Blind Date Karya Aliazalea Bagian 1
Blind Date aliaZalea Prolog HAL pertama yang aku sadari adalah bahwa aku sedang dalam keadaan di antara
alam sadar dan tidak sadar. Aku dapat mendengar bunyi bip... bip... bip... yang
konstan dan terus-menerus, seperti bunyi air menetes dari keran yang tidak
ditutup rapat. Bunyi itulah yang membangunkanku. Kucoba berkata-kata dan meminta
seseorang agar mengencangkan keran itu, tetapi lidahku terasa berat dan kelu.
Aku mencoba membuka mataku, usaha yang juga tidak membuahkan hasil.
Kutenangkan diriku dan berusaha membuka mataku sekali lagi. Kali ini aku
berhasil membukanya sedikit, tetapi aku harus segera menutupnya kembali karena
ada sinar terang yang tiba-tiba membutakan penglihatanku. Ketika mataku tertutup
lagi, aku baru sadar bahwa ada sesuatu yang menempel pada hidungku dan
membuatku sulit bernapas.
Sekali lagi kubuka mataku, tetapi kini lebih perlahan. Awalnya semuanya
terlihat buram, namun lama-kelamaan aku dapat menangkap warna dinding di
hadapanku. Putih keabu-abuan, ucapku dalam hati. Bunyi bip... bip... bip... yang
tadi aku dengar menjadi semakin keras. Bunyi itu ternyata berasal dari sebuah mesin
di sebelah kiriku. Garis hijau pada layarnya melonjak-lonjak setiap detik,
menunjukkan aku masih hidup. Aku ada di mana ini"! tanyaku pada diri sendiri. Jelas-jelas
ini bukan di apartemenku. Aku sadar, aku terbaring di atas tempat tidur yang
biasanya ada di rumah sakit. Rumah sakit"! Aku di rumah sakit"! Otakku berteriak, tetapi
aku tidak mendengar ada suara yang keluar dari mulutku. Kok aku bisa ada di sini"
Aku mendengar suara air dituang ke gelas. Tiba-tiba aku jadi merasa sangat
haus. Aku mencoba menelan ludah dan membasahi kerongkonganku, tetapi
mulutku terasa bagai ada pasirnya sehingga aku harus bersusah payah untuk
menghasilkan air liur. Ketika mulutku sudah terasa sedikit basah, kugerakkan
lidahku untuk membasahi bibirku. Samar-samar aku bisa mendengar suara orang
bercakap-cakap, tetapi aku tidak bisa mendengar dengan jelas topik
percakapannya. Kualihkan perhatianku untuk mengenali sekelilingku. Ada jendela besar di sebelah
kananku, dan rangkaian mawar putih, bunga favoritku, di atas satu-satunya meja
yang bisa aku lihat. Aku tidak bisa memastikan waktu yang tepat pada saat itu. Sinar matahari yang
masuk dari sela-sela kerai vertikal berwarna putih menunjukkan hari masih siang
atau sore, yang jelas bukan malam. Pelan-pelan kuangkat tangan kiriku dan terasa
ada jarum menusuk pergelangan tanganku. Selain itu, ada selang yang
menghubungkan pergelangan tanganku itu dengan sebuah kantong cairan bening
yang digantung pada tiang besi di samping tempat tidurku. Aduhhh, pakai ada
jarum pula di tanganku! Ketika aku sedang menggerakkan tangan kananku untuk mencabut jarum itu
dari pergelangan tangan kiriku, tiba-tiba aku mendengar suara orang berbisik,
"She"s awake."
Kualihkan tatapanku dari lengaku ke arah seorang wanita bule, yang dari
pakaiannya jelas-jelas seorang suster. Tiba-tiba kulihat wajah Didi, adikku,
yang terlihat cemas. Kemudian dia tersenyum lebar karena melihatku sudah sadar dan
buru-buru berjalan menghampiriku.
Suster itu kemudian berdiri di sebelah kiriku, dan menggenggam pergelangan
tanganku. "How are you feeling?" tanyanya kepadaku, masih dengan suara berbisik.
Aku sebetulnya ingin berteriak kepadanya agar mencabut jarum yang menusuknusuk
lenganku, tetapi yang keluar dari mulutku justru, "Wah... teh." Kata yang
ingin aku ucapkan adalah water, tetapi lidahku tidak bisa bekerja sama.
Untungnya suster itu langsung memahami apa yang aku inginkan. Dia segera menyodorkan
satu gelas plastik air putih dengan sedotan di dalamnya. Aku berusaha mengangkat
kepalaku sedikit agar bisa minum melalui sedotan yang bisa dibengkokkan. Didi
yang melihat apa yang aku sedang coba lakukan membantuku dengan menopang
kepala dan bahuku. Suster itu tetap memegang gelas di hadapanku. Pelan-pelan
cairan dingin mulai membasahi kerongkonganku. Aku baru berhenti minum ketika
gelas itu sudah kosong. "Do you want more?" bisik suster itu, setelah menyingkirkan gelas kosong dari
hadapanku. Aku menggeleng kaku dan menyandarkan kepalaku kembali ke bantal.
"Saya akan beritahu Dokter Smith bahwa kamu sudah bangun." Suster itu lalu
menghilang dari pandanganku setelah mengangguk kepada Didi.
Didi kemudian duduk di atas tempat tidur di sebelah kananku. Dia tersenyum
sendu. Aku sebetulnya ingin bertanya, "Aku ada di mana?" Ketika aku mencoba
berkata-kata, yang keluar dari mulutku hanya, "Gu...," dan aku kemudian
terbatukbatuk. Didi buru-buru menuangkan air ke gelas plastik yang tadi, dan memintaku
minum lagi hingga habis. Wajahnya terlihat khawatir.
"Jangan dipaksa, Mbak. Istirahat saja dulu. Bicaranya nanti saja," katanya
dengan suara agak bergetar dan menyingkirkan gelas kosong itu dari hadapanku.
Aku perhatikan Didi terlihat cukup tenang, tetapi aku tahu sebetulnya dia panik.
Aku bisa melihat kepanikan itu di matanya.
Kucoba tersenyum agar bisa menenangkannya. Kusentuh benda yang
menempel pada hidungku, yang ternyata adalah infus. Didi menggenggam
tanganku dan menjauhkannya dari selang itu.
"Tunggu dokter ya, Mbak. Kalau dia bilang nggak apa-apa, kita bisa lepas
infusnya," jelasnya. Setelah yakin aku tidak akan menarik infus dari hidungku,
Didi melepaskan genggamannya dari tanganku. Dia kemudian mengelilingi tempat tidur
dan menyingkapkan tirai kain putih di sebelah kiriku.
Ketika aku menoleh, kulihat kami tidak sendirian. Ada seseorang yang sedang
tidur di atas sofa. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tetapi yang jelas sofa itu
tidak bisa menampung tubuhnya yang tinggi besar sehingga kedua kakinya menjulur
keluar dari salah satu sisi sofa.
Melihatku memusatkan perhatian kepada orang yang tertidur di sofa itu, Didi
berbisik, "Dia nggak mau pulang, padahal sudah aku katakan aku bisa jaga Mbak
sampai dia balik." Didi tersenyum ketika mengatakannya. Suaranya terdengar lebih
pasti, dan dari balik matanya aku bisa melihat ada kehangatan di situ.
Siapa orang itu" pikirku. Aku menarik napas panjang ketika tiba-tiba beberapa
hal mulai melintas kembali dalam memoriku. Aku ingat, aku sedang mengendarai
mobil super ngebut dari kantorku menuju Raleigh. Hal ini tentu saja sangat
berbahaya mengingat kondisi jalan yang licin akibat hujan rintik-rintik yang
jatuh selepas salju tadi malam. Aku tahu, ada kemungkinan aku akan terlambat dan dia
sudah pergi. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku kalau itu terjadi. Kupaksa
Mitsubishi-ku menembus angka 145 km per jam. Mesin mobil yang berusia hampir
sepuluh tahun itu langsung protes atas perlakuan kejamku, tetapi untuk pertama
kalinya aku tidakpeduli. Kulihat masih ada beberapa bongkahan es yang tersisa di pinggir jalan. Musim
dingin tahun ini benar-benar parah di North Carolina. Salju yang turuh bahkan
mencapai enam puluh senti. Belum lagi hujan es yang turun berkali-kali selama
beberapa minggu belakangan ini membuat angin terasa menggigit jika bertiup dan
mengenai bagian tubuh yang tidak tertutup baju dingin. Kuikuti tanda lalu
lintas, yang menyatakan Airport Raleigh-Durham masih 1,6 km lagi. Aku segera
mengambil jalur kanan, keluar dari jalan interstate itu dengan tidak memedulikan
bunyi klakson mobil yang jalurnya aku potong dengan paksa. Roda mobil agak
tergelincir sedikit ketika kubanting setir, tetapi aku tidak mengurangi
kecepatan pada saat melewati tikungan.
Andaikan aku tidak lupa membawa telepon selular"! Saking terlalu terburuburu,
benda itu tertinggal di kantor. Seandainya pun aku membawa telepon selular
itu, rasanya tidak akan bisa membantuku. Apa yang akan aku katakan" I"m sorry
for being so stupid, for thinking that you would leave me" Atau I love you, please
tell me that you love me too" Kata-kata itu tidak bisa menggambarkan perasaanku yang
sebenarnya. Aku tidak bisa bernapas jika dia tidak ada. Jika aku mencoba melihat
masa depanku tanpanya, semuanya terlihat suram. Diriku tanpanya bagaikan
satelit, yang planetnya telah hancur karena bencana alam besar, meninggalkanku
melayang-layang tanpa arah. Mengapa aku terlalu bersikeras bahwa dia tidak
mencintaiku hanya karena terpengaruh kata-kata orang yang telah membuat hatiku
remuk" Dia tidak akan meninggalkanku seperti yang aku takutkan selama ini.
Titik! Bunyi klakson membangunkanku dari lamunan, ternyata aku sudah memasuki
area airport. Aku harus mengangkat kakiku dari pedal gas karena batas kecepatan
di area ini hanya 48 km per jam. Aku tidak punya waktu kalau harus ditilang hari
ini. Setelah memarkir mobil, buru-buru aku berlari menuju bangunan terminal. Aku
harus sedikit menunduk dan memeluk tubuhku ketika berlari karena angin kencang
sedang bertiup, dan aku hanya mengenakan sweater turleneck warna pink, yang
terbuat dari cashmere. Aku tidak mengenakan jaket, topi ataupun sarung tangan.
Aku baru bisa bernapas lagi setelah tubuhku terasa hangat di dalam bangunan
terminal. Aku mengamati lokasi keberangkatan mencari counter check-in
penerbangan Delta Airlines. Kusempatkan melirik ke layar informasi keberangkatan
pesawat. Pada layar terlihat status pesawat yang aku cari adalah LAST CALL.
Panik karena tahu aku sudah terlambat, aku berlari menuju counter check-in Delta
terdekat dan berbicara dengan ground crew-nya. Aku memotong beberapa orang yang sedang
antre. "Can you... contact your passenger... who is on the flight to JFK?" tanyaku
terputusputus di antara napasku yang masih terengah-engah.
Entah karena melihat wajahku yang panik atau karena tatapanku yang seperti
orang gila, seorang penumpang yang sudah siap check-in mundur satu langkah dan
memberikan aku ruang untuk berbicara lebih dekat dengan ground crew bernama
Kate, yang menerima berondonganku dengan wajah pasrah.
"Thank you, Sir," ucapku, berterima kasih kepada bapak yang rela mundur dan
memberikan aku ruang untuk melangkah lebih dekat dengan meja check-in.
Melihat bahwa penumpang yang sedang dilayaninya tidak marah walaupun
antreannya aku potong, Kate pun segera menolongku. Dia menanyakan nomor
penerbangan dan nama penumpang yang aku cari. Aku menjawabnya tanpa
berpikir lagi. Kudengar Kate berbicara dengan seseorang menggunakan walkietalkie. Dalam kepanikanku, aku hanya bisa menangkap kata-kata "departure" dan "gate"
yang diulang-ulang. Kate kemudian menatapku dan menggeleng. "I"m sorry, Ma"am, but
the gate"s closed. The plane is heading for the runway as we speak."
Daerah di sekujur tubuhku membeku. Melihat wajahku memucat, Kate
langsung berkata, "Mungkin Anda bisa menghubungi orang yang Anda cari setelah
pesawatnya mendarat di JFK dalam beberapa jam."
Aku menggeleng. "Nggak, nggak bisa. Dia akan sudah dalam perjalanan
menuju Charles de Gaulle," gumamku.
Kutinggalkan counter itu dengan orang-orang yang menatapku bingung dan
penasaran. Kalau saja penerbangannya hanya akan berhenti di JFK"! Akan tetapi,
aku tahu dia akan menyambung perjalanannya dengan Air France menuju Paris,
lalu Nice. Asistennya memang mengatakan dia akan kembali dua bulan lagi, tetapi
aku tidak bisa menunggu selama itu. Aku harus berbicara dengannya sekarang. Aku
dapat merasakan hatiku yang sudah retak selama beberapa bulan belakangan ini
kini hancur berkeping-keping. Mataku mulai terasa agak kabur, dan air mata mulai
membasahi pipiku. Aku mencoba mengusapnya dengan lengan sweater, tetapi air
mata itu tidak mau berhenti.
"Why is that lady crying, Mommy?" Kudengar seorang anak kecil, yang sedang
menatapku, bertanya kepada ibunya.
"Jessica, tidak sopan menatap orang seperti itu. Look away," komentar ibunya,
kemudian memalingkan wajah anak itu dengan paksa agar tidak lagi menatapku.
Beberapa orang yang berpapasan denganku menatapku dengan bingung atau
khawatir. Ada pula yang menatapku dengan penuh rasa kasihan. Aku bisa
membaca pikiran mereka melalui tatapan itu.
Oh look at that, she must be crying because she just say goodbye to her
boyfriend, pikir seorang ibu. Seakan-akan dia siap memelukku dan menepuk-nepuk punggungku
sambil berkata, "Sudah... sudah... jangan menangis. Dia akan kembali kok,
sweetheart," untuk menenangkanku.
Sayang, dia terlalu cantik untuk menangis seorang diri. Mungkin aku sebaiknya
membantu menenangkannya, pikir seorang laki-laki yang sebenarnya cukup ganteng
dan wajib didekati kalau saja aku tidak sedang merasa sesedih ini.
!@#$%^&*()"/, pikir dua orang anak kuliahan, yang aku yakin berasal dari
Korea. Karena aku tidak mengerti bahasa Korea, maka aku juga tidak akan bisa
memahami apa yang sedang mereka pikirkan.
Kupercepat langkah untuk menghindari mereka semua. Aku baru
memperlambat langkah setelah berada di luar bangunan terminal, dan perlahanlahan
berjalan menuju pelataran parkir. Aku merasa terlalu limbung untuk
merasakan dinginnya angin yang sedang bertiup kencang di sekelilingku. Ketika
aku sedang menyeberangi jalan, tiba-tiba kudengar seseorang meneriakkan namaku.
Suara itu"! Suara yang aku kenal di mana pun aku berada dan seberapa jauh pun.
Semula aku mengacuhkan suara itu karena aku pikir itu hanya imajinasiku saja.
Kuangkat kedua tanganku untuk menutupi telinga.
"Berisiii... kkkk!" geramku.
Kemudian kudengar suara yang sama meneriakkan namaku dengan volume
lebih keras dan berkali-kali. Suara itu berasal dari belakangku. Perlahan-lahan
aku menoleh dan harus memutar seluruh tubuhku agar bisa menatapnya. Aku langsung
tersedak ketika melihatnya sedang berdiri di trotoar. Wajah gantengnya dengan
hidung, kening, mata, dan garis-garis rahang yang sempurna terlihat bingung dan
tidak pasti. Perlahan-lahan kemudian wajahnya mulai dihiasi senyuman hangat.
Senyum itu semakin melebar sehingga aku bisa melihat gigi-giginya yang putih dan
tertata rapi. Ya... Tuhan, aku benar-benar mencintai laki-laki satu ini, ucapku
dalam hati. Aku mencoba mengontrol tangisku, akan tetapi bukannya berhenti, air mata
malah semakin membanjiri wajahku. Kali ini air mataku adalah air mata
kebahagiaan. Aku mencoba tertawa di antara tangisku. Detak jantungku sudah
tidak keruan. Aku harus meletakkan tanganku di dada untuk mencegah agar
jantungku tidak loncat keluar dari tempatnya. Tanpa berpikir panjang lagi aku
langsung melangkahkan kaki berlari ke pelukannya.
Tiba-tiba kudengar dia berteriak, "Titania, watch out!" sambil menolehkan
kepalanya ke arah kananku, dan dengan menggunakan kedua tangannya mencoba
menarik perhatianku. Wajahnya terlihat panik.
Awalnya aku hanya menatapnya bingung, tetapi ketika kutolehkan kepalaku ke
arah yang ditunjuknya semua oksigen yang ada di sekitarku tiba-tiba menghilang
dan aku tidak bisa bernapas. Aku langsung panik. Aku melihat sebuah Toyota
Camry warna hitam melaju ke arahku dengan kecepatan tinggi. Mengapa tidak ada
polisi yang menilang mobil ini" Jelas-jelas dia melanggar batas kecepatan yang
tertera di area airport. Semuanya bagaikan bergerak lambat. Pandanganku beralih dari Camry itu ke
wajah orang yang aku cintai, yang sedang menatapku dengan mata terbelalak
karena panik. Aku tidak bisa meninggal hari ini, apalagi karena ditabrak mobil.
Tidak peduli mobil itu sebuah sedan mewah sekalipun. Terlebih-lebih baru tiga
puluh detik yang lalu aku bisa menemukan kebahagiaanku lagi. Kuperintahkan
kakiku agar berlari secepat mungkin menghindari mobil itu, tetapi tubuhku
menolak mendengarkan perintah dari otakku. Aku hanya bisa berdiri kaku dan
menutup mata, menunggu hingga sedan hitam itu menghantamku.
Ya... Tuhan, jangan sekarang! Tolong... jangan sekarang, pintaku dalam hati.
Kalau aku dibolehkan hidup, aku akan tobat. Aku akan meluangkan waktu untuk
membantu orang lain, meskipun aku sedang sibuk. Ketika aku menyadari bahwa
aku sedang bernegosiasi dengan Tuhan, aku pun berhenti berlari. Akhirnya, aku
Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya menggumam, "Berikanlah aku satu kesempatan lagi! Aku janji akan lebih
berterima kasih atas segala sesuatu yang sudah aku terima dalam hidupku."
Kemudian kudengar bunyi rem mobil yang sedang bersusah payah untuk
berhenti. Ciiiiiii... ttttttttttt... GUBRAK...!
Lalu, semuanya gelap. 1 www.myblinddate.com TIK... TOK... TIK... TOK.... Bunyi jam dinding semakin membuatku tidak nyaman.
Meskipun aku dapat mendengar musik klasik di antara bunyi jam dinding itu,s
emuanya tidak bisa mengalahkan suara detak jantungku sendiri. Sambil pelan-pelan
meminum kopi, sekali lagi kuperhatikan sekelilingku. Berada di dalam ruangan ini
mengingatkanku akan butik-butik yang ada di Rodeo Drive. Hah... kayak aku
pernah masuk saja ke butik-butik itu. Aku hanya pernah melihatnya ketika
menonton acara The Osbournes di MTV. Walaupun begitu, yang jelas segala
sesuatunya tentang ruangan ini meneriakkan kata MAHAL dan SUKSES. Mulai dari
karpet tebal warna putih yang terhampar di kakiku hingga sofa modern warna
merah darah yang aku duduki. Meja kaca dengan kaki warna putih di hadapanku
dipenuhi dengan majalah-majalah fashion edisi terbaru. Wajah Jessica Alba,
Angelina Jolie, Nicole Kidman, dan artis Hollywood lainnya menghiasi sampul
majalahmajalah itu. Seorang wanita bernama Kirsten duduk di belakang meja kaca
berbentuk seperti angka delapan. Di hadapan Kirsten terdapat papan bertuliskan
RECEPTION. Kirsten tersenyum ramah kepadaku. Aku pun membalas
senyumannya dengan canggung.
Aku masih tidak percaya bahwa aku ada di sini, lebih-lebih lagi di tempat ini.
Selama ini aku selalu berpikir bahwa wanita yang memerlukan jasa blind date
adalah tipe wanita yang: 1. Berwajah jelek, hidung seperti nenek sihir, mata jereng atau terlalu besar
seperti ikan mas koki, atau gigi gingsul mirip vampir.
2. Berpenampilan buruk, termasuk tidak tahu cara memilih pakaian yang sesuai
dengan bentuk tubuh sehingga terlihat seperti lemper.
3. Tidak memiliki tata krama, misalnya suka berbicara dengan mulut penuh
makanan. 4. Terlalu tua sehingga pilihannya jadi sangat terbatas.
5. Dipaksa orangtua untuk menikah secepatnya.
6. Senang menggoda, dan hanya menginginkan laki-laki untuk hiburan mereka.
Aku tidak memiliki satu pun karakteristik itu. Pertama, aku tahu bahwa aku
tidak cantik seperti bintang film atau supermodel, tetapi aku cukup menarik
dengan rambut agak ikal dan wajah oval. Tubuhku cukup proporsional dengan tinggi 155
sentimeter dan berat badan 52 kilogram. Kulitku meskipun tidak kuning langsat,
masih tetap menggambarkan kulit wanita Asia pada umumnya, yaitu kuning
kemerah-merahan. Kedua, banyak orang mengatakan selera bajuku patut ditiru
karena aku selalu bisa memilih pakaian yang akan menonjolkan fisikku dan
menyempurnakan penampilanku sebagai wanita Asia yang sukses hidup dan
bekerja di Amerika. Ketiga, umurku masih 27 tahun, masih cukup muda. Keempat,
orangtuaku tidak pernah memaksaku untuk menikah secepatnya, mereka bahkan
terkesan tidak peduli apakah aku akan menikah atau tidak. Terakhir, meskipun aku
tidak pernah mengalami masalah untuk mendapatkan laki-laki yang aku mau, aku
bukan tipe wanita penggoda karena aku lebih memilih hubungan yang serius
daripada one night stand.
Jadi, mengapa aku ada di sini" Aku ada di sini karena usahaku coba mencari
calon suami sendiri selama dua bulan tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya, aku
harus mengaku kalah dan datang ke tempat ini. Aku menemukan
www.MyBlindDate.com dari Didi, adikku yang sedang menyelesaikan studi
doktornya di bidang psikologi di Washington D.C. Ia fans berat acara Oprah
Winfrey. Di salah satu episodenya seminggu yang lalu, Oprah membahas mengenai
blind date, dan selebriti berkulit hitam paling sukses di Amerika itu sangat
merekomendasikan MyBlindDate atau MBD sebagai salah satu perusahaan kencan
buta terbaik bagi wanita-wanita sibuk untuk bertemu calon suami. Usut punya
usut, ternyata MBD mempunyai cabang di Greensboro, North Carolina, kota terdekat
dengan tempat tinggalku. Setelah memberanikan diri menelepon MBD beberapa
hari yang lalu dan membuat janji, Sabtu pagi ini aku bela-belain berkendaraan
menempuh jarak selama 45 menit dari Winston-Salem.
Berdasarkan informasi yang telah aku kumpulkan melalui internet, MBD
didirikan sejak tahun 1985 atas dasar pengalaman wanita bernama Tracy Kelly dari
Chicago, yang bernasib sama denganku. Jumlah klien mereka sudah mencapai
ribuan. MBD memberikan pernyataan bahwa hampir setiap hari mereka menerima
berita pertunangan ataupun pernikahan dari klien-klien mereka. Jadi, aku
memiliki cukup keyakinan akan kesuksesannya.
Tidak lama kemudian seorang wanita bule berambut pirang dengan tinggi
hampir 1.80 meter menghampiriku sambil tersenyum lebar. Otomatis aku langsung
merasa cocok dengan wanita ini. Wajahnya mengingatkanku akan Reese
Witherspoon, yang menurutku menggambarkan keramahan dan persahabatan.
"Hi, I"m sorry that you have to wait. I"m Sandra," ucap wanita bule itu.
Aku mengangguk, lalu berdiri dan menjabat tangannya. Tanpa basa-basi lagi
Sandra langsung menggiringku ke ruangannya. Kutinggalkan cangkir kopiku yang
masih setengah penuh di meja lobi. Ruang kerja Sandra ternyata tidak berbeda
dengan lobi yang baru aku tinggalkan. Semua perabot yang ada di dalamnya
terlihat modern dan berteknologi canggih. Setelah mempersilakan aku duduk, Kirsten
datang menyerahkan beberapa lembar kertas dengan tulisan tanganku di atasnya.
Kertas itu berisi informasi mengenai diriku dan tipe laki-laki yang aku
inginkan. Setelah Kirsten keluar ruangan, Sandra lalu duduk di belakang meja dan terlihat
menyimak lembaran-lembaran kertas itu selama beberapa menit, kemudian
tersenyum kepadaku. "Titania Larasati. Apakah saya mengucapkannya dengan benar?" tanya Sandra.
"Yes," balasku, sambil tersenyum juga.
"Nama yan gbagus."
"Terima kasih. Orangtua saya tergila-gila pada titanium."
Sandra tertawa mendengar komentarku.
"Oke, kalau Anda tidak keberatan saya akan membacakan kembali apa yang
Anda sudah tuliskan mengenai persyaratan yang Anda inginkan dari pasangan date
Anda. Kami hanya ingin memastikan agar tidak terjadi salah paham." Sandra
terdengar serius, meskipun wajahnya masih tersenyum ramah.
Aku mengangguk. "Anda menulis bahwa Anda ingin pasangan date Anda tingginya antara 165
hingga 180 sentimeter?"
"Ya, apakah itu akan bermasalah?" tanyaku ragu. Aku memang tidak suka lakilaki
yang terlalu tinggi karena mereka akan membuatku merasa seperti kurcaci.
Dengan ukuranku yang bisa dibilang kecil kalau dibandingkan dengan wanita
Amerika pada umumnya, aku merasa lebih nyaman dengan laki-laki yang tingginya
antara 165 hingga 180 sentimeter.
"Nggak, ini nggak akan bermasalah. Hanya saya pikir Anda memerlukan lakilaki
yang lebih tinggi dari 165 sentimeter. Apakah Anda mengenakan sepatu hak
sewaktu Kirsten mengukur tinggi Anda?" tanya Sandra.
"Nggak, sepatu saya lepas," jawabku.
Sandra lalu berdiri dan melepaskan sepatu haknya. "Tinggi saya 160 sentimeter,
dan tinggi Anda tidak jauh dari saya."
Aku lalu ikut berdiri dan mengukur tinggiku di samping Sandra. Benar juga,
ucapku dalam hati. "Benar, kan?" Sandra tersenyum kepadaku.
"Mmmhhh... Saya selalu berpikir bahwa saya lebih pendek dari ini," gumamku.
Sandra tertawa mendengarku. "Kebanyakan wanita lupa kalau mereka lebih
sering pakai sepatu hak daripada tidak." Sandra mencoba menenangkanku. "Saya
rasa akan lebih baik bila Anda mengubah tinggi minimum pasangan Anda menjadi
170 sentimeter." Aku menyetujui saran itu.
"Untuk umur, Anda memilih antara 26 hingga 40. Betul?"
Aku mengangguk. Didi telah mengingatkanku agar memilih laki-laki di atas
umur 30 tahun karena menurutnya laki-laki yang belum mencapai usia kepala tiga
kurang dewasa. Aku tidak terlalu setuju dengan pendapatnya, mengingat
pengalaman kedua orangtuaku. Usia bapakku lebih muda dua tahun dari ibuku,
dan pernikahan merkea berjalan lancar-lancar saja. Umurku akan menginjak 28
beberapa bulan lagi, aku yakin laki-laki berumur 26 tahun sudah cukup dewasa
untuk dipertimbangkan sebagai prospek suami.
"Itu juga tidak akan bermasalah. Kami ada banyak klien laki-laki yang masuk
dalam kategori umur tersebut."
Sandra kemudian menambahkan, "Anda terbuka dipasangkan dengan laki-laki
dari berbagai ras. Sekali lagi, itu akan membuat kami lebih mudah menemukan
pasnagan date untuk Anda." Sandra mengedipkan matanya kepadaku sambil
tersenyum. Aku tertawa melihat ekspresinya. Didi berkata kepadaku bahwa laki-laki dari
Amerika Selatan cenderung sangat mencintai istrinya, meskipun mereka juga paling
sering selingkuh. Laki-laki bule kebanyakan akan menjadi botak kalau sudah tua.
Hal ini mengingatkanku akan Bruce Willis, yang kepalanya sudah dibiarkan botak
selama sepuluh tahun terakhir untuk menutupi kenyataan dia sudah kehilangan
rambutnya pada usia yang cukup dini. Laki-laki Asia biasanya kurang menghargai
istri, sedangkan laki-laki African American malah justru kalah terhadap
perempuan. Sebenarnya, aku tidak tahu mengapa aku mendengarkan Didi, padahal Didi sama
sekali tidak berpengalaman dalam berpacaran.
"Anda mengharuskan pasangan date Anda single dan unattached. Apakah Anda
bersedia dating dengan laki-laki yang statusnya baru "pisah" dari istri mereka?"
tanya Sandra. Tanpa berpikir aku langsung menjawab, "Nggak. Saya ingin mereka "single"
sesingle-single-nya. Tidak duda cerai, dan terutama tidak laki-laki yang secara
hukum masih terikat pernikahan, meskipun mereka mengatakan mereka sudah pisah."
Ini adalah salah satu persyaratan yang sempat kubahas panjang-lebar dengan
Didi. Aku dan Didi setuju, aku sebaiknya tidak melayani laki-laki beristri yan
gmasih senang "belanja", tidak peduli apa pun alasan yang mereka kemukakan.
Pendapat kami agak berbeda mengenai duda cerai. Menurut Didi, laki-laki yang
sudah pernah bercerai bukan berarti laki-laki yang tidak bisa menjadi suami yang
baik. Ada begitu banyak faktor yang bisa menjadi penyebab perceraian. Walaupun
begitu, aku tidak mau mengambil risiko. Kami juga membahas mengenai duda yang
ditinggal mati istrinya, baik duda yang tidak mempunyai anak maupun ada anak.
Akhirnya, kami setuju bahwa aku harus menghindari duda jenis apa pun juga.
Sandra mengangguk. "Anda mencentang boks untuk area North Carolina saja,"
lanjut Sandra. "Saya rasa akan lebih baik bagi saya mulai dengan laki-laki yang tinggal cukup
dekat dengan saya, tetapi saya bisa mengubahnya nanti kan kalau misalnya saya
tidak bisa menemukan pasangan yang cocok setelah enam bulan?" Aku mencoba
menjelaskan alasanku mencentang pilihan itu.
"Oh, Anda tidak perlu khawatir soal itu. Saya cukup yakin Anda akan
menemukan pasangan yang cocok dalam waktu enam bulan." Sandra terdengar
yakin. "Oh, ya?" tanyaku bingung dan kaget.
Sandra mengangguk. "Anda adalah tipe wanita yang biasanya dicari laki-laki
dalam suatu relationship."
"Oh," adalah satu-satunya kata yan gkeluar dari mulutku. Aku merasa terlalu
ge-er untuk menanggapi pernyataan Sandra dengan kata lain, meskipun kalau aku
mau jujur dengan diriku sendiri aku tahu itu memang kenyataannya. Aku memang
tidak pernah mengalami masalah untuk menggaet laki-laki, tetapi mendengar
seseorang mengkonfirmasikan sesuatu yang aku hanya bisa rasakan, masih tetap
membuatku canggung. Sandra tertawa melihat reaksiku.
"Anda tidak perlu menjawab pertanyaan berikut ini, tetapi kalau Anda bisa itu
akan sangat membantu kami lebih memahami Anda dan menemukan pasangan
yang paling cocok untuk Anda."
"Go ahead," ucapku, mengizinkan Sandra menyampaikan pertanyaannya.
"Apakah yang membuat Anda datang ke MBD?"
Aku tertawa sebelum menjawab. "Saya baru putus dari hubungan yang cukup
serius beberapa bulan yang lalu. Setelah melakukan makeover, termasuk memotong
pendek rambut saya, membeli baju baru dengan warna yang lebih cerah, saya
memutuskan melanjutkan hidup dan datang ke MBD."
"Well said," balas Sandra penuh pengertian. "People should quote those words
that you just told me and turned it into a movie or something."
Aku tertawa terbahak-bahak mendengar komentarnya. Kini aku memang bisa
menertawakan keadaanku, tetapi tidak tiga bulan yang lalu. Aku tidak
menceritakan kejadian sebenarnya bahwa aku melihat Brandon, pacarku selama tiga
tahun, selingkuh dengan asistennya. Aku ingat betul kejadian pada akhir bulan
Mei lalu itu. Aku baru saja sampai di apartemen pukul enam hari Jumat sore ketika
Brandon menelepon untuk menunda date kami karena dia harus lembur. Dia berjanji
akan menelepon kembali setelah pekerjaannya selesai. Aku tentunya tidak
berkeberatan, aku justru senang karena pacarku begitu tekun dengan pekerjaannya.
Beberapa minggu ini memang Brandon sering pulang malam karena salah satu klien
terbesarnya sedang terkena kasus. Sebagai salah satu pengacara termuda di
kantornya, aku justru merasa bangga karena para partner di kantornya melibatkan
pacarku untuk menyelesaikan kasus itu sehingga aku sama sekali tidak curiga akan
jam kerjanya yang tiba-tiba berubah.
Aku lalu menyempatkan diri membuatkan pasta jamur kesukaannya karena aku
tahu dia pasti akan datang dengan wajah kelaparan, seperti biasanya. Akan
tetapi, setelah menunggu hingga pukul tujuh malam dan Brandon masih belum telepon
juga, akhirnya aku pun menghubungi kantornya. Anehnya tidak ada yang
mengangkat. Aku lalu menghubungi telepon selularnya, tapi panggilanku langsung
masuk ke voicemail. Dengan pemikiran bahwa aku akan memberikannya kejutan jika
aku muncul di kantornya dengan membawa makan malam untuknya, aku
menempuh jarak 30 menit untuk tiba di bangunan kantornya yang terlihat sepi
kecuali bagian lobinya. "Hello, Miss Titania, coming to see Mr. Brandon?" tanya Leonard, satpam kantor
Brandon. Ia tersenyum ramah dan aku bisa melihat deretan giginya yang putih,
kontras sekali dengan kulitnya yang berwarna ebonit.
"Yes, is he still here" Saya bawakan dia makan malam," balasku tidak kalah
ramahnya. "Apakah kamu sudah makan malam?"
"You are a sweet woman. Ya, saya sudah makan sekitar satu jam yang lalu, thanks
for asking." Aku tersenyum mendengar jawaban Leonard. Itulah salah satu sebab mengapa
aku menyukai North Carolina, orang-orangnya sangat ramah.
"Mr. Brandon masih di atas dengan Miss Bella. Sebentar, saya telepon beliau
dulu untuk memberitahu bahwa Anda ada di sini," ucap Leonard lagi. Ia lalu
mengangkat telepon. Aku mengangguk. Rupanya memang kasus yang Brandon hadapi cukup serius
karena bahkan Bella, asistennya, juga harus lembur.
"Tidak ada yang menjawab." Leonard terlihat sedikit bingung. "Mari, saya antar
Anda ke ruangannya," ucap Leonard. Aku tahu bahwa di kantor Brandon apabila
ada nonpegawai yang ingin masuk ke dalam, maka ia harus ditemani oleh salah
satu pegawai. Leonard mengiringiku ke lift dan mengantarku ke ruangan Brandon di tingkat
delapan. Ketika pintu lift terbuka, lantai itu terlihat sepi dan redup. Leonard
kemudian berjalan menyeberangi ruangan yang dipenuhi dengan meja-meja yang
dipisahkan oleh beberapa sekat, tempat para asisten duduk pada siang hari. Aku
tidak melihat Bella di mana pun juga. Aku hampir tidak mengenali ruangan ini.
Terakhir kali aku ada di dalam ruangan ini ketika Brandon membawaku untuk
dikenalkan kepada kolega-koleganya hampir dua tahun yang lalu, dan pada saat itu
semuanya terlihat sibuk, bahkan ramai.
"Sepi sekali," gumamku. Aku masih belum curiga ada sesuatu yang aneh
dengan keadaan ini. Leonard hanya mengangkat bahunya, dan terus berjalan menuju ruangan yang
berseberangan dengan lift. Kami berdiri di depan pintu kayu berwarna cokelat tua
yang tertutup. Jendela sepanjang dua meter, yang terletak di sebelah pintu, juga
tertutup oleh kerai kayu horizontal. Ada sinar terang yang menembus ke luar,
Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menandakan masih ada orang di dalamnya. Leonard bersiap-siap mengetuk pintu
itu, tetapi aku berbisik perlahan.
"Biar saya yang melakukan. Saya ingin membuat kejutan untuknya."
Leonard menyeringai, dan berjalan kembali menuju lift. Aku tersenyum melihat
wajah Leonard. Dalam hati aku berjanji akan membuatkan kue cokelat untuknya,
yang bisa dibawa Brandon pada hari Senin. Setelah menarik napas aku pun
membuka pintu itu perlahan-lahan, sebisa mungkin tidak mengganggu konsentrasi
Brandon apabila dia sedang bekerja. Akan tetapi, apa yang kulihat cukup
membuatku ternganga. Pacarku dan Bella dalam posisi "doggy style". Pakaian
mereka masih cukup lengkap di bagian atas, tetapi tidak ada sehelai pakaian pun
dari pinggang ke bawah. Aku mendengar suara orang berteriak kaget, dan aku baru sadar bahwa suara
itu adalah suaraku. Otomatis dua pasang mata langsung mengarah kepadaku. Mata
Brandon langsung melebar ketika melihatku.
"Excuse me," ucapku, dan buru-buru lari menuju lift. Aku tidak berhenti berlari
hingga sampai di dalam mobil. Aku bahkan tidak menghiraukan Leonard, yang
menanyakan apakah ada masalah ketika melihatku berlari melewati lobi bagaikan
dikejar setan. Aku tidak bisa berkata-kata, bahkan tidak mampu menangis. Aku
masih shock. Untung saja aku selalu menolak tinggal bersama Brandon selama kami
berpacaran sehingga aku masih punya tempat tinggal setelah kejadian itu.
Walaupun begitu, aku merasa apartemenku tidak bisa memberikan kenyamanan
dan keamanan yang aku inginkan. Selama dua minggu aku terpaksa tinggal dengan
Didi di Washington D.C. untuk menghindar dari Brandon, yang setelah kutemukan
sedang ML dengan asistennya selalu meneleponku, mendatangi apartemenku,
bahkan menggangguku di kantor untuk meminta maaf. Setelah tahu aku tidak akan
pernah memaafkannya, Brandon berubah menjadi seorang stalker. Ia meneleponku
siang dan malam hanya untuk menutup kembali telepon itu apabila aku
mengangkatnya. Dengan rasa kesal akhirnya aku meneleponnya untuk
mengajaknya bertemu dan memutuskan hubunganku dengannya selama-lamanya.
Aku mengajaknya bertemu pada hari Minggu siang di tempat yang ramai untuk
mencegah pertemuan itu berubah menjadi sebuah konfrontasi yang akan melibatkan
kekuatan fisik. Selama tiga tahun kami bersama-sama, Brandon memang sama sekali
tidak pernah berbuat kasar terhadapku. Akan tetapi, Brandon laki-laki dan secara
fisik dia lebih kuat daripada aku. Apalagi Brandon sedang terluka, dan aku tahu
orang yang dalam kondisi seperti ini akan memiliki kecenderungan mudah kalap
kalau keinginannya tidak dipenuhi.
Brandon sedang duduk sendiri di meja favorit kami di restoran yang dia pilih
ketika aku datang. Sekali lagi aku harus mengakui Brandon adalah laki-laki
paling ganteng yang pernah aku pacari. Kemeja biru yang dikenakannya menempel
dengan sempurna pada bahunya yang tegap. Kedua lengannya yang berotot
ditutupi oleh sedikit bulu berwarna cokelat muda. Dia tersenyum dan aku kembali
ke realita. Didi pernah berkata bahwa senyum Brandon selalu terlihat palsu dan
tidak tulus. Aku tidak pernah mengerti apa yang dimaksud Didi hingga saat itu.
Senyum itu terlihat licik.
"Let"s get this over with," ucapku tegas, lalu duduk di kursi di hadapan
Brandon. Brandon terlihat kaget mendengar nadaku, tetapi ketika melihatku duduk dia
pun menatapku dengan penuh harap. Dia masih tersenyum, kemudian
pandangannya tertuju ke dua kantong besar dari Old Navy yang ada di
genggamanku dan senyumnya langsung hilang dalam sekejap mata.
"Do you want anything to eat?" tanyanya.
Seorang waiter mendatangiku, tetapi aku tidak memesan apa-apa. Aku tahu, aku
tidak akan mampu berlama-lama duduk berhadapan dengan Brandon tanpa merasa
ingin menamparnya. "Aku ke sini untuk memberitahu kamu agar berhenti menggangguku. Aku
tidak ingin ada hubungan apa-apa lagi dengan kamu sampai kapan pun juga."
Aku lalu berdiri dan menyerahkan dua kantong yang tadi aku bawa kepadanya.
"Aku sudah membereskan barang-barang kamu yang masih ketinggalan di apartemenku.
Semuanya ada di dalam kantong-kantong ini. Have a nice life," ucapku, lalu
berdiri dan melangkah meninggalkannya. Brandon menatapku dengan mulut
terbuka. Kemudian tanpa kusangka-sangka Brandon juga berdiri dan menarik lenganku.
"Apakah kamu bahkan tidak ingin tahu mengapa aku melakukan itu?" tanyanya.
Matanya menatapku dalam. Aku melihat ada kemarahan dan kebencian di situ.
"Oh, aku tahu alasannya," jawabku.
Aku tahu alasan utama mengapa Brandon selingkuh, tidak lain karena seks.
Selama ini aku sangat bersyukur karena telah menemukan Brandon, laki-laki yang
berbeda dari pacar-pacarku sebelumnya. Dia memahami prinsipku yang tetap ingin
menjadi perawan hingga aku menikah. Aku bahkan tidak pernah menyangka
Brandon selingkuh karena dia tetap selalu perhatian terhadapku sampai Didi
menempelkan ide itu di kepalaku ketika aku menceritakan tentang perselingkuhan
Brandon. "Cara Brandon memperlakukan Mbak kayak dia sedang menebus dosa. Dia
terlalu perhatian." Kata-kata Didi itulah yang membuatku mencoba mengingat-ingat, apakah aku
bisa melihat ada perubahan dalam diri Brandon selama beberapa bulan terakhir"
Aku baru sadar Brandon jadi semakin sering mengajakku ke luar makan malam dan
memberiku hadiah-hadiah romantis dan mahal. Awalnya hanya bunga mawar putih
setiap kali dia muncul di apartemen, tapi kemudian dia muncul dengan gelang dari
Tiffany"s atau syal dari Burberry.
"Tolong jawab satu hal ini. Apakah dia satu-satunya atau ada perempuan lain
sebelum dia?" desisku.
Brandon tidak menjawab, tetapi dari sorot matanya aku tahu ternyata dugaan
Didi benar. Aku harus menarik napas dalam dan menahan diriku tidak
mengguyurkan satu pitcher bir yang ada di meja kami ke kepalanya. Bagaimana
mungkin aku bisa sebuta ini" Bagaimana mungkin Didi, adikku yang dua tahun
lebih muda dariku dan juga masih perawan dan rekor dating-nya sangat minim, bisa
lebih punya intuisi membaca gelagat Brandon daripada aku"
Kulepaskan cengkeraman Brandon dari lenganku dan bergegas melangkah ke
luar restoran. Aku tidak memedulikan tatapan beberapa orang di dalam restoran
yang cukup padat itu. Sinar matahari yang terik langsung menyambutku.
Kukenakan kembali kacamata hitam yang tadi aku gantungkan di kerah kausku.
Tiba-tiba kudengar pintu restoran terbuka dengan bantingan yang cukup keras,
dan kulihat Brandon sedang menuju ke arahku. Wajahnya seperti badai, penuh
dengan kemarahan. Aku tahu bahwa aku hanya akan mengundang masalah apabila
tidak menjauh darinya saat itu juga, tetapi aku penasaran ingin tahu apa yang
ingin dia katakan kepadaku sehingga membuatnya terlihat seperti itu.
"Apakah kamu tahu bagaimana rasanya tidak mendapatkan seks selama dua
tahun"!" teriaknya kepadaku.
Kukerutkan keningku, mencoba mengingatkannya bahwa kami sedang berada
di tempat umum dan tingkah lakunya yang seperti orang kesurupan menarik
perhatian semua orang yang ada di teras restoran. Kemudian aku tersadar oleh
katakata terakhir Brandon. Dia ternyata sudah tidak jujur terhadapku selama
setahun terakhir ini. "Jadi, kamu sudah selingkuh selama setahun terakhir ini, ya?" tanyaku santai.
"Ya, kamu terlalu sibuk dengan hidup kamu sendiri sehingga kamu nggak
pernah memperhatikan aku. Ada empat perempuan lain sebelum dia, dan we did it
everywhere. Termasuk di atas tempat tidurku." Brandon menutup penjelasannya.
Luapan kemarahan yang sudah aku coba tahan naik ke permukaan. Bagiamana
mungkin dia bisa mengatakan aku terlalu sibuk dengan kehidupanku sehingga
tidak memperhatikan dia" Selama tiga tahun dia pikir aku sedang berbuat apa"
"Apakah itu alasannya mengapa kamu keluar dari restoran sambil marahmarah" Untuk
mempermalukan diri kamu sendiri dengan mengumumkan
perselingkuhan kamu kepada seluruh Winston-Salem?" Meskipun darahku sudah
mendidih, anehnya suaraku masih terdengar tenang.
Aku mendengar seseorang berteriak, "Laki-laki itu perlu ditampar."
"Setuju...," sambut beberapa orang lainnya.
Seakan-akan baru sadar bahwa tidak hanya aku yang baru saja mendengar
pengakuannya, Brandon menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan hal itu.
Ketika sadar apa yang telah dilakukannya, Brandon terlihat semakin marah dan
berjalan mendekatiku. Baru saja dia berjalan dua langkah, dua laki-laki berbadan
tinggi besar mencengkeramnya dan mendorongnya untuk menjauhiku. Salah satu
dari mereka berambut cokelat, dan yang satu lagi mengenakan topi baseball
berlogo Wake Forest University. "Walk away, man," ucap laki-laki yang mengenakan topi Wake Forest University
itu. Brandon kemudian berjalan menjauhiku, tetpai sebelumnya dia berteriak,
"Kamu lihat saja, tidak akan ada laki-laki yang mau dengan kamu! Tidak akan ada
laki-laki yang bisa tahan berhubungan dengan kamu! Akulah satu-satunya laki-laki
untuk kamu!" Sepanjang sejarah aku tidak pernah dihina oleh siapa pun juga seperti Brandon
baru saja menghinaku. Aku sudah berniat menampar Brandon saat itu, tetapi
terlambat orang lain telah melakukannya untukku. Laki-laki yang berambut cokelat
telah melayangkan kepalan tinjunya ke sisi kanan wajah Brandon, dan aku
mendengar bunyi "crack" yang cukup keras.
Kulihat Brandon mundur beberapa langkah karena terkejut dengan serangan
tiba-tiba itu. Darah segar mulai menetes dari pelipisnya, yang kini ditandai
garis warna merah yang cukup panjang tepat di samping alisnya.
"That"s not the way to talk to a lady," geram laki-laki yang baru melayangkan
kepalan tinjunya. Brandon terlihat ingin melakukan serangan balik ke laki-laki itu. Aku yakin dia
akan bisa mengalahkan laki-laki berambut cokelat itu karena Brandon jelas-jelas
lebih tinggi dan tubuhnya lebih gempal. Akan tetapi, ketika ia melihat laki-laki
yang mengenakan topi Wake Forest itu sedang bertolak pinggang, Brandon berpikir dua
kali sebelum meluncurkan serangannya. Untuk pertama kalinya aku menyadari
bahwa meskipun laki-laki bertopi itu lebih kurus daripada Brandon, kedua
lengannya terlihat kekar. Cukup kekar untuk mencekik Brandon sampai dia
kehabisan napas. Setelah memberikan tatapan ganas kepadaku, Brandon kemudian
melangkah pergi yang diikuti oleh teriakan "booooo" dari beberapa orang yang
menonton kejadian itu. "Ma"am... are you alright?" tanya laki-laki bertopi itu lagi, sambil berjalan ke
arahku. Aku tidak bisa betul-betul melihatnya karena wajahnya tertutup oleh
bagian luar topi tersebut. Aku mengangkat tangan dengan telapak menghadap ke arah laki-laki bertopi
tersebut, dan mengangguk. "Thank you for that," ucapku. Laki-laki bertopi itu
mengerti sinyalku, dan menghentikan langkahnya.
"It was our pleasure," balas laki-laki yang berambut cokelat, yang setelah aku
perhatikan mengingatkanku akan seekor Panda. Mungkin karena senyumnya yang
sumringah, tatapannya yang bersahabat, atau matanya yang dalam. Temannya yang
bertopi menyentuh ujung topinya.
Aku lalu berjalan menuju mobil, dan meluncur pulang. Malam itu juga aku
berangkat ke Washington D.C.
Pertanyaan Sandra menarikku kembali ke masa kini. "Jadi, Anda mencentang
"Looking for a serious relationship" sebagai pilihan Anda. Betul?"
"Ya. Saya sudah 27 tahun, dan sekarang tampaknya waktu yang tepat untuk
mulai suatu hubungan yang superserius," jelasku. Ada beberapa alasan lain
tentunya, tetapi aku tidak akan menceritakannya kepada Sandra. Dia adalah agen
kencan butaku, bukan seorang psikolog.
Sandra tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasanku. "Saya mengerti
maksud Anda. Pokoknya, Anda tidak perlu khawatir. Banyak klien laki-laki kami
yang menginginkan hal yang sama."
Aku mengangguk. Justru yang aku khawatirkan adalah tidak ada satu pun dari
laki-laki yang sesuai dengan kriteriaku itu bersedia menjalin hubungan serius
denganku. Selama tiga bulan berulang kali kuputar percakapan terakhirku dengan
Brandon. Entah mengapa, tetapi kata-katanya, "Kamu lihat saja, tidak akan ada
lakilaki yang mau berhubungan dengan kamu. Tidak akan ada laki-laki yang bisa
tahan berhubungan dengan kamu," semakin hari semakin menggangguku. Apakah ada
yang salah dengaku" Apakah memang benar tidak ada laki-laki lain yang akan mau
berhubungan denganku" Kalau saja aku mendengar ucapan seperti ini tiga tahun
yang lalu sebelum aku mengenal Brandon, aku akan tertawa terbahak-bahak karena
jelas-jelas itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Entah bagaimana, tampaknya
selama tiga tahun aku bersama Brandon tanpa aku sadari lambat laun aku sudah
kehilangan jati diri dan kepercayaan diriku.
Berulang kali Didi memastikan aku bahwa Brandon hanyalah laki-laki idiot
yang tidak bisa menghargai diriku, dan Didi memintaku melupakan semua katakata
yang pernah diucapkan Brandon kepadaku. Terutama kata-kata yang
menyakitkan hatiku. "Oke, pertanyaan terakhir." Suara Sandra lagi-lagi menyelamatkanku dari
mengingat kembali kejadian tiga bulan yang lalu itu. "Untuk body type, Anda
menulis "Athletic, I dont" mind chubby but not obese"."
Aku tertawa mendengar tulisanku dibaca kembali oleh Sandra. "Oh.... man, I
sound so shallow now that you are reading it back to me."
Sandra pun ikut tertawa. "Nggak... jangan khawatir tentang itu. Kalau itu
memang pilihan Anda, kami akan berusaha sebaik mungkin menemukan pasangan
yang cocok untuk Anda."
Aku sangat berharap MBD tidak akan mengecewakanku karena sejujurnya
inilah satu-satunya jalanku bisa menunjukkan kepada Brandon bahw aaku bisa
menemukan laki-laki yang menginginkanku, bahwa mungkin mencintaiku.
Setelah selesai interview, Sandra lalu menjelaskan perjanjian yang harus aku
tanda tangani. Garis besar perjanjian itu berisikan tentang hak-hakku sebagai
klien, dan beberapa peraturan yang sebaiknya dipatuhi oleh setiap klien. Beberapa
peraturan itu adalah: 1. Untuk setiap kencan pertamaku, MBD akan mengaturnya untukku. Jika aku
menemukan kecocokan dengan date-ku maka mereka memberiku kebebasan
mengatur kencanku selanjutnya sendiri.
2. Aku harus makan di restoran yang telah dipilih oleh mereka untuk setiap
kencan pertamaku karena ini salah satu cara MBD menjaga keselamatanku.
3. Aku diwajibkan menelepon MBD jika akan terlambat lebih dari 15 menit
untuk kencanku agar date-ku tidak harus menunggu lama atau apabila
kencanku harus dijadwal ulang.
4. Setiap klien wajib membayar makanan mereka masing-masing. Awalnya aku
agak bingung dengan peraturan ini, tetapi kemudian aku dapat memahami
logikanya. Tentu saja MBD tidak akan membebankan setiap makan malam
atau makan siang kepada klien laki-laki.
Setelah kutandatangani perjanjian itu, kukeluarkan American Express-ku untuk
membayar biaya jasa mereka sebesar dua ribu dolar. Hal ini akan mengikat MBD
denganku selama enam bulan ke depan. Sandra kemudian memastikan semua
pertanyaanku sudah terjawab, lalu menggiringku ke luar ruangannya dan
mengantarku hingga ke mobil. Dia berjanji akan menghubungiku lagi secepatnya
untuk mengatur jadwal kencanku.
2 Caesar Salad DENGAN tergesa-gesa aku meninggalkan kantor tepat pada pukul enam sore untuk
kencan pertamaku di Village Tavern, sebuah restoran yang cukup bergengsi di
Winston-Salem. Aku sudah berkonsultasi dengan Didi tentang pakaian yang harus
aku kenakan untuk kencan ini. Didi menyarankan agar aku sebaiknya tampil apa
adanya. Aku hanya meluangkan waktu untuk mencuci muka, menambahkan bedak
dan lipstik, kemudian berangkat menuju restoran langsung dari kantor. Date-ku
malam ini bernama Trevor, laki-laki berkulit putih, tingginya 180 sentimeter,
berumur 29 tahun, dan seorang mahasiswa kedokteran.
Hari ini aku betul-betul tidak menikmati pekerjaanku sebagai seorang financial
analyst. Dari pukul delapan pagi aku sudah berkutat dengan segala informasi
keuangan yang aku dan Linnell, bosku, sudah kumpulkan dari kemarin. Beberapa
hari yang lalu CFO kami mengemukakan informasi yang dia dengar tentang
peraturan pajak baru, yang sedang dipertimbangkan oleh Negara Bagian North
Carolina. Menurut dia, peraturan itu mungkin akan berdampak buruk pada bank
tempatku bekerja karena pajak itu menyangkut pembayaran kembali pinjaman uang
kepada nasabah yang ingin membeli rumah. Tepat pukul sepuluh aku dan Linnell
pergi menghadap CFO kami dan mengemukakan apa yang telah kami analisis.
Berdasarkan keadaan keuangan bank pada saat ini, meskipun nanti ada beberapa
Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nasabah yang akan mengalami masalah pembayaran pinjaman uang dikarenakan
kenaikan pajak properti, kalau sampai peraturan pajak itu disetujui, hal itu
tidak akan membuat aktivitas perputaran uang yang dilakukan bank jadi berhenti total.
CFO kami menyarankan agar segala bentuk pinjaman uang kepada nasabah
dihentikan sampai kami mendapat informasi lebih lanjut tentang kenaikan pajak
properti ini. Linnell dan aku, didukung dengan data yang kami miliki,
berpendapat bahwa karena peraturan itu baru dalam tahap pertimbangan, maka perusahaan
tidak perlu mengambil keputusan seperti itu. Setelah melakukan berbagai analisis
selama berjam-jam, semuanya jadi sia-sia karena pada pukul tiga sore kami
mendengar kabar peraturan kenaikan pajak properti telah diveto. Selama sisa hari
kerja itu aku mencoba menyelesaikan pekerjaan yang sempat terbengkalai karena
proyek CFO-ku ini. Otakku belum sempat beristirahat sedikit pun sejak tiga hari
yang lalu sehingga membuatku kurang bersemangat melanjutkan hariku dengan
kencan buta pertamaku. Aku tiba tepat pukul enam lewat tiga puluh menit. Aku menghampiri hostess
restoran dan mengatakan siapa diriku.
"Please come with me, your date is already here," ucap hostess itu, sambil
tersenyum dan mengantarkanku menuju sebuah meja di sudut restoran. Beberapa menit
kemudian aku berhadapan dengan Trevor, yang ternyata memiliki rambut berwarna
cokelat gelap dengan kacamata minus bertengger di atas batang hidungnya. Segala
sesuatu yang ada pada Trevor mencerminkan statusnya sebagai mahasiswa
kedokteran. Dia terlihat cukup ramah, tubuhnya tampak sehat dengan perut rata
dan bahu yang cukup bidang. Aku suka penampilan luarnya. Merasa lebih positif,
aku tersenyum kepadanya dan siap mengenal Trevor lebih jauh.
Empat puluh lima menit kemudian aku sudah siap bunuh diri karena bosan.
Awalnya Trevor terlihat malu. Oleh sebab itu, aku mencoba mencari topik
pembicaraan yang netral. Aku mulai dengan menanyakan di mana dia kuliah, yang
dijawab dengan Wake Forest University. Sudah tahun keberapa" Trevor menjawab
tahun terakhir. Spesialisasi apa yang dia ambil" Trevor menjawab pediatrics.
Apakah dia orang asli Winston" Dia menjawab dengan satu anggukan kaku. Berlanjutlah
makan malam kami dengan suasana membosankan, di mana aku akan menanyakan
satu pertanyaan dan Trevor akan menjawabnya dengan tidak lebih dari lima kata.
Setelah selesai makan malam, Trevor masih juga tidak berkata-kata. Akhirnya, aku
berkata, "Are you feeling okay?"
Trevor terlihat terkejut dengan pertanyaanku. "Yes. Why?"
"Selama satu jam makan malam kita, kamu belum pernah mengucapkan kalimat
yang lebih panjang dari lima kata," balasku, sambil menghirup teh panas.
Trevor terlihat malu mendengar penjelasanku. Wajahnya memerah, dia melepas
kacamatanya dan menyekanya dengan saputangan berwarna putih, yang terlihat
sudah sangat kusut karena keluar-masuk kantong celananya selama satu jam
pertemuan kami. "Shall we go, then?" tanyaku.
"Saya mohon maaf karena tidak bisa jadi teman bicara yang baik malam ini,"
ucap Trevor pelan. Aku ternganga mendengarnya karena inilah kalimat terpanjang
yang diucapkannya sepanjang malam.
"That"s okay," balasku, mencoba tetap ramah. Aku sudah terlalu lama tinggal di
North Carolina sehingga tidak ada alasan bagiku bertingkah tidak sopan terhadap
orang lain, meskipun orang itu telah membuatku gondok semalaman.
"Saya ada ujian besok, yang agak membuat saya khawatir. Saya pikir saya
sudah mempelajari semuanya, tetapi otak saya terlalu penuh sampai tidak bisa
mengingat apa pun yang telah saya pelajari." Trevor mengucapkan kalimat itu
dalam satu tarikan napas.
Aku hanya bisa bengong menatapnya, kemudian tertawa terbahak-bahak.
Trevor menatapku bingung.
"Oh, saya pikir kamu diam saja karena tidak suka kepada saya. Baguslah kalau
bukan itu alasannya," jelasku, di antara tawaku.
Trevor terlihat terkejut dengan penjelasanku, lalu dia pun tertawa. Untuk
pertama kalinya aku bisa melihat Trevor cukup cute dengan gigi yang rapi dan
suara tawa yang penuh kehangatan. Aku yakin dia akan menjadi dokter anak yang sukses
suatu hari nanti. Tiba-tiba Trevor berkata, "Awww... kamu tidak perlu khawatir
tentang itu. Kamu terlalu menarik untuk diacuhkan. I would love to go out with
you again next time." "Apakah kalimat kamu akan lebih panjang dari lima kata?" candaku.
Trevor tertawa mendengar pertanyaanku. "Aku janji, kalimat-kalimatku akan
lebih panjang dari lima kata," balasnya.
"Then we have a deal." Untuk mengganggunya, kusodorkan tangan kananku
mengajaknya berjabat tangan.
Trevor tertawa dan menjabat tanganku. Kami lalu membayar makan malam
kami masing-masing, dan berpisah di depan pintu masuk restoran setelah bertukar
nomor telepon. Keesokan paginya, Sandra meneleponku dan menanyakan kencanku dengna
Trevor. Setelah memikirkan dalam-dalam kencan pertamaku itu sambil merendam
tubuhku dengan air hangat ditemani Nelly Furtado dan sabun mandi berbau melati,
aku memastikan bahwa Trevor sama sekali bukan tipeku. Meskipun Trevor cukup
cute dan jelas-jelas tajir karena bisa kuliah kedokteran di Wake Forest
University, salah satu universitas swasta termahal di Amerika yang biaya per semesternya
cukup untuk membeli satu rumah di Jakarta, aku tidak bisa melanjutkan kencan
kami. Di luar segala sesuatu yang bersifat material, aku yakin aku akan bosan kalau
meneruskan kencan dengan Trevor. Meskipun dia mengatakan dia biasanya cukup
menyenangkan, entah mengapa aku meragukan itu. Dengan jujur aku mengatakan
hal itu kepada Sandra, yang mendengarkan dengan penuh pengertian. Dia juga
meminta maaf karena kencnaku tidak berjalan semulus yang telah direncanakan
MBD. Aku sebetulnya sedikit cemas setelah kencanku dengan Trevor. Bagaimana
kalau semua klien laki-laki MBD ternyata seperti Trevor" Ketika aku
mengemukakan kekhawatiranku kepada Didi, dia berkata aku tidak boleh terlalu
pesimis. Tidak semua laki-laki di seantero North Carolina membosankan seperti
Trevor. Aku percaya dengan kata-kata Didi. Sekali lagi, aku tidak mengerti
mengapa aku bisa percaya dengannya, adikku yang suka sok tahu itu.
*** Hari Selasa pagi Sandra meneleponku dan memberitahu aku akan memiliki dua date
sekaligus akhir minggu ini. Hari Jumat malam aku akan bertemu dengan Reggie,
African-American, tingginya 180 sentimeter, berumur 26 tahun, dan seorang
psikolog. Aku harus pergi ke Concord, sekitar 45 menit dari rumahku, untuk bertemu
dengannya. Reggie akan datang dari Charlotte, yang jaraknya sekitar dua jam dari
rumahku. Hari Sabtu siang aku akan bertemu dengan Gabriel, Hispanic, tingginya
nyaris hampir dua meter, berumur 35 tahun, dan seorang banker. Kami akan
bertemu di Burlington, sekitar satu jam dari Winston-Salem. Aku meragukan dua
pilihan ini karena aku belum pernah berkencan dengan laki-laki African-American
ataupun Hispanic sebelumnya. Aku hanya berharap mereka tidak akan terlalu
berbeda dengan laki-laki pada umumnya.
Sore itu sepulang dari kantor aku langsung menuju Fresh Market untuk
berbelanja. Persediaan bahan makanan di rumahku sudah sangat minim, dan aku
berencana mencoba resep yang aku lihat beberapa hari yang lalu di Cooking
Channel. Sewaktu aku masih tinggal bersama Didi, dialah yang aku jadikan korban untuk
mencoba resep terbaruku. Kemudian ketika aku bersama Brandon, kualihkan semua
perhatianku kepadanya. Aku menertawakan diriku sendiri. Selama tiga tahun aku
mengutamakan Brandon dalam hidupku. Segala sesuatu yang kulakukan adalah
untuknya. Bahkan kepindahanku ke North Carolina dari Washington D.C. pun agar
aku bisa lebih dekat dengannya.
Aku pertama kali bertemu Brandon di suatu klub malam di Washington D.C.,
dan aku langsung jatuh cinta kepadanya. Tubuhnya tinggi besar dengan lengan
kekar yang ditutupi kemeja hitam, yang jelas-jelas dibeli dari sebuah butik
designer kenamaan. Dia terlihat sangat nyaman dengan tubuhnya itu. Namun demikian,
daya tarik Brandon ada pada rasa percaya dirinya. Hal ini terlihat dari caranya
berjalan, yang seakan-akan dunia ini miliknya. Ada banyak wanita di dalam klub
itu yang ingin menarik perhatiannya, tetapi dia justru menghampiriku. Temantemanku
langsung menyingkir sambil tersenyum tersipu-sipu ketika Brandon
menarik tanganku untuk dance dengannya. Meskipun aku sudah flirting dengannya
dengan tatapan mataku selama satu jam, aku masih tetap merasa sedikit terkesima
karena tidak menyangka dia berani mendekatiku. Jadi, aku hanya menurut saja,
bahkan tidak mengatakan apa pun ketika Brandon menarikku ke pelukannya dan
mengatakan betapa seksinya aku. Aku masih ingat bau kulitnya yang membuat
kepalaku dipenuhi hal-hal yang seharusnya tidak aku pikirkan.
Brandon memberitahu dia kuliah hukum di Wake Forest University. Saat itu
aku pikir dia bercanda karena Brandon terlihat lebih seperti dumb jock, lakilaki yang hanya berbadan besar tapi kurang berotak. Brandon pun menjelaskan siapa dirinya,
dan aku tidak lagi meragukan kapasitas otaknya. Menurutnya, dia berada di
Washington D.C. selama musim panas untuk melakukan internship dengan salah
satu law firm yang berspesialisasi dalam menangani kasus-kasus hak asasi
manusia. Aku semakin jatuh cinta kepadanya karena kelihatannya dia tipe laki-laki yang
aku inginkan sebagai seorang pendamping. Dia amat peduli kepada orang lain dan
ambisius, dua sifat yang aku yakin akan membantu masa depannya untuk menjadi
pengacara sukses. Setelah malam itu, aku dan Brandon seperti tidak bisa
dipisahkan. Ketika musim panas berakhir, Brandon harus kembali ke North Carolina untuk
menyelesaikan tahun terakhir kuliahnya.
Brandon mengundangku mengunjunginya di Winston-Salem pada akhir musim
gugur di tahun yang sama. Aku pun menerima undangan itu dengan sukacita.
Setelah itu kami selalu berusaha bertemu sesering mungkin. Terkadang Brandon
terbang menemuiku di Washington D.C. atau aku terbang ke Winston-Salem
menemuinya pada akhir minggu. Brandon lulus sebagai valedictorian atau lulusan
terbaik, dan menerima tawaran bekerja di perusahaan hukum terbesar di North
Carolina. Dua bulan kemudian, aku pindah menetap di Winston-Salem. Pada saat
itu, Didi menasihatiku agar tidak melakukan hal ini. Dia tidak ingin hidupku
harus diatur laki-laki. Akan tetapi, aku yang sedang jatuh cinta setengah mati dengan
Brandon tidak mau mendengarkan nasihat itu.
Kini lihatlah aku, merana dan sendirian! Selama ini hidupku hanya dipenuhi
oleh Brandon sehingga aku tidak mempunyai kehidupan lain di luar dirinya. Aku
tidak punya teman setelah putus dengannya karena semua temanku di WinstonSalem
adalah teman-teman Brandon. Jadi, begitu aku putus dengna Brandon, maka
putus jugalah tali persahabatan yang telah aku jalin dengan mereka. Awalnya aku
sempat sakit hati dengan perlakuan ini, tetapi kemudian aku menyadari bahwa
mungkin mereka tidak tahu bagaimana harus menghadapiku. Jadi, daripada salah
bicara, mereka lebih memilih menjauh dariku.
Sebulan yang lalu aku sempat bertemu dengan Steven, salah satu rekan kerja
Brandon. Ia cukup peduli dan menanyakan kabarku. Dari wajahnya aku tahu dia
sudah paham tentang status hubunganku dengan Brandon. Steven memberi
informasi kepadaku bahwa "karena satu hal yang dia tidak bisa ceritakan" Brandon
sudah ditransfer ke cabang mereka di Memphis, Tennessee, salah satu cabang
terkecil, sedangkan Bella dipaksa mengundurkan diri oleh Bagian Personalia.
Steven tidak perlu memberitahuku apa "satu hal yang dia tidak bisa ceritakan" itu.
Tampaknya bukan hanya aku saja yang mengamuk karena Brandon berselingkuh
dengan asistennya. Mau tidak mau aku jadi tertawa, meskipun hanya dalam hati.
Ternyata masih ada keadilan yang tersisa di dunia ini.
*** Aku memasuki Fresh Market, dan mulai memasukkan beberapa makanan serta
minuman ke dalam trolley. Dengan pensil aku mencoret benda-benda yang sudah
ada di dalam trolley satu per satu. Susu putih full cream, satu blok keju
cheddar Kraft, satu kotak Kellog"s Frosted Flakes.... Daftarku terus berlanjut. Aku bergerak
dari bagian makanan segar, makanan beku, dan makanan kering. Hal terakhir yang aku
lakukan adalah mengambil satu ikat peterseli. Ketika aku sedang memilih
peterseli yang paling segar seseorang melayangkan pertanyaan kepadaku.
"Excuse me, Ma"am, but do you know which lettuce that I supposed to get if I
want to make a caesar salad?"
Aku langsung menoleh, dan harus mundur selangkah. Laki-laki yang ada di
sampingku ternyata lebih tinggi dari perkiraanku. Akan tetapi, bukan tingginya
yang membuatku melangkah mundur. Aku tidak pernah melihat mata sebiru itu.
Aku tidak tahu bagaimana reaksi mukaku, yang jelas mulutku ternganga dan pupil
mataku melebar. Laki-laki itu menatapku sambil mengerutkan dahinya.
"Ma"am?" tanyanya lagi.
Suaranya membuatku tersadar kembali dari serangan apopleksi. Aku menelan
ludah, baru kemudian berkata, "Romaine. You need to get romaine lettuce to make
caesar salad." Suaraku terdengar seperti tikus terjepit.
Laki-laki itu memandangku, seolah-olah aku sedang berbicara dalam bahasa
Arab dengannya. Aku lalu sadar laki-laki ini tidak tahu selada apa yang
dibutuhkan untuk membuat caesar salad. Ada kemungkinan dia juga tidak tahu bentuk selada
romaine seperti apa. Aku lalu menjulurkan tanganku ke hadapannya, mengambil
satu ikat selada romaine, dan memasukkannya ke dalam plastik sebelum
memberikannya kepada laki-laki itu.
"Apakha ini cukup untuk enam orang?" tanyanya polos, sambil menggenggam
selada itu dengan tangan kanannya.
"Enam?" tanyaku, hanya untuk memastikan. Laki-laki itu mengangguk.
"Men or women?"
"Men. All men," jawab laki-laki itu, sambil tersenyum.
Aku harus buru-buru membuang muka menghindari senyuman itu dengan
mengambil satu ikat selada romaine lagi untuknya. Dengan tatapan matanya yang
biru dan senyuman yang baru dia berikan, entah bagaimana aku masih bisa berdiri.
Dunia ini memang tidak adil. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa kelihatan
"beautiful?" Laki-laki satu ini begitu indah dilihat sehingga membuatku limbung.
Seumur hidupku, tidak ada laki-laki yang bisa membuatku limbung seperti ini. Aku
tidak tahu, apakah itu karena aku sudah kehilangan kemampuanku untuk tetap bisa
kelihatan cool di hadapan laki-laki yang menarik perhatianku setelah terlalu
lama bersama Brandon, atau karena sudah terlalu lama aku tidak melihat laki-laki
seganteng ini setelah aku putus dengan Brandon.
Kuserahkan selada romaine yang kedua kepada laki-laki itu. Ia segera
meletakkan selada itu ke dalam trolley, yang sudha terisi dengan setidaktidaknya dua lusin kaleng heineken, lima botol pepsi berukuran satu setengah liter, dan
berbagai macam keripik. "Persiapan untuk nonton pertandingan malam ini?" tanyaku, sambil menunjuk
trolley-nya. "Ya. Apakah kamu fans olahraga football?" tanyanya, sambil tersenyum dan
mata berbinar-binar. "Nggak, tapi kebanyakan orang di kantor saya fans berat olahraga ini. Gators
malam ini akan berhadapan dengan Bulldogs, kan?"
Laki-laki itu mengangguk lagi, senyumnya semakin melebar. Aku bisa tahu
jadwal pertandingan football karena semua orang di kantor, terutama yang lakilaki, tidak ada habis-habisnya membicarakan pertandingan antara tim American football
dari University of Florida, The Gators, dengan tim dari University of Georgia,
The Bulldogs. "Saya Reilley," ucap laki-laki itu, dan ia mengulurkan tangan kanannya.
Kusambut uluran tangannya yang terasa hangat. "Titania," balasku.
Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wow... orangtua kamu pasti suka sekali dengan titanium, ya. Sampai-sampai
menamakan anak mereka seperti nama logam itu."
Aku agak terkejut dengan komentarnya karena tidak banyak orang bisa
menghubungkan namaku dengan metal itu, yang harganya lebih mahal dari emas.
Banyak orang mengira namaku diambil dari Titanic. Bukan suatu pujian bila
mengingat kapal mewah itu sekarang berkarat di dasar Samudra Atlantik setelah
menabrak gunung es pada awal tahun 1900-an.
Reilley tidak hanya memiliki wajah yang bisa membuat para agel model rela
membayar mahal untuk menjadikan ia modelnya, tetapi dia juga punya otak yang
cukup cerdas. "Ya, mereka memang fans berat logam itu," ucapku, setelah bisa mengatasi rasa
kagetku. Reilley mengangguk mendengar penjelasanku. "Kalau mau betul-betul
menghubungkan nama kamu dengan logam itu, seharusnya pengucapan nama
kamu "Taitania" bukan "Teetania". Walaupun begitu, saya suka dua-duanya,"
lanjutnya, sambil mengedipkan mata kirinya.
Sejujurnya, aku akan lari terbirit-birit saat itu juga bila laki-laki lain
mengedipkan mata kepadaku, tetapi cara Reilley melakukannya lebih terkesan
bercanda daripada menggoda.
"Apakah nama kamu ejaannya R-I-L-E-Y?" tanyaku, sambil mengeja namanya.
"Bukan. Ejaannya R-E-I-L-L-E-Y," balasnya.
"Oh... seperti Bill O"Reilley," ucapku, tanpa sadar bahw aaku sudah
mengatakannya. Aku agak bingung juga, bagaimana aku bisa ingat cara nama pembawa
berita di televisi itu dieja.
"Yeeesss...," sambutnya penuh semangat. Aku tertawa melihat reaksinya yang
antusias itu. Tiba-tiba kami terdiam. "I better go then. Have fun watching the game," ucapku.
Aku bersiap-siap mendorong trolley ke kasir dan menghindar dari laki-laki
bermata biru, yang seakan-akan menarik semua oksigen dari saluran pernapasanku.
Tiba-tiba Reilley berkata lagi. "Apakah kamu tahu apa lagi yang saya perlukan
untuk membuat caesar salad?"
Aku menghentikan langkahku, dan berpikir sejenak. "Kamu perlu keju
parmigiano, lada hitam, dan tentunya bumbu caesar. Kamu juga bisa menambahkan
croutons di atasnya kalau mau."
Reilley menatapku bingung. "Saya nggak tahu semua yang barusan kamu
sebutkan. Saya hanya tahu keju," ucapnya, sambil berbisik.
Mau tidak mau aku jadi tertawa lagi ketika mendengar kata-katanya dan
melihat ekspresi wajahnya yang tersipu-sipu. Bagaimana mungkin laki-laki dengan
tubuh sebesar dia bisa terlihat menggemaskan. Aku rasanya ingin membawanya
pulang, membuatkan susu hangat untuknya dan membacakan cerita dongeng,
kemudian memeluknya sampai dia tertidur. Aku menarik napas dalam-dalam. Aku
tahu kemungkinan besar aku akan menyesali keputusanku ini, tetapi aku tidak tega
membiarkan orang yang jelas-jelas memerlukan bantuanku. Kudorong trolley
belanjaanku ke salah satu sudut agar tidak mengganggu jalan orang lain.
"Ayo, saya bantu kamu mencari semua bahan untuk membuat caesar salad,"
ucapku. Reilley terlihat terkejut dengan tawaranku, tetapi dia langsung menerimanya
dengan sukacita. Ketika kami sedang berjalan menuju bagian keju, aku bertanya,
"Mengapa kamu ingin membuat caesar salad kalau tidak tahu apa yang kamu
perlukan?" "Ini untuk taruhan. Merka bilang saya tidak bisa masak sama sekali. Saya akan
membuktikan mereka salah."
Aku menahan tawa ketika mendengar alasannya. "Mereka itu siapa?" tanyaku.
"Teman-teman saya," jawabnya, sambil memicingkan matanya. "Kamu
menertawakan saya, ya?" tanyanya curiga.
"Nggak," jawabku. Aku harus membuang muka agar dia tidak bisa melihat
tawaku, yang aku yakin akan meledak sebentar lagi. Tampaknya Reilley tidak tahu,
membuat salad tidak bisa digolongkan dalam kategori memasak karena tidak ada
bahan-bahan yang perlu dimasak.
Dari sudut mataku aku lihat Reilley sedang memperhatikan wajahku. "Kamu
memang menertawakan saya," katanya putus asa.
Aku tidak bisa menahan tawaku lagi. Untungnya kami sudah tiba di rak keju,
aku segera mengambil satu pak keju parmigiano dan meletakkannya di dalam trolley
yang didorong Reilley. "Ayo, kita ambil bumbu caesar untuk kamu," ucapku, dan berjalan mendahului
Reilley menuju rak bumbu-bumbu.
"Titania," panggil Reilley. Caranya mengucapkan namaku membuatku agak
merinding. Seperti ada air dingin yang dialirkan dari ujung rambut ke seluruh
tubuhku. "Yes," jawabku, sambil tetap berjalan tanpa menolehkan kepalaku kepadanya.
Aku berjalan beberapa langkah lagi diiringi bunyi roda trolley dan langkah
Reilley yang terdengar sigap, dan menunggu Reilley berbicara lagi. Ketika dia tidak
berbicara juga aku menoleh ke belakang.
"Ya... Reilley, kamu tadi ingin bertanya apa kepada saya?" tanyaku.
Reilley menggeleng. Kami tiba di depan rak panjang berisi berbagai jenis caesar dressing. Aku
mengambil brand kesukaanku, dan sekali lagi meletakkannya ke dalam trolley
belanjaannya. "Apakah kamu punya lada hitam di rumah atau kamu perlu beli?"
"Kelihatannya ada, tetapi saya nggak tahu apakah itu sesuai dengan yang kita
butuhkan. Lebih baik kita beli saja, untuk jaga-jaga," balas Reilley, sambil
nyengir kepadaku. Aku mencoba tidak menghiraukan kata-kata Reilley, yang menggunakan kata
"kita" dan bukan "saya". Aku lalu berjalan ke ujung rak panjang untuk mengambil
satu kotak lada hitam dan menyerahkannya kepada Reilley.
"Apakan kamu ingin croutons untuk salad kamu?" Aku berdiri di hadapan
Reilley sambil berkacak pinggang.
Kulihat sudut kiri bibir Reilley tertarik ke atas, seolah-olah dia akan
tersenyum. Merasa canggung dengan tatapannya, aku pun menurunkan tangan dari
pinggangku. "Kok senyum?" tanyaku ingin tahu.
"Nggak, rasanya kita nggak perlu croutons," ucap Reilley, jelas-jelas ia tidak
menjawab pertanyaanku yang kedua. Sekali lagi dia menggunakan kata "kita",
seakan-akan aku dan dialah yang akan membuat salad itu.
"Okay, then you are set," balasku, sambil tersenyum dan mulai melangkah
kembali menuju trolley belanjaanku. Dari sudut mataku kulihat Reilley mendorong
trolley belanjaannya mengikutiku.
"I guess I am." Reilley terdengar khawatir ketika mengucapkan kata-kata itu.
Kuhentikan langkahku, dan menatapnya. Trolley belanjaan Reilley menyenggol
pinggulku. "Kamu tahu cara membuat salad, kan?" tanyaku curiga.
"Saya pernah melihat orang membuatnya," jawabnya, dengan wajah memerah.
"Di mana?" Aku semakin bertambah curiga.
"Di TV." Meledaklah tawaku. Reilley pun tertawa bersamaku. Suara tawanya terdengar
berat. Tampak kerut-kerut di sudut matanya, yang membuat wajahnya terlihat lebih
ramah dan hangat. "Man, you"re hopeless," candaku.
"Kamu bisa tanya apa saja tentang otomotif atau elektronik kepada saya, tetapi
kalau untuk urusan makanan dan fashion saya betul-betul buta," katanya, sambil
masih tertawa. Kami lalu mulai berjalan lagi menuju trolley belanjaanku. "Cukup gampang kok
sebetulnya membuat caesar salad, kamu hanya..." Kucoba menggambarkan sedetail
mungkin cara membuat caesar salad. Reilley mendengarkanku dengan saksama.
"Good. Kamu ingat semua langkah-langkahnya persis seperti yang saya sudah
jelaskan kepada kamu," pujiku ketika Reilley bisa mengulangi instruksiku dengan
sedetail-detailnya. "Ingatan saya cukup kuat," balasnya, sambil mengetuk kepalanya dengan jari
telunjuknya. "Well, you better go. Kamu nggak mau ketinggalan pertandingannya, kan?"
kataku, sambil mendorong trolley belanjaanku menuju kasir.
"Thanks for your help!" teriak Reilley.
Aku mengangguk dan melambaikan tangan, sambil tersenyum.
Ketika sampai di rumah dan membongkar belanjaanku, aku baru tahu ternyata
aku lupa membeli peterseli untuk makananku. Aku pun tertawa. Ternyata Reilley
telah memenuhi pikiranku lebih daripada yang aku perkirakan. Karena malas
kembali lagi ke supermarket, aku akhirnya memutuskan membuat makanan lain
dan menunda mencoba resep dari Cooking Channel untuk lain waktu. Setelah makan
malamku siap, kunyalakan TV dan mencari channel CNN untuk menonton world
news. Lagi-lagi China terkena gempa bumi, dan ada pesawat jatuh di Brazil.
Seperti juga beberapa bulan yang lalu, keadaan perekonomian dunia masih terpuruk dan
tampaknya tidak akan ada banyak perubahan untuk beberapa tahun ke depan.
Aku selalu membuka mata dan telingaku lebar-lebar saat menonton CNN. Aku
berharap dna juga khawatir kalau-kalau Indonesia, negara tercintaku yang telah
aku tinggalkan selama lebih dari sepuluh tahun, akan masuk liputan berita. Aku tahu
apabila sesuatu yang buruk terjadi di Indonesia, seperti tsunami yang menimpa
Aceh beberapa tahun yang lalu, orangtuaku pasti akan memberitahuku. Tetap saja
aku waswas karena telah meninggalkan orangtuaku, yang akan melewati umur 60
tahun mereka sebentar lagi, berada beribu-ribu kilometer dariku tanpa dijaga
oleh siapa pun juga. Aku berharap suatu saat aku akan bisa kembali lagi ke Indonesia.
Dalam keadaan ekonomi seperti saat ini, akan lebih menguntungkan apabila aku
tetap tinggal di Amerika untuk sementara waktu.
3 Cold, Warm & Hot AKU betul-betul menikmati kencanku dengan Reggie Morgan. Dengan umurnya
yang baru 26 tahun, dia sangat berambisi menjadi psikolog terbaik dan siap
membantu setiap orang yang memerlukan bantuannya tanpa memedulikan latar
belakang mereka. Dia berencana membuka praktek sendiri dalam waktu lima tahun
setelah mendapatkan sertifikasi dan izin yang diperlukannya. Melihat
keantusiasannya dalam menjalani hidup mengingatkanku akan Brandon ketika dia
masih kuliah dan sangat menggebu-gebu ingin bekerja menjadi pengacara yang rela tidak dibayar
untuk membela orang-orang yang tertindas. Tentunya mimpi itu langsung punah
setelah menerima tawaran pekerjaan dengan bayaran tujuh puluh ribu dolar
setahun, meskipun untuk membela orang yang melakukan penindasan. Aku
berharap Reggie tidak melakukan hal yang sama.
"So, are you okay with seeing someone who is older than you are?" tanyaku
kepadanya, meskipun aku sudah tahu jawabannya karena MBD tidak akan
mempertemukan kami kalau Reggie keberatan berhubungan dengan wanita yang
lebih tua darinya. Reggie menggeleng. "You"re not that much older than I am," ucapnya santai.
"Apakah kamu siap untuk suatu komitmen yang serius" Kamu masih muda.
Apakah kamu nggak mau cari-cari dulu?" kataku lagi. Keingintahuanku telah
mengalahkan tata kramaku, tetapi aku tidak peduli. Aku sudah membayar dua ribu
dolar kepada MBD. Aku harus menemukan laki-laki yang bisa aku jadikan suami
sebelum kontrakku habis. Aku tidak ada waktu untuk main kucing-kucingan.
Reggie tertawa mendengar pertanyaanku. "Well, ada beberapa orang yang
mengatakan bahwa usia 27 masih terlalu muda untuk suatu hubungan yang serius.
Apakah kamu sendiri nggak mau lihat-lihat dulu?"
Mau tidak mau aku jadi tertawa melihat logika pernyataannya itu.
Kuperhatikan Reggie dengan lebih teliti. Cara dia berbicara tidak seperti lakilaki berumur 27 tahun pada umumnya. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya seperti
telah dipikirkannya dulu masak-masak sebelum dikatakan. Pembawaannya terlalu
tenang, yang membuatku agak sedikit malu karena aku jadi terlihat tidak sabaran
duduk berhadapan dengannya. Reggie bahkan berdiri dari duduknya ketika aku
permisi pergi ke toilet, hal yang tidka pernah dilakukan laki-laki mana pun
kepadaku. Reggie mengingatkanku pada CEO perusahaan tempatku bekerja. Itu
mungkin suatu pujian bagi kebanyakan orang, tapi faktanya CEO-ku berumur 60
tahun dan sudah memiliki empat orang cucu.
Malam itu kami akhiri dengan bertukar nomor telepon, tetapi aku yakin
meskipun aku cukup menyukai Reggie hubungan kami tidak akan pernah lebih dari
hanya sekadar teman. Secara mental dia terlalu tua untukku. Kesimpulannya,
Reggie adalah pilihan yang salah untukku.
*** Hari Sabtu siang, aku sedang melangkah memasuki restoran untuk menemui
Gabriel ketika telepon selularku berbunyi. Ternyata dari Sandra yang ingin
memberitahuku bahwa Gabriel akan terlambat tiga puluh menit dari waktu kencan
yang sudah dijadwalkan. Informasi ini membuatku sedikit jengkel karena berarti
aku harus menunggu Gabriel di restoran. aku tidak tahu dia akan datang dari
mana, tetapi aku tidak suka orang yang tidak bisa datang tepat waktu. Reggie yang
harus datang dari Charlotte saja bisa sampai tepat waktu kemarin, mengapa Gabriel
tidak bisa" Awalnya aku menolak duduk di meja yang telah dipesan. Aku lebih memilih
menunggu date-ku di bangku panjang dekat pintu masuk. Akan tetapi, setelah dua
puluh menit dan tempat itu mulai penuh dengan orang-orang yang sedang
menunggu meja, aku pun meminta hostess restoran mengantarku ke meja yang telah
dipesan MBD. Aku memilih hanya memesan segelas pink lemonade, sambil
menunggu Gabriel. Sepuluh menit kemudian aku masih belum juga melihat batang
hidungnya. Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab. Orangtua gila mana sih yang
memberi nama anak laki-laki mereka dengan nama salah satu malaikat" Aku sudah
semakin kesal karena kelihatannya restoran ini salah satu restoran terfavorit di
Burlington. Antrean orang yang menunggu meja terlihat cukup panjang. Beberapa
orang di sekitarku mulai menatapku penuh tanda tanya. Aku bahkan hampir bisa
mendengar pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di kepala mereka.
Mengapa dia sendirian, ya" Apakah kamu pikir pacarnya sengaja tidak datang"
Mengapa dia belum mulai makan" Dia sudah duduk di situ selama sepuluh menit. Dia
cukup cantik, mengapa ada orang yang stood her up"
Aku sudah siap menelepon MBD agar membatalkan kencanku ketika kulihat
hostess restoran yang tadi mempersilakanku duduk berjalan ke arahku diikuti
lakilaki superganteng yang pernah kulihat sepanjang hidupku. Dia bahkan lebih
ganteng daripada laki-laki bermata biru yang baru-baru ini aku temui. Wajah
lakilaki yang sekarang ada di hadapanku lebih cocok berada di karpet merah pada
acara Academy Awards bersama-sama dengan Tom Cruise atau Brad Pitt dibandingkan di
restoran di Burlington, North Carolina, bersama-sama dengan orang-orang yang
wajahnya lebih pantas menjadi tukang kebun dua bintang Hollywood itu.
Apakah ini date-ku" Tidak mungkin. Buat apa laki-laki seganteng ini
memerlukan jasa blind date untuk menemukan pasangan" Aku yakin perempuan
mana pun akan rela mendampinginya tanpa ada insentif apa pun juga. Kulihat mata
beberapa wanita yang duduk di meja-meja di hadapanku mengikuti laki-laki itu.
Beberapa dari mereka bahkan mulai menelanjangi laki-laki itu dengan matanya.
Mau tidak mau aku terpaksa tersenyum dan mengalihkan perhatianku pada telepon
selularku lagi. Aku tidak mengalihkan perhatianku dari telepon selular ketika kurasakan ada
angin yang berembus di hadapanku, efek samping ketika seseorang tiba-tiba
berhenti di hadapanku. Tatapanku kemudian tertuju pada sepasang sepatu lakilaki, dan aku mendengar seseorang berkata, "This is your table. Have a nice lunch."
Saat itu juga kuangkat kepalaku, dan bertatapan langsung dengan laki-laki
ganteng tadi. "I"m sorry that you have to wait for me. But my flight from Boston was delayed.
I drove as fast as I could from Raleigh. Did MBD called to let you know that I will be
late?" Laki-laki itu mengatakan semua itu, sambil menarik kursi yang ada di
hadapanku dan duduk. Kemudian dia mulai membuka-buka buku menu. Aku
hanya mengikuti gerakannya dengan mataku. Aku bisu seribu bahasa. Benar saja,
laki-laki ganteng ini Gabriel. Date-ku siang ini. Semua kejengkelanku hilang
bagaikan ditelan bumi, yang timbul malah justru rasa malu karena telah merasa
Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jengkel terhadap laki-laki seganteng ini. Aku menarik kembali perkataanku yang
telah menyumpahi seorang ibu, yang menamakan anaknya dengan nama salah satu
malaikat. Jelas-jelas nama itu justru membuat laki-laki terlihat lebih seksi,
terutama laki-laki ini. Aku berjanji akan memberi nama anak laki-lakiku Gabriel Jr. kalau
sampai aku menikah dengannya, dan berharap agar anakku akan seganteng
ayahnya. Beberapa orang yang tadi menatapku penuh tanda tanya sekarang
mengerlingkan mata mereka penuh kekaguman. Hah... tidak usah mereka, aku
bahkan kagum dengan diriku sendiri karena bisa mendapatkan date seganteng ini.
"Oh... di mana sopan santun saya. Saya Gabriel," ucapnya, sambil mengulurkan
tangannya. Entah bagaimana aku bisa menggerakkan tanganku, yang jelas kemudian tahutahu
tanganku sudah menjabat tangan Gabriel diikuti dengan suaraku yang
terdengar menyebutkan namaku.
"Apakah kamu sudah siap pesan makanan" I"m starving. Let"s see what"s good in
here." Seketika aku tersadar dari keterpanaanku, dan berkata, "Shrimp ravioli dengan
white sauce kelihatannya enak." Meskipun suaraku agak bergetar, masih terdengar
cukup keras dan meyakinkan.
"Kamu ingin pesan apa?" Gabriel menatapku.
"Shrimp ravioli dengan white sauce," jawabku. Otakku telah bekerja kembali dan
bisa mengatakan kalimat itu dengan jenaka.
Gabriel tertawa mendengarku. "Saya sebaiknya pesan pizza, soalnya pasta
nggak akan cukup untuk saya," balasnya, juga dengan jenaka.
"Itu tergantung ukuran perut kamu. Tadi ketika saya menunggu kamu, saya
lihat beberapa pesanan pasta yang sedang dihidangkan, dan ukurannya cukup
besar," ucapku, sambil tangan kananku menunjuk pada beberapa meja di
sekelilingku. Gabriel menoleh ke kiri dan ke kanan. Ketika dia berpaling lagi kepadaku, dia
menyeringai, "Well, piring-piring itu memang besar."
Selang beberapa detik dia berkata lagi, "Saya tetap lebih memilih pizza. Pasta
is such a girly food." "Girly?" tanyaku, sambil mengernyit. "How can food be girly?"
"Kamu nggak bisa kelihatan berantakan kalau makan pasta. Ini sebabnya
mengapa pasta dikategorikan sebagai girly food."
"Apakah kalau makan pizza bisa berantakan?"
"Ya, dan kamu bisa makan dengan tangan."
Aku memandangi Gabriel dengan mulut ternganga. Dari planet manakah lakilaki satu
ini" Aku harus pindah ke planet itu sekarang juga karena sepertinya planet
itu bisa menghasilkan laki-laki ganteng dan humoris.
"Jadi, pizza nggak girly karena berantakan, dan kamu bisa makan dengan
tangan?" tanyaku merangkum percakapan kami.
"Yep." Kami lalu terdiam sesaat saling tatap. Aku mencoba menyimpulkan, apakah
Gabriel sedang meledekku dengan kata-katanya atau dia betul-betul serius. Aku
yakin dia sedang bercanda.
"Saya hanya bercanda," lanjutnya, sambil tertawa dengan keras. "Coba ada
yang bawa kamera untuk memfoto ekspresi kamu tadi. Lucu banget."
Aku tidak tahu seperti apa ekspresiku tadi. Aku lalu menarik napas, kemudian
berkata dengan nada sesarkasme mungkin, "Ha... ha, bagus kalau kamu anggap
saya lucu." Tawa Gabriel semakin menjadi sehingga membuat beberapa mata menatap
kami. Kebanyakan mata itu adalah milik wanita. Dalam tatapan mereka seolah-olah
terlintas beberapa pertanyaan dan komentar.
Aku nggak percaya ini, dia bisa membuat laki-laki itu tertawa sampai terbahakbahak" Apakah kamu pikir dia adik laki-laki itu" Dia nggak mungkin pacarnya,
perempuan itu terlalu biasa untuk dia.
Wow, itu adalah gigi paling rapi yang pernah aku lihat.
Aku masih nggak bisa percaya kalau laki-laki itu duduk dengan dia.
Apa yang dia punya yang aku nggak punya, coba"
Aku tersenyum karena rupanya imajinasiku sedang berlari-lari dengan liar hari
ini. Seorang waiter kemudian menghampiri meja kami untuk mencatat pesanan. Dia
kembali beberapa menit kemudian membawa segelas pepsi untuk Gabriel.
"Apakah kamu selalu kelihatan seserius ini?" tanya Gabriel setelah waiter itu
berlalu. Aku menatap Gabriel bingung. Apakah maksudnya dengan pertanyaan itu"
"Kamu kelihatan... marah. Waktu saya lihat kamu tadi," lanjut Gabriel.
"Marah" Saya kelihatan marah?" ucapku terkejut. Apakah betul wajahku
terlihat marah ketika melihatnya"
"Mungkin nggak marah, tetapi... kesal," tambahnya.
"Oh... ituuu. Saya sebetulnya memang agak "kesal" kepada kamu karena telah
membuat saya menunggu lebih dari setengah jam. Saya sudah siap menelepon MBD
untuk membatalkan date ini," balasku, sengaja menekankan kata "kesal" dalam
penjelasanku. "Oh, ya" Kamu ingin membatalkan date ini?"
Aku mengangguk. "Kok nggak jadi?"
"Karena kamu muncul dan kelihatan lebih seperti bintang film daripada seperti
layaknya seorang banker." Aku buru-buru menutup mulutku ketika sadar apa yan
gbaru saja aku katakan. Gabriel tertawa melihat reaksiku. Untung kemudian makanan kami tiba
sehingga aku memiliki waktu beberapa menit untuk mengatur detak jantungku
kembali ke normal. "Jadi, kamu kerja sebagai financial analyst?" tanya Gabriel, setelah waiter
berlalu. Aku sangat bersyukur dia tidak mengangkat kembali topik pembicaraan yang
tadi sempat terputus, dan segera menjawab pertanyaannya, "Ya... di sebuah bank
di Winston-Salem." "Kamu keberatan nggak kalau saya tanya-tanya mengenai beberapa investasi
saya" Saya hanya ingin memastikan apakah saya sudah cukup berhati-hati dengan
uang saya." Kami lalu membahas tentang keadaan keuangannya secara lebih mendetail.
Secara tidak langsung Gabriel memberitahuku bahwa dia sudah sangat mapan dan
siap melangkah ke jenjang selanjutnya, yaitu pernikahan. Aku mencoba
membandingkan Gabriel dengan Trevor dan Reggie. Di usianya yang sudah
menginjak 35 tahun, aku seharusnya tidak kaget jika hidup Gabriel memang sudah
mapan, bahkan sukses. Akan tetapi, fakta itu bukannya menenangkanku, malah
justru membuatku sulit bernapas. Pada Trevor dan Reggie, dengan usia mereka
yang masih muda, aku bisa melihat potensi mereka dalam sepuluh tahun ke depan.
Sementara pada Gabriel, aku melihat laki-laki yang sudah "jadi", yang tidak lagi
memerlukan doronganku untuk meraih kesuksesannya. Entah mengapa, aku
merasakan ada sedikit kekecewaan ketika menyadari hal ini.
Namun demikian, aku tetap melihat prospek suami yang sangat sempurna pada
diri Gabriel. Harus kuakui, secara fisik aku tidak bisa menolak rasa
ketertarikanku kepadanya. Aku pun cukup yakin, setelah satu jam mengobrol dengannya, dia juga
tertarik kepadaku. Aku lalu menepiskan rasa waswasku yang tidak memiliki dasar
yang kuat, dan mencoba mengenali Gabriel lebih jauh lagi.
"Sudah berapa lama kamu jadi anggota MBD?" tanyaku, sambil memotong kue
cokelatku dengan sendok. "Bulan November ini bakalan satu tahun," jawab Gabriel, sambil meminum
kopinya. Mau tidak mau keningku mengernyit. Bagaimana mungkin dia sudah menjadi
klien MBD selama hampir setahun dan belum juga menemukan pasangan yang
cocok. "Kamu masih belum menemukan orang yang tepat?" pancingku.
"Saya ketemu beberapa."
"Terus?" Aku mencoba menyembunyikan nada penasaran pada suaraku, tetapi
gagal total. Gabriel menatapku sambil memicingkan matanya. Aku merasa dia sedang
mencoba menilaiku. Setelah puas dengan pengamatannya, Gabriel menjawab,
"Montana." Aku mengedipkan mata beberapa kali. Itu jawaban yang sama sekali tidak
masuk akal bagiku. Apakah ada yang terjadi di negara bagian itu" Aku mencoba
mengingat-ingat apa saja yang ada di Montana. Ada pegunungan dan peternakan
kuda, itu saja. Setelah beberapa detik dan otakku tetap tidak bisa menemukan
penjelasan yang lebih masuk akal, aku terpaksa bertanya, "Maksudmu?"
"Anak gadis saya."
Apa yang terjadi setelah itu di luar kontrol otakku. Tiba-tiba saja mulutku
menyemburkan lemonade yang baru saja kutelan ke wajah, tangan, dan sebagian
kemeja Gabriel. Semua orang yang ada di sekelilingku langsung menoleh ingin
melihat apa yang sedang terjadi di meja kami.
Hahaha... laki-laki itu pasti akan memutuskan hubungannya dengan perempuan itu
setelah kejadian ini. Apakah yang laki-laki itu katakan kepadanya sehingga membuatnya bereaksi seperti
itu" Sudah aku bilang perempuan itu aneh. Aku masih nggak percaya dia menyemburkan
minumannya ke laki-laki itu.
Sekali lagi aku mencoba tidak menginterpretasikan tatapan orang-orang yang
ada di sekitarku. Aku memerintahkan imajinasiku untuk diam seribu bahasa. Aku
sangat menghargai Gabriel yang tidak marah, dia bahkan tidak terlihat
tersinggung. Dia hanya mengambil serbet yang ada di pangkuannya untuk mengusap tetesantetesan
lemonade dari wajahnya. "Are you okay?" tanyanya khawatir.
Tanpa menghiraukan pertanyaannya aku meluncurkan pertanyaanku sendiri,
"Kamu punya anak gadis?" Dengan suara yang cukup keras.
Tiba-tiba waiter yang tadi melayani kami muncul, dan menanyakan apakah
semuanya baik-baik saja sambil menatapku khawatir. Aku dan Gabriel mengangguk
bersamaan. Waiter itu pun berlalu.
Aku lalu mengulang pertanyaanku lagi, tetapi kini dengan berbisik. Gabriel
mengangguk, dan tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.
"Umurnya enam belas tahun," ucapnya, sambil menyodorkan selembar kertas
kecil kepadaku. Ternyata foto gadis remaja berambut hitam dengan kawat gigi.
"Wajahnya seperti kamu." Aku mencoba terdengar seramah mungkin sambil
membandingkan wajah anak itu dengan Gabriel.
Gabriel tertawa. "Dia lebih kelihatan seperti ibunya sebetulnya."
Saat itu aku sedang memaki-maki MBD di dalam hatiku. Bagaimana mungkin
mereka memasangkanku dengan laki-laki yang sudah punya anak" Apakah mereka
tidak memahami kalimat "single" se-single-single-nya" Aku ingin laki-laki yang
masih single dan tidak pernah menikah. Gabriel jelas-jelas pernah menikah, kalau
tidak bagaimana dia bisa punya anak"
Aku menggeleng dan mencoba menjelaskan keadaan ini.
"Sori, saya seharusnya memberitahu kamu sebelumnya." Suara Gabriel
terdengar agak kecewa melihat reaksiku.
"Nggak... nggak... ini bukan salah kamu. Ini salah MBD. Saya mengatakan
kepada mereka bahwa saya hanya mau dating dengan laki-laki single yang belum
pernah menikah. Kelihatannya ada kesalahpahaman." Aku mengatakan semua katakata
itu secepat mungkin agar tidak menyinggung hati Gabriel.
"Saya masuk ke dalam kategori itu," balas Gabriel, dengan suara tenang.
"What?" "Priscilla, ibu Montana, dan saya tidak pernah menikah. Kami hidup secara
terpisah. Priscilla meninggal dalam boating accident enam bulan yang lalu. Jadi,
Montana harus tinggal dengan saya."
Aku hanya ternganga mendengar penjelasannya. Aku merasa seperti sedang
menonton sinetron daripada menjalankan hidupku sendiri. Bagaimana mungkin
kejadian seperti ini bisa terjadi dalam kehidupan nyata"
"I"m sorry about... Priscilla," ucapku akhirnya ketika aku bisa mengeluarkan
katakata lagi. Gabriel mengangguk dan tersenyum.
Rasa penasaranku seketika muncul. "Kalau usiamu 35 tahun dan Montana 16
tahun, itu berarti dia lahir ketika usia kamu... 19?" Aku mencoba melakukan
perhitungan itu di kepalaku.
Gabriel tertawa mendengar pertanyaanku. "Well, saya masih muda dan berpikir
dunia ini milik saya." Gabiel mengedipkan mata kanannya. "Priscilla lebih sial
daripada saya. Dia nggak pernah mencapai mimpinya jadi seorang supermodel,"
lanjutnya. Kalau ini dalam situasi lain, aku mungkin bisa tertawa mendengar penjelasan
Gabriel, tetapi kini aku hanya bisa terdiam.
"Apakah kamu berdua pacaran sejak SMA?" tanyaku, setelah beberapa menit.
"Nggak. Kami kenal di pesta teman kuliah saya."
Aku pasti menatap Gariel dengan wajah penuh kebingungan karena Gabriel
tertawa lagi. "Kami sama-sama drunk. Banyak hal terjadi. Ketika saya bangun, kami berdua
ada di satu tempat tidur dan sama-sama tidak mengenakan apa pun. Sebulan
kemudian dia datang mencari saya dan mengatakan dia hamil anak saya." Gabriel
menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Saya dibesarkan sebagai laki-laki
yang baik dan tahu sopan santun. Saya tidak punya pilihan selain menikah
dengannya, tapi Priscilla menolak. Dia kurang memiliki insting keibuan.
Orangtuanya mencoba meyakinkannya agar menikah dengan saya untuk
menyelamatkan nama keluarganya. Mereka salah satu keluarga paling berpengaruh
di New England. Priscilla tetap menolak, kami pun berhenti meyakinkannya."
"Montana sekarang ada di mana?" bisikku.
"Dia ada di salah satu boarding school di Boston. I will never let her out of my
sight until she"s 40. Saya tidak mau dia membuat kesalahan yang sama seperti saya dan
Priscilla." "Seberapa sering kamu ketemu dengan anak kamu?" tanyaku.
"Sesering mungkin, selama saya bisa mengambil off dari pekerjaan saya. Liburan
Thanksgiving nanti saya akan membawanya ke Rhode Island mengunjungi
grandparents-nya." Rhode Island adalah salah satu negara bagian di timur laut Ameriak Serikat,
yang juga dikenal sebagai New England. Kebanyakan keluarga dengan old money,
yaitu keluarga yang kekayaannya turun-temurun semenjak Amerika Serikat
merdeka dari Inggris di tahun 1800-an, tinggal di wilayah ini.
"Orangtua Priscilla?"
Gabriel mengangguk. "Saya memiliki hak asuh anak penuh atas Montana, tetapi
saya tidak bisa melarangnya bertemu dengan satu-satunya grandparents yang dia
pernah kenal. Lagi pula, mereka mencintai Montana, begitu pula sebaliknya."
Aku mengangguk, menyetujui keputusannya. Aku mendengarkan cerita Gabriel
dengan saksama. Di satu sisi aku kagum karena dia telah memikul tanggung jawab
sebesar itu pada usia yang sangat muda dan tetap bisa meraih sukses. Di lain
sisi aku tahu Montana-lah penyebab kenapa aku, seperti juga beberapa wanita lainnya
menurut Gabriel, memutuskan mundur teratur. Aku masih terlalu muda untuk jadi
seorang ibu dari gadis berumur enam belas tahun.
"Did I scare you off?" tanya Gabriel tiba-tiba.
Aku berpikir sejenak. Apakah aku harus berbohong kepadanya, dan
mengatakan aku tidak peduli bahwa dia sudah punya anak" Tujuanku meminta
pertolongan MBD agar aku tidak perlu lagi membuang waktu mencari suami di
tempat yang salah atau menghabiskan waktu dengan orang yang salah. Aku juga
yakin Gabriel sudah cukup dewasa untuk mengerti jika aku menolaknya.
"Ya. Kalau saya mau jujur, kamu sudah membuat saya takut setengah mati,"
ucapku. Tanpa kusangka-sangka Gabriel justru tertawa. "Setidak-tidaknya kamu jujur
kepada saya soal ini. Tidak seperti mereka yang mengatakan tidak
mempermasalahkan hal ini, tetapi kemudian tidak mau menjawab telepon saya."
"Ada yang begitu?" tanyaku terkejut. Menurutku tindakan itu sangat tidak
sopan. Gabriel mengangguk. "Are you finished with your dessert?" tanyanya.
"Yes, I"m done," ucapku.
Dalam perjalanan pulang menuju Winston-Salem aku menelepon Sandra dan
memberitahunya agar menambahkan satu lagi persyaratan yang harus dipenuhi
oleh date-ku, yaitu mereka tidak boleh punya anak di luar nikah.
***
Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bulan Oktober pun tiba, dan aku sudah menjadi klien MBD selama enam minggu.
Reggie sempat meneleponku untuk mengajakku ke luar, tetapi aku menolaknya.
Aku mengatakan kepadanya bahwa aku tidak bisa menjalin hubungan romantis
dengannya, meskipun aku terbuka apabila dia masih mau berteman denganku.
Reggie memahami penjelasanku dan kami sempat bertemu makan siang ketika dia
harus datang ke Winston-Salem untuk mengikuti seminar psikologi, yang diadakan
Wake Forest University. Hingga kini Trevor tidak pernah meneleponku, dan aku
sangat bersyukur oleh karenanya.
Setelah Gabriel, aku sudah pergi berkencan dengan empat laki-laki lagi. Tiga
dari mereka bahkan tidak aku pertimbangkan sama sekali. Rob Adams sangat
mengingatkanku akan Brandon. David Wu ternyata tidak bisa membedakan warna
cokelat dengan hitam, alias buta warna. Ben Stewart, yang meskipun usianya sudah
38 tahun, masih memulai setiap kalimatnya dengan, "My mother said...". Hanya
satu dari mereka yang betul-betul menarik perhatianku. Dia bernama Jacob Sutter.
Meskipun wajah dan penampilan keseluruhannya bisa digolongkan biasa saja,
sepanjang kencan pertama kami aku selalu merasa nyaman dengannya. Berbeda
dengan Gabriel, yang menjatuhkan "bom atomnya" kepadaku dua jam setelah aku
bertemu dengannya, Jacob kelihatannya tidak memiliki rahasia yang harus
disembunyikan. MBD mungkin sudah siap mencekikku karena setiap kali mereka menanyakan
apakah mereka sudah mempertemukanku dengan laki-laki yang berpotensi sebagai
suami, aku akan menjawab tidak "COLD", yang berarti "meleset jauh dari sasaran".
Atau sudah "WARM", artinya "cukup mendekati sasaran". Khusus kencanku dengan
Gabriel, aku akan menjawab sudah cukup "HOT" yaitu "tepat sasaran", kalau saja
dia tidak memiliki anak gadis yang umurnya lebih cocok jadi keponakanku
daripada anakku. Sejujurnya, menurutku MBD betul-betul telah melaksanakan
tugas mereka dengan baik. Aku yakin, aku tidak akan bisa menemukan semua
lakilaki yang telah dipasangkan denganku oleh MBD jika aku mencari mereka
sendiri. Oleh karena itu, aku berencana menemui Jacob lagi malam ini untuk memastikan
apakah aku bisa mengubah pendapatku tentangnya, dari "cukup mendekati
sasaran" menjadi "tepat sasaran".
Untuk kencan pertama kami Jacob-lah yang datang dari Durham, tempat dia
tinggal, untuk menemuiku di Winston. Untuk kencan kedua aku mengambil jalan
tengah dan memintanya menemuiku di Burlington karena aku tidak mau
membebaninya datang jauh-jauh ke Winston lagi. Aku berjanji bertemu Jacob di
salah satu restoran Jepang yang telah direkomendasikan banyak orang kepadaku.
Jacob mengatakan dia tidak pernah makan makanan mentah, tetapi dia akan
memberanikan diri mencobanya denganku. Aku sedang meluncur di I-40, jalan raya
yang menghubungkan Winston dengan kota-kota lainnya, ketika tiba-tiba
kurasakan setir mobil terasa agak berat dan lari ke kiri.Aku memang kurang paham
urusan otomotif, tetapi aku tahu jika mobil yang biasa dikendarai terasa agak
lain ketika sedang dikemudikan, maka pastilah ada komponen mobil itu yang tidak
bekerja dengan sempurna. Perlahan-lahan kutepikan mobil ke bahu jalan dan berhenti. Kubiarkan mesin
tetap hidup dan hanya menarik rem tangan, kemudian keluar dari mobil untuk
memeriksa keadaan. Ternyata ban depan sebelah kiri memang agak sedikit kempes.
Aku mempertimbangkan, apakah dengan kondisi ban seperti itu aku bisa sampai ke
Burlington, yang masih membutuhkan waktu lima belas menit lagi. Aku bisa
menelepon AAA, perusahaan yang menyediakan berbagai jasa yang berhubungan
dengan isu-isu travel, mulai dari peta hingga mengganti ban yang kempes. Mereka
akan mengganti banku selama aku makan siang dengan Jacob. Kulirik jam
tanganku, aku masih ada waktu setengah jam sebelum waktu pertemuanku dengan
Jacob. Melihat kondisi ban mobilku, sepertinya ban itu tidak akan bertahan
sampai di Burlington. Kalau aku harus menunggu hingga AAA datang, bisa jadi aku akan
terlambat berkencan dengan Jacob.
Aku pun segera mengambil keputusan. Kumatikan mesin mobil, kemudian
membuka bagasi dan mengeluarkan dongkrak serta kunci ban. Untung saja hari ini
aku hanya mengenakan jeans dan sweater turtleneck. Jadi, aku bisa lebih leluasa
bergerak. Ketika aku sedang memompa dongkrak itu dengan kakiku, tiba-tiba
kulihat sebuah Volvo SUV berhenti persis di belakang mobilku. Aku
memperhatikan pemilik mobil itu, yang mengenakan kacamata hitam, keluar dari
kendaraannya dengan langkah yang cukup luwes untuk ukuran laki-laki sebesar
dia. Apakah dia juga mengalami masalah dengan mobilnya sepertiku" pikirku.
Tiba-tiba dia meneriakkan namaku. "Titania!"
Aku menatapnya bingung. Bagaimana dia bisa tahu namaku" Jelas-jelas aku
tidak mengenalnya, tetapi tata krama tetap harus didahulukan.
"Yes?" Jawabanku lebih terdengar seperti pertanyaan.
"Flat tire?" tanyanya lagi.
"Yes," jawabku lagi. Aku masih bingung. Siapakah orang ini"
Kemudian seperti bisa membaca pikiranku, dia berkata, "Kamu nggak ingat
saya, ya?" Aku tersenyum sopan kepadanya, tetapi aku yakin wajahku menggambarkan
kebingunganku. "Saya Reilley. Kamu membantu saya memilih lettuce di Fresh Market. Masih
ingat?" Reilley melepaskan kacamata hitamnya, dan mata birunya langsung menatapku
dengan jenaka. Saat itu juga aku bisa merasakan sengatan listrik yang menyerang
tubuhku. Aku tidak bisa bernapas.
Aku berhenti memompa dongkrak dengan kakiku, lalu tertawa cemas. "Kok
bisa bertemu kamu lagi di sini, ya?" Suaraku agak bergetar.
Kulihat Reilley sedang menarik lengan sweater cokelatnya sambil tersenyum.
"Ban serepnya di mana?" tanyanya, dan melangkah mendekatiku.
Tiba-tiba ada angin yang cukup kuat berembus melewati tubuh Reilley yang
besar ke arahku, dan aku bis amencium bau cologne-nya.
Untuk mencegah imajinasiku agar tidak memikirkan yang tidak-tidak, aku
buru-buru menjawabnya, "Di bagasi," sambil menunjuk ke bagasi mobil yang
terbuka. Aku lalu berlutut di samping mobil dan mulai melepaskan semua baut ban
satu per satu. Kudengar ada suara gedebuk yang sangat halus, dan ban serep sudah berada di
sampingku. "Boleh saya bantu?" tanyanya, sambil mengambil kunci ban dari genggamanku.
Aku sebetulnya mau protes karena aku wanita mandiri yang bisa mengganti
ban sendiri, aku tidak memerlukan bantuannya. Reilley melihat ekspresi wajahku
dan menambahkan, "Kini giliran saya membantu kamu," ucapnya pelan.
Aku mengangguk dan mempersilakannya mengganti ban mobilku. Dalam
waktu lima menit dia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya, lalu meletakkan
ban yang kempes, dongkrak, dan kunci ban di bagasi mobil.
"Thank you," ucapku ketika Reilley menutup bagasi mobilku. Kuserahkan
selembar tisu basah kepadanya. Reilley mengambilnya dan mengusap kedua
telapak tangannya. Aku kemudian mengambil tisu bekas itu dari genggamannya.
"Kamu akan ke mana?" tanyanya.
"Burlington," jawabku. Tiba-tiba angin bertiup dan aku harus memeluk
tubuhku untuk mengusir udara yang tiba-tiba terasa agak dingin.
Tanpa kusangka-sangka Reilley menarikku ke pelukannya dan mengusap
punggungku. Sekali lagi aku merasakan sengatan listrik yang tadi menyengatku.
Bau cologne-nya yang tadi hanya samar-samar kini menyengat indra penciumanku
dengan kekuatan penuh. Bau cologne itu semakin mengingatkanku betapa
gantengnya Reilley, dan aku tahu aku harus menjauh darinya sebelum terlena
dalam pelukannya. Akan tetapi, tubuhnya memang hangat sehingga aku tidak
mencoba melepaskan diri. Setelah beberapa detik, dia berkata, "Better?"
Aku mengangguk. Reilley kemudian menuntunku menuju mobil, membuka
pintunya dan membiarkanku masuk. Setelah itu, ia menutup pintu mobil dan
menunggu hingga aku menghidupkan mesin. Reilley mundur satu langkah untuk
memeriksa banku sekali lagi, kemudian dia mengacungkan kedua jempolnya
sebagai tanda oke. Aku pun menurunkan kaca mobilku dan berkata, "Thank you.
Again," ucapku. "It was my pleasure," balasnya, sambil tersenyum. Ketika dia mengucapkan
katakata itu, seperti ada sesuatu dalam otakku yang berbunyi klik... klik...
klik.... Aku merasa kata-kata itu penting dalam konteks yang lain, tapi aku tidak bisa ingat
di mana aku pernah mendengar kata-kata yang sama diucapkan.
Reilley kemudian berjalan menuju mobilnya. Aku baru sadar, aku masih
menggenggam tisu bekas yang tadi digunakan Reilley. Kulemparkan tisu itu ke
lantai mobil dan akan kubuang ke tempat sampah kemudian. Kuperhatikan lalu
lintas yang ada di sebelah kiriku melalui kaca spion, kemudian meluncurkan mobil
kembali ke jalan raya. Sepanjang perjalanan untuk menemui Jacob, aku merasa
tidak tenang karena seperti ada sesuatu yang mengganjal. Suatu teka-teki yan gtidak
terselesaikan atau ditinggalkan tidak terjawab. Yang jelas, aku tidak bisa
menghapuskan bau cologne Reilley dari kepalaku, terutama karena bau itu sekarang
menempel pada sweater-ku.
Pada akhirnya, kencanku dengan Jacob tidak berjalan sebaik yang aku
harapkan. Jacob sadar bahwa aku tidak menumpukan perhatianku kepadanya
sepanjang kencan kami. Ia terlihat kecewa dan mengakhiri kencan kami lebih cepat
dengan alasan dia harus mengunjungi temannya yang baru saja melahirkan.
Sejujurnya, aku merasa bersalah terhadap Jacob. Akan tetapi, kepalaku terlalu
penuh dengan sosok laki-laki bermata biru yang bisa menenggelamkanku hanya
dengan tatapannya sehingga aku tidak terpikir untuk mengatakan kata "maaf"
kepadanya. *** Seperti biasanya, Didi akan meneleponku setelah kencanku untuk mengetahui
hasilnya. Dia bahkan lebih tertarik terhadap Jacob dibandingkan aku.
"Bagaimana date-nya, Mbak?" tanya Didi, penuh semangat.
"Biasa saja," jawabku. Aku baru saja membuka pintu depan apartemen ketika
telepon selularku berbunyi.
"Lho kok nggak excited begitu sih" Ada yang salah?" Didi terdengar curiga.
Tentu saja ada yang salah. Bukannya memikirkan Jacob, selama perjalanan
pulang dari Burlington aku justru memikirkan Reilley.
"Nggak, nggak ada yang salah," jawabku, sambil melangkah masuk ke dalam
apartemen. "Jadi, ada apa dong" Kemarin Jacob kan sudah masuk zona HOT, kok sekarang
jadi COLD sih?" Aku memang tidak pernah bisa berbohong kepada adikku ini. Dia terlalu jeli
melihat tingkah laku manusia.
"Ya, kayaknya Jacob nggak cocok deh untuk aku." Kulepaskan sepatu dan
berjalan menuju kamar tidur.
"Oh, ma...n, padahal aku sudah setuju sekali dengan yang ini," teriak Didi
kecewa. Aku terpaksa tertawa mendengar suaranya yang penuh kekecewaan itu. "So,
kapan date selanjutnya?"
"Belum ada. Sandra belum telepon lagi," jawabku.
Didi mengembuskan napasnya, dan berkata, "Oh begitu."
"By the way, aku tadi bertemu Reilley," ucapku tanpa ancang-ancang. Daripada
menyimpan rahasia ini dan berisiko diomeli habis-habisan oleh Didi karena tidak
menceritakan kepadanya, aku memutuskan mengambil jalan aman dan berkata
jujur. "Reilley" Cowok yang dari Fresh Market itu?" Suara Didi langsung terdengar
ceria. Aku memang sempat menceritakan pertemuanku dengan Reilley beberapa
bulan yang lalu itu kepada Didi. Pada saat itu aku belum memiliki perasaan apaapa terhadap Reilley, selain bahwa dia ganteng sekali.
"Yep," jawabku, sambil mengatur telepon selularku agar suara Didi bisa
terdengar melalui speaker. Aku kemudian menanggalkan sweater dan celana jeans
yang aku kenakan dan menggantinya dengan kaus longgar dan celana piama.
"Di mana?" Kini suara Didi semakin meninggi, yang menandakan dia sudah
sangat tertarik terhadap Reilley dan siap melupakan Jacob.
Aku lalu menceritakan pertemuanku dengan Reilley. Didi mendengarkan
dengan saksama dan sesekali menarik napas karena kaget.
"Oh, my God. He is so sweet," ucap Didi, dengan nada seperti si punguk yang
merindukan bulan. "You think so?" tanyaku ragu. Aku tidak tahu apakah normal menyukai laki-laki
yang baru aku temui dua kali.
"Of course I think so. Aku jadi penasaran ingin lihat tampangnya. Mata birunya
tuh sebiru apa, ya?"
"Biru sekali deh pokoknya. Laut Pasifik juga kalah," ucapku bersemangat.
Sejujurnya, aku tidak pernah terlalu memikirkan sebiru apakah mata Reilley,
tetapi kelihatannya penggambaranku barusan cukup mengena.
Didi tertawa mendengarnya. "Kayaknya dia suka deh kepada kamu, Mbak."
Kata-kata Didi menyadarkanku akan perasaanku sendiri, tetapi aku tetap belum
berani menerimanya sebagai suatu kenyataan.
"Ah, nggaklah. Dia hanya baik saja kok," balasku salah tingkah.
"Menurutku malahan kelewat baik. Mana ada sih orang zaman sekarang yang
mau berhenti di pinggir tol untuk membantu orang?"
"Kalau di D.C. sih nggak mungkin, tetapi di sini masih banyak kok orang yang
mau membantu orang lain. "Aku memberi penjelasan bahwa memang budaya di
kota besar akan sedikit berbeda dengan di kota kecil.
"Tetap saja aneh. Dari cara dia omong ketika bertemu Mbak kayaknya dia
berhenti bukan karena memang berniat membantu siapa saja, tetapi karena orang
yang bakal dia bantu itu Mbak."
"Jangan bikin aku ge-er deh," omelku.
Didi tertawa tergelak. "Sayang ya Mbak nggak sempat minta nomor teleponnya.
Kalau nggak kan setidak-tidaknya Mbak bisa telepon dia."
"Doakana ku supaya bisa bertemu dia lagi. Mudah-mudahan kali itu aku nggak
lupa minta nomor teleponnya. Eh, tetapi... bagaimana mintanya ya, Di?"
Meskipun aku cukup berpengalaman dengan laki-laki sebelum aku bertemu
dengan Brandon, selalu merekalah yang meminta nomor teleponku terlebih dahulu
sehingga aku tidak memiliki pengalaman melakukan sebaliknya.
"Ya, bilang saja Mbak minta nomor telepon dia. Beres, kan." Didi terdengar
tidak sabaran. "Memang kamu pernah minta nomor telepon cowok?" Aku tahu jawaban
pertanyaan ini, tetapi aku hanya ingin menggoda adikku. Didi tipe perempuan yang
supergengsi untuk minta nomor telepon dari laki-laki mana pun.
"Apa maksud Mbak tanya begitu?" Didi terdengar tersinggung, tetapi aku tahu
dia paham aku hanya bercanda.
"Ya, nggak ada apa-apa, hanya tanya saja," balasku pura-pura cuek.
Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan, kemudian kudengar suara Didi
berteriak, "Be there in a sec." Lalu Didi berkata padaku, "Mbak, sudah dulu ya
ngobrolnya. Aku sudah dijemput nih oleh teman."
"Kamu mau ke mana?" tanyaku ingin tahu.
"Biasa... ke library, mau research." Cara Didi mengatakan kata library dan
Nagari Batas Ajal 2 Wiro Sableng 187 Si Pengumpul Mayat Pendekar Murtad 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama