Ceritasilat Novel Online

Zaman Edan 6

Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry Bagian 6


Saya, Alex, dan John pergi berkeliling Dili. Dalam satu
jam setelah pengumuman, kami mendengar letupan
pertama bedil di kejauhan. Tidak ada tanda-tanda euforia
atau perayaan. Juru kamera dan fotografer kecewa karena
gambaran visual yang mestinya menyertai berita semacam
itu, misalnya penduduk setempat yang sedang bersuka ria,
tak tampak di mana pun. Ada sedikit improvisasi kreatif;
sekelompok orang Timor dijejerkan di jalan dan diminta
untuk berseru ke arah kamera. Tetapi, pintu dan jendela
rumah-rumah jerami serta bambu tertutup, dan jalanan
nyaris kosong. Satu-satunya orang yang terlihat adalah
kelompok-kelompok keluarga yang sedang bergegas
berjalan dengan cemas sepanjang trotoar, dengan buntelan
barang-barang terbungkus kain di kepala mereka. Ratusan
dari mereka telah berkumpul di markas Unamet. Ketika
ditolak, mereka pergi ke bangunan sekolah kosong di
sebelah yang digunakan sebagai tempat parkir mobil PBB.
Saat kami kembali ke arah hotel, para penumpang di
dermaga sedang memuat barang-barang mereka ke dalam
kapal barang, dan polisi memasang perintang jalan di depan
Hotel Mahkota, gelondongan kayu besar dililit kawat
berduri, bertumpu pada truk-truk hijau yang sedang
diparkir. Kembali ke Turismo, para penghuni sedang menikmati
makan siang di taman. Seseorang dari Sydney Moming
Herald menunjukkan kepada saya surat tercetak bertuliskan
"Peningkatan Biaya Keamanan".
"Tamu-tamu yang terhormat/' begitu mulanya. "Seiring dengan meningkatnya
kekhawatiran tentang keamanan dan
keselamatan kota Dili, Hotel Turismo terpaksa
meningkatkan tindakan pengamanan. Kami menetapkan
tambahan biaya untuk melindungi dan menjaga
keamanan hotel. Para tamu akan diminta berkontribusi
terhadap pengaturan ini yang mencakup kawalan polisi 24
jam, terdiri atas beberapa perwira dari kesatuan khusus
brigade mobil dan unit-unit intelijen. "Hotel meminta
kontribusi sebesar Rp. 15.000 per hari untuk dimasukkan
ke dalam tagihan hotel. Kami menyesal harus
mengambil langkah ini, tetapi hal ini perlu dilakukan dalam
kondisi darurat. "Tanda terima bisa disediakan."
Dengan kata lain, kami harus membayar Brimob untuk
melindungi kami dari milisi yang keberadaannya sejak awal
disponsori oleh Brimob. Suara tembakan kedengaran sepanjang sore, dan orangorang berhenti pergi keluar. John dengan enggan dibujuk
untuk pulang ke rumah. Dia punya istri dan bayi mungil,
tetapi pada titik tertentu dia telah memutuskan bahwa
keselamatan kami adalah tanggung jawab pribadinya.
Setelah gelap, penembakan menjadi kurang berpencar dan
lebih teratur, serta bisa terdengar dari jarak yang lebih dekat ke hotel. Para
wartawan meninggalkan taman, minum-minum, dan merokok di kamar-kamar mereka
serta di balkon. Berita paling menakutkan hari itu datang agak
malam. Misi Unamet di Liquisa dibakar saat sedang
dievakuasi dan seorang polisi sipil Amerika terluka parah
saat Land Cruiser yang dikendarainya ditembak. Pelurunya
dari M-16 ditembakkan oleh Brimob.
Empat pesawat penuh dengan wartawan berangkat
keesokan harinya, dan penghuni hotel menurun hingga
tinggal keraknya. Mereka yang memilih untuk tetap tinggal
berkumpul di taman dan mulai membuat rencana. Jumlah
kami kurang dari dua puluh - saya dan Alex, segelintir
koresponden surat kabar lain, beberapa wartawan lepas,
dua pembuat film dokumenter, serta satu fotografer. Staf
Turismo telah pergi, tempat itu seperti milik kami sendiri.
Kami memulai dengan membuat daftar nama-nama kami.
Seorang rela wan mengumpulkan persediaan makanan dan
memasaknya. Seorang lagi bertanggung jawab menetapkan
rute melarikan diri dari hotel, kalau ada serangan. Kami
punya banyak waktu untuk pertemuan kami, tak seorang
pun berselera keluar. Dor, dor, dor bunyi senapan kuno di
kejauhan. Dereded-dereded-dereded bunyi A K - 47 dan M 16. Kemudian hening selama satu jam lebih. John muncul
kembali di depan hotel. Saya begitu sibuk memikirkan
betapa tidak takutnya saya sehingga nyaris tidak
memerhatikannya. Anggota Seksi Konsumsi duduk-duduk
di taman mendiskusikan hidangan malam itu. Saya mulai
berpikir tentang apa yang akan saya tulis.
Senja menjelang malam saya terlelap di kamar, dan
ketika saya terbangun segalanya telah berubah. Orangorang sedang bergegas ke taman membawa tas-tas dan
perlengkapan. Seorang kapten angkatan laut berada di
depan hotel sedang bicara kepada beberapa wartawan yang
paham bahasa Indonesia. Dua puluhan prajurit bersenjata
berdiri di dekatnya. Mereka membawa senapan otomatis
dan pisau perang panjang dan mengenakan jaket antipeluru. Tetapi, mereka membawa kabar buruk. Sebuah
"peringatan" telah diterima bahwa Aitarak merencanakan serangan terhadap hotel
itu - Aitarak, dengan jaket
kulit, golok karatan, dan senapan main-annya itu. Dan
dengan sangat menyesal, Korps Marinir Indonesia beserta
polisi Brimob Indonesia "tidak bisa menjamin keamanan".
"Tapi, mengapa tidak?" tanya seorang pembicara bahasa Indonesia itu, menunjuk ke
senapan sang kapten. "Anda
punya ini. Anda kuat. Usir saja Aitarak itu."
Kapten tersenyum. Ia mengangkat bahu dan
merentangkan telapak tangannya lebar-lebar.
"'Tidak bisa menjamin keamanan/" seseorang
mengulangi. "'Tidak bisa menjamin keamanan.' Baiklah, itu cukup bagi saya. Saya
bisa mengenal ancaman kematian
ketika ia datang." Truk-truk polisi dengan bak terbuka telah berhenti di
depan hotel. Saya cepat-cepat kembali ke kamar saya,
memikul ransel saya, dan ragu-ragu tentang koper saya
sebelum memutuskan untuk meninggalkannya. Saya
mengunci pintu sebelum pergi.
Ketua Seksi Penyelamatan memilih tetap tinggal
bersama beberapa orang lainnya, tetapi selebihnya pindah
ke Unamet. Saya tidak ragu untuk meninggalkan Turismo
karena sudah mustahil untuk bekerja di sana. Telepon
semakin tak bisa diandalkan: selama kami tidak bisa datang
dan pergi dengan aman, mustahil mengetahui apa yang
sedang terjadi di tempat lain kecuali di jalan di depan hotel.
Dalam beberapa hari kami akan kem-bali ke sini ketika
semuanya telah reda. Untuk saat ini Unamet adalah pusat
informasi dan komunikasi, serta satu-satunya tempat untuk
mengetahui apa yang sedang terjadi di tempat-tempat lain
di negeri itu. Tetapi begitu kami naik ke truk besar itu, saya mulai merasa
geram. Brimob tertawa-tawa saat mereka
mengangkat kami ke atas sisi kayu truk itu. J. J. Sitompul,
kolonel polisi yang begitu ramah kepada Eurico, mengawasi
operasi itu. Tangannya memegang tongkat polisi, dan
menyalak ke arah kami saat kami mengangkat kotak-kotak,
kantong-kantong, dan botol-botol air. Kami benar-benar
melakukan persis seperti apa yang dia inginkan.
Truk-truk mulai bergerak dengan sentakan tiba-tiba yang
disengaja, dan para anggota Brimob terbahak saat sentakan
itu membuat kami terjengkang. Saya menarik diri dari
impitan wartawan Sydney Moming Herald dan
memandang kembali ke arah hotel. Saya melihat seorang
anggota milisi muncul keluar dari pinggir jalan. Tentara dan
polisi mengamatinya dengan tenang dari jarak beberapa
meter. Dia membidikkan bedilnya, dan kami semua
meringkuk ke sudut truk saat senapan itu meletus. Dia
menembak dari jarak ratusan meter dan tak berpeluang
mengenai kami; tembakan itu lebih seperti tanda hormat
dua-jari daripada upaya mengambil nyawa kami dengan
sesungguhnya. Polisi yang ikut menumpang bersama kami
sekali lagi tertawa sinis.
Di markas PBB, tak ada yang heran melihat kami.
Delegasi pemerintahan Portugal telah muncul beberapa jam
sebelumnya; persis setelah kami, konvoi lima puluh lima
staf Unamet datang dari kota Suai. Staf di Dili semuanya
telah meninggalkan rumah dan hotel penginap-an mereka
serta tidur di markas. Selama perjalanan singkat dari hotel,
matahari telah terbenam dan cahaya terlihat dari dalam
kantor. Di dalam, orang-orang memasang lampu dan alas
tidur di sisi meja-meja mereka. Kami turun dari truk polisi,
dan berdiri seperti orang bingung.
Alex datang terpisah dengan jip milik John. Saya berlari
mendekat saat jip itu berhenti di luar markas. Tetapi, langit menggelap dan
polisi-polisi sipil di gerbang mendesak kami
untuk masuk ke dalam. Alex sedang membujuk John, yang
sedang menggelengkan kepalanya.
"Saya memintanya untuk ikut bersama kita ke dalam,"
kata Alex. "Tapi dia ingin pulang ke keluarganya, dan dia cemas soal mobil ini."
"John, kamu mau ke mana" Bawa keluargamu ke sini."
"Ayolah, John, masuk ke dalam."
Dia menggelengkan kepala. Dia tampak lebih takut
daripada biasa, tapi saya mulai mengerti bahwa semakin
John merasa takut, semakin kuat tekadnya. Hening. Polisi
sipil di gerbang menyuruh kami untuk bergegas.
Saya dan Alex saling memandang. Kemudian Alex
berkata, "Baiklah, kita harus membayar dia."
"Berapa utang kita padanya?" kata saya. "Berapa banyak uang yang kamu punya?"
Polisi sipil di gerbang berteriak kepada kami.
"Sudah berapa hari ya?" tanya Alex.
K a m i m e I a k u k a n p e r h i t u n g a n k asar lalu m e n g h i t u n g
campuran uang dolar dan rupiah. Saya
merasa malu mengucapkan selamat tinggal kepada John
dengan cara seperti ini, menyerahkan seikat lembaran uang
kertas dan melepasnya pergi ke kegelapan.
Alex berkata, "Milisi tahu selama ini dia bekerja dengan kita. Dia tidak akan
pemah sampai di rumah." "Ayolah, ayolah masuk ke dalam, John," kata saya. Alex
berkata, "Tapi demi Tuhan, dia punya rumah. Dia punya istri dan
anak." "Sudahlah, mestinya kita sudah memikirkan itu."
"Kita bahkan tidak bisa bicara kepadanya dengan
bahasanya sendiri." "Bapak-bapak/1 kata polisi sipil, "kami sekarang akan menutup gerbang sialan
ini." "John! Terima kasih. Ohrigado, Hati-hatilah."
Dia menjulurkan tangan di atas uang yang berserakan di
jok penumpang, dan menjabat tangan kami masing-masing,
kemudian menutup pintu, mencengkeram setir, dan
memutar balik mobil. Sebuah rumah besar sedang berkobar
sekitar satu kilometer dari situ dan mengepulkan asap ke
langit senja. Saat John mulai menjauh, dia menengok ke
belakang dan melambaikan tangan, serta memaksakan
senyuman di wajahnya, seakan-akan dia berutang
keberanian kepada kami. STAF PBB sibuk mengubah ruang-ruang kantor mereka
menjadi ruang-ruang tidur; seluruh lantai dengan segera
penuh dengan alas tidur dan kotak-kotak makanan. Tetapi,
di ruang pers di sini setidaknya ada komputer, colokan
listrik, dan telepon satelit. Di atas meja-meja Unamet yang
berantakan ada walkie-talkie di dudukannya, menyuarakan
percakapan serak antara polisi sipil dan MLO yang berdiri
di sepanjang tepi markas.
Pada saat-saat normal, wartawan tidak diperbolehkan
masuk ke sini, tetapi petugas humas tampak senang melihat
kami. Saya mendapatkan meja untuk bekerja, sebuah
colokan listrik dan asbak, kemudian duduk untuk menulis.
Hal terburuk terjadi sekitar satu jam kemudian.
Diawali dengan semacam tembakan, bukan dari senapan
mainan atau otomatis, tapi semburan senapan mesin yang
panjang berentetan, sangat dekat dari sisi lain markas itu.
Kami bergegas keluar, dan sekarang terdengar bunyi baru jeritan perempuan, dekat, tetapi tertahan - datang
bergelombang dari balik dinding.
Itu adalah dinding yang membatasi markas dengan
gedung sekolah yang kosong; dalam beberapa jam terakhir
bangunan itu telah penuh sesak dengan pengung-si,
memasak, makan, dan tidur di lantai ruang kelas. Kini
seseorang menembakkan senapan mesin ke atas kepala
mereka. Penembakan itu untuk menimbulkan efek semata.
Mereka tidak melukai seorang pun secara langsung dan
mereka tidak perlu melakukan itu. Ada lebih dari seribu
orang di sekolah itu, kebanyakan perempuan serta anakanak, dan kini mereka semua berlarian ketakutan ke arah
satu-satunya pintu yang menghubungkan sekolah itu
dengan Unamet. Panik yang sama pemah terjadi sepekan
lalu dan seseorang di PBB telah mengambil keputusan:
pintu itu bukan saja sudah dikunci, bahkan bagian atasnya
telah dipasangi kawat berduri.
Pintu itu dengan segera didobrak hingga terbuka, dan
orang-orang terus mengalir melaluinya, tersengal dan
terjepit di bingkai kayu sempitnya. Dinding itu tingginya
hanya dua meter dan para pengungsi berusaha melompati
kawat itu. Mereka mencoba menggunakan pakaian dan
seprai u n t u k m e m b u n g k u s u j u n g - u j u n g n y a y a n g t a j a
m. Orangtua mendorong anak-anaknya ke
puncak. Anak-anak itu dipaksa untuk terus naik ke kawat
berduri. Di sekolah itu ada beberapa polisi Indonesia,
berseru ke arah para pengungsi dan mencoba menarik
mereka kembali. Polisi-polisi sipil di markas menenteng
megafon dan berkoar sia-sia melaluinya dalam bahasa
Inggris. Tembakan senapan mesin berhenti dan kemudian
suara tembakan lain terdengar, disusul oleh gelombang
teriakan baru. Saya berdiri di depan gerbang dan berpikir: apa yang
sebaiknya dilakukan" Saya tidak tahu. Tak ada yang tahu.
Maka saya berteriak kepada polisi sipil bermegafon,
"Mereka tidak paham. Mereka tidak bicara bahasa Inggris."
Kemudian saya hanya berdiri dan mendengarkan jeritanjeritan itu, terhenyak oleh kengerian di balik dinding. Saya
bisa merasakannya nyaris secara fisik, seperti angin.
Seberapa besarkah ketakutan yang membuat seorang ibu


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangkat bayinya ke atas dinding dan mendorongnya
terus ke kawat berduri"
Akhimya para pengungsi dapat ditenangkan.
Penembakan telah berhenti, tapi jelas bahwa itu dapat
dimulai lagi kapan saja. Maka pintu itu dibuka dan para
pengungsi masuk melaluinya satu per satu, dengan tenang
sekarang, sambil terisak alih-alih menangis, sebagian dari
mereka terluka dan berdarah terkena kawat berduri. Malam
itu orang dari UNHCR mengatakan bahwa ada sekitar
150.000 orang yang terpaksa mengungsi di seluruh Timor
Timur. Seribu lima ratus di antaranya ada di sini bersama
kami sekarang, di dalam markas.
PENEMBAKAN BERLANJUT sepanjang malam,
terkadang dekat, terkadang jauh, tapi sekarang suara itu
tidak lebih dari bunyi latar. Pada pukul 10.37, terjadi
rentetan tembakan panjang dan cepat. Sepuluh menit
kemudian terdengar ledakan bom keras dan dekat,
menggetarkan jendela-jendela, disusul oleh bunyi senapan
otomatis lagi. " M e r u n d u k!" s e s e o r a n g b e r t e r i a k. " M a t i k a n la m p
u -lampu." Semua orang di ruang pers
melompat ke lantai, merapat ke dinding dan merangkak di
bawah meja. "Apa itu tadi?"
"Bunyinya seperti roket."
"Dekat sekali."
Hening. Seseorang tertawa kecut. Sebatang korek api
menyala, dan segera satu-satunya cahaya di ruangan itu
adalah belasan nyala titik oranye di ujung rokok. Saya
teringat kepala Dewan Penyelamatan Diri dan kelompok
kecil yang tetap di Turismo, serta ingin tahu bagaimana
nasib mereka. Walkie-talkie di atas meja dibiarkan menyala dan
darinya terdengar percakapan di antara polisi-polisi sipil
saat mereka mengintip ke kegelapan di luar.
Ada nyala api di horison. K rak, k rak.
Kami melihat sekelompok orang, mungkin militer,
mungkin milisi, bergerak menjauh dari dinding sebelah bara
t markas. K r a k, h e n i n g.
Senjatanya telah teridentifikasi. Sebuah granat, granat
militer. Sepuluh menit kemudian, ketegangan berlalu dan lampu
kembali menyala. Siapa yang melempar granat itu" Tidak jadi masalah
benar. Antara milisi dan aparat keamanan Indonesia satusatunya pembeda adalah seragamnya. Saya mengangkut
sebuah meja keluar dan menyelesaikan tulisan di udara
terbuka. Saya menelepon London dengan ponsel saya dan
mendiktekan ceritanya, membacakan kata demi kata.
Setelah itu, saya minum wiski dengan teman-teman,
mengunyah ransum militer yang tak membangkitkan selera,
serta merokok dan merokok. Ketika hari sudah sangat larut,
kami saling bantu memasang alas tidur. Saya menempatkan
tempat tidur saya di luar, di bawah talang sebuah ruang
kelas. Kapan terakhir kali saya tidur di luar bemaungkan
bintang-bintang" Malam di Bali, ketika saya mengalami
mimpi-mimpi buruk saya yang pertama tentang Indonesia.
Tiga tahun silam: begitu banyak yang telah terjadi sejak saat itu, begitu banyak
mimpi buruk yang menjadi nyata. Saat
itu saya sendirian, dan mimpi-mimpi yang damai dan aneh
itu diembuskan kepada saya oleh rimba. Kini saya
dikelilingi orang-orang, yang sangat ketakutan, dan
terkepung di dalam sebuah kota kecil merana di pulau lain
dalam kepulauan besar yang sama. Dua saat yang
dipertalikan oleh udara yang terasa di kulit saya dan
pemandangan bintang-bintang selatan.
Saya terkenang kembali akan serangan brutal atas partai
demokrat di Jakarta dan kerusuhan hebat yang
menyusulnya. Sesuatu telah dilahirkan pada momen itu,
sebuah makhluk kekerasan yang bertumbuh di Kalimantan,
m e n g u m p u I k a n k e k u a t a n selama k e b a k a r a n
- k e b a k a r a n hutan, dan menghancurkan ekonomi, serta
mencapai k e m a t a n g a n n ya sela m a k e j a t u h a n S
o e h a r t o y a n g a n e h. Secara kebetulan, saya ada di
sana saat kelahirannya, serta mengikutinya, dan kini saya
hadir lagi pada saat yang terasa seperti akhir dari sesuatu,
meskipun akhir dari apa mustahil untuk disebutkan.
Saya tiba di markas PBB pada Minggu sore; saya akan
berangkat Selasa sore. Saya berusia tiga puluh pada saat itu, tetapi saya ragu
bahwa dalam hidup saya akan pemah
mengalami empat puluh delapan jam yang begitu penuh
pengalaman, begitu mengerikan sekaligus menegangkan. Di
Kalimantan dan Jakarta, saya sudah menyaksikan
kekerasan dan kekejaman. Tetapi, saya menyaksikannya
dalam cara saya sendiri. Kehidupan dunia selalu ada
sebagai latamya; setiap saat saya bisa melangkahkan kaki
dari tepinya dan menikmati makanan, teman, serta ranjang
yang nyaman. Di Dili, semua itu tidak ada. Hukum, nalar, rasa iba, dan
peradaban telah mengerut ke dalam batas-batas markas
PBB, ke beberapa ribu meter persegi di antara dindingdinding bekas kampus keguruan. Ketika saya berbaring di
alas tidur saya di luar ruang pers, saya tidak bermimpi
buruk dikejar-kejar atau kekerasan yang biasa. Saya
bermimpi menjadi seorang anak kecil: pergi ke gereja
bersama kakek nenek, berjalan menyeberangi lapangan luas
sambil menggandeng tangan ibu dan ayah saya. Saya
bermimpi tentang semua kepastian yang telah hilang dari
Timor: kepercayaan anak pada orangtuanya, janji orangtua
bahwa semuanya akan baik-baik saja. Itu mungkin adalah
mimpi paling sedih di tempat seperti itu dan saya terbangun
dengan airmata menggenang.
Saya juga bermimpi tentang kandang hiu dan tentang diri
saya sebagai seorang penyelam di dalamnya. Perairan di
sekitar keruh dan dingin, serta di telinga saya terdengar
bunyi deras. Tanpa aba-aba beberapa sosok raksasa muncul
dari kegelapan: hiu-hiu. Mereka berenang di sekeliling
kandang dengan kecepatan luar biasa, m o n c o n g - m o n
c o n g m e re k a b e r d e n tang m e n a b r a k batangbatang, yang jadi bengkok, patah dan lepas. Segera semua
batang terlepas, tinggal saya tergantung sendirian di dalam
arus dengan hiu-hiu berenang di seputar saya, bergesekan
dengan baju renang saya, mengelilingi saya berkali-kali.
Saya merasakan sentakan pada tabung yang
menghubungkan saya ke permukaan dan saya tahu bahwa
itu merupakan isyarat yang dulu pemah saya mengerti, tapi
kini tidak bermakna. SAYA TERBANGUN saat matahari terbit. Saya merasa
kumal dan berkeringat, serta ada sisa rasa metal di dalam
mulut saya. Orang-orang sudah bangun, mereka
mempersiapkan kaleng-kaleng berisi kacang dan
merebusnya dengan kompor parafin yang tersedia dalam
paket ransum. Saya mulai melihat wajah-wajah yang saya
kenal, dan ini pun seperti mimpi, berkumpulnya orangorang yang tak pemah saya sangka akan berada di satu
tempat. Ada seorang pejabat politik PBB yang pemah saya
jumpai di Makedonia, ada polisi Inggris dari Liquisa,ada
Kolonel Alan yang lembut dari Maliana. Kami saling
menyapa seperti kawan yang lama tak berjumpa.
Setelah makan siang, para wartawan yang tersisa di
Turismo berdatangan. Tentara telah memaksa mereka
meninggalkan hotel. Yang lebih mengejutkan, Palang
Merah di gedung sebelah telah diserbu, demikian pula
rumah Uskup Belo. Tiga atau empat ribu orang peng-ungsi
berlindung di kedua kompleks itu, dan kawan-kawan kami
menyaksikan dari jendela Turismo saat para serdadu serta
milisi masuk bersama-sama, menembakkan senapan
otomatis ke udara dan menendangi
perempuan-perempuan saat mereka terbirit-birit
mengumpulkan anak-anak mereka.
Terlalu berbahaya melangkah lebih dari beberapa meter
dari gerbang depan, mustahil melakukan apa pun sepanjang
hari kecuali mondar-mandir, memberondong polisi-polisi
sipil dan MLO dengan pertanyaan saat mereka kembali dari
petualangan penuh risiko. Kebanyakan tidak bisa bercerita
apa-apa - api, asap, jalanan kosong hanya ada milisi.
Pejabat politik dan polisi sipil senior yang tentunya punya
akses ke tingkat intelijen yang lebih tinggi, sangat sibuk dan tak bersedia
bicara. Sekali lagi, saya sadar akan paradoks di dalam markas
ini: bahwa di sini, di jantung perkembangan peristiwa,
kami hanya bisa menangkap tak lebih dari kilasan dari
peristiwa itu. Api membakar di seluruh Dili; baunya
tercium semenjak kami terjaga dari tidur dan sesekali kami
bisa melihat asap membubung ke angkasa. Tetapi, nyala api
itu sendiri, dan wajah orang-orang yang menyulutnya, tidak
terlihat. Di komputer-komputer di ruang pers Unamet, kami
bergantian menunggu kesempatan untuk masuk ke situssitus berita di intemet dan mengetahui apa yang sedang
terjadi pada kami. PADA SENIN malam, hari kedua saya di markas, saya
menyalakan lap top saya di ruang pers dan mencoba
memulai sekali lagi untuk menulis. Di luar orang-orang
sedang menghangatkan kaleng-kaleng buah persik dan sup
ayam, tapi selera makan saya telah lenyap gara-gara rokok
dan suasana tegang. Di meja tempat saya bekerja ada
walkie-talkie Unamet; percakapan polisi-polisi sipil yang
sedang berpatroli keliling markas terdengar parau dari situ.
Sepanjang hari percakapan itu kebanyakan bersifat teknis
dan tidak menarik - laporan tentang pergerakan pasukan,
arah tembakan, dan pergerakan staf. Menjelang malam,
karaktemya berubah dan saat saya meninjau ulang kejadiankejadian hari itu, membolak-balik dalam pikiran saya apa
yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, radio hitam
kecil itu mulai membuat saya ngeri.
Tembakan senapan berulang-ulang di jalan menuju
bandara, kata radio itu. Sejumlah milisi berkeliaran di jalan-jalan dan jalanan tak
bisa dilalui tanpa kawalan bersenjata, bunyi pesan serak
lainnya. Asap mengepul dari lantai dua gedung komisi pemilu.
Rumah-rumah misi Portugis terbakar.
Pada saat itulah saya memerhatikan Alex, yang sedang
duduk di meja tak jauh dari saya, tatapannya menerawang,
pucat pasi. "Kamu baik-baik saja?"
"Tidak. Saya mulai merasa tidak enak."
Saya sendiri juga merasa agak aneh.
Alex bangkit dari meja dan berbaring di lantai.
Penembakan telah dimulai lagi di luar. Telepon berdering
tanpa henti dengan permintaan wawancara dari organisasiorganisasi berita asing. Saya menerima wawancara dengan
agen berita Australia dan BBC, serta tindakan
mengartikulasikan situasi itu kepada pewawancara ribuan
kilometer jauhnya membuatnya tampak jauh lebih buruk
daripada yang telah saya b a y a n g k a n s e b e I u m n ya.
P e r t a n y a a n y a n g p a I i n g k e r a s tampaknya
adalah: apakah Anda berharap akan terbunuh malam ini"
Persis pada saat itu salah seorang staf PBB masuk dan
mengumumkan bahwa Ian Martin, kepala Unamet, siap
untuk menerima pers. Kami telah menantikan ini sepanjang hari: di dalam
komunitas tertutup di markas itu, niat Ian Martin
merupakan pokok spekulasi dan rumor sebagaimana niat
Presiden Habibie dan Jenderal Wiranto. Ada dua teori
bertentangan dan semakin merebak. Asumsi yang paling
lazim, di kalangan staf politik dan polisi sipil, adalah bahwa Unamet berada di
titik terlemahnya, sedang bersiap untuk
membiarkan Timor Timur dengan nasibnya sendiri, dan
ketuanya kini sedang mencari jalan untuk menyelesaikan
pengkhianatan ini dengan cara yang dapat menyelamatkan
muka. Tetapi, faksi lain yakin bahwa Unamet harus
menarik diri sepenuhnya sesegera mungkin dan bahwa Ian
Martin secara pengecut tidak bertanggung jawab atas
kegagalan untuk memerintahkan evakuasi secepatnya.
Anggota-anggota faksi ini adalah minoritas; sebagian dari
mereka adalah staf administratif yang tak pemah
membayangkan situasi seperti ini dan secara terus terang
ketakutan. Tetapi, mereka juga mencakup sejumlah MLO:
bagi orang-orang yang dilatih bersenjata, berada dalam
keadaan tanpa senjata, diancam dengan peluru dan dilucuti
dari senjata sendiri, menimbulkan rasa frustrasi tak
tertanggungkan. Ian Martin berada di tengah-tengah. Dia berpembawaan
tak acuh, dengan sedikit orang kepercayaan di kalangan staf
Unamet dan, entah benar atau tidak, sikapnya yang tidak
terbuka memberi kesan tidak tegas.
"Seperti apa suasana di atas sana?" tanya seseorang kepada staf Unamet yang
menjemput kami, saat kami
dipersilakan masuk ke dalam kantomya.
"Martin plinplan," begitu jawabnya.
Itu wawancara yang aneh, lebih mirip inkuisisi daripada
konferensi pers, dan ketika saya mendengar kaset rekaman
saya, ada beberapa bagian yang membuat saya menggeliat.
Kami semua lelah, dekil, dan lapar. Kami sadar bahwa
tinggal di sana sedemikian lama bukanlah hal lumrah.
Tetapi, masing-masing kami, setiap menit, diam-diam
bertanya pada diri kami sendiri: apakah saya takut" Maka,
keraguan kami menjelma ke dalam agresi dan Unamet
sendiri menjadi sasaran kami. Ada adegan tuding jari dan
kecerewetan serta Ian Martin jatuh ke dalam sikap defensif.
Alih-alih menampakkan kegigihan moral dan kewenangan,
dia terdengar tidak meyakinkan, banyak omong, serta
banyak mengeluh. Dia tidak berbohong; dia menjawab setiap pertanyaan
sejujur yang dia rasa bisa. Tetapi, dia tampil buruk.
Pertemuan itu berlangsung selama empat puluh menitan,
tetapi sesungguhnya hanya ada dua pertanyaan yang
berulang-ulang ditanyakan dalam bentuk berbeda-beda:


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apakah Unamet akan dievakuasi dan, jika ya, apa yang
akan terjadi pada para pengungsi di markas" Martin m e m
perburuk posisinya d e n g a n m e n y e b u t m e r e k a
"pengungsi di negeri sendiri". Dia tidak menolong dengan mengatakan, "Apa yang
telah kami lakukan sejauh ini
dalam peristilahan Unamet bukanlah evakuasi." Dia
mengakui bahwa "apa yang bisa dilakukan Unamet sangat
terbatas", tetapi bersikeras bahwa ini "tidak membuat kehadiran kami di sini
sia-sia atau bahkan sekadar
simbolik." "Kami memiliki kapasitas untuk terus menarik perhatian
mereka-mereka yang bertanggung jawab atas aparat
keamanan, entah itu polisi atas tentara Indonesia, unsurunsur dari apa yang tengah berlangsung," katanya. "Dan ada orang-orang di dalam
kedua institusi itu yang ingin
bertindak dengan tepat pada situasi-situasi tertentu."
John Martinkus dari Associated Press berkata, "Apakah
ada indikasi mereka punya niat serius untuk menghentikan
kekerasan ini?" "Saya kira Anda bisa mengharapkan pengumuman
khusus dari Jakarta setelah pertemuan kabinet khusus yang
berlangsung hari ini," kata Ian Martin.
"Pengumuman macam apa?" kata Lindsay Murdoch dari
Sydney Moming Herald. "Saya tidak tahu."
"Maksud saya, apakah itu kabar baik atau kabar buruk?"
" T e r g a n t u n g bagai m a n a p e r k e m b a n g a n n y a."
"Maksud saya/' - dan Lindsay, seseorang yang
berkarakter kuat, terhenti-"apa yang terjadi di luar sana benar-benar memalukan.
Bukankah ini waktu untuk memutuskan sesuatu" Sesuatu harus terjadi, maksud saya,
orang-orang terbunuh, kita tidak tahu berapa banyak.
Orang-orang - ini adalah salah satu aib terburuk dan
terbesar pada abad ini. Tidak adakah seseorang yang akan,
maksudnya ... siapa yang akan memutuskan?"
Di kaset saya terdengar desis keheningan. Kemudian Ian
Martin berkata, "Maksud saya, begini, itu bukan pertanyaan yang secara khusus
bisa saya jawab, tak lain karena kita
tidak tahu siapa di dalam pemerintahan atau aparat k e a m
a n a n y a n g s e b e n a r n y a m e r u p a k a n o ra n g yang siap untuk
mengambil tindakan yang dibutuhkan dan
siapa yang tidak. Maksud saya, saya jelas-jelas setuju bahwa
situasi ini memang sangat mengguncangkan."
Peluru-peluru berdesingan di udara pada jarak beberapa
kaki, ledakan-ledakan terdengar dari jarak beberapa meter,
sejarak satu setengah kilometer dari tempat kami duduk
serdadu-serdadu bersenjata sedang membunuhi penduduk
sipil tak bersenjata, Dan di sini, di pusat dari semua itu,
Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB sedang
mengajak kami melihat yang baik-baik dalam tentara
Indonesia. Dari sekarang dan seterusnya jawaban-jawaban
Martin terdengar terus hingga akhir. Kami belum mandi
dan belum makan, kami tidak tahu apakah kami berani atau
takut, dan lebih mudah bicara daripada mendengar. Maka,
wawancara itu terus berlanjut - pertanyaan-pertanyaan lagi,
banyak pidato marah-marah, dan jawaban Ian Martin yang
ruwet tak bemyali. Yang kami inginkan sederhana saja: bukan kemarahan
atau pencelaan, melainkan gema, sekadar riak lemah, dari
kemuakan dan kemualan kami. Tetapi, Martin tidak m e m
beri g e m a s a m a s e k a I i. M e w a w a n - c a r a i n y a seperti
menjatuhkan batu ke dalam sumur tapi
mendapatkannya terlempar ke luar lagi, sudah digosok,
disucihamakan, dan dibungkus rapi dalam plastik tem-bus
pandang. Pada akhimya, saya menyadari apa yang benar-benar
ingin saya ketahui. "Apakah Anda merasa aman secara fisik berada di sini
malam ini?" Ian Martin tertawa lemah.
"Kalau Anda?" katanya.
"Yah, saya bertanya pada Anda. Anda bosnya."
"Sekali lagi, saya tidak ingin menjawab itu kalau direkam karena itu semacam kalian tahu - apa pun jawaban saya,
itu bukan hal yang bagus untuk dikatakan secara terbuka.
Maksud saya, saya pikir kita cukup aman karena kita
memiliki perlindungan yang cukup kuat di luar sana dari
orang-orang yang saya yakin telah diperintahkan secara
sungguh-sungguh untuk mempertahankan perlindungan
atas markas ini oleh orang-orang yang mengerti
konsekuensinya jika tempat ini diserang. Tapi, maksud
saya, saya tidak bisa memberi Anda jaminan yang bisa
dipegang." Saya berkata, "Misalkan milisi akan secara langsung
menyerang markas ini malam ini, apa rencana
penyelamatan diri Anda secara pribadi?"
"Saya tidak punya rencana penyelamatan diri secara
pribadi." "Jadi, jika orang-orang mulai berdatangan dari balik
dinding s a m b i I m e n e m b a k k a n s e n apa n o t o m a t i s pada
orang-orang, apa yang akan terjadi?"
Jeda sejenak, kemudian Ian Martin berkata, "Saya kira
itu jelas." Dan setelah jeda yang lebih panjang, Lindsay Murdoch
berkata dengan tenang, "Kita akan mati?"
"Ya. Maksud saya ... kalian tahu ... apa ... " Dan dia terdiam, ada jeda panjang
lagi. ADA POHON berbunga besar di luar kantor Ian Martin,
dan saat saya berdiri di bawahnya, kerimbunan tropisnya
menguasai diri saya. Saya tidak bisa ingat apa-apa yang
barusan dikatakan, dan upaya untuk terus menuliskan
catatan atau mendengarkan kaset itu lagi serasa tak b e r d a y a u n t u k saya
la k u k a n. U n a m e t a m b ru k d a n tenggelam, seperti kapal besi dengan
partisi karatan, bocor persis di bawah garis air. MLO' dan pejabat politik
berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil di sekitar
markas serta rumor-rumor beredar tak terkendali. Milisi dan
Kopassus akan datang memanjat dinding malam ini.
Mereka telah diberi "pil anjing gila", amfetamin yang mematikan rasa takut dan
meningkatkan agresi. Sementara
itu, para polisi sipil sedang membagikan radio kepada staf
Timor mereka dan menyuruh mereka menyelamat kari diri
ke perbukitan selama masih sempat. Beberapa di antara
MLO ini berasal dari pasukan khusus Inggris dan Australia;
orang-orang ini, konon, telah m e n e m u k a n cara u n t u
k m e n d a p a t k a n s e n j a t a. S e i ri n g beredamya rumor-rumor ini
seserpih karat terkelupas lagi dari kapal
yang mulai miring ini. Akhimya, saya menemukan ketakutan saya. Ia telah
membuntuti saya beberapa hari terakhir ini, mengawasi
tanpa terlihat dari dalam hutan dengan mata hijaunya.
Tetapi, kini ia keluar ke tempat terbuka, berjalan
perlahan ke arah saya. Saya bisa melihat liumya dan
misainya, serta tak lama lagi saya akan bisa mencium bau
napasnya. Sulit untuk menghadapi orang Timor yang jumlahnya
seakan-akan bertambah terus sepanjang waktu. Jose Belo
dan Sebastiao ada di sini. "Richard!" sebuah suara
memanggil saya, saat saya cepat-cepat berjalan kembali ke
ruang pers - rupanya Felice. Dia menampakkan ekspresi
lega dari seseorang yang merasa beruntung masih hidup.
Kami berangkulan, tetapi saya begitu penuh pikiran
sehingga saya bahkan tidak bertanya bagaimana dia bisa
sampai di markas. Saya membuka ransel saya dan
memberinya kaleng-kaleng ransum saya yang belum
dibuka. Dengan hormat dan kikuk, Felice - yang tidak
merokok - menyalakan salah satu rokok saya, sebelum
menghilang untuk mencari kerabatnya. Dia berkata, "Besok kita ke Turismo lagi,
ya?" dan saya merasa sulit menatap matanya. Kemudian dia berkata, "Ada apa
dengan Alex?" Alex sedang terbaring di matrasnya, menggigil di balik
lapisan tipis keringat. Di kalangan orang Timor yang lebih curiga atau
waspada, ada perasaan kuat bahwa sesuatu yang buruk
akan terjadi. "Secara fisik PBB masih di sini," kata Jose Belo, sambil menatap
mata saya. "Tetapi, secara mental
mereka telah pergi. Dan ketika mereka pergi, milisi akan
masuk, dan tentara akan masuk, serta mereka akan
membunuhi kami." MALAM ITU, seperempat jam sebelum pukul empat
pagi, seorang bayi lahir di klinik kecil di belakang markas.
Ibunya adalah seorang pengungsi bemama Joanna
Rodriguez; bayi itu segera dibaptis oleh anggota misi yang
merupakan pendeta Jesuit. Bayi laki-laki itu dinamai Pedro
Rodriguez dan diberi nama tengah Unamet. Belakangan
saya dengar bahwa ini disebut sebagai tanda "terima kasih"
kepada PBB karena "melindungi" Joanna Rodriguez dan keluarganya. Tetapi, saya
memikirkannya sebagai sesuatu
yang ambigu dan ironis - sebuah kemarahan sekaligus
permohonan: sebuah tantangan kepada Unamet: sebuah
tatapan langsung ke mata Ian Martin.
Malam itu lebih tenang dibandingkan malam-malam
lainnya: satu letupan senapan otomatis di tengah malam
dan yang kedua beberapa jam kemudian. Dua jam setelah
itu ayam jago mulai berkokok dan bersamanya terdengar
suara lain, kemerisik kesibukan para pengungsi yang sudah
bangun. Mereka berjumlah dua ribu orang sekarang, tetapi
kehadiran mereka di markas sangat tidak mencolok. Tanpa
ribut-ribut atau pengawasan, mereka telah mengisi ruang di
antara bangunan-bangunan dengan selimut wama-wami
dan kain-kain pudar. Setelah gelap, mereka duduk bersama
dalam kelompok-kelompok keluarga, saling mengobrol
dengan berbisik-bisik atau melantunkan doa dan himne.
Ketika matahari terbit, mereka bebasuh dan mempersiapkan
makanan sendiri di atas tungku dari ranting-ranting serta
kaleng. Ketika saya berjalan melalui ruang-ruang yang ditempati
para pengungsi, orang-orang membungkuk dan
mengangguk. Para ibu menyuruh anaknya untuk mene-pi,
dan anak-anak itu tersenyum serta berkata halo. Dalam dua
hari yang saya lewatkan bersama mereka, saya tidak
melihat perkelahian dan kerewelan, tidak ada pencurian
atau keributan. Bahkan bayi-bayi jarang menangis, dan
meski di tengah ketidakpastian, berbagai rumor, serta
penembakan di sekitar, tidak ada yang merengek atau m e
m o h o n - m o h o n, tidak ada y a n g m e n g o m e I, m a r a h - m arah,
atau m e n g a n c a m. Saya m u I a i k a s i h a n melihat para pengungsi itu
karena saya sendiri mulai
tersiksa oleh satu pertanyaan: apakah akan tetap di sini atau pergi"
Angkatan udara Australia membawa pesawat-pesawat
evakuasi hari ini, meskipun tak seorang pun bisa
mengatakan apakah akan ada evakuasi besok. Di rumah,
orang-orang yang menyayangi saya sangat mencemaskan
saya. Di London, editor saya menyarankan agar saya
meninggalkan Timor. Dalam semalam, teman saya Alex
menjadi sakit parah, berkeringat terus dan m e n g e r a n g
n g e r a n g. T a m p a k n y a dia t e rk e n a d e m a m
malaria. Tetapi, keputusannya ada pada saya, dan saya
merasakannya seperti mencekik hati saya sejak saat saya
terbangun. Daftar orang-orang yang ingin dievakuasi mulai disusun.
Saya menconteng nama saya, lalu menghapus-nya, dan
kemudian menandainya lagi.
Saya berjalan berkeliling markas, mencari sudut-sudut
yang belum pemah saya lihat sebelumnya, seakan-akan
struktur fisiknya, kondisi jalan dan atapnya, bisa
menyediakan jawaban bagi dilema saya. Saya banyak
memotret; saya merasakan dorongan untuk menanamkan
tampilan markas itu kuat-kuat di dalam benak saya tempat biasa yang luar biasa ini. Dinding-dinding luamya
adalah lapisan semen yang mulai terkelupas. Di bagian
belakang ada lubang di dinding di bawah lereng curam yang
terhubung sampai ke perbukitan di belakang Dili. Setelah
gelap, banyak di antara pengungsi yang keluar lewat sini
untuk menghabiskan malam di puncak, bukan di dalam
kungkungan markas. Pada pukul 8.20 pagi terdengar letupan tembakan
senapan mesin di sepanjang lereng bukit.
Pada saat inilah sebuah krisis keseharian kecil terungkap
di dalam krisis lain yang lebih besar: rokok di seluruh
markas sudah habis seolah-olah secara bersamaan. Saya
sudah menghabiskan kotak rokok saya yang terakhir dan
membayangkan besok-besok tanpa tembakau membuat saya
merasa lemah. Saya m e n e muka n se-buah kursi lipat dan
mengisap tiga rokok sekali duduk, di bawah sebuah pohon
rimbun sejuk di pinggir halaman. Segera saja kepala saja
berdentam karena kelelahan dan nikotin serta kekurangan
makanan. Di depan saya ada Land Cruises polisi sipil yang
ditembaki beberapa hari lalu ketika berkeliling Dili. Kaca
jendela belakangnya retak berhamburan.
Saya merasakan bobot samudra terus menekan pada sisisisi kapal tua yang berkarat ini.
Saya jatuh tertidur sebentar-sebentar, dan dalam satu
atau dua detik sebelum terjaga oleh sentakan leher saya, tiga bayangan mimpi
berkilatan dalam pikiran saya: mulut
sebuah sumur, seekor banteng, dan tongkat yang berat.
Saya mencoba mengidentifikasi apa persisnya yang saya
takutkan. Apa hal terburuk yang bisa terjadi di sini" Makin
banyak bayangan yang melompat ke dalam pikiran. Granat
yang didorong oleh roket melambung dari balik dinding
bergemeretak dan meledak menembus atap tipis ruang
kelas. Para pengungsi menjerit, pemandangan orang-orang
yang kaki atau tangannya hancur, tulang m e n o n j o I m e
n e m b u s kulit. D a n k e m u d i a n s o s o k - s o s o k berseragam khaki
menuruni dinding, bergerak cepat dari
pintu ke pintu, bunyi tembakan senapan otomatis, berlari
dengan kaki kaku, senapan dibidikkan, kawan terjatuh kena
peluru, tergeletak di tanah dengan darah tumpah dari mulut
mereka. S e b u a h p e m b a n t a i a n.


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itu mustahil: kalau mereka memang ingin membunuhi
kami, mereka sudah bisa melakukannya berhari-hari yang
lalu. Tapi, itu tidak terbayangkan.
Ketakutan saya membutuhkan alasan, dan alasan itu d i t
e m u k a n n ya d a I a m ide tentang e v a k u a s i. T a m p a k n y a tidak
terelakkan bahwa pada suatu ketika akan ada
perpindahan massa ke bandara. Entah orang Timor yang
diterbangkan keluar, atau dibiarkan dengan nasib mereka
sendiri, itu tetap merupakan situasi yang sulit dan kacau.
Saya membayangkan pemberontakan di kalangan staf muda
Unamet ketika perintah itu datang, kemarahan orang Timor
yang ketakutan. Apakah polisi sipil akan mengikuti perintah
Ian Martin" Atau akankah mereka surut ke perbukitan"
Saya membayangkan berdesakan di dalam Land Cruiser
untuk prosesi itu melintasi jalanan, deru sepeda-sepeda
motor Aitarak, dan lambaian bedil-bedil. Pengemudi yang
bingung ketakutan salah belok, jalan dirintangi oleh milisi,
Brimob kalap, pil anjing gila, dan picu ditarik ...
Gerbang markas dibuka dan sebuah truk tentara
Indonesia mundur ke dalam, truk yang akan membawa
orang-orang yang akan dievakuasi hari ini ke bandara.
Barisan orang-orang telah bersiap, dan mulai memuati tastas serta kotak-kotak. Seorang MLO berkebangsaan
Selandia Baru memanjat naik dan mengepalai operasi
pemuatan. "Semua naik," serunya. "Tas-tas di sisi luar, orang-orang di dalam."
Saya berdiri dan berjalan ke arah truk.
Kolonel Alan sedang berdiri di satu sisi, memerhatikan.
"Kamu pergi, Richard?" "Entahlah, entahlah."
"Kamu tidak mau tinggal bersama kami, menyaksikan
ini sampai selesai?"
"Saya tidak tahu."
Bunyi derik senapan otomatis, dan bersamanya terdengar
sebuah suara baru, siul memusingkan kepala yang
menyertai setiap letupan nyaring.
"Itu namanya nyaris," kata Kolonel Alan. "Kalau mereka menembak ke udara kita
hanya mendengar letupannya.
Tapi, kalau kamu bisa mendengar pelurunya berdesing, itu
berarti tembakan langsung ke atas kepalamu."
Alex sedang dibantu naik ke atas truk dengan gamang.
Dua reporter radio Australia mengenakan helm dan jaket
antipeluru datang mendekat, serta mulai mengangkut tas-tas
mereka ke belakang truk. Pintu belakang truk mulai dinaikkan dan kolonel
mengucapkan selamat jalan kepada mereka yang
menumpang. Saya berdiri dengan tas-tas saya di tangan,
menunggu seseorang mencegah saya pergi, untuk membuat
saya tetap di sini. "Selamat jalan, Richard. Semoga semua baik-baik saja!"
kata Kolonel Alan. "Jangan cemas, saya akan menemuimu
di Darwin." Saya berada di belakang truk.
DARI DALAM truk, markas itu tiba-tiba tampak seperti
tempat yang sangat aman. Sisi-sisi truk terbuat dari
lembaran kayu, dengan jarak dua senti di antaranya. Tastas, koper-koper, kotak-kotak kardus, dan ransel-ransel
milik orang-orang yang dievakuasi ditumpuk di belakang
membentuk dinding yang goyah. Rentetan suara senapan
mesin menggelegar dari jarak dekat saat kami melewati
gerbang Unamet. "Menunduk/1 ujar orang Selandia Baru yang ceria itu.
Ada sekitar belasan orang di bak truk itu, dan sebelas
serdadu Indonesia. Saya tidak punya jaket antipeluru;
sebagai gantinya saya punya komputer jinjing di dalam tas
kulit. Saya memegangnya secara vertikal antara kepala saya
dan sisi kayu, sembari bertanya-tanya apa kira-kira efek
penempatan sebuah laptop Toshiba terhadap serangan M16. Saya mendongak ke arah serdadu-serdadu Indonesia
yang berdiri di atas kami dengan ekspresi mengejek. Mereka
merasa tidak perlu meringkuk di dasar - pengawalpengawal kami, berada di sini untuk melindungi kami dari
serangan oleh kamerad-kamerad mereka sendiri.
Melalui celah kayu truk itu, Dili bisa diintip, tampak
sangat berbeda. Rasanya seperti pemandangan dari sebuah
film sains-fiksi, perjalanan melalui sebuah kota yang
dicaplok oleh pencuri mayat kuburan. Selama lima belas
menit perjalanan menuju bandara, saya tidak melihat
seorang pun penduduk biasa. Toko-toko disegel dan
ditutup, rumah-rumah sunyi. Di depannya, berlalu lalang
sendirian atau berkelompok, ratusan serdadu dan milisi
berbaju hitam. Jalanan penuh dengan mereka. Saya merasa mual,
seperti kejutan membuka lemari yang sudah lama diabaikan
dan menemukannya penuh dengan tikus atau belatung.
Saya melihat seorang anggota Aitarak memegang AK-47;
lainnya membawa tombak atau golok dan serdadu-serdadu
yang menjulang di atas kami melambai serta tersenyum
kepada mereka. Di belakang kami lewat sebuah Land
Cruiser PBB yang dicuri, dikemudikan oleh anggota milisi
yang tertawa menyeringai, meskipun sulit untuk mencirikan
yang mana orang Timor asli dan yang mana serdadu
Indonesia berbandana. Penembakan berlanjut lagi di tengah
perjalanan. Asap tebal dari api
yang baru disulut membubung tak jauh dari jalan. Saya
telah berada di dalam markas selama empat puluh delapan
jam, serta perasaan berada di luar dan dalam perjalanan lagi
secara tiba-tiba menimbulkan gelombang rasa bahagia.
Bandara sama kosongnya dengan kota. Sampah-sampah
kertas berserakan di sekujur lantai ubinnya. Seseorang telah
melepas semua bola lampu dari tempatnya. Ada
pemandangan mengejutkan di titik pemeriksaan paspor:
belasan serdadu muda Australia, beberapa di antara mereka
perempuan. Dengan sangat formal dan sopan menampilkan
parodi prosedur bandara. Mereka memeriksa tas dan paspor
kami serta menjelaskan cara penggunaan sabuk pengaman.
"Sedikit pertanyaan tentang kesehatan, Pak," kata seorang serdadu dengan tanda
palang merah di gelang tangannya.
"Ini kedengaran agak aneh, tapi apakah Anda pemah
menyelam selama pekan terakhir ini?"
Mesin pesawat Hercules dapat terdengar, menderu dan
menggeram di landasan. Kami berlari ke arah badannya
yang gempal, merunduk dalam bising dan udara panas.
Adrenalin sudah surut sekarang dan saya mulai merasakan
keletihan luar biasa serta sisa-sisa kengerian, seakan-akan
saya telah melakukan sesuatu yang buruk dan baru
sekarang mulai teringat lagi. Di dalam badan pesawat, kami
mengikatkan diri pada sabuk hijau. Salah seorang serdadu
memasangkan jaket pengaman pada
Alex, yang setengah tak sadar dan tak henti menggigil.
Mesin pesawat berdenyut dan bergelombang; roda
bergemuruh di bawah kami dan kemudian tibalah saat
melayang ringan serta terangkat, dan kami pun berada di
udara. Ruang penumpang gelap dan tak berjendela, tetapi
kokpit terang benderang. Dili terhampar di bawah, hijau
dan cokelat, nyaris cukup dekat untuk disentuh. Saya
terpesona melihatnya masih ada di sana. Saya bisa
mencirikan beberapa tanda yang saya kenali: gereja putih
dan katedral, rumah Uskup Belo, serta bahkan Turismo,
yang masih belum terbakar. Tetapi, selebihnya, kota itu
sedang terpanggang api. Bahkan, dari ketinggian ini saya bisa melihat lidah api
dari setiap kobar kebakaran di pusat kota. Seluruh
kabupaten tak dapat dilihat di bawah kabut asap yang
merata, dan beberapa kebakaran besar mengepulkan asap
hitam hingga ratusan kaki di angkasa. Dua kapal angkatan
laut Indonesia yang besar sedang membuang sauh di lepas
pantai. Tetapi, rincian pemandangan itu larut dalam
kenyataan sederhana bahwa saya tidak lagi berada di bawah
sana. Saya telah jadi pengecut dan melarikan diri. Saya
sudah melompat. Saya sudah lari karena saya takut
terbunuh atau, lebih tepatnya, mati ketakutan.
Saya masih merasa hal itu sulit diterima. Di hadapan
saya, saat saya menulis, ada catatan-catatan dari masa-masa
itu, buku-buku tulisan dan carikan kertas yang terlipat-lipat.
Saya ingin sekali membalik catatan-catatan itu dan
menemukan bahwa saya tetap tinggal.
Setiap orang berharap dirinya berani, dan sedikit yang
punya kesempatan untuk mendapatkan itu. Tetapi saya
tahu. Saya tahu persis seberapa beraninya saya
dan tidak lebih. Saya teringat George Orwell tertembak
di lehemya di Huesca dan Ryszard Kapuscinski diguyur
bensin pada rintangan jalan yang sedang terbakar - tapi
saya bukan seperti mereka. Kota tampak semakin kecil dan
semakin jauh saat pesawat terbang kian meninggi, tetapi
saya merasakan diri saya adalah salah seorang yang berada
jauh di bawah sana, seolah-olah saya sedang mendongak
melihat Dili dari dasar sebuah sumur sempit dan dalam. []
DI DALAM SUMUR "r^mk APA YANG mendorong kekerasan di Timor
Timur" Sampai sekarang saya tidak bisa mengatakan bahwa saya
memahamiriya. Sangat jelas itu tidak beralasan. Toh, tak
ada yang memaksakan refe-rendum terhadap Indonesia:
Presiden Habibie sendiri yang m e n y a r a n k a n n y a. P e m e r i n t a h I
n d o n e s i a secara bebas menandatangani perjanjian dengan Portugal dan PBB
yang kemudian melahirkan Unamet. Dan kemudian lihatlah intensitas
kekerasan itu - begitu kacau, tidak menentu, dan buruk.
Rumah-rumah terbakar, para ibu dan anak-anak ketakutan,
para pekerja PBB diancam - semua tampak seperti
diperhitungkan betul untuk mem-buat kesan seburukburuknya di hadapan opini intema-sional.
Tatkala kekerasan sedang berlangsung, kebanyakan
orang setuju bahwa peran Habibie sendiri bersifat marginal.
"Dia impoten," kata seorang pejabat di Jakarta kepada saya.
"Dia tidak mampu. Kami semua berupaya untuk sedikitnya
tahu tentang apa yang tengah dilakukan pihak militer dan
siapa yang pegang kendali." Hal penting untuk memahami
situasi itu adalah peran panglima ABRI,
Jenderal Wiranto. Apakah dia dalangnya, yang
merencanakan dan mengarahkan kekerasan itu" Atau
apakah dia, sebagaimana Habibie, telah kehilangan
otoritasnya" Kawan diplomat saya menjelaskan pandangan
ketiga: Wira n t o bisa s a j a m e m b u b a r k a n milisimilisi itu jika dia mau, tetapi dia memilih tidak
melakukannya karena itu dapat menggoyahkan kesetiaan
jenderal-jenderal bawahannya. Lantas, apakah dia
bertanggung jawab atas kekerasan itu atau tidak"
Di kalangan perwira tentara dan polisi di Timor serta
atasan langsung mereka di komando regional, ada
perencanaan, koordinasi dan kendali yang cukup kuat.
Seperti semua zona perang, Timor Timur menempati
kedudukan emosional di dalam jiwa kemiliteran. Banyak
perwira senior yang telah melewatkan waktu mereka di
sana, dan bagi banyak di antara mereka itu merupakan
pengalaman yang sangat berkesan dalam kehidupan
mereka. Mereka telah membunuh di sana dan melihat t e m
a n -1 e m a n m e re k a di b u n u h; u n t u k p e r t a m a k a I i n y a,
mereka merasa takut. Timor Timur merupakan
ranah pembuktian dan menjadi simbol kesatuan yang
membanggakan negara Indonesia. Kini Habibie si matamelotot itu malah melepaskannya begitu saja.
Pengumuman Habibie telah mencengangkan dan
menghina angkatan bersenjata, serta kekerasan dan
intimidasi itu punya beberapa sasaran. Yang paling nyata
adalah untuk mengurangi jumlah suara bagi kemerdekaan
oleh para pemberi suara yang ketakutan untuk mendukung
pihak seberang, atau dengan mengusir orang-orang keluar
dari desa mereka sehingga mereka tidak bisa mendaftar dan
memilih. Teror juga menjadi tongkat pemukul bagi
Falintil - jika para gerilyawan bisa diprovokasi untuk melawan, maka tentara akan
punya alasan yang dibutuhkannya untuk membatalkan pemungutan suara dan
meneruskan operasinya. Tapi, mengapa repot-repot seperti itu setelah
referendum" Mereka telah kalah bertarung; tujuan yang
hendak diraih pun telah luput. Ini bukan pula merupakan
reaksi amukan spontan. Lihat saja, betapa anehnya,
meskipun dalam situasi yang sangat mudah untuk dihabisi,
sejauh ini tak seorang pun dari kalangan "intemasional" baik pekerja PBB maupun para jumalis dan pengamat yang terbunuh. Ini telah direncanakan secara hati-hati dan
teperinci. Niatnya adalah untuk menakutnakuti, tetapi
selalu, pada saat-saat terakhir, menghantam dengan sisi
datar bilah golok yang sesungguhnya tajam. Lima bulan
setelah referendum, pada akhir Januari 2000, saya
mengunjungi kembali Timor Timur, dan menyaksikan
sendiri rencana-rencana itu.
Joaquim Fonseca dan kelompok hak asasi manusianya
telah menemukan itu di sebuah bangunan militer yang
ditelantarkan pada salah satu jalan pelabuhan utama.
Ruangan-ruangannya telah dikosongkan dari segala
perabotan, dan lantainya tertutupi sampah ratusan ribu
kertas. Aktivis-aktivis mengumpulkan sebanyak yang
mereka bisa, dan dengan perlahan mulai menapisnya. Saat
itu berminggu-minggu sebelum mereka menyadari
pentingnya apa yang telah mereka temukan.
Banyak dokumen mengonfirmasi apa yang sejak lama
telah begitu jelas: ada kebijakan yang menetapkan bahwa
tentara akan berupaya sebaik-baiknya untuk membantu
pihak pro-Indonesia dan menjadikan pihak oposisi sebagai
korban. Ada, misalnya, permintaan agar kapal angkatan
laut dikirim dengan muatan beras untuk menyuap para
pemberi suara. Ada buku catatan dari kota Viqueque yang
merekam senjata-senjata yang didistribusikan kepada milisi
setempat. Dokumen terpenting berterakan tanggal re f e re n
d u m d i c a n a n g k a n.
Dokumen itu dikirimkan pada S Mei 1999, beberapa jam
sebelum menteri-menteri luar negeri Indonesia dan Portugal
menandatangani perjanjian di markas besar PBB di New


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

York. Itu adalah sebuah telegram dari pemimpin militer,
ditandatangani atas namanya oleh wakilnya serta
dialamatkan kepada komandan militer di Dili dan
atasannya di Jakarta. Perintah penting itu berbunyi: "Siap k a n re n c a n a p
e n g a m a n a n u n t u k m e n c e g a h p e ra n g saudara yang mencakup
tindakan preventif (menciptakan kondisi), tindakan kebijakan, tindakan
represif/koersif, dan rencana untuk pindah ke belakang/
evakuasi jika opsi kedua [kemerdekaan] yang dipilih."
"Mencegah perang saudara", tentu saja, persis apa yang diklaim telah dilakukan
tentara Indonesia sejak 1975, jadi
mempersiapkan "rencana pengamanan" untuk tujuan ini hanya bisa berarti kembali
ke kampanye militer. "Tindakan preventif berarti memastikan bahwa gerakan
kemerdekaan kalah dalam referendum; "tindakan kebijakan" berarti operasi terhadap warga
sipil maupun gerilyawan di bukit-bukit. Tetapi, tidak perlu penafsiran untuk
ekspresi "tindakan represif/koersif.
Di Jakarta, saya memperlihatkan salinan dokumendokumen ini kepada seorang diplomat yang saya kenal; dia
mengajak bersamanya seorang kolega yang, saya curiga,
seorang mata-mata. "Itu bahasa yang terlalu kuat," kata diplomat itu ketika dia
membaca telegram ini. "Bahkan
dalam diskusi privat mereka yang paling terbuka, para
jenderal tidak sering mengeluarkan pemikiran
semacam itu." "Rencana untuk pindah ke belakang/evakuasi" termuat dalam dokumen lain yang
ditemukan di kantor yang dikosongkan itu. Pada sekilas pandangan pertama, itu
tampak tidak meyakinkan, sebuah laporan dari satuan lalu
lintas kepolisian Dili yang berjudul "Operasi Ingat Lorosae II". Tetapi, isinya
mengejutkan - rencana amat cermat
untuk memaksa ratusan ribu orang keluar dari rumahrumah mereka dan mengangkut mereka ke Timor Barat.
Ada peta-peta yang menunjukkan kondisi setiap jalan
dan jembatan di wilayah itu. Ada grafik yang memuat
jumlah penduduk setiap kabupaten. Pelabuhan dan bandara
dirinci dengan kapasitas masing-masingnya untuk
menerima pesawat terbang dan kapal-kapal. Korban-korban
dari rencana ini telah diusir keluar rumah-rumah mereka
dalam beberapa jam setelah pengumuman hasil referendum.
Sebagian besar diangkut melalui jalan darat, yang lainnya
dijejalkan ke dalam feri-feri penumpang - dalam setidaknya
satu kasus, beberapa pemuda terpisahkan dari keluargakeluarga mereka ketika kapal sedang berada di laut dan
terguling ke samping lalu tenggelam. Tetapi, dilihat dari
sudut pandang tentara Indonesia, ini bukanlah para
pengungsi y a n g terpa k s a. M e r e k a ini, d a I a m p i k i r a n p a ra b
i r o k r a t militer, adalah "para pendukung"
Indonesia. Mereka diangkut ke Indonesia demi "menjaga
ketertiban umum". Itu merupakan "tindakan preventif untuk "mencegah perang
saudara". Itulah semua yang
secara jelas dipaparkan oleh departemen lalu lintas dalam
Operasi Ingat Lorosae II.
SATU TEORI mengatakan bahwa kekerasan itu pada
prinsipnya tidak ditujukan kepada orang Timor, tetapi
kepada provinsi-provinsi pemberontak lainnya di
Indonesia - di Aceh dan di Papua. "Kalian ingin
kemerdekaan?" tanya tentara. "Inilah yang akan kalian dapatkan." Sebelum
referendum juga ada ide bahwa, setelah hak me-eka untuk menang ditelikung,
kekuatan pro-Indonesia akan mundur ke Timor Barat dan mencaplok
empat kabupaten terbarat yang akan tetap menjadi bagian
Indonesia untuk mereka. Tetapi, rencana itu tidak
mewujud. Itu adalah pemyataan yang absurd, sebuah
khayalan - sesungguhnya, di balik kekerasan itu, ada sifat k
e k a n a k - k a n a k a n d a I a m s e I u r u h upaya itu: a n a k - a n a k
muda terasing dalam seragam milisi fantasi
perang mereka, obat-obatan dan sepeda motor, serta bedil
m a i n a n. Y a n g m e n i m b u I k a n k e t a k u t a n
terbesar adalah kehadiran pembunuh dewasa yang efisien
dalam seragam tentara, yang terus mencekoki mereka,
memberi mereka senjata dan peluru, serta ikut bergabung.
Barangkali memang ada perintah dari atas, tetapi ketika
saatnya tiba perintah secara langsung tidak lagi diperlukan.
Semuanya telah diletakkan secara hati-hati pada tempatnya,
tanggung jawab telah dibagi-bagi ke berbagai departemen
berbeda, komando maupun individual, sehingga tidak perlu
kata-kata lagi. K e b u n g k a m a n J a k a r t a m e r u p a k a n k o m a n
do. Di T i m o r, tentara tahu apa yang harus
dilakukan dan begitu dimulai kekuatan serta kecepatannya
meningkat, dan terus berlanjut hingga habis dengan
sendirinya. Itulah aspek yang paling aneh dan paling
menakutkan dari kekerasan di Timor Timur: bahwa
kekerasan itu begitu metodis serta teperinci, dan sekaligus
sama sekali di luar kendali.
ORANG-ORANG SEDANG dideportasi saat saya
terbang ke Darwin menggunakan Hercules Australia.
Mereka juga sedang dibunuhi. Semua itu tengah
berlangsung saat saya berjalan di sekeliling markas,
meskipun kami hanya bisa menebaknya pada saat itu.
Dari laporan Komisi Indonesia untuk Pelanggaran Hak
Asasi Manusia di Timor Timur, Januari 2000:
Pada 6 September sekitar pukul 14.30, Laskar Merah
Putih dan milisi Mahidi serta anggota TNI dan POLRI
menyerang para pengungsi yang tinggal di kompleks Gereja
Suai. Serangan itu secara langsung dipimpin oleh Bupati
Covalima, Herman Sediono, dan komandan mili-ter
kecamatan Suai, Letnan Satu Sugito ... Pada waktu itu ada
sekitar 100 pengungsi yang tinggal di kompleks gereja dan
tidak diketahui jumlah pengungsi di luar kompleks. Romo
Hilario ditembak satu kali di dada dan Igidio Manek,
anggota milisi Laskar Merah Putih, melangkah di atas
tubuh pendeta. Romo Francisco ditikam dan disayat oleh
Americo, juga anggota milisi Laskar Merah Putih. Saksi
lain, Domingos dos Santos, melihat Romo Dewanto
dibunuh di gereja tua itu. Pada saat serangan, para polisi
dari kompi Brigade Mobil Loro Sae dan anggota-anggota
TNI berada di luar pagar menembaki pengungsi yang
mencoba lari dari kompleks gereja. Diperkirakan sedikitnya
50 orang tewas dalam insiden ini.
Dari laporan Komisi Intemasional PBB untuk
Penyelidikan di Timor Timur, Januari 2000:
Pada 8 September, lebih dari 100 orang milisi memasuki
kantor polisi di Maliana, tempat sekitar 6.000 orang
mencari perlindungan terhadap serangan militer dan milisi.
Kantor polisi itu dikepung dengan lingkaran-lingkaran berlapis: milisi, Brimob,
dan TNI. Orang-orang di dalam kantor polisi mula-mula diserang dengan golok.
Ketika terjatuh, mereka dipotong-potong. Ini dilakukan di
hadapan orang lain yang dipaksa untuk menonton. Saksi
mengidentifikasi nama-nama anggota milisi dan TNI yang
bertanggung jawab atas pembantaian ini.
Dari "Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Timor Timur,
Januari hingga Oktober 1999: Kondisi dan Penyebabnya/1
disusun untuk Otoritas Transisional PBB di Timor Timur
oleh James Dunn, Februari 2001.
Pada Rabu S September sebuah kekuatan bersenjata yang
terdiri atas 200 pasukan menyerang desa Tumin, Kiobiselo,
Nonkikan, dan Nibin, serta membunuh sekitar 14 orang.
Hari berikutnya di Imbate sekitar 70 pemuda, yang disebutsebut telah dipilih berdasarkan kemampuan pendidikannya,
dipisahkan dari orang-orang yang berkumpul di sana.
Mereka diikat berpasangan dan digiring ke Passabe. Pada
pukul 1 dini hari 10 September, menyusul tanda yang sudah
ditetapkan sebelumnya, dilakukan pembantaian massal atas
para pemuda ini, korban-korban ditembak atau ditusuk
hingga mati. Menurut para penyelidik, aktor utama
pembantaian ini termasuk Kepala Polisi Passabe, Gabriel
Cob, dan Laurentino Soares, juga dikenal sebagai Moko,
tetapi juga tercatat bahwa pembantaian itu dikontrol oleh
sejumlah kecil orang-orang yang mencakup perwira TNI
dan anggota milisi. Jumlah total korban diperkirakan lebih
dari 70 orang ... Saya menghabiskan waktu dua pekan di Darwin. Itu
adalah saat-saat yang sedih dan tak jelas. Krisis menarik
orang-orang dari seluruh dunia dan kota kecil itu sudah
dipadati oleh orang-orang yang dievakuasi dari Dili, aktivis
hak asasi manusia, perwira militer Australia, serta tim-tim
jumalis yang dulunya meremehkan potensi berita dari
referendum itu dan dengan gemas ingin mencoba
menciptakan kembali drama itu dari jarak jauh. Hotel-hotel
penuh dan saya harus berpindah dari satu hotel ke hotel lain
setiap dua atau tiga hari. Tetapi, tidak banyak barang yang
harus dibawa karena koper saya masih di Turismo. Selama
beberapa hari pakaian yang saya miliki hanyalah yang
sedang saya kenakan. Kenangan saya adalah tentang kamar-kamar hotel yang
berpendingin udara itu dan jam-jam yang dihabiskan untuk
menonton konferensi berita yang disiarkan dari Jakarta dan
New York. Tidak ada yang bisa dilakukan di Darwin: kota
itu hanyalah tempat terdekat dengan pusat krisis, atau lebih
tepatnya tempat terdekat dengan krisis di mana orang bisa
tinggal di dalam hotel, menelepon, atau berjalan keluar
tanpa takut dibunuh. Saya menulis hingga dini hari, tidur tanpa mimpi, dan
tersentak bangun pada pukul enam setiap pagi. Satu dua
kali, saya bergabung dengan kelompok orang-orang yang
sama-sama dievakuasi dan berkeliling mengunjungi tempattempat menarik di Darwin: Shenanigans Irish Pub, BarCafe Rourke's Drift, dan klub malam Petty Sessions, yang
papan tandanya mengumumkan bahwa pengunjung berbaju
tanpa kerah tidak dibolehkan masuk setelah pukul 7 malam.
Masih mungkin untuk menelepon orang-orang di markas
di Dili; melalui telepon satelit saya pemah bisa
menghubungi panglima Falintil, Taur Matan Ruak, di
tempat penampungan sementaranya di pegunungan bagian
tengah. Kekerasan terus berlanjut di Timor, tetapi di luar
jangkauan saya; sesekali terdengar tetapi tidak terlihat. Saya merasa terlepas
dari segala sesuatu di sekitar saya, seakan-akan sayalah orang yang telah
ditelantarkan. Saya merasa
seperti pohon kecil yang tercerabut.
Operasi Ingat Lorosae II sedang berlangsung, dan
puluhan ribu orang Timor sedang diangkut ke Timor Barat,
ke Bali, sampai ke Papua. Kisah-kisah kekejaman mulai
menyebar keluar: pembunuhan pendeta-pendeta di Gereja
Suai; pemuda-pemuda yang dijatuhkan dari kapal feri di
laut terbuka. Ratusan ribu pengungsi telah lari ke
perbukitan - banyak yang berkumpul di tempat
penampungan sementara Falintil dan dalam beberapa hari
anak-anak kecil mulai meninggal karena diare dan demam.
Seluruh kota dilaporkan telah dibumihanguskan; di seluruh
Timor Timur, hampir tak seorang pun yang aman berada di
rumahnya sendiri. Saya pergi ke bandara Darwin hampir setiap hari. Saya
merasa lebih bahagia di sana. Rasa malu saya dihapuskan
oleh deru bising pesawat-pesawat, pengumuman dari
pengeras suara, serta kesibukan kedatangan dan
keberangkatan. Pesawat-pesawat evakuasi dari Dili terus
berdatangan. Para perawat dan psikiater datang untuk m e n
e m u i m e r e k a. Sebuah a m b u I a n s s u d a h m e n u n g g u di
landasan pacu ketika pesawat kami mendarat dan
Alex dibaringkan di atasnya. Beberapa saat sebelum
evakuasi kami, temyata usus buntunya pecah; beberapa jam
lagi dia tentu akan mati. Beberapa hari kemudian, Uskup
Belo terbang ke Darwin dari Baucau bersama misi Unamet
setempat, staf lokalnya, dan keluarga mereka. Tentaratentara Indonesia telah mencoba menghalangi orang Timor
naik ke pesawat, lalu Belo dan para pekerja
PBB berdiri di landasan terbang di antara senjata serta
para pengungsi, dan menolak pergi tanpa mereka.
Di markas, Ian Martin m e n g umumkan evakuasi
penuh. Itulah yang justru ditakutkan semua orang: staf
orang Timor akan diperbolehkan pergi ke Darwin, tetapi
para pengungsi tidak. Tentara Indonesia mulai berkumpul
di sekeliling markas, cengengesan, mengelus-elus granat
tangan, dan melirik penuh nafsu kepada para wanita yang
ada di dalam. Seratus staf Unamet menandatangani petisi
protes dan di luar dugaan semua orang evakuasi
diundurkan. Ketika akhimya itu terjadi, tiga hari kemudian,
seluruh warga Timor dimasukkan. Herkules datang dan
pergi, membawa para pejabat politik, polisi-polisi sipil,
MLO, serta para wartawan yang tersisa. Dan, semua orang
yang mendarat di Darwin dengan segera menjadi cepatcepat ingin kembali. Sebagian terbang ke Jakarta di mana penerbangan ke Dili
sedang diatur, tapi dibatalkan pada saat-saat terakhir.
Beberapa terbang ke Kupang di Timor Barat tempat
kebanyakan pengungsi akhimya bertumpuk. Tetapi, kota itu
dikuasai oleh milisi dan jalan ke Timur penuh bahaya untuk
ditembus. Di Darwin, saya dan m a n t a n kepala s e k si p
e n y e I a m a t a n U n a m e t m e n y u s u n rencana
untuk naik perahu nelayan ke Laut Timor serta bertemu
dengan detasemen Falintil di pantai selatan. Itu pun tidak
bisa terwujud, tentu saja. Itu hanya khayalan
mengasyikkan, sebuah cara untuk melewatkan waktu. Kami
telah meninggalkannya dan gerendel gerbang telah
digembok di belakang kami. Kembali ke Dili sama
mustahilnya dengan kembali ke masa kanak-kanak.
Tetapi, hanya kerangka pikiran dan atmosfer Darwin
yang santailah yang membuat seolah-olah segala sesuatu
diam tak bergerak. Indonesia sendiri sedang bergolak.
Xanana Gusmao telah dibebaskan dari tahanan rumah di
Jakarta dan berlindung di Kedutaan Besar Inggris.
Sekretaris Jenderal PBB dan Presiden Amerika Serikat
menuntut Indonesia menerima tentara penjaga perdamaian
di Timor Timur. Kekuasaan Habibie sedang berada di titik
terendahnya. Sebuah kudeta sepertinya akan terjadi sesungguhnya sangat mungkin bahwa sang presiden telah
dijatuhkan hingga tinggal nama saja beberapa hari
sebelumnya tanpa seorang pun menyadarinya. Tapi


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian, pada 12 September, dia muncul di televisi, diapit
oleh kabinetnya, dan m e n g u m u m k a n k e - s i a p a n
Indonesia tanpa syarat u n t u k menerima tentara penjaga
perdamaian. Tiba-tiba, gerendel berderit terbuka lagi. Tentaratentara - Australia, Inggris, Filipina, dan Thailand - terus
berdatangan di Darwin, serta setiap jumalis di kota itu
memohon dan berebut mendapatkan tempat di dalam
pesawat pertama tentara penjaga keamanan. Saya sendiri
mendapat tempat di dalam daftar, kemudian dicoret, dan
kemudian masuk lagi. Suatu hari saya dipanggil ke markas
tentara Australia dan diserahi satu tas perlengkapan, botol
air minum, sebuah helm, dan kartu pers berlaminasi. Pagipagi sekali pada Senin 20 September, Pasukan Intemasional
untuk Timor Timur (Intemational Force East
Timor) - Interfet - berangkat dari Darwin dan dua jam
kemudian saya kembali ber-ada di Dili.
PADA MALAM pertama saya tidur di bandara dan
bekerja di sebuah meja yang ditinggalkan di ruang tunggu
keberangkatan. Sebuah rumah sedang terbakar beberapa
ratus meter dari sana; api mulai memakannya malam tadi
dan dari landasan terbang nyala api bisa terlihat bau asap
bisa tercium. Ubin lantai ruang tunggu itu berlapiskan tinja
manusia yang sudah kering. Lapisan itu tipis dan rata;
seolah-olah telah dioleskan di sana menggunakan pisau
palet oleh sebuah tim dekorator. Tetapi, itu disebarkan oleh
kaki-kaki manusia, kaki-kaki telanjang ribuan pengungsi
ketakutan yang telah diangkut dengan truk ke sini dan
disuruh menunggu sebelum di-terbangkan entah ke mana.
Saya melambai menghentikan sebuah sepeda motor yang
berkeliling-keliling tanpa tujuan di jalan depan bandara
keesokan paginya. Terlalu terlambat, saya lihat
pengemudinya mengenakan secarik kain merah-dan-putih
di lengannya - tetapi ketika dia melihat saya, dia
tersenyum, melepas dan membuangnya jauh-jauh. Saya
naik dan sepeda motor itu melaju melintasi jalan-jalan yang
sudah saya kenali. Kebakaran sudah berkurang sekarang,
tetapi asap masih banyak. Kira-kira satu dari setiap tiga
bangunan terbakar. Tentu sangat membosankan
menyulutkan api ke rumah-rumah kecil itu, yang masingmasing serupa dengan yang lain. Kami melewati toko-toko
yang dimusnahkan, kantor-kantor yang dihancurkan, dan
kerangka warung makan yang hangus terpanggang. Iringiringan jip Australia mendahului kami, dengan senapan
mesin terpasang di belakangnya. Sebuah telepon kantor
tergeletak di jalan, dengan kabel-kabel berserakan di
sekitamya, dan bangkai anjing tak jauh dari situ.
Selama tiga kilometer pertama kami tak melihat seorang
pun. Kemudian laut muncul di sebelah kiri dan di tepinya
ribuan orang dalam kelompok-kelompok keluarga,
berkerumun di sisi dermaga dan di jalan sepanjang pantai,
duduk di antara kasur-kasur, pakaian, sepeda, dan kantongkantong makanan. Di atas dermaga, tentara-tentara
Indonesia sedang mengarahkan mereka masuk ke dalam
sepasang kapal abu-abu; di jalan, mereka dengan patuh naik
ke atas iring-iringan panjang truk-truk. Truk itu menderu ke
wilayah Indonesia di barat; di jalan mereka berpapasan
dengan jip Australia yang datang dari bandara pada arah
berlawanan. Aneh bahwa orang-orang harus pergi
meninggalkan tempat ini sekarang, padahal pasukan
penyelamat intemasional sudah tiba. Lebih aneh lagi bahwa
Interfet tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan
mereka. "Mereka pergi bukan karena mereka menginginkannya,"
kata seorang pendeta kepada saya di kebun rumah Uskup
Belo yang hangus terbakar. "Mereka dipaksa pergi oleh
tentara dan milisi."
Saya hanya menangkap sekilas bayangan milisi - kaos
Aitarak yang berkibar di sepeda motor, atau menghilang ke
jalan-jalan kecil. Tetapi, tentara dan polisi Indonesia
tampak di mana-mana - di dermaga, di bandara, mengawal
bara k - b a r a k d a n m a r k a s - m a r k a s m e r e k a.
Ada s e m a c a m pemahaman tentang jenis penerimaan
yang akan dijumpai Interfet di Dili; pasukan perdamaian
pertama setengah menduga bahwa mereka harus berperang
untuk dapat masuk. Tetapi, di lapangan mereka disambut
dengan ketidakpedulian yang ramah. Komandan Interfet,
Mayor Jenderal Peter Cosgrove, menemui komandan
tentara Indonesia di Dili, Mayor Jenderal K i k i Syahnakri,
pada sore hari pertama. Cosgrove melaporkan bahwa
Interfet telah "dengan senang hati dan dengan ramah"
diterima oleh tentara Indonesia. Dia terdengar hampir
berterima kasih. Pada hari kedua, saya pindah ke Turismo yang kini
dikomandoi oleh orang-orang Australia sebagai pusat pers
resmi. Saya merasa bahagia sampai nyaris meneteskan air
mata melihat tempat itu kembali. Hotel Mahkota dan
rumah uskup Belo sudah terbakar, tetapi selain kehilangan
sambungan listriknya Turismo hanya mengalami kerusakan
kecil. Di dalam kantong saya masih menyimpan kunci ke
kamar saya - kamar 47, menghadap ke taman di lantai
pertama. Tetapi, pintu-nya telah didobrak, tinggal daun
pintunya yang retak. Di dalam, semua barang yang bisa
dipindahkan telah diambil dari kamar - ranjang, meja, laci,
televisi, kulkas, juga koper saya dan semua isinya. Di kamar
mandi saya menemukan tabung semir sepatu cokelat saya.
Lantai kamar ini pun berlapisan tinja tipis.
Semakin banyak jumalis yang berdatangan di Dili, dan
semacam sistem apartheid pun berlaku. Turismo dijadikan
"pool" resmi Interfet, di mana saya adalah salah satu anggotanya. Di sana kami
disediakan ransum makanan
tentara Australia dan mendapatkan taklimat dari pejabatpejabat Australia. Semua yang lain harus mencukupkan diri
sendiri, menginap di mana mereka dapat, mengemis
makanan, listrik, bahkan air. Antena-antena cakram untuk
telepon satelit berjejer sepanjang balkon dan di taman. Pada
malam hari, para wartawan berdesakan di sekitar meja-meja
yang ditumpuki senter dan lilin, serta berebutan beberapa
colokan listrik yang berasal dari generator darurat tentara.
Pada pukul sebelas, generator itu dimatikan dan kegelapan
yang menyelimuti seluruh Timor Timur akhimya menelan
Hotel Turismo. KEESOKAN PAGINYA saya pergi bersama konvoi
berperisai ke seminari Dare, jauh di atas perbukitan kota
Dili. Dare setara Oxford atau Sorbonne bagi Timor Timur,
sebuah institusi Jesuit termasyhur tempat banyak pemimpin
Timor pemah belajar. Selama dua pekan penuh anarki dan
keterkucilan, sebagian dari kisah-kisah paling mengusik
berasal dari sini. Puluhan ribu pengungsi telah lari ke Dare dari berbagai
kota. Menghadapi jumlah sekian itu, perlindung-an yang
diberikan para romo nyaris sama sekali bersifat simbolik,
tetapi karena perjalanan ke sana dari Dili lumayan mudah,
proporsi pengungsi usia lanjut dan sangat muda, yang sakit
dan yang hamil, lebih tinggi daripada biasanya. Dua
pendeta memiliki ponsel dan segera, sebelum baterainya
habis, mereka berusaha mati-matian menelepon Australia u
n t u k m e n g g a m b a r k a n s e r a n g a n - s e r a n g a n m a I a m h
a r i oleh tentara Indonesia, orang-orang tua
berhamburan ke dalam hutan untuk mengelak dari peluru,
operasi-operasi pengepungan, kelaparan yang menjelang.
Makanan telah dijatuhkan dari udara, beberapa paket berisi
biskuit diluncurkan ke hutan. Kini agen bantuan PBB telah
kembali dan Interfet akan meng-antarkan mereka ke Dare.
Ini merupakan perjalanan pertama ke luar Dili dan
konvoi ditemani oleh tentara-tentara di atas jip yang
dilengkapi senapan mesin. Mereka adalah jenis tentara
misterius yang menjadi biasa setelah beberapa hari bersama
Interfet. Mereka tidak mengenakan tanda yang
menunjukkan resimen mereka atau bahkan pangkat m e re k
a, dan a k s e n m e r e k a m e n a m p a k k a n c a m p u r a n beberapa
bangsa - Australia, Amerika, Skotlandia. Hal
teraneh tentang mereka adalah cara komunikasi mereka alih-alih saling berbicara kepada yang lain, mereka lebih
suka menggunakan isyarat tangan, dan ketika mereka
menggunakan kata-kata, satu di antara tiga kata tersebut
adalah serapah. Sebagian besar hal-hal yang bersifat sipil
tampak menggusarkan mereka; di atas semua itu, mereka
sangat-sangat tertutup terhadap jenis publisitas apa pun.
"Boleh memotret?" tanya seorang fotografer kepada
mereka saat kami naik konvoi.
"Tidak boleh," begitu jawabnya. "Tidak boleh, bangsat."
"Hmm, saya harap Anda tidak keberatan saya bertanya,"
kata saya, "apakah Anda pasukan khusus itu?"
"Coba saja kautulis itu bangsat dan kau dalam masalah
besar," kata salah seorang dari anggota pasukan khusus itu.
Empat orang pengawal misterius itu duduk di depan dan
di belakang Land Cruiser yang kami tumpangi. Senapan
mereka diacungkan ke luar jendela, dan mereka punya
radio mini di telinga mereka.
Jalan ke Dare menanjak melalui tikungan-tikungan
sempit dengan hutan kering meranggas di kedua sisinya.
Ada rumor tentang rintangan jalan yang dibuat oleh tentara
dan milisi di sepanjang jalan, tapi tak seorang pun tahu
persis apa yang akan menghadang. Pengawal-pengawal
kami saling memberi isyarat rahasia dan bergumam ke
radio mereka. Kemudian setelah setengah jam terdengar
suara dari semak-semak, makin lama makin keras dan
dekat - campuran suara bersorak, bemyanyi, serta bertepuk
tangan, tak jauh berbeda dari keriuhan penonton sepak
bola. Iring-iringan itu melam-bat nyaris seperti merayap,
jalan menikung tajam lagi, dan tiba-tiba kami berada di
tengah mereka - ribuan orang, tua dan muda, semuanya
sedang bergembira serta bemyanyi. Land Cruiser itu
dikerubungi; tangan-tangan terulur untuk bersalaman
melalui jendela-jendela yang terbuka.
"Viva Timor Les te!" t e r i a k o r a n g - o r a n g. "Viva indepen -dencia!
Viva Kanana Gusmaoi" Selembar kain
diangkat tinggi-tinggi, bertuliskan "Selamat Datang di
Negara B a ru - A n d a m e n y e I a m a t k a n r a k y a t d a ri k e h a n c u
ra n." Inilah orang-orang Dare yang
menghilang, yang telah mengalami begitu banyak hal
mengerikan yang tersiar ke mana-mana dan, setidaknya
untuk saat ini, setiap orang tersenyum.
Orang-orang yang datang untuk menyambut Interfet
hanyalah sebagian kecil dari keseluruhannya: jumlah yang
besar - 40.000, disebut-sebut masih bersembunyi di hutanhutan sekitar. Di sana mereka tidur, pada siang hari para
lelaki melakukan perjalanan berbahaya ke bawah untuk
mencari makanan di puing-puing kota Dili.
Massa nyaris tidak terkendali; pasukan khusus yang
marah membentak lewat radio mereka dan berupaya,
namun gagal, untuk mengosongkan ruang di sekitar
senapan mesin mereka. Pada satu titik saya mendapati diri
saya terjepit di antara sebuah jip dan seorang pemuda
kerempeng yang wajahnya terpalingkan jauh-jauh dari saya.
Sekelompok orang Timor di depannya sedang berteriak dan
merangkul, tetapi dia diam dan tubuhya tergencet lemah ke
badan saya. Ketika kerumunan melonggar, dia berbalik ke
satu sisi dan saya bisa melihat wajahnya.
"Femao! Ini Richard."
Femao pemah ikut bersama saya tiga bulan lalu ke
Liquisa, kota vampir itu. Saya ingat dia dulu bertubuh besar
dan tegap, tetapi tiga minggu hidup di dalam rimba tela h m
e n y usut k a n n ya begitu b u r u k. W a j a h n y a m e n j a d i tirus dan
bahunya loyo. Saya merasakannya melalui kemejanya, kurus dan
ceking, saat kami berangkulan.
"Mereka sangat gembira," kata Femao saat orang Timor bersorak-sorai di
sekeliling kami. "Bagaimana denganmu, Femao" Apakah kamu
gembira?" "Saya gembira," katanya. "Pada saat PBB datang, saya gembira. Tetapi, saya baru
dengar hari ini bahwa ayah saya
telah terbunuh. Saya tidak tahu di mana saudara saya dan
keluarga saya, dan rumah kami habis. Saya gembira, tetapi
saya sudah kehilangan segalanya."
TIMOR TIMUR penuh dengan tempat-tempat seperti
Dare dan para relawan tak sabar mendatangi mereka untuk
mulai menghitung jumlah pengungsi serta mendata k e b u t
u h a n m e r e k a. Tetapi, M a y o r Jenderal C o s g r o v e dengan keras
kepala menolak untuk bergegas. Saat itu satu
pekan sebelum Interfet pergi sejauh tiga puluh kilometer ke
Liquisa dan nyaris dua pekan sebelum mereka sampai di
Maliana. Selebihnya negara itu tetap di tangan milisi dan
tentara, serta pada saat Interfet tiba di kantong Oecussi,
lebih dari satu bulan telah berlalu. Pada masa-masa di
antara itu, sembari sang mayor jenderal memantapkan
dirinya di Dili, masih berlangung banyak pembantaian dan
penguburan massal. Bahkan di ibu kota, pasukan-pasukan Australia dilarang
melangkah keluar tanpa pelindung tubuh mereka. Beberapa
perwira Inggris di dalam Interfet menyindir ketakutan
Australia, tetapi ini adalah instruksi politik: pemerintahan
Canberra mengambil risiko besar dengan pengiriman
pasukan ini dan memerintahkan untuk melakukan apa saja
demi menghindari jatuhnya korban.
Para perwira di kantor pers tentara ramah-ramah dan
suka berkelakar, tetapi ada ketidakpuasan terhadap pasukan
secara keseluruhan, dengan komandonya yang buruk, i
ring-i ring a n n y a yang kaku, dan sikap ketus sok
pahlawan Mayor Jenderal Cosgrove. Ini adalah o r a n g - o
r a n g yang tela h m e n y e I a m a t k a n r a k y a t T i m o r, tetapi
sesuatu dalam diri mereka membuat orang sulit
untuk merasa berterima kasih.
Hal paling mengerikan tentang Dili adalah kehadir-an
tentara Indonesia. Unit-unit TNI yang tersisa sedang
bersiap pergi, tetapi sebelum penarikan secara total, mereka
dengan cermat membakar habis barak-barak m e r e k a. T a
k s e o r a n g p u n p e r n a h m e m e r g o k i m e r e k a melakukan ini.


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang hanya melihat secara sepintas para
tentara sedang memuat barang-barang ke dalam truk-truk di
depan bangunan militer; dua jam kemudian, saat melewati
tempat itu lagi akan tampak nyala api merekahkan atapnya.
Suatu hari saya melewati sebuah lumbung padi dan melihat
tentara-tentara Indonesia menjual cadangan makanan
kepada pengungsi. Orang-orang berbaris sambil membawa
tas plastik dan uang tunai - para tentara itu sedang
melelang beras milik pemerintah. Orang dari Unamet tiba;
para tentara itu tersenyum, dan melambaikan tangan
mereka, lalu pergi dengan sopan.
SELAMA DUA hari pertama setelah kepulangan saya,
saya kebas dengan antisipasi dan ketegangan, tetapi
kekebasan saya dengan segera hilang berganti dengan
depresi yang pemah saya coba taklukkan di Darwin.
Pertama, ada kesulitan-kesulitan praktis. Turismo kini
tinggal sekadar bangunan, bukannya hotel. Tanpa air,
listrik atau layanan. Kami berkemah di dalam gedung. Saya
tidur di tikar di bawah kelambu dalam ruangan berpintu
rusak. Setelah bangun, saya mengumpulkan jatah air saya
dari pusat markas Australia dan menghangatkan kopi serta
kaleng-kaleng kacang dengan gumpalan parafin. Sambil
sarapan, orang-orang berbasuh dan mengobrol serta berbagi
berita-berita semalam. Kemudian datanglah pertanyaan
tentang apa yang akan dilakukan hari itu.
Tak seorang pun yang akan sekadar menghabiskan
waktu di dalam hotel, menunggu taklimat Interfet. Tetapi
Dili telah dijarah habis, baik orang-orangnya, mobilmobilnya, maupun sepeda-sepeda motomya; kendaraan dan
penerjemah lebih sulit didapat dibandingkan sebelumsebelumnya. Banyak wartawan yang datang bersama
Interfet tidak mengenal Timor Timur dan tidak pula saling
kenal satu sama lain dan saya merasakan kejengkelan yang
tak terjelaskan terhadap para pendatang baru ini. Ada
semacam pengubuan dan persaingan yang tidak pemah saya
rasakan sebelumnya dan tak saya sukai.
Seorang koresponden televisi Australia mendekati saya
di Turismo pada malam setelah perjalanan ke Dare.
"Richard," katanya. "Kamu baik-baik saja?"
"Ya." "Kamu tidak terlibat masalah waktu keluar ke Dili hari
ini?" "Tidak, kenapa?"
"Ada seseorang di sana, seorang Timor di luar pagar, dan dia bicara tentang
orang asing jangkung berambut pirang,
seorang wartawan, yang terjatuh dari boncengan sepeda
motomya, atau tertembak atau semacam itu.
Singkatnya, dia sangat gelisah. Tentang sesuatu. Bukan
kamu, barangkali. Jangan cemas."
Dua menit kemudian, koresponden televisi Australia
yang kedua mendekati saya dengan cara yang sama. "Kamu
Richard, bukan" Ya, Richard, begini - apa kamu terjatuh
dari sepeda motor di Dili sore ini?"
Orang Timor itu dihalangi masuk ke Turismo oleh
Interfet. Tamu itu berdiri di sisi seberang gerbang besi tinggi, dia
sudah menyampaikan ceritanya dua atau tiga kali.
Namanya Florindo, dan dia sangat dibutuhkan karena
merupakan satu dari sedikit orang di Dili yang memiliki
sepeda motor yang bisa jalan. Sore itu, jelasnya, dia pergi
mengantarkan seorang wartawan ke gerbang depan d a n m
e m b o n c e n g k a n seorang I a i n n y a - s e o r a n g b e r t u b u h
jangkung, berambut terang tapi, tidak seperti
saya, bisa berbahasa Indonesia dengan fasih. Pria itu naik
ke jok belakang dan minta diantar ke daerah pinggiran
Becora. Saat mereka telah melewati gereja, tiga sepeda
motor yang membawa enam pengendara berseragam
mendekati mereka dari arah berlawanan. Para serdadu itu
membawa senapan otomatis dan mereka berteriak-teriak.
"Jadi, mereka sekitar dua ratus meter jauhnya dan m e re k a m e I a m b a i m e
n g h e n t i k a n k a m i," kata FI o ri n d o. "Tapi, saya tidak mau berhenti
dan saya mulai berbalik. Begitu saya berbalik mereka mulai menembak.
Peluru berdesing di sekitar kami. Saya suruh wartawan itu
untuk berpegang erat pada saya, tapi kemudian mereka
menembak sepeda motor, saya kehilangan kendali dan
jatuh ke tanah." Sepeda motor itu menyeret Florindo sejauh lima puluh
meteran lagi hingga dia bisa melepaskan diri dan berdiri;
saat dia bicara saya bisa melihat bahwa kemejanya sobek
dan kulitnya luka terkelupas. "Saya melihat ke tanah dan tampak jumalis itu
tergeletak tak sadar," katanya. "Dia tidak bergerak. Saya mulai berlari. Saya
dengar mereka berteriak, 'Bunuh dia, bunuh dia!'"
Florindo bersembunyi di antara pondok-pondok dan
rimba sekitar Becora, serta berjalan kaki kembali sampai
Turismo. Kerumunan kecil orang-orang telah berkumpul untuk
mendengarkan cerita itu. Petugas pers Australia yang ramah
diberi tahu dan salah seorang dari mereka keluar. Florindo
menyampaikan ceritanya sekali lagi, melalui gerbang
terkunci, dia masih belum dibolehkan masuk ke dalam
hotel. Mayor Ron tampak tidak terlalu tertarik, meskipun
nanti dia meyakinkan kami bahwa dia telah meneruskan
laporan itu kepada Kolonel Wally. Apa yang dilakukan
Kolonel Wally dengan itu, saya tak pemah tahu.
UNTUK BERSIKAP adil kepada mereka, harus diakui
bahwa pada malam itu banyak hal lain yang ada di dalam
pikiran orang-orang Australia itu. Dua orang lainnya telah
hilang: seorang fotografer Amerika bemama Chip Hires dan
Jon Swain dari Sunday Times, reporter legendaris, veteran
di Kamboja, Vietnam, dan Kosovo. Kisah Florindo yang
membingungkan segera terlupakan. Sepanjang malam, dan
lama setelah generator dimatikan, para wartawan yang
duduk-duduk di Turismo di bawah cahaya lilin
mengobrolkan bersama apa yang disebut sebagai kasus
Swain dan Hires. Keduanya juga pergi ke Becora dan pada
saat yang kira-kira bersamaan dengan Florindo serta
penumpangnya. Taksi yang merekatumpangi ditembaki dan
penerjemah mereka diseret, sedangkan pengemudi taksinya
dipukuli dengan gagang senapan. Kedua jumalis itu lari dan
bersembunyi di hutan; baru pada pukul setengah dua pagi
mereka akhimya ditemukan. Pengemudinya ditemukan
masih hidup, tetapi tanpa salah satu matanya;
penerjemahnya tak pemah terlihat lagi. Penyerang mereka
adalah tentara-tentara Indonesia berseragam. Komandan
batalionnya, seseorang bemama Mayor Jacob Sarosa,
sedang lewat dan menyaksikan hal itu terjadi.
Belakangan, malam itu Gwen Robinson, yang bekerja
untuk Financial Times, berkata, "Dari tadi saya memikirkan cerita tentang pria
berambut pirang di sepeda motor itu.
Saya kira saya tahu siapa dia. Sander."
Sander bekerja sebagai wartawan lepas untuk FT dan
Chhstian Science Monitor; dia terbang dari Jakarta sore itu
lalu menyimpan barang-barangnya di Turismo sebelum
buru-buru keluar. Tak seorang pun pemah melihatnya
lagi sejak itu. Saya dan Gwen pergi menemui Mayor Ron, tetapi dia
tidak terlalu tertarik juga pada informasi ini. Dua jumalis
hilang dan ditemukan sudah cukup untuk satu malam.
Yang lain harus menunggu sampai pagi.
TUBUH SANDER Thoenes ditemukan setelah fajar
oleh beberapa pemuda setempat yang mengantarkan dua
jumalis ke sana; mereka baru saja kembali ke Turismo
ketika saya keluar dari kamar. Kabar menyebar ke seluruh
hotel. Di pagar berdiri berdiri teman-teman Sander yang
mendengar berita kematiannya beberapa detik sebelumnya.
Gwen ada di sana, terisak. Beberapa orang lain terisak,
sementara beberapa lagi membuat persiap-an untuk pergi
melihat langsung. Saya segera tahu bah-wa saya tidak akan
ikut bersama mereka dan bahwa saya sekali lagi menjadi
ketakutan - dengan ketakutan yang bercampur baur dan
habis-habisan sehingga mendorong saya lari dari markas.
Sander tergeletak beberapa ratus meter dari jalan utama,
di wilayah pepohonan kelapa dan pondok-pondok.
Wajahnya menghadap ke tanah dan tangannya terulur ke
arah buku catatannya. Ada jejak darah yang mengarah ke
tubuhnya, seakan-akan dia telah merangkak atau diseret ke
tempat ini. Telinga kanannya terpotong, begitu pula
sebagian besar daging di wajahnya. Itu bukan karena gigitan
anjing atau tikus, menurut orang-orang yang melihat
mayatnya, melainkan sayatan rapi dengan alat yang tajam.
Dia disayat oleh manusia.
Cameron Barr dari Christian Science Monitor menyusun
kisah lengkapnya beberapa bulan kemudian: bagaimana
Batalion 745, unit infantri Indonesia, telah meninggalkan
baraknya di Los Palos untuk mundur ke wilayah Indonesia
di Timor Barat; bagaimana mereka masuk ke Dili,
menembak, menyiksa, dan membakar sepanjang jalan.
Setidaknya dua puluh orang dibunuh oleh para tentara itu
selama hari-hari terakhir mereka di Timor. Saat mereka
melewati kota-kota dan desa-desa dalam perjalanan, mereka
menembak secara acak ke arah orang-orang yang lewat.
Seorang wanita tua ditembak di dada, seorang ibu dan
bayinya ditembak di kaki. Mayor Sarosa sendiri mengakui
menyaksikan penembakan mobil Jon Swain. Seorang
penduduk setempat menggambarkan bagaimana para
tentara menyeret tubuh Sander menjauh dari jalan ke
tempat mayatnya ditemukan.
Artikel pasca-kematiannya itu menyimpulkan bahwa dia
telah dibunuh oleh sebutir peluru dari belakang yang m e n
e m b u s p u n g g u n g n ya d a n m e n c a b i k t e n g g o r o k a n n y
a. "Dari semua bukti yang tersedia sejauh ini/1
tulis ahli koroner Australia dalam laporannya, "ada
kemungkinan bahwa satu orang atau beberapa orang
anggota Batalion 745 ... menembak korban."
Mayor Sarosa dijatuhi tuduhan atas pembunuhan Sander
Thoenes oleh jaksa penuntut Timor Timur pada 2002, tetapi
tak seorang pun berharap dia akan dihadapkan ke
pengadilan. Tak lama setelah meninggalkan Timor Timur,
dia dipromosikan menjadi Letnan Kolonel.
Sander Thoenes adalah wartawan asing ketujuh yang
telah dibunuh oleh tentara Indonesia di Timor Timur sejak
invasi 1975. Adalah absurd membesar-besarkan arti penting
satu tragedi ini, seorang Eropa di antara 200.000 atau lebih
orang Timor yang telah mati sepanjang dua puluh empat
tahun. Ada banyak orang lain yang lebih berduka atas
kematiannya daripada saya - meskipun saya pemah
melewatkan malam bersama Sander, dia cuma kenalan
dekat, bukan kawan akrab. Tetapi, dia adalah satu-satunya
orang yang pemah saya kenal secara pribadi yang telah
dibunuh oleh manusia lain.
Sander bukan menginjak ranjau darat atau melangkah ke
tengah pertempuran bersenjata. Dia sedang bepergian tanpa
senjata melewati jalan umum ketika dia ditembak oleh
serdadu Indonesia, anggota salah satu pasukan terbesar
Asia, sebuah angkatan bersenjata dengan senapan-senapan
buatan asing, yang perwira-perwiranya dilatih di Eropa,
Amerika, dan Australia. Hal penting dari kematiannya
bukanlah bahwa itu tidak biasa, melainkan bahwa itu
sangat biasa. BEKERJA MENJADI semakin sulit setelah itu. Sudah
sangat jelas bahwa Dili tidak aman, tetapi tetap tinggal di
hotel menjadi tidak tertahankan. Jadi, saya terus-terusan
keluar, untuk melihat apa yang bisa dilihat. Tidak ada taksi
atau sepeda motor, dan yang paling baik yang bisa
dilakukan adalah berjalan kaki. Sudah lama sekali sejak
saya berjalan begitu jauh.
Saya terbenam ke dalam keletihan yang semakin dalam
dan lebih dalam lagi; saya menjadi gugup dan pelupa. Dua
kali saya secara tak sengaja menyulut api ke kelambu saya.
Satu kali, saya meninggalkan ransel di jalan di tengah
kerumunan pengungsi lapar; ransel itu lenyap bersama
kamera saya, seluruh film saya dan ribuan uang pound
tunai. Hari berikutnya, setelah memohon tumpangan di
belakang sepeda motor seseorang, saya tergelincir jatuh dan
merobek kulit tangan serta lengan saya. Saya merasa
kesepian dan tak berdaya, dan pulang pun tidak melegakan
karena saya tidak ingin pulang: saya ingin tak pemah
melarikan diri. Saya bertahan di Dili dua pekan lagi. Setelah itu saya
terbang pulang ke rumah saya di Jepang. Berbulan-bulan
kemudian berlalu. Dalam waktu dua tahun, Timor Timur
merdeka - Xanana menjadi presidennya. Indonesia menjadi
negara demokrasi korup yang ribut, tapi tetap disebut
demokratis. Di Jakarta, partai-partai dan presiden-presiden
diangkat serta jatuh silih berganti, tetapi di rumahnya di
Jalan Cendana, Soeharto tua menjalani hidup masa tuanya
tanpa dihukum. Di Kalimantan, terjadi lagi pertempuran
berburu kepala dan kanibalisme dua tahun setelah yang
terakhir. Saya akan tetap bekerja sebagai koresponden,
meliput negara-negara lain dan perang-perang baru. Saya
akan melewatkan semakin sedikit waktu di Indonesia dan
Timor Timur. Perempuan yang saya cintai akan datang ke
Tokyo dan kami akan hidup bersama. Dan lama kelamaan,
perasaan malu dan kebas saya akan hilang.
DI SELURUH Dili, dua pekan setelah kepulangan saya,
ditemukan mayat-mayat - bukan dalam tumpukan atau
lubang-lubang, tetapi di bagian-bagian kecil kota yang tak
terduga. Di halaman kampus politeknik ada dua tumpukan
batu dan tanah, salah satunya tidak cukup panjang untuk
menutupi seorang anak; tempat itu akan luput dari
perhatian jika tidak ada bau busuk di udara di sekitar
mereka. Tubuh seorang pria tua terbaring di bawah
gundukan pertama; tubuhnya telah digerogoti seperti buah
apel. Di bawah kuburan yang lebih kecil adalah setengah
potongan tubuh, bagian bawahnya, terpotong di pinggang:
tak berkepala, tak berlengan, tak berbahu atau dada.
Hewan-hewan barangkali telah menyebabkan mutilasi pada
pria tua itu, tetapi tak ada anjing yang bisa memotong


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh manusia di sepanjang tengahnya. Ada kuburan lain
sejarak beberapa meter dari sana, dan enam lainnya di
dekat hutan. Di Becora, ada truk hangus terbakar dengan kerangka
yang bengkok. Di sekolah di sisi jalan di depan Hotel
Tropicale ada dua karung menggelembung. Karung-karung
itu dikerubungi belatung, dan udara di sekitamya bergetar
dengan lalat-lalat. Tetapi, yang terburuk ada di halaman
Hotel Tropicale sendiri. Saat itu akhir September ketika saya melihatnya dan para
pengungsi mulai kembali dari tempat-tempat
persembunyian mereka di perbukitan. Dua di antara mereka
sedang bermain di bawah terik matahari di depan hotel seorang anak lelaki dan anak perempuan berkaus serta
bercelana pendek kumal. Mereka sedang makan mangga
dan bermain dengan bola tenis kuning; anak lelaki itu
nyengir saat dia mengisap mangga dan aimya mengalir ke
bawah dagunya. Setelah beberapa saat, dia menggandeng
tangan adik perempuannya dan membawanya ke dalam
Tropicale tempat saya pemah datang bersama Basilio untuk
melihat jasad anggota Aitarak tergeletak. Dia membawanya
ke pinggir sebuah sumur tempat sekelompok orang telah
berkumpul, menunjuk ke bawah pada sesuatu sembari
tangan menutup mulut dan hidung. Anak perempuan itu
mencengkeram wajahnya dan mulai menangis.
Saat mendekat, saya dihampiri oleh keyakinan bahwa
saya tahu apa yang ada di dalam sumur itu. Bukan fakta
bahwa itu sesosok mayat yang sudah terlalu jelas dari reaksi
orang-orang di sekelilingnya, melainkan bentuk persisnya
dan konfigurasi visualnya, seakan-akan saya pemah
melihatnya dulu sekali dalam sebuah gambar atau mimpi.
Bau busuk di atas mulut sumur itu sangat sengak, tetapi tak
terlukiskan sedapnya, seperti bau masakan di atas panci
berisi sup. Beberapa kaki di bawah mulut sumur, air beriak
dengan buih belatung kelabu. Belatung-belatung itu
memakan segumpal sosok tak jelas yang perlahan-lahan
berubah menjadi bentuk-bentuk yang bisa dikenali: bahu,
badan, sepotong kulit cokelat, sisa-sisa manusia yang
membusuk. Dan tentu saja, itu sangat akrab bagi saya,
sebuah bagian dari kenangan tertua saya: kenangan masa
kecil, atau bahkan lebih awal lagi - sebuah citra yang
terkunci di da-lam pikiran pada saat bayi, atau di dalam
rahim, atau jauh sebelumnya. []
T UCAPAN TERIMA KASIH 1 BANYAK KOLEGA serta sahabat yang sangat
membantu saya di Indonesia dan Timor Timur yang tak
terlibat di dalam pengisahan ini. Mereka tidak terlupakan
dan saya berterima kasih kepada mereka semua.
Saya berutang terima kasih secara khusus kepada Hery
Ahien, Subagio Anam, Dina Pura Antonio, Vinny Zainal
Arifi n, Cameron Barr, Nurcholis Basyari, Jose Antonio
Belo, Carmel Budiardjo, Jone Chang, Kyle Crichton dan
New York Times Magazine, Mike Denby, Hugh Dowson,
Barbie Dutter, Toby Eady, Joaquim Fonseca, Dan Franklin,
Matt Frei, Nicole Gaouette, Jonathan Head, Ian Jack dan
Granta, Joyo, keluarga Lloyd Parry, A n d re w Marshall,
John Martinkus, mendiang Andrew McNaughtan, Ed
McWilliams, Lisabel dan Robert Miles, Nicolaus Mills dan
Dissent, C o n o r O'Cleary, Maria Pakpahan, Haryo
Prasetyo, Alex Spillius dan Sarah Strickland, Gedsiri
Suhartono, Irwan Tanjaya, The Times, G re g Torode dan
Robert Winder. Utang terbesar saya adalah pada tempat
kerja saya yang lama, Independent, dan kepada
beberapa generasi editor-editomya, khususnya Andy
Marshall dan Leonard Doyle.
Saya telah mengutip karya penulis-penulis berikut:
Benedict Anderson, Robert Cribb, Dini Djalal, James
Dunn, R. E. Elson, Donald Emmerson, John Hughes, Jill
Jolliffe, Jozef Korzeniowski, Hamish McDonald,
Soemarsaid Moertorio, Goenawan Mohamad, Niels
Mulder, Kevin O'Rourke, Constancio Pin t o, M. C.
Ricklefs, Geoffrey Robinson, O. G. Roeder, Adam
Schwarz, John G. Taylor, dan Michael Vatikiotis.[]
TENTANG PENULIS 1 RichaRd LLyod Parry bekerja sebagai ^
koresponden luar negeri untuk The Times (London) yang
bermukim di Tokyo. Ia telah bertugas di dua puluh empat
negara, termasuk di pelbagai wilayah konflik, antara lain
Irak, Afghanistan, dan Kosovo.
Riwayat Lie Bouw Pek 14 Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend Bukit Pemakan Manusia 2

Cari Blog Ini