat berakhir. Di bawah skapularku aku membawa
lampu yang kucomot dari dapur setelah makan malam.
Nanti kami dapat menyalakannya dari tripod
tembaga besar yang menyala sepanjang malam. Aku sudah menyimpan seutas sumbu
baru dan sebotol kecil minyak. Kami akan punya penerangan untuk waktu yang lama.
Aku merasa terlalu bergairah membayangkan petualangan luar biasa itu sehingga
tidak memerhatikan ibadat, yang rasanya tibatiba saja sudah berakhir. Para rahib
menurunkan tudung kepala ke atas wajah mereka dan pelanpelan berbaris keluar,
menuju bilik mereka. Gereja itu sekarang sepi, diterangi oleh cahaya dari tripod
tersebut. "Sekarang," kata William, "mulai kerja."
Kami menghampiri kapel ketiga. Kaki altar itu benarbenar menyerupai osarium,
sederet tengkorak dengan lubang mata yang menjorok ke dalam, yang membuat orang
yang memandangnya dikuasai kengerian, dipasang di atas setumpuk apa yang, dengan
rasa lega sekali, terlihat sebagai tibias. Dengan suara lirih William mengulangi
katakata yang sudah ia dengar dari Alinardo (tengkorak keempat di sebelah kanan,
tekan kedua matanya). Ia menempelkan jarijarinya ke dalam kedua lubang mata dari
wajah tak berdaging itu, dan segera kami mendengar semacam derak kasar.
Altar itu bergerak, berputar pada suatu pasak tersembunyi, dan sekilas tampak
suatu lorong gelap. Ketika aku mengangkat lampu untuk mene-ranginya, kami
melihat beberapa anak tangga yang lembap. Kami memutuskan untuk turun, setelah
berdebat apa harus menutup lagi jalan di belakang
kami. Lebih baik jangan, kata William: kami tidak tahu apa nanti akan bisa
dibuka lagi. Dan akan halnya risiko ketahuan, andaikan siapa saja datang pada
jam itu untuk menjalankan mekanisme yang sama, itu berarti ia tahu caranya
masuk, dan jalan yang tertutup tidak akan menghalanginya.
Mungkin kami sudah menuruni dua belas anak tangga dan sampai ke suatu gang yang
pada kedua sisinya ada beberapa lubang relung horizontal, seperti yang kelak
kulihat dalam banyak katakomba.
Tetapi sekarang aku baru pertama kalinya memasuki suatu osarium, dan aku amat
sangat takut. Tulang-belulang para rahib sudah terkumpul di sana selama
berabadabad, digali dari dalam tanah dan ditumpuk dalam relung-relung itu tanpa
upaya untuk menyusun kembali bentuk tubuh mereka. Beberapa relung hanya berisi
tulangtulang kurus, lainnya hanya tengkorak, dengan rapi ditata menjadi semacam
piramida, sehingga satu tengkorak tidak akan menggelinding ke atas tengkorak
lain: dan itu suatu pemandangan yang sungguhsungguh mengerikan, terutama dalam
permainan bayangbayang yang diciptakan oleh lampu yang terus kami bawa sambil
berjalan. Dalam satu relung aku melihat tulang tangan-tangan saja, banyak
tangan, sekarang tak pelak lagi saling berkait dalam jarijari mati yang ruwet.
Aku menjerit kecil dalam tempat orang mati itu, karena untuk sejenak merasakan
ada sesuatu di atas, suatu lengkingan, suatu gerakan cepat dalam kegelapan.
"Tikus," kata William untuk membesarkan hatiku.
"Apa yang dilakukan tikus di sini?" "Cuma lewat, seperti kita: karena osarium
itu menuju Aedificium, dan kemudian ke dapur. Dan menuju buku buku lezat dalam
perpustakaan. Dan sekarang kau paham mengapa wajah Maleakhi begitu angker.
Tugasnya mengharuskan dia lewat sini dua kali sehari, pagi dan petang. Nyatanya,
tidak ada yang bisa ia tertawakan."
"Tetapi mengapa Injil tidak pernah mengatakan bahwa Kristus tertawa?" tibatiba
saja aku bertanya. "Apa Jorge betul?"
"Banyak sekali sarjana yang ingin tahu apa Kristus tertawa.
Pertanyaan itu tidak terlalu menarik bagiku. Aku yakin Ia tidak pernah tertawa,
karena, sebagai putra Tuhan Ia tentu mahatahu, Ia tahu bagaimana seharusnya
perilaku kita orang Kristen. Nah, sekarang kita sudah sampai."
Memang, gang itu sudah berakhir, puji Tuhan; anak tangga lain dimulai. Setelah
mendaki anak-anak tangga itu, kami tinggal mendorong sebuah pintu berlapis besi
dan akan menemukan diri kami sendiri berada di balik perapian di dapur, persis
di atas tangga melingkar yang menuju ke skriptorium. Waktu kami naik, rasanya
kami mendengar suatu suara di atas kami.
Kami berdiam diri sejenak, lalu aku berkata, "Ini tidak mungkin. Tak seorang pun
masuk sebelum kita."
"Anggap saja ini satusatunya jalan memasuki Aedificium. Pada abadabad yang lalu
ini suatu benteng, dan tentu punya lebih banyak jalan masuk rahasia daripada yang kita
ketahui. Kita akan naik pelanpelan. Tetapi kita hanya punya sedikit pilihan.
Jika lampunya dimatikan, kita tidak bisa melihat arah; jika dibiarkan menyala,
kita memberi tanda bahaya kepada siapa saja yang berada di lantai atas.
Satusatunya harapan kita adalah bahwa jika memang ada seseorang di sana, ia akan
takut kepada kita." Kami sudah sampai di skriptorium, muncul dari menara selatan.
Meja Venantius tepat di seberang. Ruangan itu begitu luas sehingga, sementara
kami berjalan, setiap kali kami hanya bisa menerangi sampai beberapa yard ke
dinding. Kami berharap tidak ada orang di dalam serambi, yang akan melihat
cahaya lewat jendela. Meja itu terlihat masih rapi, tetapi William langsung
membungkuk untuk memeriksa lembaran perkamen di atas rak di bawah, dan ia
berseru dengan kecewa. "Ada yang hilang?" tanyaku.
"Hari ini aku melihat dua buah buku di sini, salah satunya dalam bahasa Yunani.
Dan itu yang tidak ada. Seseorang sudah mengambilnya, dan dengan amat terburuburu, karena satu lembar jatuh di atas lantai sini."
"Tetapi meja itu diawasi ...."
"Tentu saja. Mungkin baru diambil beberapa saat yang lalu.
Mungkin ia masih berada di sini." William berbalik ke arah bayangbayang dan
suaranya menggema di antara tiang-tiang. "Andaikan kau ada di sini, hati-hatilah." Bagiku itu seakan suatu gagasan yang
bagus: seperti sudah dikatakan William sebelumnya, selalu lebih baik kalau orang
yang menakuti kami juga takut kepada kami.
William meletakkan halaman yang ia temukan itu di atas meja dan menundukkan
kepala ke atasnya. Ia minta lampuku didekatkan.


The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku memegang lampu itu lebih dekat kepadanya dan melihat satu halaman,
setengahnya kosong, setengahnya yang lain penuh dengan huruf-huruf kecil yang
dengan susah payah bisa kukenali asalnya.
"Bahasa Yunani?" tanyaku.
"Ya, tetapi aku tidak memahaminya dengan jelas." Ia mengeluarkan lensanya dari
jubahnya dan memasangnya dengan kuat pada hidungnya, kemudian menundukkan
kepalanya lagi. "Ini tulisan Yunani, ditulis tangan dengan amat halus, namun tidak rapi. Meski
pakai lensa, aku masih sulit membacanya.
Cahayanya kurang terang. Lebih dekat lagi ...." Ia harus mengangkat halaman
perkamen itu dan didekatkan ke wajahnya; dan sebagai ganti melangkah di
belakangnya dan mengangkat lampu tinggi-tinggi di atas kepalaku, dengan tolol
aku berdiri tepat di hadapannya. William menyuruhku bergeser ke samping, dan
sewaktu melakukannya, nyala lampu itu menggesek bagian belakang kertas tersebut.
William mendorongku sambil bertanya apa
aku ingin membantunya membakar naskah itu. Kemudian ia berseru, dengan jelas aku
melihat bahwa suatu simbol samarsamar, dalam warna kuning-kecokelatan, muncul di
bagian atas halaman itu. William meminta lampu itu dan memindahkan lampu itu ke belakang halaman sambil
mengangkat nyalanya sampai dekat sekali pada permukaan perkamen tersebut. Dengan
itu ia memanaskan perkamen tersebut tanpa membakarnya. Pelanpelan, seakan ada
suatu tangan tak kelihatan mulai menulis "Mane, Tekel, Peres", aku melihat
beberapa simbol muncul satu per satu pada sisi berwarna putih halaman itu
sewaktu William menggerakkan lampunya, dan sewaktu asap yang muncul dari ujung
nyala lampu itu menghitamkan rekto itu; simbol-simbol itu tidak menyerupai
alfabet apa saja, kecuali alfabet pernujuman.
"Fantastik!" kata William. "Makin lama makin menarik!" Ia memandang sekeliling.
"Tetapi lebih baik tidak menunjukkan penemuan ini kepada teman misterius kita
yang bisa melakukan muslihat, andaikan ia masih di sini ...." Ia melepas lensanya,
menaruhnya di atas meja, kemudian dengan cermat menggulung perkamen itu dan
menyembunyikannya di bagian dalam jubahnya. Kami terpesona oleh urutan kejadian
yang sangat ajaib ini dan aku baru mau minta penjelasan lebih lanjut ketika
secara tibatiba kami dikagetkan oleh suatu bunyi tajam. Bunyi itu datang dari
kaki anak tangga timur yang menuju perpustakaan.
"Teman kita di sana! Kejar dia!" teriak William, dan kami langsung lari ke arah
itu. William bergerak dengan cepat, aku lebih lambat karena membawa lampu. Aku
mendengar bunyi kelontang seseorang tersandung dan jatuh. Aku lari, dan
menemukan William di kaki anak tangga, tengah mengamati sebuah buku tebal,
jilidnya diperkuat dengan paku-paku metal. Pada saat yang sama kami mendengar
bunyi lain, arahnya dari mana kami telah datang. "Tolol aku!" teriak William.
"Cepat! Ke meja Venantius!"
Aku paham: seseorang, tampak dari bayangannya di belakang kami, telah
melemparkan buku itu untuk menyingkirkan kami.
Sekali lagi William lari lebih cepat daripada aku dan lebih dulu sampai ke meja.
Sementara mengikuti William, sekilas aku melihat suatu bayangan berlari di
antara tiang-tiang, sambil mengambil anak tangga dari menara barat.
Karena dikuasai oleh semangat tempur, aku menyerahkan lampu itu ke tangan
William dan lari membabi buta ke arah anak tangga yang sudah dituruni oleh
pelarian itu. Waktu itu aku merasa bagaikan seorang serdadu Kristus tengah
bertempur melawan pasukan neraka, dan aku terbakar oleh hasrat untuk memukul
orang asing itu, untuk menyerahkannya kepada guruku. Aku tergelincir dan
meluncur menuruni hampir seluruh tangga itu, karena menginjak ujung bawah
jubahku sendiri (itu satusatunya dalam hidupku, sumpah, ketika aku menyesal
telah masuk suatu ordo biara!); tetapi
pada saat yang sama dan itu hanya pikiran sesaat aku menghibur diri sendiri
dengan gagasan bahwa musuhku juga mengalami malapetaka yang sama. Dan lebih jauh
lagi, andaikan ia sudah mengambil buku itu, tentu tangannya penuh. Dari belakang
panggangan roti aku hampir menyelam masuk ke dalam dapur, dan dalam cahaya
bintang yang samarsamar menerangi pintu masuk yang besar itu, aku melihat
bayangan yang tengah kukejar tepat menyelip melewati pintu ruang makan, kemudian
menutupnya. Aku bergegas menuju pintu itu, setelah beberapa menit membukanya
dengan susah payah, aku masuk, memandang sekeliling, tetapi tidak melihat siapasiapa. Pintu sebelah luar masih dipalang. Aku membalikkan badan. Hanya ada
bayangbayang dan kesunyian. Tampak olehku suatu cahaya maju dari dapur dan aku
menempelkan tubuhku pada dinding. Di ambang pintu gang di antara kedua ruangan
itu, sesosok tubuh muncul, diterangi oleh sebuah lampu. Aku berteriak.
Oh, William. "Tidak ada siapa-siapa" Sudah kuduga. Ia tidak keluar melalui sebuah pintu" Ia
tidak melalui gang lewat osarium?"
"Tidak, ia keluar lewat sini, tetapi aku tidak tahu di mana!"
"Sudah kubilang: ada jalanjalan lainnya, dan tidak ada gunanya bagi kita untuk
mencari jalanjalan itu. Mungkin teman kita itu akan muncul di suatu tempat yang
jauh. Dan membawa lensaku."
"Lensa Anda?" "Ya. Teman kita itu tidak bisa mengambil halaman tersebut dariku, tetapi dengan
pikiran yang cerdas, sambil bergegas lewat, ia merenggut kacamataku dari atas
meja." "Mengapa?" "Karena ia tidak bodoh. Setelah mendengar aku bicara tentang isi perkamen ini,
ia menyadari bahwa itu penting, ia menduga bahwa tanpa lensa aku tidak akan
berhasil menguraikannya, dan ia tahu pasti bahwa aku tidak akan menyerahkannya
kepada siapa pun. Terus terang saja, rasanya sekarang aku seakan tidak memiliki catatan tersebut."
"Bagaimana ia bisa tahu tentang lensa itu?"
"Ayolah. Lepas dari kenyataan bahwa kita membicarakannya kemarin dengan si
pandaikaca, pagi tadi kupakai di dalam skriptorium untuk memeriksa perkamen
Venantius. Jadi, ada banyak orang yang tahu betapa berharganya benda itu bagiku.
Sebenarnya, aku bisa membaca naskah biasa, tetapi yang ini tidak." Dan sekali
lagi ia membuka gulungan perkamen misterius itu. "Bagian yang dalam bahasa
Yunani ditulis terlalu kecil dan bagian atasnya terlalu buram ...."
Ia menunjukkan kepadaku simbol-simbol misterius yang seolaholah telah muncul
secara ajaib karena panas nyala lampu itu.
"Venantius ingin membukakan suatu rahasia penting, dan ia menggunakan salah satu
tinta yang tidak meninggalkan bekas kalau dipakai menulis
tetapi tulisannya akan muncul kalau perkamennya dihangatkan. Kalau tidak, ia
menggunakan sari jeruk nipis. Namun, karena aku tidak tahu bahan apa yang ia
gunakan dan bagaimana simbol-simbol itu dapat muncul lagi: cepat, kau yang masih
punya mata bagus, salin segera setepat tepatnya, mungkin dengan agak dibesarkan
sedikit." Demikianlah maka aku mengerjakannya, tanpa mengerti apa yang tengah kusalin. Itu
serangkaian empat atau lima baris tulisan, benarbenar pernujuman, dan aku hanya
akan menuliskan kembali simbol-simbol paling pertama, agar pembaca dapat
membayangkan bentuk tekateki yang ada di depan mataku ini: Setelah selesai
menyalin, William memeriksanya sambil memegang buku catatanku agak jauh dari
hidungnya, sayangnya tanpa lensa.
"Tidak diragukan lagi ini suatu alfabet rahasia yang akan harus diuraikan,"
katanya. "Simbol-simbol ini ditulis dengan amat buruk, dan mungkin kau akan
lebih buruk lagi menyalinnya, tetapi ini jelas suatu alfabet mintaku'lburuj.
Lihatlah" Pada baris pertama kita dapat" ia menjauhkan catatanku lagi dan
memicingkan matanya untuk memusatkan perhatian "Sagitarius, Matahari, Merkurius,
Skorpio "Dan apa itu artinya?"
"Andaikan Venantius mau jujur, tentunya ia menggunakan alfabet mintaku'lburuj
yang biasa: A setara dengan Matahari, B setara dengan Jupiter ... Jadi, baris
pertama dapat dibaca .... Coba transkrip ini: RAIQASVL William berhenti. "Tidak,
ini tidak ada artinya, dan Venantius tidak berterus terang.
Ia memformulasikan kembali alfabet itu dengan kunci lain. Aku harus
menemukannya." "Apa mungkin?" tanyaku kagum.
"Ya, jika kau tahu sedikit bahasa Arab. Risalah terbaik tentang kriptografi
adalah karya para sarjana penyembah berhala, dan aku bisa minta seseorang di
Oxford membacakannya. Bacon benar ketika mengatakan bahwa penaklukan ilmu
pengetahuan akan tercapai melalui pengetahuan tentang bahasa-bahasa. Berabadabad
yang lalu, Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Washiya an-Nabati menulis Book of the
Frenzied Desire of the Devout to Learn the Riddles of Ancient Writings (Buku
tentang Hasrat Ingar-Bingar dari Orang Saleh untuk Mempelajari Tekateki Tulisan
Kuno), dan secara terperinci ia menguraikan banyak aturan untuk menyusun dan
menguraikan alfabet misterius, yang tidak hanya berguna untuk praktik nujum
tetapi juga untuk korespondensi antarpasukan tentara, atau antara seorang raja
dan para dutanya. Aku sudah melihat bukubuku Arab lainnya yang memuat daftar
serangkaian muslihat yang amat rahasia. Misalnya saja, kau dapat mengganti satu
huruf dengan yang berikutnya, atau menulis satu kata ke belakang, bisa juga
membalik urutan huruf itu, atau dengan hanya menggunakan setiap huruf lain; dan
kemudian memulainya lagi. Seperti dalam hal ini, kau dapat mengganti huruf
dengan simbol mintaku'lburuj, tetapi nilai numeriknya dihubungkan dengan hurufhuruf yang tersembunyi, dan kemudian, menurut alfabet lainnya, mengubah angkaangka menjadi huruf-huruf lainnya ..."
"Dan Venantius telah menggunakan sistem yang mana?"
"Kita harus menguji semua sistem itu, dan ada hal-hal lain di samping itu.
Tetapi, aturan pertama untuk menguraikan suatu pesan adalah mengira-ngira apa
artinya." "Kalau begitu tidak perlu diuraikan!" Aku tertawa.
"Tidak persis begitu. Beberapa hipotesis dapat dibentuk berdasarkan kemungkinan
huruf-huruf pertama dari pesan itu. Kemudian kauperiksa apakah aturan yang
kauduga dipakai dari huruf-huruf itu dapat diterapkan pada teks yang selebihnya.
Sebagai contoh, di sini Venantius dengan pasti sudah menuliskan kunci untuk
menembus akhir Afrika. Jika aku berusaha berpikir bahwa pesan itu tentang ini,
maka tibatiba aku diterangi oleh suatu ritme ....
Coba perhatikan tiga kata pertama ini, tidak usah mempertimbangkan hurufhurufnya, tetapi jumlah simbolnya ... IIIIIIII HIU IIIIIII .... Sekarang coba bagi
ke dalam suku kata dari paling sedikit dua simbol masing masing, dan ucapkan
keraskeras : ta-ta-ta, ta-ta, ta-ta-ta .... Apa ada yang muncul dalam benakmu?"
"Tidak." "Bagiku, ya. 'Secretum finis Africae1 .... Tetapi andaikan ini betul, maka huruf
terakhir seharusnya punya huruf pertama dan keenam yang sama, dan nyatanya
memang begitu: Simbol dari Bumi adalah dua kali. Dan huruf pertama dari kata
pertama, huruf S, seharusnya sama seperti huruf pertama dari kata kedua: dan cukup
meyakinkan, simbol dari Virgin juga diulangi. Mungkin ini jejak yang betul.
Tetapi bisa juga ini hanya serangkaian kebetulan.
Aturan korespondensinya harus ditemukan ...."
"Ditemukan di mana?"
"Dalam kepala kita. Gali saja. Dan kemudian periksa apa itu betul. Tetapi dengan
mengujinya berkali-kali, permainan ini akan menghabiskan waktu sehari penuh.
Tidak lebih dari itu karena ingat ini tidak ada tulisan rahasia yang tidak dapat
diuraikan dengan sedikit kesabaran. Tetapi sekarang kita punya risiko kehabisan
waktu, dan kita ingin mengunjungi perpustakaan.
Terutama karena, tanpa kacamata, aku tidak akan pernah bisa membaca bagian kedua
dari pesan itu, dan kau tidak dapat membantuku karena simbol ini, bagi matamu
...." "Graecum est, non legitur,"24 aku menyelesaikan kalimat William, rasanya kecil
hati. "Bagiku ini Yunani."
"Persis; dan kau tahu bahwa Bacon betul. Belajarlah! Tetapi kita tidak boleh
berkecil hati. Kita singkirkan dulu perkamen dan buku catatanmu, dan kita akan
naik ke perpustakaan. Karena malam ini, bahkan sepuluh legiun dari neraka tidak
akan berhasil mengusir kita."
Aku membuat tanda salib."Tetapi kira-kira siapa dia, orang yang sudah mendahului
kita di sini" Benno?"
24 "Memang bahasa Vunani, tak terbaca" penerj.?"Benno terbakar oleh hasrat untuk mengetahui apa yang ada di antara perkamen
Venantius, tetapi menurutku ia bukan orang yang punya keberanian untuk memasuki
Aedificium pada malam hari."
"Berengar kalau begitu" Atau Maleakhi?"
"Menurutku, Berengar agaknya punya keberanian untuk melakukan hal-hal seperti
itu. Dan, bagaimanapun juga, ia juga ikut bertanggung jawab atas perpustakaan
ini. Ia dipenuhi penyesalan karena ada suatu rahasia yang tidak ia ketahui di
perpustakaan ini; ia mengira Venantius telah mengambil buku itu, dan mungkin ia
ingin mengembalikannya ke tempat asal buku itu. Ia tidak bisa naik ke lantai
atas, dan sekarang ia menyembunyikan buku itu di suatu tempat."
"Tetapi bisa juga Maleakhi, untuk motif yang sama."
"Menurutku tidak. Maleakhi bebas kapan saja untuk membongkar meja Venantius
sewaktu ia tinggal sendirian untuk mengunci Aedificium.
Aku tahu benar hal itu, tetapi mungkin sekali ia menghindarinya.
Sekarang kita tahu bahwa ia tidak melakukannya. Dan jika kau berpikir dengan
cermat, kita tidak punya alasan untuk mengira Maleakhi tahu bahwa Venantius
telah memasuki perpustakaan dan mengambil sesuatu. Berengar dan Benno tahu ini,
dan kau dan aku tahu ini. Setelah Adelmo mengaku dosa, Jorge juga bisa tahu,
tetapi jelas ia bukan orang yang bisa lari begitu terbirit-birit menuruni tangga
melingkar itu ...." "Kalau begitu, hanya Berengar atau Benno ...."
"Dan mengapa bukan Pacificus dari Tivoli atau rahib lainnya yang kita lihat
berada di sini hari ini" Atau Nicholas si pandaikaca, yang tahu tentang
kacamataku" Atau Salvatore yang karakternya aneh itu, yang kata orang, suka
berkeliaran pada malam hari untuk keperluan yang hanya Tuhan yang tahu" Kita
harus berhatihati untuk tidak membatasi bidang tersangka hanya karena apa yang
telah diungkapkan Benno telah mendorong kita dalam satu arah saja; mungkin Benno
ingin menyesatkan kita."
"Tetapi kelihatannya ia jujur."
"Tentu saja. Tetapi ingat bahwa tugas pertama seorang inkuisitor yang baik
adalah khusus mencurigai mereka yang kelihatannya jujur kepadanya."
"Jadi, inkuisitor itu pekerjaan kotor."
"Itulah sebabnya aku mengundurkan diri. Dan seperti katamu, aku terpaksa
bertindak seperti itu lagi. Tetapi ayolah: ke perpustakaan." []
Malam Dalam cerita ini akhirnya para penyeludup itu menjelajahi labirin, dan
mendapatkan penampakan aneh aneh dan, seperti biasa terjadi dalam labirin,
tersesat. ~Ly^^ kembali naik ke skriptorium, kali ini <_y(_ melalui tangga timur, yang
juga naik ke lantai terlarang itu. Sambil memegangi lampu tinggi-tinggi di depan
kami, aku memikirkan katakata Alinardo tentang labirin itu, dan mengharapkan
hal-hal yang menakutkan. Aku heran, saat kami muncul ke dalam tempat yang seharusnya tidak boleh kami
masuki itu, karena ternyata kami berada dalam suatu ruangan bersisi tujuh yang
tidak terlalu luas, tidak berjendela, yang dikuasai oleh sepertinya, dalam hal
ini, di seluruh lantai suatu bau stagnasi atau lumut yang menyengat. Sama sekali
tidak menakutkan. Ruangan itu, seperti sudah kukatakan, punya tujuh dinding, tetapi hanya empat
yang punya celah seperti suatu gang yang diapit dua kosen kecil yang dipasang
dalam dinding. Celah dinding itu cukup lebar, dengan pelengkung bulat di
atasnya. Pada dindingdinding buntu itu berdiri rak-rak buku
yang besar, sarat oleh bukubuku yang tertata rapi. Masingmasing kotak buku
diberi suatu gulungan perkamen dengan satu nomor, dan begitu pula masingmasing
rak itu; jelas nomornya sama dengan yang sudah kami lihat di katalog. Di tengah
ruangan itu ada sebuah meja, juga penuh buku. Semua buku itu tertutup lapisan
debu tipis, pertanda bukubuku itu dibersihkan pada waktuwaktu tertentu. Juga
tidak ada kotoran apa pun di atas lantai. Di atas salah satu pelengkung itu ada
suatu bentuk gulungan perkamen besar, dilukiskan pada dinding, dengan katakata
"Apocalypsis lesu Christi". 25 Tulisan itu tidak terlihat buram meskipun sudah
tua sekali. Sesudah itu kami melihat, juga di ruang-ruang lainnya, bahwa bentuk
gulungan perkamen itu benarbenar diukir dalam batu, dicukil cukup dalam, dan
kemudian lekukannya diisi dengan warna, seperti yang dilakukan para pelukis
waktu membuat fresko di gereja-gereja.
Kami masuk melalui salah satu celah itu. Ternyata kami lalu berada di ruang
lain, di mana ada satu jendela yang, daun jendelanya tidak terbuat dari kaca
tetapi dari potongan-potongan pualam beraneka warna, dengan dua dinding buntu
dan satu celah, seperti celah yang tadi kami lewati. Celah ini membuka ke ruang
lain, yang juga punya dua dinding buntu dan gang lain yang membuka di depan
kami. Dalam kedua ruangan ini, bentuk kedua gulungan kertas di situ sama dengan
yang tadi kami lihat, tetapi dengan katakata yang berbeda.
25 Wahyu Yesus Kristus penerj.?Gulungan perkamen dalam ruang pertama berbunyi: "Super thronos viginti


The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

quatuor",26 dan yang ada pada ruang kedua: "Nomen illi mors".27 Yang selebihnya,
meskipun kedua ruang ini lebih kecil daripada ruang ketika pertama kali kami
masuk ke perpustakaan itu (sebenarnya, yang satu itu heptagonal, sedangkan dua
ruang ini segiempat), perabotannya sama.
Kami memasuki ruang ketiga. Di situ tidak ada buku dan tidak ada gulungan
perkamennya. Di bawah jendela, ada sebuah altar batu. Di situ ada tiga pintu:
satu yang kami lewati untuk masuk; dua lainnya, yang masuk ke ruang lain, sama
seperti yang lainlainnya kecuali gulungan perkamennya yang berbunyi: "Obscuratus
est sol et aer", yang menyatakan makin gelapnya mentari dan hari.
Dari sini kami masuk ke suatu ruang lain, yang gulungan perkamennya berbunyi:
"Facta est grando et ignis", yang mengancam timbulnya huru-hara dan kebakaran.
Ruang ini tidak ada celahnya: begitu masuk, kami tidak bisa maju lebih jauh dan
harus kembali. "Mari kita pikirkan hal ini," kata William. "Lima ruang seakan segiempat dengan
dua sisinya searah, masing masing dengan satu jendela, ditata di sekitar suatu
ruangan heptagonal tak berjendela yang dimasuki oleh tangga itu. Kelihatannya
elementer bagiku. Kita berada di menara timur. Dari luar, masingmasing menara
menunjukkan lima 26 Di atas takhta-takhta dua puluh empat penerj
? 27 Nama dia itu kematian penerj.?jendela dan lima sisi. Tepat. Ruang yang kosong itu adalah yang menghadap timur,
ke arah yang sama seperti tempat koor di gereja; mentari subuh menerangi altar,
yang kukira pas dan suci. Menurutku, satusatunya ide yang pintar, adalah
penggunaan potongan pualam. Pada siang hari, cahaya tipis bisa masuk, dan pada
malam hari sinar bulan sama sekali tidak bisa menembus. Sekarang mari kita
lihat, menuju ke mana kedua pintu dari ruang heptagonal itu."
Guruku salah, mereka yang membangun perpustakaan itu lebih pintar daripada yang
kami perkirakan. Aku tidak bisa menerangkan dengan jelas apa yang telah terjadi,
tetapi ketika kami meninggalkan ruang menara, urutan ruang-ruang itu menjadi
lebih membingungkan. Ada yang punya dua pintu, ada yang tiga. Semuanya
masingmasing punya satu jendela, bahkan ruang-ruang yang kami masuki dari ruang
berjendela satu itu, karena mengira kami menuju ke bagian-dalam Aedificium
tersebut. Masingmasing selalu berisi jenis kotak dan meja yang sama; bukubuku
yang dijajar rapi itu semua terlihat sama dan sudah tentu tidak membantu kami
untuk segera mengenali lokasi kami. Kami berusaha mengorientasi diri lewat
gulungan-gulungan perkamen itu. Kami menyeberangi ruang yang bertulisan "In
diebus illis" atau "Pada harihari itu", dan setelah berputar-putar sebentar,
rasanya kami harus kembali ke situ. Tetapi kami ingat bahwa pintu di seberang
jendela itu menuju ke ruang yang gulungan perkamennya berbunyi "Primogenitus
mortuorum", atau "Kelahiran pertama orang mati", sedangkan sekarang kami sampai
ruang lain lagi yang gulungan perkamennya berbunyi "Apocalypsis lesu Christi",
meskipun itu bukan ruang heptagonal dari mana kami mulai tadi. Kenyataan ini
meyakinkan kami bahwa katakata dalam gulungan perkamen itu kadangkadang diulangi
dalam ruang yang berbeda. Kami menemukan dua ruang berturutan yang ditandai
dengan kata "Apocalypsis", dan langsung setelah itu, satu ruang ditandai
perkamen yang berbunyi "Cecidit de coelo Stella magna", atau "Sebuah bintang
besar jatuh dari langit".
Sumber dari frasa pada gulungan perkamen itu jelas bait-bait dari Wahyu kepada
Yohanes tetapi sama sekali tidak jelas mengapa katakata itu dilukis pada dinding
atau logika apa yang dipakai untuk mengurutkannya. Yang membuat kami makin
bingung, kami menemukan bahwa ada beberapa gulungan perkamen, tidak banyak, yang
berwarna merah dan bukan hitam.
Pada suatu saat tertentu kami ternyata berada lagi dalam ruang heptagonal yang
pertama (dengan mudah dikenali karena lubang anak tangga itu dimulai di sana)
dan kami kembali berjalan ke arah kanan kami, sambil berusaha langsung berjalan
dari satu ke ruang lain. Kami melewati tiga ruang dan kemudian ternyata kami
menghadapi sebuah dinding kosong. Satusatunya jalan keluar adalah menuju suatu
ruang baru yang hanya punya satu celah, lalu kami lewati, dan, kemudian, setelah
empat ruang lagi, dan ternyata kami kembali menghadapi
sebuah dinding kosong. Kami kembali ke ruang sebelumnya, yang punya dua jalan
keluar, dengan mengambil satu yang belum pernah kami coba, kami masuk ke suatu
ruang baru, dan kemudian ternyata kami berada lagi di bagian-luar ruang
heptagonal itu. "Apa nama ruang yang terakhir, ruang tempat kita mulai melacak kembali jalan
kita?" tanya William.
Aku memeras ingatanku dan terbayang seekor kuda putih. "Equus albus".
"Bagus. Mari kita cari lagi." Dan itu mudah. Dari situ, jika tidak ingin kembali
lagi seperti tadi, kami hanya dapat melewati ruang yang bertuliskan "Gratia
vobis et pax", dan dari situ, di sebelah kanan, kami mengira menemukan suatu
lorong baru, yang tidak membawa kami kembali. Nyatanya kami justru sampai ke
ruang "In diebus illis" dan "Primogenitus mortuorum" (bukankah itu nama ruangruang yang belum lama ini kami masuki"); lalu akhirnya kami sampai ke sebuah
ruang yang rasanya belum pernah kami kunjungi sebelumnya: "Tertia pars terrae
combusta est".zs Namun, bahkan kalau telah mendengar bahwa sepertiga bumi sudah
terbakar, kami masih tidak tahu posisi kami berkaitan dengan menara timur itu.
Sambil memegang lampu di depanku, aku menjelajah ke dalam ruang-ruang
selanjutnya. Seorang raksasa yang ukurannya amat besar, suatu bentuk yang
berayun dan bergetar menuju ke arahku, seperti hantu.
"Setan!" teriakku dan hampir menjatuhkan lam 28 "Sepertiga bumi terbakar" penerj?pu itu ketika memutar tubuh dan mencari perlindungan dalam pelukan William. Ia
merenggut lampu itu dari tanganku dan, sambil mendorongku ke samping, melangkah
maju dengan kebulatan tekad yang menurutku tampak sublim. Ia juga telah melihat
sesuatu, karena ia buruburu mundur. Kemudian ia mengajukan tubuhnya lagi dan
mengangkat lampu itu. Lalu tertawa terbahak-bahak.
"Betulbetul pintar. Sebuah cermin!" "Sebuah cermin?"
"Ya, kesatriaku yang pemberani. Belum lama tadi dengan begitu berani kau mau
menangkap seorang musuh yang nyata di skriptorium, dan sekarang kau takut kepada
pantulanmu sendiri. Sebuah cermin yang memantulkan bayanganmu sendiri,
diperbesar dan bergoyanggoyang."
Ia membimbing tanganku dan mengajakku berjalan ke dinding yang menghadap pintu
masuk ke ruang itu. Pada selembar kaca berombakombak, sekarang terkena cahaya
lampu yang lebih dekat, aku melihat dua bayangan, bentuknya begitu tidak keruan,
dan manakala kami mendekat atau melangkah mundur, bentuk dan tinggi pantulannya
berubah. "Kau harus membaca suatu risalah tentang optik," kata William bergurau, "seperti
jelas dilakukan oleh pencipta perpustakaan ini. Yang terbaik adalah tulisan
seorang Arab. Alhazen menulis sebuah risalah, De aspectibus, yang di dalamnya,
dengan peragaan geometris yang persis, ia bicara tentang
kekuatan cermin, beberapa di antaranya, tergantung pada ketebalannya, dapat
memperbesar benda paling kecil (apalagi kalau bukan kacamataku"), sementara yang
lainnya membuat pantulannya muncul terbalik, atau mencong, atau menunjukkan dua
objek sebagai ganti satu objek, atau empat sebagai ganti dua. Masih ada lainnya,
seperti yang ini, mengubah orang kerdil menjadi seorang raksasa, atau seorang
raksasa menjadi orang kerdil."
"Yesusku!" seruku. "Apakah ini semua, kalau begitu, bayangan yang oleh beberapa
orang dikatakan tampak di dalam perpustakaan?"
"Mungkin. Suatu ide yang betulbetul pintar." Ia membaca gulungan perkamen pada
dinding di atas cermin itu: "Super thronos viginti quator". '"Dua puluh empat
tua-tua di takhta mereka.'
Kita sudah melihat tulisan ini sebelumnya, tetapi di dalam suatu ruang tanpa
cermin. Di samping itu, yang ini tidak ada jendelanya, dan juga tidak
heptagonal. Di mana kita ini?" Ia memandang sekeliling dan menghampiri sebuah
kotak buku. "Adso, tanpa oculi ad legendum yang ajaib itu, aku tidak dapat
membayangkan apa yang tertulis pada bukubuku ini. Coba bacakan beberapa
judulnya." Aku mengambil sebuah buku secara acak. "Guru, ini tidak ada tulisannya!"
"Apa maksudmu" Aku bisa melihat ada tulisannya. Apa yang kaubaca?"
"Aku tidak bisa membaca. Tidak ada huruf alfabetnya, dan ini bukan tulisan
Yunani. Aku akan mengenalinya. Huruf-huruf itu seperti cacing, ular,
lalat, lubang ...." "Ah, itu tulisan Arab. Apa yang lainnya seperti
itu?" "Ya, beberapa. Tetapi ini ada satu dalam huruf Latin, syukurlah. Al ... AlKuwarizmi, Tabulae."
"Tabel astronomi Al-Kuwarizmi, diterjemahkan oleh Adelard dari Bath! Suatu karya
langka! Teruskan." "Isa ibnu-Ali, De oculis; Alkindi, De radiis stella-tis ...."
"Sekarang periksa yang di atas meja itu."
Aku membuka sebuah buku besar yang tergeletak di atas meja, De Betiis. Kebetulan
aku membuka suatu halaman bergambar indah yang menunjukkan seekor unicorn yang
amat cantik. "Digambar dengan amat indah," komentar William karena bisa melihat ilustrasi itu
dengan baik. "Dan itu?"
Aku membaca, "Liber monstrorum de diversis generibus. Gambargambarnya juga
bagus, tetapi rasanya lebih tua." William menundukkan wajahnya ke dekat teks
itu. "Dilukis oleh rahibrahib Irlandia, paling sedikit lima abad yang lalu.
Sebaliknya, buku unicorn itu, jauh lebih baru; menurutku seperti dibuat dalam
gaya Prancis." Sekali lagi aku mengagumi pengetahuan guruku. Kami memasuki ruang
sebelahnya dan menyeberangi empat ruang sesudah itu, semuanya berjendela, dan
semua penuh dengan buku dalam bahasa yang tak dikenal, di samping beberapa teks
tentang ilmu klenik. Kemudian kami sampai pada sebuah dinding,
yang memaksa kami untuk balik, karena lima ruang terakhir itu saling membuka,
tanpa kemungkinan jalan keluar yang lain.
"Dengan menaksir sudut-sudut dinding itu, aku berani bilang kita berada dalam
pentagon dari menara lain," kata William, "tetapi di sini tidak ada ruang
heptagonal pusat. Mungkin kita salah."
"Tetapi bagaimana dengan jendelajendela itu," tanyaku.
"Bagaimana mungkin ada begitu banyak jendela" Tidak mungkin semua ruang itu
menghadap ke luar." "Kau melupakan sumur pusat. Banyak dari jendela yang sudah kita lihat menghadap
oktagon itu, sumur itu. Di siang hari, perbedaan cahayanya akan menunjukkan
kepada kita mana jendela yang menghadap ke dalam, mana jendela yang menghadap ke
luar, dan mungkin sinar matahari bahkan dapat mengungkapkan kepada kita posisi
suatu ruang. Tetapi setelah gelap, bedanya tidak tampak.
Ayo kita kembali." Kami kembali ke ruang yang ada cerminnya dan berjalan menuju ambang pintu
ketiga, yang kami kira belum kami lewati sebelumnya.
Di depan kami tampak sederet ruangan, tiga atau empat, dan ke arah yang terakhir
kami melihat suatu cahaya.
"Ada orang di sana!" aku berseru dengan suara tertahan.
"Jika begitu, ia sudah melihat lampu kita," kata William, ia pun lalu melindungi
nyala lampu itu dengan tangannya. Kami terhenyak satu dua detik. Nyala itu terus berkedip pelan,
tetapi tanpa menjadi lebih kuat atau melemah.
"Mungkin itu cuma lampu," kata William, "ditaruh di sini untuk meyakinkan para
rahib bahwa perpustakaan ini dihuni oleh roh-roh orang mati. Tetapi kita harus
memeriksanya. Kau di sini saja, dan tetap tutupi lampu itu. Aku akan ke sana
dengan hatihati." Karena masih merasa malu pada figur malang yang kutabrak di depan cermin, aku
ingin memperbaiki citra diriku sendiri di depan mata William. "Tidak, aku saja,"
kataku. "Guru di sini saja. Aku akan maju dengan hati hati. Aku lebih kecil dan
lebih enteng. Begitu sudah yakin tidak ada risiko, aku akan memanggil Anda."
Maka aku melakukannya. Aku maju melewati tiga ruang, sambil tetap mepet ke
dinding, dengan langkah seringan kucing (atau seperti seorang novis turun ke
dapur untuk mencuri keju dari almari makan: suatu keterampilan yang amat
kukuasai di Melk). Aku sampai di ambang ruangan dari mana cahaya agak redup itu
berasal. Aku menelusuri sepanjang dinding ke sebuah pilar yang berfungsi sebagai
penyangga bagian kanan, dan mengintip ke dalam ruang itu. Tak ada siapa-siapa di
sana. Di atas meja ada semacam lampu menyala, dan lampu itu berasap, berkedipkedip. Kelihatannya lampu itu tidak seperti yang kami bawa; justru semacam wiruk
tanpa tutup. Tidak ada nyala api di situ, tetapi ada bara abu tipis yang membakar sesuatu.
Aku mengumpulkan keberanianku dan masuk. Di atas meja, di samping wiruk,
tergeletak sebuah buku dengan warnawarni cerah yang terbuka. Aku mendekat dan
melihat empat garis dengan warna berbedabeda pada halaman tersebut: kuning,
merah tua, pirus, cokelat bata. Seekor binatang buas tertera di sana, tampak
amat mengerikan, seekor naga besar dengan sepuluh kepala, sedang menyeret
bintangbintang di langit dan dengan ekornya mengibaskan bintangbintang itu agar
jatuh ke bumi. Dan tibatiba aku melihat naga itu bertambah banyak, dan sirip
pada kulitnya menjadi semacam hutan pecahan kaca yang mengilat-ngilat muncul
dari halaman itu dan mulai mengitari kepalaku. Aku melemparkan kepalaku ke
belakang dan melihat langitlangit ruangan itu melorot dan turun menekan ke
arahku, kemudian aku mendengar sesuatu seperti desis seribu ular, tetapi tidak
menakutkan, hampir menggoda, dan seorang perempuan muncul, bermandi cahaya, dan
mendekatkan wajahnya ke wajahku, napasnya mengembusi wajahku.
Aku mengulurkan kedua tanganku dan mengusirnya, dan tanganku seakan menyentuh
bukubuku pada rak di seberangnya, atau seakan jadi amat memanjang. Aku tidak
lagi menyadari di mana aku berada, mana bumi, mana langit. Di tengah ruangan aku
melihat Berengar menatapku dengan senyum penuh kebencian, nafsu membunuh. Aku
menutupi wajahku dengan kedua tanganku, dan
tanganku seakanakan seperti cakar katak, kurus dan berselaput. Aku menjerit, aku
yakin itu; mulutku terasa asam. Aku terlempar ke dalam kegelapan abadi, yang
rasanya makin lama makin melebar di bawahku; dan kemudian aku tidak tahu apa-apa
lagi. Aku terjaga lagi setelah rasanya berabadabad lamanya, karena mendengar tepukan
berdentam dalam kepalaku. Aku telentang di atas lantai dan William sedang
menepuk-nepuk pipiku. Aku tidak lagi berada di ruang itu, dan di depan mataku
ada gulungan perkamen yang berbunyi: "Requiescant a laboribus suis" ("Semoga
mereka beristirahat dari pekerjaan mereka").
"Adso, ayolah, Adso," bisik William kepadaku. "Tidak ada apaapa ...."
"Ada segala sesuatu kataku, masih mengigau. "Di sana, binatang buas itu ...."
"Tidak ada binatang buas. Aku menemukan kau mengoceh di bawah meja bergambar
wahyu Mozarabic yang indah, terbuka pada halaman dengan mulier amicta sole,29
menghadapi naga itu. Tetapi dari aroma di situ aku menyadari bahwa kau telah
menghirup sesuatu yang berbahaya dan langsung kugendong kau ke sini. Kepalaku
juga sakit." "Tetapi apa yang telah kulihat?"
"Kau tidak melihat apa-apa. Nyatanya, ada semacam bahan yang mampu merangsang
penampakan dibakar di sana. Aku mengenali baunya
29 Perawan berselubung matahari penerj.?: ini bahan dari Arab, mungkin sama dengan yang diberikan Petapa Tua dari Gunung
itu kepada para pembantainya untuk dihirup sebelum menggagalkan misi mereka.
Jadi, kita harus menjelaskan misteri dari penampakan itu. Seseorang menaruh
ramuan magis di sana pada waktu malam agar tamu-tamu tak diundang yakin bahwa
perpustakaan ini dijaga oleh makhlukmakhluk kejam. Oh, ya, apa yang kaualami?"
Dengan bingung, sebisa mungkin yang kuingat, aku menceritakan tentang penampakan
itu, dan William tertawa, "Untuk setengahnya kau mulai mengembangkan apa yang
sepintas sudah kaulihat dalam buku itu, dan untuk selebihnya kau membiarkan
hasrat dan ke takutanmu bicara. Ini cara kerja ramuan tertentu yang mulai
beraksi. Besok kita harus membicarakan ini dengan Severinus; aku yakin ia tahu
lebih banyak daripada yang ia ingin kita memercayainya.
Itu cuma ramuan, cuma ramuan, tidak memerlukan persiapan nujum seperti yang
diceritakan pandai kaca itu kepada kita.
Ramuan, cermin .... Tempat pengetahuan terlarang ini dijaga oleh sarana yang
banyak dan paling lihai. Pengetahuan dipakai untuk menutupi, dan bukan untuk
memberi pencerahan. Aku tidak suka ini.
Pertahanan suci perpustakaan ini dikuasai oleh suatu pikiran yang terbalik.
Namun, ini malam yang melelahkan; sekarang kita harus meninggalkan tempat ini.
Kau ketakutan dan kau butuh air dan
udara segar. Tidak ada gunanya berusaha membuka jendelajendela itu: terlalu
tinggi, dan mungkin sudah puluhan tahun tertutup.
Bagaimana mereka bisa mengira Adelmo telah menjatuhkan dirinya ke bawah dari
sini?" Meninggalkan tempat ini, kata William. Sepertinya mudah. Kami tahu bahwa
perpustakaan itu hanya dapat dicapai dari satu menara, menara timur. Tetapi di
mana kami sekarang ini" Kami sudah benarbenar kehilangan orientasi. Kami mulai
menjelajah, sementara takut tidak pernah bisa keluar lagi dari tempat ini: aku
masih gemetar, tercengkam oleh rasa pingin muntah: dan William, sedikit banyak
mencemaskan diriku dan jengkel karena pengetahuannya kurang memadai; tetapi
penjelajahan ini memberi kami, atau dia, suatu gagasan untuk hari berikutnya.


The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami bisa kembali ke perpustakaan ini, dengan perkiraan kami akan bisa keluar
dari sini, dengan sebuah puntung berapi, atau sesuatu bahan lain yang bisa
meninggalkan tandatanda pada dinding.
"Untuk mencari jalan keluar dari suatu labirin," kata William, "hanya ada satu
cara. Pada setiap persimpangan jalan baru, yang belum pernah dilihat, jalan yang
telah kita ambil harus diberi tiga tanda. Jika, karena tanda yang dibuat
sebelumnya pada beberapa jalan di persimpangan itu, kau melihat bahwa
persimpangan jalan itu sudah pernah dikunjungi, beri satu tanda saja pada jalan
yang kauambil. Jika semua celah sudah dilewati telah ditandai, maka kau harus
melacak kembali langkahmu. Tetapi jika satu atau dua celah pada persimpangan itu masih belum
bertanda, maka pilih salah satu, sambil membuat dua tanda di situ. Sementara
melewati satu celah yang hanya punya satu tanda, kau akan membuat dua tanda
lagi, sehingga semua celah sekarang punya tiga macam tanda. Semua bagian dari
labirin itu pasti sudah pernah dikunjungi jika, ketika sampai pada suatu
persimpangan jalan, kau tidak pernah melalui jalan dengan tiga tanda, kecuali
tidak ada jalan lain yang sekarang tidak bertanda."
"Bagaimana Guru bisa tahu itu" Apa Guru ahli labirin?"
"Tidak, aku mengutip suatu teks kuno yang pernah kubaca."
"Dan Guru keluar dengan menaati aturan ini?"
"Hampir tidak pernah, sejauh aku tahu. Tetapi kita akan mencobanya, toh sama
saja. Dan di samping itu, dalam waktu sekitar sehari lagi aku akan punya
kacamata dan waktu untuk lebih menekuni bukubuku itu. Mungkin urutan dari
gulungan perkamen itu yang membuat kita bingung, penataan bukubuku itu akan
memberi kita aturan."
"Guru akan punya kacamata" Bagaimana guru akan menemukannya kembali?"
"Aku bilang aku bakal punya kacamata. Aku akan menyuruh untuk membuat yang baru.
Aku yakin pandai kaca itu ingin sekali mendapat kesempatan untuk mencoba sesuatu
yang baru semacam ini. Asalkan ia punya alat yang tepat untuk
menggerinda beberapa potong kaca. Ia toh punya banyak potongan kaca dalam
bengkelnya." Sementara menjelajah, sambil mencaricari jalan, tiba tiba, di tengah satu ruang,
aku merasa ada tangan tidak tampak membelai pipiku, sementara suatu erangan,
bukan manusia bukan binatang, menggema dalam ruang itu sekaligus ruang
berikutnya, seakan seorang hantu yang bergentayangan dari satu ruang ke ruang
lainnya. Seharusnya aku sudah siap menghadapi kejutan-kejutan perpustakaan itu,
tetapi sekali lagi aku ketakutan dan melompat mundur. William tentu mendapat
pengalaman yang serupa, karena ia menyentuh pipinya sambil mengangkat lampu dan
memandang ke sekeliling. William mengangkat satu tangannya, memeriksa nyala lampu, yang sekarang
sepertinya lebih terang, kemudian membasahi satu jarinya dengan ludah dan
mengangkatnya lurus di depannya.
"Sudah jelas," katanya kemudian, dan menunjukkan kepadaku dua titik, pada
dinding seberang, setinggi orang. Di sana ada dua celah sempit, dan jika kau
menaruh tanganmu ke situ kau bisa merasakan udara dingin masuk dari luar. Kalau
mengarahkan telingamu ke situ, kau dapat mendengar bunyi bergemeresek seakan ada
angin bertiup dari luar. "PERPUSTAKAAN ini harus, tentu saja, punya sistem ventilasi," kata William.
"Kalau tidak, maka atmosfer di sini akan pengap, terutama pada musim panas. Di
samping itu, dua celah sempit itu memberi kelembapan yang memadai, sehingga
perkamen itu tidak mengering. Tetapi kepandaian mereka yang membangun tempat ini
tidak berhenti sampai di sini. Dengan menempatkan celah-celah sempit pada sudut
tertentu, mereka memastikan bahwa pada malammalam penuh angin, embusan angin
yang menembus dari celah-celah ini akan berhadapan dengan embusan angin lain,
dan berputar di dalam urutan ruang-ruang, sehingga menimbulkan bunyi-bunyi yang
sudah kita dengar. Yang, ditambah cermin dan ramuan itu, membuat orang gugup
yang tidak kenal baik tempat ini menjadi lebih takut.
Dan untuk sejenak kita sendiri mengira hantuhantu mengembuskan napas ke wajah
kita. Kita baru menyadarinya sekarang karena baru sekarang angin itu berembus
naik. Jadi, misteri ini, juga sudah teratasi. Tetapi kita masih belum tahu
caranya keluar!" Sementara kami bercakapcakap, kami menjelajah tanpa tujuan, karena sekarang
gelisah, kami merasa tidak perlu membaca gulungan-gulungan perkamen itu lagi,
yang semuanya terlihat serupa. Kami sampai ke dalam suatu ruang heptagonal baru,
kami berjalan lewat ruang ruang di dekatnya, kami tidak menemukan jalan keluar.
Kami menelusuri kembali langkah kami dan berjalan hampir satu jam, tanpa
berusaha menemukan di mana kami berada.
Pada suatu saat tertentu William memutuskan bahwa kami kalah; kami hanya bisa
tidur di suatu tempat dan berharap keesokan hari Maleakhi akan
menemukan kami. Sementara kami meratapi akhir menyedihkan dari petualangan kami
yang berani itu, tibatiba kami menemukan lagi ruang dari mana tangga itu turun.
Dengan penuh syukur kami berterima kasih kepada surga dan turun dengan semangat
tinggi. Begitu sampai di dapur, kami bergegas menuju perapian dan memasuki gang osarium,
dan aku bersumpah bahwa seringai mati dari kepala-kepala tak berdaging itu
memandangku bagaikan senyum sahabat lama. Kami memasuki gereja lagi dan keluar
lewat pintu utara, akhirnya duduk dengan bahagia di atas batubatu nisan. Udara
malam yang indah bagaikan balsem suci. Bintangbintang bersinar di seputar kami
dan aku merasa bayangbayang perpustakaan sudah jauh sekali.
"Betapa indahnya dunia ini, dan betapa jeleknya labirin itu," kataku dengan
lega. "Betapa dunia akan menjadi indah jika ada suatu prosedur untuk berjalanjalan
lewat labirin itu," jawab guruku.
Kami berjalan sepanjang sisi kiri gereja itu, melewati gerbang besar (aku
memalingkan wajah, agar jangan melihat tua-tua dari kitab Wahyu: "Super thronos
viginti quatuor"!), dan menyeberangi kloster untuk menuju penginapan tamu.
Di pintu bangunan itu berdiri sang Abbas, sambil menatap kami dengan angker.
"Aku telah mencari-carimu sepanjang malam," katanya kepada William. "Aku tidak
menemukan kau di dalam bilikmu, aku tidak menemukan kau di dalam gereja ...."
"Kami sedang melacak jejak kata William
pelan, nyata dengan malu. Abbas itu memandangnya lama-lama, kemudian berkata
dalam suara yang pelan pelan dan keras, "Aku mencarimu segera setelah komplina.
Berengar tidak berada dalam koor."
"Kau bilan apa?" kata William dengan raut muka ceria. Terus terang, sekarang
jelas baginya siapa yang tadi bersembunyi dalam skriptorium.
"Ia tidak berada di koor selama komplina," ulang Abbas itu, "dan belum kembali
ke biliknya. Sebentar lagi matina, dan sekarang akan kita lihat apa ia muncul
lagi. Kalau tidak, aku cemas akan ada musibah lagi."
Pada matina Berengar tidak hadir. []
Dari Lauda Sampai Prima Dalam cerita ini ditemukan sehelai kain berlumur darah dalam bilik Berengar,
yang lalu hilang; dan hanya itu.
s~Lyft\ka mulai menuliskan katakata ini, aku _/f merasakan lagi keletihan
seperti yang kura sakan malam itu, atau, lebih tepatnya, pagi itu. Apa boleh dikata" Setelah
matina, Abbas menyuruh hampir semua rahib, sekarang dalam keadaan amat gelisah,
untuk mencari ke manamana, tetapi tanpa hasil.
Menjelang lauda, sewaktu menggeledah bilik Berengar, seorang rahib menemukan
secarik kain putih berlumur darah di bawah dipan.
Ia menunjukkannya kepada Abbas, yang menarik pertanda paling mengerikan dari
situ. Jorge juga ada di situ, dan begitu diberi tahu, ia bilang, "Darah?" seakan
benda itu tampak mustahil baginya. Mereka memberi tahu Alinardo, yang
menggelengkan kepala dan berkata, "Tidak, tidak, pada trompet ketiga akan datang
air ...." William memeriksa kain itu, kemudian berkata, "Sekarang segalanya sudah jelas."
"Di mana Berengar?" tanya mereka.
"Entahlah," jawabnya. Aymaro mendengar kata William dan mengangkat matanya ke
langit sambil bergumam kepada Petrus dari Sant1 Albano. "Khas orang Inggris."
Menjelang prima, ketika mentari sudah tinggi, para pelayan disuruh menjelajahi
kaki jurang, di sekitar semua dinding. Mereka kembali pada saat tersiat, karena
tidak menemukan apa-apa. William mengatakan kepadaku bahwa kami tidak bisa melakukan yang lebih baik.
Kami harus menunggu kejadian lainnya. Dan ia pergi ke bengkel kaca, lalu
bercakapcakap lama dengan Nicholas, pandaikaca itu.
Aku duduk di dalam gereja, dekat pintu utama, ketika misa berlangsung.
Dan aku merasa sangat mengantuk dan tidur lama sekali, karena orang muda agaknya
butuh tidur lebih lama daripada orang tua, yang sudah tidur begitu banyak dan
mulai menyiapkan diri untuk tidur selamanya. []
Tersiat Dalam cerita ini Adso, di dalam skriptorium, merenungkan kisah ordonya dan nasib
bukubuku. keluar dari gereja dengan rasanya sudah t_/jp tidak terlalu lelah lagi, tetapi
pikiranku bingung: tubuh ini tidak bisa menikmati istirahat yang tenang kecuali
pada jam-jam malam. Aku naik ke skriptorium dan, setelah mendapat izin dari
Maleakhi, mulai membuka-buka halaman katalog. Namun, ketika aku memandangi
halamanhalaman yang lewat di depan mataku, sebenarnya aku tengah mengamati para
rahib itu. Aku kagum akan ketenangan mereka, akan kedamaian mereka. Tekun bekerja, mereka
seakanakan lupa bahwa salah seorang saudara mereka dengan penuh tanda tanya
sedang dicari-cari di seluruh tempat, dan bahwa dua lainnya telah lenyap dalam
keadaan mengerikan. Di sini, kataku dalam hati, letak kehebatan ordo kami: selama berabadabad dan
berabadabad, orangorang seperti ini telah menyaksikan pengacau barbarian
menyerang, merampok biara mereka,
melontarkan kerajaan-kerajaan ke dalam nyala api liar, dan toh mereka tetap
memperindah perkamen dan tinta, tetap membaca, menggerakkan bibir mereka di atas
katakata yang telah mereka warisi selama berabadabad dan akan mereka wariskan
selama berabadabad mendatang. Mereka terus membaca dan menyalin sementara
milenium mendekat; kenapa mereka tidak mau berhenti berbuat begitu sekarang"
Sehari sebelumnya, Benno telah mengatakan bahwa ia akan bersedia melakukan dosa
dalam rangka memperoleh sebuah buku langka. Ia tidak bohong dan ia tidak
bergurau. Seorang rahib seharusnya sungguh mencintai bukunya dengan kerendahan
hati, mengharapkan kebaikan bukubuku itu dan bukan kemuliaan dari rasa ingin
tahu mereka sendiri; tetapi kalau orang miskin tergoda untuk berzina dan pejabat
gereja sekular mendambakan kekayaan, maka rahib tergoda untuk memperoleh
pengetahuan. Aku membuka-buka semua halaman katalog itu, dan suatu pesta judul misterius
menari-nari di depan mataku: Quinti Sereni de medicamentis, Phaenomena, Liber
Aesopi de natura animalium, Liber Aethici peronymi de cosmographia, Libri tre
quos Arculphus episcopus adamnano escipiente de locis Sanctis ultramarinis
designavit conscribendos, Libellus Q. Iulii Hilarionis de origine mundi, Solini
Polyhistor de situ orbis terrarum et mirabilibus, Almagesthus .... Aku tidak heran
kalau misteri dari kejahatan kejahatan itu sudah tentu melibatkan
perpustakaan itu. Bagi orangorang yang mengabdi kepada penulisan, perpustakaan
merupakan Jerusalem surgawi sekaligus dunia bawah tanah pada batas antara terra
incognita dan dunia gelap Hades di bawah tanah. Mereka dikuasai oleh
perpustakaan itu, oleh janjijanji dan larangannya. Mereka hidup bersama
perpustakaan, untuk itu, dan mungkin melawan itu, sementara dengan penuh dosa
berharap suatu hari dapat merampas semua rahasianya. Mengapa mereka tidak boleh
mengambil risiko kematian untuk memuaskan suatu keingin tahuan dari pikiran
mereka, atau membunuh untuk mencegah jangan sampai ada orang yang mengambil
rahasia mereka sendiri yang dijaga dengan cermat"
Godaan, dapat dipastikan: kesombongan intelektual. Amat berbeda dengan rahibpenulis yang diangankan oleh santo pendiri kami, mampu menyalin tanpa memahami,
pasrah kepada kehendak Allah, menulis seakan berdoa, dan berdoa sedikit banyak
sama dengan sedang menulis. Mengapa hal ini tidak lagi seperti itu"
Oh, ini sudah tentu bukan karena kemerosotan ordo kami! Ordo kami sudah menjadi
terlalu kuat, abbas-abbasnya bersaing dengan para raja: dalam diri Abo, apa
tidak mungkin aku tidak melihat contoh dari seorang raja yang, dengan sikap
seorang raja, berusaha menyelesaikan kontroversi di antara para raja"
Pengetahuan itu sendiri, yang sudah dikumpulkan biara-biara tersebut, sekarang
digunakan sebagai barang tukar-menukar, alasan
untuk bangga, motif untuk pamer dan punya martabat; persis seperti para kesatria
memamerkan senjata dan standar kecekatan, maka abbas kami memamerkan
naskahnaskah bergambar .... Dan sekarang makin begitu (gila sekali!) ketika biarabiara kami juga sudah tidak lagi unggul di bidang ilmu pengetahuan: sekolahsekolah katedral, usaha dagang di kota. Sekarang universitas mulai menyalin
buku, mungkin lebih banyak dan lebih baik daripada kami, dan menghasilkan
bukubuku baru, dan mungkin ini yang selama ini menimbulkan banyak kemalangan.
Biara tempat aku menginap sekarang ini mungkin biara paling akhir yang
memamerkan kehebatan dalam produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan. Tetapi
mungkin untuk alasan ini juga, para rahib sudah tidak lagi puas dengan pekerjaan
suci menyalin buku; mereka juga ingin menghasilkan kelengkapan alam yang baru,
didorong oleh hasrat akan hal-hal baru. Dan mereka tidak menyadari, seperti yang
samarsamar kurasakan pada saat itu (dan tahu dengan jelas pada hari ini, karena
sekarang sudah tua dalam usia dan pengalaman), bahwa dengan berbuat begitu
mereka mendukung hancurnya kehebatan mereka. Karena jika pengetahuan baru yang
ingin mereka hasilkan ini akan beredar dengan bebas di luar dindingdinding
tersebut, maka tidak ada lagi yang akan membuat tempat suci itu mencolok
dibandingkan suatu sekolah katedral atau suatu universitas di kota. Di lain
pihak, karena tetap terpencil, biara ini dengan
kuat mempertahankan martabat dan kekuatannya, tidak dirusak oleh intrik, oleh
kecongkakan karena amat menyenangi apa saja sehingga setiap misteri dan setiap
kehebatan harus tunduk pada pemeriksaan cermat dari sic et non. Itu sebabnya,
kataku dalam hati, mengapa suasana perpustakaan itu sunyi dan gelap; itu adalah
pelestarian pengetahuan namun pengetahuan itu hanya akan tetap tidak ternoda
jika siapa saja, bahkan rahibrahib itu sendiri, sama sekali dicegah untuk
menjamahnya. Pengetahuan bukan sekeping koin, yang secara fisik tetap utuh
bahkan setelah melalui transaksi paling keji; ini, lebih tepatnya, seperti
sepotong gaun yang indah, yang menjadi lapuk setelah berkali-kali dipakai dan
dipamerkan. Bukankah dalam kenyataannya buku juga demikian"
Jika banyak disentuh, halamannya menjadi kumal, tinta dan warna emasnya menjadi
buram. Aku melihat Pacificus dari Tivoli, membuka-buka sebuah buku kuno yang
halamannya sudah lengket karena lembap. Ia membasahi jempol dan telunjuknya
dengan ludah agar bisa membuka seluruh buku itu, dan setiap sentuhan ludah akan
mengurangi kesehatan perkamen itu; membukanya berarti mulai melipatnya,
membuatnya kena gerakan kasar udara dan debu, yang akan mempertajam kerutan
tipis dari perkamen itu, dan akan tumbuh jamur pada ujung perkamen di mana ludah
itu telah melunakkan tetapi juga melemahkan. Kalau kemanisan mengakibatkan
kesatria jadi lemah semangat dan tidak cekatan, maka cinta yang ingin tahu dan
ingin memiliki ini akan mengakibatkan buku tersebut rentan kepada penyakit yang
ditakdirkan untuk membunuhnya.
Lalu bagaimana" Jangan dibaca dan hanya dilestarikan" Apa kecemasanku betul" Apa
yang akan dikatakan guruku"
Di dekatku aku melihat seorang rubrikator, Magnus dari Iona, yang telah selesai
menggosok perkamennya dengan batu apung dan sekarang sedang melunakkannya dengan
kapur, sebentar lagi melicinkan permukaannya dengan sebatang penggaris. Yang
lain, di sampingnya, Rabano dari Toledo, telah membeber perkamen itu di atas
meja, mulai membuat lubanglubang kecil pada tepinya dengan sebatang stilus, dan
di antara lubanglubang itu ia sekarang mulai menggambar garis-garis horizontal
yang amat tipis. Sebentar lagi kedua halaman itu akan diisi dengan warna dan
bentuk-bentuk, lembaran itu akan menjadi semacam relikui, berkilauan dengan
permata yang ditaburkan di atas apa yang kelak akan menjadi teks tulisan yang
saleh. Kedua saudara itu, kataku kepada diri sendiri, melewatkan jam-jam surga
dunia mereka. Mereka mulai menghasilkan bukubuku baru, persis seperti bukubuku
yang mustahil tidak dihancurkan oleh waktu .... Oleh karena itu, perpustakaan itu
tidak dapat diancam oleh kekuatan jasmaniah apa pun, karena perpustakaan itu
sendiri suatu benda hidup .... Namun jika itu hidup, mengapa tidak mau menerima
risiko terbukanya pengetahuan" Apa ini yang diinginkan Benno dan yang mungkin
sudah diinginkan Venantius"
Aku merasa bingung, takut akan pikiranku sendiri. Mungkin ini bukan pikiran yang
cocok buat seorang novis, yang seharusnya hanya mengikuti Regula dengan rajin
dan rendah hati selama seluruh tahuntahun mendatang yang dengan sendirinya sudah
kulakukan, tanpa mempertanyakan lebih jauh kepada diriku sendiri, sementara
dunia di sekitarku mulai terbenam makin dalam dan makin dalam lagi ke dalam
badai darah dan kegilaan.
Waktu itu jam makan pagi. Aku pergi ke dapur di mana aku sekarang sudah berteman


The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tukangtukang masak, dan mereka memberiku beberapa potong kue paling
lezat. [] Sexta Dalam cerita ini Adso menerima kepercayaan dari Salvatore, yang tidak dapat
diringkas menjadi beberapa patah kata, tetapi yang membuatnya merenung lama dan
penuh keprihatinan. "rw/^Sktu sedang makan, aku melihat Salvatore {J/y di satu pojok, jelas sudah
berdamai dengan tukang masak itu, dengan ia tengah menikmati sepotong pai daging
dengan gembira. Ia makan seolaholah tidak pernah makan sepanjang hidupnya, tidak
membiarkan sepotong remah pun jatuh, dan tampak bersyukur kepada Tuhan untuk
peristiwa luar biasa ini.
Ia mengerdipkan mata kepadaku dan berkata, dalam bahasanya yang kacau, bahwa ia
makan untuk membayar puasanya selama bertahuntahun. Aku bertanya kenapa. Lalu ia
cerita tentang masa kecilnya yang amat menyedihkan dalam suatu desa yang
iklimnya buruk, sering sekali hujan, di mana ladang-ladang membusuk sementara
udara dikotori oleh racun rawa yang mematikan. Dari musim ke musim terjadi
banjir di sana, atau begitu yang bisa kutangkap, ketika sawah-sawah tidak punya
pematang dan dengan segantang benih kau hanya
memanen satu sektari, seperenam bagian, dan kemudian hasil satu sektari itu
menurun menjadi nol. Bahkan wajah para tuan tanah pucat seperti orang miskin,
meskipun, menurut Salvatore, jumlah orang miskin yang mati lebih besar daripada
orang berpunya, mungkin (ia tersenyum) karena jumlah orang miskinnya lebih
banyak .... Satu sektari harganya lima belas pence, satu gantang enam puluh pence,
para pengkhotbah mengumumkan tentang akhir dunia, tetapi orangtua dan kakek
Salvatore juga ingat bahwa kisah yang sama itu sudah dikhotbahkan di masa lalu,
maka mereka sampai pada kesimpulan bahwa dunia selalu hampir berakhir. Dan
setelah mereka makan semua bangkai burung dan semua binatang tidak bersih yang
bisa ditemukan, terdengar desas-desus di desa bahwa ada orang yang mulai
menggali mayat manusia. Salvatore menjelaskannya dengan kemampuan dramatik yang
hebat, bagaikan seorang aktor, bagaimana perilaku "homeni malissimi"i itu,
orangorang kejam yang mengeruk tanah kuburan dengan jarijari mereka sehari
setelah mayat dimakamkan. "Nyam!" katanya, dan menggigit sepotong pai dagingnya,
tetapi di wajahnya aku bisa melihat seringai orang putus asa yang sedang
menyantap mayat. Dan kemudian, karena tidak puas menggali di tanah yang
disucikan, berbuat lebih buruk lagi, seperti perompak, mengendapendap dalam
hutan dan tibatiba mencegat para pejalan. "Kuek!" kata Salvatore sambil menaruh
belatinya pada teng-1 Kanibal keji penetj.?gorokannya, dan "Nyam!" Dan yang paling buruk di antara anak paling jahat, mulai
menawarkan sebutir telur atau apel, dan kemudian mengambilnya kembali, namun,
seperti diterangkan Salvatore kepadaku dengan amat sedih, selalu menghabiskannya
lebih dulu. Ia menceritakan tentang seorang lelaki yang datang ke desa itu untuk
menjual daging matang dengan harga beberapa pence, dan tak seorang pun bisa
memahami keberuntungan yang besar ini, tetapi kemudian seorang imam mengatakan
bahwa itu daging manusia, dan orang itu dirajam habis oleh orang banyak yang
marah. Bagaimanapun juga, pada malam itu juga, seorang penduduk desa pergi dan
menggali makam korban yang terbunuh itu dan makan daging kanibal itu, yang
kemudian, karena ketahuan, orang desa membunuhnya pula.
Tetapi Salvatore tidak hanya menceritakan kisah ini. Dengan kata patah-patah,
sehingga aku terpaksa mengingat-ingat sedikit yang kuketahui tentang dialek
Provencal dan Italia, ia menceritakan tentang pelariannya dari desa asalnya dan
berkelana di segala penjuru dunia. Dan dalam kisahnya ini, aku mengenali banyak
orang yang sudah kukenal atau kutemui sepanjang jalan, dan sekarang aku
mengenali banyak lagi yang belum pernah kujumpai sejak itu, sehingga setelah
ini, aku mungkin justru menghubungkan petualangan dan kejahatan orangorang lain
dengannya, sebelum dia dan sesudah dia, dan yang sekarang, dalam pikiranku yang
letih, yang membentang rata untuk
membentuk satu gambaran tunggal. Terus terang ini kekuatan dari imajinasi, yang,
dengan menggabungkan ingatan akan emas dengan ingatan akan gunung, dapat
menyusun gagasan tentang suatu gunung emas.
Selama perjalanan kami, aku sering mendengar William menyebutkan "orang biasa",
suatu istilah yang oleh saudara-saudaranya tidak hanya dianggap sebagai penduduk
biasa, tetapi pada waktu yang sama, mereka yang tidak berpendidikan. Bagiku,
ungkapan ini selalu terlihat generik, karena dalam kotakota Italia aku telah
bertemu dengan saudagar dan artisan yang bukan orang gereja tetapi bukannya
tidak berpendidikan, bahkan jika pengetahuan mereka diungkapkan melalui
pemakaian bahasa dialek. Dan, untuk masalah itu, beberapa dari tiran yang pada
masa itu menguasai semenanjung tersebut justru tidak mengenal pengetahuan
teologis, dan medis, dan logika, dan tidak tahu bahasa Latin, tetapi mereka
jelas bukan orang biasa atau bodoh. Jadi, aku yakin bahwa bahkan guruku, kalau
bicara tentang orang biasa, menggunakan konsep yang agak sederhana. Tetapi
Salvatore sudah jelas orang biasa. Ia berasal dari tanah pertanian yang selama
berabadabad menderita kelaparan dan dikuasai arogansi tuan-tuan tanah feodal. Ia
orang biasa, tetapi tidak bodoh. Ia mendambakan suatu dunia yang berbeda, yang,
waktu lari dari rumah keluarganya, aku menyimpulkan, mengambil aspek tanah
Cockaigne, sebagai tempat di mana bongkahan-bongkahan keju
dan sosis lezat tumbuh pada pohon-pohon yang mengucurkan madu.
Terdorong oleh harapan semacam itu, seakanakan tidak mau mengenali dunia ini
sebagai sebuah cawan air mata di mana (seperti yang mereka ajarkan kepadaku)
bahkan ketidakadilan sudah ditakdirkan sebelumnya oleh Allah untuk menjaga
keseimbangan segala sesuatu, yang rencananya sering tidak mencapai kita,
Salvatore melakukan perjalanan ke berbagai negeri, dari desa asalnya Montferrat
menuju Liguria, kemudian memasuki tanah-tanah Raja Prancis melalui Provence.
Salvatore berkelana di seluruh dunia, mengemis, mencopet, pura-pura sakit,
sambil bekerja tidak tetap pada seorang tuan tanah, kemudian pergi lagi ke hutan
atau ke jalan raya. Dari kisah yang ia ceritakan kepadaku, aku membayangkan ia
berada di tengah gerombolan gelandangan yang pada tahuntahun berikutnya kulihat
makin lama makin banyak berkeliaran di sekitar Eropa: rahib palsu, orang yang
mengaku punya keterampilan yang sebenarnya tidak ia miliki, penipu, pembohong,
pengemis dan mereka yang berpakaian compang camping, penderita lepra dan cacat
tubuh, pemain sulap, tentara invalid, orang Yahudi yang keluyuran kehilangan
semangat karena melarikan diri dari orang kafir, orang gila, pelarian dari
pembuangan, narapidana dengan satu telinga dipotong, sodomit, dan bersama mereka
ada artisan, penenun, tukang patri, tukang reparasi kursi, tukang asah pisau,
penganyam keranjang, tukang batu, dan juga
segala macam orang jahat, pemalsu, bajingan, pemain kartu yang curang,
pencoleng, penodong, orang tak beriman, gadungan, penipu, buaya darat, pejabat
gereja dan imam yang memperjualbelikan indulgensi (pengurangan siksa neraka) dan
menggelapkan uang, orang yang hidup dari belas kasihan orang lain, pemalsu bulla
dan cap kepausan, penjaja kenikmatan, orang yang berbaring pura-pura lumpuh di
depan pintu gereja, pengemis pelarian dari biara, penjual relikui, penjual
pengampunan, tukang ramal, ahli nujum, tukang obat, pemintaminta, segala macam
pezina, perusak biarawati dan gadis-gadis dengan tipuan dan dengan cara
kekerasan, orang yang berlagak sakit gembur-gembur, ayan, perdarahan, encok, dan
luka-luka, maupun pura pura gila dan sedih, mereka semua berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lain. Ada orang yang melekatkan plester pada tubuhnya
untuk meniru bisul yang tak bisa disembuhkan, ada pula yang memenuhi mulutnya
dengan bahan berwarna darah untuk meniru orang sakit paru-paru, bajingan yang
berpu ra-pura salah satu kakinya lumpuh, sambil membawa kruk yang tidak perlu
dan meniru segala macam penyakit, scabies, bubu, bengkak, sambil mengenakan
pembalut, tetesan obat merah, sambil membawa besi, kepala mereka diperban,
menyelip masuk gereja dengan bau busuk, dan tibatiba pingsan di tempat terbuka,
sambil mengeluarkan ludah dan mata membelalak-belalak, dari hidungnya keluar
darah yang terbuat dari sari blackberry dan
vermilion, untuk merampas makanan atau uang dari orangorang ketakutan yang ingat
akan pesan imam untuk memberi sedekah: Bagi rotimu dengan orang lapar, bawa
orang yang tak punya rumah ke dekat perapianmu, maka kita mengunjungi Kristus,
kita memberi Kristus rumah, kita memberi Kristus pakaian, karena bagaikan air
memadamkan api begitu pula sedekah menghapuskan dosa kita.
Lama setelah kejadiankejadian yang kuceritakan ini, sepanjang tepian Danube aku
melihat banyak, dan masih melihat beberapa, dukun klenik yang menggunakan nama
dan cabang devisi mereka dalam legiun, seperti legiun setan.
Ini bagaikan lumpur yang mengalir di atas jalanjalan dunia kita, dan bercampur
bersama mereka ada para pengkhotbah dalam iman yang baik, orang bidah yang
mencari korban baru, para penghasut perselisihan. Adalah Paus Yohanes selalu
mencemaskan gerakan orang biasa yang mungkin berkhotbah dan mempraktikkan
kemiskinan yang mengecam pedas para pengkhotbah dina ini, karena, katanya,
mereka menimbulkan keingintahuan dengan mengibarkan bendera dengan gambargambar
berwarna, berkhotbah, dan menarik uang.
Apa Paus yang korup dan memperjualbelikan pengampunan itu benar kalau menganggap
para rahib pengemis yang berkhotbah tentang kemiskinan itu setara dengan
segerombolan perampok dan orang buangan" Pada masa itu, karena telah melakukan
perjalanan singkat di Semenanjung Italia, aku tidak lagi punya pendapat tegas
terhadap masalah itu: aku sudah mendengar tentang rahib dari Altopascio, yang,
ketika berkhotbah, mengancam ekskomunikasi dan menjanjikan indulgensi,
mengampuni mereka yang melakukan perampokan dan membunuh ayah sendiri, membunuh
orang lain, dan mengucapkan sumpah palsu, demi uang; mereka membiarkan orang
percaya akan kemurahan hati dengan mengadakan misa sampai seratus kali setiap
hari, untuk itu mereka mengumpulkan dana, dan mereka bilang bahwa dengan dana
itu mereka bisa memberi derma kepada dua ratus gadis melarat. Dan aku telah
mendengar kisah Bruder Paolo Zoppo, yang hidup sebagai petapa di Hutan Rieti dan
membual bahwa karena telah menerima pencerahan langsung dari Roh Kudus yang
menyatakan bahwa tindakan duniawi bukan dosa maka ia merayu korban-korbannya,
menyebut mereka saudara perempuan, memaksa mereka pasrah menerima cambukan pada
daging mereka yang telanjang, membuat lima pemujaan di atas tanah dalam bentuk
sebuah salib, sebelum ia menyerahkan mereka kepada Tuhan dan menuntut dari
mereka apa yang ia sebut cium damai. Tetapi apa itu betul"
Dan apa hubungannya antara para petapa yang konon beroleh pencerahan tersebut
dan rahib dina yang berkeliaran sepanjang jalanjalan semenanjung itu untuk
melakukan pertobatan, tidak disukai oleh imam dan uskup yang mereka cela karena
mencuri dan kejam" Dari kisah Salvatore, karena lalu bercampur
dengan hal hal yang sudah kuketahui dari pengalamanku sendiri, perbedaan ini
tidak muncul dengan jelas: segalanya terlihat sama seperti segala sesuatu yang
lain. Bagiku, berkali-kali Salvatore terlihat seperti salah seorang pengemis
cacat dari Turin yang, seperti yang diceritakan orang, melarikan diri ketika
iringan jenazah Santo Martinus yang menakjubkan mendekat, karena takut santo itu
akan menyembuhkan mereka dan dengan demikian mereka akan kehilangan sumber mata
pencarian, dan tanpa belas kasihan santo itu menyelamatkan mereka sebelum mereka
mencapai perbatasan, menghukum kejahatan mereka dengan membuat mereka mau
menggunakan anggota tubuh mereka lagi. Bagaimanapun juga, wajah Salvatore buruk
itu berkali-kali menjadi cerah dengan pancaran manis ketika menceritakan
bagaimana, sewaktu hidup di antara gerombolangerombolan itu, ia mendengarkan
katakata para pengkhotbah Fransiskan, yang ditolak masyarakat seperti dirinya sendiri, dan memahami bahwa ia harus menjalani
kehidupan miskin dan sebagai pengelana, tidak usah dengan murung, tetapi
menganggapnya sebagai tindakan dedikasi yang penuh kegembiraan, dan ia bergabung
dengan sekte dan kelompok pengampunan yang namanya tidak bisa ia ucapkan dengan
betul dan yang doktrinnya ia jelaskan dalam istilah-istilah yang amat tidak bisa
dipercaya. Aku menyimpulkan bahwa ia telah bergabung dengan kelompok Patarin dan
Waldensian, dan mungkin Kataris, Arnoldis, dan Umiliati, dan bahwa, sambil
menjelajahi dunia, ia telah pindah dari satu kelompok ke kelompok lain, sedikit
demi sedikit mau menerima keadaannya yang miskin sebagai suatu misi, dan mau
melakukan bagi Allah apa yang sampai saat itu sudah ia lakukan demi perutnya.
Tetapi bagaimana, dan untuk berapa lama" Sejauh bisa kupahami, sekitar tiga
puluh tahun sebelumnya, ia masuk suatu Biara Minorit di Tuskania, dan di sana ia
telah mengenakan jubah Santo Fransiskus, tanpa menjadi anggota ordo. Aku yakin,
di sanalah ia mempelajari bahasa Latin kacau yang digunakannya untuk bicara,
sambil mencampurnya dengan bahasa dari semua tempat di mana ia menjadi pengelana
tunawisma miskin, dan dari semua teman gelandangan yang ia temui, dari tentara
bayaran dari negeriku sampai kelompok Bogomil dari Dalmatia. Dalam biara ia
membaktikan dirinya kepada suatu hidup pertobatan, katanya (Penitenziagite,
katanya kepadaku dengan mata cerah, dan aku mendengar lagi ungkapan yang telah
menimbulkan rasa ingin tahu William itu), tetapi juga jelas bahwa para rahib
yang tinggal bersamanya punya ide-ide membingungkan, karena, gusar kepada imam
paroki gereja tetangga, suatu hari mereka menyerbu rumah imam itu dan membuatnya
jatuh menuruni tangga, dan pendosa itu mati: kemudian mereka menjarah rumahnya.
Karenanya uskup mengirimkan pasukan pengawal bersenjata, para rahib itu bubar,
dan Salvatore lama berkeliaran di Italia Utara dengan suatu kelompok Fraticelli,
atau Minorit pengemis, waktu
itu tanpa peraturan atau disiplin.
Dari situ mereka mencari perlindungan di wilayah Toulouse dan suatu pengalaman
aneh menimpanya, karena ia terbakar waktu mendengar cerita tentang kegiatan
besar-besaran tentara perang salib.
Suatu hari sekelompok gembala dan banyak sekali penduduk biasa dikumpulkan untuk
disuruh menyeberang lautan dan bertempur melawan musuh iman. Mereka disebut
Pastoureaux, Gembala. Terus terang mereka memang ingin lari dari negeri mereka
sendiri yang rusak. Ada dua orang pemimpin, yang mengisi kepalanya dengan teoriteori salah; seorang imam yang telah dipecat dari gerejanya karena kelakuannya,
dan seorang rahib yang keluar dari ordo Benediktin. Pasangan ini dengan gilagilaan mendorong orangorang yang tidak tahu apa-apa itu sampai mereka bersamasama lari mengikuti keduanya, bahkan anak-anak berusia enam belas tahun, meski
dilarang orangtua mereka, sambil hanya membawa buntelan dan tongkat, semua tanpa
uang, meninggalkan ladang mereka, untuk mengikuti kedua pemimpin itu bagai
kawanan domba, dan mereka membentuk gerombolan besar. Pada saat itu mereka tidak
lagi memedulikan alasan atau kebenaran, hanya kekuatan dan semangat mereka
sendiri. Dikumpulkan bersama dan akhirnya bebas, dengan suatu harapan kecil akan
tanah-tanah terjanji, mereka seakan mabuk. Mereka menerjang lewat desa-desa dan
kota, mengambil apa saja, dan jika salah seorang dari mereka
tertangkap, mereka akan menyerang penjara dan membebaskannya. Dan mereka
membunuh semua orang Yahudi yang mereka temui dan melucuti hartanya.
"Mengapa orang Yahudi?" tanyaku kepada Salvatore. Ia menjawab, "Dan kenapa
tidak?" Ia menjelaskan kepadaku bahwa seumur hidupnya para pengkhotbah
mengatakan kepadanya bahwa orang Yahudi adalah musuh orang Kristen dan
mengumpulkan kekayaan yang telah membuat orang Kristen miskin. Bagaimanapun
juga, aku bertanya kepadanya, bukankah tuan tanah dan uskup juga mengumpulkan
kekayaan lewat zakat, sehingga para Gembala tidak mau memerangi musuh mereka
yang sebenarnya. Ia menjawab bahwa kalau musuhmu yang nyata terlalu kuat, kau
harus memilih musuh yang lebih lemah. Aku merenungkan bahwa ini sebabnya mereka
disebut orang biasa. Hanya yang kuat yang selalu tahu dengan amat jelas siapa
musuh mereka yang nyata. Tuan tanah itu tidak ingin para Gembala membahayakan
harta mereka, dan akan sangat menguntungkan bagi mereka kalau para pemimpin
Gembala mau menyebarkan pandangan bahwa harta terbesar itu milik orang Yahudi.
Aku menanyakan kepadanya siapa yang memasukkan ide untuk menyerang orang Yahudi
ke dalam benak orang banyak itu. Salvatore tidak ingat. Aku yakin bahwa bila
orang banyak seperti itu berkumpul, terpikat oleh suatu janji dan langsung mau
menuntut sesuatu, tidak pernah
diketahui siapa di antara mereka yang bicara. Aku ingat bahwa para pemimpin
mereka telah dididik dalam biara dan sekolah-sekolah katedral, dan mereka bicara
dengan bahasa tuan tanah, meskipun mereka terjemahkan ke dalam istilah yang bisa
dipahami para Gembala itu. Para Gembala itu tidak tahu di mana Paus berada,
tetapi tahu di mana rumah orang Yahudi. Toh, mereka mengepung menara besar yang
tinggi milik Raja Prancis, tempat orang Yahudi ketakutan itu telah lari tanpa
membawa apaapa untuk mencari suaka. Dan orang Yahudi itu tibatiba bergerak di
bawah dindingdinding menara itu untuk membela diri dengan berani dan tanpa belas
kasihan, sambil melemparkan kayu dan batubatu.
Tetapi para Gembala itu melemparkan api ke gerbang menara, menyerang orang
Yahudi dengan asap dan nyala api. Dan orang Yahudi, karena tidak mampu
mengalahkan penyerangnya, lebih suka bunuh diri daripada mati di tangan mereka
yang tidak disunat, dengan minta salah seorang dari kelompok mereka, yang
agaknya paling berani, untuk membunuh mereka semua dengan pedang. Ia menyetujui
dan membunuh hampir lima ratus dari mereka. Kemudian ia keluar dari menara
dengan anak-anak Yahudi, dan minta para Gembala itu membaptisnya. Tetapi para
Gembala itu berkata kepadanya: Kau telah membantai bangsamu dan kini kau ingin
menghindari kematian" Dan mereka mencincangnya sampai hancur, tetapi tidak
membunuh anak-anak itu yang lalu mereka baptis.
Kemudian mereka melanjutkan ke Carcassonne, sambil melakukan perampokan berdarah
sepanjang perjalanan. Lalu Raja Prancis memperingatkan bahwa mereka sudah
bertindak terlalu jauh dan memerintahkan agar setiap kota yang dilalui harus
melawan mereka, dan mengumumkan bahwa bahkan orang Yahudi harus dibela seakan
mereka anak buah Raja ....
Mengapa Raja itu menjadi begitu memikirkan orang Yahudi pada waktu itu" Mungkin
karena ia sudah mulai menyadari apa yang mungkin bakal dilakukan para Gembala di


The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seluruh kerajaannya, dan ia prihatin karena jumlah mereka bertambah dengan
pesat. Lebih jauh lagi, ia tergerak oleh kasih sayang kepada orang Yahudi,
karena orang Yahudi membantu perdagangan kerajaan itu, sekaligus para Gembala
sekarang perlu dibasmi, dan semua orang Kristen yang baik harus punya suatu
alasan yang baik untuk menangisi kejahatan mereka.
Namun banyak orang Kristen tidak menaati Raja, karena mengira bahwa membela
orang Yahudi itu salah, karena mereka selalu menjadi musuh iman Kristen. Dan di
banyak kota, orang biasa, yang dulunya harus membayar upeti kepada orang Yahudi,
merasa senang melihat para Gembala menghukum mereka karena harta mereka. Lalu
Raja memerintahkan, dengan amat sedih, bahwa para Gembala tidak akan diberi
bantuan apa saja. Ia mengumpulkan banyak sekali tentara dan menyerang mereka,
dan banyak dari mereka terbunuh, sementara yang lainnya menyelamatkan diri
dengan melarikan diri dan mencari perlindungan di hutanhutan, tetapi mereka mati
kelaparan. Tidak lama kemudian semua terbantai.
Jenderal Raja menangkap dan menggantung mereka, setiap kali dua puluh atau tiga
puluh orang, dari pohon-pohon yang paling tinggi, sehingga jenazah mereka dapat
ditonton dan menjadi contoh abadi dan tidak ada lagi yang berani mengganggu
kedamaian kerajaan itu. Yang tidak lazim, Salvatore menceritakan kisah ini seakan menggambarkan suatu
upaya yang amat luhur. Dan nyatanya ia tetap percaya bahwa gerombolan yang
disebut para Gembala itu telah bertujuan menguasai makam Kristus dan
membebaskannya dari penyembah berhala. Tidak mungkin bagiku untuk meyakinkannya
bahwa upaya menguasai ini sudah tercapai, pada masa-masa Petrus si petapa dan
Santo Bernardus, dan di bawah pemerintahan Santo Louis dari Prancis.
Bagaimanapun juga, Salvatore tidak sampai bertemu dengan para penyembah berhala,
karena harus bergegas meninggalkan wilayah Prancis. Ia pergi ke kawasan Novara,
katanya kepadaku, tetapi ia amat tidak jelas tentang apa yang terjadi pada saat
itu. Dan akhirnya ia sampai di Casale, di mana ia diterima oleh Biara Minorit
(dan aku yakin di sinilah ia bertemu dengan Remigio) tepat pada waktu banyak
dari mereka, karena dihukum oleh Paus, mengganti jubah dan mencari perlindungan
di biara milik ordo lainnya, untuk menghindari hukuman bakar. Seperti yang,
memang, sudah diceritakan
oleh Ubertino kepada kami. Berkat lamanya ia terbiasa dengan banyak tugas manual
(yang sudah ia lakukan baik untuk tujuan tidak terhormat waktu berkelana dengan
bebas, maupun untuk tujuan suci, waktu berkelana demi cinta kepada Kristus),
Salvatore langsung diterima oleh Kepala Gudang sebagai pembantu pribadinya. Dan
itulah sebabnya mengapa ia sudah tinggal di sini lama sekali, tidak terlalu
berminat dalam kemegahan ordo itu, tetapi amat sangat berminat dalam mengurus
gudang dan tempat penyimpanan makanan, di mana ia bebas makan tanpa mencuri dan
bisa memuji Tuhan tanpa takut bakal dibakar.
Aku memandangnya dengan rasa ingin tahu, bukan karena pengalamannya yang aneh,
tetapi karena bagiku, apa yang telah terjadi padanya seakan ringkasan luar biasa
dari begitu banyak peristiwa dan gerakan yang membuat Italia pada waktu itu
menakjubkan dan tak mudah dipahami.
Apa yang telah muncul dari kisah-kisah tersebut" Gambar seorang lelaki yang
telah menjalani suatu hidup penuh petualangan, bahkan mampu membunuh seorang
manusia lain tanpa menyadari kejahatannya sendiri. Tetapi, meskipun satu
serangan terhadap hukum suci waktu itu menurutku terlihat sama seperti serangan
lainnya, aku sudah mulai memahami beberapa fenomena yang kudengar didiskusikan,
dan aku berpendapat bahwa ada satu hal bagi suatu kelompok orang banyak, dalam
kegairahan yang hampir ekstatik, karena salah menafsirkan hukum Setan sebagai
hukum Allah, untuk melakukan pembantaian; tetapi ada hal lain bagi seorang individu yang
melakukan kejahatan dengan darah dingin, dengan perhitungan, tanpa bicara. Dan
kulihat Salvatore tidak mungkin menodai jiwanya dengan kejahatan semacam itu.
Di lain pihak, aku ingin menemukan sesuatu tentang sindiran Abbas itu, dan aku
terobsesi oleh gagasan tentang Fra Dolcino, yang tentang itu aku hampir tidak
tahu apa-apa, meskipun hantunya seakan selalu berada di dekat banyak percakapan
yang kudengar selama beberapa hari terakhir ini.
Maka aku terus terang bertanya kepada Salvatore, "Apa kau pernah bertemu dengan
Fra Dolcino dalam perjalananmu?"
Reaksinya hampir aneh. Ia membelalakkan matanya, seakan ia mampu membuka mata
itu lebih lebar daripada yang seharusnya, berulang kali ia membuat tanda salib,
menggumamkan beberapa ungkapan patah-patah dalam suatu bahasa yang kali ini
benarbenar tidak bisa kupahami. Tetapi ungkapan itu kedengarannya menyangkal.
Sampai saat itu ia memandangku dengan kepercayaan yang bersifat baik, boleh
dikatakan bersahabat. Saat itu ia memandangku hampir dengan jengkel. Kemudian,
dengan alasan yang dibuat-buat, ia pergi.
Sekarang aku tidak bisa tahan lagi. Siapa rahib ini yang membuat siapa saja jadi
amat ketakutan kalau mendengar namanya disebut" Aku memutuskan untuk tidak bisa
lagi tinggal dalam cengkeraman keinginanku untuk tahu. Suatu gagasan muncul di
benakku. Ubertino! Ia sendiri
yang telah menyebutkan nama itu, pada malam pertama kami menemuinya; ia tahu
segala sesuatu dari biara itu, yang terbuka dan yang rahasia, tentang para
rahib, imam, dan spesies lainnya dari tahuntahun lalu. Di mana aku bisa
menemuinya pada jam ini" Tentu saja di dalam gereja, khusyuk dalam doa. Dan
karena aku sedang menikmati saat bebas, aku pergi ke sana.
Aku tidak menemukannya, sungguh, aku tidak menemukannya sampai malam. Dan
karenanya, keingintahuanku tetap mengendon dalam benakku, karena terjadi
peristiwa lainnya yang harus kuceritakan sekarang. []
Nona Dalam cerita ini William berbicara tentang sungai besar kebidahan kepada Adso,
tentang fungsi orang biasa di dalam gereja, tentang keraguannya berkaitan dengan
kemungkinan menyaksikan hukum universal;
dan hampir seperti seorang ayah, ia menceritakan bagaimana ia memecahkan
tandatanda nujum yang ditinggalkan oleh Venantius.
ku menemukan William di bengkel, sedang bekerja bersama Nicholas, keduanya asyik
-bekerja. Mereka sudah menjajar sejumlah lempengan kaca kecil di atas meja,
mungkin aslinya dimaksudkan sebagai bagianbagian dari sebuah jendela; mereka
telah menipiskan beberapa kaca ini dengan alat sampai ketebalan yang diinginkan.
William sedang mengangkat kaca itu satu per satu di depan matanya untuk menguji.
Nicholas sendiri sedang memberikan instruksi kepada tukang besi untuk membuat
kerangka yang akan dipasangi lensa yang betul.
William menggerutu, jengkel karena sejauh ini kaca yang paling memuaskan
berwarna zamrud, dan, seperti katanya, ia tidak ingin perkamen terlihat seperti
padang rumput di matanya. Sementara William menguji berbagai lempengan kaca, aku
menceritakan percakapanku dengan Salvatore.
"Orang itu punya berbagai pengalaman," kata
William. "Mungkin ia benarbenar hidup bersama kaum Dolcinian. Biara ini
sebenarnya suatu mikrokosmos, dan kalau duta Paus Vohanes dan Bruder Michael
sudah datang, kita akan lengkap."
"Guru," kataku kepadanya. "Aku tidak mengerti apa-apa."
"Tentang apa, Adso?"
"Pertama, tentang perbedaan di kalangan kelompok orang bidah.
Tapi aku akan menanyakannya kelak. Sekarang aku tersiksa oleh masalah perbedaan
itu sendiri. Waktu Anda bercakapcakap dengan Ubertino, aku mendapat kesan bahwa
Anda berusaha membuktikan kepadanya bahwa semua itu sama, santo dan orang bidah.
Tetapi kemudian, ketika bicara dengan Abbas itu, Anda berusaha keras menjelaskan
kepadanya tentang perbedaan antara satu kelompok bidah dan lainnya, dan antara
yang bidah dan yang ortodoks. Dengan kata lain, Anda mencela Ubertino karena
menganggap mereka yang pada dasarnya sama itu berbeda, dan mencela Abbas itu
karena menganggap mereka yang pada dasarnya berbeda itu sama."
William meletakkan lensa-lensa itu di atas meja sebentar.
"Adso yang baik," katanya, "sekarang kita akan berusaha membuat beberapa
perbedaan, dan mungkin kita bisa menggunakan istilah istilah dari aliran Paris
untuk membuat perbedaan kita. Jadi, mereka katakan semua orang punya bentuk
jasmaniah yang sama, betul kan?"
"Tentu saja," kataku bangga akan pengetahuanku, "manusia adalah binatang tetapi
rasional, dan yang melengkapi manusia adalah kapasitas untuk tertawa."
"Bagus sekali. Tetapi Thomas tidak sama dengan Bonaventura.
Thomas gemuk sementara Bonaventura kurus, dan bahkan mungkin juga Hugh jahat
sementara Fransiskus baik, dan Aldemar acuh tak acuh sementara Agiluff suka
marah. Betul, kan?" "Betul, memang begitu, tidak diragukan lagi."
"Jadi, ini berarti ada identitas dalam orangorang yang berbeda berkaitan dengan
bentuk jasmaniah mereka, dan keanekaragaman berkait dengan kebetulan, atau
berkait dengan bentuk palsu mereka."
"Memang begitu, tidak bisa diperdebatkan."
"Waktu aku bilang kepada Ubertino bahwa sifat manusia itu sendiri, dalam
kerumitan cara kerjanya, memiliki cinta kepada kebaikan sekaligus cinta kepada
kejahatan, aku berusaha meyakinkan Ubertino tentang identitas sifat manusia.
Bagaimanapun juga, waktu aku bilang kepada Abbas itu bahwa ada perbedaan antara
seorang Kataris dan seorang Waldensian, aku mau menegaskan tentang
keanekaragaman kebetulan mereka. Dan aku menegaskan itu karena seorang
Waldensian bisa dibakar setelah perbuatan seorang Kataris kebetulan dituduhkan
kepadanya dan sebaliknya. Dan ketika kau membakar seseorang, kau membakar
substansi individunya dan membuatnya habis sama
sekali apa yang tadinya suatu tindakan keberadaan yang konkret, yang dengan
sendirinya baik, paling sedikit di mata Tuhan, yang memelihara orang itu. Apa
kau masih ingin tetap membicarakan tentang perbedaan?"
"Masalahnya adalah," kataku, "aku sudah tidak bisa lagi melihat jelas perbedaan
yang kebetulan ada di antara orang Waldensian, Kataris, Lyon Miskin, Umiliati,
kaum Beghard, Joachimit, Patarin, Apostel, Lombard Miskin, Arnoldis, Williamis,
Pengikut Ruh Bebas, dan Luciferin. Apa yang harus kulakukan?"
"Oh, Adso yang malang," kata William sambil tertawa dan menepuk tengkukku dengan
penuh kasih sayang, "kau tidak sepenuhnya salah! Kau tahu, selama dua abad
terakhir, dan bahkan lebih awal lagi, dunia kita ini seakan telah diserang oleh
badai ketidaktoleranan, harapan, dan keputusasaan, semuanya berbarengan ....
Tidak, ini bukan analogi yang bagus. Bayangkan saja ada sebuah sungai, lebar dan
mengagumkan, yang mengalir sepanjang bermil-mil dan bermil-mil di antara tepian
yang kukuh, karena tanahnya padat. Pada suatu titik tertentu, sungai itu, karena
keletihan, karena sudah mendekati lautan, yang dengan sendirinya akan
melenyapkan semua sungai, tidak tahu lagi siapa dirinya, kehilangan
identitasnya. Sungai itu menjadi deltanya sendiri.
Mungkin masih ada cabang utamanya, tetapi banyak anak sungai yang menjebol dari
delta itu ke setiap arah, dan beberapa lalu mengalir bersama-sama lagi, masuk ke
dalam satu sama lain, dan kau tidak bisa mengatakan apa mendapat apa, dan
kadangkadang kau tidak bisa mengatakan apa yang masih berupa sungai dan apa yang
sudah berupa lautan ...."
"Jika aku tidak salah memahami perumpamaan Anda, sungai itu adalah kota Tuhan,
atau kerajaan keadilan, yang mulai mendekati milenium, dan dalam ketidakpastian
ini jadi tidak kukuh lagi, lahir nabi benar dan nabi palsu, dan segala sesuatu
mengalir ke dalam dataran luas di mana Armageddon akan terjadi
"Itu persisnya yang tengah kupikirkan. Aku sedang berusaha menjelaskan kepadamu
bagaimana tubuh gereja, yang selama berabadabad juga merupakan tubuh dari semua
masyarakat, umat Tuhan, telah menjadi terlalu kaya, dan menyebar luas, dan
membawa serta sampah dari semua negeri yang dilewatinya, dan telah kehilangan
kemurniannya sendiri. Anak-anak sungai dari delta itu adalah, kalau kau setuju,
begitu banyak upaya dari sungai itu untuk mengalir secepat mungkin ke lautan,
yakni, menuju momen pemurnian. Dengan perumpamaan ini aku hanya ingin mengatakan
kepadamu bagaimana cabang kebidahan dan gerakan pembaruan, pada saat sungai itu
tidak lagi utuh, jadi banyak sekali dan semakin ruwet. Kau juga bisa menambahkan
pada perumpamaanku yang miskin ini dengan kisah tentang seseorang yang ingin
mencoba membangun kembali tepian sungai dengan kekuatan besar, tetapi tidak
bisa. Dan beberapa anak sungai dari delta itu tertimbun lumpur, lainnya diarahkan
kembali ke sungai itu oleh kanal-kanal buatan, masih ada lainnya yang dibiarkan
mengalir, karena tidak mungkin menahan segala sesuatu dan sungai itu lebih baik
kehilangan sebagian dari airnya dan tetap mempertahankan jalannya, jika ingin
punya jalan yang bisa dikenali."
"Aku makin lama makin tidak paham."
"Begitu pula aku. Aku tidak pandai bercerita dengan perumpamaan.
Lupakan saja kisah sungai itu. Sebaliknya, berusahalah mengerti bahwa banyak
dari gerakan yang tadi kausebutkan itu lahir paling sedikit dua abad yang lalu
dan sudah mati, namun lainlainnya baru ...."
"Tetapi ketika membicarakan tentang orang bidah, mereka semua masih disebutkan."
"Betul, dan ini salah satu cara bagaimana kebidahan menyebar dan salah satu cara
bagaimana kebidahan dihancurkan."
"Sekali lagi aku tidak mengerti."
"Bagus. Sukar sekali, ya. B aiklah. Bayangkan kau seorang pembaru moral dan kau
mengumpulkan beberapa teman di atas puncak sebuah gunung, untuk hidup melarat.
Dan setelah beberapa lama, kau melihat bahwa banyak orang datang kepadamu,
bahkan dari tanah-tanah yang amat jauh, dan mereka menganggapmu seorang nabi,
atau seorang rasul baru dan mereka mengikutimu. Apa mereka betulbetul datang ke
sana untuk mencarimu dan karena apa yang kaukatakan?"
"Aku tidak tahu. Kuharap begitu. Mengapa harus sebaliknya?"
"Karena dari ayah mereka. Orangorang itu sudah mendengar cerita tentang pembaru
lainnya, dan legenda dari komunitas yang sedikit banyak sempurna, dan mereka
percaya ini adalah itu dan itu adalah ini."
"Dan begitulah maka setiap gerakan mewarisi munculnya gerakan lain?"
"Tentu saja, karena mayoritas dari mereka yang berkumpul mengikuti para pembaru
itu adalah orang biasa, yang tidak peduli akan doktrin. Dan toh gerakan pembaru
moral dimulai dalam tempat dan jalan yang berbedabeda dan dengan doktrin yang
berbedabeda. Sebagai contoh, orang Kataris dan Waldensian sering dicampur aduk. Tetapi ada
suatu perbedaan besar di antara mereka. Kaum Waldensian berkhotbah tentang
pembaruan moral di dalam gereja, dan kaum Kataris berkhotbah tentang gereja yang
lain, tentang suatu pandangan lain tentang Tuhan dan moralitas. Kaum Kataris
berpendapat bahwa gereja dibagi antara kekuatan baik dan jahat yang
bertentangan, dan mereka telah membangun sebuah gereja yang di dalamnya penganut
yang sempurna dibedakan dari penganut biasa, dan mereka punya sakramen dan ritus
sendiri; mereka telah membangun suatu hierarki yang amat kaku, hampir seperti
hierarki Ibu Suci kita sendiri, dan sejenak pun mereka tidak berpikir untuk
menghancurkan setiap bentuk kekuasaan. Ini sebabnya
maka mereka yang memegang kekuasaan, pemilik tanah, bangsawan feodal, juga
bergabung dengan Kataris. Mereka juga tidak berpikir untuk memperbaiki dunia,
karena bagi mereka, pertentangan antara baik dan jahat tidak pernah bisa
diselesaikan. Kaum Waldensian, sebaliknya (dan bersama mereka ada kaum Arnoldis,
atau Lombard Miskin), ingin menyusun suatu dunia lain berdasarkan citacita
kemiskinan, dan itulah sebabnya mereka menerima orangorang buangan dan hidup
dalam komunitas dari hasil kerja tangan mereka."
"Tetapi kemudian, mengapa mereka dikacaukan dan tetap disebutsebut seperti benih
jahat yang sama?" "Sudah kubilang: apa yang membuat mereka hidup adalah juga yang membuat mereka
mati. Gerakangerakan itu tumbuh, dengan mengumpulkan orang biasa yang sudah
pernah tertarik kepada gerakan lainnya, dan yang percaya bahwa semua gerakan itu
punya naluri memberontak dan harapan yang sama; dan mereka dihancurkan oleh para
inkuisitor, yang menuduh mereka melakukan salah satu kesalahan dari gerakan
lainnya, dan jika salah seorang anggota suatu gerakan melakukan kejahatan, maka
setiap anggota dari setiap gerakan ikut dituduh. Bicara dengan akal sehat, para
inkuisitor itu keliru, sebab mereka menumpuk doktrin-doktrin yang berlawanan itu
menjadi satu. Menurut orang lain yang tidak rasional, mereka betul, sebab kalau
suatu gerakan, misalnya saja Arnoldis, muncul di suatu kota, gerakan itu jadi
membengkak karena mereka yang memang sudah menjadi anggota Kataris atau
Waldensian di tempat-tempat lain akan ikut bergabung. Rasul-rasul Fra Dolcino
berkhotbah tentang pembasmian fisik pejabat gereja dan tuan tanah, dan terlibat
dalam banyak tindak kekerasan; sedangkan kaum Waldensian menentang kekerasan,
dan begitu pula kaum Fraticelli. Tetapi aku yakin bahwa pada masa Fra Dolcino
ada banyak dalam kelompoknya yang pernah mengikuti khotbah kaum Fraticelli atau
Waldensian. Orang biasa tidak bisa memilih kebidahan pribadi mereka sendiri,
Adso; mereka bergantung pada orang yang berkhotbah di daerah mereka, yang
melewati desa mereka atau khusus berkhotbah di alun-alun. Ini yang dimanfaatkan
oleh musuh mereka. Mereka menggunakan teknik berkhotbah yang baik dengan
menyajikan suatu kebidahan tunggal di hadapan mata orangorang itu, yang mungkin
pada waktu yang sama memberi kesan tentang penolakan terhadap kenikmatan seksual
dan komuni tubuh. Namun, ini menunjukkan kebidahan sebagai sekumpulan
kontradiksi menjijikkan yang menantang akal sehat."
"Jadi, tidak ada hubungan di antara mereka, dan Iblis memang mau membuat seorang
biasa yang ingin jadi seorang Joachimit atau seorang Spiritual jatuh ke dalam


The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan kaum Kataris, dan sebaliknya?"
"Tidak, tepatnya tidak begitu. Biar kucoba menjelaskan lagi dari awal, Adso.
Tetapi percayalah, aku sedang berusaha menjelaskan kepadamu
sesuatu yang tentang itu aku sendiri tidak yakin apa aku punya kebenaran itu.
Kukira kesalahannya adalah memercayai bahwa mulamula ada kebidahan dulu, baru
kemudian ada orang biasa yang ikut bergabung (dan mengutuk diri sendiri karena
itu). Dalam kenyataan, yang mulamula ada adalah kondisi sebagai orang biasa,
baru kebidahan." "Apa maksud Anda?"
"Kau punya satu konsep yang jelas tentang Lima t Tuhan. Sekawanan besar domba
baik dan domba jelek dijaga agar teratur oleh anjinganjing ras para kesatria
atau pemerintah-duniawi Kaisar, dan bangsawan, di bawah bimbingan gembala,
pejabat gereja, para penafsir sabda Tuhan. Gambarannya langsung."
"Tetapi salah. Para gembala itu berkelahi dengan anjinganjing, karena
masingmasing iri kepada hak satu sama lain."
"Betul, dan ini tepatnya yang membuat sifat kelompok itu tidak pasti. Saling
memedulikan sekaligus saling membunuh, anjing dan gembala tidak lagi menjaga
para domba. Sebagian gembala tercecer di luar."
"Apa maksudnya di luar?"
"Di perbatasan. Petani: hanya saja mereka bukan petani yang sebenarnya karena
tidak punya tanah, atau hasil tanah mereka tidak cukup untuk dimakan. Dan warga
kota: hanya saja mereka bukan warga yang sebenarnya, karena tidak menjadi
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 22 Gento Guyon 25 Gelombang Naga Sumpah Sepasang Harimau 2

Cari Blog Ini