A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein Bagian 3
Laila duduk di atasnya dan menatap gundukan diam berselubung selimut, ibunya.
Dinding kamar Mammy dipenuhi foto Ahmad dan Noor. Ke mana pun Laila menatap, dua
pria asing tersenyum kepadanya. Ada Noor yang sedang
mengendarai sepeda beroda tiga. Ada Ahmad yang sedang berdoa, berpose di dekat
jam matahari yang dibuat bersama Babi ketika dia berumur dua belas tahun. Itulah
mereka, kedua abangnya, duduk saling berpunggungan di bawah pohon pir tua di
halaman. Laila dapat melihat ujung kotak sepatu Ahmad menyembul di bawah ranjang Mammy.
Dari waktu ke waktu, Mammy menunjukkan kepadanya potongan-potongan berita surat
kabar tua dan pamflet-pamflet yang dikumpulkan Ahmad dari berbagai kelompok dan
organisasi pemberontak dan oposisi yang berpusat di Pakistan. Salah satu foto,
Laila ingat, menunjukkan seorang pria berjubah putih yang sedang memberikan
permen loli kepada seorang anak kecil tanpa kaki. Keterangan di bawah foto itu
berbunyi: Anak-anak adalah korban yang dikehendaki dari kampanye ranjau darat
Soviet. Artikel itu mengungkapkan Soviet yang menyembunyikan bahan peledak di
dalam mainan berwarna-warni. Jika seorang anak memungutnya, mainan itu akan
meledak, mengoyakkan jemari atau seluruh tangan anak itu. Ayah anak itu pun
tidak dapat berjihad karena harus tinggal di rumah dan merawatnya. Dalam artikel
lain yang ada di kotak sepatu Ahmad, seorang mujahid muda mengatakan bahwa
Soviet menjatuhkan bom berisi gas beracun di desanya, membutakan dan membakar
kulit para penduduknya. Kata pemuda itu, dia melihat ibu dan adiknya berlari
pulang dari sungai, batuk darah.
"Mammy." Gundukan itu bergerak-gerak. Erangan terdengar dari dalamnya.
"Bangunlah, Mammy. Sudah pukul tiga."
Sebuah erangan kembali terdengar. Sebentuk tangan muncul, bagaikan periskop
sebuah kapal selam yang menyembul ke permukaan air dan turun kembali. Kali ini,
gerakan gundukan itu semakin nyata. Lalu, selimut-selimut bergemerisik ketika
satu demi satu lapisannya terbuka. Perlahan-lahan, bagaikan di atas panggung,
Mammy pun tampil: pertama-tama adalah rambutnya yang acak-acakan, lalu wajahnya
yang putih dengan mulut meringis, mata terpejam menahan silau, sebentuk tangan
menggapai kepala ranjang, seprai tergulung ke bawah ketika dia bangkit,
menggumam. Mammy berusaha menatap Laila, memicingkan mata, dan menundukkan
kepalanya lagi. "Bagaimana sekolahmu?" gumamnya.
Dan, rutinitas ini pun dimulai. Pertanyaan yang wajib dilontarkan, jawaban yang
semestinya dikatakan. Keduanya berpura-pura. Laila dan Mammy adalah mitra tanpa
semangat dalam tahan melelahkan ini.
"Baik-baik saja," jawab Laila.
"Kau belajar sesuatu?"
"Yang biasa-biasa saja."
"Kau sudah makan?"
"Sudah." "Bagus." Mammy mengangkat kepalanya lagi, menatap
jendela. Dia memicingkan mata dan kelopak matanya bergetar. Bagian samping kanan
wajahnya merah, dan rambut di sisi yang sama menempel di kepalanya. "Kepalaku
pusing sekali." "Mammy mau kuambilkan aspirin?"
Mammy memijat keningnya. "Mungkin nanti saja. Ayahmu sudah pulang?"
"Sekarang baru pukul tiga."
"Oh. Benar. Kau sudah bilang." Mammy menguap. "Aku baru saja bermimpi," katanya,
suaranya hanya sedikit lebih nyaring daripada gemerisik gaun tidur dan seprai
yang didudukinya. "Baru saja, sebelum kau masuk. Tapi, aku tak ingat lagi
sekarang. Apa itu juga pernah terjadi padamu?"
"Itu terjadi pada semua orang, Mammy."
"Aneh sekali." "Aku mau cerita. Sementara Mammy bermimpi, seorang anak laki-laki menembakkan
air kencingnya dengan pistol air ke rambutku."
"Menembak apa" Apa maksudmu" Maaf, aku tak mengerti."
"Kencing. Pipis."
"Itu ... itu buruk sekali. Va Tuhan. Maafkan aku. Kasihan sekali kamu. Aku akan
memarahi anak itu besok pagi. Atau mungkin ibunya saja. Ya, itu lebih baik,
kurasa." "Aku belum mengatakan kepada Mammy siapa orangnya."
"Oh. Ya, siapa dia?"
"Lupakan saja."
"Kau marah." "Mammy seharusnya menjemputku."
"Oh, ya," ujar Mammy parau. Laila berpikir apakah ucapan Mammy itu merupakan
pertanyaan. Mammy mulai mencabuti rambutnya. Bagi Laila, bagaimana kepala Mammy
tidak sebotak telur padahal dia mencabuti rambutnya sepanjang waktu menjadi
salah satu misteri terbesar dalam kehidupan. "Bagaimana dengan .... Siapa namanya,
temanmu itu, Tariq" Ya, bagaimana dengannya?"
"Dia sudah pergi seminggu ini."
"Oh." Mammy mengeluarkan desahan dari hidungnya. "Kau sudah mandi?"
"Ya." "Jadi, kau sudah bersih sekarang." Mammy menyapukan tatapan letihnya ke jendela.
"Kau sudah bersih, jadi semuanya sudah beres."
Laila berdiri. "Aku mau mengerjakan PR sekarang."
Mammy mengatakan sesuatu, suaranya terdengar semakin teredam. Dia telah kembali
tenggelam di dalam tumpukan selimutnya.
Ketika menoleh ke jendela, Laila melihat sebuah mobil melintasi jalan, diikuti
kepulan asap. Benz biru berplat Herat itu akhirnya pergi. Laila menatap ke luar
mengikuti kepergiannya, hingga akhirnya mobil itu menghilang di tikungan, sinar
matahari memantul di jendela belakangnya.
"Besok aku tidak akan lupa lagi," kata Mammy di belakang Laila. "Aku janji."
"Mammy juga bilang begitu kemarin."
"Kau tidak tahu, Laila.?"Tahu apa?" Laila berpaling dan menatap wajah ibunya.
"Apa yang aku tidak tahu?"
Tangan Mammy terangkat ke dada, menepuk-nepuk. "Di sini. Apa yang ada di sini."
Lalu, tangan Mammy tergeletak kaku di samping tubuhnya. "Kau tidak tahu."
BAB 18 Seminggu telah berlalu, namun masih tidak ada tanda-tanda kepulangan Tariq.
Lalu, seminggu lagi datang dan pergi.
Untuk mengisi waktu, Laila memperbaiki pintu kasa yang belum juga disentuh oleh
Babi. Dia menurunkan buku-buku Babi dari rak, mengelapnya, dan menyusunnya
kembali sesuai urutan abjad. Dia pergi ke Jalan Ayam bersama Hasina, Giti, dan
ibu Giti, Nila, yang bekerja sebagai penjahit dan kadang-kadang menjahit bersama
Mammy. Dalam minggu itu, Laila meyakini bahwa tidak ada pekerjaan yang lebih
berat dan menyiksa dibandingkan dengan tindakan sesederhana menunggu.
Seminggu lagi berlalu. Laila mendapati dirinya terjerat dalam jaring-jaring pikiran buruknya. Tariq
tidak akan kembali. Orangtuanya telah pindah untuk selamanya; perjalanan ke
Ghazni hanyalah tipuan. Skenario orang dewasa untuk menghindari perpisahan yang
menyakitkan. Ranjau darat mengenainya lagi. Sama seperti
pada 1981, ketika perjaka cilik itu berumur lima tahun, terakhir kalinya
orangtuanya membawa dirinya ke Ghazni. Peristiwa itu terjadi tak lama setelah
ulang tahun Laila yang ketiga. Tariq masih beruntung ketika itu, hanya
kehilangan satu kakinya, beruntung karena dia masih bernyawa.
Pikiran-pikiran itu mendenging di kepala Laila.
Lalu, pada suatu malam, Laila melihat nyala senter kecil berpendar di jalan.
Sebuah suara, antara decitan dan pekikan meluncur dari bibirnya. Laila cepatcepat menarik senternya sendiri dari bawah ranjang, namun ternyata benda itu
padam. Laila menepuk-nepukkannya di tangannya, mengumpat baterai lama di
dalamnya. Tetapi, tidak masalah. Tariq telah kembali. Laila duduk di tepi
ranjangnya, merasa lega, menatap mata kuning cantik yang berkedip-kedip dari
seberang jalan. KETIKA PERGI ke rumah Tariq keesokan harinya, Laila melihat Khadim dan
sekelompok temannya di pinggir jalan. Khadim sedang berjongkok, menggambar
sesuatu dengan ranting di tanah. Ketika melihat Laila, dia menjatuhkan
rantingnya dan menggoyang-goyangkan jari. Teman-temannya tergelak ketika dia
mengatakan sesuatu. Laila menunduk dan berlari melewati mereka.
"Apa yang kau lakukan?" serunya ketika melihat Tariq membuka pintu. Setelah
mengatakannya, dia baru ingat bahwa paman Tariq adalah seorang
tukang cukur. Tariq mengelus kepala gundulnya dan tersenyum, memamerkan gigi-gigi putih yang
tidak rata. "Bagus, kan?" "Kau seperti mau masuk tentara saja."
"Kau mau memegangnya?" Dia menunduk.
Rambut-rambut pendek menggelitik telapak tangan Laila. Tariq tidak seperti anakanak laki-laki lainnya, yang rambutnya menutupi kepala peang dan benjolan di
sana-sini. Kepala Tariq bulat sempurna dan bebas dari benjolan.
Ketika Tariq kembali mengangkat wajah, Laila melihat bahwa pipi dan keningnya
terbakar matahari. "Kenapa kau lama sekali?" tanya Laila.
"Pamanku sakit. Ayo. Masuklah."
Tariq mengajak Laila melintasi ruang tamu menuju ruang keluarga. Laila menyukai
segala macam isi rumah ini. Permadani tua di ruang keluarga, selimut kain perca
yang digunakan untuk melapisi sofa, kepingan-kepingan biasa dalam kehidupan
Tariq: gulungan kain milik ibunya, jarum-jarum jahit yang tersemat di gelendong
benang, majalah-majalah tua, kotak akordeon di sudut ruangan yang menanti untuk
dibuka. "Siapa itu?" Ibu Tariq berseru dari dapur. "Laila," jawab Tariq.
Tariq menarik sebuah kursi untuk Laila. Ruang keluarga itu terang karena cahaya
yang masuk dari jendela ganda yang menghadap ke halaman. Di kusen jendela
terdapat stoples-stoples kosong
yang digunakan oleh ibu Tariq untuk membuat acar terung dan selai wortel.
"Maksudmu aroos kami, menantu kami," kata ayah Tariq yang baru saja memasuki
ruang keluarga. Ayah Tariq adalah seorang tukang kayu bertubuh ramping, berambut
putih, dan berusia awal enam puluhan. Gigi depannya renggang, dan matanya sipit,
khas seseorang yang menghabiskan sebagian besar waktunya di luar rumah. Dia
membentangkan lengannya dan Laila menyongsongnya, disambut oleh aroma serbuk
gergaji yang akrab dan menyenangkan. Mereka saling mencium pipi sebanyak tiga
kali. "Kalau kau terus menyebutnya begitu, dia tidak akan mau lagi datang ke sini,"
kata ibu Tariq ketika melewati mereka. Wanita itu membawa baki berisi sebuah
mangkuk besar, sebuah sendok sayur, dan empat buah mangkuk yang lebih kecil. Dia
meletakkan bakinya di meja. "Jangan pedulikan Pak Tua ini." Dia menangkupkan
kedua tangannya ke wajah Laila. "Senang sekali bisa melihatmu lagi, Sayangku.
Sini, duduklah. Aku membawa oleh-oleh manisan buah-buahan."
Meja makan itu besar dan terbuat dari kayu berwarna terang tanpa vernis ayah ?Tariq membuatnya sendiri, begitu pula kursi-kursinya. Sebuah taplak hijau lumut
dengan gambar mungil bulan sabit dan bintang berwarna magenta menutupi meja.
Sebagian besar dinding dipenuhi oleh foto Tariq dalam berbagai usia. Dalam
beberapa foto, kedua kakinya masih lengkap.
"Kudengar saudara Paman sakit," kata Laila kepada ayah Tariq sembari mencelupkan
sendoknya ke dalam mangkuk berisi manisan kismis, pistachio, dan aprikot.
Ayah Tariq menyalakan rokok. "Ya, tapi sekarang kondisinya sudah membaik, shokr
e Khoda, Alhamdulillah."
"Serangan jantung. Yang kedua," kata ibu Tariq, menatap suaminya penuh arti.
Ayah Tariq mengembuskan asap rokok dan berkedip pada Laila. Betapa tuanya
pasangan itu, sehingga dari penampilannya layak menjadi kakek dan nenek Tariq,
kadang-kadang masih membuat Laila heran. Ibu Tariq baru menikah dengan ayah Tariq setelah memasuki usia empat puluhan.
"Bagaimana kabar ayahmu, Sayangku?" tanya ibu Tariq, menatap Laila dari atas
mangkuknya. Sepanjang Laila mengenalnya, ibu Tariq selalu mengenakan wig. Seiring waktu,
rambut palsu itu berubah warna menjadi ungu kusam. Hari ini, ibu Tariq menarik
rambut palsunya rendah-rendah di keningnya, dan Laila dapat melihat uban
tersembul di bawah pelipisnya. Pada hari-hari lain, wig itu terpasang tinggitinggi di atas keningnya. Namun, bagi Laila, ibu Tariq tak pernah tampak
mengenaskan dalam wig itu. Yang dilihat oleh Laila adalah wajah tenang dan penuh
keyakinan di bawahnya, mata yang cerdas, juga sikap yang santai dan
menyenangkan. "Babi baik-baik saja," kata Laila. "Masih bekerja di Silo, tentu saja. Dia baikbaik saja." "Dan ibumu?" "Ada hari baik. Ada juga hari buruk. Sama saja."
"Ya," kata ibu Tariq dengan penuh pengertian sembari mencelupkan sendoknya ke
mangkuk. "Betapa beratnya, amat sangat berat, bagi seorang ibu untuk berpisah
dengan anak-anaknya."
"Kau mau makan siang di sini?" tanya Tariq.
"Kau harus makan siang di sini," kata ibunya. "Aku membuat shorwa."
"Aku tak ingin menjadi mozahem." "Pengganggu?" tanya ibu Tariq. "Kami baru
pulang setelah berminggu-minggu dan kau jadi sok sopan pada kami?"
"Baiklah, aku akan makan di sini," kata Laila, tersenyum dengan pipi merona.
"Kita sepakat, kalau begitu."
Sebenarnya, Laila menyukai makan di rumah Tariq, sama seperti dia membenci makan
di rumahnya. Di rumah Tariq, tidak seorang pun pernah makan sendirian; mereka
selalu makan bersama sebagai sebuah keluarga. Laila menyukai gelas-gelas plastik
ungu yang mereka gunakan dan potongan lemon yang selalu mengambang di teko air.
Dia menyukai cara mereka membuka setiap santapan dengan semangkuk yoghurt segar,
air jeruk masam yang mereka percikkan di atas setiap masakan, bahkan di atas
yoghurt, dan bagaimana mereka saling melontarkan candaan.
Sambil menyantap makanan, percakapan mereka akan terus mengalir. Meskipun Tariq
dan kedua orangtuanya beretnis Pashtun, mereka selalu
berbicara dalam bahasa Farsi jika Laila ada, meskipun Laila sedikit banyak
memahami bahasa daerah Pashto yang mereka gunakan setelah mempelajarinya di
sekolah. Kata Babi, terdapat ketegangan di antara mereka suku Tajik, yang ?menjadi minoritas, dan suku Pashtun, seperti Tariq, yang merupakan kelompok
etnis terbesar di Afghanistan. Suku Tajik selalu merasa tersisih, kata Babi.
Raja-raja Pashtun memerintah negeri ini selama hampir dua ratus lima puluh
tahun, Laila, dan Tajik hanya mendapatkan kesempatan selama sembilan bulan, pada
1929. Bagaimana dengan Babi, tanya Laila, apa Babi juga merasa tersisih"
Babi mengelap kacamatanya hingga mengilap dengan ujung kemejanya. Bagika, semua
itu omong kosong omong kosong yang sangat berbahaya semua pembicaraan tentang
? ?aku Tajik dan kau Pashtun dan dia Hazara dan dia Uzbek itu. Kita semua orang
Afghan, dan itulah yang terpenting. Tapi, ketika satu kelompok berkuasa di atas
kelompok yang lain dalam waktu sangat lama .... Kebencian pun timbul. Persaingan.
Begitulah. Selalu begitu.
Mungkin memang begitu. Tetapi, Laila tidak pernah merasakannya ketika berada di
rumah Tariq, tempat masalah-masalah seperti ini tak pernah dibicarakan. Waktu
yang dihabiskan Laila bersama keluarga Tariq selalu terasa menyenangkan, santai,
tanpa dirumitkan oleh perbedaan suku ataupun bahasa, atau bahkan ejekan dan
gerutuan yang selalu meracuni udara di dalam rumahnya sendiri.
"Bagaimana kalau kita main kartu?" tanya Tariq.
"Ya, naiklah," kata ibunya, mengibas-ngibaskan tangannya untuk menyingkirkan
asap rokok suaminya. "Aku akan menyelesaikan shorwa yang kumasak."
Mereka bertengkurap di tengah kamar Tariq dan bergantian membagikan kartu dalam
permainan panjpar. Mengayun-ayunkan kakinya di udara, Tariq bercerita kepada
Laila tentang perjalanannya. Biji buah persik yang ditanam bersama pamannya.
Seekor ular kebun yang dia tangkap.
Di kamar ini, Laila dan Tariq sering mengerjakan PR, mendirikan menara kartu,
dan saling menggambar karikatur diri mereka. Jika hujan turun, mereka bersandar
di jendela, menenggak Fanta yang hangat dan menggelitik mulut, menatap air hujan
yang jatuh membasahi kaca.
"Baiklah, aku punya tebakan," kata Laila. "Apa yang pergi mengelilingi dunia
tapi tetap ada di tengah?"
"Tunggu." Tariq mendorong tubuhnya, duduk, dan menggerakkan kaki palsunya.
Sambil mengernyit, dia berbaring miring, bertumpu pada sikutnya. "Ambilkan
bantal itu." Dia meletakkan bantal di bawah kakinya. "Nah. Begini lebih enak."
Laila ingat ketika Tariq pertama kali menunjukkan pangkal kakinya yang
terpotong. Ketika itu, Laila masih berumur enam tahun. Dengan telunjuknya, Laila
menekan-nekan kulit yang kencang dan halus di bawah lutut kiri Tariq. Jarinya
meraba sebuah benjolan-benjolan kecil dan keras di sana, dan Tariq memberi tahu bahwa itu
A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adalah serpihan-serpihan tulang yang kadang-kadang tumbuh kembali setelah
amputasi dilakukan. Laila menanyakan apakah Tariq kesakitan jika benjolanbenjolan itu disentuh, dan Tariq bilang bahwa bagian itu terasa nyeri pada malam
hari, ketika membengkak dan tidak bisa lagi dipasangi kaki palsu, seperti kepala
yang terlalu besar untuk masuk ke topi. Dan kadang-kadang terasa gatal juga.
Terutama kalau udara sedang panas. Kulit di situ pun menjadi merah-merah dan
lecet, tapi ibuku punya krim untuk mengobatinya. Tidak terlalu parah.
Air mata Laila mengalir. Buat apa kau menangis" Tariq memasang kembali kaki palsunya. Kau sendiri yang
mau melihatnya, dasar giryanok, cengeng! Kalau saja aku tahu kau akan mewek, aku
tak akan menunjukkannya padamu.
"Prangko," kata Tariq.
"Apa?" "Tebakanmu itu. Jawabannya prangko. Ayo kita pergi ke kebun binatang setelah
makan siang." "Kau sudah tahu ya?" "Belum." "Dasar curang." "Jangan iri." "Iri
pada apa?" "Kepintaran maskulinku."
"Kepintaran maskulinmu" Yang benar saja! Coba katakan padaku, siapa yang lebih
pintar main catur?" "Itu karena aku mengalah." Tariq tergelak. Mereka berdua tahu bahwa itu tidak
benar. "Terus, siapa yang ulangan matematikanya hancur" Siapa yang kaudatangi kalau kau
mau mengerjakan PR matematika meskipun kelasmu lebih tinggi?"
"Kelasku akan lebih tinggi lagi kalau pelajaran matematika tidak membosankan
seperti itu." "Berarti pelajaran geografi juga membosankan bagimu."
"Dasar sok tahu! Sudah, diamlah. Jadi, kita mau ke kebun binatang atau tidak?"
Laila tersenyum. "Baiklah." "Bagus."
"Aku kangen padamu."
Tariq terdiam sejenak sebelum berpaling padanya dan menyeringai sebal.
"Sebenarnya, apa masalahmu?" Entah sudah berapa kali Laila, Hasina, dan Gitu
saling mengucapkan tiga kata itu tanpa ragu-ragu setelah dua atau tiga hari
tidak saling bertemu. Aku kangen padamu, Hasina. Oh, aku juga kangen padamu.
Dalam seringaian Tariq, Laila mengetahui bahwa anak laki-laki berbeda dengan
anak perempuan dalam hal ini. Anak laki-laki tidak memamerkan pertemanan. Mereka
tidak punya keinginan ataupun kebutuhan untuk membicarakan hal semacam ini.
Dalam bayangan Laila, kedua abangnya pun seperti itu. Laki-laki, sepengetahuan
Laila, memandang persahabatan seperti matahari: keberadaannya tidak
tersangkalkan; cahayanya sebaiknya hanya dinikmati, tidak diamati lekat-lekat.
"Aku tahu kau pasti akan kesal," kata Laila.
Tariq menatapnya beberapa saat. "Dasar."
Tetapi, sekilas Laila melihat bahwa seringaian Tariq memudar. Dan, sepertinya,
pipinya yang terbakar matahari memerah sejenak.
O Laila tidak bermaksud memberi tahu Tariq. Bahkan, dia memutuskan bahwa memberi
tahu Tariq adalah gagasan yang sangat buruk. Akan ada yang terluka karena Tariq
tidak akan bisa menepiskan hal ini begitu saja. Tetapi, ketika mereka sedang
berjalan menuju halte, lagi-lagi Laila melihat Khadim, berdiri bersandar ke
dinding. Anak itu menyelipkan ibu jarinya ke lubang sabuk, dikelilingi oleh
teman-temannya. Khadim menyeringai sinis ke arahnya.
Maka, Laila pun memberi tahu Tariq. Cerita itu mengalir begitu saja dari
mulutnya sebelum dia dapat menghentikannya.
"Apa yang dia lakukan?"
Laila mengurangi ceritanya.
Tariq menunjuk Khadim. "Dia" Yang itu" Kau yakin?"
"Aku yakin." Tariq menggertakkan gigi dan menggumamkan sesuatu dalam bahasa Pashto yang tidak
bisa ditangkap oleh Laila. "Tunggu di sini," katanya, sekarang dalam bahasa
Farsi. "Jangan, Tariq-"
Tetapi, Tariq telah menyeberangi jalan.
"nadimlah yang pertama kali melihatnya. Seringainya memudar, dan dia menegakkan
tubuhnya. Dia melepaskan ibu jarinya dari lubang sabuk dan berusaha berdiri
lebih tegap, menampilkan sebanyak mungkin ekspresi jahatnya. Teman-temannya
mengikuti pandangannya. Laila berharap dia tidak pernah mengatakan apa-apa. Bagaimana jika mereka
mengeroyok Tariq" Berapa jumlah mereka sepuluh" Sebelas" Dua belas" Bagaimana ?jika mereka menyakiti Tariq"
Lalu, Tariq berhenti beberapa langkah di hadapan Khadim dan gerombolannya.
Sejenak keheningan berkuasa, dan Laila berpikir, mungkin tidak akan terjadi apaapa. Dan, ketika Tariq membungkuk, Laila membayangkan bahwa dia sedang berpurapura mengikat tali sepatunya dan akan segera berbalik kembali. Lalu, Laila
melihat gerakan tangan Tariq, dan dia pun memahaminya.
Khadim dan gerombolannya pun mengerti ketika Tariq menegakkan badan, berdiri di
atas satu kakinya. Ketika dia mulai berjalan terpincang-pincang menghampiri
Khadim, lalu menyerangnya, kaki palsunya teracung tinggi di atas bahunya
bagaikan sebilah pedang. Anak-anak lain segera menyingkir. Mereka memberikan
jalan untuk Khadim. Lalu, yang ada hanyalah debu, tonjokan, tendangan, dan pekikan.
Khadim tak pernah mengganggu Laila lagi.
MALAM ITU, seperti sebagian besar malam lainnya, Laila menghidangkan makan malam
hanya untuk dua orang. Mammy mengatakan bahwa dia tidak lapar. Pada malam-malam
seperti ini, Mammy menegaskan sikapnya dengan membawa piring ke kamarnya sebelum
Babi pulang. Biasanya dia telah tidur atau berbaring diam di ranjangnya ketika
Laila makan bersama Babi.
Babi keluar dari kamar mandi. Rambutnya yang berselimut tepung putih ketika dia
?pulang terkeramas bersih dan disisir ke belakang.
?"Apa yang kauhidangkan, Laila?"
"Sup aush sisa kemarin."
"Sepertinya enak," kata Babi sembari melipat handuk yang baru saja digunakan
untuk mengeringkan rambut. "Jadi, apa yang akan kita kerjakan malam ini"
Menambahkan pecahan?"
"Sebenarnya, mengubah pecahan untuk menggabungkannya dengan angka lain."
"Ah. Benar." Setiap malam setelah makan, Babi membantu Laila mengerjakan PR dan memberikan
beberapa soal lain. Cara ini digunakan Babi untuk membuat Laila selangkah atau
dua langkah lebih maju daripada teman-teman sekelasnya, bukan lantaran dia tidak
menyetujui kurikulum di sekolah Laila meskipun semuanya bermuatan propaganda.
?Bahkan, Babi berpikir bahwa satu-satunya hal yang dilakukan dengan benar oleh
komunis atau setidaknya begitulah niatnya ironisnya, adalah di bidang
? ?pendidikan, lapangan kerja yang telah
direnggut darinya. Secara lebih spesifik adalah pendidikan untuk perempuan.
Pemerintah memberikan dukungan terhadap kelas-kelas membaca untuk perempuan.
Sekarang, hampir dua per tiga mahasiswa di Universitas Kabul adalah perempuan,
kata Babi, perempuan yang mempelajari hukum, kedokteran, teknik.
Perempuan tidak pernah dianggap di negeri ini, Laila, tapi sekarang, di bawah
rezim komunis, perempuan mungkin lebih mendapatkan kemerdekaan dan berbagai
macam hak lain yang tak pernah mereka dapatkan sebelumnya, kata Babi, selalu
merendahkan suaranya, menyadari betapa kemarahan Mammy akan terpancing setiap
kali mendengar pembicaraan positif tentang komunis. Tetapi memang benar, kata
Babi, sekarang masa yang tepat untuk perempuan Afghanistan. Dan, kau harus
mengambil keuntungan dari hal ini, Laila. Tentu saja, kemerdekaan perempuansekarang, Babi menggeleng \esu-juga menjadi salah satu alasan bagi orang-orang di luar sana
untuk mengangkat senjata lantaran kebakaran jenggot.
Dengan kata "di luar sana", Babi tidak bermaksud mengatakan Kabul, yang selalu
relatif liberal dan progresif. Di Kabul ini, para wanita mengajar di
universitas, mendirikan sekolah, memiliki kedudukan di pemerintahan. Tidak, yang
dimaksud oleh Babi adalah daerah-daerah pelosok, terutama wilayah Pashtun di
sebelah selatan atau timur, di dekat perbatasan Pakistan, tempat wanita jarang
terlihat di jalan dan, kalaupun ada, selalu mengenakan burqa dan ditemani pria. Yang
dimaksud oleh Babi adalah wilayah-wilayah tempat para pria, yang hidup
berdasarkan hukum kesukuan kuno, memberontak melawan komunis dan kebijakan untuk
membebaskan perempuan, melarang pernikahan paksa, menaikkan batas usia
pernikahan menjadi enam belas tahun untuk anak perempuan. Di sana, kata Babi,
para pria menganggap hal semacam ini sebagai penghinaan pada tradisi mereka yang
telah berusia ratusan tahun. Menurut mereka, pemerintah apalagi yang tidak ?percaya kepada Tuhan tidak berhak mengatur waktu yang tepat bagi anak perempuan
?mereka untuk meninggalkan rumah, juga untuk mengizinkan mereka pergi bersekolah
dan bekerja bersama para pria.
Siapa yang tahu akan seperti ini jadinya! Babi mengatakannya dengan nada
sarkastis. Lalu, dia akan menghela napas dan mengatakan, Laila, Sayangku, satusatunya musuh yang tidak bisa dikalahkan oleh bangsa Afghan adalah dirinya
sendiri. Babi duduk di kursinya, mencelupkan roti ke mangkuk aush. Laila memutuskan
bahwa, sambil makan, sebelum belajar tentang pecahan, dia akan bercerita tentang
apa yang dilakukan Tariq kepada Khadim. Tetapi, dia tidak pernah mendapatkan
kesempatan. Karena, tepat pada saat itu, terdengarlah ketukan di pintu, dan, di
luar, seorang asing menyampaikan sebuah berita.[]
BAB 19 f f \ ku perlu bicara dengan orangtuamu, dokhtar X.jan," ujar sang tamu ketika
Laila membuka pintu. Pria itu bertubuh kekar dengan raut muka tajam tertempa
cuaca. Dia mengenakan mantel sewarna kentang, dan pakol wol cokelat bertengger
di kepalanya. "Nama Bapak siapa?"
Lalu, tangan Babi telah ada di bahu Laila, menariknya dengan lembut dari pintu.
"Lebih baik kau naik, Laila. Pergilah."
Ketika menaiki tangga, Laila mendengar pria asing itu menyampaikan kabar dari
Panjshir kepada Babi. Mammy juga telah turun. Dia membungkam mulut dengan
tangan, dan tatapannya beralih dari Babi ke pria ber-pakol itu.
Laila mengintip dari puncak tangga. Dia menyaksikan pria asing itu duduk bersama
kedua orangtuanya. Pria itu mencondongkan tubuh ke arah orangtuanya. Membisikkan
beberapa kata. Lalu, wajah Babi memucat, semakin pucat, dan dia menekuri
tangannya, dan Mammy menjerit, menjerit senyaring mungkin, menjambaki rambutnya
sendiri. Keesokan paginya, pada hari fatiga, sejumlah wanita tetangga berkumpul di rumah
untuk mempersiapkan makan malam khatm yang akan diadakan setelah upacara
pemakaman. Mammy duduk di sofa sepanjang pagi, membelit-belitkan sehelai
saputangan di jari-jarinya, matanya sembap. Dia ditemani oleh dua orang wanita
yang tak henti-hentinya terisak, bergantian menepuk-nepuk tangan Mammy dengan
lembut, seolah-olah dia adalah boneka terlangka dan terapuh di dunia. Mammy
sendiri sepertinya tidak menyadari keberadaan mereka.
Laila berlutut di depan ibunya dan menggenggam tangannya. "Mammy."
Mammy menatapnya. Mengedipkan mata.
"Kami akan menemaninya, Laila jan," salah seorang wanita berkata dengan nada sok
penting. Sebelumnya, Laila juga pernah menghadiri upacara pemakaman dan
menjumpai wanita seperti ini, yang menikmati segala hal yang berhubungan dengan
kematian, petugas resmi yang tidak akan mengizinkan siapa pun melanggar wewenang
yang mereka buat sendiri.
"Semuanya sudah diatur. Pergilah, Nak, lakukanlah hal lain. Biarkanlah dahulu
ibumu." Laila merasa terusir, tidak berguna. Dia berpindah dari satu ruangan ke ruangan
lainnya. Dia berdiam di dapur selama beberapa waktu. Hasina yang, di luar
kebiasaan, tidak banyak bicara,
datang bersama ibunya. Begitu pula Giti dan ibunya. Ketika melihat Laila, Giti
segera berlari menyongsongnya, mengalungkan lengan kurusnya, dan secara
mengejutkan memeluk Laila dengan erat dan lama. Ketika Giti melepaskan
pelukannya, matanya telah basah. "Aku ikut berdukacita, Laila," katanya. Laila
mengucapkan terima kasih kepadanya. Ketiga gadis itu duduk di halaman hingga
salah seorang wanita menyuruh mereka mencuci gelas dan menata piring di meja.
Babi juga tak henti-hentinya keluar dan masuk rumah tanpa tujuan, sepertinya
mencari-cari sesuatu untuk dikerjakan.
"Jangan sampai aku melihatnya." Itulah satu-satunya kalimat yang diucapkan oleh
Mammy sepanjang pagi ini.
Akhirnya, Babi duduk sendirian di kursi lipat di koridor, tampak kecil dan
memelas. Lalu, salah seorang wanita mengatakan bahwa dia menghalangi jalan. Babi
pun meminta maaf dan menghilang di ruang kerjanya.
O Siang itu, para pria pergi ke balai pertemuan di Karteh-Seh yang disewa Babi
untuk acara fatiha. Para wanita datang ke rumah. Laila duduk di samping Mammy,
di dekat pintu masuk ke ruang tamu, tempat bagi keluarga kedua almarhum. Para
pelayat melepaskan sepatu mereka di pintu, mengangguk kepada kenalan mereka
sembari melintasi ruangan, duduk di kursi lipat yang ditata berjajar di sepanjang
dinding. Laila melihat Wajma, bidan tua yang membantu kelahirannya. Dia juga
melihat ibu Tariq, mengenakan kerudung hitam di atas rambut palsunya, memberikan
anggukan pelan dan sedih, serta senyuman dengan bibir terkatup.
Dari sebuah pemutar kaset, suara sengau seorang pria melantunkan ayat-ayat
AlQuran. Meningkahi suara itu, terdengarlah helaan napas, gerakan, dan isakan
para wanita. Terdengar pula batuk tertahan, gumaman, dan, beberapa kali,
seseorang mengeluarkan isakan penuh kepedihan dengan gaya berlebihan.
Istri Rasheed, Mariam, juga datang. Dia mengenakan jilbab hitam. Sejumput
rambutnya tersembul ke kening. Dia duduk di sebuah kursi di sisi lain ruangan,
berhadapan dengan Laila. Di samping Laila, Mammy mengayun-ayunkan tubuhnya ke depan dan belakang. Laila
menarik tangan Mammy ke pangkuannya dan menggenggamnya dengan kedua tangannya,
namun sepertinya Mammy tidak memedulikannya.
"Mammy mau minum?" bisik Laila di telinganya. "Apa Mammy haus?"
Tetapi, Mammy tidak menjawabnya. Mammy tidak mengatakan apa pun, terus mengayunayunkan tubuhnya dan menatap permadani dengan pandangan menerawang tanpa
kehidupan. Setelah beberapa waktu duduk di dekat Mammy, menerima tatapan duka dan penuh
simpati dari seluruh penjuru ruangan, Laila pun menyadari besarnya bencana yang menimpa
keluarganya. Berbagai kemungkinan telah melayang. Berbagai harapan telah sirna.
Tetapi, perasaan itu tidak bertahan lama. Sulit bagi Laila untuk menyelami,
benar-benar menyelami, rasa kehilangan Mammy. Sulit baginya untuk bersedih,
meratapi kepergian orang-orang yang bahkan tidak pernah dia anggap hidup. Ahmad
dan Noor bagaikan sebuah legenda di matanya. Bagaikan tokoh-tokoh dongeng. Rajaraja dalam buku sejarah. Yang nyata adalah Tariq, yang berdarah dan berdaging. Tariq, yang mengajarinya
sumpah serapah dalam bahasa Pashto, yang menyukai asinan daun cengkih, yang
mengerutkan kening dan mengeluarkan geraman bernada rendah ketika mengunyah,
yang memiliki tanda lahir merah muda cerah berbentuk mandolin terbalik di bawah
tulang bahunya. Maka, Laila pun duduk di samping Mammy dan menjalankan tugasnya meratapi
kepergian Ahmad dan Noor. Tetapi, di dalam hatinya, Laila tahu bahwa saudara
laki-laki sejatinya masih hidup dan segar bugar. []
BAB 20 Penyakit ringan yang akan memburu Mammy sepanjang sisa umurnya pun mulai
mengakar. Sakit di dada dan kepala, nyeri persendian dan keringat dingin pada
malam hari, nyeri telinga yang tak kunjung mereda, benjolan yang tak bisa
dirasakan oleh orang lain. Babi membawa Mammy ke dokter, yang mengambil contoh
darah dan urinnya, merontgen tubuhnya, tanpa menemukan satu pun penyakit serius.
Mammy menghabiskan sebagian besar harinya berbaring di ranjang. Dia senantiasa
mengenakan pakaian hitam. Dia mencabuti rambut dan menggigiti tahi lalat di
bawah bibirnya. Ketika Mammy terjaga, Laila mendapati sang ibu berjalan
tertatih-tatih menjelajahi rumah. Perjalanannya selalu berakhir di kamar Laila,
seolah-olah dia akan bertemu dengan kedua anak laki-lakinya jika menunggu di
kamar yang pernah mereka gunakan untuk tidur, kentut, dan bertempur dengan
bantal. Tetapi, yang dia temui hanyalah ketiadaan mereka. Dan Laila. Yang,
diyakini Laila, sudah tidak berarti apa-apa bagi Mammy.
Satu-satunya hal yang tidak pernah dilewatkan oleh Mammy adalah shalat lima
waktu. Setiap selesai shalat, Mammy menunduk, menadahkan tangan di depan
wajahnya, membisikkan doa supaya Tuhan memberikan kemenangan kepada kelompok
Mujahidin. Laila harus menanggung semakin banyak pekerjaan rumah tangga. Jika
tidak sedang membersihkan rumah, dia sibuk mencari-cari pakaian, sepatu, karung
beras yang sudah terbuka, kaleng-kaleng biji-bijian, dan peralatan makan kotor
yang berceceran di mana-mana. Laila mencuci baju-baju Mammy dan mengganti
seprainya. Dia membujuk sang ibu untuk turun dari ranjang supaya bisa mandi dan
makan. Dialah yang menyetrika baju-baju dan melipat celana Babi. Lambat laun,
dia juga memasak.
A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kadang-kadang, setelah selesai melakukan tugas-tugasnya, Laila merangkak ke
ranjang di samping Mammy. Dia mengalungkan lengannya ke tubuh Mammy, mengaitkan
jari-jarinya dengan jari-jari ibunya, membenamkan wajah ke rambutnya. Mammy akan
bergerak, menggumamkan sesuatu. Kemudian, dia akan mulai bercerita tentang kedua
abang Laila. Pada suatu hari, ketika mereka sedang berbaring berdua seperti ini, Mammy
berkata, "Ahmad bisa dipastikan akan menjadi pemimpin. Dia memiliki kharisma
yang besar. Orang-orang yang berumur tiga kali lebih tua darinya pun mau
mendengarnya dengan penuh hormat, Laila. Benar-benar mengesankan. Dan, Noor. Oh,
Noor-ku. Dia selalu membuat sketsa-sketsa bangunan dan jembatan. Dia bercita-cita menjadi arsitek,
kau tahu. Dia akan mengubah Kabul dengan gedung-gedung rancangannya. Dan
sekarang, mereka berdua telah syahid, anak-anakku, menjadi martir."
Laila berbaring diam dan mendengarkan, berharap Mammy akan menyadari bahwa dia,
Laila, belum syahid, bahwa dia masih hidup, di sini, di ranjang ini bersamanya,
memiliki harapan dan masa depan. Tetapi, Laila tahu bahwa masa depannya tidak
dapat menandingi masa lalu kedua abangnya. Ahmad dan Noor membayangi
kehidupannya. Bahkan setelah meninggal pun mereka masih mengunggulinya. Sekarang
Mammy menjadi kurator museum kehidupan mereka, dan Laila menjadi seorang
pengunjung setia. Sebuah tempat penampungan mitos-mitos mereka. Perkamen yang
digunakan Mammy untuk menggoreskan tinta legenda mereka.
"Kurir yang menyampaikan kabar itu, dia mengatakan bahwa ketika Ahmad dan Noor
dibawa kembali ke kamp, Ahmad Shah Massoud secara pribadi mengawasi upacara
pemakaman mereka. Beliau berdoa untuk mereka di tepi liang lahat. Kedua abangmu
adalah pemuda yang gagah berani, Laila. Itulah yang dikatakan oleh Komandan
Massoud sendiri, sang Singa Panjshir, semoga Tuhan memberkatinya, yang mengawasi
pemakaman mereka." Mammy berguling dan berbaring telentang. Laila bergeser, meletakkan kepalanya di
dada Mammy. "Kadang-kadang," kata Mammy dengan suara parau, "aku mendengarkan jam yang
berdetik di luar. Lalu, aku memikirkan setiap detik, setiap menit, setiap jam
dan hari dan minggu dan bulan dan tahun yang masih harus kulalui. Tanpa mereka.
Dan aku tak bisa lagi bernapas, seolah-olah seseorang menginjak jantungku,
Laila. Tubuhku menjadi sangat lemah. Begitu lemah, sampai-sampai aku bisa ambruk
entah di mana." "Apa yang bisa kulakukan untuk Mammy?" ujar Laila, bersungguh-sungguh dalam
ucapannya. Tetapi, pertanyaannya terdengar kaku, meluncur begitu saja, bagaikan
ucapan menenangkan dari orang asing.
"Kau anak perempuan yang baik, Laila," kata Mammy setelah mendesah dalam-dalam.
"Dan aku tidak menjadi ibu yang baik untukmu."
"Jangan bilang begitu, Mammy."
"Oh, memang begitu. Aku tahu itu, dan aku minta maaf, Sayangku."
"Mammy?" "Hmm." Laila duduk, menunduk menatao Mammy. Sekarang, rambut Mammy telah bersemburat
kelabu. Dan, Laila terkesiap melihat tubuh Mammy, yang selalu gemuk, menyusut
drastis. Pipinya tirus, kusam. Blus yang dikenakan merosot di bagian bahunya,
dan terdapat jarak yang lebar antara leher dan lingkar kerahnya. Lebih dari
sekali, Laila menyaksikan cincin kawin Mammy terlepas dari jarinya.
"Aku ingin menanyakan sesuatu pada Mammy." "Apa itu"
"Mammy tidak akan Laila memulai.
Dia sudah membicarakannya dengan Hasina. Atas saran Hasina, mereka berdua
membuang seluruh isi botol aspirin ke selokan, menyembunyikan pisau-pisau dapur
dan pisau kebab yang tajam di bawah permadani dan menutupinya dengan sofa.
Hasina menemukan seutas tali di halaman. Ketika Babi tidak dapat menemukan
pisaunya, mau tidak mau Laila menceritakan ketakutannya kepada ayahnya. Babi
jatuh terduduk di sofa, meletakkan kedua tangannya di lutut. Laila menanti sang
ayah mengeluarkan kata-kata menenangkan. Tetapi, yang dia dapatkan hanyalah
tatapan kosong dan kebingungan.
"Mammy tidak akan ... aku khawatir Mammy akan-"
"Aku berpikir untuk melakukannya setelah mendengar kabar itu," kata Mammy. "Aku
tidak akan berbohong padamu, sekarang pun aku masih memikirkannya. Tapi, tidak.
Jangan cemas, Laila. Aku ingin menyaksikan mimpi kedua anakku terwujud. Aku
ingin melihat hari ketika Soviet kalah dan dipermalukan, hari ketika Mujahidin
memasuki Kabul sambil membawa kemenangan. Aku ingin ada ketika semua itu
terjadi, ketika Afghanistan merdeka sehingga anak-anakku pun akan melihatnya.
Mereka akan melihatnya melalui mataku."
Tak lama kemudian, Mammy tertidur, meninggalkan Laila dengan emosi yang saling
berlawanan: merasa lega karena Mammy memiliki kemauan untuk hidup, merasa
tersengat karena dirinya tidak menjadi alasan Mammy. Dia tidak akan pernah
meninggalkan jejak di hati Mammy seperti kedua abangnya, karena hati Mammy
bagaikan pantai berpasir pucat dengan ombak kesedihan yang menggulung,
menjulang, dan membuncah, selamanya menghapus jejak Laila. []
BAB 21 Sopir taksi menghentikan kendaraannya untuk memberikan jalan bagi konvoi panjang
jip dan kendaraan lapis baja. Tariq mencondongkan tubuh ke depan, melampaui
sopir, dan berseru, "Pajalusta! Pajalusta!"
Salah satu jip mengklakson, dan Tariq membalasnya dengan siulan, melambai-lambai
dengan wajah berseri-seri. "Senapan yang bagus!" teriaknya. "Jip yang hebat!
Tentara yang hebat! Sayang sekali kalian kalah dari beberapa petani berkatapel!"
Konvoi berlalu, dan sopir taksi pun kembali menjalankan kendaraannya. "Masih
jauh?" tanya Laila. "Setidaknya satu jam lagi," kata si sopir. "Kecuali kalau ada konvoi lagi di pos
pemeriksaan." Mereka sedang berwisata, Laila, Babi, dan Tariq. Hasina sebenarnya juga ingin
ikut, telah memohon kepada ayahnya, namun tidak mendapatkan izin. Perjalanan ini
adalah gagasan Babi. Meskipun gajinya pas-pasan, dia telah menabung supaya dapat
menyewa taksi dan sopirnya selama sehari.
Dia tidak mau mengungkapkan tujuannya kepada Laila kecuali mengatakan bahwa,
dengan membawa Laila ke tempat itu, dia memberikan kontribusi terhadap
pendidikan Laila. Mereka telah berada di jalan sejak pukul lima pagi. Seperti yang tampak di
jendela Laila, pemandangan berubah dari puncak-puncak gunung berlapis salju
menjadi gurun-gurun pasir, lalu menjadi tebing-tebing dan hamparan bebatuan yang
terbakar matahari. Di sepanjang jalan, mereka melewati rumah-rumah lumpur dengan
atap jerami dan lahan-lahan yang dihiasi gundukan-gundukan panenan gandum. Di
sana-sini, di lapangan berdebu, Laila melihat tenda-tendah hitam suku pengembara
Koochi. Dan, berulang kali, bangkai gosong tank-tank Soviet dan rongsokan
helikopter. Ini, pikir Laila, adalah Afghanistan milik Ahmad dan Noor. Lagi
pula, di sinilah, di provinsi ini, perang berkecamuk. Bukan di Kabul. Kabul
selalu diselimuti kedamaian. Di Kabul, hanya ada tembakan senapan yang sesekali
terdengar, prajurit Soviet yang merokok di trotoar, dan jip Soviet yang selalu
lalu lalang di jalan. Selebihnya, perang hanyalah kabar burung.
Siang telah menjelang, begitu mereka melewati dua buah pos pemeriksaan lagi,
ketika mereka tiba di sebuah lembah. Babi dan Laila mencondongkan tubuh ke depan
dan menunjuk ke kejauhan pada sederet tembok yang tampak kuno dan merah terbakar
matahari. "Nama tempat itu adalah Shahr-e-Zohak. Kota
Merah. Dahulu, tempat itu adalah sebuah benteng. Dibangun sembilan ratus tahun
yang lalu untuk melindungi lembah dari penjajah. Cucu Genghis Khan menyerangnya
pada abad ketiga belas, tapi dia terbunuh. Akhirnya, Genghis Khan sendirilah
yang menghancurkannya."
"Dan itu, Teman-Teman mudaku, adalah kisah negara kita, penjajah datang silih
berganti," kata si sopir, menjentikkan rokoknya ke luar jendela. "Macedonia.
Sassania. Arab. Mongolia. Sekarang Soviet. Tapi, kita seperti benteng di atas
sana. Bobrok, dan sama sekali tidak menyenangkan untuk dilihat, tapi tetap
berdiri. Bukankah itu benar, Badar?"
"Memang benar," sahut Babi.
O Setengah jam kemudian, taksi berhenti.
"Ayo, kemari kalian berdua," kata Babi. "Keluar dan lihatlah."
Mereka keluar dari taksi. Babi menunjuk. "Di sana. Lihatlah."
Tariq terkesiap. Begitu pula Laila. Dan, Laila tahu bahwa mungkin saja dia akan
hidup hingga seratus tahun dan tidak akan pernah lagi melihat pemandangan
seagung ini. Dua patung Buddha berukuran raksasa, menjulang jauh lebih tinggi daripada yang
pernah dibayangkan dari semua foto yang pernah dia lihat. Berdiri di tengahtengah tebing batu yang bermandikan sinar matahari, keduanya menatap mereka, seperti hampir dua ribu
tahun sebelumnya ketika keduanya, dalam bayangan Laila, menatap karavan-karavan
yang melewati lembah yang termasuk dalam Jalan Sutra ini. Di kanan dan kiri
kedua patung itu, di sepanjang tebing batu raksasa, terdapat gua-gua kecil.
"Aku merasa sangat kecil," kata Tariq.
"Kalian ingin memanjat ke atas?" tanya Babi.
"Memanjat patung-patung itu?" Laila bertanya. "Apakah kita boleh melakukannya?"
Babi tersenyum dan mengulurkan tangan. "Ayo."
Tariq mengalami kesulitan ketika memanjat. Dia harus berpegangan tangan dengan
Laila dan Babi, mendaki tangga temaram yang sempit dan berliku. Mereka melihat
gua-gua gelap di sepanjang jalan yang mereka lalui, dan di sana-sini terdapat
lorong-lorong yang menembus tebing.
"Hati-hati dengan langkahmu," kata Babi. Suaranya bergema nyaring. "Tanahnya
tidak rata." Di beberapa bagian, terdapat tangga untuk memasuki gua Buddha.
"Jangan melihat ke bawah, Anak-Anak. Tetap lihat ke depan."
Sembari mendaki, Babi menceritakan kepada mereka bahwa dahulu, Bamiyan pernah
menjadi pusat kebudayaan Buddha yang maju hingga akhirnya jatuh ke tangan
pemerintahan Islam pada abad kesembilan. Tebing batu itu menjadi rumah bagi para biarawan Buddha yang
memahat gua-gua sebagai tempat tinggal dan peristirahatan bagi peziarah yang
kelelahan. Para biarawan itu, kata Babi, membuat lukisan indah di dinding dan
langit-langit gua mereka.
"Pada suatu waktu," kata Babi, "pernah terdapat lima ribu orang biarawan yang
hidup sebagai pertapa di gua-gua ini."
Tariq nyaris tak mampu lagi bernapas ketika mereka tiba di puncak. Babi juga
terengah-engah. Tetapi, matanya berseri-seri senang.
"Kita berdiri di atas kepalanya," katanya, mengelap keningnya dengan saputangan.
"Kita bisa melihat ke bawah dari sini." Mereka beringsut mendekati tebing yang
curam dan, berdiri bersisian dengan Babi berada di tengah, menatap lembah di
bawah. "Lihatlah ini!" seru Laila.
Babi tersenyum. Lembah Bamiyan di bawah mereka berselimut lahan-lahan pertanian yang subur
menghijau. Kata Babi, yang ditanam di sana adalah gandum musim dingin hijau dan
alfalfa, juga kentang. Lahan-lahan itu dipagari oleh pohon-pohon poplar dan
dibelah oleh alur-alur sungai dan selokan irigasi, dengan para wanita yang
tampak mungil berjongkok mencuci pakaian. Babi menunjuk sawah dan lahan barley
yang berteras-teras. Saat itu musim gugur, dan Laila dapat melihat orang-orang
bertunik warna-warni berdiri di atas atap-atap rumah batu
bata berlapis lumpur untuk menjemur panenan mereka. Jalan utama menuju kota juga
diapit oleh pohon-pohon poplar. Terdapat toko-toko kecil, kedai-kedai teh, dan
kios-kios pemangkas rambut di kedua sisinya. Lebih jauh lagi, melewati desa,
sungai, dan lahan pertanian, Laila melihat kaki perbukitan, telanjang dan
cokelat berdebu, dan lebih jauh lagi, lebih jauh dari segalanya di Afghanistan,
menjulanglah Hindu Kush dengan puncak berselimut salju.
Langit di atas semua pemandangan ini membentang biru tanpa awan.
"Sunyi sekali," Laila mengatur napas. Dia dapat melihat domba-domba dan kudakuda yang tampak mungil, namun tidak dapat mendengar embikan ataupun ringkikan
mereka. "Itulah yang selalu kurasakan ketika berada di atas sini," kata Babi.
"Kesunyiannya. Kedamaiannya. Aku ingin kalian mengalaminya. Lebih daripada itu,
aku juga ingin kalian melihat warisan negara ini, Anak-Anak, mempelajari masa
lalunya yang kaya. Kalian tahu, aku bisa mengajarkan beberapa hal kepada kalian.
Selebihnya, kalian dapat membaca buku. Tetapi, ada beberapa hal yang, yah, harus
dilihat dan dirasakan sendiri."
"Lihat," tunjuk Tariq.
Mereka menyaksikan seekor elang terbang berputar di atas desa.
"Babi pernah mengajak Mammy ke sini?" tanya Laila.
"Oh, sering sekali. Sebelum Ahmad dan Noor
lahir. Sesudahnya juga pernah. Ibumu, dulu dia suka bertualang, dan ... sangat
hidup. Dia adalah orang terhidup dan terbahagia yang pernah kujumpai." Babi
tersenyum mengingat kenangan ini. "Kau harus mendengar tawanya. Aku bersumpah,
itulah alasanku menikahinya, Laila, tawanya itu. Kekuatannya meluluhlantakkan
pendengarnya. Tidak ada yang bisa menandinginya."
Gelombang kasih sayang menerpa Laila. Sejak saat itu, inilah yang selalu dia
ingat tentang Babi: ketika dia mengenang Mammy, dengan sikut bersandar di batu,
tangan menyangga dagu, rambut dipermainkan angin, mata memicing melawan sinar
matahari. "Aku mau masuk ke gua-gua itu," kata Tariq.
"Berhati-hatilah," sahut Babi.
"Baiklah, Kakajan," suara Tariq menggema.
Laila menatap tiga orang pria yang berada jauh di bawah, bercakap-cakap di dekat
seekor sapi yang terikat di pagar. Di sekeliling mereka, pepohonan telah berubah
warna menjadi kuning dan oranye, dan beberapa di antaranya merah menyala.
"Aku juga merindukan Ahmad dan Noor, kau tahu," kata Babi. Matanya berkaca-kaca.
Dagunya gemetar. "Aku mungkin tidak .... Ibumu menampilkan kebahagiaan dan
kesedihannya dalam cara berlebihan. Dia tak bisa menyembunyikannya. Tak pernah
bisa. Aku, kupikir aku berbeda. Aku cenderung .... Tapi, hatiku juga hancur
bersama kepergian kedua abangmu. Aku juga merindukan mereka. Tidak sehari pun
kulalui tanpa .... Sungguh
berat, Laila. Sangat berat." Babi menekan sudut matanya dengan ibu jari dan
telunjuk. Ketika berusaha berbicara, suara Babi pecah. Dia mengatupkan bibirnya
dan terdiam sejenak. Dia menarik napas panjang, dalam, lalu menatap Laila.
"Tapi, aku bahagia karena memilikimu. Setiap hari, aku bersyukur kepada Tuhan
karena telah memberikan padaku dirimu. Setiap hari. Kadang-kadang, ketika ibumu
sedang mengalami hari-hari tergelapnya, kurasa hanya kaulah yang kumiliki,
Laila." Laila beringsut merapatkan diri pada Babi dan menempelkan pipi ke dadanya. Babi
tampak terkejut tidak seperti Mammy, Babi jarang mengekspresikan rasa sayangnya?secara fisik. Dia mencium puncak kepala Laila sekilas dan balas memeluknya
dengan canggung. Mereka berdiri seperti ini selama beberapa waktu, menatap
Lembah Bamiyan di bawah mereka.
"Meskipun sangat mencintai tanah air kita ini, kadang-kadang aku berpikir untuk
pergi dari sini," kata Babi.
"Ke mana?" "Ke tempat mana pun yang membuat kita mudah melupakan. Pertama-tama ke Pakistan,
kupikir. Setahun, mungkin dua. Sambil menunggu surat-surat kita diproses."
"Setelah itu?" "Setelah itu, yah, dunia ini sangat luas. Mungkin Amerika. Di suatu tempat di
dekat laut. Mungkin California."
Kata Babi, mereka akan diperlakukan dengan baik di Amerika. Mereka akan
mendapatkan bantuan uang dan makanan selama beberapa waktu, sebelum dapat
berdiri sendiri. "Aku akan mendapatkan pekerjaan, dan, dalam beberapa tahun, setelah memiliki
cukup tabungan, kita bisa membuka sebuah restoran Afghan kecil. Tidak perlu
mewah, menurutku, tempat kecil yang sederhana saja, beberapa meja, beberapa
ambal. Mungkin kita bisa menggantungkan lukisan Kabul. Kita akan memberikan
citarasa Afghan untuk orang Amerika. Dan, dengan masakan ibumu, mereka akan
mengantre sampai ke jalan.
"Dan kau, kau akan melanjutkan sekolah, tentu saja. Kau tahu bagaimana sikapku
tentang hal ini. Sekolahmu akan menjadi prioritas paling utama kita, pendidikan
yang baik, SMA dan kuliah. Tapi, dalam waktu senggangmu, kalau kau mau, kau
boleh membantu kami, mencatat pesanan, menuangkan air ke gelas, hal-hal semacam
itu." Kata Babi, mereka akan menyelenggarakan pesta ulang tahun, upacara pertunangan,
dan perayaan Tahun Baru di restoran. Tempat itu akan menjadi tempat berkumpul
warga Afghan yang, seperti mereka, berhasil melarikan diri dari perang. Dan,
setelah malam larut, setelah semua tamu pergi dan tempat itu dibersihkan, mereka
akan duduk di meja yang kosong, menghirup teh, mereka bertiga, lelah namun
bersyukur atas keberuntungan mereka.
Ketika Babi selesai bicara, dia terdiam. Mereka berdua terdiam. Mereka tahu
bahwa Mammy tidak
A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan mau pergi ke mana pun. Meninggalkan Afghanistan tak pernah terpikirkan oleh
Mammy ketika Ahmad dan Noor masih bernyawa. Sekarang, setelah kedua putranya
syahid, mengemasi seluruh harta mereka dan melarikan diri akan dia anggap
sebagai penghinaan, pengkhianatan, pengabaian atas pengorbanan kedua putranya.
Bagaimana mungkin kau memikirkannya" Laila dapat mendengar apa yang akan
dikatakan ibunya. Apa kematian mereka tidak berarti apa pun bagimu, Sepupu"
Satu-satunya yang membuatku bertahan ada/ah mengetahui bahwa aku berjalan di
tanah yang sama, yang telah basah oleh darah mereka. Tidak. Tidak akan pernah.
Dan, Laila tahu, Babi tak akan pernah pergi tanpa Mammy, meskipun Mammy tidak
mampu lagi menjalankan peran baik sebagai istrinya maupun sebagai ibu Laila.
Bagi Mammy, Babi sebaiknya menepiskan jauh-jauh mimpi siang bolongnya
sebagaimana dia menepiskan tepung yang menempel di mantelnya sepulangnya dia
dari bekerja. Dan, mereka pun akan tetap tinggal di sini. Mereka akan tinggal di
sini hingga perang berakhir. Mereka akan tetap tinggal untuk menantikan apa pun
yang akan terjadi setelah perang usai.
Laila ingat ketika Mammy memarahi Babi, mengatakan kepadanya bahwa dia telah
menikah dengan seorang pria yang tidak memiliki keyakinan. Mammy tidak mengerti.
Mammi tidak memahami bahwa jika dia melihat bayangannya sendiri di cermin, dia
akan menemukan keyakinan hidup Babi
yang telah runtuh membalas tatapannya
Selanjutnya, setelah mereka menyantap bekal makan siang berupa telur rebus dan
kentang dengan roti, Tariq tertidur kelelahan di bawah pohon, di tepi sebuah
sungai dengan air bergemericik. Dia melipat mantelnya dan menggunakannya sebagai
bantal, lalu menyilangkan kedua tangannya di dada. Sopir taksi pergi ke desa
untuk membeli biji almon. Babi duduk di kaki sebatang pohon akasia besar dan
membaca sebuah novel. Laila tahu tentang buku itu; Babi pernah membacakannya
untuknya. Ceritanya tentang seorang nelayan bernama Santiago yang menangkap
seekor ikan besar. Tapi, ketika dia menjalankan kembali kapalnya, tidak ada lagi
yang tersisa dari ikan yang dibangga-banggakannya; hiu telah mengoyak-ngoyak
dagingnya. Laila duduk di tepi sungai, mencelupkan kakinya ke air yang sejuk. Di atas
kepalanya, nyamuk-nyamuk berdengung dan serbuk dari pohon kapuk menari-nari.
Seekor capung terbang di dekatnya. Sayap binatang itu, yang mengepak cepat,
memantulkan sinar matahari, berkilauan dalam cahaya ungu, lalu hijau, lalu
oranye. Di seberang sungai, sekelompok anak laki-laki Hazara dari desa memunguti
butiran-butiran kotoran sapi kering dari tanah dan memasukkannya ke karung goni
yang tersandang di bahu mereka. Di suatu
tempat, seekor keledai meringkik. Sebuah generator menyala.
Laila memikirkan kembali impian kecil Babi. Di suatu tempat di dekat laut.
Ada sesuatu yang tidak dikatakan oleh Laila kepada Babi ketika mereka berdua
berada di puncak kepala Buddha. Untuk satu alasan penting, Laila lega karena
mereka tak dapat pergi. Dia memang akan merindukan Giti dan ketulusannya yang
kadang-kadang menyusahkan, ya, dan juga Hasina, dengan tawa jahil dan candaan
cerobohnya. Tetapi, yang paling utama, Laila masih dapat mengingat dengan sangat
baik kebosanan tak tertahankan yang dia rasakan ketika Tariq pergi ke Ghazni
selama berminggu-minggu. Dia masih bisa merasakan bagaimana waktu merayap dengan
amat sangat lambat tanpa adanya Tariq, bagaimana dia merindukan seseorang untuk
mencurahkan perasaannya, bagaimana dia merasa kehilangan keseimbangan. Bagaimana
mungkin dia akan dapat bertahan jika selamanya berpisah dengan Tariq"
Mungkin keinginan kuatnya untuk terus berdekatan dengan seseorang di sini, di
negara tempat tubuh kedua abangnya terkoyak peluru, memang tidak masuk akal.
Tetapi, yang harus dilakukan oleh Laila hanyalah membayangkan Tariq menghadapi
Khadim dengan menyandang kaki palsunya, dan tidak satu pun di dunia ini yang
lebih masuk akal baginya.
<" Enam bulan kemudian, pada April 1988, Babi pulang membawa kabar istimewa.
"Mereka sudah menandatangani nota kesepakatan!" serunya. "Di Jenewa. Sudah
resmi! Mereka akan pergi. Dalam waktu sembilan bulan, tidak akan ada lagi orang
Soviet di Afghanistan!"
Mammy tidak beranjak dari ranjangnya. Dia mengangkat bahu.
"Tapi, rezim komunis masih ada di sini," katanya. "Najibullah sama saja dengan
boneka Presiden Soviet. Dia tidak akan pergi ke mana-mana. Tidak, perang belum
selesai. Ini bukan akhirnya."
"Najibullah tidak akan bertahan lama," tukas Babi.
"Mereka akan pergi, Mammy! Mereka benar-benar pergi!"
"Terserah saja kalau kalian berdua mau merayakannya. Tapi, aku tak akan keluar
hingga Mujahidin melakukan pawai kemenangan di Kabul ini."
Dan, setelah itu, Mammy pun kembali berbaring dan menarik selimutnya.[]
BAB 22 ^^^^ Januari 1989 Pada suatu hari beku pada Januari 1989, tiga bulan sebelum Laila berulang tahun
kesebelas, dia bersama kedua orangtuanya dan Hasina pergi menonton konvoi
terakhir pasukan Soviet yang telah ditarik mundur dari kota. Banyak orang
berkumpul di kedua sisi jalan umum di luar Klab Militer yang terletak di dekat
Wazir Akbar Khan. Mereka berdiri di atas salju berlumpur dan menyaksikan barisan
tank, truk berlapis baja, dan jip, sementara butiran salju ditiup angin di depan
lampu-lampu sorot yang menyala terang. Cemoohan dan caci maki terdengar. Para
prajurit Afghan menghalau penduduk dari jalan. Beberapa kali, mereka harus
meluncurkan tembakan peringatan.
Mammy mengacungkan tinggi-tinggi foto bergambar Ahmad dan Noor yang sedang duduk
beradu punggung di bawah pohon pir. Ada banyak orang yang berbuat sama, para
wanita yang mengacungkan setinggi mungkin foto-foto suami, anak, dan saudaranya
yang syahid di medan perang.
Seseorang menepuk bahu Laila dan Hasina. Mereka berpaling dan melihat Tariq.
"Dari mana kau mendapatkan benda itu?" seru Hasina.
"Kupikir aku harus berdandan untuk peristiwa ini," kata Tariq. Dia mengenakan
sebuah topi bulu besar khas Rusia, lengkap dengan penutup telinga yang ditarik
ke bawah. "Bagaimana penampilanku?"
"Sangat konyol," Laila tergelak.
"Memang itulah tujuannya."
"Apa orangtuamu mau membawamu dengan pakaian seperti itu ke sini?"
"Mereka ada di rumah, sebenarnya."
Pada musim gugur sebelumnya, paman Tariq yang tinggal di Ghazni meninggal karena
serangan jantung. Beberapa minggu kemudian, ayah Tariq juga mendapatkan serangan
jantung yang menjadikan kondisi Tariq menurun drastis, selama beberapa minggu
didera kecemasan dan depresi. Laila senang melihat Tariq seperti ini, seperti
dirinya yang sejati. Selama berminggu-minggu setelah ayahnya sakit, Laila
menyaksikan Tariq berkeliaran tanpa tujuan dengan wajah suram dan sendu.
Mereka bertiga menyelinap keluar dari kerumunan sementara Mammy dan Babi berdiri
menonton pasukan Soviet. Dari seorang pedagang kaki lima, Tariq membelikan
mereka masing-masing seporsi kacang rebus dengan saus cilantro kental. Mereka
makan di bawah kanopi sebuah toko permadani yang tutup pada hari itu, lalu
Hasina pergi untuk mencari keluarganya.
Dalam perjalanan pulang, di dalam bus, Tariq dan Laila duduk di belakang kedua
orangtua Laila. Mammy duduk di dekat jendela, tatapannya menerawang ke luar, lengannya memeluk
erat foto di dadanya. Di sampingnya, Babi mendengarkan tanpa ekspresi pendapat
seorang pria tentang Soviet yang mungkin saja pergi, namun akan tetap
mengirimkan senjata untuk Najibullah di Kabul.
"Najibullah adalah boneka mereka. Mereka akan terus mengobarkan perang melalui
tangannya, lihat saja nanti."
Seseorang di seberang mereka mengiyakan.
Mammy menggumamkan doa panjang, yang terus berlanjut hingga dia kehabisan napas
dan harus mengeluarkan kata-kata terakhirnya dalam lengkingan kecil bernada
tinggi. Sore harinya, Laila dan Tariq pergi ke gedung bioskop Cinema Park dan, mau tidak
mau, menonton satu-satunya film yang diputar di sana, sebuah film Soviet yang
telah disulihsuarakan ke dalam bahasa Farsi. Film itu menceritakan sebuah kapal
pedagang, dengan seorang kelasi di dalamnya yang jatuh cinta kepada anak
perempuan kapten kapal. Nama gadis itu Alyona. Lalu, datanglah sebuah badai
ganas, kilat menyambar-nyambar, hujan turun dengan deras, ombak mempermainkan
kapal. Salah seorang kelasi yang panik meneriakkan sesuatu. Sebuah suara Afghan
yang, lucunya, bernada tenang, menerjemahkannya, "Tuanku, bisakah Anda
mengulurkan tali itu?"
Mendengarnya, tawa Tariq meledak. Dan, tak lama kemudian, mereka berdua pun
tertawa terbahak-bahak. Ketika tawa mereka mulai mereda, entah Tariq ataupun
Laila kembali terkikik, dan mereka pun segera terbahak-bahak kembali. Seorang
pria yang duduk dua baris di depan mereka menoleh dan mendesis marah.
Sebuah adegan pernikahan terjadi menjelang film berakhir. Sang kapten akhirnya
mengalah dan mengizinkan Alyona menikah dengan si kelasi. Kedua pengantin baru
itu saling melemparkan senyuman. Semua orang menghirup vodka.
"Aku tak akan pernah mau menikah," bisik Tariq.
"Aku juga," kata Laila, namun setelah beberapa saat terdiam karena gugup. Dia
khawatir suaranya tidak mampu menutupi kekecewaannya karena mendengar ucapan
Tariq. Jantungnya berdegup kencang, dan dia pun menambahkan, kali ini lebih
terdengar tegas, "Tak akan pernah."
"Pernikahan memang konyol."
"Kerepotannya."
"Uang yang terbuang percuma."
"Untuk apa semua itu?"
"Untuk baju yang tak akan pernah kaupakai lagi." "Ha!"
"Kalau aku harus menikah," kata Tariq, "pelaminanku harus muat untuk tiga orang.
Aku, istriku, dan seseorang yang bertugas menodongkan pistol ke kepalaku."
Di layar, Alyona dan suami barunya berciuman.
Melihat adegan itu, Laila merasa tidak nyaman.
Dia menyadari bahwa keberadaan Tariq di sisinya, tegap dan bergeming, menjadikan
jantungnya berdegup kencang, darahnya bergejolak di dalam telinga. Adegan ciuman
di dalam film berlangsung lama. Laila tiba-tiba merasakan tekanan untuk tidak
bergerak ataupun bersuara. Dia merasa Tariq sedang mengamatinya satu mata ke ?film, satu mata ke dirinya sama seperti Laila yang sedang mengamati/iya1.
?Apakah Tariq mendengar embusan napas di hidungnya, pikir Laila, menantikan
perubahan yang terjadi, sebuah pencerahan, yang akan mengkhianati keteguhan
pikirannya" Dan, bagaimanakah rasanya menciumnya, merasakan kumis pendek dan kaku
menggelitiki bibirnya"
Lalu, Tariq bergerak dengan canggung di kursinya. Dalam suara parau, dia
berkata, "Apa kau tahu, kalau kau bersin di Siberia, ingusmu akan jadi es
sebelum jatuh ke tanah?"
Mereka berdua tertawa dengan gugup. Ketika film selesai dan mereka berdua
keluar, Laila lega melihat sinar matahari di langit telah meredup, menjadikannya
tidak harus menatap mata Tariq dalam terangnya siang.[]
BAB 23 April 1992 Tiga tahun telah berlalu. Sepanjang waktu itu, ayah Tariq mengalami serangkaian
stroke. Serangan-serangan itu menyebabkan kelumpuhan di tangan kirinya dan
kesulitan dalam berbicara. Ketika dia cemas dan marah, yang sering terjadi,
kegaguannya pun bertambah parah.
Karena kakinya mengalami pertumbuhan, Tariq mendapatkan kaki palsu baru dari
Palang Merah, meskipun dia harus menunggu selama enam bulan.
Seperti yang selalu ditakuti oleh Hasina, keluarganya membawanya ke Lahore,
tampat dia akan menikah dengan sepupunya yang memiliki bengkel. Pada pagi hari
sebelum Hasina pergi, Laila dan Gitu Giti pergi ke rumahnya untuk mengucapkan
selamat jalan. Hasina mengatakan kepada mereka bahwa sepupunya, calon suaminya,
telah mulai mengusahakan proses perpindahan mereka ke Jerman, tempat abang
sepupunya itu telah menetap. Dalam waktu setahun, pikir Hasina, mereka akan
pindah ke Frankfurt. Mereka bertiga berpelukan dan menangis bersama. Tak ada
yang bisa menenangkan Giti. Laila terakhir kali melihat Hasina ketika, bersama
ayahnya, gadis itu duduk di bangku belakang taksi yang penuh sesak.
Uni Soviet hancur lebur dengan kecepatan luar biasa. Setiap minggu, sepertinya
Babi pulang dengan membawa kabar tentang republik terakhir yang mendeklarasikan
kemerdekaan. Lituania. Estonia. Ukraina. Bendera Soviet yang dahulu berkibar di
Kremlin telah diturunkan. Republik Rusia telah lahir.
Di Kabul, Najibullah mengganti taktik dan berusaha tampil sebagai Muslim yang
taat. "Upaya yang sangat terlambat dan mengenaskan," kata Babi. "Tidak mungkin
dalam waktu sehari saja seorang ketua KHAD berubah menjadi pria taat yang
sembahyang berjamaah di masjid bersama orang-orang yang keluarganya telah
disiksa dan dibunuhnya." Merasakan tekanan semakin kuat di Kabul, Najibullah
berusaha membuat kesepakatan dengan Mujahidin, namun mendapatkan penolakan
sengit. Dari ranjangnya, Mammy berkata, "Memang begitu seharusnya." Mammy tetap
menantikan kejayaan Mujahidin dan parade kemenangan mereka. Menantikan musuh
kedua anak laki-lakinya ditaklukkan.
<" Dan, akhirnya, penantian Mammy berakhir. Pada April 1922, tahun ketika Laila
berumur empat belas. Najibullah akhirnya menyerah dan mendapatkan suaka di kompleks PBB, di dekat
Istana Darulaman di bagian selatan Kabul.
Jihad telah berakhir. Berbagai macam rezim komunis yang menggalang kekuatan
sejak malam kelahiran Laila telah dibekuk. Para pahlawan Mammy, saudara-saudara
Ahmad dan Noor di medan perang, telah menang. Dan sekarang, setelah lebih dari
satu dekade mengorbankan segalanya, meninggalkan keluarga mereka dan tinggal di
gunung-gunung untuk memperjuangkan kemerdekaan Afghanistan, Mujahidin pulang ke
Kabul, membawa tubuh mereka yang letih tertempa perang.
Mammy tahu semua nama mereka.
Dostum, komandan Uzbek yang flamboyan, ketua faksi Junbish-i-Milli, yang
memiliki reputasi sebagai pemersatu kekuatan; Gulbuddin Hekmatyar yang tampak
galak dan tegang, ketua faksi Hezb-e Islami, seorang Pashtun yang pernah kuliah
teknik dan pernah membunuh seorang mahasiswa pengikut Mao; Rabbani, seorang
Tajik yang menjadi ketua faksi Jamiat-e-Islami, pernah menjadi dosen agama di
Universitas Kabul pada masa kejayaan monarki; Sayyaf, seorang Pashtun dari
Paghman yang memiliki banyak koneksi Arab, seorang Muslim yang taat dan ketua
faksi Ittehad-i-Islami; Abdul Ali Mazari, ketua faksi Hizb-e-Wahdat, dikenal
dengan nama Baba Mazari di antara rekan-rekan Hazaranya, yang memiliki hubungan
kuat dengan golongan Syiah di Iran.
Dan, tentu saja, pahlawan kesayangan Mammy, sekutu Rabbani, seorang komandan
Tajik karismatik karismatis bernama Ahmad Shah Massoud, sang Singa Panjhsir.
Mammy memasang posternya di kamarnya. Wajah Massoud yang tampan dan bijaksana,
alisnya yang tinggi, juga pakol miring yang menjadi ciri khasnya, segera
terlihat di seluruh penjuru Kabul. Mata hitamnya yang teduh menatap penduduk
Kabul dari berbagai baliho, tembok, etalase toko, dan bendera-bendera kecil yang
dikibarkan di antena taksi.
Bagi Mammy, inilah hari yang telah didamba-dambakannya. Penantiannya selama
bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil.
Akhirnya, dia dapat mengakhiri tirakatnya, dan kedua anak laki-lakinya akan
beristirahat dalam kedamaian.
Pada hari setelah Najibullah menyerah, Mammy bangkit dari ranjangnya sebagai
seorang wanita baru. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun sejak Ahmad dan Noor
syahid, dia menanggalkan baju hitam. Dia mengenakan gaun linen biru bermotif
polka dot putih. Dia mengelap jendela-jendela, menyapu lantai, membuka pintupintu, dan berlama-lama di kamar mandi. Suaranya ceria dan riang.
"Aku akan menyelenggarakan pesta syukuran," dia mengumumkan.
Dia mengirim Laila untuk menyampaikan undangan kepada para tetangga. "Katakanlah
kepada mereka bahwa besok kita akan menyelenggarakan pesta makan siang besarbesaran!" Di dapur, Mammy berdiri dan melihat ke sekelilingnya, berkacak pinggang, dan
berkata dengan riang, "Apa yang kaulakukan pada dapurku, Laila" Wooy. Semuanya
acak-acakan." Mammy mulai memindah-mindahkan berbagai macam panci dan wajan, dengan dramatis,
seolah-olah dia sedang mengklaim kembali wilayah kekuasaannya setelah pergi
begitu lama. Laila menyingkir. Lebih baik begitu. Kondisi euforia Mammy sama
tidak tertahankannya dengan ledakan amarahnya. Dengan energi penuh, Mammy
menyiapkan hidangan: sup aush dengan kacang merah dan daun dill kering, kofta,
mantu panas bersimbah yoghurt segar dan daun mint.
"Kau mencabuti alismu," kata Mammy sembari membuka sekarung besar beras di pojok
dapur. "Cuma sedikit."
Mammy menuangkan beras di karung ke dalam sebuah kuali besar berisi air. Dia
menggulung lengan bajunya dan mulai mengaduk.
"Bagaimana kabar Tariq?"
A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayahnya sakit," kata Laila.
"Omong-omong, berapa umurnya sekarang?"
"Entahlah. Enam puluh, mungkin."
"Maksudku Tariq."
"Oh. Enam belas."
"Dia anak yang baik. Bagaimana menurutmu?"
Laila mengangkat bahu. "Bukan anak-anak lagi, ya" Enam belas. Hampir menjadi pria dewasa. Bagaimana
menurutmu?" "Mammy ini sebenarnya bicara apa?"
"Tidak ada," kata Mammy, tersenyum polos. "Tidak ada. Hanya saja, kalian .... Ah,
tidak usah. Lebih baik aku tidak mengatakannya."
"Aku tahu Mammy ingin mengatakannya," kata Laila, merasa jengkel dengan tuduhan
dalam candaan berbelit-belit yang dilontarkan oleh ibunya.
"Yah Mammy memegang pinggiran kuali. Laila melihat sikap aneh dan dibuat-buat
dalam cara Mammy memegang kuali dan mengatakan "Yah". Dia khawatir akan
mendapatkan ceramah panjang.
"Tidak apa-apa kalau anak kecil bermain bersama. Tidak ada bahayanya. Justru
lucu. Tapi, sekarang. Kulihat kau sudah memakai bra, Laila."
Laila merasa tertangkap basah.
"Dan, bukankah kau bisa memberitahuku tentang bra itu. Aku bahkan tidak tahu.
Aku kecewa karena kau tidak bercerita padaku tentang hal ini." Merasa unggul,
Mammy terus mencecar. "Tapi, ini bukan soal bra. Ini soal kau dan Tariq. Dia
laki-laki, kau tahu, dan, sebagai laki-laki, apa dia peduli soal reputasi" Tapi,
kamu" Reputasi seorang gadis, terutama yang secantik kamu adalah hal yang rapuh,
Laila. Seperti burung beo yang hinggap di tangan. Longgarkan sedikit saja
peganganmu, dan ia akan terbang meninggalkanmu."
"Bukankah Mammy sendiri pernah memanjat pagar, menyelinap ke kebun buah dengan
Babi?" ujar Laila, puas dengan responsnya yang cepat.
"Kami saudara sepupu. Dan kami akan menikah. Apakah Tariq telah melamarmu?"
"Dia rafiq, Mammy. Temanku. Bukan seperti itu hubungan kami," kata Laila,
terdengar sengit dan tidak begitu meyakinkan. "Dia kuanggap abang," tambahnya,
tanpa berpikir. Dan, Laila tahu, bahkan sebelum mendung terangkat dari wajah dan
sosok Mammy, bahwa dia telah membuat kesalahan.
"Nyatanya dia bukan abangmu," kata Mammy datar. "Kau tidak akan mau berabang
anak tukang kayu berkaki satu itu. Kedua abangmu sama sekali tidak seperti dia."
"Maksudku bukan .... Bukan itu maksudku."
Mammy menghela napas melalui hidung dan menggertakkan gigi.
"Begini," lanjutnya, tanpa keceriaan yang ditunjukkannya beberapa saat
sebelumnya. "Yang ingin kukatakan adalah sebaiknya kau berhati-hati karena
orang-orang akan membicarakanmu."
Laila membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Dia bukannya tidak melihat maksud
ucapan Mammy. Laila tahu bahwa hari-hari ketika dia dan Tariq berkeliaran tanpa
tujuan di jalanan sebagai anak-anak yang polos dan tanpa dosa telah berlalu.
Sudah sekian lama Laila mulai merasa aneh ketika mereka berdua berada di tempat
umum. Dia menyadari bahwa dirinya sedang dipandang, diamati, dan dibicarakan
oleh orang lain. Laila tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Dan, Laila
bahkan tidak akan merasakannya jika sekarang dia
belum menyadari fakta yang paling mendasar: bahwa dia telah jatuh cinta kepada
Tariq. Setengah mati. Ketika berada di dekat Tariq, pikiran yang tidak
sepantasnya bermain-main di dalam benak Laila. Ketika berbaring di ranjangnya
pada malam hari, Laila membayangkan Tariq mencium perutnya, merasakan kelembutan
bibirnya, meraba lehernya, dadanya, punggungnya, dan seluruh tubuhnya. Ketika
berpikir seperti ini, Laila merasa bersalah, namun dia juga merasakan sensasi
aneh dan kehangatan menyebar dari perutnya, hingga akhirnya wajahnya merona
merah jambu. Tidak. Mammy benar. Bahkan lebih daripada yang disadarinya. Laila curiga bahwa
beberapa, mungkin bahkan sebagian besar, tetangga mereka telah bergosip tentang
dia dan Tariq. Laila pernah melihat senyuman sinis, mendengar kasak-kusuk bahwa
mereka berdua adalah sepasang kekasih. Kemarin, misalnya, dia dan Tariq sedang
berjalan berdampingan ketika berpapasan dengan Rasheed, si tukang sepatu,
diiringi oleh istrinya yang ber-burqa, Mariam. Ketika melewati mereka, Rasheed
berkata dengan nada bercanda, "Wah, inilah Laili dan Majnun," merujuk pada
pasangan kekasih yang sedang dimabuk cinta dalam puisi romantis karya Nezami
yang populer pada abad kedua belas kata Babi, puisi itu adalah versi Persia ?dari kisah Romeo dan Juliet, meskipun Nazemi menuliskan kisah tentang pasangan
kekasih bernasib malang ini empat abad sebelum Shakespeare menulis karya
besarnya. Mammy benar. Yang membuat Laila jengkel adalah karena Mammy tidak berhak mengatakan hal ini
kepadanya. Keadaannya akan berbeda jika Babi yang mengangkat topik ini. Tetapi
Mammy" Selama bertahun-tahun, dia menarik diri, tenggelam dalam dunianya
sendiri, dan tidak memedulikan ke mana Laila pergi, juga siapa yang ditemuinya
dan apa yang dipikirkannya .... Ini tidak adil. Laila merasa bahwa Mammy
menganggapnya menganggap putrinya sama dengan panci-panci dan wajan-wajan di
dalam dapurnya, sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja, lalu dikuasai kembali
kapan pun dia mau. Tetapi, sekarang adalah hari istimewa, hari yang penting bagi mereka semua. Akan
buruk jadinya jika Laila merusaknya hanya gara-gara masalah ini. Untuk menjaga
kedamaian, Laila mengalah.
"Aku mengerti, Mammy."
"Bagus!" kata Mammy. "Kalau begitu, kita sepakat. Sekarang, di mana Hakim" Di
mana, oh di mana, suami mungilku yang manis itu?"
Hari itu cerah tanpa awan, hari yang sempurna untuk sebuah perayaan. Para pria
duduk di kursi-kursi lipat tua yang ditata di halaman. Mereka minum teh,
merokok, dan mengobrol dengan suara nyaring tentang rencana Mujahidin. Dari
Babi, Laila mendengar garis besarnya: Afghanistan sekarang
bernama Negara Islam Afghanistan. Sebuah Dewan Jihad Islam, yang didirikan di
Peshawar oleh beberapa faksi Mujahidin dan diketuai oleh Sibghatullah Mojadidi,
akan mengawasi kondisi negara selama dua bulan. Setelah itu, dewan kepemimpinan
yang dipimpin oleh Rabbani akan mengambil alih dan menjalankan pemerintahan
selama enam bulan. Setelah enam bulan, sebuah loya jirga, sidang besar yang
diikuti oleh para pemimpin dan tetua, akan diselenggarakan untuk membentuk
pemerintahan interim yang akan berkuasa selama dua tahun, hingga
diselenggarakannya sebuah pemilu yang demokratis.
Salah seorang pria mengipasi daging domba yang dipanggang di atas panggangan
darurat. Babi dan ayah Tariq sedang bermain catur di bawah naungan pohon pir
tua. Wajah mereka berkerut karena berkonsentrasi. Tariq juga duduk di dekat
papan permainan, bergantian menatap Babi dan ayahnya, lalu mendengarkan obrolan
politik di meja dekat mereka.
Para wanita duduk di ruang tamu, di koridor, dan di dapur. Mereka mengobrol
sambil menggendong bayi, membiarkan anak-anak yang lebih besar berkejar-kejaran
di sekeliling rumah. Ghazat dari Ustad Sarahang mengalun dari kaset.
Laila berada di dapur bersama Giti, menuangkan dogh ke dalam gelas. Giti tidak
lagi sepemalu dan seserius dahulu. Sudah sejak beberapa bulan yang lalu, kerutan
dalam di kening Giti menghilang. Sekarang, dia tertawa lebih bebas, lebih
sering, dan yang membuat Laila heran sedikit genit. Dia tidak lagi mengekor kuda ? ?rambutnya, tetapi mengurainya dan memberinya memberikan sentuhan pewarna rambut
merah. Akhirnya Laila mengetahui bahwa pemicu perubahan ini adalah seorang
pemuda delapan belas tahun yang menarik perhatian Giti. Pemuda itu bernama
Sabir, seorang penjaga gawang di tim sepak bola abangnya.
"Oh, kalau tersenyum dia jadi tampan sekali, dan rambut hitamnya yang lebat
itu!" kata Giti kepada Laila. Tidak seorang pun mengetahui kesalingtertarikan
mereka, tentu saja. Giti telah dua kali menemuinya menemui pria itu untuk minum
teh bersama secara diam-diam, masing-masing selama lima belas menit, di sebuah
kedai teh di Taimani, sisi lain Kabul.
"Dia akan melamarku, Laila! Mungkin pada awal musim panas ini. Kau percaya,
tidak" Sumpah, aku tak bisa berhenti memikirkannya."
"Bagaimana dengan sekolahmu?" tanya Laila. Giti hanya menelengkan kepala dan
menatap Laila dengan ekspresi Memangnya kau tidak tahu.
Kalau nanti kita sudah berumur dua puluh tahun, itulah yang sering dikatakan
Hasina, aku dan Giti, masing-masing dari kami akan punya empat atau lima anak.
Tapi kau, Laila, kau akan membanggakan kami berdua yang bodoh ini. Kau akan
menjadi orang penting. Aku tahu, suatu hari nanti, aku akan memungut koran dan
melihat wajahmu terpampang di halaman pertama.
Sekarang, Giti berdiri di samping Laila, mengiris iris ketimun dengan tatapan menerawang jauh.
Mammy ada di dekat mereka, dalam balutan gaun musim panas berwarna cerah,
mengupas telur rebus bersama Wajma si bidan, dan ibu Tariq.
"Aku akan menghadiahkan foto Ahmad dan Noor kepada Komandan Massoud," kata Mammy
kepada Wajma, yang mengangguk-angguk dan berusaha memperlihatkan ketertarikan
yang tulus. "Beliau sendiri yang memimpin pemakaman mereka. Beliau berdoa di makam mereka.
Hadiah itu akan menjadi tanda terima kasih atas kebaikan beliau." Mammy mengupas
kulit sebutir telur rebus. "Kudengar beliau pria yang terhormat dan bijaksana.
Kuharap beliau menyukainya."
Di sekeliling mereka, para wanita keluar masuk dapur, membawa mangkuk-mangkuk
berisi qurma, baki-baki berisi mastawa, lembaran-lembaran roti, dan menata
semuanya di atas sofrah yang digelar di lantai ruang tamu.
Sesekali, Tariq berkeliaran di dapur, mencomot ini, mengunyah itu.
"Laki-laki dilarang masuk," seru Giti.
"Keluar, keluar, keluar," !" pekik Wajma.
Tariq tersenyum mendengar usiran penuh canda dari para wanita itu. Sepertinya
dia justru senang karena berhasil mengacaukan ketenangan di tempat ini,
mengganggu atmosfer kewanitaan di tempat ini dengan tingkah selonongan dan
seringaiannya. Laila berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatap Tariq, tidak memberikan lebih
banyak lagi bahan gosip untuk para wanita tetangga mereka.
Maka, dia pun terus menunduk dan tidak mengatakan apa pun kepada Tariq, namun
tak mampu melupakan mimpi yang dia dapatnya pada malam sebelumnya, tentang wajah
mereka berdua yang terlihat di dalam cermin, di bawah kerudung hijau lembut. Dan
butiran beras, berjatuhan dari rambut Tariq, menimpa gelas dengan suara ting.
Tariq menggapai potongan daging dalam semur daging sapi dan kentang.
"Ho bacha1." Giti menepuk punggung tangannya. Tariq tetap mencomot daging
sasarannya sambil tertawa-tawa.
Sekarang Tariq telah satu kakitiga puluh senti lebih tinggi daripada Laila. Dia
mencukur janggutnya setiap hari. Wajahnya lebih tirus, rahangnya menajam.
Bahunya semakin bidang. Tariq suka mengenakan celana panjang berlipit, sepatu
pantofel hitam mengilap, dan kemeja berlengan pendek yang memamerkan lengan
kekarnya berkat set barbel berkarat yang dia angkatnya setiap hari di halaman. ?Akhir-akhir ini, wajahnya sering menampilkan ekspresi jahil. Dia menganggukangguk dengan yakin ketika berbicara, sedikit menelengkan kepala dan menaikkan
salah satu alisnya ketika tertawa. Dia memanjangkan rambutnya, yang
menjadikannya memiliki kebiasaan baru, yaitu mengibaskan rambut tanpa tujuan.
Seringai jahil juga menjadi ciri khas barunya.
Terakhir kalinya Tariq diusir keluar dari dapur, ibunya menangkap basah Laila
sedang mencuri pandang pada putranya. Jantung Laila berdegup
kencang, dan dia segera mengalihkan tatapannya dengan panik. Dia cepat-cepat
menyibukkan diri dengan memasukkan irisan ketimun ke dalam teko berisi yoghurt
encer bergaram. Tapi, dia dapat merasakan pandangan ibu Tariq, juga senyum
simpul penuh persetujuannya.
Para pria mengisi piring dan gelas mereka, lalu membawa makanan mereka ke
halaman. Setelah semua pria keluar, para wanita dan anak-anak duduk di
sekeliling sofrah dan mulai makan.
Setelah sofrah dibersihkan dan piring-piring kotor ditumpuk di dapur, ketika
kerepotan dalam menghidangkan teh dan mengingat-ingat siapa yang lebih menyukai
teh hijau atau teh hitam dimulai, Laila melihat Tariq memberikan isyarat
kepadanya dengan menggerakkan kepala dan menyelinap keluar dari pintu.
Laila menanti selama lima menit, lalu mengikutinya.
Setelah melewati tiga rumah, Laila mendapati Tariq menunggunya, bersandar ke
tembok di sebuah mulut gang. Tariq sedang menyenandyngkan menyenandungkan sebuah
lagu Pashto tua yang dinyanyikan oleh Awal Mir:
Da ze ma ziba watan, da ze ma dada watan. Inilah tanah air kita yang indah,
inilah tanah air kita tercinta.
Dan, dia merokok, kebiasaan baru lain yang didapatkannya dari para pemuda yang
sering bergaul dengannya akhir-akhir ini. Laila tidak tahan
berada bersama mereka, teman-teman baru Tariq itu. Mereka semua berpakaian
dengan gaya yang sama, celana berlipit dan baju ketat yang menonjolkan lengan
dan dada. Mereka semua merokok dan memakai terlalu banyak kolonye. Mereka
bergerombol dan berkeliaran di jalan, saling bercanda, tertawa keras-keras,
kadang-kadang bahkan menggoda gadis-gadis dengan menyunggingkan seringaian
konyol yang seragam di wajah mereka. Salah seorang teman Tariq, yang
berpenampilan paling mirip dengan Sylvester Stallone, bersikeras ingin dipanggil
Rambo. "Ibumu akan membunuhmu kalau dia tahu bahwa kau merokok," kata Laila, menatap ke
kiri dan ke kanan sebelum menyelinap memasuki gang.
"Untungnya dia tidak tahu," kata Tariq, menyisihkan tempat untuk Laila.
"Keadaan bisa berubah."
"Memangnya siapa yang mau mengadu padanya" Kamu?"
Laila menjejakkan kakinya. "Bisikkanlah rahasiamu kepada angin, namun janganlah
salahkan ia yang telah memberi tahu pohon."
Tariq tersenyum, mengangkat salah satu alisnya. "Dari mana asal kalimat itu?"
"Khalil Gibran."
"Dasar tukang pamer."
"Berikan rokokmu padaku."
Tariq menggeleng dan bersedekap. Ini menjadi pose khas barunya: punggung
bersandar ke dinding, lengan bersedekap, rokok menggantung dari sudut
bibir, kaki menekuk santai. "Kenapa?"
"Tidak baik buatmu," kata Tariq. "Tapi, baik buatmu?"
"Aku cuma melakukannya untuk gadis-gadis itu." "Gadis-gadis apa?"
Tariq tersenyum sombong. "Mereka menganggapnya seksi." "Padahal tidak." "Oh ya?"
"Percayalah padaku." "Tidak seksi?"
"Kau kelihatan khifa, seperti orang sinting." "Dalam sekali," kata Tariq.
"Memangnya gadis-gadis mana yang kau maksud?"
"Kau cemburu, ya?" "Aku cuma penasaran."
"Pilih salah satu." Tariq kembali mengisap rokoknya dan memicingkan mata ketika
mengembuskan asapnya. "Aku berani taruhan, pasti mereka sedang membicarakan kita
sekarang." Di dalam kepala Laila, suara Mammy terus mengiang. Seperti burung beo yang
hinggap di tangan. Longgarkan sedikit saja peganganmu, dan ia akan terbang
meninggalkanmu. Rasa bersalah menancapkan kuku ke dalam dirinya. Lalu, Laila
mengusir suara Mammy jauh-jauh. Alih-alih, dia menikmati cara Tariq mengatakan
kita. Meluncur dari mulut Tariq, kata itu terdengar sangat menantang, sangat
mendebarkan. Dan, betapa kata
itu membuatnya lega gaya santai dan alami yang ditunjukkan Tariq saat ?mengatakannya. Kita. Kata itu memberi bentuk pada hubungan mereka,
mengabadikannya. "Memangnya apa yang bakal mereka omongkan?"
"Bahwa kita sedang mendayung di Sungai Dosa," kata Tariq. "Menyantap sepotong
Kue Terlarang." "Menumpang Becak Maksiat?" timpal Laila.
"Membuat Ourma Sesat."
Mereka berdua tergelak. Lalu, Tariq mengomentari rambut Laila yang semakin
panjang. "Bagus jadinya," katanya.
Laila berharap pipinya tidak merona. "Kau mengalihkan pembicaraan."
"Dari apa?" "Gadis-gadis tolol yang menganggapmu seksi." "Kau kan sudah tahu." "Tahu apa?"
"Bahwa perhatianku hanya untukmu." Di dalam hatinya, Laila bersorak senang. Dia
berusaha membaca wajah Tariq, namun hanya melihat ekspresi yang tak mungkin
terbaca: seringaian nakal dan ceria yang bersinggungan dengan tatapan setengah
gila. Sebuah penampilan yang cerdas, berada tepat di tengah-tengah antara
ketulusan dan cemoohan. Tariq menginjak puntung rokoknya dengan tumit kakinya yang sehat. "Jadi,
bagaimana menurutmu semua ini?"
"Pestanya?" "Sekarang siapa yang sinting" Yang kumaksud
Mujahidin, Laila. Kedatangan mereka ke Kabul." "Oh."
Laila mulai mengatakan kepada Tariq tentang berbagai hal yang dikatakan Babi,
tentang perpaduan berbahaya antara senjata dan ego, ketika dia mendengar
keributan terjadi di rumah. Suara-suara nyaring. Jeritan.
Laila segera berlari pulang. Tariq tertatih-tatih di belakangnya.
A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebuah perkelahian sedang berlangsung di halaman. Dua orang pria sedang
bergulat, memperebutkan sebuah pisau. Laila mengenali salah seorang dari mereka
sebagai pria yang mendiskusikan masalah politik di meja dekat Babi. Lawannya
adalah pria yang semula mengipasi daging kebab. Beberapa orang pria berusaha
memisahkan mereka. Babi tidak berada di antara mereka. Dia justru berdiri
merapat ke dinding, jarak yang aman dari pergumulan itu, bersama ayah Tariq yang
tak kuasa menahan tangis.
Dari komentar-komentar yang beredar di sekelilingnya, Laila menangkap potonganpotongan cerita yang kemudian disatukannya: Pria di meja politik itu, seorang
Pashtun, menyebut Ahmad Shah Massoud sebagai seorang pengkhianat karena telah
"membuat kesepakatan" dengan Soviet pada 1980-an. Si pria kebab, seorang Tajik,
tersinggung dan memintanya menarik kembali perkataan itu. Si Pashtun menolaknya.
Si Tajik mengatakan bahwa jika bukan karena Massoud, adik perempuan si Pashtun
masih akan bekerja "memuaskan" para
serdadu Soviet. Amarah mereka pun tak lagi tertahankan. Salah seorang dari
mereka memegang pisau; tidak ada yang yakin siapa sebenarnya yang memulai.
Dengan penuh kengerian, Laila melihat Tariq menerjunkan diri dalam perkelahian itu. Dia juga
melihat bahwa beberapa orang yang tadinya berusaha melerai, sekarang justru
saling mengadu tinju. Dia juga berpikir merasa telah melihat pisau kedua.
Pada malam harinya, Laila memikirkan akhir dari perkelahian itu, dengan para
pria saling bertindihan, saling mengumpat dan melontarkan tinju, dan, di tengahtengahnya, tampaklah wajah sengit Tariq, dengan rambut acak-acakan, kaki palsu
terlepas, berusaha keluar dari kerumunan.
Betapa membingungkannya melihat keadaan begitu cepat berubah.
Sidang dewan dipercepat. Sebagai hasilnya, Rabbani terpilih menjadi presiden.
Faksi-faksi lain meneriakkan adanya nepotisme. Massoud menyerukan perdamaian dan
kesabaran. Hekmatyar, yang telah disisihkan, marah besar. Suku Hazara, dengan sejarah
panjang mereka sebagai kaum yang tertindas dan terabaikan, menuntut keadilan.
Umpatan-umpatan dilayangkan. Telunjuk-telunjuk diacungkan. Tuduhan-tuduhan
dilontarkan. Dalam atmosfer kemarahan, berbagai pertemuan dibatalkan dan pintu-pintu dibanting.
Kota Kabul seakan-akan menahan napas. Di daerah-daerah pegunungan, senapansenapan manual mulai digantikan oleh Kalashnikov.
Mujahidin, yang bersenjata lengkap namun kekurangan musuh bersama, mendapatkan
musuh baru dalam diri sesamanya.
Hari perayaan di Kabul pun akhirnya berakhir.
Dan, ketika roket-roket mulai menghujani Kabul, orang-orang pun tunggang
langgang mencari pertolongan. Mammy juga melakukan hal yang sama, secara
harfiah. Dia kembali mengenakan pakaian hitam, memasuki kamarnya, menutup tirai,
dan bergelung di bawah selimutnya. []
BAB 24 ?"T>unyi peluit itu," kata Laila kepada Tariq,
JU) "bunyi peluit sialan itu, aku membencinya lebih daripada segalanya."
Tariq mengangguk dengan penuh pengertian.
Sebenarnya bukan sekadar bunyi peluit itu, pikir Laila berikutnya, tapi detikdetik yang berlalu sejak bunyi peluit mulai terdengar dan akibat yang terjadi.
Waktu yang singkat namun merayap lambat. Ketidaktahuan akan apa yang akan
terjadi. Penantian. Bagaikan seorang terdakwa yang sedang menunggu vonis
terucap. Hal itu sering terjadi pada waktu makan malam, ketika Laila dan Babi berada di
meja makan. Ketika peluit berbunyi, mereka serta merta menengadah. Mereka
mendengar lengkingan itu, dengan garpu terhenti di udara, makanan yang tak
terkunyah di dalam mulut. Laila melihat bayangan wajahnya dan Baba di kekelaman
jendela. Bayangan mereka bergeming di dinding. Bunyi siulan. Lalu ledakan, entah
di mana, diikuti oleh embusan napas dan pengetahuan bahwa mereka selamat untuk
saat ini, sementara di suatu tempat, di tengah-tengah
ledakan tangis dan gumpalan asap, di tengah kepanikan, tanah digali dengan
tangan telanjang, dan dari tumpukan sampah, muncullah sisa-sisa keberadaan
seorang adik, kakak, cucu.
Tetapi, sisi suram dari keselamatan ini adalah rasa tersiksa saat memikirkan
mereka yang tidak selamat. Setiap kali mendengar ledakan roket, sesudahnya Laila
berlari ke jalan, membisikkan doa dengan mulut gemetar, merasa yakin, kali ini,
tentu saja, orang yang akan mereka temukan di balik reruntuhan bangunan dan
gumpalan asap adalah Tariq.
Pada malam hari, Laila berbaring di ranjang dan menyaksikan sinar putih berkilas
di jendelanya. Dia mendengar rentetan senapan mesin otomatis dan menghitung
bunyi roket yang melesat di langit, merasakan rumahnya berguncang dan serpihanserpihan kecil berjatuhan dari langit-langit. Pada beberapa malam, ketika sinar
yang muncul dari ledakan roket tampak begitu terang sehingga seseorang bisa
membaca buku di bawahnya, Laila tak pernah bisa memejamkan mata. Dan, kalaupun
dia tertidur, mimpi-mimpinya akan berisi api, potongan-potongan tubuh, dan
erangan kesakitan mereka yang terluka.
Pagi hari tidak menimbulkan kelegaan. Azan berkumandang mengajak semua orang
menunaikan shalat Subuh, dan Mujahidin menurunkan senjata mereka, menghadap ke
barat, dan bersujud dalam shalat. Lalu, sajadah kembali dilipat, senjata kembali
diangkat, dan pegunungan kembali
menyerang Kabul, dan Kabul kembali menyerang pegunungan, dan Laila beserta
seluruh penduduk kota menyaksikan Santiago tua yang tak berdaya melihat hiu-hiu
memperebutkan ikan kebanggaannya.
O Ke mana pun kakinya melangkah, Laila melihat para prajurit Massoud. Dia melihat
mereka berkeliaran di jalanan, dan setiap beberapa ratus meter menghentikan
mobil untuk melakukan pemeriksaan. Mereka duduk dan merokok di atas tank,
mengenakan pakol seragam yang telah lusuh. Mereka mengintai para pengguna jalan
dari balik tumpukan karung-karung pasir di persimpangan.
Laila tidak keluar rumah sesering dahulu. Dan, kalaupun keluar, dia selalu
ditemani oleh Tariq, yang sepertinya menikmati tugas kesatria ini.
"Aku membawa pistol," kata Tariq pada suatu hari. Mereka sedang duduk di luar,
di bawah pohon pir di halaman Laila. Tariq melepaskan selongsong peluru dan
menunjukkan pistolnya kepada Laila. Katanya, itu adalah sebuah pistol
semiotomatis, sebuah Beretta. Bagi Laila, benda itu hanya tampak hitam dan
mematikan. "Aku tidak suka," kata Laila. "Pistol membuatku takut."
Tariq menimbang-nimbang pistol di tangannya.
"Tiga mayat ditemukan di sebuah rumah di Karteh-Seh minggu lalu," ujar Tariq.
"Kau dengar berita itu" Mereka bertiga kakak beradik. Semuanya
diperkosa. Leher mereka digorok. Seseorang menggigit jari mereka hingga putus
untuk merampas cincin yang mereka pakai. Kau tahu sendiri, tentunya ada bekas
gigitan-11 "Aku tak mau dengar."
"Aku tidak bermaksud membuatmu takut," kata Tariq. "Hanya saja ... aku merasa
lebih baik jika membawa senjata ini."
Bagi Laila, Tariq menjadi pembawa kabar tentang apa yang terjadi di jalanan.
Tariq mendengar desas-desus, lalu mengabarkannya kepada Laila. Misalnya,
Tariqlah yang memberi tahu Laila bahwa para milisi yang bermarkas di pegunungan
melatih kejituan dan saling bertaruh untuk hal ini dengan menembaki para ? ?penduduk di bawah, pria, wanita, anak-anak, yang dipilih secara acak. Tariq juga
memberi tahu Laila bahwa mereka menembakkan roket ke mobil-mobil, namun, entah
mengapa, tidak mengusik taksi yang menjelaskan kepada Laila tentang semakin
? banyaknya orang yang mengecat mobil mereka dengan warna kuning.
Tariq menerangkan kepada Laila tentang batas-batas berbahaya di Kabul. Laila
tahu dari Tariq bahwa, misalnya, jalan ini, hingga pohon akasia kedua di sebelah
kiri mereka, dikuasai oleh seorang panglima perang; empat blok berikutnya,
berakhir di toko roti di dekat apotek yang telah rata dengan tanah, adalah
daerah kekuasaan seorang panglima lain; dan, jika dia menyeberang dan berjalan
sekitar satu kilometer ke arah barat, dia akan tiba di daerah kekuasaan seorang
panglima perang lainnya dan, oleh karena itu, menjadi sasaran empuk para penembak gelap. Dan, inilah
sebutan bagi para pahlawan Mammy sekarang. Panglima perang. Laila juga mendengar
orang-orang menyebut mereka tofangdar. Penembak. Banyak orang masih menyebut
mereka Mujahidin, namun, ketika mengatakannya, ekspresi wajah mereka
berubah mencibir jijik dan kata itu mengundang ketegangan dan kemarahan. ? ?Seperti cemoohan.
Tariq memasang kembali selongsong peluru ke pistolnya.
"Apa kau punya nyali?" tanya Laila.
"Untuk apa?" "Untuk menggunakan benda itu. Memakainya untuk membunuh."
Tariq menyelipkan pistol itu ke pinggang celana denimnya. Lalu, dia mengucapkan
sebuah kalimat yang indah sekaligus mengerikan. "Untukmu," katanya. "Aku akan
membunuh untukmu, Laila."
Tariq beringsut merapat pada Laila dan tangan mereka bersentuhan, sekali, dan
sekali lagi. Ketika Tariq menyelipkan jemari ke jemarinya, Laila membiarkannya.
Dan, ketika Tariq tiba-tiba mencondongkan tubuh dan menekankan bibir ke
bibirnya, lagi-lagi Laila membiarkannya.
Ketika itu, semua omongan Mammy soal reputasi dan burung beo terdengar konyol di
telinga Laila. Absurd, bahkan. Di tengah-tengah seluruh pembunuhan dan
penjarahan, seluruh keburukan ini, duduk di bawah pohon dan berciuman dengan
Tariq bukanlah sesuatu yang berbahaya. Hal yang sepele.
Kesalahan yang mudah termaafkan. Maka, Laila pun membiarkan Tariq menciumnya,
dan ketika Tariq melepaskannya, Laila balas menciumnya, jantungnya terasa
berdegup di tenggorokannya, wajahnya tergelitik, api menyala di dasar perutnya.
Pada juni tahun itu, 1992, pertempuran besar pecah di Kabul Barat, antara
pasukan Pashtun pimpinan panglima perang Sayyaf dan pasukan Hazara dari faksi
Wahdat. Baku senjata memadamkan sumber-sumber energi, melumpuhkan berblok-blok
pusat perbelanjaan dan perumahan. Laila mendengar bahwa milisi Pashtun telah
menyerang perumahan Hazara, mendobrak masuk setiap rumah dan menembaki seluruh
keluarga yang ada, menghukum mati mereka, dan milisi Hazara membalas tindakan
ini dengan menculik warga sipil Pashtun, memerkosa gadis-gadis Pashtun,
menembaki lingkungan Pashtun, dan membunuh tanpa pandang bulu. Setiap hari,
mayat-mayat ditemukan terikat di pohon, kadang-kadang hangus terbakar hingga tak
dapat dikenali lagi. Sering kali, terdapat luka tembakan di kepala mereka, mata
mereka tercongkel lepas, lidah mereka terpotong.
Sekali lagi, Babi berusaha meyakinkan Mammy untuk meninggalkan Kabul.
"Ini semua akan berakhir," kata Mammy. "Keadaan seperti ini tidak akan
berlangsung lama. Mereka akan duduk bersama dan
memusyawarahkannya."
"Fariba, yang dipedulikan oleh semua orang ini hanyalah perang," Babi
menekankan. "Mereka belajar berjalan membawa sebotol susu di satu tangan dan
senjata di tangan lainnya."
"Memangnya siapa kamu hingga berani-beraninya berkata seperti ini?" tukas Mammy.
"Apa kau pernah berjihad" Apa kau pernah meninggalkan segalanya dan
mempertaruhkan kehidupanmu" Jika bukan karena Mujahidin, kita masih akan tetap
menjadi kacung Soviet, ingat" Dan sekarang, kau mau mengajakku mengkhianati
mereka!" "Kita tidak melakukannya untuk berkhianat, Fariba."
"Kalau begitu, pergilah sana. Bawalah anak perempuanmu kabur bersamamu. Kirimkan
saja kartu pos untukku. Tapi, masa damai akan datang, dan aku, tentu saja, akan
menantinya di sini."
Jalanan menjadi semakin tidak aman sehingga Babi mengambil tindakan yang tak
pernah terpikirkan sebelumnya: Dia mengeluarkan Laila dari sekolah.
Babi sendiri yang kemudian mengajari Laila. Setiap hari, menjelang malam, Laila
memasuki ruang kerja Babi, dan, sementara Hekmatyar meluncurkan roket-roket ke
arah Massoud dari pinggiran sebelah selatan kota, Laila dan Babi mendiskusikan
ghazal karya Hafez dan berbagai karya pujangga kesayangan Afghan, Ustad
Khalilullah Khalili. Babi memberi Laila soal-soal tentang persamaan kuadrat,
juga menunjukkan cara memfaktorkan bilangan
cacah dan menggambar kurva parametrik. Ketika sedang mengajar, Babi berubah di
mata Laila. Melakukan panggilan jiwanya, di tengah-tengah buku-bukunya, Babi
tampak menjulang lebih jangkung. Suaranya menjadi semakin tenang dan dalam, dan
dia tidak mengedipkan mata sesering biasanya. Laila membayangkan Babi yang
dahulu, menghapus papan tulisnya dengan gerakan anggun, menatap melewati bahu
muridnya, kebapakan dan penuh perhatian.
Namun, Laila mengalami kesulitan dalam memusatkan pikiran. Selalu ada yang
bermain-main di dalam benaknya.
"Bagaimana rumus luas limas?" tanya Babi, dan yang dapat dipikirkan oleh Laila
hanyalah sentuhan lembut bibir Tariq di bibirnya, panas napas Tariq di mulutnya,
bayangan dirinya sendiri di mata cokelat Tariq. Mereka telah berciuman dua kali
lagi sejak peristiwa di bawah pohon pir, keduanya lebih lama, lebih panas, dan
sepertinya tidak secanggung yang pertama. Dalam kedua waktu tersebut, Laila
menemui Tariq secara diam-diam di gang remang-remang tempat Tariq merokok ketika
Mammy menyelenggarakan pesta makan siang. Dalam ciuman ketiga mereka, Laila
membiarkan Tariq menyentuh payudaranya.
"Laila?" "Ya, Babi." "Limas. Luas. Apa yang sedang kaupikirkan?" "Maaf, Babi. Aku sedang, uh .... Coba.
Limas. Limas. Sepertiga alas kali tinggi."
Babi mengangguk ragu, menatap Laila lekat-lekat, dan Laila memikirkan tangan
Tariq yang meremas dadanya, membelai punggungnya, sementara mereka berdua
berciuman. O Pada suatu hari di bulan Juni yang sama, Giti sedang berjalan pulang dari
sekolah bersama dua orang teman sekelasnya. Hanya berjarak tiga blok dari rumah
Giti, sebuah roket yang salah sasaran menghantam ketiga gadis itu. Selanjutnya,
pada hari nahas itu, Laila mendengar bahwa Nila, ibu Giti, berlari ke jalan
tempat Giti terbunuh, mengumpulkan sisa-sisa tubuh putrinya dan membungkusnya
dengan celemek, melolong-lolong histeris. Potongan kaki kanan Giti yang telah
membusuk, masih dalam balutan kaus kaki nilon dan sepatu olahraga ungu, akan
ditemukan dua minggu kemudian di atap rumah seseorang.
Dalam acara fatiha untuk Giti, yang diselenggarakan sehari setelah kematiannya,
Laila duduk terpaku di dalam sebuah ruangan yang dipenuhi oleh wanita. Inilah
pertama kalinya seseorang yang dikenal oleh Laila, sahabat dekat yang
dicintainya, meninggal. Dia tidak mampu menghadapi kenyataan tak berdasar bahwa
Giti tidak lagi bernyawa. Giti, teman Laila dalam bertukar catatan rahasia di
kelas, yang membiarkan kukunya dicat oleh Laila, yang membiarkan rambut-rambut
halus di dagunya dicabuti dengan
pinset oleh Laila. Giti, yang akan menikah dengan Sabir si penjaga gawang. Giti
telah tewas. Tewas. Hancur berserakan. Akhirnya, Laila mulai meratapi
sahabatnya. Dan, seluruh air mata yang tak mampu dia keluarkan dalam pemakaman
kedua abangnya membanjir turun dari matanya.[]
BAB 25 Laila tak bisa bergerak, seolah-olah terdapat semen yang mengeras di setiap
persendiannya. Sebuah percakapan terdengar, dan Laila tahu bahwa dia terlibat di
dalamnya, namun semua itu terasa jauh darinya, sehingga dia merasa seperti
sedang mencuri dengar. Ketika Tariq berbicara, Laila membayangkan dirinya
sendiri sabagai seutas tambang getas, putus, terurai, setiap seratnya mencuat,
berjatuhan. Pada suatu sore yang panas dan lembap di padabulan Agustus 1992 itu, mereka
berada di ruang tamu rumah Laila. Mammy mengeluhkan sakit perut selama seharian
itu, dan, beberapa menit sebelumnya, tanpa memedulikan roket-roket yang
diluncurkan Hekmatyar dari selatan, Babi mengantarkannya ke dokter. Dan
sekarang, ada Tariq di sini, duduk di samping Laila di sofa, menunduk menatap
kedua tangannya. Mengatakan bahwa dia akan pergi. Bukan hanya meninggalkan
lingkungan ini. Bukan hanya meninggalkan Kabul. Melainkan meninggalkan
Afghanistan. Pergi. Laila terenyak. "Ke mana" Ke mana kau akan pergi?" "Pertama ke Pakistan. Peshawar. Setelah itu,
entahlah. Mungkin Hindustan. Iran." "Berapa lama?" "Entahlah."
"Maksudku, sejak berapa lama kau tahu?"
"Beberapa hari. Aku ingin memberi tahumu, Laila, sumpah, tapi aku tak pernah
mampu mengatakannya. Aku tahu kau akan sangat kecewa."
"Kapan?" "Besok." "Besok?" "Laila, lihatlah aku." "Besok."
"Ini untuk ayahku. Jantungnya tidak tahan lagi, semua peperangan dan pembunuhan
ini." Laila membenamkan wajah di kedua telapak tangannya, emosi membuncah di dalam
dadanya. Seharusnya dia memperkirakan hal ini, pikirnya. Hampir semua orang yang dia
kenalnya telah mengemasi harta mereka dan pergi begitu saja. Wajah-wajah
A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
familiar semakin menghilang dari lingkungan ini, dan sekarang, hanya empat bulan
setelah pertikaian pecah di antara berbagai faksi Mujahidin, Laila nyaris tidak
mengenali seorang pun yang dia jumpainya di jalan. Keluarga Hasina telah pergi
ke Teheran pada bulan Mei. Wajma dan seluruh keluarga besarnya berangkat ke
Islamabad pada bulan yang sama. Orangtua dan saudara-saudara Giti pergi pada bulan Juni,
tak lama setelah Giti terbunuh. Laila tidak tahu ke mana mereka pergi dia ?mendengar desas-desus bahwa tempat tujuan mereka adalah Mashad di Iran. Setelah
orang-orang itu pergi, rumah mereka dibiarkan kosong selama beberapa hari, lalu
yang terjadi adalah entah para milisi mendudukinya atau orang asing mengambil
alihnya. Semua orang pergi. Dan sekarang, Tariq juga pergi.
"Dan ibuku sudah tidak muda lagi," kata Tariq. "Mereka ketakutan sepanjang
waktu. Laila, lihatlah aku."
"Kau seharusnya memberi tahuku." "Ayolah, pandanglah aku."
Geraman keluar dari mulut Laila. Lalu lolongan. Lalu dia menangis, dan ketika
Tariq menghapus air matanya dengan ujung ibu jari, Laila menepiskannya. Laila
mungkin mau menang sendiri dan tidak berpikir panjang, namun dia marah kepada
Tariq karena meninggalkannya. Tariq, yang dianggap Laila sebagai penyambung
jiwanya, yang bayangannya ada di setiap kenangan Laila. Bagaimana mungkin Tariq
meninggalkannya" Laila menampar Tariq. Lalu, dia menampar sekali lagi dan
menjambak rambutnya, hingga Tariq harus mencengkeram pergelangan tangannya dan
mengatakan sesuatu yang tidak bisa dipahami Laila. Tariq mengucapkannya dengan
lembut, tenang, dan, entah bagaimana, mereka berdua berhadapan
muka, saling menempelkan hidung, dan Laila kembali dapat merasakan panasnya
napas Tariq di bibirnya. Dan ketika, tiba-tiba, Tariq merapatkan diri padanya, Laila menyambutnya.
Dalam hari-hari dan minggu-minggu yang menyusul, Laila akan menyusun dengan
panik semua serpihan ingatannya pada hari itu mengenai apa yang selanjutnya
terjadi. Bagaikan pencinta benda seni yang berlari tunggang langgang dari dalam
sebuah museum yang terlalap api, Laila menyambar apa pun yang bisa
disambarnya tatapan, bisikan, desahan untuk bertahan dari kepunahan, untuk
? ?melestarikannya. Tetapi, waktu jauh lebih kejam daripada api, dan pada akhirnya,
Laila tidak dapat menyelamatkan semuanya. Tetap saja, Laila memiliki hal-hal
ini: sengatan rasa nyeri yang dirasakannya di bawah sana. Berkas cahaya yang
jatuh menimpa permadani. Tumitnya yang menyentuh kaki palsu yang dingin dan
keras, yang tergeletak di samping mereka setelah dilepaskan secara terburu-buru.
Tangannya yang menangkup siku Tariq. Tanda lahir berbentuk mandolin terbalik di
bawah bahu Tariq, merah berpendar. Wajah Tariq yang menyapu wajahnya. Rambut
hitam berombak Tariq yang terurai, menggelitiki bibir dan dagunya. Kengerian
akan tertangkap basah. Ketidakyakinan atas keberanian dan kenekatan mereka.
Kenikmatan yang aneh dan tak terkayakan, berpadu dengan kepedihan. Dan tatapan itu,
perpaduan tatapan dari mata Tariq: kecemasan, kelembutan, permohonan maaf, aib,
dan, yang mengambil porsi terbesar, kelaparan.
<" KEPANIKAN PUN MENYUSUL. Mereka terburu-buru mengancingkan baju, memasang ikat
pinggang, menyisir rambut. Setelah itu, mereka duduk berdampingan, saling
melempar senyum, keduanya berpipi merona, keduanya terkesima, keduanya tak mampu
berkata-kata menyadari apa yang baru saja terjadi. Apa yang telah mereka
lakukan. Laila melihat tiga tetes darah di permadani, darahnya sendiri, dan membayangkan
kedua orangtuanya duduk di lantai, mengetahui dosa yang telah dilakukannya. Dan
sekarang, rasa malu menghunjamkan kukunya, dan, di lantai atas, jam dinding
berdetik, luar biasa nyaring sehingga bunyinya tertangkap oleh telinga Laila.
Bagikan palu hakim yang berulang-ulang diketukkan, menjatuhkan vonis kepadanya.
Lalu, Tariq berkata, "Ikutlah denganku."
Sejenak, Laila nyaris meyakini bahwa dia bisa menuruti ajakan Tariq. Laila,
Tariq, dan kedua orangtua Tariq, bersama-sama meninggalkan negara ini. Mereka
akan mengemasi bawaan, menumpang bus, meninggalkan segala kekacauan ini, pergi
mencari keselamatan, atau justru masalah,
dan apa pun yang terjadi, mereka akan menghadapinya bersama. Dia tidak harus
jemu menunggu, berusaha mengusir kesendirian yang mematikan.
Dia bisa pergi. Mereka akan pergi bersama.
Mereka akan berbahagia. "Aku ingin menikahimu, Laila."
Untuk pertama kalinya sejak mereka berdua berbaring di lantai, Laila menatap
mata Tariq, menelusuri wajah Tariq dengan matanya. Tidak ada gurauan di wajah
Tariq kali ini. Hanya ada ketetapan hati dan kejujuran.
"Tariq-" "Biarkan aku menikahimu, Laila. Hari ini. Kita bisa menikah hari ini."
Peristiwa Merah Salju 5 Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit Hantu Lereng Lawu 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama