Ceritasilat Novel Online

Si Jenius Dungu 4

Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes Bagian 4


Dia menangkap nada kalimatku, lalu menatapku dengan tajam. "Kau tidak setuju?"
"Aku tidak punya hak untuk tidak setuju. Tetapi, jika kau membawa seorang lelaki
dari sebuah tempat dansa umum, kau seharusnya telah menduganya. Ia punya hak
untuk merayumu." Fay menggelengkan kepalanya. "Aku pergi ke Stardust Ballroom karena aku suka
berdansa, dan aku tidak pernah menyangka, jika aku membiarkan seorang lelaki
mengantarku pulang, itu artinya aku akan tidur dengannya. Kau tidak mengira aku
tidur dengannya, kan?"
Gambaranku tentang mereka berdua saling berpelukan meletup seperti gelembung
sabun. "Nah, jika kau adalah lelaki itu," dia melanjutkan, "itu akan berbeda."
"Apa artinya?" "Tepat seperti yang kaudengar. Jika kau memintaku, aku mau tidur denganmu."
Aku berusaha tenang. "Terima kasih," sahutku. "Aku akan ingat-ingat itu. Kau mau
kopi?" "Charlie, aku tidak mengerti kau. Kebanyakan lelaki, menyukaiku atau tidak, aku
akan segera mengetahuinya. Tetapi kau tampak takut padaku. Kau bukan
homoseksual, kan?" "Sialan, bukan!"
"Maksudku, kau tidak perlu menyembunyikannya dariku jika kau memang begitu,
karena kita masih bisa menjadi teman baik saja. Tetapi aku harus tahu."
"Aku bukan homoseksual. Malam ini, ketika kau masuk ke dalam apartemenmu bersama
lelaki itu, aku berharap, akulah lelaki itu."
Dia mencondongkan tubuhnya ke depan. Dia menyelipkan kedua lengannya di tubuhku,
lalu menungguku melakukan sesuatu. Aku tahu apa yang diharapkan dariku, lalu aku
katakan pada diriku sendiri aku tidak punya alasan untuk tidak melakukannya. Aku
punya perasaan bahwa kali ini tidak akan ada kepanikan tidak bersamanya. Lagi
pula, bukan aku yang memulai. Dan Fay berbeda dengan perempuan mana pun yang
pernah kutemui sebelum ini. Mungkin dia memang tepat untukku pada tingkat
emosional ini. Aku memeluknya. "Ini berbeda," dia mendekut. "Aku mulai berpikir kau tidak peduli."
"Aku peduli," bisikku, lalu mencium tenggorokannya. Tetapi ketika aku
melakukannya, aku melihat kami berdua, seolah aku adalah orang ketiga yang
berdiri di ambang pintu. Aku sedang mengamati seorang lelaki dan seorang
perempuan saling berpelukan. Tetapi melihat diriku seperti itu, dari kejauhan,
membuatku tidak responsif. Tidak ada kepanikan, benar, tetapi juga tidak ada
kegembiraan tidak ada gairah.
"Di tempatku atau tempatmu?" tanya Fay.
"Tunggu sebentar."
"Ada apa?" "Mungkin sebaiknya kita tidak melakukannya. Aku merasa tidak enak badan malam
ini." Dia menatapku heran. "Ada yang lainnya..." Apa pun yang kau ingin aku lakukan..."
Aku tidak apa-apa...."
"Bukan, bukan itu," sahutku tajam. "Aku hanya
merasa tidak enak badan malam ini." Aku ingin tahu cara-cara Fay membuat seorang
lelaki bergairah, tetapi kali ini bukan waktunya untuk mulai bereksperimen.
Pemecahan masalahku ada di tempat lain.
Aku tidak tahu apa lagi yang dapat kukatakan kepadanya. Aku berharap dia akan
pergi, tetapi aku tidak mau mengatakannya. Dia mengamatiku, kemudian akhirnya
dia berkata, "Begini, kau tidak apa-apa jika aku bermalam di sini?"
"Mengapa?" Dia menggerakkan bahunya. "Aku menyukaimu. Aku tidak tahu. Leroy mungkin saja
akan kembali. Banyak alasan. Jika kau juga tidak menginginkan aku...."
Dia membuatku kikuk lagi. Aku mungkin bisa menemukan selusin alasan untuk
menghindarinya, tetapi aku menyerah.
"Punya gin?" tanyanya.
"Tidak, aku tidak minum."
"Aku punya sedikit di rumah. Aku akan membawanya ke sini." Sebelum aku dapat
menghentikannya, dia sudah melompati jendela. Beberapa menit kemudian dia
kembali dengan sebuah botol berisi dua pertiga, dan sebuah jeruk nipis. Dia
mengambil dua buah gelas dari dapurku, lalu mengisi kedua gelas itu sedikit.
"Ini," katanya, "ini akan membuatmu merasa lebih enak. Ini akan melengkungkan
kekakuan garis-garis lurus itu. Itulah yang menganggumu. Segalanya terlalu rapi
dan lurus, sehingga kau seperti berada di dalam kotak. Seperti Algernon dalam
patungnya di sana." Pada mulanya aku tidak mau, tetapi aku merasa begitu murung sehigga aku
memutuskan mengapa tidak. Hal itu tidak akan membuat segalanya menjadi lebih
buruk. Mungkin saja aku menjadi bosan karena perasaan diawasi oleh diriku
sendiri melalui mata yang tidak mengerti apa yang sedang kukerjakan. Fay
membuatku mabuk. Aku ingat minuman pertama, dan pergi ke tempat tidur. Lalu dia menyelinap di
sampingku dengan membawa botol di tangannya. Sampai di situ saja hingga sore ini
ketika aku bangun dengan rasa sakit di kepala.
Dia masih tidur, wajahnya menghadap ke dinding, bantalnya mengembung di bawah
lehernya. Di atas meja kecil di samping asbak yang sangat penuh dengan puntung
rokok, berdiri sebuah botol kosong. Tetapi yang terakhir kuingat sebelum tirai
itu menutup adalah menonton diriku sendiri menenggak minuman kedua.
Fay meregang dan bergulung ke arahku bugil. Aku bergerak mundur, lalu jatuh dari
tempat tidur. Aku merenggut selimut untuk membungkus tubuhku.
"Hai," sapa Fay sambil menguap. "Kau tahu apa yang akan kulakukan hari-hari
ini?" "Apa?" "Melukismu bugil. Seperti Davidnya Michelangelo. Kau pasti bagus. Kau tidak apaapa?" Aku mengangguk. "Kecuali sakit kepalaku. Apakah aku... ah... minum terlalu banyak
tadi malam?" Dia tertawa seraya menaikkan tubuhnya dan menopangnya dengan satu
sikunya. "Kau bertenaga. Dan, wah, kau bersikap aneh sekali... aku tidak bermaksud
berbohong atau yang lainnya tetapi kau aneh."
"Apa, " aku bertanya, sambil berusaha melilitkan selimut pada tubuhku sedemikian
rupa sehingga aku dapat berjalan, "maksudmu" Apa yang kulakukan kemarin?"
"Aku sudah pernah melihat lelaki yang menjadi
bahagia atau sedih, atau mengantuk, tetapi aku tidak pernah melihat orang yang
bersikap begitu aneh seperti yang kaulakukan. Untung saja kau tidak sering
minum. Oh, Tuhanku, aku hanya berharap aku membawa kamera ketika itu. Pokoknya,
kau aneh sekali." "Ya, demi Tuhan, apa sih yang kulakukan?"
"Tidak seperti yang pernah kuduga. Tidak ada seks, atau apa pun seperti itu.
Tetapi kau fenomenal. Sikap yang luar biasa! Paling aneh. Kau bisa bagus di atas
panggung. Kau akan membuat mereka tercengang di Palace. Kau bersikap bingung
sekali dan konyol. Kau tahu, seperti seorang dewasa yang bersikap seperti
seorang anak-anak. Kau bicara tentang betapa kau ingin pergi ke sekolah, dan
belajar membaca serta menulis sehingga kau bisa menjadi pandai seperti orang
lain. Hal-hal gila seperti itu. Kau orang yang berbeda seperti yang mereka
lakukan pada pelajaran berakting dan terus mengatakan kau tidak dapat bermain
denganku karena ibumu akan mengambil kacangmu dan mengurungmu."
"Kacang?" "Ya! Tolong aku untuk mengerti!" dia tertawa, sambil menggaruk kepalanya. "Dan
kau mengatakan aku tidak boleh mengambil kacangmu. Aneh sekali. Tetapi, kubilang
ya, caramu bicara! Seperti orang bodoh di sudut jalan, yang melakukan sendiri
dengan hanya memperhatikan seorang gadis. Kau benar-benar seorang lelaki yang
berbeda. Pada awalnya kupikir kau hanya bercanda, tetapi sekarang kukira kau
tertekan atau semacamnya. Segala kerapian ini dan kekhawatiran akan segala hal."
Itu tidak membuatku kesal, karena aku sudah menduganya juga. Kadang-kadang mabuk
dapat meruntuhkan tanggul kesadaran yang menahan Charlie Gordon yang
sudah lama bersembunyi jauh di dasar benakku. Seperti yang sudah kuduga sejak
dulu, ia tidak benar-benar menghilang. Tidak ada yang benar-benar hilang dari
benak kami. Operasi itu telah menutupinya dengan lapisan pendidikan dan budaya,
tetapi secara emosional, ia masih ada di sana menonton dan menanti.
Apa yang ditunggunya"
"Kau tidak apa-apa sekarang?" Aku katakan kepadanya aku tidak apa-apa.
Dia meraih selimut yang membungkusku, dan menarikku kembali ke tempat tidur.
Sebelum aku bisa menghentikannya, dia sudah menyelipkan lengannya di sekeliling
tubuhku dan menciumku. "Aku ketakutan tadi malam, Charlie. Kupikir kau tidak
mampu. Aku pernah mendengar soal lelaki yang impoten. Betapa hal itu tiba-tiba
menyerang mereka, dan mereka menjadi maniak." "Mengapa kau tidak pergi?"
Dia menggerakkan bahunya. "Ya, kau seperti seorang anak kecil yang ketakutan.
Aku tahu kau tidak akan melukaiku, tetapi kupikir kau mungkin saja melukai
dirimu sendiri. Maka aku putuskan untuk tinggal. Aku merasa kasihan sekali.
Tetapi, aku menyimpan ini di dekatku, siapa tahu aku membutuhkannya...." Dia lalu
menarik keluar sebuah buku berat yang tadi diselipkan di antara dinding dan
tempat tidurku. "Kukira kau tidak perlu menggunakannya."
Dia menggelengkan kepalanya. "Wah, kau pastilah sangat menyukai kacang ketika
masih kecil." Dia turun dari tempat tidur dan mulai mengenakan pakaiannya. Aku tetap berbaring
di sana sambil mengamatinya. Fay bergerak di depanku tanpa malu-malu atau
canggung. Aku sangat ingin meraih dirinya, tetapi
aku tahu itu sia-sia. Walau aku sudah menjalani operasi itu, Charlie masih ada
bersamaku. Dan Charlie takut kehilangan kacangnya.
24 Juni Hari ini aku pergi ke sebuah pesta minum-minum yang anti intelektual.
Jika aku berani, aku pastilah sudah mabuk. Tetapi setelah pengalaman bersama
Fay, aku tahu hal itu bisa berbahaya. Jadi, aku pergi ke ke Times Square saja,
dari gedung bioskop yang satu ke yang lainnya, mengasyikkan diriku dalam film
koboi dan horor seperti biasanya. Setiap kali, duduk menonton film, aku selalu
merasa sangat bersalah. Aku akan keluar gedung sebelum film itu selesai dan
masuk ke gedung bioskop lainnya. Aku katakan pada diriku sendiri aku sedang
mencari sesuatu dalam layar dunia khayalan, yang hilang dari kehidupan baruku.
Lalu, ketika aku berada tepat di luar Keno Amusement Center, tiba-tiba aku tahu,
aku sebenarnya tidak menginginkan film-film itu, melainkan penontonnya. Aku
ingin bersama orang-orang di sekitarku dalam kegelapan.
Dinding di antara para penonton tipis saja di sini, dan jika aku menyimak dengan
seksama, aku mendengar apa yang terjadi. Greenwich Village juga seperti itu.
Bukan hanya asal berdekatan karena aku tidak merasakannya dalam sebuah lift
penuh sesak atau di kereta bawah tanah pada jam sibuk. Tetapi, pada malam panas
ketika semua orang keluar rumah berjalan-jalan, atau duduk di teater, ada suara
bergesekan. Dan untuk sejenak aku bergesekan dengan seseorang serta merasakan
hubungan itu, antara cabang-cabang dan dahan serta akar di dalam tanah. Pada
waktu seperti itulah dagingku terasa tipis dan tegang. Lalu rasa lapar
yang tak tertahankan, yang menjadi bagian dari itu, menyuruhku keluar untuk
mencari dalam kegelapan sudut-sudut dan gang yang gelap-gulita pada malam hari.
Biasanya, ketika aku letih berjalan, aku kembali ke apartemenku dan menjatuhkan
diri lalu tertidur nyenyak. Tetapi malam ini, aku tidak pulang ke rumahku
sendiri, aku bahkan pergi makan malam. Ada seorang pencuci piring baru, dia
seorang anak lelaki kira-kira berusia enam belas tahun, dan ada sesuatu yang
tampak akrab darinya, gerakannya, tatapan matanya. Ia membersihkan meja di
belakangku, lalu ia menjatuhkan beberapa piring.
Piring-piring itu hancur menghantam lantai, berserakan, dan pecahan porselin
putihnya ada yang jatuh ke bawah meja-meja. Ia berdiri di sana, bingung dan
ketakutan, sambil masih memegangi nampan kosong dalam tangannya. Siulan dan
ejekan dari para pelanggan (berseru "hei, habislah sudah keuntungan restoran
ini...!", "Mazei tov...", "wah, ia tidak akan kerja di sini lebih lama la-gi...", hal
yang tampaknya selalu terjadi setelah pecahnya piring-piring di restoran umum)
membingungkan dirinya. Ketika pemilik restoran datang melihat apa yang menyebabkan keributan, anak
lelaki itu ketakutan menaikkan lengannya seolah menangkis serangan.
"Baik! Baik! Kau tolol," teriak lelaki itu, "jangan hanya berdiri di sana saja!
Ambil sapu dan bersihkan kotoran itu. Sapu... sebuah sapu! Kau idiot! Ada di
dapur. Sapu bersih semua pecahan itu."
Ketika anak lelaki itu melihat bahwa ia tidak akan dihukum, kesan ketakutannya
menghilang. Lalu ia tersenyum dan bersenandung saat ia kembali dengan membawa
sapu. Beberapa orang pelanggan yang suka gaduh
terus mengejeknya, menghibur diri mereka sendiri dengan mengorbankan anak lelaki
itu. "Di sini, Nak, di sini. Ada pecahan bagus di belakangmu...."
"Ayo, lakukan lagi...."
"Ia tidak terlalu dungu. Lebih mudah memecahkannya daripada mencucinya...."
Ketika mata kosong anak lelaki itu bergerak menyeberangi kerumunan penonton,
perlahanlahan ia membalas senyuman mereka, dan akhirnya menjadi seringai yang
tidak jelas pada lelucon yang tidak dimengertinya.
Aku merasa muak ketika aku melihat pada senyum dungu dan kosongnya mata kanakkanak yang lebar dan terang, tidak yakin tetapi senang menyenangkan orang lain.
Lalu aku sadar apa yang membuatku mengenalinya. Mereka menertawakannya karena ia
terbelakang. Pada awalnya aku juga terhibur seperti yang lainnya.
Tiba-tiba, aku marah sekali pada diriku sendiri dan pada semua orang yang terus
menyeringai ke arahnya. Aku ingin memunguti piring-piring itu dan
melemparkannya. Aku ingin menghantam wajah-wajah tertawa mereka. Aku melompat
dan berteriak: "Tutup mulut kalian! Jangan ganggu ia! Ia tidak dapat mengerti.
Ia tidak dapat menolak apa yang terjadi pada dirinya... tetapi demi Tuhan
hormatilah dirinya! Ia manusia!"
Restoran itu menjadi sunyi. Aku menyumpahi diriku sendiri karena kehilangan
kendali dan menarik perhatian. Aku mencoba untuk tidak melihat anak itu, lalu
aku membayar makananku dan keluar tanpa menyentuh makananku. Aku merasa malu
karena keadaan kami berdua.
Betapa anehnya ketika orang-orang dengan perasaan jujur dan kepekaan, yang tidak
akan mengambil keuntungan dari seorang yang terlahir tanpa lengan, tungkai, atau
mata... tega mengganggu seorang lelaki yang terlahir tanpa kecerdasan. Hal itu
membuatku marah ketika mengingat belum lama berselang aku seperti anak lelaki
tersebut yang dengan bodoh menjadi badut.
Dan aku hampir lupa. Baru beberapa waktu yang lalu, aku belajar bahwa orang menertawakan aku.
Sekarang aku dapat melihat bahwa tanpa kusadari aku bergabung dengan mereka
dalam menertawakan diriku sendiri. Itu yang paling menyakitkan.
Aku sering membaca ulang laporan-laporan kemajuanku yang terdahulu. Lalu aku
melihat betapa orang yang buta huruf, naif, dan kekanakan, orang yang
kecerdasannya rendah, mengintip dari ruangan gelap, melalui sebuah lubang kunci,
cahaya yang menyilaukan di luar. Dalam mimpiku, dan kenangan-kenanganku aku
telah melihat Charlie tersenyum bahagia dan tidak yakin pada apa yang dikatakan
orang-orang di sekelilingnya. Bahkan dalam kebodohanku, aku tahu aku rendah
diri. Orang lain memiliki sesuatu yang tidak kupunyai sesuatu yang tidak ada
pada diriku. Dalam kebutaan mentalku, aku percaya bahwa hal itu berhubungan
dengan kemampuan membaca dan menulis. Aku juga yakin jika aku dapat memperoleh
keahlian itu, aku akan memiliki kecerdasan.
Bahkan seseorang dengan pikiran yang lemah ingin menjadi seperti orang lain.
Seorang anak kecil mungkin tidak tahu bagaimana memberi makan dirinya sendiri,
atau apa yang harus dimakannya, tapi ia tahu jika ia lapar.
Hari ini baik untukku. Aku harus menghentikan kekhawatiranku yang kekanakkanakan masa \a\u-ku dan masa depanku. Biarkan aku memberikan sesuatu dari
diriku untuk orang lain. Aku harus menggunakan pengetahuanku dan keterampilanku
untuk bekerja di bidang peningkatan kecerdasan manusia. Siapa yang terlengkapi
dengan lebih baik" Siapa lagi yang hidup di dua dunia"
Besok, aku akan menghubungi dewan direktur di Welberg Foundation dan meminta
izin untuk melakukan pekerjaan mandiri dalam proyek tersebut. Jika mereka
mengizinkan, aku mungkin dapat membantu mereka. Aku mempunyai beberapa gagasan.
Banyak yang dapat dikerjakan dengan teknik ini, jika sempurna. Jika aku bisa
dibuat jenius, bagaimana dengan lebih dari lima juta orang terbelakang di
Amerika Serikat" Bagaimana dengan orang-orang terbelakang yang tak terhitung
jumlahnya di seluruh dunia ini, dan mereka yang belum terlahir tapi ditakdirkan
terbelakang" Tingkatan-tingkatan mengagumkan apa yang mungkin dicapai oleh orang
biasa dengan menggunakan teknik ini" Pada orang jenius"
Banyak pintu yang harus dibuka, sehingga aku menjadi tidak sabar untuk
mengabdikan pengetahuanku dan pengetahuanku sendiri untuk mengatasi masalah itu.
Aku harus membuat mereka semua melihat bahwa ini adalah sesuatu yang penting
bagiku untuk kukerjakan. Aku yakin Yayasan akan memberi izin.
Tetapi aku tidak bisa sendirian lagi. Aku harus memberi tahu Alice soal ini.
25 Juni Aku menelepon Alice hari ini. Aku gugup,


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan pastilah suaraku terdengar tidak menentu. Tetapi aku senang mendengar suara
Alice, dan dia pun terdengar senang mendengar kabar dariku. Dia mau bertemu juga
denganku. Aku lalu menumpang taksi ke kota dan menjadi tidak sabar karena
kelambatannya melaju. Sebelum aku mengetuk pintunya, Alice telah membukanya dan memelukku. "Charlie,
kami sangat mengkhawatirkanmu. Aku membayangkan hal-hal mengerikan, tentang kau
yang mati di gang, atau kau sedang berjalan-jalan tanpa tujuan di perkampungan
gembel dengan amnesia. Mengapa kau tidak memberi tahu kalau kau tidak apa-apa"
Kau bisa melakukan itu, kan?"
"Jangan marahi aku. Aku harus sendirian sesaat untuk menemukan beberapa
jawaban." "Ayo masuk ke dapur. Aku akan membuat kopi. Apa yang sedang kaukerjakan?"
"Pada siang hari, aku berpikir, membaca, dan menulis; dan pada malam hari,
berjalan-jalan mencari diriku sendiri. Aku sudah tahu, Charlie mengamatiku."
"Jangan bicara seperti itu," sahutnya gemetar. "Kau tidak sedang diawasi. Kau
hanya mengada-ada dalam benakmu."
"Aku tidak dapat menahan untuk berpikir bahwa aku bukanlah aku. Aku telah
merampas tempatnya dan menguncinya seperti aku dikunci dari dalam pabrik roti
itu. Maksudku, Charlie Gordon ada di masa lalu, dan masa lalu itu nyata. Kau
tidak bisa mendirikan bangunan baru di atas area sebelum kau menghancurkan
bangunan lama. Padahal Charlie yang lama tidak bisa dihancurkan. Ia ada. Pada
awalnya, aku mencarinya: aku pergi menemui ayahnya-ayahku. Yang kuinginkan
hanyalah membuktikan bahwa Charlie ada sebagai seseorang di masa lalu,
sehingga aku dapat membenarkan keberadaanku. Aku terhina ketika Nemur mengatakan
bahwa ia menciptakan aku. Tetapi aku telah menemukan bahwa tidak saja Charlie
itu ada di masa lalu, tetapi ia juga ada sekarang. Dalam diriku, dan di
sekitarku. Ia telah datang di antara kami selama ini. Kupikir kecerdasanku
menciptakan halangan... kesombonganku, kebanggaan konyol, perasaan kita tidak
memiliki persamaan karena aku telah melebihi dirimu. Kau meletakkan gagasan itu
ke dalam kepalaku. Tetapi bukan itu. Tetapi Charlie, si anak lelaki kecil yang
ketakutan akan perempuan karena hal-hal yang dilakukan ibunya kepadanya.
Tidakkah kau mengerti" Selama berbulan-bulan ketika aku tumbuh bertambah pandai,
aku masih memiliki emosi yang bertalian dengan kekanakan Charlie. Dan setiap
kali aku berada di dekatmu, atau berpikir tentang bercinta denganmu, lalu ada
korsleting." Aku bersemangat, dan suaraku berdentam hingga dia gemetar. Wajahnya memerah.
"Charlie," bisiknya, "bisakah aku melakukan sesuatu untukmu" Bisakah aku
menolongmu?" "Kukira aku sudah berubah selama minggu-minggu ini berada jauh dari lab,"
sahutku. "Pada mulanya aku tidak dapat melakukannya, tetapi malam ini, ketika
aku berjalan-jalan keliling kota, aku menemukan jawabannya. Yang konyol adalah
aku mencoba memecahkan masalah sendirian. Tetapi, semakin aku terjerat dalam
keruwetan mimpi dan kenangan, semakin aku sadar bahwa masalah emosional tidak
dapat dipecahkan seperti masalah intelektual. Itulah yang kutemukan tentang
diriku sendiri kemarin malam. Aku katakan pada diriku sendiri ketika aku
berjalan-jalan seperti jiwa yang tersesat, kemudian aku
melihat aku sedang tersesat.
"Secara emosional aku telah terpisah dari semua orang dan segalanya. Padahal
yang sedang kucari di luar sana di jalan-jalan gelap tempat terakhir yang dapat
kutemukan adalah membuat diriku sendiri menjadi bagian dari orang lain secara
emosional, sementara aku masih dapat menguatkan kebebasan intelektualku. Aku
harus bertumbuh. Bagiku itu berarti segalanya....11
Aku terus berbicara, memuntahkan semua keraguan atas diriku sendiri dan
ketakutan yang meluap ke permukaan. Alice adalah pantulan gemaku dan dia duduk
di sana terhipnotis. Aku merasa diriku menjadi hangat, seperti demam, hingga
akhirnya tubuhku seperti terbakar. Aku meradang kehabisan tenaga di depan
seseorang yang kupedulikan sehingga membuat segalanya berbeda.
Namun, itu terlalu banyak bagi Alice. Yang tadinya hanya getaran, sekarang
menjadi air mata. Lukisan di atas sofa tertangkap mataku seorang gadis berpipi
merah muda yang ketakutan dan aku bertanya-tanya apa yang sedang dirasakan Alice
ketika itu. Aku tahu, dia akan memberikan dirinya untukku, dan aku
menginginkannya, tetapi bagaimana dengan Charlie"
Charlie tidak boleh ikut campur jika aku ingin bercinta dengan Fay. Mungkin ia
hanya akan berdiri di ambang pintu dan mengamati. Tetapi, saat aku mendekati
Alice, ia menjadi panik. Mengapa ia ketakutan membiarkan aku mencintai Alice"
Dia duduk di atas sofa, sambil menatapku, dan menunggu apa yang akan kulakukan.
Lalu apa yang dapat kulakukan" Aku ingin memeluknya dan....
Ketika aku mulai memikirkannya, peringatan itu datang.
"Kau tidak apa-apa, Charlie" Kau pucat sekali."
Aku duduk di sofa di sebelahnya. "Hanya agak pening. Sebentar lagi akan hilang."
Tetapi aku tahu, itu hanya akan menjadi lebih buruk selama Charlie merasa ada
bahaya jika aku bercinta dengan Alice.
Lalu aku mempunyai gagasan. Pada mulanya hal itu membuatku jijik, tetapi tibatiba aku sadar bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi kelumpuhan ini adalah
memperdaya Charlie. Jika karena beberapa alasan Charlie takut akan Alice tetapi
tidak pada Fay, aku akan memadamkan lampu dan berpura-pura aku sedang bercinta
dengan Fay. Ia tidak akan pernah tahu bedanya.
Ternyata aku salah ini menjijikkan tetapi jika berhasil kulakukan, akan
melepaskan cekikan erat Charlie pada emosiku. Setelah itu, aku akan tahu bahwa
aku mencintai Alice, karena itu inilah satu-satunya cara.
"Aku tidak apa-apa sekarang. Nah, ayo kita duduk dalam gelap sebentar," sahutku.
Lalu aku memadamkan lampu dan menunggu diriku menjadi tenang kembali. Ini tidak
akan mudah. Aku harus meyakinkan diri sendiri dengan membayangkan Fay,
menghipnotis diriku sendiri supaya mempercayai bahwa perempuan yang duduk di
sampingku adalah Fay. Walau Charlie memisahkan dirinya dariku untuk menontonku
dari luar tubuhku, ia tidak akan melihat dengan jelas karena ruangan ini gelap.
Aku menunggu beberapa tanda yang diduga akan muncul oleh Charlie peringatan
dengan timbulnya gejala kepanikan. Tetapi ternyata tidak ada apa-apa. Aku merasa
waspada dan tenang. Aku memeluk Alice.
"Charlie, aku...."
"Jangan bicara1." aku membentaknya, sehingga dia menarik diri dariku. "Kumohon,"
kataku kembali menenangkannya, "jangan katakan apa pun. Biarkan aku memelukmu
dalam kegelapan, itu saja." Kemudian aku merengkuhnya lebih dekat lagi. Di dalam
kegelapan pelupuk mataku yang tertutup, aku menciptakan gambaran Fay rambut
pirang panjangnya. Fay, seperti yang kulihat terakhir kalinya di sampingku. Aku
mencium rambut Fay, tenggorokannya, dan akhirnya berhenti di atas bibir Fay. Aku
merasa lengan Fay mengusap-usap otot punggungku, bahuku, lalu ketegangan di
dalam tubuhku mulai terbentuk yang sebelumnya tidak pernah kurasakan di hadapan
seorang perempuan. Mulanya aku membelai-belainya perlahan, lalu tanpa kesabaran,
ketegangan pun meningkat yang segara akan menyatakan sesuatu.
Namun, bulu kudukku mulai berdiri. Ada orang lain dalam ruangan ini, muncul
menembus kegelapan, dan mencoba melihat. Dalam keadaan demam aku memikirkan nama
itu berkali-kali. Fay! Fay! FAY! Aku membayangkan wajahnya dengan jelas dan
terang sehingga tidak ada apa pun yang dapat menyelinap di antara kami. Tapi,
ketika Alice memelukku lebih erat, aku menjerit dan mendorongnya menjauh.
"Charlie!" Aku tidak dapat melihat wajah Alice, tapi suara terkesiapnya
menandakan bahwa dia sangat terkejut.
"Tidak, Alice! Aku tidak bisa. Kau tidak mengerti."
Aku melompat pergi dari sofa dan menyalakan lampu. Aku hampir saja menduga akan
melihat Charlie berdiri di sana. Tetapi tentu saja tidak. Kami hanya berdua.
Semuanya itu hanya ada dalam benakku. Alice terbaring di sana, blusnya terbuka
karena aku membuka kancingnya. Wajahnya memerah, matanya terbelalak
tidak percaya. "Aku mencintaimu...," kata-kata itu seperti mencekikku ketika
kukatakan, "tetapi aku tidak dapat melakukannya. Aku tidak dapat menjelaskan,
tetapi jika aku tidak berhenti, aku akan membenci diriku sendiri seumur hidupku.
Jangan minta aku menjelaskannya, atau kau akan membenciku juga. Ini ada
hubungannya dengan Charlie. Dia punya beberapa alasan sehingga ia tidak
membiarkan aku bercinta denganmu."
Alice memalingkan wajahnya dan mengancingkan kembali blusnya. "Malam ini
berbeda," katanya. "Kau tidak merasakan kemualan atau panik atau semacamnya. Kau
menginginkan aku." "Ya, aku memang menginginkanmu, tetapi aku tidak benar-benar bercinta denganmu.
Aku berniat menggunakanmu dengan cara yang tidak dapat kujelaskan padamu. Aku
tidak mengerti diriku sendiri. Sebaiknya kita katakan saja bahwa aku belum siap
melakukannya. Aku tidak dapat memalsukannya, atau mencurangimu atau berpura-pura
semua baik-baik saja, padahal tidak seperti itu. Aku berada di sebuah gang gelap
lagi." Aku berdiri. "Charlie, jangan melarikan diri lagi."
"Aku sudah tidak berlari lagi. Aku punya pekerjaan yang harus kukerjakan.
Katakan kepada mereka aku akan kembali ke lab dalam beberapa hari ini begitu aku
dapat mengendalikan diriku sendiri."
Aku meninggalkan apartemen Alice dengan perasaan kacau-balau. Di bawah, di depan
gedung itu, aku berdiri, tidak tahu harus pergi ke arah mana. Tidak peduli jalan
mana yang kuambil, aku selalu terkejut karena ternyata aku salah memilih. Semua
jalan terhalang. Tetapi, Tuhan... segala yang kukerjakan, ke mana pun aku
membelok, pintu-pintu itu selalu tertutup untukku.
Tidak ada tempat untuk kumasuki. Tidak ada jalan, tidak ada ruangan, tidak ada
perempuan. Akhirnya, aku tiba di stasiun kereta bawah tanah lalu pergi ke Jalan Fourty
ninth dengan menumpang kereta bawah tanah. Tidak terlalu banyak orang ketika
itu, tetapi ada seorang perempuan berambut pirang panjang yang mengingatkanku
pada Fay. Ketika menuju bus antarkota, aku melewati sebuah toko minuman keras.
Tanpa berpikir lagi, aku masuk ke sana dan membeli seperlima galon gin. Sambil
menunggu bus, kubuka botol di dalam tas, lalu kutenggak minuman tersebut. Cairan
itu terasa membakar ketika meluncur ke bawah, tetapi aku merasa nyaman. Aku
menenggaknya lagi kali ini hanya sesesap. Aku merasa dihujani perasaan
menggelitik di seluruh tubuhku ketika busku datang. Aku tidak meminumnya lagi.
Aku tidak mau mabuk sekarang.
Ketika aku tiba di apartemen, aku mengetuk pintu apartemen Fay. Tidak ada
jawaban. Aku membuka pintu lalu melongok ke dalam. Fay belum pulang, tetapi
semua lampu menyala di sini. Dia betul-betul tidak peduli pada apa pun. Mengapa
aku tidak bisa menjadi seperti itu"
Aku pulang untuk menunggunya. Aku membuka pakaianku, mandi di pancuran, lalu
mengenakan jubah mandiku. Aku berdoa supaya malam ini tidak akan menjadi seperti
malam-malam ketika dia pulang bersama seorang lelaki.
Kira-kira pukul dua tiga puluh pagi, aku mendengar Fay datang menaiki tangga.
Aku mengambil botolku, memanjat keluar ke tangga darurat, lalu menyelinap
melalui jendelanya, tepat ketika pintu depannya terbuka. Aku tidak berniat
berjongkok di sana dan mengamatinya.
Aku akan mengetuk jendelanya. Tetapi, ketika aku mengangkat tanganku untuk
memberi tahu keberadaanku, aku melihatnya melepas sepatunya dengan tendangan,
lalu ia berputar dengan riang. Dia mendekati cermin, dan perlahanlahan sepotong
demi sepotong mulai melepas pakaiannya dalam gaya striptis pribadi. Aku
menenggak minumanku lagi. Tetapi aku tidak bisa membiarkan dia tahu aku telah
menontonnya. Aku kembali ke apartemenku sendiri tanpa menyalakan lampu. Pada mulanya terpikir
akan mengundangnya ke tempatku, tetapi di sini segalanya terlalu rapi dan
teratur terlalu banyak garis lurus yang harus dihapus lalu aku pun tahu di sini
tidak akan berhasil. Maka aku keluar ke gang. Aku mengetuk pintunya, mula-mula
perlahan, kemudian lebih keras.
"Pintu tidak dikunci!" teriaknya.
Fay hanya mengenakan pakaian dalamnya, berbaring di lantai, dengan kedua
lengannya terentang dan tungkainya naik ke atas sofa. Dia mengangkat kepalanya
ke belakang dan menatapku dari atas ke bawah. "Charlie Sayang! Mengapa kau
berdiri di atas kepalamu?"
"Tidak apa-apa," sahutku sambil menarik keluar botol itu dari kantong kertasnya.
"Garis-garis dan kotak-kotak terlalu lurus, maka kupikir kau akan menemaniku
menghapus beberapa garis itu."
"Memerlukan minuman terbaik di dunia untuk itu," sahutnya. "Jika kau
berkonsentrasi pada titik yang hangat yang berawal dari dalam perutmu, segala
garis itu akan meleleh."
"Itu yang sedang terjadi."
"Hebat!" Dia melompat bangun, "Aku juga. Aku tadi berdansa dengan lelaki yang
membosankan. Ayo kita lelehkan mereka semua." Dia lalu mengambil gelas, setelah itu mengisinya untuk
dirinya. Ketika ia minum, aku melilitkan lenganku pada tubuhnya dan mempermainkan kulit
punggungnya yang telanjang.
"Hei, Charlie! Wah, wah! Ada apa ini?"
"Aku ingin bercinta denganmu. Malam ini aku dapat melakukannya. Aku tahu itu...
aku merasakannya. Jangan kecewakan aku, Fay."
"Sini," dia berbisik, "minumlah lagi."
Aku mengambilnya satu dan menuangkan satu lagi untuknya. Ketika dia meneguknya,
aku menghujani bahu dan lehernya ciuman. Dia mulai bernapas dengan berat ketika
gairahku mulai menularinya.
"Tuhanku, Charlie, jika kau mulai mengusikku lalu mengecewakan aku lagi, aku
tidak tahu apa yang akan kulakukan. Aku juga manusia, kau tahu."
Aku menariknya hingga rebah di sampingku di sofa, di atas tumpukan baju dan
pakaian dalamnya. "Tidak di atas sofa, Charlie," katanya, sambil berusaha keras untuk berdiri.
"Ayo ke tempat tidur."
"Di sini," desakku sambil menarik blusnya sehingga terlepas darinya.
Dia menatapku di bawah, lalu meletakkan gelasnya di lantai, dan melepaskan
pakaian dalamnya. Dia berdiri di sana di depanku, bugil. "Aku akan memadamkan
lampu," bisiknya. "Jangan," kataku sambil menariknya ke bawah ke sofa lagi. "Aku ingin menatapmu."
Dia menciumku dalam, dan memelukku erat. "Jangan kecewakan aku kali ini,
Charlie. Sebaiknya tidak."
Tubuhnya bergerak lambat, meraihku, dan aku tahu
kali ini tidak akan ada yang menggangguku. Aku tahu apa yang harus kulakukan,
dan bagaimana melakukannya.
Untuk sesaat, aku merasakan rasa dingin yang menandakan Charlie sedang
menontonku. Melalui tangan sofa, aku menangkap kilasan wajahnya yang menatapku
menembus kegelapan di balik jendela tempat aku berjongkok beberapa menit yang
lalu. Sebuah perubahan persepsi, aku kini sudah berada di tangga darurat lagi,
menonton seorang lelaki dan perempuan di dalam ruangan, sedang bercinta di atas
sofa. Kemudian, dengan usaha keras, aku kembali ke atas sofa bersama Fay. Kurasakan
tubuhnya dan desakan kebutuhanku serta kekuatanku. Aku melihat lagi wajah yang
menempel di jendela sedang asyik menonton kami. Lalu aku bicara pada diriku
sendiri dalam benakku, ayo, kau anak jadah yang malang tontonlah. Aku tidak
peduli lagi. Lalu matanya terbelalak ketika menonton.
29 Juni Sebelum kembali ke lab aku akan menyelesaikan proyek yang sudah kumulai
sejak aku meninggalkan seminar itu. Aku menelepon Landsdoff di New Institute for
Advanced Study untuk membicarakan kemungkinan penggunaan efek foto nuklir
berganda berganda untuk pekerjaan eksplorasi biofisika. Pada awalnya, ia
menganggapku sinting, tetapi setelah aku menunjukkan kekurangannya dalam
artikenya di jurnal New Istitute, ia terus bicara denganku di telepon selama
hampir satu jam. Ia menginginkan aku datang ke institut guna membicarakan
gagasanku bersama kelompoknya. Aku mungkin akan membicarakan dengannya setelah
aku menyelesaikan pekerjaanku di lab jika masih ada waktu.
Itulah masalahnya, tentu saja. Aku tidak tahu berapa lama waktu yang kumiliki.
Sebulan" Setahun" Sepanjang hidupku" Itu bergantung pada apa yang kutemukan
perihal efek sampingan psikofisika dari eksperimen itu.
30 Juni Aku sekarang tidak lagi berjalan-jalan tanpa tujuan di kota sejak aku
punya Fay. Aku telah memberinya kunci rumahku. Dia mengejekku karena aku
mengunci pintuku, dan aku mengejek rumahnya yang berantakan. Dia memperingatkan
aku agar tidak berusaha mengubahnya. Suaminya menceraikannya lima tahun yang
lalu karena dia tidak peduli dengan kerapian dan perawatan rumahnya.
Begitulah caranya memandang hampir segala hal yang tampak tidak penting baginya.
Dia hanya tidak dapat atau tidak peduli akan hal itu. Suatu hari aku menemukan
setumpukan kartu tilang parkir di sudut di belakang kursinya mungkin ada empat
puluh atau lima puluhan. Ketika dia pulang membawa bir, aku bertanya kepadanya
mengapa dia mengumpulkan kartu-kartu tilangnya.
"Itu!" katanya sambil tertawa. "Begitu mantan suamiku mengirimkan cek sialan
itu, aku harus membayar beberapa di antaranya. Kau tidak tahu bagaimana kesalnya
aku pada kartu-kartu tilang itu. Aku menyimpannya di belakang kursi karena aku
tidak mau merasa bersalah setiap kali aku melihatnya. Tetapi apa yang harus
dilakukan seorang gadis seperti aku" Ke mana pun aku pergi mereka selalu


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memasang tanda di segala tempat Dilarang parkir di sini! Dilarang parkir di
sana! aku hanya tidak mau merasa terganggu, dengan harus berhenti untuk membaca
sebuah tanda setiap kali aku
mau turun dari mobil."
Jadi aku telah berjanji kepadanya tidak akan pernah berusaha mengubahnya. Fay
gadis yang menyenangkan. Mempunyai selera humor yang bagus. Tetapi yang paling
menonjol darinya adalah jiwanya yang bebas dan mandiri. Satu-satunya hal yang
mungkin melelahkan setelah beberapa saat adalah kegilaannya berdansa. Kami
keluar setiap malam Minggu hingga pukul dua atau tiga pagi, padahal aku tidak
punya kekuatan yang ter-sisa lagi untuk itu.
Ini bukan cinta tetapi dia penting bagiku. Aku menyimak bunyi langkah kakinya di
gang kapan pun dia pergi.
Charlie tidak lagi menonton kami.
5 Juii Aku mempersembahkan konserto piano pertamaku kepada Fay. Dia sangat
senang dengan gagasan adanya sesuatu yang dipersembahkan untuknya, walau kukira
dia tidak terlalu menyukainya. Hal itu hanya menunjukkan bahwa kau tidak bisa
mendapatkan segalanya pada seorang perempuan. Satu alasan lagi untuk
berpoligami. Yang penting adalah Fay cerdas dan baik hati. Hari ini aku tahu mengapa dia
kehabisan uang begitu cepat bulan ini. Seminggu sebelum ia berkenalan denganku,
ia berteman dengan seorang gadis yang dikenalnya di Stardust Ballroom. Ketika
gadis itu mengatakan bahwa dia tidak punya keluarga di kota ini, dan tidak punya
uang sama sekali, juga tidak punya tempat untuk tidur, Fay mengundangnya untuk
tinggal bersamanya. Dua hari kemudian, gadis itu menemukan uang dua ratus tiga
puluh dua dolar yang disimpan Fay di lacinya, lalu menghilang
dengan membawa uang itu. Fay belum melaporkannya ke polisi dan ternyata, dia
juga tidak tahu siapa nama keluarga gadis tersebut.
"Apa gunanya melaporkan hal itu kepada polisi?" dia ingin tahu. "Maksudku,
perempuan jalang yang malang itu pastilah sangat membutuhkan uang tersebut. Aku
tidak akan menghancurkan hidupnya hanya karena uang beberapa ratus dolar. Aku
tidak kaya atau semacamnya, tetapi aku tidak akan menuntutnya kau tahu maksudku,
kan?" Aku mengerti maksudnya. Aku belum pernah bertemu dengan seorang yang terbuka dan begitu mempercayai
orang lain seperti Fay. Dialah yang paling kubutuhkan sekarang. Aku sudah rindu
berhubungan dengan seseorang yang sederhana.
8 Juli Tidak banyak waktu untuk bekerja antara bersenang-senang di klub malam
dan perasaan tidak nyaman keesokan paginya karena sisa mabuk. Hanya dengan
aspirin dan minuman yang dibuat Fay untukku yang membuatku dapat menyelesaikan
analisis linguistik bentuk kata kerja bahasa Urdu dan mengirimkan tulisan itu ke
buletin Internationa/ Linguistic. Mereka akan mengirimkan kembali ulasan
linguistik tersebut ke India dengan rekaman suara karena tulisanku itu
meruntuhkan superstruktur kritis dari metodologi mereka.
Aku benar-benar mengagumi para ahli linguistik struktural yang telah membuat
sebuah disiplin linguistik bagi mereka berdasarkan keburukan komunikasi
tertulis. Kasus lainnya dari orang-orang yang mengabdikan hidup mereka untuk
mempelajari lebih banyak lagi hal yang semakin kurang dibicarakan memenuhi isi
dan perpustakaan dengan analisis linguistik yang tajam tentang suara dengkuran.
Tidak ada yang salah soal itu, tapi seharusnya tidak digunakan untuk merusak
kestabilan bahasa. Hari ini Alice meneleponku untuk menanyakan kapan aku akan kembali bekerja di
lab. Kukatakan aku ingin menyelesaikan proyek-proyek yang sudah kumulai, yang
kuharap mendapat izin dari Yayasan Welberg untuk studi khususku. Dia benar,
walau begitu aku harus meluangkan wak-tu untuk mempertimbangkan pergi ke lab.
Fay masih saja ingin pergi berdansa. Kemarin malam kami mulai dengan minum,
kemudian berdansa di White Horse Club, lalu dari situ ke Benny's Hideaway.
Setelah itu, ke Pink Slipper... dan aku tidak ingat karena begitu banyak tempat
yang kami kunjungi, tetapi kami berdansa hingga aku hampir ambruk. Toleransi
tubuhku terhadap minuman keras pastilah sudah meningkat. Sebab, jika aku benarbenar sudah benar-benar mabuk, barulah Charlie muncul. Aku hanya dapat
mengingatnya berdansa tap dengan konyol di atas panggung di Allakazam Club.
Charlie mendapat tepukan tangan yang meriah sebelum si manajer mengusir kami.
Fay mengatakan bahwa semua orang berpendapat, aku pelawak yang hebat dan semua
orang menyukai gaya dunguku.
Apa yang terjadi kemudian" Aku tahu punggungku menjadi kaku. Kupikir itu karena
gerakan dansaku, tetapi Fay mengatakan itu karena aku terjatuh dari sofa sialan
itu. Perilaku Algernon menjadi tidak beraturan lagi. Minnie tampak menjadi takut
kepadanya. 9 Juli Ada hal mengerikan yang terjadi hari ini.
Algernon menggigit Fay. Aku sudah memperingatkannya agar tidak bermain dengan
Algernon, tetapi Fay selalu suka memberinya makan. Biasanya ketika dia datang ke
kamarnya, Algernon akan menegakkan tubuhnya dan berlari ke arah Fay. Namun, hari
ini berbeda. Algernon berada jauh dari Fay, menggulung tubuhnya hingga seperti
bantal putih. Ketika Fay mengulurkan tangannya menerobos bagian atas pintu
jebakan, Algernon meringis dan memaksakan dirinya lebih ke sudut lagi. Fay
mencoba membujuknya, dengan membuka penghalang ke labirin. Lalu sebelum aku
dapat mengatakan padanya untuk jangan mengganggunya, Fay membuat kesalahan
dengan mencoba mengangkatnya. Algernon menggigit ibu jarinya. Lalu ia mendelik
ke arah kami berdua, setelah itu bergegas kembali ke labirin.
Kami menemukan Minnie di sudut lainnya, di kotak hadiah. Darahnya mengalir dari
luka yang menganga di dadanya, tetapi dia masih hidup. Ketika aku meraihnya
untuk mengeluarkannya, Algernon masuk ke kotak hadiah dan menggigitku. Giginya
mengenai lengan kemejaku sehingga ia bergantung di sana, lalu aku menggoyangnya
hingga terlepas. Ia menjadi tenang kemudian. Aku menelitinya selama hampir satu jam setelah itu. Ia tampak tidak bergairah dan bingung. Walau ia masih belajar
memecahkan masalah tanpa hadiah dari luar labirin, hasil usahanya mengagumkan.
Ia tidak lagi berhati-hati, tetapi dengan yakin bergerak dalam lorong-lorong
labirin. Gerakannya terburu-buru dan tidak terkendali. Ia kembali ke sudut
terlalu cepat sehingga menabrak pembatas. Ada dorongan aneh dalam perilakunya.
Aku ragu-ragu untuk membuat penilaian yang terburu-buru. Penyebabnya bisa saja
banyak hal. Tetapi sekarang aku harus membawanya kembali ke lab. Apakah aku akan
mendapatkan dana khusus atau tidak dari Yayasan, aku akan menelepon Nemur besok
pagi. LAPORAN KEMAJUAN 15 12 Juli Nemur, Strauss, Burt, dan beberapa orang lainnya yang mengerjakan proyek
ini sedang menungguku di kantor psikolog. Mereka mencoba membuatku merasa nyaman
tetapi aku dapat melihat betapa inginnya Burt mengambil Algernon dari tanganku,
lalu aku memberikannya kepadanya. Tidak seorang pun yang berkata-kata, tetapi
aku tahu sebentar lagi Nemur tidak akan memaafkanku karena telah melangkahinya
menghubungi Yayasan secara langsung. Tetapi itu memang diperlukan. Sebelum aku
kembali ke Beekman, aku harus yakin bahwa mereka akan mengizinkan aku memulai
sebuah penelitian independen untuk proyek ini. Terlalu banyak waktu yang
terbuang jika aku harus selalu melaporkan kepada Nemur segala yang kulakukan.
Ia telah diberi tahu soal keputusan Yayasan, tapi sambutannya terhadapku dingin
dan resmi. Nemur mengulurkan tangan tanpa senyuman di wajahnya. "Charlie,"
sapanya, "kami senang kau kembali dan akan bekerja bersama kami lagi. Jayson
meneleponku dan mengatakan bahwa Yayasan telah menempatkanmu bekerja di proyek
ini juga. Staf dan lab ini ada di bawahmu. Pusat komputer telah meyakinkan kami
bahwa pekerjaanmu akan mendapat keistimewaan dan tentu saja jika aku dapat
membantu di mana pun...."
Ia berusaha bersikap tulus, tetapi aku dapat melihat dari wajahnya, ia raguragu. Lagi pula, pengalaman
percobaan psikologi apa yang kumiliki" Apa yang kuketahui tentang teknik yang
telah dikembangkannya selama bertahun-tahun" Ya, kukatakan, ia tampaknya saja
tulus, dan mau menunda penilaiannya. Sekarang ini memang tidak ada lagi yang
dapat dilakukannya. Jika aku tidak datang membawa penjelasan tentang perilaku
Algernon, segala pekerjaannya bisa terbuang sia-sia. Tetapi, jika aku mengatasi
masalah itu, artinya aku harus membawahkan semua anak buahnya.
Aku masuk ke lab tempat Burt mengawasi Algernon dalam salah satu kotak dengan
masalah yang rumit. Ia mendesah dan menggelengkan kepalanya. "Ia melupakan
banyak hal. Sebagian besar respon rumitnya seperti telah terhapus. Ia memecahkan
masalah dengan cara yang jauh lebih primitif ketimbang yang kuharapkan."
"Dalam hal apa?"
"Ya, sebelum ini ia mampu mengerti pola sederhana bisa berlari langsung ke
pintu, misalnya, pada setiap pintu lainnya, setiap pintu ketiga, hanya melalui
pintu-pintu merah, atau hanya pintu-pintu hijau. Tetapi, sekarang ia terus saja
berlari tiga kali ke arah itu dengan menggunakan sistem coba-cobanya."
"Mungkinkah itu karena ia telah lama tidak ke lab ini"
"Mungkin saja. Kita akan membiarkannya terbiasa pada hal-hal itu lagi dan
melihat bagaimana reaksinya besok."
Aku sudah sering ke lab sebelum ini, tetapi sekarang aku ke sini untuk
mempelajari segala yang ditawarkan lab. Aku harus menyerap prosedur-prosedur
dalam beberapa hari saja, padahal yang lainnya telah mempelajarinya selama
bertahun-tahun. Burt dan aku menghabiskan empat jam untuk mempelajari
keseluruhan lab bagian demi
bagian, sambil aku membiasakan diri dengan seluruh isi lab ini. Ketika kami
selesai, aku melihat masih ada satu pintu yang belum kumasuki. "Ada apa di
sana?" "Itu ruang pendingin dan tempat pembakaran." Lalu Burt mendorong pintu berat itu
hingga terbuka, kemudian menyalakan lampunya. "Kami membekukan contoh-contoh lab
kami sebelum dibuang ke tempat pembakaran. Cara itu untuk menghindari aroma
tidak sedap jika kami mengendalikan pembusukannya." Ia lalu beranjak pergi,
tetapi aku masih berdiri di sana sejenak.
"Jangan Algernon," kataku. "Begini... jika dan... ketika... maksudku aku tidak mau
Algernon dibuang ke sana. Berikan padaku. Aku akan merawatnya sendiri." Burt
tidak tertawa. Ia hanya mengangguk. Nemur telah mengatakan kepadanya bahwa mulai
sekarang aku boleh mendapatkan semua yang kuinginkan.
Waktu adalah penghalang. Jika aku mau menemukan jawabannya sendiri, aku harus
langsung bekerja. Aku mendapatkan daftar buku dari Burt dan catatan dari Strauss
serta Nemur. Kemudian, sambil berjalan keluar, aku menangkap dugaan aneh.
"Katakan padaku," pintaku kepada Nemur. "Aku baru saja melihat ruang pembakaran
untuk membuang hewan-hewan percobaan. Kau punya rencana apa untukku?"
Pertanyaanku membuatnya terpaku. "Apa maksudmu?"
"Aku yakin sejak awal kau merencanakan segala keadaan darurat. Jadi, apa yang
akan terjadi padaku?" Ketika ia tidak menjawab, aku mendesak, "Aku berhak tahu
segala yang berhubungan dengan percobaan itu,
artinya termasuk mengetahui masa depanku."
"Tidak ada alasan mengapa kau tidak diberi tahu." Ia berhenti lalu menyalakan
rokok yang sebenarnya sudah menyala. "Kau mengerti, tentu saja, bahwa sejak awal
kami menaruh harapan tertinggi pada soal kekekalan, hingga kini... kami benarbenar masih mengharapkan hal itu...."
"Aku yakin itu."
"Tentu saja, melibatkanmu dalam percobaan ini merupakan tanggung jawab yang
berat bagi kami. Aku tidak tahu seberapa banyak yang kauingat atau seberapa
banyak kau telah berangsur-angsur menemukan hal-hal di awal proyek ini. Tetapi,
kami mencoba memperjelas padamu bahwa kemungkinan besar keberhasilan itu untuk
sementara saja." "Aku telah menuliskannya pada laporan kemajuanku ketika itu," aku setuju, "walau
saat itu aku tidak mengerti apa maksud kata-katamu tersebut. Tetapi bukan itu
yang pokok, karena aku sekarang sudah mengerti maksudmu."
"Ya, kami telah memutuskan untuk mengambil risiko terhadap dirimu ketika itu,"
ia melanjutkan, "karena kami merasa hanya ada kemungkinan kecil percobaan itu
akan melukaimu, dan kami yakin hal itu akan memberikan manfaat yang besar
bagimu." "Kau tidak perlu membenarkan tindakanmu itu."
"Tetapi kau sadar bahwa kami ketika itu sudah mendapat izin dari keluargamu.
Saat itu kau tidak mampu mengambil keputusan sendiri."
"Aku tahu soal itu. Kau bicara tentang adik perempuanku, Norma, bukan" Aku
membacanya di koran-koran. Yang kuingat, aku membayangkan dia telah
memberimu persetujuan untuk melakukan percobaan itu terhadapku."
Nemur menaikkan alisnya, tetapi membiarkan hal itu berlalu. "Ya, seperti yang
kami katakan kepadanya, jika percobaan itu gagal, kami tidak dapat mengirimmu
kembali ke pabrik roti atau kembali ke tempat asalmu."
"Mengapa tidak?"
"Untuk satu hal, kau mungkin sudah tidak seperti dulu lagi. Operasi dan suntikan
hormon-hormon mungkin telah menimbulkan efek yang tidak langsung terjadi.
Pengalaman-pengalaman sejak operasi mungkin telah meninggalkan bekas padamu.
Maksudku, kemungkinan adanya gangguan emosional yang menambah keterbelakangan;
kau tidak mungkin tetap menjadi seperti dirimu yang dulu...."
"Itu hebat. Seolah satu penderitaan saja tidak cukup bagiku."
"Dan satu hal lagi, kami tidak melihat kau akan kembali ke tingkatan mental yang
sama. Mungkin ada pengurangan ke tingkat fungsi yang lebih primitif."
Ia sedang menjelaskan hal terburuk yang mungkin terjadi pada diriku untuk
memperingan beban pikirannya. "Aku mungkin harus tahu sagalanya," kataku,
"selagi aku masih dalam posisi berhak mendapat penjelasan tentang hal itu. Apa
rencanamu terhadapku?"
Ia menggerakkan bahunya. "Yayasan telah mengatur untuk membawamu ke Sekolah
Pendidikan Negeri dan Panti Warren."
"Sialan!" "Itu merupakan bagian dari persetujuan dengan adik perempuanmu bahwa segala
biaya perawatan akan ditanggung oleh Yayasan. Sementara itu, kau akan
mendapat penghasilan bulanan yang dapat kaugunakan untuk keperluan pribadimu
sepanjang hidupmu." "Tetapi mengapa di sana" Aku selama ini selalu mampu mengurus diriku sendiri di
luar, bahkan ketika mereka memasukkan aku ke sana, setelah Paman Herman
meninggal. Donner dapat mengeluarkan aku segera dari sana untuk bekerja dan
hidup di luar panti. Mengapa aku harus kembali ke sana?"
"Jika kau dapat mengurus dirimu sendiri di luar, kau tidak perlu tinggal di
Warren. Kasus yang paling ringan diizinkan hidup di luar panti. Tetapi kami
harus memberimu bekal untuk berjaga-jaga."
Ia benar. Aku tidak punya alasan untuk mengeluh. Mereka telah memikirkan
segalanya. Warren merupakan tempat yang masuk akal seperti lemari pembeku,
tempat aku dapat dibuang seumur hidupku.
"Setidaknya Warren bukan tempat pembakaran," kataku.
"Apa?" "Lupakan. Hanya lelucon pribadi." Lalu aku teringat suatu gagasan. "Katakan
padaku, mungkinkah aku mengunjungi Warren, maksudku masuk ke sana sebagai
seorang tamu?" "Ya, kukira mereka selalu menerima kunjungan tamu... kunjungan teratur ke panti
sebagai hubungan dengan masyarakat luar. Tetapi untuk apa?"
"Aku ingin melihatnya saja. Aku harus tahu apa yang akan terjadi ketika aku
masih cukup mampu mengendalikan diri, agar dapat melakukan sesuatu sebelum aku
harus menjadi penghuni di sana. Tolong usahakan... secepat mungkin."
Aku dapat melihat kekesalannya terhadap gagasan
kunjunganku ke Warren. Seolah aku sedang memesan peti matiku untuk kucoba
sebelum aku menghuninya. Tetapi kemudian aku tidak dapat menyalahkannya. Sebab,
ia tidak menyadari bahwa itu membantu menemukan jati diriku arti keberadaanku
sepenuhnya meliputi pengetahuan tentang kemungkinan masa depanku, seperti juga
masa laluku, ke mana tujuanku, sekaligus dari mana asalku. Walau kami tahu
labirin itu berujungkan kematian (hal yang tidak selalu kuketahui belum lama
berselang, Charlie, si remaja dalam diriku, mengira kematian hanya dapat terjadi
pada orang lain), kini aku tahu bahwa jalan yang kupilih pada papan labirin itu
telah membuatku menjadi seperti sekarang ini. Aku tidak lagi sekadar sesuatu,
tetapi juga sebuah cara untuk menjadi sesuatu salah satu dari banyak cara. Malam
itu dan hari-hari selanjutnya aku tenggelam dalam naskah-naskah psikologi:
klinis, kepribadian, psikometris, pembelajaran, psikologi eksperimen, psikologi
hewan, psikologi fisiologis, perilaku, kesatuan, analitis, fungsional, dinamis,
orga-nismis, dan segala faksi, aliran, serta sistem pemikiran kuno dan modern.
Yang mematahkan semangat adalah gagasan yang mendasari keyakinan para psikolog
tentang kecerdasan, kenangan, dan pembelajaran manusia, yakni segala impian
khayali. Fay ingin datang dan menjengukku di lab, tetapi sudah kukatakan agar dia tidak
melakukannya. Satu-satunya yang paling kuhindari sekarang adalah pertemuan
antara Alice dan Fay. Sudah cukup banyak hal yang harus kupikirkan, jangan lagi
ditambahi. LAPORAN KEMAJUAN 16 14-Juli Ini bukan hari yang tepat untuk berkunjung
ke Warren mendung dan hujan rintik-rintik serta mungkin saja itu menambah


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perasaan tertekanku ketika aku memikirkannya. Atau mungkin juga karena aku
sedang mengolok-olok diriku sendiri dan gagasan kemungkinan akan dikirim ke sana
lagilah yang menggangguku. Aku meminjam mobil Burt. Alice ingin ikut bersamaku,
tetapi aku harus melihat Panti Warren sendiri saja. Aku tidak mengatakan kepada
Fay aku pergi ke sana. Perjalanan ke daerah pertanian komunitas Warren di Long Island memakan waktu
satu setengah jam. Aku tidak memiliki kesulitan menemukan tempat tersebut:
daerah muram yang lintang-pukang terbuka ke arah dunia luar hanya melalui dua
gerbang berpilar beton yang mengapit jalan sempit, dan pelat kuningan yang
digosok dengan baik bertulisan "Sekolah Pendidikan dan Panti Negeri Warren".
Tanda di sisi jalan menunjukkan 15 MPH, maka aku mengendarai mobil lambat-lambat
melewati blok-blok gedung mencari kantor administrasi.
Sebuah traktor melintasi padang rumput menuju ke arahku. Selain pengemudi, ada
dua orang lainnya yang bergantungan di bagian belakang. Aku mengeluarkan
kepalaku dari jendela mobil dan berseru, "Bisa tolong beri tahu di mana kantor
Pak Winslow?" Pengemudi itu menghentikan traktornya, lalu menunjuk ke kiri dan ke depan.
"Rumah sakit utama. Belok ke kiri lalu ke kanan."
Aku tidak dapat menghindari tatapan seorang lelaki muda di belakang traktor,
yang bergantungan di sebuah pegangan. Ia tidak bercukur, dan samar-samar
terlihat senyuman hampa. Ia mengenakan topi pelaut dengan tepian ditarik ke
bawah dengan kekanakan untuk
menutupi matanya, padahal tidak ada sinar matahari yang menyilaukan. Aku
menangkap tatapannya sejenak matanya lebar, penuh tanya tetapi aku harus
mengalihkan tatapanku. Ketika traktor itu mulai berjalan lagi, aku dapat melihat
dari kaca spionku lelaki muda itu terus menatapku, dengan rasa ingin tahu.
Tatapannya membuatku kesal... karena ia mengingatkanku pada Charlie.
Aku terkejut ketika tahu bahwa kepala psikolognya adalah seorang lelaki yang
masih begitu muda, jangkung, dan ramping dengan kesan letih di wajahnya. Tetapi,
mata birunya yang tegas menunjukkan sebuah kekuatan di balik ekspresi
kemudaannya. Ia mengantarku berkeliling area tersebut dengan mobilnya sendiri, dan
menunjukkan bangsal rekreasi, rumah sakit, sekolah, kantor administrasi, dan
gedung bata dua tingkat yang disebutnya pondok tempat para pasien tinggal.
"Aku tidak melihat adanya pagar di sekitar Warren," kataku.
"Memang tidak ada, hanya sebuah pintu gerbang di jalan masuk dan pagar tanaman
untuk menghalangi orang-orang iseng yang ingin tahu."
"Tetapi bagaimana kau menjaga... mereka... supaya tidak... berkeliaran... dan
meninggalkan area?" Ia menggerakkan bahunya dan tersenyum. "Kami tidak bisa, sungguh. Beberapa di
antara mereka memang berkeliaran, tetapi beberapa di antaranya bisa pulang."
"Kalian tidak mencarinya?"
Ia menatapku seolah mencoba menerka apa yang ada di balik pertanyaanku. "Tidak.
Jika mereka mendapat masalah, kami akan segera tahu dari orang-orang di
kota... atau polisi membawa mereka kembali." "Dan jika tidak?"
"Jika kami tidak mendengar kabar tentang mereka, atau dari mereka, kami
menganggap mereka telah mampu menyesuaikan diri dengan baik di luar. Kau harus
mengerti, Pak Gordon, ini bukan sebuah penjara. Kami diminta oleh negara agar
berusaha semampu kami membawa kembali pasien-pasien kami, tetapi kami tidak
diperlengkapi untuk secara ketat selalu mampu mengawasi empat ribu orang. Mereka
yang kabur merupakan jenis dungu akut kami tidak banyak lagi memiliki jenis
seperti itu. Sekarang kami lebih banyak merawat pasien dengan kerusakan otak
yang memerlukan perawatan di dalam ruangan yang terus-menerus tetapi si dungu
akut dapat bergerak dengan lebih bebas. Setelah seminggu atau lebih berada di
luar, kebanyakan mereka kembali begitu tahu tidak ada apa-apa untuk mereka di
luar panti. Dunia tidak menghendaki mereka dan mereka akan segera tahu itu."
Kami keluar dari mobil dan berjalan menuju salah satu dari pondok tersebut.
Tembok di bagian dalam dilapisi keramik putih, sedangkan gedung itu sendiri
beraroma desin-fektan. Lobi lantai pertama terbuka ke ruang rekreasi yang
dipenuhi kira-kira tujuh puluh lima anak lelaki yang sedang duduk bersama sambil
menunggu lonceng tanda makan siang berbunyi. Yang langsung menarik perhatianku
adalah salah satu dari anak-anak lelaki yang lebih besar, yang duduk di sebuah
kursi di sudut sambil mengayun-ayun seorang anak lelaki lainnya mungkin berusia
empat belas atau lima belas tahun dan menimang-nimangnya dalam pelukan. Mereka
menoleh ketika kami masuk, lalu beberapa dari mereka yang berani
mendekat dan menatapku. "Jangan hiraukan mereka," kata kepala panti itu ketika melihat ekspresi wajahku.
"Mereka tidak akan melukaimu."
Seorang perempuan yang bertanggung jawab di lantai itu, perempuan bertulang
besar, cantik, dengan lengan kemeja digulung dan apron dari bahan katun yang
menutupi rok putihnya yang dikanji, mendatangi kami. Pada ikat pinggangnya
tergantung sekumpulan kunci yang bergoyang-goyang ketika dia bergerak. Ketika
dia berpaling aku baru melihat bahwa separuh wajahnya tertutup oleh tanda lahir
yang besar berwarna merah anggur.
"Aku tidak menduga akan ada tamu hari ini, Ray," katanya. "Biasanya kau membawa
tamu-tamumu pada Kamis."
"Ini Pak Gordon, Thelma, dari Universitas Beekman. Ia hanya ingin melihat-lihat
dan ingin tahu apa saja yang kita lakukan di sini. Aku tahu tamu tidak akan
mengganggumu." "Ya," dia tergelak, "tetapi hari Rabu waktunya kami membalik-balik kasur. Pondok
kami akan beraroma lebih baik pada hari Kamis."
Aku sadar, perempuan itu selalu berusaha tetap berada di sebelah kiriku sehingga
noda di wajahnya tetap ersembunyi. Dia membawaku melintasi asrama, ruang binatu,
gudang, dan ruang makan sekarang sudah diatur dan menunggu makanan diantar dari
toko makanan pusat. Thelma tersenyum ketika berbicara, dan ekspresi serta
tatanan rambutnya yang tinggi di atas kepalanya membuatnya seperti seorang
penari Lautrec. Tetapi dia tidak pernah menatapku langsung. Aku bertanya-tanya
seperti apa hidupku di bawah pengawasan seorang perempuan seperti ini.
"Mereka cukup baik di gedung ini," katanya. "Tetapi kau pasti dapat
membayangkan. Tiga ratus anak lelaki tujuh puluh lima di setiap lantai dengan
hanya lima orang dari kami yang mengawasi mereka. Tidak mudah membuat mereka
patuh. Tetapi di sini jauh lebih baik dibandingkan dengan di pondok berantakan.
Pegawai di sana tidak ada yang tahan lama. Mengurus bayi-bayi, kau tidak akan
keberatan. Namun, ketika mereka sudah besar dan belum bisa mengurus diri
sendiri, itu bisa menjijikkan sekali."
"Kau sangat baik tampaknya," kataku. "Anak-anak lelaki itu beruntung memilikimu
sebagai pengawas rumah."
Dia tertawa ramah, memperlihatkan gigi putihnya, walau masih terus menatap lurus
ke depan. "Tidak lebih baik ataupun lebih buruk dibanding yang lainnya. Aku
sangat mencintai anak-anak lelaki itu. Ini memang bukan pekerjaan mudah, tetapi
setimpal, ketika kau ingat betapa mereka memerlukanmu." Senyuman itu menghilang
se-saat. "Anak-anak yang normal bertumbuh terlalu cepat, lalu berhenti
membutuhkanmu... hidup sendiri... melupakan siapa yang mencintai dan merawat mereka.
Tetapi anak-anak ini memerlukan segala yang dapat kauberikan... sepanjang hidup
mereka." Dia tertawa lagi, malu pada keseriusannya. "Bekerja di sini memang
berat, tetapi sepadan."
Kami turun kembali, ke tempat Winslow menunggu kami. Ketika lonceng tanda makan
siang berbunyi, anak-anak lelaki itu memenuhi ruang makan. Aku melihat anak
lelaki besar, yang memeluk anak lelaki yang lebih kecil di atas pangkuannya,
sekarang menggandengnya menuju meja.
"Luar biasa," kataku sambil menunjuk ke arah mereka dengan anggukanku.
Winslow juga mengangguk. "Jerry yang besar, dan yang kecil Dusty. Kami sering
melihat yang seperti itu di sini. Ketika tidak ada seorang pun yang mempunyai
waktu bagi mereka, kadang-kadang mereka cukup tahu untuk menjalin hubungan serta
kasih sayang dengan sesamanya."
Ketika kami melewati pondok lainnya dalam perjalanan menuju sekolah, aku
mendengar jeritan yang disusul dengan lolongan, lalu disambut dan diikuti oleh
dua atau tiga suara lainnya. Ada jeruji pada jendela-jendala pondok tersebut.
Baru kali ini sejak tadi pagi, Winslow tampak gelisah. "Pondok dengan pengamanan
khusus," ia menjelaskan. "Mereka itu terbelakang dengan gangguan emosional. Jika
ada kesempatan, mereka bisa melukai diri mereka sendiri atau yang lainnya. Kami
menempatkan mereka di Pondok K. Terkunci selamanya."
"Pasien-pasien dengan gangguan emosional dirawat di sini" Bukankah mereka
seharusnya dirawat di rumah sakit psikiatris?"
"Oh, ya tentu," sahutnya, "tetapi sulit mengontrolnya. Beberapa orang, dengan
gangguan emosional yang tidak menentu, tidak kambuh setelah beberapa waktu
mereka berada di sini. Yang lainnya dikirim oleh pengadilan, dan kami tidak
punya pilihan selain menerima mereka walau kami sebenarnya tidak punya ruangan
untuk mereka. Masalah yang sesungguhnya adalah tidak adanya ruangan bagi siapa
pun, di mana pun. Kau tahu berapa panjang daftar tunggu kami" Seribu empat
ratus. Dan kami mungkin memiliki kamar untuk dua puluh lima
hingga tiga puluh saja bagi mereka pada akhir tahun nanti."
"Sekarang, di mana keseribu empat ratus anak itu?"
"Di rumah mereka. Di luar, sedang menunggu lowongan di sini atau keadaan yang
lainnya. Kau tahu, masalah kamar kami tidak seperti masalah rumah sakit biasa
yang terlalu penuh. Pasien-pasien kami biasanya datang ke sini untuk tinggal
seumur hidup mereka."
Ketika kami tiba di gedung sekolah baru, yang berupa gedung berlantai satu dan
berstruktur kaca serta beton, dengan jendela-jendela bergambar yang besar, aku
mencoba membayangkan seperti apa rasanya berjalan di lorong ini sebagai seorang
pasien. Aku membayangkan diriku di tengah-tengah antrean lelaki dan anak-anak
lelaki yang sedang menunggu memasuki kelas. Mungkin aku akan menjadi orang yang
mendorong anak lelaki lainnya yang duduk di atas kursi roda, atau yang
menggandeng anak lain, atau yang menimang-nimang temannya yang lebih kecil.
Di dalam salah satu kelas perajin kayu, tempat sekelompok anak lelaki yang lebih
tua sedang membuat bangku di bawah pengawasan seorang guru, mereka berkumpul
mengelilingi kami, sambil menatapku dengan rasa ingin tahu, ketika kami tiba.
Guru mereka meletakkan gergajinya dan berjalan ke arah kami.
"Ini Pak Gordon dari Universitas Beekman," kata Winslow. "Ingin melihat beberapa
pasien kita. Ia ingin membeli tempat ini."
Guru itu tertawa dan melambai ke arah murid-muridnya. "Wah, jika ia beli gedung
ini, ia harus mengambil kami juga. Dan ia harus memberi kami kayu lebih banyak
lagi untuk kami kerjakan."
Ketika ia membawaku mengelilingi bengkelnya, aku sadar, betapa tenangnya anakanak ini. Mereka terus bekerja, mengampelas, memernis bangku-bangku yang baru
saja jadi, tetapi mereka tidak bicara.
"Mereka ini adalah anak-anak pendiam, kau tahu," katanya, seolah merasakan
pertanyaanku yang tak terucap, "tuli bisu."
"Kami mempunyai seratus enam orang di sini," Winslow menjelaskan, "sebagai
penelitian khusus yang disponsori oleh pemerintah federal."
Mengerikan sekali! Apa lagi kekurangan mereka dibandingkan dengan orang lain.
Keterbelakangan mental, bisu tuli tapi masih sanggup dengan rajin membuat
bangku-bangku. Salah satu dari anak-anak lelaki itu yang sedang mengencangkan sebuah balok kayu
dalam sebuah catok berhenti bekerja, dan menyentuh lengan Winslow, lalu menunjuk
ke sebuah sudut tempat sejumlah benda yang sedang dijemur di atas rak-rak
pajang. Anak lelaki itu juga menunjuk sebuah alas lampu yang terletak di rak
kedua, lalu menunjuk dirinya sendiri. Benda itu jelek sekali, tidak tegak,
tambalan dempulnya terlihat, sedangkan pernisnya terlalu tebal dan tidak rata.
Winslow dan gurunya memujinya dengan antu-sias, sehingga anak itu tersenyum
bangga. Ia lalu menatapku, menunggu pujianku juga.
"Ya," aku mengangguk, sambil menggerakkan mulutku dengan sangat jelas ketika
mengucapkan "bagus sekali... sangat indah". Aku mengatakan itu karena ia
membutuhkannya, tetapi aku merasa hampa. Anak lelaki itu tersenyum padaku, lalu
ketika kami beranjak pergi, ia mendekat lagi dan menyentuh lenganku sebagai
tanda salam perpisahan. Aku seperti tercekik, setelah itu
dengan susah payah aku berusaha mengendalikan perasaanku hingga kami berada di
lorong lagi. Kepala sekolah itu pendek, gemuk, seorang perempuan keibuan yang memberiku
tempat duduk di depan kartu-kartu bertulis rapi, yang memperlihatkan berbagai
jenis pasien, jumlah tugas fakultatif bagi setiap kategori, dan pelajaran yang
mereka pelajari. "Tentu saja," dia menjelaskan, "kami tidak menerima anak-anak dengan IQ yang
lebih tinggi lagi. Mereka sudah ada yang merawat yang mempunyai IQ enam puluh
dan tujuh puluh lebih banyak lagi di sekolah-sekolah kota dalam kelas-kelas
khusus, atau ada fasilitas komunitas untuk merawat mereka. Pada umumnya yang ada
pada kami sudah mampu hidup di luar, di panti-panti asuhan, asrama, dan
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sederhana di pertanian, atau melakukan pekerjaan
kasar di pabrik-pabrik atau binatu...."
"Pabrik roti," aku mengusulkan.
Dia mengerutkan keningnya. "Ya, kukira mereka mungkin saja mampu bekerja di
sana. Sekarang, kami juga membagi anak-anak kami (aku menyebut mereka semua
anak-anak, tidak peduli berapa usia mereka, mereka semua anak-anak di sini),
kami membagi mereka atas rapi dan tidak rapi. Hal itu sangat mempermudah
pengurusan pondok-pondok mereka jika mereka dapat dirawat sesuai dengan tingkat
keterbelakangan mereka. Beberapa anak yang tidak rapi, yakni pasien dengan kasus
kerusakan otak yang parah, diletakkan di tempat tidur bayi. Dan mereka akan
dirawat seperti itu sepanjang hidup mereka...."
"Atau hingga ilmu pengetahuan menemukan cara
untuk membantu mereka."
"Oh," dia tersenyum, lalu menjelaskan padaku dengan berhati-hati. "Aku khawatir
itu tidak mungkin tertolong."
"Tidak ada yang tidak mungkin tertolong."
Dia menatapku dengan tidak pasti sekarang. "Ya, ya, tentu saja, kau benar. Kita
harus punya harapan."
Aku membuatnya gugup. Lalu aku tersenyum pada diriku sendiri ketika aku ingat
bagaimana jadinya jika mereka kemudian membawaku ke sini lagi sebagai salah
seorang dari anak-anaknya. Apakah aku akan tergolong yang rapi atau yang tidak"
Kembali ke kantor Winslow, kami minum kopi sambil bercakap-cakap tentang
pekerjaannya. "Tempat ini menyenangkan," katanya. "Kami tidak mempunyai ahli
jiwa dalam staf kami hanya seorang konsultan di luar yang datang sekali
seminggu. Tetapi sama saja. Semua orang di staf psike mengabdi pada
pekerjaannya. Aku bisa saja menyewa seorang ahli jiwa, tetapi dengan biaya yang
harus kubayar. Aku dapat menyewa dua orang psikolog yang tidak takut memberikan
sebagian diri mereka kepada orang-orang ini."
"Apa yang kaumaksud dengan 'sebagian diri mereka'?"
Ia menatapku tajam sesaat, lalu dari keletihannya tersirat kemarahan. "Banyak
orang yang mau saja memberikan uang atau barang mereka, tetapi hanya sedikit
yang mau memberikan waktu dan kasih sayang mereka. Itulah yang aku maksud."
Suaranya menjadi serak. Lalu ia menunjuk sebuah botol susu bayi yang kosong di
atas rak buku di seberang ruangan.
"Kau lihat botol susu itu?"
Aku mengatakan kepadanya bahwa aku telah bertanya-tanya tentang botol susu itu
sejak kami masuk ke kantornya.
"Ya, berapa banyak orang yang kau kenal yang bersedia mendekap seorang lelaki
dewasa dalam pelukannya dan memberinya susu dari botol" Dan mau membiarkan
seorang pasien buang air kecil atau besar di tubuhnya" Kau tampak terkejut. Kau
tidak bisa mengerti, bukan, dari atas menara gadingmu" Apa yang kauketahui soal
dikucilkan oleh setiap orang, seperti yang dialami oleh pasien-pasien kami"
Aku tidak dapat menahan senyuman, tapi ia salah mengerti. Ia langsung berdiri
dan mengakhiri percakapan kami tiba-tiba. Jika kelak aku datang ke sini lagi
untuk tinggal, dan ia tahu seluruh kisahku, aku yakin ia akan mengerti. Ia
termasuk orang yang mau mengerti akan hal itu. "
Ketika aku keluar dari Warren, aku tidak tahu apa yang kupikirkan. Perasaan
mendung dingin terasa di mana-mana di sekitarku sebuah perasaan pasrah. Kami
tidak membicarakan soal rehabilitasi atau penyembuhan atau mengirimkan orangorang tersebut ke dunia luar lagi suatu hari kelak. Tidak seorang pun yang
berbicara tentang harapan. Perasaan hidup dalam kematian atau lebih buruk lagi,
hidup tanpa merasa betul-betul hidup dan mengerti. Jiwa akan layu sejak awal dan
menanti ajal dengan menatap waktu dan ruang setiap hari.
Aku bertanya-tanya tentang ibu pengawas dengan noda merah besar di wajahnya,
lalu guru gagap di bengkel, juga kepala sekolah yang keibuan, serta psikolog
muda dengan wajah letih. Kuharap aku tahu bagaimana mereka bisa bekerja dan
mengabdikan diri pada otak-otak
yang sunyi itu. Seperti anak lelaki yang menimang bocah lelaki lainnya yang
lebih muda, setiap kali ia akan menemukan kepuasan dalam memberi sebagian dari
dirinya kepada siapa saja yang lebih berkekurangan.
Dan bagaimana dengan hal-hal yang tidak diperlihatkan padaku"
Aku mungkin akan segera datang ke Warren lagi, untuk menghabiskan sisa hidupku
dengan yang lain... menunggu.


Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

15 Juli Aku telah menghilangkan keinginanku untuk mengunjungi ibuku. Aku ingin
bertemu dengannya, tetapi aku tidak pergi ke sana. Tidak, hingga aku yakin apa
yang akan terjadi pada diriku. Pertama-tama aku akan melihat bagaimana
pekerjaanku itu berlangsung dan apa yang akan kutemukan.
Algernon tidak mau lagi berlari di labirin; motivasi umum sudah berkurang
pengaruhnya. Aku singgah lagi untuk menjenguknya, dan kali ini Strauss sedang
ada di sana juga. Baik Strauss maupun Nemur tampak gusar ketika melihat Burt
memaksa Algernon. Aneh juga melihat gumpalan kecil berbulu lembut putih
tergeletak di atas meja sementara Burt memaksakan makanan masuk ke
tenggorokannya dengan menggunakan alat tetes mata.
Jika ia terus-menerus begitu, mereka akan mulai memberinya makanan melalui
suntikan. Melihat betapa Algernon menggeliat-geliat di bawah ikatan kecil sore
itu, aku merasa ikatan itu mengikat lengan dan tungkaiku sendiri. Aku mulai
ingin muntah dan tercekik. Aku harus keluar dari lab untuk mencari udara segar.
Aku harus berhenti menyamakan diriku dengan Algernon.
Aku pergi ke Bar Murray untuk minum beberapa gelas. Lalu aku menelepon Fay dan
kami berkeliling dari bar yang satu ke bar yang lainnya. Fay kesal karena aku
tidak mengajaknya pergi berdansa lagi. Dia juga marah dan meninggalkan aku tadi
malam. Dia tidak mengerti pekerjaanku dan tidak tertarik untuk mengerti. Ketika
aku mencoba menjelaskan kepadanya, dia tidak berusaha menutupi kebosanannya. Dia
betul-betul tidak peduli, aku pun tidak bisa menyalahkannya. Tampaknya Fay hanya
tertarik pada tiga hal: dansa, melukis, dan seks. Dan satu-satunya yang benarbenar dapat kami nikmati bersama hanyalah seks. Aku bodoh ketika aku mencoba
membuatnya tertarik pada pekerjaanku. Maka dia pergi berdansa tanpa aku. Dia
mengatakan padaku bahwa pada suatu malam, dia bermimpi datang ke apartemenku dan
menyalakan api membakari semua buku dan catatanku, lalu kami berdansa di sekitar
api yang menyala. Aku harus berhati-hati. Dia menjadi posesif. Aku baru saja
menyadarinya malam ini bahwa rumahku sudah mulai menyerupai tempat tinggalnya
berantakan. Aku harus mengurangi minumku.
16 Juli Alice berkenalan dengan Fay tadi malam. Aku tadinya khawatir apa yang
akan terjadi jika mereka bertemu langsung. Alice datang mengunjungiku setelah
dia tahu tentang keadaan Algernon dari Burt. Dia tahu apa itu artinya bagiku,
lagi pula dia masih merasa bertanggung jawab karena telah mendorongku agar mau
melakukan percobaan itu. Kami minum kopi sambil berbincang hingga larut malam. Aku tahu Fay pergi
berdansa di Stardust Ballroom, jadi aku tidak menduga dia akan pulang begitu
awal. Tetapi kira-kira pukul satu empat puluh lima pagi hari,
kami dikejutkan oleh kemunculan Fay yang tiba-tiba di tangga darurat. Dia
mengetuk, mendorong jendelaku yang setengah terbuka, dan masuk dengan berdansa
ke ruangan sambil membawa sebuah botol.
"Aku merusak pestamu," katanya. " Membawa minuman penyegarku sendiri."
Aku telah bercerita tentang Alice yang bekerja pada proyek itu di universitas.
Aku juga sudah menceritakan soal Fay kepada Alice lebih dulu sehingga mereka
tidak terkejut ketika bertemu. Tetapi, setelah beberapa detik berbasa-basi,
mereka mulai berbicara tentang seni dan aku. Mereka tidak terlalu peduli padaku
yang dianggap sedang berada di belahan dunia yang lain. Mereka saling menyukai.
"Aku akan mengambil kopi," kataku, sambil berjalan menuju dapur meninggalkan
mereka berdua. Ketika aku kembali, Fay telah melepas sepatunya dan duduk di lantai, sambil
meneguk gin langsung dari botolnya. Dia sedang menjelaskan kepada Alice bahwa
sejauh yang dia tahu tidak ada yang lebih berguna bagi tubuh manusia selain
mandi sinar matahari, dan bahwa koloni nudis merupakan jawaban bagi masalah
moral di dunia. Alice tertawa histeris atas usul Fay supaya mereka bergabung saja dengan koloni
nudis itu. Alice kemudian membungkuk untuk menerima minuman yang ditawarkan Fay
kepadanya. Kami duduk berbincang hingga fajar, lalu aku berkeras mengantarkan Alice pulang.
Ketika dia memprotesku karena itu tidak perlu, Fay mendesak dan mengatakan bahwa
Alice bodoh jika keluar sendirian di kota pada jam-jam seperti itu. Jadi aku
turun dan memanggil taksi.
"Ada sesuatu pada diri Fay," kata Alice dalam perjalanan pulang. "Aku tidak tahu
apa itu. Keterusterangannya, keterbukaan, dan kepercayaannya, dia tidak mementingkan dirinya sendiri...." Aku setuju.
"Dan dia mencintaimu," kata Alice.
"Tidak. Dia mencintai semua orang," aku berkeras. "Aku hanyalah si tetangga yang
tinggal di seberang gang."
"Kau tidak jatuh cinta kepadanya?"
Aku menggelengkan kepalaku. "Kau satu-satunya perempuan yang pernah kucintai."
"Jangan bicara soal itu, ya."
"Kalau begitu kau memotongku dari sumber pembicaraan yang penting."
"Hanya satu yang paling kukhawatirkan, Charlie. Kebiasaan minummu. Aku sudah
pernah mendengar soal mabukmu."
"Katakan pada Burt untuk membatasi penelitian dan laporan-laporannya pada data
eksperimen saja. Aku tidak mau ia meracunimu sehingga kau memusuhiku. Aku dapat
mengatur minumku." "Aku pernah mendengar kalimat itu."
"Tetapi tidak pernah dariku." "Itulah satu-satunya hal yang membuatku kurang
menyukai Fay," katanya. "Dia telah membuatmu minum dan dia ikut campur dalam
pekerjaanmu." "Aku juga dapat mengatasi hal itu." "Pekerjaan itu sekarang menjadi penting,
Charlie. Tidak saja bagi dunia dan jutaan orang yang tidak kita kenal, tetapi
juga bagimu. Charlie, kau harus mengatasi hal ini untuk dirimu sendiri juga.
Jangan biarkan seorang pun menghalangimu."
"Nah, sekarang yang sebenarnya sudah keluar," kataku menggodanya. "Kau ingin aku
tidak terlalu sering bertemu dengannya."
"Aku tidak mengatakan begitu."
"Tetapi itu yang kaumaksudkan. Jika dia mencampuri pekerjaanku, kita berdua tahu
bahwa aku harus berhenti menemuinya lagi sepanjang hidupku."
"Tidak, aku pikir kau tidak perlu berhenti menemuinya. Dia baik untukmu. Kau
memerlukan seorang perempuan yang dekat denganmu, seperti Fay."
"Kau bisa baik untukku."
Dia memalingkan wajahnya. "Tidak seperti Fay." Lalu dia kembali menatapku.
"Malam ini aku datang ke apartemenmu untuk membencinya. Aku ingin bertemu
dengannya sebagai musuh, pelacur tolol yang kaupacari, dan aku punya rencana
besar untuk merusak hubungan kalian serta menyelamatkan dirimu darinya, bukan
dari dirimu sendiri. Tetapi, sekarang, setelah aku bertemu dengannya, aku sadar
aku tidak punya hak untuk menilai kebiasaannya. Kupikir dia baik untukmu. Itu
melegakan aku. Aku menyukainya walau aku tidak setuju padanya. Tetapi, di luar
itu semua, jika kau sering minum bersamanya dan menghabiskan waktumu bersamanya
untuk pergi ke klub malam dan kabaret, dia menghalangimu. Dan masalah itu hanya
kau yang bisa mengatasinya."
"Ada lagi selain itu?" kataku sambil tertawa.
"Kau mengerti hingga di situ" Kau betul-betul berhubungan dengannya begitu
dalam, kurasa." "Tidak terlalu dalam."
"Kau bercerita padanya tentang dirimu?"
"Tidak." Tanpa setahu Alice, aku dapat melihat betapa dirinya menjadi tenang. Dengan
menyimpan rahasiaku sendiri, artinya aku tidak benar-benar terikat pada Fay.
Kami berdua tahu itu, hebat seperti dirinya, Fay tidak akan pernah mengerti.
"Aku memerlukan dirinya," kataku, "dan dia juga memerlukanku. Karena kami
tinggal berseberangan, membuat hal itu menjadi lebih mudah, itu saja. Tetapi aku
tidak akan menyebutnya cinta... tidak seperti yang ada di antara kita berdua."
Alice menatap ke bawah, pada tangannya, sambil mengerutkan keningnya. "Aku tidak
yakin aku tahu apa yang ada di antara kita."
"Sesuatu yang begitu dalam dan jelas sehingga Charlie di dalam diriku ketakutan
setiap kali ada kemungkinan aku akan bercinta denganmu."
"Dan tidak dengan Fay?"
Aku menggerakkan bahuku. "Karena itulah aku tahu, bersama Fay tidaklah penting.
Begitu juga bagi Charlie, sehingga ia tidak harus menjadi panik."
"Bagus!" Alice tertawa. "Ironis sekali. Ketika kau membicarakan Charlie seperti
itu, aku membencinya karena ia telah menghalangi kita. Kau pikir ia akan
membiarkan kau... membiarkan kita...."
"Aku tidak tahu. Kuharap begitu."
Aku meninggalkannya di depan pintu. Kami bersalaman, tapi anehnya, itu terasa
lebih dekat dan intim dibandingkan dengan dekapan.
Aku pulang dan bercinta dengan Fay, walau terus memikirkan Alice.
Juli 2 Bekerja sepanjang hari. Walau Fay memprotesku, aku tetap membawa tempat
tidur lipat ke lab. Dia menjadi terlalu posesif dan membenci pekerjaanku.
Kupikir dia dapat bertenggang rasa dengan perempuan lain, tetapi tidak dengan
keasyikan ini. Pekerjaanku adalah sesuatu yang tidak dapat dimengertinya. Aku
takut hal itu akan menjadi seperti ini, tetapi aku tidak sabar dengannya
sekarang. Aku cemburu pada setiap waktuku yang tidak kugunakan untuk bekerja
menjadi tidak sabar terhadap siapa saja yang mencoba mencuri waktuku.
Walau sebagian besar waktu menulisku terpakai untuk menulis catatan-catatan yang
kusimpan dalam map terpisah, lama-kelamaan aku harus melibatkan juga perasaan
dan pikiranku di luar kebiasaan belaka.
Kalkulus kecerdasan merupakan penelitian yang menyenangkan. Dalam arti, inilah
masalah yang telah kuperhati-kan sepanjang hidupku. Di sinilah tempat penerapan
segala pengetahuan yang telah kudapatkan.
Waktu meminta dimensi yang lain sekarang kerja dan penyerapan dalam pencarian
sebuah jawaban. Dunia di sekelilingku dan masa laluku tampak begitu jauh dan
berubah, seolah waktu serta ruang menjadi sejenis gula-gula yang ditarik,
diputar, lalu dipelintir sehingga tidak berbentuk lagi. Satu-satunya hal yang
nyata adalah kandang-kandang dan tikus-tikus serta peralatan lab di sini di
lantai empat gedung utama.
Tidak ada malam atau siang. Aku harus meringkas penelitian seumur hidup menjadi
beberapa minggu saja. Aku tahu aku harus istirahat, tetapi aku tidak bisa hingga
aku tahu kebenaran tentang apa yang sedang terjadi.
Alice merupakan bantuan yang hebat bagiku. Dia membawakan aku roti lapis dan
kopi, tanpa menuntut apa pun. Tentang pandanganku: segalanya menjadi tajam dan jelas, setiap sensasi menjadi
lebih tinggi dan bercahaya sehingga warna-warna merah, kuning, dan biru
berkilauan. Tidur di sini mempunyai efek aneh. Aroma hewan-hewan laboratorium,
anjing-anjing, kera-kera, tikus, memilinku kembali memasuki kenangan-kenangan,
dan menjadi sulit bagiku mengetahui apakah aku sedang mengalami sebuah sensasi
baru atau mengenang masa lalu. Tidak mungkin mengatakan proporsi apa kenangan
itu serta apa yang ada di sini dan kini sehingga sebuah kumpulan aneh terbentuk
dari kenangan dan kenyataan; masa lalu dan masa kini; reaksi untuk rangsangan
dalam ruangan ini. Seolah segala hal yang telah kupelajari tercampur menjadi
sebuah kristal semesta yang berputar di depanku sehingga aku dapat melihat
segala fasetnya memantul dalam semburan sinar yang indah...
Seekor kera sedang duduk di tengah kandangnya, menatapku dengan mata
mengantuknya, sambil mengusap-usap pipinya dengan tangannya yang seperti tangan
orang tua yang gemetar... ciii... ciii... ciii... lalu mencelat menabrak kawat kandang,
naik ke ayunan di atasnya tempat kera yang lainnya duduk menatap ke udara dengan
dungu. Berkemih, buang tinja, buang angin, menatapku, dan tertawa... Ciii... ciii...
ciii.... Lalu kembali melonjak-lonjak, melompat, meloncat naik-turun, lalu berayun, dan
mencoba meraih ekor kera lainnya. Tetapi kera yang ada di jeruji terus
mengayunkan ekornya, tanpa peduli, sehingga tak teraih. Kera baik... kera cantik...
dengan mata besar dan ekor mengibas. Aku boleh memberinya kacang..." Tidak, orang
itu akan marah sekali. Tanda itu bertulisan tidak boleh memberi makan hewan-hewan. Itu seekor
simpanse. Aku boleh menimangnya" Tidak. Aku ingin menimang chip a zee. Tidak
apa-apa, ayo kita lihat gajah.
Di luar, kerumunan orang yang berpakaian musim semi disirami cerah matahari.
Algernon tergeletak di atas kotorannya sendiri, tidak bergerak, dan aromanya
belum pernah setajam ini. Lalu bagaimana denganku"
28 Juli Fay mempunyai seorang kekasih baru. Aku pulang ke rumah tadi malam untuk
menemuinya. Aku masuk ke kamarku dulu mengambil sebuah botol kemudian menuju ke
tangga darurat. Tetapi, untunglah aku melongok dulu sebelum masuk ke dalam.
Mereka sedang bersama di atas sofa. Anehnya, aku tidak peduli. Aku bahkan merasa
nyaris lega. Aku kembali ke lab untuk bekerja bersama Algernon. Walau sedang lesu, ia
mempunyai momen. Secara berkala, ia mau berlari satu putaran labirin, tetapi
ketika ia gagal dan menemui jalan buntu, ia bereaksi beringas. Ketika aku masuk
ke lab, aku melongok ke dalam. Ia waspada dan mendekatiku seolah ia tahu aku
yang datang. Ia bersemangat untuk bekerja, lalu ketika aku meletakkannya melalui
pintu jebakan di labirin dengan jala dari kawat, ia bergerak dengan baik di
sepanjang alur ke arah kotak hadiah. Dua kali ia berlari di labirin dengan
sukses. Ketiga kalinya, setelah berjalan separuh jalan, ia berhenti di
persimpangan, kemudian dengan sebuah gerakan melintir ia mengambil belokan yang
salah. Aku dapat melihat apa yang akan terjadi. Aku ingin mengulurkan tanganku
dan mengambilnya sebelum larinya
berakhir di gang gelap. Tetapi aku mengurungkan niatku dan terus menonton saja.
Ketika Algernon tahu ia sedang bergerak di jalan asing, ia memperlambat larinya.
Tapi perilakunya menjadi tidak teratur, berhenti, mudur dua kali, berputar,
kemudian maju lagi hingga akhirnya ia tiba di jalan buntu yang diberi tahu
dengan kejutan listrik ringan sehingga ia tahu dirinya telah melakukan sebuah
kesalahan. Pada titik ini, ia tidak memutar tubuhnya kembali untuk menemukan
sebuah jalan pilihan. Tapi ia mulai bergerak memutar, mencicit-cicit seperti
sebuah jarum piringan hitam yang menggores-gores di atas galur piringan hitam.
Ia melemparkan dirinya lagi ke dinding labirin, lagi dan lagi, lalu meloncat,
berputar ke belakang dan jatuh, kemudian melemparkan diri lagi. Dua kali
cakarnya tersangkut pada jaring kawat di atasnya sehingga membuatnya mencicit
liar, berusaha melepaskan diri, kemudian mencoba berlari lagi dengan sia-sia.
Lalu ia berhenti dan menggulingkan diri menjadi bola kecil yang keras.
Ketika aku memungutnya, ia tidak berusaha melepas gulungan tubuhnya, melainkan
tetap dalam keadaan seperti itu, sangat mirip dengan pingsan katatonik. Ketika
aku menggerakkan kepalanya atau kaki-kakinya, tetap saja seperti lilin. Aku
meletakkannya kembali di kandangnya dan mengawasinya hingga ia siuman dan mulai
bergerak normal kembali. Yang tidak kuketahui adalah penyebab kemundurannya apakah ini kasus khusus"
Sebuah reaksi karena terkurung" Atau ada prinsip umum dasar kegagalan untuk
keseluruhan prosedur" Aku harus bekerja di luar aturan.
Jika aku dapat menemukannya, dan jika hal itu menambah, walau hanya satu memo
informasi, apa pun tentang keterbelakangan mental yang telah ditemukan dan kemungkinan menolong
yang lainnya, seperti diriku sendiri, aku akan merasa puas. Apa pun yang terjadi
pada diriku, aku akan hidup dalam seribu kehidupan normal karena apa yang
mungkin kutambahkan kepada mereka yang belum dilahirkan. Itu cukup.
31 Jalin Aku gelisah sekali. Aku merasakannya. Mereka semua berpikir aku sedang
membunuh diriku sendiri dalam hal ini. Tetapi, mereka tidak mengerti bahwa aku
sedang hidup di sebuah puncak kejernihan dan keindahan yang selama ini tidak
pernah kuketahui ada. Setiap bagian dari diriku disesuaikan dengan pekerjaanku.
Aku menengelamkan diriku sepanjang hari, dan pada malam hari pada saat sebelum
aku jatuh tertidur gagasan-gagasan meledak di kepalaku seperti kembang api.
Tidak ada kegembiraan yang lebih besar dibandingkan dengan semburan solusi bagi
sebuah masalah. Yang luar biasa adalah bahwa segalanya dapat terjadi untuk mengambil kekuatan
yang meluap itu, semangat yang mengisi semua yang kukerjakan. Seolah segala
pengetahuan yang telah ku serap selama bulan-bulan terakhir telah menyatu dan
mengangkatku ke puncak cahaya dan pengertian. Inilah keindahan, cinta, dan
kebenaran, semuanya bergulung menjadi satu. Inilah kegembiraan. Dan sekarang,
setelah aku menemukannya, bagaimana aku bisa menyerahkannya" Hidup dan kerja
merupakan hal yang paling hebat yang dapat dimiliki seseorang. Aku jatuh cinta
pada apa yang sedang kukerjakan, karena jawaban masalah itu ada di sini, dalam
benakku, dan segera sangat segera akan menyembur
menjadi kesadaran. Biarkan aku mengatasi masalah ini. Aku berdoa kepada Tuhan
supaya menjadikan ini jawaban yang kumau, tetapi jika bukan, aku akan menerima
pertanyaan apa pun dan mencoba mensyukuri apa yang kumiliki.
Kekasih baru Fay adalah pelatih dansa dari Stardust Ballroom. Aku tidak bisa
benar-benar menyalahkan Fay karena waktuku sangat sedikit untuk bisa bersamanya.
11 Agustus Aku menghadapi jalan buntu selama dua hari terakhir ini. Tidak ada
apa-apa. Aku pastilah telah membelok ke jalan yang salah. Sebab, aku telah
mendapat jawaban untuk banyak pertanyaan, tetapi bukan untuk pertanyaan yang
paling penting: bagaimana kemunduran Algernon mempengaruhi hipotesis dasar
eksperimen ini"

Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untungnya, aku tahu cukup banyak proses pikiran sehingga aku tidak perlu terlalu
memikirkan kebuntuan ini. Aku tidak panik ataupun menyerah (atau yang lebih
buruk lagi, memaksakan jawaban yang tidak mau muncul), tetapi aku mengalihkan
pikiranku dari masalah itu sejenak dan membiarkannya mengendap. Aku telah
berjalan sejauh yang kumampu dalam sebuah tingkat kesadaran, dan sekarang
bergantung pada operasi misterius di bahwa tingkat kesadaran. Itu merupakan
salah satu hal yang tidak dapat dijelaskan, betapa segala yang telah kupelajari
dan kualami ditujukan pada masalah itu. Mendesak terlalu kuat hanya akan membuat
segalanya membeku. Berapa banyak masalah besar yang tidak terpecahkan karena
orang tidak punya pengetahuan yang cukup, atau tidak cukup yakin dalam proses
kreatif dan tidak cukup percaya diri, untuk melepaskan seluruh pikiran guna
mengatasinya" Maka, kemarin aku memutuskan untuk menyisihkan pekerjaanku sementara waktu dan
pergi ke pesta koktail Nyonya Nemur. Pesta itu diadakan untuk menghormati dua
anggota dewan Yayasan Welberg yang telah berperan dalam pendanaan proyek
suaminya. Aku berencana mengajak Fay, tetapi dia berkata dia punya kencan dan
dia lebih suka pergi berdansa.
Aku mengawali malam itu dengan niat kuat untuk menjadi seorang yang menyenangkan
dan memperoleh banyak teman. Tetapi, hari-hari ini aku mengalami kesulitan dalam
mendekati orang lain. Aku tidak tahu apakah masalahnya ada padaku atau pada
mereka, tetapi setiap usahaku untuk bercakap-cakap dengan mereka biasanya
berakhir dalam waktu satu atau dua menit saja, dan penghalang keakraban itu pun
meninggi. Apakah karena mereka takut padaku" Atau apakah sebenarnya mereka tidak
peduli, demikian juga aku tidak peduli pada mereka"
Aku mengambil segelas minuman dan berjalan mengelilingi ruangan besar itu. Ada
sekelompok orang yang duduk dan bercakap-cakap, sejenis kelompok yang tidak
mungkin kucampuri. Akhirnya, Nyonya Nemur membawaku ke sudut dan mengenalkan aku
dengan Hyram Harvey, salah satu anggota dewan. Nyonya Nemur adalah seorang
perempuan menarik di awal empat puluhan tahun usianya, berambut pirang, dengan
riasan wajah lengkap, dan berkuku panjang merah. Lengannya menyelinap di lengan
Harvey. "Bagaimana dengan penelitianmu?" Dia ingin tahu.
"Seperti yang diharapkan. Aku sedang mencoba memecahkan sebuah masalah pelik
sekarang." Dia menyalakan rokoknya dan tersenyum padaku. "Aku tahu bahwa semua orang di
proyek bersyukur kau memutuskan bergabung dan membantu. Tetapi aku membayangkan
kau akan jauh lebih baik jika mengerjakan proyekmu sendiri. Pastilah kau merasa
agak bosan hanya melanjutkan proyek seseorang dibanding menggarap sesuatu yang
telah kaususun dan kauciptakan sendiri."
Dia sangat cerdas, memang. Dia tidak ingin Hyram Harvey melupakan betapa
suaminya telah menyumbangkan sesuatu yang besar. Aku tidak dapat menolak untuk
melambungkannya lagi padanya. "Tidak ada seorang pun yang benar-benar memulai
sesuatu yang baru, Ibu Nemur. Semua orang membangun di atas kegagalan orang
lain. Dalam ilmu pengetahuan tidak ada yang benar-benar asli. Apa yang
disumbangkan oleh masing-masing orang pada ilmu pengetahuan itulah yang
dihitung." "Tentu saja," sahutnya, mengarah pada tamunya yang lebih tua, bukan padaku.
"Sayang sekali Pak Gordon tidak bergabung lebih awal untuk membantu mengatasi
masalah-masalah final yang kecil." Dia lalu tertawa. "Tetapi kemudian... oh, aku
lupa, kau tidak semestinya melakukan percobaan psikologis."
Harvey tertawa, dan kupikir aku lebih baik diam. Bertha Nemur tidak akan
membiarkan aku menang. Lagi pula, jika percakapan ini dilanjutkan, akan berakhir
dengan sangat tidak menyenangkan.
Aku melihat Dr Strauss dan Burt sedang berbicara dengan orang lain dari Yayasan
Welberg George Raynor. Strauss berkata, "Masalahnya, Pak Raynor, yakni
mendapatkan cukup dana untuk menyelesaikan proyek seperti ini tanpa menjadi
sangat bergantung pada uang.
Ketika kegunaan ditujukan untuk tujuan-tujuan khusus, kami tidak dapat benarbenar menjalankannya."
Raynor menggelengkan kepalanya dan melambaikan cerutu besarnya pada kelompok
kecil yang mengelilinginya. "Masalah yang sesungguhnya adalah meyakinkan dewan
bahwa penelitian semacam itu memiliki nilai kepraktisan."
Strauss menggelengkan kepalanya. "Maksudku adalah uang ini ditujukan untuk
penelitian. Tidak seorang pun yang dapat mengetahui sebelumnya apakah proyek ini
akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Biasanya hasil merupakan hal yang
negatif. Kami mempelajari sesuatu yang tidak dan itu sama pentingnya dengan yang
hasilnya positif bagi orang yang akan melanjutkan proyek tersebut. Setidaknya ia
tahu apa yang tidak boleh ia lakukan."
Ketika aku mendekati kelompok itu, aku melihat istri Raynor, yang sudah
dikenalkan padaku sebelumnya. Dia perempuan cantik, berambut hitam, berusia tiga
puluhan. Dia menatapku, atau tepatnya menatap ujung kepalaku seolah mengharapkan
sesuatu tersembur dari situ. Aku balas menatapnya, sehingga dia menjadi tidak
nyaman lalu mengalihkan tatapannya kembali pada Dr Strauss. "Tetapi bagaimana
dengan proyek yang baru itu" Kau menduga akan dapat menggunakan teknik tersebut
pada orang terbelakang lainnya" Apakah itu sesuatu yang dapat digunakan oleh
dunia?" Strauss menggerakkan bahunya dan mengangguk ke arahku. "Masih terlalu awal untuk
mengatakannya. Suamimu membantu kami dengan menempatkan Charlie dalam proyek
itu. Banyak hal yang bergantung pada hasil yang diperolehnya."
"Tentu saja," kata Pak Raynor menambahkan, "kami semua mengerti kebutuhan
penelitian murni di lapangan seperti lapangan kalian itu. Tetapi itu akan
menjadi sesuatu yang menguntungkan citra kita jika kita dapat menghasilkan
metode yang betul-betul dapat digunakan untuk mencapai hasil permanen di luar
laboratorium. Dan jika kita dapat menunjukkan pada dunia bahwa ada hasil nyata
yang baik dari metode tersebut."
Aku hendak mulai bicara, tetapi Strauss, yang tentunya telah menduga apa yang
akan kukatakan, berdiri dan meletakkan lengannya di bahuku. "Kami semua di
Beekman merasa bahwa proyek yang sedang dikerjakan oleh Charlie sangat penting.
Pekerjaannya sekarang adalah menemukan kebenaran ke mana pun arahnya. Kami
menyerahkan pada yayasan kalian untuk menghadapi masyarakat, untuk mendidik
masyarakat." Ia tersenyum pada Raynor dan mengajakku pergi dari situ.
"Itu," kataku, "bukan yang ingin kukatakan."
"Aku pun tidak berpikir seperti itu," ia berbisik seraya memegangi sikuku.
"Tetapi aku dapat melihat dari kilauan matamu, kau siap mencincang mereka. Dan
aku tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi, bukan?"
"Kukira tidak," aku setuju, lalu mengambil martini
lagi. "Kau tidak apa-apa minum begitu banyak?"
"Seharusnya tidak boleh, tetapi aku sedang mencoba untuk santai dan tampaknya
aku salah memilih cara."
"Ya, tenang saja," sahutnya, "dan jangan cari masalah malam ini. Orang-orang ini
tidak bodoh. Mereka tahu bagaimana perasaanmu terhadap mereka, dan walaupun kau
tidak membutuhkan mereka, kami
membutuhkan mereka."
Aku melambai untuk memberi hormat padanya. "Aku akan coba, tetapi kau sebaiknya
menjaga Ibu Raynor agar menjauh dariku. Aku akan menyergapnya jika dia
menggoyangkan bokongnya sekali lagi ke arahku."
"Ssst!" ia mendesis. "Dia akan mendengarmu."
"Ssst!" Aku menirunya. "Maaf. Aku akan duduk di sini saja di sudut dan menjauh
dari semua orang." Kabut mulai menghalangiku, tetapi aku masih dapat melihat orang-orang menatapku.
Kupikir aku sedang menggumam sendiri tetapi terlalu keras. Aku tidak ingat apa
yang kuucapkan. Sesaat kemudian, aku merasa orang-orang meninggalkan pesta tidak
seperti biasanya, lebih cepat. Tetapi, aku tidak terlalu memperhatikan hingga
Nemur datang dan berdiri di depanku.
"Kaupikir siapa dirimu, sehingga kau bisa bersikap begitu" Aku belum pernah
melihat kekasaran yang tidak dapat diterima seperti itu seumur hidupku."
Aku berusaha berdiri. "Sekarang, apa yang bisa membuatmu berkata seperti itu?"
Strauss mencoba menghalangiku, tetapi ia berbicara dengan gugup, "Aku yang
bicara, karena kau tidak tahu berterima kasih atau tidak mengerti keadaan. Lagi
pula, kau berutang budi pada mereka, kalau kau tidak berutang pada kami... dalam
banyak hal." "Sejak kapan seekor kelinci percobaan harus berterima kasih?" teriakku. "Aku
sudah melayani kebutuhan kalian, dan sekarang aku mencoba memperbaiki kesalahan
kalian, jadi bagaimana hal itu bisa membuatku berutang budi pada siapa pun?"
Strauss mulai bergerak untuk menyudahi, tetapi Nemur menghentikannya. "Tunggu
sebentar. Aku ingin mendengar ini. Kurasa ini waktunya kita menyelesaikannya."
"Ia terlalu banyak minum," kata istri Nemur.
"Tidak terlalu banyak," Nemur mendengus. "Ia masih berbicara dengan cukup jelas.
Aku sudah banyak memberi. Ia membahayakan jika tidak benar-benar menghancurkan
proyek kita, dan sekarang aku ingin mendengar dari mulutnya bagaimana
pembelaannya." "Oh, lupakan saja," sahutku. "Kau tidak benar-benar ingin mendengar kebenaran."
"Tetapi aku benar-benar mau, Charlie. Setidaknya kebenaran menurut versimu. Aku
ingin tahu jika kau merasa berterima kasih atas segala yang telah kami lakukan
untukmu kemampuanmu yang berkembang, hal-hal yang telah kaupelajari, dan
pengalaman yang kaumiliki. Atau kaupikir kau merasa lebih baik sebelum ini?"
"Dalam beberapa hal, ya."
Jawabanku sangat mengejutkan mereka.
"Aku telah mempelajarinya beberapa bulan terakhir ini," kataku. "Tidak hanya
tentang Charlie Gordon, tetapi tentang kehidupan dan orang-orang. Aku telah
menemukan bahwa tidak ada seorang pun yang benar-benar peduli pada Charlie
Gordon, apakah ia seorang yang dungu atau jenius. Jadi apa bedanya?"
"Oh," Nemur tertawa. "Kau merasa kasihan pada dirimu sendiri. Apa yang
kauharapkan" Eksperimen ini diperkirakan untuk meningkatkan kecerdasanmu, tidak
untuk membuatmu terkenal. Kami tidak dapat mengendalikan apa yang terjadi pada
dirimu secara pribadi, dan kau telah berkembang dari seorang lelaki muda yang
ramah, terbelakang, menjadi seorang bajingan yang congkak, egois, dan
antisosial." "Masalahnya, Pak Profesor yang baik, kau ingin membuat seseorang menjadi cerdas
tapi harus bisa kaukurung di kandang dan dipamerkan ketika dibutuhkan untuk
mendapatkan kehormatan yang kaucari. Kendalanya adalah aku seorang manusia."
Nemur marah, dan aku dapat melihat ia kebingungan antara menyudahi pertengkaran
dan mencoba sekali lagi menjatuhkanku. "Kau tidak adil, seperti biasanya. Kau
tahu, kami selalu memperlakukan kau dengan baik... melakukan apa pun yang dapat
kami lakukan untukmu."
"Segalanya, kecuali memperlakukanku sebagai manusia. Kau telah membual soal
waktu dan lagi kauanggap aku bukan apa-apa sebelum aku dioperasi. Aku tahu
mengapa. Karena jika aku dulnya bukan apa-apa, kau bertanggung jawab menciptakan
aku, dan itu membuatmu menjadi tuanku, majikanku. Kau membenci kenyataan bahwa
aku tidak memperlihatkan rasa terima kasihku setiap jam dalam seharinya. Ya,
percaya atau tidak, aku bersyukur. Tetapi, apa pun yang kaulakukan padaku
sesuatu yang hebat tidak memberimu hak untuk memperlakukanku seperti hewan
percobaan. Aku sekarang seorang manusia, demikian juga Charlie sebelum ia
berjalan ke lab itu. Kau tampak terkejut. Ya, tiba-tiba kita menemukan bahwa aku
dari dulu adalah seorang manusia bahkan sebelumnya dan itu menantang keyakinanmu
bahwa seseorang dengan IQ kurang dari 100 tidak berhak mendapat perhatian.
Profesor Nemur, kukira ketika kau melihatku, kesadaranmu mengganggumu."
"Aku sudah mendengar cukup banyak," bentaknya. "Kau mabuk."
"Ah, tidak," aku meyakinkannya. "Karena jika aku mabuk, kau akan melihat Charlie
Gordon yang lain dari Charlie Gordon yang sudah kaukenal. Ya, Charlie Gordon lainnya yang berjalan
dalam kegelapan masih ada bersama kita. Di dalam diriku."
"Ia menjadi gila," kata Nyonya Nemur. "Ia berbicara seolah ada dua Charlie
Gordon. Kau sebaiknya segera merawatnya, Dokter."
Dr Strauss menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tahu maksudnya. Hal itu muncul
juga pada sesi terapi. Sebuah pemisahan yang khusus telah terjadi kira-kira
dalam sebulan terakhir ini. Ia memiliki beberapa pengalaman sebagai pribadi yang
terpisah dan berbeda yang masih terus hidup dalam alam sadarnya seolah Charlie
yang lama berjuang untuk mengendalikan tubuh...."
"Tidak! Aku tidak pernah mengatakan itu! Bukan berjuang untuk mengendalikan.
Charlie memang di sana, tetapi tidak berjuang bersamaku. Hanya menunggu. Ia
tidak pernah berusaha mengambil alih atau mencoba menghalangiku melakukan apa
pun yang ingin kulakukan." Lalu aku ingat Alice, aku memperbaiki kalimatku. "Ya,
hampir tidak pernah. Charlie yang rendah hati dan tidak menonjolkan diri, yang
kaubicarakan beberapa saat yang lalu, hanya menunggu dengan sabar. Aku akan
mengakui, aku menyukainya dalam beberapa hal, tetapi bukan karena kerendah
hatiannya dan tidak menonjolkan dirinya. Aku sudah mempelajari betapa manusia
yang mengerti sangat sedikit.
"Kau sudah menjadi simbol," kata Nemur. "Itulah arti segala kesempatan itu
bagimu. Kegeniusanmu telah merusak keyakinanmu pada dunia dan teman-temanmu."
"Itu tidak seluruhnya benar," kataku lirih. "Tetapi, aku telah mengetahui bahwa
kecerdasan saja tidak berarti apa-apa. Di sini, di universitasmu, kecerdasan,
pendidikan, dan pengetahuan, semuanya telah menjadi pujaan besar. Tetapi, aku
tahu sekarang ada satu hal yang telah kalian lupakan: kecerdasan dan pendidikan
yang tidak diperlembut dengan rasa kasih manusia tidak akan berharga sama
sekali." Aku mengambil martini lagi dari bufet di dekatku lalu melanjutkan khotbahku.
"Jangan salah mengerti aku," kataku. "Kecerdasan adalah satu dari bakat manusia
yang terbesar. Tetapi, terlalu sering sebuah penelitian untuk pengetahuan
berubah menjadi penelitian untuk cinta. Aku perlihatkan kepada kalian sebagai
sebuah hipotesis: kecerdasan tanpa kemampuan memberi dan menerima kasih sayang
mengakibatkan kerusakan mental dan moral, mengarah ke neurosis, dan bahkan
kemungkinan psikosis. Dan kukatakan juga bahwa pikiran yang menampung dan
terlibat sebagai sebuah akhiran yang egoistis, ke arah hubungan manusia yang
tertutup, hanya dapat mengakibatkan kekerasan dan luka.
"Ketika aku masih terbelakang, aku punya banyak teman. Sekarang aku tidak punya
siapa-siapa. Oh, aku kenal banyak orang. Banyak dan banyak orang. Tetapi aku
tidak punya teman sejati seorang pun. Tidak seperti yang kumiliki ketika aku
bekerja di pabrik roti. Tidak ada teman di dunia ini yang berarti segalanya
bagiku, dan tidak ada seorang pun yang menganggap aku segalanya." Aku tahu bahwa
pidatoku menjadi tidak jelas lalu ada rasa ringan di kepalaku. "Itu tidak
mungkin benar, kan?" aku menekankan. "Maksudku, bagaimana menurutmu" Kaupikir
itu... itu benar?" Strauss mendekat dan meraih lenganku.
"Charlie, mungkin sebaiknya kau berbaring sebentar. Kau terlalu banyak minum."
"Mengapa kalian semua menatapku seperti itu" Aku salah bicara" Aku bicara
sesuatu yang salah" Aku tidak bermaksud mengatakan apa pun yang tidak benar."
Aku mendengar kata-kata itu terucap dengan berat dari mulutku, seolah wajahku
penuh dengan novocaine. Aku mabuk betul-betul tak terkendali. Pada saat itu,
hampir seperti jentikan sebuah tombol, aku melihat pemandangan di ambang pintu
ke ruang makan. Dan aku dapat melihat diriku sendiri sebagai Charlie yang lain
berdiri di sana di dekat bufet, dengan minuman di tangan, dan mata membelalak
serta ketakutan. "Aku selalu berusaha melakukan hal-hal yang benar. Ibuku selalu mengajariku agar
bersikap baik kepada orang lain karena kata dia, dengan begitu kau tidak akan
mendapat masalah dan kau akan selalu mempunyai teman."
Aku dapat melihat dari caranya berkedut dan menggeliat, ia harus pergi ke kamar
mandi. Oh, Tuhanku, tidak di sana di depan mereka. "Permisi, kumohon," katanya,
"aku harus pergi ke...." Dalam keadaan loyo karena mabuk, aku berhasil menariknya
menjauh dari mereka dan membawanya ke kamar mandi.
Ia tiba tepat pada waktunya, dan setelah beberapa detik aku kembali tenang. Aku
menempelkan pipiku pada dinding, kemudian membasuh wajahku dengan air dingin.
Masih gemetar, tetapi aku tahu aku akan baik-baik saja.
Ketika itulah aku melihat Charlie mengawasiku dari cermin di atas wastafel. Aku
tidak tahu bagaimana aku mengetahui itu Charlie, dan bukan aku. Ada sesuatu pada
tatapan tumpul dan bertanya-tanya di wajahnya. Matanya lebar dan ketakutan
seolah dengan satu kata dariku ia akan berputar dan berlari masuk jauh ke kedalaman dimensi dunia
cermin. Tetapi ia tidak berlari. Ia hanya balas menatapku, dengan mulut terbuka
dan rahangnya tergantung lepas.
"Halo," sapaku, "nah, akhirnya kita bisa berhadapan."
Ia mengerutkan keningnya sedikit seolah ia tidak mengerti maksudku, seakan ia
menginginkan penjelasan tetapi tidak tahu bagaimana menanyakannya. Lalu,
menyerah, ia tersenyum kering dari sudut mulutnya.
"Tetap di sana, tepat di depanku," aku berteriak. "Aku muak dan bosan karena
kauintai dari ambang pintu dan tempat gelap sehingga aku tidak dapat
menangkapmu." Ia menatapku.

Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa kau, Charlie?"
Tidak ada jawaban, hanya senyuman.
Aku mengangguk dan ia balas mengangguk.
"Lalu, apa maumu?" tanyaku.
Ia menggerakkan bahunya. "Oh, ayolah," kataku, "kau pastilah menginginkan sesuatu. Kau telah mengikuti
aku terus...." Ia melihat ke bawah dan aku melihat tanganku untuk menemukan apa yang sedang
dilihatnya. "Kau menginginkan ini kembali, bukan" Kau mau aku keluar dari sini
sehingga kau dapat kembali dan mengambil milikmu lagi. Aku tidak menyalahkanmu.
Ini tubuhmu dan otakmu dan hidupmu, walau kau tidak mampu menggunakannya dengan
baik. Aku tidak punya hak untuk mengambilnya darimu. Tidak seorang pun. Siapa
yang bilang cahayaku lebih baik daripada kegelapanmu" Siapa yang bilang kematian
lebih baik daripada kegelapanmu. Aku ini siapa yang bisa mengatakan...."
"Tetapi akan kukatakan padamu hal lain, Charlie." Aku berdiri dan mundur dari
cermin, "Aku bukan temanmu. Aku musuhmu. Aku tidak akan menyerahkan kecerdasanku
tanpa sebuah perlawanan. Aku tidak bisa kembali ke dalam gua itu. Tidak ada
tempat tujuan bagiku sekarang, Charlie. Maka, kau harus menjauh. Tetaplah berada
di dalam bawah sadarku tempatmu, dan jangan ikuti aku lagi. Aku tidak akan
menyerah tidak peduli apa kata mereka. Tidak peduli betapa sunyinya keadaan ini.
Aku akan mempertahankan apa yang telah mereka berikan padaku dan melakukan halhal hebat bagi dunia serta orang lain seperti diri-mu."
Ketika aku memutar tubuhku ke arah pintu, aku merasa bahwa ia mengulurkan
tangannya ke arahku. Tetapi semuanya itu konyol. Aku hanya mabuk dan itu
hanyalah bayanganku sendiri di cermin.
Ketika aku keluar, Strauss ingin membawaku ke sebuah taksi, tetapi aku berkeras
bisa pulang sendiri. Yang kuperlukan adalah sedikit udara segar, dan aku tidak
mau seorang pun mengikutiku. Aku ingin berjalan sendirian.
Aku melihat diriku seperti yang sesungguhnya kini. Nemur telah mengatakannya.
Aku bajingan congkak, egois. Tidak seperti Charlie, aku tidak mampu menjalin
pertemanan atau memikirkan orang lain dan masalah mereka. Aku tertarik pada
diriku, dan hanya pada diriku sendiri. Ketika lama berada di depan cermin itu
aku melihat diriku melalui mata Charlie melihat pada diriku dan menemukan aku
telah menjadi seperti apa sesungguhnya. Dan aku merasa malu.
Berjam-jam berikutnya aku telah berada di depan apartemenku, lalu menaiki tangga
dan berjalan di keremangan gang. Melewati kamar Fay, aku dapat melihat
masih ada cahaya menyala. Aku melangkah ke arah pintunya. Tetapi ketika aku
hampir mengetuk, kudengar suara tawa kecil Fay dan suara seorang lelaki
menjawabnya. Aku terlambat untuk itu. Aku memasuki apartemenku tanpa suara dan berdiri di sana sebentar dalam gelap,
tidak berani bergerak, dan tidak berani menyalakan lampu. Hanya berdiri di sana
dan merasakan ada kolam beriak di mataku.
Apa yang telah terjadi pada diriku" Mengapa aku sendirian di dunia ini"
4.30 pagi Pemecahan masalah itu datang padaku, ketika aku menjelang tertidur.
Tercerahkan! Segalanya cocok satu sama lain, dan aku melihat apa yang seharusnya
kuketahui sejak awal. Jangan tidur lagi. Aku harus kembali ke lab dan menguji
solusi ini dengan hasil-hasil dari komputer. Ini, akhirnya, adalah kecacatan
eksperimen itu. Aku telah menemukannya.
Sekarang, aku akan menjadi apa"
26 Agustus SURAT KEPADA PROFESOR NEMUR (SALINAN)
Profesor Nemur yang baik,
Di bawah sampul terpisah aku mengirimimu selembar salinan laporan dengan judul
"Efek dari Algernon-Gordon: Sebuah Penelitian Struktur dan Fungsi Kecerdasan
yang Ditingkatkan", yang mungkin saja dipublikasikan jika kau menilainya cocok.
Seperti yang kauketahui, eksperimen-eksperimenku sudah selesai. Aku telah
menyimpulkan dalam laporanku segala rumusanku, berikut analisis matematis dari
data dalam lampiran. Tentu saja, ini seharusnya dibuktikan.
Hasilnya jelas. Semakin sensasional aspek-aspek peningkatan kecerdasanku yang
cepat itu, semakin tidak dapat mengaburkan kenyataan-kenyataan. Tehnik operasi
dan suntikan yang dikembangkan olehmu dan Dr. Strauss harus dipandang memiliki
sedikit atau tidak memiliki kelayakan pelaksanaan, pada masa sekarang, bagi
peningkatan kecerdasan manusia.
Menilik kembali data Algernon: walau ia muda secara jasmani, ia telah mundur
secara mental. Aktivitas motornya yang rusak; kemunduran umum fungsi jaringan
kelenjar; dan percepatan kehilangan koordinasi menunjukkan dengan jelas adanya
Dewi Maut 15 Animorphs - 36 Mutasi The Mutation Misteri Si Cadar Berdarah 1

Cari Blog Ini